PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) SKRIPSI Oleh RIZAL BUSTAMI E1A008212 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh RIZAL BUSTAMI E1A008212 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H NIP. 19581019 198702 2 001 SURAT PERNYATAAN Saya, yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : RIZAL BUSTAMI NIM : E1A008212 Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) Yang saya buat ini adalah benar merupakan hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain. Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang. Purwokerto, Agustus 2013 RIZAL BUSTAMI NIM. E1A008212 ABSTRAK PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) Oleh: RIZAL BUSTAMI E1A008212 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kenapa saksi korban yang dikategorikan sebagai anak dihadirkan dalam persidangan pada putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) dan untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi korban dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin pada putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) Keterangan saksi sangat penting guna membuktikan suatu peristiwa pidana yang telah terjadi, diantara keterangan saksi tersebut terdapat saksi korban yaitu saksi yang mengalami sendiri baik secara fisik maupun mental atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu peristiwa tindak pidana. tidak sedikit saksi korban merupakan anak yang masih dibawah umur, karena lemah baik secara fisik maupun mental. Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih jelas dan bermanfaat untuk melindungi segenap warga masyarakat khususnya anak sebagai penerus bangsa agar terlindungi dari segala macam bentuk tindak pidana baik kekerasan maupun kejahatan, serta memberikan hukuman yang berat untuk memberi efek yang jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana tersebut. . Kata kunci: hukum acara pidana, pembuktian, keterangan saksi, saksi korban. ABSTRACT EVIDENCE PROVING THE VICTIM WITNESSES IN CRIMINAL CHILD ABUSE IN THE SAME-SEX NUMBER DECISION 70/PID.SUS/2011/PN.PWT.) By : RIZAL BUSTAMI E1A008212 This study aims to find out why the witnesses categorized as presented at the hearing on the decision No. 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) And to determine the strength of evidence proving the victim witnesses in criminal child abuse in the same-sex Number decision 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) Witness testimony is crucial to prove a criminal incident that have occurred, between the testimony of the witnesses that the witnesses are witnesses who are themselves both physically and mentally or economic loss caused by a criminal event. not fewer victims are children who are still under age, because of weak both physical and mental. It required legislation is clearer and useful to protect all members of society, especially children as the nation's future to be protected from all forms of both violent who and crime, as well as providing severe punishment to give a deterrent effect for anyone found guilty the offense. Keywords: criminal law, evidence, witness statements, witnesses. KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : PEMBUKTIAN KETERANGAN SAKSI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK SESAMA JENIS KELAMIN (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat berbagai kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun berkat usaha, bimbingan, dan doa serta dukungan yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak , maka skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Angkasa S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto; 2. Sanyoto, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Hukum Acara. 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I, sekaligus Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat-nasehat, ilmu-ilmu, pengalaman yang berharga, serta telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis; 4. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis; 5. Pranoto, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi, yang telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi penulis; 6. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 7. Kedua orang tua penulis, Bapak Daiman Rohman dan Ibu Siti Rokhayati yang telah memberikan semua dukungan, semangat, do‟a, nasehat dan kasih sayangnya kepada penulis selama menuntut ilmu sampai terselesaikannya penulisan skripsi ini; 8. Kakak-adik dari penulis, Muhammad Faiz Fuadi, S.H., Salisa Kartini dan Syukron Fillahikami yang telah memberikan do‟a dan motivasi selama penyusunan skripsi ini, serta seluruh keluarga besar dari penulis; 9. Sahabat-sahabat dekat Nanang Adita Permana, Sigit Priambodo, S.H., Liza Aminatuzzuhriyah, S.Kom., Alfi Dimyati, S.H., Setiarjo, S.H., Adi Kurniawan, Aji Suharto, Andika Heru Barata, Anung Pradita, Wisnu Widjanarko, Fajar Budi Zakaria, Bakhtiar Deffa, Faisal Rahmawanto, Khaerul Umam, Garli Mauhibi, Berizki Farhan, Sigit Dwi Kurniawan Asep Jaya Permana, Deni Yusuf Permana, Theo Kharismajaya, Didi Dwi Yantoro dan semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebut satu persatu; 10. Teman-teman KKN POSDAYA Dusun Purbadana Desa Kalijaran Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga (Indria Sari, Dina Frasasti, Firman, Adit, Yunika, Agvinia Aviani, Yunika, Yunita, Kukuh) yang telah menjadi keluarga baru bagi penulis. 11. Semua teman-teman di Fakultas Hukum khususnya angkatan 2008 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga apa yang telah diberikan pada penulis akan mendapatkan balasan dari Allah SWT sebagai amal ibadah. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam karya penulisan (skripsi) ini, namun dangan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Purwokerto, 26 Agustus 2013 Penulis, RIZAL BUSTAMI NIM. E1A008212 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL............................................................................i HALAMAN PENGESAHAN..............................................................ii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI............................................iii ABSTRAK.............................................................................................iv ABSTRACT...........................................................................................v KATA PENGANTAR..........................................................................iv DAFTAR ISI..........................................................................................ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................1 B. Perumusan Masalah ...............................................................7 C. Tujuan Penelitian ...................................................................7 D. Keguanaan Penelitian ............................................................7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Fungsi, Tujuan dan Azas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian Hukum Acara pidana .....................................9 2. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana ......................11 3. Azas Hukum Acara Pidana ............................................13 B. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian ..................................................28 2. Sistem Pembuktian ........................................................30 3. Bentuk-Bentuk Alat Bukti ............................................36 4. Saksi Korban...................................................................44 C. Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin 1. Pengertian Anak ............................................................45 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin.................................................................. 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ...............................................................54 B. Spesifikasi Penelitian .............................................................54 C. Sumber Data ...........................................................................55 D. Metode Pengumpulan Data ....................................................55 E. Metode Pengolahan Data .......................................................55 F. Metode Penyajian Data ..........................................................56 G. Metode Analisis Data .............................................................56 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...................................................................... 57 B. Pembahasan ............................................................................ 72 BAB V PENUTUP A. Simpulan.................................................................................. 93 B. Saran........................................................................................ 94 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang Masalah Kejahatan mengenai kesusilaan, khususnya kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur banyak terjadi dikalangan masyarakat. Banyak sekali kasuskasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri yaitu untuk melampiaskan nafsunya, tidak berfikir bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut dapat merusak masa depan anak dan mempunyai dampak yang buruk untuk perkembangan seorang anak baik dari segi fisik maupun mental. Banyak juga anak yang menjadi korban kekerasan seksual tersebut yang sampai meninggal dunia, bahkan sampai dimutilasi. Perbuatan tersebut adalah perbuatan amoral yang tidak dapat diterima dan tidak sesuai dengan nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat. Menurut Hentig1 “Anak-anak mempunyai risiko menjadi korban berbagai macam tindak pidana, disebabkan karena lemah secara fisik dan mental kepribadiannya belum matang serta belum mempunyai ketahanan yang cukup apabila harus menghadapi serangan trauma dari orang dewasa”. Korban dari perbuatan tersebut banyak mengalami kerugian diantaranya luka fisik, kerugian materi, dan kerugian psikologis. Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. 1 Iswanto, Angkasa, 2011.Viktimologi , Peneribit Fakultas Hukum Universtas jenderal Soedirman. Purwokerto .hal.30 Hal tersebut dikarenakan kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya kejahatan akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat.2 Untuk itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang jelas dan bermanfaat untuk melindungi segenap warga masyarakat khususnya anak sebagai penerus bangsa agar terlindungi dari segala macam bentuk tindak pidana baik kekerasan maupun kejahatan, serta memberikan hukuman yang berat untuk memberi efek yang jera bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana tersebut. Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada saksi/korban yaitu dengan membentuk Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai perlindungan normatif yang memberikan keadilan bagi saksi dan korban, perlindungan psikologis mengenai status hukum bagi saksi, perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi dan keluarganya dari ancaman fisik dan mental, perahasiaan identitas korban atau saksi, pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka, pemberian penghargaan atau award kepada para saksi khususnya dalam kasus tindak pidana korupsi, peningkatan harkat dan martabat korban dengan pemberian jaminan adanya pemulihan secara fisik maupun mental khususnya tindak 2 Wirjono Projodikoro, 2002,Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Refika Aditama, Jakarta: hlm. 15. kekerasan yang berkaitan dengan perempuan dan seksualitas, serta suatu mekanisme, entah bernama hukum kebiasaan, adat, solidaritas, semi autonomous social field, apapun namanya, yang dapat saling memproteksi orang-orang yang perlu diproteksi tanpa harus terlalu bergantung pada lembaga negara.3 Menurut pedoman KUHAP seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah4, bahwa: “Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.” Hukum pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian.5 Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, hakim didalam memutus suatu perkara harus didasarkan pada minimal dua alat bukti beserta keyakinan hakim, apabila hanya satu alat bukti maka hakim tidak bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hakim bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila telah menggunakan minimal dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. 3 Ario Putra, Kelemahan KUHAP Dari Segi Perlindungan Hukum Terhadap Saksi/Korban.http://bahankuliahnyaryo.blogspot.com/2009/12/kelemahan-kuhap-dari-segiperlindungan.html diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB. 4 Andi Hamzah, 2012.Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 7-8. 5 Eddy O.S. Hiariej 2012. Teori & Hukum Pembuktian. Erlangga,Jakartra hal.5 Alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu: a. b. c. d. e. Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa. Ditinjau dari perspektif sistem peradilan, perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dalam hal pembuktian ini keterangan korban merupakan hal yang sangat penting, dimana korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.6 Menurut Arief Gosita7 Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Demikian juga menurut Muladi8 Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik dan mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 6 Muslihin Alhafizh, Alat Bukti yang Sah Menurut KUHP, http://www.referensimakalah.com/2012/05/alat-bukti-yang-sah-menurut-kuhp_2231.html diakses 5 Nopember 2012, jam 20.00 WIB. 7 Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hal.40 8 Muladi, 2005, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, hal.108 Menurut Pasal 1 nomor 2, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak sebagai seseorang yang belum dewasa dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum harus dilindungi hak-haknya agar dapat tumbuh kembang secara normal dan tidak diperlakukan secara diskriminasi. Secara materiil, anak tidak dapat dijadikan sebagai saksi di pengadilan, namun dalam praktek pemeriksaan perkara pidana yang ada, anak dapat dijadikan sebagai saksi maupun saksi korban.9 Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik melakukan penelitian terhadap Putusan Pengadilan Purwokerto Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, mengenai pembuktian keterangan saksi korban di persidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, dan karena korban masih berumur 13 (tiga belas) tahun yang digolongkan sebagai anak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Maka apabila dalam memberikan keterangan di persidangan, keterangan saksi korban tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah karena korban tidak disumpah terlebih dahulu. Begitu juga dalam pemeriksaan di persidangan tersebut, saksi korban anak diperlakukan sama seperti orang dewasa pada waktu dimintai kesaksiannya atau 9 Sari Kusuma, Keabsahan Saksi http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksi-anak. januari 2013, jam 13.00 WIB. Anak. diakses 10 memberikan keterangannya, yang seharusnya penempatannya dipisahkan dari orang dewasa. Selain itu setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Terdakwa dalam putusan tersebut dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun 5 (lima) bulan karena secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 292 KUHP yaitu : “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan penjara paling lama lima tahun” Unsur objek kejahatan menurut Pasal 292 KUHP dapat ditujukan pada seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kejahatan dalam Pasal 292 KUHP, mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur Barangsiapa, 2. Unsur Orang Dewasa, 3. Unsur yang melakukan perbuatan Cabul, 4. Unsur dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pembuktian Keterangan Saksi Korban Dalam Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin”(Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.) C. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Mengapa saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt? 2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi korban di persidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin pada Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt? D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. 2. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi korban di persidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memperluas wawasan peneliti dan pembaca pada umumnya. b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya terutama ilmu hukum acara pidana, terkait pokok bahasan yang dibahas yaitu pembuktian keterangan saksi korban di persidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran bagaimana upaya pembuktian dalam persidangan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana pada terdakwa dan bermanfaat sebagai bahan informasi serta untuk pembendaharaan literatur atau bahan informasi ilmiah. menambah BAB II TINJAUAN PUSTAKA D. Pengertian Hukum Acara Pidana 4. Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana merupakan aturan mengenai cara bagaimana hukum pidana dilaksanakan. Dalam bahasa Belanda Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal (formeel strafrecht) sedangkan Hukum Pidana disebut juga hukum pidana material (materiel strafrecht). Tidak ada pengertian secara resmi, akan tetapi banyak ahli yang memberikan penjelasan mengenai hukum acara pidana, diantaranya: Menurut Simon10 dalam bukunya Mohammad Taufik makaro dan Suharsil, mengartikan bahwa: Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana material. Hukum pidana material atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapatnya dipidana, dan aturan tentang pemidanaan: mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana. Sedangkan Van Bammelen11 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah yaitu: 10 Mohammad Taufik makaro dan Suharsil . 2004.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan praktek, Ghalia Indonesia,Jakarta . hlm.1 11 Andi Hamzah..Op.Cit.hlm.6 “Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peratutan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana yaitu sebagai berikut: 1) Negara melalui alat-alat menyidik kebenaran. 2) Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. 3) Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya. 4) Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmeteriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut. 5) Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dijatuhkan kepada terdakwa dan untuk itu dijatuhkan pidana atau tindakan tata tertib. 6) Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut. 7) Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu. Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas, baik hukum pidana substansif (materiil) maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substansif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.” Menurut R. Soesilo12 dalam bukunya memberikan definisi bahwa: “Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan.” Menurut Bambang Poernomo,13 mengklasifikasikan hukum acara pidana menjadi tiga arti: a. Dalam arti sempit, yang meliputi peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai dengan putusan pengadilan, dan peraturan tentang susunan pengadilan. b. Dalam arti luas, yaitu selain mencakup dalam pengertian sempit, juga meliputi peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekedar peraturan itu ada urusannya dengan perkara pidana. c. Pengertian sangat luas, yaitu apabila materi peraturan sudah sampai pada tahap eksekusi putusan hakim (pidana) kemudian 12 R Soesilo. 1980,Teknik dan Penyidikan Perkara Kriminil. Politeia, Bogor, , hlm 3. Waluyadi.1999,Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), Bandung: Mandar Maju, ,hlm 11 . 13 dikembangkan meliputi peraturan pelaksanaan hukuman (pidana) yang mengatur tentang alternatif jenis pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pemberian pidana. KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Diberi definisi dalam Pasal 1.14 5. Fungsi dan Tujuan Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana atau hukum pidana formal mempunyai fungsi yang penting guna mendasari setiap proses dalam mencari kebenaran materiil. Setiap fungsi harus diperhatikan dan dilaksanakan secara utuh agar berjalan sesuai tujuan hendak yang dicapai. Van Bemmelen15 mengemukakan tentang fungsi hukum acara pidana bahwa, Fungsi hukum acara pidana ada tiga fungsi yaitu: 1. Mencari dan menemukan kebenaran 2. Pemberian putusan oleh hakim 3. Pelaksanaan putusan Ketiga fungsi hukum acara pidana tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah 14 Ibid. hlm.4 15 Ibid, hlm.8 menemukan kebenaran yang diperoleh melalaui alat bukti dan barang bukti itulah hakim akan sampai pada putusanyang adil dan tepat.16 Pada dasarnya setiap proses yang dilaksanakan yaitu untuk mencari kebenaran, karena para pihak menginginkan kebenaran itu terungkap. Terungkapnya kebenaran menjadikan suatu peristiwa yang telah terjadi menjadi terang dan dapat diselesaikan. Tujuan hukum acara pidana menurut pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan.”17 Kebenaran meteriil penting sebagai dasar dijalankannya hukum acara pidana. Tujuan ini tidak lepas dari kehati-hatian agar tidak ada kesewenang wenangan dari aparat dan tetep menjujunjung tinggi hak asasi manusia. Apabila tujuan tersebut tercapai, maka akan menciptakan keadilan dalam masyarakat. 16 Ibid .hlm 77 Andi Hamzah, ,Op.Cit hlm 7. 17 6. Asas Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana mempunyai asas-asas yang terkandung didalamnya sebagai dasar dibuatnya hukum acara pidana. Asas tersebut sebagai dasar dalam setiap pelaksanaan peraturan hukum acara pidana, didalamnya harus tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia karena Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin semua warganegara bersama kedudukannya didepan hukum. Asas tersebut tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuanketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.” Asas yang menjelaskan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kecuali telah diatur sebelumnya dalam perundangundangan disebut juga asas legalilitas. Menurut Andi Hamzah18 dalam bukunya menerangkan: ”Yang pertama-tama dikemukakan disini adalah asas legalitas dalam hukum acara pidana sebagai padanan asas legalitas dalam hukum pidana materiil. Jadi, bukan asas legalitas sebagai lawan asas oportunitas yang akan diuraikan tersendiri dibelakang.” Asas - asas yang ada dalam hukum acara pidana merupakan asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang harus senantiasa dijaga dan dipertahankan agar terhindar dari perlakuan yang tidak semestinya. Asas-asas yang penting yang tercantum dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut: 18 Ibid .hlm 10 a. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP, karena dalam HIR asas ini sudah tersirat dengan kata-kata yang lebih konkrit daripada yang dipakai di dalam KUHAP. Setiap orang menginginkan peradilan yang cepat sederhana dan biaya ringan tanpa adanya proses yang terlalu terbelit-belit. Asas ini mempunyai tujuan menghindari penahanan yang lama sebelum ada putusan hakim dan merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar. Berdasarkan KUHAP, dalam penjelasan umum butir 3 e dikatakan: Penjelasan umum butir 3 e dikatakan: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” dikutip dari UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang PokokPokok Kekuasaan Kehakiman.” Proses perkara yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan mempercepat tahap-tahap yang bersifat prosedural, agar tercapai efisensi kerja dengan waktu yang singkat. Proses perkara pidana yang sederhana, diartikan penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu dan dapat dimengerti oleh pihakpihak yang berperkara. Proses perkara pidana dengan biaya ringan, diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar tetapi sebaliknya hasil yang diharapkan lebih kecil.19 Penjelasan tersebut dijabarkan dalam pasal-pasal yang ada dalam KUHAP, seperti mengenai masa tahanan misalnya Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (4). Pada umumnya dalam pasal-pasal tersebut memuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini memberi rambu-rambu terhadap penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Pada Pasal 50 KUHAP yang mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa juga terdapat kalimat “segera” sebagai tanda untuk mempercepat proses penyidikan. kalimat tersebut ada pada ayat (1), (2) dan (3) yang berbunyi : (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penunutut umum. (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. 19 65-66. Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1992.hlm (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan. Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” Pasal tersebut juga terdapat kalimat “segera” yang merupakan perintah untuk segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Pasal 140 ayat (1) yang berbunyi : “Dalam hal penunutut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.” Pasal tersebut memerintahkan kepada penunutut umum untuk secepatnya membuat surat dakwaan apabila hasil penyidikannya telah lengkap. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa dalam KUHAP terdapat asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif untuk memepermudah masyarakat mendapatkan kepastian hukum. b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Asas ini dapat dilihat dari Penjelasan Umum mengenai asas butir 3c KUHAP yang merumuskan sebagai berikut: “Setiap orang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Setiap orang berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, agar hak-haknya tidak dilanggar. Menurut M. Yahya Harahap20 menyatakan bahwa “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”. Dengan asas yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusator dalam setiap pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkusitoir, yang menempatkan tersangka /terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.21 c. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia 20 M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan I).,Jakarta : Pustaka Kartini,2001, hlm. 38. 21 Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil.Op.cit.hlm. 4 KUHAP (Jilid wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 1 Angka 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 1 angka 6 butir a dan b KUHAP menyebutkan : a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundangini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang olehundangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP menyebutkan : Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yanglain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal danditandatangani serta berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jeniskelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut “dominus litis” di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya, sehingga hakim hanya menunggu penuntutan dari penuntut umum. Hak penuntutan mengenal dua asas, yaitu asas legalitas dan oportunitas (het legalities en het opportunities beginsel). Menurut asas legalitas, jaksa/penuntut umum wajib menuntut suatu delik. Sedangkan dalam oportunitas, jaksa/penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Menurut Ramelan22 dalam bukunya menyatakan bahwa : “asas opportunitas adalah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan perbuatan pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum asas opportunitas diakui dalam Pasal 35 huruf c UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.” Sedangkan menurut A.Z. Abidin Farid23 dalam bukunya yaitu: “asas opportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”. Dalam Pasal 32c UU No. 5 Tahun 1991 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oprtunitas itu dianut di Indonesia. Rumusan Pasal 32e tersebut adalah sebagai berikut: “Jaksa Agung dapat mengesampingkan berdasarkan kepentingan umum”. suatu perkara d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam 22 Ramelan, 2006 Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, hlm 10. 23 A.Z. Abidin Farid,Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, 1981, hlm 12. perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak” ayat (3). “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum” ayat (4). Sifat terbuka di sidang pengadilan dimaksudkan agar khalayak ramai dapat mengikuti dan mengawasi jalannya pemeriksaan pengadilan, bukan dalam arti masuknya orang-orang dalam ruang pengadilan. Bisa saja terjadi, seseorang yang ingin mendengarkan pemeriksaan ditolak untuk masuk ruang sidang yang luasnya terbatas, akan tetapi dapat dipersilahkan mengikuti melalui alat pengeras suara yang dipasang di halaman gedung. Kejadian demikian tidak bertentangan dengan Asas Terbuka Untuk Umum. Walaupun sidang tertutup untuk umum (seperti halnya dalam perkara kesusilaan atau terdakwanya anak-anak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP, namun keputusan hakim tetap dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.24 Selain itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 dan Pasal 195 KUHAP dengan tegas menyatakan: ”Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.” 24 Bambang Poernomo, 1992, Op.Cit, hlm 71. Semua itu ditujukan untuk adanya kontrol sosial terhadap lembaga peradilan agar tidak adanya putusan yang tidak sesuai dengan semestinya. e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim Asas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 5 ayat (1). Pasal 5 ayat (1) tersebut menyatakan sebagai berikut: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Untuk ini sering dipakai bahasa Sanskerta tan hama dharma manrua yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa).25 Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum dengan tidak melihat latar belakang orang tersebut, karena hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan dilindungi. Persamaan dihadapan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan didepan hukum bagi semua orang harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal treatment) bagi semua orang.26 25 Andi Hamzah,Op.Cit hlm 22. Usman Bala,http//usmanbala.blogspt.com/2009/03/semua-orang-berhak-diperlakukansama.html?m=1. diakses tanggal11 Juni 2013 jam 13.00 WIB 26 Asas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan keadilan bagi setiap orang dan untuk memperoleh kepastian hukum dengan tidak melihat latar belakang orang tersebut. f. Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Dasar hukum asas ini terdapat pada Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.” Pasal 69 sampai Pasal 74 KUHAP diatur mengenai bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa dengan kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut: a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa.27 27 Andi Hamzah. Opcit.hlm. 21. Akan tetapi kebebasan-kebebasan ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan ekonomi. Menurut Adnan Buyung Nasution28, sebagaimana dikutip dalam buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut: “…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk”. Tersangka atau terdakwa diberi kebebasan dalam hal bantuan hukum, sebagai dasar perlindungan terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa sebagai manusia. Asas ini bersifat universal telah diakui semua negara yang mengklaim dirinya sebagai negara yang demokratis dan beradab. sebagaimana diatur dalam The International Convention Civil and Political Rights article 14 sub 3d telah memberikan jaminan kepada tersangka/terdakwa. g. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir) Asas akusator menempatkan kedudukan yang sama terhadap tersangka atau terdakwa dengan yang memeriksa. Di dalam sistim ini berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subjek 28 Ibid., hlm. 24 pemeriksaan, sehingga konsekwensinya antara pemeriksa maupun yang diperiksa mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.29 Asas ini menempatkan kedudukan terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sehingga terdakwa atau yang diperiksa mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil. Pasal 54 KUHAP menyebutkan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” Sedangkan asas inkisitor adalah kebalikan dari asas akusator, dimana tidak adanya kedudukan yang sejajar antara pemeriksa maupun yang diperiksa. Di dalam sistim ini, tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan menempati posisi sebagai objek pemeriksaan, sehingga untuk mendapatkan data dalam rangka mencari pelaku tindak pidana yang sesungguhnya cenderung menggunakan cara yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.30 Sesuai dengaan hak-hak asasi manusia yang sudah mencapai ketentuan universal maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem 29 30 Waluyadi,.Op.Cit.hlm.62 Ibid, hlm.63 pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan ”keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.31 h. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHAP. Adapun bunyi Pasal 154 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. 2. Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. 3. Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya. 4. Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. 5. Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. 6. Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara 31 Andi Hamzah, 2012, Op.Cit hlm 25. sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. 7. Panitera mencatat laporan dan menuntut umum tentang, pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dan ayat 6 dan menyampaikanya kepada hakim ketua sidang. Pasal 155 KUHAP berbunyi sebagai berikut: 1. Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kapada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang. 2. Sesudah itu hakim ketua sidang minta kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan; Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Tetapi ini hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP).32 E. Pembuktian 5. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap. Pembuktian memegang 32 Ibid, hlm. 25. peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan. Berikut adalah pengertian pembuktian menurut beberapa ahli, Menurut Bambang Purnomo33 dalam bukunya menjelaskan tentang arti hukum pembuktian sebagai berikut: “Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan atau hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam hukum yang berlaku, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Kegitan pembuktian di harapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran mutlak sukar di temukan. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang di susun dan di dapatkan dari jejakan, kesan dan refleksi dari keadan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan, berkaitan dengan masa lalu yang di duga menjadi tindak pidana.” M. Yahya Harahap34 dalam bukunya menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembuktian adalah: “ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa” Alfitra35 dalam bukunya menjelaskan tentang hukum pembuktian yaitu sebagai berikut: “Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan 33 Bambang Purnomo,.Op.Cit. hlm. 52 M. Yahya Harahap, 2009.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika,.hlm. 273 35 Alfitra, S.H.,M.H., 2011 Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses, , hlm. 21. 34 dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.” Pembuktian sebagai proses yang harus dilalui guna menjadikan terang suatu perkara dan menemukan fakta-fakta yang sebenarnya agar dapat diperoleh kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam proses persidangan. Pada pembuktian tersebut juga diatur mengenai syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian. 6. Sistem Pembuktian Sistem pembuktian menurut Alfitra36 adalah: “Pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan serta dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya didepan sidang pengadilan.” Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Sistem pembuktian di dalam KUHAP terdapat empat macam, yaitu: a. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif Sistem ini menganut pembuktian menurut undang-undang secara positif, menggunakan alat-alat bukti yang dianut oleh undangundang disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang 36 Ibid. hlm. 28. secara positif (positief wettelijk bewijstheori). Dikatakan secara positif karena didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakunan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formale bewijstheorie).37 Menurut D. Simons38 menjelaskan bahwa, “ Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.” Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim akan menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai denan keyakinan masyarakat.39 Pembuktian sistem ini bertolak belakang dengan pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu, dimana keyakinan hakim tidak punya andil untuk membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hanya menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 37 Ibid. hlm.251 Ibid. 39 Wirjono Prodjodikoro. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung. hlm. 75. 38 b. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu Bertolak belakang dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang melulu. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu menggunakan keyakinan atau hati nurani hakim untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadangkadang tidak menjamin terdakwa telah benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu diperlukan juga keyakinan hakim sendiri.40 Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu.41 c. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonne). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan 40 Andi Hamzah. Op.Cit. hlm. 252 Ibid. hlm. 252 41 (conclusive) yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.42 Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).43 Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktin ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasanalasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi reasonning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable” yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus memiliki dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Bukan semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.44 42 Ibid. hlm. 253 Ibid. 44 M. Yahya harahap. Op. Cit. hlm. 278. 