L IFE & FAMILY MINGGU, 13 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA 15 Pubertas Anak-Anak Istimewa Fokus anak-anak berkebutuhan khusus tidak cuma pendidikan. Jangan lupa, layaknya manusia biasa, mereka juga mengalami pubertas. Biarkan Mereka Sibuk MI/USMAN ISKANDAR HARI AUTIS: Sekitar 1.500 penyandang autisme mengikuti kampanye dengan berjalan kaki dalam memperingati Hari Peduli Autis Sedunia di Jakarta, beberapa waktu lalu. Layaknya manusia normal, anak-anak berkebutuhan khusus juga mengalami pubertas dan perlu didampingi dengan tepat. VINI MARIYANE ROSYA K ATA siapa anakanak berkebutuhan tak bisa merasakan hasrat? Mereka pun mengalami masa pubertas dan memiliki kebutuhan seksual layaknya manusia normal. Ifah, misalnya, sebut saja begitu, mengaku bingung akan sikap putranya. Usia sang anak yang memiliki autisme memang sudah 12 tahun, kisaran usia anak mulai mengalami pubertas. Ifah mengaku memang tak pernah tidur terpisah dari buah hatinya itu. Namun belakangan, sang anak punya ke biasaan baru yang cukup meresahkan Ifah. Tangan ibunya dipindahkan si anak agar berada pada kelaminnya. “Saya enggak terlalu paham maksudnya, biasanya pasti pe lan-pelan saya pindahkan lagi tangannya karena saya memang kesulitan berkomunikasi dengan dia. Saya cuma takut dia lakukan itu ke orang lain,” ungkap Ifah dalam seminar tentang kiat serta persiapan menjelang dan menjalani pubertas pada anak down syndrome dan anak berkebutuhan khusus di Jakarta beberapa waktu yang lalu, yang diadakan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (PoSTAD). Keresahan Ifah menjadi-jadi saat ia diberi laporan oleh pihak sekolah bahwa putra semata wayangnya itu sering memeluk dan menciumi teman-teman perempuan sebayanya. Ifah menganggap mungkin saja sang anak menirunya karena ia mengaku selalu memberikan pelukan, ciuman, dan belaian saat mengantar dan menjemput sang anak di sekolah. Dan Ifah bukan satu-satunya. Pubertas pada anak berkebutuhan khusus bisa ditunjukkan berbagai bentuk. Rida, bukan nama sebenarnya, ikut berbagi pengalaman. Anak laki-lakinya yang hampir berusia 15 tahun juga termasuk berkebutuhan khusus. Dari pengamatan sang bunda, si anak senang menatap poster laki-laki bertubuh atletis di majalah. Lebih mencemaskan lagi, setiap selesai memandangi gambar-gambar itu, sang anak langsung mengunci diri di kamar. “Saya penasaran, sedang apa dia, kok pakai ditutup segala kamarnya. Untung kamar dia menyatu sama kamar saya, dan ada jendela untuk bisa melihat ke dalam kamarnya. Saya kaget melihat dia tengkurap di tempat tidur sambil melihat gambar itu,” tutur perempuan yang tinggal di Yogyakarta itu. Pernah, suatu hari, Rida nekat mengambil dan merobek- robek gambar-gambar di majalah tersebut di hadapan sang anak. Ia pun kaget luar biasa saat melihat reaksi anaknya yang mengamuk sembari menangis dan berteriak-teriak. “Saya benar-benar shock,” kata dia. Perasaan serupa pun menghinggapi Rahman, 53. Anaknya, berusia 13 tahun dan memiliki down syndrome, tak jarang memegang bagian-bagian tubuh teman maupun perempuan dewasa saat diajak jalan-jalan Jadi kalau mereka bisa menahan untuk tidak melakukan perilaku seks menyimpang, berikan pujian.” ke mal. “Pernah sampai saya bentak saking malunya saya. Kok bisa dia berbuat yang melecehkan begitu,” tutur dia. Normal Mungkin banyak orang lupa. Anak-anak istimewa ini belum tentu paham apa yang sedang mereka rasakan. Apalagi menganggapnya sebagai perilaku yang melecehkan orang lain. Pakar psikologi anak berkebutuhan khusus, Dr Lucia RM Royanto MSi, MSpEd, Psi, mengakui, banyak orang tua dan masyarakat yang menanggapi secara sambil lalu saja kebutuhan keintiman seksual anak-anak istimewa ini. Tak sedikit pula yang menanggapi, anak-anak berkebutuhan khusus tidak mengerti dan tidak membutuhkan hubungan intim. Layaknya manusia normal, fungsi hormonal anak berkebutuhan khusus mulai bekerja pada usia belasan. Mereka juga mengalami masa pubertas. “Ketertinggalannya terjadi pada kematangan sosial, kontrol emosi, komunikasi sosial. Perubahan emosional diperkuat faktor sosial, pendidikan di sekolah, dan pengaruh media, bisa membuat mereka kebingungan dan