8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lansia
2.1.1
Pengertian
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini
berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan
kepekaan secara individu (Hawari, 2001 dalam Efendi & Makhfudli, 2009). Usia
lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia.
Nugroho (2008) juga menyatakan bahwa memasuki usia tua yang biasanya sering
disebut lansia (lanjut usia) adalah suatu keadaan yang terjadi dalam setiap
kehidupan manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa lansia adalah suatu keadaan
yang ditandai dengan kegagalan seseorang mempertahankan keseimbangan stress
fisiologis yang merupakan tahap akhir dari daur kehidupan manusia.
2.1.2
Batasan Umur dan Karakteristik Lansia
Berikut ini adalah batasan-batasan umur yang mencakup batasan umur
lansia yang dikutip dari Nugroho (2000) dalam Efendi & Makhfudli (2009).
a)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2
menyebutkan bahwa “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun
keatas”.
b)
World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan lansia sebagai
berikut: usia pertengahan (middle age): 45-59 tahun, lanjut usia (elderly): 60-74
8
9
tahun, lanjut usia tua (old): 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old): di atas 90
tahun.
Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam et. al (2008) menyebutkan bahwa
lansia memiliki karakteristik sebagai berikut.
a)
Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13
tentang Kesehatan).
b)
Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif
hingga kondisi maladaptif.
c)
Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Jadi seseorang dikatakan lansia jika telah mencapai umur 60 tahun keatas.
2.1.3
Perubahan Pada Lansia
Ismayadi (2004) menyatakan bahwa terdapat beberapa perubahan yang
terjadi pada lansia, meliputi perubahan fisik, mental, psikososial, dan spiritual.
a)
Perubahan Fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia meliputi perubahan sebagai
berikut :
1)
Sel
Perubahan pada sel yang terjadi akibat proses penuaan meliputi: sel
menjadi lebih sedikit jumlahnya serta lebih besar ukurannya; berkurangnya
jumlah cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler; menurunnya proporsi
protein otak, otot, ginjal, darah, dan hati; jumlah sel otak menurun, terganggunya
10
mekanisme perbaikan sel; serta otak menjadi atrofi dan beratnya berkurang hingga
5-10%.
2)
Sistem Persarafan
Pada lansia usia akan mengalami perubahan pada sistem persarafan, yang
meliputi: penurunan berat otak hingga 10-20%; penurunan dalam berespon dan
waktu untuk bereaksi khususnya dengan stres; mengecilnya saraf panca indera
yang mengakibatkan penurunan fungsi penglihatan; hilangnya pendengaran;
mengecilnya saraf penciuman dan perasa; lebih sensitive terhadap perubahan suhu
dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin; serta menjadi kurang sensitif
terhadap sentuhan.
3)
Sistem Muskuloskeletal
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem muskuloskeletal yang
meliputi: penurunan densitas tulang dan tulang menjadi semakin rapuh; kifosis;
pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian membesar dan
menjadi kaku; tendon mengerut dan mengalami sclerosis; atrofi serabut otot (otototot serabut mengecil yang menyebabkan seseorang bergerak menjadi lambat),
otot-otot kram dan menjadi tremor.
4)
Sistem Respirasi
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem respirasi yang meliputi:
otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku; menurunnya
aktivitas dari silia; penurunan elastisitas paru-paru yang mengakibatkan kesulitan
dalam menarik napas, penurunan kapasitas pernapasan maksimum paru, serta
penurunan kedalaman bernapas; pelebaran ukuran dan penurunan jumlah alveoli;
11
kemampuan untuk batuk berkurang; serta dapat terjadi penurunan kemampuan
otot pernapasan seiring dengan pertambahan usia.
5)
Sistem Pendengaran
Lansia mengalami perubahan pada sistem pendengaran yang meliputi:
terjadinya presbiakusis yaitu gangguan dalam pendengaran yang ditandai dengan
hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata;
osklerosis akibat atrofi membran timpani; terjadinya pengumpulan serumen yang
mengeras akibat peningkatan keratin; pendengaran bertambah menurun pada
lansia yang mengalami ketegangan jiwa atau stres.
6)
Sistem Penglihatan
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem penglihatan yang meliputi:
timbulnya sclerosis dan hilangnya respon terhadap sinar; kornea lebih berbentuk
sferis atau bola; kekeruhan pada lensa yang menyebabkan katarak; meningkatnya
ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat dan
susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi; serta menurunnya
lapangan pandang.
7)
Sistem Kardiovaskuler
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem kardiovaskular yang
meliputi: penurunan elastisitas dinding aorta; katup jantung menebal dan menjadi
kaku; kemampuan jantung memompa darah menurun; penurunan elastisitas
pembuluh darah, berkurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk
12
oksigenasi; serta lansia dapat mengalami peningkatan tekanan darah akibat
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
8)
Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem pengaturan tubuh.
Temperatur tubuh lansia menjadi menurun secara fisiologis akibat metabolisme
yang menurun; keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat memproduksi
panas yang mengakibatkan penurunan aktivitas otot.
9)
Sistem Gastrointestinal
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem gastrointestinal yang
meliputi: kehilangan gigi akibat penyakit periodontal, kesehatan gigi yang buruk
dan gizi yang buruk; penurunan fungsi indera pengecap, penurunan sensitivitas
saraf pengecapan di lidah terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit; esophagus
melebar; penurunan rasa lapar dan asam lambung; peristaltik lemah dan biasanya
timbul konstipasi; serta penurunan daya absorbsi usus.
10)
Sistem Reproduksi
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem reproduksi baik pada
wanita maupun pria. Perubahan sistem reproduksi yang terjadi pada lansia wanita
meliputi: penyusutan ovarium dan uterus; penurunan selaput lendir vagina; serta
atrofi payudara. Sedangkan parubahan pada sistem reproduksi pada sistem
reproduksi lansia pria meliputi: penurunan produksi spermatozoa; serta kehidupan
seksual dapat diupayakan sampai masa lansia asal kondisi kesehatan baik.
13
11)
Sistem Perkemihan
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem perkemihan yang meliputi:
atrofi pada nefron dan penurunan aliran darah ke ginjal hingga 50%; otot-otot
vesika urinaria menjadi lemah yang mengakibatkan frekuensi buang air kecil
meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada pria.
12)
Sistem Endokrin
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem endokrin yang meliputi
penurunan produksi semua hormon; menurunnya aktivitas tiroid yang
mengakibatkan menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR), dan menurunnya daya
pertukaran zat; menurunnya produksi aldosterone; serta menurunnya sekresi
hormone kelamin misalnya, progesterone, estrogen, dan testosterone.
13)
Sistem Integumen
Lansia akan mengalami perubahan pada sistem integument yang meliputi:
kulit menjadi keriput akibat kehilangan jaringan lemak; permukaan kulit menjadi
kasar dan bersisik akibat kehilangan proses keratinasi, serta perubahan ukuran dan
bentuk-bentuk sel epidemis; kulit kepala dan rambut menipis berwarna kelabu;
rambut dalam hidung dan telinga menebal; berkurangnya elastisitas akibat dari
menurunnya cairan dan vaskularisasi; pertumbuhan kuku lebih lambat; kuku jari
menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang bercahaya; serta kelenjar keringat
berkurang jumlah dan fungsinya.
Perubahan fisik tersebut sesuai dengan teori menua yaitu teori genetika
yang menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses yang alami. Sel secara
genetik diprogram untuk berhenti membelah setelah mencapai 50 divisi sel, pada
14
saat itu sel akan mulai kehilangan fungsinya. Teori genetika dengan kata lain
mengartikan bahwa proses menua merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan
akan semakin terlihat bila usia semakin bertambah (Stanley et al, 2006).
Perubahan fisik tersebut juga sesuai dengan teori Wear And Tear yang
menjelaskan bahwa organisme memiliki energi tetap yang tersedia dan akan habis
sesuai dengan waktu yang diprogramkan (Stanley et al, 2006). Pada usia lanjut,
sel tidak memiliki kemampuan untuk bereplikasi dan menjalankan fungsinya
secara optimal (Suhartin, 2010). Teori imunitas juga sesuai dengan perubahan
fisik yang terjadi pada lansia. Teori imunitas berhubungan langsung dengan
proses penuaan. Selama proses penuaan, sistem imun juga akan mengalami
kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam
tubuh sehingga pada lansia akan sangat mudah mengalami infeksi. Perubahan
pada sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak
adanya keseimbangan dalam sel T untuk memproduksi antibodi dan kekebalan
tubuh menurun (Stanley et al, 2006).
b)
Masalah Mental
Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek, yaitu:
fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi yang
labil, mudah tersinggung, mudah merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia,
perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan masalah tersebut menjadi
rentan mengalami gangguan psikologis seperti stres, depresi, ansietas atau
kecemasan, psikosis atau kecanduan obat. Pada umumnya masalah kesehatan
mental lansia adalah masalah penyesuaian. Penyesuaian tersebut diakibatkan
15
karena adanya perubahan dari keadaan sebelumnya seperti fisik masih kuat,
bekerja dan berpenghasilan, mengalami kemunduran. Aspek psikologi merupakan
faktor penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi semakin penting dalam
kehidupan seorang lansia.
Pada umumnya, lansia mengharapkan panjang umur, semangat hidup,
tetap berperan dalam kehidupan sosial, dihormati, mempertahankan hak dan
hartanya, tetap berwibawa, kematian dalam ketenangan dan diterima disisi-Nya.
Keinginan untuk lebih dekat kepada Tuhan merupakan kebutuhan lansia. Proses
menua yang tidak sesuai dengan harapan tersebut, dirasakan sebagai beban mental
yang cukup berat. Aspek sosial yang terjadi pada individu lansia, meliputi
kematian pasangan hidup atau temannya, perubahan peran seorang ayah atau ibu
menjadi seorang kakek atau nenek, perubahan dalam hubungan dengan anak
karena sudah harus memperhitungkan anak sebagai individu dewasa yang
dianggapsebagai teman untuk dimintai pendapat dan pertolongan, perubahan
peran dari seorang pekerja menjadi pensiunan yang sebagian besar waktunya
dihabiskan di rumah. Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise.
Perubahan masalah mental yang terjadi pada lansia dapat dikaitkan dengan
teori psikologis. Adanya penurunan dari intelektualias yang meliputi persepsi,
kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka
sulit untuk dipahami dan berinteraksi (Maryam et al, 2008).
16
c)
Perubahan Psikososial
Beberapa perubahan psikososial yang terjadi pada lansia antara lain
pensiun, isolasi sosial, perubahan tempat tinggal dan lingkungan, serta merasakan
atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
1)
Pensiun
Pensiun adalah tahap kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan
perubahan peran yang dapat menyebabkan stres psikososial. Nilai seseorang
sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas dikaitkan dengan peranan dalam
pekerjaan. Bila seseorang pensiun, ia akan mengalami kehilangan-kehilangan,
antara lain: kehilangan finansial yaitu pendapatan berkurang, kehilangan status
yaitu yang dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengap dengan
segala fasilitasnya, kehilangan teman atau relasi, kehilangan pekerjaan atau
kegiatan.
