BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Hakim
1.
Pengertian Hakim
Pasal 1 butir 8 Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya
disebut KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.1
Sebagaimana dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud Mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.2
Pengertian hakim juga disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi
adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur
dalam undang-undang.3
2.
Pengertian dan Hakekat Putusan Hakim.
Pada dasarnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus hukum
Meberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hasil yang diberikan
pada pengadilan, atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim
di sidang yang berisi pertimbangan menurut kenyataan, pertimbangan hukum.4
1
2
3
4
Fance. M. Wamtu, Hukum Acara Pidana. 2010. Hlm: 91
Pasal 1 ayat (9) KUHAP
Pasal 19 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Fence M. Wantu, Mutia Cherawaty Thalib, Suwitno Y. Imran, cara cepat belajar Hukum
Acara Perdata. 2011, Hlm 171.
6
Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Acara Perdata menyebutkan
pengertian putusan hakim adalah suatu keputusan oleh hakim, sebagaai
pejaabat Negara yang diberi wewenang menjalankan kekuasaan kehakiman,
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan di persidangan
serta bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu gugatan.5
Berkenaan dengan pengertian dan hakekat mengenai putusan, kirannya
perlu kita mengutip beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo Putusan Hakim adalah suatu
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara diberi wewenang untuk
itu, diucapkan di persidangan dan bertujauan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar pihak.6
Kemudian Syahrani menyatakan Putusan adalah pernyataan hakim yang
diucapkan pada siding pengadilan yang terbuka untuk umum untuk
menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata.7
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar ahli diatas, kiranya
dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan putusan yang diucapkan oleh
pejabat pengadilan yang berwenang dalam persidangan perkara perdata sesuai
dengan proses dan prosedur yang diatur dalam hukum acara perdata yang
tertulis dengan tujuan utama menyelesaikan atau mengakhiri perkara.
5
6
7
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 108
Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata. Edisi Ketujuh Cetakan Pertama Liberti
Yogyakarta.
Ibid. hlm. 109; Syahrani, 1998, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan. Pustaka
Kartini. Jakarta. Hlm 83.
7
Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali yang menyatakan
Putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara”. 8
Putusan hakim ini biasa disebut Vonnis yakni kesimpulan-kesimpulan terakhir
mengenai hukum dan akibat-akibatnya.9
Putusan hakim dianggap penting untuk mewujudkan adanya kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatn dipengadilan. Putusan hakim tidak lain
sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan hukum. pelaksanaan hukum harus
sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagai diatur dalam
Pembukaan UUD 1945.
Menurut Joko Soetono menyatakan bahwa Hakim harus berfikir secara
yuridis, sistematis, dan teratur, sehingga setiap persoalan hukum dapat
dipecahkan secara baik dan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.10
Dalam praktik dipengadilan putusan tidak hanya didasarkan pada apa yang
diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapakan oleh hakim dipersidangan.11
3.
Kedudukan, Tugas dan Tanggung Jawab Hakim
Kensekuensi sebagai pelaku utama badan peradilan, maka peranan hakim
memerlukan tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan hakim yang
diucapkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Wajib
8
Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung.
Hlm. 172
9
Ibid.
10
Purwoto. S. Gandasubroto, (1994:`7)
11
Rubini dan Chaidir Ali.1974, Pengantar Hukum Acara Perdata. Penerbit Alumni Bandung,
Hlm 173
8
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada masayarakat, dan secara
vertical dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi
peranan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang otonom dan
merdeka, diwujudkan dalam tugas dan fungsi serta kewajiban sebagaimana
diatur dalam undang-undang kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya tugas
hakim tidak berhenti dengan menjatuhkan putusan saja, akan tetapi juga
menyelesaikan sampai pada pelaksanaannya. Hakim membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.12
Secara kongkrit tugas hakim dalam mengadili sesuatu perkara dapat dibagi
dalam 3 (tiga) tahap yakni sebagai berikut:
1.
Tahap pertama, mengkonstatasi yaitu mengakui atau membenarkan
telah terjadi peristiwa yang telah diajukan oleh para pihak di muka
persidangan. Syarat yang dibutuhkan terhadap hal ini adalah peristiwa
kongkret harus dibuktikan terlebih dahulu.
2.
