BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Hakim 1. Pengertian Hakim Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.1 Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.2 Pengertian hakim juga disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.3 2. Pengertian dan Hakekat Putusan Hakim. Pada dasarnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus hukum Meberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hasil yang diberikan pada pengadilan, atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum.4 1 2 3 4 Fance. M. Wamtu, Hukum Acara Pidana. 2010. Hlm: 91 Pasal 1 ayat (9) KUHAP Pasal 19 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Fence M. Wantu, Mutia Cherawaty Thalib, Suwitno Y. Imran, cara cepat belajar Hukum Acara Perdata. 2011, Hlm 171. 6 Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Acara Perdata menyebutkan pengertian putusan hakim adalah suatu keputusan oleh hakim, sebagaai pejaabat Negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman, yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.5 Berkenaan dengan pengertian dan hakekat mengenai putusan, kirannya perlu kita mengutip beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujauan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak.6 Kemudian Syahrani menyatakan Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada siding pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.7 Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar ahli diatas, kiranya dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan putusan yang diucapkan oleh pejabat pengadilan yang berwenang dalam persidangan perkara perdata sesuai dengan proses dan prosedur yang diatur dalam hukum acara perdata yang tertulis dengan tujuan utama menyelesaikan atau mengakhiri perkara. 5 6 7 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 108 Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata. Edisi Ketujuh Cetakan Pertama Liberti Yogyakarta. Ibid. hlm. 109; Syahrani, 1998, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan. Pustaka Kartini. Jakarta. Hlm 83. 7 Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali yang menyatakan Putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara”. 8 Putusan hakim ini biasa disebut Vonnis yakni kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dan akibat-akibatnya.9 Putusan hakim dianggap penting untuk mewujudkan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatn dipengadilan. Putusan hakim tidak lain sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan hukum. pelaksanaan hukum harus sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagai diatur dalam Pembukaan UUD 1945. Menurut Joko Soetono menyatakan bahwa Hakim harus berfikir secara yuridis, sistematis, dan teratur, sehingga setiap persoalan hukum dapat dipecahkan secara baik dan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.10 Dalam praktik dipengadilan putusan tidak hanya didasarkan pada apa yang diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapakan oleh hakim dipersidangan.11 3. Kedudukan, Tugas dan Tanggung Jawab Hakim Kensekuensi sebagai pelaku utama badan peradilan, maka peranan hakim memerlukan tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan hakim yang diucapkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Wajib 8 Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung. Hlm. 172 9 Ibid. 10 Purwoto. S. Gandasubroto, (1994:`7) 11 Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung, Hlm 173 8 dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada masayarakat, dan secara vertical dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi peranan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang otonom dan merdeka, diwujudkan dalam tugas dan fungsi serta kewajiban sebagaimana diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya tugas hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan sampai pada pelaksanaannya. Hakim membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.12 Secara kongkrit tugas hakim dalam mengadili sesuatu perkara dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap yakni sebagai berikut: 1. Tahap pertama, mengkonstatasi yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadi peristiwa yang telah diajukan oleh para pihak di muka persidangan. Syarat yang dibutuhkan terhadap hal ini adalah peristiwa kongkret harus dibuktikan terlebih dahulu. 2. Tahap kedua, mengkualifikasi yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap terjadi termasuk dalam hubungan hukum atau menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah diKonstatasi dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. 12 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 9 3. Tahap ketiga, mengkonstitusi yaitu menetapkan hukumnya atau mengambil kesimpulan dari peraturan hukumnya (premisse mayor) dan peristiwanya (premisse minor).13 Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim mempunyai kewajiban: 1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”.14 2. Hakim dan Hakim Konstitusi (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.15 3. Pada Pasal Lain Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.16 13 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 43 14 Pasal 3 ayat (1), UU No. 48 Tahun 2009 15 Pasal 5, UU No. 48 Tahun 2009 16 Pasal 8 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009 10 4. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.17 5. Dalam Hal kewajiban Hakim dalam persidangan (3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”. (4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang di adili atau advokat”. (5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara”.18 17 18 Pasal 14 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 17, UU No. 48 Tahun 2009 11 Hakim secara garis besar tugasnya mengadili suatu perkara di pengadilan. Dalam mengadili suatu perkara di pengadilan tersebut, maka hakim melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Menerapkan hukum, jika undang-undang tersebut sudah ada dengan jelas; b. Melakukan penemuan hukum, jika undang-undang kurang jelas; c. Menafsirkan hukum, jika undang-undang tersebut kabur; d. Membuat hukum, jika undang-undang belum ada sama sekali.19 Sementara tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa pada umumnya adalah sebagai berikut: a. Memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa, sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan harmonis; b. Menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai, sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah atau menang; c. B. Memberikan kepastian hukum kepada padara pihak.20 Pengertian, Syarat, dan Jenis-jenis Putusan Tujuan Suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain itu putusan hakim harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Pasal 178 HIR dan Pasal 189 Rbg, menyebutkan apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena 19 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 20 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 44 12 jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. Untuk melahirkan putusan hakim yang mencerminkan kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan, tidak lah mudah seperti yang diabayangkan, hal ini tergantung dari sudut penilaian dari yang menilai itu sendiri.21 Untuk mengimplementasikan putusan hakim suatu perkara yang mencerminkan kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan, kiranya diperlukan pemahaman yang mendalam tentang apa sebenarnya itu putusan hakim, jenis dan sifat putusan, putusan hakim dalam peradilan perdata dan bagaimana pelaksanaan putusan hakim itu sendiri. 1. Pengertian Putusan Pengertian putusan secara umum, dinyatakan yaitu Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menuruti cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.22 Putusan yang berupa Putusan akhir ada 3 jenis yaitu : (i) memidana, (ii) membebaskan, (iii) dan melepaskan dari segala tuntutan hukum. Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu Hakim harus memeriksa perkaranya. Adapun pemeriksaan perkara dipersidangan urutan acara sebagai berikut: 21 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 106. 22 Fence. M. Wantu. Loc. Cit Hlm. 108. 13 1. Pembacaan surat dakwaan; 2. Keberatan dakwaan atau penasehat hukum terhadap surat dakwaan tersebut; 3. Putusan sela 4. Penetapan; 5. Pemeriksaan alat-alat bukti yang terdiri atas saksi, ahli, surat, dan Terdakwa; 6. Tuntutan pidana; 7. Pembelaan; 8. Replik; 9. Duplik; 10. Putusan.23 2. Syarat-Syarat Putusan Adapun Syarat untuk dapat dikatakan Putusan yakni sebagai berikut: a. Putusan diucapkan oleh pejabat Negara yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan; b. Putusan diucapkan dalam persidangan perkara yang terbuka untuk umum; c. Putusan yang dijatuhkan sudah melalui proses dan procedural hukum; d. 23 Putusan dibuat dalam bentuk yang tertulis; Gatot Supramono, 1998, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim, Djambtatan, Jakarta. hlm.84. 14 e. Putusan bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara.24 3. Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan dibedakan atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis). 1. Putusan Sela Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara. Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa : “Putusan sela hanya dapat dimintakan permintaan banding terhadap putusan akhir”. 2. banding bersama-sama Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.25 4. Jenis, Susunan dan Isi, Serta Kekuatan Putusan Pada dasarnya jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedurnya dan isinya. Menurut dari segi prosedurnya putusan hakim dapat dibedakan menjadi 24 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar 25 Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm 111 15 putusan akhir dan putusan bukan akhir.26 Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu. Sementara putusan bukan akhir atau biasa disebut juga putusan sela atau putusan antara adalah putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses pemeriksaan perkara.27 Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi putusan yang mengabulkan gugatan pengugat dana gugatan tidak diterima, serta gugatan di tolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan atau pun tidak melawan hak, misalnya gugatan tidak memenuhi syarat formil maupun materil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak mempunyai alasan, misalnya alasan atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Serta gugatan tidak diterima, jika gugatan melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertaruhan. Menurut Sudikno Mertokusumo28 jika dilihat menurut sifatnya, putusan akhir dalam amar atau diktumnya, dapat dibedakan dalam tiga macam, yakni: Pertama, Putusan Condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan Condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Kedua, Putusan Constitutif yaitu putusan yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, 26 Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 196 ayat (1) Rbg Fence. M. Wantu. Loc. It. Hlm. 116 28 Sudikno Mertokusumo, 2006. Op. Cit. Hlm 229-230 27 16 pengangkatan wali. Ketiga, Putusan Declaratoir yaitu putusan yang sifatnya menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadikan sengketa adalah anak yang dilahurkan dari perkawinan yang sah.29 5. Jenis-jenis Putusan Hakim a. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kepastian Hukum Dalam upaya menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan. Idealnya putusan hakim harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut: a. Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat dan tergugat). b. Efisiensi artinya, dalam prosesnya harus cepat, sederhana, biaya ringan; c. Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari putusan hakim tersebut; d. Mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan rasa aman dalam masyarakat; e. Mengandung equality yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.30 29 Fence. M. Wantu.. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 117 30 Fence. M. Wantu. Loc. Cit. hlm. 148 17 b. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Keadilan Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka humum (equality before the law).31 Dengan demikian harapan untuk mewujudkan putusan hakim yang adil di peradilan, dapat dilihat melalui sikap dan tindakan yang digunakan hakim, yakni sebagai berikut: a. Bertitik tolak pada garis yang dibenarkan dalam hukum acara perdata yang berlaku dengan tahap berpedoman pada asas-asas peradilan yang baik; b. Menjunjung tinggi hak seseorang, artinya setiap orang yang merasa dirugikan berhak mengajukan gugatan perkara, dan hakim dilarang untuk menolak mengadili, kecuali ditentukan lain oleh undangundang, serta putusan harus dijatuhkan sesuai dengan waktu yang ditentukan dan dapat dilaksanakan; c. Para pihak yang berperkara diperlakukan sama, tidak boleh ada sikap memihak dan bersimpati pada salah satu pihak yang berperkara atau ada sikap antipasti pada salah satu pihak; d. 31 Putusan harus objektif tanpa ada kepentingan pribadi dan pihak lain; Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar Hlm. 147 18 e. Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan hukum yang jelas dan dapat dimengerti serta diterima terutama oleh para pihak dan masyrakat; Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.32 f. c. Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kemanfaatan Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangan hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau kegunaan bagi semua pihak. Mengingat putusan hakim merupakan hukum, maka hakim harus memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitution in integrum), artinya kepada pihak yang bersalah diberi sanksi, sementara pihak yang dirugikan akan mendapat ganti rugi atau mendapatkan apa yang menjadi haknya. Dalam situasi demikian hakim harus menemukan untuk mengisi kelengkapan hukum, penekanan yang lebih cenderung asas kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi dan dasar pemikirannya bahwa 32 Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. hlm 165. 19 hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan hukum harus berguna untuk manusia.33 6. Jenis Putusan Final Pengadilan Pidana Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.34 Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan diantaranya: 1. Putusan Bebas Dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa 2. Putusan Lepas Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana. 3. Putusan Pemidanaan 33 Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. hlm. 167. 34 Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 20 Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.35 Di dalam sistem hukum acara pidana dikenal dua jenis putusan pengadilan: 1. Jenis putusan yang bersifat formil adalah yang bukan merupakan putusan akhir (putusan sela) yaitu: Putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangnya pengadilan untuk memeriksa suatu perkara (onbevoeglde verklaining).36 Contohnya perkara yang diajukan oleh penuntut umum akan merupakan kewenangan pengadilan yang bersangkutan melainkan kewenangan pengadilan lain. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut umum batal (nieting verklaining van de acte verwjzing).37 Contohnya surat dakwaan jaksa tidak memenuhi, Yaitu tidak dicamtunkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.38 Putusan yang berisi pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvanklijik verklaard).39 contoh perkara yang di ajukan penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat dalam aduan 35 Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm. 97 Pasal 148 Ayat (1) KUHAP. 37 Pasal 156 ayat (1) KUHAP 38 Pasal 143 ayat (3) KUHAP 39 Pasal 156 KUHAP 36 21 (klacht delict). Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan oleh karena ada perselisihan prejudilitel ( perselisihan kewenangan ). 2. Jenis putusan yang bersifat materil adalah jenis putusan pengadilan yang merupakan akhir , (einds vonnis) yaitu; Putusan yang menyatakan Terdakwa dibebaskan dari dakwaan (vrijsrpaak) dengan kata lain bebas murni atau Terdakwa/dakwaan tidak terbukti bersalah atau dakwaan tidak terbukti.40 Putusan yang demikian ini dijatuhkan oleh pengadilan apabila dia berpendapat bahwa kesalahan atau perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam pemeriksaan persidangan. Putusan yang menyatakan bahwa Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslang van alle rechtevervolging) putusan ini dijatuhkan oleh Hakim jika ia berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan suatu perbuatan pidana, oleh perbuatan terbukti itu sama sekali tidak di maksudkan dalam salah satu ketentuan Undang-undang pidana atau karena adanya alasan pembenar.41 Dan Menekankan bahwa putusan ini ada 3 kemungkinan makna hukumnya yaitu: 1. Perbuatan yang didakwakan terbukti akan tetapi atau fakta itu tidak melawan hukum. 2. Apa yang didakwakan bukan kejahatan atau bukan pelanggaran (bukan delik ). 40 41 Pasal 191 ayat (1) KUHAP Pasal 50 ayat (1) KUHP 22 3. Tidak di atur dalam hukum pidana materil atau tidak ada pasal yang mengatur sebagai delik. Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling), putusan ini dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan Terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan meyakinkan.42 7. Proses Pengambilan Putusan Perkara Pidana oleh Hakim (Vide) 1. Apabila Hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka penuntut umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana (requisitoir); 2. Setelah itu, Terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa Terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir; 3. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan; 4. Apabila proses acara peradilan tersebut selesai maka Hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Selanjutnya, dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau Terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya; 42 Pasal 193 ayat (1) KUHAP 23 5. Setelah pemeriksaan ditutup, Hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah Terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruang sidang; 6. Musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang; 7. Dalam musyawarah tersebut, Hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya Hakim Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya; 8. Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka berlaku ketentuan sebagai berikut ; a. Putusan diambil dengan suara terbanyak ; b. Jika suara terbanyak tidak diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa. 9. Pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia; 24 10. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, Terdakwa, atau penasehat hukumnya.43 C. Tindak Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Tindak Pidana. Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini sedah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dipidana itu sebenarnya manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.44 Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli: Menurut Hazewinkel Suringa Menyatakan strafbaar feit adalah suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam Undang-Undang”.45 Pompe memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja 43 Pasal 182 KUHAP P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 181 45 Hazewinkel-surianga, Inleiding, Hlm. 25. 44 25 ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.46 Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat dihukum”.47 Sedangkan Vos Mengartikan strafbaar feit yaitu suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana”.48 R. Tresna menjelaskan serta memberikan batasan bahwa Pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundang-undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan”.49 Rusli Effendy dalam memberi batasan dengan mempergunakan istilah peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana yang tidak tertulis (hukum pidana adat)”.50 Kemudian A. Zainal Abidin Farid menyatakan dengan mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian 46 P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Loc. It. Simons, Leerboek I; Ibid, Loc. It. Hlm. 186 48 P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 182 49 Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Hlm. 5 50 Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : LEPPEN-UMI. 47 26 strafbaar feit, yakni Bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggungjawab”.51 Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana.52 Lain halnya dengan strafbaar feit yang mencakup pengertian perbuatan dan kesalahan. Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. 2. Teori-teori Pemidanaan Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar yaitu: a. Teori Absolut Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan pada orang lain. 51 Zainal Abidin. Hukum Pidana 1; Lamintang, 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. 52 Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana: Bandung 27 Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnnya tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu tidak memperhatikan masa depan baik pidana tidak dimaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu: 1) Ditujuhkan pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan). 2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan. b. Teori Relatif atau Teori Tujuan. Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk takut melakukan kejahatan. Ancaman pidana menimbulkan suatu kontra motif yang menahan setiap orang untuk melakukan. c. Teori Gabungan. Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata lain dua alasan ini menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabunhgan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut. 28 a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan itu tidak boleh melampaui dari apa yang perlu dan cukup untuknya dapat dipertahankannya dalam tata tertib masyarakat. b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.53 3. Syarat Pemidanaan Tindak Pidana a. Unsur Perbuatan (Feit) Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian yang sebenarnnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP). 53 Moeljatno, 2002. Perbuatan pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Jakarta : Hlm.121 29 Dengan demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. b. Unsur Pembuat (Dader) Unsur pembuat (dader) adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. 