Disfungsi Sawar Epidermis dan Strategi Penanganan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Disfungsi Sawar Epidermis dan
Strategi Penanganan Dermatitis Atopik
Desak Nyoman Trisepti Utami
Dokter umum di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya
Denpasar, Bali, Indonesia
ABSTRAK
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kompleks yang mengenai hingga 20% anak-anak dan berpengaruh besar pada kualitas hidup
pasien dan keluarganya. Pengetahuan baru tentang patofisiologi DA menekankan pada peranan penting kerusakan struktur epidermis dan
disregulasi imun. Filagrin (FLG) mempunyai peranan penting pada sawar epidermis dan mutasi FLG menyebabkan gangguan fungsi epidermis,
membuat kulit lebih permeabel terhadap iritan, alergen, dan mikroorganisme. Terapi DA bertujuan untuk mengontrol rasa gatal, menekan
inflamasi, dan mengembalikan sawar kulit.
Kata kunci: Dermatitis atopik, filagrin, penanganan, sawar epidermis
ABSTRACT
Atopic dermatitis (AD) is a complex disease that affects up to 20% children and significantly impacts the patients’ and families’ quality of life.
New insights into the pathophysiology of AD point to an important role of structural abnormalities in the epidermis combined with immune
dysregulation. Filaggrin (FLG) plays a critical role in epidermal barrier, and FLG mutations cause abnormal epidermal function, rendering the
skin more permeable to irritants, allergens, and microorganisms. Treatment of atopic dermatitis must be directed to control the itch, suppress
the inflammation, and restore the skin barrier. Desak Nyoman Trisepti Utami. Epidermal Barrier Dysfunction and Management Strategy
for Atopic Dermatitis.
Key words: Atopic dermatitis, epidermal barrier, filaggrin, treatment
PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit
inflamasi kulit yang umum dan mengenai
15-25% anak-anak dan 3% dewasa. Penyakit
ini berkaitan erat dengan asma dan
sensitisasi alergi. Data terbaru menunjukkan
bahwa DA menjadi masalah besar di negara
maju dan negara sedang berkembang.
Pada sekitar 85% pasien, DA mulai muncul
selama masa anak-anak dan 70% pasien DA
berat akan berkembang menjadi asma dan
rinitis alergi di kemudian hari. Dermatitis
atopik menjadi beban ekonomi yang berat
tidak hanya bagi pasien dan keluarga tetapi
juga masyarakat sosial. Penyakit ini ditandai
dengan disregulasi imun dan gangguan
sawar epidermis, seperti ketidaknormalan
diferensiasi akhir keratinosit dan penurunan
kornifikasi.1 Terdapat beberapa bukti yang
mendukung peranan primer disfungsi sawar
epidermis pada DA. Gangguan fungsi sawar
kulit pada DA paralel dengan keparahan
DA.2
Alamat korespondensi
254
DIAGNOSIS DERMATITIS ATOPIK
Diagnosis DA didasarkan atas kriteria Hanifin
dan Rajka yang diperbaiki oleh kelompok
kerja Inggris yang dikoordinasi oleh William
(1994). Diagnosis DA harus mempunyai tiga
kriteria mayor dan tiga kriteria minor (Tabel
1).3,4
Tabel 1Gejala dermatitis atopik3,19
Gejala Mayor
1.
2.
3.
4.
5.
PATOFISIOLOGI DERMATITIS ATOPIK
Manifestasi klinis DA merupakan hasil
interaksi beberapa faktor yaitu genetik,
imun, metabolik, infeksi, neuroendokrin,
dan lingkungan. Gangguan fungsi sawar
epidermis dan inflamasi kutaneus merupakan
dua penanda DA. Penurunan fungsi sawar
epidermis pada pasien DA meningkatkan
penyerapan alergen ke dalam kulit dan
meningkatkan kolonisasi bakteri.5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
FUNGSI SAWAR EPIDERMIS
Fungsi sawar epidermis terutama berada di
lapisan paling atas, yaitu stratum korneum.
Stratum korneum merupakan produk akhir
10.
11.
12.
13.
14.
Pruritus
Dermatitis di wajah atau ekstensor pada bayi dan
anak
Dermatitis di fleksura pada dewasa
Dermatitis kronis atau residif
Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
Gejala lain yang sering ditemukan (kriteria minor)
9.
Xerosis
Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
Allergic shiners (kulit di bawah mata menjadi gelap)
Muka pucat
Pitiriasis alba
Keratosis pilaris
Iktiosis vulgaris
Meningkatnya garis-garis telapak tangan dan
telapak kaki
White dermographism (garis putih yang muncul
pada kulit dalam 1 menit setelah dipukul dengan
alat tumpul)
Konjungtivitis
Keratokonus
Katarak subkapsular anterior
Kadar IgE di dalam serum meningkat
Tes kulit alergi tipe dadakan positif
email: [email protected]
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
histidin yang kemudian mengalami
deaminasi untuk membentuk asam transurokanat yang kemudian diubah menjadi
asam cis-urokanat oleh iradiasi ultraviolet.
Asam glutamat yang dilepaskan oleh filagrin
diubah menjadi asam piroglutamat yang
berfungsi sebagai zat pelembap alami. Selain
itu, filagrin juga mengandung beberapa
asam amino hidrofilik yang bisa menahan
air, sehingga individu yang hanya memiliki
10 filagrin cenderung mempunyai kulit yang
lebih kering daripada yang mempunyai 11
atau 12 filagrin.6
DISFUNGSI SAWAR EPIDERMIS DAN
IMUNOPATOLOGI DA
Dermatitis atopik berhubungan dengan
menurunnya fungsi sawar epidermis melalui
penurunan regulasi protein filagrin, penurunan
jumlah seramid, dan meningkatnya jumlah
enzim proteolitik endogen.3,8,12
Gambar 1 Aspek klinis, histologik, dan imunohistokimiawi DA
Panel A menunjukkan lesi inisial DA onset awal yang mengenai pipi dan kulit kepala pada bayi berumur 4 bulan. Panel B
menunjukkan manifestasi klasik DA di kepala dan leher pada pasien dewasa. Panel C menunjukkan lesi tipikal berupa lesi
kronis dan likenifikasi pada fleksor pasien dewasa. Tanda panah pada Panel D (pewarnaan hematoksilin eosin) menunjukkan
aspek histologik yang tipikal pada lesi akut, memperlihatkan infiltrat perivaskular yang mencolok. Panel E (pewarnaan
hematoksilin eosin) menunjukkan lesi kronis dengan penebalan epidermis. Tanda bintang menunjukkan infiltrat perivaskular
yang mencolok.18
diferensiasi sel epidermis yang membentuk
15-25 lapisan sel yang kuat dan padat. Setiap
hari satu lapisan stratum korneum paling
atas mengalami deskuamasi dan satu lapisan
pengganti disintesis di stratum basal.7 Sawar
ini melindungi tubuh dari lingkungan dan
normalnya mencegah penetrasi iritan dan
alergen melalui kulit.6,7,11,12
Korneosit terdiri atas benang-benang keratin
dan diselubungi oleh zat yang tahan dan
fleksibel yang disebut dengan selubung
bertanduk (cornified envelope). Selubung
bertanduk terdiri atas protein (involukrin
dan lorokrin).7 Sel korneosit yang dibungkus
oleh selubung ini berikatan dengan lemak,
membentuk struktur yang dianalogikan
dengan “batu bata dan adukan semen
(brick and mortar)”.2,7,11 Pada analogi ini, bata
mencerminkan korneosit yang terisi filamen
keratin, juga produk proteolitik filagrin,
dikelilingi oleh selubung protein yang
terikat erat. Adukan semen mewakili matriks
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
Studi genetik menunjukkan pentingnya
kromosom 1q21 yang mengandung
kumpulan gen yang dikenal sebagai kompleks
diferensiasi epidermal (epidermal differentiation
complex). Mutasi gen filagrin yang berlokasi
di kompleks diferensiasi epidermal diketahui
merupakan faktor predisposisi kuat DA.
