16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Dalam hukum pidana dikenal beberapa istilah seperti delik,
perbuatan pidana, peristiwa pidana serta tindak pidana kata “delik”
berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman
disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit, dan dalam
bahasa Belanda disebut delict kadang-kadang juga memakai istilah
strafbaar feit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Leden
Marpaung, 2008: 7)
Menurut Pompe, perkataan stafbaar feit itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai:
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der
rechtsorde), waaran overtreder schuld heft en waarvan de
bestraffing dienstig is voor de handhaving der rechts orde
en de behartiging van het algemeen welzjin (Pompe dalam
Lamintang, 2011: 182).
Sedangkan Van Hamel menguraikan tindak
pidana
(straafbaar felt) itu sebagai: Perbuatan manusia yang diuraikan
oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau
bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan
schuld te witjen) (Van Hamel dalam Zainal Abidin, 2007: 225).
E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang
ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana (E. Utrecht
dalam Leden Marpaung, 2008: 7). Namun Moeljatno menolak
16
17
istilah peristiwa pidana karena katanya peristiwa itu adalah
pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada suatu
kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Hukum
pidana tidak melarang matinya orang, tetapi melarang adanya
orang mati karena perbuatan orang lain (Moeljatno dalam Andi
Hamzah, 1994: 86).
Moeljatno sendiri memakai istilah “perbuatan pidana”
untuk kata “delik”. Menurut beliau, kata “tindak” lebih sempit
cakupannya
daripada
“perbuatan”.
Kata
“tindak”
tidak
menunjukkan pada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya
menyatakan keadaan yang konkret (Moeljatno dalam Leden
Marpaung, 2008: 7).
Zainal Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan
kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljatno
itu juga kurang tepat, karena dua kata benda bersambung yaitu
“perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada hubungan logis
antara keduanya (Zainal Abidin dalam Andi Hamzah 1994 : 87).
Jadi, meskipun ia tidak sama istilahnya dengan istilah Moeljatno,
tetapi keduanya rupanya dipengaruhi oleh istilah yang dipakai di
Jerman, yaitu “Tat” (perbuatan) atau “handlung” dan tidak dengan
maksud untuk menerjemahkan kata “feit” dalam bahasa Belanda
itu.
Tetapi Zainal Abidin menambahkan bahwa lebih baik
dipakai istilah padanannya saja, yang umum dipakai oleh para
sarjana, yaitu delik. Memang jika kita perhatikan hampir semua
penulis memakai juga istilah “delik” disamping istilahnya sendiri
seperti Roeslan Saleh di samping memakai “perbuatan pidana”
juga memakai istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno Adji, di
samping memakai istilah “delik” juga memakai istilah “delik”.
Di Negeri Belanda dipakai istilah feit dengan alasan bahwa
istilah itu tidak meliputi hanya perbuatan (handelen), tetapi juga
18
pengabaian (nelaten). Pemakaian istilah feit oleh Van Der Hoeven,
karena menurutnya yang dapat dipidana ialah pembuat, bukan feit
itu. Senada dengan itu, Van Hamel mengusulkan istilah
strafwaardig feit (strafwaardig artinya patut dipidana), oleh karena
itu
Hazenwinkel-Suringa mengatakan istilah
delict kurang
dipersengketakan, hanya karena istilah “strafbaar feit” itu telah
bisa dipakai.
Vos merumuskan delik itu sebagai
“Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberi pidana; jadi suatu kelakuan manusia yang
pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana.” (Vos
dalam Andi Hamzah, 1994: 88).
Simons memberikan defenisi lebih lanjut mengenai delik
dalamn arti strafbaar feit sebagai berikut:
Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang
yang
tindakannya
tersebut
dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum
(Simons dalam Leden Marpaung, 2008: 8).
Van Hattum mengatakan:
Oleh karena dengan perkataan “ stafbaar feit” itu seolaholah “ orang yang dapat dihukum” telah ditiadakan, maka
biasanya pada waktu orang menjabarkan sesuatu delik ke
dalam unsur- unsurnya , orang terpaku pada unsur- unsur
delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang dan
melupakan tentang adanya lain-lain syarat yang dapat
membuat seseorang dapat dihukum, ataupun juga disebut
“bijikomende voorwaarden voor de strafbaarheid”,
termasuk syarat-syarat yang berkenaan dengan pribadi dari
pelakunya itu sendiri (Van Hattum dalam Lamintang, 2011:
185).
Menurut Van Hattum, semua syarat yang harus terpenuhi
sebagai syarat agar seseorang itu dapat diadili haruslah juga
dianggap sebagai unsur-unsur delik.
19
Syarat-syarat pokok dari suatu delik itu adalah :
1) Dipenuhi semua unsur delik seperti yang terdapat di dalam
rumusan delik;
2) Dapat
dipertanggungjawabkannya
si
pelaku
atas
perbuatannya;
3) Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan
sengaja, dan
4) Pelaku tersebut dapat dihukum.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Perbuatan dikategorikan sebagai delik bila memenuhi
unsur-unsur, sebagai berikut:
1) Harus ada perbuatan manusia;
2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan
perumusan
pasal
dari
undang-undang
yang
bersangkutan;
3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan
pemaaf);
4) Dapat dipertanggungjawabkan (Lamintang, 1984: 184)
Sedangkan menurut Moeljatno menyatakan bahwa:
1)
2)
3)
4)
5)
Kelakuan dan akibat.
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Unsur melawan hukum yang objektif
Unsur melawan hukum yang subjektif. (Moeljatno
dalam Djoko Prakoso, 1988: 104)
Selanjutnya menurut Satochid Kartanegara (Satochid
Kartanegara dalam Leden Marpaung, 2008:10) mengemukakan
bahwa:
Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur
objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu
berupa:
1) suatu tindakan;
2) suatu akibat dan;
3) keadaan (omstandigheid).
20
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbutan
yang dapat berupa:
1) Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid);
2) Kesalahan (schuld).
Sedangkan (Tongat, 2002: 3-5) menguraikan bahwa unsurunsur delik terdiri atas dua macam yaitu:
1) Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku
(dader) yang dapat berupa:
a) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti
tidak berbuat. Contoh unsur objektif yang berupa
"perbuatan" yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang
dan diancam oleh undang-undang. Perbuatan-perbuatan
tersebut dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan
yang dirumuskan di dalam Pasal 242, Pasal 263 dan
Pasal 362 KUHPidana. Di dalam ketentuan Pasal 362
KUHPidana misalnya, unsur objektif yang berupa
"perbuatan" dan sekaligus merupakan perbuatan yang
dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah
perbuatan mengambil.
b) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam delik
materiil. Contoh unsur objektif yang berupa suatu
"akibat" adalah akibat-akibat yang dilarang dan
diancam oleh undang-undang dan merupakan syarat
mutlak dalam delik antara lain akibat-akibat
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351 dan
Pasal 338 KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 338
KUHPidana misalnya, unsur objektif yang berupa
"akibat" yang dilarang dan diancam dengan undangundang adalah akibat yang berupa matinya orang.
c) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang
dan diancam oleh undang-undang. Contoh unsur
objektif yang berupa suatu "keadaan" yang dilarang dan
diancam oleh undang-undang adalah keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 160,
Pasal 281 dan Pasal 282 KUHPidana. Dalam ketentuan
Pasal 282 KUHPidana misalnya, unsur objektif yang
berupa "keadaan" adalah di tempat umum.
2) Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si
pelaku (dader) yang berupa:
a) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan
bertanggungjawab).
21
b) Kesalahan (schuld)
Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab
apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat,
yaitu:
(1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa,
sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya
dan karena juga mengerti akan nilai perbuatannya
itu.
(2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa,
sehingga ia dapat menentukan kehendaknya
terhadap perbuatan yang ia lakukan.
(3) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang
dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh
undang-undang.
Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan (schuld) dalam
hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:
1) Dolus atau opzet atau kesengajaan
Rusli Effendy menuliskan dolus atau sengaja menurut
Memorie van Toelicting (MvT) berarti menghendaki
mengetahui (willens en wettens) yang berarti si pembuat
harus menghendaki apa yang dilakukannya dan harus
mengetahui apa yang dilakukannya. Tingkatan sengaja
dibedakan atas tiga tingkatan yaitu:
a) Sengaja sebagai niat: dalam arti ini akibat delik adalah
motif utama untuk suatu perbuatan, yang seandainya
tujuan itu tidak ada maka perbuatan tidak akan
dilakukan.
b) Sengaja kesadaran akan kepastian: dalam hal ini ada
kesadaran bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti
akan terjadi akibat tertentu dari perbuatan itu.
c) Sengaja insyaf akan kemungkinan: dalam hal ini
dengan melakukan perbuatan itu telah diinsyafi
kemungkinan yang dapat terjadi dengan dilakukannya
perbuatan itu (Rusli Effendy, 1989:80)
2) Culpa atau kealpaan atau ketidaksengajaan
Menurut Memorie van Toelicting atas risalah penjelasan
undang undang culpa itu terletak antara sengaja dan
kebetulan. Culpa itu baru ada kalau orang dalam hal kurang
hati-hati, alpa dan kurang teliti atau kurang mengambil
tindakan pencegahan. Yurisprudensi menginterpretasikan
culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau
kurang hati-hati
Lebih lanjut (Rusli Effendy,1989: 26) menerangkan bahwa
kealpaan (culpa) dibedakan atas:
22
a) Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam
hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga
akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia
berusaha untuk mencegah toh timbul juga akibat
tersebut.
b) Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam
hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga
akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya
memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara (Satochid
Kartanegara dalam Leden Marpaung, 2008:13) mengemukakan
bahwa:
Yang dimaksud dengan opzet willens en weten
(dikehendaki dan diketahui) adalah seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi
atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.
Sedangkan menurut D. Simons mengemukakan bahwa
kealpaan adalah :
Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak
berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat
menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga
terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui
bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat
yang dilarang undang-undang. Kealpaan terdapat apabila
seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah
mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya
akibat itu lebih dahulu oleh si pelaku adalah suatu syarat
mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai
kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau
tidaknya "dapat diduga lebih dahulu" itu, harus
diperhatikan pribadi si pelaku kealpaan tentang keadaankeadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan
yang diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku
dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada.
(Simons dalam Leden Marpaung, 2008: 25).
23
c. Pidana dan Pemidanaan
Sanksi
pidana
merupakan
reaksi
dari
akibat
dan
konsekuensi pelanggaran dari suatu perbuatan melawan hukum.
Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang
mentaati norma-norma yang berlaku. Sanksi juga berfungsi sebagai
alat penderitaan agar menimbulkan efek jera bagi si pelaku.
Kalangan hukum lazimnya beranggapan bahwa hukuman
merupakan penderitaan, sedangkan imbalan merupakan suatu
kenikmatan sehingga akibat-akibatnya pada perilaku serta merta
akan mengikutinya. Para pakar memberikan pandangan berbedabeda dalam - suatu definisi tentang sanksi. Pengertian sanksi oleh
para antara lain sebagai berikut (Hambali, 2005:23):
1) Hoefnagels, sanksi dalam hukum pidana adalah semua
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan
undang-undang, dimulai dari penahanan tersangka dan
penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh
hakim.
2) Poernomo, sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman
pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma
yang telah ditetapkan dalam hukum dan undang-undang
ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma.
3) Utrecht, sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu
perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain yang dilakukan
oleh manusia atau organisasi sosial.
4) Arrasyid, sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum yang
dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa
yang datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan
yang menonjol dengan pelanggaran terhadap tatanan
lainnya.
5) Sudikno, pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk
memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah
terganggu oleh pelanggaran-pelanggaran kaidah dalam
keadaan semula.
6) Kanter dan Sianturi, sanksi pada umumnya adalah alat
pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang
berlaku.
7) Hambali Thalib, sanksi hukum dalam arti sanksi negatif
yang unsur-unsurnya dapat dirumuskan sebagai reaksi
terhadap akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau
penyimpangan kaidah sosial, baik kaidah hukum maupun
24
kaidah sosial nonhukum, dan merupakan kekuasaan untuk
memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu.
Lebih lanjut (Kanter dan Sianturi, 1982: 30), tugas sanksi
adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar
norma ditaati oleh setiap orang, dan juga merupakan akibat hukum
bagi seseorang yang melanggar norma hukum. Dari definisi
beberapa pakar hukum tersebut, dapat dipahami bahwa pidana
mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1) Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan;
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan atau oleh yang berwenang;
3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan
delik menurut undang-undang.
Pengertian
serta
unsur-unsur
sanksi
dan
pidana
sebagaimana telah sebelumnya dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksudkan sanksi dalam hukum pidana (sanksi pidana) adalah
reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai
kekuasaan (berwenang) berupa pengenaan penderitaan atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah
melakukan pelanggaran kaidah hukum atau delik menurut undangundang.
d. Tujuan Pidana
Dalam memberikan efek jera kepada seorang pelaku
kejahatan sebagai konsekuensi dari perbuatannya maka hukum
pidana dapat dikatakan sebagai jalan terakhir yaitu apabila upaya
hukum lain selain hukum pidana dianggap tidak mampu dalam
memberikan atau menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan
masyarakat (Waluyadi, 2003:30) berpendapat:
25
"hukum pidana juga dapat dikatakan sebagai crimum
meridium, yaitu ebagai upaya antisipatif preventif agar
manusia mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ia
memperkosa atau melanggar hak-hak orang lain (baik
nyawa atau harta) dengan jalan memperkenalkan hukum
pidana sedini mungkin”.
Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya
pencegahan untuk tidak dilakukannya delik atau mencegah
kejahatan, dengan jalan melindungi segenap kepentingan dari pada
subyek hukum dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi
dengan penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak
mengenakkan secara tegas kepada pihak-pihak yang telah terbukti
melanggar hukum.
