9 Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Modifikasi Nurhayati et al. 2006) Sebanyak 0.1 g telur Artemia salina Leach ditumbuhkan ke dalam 500 mL air laut selama 48 jam. Stok larutan ekstak alga sebanyak 500 mg dilarutkan dalam 50 mL air laut sehingga volumenya menjadi 50,31 mL. Konsentrasi larutan yang digunakan 0 ppm (kontrol); 9,938 ppm; 99,384 ppm; 198,768 ppm; 500,232 ppm; dan 1000,464 ppm. Air laut dan ekstrak alga yang dimasukkan ke dalam vial BSLT menggunakan rumus perhitungan V1xM1=V2xM2. Nilai Molaritas 1 (M1) sebesar 9938,382 ppm (stok konsentrasi alga). Larutan konsentasi 9,938 ppm, sebanyak 2.997 mL air laut ditambahkan dengan 3 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor Artemia salina. Sebanyak 2.97 mL air laut ditambahkan dengan 30 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor Artemia salina untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 99,384 ppm. Larutan konsentrasi 198,768 ppm, sebanyak 2.94 mL air laut ditambahkan dengan 60 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor Artemia salina. Sebanyak 2.849 mL air laut ditambahkan dengan 151 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor Artemia salina untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi 500,232 ppm. Larutan konsentasi 1000,464 ppm, sebanyak 2.698 mL air laut ditambahkan dengan 302 µL ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor Artemia salina. Pengamatan dilakukan setelah 48 jam dengan menghitung jumlah larva yang mati dari total larva yang dimasukkan ke dalam vial. Pengamatan memakai bantuan lampu neon. Pengolahan data persen mortalitas dan log konsentrasi digunakan untuk menghitung nilai LC50 dan regresi kematian. HASIL DAN PEMBAHASAN Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga Isolat mikroalga yang digunakan berasal dari perairan laut Batam, Pari, Ciater. Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki senyawa aktif yang memiliki potensi untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut diduga berupa senyawa protein. Masingmasing isolat mikroalga diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini adalah pelarut umum yang digunakan dalam bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji berjumlah 101 isolat. Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut Pari dan laut Batam menggunakan media IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang berasal dari Ciater menggunakan media IMKCiater. Lamanya pengkulturan mikroalga bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan masing-masing mikroalga. Dalam pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD dan banyaknya biomassa (Lampiran 7). Rendemen dari biomassa mikroalga tidak dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji berupa larutan atau cairan. Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila kurva pertumbuhannya telah mencapai fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga sudah mencapai puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan yang diperoleh, menunjukkan bahwa mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase stasioner karena hanya membutuhkan waktu sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02, CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu yang lebih panjang untuk mencapai fase stasioner karena membutuhkan waktu sampai dengan 134 hari. Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis (Lampiran 8-Lampiran 16). Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese Encephalitis Ekspresi RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang dihasilkan oleh bakteri Escherichia coli BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil kloning gen NS3 JEV (Utama et al. 2000). Penambahan Isopropyl-β-Dthiogalactopyranoside (IPTG) bertujuan untuk menginduksi ekspresi enzim pada fase 10 logaritmik hingga fase stasioner ( Utama et al. 2000). Setelah penginduksian ekspresi enzim dilakukan pengoleksian pelet. Pengoleksian pelet tersebut berguna untuk stabilitas penyimpanan bakteri Escherichia coli yang telah diinduksi dan mengekspresikan gen NS3 helikase untuk pengujian selanjutnya. Pemurnian RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan untuk mendapatkan RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni dari hasil ekspresi gen NS3 helikase japanese encephalitis yang telah diklonkan dalam bakteri BL21(DE3)pLysS sehingga dapat digunakan dalam penentuan aktivitas inhibisi. Hasil SDS PAGE menunjukkan pita tunggal pada elusi 2 yang menunjukkan bahwa pemurnian RNA helikase japanese encephalitis berhasil. Bobot molekul dari RNA helikase virus japanese encephalitis adalah 54 kDa. Berdasarkan data Rf yang diperoleh dari hasil elusi, didapatkan nilai Rf sampel yang sesuai dengan Rf standar yaitu sebesar 0,216. Hal ini berarti bahwa hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur yang melaporkan bahwa bobot molekul RNA helikase virus japanese encephalitis memiliki bobot molekul 54 kDa (Utama et al. 2000). Tujuan menganalisis sampel dengan SDS PAGE adalah agar yakin bahwa enzim yang diperoleh dari hasil ekspresi dan purifikasi merupakan RNA helikase virus japanese encephalitis. Sampel yang dianalisis dengan SDS PAGE terdiri dari inner volume (supernatan hasil sentrifugasi dengan resin talon), washing 1 (supernatan hasil sentrifigasi dengan buffer B), elusi 1, elusi 2, elusi 3, resin, dan marker (Gambar 4). 250 k Da kkDa 150 kDa 100 kDa 75 kDa 54 kDa 50 kDa Gambar 4 SDS PAGE RNA helikase virus japanese encephalitis (IV: Inner volume, W: Washing, E: Elusi, RE: Resin, M: Marker). Proses purifikasi RNA helikase japanese encephalitis diawali dengan proses pemecahan sel yang terdiri atas dua metode yaitu pencairbekuan dan sonikasi. Proses pencairbekuan dalam pemurnian RNA helikase japanese encephalitis bertujuan untuk memecah sel bakteri Escherichia coli BL21(DE3)pLysS karena RNA helikase JEV bersifat intraseluler. Sonikasi merupakan tahapan selanjutnya dari proses pemecahan sel. Proses sentrifugasi yang dilakukan pada tahapan setelah pemecahan sel bertujuan memisahkan antara supernatan dengan sel debris dari hasil pemecahan sel. Supernatan yang mengandung beberapa komponen intraseluler dikoleksi sebagian untuk proses identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE sehingga dapat dilihat hasil proses pemurnian RNA helikase japanese encephalitis. Kromatografi afinitas metal amobilisasi merupakan tahapan purifikasi RNA helikase selanjutnya. Proses ini menggunakan resin TALON metal affinity yang secara spesifik dapat menangkap enzim yang memiliki Histag. RNA helikase yang telah terekspresi dalam bakteri Eschericia coli BL21 ini memiliki karakteristik yaitu label 6xHis-tag sehingga dapat terikat secara spesifik oleh resin TALON metal affinity. Pengikatan residu His dilakukan oleh logam Co2+ yang terdapat dalam resin TALON. Penanda yang terdapat pada enzim RNA helikase yaitu ujung His dilakukan pada saat konstruksi gen NS3 yang akan disisipkan pada E.coli. Proses pengikatan resin terhadap RNA helikase japanese encephalitis menggunakan proses rotasi dan sentrifugasi sehingga pengikatan resin dengan enzim tersebut dapat diperoleh secara maksimal. Penambahan buffer B pH 8.5 (10 mM Tris-HCl buffer pH 8.5, 100 mM NaCl, 0.25% Tween 20) dilakukan untuk memisahkan antara enzim RNA helikase dengan komponen intraseluler lainnya. Pengoleksian sebagian kecil hasil pemisahan tersebut disimpan untuk identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE. Proses pemisahan tersebut dilakukan 2 kali untuk mendapatkan RNA helikase japanese encephalitis yang murni dari komponen intraseluler lainnya. Penambahan buffer elusi pH 8.5 (imidazol dalam buffer B) berfungsi sebagai eluen dalam proses elusi RNA helikase japanese encephalitis yang berikatan dengan resin. Imidazol yang merupakan komponen penyusun buffer tersebut berfungsi sebagai analog pengganti residu His enzim yang diikat oleh logam Co2+, sehingga resin tersebut akan memutus ikatannya dengan 11 Pengukuran Aktivitas Inhibisi Ekstrak Mikroalga terhadap RNA Helikase Ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 32.503% (Gambar 5). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 32.503%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut metanol 80% (pelarut ekstraksi). Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Dari hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% memiliki potensi yang rendah dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Pelarut metanol yang digunakan dalam proses ekstraksi mikroalga tidak diuapkan terlebih dahulu. Nilai aktivitas yang rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% disebabkan karena sifat dari pelarut metanol adalah polar protic. Pelarut polar protic adalah pelarut yang menunjukkan ikatan hidrogen. Dengan adanya ikatan hidrogen tersebut, maka konformasi struktur kimianya menjadi lebih kuat. Selain itu titik didih dari metanol sebesar 650C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah. 40 30 20 10 0 -10 -20 CTR 06-01 CTR 06-02 CTR 06-04 CTR 06-07 CTR 06-08 CTR 06-11 CTR 07-01 CTR 07-05 CTR 07-07 CTR 07-08 CTR 07-09 CTR 07-10 CTR 07-12 BTM 03 BTM 04 BTM 11 Nilai inhibisi (%) enzim RNA helikse dan mengikat imidazol sebagai penggantinya. Hasil pemisahan antara sel debris dan komponen intraseluler (supernatan), hasil pemisahan antara elusi, resin, dan RNA helikase virus japanese encephalitis hasil purifikasi (enzim) yang telah dikoleksi sebagian diidentifikasi dengan menggunakan SDS PAGE untuk melihat apakah enzim yang digunakan merupakan enzim RNA helikase virus japanese encephalitis yang murni. Inner volume adalah supernatan hasil sentrifugasi dengan pelet resin yang telah diputar dengan rotator selama 3 jam. Washing adalah supernatan hasil pencucian pelet resin dengan buffer B. Proses washing ini dilakukan sebanyak 2 kali. Ekstrak mikroalga Gambar 5 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam). Ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat BTM 11 sebesar 11.513% (Gambar 6). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 11.513%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut aseton 80%. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% memiliki potensi yang sangat rendah dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Nilai aktivitas yang sangat rendah dari ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% disebabkan karena sifat dari pelarut aseton adalah polar aprotic. Pelarut polar aprotic adalah pelarut yang tidak menunjukkan ikatan hidrogen. Tidak adanya ikatan hidrogen tersebut, maka konformasi struktur kimianya menjadi tidak kuat. Selain itu titik didih dari aseton sebesar 560C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah. 12 20 100 20 Ekstrak mikroalga PARI 5 BTM 04 CTR 07-12 CTR 07-09 CTR 07-07 CTR 07-05 CTR 06-11 CTR 06-07 CTR 06-04 0 -20 -20 -30 40 BTM 11 -10 60 CTR 06-01 0 80 CTR 07-01 Nilai inhibisi (%) Nilai inhibisi (%) 10 Ekstrak mikroalga Gambar 6 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut aseton 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam). Gambar 7 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam). Ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 06-02 sebesar 83.117% (Gambar 7). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 83.117%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut heksan 80%. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% memiliki potensi yang tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Nilai aktivitas yang tinggi dari ekstrak mikroalga dengan pelarut heksan 80% disebabkan karena sifat dari pelarut heksan adalah nonpolar. Pelarut nonpolar adalah pelarut yang tidak dapat bercampur dengan air (hidrofobik). Pelarut ini tidak dapat bercampur dengan pelarut lain yang sifatnya polar. Titik didih dari heksan sebesar 690C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah. Ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah isolat CTR 07-09 sebesar 97.193% (Gambar 8). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Nilai inhibisi ini merupakan nilai yang murni karena nilai tersebut sudah dikurangi dengan kontrol negatif berupa pelarut etil asetat 80%. Penggunaan kontrol negatif bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan dalam mengekstrak mikroalga berpengaruh atau tidak dalam menginhibisi RNA helikase. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% memiliki potensi yang sangat tinggi dalam menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis. Nilai aktivitas yang sangat tinggi dari ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% disebabkan karena sifat dari pelarut etil asetat adalah semipolar. Pelarut semipolar adalah pelarut yang dapat melarutkan air hingga 3% dan larut dalam air hingga kelarutan 8%. Kelarutannya akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Titik didih dari etil asetat sebesar 770C. Hal ini turut berperan dalam mengekstrak senyawa dari mikroalga karena pada saat proses ekstraksi mikroalga dilakukan evaporasi terhadap pelarut dengan memperhatikan titik didihnya dan bertujuan agar didapatkan ekstrak yang bebas dari campuran pelarut dan agar ekstrak tersebut tahan lama penyimpanan karena memiliki kadar air yang rendah. PARI 5 CTR 07-10 BTM 11 CTR 06-08 BTM 03 CTR 07-09 CTR 07-05 CTR 06-08 CTR 07-12 CTR 06-01 CTR 07-07 120 100 80 60 40 20 0 -20 CTR 06-11 Nilai inhibisi (%) 13 Ekstrak mikroalga Gambar 8 Aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga dengan pelarut etil asetat 80% terhadap aktivitas ATPase RNA helikase virus japanese encephalitis (CTR: Ciater, BTM: Batam). Metode kolorimetri ATPase assay yang digunakan dalam penelitian ini disebabkan karena metode ini yang paling mudah karena ATP bersifat lebih stabil. Selain itu, ATP dalam proses RNA helikase berfungsi sebagai donor energi yang akan digunakan untuk proses replikasi virus. Oleh karena itu harus dihambat ATPnya. Sebanyak 17 isolat mikroalga masingmasing diekstraksi dengan pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan etil asetat 80%. Hasilnya adalah pada mikroalga yang diekstrak dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat 80% terbentuk dua fase, yaitu fase polar dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan dan diuji aktivitas inhibisinya. Jumlah total ekstrak mikroalga yang akan diuji aktivitas inhibisinya menggunakan uji kolorimetri ATPase sebanyak 101 sampel. Sampel ekstrak mikroalga yang berpelarut heksan 80% dan etil asetat 80% sebelum diuji ATPase, terlebih dahulu diuapkan kemudian ditambahkan dengan pelarut metanol 80% atau metanol 100%. Hal ini disebabkan karena pelarut heksan dan etil asetat tidak dapat bercampur dengan master mix yang berisi air. Uji ATPase merupakan metode yang digunakan untuk menghitung pelepasan fosfat inorganik yang berasal dari ATP dengan bantuan enzim ATPase. Uji ini dinamakan kolorimetri ATPase assay karena uji ini digunakan untuk beberapa enzim yang bergantung pada keberadaan ATP/NTP sebagai donor energi untuk aktivitas enzim tersebut (Utama et al. 2000). Uji ini dapat dijadikan metode untuk mengukur nilai inhibisi RNA helikase virus japanese encephalitis karena RNA helikase japanese encephalitis membutuhkan substrat berupa ATP (adenosin trifosfat) untuk membuka untaian ganda pada RNA yang merupakan material genetik dari virus japanese encephalitis. Larutan campuran utama (master mix) yang terdapat dalam pengujian kolorimetri ATPase assay berguna sebagai blanko. Keberadaan MOPS (Asam 4morfolinopropana sulfonat) adalah sebagai buffer dalam campuran utama. Mg2+ dan Mn2+ diperlukan sebagai kofaktor RNA helikase sehingga MgCl2 berfungsi sebagai donor kofaktor dalam campuran utama (Utama et al. 2000). Reaksi RNA helikase dengan ATP akan menghasilkan ADP (adenosin difosfat) dan fosfat bebas. Fosfat bebas akan membentuk kompleks warna dengan pereaksi warna dari kolorimetri ATPase assay yang terdiri dari akuades, hijau malakit, polivinil alkohol, dan amonium molibdat. Warna yang dihasilkan berkorelasi dengan jumlah fosfat bebas yang dihasilkan dari reaksi RNA helikase dengan ATP. Semakin hijau warna campuran reaksi, maka semakin besar aktivitas RNA helikase bekerja. Mikroalga yang berfungsi sebagai inhibitor akan menghambat reaksi tersebut. Kolorimetri ATPase assay juga dapat mengukur konsentrasi dengan menghitung serapan panjang gelombang dari campuran reaksi dengan RNA helikase dan ekstrak mikroalga. Panjang gelombang yang digunakan ada dua macam yaitu 620 nm dan 405 nm. Kedua panjang gelombang itu digunakan agar perhitungan reaksi RNA helikase dengan substratnya akurat. Konsentrasi ATP yang berubah karena adanya inhibitor dapat dihitung dengan membandingkan serapan panjang gelombang RNA helikase. Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui kolorimetri ATPase assay menunjukkan bahwa esktrak mikroalga CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% yang diuapkan lalu ditambahkan dengan metanol 100% memiliki nilai inhibisi tertinggi terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis sebesar 97.193%. Pengujian aktivitas inhibisi terhadap sampel ekstrak mikroalga dilakukan secara berkelompok berdasarkan pelarutnya. Tujuannya adalah untuk menghitung berapa besar nilai pelarut yang digunakan untuk mengekstrak mikroalga (kontrol negatif). Kontrol negatif juga diukur agar kita yakin bahwa nilai inhibisi yang diperoleh adalah murni dari hasil sampel ekstrak mikroalga tanpa adanya pengaruh dari pelarut yang 14 mengekstraknya (metanol, aseton, heksan, dan etil asetat). Kontrol positif tidak digunakan dalam penelitian ini karena sampai saat ini belum ada obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit akibat infeksi virus japanese encephalitis. Adanya vaksin dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus japanese encephalitis masih kurang efektif dalam menghambat replikasi dari virus tersebut. Akibatnya setelah pengobatan dengan vaksin tersebut, penderita masih mengalami sakit atau gejala yang yang menyisakan. Hal ini disebabkan vaksin yang telah ada saat ini tidak menghambat kerja replikasi virus japanese encephalitis. melainkan hanya menghilangkan rasa sakit sementara sehingga infeksi dari virus tersebut masih berlangsung. Perbedaan nilai aktivitas inhibisi yang ditunjukkan oleh beberapa ekstrak mikroalga dimungkinkan karena sifat dari pelarut yang digunakan untuk mengekstrak mikroalga berbeda-beda. Senyawa kimia yang dimiliki ekstrak mikroalga tersebut juga berbeda-beda tergantung dari pelarutnya, tetapi kemungkinan secara umum yang dapat menginhibisi kerja RNA helikase virus japanese encephalitis adalah senyawa berupa protein. Potensi mikroalga sebagai antivirus lain selain virus japanese encephalitis cukup banyak dilakukan, antara lain untuk pengobatan virus herpes simplex, retrovirus, dan enterovirus. Mikroalga yang digunakan untuk pengobatan virus herpes simplex adalah mikroalga jenis Dunaliella primolecta, sedangkan untuk retrovirus adalah jenis Porphyridium sp., dan untuk enterovirus adalah jenis Spirulina plantesis. Pengobatan antivirus ini tergantung dari senyawa metabolit sekunder yang terkandung dari masing-masing jenis mikroalga serta pelarut yang mengekstraknya. Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) Ekstrak mikroalga yang diuji toksisitasnya adalah yang memiliki aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase JEV yang paling tinggi. Ekstrak mikroalga yang diambil sebanyak 5 isolat, diantaranya CTR 07-09 dengan pelarut etil asetat 80% (97.193%), CTR 07-01 dengan pelarut etil asetat 80% (95.166%), CTR 07-10 dengan pelarut etil asetat 80% (95.617%), CTR 07-07 dengan pelarut etil asetat 80% (94.230%), dan CTR 06-08 dengan pelarut etil asetat 80% (94.544%) (Tabel 1). Tabel 1 Nilai LC50 ekstrak mikroalga Ekstrak mikroalga LC50 (ppm) Kategori Tidak CTR 07-09 297166,603 toksik CTR 07-01 845,279 CTR 07-10 6870,684 CTR 07-07 91,833 Toksik Tidak toksik Toksik Tidak CTR 06-08 3334,264 toksik Hasil dari nilai LC50 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 17. Uji BSLT merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui seberapa tingkat toksik suatu senyawa yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Uji ini hanya terbatas pada tingkat konsentrasi sehingga apabila akan diterapkan pada manusia juga harus dilihat pengaruh dosis dari suatu senyawa tersebut. Uji ini dilakukan untuk mendukung hasil uji ATPase pada ekstrak mikroalga yang mempunyai potensi (aktivitas inhibisi paling besar). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah uji toksisitas menggunakan Artemia salina Leach. Uji ini merupakan metode yang paling sederhana dalam menentukan sifat toksisitas sebagai indikator biologi yang berguna kaitannya dalam aktivitas biologi (bioaktivitas). Uji toksisitas diperoleh dari konsentrasi ekstrak mikroalga yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50% A. salina Leach (LC50). Hal ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara nilai inhibisi dengan nilai toksisitas. Besarnya nilai inhibisi berbeda dengan besarnya nilai LC50. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung dalam masing-masing ekstrak mikroalga sehingga mengakibatkan perbedaan tingkat toksisitasnya. Hasil analisis uji BSLT terhadap ekstrak mikroalga memperlihatkan semakin tinggi konsentrasi yang diujikan, maka cenderung semakin banyak A. salina yang mati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka sifat toksiknya akan semakin tinggi. Derajat/kategori toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat toksik (LC50 < 30 µg/mL), toksik (LC50 30-1000 μg/mL) dan tidak toksik (LC50 > 1000 μg/mL) (Meyer et al. 1982). Perhitungan nilai LC50 diperoleh dari perhitungan persentase mortalitas, kemudian dibuat grafik regresi kematian A. salina terhadap ekstrak mikroalga sehingga 15 diperoleh persamaan garis dan nilai koefisien determinasinya. Nilai variabel x dimasukkan sebesar 50 ke dalam persamaan garis y. Hasil dari y diantilogkan sehingga diperoleh nilai LC50 yang mencerminkan kategori ekstrak tersebut toksik atau tidak toksik berdasarkan kategori toksisitas menurut Meyer et al. (1982). Nilai LC50 yang diperoleh merupakan uji pendahuluan untuk melihat tingkat toksisitas dari ekstrak mikroalga yang diteliti. Untuk dijadikan suatu obat yang dapat mengobati penyakit akibat infeksi virus japanese encephalitis masih harus dilihat nilai LD50 dan LT50. LD50 adalah letal dosis, sedangkan LT50 adalah letal time (waktu paruh). Selain itu, perlu dilakukan uji farmakologis lainnya untuk memastikan produk yang berasal dari ekstrak mikroalga ini aman untuk dikonsumsi dan kandungan manfaatnya tidak hilang atau berkurang. Berdasarkan hasil uji aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis dan uji toksisitasnya dapat dikatakan bahwa ekstrak mikroalga CTR 07-09 berpotensi sebagai obat untuk mengobati infeksi penyakit virus japanese encephalitis karena ekstrak tersebut memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi sebesar 97.193% dan bersifat tidak toksik. Dalam penelitian ini uji aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis dilakukan secara in vitro, apabila ingin digunakan untuk produk obat, maka perlu dilakukan uji secara in vivo. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak mikroalga terhadap RNA helikase virus japanese encephalitis memiliki nilai aktivitas inhibisi yang tertinggi pada mikroalga yang berasal dari Ciater (CTR 0709) dengan pelarut etil asetat 80% sebesar 97,193%. Ekstrak mikroalga tersebut memiliki nilai LC50 tertinggi yaitu sebesar 297166,603 ppm. Berdasarkan kategori toksisitas, nilai LC50 tersebut bersifat tidak toksik. Saran Perlu dilakukan isolasi dan pemurnian senyawa lanjutan dari ekstrak mikroalga yang berpelarut metanol 80%, aseton 80%, dan heksan 80% agar diperoleh persentase nilai inhibisi yang lebih tinggi. Selain itu perlu dilakukan optimasi suhu dan pH untuk menentukan suhu dan pH optimum dari ekstrak mikroalga. DAFTAR PUSTAKA Bartelma G and Padmanabhan R. 2002. Expression, purification, and characterization of the RNA 5triphosphatase activity of dengue virus type 2 nonstructural protein 3. Virology 299:122-132. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. London: Cambridge University. Borowitzka MA and Lesley JB. 1988. Microalgae Biotechnology. London: Cambridge University Press. Borowski P et al.. 2003. Halogenated benzimidazoles and benzotriazoles as inhibitors of the NTPase/helicase activities of hepatitis C and related viruses. Eur J Biochem. 270:16451653. Borowski P et al.. 2001. Inhibition of the helicase activity of HCV NTPase/helicase by 1-β-Dribofuranosyl-1,2,4-triazole-3carboxamide-5’-triphosphate (ribavirin-TP). Acta Biochimica Polonica. 48:739-744. Chambers TJ, Grakoui A, and Rice CM. 1991. Processing of the yellow fever virus nonstructural polyprotein:a catalytically active NS3 proteinase domain and NS2B are required for cleavages at dibasic sites. J. Virol. 65:6042-6050. Chambers TJ, Nestorowicz A, Amberg SM, and Rice CM. 1993. Mutagenesis of the yellow fever virus NS2B protein: effects on proteolytic processing, NS2B-NS3 complex formation, and viral replication. J. Virol. 67:67976807. Dumont S et al.. 2006. RNA translocation and unwinding mechanism of HCV NS3 helicase and its coordination by ATP. Nature 439: 105-108. Falgout B, Miller RH, and Lai CJ. 1993. Deletion analysis of dengue virus type 4 nonstructural protein NS2B: