Parasit Gastrointestinal Pada Hewan Ternak Di Tempat Pemotongan Hewan Kabupaten S igi, S ulawesi Tengah Gastrointestinal Parasites In Livestock In Slaughterhouse Sigi District ,Central Sulawesi Intan T olistiawaty*,Junus Widjaja, Leonardo T aruk Lobo, Rina Isnawati Balai Litbang P2B2 Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Jln. Masitudju No.58 Labuan Panimba, Donggala *E_mail : drh.intantolis@gmail. Received date: 01-02-2016, Revised date: 19-10-2016, Accepted date: 28-11-2016 ABSTRAK Penyakit pada ternak akibat parasit gastrointestinal dapat merugikan secara ekonomis dan kesehatan peternak ataupun masyarakat yang mengonsumsi daging yang berasal dari hewan tersebut. Keberadaan Rumah Potong Hewan (RPH) sangat diperlukan sebagai tempat pemantauan dan survailans penyakit hewan serta zoonosis. Data hasil penelitian sebelumnya menemukan infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichura pada masyarakat yang ada di sekitar tempat pemotongan babi. Berdasarkan hasil tersebut perlu dilakukan penelitian tentang parasit usus pada ternak yang dapat menular ke manusia di tempat pemotongan hewan babi di Desa Jono Oge dan Rumah Potong Hewan Biromaru, Kabupaten Sigi. Disain penelitian ini adalah potong lintang. Pengambilan sampel feses dilakukan pada 97 ekor sapi, 33 ekor babi dan 33 ekor kambing yang dipotong di RPH/TPH di Sigi, Sulawesi Tengah. Metode yang digunakan untuk pemeriksaan sampel yakni metode sedimentasi untuk sampel feses sapi dan Metode Ritchie untuk sampel feses babi dan kambing. Dari hasil pemeriksaan, ditemukan adanya infeksi tunggal oleh genus Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp. Oesophagustomum sp., Ascaris sp., Eimeria sp., dan Balantidium sp pada sapi dan babi. Infeksi ganda cacing ditemukan pada sapi oleh Strongyloidea sp. dan Paramphistomum sp., Trichuris sp. dan Paramphistomum sp., Paramphistomum sp. dan Fasciola sp., dan multiinfeksi oleh Paramphistomum sp., Fasciola sp., dan Trichuris sp. Sementara infeksi tunggal genus Trichostrongyloidea sp. ditemukan pada kambing. Kata kunci : parasit gastrointestinal, rumah potong hewan, zoonosis, hewan ternak. ABSTRACT Disease in lifestock due to gastrointestinal parasites can cause economic loss and harmful for health of breeders or people who eat meat from these animals. . Slaughterhouse is an important place for monitoring parasitism in livestock, surveillance of disease in livestock and zoonoosis. Previous studies showed that some people living nearby a swine slaughterhouse were infected with Ascaris lumbricoides and Trichuris trichura. Based on those results, it is required to study about the gastrointestinal parasites in livestock which could transmit to human in Slaughterhouse in Jono Oge Village and Biromaru Slaughterhouse, Sigi regency. This study was a cross-sectional design, and fecal samples collection were carried out on 97 cattles, 33 pigs and 33 goats slaughtered at slaughterhouse of Sigi, Central Sulawesi. Samples from cattleswere examined according to sedimentation method, while those from pigs and goats were examined using Ritchie method. Single infections by Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp., Oesophagustomum sp., Ascaris sp., Eimeria sp., and Balantidium sp. were found in cattle and pigs. In cattle, dual infections were found which caused by Strongyloidea sp. and Paramphistomum sp., Trichuris sp. and Paramphistomum sp., Fasciola sp. and Paramphistomum sp. A mixed infection also observed in cattles which caused by Paramphistomum sp., Fasciola sp., and Trichuris sp. while Trichostrongylus sp., was found in goat Keywords:gastrointestinal parasites,slaughterhouse, livestock , zoonosis 71 BALABA Vol. 12 No.2, Desember 2016 : 71-78 