Tujuan dasar dari adanya pidana bagi seseorang yang telah
melanggar
norma-norma
hukum
pidana
adalah
dengan
pertimbangan untuk membalas si pelaku delik.
Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang
membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya
teori absolut dan teori relatif (Leden Marpaung, 2008: 4)
1) Teori absolut
Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai
pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan
kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap
orang lain atau anggota masyarakat.
2) Teori relatif.
Teori ini dilandasi oleh tujuan sebagai berikut:
a) Menjerakan
Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi
perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat
umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan
26
sebagaimana
dilakukan
terpidana,
mereka
akan
mengalami hukuman yang serupa (generate preventive)
b) Memperbaiki Pribadi Terpidana
Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan
selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal
sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan
kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik
dan berguna.
c) Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya
Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati,
sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan
dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup.
3) Teori Gabungan (verenigings theorien)
Menurut Van Bemelen teori gabungan adalah pidana
bertujuan
masyarakat
membalas
kesalahan
dan
mengamankan
tidaklah
bermaksud
mengamankan
dan
memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan, keduanya
bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana
ke dalam kehidupan masyarakat. Teori gabungan dibagi
menjadi tiga yaitu: menitik beratkan unsur pembalasan;
menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat; menitik
beratkan pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat
(Van Bemelen dalam Andi Hamzah, 1993: 31-33).
Jadi tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana
adalah untuk melindungi dan juga memelihara ketertiban hukum
guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat
sebagai satu kesatuan. Hukum pidana tidak hanya melihat
penderitaan korban atau penderitaan terpidana, tetapi melihat
ketenteraman masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh (Leden
Marpaung, 2008: 5)
27
e. Jenis-Jenis Pidana
Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
sesuai Pasal 10, sanksi pidana terdiri dari:
a. Pidana pokok, antara lain:
1. Pidana mati;
2. Pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Denda;
5. Pidana Tutupan
b. Pidana tambahan, antara lain :
1. pencabutan beberapa hak tertentu
2. perampasan beberapa barang tertentu
3. pengumuman putusan hakim.
Berikut penjelasan dari jenis-jenis pidana yang dimuat
dalam Pasal 10 KUHP
1) Pidana Pokok
a) Pidana Mati
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, pidana mati termasuk urutan pertama jenis
dari pidana pokok yang dalam prakteknya undangundang
masih
memberikan
alternatif
dengan
hukuman seumur hidup atau penjara selamalamanya dua puluh tahun (Pasal 340 KUHP).
Menurut (Waluyadi,2003:179), di dalam Pasal 2
sampai Pasal 16 Undang-Undang No.2 Pnps Tahun
1964, secara garis besar memuat tata cara tentang
pelaksanaan hukuman mati. Di antara ketentuan
yang terpenting adalah:
(1) Dalam waktu tiga puluh hari, sebelum
pelaksanaan hukuman mati, wajib diberitahukan
kepada terdakwa tentang pelaksanaannya
hukuman mati tersebut, oleh pihak yang diberi
kewenangan untuk itu (Jaksa Tinggi atau Jaksa).
(2) Bagi terdakwa yang kebetulan wanita, dalam
keadaan hamil, maka pelaksanaan hukuman
mati harus ditunda sampai lahirnya bayi yang
dikandungnya.
28
(3) Tempat dilaksanakannya hukuman mati
ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yang
biasanya akan ditentukan menurut wilayah
hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa
tersebut dijatuhi pidana mati oleh hakim.
(4) Pelaksanaan hukuman mati, dilaksanakan oleh
regu tembak yang dipimpin oleh Polisi yang
perwira.
(5) Kepala Polisi di wilayah hukum yang
bersangkutan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan hukuman mati, setelah mendengar
nasihat Jaksa Tinggi atau Jaksa.
(6) Pelaksanaan hukuman mati tidak diperbolehkan
di depan umum.
(7) Setelah selesai pelaksanaan hukuman mati
(ditembak) maka jenazah diserahkan kepada
keluarganya.
(8) Sebelum pelaksanaan hukuman mati (sebelum
ditembak) dalam waktu tiga hari (tiga kali dua
puluh empat jam) pihak yang berwenang (Jaksa
Tinggi atau Jaksa) harus memberitahukan
kepada terdakwa untuk menyampaikan kata-kata
atau pesan terakhir kepada seseorang yang
dianggap penting dan perlu oleh terdakwa.
(9) Setelah pelaksanaan hukuman mati, maka Jaksa
atau Jaksa Tinggi tersebut harus membuat berita
acara tentang pelaksanaan hukuman mati
tersebut yang kemudian diserahkan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang
kemudian harus dicantumkan dalam surat
keputusan.
(10) Kepala Polisi di daerah yang bersangkutan
atau yang ditunjuk (perwira polisi) harus
menghadiri pelaksanaan hukuman mati,
sementara bagi penasihat hukumnya dapat
menghadiri pelaksanaan hukuman mati tersebut
apabila ia menghendaki atau atas permintaan
terpidana.
Berdasarkan Pasal 67, Pasal 244, dan Pasal
263 KUHAP, terhadap putusan (hukuman) mati
dapat
dimintakan
banding,
kasasi
maupun
peninjauan kembali. Di samping upaya hukum
tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 3
29
Tahun 1950 tentang grasi, terhadap pidana mati
diperbolehkan mengajukan grasi kepada Presiden.
b) Pidana Penjara
Pada prinsipnya hukuman penjara ini, baik
untuk
seumur
hidup
maupun
penjara
untuk
sementara waktu, merupakan alternatif dari pidana
mati. (Lamintang, 1988: 69) mendefinisikan bahwa
yang dimaksud dengan hukuman penjara adalah:
"suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana, yang
dilakukan dengan menutup orang tersebut di
dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,
dengan mewajibkan orang itu untuk
mentaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan
yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata
tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut".
Perihal mengenai hukuman penjara telah
diatur dalam Pasal 12 KUHP, yang mengatur:
(1) Pidana penjara seumur hidup atau
sementara.
(2) Lamanya pidana penjara sementara itu
sekurang-kurangnya satu hah dan selamalamanya lima belas tahun berturut-turut
(3) Pidana penjara sementara boleh dijatuhkan
selama-lamanya dua puluh tahun berturutturut dalam hal kejahatan dengan pidana
yang menurut pilihan hakim sendiri boleh
dipidana dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup dan penjara sementara
dan dalam hal masa lima belas tahun itu
dilampaui, sebab pidana ditambah, karena
ada gabungan kejahatan atau karena
berulang melakukan kejahatan atau karena
ketentuan Pasal 52.
(4) Lamanya pidana itu sekali-kali tidak boleh
lebih dari dua puluh tahun.
Jika berpedoman pada Pasal 12 KUHP
tersebut,
maka
seseorang
dapat
dipidana
30
sehubungan
dengan
kejahatan
yang
telah
dilakukannya berkisar antara satu hari sampai
dengan dua puluh tahun. Satu hari menurut hukum
adalah serentetan waktu selama 24 (dua puluh
empat) jam dan satu bulan berarti 30 (tiga puluh)
hari (Pasal 97 KUHP).
c) Pidana Kurungan
Perihal mengenai hukuman kurungan ini
telah diatur dalam Pasal 18 KUHP, yang mengatur:
(1) Lamanya pidana kurungan sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya
satu tahun.
