analisis pengaruh ketimpangan distribusi

advertisement
ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN DISTRIBUSI
PENDAPATAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
JAWA BARAT
OLEH
DEVI RETNOSARI
H14102093
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
“Apabila engkau sedang bergembira,
Mengacalah ke dalam lubuk hati
Disanalah nanti engkau dapati
Bahwa hanya yang pernah membuat derita
Berkemampuan memberimu bahagia”.....
Karya kecilku ini kupersembahkan
untuk orangtua dan kedua kakakku......
RINGKASAN
DEVI RETNOSARI. Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat (dibimbing oleh TANTI
NOVIANTI).
Laju pertumbuhan PDRB yang tinggi ternyata tidak selalu berkaitan
dengan perbaikan distribusi pendapatan. Pembangunan memerlukan PDRB yang
tinggi dan pertumbuhan yang cepat, tetapi masalah dasarnya bukan hanya
bagaimana menumbuhkan PBRD, tetapi juga siapakah yang akan menumbuhkan
PDRB, sejumlah besar masyarakat yang ada di dalam suatu daerah ataukah hanya
segelintir orang. Jika yang menumbuhkannya hanyalah orang-orang kaya yang
berjumlah sedikit, maka manfaat pertumbuhan PDRB itu pun hanya akan
dinikmati oleh mereka saja, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
pun akan semakin parah. Namun jika pertumbuhan dihasilkan oleh seluruh
masyarakat, mereka pulalah yang akan memperoleh manfaat terbesarnya dan buah
pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara lebih merata. Oleh karena itu distribusi
pendapatan mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil
pembangunan suatu daerah dikalangan penduduknya.
Perbedaan gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan
di Provinsi Jawa Barat pada saat globalisasi semakin meningkat, semangat
desentralisasi dari berbagai daerah muncul, terutama daerah-daerah yang
mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Kondisi ini dipicu oleh sistem
pemerintahan sentralistik yang diterapkan pada masa Orde Baru sehingga muncul
adanya rasa ketidakadilan dalam pembangunan antar daerah, dan ketika
pemerintahan Orde Baru berakhir semangat desentralisasi baik dari pemerintah
daerah meupun masyarakat semakin menguat, yang berujung pada diterapkannya
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan
Pusat dan Daerah yaitu yang memberikan keluasaan bagi daerah untuk melakukan
pembangunan daerahnya masing-masing.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki dua tujuan utama.
Pertama, menganalisa pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur
dengan Rasio Gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada
kurun waktu 1992-2004. Kedua, menganalisa pengaruh variabel lain terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
kuantitatif dengan menggunakan model ekonometrika. Untuk meramalkan
bagaimana pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel endogen digunakan
metode OLS (Ordinary Least Squre). Dengan metode tersebut diharapkan dapat
menjawab permasalahan dalam penelitian. Data yang digunakan adalah data time
series periode observasi tahun 1992 hingga tahun 2004. Data diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, dan Bank Indonesia.
Dengan menggunakan taraf nyata sepuluh persen (α=10%), hasil
penelitian menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi Jawa Barat
berpengaruh negatif yang signifikan, investasi dalam negeri periode sebelumnya
berpengaruh positif yang signifikan, investasi luar negeri periode sebelumnya
berpengaruh negatif yang tidak signifikan, pengeluaran pemerintah Jawa Barat
berpengaruh positif yang signifikan, ketimpangan distribusi pendapatan penduduk
Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan, dummy otonomi daerah
berpengaruh positif yang signifikan, dan dummy krisis ekonomi berpengaruh
negatif yang signifikan.
Dari temuan empiris yang didapatkan dalam penelitian ini terlihat adanya
trade off antara pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan ketimpangan distribusi
pendapatan. Semakin tunggi ketimpangan distribusi pendapatan maka
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat semakin meningkat, dan sebaliknya semakin
rendah distribusi pendapatan maka pertumbuhan ekonomi Jawa Barat semakin
rendah.
