SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN MADURA ILEGAL DAN PENGARUH LEMBAGA LOKAL DI DALAMNYA Adibah Sayyidati Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur E-mail : [email protected] Abstrak Beberapa ahli mendefinisikan politik sebagai penggunaan kekuasaan untuk menjamin stabilitas organisasional (Buzan, et. al., 1998). Pengertian ini menunjukkan bahwa bahasan tentang politik tidak seharusnya dibatasi pada permasalahan-permasalahan di seputar pemerintahan negara. Politik juga mencakup lembaga sosiokultur lain yang berpengaruh cukup besar dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian politik inilah yang tampaknya lebih cocok dengan kondisi masyarakat Madura. Orang Madura begitu menghormati lembaga lokal dan nilai budayanya. Mereka mengenal hirarki penghormatan sekaligus tangga kuasa, yaitu Bhupak dan Bebhu (kedua orang tua), Guru (tokoh agama), serta Rato (aparat pemerintah). Inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga lokal keagamaan, seperti pesantrendan forum pengajian, mendapat tempat yang penting di masyarakat Madura (Sukesi, et. al., 2012). Kondisi tersebut berpadu dengan perubahan sosial lain di pulau ini. Rendahnya pendidikan dan mata pencaharian yang tergantung pada kondisi alam yang tidak menentu melatar belakangi bergesernya peran sosial antara laki-laki dan perempuan Madura (Rahayu dan Munir, 2011). Itulah yang mendorong perempuan untuk mencari nafkah. Untuk keperluan ini, ada yang merantau hingga luar negeri. Di satu sisi, fenomena buruh migran perempuan ini menunjukkan kesan positif tentang kemandirian wanita. Di sisi lain, rendahnya pendidikan dan kurangnya sosialisasi dari dinas terkait menyebabkan banyaknya buruh yang berangkat secara ilegal (Rahayu dan Munir, 2011). Dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang terlibat dalam rekrutmen ilegal inijustru aparat desa dan tokoh agama (Rahayu). Ini mengingat posisi mereka dalam hirarki penghormatan masyarakat Madura. Namun jika kembali pada hirarki tersebut, maka seharusnya mereka juga bisa menjadi agen yang kuat untuk menyosialisasikan prosedur pemberangkatan buruh migran yang benar. Terlebih ketika organorgan pemerintah kurang bisa mengoptimalkan fungsinya. Kata kunci: politik, hirarki penghormatan masyarakat Madura, buruh migran perempuan illegal A. Pendahuluan Meningkatnya peran sosial perempuan di ruang publik telah lama menjadi topik bahasan yang menarik. Kenyataan ini telah mendekonstruksi konsep pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang selama ini, dengan atau tanpa disadari, telah direproduksi secara terus-menerus dalam masyarakat. Kodrat perempuan untuk mengandung dan melahirkan anak diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dalam rumah tangga yang informal, tidak dibayar, membutuhkan ketelatenan. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan di ruang publik yang menghasilkan uang dan memerlukan keterampilan khusus dianggap lebih cocok untuk laki-laki yang dinilai rasional dan kuat dalam menghadapi berbagai resiko di luar. Anggapan ini dipengaruhi oleh pembagian kerja di zaman purba di mana laki-laki diberi tugas untuk berburu sekaligus mengumpulkan bahan makanan lain serta melindungi kelompoknya dari serangan musuh. Pekerjaan-pekerjaan di ruang publik ini dianggap tidak cocok bagi perempuan yang dirasa lemah dan emosional (Peterson dan Runyan, 1993). Meningkatnya keterlibatan perempuan di ruang publik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama terkait kondisi ekonomi. Perempuan dari kalangan ekonomi menengah ke atas dengan status 289 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN sosial dan pendidikan yang tinggi biasanya dapat menduduki