konteks dan relevansi revitalisasi pranata adat

advertisement
Copyright @ Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi
Hak Cipta Dilindungi Undang Undang
Pengarah:
Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP.
Penanggungjawab:
Drs. Daryoto, M.Sc
Ir. Rr. Aisyah Gamawati, MM
Koordinator Substansi:
1. Sukandar
2. Teuku Chaerul
3. Sudrajat
4. Agus Wicaksono
5. Diah Ratri Kushermini
Penulis:
Mohamad Miqdad, Abdul Charis
Desain Grafis
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Diterbitkan oleh
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Percetakan
Cetakan Pertama, November, 2016
KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI
2016
Revitalisasi Pranata Adat
i
EXECUTIVE SUMMARY
Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang
melekat pada bangsa Indonesia. Sejak semula-jadi, bangsa ini
dipersatukan dalam keragaman tersebut, dengan meneguhkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi satu.
Semboyan tersebut menegaskan persatuan, bukanlah keseragaman,
yang telah menjadi pengikat semangat berbangsa sekaligus sebagai
afirmasi atas keberagaman masyarakat Indonesia. Namun, melampaui
tiga dasawarsa, keberagaman tersebut lebih banyak tampil sebagai
suplemen dalam kehidupan berbangsa, ia lebih melekat (embedded)
sebagai pelengkap cita rasa budaya. Keberagaman lebih tampak
sebagai sesuatu yang diidealkan dalam kehidupan berbangsa
ketimbang tampil sebagai praksis hidup yang tegas dan menyeluruh.
Persis bersamaan, disebabkan oleh arus modernisasi dan tindakan
...............................................................................................................................................................................................................
ii
pendisiplinan atas nama persatuan, keragaman adat istiadat dan
segala bentuk kearifan lokal serta atribut turunannya turut pula
memudar.
Sejalan dengan proses demokratisasi yang terus berlangsung,
dalam dimensi perdamaian, kelahiran Undang-undang Nomor 7 tahun
2012 menandai pergeseran paradigma negara dalam pembangunan
perdamaian. Undang-undang tersebut memandatkan penanganan
konflik sosial mesti berlangsung partisipatif, mengutamakan
kearifan lokal dan pranata adat. Perdamaian menjadi urusan semua
pihak, bukan hanya terbatas pada negara. Undang-undang tersebut
juga mencirikan orientasi masyarakat, tidak semata berorientasi
pemerintah (government oriented). Penyelesaian konflik dilakukan
melalui jalur-jalur dialogis, kanal-kanal alternatif di luar mekanisme
formal maupun litigasi.
Dengan demikian, proses-proses untuk memperkuat partisipasi
dan penyelesaian melalui kearifan dan pranata tertentu mensyaratkan
penguatan kelembagaan-kelembagaan yang selama ini tidak memiliki
tempat yang cukup signifikan. Maka, upaya ini mesti didahului oleh
analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya
pelemahan pranata adat dan kearifan lokal. Lokalitas daerah mesti
turut diperhitungkan sebab selalu terdapat keunikan pada masingmasing komunitas beserta pranata adatnya.
Upaya untuk memperkuat pranata adat berpusar pada tiga
kebutuhan utama;
Aspek kebijakan; sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah
pusat maupun daerah mesti dilakukan supaya tidak terjadi ambivalensi.
Regulasi mesti dapat diturunkan secara cermat dan jelas sejak dari
Undang-undang hingga beragam peraturan turunannya. Dengan
demikian, untuk menjadikan kebijakan bisa bersifat operasional,
maka dibutuhkan koordinasi, panduan, dan kesepahaman bersama
sejak dalam tahap perencanaan pembangunan. Patut didorong agar
daerah menginisiasi secara holistik upaya revitalisasi pranata adat
kedalam program-program kongkret, jika dibutuhkan perlu diperkuat
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
iii
dengan sejumlah regulasi yang menjadi daya dorong, meski bukan
yang utama.
Aspek kelembagaan; seturut dengan penguatan melalui
kebijakan, penguatan kelembagaan adat (pranata) perlu dijalankan
melalui serangkaian program terukur, berdasarkan relevansi dan
kebutuhan desa. Program yang berkaitan dengan penguatan
kelembagaan ini bisa dilakukan melalui bantuan terkait kelengkapan
untuk menopang kerja lembaga adat, infra struktur lembaga adat,
maupun pendampingan yang berkaitan dengan substansi seperti
peningkatan kapasitas pengurus maupun anggota adat tertentu
berkaitan dengan kecakapan penanganan konflik maupun kecakapan
umum lainnya.
Aspek praksis; hal ini berkaitan dengan nilai maupun praktek
berkaitan dengan ritus maupun seni, budaya dan ekonomi. Program
yang bisa dilakukan terkait nilainya adalah dengan memperkuat pada
aspek pengarus-utamaan melalui kegiatan dokumentasi, kodifikasi,
serta jalur pendidikan formal dan informal. Sementara berkaitan
dengan praktek, program pendampingan dapat dilakukan melalui
bantuan kelengkapan ritus, pemberdayaan ekonomi, kegiatan
kebudayaan dan seni dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus
konflik, kegiatan-kegiatan berkaitan dengan ritus, eknomi, budaya
dan seni telah secara nyata menjadi jalan penyelesaian konflik.
...............................................................................................................................................................................................................
iv
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
v
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia
KATA PENGANTAR
Program “Nawacita” Presiden Republik Indonesia yang tertuang
dalam RPJMN 2015-2019 adalah “Membangun Indonesia dari
pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan” dan “Memperteguh Kebhinekaan
dan memperkuat restorasi sosial”. Kedua program prioritas ini
memberikan gambaran bahwa pemerintah sangat serius berupaya
mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan
Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai keragaman budaya
bangsa.
Tantangan Indonesia ke depan adalah memelihara kebhinekaan
Indonesia, Bhineka Tunggal Ika sudah seharusnya dimaknai bahwa
“Perbedaan adalah sebuah Kebutuhan”, Kebhinekaan harus dijaga
...............................................................................................................................................................................................................
vi
agar tetap menjadi faktor yang menginspirasi, memperkaya dan
menguatkan Indonesia dalam mencapai visi pembangunan nasional.
Konsolidasi demokrasi diharapkan dapat menguatkan lembagalembaga demokrasi yang mampu memelihara keanekaragaman
menjadi berkah yang besar untuk Indonesia, bukan menjadi
hambatan yang menjauhkan Indonesia dari cita-citanya.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa, merupakan salah satu wujud keseriusan pemerintah dalam
mendorong pembangunan yang berbasiskan adat istiadat dan
kearifan lokal. Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 menegaskan
bahwa upaya penanganan konflik sosial di Indonesia dilakukan melalui
pendekatan pranata adat atau kearifan lokal. Sedangkan UndangUndang Desa memberikan penegasan melalui “prinsip rekognisi
dan subsidiaritas” dimana Negara memberikan pengakuan dan
penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Buku ini, memberikan penegasan bagaimana penerapan Konsep
3-RE yaitu Rekognisi, Representasi dan Redistribusi, dalam bentuk
pengakuan hak-hak adat, pemberian peran dan ruang partisipasi
bagi masyarakat adat dan pemberian kewenangan pengelolaan
berdasarkan nilai-nilai lokal menjadi hal yang mutlak dilakukan
dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat
yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan sekaligus memperkuat
kontribusi budaya lokal dalam pembangunan nasional, khususnya
dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan Bangsa.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi memiliki peran yang sangat strategis dalam ikut serta
memperkuat nilai-nilai adat dan budaya bangsa di seluruh Indonesia,
daerah-daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau-pulau terluar
Indonesia. Kemendesa PDTT sadar akan peran strategis tersebut
dan berkomitmen untuk secara bersama-sama membangun
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat vii
Indonesia yang lebih adil serta menjaga Kebhinnekaan Indonesia
sebagai berkah yang besar bagi bangsa Indonesia.
Akhirnya, atas nama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi, saya berterima kasih dan menyampaikan
apresiasi, khususnya kepada Direktur Jenderal Pembangunan
Daerah Tertentu beserta seluruh jajarannya, yang telah menginisiasi
penyusunan Buku Revitalisasi Pranata Adat dalam Pembangunan
Perdamaian.
Besar harapan saya agar buku ini dapat dijadikan rujukan
dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, khususnya
pembangunan pranata adat di Indonesia dalam mendorong
pembangunan perdamaian yang berkelanjutan di Indonesia.
Jakarta, November 2016
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi, Republik Indonesia
Eko Putro Sandjojo
...............................................................................................................................................................................................................
viii
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
ix
DAFTAR ISI
EXECUTIVE SUMMARY.................................................................. i
KATA PENGANTAR.......................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................... ix
DAFTAR TABEL................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR........................................................................... xii
DAFTAR BOX..................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................... 1
B. Definisi dan Ruang Lingkup Pranata Adat........... 4
C. Masyarakat Adat Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan.............................................. 5
...............................................................................................................................................................................................................
x
D. Masyarakat Adat Menurut Konggres
Masyarakat Adat Nusantara ................................. 7
E. Arah Kebijakan Revitalisasi Pranata Adat............ 8
BAB II
KONTEKS DAN RELEVANSI REVITALISASI
PRANATA ADAT.............................................................. 13
A. Konflik Komunal ...................................................... 13
B. Otokritik Politik Pembangunan.............................. 17
C. Kedaulatan Adat dan Demokratisasi.................... 21
D. Peran Pranata Adat Bagi Perdamaian.................. 24
BAB III PRANATA ADAT DAN PERDAMAIAN....................... 31
A. Dilema Revitalisasi Pranata Adat........................... 31
B. Revitalisasi Pranata Adat Dalam Konteks
Pelembagaan Perdamaian Berbasis Desa............ 44
C. Kontribusi Pranata Adat dalam Perdamaian........ 50
BAB IV
KEBUTUHAN DAN MANFAAT REVITALISASI
PRANATA ADAT.............................................................. 61
A. Kontekstualisasi Program........................................ 61
B. Model Pranata Adat Untuk Perdamaian.............. 64
BAB V PENUTUP......................................................................... 75
A. Rangkuman Isi Buku................................................. 75
B. Langkah-Langkah Strategis Revitalisasi
Pranata Adat Untuk Pembangunan
Perdamaian................................................................ 77
C. Pemanfaatan Buku................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 81
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Isu kontestasi politik identitas....................................... 15
Tabel 2. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Agama
dan EtnisYang Terjadi Selama Setahun Terakhir........ 55
Tabel 3. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Jenis
Perkelahian Massal Yang Terjadi Selama
Setahun Terakhir.............................................................. 55
Tabel 4. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut
Inisiator Penyelesaian Perkelahian Massal
Yang Paling Sering Terjadi Setahun Terakhir.............. 56
Tabel 5. Contoh Model Penyelesaian Konflik melalui
Pranata Adat..................................................................... 57
Tabel 6. Peta Kebutuhan Revitalisasi Pranata Adat.................. 72
...............................................................................................................................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2
Gambar 3.
Gambar 4. Gambar 5.
Gambar 6.
Penyelesaian masalah melalui upacara
adat di Aceh............................................................... 35
Majelis Latupati, Lembaga adat yang
menjaga Kedamian di Maluku................................ 38
Mataoga, Pranata Adat Kabupaten
Kepulauan Sula......................................................... 45
Mosalaki, Pranata Adat Provinsi NTT
Marlin Bato................................................................ 49
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pranata adat,
di Sigi Sulawesi Tengah........................................... 51
Penyelesaian Konflik Tapal Batas Desa melalui
Pranata Adat di Kabupaten Donggala.................. 54
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat xiii
DAFTAR BOX
Box 1:
Box 2:
Box 3:
Penyelesaian Konflik Melalui Adat Dikalangan
Masyarakat Aceh............................................................. 33
Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku
Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi
Masyarakat Hukum Adat Kecamatan
Jerebu’u Kabupaten Ngada . ........................................ 47
Kasus Sengketa Banjar Adat Ambengan
Dengan Banjar Adat Semana Ubud Kabupaten
Gianyar............................................................................... 52
...............................................................................................................................................................................................................
xiv
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman budaya dan adat istiadat merupakan realitas yang
melekat pada bangsa Indonesia.Sejak semula-jadi, bangsa ini
dipersatukan dalam keragaman tersebut, dengan meneguhkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika; berbeda-beda tetapi satu.
Semboyan tersebut menegaskan persatuan, bukanlah keseragaman,
yang telah menjadi pengikat semangat berbangsa sekaligus sebagai
afirmasi atas keberagaman masyarakat Indonesia. Namun, melampaui
tiga dasawarsa, keberagaman tersebut lebih banyak tampil sebagai
suplemen dalam kehidupan berbangsa, ia lebih melekat (embedded)
sebagai pelengkap cita rasa budaya. Keberagaman lebih tampak
sebagai sesuatu yang diidealkan dalam kehidupan berbangsa
ketimbang tampil sebagai praksis hidup yang tegas dan menyeluruh.
...............................................................................................................................................................................................................
2
Pendahuluan
Persis bersamaan, disebabkan oleh arus modernisasi dan tindakan
pendisiplinan atas nama persatuan, keragaman adat istiadat dan
segala bentuk kearifan lokal serta atribut turunannya turut pula
memudar.
Menjelang dan beberapa saat setelah reformasi, melemahnya
kontrol dan kekuatan pendisiplinan otoritas politik, justeru ditandai
oleh merebaknya konflik berbasis identitas.Mulai dari berbagai
kerusuhan di daerah “tapal kuda” Jawa Timur, disusul konflik
berbasis etnis di Sanggau Ledo, Sampit, Sambas, hingga konflik
berbasis agama di Poso dan Maluku.Transisi demokrasi diwarnai
dengan menguatnya artikulasi politik identitas, yang seperti mencari
jalannya, mencuat setelah sekian lama mengalami tekanan.Selain
terartikulasi kedalam peristiwa konflik, identitas seringkali menjadi
gerakan politik etno-nasionalisme yang tertampilkan dalam upaya
pemekaran atau pembentukan wilayah administratif baru paska
reformasi.
Persis juga dalam situasi konflik yang mewarnai transisi
demokrasi di Indonesia tersebut, selalu ditemukan berbagai jenis
kearifan lokal (produk budaya) yang menjadi peredam yang melekat
pada segala jenis identitas yang dipakai untuk berseteru.Berbagai
bentuk kearifan tersebut tersedia pada adat istiadat dalam berbagai
komunitas di Indonesia, entah itu yang bersifat telah ada (existing)
atau pula terbarukan sebagai bentuk adaptasi dari situasi konfliktual
tersebut.Perdamaian yang terbangun di antara berbagai komunitas
yang berkonflik tidak hanya berhasil digerakkan oleh kekuatan
otoritatif Negara, melainkan juga--dan justeru lebih kuat dan
berkesinambungan pada elemen budaya yang tersedia pada semua
komunitas.
UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
sebagai produk perundang-undangan yang lahir dalam semangat
memperluas partisipasi masyarakat dalam pembangunan
perdamaian, memberikan pengakuan dan ruang yang cukup luas
dalam mendorong peran nilai-nilai lokal dalam penyelesaian konflik
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
3
sosial. Penyelesaian konflik sosial melalui jalur-jalur alternatif
berbasis pada nilai lokal dan pranata adat lebih dikedepankan
melampaui penyelesaian melalui jalur hukum formal.
Sejalan dengan perkembangan demokratisasi di Indonesia,
kebutuhan untuk merevitalisasi pranata adat telah sejalan dengan
tuntunan otonomi oleh beragam komunitas adat di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang No. 6 tahun 2014 memberikan peluang
yang sangat luas bagi pemenuhan hak masyarakat desa yang
sebagian besarnya juga merupakan komunitas adat, dan juga kepada
desa yang memang berstatus desa adat sesuai dengan pengaturan
di masing-masing daerah.
Asas rekognisi, sebagaimana tuntutan awal mengenai
pengakuan oleh gerakan masyarakat adat, sebelum dan sesudah
reformasi, diperkuat lebih jauh dalam Undang-undang tersebut
melalui asas subsidiaritas yang dalam hal ini memenuhi harapan
otonomi sebagaimana yang diharapkan oleh berbagai komunitas
adat.Asas rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul
dan hak tradisional, sementara asas subsidiaritas lebih jauh lagi
menegaskankan hak mengenai representasi dan redistribusi sebagai
elemen dasar otonomi. Kedua asas tersebut diperkuat dengan
asas lain yaitu keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan,
kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi,
kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Kelahiran Undangundang Nomor 6 tahun 2014 ini menegaskan pemenuhan hak oleh
negara secara adekuat.
Mengacu pada alas pikir bahwa partisipasi masyarakat yang
bertumpu pada berbagai nilai budaya lokal adalah elemen sangat
penting dalam pembangunan perdamaian, maka dibutuhkan
kegiatan sistematis untuk merevitalisasi pranata adat yang menjadi
institusi dari pelbagai nilai lokal dan atribut turunannya, sebab adat
juga tidak hanya terbatas pada norma dan hukum melainkan juga
melingkupi ritual dan kebiasaan lainnya.
...............................................................................................................................................................................................................
4
Pendahuluan
B. Definisi dan Ruang Lingkup Pranata Adat
Sebelum lebih jauh mengulas revitalisasi pranata adat, patut
diperjelas definisi dan ruang lingkup dimana pranata itu berlaku.
Pranata adalah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta
adat-istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan
seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleksitas
kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi politik; sistem
yang menata terselenggaranya proses dan kegiatan politik secara
resmi.1
Pranata Adat adalah lembaga yang lahir dari nilai adat yang
dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat.Dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 18 B ayat (2) disebutkan bahwa; Negara
mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnyasepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negaraRepublik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 I ayat (3), menyatakan bahwa identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
Definisi di atas sekaligus memberi penjelasan mengenai sifat
pranata adat yang partikular, merupakan kelembagaan sistem nilai
dan hukum dari masyarakat adat tertentu, sekaligus memiliki limitasi
disebabkan keharusannya untuk tunduk pada perkembangan
masyarakat dan prinsip negara.Patut dipahami juga bahwa sifat
adat yang dinamis, memungkinkan pranata adat terus berkembang
dan menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat modern.
Juga harus dijelaskan bahwa tidak seluruh masyarakat Indonesia
adalah bagian dari komunitas adat.Meskipun demikian, nilai-nilai
universal dari beragam adat istiadat juga dianut oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia.
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
5
C. Masyarakat Adat Berdasarkan Peraturan Perundangundangan
Sesungguhnya perhatian terhadap pentingnya pengakuan
keberadaan pranata adat sudah banyak diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan nasional, berbagai konvensi
internasional. Selain tertuang dalam UUD 1945 dan ketetapan
MPR, juga berbagai undang-undang seperti tertuang dalam uraian
berikut:
1. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945: kesatuan masyarakat hukum adat
diakui bila:
• masih hidup
• sesuai perkembangan masyarakat
• sesuai dengan prinsip NKRI
2. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
• masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
• ada kelembagaan adat
• ada wilayah hukum yang jelas
• ada pranata hukum
• masih mengadakan pemungutan hasil hutan untuk
kebutuhan hidup
3. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
“Bermukim diwilayah geografis tertentu karena adanya
ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial
dan hukum.”
4. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
“Sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum
...............................................................................................................................................................................................................
6
Pendahuluan
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat
yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar
keturunan.”
4. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
• Masyarakat adat dalam bentuk paguyuban
• ada kelembagaan adat
• ada wilayah hukum yang jelas
• ada pranata hukum
• ada pengukuhan perda
5. Putusan Mahkamah Konstitusi
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional
secara de-facto masih ada dan/hidup (actual existence) atau
paling tidak;
• memiliki perasaan kelompok
• ada pranata adat
• ada harta dan/atau benda adat
• ada perangkat norma hukum adat
6. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kesatuan masyarakat hukum adat diakui bila:
• masih hidup
• sesuai perkembangan masyarakat
• sesuai dengan prinsip NKRI
7. UU No. 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
“Kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup,
serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum.”
