TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI

advertisement
TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM
SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA
Laporan
Penelitian Individu Madya
Diajukan ke Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
OLEH:
Cahya Buana
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/ 2014 M
LEMBAR PENGESAHAN
Penelitian Individu Madya
TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM
SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA
OLEH:
Cahya Buana
DISAHKAN OLEH:
Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum
Pada Kamis, 10 Desember 2014
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
PENGANTAR
‫بسم هللا الرمحن الرحيم‬
Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya penelitian tentang “Tinjauan
Islam Terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu
Abi Sulma” ini dapat diselesaikan juga. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah memberikan potensi akal kepada manusia, sehingga mampu membedakan
yang haq dan yang batil. Salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Makhluk yang pada dirinya terdapat uswah hasanah yang nyata.
Penelitian ini tidak dapat terwujud tanpa campur tangan berbagai pihak,
oleh karena itu dalam ruang yang sangat sempit ini, saya ingin mengucapkan terima
kasih pada mereka yang telah memberikan kontribusi, baik moril maupun materil
dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk melalui Lembaga Penelitian (LEMLIT)
untuk melakukan penelitian guna memenuhi kewajiban sebagai seorang
dosen;
2.
Direktur Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan seluruh staf yang ada di dalamnya yang telah memfasilitasi
berbagai bentuk penelitian untuk dosen;
3.
Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk meluangkan
waktu untuk meneliti;
4.
Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah serta seluruh staf yang ada di
dalamnya yang telah menyediakan buku dan media informasi lainnya
untuk penelitian;
5.
Seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam karya
tulis ini.
iii
Penelitian ini jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak hal yang perlu
diperbaiki. Namun demikian saya tetap berharap tulisan ini memberikan manfaat
bagi pembacanya. Amiin
iv
ABSTRAK
Munculnya Islam di Jazirah Arab, diakui atau tidak secara tidak langsung
telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa zaman Jahiliyah
adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa islam adalah masa
peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa adanya rantai peradaban
sebelumnya. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early
Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier yang menyatakan
bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar
(barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality).
Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan
fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni
sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair sebagai karya
sastra yang sulit dan rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab,
sebagaimana berkembang di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi
dan Persia yang terkenal dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.Syair
sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan
gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh
masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi.
Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benarbenar tidak mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas? Melalui
kajian Strukturalis genetik terhadap syair karya Zuhair ibnu Abi Sulma seorang
penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah, penulis akan mencoba mengungkap
nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa
Jahiliyah, serta tinjauan agama Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut.
Berdasarkan hasil analisis strukturalis genetik, terbukti bahwa bangsa Arab
Jahiliyah telah mengenal nilai-nilai moralitas universal yang bersumber dari
pengalaman hidup mereka, dan sedikit yang disandarkan pada nilai-nilai keimanan.
Mayoritas nilai-nilai moralitas yang mereka ketahui bukan bersumber dari
keyakinan terhadap Tuhan.
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
I. Konsonan
‫ا‬
‫ف‬
f
‫ب‬
B
‫ق‬
q
‫ت‬
T
‫ل‬
k
‫ث‬
Ts
‫م‬
m
‫ج‬
J
‫ن‬
n
‫ح‬
H
‫و‬
w
‫خ‬
Kh
‫هـ‬
h
‫د‬
D
‫ي‬
ya
‫ذ‬
Dz
‫ر‬
R
‫ــــــــــ‬
a
‫ز‬
Z
‫ـ ـ ـ ـ ـ ـِـ ـ ـ ـ‬
i
‫س‬
S
‫ش‬
Sy
II. Vokal Pendek
‫ـ ـ ـ ــُـ ـ ـ ـ ـ‬
u
III. Vokal Panjang

Tim penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (UIN Syarif Hidayatullah: CeQDA,
2007), h. 46-51. Lihat juga Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007/2008
vi
‫‪â‬‬
‫ـ ـ ــا‬
‫‪S‬‬
‫ص‬
‫‪î‬‬
‫ـ ـ ــي‬
‫‪D‬‬
‫ض‬
‫‪û‬‬
‫ـ ـ ــو‬
‫‪T‬‬
‫ط‬
‫‪Z‬‬
‫ظ‬
‫‪ai‬‬
‫ـــــــــــ ي‬
‫‘‬
‫ع‬
‫‪au‬‬
‫ـ ـ ـ ــُـ ـ ـ ـ ـ و‬
‫‪gh‬‬
‫غ‬
‫‪IV. Diftong‬‬
‫‪vii‬‬
DAFTAR ISI
BAB I
BAB II
: Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
1
B.
Permasalahan Penelitian
6
C.
Hipotesis
6
D.
Tujuan Penelitian
6
E.
Metode Penelitian
7
F.
Sistematika Penulisan
8
: Strukturalis Genetik Dalam Kajian Sastra
A.
B.
BAB III
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra
9
a. Definisi Puisi dan Syair
9
b. Unsur-Unsur Intrinsik Puisi dan Syair
10
c. Unsur Ekstrinsik Sastra
14
d. Posisi Strukturalis Genetik
15
Makna Nilai-Nilai Moralitas
17
a. Pengertian Nilai
18
b. Pengertian Moral
19
c. Ukuran Baik dan Buruk
20
: Zuhair Ibn Abi Sulma Filsuf Arab Pra Islam
A.
Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma
25
B.
Syair-Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma
26
a. Tema-Tema Syair Zuhair
27
b. Gaya Bahasa Syair Zuhair
28
C.
Kehidupan Sosial, Politik, dan Agama
29
a. Kehidupan Sosial
29
b. Situasi Politik
31
c. Kondisi Keagamaan
37
viii
BAB IV
: Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Syair Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma
A.
B.
Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ
a. Pengertian Syair Al-Mu’allaqat
41
b. Syair Al-Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma
42
Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Syair Mu’allaqat
51
b. Kandungan
53
1. Bagian Awal
54
2. Bagian Tengah
56
3. Pesan Moral
58
58
: Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma
A.
Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Mu’allaqat
63
a. Nilai-Nilai Moralitas Religi
63
b. Nilai-Nilai Moralitas Politik
66
c. Nilai-Nilai Moralitas Sosial
69
B.
Analisis Nilai-Nilai Moralitas
C.
Tinjauan Islam Terhadap Nilai-Nilai Moralitas dalam Sya’ir
Jahiliyyah
BAB VI
51
a. Wazan dan Qafiyah
c. Gaya Bahasa
BAB V
41
76
79
: Penutup
Kesimpulan
89
DAFTAR PUSTAKA
91
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Curriculum Vitae Peneliti
95
B. Penggunaan Anggaran Penelitian Madya
99
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Munculnya Islam di Jazirah Arab – menurut saya – diakui atau tidak secara
tidak langsung telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak
perlu terjadi. Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa
zaman Jahiliyah adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa
islam adalah masa peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa
adanya rantai peradaban sebelumnya.
Hitam putih kehidupan sebelum dan sesudah Islam ini selalu menjadi
wacana yang menarik bagi mereka yang menaruh “perhatian” terhadap Islam. Maka
ketika istilah Jahiliyah diperbincangkan, kesan pertama yang mungkin muncul
dalam benak sebagian orang adalah sebuah bangsa yang bodoh, barbar dan tidak
berperadaban, sesuai dengan nama yang dilekatkan kepadanya yang identik dengan
kebodohan. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early
Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier1 yang menyatakan
bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar
(barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality). Kata jahil dalam bahasa
1
Dikutip oleh Zafar Alam dari Ignaz Goldziher, Muslim studies, (London: tp, 1967), vol.
1, h. 203. Sebagai informasi, Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah seorang orientalis Yahudi yang
lahir di Hungaria. Ia adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas
al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri 'tallaqi' dengan beberapa ulama Al-Azhar, bahkan
ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia
dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Pendidikan
S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh
pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Arminius
Vambery adalah orang yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius
Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme,
untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Pemikiran Goldziher yang
sangat kontroversi di antaranya adalah penolakannya terhadap kebenaran Hadits. Baginya hadits itu
tidak ada yang otentik. Sebab, tidak ada bukti empiris yang menunjukan bahwa hadits yang beredar
memang pada awalnya berasal dari Muhammad. Dalam pandangan Goldziher, yang telah terjadi
adalah "back Projection." Maksudnya, para perawi hadits meriwatkan haditsnya dengan mengatas
http://muhnamakan Muhammad, padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu.
ali.blogspot.com/2009/04/ignaz-goldziher-orientalis-penolak.html, rabu, 29 April 2009
1
Arab, menurut Goldzier adalah seseorang yang memiliki watak liar, keras dan
kejam (wild, violent and cruel).2
Pernyataan Goldzier tersebut dikutip oleh Zafar dalam salah satu tema
bukunya yang berjudul Education in the Pre-Islamic Arabia (Pendidikan sebelum
masa Arab-Islam).3 Hal ini ia kemukakan tentu saja untuk menguatkan argumennya
tentang betapa berbedanya kehidupan masyarakat sebelum dan sesudah datangnya
Islam, terutama di bidang pendidikan, selain itu juga sebagai informasi bahwa
betapa masa sebelum kenabian Muhammad SAW adalah masa yang sangat bodoh,
sedangkan masa Islam adalah masa yang penuh dengan ilmu dan peradaban.
Ungkapan lain yang menunjukkan betapa buruknya masa Jahiliyah
disampaikan oleh Tahia al-Ismail dalam pernyataannya “Aktifitas-aktifitas manusia
(bangsa Arab) saat itu, terburuk dari antara yang pernah terjadi. Disebut dengan
zaman kegelapan, karena tidak ada secercah cahaya dari sumber semua harapan dan
kasih yang menyentuh bumi. Dunia dicekam kebisuan mutlak.4 Di zaman yang
penuh kekejaman dan gelap ini, wanita, anak-anak, dan budak tidak memperoleh
hak hidup yang seharusnya mereka terima. Mereka hidup dalam kepedihan dan
keputusasaan dari hari ke hari, hingga Allah SWT berbelas hati dengan mengutus
nabi Muhhamad SAW untuk mencabut penderitaan ini”.5 Pernyataan ini
menunjukkan betapa seluruh aspek kehidupan manusia pada masa sebelum
datangnya Islam berada di bawah titik nadir.
Pernyataan di atas mungkin hanya tiga dari sekian banyak orang yang
berasumsi tentang betapa buruknya peradaban bangsa Arab pada masa Jahiliyah.
Goldziher sebagai seorang Orientalis Yahudi, Zafar Alam sebagai seorang Muslim
India, dan Tahia al-Ismail yang bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan kemungkinan besar pemikirannya telah dibaca oleh sekian banyak
masyarakat Indonesia, tentu saja semakin menguatkan asumsi bahwa seluruh aspek
kehidupan manusia pada masa jahiliyah berada pada titik nol atau tanpa peradaban.
2
Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, (Delhi-6: Markazi Maktaba Islami
Publisher, 1997), h. 18
3
Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, h. 13
4
Bagian ini diambil dari terjemahan bebas A. Nasir Budiman dari Tahia al-Ismail, The Life
of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources, (london: Ta-Ha Publishers, 1995), h.
9.
5
Tahia al-Ismail, The Life of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources,
(london: Ta-Ha Publishers, 1995), h. 9
2
Pernyataan Goldziher sebagaimana dikutip oleh Zafar Alam yang
mengatakan bangsa Arab Jahiliyah sebagai bangsa barbar yang liar, keras dan
kejam, mengindikasikan bahwa bangsa Arab sama sekali tidak mengenal nilai-nilai
moralitas dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu saja menimbulkan sebuah
pertanyaan besar, benarkah bangsa Arab Jahiliyah sama sekali tidak menganut
nilai-nilai moralitas kemanusiaan?
Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan
fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni
sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair dalam sejarah
sastra Arab merupakan sebuah karya yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi.
Syair digubah dengan irama yang selaras. Kesempurnaan performa syair Jahiliyah
ini membuat para ahli sejarah sastra Arab sulit menentukan kapan syair Jahiliyah
mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab. Menurut al-Iskandari dkk., biasanya
setiap ilmu atau suatu kreatifitas seni, muncul pertama kalinya dalam
ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan
berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair Jahiliyah sampai ke tangan kita
dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek
wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.6 Syair sebagai karya sastra yang sulit dan
rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab, sebagaimana berkembang
di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi dan Persia yang terkenal
dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.7
Sebelum datangnya agama Islam, syair adalah karya yang sangat digemari
oleh bangsa Arab. Syair bagi bangsa Arab merupakan ruh seluruh aspek kehidupan.
Syair –sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb- adalah pengetahuan
bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.8
Syair bagi masyarakat Arab adalah pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan
mereka.9
6
Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 41
7
8
Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah,
1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, h. 17
9
Hal ini sejalan dengan pernyataan Plato dalam maha karyanya Republic sebagaimana
dikutip oleh Eric A. Havelock menyatakan tentang mitologi puisi bahwa ‘is a going through of what
has happened or is or will be (puisi adalah sebuah kenyatan yang mungkin telah terjadi, sedang
3
Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi,
ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh
masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi. Jika
demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benar-benar tidak
mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu suatu pembuktian dan analisis.
Melalui syair karya Zuhair ibnu abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa
Arab Jahiliyah,10 penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang
terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, baik nilai-nilai
moralitas yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.11
Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut ini contoh syair Zuhair ibn Abi
Sulma yang mengandung nilai-nilai moralitas sosial:
12
‫على قومه يستغن عنه وي ْذ َم ِم‬
ٍ ‫َوَم ْن يَك ذا‬
‫ضلِ ِه‬
ْ ‫ فَيَْب َخ ْل بَِف‬،‫فضل‬
Siapa yang memiliki kelebihan, lalu ia kikir dengan kelebihannya tersebut
kepada kaumnya, niscaya ia akan ditinggalkan dan dicela.
Karya sastra baik puisi maupun prosa biasanya dicipta oleh sang pengarang
bukan tanpa makna. Ada pesan khusus atau amanat yang biasanya ingin
disampaikan oleh penulis menyangkut ide dan pemikirannya tentang kehidupan,
baik yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.13
terjadi, atau akan terjadi). Eric A. Havelock, Preface to Plato, (New York: The Universal Library
Grosset & Dunlap, 1971), h. 236
10
Zuhair ibnu Abi Sulma penyair Arab masa Jahiliyah ayah dari Ka’ab ibnu Zuhair sahabat
Rasul SAW. Semasa hidupnya, ia banyak menggubah syair-syair hikmah yang mengajarkan nilainilai moralitas kemananusiaan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada.
11
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan panldangan hidup pengarang dan
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan ini
biasanya berbentuk petunjuk tentang hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti
sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h, 321
12
Ali Fâ’ûr, Diwan Zuhair ibnuAbi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424
H/2003 M), h. 110
13
Menurut Burhan Nurgiyantoro, karya sastra digunakan untuk menyampaikan pesan
dengan pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi akan sangat berbeda
efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi. Unsur imajinasi, emosi, serta gaya bahasa yang
mewarnai karya sastra, terkadang lebih mengena untuk dijadikan sebagai media informasi dan
penyampai pesan, jika dibanding dengan menggunakan gaya bahasa yang bersifat ilmiah. Burhan
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2010), cet. Ke8, h. 321
4
Pada bait syair di atas, tampak jelas pesan moral yang ingin disampaikan
oleh penyair, yaitu anjuran agar seseorang tidak bersifat kikir pada sesama,
terutama bagi mereka yang memiliki kelebihan. Kata fadl dalam kamus Lisan al‘Arab adalah lawan kata dari naqs (kurang) atau dengan kata lain kelebihan. Kata
fadl juga sama dengan kata fadîlah yang mengandung arti derajat yang tinggi.14
Diksi yang digunakan penyair tersebut jelas menyatakan bahwa kelebihan yang
harus dibagikan ke sesama itu bukan sebatas harta, namun lebih luas lagi, yakni
mencakup kelebihan dalam berbagai hal. Namun biasanya hal yang paling umum
yang terkait dengan kata bakhil adalah harta. Berdasarkan hal tersebut, jelas sekali
bahwa konsep dasar filantropi sosial sesungguhnya telah ada sejak zaman Jahiliyah.
Selain anjuran untuk bersifat dermawan, penyair selanjutnya juga
mengingatkan masyarakat dengan sanksi sosial yang mungkin diterima oleh
seseorang yang diberi kelebihan namun kikir. Ada dua sanksi yang disebutkan
penyair sebagai konsekuensi kekikiran, pertama ia tidak lagi dibutuhkan orang
(yustagna ‘anhu). Hal ini berarti ia akan dijauhi oleh komunitasnya sendiri. Kedua,
ia akan mendapat celaan atau gunjingan (yudzmam) dari masyarakat sebagai bentuk
sanksi moral. Jika demikian, lalu di manakah perbedaan nilai-nilai moralitas Islam
dan Jahiliyah?
Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah makhluk yang mulia (fî ahsan
taqwîm), (QS 95:4) diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam
diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan
kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun (QS 2:30; QS
18:50). Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai
khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di
muka bumi (QS 33:72). Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga
diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan
kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral. Lalu di mana letak kekurangan
bangsa Arab Jahiliyah?
Pertanyaan-pertanyaan yang melengkapi hampir setiap paragraf yang
penulis sajikan ini, perlu suatu pembahasan yang mendalam, sehingga terjawab
secara meyakinkan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas secara umum
14
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sâdir, 1410 H/1990 M), jilid 11, h. 524
5
dan bagaimana pula sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, melalui pendekatan strukturalis genetik ini, penulis
bermaksud mengadakan sebuah penelitian tentang: TINJAUAN ISLAM
TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH
KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA.
B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua permasalahan yang
menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Nilai-nilai moralitas apa yang terkandung dalam syair-syair hikmah
Zuhair Ibnu Abi Sulma menurut sudut pandang teori strukturalis
genetik?
2. Bagaimanakah sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang
dikemukakan oleh Zuhair ibnu Abi Sulma?
C. Hipotesis
Berdasarkan pengamatan sementara, terdapat dua hipotesa dalam penelitian
ini:
1. Adanya hubungan yang sangat kuat antara teks-teks syair yang digubah
oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma dengan kehidupan sosial masyarakat Arab
Jahiliyah dan memberi pengaruh terhadap nilai-nilai keIslaman.
2.
Pesan moral (amanat) yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair
Ibnu Abi Sulma mengandung nilai-nilai moralitas universal yang bisa
dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial umat manusia.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengungkap pesan moral atau nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam
syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma.
2. Mengetahui sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang
diajarkan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma, baik dalam kehidupan sosial,
politik maupun agama.
6
E. Metode Penelitian
Unsur Ekstrinsik:
biografi pengarang
sejarah
sosial budaya politik
ekonomi, dll
Strukturalis
Genetik
Intrinsik:
tema
performa
gaya bahasa
amanat /pesan
Unsur
Pembangun
Karya Sastra
(Prosa/puisi)
Skema di atas menggambarkan unsur pembangun karya sastra, yang tidak
terlepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik yang menjadi landasan teori strukturalis
genetik sebagai alat analisis penelitian ini.
Kajian strukturalis genetik adalah penelitian yang memandang karya sastra
dari dua unsur, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik.15 Unsur instrinsik adalah unsur
dalam atau batin yang membangun suatu karya sastra.16 Unsur intrinsik prosa dalam
beberapa hal tentu berbeda dengan unsur intrinsik puisi. Sebagai contoh, unsur
intrinsik novel terdiri dari tema, alur, setting, penokohan dan perwatakan, latar,
struktur, dan amanat (pesan moral). Sedangkan unsur intrinsik puisi terdiri dari
tema, rima, irama, tipografi, amanat, gaya bahasa, dan lain sebagainya sesuai
dengan karakteristik bahasa dan sastra yang digunakan.17 Adapun unsur ekstrinsik
sastra adalah unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra,
seperti biografi pengarang, sejarah, dan budaya.18
Menurut teori strukturalis genetik, karya sastra tidak bisa berdiri sendiri
tanpa adanya saling keterkaitan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pesan moral
15
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2004), cet. 2, h. 56
16
Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 89
17
Dalam sastra Arab, unsur intrinsik puisi selain isi juga wazan dan qafiyah.
18
Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, h. 67
7
atau juga terkadang disebut dengan istilah amanat dalam teori sastra termasuk pada
unsur intrinsik. Oleh karena itu, kajian tentang nilai-nilai moralitas dalam syair
masuk pada kajian intrinsik sastra. Namun demikian, kajian ini tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari unsur biografi penyair, sejarah dan budaya yang melatarbelakangi
lahirnya syair-syair tersebut. Oleh karena itu, penulis menganggap metode
strukturalis genetik adalah metode yang tepat untuk penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian akan dilakukan berdasarkan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab 1, Pendahuluan, meliputi latar, latar belakang masalah, permasalahan
penelitian, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat dan kegunaan penelitian, landasan
teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2, metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis, yaitu teori
strukturalis genetik dalam kajian sastra, meliputi kajian tentang unsur intrinsik dan
ekstrinsik sastra, pesan moral (amanat) dalam sastra, dan pesan moral (risalah aladab) dalam sastra Islam.
Bab 3, latar belakang sosial budaya bangsa Arab Pra Islam, meliputi adat
dan tradisi bangsa Arab Pra Islam, moralitas umum bangsa Arab Pra Islam, peran
sastra dalam kehidupan sosial bangsa Arab Pra Islam.
Bab 4, berbicara tentang sosok Zuhair Ibn Abi Sulma, meliputi riwayat
hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma serta perannya dalam sastra Arab.
Bab 5, analisis nilai-nilai moralitas dalam syair Zuhair Ibn Abi Sulma,
termasuk di dalamnya nilai-nilai etika dan estetika sosial bangsa Arab, nilai-nilai
moralitas agama atau ideology bangsa Arab, nilai-nilai moralitas politik bangsa
Arab, serta sudut pandang Islam Terhadap nilai-nilai moralitas tersebut.
Bab 6, penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran penulis.
8
BAB II
STRUKTURALIS GENETIK DALAM KAJIAN SASTRA
A. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra
Ketika berbicara tentang teori strukturalis genetik, berarti kita sedang
membahas 2 (dua) unsur yang membangun sebuah karya sastra yang satu sama lain
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsic adalah unsur-unsur yang membangun ciptasastra dari dalam19, atau dengan
kata lain struktur dalam yang membangun sebuah karangan.20 Di dalam kajian
sastra Arab disebut dengan al-anâshir al-dâkhiliyyah. Adapun unsur ektrinsik
adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses penciptaan suatu karya sastra,
seperti
faktor
social,
politik,
ekonomi,
pendidikan,
agama
dan
lain
sebagainya.21Dalam Bahasa Arab disebut dengan al-anâshir al-khârijiyyah.
a. Definisi puisi dan syair
Secara umum, teori-teori sastra pada dasarnya adalah sama, namun
demikian setiap bangsa, memiliki karya sastra dengan karakteristik tersendiri yang
tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis
tidak akanlepas dari konteks sastra Arab, baik dari segi teori maupun analisis.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kajian ini terkait dengan unsur
dalam dan luar sebuah karya sastra. Untuk memahami kedua unsur tersebut, perlu
dipahami terlebih dahulu pengertian puisi dan syair Arab. Ada banyak definisi puisi
yang dikutip oleh Hanry Tarigan dalam bukunya Prinsip-prinsip Dasar Sastra, di
antaranya dari Watts-Dunton yang mendefinisikan puisi (poetry) sebagai “ekspresi
yang konkrit dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam Bahasa emosional dan
berirama”. Definisi yang lebih sempit dikutip Tarigan dari Ensiklopedi Indonesia
N-Z yang menyatakan bahwa puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya
disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan katakata kiasan.22
19
Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, Bandung: Angkasa, 2000, h.
