FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PROSES PENGADAAN TANAH JALAN TOL: STUDI KASUS PADA PENGGANTIAN TANAH KAWASAN HUTAN RUAS UNGARAN – BAWEN KAB. SEMARANG, JAWA TENGAH Bambang Sudjatmiko¹, Andi Suriadi² ¹Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Jalan Sapta Taruna Raya No. 26, Komplek PU Pasar Jum’at Jakarta ABSTRACT ²Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIP UI Kampus UI Depok Jl. Margonda Raya no. 1 Depok This research was conducted to study the process of land clearing of forest areas used for toll roads section II Ungaran-- Bawen with the given replacement land. The repelacement land is located Jatirunggo Village which is the people’s land, but cause endless problems due to the intervention of third parties. The study was conducted using qualitative methods. The result of this research showed that inhibition of the land acquisition process because (a) the existence of a broker of land that to take action land purchases more cheaper than land procurement committee standard price, (b) value compensation gap on three of type (level) that give different reaction to people’s land , and (c) the payment process is problematic because money of people’s land is lost from the bank. For that, they need fast reaction from those who need land and mechanism that can prevent a broker of land to take action in a massive land purchases. Keywords: procurement of land, compensation, highway, land broker, land procurement committee ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari proses pembebasan lahan kawasan hutan yang digunakan untuk jalan tol Ruas Seksi II Ungaran-- Bawen dengan diberikan tanah pengganti. Tanah pengganti tersebut berlokasi di Desa Jatirunggo yang merupakan tanah milik penduduk,, namun menimbulkan masalah yang berkepanjangan akibat campur tangan pihak ketiga. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhambatnya proses pengadaan tanah karena (a) eksistensi makelar tanah yang melakukan pembelian tanah milik warga dengan harga yang lebih murah dibanding standar Tim Pengadaan Tanah, (b) senjangnya nilai ganti rugi yang mewujud dalam tiga pola (tingkatan) sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda-beda dari pemilik tanah, dan (c) proses pembayaran yang bermasalah berupa hilangnya uang milik warga di rekening bank karena makelar tanah sudah membuat perjanjian dengan warga yang isinya memberikan kuasa untuk mengalihkan uang pembayaran tanah kepada makelar tanah. Untuk itu, diperlukan reaksi cepat dari pihak yang membutuhkan tanah dan adanya mekanisme yang dapat mencegah makelar tanah melakukan aksi pembelian tanah secara masif. Kata Kunci: Pengadaan tanah, ganti rugi , jalan tol, makelar tanah, panitia pengadaan tanah PENDAHULUAN Rencana pembangunan jalan tol TransJawa yang menghubungkan Merak – Banyuwangi membutuhkan tanah yang sangat luas. Diperkirakan panjang jalan tol tersebut mencapai ± 1.000 kilometer dengan lebar yang bervariasi. Saat ini, beberapa ruas sudah ada yang beroperasi, sedang konstruksi, namun ada pula yang masih proses pengadaan tanah. Pemenuhan kebutuhan tanah untuk pembangunan jalan tol ternyata tidak mudah. Berbagai permasalahan muncul seiring dengan proses pelaksanaannya, baik pada tahap sosialisasi maupun negosiasi ganti rugi. Dalam pengadaan tanah, berbagai pihak pun berperan seperti P2T (Panitia Pengadaan Tanah) yang dibentuk oleh pemerintah daerah, TPT (Tim Pengadaan Tanah) Ditjen Bina Marga, investor, dan pemilik tanah. 177 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 Namun demikian, secara umum, permasalahan utama yang muncul dengan tingkat frekuensi yang sangat tinggi adalah pada tahap proses negosiasi ganti rugi. Durasi proses negosiasi pun umumnya tidak singkat karena para pihak, baik yang tanah maupun pemilik tanah membutuhkan Seksi II bertahan pada prinsipnya masing-masing. Memang Ungaran – Bawen ada kecenderungan perbedaan antara pengadaan tanah milik warga (pada umumnya) dan instansi pemerintah/korporasi. (Sumber: Departemen PU, 2009) (Sumber: Peta Infrastruktur Indonesia, 2007) Gambar 2. Peta Ruas Tol Semarang – Solo (Seksi II Ungaran – Bawen) Gambar 1 Peta Rencana Pembangunan Jalan Tol Merak -- Akan tetapi hingga saat ini, tenyata Banyuwangi tanah permasalahan pengadaan belum juga selesai, Sejauh ini, proses negosiasi antara pihak yang bahkan bermasalah. Menurut Gubernur Jawa membutuhkan tanah dengan instansi pemerintah/ Tengah, dari laporan yang diterima, pengadaan korporasi relatif lebih mudah dibanding dengan tanah Seksi II Ungaran – Bawen masih berlangsung. total 137,77 hektar yang akan dibebaskan, Dari pihak masyarakat pada umumnya. Selain karena baru terealisasi 61,81 hektar. Sementera itu, khusus luas tanah yang dibebaskan dari instansi/korporasi untuk pengadaan tanah di Desa Jatirunggo, ada biasanya lebih besar, juga pihak yang diajak masalah dan saat ini sedang dalam penyidikan negosiasi relatif