Temuan empiris dari penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa
Barat” ini pemerintah diharapkan mampu memfokuskan sasaran kebijakan yang
tepat yakni memacu pertumbuhan dengan memperhatikan distribusi pendapatan.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperluas akses modal dan kesempatan kerja
yang dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia. Disamping itu
Pemerintah Jawa Barat diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan penduduk
dengan menggalakan program KB kembali serta pemerintah dapat meningkatkan
pengeluaranya pada pengeluaran produktif seperti pembangunan kawasan usaha
yang strategis guna meningkatkan jumlah investasi sebagai modal pembangunan.
ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN DISTRIBUSI
PENDAPATAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
JAWA BARAT
OLEH
DEVI RETNOSARI
H14102093
Skripsi
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama
: Devi Retnosari
Nomor Registrasi Pokok : H14102093
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Penelitian
: Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Barat
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Tanti Novianti, SP, M.Si
NIP. 132 206 249
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Desember 2006
Devi Retnosari
NRP. H14102093
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Devi Retnosari lahir tanggal 28 Desember 1983 di
Karawang, Provinsi Jawa Barat. Penulis lahir sebagai anak ke tiga dari tiga
bersaudara, dari pasangan Darodji (Alm) dan Maryamah. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD Negeri I Sarimulia V pada tahun 1996, menyelesaikan
pendidikan menengah di SLTP Negeri I Cikampek pada tahun 1999, Kemudian
melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Jatisari dan lulus pada tahun 2002. Pada
tahun yang sama penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat
dan karuniaNya yang sangat besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Penyusunan skripsi merupakan suatu syarat bagi penulis untuk mendapatkan
gelar Sarjana Ekonomi pada Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah
“Analisis
Pengaruh
Ketimpangan
Distribusi
Pendapatan
Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelasaian skripsi ini terutama kepada :
1. Tanti Novianti, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan baik secara teknis
maupun teoritis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
2. Ir. Wiwiek Rindayanti, MS selaku dosen penguji utama yang telah
memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Zaenal Efendi, MA selaku komisi pendidikan yang telah memberikan
kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4. Papa (Alm), Mama, Kakak Eka dan Roma, yang tak henti-hentinya
mendoakan untuk kesehatan, kelancaran dan keselamatan di awal hingga
akhir penyusunan skripsi ini, serta dukungan, semangat dan motivasi yang
sangat diperlukan bagi penulis.
5. Granson,TL. Yang telah memberikan dukungan moril, bantuan dan
perhatiannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ajie, Elia, Risa, Kokom dan Nining terima kasih atas persahabatannya
hingga kini.
7. Teman-teman IE’39 : Desi, Hasni, Mami, teman-teman Pondok Rizqi,
teman-teman Duma, Radia yang telah memberikan tempat singgah
sewaktu mencari data, serta semua teman seperjuangan ilmu ekonomi
angkatan 39 yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Penulis
menyadari
bahwa
penyusunan
skripsi
masih
jauh
dari
kesempurnan, namun demikian penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan, terimakasih.
Bogor, Desember 2006
Devi Retnosari
H 14102093
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xi
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................5
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................7
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................................8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ..........................9
2.1. Distribusi Pendapatan ..............................................................................9
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................10
2.3. Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi ..12
2.4. Identifikasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi Jawa Barat ................................................................................16
