1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel yang tumbuh secara terus menerus, tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi secara fisiologis (Price & Wilson,2005). Kanker terjadi karena adanya sel yang bersifat mutagenik. Sel kanker dapat menjadi sel mutagenik karena adanya mutasi genetik pada sel germinal maupun pada sel somatik. Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor, baik faktor keturuan, maupun faktor lingkungan (Baggot, et al. 2002). Saat ini kanker menjadi penyakit serius yang mengancam kesehatan anak di dunia. Menurut National Cancer Institute atau NCI (2009), diperkirakan empat persen (4%) diantaranya adalah kanker pada anak, diperkirakan terjadi 10.370 kasus baru kanker pada anak usia 0-14 tahun di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat jenis kanker yang paling sering terjadi pada anak adalah leukemia, tumor otak dan sistem saraf, limfoma serta tumor padat (NCI, 2009). Permasalahan kanker anak di Indonesia saat ini menjadi persoalan yang cukup besar (Suyudi, 2002). Menurut Gatot (2008), prevalensi kanker anak di Indonesia mencapai empat (4)%, artinya dari seluruh angka kalahiran hidup anak di Indonesia, empat (4)% diantaranya akan mengalami kanker. Saat ini kanker menjadi sepuluh 1 2 besar penyakit utama yang menyebabkan kematian anak di Indonesia (Depkes RI, 2011). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah (RSUP Sanglah) terdapat kasus penderita kanker pada anak usia 1-14 tahun sebanyak 176 pasien pada tahun 2012 . Jumlah tersebut sedikit lebih banyak dibandingkan tahun 2011 yang hanya sebanyak 168 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita kanker pada anak yang di rawat di RSUP Sanglah cenderung meningkat dalam 2 tahun terakhir (Rekam Medis RSUP Sanglah, 2013). Kanker pada anak harus ditangani secara berkualitas. Menurut NCI (2009), penanganan kanker pada anak meliputi kemoterapi, terapi biologi, terapi radiasi, cryotherapy, transplantasi sumsum tulang dan transplantasi sel darah perifer (peripheral blood stem cell). Berdasarkan literatur, kemoterapi merupakan salah satu terapi yang memperlihatkan efektivitas yang tinggi. Menurut Hockenberry dan Wilson (2009), kemoterapi efektif untuk menangani kanker pada anak. Kemoterapi adalah pemberian segolongan obat – obatan yang bersifat sitotoksik. Pemberian kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker (Chabner, 2005). Hockenberry dan Wilson (2009) mengatakan bahwa kemoterapi sangat efektif dalam penanganan kanker pada anak, terutama leukemia. Kemoterapi juga memperlihatkan efektivitas yang tinggi untuk menghambat pertumbuhan kanker jenis lainnya, misalnya kanker nasofaring, rhabdomyosarkoma, lymphoma dan jenis kanker lainnya (Bowden, Dickey & Greenberg, 2010). 3 Efek samping yang banyak ditemukan pada anak yang mendapat kemoterapi adalah depresi sumsum tulang, diare, kehilangan rambut, masalah – masalah kulit, mual muntah, serta disfungsi rongga mulut. Disfungsi rongga mulut adalah suatu keadaan dimana bibir, mukosa mulut, gusi, gigi, lidah dan ototnya serta palatum keras dan lunak menjadi sakit oleh karena invasi dari mikroorganisme tertentu (Potter & Perry, 2005). Hal tersebut menyebabkan berbagai gangguan. Gangguan tersebut diantaranya adalah mukositis, glositis, gingivitis kesulitan mengunyah, menelan, berbicara, perdarahan, mulut kering (xerostomia) dan hilangnya sensasi rasa (hypogeusia dan ageusia) (Eilers, 2004). Bila gangguan ini tidak ditangani segera, maka akan terjadi gangguan keseimbangan nutrisi dan pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup anak penderita kanker (UKCCSG-PONF, 2006). Sebagian besar anak yang menjalani kemoterapi akan mengalami disfungsi rongga mulut. Menurut studi United Kingdom Children’s Cancer Study Group dan Pediatric Oncology Nurses Forum atau UKCCSG-PONF (2006), prevalensi terjadinya disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi diperkirakan