TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA Laporan Penelitian Individu Madya Diajukan ke Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta OLEH: Cahya Buana PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M LEMBAR PENGESAHAN Penelitian Individu Madya TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA OLEH: Cahya Buana DISAHKAN OLEH: Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum Pada Kamis, 10 Desember 2014 LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH JAKARTA 1435 H/2014 M ii PENGANTAR بسم هللا الرمحن الرحيم Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya penelitian tentang “Tinjauan Islam Terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma” ini dapat diselesaikan juga. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan potensi akal kepada manusia, sehingga mampu membedakan yang haq dan yang batil. Salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Makhluk yang pada dirinya terdapat uswah hasanah yang nyata. Penelitian ini tidak dapat terwujud tanpa campur tangan berbagai pihak, oleh karena itu dalam ruang yang sangat sempit ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah memberikan kontribusi, baik moril maupun materil dalam penelitian ini, yaitu: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melalui Lembaga Penelitian (LEMLIT) untuk melakukan penelitian guna memenuhi kewajiban sebagai seorang dosen; 2. Direktur Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh staf yang ada di dalamnya yang telah memfasilitasi berbagai bentuk penelitian untuk dosen; 3. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk meluangkan waktu untuk meneliti; 4. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah serta seluruh staf yang ada di dalamnya yang telah menyediakan buku dan media informasi lainnya untuk penelitian; 5. Seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam karya tulis ini. iii Penelitian ini jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun demikian saya tetap berharap tulisan ini memberikan manfaat bagi pembacanya. Amiin iv ABSTRAK Munculnya Islam di Jazirah Arab, diakui atau tidak secara tidak langsung telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa zaman Jahiliyah adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa islam adalah masa peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa adanya rantai peradaban sebelumnya. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar (barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality). Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair sebagai karya sastra yang sulit dan rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab, sebagaimana berkembang di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi dan Persia yang terkenal dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi. Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benarbenar tidak mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas? Melalui kajian Strukturalis genetik terhadap syair karya Zuhair ibnu Abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah, penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, serta tinjauan agama Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut. Berdasarkan hasil analisis strukturalis genetik, terbukti bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah mengenal nilai-nilai moralitas universal yang bersumber dari pengalaman hidup mereka, dan sedikit yang disandarkan pada nilai-nilai keimanan. Mayoritas nilai-nilai moralitas yang mereka ketahui bukan bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan. v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN I. Konsonan ا ف f ب B ق q ت T ل k ث Ts م m ج J ن n ح H و w خ Kh هـ h د D ي ya ذ Dz ر R ــــــــــ a ز Z ـ ـ ـ ـ ـ ـِـ ـ ـ ـ i س S ش Sy II. Vokal Pendek ـ ـ ـ ــُـ ـ ـ ـ ـ u III. Vokal Panjang Tim penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (UIN Syarif Hidayatullah: CeQDA, 2007), h. 46-51. Lihat juga Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007/2008 vi â ـ ـ ــا S ص î ـ ـ ــي D ض û ـ ـ ــو T ط Z ظ ai ـــــــــــ ي ‘ ع au ـ ـ ـ ــُـ ـ ـ ـ ـ و gh غ IV. Diftong vii DAFTAR ISI BAB I BAB II : Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah 1 B. Permasalahan Penelitian 6 C. Hipotesis 6 D. Tujuan Penelitian 6 E. Metode Penelitian 7 F. Sistematika Penulisan 8 : Strukturalis Genetik Dalam Kajian Sastra A. B. BAB III Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra 9 a. Definisi Puisi dan Syair 9 b. Unsur-Unsur Intrinsik Puisi dan Syair 10 c. Unsur Ekstrinsik Sastra 14 d. Posisi Strukturalis Genetik 15 Makna Nilai-Nilai Moralitas 17 a. Pengertian Nilai 18 b. Pengertian Moral 19 c. Ukuran Baik dan Buruk 20 : Zuhair Ibn Abi Sulma Filsuf Arab Pra Islam A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma 25 B. Syair-Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma 26 a. Tema-Tema Syair Zuhair 27 b. Gaya Bahasa Syair Zuhair 28 C. Kehidupan Sosial, Politik, dan Agama 29 a. Kehidupan Sosial 29 b. Situasi Politik 31 c. Kondisi Keagamaan 37 viii BAB IV : Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Syair Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma A. B. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ a. Pengertian Syair Al-Mu’allaqat 41 b. Syair Al-Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma 42 Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Syair Mu’allaqat 51 b. Kandungan 53 1. Bagian Awal 54 2. Bagian Tengah 56 3. Pesan Moral 58 58 : Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma A. Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Mu’allaqat 63 a. Nilai-Nilai Moralitas Religi 63 b. Nilai-Nilai Moralitas Politik 66 c. Nilai-Nilai Moralitas Sosial 69 B. Analisis Nilai-Nilai Moralitas C. Tinjauan Islam Terhadap Nilai-Nilai Moralitas dalam Sya’ir Jahiliyyah BAB VI 51 a. Wazan dan Qafiyah c. Gaya Bahasa BAB V 41 76 79 : Penutup Kesimpulan 89 DAFTAR PUSTAKA 91 LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Curriculum Vitae Peneliti 95 B. Penggunaan Anggaran Penelitian Madya 99 ix BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Munculnya Islam di Jazirah Arab – menurut saya – diakui atau tidak secara tidak langsung telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa zaman Jahiliyah adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa islam adalah masa peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa adanya rantai peradaban sebelumnya. Hitam putih kehidupan sebelum dan sesudah Islam ini selalu menjadi wacana yang menarik bagi mereka yang menaruh “perhatian” terhadap Islam. Maka ketika istilah Jahiliyah diperbincangkan, kesan pertama yang mungkin muncul dalam benak sebagian orang adalah sebuah bangsa yang bodoh, barbar dan tidak berperadaban, sesuai dengan nama yang dilekatkan kepadanya yang identik dengan kebodohan. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier1 yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar (barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality). Kata jahil dalam bahasa 1 Dikutip oleh Zafar Alam dari Ignaz Goldziher, Muslim studies, (London: tp, 1967), vol. 1, h. 203. Sebagai informasi, Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hungaria. Ia adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri 'tallaqi' dengan beberapa ulama Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Arminius Vambery adalah orang yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Pemikiran Goldziher yang sangat kontroversi di antaranya adalah penolakannya terhadap kebenaran Hadits. Baginya hadits itu tidak ada yang otentik. Sebab, tidak ada bukti empiris yang menunjukan bahwa hadits yang beredar memang pada awalnya berasal dari Muhammad. Dalam pandangan Goldziher, yang telah terjadi adalah "back Projection." Maksudnya, para perawi hadits meriwatkan haditsnya dengan mengatas http://muhnamakan Muhammad, padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu. ali.blogspot.com/2009/04/ignaz-goldziher-orientalis-penolak.html, rabu, 29 April 2009 1 Arab, menurut Goldzier adalah seseorang yang memiliki watak liar, keras dan kejam (wild, violent and cruel).2 Pernyataan Goldzier tersebut dikutip oleh Zafar dalam salah satu tema bukunya yang berjudul Education in the Pre-Islamic Arabia (Pendidikan sebelum masa Arab-Islam).3 Hal ini ia kemukakan tentu saja untuk menguatkan argumennya tentang betapa berbedanya kehidupan masyarakat sebelum dan sesudah datangnya Islam, terutama di bidang pendidikan, selain itu juga sebagai informasi bahwa betapa masa sebelum kenabian Muhammad SAW adalah masa yang sangat bodoh, sedangkan masa Islam adalah masa yang penuh dengan ilmu dan peradaban. Ungkapan lain yang menunjukkan betapa buruknya masa Jahiliyah disampaikan oleh Tahia al-Ismail dalam pernyataannya “Aktifitas-aktifitas manusia (bangsa Arab) saat itu, terburuk dari antara yang pernah terjadi. Disebut dengan zaman kegelapan, karena tidak ada secercah cahaya dari sumber semua harapan dan kasih yang menyentuh bumi. Dunia dicekam kebisuan mutlak.4 Di zaman yang penuh kekejaman dan gelap ini, wanita, anak-anak, dan budak tidak memperoleh hak hidup yang seharusnya mereka terima. Mereka hidup dalam kepedihan dan keputusasaan dari hari ke hari, hingga Allah SWT berbelas hati dengan mengutus nabi Muhhamad SAW untuk mencabut penderitaan ini”.5 Pernyataan ini menunjukkan betapa seluruh aspek kehidupan manusia pada masa sebelum datangnya Islam berada di bawah titik nadir. Pernyataan di atas mungkin hanya tiga dari sekian banyak orang yang berasumsi tentang betapa buruknya peradaban bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Goldziher sebagai seorang Orientalis Yahudi, Zafar Alam sebagai seorang Muslim India, dan Tahia al-Ismail yang bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemungkinan besar pemikirannya telah dibaca oleh sekian banyak masyarakat Indonesia, tentu saja semakin menguatkan asumsi bahwa seluruh aspek kehidupan manusia pada masa jahiliyah berada pada titik nol atau tanpa peradaban. 2 Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, (Delhi-6: Markazi Maktaba Islami Publisher, 1997), h. 18 3 Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, h. 13 4 Bagian ini diambil dari terjemahan bebas A. Nasir Budiman dari Tahia al-Ismail, The Life of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources, (london: Ta-Ha Publishers, 1995), h. 9. 5 Tahia al-Ismail, The Life of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources, (london: Ta-Ha Publishers, 1995), h. 9 2 Pernyataan Goldziher sebagaimana dikutip oleh Zafar Alam yang mengatakan bangsa Arab Jahiliyah sebagai bangsa barbar yang liar, keras dan kejam, mengindikasikan bahwa bangsa Arab sama sekali tidak mengenal nilai-nilai moralitas dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu saja menimbulkan sebuah pertanyaan besar, benarkah bangsa Arab Jahiliyah sama sekali tidak menganut nilai-nilai moralitas kemanusiaan? Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair dalam sejarah sastra Arab merupakan sebuah karya yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Syair digubah dengan irama yang selaras. Kesempurnaan performa syair Jahiliyah ini membuat para ahli sejarah sastra Arab sulit menentukan kapan syair Jahiliyah mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab. Menurut al-Iskandari dkk., biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.6 Syair sebagai karya sastra yang sulit dan rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab, sebagaimana berkembang di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi dan Persia yang terkenal dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.7 Sebelum datangnya agama Islam, syair adalah karya yang sangat digemari oleh bangsa Arab. Syair bagi bangsa Arab merupakan ruh seluruh aspek kehidupan. Syair –sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb- adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.8 Syair bagi masyarakat Arab adalah pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan mereka.9 6 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 41 7 8 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah, 1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, h. 17 9 Hal ini sejalan dengan pernyataan Plato dalam maha karyanya Republic sebagaimana dikutip oleh Eric A. Havelock menyatakan tentang mitologi puisi bahwa ‘is a going through of what has happened or is or will be (puisi adalah sebuah kenyatan yang mungkin telah terjadi, sedang 3 Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi. Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benar-benar tidak mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu suatu pembuktian dan analisis. Melalui syair karya Zuhair ibnu abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah,10 penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, baik nilai-nilai moralitas yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.11 Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut ini contoh syair Zuhair ibn Abi Sulma yang mengandung nilai-nilai moralitas sosial: 12 على قومه يستغن عنه وي ْذ َم ِم ٍ َوَم ْن يَك ذا ضلِ ِه ْ فَيَْب َخ ْل بَِف،فضل Siapa yang memiliki kelebihan, lalu ia kikir dengan kelebihannya tersebut kepada kaumnya, niscaya ia akan ditinggalkan dan dicela. Karya sastra baik puisi maupun prosa biasanya dicipta oleh sang pengarang bukan tanpa makna. Ada pesan khusus atau amanat yang biasanya ingin disampaikan oleh penulis menyangkut ide dan pemikirannya tentang kehidupan, baik yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.13 terjadi, atau akan terjadi). Eric A. Havelock, Preface to Plato, (New York: The Universal Library Grosset & Dunlap, 1971), h. 236 10 Zuhair ibnu Abi Sulma penyair Arab masa Jahiliyah ayah dari Ka’ab ibnu Zuhair sahabat Rasul SAW. Semasa hidupnya, ia banyak menggubah syair-syair hikmah yang mengajarkan nilainilai moralitas kemananusiaan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada. 11 Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan panldangan hidup pengarang dan pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan ini biasanya berbentuk petunjuk tentang hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h, 321 12 Ali Fâ’ûr, Diwan Zuhair ibnuAbi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424 H/2003 M), h. 110 13 Menurut Burhan Nurgiyantoro, karya sastra digunakan untuk menyampaikan pesan dengan pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi akan sangat berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi. Unsur imajinasi, emosi, serta gaya bahasa yang mewarnai karya sastra, terkadang lebih mengena untuk dijadikan sebagai media informasi dan penyampai pesan, jika dibanding dengan menggunakan gaya bahasa yang bersifat ilmiah. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2010), cet. Ke8, h. 321 4 Pada bait syair di atas, tampak jelas pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu anjuran agar seseorang tidak bersifat kikir pada sesama, terutama bagi mereka yang memiliki kelebihan. Kata fadl dalam kamus Lisan al‘Arab adalah lawan kata dari naqs (kurang) atau dengan kata lain kelebihan. Kata fadl juga sama dengan kata fadîlah yang mengandung arti derajat yang tinggi.14 Diksi yang digunakan penyair tersebut jelas menyatakan bahwa kelebihan yang harus dibagikan ke sesama itu bukan sebatas harta, namun lebih luas lagi, yakni mencakup kelebihan dalam berbagai hal. Namun biasanya hal yang paling umum yang terkait dengan kata bakhil adalah harta. Berdasarkan hal tersebut, jelas sekali bahwa konsep dasar filantropi sosial sesungguhnya telah ada sejak zaman Jahiliyah. Selain anjuran untuk bersifat dermawan, penyair selanjutnya juga mengingatkan masyarakat dengan sanksi sosial yang mungkin diterima oleh seseorang yang diberi kelebihan namun kikir. Ada dua sanksi yang disebutkan penyair sebagai konsekuensi kekikiran, pertama ia tidak lagi dibutuhkan orang (yustagna ‘anhu). Hal ini berarti ia akan dijauhi oleh komunitasnya sendiri. Kedua, ia akan mendapat celaan atau gunjingan (yudzmam) dari masyarakat sebagai bentuk sanksi moral. Jika demikian, lalu di manakah perbedaan nilai-nilai moralitas Islam dan Jahiliyah? Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah makhluk yang mulia (fî ahsan taqwîm), (QS 95:4) diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun (QS 2:30; QS 18:50). Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di muka bumi (QS 33:72). Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral. Lalu di mana letak kekurangan bangsa Arab Jahiliyah? Pertanyaan-pertanyaan yang melengkapi hampir setiap paragraf yang penulis sajikan ini, perlu suatu pembahasan yang mendalam, sehingga terjawab secara meyakinkan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas secara umum 14 Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sâdir, 1410 H/1990 M), jilid 11, h. 524 5 dan bagaimana pula sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, melalui pendekatan strukturalis genetik ini, penulis bermaksud mengadakan sebuah penelitian tentang: TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA. B. Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua permasalahan yang menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Nilai-nilai moralitas apa yang terkandung dalam syair-syair hikmah Zuhair Ibnu Abi Sulma menurut sudut pandang teori strukturalis genetik? 2. Bagaimanakah sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang dikemukakan oleh Zuhair ibnu Abi Sulma? C. Hipotesis Berdasarkan pengamatan sementara, terdapat dua hipotesa dalam penelitian ini: 1. Adanya hubungan yang sangat kuat antara teks-teks syair yang digubah oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma dengan kehidupan sosial masyarakat Arab Jahiliyah dan memberi pengaruh terhadap nilai-nilai keIslaman. 2. Pesan moral (amanat) yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma mengandung nilai-nilai moralitas universal yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial umat manusia. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengungkap pesan moral atau nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma. 2. Mengetahui sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama. 6 E. Metode Penelitian Unsur Ekstrinsik: biografi pengarang sejarah sosial budaya politik ekonomi, dll Strukturalis Genetik Intrinsik: tema performa gaya bahasa amanat /pesan Unsur Pembangun Karya Sastra (Prosa/puisi) Skema di atas menggambarkan unsur pembangun karya sastra, yang tidak terlepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik yang menjadi landasan teori strukturalis genetik sebagai alat analisis penelitian ini. Kajian strukturalis genetik adalah penelitian yang memandang karya sastra dari dua unsur, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik.15 Unsur instrinsik adalah unsur dalam atau batin yang membangun suatu karya sastra.16 Unsur intrinsik prosa dalam beberapa hal tentu berbeda dengan unsur intrinsik puisi. Sebagai contoh, unsur intrinsik novel terdiri dari tema, alur, setting, penokohan dan perwatakan, latar, struktur, dan amanat (pesan moral). Sedangkan unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, rima, irama, tipografi, amanat, gaya bahasa, dan lain sebagainya sesuai dengan karakteristik bahasa dan sastra yang digunakan.17 Adapun unsur ekstrinsik sastra adalah unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, sejarah, dan budaya.18 Menurut teori strukturalis genetik, karya sastra tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pesan moral 15 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), cet. 2, h. 56 16 Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 89 17 Dalam sastra Arab, unsur intrinsik puisi selain isi juga wazan dan qafiyah. 