2.5. Otonomi Daerah.......................................................................................25
2.6. Kajian Penelitian Terdahulu ....................................................................27
2.7. Kerangka Konseptual Penelitian..............................................................29
2.8. Hipotesis Penelitian .................................................................................31.
III. METODE PENELITIAN................................................................................32
3.1. Jenis Dan Sumber Data............................................................................32
3.2. Lokasi Dan Waktu Pengumpulan Data....................................................32
3.3. Model Ekonometrika ...............................................................................33
3.4. Metode Analisis/ Pengolahan Data..........................................................34
3.5. Uji Kriteria Ekonomi dan Statistik ..........................................................34
3.6. Uji Ekonometrika.....................................................................................36
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT ....................................39
4.1. Wilayah dan Penduduk Jawa Barat .........................................................39
4.2. Keadaan Iklim da Geografi Jawa Barat ...................................................40
V. ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT .....................42
5.1. Hasil Estimasi Model Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat..........................................42
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................51
6.1. Kesimpulan ..............................................................................................51
6.2. Saran ........................................................................................................52
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................53
LAMPIRAN..........................................................................................................55
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Data Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia dan
Rasio Gini Indonesia Tahun 2002.................................................................. 4
1.2. Data PDRB rill per kapita atas Dasar Harga Konstan 2000
dan Rasio Gini, Provinsi Jawa Barat Tahun 1992-2004 ................................ 6
3.1. Data dan Sumber Data yang Digunakan dalam Penelitian ............................32
5.1. Uji Multikolinearitas ......................................................................................42
5.2. Uji Heterokedastisitas ....................................................................................43
5.3. Uji Autokorelasi .............................................................................................44
5.4. Uji Normalitas................................................................................................44
5.5. Hasil Estimasi Parameter Model Pengaruh Ketimpangan Disrtibusi
Pendapatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Barat................45
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kurva Kuznets ”U- Terbalik” ........................................................................13
2.2. Pengukuran Rasio Gini dengan Menggunakan Kurva Lorenz.......................17
2.3. Model Pertumbuhan Domar...........................................................................23
2.4. Kerangka Konseptual Penelitian ....................................................................30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data Penelitian ................................................................................................ ..56
2. Data yang digunakan dalam Model...................................................................57
3. Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan
terhadap Pertumbuhan Ekonomi ......................................................................58
4. Uji Multikolinearitas ........................................................................................58
5. Uji Heterokedastisitas ......................................................................................59
6. Uji Autokorelasi ................................................................................................59
7. Uji Normalitas...................................................................................................59
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu
meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan seluruh rakyatnya melalui
peningkatan pembangunan ekonomi suatu negara. Pembangunan ekonomi
merupakan suatu keharusan jika suatu negara ingin meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi merupakan
upaya sadar dan terarah dari suatu bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya melalui pemanfaatan sumberdaya yang ada. Peningkatan kesejahtaraan
ini antara lain dapat diukur dari kenaikan tingkat pendapatan nasional atau laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi setiap tahunnya (Sukirno, 1985).
Pembangunan bukan merupakan tujuan melainkan hanya alat sebagai
proses untuk menurunkan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan. Jadi berkurangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan
inti dari pembangunan. Selama pertumbuhan ekonomi dan hasil-hasil dari
pembangunan dapat dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh masyarakat,
maka masalah ketidakmerataan distribusi pendapatan tidak akan muncul. Jika
kinerja ekonominya lebih baik atau mengalami kemajuan maka seluruh rakyat
juga harus merasakan dampak kemajuan tersebut dalam bentuk naiknya tingkat
pendapatan.
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk
terbanyak di Indonesia. Bagian barat laut Provinsi Jawa Barat berbatasan langsung
dengan Provinsi DKI Jakarta. Daerah dengan kepadatan penduduk terbesar berada
di dekat DKI Jakarta. Bandung, ibukota Provinsi Jawa Barat merupakan kota
dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan
Surabaya.
Pelaksanaan pembangunan senantiasa diarahkan pada pencapaian tiga
sasaran pembangunan, ketiga sasaran tersebut dikenal dengan sebutan “trilogi
pembangunan”. Dalam Pelita I (1969-1974) prioritas pertama diarahkan pada
sasaran pemeliharaan stabilitas perekonomian, disusul oleh sasaran pencapaian
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Urutan ini
diubah dalam Pelita II yaitu sasaran pertumbuhan menempati prioritas pertama,
baru kemudian sasaran pemerataan dan sasaran stabilitas. Sejak Pelita III (19791984) hingga Repelita VI, urutan prioritasnya menjadi pemerataan, pertumbuhan,
dan stabilitas. Masalah mulai muncul jika terjadi perubahan ke arah ketimpangan
yang makin melebar antara golongan kaya dan golongan miskin.
