33 Jurnal Hukum, Vol. XIX, No. 19, Oktober 2010:33 - 48 ISSN 1412 - 0887 PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYELENGGARA JALAN TERHADAP KORBAN AKIBAT KERUSAKAN JALAN Widyawati Budiningsih, SH., MHum.1 Jefri Hardi2 ABSTRAK Jalan adalah salah satu sarana peningkatan pelayanan publik terhadap masyarakat, di samping juga sebagai penggerak roda perekonomian. Mengingat pentingnya jalan, maka telah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Salah satu kewajiban penyelenggara jalan adalah memperbaiki dan terus meningkatkan kualitas jalan. Salah satunya adalah perbaikan jalan yang rusak. Hal tersebut untuk menghindari kecelakaan yang dapat merugikan masyarakat pengguna jalan. Penyelenggara jalan, baik jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota apabila melakukan perbuatan yang memenuhi unsur Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 yaitu karena kelalaiannya tidak segera melakukan perbaikan jalan yang rusak, yang berakibat pada terjadinya kecelakaan dapat dimintakan tanggung jawab pidana atas dasar kelalaiannya. Bentuk pertanggungjawaban penyelenggara jalan atas kecelakaan yang terjadi berakibat timbulnya korban berupa sanksi pidana. Kata Kunci: Jalan, Penyelenggara Jalan, Pertanggungjawaban Pidana PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan jumlah kendaraan bermotor yaitu setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin, dan juga kendaraan yang berjalan di atas rel yang semakin pesat perkembangannya, tanpa diimbangi dengan pelebaran ruas jalan dan sarana prasarana transportasi darat menjadikan jalan-jalan terutama di kotakota besar semakin padat dan menimbulkan banyak kemacetan serta kecelakaan yang membawa korban baik meninggal dunia, luka berat maupun luka ringan. Terjadinya kecelakaan tidak lepas dari kondisi jalan yang dikelola oleh penyelenggara jalan dan perilaku pengemudi kendaraan bermotor yang tidak tertib, untuk itu diundangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apabila didasarkan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 lebih mengarah pada terwujudnya keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah. 1 2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya 34 Fasilitas jalan selama ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat pengguna jalan, kenyataannya banyak dijumpai jalan-jalan yang rusak yaitu berlobang atau galian dari Perseroan Terbatas Telekomunikasi, Gas, Perusahaan Air Minum yang tidak diberi tanda atau bahkan penutupannya kurang rata yang berakibat terjadinya kecelakaan. Hal ini berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas dan merugikan masyarakat. Pada pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU No. 22 Tahun 2009) menentukan bahwa Penyeleggara jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Penyelenggara jalan yang tidak segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) (Pasal 273 ayat (1). Dalam hal perbuatan mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Dalam hal perbuatan mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). Ketentuan sebagaimana di atas tidak diberikan penjelasan siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan. Berpijak pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 273 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 bahwa penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki kerusakannya dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara dan denda. Hal yang perlu mendapat penjelasan adalah mengenai siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan dan sanksi berupa pidana sifatnya adalah publik, bagaimana dengan pihak yang menjadi korban kerusakan jalan. Rumusan Masalah 1. Apakah penyelenggara jalan dapat bertanggung jawab pidana terhadap korban yang mengalami kecelakaan akibat kerusakan jalan ? 2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana penyelenggara jalan atas kecelakaan yang terjadi berakibat timbulnya korban ? Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif, merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur mengenai materi yang dibahas. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).3 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dibahas yaitu hak pengguna jalan. Sedangkan conseptual approach yaitu pendekatan didasarkan atas sumber hukum berupa pendapat para sarjana.4 3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h. 93. 4 Ibid. 35 b. Bahan Hukum 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini antara lain, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, UU No. 22 Tahun 2009 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan materi yang dibahas. PEMBAHASAN A. TANGGUNG JAWAB PIDANA PENYELENGGARA JALAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN AKIBAT KERUSAKAN JALAN 1. Pengertian Perbuatan Pidana Istilah bahasa Belanda “strafbaare feit”, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai: a. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; b. Peristiwa pidana; c. Perbuatan pidana dan tindak pidana.5 Di dalam literatur Moeljatno mengartikan “strafbaare feit” sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai "perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut".6 Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang. Sedangkan ancaman pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum. Menurut Pasal 55 KUHP, Pelaku tindak pidana menurut dibedakan menjadi empat bagian, yaitu: 1) 2) 3) 4) Orang yang melakukan (pleger), Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), Orang yang turut melakukan (mede pleger) dan Orang yang dengan pemberian upah (uitlokker).7 5 Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1986, h. 204. 6 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000, h. 54. 36 Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa undang-undang melarang seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum, larangan mana disertai dengan suatu sanksi bagi pelaku pelanggaran. Larangan ditujukan kepada seseorang yang berarti bahwa yang dimaksud dengan barang siapa dalam KUHP adalah orang perseorangan yang bertindak sebagai orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut melakukan (mede pleger) dan orang yang dengan pemberian upah (uitlokker).8 2. Tanggung Jawab Pidana Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya bahwa dalam tindak pidana, selalu diawali dengan kata “barangsiapa”, yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan. Perihal kesalahan dapat dilakukan atas dasar kesengajaan dan karena kelalaiannya. Kesengajaan merupakan perbuatan manusia dalam kesalahan, terdapat dua sifat dalam hal melaksanakan kesalahan tersebut, yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Perbuatan dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Bentuk kesengajaan menurut Moeljatno terdiri dari tiga corak, yaitu: 1) Kesengajaan dengan maksud (dolus derictus); 2) Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan, dan 3) Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis).9 Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa tanggung jawab pidana bagi seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan kepadanya dikenakan sanksi berupa pidana adalah apabila pelaku melakukan kesalahan baik yang dilakukan atas dasar kesengajaan atau atas dasar kelalaiannya, yang berarti bahwa tanggung jawab pidana dari pelaku tindak pidana adalah karena telah dengan sengaja atau karena kelalaiannya mengakibatkan terjadi perbuatan melanggar hukum. 3. Tanggung Jawab Pidana Penyelenggara Jalan Perihal tanggung jawab pidana penyelenggara jalan tidak lepas dari membahas ketentuan pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 menentukan sebagai berikut: (1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). 7 Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989, h. 68- 8 Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989, h. 68- 70. 70. 9 Ibid., h. 177. 37 (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah). (4) Penyelenggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak dan belum diperbaiki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Ketentuan pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 sebagaimana tersebut di atas di dalamnya terkandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur subyektif yaitu: Penyelenggara Jalan. 2. Unsur obyektif: tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak; mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang. Unsur pertama Penyelenggara Jalan, UU No. 22 Tahun 2009 tidak memberikan penjelasan siapa yang dimaksud dengan penyelenggara jalan. Penyelenggara jalan menurut Pasal 1 angka 14 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah: ”Pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya”. Hal ini berarti bahwa penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya. Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 38 Tahun 2004 tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai penyelenggara jalan melainkan mengatur mengenai tugas dan wewenang penyelenggara jalan. Perlunya pengaturan dalam penyelenggaraan jalan menurut Pasal 3 UU No. 38 Tahun 2004 sebagai berikut: Pengaturan penyelenggaraan jalan bertujuan untuk: a. Mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan jalan; b. Mewujudkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan; c. Mewujudkan peran penyelenggara jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat; d. Mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; e. Mewujudkan sistem jaringan jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; dan f. Mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka 38 Jadi maksud dari pengaturan