Gambaran sel radang pada sekum ayam yang telah terinfeksi

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator
bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah
ookista pada feses ayam berdasarkan hari nekropsi tersaji dalam Tabel 1.
Tabel 1 Rataan jumlah ookista pada feses berdasarkan hari nekropsi.
Hari
ke0
Kelompok
KN
KP
KO
J1
0.00 ± 0.00a 360.00 ± 219.09a 160.00 ± 89.45a
a
J2
260.00 ± 23.22a
J3
200.00 ± 346.41a 300.00 ± 400.00a
1
a
0.00 ± 0.00 240.00 ± 328.63 110.00 ± 96.18
a
a
100.00 ± 100.00 220.00 ± 286.36a
0.00 ± 0.00a
2
0.00 ± 0.00a 280.00 ± 192.00b
30.00 ± 27.39a
80.00 ± 109.54ab 40.00 ± 89.44 a
60.00 ± 89.44a
3
0.00 ± 0.00a 320.00 ± 109.54b 130.00 ± 27.39ab 260.00 ± 313.05ab 260.00 ± 357.77ab 80.00 ± 83.67ab
4
0.00 ± 0.00a 740.00 ± 676.76b 140.00 ± 108.40a
40.00 ± 54.77a
80.00 ± 83.67a
300.00 ± 400.00a
5
0.00 ± 0.00a 160.00 ± 167.33ab 150.00 ± 183.26b
60.00 ± 54.77a
40.00 ± 54.77a
40.00 ± 54.77a
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis rendah, J2: pemberian johar dosis
sedang, J3: pemberian johar dosis tinggi.
Berdasarkan hasil pengolahan secara statistik antar kelompok perlakuan
pada setiap hari pengambilan data tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
kecuali pada kelompok perlakuan kontrol positif yang selalu memiliki nilai yang
relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang lain.
Sedangkan kontrol negatif selalu memiliki nilai yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Pada kelompok kontrol obat
jumlah ookista ditekan pertumbuhannya oleh koksidiostat Colibact yang bekerja
mengikat PABA (para amino benzoic acid) dan menghambat metabolisme asam
folat Eimeria sehingga sintesa DNA dari ookista terganggu dan menyebabkan
kegagalan pembentukan ookista. Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak
daun C. siamea L. tidak menunjukkan respon yang cukup berarti sebagai
penghambat pertumbuhan ookista.
Pengamatan histopatologi organ sekum ayam pada masing-masing
kelompok perlakuan ditemukan adanya sejumlah sel radang. Sel radang yang
ditemukan pada organ sekum yaitu makrofag, limfosit, eosinofil, dan sel plasma.
Berikut ini adalah gambaran histopatologi organ sekum dengan sejumlah sel
radang.
23
Gambar 9 Histopatologi jaringan sekum yang diberi ekstrak etanol daun
C. siamea dosis rendah (J1). Sel radang pada sekum terdiri atas
makrofag (panah garis), limfosit (kepala garis) dan sel plasma (panah
tebal). Pewarnaan HE; obyektif 100 .
Makrofag merupakan bagian dari sistem fagosit mononuklear yang berasal
dari monosit darah dan telah bermigrasi keluar dari pembuluh darah serta
mengalami aktivasi di dalam jaringan.
Karena itu makrofag merupakan sel
radang yang berfungsi memfagositosis mikroorganisme bakteri dan jamur.
Makrofag membuat C3 dan C4, dan lisosom yang merupakan komplemen dan zat
dalam fagositosis dan opsonisasi (Effendi 2003).
Fungsi lain dari makrofag
adalah membantu pelepasan IgA intraselular ke jaringan, membentuk sel raksasa,
meningkatkan aktivitas limfosit, membantu pengangkutan dan penyimpanan
imunoglobulin, serta berpartisipasi dalam pembentukan suatu faktor pertumbuhan
sel epitel usus dan maturasi enzim dalam brush border usus (laktoperidase).
Berdasarkan fungsinya tersebut maka perlu dilakukan perbandingan rata-rata
jumlah makrofag antar kelompok perlakuan. Hasil dari penghitungan dan analisis
24
statistik rata-rata jumlah makrofag pada masing-masing kelompok perlakuan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rataan jumlah makrofag pada sekum ayam.
