Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur Kalus

advertisement
BioSMART
Volume 6, Nomor 1
Halaman: 19-23
ISSN: 1411-321X
April 2004
Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum Gaertn.
Dengan Variasi Pemberian Sumber Karbon
The growth and saponin production of the callus culture of Talinum paniculatum Gaertn. with
variation suplement carbon source
HERWIN SUSKENDRIYATI, SOLICHATUN♥, AHMAD DWI SETYAWAN
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126
Diterima: 20 Agustus 2003. Disetujui: 5 Desember 2003
ABSTRACT
The aims of this research were to know the effects of sucrose, glucose, and both combination on growth and saponin production of
Talinum paniculatum Gaertn callus culture. The out line of the research was the callus growth and secondary metabolite production
could be increased by optimalization of the cell physiology enviroment consist of the nutritional medium optimalization with the
addition sucrose and glucose in culture’s medium as carbon source. Sucrose and glucose may cause optimum condition of the cell
physiology enviroment. Finally, the cell metabolism would be influenced and than it could influence callus growth and saponin
production. According to the research aims, the research was done in vitro callus culture method to obtain callus from explant (T.
paniculatum) leaf and to induce saponin production. In vitro culture that be done consist of 2 stage, first stage was the callus initiation
medium to induce callus and second stage was the treatment medium to induce saponin production from callus. The research used
factorial completely randomized design with 2 factor (sucrose 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l dan glucose 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l) with 3
replication. The data would be collected qualitatively i.e callus morphology and quantitatively i.e percentage of callus fresh weight
increase, callus dry weight and saponin content. Data were analized using ANOVA and followed by DMRT 5% confident level. The
result of research showed that the increase of sucrose concentration raised the callus fresh weight, callus dry weight and saponin content.
Increase of glucose concentration raised saponin content. Both combination provide effect to percentage fresh weight increase, callus
dry weight and saponin content. The combination of sucrose 30 g/l and glucose 0 g/l provide the best of percentage of callus fresh
weight increase and callus dry weight. The combination of sucrose 20 g/l and glucose 30 g/l provide the best of saponin content.
Keyword: sucrose, glucose, saponin, callus growth, Talinum paniculatum Gaertn.
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk salah satu negara yang banyak
menggunakan obat-obat alami. Kebutuhan akan bahan
baku obat semakin meningkat sejalan dengan pemanfaatan
obat tradisional yang semakin meningkat. Sebagian besar
bahan-bahan tersebut selama ini dipenuhi dari tumbuhan
obat yang masih liar atau belum dibudidayakan dengan
baik. Kelemahan bahan baku dari tumbuhan liar adalah
tidak adanya jaminan kestabilan pasokan dan kualitas
bahan baku, oleh sebab itu diperlukan teknologi yang dapat
menyediakan bahan baku yang berkualitas dan terjamin
kestabilan pasokannya. Kultur jaringan tumbuhan
merupakan salah satu alternatif yang dapat memecahkan
masalah tersebut.
Kurz dan Constabel (1991), menyatakan bahwa kultur
sel tanaman secara in vitro, dapat menghasilkan produksi
metabolit sekunder terutama senyawa-senyawa obat lebih
♥ Alamat korespondensi:
Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126
Tel. & Fax.: +62-271-663375.
e-mail: [email protected]
baik dibandingkan tanaman utuh. Meskipun teknik kultur
jaringan mempunyai keuntungan, tetapi menurut Heble
(1996) dan Gerats et al. (1991) kandungan metabolit
sekunder dalam kultur sel relatif rendah, sehingga
diperlukan metode dalam kultur jaringan tumbuhan yang
dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder.
