TINJAUAN PUSTAKA Hara Mineral Tumbuhan Tumbuhan merupakan organisme yang bersifat autotrof, yang membutuhkan komponen anorganik dari lingkungannya berupa CO2 dari atmosfer dan hara mineral dari tanah. Hara yang dibutuhkan tumbuhan secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu hara organik dan anorganik (hara mineral). Hara organik pada tumbuhan terutama dibutuhkan dalam membentuk senyawa karbon yang dibentuk melalui proses fotosintesis. Akar tanaman menyerap setiap jenis hara mineral dalam bentuk kation dan anion yang terlarut di dalam tanah (Tabel Lampiran 1) (Hopkins 1995). Hara mineral dapat dikelompokkan menjadi hara makro dan mikro, bergantung pada konsentrasi relatif dalam jaringan tumbuhan. Nilai rata-rata konsentrasi hara mineral pada jaringan tumbuhan menunjukkan perbedaan jumlah kebutuhan hara mineral tersebut. Ketersediaan hara makro dan mikro sangat penting karena masing-masing hara memiliki peran yang relatif berbeda (Taiz & Zeiger 1991). Beberapa ahli mengelompokkan hara mineral menurut peran biokimia dan fungsi fisiologisnya (Tabel Lampiran 2). Banyak hara mineral dalam tanah khususnya yang bermuatan positif, seperti kalium (K+), kalsium (Ca2+), dan magnesium (Mg2+) menempel melalui daya tarik listrik ke permukaan partikel tanah yang bermuatan negatif. Sebaliknya, partikel tanah harus membebaskan mineralnya yang terikat ke larutan tanah supaya dapat menyerap nutrien tersebut. Hara mineral yang bermuatan negatif, seperti nitrat (NO3-), fosfat (H2PO4-) dan sulfat (SO42-) umumnya tidak terikat kuat pada partikel tanah sehingga cenderung tercuci lebih cepat. Respirasi seluler pada akar tanaman akan membebaskan CO2 ke dalam larutan tanah, kemudian CO2 tersebut akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Disosiasi asam karbonat ini akan menambahkan ion hidrogen (H+) ke dalam tanah. Ion hidrogen dalam larutan tanah membantu membuat nutrien tertentu menjadi tersedia bagi tanaman dengan cara menggantikan hara mineral bermuatan positif (kation) yang terikat kuat pada permukaan partikel tanah, proses ini disebut pertukaran kation (Gambar 1) (Campbell et al. 2003). Kapasitas 4 Tukar Kation (KTK) merupan sifat kimia yang erat kaitannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan nilai KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dibandingkan tanah yang memiliki nilai KTK rendah (Taiz & Zeiger 1991). Gambar 1 Pertukaran kation dalam tanah (Campbell et al. 2003) Selain hara mineral yang secara alami terkandung di dalam tanah, beberapa jenis hara seperti nitrogen melibatkan mikroorganisme dalam penyediannya di dalam tanah. Proses fiksasi N2 oleh bakteri Rhizobium, Azospirillum, dan Azotobacter serta nitrifikasi oleh Nitrosomonas, Nitrosococcus dan Nitrobacter memungkinkan N2 bebas di atmosfer diubah menjadi NH3 dan selanjutnya diubah menjadi NO3- yang siap diserap oleh tumbuhan. Hara P dan K juga banyak tersedia di dalam tanah sebagai hasil aktivitas bakteri pelarut P dan K (Hopkins 1995). Hara Mineral dalam Menunjang Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kebutuhan hara mineral berubah selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tanaman budidaya, tingkat hara yang diabsorpsi pada fase pertumbuhan tertentu mempengaruhi hasil yang secara ekonomis penting. Untuk mengoptimalkan hasil, petani menggunakan analisis kandungan hara mineral dalam tanah untuk menentukan dosis pemupukan. Analisis tanah dapat menentukan kandungan hara mineral dalam tanah terutama yang berada pada 5 daerah perakaran. Tetapi analisis tanah tidak dapat menggambarkan seberapa banyak hara mineral yang dibutuhkan oleh tumbuhan, demikian juga seberapa banyak yang mampu diabsorpsi oleh tumbuhan. Jadi lebih baik bila analisis tanah disertai juga analisis jaringan tanaman. Analisis jaringan tanaman dibutuhkan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan tanaman atau hasil dengan konsentrasi hara mineral dalam jaringannya. Pada Gambar 2 ditunjukkan bahwa bila konsentrasi hara dalam jaringan rendah, maka pertumbuhan menurun. Pada zona defisiensi (deficiency zone), peningkatan ketersediaan hara mineral secara langsung berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan atau hasil. Bila ketersediaan hara mineral secara kontinyu meningkat, tidak selamanya berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan atau hasil (bahkan pertumbuhan atau hasil menjadi konstan), tetapi akan meningkatkan konsentrasi hara dalam jaringan, daerah tersebut dikenal dengan zona berkecukupan (adequat zone). Transisi antara daerah defisiensi dan adequat pada kurva disebut dengan konsentrasi kritis (critical concentration) dari hara mineral yang dapat diartikan sebagai kandungan hara minimum dalam jaringan yang berhubungan dengan pertumbuhan atau hasil maksimal. Setelah konsentrasi kritis menuju zona adequat terjadi peningkatan pertumbuhan atau hasil yang menyebabkan menurunnya konsentrasi hara dalam jaringan. Bila konsentrasi hara dalam jaringan meningkat setelah zona adequat, pertumbuhan atau hasil menurun dan hal ini disebabkan adanya keracunan hara, daerah ini disebut dengan zona meracun (toxic zone) (Graham dan Stangoulis 2003). Gambar 2 Hubungan antara pertumbuhan atau hasil dengan kandungan hara dalam jaringan tumbuhan (Graham dan Stangoulis 2003). 6 Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik Pemupukan terutama dilakukan untuk menambahkan kandungan hara N, P, K, dan S. Pupuk anorganik (pupuk kimia) telah secara intensif digunakan sejak tahun 1960-an. Penggunaan bibit unggul yang tanggap terhadap pupuk anorganik (Urea, TSP, dan KCl) memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi pertanian. Sejak itu petani pada umumnya menggunakan pupuk anorganik dan mengesampingkan pupuk organik. Pengunaan pupuk anorganik yang relatif lebih mudah serta lebih cepat direspon oleh tanaman menyebabkan banyak petani lebih memilih menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik, misalnya kompos. Kendala lain yang dihadapi dalam penggunaan bahan organik sebagai pupuk dalam pertanian intensif adalah relatif lebih mahalnya biaya tenaga kerja dan transportasi dalam memproduksi pupuk organik tersebut (Bekti dan Surdianto 2001). Tiga faktor yang mendorong meningkatnya perhatian terhadap aplikasi pupuk organik di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, pencabutan subsidi pupuk anorganik oleh pemerintah pada tahun 1998, dan tumbuhnya kesadaran terhadap potensi pencemaran lingkungan melalui penggunaan pupuk kimia (anorganik) yang berlebihan dan tidak efisien (Simanungkalit 2001). Kandungan bahan organik di dalam tanah perlu dipertahankan agar jumlahnya tidak sampai dibawah 2 %, dan hingga sekarang pupuk organik tetap digunakan karena fungsinya belum tergantikan oleh pupuk anorganik. Beberapa manfaat pupuk organik (kompos) antara lain: mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro walaupun dalam jumlah kecil, memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehingga dapat meningkatkan kualitas aerasi, memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Disamping itu kompos juga mengandung asam humik (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan membantu meningkatkan pH pada tanah asam. (Lulakis & Petsas 1995). 