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
7
8. Peraturan Menteri Agraria/kepala BPN No. 5 Tahun 1999
“Sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”
9. Keputusan Presiden No. 111 Tahun 1999
• berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen
• pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
• pada umumnya terpencil secara geografi dan relatif sulit
dijangkau
• pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistem
• peralatan dan teknologinya sederhana
• ketergantungan pada lingkungan hidup dan SDA setempat
relatif tinggi
• terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
D. Masyarakat Adat Menurut Konggres Masyarakat Adat
Nusantara
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di
Indonesia yang merujuk pada empat jenis masyarakat asli yang
berada di wilayah Negara-bangsa Indonesia. Pengertian masyarakat
adat menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara, dimaknai
sebagai:
“Kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur
(secara turun temurun) di wilayahnya geografis tertentu, serta
memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial
dan wilayah sendiri (KMAN 1999).”
Definisi ini mengalami perbaikan oleh sekretariat AMAN untuk
mengakomodasi kosa kata baru:
“Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul
leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang
...............................................................................................................................................................................................................
8
Pendahuluan
memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan
sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat
yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.”
E. Arah Kebijakan Revitalisasi Pranata Adat
Buku ini bertujuan untuk mengarus-utamakan dan mengoperasionalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembangunan
perdamaian melalui revitalisasi pranata adat di berbagai wilayah di
Indonesia, khususnya daerah paska dan rawan konflik.2
Pengarusutamaan
(maenstreaming)
dilakukan
melalui
serangkaian kebijakan dan rumusan kegiatan yang dilaksanakan
oleh pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga negara,
salah satunya kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi. Upaya ini adalah salah satu buah dari Reformasi
yang mendorong proses demokratisasi melalui pengakuan dan
penghargaan luas terhadap seluruh entitas bangsa untuk turut serta
dalam memajukan dan merasakan hasil pembangunan.
Berbagai hal terkait revitalisasi pranata adat ini kelihatan mudah
untuk dibicarakan dalam retorika politik, namun mengandung
kompleksitas dan kesulitannya sendiri.Tidak lama setelah Reformasi
berlangsung, seiring dengan besarnya tuntutan desentralisasi dan
otonomi daerah, gagasan mengenai pentingnya mengkaji kembali
peran masyarakat adat bergaung dimana-mana. Hal ini disebabkan
oleh represi panjang atas nama stabilitas yang berakibat pada
peminggiran komunitas masyarakat adat.
Dalam rangka untuk re-orientasi kebijakan pembangunan
berkenaan dengan revitalisasi pranata adat, maka terlebih dahulu
kiranya diulas dinamika kebijakan politik hukum terhadap masyarakat
adat di Indonesia, yang merentang dalam periode pemerintahan
yang cukup panjang.Ulasan ini terutama berkenaan dengan soal
pengakuan (rekognisi) yang memiliki implikasi besar pada persoalan
Salah satu indikator daerah rawan konflik adalah dimensi ketertinggalannya dibanding daerah lain.
Hal ini sejalan dengan domain kerja Kementerian Desa PDTT.
2
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat
9
pelibatan masyarakat adat dalam penentuan kebijakan (representasi),
serta yang paling utama adalah implikasinya terhadap akses dan
pembagian secara adil hak atas penguasaan dan pengelolaan
sumber daya (redistribusi).
Sejarah panjang terpinggirnya masyarakat adat ini berlangsung
sejak zaman kolonial melalui kebijakan politik hukum yang kemudian
sebagian besar terwarisi setelah kemerdekaan.Berbagai kebijakan
kolonial yang berkaitan dengan masyarakat adat telah secara
sengaja merugikan mereka.Undang-undang Agraria (Agrarische
Wet)serta berbagai undang-undang dan peraturan lainnya dalam
kurun 1870-1875 yang menganut paradigma Eropa, dengan
melakukan liberalisasi pada berbagai aspek termasuk penguasaan
tanah, diimplementasikan di Indonesia.Padahal jauh sebelum
itu, masyarakat Indonesia sudah memiliki hukum-hukum adat di
wilayah berbeda-beda.Meski dalam periode Politik Etis Belanda
berupaya mereduksi berbagai kebijakan diskriminatifnya, persoalan
peminggiran masyarakat adat tidak pernah berlangsung sungguh
serius.
Masyarakat adat mengenal hak kepemilikan tanah bersama,
selain hak kepemilikan individu, sesuatu yang tidak kompatibel
dengan kebijakan kolonial yang menganut liberalisme.Paradigma
liberal tersebut, yang menumpukan individu dan harta benda
(property right) sebagai subyek hak,3 diterapkan di Indonesia dimana
masyarakat adat mengenal dan menghidupi hukumnya yang juga
bersifat komunal.Akibatnya, banyak tanah ulayat yang kemudian
dikuasai oleh negara (domein van de Staat) akibat secara hukum
tidak bisa dibuktikan sebagai hak milik individu tertentu (eigendom).
Belum bergesernya politik hukum berkenaan dengan paradigma
penguasaan negara atas tanah-tanah adatsegera setelah Indonesia
merdeka, menjadikan persoalan ini mengendap sementara
waktu. Patut diduga bahwa suasana paska kemerdekaan yang
Kebijakan semacam ini bersumber dari konsepsi negara liberal yang pada saat itu berkembang di
Eropa. Pandangan semacam ini bisa dirujuk pada filsuf politik John Locke.
3
...............................................................................................................................................................................................................
10 Pendahuluan
mengharuskan konsolidasi bangsa dengan etnis yang sangat
beragam ini adalah salah satu dilema yang dihadapi; antara
penguatan persatuan di satu sisi dengan menegaskan kesediaan
setiap suku bangsa, termasuk masyarakat adat, untuk ambil bagian
dalam kerangka pembentukan negara bangsa, dan di sisi yang lain
tetap meniscayakan penghormatan dan pengakuan atas entitas
masyarakat adat itu sendiri.
Lima belas tahun setelah Indonesia merdeka, diterbitkanlah
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, disusul tujuh
tahun kemudian dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967, yang
menggunakan istilah masyarakat hukum adat dalam rangka untuk
melakukan pengaturan mengenai hak hukum bagi masyarakat adat.
UUPA 1960 yang dimaksudkan untuk mengakhiri dualisme hukum
pertanahan zaman kolonial, dianggap berbasiskan hukum adat.
Tapi perkara pengakuan dan pengaturan hak masyarakat adat tidak
lalu terang benderang. Undang-Undang Pokok Agraria tersebut
mengakui beberapa macam hak seperti hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan. Namun hak komunal atas tanah adat atau
hak ulayat tidak termasuk di dalamnya (Moniaga; 2010).
Sementara UUPK 1967, yang terbit pada permulaan Orde Baru,
hanya mengakui dua klasifikasi hutan kepemilikan; hutan negara
dan hutan milik.Masalahnya, terdapat banyak masyarakat adat yang
ruang hidupnya di sekitar maupun di dalam kawasan hutan.Tak
pelak ini menjadi masalah yang kian menajam.UUPK 1967 dianggap
sebagai modus penguasaan sumber daya alam yang semakin
menyisihkan hak masyarakat adat.
Setelah reformasi, UUPK 1967 digantikan oleh Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999, dengan klasifikasi baru; hutan negara dan hutan
hak. Meskipun memberikan klasifikasi baru mengenai hutan adat,
dengan definisi terbatas; bahwa hutan adat adalah hutan negara
yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.Definisi
ini mengandung pengertian bahwa segala hal berkaitan dengan
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 11
kontrol pemanfaatan hutan tetap dilakukan oleh negara.Definisi
ini sebenarnya merupakan bentuk afirmasi terbatas terhadap
masyarakat adat dan kesatuan hukumnya, namun dalam prakteknya,
masyarakat adat di berbagai wilayah di Indonesia seringkali justru
mengalami peminggiran justru karena alasan penguasaan oleh
negara.4Pada sektor pertambangan, banyaknya izin yang dikeluarkan
oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, pada tanahtanah adat termanifestasi menjadi konflik antara masyarakat adat
dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Pelbagai faktor ini
menjadi sedimentasi masalah terkait dengan masyarakat adat,
yang berdasarkan kompleksitas dan berbagai kontradiksi regulasi
tentangnya masih menuai berbagai ketegangan hingga konflik,
bahkan hingga hari ini.
Salah satu tuntutan utama berkaitan dengan perjuangan
masyarakat adat adalah Undang-Undang yang bersifat memaksa
melakukan penyeragaman pemerintahan lokal yang didasarkan
pada desa administratif, yang menegasikan ciri khas masing-masing
daerah. Undang-Undang dimaksud adalah UU Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa. Para wakil masyarakat adat menuduh
bahwa sistem tersebut telah memecah komunitas lokal bahkan
meleburnya kedalam unit-unit administrasi yang tidak punya
kesamaan adat (Acciaioli; 2010).
Maka merujuk pada sejarah politik hukum terkait masyarakat
adat, orientasi kebijakan revitalisasi pranata adat difokuskan untuk
menjawab berbagai silang sengkarut ambivalensi negara; melampaui
sekadar pengakuan, dengan pemberian akses penguasaan yang
adil di sisi yang lainnya.Dalam kebijakan revitalisasi pranata adat,
bagaimana mengakomodasi keberagaman komunitas adat lebih dari
500 kelompok etnolinguistik di seluruh Indonesia?
HuMA menyebutkan bahwa terdapat 30.000 desa berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan.
Ketegangan mengenai wilayah kelola dan batas antara teritori tradisional desa dan teritori hutan
negara maupun klasifikasi hutan lainnya seringkali menuai konflik.
4
...............................................................................................................................................................................................................
12 Pendahuluan
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa menjadi salah satu bentuk afirmasi perubahan negara yang
semakin demokratis dan menjawab persoalan yang selama ini
merepresentasikan politik hukum yang dianggap tidak adil bagi
masyarakat adat. Undang-Undang ini sangat strategis menjawab
persoalan yang selama ini cukup pelik, dimana desa—juga desa
adat—menjadi unit utama pembangunan.Tuntutan mengenai
rekognisi, representasi dan redistribusi bagi masyarakat adat, dan
berbagai persoalan lainnya dapat diurai dari lokusnya yang paling
utama; desa. Dengan demikian, dengan melakukan koordinasi dan
singkronisasi kegiatan, sudah cukup jelas kearah mana kebijakan
revitalisasi pranata adat ini akan ditujukan.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 13
BAB II
KONTEKS DAN RELEVANSI
REVITALISASI PRANATA ADAT
A. Konflik Komunal
Berakhirnya Orde Baru menandai babak baru politik identitas.
Mekanisme pendisiplinan untuk menjaga stabilitas sebagaimana
lazimnya terjadi pada masa tersebut, segera merenggang pada awal
reformasi. Transisi demokrasi juga ditandai dengan bergolaknya
konflik berbasis isu identitas primordial, dimana politik dan ekonomi
menjadi panggung utama pergolakan tersebut. Ketika pemilu
dilaksanakan pada tahun 1999, banyak diramaikan oleh partai
berbasis identitas keagamaan. Dalam masa yang berdekatan, di
daerah dimana sebelumnya—baik pada masa Orde Lama maupun
Orde Baru—politik identitas pernah menguat, konflik terjadi
bersamaan dengan momentum politik. Di Poso, berakhirnya masa
jabatan bupati menjadi momentum konflik antara Muslim dan
...............................................................................................................................................................................................................
14 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
Kristen. Di Ambon, perhelatan pemilu 1999 menjadi momentum
konflik dalam isu yang sama, meski sebelumnya dimulai dengan
sentimen etnis ”BBM” (Bugis-Buton-Makassar).
Distribusi Konfik Politik Tahun 2009
7
7
r
r
em
be
D
es
em
be
ob
er
r
kt
O
5
2
1
m
be
Se
p
te
us
st
Ju
li
1
N
ov
4
Ag
u
8
ni
ei
M
il
6
Ju
12
Ap
r
ri
10
M
ua
Fe
br
Ja
nu
ar
i
11
ar
et
15
10
5
0
Sepanjang 2010, terdapat 244 rencana pemilihan kepala daerah
selama satu tahun. Sayangnya, maraknya ajang pemilihan kepala
daerah langsung ini dibarengi dengan peningkatan eskalasi pada
konflik politik. Peningkatan jumlah ini terjadi cukup signifikan dari
seluruh insiden konflik politik tahun 2009 berjumlah 74 insiden,
maka sampai pada Bulan Juni 2010 telah terjadi 117 insiden.5
Jika kita coba untuk membandingkan antara Januari hingga
Juni tahun 2009 dengan bulan yang sama pada Tahun 2010, maka
51 insiden berbanding dengan 117 insiden. Jika pada setengah
tahun terakhir 2009 secara otomatis semua isu politik didominasi
oleh pemilu presiden dan wakil presiden, maka pada tahun 2010
semua energi politik cenderung dicurahkan secara tersebar untuk
perhelatan pemilihan kepala daerah.6
Hasil monitoring konfik dan kekerasan di Indonesia sepanjang 2009-2010 oleh Institut Titian
Perdamaian.Selengkapnya mengenai ini bisa dilihat dalam buku “Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia”, Institut Titian Perdamaian; 2012.
6
Ibid.
5
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 15
Distribusi Konflik Politik Hingga Juni 2010
30
20
25
21
10
23
27
13
8
0
Januari
februari
Maret
April
Mei
Juni
Pada tahun 2010, sekitar 244 pemilihan kepala daerah akan
dilangsungkan. Mengapa konflik politik cenderung menguat
sepanjang tahun 2010? Barangkali akan terdapat banyak jawaban
dari pertanyaan ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemilihan
kepala daerah langsung masih menjadi ajang bagi munculnya
kekuatan oligarkhi lokal, ”raja-raja kecil”, dan orang kuat lokal (local
strongmen) yang memanfaatkan instrumen-instrumen demokrasi
sebagai basis bagi akumulasi kekuasaannya (Hadiz 2003; Harriss,
Stokke, and Tornquist [ed] 2004).
Kekuatan oligarkhi tersebut cenderung memobilisasi
dukungan melalui jaringan dan relasi patronase yang dibungkus
oleh identitas agama, etnis, jenis kelamin dan atau kekerabatan.
Kesamaan etnis, agama, ras, wilayah masih menjadi ”dagangan”
utama para kandidat kepala daerah dalam berkampanye, selain
identitas lain seperti jenis kelamin. Hasil dari relasi semacam ini
adalah munculnya identitas komunal yang nir-demokratis sebagai
basis dari pengorganisiran politik kelompok oligarkhi.
Tabel 1. Isu kontestasi politik identitas
Nasional
Daerah
Agama; Islam vs non Islam
Agama; tergantung pada komposisi pemeluk
agama di sebuah daerah
Jawa vs non Jawa
Orang asli vs pendatang
Laki-laki vs Perempuan
Laki-laki vs perempuan
...............................................................................................................................................................................................................
16 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
Kondisi semacam ini diperparah dengan absennya pendidikan
politik yang demokratis yang memadai dari partai politik. Ikatan
patronase inilah yang pada gilirannya juga meminggirkan aksi-aksi
kewarganegaraan yang demokratis dan meminimalisir ruang bagi
peranan dan partisipasi organisasi masyarakat sipil. Di beberapa
daerah dimana konflik politik tinggi dan jaringan patronase kuat,
maka pada umumnya kapasitas gerakan masyarakat sipilnya
melemah. Di tengah koordinat semacam itulah, pilkada cenderung
menjadi ajang kontestasi kekuasaan para penguasa elit lokal yang
kerap melibatkan konflik dan kekerasan berbasis identitas tertentu.
Beberapa topik seperti keadilan, otonomi, desentralisasi serta
perimbangan kekuasaan dan keuangan antara Pusat dan Daerahpun,
seringkali juga dikerdilkan sebagai alas bagi kontestasi politik berbasis
identitas. Tidak mengherankan jika berkaitan dengan berbagai hal
seperti di atas, muncul istilah ”PAD” (putra asli daerah), otonomi
penuh, kota syariat, kota Injili, dan lain sebagainya. Hal semacam
itu merupakan artikulasi politik sebagian kelompok dalam mengakumulasikan serta menegaskan kekuasaannya di berbagai ranah.
Masalahnya, artikulasi politik kita belum secara meyakinkan
mengalami pergeseran pola patronase dan solidaritas tradisional
ke ikatan yang kontraktual dan dewasa.Momen-momen elektoral
dalam pilkada di berbagai daerah masih banyak yang menampilkan
kekerasan sebagai ekspresi konflik, hal yang menjelaskan mengapa
konflik berbasis isu politik menempati rangking tinggi dalam
monitoring konflik dan kekerasan berbagai lembaga selama ini. Alas
pikir ini pula yang dijadikan sebagian kalangan untuk mengevaluasi
bahkan cenderung mengusulkan ditiadakannya pemilihan langsung
kepala daerah. Persis di sini terletak dilema antara ideal demokrasi,
dimana partisipasi warganya dapat terakomodasi secara langsung
serta bekerjanya seluruh instrumen dan mekanisme demokrasi
dengan baik, berhadapan dengan realitas konflik dan kekerasan
sebagai manifestasi dari bertarungnya identitas di dalam panggung
politik.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 17
B. Otokritik Politik Pembangunan
Demokrasi menjamin terselenggaranya mekanisme politik yang
adil untuk setiap warga politik.Bahkan negara harus menunjukan
perlindungan politik yang lebih besar dalam skala perhatian dan
pemihakan terhadap kelompok-kelompok sosial yang secara
politik tidak berdaya. Demokrasi mewajibkan negara (pemerintah)
menerapkan standar berbeda dalam persoalan hak hidup warga
negara yang lemah dan tidak berdaya (afirmasi). Pemenuhan hak-hak
sosial, politik dan ekonomi akan menumbuhkan kewarganegaraan
yang beradab.7 Demokrasi dengan demikian memberi arah bagi
pentingnya keadaban politik sebagai sebuah standar yang ideal
terhadap proses berkedaulatan. Dalam hal itulah, kedaulatan
menjadi layak atau tidak sebagai entitas yang diakui.
Menurut
Robert
Dahl,
demokrasi
menyediakan
peluang
dan
kesempatan
untuk
menumbuhkan
dan
membangun kultur politik yang mendedikasikan pengabdian
politik
kepada
kepentingan
rakyat
(publik,
sosial).
8
Pandangan pluralis Dahl sangat menekankan bahwa kekuasaan
harus disebar secara luas pada pelbagai macam kelompok
kepentingan, yang tujuannya agar tidak satu kelompok pun bisa
mengklaim sebagai yang-paling mewakili rakyat secara keseluruhan.
Di sinilah titik penting argumen Dahl yang menjelaskan bahwa
fungsi sesungguhnya dari demokrasi liberal adalah sebagai poliarkhi.
Sementara itu, bagi Rousseau, oleh karena substansi negara
menjadi lemah, reformasi apapun menjadi tidak mungkin. Rakyat
yang tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan,
tidak akan pernah pula menyalahgunakan kebebasan. Rakyat
yang selalu memerintah dengan baik tidak perlu diperintah.
9
Rousseau menekankan asumsinya tersebut ke arah teori
kontrak sosial (social contract) yang juga menjadi basis pemikiran
Max Regus, “Diskursus Politik Lokal.” Hlm. 4
Ibid. Hlm. 5
9
Jean-Jacques Rousseau, “Kontrak Sosial.” Hlm. 69
7
8
...............................................................................................................................................................................................................
18 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
demokrasinya.Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya
negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak
sosial untuk membentuk negara.Dalam teori ini, sumber kewenangan
adalah masyarakat itu sendiri.Berdasarkan kedua pola pemikiran
demokrasi tersebut di atas, maka antara negara dan masyarakat
adat dalam hal ini pranata adat dapat menjalankan peran dan fungsi
masing-masing sebagai entitas yang berdaulat. Sehingga konsolidasi
demokrasi akan menuai posisi terbaiknya sebagai penentu arah
kedaulatan.
Tentang vitalnya pemberdayaan masyarakat, maka model sebuah
pembangunan mestilah sesuai dengan amanat desentralisasi, yakni
model pembangunan yang dikonsentrasikan pada penguatan
kapasitas kelembagaan adat. Hal tersebut tentu sebagai anti-tesis
terhadap model pembangunan yang sentralistik. Oleh karenanya,
produk pemberdayaan dalam masyarakat pun menjadi ukuran
tecapainya sebuah proses revitalisasi pranata adat. Tentang itu,
dapat dikemukakan beberapa alasan mengapa pemberdayaan
masyarakat?Sekaligus mengenai model desentralistik pembangunan
yang menandainya.