Tahap kedua, mengkualifikasi yaitu menilai peristiwa yang telah
dianggap terjadi termasuk dalam hubungan hukum atau menentukan
hukumnya terhadap peristiwa yang telah diKonstatasi dengan jalan
menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut.
12
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
9
3.
Tahap ketiga, mengkonstitusi yaitu menetapkan hukumnya atau
mengambil kesimpulan dari peraturan hukumnya (premisse mayor) dan
peristiwanya (premisse minor).13
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, hakim mempunyai kewajiban:
1. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan”.14
2. Hakim dan Hakim Konstitusi
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim.15
3. Pada Pasal Lain Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa.16
13
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(Implementasi Dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 43
14
Pasal 3 ayat (1), UU No. 48 Tahun 2009
15
Pasal 5, UU No. 48 Tahun 2009
16
Pasal 8 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009
10
4. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.17
5. Dalam Hal kewajiban Hakim dalam persidangan
(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau
panitera”.
(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak
yang di adili atau advokat”.
(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas
kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara”.18
17
18
Pasal 14 ayat (2), UU No. 48 Tahun 2009
Pasal 17, UU No. 48 Tahun 2009
11
Hakim secara garis besar tugasnya mengadili suatu perkara di pengadilan.
Dalam mengadili suatu perkara di pengadilan tersebut, maka hakim melakukan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Menerapkan hukum, jika undang-undang tersebut sudah ada dengan
jelas;
b.
Melakukan penemuan hukum, jika undang-undang kurang jelas;
c.
Menafsirkan hukum, jika undang-undang tersebut kabur;
d.
Membuat hukum, jika undang-undang belum ada sama sekali.19
Sementara tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa pada umumnya
adalah sebagai berikut:
a.
Memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang
bersengketa, sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan
harmonis;
b.
Menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai, sehingga tidak
ada pihak yang merasa kalah atau menang;
c.
B.
Memberikan kepastian hukum kepada padara pihak.20
Pengertian, Syarat, dan Jenis-jenis Putusan
Tujuan Suatu proses di muka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain itu putusan hakim
harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Pasal 178 HIR dan Pasal 189 Rbg,
menyebutkan apabila pemeriksaan perkara selesai, majelis hakim karena
19
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
20
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 44
12
jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan
dijatuhkan. Untuk melahirkan putusan hakim yang mencerminkan kepastian
hukum dan keadilan serta kemanfaatan, tidak lah mudah seperti yang
diabayangkan, hal ini tergantung dari sudut penilaian dari yang menilai itu
sendiri.21
Untuk
mengimplementasikan
putusan
hakim
suatu
perkara
yang
mencerminkan kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan, kiranya
diperlukan pemahaman yang mendalam tentang apa sebenarnya itu putusan
hakim, jenis dan sifat putusan, putusan hakim dalam peradilan perdata dan
bagaimana pelaksanaan putusan hakim itu sendiri.
1.
Pengertian Putusan
Pengertian putusan secara umum, dinyatakan yaitu Putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menuruti cara yang diatur dalam Undang-undang ini”.22
Putusan yang berupa Putusan akhir ada 3 jenis yaitu : (i) memidana, (ii)
membebaskan, (iii) dan melepaskan dari segala tuntutan hukum.
Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan
untuk mengakhiri atau
menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus suatu
perkara pidana, maka terlebih dahulu Hakim harus memeriksa perkaranya.
Adapun pemeriksaan perkara dipersidangan urutan acara sebagai berikut:
21
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. hlm. 106.
22
Fence. M. Wantu. Loc. Cit Hlm. 108.
13
1.
Pembacaan surat dakwaan;
2.
Keberatan dakwaan atau penasehat hukum terhadap surat dakwaan
tersebut;
3.
Putusan sela
4.
Penetapan;
5.
Pemeriksaan alat-alat bukti yang terdiri atas saksi, ahli, surat, dan
Terdakwa;
6.
Tuntutan pidana;
7.
Pembelaan;
8.
Replik;
9.
Duplik;
10. Putusan.23
2.
Syarat-Syarat Putusan
Adapun Syarat untuk dapat dikatakan Putusan yakni sebagai berikut:
a.
Putusan diucapkan oleh pejabat Negara yang diberi kewenangan
oleh peraturan perundang-undangan;
b.
