BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individu (Hawari, 2001 dalam Efendi & Makhfudli, 2009). Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Nugroho (2008) juga menyatakan bahwa memasuki usia tua yang biasanya sering disebut lansia (lanjut usia) adalah suatu keadaan yang terjadi dalam setiap kehidupan manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kegagalan seseorang mempertahankan keseimbangan stress fisiologis yang merupakan tahap akhir dari daur kehidupan manusia. 2.1.2 Batasan Umur dan Karakteristik Lansia Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia yang dikutip dari Nugroho (2000) dalam Efendi & Makhfudli (2009). a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas”. b) World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan lansia sebagai berikut: usia pertengahan (middle age): 45-59 tahun, lanjut usia (elderly): 60-74 8 9 tahun, lanjut usia tua (old): 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old): di atas 90 tahun. Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam et. al (2008) menyebutkan bahwa lansia memiliki karakteristik sebagai berikut. a) Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang Kesehatan). b) Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif. c) Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi. Jadi seseorang dikatakan lansia jika telah mencapai umur 60 tahun keatas. 2.1.3 Perubahan Pada Lansia Ismayadi (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada lansia, meliputi perubahan fisik, mental, psikososial, dan spiritual. a) Perubahan Fisik Perubahan fisik yang terjadi pada lansia meliputi perubahan sebagai berikut : 1) Sel Perubahan pada sel yang terjadi akibat proses penuaan meliputi: sel menjadi lebih sedikit jumlahnya serta lebih besar ukurannya; berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler; menurunnya proporsi protein otak, otot, ginjal, darah, dan hati; jumlah sel otak menurun, terganggunya 10 mekanisme perbaikan sel; serta otak menjadi atrofi dan beratnya berkurang hingga 5-10%. 2) Sistem Persarafan Pada lansia usia akan mengalami perubahan pada sistem persarafan, yang meliputi: penurunan berat otak hingga 10-20%; penurunan dalam berespon dan waktu untuk bereaksi khususnya dengan stres; mengecilnya saraf panca indera yang mengakibatkan penurunan fungsi penglihatan; hilangnya pendengaran; mengecilnya saraf penciuman dan perasa; lebih sensitive terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin; serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan. 3) Sistem Muskuloskeletal Lansia akan mengalami perubahan pada sistem muskuloskeletal yang meliputi: penurunan densitas tulang dan tulang menjadi semakin rapuh; kifosis; pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan menjadi kaku; tendon mengerut dan mengalami sclerosis; atrofi serabut otot (otototot serabut mengecil yang menyebabkan seseorang bergerak menjadi lambat), otot-otot kram dan menjadi tremor. 4) Sistem Respirasi Lansia akan mengalami perubahan pada sistem respirasi yang meliputi: otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku; menurunnya aktivitas dari silia; penurunan elastisitas paru-paru yang mengakibatkan kesulitan dalam menarik napas, penurunan kapasitas pernapasan maksimum paru, serta penurunan kedalaman bernapas; pelebaran ukuran dan penurunan jumlah alveoli; 11 kemampuan untuk batuk berkurang; serta dapat terjadi penurunan kemampuan otot pernapasan seiring dengan pertambahan usia. 5) Sistem Pendengaran Lansia mengalami perubahan pada sistem pendengaran yang meliputi: terjadinya presbiakusis yaitu gangguan dalam pendengaran yang ditandai dengan hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata; osklerosis akibat atrofi membran timpani; terjadinya pengumpulan serumen yang mengeras akibat peningkatan keratin; pendengaran bertambah menurun pada lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres. 6) Sistem Penglihatan Lansia akan mengalami perubahan pada sistem penglihatan yang meliputi: timbulnya sclerosis dan hilangnya respon terhadap sinar; kornea lebih berbentuk sferis atau bola; kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak; meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi; serta menurunnya lapangan pandang. 7) Sistem Kardiovaskuler Lansia akan mengalami perubahan pada sistem kardiovaskular yang meliputi: penurunan elastisitas dinding aorta; katup jantung menebal dan menjadi kaku; kemampuan jantung memompa darah menurun; penurunan elastisitas pembuluh darah, berkurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk 12 oksigenasi; serta lansia dapat mengalami peningkatan tekanan darah akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. 8) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh Lansia akan mengalami perubahan pada sistem pengaturan tubuh. Temperatur tubuh lansia menjadi menurun secara fisiologis akibat metabolisme yang menurun; keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang mengakibatkan penurunan aktivitas otot. 9) Sistem Gastrointestinal Lansia akan mengalami perubahan pada sistem gastrointestinal yang meliputi: kehilangan gigi akibat penyakit periodontal, kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk; penurunan fungsi indera pengecap, penurunan sensitivitas saraf pengecapan di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit; esophagus melebar; penurunan rasa lapar dan asam lambung; peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi; serta penurunan daya absorbsi usus. 10) Sistem Reproduksi Lansia akan mengalami perubahan pada sistem reproduksi baik pada wanita maupun pria. Perubahan sistem reproduksi yang terjadi pada lansia wanita meliputi: penyusutan ovarium dan uterus; penurunan selaput lendir vagina; serta atrofi payudara. Sedangkan parubahan pada sistem reproduksi pada sistem reproduksi lansia pria meliputi: penurunan produksi spermatozoa; serta kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lansia asal kondisi kesehatan baik. 13 11) Sistem Perkemihan Lansia akan mengalami perubahan pada sistem perkemihan yang meliputi: atrofi pada nefron dan penurunan aliran darah ke ginjal hingga 50%; otot-otot vesika urinaria menjadi lemah yang mengakibatkan frekuensi buang air kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria. 12) Sistem Endokrin Lansia akan mengalami perubahan pada sistem endokrin yang meliputi penurunan produksi semua hormon; menurunnya aktivitas tiroid yang mengakibatkan menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR), dan menurunnya daya pertukaran zat; menurunnya produksi aldosterone; serta menurunnya sekresi hormone kelamin misalnya, progesterone, estrogen, dan testosterone. 13) Sistem Integumen Lansia akan mengalami perubahan pada sistem integument yang meliputi: kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak; permukaan kulit menjadi kasar dan bersisik akibat kehilangan proses keratinasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel epidemis; kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu; rambut dalam hidung dan telinga menebal; berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi; pertumbuhan kuku lebih lambat; kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya; serta kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya. Perubahan fisik tersebut sesuai dengan teori menua yaitu teori genetika yang menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses yang alami. Sel secara genetik diprogram untuk berhenti membelah setelah mencapai 50 divisi sel, pada 14 saat itu sel akan mulai kehilangan fungsinya. Teori genetika dengan kata lain mengartikan bahwa proses menua merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan akan semakin terlihat bila usia semakin bertambah (Stanley et al, 2006). Perubahan fisik tersebut juga sesuai dengan teori Wear And Tear yang menjelaskan bahwa organisme memiliki energi tetap yang tersedia dan akan habis sesuai dengan waktu yang diprogramkan (Stanley et al, 2006). Pada usia lanjut, sel tidak memiliki kemampuan untuk bereplikasi dan menjalankan fungsinya secara optimal (Suhartin, 2010). Teori imunitas juga sesuai dengan perubahan fisik yang terjadi pada lansia. Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh sehingga pada lansia akan sangat mudah mengalami infeksi. Perubahan pada sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak adanya keseimbangan dalam sel T untuk memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun (Stanley et al, 2006). b) Masalah Mental Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek, yaitu: fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi yang labil, mudah tersinggung, mudah merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan masalah tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikologis seperti stres, depresi, ansietas atau kecemasan, psikosis atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut diakibatkan 15 karena adanya perubahan dari keadaan sebelumnya seperti fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan, mengalami kemunduran. Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia. Pada umumnya, lansia mengharapkan panjang umur, semangat hidup, tetap berperan dalam kehidupan sosial, dihormati, mempertahankan hak dan hartanya, tetap berwibawa, kematian dalam ketenangan dan diterima disisi-Nya. Keinginan untuk lebih dekat kepada Tuhan merupakan kebutuhan lansia. Proses menua yang tidak sesuai dengan harapan tersebut, dirasakan sebagai beban mental yang cukup berat. Aspek sosial yang terjadi pada individu lansia, meliputi kematian pasangan hidup atau temannya, perubahan peran seorang ayah atau ibu menjadi seorang kakek atau nenek, perubahan dalam hubungan dengan anak karena sudah harus memperhitungkan anak sebagai individu dewasa yang dianggapsebagai teman untuk dimintai pendapat dan pertolongan, perubahan peran dari seorang pekerja menjadi pensiunan yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah. Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise. Perubahan masalah mental yang terjadi pada lansia dapat dikaitkan dengan teori psikologis. Adanya penurunan dari intelektualias yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi (Maryam et al, 2008). 16 c) Perubahan Psikososial Beberapa perubahan psikososial yang terjadi pada lansia antara lain pensiun, isolasi sosial, perubahan tempat tinggal dan lingkungan, serta merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality). 1) Pensiun Pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan peran yang dapat menyebabkan stres psikososial. Nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain: kehilangan finansial yaitu pendapatan berkurang, kehilangan status yaitu yang dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengap dengan segala fasilitasnya, kehilangan teman atau relasi, kehilangan pekerjaan atau kegiatan. 2) Isolasi Sosial Isolasi sosial sering dikaitkan dengan semakin meningkatnya usia. Namun, hanya sekitar 10% lansia yang menggambarkan diri mengalami isolasi sosial (Cattan, 2002 dalam Cooper, 2009). Untuk sebagian lansia, isolasi sosial dapat diterima sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penuaan, dan tidak mungkin untuk ditentang (Forbes, 1996 dalam Cooper, 2009). Forbes (1996) dalam Cooper (2009) menyatakan bahwa terdapat ebebrapa hal yang dapat meningkatkan resiko seorang lansia mengalami isolasi sosial, antara lain: hidup sendiri, persepsi tingkat kejahatan atau kekerasan di masyarakat, tidak ingin menggunakan layanan yang tersedia, kemiskinan atau 17 khawatir akan masa depan, penurunan kesehatan atau cacat fisik, kontinensia, kehilangan hubungan yang signifikan seperti kematian atau perceraian, kurangnya dukungan keluarga, kurangnya dukungan dari teman, kurangnya akses ke pembelajan atau kegiatan yang berarti, kurangnya akses ke informasi tentang layanan, kurangnya pengetahuan atau akses ke teknologi. Isolasi sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan lansia. Adapun dampak yang dapat ditimbulkan meliputi: peningkatan depresi dan terkait masalah kesehatan mental, penurunan kesehatan fisik, penurunan harapan hidup, penurunan keterlibatan dalam masyarakat, perasaan tidak layak hidup, kurangnya percaya diri, kurangnya motivasi, perasaan gagal dan putus asa (Offie of the Deputy Prime Minister London, 2006 dalam Cooper, 2009). 3) Perubahan tempat tinggal dan lingkungan. Perubahan pada peran sosial, tanggung jawab keluarga, dan status kesehatan mempengaruhi rencana kehidupan lansia. Sebagian memilih hidup dengan anggota keluarga. Yang lain lebih memilih tinggal di rumah sendiri yang dekat dengan keluarganya. Komunitas dengan waktu luang atau pensiunan memberi kesempatan tinggal dengan lansia dalam lingkungan satu generasi. Perumahan yang paling sesuai dengan lansia bergantung pada tingkat kemandirian mereka (Potter & Perry, 2005). 4) Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality) Banyak lansia menjelang ajal masih memiliki tujuan dan mereka secara emosi tidak siap untuk mati, namun ada pula lansia yang mulai mempersiapkan 18 diri untuk menghadapinya. Keluarga dan teman seringkali tidak dapat mencari koping terhadap kematian dan kehilangan orang yang dicintainya. Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia didukung dengan teori psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya (Maryam et al, 2008). Perubahan psikososial yang terjadi juga didukung dengan teori penarikan diri. Teori ini menggambarkan penarikan diri oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya (Stanley et al, 2006). d) Perubahan Spiritual Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu: 1) Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan. 2) Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak sehari-hari. 3) Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978), perkembangannya yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan. Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia didukung dengan adanya teori spiritual yang menyebutkan bahwa komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan (Maryam et al, 2008). 19 2.1.4 Masalah-masalah pada Lansia Ismayadi (2004) menyatakan masalah umum yang terjadi pada lansia antara lain: a) Keadan fisik lemah dan tidak berdaya, sehingga harus bergantung kepada orang lain. b) Status ekonomi sangat terncam, sehingga cukup beralasan untuk melakukan berbagai perubahan besar dalam pola hidupnya. c) Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi dan kondisi fisik. d) Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal. e) Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin bertambah. f) Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai orang dewasa. g) Mulai terlihat dalam kegiatan masyarakat yang secara khusus direncanakan untuk lansia. h) Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk orang berusia lanjut dan memiliki kemauan untuk mengganti kegiatan yang lebih