penyelenggaraan jalan menurut pasal 30 ayat (1) UU No. 38 Tahun 2004 sebagai berikut: (1). Pembangunan jalan secara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 adalah sebagai berikut: a. Pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif; b. Penyelenggara jalan wajib memrioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan; c. Pembiayaan pembangunan jalan umum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing; d. Dalam hal pemerintah daerah belum mampu membiayai pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawabnya secara keseluruhan, Pemerintah dapat membantu sesuai dengan peraturan perundang-undangan; e. Sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan jalan nasional mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan f. Pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk kriteria, persyaratan, standar, prosedur dan manual; penyusunan rencana umum jalan nasional, dan pelaksanaan pengawasan dilakukan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat. Dengan demikian salah satu maksud dari pengaturan jalan adalah agar penyelenggara jalan memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Jalan yang dipelihara dan dirawat tersebut harus memenuhi persyaratan menurut pasal 22 UU No. 22 Tahun 2009 sebagai berikut: (1). Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif. (2). Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan. (3). Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan. (4). Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan. (5). Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. 39 (6). Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia. (7). Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas. Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak, penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana Pasal 24 UU No. 22 Tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban penyelenggara jalan tida hanya menjaga keamanan dalam penggunaan jalan saja, melainkan termasuk pula memperbaiki jalan rusak yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan. Penyediaan perlengkapan Jalan diselenggarakan oleh: Pemerintah untuk Jalan Nasional; Pemerintah Provinsi untuk Jalan Provinsi; Pemerintah Kabupaten/Kota untuk Jalan Kabupaten/Kota dan Jalan Desa; atau Badan Usaha Jalan Tol untuk Jalan Tol. Penyediaan perlengkapan Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 26 Undang-uandang Nomor 22 Tahun 2009. Penyedia perlengkapan jalan dibedakan antara Jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, menunjukkan bahwa penyelenggara jalan juga dibedakan antara penyelenggara jalan pada Jalan Nasional, Jalan Provinsi dan Jalan Kabupaten/Kota. Penyelenggara jalan tersebut wajib segera memperbaiki jika jalan mengalami kerusakan, apabila penyelenggara jalan tidak segera memperbaiki jalan yang rusak, misalnya terjadi lubang-lubang, sehingga jalan tidak dapat difungsikan sebagaimana laiknya jalan dan berakibat timbulnya kecelakaan, maka penyelenggara jalan dapat dikatakan telah memenuhi unsur obyektif ketentuan Pasal 372 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Jadi apabila kecelakaan karena rusaknya jalan berakibat jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu pancaindera; mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya kandungan seorang perempuan, berarti dikategorikan sebagai kecelakaan yang mengakibatkan terjadinya luka berat pada korban. Terhadap pelanggaran ketentuan pasal 90 KUHP tersebut di atas dapat dikenakan sanksi sebagaimana Pasal 360 KUHP, Pasal 359 KUHP. 40 Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak, penyeleggara jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penyeleggara Jalan yang tidak memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak dan belum diperbaiki dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah). Memperhatikan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa penyelenggara jalan dalam hal ini Kepala Dinas Penyelenggara Jalan baik Jalan Nasional, Provinsi maupun Kabupaten/Kota apabila melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 di atas, yaitu karena kelalaiannya tidak segera melakukan perbaikan jalan yang rusak, yang berakibat korban mengalami luka ringan, luka berat maupun meninggal dunia dapat dimintakan tanggungjawab pidana atas dasar kelalaiannya mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan membawa korban baik luka ringan, luka berat maupun meninggalnya korban. Penyelenggara jalan ketika melakukan perbaikan jalan harus memberikan rambu-rambu atau tanda perbaikan jalan, jika perbaikan jalan tersebut pihak penyelenggara jalan tidak memberikan tanda dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini berarti bahwa jika penyelenggara jalan mengadakan perbaikan jalan dan telah memberikan rambu jalan yang menunjukkan ada perbaikan jalan tersebut dan terjadi suatu kecelakaan yang berakibat luka ringan, luka berat atau meninggal dunia, penyelenggara jalan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dari segi pidana. Meskipun demikian tentunya rambu jalan yang dipasang sebagai tanda ada perbaikan jalan tersebut ang jelas-jelas terlihat oleh pemakai jalan baik di waktu siang maupun diwaktu malam hari, jadi tanda tersebut tidak hanya sekedar tanda adanya bahaya melainkan tanda atau rambu sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYELENGGARA JALAN ATAS KECELAKAAN YANG TERJADI BERAKIBAT TIMBULNYA KORBAN 1. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku tindak pidana dalam hal ini Penyelenggara Jalan yang terbukti karena kelalaiannya tidak segera memperbaiki jalan atau memperbaiki jalan namun tidak memberikan rambu perbaikan yang mengakibatkan timbulnya korban baik luka ringan, luka berat maupun meninggal dunia, belum tentu dapat dipidana, karena pelaku tindak pidana meskipun telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana juga harus dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana diterapkan terhadap pembuat perbuatan pidana (dader) baik perbuatan kejahatan maupun pelanggaran atas delik. Menurut Moeljatno dikemukakan sebagai berikut: Kejahatan atau “rechtsdeliten” adalah perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum, sedangkan pelanggaran atau 41 “wetsdeliktern” yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. 10 Pelaku tindak pidana dapat dikenakan sanksi pidana jika memenuhi keseluruhan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan dapat dipertanggung jawabkan pidana. Sedangkan jika pelaku tidak memenuhi salah satu unsur mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dipidana. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah: 1) 2) 3) 4) Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana; Untuk adanya pidana harus mampu bertanggungjawab; Mempunyai suatu bentuk kesalahan; Tidak adanya alasan pemaaf.11 Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa penyelenggara jalan sebagai pihak yang dapat bertanggungjawab pidana karena kelalaiannya tidak memperbaiki jalan yang rusak atau memperbaiki jalan namun tidak memberikan tanda atau rambu yang menunjukkan bahwa jalan sedang diperbaiki yang berakibat timbulnya korban pemakai jalan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 273 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 penyelenggara jalan bertanggungjawab secara pidana apabila lalai memperbaiki jalan atau tidak memberikan tanda atau rambu jalan rusak atau sedang diperbaiki terhadap korban yang mengalami luka ringan, luka berat atau meninggal dunia. Perihal korban pemakai jalan yang menderita luka berat diatur juga dalam pasal 360 KUHP dan korban yang meninggal dunia diatur pula dalam Pasal 359 KUHP disertai dengan ancaman hukumannya. Hal ini berarti bahwa penyelenggara jalan yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban luka berat atau meninggal dunia telah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dan KUHP. Berdasarkan atas asas lex speciale derogat lex generale, maksudnya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum, maka yang digunakan untuk menjerat penyelenggara jalan adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sebagai undangundang yang bersifat khusus. 2. Penyelenggara Jalan Sebagai Korporasi Penyelenggara jalan didasarkan atas kualifikasi jalan baik jalan nasional, jalan provinsi maupun jalan kabupaten/kota sebagai suatu organisasi kedinasan di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum. Sehubungan dengan kerusakan jalan dalam praktik tidak disebabkan karena kerusakan jalan disebabkan kelalaian penyelenggara jalan saja, melainkan juga pihak lain misalnya kerusakan akibat penggalian jalan untuk 10 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h. 71. 11 Ibid., h. 164. 42 kepentingan lain misalnya penggalian untuk perusahaan air minum, telekomunikasi, gas dan lain sebagainya. Penggalian yang demikian harus koordinasi dengan penyelenggara jalan. Korporasi menurut Pasal 166 Rancangan KUHP adalah “Kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Menurut Sahetapy, korporasi adalah “suatu persona ficta atau legal fiction atau suatu fiksi hukum”.12 Sehingga badan hukum dianggap sebagai subyek hukum sebagaimana manusia. Sebagai subyek hukum, korporasi dapat bertindak dalam hukum, termasuk sebagai pelaku tindak pidana, maka jika yang melakukan perbuatan hukum adalah badan hukum, maka jika yang melakukan adalah orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 45 Rancangan KUHP. Sebagaimana diketahui orientasi dari kejahatan korporasi adalah memperoleh keuntungan/profit. Berbicara perihal kejahatan korporasi ada 3 (tiga) yakni : 1) Crime for corporation; Crime for corporation mempunyai konotasi kejahatan itu dilakukan oleh korporasi (committed for the corporate). Pelakunya bisa dilakukan oleh manager, employee yang memiliki syarat-syarat tertentu : a) Berfungsi dalam korporasi; b) Mempunyai kewenangan memutus; c) Putusannya dilaksanakan oleh korporasi. 