posisi yang penting dalam masyarakat. Dengan segala kelebihan tersebut, mereka cenderung lebih mudah mengakses pekerjaan yang layak ataupun jabatan-jabatan dan posisi-posisi strategis di masyarakat (Randall, 1987). Di sisi lain, wanita dari kalangan ekonomi menengah ke bawah juga terjun ke ranah publik untuk membantu perekonomian keluarganya. Dalam hal ini, terdapat perbedaan jenis profesi yang diasosiasikan bagi perempuan dari kalangan menengah ke bawah dan atas. Mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah biasanya mendapat penghasilan dari lapangan kerja yang dianggap rendah, seperti jasa asistensi untuk urusan-urusan domestik rumah tangga, prostitusi, dan pekerjaan di pabrik yang membutuhkan ketelatenan (Enloe, 1990). Bahkan tidak sedikit dari mereka yang terbang ke luar negeri untuk pekerjaan-pekerjaan ini. Sedangkan wanita dari status sosial lebih tinggi biasanya bisa mengakses jabatan dan pekerjaan yang cukup terpandang dalam bidang hukum, politik, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dalam hal ini, topik perempuan dan politik biasanya akan menggiring publik untuk membahas hal-hal terkait keterlibatan wanita di seputar parlemen, pemilihan umum, dan pemerintahan negara. Beberapa contohnya adalah peluang calon anggota legislatif wanita untuk melenggang ke parlemen dan jumlah perempuan yang menduduki jabatan penting di pemerintahan. Namun, pembahasan semacam ini terkesan mempersempit cakupan aspek politik. Padahal menurut beberapa ahli, politik adalah segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan (Gani, 1984) untuk menjamin stabilitas organisasional (Buzan, et. al., 1998). Dari pengertian ini tersirat bahwa politik juga berkaitan dengan lembaga ekonomi dan sosiokultur lain yang berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada kalanya pengaruh lembaga-lembaga ini lebih besar dari pada institusi-institusi negara. Di titik inilah kajian mengenai Madura menjadi menarik untuk dibahas. Madura adalah salah satu daerah pengirim buruh perempuan migran yang mengalami lonjakan jumlah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Sayangnya, kurangnya informasi dari sumber resmi yang terpercaya terkait rekrutmen dan pemberangkatan buruh migran perempuan yang berjalin dengan rendahnya pendidikan para calon tenaga kerja tersebut menyebabkan banyak dari mereka yang menempuh jalur ilegal (Rahayu dan Munir, 2011). Ironisnya, dalam beberapa kasus, pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman buruh ilegal tersebut justru merupakan orang-orang yang selama ini dihormati masyarakat, seperti tokoh agama dan aparat desa (Rahayu). Peran besar tokoh-tokoh tersebut dalam kehidupan masyarakat Pulau Garam pada fenomena buruh migran perempuan ilegal ini menunjukkan bahwa lembaga sosiokultur lebih berpengaruh daripada institusi-institusi pemerintah. B. Pembahasan Madura adalah salah satu wilayah yang menarik untuk dikaji jika dikaitkan dengan migrasi penduduk. Jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur (Jatim), mobilitas penduduk Pulau Garam ini termasuk sangat tinggi (Kuntowijoyo, 2002). Kesulitan finansial yang berpangkal dari rendahnya pendidikan dan tidak mendukungnya kondisi alam bagi mayoritas penduduk Madura yang bekerja di bidang pertanian adalah penyebabnya. Dalam hal ini, Sampang adalah salah satu daerah di Indonesia dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Di samping itu, Sampang, Bangkalan, dan Pamekasan adalah kabupaten-kabupaten dengan banyak desa yang tergolong daerah tertinggal di Jatim (Rahayu dan Munir, 2011). Itulah yang menyebabkan banyak di antara penduduknya yang merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka tidak hanya merantau ke kabupatenkabupaten di Pulau Jawa yang dekat dengan tempat tinggalnya saja, yaitu Surabaya serta daerahdaerah tapal kuda, seperti Probolinggo, Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang, dan Jember. Mereka juga mengadu nasib hingga ke luar negeri. Gejala migrasi internasional pekerja ini mulai mengemuka pada 1990-an. Padahal sebelumnya arus migrasi ini lebih bersifat lokal dan regional (Mantra, 2000). Dalam hal ini, Jatim merupakan provinsi ketiga terbesar untuk pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Selain itu, terdapat kecenderungan peralihan jenis kelamin buruh migran dari yang sebelumnya didominasi laki290 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN laki di tahun 1980-an. Sejak 1990-an, perempuanlah yang menjadi mayoritas dalam prosentase buruh migran. Hingga saat ini, 70 – 80% buruh migran berjenis kelamin perempuan (Rahayu dan Munir, 2011). Ini terkait dengan feminisasi kemiskinan. Di Jatim sendiri, hampir 75% perempuannya menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Hal ini erat kaitannya dengan peran gender perempuan, yang mencakup perannya sebagai pengurus rumah tangga, pencari nafkah untuk keluarga, serta posisi strategis mereka dalam komunitasnya masing-masing. Seperti diuraikan sebelumnya, tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh pada jenis pekerjaan yang akan mereka masuki di negara seberang. Pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga untuk keluarga kelas menengah ke atas di negara-negara Asia, dinilai cukup menjanjikan bagi mereka. Gaji yang dijanjikan ini lebih tinggi apabila dikonversi ke mata uang negara asal untuk jenis pekerjaan yang sama (Lee, 1976). Kebanyakan dari mereka bertolak ke negara-negara di jazirah Arab ataupun Asia Tenggara dan Timur. Sayangnya, kebanyakan tenaga kerja dari Madura ini berangkat secara ilegal atau tanpa dibekali dokumen-dokumen resmi (Rahayu dan Munir, 2011). Beberapa faktor melatar belakangi terjadinya hal ini. Pertama, kurangnya informasi yang akurat tentang rekrutmen tenaga kerja migran dari sumber-sumber resmi yang terpercaya, seperti Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Bahkan Disnaker Bangkalan tidak memiliki data tentang jumlah warganya yang menjadi buruh migran. Hal ini diperparah lagi dengan faktor kedua, yaitu tidak adanya Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) di Madura (Rahayu). PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari pemerintah untuk menempatkan TKI di luar negeri. Faktor ketiga muncul dari ketiadaan PPTKIS di Madura, yakni adanya calo. Banyak calo tenaga kerja melancarkan aksinya di desa-desa yang menjadi kantong-kantong buruh migran. Para calo ini merekrut calon buruh dengan iming-iming gaji tinggi, pekerjaan yang enak, dan proses rekrutmen yang mudah. Bahkan banyak juga calo yang bersedia meminjami mereka uang dalam proses ini. Inilah yang menjerumuskan TKI pada lilitan hutang. Para calo ini kemudian menyerahkan calon-calon buruh migran tersebut kepada PPTKIS dengan sejumlah imbalan. Ironisnya, dalam beberapa kasus, calo-calo ini justru berasal dari kalangan yang cukup dihormati, seperti tokoh masyarakat dan ustadz pesantren lokal (Rahayu). Padahal dalam Peraturan Daerah (Perda) Jatim Nomer 2 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa rekrutmen harus dilakukan oleh petugas yang telah diberi izin oleh Disnaker setempat. Calon TKI pun harus mengantongi rekomendasi dari Disnaker kabupaten atau kota tempatnya berdomisili. Para calo ini benar-benar bisa memanipulasi faktor keempat, yakni rendahnya pendidikan calon buruh migran. Para calon tenaga kerja ini umumnya tidak tamat Sekolah Dasar (SD), bahkan ada yang tidak