18 Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, h. 67 7 atau juga terkadang disebut dengan istilah amanat dalam teori sastra termasuk pada unsur intrinsik. Oleh karena itu, kajian tentang nilai-nilai moralitas dalam syair masuk pada kajian intrinsik sastra. Namun demikian, kajian ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari unsur biografi penyair, sejarah dan budaya yang melatarbelakangi lahirnya syair-syair tersebut. Oleh karena itu, penulis menganggap metode strukturalis genetik adalah metode yang tepat untuk penelitian ini. F. Sistematika Penulisan Penelitian akan dilakukan berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab 1, Pendahuluan, meliputi latar, latar belakang masalah, permasalahan penelitian, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat dan kegunaan penelitian, landasan teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab 2, metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis, yaitu teori strukturalis genetik dalam kajian sastra, meliputi kajian tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, pesan moral (amanat) dalam sastra, dan pesan moral (risalah aladab) dalam sastra Islam. Bab 3, latar belakang sosial budaya bangsa Arab Pra Islam, meliputi adat dan tradisi bangsa Arab Pra Islam, moralitas umum bangsa Arab Pra Islam, peran sastra dalam kehidupan sosial bangsa Arab Pra Islam. Bab 4, berbicara tentang sosok Zuhair Ibn Abi Sulma, meliputi riwayat hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma serta perannya dalam sastra Arab. Bab 5, analisis nilai-nilai moralitas dalam syair Zuhair Ibn Abi Sulma, termasuk di dalamnya nilai-nilai etika dan estetika sosial bangsa Arab, nilai-nilai moralitas agama atau ideology bangsa Arab, nilai-nilai moralitas politik bangsa Arab, serta sudut pandang Islam Terhadap nilai-nilai moralitas tersebut. Bab 6, penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran penulis. 8 BAB II STRUKTURALIS GENETIK DALAM KAJIAN SASTRA A. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra Ketika berbicara tentang teori strukturalis genetik, berarti kita sedang membahas 2 (dua) unsur yang membangun sebuah karya sastra yang satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsic adalah unsur-unsur yang membangun ciptasastra dari dalam19, atau dengan kata lain struktur dalam yang membangun sebuah karangan.20 Di dalam kajian sastra Arab disebut dengan al-anâshir al-dâkhiliyyah. Adapun unsur ektrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses penciptaan suatu karya sastra, seperti faktor social, politik, ekonomi, pendidikan, agama dan lain sebagainya.21Dalam Bahasa Arab disebut dengan al-anâshir al-khârijiyyah. a. Definisi puisi dan syair Secara umum, teori-teori sastra pada dasarnya adalah sama, namun demikian setiap bangsa, memiliki karya sastra dengan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis tidak akanlepas dari konteks sastra Arab, baik dari segi teori maupun analisis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kajian ini terkait dengan unsur dalam dan luar sebuah karya sastra. Untuk memahami kedua unsur tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian puisi dan syair Arab. Ada banyak definisi puisi yang dikutip oleh Hanry Tarigan dalam bukunya Prinsip-prinsip Dasar Sastra, di antaranya dari Watts-Dunton yang mendefinisikan puisi (poetry) sebagai “ekspresi yang konkrit dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam Bahasa emosional dan berirama”. Definisi yang lebih sempit dikutip Tarigan dari Ensiklopedi Indonesia N-Z yang menyatakan bahwa puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan katakata kiasan.22 19 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, Bandung: Angkasa, 2000, h. 20 20 Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, Bandung: Angkasa, 2007, h. 359 Lihat Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 20 22 Berbagai definisi puisi dengan segala perbedaannya lih. Henry Guntur Tarigan, Prinsipprinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984, h. 3-8 21 9 Selain kata puisi, dalam sastra Indonesia juga mengenal istilah syair. Kata syair yang ada dalam Bahasa Indonesia, sesungguhnya merupakan serapan dari kata al-syi’r yang ada dalam sastra Arab. Namun untuk memudahkan penyebutan, penulis menggunakan kata syair dalam kajian ini. Definisi syair yang paling terkenal adalah al-kalam al-mauzun al-muqaffa yaitu untaian kata yang berpola (mauzun) dan berirama (muqaffa).23 Menurut Ahmad al-Iskandari dkk, ada 2 (dua) unsur yang melekat dalam syair, pertama mempengaruhi rasa, kedua menggunakan pola-pola khusus (wazan). Berdasarkan hal tersebut, definisi syair yang paling dekat adalah untaian kata (kalam) berpola dan berirama bersumber dari rasa dan mempengaruhi perasaan.24 b. Unsur-unsur intrinsik puisi dan syair Secara umum, unsur intrinsik puisi dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu isi dan bentuk. Ada juga yang menyebutnya dengan struktur dalam untuk isi dan struktur luar untuk bentuk.Kandungan puisi terkait erat dengan diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh penyair agar pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh penyair sampai kepada audiens. Oleh karena itu, secara singkat yang dimaksud dengan struktur dalam puisi adalah pesan atau makna imajinatif, makna emosional (perasaan), dan makna logis dari sebuah puisi.25 Isi puisi adalah tema dan amanat. Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran dan menjadi persoalan bagi pengarang. Tema merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Ia masih bersifat netral dan belum memiliki tendensi. Pemecahan masalah yang ada dalam tema dinamakan dengan amanat. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit ataupun implisit.26 Adapun yang termasuk ke dalam struktur luar atau bentukpuisi yaitu musikalitas, korespondensi dan gaya Bahasa. Unsur musikalitas adalah unsur bunyi, irama, atau music dari sebuah puisi. Korespondensi adalah hubungan antara satu larik dengan larik lainnya. Gaya Bahasa adalah Bahasa yang digunakan oleh 23 Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al-Ma’arif, 24 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi Tarikh al-Adab al-Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, h. 25 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 8-15 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 22 tth, h. 42 38 26 10 pengarang untuk mengekspresikan imajinasi dan emosinya saat menggubah puisi agar mampu mempengaruhi pembacanya. Gaya Bahasa yang banyak digunakan dalam puisi di antaranya, metafora, personifikasi, paradoks, simbolik dan hiperbola.27 Henry Tarigan lebih suka menyebut unsur intrinsik puisi ini dengan istilah hakekat puisi. Menurut I.A Richards, sebagaimana dikutip oleh Tarigan dari Morris, hakekat puisi ada 4 (empat), yaitu: 1. Tema; makna (sense); 2. Rasa (feeling); 3. Nada (tone); dan 4. Amanat;tujuan; maksud (intension)28 Lalu bagaimanakah dengan struktur pembangun syair Arab? Apakah sama dengan puisi? Pada hakekatnya, baik puisi maupun syair Arab, secara umum memiliki unsur pembangun yang sama. Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inani menyebutkan sebanyak 4 (empat) unsur pembangun syair, yaitu: 1. Agradh, yaitu tujuan. Tujuan ini mirip dengan tema dalam struktur puisi. Ada beberapa tema yang digemari oleh penyair Arab, di antaranya nasib29, fakhr30, madh31, ritsa32, hija’33, I’tidzar34, washf35, dan hikmah36. 27 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 24-25 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, h. 9-10 29 Syair yang dibuat untuk memuji perempuan secara khusus dengan segala kebaikannya, dan mengenang kebersamaan dengannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 46 30 Syair yang dibuat untuk membanggakan diri, kelompok, keluarga, kabilah, dan lainnya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 47 31 Syair yang dibuat untuk memuji seseorang atau kelompok, dari keberaniannya, kedermawanannya, dan kebaikan lainnya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48 32 Syair yang dibuat untuk meratapi dan menangisi seseorang atau kelompok saat mendapatkan musibah. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48 33 Syair yang digunakan untuk menghina dan mengejek seseorang atau kelompok dengan mengungkapkan keburukan-keburukannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48 34 Syair yang digunakan untuk memohon maaf atau pengampunan kepada seseorang atau kelompok. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48 35 Syair yang digunakan untuk menggambar suatu hal atau peristiwa. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48 36 Syair yang digunakan untuk menasihati dan mengajarkan nilai-nilai kebajikan. Melalui syair ta’lim dan hikmah inilah biasanya nilai-nilai moralitas disampaikan oleh penyair dengan Bahasa yang indah, menarik, dan menyentuh. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h.16 28 11 2. Ma’ani wa akhilah. Ma’ani adalah makna, sedangkan akhilah atau khayal adalah imajinasi. Ma’ani dalam puisi sama dengan kandungan atau amanat yang ingin disampaikan oleh penyair. Sedangkan khayal erat hubungannya dengan unsur yang ketiga yaitu gaya Bahasa. 3. Uslub wa alfazh. Uslub adalah gaya bahasa, sedangkan alfazh adalah diksi atau pilihan kata. Gaya Bahasa dan diksi erat kaitannya dengan imajinasi. Imajinasi dalam syair biasanya disampaikan dengan gaya bahasa khas, seperti menggunakan isti’arah (metafora), tasybih (perumpamaan), majas dan kinayah. Pemilihan kata yang tepat dan juga gaya Bahasa yang indah dalam syair, mampu mempengaruhi emosi dan perasaan pendengarnya. 4. Wazan dan qâfiyah. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.37Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentukbentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab.38Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan irama musik.39Adapun qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya.40Abdurridha Ali mendefinisikan qafiyah secara modern, yaitu bunyi-bunyian yang membentuk irama musik yang didendangkan oleh penyair di bait pertama dan diulang kembali pada akhir bait.41Wazan dan qafiyah yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah rhyme dan metre42atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rima dan matra.Berdasarkan hal tersebut wazan dan qafiyah pada dasarnya masuk ke dalam struktur luar atau bentuk yang dalam puisi yang disebut dengan irama atau nada. . al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458 . Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, hal. 50 39 Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah (Irama syair Arab: Klasik dan modern) 40 al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, h. 41 Abduridho Ali, Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah, Oman: Dar al-Syuruq, 1997, h. 168 42 . lih. Roger Allen, an Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2004, 74 37 38 12 Istilah-istilah yang terdapat pada wazan dan qafiyah tersebut, selanjutnya turut menentukan jenis dan corak syair Arab dari aspek bentuk. Untuk itu, syair Arab dari segi bentuk terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu: 1. Syair multazim (klasik/tradisional), yaitu syair yang terikat dengan aturan wazan dan qâfiyah. 2. Syair mursal atau muthlaq,yaitu syair yang terikat dengan satuan irama atau taf’ilah, namun tidak terikat oleh wazan dan qafiyah. . Sebagai contoh, syi’ir Ahmad Faris al-Syidyaq berikut ini: وصل ميضى كأمنا هو ساعة ِ ساعة البعد ْعنك شهر وعام ال ِ وت نَ ِجمى لِنجوٍم ِذى تَ ْفلِي ك ْ ْ ْ َ ْ صباَبَة َ أَتَنَجم اللْي َل الط ِويْ َل ِ ي َذكِ ِرِن الْب ْدر املنري حمي ك َ ْ ِ ِ وََْيفق ِم ِّن الْ َق ْل َالصبا َ ب إِ ْن َهبت َ 43 Rangkaian syi’ir tersebut terdiri dari, bait pertama berdasarkan pada bahr khafif, bait kedua bahr kamil, dan bait ketiga adalah bahr thawil. 3. Syair mantsûr atau syair hurr (puisi bebas), yaitu syair yang bebas dari segala bentuk kaidah ilmu arudl.Syair kontemporer banyak menggunakan metode ini dalam penggubahannya. Corak ini saat ini sangat digemari dan dianggap lebih mudah karena tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu seperti ilmu Arudh, atau bahkan taf’ilah sekalipun. Selain itu, karena tidak adanya aturan dalam bentuk, syair ini lebih demokratis dan akomodatif dalam mengilustrasikan kata-kata. Namun demikian syair dalam bentuk ini terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari syair Arab, karena sudah terkontaminasi oleh sastra Barat, dan dianggap ikut berperan menghilangkan karakteristik syair Arab murni yang menjadi ciri khas bangsa Arab. Contohnya syair kontemporer karya Qassim Haddad berikut ini: 43 . al-Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’r, hal. 286 13 فدخلت... دخلت وسرت مجيع األوقات معا وشعرت بأِن بدء مل يبدأ صرت نطفة سرت جنينا طفال ورجال الكهل الشائخ سرت كأِن مل أولد بعد 44 ..... Syair tersebut tampak jelas, sudah membebaskan diri dari segala ikatan syair klasik dan syair mursal, dan tidak ada bedanya dengan puisi-puisi di negara lain, selain bahasanya. Demikianlah beberapa pembahasan yang terkait dengan unsur-unsur intrinsik dalam puisi atau syair. Di dalam kajian strukturalis genetic, unsur-unsur intrinsic tersebut merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan di samping unsur-unsur ekstrinsik. c. Unsur ekstrinsik sastra Sebagaimana disebut di atas, bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra, seperti social, politik, ekonomi, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Namun demikian, menurut mursal esten, bila kajian terlalu menekankan pada unsur ekstrinsik, tidak lagi disebut dengan kajian sastra, tetapi berubah menjadi kajian politik, ekonomi, social, dan lain sebagainnya. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia disebutkan bahwa unsur ekstrinsik karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik utama dan unsur ekstrinsik penunjang. Unsur ekstrinsik utama adalah pengarang. Dari unsur pengarang, sebuah karya sastra dapat ditelusuri hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan, imajinasi, inteletualitas, dan pandangan hidup pengarang. Adapun unsur ekstrinsik penunjang yaitu norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya, 44 . data diperoleh dari http: www. Jehat al-syi’r 14 konvensi sastra, dan konvensi Bahasa. Kedua unsur ekstrinsik tersebut dapat ditelusuri melalui karya sastra.45 d. Posisi strukturalis genetik Setelah penulis membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan strukturalis genetik, dan apa hubungannya dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra? Secara bahasa struktur berarti bangun, bentuk, desain, konstruksi, format, gatra, rupa, system, tata, wujud, komposisi, morfologi, susunan, tekstur.46 Keunikan yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik karya sastra -sebagaimana telah dibahas sebelumnya- menarik perhatian para peneliti, sehingga lahirlah teori strukturalisme (al-bina’iyyah). Sebuah teori yang memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat, maupun usur-unsur ekstrinsik lainnya, seperti biografi, psikologi, sosiologi dan sejarah yang mempengaruhinya.47 Kritik sastra structural adalah kritik objektif yang menekankan aspek instrinsik karya sastra. Untuk itu yang menentukan nilai estetika sebuah karya sastra tidak sebatas keindahan Bahasa, namun juga relasi antar unsur intrinsic. Unsurunsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari unsur-unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, gaya Bahasa, dan amanat. Sedangkan puisi terdiri dari tema, gaya Bahasa, imajinasi, ritme atau irama, rima, diksi, symbol, dan amanat. Semua unsur tersebut dari kacamata teori strukturalisme terjalin satu dengan yang lainnya dengan rapi dan memiliki interrelasi dan saling ketergantungan.48 Terfokusnya kritik sastra pada unsur-unsur intrinsik, memicu munculnya teori baru yang merasa tidak puas dengan teori strukturalis. Teori strukturalis dianggap tidak memperdulikan unsur-unsur lain yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, geografi, sejarah, serta aspek-aspek social lainnya. 45 Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, h. 245 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 613 47 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 183 48 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 184 46 15 Kekurangan yang terdapat pada teori strukturalisme murni ini, memicu lahirnya teori-teori strukturalisme revisi di antaranya muncul dari sosiolog Marxis Lucien Goldman dan George Lukacs yang mengembangkan teori baru yang disebut dengan strukturalis genetic, yaitu strukturalisme yang berorientasi pada unsur genetic (social) yang mempengaruhi lahirnya karya sastra. Dengan demikian, strukturalisme genetic menjadi suatu teori kritik yang menghubungkan struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui ideology atau cara pandang yang diekspresikan, baik yang berbentuk gagasan-gagasan, inspirasi, dan perasaanperasaan yang menyatukan anggota kelompok social tertentu, sebagai hasil dari situasi social, politik dan ekonomi yang dihadapi secara kolektif. Ideology yang berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.49Dr. Wa’il Sayyid Abdurrahim menyebut istilah strukturalis genetik dalam Bahasa Arab dengan al-bunyawiyah altakwiniyyah.50 Ada 3 hal yang membedakan strukturalisme genetic dengan kritik sosiologi sastra. Strukturalisme genetic harus meliputi 3 hal, yaitu aspek intrinsic teks sastra, latar belakang pencipta, dan latar belakang social budaya dan sejarah masyarakat saat lahirnya karya sastra. Di sisi lain, sosiologi sastra tidak mementingkan kajian unsur-unsur intrinsic. 51 Penelitian strukturalis genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang, yaitu intrinsic dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur instrinsik sebagai data dasar. Selanjutnya, unsur intrinsic tersebut dihubungkan dengan dengan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya yang merupakan realitas dari masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir. Menurut Suwardi Endraswara, karya sastra dipandang sebagai sebuah refleksi jaman yang dapat mengungkapkan aspek social, budaya, politik ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman lahirnya karya Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon: Darul ilmi wa al- Iman, 2009, h. 86. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 188 50 Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, h. 86 51 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, h. 188 49 16 sastra tersebut akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsic karya sastra.52 Itulah sekilas pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra serta posisi teori strukturalis genetik dalam kritik sastra. Teori ini selanjutnya akan digunakan untuk mengkaji syair hikmah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, dari sudut pandang nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya. B. Makna Nilai-nilai Moralitas Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa amanat (pesan moral)dalam karya sastra sebagai bagian dari instrinsik sastra. Pesan moral atau amanat yang ingin disampaikan oleh penulis merupakan bagian dari kandungan atau isi karya sastra yang diharapkan mampu mempengaruhi pembacanya. Menurut Mursal Esten, ciptasastra yang indah, bukan semata karena bahasanya yang mengalun-alun dan penuh irama, namun ia harus dilihat secara keseluruhan dari tema, amanat, maupun strukturnya, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mursal ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra, yaitu nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut satu sama lain saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Maka sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Moral bukan sekedar sopan santun, namun ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal.53 Novel-novel yang ditulis oleh Nawal el- Sa’dawi, misalnya, sarat dengan pesan moral tentang perjuangan dan upaya kaum perempuan untuk melepaskan diri dari segala macam bentuk penindasan, dan menyeru kaum laki-laki, bahwa perempuan adalah makhluk yang sama yang harus diperlakukan dengan adil. Begitu pula halnya dengan puisi atau syair, kata yang singkat dan padat sebagai ciri khas puisi, di dalamnya sarat dengan amanat yang ingin disampaikan, bahkan pada sebagian puisi, amanat tersebut dapat dirasakan dari setiap bait yang digubah oleh sang penyair. 