Sel dan kalus dapat dimanipulasi untuk memproduksi
senyawa tertentu. Di samping itu produktivitasnya juga
dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, antara lain
dengan mengoptimalisasi faktor fisiologis lingkungan
hidup sel, seperti mengoptimalisasi nutrisi media tumbuh
(Nurita dkk., 1990). Optimalisasi sumber karbon untuk
mencapai produk metabolit sekunder yang lebih tinggi
telah dilakukan. Pada kultur kalus Balanites aegyptiaca
penambahan sukrosa dan glukosa dapat meningkatan
kandungan saponin (Ramawat, 1999)
T. paniculatum atau som jawa merupakan salah satu
tanaman obat yang akarnya dipercaya berkhasiat sebagai
afrodisiak dan tonikum (Sa’roni dkk., 1999; Widowati
dkk., 1999). Bagian yang digunakan adalah akarnya dengan
kandungan bahan kimia saponin (Siswoyo, 1994, dalam
Lestari dan Purnamaningsih, 1996). Produksi senyawa
saponin dari kultur kalus T. paniculatum belum banyak
 2004 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
20
B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 18-22
dilakukan. Pada penelitian ini T. paniculatum diinduksi
produksi saponin dan pertumbuhan kalusnya dengan
mengoptimalisasi lingkungan tumbuh sel yaitu mengoptimalisasi nutrisi media tumbuh dengan penambahan
sumber karbon. Adapun sumber karbon yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sukrosa dan glukosa. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sukrosa, glukosa,
kombinasi sukrosa dan glukosa terhadap pertumbuhan dan
produksi saponin kultur kalus T. paniculatum.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2002
s.d. Maret 2003 di Sub Lab Biologi Laboratorium Pusat
MIPA, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi: daun T. paniculatum, akuades, deterjen cair,
alkohol absolut, sunclin, Media dasar Murashige Skoog,
2,4 D, kinetin, sukrosa (Merck), glukosa (RHD), etanol,
dan saponin Merck. Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: timbangan analitik, autoklaf, pH
meter, hotplate stirrer, gelas ukur, gelas piala, pipet
volumetrik, botol kultur, pipet tetes, aluminium foil, kertas
label, erlenmeyer, oven, laminar air flow, kompor bunsen,
gunting, hand sprayer, pinset, skapel, cawan petri,
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu, UV1601PC,
Australia), mortal, dan kuvet.
Cara kerja
Penanaman biji. Biji dibenihkan pada pot berisi tanah,
setelah tumbuh dan berumur 4 minggu, daun kedua dari
ujung dijadikan eksplan.
Sterilisasi peralatan. Alat-alat dan botol kultur yang
akan digunakan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu
1210 C tekanan 1.5 atm, selama satu jam.
Pembuatan stok. Bahan-bahan kimia untuk stok media
MS ditimbang lalu bahan-bahan kimia dilarutkan dengan
50 ml akuades dalam gelas piala sambil diaduk dengan
magnetic stirer. Setelah bahan larut volume ditepatkan
hingga 100 ml, kemudian larutan dimasukkan dalam botol
stok dan diberi label. Larutan disimpan dalam botol stok
yang dibungkus dengan aluminium foil dan diberi label.
Larutan stok disimpan dalam lemari es.
Pembuatan media. Media meliputi media inisiasi kalus
dan media perlakuan. Media inisiasi kalus: gelas piala
volume 1 liter diisi sepertiganya dengan akuades, kemudian
masing-masing stok dipipet sesuai dengan komposisi media
MS, dan dimasukkan dalam gelas piala. Zat pengatur
tumbuh (2,4 D 0,5 mg/l dan kinetin 0,5 mg/l) ditambahkan
dalam larutan, sambil diaduk sampai larut sempurna.
Kemudian sukrosa 30 g/l ditambahkan dalam gelas piala
dan diaduk hingga larut sempurna. Setelah itu akuades
dimasukan hingga ¾ bagian. Keasaman media diukur
dengan pH meter pada kisaran 5,6-5,8 dengan
menambahkan tetes demi tetes HCl 1 N (jika pH terlalu
tinggi) atau NaOH (jika pH terlalu rendah). Larutan diaduk
dengan magnetic stirer sampai diperoleh pH yang
diharapkan. Setelah itu agar sebanyak 8 g/l dan akuades
ditambahkan sampai volume akhir tercapai. Media dimasak
hingga mendidih, kemudian dituangkan ke dalam botolbotol kultur steril 20 ml pada saat panas, lalu botol kultur
ditutup dengan aluminium foil dan diberi label. Media
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1,5
atm, selama 15 menit. Media perlakuan pembuatan media
sama seperti pada media inisiasi kalus dengan penambahan
glukosa dan sukrosa sesuai dengan konsentrasi yang
ditentukan.