20
20
Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, Bandung: Angkasa, 2007, h. 359
Lihat Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 20
22
Berbagai definisi puisi dengan segala perbedaannya lih. Henry Guntur Tarigan, Prinsipprinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984, h. 3-8
21
9
Selain kata puisi, dalam sastra Indonesia juga mengenal istilah syair. Kata
syair yang ada dalam Bahasa Indonesia, sesungguhnya merupakan serapan dari kata
al-syi’r yang ada dalam sastra Arab. Namun untuk memudahkan penyebutan,
penulis menggunakan kata syair dalam kajian ini. Definisi syair yang paling
terkenal adalah al-kalam al-mauzun al-muqaffa yaitu untaian kata yang berpola
(mauzun) dan berirama (muqaffa).23 Menurut Ahmad al-Iskandari dkk, ada 2 (dua)
unsur yang melekat dalam syair, pertama mempengaruhi rasa, kedua menggunakan
pola-pola khusus (wazan). Berdasarkan hal tersebut, definisi syair yang paling
dekat adalah untaian kata (kalam) berpola dan berirama bersumber dari rasa dan
mempengaruhi perasaan.24
b. Unsur-unsur intrinsik puisi dan syair
Secara umum, unsur intrinsik puisi dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu isi
dan bentuk. Ada juga yang menyebutnya dengan struktur dalam untuk isi dan
struktur luar untuk bentuk.Kandungan puisi terkait erat dengan diksi atau pilihan
kata yang digunakan oleh penyair agar pesan atau amanat yang ingin disampaikan
oleh penyair sampai kepada audiens. Oleh karena itu, secara singkat yang dimaksud
dengan struktur dalam puisi adalah pesan atau makna imajinatif, makna emosional
(perasaan), dan makna logis dari sebuah puisi.25
Isi puisi adalah tema dan amanat. Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran
dan menjadi persoalan bagi pengarang. Tema merupakan persoalan yang
diungkapkan dalam sebuah karya sastra.
Ia masih bersifat netral dan belum
memiliki tendensi. Pemecahan masalah yang ada dalam tema dinamakan dengan
amanat. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat
dapat diungkapkan secara eksplisit ataupun implisit.26
Adapun yang termasuk ke dalam struktur luar atau bentukpuisi yaitu
musikalitas, korespondensi dan gaya Bahasa. Unsur musikalitas adalah unsur
bunyi, irama, atau music dari sebuah puisi. Korespondensi adalah hubungan antara
satu larik dengan larik lainnya. Gaya Bahasa adalah Bahasa yang digunakan oleh
23
Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al-Ma’arif,
24
Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi Tarikh al-Adab al-Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, h.
25
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 8-15
Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 22
tth, h. 42
38
26
10
pengarang untuk mengekspresikan imajinasi dan emosinya saat menggubah puisi
agar mampu mempengaruhi pembacanya. Gaya Bahasa yang banyak digunakan
dalam puisi di antaranya, metafora, personifikasi, paradoks, simbolik dan
hiperbola.27
Henry Tarigan lebih suka menyebut unsur intrinsik puisi ini dengan istilah
hakekat puisi. Menurut I.A Richards, sebagaimana dikutip oleh Tarigan dari
Morris, hakekat puisi ada 4 (empat), yaitu:
1. Tema; makna (sense);
2. Rasa (feeling);
3. Nada (tone); dan
4. Amanat;tujuan; maksud (intension)28
Lalu bagaimanakah dengan struktur pembangun syair Arab? Apakah sama
dengan puisi? Pada hakekatnya, baik puisi maupun syair Arab, secara umum
memiliki unsur pembangun yang sama. Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inani
menyebutkan sebanyak 4 (empat) unsur pembangun syair, yaitu:
1. Agradh, yaitu tujuan. Tujuan ini mirip dengan tema dalam struktur puisi.
Ada beberapa tema yang digemari oleh penyair Arab, di antaranya nasib29,
fakhr30, madh31, ritsa32, hija’33, I’tidzar34, washf35, dan hikmah36.
27
Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 24-25
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, h. 9-10
29
Syair yang dibuat untuk memuji perempuan secara khusus dengan segala kebaikannya,
dan mengenang kebersamaan dengannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, h. 46
30
Syair yang dibuat untuk membanggakan diri, kelompok, keluarga, kabilah, dan lainnya.
Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 47
31
Syair yang dibuat untuk memuji seseorang atau kelompok, dari keberaniannya,
kedermawanannya, dan kebaikan lainnya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, h. 48
32
Syair yang dibuat untuk meratapi dan menangisi seseorang atau kelompok saat
mendapatkan musibah. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48
33
Syair yang digunakan untuk menghina dan mengejek seseorang atau kelompok dengan
mengungkapkan keburukan-keburukannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa
Tarikhihi, h. 48
34
Syair yang digunakan untuk memohon maaf atau pengampunan kepada seseorang atau
kelompok. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48
35
Syair yang digunakan untuk menggambar suatu hal atau peristiwa. Ahmad al-Iskandari,
al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48
36
Syair yang digunakan untuk menasihati dan mengajarkan nilai-nilai kebajikan. Melalui
syair ta’lim dan hikmah inilah biasanya nilai-nilai moralitas disampaikan oleh penyair dengan
Bahasa yang indah, menarik, dan menyentuh. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi
wa Tarikhihi, h.16
28
11
2. Ma’ani wa akhilah. Ma’ani adalah makna, sedangkan akhilah atau khayal
adalah imajinasi. Ma’ani dalam puisi sama dengan kandungan atau amanat
yang ingin disampaikan oleh penyair. Sedangkan khayal erat hubungannya
dengan unsur yang ketiga yaitu gaya Bahasa.
3. Uslub wa alfazh. Uslub adalah gaya bahasa, sedangkan alfazh adalah diksi
atau pilihan kata. Gaya Bahasa dan diksi erat kaitannya dengan imajinasi.
Imajinasi dalam syair biasanya disampaikan dengan gaya bahasa khas,
seperti menggunakan isti’arah (metafora), tasybih (perumpamaan), majas
dan kinayah. Pemilihan kata yang tepat dan juga gaya Bahasa yang indah
dalam syair, mampu mempengaruhi emosi dan perasaan pendengarnya.
4. Wazan dan qâfiyah. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait
syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.37Wazan
dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentukbentuk pola irama yang membentuk corak musik yang beranekaragam
dalam syair Arab.38Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan
irama musik.39Adapun qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang
dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf
mati yang ada di antara keduanya.40Abdurridha Ali mendefinisikan qafiyah
secara modern, yaitu bunyi-bunyian yang membentuk irama musik yang
didendangkan oleh penyair di bait pertama dan diulang kembali pada akhir
bait.41Wazan dan qafiyah yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan istilah rhyme dan metre42atau dalam bahasa Indonesia
disebut dengan rima dan matra.Berdasarkan hal tersebut wazan dan qafiyah
pada dasarnya masuk ke dalam struktur luar atau bentuk yang dalam puisi
yang disebut dengan irama atau nada.
. al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458
. Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, hal. 50
39
Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya
oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah (Irama syair Arab:
Klasik dan modern)
40
al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, h.
41
Abduridho Ali, Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah, Oman: Dar al-Syuruq,
1997, h. 168
42
. lih. Roger Allen, an Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press,
2004, 74
37
38
12
Istilah-istilah yang terdapat pada wazan dan qafiyah tersebut, selanjutnya
turut menentukan jenis dan corak syair Arab dari aspek bentuk. Untuk itu, syair
Arab dari segi bentuk terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu:
1. Syair multazim (klasik/tradisional), yaitu syair yang terikat dengan aturan
wazan dan qâfiyah.
2. Syair mursal atau muthlaq,yaitu syair yang terikat dengan satuan irama atau
taf’ilah, namun tidak terikat oleh wazan dan qafiyah.
. Sebagai contoh, syi’ir Ahmad Faris al-Syidyaq berikut ini:
‫وصل ميضى كأمنا هو ساعة‬
ِ ‫ساعة البعد‬
ْ‫عنك شهر وعام ال‬
ِ ‫وت نَ ِجمى لِنجوٍم ِذى تَ ْفلِي‬
‫ك‬
ْ ْ ْ
َ
ْ
‫صباَبَة‬
َ ‫أَتَنَجم اللْي َل الط ِويْ َل‬
ِ ‫ي َذكِ ِرِن الْب ْدر املنري حمي‬
‫ك‬
َ ْ
ِ
ِ ‫وََْيفق ِم ِّن الْ َق ْل‬
َ‫الصبا‬
َ ‫ب إِ ْن َهبت‬
َ
43
Rangkaian syi’ir tersebut terdiri dari, bait pertama berdasarkan pada bahr
khafif, bait kedua bahr kamil, dan bait ketiga adalah bahr thawil.
3. Syair mantsûr atau syair hurr (puisi bebas), yaitu syair yang bebas dari
segala bentuk kaidah ilmu arudl.Syair kontemporer banyak menggunakan
metode ini dalam penggubahannya. Corak ini saat ini sangat digemari dan
dianggap lebih mudah karena tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu
seperti ilmu Arudh, atau bahkan taf’ilah sekalipun. Selain itu, karena tidak
adanya aturan dalam bentuk, syair ini lebih demokratis dan akomodatif
dalam mengilustrasikan kata-kata. Namun demikian syair dalam bentuk ini
terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari syair Arab, karena sudah
terkontaminasi
oleh
sastra
Barat,
dan
dianggap
ikut
berperan
menghilangkan karakteristik syair Arab murni yang menjadi ciri khas
bangsa Arab. Contohnya syair kontemporer karya Qassim Haddad berikut
ini:
43
. al-Mu’jam al-Mufashshal fi Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa funun al-Syi’r, hal. 286
13
‫فدخلت‬...
‫دخلت وسرت مجيع األوقات معا‬
‫وشعرت بأِن بدء مل يبدأ‬
‫صرت نطفة‬
‫سرت جنينا طفال‬
‫ورجال الكهل الشائخ سرت‬
‫كأِن مل أولد بعد‬
44
.....
Syair tersebut tampak jelas, sudah membebaskan diri dari segala ikatan syair
klasik dan syair mursal, dan tidak ada bedanya dengan puisi-puisi di negara lain,
selain bahasanya.
Demikianlah beberapa pembahasan yang terkait dengan unsur-unsur
intrinsik dalam puisi atau syair. Di dalam kajian strukturalis genetic, unsur-unsur
intrinsic tersebut merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan di samping
unsur-unsur ekstrinsik.
c. Unsur ekstrinsik sastra
Sebagaimana disebut di atas, bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur
luar yang mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra, seperti social,
politik, ekonomi, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Namun
demikian, menurut mursal esten, bila kajian terlalu menekankan pada unsur
ekstrinsik, tidak lagi disebut dengan kajian sastra, tetapi berubah menjadi kajian
politik, ekonomi, social, dan lain sebagainnya.
Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia disebutkan bahwa unsur ekstrinsik
karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik utama dan
unsur ekstrinsik penunjang. Unsur ekstrinsik utama adalah pengarang. Dari unsur
pengarang, sebuah karya sastra dapat ditelusuri hal-hal yang berkaitan dengan
kepekaan, imajinasi, inteletualitas, dan pandangan hidup pengarang. Adapun unsur
ekstrinsik penunjang yaitu norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya,
44
. data diperoleh dari http: www. Jehat al-syi’r
14
konvensi sastra, dan konvensi Bahasa. Kedua unsur ekstrinsik tersebut dapat
ditelusuri melalui karya sastra.45
d. Posisi strukturalis genetik
Setelah penulis membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, lalu
apa sebenarnya yang dimaksud dengan strukturalis genetik, dan apa hubungannya
dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra?
Secara bahasa struktur berarti bangun, bentuk, desain, konstruksi, format,
gatra, rupa, system, tata, wujud, komposisi, morfologi, susunan, tekstur.46 Keunikan
yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik karya sastra -sebagaimana telah dibahas
sebelumnya- menarik perhatian para peneliti, sehingga lahirlah teori strukturalisme
(al-bina’iyyah). Sebuah teori yang memandang bahwa kritik sastra harus berpusat
pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan
pembaca sebagai penikmat, maupun usur-unsur ekstrinsik lainnya, seperti biografi,
psikologi, sosiologi dan sejarah yang mempengaruhinya.47
Kritik sastra structural adalah kritik objektif yang menekankan aspek
instrinsik karya sastra. Untuk itu yang menentukan nilai estetika sebuah karya sastra
tidak sebatas keindahan Bahasa, namun juga relasi antar unsur intrinsic. Unsurunsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari unsur-unsur.
Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, gaya Bahasa, dan amanat. Sedangkan puisi
terdiri dari tema, gaya Bahasa, imajinasi, ritme atau irama, rima, diksi, symbol, dan
amanat. Semua unsur tersebut dari kacamata teori strukturalisme terjalin satu
dengan yang lainnya dengan rapi dan memiliki interrelasi dan saling
ketergantungan.48
Terfokusnya kritik sastra pada unsur-unsur intrinsik, memicu munculnya
teori baru yang merasa tidak puas dengan teori strukturalis. Teori strukturalis
dianggap tidak memperdulikan unsur-unsur lain yang mempengaruhi lahirnya
sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, geografi, sejarah, serta aspek-aspek
social lainnya.
45
Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, h. 245
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 613
47
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2009), h. 183
48
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 184
46
15
Kekurangan yang terdapat pada teori strukturalisme murni ini, memicu
lahirnya teori-teori strukturalisme revisi di antaranya muncul dari sosiolog Marxis
Lucien Goldman dan George Lukacs yang mengembangkan teori baru yang disebut
dengan strukturalis genetic, yaitu strukturalisme yang berorientasi pada unsur
genetic (social) yang mempengaruhi lahirnya karya sastra. Dengan demikian,
strukturalisme genetic menjadi suatu teori kritik yang menghubungkan struktur
sastra dengan struktur masyarakat melalui ideology atau cara pandang yang
diekspresikan, baik yang berbentuk gagasan-gagasan, inspirasi, dan perasaanperasaan yang menyatukan anggota kelompok social tertentu, sebagai hasil dari
situasi social, politik dan ekonomi yang dihadapi secara kolektif. Ideology yang
berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.49Dr. Wa’il Sayyid Abdurrahim
menyebut istilah strukturalis genetik dalam Bahasa Arab dengan al-bunyawiyah altakwiniyyah.50
Ada 3 hal yang membedakan strukturalisme genetic dengan kritik sosiologi
sastra. Strukturalisme genetic harus meliputi 3 hal, yaitu aspek intrinsic teks sastra,
latar belakang pencipta, dan latar belakang social budaya dan sejarah masyarakat
saat lahirnya karya sastra. Di sisi lain, sosiologi sastra tidak mementingkan kajian
unsur-unsur intrinsic. 51
Penelitian strukturalis genetik, memandang karya sastra dari dua sudut
pandang, yaitu intrinsic dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur instrinsik
sebagai data dasar. Selanjutnya, unsur intrinsic tersebut dihubungkan dengan
dengan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya yang merupakan realitas
dari masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir.
Menurut Suwardi Endraswara, karya sastra dipandang sebagai sebuah
refleksi jaman yang dapat mengungkapkan aspek social, budaya, politik ekonomi,
dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman lahirnya karya
Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon:
Darul ilmi wa al- Iman, 2009, h. 86. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h.
188
50
Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, h. 86
51
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, h. 188
49
16
sastra tersebut akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsic karya
sastra.52
Itulah sekilas pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra
serta posisi teori strukturalis genetik dalam kritik sastra. Teori ini selanjutnya akan
digunakan untuk mengkaji syair hikmah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, dari sudut
pandang nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya.
B. Makna Nilai-nilai Moralitas
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa amanat (pesan moral)dalam
karya sastra sebagai bagian dari instrinsik sastra. Pesan moral atau amanat yang
ingin disampaikan oleh penulis merupakan bagian dari kandungan atau isi karya
sastra yang diharapkan mampu mempengaruhi pembacanya.
Menurut Mursal Esten, ciptasastra yang indah, bukan semata karena
bahasanya yang mengalun-alun dan penuh irama, namun ia harus dilihat secara
keseluruhan dari tema, amanat, maupun strukturnya, serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Menurut Mursal ada beberapa nilai yang harus dimiliki
oleh sebuah ciptasastra, yaitu nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai
yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut satu sama lain saling terkait dan
tidak bisa dipisahkan. Maka sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki
nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Moral bukan sekedar sopan
santun, namun ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal.53
Novel-novel yang ditulis oleh Nawal el- Sa’dawi, misalnya, sarat dengan
pesan moral tentang perjuangan dan upaya kaum perempuan untuk melepaskan diri
dari segala macam bentuk penindasan, dan menyeru kaum laki-laki, bahwa
perempuan adalah makhluk yang sama yang harus diperlakukan dengan adil.
Begitu pula halnya dengan puisi atau syair, kata yang singkat dan padat
sebagai ciri khas puisi, di dalamnya sarat dengan amanat yang ingin disampaikan,
bahkan pada sebagian puisi, amanat tersebut dapat dirasakan dari setiap bait yang
digubah oleh sang penyair.
52
Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,
2004), H. 56
53
Mursal Esten, Kesusteraan: pengantar Teori & Sejarah, h. 7-8
17
Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan nilai dan moralitas perlu dibahas
secara khusus, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis nilai-nilai
moralitas atau amanat yang terkandung dalam syair Zuhair Ibnu Abi Sulma.
a. Pengertian Nilai
Nilai secara bahasa diartikan dengan 1) angka, biji, ponten, skor, kredit,
poin, 2) harga, harkat, kadar, martabat, taraf, bobot, jenis, kualitas, mutu 3) adab,
etik, kultur, norma, pandangan hidup, sila (sangsakerta) 4) arti, makna, faedah,
kegunaan, manfaat, profit. Bernilai berarti: 1) berharga, berfaedah, berguna,
bermanfaat, produktif, 2) berbobot, berkualitas, dan bermutu.54 Secara bahasa, kata
nilai dalam bahasa Arab disebut dengan qiyam sebagai bentuk jamak dari qîmah.
Ibnu Manzhur memaknai qiyam dengan tsaman al-syai bi al-taqwîm atau harga
sesuatu berdasarkan penghargaan.55
Untuk itu, nilai keagamaan menurut KBIH adalah konsep mengenai
penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa
masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan
pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.56
Di dalam bahasa Inggris, nilai disebut dengan value. Secara umum kata
value (nilai) merujuk pada sesuatu yang bernilai atau berharga, bisa berbentuk
objek atau peristiwa, bisa orang atau perbuatan, ide atau kebiasaan. Teori nilai, atau
aksiologi, adalah sebuah pendekatan di mana nilai sebagai kategori umum dijadikan
sebagai obyek utama dalam analisis filosofis pemikiran Barat pada abad 19 yang
kemudian berkembang di abad 20. Di antara para ahli teori nilai terkemuka Bernard
Bosanquet, JNFindlay, Alexius Meinong, dan Max Scheler di Eropa. Alejandro
Korn di Amerika latin, dan C.I. Lewis, Ralph Barton Perry, John Dewey, dan
Stephen Lada di Amerika Serikat.57
Menurut Syatori Isma’il, dalam memahami makna nilai, terbagi ke dalam
tiga kelompok, pertama kelompok yang mengartikan nilai sebagai aturan-aturan
yang dijadikan sebagai tolak ukur, kedua, sesuatu yang tercermin dari tingkah laku
54
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2009, cet. 3, h. 429
55
Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h. 500
56
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 690
57
J. Wentzel Vrede van Huyssteen (editor in Chief), Enchylopedia of Science and Religion,
Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2, h. lih. foto
18
seseorang, dan ketiga pendapat yang menggabungkan keduanya.58 Maka menurut
Ibrahim Ibnu Nasher, al-qiyam (nilai) adalah seperangkat norma atau prinsipprinsip dasar yang luhur yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman perbuatan
mereka dalam menghakimi tindakan lahir dan batin mereka.59
b. Pengertian Moral
Secara bahasa, moral dimaknai dengan: 1) adab, akhlak, budi pekerti, etik,
kehormatan, kejujuran, kesusilaan, pandangan hidup, sila (skt), tata susila, 2) batin,
mental 3) amanat, iktibar (ar), makna, pelajaran, pesan. Bermoral berarti beradab,
berbudi, bersusila, elegan, tahu adat/etiket, sopan. Moralitas mengandung arti
etika, integritas, kebaikan dan kebajikan.60
Dalam bahasa Arab, kata moral disebut dengan akhlaq yang merupakan
bentuk jamak dari kata khuluq.61 Ibnu Manzhur mengartikan kata al-khuluq dengan
al-sajiyyah atau karakter.62 Berdasarkan hal ini, al-Ghazali mendefinisikan kata
akhlak dengan suatu tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa perlu pemikiran
lagi. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi akhlak ke dalam 2 bagian, yaitu akhlak
terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-sayyiah).63
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendefinisikan akhlak dengan sebuah tindakan
yang bersumber dari pengetahuan yang benar, hasrat yang tulus, ekspresi lahir dan
batin, sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan, bermanfaat, serta perkataan yang
benar.64
58
Ahmad Syatori Ismail, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal al-Kutub alMadrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis
for Character Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip Dhiya’uddin Zahir, 1995, h. 18).
59
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,
Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http://www.aljazirah.com/2011/20110924/ar3.htm
60
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 418
61
Kata akhlak dalah bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa arab tanpa ada
perubahan.
62
Ibnu Manzhur, Lisan al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h.86
63
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,
Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Kairo: Maktabah alIman,1996, cet. 1, J. 3, h. 77
64
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,
Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an,
Kairo: Maktabah al-Mutanabbi, tth, h. 144
19
Moral dalam bahasa lain disebut juga dengan etika. Etika adalah cabang
filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai
dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku
hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Menurut Magnis
Suseno, etika adalah ilmu bukan dan bukan sebuah ajaran. Dan yang memberi
norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. 65
Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara
baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuahpetuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan
secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana
manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.
Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut dengan
orang yang tidak bermoral, atau kurang bermoral. Secara singkat kita bisa
menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Purwa
Hadiwardoyo, membagi moral social ke dalam beberapa bagian, yaitu ideology,
politik, ekonomi, social, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan
dan profesi.66
Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas adalah
prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh seseorang dalam
berperilaku.67
c. Ukuran Baik dan Buruk
Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan,
tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau
petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak
dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilakuperilaku yang tidak baik.68
65
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta:
Rineka Cipta, 2002, h. 1
66
Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 74-94
67
Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,
Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building, Jakarta:
Tarjamah
Center,
2013
dikutip
dari
Ibrahim
ibn
Nasher
al-Hamud,
http://www.al.Jazirah.com/2011/20110924/ae3.htm.
68
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 3
20
Lalu apakah ukuran baik dan buruk itu? Dalam filsafat etika, disebutkan
bahwa baik dan buruk diukur dengan standarisasi umum yang berlaku bagi semua
manusia dan tidak hanya berlaku bagi sebagian manusia.
Secara garis besar tolak ukur ini dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori
deontologis dan teleologis. Deontologis mengukur baik buruk suatu perbuatan
menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis
teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang
ditimbulkan.69
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty).
Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak
secara baik. Menurut etika deontology, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan
dibenarkan berdasarkan akibat dan tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan
sebagai tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.70
Etika teleologis justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan
tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat
yang ditimbulkannya baik.71
Karena teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat, maka
teori ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut
aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi
kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini
disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan,
menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari
segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.72
Kalau egoism menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik
atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai
baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu
bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan
universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna
69
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 68
71
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72
72
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76
70
21
bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan
dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan
kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan
memperbesar manfaat. 73
Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat
memberikan kebaikan kepada orang banyak.74
Menurut Burhanudin Salam, pada dasarnya antara etika dan agama terdapat
titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya:
-
Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan
meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan
perbuatan baik dan buruk.
-
Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak
memaksa.75
Adapun perbedaannya adalah:
-
Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan
segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika
bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian.
-
Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua
kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia.
Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat.
Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di
alam fana ini.
-
Agama (islam) sumbernya dari Allah SWT, sedangkan etika dengan
segala macam dan jenisnya bersumber dari pemikiran manusia (sesuai
aliran masing-masing).
-
Ajaran agama dapat melengkapi dan memperkuat ajaran etika, tetapi
tidak semua ajaran dan pandangan etika, dapat diterima oleh agama.
73
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79
75
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183
74
22
Maka semua manusia yang beragama (islam) dengan sendirinya mengerti
soal-soal etika/moral, tetapi yang mempelajari etika sebagai suatu ilmu/filsafat,
belum tentu beragama.76
Aliran relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan
terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Aliran yang menyakini bahwa
sesuatu (misalnya pengetahuan atau moralitas) bersifat relative terhadap prinsip
tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu adalah benar atau paling benar. Aliran ini
terbagi dua, yaitu relativisme kognitif dan relativisme etika. Relativisme kognitif
adalah pandangan yang menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau
pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran,
karena ia tidak memiliki sifat intrinsic dan tidak ada seperangkat norma epistemic
yang secara metafisis lebih istimewa dari yang lain.77
Adapun yang dimaksud dengan relativisme etika adalah pandangan bahwa
tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral
bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu.78
Relativisme etika terbagi ke dalam relativisme individual dan relativisme
social. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap individu berhak
menentukan kaidah moralnya sendiri. Sedangkan relativisme social adalah
pandangan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya
sendiri. Donaldson, sebagaimana dikutip oleh M. A Shomali menyatakan bahwa
kebanaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Fieser
sebagaimana dikutip oleh M.A Shomali mengatakan bahwa relativisme moral
adalah pandangan bahwa norma-norma moral bersumber dari persetujuan social
yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain.79
Lawan dari teori relativisme etika adalah absolutism etika, suatu pandangan
yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal. Sebagaimana
dikutip dari Pojman, Sebagian lain memilih istilah objektivisme etika sebagai lawan
dari relativisme etika. Objektivisme etika menekankan bahwa meski berbagai
budaya berbeda-beda dalam prinsip moralnya, namun demikian beberapa prinsip
76
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 184
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999, h. 1
78
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 33 dari Pojman
79
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 35 dari Fieser
77
23
moral memiliki validitas universal, sekalipun misalnya, sebuah budaya tidak
mengakui kewajiban mencegah kejahatan yang tidak beralasan, prinsip itu benar,
dan budaya tersebut harus mengikutinya.80
Secara umum konsep-konsep moralitas dapat diukur dari:
1. Apakah tindakan ini baik atau buruk?
2. Apakah perbuatan ini benar atau salah?
3. Apakah perbuatan ini harus dilakukan atau tidak?
Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan, teori strukturalis
genetik, dan nilai-nilai moralitas. Teori-teori ini oleh penulis akan dijadikan sebagai
landasan dalam menganalisis syair-syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma
dari sudut pandang nilai-nilai moralitas. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai
moralitas pada masa Jahiliyyah yang tercermin dalam syair-syair Zuhair, apakah
mencerminkan moralitas deontologis ataukah teleologis. Lalu sejauh mana, unsurunsur ekstrinsik mempengaruhi terhadap penciptaan syair Zuhair yang terlahir pada
masa Jahiliyah, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masa yang tidak
bermoral.
80
Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 38-39
24
BAB III
ZUHAIR IBN ABI SULMA: RIWAYAT HIDUP, SYAIR DAN
STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYAH
A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma
Zuhair ibnu Abi Sulma termasuk ke dalam tokoh sastrawan Arab Jahiliyah
periode awal bersama dengan Imru al-Qais81 dan al-Nabighah al-Dzubyani82. Nama
lengkapnya adalah Zuhair Ibnu Abi Sulma al-Muzani Ibnu Rabi’ah ibnu Abi
Rabbah ibn Qurth ibn al-Harits ibn Mazin ibn Halawah ibn Tsa’labah ibn Tsaur ibn
Hirmah ibn Lathim ibn ‘Utsman ibn ‘Amr ibn ‘Id ibn Thabikhah ibn al-Yas. Ia
dinasabkan pada Muzainah binti Ka’ab ibnu Rabwah ibu ‘Amr ibnu Ad, salah
seorang nenek kabilah Rabi’ah dari pihak bapak. Kabilah Zuhair dinasabkan pada
neneknya dan dinamakan dengan nama tersebut.83
Buku-buku sejarah sastra klasik, maupun penelitian-penelitian terbaru tidak
banyak menceritakan tentang kehidupan Zuhair kecil, selain bahwa ia hidup dan
tinggal di lingkungan Bani Abdillah ibnu Ghathfan dan paman-pamannya dari Bani
Murrah kabilah Dzubyan. Zuhair tumbuh berkembang di bawah pemeliharaan
pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadîrseorang penyair hebat sekaligus
pemimpin yang dihormati lagi kaya. Basyamah termasuk salah seorang hartawan
Jahiliyyah yang mampu mencungkil mata unta, salah satu tradisi bangsa Arab
Jahiliyyah bila seseorang sudah memiliki seribu unta sebagai simbol bahwa ia
Nama lengkapnya yaitu ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn
Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar (yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn
Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais
lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau
raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid,
Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki
penyakit kulit (lepra) menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; alMalik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 17
82
Ia adalah Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama alNâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân. Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi alAdab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143
83
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma
Hayatuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990 M), h. 31
81
25
seorang yang kaya. Saat meninggal dunia, Basyamah mewariskan kemuliaan dan
akhlak yang baik kepada Zuhair, di samping keahlian dalam menggubah syair. 84
Selain dari pamannya Basyamah, kepandaianZuhair dalam menggubah
syair juga diperoleh dari suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar seorang
penyair yang sangat terkenal dan menjadi guru sejumlah penyair pada masa itu
seperti al-Nabighah al-Dzubyani. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zuhair
menarik perhatian Aus, sehingga ia memberikan perhatian lebih pada Zuhair, dan
Zuhair banyak mengambil pelajaran syair yang bagus darinya.85
Zuhair menikah dengan seorang perempuan mulia bernama Laila yang
dijuluki dengan Ummu Aufa. Dari Ummu Aufa, Zuhair dianugerahi beberapa anak,
namun semuanya meninggal saat masih kecil. Keinginannya untuk mendapatkan
keturunan, memaksa dia menikah kembali dengan seorang perempuan bernama
Kabsyah binti Umâr ibnu Sahîm dari Bani Abdillah ibnu Ghatfan. Darinya, Zuhair
dianugerahi tiga orang putra yaitu Ka’ab, Buhair, dan Salim. Salim putranya yang
ketiga meninggal saat kanak-kanak, semasa Zuhair masih hidup.86
Namun demikian, Kabsyah istri barunya tersebut kurang cerdas dan senang
dipuji, sehingga Zuhair merasa jemu dan ingin kembali pada istri pertamanya
Ummu Aufa yang selalu memperlakukannya dengan baik. Sayang, Ummu Aufa
menolak permohonan Zuhair untuk kembali bersatu, karena ia merasa telah
diduakan.87
Zuhair terkenal sebagai pribadi yang kaya raya dan dermawan. Ia juga
meyakini akan adanya hari kebangkitan dan juga hisab. Hal ini tampak dalam syairsyairnya yang fenomenal.
B. Syair-syair Zuhair
Bila dipertanyakan, mengapa Zuhair bisa menjadi seorang penyair yang
hebat saat itu. Jawabannya, tentu saja karena Zuhair tumbuh di sebuah rumah yang
diliputi aura syair.Ayahnya yang bernama Rabi’ah ibnu Rabah adalah seorang
penyair. Demikian pula pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadir dan
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 33. Ahmad
al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif,
1916), cet.16, h. 69
85
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34
86
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34
87
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 35
84
26
juga suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar, keduanya merupakan penyair
Jahiliyah yang terkenal. Selain itu, kedua saudara perempuannya, yaitu Salma dan
al-Khansa, keduanya penyair perempuan yang terkenal saat itu. Zuhair juga
dikaruniai dua orang anak laki-laki yang juga menjadi penyair terkenal hingga masa
Islam, yakni Ka’ab dan Bajirah. Dan lingkungan seperti ini tidak dimiliki penyair
lain semasanya.88
Terkait syair-syair Zuhair, Umar Ibn al-Khathab mengatakan: “ Zuhair
adalah seorang penyair yang tidak bertele-tele dalam ungkapannya, menghindari
syair-syair yang rumit, dan tidak memuji kecuali apa adanya.89
a. Tema-tema (aghrad) dalam syair Zuhair
Muhammad Yusuf Farran, menyebutkan sebanyak 5 (lima) tema yang ada
dalam syair-syair Zuhair, yaitu ghazal, washaf, madh, ritsa, hija, dan hikmah.
Ghazal adalah syair yang secara khusus ditujukan untuk memuji dan menyanjung
perempuan, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan penyair dengan perempuan
yang dicintainya, tempat-tempat yang pernah mereka lalui bersama, dan lain
sebagainya. Contoh syair ghazal Zuhair:
92
‫ ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم‬90‫ِأمن أم أ َْو َف‬
‫ فاملتثلم‬91‫حبومانة الدر ِاج‬
Tidak adakah jejak-jejak Ummi Aufa, (mengapa) tidak berbicara
(jejak-jejaknya) di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam
ِ
‫ص ِم‬
َ ‫مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع‬
‫ كأهنا‬93‫ديار هلا بالرقمتني‬
ٌ
perkampungannya yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan
Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005
M/1426 H), h. 42. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 37
89
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 47 dari kitab
al-Aghani dan al-Umdah.
90
Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair (mantan istri Zuhair). Lih. Riwayat Hidup
Zuhair Bab IV.
91
Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan
Mekah dekat al-Waqba.
92
Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al-A’rabi alMutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah (Mu’jam al-Buldan, jilid
5, h. 53). ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102
93
Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah
tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad (Mu’jam al-Buldan,
jilid 3, h. 58)
88
27
Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan94
‫هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة‬
‫ينهض َن من كل ََْمثَ ِم‬
ْ ‫وأطالؤها‬
Di dalamnya sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang
dan anak-anaknya terperanjat dari tidur
‫َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة‬
‫فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم‬
Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu
dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini
ِ ‫ونؤيا‬
‫كجذم احلوض مل يتثل ِم‬
‫أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل‬
(kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir
Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil
ِ
‫اسلَ ِم‬
ْ ‫الربْع و‬
َ ‫أال أَنْع ْم صباحا أيها‬
‫فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها‬
Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya
Selamat pagi wahai penghuni rumah..
‫حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث‬
‫تبصر خليلي هل ترى من ظغائن‬
Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedupsekedup
Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum95
b. Gaya bahasa Syair Zuhair
Dalam menggubah syairnya, Zuhair banyak menggunakan tasybih
(perumpamaan), isti’arah (metafora), dan majas melalui hal-hal yang bersifat
konkrit untuk menggambarkan ide, emosi, dan imajinasinya. Selain itu syairnya
ringkas, padat, banyak mengandung hikmah dan pelajaran.96
94
Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas
tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh
perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh.
95
Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad
96
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69
28
Para pengamat sastra Arab klasik sepakat menilai Zuhair lebih baik kualitas
syairnya dibandingkan dengan penyair semasanya seperti Imru al-Qais dan alNabighah al-Dzubyani. Alasannya adalah:
1. Syair-syairnya singkat padat dan tidak bertele-tele atau dalam ilmu
balaghah disebut dengan ijaz, yaitu gaya Bahasa yang menggunakan
sedikit lafaz, namun mengandung banyak makna.
2. Memuji dengan baik dan menjauhi dusta dalam bersyair. Ia tidak
memuji seseorang, kecuali benar-benar mengenal watak dan
karakternya. Sebagai contoh:
‫ وعند املقلني السماحة والبذل‬# ‫على مكثريهم َرزق من يعرتيهم‬
3. Menjauhi lafaz dan makna yang menjelimet atau dirasa asing di telinga.
Contoh syairnya yang mudah dicerna:
‫ ولكن محد الناس ليس مبخلد‬# ‫ولو أن محدا خيلد الناس أخلدوا‬
4. Menggunakan bahasa yang baik, sehingga sedikit sekali penggunaan
kata-kata yang buruk atau kasar. Oleh karena itu, ketika menggubah
syair hija (ejekan) yang ditujukan untuk kaum tertentu, ia menyesali apa
yang diperbuatnya.
5. Di
dalam
syair-syairnya
banyak
mengandung
perumpamaan-
perumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak
mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair Zuhair
juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di
kemudian hari.97
C. Kehidupan sosial, Politik, dan Agama pada Masa Zuhair Ibnu Abi
Sulma
a. Kehidupan Sosial
Masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat
kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup
97
Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,h.
71-72
29
menetap, dan memiliki kehidupan yang mapan dan menyenangkan, kurang
memiliki keberanian, dan lebih mencintai kekayaan, mereka terutama penduduk
Yaman yang menurut sejarawan lebih suka bersenang-senang dan berpoya-poya,
bangga menggunakan kain sutra, makan di piring emas dan perak, yang biasa
mereka peroleh dari hasil berbisnis dan pertanian.98 Bangsa Arab Yaman pada
dasarnya adalah masyarakat holtikultural yaitu masyarakat yang sudah menetap dan
menggunakan sistem bercocok tanam di ladang.
Kedua adalah masyarakat nomaden (badawi), yang memiliki kehidupan
sebaliknya, mereka selalu berpindah-pindah tempat, dengan kehidupan yang tidak
pernah lepas dari gejolak. Hal itu disebabkan oleh karena kondisi tanah Arab yang
tandus, tidak ada mata air maupun sungai yang mengalir, sehingga tidak cocok
untuk bercocok tanam. Kondisi seperti ini memaksa penduduk Arab Badawi untuk
selalu mencari sungai-sungai dan daerah-daerah yang dicurahi hujan yang terdapat
di gurun pasir, yang banyak ditumbuhi rerumputan, sehingga pada saat menemukan
tempat seperti itu, seluruh kabilah keluar untuk mendapatkannya. Bila sudah habis,
mereka mulai mencari tempat lain sebagai penggantinya. Kondisi seperti ini banyak
digambarkan dalam syair-syair Arab Jahili. Para penyair banyak menyenandungkan
tentang tumbuh-tumbuhan, musim semi, rerumputan, dan bunga, yang mampu
membakar semangat bagaikan rasa panas yang menyengat.99
Selain sistem sosial hadlari dan badawi, sistem sosial lainnya yang tidak
kalah penting dalam struktur sosial bangsa Arab adalah sistem kabilah. Kabilah
adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat
Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari
ayah dan ibu yang sama.100 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24
99
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 24. Menurut K.Hitti, pada dasarnya tidak ada garis
tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban, sebab selalu ada tahapan
seminomaden dan tahapan semi urban. Masyarakat perkotaan tertentu yang sebelumnya merupakan
orang-orang Badui menyangkal asal usul nomaden mereka, sementara di sisi lain, beberapa
kelompok Badui lainnya berusaha menuju tahap masyarakat perkotaan. Sehingga dengan demikian,
darah orang-orang perkotaan terus mendapat penyegaran dari darah-darah orang nomad. Philip K.
Hitti, History of the Arabs, (terjemah), hal. 28
100
Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship
(kekerabatan) yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan
perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan.
98
30
Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang
dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian
dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti
kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu
kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama
Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas
mereka menasabkan kabilahnya pada ayah.101 Terkadang pemimpin kabilah
memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru
dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti
dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun
faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas
yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya,
keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak.102
Di dalam sistem kabilah itu terdiri dari beberapa stratifikasi103, yaitu:
1. Abnâ al-Qabîlah, yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan
keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah.
2. Abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari
Negeri tetangga terutama dari Habasyah.
3. al-Mawâli, yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan termasuk alKhulâ`a (orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah) seperti kelompok
Sha`âlik yang sangat terkenal.104
b.
Situasi Politik
Para sejarawan sepakat bahwa pemerintahan pada masa Jahiliyah yang
berbentuk kerajaan mutlak hanya ada di Yaman. Pemimpin kerajaan yang paling
terkenal adalah ratu Saba Balqis al-Himriyyah, yang diceritakan dalam kisah Nabi
101
Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsa
penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah
penentu kebijakan keluarga
102
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11
103
Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan
oleh perbedaan privilege/property (kekayaan), pertige (kehormatan), dan power (kekuasaan).
104
Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, (tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965),
cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 9
31
Sulaiman as. Sedangkan kota-kota dan perkampungan-perkampungan yang di
sekitar Jazirah Arab belum menganut system pemerintahan sebagaimana Yaman,
namun berbeda antara satu dengan lainnya. Dr. Jawad Ali dalam bukunya Tarikh
al-Arab Qabla al-Islam menyatakan bahwa sebagian kota dan kampong terutama
di Arab bagian Barat seperti Mekah tidak dipimpin oleh seorang raja, namun
dipimpin oleh beberapa orang laki-laki (penguasa). Mereka tidak diberi gelar raja.
Para pemimpin tersebut diberi diangkat berdasarkan perjanjian. Di Mekah, pusat
kepemimpinan mereka dinamakan dengan Darun Nadwah.105
Adapun masyarakat Badawi, mereka menganut sistem kabilah yang
dipimpin oleh seorang sayyid. Mereka sama sekali tidak memiliki pusat
pemerintahan yang mengurusi urusan kehidupan mereka. Masing-masing kabilah,
berdiri sendiri-sendiri dan mengatur urusan masing-masing. Anggotanya berasal
dari kabilah mereka sendiri. Mereka menempati sebuah wilayah yang mereka
namakan dengan al-hima. Mereka tunduk pada ketua kabilah sebagai pimpinan
tertinggi. Ia dipilih berdasarkan fanatisme kabilah. Kebebasan mereka bersifat
individual, bukan social. Hak individu adalah hak kelompok, dan hak kelompok
adalah hak individu. Semua berdasarkan pada fanatisme kabilah. Prinsip mereka
adalah bantulah saudaramu baik dia sedang dizalimi atau menzalimi. Berdasarkan
hal tersebut, mereka lebih memprioritaskan keturunan, dan mengungguli yang lain.
Untuk itu ‘Amr ibnu Kaltsum berkata dalam syairnya:
106
‫ويشرب غرينا كدرا وطينا‬
‫وردنا املاء صفوا‬
ْ ‫ونشرب إن‬
Berdasarkan hal tersebut, wajib bagi mereka memperbanyak keturunan.
Prinsipnya “dengan Banyak akan membuat gentar”.Kehidupan bangsa Arab saat itu
bisa diibaratkan dengan kehidupan hutan. Seperti yang diutarakan oleh Zuhair Ibnu
Abi Sulma (‫)ومن ال يظلم يظلم‬. Kabilah bagi masyarakat Arab saat itu, bertanggung
jawab untuk mempertahankan hak-hak anggotanya dan menjaganya.
Di dalam kabilah terdapat seorang tetua (syaikh) yang diangkat sebagai
pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan
atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat
105
106
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 27
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 28
32
kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota
kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan
penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak
dibanding sikap berpura-pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai
sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih
leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki
kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan
pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain
sebagainya. 107
Ketua kabilah atau yang disebut dengan syaikh, harus berwibawa, kaya,
cerdas, berpandangan luas, rela berkorban, dermawan, berani, penuh kasih, sabar,
dan lainnya dari sifat positif. Pimpinan inilah yang mengendalikan kabilah, mereka
yang memerintahkan untuk berperang atau tidak.108
Adapun para penyair, pada masa Jahiliyah berfungsi sebagai juru bicara
mereka (alsinat al-qabail). Para penyair bertugas menjaga dan melindungi
kehormatan kabilah melalui syair-syair mereka, sebagaimana prajurit menjaga
kehormatan kabilah dengan pedang dan panah mereka.109
Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus
mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat
dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan
darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing,
untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan
berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga
anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan
darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat
mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah
didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan (dosa-dosa), sehingga
menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu,
kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota.
107
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29
109
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 29
108
33
Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau
yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah
lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf (yang bersekutu) atau ‘maulâ’ (sekutu).110
Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan
yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang
terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilahkabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu
kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab,
sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus
tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu
pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya,
mendominasi sebagian besar syair-syair jahili. Oleh karena itu pula, untuk
memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab
Jahili seseorang harus memahami benar kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab,
termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka.111
Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu
mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan
tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi
kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan
merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan
peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan
perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnyasyair Zuhair ibnu Abi
Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari
gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas,
bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan
perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat
mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watakwatak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga
diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu.112
110
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 11-12
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 12
112
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 25
111
34
Fanatisme sempit terhadap kabilah ini, menjadikan kondisi sosial politik
bangsa Arab pada masa Jahiliyyah kacau dan tidak aman, diselimuti dengan rasa
khawatir, karena perang yang berkepanjangan yang biasa disebut dengan Ayyâm alArab.
Perang bagi bangsa Arab Jahili adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar
kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh
berbagai faktor. Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian
dari kehidupan masyarakat Arab Jahili. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur
hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus
kali pula. Perang telah menyita separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut
berperang sebanyak dua kali.113 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang
dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini
mereka langgar sendiri.114
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bangsa Adnan terbagi
menjadi beberapa kelompok yang disebut kabilah. Kabilah terbesar adalah cabang
dari Rabî’ah dan Mudhar. Kabilah Rabî’ah dan Mudhar adalah dua kabilah terkuat
sepanjang dua abad terakhir sebelum datangnya Islam. Antara kedua kabilah besar
ini terjadi perseteruan yang berkepanjangan. Perseteruan tersebut bisa terjadi antara
kabilah Rabi’ah dan Mudhar atau pun sesama cabang kabilah, baik dalam rumpun
kabilah yang sama atau pun berbeda.115 Berikut ini beberapa perang yang sangat
terkenal pada masa Jahiliyyah:
1. Perang Basûs
Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi
di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah
Bakr dan Taghlib116, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini
berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi.
