BAB IV TEOLOGI PEREMPUAN MENURUT HAMKA DALAM TAFSIR AL-AZHAR A. Analisis Teologi Perempuan Dalam Tafsir al-Azhar Teologi dan perempuan, jika keduanya digabungkan, maka akan menjadi sebuah bahasan yang menyangkut keterkaitan antara hubungan agama terhadap perempuan.1 Menurut Riffat Hasan, akar pemahaman teologi perempuan bermula dari adanya kenyataan akan sikap subordinat masyarakat terhadap perempuan, yang meyakini, bahwa hal tersebut merupakan dasar asumsi teologis, sehingga anggapan mereka menyatakan, laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Asumsi-asumsi mereka ini (para masyarakat), biasanya didasarkan pada beberapa anggapan, pertama, anggapan bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka secara ontologis perempuan derivatif dan sekunder, kedua, anggapan bahwa perempuan, bukan laki-laki, yang merupakan penyebab utama dari apa yang biasanya dianggap sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari Taman Firdaus, karena itu semua “anak perempuan (hawa)” harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan hina, ketiga, perempuan diciptakan tidak hanya dari laki-laki tapi juga untuk laki-laki, sehingga eksistensinya hanyalah sekunder, pelengkap dan tidak memiliki arti frundamental.2 1 Amin Abdullah, dkk, Islam dan Problem Gender (Yogyakarta: Aditya Media, 2000), hlm. 27. 2 Riffat Hasan,”Teologi Perempuan Dalam Islam: Sejajar di Hadapan Allah?”, terj. Wardah Hafidz, Jurnal Ulumul Qur’an, (Vol. 1, No. 4, 1990), hlm. 50-51. 109 Selain itu, kenyataan pemahaman teologi yang berlandaskan bahwa asumsi kekuasaan hierarkis laki-laki atas perempuan dianggap sebagai keputusan Tuhan yang tidak bisa diubah. Argumen yang diajukan untuk hal ini biasanya adalah pernyataan Tuhan dalam al-Quran bahwa laki-laki adalah qawwāmūn atas perempuan.3 ضى َج ِءب َجا أَجل َجفقُل ى الِّر َج اُلى َج َّو ُلا َجوى َج َج ى ا ِّرل َج ِءآى ِءب َجا ى َجف َّو... ٍ ْض ُله ْمى َج َج ى َجبع ض َجاىهللاُلى َجبعْ َج ....اِءوْ ىأَج ْا َج ا ِءِءه ْمى “Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkah sebagian dari harta mereka.” (QS an-Nisā : 34). Kata qawwāmūn, kebanyakan mufasir masa klasik mengartikanya sebagai pemimpin, penanggungjawab, penguasa, pelindung dan sejenisnya. Argumen yang dikemukakan untuk tugas kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini adalah karena laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Dengan demikian, hierarkis kekuasaan laki-laki atas perempuan telah mendapat legitimasi teologis. Dari sini, berarti pernyataan Tuhan tersebut merupakan ketentuan pasti dan tidak bisa diubah.4 Munculnya sikap kesewenang-wenangan dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan imbas dari beberapa faktor di atas, sehingga laki-laki menjadi di absahkan kekuasaanya baik secara hukum maupun kepentingan 3 Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak- hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, hlm. 206-207. 4 Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak- hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, hlm. 206-207. 110 lainnya.5 Ditambah lagi sistem patriarki yang menempatkan posisi pria dalam hierarkis yang lebih tinggi menjadi faktor pendukung dalam anggapan peran lakilaki lebih mendominasi, terutama di sektor publik. Di sisi lain, mayoritas masyarakat Islam sebagian besar masih meyakini bahwa teks-teks ajaran keagamaan yang ditafsirkan dalam perspektif “kepentingan” maskulin, merupakan kebenaran yang sudah menjadi kodrati, sehingga pemahaman yang muncul akan berpeluang cendrung bersifat dikotomis terhadap peran yang dijalankan perempuan, baik dalam peran publik maupun domestik.6 Dengan pemahaman teologis yang demikian, agama seakan menjadi dasar utama untuk menyudutkan kaum perempuan, yang mana nantinya berimbas menimbulkan ketidakidealan agama dalam menjalankan fungsinya sebagai hūdan linnās (petunjuk umat manusia) serta penopang dalam menegakkan kemaslahatan bagi ummatnya. Sebagaimana di kutip oleh Ahmad Baidowi7, menurut Riffat Hasan teks alQuran sebenarnya tidak serta merta mengindikasikan sebuah substansi yang bersifat menyudutkan suatu kaum, melainkan dapat di buktikan bahwa kandungan al-Quran sebenarnya merupakan satu jalinan pengertian yang saling menguatkan, selain itu, lanjut Riffat menegaskan, bahwa dalam menafsirkan sebuah teks alQuran juga harus sesuai dengan prinsip etik ideal moral, sehingga penafsiran yang 5 Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar “ Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak- hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, hlm. 205-206. 6 Amin Abdullah, dkk, Islam dan Problem Gender, hlm. 3-4. 7 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan Para Mufassir Kontemporer (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 94. 111 dihasilkan tidak menimbulkan marginalisasi pada jenis kelamin tertentu, dan tidak menimbulkan jenis kelamin tertentu menjadi tersudutkan.8 Menanggapi hal demikian, M. Quraish Shihab mengingatkan, bahwa ketika al-Quran menetapkan tugas kepemimpinan, hal tersebut dinyatakan sebagai sebab dari dua hal pokok. Pertama, karena adanya keistimewaan yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin, tetapi dalam konsteks qawwāmah lelaki lebih sesuai untuk menjalankan tugas tersebut dibandingkan dengan perempuan, alasan kedua, karena lelaki (suami) telah menafkahkan nafkah mereka, akan tetapi apabila hal demikian tidak di penuhi suami, misalnya karena sang suami sakit, dan suami tidak mampu memberi nafkah, maka perempuan (istri) dapat mengambil alih kepemimpinan itu.9 Bagi Hamka, dalam QS. an-Nisā : 34 tersebut memang sejatinya menjelaskan atas kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan,10 akan tetapi di dalamnya terdapat hak dan kewajiban yang sama untuk laki-laki dan perempuan.11Hamka menjelaskan, bahwa kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan memang sudah menjadi tradisi Islam untuk tidak mengangkat pemimpin (raja) perempuan, apalagi pejabat ataupun khalīfah, akan tetapi sejarah Islam Mesir membuktikan pada tahun 1249 Sajāratud Dūr (pohon permata), 8 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Quran dan Para Mufassir Kontemporer, hlm. 94. 9 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 368-369. 10 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 58. 11 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V, hlm. 58. 112 seorang perempuan Mesir menjadi taja, menggantikan suaminya Sultan Malikus Shalih, yang meninggal berangkat perang salib di Perancis Lodewijk IX.12 Selain itu, dalam pandangan Ahli fiqih di Indonesia, jika keadaan memerlukan perempuan untuk diangkat menjadi raja, dan perempuan tersebut sanggup menjalankan peranya menjadi pemimpin, maka itu dibolehklan. sebagaimana sejarah kerajaan Islam di Aceh, pada tahun 1641, ketika raja Iskandar Agoyat meninggal, istrinya memilih putrinya sebagai pengganti pemegang kerajaan sebab raja Iskandar tak memiliki putra, sehingga putrinya di beri gelar Sultan Taj‟ul Alam Syafiyatuddin Syah. Memegang kekuasaan kerajaan selama 34 tahun, dan beliaulah yang menjadi pemimpin permpuan pertama di Indonesia. Dan setelah tiga tahun berakhirnya kepemimpinan Syafiyatuddin Syah hingga tahun 1675, pada tahun 1678 muncul pula pemimpin kerajaan seorang perempuan bernama Sultanat Kamalat Syah, memerintah selama 10 tahun sampai tahun 1699.13 Dan sejarah mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan pertama di Aceh berjalan lancer. Jika melihat dari relitas sejarah yang ada dalam kerajaan Islam di Aceh waktu itu. Dengan demikian hadits yang mengatakan bahwa “akan celaka jika mengangkat pemimpin perempuan” tersebut bagi Hamka dianggap tidak relevan.14 12 Hamka, Membahas Soal-Soal Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 182. Hamka, Membahas Soal-Soal Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 183 14 Hamka, Membahas Soal-Soal Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 183-184. 13 113 Demikian bunyi hadits tersebut : اَج َجق ْ ى َجل َجف َجع ِءل َّو ىهللاُلى َج َّو َج َجل ى ُل ْ َجا وُل ىبْوُل ى ْا َجه ْ َج ِءمى َج َّو َج َجل ى َج ْ ٌف ى َج وْ ى ْا َج َج ِءوى َج وْ ىأَج ِءب ى َجب ْ َجل َجى َج َجاى ص َّو َّو ىهللاُلى َج َج ْ هِءى َج َج َّو َجمىأَج َّو َجمى ْا َج َجا ِءاى َجبعْ َجى َجا ى ِء ْ ُل تىأَجوْ ى ىل ُل ِءا َّو ِء ىهللاى َج ِءب َج ِء َجاةٍى َج اِءعْ ُلت َجه ىاِءوْ َج ص َّو َّو ىهللاُلى َج َج ْ هِءى َج َج َّو َجمىأَجوَّو ى ىب َجصْ َج اِءى ْا َج َجا ِءاى َجف ُل َج ِءت َجاى َجا َجع ُله ْمى َج َجاىاَج َّوا ى َجب َج َجى َجل ُل َجا َّو ِء ىهللاى َج أَج ْا َج َج ِء ىب ْل َج تى ِء ْ َجل ى َج َجاىاَجوْ ى ُل ْف ِء َج ى َج ْ ٌفمى َج اَّو ْ ىأَجا َجْل ُل ْمى ا َجْلأَجًةى أَج ْ َجاى َجف ِءل َج ى َج ْ ى َجا َّو ُل ى َج َج ِءْه ْم ِء “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka. Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita." (HR. BUKHARI). Secara tekstual hadits tersebut seakan menjadi dalil untuk melegalkan perintah akan larangan kepada perempuan untuk memimpin suatu negeri, akan tetapi tidak kendati hadits tersebut dimakan secara mentah-mentah, melainkan di balik teks hadits tersebut juga terdapat asbab al-wurūd15 hadits (sebab munculnya hadits tersebut). 15 Asbab adalah bentuk jama‟ dari kata sabab yang berarti “segala sesuatu yang mengghubungkan kepada sesuatu yang lain atau penyebab terjadinya sesuatu”. Sedangkan lafadz “wurud” merupakan bentuk isim masdar dari “warada yufridu wurudan” yang berarti “datang atau sampai”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa “sababul wurud” adalah “sebab-sebab datangnya sesuatu”. 114 Dimana “asbabul al-wurūd” hadits tersebut ialah, menjelaskan pada masa itu, sebelum Nabi Muhammad saw menyampaikan hadits tersebut, Nabi saw pernah mengirim surat kepada banyak pembesar negeri sekitar arab untuk memeluk agama Islam. Kisra Persia merupakan salah satu pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi Muhammad saw, akan tetapi pembesar Persia malah menyobeknyobek surat pemberian Nabi saw. Mendengar kejadian tersebut Nabi saw mengeluarkan sebuah statemen “orang yang merobek surat tersebut maka diapun akan di robek-robek. Jelang beberapa dekade, kerajaan Persia mengalami kekacauan dalam berbagai bidang seperti halnya di doakan oleh Nabi saw. Raja persia di bunuh putranya sendiri karena ambisi menjadi raja, namun sayangnya tidak lama kemudian sang putra meninggal dunia akibat meminum racun yang memang sudah disiapkan oleh ayahnya, kemudian kerajaan di pimpin oleh anak perempuanya (Buwaran), yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia. Karena memang sang putri ini tidak memiliki kualititas seorang pemimpin yang adil, bijaksana, visioner, dan karakteristis kepemimpinan lainya, melainkan hanya ingin berkuasa (harsh: tamak) pada masa kepemimpinanya, Ratu kisra juga tidak mengaplikasikan nilai-nilai musyawarah dan mufakat, dan juga tidak menghormarti pihak lain. hubungan antar individu menjadi tidak baik dan pembunuhan meraja lela. Mendengar berita dan situasi tersebut maka Nabi saw merespon dengan hadits di atas tersebut.16 16 Hamka Hasan, Tafsir Jender (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 205 115 Dengan dasar penjelasan asbabul al-wurūd hadits di atas, ungkapan Hamka akan “ketidak relevanan”17 hadits tersebut bukanlah sebuah anggapan tanpa dalil, melainkan sebuah pemahaman dalam rangka meninggalkan pemahaman teologis yang tidak relevan menjadi yang relevan. Di lain itu, sejarah kesuksesan kepemimpinan perempuan pada masa Sajaratud Dūr (pohon permata) th 1249 di Mesir, di Aceh, pada tahun 1641 Sultan Taj‟ul Alam Syafiyatuddin Syah. Sultanat Kamalat Syah,18 menjadi bukti bahwa perempuan juga boleh menjadi pemimpin asalkan ia mampu. Dengan landasan ini, Hamka telah merekonstruksi pemahaman teologis perempuan yang dianggap sebagai makhluk Tuhan yang tersubordinasi, menjadi pemahaman teologis yang menghargai dan menghormati kaum perempuan. Hal ini karena perempuan juga sama seperti laki-laki sebagai hamba Tuhan, begitu pula berarti perempuan dan laki-laki berhak diperlakukan secara adil sebagaimana mestinya. Lebih jauh, Hamka menguraikan bahwa pada dasarnya, Islam tidak memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki, karena pemahaman subordinasi laki-laki dan perempuan sebenarnya hanyalah hegemoni pemahaman pengaruh ajaran Kristiani yang memandang perempuan adalah sumber dosa.19 Hal ini sebagaimana di sebutkan dalam Bible dinyatakan “yang mula-mula memakan buah terlarang adalah Eva sedangkan Adam setelahnya, Mereka tidak mempunyai hak apa-apa.” Menurut ajaran Paulus: Wanita wajib tunduk kepada 17 Hamka, Membahas Soal-Soal Islam .,hlm. 183-184. Hamka, Membahas Soal-Soal Islam, hlm. 182-184. 19 Hamka, Studi Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 236-237. 18 116 suami,sebagai tunduk pada Tuhan, dia tidak berhak atas harta bendanya sendiri, namanya hilang kedalam nama suaminya bila dia telah bersuami. (Epesus 5:22). Melihat pandangan tersebut sangat berbeda dengan Islam yang memberikan penghormatan kepada kaum perempuan,20sebagaimana di dalam QS. an-Nisā: 19, suami diperintahkan: ............ِءى ىب ْا َجاعْ ُلل ى َج َج اِء ُلل ُلوَّو ِء... “...gaulilah isterimu dengan baik....” (Surat an-Nisā: 19). Selain itu, Hamka juga menanggapi akan maraknya anggapan setereotype terhadap perempuan yang dilandaskan dengan pemahaman, bahwa “perempuan di ciptakan dari tulang rusuk lak-laki”, bagi Hamka, pemahaman tersebut merupakan imbas hegemoni pemahaman dari ajaran Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana yang tertera dalam “Perjanjian Lama” yang bernama Kitab Kejadian” yang dianggap Kitab suci oleh Yahudi dan Nasrani. Dalam Kitab Kejadian” 2:21 tersebut terdapat keterangan “bahwa Tuhan mencabut tulang rusuk Adam untuk di jadikan Jodohnya”. Sedangkan al-Quran tidak berbicara demikian, menjelaskan tentang bagaimana asal usul penciptaan manusia21 melainkan sebagaimana tertera dalam QS. an-Nisā : 1. ىز ْ َج َجه ى َج َجب َّو ِءيىخ َج َجق ُل مىاِّروْ ى َجل ْف ٍ ى َج ِء َج ٍى َج َجخ َج َج ى ِءا ْل َجه َج ىل َّوب ُل ُلمى اَّوذ َج ثى َج أَج ُّ َجه ى ا َّول ُل ى َّوتقُل َج هللاى َج َجوى ىبهِءى َج ْألَجلْ َج َجمىإِءوَّو ى َج ىل َج الًةى َج ِء لًة ى َج ِءل َج آًةى َج َّوتقُل ى َج هللاى اَّوذِءيى َجت َج َجآا ُل َجو ِء ِءا ْل ُله َجا ِء }1{ىل ِء ًةب ى َج َج ْ ُل ْم َج 20 21 Hamka, Studi Islam, hlm. 236-237. Hamka, Membahas Soal-Soal Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 193 117 “Wahai manusia, bertaqwalah kamu kepada Allah yang telah menjadikan kamu dari diri yang satu dan dijadikanya pula daripadanya istrinya dan diperkembangkan daripada keduanya laki-laki perempuan yang banyak” Hamka menjelaskan, bahwa dalam ayat tersebut jelas tidak ada kejadian Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam, akan tetapi beberapa penafsir menjelaskan ayat tersebut berkaitan dengan penciptaan Siti Hawa dari tulang rusuk Nabi Adam.22 Selain dirinya, Hamka menyebutkan beberapa mufassir seperti Muhammad Abduh juga membantah penafsiran “tulang rusuk” dalam tafsir ayat tersebut, hingga ketika itu, Muhammad Abduh diklaim sesat sebab menolak pernafsiran “tulang rusuk” dalam tafsir surah an-Nisā : 1. Oleh sebab itu, bagi Hamka, penafsiran “tulang rusuk” dalam tafsir surat an-Nisā ayat 1 tidaklah tepat, yang tepat ialah bahwa ayat tersebut menjelaskan, tentang awal mula penciptaan manusia yang beasal dari nafsin wāhidatin dari dirinya yang satu.23 Hal ini berarti manuisa sama-sama memiliki sifat yang sama, seperti sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dan tidak menginginkan yang buruk. Oleh karena itu, setiap kita melihat orang lain hendaklah melihat diri kita sendiri. Sehingga dari diri yang satu, juga dijadikan jodohnya, yang kemudian di bagi menjadi dua, sebagian menjadi laki-laki dan sebagian menjadi perempuan, maka keduanya menikah dan berkembang biak. Hamka menjelaskan demikian karena dalam ayat selanjutnya ditegaskan: “serta keduanya memperkembang 22 23 Hamka, Membahas Soal-Soal Islam, hlm. 194 Hamka, Membahas Soal-Soal Islam, hlm. 194. 118 biakan laki-laki perempuan yang banyak”. Dari sinilah ayat tersebut menjelaskan perkembangan manusia di dunia, yang pada asalnya, manusia adalah satu dalam kemanusiaan, satu dalam keturunan, yang kemudian diciptakan laki-laki dan perempuan.24 Dalam ayat selanjutnya: “Bertakwalah kepada Allah, yang kamu tanyatanya tentang (nama-Nya) dan (periharalah) kekeluargaan”. Hamka menjelaskan hubungan dengan ayat sebelumnya, setelah dijelaskan tentang perkembangan manusia, maka supaya kerukunan dan kesejahteraan terpelihara, Allah memberikan kesadaran kepada manusia, setelah akal manusia itu tumbuh dan mereka telah hidup bermasyarakat, mereka selalu menyebut nama Allah yang telah menganugrahi mereka hidup dalam dunia. Setelah mereka menyebut dan bertanya-tanya tentang Tuhan, maka ayat selanjutnya menegaskan, bahwa Tuhan janganlah hanya menjadi pertanyaan, melainkan hendaklah ditanamkan dalam jiwa rasa taqwa kepada-Nya.25 Dari penafsiran di atas, dalam menafsirkan ayat tersebut, Hamka jelas tidak berbicara tentang “perempuan yang tercipta dari tulang rusuk” melainkan menjelaskan tentang dasar hidup dalam membangunkan kemasyarakatan yang bertuhanan dan berperikemanuisaan, dasar pertama ialah percaya kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya. Allah selalu menjadi isi pertanyaan diantara manusia apabila bertemu dengan manusia lain, dan di dalam bertaqwa kepada Allah itulah dibina silaturrahim antara sesama manusia. Sebab pada hakikatnya manusia pada mulanya hanyalah dari satu diri. Ayat ini juga menjadi dasar untuk meneladani 24 25 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 280. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV, hlm. 281. 