Pemberdayaan masyarakat tentunya merujuk pada penguatan
eksistensi masyarakat adat melalui penguatan kapasitas kelembagaan
(pranata) adat yang menghadapi masalah berkaitan dengan
kerapuhan dari dalam dan benturan konflik kepentingan dengan
pemerintah kabupaten beserta elite-elite yang ada di dalamnya.10
Sebagaimana dinilai secara positif sebagai agenda utama
desentralisasi, pemberdayaan masyarakat kerap tidak mengunggulkan
makna yang sebenarnya, melainkan hanya menjadi medium untuk
memperkuat hegemoni kekuasaan pemerintahan lokal. Politisasi
birokrasi di level lokal merupakan strategi mujarab untuk menekan
partisipasi kritis publik. Ini bisa dimaklumi karena mesin birokrasi
memiliki hubungan emosional yang besar dengan pusat-pusat
10
Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 32
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 19
massa di akar rumput (Mansuri et al. 2012, dalam Regus, 2015: 30).
Meski demikian, pemberdayaan masyarakat masih cenderung lebih
efektif karena digerakkan oleh basis-basis masyarakat di daerah,
terutama masyarakat adat di dalam pranata adatnya.
Desentralisasi adalah salah satu portofolio politik paling
fenomenal selepas rezim Orde Baru.Titik krusial dalam
hal ini adalah bagaimana desentralisasi politik mampu
menerjemahkan nilai-nilai demokrasi dalam semua pilihan
kebijakan politik publik di daerah-daerah otonom saat sekarang.
11
Inklusivitas politik dalam pengertian yang lebih substansial
bagi dorongan terhadap pemberdayaan masyarakat, disamping
memperkuat ketahanan masyarakat itu sendiri merupakan titik
berangkat dijalankannya agenda desentralisasi.
Berbeda dengan desentralisasi, model pembangunan yang
sentralistik seperti yang diterapkan Orde Baru cenderung
lebih menegaskan dominasi pusat terhadap daerah.Tentu yang
dimaksudkan di sini, bukanlah upaya ke arah pemberdayaan
masyarakat.Apalagi menyangkut penguatan kapasitas pranata
adat.Sentralisasi (politik) pada masa lalu menutup kemungkinan
munculnya kreatifitas lokal yang didasarkan pada pengembangan
partisipasi sosial politik masyarakat.Reformasi total (1998), dengan
demokrasi sebagai panduan tunggal, merupakan pemberontakan
damai atas ekslusivitas politik, kekuasaan dan pembangunan di
Indonesia.12
Sentralisasi kekuasaan Orde Baru didasarkan pada apa yang
disebut sebagai Trilogi Pembangunan atau ideologi pembangungan.
Ideologi pembangunan ini dirumuskan pada permulaan tahun
1970-an. Terdiri dari tiga program yang saling menjalin, yang
diprioritaskan pemerintah dalam melaksanakan pembangunannya.
Ketiga program tersebut ialah: (1) pertumbuhan ekonomi; (2)
stabilitas politik; dan (3) pemerataan pendapatan. Dalam trilogi
11
12
Max Regus, “Diskursus Politik Lokal.” Hlm. 12
Ibid. Hlm. 13
...............................................................................................................................................................................................................
20 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
ini tampak bahwa demokrasi politik tidak mendapatkan prioritas.
13
Sementara itu, argumentasi mengenai gagalnya developmentalisme
sebagai basis epistemologis rezim pembangunan Orde Baru
mempertegas alasan mengapa model sentralisasi harus dibongkar.
Tentang gagalnya teori pembangunan, Mansour Faqih pernah
mengemukakan bahwa konsep pembangunan dan modernisasi
yang kemudian serta merta dianut oleh berjuta-juta rakyat Dunia
Ketiga, pada dasarnya merupakan refleksi paradigma Barat tentang
perubahan sosial.Konsep ini mempunyai akar sejarah dengan
intelektualitas perubahan sosial yang berhubungan dengan
revolusi industri di Eropa.Dalam masa yang sangat singkat, gagasan
pembangunan dan modernisasi menjadi program besar-besaran.
Selain menjadi doktrin politik bantuan luar negeri Amerika baik
kepada pemerintah Dunia Ketiga maupun LSM, juga serempak
hampir setiap universitas di Barat membuka kajian baru yang dikenal
dengan Development Studies. Melalui Studies di Barat ini, proses
penyebar-serapan kapitalisme ke penjuru dunia dipercepat dan
berlangsung mulus, yakni melalui teknokrat, intelektual dan aktivis
LSM Dunia Ketiga yang menjadi pasar utama studi tersebut.14
Indonesia, bahkan beberapa tahun setelah reformasi, sebagai
salah satu negara berkembang, termasuk ke dalam kelompok
negara Dunia Ketiga tanpa terkecuali menjadi bagian dari proyek
pembangunanisme tersebut.Bukti nyata tentang hal itu tentu
melalui Trilogi Pembangunan yang telah dikemukakan sebelumnnya.
Sehingga tidak mengherankan jika kurang lebih tiga dekade
sentralisasi kekuasaan berjalan mulus tanpa ada hambatan.Padahal,
justru menyisakan kenyataan hidup yang traumatik yang dampaknya
dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah, terutama masyarakat
adat.Dengan menihilkan peran pemberdayaan masyarakat melalui
pelemahan kelembagaan adat menjadi ciri sentralisme Orde Baru
sebagai rezim pembangunan.
13
14
Bagian ulasan pengantar Arief Budiman, dalam buku “Aktor Demokrasi”, hlm. xxxv
Dalam “Analisis Gender dan Transformasi Sosial”, hlm. 46 & 47
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 21
Padahal penguatan kapasitas pranata adat merupakan
keniscayaan bagi terselenggaranya proses pemerintahan adat yang
efektif. Hal demikian tentunya bergantung pada kesaling-mengakui
antara negara dan masyarakat adat tentang eksistensi kedaulatan
masing-masing, tanpa sama sekali menggerus semangat persatuan.
Adanya bentuk pengakuan tersebut justru akan memungkinkan
terjadinya konsolidasi demokrasi itu sendiri, bukan sebaliknya
memunculkan kembali romantisme lokalitas dan menolak
perkembangan masyarakat ke arah demokrasi. Sebab baik negara
maupun pranata adat sebenarnya sama-sama memiliki peran dan
fungsi strategis menjalankan proses demokratisasi.
Terkait dengan hal di atas, maka celah bagi dilakukannya
revitalisasi pranata adat, khususnya bagi upaya pembangunan
perdamaian pada basis-basis masyarakat adat (indegineous people)
yang bekonflik dapat terbuka lebar.Tentunya agenda revitalisasi
pranata adat tersebut bersifat transformatif dan lebih fokus
kepada pengawalan hak otonomi adat sebagai ikhtiar untuk
memberi pemahaman terhadap masyarakat adat tentang konsep
desentralisasi.
C. Kedaulatan Adat dan Demokratisasi
Memahami konteks “kedaulatan” dalam negara dan adat
merupakan suatu hal yang paling urgen dan utama agar tidak
mudah terjebak dalam ruang-ruang tekstual yang ambigu. Pada
tahap ini, ide tentang revitalisasi sangat bergantung pada persoalan
pemahaman akan hak dan batasan wewenang masing-masing.
Sebenarnya, diakui bahwa ilmuwan politik dan cendekiawan hukum
telah menyadari bahwa istilah kedaulatan semakin rancu (Rabkin,
1998:2, dalam Davidson, dkk 2010:337).
Kedaulatan dalam konsep internasional, seperti yang ada pada
wacana Barat, diasiosasikan dengan gagasan mengenai “kewenangan
yang paling tinggi untuk menolak segala kontrol luar” yang dimiliki
oleh sebuah negara-bangsa. Selain karakternya “yang paling tinggi,”
...............................................................................................................................................................................................................
22 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
negara-bangsa biasanya dikaitkan dengan “ekslusivitas,” terutama
sebagai sumber identitas politik.Akan tetapi, di dalam kasus gerakan
masyarakat adat, terminologi kedaulatan masyarakat adat tampak
lebih digunakan sebagai pelengkap daripada sebagai titik ekslusif
dari loyalitas komunitas yang masih berorientasi pada praktikpraktik adat lokal. Dalam beberapa publikasi AMAN, sebutan itu
dihadapkan pada istilah “otonomi” dalam sebuah cara yang memberi
kesan bahwa kedua istilah itu digunakan sebagai sinonim. Dalam
kasus semacam itu, terimplikasi bahwa kedaulatan hanya berkaitan
dengan pemerintah internal dari kontrol lokal ketimbang kewajiban
pemerintah negara melawan ancaman eksternal; kedaulatan tidak
memperluas hak lokal untuk membangun militer lokal, dilihat dari
sudut pandang tersebut. Namun, kedaulatan masyarakat adat
berarti bahwa ada hak masyarakat lokal menghadapi penetrasi
ekonomi dari luar karena proses migrasi atau dampak negatif dari
perusahaan (seperti perkebunan skala besar kelapa sawit) yang
dimiliki pendatang, yang seringkali bermitra dengan kepentingan
asing.15
Dari situ, dapat diperhatikan bahwa pemahaman tentang
konteks kedaulatan antara negara dan pranata adat sebenarnya bisa
memberi peluang bagi terjalinnya kesepahaman antara peran dan
fungsi negara dan pranata adat untuk sama-sama hadir melindungi
ancaman dan kontrol dari luar terhadap sumberdaya kehidupan
yang ada, di mana negara sebagai pemegang otoritas sebagaimana
ketentuan kedaulatan secara internasional yang memberikan
jaminan otonomi kepada masyarakat adat untuk berorientasi
pada praktik-praktik adat lokal. Pada saat tertentu, masing-masing
cenderung bersifat “ekslusif” terhadap ancaman yang datang dari
luar, terutama pada masyarakat adat yang (lebih sering) merasakan
secara langsung dampak dari ancaman tersebut.Tapi di saat tertentu
pula, masing-masing dapat menjadi “inklusif,” membina komunikasi
15
Davidson et al., “Adat Dalam Politik Indonesia.” Hlm. 337
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 23
yang intens dan baik sebagai pihak-pihak yang berkepentingan atas
dasar hak dan wewenang masing-masing.
Namun, kerangka ideal tersebut hanya mungkin bisa tercapai
apabila hak-hak mendasar antara kedua belah pihak telah terpenuhi.
Terkait dengan hak-hak mendasar, sebenarnya lebih didasarkan
kepada sebuah bentuk kontrak sosial (social contract).Negara
menjamin kebebasan berorientasi masyarakat adat untuk penguatan
kapasitas kelembagaan adat melalui produk regulasi yang memihak
kepada kepentingan masyarakat adat itu sendiri. Artinya, bentuk
intervensi tidak hanya diaktualiasasi berdasarkan model hierarki
(top down) semata melalui UU No. 22/1999 misalnya, tanpa adanya
keterlibatan secara langsung mengukur sejauh mana penguatan
kapasitas kelembagaan adat tersebut berdasarkan perspektif
masyarakat adat (bottom up). Pada tahap ini, persoalan relevansi
menjadi penting dengan adanya good will dari pemerintah atau
negara.
Masyarakat adat melalui kelembagaan adat sebaliknya
mengapresiasi bentuk intervensi negara tersebut sebagai pihak
yang lebih berkompeten dalam menjalankan fungsi ketata-negaraan
di mana entitas-entitas masyarakat adat itu ada.Dengan demikian,
ikhtiar bagi revitalisasi pranata adat bukanlah menjadi sebuah isapan
jempol belaka. Revitalisasi pranata adat justru tidak akan terhambat
oleh kehadiran negara sebagai sebuah entitas kedaulatan yang
harus diakui.
Perlu ditegaskan bahwa, pranata adat pada dasarnya telah
berjasa sebagai organ potensial penjaga kedaulatan negara.Untuk
itu, agenda revitalisasi pranata adat merupakan bagian yang
strategis dalam kerangka menegaskan eksistensi kedaulatan negara
itu sendiri. Revitalisasi dari institusi-institusi lokal, seperti lembagalembaga adat atau dewan adat telah merupakan alat utama bagi
masyarakat untuk menghadapi serbuan orang yang masuk, seraya
berusaha menggunakan sanksi-sanksi yang tradisional, seperti
menetapkan denda berdasarkan barang-barang dengan nilai lokal
...............................................................................................................................................................................................................
24 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
(misalnya kerbau) untuk mengontrol kerusakan lingkungan yang
dilakukan oleh pendatang dan melindungi hak atas sumber-sumber
lokal.16
D. Peran Pranata Adat Bagi Perdamaian
Merebaknya konflik dan intoleransi sebagai problem bangsa dan
negara dewasa ini, bukan tidak mungkin dapat terjadi melalui begitu
masifnya pembiaran terhadap urgensi pengelolaan keragaman di
dalam masyarakat.Indonesia sebagai sebuah realitas keragaman
merupakan identitas terberi yang inheren dengan dinamika
masyarakat itu sendiri.Sehingga bentuk penegasian terhadap
realitas serta urgensi pengelolaan tersebut, praktis menjadi suatu hal
yang dapat berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup (bersama)
berbangsa dan bernegara.
Dalam kondisi demikian, peran adat menjadi sebuah kemestian
yang hadir mereduksi upaya-upaya terjadinya konflik dan intoleransi.
Tentunya dengan memproyeksikan secara intens pengelolaan
keragaman adat dan budaya yang ada sebagai kumpulan kearifan
etika yang merekatkan, bukan sebaliknya.Adat, dalam hal ini nilainilai yang bersumber darinya merupakan alasan mengapa bangsa ini
(tetap) ada.Tanpa adat, kebangsaan hanyalah identitas tak bermakna.
Salah satu domain penting tetapi luput dari perhatian para elit
dalam penanganan konflik adalah melalui pendekatan “dari dalam”
masyarakat sendiri.Masyarakat sebetulnya memiliki kemampuan
dan sensivitas yang disebut “kearifan lokal” dalam menjaga
kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya
yang mengancam dan menyelesaikan konflik.Menurut Abdullah
(2008: 7) memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi
dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam
menyelesaikan konflik atau disebut dengan kearifan lokal berbasis
budaya dan agama.Menurutnya, kearifan lokal mengacu pada
16
Ibid. hlm, 337
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 25
berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam
sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai
elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial
diantara warga masyrakat.”
Setidaknya ada enam signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika
dimanfaatkan dalam resolusi konflik.Pertama, sebagai penanda
identitas sebuah komunitas.Kedua, elemen perekat (aspek kohesif)
lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan.Ketiga kearifan
lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari
dalam.Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah
komunitas.Kelima, kemampuan local wisdom dalam mengubah
pola fikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dan
meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat
mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir
anasir yang merusak solidaritas dan integrasi komunitas.
Rekomendasi perlunya melibatkan “orang dalam” melalui kearifan
lokal sebagai alternatif resolusi konflik sebetulnya bisa digunakan
untuk kasus konflik bernuansa etnik dan agama.Meskipun agama
masih diperdebatkan sebagai unsur budaya atau bukan dalam
konstruksi sosial masyarakat. Namun fakta historis memperlihatkan
bahwa proses integrasi dan harmoni di antara keyakinan yang
berbeda yang pernah hidup di Indonesia dapat berlangsung justeru
karena kontribusi kearifan lokal dalam mengelola perbedaan tersebut.
Hanya saja, berbagai kearifan lokal yang mungkin dikembangkan di
negeri ini masih saja membutuhkan apresiasi dan penguatan dari
para elit agar kearifan lokal ini bekerja (workable) secara baik.Para
pemimpin tradisional adalah penggerak yang menentukan harmoni
sosial pada suatu komunitas.
Pentingnya persatuan sebagai landasan berbangsa dan
bernegara Indonesia bukan hanya bertumpu pada perangkat keras
seperti kesatuan politik (pemerintahan), kesatuan teritorial, dan
inklusivitas warga, akan tetapi juga memerlukan perangkat lunak
berupa eksistensi kebudayaan nasional. Oleh karena itu penyelesaian
...............................................................................................................................................................................................................
26 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
konflik sosial tidak dapat selesai dengan pendekatan secara parsial
akan tetapi diperlukan keterpaduan dalam penanganannya. Hal ini
diupayakan oleh aktor perdamaian seperti nilai-nilai budaya dalam
masyarakat (kearifan lokal) dan tokoh atau lembaga yang konsen
dan peduli terhadap usaha membangun perdamaian. Pendekatan
kearifan lokal ini merupakan salah satu upaya yang dapat diterima
semua pihak terutama di kalangan masyarakat.
Pemerintah telah mendukung peran kearifan lokal dengan
telah ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial khususnya pasal 41 ayat (1) yang
menyatakan, Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata Adat
dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui keberadaannya. Hal
ini menunjukan bahwa Pemerintah memiliki semangat yang sangat
kuat untuk mendorong dan merevitalisasi kearifan lokal menjadi
kekuatan lokal atau local capacity for peace. Kearifan lokal ini menjadi
modal sosial untuk menyikapi konflik kekerasan yang terjadi dan juga
menjadi spirit untuk membangun Indonesia yang damai, adil dan
sejahtera. Salah satu contoh, kearifan lokal yang telah diupayakan
dalam menangani konflik sosial di kota Singkawang adalah dengan
adanya kesepakatan damai dari pihak-pihak yang terkait konflik
melalui pemuka agama, pemuka adat, pemuka masyarakat yang
difasilitasi oleh pemerintah.
Kearifan lokal ini juga berperan dalam mewujudkan perdamaian
negatif (fase berhentinya kekerasan) yang fokus kepada tidak adanya
kekerasan langsung seperti perang, genocide dan ethnic cleansing
(pengapusan etnik). Konsep perdamaian negatif memandang bahwa
perdamaian ditemukan kapan pun ketika tidak ada perang atau
bentuk-bentuk kekerasan langsung yang terorganisir sehingga yang
dilakukan adalah upaya diplomasi, negosiasi, resolusi konflik dan
menggunakan kekuatan militer ( Susan 2009:132)
Jauh sebelum adanya kedaulatan Negara Indonesia, kehadiran
bangsa telah mendahuluinya dengan secara resmi pula sebagai
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 27
identitas-identitas bangsa itu sendiri dibawah kedaulatan adat.Artinya
bahwa pengakuan terhadap kedaulatan adat mestinya tidak lantas
dinilai sebagai upaya penolakan terhadap Negara.Sebaliknya, melalui
kedaulatan, Negara senantiasa mengapresiasi posisi adat sebagai
entitas yang (mula-mula ada) telah berperan mewujudkan bangsa.
Sejarah mencatat, selama tiga dekade lebih, rezim Orde Baru telah
melakukan pembungkaman atau dalam istilah Roem Toppatimasang
menyebutnya sebagai pemaksaan nilai-nilai (impostion of values)17
—terhadap peran adat yang justru telah menciderai keharusan
sejarah bangsa Indonesia sendiri. Secara historis, pun dikemukakan
bahwa sudah sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindisch Compagnie),
proses pemaksaan nilai-nilai terhadap masyarakat adat tersebut
dilakukan.
Ketika mencapai kemerdekaan dan khususnya memasuki
rezim Orde Baru, disain masyarakat adat yang dikonsepsikan oleh
pemerintah kolonial dirombak tetapi tidak seluruhnya.Secara
umum kelompok masyarakat adat yang berasal dari suku-suku
kecil diposisikan sebagai kelompok masyarakat tradisional yang
harus belajar menjadi manusia modern. Pendisiplinan menjadi
manusia modern itu tidak disertai dengan pemberdayaan ekonomi.
Sebaliknya, justru eksploitasi ekonomi atas sumber daya alam yang
dimilikinyalah yang menjadi alas utama.Sehingga, banyak hak-hak
masyarakat yang dirampas dan dipakai oleh negara untuk menjamin
keberlanjutan negara dalam mendanai pembangunan ekonomi.18
Baru ketika memasuki era reformasi yang dimulai tahun 1998,
masyarakat adat dapat melakukan perjuangan tanpa menghadapi
represi kekerasan dari pihak negara. Gairah untuk menghidupkan
kembali kedaulatannya semarak, dan berani melakukan berbagai
langkah yang menekan negara.Pada Kongres Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) I tahun 1999, para peserta melantunkan
gerakan “Jika Negara tidak mengakui Kami, Kami pun Tidak akan
17
18
Panjaitan & Topatimasang, dalam “Potret Orang-orang Kalah.” Hlm. 7
Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 28
...............................................................................................................................................................................................................
