BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Penelitian tentang dinamika spasial dan keputusan lokasi industri perusahaan asing sektor manufaktur di Indonesia memberikan jawaban atas pertanyaan penelitian. 1. Perusahaan asing di sektor manufaktur (IMB-PMA manufaktur) di Indonesia sangat terkonsentrasi (bab 4). Tingginya konsentrasi IMB-PMA manufaktur ini dibuktikan dengan indeks Hoover di tingkat kabupaten yang mencapai 90,25 pada tahun 1996, nilai yang mendekati tingkat konsentrasi paling tinggi (100). Meskipun demikian, indeks konsentrasi ini menurun pada tahun 2006 menjadi 89,00. Sementara jika analisis dilakukan di tingkat propinsi dan pulau indeks Hoover ini cenderung lebih rendah. Gambaran ini menunjukkan bahwa IMB-PMA manufaktur cenderung terkonsentrasi di kabupaten-kabupaten tertentu di Indonesia. Analisis ini diperkuat dengan menggunakan analisis Hot-Spot ( Getis Ord Gi*) yang menujukan tingginya konsentrasi perusahaan asing sektor manufaktur di Indonesia. Dengan demikian, hipotesis 1.1 penelitian ini dapat diterima. 2. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perusahaan asing cenderung mengelompok di wilayah tertentu pada lapangan usaha sejenis dan dari negara yang sama atau memiliki karakter yang sama. Hal ini dapat dilihat dari analisis peta dan tabel silang terhadap pilihan lokasi menurut karakteristik asal negara dan sektor terhadap pilihan lokasi industri. Munculnya kecenderungan ini memperkuat adanya kecenderungan aglomerasi industri (industry agglomeration) dan aglomerasi negara asal (country-of-origin agglomeration). Dengan demikian hipotesis 1.2 dan 1.3 dapat diterima. 3. Penelitian ini menemukan adanya indikasi kecenderungan dekonsentrasi lokasi industri IMB-PMA di Indonesia sebelum (1996) dan setelah otonomi daerah (2006) meskipun nilainya sangat kecil yakni dari 90, 25 ke 89,5 Meskipun analisis korelasi pilihan lokasi saat ini dengan keberadaan perusahaan yang telah berdikari sebelumnya semakin kuat, terutama perusahaan yang berdiri setelah tahun 2001. Dengan demikian hipotesis 2.1 ditolak dengan catatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dekonsentrasi ini tidak disebabkan oleh regulasi otonomi daerah yang pro/tidak terhadap investasi, namun lebih banyak di sebabkan oleh gejala aglomerasi industri industri dan aglomerasi daerah asal. Hal ini dapat diamati dari keberadaan perusahaan asing sektor manufaktur di Jabodetabek, Karawang dan Purwakarta, kasus Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Kasus Bandung dan sekitarnya. Faktor aglomerasi industri dan negara asal sebagai penjelas karena hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak otonomi daerah (yang dilihat dari ada atau tidaknya perda yang pro investasi) tidak secara jelas memiliki pengaruh terhadap adanya IMB-PMA di satu wilayah (hipotesis 2.2. tidak terbukti). 190 4. Hipotesis terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya IMB-PMA sektor manufaktur di suatu wilayah industri tidak semuanya diterima. Faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi banyaknya IMBPMA sektor manufaktur adalah tenaga kerja, upah buruh, ketersediaan lahan non pertanian dan non hutan, dan fasilitas jasa dan perbankan. Sementara faktor yang terkait dengan pendapatan per kapita, banyaknya jalan (bukan kualitas jalan), keamanan, pencemaran lingkungan, dan regulasi tidak secara signifikan mempengaruhi pilihan lokasi IMB-PMA sektor manufaktur. Dengan demikian hipotesisi 1.4 dapat diterima sebagian. Sementara kebijakan otonomi daerah belum terlihat signifikan dalam mendorong peningkatan jumlah IMB-PMA sektor manufaktur di suatu wilayah. Dengan demikian, hipotesis 2.2. ditolak. 