Putusan diucapkan dalam persidangan perkara yang terbuka untuk
umum;
c.
Putusan yang dijatuhkan sudah melalui proses dan procedural
hukum;
d.
23
Putusan dibuat dalam bentuk yang tertulis;
Gatot Supramono, 1998, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim, Djambtatan, Jakarta. hlm.84.
14
e.
Putusan bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu
perkara.24
3.
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan dibedakan atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1)
HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaitu putusan sela (tussenvonnis) dan putusan
akhir (eindvonnis).
1.
Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir
yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela Pengadilan Negeri
terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili
suatu perkara. Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg
menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan
permintaan banding terhadap putusan akhir”.
2.
banding bersama-sama
Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada
tingkat pemeriksaan tertentu.25
4.
Jenis, Susunan dan Isi, Serta Kekuatan Putusan
Pada dasarnya jenis putusan dapat dibedakan dari segi prosedurnya dan
isinya. Menurut dari segi prosedurnya putusan hakim dapat dibedakan menjadi
24
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
25
Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm 111
15
putusan akhir dan putusan bukan akhir.26 Putusan Akhir adalah putusan yang
mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkatan peradilan
tertentu. Sementara putusan bukan akhir atau biasa disebut juga putusan sela
atau putusan antara adalah putusan yang fungsinya untuk memperlancar proses
pemeriksaan perkara.27
Dilihat dari segi isinya putusan pengadilan dapat dibedakan menjadi
putusan yang mengabulkan gugatan pengugat dana gugatan tidak diterima,
serta gugatan di tolak. Gugatan dikabulkan jika gugatan beralasan atau pun
tidak melawan hak, misalnya gugatan tidak memenuhi syarat formil maupun
materil. Gugatan ditolak jika gugatan tidak mempunyai alasan, misalnya alasan
atau dasar gugatan tidak mendukung materi tuntutannya. Serta gugatan tidak
diterima, jika gugatan melawan hak atau melawan hukum, misalnya gugatan
atas suatu piutang yang didasarkan atas perjudian atau pertaruhan.
Menurut Sudikno Mertokusumo28 jika dilihat menurut sifatnya, putusan
akhir dalam amar atau diktumnya, dapat dibedakan dalam tiga macam, yakni:
Pertama, Putusan Condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Di dalam putusan
Condemnatoir diakui hak penggugat atas prestasi yang dituntutnya. Pada
umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Kedua,
Putusan Constitutif yaitu putusan yaitu putusan yang meniadakan atau
menciptakan suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan,
26
Pasal 185 ayat (1) HIR atau Pasal 196 ayat (1) Rbg
Fence. M. Wantu. Loc. It. Hlm. 116
28
Sudikno Mertokusumo, 2006. Op. Cit. Hlm 229-230
27
16
pengangkatan wali. Ketiga, Putusan Declaratoir yaitu putusan yang sifatnya
menerangkan atau menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang
menjadikan sengketa adalah anak yang dilahurkan dari perkawinan yang sah.29
5.
Jenis-jenis Putusan Hakim
a.
Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kepastian Hukum
Dalam upaya menerapkan kepastian hukum, idealnya putusan hakim
harus sesuai tujuan dasar dari suatu pengadilan. Idealnya putusan hakim
harus mengandung kepastian hukum sebagai berikut:
a.
Melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari
masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat dan
tergugat).
b.
Efisiensi artinya, dalam prosesnya harus cepat, sederhana, biaya
ringan;
c.
Sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar dari
putusan hakim tersebut;
d.
Mengandung aspek stabilitas yaitu dapat memberikan rasa tertib dan
rasa aman dalam masyarakat;
e.
Mengandung equality yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi
pihak yang berperkara.30
29
Fence. M. Wantu.. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
(ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar hlm. 117
30
Fence. M. Wantu. Loc. Cit. hlm. 148
17
b.
Putusan Hakim Yang Mencerminkan Keadilan
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya
dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di
muka humum (equality before the law).31 Dengan demikian harapan untuk
mewujudkan putusan hakim yang adil di peradilan, dapat dilihat melalui
sikap dan tindakan yang digunakan hakim, yakni sebagai berikut:
a.
