Siapa mendefinisikan “Pencegahan Positif”?

advertisement
Siapa mendefinisikan “Pencegahan Positif”?
Oleh: Gus Cairns, aidsmap.com, 5 Agustus 2008
Program pencegahan untuk Odha yang terstruktur dan berdasarkan teori dapat sangat efektif. Hal ini
dilaporkan pada Konferensi AIDS Sedunia 2008. Satu program melaporkan penurunan 67% dalam
perilaku berisiko oleh laki-laki gay yang diberi pelatihan sebaya. Tetapi juga ada keraguan di antara
aktivis HIV-positif mengenai apakah Odha sebaiknya menjadi sasaran intervensi pengurangan penularan
HIV.
Sebuah sesi mengenai ‘Pencegahan Positif’ memperkenalkan dua survei mengenai perilaku seksual di
antara Odha dari belahan dunia Selatan dan Utara, dan juga dua model intervensi yang sangat berbeda.
Survei perilaku pertama (Shuper) adalah terhadap laki-laki dan perempuan HIV-positif di distrik
Umyungundlovu di provinsi KwaZulu Natal di Afrika Selatan, wilayah dengan prevalensi HIV di antara
yang tertinggi di dunia – 44,4% populasi dewasa. Sebuah survei dikoordinasikan oleh Universitas
Toronto melakukan angket dibantu komputer yang rahasia di antara 101 perempuan dan 101 laki-laki,
semua dengan HIV dan memakai terapi antiretroviral (ART).
Penelitian tersebut menemukan bahwa satu dari tiga pasien melakukan hubungan seks tanpa kondom
dalam empat minggu sebelumnya dan satu dari enam dengan pasangan yang mungkin tidak terinfeksi
HIV. Penemuan penelitian yang paling menonjol adalah eratnya kaitan antara hubungan seks tanpa
kondom di antara perempuan HIV-positif dengan kerentanan sosial. Walau perempuan itu kurang aktif
secara seksual dibandingkan laki-laki (38% pernah melakukan hubungan seks dalam empat minggu
sebelumnya dibandingkan 52% laki-laki), perempuan lebih banyak melakukan hubungan seks tanpa
kondom (40% banding 27%), walau hal ini tidak lebih mungkin dengan pasangan tidak terinfeksi HIV.
Sebagian yang sangat besar perempuan menganggur (85%) tetapi semua perempuan yang belum nikah
yang melaporkan hubungan seks tanpa kondom adalah penganggur, dibandingkan 70% perempuan yang
tidak. Hubungan lain terkait hubungan seks tanpa kondom adalah kekerasan fisik dalam hubungannya,
merasa kesepian dan dikucilkan, dan tidak berkuasa untuk mendorong penggunaan kondom.
Sebaliknya, salah satu prediktor terbesar terhadap hubungan seks tanpa kondom oleh laki-laki adalah
penggunaan alkohol sebelum hubungan seks: 83% mengonsumsi alkohol sebelum hubungan seks tanpa
kondom dibandingkan 48% sebelum hubungan seks dengan kondom.
Kecurigaan mengenai efektivitas kondom terkait dengan hubungan seks tanpa kondom pada laki-laki dan
perempuan, dengan 40% menyetujui bahwa “kondom tidak kuat dan mudah bocor” dan di atas satu dari
lima menyetujui bahwa “kondom yang disediakan gratis oleh pemerintah mengandung HIV.”
Sebuah survei terhadap laki-laki dan perempuan HIV-positif di Eropa menghasilkan penemuan yang tidak
jauh berbeda. Eurosupport adalah jaringan Eropa yang menyurvei perilaku seksual di antara Odha di 16
klinik HIV di 13 negara Eropa. Sebuah angket lintas seksi yang dikirim pada sekelompok pasien yang
dipilih secara acak menanyakan mengenai perilaku seksual dan juga mengenai faktor psikologis.
Walau angket ini dikirim pada lebih dari 3.000 orang, hanya 1.212 mengembalikannya, angka tanggapan
39%, yang mungkin mempengaruhi tingkat perwakilan.
Dari mereka yang mengembalikannya, 58% adalah laki-laki gay, 24% perempuan, dan 18% laki-laki
heteroseks. Yang menarik, 13% laki-laki heteroseks dan 10% perempuan melaporkan melakukan seks
anal.
Laki-laki gay sedikit lebih mungkin melaporkan melakukan hubungan seks tanpa kondom dengan
pasangan yang mungkin tidak terinfeksi HIV (37% banding 31% pada perempuan dan 25% laki-laki
heteroseks).
Hubungan seks tanpa kondom oleh semua pasien dikaitkan dengan mempunyai pasangan yang HIVpositif. Pada perempuan, usia lebih tinggi, penggunaan mariyuana, dan keinginan untuk mendapatkan
anak dikaitkan dengan hubungan seks tanpa kondom; pada laki-laki gay dengan usia lebih muda, serta
penggunaan narkoba dan obat disfungsi ereksi dikaitkan dengan hubungan seks tanpa kondom, dan, yang
mengkhawatirkan, dengan hubungan seks yang lebih bermutu. Status sosioekonomi (pekerjaan) dikaitkan
secara positif dengan hubungan seks tanpa kondom pada laki-laki gay tetapi secara negatif pada laki-laki
heteroseks.
Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/
Siapa mendefinisikan "Pencegahan Positif"?
Ada kaitan yang menarik antara penggunaan ART dan melakukan hubungan seks tanpa kondom oleh
laki-laki gay. Kemungkinan mereka yang memakai ART melakukan hubungan seks tanpa kondom secara
umum lebih rendah, dan laki-laki yang mengetahui viral loadnya – tidak tergantung apakah mereka
mempunyai viral load terdeteksi atau tidak –kemungkinan melakukan hubungan seks tanpa kondom
hanya separuh dibandingkan yang tidak mengetahui viral loadnya.