52 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2004), H. 56 53 Mursal Esten, Kesusteraan: pengantar Teori & Sejarah, h. 7-8 17 Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan nilai dan moralitas perlu dibahas secara khusus, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis nilai-nilai moralitas atau amanat yang terkandung dalam syair Zuhair Ibnu Abi Sulma. a. Pengertian Nilai Nilai secara bahasa diartikan dengan 1) angka, biji, ponten, skor, kredit, poin, 2) harga, harkat, kadar, martabat, taraf, bobot, jenis, kualitas, mutu 3) adab, etik, kultur, norma, pandangan hidup, sila (sangsakerta) 4) arti, makna, faedah, kegunaan, manfaat, profit. Bernilai berarti: 1) berharga, berfaedah, berguna, bermanfaat, produktif, 2) berbobot, berkualitas, dan bermutu.54 Secara bahasa, kata nilai dalam bahasa Arab disebut dengan qiyam sebagai bentuk jamak dari qîmah. Ibnu Manzhur memaknai qiyam dengan tsaman al-syai bi al-taqwîm atau harga sesuatu berdasarkan penghargaan.55 Untuk itu, nilai keagamaan menurut KBIH adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.56 Di dalam bahasa Inggris, nilai disebut dengan value. Secara umum kata value (nilai) merujuk pada sesuatu yang bernilai atau berharga, bisa berbentuk objek atau peristiwa, bisa orang atau perbuatan, ide atau kebiasaan. Teori nilai, atau aksiologi, adalah sebuah pendekatan di mana nilai sebagai kategori umum dijadikan sebagai obyek utama dalam analisis filosofis pemikiran Barat pada abad 19 yang kemudian berkembang di abad 20. Di antara para ahli teori nilai terkemuka Bernard Bosanquet, JNFindlay, Alexius Meinong, dan Max Scheler di Eropa. Alejandro Korn di Amerika latin, dan C.I. Lewis, Ralph Barton Perry, John Dewey, dan Stephen Lada di Amerika Serikat.57 Menurut Syatori Isma’il, dalam memahami makna nilai, terbagi ke dalam tiga kelompok, pertama kelompok yang mengartikan nilai sebagai aturan-aturan yang dijadikan sebagai tolak ukur, kedua, sesuatu yang tercermin dari tingkah laku 54 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, cet. 3, h. 429 55 Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h. 500 56 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 690 57 J. Wentzel Vrede van Huyssteen (editor in Chief), Enchylopedia of Science and Religion, Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2, h. lih. foto 18 seseorang, dan ketiga pendapat yang menggabungkan keduanya.58 Maka menurut Ibrahim Ibnu Nasher, al-qiyam (nilai) adalah seperangkat norma atau prinsipprinsip dasar yang luhur yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman perbuatan mereka dalam menghakimi tindakan lahir dan batin mereka.59 b. Pengertian Moral Secara bahasa, moral dimaknai dengan: 1) adab, akhlak, budi pekerti, etik, kehormatan, kejujuran, kesusilaan, pandangan hidup, sila (skt), tata susila, 2) batin, mental 3) amanat, iktibar (ar), makna, pelajaran, pesan. Bermoral berarti beradab, berbudi, bersusila, elegan, tahu adat/etiket, sopan. Moralitas mengandung arti etika, integritas, kebaikan dan kebajikan.60 Dalam bahasa Arab, kata moral disebut dengan akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq.61 Ibnu Manzhur mengartikan kata al-khuluq dengan al-sajiyyah atau karakter.62 Berdasarkan hal ini, al-Ghazali mendefinisikan kata akhlak dengan suatu tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa perlu pemikiran lagi. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi akhlak ke dalam 2 bagian, yaitu akhlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-sayyiah).63 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendefinisikan akhlak dengan sebuah tindakan yang bersumber dari pengetahuan yang benar, hasrat yang tulus, ekspresi lahir dan batin, sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan, bermanfaat, serta perkataan yang benar.64 58 Ahmad Syatori Ismail, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal al-Kutub alMadrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip Dhiya’uddin Zahir, 1995, h. 18). 59 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http://www.aljazirah.com/2011/20110924/ar3.htm 60 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 418 61 Kata akhlak dalah bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa arab tanpa ada perubahan. 62 Ibnu Manzhur, Lisan al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h.86 63 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Kairo: Maktabah alIman,1996, cet. 1, J. 3, h. 77 64 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an, Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth, h. 144 19 Moral dalam bahasa lain disebut juga dengan etika. Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Menurut Magnis Suseno, etika adalah ilmu bukan dan bukan sebuah ajaran. Dan yang memberi norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. 65 Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuahpetuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut dengan orang yang tidak bermoral, atau kurang bermoral. Secara singkat kita bisa menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Purwa Hadiwardoyo, membagi moral social ke dalam beberapa bagian, yaitu ideology, politik, ekonomi, social, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan dan profesi.66 Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas adalah prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh seseorang dalam berperilaku.67 c. Ukuran Baik dan Buruk Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilakuperilaku yang tidak baik.68 65 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 1 66 Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 74-94 67 Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http://www.al.Jazirah.com/2011/20110924/ae3.htm. 68 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 3 20 Lalu apakah ukuran baik dan buruk itu? Dalam filsafat etika, disebutkan bahwa baik dan buruk diukur dengan standarisasi umum yang berlaku bagi semua manusia dan tidak hanya berlaku bagi sebagian manusia. Secara garis besar tolak ukur ini dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori deontologis dan teleologis. Deontologis mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan.69 Istilah deontologi berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty). Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontology, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat dan tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan sebagai tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.70 Etika teleologis justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.71 Karena teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat, maka teori ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.72 Kalau egoism menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna 69 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 68 71 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 72 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76 70 21 bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. 73 Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.74 Menurut Burhanudin Salam, pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya: - Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. - Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak memaksa.75 Adapun perbedaannya adalah: - Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian. - Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia. Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di alam fana ini. - Agama (islam) sumbernya dari Allah SWT, sedangkan etika dengan segala macam dan jenisnya bersumber dari pemikiran manusia (sesuai aliran masing-masing). - Ajaran agama dapat melengkapi dan memperkuat ajaran etika, tetapi tidak semua ajaran dan pandangan etika, dapat diterima oleh agama. 73 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 75 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183 74 22 Maka semua manusia yang beragama (islam) dengan sendirinya mengerti soal-soal etika/moral, tetapi yang mempelajari etika sebagai suatu ilmu/filsafat, belum tentu beragama.76 Aliran relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Aliran yang menyakini bahwa sesuatu (misalnya pengetahuan atau moralitas) bersifat relative terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu adalah benar atau paling benar. Aliran ini terbagi dua, yaitu relativisme kognitif dan relativisme etika. Relativisme kognitif adalah pandangan yang menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena ia tidak memiliki sifat intrinsic dan tidak ada seperangkat norma epistemic yang secara metafisis lebih istimewa dari yang lain.77 Adapun yang dimaksud dengan relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu.78 Relativisme etika terbagi ke dalam relativisme individual dan relativisme social. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Sedangkan relativisme social adalah pandangan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Donaldson, sebagaimana dikutip oleh M. A Shomali menyatakan bahwa kebanaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Fieser sebagaimana dikutip oleh M.A Shomali mengatakan bahwa relativisme moral adalah pandangan bahwa norma-norma moral bersumber dari persetujuan social yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain.79 Lawan dari teori relativisme etika adalah absolutism etika, suatu pandangan yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal. Sebagaimana dikutip dari Pojman, Sebagian lain memilih istilah objektivisme etika sebagai lawan dari relativisme etika. Objektivisme etika menekankan bahwa meski berbagai budaya berbeda-beda dalam prinsip moralnya, namun demikian beberapa prinsip 76 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 184 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999, h. 1 78 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 33 dari Pojman 79 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 35 dari Fieser 77 23 moral memiliki validitas universal, sekalipun misalnya, sebuah budaya tidak mengakui kewajiban mencegah kejahatan yang tidak beralasan, prinsip itu benar, dan budaya tersebut harus mengikutinya.80 Secara umum konsep-konsep moralitas dapat diukur dari: 1. Apakah tindakan ini baik atau buruk? 2. Apakah perbuatan ini benar atau salah? 3. Apakah perbuatan ini harus dilakukan atau tidak? Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan, teori strukturalis genetik, dan nilai-nilai moralitas. Teori-teori ini oleh penulis akan dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis syair-syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma dari sudut pandang nilai-nilai moralitas. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyyah yang tercermin dalam syair-syair Zuhair, apakah mencerminkan moralitas deontologis ataukah teleologis. Lalu sejauh mana, unsurunsur ekstrinsik mempengaruhi terhadap penciptaan syair Zuhair yang terlahir pada masa Jahiliyah, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masa yang tidak bermoral. 80 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 38-39 24 BAB III ZUHAIR IBN ABI SULMA: RIWAYAT HIDUP, SYAIR DAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYAH A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma Zuhair ibnu Abi Sulma termasuk ke dalam tokoh sastrawan Arab Jahiliyah periode awal bersama dengan Imru al-Qais81 dan al-Nabighah al-Dzubyani82. Nama lengkapnya adalah Zuhair Ibnu Abi Sulma al-Muzani Ibnu Rabi’ah ibnu Abi Rabbah ibn Qurth ibn al-Harits ibn Mazin ibn Halawah ibn Tsa’labah ibn Tsaur ibn Hirmah ibn Lathim ibn ‘Utsman ibn ‘Amr ibn ‘Id ibn Thabikhah ibn al-Yas. Ia dinasabkan pada Muzainah binti Ka’ab ibnu Rabwah ibu ‘Amr ibnu Ad, salah seorang nenek kabilah Rabi’ah dari pihak bapak. Kabilah Zuhair dinasabkan pada neneknya dan dinamakan dengan nama tersebut.83 Buku-buku sejarah sastra klasik, maupun penelitian-penelitian terbaru tidak banyak menceritakan tentang kehidupan Zuhair kecil, selain bahwa ia hidup dan tinggal di lingkungan Bani Abdillah ibnu Ghathfan dan paman-pamannya dari Bani Murrah kabilah Dzubyan. Zuhair tumbuh berkembang di bawah pemeliharaan pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadîrseorang penyair hebat sekaligus pemimpin yang dihormati lagi kaya. Basyamah termasuk salah seorang hartawan Jahiliyyah yang mampu mencungkil mata unta, salah satu tradisi bangsa Arab Jahiliyyah bila seseorang sudah memiliki seribu unta sebagai simbol bahwa ia Nama lengkapnya yaitu ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki penyakit kulit (lepra) menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; alMalik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 17 82 Ia adalah Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama alNâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi alAdab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143 83 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990 M), h. 31 81 25 seorang yang kaya. Saat meninggal dunia, Basyamah mewariskan kemuliaan dan akhlak yang baik kepada Zuhair, di samping keahlian dalam menggubah syair. 84 Selain dari pamannya Basyamah, kepandaianZuhair dalam menggubah syair juga diperoleh dari suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar seorang penyair yang sangat terkenal dan menjadi guru sejumlah penyair pada masa itu seperti al-Nabighah al-Dzubyani. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zuhair menarik perhatian Aus, sehingga ia memberikan perhatian lebih pada Zuhair, dan Zuhair banyak mengambil pelajaran syair yang bagus darinya.85 Zuhair menikah dengan seorang perempuan mulia bernama Laila yang dijuluki dengan Ummu Aufa. Dari Ummu Aufa, Zuhair dianugerahi beberapa anak, namun semuanya meninggal saat masih kecil. Keinginannya untuk mendapatkan keturunan, memaksa dia menikah kembali dengan seorang perempuan bernama Kabsyah binti Umâr ibnu Sahîm dari Bani Abdillah ibnu Ghatfan. Darinya, Zuhair dianugerahi tiga orang putra yaitu Ka’ab, Buhair, dan Salim. Salim putranya yang ketiga meninggal saat kanak-kanak, semasa Zuhair masih hidup.86 Namun demikian, Kabsyah istri barunya tersebut kurang cerdas dan senang dipuji, sehingga Zuhair merasa jemu dan ingin kembali pada istri pertamanya Ummu Aufa yang selalu memperlakukannya dengan baik. Sayang, Ummu Aufa menolak permohonan Zuhair untuk kembali bersatu, karena ia merasa telah diduakan.87 Zuhair terkenal sebagai pribadi yang kaya raya dan dermawan. Ia juga meyakini akan adanya hari kebangkitan dan juga hisab. Hal ini tampak dalam syairsyairnya yang fenomenal. B. Syair-syair Zuhair Bila dipertanyakan, mengapa Zuhair bisa menjadi seorang penyair yang hebat saat itu. Jawabannya, tentu saja karena Zuhair tumbuh di sebuah rumah yang diliputi aura syair.Ayahnya yang bernama Rabi’ah ibnu Rabah adalah seorang penyair. Demikian pula pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadir dan Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 33. Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69 85 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 86 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 87 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 35 84 26 juga suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar, keduanya merupakan penyair Jahiliyah yang terkenal. Selain itu, kedua saudara perempuannya, yaitu Salma dan al-Khansa, keduanya penyair perempuan yang terkenal saat itu. Zuhair juga dikaruniai dua orang anak laki-laki yang juga menjadi penyair terkenal hingga masa Islam, yakni Ka’ab dan Bajirah. Dan lingkungan seperti ini tidak dimiliki penyair lain semasanya.88 Terkait syair-syair Zuhair, Umar Ibn al-Khathab mengatakan: “ Zuhair adalah seorang penyair yang tidak bertele-tele dalam ungkapannya, menghindari syair-syair yang rumit, dan tidak memuji kecuali apa adanya.89 a. Tema-tema (aghrad) dalam syair Zuhair Muhammad Yusuf Farran, menyebutkan sebanyak 5 (lima) tema yang ada dalam syair-syair Zuhair, yaitu ghazal, washaf, madh, ritsa, hija, dan hikmah. Ghazal adalah syair yang secara khusus ditujukan untuk memuji dan menyanjung perempuan, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan penyair dengan perempuan yang dicintainya, tempat-tempat yang pernah mereka lalui bersama, dan lain sebagainya. Contoh syair ghazal Zuhair: 92 ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم90ِأمن أم أ َْو َف فاملتثلم91حبومانة الدر ِاج Tidak adakah jejak-jejak Ummi Aufa, (mengapa) tidak berbicara (jejak-jejaknya) di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam ِ ص ِم َ مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع كأهنا93ديار هلا بالرقمتني ٌ perkampungannya yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005 M/1426 H), h. 42. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 37 89 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 47 dari kitab al-Aghani dan al-Umdah. 90 Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair (mantan istri Zuhair). Lih. Riwayat Hidup Zuhair Bab IV. 91 Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan Mekah dekat al-Waqba. 92 Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al-A’rabi alMutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah (Mu’jam al-Buldan, jilid 5, h. 53). ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102 93 Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad (Mu’jam al-Buldan, jilid 3, h. 58) 88 27 Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan94 هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة ينهض َن من كل ََْمثَ ِم ْ وأطالؤها Di dalamnya sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ِ ونؤيا كجذم احلوض مل يتثل ِم أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل (kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil ِ اسلَ ِم ْ الربْع و َ أال أَنْع ْم صباحا أيها فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث تبصر خليلي هل ترى من ظغائن Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedupsekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum95 b. Gaya bahasa Syair Zuhair Dalam menggubah syairnya, Zuhair banyak menggunakan tasybih (perumpamaan), isti’arah (metafora), dan majas melalui hal-hal yang bersifat konkrit untuk menggambarkan ide, emosi, dan imajinasinya. Selain itu syairnya ringkas, padat, banyak mengandung hikmah dan pelajaran.96 94 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 95 Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad 96 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69 28 Para pengamat sastra Arab klasik sepakat menilai Zuhair lebih baik kualitas syairnya dibandingkan dengan penyair semasanya seperti Imru al-Qais dan alNabighah al-Dzubyani. Alasannya adalah: 1. Syair-syairnya singkat padat dan tidak bertele-tele atau dalam ilmu balaghah disebut dengan ijaz, yaitu gaya Bahasa yang menggunakan sedikit lafaz, namun mengandung banyak makna. 2. Memuji dengan baik dan menjauhi dusta dalam bersyair. Ia tidak memuji seseorang, kecuali benar-benar mengenal watak dan karakternya. Sebagai contoh: وعند املقلني السماحة والبذل# على مكثريهم َرزق من يعرتيهم 3. Menjauhi lafaz dan makna yang menjelimet atau dirasa asing di telinga. Contoh syairnya yang mudah dicerna: ولكن محد الناس ليس مبخلد# ولو أن محدا خيلد الناس أخلدوا 4. Menggunakan bahasa yang baik, sehingga sedikit sekali penggunaan kata-kata yang buruk atau kasar. Oleh karena itu, ketika menggubah syair hija (ejekan) yang ditujukan untuk kaum tertentu, ia menyesali apa yang diperbuatnya. 5. Di dalam syair-syairnya banyak mengandung perumpamaan- perumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair Zuhair juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari.97 C. Kehidupan sosial, Politik, dan Agama pada Masa Zuhair Ibnu Abi Sulma a. Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup 97 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,h. 71-72 29 menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang memiliki keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk Yaman yang menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya, bangga menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa mereka peroleh dari hasil berbisnis dan pertanian.98 Bangsa Arab Yaman pada dasarnya adalah masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan menggunakan sistem bercocok tanam di ladang. Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok untuk bercocok tanam. Kondisi seperti ini memaksa penduduk Arab Badawi untuk selalu mencari sungai-sungai dan daerah-daerah yang dicurahi hujan yang terdapat di gurun pasir, yang banyak ditumbuhi rerumputan, sehingga pada saat menemukan tempat seperti itu, seluruh kabilah keluar untuk mendapatkannya. Bila sudah habis, mereka mulai mencari tempat lain sebagai penggantinya. Kondisi seperti ini banyak digambarkan dalam syair-syair Arab Jahili. Para penyair banyak menyenandungkan tentang tumbuh-tumbuhan, musim semi, rerumputan, dan bunga, yang mampu membakar semangat bagaikan rasa panas yang menyengat.99 Selain sistem sosial hadlari dan badawi, sistem sosial lainnya yang tidak kalah penting dalam struktur sosial bangsa Arab adalah sistem kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama.100 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24 99 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan orang-orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian, darah orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K. Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28 100 Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship (kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 98 30 Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.101 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.102 Di dalam sistem kabilah itu terdiri dari beberapa stratifikasi103, yaitu: 1. Abnâ al-Qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah. 2. Abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari Negeri tetangga terutama dari Habasyah. 3. al-Mawâli, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan termasuk alKhulâ`a (orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) seperti kelompok Sha`âlik yang sangat terkenal.104 b. Situasi Politik Para sejarawan sepakat bahwa pemerintahan pada masa Jahiliyah yang berbentuk kerajaan mutlak hanya ada di Yaman. Pemimpin kerajaan yang paling terkenal adalah ratu Saba Balqis al-Himriyyah, yang diceritakan dalam kisah Nabi 101 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga 102 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11 103 Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan). 104 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965), cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9 31 Sulaiman as. Sedangkan kota-kota dan perkampungan-perkampungan yang di sekitar Jazirah Arab belum menganut system pemerintahan sebagaimana Yaman, namun berbeda antara satu dengan lainnya. Dr. Jawad Ali dalam bukunya Tarikh al-Arab Qabla al-Islam menyatakan bahwa sebagian kota dan kampong terutama di Arab bagian Barat seperti Mekah tidak dipimpin oleh seorang raja, namun dipimpin oleh beberapa orang laki-laki (penguasa). Mereka tidak diberi gelar raja. Para pemimpin tersebut diberi diangkat berdasarkan perjanjian. Di Mekah, pusat kepemimpinan mereka dinamakan dengan Darun Nadwah.105 Adapun masyarakat Badawi, mereka menganut sistem kabilah yang dipimpin oleh seorang sayyid. Mereka sama sekali tidak memiliki pusat pemerintahan yang mengurusi urusan kehidupan mereka. Masing-masing kabilah, berdiri sendiri-sendiri dan mengatur urusan masing-masing. Anggotanya berasal dari kabilah mereka sendiri. Mereka menempati sebuah wilayah yang mereka namakan dengan al-hima. Mereka tunduk pada ketua kabilah sebagai pimpinan tertinggi. Ia dipilih berdasarkan fanatisme kabilah. Kebebasan mereka bersifat individual, bukan social. Hak individu adalah hak kelompok, dan hak kelompok adalah hak individu. Semua berdasarkan pada fanatisme kabilah. Prinsip mereka adalah bantulah saudaramu baik dia sedang dizalimi atau menzalimi. Berdasarkan hal tersebut, mereka lebih memprioritaskan keturunan, dan mengungguli yang lain. Untuk itu ‘Amr ibnu Kaltsum berkata dalam syairnya: 106 ويشرب غرينا كدرا وطينا وردنا املاء صفوا ْ ونشرب إن Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi mereka memperbanyak keturunan. Prinsipnya “dengan Banyak akan membuat gentar”.Kehidupan bangsa Arab saat itu bisa diibaratkan dengan kehidupan hutan. Seperti yang diutarakan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma ()ومن ال يظلم يظلم. Kabilah bagi masyarakat Arab saat itu, bertanggung jawab untuk mempertahankan hak-hak anggotanya dan menjaganya. Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) yang diangkat sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat 105 106 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 27 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 28 32 kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura-pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya. 107 Ketua kabilah atau yang disebut dengan syaikh, harus berwibawa, kaya, cerdas, berpandangan luas, rela berkorban, dermawan, berani, penuh kasih, sabar, dan lainnya dari sifat positif. Pimpinan inilah yang mengendalikan kabilah, mereka yang memerintahkan untuk berperang atau tidak.108 Adapun para penyair, pada masa Jahiliyah berfungsi sebagai juru bicara mereka (alsinat al-qabail). Para penyair bertugas menjaga dan melindungi kehormatan kabilah melalui syair-syair mereka, sebagaimana prajurit menjaga kehormatan kabilah dengan pedang dan panah mereka.109 Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. 107 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29 109 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29 108 33 Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf (yang bersekutu) atau ‘maulâ’ (sekutu).110 Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilahkabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair-syair jahili. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahili seseorang harus memahami benar kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka.111 Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnyasyair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watakwatak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu.112 110 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11-12 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 12 112 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25 111 34 Fanatisme sempit terhadap kabilah ini, menjadikan kondisi sosial politik bangsa Arab pada masa Jahiliyyah kacau dan tidak aman, diselimuti dengan rasa khawatir, karena perang yang berkepanjangan yang biasa disebut dengan Ayyâm alArab. Perang bagi bangsa Arab Jahili adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab Jahili. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula. Perang telah menyita separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali.113 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri.114 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Adnan terbagi menjadi beberapa kelompok yang disebut kabilah. Kabilah terbesar adalah cabang dari Rabî’ah dan Mudhar. Kabilah Rabî’ah dan Mudhar adalah dua kabilah terkuat sepanjang dua abad terakhir sebelum datangnya Islam. Antara kedua kabilah besar ini terjadi perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan tersebut bisa terjadi antara kabilah Rabi’ah dan Mudhar atau pun sesama cabang kabilah, baik dalam rumpun kabilah yang sama atau pun berbeda.115 Berikut ini beberapa perang yang sangat terkenal pada masa Jahiliyyah: 1. Perang Basûs Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib116, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. 113 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry, (London: William & Norgate, 1985), hal. xxii 114 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors SDN. BHD, 1982), hal. 7 115 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 116 Taghlib ibn Wâ’il adalah anak keturunan dari Rabi’ah dari Adnan. Ia adalah saudara kandung dari Bakr. Di antara penyair kabilah Taghlib yang sangat terkenal adalah al-Muhalhil, Amr ibn Kultsum dan al-Akhthal. Kabilah ini menganut agama Nasrani. Ferdinand, Al-Munjid fi alLughah wa al-‘Alâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), hal. 177 35 Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ) yang disebut dengan al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan.117 Selain perang-perang tersebut, masih banyak perang-perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Rabi’ah dan Mudlar, atau antara Tamim (Mudlar) dan Bakr ibn Wa’il (Rabi’ah). Perang tersebut saling bergantian, sehari untuk kabilah Tamim dan hari lainnya untuk kabilah Bakr. Peperangan yang terjadi di dalam kabilahkabilah Arab ini didokumentasikan dalam buku-buku sejarah dan sastra, dan banyak cerita yang dilebih-lebihkan. Dalam sastra Arab Jahili, kisah tentang perang mendominasi tema-tema yang terdapat dalam syair.118 2. Perang Dâhis wa al-Ghabrâ’ Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ adalah peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, yaitu antara Bani ‘Abs dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al-Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai pemenang, dan sejak itu 117 Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi alsyi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., alMufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22 118 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 23 36 peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga empat puluh tahun lamanya.119 Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal (orang yang biasa bepergian), menjamin barang dagangan al-Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl. Demikianlah beberapa gambaran situasi politik bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Kondisi politik seperti itu, tentu saja sangat mempengaruhi kondisi social masyarakat Arab Jahiliyyah. c. Kondisi Keagamaan Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahili, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun.120 Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan. Sebagian menyembah matahari121, sebagian lainnya menyembah bulan122 dan bintang123, ada juga yang menyembah malaikat atau dewa dan lain sebagainnya, atau bahkan ada yang tidak memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah 119 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22-23 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 120 121 Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams (hambanya matahari) 122 kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah 123 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog Star) 120 37 kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah). Kehidupan bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal itu berlangsung hingga kedatangan Islam. 124 Karena pengaruh berhala yang sangat kuat, setiap rumah penduduk Mekah memiliki berhala pribadi yang selalu disembah. Jika mereka hendak bepergian, maka orang yang terakhir harus mengusap berhala terlebih dahulu, dan pada saat tiba dari perjalanan, orang yang pertama tiba harus mengusapnya. Selain suku Quraisy, setiap rumah memiliki sesuatu yang mirip ka’bah dan letakkan di dalamnya berhala untuk disembah, diagungkan, serta diminta petunjuknya dan juga thawaf. Berhala-berhala tersebut terus disembah hingga kedatangan Islam.125 Selain diletakkan di rumah, setiap kabilah memilki berhala masing-masing sebagai simbol dan kebanggaan kabilah, seperti Wudd berhala kabilah Daumah alJandal, Jauf kabilah Kulaib, Yaghuts kabilah Jarsy, Hubal kabilah Quraisy diletakkan di dalam Ka’bah, Latta kabilah Thaif, Manat kabilah Aus dan Khazraj, dan lain sebagainya.126 Agama masyarakat Arab Badawi mempresentasikan pola keyakinan bangsa Semit paling awal dan primitif. Sebagaimana keyakinan bangsa primitif, maka mereka sesungguhnya adalah pemeluk kepercayaan animisme. Perbedaan yang nyata antara kehidupan oasis dan gurun pasir, telah memberikan mereka konsep ideologi awal yang paling penting, yaitu kepercayaan mereka terhadap dewa yang dianggap sebagai penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa pemberi kebajikan, sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja sebagai dewa jahat yang harus ditakuti.127 Kondisi ideologi yang terdapat dalam masyarakat Arab ini tidak banyak diceritakan dalam syair-syair Jahili. Hal itu menurut penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili disebabkan para penyair lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat konkrit dan kasat mata dan sulit untuk mempercayai hal-hal yang di luar kemampuan akal Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34 125 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34 126 Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, hal. 22-23 127 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 121 124 38 mereka. Biasanya mereka menyebut berhala dalam syair untuk bersumpah, dan itu pun jumlahnya tidak banyak, seperti menyebut nama Latta dan Uzza dalam syair Aus ibn Hajar berikut ini: وباهلل إن هللا منهن أكرب وبالالت والعزى ومن دان دينها Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala itu)128 Atau syair yang diungkapkan al-Nâbighah al-Dzubyâni berikut ini: وليس وراء هللا للمرء مذهب حلفت فلم أترك لنفسك ريبة Aku bersumpah tidak pernah aku ragu padamu Karena tidak ada yang bisa diyakini seseorang selain Allah129 Bait syair tersebut menunjukkan bahwa bersumpah dengan nama Allah tidak berarti seseorang beriman dan mengesakan Allah, serta mengeluarkan mereka dari kekafiran dan kemusyrikan. Untuk itu, sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti, salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M.130 Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersamaIbrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26 129 `Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyah, 1416 H/1996 M), cet. 3, hal. 27 130 dikutip oleh Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 126 dari Winnet 128 39 sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga terkadang bermusuhan.131 Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal.132 Keyakinan Watsani yaitu penyembahan terhadap berhala, merupakan mayoritas kepercayaan masyarakat Arab Jahiliyyah. Mereka yakin bahwa dengan menyembah patung-patung tersebut akan mendekatkan mereka pada Allah SWT. Al-Zamaksyari menyebutkan jumlah patung-patung yang menjadi sesembahan bangsa Arab Jahiliyyah dan terletak di Ka’bah sebanyak 360 buah berhala. Penyembahan terhadap berhala ini sesungguhnya hanyalah tradisi yang dirturunkan dari nenek moyang mereka bukan keyakinan yang muncul dari dasar nurani.133 Dengan kondisi keagamaan dan kepercayaan seperti ini, lalu bagaimanakan nilai-nilai moralitas religi disampaikan oleh Zuhair Ibnu Sulma dalam syairsyairnya. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, hal. 26 132 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, hal. 27 133 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 22 131 40 BAB IV UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM SYAIR MU’ALLAQÂT ZUHAIR IBNU ABI SULMÂ Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah penyair Jahiliyah yang sangat produktif. Hal ini tentu tidak diragukan, karena seorang penyair umumnya menjadi juru bicara kabilah. Terjadinya perang ataupun damai antar kabilah saat itu, tidak terlepas dari kepiawaian penyairnya. Untuk itu, Zuhair memiliki karya syair yang sangat banyak, dan salah satu syairnya sangat terkenal karena masuk ke dalam kategori alMu’allaqât al- Sab’. Syair Mu’allaqât merupakan karya terbaik Zuhair Ibnu Abi Sulmâ. Di dalamnya mengandung nilai-nilai moralitas universal yang tinggi. Karena syairsyair Zuhair banyak memberikan pesan moralitas kepada masyarakat Arab saat itu, ia juga dikenal sebagai penyair hikmah. Pada bab ini, saya akan membahas secara khusus tentang syair al-Mu’allaqât Zuhair dilengkapi dengan analisis intrinsik terhadap syair tersebut dari segi bentuk dan isi. A. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ. a. Pengertian syair Al-Mu’allaqât Di dalam Diwan Zuhair Ibn Abi Sulmâ disebutkan sebanyak 16 judul syair karya Zuhair, satu di antaranya dikenal dengan syair al-Mu’allaqah.134 AlMu’allaqâh, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memiliki banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât135, al-Sab’u al-Thiwâl136, dan alSamûth137, namun nama yang paling terkenal adalah al-Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al-Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian, karena syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah Kumpulan syair-syair karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, lihat ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003) 135 al-Mudzahhabât adalah karya-karya emas, atau yang tertulis dengan tinta emas 136 al-Sab’u al-Thiwâl berarti tujuh yang panjang 137 al-Samuth di dalam kamus berarti tergantung, benang, dan tali yang bermutiara. 134 41 penulis al-‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah. 138 Adapun yang dimaksud dengan al-Mu’allaqât dalam terminologi sastra Arab adalah syair-syair pemenang festival yang biasa diadakan setiap tahun di pasar `Ukazh pada bulan Haram. Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al-sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung.139 Dengan demikian Al-Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât (karya emas) Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya.140 Al-Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab Jahili, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulmâ, Labîd ibn Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Harits ibn Halzah.141 Berdasarkan hal tersebut, syair Mu’allaqât Zuhair termasuk satu dari 7 (tujuh) syair terbaik yang lahir dari 7 penyair terbaik masa Jahiliyah. Inilah salah satu alasan penulis mengambil syair karya Zuhair sebagai objek analisis dalam penelitian ini. Alasan lainnya adalah karena syair Al-Mu’allaqât Zuhair sarat dengan nilai-nilai moralitas, baik sosial, politik, maupun religi. b. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ 138 Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu; al-Adab al-Jâhili, hal. 61. lih. juga al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 49 139 Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 100, footnot 140 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 49. lih. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-62 141 Kumpulan dari tujuh syair al-Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât alSab’ yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M) 42 Inilah syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ yang kandungannya sarat dengan nilai-nilai moralitas: 144 ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم142ِأمن أم أ َْو َف فاملتثلم143حبومانة الدر ِاج Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam ِ ص ِم َ مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع كأهنا146 هلا بالرقمتني145ديار ٌ Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan147 ينهض َن من كل ََْمثَ ِم ْ وأطالؤها هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ِ ونؤيا كجذم احلوض مل يتثل ِم أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل (kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil 142 Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair (mantan istri Zuhair). Lih. Riwayat Hidup Zuhair Bab IV. 143 Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan Mekah dekat al-Waqba. 144 Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al-A’rabi alMutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah (Mu’jam al-Buldan, jilid 5, h. 53). ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102 145 Di dalam Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’ menggunakan kata dâr (tunggal), sedangkan dalam Diwan Zuhair Ibnu abi Sulma menggunakan kata diyâr (Jamak). Penulis memilih kata diyâr disesuaikan dengan kalimat berikutnya yang mengumpamakan diyâr dengan titik-titik nilai yang ada di pergelangan tangan. Bila hanya satu rumah, maknanya juga tidak terkait dengan sempurna, dengan bait berikutnya yang menyebutkan di sana terdapat sapi-sapi dan kijang-kijang yang berlalulalang. 