PENDAHULUAN Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, utuh, sehat, dan halal, serta sebagai tempat pemantauan dan survailans penyakit hewan serta zoonosis. Dengan adanya RPH, daging dan jeroan yang dikonsumsi masyarakat bisa bebas dari kontaminasi mikroorganisme berbahaya seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia disebut zoonosis. Adapun beberapa penyakit parasit usus yang bersifat zoonosis dan ditularkan melalui daging yang berasal dari RPH adalah fascioliasis, toxoplasmosis, balantidiosis dan taeniasis. Infeksi fasciolosis di dunia dilaporkan terjadi peningkatan dari 2,4 juta menjadi 17 juta orang terinfeksi di dunia termasuk Asia dan Africa. Penyakit ini di Iran bersifat sporadik dan ketika terjadi wabah menginfeksi hampir 10.000 orang. 1 Infeksi oleh parasit usus ini, selain mengakibatkan gangguan kesehatan pada manusia juga merugikan dari segi ekonomi peternaknya. Jika hewan ternak terinfeksi mengakibatkan perkembangan tubuh terhambat sehingga karkas atau daging yang dihasilkan kualitasnya menjadi jelek dan bagi peternak biaya yang harus ditanggung olehnya cukup besar .2 umumnya infeksi parasit usus ini menyerang ternak muda yang dipelihara dengan kurang baik. T empat pemotongan hewan di Kabupaten Sigi dilakukan di RPH sapi milik pemerintah dan tempat – tempat pemotongan hewan (T PH) perseorangan untuk babi. Hasil survei pada peternak babi dan masyarakat disekitar peternakan babi di Desa Jono Oge menunjukkan 5 sampel tinja positif Ascaris lumbricoides, Trichuris trichura, dan campuran kedua dari 16 sampel yang dikumpulkan 3 . Selain itu, kelayakan RPH dan T PH kurang baik sehingga dikhawatirkan kontaminasi parasit usus bisa ditemukan pada daging atau jeroan yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui 72 persentase infeksi parasit usus pada hewan ternak di tempat pemotongan hewan yang ada di Kabupaten Sigi. METO DE Penelitian dilaksanakan di Rumah Potong Hewan (RPH) Biromaru, T empat Pemotongan Hewan (T PH) babi milik perseorangan, dan peternakan kambing. Waktu pelaksanaan selama 8 bulan yaitu April - November 2014. Desain penelitian adalah cross sectional study. Sampel feses diambil dari hewan yang siap dipotong untuk dikonsumsi sebanyak 97 ekor sapi, 33 ekor babi dan 33 ekor kambing. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Litbang P2B2 Donggala. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan ethical clearence dari Komisi Etik Badan Litbang Kesehatan dengan nomor LB. 02. 01/ 5.2/ KE. 629 /2013. Pengambilan sampel feses sapi Sampel feses sapi diambil sebanyak 3 gram dan dibuat suspensi dengan menambahkan aquades. Penyaringan dilakukan dan endapan yang tersisa diambil serta ditempatkan ke dalam tabung plastik yang berbentuk kerucut (conical flask) berukuran 250 ml. Air ditambahkan sampai batas 250 ml sambil diaduk dan didiamkan selama 5 menit. Supernatan yang ada dibuang dan endapan yang tertinggal dilarutkan kembali dengan aquades seperti sebelumnya. Pengulangan dilakukan hingga 3 kali. Endapan yang terakhir ditetesi 1-2 methylen blue diperiksa dengan menggunakan mikroskop, Nikon Eclipse E200 (Nikon corps, Japan) .4 Pemeriksaan sampel feses babi dan kambing Pemeriksaan sampel feses untuk babi dan kambing menggunakan metode Ritchie 5 . Sebanyak 5 gram feses digerus dengan menggunakan mortar dan ditambahkan aquades hingga homogen dan disaring. Feses hasil endapan diambil sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam 10 ml formalin 10%. Suspensi disaring menggunakan kain kassa dan Parasit Gastrointestinal……..(Tolistiawaty, dkk) dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi serta dilakukan penambahan 3 ml eter. Larutan disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 1500 rpm dan endapan diambil dengan cara membuang supernatan. Pemeriksaan telur dilakukan dengan meneteskan endapan sampel dengan menggunakan pipet tetes ke permukaan kaca objek dan ditetesi lugol. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dengan menggunakan mikroskop Nikon Eclipse E200 (Nikon corps, Japan) dengan perbesaran 10x10. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap sampel feses6 . Penentuan Patogenitas terhadap manusia Penentuan patogenitas masing-masing cacing didasarkan atas studi literatur. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan sampel feses dari RPH sapi, T PH babi, dan peternakan kambing terhadap parasit usus yang ada dengan jumlah keseluruhan sampel sebanyak 164 sampel (T abel 1). Hasil yang didapatkan terlihat sapi terinfeksi kecacingan sebanyak 63,91 % dan protozoa sebanyak 3,09 %. Rata-rata cacing dan protozoa yang menginfeksi adalah Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp., Strongyloidea sp., Oesophagustomum sp, Balantidium sp dan Eimeria sp Infeksi kecacingan pada babi didominasi oleh genus Ascaris sp.(27,27 %) dan protozoa oleh Eimeria sp. (2,94 %). Pada kambing ditemukan infeksi cacing dari genus Trichostrongyloidea sp. (23,52 %) dan tidak ditemukan adanya infeksi protozoa. HASIL T abel 1. Hasil pemeriksaan feses sapi, babi, dan kambing dari RPH dan T PH di Kabupaten Sigi, Sulawesi T engah Hewan T otal Sampel Cacing Jumlah Jenis Parasit Protozoa % Jumlah % Sapi 97 62 63,9 3 3,1 Babi 33 9 27,2 1 2,9 Kambing 33 8 23,5 0 0 Hasil pemeriksaan sampel feses di RPH Biromaru didapatkan tipe telur cacing dari genus Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp., Strongyloidea sp., dan Oesophagustomum sp. Pemeriksaan sampel feses sapi, babi, dan kambing terdapat infeksi tunggal (terdiri dari satu jenis cacing) dan infeksi campuran (terdiri atas dua atau lebih cacing). Infeksi tunggal terdapat pada ketiga sampel feses sedangkan infeksi campuran hanya terdapat pada sampel feses sapi (T abel 2). Berdasarkan identifikasi genus parasit yang ditemukan pada sampel feses hewan ini, diketahui bahwa tidak ada parasit yang berpotensi patogen atau dapat menular ke manusia (T abel 3). 73 BALABA Vol. 12 No.2, Desember 2016 : 71-78 T abel.2 Hasil pemeriksaan feses hewan dengan Infeksi T elur Cacing Parasit T unggal dan Campuran Jenis Infeksi Sapi (%) Babi (%) Kambing (%) Infeksi telur cacing tunggal 43 (69,3) 9 (100) 8 (100) Infeksi telur cacing campuran 19 (30,7) - - T abel 3. Hasil pemeriksaan feses dengan infeksi tunggal berdasarkan sifat patogenitas terhadap manusia Parasit Patogen (%) Sapi Babi Nonpatogen Patogen Nonpatogen (%) (%) (%) Kambing Patogen Nonpatogen (%) (%) Cacing - Fasciola sp Paramphistomum sp - 9 (14,5) 31 (50) - - - - Trichuris sp - 2 (3,2) - - - - Strongyloidea sp - - - - - - Oesophagustomum sp - 1 (1,6) - - - - Ascaris sp Trichostrongyloidea sp - - - 9 (100) - - - - - - 8 (100) - Protozoa Balantidium sp - 2 (66,7) - - - - Eimeria sp - 1 (33,3) - 1 (100) - - PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan di RPH Biromaru menunjukkan bahwa kecacingan pada sapi sangat tinggi terutama oleh Fasciola sp. Hal ini juga terlihat pada penelitian di beberapa daerah menunjukkan prevalensi Fasciola sp. (cacing hati) sebesar 47 % RPH di wilayah eks keresidenan Banyumas dan di daerah RPH Purbalingga, Cilacap serta Banjarnegara mencapai 50 %7 . Jenis cacing Fasciola sp yang sering menginfeksi hewan ternak terutama sapi yakni F. hepatica dan F. gigantica. Cacing ini merupakan trematoda yang dapat menginfeksi inang melalui makanan misalnya melalui rumput atau air minum yang mengandung telur parasit, yang terbawa siput Lymneae. Hasil penelitian di RPH di kota Pontianak terlihat adanya beberapa jenis infeksi telur cacing seperti Paramphistomum sp dan Fasciola 74 hepatica dari kelas Trematoda, Strongyloid