Sterilisasi eksplan. Daun dicuci dengan air mengalir,
lalu direndam dengan air deterjen selama 2 menit, dibilas
dengan air, kemudian dimasukkan dalam alkohol 70% dan
digojok selama 5 menit, dibilas dengan akuades steril.
Setelah itu daun dimasukkan dalam larutan sunclin 20%
dan digojok selama 10 menit, lalu dicuci 3 kali dengan
akuades steril masing-masing selama 5 menit.
Penanaman eksplan. Penanaman eksplan dilakukan
dengan 2 tahap pada media inisiasi kalus yaitu: daun
dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm2, lalu ditanam
pada media inisiasi, dan media perlakuan yaitu: kalus dari
media inisiasi dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm2,
kemudian ditanam pada media perlakuan.
Pengamatan dan pemanenan. Kalus dipanen setelah
berumur 4 minggu dan parameter yang diamati adalah berat
basah, berat kering, kadar saponin, dan morfologi kalus.
Analisis kadar saponin. Kalus kering digerus dengan
mortal hingga menjadi serbuk, lalu 0,1 gram serbuk yang
telah halus diekstraksi dengan 10 ml etanol 70% di atas
penangas air selama 15 menit kemudian dihitung kadarnya
dengan menggunakan spetrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 365 nm (Stahl, 1985) berdasarkan
kurva standar saponin Merck. Kadar yang diperoleh
dikonversi ke dalam bentuk mg/g berat kering kalus dengan
rumus (Harry, 1998):
S: Kadar saponin sampel x volume pengenceran
Berat sampel kalus
Analisis data
Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak lengkap
faktorial (Factorial Completely Randomized Design) yang
terdiri atas dua faktor, yaitu penambahan sukrosa dan
glukosa dengan empat taraf (0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l)
sehingga diperoleh 16 kombinasi perlakuan, dimana
masing-masing kombinasi dengan tiga ulangan. Data yang
diperoleh berupa persentase peningkatan berat basah kalus,
berat kering kalus dan kadar saponin, sedang data kualitatif
berupa morfologi kalus. Data kuantitatif dianalisis dengan
menggunakan uji ANAVA dan dilanjutkan dengan uji
DMRT taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Inisiasi kalus
Pada penelitian ini, kalus diperoleh dengan menanam
eksplan dalam media MS dengan zat pengatur tumbuh 2,4
D 0,5 mg/l dan kinetin 0,5 mg/l. Kombinasi zat pengatur
SUSKENDRIYATI dkk. – Kultur kalus Talinum paniculatum dengan variasi karbon
tumbuh demikian dimaksudkan untuk merangsang
pembelahan sel, pembesaran sel dan pertumbuhan kalus.
Zat pengatur tumbuh dibutuhkan untuk menginduksi
pembelahan sel (Kurz dan Costabel, 1991). Kalus akan
terbentuk pada media yang mengandung konsentrasi auksin
dan sitokinin dalam keadaan seimbang (Abidin, 1994).
Eksplan pada media inisiasi kalus mengalami penambahan
volume karena terjadi pembesaran ukuran sel. Kalus mulai
terbentuk pada hari ke tujuh setelah penanaman eksplan,
ditandai dengan munculnya bercak-bercak putih pada bekas
luka irisan eksplan. Pembentukan kalus dimulai pada
bagian eksplan yang terluka, terutama pada tepi irisan
eksplan.