119 ayat selanjutnya yang menerangkan tentang memelihara anak yatim, poligami, mahar, pernikahan, perceraian, rumah tangga, bahkan sampai dengan urusan peperangan dan perdamaian, dan semuanya ini didasarkan pada ayat pertama yaitu taqwa kepada Allah dan rahim sesama keluarga kemanusiaan.26 Dengan demikian, sebagai seorang mufassir kontemporer, secara tidak langsung Hamka telah merekonstruksi pemahaman teologi berdasarkan pedoman al-Quran, dari pemahaman teologi bias lama yang bersifat menyubordinasi jenis kelamin tertentu (perempuan) menjadi teologi yang membebaskan dari sikap subordinasi tersebut, sehingga dengan pemahaman teologi yang membebaskan seperti ini, agama benar-benar berperan sebagai petunjuk bagi umat manusia dan menyejahterahkan umatnya melalui sikapnya yang menjamin keadilan dan keseteraan bagi manusia (baik laki-laki maupun perempuan). Karena, hal ini juga merupakan prinsip kemerdekaan manusia yang berakar pada nilai-nilai tauhid yang juga berarti persamaan atau kesetaraan manusia secara universal. Sebagaimana dalam surat dan ayat yang lain, al-Quran berbicara bahwa manusia (lelaki dan perempuan) sama-sama meiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai manusia ciptaan Tuhan. Bahkan dalam kehidupan sosialpun mempunyai hak yang sama, hanya saja peranya sajalah yang berbeda. 27 Sebagaimana bunyi dalam Q.S al-Hujūrat : 13. ىاِء َجت َجع َجلفُل ْ ى إِءوَّو ى ىخ َج ْق َجل ُل مىاِّروى َجذ َج ٍلى أُلل َج ى َج َج َجع ْ َجل ُل ْمى ُل َج أَج ُّ َجه ى ا َّول ُل ىإِء َّول َج ا ُلع ًةب ى َج َج َجب ِءآ َجاى هللاى َج ِء ٌفم َج }13{ىخ ِءب لٌفى أَج ْ َجل َجا ُل ْمى ِء ل َجى ِء هللاىأَج ْت َجق ُل ْمىإِءوَّو ى َج 26 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 284. Baharuddin Lopa, Al-Quran dan Hak-Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Pt Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 74. 27 120 “Hai manusia, kami jadikan kamu laki-laki dan perempuan dan kamijadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Seseungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling taqwa”.(Q.S. al-Hujūrat : 13). Kata ( )تعارفوterambil dalam ayat tersebut berasal dari kata ( )عرفyang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat diatas mengandung makna saling mengenal. Tafsirannya adalah bahwasanya semakin kuat pengenalan satu pihak dan pihak lainnya dapat membuka peluang untuk saling memberi manfaat. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman dari pihak lain guna meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kemudian dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan. Kualitas ketaqwaan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT tidak dapat diukur oleh manusia, dan kadar ketakwaan hanya dapat diketahui oleh Allah SWT. Di sisi lain penutup ayat ini mengisyaratkan, bahwa apa yang ditetapkan oleh Allah SWT menyangkut dengan esensi kemuliaan adalah yang paling tepat, bukan apa yang diperebutkan oleh banyak manusia, karena Allah maha mengetahui dan maha mengenal.28 Dari penafsiran tersebut, jelas bahwa ayat di atas menegaskan tentang kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan, maka tidak wajar apabila seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari orang lain. Bukan saja antar satu bangsa, suku, warna kulit antara satu dan lainnya 28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 260-264. 121 maupun jenis kelamin mereka. Atas penjelasan ayat tersebut, maka nampak perbedaan manusia hanya diukur oleh segi ketaqwaan. Menurut Hamka, ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia pada mulanya berasal dari yang satu. Dengan demikian maka tidak lah ada perbedaan anatara manusia yang satu dengan yang lainya, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini juga ditegaskan di akhir ayat “sesungguhnya yang semulia-mulia di sisi Allah ialah yang setaqwa-taqwanya kamu” yang mana akhir ayat ini menegaskan bahwa kemulian sejati yang dianggap bernilai di hadapan Allah ialah kemulian hati, kemulian budi, kemulian perangai, serta ketaatan kepada Allah.29 Dengan penjelasan demikian, jelas bahwa Islam dengan asar al-Quran tidak membedakan status ataupun derajat untuk saling merendahkan satu sama lain, baik dari perbedaan jenis kelamin maupun lainya, karena bagi agama Islam, manusia sama di hadapan Tuhan (Allah SWT) sedangkan yang dibedakan hanyalah ketaqwanya. B. Kesetaraan Hak Perempuan Dalam Tafsir al-Azhar Perihal yang menyangkut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang bukanlah suatu yang dianggap biasa pada kalangan masyarakat pada umumnya, hal ini karena kebanyakan masyarakat masih saja memandang bahwa antara laki-laki dan perempuan bertempat pada posisi yang berbeda, asumsi pandangan ini biasanya dikaitkan dengan pencampur-adukan antara biologis (jenis 29 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXVI (Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982), hlm. 245. 122 kelamin) maupun melihat dari makna sosialnya (gender)30 yang dianggap sudah menjadi pemahaman yang tak tergantikan.31 Akar asumsi tersebut memang setidaknya sudah menghegemoni di kalangan masyarakat pada umumnya, karena pemahaman tersebut tak lain telah dibentuk, di sosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara social maupun kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara pada umumnya. 32 Bahkan proses pembentukan pemahamanya telah diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua (keluarga), masyarakat, bahkan lembaga pendidikan, sehingga pemahaman tersebut menjadi sebuah ideologi yang membentuk perbedaan perilaku serta menimbulkan sikap merendahkan terhadap perempuan.33 Melihat hal demikian, imbasnya jelas, dampak dari pemahaman tersebut di pertahankan terus menerus akan menjadi paradigma yang memandang bahwa kaum tertentu (perempuan) menjadi lebih di rendahkan derajatnya ketimbang lakilaki. Padahal pada dasarnya, Islam sebagai agama malah memberikan kedudukan yang tinggi untuk perempuan dalam hukum dan masyarakat.34 Sejarah Islam membuktikan, bahwa Islam mengangkat derajat perempuan sama dengan laki-laki. Tercatat pada masa pra Islam dalam nuansa Arab yang patriarkal perempuan bisa dikatakan mempuanyai suatu kewajiban, akan tetapi tidak mempunyai hak, namun setalah Islam datang yang dibawakan oleh Nabi 30 Asma Barlah, Cara Quran Membebaskan Perempuan (Yogyakarta: 2007), hlm. 54 Marshall Sahlin, Analsis Dengan Prespektif Gender Atas Majalah Wanita Di Indonesia (Yogyakarta: Fisipol UGM, 2006), hlm. 65. 32 Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 9. 33 Silvia Walby, Theorizing Patriarchy (USA: nOxford Blackwell, 1998), hlm. 29 34 Muhammad Daud Ali, Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Utama, 1995), hlm 200. 31 123 Muhammad saw perempuan menjadi berharga dan dihormati.35 Dari sini jelas, bahwa pemahaman yang masih saja memberikan pemahaman bahwa “perempuan lebih rendah dari pada laki-laki”, hal demikian bukanlah pemahaman dari Islam, melainkan hegemoni pemahaman masyarakat pra Islam, yang masih saja di jadikan kebiasaan hingga kini masyarakat pada umumnya. Karena Islam justru memandang perempuan lebih mulia dan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki, hal ini bukanlah ungkapan tanpa dalil, melainkan beberapa bukti menguatkan argumentasi tersebut, diantaranya terdapat banyaknya ayat al-Quran yang yang berkenaan dengan perempuan. Bahkan untuk menunjukan pentingnya kedudukan perempuan, dalam al-Quran terdapat surat dengan nama an-Nisā yang artinya perempuan, selain itu terdapat pula haditshadits Nabi Saw yang berbicara tentang perempuan dalam kedudukan hukum dan bermasyarakat.36 Sebagai pedoman umat Islam, beberapa ayat al-Quran telah mengungkap peranan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan37 sebagaimana bunyi QS. alAhzāb : 35. ص ِء ِء َجوى إِءوَّو ى ْا ُلا ْ ِء ِءا َجوى َج ْا ُلا ْ ِء َجا تِءى َج ْاا ُْلؤ ِءا ِءل َجوى َج ْاا ُْلؤ ِءا َجل تِءى َج ْا َجق ِءل ِءت َجوى َج ْا َجق ِءل َجت تِءى َج ا َّو ص ِّر ِء َجوى ص ِءب ِءل َجوى َج ا َّو ص ِء َج تِءى َج ا َّو َج ا َّو ص ِءب َجل تِءى َج ْا َجخ اِء ِءع َجوى َج ْا َجخ اِء َجع تِءى َج ْا ُلا َجت َج ص ِءآ َجا تِءى َج ْا َج فِءظِء َجوىفُل ُلل َج ُله ْمى َج ْا َج ِءف َجظ تِءى َج َّواذ ِءِءل َجوى ص ِءآ ِءا َجوى َج ا َّو ص ِّر َج تِءى َج ا َّو َج ْا ُلا َجت َج }35{هللاَجى َج ِء لًة ى َج َّواذ َجِءل تِءىأ ّ َج َّو ىهللاُلىاَجهُلمىا َّْوغف َجِءل ًةى َج أَج ْ لًة ى َجظِء ًةا ى 35 Muhammad Daud Ali, Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, hlm. 201. Muhammad Daud Ali, Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, hlm 200. 37 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, hlm. 15. 