Mutasi tersebut menyebabkan hilangnya atau
menurunnya protein filagrin yang penting
untuk pembentukan dan hidrasi sawar kulit.9
interselular, yang sebagian besar terdiri dari
lipid nonpolar pembentuk lapisan penutup
hidrofobik. Lipid ini terdiri dari sekitar 50%
seramid, 25% kolesterol, dan 10-20% asam
lemak bebas rantai panjang dengan rasio
ekuimolar (1:1:1), tersusun pada susunan
berulang lapisan lamelar. Lipid lamela ini
sangat penting pada fungsi normal sawar;
kalau tidak ada, akan mengganggu fungsi
sawar.11 Selain itu, pada dinding bata yang
tinggi juga terdapat korneodesmosom yang
melekatkan sel-sel kulit satu sama lain, yang
dianalogikan sebagai batang besi.2
Analisis kandungan lipid kulit DA
menunjukkan penurunan lipid, terutama
seramid. Jumlah seramid tipe 1 dan 3 turun
bermakna dan nilai kolesterol lebih besar
secara bermakna dibandingkan subjek
yang nonatopik. Kuantitas seramid tipe 3
berhubungan dengan gangguan kehilangan
cairan transepidermal (transepidermal water
loss). Metabolit seramid, sfingosin, yang
mempunyai aktivitas antimikroba poten,
menurun pada DA. Staphylococcus aureus,
yang menghasilkan seramidase, selanjutnya
akan memperparah kerusakan fungsi sawar.11
Protein utama keratinosit, keratin dan
filagrin, berkontribusi pada kurang lebih
80-90% massa epidermis. Filagrin terbentuk
pada lapisan granular epidermis. Filagrin
mempunyai peranan vital dalam penipisan
awal keratinosit pada proses pembentukan
korneosit dan sawar kulit yang utuh.
Proteolisis filagrin terjadi pada stratum
korneum. Proteolisis filaggrin melepaskan
Sabun dan detergen meningkatkan pH kulit,
sehingga meningkatkan aktivitas protease
endogen, menyebabkan kerusakan sawar
epidermis lebih lanjut.3 (Gambar 3)
Inflamasi kulit atopik dimediasi oleh
kompleks ekspresi temporal-spatial sitokin
dan kemokin. Luka akibat trauma, infeksi,
atau bahkan garukan saat gatal berhubungan
255
TINJAUAN PUSTAKA
dengan produksi sitokin T-helper 2 (Th2)
seperti IL-4 dan IL-13, yang memediasi
pergantian isotipe imunoglobulin menjadi
sintesis IgE dan meregulasi kembali ekspresi
molekul perekat sel endotel. Lesi DA akut
juga ditandai dengan peningkatan jumlah
IL-17, sitokin yang menginduksi pelepasan
mediator proinflamasi dari makrofag
dan fibroblas. Sebaliknya, lesi DA kronis
berhubungan dengan IL-5, yang ikut dalam
perkembangan dan kesintasan eosinofil,
produksi sitokin mirip-Th1 IL-12 dan IL-18,
serta beberapa sitokin yang berhubungan
dengan remodeling, seperti IL-11 dan
transforming growth factor ß1.5
Pada stratum korneum:
Proteolisis filagrin melepaskan
histidin yang kemudian mengalami
deaminasi untuk membentuk
asam trans-urokanat yang diubah
menjadi asam cis-urokanat oleh
iradiasi ultraviolet.
Asam glutamat yang dilepaskan
oleh filagrin diubah menjadi asam
piroglutamat yang bisa berfungsi
sebagai zat pelembap alami
Pada lapisan granular:
Filagrin dibentuk dari profilagrin—
protein terfosforilasi yang kaya
histidin, protein yang sangat dasar.
Filaggrin menyebabkan agregasi
filamen keratin dan memipihkan
bentuk keratinosit.
Kejadian lain mencakup pelepasan
lipid dan protein selubung sel
dari granula lamelar, membentuk
sawar kulit.