Kedua penelitian terhadap intervensi perilaku pada Odha sangat berbeda. Satu (Dawson Rose), yang
dilakukan oleh UCSF, melibatkan 44 dokter umum yang dibagi secara acak untuk dilatih atau tidak
dilatih mengenai penyampaian pesan pengurangan risiko yang dikhususkan pada pasien. Pelatihan
mengajar dokter mengenai bagaimana membahas perilaku seksual dengan pasien, menilai perilaku
berisiko, dan menyampaikan nasihat pengurangan risiko secara lebih baik. Data dikumpulkan dari 386
pasiennya selama enam bulan kemudian untuk menilai apakah pelatihan berdampak.
Pada enam bulan, pasien dari dokter yang mengikuti pelatihan mempunyai 57% lebih sedikit pasangan
secara umum (walau mereka lebih sering melakukan hubungan seks), dan 56% lebih sedikit pasangan
yang mungkin tidak terinfeksi HIV, dibandingkan pasien dari dokter yang tidak mengikuti pelatihan.
Berbeda dengan nasihat yang disampaikan oleh dokter ini, intervensi kedua, dari klinik HIV Fenway di
Boston, AS (O’Cleirigh), merancang serangkaian pelatihan modular yang disampaikan oleh sebaya untuk
laki-laki gay yang HIV-positif. Dalam pelatihan ini, pekerja sosial dan psikolog bekerja sama dengan
kelompok fokus pasien, dan kemudian melatih pelatih sebaya untuk menyampaikannya. Proyek
ENHANCE itu mencakup empat modul masing-masing satu jam. Semua 195 pasien menerima yang
pertama (“Berhubungan Seks”), dan kemudian boleh memilih tiga modul lagi dari enam. Modul lagi ini
adalah “Mendapatkan Hubungan yang Diharapkan”, “Pengungkapan”, “Budaya, Komunitas dan Anda”,
“Kendalikan Stres”, “Pemicu untuk Seks Berisiko”, dan “Narkoba” – berurutan dengan popularitas.
Tiga puluh persen pasien melaporkan pernah berisiko secara seksual pada awal dan dipantau untuk 12
bulan, dengan ketahanan 78% pada 12 bulan. Kelompok pasien terutama berkulit putih (79%),
berpendidikan baik dengan usia rata-rata 43 tahun dan mengetahui diri terinfeksi HIV selama sepuluh
tahun. Namun penilaian psikologis juga mengungkapkan kerentanan tinggi; 43% mengatakan mereka
dianiaya waktu kecil, 27% pernah depresi berat, dan 10% pernah mengalami serangan panik.
Yang menarik mengenai penelitian ini adalah – berbeda dengan apa yang ditemukan pada penelitian lain
– pasien dengan tingkat perilaku berisiko yang tinggi menanggapinya terutama baik, sementara mereka
yang tidak begitu berisiko pada awal tidak mengubah perilaku. Jumlah peristiwa seksual berisiko yang
diperkirakan dalam 30% pasien berisiko tinggi menurun dari 15 dalam enam bulan sebelumnya pada awal
menjadi 5,0 enam bulan setelah mulai pelatihan, dan tetapi 6,4 pada 12 bulan, yang menunjukkan
penurunan 57% pada perilaku berisiko. Penurunan dalam risiko secara keseluruhan dengan tiga tolok
ukur (pernah seks berisiko, jumlah jenis perilaku berisiko, dan perbandingan seks anak tanpa kondom)
adalah 33%.
Pada pembukaan sesi, aktivis HIV Philippa Lawson, salah satu pendiri International Community of
Women Living with HIV, berkomentar bahwa ‘pencegahan positif’ hanya masuk akal sebagai konsep
terpisah untuk minoritas Odha di dunia yang sudah mengetahui statusnya. Dia menambahkan bahwa
keterlibatan Odha dalam rancangan program pencegahan adalah jarang, dan melaporkan bahwa pada
Pertemuan Tingkat Tinggi Living 2008, sebuah pertemuan satelit prakonferensi untuk Odha, utusan
hanya dapat sepakat mengenai definisi ‘pencegahan positif’ sebagai membungkus pola hidup yang sehat
dan pencegahan AIDS, dengan sekelompok Odha yang bersuara menganggap bahwa fokus penularan
HIV apa pun sebagai hampir sama dengan menyatakan bahwa hanya Odha mempunyai tanggung jawab
untuk mencegahnya. Dia mengakhiri komentarnya dengan mendesak utusan untuk mempertimbangkan
bagaimana Odha dapat lebih terlibat dan mengembangkan rasa kepemilikan terhadap pencegahan HIV.
Ringkasan: Who defines ‘Positive prevention’?
Sumber:
Shuper PA et al. Correlates of high-risk sexual behaviour among sexually active HIV-positive women and men in clinical care in KwaZulu-Natal,
South Africa. XVII World AIDS Conference, Mexico City. Abstract MOAC0305. 2008
Nöstlinger C et al. Eurosupport V: understanding sexual risk behaviour among people living with HIV. XVII World AIDS Conference, Mexico City.
Abstract MOAC0306. 2008.
Dawson Rose C et al. Providing prevention for HIV-positive persons during clinical care visits: results of the HIV intervention for providers (HIP)
study. XVII World AIDS Conference, Mexico City. Abstract MOAC0302. 2008.
O’Cleirigh C et al. Successful implementation of a peer-administered secondary HIV prevention intervention for MSM in primary care. XVII World
AIDS Conference, Mexico City. Abstract MOAC0303. 2008.
–2–
Download