Ketimpangan distribusi pendapatan pada daerah-daerah dapat disebabkan
oleh pertumbuhan dan keterbatasan yang dimiliki masing-masing daerah yang
berbeda-beda serta pembangunan yang cenderung terpusat pada daerah yang
sudah maju. Hal ini menyebabkan pola ketimpangan distribusi pendapatan daerah
dan merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya ketimpangan distribusi
pendapatan daerah semakin melebar.
Dalam GBHN telah dikemukakan bahwa tujuan pembangunan Indonesia
adalah pelaksanaan pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan
nasional sekaligus juga harus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi
seluruh rakyat. Hal tersebut bertentangan dengan hipotesis konvensional yang
telah diungkapkan oleh ahli ekonomi seperti Kuznets dan Kaldor yang
menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan kondisi
yang diperlukan bagi tercapainya peningkatan ekonomi. Ini berarti bahwa
semakin tidak meratanya distribusi pendapatan suatu negara, semakin tinggi pula
laju pertumbuhan ekonominya. Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satusatunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah membuat pola distribusi
pendapatan setimpang mungkin. Dengan demikian, menunjukkan adanya trade-off
atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang cepat tetapi dengan distribusi
pendapatan yang timpang.
Dari Tabel 1.1 di bawah ini dapat dilihat bahwa daerah Yogyakarta
merupakan daerah yang memiliki ketimpangan lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah lainnya yaitu sebesar 3,67, sedangkan Provinsi Gorontalo merupakan darah
yang memiliki ketimpangan yang lebih rendah yakni sebesar 0,24. Provinsi Jawa
Barat sebagai provinsi dalam penelitian ini yakni sebesar 0,289 yang sedikit lebih
rendah dari ibukota negara yakni DKI Jakarta sebesar 0,322. Sedangkan secara
nasional, rasio gini pada tahun 2002 adalah sebesar 0,329, pada tahun 2003 dan
2004 menurun menjadi masing-masing 0,32 dan 0,32.
Tabel 1.1. Distribusi Pendapatan Menurut Bank Dunia dan Rasio Gini
Indonesia Tahun 2002.
No
Provinsi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
NAD
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep.
Bangka
Belitung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa
Tenggara
Barat
Nusa
Tenggara
Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua
INDONESIA
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
40%
penduduk
dengan
pendapatan
rendah
22,57
23,74
22,47
24,36
23,97
25,53
25,57
25,53
40%
penduduk
dengan
pendapatan
menengah
39,42
38,46
38,76
39,31
35,77
37,33
38,03
38,26
20%
penduduk
dengan
pendapatan
tinggi
38,01
37,79
38,77
36,33
40,26
37,13
36,41
36,21
Rasio gini
0,288
0,268
0,292
0,260
0,291
0,253
0,254
0,247
19,48
22,29
24,07
19,03
22,34
20,08
21,55
25,00
39,67
38,79
36,82
34,47
37,01
38,31
39,99
37,11
40,85
38,92
39,11
46,51
40,65
41,61
38,46
37,88
0,322
0,289
0,284
0,367
0,311
0,330
0,298
0,266
22,70
37,87
39,43
0,292
23,10
24,64
36,49
40,39
40,41
34,97
0,301
0,245
22,09
39,14
38,77
0,292
21,51
23,18
23,67
23,27
23,76
38,48
39,16
37,91
36,38
39,41
40,01
37,67
38,42
40,35
36,83
0,304
0,270
0,283
0,301
0,270
24,50
20,92
40,22
36,89
35,28
42,19
0,241
0,329
Sumber : National Socio Economic Survey, Module Consumption, 2002
1.2.
