Ketidakseimbangan Fiskal Negara-Negara “Welfare State” Iqbal D. Wibisono Berdasarkan definisi Espring-Anderson dalam The Three Worlds of Welfare Capitalism, Negara kesejahteraan atau “Welfare state” adalah konsep pemerintahan dimana negara menjalankan peranan dalam melindungi kebutuhan dasar kesejahteraan sosial-ekonomi dari warganya. Contoh dari kebijakan welfare state yang populer adalah tunjangan pensiun dan pelayanan kesehatan yang dijalankan oleh pemerintah. Jenis dari welfare state bisa berbeda beda tergantung peran dari negara, pasar, dan rumah tangga. Espring-Anderson membagi menjadi tiga cluster: (i) Liberal seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, (ii) Corporatist seperti Austria, Perancis, Jerman, dan Italia, dan (iii) Social-Democrat seperti yang diterapkan di negara-negara Skandinavia. Salah satu masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan welfare state adalah kolektivisme atau “tragedy of the commons”, suatu tragedi dimana individu mendapatkan insentif yang salah dengan menghabiskan sumber daya, yang pada akhirnya merugikan kepentingan umum. Sebagai contoh, jika ada suatu kolam ikan milik bersama, orangorang terdorong untuk mengambil ikan secara berlebihan sampai pada akhirnya tidak ada ikan yang tersisa. Dalam istilah ekonomi sumber daya alam, hal ini disebut overfish. Karena pada dasarnya orang akan berpikir, jika saya tidak menangkap ikan tersebut, maka orang lain yang akan menangkapnya. Tragedy of the commons juga berlaku dalam konteks kebijakan publik, seperti jaminan kesehatan dan pendidikan gratis. Orang-orang akan cenderung punya insentif untuk merampok uang pajak yang dibayarkan orang lain. Kalau saya yang tidak mendapatkan sekolah gratis, maka orang lain yang akan mendapatkannya dan uang pajak saya bayarkan dinikmati orang lain. Orang-orang akan cenderung menghabiskannya dengan tidak efisien. Milton Friedman sering mengatakan, “nobody spends somebody else’s money as carefully as he spends his own.” Skema umum yang dipakai dalam kebijakan negara-negara welfare state adalah skema piramida atau PAYGO (pay as you go). Misalnya dalam kebijakan dana pensiun, kebijakan tersebut mentransfer uang dari pekerja kepada para pensiunan. Seperti sebuah piramida, kelompok yang berada di paling atas piramida (para pensiunan) adalah penerima benefit. Yang di bawah adalah yang membayarnya (kelompok pekerja). Ketika kelompok pekerja lebih banyak jumlahnya daripada kelompok yang pensiun, maka kebijakan tersebut bisa berjalan pada awalnya. Tetapi ketika jumlah dari penerima terus semakin banyak dan jumlah pekerja yang membayar semakin sedikit, sistem tersebut akan runtuh. Hal ini bisa merusak kesehatan fiskal suatu negara. Salah satu cara dalam mengukur kesehatan fiskal adalah dengan menghitung ketidakseimbangan fiskal atau “fiscal imbalance.” Jeffrey Miron menjelaskan pengitungan fiscal imbalance dalam paper-nya yang berjudul Fiscal Imbalance: A Primer. Fiscal imbalance mengukur keberlangsungan kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan menghitung selisih dari pengeluaran di masa depan dengan pendapatan yang diproyeksikan. Pertanyaan dasar dalam menghitung fiscal imbalance apakah pemerintah bisa melanjutkan kebijakan yang ada saat ini di masa depan. Negara yang berada pada kondisi fiscal imbalance berarti pendapatan negara tersebut di masa depan tidak bisa mengimbangi pengeluaran yang harus dikeluarkan (unfunded liabilities). Miron menjelaskan, negara yang masih dalam kondisi fiscal balance dapat melanjutkan kebijakan yang ada pada saat ini. Tetapi apabila negara berada dalam kondisi fiscal imbalance, negara harus mengubah kebijakan secepatnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gokhale