Struktur STUDI PERBANDINGAN RESPON SPEKTRA KOTA TARUTUNG BERDASARKAN SNI 03-1726-2002 DAN SNI 1726:2012 UNTUK EVALUASI PELAKSANAAN BANGUNAN TAHAN GEMPA (217S) Meassa Monikha Sari Program Beasiswa Unggulan BPKLN Kemdikbud, MTS UII, Yogyakarta Email : [email protected] ABSTRAK Makalah ini memaparkan perbandingan respon spektra desain berdasarkan SNI 03-1726-2002 dengan SNI 1726:2012 untuk Kota Tarutung. Lokasi kajian dibatasi pada koordinat 2,010986o LU dan 98,959381o BT. Pedoman SNI 03-1726-2002 mengacu pada UBC 1997 yang menggunakan gempa 500 tahun (10 % terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) sementara SNI 1726:2012 menggunakan gempa 2500 tahun (2% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) yang didesain untuk menghindari keruntuhan pada maximum considered earthquake (MCE) dibandingkan dengan gempa 500 tahun yang menyediakan kondisi life safety. Hasil kajian respon spektra desain Kota Tarutung berdasarkan SNI 1726:2012 menunjukkan adanya kenaikan nilai spectral acceleration dibandingkan SNI 03-1726-2002. Berdasarkan SNI 03-1726-2002 nilai spectral acceleration maksimum adalah 0,85 sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 nilai maksimumnya 1,0. Bangunan di Kota Tarutung yang dibangun dengan mengacu pada SNI 1726:2012 akan lebih aman apabila dilanda gempa di masa depan dibandingkan dengan bangunan yang dibangun berdasarkan SNI 03-17262002. Oleh sebab itu dalam upaya mitigasi bencana gempa di Kota Tarutung, diperlukan evaluasi terhadap rumah dan bangunan yang dibangun berdasarkan SNI-03-1726-2002. Kata kunci: respon spektra desain, Tarutung, bangunan tahan gempa, SNI 03-1726-2002, SNI 1726:2012 1. PENDAHULUAN Daratan Sumatera dilalui oleh patahan-patahan yang sering menyebabkan terjadinya gempa. Peristiwa-peristiwa gempa pada jalur patahan yang pernah terjadi di beberapa daerah di Sumatera Utara diantaranya di Sibolga pada 11 November 1852 dengan kekuatan 6,8 SR, kemudian pada 17 Mei 1892 di Barat Danau Toba, pada 28 Desember 1935 di Sibolga (7,9 SR), 9 September 1936 di Tanah Karo (7,2 SR), 27 Agustus 1984 di Tarutung (5,2 SR), 25 April 1987 di Tarutung (6.6 SR), 17 Desember 2006 di Muara Siponggi (5,8 SR) dan 14 Juni 2011 di Tarutung (5,5 SR). Dari catatan data tersebut menunjukkan Kota Tarutung termasuk kota yang rawan bencana gempa bumi, kondisi fisik kota yang rawan bencana gempa disebabkan oleh keadaan geoteknik dan geologis kota tersebut yang dilalui oleh jalur patahan aktif (Sitinjak, 2011). Kajian terhadap kejadian-kejadian gempa besar yang akhir-akhir ini melanda Indonesia seperti gempa Aceh (2004) dan gempa Nias (2005) salah satunya memberikan kesimpulan bahwa magnitude gempa yang terjadi ternyata lebih besar dari magnitude maksimum yang diperkirakan sebelumnya dalam standar perencanaan struktur tahan gempa (Irsyam, dkk., 2010) dan berdasarkan kajian tersebut, SNI 03-1726-2002 dinilai sudah tidak sesuai lagi untuk diterapkan sebagai pedoman perencanaan struktur tahan gempa, sehingga diperlukan revisi pedoman yang baru disahkan yaitu menjadi SNI 1726:2012. Pedoman SNI 03-1726-2002 mengacu pada UBC 1997 yang menggunakan gempa 500 tahun (10% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) sementara peraturan-peraturan gempa modern saat ini telah menggunakan gempa 2500 tahun (2% terlampaui dalam 50 tahun umur bangunan) seperti pada NEHRP 