PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK

advertisement
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Oleh
RIZAL BUSTAMI
E1A008212
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh
RIZAL BUSTAMI
E1A008212
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H
NIP. 19581019 198702 2 001
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: RIZAL BUSTAMI
NIM
: E1A008212
Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan
Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
Yang saya buat ini adalah benar merupakan hasil karya sendiri, tidak menjiplak
hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.
Purwokerto,
Agustus 2013
RIZAL BUSTAMI
NIM. E1A008212
ABSTRAK
PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN
(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
Oleh:
RIZAL BUSTAMI
E1A008212
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kenapa saksi korban yang dikategorikan
sebagai anak
dihadirkan dalam persidangan pada putusan Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) dan untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti
keterangan saksi korban dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis
kelamin pada putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
Keterangan saksi sangat penting guna membuktikan suatu peristiwa pidana yang
telah terjadi, diantara keterangan saksi tersebut terdapat saksi korban yaitu saksi
yang mengalami sendiri baik secara fisik maupun mental atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tindak pidana. tidak sedikit saksi korban
merupakan anak yang masih dibawah umur, karena lemah baik secara fisik
maupun mental.
Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih jelas dan
bermanfaat untuk melindungi segenap warga masyarakat khususnya anak sebagai
penerus bangsa agar terlindungi dari segala macam bentuk tindak pidana baik
kekerasan maupun kejahatan, serta memberikan hukuman yang berat untuk
memberi efek yang jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana
tersebut.
.
Kata kunci: hukum acara pidana, pembuktian, keterangan saksi, saksi
korban.
ABSTRACT
EVIDENCE PROVING THE VICTIM WITNESSES IN CRIMINAL CHILD
ABUSE IN THE SAME-SEX NUMBER DECISION
70/PID.SUS/2011/PN.PWT.)
By :
RIZAL BUSTAMI
E1A008212
This study aims to find out why the witnesses categorized as presented at the
hearing on the decision No. 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) And to determine the
strength of evidence proving the victim witnesses in criminal child abuse in the
same-sex Number decision 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
Witness testimony is crucial to prove a criminal incident that have occurred,
between the testimony of the witnesses that the witnesses are witnesses who are
themselves both physically and mentally or economic loss caused by a criminal
event. not fewer victims are children who are still under age, because of weak
both physical and mental.
It required legislation is clearer and useful to protect all members of society,
especially children as the nation's future to be protected from all forms of both
violent who and crime, as well as providing severe punishment to give a deterrent
effect for anyone found guilty the offense.
Keywords: criminal law, evidence, witness statements, witnesses.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah
memberikan
Rahmat
dan
Hidayahnya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul : PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI
KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA
JENIS
KELAMIN
(Tinjauan
Yuridis
Putusan
Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Jendral Soedirman.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai
kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat usaha, bimbingan, dan
doa serta dukungan yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak , maka skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Angkasa S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto;
2. Sanyoto, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Hukum Acara.
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I,
sekaligus Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat-nasehat,
ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga, serta telah membimbing skripsi
penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;
4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II,
yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya
skripsi penulis;
5. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi, yang telah memberikan
saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi
penulis;
6. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Daiman Rohman dan Ibu Siti Rokhayati
yang telah memberikan semua dukungan, semangat, do‟a, nasehat dan
kasih sayangnya kepada penulis selama menuntut ilmu sampai
terselesaikannya penulisan skripsi ini;
8. Kakak-adik dari penulis, Muhammad Faiz Fuadi, S.H., Salisa Kartini dan
Syukron Fillahikami yang telah memberikan do‟a dan motivasi selama
penyusunan skripsi ini, serta seluruh keluarga besar dari penulis;
9. Sahabat-sahabat dekat Nanang Adita Permana, Sigit Priambodo, S.H.,
Liza Aminatuzzuhriyah, S.Kom., Alfi Dimyati, S.H., Setiarjo, S.H., Adi
Kurniawan, Aji Suharto, Andika Heru Barata, Anung Pradita, Wisnu
Widjanarko, Fajar Budi Zakaria, Bakhtiar Deffa, Faisal Rahmawanto,
Khaerul Umam, Garli Mauhibi, Berizki Farhan, Sigit Dwi Kurniawan
Asep Jaya Permana, Deni Yusuf Permana, Theo Kharismajaya, Didi Dwi
Yantoro dan semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu;
10. Teman-teman KKN POSDAYA Dusun Purbadana Desa Kalijaran
Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga (Indria Sari, Dina
Frasasti, Firman, Adit, Yunika, Agvinia Aviani, Yunika, Yunita, Kukuh)
yang telah menjadi keluarga baru bagi penulis.
11. Semua teman-teman di Fakultas Hukum khususnya angkatan 2008 dan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga apa yang telah diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan
dari Allah SWT sebagai amal ibadah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam karya
penulisan (skripsi) ini, namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf
sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun
sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
Penulis,
RIZAL BUSTAMI
NIM. E1A008212
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI............................................iii
ABSTRAK.............................................................................................iv
ABSTRACT...........................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................iv
DAFTAR ISI..........................................................................................ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................1
B. Perumusan Masalah ...............................................................7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................7
D. Keguanaan Penelitian ............................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Fungsi, Tujuan dan Azas Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara pidana .....................................9
2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana ......................11
3. Azas Hukum Acara Pidana ............................................13
B. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian ..................................................28
2. Sistem Pembuktian ........................................................30
3. Bentuk-Bentuk Alat Bukti ............................................36
4. Saksi Korban...................................................................44
C. Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin
1. Pengertian Anak ............................................................45
2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama
Jenis Kelamin.................................................................. 47
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ...............................................................54
B. Spesifikasi Penelitian .............................................................54
C. Sumber Data ...........................................................................55
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................55
E. Metode Pengolahan Data .......................................................55
F. Metode Penyajian Data ..........................................................56
G. Metode Analisis Data .............................................................56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ...................................................................... 57
B. Pembahasan ............................................................................ 72
BAB V PENUTUP
A. Simpulan.................................................................................. 93
B. Saran........................................................................................ 94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah
Kejahatan mengenai kesusilaan, khususnya kekerasan seksual terhadap
anak dibawah umur banyak terjadi dikalangan masyarakat. Banyak sekali kasuskasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak
dibawah umur dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri yaitu untuk
melampiaskan nafsunya, tidak berfikir bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
orang dewasa tersebut dapat merusak masa depan anak dan mempunyai dampak
yang buruk untuk perkembangan seorang anak baik dari segi fisik maupun mental.
Banyak juga anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut yang sampai
meninggal dunia, bahkan sampai dimutilasi. Perbuatan tersebut adalah perbuatan
amoral yang tidak dapat diterima dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang
hidup dalam masyarakat.
Menurut Hentig1
“Anak-anak mempunyai risiko menjadi korban berbagai macam tindak
pidana, disebabkan karena lemah secara fisik dan mental kepribadiannya
belum matang serta belum mempunyai ketahanan yang cukup apabila
harus menghadapi serangan trauma dari orang dewasa”.
Korban dari perbuatan tersebut banyak mengalami kerugian diantaranya
luka fisik, kerugian materi, dan kerugian psikologis. Kejahatan merupakan salah
satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara
khusus.
1
Iswanto, Angkasa, 2011.Viktimologi , Peneribit Fakultas Hukum Universtas jenderal
Soedirman. Purwokerto .hal.30
Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam
kehidupan masyarakat pada umumnya, oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai
upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya
sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya
kejahatan akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan
masyarakat.2
Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang jelas dan
bermanfaat untuk melindungi segenap warga masyarakat khususnya anak sebagai
penerus bangsa agar terlindungi dari segala macam bentuk tindak pidana baik
kekerasan maupun kejahatan, serta memberikan hukuman yang berat untuk
memberi efek yang jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana
tersebut.
Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban
yaitu dengan membentuk Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai perlindungan normatif yang memberikan keadilan bagi saksi dan korban,
perlindungan psikologis mengenai status hukum bagi saksi, perlindungan atas
keamanan pribadi korban atau saksi dan keluarganya dari ancaman fisik dan
mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat
pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka,
pemberian penghargaan atau award kepada para saksi khususnya dalam kasus
tindak pidana korupsi, peningkatan harkat dan martabat korban dengan pemberian
jaminan adanya pemulihan secara fisik maupun mental khususnya tindak
2
Wirjono Projodikoro, 2002,Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Jakarta: hlm. 15.
kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas, serta suatu
mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous
social field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang
perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara.3
Menurut pedoman KUHAP seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah4,
bahwa:
“Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”
Hukum pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian
yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti
sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan
beban pembuktian.5
Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, hakim didalam memutus suatu perkara
harus didasarkan pada minimal dua alat bukti beserta keyakinan hakim, apabila
hanya satu alat bukti maka hakim tidak bisa menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa. Hakim bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila telah
menggunakan minimal dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan
bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
3
Ario Putra, Kelemahan KUHAP Dari Segi Perlindungan Hukum Terhadap
Saksi/Korban.http://bahankuliahnyaryo.blogspot.com/2009/12/kelemahan-kuhap-dari-segiperlindungan.html diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB.
4
Andi Hamzah, 2012.Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 7-8.
5
Eddy O.S. Hiariej 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Erlangga,Jakartra hal.5
Alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 184
ayat (1) KUHAP yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Keterangan saksi,
Keterangan ahli,
Surat,
Petunjuk,
Keterangan terdakwa.
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan, perihal pembuktian merupakan
hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam
proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau
tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dalam hal
pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat penting, dimana
korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.6
Menurut Arief Gosita7
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai
akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi
pihak yang dirugikan.
Demikian juga menurut Muladi8
Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun
kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik dan mental,
emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum
pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
6
Muslihin
Alhafizh,
Alat
Bukti
yang
Sah
Menurut
KUHP,
http://www.referensimakalah.com/2012/05/alat-bukti-yang-sah-menurut-kuhp_2231.html diakses
5 Nopember 2012, jam 20.00 WIB.
7
Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hal.40
8
Muladi, 2005, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama,
Bandung, hal.108
Menurut Pasal 1 nomor 2, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Anak sebagai seseorang yang belum dewasa dan belum dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum harus dilindungi hak-haknya agar dapat
tumbuh kembang secara normal dan tidak diperlakukan secara diskriminasi.
Secara materiil, anak tidak dapat dijadikan sebagai saksi di pengadilan, namun
dalam praktek pemeriksaan perkara pidana yang ada, anak dapat dijadikan sebagai
saksi maupun saksi korban.9
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap
Putusan Pengadilan Purwokerto Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, mengenai
pembuktian keterangan saksi korban di persidangan dalam tindak pidana
pencabulan anak sesama jenis kelamin, dan karena korban masih berumur 13 (tiga
belas)
tahun
yang
digolongkan
sebagai
anak
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Maka apabila
dalam memberikan keterangan di persidangan, keterangan saksi korban tidak
dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah karena korban tidak disumpah terlebih
dahulu. Begitu juga dalam pemeriksaan di persidangan tersebut, saksi korban anak
diperlakukan sama seperti orang dewasa pada waktu dimintai kesaksiannya atau
9
Sari
Kusuma,
Keabsahan
Saksi
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksi-anak.
januari 2013, jam 13.00 WIB.