salah mengekspresikannya,” tutur Lucia. Menurut dia, orang tua sering salah kaprah ketika berkomunikasi dengan anak dalam masa pubertas, khususnya anak berkebutuhan khusus. Banyak yang takut, pembicaraan semacam ini justru bisa membangkitkan gairah seksual anak, atau merasa tidak yakin, apa benar mereka perlu membicarakan seks dengan anak-anak istimewa. Orang tua bahkan sering kali tidak tahu bagaimana membicarakannya. “Karena tak dibicarakan dengan orang tua, anak jadi tahu seksualitas dari orang lain, kadang menerjemahkan sendiri apa yang terjadi pada perubahan tubuhnya, serta melihat pengaruh sekitar, ini yang bahaya,” papar Lucia. Aktivis masalah seks, Baby Jim Aditya, menambahkan, kesulitan kontrol hasrat seksual pada anak-anak spesial ini tak perlu disikapi dengan keras. Hukuman secara fisik menurutnya perlu dihindari. “Jangankan ABK (anak berkebutuhan khusus), orang dewasa yang normal saja tak mudah kontrol hasrat berhubungan seks. Jadi kalau mereka bisa menahan untuk tidak melakukan perilaku seks menyimpang, berikan pujian. Jadi mereka merasa usaha mereka untuk melakukan hal yang benar dihargai,” jelasnya. Baby tidak menampik bahwa budaya Timur yang segan membicarakan seks justru mendorong anak mencari jawaban di tempat selain keluarga. “Padahal banyak prinsip dasar seks yang bisa dijelaskan ke anak kalau sedang rileks di waktuwaktu kumpul keluarga, tapi kebanyakan keluarga malah melompatinya dan membohonginya,” jelas Baby. (M-3) MESKI memiliki dorongan seksual yang sama dengan anak normal, diakui psikolog khusus ABK (anak berkebutuhan khusus), Dr Lucia RM Royanto MSi MSpEd Psi, hampir semua anak berkebutuhan khusus sulit mengontrol penyaluran hasrat hormonal mereka. Pengalihan ekstra, imbuhnya, dibutuhkan agar ABK tak salah menyalurkan dorongan seksual. “Usahakan ABK harus cukup sibuk dan selalu ada kegiatan lain. Kalau mereka nganggur, pasti mereka akan kepikiran (dorongan seksual). Bisa ikut terapi, kegiatan seni, atau berolahraga,” paparnya. Untuk membuat ABK cukup sibuk, lanjut Lucia, orang tua perlu bekerja sama dengan lingkungan sekitar dan sekolah. Termasuk teman, saudara, hingga guru. “Mereka semua harus diingatkan untuk menjadi model yang baik dan benar untuk ABK. Ingat, perilaku ABK sebagian besar didasarkan dari meniru. Jangan sampai mereka melihat adegan dan perilaku yang tak sesuai dengan lingkungan sosial,” jelasnya. Jika kegiatan ABK cukup padat, saat malam tiba mereka akan cepat terlelap karena kelelahan. “Perhatikan benar jadwal per hari. Biasakan beri jadwal tidur dan perketat, kalau memang tidur jam 10 ya jam 10, jangan biasakan menonton TV hingga malam,” tuturnya memberi tips. Aktivis masalah seks Baby Jim Aditya juga mengingatkan, guna menghindari disorientasi seksual, pendidikan seks harus ditanamkan sedini mungkin. Perkenalkan anak dengan seks mulai dari sisi anatomi, lalu berkembang hingga sisi perspektif seks. “Dari kecil, didik anak dengan istilah standar, penis untuk organ seks laki-laki dan vagina untuk organ seks perempuan. Biar ketika semakin dewasa saat pelajaran di sekolah dan lingkungan tentang seks semakin mendalam, anak tidak bingung,” tuturnya. Lucia juga menekankan informasi yang diberikan harus faktual, realistis. ABK, imbuhnya, perlu contoh konkret dan sederhana agar penjelasan soal seksual bisa diserap. (VB/M-3) Pemahaman Seks untuk Anak Berkebutuhan Khusus Langkah 1 BERI pemahaman fisiologis dan anatomi, meliputi organ tubuh, pubertas, dan pemeliharaan organ seks. Langkah 2 Beri juga pemahaman tentang hak dan aturan, meliputi bagaimana mengekspresikan perasaan, menjaga dari pelecehan, menyentuh orang lain, merespons umpan balik serta kapan dan di mana bisa membicarakan seksualitas. Langkah 3 Beri tahu tentang relasi intim dengan lawan jenis, meliputi pacaran dan hubungan seks. Langkah 4 Pahamkan pula pentingnya proteksi. Ajarkan mengatakan ‘tidak’ serta mendengarkan bila orang lain mengatakan ‘tidak’. Langkah 5 Pahamkan beragam perspektif seksualitas (khusus untuk kasus-kasus tertentu, misalnya biseksual atau homoseksual). Catatan: Lakukan dengan bahasa sederhana dan konkret. Orang tua seharusnya mengerti cara