Nekropsi
hari ke-
Kelompok
KN
KP
a
22.00 ± 1.00
KO
ab
32.67 ± 0.57
J1
b
92.00 ± 2.00
J2
d
58.67 ± 27.47
J3
c
93.33 ± 2.89d
0
2.00 ± 0.00
6
2.00 ± 0.00a 18.00 ± 1.00ab 31.00 ± 1.00bc 60.00 ± 17.35de 47.67 ± 17.67cd 76.33 ± 19.30e
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis 1, J2: pemberian johar dosis 2,
J3: pemberian johar dosis 3.
Berdasarkan analisis statistik di atas rataan jumlah makrofag hari ke-0
pada kelompok yang diberikan ekstrak etanol daun C. siamea memiliki nilai yang
lebih tinggi dan menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05) jika dibandingkan
dengan kelompok perlakuan yang lain, sedangkan antar kelompok KN, KP dan
KO tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Jumlah makrofag pada kelompok
JI dan J3 lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kelompok J2. Menurut analisis
statistik di atas rataan jumlah makrofag pada hari ke-6 tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antar kelompok perlakuan. Namun demikian, kelompok
perlakuan yang diberikan ekstrak etanol daun C. siamea memiliki jumlah
makrofag yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan lain. Jumlah
makrofag tertinggi pada kelompok J3, sedangkan kelompok J1 memiliki jumlah
makrofag yang lebih tinggi dibandingkan J2. Kelompok J3 dan kelompok J1
menunjukkan rata-rata jumlah makrofag yang lebih tinggi baik pada hari ke-0
ataupun hari ke-6 bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Tingginya
jumlah makrofag pada kedua kelompok perlakuan ini diduga karena adanya
kandungan flavonoid dan karotenoid pada ekstrak daun C. siamea.
Menurut Kusmardi et al. (2006) kandungan flavonoid dan karotenoid
yang tinggi pada ekstrak daun C. siamea dapat berperan sebagai imunostimulator
dengan cara meningkatkan aktivitas dan kapasitas fagositosis sel makrofag.
Flavonoid berpotensi bekerja terhadap limfokin yang dihasilkan oleh sel T
sehingga akan merangsang sel-sel fagosit untuk melakukan respon fagositosis.
Peningkatan dosis ekatrak daun C. siamea juga akan meningkatkan aktivitas dan
kapasitas dari makrofag.
25
Menurut Underwood (1999), aktivasi makrofag saat bermigrasi ke daerah
yang mengalami peradangan diperlihatkan dalam bentuk dan ukurannya yang
bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktivitas fagositik dan kandungan
enzim lisosom yang dimilikinya. Aktivasi ini diinduksi oleh sinyal seperti sitokin
yang diproduksi oleh limfosit-T yang tersensitisasi (interferon γ), endotoksin
bakteri, berbagai mediator selama radang akut dan protein matriks ekstrasel
seperti fibronektin. Makrofag yang sudah teraktivasi siap untuk menjalankan
proses fagositosis. Makrofag ini akan menghasilkan protease asam dan protease
netral yang merupakan mediator kerusakan jaringan pada peradangan, spesies
oksigen reaktif berfungsi dalam proses fagositosis dan degradasi mikroba,
metabolit asam arakhidonat seperti prostaglandin dan leukotrien merupakan
mediator dalam proses peradangan, sitokin seperti IFN α dan β, IL 1, 6 dan 8,
faktor nekrosis tumor (TNF α) komponen-komplemen dan faktor koagulasi,
meliputi protein komplemen C1-C5, properdin, faktor koagulasi V, VIII dan
faktor jaringan(Kumar et al. 2000; Underwood 1999).
Peningkatan jumlah
makrofag yang diduga karena adanya flavonoid dan karotenoid yang terkandung
dalam ekstrak etanol daun C. siamea diharapkan dapat digunakan sebagai
imunostimulan pada koksidiosis.
Hasil dari penghitungan dan analisis statistik rata-rata jumlah limfosit
pada masing-masing kelompok perlakuan tersebut disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Rataan jumlah limfosit pada sekum ayam.
Nekropsi
hari ke-
Kelompok
KN
KP
a
KO
b
J1
b
389.33 ± 169.89 615.67 ± 5.03
J2
c
J3
c
534.33 ± 17.21 362.00 ± 21.17b
0
47.00 ± 1.00 384.00 ± 10.00
6
47.00 ± 1.00a 126.67 ± 14.64 ab 264.00 ± 10.00bc 469.67 ± 197.79d 368.67 ± 61.78cd 411.67 ± 62.07cd
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis 1, J2: pemberian johar dosis 2,
J3: pemberian johar dosis 3.