Anak.
diakses 10
memberikan keterangannya, yang seharusnya penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa. Selain itu setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Terdakwa dalam putusan tersebut dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun 5
(lima) bulan karena secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya
belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP yaitu :
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan penjara paling lama lima tahun”
Unsur objek kejahatan menurut Pasal 292 KUHP dapat ditujukan pada
seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kejahatan dalam Pasal 292 KUHP,
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur Barangsiapa,
2. Unsur Orang Dewasa,
3. Unsur yang melakukan perbuatan Cabul,
4. Unsur dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama,
sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa
itu.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana
Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin”(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.)
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan pada Putusan
Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt?
2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi korban di
persidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin
pada Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan pada Putusan
Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
2. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi korban di persidangan
dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin pada Putusan
Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan
peneliti dan pembaca pada umumnya.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya
terutama ilmu hukum acara pidana, terkait pokok bahasan yang
dibahas yaitu pembuktian keterangan saksi korban di persidangan
dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran bagaimana
upaya pembuktian dalam persidangan yang dapat mempengaruhi
keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pada terdakwa dan
bermanfaat
sebagai
bahan
informasi
serta
untuk
pembendaharaan literatur atau bahan informasi ilmiah.
menambah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Pengertian Hukum Acara Pidana
4. Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana merupakan aturan mengenai cara bagaimana hukum
pidana dilaksanakan. Dalam bahasa Belanda Hukum Acara Pidana disebut juga
hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan Hukum Pidana disebut
juga hukum pidana material (materiel strafrecht).
Tidak ada pengertian secara resmi, akan tetapi banyak ahli yang
memberikan penjelasan mengenai hukum acara pidana, diantaranya:
Menurut Simon10 dalam bukunya Mohammad Taufik makaro dan
Suharsil, mengartikan bahwa:
Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk
membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material
atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan
tentang syarat-syarat dapatnya dipidana, dan aturan tentang pemidanaan:
mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.
Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara melalui
alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan
pidana, jadi berisi acara pidana.
Sedangkan Van Bammelen11 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi
Hamzah yaitu:
10
Mohammad Taufik makaro dan Suharsil . 2004.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
praktek, Ghalia Indonesia,Jakarta . hlm.1
11
Andi Hamzah..Op.Cit.hlm.6
“Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peratutan yang
diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran
undang-undang pidana yaitu sebagai berikut:
1) Negara melalui alat-alat menyidik kebenaran.
2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si
pembuat dan kalau perlu menahannya.
4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmeteriaal) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dijatuhkan kepada terdakwa dan untuk itu dijatuhkan pidana
atau tindakan tata tertib.
6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib itu.
Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana
substansif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana
formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi
untuk menjalankan hukum acara pidana substansif (materiil),
sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.”
Menurut R. Soesilo12 dalam bukunya memberikan definisi bahwa:
“Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana
materil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi
putusan itu harus dilakukan.”
Menurut Bambang Poernomo,13 mengklasifikasikan hukum acara
pidana menjadi tiga arti:
a. Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai
dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan
pengadilan.
b. Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit,
juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar
peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana.
c. Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai
pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian
12
R Soesilo. 1980,Teknik dan Penyidikan Perkara Kriminil. Politeia, Bogor, , hlm 3.
Waluyadi.1999,Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus), Bandung: Mandar Maju, ,hlm 11 .
13
dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana)
yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara
menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani
pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana.
KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi
bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,
putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan,
penahanan, dan lain-lain. Diberi definisi dalam Pasal 1.14
5. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana atau hukum pidana formal mempunyai fungsi yang
penting guna mendasari setiap proses dalam mencari kebenaran materiil. Setiap
fungsi harus diperhatikan dan dilaksanakan secara utuh agar berjalan sesuai
tujuan hendak yang dicapai.
Van Bemmelen15 mengemukakan tentang fungsi hukum acara pidana
bahwa,
Fungsi hukum acara pidana ada tiga fungsi yaitu:
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian putusan oleh hakim
3. Pelaksanaan putusan
Ketiga fungsi hukum acara pidana tersebut yang paling penting karena
menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah
14
Ibid. hlm.4
15
Ibid, hlm.8
menemukan kebenaran yang diperoleh melalaui alat bukti dan barang bukti
itulah hakim akan sampai pada putusanyang adil dan tepat.16
Pada dasarnya setiap proses yang dilaksanakan yaitu untuk mencari
kebenaran, karena para pihak menginginkan kebenaran itu terungkap.
Terungkapnya kebenaran menjadikan suatu peristiwa yang telah terjadi menjadi
terang dan dapat diselesaikan.
Tujuan hukum acara pidana menurut pedoman pelaksanaan KUHAP
yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah
kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan
tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu
pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan
dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat
dipersalahkan.”17
Kebenaran meteriil penting sebagai dasar dijalankannya hukum acara
pidana. Tujuan ini tidak lepas dari kehati-hatian agar tidak ada kesewenang
wenangan dari aparat dan tetep menjujunjung tinggi hak asasi manusia.
Apabila tujuan tersebut tercapai, maka akan menciptakan keadilan dalam
masyarakat.
16
Ibid .hlm 77
Andi Hamzah, ,Op.Cit hlm 7.
17
6. Asas Hukum Acara Pidana
Hukum acara pidana mempunyai asas-asas yang terkandung didalamnya
sebagai dasar dibuatnya hukum acara pidana. Asas tersebut sebagai dasar dalam
setiap pelaksanaan peraturan hukum acara pidana, didalamnya harus tercermin
perlindungan terhadap hak asasi manusia karena Indonesia adalah negara hukum
yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warganegara
bersama kedudukannya didepan hukum.
Asas tersebut tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu :
”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuanketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”
Asas yang menjelaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kecuali telah diatur sebelumnya dalam perundangundangan disebut juga asas legalilitas.
Menurut Andi Hamzah18 dalam bukunya menerangkan:
”Yang pertama-tama dikemukakan disini adalah asas legalitas dalam
hukum acara pidana sebagai padanan asas legalitas dalam hukum pidana
materiil. Jadi, bukan asas legalitas sebagai lawan asas oportunitas yang
akan diuraikan tersendiri dibelakang.”
Asas - asas yang ada dalam hukum acara pidana merupakan asas yang
mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang
harus senantiasa dijaga dan dipertahankan agar terhindar dari perlakuan yang
tidak semestinya.
Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana
adalah sebagai berikut:
18
Ibid .hlm 10
a.
Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP,
karena dalam HIR asas ini sudah tersirat dengan kata-kata yang lebih
konkrit daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Setiap orang
menginginkan peradilan yang cepat sederhana dan biaya ringan tanpa
adanya proses yang terlalu terbelit-belit.
Asas ini mempunyai tujuan menghindari penahanan yang lama
sebelum ada putusan hakim dan merupakan bagian dari hak-hak asasi
manusia yang tidak boleh dilanggar. Berdasarkan KUHAP, dalam
penjelasan umum butir 3 e dikatakan:
Penjelasan umum butir 3 e dikatakan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” dikutip dari UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman.”
Proses perkara yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan
mempercepat tahap-tahap yang bersifat prosedural, agar tercapai efisensi
kerja dengan waktu yang singkat.
Proses perkara pidana yang sederhana, diartikan penyelenggaraan
administrasi peradilan secara terpadu dan dapat dimengerti oleh pihakpihak yang berperkara.
Proses
perkara
pidana
dengan
biaya
ringan,
diartikan
menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya
para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan
atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang
dikeluarkan lebih besar tetapi sebaliknya hasil yang diharapkan lebih
kecil.19
Penjelasan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada dalam
KUHAP, seperti mengenai masa tahanan misalnya Pasal 24 ayat (4), Pasal
25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (4). Pada
umumnya dalam pasal-pasal tersebut memuat ketentuan bahwa jika telah
lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka
penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka
atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini memberi rambu-rambu
terhadap penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat
penyelesaian perkara tersebut.
Pada Pasal 50 KUHAP yang mengatur tentang hak tersangka dan
terdakwa juga terdapat kalimat “segera” sebagai tanda untuk mempercepat
proses penyidikan. kalimat tersebut ada pada ayat (1), (2) dan (3) yang
berbunyi :
(1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik
dan selanjutnya dapat diajukan kepada penunutut umum.
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan
oleh penuntut umum.
19
65-66.
Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1992.hlm
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan
yang diperlukan.”
Pasal tersebut juga terdapat kalimat “segera” yang merupakan
perintah untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
Pasal 140 ayat (1) yang berbunyi :
“Dalam hal penunutut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”
Pasal tersebut memerintahkan kepada penunutut umum untuk
secepatnya membuat surat dakwaan apabila hasil penyidikannya telah
lengkap.
Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam KUHAP
terdapat asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang
menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif untuk
memepermudah masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas ini dapat dilihat dari Penjelasan Umum mengenai asas butir
3c KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:
“Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Setiap orang berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap, agar hak-haknya tidak dilanggar.
Menurut M. Yahya Harahap20 menyatakan bahwa
“Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun
dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip
akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam
setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek
pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau
diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat
martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan
dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang
dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan
ditujukan”.
Dengan asas yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi
pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip
akusator dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus
menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkusitoir, yang
menempatkan tersangka /terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai
obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.21
c.
Asas Oportunitas
Hukum acara pidana mengenal suatu badan khusus yang diberi
wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang
disebut penuntut umum.
Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut
umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia
20
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, hlm. 38.
21
Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil.Op.cit.hlm. 4
KUHAP (Jilid
wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 1 Angka 6 butir a
dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP).
Pasal 1 angka 6 butir a dan b KUHAP menyebutkan :
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundangini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang olehundangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim.
Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP menyebutkan :
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun
yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan
itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai
petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan
dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
kepada penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah
berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut
dalam surat ketetapan.
b.
Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka
dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada
tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang
sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara
dalam hal:
a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama
dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan
terhadap penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang
lain;
c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan
yanglain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada
hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut
umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa
secara terpisah.
Pasal 143
(1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal
danditandatangani serta berisi :
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jeniskelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
(4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat
hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum
pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk
menyempurnakan
maupun
untuk
tidak
melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu
kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat
hukum dan penyidik.
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai
monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut
“dominus litis” di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus dari
bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya
delik diajukan kepadanya, sehingga hakim hanya menunggu penuntutan
dari penuntut umum.
Hak penuntutan mengenal dua asas, yaitu asas legalitas dan
oportunitas (het legalities en het opportunities beginsel). Menurut asas
legalitas, jaksa/penuntut umum wajib menuntut suatu delik. Sedangkan
dalam oportunitas, jaksa/penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang
yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan
kepentingan umum.
Menurut Ramelan22 dalam bukunya menyatakan bahwa :
“asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib
menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika
menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum
asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.”
Sedangkan menurut A.Z. Abidin Farid23 dalam bukunya
yaitu:
“asas opportunitas adalah asas hukum yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak
menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi
yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.
Dalam Pasal 32c UU No. 5 Tahun 1991 jo Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan
tegas menyatakan asas oprtunitas itu dianut di Indonesia. Rumusan Pasal
32e tersebut adalah sebagai berikut:
“Jaksa Agung dapat mengesampingkan
berdasarkan kepentingan umum”.
suatu
perkara
d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP,
yang berbunyi sebagai berikut:
“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
22
Ramelan, 2006 Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya,
Jakarta, hlm 10.
23
A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung
Pandang: UNHAS, 1981, hlm 12.
perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak”
ayat (3).
“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3)
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum” ayat (4).