cocok, i) Menjadi korban atau dimanfaatkan oleh para penjual obat dan kriminalitas karena mereka tidak sanggup lagi untuk mempertahankan diri. j) Lansia rentan mengalami gangguan psikologis seperti stres, depresi, ansietas (kecemasan), psikosis atau kecanduan obat. 20 2.2 Stres 2.2.1 Pengertian Corwin (2009) menjelaskan bahwa stres adalah proses ketika stresor mengancam keselamatan dan kesejahteraan organisme. Ivancevich et al (2006) juga menjelaskan bahwa stres adalah suatu respon adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa dan yang menempatkan tuntutan khusus terhadap seseorang. Stres merupakan sekumpulan perubahan fisiologis akibat tubuh terpapar terhadap bahaya ancaman. Stres memiliki dua komponen yaitu perubahan fisiologis dan psikologis, bagaimana seseorang merasakan keadaan dalam hidupnya. Perubahan keadaan fisik dan psikologis ini disebut sebagai stresor (pengalaman yang menginduksi respon stres) (Pinel, 2009). Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap suatu paparan atau tuntutan beban tertentu yang mengakibatkan terjadinya perubahan fisiologis ataupun psikologis pada seseorang. 2.2.2 Penggolongan Stres Ditinjau dari penyebab stres, menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti (1990) dalam Sunaryo (2004), dapat digolongkan sebagai berikut. a) Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang, atau tersengat arus listrik. b) Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obat-obatan, zat beracun, hormone, atau gas. 21 c) Stres mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang menimbulkan penyakit. d) Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan, organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal. e) Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua. f) Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal, sosial, budaya, atau keagamaan. Adapun menurut Brench Grand (2000) dalam Sunaryo (2004), stres ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan, seperti kematian, perceraian, pension, luka batin, dan kebangkrutan. b) Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari, seperti pertengkaran rumah tangga dan beban pekerjaan. 2.2.3 Sumber Stres Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa ada empat sumber atau penyebab stres, yaitu: a) Frustrasi Frustasi timbul akibat kegagalan mencapai tujuan. Frustasi dibagi menjadi dua, yaitu: intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan, bencana alam, kematian orang yang dicintai, pengangguran, dan lain-lain). b) Konflik Konflik timbul karena tidak mampu mengambil suatu keputusan. 22 c) Tekanan Tekanan timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi, tekanan yang berasal dari luar individu misalnya, tuntutan orangtua kepada anak agar tetap menjadi juara di sekolah. d) Krisis Krisis yaitu keadaan yang mendadak yang menimbulkan stres pada individu, misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan, dan penyakit yang harus segera dioperasi. Keadaan stres dapat terjadi oleh beberapa sebab sekaligus, mislanya frustasi, konflik, dan tekanan. 2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Stres Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respon fisiologis nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis (Ide, 2008). Sesuai dengan penjelasan Lazarus & Folkman (1984) dalam Potter & Perry (2005), setiap orang memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi stresor. Semakin besar seseorang merima stresor, maka semakin besar respon stres yang ditimbulkan. Respon terhadap segala bentuk stresor bergantung pada fungsi fisiologis, kepribadian, serta sifat dari stresor. a) Fungsi Fisiologis Hardjana (1994) dalam Puspasari (2009) menyatakan bahwa menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada seseorang. 23 Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal itu dapat menyebabkan stres pada lansia. Perubahan fungsi fisiologis yang dialami seseorang tergantung pada penyakit yang dideritanya. b) Kepribadian Hawari (2001) dalam Maryam et al (2008) menyatakan bahwa tidak semua orang yang mendapat stresor psikososial yang sama akan mengalami stres. Pada seseorang yang mempunyai tipe kepribadian tertentu, yaitu tipe kepribadian “A” lebih rentan terkena stres, sedangkan orang dengan tipe kepribadian “B” lebih tahan terhadap stres. Dalam kaitannya dengan tipe kepribadian yang berisiko tinggi terkena stres (tipe kepribadian “A”), Rosenmen & Chesney (1980) dalam Maryam et al (2008) menggambarkan antara lain dengan ciri-ciri, yaitu: ambisius, agresif dan kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah, kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan, cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam, bekerja tidak mengenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin (otoriter), kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak rileks), serba tergesa-gesa, pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan, tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel). Orang