Bertitik tolak pada garis yang dibenarkan dalam hukum acara
perdata yang berlaku dengan tahap berpedoman pada asas-asas
peradilan yang baik;
b.
Menjunjung tinggi hak seseorang, artinya setiap orang yang merasa
dirugikan berhak mengajukan gugatan perkara, dan hakim dilarang
untuk menolak mengadili, kecuali ditentukan lain oleh undangundang, serta putusan harus dijatuhkan sesuai dengan waktu yang
ditentukan dan dapat dilaksanakan;
c.
Para pihak yang berperkara diperlakukan sama, tidak boleh ada sikap
memihak dan bersimpati pada salah satu pihak yang berperkara atau
ada sikap antipasti pada salah satu pihak;
d.
31
Putusan harus objektif tanpa ada kepentingan pribadi dan pihak lain;
Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan
Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Hlm. 147
18
e.
Putusan harus memuat alasan dan pertimbangan hukum yang jelas
dan dapat dimengerti serta diterima terutama oleh para pihak dan
masyrakat;
Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.32
f.
c.
Putusan Hakim Yang Mencerminkan Kemanfaatan
Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakala hakim tidak
saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan hanya mengejar keadilan
semata, akan tetapi juga mengarah pada kemanfaatan bagi kepentingan
pihak-pihak yang berperkara dan kepentingan masyarakat pada umumnya.
Artinya hakim dalam menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangan
hasil akhirnya nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau
kegunaan bagi semua pihak. Mengingat putusan hakim merupakan hukum,
maka hakim harus memelihara keseimbangan dalam masyarakat dengan
memulihkan kembali tatanan masyarakat pada keadaan semula (restitution
in integrum), artinya kepada pihak yang bersalah diberi sanksi, sementara
pihak yang dirugikan akan mendapat ganti rugi atau mendapatkan apa yang
menjadi haknya. Dalam situasi demikian hakim harus menemukan untuk
mengisi kelengkapan hukum, penekanan yang lebih cenderung asas
kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi dan dasar pemikirannya bahwa
32
Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan
Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
hlm. hlm 165.
19
hukum adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan
hukum harus berguna untuk manusia.33
6.
Jenis Putusan Final Pengadilan Pidana
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari
hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan dengan
segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.34
Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh
Pengadilan diantaranya:
1.
Putusan Bebas
Dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.
Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila
Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Terdakwa
2.
Putusan Lepas
Dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti,
namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu
tindak pidana.
3.
Putusan Pemidanaan
33
Fence. M. Wantu. Fence. M. Wantu. 2011. Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan Dan
Kemanfaatan (ImplementasiDalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta:Pustaka Pelajar
hlm. hlm. 167.
34
Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
20
Dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah
terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena
itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana
yang didakwakan kepada Terdakwa.35
Di dalam sistem hukum acara pidana dikenal dua jenis putusan
pengadilan:
1.
Jenis putusan yang bersifat formil adalah yang bukan merupakan
putusan akhir (putusan sela) yaitu:
Putusan yang berisi pernyataan tidak berwenangnya pengadilan untuk
memeriksa suatu perkara (onbevoeglde verklaining).36 Contohnya perkara
yang diajukan oleh penuntut umum akan merupakan kewenangan
pengadilan yang bersangkutan melainkan kewenangan pengadilan lain.
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan/surat dakwaan penuntut umum
batal (nieting verklaining van de acte verwjzing).37
Contohnya surat
dakwaan jaksa tidak memenuhi, Yaitu tidak dicamtunkan waktu dan tempat
tindak pidana dilakukan di dalam surat dakwaan.38 Putusan yang berisi
pernyataan bahwa dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet
ontvanklijik verklaard).39 contoh perkara yang di ajukan penuntut umum
sudah daluarsa, nebis in idem, perkara yang memerlukan syarat dalam aduan
35
Fance. M. Wantu 2010, Hukum Acara Pidana.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hlm. 97
Pasal 148 Ayat (1) KUHAP.
37
Pasal 156 ayat (1) KUHAP
38
Pasal 143 ayat (3) KUHAP
39
Pasal 156 KUHAP
36
21
(klacht delict). Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan oleh karena ada
perselisihan prejudilitel ( perselisihan kewenangan ).
2.