sp.,Trichuris trichiura, dan Ascaris sp. (infertil, fertil dan berembrio) dari kelas Nematoda, pada sapi – sapi yang akan dipotong. Hal ini kemungkinan diakibatkan sistem pemeliharan sapi – sapi tersebut masih secara ekstensif di padang gembala sehingga memudahkan terjadinya infeksi8 . Prevalensi kecacingan pada sapi juga ditemukan cukup tinggi pada sapi bali yang ada di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat dimana sebanyak 15 ekor (75 %) terinfeksi kecacingan dengan jenis : Monieza benedi, Monieza expansa, Eimeria sp, Bonustomum phlebotomum , Paramphistomum sp, dan Cooperia pectinita. 2 Infeksi protozoa juga ditemukan pada sapi walaupun dengan presentase yang sedikit. Kerugian karena infeksi kecacingan menurut Direktorat Jenderal Pertanian (2010) mencapai 4 milyar rupiah per tahun dan merupakan Parasit Gastrointestinal……..(Tolistiawaty, dkk) penyakit yang dapat mempengaruhi produktivitas, kekurusan, lemah, penurunan daya produksi bahkan pada infeksi berat dapat menyebabkan gangguan pencernaan hingga terhambatnya pertumbuhan hewan itu sendiri. Efek lain yang ditimbulkan yakni penurunan berat badan akibat diare dan efek pada induk semangnya karena parasit ikut menyerap bahan makanan dalam saluran cerna serta cairan induk semang9 . Selain itu bahaya penularannya ke manusia. Penyakit yang disebabkan parasit ini umumnya menyerang ternak yang dipelihara dengan tata laksana yang kurang baik misalnya hewan tidak dikandangkan dan digembalakan didaerah yang tergenang air. Infeksi telur cacing yang didapatkan pada babi di dominasi oleh genus Ascaris sp. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Muslihin dkk (2014) di Desa Surana di Kecamatan Lombok barat ditemukan adanya infeksi Ascaris suum, Taenia sp., Metastrongylus sp., dan Trichostrongylus sp. pada babi yang dipelihara oleh masyarakat 10 . Prevalensi Ascaris suum pada babi yang terdapat di Bali cukup tinggi sebesar 34,45 % dengan rata-rata jumlah telur pergram tinja (EPG) sebanyak 387,50. Dengan persentase infeksi yang cukup tinggi ini mengakibatkan kerugian ekonomi berupa pengafkiran beberapa organ setelah dipotong misalnya organ hati yang ditandai fibrosis akibat migrasi larva cacing ini11 . Pada tempat pengambilan sampel terlihat babi tersebut masih dipelihara secara tradisional dan pemotongannya pun sama tidak sesuai dengan standar yang ada. Menurut Levine (1995), kejadian infeksi parasit terjadi akibat sistem pemeliharaan babi yang masih bersifat tradisional sehingga mudah terkena penyakit. Faktor lain misalnya manajemen pemeliharaan yang masih kurang baik dan sanitasi kandang yang buruk dapat meningkatkan risiko infeksi. Adanya infeksi pada hewan tidak menutup kemungkinan dapat menginfeksi manusia. Hal ini terlihat dari genus cacing yang didapatkan mempunyai spesies yang bersifat zoonosis12 . Adanya keterbatasan pada penelitian sehingga identifikasi hanya sampai genus tidak dilanjutkan ke spesies. Infeksi telur cacing pada kambing didapatkan tipe Trichostrongyloidea sp. yang paling dominan. Hasil pengamatan ini sama dengan yang dilakukan oleh Dhewiyanti dkk (2015) pada tempat pemotongan hewan kambing di pontianak, ditemukan genus Trichostrogylus sp. dengan intensitas tinggi sebesar 41,33 larva/gram/ekor dan infeksi cacing ini salah satu yang dominan ditemukan dalam kultur feses kambing. Jenis cacing ini banyak ditemukan pada daerah sejuk 13 . Hasil penelitian ini menunjukkan adanya infeksi tunggal dan infeksi campuran dari cacing, dimana infeksi tunggal cacing parasit umum terjadi karena lemahnya ketahanan tubuh hewan dalam melawan serangan cacing parasit. Menurut Levine (1995) infeksi tunggal ataupun campuran sering terjadi pada sapi sehingga sulit untuk mengetahui pengaruh khusus yang ditimbulkan. Infeksi yang