(2) Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya
satu tahun empat bulan dalam hal hukuman
melebihi satu tahun, sebab ditambah karena
ada gabungan kejahatan, karena berulang
melakukan kejahatan atau karena ketentuan
Pasal 52.
(3) Pidana kurungan tidak boleh lebih lama dari
satu tahun empat bulan.
Hukuman kurungan ialah hukuman yang
dijatuhkan di dalam penjara, sama halnya dengan
hukuman
penjara.
Namun
terdapat
beberapa
perbedaan yang membedakannya dengan hukuman
penjara, antara lain:
(1) Hukuman penjara dapat dijalankan di dalam
penjara mana saja, sedangkan hukuman
kurungan dijalankan di daerah di mana
terhukum bertempat tinggal waktu hukuman
itu dijatuhkan.
(2) Orang yang dipidana hukuman kurungan,
pekerjaannya lebih ringan daripada orang
yang dipidana hukuman penjara.
31
(3) Orang
yang
kurungan
dipidana
dapat
dengan
memperbaiki
pidana
nasibnya
dengan biaya sendiri menurut peraturan
yang akan ditetapkan dalam perundangundangan (Pasal 23 KUHP).
(4) Masa waktu terpendek secara umum bagi
hukuman kurungan adalah satu hari dan
selama-lamanya satu tahun, dan dapat
ditambah menjadi satu tahun empat bulan
dalam hal gabungan delik, berulang kali
melakukan delik, dan bilamana waktu
melakukan
delik
tersebut
menyertakan
bendera Republik Indonesia, maka ditambah
sepertiganya (Pasal 52 KUHP).
d) Pidana Denda
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) bahwa hukuman denda yang
merupakan urutan keempat dari pidana pokok, tidak
selalu berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan
alternatif dari pidana penjara, pidana kurungan.
(Waluyadi, 2003: 202) mengatakan, menurut
KUHP maupun di dalam undang-undang yang
lainnya, dapat disimpulkan bahwa hukuman denda
mengalami posisi sebagai berikut:
(1) Hukuman denda itu merupakan hukuman
utama dengan tidak memberikan jenis
pidana lain untuk mengganti pidana denda.
(2) Hukuman denda merupakan hukuman
alternatif, sementara pidana utamanya
adalah pidana kurungan.
(3) Pidana denda juga merupakan jenis pidana
alternatif dari pidana penjara.
32
(4) Hukuman denda itu merupakan pidana
utama, sementara oidana kurungan sebagai
alternatif.
(5) Denda itu dijatuhkan berbarengan dengan
pidana penjara.
(6) Pidana denda yang dijatuhkan bersama
dengan pidana kurungan, sesuai daiam Pasal
406, Pasal 489, Pasal 529, dan Pasal 532
KUHP.
(7) Mengenai penjatuhan hukuman denda yang
terpisah dan atau disatukan dengan jenis
hukuman yang lainnya.
2) Pidana Tambahan
a) Pencabutan beberapa hak tertentu.
Hal-hal yang menyangkut pidana tambahan
berupa cencabutan beberapa hak tertentu, di dalam
KUHP telah diatur aalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal
37, dan Pasal 38 KUHP. Pencabutan tentang
beberapa hak tertentu yang tertuang dalam Pasal 10
KUHP penjatuhannya oleh hakim tidak dapat
dijatuhkan secara terpisah (tidak dapat dipisahkan)
dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya, apabiia
hakim
hendak
menjatuhkan
pidana
berupa
pencabutan beberapa hak tertentu, seorang hakim
harus
menyertakan
di
dalamnya
pencabutan
beberapa hak tertentu bersama dengan pidana pokok
Dari uraian tersebut terlihat secara garis
besar bahwa apapun jenis kejahatannya maupun
pelanggarannya,
hakim
dapat
sekaligus
menyertakan pidana tambahan berupa pencabutan
beberapa hak tertentu. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari (Waluyadi, 2003: 213), dengan
mengatakan:
"Undang-Undang ternyata tidak menjelaskan
secara limitatif tentang kriteria yang dapat
33
dipedomani oleh hakim sehingga ia
menyertakan pidana tambahan berupa
pencabutan beberapa hak tertentu. Dalam
arti, apakah seluruh kejahatan dan
pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP
dapat dikenakan pidana tambahan tersebut,
di samping pidana pokoknya."
Lebih lanjut Waluyadi menjelaskan, undangundang hanya menjelaskan dalam Pasal 128 KUHP,
bahwa:
(1) Jika pidana karena kejahatan yang
diterangkan dalam Pasal 104 dapat dijatuhi
pidana pencabutan hak-hak tersebut pada
Pasal 35, ke-1 sampai dengan ke-5;
(2) Pada waktu menjatuhkan pidana salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
106-108, Pasal 110-125, maka dapat
dijatuhkan pula pidana pencabutan hak-hak
tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan
ke-5;
(3) Pada waktu menjatuhkan pidana sebab
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 127
maka yang bersalah dapat dipecat dari
jabatan yang dijalankan pada waktu
melakukan kejahatan itu, dari hak yang
tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan
ke-4 dan dapat pula diperintahkan supaya
putusan hakim diumumkan.
Jika
pembuat
undang-undang
tidak
menjelaskan
dan
menegaskan
bahwa
hanya
kejahatan-kejahatan seperti tersebut dalam Pasal
104, Pasal 106-108, dan Pasal 110-125 KUHP
sementara pasal di luar itu tidak ditegaskan untuk
tidak dibebani pidana tambahan berupa pencabutan
beberapa hak tertentu, akan memberikan pengertian
bahwa jenis pidana tersebut dapat di mungkinkan
untuk dijatuhkannya. Jika demikian yang terjadi,
maka akan kembali kepada keyakinan hakim.
Dalam arti, apakah sesuatu kejahatan itu perlu
34
dijatuhi
pidana
tambahan
berupa
pencabutan
beberapa hak tertentu atau tidak sangat tergantung
kepada penilaian hakim.
b) Perampasan Beberapa Barang Tertentu.
Secara sederhana dapat diketahui bahwa
perampasan barang adaiah pengaiihan kekuasaan
atas barang untuk kepentingan hukum. Istilah lain
dari kata perampasan barang ini dapat kita temukan
di dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) yang dikenal dengan penyitaan yaitu
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya
benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian
dalam penyelidikan, penuntutan, dan peradilan
(Pasal 1 ke-16 KUHAP).
Mengacu pada KUHP dan KUHAP akan
memberikan
penafsiran
yang
berbeda
daiam
memberikan dua jenis fungsi dan maksud dari
penyitaan itu. Menurut KUHAP, penyitaan akan
dilaksanakan oleh penyidik (penyidik Polri dan atau
penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
yang
diberi
kewenangan untuk itu) guna kepentingan proses
peradilan (penyidikan, penuntutan, peradilan: sidang
pengadilan), atau dengan kata lain bahwa maksud
dari penyitaan dalam KUHAP adalah untuk
kepentingan pembuktian.