146 Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad (Mu’jam al-Buldan, jilid 3, h. 58) 147 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 43 ِ اسلَ ِم ْ الربْع و َ أال أَنْع ْم صباحا أيها فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث تبصر خليلي هل ترى من ظغائن Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum148 وكم بالقنان من حمل وحمرم جع ْل َن القنان عن ميني و َح ْزنَه Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم ٍ علَ و َن بأمن ٍ اط ِعت اق وك ل ٍة ْ Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah darah di tepinya عليهن دل الناعم املتنعم وورْك َن ف السوبان يعلون متنَه Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya Tampak senang dan menyenangkan فهن لوادى الرس كاليد ف الفم بكرن ب كورا واست حرن بسحرة ْ Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut149 أني ق لع ني الن اظر املتوس م ومنظر ٌ وفيهن ملهى للصديق Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan Yang menarik bagi mata yang memandang ب الفنا مل َيط ِم ُّ نزلْ َن به َح كأن فتات العهن ف كل منزل Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri 148 Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok. 149 44 Seakan-akan biji pohon al-fana yang belum mekar فلما وردن املاء زرقا ِمجامة وضعن عصي احلاضر املتخيم Saat tiba di mata air yang jernih Merekapun mendirikan kemah رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum ِ مبكة و البيت العتيق املكرم وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan على كل حال من سحيل ومربم ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap hal, baik saat lemah ataupun kuat تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim150 مبال ومعروف من القول نسلم# وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai عيدين فيها من عقوق ومأث َ َب فأصبحتما منها على خري موطن Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم ٍ عظيمني ف عليا معد ه ِديتما Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan 150 Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman, mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan oleh aroma Mansyim. 45 Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan مبجرم ْ ينجمها من ليس فيها تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak melakukan kesalahan. (konsep diyat dalam politik arab jahiliyyah di mana darah dibayar dengan diyat, bagi yang membunuh harus membayar diyat, sedangkan keluarga (laisa fiha bimujrim) harus menghormati keluarga yang dibunuh dan menjalin silaturahim) ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم ينجمها قوم لقوم غرامة Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam مغامن شىت من إفال مَزِمن فأصبح جيرى فيهم من تالدكم Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم أال أبلغ األحالف عين رسالة Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم فال تكتمن هللا ما ف صدوركم Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم# يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر (balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia) وما هو عنها باحلديث املرجم وما احلرب إال ما علمتم وذقتم Perang itu tidak lebih dari apa yang kalian tahu dan rasakan bukan suatu pembahasan (hal) yang asing artinya semua orang tahu akibat dan konsekuensi dari peperangan itu. 46 وتضر إذ ضربتموها فتضرم َ مىت تبعثوها تبعثوها ذميمة Ketika perang itu kalian gelorakan, kalian gelorakan kehinaan Dan api perang akan menyala saat kalian nyalakan, lalu bergejolak وتلق ْح كشافا ث حتمل فتتئم فتعرككم عرك الرحا بثفاهلا Lalu perang itu menusuk kulit kalian Dan membuahi dua kali, lalu melahirkan dan beranak kembar Ungkapan ini sebagai perumpamaan akibat dari peperangan yang akan melahirkan berbagai petaka yang tidak berakhir, bahkan semakin besar. كأمحر عاد ث ترضع فتفطم أشأم كلهم َ تج لكم غلمان ْ فت ْن Perang itu lalu melahirkan para pemuda yang buruk untuk kalian Bagai unta mandul, lalu menyusui dan menyapihnya قرى بالعراق من قفيز ودرهم فتغلِل لكم ما ال تغل ألهلها Lalu perang itu menghasilkan sesuatu yang tidak bisa diberikan penduduknya Pada sebuah desa yang ada di Iraq, berupa pundi-pundi (harta) dan dirham مبا ال يؤاتيهم حصني بن ضمضم لعمري لنعم احلي جر عليهم Demi hidupku, sebaik-baiknya orang yang hidup dan berbuat jahat kepada mereka dengan suatu hal yang tidak disepakati adalah Hushain ibn Dhamdham فال هو أبداها ومل يتقدم# وكان طوى كشحا على مستكنة Orang yang patah rusuknya, namun disembunyikan Tidak memperlihatkannya dan tidak pula mau menunjukkannya عدوي بألف من ورائى ملَجم# وقال سأقضى حاجاتى ث أتقى Hushain berkata, akan aku balaskan kematian saudaraku, lalu aku bersembunyi Dari musuhku di balik seribu tentara yang berpelana لدى حيث ألقت رحلها أم قشعم# فشد ومل يفزع بيوت كثرية Lalu ia mengancam, namun tidak mampu menakuti banyak rumah Karena kematian terlanjur menghampirinya 47 له لِبَد أظفاره مل ت َقلم# لدي أسد شاكى السالح مقذف Di hadapan sang singa yang berkuku tajam lagi besar Bersurai, dengan kuku-kuku yang panjang سريعا وإال يبد بالظلم يظلم جريء مىت يظلم يعاقِب بظلمه Yang pemberani, saat ia dizalimi, dengan cepat ia balas kezaliman itu Bila tidak ada yang menzaliminya, ia menzalimi غمارا تفرى بالسالح وبالدم# رعوا ما رعوا من ظمئهم ث أوردوا Mereka menjaga perdamaian yang seharusnya mereka jaga, lalu mendatangi Air yang mamancar dengan senjata dan darah إىل كإل مستوبِل متوخم فقضوا منايا بينهم ث أصدروا Mereka saling memberi kematian, lalu mendatangi padang rumput yang kering kerontang دم ابن هنيك أو قتيل املتلثم ت عليهم رماحهم َ َلع ْ مرك ما جر Demi hidupmu, panah-panah mereka tidak akan mampu mengucurkan darah Ibnu Nahik ataupun terbunuhnya al-Mutalatsim وال وهب منها وال ابن املخزم وال شاركت ف املوت ف دم نَ ْوفَل Tidak pula membantu kematian Ibnu Naufal Tidak Wahab, tidak juga Ibnu al-Mukhazzam ٍ ِ ٍ صحيحات طالعات لِم ْخَزِم مال ِ فكال أراهم أصبحوا يعق ْلونه Menurutku, mereka semua menebusnya dengan harta yang bagus dan layak yang ada di jalan bukit طرقت إحدى اللياىل ِمبعظ ِم ْ إذا ِ حلي ِحالَ ٍل ي ع صم الناس أمرهم ٍ َْ Demi keadaan, manusia dilindungi oleh kepentingan mereka sendiri ketika kejadian hebat di malam hari datang وال اجلارم اجلاِن عليهم مب ْسلَ ِم 48 كرٍام فال ذو الضغن يدرك ْتبله Yang mulia dan tidak memiliki permusuhan dalam hati dan juga dengki Tidak berbuat jahat kepada mereka denga membalas dendam يسلَ ِم ْ مثانني حوال ال أبالك سئمت تكاليف احلياة ومن يعش Aku bosan dengan berbagai kesulitan dunia ini, siapa yang hidup 80 tahun lamanya, pasti menyerah ِ وأعلَم ما ف ِ اليوم و األمس قبله ْ ٍ ولكنّن عن ِع ْل ِم ما ف غد ع ِم Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari متته ومن ختطئ يعمر فيهرم رأيت املنايا خبط عشواء من تصب Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu, siapa yang dikenainya Pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu tua يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم ومن مل يصانع ف أمور كثرية Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini) Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta ومن ال يتق الشتم يشتم، يفره# ومن جيعل املعروف من دون عرضه Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci على قومه يستغن عنه ويذمم# ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela.. إىل مطمئن الرب ال يتجمجم ِ ِ ذم ْم ومن ي ْف ض قلبه َ ومن يوف ال ي Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu ولو نال أسباب السماء يسلم ومن هاب أسباب املنايا ينلنه Siapa yang takut dengan penyebab kematian, dia akan mendapatkannya Namun bila menerima ketentuan langit, maka ia akan selamat 49 151 يكن محده ذما عليه ويندم ومن جيعل املعروف ف غري أهله Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya, Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat, dan penyesalan يطيع العوايل ركبت كل هلذم ومن يعص أطراف الزجاج فإنه Siapa yang melawan pangkal lembing (ingatlah) bahwa ia hanya patuh pada matanya, sebagamana lembing panjang dibuat ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata Ia akan hancur, dan siapa yang lemah, dia kalah ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم يغرتب َيسب َعدوا صديقه ْ ومن Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai وإن خاهلا ختفى على الناس تعلم ومهما تكن عند امرئ من خليقة Akhlak (baik ataupun buruk) seseorang itu, meskipun ia mengira bisa disembunyikan dari manusia, tetap saja tercium زيادته أو نقصه ف التكلم وكائن ترى من معجب لك شخصه Berapa banyak orang yang engkau lihat menakjubkan Saat berbicara, panjang ataupun singkat فلم يبقى إال صورة اللحم والدم ونصف فؤاده،لسان الفىت نصف Ucapan seorang pemuda itu, separuh dari dirinya, separuh lagi adalah hatinya Jika tidak, pemuda itu hanyalah gumpalan daging dan darah Ali Fa’ur (syarah), Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 M), h. 111 151 50 152 وإن الفىت بعد السفاهة َيلم وإن سفاه الشيخ ال حلم بعده Orang tua yang bodoh, tak memiliki mimpi Sedangkan anak muda, setelah kebodohan ia bermimpi B. Analisis Unsur-unsur Intrinsik Syair Mu’allaqah a. Wazan dan Qafiyah Syair Jahiliyah merupakan cikal bakal syair Arab. Syair Jahiliyah termasuk ke dalam jenis syair klasik yang berpatokan pada wazan dan qafiyah. Definisi syair yang diberikan oleh para kritikus sastra Arab, umumnya diambil dari syair klasik termasuk di dalamnya syair Jahiliyah. Syair Jahiliyah yang sampai pada kita saat ini, seluruhnya sudah dalam performa yang matang, dari segi wazan dan qafiyah. Salah satu unsur intrinsik yang menjadi ciri khas dan menjadi unsur pembentuk syair Arab adalah rawi. Rawi adalah intonasi (nibrah) atau nada (nagham) yang mengakhiri bait syair. Bait syair yang diakhiri dengan rawy hamzah disebut dengan al-hamaziyyah, dan yang diakhiri dengan rawi ba disebut dengan al-ba’iyyah, demikian seterusnya, al-ta’iyyah, al-tsa’iyyah..sampai al-ya’iyyah.153 Syair Al-Mu’allaqât Zuhair di atas bila berdasarkan rawy, termasuk ke dalam kategori al-mimiyyah, karena syairnya diakhir dengan bunyi mim. Perhatikan contoh: حب وم ان ة ال در ِاج فاملت ث ل م ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم ِ ص ِم َ مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع دي ٌار هلا بالرقمتني كأن ها Kata al-mutatsallami dan mi’shami yang ada di akhir kedua bait syair di atas diakhiri dengan rawy mim, dan inilah yang menentukan nada dan intonasi dalam syair Arab. Dalam syair Arab rawi al-mimiyyah termasuk ke dalam rawi yang paling digemari penyair Arab.154 Zuhair sendiri menggunakan rawi al-mimiyah Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005 M/1426 H), h.42-44 153 Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun al-Syi’r, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), cet. 2, h. 247 154 Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun al-Syi’r, h. 443 152 51 dalam 7 (tujuah) buah syair yang berbeda-beda. Yang paling panjang adalah yang ia gunakan dalam syair al-Mu’allaqât di atas yang mencapai 62 bait. Menurut Emil Badi’ Ya’qub penulis al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun al-Syi’r, syair al-mimiyyat yang terkenal adalah syair al-Mu’allaqâtnya Zuhair Ibnu Abi Sulmâ yang dibahas. 155 Rawy sendiri erat hubungannya dengan qafiyah. Qafiyah menurut alFarahidi adalah huruf terakhir dalam bait syair hingga huruf sukun sebelumnya ditambah huruf sebelum sukun. Sedangkan al-Akhfasy berpendapat, bahwa qafiyah adalah kata terakhir dalam bait syair. Al-Farra bahkan mengatakan bahwa qafiyah sama dengan rawy, namun pendapatnya banyak yang melemahkan.156 Oleh karena itu, secara otomatis qafiyah dan rawi menjadi unsur pembentuk dalam syair Arab klasik. Contoh dalam syair Zuhair: ينهض َن من كل ََْمثَ ِم ْ وأطالؤها هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة Yang dimaksud dengan qafiyah pada kedua bait syair di atas adalah kata majtsami dan tawahhumi. Huruf sukun pada bait pertama terdapat pada huruf jim () َمجْ ثَم, sedangkan pada bait kedua pada huruf h dalam huruf bertasydid ()ت ََو ْه ُهم. Rawy dan qafiyah ini menentukan irama dan nada dalam syair Arab. Unsur lain yang juga turut menentukan nada dan irama dalam syair Arab adalah wazan. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.157Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab.158Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan irama musik.159 Ada 12 wazan (corak musik) dalam syair Jumlah 62 bait adalah versi Ibnu Abdullah al-Zuzni, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiiyah, 1985 M). Jumlah maupun urutan syair biasanya terkadang berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya. 156 Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun al-Syi’r, h. 347 157 . al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458 158 . Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, hal. 50 159 Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah (Irama syair Arab: Klasik dan modern) 155 52 Arab yang terkenal, yaitu basith, rajaz, sari’, raml, khafif, madid, mutadarik, thawil, mutaqarib, wafir, hajaz, dan kamil.160 Zuhair dalam syair al-mimiyyahnya ini menggunakan bahr thawil dengan wazan: فعولن مفاعيلن فعولن مفاعلن فعولن مفاعيلن فعولن مفاعلن ينهض َن من كل ل ََْمثَ ِم ْ وأطال ؤها هبا العِي ن واآلرا م ميشي ن ِخ ْل َفة °//°// °/°// °/°/°// °/°// °//°// °/°// °/°/°// °/°// Dalam bait tersebut, Zuhair menggunakan bahr thawil dengan qabdh di dalamnya, yaitu membuang huruf kelima yang mati pada taf’ilah مفاعلنyang seharusnya مفاعيلن. Dalam syair al-Mu’allaqâtnya tersebut, Zuhair seluruhnya menggunakan bahr thawil dengan rawi al-mimiyyah, dan corak qafiyah yang seragam. Seseorang yang mampu merangkai nada dan irama syair yang hebat menandakan bahwa ia seseorang yang cerdas dan memiliki cita rasa seni yang tinggi. Untuk itu sangat wajar, bila pada masa Jahiliyah seorang penyair sangat dihormati dan diagungkan. Tidak mudah rasanya bagi para sastrawan untuk menggubah syair dengan pola-pola dan irama yang sangat terikat, kecuali ia memiliki kemampuan seni yang luar biasa, sehingga antara kata, makna dan irama bisa terjalin dengan indah. Hal ini menjadi indikasi bahwa masa Jahiliyah, sesungguhnya bukanlah sepenuhnya masa kebodohan, karya-karya syair yang lahir dari masyarakat Jahiliyah menunjukkan bahwa pada masa itu, bangsa Arab telah memiliki peradaban yang tinggi seperti bangsa lain yang ada di sekitarnya, meskipun lebih rendah dari Romawi dan Persia. Syair dengan pola irama yang indah, tidak mungkin lahir dari sebuah masyarakat yang bodoh. b. Kandungan Unsur intrinsik kedua yang menjadi unsur pembangun syair adalah kandungan atau isi dari syair itu sendiri. Secara garis besar isi syair Al-Mu’allaqât Zuhair terbagi ke dalam 3 bagian: 160 Lihat Chatibul Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-Arudh, Fakultas Adab, 1992 53 1. Bagian awal atau muqadimah syair ( nasib). Nasib adalah penyebutan nama perempuan dan berbagai hal yang terkait dengan perempuan yang memiliki kehidupan yang sangat dekat dengan penyair, bisa kekasih, istri, anak, ataupun saudara. Nasib menjadi ciri khas dari syair Jahiliyah. Secara sosiologi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jahiliyah sangat lekat dengan perempuan, namun hal ini tidak berarti mereka menempatkan perempuan sebagai sosok yang dimuliakan. Tradisi penyebutan perempuan pada syair-syair Jahiliyah, lebih pada sikap alamiah laki-laki yang mencintai perempuan sebagai lawan jenis. Hal ini terbukti dari syair Zuhair yang menjadikan Ummu Aufa yang bernama asli Laila sebagai mukadimah (nasib) syairnya. Padahal Ummu Aufa sebagaimana dibahas pada bab 3 adalah mantan istrinya yang diceraikan gara-gara anak-anaknya meninggal semua saat masih kecil. ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم حبومانة الدر ِاج فاملتثلم Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam ِ ص ِم َ مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع ديار هلا بالرقمتني كأهنا ٌ Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan161 ينهض َن من كل ََْمثَ ِم ْ وأطالؤها هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini ِ ونؤيا كجذم احلوض مل يتثل ِم أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل (kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir 161 Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh. 54 Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil ِ اسلَ ِم ْ الربْع و َ أال أَنْع ْم صباحا أيها فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah.. حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث تبصر خليلي هل ترى من ظغائن Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum162 وكم بالقنان من حمل وحمرم وح ْزنَه َ جع ْل َن القنان عن ميني Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم ٍ علَ و َن بأمن ٍ اط ِعت اق وك ل ٍة ْ Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah darah di tepinya عليهن دل الناعم املتنعم وورْك َن ف السوبان يعلون متنَه Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya Tampak senang dan menyenangkan فهن لوادى الرس كاليد ف الفم بكرن ب كورا واست حرن بسحرة ْ Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut163 أني ق لع ني الن اظر املتوس م ومنظر ٌ وفيهن ملهى للصديق Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan Yang menarik bagi mata yang memandang ب الفنا مل َيط ِم ُّ نزلْ َن به َح 162 كأن فتات العهن ف كل منزل Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok. 163 55 Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri Seakan-akan biji pohon al-fana yang belum mekar وضعن عصي احلاضر املتخيم فلما وردن املاء زرقا ِمجامة Saat tiba di mata air yang jernih Merekapun mendirikan kemah Nasib, pada umumnya bukan hanya ada pada bait pertama yang menyebutkan nama perempuan, namun juga bait-bait berikutnya yang menceritakan berbagai hal tentang tokoh perempuan yang ada dalam nasib. Dalam syair Zuhair nasib dimulai dengan menyebutkan nama Ummu Aufa (Laila) mantan istrinya, lalu rumah dan perkampungan tokoh perempuan dengan segala peristiwa di dalamnya, bekas-bekas yang dilalui oleh sang tokoh, serta kehidupan lainnya yang ada di sekitar tokoh perempuan, sebagaimana tampak pada syair-syair di atas. 2. Bagian tengah merupakan tema (ghardh) dari syair Bagian tengah syair oleh Zuhair digunakan untuk menyampaikan tujuannya. Tujuan utama dari syair al-Mu’allaqât Zuhair yang sangat popular ini adalah memuji (madh) Harem ibn Sinan dan al-Harits ibn ‘Auf. Dua tokoh perdamaian antara kabilah ‘Abbas dan Dzubyan. Hal ini tampak pada bait-bait di bawah ini: رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum ِ مبكة و البيت العتيق املكرم وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan على كل حال من سحيل ومربم ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap hal, baik saat lemah ataupun kuat تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah 56 Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim164 مبال ومعروف من القول نسلم# وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai عيدين فيها من عقوق ومأث َ َب فأصبحتما منها على خري موطن Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم ٍ عظيمني ف عليا معد ه ِديتما Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan مبجرم ْ ينجمها من ليس فيها تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak melakukan kesalahan. ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم ينجمها قوم لقوم غرامة Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam مغامن شىت من إفال مَزِمن فأصبح جيرى فيهم من تالدكم Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم أال أبلغ األحالف عين رسالة Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? Untuk meyakinkan keseriusan perdamaian antara dua kabilah, sebagai penyair yang cerdas, Zuhair memulai pujian untuk kedua tokoh (al-sayidani) 164 Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman, mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan oleh aroma Mansyim. 57 dengan 2 (dua) sumpah yang bersifat religious. Sumpah pertama atas nama ka’bah sebagai tempat ibadah (thawaf) yang dibangun oleh bani Jurhum sebagai moyang dari kedua kabilah yang berperang tersebut (Abbas dan Dzubyan). Sumpah kedua, Zuhair juga menggunakan Latta dan Uzza, dua berhala yang dijadikan sembahan bangsa Arab saat itu. Kedua sumpah ini menunjukkan bahwa apa yang akan diutarakannya adalah sebuah keseriusan. Pujian-pujian (madh) yang disampaikan oleh Zuhair kepada kedua pembesar kabilah tersebut, sesungguhnya untuk meyakinkan kepada anggota kabilah lainnya agar menuruti perdamaian yang telah disepakati bersama dengan mencontohkan kebesaran kedua tokoh tersebut yang tidak mungkin menghianati antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga akan melaksanakan perjanjianperjanjian yang telah disepakati. 