penyampaiannya, ka rena setiap anak unik sehingga pemahamannya tidak dapat disamakan. (VB/M-3) Sumber: Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome, Psikolog Dr Lucia RM Royanto MSi, MSpEd, Psi. miweekend @mediaindonesia.com KONSULTASI Menikah tapi tidak Ingin Punya Anak Pertanyaan: SAYA perempuan 32 tahun, menikah selama 3 tahun. Suami dan saya sama-sama bekerja dan rasanya saya bahagia. Kami punya pekerjaan yang bagus, rumah, dan kendaraan bermotor. Kami juga punya hobi yang sama. Hanya, saya merasa terganggu dengan bisikan-bisikan keluarga, terutama. Tak hanya orang tua, tapi juga saudarasau dara orang tua, hampir selalu meributkan kapan saya memiliki anak. Jujur saja, punya anak belum ada di dalam pikiran saya. Saya berpikir, saya masih senang berdua begini kok. Memiliki anak bukan prioritas saya. Saya masih ingin banyak berjalanjalan, menikmati kegiatan berduaan dengan suami, juga teman-teman. Tak sekadar bertanya, saudara-saudara bisa merembet dengan obrolan yang bernada nasihat, bahwa punya anak berarti begini begitu. Untungnya, suami saya boleh dibilang sepakat dengan saya. Dia memberikan saya kebebasan untuk bisa memutuskan sendiri kapan kami akan memiliki anak. Saya sebenarnya sudah malas memberikan alasan kepada para saudara. Jadi, jika mereka mulai ‘berisik’, sekarang saya cuma menjawab singkat saja, seperti, “Memang belum kepingin.” Bagaimana ya saya menghindari omongan-omongan tentang memiliki anak? Terkadang saya terganggu sekali. Saya benarbenar berpikir punya anak adalah pilihan dan bu kan kewajiban. Terima kasih. an hidup, bukan kewajiban. Begitu Jeni di Jakarta Jawaban: Saya setuju sekali dengan pendapat anda, bahwa ‘punya’ anak atau tidak itu adalah pilih- TIYOK juga misalnya ‘menikah’, seseorang menikah atau hidup lajang, itu pun juga merupakan pilihan hidup individu. Namun, karena manusia itu merupakan makhluk sosial yang selalu hidup bermasyarakat, terbentuklah konsep- konsep pemikiran yang biasa berlaku dalam kehidupan kelompok masyarakat tersebut. Nah, karena kita sebagai individu harus hidup berdampingan dengan mereka, konsep mereka pasti terpapar kepada kita. Bisa saja kita sebagai individu ‘mengikuti’ konsep yang dianut sebagian besar masyarakat di sekitar kita, atau kita sebagai individu mempunyai pendapat sendiri. Di Indonesia saat ini berlaku konsep bahwa ‘perjalanan hidup’ seseorang, sesudah dianggap berusia cukup (25-30 tahun) ‘di harapkan’ mendapatkan pasangan yang cocok, kemudian menikah. Bersambung lagi, se sudah pasangan itu menikah, konsep mereka ‘mengharapkan’ mempunyai anak. Bahkan bila anaknya satu, dalam konsep mereka masih belum cukup, berharap lagi penambahan anak paling tidak jadi dua. Atau konsep bahwa kalau punya anak harus ada laki-laki dan perempuan. Tentu itu bukan konsep yang berlaku universal dan diikuti secara patuh oleh semua lapisan masyarakat. Sah-sah saja mempunyai konsep lain. Namun dengan kita hidup bermasyarakat, Anda tentu akan berhadapan dengan ke lompok besar, kelompok orang yang berpendapat bahwa pasangan yang sudah menikah itu ‘sebaiknya’ segera punya anak. Sehingga wajar kalau se tiap bertemu orang akan banyak yang bertanya tentang kehadiran anak. Nah, yang jadi pertanyaan saya, apakah Anda masih sanggup untuk bertahan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka soal kehadiran anak? Yang bisa kita lakukan ialah ‘membangun’ kelompok teman-teman yang mempunyai pendapat sama. Otomatis kelompok Anda yang terbentuk akan saling memberi support. Mudah-mudahan juga orang- orang yang menanyakan tentang anak semakin berkurang. Namun, bila Anda sudah tidak tahan lagi, jalan satu-satunya ya ‘pindah’ ke tempat yang sekiranya kehidupannya lebih bersifat individualistis. Dengan memilih tempat tinggal yang sifatnya eksklusif, sosialisasi jadi kurang membahas masalah pribadi. Atau ya kita sendiri berusaha menjaga jarak dengan orangorang yang punya konsep kebahagiaan ru mah tangga berbeda. Yang lebih penting, Anda berdua dengan suami punya konsep yang sama tentang kehadiran anak. (M-3) Tim Psikologi RS Premier Jatinegara Jakarta Jika Anda ingin berkonsultasi, kirimkan pertanyaan ke e-mail [email protected]