lebih sedikit sehingga tidak terlalu aparat hukum (Kompas, 7 Oktober 2010). membutuhkan waktu lama untuk mengambil Permasalahan pengadaan tanah di Desa Jatirunggo keputusan. Berbeda dengan pengadaan tanah milik ini justru menunjukkan eskalasinya yang semakin warga, selain membutuhkan waktu yang cukup menguat yang ditandai oleh aksi yang dilakukan lama, juga melibatkan banyak pihak, termasuk oleh pemilik tanah dan dukungan dari kelompok lainnya (Kompas, 14 Oktober 2010). Oleh karena pendukung berbagai kelompok seperti LSM. itu, menarik untuk dikaji lebih jauh: Faktor-faktor Salah satu lokasi yang hingga saat ini apa yang menghambat proses pengadaan tanah masalah pengadaan tanah masih mengalami pembangunan jalan tol Ruas Seksi II Ungaran – hambatan adalah di Desa Jatirunggo, Kecamatan Bawen khususnya di Desa Jatirunggo? Pringapus, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tujuan penelitian ini adalah untuk Tengah. Sebenarnya, di desa ini tidak terlintasi mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat pembangunan jalan tol. Namun, desa ini adalah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan lokasi penggantian tanah kawasan hutan yang jalan tol, khususnya Ruas Ungaran – Bawen digunakan pada Ruas Seksi II Ungaran – Bawen yang khususnya di Desa Jatirunggo. Dengan mengetahui merupakan bagian dari rangkaian pembangunan faktor-faktor penghambat tersebut, dapat disusun jalan tol Semarang – Solo (Dinas Bina Marga Jateng, pemecahan masalah agar problematika pengadaan 2004). Sebenarnya, diharapkan proses pengadaan tanah dapat segera terselesaikan dan masingtanah di Desa Jatirunggo lebih cepat karena (a) masing pihak dapat menerimanya sebagai solusi warga tidak akan terkena dampak langsung yang tepat. pembangunan jalan secara fisik karena jauh dari lokasi konstruksi dan (b) sebagian besar tanah yang dibebaskan adalah peruntukan ladang warga (bukan permukiman penduduk). 178 LANDASAN KONSEPTUAL Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Ruas Ungaran – Bawen menggunakan pijakan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Dalam Perpres Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi tersebut disebutkan pada Pasal 1 Ayat 3, bahwa “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Bentuk ganti rugi dapat berupa: (a) uang; dan/atau (b) tanah pengganti; dan/atau (c) pemukiman kembali; dan/atau (d) gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihakpihak yang bersangkutan. Namun demikian, untuk melaksanakan Perpres di atas, seringkali menemui hambatan. Hambatan tersebut menurut Iskandar Syah (2007: 26) adalah selain tuntutan pemilik tanah yang tinggi, juga karena adanya spekulan (makelar) tanah, serta keterlibatan LSM. Menurutnya, tuntutan pemilik tanah dengan harga yang tinggi sebetulnya manusiawi karena semua orang pada umumnya menghendaki kehidupan yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya atau paling tidak menyamai taraf kehidupan yang sebelumnya. Demikian pula keberadaan spekulan (makelar) tanah sulit diberantas karena mereka kadang kala dikehendaki oleh pemilik tanah (kendatipun ada yang tidak menghendakinya). Sementara itu, keberadaan LSM, baik yang legal maupun ilegal seringkali juga turut menambah kompleksitas permasalahan pengadaan tanah. Dalam proses pengadaan tanah kelibatan emosi dan fenomena psikologis lainnya juga tidak dapat dihindari terutama dari pemilik tanah. Menurut Pruitt dan Jeffrey (2009: 253) bahwa sikap dan persepsi negatif cenderung menetap karena bersifat saling mendukung. Keyakinan negatif akan memvalidasi perasaan negatif, sebaliknya perasaan negatif akan membuat keyakinan negatif menjadi terasa benar. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa ada tiga macam mekanisme psikologis yang penting, yakni persepsi selektif, mewujudkan ramalan diri, dan permusuhan autistik. Di sisi lain, Gurr (dalam Siahaan, 1999: 80) menjelaskan bahwa orang akan mengalami deprivasi relatif ketika ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kondisi tersebut akan semakin tinggi apabila jika orang tersebut berusaha membandingkan dirinya dengan pihak yang lain yang memiliki posisi yang hampir sama. Gurr (dalam Fruitt dan Jeffrey, 2009: 22) mengatakan bahwa kondisi tersebut terjadi karena orang cenderung mengidentifikasikan dirinya kelompok lainnya yang memiliki kesamaan. Gurr mengistilahkannya sebagai demonstration effect sehingga timbul dorongan dari pihak lain untuk menyamai pihak lainnya. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Dalam pengumpulan data, digunakan tiga metode, yakni (a) metode pustaka dengan mengumpulkan berbagai literatur dan data sekunder yang terkait dengan pengadaan tanah, hasil penelitian, dan data desa, (b) metode observasi dengan mendatangi dan melihat kondisi kehidupan sehari-hari serta kondisi lingkungan permukiman warga, dan (c) metode wawancara mendalam dengan menanyakan sejumlah pertanyaan kepada informan. Sampel dipilih secara purposif yakni informan dari pemerintah dan masyarakat. Wawancara dilakukan dengan informan dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah, pemerintah Kabupaten Semarang, aparat Desa Jatirunggo, dan pemilik tanah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Bailey, 1994: 98). Sedangkan analisis data dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, tahap identifikasi dengan melakukan mencari data yang diperoleh dari lapangan untuk kemudian dilakukan pengolahan data lebih lanjut. Kedua, tahap klasifikasi dengan melakukan pemilahan antara satu data dengan data lain yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Ketiga, tahap interpretasi dengan cara melakukan penafsiran terhadap data yang telah dipaparkan yang dikaitkan dengan landasan konseptual secara naratif. Setelah itu, dilakukan penarikan kesimpulan sebagai kristalisasi masalah dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebelumnya. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Jatirunggo yang menjadi fokus penelitian berada dalam wilayah Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini merupakan kawasan perbukitan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari ibukota kecamatan dan 17 kilometer dari ibukota kabupaten. Secara keseluruhan, luas wilayah Desa Jatirunggo mencapai 967,114 ha dengan rincian tanah peruntukannya sebagaimana pada tabel 1. Tabel 1 Luas Wilayah dan Tanah Peruntukannya di Desa Jatirunggo (Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009) 179 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 Data di atas menunjukkan bahwa proporsi terbesar wilayah Desa Jatirunggo adalah tegalan/ ladang yang mencapai 40 %. Selain itu, masih terdapat daerah persawahan, baik sawah irigasi semiteknis maupun tadah hujan, serta kawasan hutan. Keberadaan kawasan hutan ini menjadi alasan dipilihnya Desa Jatirunggo sebagai salah satu lokasi penggantian lahan jalan tol Ruas Ungaran – eksistensi makelar tanah mulai terlacak oleh warga sejak tahun 2008. Pada tahun itu, datang beberapa orang yang bermaksud membeli tanah warga di Desa Jatirunggo dengan tujuan ingin memperluas areal Perum Perhutani. Dalam pembicaraannya dengan warga, mereka juga mengemukakan alasan tambahan bahwa wilayah Indonesia memiliki laut yang lebih luas daripada daratan. Dengan demikian, perlu dilakukan perluasan areal hutan untuk Bawen. mengimbangi luas lautan serta untuk menjaga Penduduk Desa Jatirunggo berjumlah 7.571 wilayah sumber mata air. jiwa dengan 2.112 KK. Pada umumnya, warga Pada awalnya, warga mengira mereka adalah menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan yang orang-orang dari pihak Perum Perhutani yang ada di wilayah desa mereka. Petani, buruh tani, dan buruh lainnya/swasta merupakan profesi yang murni ingin memperluas areal kawasan hutan. Hal tersebut dapat dipahami karena wilayah Desa paling dominan ditekuni oleh warga Desa Jatirunggo, Jatirunggo memang berbatasan dengan kawasan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Jatirunggo hutan milik Perum Perhutani. Dengan demikian, ketika ada pihak yang bermaksud membeli tanah warga dengan alasan memperluas kawasan hutan, masyarakat tidak merasa ada sesuatu yang aneh. Warga pun tidak ada yang keberatan dan menganggap mereka yang datang tersebut benarbenar terkait dengan Perum Perhutani. Akan tetapi, warga baru menyadari bahwa dugaan mereka selama ini ternyata salah, ketika pihak Tim Pembebasan Tanah (TPT) Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum ingin melakukan sosialisasi kepada warga. Sejak saat itulah, warga baru mengetahui dan menyadari bahwa pihak yang selalu datang ke wilayah mereka selama ini ternyata (Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009) bukanlah utusan pihak Perum Perhutani, melainkan Besarnya profesi buruh tani dan buruh makelar tanah yang hendak mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sebagai dari penggantian lahan milik lainnya mata pencaharian utama sangat terkait dengan banyaknya rumah tangga di Desa perhutani akibat adanya pembangunan jalan tol. Jatirunggo yang tidak memiliki lahan. Oleh karena Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tumah informan di lokasi, dapat diidentifikasi modus tangga petani adalah menjadi buruh pada lahan operandi yang dilakukan oleh makelar tanah dalam memperoleh tanah warga adalah mereka melakukan milik orang lain atau kawasan perkebunan. pembelian tanah warga dengan harga yang lebih rendah daripada harga pembelian TPT. Informasi yang diperoleh dari lapangan menyebutkan bahwa HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat makelar tanah melakukan pembelian tanah warga tiga faktor yang menghambat proses pengadaan seharga Rp 20.000,00 per m². Warga mengakui tanah pada Ruas Seksi II Ungaran – Bawen, bahwa sebenarnya jumlah tersebut sudah di atas khususnya di Desa Jatirunggo. Ketiga faktor tersebut harga pasar (yang bervariasi dengan harga terendah adalah (a) eksistensi makelar tanah, (b) senjangnya Rp 4.000,00 per m²). Oleh karena itu, sebenarnya nilai ganti rugi, dan (c) proses pembayaran yang warga tidak keberatan karena makelar tersebut bermasalah. Ketiga faktor tersebut ternyata juga melakukan pembelian dengan harga di atas memberikan kontribusinya yang berbeda-beda harga normal. Namun, ketika pihak TPT datang terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah melakukan sosialisasi dan sempat menyebutkan penawaran harga tanah sebesar Rp 50.000,00 per tersebut. m², maka seketika itu pula warga banyak protes kepada makelar tanah karena merasa dipermainkan (“ditipu”). 