Jenis putusan yang bersifat materil adalah jenis putusan pengadilan
yang merupakan akhir , (einds vonnis) yaitu;
Putusan yang menyatakan Terdakwa dibebaskan dari dakwaan
(vrijsrpaak) dengan kata lain bebas murni atau Terdakwa/dakwaan tidak
terbukti bersalah atau dakwaan tidak terbukti.40 Putusan yang demikian ini
dijatuhkan oleh pengadilan apabila dia berpendapat bahwa kesalahan atau
perbuatan yang didakwakan terhadap Terdakwa tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan dalam pemeriksaan persidangan. Putusan yang menyatakan
bahwa Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslang van alle
rechtevervolging) putusan ini dijatuhkan oleh Hakim jika ia berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu merupakan suatu perbuatan pidana, oleh perbuatan terbukti itu
sama sekali tidak di maksudkan dalam salah satu ketentuan Undang-undang
pidana atau karena adanya alasan pembenar.41 Dan Menekankan bahwa
putusan ini ada 3 kemungkinan makna hukumnya yaitu:
1.
Perbuatan yang didakwakan terbukti akan tetapi atau fakta itu tidak
melawan hukum.
2.
Apa yang didakwakan bukan kejahatan atau bukan pelanggaran
(bukan delik ).
40
41
Pasal 191 ayat (1) KUHAP
Pasal 50 ayat (1) KUHP
22
3.
Tidak di atur dalam hukum pidana materil atau tidak ada pasal yang
mengatur sebagai delik.
Putusan yang berisi suatu pemidanaan (veroordeling), putusan ini
dijatuhkan oleh hakim apabila kesalahan Terdakwa terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya dianggap terbukti dengan sah dan meyakinkan.42
7.
Proses Pengambilan Putusan Perkara Pidana oleh Hakim (Vide)
1.
Apabila Hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka
penuntut
umum
dipersilahkan
mengajukan
tuntutan
pidana
(requisitoir);
2.
Setelah itu, Terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan
pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan
ketentuan bahwa Terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat
giliran terakhir;
3.
Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara
tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim ketua
sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan;
4.
Apabila proses acara peradilan tersebut selesai maka Hakim ketua
sidang
menyatakan
bahwa
pemeriksaan
dinyatakan
ditutup.
Selanjutnya, dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim
ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut
umum atau Terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan
alasannya;
42
Pasal 193 ayat (1) KUHAP
23
5.
Setelah pemeriksaan ditutup, Hakim mengadakan musyawarah terakhir
untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu
diadakan setelah Terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum,
dan hadirin meninggalkan ruang sidang;
6.
Musyawarah harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan sidang;
7.
Dalam musyawarah tersebut, Hakim ketua majelis mengajukan
pertanyaan dimulai dari Hakim termuda sampai Hakim yang tertua,
sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya Hakim Ketua
Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta
alasannya;
8.
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil
pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan
sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka berlaku ketentuan sebagai
berikut ;
a. Putusan diambil dengan suara terbanyak ;
b. Jika suara terbanyak tidak diperoleh, putusan yang dipilih adalah
pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa.
9.
Pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan
putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku
tersebut sifatnya rahasia;
24
10. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari
itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan
kepada penuntut umum, Terdakwa, atau penasehat hukumnya.43
C.
Tindak Pidana dan Pemidanaan
1.
Pengertian Tindak Pidana.
Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan
beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa
Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti
hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa
(perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana
atau perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini sedah barang tentu tidak tepat, oleh
karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dipidana itu sebenarnya
manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.44
Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli:
Menurut Hazewinkel Suringa Menyatakan strafbaar feit adalah suatu
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat di dalam Undang-Undang”.45
Pompe memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
43
Pasal 182 KUHAP
P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 181
45
Hazewinkel-surianga, Inleiding, Hlm. 25.
44
25
ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan
hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan umum”.46
Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat
dihukum”.47 Sedangkan Vos Mengartikan strafbaar feit yaitu suatu kelakuan
(gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan
pidana”.48
R. Tresna menjelaskan serta memberikan batasan bahwa Pengertian
peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia
yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundang-undangan lainnya
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan”.49
Rusli Effendy dalam memberi batasan dengan mempergunakan istilah
peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh
hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana
yang tidak tertulis (hukum pidana adat)”.50
Kemudian A. Zainal Abidin Farid menyatakan dengan mendasari
pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian
46
P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Loc. It.