Kalus yang terbentuk pertama kali berwarna putih
dengan tekstur remah. Kalus ini kemudian mengalami
pertumbuhan sehingga kalus membesar dan berwarna hijau
keputihan. Kalus yang diperoleh disubkultur setelah
berumur empat minggu, agar tetap tumbuh banyak. Street
(1973) mengatakan bahwa kalus sebaiknya disubkultur
setiap 4-6 minggu sekali. Warna kalus yang disubkultur
pada media baru lama-kelamaan berubah dari hijau
menjadi coklat muda ini disebabkan oleh umur kalus yang
semakin tua. Abdullah et al. (1998) menyatakan bahwa selsel muda yang sehat akan menunjukkan warna kuning
bening namun akan berubah menjadi kecoklatan seiring
dengan pertumbuhan kalus yang semakin tua. Pencoklatan
yang terjadi pada kalus dimungkinkan karena
terakumulasinya senyawa fenol. Eksplan yang mengalami
pencoklatan disebabkan oleh kondisi eksplan yang
mempunyai kandungan fenol yang tinggi (Hendaryono,
2000). Fitriani (2003) menyatakan kalus Catharantus
roseus mengalami perubahan warna menjadi coklat seiring
dengan lamanya waktu tanam karena adanya sintesis
senyawa fenol.
21
Tekstur kalus yang diperoleh adalah kompak, sedang
warnanya mengalami perubahan, dari coklat muda menjadi
coklat dan coklat tua. Hal ini disebabkan oleh umur eksplan
yang semakin tua. Pencoklatan yang terjadi pada kalus
dimungkinkan karena terakumulasinya senyawa fenol.
Menurut George dan Sherrington (1984), gula yang
digunakan untuk memicu pertumbuhan kultur jaringan
dapat menghambat sintesis klorofil, dan tingkat hambatan
tersebut berbeda-beda untuk jaringan dari spesies
tumbuhan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penelitian
Lestari (2001) bahwa kalus yang dihasilkan berwarna
kuning kecoklatan akibat penambahan sukrosa. Menurut
Street (1973) kalus dengan tekstur kompak mempunyai
susunan sel yang rapat, padat sehingga sulit dipisahpisahkan. Selain itu juga dikatakan bahwa pada tekstur
kalus non friabel sebagian selnya sulit dipisahkan dan
mempunyai proporsi vakuola yang lebih besar dalam selselnya, serta mempunyai dinding sel polisakarida yang
besar pula.
Morfologi kalus
Kondisi kalus yang disubkultur pada media perlakuan
mempunyai tekstur kompak dan berwarna coklat muda
(Tabel 1).
Pertumbuhan kalus
Berat basah kalus
Kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa memberi
beda nyata terhadap persentase peningkatan berat basah
kalus tiap perlakuan (Tabel 2). Persentase peningkatan
berat basah kalus tertinggi diperoleh pada kombinasi
sukrosa 30 g/l dan glukosa 0 g/l (S3G0) yaitu 100,83%. Hal
ini menunjukkan bahwa sukrosa 30 g/l optimum untuk
pertumbuhan kalus. Sukrosa adalah sumber karbon dan
energi yang paling sesuai untuk pertumbuhan jaringan pada
kultur sel tanaman dibandingkan karbohidrat lain (George
(1993) dalam Iraqi dan Tremblay, 2001).. Sukrosa dapat
masuk dalam glikolisis dan siklus Krebs untuk membentuk
ATP dan NADH (Strum, 1999). Sukrosa akan terhidrolisis
menjadi glukosa dan fruktosa (Maretzki, 1974) Persentase
peningkatan berat basah kalus terendah diperoleh pada
media tanpa penambahan sukrosa dan glukosa. Hal ini
disebabkan jumlah karbohidrat yang tidak tersedia mencukupi untuk mendorong pertumbuhan kalus dengan baik.
Tabel 1. Warna dan tekstur kalus T. paniculatum pada media MS
dengan variasi konsentrasi sumber karbon setelah berumur 4
minggu.
Tabel 2. Persentase peningkatan berat basah kalus T. paniculatum
pada media MS dengan variasi konsentrasi sumber karbon setelah
berumur 4 mingggu (%).