mencapai 30-75% dalam setiap siklusnya. Literatur dari Cancer Care Nova Stovia (CCNS) tahun 2008, mengatakan bahwa angka prevalensi disfungsi rongga mulut lebih besar lagi, yaitu sekitar 45-80%. Perawat sebagai tenaga kesehatan professional bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas untuk menangani berbagai disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi. Berdasarkan systematic review yang 4 dilakkukan oleh Keefe, et al. (2007) dan Eilers (2004), intervensi penanganan disfungsi rongga mulut diantaranya adalah oral care yang berkualitas, pemberian agen anti septic, pembersih mulut (multiagent mouthwashes), agen anti inflamsi, growth factor, cytokine-like agent serta berbagai agen alamiah lain yaitu chamomile, kamilosan cair dan madu. Penggunaan multiagen seperti chlorhexidine dan providone iodine kurang dapat diloteransi oleh anak. Dodd (2004) Eilers (2004) mengatakan bahwa sebagian besar pasien yang diberikan chlorhexidine dan povidone iodine mengeluh rasa yang tidak enak (unpleasant) . Kedua zat tersebut juga tidak boleh diberikan dalam waktu lama dan tidak boleh tertelan. Chlorhexidine dan iodine jika diberikan dalam waktu lama akan menyebabkan iritasi, perubahan flora normal rongga mulut dan iodine menyebabkan risiko terjadinya hipertiroid (Potting, et al. 2006). Beberapa penelitian menyarankan penggunaan madu sebagai agen dalam menejemen berbagai disfungsi rongga mulut salah satunya mukositis (Mottalebnejad, et al. 2008; Rashad, et al. 2008; Biswall, Zakaria & Ahmad, 2003). Menurut penelitian tersebut, madu dapat menurunkan disfungsi rongga mulut akibat radioterapi pada pasien dewasa secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Biswall, Zakaria dan Ahmad (2003) merupakan preliminary study yang dilakukan pada empat puluh pasien dengan kanker kepala dan leher yang mendapat radioterapi. Penelitian yang dilakukan di Malaysia tersebut menunjukkan bahwa penggunaan madu sebagai topical agent dapat mengurangi tingkat keparahan disfungsi rongga mulut salah satunya mukositis (p=0,0058). Penelitian Mottalebnejad, et al. (2008) 5 yang dilakukan di Iran memiliki sampel dan desain penelitian yang sama dengan Biswall, Zakaria dan Ahmad (2003). Hasil penelitian Mottalebnejad, et al. (2008) juga menunjukkan bahwa tingkat keparahan disfungsi rongga mulut salah satunya mukositis berkurang secara signifikan pada pasien yang mendapatkan madu dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat madu (p=0,000). Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Rashad, et al. (2008) di Mesir. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian madu topical dapat menurunkan tingkat mukositis pada pasien dewasa setelah radioterapi (p=0,007). Madu merupakan produk dari nectar bunga yang telah mengalami aerodigestive oleh lebah. Madu kemudian dikonsentrasikan melalui dehydrating process di sarang lebah (Mottalebnejad, et al. 2008). Berbagai penelitian melaporkan keefektifan madu untuk mempercepat penyembuhan pada luka pembedahan, luka akibat penekanan, luka pada pasien diabetes, dan luka scarring (Bogdanov, 2010). Menurut beberapa penelitian, madu digunakan dalam pengobatan modern, karena madu memiliki efek terapeutik. Efek terapeutik tersebut dikarenakan madu memiliki viskositis tinggi, memiliki pH yang rendah (asam), mengandung zat anti oksidan, anti inflamsi, zat stimulan pertumbuhan jaringan, asam amino, vitamin, enzim dan mineral. Madu dapat digunakan dalam penanganan disfungsi rongga mulut karena madu memiliki enzim glukosa oksidase yang akan mengkonversi glukosa menjadi glucose acid yang akan menghambat pertumbuhan bakteri. Selain itu madu juga mengandung hidrogen peroksida yang bersifat sebagai agen antimicroba. Hidrogen 6 peroksida pada madu dapat meningkatkan penyembuhan disfungsi rongga mulut. Hal tersebut dikarenakan hidrogen peroksida menyebabkan debridement, peningkatan aliran darah subkutan pada jaringan iskemik, merangsang pertumbuhan jaringan baru dan memperkuat respon anti inflamasi. Hidrogen peroksida pada konsentrasi yang telah ditetapkan dapat digunakan sebagai antiseptik, cairan pembesih luka, cairan pembersih mulut (cairan berkumur) dan agen topikal untuk mengatasi gangguan kesehatan mulut pada anak dengan kanker yang mendapatkan kemoterapi (Evan & Flavin, 2008). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di ruang Pudak RSUP Sanglah dengan observasi langsung, didapatkan pasien yang sedang menjalani kemoterapi pada bulan September 2013 sebanyak 21 orang. Hasil wawancara dengan 10 orang penunggu pasien yang anaknya sedang menjalani kemoterapi, enam (6) dari 10 orang penunggu pasien mengatakan anaknya mengalami disfungsi rongga mulut diantaranya mukositis, glositis, gingivitis kesulitan mengunyah, menelan, berbicara, perdarahan, mulut kering (xerostomia) dan hilangnya sensasi rasa (hypogeusia dan ageusia) yang diperkuat dengan observasi Beck Oral Assessment Scale (BOAS) serta pemeriksaan fisik yang peneliti lakukan. Hal ini juga diperkuat dari hasil wawancara yang dilakukan dengan staf perawat di Ruang Pudak RSUP Sanglah, bahwa pasienpasien yang menjalani kemoterapi memang sering mengalami disfungsi rongga mulut. Saat ini penanganan disfungsi rongga mulut yang dilakukan di Ruang Pudak RSUP Sanglah dengan menggunakan NaCl 0,9% dan Natrium Bicarbonate. Penanganan disfungsi rongga mulut dengan menggunakan NaCl 0,9% maupun 7 Natrium Bicarbonate memerlukan waktu rata-rata 7 hari, hal ini merupakan waktu yang cukup lama dan akan berdampak pada intake nutrisi anak. Berbagai disfungsi rongga mulut akan mengurangi nafsu makan anak dan akan menurangi asupan nutrisi yang seharusnya dipenuhi. Selain itu, menurut pasien yang menjalani kemoterapi dan mengalami disfungsi rongga mulut di Ruang Pudak RSUP Sanglah, penanganan disfungsi rongga mulut yang diberikan tersebut membuat pasien tidak nyaman sewaktu dilakukan oral care karena rasa NaCl maupun Natrium Bicarbonate yang tidak enak. Oleh karena itu, perlu pertimbangan penggunaan agen lain seperti madu yang membutuhkan waktu relatif lebih singkat dalam penanganan nonfarmakologis terhadap disfungsi rongga mulut dan membuat pasien menjadi lebih nyaman sewaktu dilakukan oral care. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Systematic Oral Care dengan Madu terhadap Disfungsi Rongga Mulut akibat Kemoterapi pada Anak Usia 3-12 Tahun”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut, “Apakah ada Pengaruh Systematic Oral Care dengan Madu terhadap Disfungsi Rongga Mulut akibat Kemoterapi pada Anak Usia 3-12 Tahun?” 8 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak usia 3-12 tahun. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi skor disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak sebelum diberikan systematic oral care dengan madu b. Mengidentifikasi skor disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi pada anak setelah diberikan systematic oral care dengan madu c. Menganalisa pengaruh systematic oral care dengan madu terhadap disfungsi rongga mulut sebelum dan setelah dilakukan intervensi 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat digunakan dalam pengembangan intervensi keperawatan oral care untuk menurunkan disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi. 1.4.2. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini menambah data kepustakaan keperawatan terutama dalam bidang terapi modalitas dan intervensi keperawatan dalam menangani disfungsi rongga mulut sebagai salah satu efek samping kemoterapi pada anak dengan kanker sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya. 9 b. Sebagai data dasar melaksanakan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan ilmu keperawatan di bidang medical bedah dalam upaya meningkatkan keperawatan oral care terutama pada pasien anak yang mengalami disfungsi rongga mulut akibat kemoterapi.