2)
Isolasi Sosial
Isolasi sosial sering dikaitkan dengan semakin meningkatnya usia. Namun,
hanya sekitar 10% lansia yang menggambarkan diri mengalami isolasi sosial
(Cattan, 2002 dalam Cooper, 2009). Untuk sebagian lansia, isolasi sosial dapat
diterima sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari proses penuaan, dan
tidak mungkin untuk ditentang (Forbes, 1996 dalam Cooper, 2009).
Forbes (1996) dalam Cooper (2009) menyatakan bahwa terdapat ebebrapa
hal yang dapat meningkatkan resiko seorang lansia mengalami isolasi sosial,
antara lain: hidup sendiri, persepsi tingkat kejahatan atau kekerasan di
masyarakat, tidak ingin menggunakan layanan yang tersedia, kemiskinan atau
17
khawatir akan masa depan, penurunan kesehatan atau cacat fisik, kontinensia,
kehilangan hubungan yang signifikan seperti kematian atau perceraian, kurangnya
dukungan keluarga, kurangnya dukungan dari teman, kurangnya akses ke
pembelajan atau kegiatan yang berarti, kurangnya akses ke informasi tentang
layanan, kurangnya pengetahuan atau akses ke teknologi.
Isolasi sosial memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan dan
kesejahteraan lansia. Adapun dampak yang dapat ditimbulkan meliputi:
peningkatan depresi dan terkait masalah kesehatan mental, penurunan kesehatan
fisik, penurunan harapan hidup, penurunan keterlibatan dalam masyarakat,
perasaan tidak layak hidup, kurangnya percaya diri, kurangnya motivasi, perasaan
gagal dan putus asa (Offie of the Deputy Prime Minister London, 2006 dalam
Cooper, 2009).
3)
Perubahan tempat tinggal dan lingkungan.
Perubahan pada peran sosial, tanggung jawab keluarga, dan status
kesehatan mempengaruhi rencana kehidupan lansia. Sebagian memilih hidup
dengan anggota keluarga. Yang lain lebih memilih tinggal di rumah sendiri yang
dekat dengan keluarganya. Komunitas dengan waktu luang atau pensiunan
memberi kesempatan tinggal dengan lansia dalam lingkungan satu generasi.
Perumahan yang paling sesuai dengan lansia bergantung pada tingkat kemandirian
mereka (Potter & Perry, 2005).
4)
Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)
Banyak lansia menjelang ajal masih memiliki tujuan dan mereka secara
emosi tidak siap untuk mati, namun ada pula lansia yang mulai mempersiapkan
18
diri untuk menghadapinya. Keluarga dan teman seringkali tidak dapat mencari
koping terhadap kematian dan kehilangan orang yang dicintainya.
Perubahan psikososial yang terjadi pada lansia didukung dengan teori
psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu
yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri
dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia
mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan
status sosialnya (Maryam et al, 2008). Perubahan psikososial yang terjadi juga
didukung dengan teori penarikan diri. Teori ini menggambarkan penarikan diri
oleh lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya (Stanley et al, 2006).
d)
Perubahan Spiritual
Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia (Potter & Perry, 2005), yaitu:
1)
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan.
2)
Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat
dalam berpikir dan bertindak sehari-hari.
3)
Perkembangan spiritual pada usia 70 tahun menurut Folwer (1978),
perkembangannya yang dicapai pada tingkat ini adalah berpikir dan bertindak
dengan cara memberikan contoh cara mencintai keadilan.
Perubahan spiritual yang terjadi pada lansia didukung dengan adanya teori
spiritual yang menyebutkan bahwa komponen spiritual dan tumbuh kembang
merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi
individu tentang arti kehidupan (Maryam et al, 2008).
19
2.1.4
Masalah-masalah pada Lansia
Ismayadi (2004) menyatakan masalah umum yang terjadi pada lansia
antara lain:
a)
Keadan fisik lemah dan tidak berdaya, sehingga harus bergantung kepada
orang lain.
b)
Status ekonomi sangat terncam, sehingga cukup beralasan untuk
melakukan berbagai perubahan besar dalam pola hidupnya.
c)
Menentukan kondisi hidup yang sesuai dengan perubahan status ekonomi
dan kondisi fisik.
d)
Mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah
meninggal.
e)
Mengembangkan kegiatan baru untuk mengisi waktu luang yang semakin
bertambah.
f)
Belajar untuk memperlakukan anak yang sudah besar sebagai orang
dewasa.
g)
Mulai
terlihat
dalam
kegiatan
masyarakat
yang
secara
khusus
direncanakan untuk lansia.
h)
Mulai merasakan kebahagiaan dari kegiatan yang sesuai untuk orang
berusia lanjut dan memiliki kemauan untuk mengganti kegiatan yang lebih cocok,
i)
Menjadi korban atau dimanfaatkan oleh para penjual obat dan kriminalitas
karena mereka tidak sanggup lagi untuk mempertahankan diri.
j)
Lansia rentan mengalami gangguan psikologis seperti stres, depresi,
ansietas (kecemasan), psikosis atau kecanduan obat.