Simons, Leerboek I; Ibid, Loc. It. Hlm. 186
48
P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 182
49
Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Hlm. 5
50
Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : LEPPEN-UMI.
47
26
strafbaar feit, yakni Bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah
perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld)
seseorang yang mampu bertanggungjawab”.51
Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum
ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk
Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana.52
Lain halnya dengan strafbaar feit yang mencakup pengertian perbuatan
dan kesalahan. Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya
perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau
sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis
”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
2.
Teori-teori Pemidanaan
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun
yang banyak itu dapat dikelompokkan kedalam tiga golongan besar yaitu:
a.
Teori Absolut
Dasar pijakan dari teori ini ialah pembalasan. Inilah dasar pembenar
dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Penjatuhan
pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena
penjahat telah membuat penderitaan pada orang lain.
51
Zainal Abidin. Hukum Pidana 1; Lamintang, 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia. Bandung.
52
Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana: Bandung
27
Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi
pembuatnnya tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari
penjatuhan pidana itu tidak memperhatikan masa depan baik pidana tidak
dimaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah,
yaitu:
1) Ditujuhkan pada penjatuhannya (sudut subjektif dari pembalasan).
2) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam
dikalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan.
Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa
pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk memberi tekanan atau
pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk takut melakukan kejahatan.
Ancaman pidana menimbulkan suatu kontra motif yang menahan setiap
orang untuk melakukan.
c.
Teori Gabungan.
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
pertahanan tata tertib masyarakat dengan kata lain dua alasan ini menjadi
dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabunhgan ini dapat dibedakan menjadi
dua golongan besar, yaitu sebagai berikut.
28
a)
Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalsan
itu tidak boleh melampaui dari apa yang perlu dan cukup untuknya
dapat dipertahankannya dalam tata tertib masyarakat.
b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhi pidana tidak boleh lebih
berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.53
3.
Syarat Pemidanaan Tindak Pidana
a.
Unsur Perbuatan (Feit)
Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada
dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang
padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada
hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak
termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian
yang sebenarnnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif
maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang
untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau
gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya
mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sementara
itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk
perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah
mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong
(Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP).
53
Moeljatno, 2002. Perbuatan pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.
Jakarta : Hlm.121
29
Dengan demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas
menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan
hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan
yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar
kategori tersebut. Adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan.
Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan.
b. Unsur Pembuat (Dader)
Unsur pembuat (dader) adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk
didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. 54 Unsur
pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana
yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan
(culpa).
Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah
mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana.
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat
tindak pidana tersebut. Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan
dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu,
apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan
54
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm 23
30
dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak
pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek
hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang
bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, sangat mungkin
memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan
sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan orang lain
yang melakukan tindak pidana.
Dipidananya menyuruh melakukan (doenpleger) dan penganjur
(uitlokker) tindak pidana, sebagaimana dimaksud, Cuma karena mempunyai
“hubungan tertentu” dengan pelaku materil (pleger).55 Pemidanaan terhadap
mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang menganjurkan
hanya
dapat
terjadi
melalui
penetapan
undang-undang.
Baik
penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak
pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana
jika karena suruhan dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana.
Mereka semua dipandang sebagai melakukan tindak pidana, dan
pertanggungjawaban pidananya ditujukan terhadap perbuatannya itu.56
55
56
Pasal 55 KUHP
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm. 24
31
4.
Jenis-Jenis Pidana.
Kitab Undang Hukum pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana
yang termasuk dalam Pasal 10 KUHP. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas empat jenis pidana, dan pidana
tambahan terdiri atas tiga jenis pidana. Pidana pokok terdiri dari :
a)
Pidana mati
b) Pidana penjara
c)
Pidana kurungan
d) Pidana denda.