Sifat terbuka di sidang pengadilan dimaksudkan agar khalayak
ramai dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan pengadilan,
bukan dalam arti masuknya orang-orang dalam ruang pengadilan. Bisa
saja terjadi, seseorang yang ingin mendengarkan pemeriksaan ditolak
untuk masuk ruang sidang yang luasnya terbatas, akan tetapi dapat
dipersilahkan mengikuti melalui alat pengeras suara yang dipasang di
halaman gedung. Kejadian demikian tidak bertentangan dengan Asas
Terbuka Untuk Umum. Walaupun sidang tertutup untuk umum (seperti
halnya
dalam
perkara
kesusilaan
atau
terdakwanya
anak-anak)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, namun
keputusan hakim tetap dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.24
Selain itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 dan Pasal 195 KUHAP dengan tegas
menyatakan:
”Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
24
Bambang Poernomo, 1992, Op.Cit, hlm 71.
Semua itu ditujukan untuk adanya kontrol sosial terhadap
lembaga peradilan agar tidak adanya putusan yang tidak sesuai dengan
semestinya.
e.
Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim
Asas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1).
Pasal 5 ayat (1) tersebut menyatakan sebagai berikut:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”.
Untuk ini sering dipakai bahasa Sanskerta tan hama dharma manrua
yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa).25
Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan
sama dihadapan hukum dengan tidak melihat latar belakang orang
tersebut, karena hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan dilindungi.
Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan
tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan didepan
hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan
perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.26
25
Andi Hamzah,Op.Cit hlm 22.
Usman Bala,http//usmanbala.blogspt.com/2009/03/semua-orang-berhak-diperlakukansama.html?m=1. diakses tanggal11 Juni 2013 jam 13.00 WIB
26
Asas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keadilan bagi
setiap orang dan untuk memperoleh kepastian hukum dengan tidak
melihat latar belakang orang tersebut.
f.
Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Dasar hukum asas ini terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang
berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau ancaman
pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk
penasihat bagi mereka.”
Pasal 69 sampai Pasal 74 KUHAP diatur mengenai bantuan
hukum bagi tersangka atau terdakwa dengan kebebasan yang sangat luas.
Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:
a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka
ditangkap atau ditahan.
b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat
pemeriksaan.
c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa
pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak
didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada
delik yang menyangkut keamanan negara.
e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau
penasihat hukum guna kepentingan pembelaan.
f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat
dari tersangka / terdakwa.27
27
Andi Hamzah. Opcit.hlm. 21.
Akan tetapi kebebasan-kebebasan ini hanya dari segi yuridis
semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomi.
Menurut Adnan Buyung Nasution28, sebagaimana dikutip dalam
buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:
“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri,
telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini,
persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut
ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas,
tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang
buruk”.
Tersangka atau terdakwa diberi kebebasan dalam hal bantuan
hukum, sebagai dasar perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan
terdakwa sebagai manusia. Asas ini bersifat universal telah diakui semua
negara yang mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis dan
beradab. sebagaimana diatur dalam The International Convention Civil
and Political Rights article 14 sub 3d telah memberikan jaminan kepada
tersangka/terdakwa.
g.
Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)
Asas akusator menempatkan kedudukan yang sama terhadap
tersangka atau terdakwa dengan yang memeriksa. Di dalam sistim ini
berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek
28
Ibid., hlm. 24
pemeriksaan, sehingga konsekwensinya antara pemeriksa maupun yang
diperiksa mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.29
Asas ini menempatkan kedudukan terdakwa sebagai subyek
pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sehingga
terdakwa atau yang diperiksa mempunyai hak untuk diperlakukan secara
adil.
Pasal 54 KUHAP menyebutkan bahwa :
“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Sedangkan asas inkisitor adalah kebalikan dari asas akusator,
dimana tidak adanya kedudukan yang sejajar antara pemeriksa maupun
yang diperiksa. Di dalam sistim ini, tersangka atau terdakwa dalam
pemeriksaan menempati posisi sebagai objek pemeriksaan, sehingga
untuk mendapatkan data dalam rangka mencari pelaku tindak pidana
yang sesungguhnya cenderung menggunakan cara yang bertentangan
dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.30
Sesuai dengaan hak-hak asasi manusia yang sudah mencapai
ketentuan universal maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh
banyak negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem
29
30
Waluyadi,.Op.Cit.hlm.62
Ibid, hlm.63
pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan
”keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa
keterangan ahli.31
h. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara
langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan
pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara
hakim dan terdakwa. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 154
dan Pasal 155 KUHAP.
Adapun bunyi Pasal 154 KUHAP adalah sebagai berikut:
1. Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan
dalam keadaan bebas.
2. Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak
ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan
hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah
dipanggil secara sah.
3. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua
sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya
terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang
berikutnya.
4. Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi
tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua
sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
5. Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa
dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang,
pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat
dilangsungkan.
6. Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang
tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara
31
Andi Hamzah, 2012, Op.Cit hlm 25.
sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama berikutnya.
7. Panitera mencatat laporan dan menuntut umum tentang,
pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dan ayat 6
dan menyampaikanya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155 KUHAP berbunyi sebagai berikut:
1. Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan
kapada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaanya serta mengingatkan
terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang
didengar dan dilihatnya di sidang.
2. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut
umum untuk membacakan surat dakwaan;
Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila
terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas
permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan
yang diperlukan.
Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah
kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan
verstek atau in absentia. Tetapi ini hanya merupakan pengecualian, yaitu
dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213
KUHAP).32
E. Pembuktian
5. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap
peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap. Pembuktian memegang
32
Ibid, hlm. 25.
peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan. Berikut adalah
pengertian pembuktian menurut beberapa ahli,
Menurut Bambang Purnomo33 dalam bukunya menjelaskan tentang arti
hukum pembuktian sebagai berikut:
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan atau hukum atau
peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu
kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana
dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang
berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam hukum yang berlaku, untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kegitan pembuktian di
harapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran
mutlak sukar di temukan. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan
kebenaran yang di susun dan di dapatkan dari jejakan, kesan dan refleksi
dari keadan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan,
berkaitan dengan masa lalu yang di duga menjadi tindak pidana.”
M. Yahya Harahap34 dalam bukunya menjelaskan apa yang dimaksud
dengan pembuktian adalah:
“ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”
Alfitra35 dalam bukunya menjelaskan tentang hukum pembuktian yaitu
sebagai berikut:
“Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan
33
Bambang Purnomo,.Op.Cit. hlm. 52
M. Yahya Harahap, 2009.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar
Grafika,.hlm. 273
35
Alfitra, S.H.,M.H., 2011 Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan
Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, , hlm. 21.
34
dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis
dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan
tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk
menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.”
Pembuktian sebagai proses yang harus dilalui guna menjadikan terang
suatu perkara dan menemukan fakta-fakta yang sebenarnya agar dapat diperoleh
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Pembuktian memegang peran yang
sangat penting dalam proses persidangan. Pada pembuktian tersebut juga diatur
mengenai syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta
kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.
6. Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian menurut Alfitra36 adalah:
“Pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana
alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim
harus membentuk keyakinannya didepan sidang pengadilan.”
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun
hak asasi manusia dipertaruhkan.
Sistem pembuktian di dalam KUHAP terdapat empat macam, yaitu:
a. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif
Sistem ini menganut pembuktian menurut undang-undang
secara positif, menggunakan alat-alat bukti yang dianut oleh undangundang disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang
36
Ibid. hlm. 28.
secara positif (positief wettelijk bewijstheori). Dikatakan secara positif
karena didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut
oleh undang-undang, maka keyakunan hakim tidak diperlukan sama
sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale
bewijstheorie).37
Menurut D. Simons38 menjelaskan bahwa,
“ Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan
subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut
peraturan pembuktian yang keras.”
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk
dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim akan
menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada
keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang
hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai
denan keyakinan masyarakat.39
Pembuktian sistem ini bertolak belakang dengan pembuktian
berdasar keyakinan hakim melulu, dimana keyakinan hakim tidak
punya andil untuk membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hanya
menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
37
Ibid. hlm.251
Ibid.
39
Wirjono Prodjodikoro. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur
Bandung. hlm. 75.
38
b. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu
Bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang melulu. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
melulu menggunakan keyakinan atau hati nurani hakim untuk
membuktikan kesalahan terdakwa.
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri
pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadangkadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan
perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan juga
keyakinan hakim sendiri.40
Dengan
sistem
ini
pemidanaan
dimungkinkan
tanpa
didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Pelaksanaan
pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi,
pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan
acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu.41
c. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan
Logis
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut
pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la
conviction raisonne). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan
seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan
kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
40
Andi Hamzah. Op.Cit. hlm. 252
Ibid. hlm. 252
41
(conclusive) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian
tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.42
Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian
bebas
karena
hakim
bebas
untuk
menyebut
alasan-alasan
keyakinannya (vrijebewijstheorie).43
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktin ini, faktor keyakinan
hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time
peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem
conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasanalasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa.
Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus
dilandasi reasonning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
“reasonable” yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan
hakim harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar
dapat diterima akal. Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang
tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.44
42
Ibid. hlm. 253
Ibid.
44
M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 278.
43
d. Teori Pembuktian Berdasarkan Kepada Undang-Undang Secara
Negatif
Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara
negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undangundang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan
atau conviction-in time.45
Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yang berbunyi
sebagai berikut,
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukanya.”
Pasal 183 KUHAP tersebut nyata bahwa pembuktian harus
didasarkan kepada undang undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang
sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan
hakim yang diperoleh dari alat alat bukti tersebut. Dalam sistem atau
teori pembuktian berdasarkan undang undang negatif (negatief
wettelijk bewijsteorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian
yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons) yaitu pada
peraturan undang undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut
45
Ibid.
undang undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada
undang undang.46
Prinsip umum pembuktian bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, antara lain:
Pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa :
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadannya. Asas ini dikenal dengan istilah”satu saksi bukan
saksi” (unus testis nullus testis).”
Asas Negatif Wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal
189 ayat(4) KUHAP, bahwa berdasarkan “pengakuan salah yang
diucapkan terdakwa”, hakim tidak boleh menghukum terdakwa.
“pengakuan salah yang di ucapkan terdakwa” tanpa alat bukti lain,
merupakan alat pembuktian yang tidak lengkap. Untuk lebih jelasnya
terdapat pada :
Pasal 189 ayat (4) KUHAP :
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa iabersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkanharus disertai dengan alat bukti yang
lain.‟
46
Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 256
7. Bentuk-Bentuk Alat Bukti
Menurut Pasal 183 KUHAP bahwa:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Ketentuan pasal ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam mencari kebenaran
harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah beserta
keyakinan hakim, karena apabila tidak cukup bukti maka
tidak dapat
dipidana.
Bentuk-bentuk alat bukti yang sah, ada dalam Pasal 184 KUHAP,
yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Keterangan Saksi,
Keterangan Ahli,
Surat,
Petunjuk,
Keterangan Terdakwa.
1) Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebutkan,
mengingat sangat dibutuhkannya keterangan saksi untuk mengungkap
setiap perkara yang terjadi. Pentingnya saksi untuk memberikan
keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam KUHAP
Pasal 1 angka 26 bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27
KUHAP, yaitu:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Pada umumya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti
yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada
perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.
Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada
pemeriksaan keterangan saksi.47
Berikut adalah beberapa syarat agar keterangan saksi dapat
dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
yaitu sebagai berikut:
a) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Sesuai dengan rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP
berikut:
“Sebelum memberikan keterangan wajib mengucapkan
sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut
dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal
sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada
yang sebenarnya.”