5. Penelitian ini menemukan sebuah model untuk memperkirakan kemungkinan banyaknya IMB PMA sektor manufaktur sebagaimana dilihat dalam persamaan model regresi. Model tersebut memberikan estimasi variabel bebas dapat menyumbang 59, 4 % terhadap peluang tambahan IMB-PMA sektor manufaktur di suatu wilayah, sisanya (40,6%) kemungkinan disebabkan oleh faktor lain. Dalam model tersebut diestimastikan bahwa peningkatan ketersediaan pekerja di suatu wilayah dapat meningkatkan jumlah IMB-PMA manufaktur, sementara peningkatan upah buruh dapat menurunkan jumlah IMB-PMA manufaktur di suatu wilayah. Sementara itu, peningkatan share lahan hutan, share lahan pertanian, dan share layanan jasa dapat menurunkan jumlah IMB-PMA 191 manufaktur di suatu wilayah. Khusus faktor layanan jasa dan perbankan, meskipun peningkatan keberadaan layanan saja dan perbankkan berpengaruh negatif terhadap peningkatan jumlah IMB-PMA manufaktur, namun hal ini cenderung lebih mengindikasikan kepada transformasi sebuah wilayah dari yang berbasis manufaktur ke sektor jasa. Tabel 6.1 Kesimpulan dan Penerimaan Hipotesis Bab Hipotesis Terima/Ditolak 4 1.1.Pola distribusi perusahaan asing mengelompok pada wilayah tertentu adalah Diterima 4 1.2.Perusahaan asing cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu Diterima 4 1.3.Perusahaan asing dengan sektor yang sama dan dari negara yang sama cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu 1.4. Perusahaan asing negara yang sama cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu Diterima 1.5.Faktor-faktor pasar (pendapatan perkapita), infrastruktur, ketersediaan lahan, upah buruh, keamanan, dukungan layanan jasa, kenyamanan lingkungan mempengaruhi pilihan lokasi Diterima sebagian 5 4 5 Diterima 2.1..Perusahaan asing cenderung lebih terkonsentrasi di Ditolak wilayah tertentu setelah terjadinya otonomi daerah catatan 2.2. Perubahan sistem pemerintahan berpengaruh terhadap kecenderungan pilihan lokasi industri dengan Ditolak 192 6.2 Implikasi dan Saran 6.2.1. Teoritis 1. Penelitian ini menemukan bahwa perusahaan asing sektor manufaktur (IMB PMA manufaktur) cenderung terkonsentrasi di wilayah tertentu. Konsentrasi ini juga terjadi menurut lapangan usaha dan asal negara. Terdapat dua model konsentrasi yang terjadi, yakni munculnya konsentrasi karena adanya kesamaan lapangan usaha, yang kemudian memunculkan gejala aglomerasi industri (industry agglomeration) dan juga memunculkan aglomerasi dari negara yang sama (country-of-origin agglomeration). 2. Terdapat dua gejala yang terkait dengan konsentrasi dan dekonsentrasi di wilayah yang berdekatan. Dinamika spasial ini, peneliti sebut sebagai proses aglomerasi - sub-urabanisasi perusahaan asing di Indonesia. Setidaknya temuan penelitian memberikan perspektif baru terkait dinamika yang terjadi pada sebuah wilayah dan cara pandang atas skala keruangan dalam melihat suatu wilayah. Hal ini terutama terkait dengan proses pemusatan dan pusat industri pada sebuah wilayah tidak bersifat statis – yang menurut penulis hal ini luput dari amatan peneliti sebelumnya terutama yang terjadi di Indonesia. 3. Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia merupakan wilayah yang tidak menjadi prioritas pilihan lokasi industri bagi perusahaan asing, nilai lebih Indonesia dalam model yang didapatkan adalah ketersediaan buruh, upah murah, dan ketersediaan lahan untuk pendirian perusahaan. Sementara efek 193 otonomi daerah tidak signifikan dalam dalam pilihan lokasi industri – setidaknya sampai tahun 2006. 4. Skala keruangan menjadi faktor penting dalam menganalisis faktor-faktor lokasi pilihan lokasi industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan lokasi industri di skala makro (negara) kemungkinan bisa berbeda jika pilihan lokasi industri dilakukan pada skala meso (propinsi atau subpropinsi) atau pada skala mikro (kabupaten atau sub-kabupatan). Penelitian lanjutan terkait untuk mengkaji faktor pilihan lokasi industri dengan melihat skala keruangan menjadi topik menarik yang perlu dikaji lebih lanjut. 