Media perlakuan
Sukrosa (g/l)
Glukosa (g/l)
0
10
0
20
30
0
10
10
20
30
0
10
20
20
30
0
10
30
20
30
Sukrosa
Glukosa (g/l)
(g/l)
0
10
20
30
Rerata
0
3,09 j
6,68 j
7,01 j
11,46 ij
7,06 d
10
9,45 ij
18,70ghi 20,55 gh 38,12 e
21,70 c
fg
de
b
cd
20
45,30 b
26,26
41,92
63,77
49,92
30
100,83 a
53,89 c
32,50 ef
66,44 b
63,42 a
a
a
a
a
Rerata
34,91
33,43
36,31
32,83
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau
kolom yang sama tidak menunjukan berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Morfologi kalus
Warna
Tekstur
Coklat
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat tua
Kompak
Coklat muda
Kompak
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat tua
Kompak
Coklat muda
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat muda
Coklat muda
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat
Kompak
Coklat tua
Kompak
Variasi konsentrasi glukosa memberikan pengaruh tidak
nyata terhadap persentase peningkatan berat basah kalus
(Tabel 2.). Pemberian glukosa ke dalam media diduga
kurang memacu pertumbuhan karena sebagian glukosa
diakumulasi dalam sel, dijadikan cadangan karbohidrat dan
akan digunakan sel untuk membentuk metabolit sekunder.
22
B i o S M A R T Vol. 6, No. 1, April 2004, hal. 18-22
Hal yang serupa terjadi pada kultur Cataranthus roseus
(Dicosmo, 1989). Menurut Maretzki (1974) respon
pertumbuhan sel terhadap penambahan karbohidrat setiap
spesies berbeda.
Pemberian sukrosa dengan konsentrasi yang bervariasi
memberikan
pengaruh
berbeda
nyata
terhadap
pertumbuhan kalus, sukrosa dapat diserap sel kalus setelah
terhidrolisis menjadi monosakarida maupun dalam bentuk
sukrosa (Tabel 2.). Sukrosa terhidrolisis menjadi glukosa
dan fruktosa yang dapat digunakan sebagai sumber karbon
dan energi untuk pertumbuhan (Maretzki, 1974). Hal ini
menyebabkan sukrosa memberikan energi dan karbon yang
lebih besar untuk mensintesis senyawa untuk memacu
pertumbuhan kalus. Dalam pertumbuhan kalus, selain
sebagai sumber karbon dan energi sukrosa juga
berpengaruh terhadap pemanjangan dan pembesaran sel.
Menurut Strum (1999) hidrolisis sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa dalam sel mempengaruhi tekanan osmotik sel.
Hidrolisis sukrosa ini menyebabkan penyerapan air ke
dalam sel lebih banyak sehingga meningkatkan tekanan
turgor yang selanjutnya menyebabkan pembesaran dan
pemanjangan sel. Hal ini yang menyebabkan variasi
konsentrasi sukrosa memberikan pengaruh nyata terhadap
persentase peningkatan berat basah kalus.
Penambahan variasi konsentrasi sukrosa memberikan
beda nyata terhadap berat kering kalus. Tabel 3.
menunjukkan peningkatan rerata berat kering kalus seiring
dengan meningkatnya konsentrasi sukrosa yang diberikan
ke dalam media. Peningkatan konsentrasi sukrosa
menyebabkan pembentukan metabolit untuk mendorong
pembelahan dan pertumbuhan kalus bertambah. Sedang
penambahan variasi konsentrasi glukosa tidak memberi
beda nyata terhadap berat kering kalus. Perbedaan
konsentrasi glukosa yang diberikan memberi pengaruh
yang sama terhadap pertumbuhan.
Berat kering kalus
Pertumbuhan kalus selain ditentukan dengan
peningkatan berat basah kalus juga dapat ditentukan
dengan berat kering kalus. Uji statistik terhadap berat
kering kalus menunjukkan ada beda nyata yang disebabkan
oleh perlakuan kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa.