3. Pesan moral yang ingin disampaikan Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah syair yang sarat dengan pesan moral. Para kritikus sastra Arab bahkan memasukan syair ini ke dalam kategori syair hikmah, dan pada masa Islam banyak dikutip sebagai kata-kata mutiara. Namun secara umum, pesan moral yang terdapat dalam syair tersebut terdiri dari: 1. Kejujuran pada Tuhan 2. Perdamaian, Konsekuensi perang dan hukum yang berlaku dalam peperangan 3. Etika social 4. Etika pergaulan Pesan moral tersebut selanjutnya akan dibahas secara khusus dalam pembahasan berikut ini. c. Gaya Bahasa Zuhair adalah penyair dari para penyair, karena ia tidak suka bertele-tele dalam ungkapan-ungkapannya, menjauhi kata-kata yang liar, dan tidak memuji kecuali karena memang pantas untuk dipuji.165 Ungkapan Umar ibn al-Khathab 165 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibn Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M), 129 58 tersebut, secara umum cukup memberi gambaran kepada kita gaya bahasa Zuhair Ibnu Abi Sulmâ dalam menggubah syair-syairnya. Dalam syair al-Mu’allaqât di atas, saya menemukan beberapa karakteristik gaya bahasa Zuhair, seperti: 1. Penggunaan tasybih. Tasybih, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perumpamaan. Gaya bahasa tasybih banyak digunakan dalam mukadimah al-Mu’allaqât Zuhair. Dalam mukadimah tersebut, tasybih digunakan Zuhair untuk menggambar sesuatu atau keadaan (washf). Dari empat belas (14) bait syair mukadimah (nasib) lima diantaranya menggunakan gaya bahasa perumpamaan (tasybih). Sebagai contoh: ِ ص ِم َ مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع ديار هلا بالرقمتني كأهنا ٌ Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan فهن لوادى الرس كاليد ف الفم بكرن ب كورا واست حرن بسحرة ْ Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut166 Dalam bait tersebut, dengan jelas Zuhair menggunakan artikel ( كأنseakanakan) dan ( كbagai) yang merupakan alat tasybih dalam bahasa Arab. ( كأنseakanakan) dan ( كbagai, seperti) merupakan artikel perumpamaan yang paling banyak digunakan. Pada bait pertama, zuhair menggunakan perumpamaan suatu benda konkrit (hissi) dengan benda konkrit (hissi) lainnya, yaitu kata diyar (rumah-rumah di perkampungan) dengan titik-titik nila (maraji’ wasym) yang dilukiskan di pergelangan tangan. Sedangkan pada bait kedua, suatu keadaan diibaratkan dengan sesuatu yang konkrit, yaitu iringan para perempuan di lembah Ras diumpamakan dengan tangan yang masuk ke mulut. Selain كأنdan ك, ada juga yang menggunakan kata yang bermakna kata kerja “menyerupai” seperti dalam bait berikut ini: 166 Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok. 59 ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم ٍ علَ و َن بأمن ٍ اط ِعت اق وك ل ٍة ْ Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik Dengan warna merah di tepinya bagai darah Kata مشاكِ َه ِة dalam syarh al-Mu’allaqât al-Sab’ diartikan dengan مشابهة yang artinya menyerupai.167 Dalam ilmu balaghah, gaya bahasa tasybih yang menggunakan unsur lengkap (musyabbah, musyabbah bih, wajh syibh, dan adat tasybih) disebut dengan tasybih mursal dan termasuk ke dalam tasybih yang paling sederhana. Gaya bahasa tasybih termasuk gaya bahasa yang digemari penyair Jahiliyah. Gaya bahasa tasybih (perumpamaan) biasanya digunakan penyair untuk menggambarkan suatu keadaan yang disebut dengan washf, sebagaimana tampak pada kedua contoh di atas. 2. Penggunaan majas dan metafora. Selain tasybih, Zuhair juga menggunakan gaya bahasa yang lebih tinggi dari tasybih yaitu majas. Majaz adalah gaya bahasa yang digunakan bukan pada makna yang sebenarnya, karena ada indicator (qarinah) yang memalingkannya dari makna asli ke makna majazi. Di antara jenis majas yang digunakan Zuhair dalam syairnya adalah isti’arah (metafora). Isti’arah adalah gaya bahasa perumpamaan yang hanya menyebutkan salah satu tharf tasybih. Yang dimasud dengan tharf tasybih adalah sesuatu yang diumpamakan (musyabbah) dan yang dibuat perumpamaan (musyabbah bih). Gaya bahasa majas isti’arah yang digunakan Zuhair tampak pada bait syair berikut ini: حبومانة الدر ِاج فاملتثلم ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam Ibn Abdillah al-Zauzini, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1985), h. 64 167 60 Kata dimnah (ٌ ) ِد ْمنَةsebagaimana disebutkan dalam Syarh alAl-Mu’allaqât al-sab’ diartikan dengan sesuatu yang hitam yang ada pada bekas rumah yang ditinggalkan penghuninya, seperti tahi binatang (ba’r), abu (ramad), bekas tungku masak, dan lainnya. Dalam syair di atas, kata dimnah dianalogikan dengan manusia. Hal ini tampak dari qarinah (indicator) yang disebutkan setelahnya yaitu kata lam takallami (tidak berbicara). Melalui gaya bahasa majas isti’arah, dimnah atau puing-puing hitam oleh Zuhair diserupakan dengan manusia dan diminta untuk berbicara menyampaikan kabar tentang kekasih yang dicintainya. Contoh majas lainnya yang ada dalam syair al-Mu’allaqât Zuhair: له لِبَد أظفاره مل ت َقلم لدي أسد شاكى السالح مقذف Di hadapan sang singa yang berkuku tajam lagi besar bersurai, dengan kuku-kuku yang panjang Kata Asad (singa) dalam bait tersebut, bukan merujuk pada makna yang sesungguhnya, namun merujuk pada Hushain ibn Dhamdham saudara Harem ibn Dhamdham dari kabilah Abbas.168 Hushain dalam syair tersebut diumpamakan dengan singa yang berkuku tajam, bertubuh besar, dan berkuku tajam. Sebuah perumpamaan bagi seseorang yang gagah berani. Dalam bait tersebut, Zuhair Hanya menyebutkan musyabbah bih (yang diserupakan) tanpa menyebutkan musyabbah (yang diserupai). Zuhair juga menyebutkan dalam syairnya tersebut ciri-ciri yang menggambarkan musyabbah bih (singa) bukan Hushain (tokoh yang gagah berani). Hal ini tampak pada penyebutan ciri-ciri singa yang gagah berani, seperti kuku yang tajam dan bersurai. Majas yang seperti ini dalam ilmu balaghah disebut dengan isti’arah murasyahah. Selain kedua contoh tersebut, masih banyak contoh-contoh lainnya yang menggunakan gaya bahasa majas. Banyak digunakannya gaya bahasa majas pada masa Jahiliyah, menunjukkan bahwa penyair pada masa itu sudah memiliki cita rasa 168 Dalam buku Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma dijelaskan bahwa Hushain Ibn Dhamdham adalah saudara dari Harem ibn Dhamdham. Ia mati terbunuh saat perang al-Ya’mariyah antara kabilah Abbas dan Dzubyan. Nasib Dhamdham, seperti halnya ayahnya yang terbunuh pada saat perang al-Muryaqib, ia pun dibunuh oleh ‘Antarah ibn Abi Syaddad dari kabilah Abbas. Lih. ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 108 61 seni yang tinggi. Meskipun bersifat individual, seseorang yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, bisa dikategorikan sebagai seseorang yang berperadaban. 3. Jumlah syartiyyah (klausa bersyarat). Gaya bahasa lainnya yang menjadi ciri khas syair Al-Mu’allaqât Zuhair adalah banyak digunakannya struktur jumlah syarthiyyah atau klausa bersyarat. Gaya bahasa model ini banyak dijumpai dalam bait yang berisi pesan-pesan moral yang biasa disebut dengan syair-syair hikmah. Syair hikmah menjadi penutup dari rangkaian syair al-Mu’allaqât Zuhair, setelah nasib sebagai puisi pembuka, madh sebagai tujuan puisi, dan hikmah sebagai amanat atau pesan moral yang hendak disampaikan oleh penyair. Inilah beberapa gambaran tentang syair Al-Mu’allaqât Zuhair dan unsurunsur intrinsik yang membangunnya. Unsur-unsur intrinsik yang membangun syair al-Mu’allaqât Zuhair, sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya, seperti tradisi bersyair dan kondisi sosiologis masyarakat saat itu. Pesan moral yang terdapat dalam syair hikmah Zuhair dan menjadi penutup syair al-Mu’allaqât adalah salah satu unsur intrinsik yang erat kaitannya dengan kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu, kajian nilai-nilai moralitas yang ada dalam syair tersebut akan dibahas secara tersendiri dalam bab berikutnya. -------00------- 62 BAB V NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR ZUHAIR IBNU ABI SULMA Bagi sebagian orang mungkin mengira bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak banyak mengenal nilai-nilai moralitas humaniora. Sejarah lebih banyak mencatat periode Jahiliyah sebagai masa tidak berperadaban dan amoral. Catatan sejarah tersebut tidaklah salah, namun kita juga tidak boleh mengingkari kenyataan sejarah lain tentang sisi kemanusiaan pada masa itu. Hal ini terbukti dari syair-syair yang digubah oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma ayahanda Ka’ab ibnu Zuhair sahabat Rasulullah SAW. Dalam bab ini, saya secara khusus akan mengupas nilai-nilai moralitas yang tercermin dala syair Zuhair ibn Abi Sulma. C. Nilai-nilai moralitas dalam Syair Mu’allaqah Pada bab sebelumnya secara singkat disebutkan, bahwa secara umum nilainilai moralitas yang hendak disampaikan Zuhair melalui syairnya di antaranya adalah nilai-nilai moralitas religi, politik, dan sosial. a. Nilai-nilai moralitas religi Berbicara tentang nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyah dan dihubungkan dengan kehidupan beragama saat itu, mungkin tidak semua setuju. Namun demikian syair Zuhair Ibn Abi Sulma menjadi salah satu bukti bahwa kehidupan keagamaan saat itu masih ada meskipun dalam skala yang kecil. Keyakinan saya ini dikuatkan dengan pernyataan Muhammad Yusuf Farran saat membahas tentang kehidupan spiritual pada masa Jahiliyah. Farran menyatakan bahwa ada sebagian dari para pembesar masyarakat Arab Jahiliyah yang masih memeluk agama hanif (tauhid). Mereka menjalankan kehidupannya berlandaskan pada akhlak mulia dan logika yang benar. Di antaranya adalah Waraqah Ibn Naufal, Zaid ibn ‘Amr ibn Naufal, Khalid Ibn Sinan al-‘Abbasi, Hanzhalah ibn Shafwan, 63 Qis Ibn Sa’idah al-Iyadi, ‘Amir ibn al-Zharb al-‘Udwani, ‘Ubaid ibn al-Abrash, Umayyah ibn al-Shalt, al-Nabighah al-Ja’di, serta Zuhair ibn Abi Sulma.169 Pernyataan Yusuf Farran tersebut semakin menguatkan pendapat saya tentang adanya nilai-nilai moralitas yang berlandaskan agama. Hal ini tampak pada syair Zuhair berikut ini: وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم أال أبلغ األحالف عين رسالة Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم فال تكتمن هللا ما ف صدوركم Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر (balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia) Pada bait syair di atas, Zuhair memohon kepada para pembesar kabilah Asad, Ghatfan dan juga Dzubyan, untuk membawa pesan perdamaian. Lalu ia meminta kesungguhan mereka dengan bersumpah. Perlu diketahui bahwa masyarakat Arab terbiasa menggunakan sumpah dengan nama Tuhan bahkan nama Allah, seperti yang biasa dilakukan oleh Imru al-Qais berikut ini: ولو قطعوا رأىس دليك أوصاىل ُ فقلت ميني هللا أبرح قاعدا Akupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di sini Andai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma: Hayatuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M), h. 20 169 64 170 لناموا مفا ان من حديث وال صال ُ حلفت لها ابهلل حلفة فاجر Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq171 Imru al-Qais bukan satu-satunya penyair yang banyak menggunakan lafaz Allah untuk bersumpah, masih banyak penyair Jahiliyah lainnya yang menggunakan lafaz tersebut untuk bersumpah, seperti Antarah ibn Abi Syadad, dan lainnya. Namun demikian, sumpah yang mereka gunakan pada umumnya bukan sumpah yang sebenarnya, melainkan hanya tradisi saja. Untuk menghindari tradisi sumpah seperti itu, sehingga bukan sekedar permainan di bibir mereka saja, Zuhair menegaskan dengan bait: ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم فال تكتمن هللا ما ف صدوركم Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk menghindar, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. Bait syair tersebut jelas mengajarkan masyarakat Arab agar bersikap jujur. Dalam hal ini, para pembesar ketiga kabilah tersebut harus jujur bahwa bersedia membawa misi perdamaian kepada kabilah masing-masing, bukan hanya sumpah di mulut saja. Untuk itu Zuhair menegaskan perlunya kejujuran pada Tuhan, sebab tiada ada yang bisa bersembunyi dari Tuhan, karena Tuhan maha mengetahui. Lafaz Allah yang digunakan oleh Zuhair dalam syairnya, jelas membuktikan keyakinannya terhadap Allah Tuhan semesta alam. Pada bait berikutnya, kembali Zuhair menegaskan keyakinannya akan adanya hari pembalasan sebagai ancaman kepada mereka agar berlaku jujur dan tidak menyembunyikan niat-niat buruk untuk mengkhianati perjanjian damai. ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر (balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan 170 Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth), hal 124-125 171 sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau orang-orang yang banyak melakukan dosa dan kebohongan, bukan sumpah yang sebenarnya. 65 untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia) Ketiga bait syair tersebut membuktikan akan adanya nilai-nilai moralitas religius pada masa Jahiliyah, yaitu: 1. Keyakinan akan adanya Tuhan YME 2. Keyakinan akan adanya pengawasan dari Tuhan YME 3. Keyakinan akan adanya hari pembalasan (yaum al-hisab) 4. Keyakinan akan adanya balasan (baik dan buruk dari Tuhan) Nilai-nilai religi tersebut oleh Zuhair digunakan agar semua pihak jujur dan tidak ada yang mengkhianati perjanjian damai yang sedang digagas. b. Nilai-nilai moralitas politik Sebagaimana kita ketahui, bahwa masa Jahiliyah adalah sebuah masa yang penuh gejolak. Perang menjadi sebuah tradisi dan budaya. Di sisi lain, penyair banyak diuntungkan oleh kondisi ini. Syair menjadi alat politik yang sangat handal, baik untuk propaganda, pemberi semangat dalam peperangan, hingga menjadi alat diplomatik. Zuhair sebagai penyair handal tentu saja tidak jauh dari gejolak politik yang terjadi saat itu. Meskipun demikian, syair-syair politiknya tidak terlepas dari nilai-nilai moralitas yang tinggi. Syair-syair Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas dalam berpolitik. Tentu saja, politik yang dimaksud di sini tidak terlepas dari kontek peperangan. Di antaranya terdapat dalam syair Mu’alaqat yang terkait dengan peristiwa perdamaian antara kabilah ‘Abas dan Dzubyan. Melalui syairnya tersebut, Zuhair memuji al-Harits ibnu ‘Auf dan Harem ibnu Sinan atas upaya yang dilakukan keduanya untuk melakukan rekonsiliasi. Inilah syair Mu’allaqat Zuhair yang terkenal dan sarat dengan nilai-nilai moralitas politik: رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum ِ مبكة و البيت العتيق املكرم وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang dimuliakan 66 Dalam ke dua bait syair tersebut, Zuhair menggunakan dua buah sumpah, yang pertama ia bersumpah dengan Ka’bah yang diagungkan oleh bangsa Qurais على كل حال من سحيل ومربم ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap hal, baik saat lemah ataupun kuat تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim172 مبال ومعروف من القول نسلم وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai عيدين فيها من عقوق ومأث َ َب فأصبحتما منها على خري موطن Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم ٍ عظيمني ف عليا معد ه ِديتما Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan مبجرم ْ ينجمها من ليس فيها تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak melakukan kesalahan. Syair di atas juga berbicara tentang konsep diyat dalam politik arab jahiliyyah di mana darah dibayar dengan diyat, bagi yang membunuh harus membayar diyat, sedangkan keluarga (laisa fiha bimujrim) harus menghormati keluarga yang dibunuh dan menjalin silaturahim. 172 Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman, mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan oleh aroma Mansyim. 67 ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم ينجمها قوم لقوم غرامة Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam مغامن شىت من إفال مَزِمن فأصبح جيرى فيهم من تالدكم Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian. Nilai-nilai moralitas religi sebelumnya, sebenarnya tidak terlepas dari konteks politik bangsa Arab saat itu, yaitu tradisi berperang yang terus menerus terjadi antar kabilah. Empat keyakinan keagamaan yang disebutkan Zuhair dalam syairnya di atas, menjadi kalimat pembuka dari ajaran moralitas politik yang akan disampaikannya. Inilah pesan moral Zuhair terkait peperangan yang terjadi pada masyarakat Arab Jahiliyah: وما هو عنها باحلديث املرجم وما احلرب إال ما علمتم وذقتم Perang itu tidak lebih dari apa yang kalian tahu dan rasakan bukan suatu pembahasan (hal) yang asing Dalam bait ini, Zuhair ingin mengingatkan bahwa semua orang tahu akibat dan konsekuensi dari peperangan itu, seperti nyawa melayang, luka, cacat, kehilangan harta, keluarga, dan lain sebagainya. وتضر إذ ضربتموها فتضرم َ مىت تبعثوها تبعثوها ذميمة Ketika perang itu kalian gelorakan, kalian gelorakan kehinaan Dan api perang akan menyala saat kalian nyalakan, lalu bergejolak Untuk itu, siapa saja yang menyulut api perang, sesungguhnya ia tengah melemparkan dirinya pada kehinaan akibat peperangan. وتلق ْح كشافا ث حتمل فتتئم Lalu perang itu menusuk kulit kalian Dan membuahi dua kali, lalu melahirkan dan beranak kembar 68 فتعرككم عرك الرحا بثفاهلا كأمحر عاد ث ترضع فتفطم أشأم كلهم َ تج لكم غلمان ْ فت ْن Perang itu lalu melahirkan para pemuda yang buruk untuk kalian Bagai unta mandul, lalu menyusui dan menyapihnya Kedua bait terakhir, sebagai perumpamaan bahwa akibat dari peperangan itu akan melahirkan berbagai petaka yang tidak berakhir, bahkan semakin besar. Menimbulkan berbagai kerusakan dan kehancuran, serta meninggalkan generasi yang buruk akibat dendam yang tidak pernah berakhir. Kondisi seperti ini oleh Zuhair diibaratkan dengan unta mandul yang menyusui dan menyapih, yang hasilnya tidak mungkin melahirkan generasi yang baik. Melalui syair Mu’allaqatnya ini, Zuhair ingin menyampaikan beberapa nilai-nilai moralitas sebagai berikut: 1. Efek buruk peperangan yang dilakukan masyarakat Arab; 2. Perang akan selalu melahirkan dendam. 3. Perdamaian itu adalah segala-galanya. غمارا تفرى بالسالح وبالدم رعوا ما رعوا من ظمئهم ث أوردوا Mereka menjaga perdamaian yang seharusnya mereka jaga, lalu mendatangi Air yang mamancar dengan senjata dan darah إىل كإل مستوبِل متوخم فقضوا منايا بينهم ث أصدروا Mereka saling memberi kematian, lalu mendatangi padang rumput yang kering kerontang Itulah beberapa pesan moral politik yang disampaikan Zuhair Ibn Abi Sulma melalui syair Mu’allaqatnya. c. Nilai-nilai moralitas sosial Inilah syair-syair Zuhair yang sarat dengan nilai-nilai moralitas sosial. Sebelum menyampaikan pesan-pesan moralnya, melalui bait syair ini, Zuhair kembali menegaskan keyakinannya bahwa ia tidak mengetahui hal ghaib yang akan terjadi esok hari atau yang akan datang: 69 ِ وأعلَم ما ف ِ اليوم و األمس قبله ْ ٍ ولكنّن عن ِع ْل ِم ما ف غد ع ِم Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari Bait syair ini, sepertinya sengaja dikatakan oleh Zuhair untuk membantah pengkultusan bangsa Arab terhadap penyair yang menganggap mereka sebagai peramal dan penyihir yang mengetahui berbagai hal tentang masa depan. Ini juga menegaskan bahwa Zuhair sebagaimana dikatakan Farran sesungguhnya pemeluk agama hanif (tauhid). Pada bait berikutnya, Zuhair menjelaskan pandangan hidupnya tentang kematian manusia. Kematian menurutnya bukanlah manusia yang mengatur, meskipun cara kematian bisa berbeda-beda. Bila ajal telah tiba tidak seorangpun yang bisa menghindarinya, dan bagi yang selamat dari kematian, ia akan berumur panjang, lalu tua, dan akhirnya tetap menemui kematian. متته ومن ختطئ يعمر فيهرم رأيت املنايا خبط عشواء من تصب Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu, siapa yang dikenainya Pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu tua Dari kedua syair tersebut, ada dua sudut pandang yang dikemukakan Zuhair, yaitu: pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui akan masa depan hidupnya, kedua, tidak seorangpun yang tahu takdir kematiannya. Karena tidak seorangpun yang tahu akan masa depan dan juga takdir kematiannya, maka Zuhair mengajarkan nilai-nilai moralitas sebagai berikut: 1. Keharusan untuk berkarya يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم ومن مل يصانع ف أمور كثرية Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini) Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan juga tidak tahu kapan kematian datang menjemput. Oleh karena itu bekerja dan berkarya adalah harga mati yang harus dilakukannya agar mampu bertahan dan memiliki 70 kehormatan, tidak terhina sebagaimana diumpamakan oleh Zuhair dengan orang yang digigit dan diinjak-injak unta. Manusia yang seharusnya menguasai kehidupan (unta), bukan sebaliknya ia diperbudak unta (kehidupan). Pesan moral yang terkandung dalam bait syair ini tidak akan lekang oleh waktu. Bekerja dan berkarya akan menjadikan manusia semakin berharga dan tidak menjadi sampah masyarakat, seperti disimbolkan oleh Zuhair dengan seseorang yang digigit dan diinjak-injak unta. 2. Memelihara kehormatan diri ومن ال يتق الشتم يشتم،يفره ومن جيعل املعروف من دون عرضه Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci Pada bait ini ada dua pesan moral yang ingin disampaikan oleh Zuhair, pertama, kebaikan harus dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan ikhlas, kebaikan itu dengan sendirinya akan memelihara kehormatan dirinya. Kedua, jangan suka mencaci dan menghina orang lain, karena pasti ia juga akan dicaci dan dihina. Pesan moral yang pertama, terkait erat dengan pesan moral yang kedua. Zuhair sepertinya ingin menegaskan bahwa kebaikan yang diberikan pada seseorang hendaknya tidak diikuti dengan dengan keikhlasan tanpa caci maki dan hinaan pada penerimanya. 