Berbeda
dengan
KUHAP,
penyitaan
menurut KUHP adalah demi untuk kepentingan
Negara yang dinyatakan dengan keputusan hakim
sebagai hukuman tambahan di samping hukuman
35
pokok. Ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal
39 KUHP, yang mengatur:
(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh
dengan kejahatan atau yang dengan sengaja
telah dipakainya untuk mengerjakan
kejahatan, boleh dirampas.
(2) Jika seseorang dipidana karena melakukan
kejahatan tiada dengan sengaja atau karena
melakukan
pelanggaran,
boleh
juga
dijatuhkan pidana rampasan itu dalam hal
yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Pidana rampasan itu boleh juga dijatuhkan
atas orang yang bersalah yang diserahkan
kepada pemerintah, tetapi hanyalah tentang
barang yang sudah disita.
Pasal 39 KUHP tersebut merupakan asas
umum dari penyitaan, yang menerangkan bahwa
pada dasarnya barang-barang yang dapat disita dan
penyitaannya harus berbarengan dengan dijatuhi
hukuman pokok meliputi:
(1) Benda yang diperoleh dari kejahatan;
(2) Benda yang dipakai untuk melakukan
kejahatan;
(3) Benda yang dipakai untuk melakukan
kejahatan karena tidak sengaja dan atau
karena
melakukan
pelanggaran
melalui
undang-undang.
c) Pengumuman Putusan Hakim
Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa
semua putusan pengadilan sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka
untuk umum. Ketentuan ini, dalam hukum acara
pidana sering disebut sebagai asas-asas umum
pemeriksaan sidang pengadilan.
36
Di samping ketentuan Pasal 195 KUHAP
yang menegaskan agar semua putusan diucapkan
dalam situasi sidang yang terbuka jntuk umum,
maka dalam permulaan sidang pun disyaratkan
nendaknya dllaksanakan dengan terbuka untuk
umum serta menggunakan bahasa Indonesia yang
dapat
dimengerti
oleh
terdakwa
atau
saksi,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 153
KUHAP yang menentukan bahwa:
(1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152
pengadilan bersidang.
(2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan
disidang pengadilan yang dilakukan secara lisan
dan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti
oleh terdakwa dan saksi.
(3) la wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal
atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan
terdakwa atau saksi memberikan jawaban yang
tidak bebas.
(4) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua
sidang dapat menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau
terdakwa anak-anak.
(5) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan
ayat 3 menyebabkan batalnya putusan demi
hukum.
(6) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa
anak yang belum mencapai umur tujuh belas
tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
2. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pemerasan
a. Tindak Pidana Pemerasan Menurut KUHP
Kata ‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar ‘peras’ yang bisa bermakna leksikal ‘meminta uang dan jenis
lain dengan ancaman (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002:
855). Dalam Black’s
Law
Dictionary (2014:
180),
lema blackmail diartikan sebagai a threatening demand made
37
without justification. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu
perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum
seperti
tekanan
atau
paksaan.
Pemerasan
(Belanda: afpersing; Inggris: blackmail), adalah satu jenis tindak
pidana umum yang dikenal dalam hukum pidana Indonesia.
Spesifik tindak pidana ini diatur dalam Pasal 368 KUHP. Dalam
struktur KUHP, tindak pidana pemerasan diatur dalam satu bab
yaitu Bab XXIII bersama tindak pidana pengancaman. Karena itu
kata afpersing sering digabung dengan kata afdreiging yang diatur
Pasal 369 KUHP.
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara tidak sah, memaksa orang lain
dengan kekerasan dan ancaman kekerasan supaya orang itu
menyerahkan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian saja
adalah kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang
itu membuat utang atau menghapuskan suatu piutang, ia pun
bersalah melakukan tindak pidana seperti yang ada pada Pasal 368
KUHP
yang
dikualifikasikan
sebagai
“afpersing”
atau
“pemerasan” (R.Subekti, 2005:7).
Tindak pidana pemerasan merupakan kejahatan terhadap
harta benda yang diatur dalam Buku II KUHP dalam Bab XXIII.
Kejahatan pemerasan di dalam bentuknya yang pokok diatur di
dalam Pasal 368-371 KUHP. Pasal 368 merumuskan pengertian
tentang tindak pidana pemerasan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau
sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan
hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena
pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”.
Pemerasan hampir mirip
dengan pencurian dengan
kekerasan (Pasal 365 KUHP). Hubungan kedua Pasal juga erat
38
karena ayat (2) Pasal 368 menyebutkan terhadap Pasal ini berlaku
juga rumusan ayat 2 sampai 4 Pasal 365 KUHP. Pada kedua jenis
tindak pidana ini, sama-sama ada unsur pemaksaan dan
pengambilan barang milik orang lain.
Menurut Andi Hamzah (2009: 84), perbedaannya terletak
pada ada tidaknya interaksi pelaku dengan korban. Pada tindak
pidana pemerasan, ada semacam ‘kerjasama’ antara pelaku dengan
korban karena korban sendiri yang menyerahkan barang walau
dengan paksaan. Sebaliknya, pada pencurian dengan kekerasan,
pelaku mengambil sendiri barang tersebut tanpa diketahui
pemiliknya.
Pemerasan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
orang atau lembaga dengan melakukan perbuatan yang menakutnakuti dengan suatu harapan agar yang diperas menjadi takut dan
menyerahkan sejumlah sesuatu yang diminta oleh yang melakukan
pemerasan, jadi ada unsur takut dan terpaksa dari yang diperas
(http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=nl&u=http://www.
elfri.be/Strafrecht/afpersing.htm&ei=AjlfSunEGI2pkAWXobyoCg
&sa=X&oi= Diakses Tanggal 4 Desember 2015) .
Di dalam Pasal 368 KUHP mengandung unsur-unsur dari
tindak pidana pemerasan, yaitu:
1) Perbuatan
2) memaksa orang lain
3) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
4) menyerahkan barang kepada si pemeras
Dari keempat unsur pokok ini dapat kita simpulkan bahwa
pemerasan adalah suatu perbuatan dimana si pelaku harus
mengadakan suatu upaya pemaksaan agar si korban mau
menyerahakan sendiri objek yang ingin dikuasai oleh si pemeras.
39
Korban yang di desak oleh perasaan takut dan terpaksa akan
dengan spontan memberikan barang yang awalnya ada pada
penguasaannya.
Terlebih
apabila
cara
yang
dilakukan
menggunaakaan kekerasan yang akan menimbulkan efek takut
yang lebih besar kepada korban. Di sini perbedaan antara
pemerasan dan pencurian terlihat jelas, dimana pada pencurian
terkadang si korban tidak tahu atau tidak menyadari bahwa
barangnya telah diambil oleh orang lain, namun dalam tindak
pidana pemerasan terdapat ironi tersendiri dimana si korban harus
menyerahkan sendiri dengan tangannya barang yang ia miliki
kepada pemerasnya.