28 Konteks dan Relevansi Revitalisasi Pranata Adat
mengakui Negara.”19
Namun dalam Konggres Masyarakat Adat Nusantara kedua pada
tahun 2003, semboyan yang digemakan adalah “memperkuat posisi
dan peranan masyarakat adat untuk mewujudkan keadilan dan
demokrasi kerakyatan di era otonomi daerah.”Semboyan ini sekaligus
merepresentasikan evaluasi sikap terhadap perubahan sistem dan
atmosfir demokrasi negara yang terus berkembang semakin baik.
Sikap ini juga menandai transisi gerakan dari yang semula menuntut
rekognisi menuju ke berbagai hal yang melampauinya yaitu
menyangkut penghormatan dan perlindungan hukum bagi hak-hak
masyarakat adat.
Secara kontekstual, berangkat dari beberapa penjelasan di atas,
maka yang mendasari permasalahan tersebut yaitu menyangkut
persoalan pengakuan sebagai penegasan yang bersifat kontraktual.
Tegasnya, pengakuan antara satu sama lain terhadap posisi masingmasing sebagai entitas-entitas yang berdaulat. Keberdaulatan
entitas; rekognisi, representasi dan redistribusi; adalah perekat yang
mengikat secara kontraktual berlangsungnya kehidupan berbangsa
yang adil dan beradab, agar persatuan merupakan tujuan dan
praksis hidup bersama.Dalam semangat kebersamaan itulah upaya
terselenggaranya revitalisasi pranata adat dapat dimungkinkan
untuk terselenggara dengan baik.Upaya ini sekaligus sebagai ikhtiar
bagi terciptanya konsolidasi demokrasi seperti yang diharapkan.
Sementara itu, upaya revitalisasi pranata adat tentunya memiliki
relevansi dengan persoalan good will dari pemerintah, pusat
maupun daerah. Faktanya, terdapat kelemahan pemerintah dalam
mempromosikan penguatan kapasitas pranata adat sebagai agenda
dari desentralisasi berdasarkan amanat UU No. 22/1999, di mana
pemerintah daerah dapat mengusung kembalinya pemerintahan
adat yang diidamkan oleh para aktivis adat dan masyarakatnya.20
Pada hal, jika saja persoalan good will itu diterapkan secara
19
20
Ibid. Hlm. 29
Ibid. Hlm. 30
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 29
benar dan sesuai di setiap pemerintah daerah, maka hak otonomi
pranata adat untuk memainkan peran desentralisasinya betul-betul
mewakili posisinya sebagai sebuah kadaulatan yang diakui secara
eksistensial.
Dengan demikian, persoalan menyangkut konteks dan relevansi
bagi revitalisasi pranata adat hanya dapat terjadi jika: Pertama,
dari segi konteks mengharuskan adanya pengakuan satu sama
lain antara Negara dan pranata adat sebagai entitas-entitas yang
berdaulat. Kedua, dari segi relevansi ialah pengarus-utamaan
kecenderungan pemerintah (good will), khususnya pemerintah
daerah dalam mempromosikan penguatan kapasitas pranata adat
yang memiliki basis di daerah sebagai agenda dari desentralisasi
dalam rangka mengembalikan hak otonomi pranata adat itu sendiri.
Sehingga, kedua hal ini dinilai akan menentukan arah demokrasi
yang konsolidatif-substansial. Tentunya termasuk respons positif
atas tantangan semakin merebaknya intoleransi dan hambatan
pembangunan perdamaian.
...............................................................................................................................................................................................................
30 Pranata Adat dan Perdamaian
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 31
BAB III
PRANATA ADAT DAN PERDAMAIAN
A. Dilema Revitalisasi Pranata Adat
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam bab
pendahuluan, bahwa baru pada saat jatuhnya rezim Orde Baru,
dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, desa mendapatkan kembali hak otonomi untuk menjalankan
kehidupan rumah tangganya sendiri. Undang-Undang tersebut
sekaligus sebagai penegasan terhadap agenda desentralisasi bagi
setiap daerah untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan
ketentuan otonomi yang dimaksud dalam penjabaran UndangUndang itu sendiri.Artinya, ruang pemaknaan otonomi tersebut
masih cenderung bersifat arbitratif yang dengan begitu tentu
memunculkan dilema. Dalam hal ini, penekanan dilema lebih
diartikan sebagai sebuah kondisi yang bias tafsir terhadap apa yang
disebut otonomi.
...............................................................................................................................................................................................................
32 Pranata Adat dan Perdamaian
Dalam konteks demokratisasi, kondisi demikian berangkat dari
asumsi tentang keharusan terciptanya kontrak sosial (social contract)
di satu sisi yang mewakili model demokrasi komunitarian. Sementara
di lain sisi menyangkut penyebarluasan kekuasaan kepada pelbagai
kelompok kepentingan melalui kontrol negara tentunya (negara
sebagai ‘gagasan tertinggi’ atau ‘kekuasaan adidaya’). Asumsi
tersebut mewakili model demokrasi liberal. Kedua model demokrasi
ini secara praktis sebagai gambaran tentang kondisi dilema
persoalan otonomi dimaksud. Sejauh perkembangan yang terjadi,
dilema justru (diakui) lebih disebabkan oleh pemaknaan tentang
demokrasi itu berkembang berdasarkan ‘selera’ negara (dan rezim
pemerintahan).Inilah yang menjelaskan mengapa sejarah kekuasaan
politik di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan kekuasaan
dan bukannya oleh paham konstitusionalisme yang sesungguhnya.
Sejarah negara ini sejak awal mulanya memperlihatkan bahwa
hakekat kultur kekuasaan modern di Indonesia sangat sarat dengan
kepentingan kekuasaan para ‘penguasa konkrit’ dan para ‘penguasa
diskursus kekuasaan’. Karena itu pula hubungan antara negara
dengan warga negaranya menjadi hubungan antara ‘yang dikuasai’
dengan ‘yang menguasai’, antara ‘yang diperintah’ dengan ‘yang
memerintah’.21
21
Laksono & Topatimasang, “Ken Sa Faak.” Hlm. 279
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 33
Box 1:
Penyelesaian Konflik Melalui Adat
Dikalangan Masyarakat Aceh
Eksistensi lembaga adat di Aceh telah ada sebelum Aceh masuk dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.Pembentukan lembaga adat ini sangat berkaitan
dengan bentuk pemerintahan yang berlaku pada zaman kesultanan Aceh.
Pada masa itu unit pemerintahan otonom yang paling bawah adalah gampong.
Gampong disebut sebagai “persekutuan masyarakat hukum adat” terkecil di
Aceh.Setingkat diatasnya terdapat mukim yang merupakan federasi beberapa
gampong.Selanjutnya unit pemerintahan uleebalang (kenegerian) merupakan
federasi beberapa mukim.Sementara setingkat di atasnya adalah unit
pemerintahan Sagoe yang merupakan federasi dari beberapa kenegerian. Untuk
level yang paling atas terdapat pemerintahan kesultanan.
Di samping itu sistem pemerintahan Aceh pada masa kesultanan juga memiliki
lembaga-Iembaga adat yang berkedudukan sebagai unit pemerintahan unsur
kedinasan.Unit-unit pemerintahan ini umumnya mengatur perihal pengelolaan
kegiatan unit perekonomian den sosial kemasyarakatan warganya.LembagaIembaga ini bersifat otonom dan berfungsi sebagai pengatur pengelolaan sumber
daya alam secara profesional.Untuk komunitas nelayan ada lembaga adat yang
disebut dengan panglima laot, kelompok petani ada lembaga keujrun blang dan
kaum peladang ada lembaga peutua seuneubok.Masing-masing lembaga adat
ini mempunyai hak dan kewenangan untuk membuat hukum dan memantau
pelaksanaannya.Selain itu masingmasing lembaga adat juga memiliki kewenangan
untuk membentuk sejenis peradilan sebagai badan pelaksanaan dan penegakan
hukum di wilayahnya.Hal ini menunjukkan bahwa berbagai permasalahan konflik
yang timbul dalam masyarakat Aceh pada masa itu diselesaikan berdasarkan
dimana sumber konflik itu muncul.
Untuk perselisihan atau konflik kecil, seperti tagihan perdata kecil dan
kejahatan-kejahatan ringan yang berlangsung antara sesama warga kampung
biasanya diselesaikan oleh keuchik dan teungku meunasah yang dibantu oleh
tuha peut.Keuchik bertindak sebagai hakim wasit atau juru damai yang bertugas
mengatur jalannya persidangan dan memutuskan jalan penyelesaian bagi para
pihak yang berkonflik, Apabila ada salah satu dari para pihak yang berkonflik
menolak perdamaian atau perkaranya tergolong berat, maka perkara itu dibawa
ke pengadilan tingkat mukim.Perangkat peradilan tingkat mukim ini terdiri atas
imeum mukim, keuchik, teungku imeum dan pemuka masyarakat yang terdapat
dalam daerah yurisdiksinya.Pihak yang mengajukan perkara harus menyerahkan
...............................................................................................................................................................................................................
34 Pranata Adat dan Perdamaian
uang jaminan (hak ganceng) sebagai ongkos perkara. Menurut Van Langen,
sebagaimana yang dikutip Isa Sulaiman, biaya ongkos (hak balee) adalah satu
sukee (seperempat) dari setiap empat ringgit nilai harta yang dlpersengketakan.8
Adapun aturan hukum yang dipakai oleh Iembaga-Iembaga pengadiJan adat di
atas berlandaskan syariah Islam, adat Meukuta alam, Sarakata Sultan Syamsul
Alam dan kebiasaan adat yang berlaku. Namun demikian menurut Snouck dalam
praktek hukum yang berlaku temyata keputusan yang diambil lebih berpedoman
kepada hukum adat ketimbang hukum syariah.
Dengan demikian penyelesaian konflik yang dilakukan oleh lembaga adat secara
berjenjang merupakan bagian dari perangkat peradilan kerajaan yang formal.
Di masa itu peradilan merupakan bagian integral dari perangkat kerajaan di
mana peradilan agama terintegrasi dengan peradilan adat.Hakim peradilan
tersebut dipegang oleh penguasa adat secara berjenjang dari bawah hingga
sultan. Dengan kata lain peradilan gampong yang diselenggarakan oleh unit
pemerintahan gampong merupakan bentuk peradilan formal dan legal pada
masa kesultanan Aceh berkuasa. Oleh sebab itu orang dipilih dan diangkat untuk
menduduki posisi dalam pemerintahan harus diseleksi dari orang-orang yang
ahli dari bidang hukum dan kemasyarakatan.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, status gampong sebagai persekutuan
masyarakat hukum adat dan peradilannya tetap dipertahankan sebagai sebuah
lembaga formal dalam sistem pemerintahan kolonial.Dalam hal ini peradilan
gampong menggunakan Hukum Adat sebagai dasar hukum dalam memutuskan
perkara.Namun demikian putusannya tetap bersifat perdamaian sesuai dengan
prinsip-prinsip penyelesaian peradilan gampong.Bagi pihak yang tidak puas
terhadap putusan peradilan gampong dapat mengajukan lagi perkaranya kepada
peradilan meusapat. Peradilan meusapat bukan berkedudukan pada tingkat
gampong akan tetapi pada wilayah yang lebih luas di atasnya. Peradilan ini
diketuai oleh konteler (kepala wilayah) bersangkutan yang berjumlah 21 buah
di seluruh Aceh.Susunan anggotanya terdiri atas tiga orang hulubalang senior
(termasuk panglima sagoe), seorang ulama dan seorang juru tulis.sidangan
biasanya berlangsung di ibukota wilayah atau di tempat kedudukan hulubalang
yang berada dalam daerah yurisdiksi bersangkutan. Pengadilan meusapat
bertugas mengadili perkara diantara orang bumi putera Aceh saja.Peradilan
ini juga menggunakan adat sebagai dasar pijakan hukum dalam memutuskan
perkara, tetapi keputusannya dapat mengikat para pihak.
Kamaruddin, Jurnal Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei 2013)
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 35
Gambar 1. Penyelesaian masalah melalui upacara adat di Aceh
http://wangsasyailendra.org/ws/?page_id=155
Merebaknya konflik berbasis identitas, utamanya agama dewasa
ini merepresentasikan problem toleransi yang sedang dihadapi
Indonesia. Kasus antaragama seperti yang ditandai pada satu
dasawarsa yang lalu, sebagaimana yang terjadi di Poso dan Ambon,
juga yang dewasa ini menyeruak seperti pada kasus GKI Yasmin dan
HKBP Philadelpia, adalah sekelumit catatan mengenai hal tersebut.
Juga dalam kategori yang lain adalah intra-agama, sebagaimana
yang terjadi dalam kasus Syiah di Sampang, Ahmadiyah di Cikeusik,
Mataram dan Kuningan, adalah catatan lain terkait problem toleransi
ini.
Masalah masyarakat plural dapat menjadi stabil, menurut
habermas, tidak dapat dipecahkan menurut teori liberal klasik
Hobbesian tentang modus vivendi.22 Tidak pula sesuai dengan
konsep kontrak sosial ala Locke yang menekankan hak individu
22
A.Sunarko, dalam majalah Basis; Agama di Ruang Publik Demokratis Indonesia, tahun ke-62, 2013
...............................................................................................................................................................................................................
36 Pranata Adat dan Perdamaian
beserta propertinya, sebab konteks di Indonesia menekankan
kuatnya hak komunal pada berbagai suku bangsa.Konflik agraria
banyak berpusar pada persoalan hak tersebut, antara kuasa negara
dan penghormatan terhadap hak ulayat.Barangkali konsep John
Rawls mengenai overlapping consensus merupakan salah satu
alternatif untuk menyelesaikan problem tersebut. Bagi Rawls,
di antara komunitas dengan tradisi dan sistem nilai berbeda
masih terdapat cukup kesamaan sehingga tercapai sebuah
overlapping consensus tentang tatanan dasar kehidupan bersama.23
Hal ini bukan merupakan praktek yang asing dalam tradisi bangsa
Indonesia.Selain yang dipraktekkan dalam satuan komunitas yang
lebih kecil yang direpresentasikan oleh beragam bangsa di Indonesia,
tradisi tersebut pernah menemukan titik puncaknya pada saat
penyusunan dasar negara dalam sidang PPKI.Perdebatan mengenai
dasar negara pada saat itu dapat ditengahi dengan memilih Pancasila
sebagai konsensus bersama dengan masing-masing pihak bersedia
menanggalkan sebagian kebenarannya.
Dalam praktek pengelolaan pemerintahan Indonesia hari ini,
yang terbebani dengan model pendisiplinan dan unifikasi ala Orde
baru serta karut marutnya bentuk demokrasi, hal ini menjadi salah
satu tantangan besar.Penekanan soal otonomi dewasa ini pada
dasarnya menjadi alasan mengenai kebebasan menjalankan dan
mengatur kehidupan rumah tangga sendiri.Yang dimaksud dengan
rumah tangga di sini ialah entitas-entitas lokal yang telah ada
mendahului negara dengan sistem kenegaraannya.Entitas-entitas
tersebut ialah pranata-pranata adat yang ada pada basis masyarakat.
Untuk itu, pemenuhan hak-hak sipil dan politik, seperti pemberian
otonomi lokal dan desentralisasi pemerintahan yang semakin bersih
dari korupsi, akan sangat banyak membantu memcahkan banyak
sekali tumpukan permasalahan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya
yang lama terabaikan selama ini. Kewajiban negara untuk memenuhi
23
Ibid., hlm. 8
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 37
hak-hak dasar warga negaranya, tidak selalu harus diartikan bahwa
negara harus diberi kekuasaan yang berlebihan kuat agar mampu
melaksanakan kewajiban tersebut. Dalam konvensi internasional,
tugas negara sebenarnya hanya tiga: melindungi (protection),
mengatur (regulation), dan memajukan (promotion). Jadi, semakin
jelas bukan ‘menguasai’ dan kemudian ‘memberikan’ kembali
(sebagian kecil) sebagai kebaikan hati semata.24
Akan tetapi, persoalan otonomi hingga dewasa ini masih terus
menuai ketidaksesuaian makna dalam praktek desentralisasi,
terhitung semenjak awal reformasi.Hal tersebut seiring dengan
kebanyakan kabupaten yang berada di lingkungan masyarakat
adat justru bergerak lamban dan sepertinya enggan mewujudkan
kembalinya pemerintahan adat. Hudayana (2005), mengemukakan,
ada beberapa dugaan yang melatarbelakangi masyarakat adat—
dalam hal ini, pranata adat itu sendiri—akan menghadapi berbagai
masalah untuk mewujudkan kembalinya pemerintahan asli , yakni:
Pertama, otonomi pemerintahan adat dapat mengancam
pemerintahan kabupaten dalam menikmati investasi pada sumber
daya alam yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar yang
bergerak di bidang perkebunan, HPH, pertambangan dan lainnya.
Dengan kata lain juga, dikhawatirkan pajak-pajak perusahaan akan
didistribusikan kembali ke pemerintahan adat. Di tengah kenyataan
bahwa kabupaten harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) untuk meningkatkan sumber pendapatan dalam
APBD, maka kemungkinan bagi daerah untuk menolak gagasan
otonomi pemerintahan adat menjadi lebih terbuka.
Kedua, munculnya tarik menarik di aras lokal antara kelompok
yang pro terhadap kembali ke pemerintahan adat yang diwakili oleh
para aktivis adat dengan yang tetap pro pada status quo yang diwakili
oleh para pengelola desa lama. Situasi ini dapat dimanfaatkan
pemerintah kabupaten untuk mengulur waktu di dalam membuat
24
Ibid. hlm. 285
...............................................................................................................................................................................................................
38 Pranata Adat dan Perdamaian
Gambar 2
Majelis Latupati, Lembaga adat yang menjaga Kedamian di Maluku
keputusan yang menetapkan kembali ke pemerintahan adat.
Ketiga, kolaborasi antara perusahaan dengan pemerintah
daerah untuk mencegah kembalinya pemerintahan adat, karena
jika perusahaan langsung berhadapan dengan pemerintahan adat
yang dapat dipastikan masyarakatnya akan melakukan renegosiasi
atas investasi di daerahnya. Dengan struktur pemerintahan di desa
lama, pemerintah kabupaten dapat mendiktekan kebijakannya ke
desa karena kepala desa harus loyal kepada atasannya dan tanpa
dikendalikan oleh institusi semacam BPD (Badan Perwakilan Desa)
sebagaimana diamanatkan dalam UU No.22/1999.
Keempat, pemerintahan kabupaten dikuasai oleh elite-elite
yang tidak mewakili masyarakat adat.Elit di tingkat kabupaten yang
berkuasa telah tercerabut dari ikatan komunitasnya dan loyalitas
mereka dialamatkan kepada kelas sosial dan partainya.Karena partai
politik juga tidak mempunyai kontrak politik dengan masyarakat
adat, maka kepentingan masyarakat adat menjadi berjarak dengan
kepentingan partai politik.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 39
Kelima, munculnya kerenggangan-kerenggangan hubungan
antar suku di aras lokal dalam mengakses politik dan ekonomi,
sehingga gerakan kembali ke adat dicurigai sebagai suatu ancaman
terhadap suku-suku pendatang minoritas, dan suku yang saling
berseteru memperebutkan akses politik dan ekonomi di tingkat
kabupaten.
Keenam, di kalangan masyarakat adat sendiri muncul
keberagaman elit dengan latar belakang sosial-ekonomi dan
idealisme yang membuka proses yang relatif lama untuk melakukan
konsolidasi.