7 Pupuk Hayati Pupuk hayati (biofertilizer) merupakan substansi yang mengandung mikroorganisme hidup, bila diaplikasikan pada benih, permukaan tanaman, atau tanah maka dapat memacu pertumbuhan tanaman tersebut (Vessey 2003). Akar tanaman menjadi habitat yang sangat cocok untuk pertumbuhan berbagai mikroorganisme sehingga berbagai macam populasi mikroba dapat ditemukan di sekitar akar tanaman tersebut. Interaksi antara mikroba tanah dengan akar tanaman sangat penting bagi penyediaan nutrisi untuk tanaman maupun mikroba itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya mikroba yang ditemukan di daerah rhizosphere, yaitu lapisan tipis dari tanah yang melekat pada sistem perakaran tanaman (Atlas & Bortha 1998). Komonitas mikroba dapat berperan dalam pertumbuhan tanaman melalui beberapa mekanisme, antara lain: meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara di dalam tanah, meningkatkan kemampuan bersaing dengan patogen akar (Weller et al. 2002), dan meningkatkan serapan unsur-unsur hara oleh tanaman (Smith & Read 1997). Hal ini terkait dengan kemampuan mikroba dalam menghasilkan hormon pertumbuhan (IAA, sitokinin, dan giberelin) yang dapat meningkatkan pertumbuhan rambut-rambut akar sehingga penyerapan air dan hara mineral menjadi lebih efisien (Lerner et al. 2005). Wibowo (2007) melaporkan bahwa penggunaan pupuk hayati (Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas, Bacillus, dan Rhizobium) mampu meningkatkan kandungan hormon IAA rata-rata sebesar 73-159 % pada tanaman caisim, jagung, dan kedelai. Di daerah perakaran (rhizosfer) cukup banyak mikroorganisme yang menguntungkan, mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui peningkatan serapan hara dan mencegah timbulnya penyakit yang berasal dari tanah. Kelompok mikroba yang berperan sebagai pupuk hayati, ada yang bersifat simbiotik (Rhizobium, Bradyrhizobium, Mikoriza) maupun non-simbiotik (Azotobacter, Azospirillum, Bacillus, Pseudomonas) (Tabel Lampiran 3). Berbagai inokulan pupuk hayati telah dikomersialkan di Indonesia, ada yang berupa strain tunggal (mengandung satu strain mikroba) dan ada yang multistrain (mengandung dua atau lebih strain mikroba). Disamping itu dikenal juga inokulan yang mengandung campuran dua atau lebih spesies dengan fungsi yang sama atau 8 berbeda. Inokulan yang mengandung dua atau lebih spesies mikroba dengan fungsi yang berbeda disebut pupuk hayati majemuk. Sebagai contoh dari pupuk semacam ini adalah Rhizoplus dan OST yang mengandung bakteri penambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat (Tabel Lampiran 4) (Simanungkalit 2001). Bakteri Penambat Nitrogen (N) Bakteri penambat nitrogen ada yang hidup bersimbiosis dengan akar tanaman dan ada yang hidup bebas. Rhizobium dan Bradyrhizobium merupakan genus bakteri penambat nitrogen yang hidup bersimbiosis dengan akar tanaman dengan membentuk nodul, terutama famili leguminosae. Bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas dan berinteraksi dengan perakaran tanaman, antara lain: Azospirillum dan Azotobacter. Azospirillum mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati. Bakteri ini banyak dijumpai berasosiasi dengan tanaman jenis rumput-rumputan, termasuk jagung, cantel, dan gandum (Kristanto et al. 2002). Ada tiga spesies Azospirillum yang telah ditemukan dan mempunyai kemampuan sama dalam menambat nitrogen, ialah: Azospirillum brasiliense, A. lipoferum, dan A. amazonense. Keuntungan lain dari bakteri ini, yaitu apabila saat berada di daerah rhizosfer tidak dapat menambat nitrogen, maka pengaruhnya adalah meningkatkan penyerapan nitrogen yang ada di dalam tanah (Sutanto 2002). Pengikatan nitrogen dapat ditunjukkan dengan persamaan kimia berikut, dimana 2 molekul amoniak terbentuk dari 1 molekul gas nitrogen, memerlukan 16 molekul ATP dan suplai elektron serta proton: N2 + 8 H+ + 8 e- + 16 ATP 2 NH3 + H2 + 16 ADP + 16 Pi Reaksi kimia di atas dapat dilakukan oleh organisme prokariotik seperti bakteri, menggunakan kompleks enzim nitrogenase. Reaksi terjadi ketika N2 terikat oleh enzim nitrogenase. Protein Fe akan tereduksi dengan elektron yang diberikan oleh feredoxin. Selanjutnya protein Fe mengikat ATP dan mereduksi protein Mo-Fe, yang memberikan elektronnya pada N2 sehingga menghasilkan NH3 (Gambar 3). 