BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang permasalahan Pada umumnya, fenomena likuifaksi merupakan salah satu bencana sekunder yang muncul seiring adanya peristiwa gempa bumi. Banyaknya kerugian yang ditimbulkan akibat bencana tersebut menyebabkan banyak ahli tertarik untuk mendalami fenomena lanjutan yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana alam gempa bumi, salah satunya adalah fenomena likuifaksi. Fenomena likuifaksi ini muncul disebabkan ketika massa tanah secara tiba-tiba kehilangan kekuatannya, karena terjadi peningkatan tekanan air pori akibat gerakan gelombang beban dinamis yang terjadi di dalam tanah. Pada kondisi ini, tanah sama sekali tidak bisa mempertahankan keberadaan struktur di atasnya. Menurut Marcuson (dalam Youd, et al., 2001), likuifaksi didefinisikan sebagai perubahan sifat tanah granular yang padat, kompak, kemudian menjadi seolah-olah cenderung bersifat cair akibat terjadi peningkatan tekanan air pori tanah secara bertahap, sehingga menyebabkan penurunan tegangan efektif tanah hingga mencapai nilai nol, atau dapat dikatakan bahwa tanah sudah tidak mampu lagi menumpu beban yang ada. Arti kata cair bukanlah berubahnya tanah menjadi air, tetapi dalam arti sebagai perubahan sifat tanah yang cenderung seperti air. Hampir selama sepuluh dekade penelitian mengenai likuifaksi, para peneliti bersepakat hanya tanah dalam kondisi fully saturated (jenuh, Sr=100%) dan terbebani oleh beban siklis berupa beban gempa yang menyebabkan percepatan maksimum tanah di permukaan (peak ground acceleration, PGA) memiliki besaran minimal 0,1 g dikatakan sebagai parameter utama pemicu terjadinya likuifaksi. Penelitian mengenai potensi kemunculan likuifaksi hingga saat ini masih terus diteliti dan dikembangkan karena banyak kejadian menunjukan bahwa tanah dengan kondisi unsaturated (jenuh sebagian, 0% < Sr < 100%) dan beban siklis dengan frekuensi rendah yang terjadi berkali-kali pada tanah jenuh juga mengindikasikan adanya kemunculan likuifaksi. Kompilasi gambar-gambar berikut (Gambar 1.1) merupakan beberapa kejadian likuifaksi yang terekam pada tanah dengan kondisi jenuh (Sr=100%) dan unsaturated (0% < Sr < 100%). 1 Kompilasi kejadian likuifaksi yang Fenomena likuifaksi akibat gempa menyebabkan gedung-gedung miring Christchurch (2011) (courtesy of My atau tenggelam (courtesy of Yegian, Apple Newton, 2011) M.K., 2014) (a). Fenomena likuifaksi pada tanah kondisi jenuh Tanah longsor Las Colinas akibat gempa El-Savador (2001) dengan magnitude 7,3 (Rodriguez, et al., 2010) Tanah longsor tipe mudflow akibat gempa Jepang (2003) (Kazama, et al., 2007) (b). Fenomena likuifaksi pada tanah unsaturated Gambar 1.1 Kompilasi kejadian likuifaksi pada tanah dengan kondisi yang berbeda, yaitu (a) jenuh dan (b) unsaturated. 2 Berdasarkan kompilasi gambar tersebut terlihat bahwa peristiwa likuifaksi setelah terjadinya gempa pada tanah dengan kondisi jenuh menunjukan dampak yang berbeda pada area dengan bangunan dan area tanpa bangunan. Pada Gambar 1.1(a) sebelah kiri terlihat bahwa peristiwa likuifaksi memberikan dampak luar biasa pada area dengan bangunan di atasnya. Bangunan-bangunan tersebut menjadi tenggelam ataupun terguling sehingga dapat menyebabkan korban jiwa serta kerusakan yang tidak sedikit. Untuk peristiwa likuifaksi pada area tanpa bangunan (Gambar 1.1(a) sebelah kanan) terlihat munculnya genangan air di permukaan tanah serta tampak perubahan kondisi tanah bersifat seperti likuid. Contoh peristiwa likuifaksi yang sangat signifikan adalah akibat gempa Christchurch 2011. Hal tersebut ditengarai akibat adanya gempa intensitas rendah (magnituda antara 1,8 hingga 4) yang terjadi berulangkali. Nicholls (2014) dalam Christchurch Quake Map