Sumpah
atau
janji
wajib
diucapkan
sebelum
saksi
memberikan keterangan, dan dilakukan menurut cara agamaya
47
M.Yahya Harahap.Op.Cit hal. 286.
masing-masing.
Menurut
Pasal
171
KUHAP
terdapat
pengecualian siapa saja yang dapat memberi keterangan tanpa
disumpah, yaitu:
Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan
tanpa sumpah ialah:
1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan
belum pernah kawin;
2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali.
Ketentuan
mengharuskan
dalam
saksi
Pasal
disumpah
160
ayat
terlebih
(3)
KUHAP
dahulu
sebelum
memberikan keterangan, akan tetapi terdapat pengecualian yaitu
sesuai dengan Pasal 171 KUHAP bahwa anak yang umurnya
belum cukup limabelas tahun dan belum pernah kawin dapat
memberi keterangan tanpa sumpah.
b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai
alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat
bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan
dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yaitu:
“apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi
alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya
itu”.
c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti,
apabila dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan.”
Apabila keterangan saksi tersebut dinyatakan diluar
persidangan, maka bukan merupakan suatu alat bukti.
Keterangan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 26 KUHAP
sebagai berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Agar supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai
alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang
pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan.”
d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Supaya
keterangan
saksi
dapat
dianggap
cukup
membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit
atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan
demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai
satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang
lainnya. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap
sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.48
2) Keterangan Ahli
Sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang pengertian
ahli dijelaskan dalam KUHAP.
Pasal 1 angka (28) KUHAP berbunyi :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”.
Pasal 186 KUHAP berbunyi :
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan didepan
sidang pengadilan”.
Menurut M. Yahya Harahap49, apa yang dapat diambil dari Pasal 1
angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal
186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah:
a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang
yang mempunyai “keahlian khusus” tentang sesuatu yang ada
hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,
b) Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak
mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan, yang ada
hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak
mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang.
Patut diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan
seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal
48
49
Ibid. hlm. 288.
Ibid.hlm. 299
186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang
pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP).50
3) Alat Bukti Surat
Pasal 187 KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat yang
dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah terdiri dari
empat ayat sebagai berikut:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya
dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat resmi yang dimaksud oleh Pasal 187 huruf c KUHAP adalah
sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika
dikaitkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, alat bukti surat dapat
berupa keterengan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Laporan tersebut mencakup didalamnya visum et repertum, yang
50
Ibid.hlm. 274.
sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatblat
1937-350.51
4) Petunjuk
Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktik hendaknya
digunakan dengan hati-hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan
yang dominan dalam penilaian yang bersifat subjektif sekali. Oleh karena
itu, hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan
dan bijaksana dan berdasarkan hati nurani.52
Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai
berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
M. Yahya Harahap53 memberikan pengertian dengan menambah
beberapa kata mengenai petunjuk, yaitu :
“petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu
perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai
“persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat
tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan
dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau
“mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan”
terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.”
Pasal 188 ayat (2) KUHAP memberi batasan bahwa alat bukti
petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan
terdakwa.
51
Alfitra, Op.cit. hlm. 89
Ibid. hlm. 102
53
Mohammad Taufik makaro dan Suharsil .Op.Cit. hlm.129
52
Pasal 188 angka (3) KUHAP berbunyi :
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya”
Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang
lain, di mana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan
pembuktiannya, maka dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian
petunjuk adalah bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian
yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat bukti petunjuk tidak berdiri
sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. dia tetap terikat pada prinsip
minimum pembuktian.54
5) Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam
Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah
salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses
pemeriksaan
keterangan
terdakwa
dilakukan
belakangan
sesudah
pemeriksaan keterangan saksi.55
Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut KUHAP, secara
“akkusatur”, sejalan dengan pengakuan KUHAP terhadap hak asasi
terdakwa sebagai seorang yang harus diperlakukan sebagai manusia,
diantaranya harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan
“praduga tak bersalah” dalam setiap pemeriksaan.56
54
Ibid. hlm. 130.
Yahya Harahap.Op.cit. hlm. 318
56
Ibid. hlm. 319
55
Keterangan terdakwa dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (1)
KUHAP, yaitu:
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang
pengadilan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau yang
terdakwa ketahui sendiri atau alami sendiri”.
Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah
merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa
tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan, dan apa yang ia alami.
Keterangan tersebut dalam suasana yang lebih bebas dari tekanan.57
8. Saksi Korban
Pentingnya
saksi
untuk
memberikan
keterangan
dalam
penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam KUHAP Pasal 1 angka 26
bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan saksi dan korban, korban adalah:
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.”
Sesuai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa saksi korban
sendiri adalah orang yang mengalami sendiri baik penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi, yang ia dengar sendiri dan ia lihat
57
Alfitra, Op.cit. hlm. 119
sendiri, baik tentang suatu tindak pidana yang kemudian ia dapat
memberikan keterangan didepan sidang pengadilan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
mencari kebenaran materiil.
F. Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin
1.Pengertian Anak
Pengertian anak menurut hukum positif Indonesia diartikan sebagai
orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah
umur atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga
disebut
sebagai
anak
yang
dibawah
pengawasan
wali
(minderjarige
ondervoordij).58
Hukum positif Indonesia tidak mengatur secara baku mengenai
pengertian anak karena tidak ada unifikasi hukum dan yang berlaku universal.
Dimana pengertian anak tersebut terdapat dalam beberapa peraturan yang
berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 47
ayat (1), merumuskan;
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”.
Pasal 50 ayat (1), merumuskan:
58
Lilik Mulyadi.. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan Permasalahannya.
Mandar Maju: Bandung 2005,.hlm. 4.
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.”
Menurut konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yang merumuskan sebagai berikut:
“Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber
daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis
dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak
memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 1 butir 1, merumuskan;
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu
menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum.
Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-undang ini terdapat pengertian
mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki
keunggulan, anak angkat, dan anak asuh.
Anak merupakan generasi penerus berlangsungnya kehidupan manusia
dalam hal ini Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002
menerangkan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha esa,
yang dalam dirinya melekat harkat martabat sebagai manusia seutuhnya.
Hal tersebut diatas sama juga dengan pengertian menurut Konvensi Hak
anak (KHA) definisi anak adalah manusia yang umurnya belum 18 tahun.
Pendapat lain Menurut john Locke anak adalah pribadi yang masih bersih dan
peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Dan
menurut agustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi
anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak
mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang
disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita
kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang
diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa anak adalah manusia yang belum dewasa yang umunya
berumur dibawah 18 tahun dan masih rentan terhadap kesalahan sehingga perlu
pengawasan dari manusia dewasa.59
2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis kelamin
Istilah tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan strafbaar feit, tidak
ada pengertian secara baku oleh undang-undang mengenai istilah tindak pidana
tersebut. Pengertian istilah tindak pidana dapat diambil dari pendapat atau
doktrin para ahli.
Istilah lain dari tindak pidana antara lain adalah perbuatan pidana,
peristiwa pidana dan delik.
59
Eko Budi santoso, Pengertian Anak, (online) tersedia di website http://raseko.blogspot.com/2012/12/pengrtian-anak.html?m=1 diakses tanggal 20 Maret 2013
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar
feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam
KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya
yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.60
Menurut Pompe61 dalam bukunya Lamintang, yaitu :
“perkataan “strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai
“suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh
seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut
adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum.”
Sedangkan menurut Simons62, merumuskan :
“perkataan “strafbaar feit” sebagai suatu “tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang
oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum”.
Menurut Moeljatno63, tentang perbuatan pidana adalah:
“perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”
Unsur atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno64 adalah:
a.
b.
c.
d.
60
Kelakuan dan akibat ( = perbuatan)
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Unsur melawan hukum yang objektif
Lamintang, P.A.F , 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti.Bandung.hlm.181
61
Ibid,hlm.182
62
Ibid,hlm.185
63
Moeljatno. 2009.Asas-Asas Hukum Pidana..Rineka Cipta. Jakarta.hlm 59
64
Ibid,hlm.69
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Berdasarkan pengertian diatas, mengenai dilarang dan diancamnya
suatu perbuatan pidana, harus berdasarkan asas legalitas yaitu asas yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia, bahwa setiap peraturan yang
menganjurkan atau melarang kepada warga negara harus berdasarkan
ketentuan perundang-undangan. Asas legalitas terkandung dalam hukum
pidana dan hukum acara pidana.
Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan
dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana
yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Legi Peonali). Asas
ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.65
Asas legalitas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana
harus diajukan kedepan hakim, Dalam KUHAP, konsideran huruf a
mengatakan,
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
Ketentuan tersebut untuk mencegah tindakan - tindakan yang tidak
dapat dipertanggunjwabkan secara hukum, dan untuk melindungi setiap warga
negara dari perbuatan sewenang-wenang.
Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289 sampai
65
Mohammad Taufik makaro dan Suharsil..Op.cit.hlm. 2
Pasal 296 KUHP, yang selanjutnya dikatagorikan sebagai kejahatan terhadap
kesusilaan.
Sedangkan tindak pidana pencabulan terhadap anak yang diatur dalam
KUHP diatur pada Pasal 290 KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal
294 KUHP, Pasal 295 KUHP. Dan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak diatur pada Pasal 82.
KUHP tidak memberikan definisi secara konkrit mengenai pengertian
tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin.
Tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan
belum dewasa diatur dalam Pasal 292 KUHP yaitu:
"orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum
dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun"
Sedangkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Bab XII mengenai ketentuan pidana, dalam pasal 82 UndangUndang tersebut dirumuskan bahwa perbuatan cabul adalah,
"setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, mamaksa, melakukan tipu muslihat,serangkain kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun
dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan
paling sedikit Rp 60.000.000.
Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia66 adalah:
66
Departeman pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, hlm. 142.
“Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya,
tidak sesuai dengan adap sopan santun ( tidak senonoh), tidak susila,
bercabul: berzina, melakukan tindak pidana susila, mencabuli:
menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film
cabul: film porno, keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,
kesopanan).”
Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian
tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual,
misalnya alat kelamin, buah dada, mulut, dan sebagainya yang dipandang
melanggar kesusilaan umum.67
Tindak pidana pencabulan termasuk kejahatan yang melanggar
kesusilaan. Perbuatan cabul merupakan segala perbuatan yang melanggar rasa
kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin.68
Perbuatan cabul dan pelecehan seksual termasuk pelanggaran terhadap
kesusilaan. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan
anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang
lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk
melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat
kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual
yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat
67
Adami Chazawi, 2007,Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, hlm 82.
68
.Leden Marpaung, 2004, “Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah
Preverensinya”, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 64
alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.69
Unsur objek kejahatan yang menurut Pasal 292 KUHP dapat dtujukan
pada seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kejahatan dalam Pasal 292
KUHP, mempunyai unsur-unsur:
a. unsur-unsur subjektif : yang ia ketahui atau sepantasnya harus
dapat ia duga
b. unsur-unsur objektif :
1) seorang dewasa
2) melakukan
tindakan
pelanggaran
kesusilaan
3) seorang anak belum dewasa dari jenis
kelamin yang sama
4) kebelumdewasaan.