Ketujuh, dengan telah begitu lama eksistensi pemerintahan
adat dihapus dan bahkan di banyak daerah adat, kepemimpinan
adat pun tidak lagi diakui, maka diikuti pula oleh hancurnya modal
sosialdan kedekatan elit dengan massanya.Akibatnya, ketika para
elit mengusung perjuangan kembali ke romantisme, warganya tidak
turut berpartisipasi.Mereka sepertinya harus berjuang sendiri dan
melakukan konsolidasi yang panjang untuk membuahkan gerakan
yang solid.25
Dari beberapa dugaan tersebut, maka jelas bahwa
dilemarevitalisasi bagi pranata adat sebenarnya terletak pada
persoalan (pemaknaan yang kurang substansial mengenai) otonomi.
Sebab hingga dewasa ini, pun sejak dikeluarkannya UU No. 6
Tahun 2014, otonomi masih menjadi persoalan yang krusial bagi
kembalinya eksistensi pemerintahan adat yang sesuai.
Dengan adanya berbagai krisis tersebut diatas maka perlu ada
“gerakan revitalisasi budaya”. Revitalisasi sebagai sebuah konsep
diartikan bermacam-macam. Akibatnya revitalisasi juga dapat
diartikan perwujudannya dalam berbagai bentuk kegiatan mulai dari
kegiatan dokumentasi, pemetaan tradisi, preservasi, pemeliharaan,
pemberdayaan atau penguatan kembali tradisi. Akan tetapi apapun
pengertiannya, revitalisasi pertama-tama dan utamanya titik tolak
25
Hudayana, “Masyarakat Adat di Indonesia.” Hlm. 30-31
...............................................................................................................................................................................................................
40 Pranata Adat dan Perdamaian
pandangan kita pada masyarakat pendukung tradisi bersangkutan.
Dari titik tolak di atas revitalisasi juga dimaksudkan sebagai sarana
komunikasi interaktif lokal, nasional dan global.
Untuk mendapatkan hasil kegiatan tersebut diatas secara
representatif, langkah pertama yang harus dilakukan melalui dialog.
Karena bentuk-bentuk tradisi itu sangat luas dan beragam jenisnya.
Jenis-jenis tradisi apa yang akan dan atau perlu direvitalisasi?
Seberapa besar makna revitalisasi bagi masyarakat pendukungnya
dan bagi perkembangan kebudayaan itu sendiri? Apakah dengan
kegiatan revitalisasi nilai tradisional akan mampu membentuk
watak bangsa yang unggul dan mampu bersaing dengan bangsa
lain? Apakah krisis tersebut menyerang langsung nilai-nilai budaya
tradisional masyarakat? Sejumlah pertanyaan lain dapat dideretkan
sehubungan dengan kegiatan revitalisasi budaya khususnya Budaya
Bali yang notabene sekarang ada dipersimpangan jalan. Kalau
terbukti dan benar, maka saya menganjurkan refleksi-kultural
berupa tindakan revitalisasi nilai-nilai tradisional sebagai salah satu
cara untuk mengangkat krisis tatanan sosial budaya itu ke tingkat
yang lebih relevan dengan konteks zaman ini.
Pertanyaan awal adalah apakah krisis tatanan sosial budaya
itu terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini? krisis adalah hasil
dinamika pergeseran paradigma dari sesuatu yang terus-menerus
berkembang dan bahkan berlangsung dari masa ke masa. Sedangkan
tatanan berarti aturan, tata tertib, atau sistem.
Dalam kaitan dengan kajian sosial budaya, krisis tatanan sosial
budaya adalah hasil dinamika pergeseran paradigma sistem sosial
budaya (rangkaian aktivitas dan tindakan berpola dari manusia di
dalam masyarakat) yang terus-menerus berkembang dan bahkan
berlangsung sangat cepat dari masa ke masa. Nah, kalau krisis
adalah hasil dinamika pergeseran paradigma sistem sosial budaya,
maka kita sebenarnya sedang berbicara tentang sesuatu yang
senantiasa berubah dalam kebudayaan (dinamika kebudayaan). Itu
berarti bahwa kebudayaan itu sesuatu yang dinamis (selalu berubah)
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 41
bahkan sangat cepat, dan oleh karena itu tidak ada kebudayaan yang
statis. Krisis perubahan kebudayaan itu bisa nampak dalam bentuk
disorientasi kebudayaan (kita seperti kehilangan arah) atau bisa juga
dalam bentuk disintegrasi kebudayaan (hancurnya tatanan-nilai
lama dimana kita pernah merasa aman dan tenteram).
Dengan kata lain, aspek dinamis dari kebudayaan merupakan
suatu proses yang karakteristik. Mengapa? Sebagai mahluk
biopsikologis, di dalam setiap kebudayaan, setiap individu selalu
memiliki kebabasan tertentu untuk memperkenalkan variasi dalam
cara-cara bertingkah laku dan dalam pola bertindak yang pada
akhirnya menjadi milik bersama. Tingkahlaku dan tindakan manusia
ini selalu bisa berubah dari waktu ke waktu karena manusia berusaha
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan fisik geografis,
tuntutan kebutuhan-kebutuhan biologis, tuntutan lingkungan
sosial, dan juga tekanan-tekanan sosial. Maka tanpa masuknya
pengaruh unsur budaya asing sekalipun, suatu kebudayaan lokal
dalam masyarakat tertentu pasti akan berubah sejalan dengan
mengalirnya waktu, apalagi dalam era globalisasi dan modernisasi
teknologi dewasa ini.
Maka boleh dikatakan bahwa krisis yang terjadi karena
perubahan paradigmatik dalam sistem sosial budaya merupakan
suatu keniscayaan transisi historis atau suatu keharusan sejarah
yang niscaya terjadi. Artinya “sebagai mahluk yang kodratnya
adalah bebas, manusia harus mengembangkan dirinya menuju
kesempurnaan hakikat dirinya. Apa yang ada pada manusia sebagai
kemungkinan (potensi) harus berkembang menjadi kenyataan,
sebab manusia tidak hanya ditentukan oleh karakternya tetapi juga
oleh prinsip-prinsip hakikinya yaitu kemampuan untuk berubah dan
hasrat untuk meraih kesempurnaan. Oleh sebab itu krisis perubahan
itu bukan malapetaka tetapi belaskasih yang mengingatkan kita akan
hakikat diri kita dan hakikat kebudayaan kita. Jadi perubahan dan
pembaha-ruan adalah suatu keharusan sejarah, dan oleh karena itu
siapa pun tidak bisa melawan keharusan sejarah ini. Dan berbagai
...............................................................................................................................................................................................................
42 Pranata Adat dan Perdamaian
bentuk krisis selalu terjadi atau timbul pada masa-masa transisi.
Salah satu fenomena krisis tatanan sosial budaya yang paling
menonjol pada masyarakat dewasa ini adalah perubahan ini
mengacaukan orientasi normatif pada berbagai kelas sosial yang
berbeda dan membawa serta masalah hubungan antara masa
lalu dan masa kini, antara masa tradisionalitas dan modernitas,
dan antara homogenitas dan pluralitas. Toynbee (1972) melihat
perubahan hirarki nilai dalam sejarah kebudayaan ini sebagai suatu
kondisi disequilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian
kreatif baru, karena yang sedang terjadi adalah proses interaksi
antara tantangan dan tanggapan. Artinya tantangan-tantangan dari
lingkungan alam dan lingkungan sosial selalu memancing tanggapan
kreatif dari suatu masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Sering sekali terjadi ketidakseimbangan antara tantangan
dengan tanggapan kreatif, sehingga kondisi ketidakseimbangan
atau disequilibrium ini menjadi semacam time of trouble, yaitu
suatu periode peradaban manusia dimana lembaga-lembaga sosial
budaya beserta potensi-potensi aktivitasnya yang dulu merupakan
pusat-pusat kreatif dari kebudayaan, kini tidak bisa berfungsi lagi.
Itu berarti bahwa lembaga-lembaga dan pranata-pranata sosial
yang dulu menjadi tumpuan dalam penyelesaian problem-problem
masyarakat, dalam era time of trouble justru tidak berfungsi dan
bahkan dapat menyebabkan lahirnya problem-problem baru
sehingga lembaga-lembaga dan pranata-pranata ini bukannya
menjamin tetapi malah mengancam integritas dan eksistensi budaya.
Beberapa contoh dapat disebutkan di bawah ini:
• Lemahnya fungsi lembaga-lembaga adat dan pranata-pranata
adat ketika menghadapi tantangan kehadiran lembaga-lembaga
dan pranata-pranata baru bentukan negara seperti LKMD, BPD,
dan lain sebagainya.
• Tata ekonomi agraris dan lembaga-lembaga agraris yang dulu
relatif adil dan merata selalu kalah berha¬dapan dengan tata
ekonomi global yang eksploitatif dan didukung oleh watak
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 43
ekonomi koneksi antara mo¬dal pasar dengan korporatisme elit
politik.
• Pranata-pranata demokrasi prose-dural yang baru selalu tidak
berkutik berhadapan dengan pranata-pranata otoriter yang
lama (status quo).
• Tata nilai kekeluargaan dan kebersa-maan pada masyarakat
tradisional menjadi rapuh kekuatannya ber-hadapan dengan
kehadiran tata nilai ekonomi yang mementingkan untung rugi di
dalam masyarakat ini.
Krisis tatanan sosial budaya dalam dinamika perubahan kultur
juga disebabkan oleh masalah kontak kebudayaan atau yang
disebut oleh pakar Antropologi sebagai the problem of acculturation
or culture contact. Akulturasi adalah perubahan kebudayaan yang
terjadi apabila kelompok-kelompok manusia yang mempunyai
kebudayaan yang berbeda-beda itu bertemu dan mengadakan
kontak secara langsung dan terus-menerus, sehingga kemudian
menimbulkan perubahan pada pola kebudayaan yang asli dari salah
satu kelompok atau pada kedua kelompok tanpa menghilangkan
kepribadian kelompok atau kebudayaan tersebut. Proses akulturasi
atau kontak kebu-dayaan ini menjadi sangat rumit dan menimbulkan
masalah, ketika unsur-unsur kebudayaan yang saling berkontak itu
sangat ditentukan oleh kedua kekuatan sikap dari masyarakat yakni:
sikap yang menerima dan sikap yang menolak perubahan.
Jadi proses akulturasi pasti akan selalu dihadapkan dengan dua
(2) kelompok kekuatan sikap masyarakat ini, sehingga permasalahan
akulturasi itu selalu diwarnai hal-hal sebagai berikut:
• Ada unsur-unsur kebudayaan pendatang yang mudah diterima
tetapi ada pula unsur-unsur kebudayaan pendatang yang ditolak
oleh masyarakat penerima.
• Ada unsur-unsur kebudayaan masyarakat penerima (resipien)
yang mudah berubah, tetapi ada pula unsur-unsur kebudayaan
yang sulit sekali berubah.
• Ada individu-individu masyarakat resipien yang cepat menerima
...............................................................................................................................................................................................................
44 Pranata Adat dan Perdamaian
unsur-unsur kebudayaan pendatang, tetapi ada pula individuindividu yang sukar sekali atau lamban menerima.
• Ada lapisan-lapisan masyarakat resipien yang sukar menerima
unsur-unsur kebudayaan pendatang, tetapi pula ada lapisanlapisan masyarakat resipien yang sukar menerima/menolak;
generasi tua dengan generasi muda, kaum terpelajar dan kaum
tidak berpendidikan, golongan bangsawan dengan rakyat jelata,
kaum perempuan dengan kaum laki-laki.
• Ada pelbagai macam saluran yang dilewati oleh proses
akulturasi dan yang paling sering tumpang tindih, seperti lewat
perdagangan, lewat pendidikan, lewat politik penjajahan, lewat
penyebaran agama, dan lain-lain.
Kompleksitas proses akulturasi atau kontak kebudayaan ini telah
terbukti menimbulkan ketegangan-ketegangan dan krisis-krisis
sosial budaya di antara anggota-anggota masyarakat atau antara
kelompok masyarakat.
B. Revitalisasi Pranata Adat Dalam Konteks Pelembagaan
Perdamaian Berbasis Desa
Dalam masa Suharto, keragaman dikelola sebagai
penyeragaman bukan persatuan. Undang-undang Nomor 5 tahun
1979 yang bercorak sentralistik melakukan penyeragaman model
pemerintahan dan administrasi desa. Secara otomatis sistem sosial
dan mekanisme pemerintahan lokal yang ada sebelumnya turut
tergerus. Bersama itu pula kekayaan kultural pelan-pelan mengalami
degradasi. Hal ini dianggap turut berpengaruh dalam memiskinkan
mekanisme penyelesaian masalah yang sebelumnya berlangsung
baik di berbagai komunitas di Indonesia.
Bagaimana memaknai posisi desa dalam pembangunan
perdamaian? Bagaimana menempatkannya dalam peran strategis
pembangunan perdamaian dan perwujudan cita-cita kebangsaan?
Pertanyaan ini adalah sekelumit dari hal yang perlu dicermati untuk
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 45
membangun basis argumentasi atas pilihan dalam memfokuskan
upaya pembangunan perdamaian melalui revitalisasi pranata adat.
Gambar 3.
Mataoga, Pranata Adat Kabupaten Kepulauan Sula
Dalam rangka mendorong perdamaian yang lestari, sebagai
pijakan bagi pencegahan konflik maupun pemulihan kondisi sosialekonomi paska konflik, desa adalah elemen paling berpengaruh
(juga rentan terpengaruh). Terutama selain karena desa adalah basis
subyek utama, dalam wacana transformasi konflik sebagaimana juga
diamanatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2014, partisipasi masyarakat
adalah elemen yang adekuat. Sebab menggantungkan sepenuhnya
pada peran negara sama halnya dengan tidak mempercayai
kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan sesuai
mekanisme yang mereka bangun, di sinilah peran kuat pranata adat.
Bung Hatta mengawali ulasannya tentang pedesaan dengan
membedah perbedaan antara desa dengan kota. Menurutnya,
perbedaan antara desa dengan kota di Indonesia terutama
disebabkan oleh pengaruh kolonialisme Belanda. Secara detail,
diungkapkan oleh Hatta, kemunculan kota dalam sejarah Nusantara
merupakan dampak langsung dari kolonial Belanda. Hal ini berbeda
...............................................................................................................................................................................................................
46 Pranata Adat dan Perdamaian
dengan kemunculan kota dalam peradaban Eropa maupun
peradaban-peradaban tua di dunia lainnya, yang disebabkan oleh
kemajuan tenaga produktif masyarakat.26
Perbedaan tersebut bukan tanpa alasan menandai konteks dan
arah pembangunan negara-bangsa Indonesia pada saat itu.Tentu
termasuk perihal pelembagaan Desa sebagai basis pembangunan.
Diakui bahwa desa sebenarnya merupakan pusat penghidupan, di
mana tersedianya sumber daya kehidupan itu sendiri. Itu sebabnya,
selama masa kolonialisme Belanda—diawali oleh kehadiran VOC
(berkisar tahun 1602-1800)—desa menjadi wilayah strategis
penopang kekuatan ekonomi pemerintah kolonial. Meskipun secara
terminologis, kata “desa” sendiri belum secara resmi berlaku bagi
seluruh wilayah dari komunitas tertentu di seluruh Nusantara.
Desa masih merupakan keterwakilan dari komunitas tertentu yang
mendiaminya, yang mengatur rumah tangganya sendiri (secara
otonom), termasuk penyebutan nama tempat yang mereka diami
dengan menggunakan penyebutan nama lokal yang berlaku
semisal Nagari di Sumatera Barat, Ohoi, Negeri atau Gam di Maluku
(Tenggara, Tengah dan Utara), Temukung di NTB, Pakraman di Bali,
Wanua di Sulawesi Utara atau Kampung di Papua, dan lain-lain.
Penyebutan desa dengan nama lokal bukan tidak mungkin
dikarenakan oleh identitas adat yang melekat pada komunitas
tertentu tersebut. Melekatnya identitas adat menjadi pokok yang
paling penting dilihat sebagai kekuatan utama desa itu ada.Sehingga
dalam hal ini, penyebutan desa sebenarnya lebih disesuaikan
dengan identitas adat (masyarakat adat sekaligus pranata adat).
Pelembagaan desa sendiri memberi pengertian yang terbuka ke
arah penguatan kapasitas adat.Maka mengenai posisi revitalisasi
dalam konteks pelembagaan desa justru lebih sebagai penegasan
terhadap peran dan fungsi adat secara otonom untuk mengatur
kehidupan rumah tangganya sendiri.
26
Refi & Falahi, dalam “Desa Kosmopolitan.” Hlm. 3
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 47
Dengan demikian, pengertian pelembagaan desa dalam kerangka
revitalisasi ialah ikhtiar untuk mengembalikan posisi desa lebih
kepada konteksnya sebagai basis adat. Meski pada kenyataannya,
masih ada pembedaan terhadap penyebutan desa itu sendiri secara
konstitusional: antara desa dinas dan desa adat.Pembedaan tersebut
kerap memunculkan ambivalensi peran dan fungsi pemerintahan
desa dalam makna yang otonom.Contoh kasus di Indonesia seperti
di Bali dan beberapa wilayah lainnya.
Box 2:
Peran Mosa Sebagai Lembaga Pemangku Adat Dalam Penyelesaian
Sengketa Tanah Ulayat Melalui Upaya Perdamaian Bagi Masyarakat
Hukum Adat Kecamatan Jerebu’u Kabupaten Ngada
Pada masyarakat Ngada yang pembentukan masyarakatnya berasal
dari pembentukan masyarakat hukum teritorial dan masyarakat hukum
genealogis, atau yang dikenal dengan Nua (masyarakat hukum teritorial)
dan Woe (masyarakat hukum genealogis) memiliki lembaga Pemangku
adat yang telah ada sejak zaman dahulu, tepatnya sejak masyarakat Ngada
ada, yang berfungsi menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di tengah
masyarakat. Keberadaan Lembaga Pemangku Adat di masyarakat Ngada
diakui oleh Pemerintah Daerah dengan dikeluarkanya Peraturan Daerah
Kabupaten Ngada Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pembentukan
Dan Penataan Lembaga Kemasyarakatan Di Desa Dan Kelurahan.
Di Kabupaten Ngada, sengketa yang terjadi sering kali bersumber dari
hal-hal yang berkaitan dengan persoalan tanah. Hal ini dapat dipahami,
karena di manapun tanah memiliki arti dan nilai yang sangat penting dalam
kehidupan manusia dan lingkunganya.Ditambah lagi dengan persoalan
kepemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat di Ngada yang masih
bersifat komunal dengan hak-hak ulayatnya.
Sengketa tanah yang sering terjadi di Kabupaten Ngada adalah konflik
antar suku dalam suatu wilayah adat, konflik antar sesama anggota suku,
konflik antara anggota suku dan desa.Meski sengketa di masyarakat
terus terjadi bahkan mungkin meningkat, masyarakat tetap menghendaki
terselesaikanya sengketa tersebut agar hubungan dan tatanan sosial
yang sempat rusak atau terganggu oleh sengketa tersebut dapat segera
dipulihkan. Penyelesaian yang dikehendaki adalah penyelesaian yang
...............................................................................................................................................................................................................
48 Pranata Adat dan Perdamaian
tuntas dan final dalam tempo singkat dengan cara sederhana dan dengan
biaya murah, sehingga memuaskan semua pihak dan melahirkan keadilan.
Di dalam hukum adat (terutama di Kecamatan Jerebu’u Kabupaten Ngada)
tidak dikenal instansi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan penjara.Tugastugas seperti pengusutan, penuntutan, dan peradilan dilaksanakan oleh
tua-tua adat dan warga adat setempat.Tua-tua adat ini biasanya adalah
kepala kerabat dan atau orang-orang yang dianggap dan dihormatinya
sebagai Mosa Laki. Jika terjadi konflik atau sengketa akan segera diperiksa
benar dan salahnya, lalu ditentukan hukumanya dan atau dendanya.
Mosa adalah Lembaga Pemangku Adat yang bersifat kolegial dan tidak
otoriter.Keberadaan dan kehadiran badan pemangku adat sebagai lembaga
yang dipercayakan untuk menjaga keutuhan dan kelestarian hukum adat,
serta kelestarian hidup warga sekaligus sebagai mediator atau juru damai
dalam penyelesaian berbagai sengketa dalam masyarakat hukum adat
tetap dirasakan sebagai kebutuhan.Ada banyak kasus masyarakat lebih
menginginkan penyelesaian melalui forum pemangku adat dari pada
forum peradilan negara.Hasil penyelesaian lewat lembaga pemangku adat
lebih sesuai dengan perkembangan zaman, serta tingkat kepatuhan warga
kepada norma-norma adat masih baik.