36 124 “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atanya, laki-laiki dan perempuan yang benar,laki-laki dan perempuan yang sabar,lakilaki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, dan laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanya ,laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (asma) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “(QS. al-Ahzāb: 35). Sebagai seorang Mufassir dekade kontemporer, Hamka menjelaskan, bahwa ayat tersebut hendak memberikan pemahaman kepada umat manusia akan kesamaan kedudukan perempuan dan laki-laki yang muslim serta mukmin, keduanya tidak ada perbedaan sedikitpun dalam tatatan Islam di hadapan Allah swt.38 Dari penjelasan Hamka tersebut jelas, bahwa dalam Islam tak ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan, lebih-lebih Hamka menegaskan, bahwa terdapat kedudukan yang sama antara perempuan dan lakilaki yang muslim (beragama Islam) dan mukmin (beriman kepada Allah swt dan Rasul-Nya). Dari pemaparan al-Quran dan penjelasan Hamka akan ayat tersebut, nampak jelas bahwa Islam dengan dasar al-Quran benar-benar tidak memandang perempuan dalam keadaan yang direndahkan, sehingga kebenaran ini perlu diaplikasikan guna menegakan pedoman al-Quran sebagai hūdan linnās umat 38 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), hlm. 28 125 manusia. Keharusan menegakan suatu kebenaran telah tertera, sebagaimana dalam bunyi firman Allah dalam QS. al-Baqarah 2 : 147. }147{كى َجفالَجى َجت ُل َجلوَّو ىا َجِءوى ْا ُلا ْا َجت ِءل َجوى ْا َج ُل ىاِءوىلَّو ِّرب َج “Yang benar dari Tuhanmu, maka janganlah kamu masuk orang-orang yang ragu” Ayat ini menegaskan, akan keharusan menegakan kemaslahatan dan menolak kerusakan, karena hal inilah merupakan prinsip dasar atas hukum-hukum Tuhan. Bagi Hamka, ayat ini menjelaskan, bahwa seberapapun mereka (manusia) menyembunyikan sebuah kebenaran, namun kebenaran tetaplah datang dari Tuhan, dan tidak ada satupun selain Tuhan yang dapat menyembunyikan kebenaran.39 Dari sini jelas bahwa, apa yang di sebutkan al-Quran tentang sebuah kebenaran memang tidak dapat di sembunyikan oleh manusia, jika kebenaran itu tetap saja di sembunyikan, maka tetap sajalah kebenaran tersebut nantinya akan terlihat, karena kebenaran akan datang dari Allah SWT. Atas landasan demikian, sebuah kebenaran memanglah harus ditegakan dan dijalankan, guna menciptakan kesejahterahan yang mengedepankan kemaslahatan umat, karena dengan menegakan kebenaran sebagaimana dijelaskan ayat al-Quran tadi, maka sikap yang bersifat mendikreditkan jenis kelamin tertentu (perempuan) dan merendahkan kaum tertentu (perempuan) tidak akan terjadi, karena jelas bahwa agama membenarkan akan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini di dukung dengan bunyi al-Quran dalam Q.S al-An‟ām : 5740: 39 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 15. Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar “ Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hakhak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, hlm. 205. 40 126 هللى َج قُلصُّ ى ْا َج َّو ى َج ُل َج َج ىخ ْ لُلى ْا َجف صِء ِء َجوى ىإِء ِءوى ْا ُل ْ ُلمىإِءالَّوى ِء..... “Hukum hanyalah wewenang Allah. Dialah yang menyatakan kebenaran (al- ḥaq) dan dialah sebaik-baik yang memutuskan”.41 Dengan demikian, hukum-hukum yang dibuat oleh paradigma manusia, tidak boleh di benarkan (sebagaimana hukum yang bersifat diskriminasi terhadap perempuan), sedangkan hukum hanya dapat dibenarkan sesuai dengan hukumhukum Tuhan tersebut,42 karena agama bersifat membebaskan manusia.43 Hamka menanggapi akan masalah demikian, Menurutnya Islam sangat memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan, dengan demikian, jika terdapat kaum perempuan yang bersikukuh untuk menuntut haknya, maka hal tersebut bukanlah berontak terhadap aturan agama Islam, melainkan berontak untuk menuntut hak-hak mereka yang telah diberikan oleh alQuran yang selama ini dirampas oleh susunan foedal pemahaman kebodohan.44 Karena bagi Hamka, beberapa ayat-ayat al-Quran turun menyebutkan nama perempuan bersama nama laki-laki. Mereka (para perempuan) memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa di intervensi laki-laki. Bahkan beberapa surah diberi nama “an-Nisā” yang berarti perempuan, ataupun nama seorang perempuan, seperti Maryam dan beberapa surat yang berkaitan dengan persoalan hak reproduksi perempuan seperti aṭ-ṭalaq45 41 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, hlm. 180. Abdurrahman Wahid, dkk, Menakar “ Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hakhak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, hlm. 205. 43 Ukasyah Abdulmannan Aṭibi, Taḍūru Akhlaqun Nisā’i (Kairo: Maktabah aṭ-ṭurāṡ al-Islami, 1993), hlm. 51. 44 Hamka, Studi Islam, 238. 45 La Ode Angga,“Hak Reproduksi Perempuan Dalam Perspektif Syariat Islam” Jurnal, Muwâzâh, (Vol. 3, No. 2, Desember 2011), hlm. 481. 42 127 serta segala aktifitas kehidupan praktis yang lain.46 Sebagimana bunyi Q.S. alBaqarah : 228. َج ْا ُلا َجط َّو َجق ُل ىب َج ْلفُل ِء ِءهوَّو ى َج الَج َج َجةى ُل ُلل ٍآى َج الَج َج ِءاُّىاَجهُلوَّو ىأَجوى َج ْ ُلتا َجْوى َجا َجخ َج َج ىهللاُلى ِءف ى تى َج َجت َجلبَّوصْ َجو ِء َج كىإِءوْ ى ىب ِء ىب َجل ِّر ِءوَّو ى ِءف ى َجذاِء َج هللى َج ْا َج ْ ِءمى ْألخ ِءِءلى َج ُلب ُلع اَج ُلتهُلوَّو ىأَج َج ُّ ِء أَجلْ َج ا ِءِءهوَّو ىإِءوى ُل وَّو ى ُْلؤاِءوَّو ِء ِء ى َج اِء لِّر َج ِءاى َج َج ِءْهوَّو ى َجَجل َج ٌفةى َج هللاُلى ىب ْا َجاعْ ُلل أَج َجل ُل ىإِءصْ الَج ًة ى َج اَجهُلوَّو ى ِءا ْ اُلى اَّوذِءيى َج َج ِءْهوَّو ِء }228{َج ِءز ٌفزى َج ِء ٌفمى “ Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali queru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka para (perempuan) memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban menurut cara yang patut,..... Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” Menurut Hamka, ayat ini menerangkan sebuah hak dan kewajiban perempuan, sebagaimana laki-laki juga memiliki kewajiban. perempuan juga memiki hak untuk di hargai, hak milik untuk dirinya dan lain sebagainya. Selain demikian, ayat ini juga memberikan penjelasan, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak mendapatkan taklīf dari Allah dalam hal iman dan beramal ṣalih, seperti ibadah, muamalah dan ketaatann kepada Allah swt, maupun pergaulan hidup.47 46 La Ode Angga,“Hak Reproduksi Perempuan Dalam Perspektif Syariat Islam” Muwâzâh, hlm. 481. 47 Hamka, Tasfir al-Azhar Juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 276-278. 128 Jurnal, Di zaman Nabi saw, perempuan-perempuan juga dibai‟at, sebagaimana lakilaki dibaiat, serta perempuan-perempuan juga ikut dalam peperangan sebagaimana pula laki-laki ikut perang untuk berjihad, hanya saja pekerjaan antara keduanya di bagi untuk saling melengkapi. Pada Masa Islam waktu itu, Nabi Muhammad saw juga memperlakukan sama, baik kepada laki-laki maupun perempuan, sebagaimana ketika waktu hari raya idul fitri sekiranya Nabi saw selesai memberikan khutbah kepada kaum laki-laki, kemudian Nabi saw berkhutbah untuk kaum perempuan, bahkan Nabi saw memperlakukan kaum perempuan dengan sangat menghargai dan menghormati kaum perempuan.48 Selain itu, ayat tersebut juga menjelaskan, bahwa perempuan yang menjadi istri juga mempunyai hak dan kewajiban, diakhir ayat disebut “bil ma’rūf” diartiakan “patut” (hak-hak yang berpatutan menurut hukum masyarakat). Hal ini berarti perempuan berhak mendapatkan nafkah, pakaian yang mencukupi, pendidikan tinggi, kegiatan bersama sesama perempuan, dan sejenisnya, asalkan semua itu tidak melanggar agama dan ma’rūf. 49 Hal demikian, sesuai dengan penjelasan dalam Hadits Nabi Muhammad saw dalam riwayat Abu Dawud. ى َجا ى َج ُّ َج,هللا ُل ى ُل ْ ُل:ىلىضِء َج ىهللاى َج ْلهُلى َج َجاى ىز ْ ى َج ةِءىأَجى ىل ُل ْ َجاى ى تى َج َج ْوى َج ْ َجى َج َج َج وْ ى ُلا َجع ى ِء ى َج َجةىب ِء ْ ْىأَجو:ا ى َج ىالَجى َجتضْ ِءلى.ْت ى َج ى َجت ْ ُل ْ ى َج ى ِءى َجذى ْ َجت َج َجى,ْت ىتط ِءع َجا َجه ى ِءى َجذ ى َجط ِءعا َجى ِء َجى َجل ى َج َج ْ هِءى ى َج َجى ىى. ىل هىأب ى ى.ت ى َج ىالَجى َجت ْه ُللْ ى ِءالَّوى ِءف ى ْا َجب ْ ِءى,اِءى ْا َج ى ْ َجهى َج ىالَجى ُلت َجق ِّرب ْى 48 49 Hamka, Tasfir al-Azhar Juz II, hlm. 277. Hamka, Tasfir al-Azhar Juz II, hlm. 278. 129 Mu’awiyah bin Haidah bertanya.”Ya Rasulullah, apakah hak seorang isteri terhadap suaminya? Jawab Nabi SAW: “ harus kau beri makan jika kau makan, dan kau beri pakaian jika kau berpakaian, dan jangan memukul muka dan jangan menjelekanya, dan jangan memboikot kecuali dalam rumah saja’ (HR. Abu Dawud). Diakhir ayat al-Baqarah ayat 228 disebutkan“Dan Allah maha menguasai dan maha bijaksana.” Menurut Hamka, ayat ini menjelaskan, bahwa Allah Maha kuasa untuk menghukum seorang suami yang bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya, dan Allah pula maha kuasa untuk menghukum istri yang meminta lebih dari batas hak dan kewajibanya.50 Dengan demikian, berdasarkan penjelasan Hamka dari beberapa ayat-ayat al-Quran tersebut, maka, Islam dengan pedoman al-Quran tidak membedabedakan hak antara laki-laki dan perempuan, serta keduanya sama-sama memilki hak dan kewajiban. Selain beberapa ayat yang telah diungkapkan diatas, lagi-lagi al-Quran juga menegaskan pula tentang hak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, hal ini sebagamana penjelasan al-Quran akan adanya balasan yang sama antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana dalam QS. ali-Imrān : 195. ض ُل مىاِّروى ىل ُّب ُله ْمىأَج ِّرل ىآلَجأُلضِء عُلى َج َجا َجاى َج ا ٍِءاىاِّرل ُل مىاِّروى َجذ َج ٍلى َج أُلل َج ى َجبعْ ُل اىاَج ُله ْم َج َجف ْ َجت َج َج ضى َجف اَّو ِءذ َجوى َج َج ُلل ى َج أ ُل ْخ ِءل ُل ىاِءوى ِء َج ِءل ِء ْمى َج أ ُل ُلذ ى ِءف ى َج ِءب ِء ى َج َج َجت ُل ى َج ُل ِءت ُل ى ٍ َْجبع 50 Hamka, Tasfir al-Azhar Juz II, hlm. 279. 