Tabel 3 menunjukkan berat kering kalus tertinggi diperoleh
pada kombinasi sukrosa 30 g/l dan glukosa 0 g/l yaitu
sebesar 0,35 g, sehingga pada penelitian ini sukrosa 30 g/l
diperkirakan
merupakan
media
optimum
untuk
pertumbuhan kalus. Diduga pemberian sukrosa 30 g/l pada
media menyebabkan sel-sel kalus aktif membelah sehingga
kalus lebih banyak membentuk biomassa selama
pertumbuhan. Menurut Dicosmo (1989) fruktosa dan
glukosa diserap sel dan kemudian dikonversi menjadi
energi untuk memacu pertumbuhan dan untuk membentuk
struktur prekursor pembentuk biomassa. Sedangkan berat
kering kalus terendah diperoleh pada media tanpa
penambahan sukrosa maupun glukosa. Pada media ini
pertumbuhan kalus rendah karena jumlah karbohidrat yang
tidak mencukupi untuk mendorong pertumbuhan sehingga
biomassa yang terbentuk rendah.
Tabel. 4. Kadar saponin kalus T. paniculatum pada media MS
dengan variasi konsentrasi sumber karbon setelah berumur 4
minggu (mg/g).
Tabel 3. Berat kering kalus T. paniculatum pada media MS
dengan variasi konsentrasi sumber karbon setelah berumur 4
minggu (g).
Sukrosa
Glukosa (g/l)
(g/l)
0
10
20
30
Rerata
0
0,18 g
0,22 efg
0,23 ef
0,24 d
0,22 efg
10
0,20 fg
0,23 ef
0,24 ef
0,26 cde
0,25 c
de
bcde
bcde
bcd
20
0,25
0,26
0,27
0,29
0,27 b
30
0,35 a
0,30 bc
0,31 b
0,31 b
0,32 a
b
ab
ab
a
Rerata
0,24
0,25
0,26
0,27
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau
kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Kadar saponin kalus
Uji statistik menunjukkan bahwa variasi konsentrasi
sukrosa memberikan beda nyata terhadap kadar saponin
kalus. Peningkatan konsentrasi sukrosa menyebabkan
peningkatan kadar saponin kalus. Demikian pula hasil uji
statistik variasi konsentrasi glukosa menunjukkan ada beda
nyata terhadap kadar saponin. Peningkatan kadar saponin
seiring dengan peningkatan konsentrasi glukosa yang
ditambahkan. Dari rerata kadar saponin terlihat kadar
saponin terendah diperoleh pada glukosa 0 g/l dan kadar
saponin tertinggi diperoleh pada konsentrasi glukosa 30 g/l
(Tabel 4.).
Sukrosa
Glukosa (g/l)
(g/l)
0
10
20
30
Rerata
0
1,01 d
1,01 d
1,15 bcd
1,14 bcd
1,08 b
10
1,07 cd
1,15 bcd
1,17 bcd
1,18 bcd
1,15 b
20
1,15 bcd
1,22 abc
1,24 abc
1,39 a
1,25 a
30
1,23 abc
1,28 ab
1,32 ab
1,30 ab
1,28 a
Rerata
1,11 c
1,17 bc
1,22 ab
1,25 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris atau
kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5%.
Uji statistik terhadap kadar saponin kalus juga
menunjukkan ada beda nyata yang disebabkan kombinasi
konsentrasi sukrosa dan glukosa (Tabel 4). Hal ini
menunjukkan bahwa pembentukan saponin dipengaruhi
oleh kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa.
Penambahan sukrosa 20 g/l dan glukosa 30 g/l memberikan
kadar saponin tertinggi. Pada penelitian ini dapat dikatakan
bahwa penambahan sukrosa 20 g/l dan glukosa 30 g/l pada
media merupakan kombinasi yang tepat untuk produksi
saponin kalus T. paniculatum. Hal ini disebabkan
pemberian glukosa dan sukrosa pada konsentrasi rendah
lebih banyak diserap sel-sel kalus untuk pertumbuhan
daripada sintesis saponin, sedang pada konsentrasi yang
tinggi diserap sel-sel kalus selain untuk pertumbuhan juga
digunakan untuk membentuk saponin.
Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam Merrilon dan
Ramawat (1999) gula dalam pembentukkan metabolit
sekunder, gula digunakan sebagai sumber energi, sumber
karbon, dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi
ekspresi gen dalam proses pembentukkan metabolit
sekunder. Menurut Dicosmo (1989) sumber karbon dapat
menginduksi pembentukkan metabolit sekunder, dan pada
SUSKENDRIYATI dkk. – Kultur kalus Talinum paniculatum dengan variasi karbon
konsentrasi yang tinggi karbohidrat dapat mempertahankan
metabolisme sekunder.