bersekolah. Di satu sisi, rendahnya pendidikan ini bisa menjadi pintu gerbang bagi para calo untuk membujuk para calon TKI agar bersedia direkrut tanpa banyak mempertanyakan akurasi informasi rekrutmen tersebut. Di sisi lain, para calo ini harus pandai-pandai memalsukan identitas pendidikan dan usia dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) calon buruh migran untuk bisa memenuhi persyaratan administrasi pemberangkatan TKI ke luar negeri sebab banyak juga calon TKI yang masih di bawah usia 18 tahun. Dalam hal ini, syarat minimal bagi calon TKI yang ingin bekerja di luar negeri adalah berpendidikan terakhir SD dan berusia 18 tahun. Pemalsuan dokumen ini tidak hanya dilakukan untuk KTP, tetapi juga paspor. 80% TKI asal Madura ini menggunakan paspor umroh jika akan bekerja ke Arab Saudi. Bila akan merantau ke Malaysia, mereka menggunakan paspor melancong (Rahayu dan Munir, 2011). Hal ini jelas bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang menyatakan bahwa PPTKIS dan calon TKI yang lulus persyaratan administrasi harus menandatangani surat perjanjian penempatan yang diketahui Disnaker sesuai bunyi pasal 38, 52, dan 53 UU Nomer 39 Tahun 2004. Pasal 2 Perda Jatim Nomer 2 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa setelah lulus administrasi, calon TKI harus mengikuti pendidikan serta pelatihan dan dinyatakan lulus ujian kompetensi kerja dan 291 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN bahasa negara tujuan yang dilaksanakan oleh teknis dinas atau lembaga lain yang mereka rekomendasi sesuai bunyi pasal 3. Kelulusan uji kompetensi ini dinyatakan dengan sertifikat kompetensi kerja seperti yang disebutkan dalam pasal 41. Selanjutnya pada pasal 5 disebutkan bahwa pendidikan dan pelatihan ini dilaksanakan pada Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) di Jatim yang telah diakreditasi. Pemberangkatan secara ilegal ini tentu sangat beresiko bagi para TKI. Mereka rentan dikenai tindak kekerasan dan tidak mendapat perlindungan hukum yang semestinya akibat status ilegal tersebut. Tindak kekerasan secara fisik maupun psikis tersebut dialami, baik saat berada di penampungan ataupun ketika sudah bekerja. Pemalsuan paspor juga menyebabkan mereka berpotensi menjadi korban razia aparat berwenang di negara tempatnya bekerja. Nasib yang tidak menentu karena dokumen ilegal dan lilitan hutang inilah yang seringkali menjerumuskan mereka pada bisnis prostitusi dan tindak kriminal perdagangan manusia secara umum. Tidak sedikit juga agen di negara tujuan yang menyalah gunakan kekuasaannya. Beberapa di antaranya adalah pembelokan negara tujuan, pemotongan ataupun penunggakan gaji, serta penahanan dokumen oleh majikan. Sayangnya, seperti dijelaskan sebelumnya, pihak-pihak yang terlibat dalam beberapa kasus rekrutmen buruh migran perempuan ilegal ini justru merupakan orang-orang yang dihormati dalam struktur sosial masyarakat Madura. Ini terkait dengan hirarki penghormatan sekaligus tangga kuasa dalam masyarakatnya, yaitu bhupak, bebhu, guru, rato. Bhupak dan bebhu adalah kedua orang tua. Merekalah orang pertama yang harus dihormati di atas guru atau tokoh agama. Seiring berjalannya waktu, pengertian guru pun diperluas sehingga mencakup tenaga-tenaga pendidik di sekolah. Hirarki penghormatan terakhir diberikan pada rato atau aparat pemerintah, seperti kepala desa beserta pamongnya (Sukesi, et. al.). Oleh sebab itu tidak mengherankan jika dalam beberapa kasus, justru ada ustadz pesantren lokal dan tokoh masyarakat lain yang juga terkait dengan pemerintahan desa yang berperan dalam rekrutmen ilegal ini. Mereka memanfaatkan pengaruh besar yang dimiliki yang berasal dari hirarki penghormatan dan tangga kuasa