terjadi biasanya dilakukan oleh bermacam-macam jenis cacing yang terjadi baik pada abomasum, usus dan organ lain sehingga pengaruhnya berupa kombinasi atau campuran parasit yang ada12 . Cara pemeliharaan hewan ternak sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi parasit. Jika peternak menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi mencari makan sendiri (sistem gembala) atau sama sekali tidak dikandangkan (sistem tradisional) maka peluang besar terinfeksi kecacingan sangat besar. Pada hewan ternak yang dipelihara secara intensif (sistem kandang), resiko infeksi dapat dikurangi karena pakan ternak diberikan di dalam kandang14 . T idak ditemukannya parasit yang bersifat patogen pada sampel feses hewan dikarenakan hasil temuan hanya berupa telur cacing. T ipe telur hanya bisa menggambarkan genus bukan spesies parasit sehingga tidak bisa menggolongkan parasit yang bersifat patogen sehingga parasit yang ditemukan tidak berpotensi patogen pada manusia. Diketahui sebanyak 1.415 spesies organisme penyakit yang diketahui bersifat patogen bagi manusia, meliputi 217 virus dan 75 BALABA Vol. 12 No.2, Desember 2016 : 71-78 prion, 538 bakteri dan rickettsia, 30 fungi, 66 protozoa, dan 287 parasit cacing. Dari jumlah ini, 872 (61,6%) spesies patogenik bersumber dari hewan 15 . T ipe telur yang ditemukan adalah jenis Fasciola sp., tipe ini mempunyai dua jenis spesies (F. hepatica dan F. gigantica) yang bersifat patogenik bagi manusia. Dimana 17 juta manusia terinfeksi dan 180 juta orang hidup di daerah endemis. Manusia akan terinfeksi cacing ini apabila termakan cyst yang menempel pada tanaman air yang dikonsumsi seperti selada air dan mengkonsumsi air yang tercemar 16 metaserkaria . Kejadian di propinsi Yunan, China menunjukkan adanya wabah dari fascioliasis ini pada akhir november 2011. Gejala yang terlihat pada penderita yakni demam hingga 41 0 C, nyeri pada epigastric dan hepatalgia atau rasa sakit di perut bagian atas17. Kejadian fascioliasis ini 50 % bersifat asimtomatis dan tidak t erlaporkan. Penegakan diagnosis akan lebih jelas apabila menggunakan Metode recombinant cathepsin L-based ELISA karena akan memperlihatkan sensitifitas dan spesifisitas 99 %16 . T elur Ascaris sp. yang ditemukan tidak bisa dipastikan adalah spesies Ascaris suum karena telur dari spesies Ascaris sp. mempunyai rentang ukuran dan bentuk yang sama. Pada babi, jenis yang sering ditemukan adalah Ascaris suum yang bisa bersifat patogen pada manusia karena menyebabkan creeping eruption 18 . Pada penelitian yang dilakukan di daerah pedesan Chungcheongnam-do, Korea, ditemukan parasit ini merupakan agen penyebab ‘visceral larva migrans’dan adanya lesi pada hati dan paru. Pendiagnosaan ini diperkuat dengan ditemukan adanya antibodi terhadap cacing ini pada kasus tersebut 19 . sp. dan Paramphistomum sp., Trichuris sp. dan Paramphistomum sp., Paramphistomum sp. dan Fasciola sp., dan multiinfeksi oleh Paramphistomum sp., Fasciola sp., dan Trichuris sp. Sementara infeksi tunggal genus Trichostrongyloidea sp ditemukan pada kambing. Parasit usus yang menginfeksi hewan ternak yang ada di tempat pemotongan hewan Kabupaten Sigi tidak berpotensi menular ke manusia. SARAN Identifikasi pada parasit usus yang ada di tempat pemotongan hewan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat potensi parasit usus menular ke manusia sehingga produk yang dihasilkan dari RPH baik dan aman untuk dikonsumsi masyarakat. . . UCAPAN TERIMA KASIH T erima kasih kami ucapkan kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala atas izin dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian ini, tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sigi dan Kepala UPT RPH Kabupaten Sigi. T erima kasih pula kepada Julianty P dan Nurendah P (Badan Litbangkes) atas bimbingannya selama penelitian serta teman-teman dari Balai Litbang P2B2 Donggala yang membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Talari Safar Ali, Vakily Zarichech, Talari Mohammad Reza, Bagbam Hassani Amroallah, Targah Hossin, Matini Amir, Tabibian Akbar, Hooshyar Hossin, RoshanzamirTourag and EH. Prevalence of liver flukes infections in slaughtered animals in Kashan , Isfahan province , central Iran. IIOAB. 