130 أل ُل َج ِّرف َجلوَّو ى َج ْل ُله ْمى َج ِّر َجآ ت ِءِءه ْمى َج أل ُل ْ ِءخ َج َّول ُله ْمى َج َّول تٍى َجت ْ ِءليىاِءوى َجت ْ ِءت َجه ى ْألَج ْل َجه لُلى َج َج ًةب ىاِّروْ ى ِء ل ِءى )ى195(ا هللاى َج هللاُلى ِء ل َج هُلى ُل ْ وُل ى ا َّو َج ِءى ِء “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. āli-Imrān: 195).51 Menurut Hamka dalam tafsir al-Azhar, ayat tersebut menjelaskan bahwa segala permohonan seseorang terhadap Allah SWT, maka Allah pasti akan mendengarkan apa yang dimohonkanya, tetapi permohonan seseorang tidaklah cukup dengan menadahkan kedua tangan dan kerendahan hati, melainkan dengan perbuatan, amal ibadah, kerja dan usaha. Dengan demikian, maka Allah akan mengabulkan permohonanya. Hal ini karena sejatinya iman adalah dengan tindakan.52 Lebih lanjut, Hamka menjelaskan, bahwa dalam masalah amal tidak hanya diberatkan kepada laki-laki saja. Tetapi perempuan juga mempunyai hak dan kewajiban, seperti halnya laki-laki yang mempunyai hak dan kewajiban. Hal ini di 51 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, hlm. 97. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 255. 52 131 buktikan sebagaimana seorang suami dan istri yang saling melengkapi, seperti halnya si suami yang bekerja keluar untuk mencari nafkah. sedangkan isteri bekerja di rumah menjaga ketentraman dalam rumah tangga.53 Di dalam tafsir alAzhar, Hamka menegaskan bahwasanya kerjasama antara laki-laki dan perempuan hukumnya wajib dalam menegakkan amal. Hal ini karena menurut Hamka telah dibuktikan dalam sejarah Islam sejak mula perkembangannya, dari Makkah sampai Madinah. Sebagaimana yang menyatakan percaya pertama sekali kepada Rasulullah ialah perempuan, yaitu isteri beliau yang pertama Khadijah binti Khuwailid ra. Selain itu, syahid yang pertama karena memperjuangkan Islam juga perempuan yaitu Ummi Yasir, yang disula (ditusuk) kemaluannya sampai menembus lehernya dengan pucuk daun pohon kurma.54 Lanjut Hamka, sebagaimana dalam sejarah, Hamka menjelaskan sejarah seorang Shafiyah binti Abdul Muthalib, Ammah (saudara dari ayah) Nabi saw, saudara kandung Hamzah yang perwira, yang mana ketika ikut dalam peperangan satu kali turun dari bentengnya ia membunuh orang musyrik. Berkata Ibnu Abbas: “Perempuan-perempuan ikut berperang bersama Rasulullah,” Berkata Ibnu Mas‟ud: “Perempuan-perempuan di peperangan Uhud berdiri di garis belakang kaum laki-laki mengobati yang luka. Sebab itu kepala-kepala peperangan seperti Abu Ubaid bin Khalid bin Walid memerlukan juga tenaga perempuan dalam perang. Ketika menaklukan Damaskus banyak perempuan turut dalam perang. Mereka duduk di kemah menunggu kalau ada yang luka dan diobati, tetapi di tangan mereka ada pula batu dan tongkat. Kalau ada laki-laki yang mundur dan 53 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV, hlm. 255-256. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV, hlm. 258. 54 132 berlari ke dalam kemah, mereka lempari dengan batu atau mereka pukuli dengan tongkat, kemudian mereka angkat anak-anak mereka yang masih kecil lalu berkata: “Pertahankan keluargamu dan belalah Islam”. Bahkan Khalid berkata kepada perempua-perempuan itu: “Wahai perempuan-perempuan Islam, kalau ada laki-laki yang mundur, hendaklah bunuh saja”.55 Sebagaimana dikutip oleh Hamka, Menurut Imam Al-Auza‟i, perempuanperempuan yang ikut berangkat perang berhak menerima bagian dari ghanimah, sedangkan Ibnu Rusyd di dalam kitab Bīdayatul Mujtahid berkata: “sama pendapat ulama‟ bahwa perempuan boleh ikut berperang”. Ibnu Hazm berpendapat, bahwa perempuan pergi berperang adalah sunnah. Ada tiga tingkat fatwa ulama‟ tentang ikutnya perempuan dalam perang: Pertama adalah mūbah; boleh, artinya kalau ada perempuan yang ikut berperang jangan dihalangi. Kedua, sunnat; yaitu bagi perempuan-perempuan yang punya kesanggupan dan keahlian, terutama dalam mengobati yang luka. Ketiga, perempuan wajib berperang, sebab telah menjadi fardhu ain, apabila musuh telah masuk ke dalam negeri, supaya merekapun turut berjuang bersama laki-laki. Dalam akhir penjelasan penafsiranya terhadap QS. ali-Imrān: 195, Hamka menegaskan, demikian kata al-Quran dan demikian pula sunnah Rasul saw pada contoh-contoh perempuan pada zaman Rasulullh saw dan zaman sahabat-sahabat, pendapat para ulama, niscaya jelas bahwa dalam hal yang lainpun perempuanperempuan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, yaitu di 55 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV, hlm. 259. 133 dalam bakat dan bidang yang sesuai dengan keadaan dirinya sebagai perempuan. Lebih lanjut Hamka menegaskan, Carilah agama lain yang bersikap setegas itu terhadap perempuan. Maka jika ada negeri Islam yang masih terdapat perempuan yang tertindas dan tidak diberi hak, maka itu bukanlah dari Islam, melainkan setelah umat Islam yang tidak berpedoman kepada Islam lagi”.56 Berlandaskan hal tersebut, maka jelas bahwa perempuan dan laki-laki berada dalam keadaan setara, yang mana berarti keduanya berhak mendapatkan hak yang sebanding dan diperlakukan secara adil, karena hal inilah yang diajarkan oleh agama Islam. terlebih sebagai seorang muslim serta mukmin, maka wajib hukumnya memperlakukan manusia secara adil baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kendati hal tersebut juga telah juga termaktub dalam Q.S. an-Nāhl : 90: ْ ئىذِءيى ْاقُللْ َجب ى َج َج ْل َجه ى َج ِءوى ْا َجف ْ َجا ِءآى َج ْااُلل َج ِءلى إل ْ َج ِءوى َج إِء َجت ِء إِءوَّو ى َج هللاى َج ُلال ِء ُلىب ْا َجع ْ ِءاى َج ْ ِء َج ْا َجب ْغ ى َج ع ُل ِءظ ُل ْمىاَج َجع َّو ُل ْمى َجت َجذ َّو ُلل َجوى ِء “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”57 Sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, menurut ar-Raghib alAshfihani kata ( )اإلحسانal-ihsān digunakan untuk dua hal: pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua, perbuatan baik. Karena itu lanjutannya kata 56 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz IV, hlm. 260. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Kemenag RI, 2002), hlm. 377. 57 134 ihsān lebih luas dari sekadar „memberi nikmat atau nafkah.” Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna “adil”, karena adil adalah “memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya terhadap Anda,” sedang ihsān adalah memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap Anda.” Adil adalah mengambil semua hak Anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsān adalah memberi lebih banyak daripada yang harus Anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya Anda ambil.58 Sedangkan perintah yang ketiga, yaitu memberi kepada keluarga yang terdekat, hal inilah merupakan lanjutan dari pada ihsān, hal ini sebagaimana memberikan sebagian rizkinya untuk saudara-saudanya, lebih lanjut saudara kandung dari ayah dan Ibu perlu di dahulukan.59 Menanggapi ayat tersebut, Hamka mengungkapkan, bahwa dalam Q.S. anNāhl : 90 mengandung tiga hal perintah Allah SWT, pertama jalan adil yaitu tidak berat sebelah, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, lawan dari adil adalah zālim, yang berarti memungkiri kebenaran karena hendak ingin mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Sedangkan yang kedua melatih berbuat Ihsan yang mengandung dua arti, pertama, meninggikan amalan, kedua, memberikan kebaikan lebih dari kebaikan yang diberikan kepada kita.60 Al-Quran selalu menghargai kebenaran, tidak peduli darimana atau siapapun datangnya. Karena itu, laki-laki atau perempuan, tidak pernah dihalangi untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini terbukti sebagaimana dialog antara Nabi saw dengan ḥawlat binti Tsa‟lāb, ia mengadukan kepada Nabi saw perihal suaminya 58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 7 (Jakara: Lentera Hati, 2002), hlm. 324. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV (Jakarta:Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 283. 60 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV, hlm. 283. 