1997, ASCE 7-98 dan IBC 2000 (Imran, 2010). Pedoman SNI 1726:2012 yang baru disahkan sebelumnya merupakan RSNI 03-1726-201x yang mengacu pada ASCE 7-10. Perbedaan yang mendasar dalam SNI 1726:2012 adalah penggunaan gempa 2500 tahun yang didesain untuk menghindari keruntuhan pada Maximum Considered Earthquake (MCE) dibandingkan dengan gempa 500 tahun yang menyediakan kondisi life safety (Ghosh, 2008). Peta gempa 2500 tahun dibuat dengan suatu estimasi faktor aman minimum terhadap keruntuhan yang disepakati berdasarkan pengalaman dan keputusan konservatif sebesar 1,5, sehingga dalam analisis ini akan digunakan nilai 2/3 (1/1,5). Artinya, jika suatu struktur terkena suatu gempa 1,5 kali lebih besar dari gempa rencana, maka kecil kemungkinan struktur tersebut mengalami keruntuhan (Naeim, 2001). Akan tetapi, faktor aman sesungguhnya masih dipengaruhi oleh tipe struktur, detailing dan lain-lain (Bozorgnia and Bertero, 2004). Dengan pertimbangan bahwa Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 S - 277 Struktur pencegahan terhadap runtuhnya suatu bangunan yang dikenai gempa besar yang relatif jarang terjadi (gempa 2500 tahun) serta faktor aman 1,5 terhadap keruntuhan, maka ASCE (dan IBC serta NEHRP) mendefinisikan desain gerakan tanah sebagai 1/1,5 (atau 2/3) kali gempa 2500 tahun (Naeim, 2001). Penggunaan percepatan 0,2 dan 1 detik dikarenakan pada interval tersebut mengandung energi gempa terbesar (AISC, 2005). Selain itu, periode 0,2 detik umumnya mewakili periode getar struktur terpendek (bangunan 2 tingkat) yang direncanakan menurut ketentuan ASCE yang telah mempertimbangkan efek dari tanah, goyangan pada fondasi dan faktor lain yang biasanya diabaikan dalam analisis struktur (Taranath, 2010). Respon spektra adalah suatu spektra yang disajikan dalam bentuk plot antara periode getar struktur T terhadap respon-respon maksimum berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu. Respon-respon maksimum dapat berupa simpangan maksimum, kecepatan maksimum atau percepatan maksimum massa struktur single degree of freedom (SDOF), (Widodo, 2001). Respon spektra berdasarkan SNI 1726:2012 mengacu pada respon spektra elastik yang direduksi dengan suatu nilai R dan redaman 5% (FEMA 451B, 2007). Nilai R tersebut diperhitungkan terhadap suplai daktilitas yang diantisipasikan, kuat lebih (overstrength), redaman (jika berbeda dari 5 %), kinerja struktur yang sama yang telah lalu dan redundansi. Studi perbandingan respon spektra sebelumnya telah dilakukan oleh Sunardi, dkk., (2013) yang melakukan kajian perbandingan respon spektra berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan RSNI-201x (saat belum disahkan menjadi SNI 1726:2012) untuk evaluasi pelaksanaan bangunan tahan gempa untuk Kota Bantul. Hasil kajian yang diperoleh yaitu bahwa respon spektra desain Kota Bantul berdasarkan rancangan RSNI-201x menunjukkan adanya kenaikan nilai spectral acceleration dibandingkan SNI 03-1726-2002 untuk ketiga jenis tanah. Secara umum, bangunan di Kota Bantul yang dirancang berdasarkan SNI 1726:2012 akan lebih aman terhadap gempa yang mungkin terjadi di masa datang dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan mengacu RSNI-201x. Mengingat besarnya kerusakan rumah dan kerugian yang timbul akibat gempa, maka perencanaan bangunan-bangunan tahan gempa sangat diperlukan. Kajian ini bertujuan untuk membandingkan respon spektra berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan berdasarkan SNI 1726:2012 sebagai evaluasi pelaksanaan bangunan tahan gempa di Kota Tarutung. 