Secara spesifik KUHP sendiri tidak memiliki Pasal yang
mengatur tentang Tindak Pidana Pemerasan dengan menyebarkan
foto yang bermuatan konten pornografi. KUHP hanya mengatur
tentang pemerasan dalam Pasal 368 KUHP dan pengancaman
dalam Pasal 369 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan
ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya
memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”
b. Tindak Pidana Pemerasan menurut Undang-Undang Nomor
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tindak
pidana
pemerasan
sebagaimana
diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik BAB VII perbuatan yang dilarang
sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak
pidana pemerasan (afpersing) dan tindak pidana menakut-nakuti
atau pengancaman (afdreiging).
Di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, tindak pidana pemerasan
40
dikategorikan sebaagai cybercrime. Pada dasarnya cybercrime
meliputi semuatindak pidana yang berkenaan dengan sistem
informasi, sistem informasi (information system) itu sendiri, serta
system komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian
atau
pertukaran
informasi
kepada
pihak
lainnya
(transmitter/originator to reciptient) (Didik M Arief Mansyur dan
Elistaris Ghultom, 2005: 10)
Berdasarkan
beberapa
literature
serta
prakteknya,
cybercrime memilliki karakteristik yaitu:
1) Perbuatan yang dilakukan secara illegal tanpa hak atau
tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber
(cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi
Negara mana yang berlaku terhadapnya.
2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan
peralatan apapun yang terhubung dengan internet.
3) Perbutan tersebut mengakibatkan kerugian materiil
maaupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga
diri, martabat kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih
besar dibaandingkan dengan kejaahatan konvensional.
4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan
internet beserta aplikasinya.
5) Perbuatan
tersebut
sering
dilakukan
secara
transnasional/melintasi batas Negara (Abdul Wahid dan M.
Labib, 2005: 76).
Sesungguhnya banyak perbedaan di antara para ahli dalam
mengklasifikasikan
kejahatan
komputer
(computer
crime).
Ternyata dari klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam
beberapa hal. Untuk memudahkan klasifikasi kejahatan komputer
(computer crime) tersebut, maka dari beberapa klasifikasi dapat
disimpulkan (Andi Julia, 2006: 71):
1) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi
komputer.
2) Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau
software komputer.
3) Pemakaian fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang
untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan
tujuan pengelolaan atau oprasinya.
41
4) Tindakan-tindakan yang menggagu operasi komputer
5) Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang
berhubungan dengan komputer atau sarana penunjang
Menurut RM Roy Suryo Kasus-kasus cybercrime yang
banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis berdasarkan
modusnya, yaitu (Majalah Warta Ekonomi No. 9, 5 Maret 2001:
12):
1) Pencurian nomor kartu kredit.
Penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain di internet
merupakan kasus cybercrime terbesar yang berkaitan
dengan dunia bisnis internet di Indonesia. Penyalahgunaan
kartu kredit milik orang lain memang tidak rumit dan bisa
dilakukan secara fisik atau on-line . Nama dan kartu kredit
orang lain yang diperoleh di berbagai tempat (restaurant,
hotel, atau segala tempat yang melakukan transaksi
pembayaran dengan kartu kredit) dimasukkan di aplikasi
pembelian barang di internet.
2) Memasuki, memodifikasi, atau merusak homepage
(Hacking).
Tindakan hacker Indonesia belum separah aksi di luar
negeri. Perilaku hacker Indonesia baru sebatas masuk ke
suatu situs komputer orang lain yang ternyata rentan
penyusupan dan memberitahukan kepada pemiliknya untuk
berhati-hati. Di luar negeri hacker sudah memasuki sistem
perbankan dan merusak data base bank
3) Pencemaran nama baik, pemerasan, penyebar berita bohong
melalui internet.
4) Penyerangan situs atau e-mail melalui virus atau spamming
Modus yang paling sering terjadi adalah mengirim virus
melalui e-mail. Menurut RM Roy M. Suryo, di luar negeri
kejahatan seperti ini sudah diberi hukuman yang cukup
berat. Berbeda dengan di Indonesia yang sulit diatasi
karena peraturan yang ada belum menjangkaunya.
Dasar hukum atau ketentuan hukum dari tindak pidana
pemerasan menurut hukum positif telah diatur dalam Pasal 27 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang berbunyi:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikandan/atau
mentransmisikan
dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
42
dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman”
.
Setiap perbuatan pemerasan/pengancaman pada dasarnya
dapat
dipidana
berdasarkan
hukum
di
Indonesia.
Pemerasan/pengancaman melalui internet pada prinsipnya sama
dengan pemerasan/pengancaman secara konvensional. Yang
membedakan hanya sarananya yakni melalui media internet.
Ancaman mengunggah video pribadi termasuk foto pribadi ke
media sosial ditengarai merupakan modus baru dalam pemerasan
di era digital saat ini.
Sebagaimana umumnya Undang-Undang di luar KUHP
yang mengatur perbuatan dengan sanksi pidana, dalam UU ITE
perumusan perbuatan dan sanksi pidana juga dicantumkan secara
terpisah. Semua perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 sampai
Pasal 35 di atas, diancam dengan sanksi pidana dalam Pasal 45-52
(Akbar Kurnia Putra, 2014:12)
Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 berbunyi:
“Setiap
orang
dengan
sengaja
dan
tanpa
hak
mendistribusikandan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman”
Ketentuan Pasal 27 UU ITE mensyaratkan perbuatan
mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan
sengaja dan tanpa hak (Pasal 303 KUHP), penghinaan atau
pencemaran nama baik (Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP), dan
pemerasan atau pengancaman (Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP).
Perumusan perbuatan dalam Pasal 27 UU ITE pada dasarnya
43
merupakan reformulasi tindak pidana yang terdapat dalam pasalpasal KUHP tersebut (Sylverio Chris Talinusa. 2015: 04).
Perumusan
ketentuan
Pasal
27
ayat
(4)
yang
menggabungkan tindak pidana pemerasan dengan pengancaman
dalam satu ketentuan tetap menimbulkan masalah karena kedua
tindak pidana tersebut jenis deliknya berbeda. Ketentuan tindak
pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP
adalah delik biasa sedangkan tindak pidana pengancaman dalam
Pasal 369 KUHP adalah delik aduan (Sigit Suseno. 2012: 166).
Ketentuan
Pasal
27
UU
ITE
mensyaratkan
perbuatan
mendistribusikan, mentransformasikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya konten yang dilarang tersebut dilakukan dengan
sengaja dan tanpa hak (Asri Sitompul. 2001:73).
Untuk ketentuan pidana, Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Trasaksi Elektronik juga telah
mengaturnya, yaitu:
Pasal 29 yang berbunyi:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi
ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara
pribadi”.
Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain
dengan cara apapun.
Tindak pidana pemerasan ( Extortion ) dari analisa di atas
diperberat pada BAB XI Ketentuan Pidana UU ITE:
Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan
pidana
penjara
paling
lama
6
44
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 45 ayat (3) yang berbunyi :
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua
belas)
tahun
dan/atau
denda
paling
banyak
Rp2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah )”.