dengan kepribadian tipe “B” atau pola perilaku tipe “B” adalah kebalikan dari tipe “A” tersebut diatas, yaitu dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut: ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam berkompetisi serta tidak memaksakan diri, penyabar, tenang, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah marah (emosi terkendali), kewaspadaan dalam batas 24 yang wajar demikian pula kontrol diri dan percaya diri tidak berlebihan, cara bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, perilaku tidak hiperaktif, dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat);, dalam berorganisasi dan memimpin bersikap akomodatif dan manusiawi; lebih suka bekerjasama dan tidak memaksakan diri bila menghadapi tantangan, pandai mengatur waktu dan tenang (rileks), tidak tergesa-gesa, ramah dan dapat menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan, tidak kaku (fleksibel), dapat menghargai pendapat lain, dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu menahan serta mengendalikan diri (Hawari, 2001 dalam Maryam et al, 2008). c) Sifat dari stresor Lazarus & Folkman (1984) dalam Potter & Perry (2005) menyatakan bahwa setiap orang memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi stresor. Semakin besar seseorang mendapat stresor, maka semakin besar respon stres yang ditimbulkan. Selain fungsi fisiologis, kepribadian, serta sifat dari stresor, Suparto (2000) dalam Puspasari (2009), terdapat pula faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stres, antara lain: a) Falsafah hidup: semakin seseorang berserah diri kepada Tuhan, maka akan semakin terbebaskan dari stres. b) Persepsi (penangkapan): semakin santai suatu kejadian dipersepsikan, maka semakin sulit seseorang mengalami stres karena kejadian tersebut. c) Posisi sosial: semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan sosialnya, semakin sulit seseorang mengalami stres. 25 d) Pengalaman: semakin sering seseorang memperoleh stresor, semakin sering seseorang terserang stres akibat stresor tersebut. 2.2.5 Tahapan Stres Tahapan stres menurut Sunaryo (2004) adalah sebagai berikut. a) Stres tahap I Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan sebagai berikut: semangat bekerja besar, berlebihan (overacting), penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. b) Stres tahap II Dalam tahapan ini dampak stres yang semula menyenangkan sebagaimana diuraikan pada tahap I mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang hilang. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stress tahap II adalah merasa letih sewaktu bangun pagi, merasa mudah lelah sesudah makan siang, mudah lelah menjelang sore hari, detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar), otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai. c) Stres Tahap III Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan 26 keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: ketegangan otototot semakin terasa, perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk memulai tidur (early insomnia), terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu. d) Stres Tahap IV Gejala stres tahap IV, yaitu: aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, seseorang yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun, timbul perasaan ketakutan dan kecemasan. e) Stres Tahap V Bila keadaan berlanjut, maka seseorang akan jatuh dalam stres tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik. 27 f) Stres Tahap VI Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut akan kematian. Gambaran stres tahap VI adalah sebagai berikut: debaran jantung teramat keras, susah bernapas (sesak dan megap-megap), seluruh badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran, ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps (collapse). 2.2.6 Tingkatan Stres Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004) mengklasifikasikan tingkat stres sebagai berikut. a) Stres Ringan Pada tingkat stres ringan sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah berbagai kemungkinan yang akan terjadi. b) Stres Sedang Pada tingkat stres sedang individu lebih memfokuskan hal penting saat ini dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya. c) Stres Berat Pada tingkat stres berat, persepsi individu sangat menurun dan cenderung memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan lain dan memerlukan banyak pengarahan. 