Pidana tambahan terdiri dari :
a) pidana pencabutan hak-hak tertentu;
b) pidana perampasan barang-barang tertentu;
c) Pengumuman Putusan Hakim.57
Hukum pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis-jenis
pidana kedalam pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara
jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah sebagai
berikut :
1) Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan (imperatif),
sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa
penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan,
hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan
57
Ibid. Hlm. 27-28
32
batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang
diancamkan (imperatif). Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat
dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana didalam rumusan kejahatan
maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan
satu jenis pidana pokok saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis
pidana pokok yang lain), dan (b) tindak pidana yang diancamkan dengan
dua atau lebih jenis pidana pokok, di mana sifatnya alternatif. Artinya hakim
harus memilih salah satu saja. Sementara untuk menjatuhkan jenis pidana
tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif).
2) Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian
menjatuhkan
jenis
pidana
tambahan
(berdiri
sendiri),
tetapi
menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan
menjatuhkan pidana pokok.
Sesuai dengan namanya pidana tambahan penjatuhan jenis pidana
tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok. Melainkan
hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah
menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan
pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak
dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok,
melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok. Sementara jenis
33
pidana pokok dapat berdiri sendiri tanpa harus dengan menjatuhkan jenis
pidana tambahan.58
D.
Tinjauan Umum Tentang Anak
1.
Pengertian Anak
Pengertian anak masih merupakan masalah yang aktual dan sering
menimbulkan berbedaan pendapat antara para ahli hukum, salah satu
diantaranya adalah berapakah maksimal batas umur yang ditentukan bagi
seorang anak.
Mengenai umur anak para ahli hukum tidak memiliki kata sepakat tentang
batas umur yang jelas dan dapat disetujui bersama.Tetapi, umumnya yang
dimaksud dengan anak adalah orang yang belum dewasa atau yang masih
muda umurnya dan belum menikah.
Sistem hukum kita terdapat pluralisme mengenai kriteria anak.Hal ini
diakibatkan karena tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara
tersendiri kriteria tentang anak dan merupakan pembatasan untuk suatu
perbuatan tertentu dan tujuan tertentu sehingga perumusan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan tentang pengertian anak tidak memberikan
konsepsi yang jelas tentang anak.
Adapun perbedaan tentang pengertian anak dalam peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut:
1.
Anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak
Tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai berikut:
58
P.A.P. Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung. Hlm. 47
34
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”.59
1) Anak menurut Hukum Perdata Dalam hukum perdata, semua
manusia tanpa pengecualian merupakan subjek hokum yaitu
pendukung hak dan kewajiban. Bahkan dimulai sejak ia dalam
kandungan ketika ada kepentingan yang menghendaki. Ketentuan
yang mengatur mengenai batasan umur dapat kita temui dalam
beberapa Pasal baik buku I tentang orang maupun buku III tentang
perikatan. Dimana batasan umur seseorang yang dianggap masih
anak-anak atau belum dewasa yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu
kawin.Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21
tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum
dewasa.60
2) Anak menurut Hukum Pidana. Anak dalam penjelasan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan
“belum dewasa” adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan
belum kawin.61
59
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 330 KUHPerdata
61
Pasal 45. R. Soesilo, 1991. K.U.H.P. serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi
Pasal:Bogor.
60
35
2.
Anak menurut Hukum Ketenagakerjaan mendefinisikan: “Anak adalah
setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun”.62
3.
Anak menurut Undang-Undang Perkawinan mengatakan: “seorang pria
hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (Sembilan belas)
tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.63
4.
Anak menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia mendefinisikan:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.64
5.
Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak mendefinisikan:
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan belum pernah kawin”.65
6.
Anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Right of
the Child). Bahwa anak adalah mereka yang belum berumur 18
(delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Dalam
konvensi ini tidak disebutkan pernah kawin sebagai persyaratan
kedewasaan sehingga hal ini menimbulkan kesimpangsiuran.Namun
pembatasan criteria mengenai anak tidak berlaku mutlak bagi Negaranegara yang telah meratifikasi hasil konvensi tersebut.Negara diberi
62
Pasal 1 angka 26, UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
64
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
65
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
63
36
kebebasan untuk membatasi criteria seseorang berdasarkan undangundang yang berlaku di Negara masing-masing.
7.
Anak menurut hukum Islam Menurut hukum Islam, anak adalah
seseorang yang belum baliq atau berakal, dimana mereka belum
dianggap cakap untuk berbuat dan bertindak.66
66
Zakariya Ahmad Al Barry.__. Hukum Anak Dalam Islam. Jakarta. Hlm. 89
37
Download