1. Eksistensi Makelar Tanah Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu faktor penghambat dalam proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo adalah peran makelar yang sangat luar biasa. Menurut beberapa informan di lapangan, 180 Jika ditelaah lebih jauh terlihat bahwa terjadi perubahan sikap dan persepsi warga dari yang sebelumnya mendukung upaya makelar tanah membeli tanah di atas harga normal, namun Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi makelar tanah. Warga mengancam, jika tidak ada peningkatan dari harga Rp 20.000,00 per m², mereka akan melakukan protes, bahkan sebagian ada yang ingin membatalkan perjanjian mereka. Akibat desakan dan aksi warga, barulah sikap makelar tanah agak melunak dengan berjanji akan menambahkan besaran nilai ganti rugi tersebut sebesar Rp 7.000,00 per m² sehingga secara keseluruhan harga tanah warga menjadi Rp 27.000,00 per m². Akan tetapi, berdasarkan data lapangan, terungkap bahwa meskipun sudah ada janji makelar tanah untuk meningkatkan besaran nilai ganti rugi tanah warga, ternyata tidak semuanya dapat direalisasikan. Oleh karena itu, hingga saat ini warga masih terus melakukan perjuangan agar Secara teoretis, perubahan persepsi dan sikap kekurangan pembayaran tanah mereka dapat warga terhadap keberadaan makelar tanah dari diterima secepatnya. positif menjadi negatif menurut Fruitt dan Jeffrey Namun, bagi warga yang belum sempat dianggap sebagai selective perception (2009: 253). menjual tanahnya kepada makelar tanah, mereka Artinya, warga pemilik tanah membentuk impresi menerima nilai ganti rugi dari TPT sebesar Rp negatif terhadap makelar tanah. Begitu makelar 50.000,00 per m². Kondisi ini juga memicu tanah yang sebelumnya diduga sebagai pihak Perum kecemburuan sosial di antara warga karena adanya Perhutani ketahuan identitas dan maksudnya, maka yang tanah dihargai Rp 20.000,00 – Rp 27.000,00 saat itu pula berbagai karakter tidak baik dilekatkan per m² dan ada pula yang diharga Rp 50.000,00 per kepada makelar tanah. Uniknya, menurut Fruitt dan m². Bahkan, menurut beberapa informan, sebagian Jeffrey, begitu suatu pihak telah mengartikulasikan warga yang sudah telanjur menjual tanahnya hipotesis bahwa pihak lain adalah orang yang tidak kepada makelar tanah bermaksud menuntut diinginkan, maka bukannya mengumpulkan dan makelar tersebut karena mereka merasa tertipu menganalisis data secara ilmiah, melainkan justru dengan kedatangannya yang seolah-olah berasal akan cenderung menempatkan semua informasi dari pihak Perum Perhutani, padahal kenyataannya untuk mendukung hipotesisnya. Dengan demikian, tidak. Keinginan warga Desa Jatirunggo makelar tanah berusaha ditempatkan sebagai orang menuntut kenaikan ganti rugi kemudian “jahat” dengan label penipu atau pun pembohong. mendapat sambutan hangat dari LSM yang Sayangnya, ketika mekanisme selective perception Lokal berusaha memperjuangkan para nasib pemilik ini bekerja, pada saat itu tidak ada tindakan yang nyata dan serius dari pihak makelar tanah tanah. Dukungan dari LSM tersebut kemudian warga semakin bersemangat, untuk meng-counter persepsi dan label negatif menyebabkan bahkan ada sebagian yanghendak mengungkitterhadap dirinya. Akibatnya, keadaan ini bertahan ungkit lagi hasil kesepakatan dengan makelar sehingga warga berpotensi mengembangkannya tanah dan mempermasalahkannya hingga ke dalam bentuk aksi-aksi yang mendukung pengadilan. persepsinya. sosial ekonomi, warga Secara tuntutan Kendatipun ada upaya-upaya untuk tersebut dapat dipahami karena pada umumnya menambah nilai ganti rugi dari Rp 20.000,00 per merupakan rumah tangga petani (RTP) yang m², kemudian ditambah Rp 7.000,00 per m² menjadi berlahan Data pada 3 menunjukkan sempit. tabel Rp 27.000,00 per m², pada kenyataannya tidak juga bahwa rumah tangga petani yang memiliki lahan dipenuhi secara menyeluruh oleh makelar tanah. kurang 0,5 ha mencapai 517 RTP. Dengan kata tangga lain, sekitar 72 % rumah petani di Desa Kondisi ini justru memperkuat image dan karakter kepemilikan kurang Jatirunggo lahannya dari 0,5 negatif yang dilekatkan oleh warga sebelumnya. Dengan sikap dan tindakan yang demikian, label ha. Sebaliknya, jumlah rumah tangga yang memiliki makelar tanah bukannya pulih dengan berniat