tersebut untuk merekrut calon TKI. Karena berangkat secara ilegal, Disnaker sebagai instansi pemerintah justru tidak memiliki data resmi tentang jumlah TKI yang bekerja ke luar negeri. Inilah yang terjadi pada Disnaker Bangkalan. Begitu juga halnya dengan perangkat desa. Rata-rata para pamong ini tidak bersinggungan dengan pengurusan dokumen terkait pemberangkatan TKI ke luar negeri karena mereka berangkat secara ilegal. Dalam rekruitmen buruh migran di Madura ini, lembaga-lembaga sosiokultur lebih berpengaruh daripada instansi-instansi formal pemerintah. Namun jika melihat kenyataan ini, seharusnya posisi strategis lembaga-lembaga sosiokultur tersebut justru bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyosialisasikan prosedur rekrutmen buruh migran yang benar mengingat ketiadaan PPTKIS di Madura. Forum-forum keagamaan seperti pengajian bisa dimanfaatkan juga untuk sosialisasi mengingat adanya tokoh agama di dalamnya yang memainkan peran sentral dalam dinamika kehidupan masyarakat Madura. Warga sangat menghargai forum ini karena menurut mereka hanya kegiatan keagamaanlah yang bermanfaat untuk keberlangsungan hidup bermasyarakat (Rahayu). C. Kesimpulan Pada hirarki penghormatan dan tangga kuasa dalam kehidupan masyarakat Madura, tokoh agama menduduki posisi yang lebih tinggi daripada aparat pemerintah. Begitu juga dengan lembaga dan forum-forum keagamaan seperti pesantren lokal dan pengajian yang menjadikan kyai dan guru agama sebagai tokoh sentralnya. Posisi strategis ini bagaikan pisau bermata dua, termasuk jika dikaitkan dengan keberadaan buruh migran perempuan yang jumlahnya kian meningkat di wilayah ini. Di satu sisi, pengaruh ini bisa digunakan untuk merekrut calon TKI secara ilegal. Di sisi lain, pengaruh yang sama besarnya juga bisa dimaksimalkan untuk membendung laju rekrutmen ilegal itu. Hal ini 292 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN mendesak dilakukan mengingat besarnya resiko yang harus ditanggung TKI jika mereka berangkat tanpa dokumen-dokumen yang resmi dan sah secara hukum. Referensi Buzan, Barry, et. al. (1998). Security A New Framework for Analysis. London. Lynne Rienner Publisher. Enloe, Cynthia (1990). Bananas, Beaches, and Bases. Berkeley. University of California Press. Gani, Soelistyati Ismail (1984). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta. Ghalia Indonesia. Kuntowijoyo (2002). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850 -1940. Yogyakarta. Mata Bangsa. Lee, Everett. S.. 1976. Teori Migrasi. Yogyakarta. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Mantra, Ida Bagus (2000). Population Movement in West Rice Communities: A Case Study of Two Dukuh in Yogyakarta Special Region. Yogyakarta.GadjahMada University Press. Peterson, V. Spike dan Anne Sisson Runyan (1993). Global Gender Issues. San Fransisco. Westview Press. Rahayu, Devi. Penguatan Hak–Hak Buruh Migran melalui Pelibatan Community Based Organization sebagai Upaya Pencegahan Perdagangan Perempuan di Madura Rahayu, Devi dan Misbahul Munir (2011). Alternatif Kebijakan Peraturan Daerah Perspektif Gender bagi Buruh Perempuan Migran di Madura. Mimbar Hukum 24 (3). 377 – 389. Randall, Vicky (1987). Women and Politics: An International Perspective, 2nd ed. Chicago. University of Chicago Press. Sukesi, Keppi. Spirit dan Energi Sosial Perempuan Madura dalam Konteks Perubahan Sosial. Malang. Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan – Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya. 293 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download SEMINAR NASIONAL GENDER & BUDAYA MADURA III MADURA: PEREMPUAN, BUDAYA & PERUBAHAN 294 http://lppm.trunojoyo.ac.id/budayamadura/download