2) Crime against corporation/Employees Crimes; Crimes against corporations, mempunyai pengertian korporasi adalah sebagai korban atau pihak yang dirugikan. Contoh yang aktual adalah demonstrasi buruh. 3) Criminal corporations/organization. Criminal corporations/organizations, disini dibentuk suatu organisasi/ korporasi yang illegal, dikatakan demikian karena pendiriannya tidak melakukan suatu prosedur yang ditentukan oleh negara antara lain seperti prosedur mendirikan Commanditaire Vennotschap (CV), Perseroan Terbatas (PT) maupun organisasiorganisasi atau perkumpulan-perkumpulan orang perorangan. JCT. Simorangkir, mengartikan “White-collar criminality = Kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat”.13 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka hal yang perlu 12 Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994, h. 32. 13 JCT. Simorangkir, –. Rudy T Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Djakarta, Madjapahit, Tjerebon, 1972. 43 diketahui kapan korporasi dapat menjadi subyek hukum, maka dijelaskan berikut: sebagai 1. Tindak pidana juga dapat dilakukan oleh korporasi, mengingat kualitas keadaan yang hanya dimiliki oleh korporasi, sehubungan dengan fungsi sosial korporasi dalam masyarakat yang semakin luas (Teori kepelakukan fungsional atau Theori Van het fungtioneel daderschap). 2. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum, apabila perbuatan-perbuatan tercermin dalam lalu lintas hukum sebagai perbuatan dari badan hukum tersebut yang dikenal dengan “legal entity”. 3. Apakah perbuatan tersebut telah sesuai dengan tujuan statuta dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijakan perusahaan, jelasnya apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan hukum. Disini diterapkan asas “Ultra Vires”.14 Secara nyata, individu yang bertindak bersama dalam berbagai perikatan dan korporasi, karena adanya hubungan sebagai suatu kesatuan dalam wujud personifikasi dari sistem. Mereka adalah pengurus, direktur, direksi yang memiliki kekuasaan (machtsvereiste) yang mencakup syarat-syarat: 1. Mempunyai wewenang mengatur/menguasai/memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan tersebut, 2. Mampu dan berwenang mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan. 3. Mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengaman/ mencegah dilakukannya tindakan terlarang. 4. Syarat penerimaan (akseptasi) putusannya oleh korporasi.15 Sebagaimana uraian terdahulu, korporasi sebagai pelaku tindak pidana diatur di luar KUHP. Pelaku pidana yang tertuang dalam KUHP hanya bagi orang perorangan, dan hal ini dijelaskan dalam Pasal 59 dan Pasal 169 KUHP. Dengan demikian pelaku tindak pidana meliputi pengurus, anggota pengurus dan komisaris, yang secara realita melakukan pelanggaran, sehingga jika tidak turut melakukan pelanggaran tidak dipidana. Kesemuanya tampak bahwa pengurus tersebut harus mempunyai fungsi dan kekuasaan dalam korporasi tersebut, sehingga dapat mewakili korporasi secara riil. Ini yang melandasi Teori Fungsional Daderschap tersebut di atas. Oleh karenanya dalam kaitannya dengan tindak pidana korporasi, maka memungkinkan pihak-pihak yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana adalah sebagai berikut: 14 Ibid, h. 13. 15 Ibid., h. 13-14. 44 a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab. b. Korporasi sebagai pelaku pengurus yang bertanggungjawab. c. Korporasi sebagai pelaku dan yang bertanggungjawab. 16 Dalam hal korporasi berbuat dan dimungkinkan terjadi pada delik-delik berikut: pengurus yang bertanggungjawab 1) Dalam delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita oleh masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja; 2) Dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulang delik tersebut.17 Sebagaimana diketahui asas kesalahan pada manusia alamiah, korporasi sebagai badan hukum memiliki asas-asas tersendiri sebagai berikut: Strict Liability yaitu pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Ini berarti sipembuat sudah dapat dipidana, jika ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batinnya. Akan tetapi kebanyakan “Strict liability “ terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undangundang yang ada pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kepentingan umum; Vicarious Liability atau Doktrine of Respodeat Superior yaitu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian terjadi dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu dan bawahannya. Dengan demikian walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan.18 Selain kedua asas tersebut dikenal pula asas identifikasi (identification Theory). Teori ini berpandangan bahwa Tindakan orang-orang tertentu adalah sungguh-sungguh merupakan tindakan korporasi. Teori ini didasarkan pada pandangan, bahwa tanggung jawab korporasi adalah langsung, tidak seolah-olah mewakili. Teori identifikasi membatasi pertanggungjawaban korporasi terhadap tindakan orang-orang yang mewakili korporasi seperti dewan direksi dan pejabat-pejabat puncak korporasi, sebagai penentu kebijakan. 19 16 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung 1992, h.67-71. 17 Ibid. 18 Ibid., h.89. 19 Ibid., h.119. 45 Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa penyelenggara jalan merupakan suatu dinas-dinas yang terdiri dari para ahli di bidangnya dalam hal ini bidang kualifikasi jalan. Sebagai suatu organisasi kedinasan, maka merupakan suatu korporasi, dan pada perkembangan berikutnya korporasi diakui sebagai subyek hukum, sehingga apabila melakukan tindak pidana maka koirporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum pidana. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pertanggungjawaban Pidana Penyelenggara Jalan Penyelenggara jalan Kepala Dinas penyelenggara jalan baik jalan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota apabila melakukan perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 di atas yaitu karena kelalaiannya tidak segera melakukan perbaikan jalan yang rusak, yang berakibat korban mengalami luka ringan, luka berat maupun meninggal dunia dapat dimintakan tanggung jawab pidana atas dasar kelalaiannya mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan membawa korban baik luka ringan, luka berat maupun meninggalnya korban. Selain itu penyelenggara jalan ketika melakukan perbaikan jalan harus memberikan rambu-rambu atau tanda perbaikan jalan, jika perbaikan jalan tersebut pihak penyelenggara jalan tidak memberikan tanda dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini berarti bahwa jika penyelenggara jalan mengadakan perbaikan jalan dan telah memberikan rambu jalan yang menunjukkan ada perbaikan jalan tersebut dan terjadi suatu kecelakaan yang berakibat luka ringan, luka berat atau meninggal dunia, penyelenggara jalan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dari segi pidana. 2. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Penyelenggara Jalan Bentuk pertanggungjawaban pidana penyelenggara jalan atas kecelakaan yang terjadi berakibat timbulnya korban berupa sanksi pidana. Penyelenggara jalan terdiri atas dinas-dinas yang terdiri dari para ahli di bidangnya dalam hal ini bidang kualifikasi jalan. Sebagai suatu organisasi kedinasan, maka merupakan suatu korporasi, dan pada perkembangan berikutnya korporasi diakui sebagai subyek hukum, sehingga apabila melakukan tindak pidana maka korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban dari segi hukum pidana. B. Saran 1. Mengenai pertanggungjawaban pidana penyelenggara jalan kurang jelas mengenai pengertian penyelenggara jalan, oleh karena itu hendaknya dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 memberikan penjelasan mengenai penyelenggara jalan ini agar memudahkan korban untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kecelakaan akibat kerusakan jalan. 46 2. Mengenai pertanggungjawaban pidana dan pihak-pihak penyelenggara jalan sebagai korporasi juga kurang jelas yang akan menyulitkan korban maupun penyidik serta penuntut umum untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, maka Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 memberikan uraian yang jelas mengenai bentuk pertanggungjawaban dan korporasi dari penyelenggara jalan. 47 DAFTAR PUSTAKA Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Alumni, Bandung, 1997. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayu Media Publishing, Jakarta, 2006. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. JCT. Simorangkir, –. Rudy T Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, Djakarta, Madjapahit, Tjerebon, 1972. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung , 1979. Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. ________, Asas-asas Hukum Pidana, Rinekacipta, Jakarta, 2000. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Bandung 1992. Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994. _______, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 2003. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHMPTHM, Jakarta, 1986. Sudarto dan Wonosutanto, Catatan Kuliah Hukum Pidana II, Program Kekhususan Hukum Kepidanaan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 1987. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989. 48 Peraturan Perundang-undangan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 Tentang Jalan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.