59 135 (Aus bin al-Shamit) yang telah men-zihar-nya.61 Yang kemudian turunlah empat ayat pertama dari surat al-Mujādalah: كى ِءف َج هللاى َج هللاُلى َج ْ َجاعُلى َجت َج ُل َجل ُل َجا ى ىز ْ ِء َجه ى َج َجت ْا َجت ِء ىإِءاَج ى ِء َج ْ ى َج ا َجِءعىهللاُلى َج ْ َجاى اَّو ِءت ى ُلت َج ِء ا ُل َج هللاى َج ِءا عٌفىبَجصِء لٌفى{ }1ى اَّو ِءذ َجوى ُل َجظ ِء ُلل َجوىاِءل ُل مىاِّروى ِّرل َج ِءآ ِءمى َّوا ُلوَّو ىأ ُل َّوا َجه ت ِءِءه ْمىإِءوْ ى إِءوَّو ى َج هللاىاَج َجعفُل ٌّ ى أ ُل َّوا َجه ُلت ُله ْمىإِءالَّوى اَّو ِءآ ى َج اَج ْ َجل ُله ْمى َج إِء َّول ُله ْمىاَج َج قُل ا ُل َجوىاُلل َج لًة ىا َجِّروى ْا َجق ْ ِءاى َج ُلز لًة ى َج إِءوَّو ى َج ُلىل َج َجبةٍىاِّروى َجغفُل لٌفى{ }2ى َج اَّو ِءذ َجوى ُل َجظ ِء ُلل َجوىاِءوى ِّرل َج آ ِءِءه ْمى ُل َّومى َج ُلع ُل َجوى ِءا َجا ى َج ا ُل ى َجف َجت ْ ِءل ل َج َجب ِءْاىأَجوى َج َجت َجا َّو ى َجذاِء ُل ْمى ُلت َج ُل ىب َجا ى َجتعْ َجا ُل َجو َج ىخ ِءب لٌفى{ }3ى َجف َجاوىاَّو ْمى َج ِء ْ ى َجفصِء َج ُلمى ىبهِءى َج هللا ُل ِء ظ َجو ِء كى ْوىاِءوى َجب ِءْاىأَجوى َج َجت َجا َّو ى َجف َجاوىاَّو ْمى َج ْ َجتطِء عْ ى َجفإِء ْط َجع ُلمى ِء ِّرت َجوى ِءا ْ ِء ًةل ى َجذاِء َج ْوى ُلا َجت َجت ِءب َجع ِء َجاه َجْل ِء هللاى َج ِءا ْ َج ف ِءِءل َجوى َج َجذ اٌف ىأَجاِء ٌفمى{}4 كى ُل ُل ُل ى ِء ىب ِء هللى َج َجل ُل اِءهِءى َج ِءت ْ َج اِء ُلت ْؤ ِءا ُلل ِء “...Sungguh Allah telah mendengar ucapan wanita yang berdialog denganmu tentang suaminya, dan ia mengadu kepada Allah; Allah mendengar percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah maha mendengar dan Maha Melihat...........”. Selain itu, terdapat pula akan ayat yang menerangkan tidak melarang berbuat adil, sebagaimana bunyi QS. al-Mumtaḥanah : 8. الَج َج ْل َجه ُل ُلمىهللاُلى َج ِءوى اَّو ِءذ َجوىاَج ْمى ُل َجق ِءت ُل ُل ْمى ِءف ى ا ِّر ِءوى َج اَج ْمى ُْلخ ِءل ُل ُل مىاِّروى ِء َج ِءل ُل ْمىأَجوى َجت َجبلُّ ُل ْمى َج ُلت ْق ِء ُل هللاى ُل ِءاُّ ى ْا ُلا ْق ِء طِء َجوى{}8 ط ىإِءاَج ِءْه ْمىإِءوَّو ى َج 61 Nasharuddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi Upaya peanggalian Konsep Wanita dalam Al-Quran Mencermati Konsep Kesejajaran dalam Al-Quran, hlm. 42. 136 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. al-Mumtaḥanah : 8). Bagi Hamka, ayat tersebut menjelaskan, bahwa Allah tidak melarang seorang laki-laki ataupun perempuan untuk berbuat adil, bergaul dengan cara yang baik dan berlaku jujur serta adil kepada siapapun.62 Selanjutnya dalam ayat tersebut di sebut muqsiṭīn yang berarti berlaku adil. (Allah menyukai orang-orang yang menegakan keadilan) selain itu para ahli tafsir juga mengomentari, bahwa ayat ini adalah “muhkamah” berlaku selama-lamanya, tidak di mansukhkan. Dalam segala hal, hendaklah bersikap adil serta jujur.63 Ayat lain yang menerangkan tentang menegakan keadilan terhadap sesama manusia, juga telah di jelaskan, bahkan ayat ini menyerukan untuk menegakan keadilan tanpa pamrih (kepada siapapun manusia tanpa meliahat siapa manusia tersebut), sebagaimana dalam QS. an-Nisā: 135. ىب ْا ِءق ْ طِء ى ُل ْوى ا َجه َج آ َجآى ِء هللى َج اَج ْ ى َج َجى َجلفُل ِء ُل ْمىأَج ِء ى ْا َج اِء َج ِء َج أَج ُّ َجه ى اَّو ِءذ َجوى َجآ َجا ُلل ى ُل ُلل ى َج َّو ِءا َجو ِء َج ىب ِءه َجا ى َجفالَجى َجت َّوت ِءب ُلع ى ْا َجه َج ىأَجوى َجتعْ ِء ا ُل ى َج إِءوى َج ْأل ْ َجل ِءب َجوىإِءوى َج ُل وْ ى َجغ ِءل ًةّ ىأَج ْ ى َجف ِءق لًة ى َجف هللُلىأَج ْ اَج ِء ىب َجا ى َجتعْ َجا ُل َجو َج (135) ىخ ِءب لًة ى َجت ْ ُل ىأَج ْ ى ُلتعْ ِءل ُل ض ى َجفإِءوَّو ى َج هللاى َج َجو ِء “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpum terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih 62 63 Hamka, Tafsir al-Azhar XXVIII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 105. Hamka, Tafsir al-Azhar XXVIII, hlm. 106 137 tahu kemaslahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. al-Nisā: 135) Menurut penjelasan Hamka, ayat tersebut merupakan suatu seruan untuk menegakan keadilan Allah SWT, walaupun untuk diri sendiri, Ibu Bapak, ataupun keluarga kerabat.64 Didahulukannya perintah penegakan keadilan atas kesaksian karena Allah, karena tidak sedikit orang yang hanya pandai memerintahkan yang ma‟ruf, tetapi ketika tiba gilirannya untuk melaksankan ma‟ruf yang diperintahkannya itu, ia lalai. Ayat ini memerintahkan kepada mereka, bahkan semua orang, untuk melaksanakan keadilan atas dirinya baru menjadi saksi yang mendukung atau memberatkan orang lain. Di sisi lain, menurut Fakhruddin ar-Razi, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, penegakan keadilan serta kesaksian dapat menjadi dasar untuk menampikan mudharat yang dapat dijatuhkan. Bila demikian halnya, maka menjadi wajar penegakan keadilan disebut terlebih dahulu, karena menolak kemudharatan atas diri sendiri melalui penegakkan keadilan lebih diutamakan daripada menolak mudharat atas orang lain. Atau karena penegakan keadilan memerlukan aneka kegiatan yang berbentuk fisik, sedang kesaksian hanya berupa ucapan, dan tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekedar ucapan.65 Hendaklah perhatian menegakkan keadilan dengan sempurna kalian jadikan sebagai sifat yang tetap melekat di dalam jiwa kalian. Menegakkan keadilan bisa 64 65 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 406-407. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. 2 (Jakara: Lentera Hati, 2002), hlm. 591 138 dilakukan dalam memerintah umat manusia bagi orang yang diangkat oleh sultan sebagai wali atau dijadikan sebagai hakim oleh orang-orang yanag memutuskan perkara-perkara mereka. Bisa pula dilakukan dalam pekerjaan lain, seperti menegakkan kewajiban persamaan antara para istri dan anak-anak. Sekiranya kaum muslimin mengikuti petunjuk al-Qur‟an, tentulah mereka menjadi umat yang paling adil dan bisa menegakkan keadilan.66 Menurut Qatadah, sebagaimana dikutipoleh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, ayat tersebut berkenaan dengan kesaksian. Maka, tegakkanlah kesaksian itu wahai anak Adam, meski kesaksian itu merugikan dirimu sendiri, kedua orang tuamu, kaum kerabatmu, atau orang-orang terhormat diantara kaummu. Karena kesaksian itu sesungguhnya diberikan hanya karena Allah Ta‟ala, bukan karena manusia. Keadilan adalah timbangan Allah di muka bumi. Dengan keadilan itu, Allah mengembalikan yang ḥaq, dari yang kuat kepada yang lemah, dari yang dusta kepada yang jujur, dan dari yang berbuat kebatilan kepada yang berbuat kebenaran. Janganlah kalian mengikuti hawa nafsu, agar kalian tidak menyimpang dari yang haq kepada yang bathil, karena di dalam hawa nafsu itu terdapat penyimpangan-penyimpangan. Janganlah kalian memutar balikkan kata-kata dan menyimpangkan kesaksian, atau jangan pula kalian enggan memberikan kesaksian, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang segala 66 Ahmad Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi Juz V, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, K. Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1993). hlm. 300-301. 139 perbuatan kalian. Tidak ada satu maksud kalian pun yang tidak diketahui-Nya. Dia akan memberikan balasan atas apa yang kalian kerjakan.67 Selain itu, memegang prinsip keadilan dalam memutuskan sesuatu perkara juga di jelaskan dalam al-Quran Surat an-Nisā ayat 58: هللاى َج ْ ُلا ُلل ُل ْمىأَجوى ُلت َجؤ ُّ ىْى ألَج َجا َجل تِءىإِءاَج ىأَج ْ ِء َجه ى َج إِء َجذ ى َج َج ْا ُلت ْمى َجب َجْوى ا َّول ِء ىأَجوْ ى َجت ْ ُل ُلا ى إِءوَّو ى َج هللاى ِءل ِءع َّوا ى َج ع ُل هللاى َج َجوى َج ِءا ًةع ىبَجصِء لًة ى ىبهِءىإِءوَّو ى َج ِءب ْا َجع ْ ِءاىإِءوَّو ى َج ِءظ ُل ْم ِء “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkanya dengan adil. Sungguh Allah sebaik-baik memberi pengajaran kepadamu, sungguh Allah Maha mendengar, Maha melihat.”68 Dalam pandangan Hamka, ayat ini menjelaskan tentang menyerahkan amanat kepada ahlinya, serta menegakan hukum yang berkeadilan sesuai dengan haknya masing-masing dan tidak berbuat zālim. Dengan landasan ini berarti, menentukan hukum berdasarkan sumber hukum yang asli, yaitu hukum Allah.69 Setelah mengetahui seruan isi kandungan al-Quran yang dijelaskan oleh Hamka, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa agama Islam jelas memandang dan memperlakukan perempuan setara di hadapan kaum lain (laki-laki) dan keduanya tidak ada perbedaan sedikitpun, melainkan hanyalah ketaqwaan dan keimanan dari pandangan Allah swt, dengan demikian, maka sudah sepatutnya perempuan tidak lagi di pandang sebelah mata dari sudut pandangan manapun, 67 Ahmad Musthafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi Juz V, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly, K. Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1993). hlm. 302. 68 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, hlm. 113. 69 Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005)., hlm. 158 140 melainkan memandang merekalah (perempuan) dengan penghargaan dan penghormatan sebagaimana diajarkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Oleh karena itu, jikalau penafsiran al-Quran terdapat produk hukum yang menghasilkan bentuk penindasan dan ketidakadilan, maka penafsiran hukum tersebut perlu diteliti kembali.70 C. Peran Publik Perempuan Dalam Tafsir Al-Azhar Peran publik perempuan berarti peran perempuan dalam menjalankan ranah kegiatan kemasyarakan, baik aktivitas perempuan yang berkenaan dengan kegiatan ekonomi (pekerjaan), aktivitas politik, maupun aktifitas kebudayaan.71 Untuk lebih jelasnya berikut diantara beberpa aktifitas perempuan. 