2011;2(February):1418. 2. Ngurah IG, Widnyana P. Prevalensi infeksi parasit cacing pada saluran pencernaan sapi bali dan sapi rambon di desa wosu kecamatan bungku barat kabupaten morowali. Agropet. 2013;10:39-46. KESIMPULAN Kecacingan pada sapi dan babi ditemukan dengan jenis infeksi tunggal oleh genus Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp., Oesophagustomum sp., Ascaris sp., Eimeria sp., dan Balantidium sp. Infeksi ganda cacing ditemukan pada sapi oleh Strongyloidea 76 Parasit Gastrointestinal……..(Tolistiawaty, dkk) 3. Laboratorium Forthcoming. Helmintologi BLPD. 4. Parfitt J and ab. A Method For counting Fasciola egss in cattle faeces in the field. Vet Rec. 1977;87:180-182. 5. Suryastini KAD, Dwinata IM DI. Akurasi metode ritchie dalam mendeteksi infeksi cacing saluran pencernaan pada babi. Indones Med Veterinus. 2012;1(5):567-581. 6. Kaufman J. Parasitic Infectious of Domestic Animal. ILRI, Germany; 1996. 7. Munadi. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-Kresidenan Banyumas. Agripet. 2011;11(1):45-50. 8. Tantri N, Setyawati TR, Khotimah S. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi ( Bos Sp . ) Rumah Potong Hewan ( RPH ) Kota Pontianak Kalimantan Barat. J Protobiont. 2013;2(2):102-106. 9. Iskandar T. Parasit penyebab diare pada sapi perah friesian holstein ( fh ) di kabupaten bandung dan sukabumi jawa barat.; 2008:384-388. 10. Supriadi, A. Muslihin, Roesmanto B. PreEliminasi Parasit Gastrointestinal Pada Babi Dari Desa Suranadi Kecamatan Narmada Lombok Barat. Media Bina Ilm. 2014;8(1978):64-68. 11. Suweta I. Prevalensi Infeksi Cacing Ascaris Suum Pada Babi Di Bali. Dampakknya Terhadap Babi Penderita Dan Upaya Penangulangannya.; 1996. 12. Levine N. Protozoologi Veteriner. (Soekardono, ed.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta; 1995. 13. Dhewiyanty V, Setyawati TR, Yanti AH. Prevalensi dan Intensitas Larva Infektif Nematoda Gastrointestinal Strongylida dan Rhabditida pada Kultur Feses kambing ( Capra sp .) di Tempat Pemotongan Hewan Kambing Pontianak. Protoboint. 2015;4:178-183. 14. Harminda D hata. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris Vitulorum Pada Ternak Sapi Pesisir Di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang.; 2011. 15. Cleaveland S, Laurenson MK, Taylor LH. Diseases of humans and their domestic mammals : pathogen characteristics , host range and the risk of emergence. Phil Times R Soc L.2001;356:991999. doi:10.1098/rstb.2001.0889. 16. Cwiklinski K, Neill SMO, Donnelly S, Dalton JP. A prospective view of animal and human Fasciolosis. Parasite Imunol. 2016;(February):1-11. doi:10.1111/pim.12343. 17. Chen, J. X. M, Chen. Lin Ai et all. An Outbreak of Human Fascioliasis gigantica in Southwest China. PLoS One. 2013;8:doi : 10.137/journal.pone.0071520. 18. Asihka, Verdira,. Nurhayati G. Artikel Penelitian Distribusi Frekuensi Soil Transmitted Helminth pada Sayuran Selada ( Lactuca sativa ) yang Dijual di Pasar Tradisional dan Pasar Modern di Kota Padang. Kesehat Andalas. 2014;3(3):480485. 19. Ahmed H, Ahmed H, Jeon H, Yu Y, Do C, Lee Y. Intestinal Parasite Infections in Pigs and Beef Cattle in Rural Areas of Chungcheongnam-do , Korea. Korean J Parasitol. 2010;48(4):347-349. doi:10.3347/kjp.2010.48.4.347. 77 BALABA Vol. 12 No.2, Desember 2016 : 71-78 78