dari The Institute of Economic Affairs (IEA) yang menghitung fiscal imbalance negara-negara anggota Uni Eropa di tahun 2010 membagi jenis hutang menjadi dua, yaitu hutang eksplisit dan hutang implisit. Hutang eksplisit adalah hutang yang diwariskan dari program di masa lalu (ditampilkan dengan warna abu gelap di sebelah kanan). Hutang eksplisit menunjukkan porsi yang relatif keci dari keseluruhan fiscal imbalance. Hutang implisit menjelaskan nilai saat ini dari kekurangan anggaran di masa depan (ditampilkan dengan warna abu-abu di sebelah kiri). Imbalance sebesar 5 persen berarti pemerintah harus mengorbankan 5 persen dari GDP tiap tahunnya untuk membiayai rencana pengeluaran yang ada saat tingkat pajak dan kebijakan fiskal saat ini. Fiscal Imbalance Negara-Negara Anggota Uni Eropa tahun 2010 sebagai Persentase dari Nilai PDB Saat Ini Sumber: The Institute of Economic Affairs (2014) Pada gambar di atas, terlihat bahwa fiscal imbalance terbesar dialami oleh Irlandia, yaitu sebesar 32,8 persen. Yunani, Spanyol, Republik Slovakia, dan Portugal berada pada kelompok yang fiscal imbalance-nya di atas 15 persen. Lalu ada 13 negara yang memiliki fiscal imbalance antara 10 persen dan 15 persen. Polandia, Hungaria, Perancis, Inggris dan Jerman ada dalam kelompok ini. Sedangkan jumlah fiscal imbalance Denmark dan Swedia kurang dari 10 persen. Fiscal imbalance terkecil ada di Estonia, yaitu sebesar 3,7 persen. Konsumsi privat dari warga negara Uni Eropa adalah sebesar 58,19 persen dari PDB. Untuk menutupi fiscal imbalance sebesar 13,5 persen, dibutuhkan kenaikan pajak sebesar 23,2 persen dari pajak konsumsi privat tersebut. Sebagai alternatif, pemerintah bisa menutupi fiscal imbalance dengan menaikkan pajak kompensasi pekerja sebesar 27,2 persen karena rata-rata persentase dari kompensasi pekerja adalah 49,6 persen dari PDB. Opsi lainnya yaitu, pemerintah bisa mereduksi pengeluaran fiskalnya. Misalnya dengan mereduksi pengeluaran untuk pelayanan kesehatan sebesar 48,7 persen. Michael Tanner dalam buku After The Welfare State berargumen, solusi untuk kebijakan-kebijakan welfare state bisa diganti oleh kebijakan dengan pendekatan pasar bebas. Sebagai contoh, dana pensiun bisa diganti dengan kebijakan dimana individu menabung untuk pensiunnya sendiri melalui investasi swasta. Lebih dari 30 negara telah memulai reformasi program pensiun mereka. Untuk kebijakan asuransi kesehatan pun bisa dialihkan dengan pengelolaan berbasis kompetisi, seperti yang sudah dimulai oleh Swedia, Belanda, dan Prancis. Memang perdebatan tentang berhasil atau tidaknya sistem welfare state akan terus berlanjut. Namun, fiscal imbalance yang terjadi di negara-negara welfare state tidak seharusnya dibiarkan karena akan mengorbankan generasi masa depan. Caranya adalah dengan meninggalkan sistem PAYGO dan skema piramida, memotong pengeluaran pemerintah yang menyebabkan keruntuhan, membolehkan masyarakat sipil untuk mengisi ruang yang ditinggalkan negara dengan peran swasta, mutual aid, dan charity. Iqbal Dawam Wibisono adalah lulusan Ilmu Ekonomi Unpad. Saat ini Iqbal bekerja sebagai asisten peneliti di Center for Economics & Development Studies (CEDS), tim riset di Youth Freedom Network (YFN) dan aktif sebagai ketua Studium Veritatis, klub kajian dan diskusi ekonomi, sosial, dan politik di Bandung. Iqbal penah terlibat dalam penelitian sektor informal di Indonesia yang dilakukan oleh CEDS bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) juga terlibat dalam penelitian analisis kinerja pasar jasa penerbangan di Indonesia yang dilakukan oleh CEDS dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Iqbal bisa dihubungi melalui email: [email protected]