2. KONDISI SEISMISITAS KOTA TARUTUNG Kota Tarutung yang menjadi lokasi kajian merupakan ibukota kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara, secara geografis Kota Tarutung terletak pada koordinat 2,010986o LU dan 98,959381o BT seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1. 2,010986o LU; 98,959381o BT Gambar 1. Koordinat lokasi kajian Kota Tarutung (google earth). Peristiwa gempa yang kerap terjadi di Daratan Sumatera selain disebabkan oleh aktivitas tektonik lempeng bumi di Pantai Barat Sumatera, juga dapat disebabkan oleh aktivitas patahan/sesar aktif. Rangkaian patahan di Daratan Sumatera terbentang dari paling barat Pulau Sumatera yaitu Kota Banda Aceh sampai Kota Agung di Bandar Lampung. Kota Tarutung termasuk salah satu daerah yang dilalui oleh jalur patahan yang menjadi sumber ancaman bencana gempa yaitu patahan aktif Toru (Sitinjak, 2011) seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 2. Secara khusus untuk Kota Tarutung sendiri memiliki tingkat keaktifan yang tinggi karena telah terjadi gempa sebanyak 3 kali dengan periode ulang yang tidak terlalu lama. Gempa di Tarutung yang terjadi tahun 1987 mengakibatkan lumpuhnya Kota Tarutung, dan ketika gempa terjadi lagi tahun 2011 ternyata masih mengakibatkan kerusakankerusakan yang berarti pada bangunan di daerah tersebut dan menyebabkan kerugian miliaran rupiah. Hal ini berarti perencanaan bangunan-bangunan yang tahan gempa sangat diperlukan. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) S - 278 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Struktur 96 E 98 E 102E 100 E 104 E 106 E 6N 1B Banda Aceh 1A Lhokseumawe Meulaboh 4N 100km 1C Soesoh Medan Tapaktuan Singkil Tarutung 1D 2N 1E Sibolga Natal Pekanbaru 1G 1F 1H 0 Payakumbuh PadangPanjang Sawahlunto 1J Padang 2S Jambi 1K 1L Sungaipenuh 1 1A.Aceh (200km) 1K.Suliti (95km) 1B Seulimeum (120km) 1L.Siulak (70km) 1C Tripa (180km) 1M.Dikit (60km) 1D Renun (220km) 1N.Ketahun (85km) 4N 1E Toru (95km) 1O.Musi (70km) 1F Angkola (160km) 1P.Manna (85km) 1G Barumun (125km) 1Q Kumering (150km) 1H Sumpur (35km) 1R.Semangko (65km) 1I Sianok (90km) 1S Sunda Mukomuko 1N Kataun Palembang 1O Bengkulu Lahat 1P Manna 1Q Bintuan BandarLampung Kroet 1R Kotaagung 6N Gambar 2. Jalur Patahan di Daratan Sumatera (Widodo, 2012) 3. RESPON SPEKTRA 3.1 SNI 03-1726-2002 Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar berdasarkan SNI 03-1726 03-1726-2002 dengan periode ulang 500 tahun ditunjukkan oleh Gambar 3. Kota Tarutung, berdasarkan SNI 03 03-1726-2002 -2002 masuk dalam wilayah 4 (warna kuning). Tarutung Gambar 3. Peta percepatan gempa di batuan dasar (SNI 03-1726-2002). 1726-2002). 3.2 SNI 1726:2012 SNI 1726:2012 merupakan standar baru yang telah disahkan yang sebelumnya masih berupa RSNI-201X dengan mengacu pada ASCE 7-10 10 (Imran, 2010). Untuk membuat respon spektra desain SNI 1726:2012 maka me mengikuti diagram respon spektra yang ditunjukkan oleh Gambar 4. Dari Gambar 5 diperoleh parameter percepatan batuan dasar periode pendek (Ss)) untuk Kota Tarutung sebesar 1,5 g. Nilai Ss ini berlaku untuk semua jenis tanah baik tanah keras, sedang maupun lunak. Sedangkan dari Gambar 6 diperoleh parameter percepatan batuan dasar periode 1 detik (S1) untuk kota Tarutung sebesar 0,6 g. Nilai S1 ini berlaku juga untuk semua jenis tanah baik ttanah keras, sedang maupun lunak. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24 24-26 Oktober 2013 S - 279 Struktur Gambar 4. Desain respon spektra (SNI 1726:2012) Gambar 5. Peta hazard gempa Indonesia di batuan dasar pada spektra T = 0.2 detik untuk 2% PE 50 tahun (SNI 1726:2012). Gambar 6. Peta hazard gempa Indonesia di batuan dasar pada spektra T = 1 detik untuk 2% PE 50 tahun (SNI 1726:2012). Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) S - 280 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Struktur Untuk membuat respon spektra diperlukan juga faktor site coefficient Fa dan Fv. Fa adalah site coefficient periode pendek 0,2 detik dan Fv adalah site coefficient periode 1 detik. Diketahui untuk Kota Tarutung dengan Ss 1,5 g maka faktor site coefficient Fa untuk tanah keras (SC) sebesar 1,0; tanah sedang (SD) sebesar 1,0; dan tanah lunak (SE) sebesar 0,9 g. Sedangkan S1 Kota Tarutung 0,6 maka faktor site coefficient Fv untuk tanah keras (SC) sebesar 1,3; tanah sedang (SD) sebesar 1,5; dan tanah lunak (SE) sebesar 2,4. Sebagaimana respon spektra wilayah 4 dalam SNI 03-1726-2002, maka respon spektra berdasarkan SNI 1726:2012 juga bisa dibuat untuk tiga (3) jenis tanah yaitu tanah keras (SC), tanah sedang (SD) dan tanah lunak (SE). Hubungan koefisien-koefisien situs dan parameter respon spektra dinyatakan dalam persamaan berikut ini. SMS = Fa. Ss SM1 = Fv. S1 SDS = 2/3 x SMS SD1 = 2/3 x SM1 T0 = 0.2 x SD1/SDS TS = SD1/SDS (1) (2) (3) (4) (5) (6) pada T < To : T& S a S Ds 0,4 0,6 '' To ( (7) pada T > Ts : S a S D1 T (8) dengan Fa = faktor amplifikasi pada periode pendek, Fv = faktor amplifikasi pada periode 1 detik. SMS = parameter respon spektra percepatan periode pendek dan SM1 = parameter respon spektra percepatan periode 1 detik. Tabel 1 merupakan rangkuman nilai-nilai SS, S1, Fa, Fv, SMS, SM1 serta TO dan TS untuk Kota Tarutung. Tabel 1. Rangkuman komponen perhitungan untuk membuat respon spektra Kota Tarutung Komponen SS S1 Fa Fv SMS SM1 SDS SD1 To Ts 4. Tanah Keras SC 1,5 0,6 1,0 1,3 1.5 0.78 1.0 0.78 0.1559 0.7799 Tanah Sedang SD 1,5 0,6 1,0 1,5 1.5 0.9 1.0 0.9 0.1799 0.8999 Tanah Lunak SE 1,5 0,6 0.9 2,4 1.35 1.44 0.9 1.44 0.3199 1.5999 METODOLOGI Kajian diawali dengan identifikasi masalah yang berkaitan dengan terbitnya SNI 1726:2012 yang dimaksudkan sebagai pengganti SNI 03-1726-2002, kemudian dilanjutkan dengan studi pustaka hal-hal yang terkait. Tahap berikutnya adalah penentuan respon spektra desain Kota Tarutung berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 dengan excel. Selanjutnya kedua hasil tersebut dibandingkan untuk melihat seberapa besar perubahan yang terjadi. Dari perbandingan kedua hasil tersebut kemudian ditarik kesimpulan. Secara umum langkah-langkah dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam diagram alir penelitian sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 S - 281 Struktur Gambar 7. Diagram alir penelitian 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Respon Spektra SNI 03-1726-2002 Berdasarkan standar SNI 03-1726-2002 Kota Tarutung masuk dalam wilayah 4. Respon spektra Kota Tarutung untuk tanah keras, sedang maupun lunak ditunjukkan pada Gambar 8. Semakin lunak tanah, nilai respon spektra akan semakin tinggi. Hal ini juga berlaku untuk semua wilayah gempa (Sunardi, dkk., 2013). Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Seismic Coefficient C T (detik) Gambar 8. Respon spektra desain Kota Tarutung yang masuk dalam wilayah 4 (SNI 03-1726-2002). 5.2 Respon Spektra SNI 1726:2012 Respon spektra untuk Kota Tarutung berdasarkan SNI 1726:2012 untuk tanah keras, sedang dan lunak ditunjukkan pada Gambar 9. Nilai respon spektra untuk tanah keras dan sedang pada T rendah jauh lebih tinggi dibandingkan nilai respon spektra untuk tanah lunak. Pada T tertentu terdapat persamaan nilai respon spektra pada tanah keras dan tanah lunak. Pada SNI 1726:2012, nilai Fa untuk tanah lunak tidak selalu lebih besar dari tanah yang lebih keras. Berbeda halnya dengan SNI 03-1726-2002, semakin lunak tanah nilai respon spektranya selalu lebih tinggi. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) S - 282 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Struktur Gambar 9. Respon spektra desain Kota Tarutung (SNI 1726:2012). 4.3 Perbandingan Respon Spektra Kota Tarutung Perbandingan respon spektra desain Kota Tarutung yang mengacu pada SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 untuk jenis tanah keras (SC), tanah sedang (SD), dan tanah lunak (SE) ditunjukkan masing-masing pada Gambar 10, 11 dan 12. Secara umum nilai respon spektra desain untuk jenis tanah keras, sedang dan lunak berdasarkan SNI 1726:2012 lebih tinggi dibandingkan dengan SNI 03-1726-2002. Gambar 10. Perbandingan respon spektra desain Kota Tarutung untuk jenis tanah keras (SC) berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012. Gambar 11. Perbandingan respon spektra desain Kota Tarutung untuk jenis tanah sedang (SD)berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012 Gambar 12. Perbandingan respon spektra desain Kota Tarutung untuk jenis tanah lunak (SE) berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 1726:2012. Nilai spectral acceleration SA maksimum Kota Tarutung berdasarkan SNI 03-1726-2002 untuk jenis tanah keras (SC) adalah 0,6 sedangkan berdasarkan SNI 1726:2012 nilainya 1,0. Dengan demikian ada kenaikan nilai spectral Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 S - 283 Struktur acceleration maksimum sebesar 0,4. Untuk jenis tanah sedang (SD) ada kenaikan nilai spectral acceleration sebesar 0,3 dari semula 0,7 (SNI 03-1726-2002) menjadi 1,0 (SNI 1726:2012) dan untuk jenis tanah lunak (SE) terdapat kenaikan nilai spectral acceleration maksimum sebesar 0,05 dari semula 0,85 (SNI 03-1726-2002) menjadi 0,9 (SNI 1726:2012). Bangunan di Kota Tarutung yang dibangun di atas tanah keras (SC), sedang (SD) maupun lunak (SE) yang mengacu SNI 1726:2012 akan jauh lebih aman terhadap gempa dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan SNI 03-1726-2002. Pedoman SNI 1726:2012 telah didesain lebih spesifik dan mendetail untuk menghindari risiko bangunan runtuh (collaps) dibandingkan dengan pedoman SNI 03-1726-2002 yang hanya menyediakan kondisi life safety, sehingga persyaratan yang digunakan dalam SNI 1726:2012 sudah jauh lebih tinggi. Bangunan yang dirancang dengan mengacu SNI 1726:2012 akan lebih spesifik dan detail dalam perhitungan dan perancangannya, baik pada lokasi yang berbeda maupun jenis tanah yang berbeda (Sunardi dkk., 2013). Respon