Pasal 46 ayat (3) yang berbunyi:
“Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama
8
(delapan)
tahun
dan/atau
denda
paling banyak
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah )”
c. Pornografi
dalam
Tindak
Pidana
Pemerasan
menurut
Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi
Undang-Undang yang secara tegas mengatur mengenai
pornografi adalah UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU
Pornografi). Pengertian pornografi menurut pasal 1 ayat (1) UU
Pornografi adalah:
Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau
bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 mengatur larangan
perbuatan
memproduksi,
menggandakan,
membuat,
menyebarluaskan,
memperbanyak,
menyiarkan,
mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
45
e.
f.
alat kelamin; atau
pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44 tahun 2008 tentang Pornografi
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak
termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto
yang sering terjadi saat ini menggunakan foto sebagai alat untuk
menguntungkan pribadinya sendiri atau orang lain. Foto yang
digunakan adalah foto yang mengandung muatan pornografi.
Antara tindak pidana pemerasan denga penyebaran foto yang
bermuatan pornografi merupakan 2 (dua) tindak pidana yang
berbeda yang bisa dikategorikan sebagai gabungan tindak pidana.
Gabungan tindak pidana atau Samenloop van strafbare feiten
dibedakan menjadi :
1) Eendaadse Samenloop atau Concursus Idealis
Gabungan satu perbuatan (eendaadse samenloop atau
concursus idealis). Disebutkan dalam peraturan Pasal 63
KUHP. Jenis concursus ini terjadi apabila seorang melakukan
satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana
itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana
(perbarengan peraturan). Contohnya: A ingin membunuh B
yang sedang duduk dibelakang kaca, pada saat ingin
membunuh B, si A dengan tanpa sadar ikut memecahkan kaca
tersebut. (Fuad Usfah, Moh. Najih, Tongat, 2004:119-120).
Satu perbuatan A (membunuh) ini memenuhi 2
rumusan ketentuan pidana yaitu: Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan dan Pasal 406 KUHP tentang pengrusakan
barang. Konstruksi pasal 63 KUHP mempersyaratkan bahwa
beberapa perbuatan itu tidak dapat dipisahpisahkan tanpa
melenyapkan yang lain.
Simons
2011:673).
berpendapat: (Simons
dalam
Lamintang,
46
“Apabila tertuduh itu hanya melakukan satu perilaku
terlarang dan dengan melakukan perilaku tersebut,
perilakunya itu ternyata telah memenuhi rumusanrumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan
perkataan lain apabila dengan melakukan satu perilaku
itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak
pidana, maka di situ terdapat apa yang disebut
eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun
apa yang oleh Profesor HAMEL juga telah disebut
sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan
ketentuan-ketentuan pidana”.
Menurut Simons, apabila seorang tertuduh itu telah
melakukan satu perilaku yang terlarang, dan perilakunya itu
ternyata telah menimbulkan beberapa akibat yang sejenis atau
gelijksoortig, maka di situ terdapat apa yang disebut
gelijsoortige
samenloop
atau
suatu
concursus
idealis
homogenius (Simons dalam Lamintang, 2011:67).
Seperti yang disebut eendaadse samenloop atau
concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas,
oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 63
ayat 1 KUHP yang rumusannya:
“Val teen feit in meer dan eene strafbepalingen, dan
wordt slecht eene dier bepalingen toegepast, bij
verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.
Apabila suatu perilaku itu termasuk kedalam lebih dari
pada satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu
dari ketentuan-ketentuan pidana tersebut yang
diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka
yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang
mempunyai ancaman hukuman pokok yang terberat
(Lamintang, 2011:77).
Tim penerjemah Badan Pembina Hukum Nasional
Departemen Kehakiman (Lamintang, 2011: 78) telah
menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat (1) KUHP tersebut
dengan rumusan sebagai berikut : “Jika suatu perbuatan masuk
kedalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanyalah salah satu dari diantara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda, maka yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat”
2) Meerdaadse Samenloop atau Concursus Realis
47
Apa
yang
disebut
meerdaadse
samenloop
atau
concursus realis ataupun apa yang oleh van Hamel (van Hamel
dalam Lamintang, 2011: 96) juga disebut sebagai samenloop
van delikten itu, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di
dalam Pasal-Pasal 65 sampai dengan 71 KUHP.
Rumusan Pasal 65 KUHP sebagai berikut :
Bij samenloop van meerdere faiten die als op zich zelve
staande handelingen moeten worden beschouwd en
meerdere misdrijven opleveren waarop gelijksoortige
hoofdstaffen zijn gesteld, wordt eene staft uitgesproken;
Yang artinya :
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat
dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri
sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya
beberapa kejahatan yang telah diancam dengan
hukuman-hukuman pokok yang sejenis, maka
dijatuhkan hanya satu hukuman;
Rumusan dari Pasal 66 KUHP sebagai berikut :
Bij samenloop van meerdere feiten dia als op zich zelve
staande handelingen moeten worden beschouwd en
meerdere misdrijven opleveren waarop ongelijksoortige
hoofdstraft zijn gesteld, wordt elke dier straffen
uitgesproken, doch mogen te zamen in duur de
langstdurende met niet meer dan een derde overtreffen;
yang artinya :
Pada gabungan dari beberapa perilaku yang dapat
dipandang sebagai tindakan-tindakan yang berdiri
sendiri-sendiri dan yang telah menyebabkan terjadinya
beberapa kejahatan yang telah diancam dengan
hukuman-hukuman pokok yang tidak sejenis, maka
dijatuhkan bagi tiap-tiap tindakan itu satu hukuman,
akan tetapi lamanya hukuman tersebut secara bersamasama tidaklah boleh melebihi lamanya hukuman yang
terberat ditambah dengan sepertiganya;
Tim penerjemah Wetboek van Straftrecht dari Badan
Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah
48
menerjemahkan rumusan Pasal 65 ayat 1 KUHP di atas dengan
perkataan-perkataan:
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri
sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan
hanya satu pidana;
Sedangkan rumusan dari Pasal 66 ayat 1 KUHP itu
telah diterjemahkan dengan rumusan :
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang
masingmasing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri
sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam
dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dijatuhkan
pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga;
Apabila di dalam suatu jangka waktu tertentu,
seseorang telah melakukan lebih dari pada satu perilaku yang
terlarang, dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang
bersangkutan belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan,
karena salah satu dari perilaku-perilaku yang telah dilakukan.
Apabila di dalam jangka waktu seperti dimaksudkan diatas,
orang terebut pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena
salah satu dari perilaku-perilaku yang telah ia lakukan, maka
orang tidak dapat lagi berbicara mengenai adanya suatu
samenloop,
melainkan
mungkin
saja
mengenai
suatu
pengulangan atau suatu recidive seperti yang dimaksudkan di
dalam Bab ke-XXXI dari Buku ke-2 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Selanjutnya Simons juga berpendapat, apabila tertuduh
telah melakukan lebih daripada satu perilaku yang terlarang,
dan dengan melakukan perilaku-perilaku tersebut tertuduh telah
melakukan lebih daripada satu tindak pidana, maka dari situ
terdapat apa yang disebut meerdaadse samenloop atau
concursus realis ataupun apa yang oleh van HAMEL juga telah
49
disebut sebagai samenloop van delikten (Simons dalam
Lamintang, 2011: 74).