113
Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry,
(London: William & Norgate, 1985), hal. xxii
114
Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, (Kuala Lumpur: Utusan
Publications & Distributors SDN. BHD, 1982), hal. 7
115
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22
116
Taghlib ibn Wâ’il adalah anak keturunan dari Rabi’ah dari Adnan. Ia adalah saudara
kandung dari Bakr. Di antara penyair kabilah Taghlib yang sangat terkenal adalah al-Muhalhil, Amr
ibn Kultsum dan al-Akhthal. Kabilah ini menganut agama Nasrani. Ferdinand, Al-Munjid fi alLughah wa al-‘Alâm, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), hal. 177
35
Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka
Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang (himâ)
yang disebut dengan al-‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak
seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api
dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang
keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor
onta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta
tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia
selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada
saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak
itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi
legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah
perumpamaan.117
Selain perang-perang tersebut, masih banyak perang-perang lainnya yang
terjadi di dalam kabilah Rabi’ah dan Mudlar, atau antara Tamim (Mudlar) dan Bakr
ibn Wa’il (Rabi’ah). Perang tersebut saling bergantian, sehari untuk kabilah Tamim
dan hari lainnya untuk kabilah Bakr. Peperangan yang terjadi di dalam kabilahkabilah Arab ini didokumentasikan dalam buku-buku sejarah dan sastra, dan
banyak cerita yang dilebih-lebihkan. Dalam sastra Arab Jahili, kisah tentang perang
mendominasi tema-tema yang terdapat dalam syair.118
2. Perang Dâhis wa al-Ghabrâ’
Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ adalah peristiwa peperangan yang terjadi
dalam kabilah Mudlar, yaitu antara Bani ‘Abs dan Dzubyân. Faktor penyebabnya
adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah
perlombaan semacam pacuan kuda. Al-Fazari melepaskan kudanya yang bernama
al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada
pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja
bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis
finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai pemenang, dan sejak itu
117
Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi alsyi’r al-Jâhili, (Kairo: Maktabah Gharib, 1981), hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., alMufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22
118
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 23
36
peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga empat puluh tahun
lamanya.119
Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam
kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan
Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat
kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara
keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir
perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga
masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab
terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal (orang yang biasa bepergian), menjamin
barang dagangan al-Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat,
namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl.
Demikianlah beberapa gambaran situasi politik bangsa Arab Jahiliyah saat
itu. Kondisi politik seperti itu, tentu saja sangat mempengaruhi kondisi social
masyarakat Arab Jahiliyyah.
c.
Kondisi Keagamaan
Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahili, orang Arab Badawi
tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap
tidak peduli terhadap nilai-nilai religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka
lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka
secara turun temurun.120 Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili,
menganalogikan masyarakat Arab Jahili dengan lautan yang bergelombang, atau
bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau
ideologi yang menjadi pegangan. Sebagian menyembah matahari121, sebagian
lainnya menyembah bulan122 dan bintang123, ada juga yang menyembah malaikat
atau dewa dan lain sebagainnya, atau bahkan ada yang tidak memegang
kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah
119
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 22-23
Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 120
121
Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams (hambanya
matahari)
122
kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah
123
Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius (Dog
Star)
120
37
kepercayaan mereka terhadap berhala (watsaniyah). Kehidupan bangsa Arab sangat
dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya
persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal itu berlangsung hingga
kedatangan Islam. 124
Karena pengaruh berhala yang sangat kuat, setiap rumah penduduk Mekah
memiliki berhala pribadi yang selalu disembah. Jika mereka hendak bepergian,
maka orang yang terakhir harus mengusap berhala terlebih dahulu, dan pada saat
tiba dari perjalanan, orang yang pertama tiba harus mengusapnya. Selain suku
Quraisy, setiap rumah memiliki sesuatu yang mirip ka’bah dan letakkan di
dalamnya berhala untuk disembah, diagungkan, serta diminta petunjuknya dan juga
thawaf. Berhala-berhala tersebut terus disembah hingga kedatangan Islam.125
Selain diletakkan di rumah, setiap kabilah memilki berhala masing-masing
sebagai simbol dan kebanggaan kabilah, seperti Wudd berhala kabilah Daumah alJandal, Jauf kabilah Kulaib, Yaghuts kabilah Jarsy, Hubal kabilah Quraisy
diletakkan di dalam Ka’bah, Latta kabilah Thaif, Manat kabilah Aus dan Khazraj,
dan lain sebagainya.126
Agama masyarakat Arab Badawi mempresentasikan pola keyakinan bangsa
Semit paling awal dan primitif. Sebagaimana keyakinan bangsa primitif, maka
mereka sesungguhnya adalah pemeluk kepercayaan animisme. Perbedaan yang
nyata antara kehidupan oasis dan gurun pasir, telah memberikan mereka konsep
ideologi awal yang paling penting, yaitu kepercayaan mereka terhadap dewa yang
dianggap sebagai penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang
sebagai dewa pemberi kebajikan, sementara roh pemilik tanah yang gersang dipuja
sebagai dewa jahat yang harus ditakuti.127
Kondisi ideologi yang terdapat dalam masyarakat Arab ini tidak banyak
diceritakan dalam syair-syair Jahili. Hal itu menurut penulis buku Buhûts fi al-Adab
al-Jâhili disebabkan para penyair lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat konkrit
dan kasat mata dan sulit untuk mempercayai hal-hal yang di luar kemampuan akal
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi
al-Adab al-‘Arabi, hal. 34
125
Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 34
126
Nabilah Lubis, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, hal. 22-23
127
Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 121
124
38
mereka. Biasanya mereka menyebut berhala dalam syair untuk bersumpah, dan itu
pun jumlahnya tidak banyak, seperti menyebut nama Latta dan Uzza dalam syair
Aus ibn Hajar berikut ini:
‫وباهلل إن هللا منهن أكرب‬
‫وبالالت والعزى ومن دان دينها‬
Demi Latta dan Uzza dan orang yang mempercayainya
Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih agung dari mereka (berhala-berhala
itu)128
Atau syair yang diungkapkan al-Nâbighah al-Dzubyâni berikut ini:
‫وليس وراء هللا للمرء مذهب‬
‫حلفت فلم أترك لنفسك ريبة‬
Aku bersumpah tidak pernah aku ragu padamu
Karena tidak ada yang bisa diyakini seseorang selain Allah129
Bait syair tersebut menunjukkan bahwa bersumpah dengan nama Allah
tidak berarti seseorang beriman dan mengesakan Allah, serta mengeluarkan mereka
dari kekafiran dan kemusyrikan. Untuk itu, sebagaimana diungkapkan Philip K.
Hitti, salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah
konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling
utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-Ilah itu sendiri berasal dari bahasa kuno.
Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang
Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk
dengan untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M.130
Di samping kepercayaan yang telah disebutkan tersebut, ada juga beberapa
orang yang memeluk agama Yahudi dan Nasrani, hanya saja jumlah mereka sangat
sedikit dan jarang muncul di tengah khalayak. Pemeluk agama Yahudi menempati
kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah. Mereka terdiri dari Bani Nadhîr,
Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersamaIbrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, (tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961), cet. 1, hal. 26
129
`Abbâs `Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub al`Ilmiyah, 1416 H/1996 M), cet. 3, hal. 27
130
dikutip oleh Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), hal. 126 dari Winnet
128
39
sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat,
namun juga terkadang bermusuhan.131
Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian
kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa
Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat
sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al-‘Ibad’, yang merupakan
keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling terkenal
yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara
penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu
abi al-Shilat. Dari sekian banyak penduduk Arab, terdapat kelompok yang
mempercayai
adanya
Tuhan
dan
menyembahnya
secara
murni
tanpa
menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal.132
Keyakinan Watsani yaitu penyembahan terhadap berhala, merupakan
mayoritas kepercayaan masyarakat Arab Jahiliyyah. Mereka yakin bahwa dengan
menyembah patung-patung tersebut akan mendekatkan mereka pada Allah SWT.
Al-Zamaksyari menyebutkan jumlah patung-patung yang menjadi sesembahan
bangsa Arab Jahiliyyah dan terletak di Ka’bah sebanyak 360 buah berhala.
Penyembahan terhadap berhala ini sesungguhnya hanyalah tradisi yang dirturunkan
dari nenek moyang mereka bukan keyakinan yang muncul dari dasar nurani.133
Dengan kondisi keagamaan dan kepercayaan seperti ini, lalu bagaimanakan
nilai-nilai moralitas religi disampaikan oleh Zuhair Ibnu Sulma dalam syairsyairnya.
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, hal. 26
132
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab alJâhili, hal. 27
133
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 22
131
40
BAB IV
UNSUR-UNSUR INTRINSIK DALAM SYAIR MU’ALLAQÂT
ZUHAIR IBNU ABI SULMÂ
Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah penyair Jahiliyah yang sangat produktif. Hal
ini tentu tidak diragukan, karena seorang penyair umumnya menjadi juru bicara
kabilah. Terjadinya perang ataupun damai antar kabilah saat itu, tidak terlepas dari
kepiawaian penyairnya. Untuk itu, Zuhair memiliki karya syair yang sangat banyak,
dan salah satu syairnya sangat terkenal karena masuk ke dalam kategori alMu’allaqât al- Sab’.
Syair Mu’allaqât merupakan karya terbaik Zuhair Ibnu Abi Sulmâ. Di
dalamnya mengandung nilai-nilai moralitas universal yang tinggi. Karena syairsyair Zuhair banyak memberikan pesan moralitas kepada masyarakat Arab saat itu,
ia juga dikenal sebagai penyair hikmah. Pada bab ini, saya akan membahas secara
khusus tentang syair al-Mu’allaqât Zuhair dilengkapi dengan analisis intrinsik
terhadap syair tersebut dari segi bentuk dan isi.
A. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ.
a. Pengertian syair Al-Mu’allaqât
Di dalam Diwan Zuhair Ibn Abi Sulmâ disebutkan sebanyak 16 judul syair
karya Zuhair, satu di antaranya dikenal dengan syair al-Mu’allaqah.134 AlMu’allaqâh, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri
memiliki banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât135, al-Sab’u al-Thiwâl136, dan alSamûth137, namun nama yang paling terkenal adalah al-Mu’allaqât. Ada beberapa
pendapat tentang penamaan al-Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa
dinamakan demikian, karena syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang
mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd. Rabbah
Kumpulan syair-syair karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, lihat ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu
Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003)
135
al-Mudzahhabât adalah karya-karya emas, atau yang tertulis dengan tinta emas
136
al-Sab’u al-Thiwâl berarti tujuh yang panjang
137
al-Samuth di dalam kamus berarti tergantung, benang, dan tali yang bermutiara.
134
41
penulis al-‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun
dalam kitab Muqaddimah. 138
Adapun yang dimaksud dengan al-Mu’allaqât dalam terminologi sastra
Arab adalah syair-syair pemenang festival yang biasa diadakan setiap tahun di pasar
`Ukazh pada bulan Haram. Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu
digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang
menjadi juara, dikenal dengan al-sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang
digantung.139
Dengan demikian Al-Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair
papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah
tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak
tujuh syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang
bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât
(karya emas) Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh
lainnya.140
Al-Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab
Jahili, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair
tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulmâ, Labîd
ibn Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Harits ibn Halzah.141
Berdasarkan hal tersebut, syair Mu’allaqât Zuhair termasuk satu dari 7
(tujuh) syair terbaik yang lahir dari 7 penyair terbaik masa Jahiliyah. Inilah salah
satu alasan penulis mengambil syair karya Zuhair sebagai objek analisis dalam
penelitian ini. Alasan lainnya adalah karena syair Al-Mu’allaqât Zuhair sarat
dengan nilai-nilai moralitas, baik sosial, politik, maupun religi.
b. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ
138
Tim penulis (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu; al-Adab al-Jâhili,
hal. 61. lih. juga al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, hal. 49
139
Philip K. Hitti., History of The Arabs, (terjemah), (Jakarta: Serambi, 2006), hal. 100,
footnot
140
Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal.
49. lih. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 61-62
141
Kumpulan dari tujuh syair al-Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât alSab’ yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M)
42
Inilah syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ yang kandungannya sarat
dengan nilai-nilai moralitas:
144
‫ ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم‬142‫ِأمن أم أ َْو َف‬
‫ فاملتثلم‬143‫حبومانة الدر ِاج‬
Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara
di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam
ِ
‫ص ِم‬
َ ‫مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع‬
‫ كأهنا‬146‫ هلا بالرقمتني‬145‫ديار‬
ٌ
Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan
Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan147
‫ينهض َن من كل ََْمثَ ِم‬
ْ ‫وأطالؤها‬
‫هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة‬
Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang
dan anak-anaknya terperanjat dari tidur
‫فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم‬
‫َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة‬
Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu
dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini
ِ ‫ونؤيا‬
‫كجذم احلوض مل يتثل ِم‬
‫أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل‬
(kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir
Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil
142
Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair (mantan istri Zuhair). Lih. Riwayat Hidup
Zuhair Bab IV.
143
Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan
Mekah dekat al-Waqba.
144
Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al-A’rabi alMutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah (Mu’jam al-Buldan, jilid
5, h. 53). ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102
145
Di dalam Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’ menggunakan kata dâr (tunggal), sedangkan
dalam Diwan Zuhair Ibnu abi Sulma menggunakan kata diyâr (Jamak). Penulis memilih kata diyâr
disesuaikan dengan kalimat berikutnya yang mengumpamakan diyâr dengan titik-titik nilai yang
ada di pergelangan tangan. Bila hanya satu rumah, maknanya juga tidak terkait dengan sempurna,
dengan bait berikutnya yang menyebutkan di sana terdapat sapi-sapi dan kijang-kijang yang berlalulalang.
146
Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah
tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad (Mu’jam al-Buldan,
jilid 3, h. 58)
147
Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas
tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh
perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh.
43
ِ
‫اسلَ ِم‬
ْ ‫الربْع و‬
َ ‫أال أَنْع ْم صباحا أيها‬
‫فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها‬
Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya
Selamat pagi wahai penghuni rumah..
‫حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث‬
‫تبصر خليلي هل ترى من ظغائن‬
Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup
Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum148
‫وكم بالقنان من حمل وحمرم‬
‫جع ْل َن القنان عن ميني و َح ْزنَه‬
Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras
Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang
‫ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم‬
ٍ ‫علَ و َن بأمن‬
ٍ ‫اط ِعت‬
‫اق وك ل ٍة‬
ْ
Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik
Dengan warna merah darah di tepinya
‫عليهن دل الناعم املتنعم‬
‫وورْك َن ف السوبان يعلون متنَه‬
Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya
Tampak senang dan menyenangkan
‫فهن لوادى الرس كاليد ف الفم‬
‫بكرن ب كورا واست حرن بسحرة‬
ْ
Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta
Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut149
‫أني ق لع ني الن اظر املتوس م‬
‫ومنظر‬
ٌ ‫وفيهن ملهى للصديق‬
Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan
Yang menarik bagi mata yang memandang
‫ب الفنا مل َيط ِم‬
ُّ ‫نزلْ َن به َح‬
‫كأن فتات العهن ف كل منزل‬
Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri
148
Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad
Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu
dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok.
149
44
Seakan-akan biji pohon al-fana yang belum mekar
‫فلما وردن املاء زرقا ِمجامة‬
‫وضعن عصي احلاضر املتخيم‬
Saat tiba di mata air yang jernih
Merekapun mendirikan kemah
‫رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم‬
‫فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله‬
Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum
ِ ‫مبكة و‬
‫البيت العتيق املكرم‬
‫وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا‬
Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang
dimuliakan
‫على كل حال من سحيل ومربم‬
‫ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا‬
Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap
hal, baik saat lemah ataupun kuat
‫تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم‬
‫تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما‬
Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah
Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim150
‫ مبال ومعروف من القول نسلم‬# ‫وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا‬
Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan
perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai
‫عيدين فيها من عقوق ومأث‬
َ َ‫ب‬
‫فأصبحتما منها على خري موطن‬
Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa
‫ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم‬
ٍ ‫عظيمني ف عليا‬
‫معد ه ِديتما‬
Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan
150
Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma
tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman,
mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan
menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan
oleh aroma Mansyim.
45
Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan
‫مبجرم‬
ْ ‫ينجمها من ليس فيها‬
‫تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت‬
Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak
melakukan kesalahan.
(konsep diyat dalam politik arab jahiliyyah di mana darah dibayar dengan diyat,
bagi yang membunuh harus membayar diyat, sedangkan keluarga (laisa fiha bimujrim)
harus menghormati keluarga yang dibunuh dan menjalin silaturahim)
‫ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم‬
‫ينجمها قوم لقوم غرامة‬
Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang
Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam
‫مغامن شىت من إفال مَزِمن‬
‫فأصبح جيرى فيهم من تالدكم‬
Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian
‫وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم‬
‫أال أبلغ األحالف عين رسالة‬
Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku
Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh?
‫ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم‬
‫فال تكتمن هللا ما ف صدوركم‬
Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah
Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti
diketahuiNya.
‫ ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم‬# ‫يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر‬
(balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan
untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia)
‫وما هو عنها باحلديث املرجم‬
‫وما احلرب إال ما علمتم وذقتم‬
Perang itu tidak lebih dari apa yang kalian tahu dan rasakan
bukan suatu pembahasan (hal) yang asing
artinya semua orang tahu akibat dan konsekuensi dari peperangan itu.
46
‫وتضر إذ ضربتموها فتضرم‬
َ
‫مىت تبعثوها تبعثوها ذميمة‬
Ketika perang itu kalian gelorakan, kalian gelorakan kehinaan
Dan api perang akan menyala saat kalian nyalakan, lalu bergejolak
‫وتلق ْح كشافا ث حتمل فتتئم‬
‫فتعرككم عرك الرحا بثفاهلا‬
Lalu perang itu menusuk kulit kalian
Dan membuahi dua kali, lalu melahirkan dan beranak kembar
Ungkapan ini sebagai perumpamaan akibat dari peperangan yang akan melahirkan
berbagai petaka yang tidak berakhir, bahkan semakin besar.
‫كأمحر عاد ث ترضع فتفطم‬
‫أشأم كلهم‬
َ ‫تج لكم غلمان‬
ْ ‫فت ْن‬
Perang itu lalu melahirkan para pemuda yang buruk untuk kalian
Bagai unta mandul, lalu menyusui dan menyapihnya
‫قرى بالعراق من قفيز ودرهم‬
‫فتغلِل لكم ما ال تغل ألهلها‬
Lalu perang itu menghasilkan sesuatu yang tidak bisa diberikan penduduknya
Pada sebuah desa yang ada di Iraq, berupa pundi-pundi (harta) dan dirham
‫مبا ال يؤاتيهم حصني بن ضمضم‬
‫لعمري لنعم احلي جر عليهم‬
Demi hidupku, sebaik-baiknya orang yang hidup dan berbuat jahat kepada mereka dengan
suatu hal yang tidak disepakati adalah Hushain ibn Dhamdham
‫ فال هو أبداها ومل يتقدم‬# ‫وكان طوى كشحا على مستكنة‬
Orang yang patah rusuknya, namun disembunyikan
Tidak memperlihatkannya dan tidak pula mau menunjukkannya
‫ عدوي بألف من ورائى ملَجم‬# ‫وقال سأقضى حاجاتى ث أتقى‬
Hushain berkata, akan aku balaskan kematian saudaraku, lalu aku bersembunyi
Dari musuhku di balik seribu tentara yang berpelana
‫ لدى حيث ألقت رحلها أم قشعم‬# ‫فشد ومل يفزع بيوت كثرية‬
Lalu ia mengancam, namun tidak mampu menakuti banyak rumah
Karena kematian terlanjur menghampirinya
47
‫ له لِبَد أظفاره مل ت َقلم‬# ‫لدي أسد شاكى السالح مقذف‬
Di hadapan sang singa yang berkuku tajam lagi besar
Bersurai, dengan kuku-kuku yang panjang
‫سريعا وإال يبد بالظلم يظلم‬
‫جريء مىت يظلم يعاقِب بظلمه‬
Yang pemberani, saat ia dizalimi, dengan cepat ia balas kezaliman itu
Bila tidak ada yang menzaliminya, ia menzalimi
‫ غمارا تفرى بالسالح وبالدم‬# ‫رعوا ما رعوا من ظمئهم ث أوردوا‬
Mereka menjaga perdamaian yang seharusnya mereka jaga, lalu mendatangi
Air yang mamancar dengan senjata dan darah
‫إىل كإل مستوبِل متوخم‬
‫فقضوا منايا بينهم ث أصدروا‬
Mereka saling memberi kematian, lalu mendatangi
padang rumput yang kering kerontang
‫دم ابن هنيك أو قتيل املتلثم‬
‫ت عليهم رماحهم‬
َ ‫َلع‬
ْ ‫مرك ما جر‬
Demi hidupmu, panah-panah mereka tidak akan mampu mengucurkan darah
Ibnu Nahik ataupun terbunuhnya al-Mutalatsim
‫وال وهب منها وال ابن املخزم‬
‫وال شاركت ف املوت ف دم نَ ْوفَل‬
Tidak pula membantu kematian Ibnu Naufal
Tidak Wahab, tidak juga Ibnu al-Mukhazzam
ٍ
ِ
ٍ ‫صحيحات‬
‫طالعات لِم ْخَزِم‬
‫مال‬
ِ ‫فكال أراهم أصبحوا‬
‫يعق ْلونه‬
Menurutku, mereka semua menebusnya
dengan harta yang bagus dan layak yang ada di jalan bukit
‫طرقت إحدى اللياىل ِمبعظ ِم‬
ْ ‫إذا‬
ِ ‫حلي ِحالَ ٍل ي ع‬
‫صم الناس أمرهم‬
ٍ
َْ
Demi keadaan, manusia dilindungi oleh kepentingan mereka sendiri
ketika kejadian hebat di malam hari datang
‫وال اجلارم اجلاِن عليهم مب ْسلَ ِم‬
48
‫كرٍام فال ذو الضغن يدرك ْتبله‬
Yang mulia dan tidak memiliki permusuhan dalam hati dan juga dengki
Tidak berbuat jahat kepada mereka denga membalas dendam
‫يسلَ ِم‬
ْ ‫مثانني حوال ال أبالك‬
‫سئمت تكاليف احلياة ومن يعش‬
Aku bosan dengan berbagai kesulitan dunia ini, siapa yang hidup
80 tahun lamanya, pasti menyerah
ِ ‫وأعلَم ما ف‬
ِ ‫اليوم و‬
‫األمس قبله‬
ْ
ٍ ‫ولكنّن عن ِع ْل ِم ما ف‬
‫غد ع ِم‬
Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin
Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari
‫متته ومن ختطئ يعمر فيهرم‬
‫رأيت املنايا خبط عشواء من تصب‬
Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu, siapa yang dikenainya
Pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu tua
‫يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم‬
‫ومن مل يصانع ف أمور كثرية‬
Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini)
Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta
‫ ومن ال يتق الشتم يشتم‬،‫ يفره‬# ‫ومن جيعل املعروف من دون عرضه‬
Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan
Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci
‫ على قومه يستغن عنه ويذمم‬# ‫ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله‬
Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut
Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela..