akan lebih dari 1 ha hanya 21 atau 2,9 %. menambah Rp 7.000,00 per m², tetapi justru lebih Tabel 3 memperburuk citra mereka di mata warga pemilik tanah. Pemilikan Lahan Pertanian di Desa Jatirunggo ketika ada informasi baru dengan penawaran yang lebih tinggi warga pun berbalik menentang keberadaan makelar tanah. Pada berbagai kasus, keberadaan makelar kadang-kadang diharapkan karena fungsinya adalah menjembatani antara pembeli dan penjual dengan cara membeli terlebih dahulu dari penjualnya, kemudian menjualnya lagi kepada pembeli. Akan tetapi, pada kasus pengadaan tanah jalan tol, ternyata keberadaan makelar dapat dianggap sebagai pengganggu atau penghambat. Dikatakan demikian karena mereka berusaha sedemikian rupa melakukan pembelian tanah warga dengan harga yang sebenarnya murah, kemudian berusaha menjualnya semahal mungkin. 2. Senjangnya Nilai Ganti Rugi Setelah warga mengetahui bahwa ternyata besaran nilai ganti rugi dari TPT Rp 50.000,00 per m², mereka pun melakukan protes kepada (Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009) 181 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 Dengan adanya pengadaan tanah sebagai pengganti lahan tol yang digunakan untuk Ruas Ungaran – Bawen, secara umum tanah warga akan semakin berkurang. Oleh karena itu, agar dapat membeli tanah kembali, tentu warga harus mengeluarkan biaya yang belum dapat diprediksikan besarannya. Yang dikhawatirkan warga adalah besaran nilai ganti rugi tersebut tidak dapat digunakan untuk membeli lahan kembali sehingga dampaknya akan lebih fatal. Seperti yang dikemukakan oleh Iskandar Syah (2007: 26) bahwa tuntutan pemilik tanah dengan harga tinggi sangat manusiawi karena mereka menghendaki adanya kehidupan yang lebih baik. Tuntutan warga Jatirunggo untuk mendapatkan ganti rugi yang tinggi tidak lain merupakan refleksi atas keinginan mereka untuk dapat membangun kehidupan secara lebih dari sebelumnya atau paling tidak minimal sama sebelum adanya pengadaan tanah. Secara teoretis, kondisi kekhawatiran sebagian warga menurut Gurr (dalam Siahaan, 1999: 80) dapat dikategorikan bahwa mereka mengalami deprivasi relatif di mana terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Warga berharap agar besaran nilai ganti rugi yang diperoleh sama dengan warga lainnya yang memperoleh Rp 50.000,00 per m². Karena sesuai dengan penawaran dan keputusan TPT besaran nilai ganti rugi yang dibayarkan melalui rekening masing-masing adalah Rp 50.000,00 per m². Artinya, deprivasi relatif yang dialami sebagian warga terjadi karena pada kenyataannya hingga saat ini mereka belum menerima selisih nilai rugi yang seharusnya dibayarkan. Bahkan, janji yang pernah diungkapkan oleh makelar tanah dari Rp 20.000,00 per m² kemudian ditambah Rp 7.000,00 per m² sebagian belum direalisasikan. Kondisi warga ini justru mengalami deprivasi relatif yang lebih tinggi karena pada saat yang sama ada tetangga yang justru telah menerima uang Rp 27.000,00 per m², bahkan ada telah menerima Rp 50.000,00 per m². Keadaan deprivasi relatif ini cukup berpotensi untuk tidak mengubah keadaan menjadi kondusif sehingga pada akhirnya turut menghambat proses pengadaan tanah jalan tol. Istilah Gurr (dalam Fruitt dan Jeffrey, 2009: 22) dalam menyebutkan penyebab keadaan warga tersebut karena adanya demonstration effect. Artinya, orang cenderung mengidentifikasikan diri dengan para anggota kelompok lainnya yang berdekatan atau memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan kelompoknya sendiri. Apabila kelompok yang lain tersebut berprestasi lebih baik atau selangkah lebih maju daripada kelompoknya sendiri, maka hal tersebut akan menstimulasi terjadinya peningkatan aspirasi sendiri. Dengan kata lain, kelompok warga yang hanya menerima uang ganti rugi Rp 20.000,00 per m² berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok 182 warga yang memperoleh uang ganti rugi Rp 50.000,00 per m². Karena warga kelompok lainnya mendapat lebih besar daripada dirinya, maka inilah yang mendorong aspirasi mereka untuk mendapatkan hal yang sama. Keadaan yang dialami warga tersebut dapat juga disebut sebagai fenomena invidious comparasion. Dikatakan demikian, karena warga berusaha membuat perbandingan yang tidak menyenangkan bagi dirinya sehingga menstimulasi peningkatan aspirasi dengan dua alasan, yakni alasan idealistis dan realistis. Idealistis karena mereka berpikir bahwa hasil kerja dari warga lainnya yang mendapatkan ganti rugi yang tinggi (Rp 50.000,00 per m²) harus pula sama dengan diri dan kelompoknya. Demikian pula, dikatakan realistis dalam pengertian bahwa sangat rasional bila warga melakukan tuntutan karena warga lainnya telah mendapatkan nilai ganti rugi yang tinggi. Jika warga lainnya bisa memperoleh ganti rugi yang tinggi, lalu mengapa mereka tidak bisa mendapatkannya, padahal kedudukan dan status sebagai warga Desa Jatirunggo sama. 3. Proses Pembayaran yang Bermasalah Untuk menyiasati pihak