43 d. Teori Pembuktian Berdasarkan Kepada Undang-Undang Secara Negatif Sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undangundang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.45 Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya.” Pasal 183 KUHAP tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat alat bukti tersebut. Dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang undang negatif (negatief wettelijk bewijsteorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons) yaitu pada peraturan undang undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut 45 Ibid. undang undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada undang undang.46 Prinsip umum pembuktian bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, antara lain: Pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa : “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadannya. Asas ini dikenal dengan istilah”satu saksi bukan saksi” (unus testis nullus testis).” Asas Negatif Wettelijk tercermin pula secara nyata pada Pasal 189 ayat(4) KUHAP, bahwa berdasarkan “pengakuan salah yang diucapkan terdakwa”, hakim tidak boleh menghukum terdakwa. “pengakuan salah yang di ucapkan terdakwa” tanpa alat bukti lain, merupakan alat pembuktian yang tidak lengkap. Untuk lebih jelasnya terdapat pada : Pasal 189 ayat (4) KUHAP : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa iabersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkanharus disertai dengan alat bukti yang lain.‟ 46 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 256 7. Bentuk-Bentuk Alat Bukti Menurut Pasal 183 KUHAP bahwa: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Ketentuan pasal ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam mencari kebenaran harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah beserta keyakinan hakim, karena apabila tidak cukup bukti maka tidak dapat dipidana. Bentuk-bentuk alat bukti yang sah, ada dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. b. c. d. e. Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. 1) Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebutkan, mengingat sangat dibutuhkannya keterangan saksi untuk mengungkap setiap perkara yang terjadi. Pentingnya saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam KUHAP Pasal 1 angka 26 bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Pada umumya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.47 Berikut adalah beberapa syarat agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut: a) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Sesuai dengan rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP berikut: “Sebelum memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.” Sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan, dan dilakukan menurut cara agamaya 47 M.Yahya Harahap.Op.Cit hal. 286. masing-masing. Menurut Pasal 171 KUHAP terdapat pengecualian siapa saja yang dapat memberi keterangan tanpa disumpah, yaitu: Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: 1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali. Ketentuan mengharuskan dalam saksi Pasal disumpah 160 ayat terlebih (3) KUHAP dahulu sebelum memberikan keterangan, akan tetapi terdapat pengecualian yaitu sesuai dengan Pasal 171 KUHAP bahwa anak yang umurnya belum cukup limabelas tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah. b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yaitu: “apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, apabila dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Apabila keterangan saksi tersebut dinyatakan diluar persidangan, maka bukan merupakan suatu alat bukti. Keterangan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 26 KUHAP sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Agar supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.48 2) Keterangan Ahli Sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang pengertian ahli dijelaskan dalam KUHAP. Pasal 1 angka (28) KUHAP berbunyi : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pasal 186 KUHAP berbunyi : “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan didepan sidang pengadilan”. Menurut M. Yahya Harahap49, apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah: a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai “keahlian khusus” tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa, b) Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan, yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang. Patut diperhatikan bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 48 49 Ibid. hlm. 288. Ibid.hlm. 299 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP).50 3) Alat Bukti Surat Pasal 187 KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan sumpah terdiri dari empat ayat sebagai berikut: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Surat resmi yang dimaksud oleh Pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP. Jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, alat bukti surat dapat berupa keterengan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Laporan tersebut mencakup didalamnya visum et repertum, yang 50 Ibid.hlm. 274. sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam Staatblat 1937-350.51 4) Petunjuk Penerapan alat bukti petunjuk oleh hakim dalam praktik hendaknya digunakan dengan hati-hati karena sangat dekat dengan sifat kewenangan yang dominan dalam penilaian yang bersifat subjektif sekali. Oleh karena itu, hakim dalam menggunakan alat bukti petunjuk harus penuh kearifan dan bijaksana dan berdasarkan hati nurani.52 Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” M. Yahya Harahap53 memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata mengenai petunjuk, yaitu : “petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.” Pasal 188 ayat (2) KUHAP memberi batasan bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. 51 Alfitra, Op.cit. hlm. 89 Ibid. hlm. 102 53 Mohammad Taufik makaro dan Suharsil .Op.Cit. hlm.129 52 Pasal 188 angka (3) KUHAP berbunyi : “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya” Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang lain, di mana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian petunjuk adalah bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. dia tetap terikat pada prinsip minimum pembuktian.54 5) Keterangan Terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.55 Metode pemeriksaan terdakwa yang dianut KUHAP, secara “akkusatur”, sejalan dengan pengakuan KUHAP terhadap hak asasi terdakwa sebagai seorang yang harus diperlakukan sebagai manusia, diantaranya harus bersikap dan menempatkan terdakwa dalam kedudukan “praduga tak bersalah” dalam setiap pemeriksaan.56 54 Ibid. hlm. 130. Yahya Harahap.Op.cit. hlm. 318 56 Ibid. hlm. 319 55 Keterangan terdakwa dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yaitu: “Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang pengadilan tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau yang terdakwa ketahui sendiri atau alami sendiri”. Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan, dan apa yang ia alami. Keterangan tersebut dalam suasana yang lebih bebas dari tekanan.57 8. Saksi Korban Pentingnya saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian perkara pidana disebutkan dalam KUHAP Pasal 1 angka 26 bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, korban adalah: “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Sesuai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa saksi korban sendiri adalah orang yang mengalami sendiri baik penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi, yang ia dengar sendiri dan ia lihat 57 Alfitra, Op.cit. hlm. 119 sendiri, baik tentang suatu tindak pidana yang kemudian ia dapat memberikan keterangan didepan sidang pengadilan guna kepentingan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk mencari kebenaran materiil. F. Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin 1.Pengertian Anak Pengertian anak menurut hukum positif Indonesia diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij).58 Hukum positif Indonesia tidak mengatur secara baku mengenai pengertian anak karena tidak ada unifikasi hukum dan yang berlaku universal. Dimana pengertian anak tersebut terdapat dalam beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 47 ayat (1), merumuskan; “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Pasal 50 ayat (1), merumuskan: 58 Lilik Mulyadi.. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung 2005,.hlm. 4. “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.” Menurut konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang merumuskan sebagai berikut: “Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Dalam kedudukan demikian, anak memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 butir 1, merumuskan; “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam undang-undang ini pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam undang-undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat, dan anak asuh. Anak merupakan generasi penerus berlangsungnya kehidupan manusia dalam hal ini Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 menerangkan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha esa, yang dalam dirinya melekat harkat martabat sebagai manusia seutuhnya. Hal tersebut diatas sama juga dengan pengertian menurut Konvensi Hak anak (KHA) definisi anak adalah manusia yang umurnya belum 18 tahun. Pendapat lain Menurut john Locke anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Dan menurut agustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak adalah manusia yang belum dewasa yang umunya berumur dibawah 18 tahun dan masih rentan terhadap kesalahan sehingga perlu pengawasan dari manusia dewasa.59 2. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis kelamin Istilah tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan strafbaar feit, tidak ada pengertian secara baku oleh undang-undang mengenai istilah tindak pidana tersebut. Pengertian istilah tindak pidana dapat diambil dari pendapat atau doktrin para ahli. Istilah lain dari tindak pidana antara lain adalah perbuatan pidana, peristiwa pidana dan delik. 59 Eko Budi santoso, Pengertian Anak, (online) tersedia di website http://raseko.blogspot.com/2012/12/pengrtian-anak.html?m=1 diakses tanggal 20 Maret 2013 Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam KUHP tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.60 Menurut Pompe61 dalam bukunya Lamintang, yaitu : “perkataan “strafbaar feit” secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.” Sedangkan menurut Simons62, merumuskan : “perkataan “strafbaar feit” sebagai suatu “tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. Menurut Moeljatno63, tentang perbuatan pidana adalah: “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” Unsur atau elemen perbuatan pidana menurut Moeljatno64 adalah: a. b. c. d. 60 Kelakuan dan akibat ( = perbuatan) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Unsur melawan hukum yang objektif Lamintang, P.A.F , 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti.Bandung.hlm.181 61 Ibid,hlm.182 62 Ibid,hlm.185 63 Moeljatno. 2009.Asas-Asas Hukum Pidana..Rineka Cipta. Jakarta.hlm 59 64 Ibid,hlm.69 e. Unsur melawan hukum yang subjektif. Berdasarkan pengertian diatas, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan pidana, harus berdasarkan asas legalitas yaitu asas yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, bahwa setiap peraturan yang menganjurkan atau melarang kepada warga negara harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Asas legalitas terkandung dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Legi Peonali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.65 Asas legalitas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus diajukan kedepan hakim, Dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan tersebut untuk mencegah tindakan - tindakan yang tidak dapat dipertanggunjwabkan secara hukum, dan untuk melindungi setiap warga negara dari perbuatan sewenang-wenang. Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV Buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289 sampai 65 Mohammad Taufik makaro dan Suharsil..Op.cit.hlm. 2 Pasal 296 KUHP, yang selanjutnya dikatagorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Sedangkan tindak pidana pencabulan terhadap anak yang diatur dalam KUHP diatur pada Pasal 290 KUHP, Pasal 292 KUHP, Pasal 293 KUHP, Pasal 294 KUHP, Pasal 295 KUHP. Dan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur pada Pasal 82. KUHP tidak memberikan definisi secara konkrit mengenai pengertian tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin. Tindak pidana perbuatan cabul terhadap orang sesama kelamin dan belum dewasa diatur dalam Pasal 292 KUHP yaitu: "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun" Sedangkan dalam Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab XII mengenai ketentuan pidana, dalam pasal 82 UndangUndang tersebut dirumuskan bahwa perbuatan cabul adalah, "setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, mamaksa, melakukan tipu muslihat,serangkain kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 dan paling sedikit Rp 60.000.000. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia66 adalah: 66 Departeman pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hlm. 142. “Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun ( tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzina, melakukan tindak pidana susila, mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno, keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan, kesopanan).” Perbuatan cabul selalu terkait dengan perbuatan tubuh atau bagian tubuh terutama pada bagian-bagian yang dapat merangsang nafsu seksual, misalnya alat kelamin, buah dada, mulut, dan sebagainya yang dipandang melanggar kesusilaan umum.67 Tindak pidana pencabulan termasuk kejahatan yang melanggar kesusilaan. Perbuatan cabul merupakan segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.68 Perbuatan cabul dan pelecehan seksual termasuk pelanggaran terhadap kesusilaan. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat 67 Adami Chazawi, 2007,Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm 82. 68 .Leden Marpaung, 2004, “Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Preverensinya”, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 64 alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.69 Unsur objek kejahatan yang menurut Pasal 292 KUHP dapat dtujukan pada seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kejahatan dalam Pasal 292 KUHP, mempunyai unsur-unsur: a. unsur-unsur subjektif : yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga b. unsur-unsur objektif : 1) seorang dewasa 2) melakukan tindakan pelanggaran kesusilaan 3) seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama 4) kebelumdewasaan. Dari kenyataan bahwa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP itu, undang-undang telah mensyaratkan dua macam unsur subjektif secara bersama-sama, masing-masing yakni unsur „yang ia ketahui‟ yang menunjukkan bahwa undang-undang mensyaratkan keharusan adanya unsur „dolus‟ atau unsur „opzet‟ pada diri pelaku, dan unsur yang sepantasnya harus dapat ia duga yang menunjukkan bahwa pada saat yang sama, undang-undang juga mensyaratkan keharusan adanya unsur culpa atau 69 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam 20.00 WIB. unsur schuld pada diri pelaku, maka didalam doktrin biasanya orang menyebut ketentuan pidanan seperti yang diatur dalam Pasal 292 KUHP sebagai ketentuan pidana yang mempunyai unsur-unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa.70 70 Lamintang P.A.F dan Theo Lamintang, ,Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan.Jakarta.Sinar Grafika. 2009.hlm.154. BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.71 Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah aturan hukum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pendekatan kasus (Case Approach) digunakan karena yang akan diteliti adalah kasus yang telah diputus oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Menurut Johnny Ibrahim72, dalam bukunya mengatakan bahwa : “Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dan sisi normatifnya. Logika keilmuwan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.” B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian preskriptif. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki73 , bahwa: 72 Joni Ibrahim,2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu media Publishing, hlm. 295. “Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.” C. Sumber Data Penelitian ini berguna untuk mendapatkan hasil yang obyektif, yaitu dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), buku-buku literatur dan data-data lain yang relevan dengan objek penelitian serta Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kepustakaan, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, karya ilmiah sarjana dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. E. Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang digunakan adalah metode reduksi, yaitu dengan cara memilih, merangkum, mefokuskan hal-hal yang pokok dan penting dari sekumpulan bahan hukum, dengan disusun secara sistematis agar mudah dipahami. 73 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya : Kencana Perdana Media Group, 2007, hal 22 F. Metode Penyajian Data Metode penyajian data yang digunakan adalah dengan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya, disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G. Metode Analisis Data Analisis tehadap bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.74 Bahan hukum yang ada dianalisis untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi korban anak dalam tindak pidana pencabulan anak dan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa pada putusan No.70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 74 Ibid, hlm. 393. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Terdakwa di dalam perkara No: 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt,: Nama lengkap : UNJAT HIDAYAT alias DAYAT bin ANSOR; Tempat lahir : Kuningan; Umur/Tanggal lahir : 63 Tahun/ 1Juli 1948; Jenis kelamin : Laki-laki; Kebangsaan : Indonesia; Tempat tinggal : Desa kalisari, RT.07 RW. 01 Kecamatan Cilongok, Kabupaten RT.01/01 Banyumas Desa atau Parung, Dusun Kecamatan Babakan Darma, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Agama : Islam; Pekerjaan : Dagang; Pendidikan : SD; 2. Duduk Perkara Mula-mula pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul 14.00 WIB Terdakwa Unjat Hidayat alias Dayat menelpon saksi korban Iqballudin Amalia meminta saksi korban supaya datang kepada terdakwa , karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi korban pergi menemui terdakwa ke rumah kontrakan terdakwa setelah di rumah kontrakan terdakwa, kemudian terdakwa segera mengunci semua pintu rumah kontrakannya, lalu mendekati saksi korban dan minta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya, kemudian saksi korban menuruti perintah terdakwa melepas celana pendek seragam SMP warna biru bagian luar dan celana dalamnya warna merah muda hingga telanjang bagian bawahnya dengan membiarkan kaos warna abu-abu bertuliskan “ICA BOB” yang ia pakai, sedangkan saksi korban tidak melakukan perlawanan karena merasa takut dikerasi. Setelah itu terdakwa mengolesi telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran di depan dan terdakwa duduk disampingnya. Setelah sekitar dua menit terdakwa mengocok alat kelamin saksi korban mengeluarkan sperma. Kemudian terdakwa meminta saksi korban untuk memegang alat kelamin terdakwa, namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk pulang. Terdakwa sudah mengetahui dan menyadari bahwa saksi korban adalah anak masih dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun. Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya terdakwa sudah pernah sejumlah empat kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap saksi korban. 3. Dakwaan Jaksa Penunutut Umum Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka terdakwa diduga melakukan tindak pidana sebagaimana didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif dalam dakwaan Nomor REG.PERKARA-PDM- 127/PKRTO/Epp.2/09/2011, tertanggal 29 Nopember 2011, yaitu sebagai berikut: Kesatu : Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang merumuskan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).” ATAU Kedua : Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merumuskan: “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” 4. Pembuktian Di persidangan hakim memerlukan beberapa alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa yaitu: 4.1 Keterangan Saksi-Saksi Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan mengajukan 4 (empat) orang saksi, dan memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Saksi Korban Iqballudin Amalia Pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul 14.00 WIB saksi korban dicabuli oleh terdakwa dirumah kontrakan terdakwa di desa Kalisari RT.07 RW.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Sebelumnya saksi korban sempat bertemu terdakwa sedang makan diwarung milik nenek saksi kemudian terdakwa bilang kepada saksi untuk main kerumahnya nanti karena mau diberi oleh-oleh dari kuningan berupa kerupuk dan saksi merasa senang sehingga saksi langsung mendatangi rumah terdakwa untuk mengambil oleholeh yang dijanjikan. Setelah saksi korban masuk kedalam rumah, terdakwa langsung mengunci seluruh pintu rumah kemudian menyuruh saksi membuka celana pendek dan celana dalam yang dikenakan saksidengan alasan mau mengecek saksi korban sudah dewasa apa belum, setelah celana celana lepas terdakwa langsung mengocok-ngocok kemaluan saksi sehingga mengeluarkan sperma dengan posisi saksi berdiri dan posisi terdakwa duduk disofa sambil mengocok kemaluan saksi. 2. Saksi Samiati Saksi Samiati yaitu ibu dari saksi korban tidak mengetahui kejadiannya, karena waktu itu saksi mengikuti suami yang tinggal di Batam. Saksi mengetahui kejadian tersebut setelah pulang dari Batam karena saksi korban telah menceritakan apa yang telah dialaminya bahwa Terdakwa unjat telah mengocokngocok kemaluan saksi korban sampai mengeluarkan sperma. Saksi kaget mengingat pelakunya adalah orang yang dikenal saksi dan bertetangga dekat. Setelah itu saksi langsung melaporkan terdakwa ke Polisi untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, saksi memohon proses hukum berjalan sebagaimana mestinya meskipun secara kekeluargaan saksi telah memaafkan Terdakwa. Saksi tidak pernah curiga sebelumnya karena Terdakwa dekat dengan keluarga saksi sehingga sasksi percaya. Saksi mengetahui pekerjaan Terdakwa yaitu berjualan pakaian keliling kampung dan suka mengajar anak-anak mengaji. Setelah kejadian tersebut saksi berencana membawa anak saksi pindah ke Batam. 3. Saksi Darti Saksi Darti yaitu nenek saksi korban sebelumnya tidak tahu, setelah diperhatikan ada perubahan tingkah laku cucu saksi yaitu setiap pulang sekolah masuk kamar tidak mau keluar setiap ditanya selalu menangis dan jawabnya “embuh” (cucu saksi tidak mau bilang terus terang). Saksi selalu berusaha supaya cucu saksi mau mengatakan kejadian yang sebenarnya dan ternyata setelah didesak cucu saksi mengatakan bahwa ia telah dicabuli oleh orang yang dikenalnya yaitu Terdakwa Unjat. terdakwa menyuruh saksi korban melepas celananya kemudian mengocok-ngocok kemaluannya sampai mengeluarkan sperma. Saksi korban mengatakan kepada saksi sebelum ibunya pulang dari batam.Saksi dan anak saksi (Ibu kandung saksi korban) setelah datang dari Batam melaporkan terdakwa ke Polisi untuk diproses lebih lanjut.Menurut saksi Terdakwa tidak tinggal bersama isteri dirumah kontrakannya. 4. Saksi Khadir Abdul Qodir Saksi adalah adik ipar Terdakwa. Sama sekali tidak tahu menahu tentang apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, tahutahu Terdakwa dijemput oleh polisi. Bahwa kelakukan seharihari Terdaka baik dan suka mengajar anak-anak mengaji, Saksi tidak pernah dengar sebelumnya terdakwa ada kasus dengan orang lain pekerjaan sehari-hari Terdakwa pedagang pakaian keliling kampung. Terdakwa juga suka diminta untuk mengobati orang sakit dengan cara bekam, banyak orang yang datang untuk memakai jasanya untuk bekam. praktek yang dilakukan terdakwa tidak menggunakan mantra-mantra hanya menggunakan alat sedotan susu. 4.2 Petunjuk Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, merumuskan pengertian petunjuk sebagai berikut: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, meupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Selanjutnya dalam ayat (2) nya menyatakan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari keterangan terdakwa sendiri.Bahwa pada hari Selasa, tanggal 13 September 2011 sekitar jam 14.00 WIB di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas telah terjadi perbuatan pencabulan sesama jenis terhadap anak dibawah umur yang telah dilakukan Terdakwa Unjat Hidayat als. Dayat bin Amsor. Pada mulanya Terdakwa menelepon saksi korban Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono meminta saksi korban supaya datang kepada Terdakwa karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi korban pergi menemui Terdakwa ke rumah kontrakan Terdakwa. Setelah dirumah kontrakkan Terdakwa di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas, kemudian Terdakwa menyuruh saksi korban untuk masuk keruang tengah rumah kontarkkan tersebut. Setelah itu Terdakwa segera mengunci semua pintu rumah kontrakkan lalu mendekati saksi korban dan meminta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya, kemudian saksi korban menuruti perintah terdakwa melepas celana pendek seragam SMP warna biru bagian luar dan celana dalamnya warna merah muda hingga telanjang bagian bawahnya dengan membiarkan kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob” yang ia pakai, sedangkan saksi korban tidak melakukan perlawanan karena merasa takut dikerasi. Setelah itu terdakwa mengolesi telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran didepan dan terdakwa duduk disampingnya yang diketahui terdakwa berjenis kelamin sama dengan Terdakwa untuk dicabuli Terdakwa yaitu laki-laki dan laki-laki. Setelah sekitar dua menit Terdakwa mengocok alat kelamin saksi korban mengeluarkan sperma. Kemudian Terdakwa meminta saksi korban untuk memegang alat kelamin Terdakwa namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk pulang. Terdakwa menyadari bahwa saksi korban adalah anak masih dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun dan masih sekolah di SMP. Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya Terdakwa sudah pernah sejumlah tiga kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap saksi korban. Berdasarkan ketentuan KUHAP tersebut di atas dikaitkan dengan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan baik dari keterangan para saksi maupun dari keterangan terdakwa sendiri,maka terdapat adanya persesuaian keadaan baik antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lainnya maupun adanya persesuaian antara keterangan saksi dengan keterangaan terdakwa serta persesuaian antara keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat yang ada. Sehingga dapat dipergunakan sebagai petunjuk. 4.3 Keterangan Terdakwa Keterangan Terdakwa Unjat Hidayat Alias Dayat bin Amsor pada intinya memberikan keterangan sebagai berikut : Terdakwa telah melakukan perbuatan cabul kepada saksi korban Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 di kontrakkan terdakwa Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Awalnya Terdakwa menelepon saksi korban Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono meminta saksi korban supaya datang kepada Terdakwa karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi korban pergi menemui Terdakwa ke rumah kontrakan Terdakwa. Setelah dirumah kontrakkan Terdakwa di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas., kemudian Terdakwa menyuruh saksi korban untuk masuk keruang tengah rumah kontarkkan tersebut. Setelah itu Terdakwa segera mengunci semua pintu rumah kontrakkan lalu mendekati saksi korban dan meminta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya, kemudian saksi korban menuruti perintah terdakwa melepas celana pendek seragam SMP warna biru bagian luar dan celana dalamnya warna merah muda hingga telanjang bagian bawahnya dengan membiarkan kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob” yang ia pakai, sedangkan saksi korban tidak melakukan perlawanan karena merasa takut dikerasi. Setelah itu terdakwa mengolesi telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran didepan dan terdakwa duduk disampingnya yang diketahui terdakwa berjenis kelamin sama dengan Terdakwa untuk dicabuli Terdakwa yaitu laki-laki dan laki-laki. Setelah sekitar dua menit Terdakwa mengocok alat kelamin saksi korban mengeluarkan sperma.Kemudian Terdakwa meminta saksi korban untuk memegang alat kelamin Terdakwa namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk pulang. Terakwa menyadari bahwa saksi korban adalah anak masih dibawah umur sekitar 13 (tigabelas) tahun dan masih sekolah di SMP. Disamping itu pada waktu-waktu sebelumnya Terdakwa sudah pernah sejumlah tiga kali juga pernah melakukan perbuatan cabul terhadap saksi korban. 5. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa Unjat Hidayat Als. Dayat bin Amsor dengan tuntutan yang pada intinya sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa Unjat Hidayat Als. Dayat bin Amsor terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencabulan”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 292 KUH Pidana 2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Unjat Hidayat Als. Dayat bin Amsor, selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, dikurangi selama Terdakwa menjalani masa tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan 3. Menyatakan barang bukti : - 1 (satu) buah kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob” - 1 (satu) buah celana pendek seragam SMP warna biru - 1 (satu) buah celana dalam warna merah muda, dikembalikan pada saksi korban Iqballudin Amalia - 1 (satu) buah “handbody merek MARINA, dirampas untuk dimusnahkan 4. Menetapkan supaya Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,-- (Seribu Rupiah) 6. Putusan Pengadilan 6.1 Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap dakwaan penuntut umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis akan mempertimbangkan fakta di persidangan yang pembuktiannya lebih mengarah kepada dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 292 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Orang Dewasa; 2. Melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama; 3. Sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu ; Ad. 1. Unsur Orang Dewasa : Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan orang dewasadalam penjelasan Pasal 292 KUHP, yaitu telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan tetapi sudah pernah kawin ; Menimbang, bahwa sesuai dengan identitas, Terdakwa lahir pada 1 Juli 1948/63 tahun, sebagaimana pula dibenarkan oleh Terdakwa dipersidangan dan keterangan saksi-saksi; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur orang dewasa telah terpenuhi. Ad. 2. Unsur Melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama : Menimbang, bahwa dalam unsur ini merupakan alternatif, yaitu terdapat beberapa pilihan perbuatan, sehingga apabila dalam pertimbangan Majelis, salah satu perbuatan dinyatakan telah terpenuhi, maka selebihnya tidak perlu dipertimbangkan ; Menimbang, bahwa dalam penjelasan Pasal 289 KUHP, yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsuu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dsb, termasuk juga onani ; Menimbang, bahwa kejadian dalam perkara ini yaitu pada hari Selasa tanggal 13 September 2011, sekitar pukul 14.00 WIB, bertempat di Desa Kalisari Rt.07 Rw.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Menimbang, bahwa Terdakwa menelepon saksi korban Iqballudin Amalia bin Yugo Cahyono meminta saksi korban supaya datang kepada Terdakwa, karena akan diberikan oleh-oleh dari Kuningan yang dijanjikan untuk saksi korban yaitu berupa kerupuk, lalu saksi orban menemui Terdakwa kerumah kontrakkan Terdakwa ; Menimbang, bahwa Terdakwa menyuruh saksi untuk masuk keruang tengah rumah tersebut, setelah itu Terdakwa segera mengunci semua pintu rumah kontrakkannya, lalu mendekati saksi korban dan minta untuk membuka celana pendek bagian luar dan celana dalamnya; Menimbang, bahwa Terdakwa mengolesi telapak tangannya menggunakan lotion, lalu memegang dan mengocok alat kelamin saksi korban selama sekitar dua menit dengan posisi saksi korban tiduran didepan dan Terdakwa duduk disampingnya sampai keluar sperma ; Menimbang, bahwa kemudian Terdakwa meminta saksi korban untuk memgang alat kelamin Terdakwa, namun hanya sebentar saksi korban sudah meminta untuk pulang ; Menimbang, bahwa saksi korban berjenis kelamin laki-laki, berumur sekitar 13 (tigabelas) tahun, sesuai dengan Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September 2005 ; Menimbang, bahwa perbuatanTerdakwa mengocok-ngocok kemaluan saksi korban hingga keluar sperma dan perbuatan Terdakwa menyuruh saksi korban untuk memegang kemaluan Terdakwa menimbulkan kepuasan Terdakwa memenuhi hasratnya sedangkan Terdakwa mengetahui saksi korban masih dibawah umur, sehingga dengan demikian unsur melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama telah terpenuhi ; Ad. 3. Unsur sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu : Menimbang, bahwa sebagai tetangga, Terdakwa tahu pasti saksi korban masih duduk dibangku SMP atau setidak-tidaknya masih dibawah umur, yaitu sesuai Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September 2005, berumur 13 Tahun ; Menimbang bahwa terlebih pada waktu kejadian, Terdakwa memanggil saksi korban kerumahnya dengan masih mengenakan celana seragam SMP ; Menimbang, bahwa dengan demikian unsur sedang diketahuinya hal belum dewasa itu telah terpenuhi ; Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa mampu bertanggungjawab, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang didakwakan terhadap diri Terdakwa oleh karena itu harus dijatuhi pidana ; Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan : Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan Terdakwa membuat trauma saksi korban ; Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa berterus terang, menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi ; - Terdakwa belum pernah dihukum - Terdakwa sudah berusia lanjut ; 6.2 Amar Putusan 1) Menyatakan Terdakwa Unjat Hidayat alias Dayat bin Amsor terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin yang diketahuinya belum dewasa” ; 2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 5 (lima) bulan ; 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4) Menyatakan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ; 5) Memerintahkan barang bukti berupa : - 1(satu) buah kaos warna abu-abu bertuliskan “ica bob” - 1 (satu) buah celana pendek seragam SMP warna biru - 1 (satu) buah celana dalam warna merah muda, Dikembalikan pada saksi korban Iqballudin Amalia - 1 (satu) buah “handbody merek Marina” ; Dirampas untuk dimusnahkan ; 6) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-(seribu rupiah). B. Pembahasan 1. Tentang Alat Bukti Saksi Korban Anak Yang Dihadirkan Dalam Persidangan Pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt Kejahatan mengenai kesusilaan, khususnya kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur banyak terjadi dikalangan masyarakat. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur dengan tujuan untuk kepentingannya sendiri yaitu untuk melampiaskan nafsunya, tidak berfikir bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut dapat merusak masa depan anak dan mempunyai dampak yang buruk untuk perkembangan seorang anak baik dari segi fisik maupun mental. Dalam hal ini, pelaku harus mempertanggungjawabkannya dihadapan hukum dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya pelaku harus dapat dibuktikan secara hukum. Aparat penegak hukum mempunyai tugas untuk membuktikan siapa pelakunya, apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, dan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penyidik harus melakukan serangkaian proses untuk membuktikannya agar menjadi terang suatu perkara pidana dalam hal ini Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Hakim bisa menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila telah menggunakan minimal dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Untuk menghadirkan saksi korban yang masih dikategorikan sebagai anak, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para penegak hukum harus menerapkan aturan yang sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam undang-undang secara spesifik sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generale (undang-undang khusus mengkesampingkan undangundang yang lama). Sesuai dengan penjelasan diatas dan berdasarkan putusan Nomor. 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., dikaitkan dengan KUHAP dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban mengenai dihadirkannya saksi korban anak di persidangan dalam putusan tersebut. Mengingat bahwa seorang anak tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana begitu juga pemeriksaan di persidangan antara saksi anak dan saksi orang dewasa tidak bisa disamakan atau diperlakukan sama karena terdapat perbedaan secara fisik dan mental antara anak dengan orang dewasa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam Perkara Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. penuntut umum telah mengajukan alat bukti keterangan saksi berjumlah 4 (empat) orang. Diantara saksi-saksi tersebut terdapat saksi anak yang sekaligus menjadi korban. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang merumuskan: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Pasal 1 angka 26 KUHAP merumuskan: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Terkait dengan tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka penyidik melakukan serangkaian upaya untuk mencari bukti-bukti yang dapat mengungkap suatu perkara pidana yang ada dalam Putusan Nomor :70/Pid.sus/2011/PN.Pwt.yaitu berupa menghadirkan 4 (empat) orang saksi termasuk saksi korban anak dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, guna membuktikan kesalahan terdakwa bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu. Namun dalam pembuktiannya tetap harus ada kesesuaian dengan alat bukti lain yang dihadirkan di persidangan. Pasal 1 angka 27 KUHAP merumuskan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alam sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya.” Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.75 Seperti penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP, memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kewajiban hukum bagi setiap orang. Kecuali saksi yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP sebagai berikut: 1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajad ketiga dari terdakwa atau yang bersamasama sebagai terdakwa; 2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga meraka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajad ketiga; 3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 75 M.Yahya Harahap.Op.Cithal. 