20
2.2
Stres
2.2.1 Pengertian
Corwin (2009) menjelaskan bahwa stres adalah proses ketika stresor
mengancam keselamatan dan kesejahteraan organisme. Ivancevich et al (2006)
juga menjelaskan bahwa stres adalah suatu respon adaptif, dimoderasi oleh
perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi,
atau peristiwa dan yang menempatkan tuntutan khusus terhadap seseorang. Stres
merupakan sekumpulan perubahan fisiologis akibat tubuh terpapar terhadap
bahaya ancaman. Stres memiliki dua komponen yaitu perubahan fisiologis dan
psikologis, bagaimana seseorang merasakan keadaan dalam hidupnya. Perubahan
keadaan fisik dan psikologis ini disebut sebagai stresor (pengalaman yang
menginduksi respon stres) (Pinel, 2009). Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres adalah respon tubuh yang sifatnya non
spesifik terhadap suatu paparan atau tuntutan beban tertentu yang mengakibatkan
terjadinya perubahan fisiologis ataupun psikologis pada seseorang.
2.2.2
Penggolongan Stres
Ditinjau dari penyebab stres, menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti (1990)
dalam Sunaryo (2004), dapat digolongkan sebagai berikut.
a)
Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau
rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang, atau tersengat arus listrik.
b)
Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obat-obatan, zat beracun,
hormone, atau gas.
21
c)
Stres mikrobiologik, disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang
menimbulkan penyakit.
d)
Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan,
organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.
e)
Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua.
f)
Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal,
sosial, budaya, atau keagamaan.
Adapun menurut Brench Grand (2000) dalam Sunaryo (2004), stres
ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a)
Penyebab makro, yaitu menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan,
seperti kematian, perceraian, pension, luka batin, dan kebangkrutan.
b)
Penyebab mikro, yaitu menyangkut peristiwa kecil sehari-hari, seperti
pertengkaran rumah tangga dan beban pekerjaan.
2.2.3
Sumber Stres
Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004) menyatakan bahwa ada empat
sumber atau penyebab stres, yaitu:
a)
Frustrasi
Frustasi timbul akibat kegagalan mencapai tujuan. Frustasi dibagi menjadi
dua, yaitu: intrinsik (cacat badan dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan,
bencana alam, kematian orang yang dicintai, pengangguran, dan lain-lain).
b)
Konflik
Konflik timbul karena tidak mampu mengambil suatu keputusan.
22
c)
Tekanan
Tekanan timbul sebagai akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan dapat
berasal dari dalam diri individu, misalnya cita-cita atau norma yang terlalu tinggi,
tekanan yang berasal dari luar individu misalnya, tuntutan orangtua kepada anak
agar tetap menjadi juara di sekolah.
d)
Krisis
Krisis yaitu keadaan yang mendadak yang menimbulkan stres pada
individu, misalnya kematian orang yang disayangi, kecelakaan, dan penyakit yang
harus segera dioperasi.
Keadaan stres dapat terjadi oleh beberapa sebab sekaligus, mislanya
frustasi, konflik, dan tekanan.
2.2.4
Faktor Yang Mempengaruhi Stres
Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan
reaksi stres, misalnya jumlah semua respon fisiologis nonspesifik yang
menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis (Ide, 2008). Sesuai dengan
penjelasan Lazarus & Folkman (1984) dalam Potter & Perry (2005), setiap orang
memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi stresor. Semakin besar
seseorang merima stresor, maka semakin besar respon stres yang ditimbulkan.
Respon terhadap segala bentuk stresor bergantung pada fungsi fisiologis,
kepribadian, serta sifat dari stresor.
a)
Fungsi Fisiologis
Hardjana (1994) dalam Puspasari (2009) menyatakan bahwa menderita
penyakit dapat mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis pada seseorang.
23
Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dimana hal
itu dapat menyebabkan stres pada lansia. Perubahan fungsi fisiologis yang dialami
seseorang tergantung pada penyakit yang dideritanya.
b)
Kepribadian
Hawari (2001) dalam Maryam et al (2008) menyatakan bahwa tidak semua
orang yang mendapat stresor psikososial yang sama akan mengalami stres. Pada
seseorang yang mempunyai tipe kepribadian tertentu, yaitu tipe kepribadian “A”
lebih rentan terkena stres, sedangkan orang dengan tipe kepribadian “B” lebih
tahan terhadap stres. Dalam kaitannya dengan tipe kepribadian yang berisiko
tinggi terkena stres (tipe kepribadian “A”), Rosenmen & Chesney (1980)
dalam Maryam et al (2008) menggambarkan antara lain dengan ciri-ciri, yaitu:
ambisius, agresif
dan kompetitif, kurang sabar, mudah tegang, mudah
tersinggung dan marah, kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri
berlebihan, cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam,
bekerja tidak mengenal waktu, pandai berorganisasi dan memimpin (otoriter),
kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang (tidak rileks), serba tergesa-gesa,
pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya
mudah bersikap bermusuhan, tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel).
Orang dengan kepribadian tipe “B” atau pola perilaku tipe “B”
adalah kebalikan dari tipe “A” tersebut diatas, yaitu dengan ciri-ciri antara lain
sebagai berikut: ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam
berkompetisi serta tidak memaksakan diri, penyabar, tenang, tidak mudah
tersinggung dan tidak mudah marah (emosi terkendali), kewaspadaan dalam batas
24
yang wajar demikian pula kontrol diri dan percaya diri tidak berlebihan, cara
bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, perilaku tidak hiperaktif,
dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat);,
dalam berorganisasi dan memimpin bersikap akomodatif dan manusiawi; lebih
suka bekerjasama dan tidak memaksakan diri bila menghadapi tantangan, pandai
mengatur waktu dan tenang (rileks), tidak tergesa-gesa, ramah dan dapat
menimbulkan empati untuk mencapai kebersamaan, tidak kaku (fleksibel), dapat
menghargai pendapat lain, dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu
menahan serta mengendalikan diri (Hawari, 2001 dalam Maryam et al, 2008).
c)
Sifat dari stresor
Lazarus & Folkman (1984) dalam Potter & Perry (2005) menyatakan
bahwa setiap orang memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi stresor.