Gambar 2 Peranan filagrin pada lapisan sel granular dan stratum korneum. Hilangnya ekspresi filagrin (gambar sebelah
kanan) dapat menyebabkan gangguan pada sawar kulit dan penetrasi alergen6
Gambar 3 Pada kulit normal (3a), korneodesmosom normal sepanjang stratum korneum. Pada permukaan kulit,
korneodesmosom mulai rusak sebagai bagian dari proses normal deskuamasi sel kulit. Kerusakan diperparah ketika kulit
dicuci dengan sabun karena meningkatkan aktivitas protease. Pada anak dengan predisposisi DA, korneodesmosom rusak
sepanjang sawar kulit (3b) akibat peningkatan jumlah protease. Jika anak ini kemudian terpajan sabun, kerusakan ini akan
Gangguan
transepidermal water loss
akibat penurunan kadar seramid pada DA
mempercepat absorpsi antigen ke dalam
kulit. Karena sensitisasi epikutan terhadap
alergen menimbulkan respons Th2 yang lebih
tinggi daripada melalui sistemik atau jalan
udara, kulit yang terganggu fungsi sawarnya
merupakan tempat yang sensitif.4
Selain respons imun pada kulit di atas, terjadi
juga perubahan respons imun sistemik pada
DA, sebagai berikut:4
• Sintesis IgE meningkat
• IgE spesifik terhadap alergen ganda
meningkat, termasuk terhadap makanan,
aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri,
dan autoalergen
• Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas
rendah) pada sel B dan monosit meningkat
• Pelepasan
histamin
dari
basofil
meningkat
• Respons
hipersinsitivitas
lambat
terganggu
• Eosinofilia
• Sekresi IL-1, IL-5, dan IL-3 oleh sel Th2
meningkat
• Sekresi IFN-γ oleh sel Th1 menurun
• Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut
meningkat
• Kadar CAMP-fosfodiesterase monosit
meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan
PGE2.
makin parah dan “dinding bata” akan jatuh (3c). Keadaan ini memudahkan penetrasi iritan dan alergen lain, memicu flare
dermatitis.2
dengan kulit atopik, merangsang produksi
lokal sitokin proinflamasi primer, seperti
interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor α
(TNF-α). Sitokin ini berikatan dengan reseptor
endotel vaskular, mengaktifkan penghantaran
256
sinyal selular, menginduksi molekul perekat
sel endotel vaskular, sehingga menyebabkan
ekstravasasi sel-sel inflamasi menuju kulit.
Ekspresi sitokin berbeda pada DA akut dan
kronis. Dermatitis atopik akut berhubungan
STRATEGI PENANGANAN
Terapi DA bertujuan untuk mengontrol
rasa gatal, menekan inflamasi, dan
mengembalikan fungsi sawar epidermis.14,16
Berbagai strategi dan usaha medis dapat
membantu mencapai tujuan ini. Rencana
penanganan bersifat individual, bergantung
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
pada reaksi kulit masing-masing pasien dan
faktor pencetusnya. Edukasi pasien atau
orang tua pasien sangat penting, dengan
menekankan pada sifat kronis penyakit,
pentingnya meneruskan terapi pemeliharaan,
dan perlunya supresi yang tepat saat muncul
flare.3,16
Strategi penanganan DA secara umum
terdiri dari (1) terapi dasar gangguan fungsi
sawar epidermis dengan hidrasi kulit dan
penggunaan emolien yang tepat (perawatan
kulit), (2) terapi antiinflamasi topikal (steroid
topikal dan penghambat kalsineurin topikal),
(3) identifikasi dan eliminasi faktor pencetus,
(4) terapi antipruritus, dan (5) terapi
antimikroba.3,9-14,17 Pada pasien yang refrakter
terhadap terapi konvensional, diperlukan
antiinflamasi
dan
imunomodulator
alternatif.3
Perawatan Kulit
Kulit harus dibersihkan dengan hati-hati untuk
membersihkan krusta dan (secara mekanis)
bakteri kontaminan pada kasus superinfeksi
bakteri.9 Mandi dapat membersihkan dan
memberikan hidrasi pada kulit, tetapi dapat
juga mengeringkan kulit dan merusak sawar
stratum korneum selama penguapan air; hal
ini dapat diminimalkan dengan menggunakan
air hangat-hangat kuku, menggunakan
moisturising cleanser, dan mengeringkan kulit
setelah mandi.5 Pembersih yang dipilih adalah
yang formulanya tidak iritatif dan rendah
alergen, tanpa pewangi, tanpa pewarna, dan
ber-pH netral.9,10
Hidrasi
kulit
bersama
penggunaan
pelembap (emolien) dapat membantu
menjaga sawar stratum korneum.8 Emolien
dapat menenangkan dan mengurangi
gatal, dengan menghasilkan lapisan minyak
di atas kulit yang dapat memerangkap
air di bawahnya. Restorasi sawar ini dapat
mencegah penetrasi iritan, alergen, dan
bakteri, sehingga menekan perkembangan
DA. Penenangan kulit juga menurunkan
kebutuhan akan steroid topikal. Emolien
kulit sebaiknya digunakan segera setelah
mandi dan sebelum kulit kering total.