Menurut perhitungan dan analisis statistik, rataan jumlah limfosit hari ke-0
pada kelompok J1 dan J2 lebih tinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan
kelompok perlakuan lain. Kelompok J3, KP dan KO memiliki rataan jumlah
limfosit yang tidak berbeda nyata sedangkan kelompok KN memiliki rataan
jumlah limfosit terkecil dan berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lain. Hasil
analisis statistik rataan jumlah limfosit pada hari ke-6 secara umum menunjukkan
26
perbedaan yang tidak nyata kecuali kelompok KN yang memiliki jumlah limfosit
terendah dan kelompok J1 yang memiliki jumlah limfosit tertinggi dengan
perbedaan yang nyata dengan kelompok perlakuan lain. Adanya flavonoid pada
ekstrak etanol daun C. siamea diduga menjadi faktor pemicu tingginya rata-rata
jumlah limfosit pada kelompok J1. Menurut Jiao & Wen (2006), senyawa
flavonoid meningkatkan aktivitas IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit. Hal
inilah yang mungkin menyebabkan peningkatan jumlah limfosit secara nyata
antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak etanol daun C. siamea.
Limfosit merupakan salah satu sel radang yang terdiri atas limfosit B yang
berperan dalam respon imun humoral dan limfosit T yang berfungsi mengenali
dan menghancurkan antigen. Limfosit T terdiri atas sel T-helper yang dengan
bantuan major histocompatibility complex II (MHCII) akan mengenali adanya
antigen dan sel T-sitotoksik yang dengan bantuan MHCI akan
langsung
menghancurkan antigen (Kumar et al. 2000; Underwood 1999). Peningkatan
jumlah limfosit pada kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol daun C.
siamea diharapkan dapat meningkatkan kemampuan tubuh ayam yang terinfeksi
koksidia untuk mengenali dan menghancurkan antigen serta meningkatkan respon
imun.
Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis statistik rata-rata jumlah sel
plasma pada setiap kelompok perlakuan tertulis pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan jumlah sel plasma pada sekum ayam.
Nekropsi
hari ke-
Kelompok
KN
KP
a
0
1.00 ± 1.00
6
7.00 ± 1.00a
57.00 ± 1.00
KO
b
58.00 ± 1.00b
80.67 ± 2.08
J1
bc
61.00 ± 1.73
J2
b
113.00 ± 5.00c 63.33 ± 4.73b
118.33 ± 16.04
J3
c
66.00 ± 26.89b
79.00 ± 51.21bc
58.00 ± 19.92b
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis 1, J2: pemberian johar dosis 2,
J3: pemberian johar dosis 3.
Berdasarkan analisis statistik pada Tabel 4, antar kelompok perlakuan
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun jumlah sel plasma pada
kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun C. siamea dan kelompok
perlakuan yang diberikan Colibact memiliki jumlah sel plasma yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif baik pada hari ke-0
ataupun ke-6. Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol daun C. siamea
27
menunjukkan peningkatan sel plasma disebabkan oleh adanya flavonoid pada
ekstrak etanol daun C. siamea tersebut. Sel plasma merupakan sel limfosit B
plasma sehingga flavonoid yang meningkatkan rata-rata jumlah limfosit juga akan
meningkatkan rata-rata jumlah limfosit B plasma atau sel plasma. Limfosit B
berdiferensiasi menjadi sel plasma untuk membentuk antibodi (Ig) (Kusmardi
2006; Underwood 1999). Ekstrak etanol daun C. siamea pada analisis statistik ini
menunjukkan hasil yang baik karena dapat meningkatkan antibodi dari ayam yang
terinfeksi koksidia.
Hasil dari penghitungan dan analisis statistik rata-rata jumlah eosinofil dan
heterofil
pada masing-masing kelompok perlakuan tersebut disajikan pada
Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel 5 Rataan jumlah eosinofil pada sekum ayam.
Nekropsi
hari ke-
Kelompok
KN
KP
a
0
0.00 ± 0.00
6
0.00 ± 0.00a
KO
11.00 ± 1.00
b
2.00 ± 1.00ab
J1
1.00 ± 0.00
a
0.00 ± 0.00a
0.33 ± 0.58
J2
a
2.67 ± 4.61
3.67 ± 4.04ab
J3
a
1.67 ± 1.53a
4.00 ± 2.65b
0.33 ± 0.58ab
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis 1, J2: pemberian johar dosis 2,
J3: pemberian johar dosis 3.
Tabel 6 Rataan jumlah heterofil pada sekum ayam.