1. Perempuan dan aktivitas ekonomi Pada mulanya, membincang masalah perempuan dalam aktivitas ekonomi (pekerjaan) dianggap sebagai sebuah pelanggaran agama, karena dalam tatanan pekerjaan, dalam pandangan agama dan pemahaman masyarakat pada umumnya, menganggap bahwa ranah perempuan hanyalah dalam ruang domestik (rumah tangga), dengan demikian, perempuan yang beraktivitas selain mengurusi masalah domestik, maka, dianggap melanggar syari‟at agama. Kendati demikian, menurut M. Quraish Shihab, menanggapi anggapan yang masih saja beredar akan pandangan “bahwa agama melarang perempuan berperan dalam masalah ekonomi (pekerjaan)” hal tersebut tidak dibenarkan, karena berdasarkan penelurusuran Quraish Shihab dalam ayat-ayat al-Quran, beliau tidak menemukan satu tekspun dalam al-Quran yang berbicara jelas dan 70 Nasarudin Umar, Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, hlm. 13. Arief Subhan, dkk, Citra Perempuan Dalam Islam Pandangan Ormas Keagamaan (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2003), hlm. 97. 71 141 pasti akan “larangan perempuan beraktifitas di sektor ekonomi (pekerjaan), baik dalam al-Quran maupun sunnah. Oleh sebab itu, pada prinsipnya perempuan tidak dilarang untuk berkiprah dalam ruang publik bekerja, karena pada dasarnya, agama menetapkan kaidah: dalam hal kemasyarakatan, semuanya boleh selama tidak ada larangan dari agama, dan dalam hal ibadah murni, semuanya boleh selama selama tidak ada tuntutan.72 Bahkan, al-Quran malah mendukung perempuan untuk berkiprah yang baikbaik, sebagaiaman dijelaskan dalam QS. an-Naḥl : 97. ص اِء ًة ىاِّروى َجذ َج ٍلىأَج ْ ىأُلل َج ى َج ُل َج ىا ُْلؤ ِءاوٌف ى َجف َج ُلل ْ ِء َج َّولهُلى َج َج ًةى َجط ِّر َجب ًةةى َج اَج َجل ْ ِءز َج َّول ُله ْمى َجاوْ ى َج ِءا َجاى َج }97{ىب َج ْ َج ِءوى َجا َج ُلل ى َج عْ َجا ُل َجوى أَج ْ َجل ُل ْم ِء “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa apa yang telah mereka kerjakan.(QS. an-Naḥl : 97)73 Menurut Hamka, ayat ini menjelaskan, bahwa dalam hal amal shalih dan iman, laki-laki dan perempuan berada dalam kedudukan yang sama. Masingmasing sama-sama sanggup untuk menumbuhkan iman dalam hatinya serta sanggup untuk berbuat baik. Oleh sebab itu, perempuan dan laki-laki sama-sama di janjikan Tuhan untuk di berikan kehidupan yang baik.74 72 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 399 73 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, hlm. 378-379. 74 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 292. 142 Dengan demikian, selagi laki-laki dan perempuan tersebut melakukan pekerjaan dengan baik (tidak melanggar agama), maka hal tersebut tidak dilarang, bahkan Allah akan menjanjikan kehidupan yang baik bagi umatnya (laki-laki) dan perempuan yang melakukan kebajikan yang baik pula. Dalam ayat lain, terdapat juga ayat yang mendorong perempuan dalam hal bekerja, sebagimana dalam QS. an-Nisā : 124. كى َج ْ ُلخ ُل َجوى ْا َج َّول َجةى َج َجاوى َج عْ َجااْىا َجِءوى ا َّو ص اِء َج تِءىاِءوْ ى َجذ َج ٍلىأَج ْ ىأُلل َج ى َج ُل َج ىا ُْلؤاِءوُل ى َجف ُل ْ الَج ِءآ َج }124{َج الَج ُْلظ َج ُلا َجوى َجل ِءق لًة ى “Dan siapa saja yang berbuat baik, laki-laki atau perempuan sedang dia seorang mukmin, maka mereka berhak masuk surga dan tak akan di zalimi sedikitpun”(QS. an-Nisā : 124). Ayat ini sekaligus menegaskan pengulangan akan penjelasan dalam QS. anNaḥl : 97, Menurut Hamka, ayat ini menegaskan kembali, bahwa orang yang beriman dan beramal shaleh baik laki-laki maupun perempuan berhak masuk syurga.75 Berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan, bahwa al-Quran tidak melarang peran perempuan dalam aktivitas pekerjaan, selagi perempuan tersebut menjalankan perannya dengan baik (sesuai dengan ketentuan perintah agama).76 Karena pada dasarnya mengerjakan suatu pekerjaan yang baik sama dengan beramal salih, hal ini berdasarkan fakta yang ada, pada kenyataannya seseorang bekerja tak lain hanyalah ingin memenuhi kebutuhan 75 76 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 377. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V, hlm. 37. 143 dirinya dan keluarganya, bagaimana tidak hal demikian tidak termasuk amal shalih, karena segala bentuk amal shalih tak lain hanyalah dari latarbelakang suatu aktivitas yang baik pula. Selain hal demikian, sejarah juga mencatat, pada zaman Nabi Muhammad saw, aktivitas perempuan dalam sektor pekerjaan bukanlah sebuah pemandangan yang asing, karena pada saat itu juga perempuan-perempuan telah bekerja dengan aneka pekerjaanya, bahkan pada masa khalifah Umar ra. seorang perempuan, ditugaskan langsung oleh khalifah Umar bin Khattab r.a untuk mengurus semua aktivitas administrasi pasar.77 Sebagaimana dikutip oleh M. Qurais Shihab, Syaikh Muhammad alGhozali, salah seorang ulama‟ kontemporer, mengemukakan empat hal dalam kaitanya perempuan untuk bekerja, yaitu: Pertama, perempuan tersebut memiliki kemampuan luar biasa. Dan dengan pekerjaanya dapat mencipatakan kemaslahatan untuk masyarakat. Kedua, pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang layak bagi perempuan, seperti bekerja dalam sektor pendidikan ataupun menjadi bidan dan lainya. Ke-tiga, perempuan bekerja untuk membantu suaminya dalam pekerjaanya. Ke-empat, perempuan perlu bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan kehidupan keluarganya.78 Dengan demikian, pada dasarnya Islam tidak melarang perempuan bekerja di dalam maupun di luar rumah, bahkan, Islam malah menghargai peran perempuan dalam segala aktifitas pekerjaanya, selama pekerjaan tersebut 77 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 400 78 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 401 144 dilakukan dalam suasana terhormat, serta selama mereka dapat memelihara tuntunan bagi agama dan dapat menghindarkan dampak-dampak negatif dari pekerjaan yang ia lakukan itu terhadap, diri sendiri, keluarga, dan lingkunganya. 2. Perempuan dan Aktifitas Politik Politik berasal dari bahasa Inggris politic, yang berarti menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Bahasa politic kemudian di serap dalam Bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu Negara atau atau terhadap Negara lain, tipu muslihat atau kelicikan.79 Dalam bahasa Arab, politik disebut juga sebagai ṡiyāsah, yang secara etimologis berasal dari kata ṡāṡa-yaṡūṡū-siyāṡatan, yang berarti: menguasai, mengendalikan, mengatur, memperbaiki. Sedangkan secara garis besar pengertian politik ialah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.80 Politik juga diartikan sebagai urusan dan tindakan atau kebijakan mengenai pemerintahan negara. Selain itu, politik juga berarti kebijakan dan cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu masalah, baik yang berkaitan dengan masyarakat maupun selainya. AlQuran berbicara tentang politik melalui sekian ayatnya, khususnya yang menggunakan ḥukmu. Namun persoalnya tak hanya demikian, melainkan terkait peran seseorang dalam mengurusi masalah politi tersebut, baik sebagai pemimpin ataupun anggota aktif, hal inilah yang menjadi topik pembicaraan hangat dikalangan sekian banyak 79 Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 34. 80 Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan Berwawasan Gender (Malang: UIN MALIKI Press, 2011), hlm. 159 145 anggota masyarakat Islam.81 melihat pemahaman bias lama masyarakat pada umumnya, tentu hal ini dianggap sebagai sesuatu yang “dilarang”, namun ketika ayat al-Quran dikaji secara mendalam dan hasilnya membolehkan peran perempuan berkiprah dalam tatanan publik, maka peran politik bagi perempuan menjadi diabsahkan. Menurut Zaitunah Subhan, dalam masalah perpolitikan Islam pada dasarnya ialah membolehkan perempuan berkiprah dalam aktivitas politik, hal ini sebagaimana bolehnya perempuan dalam berdakwah, ber-āmār ma’rūf nahī munk ār, memberi bimbingan dalam meningkatkan peribadatan dan nilai-nilai yang bersifat positif,82sebagaimana banyak ditemukan dalam beberapa teks keagamaan yang mendukung hak-hak perempuan dalam bidang aktivitasnya di ruang publik, tak lain dalam urusan politik, salah satu ayat yang dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS. at-Taubah : 71.83 Sebagaimana Allah telah menegaskan dalam firman-Nya QS. at-Taubah: 71. ِء ى َج َج ْل َجه ْ َجوى َج ِءوى ْ ٍ ْض ُله ْمىأَج ْ اِء َج آُلى َجبع َج ْاا ُْلؤ ِءا ُلل َجوى َج ْاا ُْلؤ ِءا َجل ُل ىب ْا َجاعْ ُلل تى َجبعْ ُل ضى َج ُلا ُلل َجو ِء صالَج َجى َج ُْلؤ ُلت َجوى َّو كى َج َج لْ َج ُلا ُله ُلمى ْااُلل َج ِءلى َج ُل ِءق ُلا َجوى ا َّو هللاى َج َجل ُل اَجهُلىأ ُل ْ الَج ِءآ َج از َج َجى َج ُلطِء ُلع َجوى َج .}71{هللاى َج ِءز ٌفزى َج ِء ُلمى هللاُلىإِءوَّو ى َج 81 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 377-378. 82 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan (Jakarta: El-Kahfi, 2008), hlm. 95. 