Terdapat beberapa jenis emolien: losion,
krim, dan salep. Secara umum, salep (yang
mengandung konsentrasi tinggi lipid) lebih
efektif daripada krim atau losion berbasisair yang dapat mengeringkan kulit setelah
terjadi penguapan.9,14
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
Terapi Antiinflamasi Topikal
Steroid topikal
Kortikosteroid topikal merupakan terapi
utama selama lebih dari 4 dekade,
memberikan kontrol flare yang efektif
melalui kerja antiinflamasi, antiproliferasi,
imunosupresi, dan vasokonstriksi. Obat ini
menekan pelepasan sitokin inflamatorik dan
bekerja pada beberapa sel imun, seperti
limfosit T, monosit, makrofag, sel dendritik,
dan prekursornya.5
atas, dan salep takrolimus 0,1 % untuk pasien
dewasa. Kedua obat ini terbukti efektif
dengan profil keamanan baik sampai 4 tahun
untuk salep takrolimus dan 2 tahun untuk
krim pimekrolimus. Efek samping yang sering
diamati adalah sensasi terbakar sementara
pada kulit. Obat ini tidak menyebabkan
atrofi kulit, sehingga sering digunakan dalam
pengobatan flare daerah intertriginosa
dan wajah, mencakup daerah perioral dan
periokular.9,15
Steroid topikal dikelompokkan menjadi
7 kelompok berdasarkan potensinya.
Kelompok I adalah yang superpoten,
sementara kelompok VII berpotensi lemah.
Secara umum, pengobatan dengan steroid
topikal dimulai dengan menggunakan
agen potensi lemah, dengan frekuensi
penggunaan dibatasi. Penetrasi steroid
ke kulit paling banyak di daerah paha dan
wajah, sedangkan paling sedikit di daerah
telapak tangan dan kaki. Anak mempunyai
risiko lebih tinggi mengalami efek samping
lokal dan sistemik akibat penggunaan steroid
topikal daripada dewasa.14 Efek samping lokal
penggunaan steroid topikal meliputi atrofi
kulit, striae, telangiektasis, hipopigmentasi,
rosasea, dermatitis perioral, dan akne. Efek
samping sistemik berupa supresi adrenal,
katarak, glaukoma, retardasi pertumbuhan
pada anak, hiperglikemia, hipertensi, dan
osteoporosis.3,5,14
Identifikasi dan eliminasi faktor
pencetus
Identifikasi faktor pencetus pada masingmasing individu sangat penting dalam
manajemen DA dan penghindarannya
memberikan fase remisi yang lebih lama dan
bebas gejala total.12
Penghambat kalsineurin topikal
Penghambat kalsineurin topikal merupakan
alternatif nonsteroid yang efektif pada
penanganan DA. Mekanisme kerja primernya
adalah menghambat transkripsi sitokin
inflamatorik pada sel T yang aktif dan sel
inflamasi lain dengan menghambat kalsineurin.