Perumusan Masalah
Ketimpangan pembangunan selama ini berlangsung dan berwujud dalam
berbagai bentuk, aspek, dan dimensi. Bukan hanya berupa ketimpangan hasil
pembangunan, misalnya dalam hal pendapatan per kapita atau pendapatan daerah,
tatapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan
pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah akan tetapi juga
berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional. Banyak bukti yang
menunjukkan betapa ketimpangan masih menjadi hal yang nyata. Munculnya
kawasan-kawasan kumuh (slumps) di tengah beberapa kota besar, serta sebaliknya
hadirnya kantong-kantong permukiman mewah ditepian kota atau bahkan
dipedesaan adalah satu bukti nyata ketimpangan yang terjadi.
Perbedaan gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain dari ketimpangan
di Propinsi Jawa Barat pada saat globalisasi semakin meningkat, semangat
desentralisasi dari berbagai daerah muncul, terutama daerah-daerah yang
mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Kondisi ini dipicu oleh sistem
pemerintahan sentralistik yang diterapkan pada masa orde baru sehingga muncul
adanya rasa ketidakadilan dalam pembanguan antar daerah, dan ketika
pemerintahan orde baru berakhir semangat desentralisasi baik dari pemerintah
daerah maupun masyarakat semakin menguat, yang berujung pada diterapkannya
undang-undang tentang otonomi daerah, yang memberikan keleluasaan bagi
daerah untuk melakukan pembangunan daerahnya masing-masing. Di era otomoni
daerah sekarang ini setiap daerah dituntut untuk bisa mengembangkan
perekonomian daerahnya, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tabel 1.2. Data PDRB riil per kapita atas dasar harga konstan 2000 dan
Rasio Gini, Propinsi Jawa Barat Tahun 1992-2004.
Tahun
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
PDRB/kapita
1237645
1543733
1604362
1718502
1769080
1428230
1413173
1558058
1600442
1630771
1667439
1680012
1654232
Rasio Gini
0,312
0,301
0,305
0,299
0,292
0,289
0,279
0,263
0,241
0,235
0,201
0,189
0,194
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat (1992-2004)
Pada Tabel 1.2 dapat dilihat bahwa ketimpangan distribusi pendapatan di
Provinsi Jawa Barat dari tahun 1992 cenderung mengalami penurunan pada setiap
tahunnya. Hal ini berkebalikan dengan perkembangan PDRB riil perkapita yang
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun pada tahun 1996
mengalami penurunan dari Rp 1.769.080 menjadi Rp 1.428.230 pada tahun 1997
yang diakibatkan adanya dampak dari krisis ekonomi. Pada tahun 2002 penduduk
Provinsi Jawa Barat memiliki 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah
adalah sebesar 22,29 persen, penduduk 40 persen berpendapatan sedang sebesar
38,79 persen, dan 20 persen penduduk yang berpendapatan tinggi adalah sebesar
38,92 persen.
Dari data diatas dapat terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi berjalan tidak
searah dengan ketimpangan pendapatan, dimana ketika ketimpangan pendapatan
semakin tinggi yang ditunjukkan oleh tingginya rasio Gini dan distribusi 20
persen penduduk yang berpendapatan tinggi, pertumbuhan ekonominya
mengalami penurunan dan sebaliknya.
Berdasarkan uraikan di atas, maka pembahasan penelitian ini akan dibatasi
pada beberapa pokok pembahasan yaitu:
1. Bagaimana pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan
rasio gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun
waktu 1992-2004?
2. Bagaimana pengaruh variabel lainnya yaitu jumlah penduduk, investasi dalam
negeri periode sebelumnnya, investasi luar negeri periode sebelumnya,
pengeluaran pemerintah, otonomi daerah dan masa krisis ekonomi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dispesifikasikan sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur
dengan rasio gini terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada
kurun waktu 1992-2004.
2. Menganalisis pengaruh variabel lain yaitu jumlah penduduk, investasi dalam
negeri periode sebelumnnya, investasi luar negeri periode sebelumnya,
pengeluaran pemerintah, otonomi daerah dan masa krisis ekonomi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1992-2004.