spektra yang diperoleh berdasarkan SNI 1726:2012 juga lebih akurat karena melibatkan peta respon spektra 0,2 dan 1 detik. Dengan kenyataan tersebut tentu saja diperlukan evaluasi terhadap bangunan-bangunan di Kota Tarutung yang mengacu pada standar SNI 03-1726-2002 terutama bangunan-bangunan publik atau fasilitas umum sebagai salah satu upaya dalam mitigasi terhadap bencana gempa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Mengingat Kota Tarutung merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa, maka selain perlunya evaluasi terhadap bangunan yang telah ada, maka pembangunan bangunan-bangunan baru di sekitar Kota Tarutung sebaiknya mulai mengacu pada SNI 1726:2012 karena secara umum, bangunan yang dirancang dengan mengacu SNI 1726:2012 tentu akan lebih aman terhadap gempa di masa mendatang dibandingkan dengan bangunan yang dirancang berdasarkan SNI 03-1726-2002. 6. KESIMPULAN 1. Respon spektra desain Kota Tarutung berdasarkan rancangan SNI 1726:2012 menunjukkan adanya kenaikan nilai spectral acceleration maksimum dibandingkan SNI 03-1726-2002. Untuk jenis tanah keras (SC) naik 0,4; untuk jenis tanah sedang (SD) naik 0,3; dan untuk jenis tanah lunak (SE) naik 0,05. 2. Secara umum, bangunan di Kota Tarutung yang dirancang berdasarkan SNI 1726:2012 akan lebih aman terhadap gempa yang mungkin terjadi di masa datang dibandingkan dengan bangunan yang dirancang dengan mengacu SNI 03-1726-2002. DAFTAR PUSTAKA ASCE Standard ASCE/SEI. (2010). Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures (ASCE 7-10). Virginia. American Institute of Steel Construction, Inc., AISC. (2005). Seismic Design Manual (AISC 327-05). Chicago Bozorgnia, Y. dan Bertero, V. (2004). Earthquake Engineering, From Engineering Seismology to Performance Based Engineering. CRC Press, New York. Farzad Naeim. (2001). The Seismic Design Handbook, 2nd ed. Kluwer Academic Publishers, Boston. FEMA 451B. (2007). NEHRP Recommended Provisions for New Buildings & Others Structures, Training & Instructional Materials. Washington. Imran, I. dan Boediono, B. (2010). Mengapa Gedung-Gedung Kita Runtuh Saat Gempa. Shortcourse HAKI, Jakarta. Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Natawidjaja, D.H. et al. (2010). Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010. Sitinjak, F., (2011). Adaptasi Dan Antisipasi Bencana Gempa Berdasarkan Persepsi Masyarakat Studi Kasus: Kota Tarutung. Tesis S2 Fakultas Teknik. Universitas Sumatera Utara. Medan. SNI 03-1726-2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Ketahanan Bangunan Gedung. SNI 1726:2012. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung Dan Non Gedung. Sunardi, B., Aribowo B.S., Teguh, M. (2013). Studi Perbandingan Respon Spektra Kota Bantul Berdasarkan SNI 03-1726-2002 Dan RSNI-201X Untuk Evaluasi Pelaksanaan Bangunan Tahan Gempa. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Taranath, B. S. (2010). Reinforced Concrete Design of Tall Buildings. CRC Press, New York. Widodo. (2001). Respon Dinamik Struktur Elastik. Jurusan Teknik Sipil, FTSP, Universitas Islam Indonesia. Widodo. (2012). Seismic Hazard Assessment Conditional Probability. Manajemen Rekayasa Kegempaan. Magister Teknik Sipil. Universita Islam Indonesia. Jogjakarta Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) S - 284 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013