28 d) Stres Sangat Berat Pada tingkat stres sangat berat, inidividu akan mengalami salah satu permasalahan seperti: penyakit jantung, gangguan mental yang mengarahkan seseorang untuk bunuh diri, seluruh badan terasa gemetar, dan mengalami serangan panic (panic attack) 2.2.7 Stres Pada Lansia Stres pada lansia merupakan kondisi ketidakseimbangan, tekanan/gangguan yang tidak menyenangkan, yang terjadi seluruh tubuh dan dapat mempengaruhi kehidupan (Sunaryo, 2004). Indriana et al (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab stres pada lansia adalah perubahan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan dalam perkumpulan keluarga, kematian pasangan, kematian anggota keluarga, dan perubahan dalam pekerjaan. Bastable (2004) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada lansia sebagai berikut. a) Kondisi kesehatan fisik Kondisi fisik yang sudah menurun membuat lansia memiliki ketergantungan terhadap orang lain, dimana lansia merasa tidak bebas lagi melakukan sesuatu pekerjaan. b) Kondisi psikologi Kondisi psikologi yang menurun membuat lansia merasa terhambat dalam berinteraksi dengan orang lain. Sehingga membuat lansia tidak mau untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. 29 c) Lingkungan Lingkungan yang kurang harmonis dapat meningkatkan stres pada lansia. d) Keluarga Keluarga lebih dominan mempengaruhi stres pada lansia. dimana dukungan serta motivasi sangat dibutuhkan lansia. e) Pekerjaan Pekerjaan sangat mendorong lansia untuk beradaptasi pada masa pension, dimana masa ini masa berat yang dirasakan oleh sebagian besar lansia. Stres pada lansia yang berada di panti sosial banyak disebabkan karena kurangnya dukungan dari keluarga, banyak lansia yang ditempatkan di panti sosial jarang mendapat kunjungan dari keluarga, sehingga membuat lansia merasa tidak diperhatikan dan tidak dianggap oleh keluarga yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman yang terjadi secara terus menerus sehingga menimbulkan stres bahkan depresi pada lansia (Mahfiroh et al, 2008). Hidayati (2009) juga menyatakan bahwa stres pada lansia yang berada di panti disebabkan karena disebabkan oleh perubahan hidup dan kemunduran fisik yang dialami oleh lansia. 2.2.8 Penanganan Stres Chomaria (2009) menyatakan bahwa ada beberapa cara penanganan stress, yaitu sebagai berikut. a) Farmakologi, yaitu menggunakan obat-obatan yang berguna untuk memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sistem limbik). Sebagaimana diketahui sistem limbik merupakan bagian otak yang mengatur alam pikiran, alam perasaan dan perilaku seseorang. Obat yang sering dipakai adalah obat anti 30 depresi dan anti cemas golongan benzodiazepam seperti alprazolam yang mempunyai efek samping seperti mual, muntah, pusing, insomnia, dan tekanan darah tinggi. b) Pendekatan perilaku, yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stress dan menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi. c) Pendekatan kognitif, yaitu mengubah pola pikir individu berpikir positif dan sikap positif, membekali diri dengan pengetahuan tetntang stres, menyimbangkan aktivitas otak kiri dan otak kanan, serta hipnoterapi. d) Relaksasi, yaitu upaya untuk melepas ketegangan. Ada 3 macam relaksasi yaitu relaksasi otot seperti senam otak, relaksasi kesadaran indera dan relaksasi melalui yoga, meditasi maupun transendensi/keagamaan. 2.2.9 Penilaian Stres Alat ukur stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah Perceived Stress Scale (PSS-10). PSS-10 bertujuan untuk melihat kecenderungan individu merasakan adanya persepsi stres sebagai akibat dari situasi negatif selama satu bulan terakhir (Cohen, 1983 dalam Astri, 2012). Skor PSS-10 diperoleh dengan reversing responses (sebagai contoh, 0=4, 1=3, 2=2, 3=1, 4=0) terhadap empat soal yang bersifat positif (pertanyaan 4, 5, 7 dan 8) dan menjumlahkan skor jawaban masing-masing. Angka 0 berarti tidak pernah, angka 1 berarti hampir tidak pernah (1-2 kali), angka 2 berarti kadang-kadang (3-4 kali), angka 3 berarti cukup sering (5-6 kali), dan angka 4 berarti terlalu sering (lebih dari 6 kali). Item pertanyaan PSS-10 dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan interpretasi skor dapat dilihat pada Tabel 2.2 31 Tabel 2.1 Perceived Stress Scale (PSS-10) No. Pertanyaan 0 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1 2 3 4 Pada bulan lalu, seberapa sering Anda menjadi bingung karena sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda telah merasa tidak mampu untuk mengendalikan hal-hal yang penting dalam kehidupan Anda? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda merasa gugup atau stres? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda merasa yakin akan kemampuan Anda untuk menangani masalah pribadi? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda telah merasa bahwa segala sesuatunya berjalan lancar? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda telah merasa bahwa Anda tidak bisa mengatasi semua hal yang harus Anda lakukan? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda telah mampu mengendalikan hal-hal yang menyakitkan dalam hidup Anda? Pada bulan lalu, seberapa sering anda merasakan bahwa Anda sangat bahagia dan suskes? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda telah merasakan marah karena sesuatu yang terjadi diluar kendali Anda? Pada bulan lalu, seberapa sering Anda merasakan bahwa kesulitan-kesulitan menumpuk sebegitu tingginya sehingga Anda tidak bisa mengatasinya? TOTAL: Sumber: Cohen et al (1983) dalam Nisa (2011) Tabel 2.2 Interpretasi PSS-10 Skor 0-14 15-18 19-25 26-33 ≥ 34 Interpretasi Tidak stres Stres ringan Stres sedang Stres berat Stres sangat berat 32 2.3 Senam Otak 2.3.1 Pengertian Senam otak adalah serangkaian latihan gerak sederhana untuk memudahkan kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari (As’adi, 2013). Markam (2005) menyatakan bahwa senam otak adalah senam yang bertujuan utama untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan. Herawati dan Wahyuni (2004) juga mengatakan bahwa senam otak adalah salah satu contoh latihan fisik sekaligus kognitif yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif yang mudah dilakukan oleh lansia karena bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Gerakan senam otak dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateralis), meringankan atau merelaksasikan belakang otak dan bagian depan otak (dimensi pemfokusan), merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosional yaitu otak tengah dan otak besar (dimensi pemusatan). Prinsip gerakan dalam senam otak adalah mudah dan dapat dilakukan saat duduk atau berdiri (Arief, 2008). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa senam otak adalah serangkaian latihan gerakan fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak, yang dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dapat dilakukan saat duduk atau berdiri. 2.3.2 Manfaat Senam Otak Senam otak bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan (Markam, 2005). Senam otak juga bermanfaat untuk memperlambat kepikunan, menghilangkan stress, dan meningkatkan konsentrasi 33 (As’adi, 2013). Senam otak akan memfasilitasi agar beban otak kanan dan kiri sama serta seimbang (Depkes, 2008). Tiap gerakan pada senam otak memiliki manfaat yang berbeda, namun secara keseluruhan gerakan senam otak bertujuan untuk meningkatkan kinerja otak (Ide, 2008). 2.3.3 Gerakan Senam Otak Senam otak pada dasarnya terdiri dari 24 gerakan. As’adi (2013) menyatakan bahwa senam otak dapat dilakukan dalam beberapa gerakan saja asalkan terkandung tiga dimensi senam otak di dalamnya. Tiga dimensi tersebut adalah dimensi lateralis untuk merangsang otak kiri dan kanan, dimensi pemfokusan untuk merelaksasikan bagian batang otak dan bagian depan otak, dimensi pemusatan untuk merangsang sistem limbic dan otak besar. Pedoman gerakan senam otak untuk lansia antara lain sebagai berikut. a) Gerakan Menyeberangi Garis Tengah (The Midline Movement) Gerakan menyeberangi garis tengah berpusat pada keterampilan yang diperlukan untuk gerakan bagian tubuh kiri dan kanan dengan melewati bagian tengah tubuh.Gerakan ini membantu mengintegrasikan penglihatan, pendengaran, serta sisi kiri dan kanan dari otak dan badan. Jenis gerakan ini antara lain: 1) Gerakan Silang Menggerakkan secara bergantian pasangan kaki dan tangan yang berlawanan, seperti gerak jalan di tempat. Gerakan silang mengaktifkan hubungan kedua sisi otak dan merupakan gerakan pemanasan. 34 Gambar 2.1 2) Gerakan Delapan Tidur Angka delapan digambar dengan posisi tidur dengan titik tengah yang jelas, memisahkan wilayah lingkaran kiri dan kanan, serta dihubungkan dengan garis yang tersambung. Manfaat dari gerakan ini adalah mengaktifkan kedua belahan otak yang menunjang koordinasi tangan dan mata. Gambar angka delapan tidur dapat dilakukan di udara atau diatas permukaan pasir, kertas atau papan tulis. Gerakan ini dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap tangan. Gambar 2.2 35 3) Gerakan Hook-Up Menyilangkan kaki, yaitu posisi kaki kanan di depan kaki kiri, Lalu menyilangkan kedua tangan, tangan kanan berada di atas tangan kiri dan satukan telapak tangan dengan jari saling bersilangan. Putar ke arah dalam dan kemudian letakkan di dada. Lakukan gerakan ini secara bergantian. Gerakan ini merupakan gerakan pemanasan. Gambar 2.3 b) Gerakan Meregangkan Otot (Lengthening Activities) Gerakan ini dapat membantu mengembangkan dan menguatkan hubungan- hubungan saraf di otak bagian belakang dan otak bagian depan. Selain itu gerakan ini dapat mengendurkan otot dan tendon yang menegang dan memendek karena reflex batang otak. Jenis gerakan ini antara lain: 1) Gerakan Burung Hantu Lakukan gerakan memijat satu bahu untuk membuat otot menjadi tidak tegang sambil menggerakkan kepala perlahan ke kiri lalu ke kanan dengan tinggi posisi datu tetap. Ulangi pada bahu yang lain. 36 Gambar 2.4 2) Gerakan Mengaktifkan Tangan Angkat satu tangan ke belakang kemudian tangan yang lain memegang siku tangan yang diangkat. Gerakan ini bisa dilakukan sambil duduk atau berdiri. Gambar 2.5 c) Gerakan Meningkatkan Energi dan Penguatan (Energy Exercise and Deepening Attitudes) Gerakan ini mengaktifkan kembali hubungan-hubungan saraf antara tubuh dan otak sehingga melancarkan aliran energi ke seluruh tubuh. Jenis gerakan ini antara lain: 37 1) Gerakan Sakelar Otak Sakelar otak yang dimaksud yaitu jaringan lunak dibawah