Nekrosi
hari ke-
Kelompok
KN
KP
a
0
0.00 ± 0.00
6
0.00 ± 0.00a
7.00 ± 1.00
KO
b
0.00 ± 1.00a
2.00 ± 0.00
J1
a
0.00 ± 0.00a
1.33 ± 0.58
J2
a
28.00 ± 45.90a
J3
a
3.33 ± 2.08a
1.00 ± 1.73a
2.00 ± 1.73a
3.33 ± 4.16
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan P < 0.05. KN: kontrol
negatif, KP: kontrol positif, KO: kontrol obat, J1: pemberian johar dosis 1, J2: pemberian johar dosis 2,
J3: pemberian johar dosis 3.
Menurut analisis data statistik di atas, rata-rata jumlah eosinofil dan
heterofil pada semua perlakuan baik pada hari ke-0 ataupun hari ke-6 tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali nilai eosinofil dan heterofil pada
kontrol positif lebih tinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok
perlakuan lain. Hal ini diduga disebabkan karena koksidiosis telah mengalami self
limiting disease sehingga jumlah eosinofil dan heterofil pada jaringan sekum
kembali menuju nilai normal. Selain itu koksidiosis diduga telah mengalami self
limiting disease juga didukung dengan jumlah ookista yang semakin sedikit, baik
pada feses ataupun sekum namun, tetap ditemukan bekas sarang ookista pada
28
jaringan sekum. Sedangkan jumlah limfosit, makrofag, dan sel plasma yang
sangat tinggi pada setiap perlakuan mendukung asumsi bahwa koksidiosis ini
bersifat kronis. Menurut Underwood (1999) pada radang kronis, makrofag dapat
berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan. Limfosit teraktivasi akan
mengeluarkan IFN-γ yang akan mengaktivasi makrofag. Makrofag yang aktif,
selain bekerja memfagositosis penyebab radang dan mengeluarkan mediatormediator lain, juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi
limfosit, sehingga akan membentuk suatu timbal balik antara makrofag dan
limfosit, yang menyebabkan makrofag akan bertambah banyak di jaringan dan
menyebabkan terbentuknya fokus radang. Limfosit-T dan limfosit-B bermigrasi
ke tempat radang dengan menggunakan beberapa pasangan molekul adhesi dan
kemokin yang serupa dengan molekul yang menarik monosit. Limfosit yang
dimobilisasi merupakan sel yang siap pada saat ada rangsang imun spesifik
(infeksi) dan peradangan yang diperantarai non imun (infark atau trauma
jaringan).
Kerjasama yang terjadi pada radang kronis adalah infiltrat jaringan
limfositik meliputi dua jenis utama limfosit, yaitu limfosit-B dan limfosit-T. Saat
limfosit-B kontak dengan antigen maka limfosit B akan berubah menjadi sel
plasma, yang merupakan sel khusus yang sesuai untuk produksi antibodi.
Sedangkan limfosit-T bertanggung jawab pada sel perantara imunitas. Sedang saat
kontak dengan antigen, limfosit-T memproduksi berbagai faktor pelarut yang
disebut sitokin yang memiliki sejumlah aktivitas yaitu pengumpulan makrofag,
produksi mediator bakteri, pengumpulan limfosit lain, destruksi sel target, dan
memproduksi interferon. Makrofag dikumpulkan ke daerah lesi terutama
dipengaruhi oleh faktor penghambat migrasi atau migration inhibition factors
(MIF) yang akan mengikat makrofag dalam jaringan. Faktor pengaktif makrofag
akan merangsang makrofag untuk memakan dan membunuh benda asing.
Limfosit-T memproduksi sejumlah mediator radang, termasuk sitokin, faktor
kemotaksis untuk neutrofil, dan faktor lain yang meningkatkan permeabilitas
vaskuler. Interleukin merangsang limfosit lain untuk membelah dan memberikan
kemampuan membentuk sel perantara respon imun terhadap berbagai antigen.
Limfosit-T juga bekerja sama dengan limfosit-B untuk mengenali antigen. Faktor-
29
faktor seperti perforin diproduksi untuk menghancurkan sel lain melalui
perusakan membran selnya. IFN-γ diproduksi oleh sel-T teraktivasi, mempunyai
sifat antivirus dan pada saat tertentu mengaktifkan makrofag. IFN-α dan IFN-β
diproduksi oleh makrofag dan fibroblas, yang mempunyai sifat antivirus dan sel
pembunuh alami yang aktif (Kumar et al. 2000; Underwood 1999).
Download