Dari kenyataan bahwa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 292 KUHP itu, undang-undang telah mensyaratkan dua macam
unsur subjektif secara bersama-sama, masing-masing yakni unsur „yang ia
ketahui‟ yang menunjukkan bahwa undang-undang mensyaratkan keharusan
adanya unsur „dolus‟ atau unsur „opzet‟ pada diri pelaku, dan unsur yang
sepantasnya harus dapat ia duga yang menunjukkan bahwa pada saat yang
sama, undang-undang juga mensyaratkan keharusan adanya unsur culpa atau
69
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam
20.00 WIB.
unsur schuld pada diri pelaku, maka didalam doktrin biasanya orang menyebut
ketentuan pidanan seperti yang diatur dalam Pasal 292 KUHP sebagai
ketentuan pidana yang mempunyai unsur-unsur subjektif pro parte dolus dan
pro parte culpa.70
70
Lamintang P.A.F dan Theo Lamintang, ,Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar
norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan.Jakarta.Sinar Grafika. 2009.hlm.154.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif
dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan
kasus (Case Approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.71
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) digunakan karena yang akan
diteliti adalah aturan hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah
kasus yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto.
Menurut Johnny Ibrahim72, dalam bukunya mengatakan bahwa :
“Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dan sisi
normatifnya. Logika keilmuwan yang ajeg dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.”
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi
penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif,
artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki73 , bahwa:
72
Joni Ibrahim,2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu
media Publishing, hlm. 295.
“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu
terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan,
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”
C. Sumber Data
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan hasil yang obyektif, yaitu
dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut berupa peraturan
perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), buku-buku
literatur dan data-data lain yang relevan dengan objek penelitian serta Putusan
Pengadilan Negeri Purwokerto No.70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, karya ilmiah sarjana
dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
E. Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode reduksi, yaitu
dengan cara memilih, merangkum, mefokuskan hal-hal yang pokok dan penting
dari sekumpulan bahan hukum, dengan disusun secara sistematis agar mudah
dipahami.
73
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya : Kencana Perdana Media Group,
2007, hal 22
F. Metode Penyajian Data
Metode penyajian data yang digunakan adalah dengan disajikan dalam
bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti
keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya,
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu
kesatuan yang utuh.
G. Metode Analisis Data
Analisis tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi.74
Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui kekuatan pembuktian
alat bukti keterangan saksi korban anak dalam tindak pidana pencabulan anak dan
untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa pada putusan No.70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku.
74
Ibid, hlm. 393.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Identitas Terdakwa
Terdakwa di dalam perkara No: 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt,:
Nama lengkap
: UNJAT HIDAYAT alias DAYAT bin ANSOR;
Tempat lahir
: Kuningan;
Umur/Tanggal lahir
: 63 Tahun/ 1Juli 1948;
Jenis kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat tinggal
: Desa kalisari, RT.07 RW. 01 Kecamatan Cilongok,
Kabupaten
RT.01/01
Banyumas
Desa
atau
Parung,
Dusun
Kecamatan
Babakan
Darma,
Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Dagang;
Pendidikan
: SD;
2. Duduk Perkara
Mula-mula pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul
14.00 WIB Terdakwa Unjat Hidayat alias Dayat menelpon saksi korban
Iqballudin Amalia meminta saksi korban supaya datang kepada terdakwa ,
karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk saksi
korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi korban pergi menemui terdakwa ke
rumah kontrakan terdakwa setelah di rumah kontrakan terdakwa, kemudian
terdakwa segera mengunci semua pintu rumah kontrakannya, lalu mendekati
saksi korban dan minta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana
dalamnya, kemudian saksi korban menuruti perintah terdakwa melepas celana
pendek seragam SMP warna biru bagian luar dan celana dalamnya warna
merah muda hingga telanjang bagian bawahnya dengan membiarkan kaos
warna abu-abu bertuliskan “ICA BOB” yang ia pakai, sedangkan saksi
korban tidak melakukan perlawanan karena merasa takut dikerasi. Setelah itu
terdakwa mengolesi telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang
dan mengocok alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan
posisi saksi korban tiduran di depan dan terdakwa duduk disampingnya.
Setelah sekitar dua menit terdakwa mengocok alat kelamin saksi korban
mengeluarkan sperma. Kemudian terdakwa meminta saksi korban untuk
memegang alat kelamin terdakwa, namun hanya sebentar saksi korban sudah
meminta untuk pulang. Terdakwa sudah mengetahui dan menyadari bahwa
saksi korban adalah anak masih dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun.
Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya terdakwa sudah pernah
sejumlah empat kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap saksi
korban.
3. Dakwaan Jaksa Penunutut Umum
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka terdakwa diduga melakukan
tindak pidana sebagaimana didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan
yang disusun secara alternatif dalam dakwaan Nomor REG.PERKARA-PDM-
127/PKRTO/Epp.2/09/2011, tertanggal 29 Nopember 2011, yaitu sebagai
berikut:
Kesatu : Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, yang merumuskan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah).”
ATAU
Kedua : Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang
merumuskan:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.”
4. Pembuktian
Di persidangan hakim memerlukan beberapa alat bukti untuk
membuktikan kesalahan terdakwa yaitu:
4.1 Keterangan Saksi-Saksi
Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan mengajukan 4 (empat)
orang saksi, dan memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai
berikut:
1. Saksi Korban Iqballudin Amalia
Pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul
14.00 WIB saksi korban dicabuli oleh terdakwa dirumah
kontrakan terdakwa di desa Kalisari RT.07 RW.01 Kecamatan
Cilongok Kabupaten Banyumas. Sebelumnya saksi korban
sempat bertemu terdakwa sedang makan diwarung milik nenek
saksi kemudian terdakwa bilang kepada saksi untuk main
kerumahnya nanti karena mau diberi oleh-oleh dari kuningan
berupa kerupuk dan saksi merasa senang sehingga saksi
langsung mendatangi rumah terdakwa untuk mengambil oleholeh yang dijanjikan. Setelah saksi korban masuk kedalam
rumah, terdakwa langsung mengunci seluruh pintu rumah
kemudian menyuruh saksi membuka celana pendek dan celana
dalam yang dikenakan saksidengan alasan mau mengecek
saksi korban sudah dewasa apa belum, setelah celana celana
lepas terdakwa langsung mengocok-ngocok kemaluan saksi
sehingga mengeluarkan sperma dengan posisi saksi berdiri
dan posisi terdakwa duduk disofa sambil mengocok kemaluan
saksi.
2. Saksi Samiati
Saksi Samiati yaitu ibu dari saksi korban tidak mengetahui
kejadiannya, karena waktu itu saksi mengikuti suami yang
tinggal di Batam. Saksi mengetahui kejadian tersebut setelah
pulang dari Batam karena saksi korban telah menceritakan apa
yang telah dialaminya bahwa Terdakwa unjat telah mengocokngocok kemaluan saksi korban sampai mengeluarkan sperma.
Saksi kaget mengingat pelakunya adalah orang yang dikenal
saksi dan bertetangga dekat. Setelah itu saksi langsung
melaporkan terdakwa ke Polisi untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya, saksi memohon proses hukum
berjalan sebagaimana mestinya meskipun secara kekeluargaan
saksi telah memaafkan Terdakwa. Saksi tidak pernah curiga
sebelumnya karena Terdakwa dekat dengan keluarga saksi
sehingga
sasksi
percaya.
Saksi
mengetahui
pekerjaan
Terdakwa yaitu berjualan pakaian keliling kampung dan suka
mengajar anak-anak mengaji. Setelah kejadian tersebut saksi
berencana membawa anak saksi pindah ke Batam.
3. Saksi Darti
Saksi Darti yaitu nenek saksi korban sebelumnya tidak tahu,
setelah diperhatikan ada perubahan tingkah laku cucu saksi
yaitu setiap pulang sekolah masuk kamar tidak mau keluar
setiap ditanya selalu menangis dan jawabnya “embuh” (cucu
saksi tidak mau bilang terus terang). Saksi selalu berusaha
supaya cucu saksi mau mengatakan kejadian yang sebenarnya
dan ternyata setelah didesak cucu saksi mengatakan bahwa ia
telah dicabuli oleh orang yang dikenalnya yaitu Terdakwa
Unjat. terdakwa menyuruh saksi korban melepas celananya
kemudian
mengocok-ngocok
kemaluannya
sampai
mengeluarkan sperma. Saksi korban mengatakan kepada saksi
sebelum ibunya pulang dari batam.Saksi dan anak saksi (Ibu
kandung saksi korban) setelah datang dari Batam melaporkan
terdakwa ke Polisi untuk diproses lebih lanjut.Menurut saksi
Terdakwa tidak tinggal bersama isteri dirumah kontrakannya.
4. Saksi Khadir Abdul Qodir
Saksi adalah adik ipar Terdakwa. Sama sekali tidak tahu
menahu tentang apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, tahutahu Terdakwa dijemput oleh polisi. Bahwa kelakukan seharihari Terdaka baik dan suka mengajar anak-anak mengaji, Saksi
tidak pernah dengar sebelumnya terdakwa ada kasus dengan
orang lain pekerjaan sehari-hari Terdakwa pedagang pakaian
keliling kampung. Terdakwa juga suka diminta untuk
mengobati orang sakit dengan cara bekam, banyak orang yang
datang untuk memakai jasanya untuk bekam. praktek yang
dilakukan terdakwa tidak menggunakan mantra-mantra hanya
menggunakan alat sedotan susu.
4.2 Petunjuk
Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan
pengertian petunjuk sebagai berikut:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, meupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan
fakta-fakta
yang
terungkap
dalam
pemeriksaan
di
persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari keterangan
terdakwa sendiri.Bahwa pada hari Selasa, tanggal 13 September 2011
sekitar jam 14.00 WIB di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok
Kabupaten Banyumas telah terjadi perbuatan pencabulan sesama jenis
terhadap anak dibawah umur yang telah dilakukan Terdakwa Unjat
Hidayat als. Dayat bin Amsor. Pada mulanya Terdakwa menelepon saksi
korban Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono meminta saksi korban
supaya datang kepada Terdakwa karena akan diberikan oleh-oleh dari
Kuningan yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu
saksi korban pergi menemui Terdakwa ke rumah kontrakan Terdakwa.
Setelah dirumah kontrakkan Terdakwa di Desa Kalisari Rt.07
Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas, kemudian Terdakwa
menyuruh saksi korban untuk masuk keruang tengah rumah kontarkkan
tersebut. Setelah itu Terdakwa segera mengunci semua pintu rumah
kontrakkan lalu mendekati saksi korban dan meminta untuk membuka
celana pendek bagian luar dan celana dalamnya, kemudian saksi korban
menuruti perintah terdakwa melepas celana pendek seragam SMP warna
biru bagian luar dan celana dalamnya warna merah muda hingga telanjang
bagian bawahnya dengan membiarkan kaos warna abu-abu bertuliskan
“ica bob” yang ia pakai, sedangkan saksi korban tidak melakukan
perlawanan karena merasa takut dikerasi. Setelah itu terdakwa mengolesi
telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok
alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi
korban tiduran didepan dan terdakwa duduk disampingnya yang diketahui
terdakwa berjenis kelamin sama dengan Terdakwa untuk dicabuli
Terdakwa yaitu laki-laki dan laki-laki. Setelah sekitar dua menit Terdakwa
mengocok alat kelamin saksi korban mengeluarkan sperma. Kemudian
Terdakwa meminta saksi korban untuk memegang alat kelamin Terdakwa
namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk pulang.
Terdakwa menyadari bahwa saksi korban adalah anak masih
dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun dan masih sekolah di SMP.
Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya Terdakwa sudah pernah
sejumlah tiga kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap saksi
korban.
Berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut di atas dikaitkan dengan
fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari
keterangan para saksi maupun dari keterangan terdakwa sendiri,maka
terdapat adanya persesuaian keadaan baik antara keterangan saksi yang
satu dengan keterangan saksi yang lainnya maupun adanya persesuaian
antara keterangan saksi dengan keterangaan terdakwa serta persesuaian
antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat yang
ada. Sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk.
4.3 Keterangan Terdakwa
Keterangan Terdakwa Unjat Hidayat Alias Dayat bin Amsor pada
intinya memberikan keterangan sebagai berikut :
Terdakwa telah melakukan perbuatan cabul kepada saksi korban
Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono pada hari Selasa tanggal 13
September 2011 di kontrakkan terdakwa Desa Kalisari Rt.07 Rw.01
Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
Awalnya Terdakwa menelepon saksi korban Iqballudin Amalia bin
Yugo Cahyono meminta saksi korban supaya datang kepada Terdakwa
karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk
saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi korban pergi menemui
Terdakwa ke rumah kontrakan Terdakwa.
Setelah dirumah kontrakkan Terdakwa di Desa Kalisari Rt.07
Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas., kemudian
Terdakwa menyuruh saksi korban untuk masuk keruang tengah rumah
kontarkkan tersebut. Setelah itu Terdakwa segera mengunci semua
pintu rumah kontrakkan lalu mendekati saksi korban dan meminta
untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya,
kemudian saksi korban menuruti perintah terdakwa melepas celana
pendek seragam SMP warna biru bagian luar dan celana dalamnya
warna merah muda hingga telanjang bagian bawahnya dengan
membiarkan kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob” yang ia pakai,
sedangkan saksi korban tidak melakukan perlawanan karena merasa
takut dikerasi. Setelah itu terdakwa mengolesi telapak tangannya
menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi
korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran
didepan dan terdakwa duduk disampingnya yang diketahui terdakwa
berjenis kelamin sama dengan Terdakwa untuk dicabuli Terdakwa
yaitu laki-laki dan laki-laki. Setelah sekitar dua menit Terdakwa
mengocok alat kelamin saksi korban mengeluarkan sperma.Kemudian
Terdakwa meminta saksi korban untuk memegang alat kelamin
Terdakwa namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk
pulang.
Terakwa menyadari bahwa saksi korban adalah anak masih
dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun dan masih sekolah di SMP.
Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya Terdakwa sudah pernah
sejumlah tiga kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap
saksi korban.
5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Jaksa Penuntut Umum menuntut
Terdakwa Unjat Hidayat Als. Dayat bin Amsor dengan tuntutan yang pada
intinya sebagai berikut:
1.
Menyatakan Terdakwa Unjat Hidayat Als. Dayat bin Amsor terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Pencabulan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
292 KUH Pidana
2.
Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Unjat Hidayat Als.
Dayat bin Amsor, selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, dikurangi
selama Terdakwa menjalani masa tahanan dengan perintah agar
Terdakwa tetap ditahan
3.
Menyatakan barang bukti :
-
1 (satu) buah kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob”
-
1 (satu) buah celana pendek seragam SMP warna biru
-
1 (satu) buah celana dalam warna merah muda,
dikembalikan pada saksi korban Iqballudin Amalia
-
1 (satu) buah “handbody merek MARINA,
dirampas untuk dimusnahkan
4.
Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp.1.000,-- (Seribu Rupiah)
6. Putusan Pengadilan
6.1 Dasar Pertimbangan Hakim
Terhadap dakwaan penuntut umum dengan dakwaan yang
berbentuk alternatif, sehingga Majelis akan mempertimbangkan fakta di
persidangan yang pembuktiannya lebih mengarah kepada dakwaan
alternatif kedua, yaitu Pasal 292 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah
sebagai berikut:
1. Orang Dewasa;
2. Melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari
jenis kelamin yang sama;
3. Sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa
itu ;
Ad. 1. Unsur Orang Dewasa :
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan orang dewasadalam
penjelasan Pasal 292 KUHP, yaitu telah berumur 21 tahun atau belum
21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin ;
Menimbang, bahwa sesuai dengan identitas, Terdakwa lahir pada 1
Juli 1948/63 tahun, sebagaimana pula dibenarkan oleh Terdakwa
dipersidangan dan keterangan saksi-saksi;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur orang dewasa telah
terpenuhi.
Ad. 2. Unsur Melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama :
Menimbang, bahwa dalam unsur ini merupakan alternatif, yaitu
terdapat beberapa pilihan perbuatan, sehingga apabila dalam
pertimbangan Majelis, salah satu perbuatan dinyatakan telah terpenuhi,
maka selebihnya tidak perlu dipertimbangkan ;
Menimbang, bahwa dalam penjelasan Pasal 289 KUHP, yang
dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya
itu dalam lingkungan nafsuu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman,
meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb, termasuk
juga onani ;
Menimbang, bahwa kejadian dalam perkara ini yaitu pada hari
Selasa tanggal 13 September 2011, sekitar pukul 14.00 WIB,
bertempat di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok
Kabupaten Banyumas.
Menimbang, bahwa Terdakwa menelepon saksi korban Iqballudin
Amalia bin Yugo Cahyono meminta saksi korban supaya datang
kepada Terdakwa, karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan
yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi
orban menemui Terdakwa kerumah kontrakkan Terdakwa ;
Menimbang, bahwa Terdakwa menyuruh saksi untuk masuk
keruang tengah rumah tersebut, setelah itu Terdakwa segera mengunci
semua pintu rumah kontrakkannya, lalu mendekati saksi korban dan
minta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya;
Menimbang, bahwa Terdakwa mengolesi telapak tangannya
menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi
korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran
didepan dan Terdakwa duduk disampingnya sampai keluar sperma ;
Menimbang, bahwa kemudian Terdakwa meminta saksi korban
untuk memgang alat kelamin Terdakwa, namun hanya sebentar saksi
korban sudah meminta untuk pulang ;
Menimbang, bahwa saksi korban berjenis kelamin laki-laki,
berumur sekitar 13 (tigabelas) tahun, sesuai dengan Akta Kelahiran
No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September 2005 ;
Menimbang,
bahwa
perbuatanTerdakwa
mengocok-ngocok
kemaluan saksi korban hingga keluar sperma dan perbuatan Terdakwa
menyuruh saksi korban untuk memegang kemaluan Terdakwa
menimbulkan kepuasan Terdakwa memenuhi hasratnya sedangkan
Terdakwa mengetahui saksi korban masih dibawah umur, sehingga
dengan demikian unsur melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama telah terpenuhi ;
Ad. 3. Unsur sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya
hal belum dewasa itu :
Menimbang, bahwa sebagai tetangga, Terdakwa tahu pasti saksi
korban masih duduk dibangku SMP atau setidak-tidaknya masih
dibawah umur, yaitu sesuai Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005,
tanggal 7 September 2005, berumur 13 Tahun ;
Menimbang bahwa terlebih pada waktu kejadian, Terdakwa
memanggil saksi korban kerumahnya dengan masih mengenakan
celana seragam SMP ;
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur sedang diketahuinya
hal belum dewasa itu telah terpenuhi ;
Menimbang,
bahwa
oleh
karena
Terdakwa
mampu
bertanggungjawab, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas
tindak pidana yang didakwakan terhadap diri Terdakwa oleh karena itu
harus dijatuhi pidana ;
Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri
Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan :
Hal-hal yang memberatkan :
-
Perbuatan Terdakwa membuat trauma saksi korban ;
Hal-hal yang meringankan :
-
Terdakwa berterus terang, menyesali perbuatannya, dan berjanji
tidak akan mengulangi lagi ;
-
Terdakwa belum pernah dihukum
-
Terdakwa sudah berusia lanjut ;
6.2 Amar Putusan
1) Menyatakan Terdakwa Unjat Hidayat alias Dayat bin Amsor
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin yang diketahuinya belum dewasa” ;
2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun 5 (lima) bulan ;
3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
4) Menyatakan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5) Memerintahkan barang bukti berupa :
-
1(satu) buah kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob”
-
1 (satu) buah celana pendek seragam SMP warna biru
-
1 (satu) buah celana dalam warna merah muda,
Dikembalikan pada saksi korban Iqballudin Amalia
-
1 (satu) buah “handbody merek Marina” ;
Dirampas untuk dimusnahkan ;
6) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,-(seribu rupiah).
B. Pembahasan
1. Tentang Alat Bukti Saksi Korban Anak Yang Dihadirkan Dalam
Persidangan Pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
Kejahatan mengenai kesusilaan, khususnya kekerasan seksual terhadap anak
dibawah umur banyak terjadi dikalangan masyarakat. Banyak sekali kasus-kasus
kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah
umur dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri yaitu untuk melampiaskan
nafsunya, tidak berfikir bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa
tersebut dapat merusak masa depan anak dan mempunyai dampak yang buruk
untuk perkembangan seorang anak baik dari segi fisik maupun mental.
Dalam hal ini, pelaku harus mempertanggungjawabkannya dihadapan
hukum dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya pelaku harus dapat
dibuktikan secara hukum. Aparat penegak hukum mempunyai tugas untuk
membuktikan siapa pelakunya, apakah perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana, dan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Penyidik harus melakukan serangkaian proses untuk membuktikannya agar
menjadi terang suatu perkara pidana dalam hal ini Putusan Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Hakim bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila telah
menggunakan minimal dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh
keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
Untuk menghadirkan saksi korban yang masih dikategorikan sebagai
anak, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para
penegak hukum harus menerapkan aturan yang sesuai dengan apa yang sudah
diatur dalam undang-undang secara spesifik sesuai dengan asas lex specialis
derogat legi generale (undang-undang khusus mengkesampingkan undangundang yang lama).
Sesuai dengan penjelasan diatas dan berdasarkan putusan Nomor.
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., dikaitkan dengan KUHAP dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban mengenai dihadirkannya saksi
korban anak di persidangan dalam putusan tersebut.
Mengingat bahwa seorang anak tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna dalam hukum pidana begitu juga pemeriksaan di persidangan
antara saksi anak dan saksi orang dewasa tidak bisa disamakan atau
diperlakukan sama karena terdapat perbedaan secara fisik dan mental antara
anak dengan orang dewasa.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam Perkara Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. penuntut umum telah mengajukan alat bukti
keterangan saksi berjumlah 4 (empat) orang. Diantara saksi-saksi tersebut
terdapat saksi anak yang sekaligus menjadi korban. Keterangan saksi sebagai
alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
Pasal 1 angka 26 KUHAP merumuskan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Terkait dengan tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin,
untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka penyidik melakukan serangkaian
upaya untuk mencari bukti-bukti yang dapat mengungkap suatu perkara pidana
yang ada dalam Putusan Nomor :70/Pid.sus/2011/PN.Pwt.yaitu berupa
menghadirkan 4 (empat) orang saksi termasuk saksi korban anak dalam tindak
pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, guna membuktikan kesalahan
terdakwa bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
belum dewasa dari jenis kelamin yang sama sedang diketahuinya atau patut
harus disangkanya hal belum dewasa itu. Namun dalam pembuktiannya tetap
harus ada kesesuaian dengan alat bukti lain yang dihadirkan di persidangan.
Pasal 1 angka 27 KUHAP merumuskan:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alam sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya.”
Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara
pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian
alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu
bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.75
Seperti penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, memberikan keterangan
sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kewajiban hukum bagi
setiap orang. Kecuali saksi yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP sebagai
berikut:
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajad ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
75
M.Yahya Harahap.Op.Cithal. 286.