Dalam sel tumbuhan, karbohidrat dapat mempengaruhi
pembentukan metabolit sekunder melalui glikolisis dan
daur Krebs. Kedua jalur tersebut menjadi sumber energi
dalam pembentukan metabolit sekunder (Ramawat, 1999).
Menurut Strum (1999) glukosa dan fruktosa yang
terfosforilasi akan digunakan sel untuk metabolisme lebih
lanjut. Sukrosa dapat masuk dalam glikolisis dan siklus
Krebs untuk membentuk ATP dan NADH yang merupakan
sumber energi dalam membentuk senyawa saponin.
Selain sebagai sinyal untuk pembentukkan metabolit
sekunder dan sumber energi, glukosa dan fruktosa juga
digunakan sebagai sumber karbon untuk membentuk
senyawa saponin. Gula terfosforilasi akan mengalami
glikolisis menjadi asam piruvat. Asam piruvat yang
dihasilkan kemudian akan mengalami oksidasi dan
pelepasan CO2 dari piruvat sehingga terbentuk asetil koA.
Menurut Hopkins (1999) dan Pramono (1998) melalui jalur
asam mevalonat, asetil koA merupakan prekursor dalam
pembentukkan saponin. 3 asetil koA berkondensasi
membentuk hidroksimetil glutaril koA (HMG-CoA),
kemudian mereduksi menjadi asam mevalonat (MVA).
Asam mevalonat kemudian diubah menjadi asam
mevalonat 5 pirofosfat (MVA PP) dengan menggunakan
ATP. Asam mevalonat 5 pirofosfat dengan adanya enzim
anhidrodekarboksilase dan ATP diubah menjadi isopentenil
pirofosfat (IPP) dan melepaskan CO2, Pi dan ADP. IPP
diubah menjadi dimetilalil pirofosfat (DAMP) melalui
isomerase, kemudian dimetilalil pirofosfat mengalami
kondensasi dengan isopentenil pirofosfat membentuk
geranil pirofosfat. Reaksi ini dikatalisir oleh enzim prefenil
transferase. Geranil pirofosfat mengalami kondensasi dengan isopentenil pirofosfat membentuk farnesil pirofosfat
dengan adanya enzim farnesil pirofosfat sintetase. Dua
farnesil pirofosfat akan bergabung menjadi skualen. Tahap
akhir adalah pembentukan saponin dari skualen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan: (i)
peningkatan konsentrasi sukrosa meningkatkan berat basah,
berat kering, dan kadar saponin, (ii). peningkatan
konsentrasi glukosa meningkatan kadar saponin, (iii)
kombinasi sukrosa dan glukosa berpengaruh terhadap
peningkatan berat basah, berat kering dan kadar saponin
kalus. Kombinasi sukrosa 30 g/l dan glukosa 0 g/l
memberikan persentase peningkatan berat basah dan berat
kering terbaik. Kombinasi sukrosa 20 g/l dan glukosa 30 g/l
memberikan kadar saponin terbaik.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh
pemberian asam mevalonat sebagai prekursor senyawa
saponin terhadap pertumbuhan dan produksi saponin kultur
kalus T. paniculatum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.A., M. Ali, N.H. Marziah, dan A.B. Arrif, 1998.
Establisment of cell suspension cultures of Morinda elliptica for the
23
production of anthraquinoes. Plant Cell Tissue and Organ Culture
54: 173-182.
Abidin, Z. 1994. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur
Tumbuh. Bandung: Angkasa
Dicosmo, F. 1989. Tissue Culture Secondary Metabolism. Toronto: Bio
International Inc.
Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalisin pada Kultur Kalus Catharanthus
roseus (L). G. Don. Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Phyhium
aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah Pengantar Sains. PPS702.
http://rudyet.tripod.com/sem2-022/any fitriyani htm. [14 Mei 2003]
George, E. P. and P.D. Sherington 1984. Plant Propagation by Tissue
Culture. Eversley: Hand Book and Directory of Commercial
Laboratories. Exigetic Limited.