1.4.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti, sebagai bahan tambahan pengetahuan dan sebagai validasi
dalam bidang yang sama.
2. Bagi Masyarakat, secara umum akan dapat menilai kebijakan yang diambil
oleh pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ketimpangan distribusi
pendapatan di masyarakat.
3. Diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan dalam upaya
menentukan strategi pembangunan guna mengatasi masalah ketimpangan
distribusi pendapatan di masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
penyebaran pendapatan di antara setiap orang atau rumah tangga dalam
masyarakat. Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua
konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan relatif.
Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang
menggunakan parameter dengan suatu nilai mutlak. Ketimpangan relatif
merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang
membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima
oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno, 1985).
Para ahli ekonomi pada umumnya membedakan antara dua ukuran utama
dari distribusi pendapatan baik untuk tujuan analisis maupun kuantitatif, yaitu:
a) Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income).
Distribusi
pendapatan
perorangan
memberikan
gambaran
tentang
distribusi pendapatan yang diterima oleh individu atau perorangan
termasuk pula rumah tangga. Dalam konsep ini, yang diperhatikan adalah
seberapa banyak pendapatan yang diterima oleh seseorang tidak
dipersoalkan cara yang dilakukan oleh individu atau rumah tangga yang
mencari penghasilan tersebut berasal dari bekerja atau sumber lainnya
seperti bunga, hadiah, keuntungan maupun warisan. Demikian pula tempat
dan sektor sumber pendapatanpun turut diabaikan.
b) Distribusi pendapatan fungsional
Distribusi pendapatan fungsional mencoba menerangkan bagian dari
pendapatan yang diterima oleh tiap faktor produksi. Faktor produksi tersebut
terdiri dari tanah atau sumberdaya alam, tenaga kerja, dan modal. Pendapatan
didistribusikan sesuai dengan fungsinya seperti buruh menerima upah, pemilik
tanah memerima sewa dan pemilik modal memerima bunga serta laba. Jadi
setiap faktor produksi memperoleh imbalan sesuai dengan kontribusinya pada
produksi nasional, tidak lebih dan tidak kurang.
Distribusi pendapatan yang didasarkan pada pemilik faktor produksi ini
akan berkaitan dengan proses pertumbuhan pendapatan, adapun pertumbuhan
pendapatan dalam masyarakat yang didasarkan pada kepemilikan faktor produksi
dapat dikelompokkan menjadi dua macam:
1) Pendapatan karena hasil kerja yang berupa upah atau gaji dan besarnya
tergantung tingkat produktifitas.
2) Pendapatan dari sumber lain seperti sewa, laba, bunga, hadiah atau warisan.
Sayangnya relevansi teori fungsional tidak mempengaruhi pentingnya peranan
dan pengaruh kekuatan-kekuatan di luar pasar (faktor-faktor non-ekonomis)
misalnya kekuatan dalam menentukan faktor-faktor harga (Todaro, 2003).
2.2.
Pertumbuhan Ekonomi
Teori Schumpeter (1934) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang
senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.
Pembangunan ekonomi mengacu pada masalah negara berkembang, sedangkan
pertumbuhan ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan
mantap yang terjadi melalui kanaikan tabungan, pendapatan dan pertumbuhan
ekonomi mengacu kepada masalah negara maju.
Sadono
Sukirno
(1985),
menyimpulkan
perbadaan
istilah
dari
pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, sebagai berikut:
Pembangunan ekonomi yaitu:
1. Peningkatan
dalam
pendapatan
perkapita
masyarakat,
yaitu
tingkat
pertumbuhan GDP pada satu tahun tertentu melebihi tingkat pertumbuhan
penduduk.
2. Perkembangan GDP yang berlaku dalam suatu masyarakat dibarengi oleh
perbaikan dan modernisasi dalam struktur ekonomi (struktur produksi dan
struktur kelembagaan) yang umumnya masih bercorak tradisional.