9 Gambar 3 Proses fiksasi nitrogen pada bakteri (Deacon 2006). Bakteri Pelarut Fosfat Kebanyakan tanah di wilayah tropika yang bereaksi asam mengalami kahat hara fosfat. Sebagian besar bentuk fosfat terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada kebanyakan tanah tropika diperkirakan hanya 25% fosfat yang dapat diserap tanaman, dan sekitar 75% diikat partikel tanah. Spesies bakteri, seperti: Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. telah diidentifikasi mampu melarutkan P yang tidak larut menjadi bentuk tersedia bagi tanaman (Atlas & Bortha 1998). Bakteri pelarut fosfat berpotensi meningkatkan ketersediaan fosfat terlarut bagi tanaman, terutama pada tanah yang banyak mengandung endapan fosfor. Bakteri pelarut fosfat melepaskan ikatan fosfat anorganik yang sukar larut dengan mensekresikan sejumlah asam organik. mekanisme tersebut bukan satu-satunya cara untuk melarutkan fosfat. Beberapa bakteri seperti Bacillus amyloliquefaciens, B. subtilis, Klebsiella terigena, Pseudomonas spp, dan Enterobacter sp. dilaporkan mempeunyai aktivitas fitase, suatu enzim golongan fosfomonoesterase yang mampu menghidrolisis polifosfat organik tak larut (fitat) menjadi rangkaian ester fosfat berbobot molekul rendah dari myo-inositol dan fosfat yang penting untuk prokariot dan eukariot (Idriss et al. 2002). 10 Hasil penelitian Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens. dan P. putida. mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50 %, sedangkan pada tanah basa mampu meningkatkan P terekstrak sebesar 10 %. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifitas bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P, tetapi juga disebabkan kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh, terutama oleh mikroba yang hidup di permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. putida, dan P. striata. Mikroba-mikroba tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3) (Pattern & Glick 2002). Aplikasi Pupuk Organik dan Pupuk Hayati Bahan organik sangat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tanaman padi sawah, hasil gabah per rumpun meningkat sebesar 15,3 %, berat kering akar sebesar 9,84 % dan jumlah malai per rumpun atau jumlah anakan produktif meningkat sebesar 35,9 % dengan pemberian bahan organik sebesar 24 ton/ha (Sumardi et al. 2007). Penggunaan kompos berbahan dasar alang-alang sebesar 3 ton/ha pada suatu pertanaman campuran padi gogo dan jagung dapat menaikkan hasil panen padi gogo sebesar 175 kg/ha (l2,3%) dan jagung sebesar 200 kg/ha (11%). Kompos alang-alang juga mampu menaikkan efisiensi pupuk N dan K yang diberikan (Notohadiprawiro 2006). Disamping pupuk organik, pupuk hayati juga sangat berperan penting dalam bidang pertanian. Inokulasi bakteri Azospirillum sp. pada tanaman jagung mampu mengurangi kebutuhan pupuk N sampai dosis sedang (Kristanto et al. 2002). Pal (1998) melaporkan bahwa Bacillus sp. pada tanah yang dipupuk dengan batuan fosfat dapat meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta hasil biji pada beberapa tanaman yang toleran tanah asam (jagung, bayam dan kacang panjang). Penggunaan pupuk hayati yang terdiri dari campuran bakteri Azotobacter, Azospirillum, Pseudomonas, Bacillus, dan Rhizobium mampu meningkatkan produksi pada tanaman jagung, kacang tanah, dan caisim berturutturut sebesar 270 %, 66 %, dan 250 % (Wibowo 2007). 11 Beberapa bakteri pelarut fosfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp. dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah dan potensial sebagai agen biokontrol untuk digunakan secara komersial di rumah kaca maupun di lapangan. P. fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off pada tebu. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4diacethylphloroglucinol, suatu metabolit sekunder yang dapat menghalangi dumping-off Phytium ultium (Arshad & Frankenberger 1993).