Dalam proses penyelesaian sengketa oleh Lembaga Pemangku Adat
tidak jarang pula ditemukan hambatan-hambatan baik yang berasal
dari para Mosalaki itu sendiri, sebagai mediator atau juru damai, terkait
dengan pemahaman hukum adat dan keputusan-keputusan yang di ambil
dalam penyelesaian sengketa, maupun hambatan dari Mosa sebagai
Lembaga Pemangku Adat terkait dengan fungsi dan wewenangnya dalam
menangani penyelesaian sengketa di dalam masyarakat hukum adat itu
sendiri, serta kurangnya minat generasi muda saat ini dalam mempelajari
dan mengembangkan kebudayaan daerah setempat.
(Serafianus Maximus Rabu Goti, Artikel Tesis Program Studi Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2014)
Desa sejatinya adalah pilar utama negara, seharusnyalah desa
ditempatkan sebagai basis pemberdayaan yang diutamakan, terkait
dengan cita-cita kebangkitan bangsa. Pemilihan desa sebagai
orientasi kebijakan revitalisasi pranata adat adalah upaya yang
menyasar langsung pada kantung-kantung sosial yang senyatanya.
Dalam keterkaitan desa dengan perdamaian, persoalan
penguatan desa menjadi hal yang harus menjadi prioritas. Tidak bisa
dipungkiri bahwa persoalan konflik terakselerasi oleh dinamika di
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 49
Gambar 4. Mosalaki, Pranata Adat Provinsi NTT Marlin Bato
http://suara-forgema.blogspot.co.id/2012/12/sindrom-kemosalakian.html
aras desa-desa. Sehingga bisa jadi konflik meluas atau menyempit,
hal yang sangat bergantung pada konteks masing-masing desa.
Namun secara umum, di tengah kondisi konflik yang bermula di kotakota tertentu, paling sering terjadi konflik meluas atau terakselerasi
oleh dinamika di desa-desa.
Menelaah berbagai konflik komunal massif di Indonesia, tidak
bisa dilepaskan dari dinamika desa. Dari tinjauan ini, akan dilihat
bagaimana akar konflik mendapatkan momentum peledakan
masalah yang bermuara pada isu konflik tertentu. Persoalan paling
merata--baik di desa maupun di kota-- yang terjadi adalah masalah
ketimpangan yang bersumber dari persoalan-persoalan seputar
akses. Akses adalah indikasi yang berkaitan dengan representasi
dan redistribusi.
Sangat tepat untuk memilih pembangunan perdamaian melalui
optimalisasi peran masyarakat desa. Pada aspek perdamaian dalam
konteks pencegahan maupun pemulihan paska konflik, jaringan
antardesa harus dikuatkan, sehingga desa tidak lagi dijadikan basis
...............................................................................................................................................................................................................
50 Pranata Adat dan Perdamaian
mobilisasi massa bagi konflik antarelit di kawasan urban. Fokus
pembangunan yang sudah berjalan melalui amanat UU Nomor
6 Tahun 2014 pada aspek sosial-ekonomi, politik, budaya dan
adat, secara timbal balik menjadikan ekonomi desa kokoh dan
memungkinkan perdamaian yang berkelanjutan.
Selanjutnya, bahwa posisi revitalisasi dalam konteks
pelembagaan desa sekaligus menjadi gagasan awal bagaimana
membangun paradigma perdamaian (peace paradigm) yang lebih
aplikatif diterapkan pada basis-basis masyarakat perdesaan
ketika sewaktu-waktu terjadi konflik kepentingan di tengahtengah mereka. Pembangunan perdamaian (peace building) sendiri
sebenarnya merupakan tujuan umum dari upaya revitalisasi pranata
adat melalui proses pelembagaan desa. Untuk itu, dibutuhkan
instrumen atau pisau analisis yang sesuai sebagai ukuran bagi
tujuan tersebut.Kemudian, sasaran analisis ini tentunya diarahkan
pada beberapa pranata adat yang ada hampir di seluruh wilayah
Indonesia.Terutama sebagai dasar pertimbangan menentukan arah
kebijakan dan strategi pengembangan daerah tertentu, dalam hal
ini adalah penanganan daerah paska konflik.Fokus kebijakannya
ialah penanganan daerah paska konflik dengan rehabilitasi sosial
dan ekonomi.Sementara strateginya ialah meningkatkan kapasistas
pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan, rekonsiliasi dan
rehabilitasi daerah paska konflik.Untuk itu, revitalisasi pranata adat
dalam pembangunan perdamaian ini sekaligus merupakan salah
satu dari beberapa kegiatan prioritas pemerintah dalam rangka
pengembangan daerah tangguh konflik.
C. Kontribusi Pranata Adat dalam Perdamaian
Berbagai komunitas masyarakat Indonesia yang beragam
masih menjalankan adat yang bersumber dari budaya lokalnya.
UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, telah
menjamin dan mendorong fungsi pranata adat dan/atau pranata
sosial dalam pengelolaan serta penyelesaian konflik-konflik sosial.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 51
Pranata adat berfungsi dalam pengelolaan konflik, agar konflik dapat
diselesaikan atau tidak muncul dalam bentuk kekerasan.Penekanan
pada peran pranata adat ini sebagai upaya untuk memperkuat
partisipasi penyelesaian konflik serta menghindari tumpang tindih
mekanisme penyelesaian konflik antara mekanisme adat yang
tergolong sebagai ADR (alternative dispute resolution) dengan
mekanisme formal seperti pengadilan.
Gambar 5.
Penyelesaian Perselisihan Melalui Pranata adat,
di Sigi Sulawesi Tengah
...............................................................................................................................................................................................................
52 Pranata Adat dan Perdamaian
Box 3:
Kasus Sengketa Banjar Adat Ambengan Dengan Banjar Adat Semana Ubud
Kabupaten Gianyar
Awal terjadinya sengketa tersebut muncul pada tanggal 31 Mei 2007 yang
berawal dari pemotongan tiga pohon kelapa dan satu pohon blalu oleh
warga Banjar Adat Semana di lokasi setra yang menurut warga Banjar Adat
Semana kayu tersebut akan digunakan untuk pembangunan Pura Prajapati
setempat yang digunakan bersama-sama, namun tindakan tersebut
dilarang oleh warga Banjar Adat Ambengan. Dua Peristiwa tersebut terus
berkembang hingga larangan penguburan dan bentrokan fisik hingga aksi
kekerasan yang disebabkan adanya saling klaim kepemilikan atas Tanah
Setra tersebut yang pada awalnya digunakan bersama diklaim sebagai milik
dari salah satu pihak. Adapun jika diamati dari peristiwa terdapat faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah setra antara lain dapat
berupa faktor internal (perbedaan kepentingan, batas-batas wilayah yang
tidak jelas, serta kekuasaan dan hak) dan faktor eksternal (Perkembangan
jaman dan globalisasi serta perkembangan dalam sektor pariwisata).
Faktor-faktor tersebut menyebabkan berubahnya nilai-nilai, pola prilaku,
pandangan hidup dan gaya hidup dari warga masyarakat serta perubahan
pada fungsi kelembagaan masyarakat.
Penyelesaian Sengketa Tanah Setra dan Pelaksanaannya. Pada kasus
sengketa tanah setra yang terjadi di Banjar Adat Ambengan dengan Banjar
Adat Semana ini dilakukan dengan cara mediasi oleh Pemerintah Kabupaten
Gianyar. Mediasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang mencoba
menawarkan kemenangan yang sedapat mungkin diperoleh oleh para pihak
serta menemukan kepentingan semua pihak yang dapat dirundingkan guna
memperoleh kesatuan pandangan atau keputusan yang baik . Mediasi
tersebut dilakukan dengan pertemuan-pertemuan dan perundingan dengan
cara musyawarah untuk mencapai mufakat antara kedua belah pihak.
Hal tersebut sesuai dengan asas musyawarah mufakat yang dijelaskan
sebagai berikut: Asas Musyawarah adalah suatu asas yang menegaskan
bahwa dalam hidup bermasyarakat segala persoalan yang menyangkut
hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama oleh
anggota–anggotanya atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama
dan ... Asas mufakat adalah asas yang digunakan dalam menyelesaikan
perbedaan perbedaan kepentingan pribadi seseorang dengan orang lain
atas dasar perundingan antara yang bersangkutan. Dengan dilakukannya
beberapa kali pertemuan, maka pada tanggal 11 Mei 2009 Badan kesbang
Pol dan Linmas Kabupaten Gianyar mengeluarkan Surat Penegasan Nomor:
300/389/kespolin. Surat Penegasan tersebut menegaskan bahwa setra
yang disengketakan tersebut tidak boleh digunakan oleh kedua belah pihak,
sampai adanya kesepakatan penyelesaian lebih lanjut oleh kedua belah pihak.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 53
Surat Penegasan tertanggal 11 Mei 2009 tersebut belum dapat berjalan
dengan efektif, hal tersebut ditandai dengan timbulnya bentrokan fisik
yang menimbulkan korban luka-luka dan larangan penguburan. Kemudian
Pemerintah Kabupaten Gianyar kembali melakukan proses mediasi dengan
kedua belah pihak dan pada akhirnya tercapailah suatu kesepakatan yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak tangga 14 April 2011. Kesepakatan
tersebut menjelaskan bahwa tanah setra yang disengketakan akan dibagi
dua dan diberikan pembatas menggunakan batas buatan (tembok), dimana
berdasarkan hasil pengukuran oleh BPN Provinsi Bali tanah setra yang
menjadi sengketa sebesar 5,2 are disebelah barat jalan dengan batas pohon
celagi keselatan, kemudian pembagian tanah masing-masing banjar adat,
yaitu Banjar Adat Semana mendapat 2.6 are disebelah utara (berdempet
dengan setra asal Banjar Adat Semana) sedangkan Banjar Adat Ambengan
juga mendapatkan 2,6 are di sebelah selatan. Dengan kesepakatan tersebut
diharapkan seiring berjalannya waktu hubungan baik antara kedua Banjar
Adat ini dapat berjalan dengan harmonis dan dapat melupakan kejadiankejadian buruk dimasa lalu dengan memperhatikan ketiga pokok pangkal
titik tolak kehidupan kelompok masyarakat adat di bali, yaitu upaya
umum masyarakat untuk menegakkan keseimbangan hubungan antara
warga masyarakat itu sendiri, keseimbangan hubungan warga masyarakat
dengan kelompok masyarakat, dan keseimbangan hubungan masyarakat
secara keseluruhan dengan alam keTuhanan. Hal tersebut dikarenakan
kesepakatan yang diperoleh oleh kedua belah pihak tidak dapat menjamin
sepenuhnya bahwa sengketa tidak akan terjadi lagi, karena itu hendaknya
warga masyarakat adat lebih memperhatikan filosofi ajaran Tri Hita Karana
dengan tetap menjaga keharmonisan berdasarkan asas laras, rukun dan
patut sehingga keadaan menjadi aman dan tentram.
(I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A Gde Oka
Parwata, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas
Udayana
–
http://www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthadesa/article/
download/5982/4462)
Secara umum, program revitalisasi pranata adat adalah prakarsa
untuk melembagakan perdamaian berkelanjutan di Indonesia melalui
penguatan basis-basis utama penopang bangsa; desa beserta
kekayaan budaya dan pranatanya.Kekuatan dan peluang yang dimiliki
serta tersedia di desa, salah satunya pranata adat ditempatkan dalam
kerangka untuk melembagakan perekat (connector) perdamaian,
sekaligus sebagai ketahanan bagi faktor pembelah (divider) dalam
konflik, yang juga diakibatkan oleh kelemahan dan ancaman di desa.
...............................................................................................................................................................................................................
54 Pranata Adat dan Perdamaian
Secara umum, menemukan faktor perekat (connector) dan
pembelah (divider) dalam adat melalui pengindentifikasian bersama
adalah juga merupakan kegiatan untuk merefleksikan secara kritis
posisi pranata adat dalam konteks pembangunan perdamaian. Hasil
identifikasi itu akan menjadi pokok dalam mentransformasikan
nilai maupun sistem tertentu dalam adat yang berpotensi sebagai
pembelah (divider) atau untuk menjadi perekat (connector) bagi
perdamaian.
Gambar 6.
Penyelesaian Konflik Tapal Batas Desa melalui Pranata Adat di
Kabupaten Donggala
Peran pranata adat yang berbasis di wilayah desa menjadi penting
dan relevan mengingat konflik yang terjadi dalam beberapa tahun
terakhir menunjukkan pergeseran pola dari konflik ideoligis (SARA)
menjadi konflik-konflik kecil dan rutin yang terjadi di tingkat desa
(konflik batas desa, tawuran antar-warga, konflik pembangunan dll).
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 55
Tabel 2. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Agama dan Etnis
Yang Terjadi Selama Setahun Terakhir
Satu Agama
Multi Agama
38.177
44.013
Sumber: Statistik
Potensi Desa 2014
Sumber: Statistik Potensi Desa 2014
Satu Etnis
23.198
Multi Etnis
58.922
Total
82.190
Dimensi keragaman dari aspek politik, sosial dan budaya juga
sangat besar di desa-desa seluruh Indonesia memberikan gambaran
pentingnya melakukan upaya-upaya pencegahan dan penyelesaian
konflik berbasis masyarakat melalui pengembangan nilai-nilai
budaya lokal.Data statistik tersebut sekaligus menunjukkan bahwa
keragaman desa yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia menjadi
potensi dan sekaligus ancaman bagi pencapaian tujuan-tujuan
pembangunan bila tidak dikelola dengan baik dengan mengacu
pada prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh masyarakat.
Disamping keragaman desa yang menunjukkan tingkat segregasi
sosial yang terjadi dalam masyarakat, data statistik juga menunjukan
gambaran peran tokoh masyarakat yang belum secara optimal di
perankan sebagai pedoman kehidupan keseharian masyarakat desa
di seluruh Indonesia.
Tabel 3. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Jenis Perkelahian
Massal Yang Terjadi Selama Setahun Terakhir
Antar
Kelompok
Masyarakat
Kelompok
Masyarakat
Antar Desa
Kelompok
Masyarakat
dengan
Aparat
Keamanan
Kelompok
Masyarakat
dengan
pemerintah
1.404
1.128
108
99
Pelajarar/
Mahasiswa
327
Antar
Suku
70
Total
160
Sumber:
Statistik
Potensi
Desa 2014
...............................................................................................................................................................................................................
56 Pranata Adat dan Perdamaian
Tabel 4. Banyaknya Desa/Kelurahan Menurut Inisiator
Penyelesaian Perkelahian Massal Yang Paling Sering Terjadi
Setahun Terakhir
Aparat
Keamanan
Aparat
Pemerintah
Tokoh
Masyarakat
Tokoh
Agama
Lainnya
Tidak ada
Inisiator
1.404
1.128
108
99
327
160
Sumber:
Statistik
Potensi Desa
2014
Gambaran data tersebut menunjukkan potensi kerawanan
sosial di tingkat desa menunjukkan angka yang cukup tinggi di
berbagai daerah di Indonesia, baik dalam bentuk perkelahian antar
kelompok, perkelahian antar-desa dll.sementara disisi lain, peran
tokoh masyarakat/adat masih belum berperan secara optimal dalam
penyelesaian kasus-kasus konflik sosial sebagaimana diamanatkan
dalam UU Penanganan Konflik Sosial.Proses-proses penyelesaian
masih bertumpu pada peran aparat keamanan dan pemerintah
sebagai mediator penyelesaian konflik di tingkat Desa.
Oleh karenannya, peran pranata adat sebagai bagian dari Sistem
Peringatan dan Respon Dini Konflik Sosial/Conflict Early Warning and
Early Response System menjadi penting untuk didorong dan relevan
dalam perkembangan dinamika kehidupan sosial yang terjadi dalam
beberapa tahun terakhir.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 57
Tabel 5. Contoh Model Penyelesaian Konflik melalui Pranata Adat
WILAYAH
Aceh
Aceh Singkil
PRANATA ADAT
KASUS KONFLIK
· Unit
Pemerintahan:
Gampong;
Keuchik dan
Tengku Meunasah
dibantu Tuha
Perut; Mukim;
Uleebalang
(kenegerian);
Sagoe;
Kesultanan.
· Unsur Kedinasan:
Panglima Laot
(komunitas
nelayan); Keujrun
Blang (Komunitas
Petani);
dan Peutua
Seuneubok
(Komunitas
Peladang).
Konflik berskala
besar maupun kecil
yang terjadi di dalam
masyarakat, misalnya
konflik terkait persoalan
sumber daya ekonomi,
pelanggaran hukum, dll.
Termasuk perselisihan
kecil antar warga
masyarakat dalam satu
kampung.
· Singkil-Hulu
· Singkil-Pesisir
(tepian sungai)
· Konflik antara
masyarakat dengan
pihak perusahaan
kelapa sawit, tahun
2012.
· Konflik bernuansa
SARA yang terjadi
pada 13 Oktober
2015: Pembakaran
Huria/Gereja
Kristen Indonesia
(HKI) di Desa
Sukamakmur,
Kecamatan Gunung
Meriah, Aceh
Singkil. Di samping
pembongkaran
sekitar 13 Gereja
di beberapa Desa
oleh Pemerintah
setempat
dikarenakan
belum memilliki
izin mendirikan
bangunan (IMB).
METODE PENYELESAIAN
Baik unit pemerintahan dari
yang terendah (Gampong)
hingga tertinggi (kesultanan),
termasuk unsur-unsur
kedinasan bekerja sesuai
dengan peran dan fungsi
masing-masing dalam
kerangka kesatuan adat.
Upaya-upaya penyelesaian
konflik di dalam masyarakat
misalnya, merupakan perihal
yang inheren dengan
keberadaan pemerintahan
adat tersebut.
Komunitas Adat Singkil-Hulu
dan Singkil-Pesisir secara
kelembagaan merupakan
bagian dari Majelis Adat Aceh
(MAA). Disebut Singkil-Hulu
sebab komunitas adat tersebut
secara geografis berada
pada wilayah dataran tinggi
(pegunungan/perbukitan).
Sebaliknya Singkil-Pesisir di
dataran rendah, umumnya
tepian sungai. Singkil-Hulu
merepresentasi golongan
Nasrani, sementara SingkilPesisir mewakili golongan
Muslim.
Hubungan kekerabatan
antara dua komunitas adat
tersebut menjadi titik temu
bagi penyelesaian konflik
yang terjadi di sana. Meskipun
terkadang upaya ini tidak
banyak dimunculkan ke
permukaan sebagai upaya
non-litigasi bagi penyelesaian
konflik, akan tetapi pengakuan
masyarakat tentang peran dan
fungsi kedua komunitas adat
tersebut tetap ada.
...............................................................................................................................................................................................................
58 Pranata Adat dan Perdamaian
WILAYAH
PRANATA ADAT
KASUS KONFLIK
METODE PENYELESAIAN
Sengketa tanah setra
antara lain dapat
berupa faktor internal
(perbedaan kepentingan,
batas-batas wilayah
yang tidak jelas, serta
kekuasaan dan hak)
dan faktor eksternal
(Perkembangan jaman
dan globalisasi serta
perkembangan dalam
sektor pariwisata), pada
31 Mei 2007.
Pemerintah Kabupaten
Gianyar melalui
proses mediasiberhasil
menghubungkan kedua belah
pihak yang berkonflik untuk
menuai kesepakatan damai
atas sengketa yang terjadi.
Terlepas dari proses mediasi
yang diprakarsai oleh
pemerintah, kesepakatan
damai sebenarnya didorong
oleh kesadaran masyarakat
lokal setempat tentang ajaran
filosofii Tri Hita Karana.
Sengketa tanah
yang sering terjadi
di Kabupaten Ngada
adalah konflik antar suku
dalam suatu wilayah
adat, konflik antar
sesama anggota suku,
konflik antara anggota
suku dan desa.