Pertumbuhan ekonomi yaitu:
1. Kenaikan dalam GDP, tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau
lebih kecil dari pada tingkat pertambahan penduduk, atau apakah perubahan
dalam struktur ekonomi berlaku atau tidak.
Menurut Boediono (1992) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output per kapita dalam jangka panjang, sehingga persentase pertambahan output
tersebut harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada
kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita daerah (PDRB per kapita) juga
harus dilibatkan berbagai faktor produksi (sumber-sumber ekonomi) dalam setiap
kegiatan produksi. Pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi faktor produksi
tenaga kerja, kapital, sumberdaya alam, teknologi dan faktor sosial (seperti adat
istiadat, keagamaan, sistem pemerintahan).
Menurut
Tarigan
(2004)
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan
seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu
diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah
tersebut (tanah, modal, tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat
menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain
ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta diwilayah tersebut juga oleh
seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke
luar wilayah atau mendapat aliran dana di luar wilayah.
2.3.
Pengaruh Ketimpangan Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Simon Kuznets (1955) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan
ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap
selanjutnya, distribusi pendapatannya akan membaik. Observasi inilah yang
kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan
longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Kurva Kuznets dapat
dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari
perluasan sektor modern. Koefisien Gini tampak seperti kurva berbentuk “UTerbalik”, seiring dengan naiknya PDRB, seperti terlihat pada gambar.
Koefisien Gini
Produk nasional bruto per kapita
Sumber: Pembangunan Ekonomi (2003)
Gambar 2.1. Kurva Kuznets “U-Terbalik”
Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang
merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, semakin timpang distribusi pendapatan di suatu negara akan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya jumlah
pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah tersebut,
baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah tersebut.
Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu distribusi
pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbadaan tersebut akan
menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan) daerah
tersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari besar
kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima pendapatan.
Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur melalui distribusi
penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun antar wilayah
tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat pada nilai
PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah jumlah yang
diterimanya pula.
Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi diseluruh negara di
dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun negara-negara yang sedang
berkembang. Namun perbedaannya adalah ketimpangan pendapatan lebih besar
terjadi di negara-negara yang baru memulai pembagunannya, sedangkan bagi
negara maju atau lebih tinggi tingkat pendapatannya cenderung lebih merata atau
tingkat ketimpangannya rendah. Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro
(1981),
bahwa
negara-negara
maju
secara
keseluruhan
memperlihatkan
pembagian pendapatan yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara
dunia ketiga yakni negara-negara yang tergolong sedang berkembang.
Nicholas Kaldor (1960), menyatakan bahwa semakin tidak merata pola
distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonomi karena
orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi dari pada orangorang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti
oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika laju pertumbuhan
PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka strategi terbaik adalah
membuat pola distribusi pendapatan setimpang mungkin. Dengan demikian,
model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya trade off atau pilihan antara
pertumbuhan PDRB yang lambat tatapi dengan distribusi pendapatan yang lebih
merata.
Dua model ketimpangan yaitu teori Harrod-Domar dan Neo-Klasik
memberikan perhatian khusus pada peranan kapital yang dapat direpresentasikan
dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada suatu daerah untuk menarik
kapital kedalam daerahnya, hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan
daerah untuk tumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan
menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan
pada daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan pengembalian (return)
yang besar dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan
menyebabkan ketidakmerataan, dimana daerah-daerah yang relatif maju akan
bertumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju tingkat
pertumbuhannya justru relatif lambat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya
ketimpangan pendapatan antar daerah, sehingga diperlukan suatu perencanaan dan
kebijakan dalam mengarahkan alokasi investasi menuju suatu kemajuan ekonomi
yang lebih berimbang diseluruh wilayah dalam negara.