54 Unsur pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu, apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan 54 Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm 23 30 dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, sangat mungkin memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan orang lain yang melakukan tindak pidana. Dipidananya menyuruh melakukan (doenpleger) dan penganjur (uitlokker) tindak pidana, sebagaimana dimaksud, Cuma karena mempunyai “hubungan tertentu” dengan pelaku materil (pleger).55 Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang menganjurkan hanya dapat terjadi melalui penetapan undang-undang. Baik penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana. Mereka semua dipandang sebagai melakukan tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidananya ditujukan terhadap perbuatannya itu.56 55 56 Pasal 55 KUHP Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm. 24 31 4. Jenis-Jenis Pidana. Kitab Undang Hukum pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termasuk dalam Pasal 10 KUHP. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana tambahan terdiri atas tiga jenis pidana. Pidana pokok terdiri dari : a) Pidana mati b) Pidana penjara c) Pidana kurungan d) Pidana denda. Pidana tambahan terdiri dari : a) pidana pencabutan hak-hak tertentu; b) pidana perampasan barang-barang tertentu; c) Pengumuman Putusan Hakim.57 Hukum pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis-jenis pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai berikut : 1) Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan, hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan 57 Ibid. Hlm. 27-28 32 batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang diancamkan (imperatif). Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana didalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan satu jenis pidana pokok saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain), dan (b) tindak pidana yang diancamkan dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, di mana sifatnya alternatif. Artinya hakim harus memilih salah satu saja. Sementara untuk menjatuhkan jenis pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif). 2) Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok. Sesuai dengan namanya pidana tambahan penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok. Melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok. Sementara jenis 33 pidana pokok dapat berdiri sendiri tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan.58 D. Tinjauan Umum Tentang Anak 1. Pengertian Anak Pengertian anak masih merupakan masalah yang aktual dan sering menimbulkan berbedaan pendapat antara para ahli hukum, salah satu diantaranya adalah berapakah maksimal batas umur yang ditentukan bagi seorang anak. Mengenai umur anak para ahli hukum tidak memiliki kata sepakat tentang batas umur yang jelas dan dapat disetujui bersama.Tetapi, umumnya yang dimaksud dengan anak adalah orang yang belum dewasa atau yang masih muda umurnya dan belum menikah. Sistem hukum kita terdapat pluralisme mengenai kriteria anak.Hal ini diakibatkan karena tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak dan merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu dan tujuan tertentu sehingga perumusan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang pengertian anak tidak memberikan konsepsi yang jelas tentang anak. Adapun perbedaan tentang pengertian anak dalam peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut: 1. Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai berikut: 58 P.A.P. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung. Hlm. 47 34 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.59 1) Anak menurut Hukum Perdata Dalam hukum perdata, semua manusia tanpa pengecualian merupakan subjek hokum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Bahkan dimulai sejak ia dalam kandungan ketika ada kepentingan yang menghendaki. Ketentuan yang mengatur mengenai batasan umur dapat kita temui dalam beberapa Pasal baik buku I tentang orang maupun buku III tentang perikatan. Dimana batasan umur seseorang yang dianggap masih anak-anak atau belum dewasa yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu kawin.Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa.60 2) Anak menurut Hukum Pidana. Anak dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan “belum dewasa” adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.61 59 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 330 KUHPerdata 61 Pasal 45. R. Soesilo, 1991. K.U.H.P. serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal:Bogor. 60 35 2. Anak menurut Hukum Ketenagakerjaan mendefinisikan: “Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.62 3. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan mengatakan: “seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.63 4. Anak menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia mendefinisikan: “Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.64 5. Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak mendefinisikan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.65 6. Anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of the Child). Bahwa anak adalah mereka yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dalam konvensi ini tidak disebutkan pernah kawin sebagai persyaratan kedewasaan sehingga hal ini menimbulkan kesimpangsiuran.Namun pembatasan criteria mengenai anak tidak berlaku mutlak bagi Negaranegara yang telah meratifikasi hasil konvensi tersebut.Negara diberi 62 Pasal 1 angka 26, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 64 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 65 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 63 36 kebebasan untuk membatasi criteria seseorang berdasarkan undangundang yang berlaku di Negara masing-masing. 7. Anak menurut hukum Islam Menurut hukum Islam, anak adalah seseorang yang belum baliq atau berakal, dimana mereka belum dianggap cakap untuk berbuat dan bertindak.66 66 Zakariya Ahmad Al Barry.__. Hukum Anak Dalam Islam. Jakarta. Hlm. 89 37