menyatakan historis frekuensi-kejadian gempa di kota ini sangat tinggi, misalnya pada tanggal 24 Desember 2011, kota Christchurch mengalami total gempa sebanyak 132 kali dengan magnitude antara 2,5 hingga 4 dengan jeda antar terjadinya gempa antara 1 menit hingga 1 jam. Peristiwa inilah diduga sebagai pemicu terjadinya likuifaksi yang sangat signifikan di kota tersebut. Pada tanah unsaturated, ilustrasi mengenai peristiwa likuifaksi ditunjukan pada Gambar Gambar 1.1(b). Pada gambar tersebut menunjukan bencana tanah longsor akibat gempa ElSalvador (2001) dan gempa Jepang (2003). Oleh para peneliti, bencana tersebut diindikasikan terjadi akibat adanya likuifaksi yang merupakan pemicu terjadinya longsor. Berdasarkan hasil investigasi lapangan yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dinyatakan bahwa di area bencana tidak turun hujan lebih dari satu minggu dan serta tanah permukaan memiliki kondisi jenuh sebagian (nilai derajat kejenuhan tanah (Sr) untuk kasus gempa El-Salvador sebesar 81% (Konagai, et al., 2002) dan untuk kasus gempa Jepang Sr = 59% (Unno, et al, 2006) tetapi ketika gempa, terjadi longsor berupa aliran tanah yang berperilaku seperti likuid. Beberapa penjelasan di atas mengenai likuifaksi menunjukan pentingnya penelitian mengenai fenomena ini terutama bagi masyarakat awam Indonesia yang belum banyak mengetahui tentang likuifaksi dan dampaknya. Para peneliti geoteknik kegempaan hingga saat ini masih terus mengembangkan penelitian mengenai likuifaksi dengan mencoba menemukan variabel-variabel baru pemicu likuifaksi berdasarkan bukti-bukti kemunculannya di lapangan seiring dengan pembebanan siklis yang terjadi. Dari penelitian yang sudah ada (dirangkum pada Tabel 1.1 halaman 9), beberapa variabel sudah dapat dikatakan memicu munculnya likuifaksi berdasarkan nilai kisaran tertentu, diantaranya persentase butiran lanau (< 100%), persentase 3 butiran lempung (< 26 %), kadar air (w > LL), angka pori (e > 0,8), kepadatan relatif (Dr < 75%), batas Atterberg (IP < 40 ; LL ≤ 39), distribusi ukuran butiran (1,7 < Cu < 5,7 ; 0,03 < D50 < 0,48), percepatan tanah maksimum (0,18 g < amax < 0,79 g), derajat kejenuhan (54% ≤ Sr ≤ 98%), tekanan kekang efektif (19,6 kPa ≤ σ’3 ≤ 98 kPa) dan tekanan air pori (0 < uw ≤ 50 kPa). Penelitian likuifaksi di Indonesia telah banyak dilakukan, tetapi hanya sebatas melakukan analisa potensi likuifaksi dengan menggunakan metode ataupun kriteria tanah potensial terlikuifaksi akibat gempa-gempa yang terjadi di luar negeri. Padahal sesungguhnya tiap jenis tanah di setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga diperlukan suatu panduan untuk mengetahui indikasi potensi likuifaksi untuk tanah di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan dengan fokus menggunakan variabel baru yang sebelumnya dianggap tidak mempunyai pengaruh terhadap indikasi kemunculan likuifaksi. Nilai frekuensi pembebanan yang rendah digunakan dalam penelitian ini dikarenakan keterbatasan alat uji, walaupun sebenarnya fenomena likuifaksi pada umumnya terjadi akibat gempa dengan frekuensi sebesar 0,5 hingga 2,5 Hz. Dari ilustrasi mengenai peristiwa likuifaksi yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, sangat penting untuk diteliti mengenai dua variabel yang sebelumnya dianggap bukan sebagai faktor pemicu likuifaksi yaitu repetisi beban siklis yang terjadi berkali-kali dengan frekuensi (f) pembebanan rendah pada suatu massa tanah dengan kondisi jenuh serta pengaruh variabel matric suction pada tanah unsaturated. Repetisi beban siklis dengan frekuensi rendah yang terjadi berulang-kali dianggap akan merubah perilaku ketahanan tanah dalam melawan gaya geser. Untuk tanah unsaturated, variabel matric suction yang pada