Keterangan saksi yang pertama kali didengar adalah saksi korban, yaitu
saksi sekaligus korban dalam suatu tindak pidana.
Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap
peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap dan menjadi terang.
Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam pemeriksaan
pengadilan.
Sesuai dengan pendapat Alfitra76 dalam bukunya yang menjelaskan
tentang hukum pembuktian yaitu sebagai berikut:
“Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan
alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan
prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan,
sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara
mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak, dan menilai suatu pembuktian.”
Berdasarkan
Putusan
Nomor
:70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.,
dalam
pembuktian persidangan perkara tindak pidana pencabulan anak sesama jenis
kelamin, penunutut umum menghadirkan para saksi termasuk saksi korban anak
yaitu Iqballudin Amalia.
Saksi korban anak dalam memberikan keterangan dihadirkan dalam
persidangan karena keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, apabila
dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 160
huruf b dan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Pasal 160 huruf b :
76
Alfitra, Opcit,, hlm. 21.
“ Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang
menjadi saksi.”
Pasal 185 ayat (1) :
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
Suatu hal yang penting dalam menggali keterangan saksi adalah sesuatu
yang merujuk pada keterangan saksi yang diberikan dan seberapa jauh dapat
meyakinkan semua pihak seperti penyidik, penuntut dan majelis hakim.
Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari daya guna
kesaksian dan keterkaitan saksi tersebut. Keterangan saksi harus berhubungan,
tidak bisa berdiri sendiri, karena keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak
dapat membuktikan seluruh dakwaan.
Dalam sidang pengadilan memang yang pertama-tama dipanggil masuk
dan diperiksa itu adalah terdakwa, kemudian penuntut umum (Pasal 155
KUHAP) dan sesudahnya barulah dipanggil dan diperiksa kterangan saksi-saksi,
baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Adapun diantara
saksi-saksi itu siapa yang lebih dahulu harus dipanggil dan diperiksa
keterangannya adalah menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh
hakim, akan tetapimenurut undang-undang yang paling terdahulu dipanggil
masuk dan didengar keterangannya adalah sikorban yang menjadi saksi. 77
Sesuai dengan ketentuan tersebut maka perlu dihadirkannya saksi yang
mengalami sendiri suatu tindak pidana yaitu korban. Seperti penjelasan
sebelumnya bahwa saksi korban dapat dsimpulkan sebagai orang yang
77
M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan Resmi, Bogor,Politeia hal.143.
mengalami sendiri baik penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi,
yang ia dengar sendiri dan ia lihat sendiri, baik tentang suatu tindak pidana yang
kemudian ia dapat memberikan keterangan didepan sidang pengadilan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan
untuk mencari kebenaran materiil.
Menurut M. Yahya Harahap78, menerangkan bahwa:
“permasalahan saksi anak (child witness) dalam praktek peradilan sering
menghadapi kesulitan. Menurut Pasal 171 huruf a KUHAP, patokan
standar anak yang kompeten adalah 15 tahun keatas, sehingga korban
pidana yang umurnya kurang 15 tahun tidak boleh memberi keterangan
dibawah sumpah. Padahal terkadang keterangan anak tersebut sangat
relevan dan menentukan, karena dia sendiri korban dari kejahatan.sedang
saksi lain, tidak memenuhi syarat materiil, karena keterangan mereka
hanya testimonium de auditu atau hearsay evidence.”
M. Yahya Harahap79 dalam bukunya memberikan pendapat mengenai
alasan membenarkan anak kecil menjadi saksi, yaitu:
“Anak kecil tidak suka bohong tentang perkosaan yang dialaminya,
terutama dalam perlakuan penyalahgunaan seksual: anak kecil tidak
mampu membuat cerita atau mencipta rekayasa atau keterangan yang
tidak benar, karena pada dasarnya anak kecil belum mempunyai
pengalaman dan pengetahuan tentang seks. bahkan kebohongan orang
dewasa jauh lebih berbahaya dibanding anak kecil.”
Saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan dengan kedudukan
sebagai saksi, yaitu saksi yang memberatkan bagi terdakwa karena keterangan
yang saksi korban anak berikan dalam persidangan untuk membuktikan
kesalahan yang terdakwa lakukan dan terdakwalah pelakunya, keterangan saksi
anak dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk
78
M Yahya Harahap, 2009.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar
Grafika,hal.202
79
Ibid.hal .205
menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk sehingga keterangan tersebut
menentukan putusan yang akan dijatuhi oleh Majelis Hakim.
Pada hakikatnya KUHAP menganut prinsip keharusan menghadirkan
saksi-saksi di persidangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 (1) KUHAP yang
intinya menyatakan bahwa keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah
apabila dinyatakan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi, pasal 162 (1) KUHAP
sendiri memberi pengecualian apabila saksi-saksi yang telah memberikan
keterangan dalam BAP di tingkat penyidikan tidak dapat hadir karena :
1) Meninggal dunia atau karena ada halangan yang sah atau karena
2) Tempat tinggal atau kediamannya jauh dari tempat sidang atau
karena
3) Adanya tugas atau kewajiban dari negara yang dibebankan
kepadanya.
Dengan dihadirkannya saksi korban anak di dalam persidangan akan
memperkuat alat bukti yang lain serta menambah keyakinan hakim bahwa
Terdakwalah pelakunya yang telah melakukan tindak pidana pencabulan anak
sesama jenis kelamin.
Proses memberikan keterangan di peradilan bagi korban saksi kejahatan
merupakan pengalaman yang cukup emosional dan bermakna. Oleh karena itu,
yang perlu diperhatikan bukan sekedar pemenuhan rasa keadilan, namun penting
memperhatikan
bagaimana
keadaan
emosionalnya,
kemungkinan
untuk
meminimalisir bias, serta turut membantu meringankan penderitaan psikologis
yang mungkin timbul pada korban-saksi ketika berhadapan dengan proses
persidangan80.
Peraturan
yang ada dalam KUHAP apabila dikaitkan dengan
perlindungan anak sebagai korban tindak pidana masih lemah karena peraturan
yang ada didalamnya lebih banyak berorientasi terhadap pelaku kejahatan,
dimana tersangka dijamin hak-haknya di setiap prosesnya, hal tersebut berbeda
dengan saksi korban anak yang kurang mendapatkan perhatian dan jaminan akan
hak-haknya seperti bantuan hukum atau bantuan yang bersifat psikoilogis
padahal saksi korban adalah orang yang mendapatkan kerugian baik fisik
maupun mental.
Di dalam KUHAP diatur kepentingan korban yang diwakili oleh
pemerintah, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Namun sayangnya JPU tidak
diwajibkan untuk membela dan melindungi korban. Hal ini sangat tragis karena
jangan sampai korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah
menjalani sistem peradilan pidana, karena kebanyakan korban dan saksi
merupakan orang yang awam hukum81.
Seharusnya Jaksa penunutut umum melindungi korban tindak pidana
khususnya korban anak untuk mendapatkan bantuan hukum atau ganti kerugian
dan tidak hanya memfokuskan tuntutan pidana penjara kepada terdakwa.
80
(http://margaretha-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-70492Kesaksian%20dan%20PeradilanDinamika%20Psikologi%20Korban%20dan%20Saksi%20dalam
%20Memberikan%20Kesaksian%20di%20Peradilan.html)diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB
81
Iskandar.http://iskandar
centre.blogspot.com/2009/06/pentingnya-perlindungan-hakhak.html?m=1diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB
Menurut penulis, perlindungan hak-hak korban termasuk korban anak
dalam proses persidangan dalam pengaturannya masih sedikit untuk melindungi
kepentingan korban atau korban anak. Kebanyakan cendrung mengatur tentang
hak-hak pelaku atau terdakwa. Pada kenyataannya pelaku, korban atau korban
anak mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk memperoleh keadilan.
Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa Pasal
yang merumuskan mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban
kejahatan diantaranya :
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
merumuskan;
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Pasal 15 bahwa :
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan.
a.
b.
c.
(2)
Pasal 17 bahwa:
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18 bahwa:
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”
Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban antara lain:
Menurut Pasal 1 angka (1) dan angka (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, pengertian dari saksi dan
korban adalah:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri,ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.”
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental,
dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”
Begitu juga Pasal 4 bahwa :
“Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada
setiap proses peradilan pidana.”
Pasal tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi LPSK yaitu memberikan
layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap tahap
proses peradilan pidana dan memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi
korban tindak pidana.
Dari uraian diatas seharusnya saksi korban anak pada waktu memberikan
kesaksian dipersidangan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa dan saksi
korban anak tersebut dirahasiakan serta memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
Berdasarkan putusan Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., saksi korban anak
dihadirkan dalam persidangan karena kedudukannya sebagai saksi. Keterangan
saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana dan
memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
kewajiban hukum bagi setiap orang tidak terkecuali saksi korban anak Iqballudin
Amalia. Saksi Iqballudin Amalia dihadirkan dalam persidangan guna
mengungkap peristiwa tindak pidana yang terjadi dan memperkuat alat bukti
yang lain serta menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa Unjat Hidayat
adalah pelaku yang telah melakukan tindak pidana sesama jenis kelamin.
Keterangan saksi Iqballudin Amalia tersebut dapat digunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai
petunjuk karena memiliki persesuaian dengan alat bukti yang lain.
Akan tetapi saksi korban anak yaitu Iqballudin Amalia pada putusan
Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi korban
anak pada waktu memberikan keterangan dipersidangan tidak dipisahkan dengan
orang dewasa, tidak dirahasiakan identitasnya, dan tidak mendapat bantuan
hukum padahal korbannya adalah anak dibawah umur. Kenyataan tersebut tidak
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang seharusnya saksi korban anak pada waktu memberikan
kesaksian dipersidangan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa dan saksi
korban anak tersebut dirahasiakan serta memperoleh bantuan hukum atau
bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang tersebut.
2. Tentang Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Di Persidangan
Dalam Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin Pada
Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt
Istilah tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan strafbaar feit, tidak
ada pengertian secara baku oleh undang-undang mengenai istilah tindak pidana
tersebut. Pengertian istilah tindak pidana dapat diambil dari pendapat atau
doktrin para ahli.
Menurut Moeljatno82, tentang perbuatan pidana adalah:
“perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut
Salah satu perbuatan pidana yang memprihatinkan dan semakin
meresahkan masyarakat adalah perbuatan cabul atau kejahatan seksual yang
kebanyakan korbannya yaitu anak di bawah umur, karena anak dianggap kaum
yang lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri berbeda dengan orang
dewasa.
Perbuatan cabul dan pelecehan seksual termasuk pelanggaran terhadap
kesusilaan. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan
anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang
lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk
82
Moeljatno.,Opcit.hlm59
pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk
melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat
kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual
yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat
alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk
memproduksi pornografi anak.83
Menurut Pasal 1 nomor 2, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup. tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.”
Anak sebagai seseorang yang belum dewasa dan belum dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum harus dilindungi hak-haknya agar dapat
tumbuh kembang secara normal dan tidak diperlakukan secara diskriminasi.
Secara materiil, anak tidak dapat dijadikan sebagai saksi di pengadilan, namun
dalam praktek pemeriksaan perkara pidana yang ada, anak dapat dijadikan
sebagai saksi maupun saksi korban.84
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam Putusan Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, telah terjadi tindak pidana pencabulan anak sesama
jenis kelamin dengan Terdakwa Unjat Hidayat Alias Dayat bin Amsor terhadap
83
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam
20.00 WIB.
84
Sari
Kusuma,
Keabsahan
Saksi
Anak.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksi-anak. diakses 10
januari 2013, jam 13.00 WIB.
korban Iqballudin Amalia yang masih berumur 13 (tiga belas) tahun pada hari
Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul 14.00 WIB saksi korban
dicabuli oleh terdakwa dirumah kontrakan terdakwa di desa Kalisari RT.07
RW.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.