3. Sifat dermawan versus sifat kikir Nilai-nilai moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair adalah keistimewaan sifat dermawan dan efek buruk dari sifat kikir. على قومه يستغن عنه ويذمم ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela... Kata fadhl ( )فضلdalam kamus diartikan dengan kebaikan, kebajikan, keunggulan, kelebihan, sisa dan makna sejenis. Namun kata fudhul ( )فضولdalam bentuk jamak dalam kamus al-Munawwir diartikan dengan kelebihan harta (yang 71 lebih dari keperluan).173 Sehingga secara umum kata fadhl bisa diartikan dengan segala kelebihan atau keunggulan yang dimiliki seseorang, bisa berbentuk harta benda atau yang kebaikan lainnya. Menurut Zuhair, seseorang yang diberi kelebihan harta atau kebaikan lainnya lalu ia bersikap kikir ( )يبخلpada kaumnya, ia tidak diperlukan oleh masyarakat dan akan dicela. Zuhair menggunakan kata qaum sebagai objek dari kebaikan yang harus diberikan seseorang yang memiliki kelebihan. Kaum diartikan dengan rakyat, bangsa, sanak keluarga, dan kelompok lainnya. Hal ini menunjukkan adanya nilai-nilai moralitas kolektif yang ingin diajarkan oleh Zuhair pada masyarakat saat itu. Bahwa perilaku kikir terhadap kelebihan yang dimiliki oleh seseorang, akan mendapat konsekuensi sosial, yaitu ia tidak dianggap oleh masyarakat atau bahkan dilecehkan dan hina. Inilah sebuah ajaran etika yang disebut dengan teleologis yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.174 Pada hakekatnya Zuhair secara tidak langsung telah menganut aliran unilitarianisme sebuah prinsip hidup yang menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan. Suatu prinsip yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Zuhair telah menganut teori etika yang disebut dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. Dalam teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan 173 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, ct. 16, h. 1061 174 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 72 kebaikan kepada orang banyak.175 Dan pada masa Jahiliyyah, larangan akan perilaku kikir, serta konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya, tampak nyata dijelaskan oleh Zuhair. 4. Menepati Janji Ajaran moralitas berikutnya yang disampaikan oleh Zuhair adalah keharusan sesorang untuk senantiasa menepati janji. إىل مطمئن الرب ال يتجمجم ِ ِ ذم ْم ومن ي ْف ض قلبه َ ومن يوف ال ي Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu Menurut Zuhair, kebiasaan menepati janji akan menimbulkan efek sebagai berikut: 1) ia tidak akan jatuh pada kehinaan, dengan kata lain hidup terhormat, 2) Hatinya akan merasa tenang, 3) senantiasa dituntun pada arah kebaikan, 4) tidak terkena penyakit ragu. Seseorang yang tidak menepati janji, lebih dekat pada sifat penghianat. 5. Percaya akan takdir Tuhan Bait syair di bawah ini erat kaitannya dengan keyakinan Zuhair terhadap agama samawi. ولو نال أسباب السماء يسلم ومن هاب أسباب املنايا ينلنه Siapa yang takut dengan penyebab kematian, dia akan mendapatkannya Namun bila menerima ketentuan langit, maka ia akan selamat Sangat jelas, dalam bait syair ini Zuhair percaya akan kekuatan lain selain kekuatan yang ada di bumi. Kekuatan yang ada di bumi yakni para penguasa, peperangan, alam yang berat, dan lain sebagainya. Kata “jika menerima ketentuan langit” yang diinginkan oleh Zuhair sesungguhnya adalah penguasa langit yakni Tuhan semesta alam yang menguasai langit dan bumi. Ketika manusia menyerahkan hidupnya pada penguasa langit, maka dijamin hidupnya akan selamat. 175 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 73 6. Menempatkan kebaikan pada tempatnya Pada bait syair berikut ini, Zuhair ingin menyampaikan kepada kita, bahwa kebaikan itu harus diberikan kepada yang berhak menerimanya. Jika salah sasaran, bukan kebajikan yang didapat, namun bisa jadi kecelakaan yang datang. 176 يكن محده ذما عليه ويندم ومن جيعل املعروف ف غري أهله Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya, Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat, dan penyesalan Untuk menjelaskan bait tersebut, saya coba untuk memberi contoh. Bila seseorang memiliki kelebihan harta, lalu harta tersebut diberikan pada orang yang membutuhkan, seperti kepada faqir miskin, yatim, fi sabilillah, dan lainnya, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut telah menempatkan kebajikan pada tempatnya. Jika negara, sebagai contoh, saat ini memberikan dana bantuan sosial kepada masyarakat miskin, namun yang menerima ternyata orang-orang yang mampu, maka bisa dipastikan, pemerintah bukan menerima pujian dari masyarakat, namun yang ada menerima hinaan dan cercaan. Ajaran ini sesungguhnya berlaku sepanjang masa. Saya yakin, nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair sesungguhnya diambil dari pengalaman hidup yang ia terima, atau ia lihat dan dirasakan. 7. Keharusan membela kehormatan Keharusan membela diri dan kehormatan, merupakan bagian dari kewajiban manusia, bukan hanya terjadi pada masa Jahiliyah yang lekat dengan dunia perang. Zuhair dalam bait syairnya mengatakan: ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata Ia akan hancur, dan siapa yang tidak menzalimi, dia akan dizalimi Ali Fa’ur (syarah), Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003 M), h. 111 176 74 Bait syair ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Bait ini erat hubungannya dengan kontek peperangan. Hal ini tampak dari kata silah (senjata) yang digunakan oleh penyair. Sesungguhnya, bait syair di atas bukan dimaksudkan untuk saling menzalimi, namun untuk menyatakan bahwa siapa yang kuat, dia akan menang dan yang lemah akan kalah. Manusia diwajibkan membela kehormatan dirinya, untuk itu, ia dituntut menjadi orang yang kuat. 8. Etika pergaulan Ajaran moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair melalui syairnya adalah etika pergaulan. ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم يغرتب َيسب َعدوا صديقه ْ ومن Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai Menurut Zuhair, bergaul itu merupakan suatu keharusan. Sebab dengan bergaul kita akan mengenal mana kawan dan mana lawan, sehingga tidak salah dalam menempatkan diri dan akhirnya merugikan diri sendiri. Orang yang tidak mau bergaul dengan orang lain, berarti tidak menghormati dirinya sendiri. Bagaimana ia akan menempatkan dirinya di antara manusia lain, tanpa ia mengenal siapa yang akan menghormatinya, dan siapa pula yang harus ia hormati. 9. Menjaga akhlak Bait syair ini lebih dekat pada ajaran “tampillah apa adanya” jangan dibuatbuat, jangan bersikap munafiq. وإن خاهلا ختفى على الناس تعلم ومهما تكن عند امرئ من خليقة Akhlak (baik ataupun buruk) seseorang itu, meskipun ia mengira bisa disembunyikan dari manusia, tetap saja tercium Jika berbuat salah, hendaklah mengakui kesalahannya dan jangan menyembunyikannya, sebab serapat-rapatnya orang menyimpan bangkai, lambat laun akan tercium juga. 75 10. Cara berkomunikasi زيادته أو نقصه ف التكلم وكائن ترى من معجب لك شخصه Berapa banyak orang yang engkau lihat menakjubkan Saat berbicara, panjang ataupun singkat Kita sering melihat dan mendengar seseorang yang sangat menarik saat berbicara, saat panjang lebar ataupun bicara singkat. Lalu ia tegaskan akan pentingnya nilai-nilai moralitas dalam berkomunikasi: فلم يبقى إال صورة اللحم والدم ونصف فؤاده،لسان الفىت نصف Ucapan seorang pemuda itu, separuh dari dirinya, separuh lagi adalah hatinya Jika tidak, pemuda itu hanyalah gumpalan daging dan darah. 11. Kehebatan anak muda Pemuda menurut Zuhair adalah sosok yang memiliki kehidupan yang masih panjang dan harus bermimpi untuk menggapai cita-cita, sebaliknya orang yang sudah tua, tidak usah banyak bermimpi, sebab manfaatnya sudah tidak terlalu besar. 177 وإن الفىت بعد السفاهة َيلم وإن سفاه الشيخ ال حلم بعده Orang tua yang bodoh, tak memiliki mimpi Sedangkan anak muda, setelah kebodohan ia bermimpi Dalam menyampaikan nilai-nilai moralitas di atas, Zuhair tidak menggunakan gaya bahasa yang bersifat memerintah, namun lebih pada peringatan dan sebab akibat yang akan diperoleh. Bila buruk, maka hasil yang diperoleh adalah keburukan, dan jika baik, hasil yang diperolehpun adalah kebaikan pula. Hal ini menunjukan kearifan yang dimilikinya. D. Analisis Nilai-nilai Moralitas Sebagaimana dibahas pada bab 2, bahwa secara garis besar tolak ukur moralitas dibagi ke dalam dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Deontologis Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005 M/1426 H), h.42-44 177 76 mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan.178 Maka berdasarkan teori tersebut, bisa dipastikan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma dalam mengajarkan nilai-nilai moralitasnya, baik buruknya diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan. Dengan kata lain, jika kamu melakukan ini, maka akan begini, atau siapa yang melakukan hal ini, maka akan begini.. Contoh: إىل مطمئن الرب ال يتجمجم ِ ِ ذم ْم ومن ي ْف ض قلبه َ ومن يوف ال ي Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu Hal ini sesuai dengan teori etika teleologis yang mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.179 Teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat. Teori ini kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.180 Kalau egoisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna 178 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67 179 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 180 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76 77 bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. 181 Berdasarkan teori filsafat etika tersebut, bila melihat pada syair-syair Zuhair di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma sesungguhnya telah mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai moralitas universal. Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.182 Hanya saja yang agak sulit dibedakan, apakah nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair ibn Abi Sulma merupakan nilai-nilai moralitas yang dasarnya adalah agama, atau hanya sebatas ajaran kehidupan yang ia peroleh dari pengalaman hidup yang ia dapatkan. Bila Zuhair termasuk penganut agama hanif dan berlandaskan tauhid ilahiyah, maka bisa diyakini bahwa ajaran yang disampaikan tersebut merupakan bagian dari ajaran-ajaran agama. Sebab sebagaimana disampaikan oleh Burhanudin Salam, bahwa pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya: - Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. - Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak memaksa.183 Adapun perbedaannya adalah: - Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian. - Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia. 181 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77 182 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 183 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183 78 Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di alam fana ini. Dalam syairnya, Zuhair jelas menyatakan akan keyakinannya terhadap hari akhirat bahkan adanya hari pembalasan yang disimpan dan suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan ini saya menyimpulkan, bahwa seseungguhnya nilainilai moralitas yang ada pada masa Jahiliyah sesungguhnya bersumber pada ajaran agama dan juga pengalaman hidup dari penyair itu sendiri. Hal ini juga mematahkan pendapat Muhammad Yusuf Farran yang mengatakan bahwa sebagian periwayat dan juga analis menganggap bahwa Zuhair sebenarnya memeluk agama nenek moyangnya yang disebut dengan watsani (penyembah berhala). Kalaupun dalam syair-syairnya ada yang mengandung makna tauhid, semata-mata hanya perasaan yang dihasilkan dari pengalaman hidupnya.184 E. Tinjauan Islam terhadap nilai-nilai moralitas dalam syair Jahiliyyah Syair-syair Zuhair sesungguhnya banyak mengandung perumpamaanperumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair zuhair juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari. Islam sesungguhnya mengajarkan umatnya nilai-nilai moralitas universal. Apa yang disampaikan oleh Zuhair dalam syair-syairnya di atas, hanyalah sebagian kecil dari nilai-nilai moralitas universal tersebut. Lalu bagaimana menurut pandangan Islam tentang nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair yang lahir pada masa Jahiliyah? Nilai-nilai moralitas dalam bahasa Arab dan diserap ke dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah akhlak yang merupakan bentuk jamak dari khuluk. Dalam Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, sumber akhlak dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: Akhlak yang bersumber pada agama dan akhlak yang bersumber dari pengalaman. 184 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), h. 37 79 Dalam agama Islam, akhlak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ahzab: 21: ِ ول ِ لََق ْد َكا َن لَكم ِيف رس اَّلل أ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكا َن يَ ْرجو اَّللَ َوالْيَ ْوَم ْاآل ِخَر َوذَ َكَر اَّللَ َكثِريا َ ْ )12 :(األحزاب Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS.33:21) Al Ahzab 21 Adapun akhlak yang bersumber bukan pada agama dikelompokkan menjadi dua, yaitu bersumber dari insting dan pengalaman. Akhlak atau nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair pada masa Jahiliyah kemungkinan bersumber dari ajaran agama atau bisa juga dari pengalaman hidupnya. Penyebutan symbol-simbol keagamaan dalam syairsyairnya menunjukkan bahwa ia meyakini agama hanif (Ibrahim), namun juga tidak sedikit ajaran-ajaran moralitas yang ia kemukakan bersumber dari pengalamannya, hal itu tampak pada konektivitas nilai-nilai moralitas dengan kondisi sosiologis yang terjadi pada masa itu. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair ibn Abi Sulma menurut pandangan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. a. Nilai-nilai Moralitas Politik Perang bagi masyarakat Arab Jahiliyah ibarat makanan sehari-hari. Oleh karena itu, boleh jadi kerinduan yang paling dirasakan oleh masyarakat Jahiliyah yang memiliki hati nurani adalah perdamaian antar bangsa Arab saat itu. Hal ini jelas terungkap dalam syair Mu’allaqat Zuhair Ibn Abi Sulma, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Syair Mu’allaqat Zuhair ibn Abi Sulma pada dasarnya adalah negosiasi dan diplomasi perdamaian antara kabilah Dzubyan dan Abbas. Secara ringkas, pesan etika politik perdamaian yang terdapat dalam syair Mu’allaqat Zuhair adalah sebagai berikut: 80 1. Perlu Pengorbanan مبال ومعروف من القول نسلم وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai 2. Jujur dan bersungguh-sungguh وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم أال أبلغ األحالف عين رسالة Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh? ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم فال تكتمن هللا ما ف صدوركم Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti diketahuiNya. Terkait etika politik berdamai dan perdamaian, Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dan komprehensif. Dalam Ensiklopedia Pengetahuan AlQur’an dan Hadits185 disebutkan hal-hal yang terkait dengan etika berdamai dan perdamaian, yaitu : 1. Larangan melakukan kezaliman Dalam syair Zuhair: ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata 185 Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadis, h. 19-29. 81 Ia akan hancur, dan siapa yang tidak menzalimi, dia akan dizalimi 2. Adanya persamaan derajat 3. Menjunjung tinggi keadilan 4. Memberi kebebasan 5. Menyeru kerukunan dan tolong menolong 6. Menganjurkan toleransi 7. Meningkatkan solidaritas social 8. Jujur 9. Senyum dan bermuka cerah Itulah beberapa hal yang terkait dengan rahasia berdamai dan perdamaian dalam Islam. Dalam al-Qur’an telah dijelaskan konsep perdamaian secara gambling. Sebagai contoh terdapat pada QS. Al-Hujurat: 9 berikut ini: ِ ِ ِ وإِن طَآئَِفت ِِاُهَا َعلَ ٰى ٱألُ ْخ َر ٰى فَ َاِِلُواْ ٱلت ُ ت إِ ْح َد ْ ََصلِ ُحواْ بَ ْي نَ ُه َما فَِإن بَغ َ ْ ني ٱقْتَتَ لُواْ فَأ َ ِان م َن ٱل ُْم ْؤمن َ ِِ َِِفيء إِ َ َٰل أَم ِر ت ِِ ِ ت فَأَصلِحواْ ب ي نَ هما بِٱلْع ْد ِل وأَق ِ ني ْسطُۤواْ إِ تن ت َ ٱَّللَ ُُِ ُّ ٱل ُْم َْسط ْ َ ۤ ٰ َِ ْبغى َح ت َ َ َ ُ ْ َ ُ ْ ْ آء َ َٱَّلل فَِإن ف Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Hujurat : 9) b. Nilai-nilai Moralitas Sosial 1. Larangan bersikap kikir Di antara ajaran akhlak yang disampaikan oleh Zuhair adalah larangan bersikap kikir atau pelit, seperti yang terdapat pada bait ini: على قومه يستغن عنه ويذمم 82 ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela... Lalu bagaimana pandangan Islam tentang sifat kikir ini? Kikir di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah bakhil, yaitu sifat atau keadaan seseorang yang berat hati dan tangan untuk membelanjakan hartanya atau apa yang dimilikinya sebagai sedekah, zakat, atau derma, dalam hal menegakkan urusan agama, meninggikan syiar Islam, atau urusan yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Sifat Bakhil sangat dicela dalam ajaran Islam.186 Allah SWT berfirman: ِ ضلِ ِه ه َو َخْي را َهل ْم بَ ْل ه َو َش ٌّر َهل ْم َسيطَوقو َن ْ َين يَْب َخلو َن ِمبَا آَتَاهم اَّلل ِم ْن ف َ َوَال ََْي َس ََب الذ ِِ ِ ِ ِ َّلل ِمرياث السماو ِِ ِ ِ ات َو ْاأل َْر )281( ٌض َواَّلل ِمبَا تَ ْع َملو َن َخبِري ََ َ َما ََبلوا به يَ ْوَم الْقيَ َامة َو Artinya: Dan sungguh jangan sekali-kali orang yang bakhil terhadap karunia yang Allah beri itu menyangka bahwa (kebakhilan mereka) baik bagi mereka. Justru itu adalah keburukan bagi mereka. Mereka akan dibelenggu dengan menggunakan apa yang mereka bakhilkan di hari kiamat. Sedang hanya milik Allah-lah warisan-warisan langit-langit dan bumi. Dan Allah itu maha banyak khabarnya tentang apa yang kalian kerjakan. (QS. Ali Imran:180) Rasulullah SAW bersabda: ) بعيد من الناس (رواه الرتمذى، بعيد من اجلنة،البخيل بعيد من هللا “Orang yang bakhil jauh dari Allah; jauh dari surga dan jauh dari manusia”. (Hadits riwayat Turmudzi)”. )الرتمذى ال يدخل اجلنة حب وال َبيل وال منان (رواه “Tak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang bakhil dan orang yang suka mengharap-harapkan pemberian dari orang lain. (Hadits riwayat Turmudzi)” اياكم والشح فان الشح أهلك من كان قبلكم امرهم بالقطيعة فقطعوا وأمرهم بالبخل )فبخلوا وامرهم بالفجور ففجروا (رواه االمام امحد Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013), Jilid 6, h. 192 186 83 “Hati-hatilah kamu terhadap sifat bakhil, karena bakhil telah merusak orangorang sebelum kalian. Sikap bakhil menyuruh mereka untuk memutuskan silaturahmi lalu mereka memutuskannya, menyuruh mereka bersikap kikir dan mereka kikir dan menyuruh mereka berbuat maksiat, lalu mereka berbuat maksiat.”( Hadits riwayat Imam Ahmad). Bila kita amati, ada hal yang sangat menarik dari apa yang disampaikan Zuhair melalui syairnya di satu sisi dan ayat al-Qur’an dan Hadits di sisi lain, yaitu: 1. Syair Zuhair maupun al-Qur’an dan Hadis sepakat bahwa sifat bakhil adalah sifat yang tercela. 2. Dalam syair Zuhair disebutkan bahwa orang yang bakhil akan dijauhi dan dihinakan oleh masyarakat sebagai konsekuensi dari kekikirannya. 3. Dalam al-Qur’an dan Hadits selain konsekuensi dunia, seperti dijauhi oleh sesama manusia, konsekuensi dari sikap bakhil juga selalu dihubungankan dengan konsep keimanan, seperti dijauhkan dari surga dan ancaman neraka sebagai balasan di akhirat dan hari kiamat. Berdasarkan hal tersebut bisa disimpulkan bahwa larangan bersikap bakhil pada masa Jahiliyah bersumber dari pengalaman masyarakat Arab saat itu, di mana seseorang yang bersikap kikir, ia akan dijauhi dan hina di mata masyarakat. Adapun larangan bakhil dalam ajaran Islam bersumber dari konsep keimanan kepada Allah SWT. Untuk itu, selain hukuman yang bersifat kemanusiaan, konsekuensi lainnya terkait dengan hukum akhirat. 