83 M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 380. 146 “Orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah pemimpin yang lain.mereka mengajak berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Mereka menegakan shalat dan menunaikan zakat dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah SWT, seseungguhnya Allah Maha perkasa lagi maha Bijaksana.” Menurut Hamka, di dalam ayat ini kita bertemu lagi dengan kalimat auliyā’ yang merupakan jama‟ dari kata wali, yang biasanya diartikan sebagai pemimpin, maka di jelaskan disini perbedaan antara munafik dan mukmin, perbedaan tersebut nampak, apabila ia orang munafik, maka terdapat perangai yang sama, kelakuan yang sama namun diantara mereka tidak ada pemimpin. Sebab masingmasing mereka mementingkan diri sendiri, kalaupun mereka bersatu itu hanyalah kebetulan saja kepentingan mereka sama, akan tetapi bila terdapat kesempatan mereka akan saling menghianati. Dan yang demikian tersebut bukan merupakan sikap atau ciri-ciri dari orang mukmin. Orang mukmin itu harus bersatu, saling pimpin memimpin baik laki-laki maupun perempuan, sama-sama mempunyai hak untuk bersikap demikian. Dan disatukan dengan kesatuan i’ṭiqād (percaya kepadaAllah), yang kemudian akan menjadi ukhuwwah (persaudaraan, saling mencintai, tolong menolong dan lain sebagainya) sebagaimana yang kaya mencintai yang miskin dan yang miskin mencintai yang kaya.84 Sebagaimana bunyi hadits, yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar : 84 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), hlm. 275. 147 ْوى ُل َجا َجلى َج َّو َج َجل ى َج ْب َج وُل ىأَج ْخ َجب َجل َجل ى َج ْب ُل َّو ِء ىهللاىأَج ْخ َجب َجل َجل ى ُلا َج ىبْوُل ى ُل ْق َجب َجةى َج وْ ى َجل ف ٍِءعى َج وْ ى ب ِء ص َّو َّو َجلضِء َج َّو ىل ٍعى َج ُل ُّ ُل ْمى َجا ْ ُلآ اٌفى َج وْ ى ىهللاُلى َج َج ْ هِءى َج َج َّو َجمى َج َجاى ُل ُّ ُل ْم َج ىهللاُلى َج ْل ُله َجا ى َج وْ ى ا َّول ِءب ِّر ى َج ىل ِء َج ٌفةى َج َج ى َجب ْ ت َج ِءىز ْ ِء َجه ى ُلىل ٍعى َج َج ىأَج ْ ِءاى َجب ْ ِءتهِءى َج ْا َجالْ أَج ُل َج ُلىل ٍعى َج الَّو ُل ا َج َجل ِء َّو ِءتهِءى َج ْألَج ِءا ل َج ىل ِء َّو ِءتهِءى ىل ٍعى َج ُل ُّ ُل ْمى َجا ْ ُلآ اٌفى َج وْ َج َج َج اَج ِء هِءى َجف ُل ُّ ُل ْم َج “Telah menceritakan kepada kami Abdan Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Musa bin Uqbah dari Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang Amir adalah pemimpin. Seorang suami juga pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."85(HR. Bukhori) Selain itu, sahabat-sahabat Rasulullah saw yang miskin tinggal pada ruang yang bernama ṣuffāh di dekat Masjid Madinah, dan makan minumnya diantarkan oleh orang-orang yang mampu. Orang-orang perempuan pergi bersama-sama ke medan perang, sebab mereka adalah mu‟minat. Di dalam hadits-hadits ṣaḥih, riwayat Bukhari Muslim dan ahli hadits lainya di jelaskan, bahwa, Fatimah binti Rasulullah bersama Ummu Sulaim turut dalam perang Uhud. Aisyahpun turut dalam perang itu.86 85 86 Digital Library, Hadits Sembilan, Hadits Riwayat Bukhari, no. 4801 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), hlm. 275. 148 Selain itu, dalam perang Khaibar, banyak perempuan pergi dan turut mengerjakan pekerjaan yang layak bagi perempuan. Kadang-kadangpun turut mengangkat senjata, sehingga seketika membagi ghanimah, merekapun diberi sebagian oleh Rasulullah saw. Sampaipun setelah beliau wafat, Binti Malhan turut pergi berperang ke Cyprus, menurutkan suaminya Ubadah bin Shamit, dan syahid dalam perangan itu.87 Dengan adanya kejaidan tersebut, kita melihat apa artinya bahwa laki-laki beriman dengan perempuan-perempuan beriman adalah sama-sama menjadi pemimpin bagi yang lain. artinya perempuanpun ambil bagian yang penting di dalam menegakan agama, bukan laki-laki saja.88 “Mereka itu menyuruh berbuat yang ma’rūf dan melarang yang mūnkār”, Dengan semangat tolong-menolong, pimpin-memimpin itu mereka menegakan amal dan membangun masyarakat Islam, masyarakat orang yang beriman, lakilaki dan perempuan. Kalau ada pekerjaan yang baik, yang ma’rūf semua menegakan dan menggiatkan. Dan kalau ada yang munkar, yang tidak patut, semuanya menentang. Sehingga mereka mempunyai pandangan umum publik yang baik. Tidak ada penghinaan kepada perempuan dari pihak laki-laki dan tidak ada tantangan yang buruk dari pihak perempuan kepada laki-laki. Misalnya menuntut hak, sebab hak telah berbagi dengan adil.89 “Dan mereka mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat”, Karena dengan mendirikan sembahyang mereka mendapat dua hubungan. Pertama, hubungan dengan Allah dalam ibadat, kedua hubungan sesama mukmin dengan 87 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X, hlm. 275. Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X.,hlm. 276 89 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X.,hlm. 276 88 149 berjama‟ah. Dari berdirinya jama‟ah sembahyang itu, bertambah suburlah amar ma‟ruf dan nahi munkar tadi. Sebab ukhuwwah telah terpadu dalam ibadat. Sehabis sembahyang itu, bertambahlah suburlah amar ma’rūf dan nahī mūnkār tadi.90 Dalam ayat selanjutnya dijelaskan “mereka itu adalah orang-orang yang akan di beri rahmat oleh Allah.”. artinya asal mereka tetap memegang pendirian iman dan syarat-syarat yang tersebut di atas tadi, pimpinan-memimpin, tolongmenolong, sama menganjur berbuat ma’rūf, sama mencegah berbuat mūnkār, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, dan ta‟at kepada Allah swt dan rasulnya, Tuhan berjanji bahwa mereka akan diberi rahmat: yaitu cinta, kasih dan sayang dari Allah swt. Pokoknya ialah ketentraman jiwa dalam iman, sebagai lawan dari ciri-ciri sikap orang munafik yang dilupakan oleh Tuhan, “sesungguhnya Allah ialah Maha gagah” untuk menghukum orang yang tiada taat, “lagi Maha bijaksana,”.91 Dengan Melihat maksud dari ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Hamka, maka antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkiprah dalam ruang berpolitik. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki hak untuk mengatur masyarakat (wilayah al-ām). Mereka memiliki hak yang sama untuk memerintah yang serta ma’rūf mencegah yang mūnkār.92 Selain demikian beberapa riwayat sejarah akan keikut sertaan perempuan dalam menghadapi berbagai masalah sosial kemasyarakatan dan politik tersebut menjadi 90 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X.,hlm. 276 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz X.,hlm. 276 92 Tutik Hamidah, Fiqih Perempuan Berwawasan Gender (Malang: UIN MALIKI Press, 2011), hlm. 162 91 150 bukti bahwa Islam membolehkan, bahkan menganjurkan perempuan untuk ikut andil berpartisipasi dalam wilayah politik, asalkan dalam koledor yang ma’rūf (tidak melanggar agama). Selain beberapa riwayat peran politik perempuan yang dikemukakan Hamka di atas, terbukti pula bahwa sejarah lagi-lagi berbicara, di zaman Nabi Muhammad saw dalam menjalankan peran politik, istri-istri Nabi saw terutama Aisyah ra banyak perempuan lain yang terlibat dalam urusan politik, seperti halnya Sayyidah Fātimah, Aisyah binti Abū Bakar, bahkan Aisyah ketika itu menjadi pemimpin perang Jamal.93 Di samping itu, al-Quran juga menguraikan permintaan perempuan pada zaman Nabi Muhbammad saw untuk melakukan bai’at (Janji setia kepada Nabi Muhammad saw dan Agama Islam). Permintaan ini terlaksana sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Mumtaḥanah : 12. Dengan hal ini, dapat dijadikan bukti, bahwa perempuan dapat melakukan kiprahnya dalam ranah politik.94 Selain itu, dalam QS. an-Naḥl : 97 juga mengungkapkan, bahwa peluang menentukan kegiatan yang baik dalam hal apapun juga tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan,95 sebagaimana ditegaskan: ص اِء ًة ىاِّروى َجذ َج ٍلىأَج ْ ىأُلل َج ى َج ُل َج ىا ُْلؤ ِءاوٌف ى َجف َج ُلل ْ ِء َج َّولهُلى َج َج ًةى َجط ِّر َجب ًةةى َج اَج َجل ْ ِءز َج َّول ُله ْمى َجاوْ ى َج ِءا َجاى َج }97{ىب َج ْ َج ِءوى َجا َج ُلل ى َج عْ َجا ُل َجوى أَج ْ َجل ُل ْم ِء 93 Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan (Jakarta: Refleksi Masyarakat Baru, 2004), hlm. 185. M. Quraish Shihab, Perempuan : dari cinta sampai seks dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah dari bias lama sampai bias baru, hlm. 382 95 Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, hlm. 263. 94 151 “Barangsiapa yang mengerkjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka seseungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari yang telah mereka kerjakan.” Menurut Hamka, dalam ayat ini dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Masing-masing sama-sama berhak untuk menentukan kiprahnya selagi dalam koridor yang baik.96 Oleh sebab itu, perempuan dan laki-laki sama-sama berhak untuk berkiprah dalam mengurusi masalah politik ataupun permasalahan lainya (asalkan tidak melanggar agama). 96 Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XIV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 292. 152