Korban tindak pidana pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt,
yaitu Iqballudn Amalia yang diketahui bahwa umurnya masih 13 (tigabelas)
tahun yang dibuktikan dengan Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal
7 September 2005 maka dikategorikan sebagai anak dibawah umur. Hal ini
sesuai dengan definisi anak pada Pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang
anak adalah,
“Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”
Pembuktian sangat penting guna pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap85 bahwa:
“Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan
kesalahan yang didakwakan.”
Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap
peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap. Pembuktian memegang
peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan.
85
M. Yahya Harahap. Op. Cit. . hal. 273.
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebutkan, mengingat
sangat dibutuhkannya keterangan saksi untuk mengungkap setiap perkara yang
terjadi.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.”
Pada umumya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang
paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana
yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua
pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan
saksi.86
Berikut adalah beberapa syarat agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, yaitu sebagai
berikut:
e) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji.
Sesuai dengan rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP berikut:
“Sebelum memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau
janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara
agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi
akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain
dari pada yang sebenarnya.”
Sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan
keterangan, dan dilakukan menurut cara agamaya masing-masing. Menurut
86
Ibid. hal. 286.
Pasal 171 KUHAP terdapat pengecualian siapa saja yang dapat memberi
keterangan tanpa disumpah, yaitu:
Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa
sumpah ialah:
1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin;
2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali.
Berdasarkan
Putusan
Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.,
dalam
pembuktian persidangan perkara tindak pidana pencabulan anak sesama jenis
kelamin, dihadirkan para saksi termasuk saksi korban yaitu Iqballudin
Amalia, berbeda dengan saksi yang lain saksi Iqballudin Amalia tidak
dilakukan penyumpahan karena saksi korban masih berumur 13 tahun yang
dikategorikan sebagai anak dibawah umur.Hal ini tidak sesuai dengan Pasal
160 ayat (3) KUHAP yang mengharuskan saksi disumpah terlebih dahulu
sebelum memberikan keterangan, akan tetapi terdapat pengecualian yaitu
sesuai dengan Pasal 171 KUHAP bahwa :
“anak yang umurnya belum cukup limabelas tahun dan belum pernah
kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah”.
Keterangan saksi Iqballudin Amalia tersebut dapat digunakan sebagai
tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan
hakim sebagai petunjuk.
Menurut M Yahya Harahap87 untuk mempergunakan keterangan
tanpa sumpah baik sebagai “tambahan” alat bukti yang sah maupun untuk
87
Ibid. hal 293
“menguatkan keyakinan” hakim atau sebagai “petunjuk”, harus dibarengi
dengan syarat:
a. Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah,
Misalnya telah ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti
keterangan ahl, alat bukti surat atau keterangan terdakwa.
b. Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum
pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah.
c. Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat bukti
yang sah, terdapat saling persesuaian.
Dari syarat pertama dan kedua telah terpenuhi yang mana pada
Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.,alat bukti yang sah adalah
keterangan terdakwa diberkas sendiri yang diberikan dengan mengangkat
sumpah sesuai Pasal 160 ayat (3) KUHAP.
f) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan
yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP.
Keterangan yang diberikan oleh saksi korban Iqballudin Amalia adalah
keterangan yang saksi alami sendiri, ini sesuai dengan Pasal 1 butir 27
KUHAP, yaitu:
“apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi alami
sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”
Maka keterangan saksi korban Iqballudin Amalia tersebut merupakan
keterangan yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.
g) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.
Keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, apabila
dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
Apabila keterangan saksi tersebut dinyatakan diluar persidangan, maka
bukan merupakan suatu alat bukti.Sesuai dengan syarat sah diatas bahwa
keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan sudah tepat karena
semua saksi termasuk saksi korban Iqballudin amalia memberikan
keterangannya didalam sidang pengadilan.
Keterangan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 26 KUHAP sebagai
berikut:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri.”
Agar supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat
bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Dalam
putusan tersebut para saksi termasuk saksi korban Iqballudin Amalia
memberikan keterangan didalam persidangan, hal tersebut sesuai dengan
ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.”
h) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.
Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan
terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua
alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai
sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang
saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.88
Pada kasus yang ada dalam Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
saksi yang diajukan yaitu sebanyak 4 (empat) orang dan semuanya diajukan
oleh jaksa. Saksi-saksi yang diajukan adalah saksi korban yaitu Iqballudin
Amalia, serta saksi yang lain yaitu Samiati, Darti, dan Khadir Abdul Qodir,
keempat saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpah kecuali
saksi korban Iqballudin Amalia karena masih dibawah umur dan keterangan
saksi-saksi dibenarkan oleh terdakwa. Keterangan saksi korban tersebut
memiliki kesesuaian dengan alat bukti sah yang lain. Oleh karena itu
keterangan saksi Iqballudin Amalia dipergunakan sebagai tambahan alat bukti
yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk.
Dari penjelasan tersebut, apabila dihubungkan dengan Putusan Nomor
70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., maka dapat diketahui bahwa hakim mempunyai
kebebasan untuk menilai kebenaran yang terkandung dalam keterangan saksi
korban. Masing-masing saksi memenuhi syarat materiil sebagai saksi yaitu
88
Ibid. hlm. 288.
saksi telah memberikan keterangan yang ia rasakan, ia lihat dan ia alami
sendiri. Kemudian masing-masing saksi dari penuntut umum juga telah
memenuhi syarat formil karena telah diambil sumpahnya sebelum
memberikan keterangannya sehingga sah sebagai alat bukti kecuali saksi
korban anak Iqballudin Amalia karena umurnya masih 13 tahun, akan tetapi
keterangan saksi anak tersebut dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai
petunjuk. Lalu keterangan saksi-saksi tersebut dihubungkan satu dengan yang
lainnya terdapat saling persesuaian dan saling menguatkan. Kemudian di
tambah dengan keterangan terdakwa yang telah mengakui perbuatannya.
Apabila keterangan saksi dan keterangan terdakwa saling dihubungkan maka
terdapat persesuaian dan saling menguatkan sehingga menimbulkan
keyakinan hakim dengan memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana perbuatan cabul sesama jenis kelamin.
Maka dapat disimpulkan bahwa keterangan saksi korban anak dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk
menguatkan
keyakinan
hakim
sebagai
petunjuk
dan
cukup
untuk
membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah karena telah melakukan
tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, maka
dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan karena kedudukannya
sebagai saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam
pemeriksaan perkara pidana adalah kewajiban hukum bagi setiap orang
tidak terkecuali saksi korban anak Iqballudin Amalia. Dihadirkannya
saksi korban dipersidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama
jenis kelamin pada Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt adalah
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan
keyakinan hakim sebagai petunjuk karena memiliki persesuaian dengan
alat bukti yang lain. Disamping itu hadirnya saksi korban dipersidangan
berguna untuk mengungkap peristiwa tindak pidana yang telah terjadi.
2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Korban, berdasarkan keterangan
saksi korban Iqballudin Amalia yang masih dibawah umur dibuktikan
dengan Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September
2005, berumur 13 Tahun, apabila dihubungkan dengan Pasal 171
KUHAP maka kesaksiannya tidak disumpah, dengan demikian
keterangan saksi yang tidak disumpah tidak dapat dijadikan alat bukti
yang sah. Akan tetapi keterangan saksi Iqballudin Amalia dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk
menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk.
B. Saran
Penulis dalam skripsi ini memberikan saran sebagai berikut:
1. Hendaknya hakim dalam memutus perkara pidana harus memberikan
efek yang jera bagi pelakunya, karena kebanyakan korbannya adalah
anak dibawah umur yang tidak dapat membela dan melindungi dirinya
seperti orang dewasa. Maka dari itu vonis bagi para pelaku tindak pidana
pencabulan anak adalah vonis yang seberat mungkin agar tidak ada lagi
pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
2. Hendaknya hakim dalam memutus perkara memperhatikan kepentingan
si anak yang menjadi korban dengan memberikan perlindungan terhadap
hak anak yang merupakan hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abidin. Farid A.Z.,1981, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia,
Ujung Pandang: UNHAS,
Poernomo. Bambang. 1992.Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta,
Chazawi. Adami, 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Gosita, Arief . 1993, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo.
Harahap. M. Yahya, 2001Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid
I).,Jakarta : Pustaka Kartini.
Harahap. M. Yahya, 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,
Jakarta: Sinar Grafika
Hamzah. Andi, 2011.Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika.
Hiariej, O.S Eddy, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Yogyakarta : Erlangga
H. R. Abdussalam, 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa
Keadilan Masyarakat Jilid 2, , Jakarta, Restu Agung.
Ibrahim. Joni, 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu
Media Publishing.
Iswanto. Angkasa, 2011.Viktimologi , Peneribit Fakultas Hukum Universtas Jenderal
Soedirman. Purwokerto .
Lamintang. P.A.F , 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti.Bandung
Marpaung. Leden, 2004, “Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Preverensinya”,
Jakarta, Sinar Grafika
Lamintang P.A.F dan Theo Lamintang, 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar
norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan.Jakarta.Sinar Grafika.
Marpaung. Leden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, , Jakarta: Sinar Grafika.
Edisi Kedua.
Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana..Rineka Cipta. Jakarta.
Mulyadi Lilik. 2005. Pengadilan Anak di
Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung
Indonesia
Teori,
Praktek
dan
Muladi, 2005, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika
Aditama.
Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil . 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
praktek, Ghalia Indonesia,Jakarta
M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
Penjelasan Resmi, Bogor,Politeia
Prodjodikoro. R Wirjono, 1980.Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung.
. R Wirjono, 2002, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta
PT. Refika Aditama,.
Ramelan, 2006 Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya,
Jakarta,
R Soesilo. 1980,Teknik dan Penyidikan Perkara Kriminil. Politeia, Bogor.
Waluyadi.1999,Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan
Khusus), Bandung: Mandar Maju
Wirjono Prodjodikoro. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur
Bandung.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
________,Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
________,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
________,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
C. Sumber Lain
Putusan Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
Alhafizh
Muslihin,
Alat
Bukti
yang
Sah
Menurut
KUHP,
http://www.referensimakalah.com/2012/05/alat-bukti-yang-sah-menurut
kuhp_2231.html diakses 5 Nopember 2012, jam 20.00 WIB.
Bala
Usman,http//usmanbala.blogspt.com/2009/03/semua-orang-berhak diperlakukansama.html?m=1. diakses tanggal11 Juni 2013 jam 13.00 WIB
Kusuma,
Sari.
Keabsahan
Saksi
Anak.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksianak. diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB.
Putra, Ario. Kelemahan KUHAP Dari Segi Perlindungan Hukum Terhadap Saksi/Korban.
http://bahankuliahnyaryo.blogspot.com/2009/12/kelemahan-kuhap-dari-segiperlindungan.html diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB.
Iskandar.http://iskandar centre.blogspot.com/2009/06/pentingnya-perlindungan-hakhak.html?m=1diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB
Eko Budi santoso, Pengertian Anak, (online) tersedia di website http://raseko.blogspot.com/2012/12/pengrtian-anak.html?m=1 diakses tanggal 20 Maret
2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam
20.00 WIB.
Download