BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada saat ini masih kurang diperhatikan, hal ini terbukti dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Menurut International Labour Organization (ILO) (ILO, 2003) diperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya terdapat 2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan karena tingkat kepedulian dunia usaha terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja masih rendah. Padahal tenaga kerja merupakan aset yang penting bagi perusahaan untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Oleh sebab itu isu tentang keselamatan dan kesehatan kerja pada saat ini bukan sekedar kewajiban yang harus diperhatikan oleh para pekerja, akan tetapi juga harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) No. 1 tahun 1970 telah diatur tentang K3. Undang-undang ini merupakan undang-undang pokok yang memuat tentang aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Pekerja berhak bekerja dalam lingkungan kerja yang aman dan nyaman, lingkungan kerja juga mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pekerja, hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat kerja. Lingkungan kerja yang aman dan nyaman akan mendukung produktivitas kerja yang menimbulkan kepuasan kerja dalam suatu organisasi. 1 2 Lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah dalam bekerja (Subroto, 2005). Namun pada kenyataannya terdapat beberapa lingkungan kerja yang kurang nyaman bagi pekerja bahkan dapat mengganggu kesehatan pekerja, seperti terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja dengan faktor risikonya adalah kebisingan yang melebihi ambang batas pada lingkungan kerja. Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No. KEP- 51/MEN/1999, mendefinisikan kebisingan sebagai suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat, proses produksi yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan pendengaran. Intensitas kebisingan yang terjadi pada lingkungan kerja akibat dari proses kerja yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan pendengaran adalah intensitas bising yang melebihi nilai ambang batas. Hal tersebut berdasarkan Kepmenaker No. KEP51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) faktor fisik di tempat kerja yang menyebutkan bahwa intensitas kebisingan yang diperbolehkan adalah 85 dB (A) dengan waktu kerja selama 8 jam kerja dalam sehari (Buchari, 2007). Pendengaran merupakan salah satu dari sistem indera manusia yang jika seseorang mengalami gangguan pendengaran maka proses komunikasi akan sulit dilakukan. Bagi orang di sekitarnya pada saat berinteraksi dengan orang yang mengalami gangguan pendengaran akan menyebabkan perasaan frustasi, tidak sabar, marah atau rasa iba terhadap orang tersebut (Buchari, 2007). Berdasarkan data dari WHO (2004) diketahui bahwa gangguan pendengaran akibat bising pekerjaan 3 merupakan kecelakaan akibat kerja terbanyak kedua yang diderita seumur hidup. Gangguan pendengaran akibat bising dapat terjadi tiba-tiba dalam hitungan detik atau secara berlahan dalam hitungan bulan sampai tahun bahkan kadang kurang disadari. The National Institute on Deafness and Other Communication Disorders atau NIDCD (2010) menyatakan bahwa kejadian gangguan pendengaran akibat bising merupakan akibat dari paparan suara dengan intensitas tinggi yaitu lebih dari 85 desibel dalam jangka waktu yang lama. Sekitar 16% dari gangguan pendengaran yang ada di seluruh dunia merupakan gangguan pendengaran akibat bising pekerjaan, bervariasi antara 7-21% di setiap sub region. Estimasi NIDCD (2010) sekitar 15% atau sekitar 26 juta dari warga Amerika berusia 20-69 tahun mengalami gangguan pendengaran frekuensi tinggi karena paparan suara yang keras atau bising di tempat kerja dan hiburan. Pada negara berkembang tingkat ketulian masyarakat akibat dari paparan suara bising lebih tinggi dibandingkan negara maju. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, menurut survei “Multi Center Study” yang dilakukan di Asia, Indonesia termasuk ke dalam 4 negara dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi prevalensi ketulian 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Sementara itu, menurut WHO diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta-140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara (Depkes RI, 2004). Kebisingan dapat menimbulkan gangguan pendengaran, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Listyaningrum (2011) terdapat hubungan yang signifikan antara 4 intensitas kebisingan terhadap ambang dengar pada tenaga kerja di PT. Sekar Bengawan Kabupaten Karanganyar. Dan pada penelitian lainnya didapatkan hasil 31,8% pekerja di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising, dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2 dB (A) (Lusianawaty, 1998). Kebisingan yang terjadi di tempat kerja berhubungan secara signifikan dengan terjadinya gangguan pendengaran pada pekerja. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Widyawati (2012) tentang kejadian gangguan pendengaran pada pekerja gamelan sebanyak 53,3 % dengan masa paparan antara 6 sampai 10 tahun dan masa paparan meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran akibat bising gamelan. Gangguan pendengaran akibat induksi suara bising merupakan hal penting di dalam perusahaan industri dan merupakan risiko kerusakan gangguan pendengaran bagi para pekerja yang bergantung kepada intensitas suara, lamanya berkontak dengan suara, dan kepekaan individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agrawal, dkk (2009) yang dikutip dari penelitian Listyaningrum (2011) menyatakan bahwa terjadinya suatu gangguan pendengaran akibat bising dipengaruhi oleh berbagai faktor. Adapun faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran adalah umur, jenis kelamin, keturunan, ototoksin, hipertensi, diabetes, pemakaian alat pelindung telinga, dan masa paparan bising. Namun prilaku merokok juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pendengaran. Merokok merupakan prilaku yang paling sering ditemui pada pekerja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muyassaroh (2012) merokok dan bising secara signifikan berpengaruh terhadap menurunnya ambang dengar seseorang pada frekuensi tinggi dengan risiko tiga kali lebih besar dibanding tanpa merokok. Rokok mengandung 5 nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu peredaran darah manusia serta merusak sel saraf organ telinga bagian dalam. Kebisingan yang terjadi pada perusahaan dapat bersumber dari berbagai jenis dan sumber suara yang sangat beragam, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2005), sumber bising di lingkungan kerja diantaranya disebabkan oleh suara mesin, suara benturan antara alat kerja dengan benda kerja, suara aliran material, dan suara dari manusia. Dari berbagai sumber suara tersebut juga dapat menyebabkan jenis bising yang berbeda seperti bising yang bersifat kontinyu, intermitten, dan impulsif. Pengrajin gamelan sangat rentan mengalami gangguan pendengaran dengan faktor risikonya adalah bising. Pada proses pembuatan gamelan menghasilkan suara bising yang bersifat impulsif akibat dari benturan antara alat kerja dengan benda kerja. Suara bising tersebut ditimbulkan pada proses menempa dan proses menyelaraskan suara gamelan. Hal ini di dukung dengan data dari Komisi Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Bali 2013 yang menyatakan intensitas bising yang ditimbulkan oleh gamelan antara 90,5 dB (A) – 102,5 dB (A). Nilai tersebut melebihi nilai ambang batas kebisingan yang telah ditetapkan yaitu 85 dB (A) selama 8 jam kerja dalam sehari. Berdasarkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung (2011) tentang profil Desa Tihingan menyebutkan bahwa Desa Tihingan yang terletak di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung merupakan pusat kerajinan pembuatan gamelan di Bali. Pembuatan gamelan ini dikerjakan mulai dari tenaga kasar sampai tenaga ahli yang khusus untuk menyelaraskan suara gamelan. Keahlian dalam menyelaraskan suara gamelan merupakan hal terpenting dalam pekerjaan ini. 6 Masyarakat di desa ini dapat pula membuat bermacam-macam gamelan Bali lainnya seperti: semara pegulingan, gender wayang, angklung dan lain-lainnya yang bahannya terbuat dari logam kerawang. Keahlian ini telah diwariskan oleh leluhur mereka yang telah berabad-abad lamanya terkenal sebagai Pande Gong dari Desa Tihingan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari nama para pande Tihingan pada barungan-barungan gamelan yang ada di desa-desa. Kerajinan pembuatan gamelan di Desa Tihingan telah dilakukan sejak berabababab lamanya yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti telah lakukan, terdapat suara bising di lingkungan kerja bersifat impulsif. Suara bising tersebut timbul akibat proses pembuatan gamelan. Proses penempaan yang dilakukan untuk membentuk