2. Keharusan untuk berkarya يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم ومن مل يصانع ف أمور كثرية Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini) Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta Keharusan bekerja dan berkarya dalam syair tersebut erat hubungannya dengan konteks sosiologis pada masa Jahiliyah yaitu masa yang penuh dengan peperangan. Syair ini pada hakikatnya ingin mengatakan bahwa siapa yang kuat, maka dia yang menang, dan siapa yang lemah, maka akan terinjak-injak dan terhina. 84 Dalam Islam, keharusan untuk berkarya terkait erat dengan amal saleh dan keimanan seseorang. Amal dan iman menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan, seperti terlihat dalam ayat di bawah ini: ِ ِ ِ ِ احل ِ ك ه ْم َخْي ر الَِْربي ِة َ ِات أ ْولََئ َ ين َآمنواْ َو َعملواْ الص َ إن الذ “Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shalih, mereka adalah Khairul Bariyyah (sebaik-baik manusia).” Secara universal, ada kesamaan nilai yang ingin disampaikan, bahwa bekerja dan berkarya merupakan keharusan seorang manusia, hanya saja, bila dalam syair Zuhair, seseorang yang tidak bekerja dan berkarya hanya mendapat akibat dunia, namun dalam ajaran Islam menjadi sebuah bukti dari keimanan seseorang pada yang kuasa. Adapun konsep ajaran moralitas tentang kewajiban untuk bekerja dan berkarya pada masa Jahiliyah lebih bersumber dari pengalaman hidup manusia saat itu. 3. Menepati Janji Ajaran moralitas berikutnya yang disampaikan oleh Zuhair adalah keharusan sesorang untuk senantiasa menepati janji. إىل مطمئن الرب ال يتجمجم ِ ِ ذم ْم ومن ي ْف ض قلبه َ ومن يوف ال ي Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu Menurut Zuhair, kebiasaan menepati janji akan menimbulkan efek sebagai berikut: 1) ia tidak akan jatuh pada kehinaan, dengan kata lain hidup terhormat, 2) Hatinya akan merasa tenang, 3) senantiasa dituntun pada arah kebaikan, 4) tidak terkena penyakit ragu. Seseorang yang tidak menepati janji, lebih dekat pada sifat penghianat. Lalu bagaimana menurut ajaran Islam? Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra ayat 34: )43 :َوأ َْوفوا بِالْ َع ْه ِد ۖإِن الْ َع ْه َد َكا َن َم ْسئوال(اإلسراء 85 “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra: 34) Dalam ayat lainnya disebutkan: ِ ِاَّلل إِ َذا عاه ْدُت وَال تَ ْن قضوا ْاأل َْميا َن ب ع َد تَوك ِ وأَوفوا بِعه ِد يد َها َوقَ ْد َج َع ْلتم اَّللَ َعلَْيكم َْ ْ َ َ ْ ََ ْ َْ َ )12:َك ِفيال ۖإِن اَّللَ يَ ْعلَم َما تَ ْف َعلو َن (النحل “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (al-Nahl: 91) Ibnu Jarir meriwayatkan dari Buraidah, katanya, “ ayat ini turun tentang baiat Nabi Muhammad SAW. “ Baian ini adalah yang kalian ikrarkan untuk masuk Islam.” Al-Qurthubi menambahkan bahwa ayat ini turun tentang komitmen terhadap sumpah yang dipegang pada masa Jahiliyah dan Islam mengajarkan untuk menepatinya.187 Rasulullah saw bahkan menegaskan melalui hadisnya bahwa orang yang tidak suka menepati janji masuk dalam kategori golongan munafik: 4. Memelihara kehormatan diri ومن ال يتق الشتم يشتم،يفره ومن جيعل املعروف من دون عرضه Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci Pada bait ini ada dua pesan moral yang ingin disampaikan oleh Zuhair, pertama, kebaikan harus dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan ikhlas, kebaikan itu dengan sendirinya akan memelihara kehormatan dirinya. Kedua, jangan suka mencaci dan menghina orang lain, karena pasti ia juga akan dicaci dan dihina. Pesan moral yang pertama, terkait erat dengan pesan moral yang kedua. 187 Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, h. 118 86 Zuhair sepertinya ingin menegaskan bahwa kebaikan yang diberikan pada seseorang hendaknya tidak diikuti dengan dengan keikhlasan tanpa caci maki dan hinaan pada penerimanya. Dalam syair di atas ada dua pesan moral yang kontradiktif, yang pertama adalah pesan agar melakukan suatu kebaikan dengan ikhlas bukan karena tendensi tertentu. Lawan dari ikhlas adalah riya. Di dalam al-Qur’an, ajaran tentang keikhlasan sangat banyak, seperti : ِِ ِ ِ ُقُل إِ تن صالَِِى ون ني َ ل ٱل َْعالَ ِم ِْ َ اى َوَمََاِى تَّلل َ َ َسكى َوََْمي ْ ُ َ Katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-An’am : 162) Pesan yang kedua adalah larangan untuk menghina orang lain, karena akibanya akan dihina kembali. Adapun ayat al-Qur’an yang melarang untuk menghina orang lain adalah : ٍ ِْيأَي ها ٱلت ِذين آمنواْ الَ يس َخر قَ وم ِمن قَ وٍم عسى أَن ي ُكونُواْ خْياً ِم ْن هم والَ نِسآء ِمن ن س ٰى َ َ ٰ َ َ ْ ْ ٌ ْ ْ ْ َ َُ َ َ سآء َع َ ْ ٌ َ َ ْ ُ ْ َْ ِ ِ َال بِْئس ٱالسم ٱلْ ُفسو ُق ب ْع َد ٱَإََم ِ ان َ ُ ُ ْ َ ِ َْس ُك ْم َوالَ َِ نَابَ ُزواْ بِٱألَل َ أَن يَ ُك تن َخ ْْياً ْم ْن ُه تن َوالَ َِ لْم ُزۤواْ أَن ُف )11 : ك ُه ُم ٱلظتالِ ُمو َن (احلجرات َ ِ ُّ فَأ ُْولَٰئ ْ َُوَمن تَّلْ يَت Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim (QS Al-Hujurat : 11). 5. Etika bergaul 87 ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم يغرتب َيسب َعدوا صديقه ْ ومن Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair Ibn Abi Sulma dalam syairnya bersumber dari pengalaman pribadinya dan juga masyarakat yang ada di sekitarnya. Meskipun demikian, ada juga yang dilandasi dengan nilai-nilai keyakinannya pada Tuhan dan juga hari pembalasan, terutama menyangkut kejujuran seseorang, sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan pandangan mata. Adapun nilai-nilai moralitas dalam Islam bersumber pada Kitab Suci alQur’an dan Sunah Nabi SAW, dan terkait dengan keimanan kepada yang Maha Pencipta. Secara umum, nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair tidak jauh berbeda dengan nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Islam, meskipun dalam beberapa hal harus dipahami dengan konteks social politik yang terjadi saat itu. Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya bangsa Arab Jahiliyah telah memahami nilai-nilai moralitas universal yang bersumber dari pengalaman hidup mereka, dan sebagian bahkan dihubungkan dengan nilai-nilai moralitas keagamaan meskipun dalam skala yang sangat minim. 88 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana disampaikan di awal pembahasan mengenai tujuan dari penelitian yaitu ingin mengungkap pesan moral atau nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, serta mengetahui sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama. Berdasarkan hasil analis dengan menggunakan pendekatan strukturalis genetik, saya menyimpulkan sebagai berikut: 1. Syair Mu’allaqat Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas universal, baik yang terkait dengan etika politik masa itu ataupun yang terkait dengan moralitas social secara umum. Nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair dalam syair Mu’allaqat bersumber dari pengalaman pribadi dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini terbukti dari gaya bahasa jumlah syarthiyyah (klausa bersyarat) yang digunakan Zuhair yang merujuk pada sebab akibat yang akan terjadi di dunia, tanpa melibatkan keyakinan kepada Tuhan dan hari akhir. Namun demikian, ada di antaranya yang disandarkan pada keyakinan pada yang Kuasa, terutama menyangkut hal-hal yang tidak bisa dilihat, seperti kejujuran dan kebohongan dalam bersumpah. 2. Dalam ajaran Islam, nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair secara umum tidak jauh berbeda, hanya saja nilai-nilai moralitas yang ada dalam Islam selalu bersumber pada keyakinan kepada Tuhan yang maha Kuasa, janji adanya surga, ancaman adanya neraka, pembalasan di hari kiamat, dan lain sebagainya. Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah makhluk yang mulia (fî ahsan taqwîm), (QS 95:4) diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun (QS 2:30; QS 18:50). Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di 89 muka bumi (QS 33:72). Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, hanya saja tidak berlandaskan ketuhanan yang Maha Esa. وهللا أعلم بالصواب 90 DAFTAR PUSTAKA Abecrombie, Nocholas, dkk, Kamus Sosiologi (terjemah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Abdurrahim, Wa’il Sayyid, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon: Darul ilmi wa al- Iman, 2009 `Abdusâtir, `Abbâs, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1416 H/1996 M) Abubakar, Irfan & Chaider S. Bamualim (Editor), Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC, 2006 Abu al-Khasab, Ibrâhîm ‘Ali, dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961 Ahmad al-Syayib, Ushul al-Naqd al-Adabi, Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyyah, 1964 Alam, Zafar, Education in Early Islamic Period, Delhi-6: Markazi Maktaba Islami, 1997 Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press, 2000 Ali, Abduridha, Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimuhu wa Haditsuhu, Oman: Dar al-Syuruq, 1997 M ‘Arif, Khairan Muhammad, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 Asad, Nâshir al-Dîn, al-, Mashâdir al-Syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ alTârikhiyah, Beirut: Dâr al-Jail, 1988 `Athwân, Husein, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r alJâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999 91 Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, tp: Dâr alMa’ârif, 1965 Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009 Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003 Esten, Mursal, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, Bandung: Angkasa, 2000 Farran, Muhammad Yusuf, Zuhair Ibn Abi Sulma: Hayatuhu wa Syi’ruhu, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 Fa’ur, Ali, Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003 Ferdinand, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alâm, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986 Hadiwardoyo , Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Hamid, Ismail, Ph.d, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Tass Sdn Bhn, 1982 Hasan, Masudul, Prof. History of Islam, India: Adam Publishers & Distributors, 1995 Husein, Thaha, Fi al-Adab al-Jâhili, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1969 J. Wentzel Vrede van Huyssteen (editor in Chief), Enchylopedia of Science and Religion, Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2 Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12 Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, Jami’ah al-Qahirah: Maktabah al-Enjelo alMishriyyah, 1965 Ira. M., Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 Al-Iskandari, Ahmad, dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhuhu, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth Ismail, Faisal, Dr, MA., Paradigma Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996 92 Al-Ismail, Tahia, The life of Muhmmad SAW: His life Based on the Earliest Sources, London: Ta-Ha Publishers ltd, 1995 Al-Ismail, Tahia, Tarikh Muhammad SAW, (terjemah), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996 Ismail, Ahmad Syatori, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal alKutub al-Madrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009 Khalif, Yusuf, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981 K. Hitti, Philip, History of The Arabs, (terjemah), Jakarta: Serambi, 2006 Lewis, Bernard, Prof., The Arabs in History, New Delhi: Goodword Books, 2001 Lubis, Nabilah, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, Jakarta: Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 2005 Muhammad, Mustafa, muhadarât Tarikh al-Umara’ al-Islamiyyah, Kairo: al-Istiqamah, 1370 H Murtadha Muthahhari, Ayatullah, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan Islam/Tarbiyatul Islam, (terjemah Muhammad Bahruddin), Jakarta: Sadra International Institute, 2011 Murawwah, Muhammad Ridla, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M) Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian fiksi,Yogyakarta : Gadjah Mada University press, Cet Ke-8 2010 Qashab, Walid, Manahij al-Naqd al-Adabi al-Hadits: Ru’yah Islamiyyah, Damaskus: Dar al-Fikr, 2007 M/ 1428 H Quthub, Sayyid, al-Ustadz, Konsepsi Sejarah dalam Islam (Terjemah), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992 Salam, Burhanuddin, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 93 Shomali, Mohammad A., Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999 Syalabi, Ahmad, Dr., Mausu’ah; al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah alIslamiyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979 Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984 Tim Penyusun, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu, 2007, cet. 2 Tim Penyusun (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; alAdab al-Jâhili, Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962 Al-Rukkabi, Judith, al-Adab al-Arabi min al-Inhidar ila al-Izdihar, Beirut: Dar al-Fikr, 1996 M Rosyidi, M.Ikhwan dkk, Analisis Teks Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010 Sayyid Abdurrahim, Wa’il, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Kafar al-Syekh: al-Ilmu wa al-Iman: 2009 Shadiq al-Rafi’I, Mushthafa, Tarikh Adab al-Arab, Kairo: Alsahoh, 2008 M/ 1429 H Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013 Umam, Chatibul al-Muyassar fi ‘Ilm al-Arudh, Fakultas Adab, 1992 Waluyo, Herman, J., Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1987 Ya’qub, Emil Badi’, al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010 Al-Zayyat, Ahmad Hasan, Tarikh al-Adab al-Arabi, Beirut: Dar alMa’rifah, 2005 M/1426 H Al-Zuzni, Ibnu Abdullah, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiiyah, 1985 M Zaidan, Abdul Rozak, dkk, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 2007 94 LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Curriculum Vitae Peneliti IDENTITAS DIRI Nama : Cahya Buana Nomor Peserta : 092100611320173 NIP/NIK : 150 326 899/ 19750630 200312 2 001 Jenis Kelamin : Perempuan Tempat dan Tanggal Lahir : Agrabinta, 30 Juni 1975 Status Perkawinan : Kawin Agama : Islam Golongan / Pangkat : III d / Penata Jabatan Fungsional Akademik : Lektor Kepala Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Alamat : Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Telp./Faks. : 021-7401925 Alamat Rumah : Jl. Pesantren RT/RW 003/05 No. 76 Kreo Larangan Tangerang Telp./Faks. : 08567104424 E-mail :[email protected]/[email protected] Tahun Lulus 1999 2003 2009 RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI Jurusan/ Jenjang Perguruan Tinggi Bidang Studi S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab PELATIHAN PROFESIONAL Tahun Pelatihan Penyelenggara 2005 Penulisan Karya Ilmiah Berbahasa Asing Fak. Adab & Humaniora 2006 Workshop Pengembangan Pengajaran Fak. Adab & Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta Humaniora 2006 Workshop Tenaga Penyuluh Pengabdian LPM UIN Jakarta Kepada Masyarakat 2006 Pendidikan bahasa Arab untuk dosen Pusat Bahasa UIN Jakarta - Universitas Imam Muhammad ibn Su’ud 2007 Workshop Manajemen Kegiatan Penelitian Fak. Adab & dan Pengabdian pada masyarakat Humaniora 2007 Pelatihan Penelitian Tingkat menengah Lemlit UIN Jakarta 2007 Forum dan Workshop Nasional VII: UIN Jakarta Pengembangan Fakultas Adab PTAIN Seindonesia 95 PENGALAMAN JABATAN Jabatan Institusi CPNS Departemen Agama/UIN Jakarta Penata Muda Tk. I (III/b) Departemen Agama/UIN Jakarta Penata (III/c) Departemen Agama/UIN Jakarta Tahun ... s.d. ... 1/12/2003 1/12/2004 ¼/2009 PENGALAMAN JABATAN Jabatan Institusi Tenaga Pengajar Asisten Ahli Lektor Bendahara Sekretaris prodi BSA Ketua Jurusan BSA Mata Kuliah Seminar Proposal Qawa’id I, II, III Bah. Arab I,II,III Bahasa Arab I,II Balaghah I,II,III Nushus Adabiyah Qawaid (Sharaf) Tahun 2006 - 2009 2006 - 2008 Tahun 2013 2012 Tahun ... s.d. ... Agama/UIN 1/1/2005 Departemen Jakarta/FAH Departemen Agama/UIN Jakarta/FAH Departemen Agama/UIN Jakarta/FAH Markaz al-Lughah (Imam alSu’udiyah) Fakultas Adab dan Humaniora Fakultas Adab dan Humaniora UIN PENGALAMAN MENGAJAR Jenjang Institusi/Jurusan/Program S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 S-1 - Bahasa dan Sastra Arab - Bahasa dan Sastra Arab - Bahasa dan Sastra Arab - Bahasa dan Sastra Inggris - Bahasa dan Sastra Arab - Bahasa dan Sastra Arab - Bahasa dan Sastra Arab 1/6/2006 1/1/2009 2006/2007 2009-2013 2013-2017 Tahun ... s.d. ... 2010-2013 2003-2008 2004-2009 2006-2009 2005 – 2009 2006 2006 PENGALAMAN MEMBIMBING MAHASISWA Pembimbingan/Pembinaan Penyusunan Skripsi Penasehat Akademik PENGALAMAN PENELITIAN Judul Penelitian Jabatan Simbol Dan Simbolisme Alam Peneliti Dalam Puisi Sufistik Ibnu Arabi Pengaruh Unsur-Unsur Ekstrinsik Peneliti Terhadap Diksi Peribahasa Arab Dan Indonesia (Analisis Sastra Banding) 96 Sumber Dana BOPTN BOPTN 2011 2006/2007 2006/2007 2006/2007 2007 Buku Ajar Maharat Qira’ah 1: مهارة القراءة فى تعلّم اللغة العربية للمستوى األول Ilmu ‘Arudl versus Revolusi Puisi Arab Kontemporer (Studi Analisis terhadap puisi-puisi Qassim Haddad) Islam dan Politik di Mesir: Studi analisis terhadap gerakan Sayyid Qutb dan Ikhwanul Muslimin serta pengaruhnya terhadap peta Politik Mesir (1906-1956) Peranan Ibu terhadap Peningkatan IQ anak (Studi Kasus terhadap murid kelas III MI Manbaul Khair) Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama (Studi Analisis terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri) Penulis Peneliti (mahasiswa S3) Individu Peneliti (mahasiswa S3) Individu Peneliti (mahasiswa S3) Individu Peneliti (anggota) Fak. Adab dan Humaniora KARYA TULIS ILMIAH A. Buku/Bab/Jurnal Tahun Judul Simbol-simbol Agama dalam Syair 2010 Jahiliyah 2008 Pengaruh Sastra Arab terhadap Sastra Indonesia Lama dalam Syairsyair Hamzah Fansuri (Kajian sastra Banding) 2008 Citra Perempuan Dalam Puisi-puisi Arab Jahiliyah (Kritik sastra Feminis) 2008 Pengaruh Sastra Arab terhadap Puisipuisi Hamzah Fansuri 2006 Risâlah al-Tarbî’ wa al-Tadwîr li alJâhizh (al-Tahlîl al-Adabi) 2003 Hayy Bin Yaqzhan: Novel filosofis Ibn Thufail (Analisis kritik Sastra) B. Makalah/Poster Tahun Judul 2006/2007 Islam dan Demokrasi 2006/2007 Ma’nâ al-naqd al-Adabi, Târikhuhu wa Wazhîfatuhu 2006/2007 Gejala Psikologis Dalam Bahasa (Kajian Psikolinguistik) 2006/2007 Qiyas dalam Ilmu Nahwu Menurut 97 BLU Penerbit/Jurnal Mocopatbook, Yogyakarta Mocopatbook, Yogyakarta Disertasi, Pascasarjana UIN Jakarta Al-Turas, Fak. Adab dan Humaniora Al-Turas, Fak. Adab dan Humaniora Tesis, Pascasarjana UIN Jakarta Penyelenggara Pascasarjana UIN Jakarta Pascasarjana UIN Jakarta Pascasarjana UIN Jakarta Pascasarjana UIN Jakarta 2007 Para Ahli bahasa Klasik dan Modern Tahlîl al-Naqd al-Adabi li al- Pascasarjana UIN Jakarta Risâlah al-Hazaliyah li ibn Zaidûn C. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi Tahun Judul Penerbit/Jurnal 2006/2007 Review Disertasi: Kaidah-kaidah Bahasa Pascasarjana UIN Arab dan Relavansinya dalam Memahami Jakarta Ayat-ayat al-Qur’an (penulis Abd. Karim hafid) D. Penerjemah Tahun 2010 Judul Al-Adab fi al-‘Ashr al-Jahili wa al-Islam Penerbit/Jurnal Dalam proses PESERTA KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Arab. FITK UIN Jakarta 2010 Tema: Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Multiple Intelegences Workshop: Hypno Parenting dan Publik UIN Jakarta 2010 Speaking Seminar dan Lokakarya: Penulisan UIN Jakarta 2010 Akademik Studium General: Proses Penerbitan Buku FAH UIN Jakarta 2010 Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia Seminar Nasional: Pengajaran bahasa Arab Fak. Tarbiyah UIN 2008 berbasis lintas budaya (Cross Cultural) Jakarta Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya. Jakarta, 10 Desember 2014 (Dr. Cahya Buana, MA) 98 B. Penggunaan Anggaran Penelitian Madya Nama Peneliti : Cahya Buana Judul penelitian : Tinjauan Islam terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma (Kajian Struturalis Genetik) Jumlah Anggaran : Rp. 15.000.000 NO JENIS BELANJA/PERUNTUKAN VOL JUMLAH 1 Honor Peneliti Utama 1 orang 4.000.000 2 Honor Asisten Peneliti 3 orang 4.500.000 3 Perjalanan Dinas 2x 1.000.000 4 Foto Copy dan ATK 1 paket 1.000.000 5 Bahan Penelitian 1 paket 3.000.000 6 Penyusunan Laporan 1 paket 1.500.000 TOTAL 15.000.000 PENELITI 99