‫إىل مطمئن الرب ال يتجمجم‬
ِ
ِ ‫ذم ْم ومن ي ْف‬
‫ض قلبه‬
َ ‫ومن يوف ال ي‬
Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya
ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu
‫ولو نال أسباب السماء يسلم‬
‫ومن هاب أسباب املنايا ينلنه‬
Siapa yang takut dengan penyebab kematian, dia akan mendapatkannya
Namun bila menerima ketentuan langit, maka ia akan selamat
49
151
‫يكن محده ذما عليه ويندم‬
‫ومن جيعل املعروف ف غري أهله‬
Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya,
Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat, dan penyesalan
‫يطيع العوايل ركبت كل هلذم‬
‫ومن يعص أطراف الزجاج فإنه‬
Siapa yang melawan pangkal lembing
(ingatlah) bahwa ia hanya patuh pada matanya, sebagamana lembing panjang dibuat
‫ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم‬
‫ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه‬
Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata
Ia akan hancur, dan siapa yang lemah, dia kalah
‫ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم‬
‫يغرتب َيسب َعدوا صديقه‬
ْ ‫ومن‬
Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh
Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai
‫وإن خاهلا ختفى على الناس تعلم‬
‫ومهما تكن عند امرئ من خليقة‬
Akhlak (baik ataupun buruk) seseorang itu, meskipun ia mengira bisa disembunyikan
dari manusia, tetap saja tercium
‫زيادته أو نقصه ف التكلم‬
‫وكائن ترى من معجب لك شخصه‬
Berapa banyak orang yang engkau lihat menakjubkan
Saat berbicara, panjang ataupun singkat
‫فلم يبقى إال صورة اللحم والدم‬
‫ ونصف فؤاده‬،‫لسان الفىت نصف‬
Ucapan seorang pemuda itu, separuh dari dirinya, separuh lagi adalah hatinya
Jika tidak, pemuda itu hanyalah gumpalan daging dan darah
Ali Fa’ur (syarah), Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003 M), h. 111
151
50
152
‫وإن الفىت بعد السفاهة َيلم‬
‫وإن سفاه الشيخ ال حلم بعده‬
Orang tua yang bodoh, tak memiliki mimpi
Sedangkan anak muda, setelah kebodohan ia bermimpi
B. Analisis Unsur-unsur Intrinsik Syair Mu’allaqah
a. Wazan dan Qafiyah
Syair Jahiliyah merupakan cikal bakal syair Arab. Syair Jahiliyah termasuk
ke dalam jenis syair klasik yang berpatokan pada wazan dan qafiyah. Definisi syair
yang diberikan oleh para kritikus sastra Arab, umumnya diambil dari syair klasik
termasuk di dalamnya syair Jahiliyah. Syair Jahiliyah yang sampai pada kita saat
ini, seluruhnya sudah dalam performa yang matang, dari segi wazan dan qafiyah.
Salah satu unsur intrinsik yang menjadi ciri khas dan menjadi unsur
pembentuk syair Arab adalah rawi. Rawi adalah intonasi (nibrah) atau nada
(nagham) yang mengakhiri bait syair. Bait syair yang diakhiri dengan rawy hamzah
disebut dengan al-hamaziyyah, dan yang diakhiri dengan rawi ba disebut dengan
al-ba’iyyah, demikian seterusnya, al-ta’iyyah, al-tsa’iyyah..sampai al-ya’iyyah.153
Syair Al-Mu’allaqât Zuhair di atas bila berdasarkan rawy, termasuk ke dalam
kategori al-mimiyyah, karena syairnya diakhir dengan bunyi mim. Perhatikan
contoh:
‫حب وم ان ة ال در ِاج فاملت ث ل م‬
‫ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم‬
ِ
‫ص ِم‬
َ ‫مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع‬
‫دي ٌار هلا بالرقمتني كأن ها‬
Kata al-mutatsallami dan mi’shami yang ada di akhir kedua bait syair di atas
diakhiri dengan rawy mim, dan inilah yang menentukan nada dan intonasi dalam
syair Arab. Dalam syair Arab rawi al-mimiyyah termasuk ke dalam rawi yang
paling digemari penyair Arab.154 Zuhair sendiri menggunakan rawi al-mimiyah
Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005
M/1426 H), h.42-44
153
Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun
al-Syi’r, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), cet. 2, h. 247
154
Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun
al-Syi’r, h. 443
152
51
dalam 7 (tujuah) buah syair yang berbeda-beda. Yang paling panjang adalah yang
ia gunakan dalam syair al-Mu’allaqât di atas yang mencapai 62 bait. Menurut Emil
Badi’ Ya’qub penulis al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun
al-Syi’r, syair al-mimiyyat yang terkenal adalah syair al-Mu’allaqâtnya Zuhair Ibnu
Abi Sulmâ yang dibahas. 155
Rawy sendiri erat hubungannya dengan qafiyah. Qafiyah menurut alFarahidi adalah huruf terakhir dalam bait syair hingga huruf sukun sebelumnya
ditambah huruf sebelum sukun. Sedangkan al-Akhfasy berpendapat, bahwa
qafiyah adalah kata terakhir dalam bait syair. Al-Farra bahkan mengatakan bahwa
qafiyah sama dengan rawy, namun pendapatnya banyak yang melemahkan.156
Oleh karena itu, secara otomatis qafiyah dan rawi menjadi unsur pembentuk
dalam syair Arab klasik. Contoh dalam syair Zuhair:
‫ينهض َن من كل ََْمثَ ِم‬
ْ ‫وأطالؤها‬
‫هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة‬
‫فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم‬
‫َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة‬
Yang dimaksud dengan qafiyah pada kedua bait syair di atas adalah kata
majtsami dan tawahhumi. Huruf sukun pada bait pertama terdapat pada huruf jim
(‫) َمجْ ثَم‬, sedangkan pada bait kedua pada huruf h dalam huruf bertasydid (‫)ت ََو ْه ُهم‬.
Rawy dan qafiyah ini menentukan irama dan nada dalam syair Arab.
Unsur lain yang juga turut menentukan nada dan irama dalam syair Arab
adalah wazan. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait syair yang
telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.157Wazan dinamakan juga dengan
bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk
corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab.158Wazan di dalam syair arab
erat hubungannya dengan irama musik.159 Ada 12 wazan (corak musik) dalam syair
Jumlah 62 bait adalah versi Ibnu Abdullah al-Zuzni, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’,
(Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiiyah, 1985 M). Jumlah maupun urutan syair biasanya terkadang
berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya.
156
Emil Ba’di Ya’qub, al-Mu’jam al-Mufashal fi ‘Ilm al-‘Arudh wa al-Qafiyah wa Funun
al-Syi’r, h. 347
157
. al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458
158
. Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, hal. 50
159
Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya
oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah (Irama syair Arab:
Klasik dan modern)
155
52
Arab yang terkenal, yaitu basith, rajaz, sari’, raml, khafif, madid, mutadarik, thawil,
mutaqarib, wafir, hajaz, dan kamil.160
Zuhair dalam syair al-mimiyyahnya ini menggunakan bahr thawil dengan
wazan:
‫فعولن مفاعيلن فعولن مفاعلن‬
‫فعولن مفاعيلن فعولن مفاعلن‬
‫ينهض َن من كل ل ََْمثَ ِم‬
ْ ‫وأطال ؤها‬
‫هبا العِي ن واآلرا م ميشي ن ِخ ْل َفة‬
°//°// °/°// °/°/°// °/°//
°//°// °/°// °/°/°// °/°//
Dalam bait tersebut, Zuhair menggunakan bahr thawil dengan qabdh di
dalamnya, yaitu membuang huruf kelima yang mati pada taf’ilah ‫ مفاعلن‬yang
seharusnya ‫مفاعيلن‬. Dalam syair al-Mu’allaqâtnya tersebut, Zuhair seluruhnya
menggunakan bahr thawil dengan rawi al-mimiyyah, dan corak qafiyah yang
seragam.
Seseorang yang mampu merangkai nada dan irama syair yang hebat
menandakan bahwa ia seseorang yang cerdas dan memiliki cita rasa seni yang
tinggi. Untuk itu sangat wajar, bila pada masa Jahiliyah seorang penyair sangat
dihormati dan diagungkan. Tidak mudah rasanya bagi para sastrawan untuk
menggubah syair dengan pola-pola dan irama yang sangat terikat, kecuali ia
memiliki kemampuan seni yang luar biasa, sehingga antara kata, makna dan irama
bisa terjalin dengan indah. Hal ini menjadi indikasi bahwa masa Jahiliyah,
sesungguhnya bukanlah sepenuhnya masa kebodohan, karya-karya syair yang lahir
dari masyarakat Jahiliyah menunjukkan bahwa pada masa itu, bangsa Arab telah
memiliki peradaban yang tinggi seperti bangsa lain yang ada di sekitarnya,
meskipun lebih rendah dari Romawi dan Persia. Syair dengan pola irama yang
indah, tidak mungkin lahir dari sebuah masyarakat yang bodoh.
b. Kandungan
Unsur intrinsik kedua yang menjadi unsur pembangun syair adalah
kandungan atau isi dari syair itu sendiri. Secara garis besar isi syair Al-Mu’allaqât
Zuhair terbagi ke dalam 3 bagian:
160
Lihat Chatibul Umam, al-Muyassar fi ‘Ilm al-Arudh, Fakultas Adab, 1992
53
1. Bagian awal atau muqadimah syair ( nasib).
Nasib adalah penyebutan nama perempuan dan berbagai hal yang terkait
dengan perempuan yang memiliki kehidupan yang sangat dekat dengan penyair,
bisa kekasih, istri, anak, ataupun saudara. Nasib menjadi ciri khas dari syair
Jahiliyah. Secara sosiologi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Jahiliyah
sangat lekat dengan perempuan, namun hal ini tidak berarti mereka menempatkan
perempuan sebagai sosok yang dimuliakan. Tradisi penyebutan perempuan pada
syair-syair Jahiliyah, lebih pada sikap alamiah laki-laki yang mencintai perempuan
sebagai lawan jenis. Hal ini terbukti dari syair Zuhair yang menjadikan Ummu Aufa
yang bernama asli Laila sebagai mukadimah (nasib) syairnya. Padahal Ummu Aufa
sebagaimana dibahas pada bab 3 adalah mantan istrinya yang diceraikan gara-gara
anak-anaknya meninggal semua saat masih kecil.
‫ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم‬
‫حبومانة الدر ِاج فاملتثلم‬
Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara
di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam
ِ
‫ص ِم‬
َ ‫مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع‬
‫ديار هلا بالرقمتني كأهنا‬
ٌ
Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan
Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan161
‫ينهض َن من كل ََْمثَ ِم‬
ْ ‫وأطالؤها‬
‫هبا العِني واآلرام ميشني ِخ ْل َفة‬
Di perkampungan itu sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang
dan anak-anaknya terperanjat dari tidur
‫فَ ََلْيا عرفت الدار بعد توهم‬
‫َوقَ ْفت هبا من بعد عشرين ِحجة‬
Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu
dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini
ِ ‫ونؤيا‬
‫كجذم احلوض مل يتثل ِم‬
‫أثايف س ْفعا ف م َعرس ِم ْر َح ٍل‬
(kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir
161
Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas
tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh
perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh.
54
Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil
ِ
‫اسلَ ِم‬
ْ ‫الربْع و‬
َ ‫أال أَنْع ْم صباحا أيها‬
‫فلما عرفت الدار قلت َلربْعِها‬
Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya
Selamat pagi wahai penghuni rumah..
‫حتمل ن بالعلي اء من فوق ج ْرِث‬
‫تبصر خليلي هل ترى من ظغائن‬
Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup
Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum162
‫وكم بالقنان من حمل وحمرم‬
‫وح ْزنَه‬
َ ‫جع ْل َن القنان عن ميني‬
Bukit Qanan di sebelah kanan meraka dengan tanah-tanahnya yang keras
Dan di bukit Qanan itu ada yang sudah menikah, ada juga yang masih lajang
‫ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم‬
ٍ ‫علَ و َن بأمن‬
ٍ ‫اط ِعت‬
‫اق وك ل ٍة‬
ْ
Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik
Dengan warna merah darah di tepinya
‫عليهن دل الناعم املتنعم‬
‫وورْك َن ف السوبان يعلون متنَه‬
Mengendarai unta di atas bukit di atas barang-barangnya
Tampak senang dan menyenangkan
‫فهن لوادى الرس كاليد ف الفم‬
‫بكرن ب كورا واست حرن بسحرة‬
ْ
Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta
Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut163
‫أني ق لع ني الن اظر املتوس م‬
‫ومنظر‬
ٌ ‫وفيهن ملهى للصديق‬
Mereka sangat menyenangkan bagi sahabat dan menjadi pemandangan
Yang menarik bagi mata yang memandang
‫ب الفنا مل َيط ِم‬
ُّ ‫نزلْ َن به َح‬
162
‫كأن فتات العهن ف كل منزل‬
Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad
Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu
dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok.
163
55
Bulu-bulu yang bertebaran ke setiap rumah dan menghampiri
Seakan-akan biji pohon al-fana yang belum mekar
‫وضعن عصي احلاضر املتخيم‬
‫فلما وردن املاء زرقا ِمجامة‬
Saat tiba di mata air yang jernih
Merekapun mendirikan kemah
Nasib, pada umumnya bukan hanya ada pada bait pertama yang
menyebutkan nama perempuan, namun juga bait-bait berikutnya yang
menceritakan berbagai hal tentang tokoh perempuan yang ada dalam nasib. Dalam
syair Zuhair nasib dimulai dengan menyebutkan nama Ummu Aufa (Laila) mantan
istrinya, lalu rumah dan perkampungan tokoh perempuan dengan segala peristiwa
di dalamnya, bekas-bekas yang dilalui oleh sang tokoh, serta kehidupan lainnya
yang ada di sekitar tokoh perempuan, sebagaimana tampak pada syair-syair di atas.
2. Bagian tengah merupakan tema (ghardh) dari syair
Bagian tengah syair oleh Zuhair digunakan untuk menyampaikan tujuannya.
Tujuan utama dari syair al-Mu’allaqât Zuhair yang sangat popular ini adalah
memuji (madh) Harem ibn Sinan dan al-Harits ibn ‘Auf. Dua tokoh perdamaian
antara kabilah ‘Abbas dan Dzubyan. Hal ini tampak pada bait-bait di bawah ini:
‫رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم‬
‫فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله‬
Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan Jurhum
ِ ‫مبكة و‬
‫البيت العتيق املكرم‬
‫وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا‬
Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang
dimuliakan
‫على كل حال من سحيل ومربم‬
‫ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا‬
Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap
hal, baik saat lemah ataupun kuat
‫تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم‬
‫تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما‬
Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah
56
Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim164
‫ مبال ومعروف من القول نسلم‬# ‫وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا‬
Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan
perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai
‫عيدين فيها من عقوق ومأث‬
َ َ‫ب‬
‫فأصبحتما منها على خري موطن‬
Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa
‫ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم‬
ٍ ‫عظيمني ف عليا‬
‫معد ه ِديتما‬
Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan
Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan
‫مبجرم‬
ْ ‫ينجمها من ليس فيها‬
‫تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت‬
Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak
melakukan kesalahan.
‫ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم‬
‫ينجمها قوم لقوم غرامة‬
Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang
Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam
‫مغامن شىت من إفال مَزِمن‬
‫فأصبح جيرى فيهم من تالدكم‬
Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan kalian
‫وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم‬
‫أال أبلغ األحالف عين رسالة‬
Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku
Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh?
Untuk meyakinkan keseriusan perdamaian antara dua kabilah, sebagai
penyair yang cerdas, Zuhair memulai pujian untuk kedua tokoh (al-sayidani)
164
Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma
tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman,
mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan
menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan
oleh aroma Mansyim.
57
dengan 2 (dua) sumpah yang bersifat religious. Sumpah pertama atas nama ka’bah
sebagai tempat ibadah (thawaf) yang dibangun oleh bani Jurhum sebagai moyang
dari kedua kabilah yang berperang tersebut (Abbas dan Dzubyan). Sumpah kedua,
Zuhair juga menggunakan Latta dan Uzza, dua berhala yang dijadikan sembahan
bangsa Arab saat itu. Kedua sumpah ini menunjukkan bahwa apa yang akan
diutarakannya adalah sebuah keseriusan.
Pujian-pujian (madh) yang disampaikan oleh Zuhair kepada kedua
pembesar kabilah tersebut, sesungguhnya untuk meyakinkan kepada anggota
kabilah lainnya agar menuruti perdamaian yang telah disepakati bersama dengan
mencontohkan kebesaran kedua tokoh tersebut yang tidak mungkin menghianati
antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga akan melaksanakan perjanjianperjanjian yang telah disepakati.
3. Pesan moral yang ingin disampaikan
Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ adalah syair yang sarat dengan
pesan moral. Para kritikus sastra Arab bahkan memasukan syair ini ke dalam
kategori syair hikmah, dan pada masa Islam banyak dikutip sebagai kata-kata
mutiara. Namun secara umum, pesan moral yang terdapat dalam syair tersebut
terdiri dari:
1. Kejujuran pada Tuhan
2. Perdamaian, Konsekuensi perang dan hukum yang berlaku dalam
peperangan
3. Etika social
4. Etika pergaulan
Pesan moral tersebut selanjutnya akan dibahas secara khusus dalam
pembahasan berikut ini.
c. Gaya Bahasa
Zuhair adalah penyair dari para penyair, karena ia tidak suka bertele-tele
dalam ungkapan-ungkapannya, menjauhi kata-kata yang liar, dan tidak memuji
kecuali karena memang pantas untuk dipuji.165 Ungkapan Umar ibn al-Khathab
165
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibn Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1990 M), 129
58
tersebut, secara umum cukup memberi gambaran kepada kita gaya bahasa Zuhair
Ibnu Abi Sulmâ dalam menggubah syair-syairnya.
Dalam syair al-Mu’allaqât di atas, saya menemukan beberapa karakteristik
gaya bahasa Zuhair, seperti:
1. Penggunaan tasybih.
Tasybih, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perumpamaan.
Gaya bahasa tasybih banyak digunakan dalam mukadimah al-Mu’allaqât Zuhair.
Dalam mukadimah tersebut, tasybih digunakan Zuhair untuk menggambar sesuatu
atau keadaan (washf). Dari empat belas (14) bait syair mukadimah (nasib) lima
diantaranya menggunakan gaya bahasa perumpamaan (tasybih). Sebagai contoh:
ِ
‫ص ِم‬
َ ‫مراجيع َو ْش ٍم ف نواشر م ْع‬
‫ديار هلا بالرقمتني كأهنا‬
ٌ
Perkampungan yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan
Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan
‫فهن لوادى الرس كاليد ف الفم‬
‫بكرن ب كورا واست حرن بسحرة‬
ْ
Mereka berangkat di pagi hari dan bangun di pagi buta
Mereka menuju lembah al-Ras, seakan-akan tangan masuk ke dalam mulut166
Dalam bait tersebut, dengan jelas Zuhair menggunakan artikel ‫( كأن‬seakanakan) dan ‫( ك‬bagai) yang merupakan alat tasybih dalam bahasa Arab. ‫( كأن‬seakanakan) dan ‫( ك‬bagai, seperti) merupakan artikel perumpamaan yang paling banyak
digunakan. Pada bait pertama, zuhair menggunakan perumpamaan suatu benda
konkrit (hissi) dengan benda konkrit (hissi) lainnya, yaitu kata diyar (rumah-rumah
di perkampungan) dengan titik-titik nila (maraji’ wasym) yang dilukiskan di
pergelangan tangan. Sedangkan pada bait kedua, suatu keadaan diibaratkan dengan
sesuatu yang konkrit, yaitu iringan para perempuan di lembah Ras diumpamakan
dengan tangan yang masuk ke mulut.
Selain ‫ كأن‬dan ‫ك‬, ada juga yang menggunakan kata yang bermakna kata
kerja “menyerupai” seperti dalam bait berikut ini:
166
Penyair mengibaratkan perempuan-perempuan yang masuk ke dalam lembah al-Ras itu
dengan tangan yang masuk ke mulut lurus tidak berbelok.
59
‫ِورا ٍد َحو ِاشْي ها مشاكِ َه ِة ال دم‬
ٍ ‫علَ و َن بأمن‬
ٍ ‫اط ِعت‬
‫اق وك ل ٍة‬
ْ
Mereka tampak di ketinggian dengan busana klasik
Dengan warna merah di tepinya bagai darah
Kata
‫مشاكِ َه ِة‬
dalam syarh al-Mu’allaqât al-Sab’ diartikan dengan ‫مشابهة‬
yang artinya menyerupai.167
Dalam ilmu balaghah, gaya bahasa tasybih yang menggunakan unsur
lengkap (musyabbah, musyabbah bih, wajh syibh, dan adat tasybih) disebut dengan
tasybih mursal dan termasuk ke dalam tasybih yang paling sederhana. Gaya bahasa
tasybih termasuk gaya bahasa yang digemari penyair Jahiliyah. Gaya bahasa
tasybih (perumpamaan) biasanya digunakan penyair untuk menggambarkan suatu
keadaan yang disebut dengan washf, sebagaimana tampak pada kedua contoh di
atas.
2. Penggunaan majas dan metafora.
Selain tasybih, Zuhair juga menggunakan gaya bahasa yang lebih tinggi
dari tasybih yaitu majas. Majaz adalah gaya bahasa yang digunakan bukan pada
makna yang sebenarnya, karena ada indicator (qarinah) yang memalingkannya
dari makna asli ke makna majazi. Di antara jenis majas yang digunakan Zuhair
dalam syairnya adalah isti’arah (metafora). Isti’arah adalah gaya bahasa
perumpamaan yang hanya menyebutkan salah satu tharf tasybih. Yang dimasud
dengan tharf tasybih adalah sesuatu yang diumpamakan (musyabbah) dan yang
dibuat perumpamaan (musyabbah bih).
Gaya bahasa majas isti’arah yang digunakan Zuhair tampak pada bait syair
berikut ini:
‫حبومانة الدر ِاج فاملتثلم‬
‫ِأمن أم أ َْو َف ِد ْمنَةٌ مل تكل ِم‬
Adakah jejak-jejak Ummi Aufa yang belum berbicara
di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam
Ibn Abdillah al-Zauzini, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah, 1985), h. 64
167
60
Kata dimnah (ٌ‫ ) ِد ْمنَة‬sebagaimana disebutkan dalam Syarh alAl-Mu’allaqât
al-sab’ diartikan dengan sesuatu yang hitam yang ada pada bekas rumah yang
ditinggalkan penghuninya, seperti tahi binatang (ba’r), abu (ramad), bekas tungku
masak, dan lainnya. Dalam syair di atas, kata dimnah dianalogikan dengan manusia.
Hal ini tampak dari qarinah (indicator) yang disebutkan setelahnya yaitu kata lam
takallami (tidak berbicara). Melalui gaya bahasa majas isti’arah, dimnah atau
puing-puing hitam oleh Zuhair diserupakan dengan manusia dan diminta untuk
berbicara menyampaikan kabar tentang kekasih yang dicintainya.
Contoh majas lainnya yang ada dalam syair al-Mu’allaqât Zuhair:
‫له لِبَد أظفاره مل ت َقلم‬
‫لدي أسد شاكى السالح مقذف‬
Di hadapan sang singa yang berkuku tajam lagi besar
bersurai, dengan kuku-kuku yang panjang
Kata Asad (singa) dalam bait tersebut, bukan merujuk pada makna yang
sesungguhnya, namun merujuk pada Hushain ibn Dhamdham saudara Harem ibn
Dhamdham dari kabilah Abbas.168 Hushain dalam syair tersebut diumpamakan
dengan singa yang berkuku tajam, bertubuh besar, dan berkuku tajam. Sebuah
perumpamaan bagi seseorang yang gagah berani. Dalam bait tersebut, Zuhair
Hanya menyebutkan musyabbah bih (yang diserupakan) tanpa menyebutkan
musyabbah (yang diserupai). Zuhair juga menyebutkan dalam syairnya tersebut
ciri-ciri yang menggambarkan musyabbah bih (singa) bukan Hushain (tokoh yang
gagah berani). Hal ini tampak pada penyebutan ciri-ciri singa yang gagah berani,
seperti kuku yang tajam dan bersurai. Majas yang seperti ini dalam ilmu balaghah
disebut dengan isti’arah murasyahah.