Tidak seperti kebanyakan kortikosteroid, agen
ini bisa digunakan di seluruh lokasi tubuh
untuk jangka waktu lebih lama. Penghambat
kalsineurin topikal dapat digunakan untuk
terapi pemeliharaan pada kasus persisten dan
sering kambuh.17
Penghambat calcineurin topikal yang
tersedia adalah krim pimekrolimus (1%)
dan salep takrolimus (0,03% dan 0,1%). Krim
pimekrolimus 1% digunakan untuk pasien
umur 2 tahun ke atas dengan DA ringansedang. Salep takrolimus 0,03% diterima
sebagai terapi DA intermiten derajat sedang
sampai berat pada anak umur 2 tahun ke
Pasien DA mempunyai ambang batas
responsif yang lebih rendah sehingga perlu
menghindari iritan. Faktor-faktor pencetus
yang harus diidentifikasi, seperti sabun
atau detergen, bahan kimia, rokok, pakaian
yang kasar, dan pajanan terhadap suhu atau
kelembapan yang ekstrem.3,13 Makanan
(seperti susu, telur, kacang, kedelai, gandum,
ikan) dan aeroalergen (seperti tungau debu
rumah, bulu binatang, kapang, tepung sari)
dapat memperparah DA. Alergen potensial
dapat diidentifikasi dengan menanyakan
riwayat dan melakukan tes tusuk selektif atau
spesifik IgE serum.3,4,13
Terapi antimikroba
Lesi DA menyediakan lingkungan yang
menyenangkan untuk kolonisasi dan
proliferasi bakteri; Staphylococcus aureus
dapat diisolasi pada sampai 90% lesi kulit
DA.5,12 Adanya infeksi bakteri sekunder pada
lesi DA membutuhkan terapi antibiotika dan
sistemik jangka pendek. Beberapa peneliti
mengklaim bahwa terapi perbaikan sawar
dapat menurunkan kolonisasi sekunder S.
aureus patogen dengan target koreksi kelainan
biokemikal lemak.16
Pasien DA juga rentan terhadap infeksi virus
rekuren, seperti Moluscum contagiosum,
disinyalir karena kerusakan lokal fungsi sel T.
Infeksi jamur, seperti yang disebabkan oleh
Trichophyton rubrum, juga sering terjadi pada
pasien DA. Penyakit karena virus dan jamur
diterapi setelah diagnosis ditegakkan.5,10
257
TINJAUAN PUSTAKA
(satu minggu) dapat mengurangi gatal
tanpa menimbulkan sensitisasi.4
DERMATITIS ATOPIK BERAT DAN
REFRAKTER
Jika gejala DA refrakter dan tidak dapat dikontrol
dengan penghambat kalsineurin topikal
dan penggunaan kortikosteroid intermiten,
beberapa pilihan dapat dipertimbangkan,
seperti fototerapi, terapi steroid topikal yang
lebih poten atau steroid oral, imunosupresan
(mis., siklosporin, metotreksat, atau azatioprin
saja atau dalam kombinasi dengan psikoterapi
atau psikofarmakologi).17
Pasien yang dipertimbangkan untuk dirujuk
adalah pasien DA sedang sampai berat,
yang tidak responsif terhadap terapi standar,
penyakit yang persisten, dan/atau flare yang
sering, pasien yang harus dirawat inap sebagai
konsekuensi langsung DA, dan pasien yang
membutuhkan terapi sistemik. Konsultasi
dengan ahli alergi diperlukan jika gambaran
klinis berkaitan erat dengan pencetus
spesifik.11
Gambar 4 Pendekatan terhadap pasien dengan DA. aLihat tabel 1. bTerapi lini kedua dengan “black box warning.”3,19
Terapi antipruritus
Antihistamin sistemik bekerja terutama
dengan menghambat reseptor H1 pada
dermis sehingga meringankan pruritus
yang diinduksi histamin. Akan tetapi,
histamin hanya salah satu dari beberapa
mediator yang menginduksi pruritus,
sehingga
beberapa
pasien
hanya
mendapat manfaat minimal. Beberapa
antihistamin juga merupakan ansiolitik
ringan dan bisa meringankan gejala melalui
efek menenangkan dan sedatif. Terapi DA
dengan antihistamin topikal secara umum
tidak direkomendasikan karena potensi
sensitisasi kulit.3 Dilaporkan bahwa aplikasi
krim doksepin 5% dalam jangka pendek
SIMPULAN
Terdapat beberapa bukti yang mendukung
hipotesis bahwa disfungsi sawar epidermis
berperan penting pada DA. Terapi awal DA
adalah hidrasi kulit dan penggunaan emolien,
disertai edukasi pasien dan keluarga untuk
menghindari faktor pencetus. Flare diterapi
jangka-pendek dengan kortikosteroid dan
penghambat kalsineurin topikal. Untuk terapi
pemeliharaan (pada kasus persisten atau sering
kambuh), dapat digunakan penghambat
kalsineurin topikal. Terapi tambahan yang
penting adalah pengobatan infeksi sekunder
dan pemberian antihistamin. Pada penyakit
yang berat dan refrakter, diperlukan terapi
alternatif, seperti fototerapi, steroid topikal
yang poten atau steroid oral, imunosupresan,
dan psikoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kim B, Leung D. Epidermal barrier in atopic dermatitis. Allergy Asthma Immunol Res. 2012;4(1):12-6.