awalnya dianggap mampu melawan likuifaksi karena peningkatan tekanan air pori yang terjadi akibat beban siklis akan direduksi oleh kompresibilitas udara dalam massa tanah ternyata tidak sepenuhnya membuat tanah unsaturated terbebas dari potensi likuifaksi. Indonesia sebagai laboratorium alam raksasa tentang beban siklis sangat berpotensi memberikan kontribusi mengenai likuifaksi baik secara nasional maupun internasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menentukan variabel-variabel yang berpengaruh dalam memberikan informasi mengenai indikasi munculnya likuifaksi dan memberikan kontribusi mengenai konsep dasar likuifaksi baik untuk tanah kondisi jenuh maupun unsaturated. 4 B. Perumusan masalah Pada tanggal 27 Mei 2006, Yogyakarta dan daerah sekitarnya diguncang gempa bumi dengan magnituda 6,3. Pada area yang terkena dampak gempa, terlihat adanya fenomena likuifaksi (Gambar 1.2) dengan adanya tanda-tanda indikasi likuifaksi pada beberapa area berupa lubang semburan pasir, mengeringnya sumur-sumur yang tertutup oleh pasir berbutir halus di permukaannya, penurunan muka tanah serta munculnya air yang keluar di permukaan tanah sesaat setelah gempa terjadi. Lokasi ditemukannya fenomena likuifaksi diantaranya di daerah Kalitirto, Bintaran, Patalan, bandara Adisutjipto serta di lingkungan kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Lokasi penelitian Gambar 1.2 Peta lokasi kejadian likuifaksi di daerah Yogyakarta – Klaten pada saat gempa Yogyakarta 2006 (Soebowo, et al., 2007). Kotak merah ( ) adalah daerah penelitian. 5 Peristiwa likuifaksi di lingkungan UMY menimbulkan kerusakan pada gedung utama perpustakaan serta terlihat juga adanya penurunan tanah di beberapa lokasi. Gambaran mengenai fenomena likuifaksi di lingkungan UMY dapat dilihat pada Gambar 1.3, sedangkan di bandara Adisutjipto-Yogyakarta, terlihat adanya fenomena lubang semburan pasir (sand boiling) di areal runway pesawat. Fenomena sand boiling mengindikasikan adanya likuifaksi, karena menunjukan adanya dissipasi energi diakibatkan kenaikan tekanan air pori di dalam tanah. Pengaruh likuifaksi di bandara Adisutjipto-Yogyakarta dapat dilihat pada Gambar 1.4. Beberapa gambaran lainnya tentang kejadian likuifaksi yang ada di daerah Bantul dapat dilihat pada Gambar 1.5. Gambar 1.3 Penurunan muka tanah di areal gedung utama perpustakaan UMY akibat gempa Yogyakarta 2006 (Muntohar, 2009). 6 Gambar 1.4 Semburan pasir yang muncul di areal runway bandara Adisutjipto-Yogyakarta (courtesy of Siswosukarto, 2006). Gambar 1.5 Kejadian likuifaksi yang ditandai adanya semburan pasir di SMP BOPKRI serta mengeringnya sumur penduduk di daerah Bantul (courtesy of Siswosukarto, 2006). 7 Dari gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa penelitian mengenai likuifaksi terutama di Indonesia sangat diperlukan, karena potensi munculnya beban siklis yang berasal dari getaran gempa sangat besar. Jenis tanah serta kondisi muka air tanah yang dangkal di beberapa wilayah Indonsia menyebabkan potensi munculnya likuifaksi sangat tinggi. C. Tujuan Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut, 1) menentukan variabel-variabel penentu likuifaksi pada tanah granular akibat beban siklis dengan variabel yang digunakan adalah kondisi tanah (jenuh dan unsaturated), variasi pengaruh kedalaman tanah (dalam hubungannya dengan nilai σ3), kepadatan relatif tanah (Dr), frekuensi (f) pembebanan, durasi delay waktu terjadinya pembebanan siklis (Δt) serta matric suction (s), 2) melakukan analisis pengaruh historis frekuensi-kejadian pada beban siklis dengan frekuensi (f) pembebanan siklis rendah pada massa tanah granular kondisi jenuh dan pengaruh matric suction sebagai variabel utama pemicu likuifaksi, sehingga memberikan kontribusi didapatkan parameter baru sebagai variabel pemicu munculnya potensi likuifaksi, 3) mengetahui pengaruh frekuensi (f) beban siklis pada massa tanah terhadap parameter tekanan air pori karena penentuan potensi likuifaksi pada penelitian ini mengacu pada perilaku rasio tekanan air pori yang terjadi. D. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1) memberikan wacana mengenai fenomena likuifaksi di Indonesia serta efeknya bagi kehidupan masyarakat, karena peristiwa likuifaksi belum begitu populer di Indonesia dan frekuensi-historis beban gempa yang terjadi di Indonesia serta didukung dengan sifat-sifat tanahnya yang berpotensi menimbulkan likuifaksi, 8 2) hasil penelitian dapat memberi kontribusi memberikan wacana mengenai parameter baru pemicu likuifaksi, di mana pada awalnya variabel tersebut dianggap tidak berpengaruh terhadap kemunculan likuifaksi. Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi praktisi geoteknik pada khususnya serta bagi masyarakat Indonesia pada umumnya terutama dalam sosialisasi bencana yang terjadi akibat likuifaksi. E. Keaslian Penelitian yang terkait dengan variabel penentu potensi likuifaksi telah dimulai sejak tahun 1953 dengan fokus penelitian yang berbeda-beda. Penelitian-penelitian tersebut meninjau beberapa variabel yang dapat dilihat pada ringkasan Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Variabel-variabel pemicu likuifaksi pada tanah jenuh dan unsaturated berdasarkan penelitian yang sudah ada Variabel penelitian Peneliti Tahun A. Tanah jenuh Persentase butiran 1. Dobry dan Alvarez 1967 lanau 2. Ohsaki (dalam Tokimatsu 1970 dan Yoshimi, 1983) 3. Okusa, et al. 1980 4. Tohno dan Yasuda 1981 5. Finn 1982 6. Seed, et al. 1983 7. Tokimatsu dan Yoshimi 1983 8. Youd, et al. 1985 9. Ishihara 1990 11. Finn, et al. 1994 12. Miura, et al 1995 13. Kishida 1969 14. Parlea 2000 15. Juang, et al. 2002 16. Ku, et al. 2004 17. Ghalandarzadeh, et al. 2007 Persentase 1. Tohno dan Yasuda 1981 butiran lempung 2. Finn 1982 3. Prakash dan Puri 2010 Nilai variabel penelitian Keterangan 25 – 95 % < 10 % a a > 90 % < 90 % > 40% < 15 % <5% < 70 % 80 < 20 % 100% < 70 % 50 – 80 % 15 % 8 – 10 % 44 % 18 % < 10 % < 20% a a a a a a a b a a a a a a a b b 9 lanjutan Variabel penelitian Peneliti 4. Tokimatsu dan Yoshimi 5. Youd, et al. 6. Ishihara 7. Ishihara, et al. 8. Holzer, et al. 9. Miura, et al. 10. Kishida 11. Parlea 12. Andrew dan Martin 1. Wang (dalam Finn, et al., 1994) 2. Wang 3. Ishihara 4. Ishihara, et al. 5. Parlea 6. Parlea 7. Bray, et al. Angka pori 1. Jennings Kepadatan relatif 1. Jennings 2. Ishihara Batas Atterberg 1. Mogami dan Kubo 2. Seed dan Wilson Kadar air Tahun 1983 1985 1985 1990 1989 1995 1969 2000 2000 1979 1981 1984 1990 2000 2000 2006 1980 1980 1985 1953 1967 3. Wang (dalam Finn, et al., 1994) 4. Jennings 5. Wang 1979 6. Finn 1982 7. Seed, et al. 8. Ishihara 1983 1984 9. Ishihara 10. Ishihara, et al. 1985 1990 11. Parlea 2000 12. Bouckovalas, et al. 13. Bray, et al. 14. Ghalandarzadeh, et al. 1980 1981 2003 2006 2007 Nilai variabel penelitian < 20 % 26 % 20 % 15 % < 10 % < 25 % < 10 % 0 – 15 % 58 % < 10 % ≥ 0,99 LL ≥ 0,9 LL ≥ 0,37 LL ≥ 0,4 LL > LL > 0,9 LL > 0,85 LL > 0,80 < 75 % 40% IP = 34 LL = 33 IP = 12 LL ≤ 35 LI ≥ 0,75 IP < 10 LI > 0,75 LL < 35 IP < 10 LL < 33 LL ≤ 35 LL = 31 IP = 10 IP = 11 LL = 30 IP = 40 LL < 30 IP = 5 – 15 LL = 37-39 IP = 14-17 IP < 5 IP < 12 LL = 38 IP = 18 Keterangan a a a a a a a c d a a a a a c d a a a a a a a a a a a a a a c d a b a 10 lanjutan Variabel Peneliti penelitian Batas Atterberg 15. Wang, et al. Distribusi ukuran 1. Ohsaki (dalam Tokimatsu butiran dan Yoshimi, 1983) 2. Seed dan Idriss 3. Finn 4. Chern, et al. 5. Bouckovalas, et al. Percepatan tanah maksimum Derajat kejenuhan 1. 