lempengan logam menjadi sebuah bentuk gamelan memerlukan waktu yang cukup lama. Pada lingkungan kerja suara bising cukup tingga sehingga percakapan yang dilakukan antar pekerja sulit didengar. Dapat dikuantifikasikan dari 20 orang pekerja yang di observasi dan di wawancara 100% tidak memakai alat pelindung telinga, 100% pekerja menyatakan telah bekerja lebih dari 5 tahun, dan 40% pekerja saat di wawancara mengindikasikan telah mengalami gangguan pendengaran. Hal tersebut dapat diketahui pada saat dilakukan wawancara pekerja sulit mendengar pertanyaan yang diajukan dan pekerja menjawab pertanyaan dengan nada yang cukup keras. Faktor risiko dari gangguan pendengaran yang ditimbulkan akibat dari proses pembuatan gamelan telah diterima sejak lama oleh pekerja, sehingga diperlukannya pengendalian kebisingan pada proses pembuatan gamelan di Desa Tihingan. Berdasarkan pada ulasan di atas peneliti ingin melakukan 7 penelitian lebih lanjut tentang “Gambaran Gangguan Pendengaran pada Pengrajin Gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung Tahun 2014”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diketahui bahwa angka kejadian gangguan pendengaran di dunia sangat tinggi, berdasarkan data dari WHO diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta-140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Kejadian gangguan pendengaran merupakan akibat dari paparan suara dengan intensitas yang tinggi yaitu melebihi 85 dB (A) dengan keterpaparan dalam jangka waktu yang lama dan merupakan gangguan pendengaran akibat dari bising pekerjaan. Berdasarkan data dari Komisi Daerah Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian Bali 2013 yang menyatakan intensitas bising yang ditimbulkan oleh gamelan melebihi NAB yang telah ditentukan yaitu antara 90,5 dB (A) – 102,5 dB (A). Desa Tihingan sudah terkenal dengan kerajinan gamelan yang merupakan pusat dari kerajinan gamelan di Bali. Kerajinan pembuatan gamelan di Desa Tihingan telah dilakukan sejak berabab-abab lamanya yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur mereka. Observasi awal yang penulis lakukan pada pekerja pengrajin gamelan di Desa Tihingan dapat dikuantifikasikan dari 20 orang pekerja hanya 10% yang memakai alat pelindung telinga, 100% pekerja menyatakan telah bekerja lebih dari 5 tahun, dan 40% pekerja saat di wawancara mengindikasikan telah mengalami gangguan pendengaran. 8 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada pekerja pengrajin gamelan akibat dari paparan suara bising di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014 1.4.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui karakteristik pekerja pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014. 2. Untuk mengetahui gambaran intensitas kebisingan pada proses pembuatan gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014. 3. Untuk mengetahui penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014. 4. Untuk mengetahui kejadian gangguan pendengaran pada pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung tahun 2014. 9 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoritis 1. Menambah informasi, wawasan, dan pengetahuan mengenai gangguan pendengaran akibat bising impulsif pada pekerja pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung dengan menerapkan dan mengaplikasikan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang diperoleh selama di bangku kuliah. 2. Hasil dari penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penyakit akibat kerja khususnya adalah gangguan pendengaran. 1.5.2 Manfaat praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Klungkung pada umumnya dan Puskesmas Banjarangkan pada khususnya untuk melakukan pengembangan kepada suatu program yang terkait dengan upaya pencegahan terhadap dampak dari suara bising impulsif di lingkungan kerja yang ditimbulkan akibat dari proses pembuatan gamelan. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah kesehatan dan keselamatan kerja yang terkait tentang hazard lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja. Adapun masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah gangguan pendengaran pada pengrajin gamelan di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung dengan faktor risikonya adalah kebisingan. Hal-hal yang akan diteliti adalah karakteristik pekerja pengrajin 10 gamelan, intensitas kebisingan pada proses pembuatan gamelan, dan gangguan pendengaran pada pengrajin gamelan.