Selain kedua contoh tersebut, masih banyak contoh-contoh lainnya yang
menggunakan gaya bahasa majas. Banyak digunakannya gaya bahasa majas pada
masa Jahiliyah, menunjukkan bahwa penyair pada masa itu sudah memiliki cita rasa
168
Dalam buku Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma dijelaskan bahwa Hushain Ibn Dhamdham
adalah saudara dari Harem ibn Dhamdham. Ia mati terbunuh saat perang al-Ya’mariyah antara
kabilah Abbas dan Dzubyan. Nasib Dhamdham, seperti halnya ayahnya yang terbunuh pada saat
perang al-Muryaqib, ia pun dibunuh oleh ‘Antarah ibn Abi Syaddad dari kabilah Abbas. Lih. ‘Ali
Fa’ur, Diwan Zuhair Ibn Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 108
61
seni yang tinggi. Meskipun bersifat individual, seseorang yang memiliki cita rasa
seni yang tinggi, bisa dikategorikan sebagai seseorang yang berperadaban.
3. Jumlah syartiyyah (klausa bersyarat).
Gaya bahasa lainnya yang menjadi ciri khas syair Al-Mu’allaqât Zuhair
adalah banyak digunakannya struktur jumlah syarthiyyah atau klausa bersyarat.
Gaya bahasa model ini banyak dijumpai dalam bait yang berisi pesan-pesan moral
yang biasa disebut dengan syair-syair hikmah. Syair hikmah menjadi penutup dari
rangkaian syair al-Mu’allaqât Zuhair, setelah nasib sebagai puisi pembuka, madh
sebagai tujuan puisi, dan hikmah sebagai amanat atau pesan moral yang hendak
disampaikan oleh penyair.
Inilah beberapa gambaran tentang syair Al-Mu’allaqât Zuhair dan unsurunsur intrinsik yang membangunnya. Unsur-unsur intrinsik yang membangun syair
al-Mu’allaqât Zuhair, sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari unsur-unsur
ekstrinsik yang mempengaruhinya, seperti tradisi bersyair dan kondisi sosiologis
masyarakat saat itu. Pesan moral yang terdapat dalam syair hikmah Zuhair dan
menjadi penutup syair al-Mu’allaqât adalah salah satu unsur intrinsik yang erat
kaitannya dengan kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu,
kajian nilai-nilai moralitas yang ada dalam syair tersebut akan dibahas secara
tersendiri dalam bab berikutnya.
-------00-------
62
BAB V
NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR
ZUHAIR IBNU ABI SULMA
Bagi sebagian orang mungkin mengira bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak
banyak mengenal nilai-nilai moralitas humaniora. Sejarah lebih banyak mencatat
periode Jahiliyah sebagai masa tidak berperadaban dan amoral. Catatan sejarah
tersebut tidaklah salah, namun kita juga tidak boleh mengingkari kenyataan sejarah
lain tentang sisi kemanusiaan pada masa itu. Hal ini terbukti dari syair-syair yang
digubah oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma ayahanda Ka’ab ibnu Zuhair sahabat
Rasulullah SAW. Dalam bab ini, saya secara khusus akan mengupas nilai-nilai
moralitas yang tercermin dala syair Zuhair ibn Abi Sulma.
C. Nilai-nilai moralitas dalam Syair Mu’allaqah
Pada bab sebelumnya secara singkat disebutkan, bahwa secara umum nilainilai moralitas yang hendak disampaikan Zuhair melalui syairnya di antaranya
adalah nilai-nilai moralitas religi, politik, dan sosial.
a. Nilai-nilai moralitas religi
Berbicara tentang nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyah dan
dihubungkan dengan kehidupan beragama saat itu, mungkin tidak semua setuju.
Namun demikian syair Zuhair Ibn Abi Sulma menjadi salah satu bukti bahwa
kehidupan keagamaan saat itu masih ada meskipun dalam skala yang kecil.
Keyakinan saya ini dikuatkan dengan pernyataan Muhammad Yusuf Farran saat
membahas tentang kehidupan spiritual pada masa Jahiliyah. Farran menyatakan
bahwa ada sebagian dari para pembesar masyarakat Arab Jahiliyah yang masih
memeluk agama hanif (tauhid). Mereka menjalankan kehidupannya berlandaskan
pada akhlak mulia dan logika yang benar. Di antaranya adalah Waraqah Ibn Naufal,
Zaid ibn ‘Amr ibn Naufal, Khalid Ibn Sinan al-‘Abbasi, Hanzhalah ibn Shafwan,
63
Qis Ibn Sa’idah al-Iyadi, ‘Amir ibn al-Zharb al-‘Udwani, ‘Ubaid ibn al-Abrash,
Umayyah ibn al-Shalt, al-Nabighah al-Ja’di, serta Zuhair ibn Abi Sulma.169
Pernyataan Yusuf Farran tersebut semakin menguatkan pendapat saya
tentang adanya nilai-nilai moralitas yang berlandaskan agama. Hal ini tampak pada
syair Zuhair berikut ini:
‫وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم‬
‫أال أبلغ األحالف عين رسالة‬
Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku
Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh?
‫ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم‬
‫فال تكتمن هللا ما ف صدوركم‬
Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah
Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti
diketahuiNya.
‫ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم‬
‫يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر‬
(balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan
untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia)
Pada bait syair di atas, Zuhair memohon kepada para pembesar kabilah
Asad, Ghatfan dan juga Dzubyan, untuk membawa pesan perdamaian. Lalu ia
meminta kesungguhan mereka dengan bersumpah. Perlu diketahui bahwa
masyarakat Arab terbiasa menggunakan sumpah dengan nama Tuhan bahkan nama
Allah, seperti yang biasa dilakukan oleh Imru al-Qais berikut ini:
‫ولو قطعوا رأىس دليك أوصاىل‬
ُ
‫فقلت ميني هللا أبرح قاعدا‬
Akupun berkata; Demi Allah aku masih duduk di sini
Andai mereka memotong kepalaku, pasti tidak sampai
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma: Hayatuhu wa Syi’ruhu, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990 M), h. 20
169
64
170
‫لناموا مفا ان من حديث وال صال‬
ُ
‫حلفت لها ابهلل حلفة فاجر‬
Aku bersumpah padanya layaknya sumpah orang fasiq171
Imru al-Qais bukan satu-satunya penyair yang banyak menggunakan lafaz
Allah untuk bersumpah, masih banyak penyair Jahiliyah lainnya yang
menggunakan lafaz tersebut untuk bersumpah, seperti Antarah ibn Abi Syadad, dan
lainnya. Namun demikian, sumpah yang mereka gunakan pada umumnya bukan
sumpah yang sebenarnya, melainkan hanya tradisi saja.
Untuk menghindari tradisi sumpah seperti itu, sehingga bukan sekedar
permainan di bibir mereka saja, Zuhair menegaskan dengan bait:
‫ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم‬
‫فال تكتمن هللا ما ف صدوركم‬
Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah
Untuk menghindar, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti
diketahuiNya.
Bait syair tersebut jelas mengajarkan masyarakat Arab agar bersikap jujur.
Dalam hal ini, para pembesar ketiga kabilah tersebut harus jujur bahwa bersedia
membawa misi perdamaian kepada kabilah masing-masing, bukan hanya sumpah
di mulut saja. Untuk itu Zuhair menegaskan perlunya kejujuran pada Tuhan, sebab
tiada ada yang bisa bersembunyi dari Tuhan, karena Tuhan maha mengetahui. Lafaz
Allah yang digunakan oleh Zuhair dalam syairnya, jelas membuktikan
keyakinannya terhadap Allah Tuhan semesta alam.
Pada bait berikutnya, kembali Zuhair menegaskan keyakinannya akan
adanya hari pembalasan sebagai ancaman kepada mereka agar berlaku jujur dan
tidak menyembunyikan niat-niat buruk untuk mengkhianati perjanjian damai.
‫ليوم احلساب أو يعج ْل فينقم‬
‫يؤخر فيوضع ف كتاب فيدخر‬
(balasannya) akan ditangguhkan lalu dicatat dan disimpan
170
Musthafa ‘Abd al-Syafi, Diwan Imri al-Qais, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth),
hal 124-125
171
sumpah yang dilakukan oleh orang fasiq atau orang-orang yang banyak melakukan dosa
dan kebohongan, bukan sumpah yang sebenarnya.
65
untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu disiksa (di dunia)
Ketiga bait syair tersebut membuktikan akan adanya nilai-nilai moralitas
religius pada masa Jahiliyah, yaitu:
1. Keyakinan akan adanya Tuhan YME
2. Keyakinan akan adanya pengawasan dari Tuhan YME
3. Keyakinan akan adanya hari pembalasan (yaum al-hisab)
4. Keyakinan akan adanya balasan (baik dan buruk dari Tuhan)
Nilai-nilai religi tersebut oleh Zuhair digunakan agar semua pihak jujur dan
tidak ada yang mengkhianati perjanjian damai yang sedang digagas.
b. Nilai-nilai moralitas politik
Sebagaimana kita ketahui, bahwa masa Jahiliyah adalah sebuah masa yang
penuh gejolak. Perang menjadi sebuah tradisi dan budaya. Di sisi lain, penyair
banyak diuntungkan oleh kondisi ini. Syair menjadi alat politik yang sangat handal,
baik untuk propaganda, pemberi semangat dalam peperangan, hingga menjadi alat
diplomatik. Zuhair sebagai penyair handal tentu saja tidak jauh dari gejolak politik
yang terjadi saat itu. Meskipun demikian, syair-syair politiknya tidak terlepas dari
nilai-nilai moralitas yang tinggi.
Syair-syair Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas dalam
berpolitik. Tentu saja, politik yang dimaksud di sini tidak terlepas dari kontek
peperangan. Di antaranya terdapat dalam syair Mu’alaqat yang terkait dengan
peristiwa perdamaian antara kabilah ‘Abas dan Dzubyan. Melalui syairnya tersebut,
Zuhair memuji al-Harits ibnu ‘Auf dan Harem ibnu Sinan atas upaya yang
dilakukan keduanya untuk melakukan rekonsiliasi. Inilah syair Mu’allaqat Zuhair
yang terkenal dan sarat dengan nilai-nilai moralitas politik:
‫رجال بَن ْوه من قريش وج ْرهم‬
‫فأقسمت بالبيت الذى طاف حوله‬
Aku bersumpah demi rumah yang selalu digunakan thawaf oleh Bani Quraisy dan
Jurhum
ِ ‫مبكة و‬
‫البيت العتيق املكرم‬
‫وبالالت والعزى الىت يعبدوهنا‬
Dan demi Latta dan ‘Uzza yang mereka sembah di Mekah dan juga di Ka’bah yang
dimuliakan
66
Dalam ke dua bait syair tersebut, Zuhair menggunakan dua buah sumpah,
yang pertama ia bersumpah dengan Ka’bah yang diagungkan oleh bangsa Qurais
‫على كل حال من سحيل ومربم‬
‫ميينا لنعم السيدان وِج ْدمتا‬
Aku bersumpah, engkau berdua adalah sebaik-baiknya pemimpin yang aku dapati di setiap
hal, baik saat lemah ataupun kuat
‫تفانوا ودقوا بينهم عطر َمنشم‬
‫تَدارْكتما َعْبسا وذبيانا بعدما‬
Kalian bertemu atas nama bani Abbas dan Dzubyan (untuk berdamai), setelah
Bertempur dan mencium wangi aroma Mansyim172
‫مبال ومعروف من القول نسلم‬
‫وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا‬
Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan
perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai
‫عيدين فيها من عقوق ومأث‬
َ َ‫ب‬
‫فأصبحتما منها على خري موطن‬
Maka kalian berdua berada pada tempat terbaik, jauh dari kejahatan dan dosa
‫ومن يستبح كنزا من اجملد يعظم‬
ٍ ‫عظيمني ف عليا‬
‫معد ه ِديتما‬
Menjadi mulia, di tempat tertinggi kalian didoakan
Siapa yang menyimpan kemuliaan, ia akan dimuliakan
‫مبجرم‬
ْ ‫ينجمها من ليس فيها‬
‫تعفى الكلوم باملئِني فأصبحت‬
Lukapun terhapus dengan seekor unta, maka luka itu harus ditebus oleh pihak yang tidak
melakukan kesalahan.
Syair di atas juga berbicara tentang konsep diyat dalam politik arab jahiliyyah di
mana darah dibayar dengan diyat, bagi yang membunuh harus membayar diyat, sedangkan
keluarga (laisa fiha bimujrim) harus menghormati keluarga yang dibunuh dan menjalin
silaturahim.
172
Dikatakan bahwa Mansyim adalah nama seorang perempuan yang memiliki aroma
tubuh yang sangat harum. Para kabilah membeli perempuannya sebagai lambang keharuman,
mereka bersumpah atas namanya ketika berperang melawan musuh, bahwa mereka tidak akan
menyerah sampai mampu mengalahkan lawan. Untuk itu, keberuntungan bangsa Arab ditentukan
oleh aroma Mansyim.
67
‫ومل يهريقوا بينهم ملء حمجم‬
‫ينجمها قوم لقوم غرامة‬
Luka itu ditebus oleh kelompok lain sebagai hutang
Dan mereka tidak saling mengalirkan darah dalam mangkuk bekam
‫مغامن شىت من إفال مَزِمن‬
‫فأصبح جيرى فيهم من تالدكم‬
Maka berbagai ghanimah berupa unta yang khas mengalir dari harta peninggalan
kalian.
Nilai-nilai moralitas religi sebelumnya, sebenarnya tidak terlepas dari
konteks politik bangsa Arab saat itu, yaitu tradisi berperang yang terus menerus
terjadi antar kabilah. Empat keyakinan keagamaan yang disebutkan Zuhair dalam
syairnya di atas, menjadi kalimat pembuka dari ajaran moralitas politik yang akan
disampaikannya. Inilah pesan moral Zuhair terkait peperangan yang terjadi pada
masyarakat Arab Jahiliyah:
‫وما هو عنها باحلديث املرجم‬
‫وما احلرب إال ما علمتم وذقتم‬
Perang itu tidak lebih dari apa yang kalian tahu dan rasakan
bukan suatu pembahasan (hal) yang asing
Dalam bait ini, Zuhair ingin mengingatkan bahwa semua orang tahu akibat
dan konsekuensi dari peperangan itu, seperti nyawa melayang, luka, cacat,
kehilangan harta, keluarga, dan lain sebagainya.
‫وتضر إذ ضربتموها فتضرم‬
َ
‫مىت تبعثوها تبعثوها ذميمة‬
Ketika perang itu kalian gelorakan, kalian gelorakan kehinaan
Dan api perang akan menyala saat kalian nyalakan, lalu bergejolak
Untuk itu, siapa saja yang menyulut api perang, sesungguhnya ia tengah
melemparkan dirinya pada kehinaan akibat peperangan.
‫وتلق ْح كشافا ث حتمل فتتئم‬
Lalu perang itu menusuk kulit kalian
Dan membuahi dua kali, lalu melahirkan dan beranak kembar
68
‫فتعرككم عرك الرحا بثفاهلا‬
‫كأمحر عاد ث ترضع فتفطم‬
‫أشأم كلهم‬
َ ‫تج لكم غلمان‬
ْ ‫فت ْن‬
Perang itu lalu melahirkan para pemuda yang buruk untuk kalian
Bagai unta mandul, lalu menyusui dan menyapihnya
Kedua bait terakhir, sebagai perumpamaan bahwa akibat dari peperangan
itu akan melahirkan berbagai petaka yang tidak berakhir, bahkan semakin besar.
Menimbulkan berbagai kerusakan dan kehancuran, serta meninggalkan generasi
yang buruk akibat dendam yang tidak pernah berakhir. Kondisi seperti ini oleh
Zuhair diibaratkan dengan unta mandul yang menyusui dan menyapih, yang
hasilnya tidak mungkin melahirkan generasi yang baik.
Melalui syair Mu’allaqatnya ini, Zuhair ingin menyampaikan beberapa
nilai-nilai moralitas sebagai berikut:
1. Efek buruk peperangan yang dilakukan masyarakat Arab;
2. Perang akan selalu melahirkan dendam.
3. Perdamaian itu adalah segala-galanya.
‫غمارا تفرى بالسالح وبالدم‬
‫رعوا ما رعوا من ظمئهم ث أوردوا‬
Mereka menjaga perdamaian yang seharusnya mereka jaga, lalu mendatangi
Air yang mamancar dengan senjata dan darah
‫إىل كإل مستوبِل متوخم‬
‫فقضوا منايا بينهم ث أصدروا‬
Mereka saling memberi kematian, lalu mendatangi
padang rumput yang kering kerontang
Itulah beberapa pesan moral politik yang disampaikan Zuhair Ibn Abi
Sulma melalui syair Mu’allaqatnya.
c. Nilai-nilai moralitas sosial
Inilah syair-syair Zuhair yang sarat dengan nilai-nilai moralitas sosial.
Sebelum menyampaikan pesan-pesan moralnya, melalui bait syair ini, Zuhair
kembali menegaskan keyakinannya bahwa ia tidak mengetahui hal ghaib yang akan
terjadi esok hari atau yang akan datang:
69
ِ ‫وأعلَم ما ف‬
ِ ‫اليوم و‬
‫األمس قبله‬
ْ
ٍ ‫ولكنّن عن ِع ْل ِم ما ف‬
‫غد ع ِم‬
Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin
Namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari
Bait syair ini, sepertinya sengaja dikatakan oleh Zuhair untuk membantah
pengkultusan bangsa Arab terhadap penyair yang menganggap mereka sebagai
peramal dan penyihir yang mengetahui berbagai hal tentang masa depan. Ini juga
menegaskan bahwa Zuhair sebagaimana dikatakan Farran sesungguhnya pemeluk
agama hanif (tauhid).
Pada bait berikutnya, Zuhair menjelaskan pandangan hidupnya tentang
kematian manusia. Kematian menurutnya bukanlah manusia yang mengatur,
meskipun cara kematian bisa berbeda-beda. Bila ajal telah tiba tidak seorangpun
yang bisa menghindarinya, dan bagi yang selamat dari kematian, ia akan berumur
panjang, lalu tua, dan akhirnya tetap menemui kematian.
‫متته ومن ختطئ يعمر فيهرم‬
‫رأيت املنايا خبط عشواء من تصب‬
Aku lihat kematian yang tidak pernah pandang bulu, siapa yang dikenainya
Pasti akan mati, bila meleset, ia akan berumur panjang, lalu tua
Dari kedua syair tersebut, ada dua sudut pandang yang dikemukakan Zuhair,
yaitu: pertama, bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui akan masa depan
hidupnya, kedua, tidak seorangpun yang tahu takdir kematiannya. Karena tidak
seorangpun yang tahu akan masa depan dan juga takdir kematiannya, maka Zuhair
mengajarkan nilai-nilai moralitas sebagai berikut:
1. Keharusan untuk berkarya
‫يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم‬
‫ومن مل يصانع ف أمور كثرية‬
Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini)
Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta
Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan dan juga tidak tahu
kapan kematian datang menjemput. Oleh karena itu bekerja dan berkarya adalah
harga mati yang harus dilakukannya agar mampu bertahan dan memiliki
70
kehormatan, tidak terhina sebagaimana diumpamakan oleh Zuhair dengan orang
yang digigit dan diinjak-injak unta. Manusia yang seharusnya menguasai kehidupan
(unta), bukan sebaliknya ia diperbudak unta (kehidupan). Pesan moral yang
terkandung dalam bait syair ini tidak akan lekang oleh waktu. Bekerja dan berkarya
akan menjadikan manusia semakin berharga dan tidak menjadi sampah masyarakat,
seperti disimbolkan oleh Zuhair dengan seseorang yang digigit dan diinjak-injak
unta.
2. Memelihara kehormatan diri
‫ ومن ال يتق الشتم يشتم‬،‫يفره‬
‫ومن جيعل املعروف من دون عرضه‬
Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan
Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci
Pada bait ini ada dua pesan moral yang ingin disampaikan oleh Zuhair,
pertama, kebaikan harus dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan ikhlas,
kebaikan itu dengan sendirinya akan memelihara kehormatan dirinya. Kedua,
jangan suka mencaci dan menghina orang lain, karena pasti ia juga akan dicaci dan
dihina. Pesan moral yang pertama, terkait erat dengan pesan moral yang kedua.
Zuhair sepertinya ingin menegaskan bahwa kebaikan yang diberikan pada
seseorang hendaknya tidak diikuti dengan dengan keikhlasan tanpa caci maki dan
hinaan pada penerimanya.
3. Sifat dermawan versus sifat kikir
Nilai-nilai moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair adalah
keistimewaan sifat dermawan dan efek buruk dari sifat kikir.
‫على قومه يستغن عنه ويذمم‬
‫ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله‬
Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut
Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela...
Kata fadhl (‫ )فضل‬dalam kamus diartikan dengan kebaikan, kebajikan,
keunggulan, kelebihan, sisa dan makna sejenis. Namun kata fudhul (‫ )فضول‬dalam
bentuk jamak dalam kamus al-Munawwir diartikan dengan kelebihan harta (yang
71
lebih dari keperluan).173 Sehingga secara umum kata fadhl bisa diartikan dengan
segala kelebihan atau keunggulan yang dimiliki seseorang, bisa berbentuk harta
benda atau yang kebaikan lainnya.
Menurut Zuhair, seseorang yang diberi kelebihan harta atau kebaikan
lainnya lalu ia bersikap kikir (‫ )يبخل‬pada kaumnya, ia tidak diperlukan oleh
masyarakat dan akan dicela. Zuhair menggunakan kata qaum sebagai objek dari
kebaikan yang harus diberikan seseorang yang memiliki kelebihan. Kaum diartikan
dengan rakyat, bangsa, sanak keluarga, dan kelompok lainnya. Hal ini
menunjukkan adanya nilai-nilai moralitas kolektif yang ingin diajarkan oleh Zuhair
pada masyarakat saat itu. Bahwa perilaku kikir terhadap kelebihan yang dimiliki
oleh seseorang, akan mendapat konsekuensi sosial, yaitu ia tidak dianggap oleh
masyarakat atau bahkan dilecehkan dan hina.
Inilah sebuah ajaran etika yang disebut dengan teleologis yang mengukur
baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan
tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu
tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.174
Pada hakekatnya Zuhair secara tidak langsung telah menganut aliran
unilitarianisme sebuah prinsip hidup yang menilai baik atau tidak suatu perbuatan,
susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang
dihasilkan. Suatu prinsip yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang.
Zuhair telah menganut teori etika yang disebut dengan universalisme etis.
Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak
mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu,
tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan
manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat.
Dalam teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan
173
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Pustaka Progressif, 1997, ct. 16, h. 1061
174
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72
72
kebaikan kepada orang banyak.175 Dan pada masa Jahiliyyah, larangan akan
perilaku kikir, serta konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya, tampak nyata
dijelaskan oleh Zuhair.
4. Menepati Janji
Ajaran moralitas berikutnya yang disampaikan oleh Zuhair adalah
keharusan sesorang untuk senantiasa menepati janji.
‫إىل مطمئن الرب ال يتجمجم‬
ِ
ِ ‫ذم ْم ومن ي ْف‬
‫ض قلبه‬
َ ‫ومن يوف ال ي‬
Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya
ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu
Menurut Zuhair, kebiasaan menepati janji akan menimbulkan efek sebagai
berikut: 1) ia tidak akan jatuh pada kehinaan, dengan kata lain hidup terhormat, 2)
Hatinya akan merasa tenang, 3) senantiasa dituntun pada arah kebaikan, 4) tidak
terkena penyakit ragu. Seseorang yang tidak menepati janji, lebih dekat pada sifat
penghianat.