TPT, tampaknya makelar tanah berusaha semaksimal mungkin mengikuti prosedur yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, jika sudah terjadi kesepakatan antara panitia dengan pemilik tanah, akan segera dilakukan pembayaran dan untuk memastikan uang ganti rugi tersebut sampai ke tangan pemilik tanah, tanpa pemotongan, maka paling aman adalah pemilik tanah membuka rekening. Pembukaan rekening di bank, selain untuk memudahkan pihak panitia melakukan pembayaran melalui transfer, juga untuk meminimalisasi terjadinya pengutipan oleh oknum-oknum tertentu. Akan tetapi, di balik upaya formal baku tersebut, ternyata makelar lebih piawai dalam melihat celah yang dapat dimanfaatkan agar uang hasil pembayaran tersebut tetap jatuh ke tangan mereka. Pada kenyataannya, makelar tanah, kemudian membuat kesepakatan-kesepakatan agar warga dapat mengalihkan pembayarannya kepada mereka. Menurut tokoh masyarakat Jatirunggo, ada beberapa warga yang dibuatkan perjanjian melalui notaris yang mengukuhkan bahwa pemilik tanah tidak keberatan untuk diatasnamakan dalam pembayaran jual beli tanah mereka antara makelar dan pihak yang membutuhkan tanah (TPT). Selain itu, warga juga tidak keberatan jika dibuatkan rekening bank jika kelak dipersyaratkan oleh TPT. Bahkan, ada pernyataan yang menegaskan bahwa apabila warga menerima pembayaran jual beli tanah dari pihak yang membutuhkan tanah melalui bank Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi atas nama dirinya, maka seketika itu pula warga memberikan kewenangan atau kuasanya kepada bank untuk mengalihkan atau memindahbukukan uang pembayaran tersebut kepada makelar tanah. Oleh karena itu, berita raibnya dana dari rekening warga Desa Jatirunggo di Bank Mandiri (Kompas, 14 Oktober 2010) sebenarnya tidak terlalu mengherankan karena sudah ada perjanjian antara warga dengan makelar tanah. Karena makelar tanah berusaha berlindung di balik kekuatan hukum, maka upaya warga pemilik tanah yang dibantu oleh LSM, selain melakukan aksi di luar arena legal, juga berusaha melakukan aksi dengan melalui koridor hukum. Warga dan LSM kemudian mempermasalahkan ke pengadilan mengapa rekening warga yang menjadi haknya tiba-tiba bisa kosong, padahal sudah ditransfer. Perubahan perjuangan warga dengan penggunaan cara-cara melalui koridor hukum ini dari sebelumnya dengan aksi-aksi menunjukkan bahwa masing-masing pihak sebenarnya sudah menyadari perlunya resolusi dan penanganan pihak ketiga. Dengan kata lain, kedua belah pihak tidak dapat lagi menyelesaikan permasalahannya secara bersama sehingga perlu ada pihak ketiga sebagai mediator. Keadaan ini menurut Fruitt dan Jeffrey (2009: 297) disebut sebagai kemandekan. Kemandekan ini terjadi karena taktik-taktik contentious sudah dilaksanakan dengan melakukan berbagai aksi, namun mengalami kemandekan. Dengan demikian, kondisi dapat menuju pada problem solving karena masing-masing dapat dianggap seimbang. Di satu sisi warga mendapat dukungan legitimasi sosial dari LSM, sedangkan di sisi lain pihak makelar juga memiliki kekuatan legalitas formal dari notaris. Jika masing-masing pihak memang hendak melakukan pemecahan masalah, menurut Fruitt dan Jeffrey mereka dapat memilih apakah kompromi atau solusi integratif. Tinggal bagaimana kemauan masing-masing pihak untuk bisa menahan diri dan mengarahkan diri untuk menemukan problem solving yang terbaik karena dinamika di lapangan hingga saat ini terus berlangsung. Menurut Fruit dan Jeffrey, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar dapat melakukan problem solving adalah perlu adanya perceived common ground (PCG) masing-masing pihak yang timbul dari keyakinan bahwa pihak lain tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu kaku sehingga ada potensi mengembangkan alternatif yang integratif. Karena jika tidak, kemungkinan besar problem solving tidak dapat dilakukan. Selain itu, kehadiran pihak ketiga (mediator) dapat memperkuat perceived common ground pihak-pihak yang berkonflik. Oleh karena itu, antara makelar tanah dan pemilik tanah diperlukan adanya kesamaan pandangan bahwa berlarut-larutnya persoalan ganti rugi ini sangat urgen untuk dipecahkan. Tuntutan warga sebenarnya adalah bagaimana ada dua, yakni (a) bagaimana kelompok warga yang sudah mendapatkan ganti rugi Rp 20.000,00 per m² dapat memperoleh tambahan Rp 7.000,00 per m² dan (b) setelah itu, bagaimana warga dapat mendapatkan selisih antara Rp 27.000,00 per m² yang diterima dari makelar tanah dengan Rp 50.000,00 per m² yang diterima oleh warga lainnya dari TPT. Selisih tersebut dapat dilakukan dengan cara kompromi sebagai alternatif yang integratif. Dengan demikian, di satu sisi warga mendapatkan haknya tidak jauh berbeda dari jumlah yang didapatkan oleh warga lainnya, sedangkan makelar tanah mungkin dapat memperoleh keuntungan melalui persetujuan warga dengan cara yang lebih terbuka. Peran yang dimainkan oleh Kantor Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah dengan melakukan mediasi antara warga Desa Jatirunggo dengan pihak Bank Mandiri yang ditunjuk sebagai bank pembayar dapat dimaksimalkan. Peran Kantor Komisi Informasi dapat memperkuat perceived common ground pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat ditemukan alternatif yang sifatnya integratif. Sebaliknya, masing-masing pihak pun perlu menumbuhkembangkan perceived common ground agar dapat duduk bersama menyelesaikan masalah pengadaan tanah di Desa Jatirunggo. Pengadaan tanah pengganti kawasan hutan di Desa Jatirunggo ini memang agak berbeda dengan wilayah lain. Jika pada umumnya dalam pengadaan tanah, pihak pemerintah daerah membentuk panitia yang sering disebut P2T (Panitia Pengadaan Tanah), pada proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo ini P2T Kabupaten Semarang tidak terlibat sebagaimana suratnya kepada Direktur Jenderal Bina Marga, Nomor 590/332, tanggal 29 Mei 2009 perihal Pengadaan Tanah Kompensasi Kawasan Hutan yang Terkena Jalan Tol Semarang – Solo. Alasannya adalah berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, pengadaan tanah kompensasi kawasan hutan tidak termasuk kriteria kepentingan umum. Oleh karena itu, mediasi oleh Kantor Komisi Informasi Jawa Tengah, sebenarnya dapat mengambil peran yang sering diperankan oleh P2T berkenaan dengan masalah pengadaan tanah yang muncul di wilayahnya. Secara keseluruhan, dari tiga faktor yang ditemukan di lapangan, selanjutnya dapat dianalisis lebih jauh mengenai posisi faktor tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah. Faktor eksistensi makelar tanah, tampaknya dapat dikategorikan sebagai faktor yang menjadi causa utama. Dikatakan demikian, jauh sebelum dilakukan pembebasan lahan oleh TPT, makelar tanah sudah melakukan pembelian tanah warga. Langkah mendahului TPT 183 Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 tersebut pada dasarnya sudah direncanakan dengan matang. Artinya, makelar tanah memiliki persiapan untuk mengambil keuntungan yang sebesarbesarnya dari proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo. Rencana yang matang tersebut terlihat jelas ketika pertama kali menemui warga, seakanakan dirinya mewakili Perum Perhutani yang akan memperluas areal hutan sehingga sumber air warga dapat tetap terjaga. Identitas tersebut coba dijaga dengan rapi hingga akhirnya tersingkap ketika TPT datang ke Desa Jatirunggo melakukan sosialisasi. Rencana matang makelar tanah juga dapat terlihat dengan berusaha menggunakan instrumen hukum berupa perjanjian melalui notaris bahwa warga tidak keberatan memberikan kuasa kepada dirinya jika dipersyaratkan pembayaran ganti rugi harus melalui bank dan dapat mengalihkan uang yang diterima tersebut kepada dirinya. Kelihaian makelar dalam melihat celah tersebut dapat dipahami sebagai upaya yang sistematis untuk tetap berada pada pihak yang diuntungkan dalam mengeruk keuntungan. Mencermati fakta ini, dapat dikatakan bahwa makelar tanah yang datang ke Desa Jatirunggo bukanlah makelar kelas teri, melainkan makelar kelas kakap. Fakta lain yang dapat memperkuat tentang kehebatan makelar tersebut adalah pada saat dituntut oleh warga untuk menambah nilai ganti rugi sebesar Rp 7.000,00 per m², ternyata mereka pun memenuhinya dengan membuat janji. Artinya, ketika mendapat desakan dari warga dengan piawainya berusaha meredam emosi warga dengan membuat janji Akan tetapi, pada kenyataannya kendatipun sudah membuat janji, dengan mudah mereka ingkari dengan tidak memberikan tambahan tersebut kepada seluruh warga yang tanahnya sudah dibeli. Sementara itu, faktor senjangnya nilai ganti rugi dapat dikatakan sebagai faktor penunjang yang membuat faktor eksistensi makelar tanah menjadi semakin jelas. Dikatakan demikian karena perbedaan ganti rugi yang tercipta menjadi tiga pola (tingkatan), yakni (a) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 27.000,00 per m²; (b) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00 per m²; dan (c) senjang antara Rp 27.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00. Ketiga pola tersebut semuanya tercipta akibat eksistensi makelar tanah. Dengan kata lain, seandainya makelar tanah tidak ada, maka kemungkinan besar ketiga pola (tingkatan) kesenjangan nilai ganti rugi tersebut juga tidak ada. Namun demikian, temuan yang cukup menarik di lapangan adalah jika dilakukan tipologi, sebenarnya ada perbedaan antara ketiga pola kesenjangan tersebut. Jika dilakukan pemeringkatan berdasarkan reaksi warga, dapat dikatakan bahwa pola (a) merupakan yang paling kuat menimbulkan 184 reaksi warga. Hal tersebut terjadi karena pihak makelar benar-benar berjanji kepada warga akan memenuhi penambahan sebesar Rp 7.000,00 per m² dan warga pun sangat berharap penambahan tersebut direalisasikan. Sedangkan pada pola (b), reaksi warga relatif agak sedang karena mereka sudah telanjur menjual tanahnya kepada makelar dan bukan langsung kepada