Gerats, A., H. Haring, E.Jacobsen, Koornneef, Puite, W.J. Stiekema, P.C.
Struik, L.Visser, M. Valk., and L.V.V. Doting. 1991.
Biotechnological Innovations Crop Improvement. Boston:
Butterworth Heine Mann.
Harry. 1998. Pengaruh Glukosa Terhadap Kandungan Vitamin C pada
Kalus Kubis Merah (Brassica oleracea L var capitata). Skripsi.
Yogyakarta: UGM.
Heble, M.R. 1996 Production of secondary metabolit through tissue
culture and its prospects for commersial use . In Islam A.S. (Ed).
Plant Tissue Culture. New Delhi: Science Publisher.
Hendaryono, D.P.S. 2000. Pembibitan Anggrek dalam Botol. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hopkins, W.G. 1999. Introduction to Plant Physiology. Toronto: John
Wiley and Sons, Inc.
Iraqi, D., and F.M. Tremblay. 2001. Analysis of carbohidrat metabolism
enzimes and cellular contents of sugar and proteins during spruce
somatic embryogenesis sugests a regulatory role of exogenous
sucrose in embrio development. Journal of Experimental Botany 52:
2301-2311.
Kurz, W.G.W. dan. F. Constabel 1991. Produksi dan isolasi metabolit
sekunder. Dalam Wetter, L.R dan F. Constabel (ed). Metode Kultur
Jaringan Tanaman. Penerjemah: Widianto dan B. Mathilda.
Bandung: Penerbit ITB.
Lestari, E.B. 2001. Pengaruh Penambahan Sukrosa Terhadap Kandungan
Gula Reduksi pada Kalus Batang Jagung Manis (Zea mays). Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM
Lestari, E.G dan R. Purnamaningsih. 1996. Respon jaringan Talinum
paniculatum pada media dasar MS dan Monnier. Prosiding
Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik. APINMAP.
Hal.: 298-305.
Maretzki, A., M. Thom, L.G. Nickell. 1974. Utilization and metabolism of
carbohydrates in cell and callus culture. In Street, H.E. (ed). Tissue
Culture and Plant Science. London: Academic Press Inc.
Merillon, J. M. and K.G. Ramawat, 1999. Mechanism and control. In.
Ramawat, K. G and J .M. Merillon (eds). Biotechnology Secondary
Metabolites. New Hampchire: Science Publisher, Inc.
Nurita, T., S. Solahuddin, L. Winata, Satradipradja, dan K. Padmawinata.
1990. Pengaruh 2,4 D, kolesterol dan radiasi Co – 60 terhadap
pertumbuhan dan kandungan diosgenin dalam kultur jaringan Costus
spesiosus. Forum Pasca Sarjana 13 (1): 1-14.
Pramono, S. 1998. Terpen dan terpenoid. Dalam Amini, S. Pramono,
Soegihardjo, dan H. Hartiko Pengantar Biokimia Tumbuhan.
Yogyakarta: PAU Bioteknologi.
Ramawat, K.G. 1999. Production in culture: optimation. In Ramawat,
K.G. and J.M. Merillon. (eds). Biotechnology Secondary Metabolites.
New Hampchire: Science Publisher, Inc.
Sa’roni, N. Yunastuti, dan Adjirni. 1999. Pengaruh infus akar som jawa
(Talinum paniculatum Gaertn.) terhadap jumlah dan motilitas
spermatozoa pada mencit. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5 (4): 1314.
Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi.
Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: Penerbit ITB.
Street, H. E. 1973. Plant Tissue and Cell Culture. Berkeley: University of
California Press.
Strum, A. 1999. Invertases. Primary structure, funtions, and roles in plant
development and sucrose partitioning. Journal of Plant Physiology
121:1-8
Widowati, L., Pudjiastuti, dan B. Nuratmi. 1999. Efek stimulan susunan
syaraf pusat infus akar som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.)
pada mencit putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5 (4): 20-22.
Download