5. Percaya akan takdir Tuhan
Bait syair di bawah ini erat kaitannya dengan keyakinan Zuhair terhadap
agama samawi.
‫ولو نال أسباب السماء يسلم‬
‫ومن هاب أسباب املنايا ينلنه‬
Siapa yang takut dengan penyebab kematian, dia akan mendapatkannya
Namun bila menerima ketentuan langit, maka ia akan selamat
Sangat jelas, dalam bait syair ini Zuhair percaya akan kekuatan lain selain
kekuatan yang ada di bumi. Kekuatan yang ada di bumi yakni para penguasa,
peperangan, alam yang berat, dan lain sebagainya. Kata “jika menerima ketentuan
langit” yang diinginkan oleh Zuhair sesungguhnya adalah penguasa langit yakni
Tuhan semesta alam yang menguasai langit dan bumi. Ketika manusia
menyerahkan hidupnya pada penguasa langit, maka dijamin hidupnya akan selamat.
175
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79
73
6. Menempatkan kebaikan pada tempatnya
Pada bait syair berikut ini, Zuhair ingin menyampaikan kepada kita, bahwa
kebaikan itu harus diberikan kepada yang berhak menerimanya. Jika salah sasaran,
bukan kebajikan yang didapat, namun bisa jadi kecelakaan yang datang.
176
‫يكن محده ذما عليه ويندم‬
‫ومن جيعل املعروف ف غري أهله‬
Siapa yang berbuat kebaikan bukan pada tempatnya,
Bukan pujian yang ia terima, tapi cercaan yang ia dapat, dan penyesalan
Untuk menjelaskan bait tersebut, saya coba untuk memberi contoh. Bila
seseorang memiliki kelebihan harta, lalu harta tersebut diberikan pada orang yang
membutuhkan, seperti kepada faqir miskin, yatim, fi sabilillah, dan lainnya, maka
bisa dikatakan bahwa orang tersebut telah menempatkan kebajikan pada tempatnya.
Jika negara, sebagai contoh, saat ini memberikan dana bantuan sosial kepada
masyarakat miskin, namun yang menerima ternyata orang-orang yang mampu,
maka bisa dipastikan, pemerintah bukan menerima pujian dari masyarakat, namun
yang ada menerima hinaan dan cercaan.
Ajaran ini sesungguhnya berlaku sepanjang masa. Saya yakin, nilai-nilai
moralitas yang disampaikan oleh Zuhair sesungguhnya diambil dari pengalaman
hidup yang ia terima, atau ia lihat dan dirasakan.
7. Keharusan membela kehormatan
Keharusan membela diri dan kehormatan, merupakan bagian dari kewajiban
manusia, bukan hanya terjadi pada masa Jahiliyah yang lekat dengan dunia perang.
Zuhair dalam bait syairnya mengatakan:
‫ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم‬
‫ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه‬
Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata
Ia akan hancur, dan siapa yang tidak menzalimi, dia akan dizalimi
Ali Fa’ur (syarah), Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2003 M), h. 111
176
74
Bait syair ini sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis masyarakat Arab saat
itu. Bait ini erat hubungannya dengan kontek peperangan. Hal ini tampak dari kata
silah (senjata) yang digunakan oleh penyair. Sesungguhnya, bait syair di atas bukan
dimaksudkan untuk saling menzalimi, namun untuk menyatakan bahwa siapa yang
kuat, dia akan menang dan yang lemah akan kalah. Manusia diwajibkan membela
kehormatan dirinya, untuk itu, ia dituntut menjadi orang yang kuat.
8. Etika pergaulan
Ajaran moralitas lainnya yang juga disampaikan oleh Zuhair melalui
syairnya adalah etika pergaulan.
‫ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم‬
‫يغرتب َيسب َعدوا صديقه‬
ْ ‫ومن‬
Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh
Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai
Menurut Zuhair, bergaul itu merupakan suatu keharusan. Sebab dengan
bergaul kita akan mengenal mana kawan dan mana lawan, sehingga tidak salah
dalam menempatkan diri dan akhirnya merugikan diri sendiri. Orang yang tidak
mau bergaul dengan orang lain, berarti tidak menghormati dirinya sendiri.
Bagaimana ia akan menempatkan dirinya di antara manusia lain, tanpa ia mengenal
siapa yang akan menghormatinya, dan siapa pula yang harus ia hormati.
9. Menjaga akhlak
Bait syair ini lebih dekat pada ajaran “tampillah apa adanya” jangan dibuatbuat, jangan bersikap munafiq.
‫وإن خاهلا ختفى على الناس تعلم‬
‫ومهما تكن عند امرئ من خليقة‬
Akhlak (baik ataupun buruk) seseorang itu, meskipun ia mengira bisa disembunyikan
dari manusia, tetap saja tercium
Jika berbuat salah, hendaklah mengakui kesalahannya dan jangan
menyembunyikannya, sebab serapat-rapatnya orang menyimpan bangkai, lambat
laun akan tercium juga.
75
10. Cara berkomunikasi
‫زيادته أو نقصه ف التكلم‬
‫وكائن ترى من معجب لك شخصه‬
Berapa banyak orang yang engkau lihat menakjubkan
Saat berbicara, panjang ataupun singkat
Kita sering melihat dan mendengar seseorang yang sangat menarik saat
berbicara, saat panjang lebar ataupun bicara singkat. Lalu ia tegaskan akan
pentingnya nilai-nilai moralitas dalam berkomunikasi:
‫فلم يبقى إال صورة اللحم والدم‬
‫ ونصف فؤاده‬،‫لسان الفىت نصف‬
Ucapan seorang pemuda itu, separuh dari dirinya, separuh lagi adalah hatinya
Jika tidak, pemuda itu hanyalah gumpalan daging dan darah.
11. Kehebatan anak muda
Pemuda menurut Zuhair adalah sosok yang memiliki kehidupan yang masih
panjang dan harus bermimpi untuk menggapai cita-cita, sebaliknya orang yang
sudah tua, tidak usah banyak bermimpi, sebab manfaatnya sudah tidak terlalu besar.
177
‫وإن الفىت بعد السفاهة َيلم‬
‫وإن سفاه الشيخ ال حلم بعده‬
Orang tua yang bodoh, tak memiliki mimpi
Sedangkan anak muda, setelah kebodohan ia bermimpi
Dalam menyampaikan nilai-nilai moralitas di atas, Zuhair tidak
menggunakan gaya bahasa yang bersifat memerintah, namun lebih pada peringatan
dan sebab akibat yang akan diperoleh. Bila buruk, maka hasil yang diperoleh adalah
keburukan, dan jika baik, hasil yang diperolehpun adalah kebaikan pula. Hal ini
menunjukan kearifan yang dimilikinya.
D. Analisis Nilai-nilai Moralitas
Sebagaimana dibahas pada bab 2, bahwa secara garis besar tolak ukur
moralitas dibagi ke dalam dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Deontologis
Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005
M/1426 H), h.42-44
177
76
mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan
dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu
perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan.178 Maka berdasarkan teori tersebut,
bisa dipastikan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma dalam mengajarkan nilai-nilai
moralitasnya, baik buruknya diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan. Dengan
kata lain, jika kamu melakukan ini, maka akan begini, atau siapa yang melakukan
hal ini, maka akan begini..
Contoh:
‫إىل مطمئن الرب ال يتجمجم‬
ِ
ِ ‫ذم ْم ومن ي ْف‬
‫ض قلبه‬
َ ‫ومن يوف ال ي‬
Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya
ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu
Hal ini sesuai dengan teori etika teleologis yang mengukur baik buruknya
suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik,
kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.179
Teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat. Teori ini
kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut
aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi
kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini
disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan,
menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari
segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.180
Kalau egoisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik
atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai
baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu
bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan
universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna
178
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67
179
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72
180
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76
77
bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan
dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan
kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan
memperbesar manfaat. 181
Berdasarkan teori filsafat etika tersebut, bila melihat pada syair-syair Zuhair
di atas, maka kita dapat mengatakan bahwa Zuhair ibnu Abi Sulma sesungguhnya
telah mengajarkan pada kita tentang nilai-nilai moralitas universal. Menurut teori
universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada
orang banyak.182
Hanya saja yang agak sulit dibedakan, apakah nilai-nilai moralitas yang
diajarkan oleh Zuhair ibn Abi Sulma merupakan nilai-nilai moralitas yang dasarnya
adalah agama, atau hanya sebatas ajaran kehidupan yang ia peroleh dari
pengalaman hidup yang ia dapatkan. Bila Zuhair termasuk penganut agama hanif
dan berlandaskan tauhid ilahiyah, maka bisa diyakini bahwa ajaran yang
disampaikan tersebut merupakan bagian dari ajaran-ajaran agama. Sebab
sebagaimana disampaikan oleh Burhanudin Salam, bahwa pada dasarnya antara
etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya:
-
Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan
meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan
perbuatan baik dan buruk.
-
Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak
memaksa.183
Adapun perbedaannya adalah:
-
Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan
segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika
bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian.
-
Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua
kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia.
181
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77
182
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79
183
Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183
78
Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat.
Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di
alam fana ini.
Dalam syairnya, Zuhair jelas menyatakan akan keyakinannya terhadap hari
akhirat bahkan adanya hari pembalasan yang disimpan dan suatu saat akan dimintai
pertanggungjawaban. Dengan ini saya menyimpulkan, bahwa seseungguhnya nilainilai moralitas yang ada pada masa Jahiliyah sesungguhnya bersumber pada ajaran
agama dan juga pengalaman hidup dari penyair itu sendiri.
Hal ini juga mematahkan pendapat Muhammad Yusuf Farran yang
mengatakan bahwa sebagian periwayat dan juga analis menganggap bahwa Zuhair
sebenarnya memeluk agama nenek moyangnya yang disebut dengan watsani
(penyembah berhala). Kalaupun dalam syair-syairnya ada yang mengandung
makna tauhid, semata-mata hanya perasaan yang dihasilkan dari pengalaman
hidupnya.184
E. Tinjauan Islam terhadap nilai-nilai moralitas dalam syair Jahiliyyah
Syair-syair Zuhair sesungguhnya banyak mengandung perumpamaanperumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah
difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair zuhair juga banyak
menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari.
Islam sesungguhnya mengajarkan umatnya nilai-nilai moralitas universal.
Apa yang disampaikan oleh Zuhair dalam syair-syairnya di atas, hanyalah sebagian
kecil dari nilai-nilai moralitas universal tersebut. Lalu bagaimana menurut
pandangan Islam tentang nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair yang
lahir pada masa Jahiliyah?
Nilai-nilai moralitas dalam bahasa Arab dan diserap ke dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah akhlak yang merupakan bentuk jamak dari khuluk.
Dalam Ensiklopedi Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, sumber akhlak dibagi ke
dalam dua bagian, yaitu: Akhlak yang bersumber pada agama dan akhlak yang
bersumber dari pengalaman.
184
Muhammad Yusuf Farran, Zuhair Ibnu Abi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1990), h. 37
79
Dalam agama Islam, akhlak bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Ahzab: 21:
ِ ‫ول‬
ِ ‫لََق ْد َكا َن لَكم ِيف رس‬
‫اَّلل أ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكا َن يَ ْرجو اَّللَ َوالْيَ ْوَم ْاآل ِخَر َوذَ َكَر اَّللَ َكثِريا‬
َ ْ
)12 :‫(األحزاب‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS.33:21) Al Ahzab 21
Adapun akhlak yang bersumber bukan pada agama dikelompokkan menjadi
dua, yaitu bersumber dari insting dan pengalaman.
Akhlak atau nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair pada masa
Jahiliyah kemungkinan bersumber dari ajaran agama atau bisa juga dari
pengalaman hidupnya. Penyebutan symbol-simbol keagamaan dalam syairsyairnya menunjukkan bahwa ia meyakini agama hanif (Ibrahim), namun juga tidak
sedikit ajaran-ajaran moralitas yang ia kemukakan bersumber dari pengalamannya,
hal itu tampak pada konektivitas nilai-nilai moralitas dengan kondisi sosiologis
yang terjadi pada masa itu.
Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair
ibn Abi Sulma menurut pandangan ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan
al-Hadis.
a. Nilai-nilai Moralitas Politik
Perang bagi masyarakat Arab Jahiliyah ibarat makanan sehari-hari. Oleh
karena itu, boleh jadi kerinduan yang paling dirasakan oleh masyarakat Jahiliyah
yang memiliki hati nurani adalah perdamaian antar bangsa Arab saat itu. Hal ini
jelas terungkap dalam syair Mu’allaqat Zuhair Ibn Abi Sulma, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya.
Syair Mu’allaqat Zuhair ibn Abi Sulma pada dasarnya adalah negosiasi dan
diplomasi perdamaian antara kabilah Dzubyan dan Abbas. Secara ringkas, pesan
etika politik perdamaian yang terdapat dalam syair Mu’allaqat Zuhair adalah
sebagai berikut:
80
1. Perlu Pengorbanan
‫مبال ومعروف من القول نسلم‬
‫وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا‬
Kalian telah mengatakan, andai perdamaian itu bisa kita dapatkan lewat harta dan
perkataan yang baik secara luas, marilah kita berdamai
2. Jujur dan bersungguh-sungguh
‫وذبيان هل أقسمتم كل م ْقسم‬
‫أال أبلغ األحالف عين رسالة‬
Mohon sampaikan pada para pemimpin (bani Asad dan Ghatfan) pesan dariku
Dan juga Dzubyan, apakah kalian siap bersumpah secara sungguh-sungguh?
‫ليخفى ومهما ي ْكتَ ِم هللا يعلَ ِم‬
‫فال تكتمن هللا ما ف صدوركم‬
Janganlah engkau menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu dari Allah
Untuk bersembunyi, sebab apapun yang engkau sembunyikan dari Allah, pasti
diketahuiNya.
Terkait etika politik berdamai dan perdamaian, Islam telah memberikan
rambu-rambu yang jelas dan komprehensif. Dalam Ensiklopedia Pengetahuan AlQur’an dan Hadits185 disebutkan hal-hal yang terkait dengan etika berdamai dan
perdamaian, yaitu :
1. Larangan melakukan kezaliman
Dalam syair Zuhair:
‫ي َهد ْم ومن ال يظلم الناس يظْلَم‬
‫ومن مل يذذ عن حوضه بسالحه‬
Siapa yang tidak mempertahankan kehormatan dirinya dengan senjata
185
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadis, h. 19-29.
81
Ia akan hancur, dan siapa yang tidak menzalimi, dia akan dizalimi
2. Adanya persamaan derajat
3. Menjunjung tinggi keadilan
4. Memberi kebebasan
5. Menyeru kerukunan dan tolong menolong
6. Menganjurkan toleransi
7. Meningkatkan solidaritas social
8. Jujur
9. Senyum dan bermuka cerah
Itulah beberapa hal yang terkait dengan rahasia berdamai dan perdamaian
dalam Islam.
Dalam al-Qur’an telah dijelaskan konsep perdamaian secara gambling.
Sebagai contoh terdapat pada QS. Al-Hujurat: 9 berikut ini:
ِ
ِ ِ ‫وإِن طَآئَِفت‬
ِِ‫اُهَا َعلَ ٰى ٱألُ ْخ َر ٰى فَ َاِِلُواْ ٱلت‬
ُ ‫ت إِ ْح َد‬
ْ َ‫َصلِ ُحواْ بَ ْي نَ ُه َما فَِإن بَغ‬
َ
ْ ‫ني ٱقْتَتَ لُواْ فَأ‬
َ ِ‫ان م َن ٱل ُْم ْؤمن‬
َ
ِ‫ِ َِِفيء إِ َ َٰل أَم ِر ت‬
ِِ
ِ ‫ت فَأَصلِحواْ ب ي نَ هما بِٱلْع ْد ِل وأَق‬
ِ
‫ني‬
‫ْسطُۤواْ إِ تن ت‬
َ ‫ٱَّللَ ُُِ ُّ ٱل ُْم َْسط‬
ْ َ ۤ ٰ ‫َِ ْبغى َح ت‬
َ َ َ ُ ْ َ ُ ْ ْ ‫آء‬
َ َ‫ٱَّلل فَِإن ف‬
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Hujurat :
9)
b. Nilai-nilai Moralitas Sosial
1. Larangan bersikap kikir
Di antara ajaran akhlak yang disampaikan oleh Zuhair adalah larangan
bersikap kikir atau pelit, seperti yang terdapat pada bait ini:
‫على قومه يستغن عنه ويذمم‬
82
‫ومن يك ذا فضل فيبخل بفضله‬
Siapa yang diberi kelebihan, namun tidak mau berbagi kelebihannya tersebut
Dengan kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan tercela...
Lalu bagaimana pandangan Islam tentang sifat kikir ini? Kikir di dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah bakhil, yaitu sifat atau keadaan seseorang yang
berat hati dan tangan untuk membelanjakan hartanya atau apa yang dimilikinya
sebagai sedekah, zakat, atau derma, dalam hal menegakkan urusan agama,
meninggikan syiar Islam, atau urusan yang berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Sifat Bakhil sangat dicela dalam ajaran Islam.186
Allah SWT berfirman:
ِ
‫ضلِ ِه ه َو َخْي را َهل ْم بَ ْل ه َو َش ٌّر َهل ْم َسيطَوقو َن‬
ْ َ‫ين يَْب َخلو َن ِمبَا آَتَاهم اَّلل ِم ْن ف‬
َ ‫َوَال ََْي َس ََب الذ‬
ِِ ِ ِ
ِ ‫َّلل ِمرياث السماو‬
ِِ ِ
ِ ‫ات َو ْاأل َْر‬
)281( ٌ‫ض َواَّلل ِمبَا تَ ْع َملو َن َخبِري‬
ََ
َ ‫َما ََبلوا به يَ ْوَم الْقيَ َامة َو‬
Artinya:
Dan sungguh jangan sekali-kali orang yang bakhil terhadap karunia yang Allah
beri itu menyangka bahwa (kebakhilan mereka) baik bagi mereka. Justru itu adalah
keburukan bagi mereka. Mereka akan dibelenggu dengan menggunakan apa yang
mereka bakhilkan di hari kiamat. Sedang hanya milik Allah-lah warisan-warisan
langit-langit dan bumi. Dan Allah itu maha banyak khabarnya tentang apa yang
kalian kerjakan. (QS. Ali Imran:180)
Rasulullah SAW bersabda:
)‫ بعيد من الناس (رواه الرتمذى‬،‫ بعيد من اجلنة‬،‫البخيل بعيد من هللا‬
“Orang yang bakhil jauh dari Allah; jauh dari surga dan jauh dari manusia”.
(Hadits riwayat Turmudzi)”.
)‫الرتمذى‬
‫ال يدخل اجلنة حب وال َبيل وال منان (رواه‬
“Tak akan masuk surga orang yang suka menipu, orang bakhil dan orang yang
suka mengharap-harapkan pemberian dari orang lain. (Hadits riwayat Turmudzi)”
‫اياكم والشح فان الشح أهلك من كان قبلكم امرهم بالقطيعة فقطعوا وأمرهم بالبخل‬
)‫فبخلوا وامرهم بالفجور ففجروا (رواه االمام امحد‬
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta:
Kamil Pustaka, 2013), Jilid 6, h. 192
186
83
“Hati-hatilah kamu terhadap sifat bakhil, karena bakhil telah merusak orangorang sebelum kalian. Sikap bakhil menyuruh mereka untuk memutuskan
silaturahmi lalu mereka memutuskannya, menyuruh mereka bersikap kikir dan
mereka kikir dan menyuruh mereka berbuat maksiat, lalu mereka berbuat
maksiat.”( Hadits riwayat Imam Ahmad).
Bila kita amati, ada hal yang sangat menarik dari apa yang disampaikan
Zuhair melalui syairnya di satu sisi dan ayat al-Qur’an dan Hadits di sisi lain, yaitu:
1. Syair Zuhair maupun al-Qur’an dan Hadis sepakat bahwa sifat bakhil adalah
sifat yang tercela.
2. Dalam syair Zuhair disebutkan bahwa orang yang bakhil akan dijauhi dan
dihinakan oleh masyarakat sebagai konsekuensi dari kekikirannya.
3. Dalam al-Qur’an dan Hadits selain konsekuensi dunia, seperti dijauhi oleh
sesama manusia, konsekuensi dari sikap bakhil juga selalu dihubungankan
dengan konsep keimanan, seperti dijauhkan dari surga dan ancaman neraka
sebagai balasan di akhirat dan hari kiamat.
Berdasarkan hal tersebut bisa disimpulkan bahwa larangan bersikap bakhil
pada masa Jahiliyah bersumber dari pengalaman masyarakat Arab saat itu, di mana
seseorang yang bersikap kikir, ia akan dijauhi dan hina di mata masyarakat. Adapun
larangan bakhil dalam ajaran Islam bersumber dari konsep keimanan kepada Allah
SWT. Untuk itu, selain hukuman yang bersifat kemanusiaan, konsekuensi lainnya
terkait dengan hukum akhirat.
2. Keharusan untuk berkarya
‫يضرس بأنياب ويوطأ مبنسم‬
‫ومن مل يصانع ف أمور كثرية‬
Siapa yang tidak mampu berbuat banyak (dalam hidup ini)
Dia akan digigit taring-taring dan diinjak-injak telapak unta
Keharusan bekerja dan berkarya dalam syair tersebut erat hubungannya
dengan konteks sosiologis pada masa Jahiliyah yaitu masa yang penuh dengan
peperangan. Syair ini pada hakikatnya ingin mengatakan bahwa siapa yang kuat,
maka dia yang menang, dan siapa yang lemah, maka akan terinjak-injak dan terhina.
84
Dalam Islam, keharusan untuk berkarya terkait erat dengan amal saleh dan
keimanan seseorang. Amal dan iman menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan,
seperti terlihat dalam ayat di bawah ini:
ِ
ِ ِ
ِ ‫احل‬
ِ
‫ك ه ْم َخْي ر الَِْربي ِة‬
َ ِ‫ات أ ْولََئ‬
َ ‫ين َآمنواْ َو َعملواْ الص‬
َ ‫إن الذ‬
“Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal shalih, mereka adalah
Khairul Bariyyah (sebaik-baik manusia).”
Secara universal, ada kesamaan nilai yang ingin disampaikan, bahwa
bekerja dan berkarya merupakan keharusan seorang manusia, hanya saja, bila
dalam syair Zuhair, seseorang yang tidak bekerja dan berkarya hanya mendapat
akibat dunia, namun dalam ajaran Islam menjadi sebuah bukti dari keimanan
seseorang pada yang kuasa. Adapun konsep ajaran moralitas tentang kewajiban
untuk bekerja dan berkarya pada masa Jahiliyah lebih bersumber dari pengalaman
hidup manusia saat itu.
3. Menepati Janji
Ajaran moralitas berikutnya yang disampaikan oleh Zuhair adalah
keharusan sesorang untuk senantiasa menepati janji.
‫إىل مطمئن الرب ال يتجمجم‬
ِ
ِ ‫ذم ْم ومن ي ْف‬
‫ض قلبه‬
َ ‫ومن يوف ال ي‬
Siapa yang menepati janji, ia tidak akan dihina, dan siapa yang dituntun hatinya
ke arah kebaikan, dia tidak akan pernah merasa ragu
Menurut Zuhair, kebiasaan menepati janji akan menimbulkan efek sebagai
berikut: 1) ia tidak akan jatuh pada kehinaan, dengan kata lain hidup terhormat, 2)
Hatinya akan merasa tenang, 3) senantiasa dituntun pada arah kebaikan, 4) tidak
terkena penyakit ragu. Seseorang yang tidak menepati janji, lebih dekat pada sifat
penghianat.