Mosa (Lembaga Pemangku
Adat) merupakan subjek vital
dalam proses penyelesaian
konflik. Oleh karenanya,
upaya bagi pembangunan
perdamaian pun cenderung
bergantung pada peran serta
fungsi sentral Mosa.
Rampak Naong
Baringin Korong
Konflik yang terjadi antar
golongan Syi’ah dengan
Sunni
di
Sampang,
Madura.
Rampak Naong Baringin
Korong menjadi sebuah
mekanisme lokal yang terbukti
mampu menancapkan rasa
persaudaraan yang kuat di
antara masyarakat, khususnya
bagi orang-orang Madura.
Misalnya, ketika nilai keislaman
tidak dapat dijadikan penyatu,
bahkan menjadi pembeda
antara Sunni dengan Syiah,
maka persamaan dan
perasaan sebagai sesama
orang Madura sebagai potensi
yang paling mungkin menjadi
titik persamaan atau share
identity bagi pihak-pihak yang
berkonflik.
Pamabakng &
Mangkok Merah (mangkok
jaranang: akar bergetah warna
merah)
Konflik antar etnik yang
terjadi di Sambas.
Pamabakng & Mangkok
Merahmerupakan sebuah
inisiatif lokal terhadap proses
pembangunan perdamaian di
dalam masyarakat, terutama
di Sambas. Tentunya termasuk
Ketapang, Landak, Dayak, dll. Adat Ambengan
Gianyar
Adat Semana
Tri Hita Karana
Ngada
Sampang
Sambas,
Ketapang,
Landak
Mosa
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 59
WILAYAH
PRANATA ADAT
Maromu
Sulawesi
Tengah
Maluku
Masale & mosintuwu
Pela gandong;
Masohi; dan Ain Ni
Ain/Maren.
KASUS KONFLIK
METODE PENYELESAIAN
· Konflik sumber
daya ekonomi
terkait kepemilikan
tanah/hutan di
masyarakat adat
Ngata Toro.
· Konflik bernuansa
SARA pada 1998.
Baik Maromu, Masale
maupun Mosintuwusamasama memiliki ketentuan
yang utama terhadap proses
penyelesaian konflik di
dalam masyarakat. Maromu
misalnya, mengandung nilai
saling membantu meringankan
beban pekerjaan satu sama
lain. Begitu pula Masale dan
Mosintuwu diakui menjadi
basis nilai kekerabatan (gotong
royong). Beberapa bentuk
kearifan lokal (local wisdom)
diakui menjadi tolok ukur
penyelesaian konflik.
· Konflik bernuansa
SARA pada 1999 di
Maluku.
· Pun termasuk
konflik berlatar
sumber daya alam
dan ekonomi.
Sebagai sebuah sistem
ikatan persaudaraan,
pela gandongwajib untuk
direalisasikan dalam kehidupan
orang bersaudara di
Maluku. Kewajiban tersebut
semata-mata demi menjaga
kelestarian perbedaan yang
ada di masyarakat, khususnya
di Maluku. Selain pela
gandong, sistem lain yang
masih terpelihara dengan
baik sebagai sistem ikatan
persaudaraan di Maluku ialah
budaya Masohi dan Ain ni
Ain/Maren. Kasus konflik
horizontal bernuansa SARA
pada 1999 misalnya, telah
membuka mata kita bahwa
mekanisme lokal masih
terbukti mampu bekerja
dengan baik mengakhiri
pertikaian atau kerusuhan
yang terjadi di Maluku.
Beberapa mekanisme lokal
tersebut, tentunya berlaku
juga pada penyelesaian konflik
berlatar sumberdaya alam dan
ekonomi.
...............................................................................................................................................................................................................
60 Pranata Adat dan Perdamaian
WILAYAH
Papua
PRANATA ADAT
Bakar batu
Kaneka Hagasir
KASUS KONFLIK
METODE PENYELESAIAN
· Konflik antar
warga masyarakat
dengan pihak
perusahaan, ratarata perusahaan
tambang
(misalnya: PT.
Freeport).
· Konflik antar
etnik, biasanya
terkait urusan
batas tanah,
pembunuhan.
· Di samping tidak
kalah massifnya
peristiwa kriminal,
atau kejahatan
lainnya.
Pelibatan mekanisme lokal
dalam kasus-kasus perusahaan
besar seperti perusahaan
tambang di daerah biasanya
lebih sering didominasi oleh
pihak perusahaan-perusahaan.
Hal tersebut didasari oleh
bergaining (penawaran)
ekonomi-politik perusahaan
yang lebih kuat ketimbang
daya tahan kebudayaan lokal
komunitas adat tertentu.
Kasus Papua dengan PT.
Freeport misalnya, dapat
diakui malah lebih “mudah”
terselesaikan melalui proses
bergaining tersebut ketimbang
melalui mekanisme lokal
dimaksud. Pendeknya, konflik
berlatarbelakang sumberdaya
ekonomi dalam kasus Papua
belum tentu dapat dipastikan
terselesaikan dengan
(hanya sekadar) melibatkan
mekanisme lokal yang ada
hampir di setiap pranata adat.
Sementara konflik etnik di
Papua justru dinilai lebih
sesuai dengan melibatkan
mekanisme lokal, misalnya
Bakar Batu dan Kaneka
Hagasir.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 61
BAB IV
KEBUTUHAN DAN MANFAAT
REVITALISASI PRANATA ADAT
A. Kontekstualisasi Program
Sifat pranata adat yang unik dan sangat lokal sekaligus memiliki
batasan terkait lokusnya, juga di sisi lainnya bisa merentang melewati
batas teritori administratif.Hal ini menegaskan keterbatasan
sekaligus potensi lintas batasnya.Dengan demikian, program
revitalisasi pranata adat ini tidak bisa dilakukan secara serampangan
dan general.Melainkan secara khusus mesti mempertimbangkan
konteksnya.Meskipun demikian, tetap dapat dirumuskan beberapa
aspek umum untuk menjadi program nasional.
Kebutuhan program revitalisasi pranata adat sangat berkaitan
dengan konteks masing-masing wilayah yang menjadi lokus kerja.
Berbagai masalah yang mengakibatkan hilangnya “vitalitas” pranata
adat sebagai lembaga yang mengatur kehidupan komunitasnya,
termasuk salah satunya sebagai lembaga perdamaian, berkaitan
dengan pelemahan oleh kebijakan yang tidak mencirikan penghargaan
...............................................................................................................................................................................................................
62 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
terhadap realitas keragaman serta otonomi tertentu komunitas.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa
adalah salah satu contoh kebijakan yang mempengaruhinya.
Diperlukan terobosan pemikiran untuk melakukan suatu
revitalisasi pranata adat dan budaya lokal sebagai media solusi
konflik dan peace building. Adapun berbagai terobosan pemikiran
tentang pranata adat dan budaya lokal sebagai bagian integral di
dalam agenda revitalisasi budaya lokal dimaksud yakni:
1. Diperlukan suatu perubahan cara berpikir tentang budaya
lokal dan adat secara lebih dinamis dan tidak statis. Bahwa
budaya lokal pada dasarnya dapat berubah, dapat disesuaikan
dengan perkembangan jaman. Pranata lokal adalah hasil suatu
proses historis, suatu konstruksi sosial dengan konteks sosiohistoris tertentu. “Demitologisasi” tertentu atas pranata adat
dimaksudkan agar orang terbuka menyesuaikan nilai-nilai adat/
budaya lokal, serta bersedia terbuka menerima scara kritis
dan hati-hati berbagai nilai-nilai baru yang sifatnya baik untuk
memperkuat kehidupan sosial masyarakat kedepan. Dalam
konteks visi yang dinamis ini maka posisi dan status masyarakat
selaku anak adat bukan hanya sebagai penerima atau pewaris
pasif dari budaya lokal kita (resipen), tetapi kita hendaknya
berperan sebagai aktor, kreator dan agen-agen pembaharu aktif
terhadap budaya lokal kita.
2. Agenda Revitalisasi Budaya Lokal dapat dilakukan melalui
berbagai jalur.
a. Jalur pendidikan akademis perlu dilakukan eksplorasi dan
indetifikasi terhadap berbagai kekayaan khazanah budaya lokal
kita yang masih termuat dalam tradisi lisan, guna dilakukan
kodifikasi terhadap pranata adat yang ada. Sekaligus dilakukan
suatu tinjaun kritis, respektif dan refleksi terhadap nilai-nilai
adat untuk menggali dan menyatakan manakah yang sesuai
diterapkan dan manakah yang perlu disesuaikan lagi dengan
kebutuhan masa kini.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 63
b. Termasuk didalam proses kodifikasi warisan adat tersebut
yakni, diperlukan suatu pelurusan terhadap kebenaran
sejarah budaya lokal didalam ragam masyarakat kita. Dalam
hal ini, perlu direlavitir kecenderungan umum berpegang pada
budaya yang dominan, tetapi sebaliknya haruslah terbuka
terhadap beragam alternative narasi-narasi kecil sumber
sejarah adat budaya yang sudah barang tertentu menyimpan
pula kandungan kebenaran tertentu, perlu diperjelas tentang
kedudukan dan sifat dari pranata adat yang mengatur tentang
‘Hak Milik’ dan ‘Hak Guna/Hak Makan’ atas SDA petuanan
setempat (Ufi, 2007).
c. Perlu dieksplorasi dan dirumuskan kembali suatu visi
kebudayaan baru yang menjadi suatu common ground/
common values/common culture bagi semua masyarakat.
Dengan menggunakan suatu pendekatan paralelisme dan
similaritas budaya. Maksudnya dicari titik temu didalam
berbagai warisan pranta adat didalam masing-masing
komunitas masyarakat beragam yang mirip dan paralel
makna kulturalnya. Dilakukan suatu telaah sintetis untuk
mengelaborasi dan mengintegrasikan berbagai aspek dan niali
adat yang mirip/parallel makna tersebut menjadi suatu nilai
umum/bersama yang dapat disepakati menjadi nilai budaya
lokal daerah.
d. Perlu disusun kurikulum pembelajaran adat istiadat daerah
untuk diajarkan didalam dunia pendidikan, mulai dari
pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi. Ini
merupakan suatu media sosialisasi terhadap warisan nilai adat
istiadat daerah, termasuk proses sosialisasi yang dilakukan
melalui berbagai pranta pendidikan informal dan non-formal.
3. Agenda revatilisasi budaya lokal dapat dilakukan pula melalui
jalur gerakan sosial, praktek sosial dan eksperimen sosial. Perlu
dikonstruksi berbagai lembaga-lembaga sosio-kultural yang
dapat mengembangkan dan melembagakan praktek sosial
...............................................................................................................................................................................................................
64 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
terhadap berbagai pranta adat budaya lokal tersebut. Dan bagian
penting dari gerakan sosial dimaksud selain dilakukan sosialisasi
dan eksperimentasi sosial, tetapi terlebih dahulu dilakukan suatu
kesepakatan bersama, suatu konsensus sampai kepada komitmen
bersama untuk menerima dan memberlakukannya secara sosial
didalam kehidupan segenap warga masyarakat.
4. Agenda revitalisasi budaya lokal kiranya berpuncak pada adanya
komitmen politik untuk mendukung kebelakuan pranata adat
melalui berbagai kebijakan publik, keputusan dan regulasi politik
yang relevan. Kebijakan pubik dan regulasi dimaksud adalah
untuk menyeleraskan dan mengintegrasikan antara berbagai
nilai-nilai pranata adat yang baik dengan berbagai nilai hokum
positif, melalui sintesa dan kombinasi yang harmonis. Misalnya,
adanya kebijakan publik untuk melegitimasikan dan melegalkan
peranan pranata adat didalam menjaga hutan dll. Kebijakan lain
misalnya, diperlukan suatu desain format pemekaran desa-desa
secara tepat yang dapat kiranya menyelaraskan antar status desa
adat (yang punya kewenangan adat terhadap wilayah dan anggota
masyarakat desa sebagai anak adat) dan desa administrative
(yang berfungsi melayani kepentingan desa sebagai warga
Negara secara formal dalam domain hidup bernegara.
Ciri pembangunan pada semua aspek tersebut adalah pembukaan
wadah-wadah bagi interaksi lintas komunitas; diharapkan menjawab
masalah fundamental dari agenda sehari-hari masyarakat di satu
sisi, dan melakukan penataan kembali persoalan ketimpangan
akses di sisi lain. Sehingga, perdamaian bisa dimaknai sebagai
pijakan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan.
Dalam semangat membangun sinergi lintas desa, pranata adat yang
mungkin mengikat beberapa desa berfungsi sebagai basis etika
sosial dan hukum yang arif.
B. Model Pranata Adat Untuk Perdamaian
Indonesia memiliki kekayaan keragaman pranata adat yang
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 65
telah tumbuh dan berkembang sejak sebelum berdirinya Negara
Republik Indonesia.Berbagai kekayaan tersebut muncul dan tumbuh
subur sesuai dengan lingkungan kehidupan sosial masyarakat di
wilayah tersebut.Banyak pranata adat di Indonesia yang sejak dulu
berkontribusi dalam pembangunan dan turut menjaga keselarasan
dan harmoni antar-masyarakat diseluruh Indonesia. Diantara
keragaman pranata adat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke diantaranya:
1. SINGKIL
Lembaga adat gampong dan meunasah sebagai pengendalian
sosial masyarakat terhadap pelaksanaan syari’at islam di
Aceh. Lembaga adat gampong memiliki peran besar terhadap
keberlangsungan sistem pengendalian sosial masyarakat, sehingga
hukum syari’at dan hukum adat menjadi nilai-nilai normatif yang
dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat
Lembaga-lembaga adat di Aceh: Majelis Adat Aceh, Imeum
Mukim, Imeum Chik, Keuchik, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum
Meunasah, Kejruen Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua
Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbanda
Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim,
yang membawahi federasi dari beberapa gampong.
Imeum Mesjid atau Imeum Chik adalah figur yang mengepalai
urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah mukim.
Tuha Lapan adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga
mukim anggota musyawarah mukim, yang bertugas dan berfungsi
memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada
Imeum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
mukim. Disebutkan angka lapan, maksudnya sebagai representasi
delapan arah mata angin dari suatu daerah yang lebih luas dari
gampong.
Keuchik (Kepala Desa) adalah ketua gampong (desa), yang
memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan
...............................................................................................................................................................................................................
66 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
gampong. Ia dipilih secara demokratis menurut vesri masyarakat
gampong.
Imeum Meunasah/Teungku Gampong adalah pemimpin dan
pembina bidang agama (Islam), yang sekaligus bertindak selaku
pemimpin upacara keagamaan di gampong. Ia juga memberikan
pertimbangan dan penerapan hukum syariat di gampong.
Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota
musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan
nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Keuchik dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. Angka peut
(empat) ini pada mulanya merujuk sebagai representasi teritoti dari
empat arah mata angin dalam gampong. Namun kemudian, sebutan
peut ini tidak hanya ditujukan sebagai perwakilan teritori, melainkan
juga representasi personal dalam lembaga tuha peut, yaitu ; tuha,
tuho teupeu, dan teupat.
Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi,
pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam,
membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan.
Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang
penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan
sengketa laot.
Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang
pembukaan hutan/perladangan/ perkebunan pada wilayah gunung/
lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan.
Panglima Uteun/Kejruen Glee adalah ketua adat yang memimpin
urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu
(madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll), meurusa,
memungut wasee glee, memberi nasehat/petunjuk pengelolaan
hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum
adat glee.
Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan
kepelabuhanan, tambatan kapal/ perahu, lalu lintas angkutan laut,
sungai dan danau.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 67
Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban,
kebersihan pasar dan pengutip retribusi.
Alasan kemunduran pengaplikasian penyelesaian konflik dengan
mekanisme lokal di Singkil Aceh adalah kurangnya kewibaan
geuchik sendiri dalam memimpin gampong. Geuchik seperti ini
tidak akan mampu menciptakan sistem pengendalian sosial yang
utuh. Biasanya geuchik ini berada dalam gampong-gampong yang
dekat dengan masyarakat perkotaan. Akibatnya nilai-nilai normatif
menjadi berkurang disebabkan pengaruh globalisasi modern yang
tidak mampu diaplikasikan dengan budaya lokal. Berbeda halnya
dengan geuchik yang memimpin gampong-gampong di wilayah
terpencil, masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai agama
dan adatsehingga jarang ditemukan pelanggaran keduanya. Peran
gampong di sini benar-benar menciptakan sistem pengendalian
yang utuh dalam masyarakatnya, sehingga aman dan tentram
dapat dirasakan oleh masyarakatnya. Masyarakat pun menyambut
positif terhadap pelaksanaan hukum agama dan hukum adat di
wilayahnya masing-masing. Faktor lain yang menghambat peran
geuchik adalah lemahnya peran geuchik sebagai lembaga yudikatif.
Akibat lemahnya peran tersebut, masyarakat cenderung melaporkan
ke Mahkamah Syar’iyah untuk diselesaikan.Selain faktor tersebut,
diperlukan juga peningkatan kesadaran masyarakat dalam memahami
pentingnya hukum syari’at dan hukum adat dalam menciptakan
sistem pengendalian sosial masyarakat. Lembaga adat gampong harus
merumuskan kembali bagaimana bentuk hukum adat yang berlaku di
wilayah masing-masing seiring dengan semakin majunya globalisasi.
2. SAMPANG
Rampak naong baringin korong, yaitu persaudaraan antarorang
Madura, walaupun lebih banyak digunakan dalam konteks orang
Madura di perantauan, tetapi nilai ini sebenarnya dapat menjadi
penyatu bagi seluruh orang Madura.Ketika nilai keislaman tidak
dapat dijadikan penyatu, bahkan menjadi pembeda antara Sunni
...............................................................................................................................................................................................................
68 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
dengan Syiah, maka persamaan dan perasaan sebagai sesama orang
Madura menjadi potensi yang paling mungkin untuk menjadi titik
persamaan atau shared identity bagi pihak-pihak yang berkonflik.
Istilah Rampak naong baringin korong yang menjadi pedoman
hidup ini dimaksudkan bahwa orang madura menyukai kehidupan
yang damai tanpa kekerasan, diskriminasi dan persengketahan
3. SUMBAWA
Lembaga adat tana samawa (LATS) merupakan pihak yang bisa
berperan dalam pencegahan maupun resolusi konflik di Sumbawa.
Setelah lama vakum, LATS direvitalisasi melalui Musakara Adat pada
2011 lalu. Hasil Musakara Adat tersebut antara lain mengukuhkan
putra Mahkota Kesultanan Sumbawa, H. Daeng Muhammad
Abdurrahman Raja Dewa sebagai Sultan Sumbawa ke -17 dan
memimpin LATS. Dengan modal simbolik dan kultural yang dimiliki,
Sultan Sumbawa dan Lembaga Adat mempunyai kesempatan untuk
memaksimalkan keberadaannya sebagai referensi warga Sumbawa. Situasi yang terjadi di Sumbawa saat ini merupakan momentum
tepat untuk menunjukkan eksistensi dan peran Lembaga Adat Tana
Samawa yang sudah direvitalisasi. Kehadiran Sultan Sumbawa
atau yang kerap disapa dengan Daeng Ewan untuk menenangkan
massa kemarin sebaiknya diikuti dengan langkah-langkah yang lebih
sistematis demi resolusi konflik yang efektif. LATS harus mampu
menjalankan perannya sebagai bagian dari intermediary actors
yang prima sebagaimana hasil keputusan Musakara Adat pada 8-10
Januari 2011 lalu. LATS diharapkan menjadi jembatan mediasi bila
terjadi konflik antara pemerintah dengan masyarakat.Payung hukum
lewat Perda Kabupaten Sumbawa No. 23 2007 juga memberikan
tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi fasilitator dan mediator
dalam penyelesaikan perselisihan di dalam masyarakat.
4. SAMBAS, KETAPANG dan LANDAK
Adat pambakang adalah suatu simbol yang digunakan
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 69
sebagai solusi penyelesaian atau pencegahan konflik serta untuk
membentengi diri secara pribadi maupun komunitas. Makna adat
pamabakng bagi pihak pelaku (yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum adat) sebagai pernyataan bersedia untuk menyelesaikan
konflik atau masalah tersebut secara adat dan bertanggung jawab
dengan apa yang telah dilakukannya.