tulang selangka kiri dan kanan tulang dada. Daerah tersebut dipijat dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang pusar. Manfaat dari gerakan ini yaitu meningkatkan kelancaran aliran darah ke otak dan keseimbangan badan. Gerakan ini merupakan gerakan pemanasan. Gambar 2.6 2) Gerakan Tombol Bumi Ujung jari satu tangan menyentuh bawah bibir, ujung jari lainnya di pinggir atas tulang kemaluan (± 15cm di bawah pusar). Lakukan sambil bernapas perlahan dan dalam. Ganti tangan untuk mengaktifkan kedua sisi otak. 38 Gambar 2.7 3) Gerakan Tombol Imbang Tombol imbang terdapat di belakang telinga, pada sebuah lekukan di batas rambut antara tengkorak dan tengkuk (4-5cm ke kiri dan ke kanan dari garis tengah tulang belakang) dan persis di belakang daerah mastoid. Sentuh daerah ini dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain menyentuh pusar. Gerakan ini dapat dilakukan sambil berdiri atau duduk. Gambar 2.8 39 4) Pernapasan Perut Menarik napas melalui hidung kemudian hembuskan napas pendek melalui bibir yang diruncingkan. Tarik napas sampai hitungan ketiga, dan tahan napas sampai hitungan tiga, lalu hembuskan napas selama tiga hitungan. Tangan diletakkan di perut. Ulangi beberapa kali. Pernapasan perut dilakukan dapat dilakukan saat gerakan pendinginan (As’adi, 2013). Gambar 2.9 2.3.4 Prosedur Senam Otak Pada Lansia Latihan senam otak dianjurkan tiga kali seminggu pada pagi hari dengan lama waktu sekitar 25 menit (Arief, 2008). Berikut merupakan prosedur senam otak pada lansia. 1) Tahap Persiapan a) Pelatihan asisten Pemilihan asisten untuk pemberian senam otak Menyiapkan lokasi penelitian Menjelaskan tujuan pemberian senam otak Beri kesempatan asisten bertanya 40 Mengajarkan tahap dari pemberian senam otak Pastikan sisten benar-benar paham tentang senam otak yang benar b) Persiapan Lingkungan Mempersiapkan tempat untuk melakukan senam otak di PSTW Jara Mara Pati Singaraja c) Persiapan Alat Pulpen/pensil d) Persiapan Lansia Lakukan bina hubungan saling percaya dengan memperkenalkan diri kepada lansia Menjelaskan tujuan, prosedur serta lamanya waktu dilakukannya senam otak. 2) Tahap Pelaksanaan a) Cek TTV lansia sebelum dilakukan senam otak b) Posisikan lansia pada posisi relaksasi c) Pemandu (peneliti) memulai senam otak dengan melakukan tahap pemanasan yaitu pertama-tama pemandu menganjurkan lansia untuk minum air putih, kemudian dilanjutkan dengan gerakan hook up, gerakan silang, dan gerakan sakelar otak masing-masing sebanyak dua kali delapan gerakan (Suroto, 2004). d) Selanjutnya pemandu melakukan gerakan-gerakan yang lainnya seperti gerakan burung hantu, gerakan tombol imbang, gerakan tombol bumi, gerakan mengaktifkan tangan, dan terakhir gerakan delapan tidur. Lansia mengikuti 41 instruksi pemandu. Lakukan gerakan senam otak masing-masing dua kali delapan (Suroto, 2004). e) Setelah selesai semua gerakan senam otak diakhiri dengan pendingininan yaitu pernapasan perut. Menarik napas melalui hidung kemudian hembuskan napas melalui bibir. Tarik napas sampai hitungan ketiga, tahan napas sampai hitungan tiga, kemudian hembuskan. Ulangi beberapa kali. f) Pemandu menganjurkan lansia untuk minum air putih kembali. g) Pemandu mengecek kembali TTV lansia. h) Jika terjadi kejadian yang tidak diinginkan, pemandu telah menyiapkan tempat pertolongan pertama bagi lansia. 2.4 Hubungan Senam Otak Dengan Tingkat Stres Lansia Stres pada lansia disebabkan oleh beberapa hal seperti takut akan kematian karena semakin bertambahnya umur, kematian orang terdekat, ketidakberdayaan dan stres karena mengalami konflik dengan orang terdekat. Situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus, yaitu mengakitivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya. Sebagai contoh, meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal. Untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresi CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak dibawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresi 42 hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ACTH menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight. Respon fight or flight menyebabkan individu dapat berespon cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila keadaan fisiologis dan psikologis yang reaktif terhadap rangsangan tersebut tinggi dan terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu (Pinel, 2009). Oleh karena itu untuk membantu menurunkan kadar dari hormon stres yang dikeluarkan oleh tubuh, maka dapat dilakukan dengan melakukan senam otak. Fitria (2010) menjelaskan bahwa salah satu manfaat senam otak adalah mengurangi stres emosional, menjadikan otak lebih rileks, menjadikan seseorang merasa lebih sehat karena stres berkurang. Gerakan senam otak dibuat untuk merangsang otak kiri dan kanan, meringankan atau merelaksasikan belakang otak dan bagian depan otak, merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosional yaitu otak tengah dan otak besar (Ide, 2008).