6.2.2. Kebijakan 1. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah RI No 14 tahun 2015 tentang tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035. Terhadap beberapa temuan dalam penelitian ini yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menyempurnakan dokumen RIPIN. Salah satunya belum digunakannya kecenderungan perkembangan industri di beberapa sektor dan wilayah yang dimasukkan dalam dokumen RIPIN, salah satunya adalah perkembangan industri di Kabupaten Jepara dan Purbalingga. Selain itu porsi sumber pembiayaan termasuk PMA belum banyak disinggung dalam dokumen tersebut. 2. Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia merupakan wilayah yang tidak menjadi prioritas pilihan lokasi industri bagi perusahaan asing, nilai lebih Indonesia dalam model yang didapatkan adalah ketersediaan buruh, upah 194 murah, dan ketersediaan lahan untuk pendirian perusahaan. Mempertahankan keunggulan ketersediaan buruh dan upah murah menjadi tidak relevan terlebih jika melihat prospek hubungan ekonomi antara negara di kawasan dan di tingkat global. Indonesia dalam waktu dekat akan menyambut pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahunn 2015. Pemberlakuan MEA tahun 2015 menyebabkan lalu lintas perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara menjadi tanpa kendala. Dalam situasi seperti perkembangan kawasan seperti itu maka negara-negara seperti Myanmar dan Vietnam yang memiliki keunggulan dalam hal upah murah dan ketersediaan buruh dapat menjadi negara yang mampu menarik investasi dibandingkan dengan Indonesia. 3. Upah buruh murah menjadi isu sensitif bagi buruh dan pengusaha. Jika persoalan upah ini tidak dapat diatasi dan pasti, maka kemungkinan besar relokasi perusahaan dari suatu daerah ke daerah lain atau negara lain akan terjadi. Satu sisi, jika pemerintah melihat bahwa kesenjangan pusat- pinggiran menjadi masalah dan ingin mendorong terjadinya pemerataan di Indonesia, maka komponen upah dapat menjadi variabel penting untuk mendorong pemerataan. Meskipun demikian, jika disparitas upah antar daerah pusat industri dan daerah pinggiran terlalu tinggi (seperti kasus DKI dan Jawa Barat) maka relokasi yang terjadi cenderung hanya berada di wilayah-wilayah pinggiran. 4. Penelitian ini juga menemukan gejala sub-urbanisasi di wilayah-wilayah pinggiran. Perusahaan akan cenderung memilih lokasi yang berdekatan 195 dengan pusat karena adanya penghematan aglomerasi. Akibatnya pilihan lokasi industri cenderung mengarah ke daerah-daerah pinggiran seperti Karawang dan Purwakarta yang selama ini merupakan sentra pertanian terutama pertanian padi. Jika kecenderungan tidak diantisipasi dalam jangka panjang konversi lahan pertanian produktif di wilayah yang berdekatan dengan pusat industri akan terus terjadi dan dapat mengancam ketersediaan pangan di Indonesia. 5. Penelitian ini juga menemukan bahwa adanya konsentrasi industri di wilayah berdasarkan latar belakang kesamaan asal negara mengindikasikan bahwa investor cenderung melihat Indonesia mencari aman berada di lokasi industri dari satu negara yang sama. Meskipun demikian, adanya kecenderungan dapat juga dimanfaatkan untuk untuk merumuskan kebijakan pemasaran yang efisien dalam menarik investasi berdasarkan kesamaan latar belakang asal negara. Terlebih jika melihat insentif pemerintah yang terkait dengan kebijakan keuangan dan mendorong pemerintah daerah untuk menarik investasi belum terlihat jelas. Meskipun dari jawaban perusahaan, menunjukkan bahwa kemudahan dan keramahan pemerintah dalam memberikan pelayanan dapat menjadi daya tarik investasi. Dengan catatan bahwa wilayah tersebut juga memiliki lahan dan tenaga kerja. 196