Lalu bagaimana menurut ajaran Islam? Allah SWT berfirman dalam surat
al-Isra ayat 34:
)43 :‫َوأ َْوفوا بِالْ َع ْه ِد ۖإِن الْ َع ْه َد َكا َن َم ْسئوال(اإلسراء‬
85
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
baik (bermanfa`at) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isra: 34)
Dalam ayat lainnya disebutkan:
ِ ِ‫اَّلل إِ َذا عاه ْدُت وَال تَ ْن قضوا ْاأل َْميا َن ب ع َد تَوك‬
ِ ‫وأَوفوا بِعه ِد‬
‫يد َها َوقَ ْد َج َع ْلتم اَّللَ َعلَْيكم‬
َْ ْ َ
َ ْ ََ
ْ َْ َ
)12:‫َك ِفيال ۖإِن اَّللَ يَ ْعلَم َما تَ ْف َعلو َن (النحل‬
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah
kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang
kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (al-Nahl: 91)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Buraidah, katanya, “ ayat ini turun tentang
baiat Nabi Muhammad SAW. “ Baian ini adalah yang kalian ikrarkan untuk masuk
Islam.” Al-Qurthubi menambahkan bahwa ayat ini turun tentang komitmen
terhadap sumpah yang dipegang pada masa Jahiliyah dan Islam mengajarkan untuk
menepatinya.187
Rasulullah saw bahkan menegaskan melalui hadisnya bahwa orang yang
tidak suka menepati janji masuk dalam kategori golongan munafik:
4. Memelihara kehormatan diri
‫ ومن ال يتق الشتم يشتم‬،‫يفره‬
‫ومن جيعل املعروف من دون عرضه‬
Siapa yang berbuat kebaikan bukan untuk mencari kehormatan
Kebaikan itu pasti akan menjaganya, dan siapa yang suka mencaci, pasti akan dicaci
Pada bait ini ada dua pesan moral yang ingin disampaikan oleh Zuhair,
pertama, kebaikan harus dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan ikhlas,
kebaikan itu dengan sendirinya akan memelihara kehormatan dirinya. Kedua,
jangan suka mencaci dan menghina orang lain, karena pasti ia juga akan dicaci dan
dihina. Pesan moral yang pertama, terkait erat dengan pesan moral yang kedua.
187
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, h. 118
86
Zuhair sepertinya ingin menegaskan bahwa kebaikan yang diberikan pada
seseorang hendaknya tidak diikuti dengan dengan keikhlasan tanpa caci maki dan
hinaan pada penerimanya.
Dalam syair di atas ada dua pesan moral yang kontradiktif, yang pertama
adalah pesan agar melakukan suatu kebaikan dengan ikhlas bukan karena tendensi
tertentu. Lawan dari ikhlas adalah riya. Di dalam al-Qur’an, ajaran tentang
keikhlasan sangat banyak, seperti :
ِِ ِ
ِ ُ‫قُل إِ تن صالَِِى ون‬
‫ني‬
َ ‫ل ٱل َْعالَ ِم‬
ِْ َ ‫اى َوَمََاِى تَّلل‬
َ
َ َ‫سكى َوََْمي‬
ْ
ُ َ
Katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah
untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-An’am : 162)
Pesan yang kedua adalah larangan untuk menghina orang lain, karena
akibanya akan dihina kembali. Adapun ayat al-Qur’an yang melarang untuk
menghina orang lain adalah :
ٍ ِْ‫يأَي ها ٱلت ِذين آمنواْ الَ يس َخر قَ وم ِمن قَ وٍم عسى أَن ي ُكونُواْ خْياً ِم ْن هم والَ نِسآء ِمن ن‬
‫س ٰى‬
َ
َ ٰ َ َ ْ ْ ٌ ْ ْ ْ َ َُ َ
َ ‫سآء َع‬
َ ْ ٌ َ َ ْ ُ ْ َْ
ِ
ِ َ‫ال بِْئس ٱالسم ٱلْ ُفسو ُق ب ْع َد ٱَإََم‬
ِ
‫ان‬
َ ُ ُ ْ َ ِ َْ‫س ُك ْم َوالَ َِ نَابَ ُزواْ بِٱألَل‬
َ ‫أَن يَ ُك تن َخ ْْياً ْم ْن ُه تن َوالَ َِ لْم ُزۤواْ أَن ُف‬
)11 : ‫ك ُه ُم ٱلظتالِ ُمو َن (احلجرات‬
َ ِ‫ ُّ فَأ ُْولَٰئ‬
ْ ُ‫َوَمن تَّلْ يَت‬
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang
lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita
lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburukburuk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim (QS Al-Hujurat :
11).
5. Etika bergaul
87
‫ومن ال يكرم نفسه ال ي َكرم‬
‫يغرتب َيسب َعدوا صديقه‬
ْ ‫ومن‬
Siapa yang tidak suka bergaul, ia akan mengira sahabat sebagai musuh
Dan siapa yang tidak menghargai dirinya sendiri, tidak akan dihargai
Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa nilai-nilai moralitas yang
disampaikan Zuhair Ibn Abi Sulma dalam syairnya bersumber dari pengalaman
pribadinya dan juga masyarakat yang ada di sekitarnya. Meskipun demikian, ada
juga yang dilandasi dengan nilai-nilai keyakinannya pada Tuhan dan juga hari
pembalasan, terutama menyangkut kejujuran seseorang, sesuatu yang tidak bisa
dilihat dengan pandangan mata.
Adapun nilai-nilai moralitas dalam Islam bersumber pada Kitab Suci alQur’an dan Sunah Nabi SAW, dan terkait dengan keimanan kepada yang Maha
Pencipta.
Secara umum, nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Zuhair tidak jauh
berbeda dengan nilai-nilai moralitas yang disampaikan oleh Islam, meskipun dalam
beberapa hal harus dipahami dengan konteks social politik yang terjadi saat itu.
Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya bangsa Arab Jahiliyah telah memahami
nilai-nilai moralitas universal yang bersumber dari pengalaman hidup mereka, dan
sebagian bahkan dihubungkan dengan nilai-nilai moralitas keagamaan meskipun
dalam skala yang sangat minim.
88
BAB VI
KESIMPULAN
Sebagaimana disampaikan di awal pembahasan mengenai tujuan dari
penelitian yaitu ingin mengungkap pesan moral atau nilai-nilai moralitas yang
terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, serta mengetahui sudut
pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair Ibnu Abi
Sulma, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama.
Berdasarkan hasil analis dengan menggunakan pendekatan strukturalis
genetik, saya menyimpulkan sebagai berikut:
1. Syair Mu’allaqat Zuhair banyak mengajarkan nilai-nilai moralitas
universal, baik yang terkait dengan etika politik masa itu ataupun yang
terkait dengan moralitas social secara umum. Nilai-nilai moralitas yang
disampaikan Zuhair dalam syair Mu’allaqat bersumber dari pengalaman
pribadi dan masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini terbukti dari gaya
bahasa jumlah syarthiyyah (klausa bersyarat) yang digunakan Zuhair
yang merujuk pada sebab akibat yang akan terjadi di dunia, tanpa
melibatkan keyakinan kepada Tuhan dan hari akhir. Namun demikian,
ada di antaranya yang disandarkan pada keyakinan pada yang Kuasa,
terutama menyangkut hal-hal yang tidak bisa dilihat, seperti kejujuran
dan kebohongan dalam bersumpah.
2. Dalam ajaran Islam, nilai-nilai moralitas yang disampaikan Zuhair
secara umum tidak jauh berbeda, hanya saja nilai-nilai moralitas yang
ada dalam Islam selalu bersumber pada keyakinan kepada Tuhan yang
maha Kuasa, janji adanya surga, ancaman adanya neraka, pembalasan
di hari kiamat, dan lain sebagainya.
Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah makhluk yang mulia (fî ahsan
taqwîm), (QS 95:4) diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam
diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan
kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun (QS 2:30; QS
18:50). Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai
khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di
89
muka bumi (QS 33:72). Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga
diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan
kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, hanya saja tidak berlandaskan
ketuhanan yang Maha Esa.
‫وهللا أعلم بالصواب‬
90
DAFTAR PUSTAKA
Abecrombie, Nocholas, dkk, Kamus Sosiologi (terjemah), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010
Abdurrahim, Wa’il Sayyid, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi,
Jami’ah Helon: Darul ilmi wa al- Iman, 2009
`Abdusâtir, `Abbâs, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-`Ilmiyah, 1416 H/1996 M)
Abubakar, Irfan & Chaider S. Bamualim (Editor), Filantropi Islam &
Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC, 2006
Abu al-Khasab, Ibrâhîm ‘Ali, dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts
fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961
Ahmad al-Syayib, Ushul al-Naqd al-Adabi, Kairo: Maktabah al-Nahdah alMisriyyah, 1964
Alam, Zafar, Education in Early Islamic Period, Delhi-6: Markazi Maktaba
Islami, 1997
Allen, Roger, An Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University
Press, 2000
Ali, Abduridha, Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimuhu wa Haditsuhu, Oman:
Dar al-Syuruq, 1997 M
‘Arif, Khairan Muhammad, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim
al-Jauziyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural
Values as a Basis for Character Building, Jakarta: Tarjamah
Center, 2013
Asad, Nâshir al-Dîn, al-, Mashâdir al-Syi`r al-Jâhili wa Qîmatuhâ alTârikhiyah, Beirut: Dâr al-Jail, 1988
`Athwân, Husein, Muqaddimah al-Qashîdah al-`Arabiyah fi al-Syi`r alJâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth
Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 1999
91
Dlaif, Syauqi, Târikh al-Adab al-Arabi; al-‘Ashr al-Jâhili, tp: Dâr alMa’ârif, 1965
Endarmoko, Eko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model,
Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama 2003
Esten, Mursal,
Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, Bandung:
Angkasa, 2000
Farran, Muhammad Yusuf, Zuhair Ibn Abi Sulma: Hayatuhu wa Syi’ruhu,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990
Fa’ur, Ali, Diwan Zuhair Ibnu Abi Sulma, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003
Ferdinand, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alâm, Beirut: Dâr al-Masyriq,
1986
Hadiwardoyo , Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius,
1990
Hamid, Ismail, Ph.d, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur:
Tass Sdn Bhn, 1982
Hasan, Masudul, Prof. History of Islam, India: Adam Publishers &
Distributors, 1995
Husein, Thaha, Fi al-Adab al-Jâhili, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1969
J. Wentzel Vrede van Huyssteen (editor in Chief), Enchylopedia of Science
and Religion, Detroit,New York, dll: GALE, 2003, v. 2
Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12
Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, Jami’ah al-Qahirah: Maktabah al-Enjelo alMishriyyah, 1965
Ira. M., Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999
Al-Iskandari, Ahmad, dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi
wa Târikhuhu, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth
Ismail, Faisal, Dr, MA., Paradigma Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1996
92
Al-Ismail, Tahia, The life of Muhmmad SAW: His life Based on the Earliest
Sources, London: Ta-Ha Publishers ltd, 1995
Al-Ismail, Tahia, Tarikh Muhammad SAW, (terjemah), Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996
Ismail, Ahmad Syatori, Ghars al-Qiyam al-Akhlaqiyyah min Khilal alKutub
al-Madrasiyyah
wa
al-Adabiyyah,
Proceeding
of
International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character
Building, Jakarta: Tarjamah Center, 2013
Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2009
Khalif, Yusuf, Dirâsat fi al-syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981
K. Hitti, Philip, History of The Arabs, (terjemah), Jakarta: Serambi, 2006
Lewis, Bernard, Prof., The Arabs in History, New Delhi: Goodword Books,
2001
Lubis, Nabilah, al-Mu`în fi al-Adab al-Arabi wa T ârikhihi, Jakarta:
Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah, 2005
Muhammad, Mustafa, muhadarât Tarikh al-Umara’ al-Islamiyyah, Kairo:
al-Istiqamah, 1370 H
Murtadha Muthahhari, Ayatullah, Dasar-dasar Epistemologi Pendidikan
Islam/Tarbiyatul Islam, (terjemah Muhammad Bahruddin),
Jakarta: Sadra International Institute, 2011
Murawwah, Muhammad Ridla, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M)
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian fiksi,Yogyakarta : Gadjah Mada
University press, Cet Ke-8 2010
Qashab, Walid, Manahij al-Naqd al-Adabi al-Hadits: Ru’yah Islamiyyah,
Damaskus: Dar al-Fikr, 2007 M/ 1428 H
Quthub, Sayyid, al-Ustadz, Konsepsi Sejarah dalam Islam (Terjemah),
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992
Salam, Burhanuddin, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2002
93
Shomali, Mohammad A., Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999
Syalabi, Ahmad, Dr., Mausu’ah; al-Tarikh al-Islami wa al-Hadarah alIslamiyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979
Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa,
1984
Tim Penyusun, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu, 2007,
cet. 2
Tim Penyusun (Lajnah), al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; alAdab al-Jâhili, Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962
Al-Rukkabi, Judith, al-Adab al-Arabi min al-Inhidar ila al-Izdihar, Beirut:
Dar al-Fikr, 1996 M
Rosyidi, M.Ikhwan dkk, Analisis Teks Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010
Sayyid Abdurrahim, Wa’il, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi,
Kafar al-Syekh: al-Ilmu wa al-Iman: 2009
Shadiq al-Rafi’I, Mushthafa, Tarikh Adab al-Arab, Kairo: Alsahoh, 2008
M/ 1429 H
Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits,
(Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013
Umam, Chatibul al-Muyassar fi ‘Ilm al-Arudh, Fakultas Adab, 1992
Waluyo, Herman, J., Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1987
Ya’qub, Emil Badi’, al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010
Al-Zayyat, Ahmad Hasan, Tarikh al-Adab al-Arabi, Beirut: Dar alMa’rifah, 2005 M/1426 H
Al-Zuzni, Ibnu Abdullah, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, Beirut: Darul Kutub
al-‘Ilmiiyah, 1985 M
Zaidan, Abdul Rozak, dkk, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka,
2007
94
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Curriculum Vitae Peneliti
IDENTITAS DIRI
Nama
: Cahya Buana
Nomor Peserta
: 092100611320173
NIP/NIK
: 150 326 899/ 19750630 200312 2 001
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat dan Tanggal Lahir
: Agrabinta, 30 Juni 1975
Status Perkawinan
: Kawin
Agama
: Islam
Golongan / Pangkat
: III d / Penata
Jabatan Fungsional Akademik : Lektor Kepala
Perguruan Tinggi
: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
Alamat
: Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat
Telp./Faks. : 021-7401925
Alamat Rumah
: Jl. Pesantren RT/RW 003/05 No. 76 Kreo
Larangan Tangerang
Telp./Faks.
: 08567104424
E-mail
:[email protected]/[email protected]
Tahun
Lulus
1999
2003
2009
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
Jurusan/
Jenjang
Perguruan Tinggi
Bidang Studi
S1
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab
S2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahasa dan Sastra Arab
S3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bahasa dan Sastra Arab
PELATIHAN PROFESIONAL
Tahun
Pelatihan
Penyelenggara
2005
Penulisan Karya Ilmiah Berbahasa Asing
Fak.
Adab
&
Humaniora
2006
Workshop
Pengembangan
Pengajaran Fak.
Adab
&
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta
Humaniora
2006
Workshop Tenaga Penyuluh Pengabdian LPM UIN Jakarta
Kepada Masyarakat
2006
Pendidikan bahasa Arab untuk dosen
Pusat Bahasa UIN
Jakarta - Universitas
Imam Muhammad ibn
Su’ud
2007
Workshop Manajemen Kegiatan Penelitian Fak.
Adab
&
dan Pengabdian pada masyarakat
Humaniora
2007
Pelatihan Penelitian Tingkat menengah
Lemlit UIN Jakarta
2007
Forum dan Workshop Nasional VII: UIN Jakarta
Pengembangan Fakultas Adab PTAIN
Seindonesia
95
PENGALAMAN JABATAN
Jabatan
Institusi
CPNS
Departemen Agama/UIN Jakarta
Penata Muda Tk. I (III/b) Departemen Agama/UIN Jakarta
Penata (III/c)
Departemen Agama/UIN Jakarta
Tahun ... s.d.
...
1/12/2003
1/12/2004
¼/2009
PENGALAMAN JABATAN
Jabatan
Institusi
Tenaga Pengajar
Asisten Ahli
Lektor
Bendahara
Sekretaris prodi BSA
Ketua Jurusan BSA
Mata Kuliah
Seminar Proposal
Qawa’id I, II, III
Bah. Arab I,II,III
Bahasa Arab I,II
Balaghah I,II,III
Nushus Adabiyah
Qawaid (Sharaf)
Tahun
2006 - 2009
2006 - 2008
Tahun
2013
2012
Tahun ... s.d.
...
Agama/UIN 1/1/2005
Departemen
Jakarta/FAH
Departemen
Agama/UIN
Jakarta/FAH
Departemen
Agama/UIN
Jakarta/FAH
Markaz al-Lughah (Imam alSu’udiyah)
Fakultas Adab dan Humaniora
Fakultas Adab dan Humaniora UIN
PENGALAMAN MENGAJAR
Jenjang
Institusi/Jurusan/Program
S-1
S-1
S-1
S-1
S-1
S-1
S-1
- Bahasa dan Sastra Arab
- Bahasa dan Sastra Arab
- Bahasa dan Sastra Arab
- Bahasa dan Sastra Inggris
- Bahasa dan Sastra Arab
- Bahasa dan Sastra Arab
- Bahasa dan Sastra Arab
1/6/2006
1/1/2009
2006/2007
2009-2013
2013-2017
Tahun ... s.d.
...
2010-2013
2003-2008
2004-2009
2006-2009
2005 – 2009
2006
2006
PENGALAMAN MEMBIMBING MAHASISWA
Pembimbingan/Pembinaan
Penyusunan Skripsi
Penasehat Akademik
PENGALAMAN PENELITIAN
Judul Penelitian
Jabatan
Simbol Dan Simbolisme Alam
Peneliti
Dalam Puisi Sufistik Ibnu Arabi
Pengaruh Unsur-Unsur Ekstrinsik
Peneliti
Terhadap Diksi Peribahasa Arab
Dan Indonesia (Analisis Sastra
Banding)
96
Sumber Dana
BOPTN
BOPTN
2011
2006/2007
2006/2007
2006/2007
2007
Buku Ajar Maharat Qira’ah 1:
‫مهارة القراءة فى تعلّم اللغة العربية للمستوى‬
‫األول‬
Ilmu ‘Arudl versus Revolusi Puisi
Arab Kontemporer (Studi Analisis
terhadap
puisi-puisi
Qassim
Haddad)
Islam dan Politik di Mesir: Studi
analisis terhadap gerakan Sayyid
Qutb dan Ikhwanul Muslimin
serta pengaruhnya terhadap peta
Politik Mesir (1906-1956)
Peranan Ibu terhadap Peningkatan
IQ anak (Studi Kasus terhadap
murid kelas III MI Manbaul
Khair)
Pengaruh Sastra Arab Terhadap
Sastra Indonesia Lama (Studi
Analisis terhadap Puisi-puisi
Hamzah Fansuri)
Penulis
Peneliti
(mahasiswa
S3)
Individu
Peneliti
(mahasiswa
S3)
Individu
Peneliti
(mahasiswa
S3)
Individu
Peneliti
(anggota)
Fak. Adab dan
Humaniora
KARYA TULIS ILMIAH
A. Buku/Bab/Jurnal
Tahun
Judul
Simbol-simbol Agama dalam Syair
2010
Jahiliyah
2008
Pengaruh Sastra Arab terhadap
Sastra Indonesia Lama dalam Syairsyair Hamzah Fansuri (Kajian sastra
Banding)
2008
Citra Perempuan Dalam Puisi-puisi
Arab Jahiliyah (Kritik sastra Feminis)
2008
Pengaruh Sastra Arab terhadap Puisipuisi Hamzah Fansuri
2006
Risâlah al-Tarbî’ wa al-Tadwîr li alJâhizh (al-Tahlîl al-Adabi)
2003
Hayy Bin Yaqzhan: Novel filosofis Ibn
Thufail (Analisis kritik Sastra)
B. Makalah/Poster
Tahun
Judul
2006/2007
Islam dan Demokrasi
2006/2007
Ma’nâ
al-naqd
al-Adabi,
Târikhuhu wa Wazhîfatuhu
2006/2007
Gejala Psikologis Dalam Bahasa
(Kajian Psikolinguistik)
2006/2007
Qiyas dalam Ilmu Nahwu Menurut
97
BLU
Penerbit/Jurnal
Mocopatbook,
Yogyakarta
Mocopatbook,
Yogyakarta
Disertasi, Pascasarjana
UIN Jakarta
Al-Turas, Fak. Adab dan
Humaniora
Al-Turas, Fak. Adab dan
Humaniora
Tesis, Pascasarjana UIN
Jakarta
Penyelenggara
Pascasarjana UIN Jakarta
Pascasarjana UIN Jakarta
Pascasarjana UIN Jakarta
Pascasarjana UIN Jakarta
2007
Para Ahli bahasa Klasik dan
Modern
Tahlîl al-Naqd al-Adabi li al- Pascasarjana UIN Jakarta
Risâlah al-Hazaliyah li ibn Zaidûn
C. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi
Tahun
Judul
Penerbit/Jurnal
2006/2007
Review Disertasi: Kaidah-kaidah Bahasa Pascasarjana
UIN
Arab dan Relavansinya dalam Memahami Jakarta
Ayat-ayat al-Qur’an (penulis Abd. Karim
hafid)
D. Penerjemah
Tahun
2010
Judul
Al-Adab fi al-‘Ashr al-Jahili wa al-Islam
Penerbit/Jurnal
Dalam proses
PESERTA KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM
Tahun
Judul Kegiatan
Penyelenggara
Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Arab.
FITK UIN Jakarta
2010
Tema: Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis
Multiple Intelegences
Workshop: Hypno Parenting dan Publik
UIN Jakarta
2010
Speaking
Seminar dan Lokakarya: Penulisan
UIN Jakarta
2010
Akademik
Studium General: Proses Penerbitan Buku
FAH UIN Jakarta
2010
Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa
Indonesia
Seminar Nasional: Pengajaran bahasa Arab
Fak. Tarbiyah UIN
2008
berbasis lintas budaya (Cross Cultural)
Jakarta
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah
benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.
Jakarta, 10 Desember 2014
(Dr. Cahya Buana, MA)
98
B. Penggunaan Anggaran Penelitian Madya
Nama Peneliti
: Cahya Buana
Judul penelitian
: Tinjauan Islam terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair
Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma (Kajian Struturalis
Genetik)
Jumlah Anggaran : Rp. 15.000.000
NO
JENIS BELANJA/PERUNTUKAN
VOL
JUMLAH
1
Honor Peneliti Utama
1 orang
4.000.000
2
Honor Asisten Peneliti
3 orang
4.500.000
3
Perjalanan Dinas
2x
1.000.000
4
Foto Copy dan ATK
1 paket
1.000.000
5
Bahan Penelitian
1 paket
3.000.000
6
Penyusunan Laporan
1 paket
1.500.000
TOTAL
15.000.000
PENELITI
99
Download