Semakin besar
seseorang mendapat stresor, maka semakin besar respon stres
yang ditimbulkan.
Selain fungsi fisiologis, kepribadian, serta sifat dari stresor, Suparto (2000)
dalam Puspasari (2009),
terdapat
pula
faktor-faktor
lain
yang dapat
mempengaruhi stres, antara lain:
a)
Falsafah hidup: semakin seseorang berserah diri kepada Tuhan, maka akan
semakin terbebaskan dari stres.
b)
Persepsi (penangkapan): semakin santai suatu kejadian dipersepsikan,
maka semakin sulit seseorang mengalami stres karena kejadian tersebut.
c)
Posisi sosial: semakin berperan dan menyatu seseorang dengan lingkungan
sosialnya, semakin sulit seseorang mengalami stres.
25
d)
Pengalaman:
semakin sering seseorang memperoleh stresor, semakin
sering seseorang terserang stres akibat stresor tersebut.
2.2.5 Tahapan Stres
Tahapan stres menurut Sunaryo (2004) adalah sebagai berikut.
a)
Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
disertai dengan perasaan sebagai berikut: semangat bekerja besar, berlebihan
(overacting), penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, merasa mampu
menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
b)
Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula menyenangkan sebagaimana
diuraikan pada tahap I mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang
disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena
tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan
tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi
yang hilang. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang
berada pada stress tahap II adalah merasa letih sewaktu bangun pagi, merasa
mudah lelah sesudah makan siang, mudah lelah menjelang sore hari, detakan
jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar), otot-otot punggung dan
tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai.
c)
Stres Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan
26
keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: ketegangan otototot semakin terasa, perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin
meningkat, gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk memulai tidur
(early insomnia), terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle
insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur
(late insomnia), koordinasi tubuh terganggu.
d)
Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, yaitu: aktivitas pekerjaan yang semula
menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih
sulit, seseorang yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespon secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan
mimpi-mimpi yang menegangkan, daya konsentrasi dan daya ingat menurun,
timbul perasaan ketakutan dan kecemasan.
e)
Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang akan jatuh dalam stres tahap V,
yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: kelelahan fisik dan mental yang
semakin mendalam (physical and psychological exhaustion), ketidakmampuan
untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, timbul
perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan
panik.
27
f)
Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan
panik (panic attack) dan perasaan takut akan kematian. Gambaran stres tahap VI
adalah sebagai berikut: debaran jantung teramat keras, susah bernapas (sesak dan
megap-megap), seluruh badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran,
ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps (collapse).
2.2.6
Tingkatan Stres
Maramis (1999) dalam Sunaryo (2004) mengklasifikasikan tingkat stres
sebagai berikut.
a)
Stres Ringan
Pada tingkat stres ringan sering terjadi pada kehidupan sehari-hari dan
kondisi ini dapat membantu individu menjadi waspada dan bagaimana mencegah
berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
b)
Stres Sedang
Pada tingkat stres sedang individu lebih memfokuskan hal penting saat ini
dan mengesampingkan yang lain sehingga mempersempit lahan persepsinya.
c)
Stres Berat
Pada tingkat stres berat, persepsi individu sangat menurun dan cenderung
memusatkan perhatian pada hal-hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi stres. Individu tersebut mencoba memusatkan perhatian pada lahan
lain dan memerlukan banyak pengarahan.
28
d)
Stres Sangat Berat
Pada tingkat stres sangat berat, inidividu akan mengalami salah satu
permasalahan seperti: penyakit jantung, gangguan mental yang mengarahkan
seseorang untuk bunuh diri, seluruh badan terasa gemetar, dan mengalami
serangan panic (panic attack)
2.2.7
Stres Pada Lansia
Stres
pada
lansia
merupakan
kondisi
ketidakseimbangan,
tekanan/gangguan yang tidak menyenangkan, yang terjadi seluruh tubuh dan
dapat mempengaruhi kehidupan (Sunaryo, 2004). Indriana et al (2010)
menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab stres pada lansia adalah perubahan
dalam aktivitas sehari-hari, perubahan dalam perkumpulan keluarga, kematian
pasangan, kematian anggota keluarga, dan perubahan dalam pekerjaan. Bastable
(2004) juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada lansia
sebagai berikut.
a)
Kondisi kesehatan fisik
Kondisi
fisik
yang
sudah
menurun
membuat
lansia
memiliki
ketergantungan terhadap orang lain, dimana lansia merasa tidak bebas lagi
melakukan sesuatu pekerjaan.
b)
Kondisi psikologi
Kondisi psikologi yang menurun membuat lansia merasa terhambat dalam
berinteraksi dengan orang lain. Sehingga membuat lansia tidak mau untuk
berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
29
c)
Lingkungan
Lingkungan yang kurang harmonis dapat meningkatkan stres pada lansia.
d)
Keluarga
Keluarga lebih dominan mempengaruhi stres pada lansia. dimana
dukungan serta motivasi sangat dibutuhkan lansia.
e)
Pekerjaan
Pekerjaan sangat mendorong lansia untuk beradaptasi pada masa pension,
dimana masa ini masa berat yang dirasakan oleh sebagian besar lansia.