2.
Cork M, Robinson D, Vasilopoulos Y, Ferguson A, Moustafa M, Gowan A, et al. Predispotition to sensitive skin and atopic eczema. Community Practitioner 2005; 78, 12: 440-2.
3.
Leung D, Eichenfield L, Boguniewicz M. Atopic dermatitis (Atopic eczema). In: Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. Vol 1 &2. New York: Mc Graw Hill, 2008.
4.
Sularsito S, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
5.
Krakowski A, Eichenfield L, Dohil M. Management of Atopic Dermatitis in the Pediatric Population. Pediatrics. 2008;122:812–24.
6.
McGrath J. Skin barrier genetics: filaggrin and the dermatologist. Hong Kong J. Dermatol. Venereol. 2011;19:116-22.
7.
Hidayah R, Anum Q. Fungsi sawar kulit. Media Dermato-Venereologica Indonesiana. 2008;35:159-66.
258
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
TINJAUAN PUSTAKA
8.
Thomas J. Atopic Dermatitis: Current management strategies for adult patients. Dermatology Nursing. 2008;20:449-92.
9.
Nicol N. Efficacy and safety considerations in topical treatments for atopic dermatitis. Pediatric Nursing. 2011;37:295-301.
10. Leung D, Nicklas R, Li J, Bernstein L, Moore JB, Boguniewicz M, et al. Disease management of atopic dermatitis: an updated practice parameter. Annals Of Allergy, Asthma & Immunology.
2004;93:S1-21.
11. Sugarman J. The epidermal barrier in atopic dermatitis. Semin Cutan Med Surg. 2008;27:108-14.
12. Jung T, Stingl G. Atopic dermatitis: Therapeutic concepts evolving from new pathophysiologic insights. J Allergy Clin Immunol. 2008;122:1074-81.
13. Boguniewicz M, Eichenfield L, Hultsch T. Current management of atopic dermatitis and interruption of the atopic march. J Allergy Clin Immunol. 2003;112:S140-50.
14. Jamal S. Atopic dermatitis: an update review of clinical manifestations and management strategies in general practice. Bull Kuwait Inst Med Spec. 2007;6:55-62.
15. William H. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2005;352:2314-24.
16. Grinshpoun Y, Amitai D, Zvulunov A. Barrier-restoring therapies in atopic dermatitis: current approaches and future perspectives. Dermatol. Res. and Practice. 2012;2012:1-5.
17. Ellis C, Luger T, Allen R, Brown G, Prost Y, Eichenfield L. Et al. International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II): clinical update and current treatment strategies. Br.
J.Dermatol. 2003; 148 (Suppl. 63): 3–10.
18. Bieber T. Mechanism of disease. Atopic Dermatitis. N Engl J Med 2008;358:1483-94.
19. Leung D, Eichenfield L, Boguniewicz M. Atopic dermatitis (Atopic eczema). In: Wolff K, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed. vol 1. New York: McGraw Hill; 2012.
20. Luger T, Raeve L, Gelmetti C, Kakourou T, Katsarou A, Lambert J, et al. Recommendations for pimecrolimus 1% cream in the treatment of mild-to-moderate atopic dermatitis: From medical
needs to a new treatment algorithm. Eur J Dermatol. 2013;23(6):758-66.
CDK-215/ vol. 41 no. 4, th. 2014
259
Download