286. Keterangan saksi yang pertama kali didengar adalah saksi korban, yaitu saksi sekaligus korban dalam suatu tindak pidana. Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap dan menjadi terang. Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan. Sesuai dengan pendapat Alfitra76 dalam bukunya yang menjelaskan tentang hukum pembuktian yaitu sebagai berikut: “Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis dipersidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.” Berdasarkan Putusan Nomor :70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., dalam pembuktian persidangan perkara tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, penunutut umum menghadirkan para saksi termasuk saksi korban anak yaitu Iqballudin Amalia. Saksi korban anak dalam memberikan keterangan dihadirkan dalam persidangan karena keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, apabila dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 160 huruf b dan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Pasal 160 huruf b : 76 Alfitra, Opcit,, hlm. 21. “ Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.” Pasal 185 ayat (1) : “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Suatu hal yang penting dalam menggali keterangan saksi adalah sesuatu yang merujuk pada keterangan saksi yang diberikan dan seberapa jauh dapat meyakinkan semua pihak seperti penyidik, penuntut dan majelis hakim. Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari daya guna kesaksian dan keterkaitan saksi tersebut. Keterangan saksi harus berhubungan, tidak bisa berdiri sendiri, karena keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan. Dalam sidang pengadilan memang yang pertama-tama dipanggil masuk dan diperiksa itu adalah terdakwa, kemudian penuntut umum (Pasal 155 KUHAP) dan sesudahnya barulah dipanggil dan diperiksa kterangan saksi-saksi, baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Adapun diantara saksi-saksi itu siapa yang lebih dahulu harus dipanggil dan diperiksa keterangannya adalah menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim, akan tetapimenurut undang-undang yang paling terdahulu dipanggil masuk dan didengar keterangannya adalah sikorban yang menjadi saksi. 77 Sesuai dengan ketentuan tersebut maka perlu dihadirkannya saksi yang mengalami sendiri suatu tindak pidana yaitu korban. Seperti penjelasan sebelumnya bahwa saksi korban dapat dsimpulkan sebagai orang yang 77 M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi, Bogor,Politeia hal.143. mengalami sendiri baik penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi, yang ia dengar sendiri dan ia lihat sendiri, baik tentang suatu tindak pidana yang kemudian ia dapat memberikan keterangan didepan sidang pengadilan guna kepentingan penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan untuk mencari kebenaran materiil. Menurut M. Yahya Harahap78, menerangkan bahwa: “permasalahan saksi anak (child witness) dalam praktek peradilan sering menghadapi kesulitan. Menurut Pasal 171 huruf a KUHAP, patokan standar anak yang kompeten adalah 15 tahun keatas, sehingga korban pidana yang umurnya kurang 15 tahun tidak boleh memberi keterangan dibawah sumpah. Padahal terkadang keterangan anak tersebut sangat relevan dan menentukan, karena dia sendiri korban dari kejahatan.sedang saksi lain, tidak memenuhi syarat materiil, karena keterangan mereka hanya testimonium de auditu atau hearsay evidence.” M. Yahya Harahap79 dalam bukunya memberikan pendapat mengenai alasan membenarkan anak kecil menjadi saksi, yaitu: “Anak kecil tidak suka bohong tentang perkosaan yang dialaminya, terutama dalam perlakuan penyalahgunaan seksual: anak kecil tidak mampu membuat cerita atau mencipta rekayasa atau keterangan yang tidak benar, karena pada dasarnya anak kecil belum mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang seks. bahkan kebohongan orang dewasa jauh lebih berbahaya dibanding anak kecil.” Saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan dengan kedudukan sebagai saksi, yaitu saksi yang memberatkan bagi terdakwa karena keterangan yang saksi korban anak berikan dalam persidangan untuk membuktikan kesalahan yang terdakwa lakukan dan terdakwalah pelakunya, keterangan saksi anak dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk 78 M Yahya Harahap, 2009.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika,hal.202 79 Ibid.hal .205 menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk sehingga keterangan tersebut menentukan putusan yang akan dijatuhi oleh Majelis Hakim. Pada hakikatnya KUHAP menganut prinsip keharusan menghadirkan saksi-saksi di persidangan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 185 (1) KUHAP yang intinya menyatakan bahwa keterangan saksi dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila dinyatakan dalam sidang pengadilan. Akan tetapi, pasal 162 (1) KUHAP sendiri memberi pengecualian apabila saksi-saksi yang telah memberikan keterangan dalam BAP di tingkat penyidikan tidak dapat hadir karena : 1) Meninggal dunia atau karena ada halangan yang sah atau karena 2) Tempat tinggal atau kediamannya jauh dari tempat sidang atau karena 3) Adanya tugas atau kewajiban dari negara yang dibebankan kepadanya. Dengan dihadirkannya saksi korban anak di dalam persidangan akan memperkuat alat bukti yang lain serta menambah keyakinan hakim bahwa Terdakwalah pelakunya yang telah melakukan tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin. Proses memberikan keterangan di peradilan bagi korban saksi kejahatan merupakan pengalaman yang cukup emosional dan bermakna. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan bukan sekedar pemenuhan rasa keadilan, namun penting memperhatikan bagaimana keadaan emosionalnya, kemungkinan untuk meminimalisir bias, serta turut membantu meringankan penderitaan psikologis yang mungkin timbul pada korban-saksi ketika berhadapan dengan proses persidangan80. Peraturan yang ada dalam KUHAP apabila dikaitkan dengan perlindungan anak sebagai korban tindak pidana masih lemah karena peraturan yang ada didalamnya lebih banyak berorientasi terhadap pelaku kejahatan, dimana tersangka dijamin hak-haknya di setiap prosesnya, hal tersebut berbeda dengan saksi korban anak yang kurang mendapatkan perhatian dan jaminan akan hak-haknya seperti bantuan hukum atau bantuan yang bersifat psikoilogis padahal saksi korban adalah orang yang mendapatkan kerugian baik fisik maupun mental. Di dalam KUHAP diatur kepentingan korban yang diwakili oleh pemerintah, dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum. Namun sayangnya JPU tidak diwajibkan untuk membela dan melindungi korban. Hal ini sangat tragis karena jangan sampai korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah menjalani sistem peradilan pidana, karena kebanyakan korban dan saksi merupakan orang yang awam hukum81. Seharusnya Jaksa penunutut umum melindungi korban tindak pidana khususnya korban anak untuk mendapatkan bantuan hukum atau ganti kerugian dan tidak hanya memfokuskan tuntutan pidana penjara kepada terdakwa. 80 (http://margaretha-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-70492Kesaksian%20dan%20PeradilanDinamika%20Psikologi%20Korban%20dan%20Saksi%20dalam %20Memberikan%20Kesaksian%20di%20Peradilan.html)diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB 81 Iskandar.http://iskandar centre.blogspot.com/2009/06/pentingnya-perlindungan-hakhak.html?m=1diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB Menurut penulis, perlindungan hak-hak korban termasuk korban anak dalam proses persidangan dalam pengaturannya masih sedikit untuk melindungi kepentingan korban atau korban anak. Kebanyakan cendrung mengatur tentang hak-hak pelaku atau terdakwa. Pada kenyataannya pelaku, korban atau korban anak mempunyai kesempatan dan hak yang sama untuk memperoleh keadilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa Pasal yang merumuskan mengenai perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kejahatan diantaranya : Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, merumuskan; “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Pasal 15 bahwa : Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e. Pelibatan dalam peperangan. a. b. c. (2) Pasal 17 bahwa: (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Pasal 18 bahwa: “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.” Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban antara lain: Menurut Pasal 1 angka (1) dan angka (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, pengertian dari saksi dan korban adalah: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Begitu juga Pasal 4 bahwa : “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.” Pasal tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi LPSK yaitu memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap tahap proses peradilan pidana dan memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi korban tindak pidana. Dari uraian diatas seharusnya saksi korban anak pada waktu memberikan kesaksian dipersidangan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa dan saksi korban anak tersebut dirahasiakan serta memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. Berdasarkan putusan Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan karena kedudukannya sebagai saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kewajiban hukum bagi setiap orang tidak terkecuali saksi korban anak Iqballudin Amalia. Saksi Iqballudin Amalia dihadirkan dalam persidangan guna mengungkap peristiwa tindak pidana yang terjadi dan memperkuat alat bukti yang lain serta menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa Unjat Hidayat adalah pelaku yang telah melakukan tindak pidana sesama jenis kelamin. Keterangan saksi Iqballudin Amalia tersebut dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk karena memiliki persesuaian dengan alat bukti yang lain. Akan tetapi saksi korban anak yaitu Iqballudin Amalia pada putusan Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt dalam pelaksanaan pemeriksaan saksi korban anak pada waktu memberikan keterangan dipersidangan tidak dipisahkan dengan orang dewasa, tidak dirahasiakan identitasnya, dan tidak mendapat bantuan hukum padahal korbannya adalah anak dibawah umur. Kenyataan tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang seharusnya saksi korban anak pada waktu memberikan kesaksian dipersidangan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa dan saksi korban anak tersebut dirahasiakan serta memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang tersebut. 2. Tentang Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Di Persidangan Dalam Tindak Pidana Pencabulan Anak Sesama Jenis Kelamin Pada Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt Istilah tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan strafbaar feit, tidak ada pengertian secara baku oleh undang-undang mengenai istilah tindak pidana tersebut. Pengertian istilah tindak pidana dapat diambil dari pendapat atau doktrin para ahli. Menurut Moeljatno82, tentang perbuatan pidana adalah: “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut Salah satu perbuatan pidana yang memprihatinkan dan semakin meresahkan masyarakat adalah perbuatan cabul atau kejahatan seksual yang kebanyakan korbannya yaitu anak di bawah umur, karena anak dianggap kaum yang lemah dan tidak dapat melindungi dirinya sendiri berbeda dengan orang dewasa. Perbuatan cabul dan pelecehan seksual termasuk pelanggaran terhadap kesusilaan. Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk 82 Moeljatno.,Opcit.hlm59 pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.83 Menurut Pasal 1 nomor 2, Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup. tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Anak sebagai seseorang yang belum dewasa dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum harus dilindungi hak-haknya agar dapat tumbuh kembang secara normal dan tidak diperlakukan secara diskriminasi. Secara materiil, anak tidak dapat dijadikan sebagai saksi di pengadilan, namun dalam praktek pemeriksaan perkara pidana yang ada, anak dapat dijadikan sebagai saksi maupun saksi korban.84 Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, telah terjadi tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin dengan Terdakwa Unjat Hidayat Alias Dayat bin Amsor terhadap 83 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam 20.00 WIB. 84 Sari Kusuma, Keabsahan Saksi Anak. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksi-anak. diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB. korban Iqballudin Amalia yang masih berumur 13 (tiga belas) tahun pada hari Selasa tanggal 13 September 2011 sekitar pukul 14.00 WIB saksi korban dicabuli oleh terdakwa dirumah kontrakan terdakwa di desa Kalisari RT.07 RW.01 Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Korban tindak pidana pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, yaitu Iqballudn Amalia yang diketahui bahwa umurnya masih 13 (tigabelas) tahun yang dibuktikan dengan Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September 2005 maka dikategorikan sebagai anak dibawah umur. Hal ini sesuai dengan definisi anak pada Pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah, “Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan” Pembuktian sangat penting guna pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap85 bahwa: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Pembuktian merupakan proses yang harus dilalui guna membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, melalui alat-alat bukti setiap peristiwa pidana yang telah terjadi dapat diungkap. Pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam pemeriksaan pengadilan. 85 M. Yahya Harahap. Op. Cit. . hal. 273. Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebutkan, mengingat sangat dibutuhkannya keterangan saksi untuk mengungkap setiap perkara yang terjadi. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Pada umumya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.86 Berikut adalah beberapa syarat agar keterangan saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut: e) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Sesuai dengan rumusan Pasal 160 ayat (3) KUHAP berikut: “Sebelum memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji tersebut dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.” Sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan, dan dilakukan menurut cara agamaya masing-masing. Menurut 86 Ibid. hal. 286. Pasal 171 KUHAP terdapat pengecualian siapa saja yang dapat memberi keterangan tanpa disumpah, yaitu: Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan tanpa sumpah ialah: 1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. Berdasarkan Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., dalam pembuktian persidangan perkara tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin, dihadirkan para saksi termasuk saksi korban yaitu Iqballudin Amalia, berbeda dengan saksi yang lain saksi Iqballudin Amalia tidak dilakukan penyumpahan karena saksi korban masih berumur 13 tahun yang dikategorikan sebagai anak dibawah umur.Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP yang mengharuskan saksi disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan, akan tetapi terdapat pengecualian yaitu sesuai dengan Pasal 171 KUHAP bahwa : “anak yang umurnya belum cukup limabelas tahun dan belum pernah kawin dapat memberi keterangan tanpa sumpah”. Keterangan saksi Iqballudin Amalia tersebut dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk. Menurut M Yahya Harahap87 untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai “tambahan” alat bukti yang sah maupun untuk 87 Ibid. hal 293 “menguatkan keyakinan” hakim atau sebagai “petunjuk”, harus dibarengi dengan syarat: a. Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah, Misalnya telah ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahl, alat bukti surat atau keterangan terdakwa. b. Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. c. Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat bukti yang sah, terdapat saling persesuaian. Dari syarat pertama dan kedua telah terpenuhi yang mana pada Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.,alat bukti yang sah adalah keterangan terdakwa diberkas sendiri yang diberikan dengan mengangkat sumpah sesuai Pasal 160 ayat (3) KUHAP. f) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP. Keterangan yang diberikan oleh saksi korban Iqballudin Amalia adalah keterangan yang saksi alami sendiri, ini sesuai dengan Pasal 1 butir 27 KUHAP, yaitu: “apa yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, dan saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Maka keterangan saksi korban Iqballudin Amalia tersebut merupakan keterangan yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. g) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, apabila dinyatakan di sidang pengadilan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Apabila keterangan saksi tersebut dinyatakan diluar persidangan, maka bukan merupakan suatu alat bukti.Sesuai dengan syarat sah diatas bahwa keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan sudah tepat karena semua saksi termasuk saksi korban Iqballudin amalia memberikan keterangannya didalam sidang pengadilan. Keterangan tersebut sesuai dengan Pasal 1 butir 26 KUHAP sebagai berikut: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.” Agar supaya keterangan saksi dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti, keterangan tersebut harus “dinyatakan” di sidang pengadilan. Dalam putusan tersebut para saksi termasuk saksi korban Iqballudin Amalia memberikan keterangan didalam persidangan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” h) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Dengan demikian keterangan seorang saksi saja barulah bernilai sebagai satu alat bukti saja dan harus dicukupi dengan alat bukti yang lainnya. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”.88 Pada kasus yang ada dalam Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. saksi yang diajukan yaitu sebanyak 4 (empat) orang dan semuanya diajukan oleh jaksa. Saksi-saksi yang diajukan adalah saksi korban yaitu Iqballudin Amalia, serta saksi yang lain yaitu Samiati, Darti, dan Khadir Abdul Qodir, keempat saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpah kecuali saksi korban Iqballudin Amalia karena masih dibawah umur dan keterangan saksi-saksi dibenarkan oleh terdakwa. Keterangan saksi korban tersebut memiliki kesesuaian dengan alat bukti sah yang lain. Oleh karena itu keterangan saksi Iqballudin Amalia dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk. Dari penjelasan tersebut, apabila dihubungkan dengan Putusan Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt., maka dapat diketahui bahwa hakim mempunyai kebebasan untuk menilai kebenaran yang terkandung dalam keterangan saksi korban. Masing-masing saksi memenuhi syarat materiil sebagai saksi yaitu 88 Ibid. hlm. 288. saksi telah memberikan keterangan yang ia rasakan, ia lihat dan ia alami sendiri. Kemudian masing-masing saksi dari penuntut umum juga telah memenuhi syarat formil karena telah diambil sumpahnya sebelum memberikan keterangannya sehingga sah sebagai alat bukti kecuali saksi korban anak Iqballudin Amalia karena umurnya masih 13 tahun, akan tetapi keterangan saksi anak tersebut dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk. Lalu keterangan saksi-saksi tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya terdapat saling persesuaian dan saling menguatkan. Kemudian di tambah dengan keterangan terdakwa yang telah mengakui perbuatannya. Apabila keterangan saksi dan keterangan terdakwa saling dihubungkan maka terdapat persesuaian dan saling menguatkan sehingga menimbulkan keyakinan hakim dengan memutuskan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perbuatan cabul sesama jenis kelamin. Maka dapat disimpulkan bahwa keterangan saksi korban anak dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk dan cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah karena telah melakukan tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut : 1. Saksi korban anak dihadirkan dalam persidangan karena kedudukannya sebagai saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kewajiban hukum bagi setiap orang tidak terkecuali saksi korban anak Iqballudin Amalia. Dihadirkannya saksi korban dipersidangan dalam tindak pidana pencabulan anak sesama jenis kelamin pada Putusan Nomor 70/Pid.sus/2011/PN.Pwt adalah sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk karena memiliki persesuaian dengan alat bukti yang lain. Disamping itu hadirnya saksi korban dipersidangan berguna untuk mengungkap peristiwa tindak pidana yang telah terjadi. 2. Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Saksi Korban, berdasarkan keterangan saksi korban Iqballudin Amalia yang masih dibawah umur dibuktikan dengan Akta Kelahiran No.:5038/TP/KEC/2005, tanggal 7 September 2005, berumur 13 Tahun, apabila dihubungkan dengan Pasal 171 KUHAP maka kesaksiannya tidak disumpah, dengan demikian keterangan saksi yang tidak disumpah tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah. Akan tetapi keterangan saksi Iqballudin Amalia dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain maupun untuk menguatkan keyakinan hakim sebagai petunjuk. B. Saran Penulis dalam skripsi ini memberikan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya hakim dalam memutus perkara pidana harus memberikan efek yang jera bagi pelakunya, karena kebanyakan korbannya adalah anak dibawah umur yang tidak dapat membela dan melindungi dirinya seperti orang dewasa. Maka dari itu vonis bagi para pelaku tindak pidana pencabulan anak adalah vonis yang seberat mungkin agar tidak ada lagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. 2. Hendaknya hakim dalam memutus perkara memperhatikan kepentingan si anak yang menjadi korban dengan memberikan perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Abidin. Farid A.Z.,1981, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, Poernomo. Bambang. 1992.Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta, Chazawi. Adami, 2007. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Gosita, Arief . 1993, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo. Harahap. M. Yahya, 2001Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I).,Jakarta : Pustaka Kartini. Harahap. M. Yahya, 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika Hamzah. Andi, 2011.Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Hiariej, O.S Eddy, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Yogyakarta : Erlangga H. R. Abdussalam, 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, , Jakarta, Restu Agung. Ibrahim. Joni, 2011. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayu Media Publishing. Iswanto. Angkasa, 2011.Viktimologi , Peneribit Fakultas Hukum Universtas Jenderal Soedirman. Purwokerto . Lamintang. P.A.F , 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti.Bandung Marpaung. Leden, 2004, “Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Preverensinya”, Jakarta, Sinar Grafika Lamintang P.A.F dan Theo Lamintang, 2009. Delik-Delik Khusus Kejahatan melanggar norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan.Jakarta.Sinar Grafika. Marpaung. Leden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana, , Jakarta: Sinar Grafika. Edisi Kedua. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana..Rineka Cipta. Jakarta. Mulyadi Lilik. 2005. Pengadilan Anak di Permasalahannya. Mandar Maju: Bandung Indonesia Teori, Praktek dan Muladi, 2005, HAM dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Refika Aditama. Mohammad Taufik Makaro dan Suharsil . 2004. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan praktek, Ghalia Indonesia,Jakarta M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi, Bogor,Politeia Prodjodikoro. R Wirjono, 1980.Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. . R Wirjono, 2002, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Jakarta PT. Refika Aditama,. Ramelan, 2006 Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, R Soesilo. 1980,Teknik dan Penyidikan Perkara Kriminil. Politeia, Bogor. Waluyadi.1999,Pengetahuan Hukum Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), Bandung: Mandar Maju Wirjono Prodjodikoro. 1967. Hukum Atjara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ________,Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ________,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ________,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban C. Sumber Lain Putusan Nomor : 70/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. Alhafizh Muslihin, Alat Bukti yang Sah Menurut KUHP, http://www.referensimakalah.com/2012/05/alat-bukti-yang-sah-menurut kuhp_2231.html diakses 5 Nopember 2012, jam 20.00 WIB. Bala Usman,http//usmanbala.blogspt.com/2009/03/semua-orang-berhak diperlakukansama.html?m=1. diakses tanggal11 Juni 2013 jam 13.00 WIB Kusuma, Sari. Keabsahan Saksi Anak. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d4ab984cb02d/keabsahan-saksianak. diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB. Putra, Ario. Kelemahan KUHAP Dari Segi Perlindungan Hukum Terhadap Saksi/Korban. http://bahankuliahnyaryo.blogspot.com/2009/12/kelemahan-kuhap-dari-segiperlindungan.html diakses 10 januari 2013, jam 13.00 WIB. Iskandar.http://iskandar centre.blogspot.com/2009/06/pentingnya-perlindungan-hakhak.html?m=1diakses 10 juni 2013, jam 13.00 WIB Eko Budi santoso, Pengertian Anak, (online) tersedia di website http://raseko.blogspot.com/2012/12/pengrtian-anak.html?m=1 diakses tanggal 20 Maret 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak diakses 10 Nopember 2012, jam 20.00 WIB.