Stres pada lansia yang berada di panti sosial banyak disebabkan karena
kurangnya dukungan dari keluarga, banyak lansia yang ditempatkan di panti sosial
jarang mendapat kunjungan dari keluarga, sehingga membuat lansia merasa tidak
diperhatikan dan tidak dianggap oleh keluarga yang dapat menimbulkan perasaan
tidak nyaman yang terjadi secara terus menerus sehingga menimbulkan stres
bahkan depresi pada lansia (Mahfiroh et al, 2008). Hidayati (2009) juga
menyatakan bahwa stres pada lansia yang berada di panti disebabkan karena
disebabkan oleh perubahan hidup dan kemunduran fisik yang dialami oleh lansia.
2.2.8
Penanganan Stres
Chomaria (2009) menyatakan bahwa ada beberapa cara penanganan stress,
yaitu sebagai berikut.
a)
Farmakologi, yaitu menggunakan obat-obatan yang berguna untuk
memulihkan fungsi gangguan neurotransmitter (sistem limbik). Sebagaimana
diketahui sistem limbik merupakan bagian otak yang mengatur alam pikiran, alam
perasaan dan perilaku seseorang. Obat yang sering dipakai adalah obat anti
30
depresi dan anti cemas golongan benzodiazepam seperti alprazolam yang
mempunyai efek samping seperti mual, muntah, pusing, insomnia, dan tekanan
darah tinggi.
b)
Pendekatan perilaku, yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stress
dan menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi.
c)
Pendekatan kognitif, yaitu mengubah pola pikir individu berpikir positif
dan sikap positif, membekali diri dengan pengetahuan tetntang stres,
menyimbangkan aktivitas otak kiri dan otak kanan, serta hipnoterapi.
d)
Relaksasi, yaitu upaya untuk melepas ketegangan. Ada 3 macam relaksasi
yaitu relaksasi otot seperti senam otak, relaksasi kesadaran indera dan relaksasi
melalui yoga, meditasi maupun transendensi/keagamaan.
2.2.9 Penilaian Stres
Alat ukur stres yang digunakan dalam penelitian ini adalah Perceived
Stress Scale (PSS-10). PSS-10 bertujuan untuk melihat kecenderungan individu
merasakan adanya persepsi stres sebagai akibat dari situasi negatif selama satu
bulan terakhir (Cohen, 1983 dalam Astri, 2012). Skor PSS-10 diperoleh dengan
reversing responses (sebagai contoh, 0=4, 1=3, 2=2, 3=1, 4=0) terhadap empat
soal yang bersifat positif (pertanyaan 4, 5, 7 dan 8) dan menjumlahkan skor
jawaban masing-masing. Angka 0 berarti tidak pernah, angka 1 berarti hampir
tidak pernah (1-2 kali), angka 2 berarti kadang-kadang (3-4 kali), angka 3 berarti
cukup sering (5-6 kali), dan angka 4 berarti terlalu sering (lebih dari 6 kali). Item
pertanyaan PSS-10 dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan interpretasi skor dapat dilihat
pada Tabel 2.2
31
Tabel 2.1 Perceived Stress Scale (PSS-10)
No.
Pertanyaan
0
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1
2
3
4
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
menjadi bingung karena sesuatu yang
terjadi secara tiba-tiba?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
telah merasa tidak mampu untuk
mengendalikan hal-hal yang penting
dalam kehidupan Anda?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
merasa gugup atau stres?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
merasa yakin akan kemampuan Anda
untuk menangani masalah pribadi?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
telah merasa bahwa segala sesuatunya
berjalan lancar?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
telah merasa bahwa Anda tidak bisa
mengatasi semua hal yang harus Anda
lakukan?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
telah mampu mengendalikan hal-hal yang
menyakitkan dalam hidup Anda?
Pada bulan lalu, seberapa sering anda
merasakan bahwa Anda sangat bahagia
dan suskes?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
telah merasakan marah karena sesuatu
yang terjadi diluar kendali Anda?
Pada bulan lalu, seberapa sering Anda
merasakan bahwa kesulitan-kesulitan
menumpuk sebegitu tingginya sehingga
Anda tidak bisa mengatasinya?
TOTAL:
Sumber: Cohen et al (1983) dalam Nisa (2011)
Tabel 2.2 Interpretasi PSS-10
Skor
0-14
15-18
19-25
26-33
≥ 34
Interpretasi
Tidak stres
Stres ringan
Stres sedang
Stres berat
Stres sangat berat
32
2.3
Senam Otak
2.3.1 Pengertian
Senam
otak
adalah
serangkaian latihan
gerak
sederhana
untuk
memudahkan kegiatan belajar dan penyesuaian dengan tuntutan sehari-hari
(As’adi, 2013). Markam (2005) menyatakan bahwa senam otak adalah senam
yang bertujuan utama untuk mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan
gerakan badan. Herawati dan Wahyuni (2004) juga mengatakan bahwa senam
otak adalah salah satu contoh latihan fisik sekaligus kognitif yang dirancang untuk
meningkatkan kemampuan kognitif yang mudah dilakukan oleh lansia karena bisa
dilakukan dimana saja dan kapan saja. Gerakan senam otak dibuat untuk
merangsang otak kiri dan kanan (dimensi lateralis), meringankan atau
merelaksasikan belakang otak dan bagian depan otak (dimensi pemfokusan),
merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau emosional yaitu otak tengah
dan otak besar (dimensi pemusatan). Prinsip gerakan dalam senam otak adalah
mudah dan dapat dilakukan saat duduk atau berdiri (Arief, 2008). Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa senam otak adalah serangkaian
latihan gerakan fisik yang bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak, yang
dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dapat dilakukan saat duduk atau
berdiri.