TPT. Sementara itu, pada pola (c), reaksi warga relatif lemah karena pada dasarnya mereka sudah mendapat tambahan dari makelar tanah. Artinya, kalau pun mereka mendapatkan Rp 50.000,00 per m² adalah suatu rezeki tambahan. Demikian pula faktor proses pembayaran yang bermasalah, juga tidak terlepas dari faktor eksistensi makelar tanah. Faktor proses pembayaran yang bermasalah seperti raibnya uang dari rekening dapat dikategorikan sebagai faktor penunjang terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah. Adanya persyaratan bahwa semua pemilik tanah yang hendak dibayarkan biaya ganti rugi atas tanahnya, harus membuka rekening di bank membuat warga harus mematuhinya. Namun, sebagian warga yang telanjur menjual tanahnya kepada makelar dan langsung membuat perjanjian melalui notaris tidak bisa berbuat banyak karena adanya pernyataan bersedia kewenangan atau kuasanya kepada bank untuk melakukan pengalihan atau pemindahbukuan uang pembayaran kepada makelar tanah. Semua ini diskenariokan sejak awal oleh makelar tanah. Artinya, jika kondisi terburuk bahwa pembayaran harus melalui rekening warga, maka mereka sudah punya legalitas untuk mendapatkan uang pembayaran tanah. Raibnya uang warga dari rekening sebagaimana yang dipertanyakan warga, sebenarnya tidak lain dan tak bukan adalah pengkondisian yang dilakukan oleh makelar tanah. Makelar sudah memiliki legalitas formal dari pemilik tanah sendiri yang menguasakan sehingga dapat dilakukan pengalihan pembayaran. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan data dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor penghambat dalam proses pengadaaan tanah pembangunan jalan tol Ruas Ungaran – Bawen, yakni (a) eksistensi makelar tanah, (b) masih senjangnya nilai ganti rugi, dan (c) proses pembayaran yang bermasalah. Namun, di antara tiga faktor tersebut, faktor eksistensi makelar tanah yang merupakan penyebab utama, sedangkan dua penyebab lainnya hanya merupakan penyebab ikutan dari penyebab utama. Makelar tanah melakukan pembelian tanah warga secara massal dengan murah (Rp 20.000,00 per m², kemudian sebagian yang ditambah Rp 7.000,00 per m²) yang berbeda pembelian TPT (Rp 50.000,00 per m²) dengan serta berusaha Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi menggunakan instrumen hukum guna melakukan perlindungan terhadap dirinya. Dampaknya adalah terciptanya tiga pola kesenjangan nilai ganti rugi yakni (1) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 27.000,00 per m²; (2) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00 per m²; dan (3) senjang antara Rp 27.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00. Dampak selanjutnya adalah bermasalahnya proses pembayaran karena makelar tanah memiliki kewenangan menerima kucuran dana pembayaran tanah dari rekening warga melalui pengukuhan perjanjian di notaris. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, pihak yang membutuhkan tanah sebaiknya tidak kalah cepat dibanding dengan para makelar tanah. Terlihat jelas dalam penelitian bahwa pada kenyataannya makelar tanah jauh lebih dahulu masuk ke lingkungan warga melakukan negosiasi dengan berbagai strategi daripada pihak yang membutuhkan tanah. Selain itu, diperlukan mekanisme yang dapat mencegah atau paling tidak meminimalisasi makelar tanah yang akan melakukan aksinya di masyarakat. Kasus pengadaan tanah kawasan hutan ini perlu mendapat perhatian terutama karena ketidakhadiran P2T (Panitia Pengadaan Tanah) Kab. Semarang dengan alasan tidak sesuai dengan Peraturan BPN RI No. 3 Tahun 2007 sehingga TPT harus lebih bekerja ekstra. Peluang ini yang tampaknya dimanfaatkan secara maksimal oleh makelar tanah. Oleh karena itu, mencermati masalah di Desa Jatirunggo ini, maka mungkin ke depan perlu dipertimbangkan kehadiran P2T dalam memperlancar proses pengadaan tanah kendatipun sifatnya terbatas. Kompas, 7 Oktober 2010. Proyek Tol Semarang – Ungaran. _________, 14 Oktober 2010. Kasus Pengadaan Tanah: Hari ini Warga Jatirunggo akan Mendatangi Bank Mandiri. Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peta Infrastruktur Indonesia 2007, Jawa. Siahaan, Hotman M. 1999. “Budaya Kekerasan: Perpektif Tekno-Sosio Deprivasi Relatif” Dalam Sukandi (Ed.) Politik Kekerasan ORBA: Akan Terus Berlanjut? Bandung: Mizan. Daftar Pustaka Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Semarang. 2007. Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo. Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of Social Research. New York: The Free Press. Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Upaya Percepatan Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol. Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. 2004. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo Melalui Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah. Iskandar Syah, Mudakir. 2007. Dasar-dasar Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Jala Permata. 185