Berkaitan dengan penerapan pidana dalam kasus
perbarengan, dikenal ada tiga stelsel (Fuad Usfah, Moh. Najih,
Tongat, 2004:121):
a) Stelsel absorpsi
Dalam hal ini apabila ada beberapa ketentuan pidana
yang harus diterapkan, hanya yang ketentuan yang
paling berat yang diterapkan (pidana dalam ketentuan
yang lain dianggap telah absorp/diserap oleh ketentuan
yang paling berat). Dalam KUHP, stelsel ini dipakai
dalam hal terjadi eendaadse samenloop/concursus
idealis dan voortgezette handeling.
b) Stelsel komulasi
Dalam hal ini untuk tiap perbuatan pidana dijatuhkan
pidana secara tersendiri untuk kemudian dijumlahkan
(dalam hal meerdaadse samenloop untuk dianut oleh
KUHP).
c) Stelsel komulasi terbatas
Dalam hal ini pidana yang dijumlahkan tidak boleh
melebihi batas maksimal ancaman pidana yang terberat
dengan suatu prosedur tertentu. Dalam KUHP stelsel ini
dipakai dalam hal terjadinya meerdaadse samenloop
(concursus realis) Pasal 65 KUHP. Dengan catatan
penjumlahan pidana tidak melebihi ancaman terberat
ditambah sepertiganya.
3) Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan
beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri.
Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian
eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus
dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam
pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem
absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut?
Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut
tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa
perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik,
50
tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolaholah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons (Simons dalam Lamintang,
2011:79) mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang
tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam
pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan
dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64
KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66
KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang
dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan
sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang
dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu,
Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian
terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a) Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai
perwujudan dari satu kehendak jahat;
b) Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c) Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan
tersebut tidak terlampau lama (Lamintang, 2011: 80)
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu
kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/
culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam
hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan
mengenai cakupan dari sau kehendak jahat tersebut.
d. Asas Lex Specialist Derogat Lex Generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang
khusus akan menggesampingkan aturan hukum yang umum.
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis
derogat legi generalis:
1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum
umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam
aturan hukum khusus tersebut.
2) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan
ketentua-ketentuan lex generalis (Undang-Undang dengan
Undang-Undang).
3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam
lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis
(http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-
51
puu/421harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html,
diakses 11 Januari 2016).
Dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 103 KUHP
terkandung asas lex specialis derogat legi generali secara tersirat
yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus
(specialis)
mengesampingkan
aturan
yang
bersifat
umum
(general).
Di dalam Pasal 63 ayat (2) berbunyi:
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Di dalam Pasal 103 KUHP berbunyi:
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini
juga berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-udangan lainnya diancam dengan
pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Sebagai asas yang mengatur penggunaan kewenangan,
dilihat dari teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas “lex
specialis derogat legi generali” merupakan asas hukum yang
menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya,
persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan
tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan
atauran main (game rules) dalam penerapan hukum. Dalam hal ini,
asas ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum apakah suatu
peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”.
Sementara, yang “ini” atau “itu” tersebut ditentukan oleh manakah
aturan diantara aturanaturan tersebut yang bersifat umum,
sedangkan manakah aturan-aturan yang lain yang bersifat khusus
(http://raspati.blogspot.com/2008/03/tinjauanyuridis-penerapanasas-lex.html>. Diakses 26 April 2016 pukul 15.00 WIB).
52
Selanjutnya penulis akan membahas mengenai salah satu
kasus tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto
yang telah dijatuhi putusan oleh Pengadilan Negeri Magelang
dengan nomor putusan 50/Pid.B/2015/PN Mgg. Terdakwa telah
diputus bersalah melakukan tindak pidana pemerasan dengan
modus menyebarkan foto. Dalam kasus ini terdakwa melakukan
pemerasan teradap korbannya dengan menggunakan foto korban
yang tidak mengenakan busana atau dapat dikatakan bermuatan
pornografi. Karena korban merasa tertekan karena ancaman
tersebut, akhirnya korban menyetujui untuk mengirim uang
sebesar Rp 30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah) kepada tersangka.
Namun tersangka ternyata tetap menyebarkan foto korban.
Terdakwa karena perbuatannya didakwa dengan dakwaan alternatif
yaitu Pasal 368 KUHP, Pasal 369 ayat (1) KUHP atau Pasal 27
ayat (1), (2) Jo. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selanjutnya penulis akan mencoba mengkaji perbuatan terdakwa
tersebut berdasarkan Pasal-Pasal yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum.
Selanjutnya penulis akan mengkaji mengenai perbuatan
terdakwa berdasarkan Pasal 27 ayat (4) Jo. Pasal 45 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
53
a. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Pemerasan
Dilakukan dengan modus menyebarkan foto
Pengaturan dan Penerapan
Sanksi
Putusan Nomor
50/Pid.B/2015/PN Mgg
Apakah penjatuhan pidana terhadap
tindak pidana pemerasan dengan
menyebarkan foto sudah tepat?
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan Bagan Kerangka Pikiran :
Tindak pidana pemerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara
salah satunya dengan menggunakan modus menyebarkan foto yang tidak
mengenakan busana atau bermuatan pornografi melalui media elektronik
maupun media sosial. Modus ini biasanya digunakan sebagai alat untuk
memudahkan memeras sejumlah uang kepada korbannya. Dimana
pengaturan tindak pidana pemerasan diatur dalam Pasal 368 KUHP namun
54
tidak dijelaskan secara rinci juga dalam Pasal tersebut terkait alat yang
digunakan atau sarana yang digunakan. Selain KUHP tindak pidana
pemerasan dengan modus meyebarkan foto diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam
Pasal 27 ayat (4). Tindak Pidana Pemerasan dalam penelitian ini lebih
mengacu pada permasalahan, penggunaan sarana atau media yang
terdakwa pakai untuk memeras korbannya yakni facebook dan handphone.
Dalam pengaturan tindak pidana ini dalam dunia maya kaitannya dengan
sosial media facebook berhubungan erat dengan adanya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu
Pasal 27 ayat (4) Juncto Pasal 45 ayat (1) yang mengatur mengenai
pegaturan dan sanksinya. Terkait dengan pengaturan sanksi pidana
tersebut, maka kita dapat menganalisis apakah putusan Hakim di
Pengadilan Negeri Magelang berdasarkan putusan yang dikeluarkan
Nomor 50/Pid.B/2015/PN Mgg sudah sesuai dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia dan apakah terdapat gabungan tindak pidana atau
samenloop van strafbare feiten dalam kasus tindak pidana pemerasan
dengan modus menyebarkan foto.
.
Download