2.3.2 Manfaat Senam Otak
Senam otak bertujuan untuk mempertahankan kesehatan otak dengan
melakukan gerakan badan (Markam, 2005). Senam otak juga bermanfaat untuk
memperlambat kepikunan, menghilangkan stress, dan meningkatkan konsentrasi
33
(As’adi, 2013). Senam otak akan memfasilitasi agar beban otak kanan dan kiri
sama serta seimbang (Depkes, 2008). Tiap gerakan pada senam otak memiliki
manfaat yang berbeda, namun secara keseluruhan gerakan senam otak bertujuan
untuk meningkatkan kinerja otak (Ide, 2008).
2.3.3 Gerakan Senam Otak
Senam otak pada dasarnya terdiri dari 24 gerakan. As’adi (2013)
menyatakan bahwa senam otak dapat dilakukan dalam beberapa gerakan saja
asalkan terkandung tiga dimensi senam otak di dalamnya. Tiga dimensi tersebut
adalah dimensi lateralis untuk merangsang otak kiri dan kanan, dimensi
pemfokusan untuk merelaksasikan bagian batang otak dan bagian depan otak,
dimensi pemusatan untuk merangsang sistem limbic dan otak besar. Pedoman
gerakan senam otak untuk lansia antara lain sebagai berikut.
a)
Gerakan Menyeberangi Garis Tengah (The Midline Movement)
Gerakan menyeberangi garis tengah berpusat pada keterampilan yang
diperlukan untuk gerakan bagian tubuh kiri dan kanan dengan melewati bagian
tengah tubuh.Gerakan ini membantu mengintegrasikan penglihatan, pendengaran,
serta sisi kiri dan kanan dari otak dan badan. Jenis gerakan ini antara lain:
1)
Gerakan Silang
Menggerakkan secara bergantian pasangan kaki dan tangan yang
berlawanan, seperti gerak jalan di tempat. Gerakan silang mengaktifkan hubungan
kedua sisi otak dan merupakan gerakan pemanasan.
34
Gambar 2.1
2)
Gerakan Delapan Tidur
Angka delapan digambar dengan posisi tidur dengan titik tengah yang
jelas, memisahkan wilayah lingkaran kiri dan kanan, serta dihubungkan dengan
garis yang tersambung. Manfaat dari gerakan ini adalah mengaktifkan kedua
belahan otak yang menunjang koordinasi tangan dan mata. Gambar angka delapan
tidur dapat dilakukan di udara atau diatas permukaan pasir, kertas atau papan tulis.
Gerakan ini dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap tangan.
Gambar 2.2
35
3)
Gerakan Hook-Up
Menyilangkan kaki, yaitu posisi kaki kanan di depan kaki kiri, Lalu
menyilangkan kedua tangan, tangan kanan berada di atas tangan kiri dan satukan
telapak tangan dengan jari saling bersilangan. Putar ke arah dalam dan kemudian
letakkan di dada. Lakukan gerakan ini secara bergantian. Gerakan ini merupakan
gerakan pemanasan.
Gambar 2.3
b)
Gerakan Meregangkan Otot (Lengthening Activities)
Gerakan ini dapat membantu mengembangkan dan menguatkan hubungan-
hubungan saraf di otak bagian belakang dan otak bagian depan. Selain itu gerakan
ini dapat mengendurkan otot dan tendon yang menegang dan memendek karena
reflex batang otak. Jenis gerakan ini antara lain:
1)
Gerakan Burung Hantu
Lakukan gerakan memijat satu bahu untuk membuat otot menjadi tidak
tegang sambil menggerakkan kepala perlahan ke kiri lalu ke kanan dengan tinggi
posisi datu tetap. Ulangi pada bahu yang lain.
36
Gambar 2.4
2)
Gerakan Mengaktifkan Tangan
Angkat satu tangan ke belakang kemudian tangan yang lain memegang
siku tangan yang diangkat. Gerakan ini bisa dilakukan sambil duduk atau berdiri.
Gambar 2.5
c)
Gerakan Meningkatkan Energi dan Penguatan (Energy Exercise and
Deepening Attitudes)
Gerakan ini mengaktifkan kembali hubungan-hubungan saraf antara tubuh
dan otak sehingga melancarkan aliran energi ke seluruh tubuh. Jenis gerakan ini
antara lain:
37
1)
Gerakan Sakelar Otak
Sakelar otak yang dimaksud yaitu jaringan lunak dibawah tulang selangka
kiri dan kanan tulang dada. Daerah tersebut dipijat dengan satu tangan, sementara
tangan yang lain memegang pusar. Manfaat dari gerakan ini yaitu meningkatkan
kelancaran aliran darah ke otak dan keseimbangan badan. Gerakan ini merupakan
gerakan pemanasan.
Gambar 2.6
2)
Gerakan Tombol Bumi
Ujung jari satu tangan menyentuh bawah bibir, ujung jari lainnya di
pinggir atas tulang kemaluan (± 15cm di bawah pusar). Lakukan sambil bernapas
perlahan dan dalam. Ganti tangan untuk mengaktifkan kedua sisi otak.