Mangkok Merah merupakan sebuah tradisi dalam
adat Dayak yang berfungsi sebagai alat komunikasi antar
sesama rumpun Dayak serta sebagai penghubung dengan roh nenek
moyang.Hanya Panglima Adat yang berwenang untuk memanggil
dan berhubungan dengan para roh suci atau dewa.Mangkok Merah
hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat
yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena
korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.
Mekanisme lokal cenderung lemah dalam hal pemenuhan prinsip
eqiutable dan Tidak ada jaminan yang cukup kepada pihak yang
mengadu untuk mendapatkan perlakuan adil dalam proses
penyelesaian ketidaksepahaman.Selain itu adanya inkulturasi
budaya lain seperti cina, melayu dan lain-lain dalam dayak yang
juga merupakan penghambat dalam penyelesaian konflik melalui
mekanisme lokal.
5. SULAWESI
Mapalus (Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat
Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi
setiap kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan
pertanian, yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun
untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Moposad dan Moduduran (Bolaang Mongondow-Sulawesi
Utara): Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong
menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.
Maromu (Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja
sama yang berlaku dalam pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat
...............................................................................................................................................................................................................
70 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
adat Ngata Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu
meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan
hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu
keluarga kepada yang lain. Pengelolaan hutan melalui beberapa
tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.
Pasang Ri Kajang (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan):
Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan
Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km
ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri
Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang
mengandung etika dan norma, baik yang berkaitan dengan perilaku
sosial, maupun perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya,
maupun hubungan manusia dengan PenciptaNya. Ammatoa
bertugas untuk melestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya
agar komunitas Ammatoa tetap tundukk dan patuh kepada Pasang.
Pasang merupakan pandangan yang bersifat mengatur, tidak dapat
dirobah, ditambah maupun dikurangi.
6. MALUKU
Pela Gandong
Pela Gandong merupakan suatu sebutan yang diberikan kepada
dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama
lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata “pela” dan
“Gandong”. Pela berarti suatu ikatan bersatu, sedangkan Gandong
berarti bersama atau bersaudara. Jadi pela gandong adalah suatu
ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara. Persaudaraan
di daerah lain mungkin dianggap biasa biasa saja, tetapi bagi orang
Maluku, sebuah ikatan persaudaan bukanlah hal yang biasa-biasa
saja, melainkan suatu hal yang wajib untuk irealisasikan dalam
kehidupan orang bersaudara di Maluku. Lahirlah sebuah sistem
ikatan persaudaraan yaitu Pela Gandong.
Suatu warisan budaya, seperti halnya dengan Pela dan
Gandong yang dilakukan oleh negeri Batu Merah dan negri Passo
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 71
yang terjadi pada zaman dahulu sampai sekarang masih ada dan
msaih diimplementasikan oleh kedua negri tersebut, walaupun ada
perbedaan agama antarar negri-negri tersebut. Pasca konflik Ambon
1999 ikatan Pela tersebut masih berjalan dan ada pertemuan
antara tokoh-tokoh adat yang saling bekerja sama. selain itu, sikap
masyarakat negri-negri adat tersebut berperan penting dalam usaha
perdamaian antar umat beragama pada saat konflik Ambon.
Struktur lembaga peradilan adat di Maluku Tengah tidak berdiri
sendiri akan tetapi menyatu ke dalam struktur lembaga pemerintahan
negeri yaitu lembaga saniri raja pattih. Lembaga tersebut selain
sebagai lembaga pemerintahan negeri juga berfungsi sebagai
lembaga Peradilan dan penyelesaian sengketa. Raja dan Kepala Soa
memiliki peran sebagai kepala pemerintahan juga menjadi hakim
perdamaian adat (menjalankan fungsi eksekutif dan yudikatif)
7. PAPUA
Bakar Batu ;Tradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi
penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama
warga 1 kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim
(mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut
kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku),
atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar
Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti
di Lembah Baliem, Paniai, Nabire Pegunungan Tengah, Pegunungan
Bintang, Jayawijaya,Dekai, Yahukimo, dll. Disebut Bakar Batu
karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian
ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masingmasing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya
Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).
Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan suku dani untuk
mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan
mengakhiri perang.Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku
Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka.
...............................................................................................................................................................................................................
Wilayah
Wilayah 2
(Jawa, Bali,
Nusa Tenggara)
Wilayah 1
(Sumatera)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kabupaten
Situbondo
Bangkalan
Sampang
Lombok barat
Lombok timur
-Lomboktengah
Sumbawa
Dompu
Bima
Sumbawa barat
Timur tengah selatan
Timur tengah utara
Belu
Alor
Lembata
Ende
Manggarai
Manggarai barat
sumba barat daya
Nagekeo
manggarai timur
Malaka
Singkil
- Lembaga adat
Tana Samawa
(sumbawa)
- Rampak naong
baringin korong
(sampang)
Lembaga adat
gampong dan
meunasah
Pranata adat
-
-
-
-
-
Sedikitnya masyarakat
yang mau peduli dan
mengenalkan kearifan lokal
pada orang lain
Kurangnya wibawa Keuchik
dalam memimpin
Globalisasi menyebabkan
kurangnnya nilai2 normatif
lemahnya peran Keuchik
dalam lembaga yudikatif
tidak ada pelestarian adatistiadat
Penghambat
-
-
-
-
Tabel 6. Peta Kebutuhan Revitalisasi Pranata Adat
Rekomendasi
Agar aparatur negara lebih
tegas mengatur sumbersumber konflik kekerasan dan
memberikan perlindungan
keamanan serta rasa keadilan
yang cukup. Selain itu, perlu
dipikirkan institusi sosial yang
dapat menengahi konflik
Meningkatkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya
mengenal adat daerah
Merumuskan kembali
bagaimana bentuk hukum
adat yang berlaku di wilayah
masing2.
Melibatkan Keuchik dalam
lembaga Yudikatif
72 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
.............................................................................................................................................................................................................
Wilayah 4
(Sulawesi,
Maluku)
Wilayah 3
(Kalimantan)
Wilayah
Kepulauan buru
Seram bagian barat
Seram bagian timur
Halmahera barat
Jeneponto
Malukutengah
Toli-toli
Donggala
ParigiMautong
Sigi
Landak
Ketapang
Sambas
Kabupaten
- Pela Gandong
- Saniri negeri
dan saniri raja
patih
- Lembaga adat
marawola
- Maddecceng
- Mapalus
- Moposad dan
Moduduran
- Maromu
- Pasang Ri
Kajang
Adat pamabakng
dan mangkok
merah
Pranata adat
-
-
Kurangnya pengakuan
dari pemerintah mengenai
peradilan adat
Tergesernya pola
kehidupan yang tradisionil
ke arah kehidupan yang
modern saat ini
- Lemahnya prinsip
eqiutable
- Tidak adanya jaminan yang
kuat bagi pengadu
Penghambat
-
-
-
pemerintah dapat mengakui
peradilan adat dan juga
berkontribusi karena forum
peradilan adat memberikan
sinergi kepada pemerintah
untuk menegakkan keadilan.
Ada tindak lanjut terhadap
Peraturan Gubernur Sulawesi
Tengah Nomor 42 tahun 2013
tentang Pedoman Peradilan
Adat di Sulawesi Tengah dan
Surat Keputusan Gubernur
dengan nomor 180/590/
RO.HUK-6.ST/2014 tentang
Forum Peradilan Adat (FPA).
Harus tetap menegakan
hukum yang termuat dalam
Perda yang sesuai dengan
nilai budaya yang dianut dan
kesadaran masyarakat maluku
Tengah terhadap aturan
hukum pidana adat yang
masih ada dan harus tetap
dilestarikan
- Penguatan prinsip eqiutable
- Meningkatkan rasa percaya
masyarakat terhadap lembaga
adat
Rekomendasi
Revitalisasi Pranata Adat 73
...............................................................................................................................................................................................................
Wilayah 5
(Papua)
Wilayah
Merauke
Nabirejaya wijaya
Puncak jaya
Sorong
Kabupaten
-
-
Bakar batu
Haneka hagasir
Pranata adat
-
-
Peraturan pemerintah
lebih dominan dalam
mengintervensi masyarakat
adat
Banyakknya etnis lain yang
ada di sorong membuat
kearifan lokal menjadi
semakin hilang.
Penghambat
-
-
Mengaplikasikan Peraturan
Bupati Nomor 319/2014
tentang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat
Hendaknya aparat pemerintah
dan tokoh-tokoh agama dapat
bekerjasama demi terciptanya
kondisi harmoni di Kota
Sorong, melalui revitalisasi
kerarifan lokal
Rekomendasi
74 Kebutuhan dan Manfaat Revitalisasi Pranata Adat
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 75
BAB V
PENUTUP
A. Rangkuman Isi Buku
Buku ini memberikan gambaran secara komprehensif tentang
revitalisasi pranata adat dilihat dari berbagai aspek dan sudut
pandang. Hal ini dimaksudkan agar seluruh pemangku kepentingan
memahami secara utuh keragaman karakteristik dan keunikan
pranata adat yang ada di Indonesia, serta berbagai masalah yang
melingkupi perkembangan pranata adat di Indonesia.
Setidaknya terdapat 5 point penting yang dapat dirangkum
dalam isu buku ini, diantaranya:
1. Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial memandatkan bahwa penanganan konflik sosial
mesti berlangsung partisipatif, mengutamakan kearifan lokal
dan pranata adat. Perdamaian menjadi urusan semua pihak,
...............................................................................................................................................................................................................
76 Penutup
bukan hanya terbatas pada negara. Undang-undang tersebut
juga mencirikan perlunya membangun perdamaian berbasis
masyarakat, tidak semata berorientasi pemerintah, dimana
upaya-upaya penyeleaian konflik dan pembangunan perdamaian
dilakukan melalui jalur-jalur dialogis, kanal-kanal alternatif di luar
mekanisme formal maupun litigasi.
2. Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang memiliki keragaman
budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang turuntemurun dan diakui keberadaannya oleh masyarakat, merupakan
modal sosial yang sangat strategis dalam mendorong terciptanya
persatuan dan kesatuan bangsa. Nilai dan norma budaya
yang masih eksis dan dipatuhi oleh masyarakat dalam praktek
kehidupan sehari-hari dalam meyelesaikan berbagai persoalan
kemasyarakatan di berbagai daerah, merupakan pembelajaran
terbaik (best practices) yang terus harus dibina dan dikembangkan
sebagai kekuatan utama pembangunan.
3. Proses-proses untuk memperkuat partisipasi dan penyelesaian
melalui kearifan dan pranata tertentu mensyaratkan penguatan
kelembagaan-kelembagaan yang selama ini tidak memiliki tempat
yang cukup signifikan. Maka, upaya ini mesti didahului oleh
analisis terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya
pelemahan pranata adat dan kearifan lokal. Lokalitas daerah
mesti turut diperhitungkan sebab selalu terdapat keunikan pada
masing-masing komunitas beserta pranata adatnya.
4. Kebijakan revitalisasi pranata adat di Indonesia sejatinya mesti
berlangsung secara serentak melalui “Gerakan Budaya” untuk
perdamaian di semua wilayah di Indonesia agar pembangunan
perdamaian dapat berlangsung lebih massif.
5. Menjadikan program revitalisasi pranata adat sebagai bagian
strategi penanganan konflik sosial dan pembangunan perdamaian
merupakan langkah strategis dalam rangka mengembangkan
kebijakan-kebijakan pencegahan konflik yang lebih berkelanjutan
dan berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 77
B.
Langkah-Langkah Strategis Revitalisasi Pranata Adat Untuk
Pembangunan Perdamaian
Upaya melakukan revitalisasi pranata adat dalam rangka
mendukung pembangunan perdamaian di Indonesia memerlukan
terobosan baru baik dari aspek kebijakan, kelembagaan maupun
tindakan-tindakan operasional yang melibatkan seluruh pemangku
kepentingan dalam satu “gerakan budaya”.
Langkah Strategis Gerakan Revitalisasi Pranata Adat
Penguatan
Regulasi
Politik Rekognisi,
Representasi dan
Redistribusi
Penguatan
Kelembagaan
Penguatan Lembaga
Adat, Kodifikasi budaya
dan koord pemangku
kepentingan
Pemberdayaan
Masyarakat
Kurikulum Pendidikan
formal dan informal,
fasilitasi kebutuhan
Revitalisasi pranata adat paling mungkin dilakukan melalui good
will dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya pemerintah
sebagaimana telah diamanatkan UU. No. 32 tahun 2014.Upaya
untuk memperkuat pranata adat berpusar pada tiga kebutuhan
utama;
1. Aspek kebijakan
a. Agenda revitalisasi pranata adat kiranya berpuncak pada
adanya komitmen politik untuk mendukung pemberlakuan
pranata adat melalui berbagai kebijakan publik, keputusan dan
regulasi politik yang relevan (politik rekognisi, representasi dan
redistribusi). Kebijakan pubik dan regulasi dimaksud adalah
untuk menyeleraskan dan mengintegrasikan antara berbagai
nilai-nilai pranata adat yang baik dengan berbagai nilai hukum
positif, melalui sintesa dan kombinasi yang harmonis.
...............................................................................................................................................................................................................
78 Penutup
2. Aspek kelembagaan
a. sejalan dengan penguatan melalui kebijakan, penguatan
kelembagaan adat (pranata) perlu dijalankan melalui
serangkaian program terukur, berdasarkan relevansi dan
kebutuhan desa. Program yang berkaitan dengan penguatan
kelembagaan ini bisa dilakukan melalui bantuan terkait
kelengkapan untuk menopang kerja lembaga adat, infra
struktur lembaga adat, maupun pendampingan yang berkaitan
dengan substansi seperti peningkatan kapasitas pengurus
maupun anggota adat tertentu berkaitan dengan kecakapan
penanganan konflik maupun kecakapan umum lainnya.
b. Sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah pusat maupun
daerah mesti dilakukan supaya tidak terjadi ambivalensi.
Regulasi mesti dapat diturunkan secara cermat dan jelas sejak
dari Undang-undang hingga beragam peraturan turunannya.
Dengan demikian, untuk menjadikan kebijakan bisa bersifat
operasional, maka dibutuhkan koordinasi, panduan, dan
kesepahaman bersama sejak dalam tahap perencanaan
pembangunan. Patut didorong agar daerah menginisiasi
secara holistik upaya revitalisasi pranata adat kedalam
program-program kongkret, jika dibutuhkan perlu diperkuat
dengan sejumlah regulasi yang menjadi daya dorong, meski
bukan yang utama.
3. Aspek Pemberdayaan Masyarakat;
a. Hal ini berkaitan dengan nilai maupun praktek berkaitan
dengan ritus maupun seni, budaya dan ekonomi. Program
yang bisa dilakukan terkait nilainya adalah dengan
memperkuat pada aspek pengarus-utamaan melalui kegiatan
dokumentasi, kodifikasi, serta jalur pendidikan formal dan
informal. Sementara berkaitan dengan praktek, program
pendampingan dapat dilakukan melalui bantuan kelengkapan
ritus, pemberdayaan ekonomi, kegiatan kebudayaan dan seni
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 79
dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus konflik, kegiatankegiatan berkaitan dengan ritus, eknomi, budaya dan seni
telah secara nyata menjadi jalan penyelesaian konflik.
b. Perlu disusun kurikulum pembelajaran adat istiadat daerah
untuk diajarkan didalam dunia pendidikan, mulai dari
pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi. Ini
merupakan suatu media sosialisasi terhadap warisan nilai adat
istiadat daerah, termasuk proses sosialisasi yang dilakukan
melalui berbagai pranta pendidikan informal dan non-formal.
c. Agenda revatilisasi budaya lokal dapat dilakukan pula melalui
jalur gerakan sosial, praktek sosial dan eksperimen sosial. Perlu
dikonstruksi berbagai lembaga-lembaga sosio-kultural yang
dapat mengembangkan dan melembagakan praktek sosial
terhadap berbagai pranta adat budaya lokal tersebut. Dan
bagian penting dari gerakan sosial dimaksud selain dilakukan
sosialisasi dan eksperimentasi sosial, tetapi terlebih dahulu
dilakukan suatu kesepakatan bersama, suatu konsensus
sampai kepada komitmen bersama untuk menerima dan
memberlakukannya secara sosial didalam kehidupan segenap
warga masyarakat.
C. Pemanfaatan Buku
Analisis dan informasi terkait dengan revitalisasi pranata
adat untuk pembangunan perdamaian yang dituangkan dalam
buku ini dapat dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan
dalam merumuskan kebijakan dan tindakan-tindakan operasional,
diantaranya bagi:
1. Pemerintah Pusat:Buku Revitalisasi Pranata Adat ini dapat
dijadikan informasi dan rujukan bagi Kementerian/Lembaga di
tingkat Pusat dalam rangka penyusunan kebijakan dan strategi
revitalisasi pranata adat di seluruh Indonesia, serta sekaligus
dapat dijadikan acuan dalam rangka pemetaan kebutuhan
pengembangan pranata adat dalam pembangunan perdamaian;
...............................................................................................................................................................................................................
80 Penutup
2. Pemerintah Daerah:analisis dan pembahasan dalam buku ini
dapat dijadikan informasi awal tentang peta pranata adat di
Indonesia, serta sekaligus dapat digunakan oleh pemerintah
daerah untuk mengembangkan program/kegiatan revitalisasi
adat dalam mendorong peran dan fungsi pranata adat dalam
pembangunan perdamaian.
3. LSM, Pegiat Perdamaian dan Lembaga International.Buku ini
ini dapat dijadikan basis pengetahuan terkait pengembangan
pranata adat di Indonesia bagi organisasi/lembaga nonpemerintah dalam rangka merumuskan strategi advokasi,
prioritas dan focus pendampingan masyarakat adat, serta
pemantapan agenda-agenda program pencegahan konflik sosial
di Indonesia.
4. Akademisi.Buku ini juga dapat dijadikan basis diskusi ilmiah
untuk mengembangkan metode revitalisasi pranata adat, serta
pengembangan model-model baru revitalisasi pranata adat yang
sesuai dengan karakteristik sosial masyarakat Indonesia dan
perkembangan dinamika sosial yang berkembang saat ini.
.............................................................................................................................................................................................................
Revitalisasi Pranata Adat 81
DAFTAR PUSTAKA
Amirrachman, Alpha. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi
Konflik di Kalimantantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP
Budiman, Arief & Tornquist Olle. 2001. Aktor Demokrasi: Catatan
Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia. ISAI
Davidson, Jamie. S et al. 2010.Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta:
KITLV & Obor Indonesia
Faqih, Mansour. 2010. Analisis Gender & Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hudayana, Bambang. 2005. Masyarakat Adat di Indonesia: Meniti
Jalan Keluar Dari Jebakan Ketidakberdayaan. Yogyakarta: IRE
Press
Miqdad, Mohamad. 2012. Dinamika Konflik dan Kekerasan di
Indonesia.Institut Titian Perdamaian. Jakarta.
...............................................................................................................................................................................................................
82 Daftar Pustaka
Panjaitan, Erwin & Topatimasang, Roem.1993. Potret Orang-Orang
Kalah. Jakarta: Yayasan Sejati
Regus, Max. 2015. Diskursus Politik Lokal: Kajian Teoretik Kritis.
Flores: SUNSPIRIT FOR JUSTICE AND PEACE
Refi, Wahyuni & Falahi Ziyad. 2014. Desa Cosmopolitan: Globalisasi
dan Masa Depan Alam Indonesia. Jakarta: Change Publication
Rousseau, Jean-Jacques. 1989. Perihal KONTRAK SOSIAL atau
Prinsip-prinsip Hukum Politik. Jakarta: Dian Rakyat.
Schrauwers, A. 2000. Colonial ‘Reformation’ in the Highlands of
Central Sulawesi, Indonesia, 1892-1995. University of Toronto
Press. Toronto Buffalo London
Soetarto, E., Shohibuddin, M., Miqdad, M., Saleh, R., Loulembah,
B. 2006.Pergeseran Bentuk Solidaritas Tradisional: Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi
Sulawesi Tengah. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
.............................................................................................................................................................................................................
Download