2. Tahun 2010 1970 Nilai variabel penelitian IP = 7,2 - 9 Cu < 5 D50 ≈ 0,08 mm D50 > 0,05 mm 0,08 < D50 < 0,2 mm D50 = 0, 03–0,48 mm Cu = 1,7 -5,7 Juang, et al. 2002 amax = 0,19 – 0,79 g Chu, et al. 2004 amax = 0,18 – 0,67 g B. Tanah unsaturated Okamura, et al. 2009 Sr = 90 - 98 % Unno, et al 2008 Sr = 54 - 95 % Unno, et al. 2008 Sr = 59 % Okamura, et al. σ’ = 19,6 - 98 kPa 2006 3 1. 2. 3. Tekanan kekang 1. efektif Tekanan air pori 1. Okamura, et al. 1971 1982 2003 2003 2009 uw = 0 – 50 kPa Keterangan a a a a a b a a b b b b Keterangan : a : uji di lapangan, b : uji di laboratorium, c : collapsible loess, d : lempung sensitif. Berdasarkan rangkuman serangkaian penelitian tersebut di atas, sebagian besar analisa eksperimental likuifaksi pada tanah jenuh dengan menggunakan variasi variabel untuk bisa menentukan parameter utama penentu potensi likuifaksi akibat gempa besar. Historis frekuensikejadian beban siklis yang terjadi pada suatu massa tanah dengan beberapa variabel utama seperti yang disebutkan di atas perlu diperhatikan, karena kemungkinan akan memberikan indikasi munculnya likuifaksi. Seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa repetisi beban siklis yang terjadi berkali-kali pada suatu massa tanah pada kondisi jenuh dianggap mampu merubah kemampuan tanah dalam melawan gaya geser yang bekerja dan berpotensi menimbulkan likuifaksi. Selain itu, diteliti juga mengenai indikasi kemunculan likuifaksi pada tanah unsaturated dengan menggunakan variasi parameter matric suction, sehingga dapat diketahui sampai seberapa besar pengaruh parameter matric suction terhadap indikasi kemunculan likuifaksi pada tanah unsaturated. Sejauh pengetahuan referensi yang diketahui, hal tersebut belum pernah diteliti oleh perorangan ataupun suatu lembaga penelitian. 11 F. Batasan masalah Untuk mengetahui variabel baru yang berpengaruh terhadap munculnya likuifaksi maka serangkaian penelitian dilakukan dengan batasan masalah sebagai berikut, 1. sampel tanah yang digunakan adalah sampel terganggu (terusik) dari lingkungan kampus terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Tanah yang digunakan diambil pada beberapa titik di lokasi sekitar bore hole (BH) 4 dengan kedalaman 4 – 4,5 meter dari permukaan tanah. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mendapatkan jumlah sampel tanah yang mencukupi untuk digunakan pada pengujian likuifaksi ini, 2. penelitian karakteristik tanah dilakukan di Laboratorium Geoteknik Mekanika Tanah di JTSL – FT, UGM, sedangkan rangkaian penelitian utama likuifaksi dilakukan di Laboratoire de Mécanique des Sol, EPFL, Switzerland dengan menggunakan alat triaksial siklis kondisi tak terdrainasi, 3. seluruh rangkaian uji likuifaksi menggunakan sampel tanah di sekitar bore hole (BH) 4 menggunakan metode cyclic shear strain controlled, 4. frekuensi (f) beban yang diterapkan dalam pengujian sebesar 0,1 Hz dan 0,05 Hz karena keterbatasan kemampuan alat yang digunakan. Walaupun belum ada padanannya suatu fenomena alam dengan nilai f sangat rendah (0,05 – 0,1 Hz) tetapi dengan menggunakan nilai f dengan kisaran tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola kenaikan tegangan air pori secara detail dan akurat baik pada clean sand kondisi jenuh maupun unsaturated akibat penerapan beban siklis (ASTM D-3999-91), 5. variabel percepatan tanah secara vertikal (av) diabaikan walaupun sebenarnya berpengaruh sebagai pemicu potensi likuifaksi pada massa tanah, sehingga pada penelitian ini hanya meninjau pengaruh percepatan tanah secara horizontal (ah), 6. pengujian ini memfokuskan mengenai pengaruh variabel repetisi beban siklis dan matric suction sebagai pemicu munculnya likuifaksi. 12