38
Gambar 2.7
3)
Gerakan Tombol Imbang
Tombol imbang terdapat di belakang telinga, pada sebuah lekukan di batas
rambut antara tengkorak dan tengkuk (4-5cm ke kiri dan ke kanan dari garis
tengah tulang belakang) dan persis di belakang daerah mastoid. Sentuh daerah ini
dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain menyentuh pusar. Gerakan ini
dapat dilakukan sambil berdiri atau duduk.
Gambar 2.8
39
4)
Pernapasan Perut
Menarik napas melalui hidung kemudian hembuskan napas pendek melalui
bibir yang diruncingkan. Tarik napas sampai hitungan ketiga, dan tahan napas
sampai hitungan tiga, lalu hembuskan napas selama tiga hitungan. Tangan
diletakkan di perut. Ulangi beberapa kali. Pernapasan perut dilakukan dapat
dilakukan saat gerakan pendinginan (As’adi, 2013).
Gambar 2.9
2.3.4
Prosedur Senam Otak Pada Lansia
Latihan senam otak dianjurkan tiga kali seminggu pada pagi hari dengan
lama waktu sekitar 25 menit (Arief, 2008). Berikut merupakan prosedur senam
otak pada lansia.
1)
Tahap Persiapan
a)
Pelatihan asisten

Pemilihan asisten untuk pemberian senam otak

Menyiapkan lokasi penelitian

Menjelaskan tujuan pemberian senam otak

Beri kesempatan asisten bertanya
40

Mengajarkan tahap dari pemberian senam otak

Pastikan sisten benar-benar paham tentang senam otak yang benar
b)
Persiapan Lingkungan

Mempersiapkan tempat untuk melakukan senam otak di PSTW Jara Mara
Pati Singaraja
c)
Persiapan Alat

Pulpen/pensil
d)
Persiapan Lansia

Lakukan bina hubungan saling percaya dengan memperkenalkan diri
kepada lansia

Menjelaskan tujuan, prosedur serta lamanya waktu dilakukannya senam
otak.
2)
Tahap Pelaksanaan
a)
Cek TTV lansia sebelum dilakukan senam otak
b)
Posisikan lansia pada posisi relaksasi
c)
Pemandu (peneliti) memulai senam otak dengan melakukan tahap
pemanasan yaitu pertama-tama pemandu menganjurkan lansia untuk minum air
putih, kemudian dilanjutkan dengan gerakan hook up, gerakan silang, dan gerakan
sakelar otak masing-masing sebanyak dua kali delapan gerakan (Suroto, 2004).
d)
Selanjutnya pemandu melakukan gerakan-gerakan yang lainnya seperti
gerakan burung hantu, gerakan tombol imbang, gerakan tombol bumi, gerakan
mengaktifkan tangan, dan terakhir gerakan delapan tidur. Lansia mengikuti
41
instruksi pemandu. Lakukan gerakan senam otak masing-masing dua kali delapan
(Suroto, 2004).
e)
Setelah selesai semua gerakan senam otak diakhiri dengan pendingininan
yaitu pernapasan perut. Menarik napas melalui hidung kemudian hembuskan
napas melalui bibir. Tarik napas sampai hitungan ketiga, tahan napas sampai
hitungan tiga, kemudian hembuskan. Ulangi beberapa kali.
f)
Pemandu menganjurkan lansia untuk minum air putih kembali.
g)
Pemandu mengecek kembali TTV lansia.
h)
Jika terjadi kejadian yang tidak diinginkan, pemandu telah menyiapkan
tempat pertolongan pertama bagi lansia.
2.4
Hubungan Senam Otak Dengan Tingkat Stres Lansia
Stres pada lansia disebabkan oleh beberapa hal seperti takut akan kematian
karena semakin bertambahnya umur, kematian orang terdekat, ketidakberdayaan
dan stres karena mengalami konflik dengan orang terdekat. Situasi stres
mengaktivasi
hipotalamus
yang
selanjutnya
mengendalikan
dua
sistem
neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf
simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus, yaitu mengakitivasi
berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya. Sebagai
contoh, meningkatkan kecepatan denyut jantung dan mendilatasi pupil. Sistem
saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal. Untuk melepaskan
epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika
hipotalamus mensekresi CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis
yang terletak dibawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresi
42
hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana,
ACTH menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang
meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin
lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres
yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari
sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight. Respon fight or
flight
menyebabkan individu dapat berespon cepat terhadap situasi yang
mengancam. Akan tetapi bila keadaan fisiologis dan psikologis yang reaktif
terhadap rangsangan tersebut tinggi dan terus menerus muncul dapat
membahayakan kesehatan individu (Pinel, 2009). Oleh karena itu untuk
membantu menurunkan kadar dari hormon stres yang dikeluarkan oleh tubuh,
maka dapat dilakukan dengan melakukan senam otak.
Fitria (2010) menjelaskan bahwa salah satu manfaat senam otak adalah
mengurangi stres emosional, menjadikan otak lebih rileks, menjadikan seseorang
merasa lebih sehat karena stres berkurang. Gerakan senam otak dibuat untuk
merangsang otak kiri dan kanan, meringankan atau merelaksasikan belakang otak
dan bagian depan otak, merangsang sistem yang terkait dengan perasaan atau
emosional yaitu otak tengah dan otak besar (Ide, 2008).
Download