Terjadinya ketimpangan antar daerah juga diterangkan oleh Mydral (1957)
membangun teori keterbalakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide
ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan
hal tersebut, beliau memakai ide “spread effect” dan “backwash effect” sebagai
bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan kedaerah sekitar. Spread
effect (dampak sebar) didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan
(favorable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi di pusat
pertumbuhan kedaerah sekitar. Backwash effect (dampak balik) didefinisikan
sebagai pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran
manusia dari wilayah sekitar atau pinggiran termasuk aliran modal ke wilayah
inti, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah
pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan
wilayah inti.
Terjadinya ketimpangan regional menurut Mydral disebabkan oleh
besarnya pengaruh dari backwash effect dibandingkan dengan spread effect
dinegara-negara terbelakang. Perpindahan modal cenderung meningkatkan
ketimpangan regional, permintaan yang meningkat ke wilayah maju akan
merangsang investasi yang pada gilirannya meningkatkan pendapatan yang
menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya, lingkup investasi yang
lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan
modal di wilayah terbelakang.
2.4. Identifikasi Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
di Propinsi Jawa Barat
Koefisien Gini dan Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di
kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva ini terletak di
dalam sebuah bujur sangkar yang sisi tegaknya melambangkan persentase
kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase
kumulatif penduduk. Kurvanya terletak pada diagonal utama bujur sangkar
tersebut.
Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus)
menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebagai contoh,
titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat
didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk, titik yang terletak pada
posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional
yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk. Dengan kata lain,
garis diagonal tersebut marupakan garis “pemerataan sempurna” (perfect
equality). Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin
lengkung), maka mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi
pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
Gambar 2.2 memperlihatkan pengukuran Rasio Gini dengan Kurva
Lorenz. Indeks atau Rasio Gini adalah menjelaskan kadar kemerataan (ukuran
ketimpangan) distribusi pendapatan nasional yang angkanya berkisar antara 0
hingga 1.
Koefisien Gini = Bidang A yang diarsir
Bidang BCD
D
Persentase pendapatan
nasional
A
B
C
Persentase jumlah penduduk
Sumber: Pembangunan Ekonomi (2003)
Gambar 2. 2. Pengukuran Rasio Gini dengan menggunakan Kurva
Lorenz
Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin
baik atau distribusi merata. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin
mendekati satu) mengisyaratkan distribusi yang kian timpang atau senjang. Angka
Rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari Kurva Lorenz, yaitu
perbandingan luas area yang terletak di antara Kurva Lorenz dan diagonal
terhadap luas area segitiga BCD. Semakin melengkung Kurva Lorenz akan
semakin luas area segitiga yang dibagi, rasio Gini-nya akan kian besar,
menyiratkan distribusi pendapatan yang kian timpang. Todaro (2003) memberikan
batasan bahwa negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien Gininya terletak antara 0,50 sampai 0,70, sedangkan untuk negara-negara yang
ketimpangannya relatif rendah atau merata koefisien Gini-nya terletak antara 0,20
sampai 0,35.
Rasio Gini juga dapat dihitung secara matematik dengan rumus :
n
G = 1 − ∑ ( X i +1 − X i )(Yi + Yi +1 )
1
n
G = 1 − ∑ f i (Yi + Yi +1 )
0<G<1
1
Dimana :
G = Rasio Gini
fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i
Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i
Yi = proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i
Adapun jumlah rumah tangga dapat dibagi menjadi lima kelas yaitu:
1. 20 persen rumah tangga termiskin
2. 20 persen rumah tangga kedua
3. 20 persen rumah tangga ketiga
4. 20 persen rumah tangga keempat
5. 20 persen rumah tangga terkaya.
Kasus ekstrim dari ketidakmerataan sempurna yaitu apabila terdapat
seseorang yang menerima seluruh pendapatan nasional, sementara orang-orang
lain sama sekali tidak menerima pendapatan, diperlihatkan oleh Kurva Lorenz
yang berimpit dengan sumbu horizontal dan sumbu vertikal kanan. Oleh karena
itu, tidak ada satu negara pun yang memperlihatkan kemerataan dan
ketidakmerataan sempurna dalam distribusi pendapatan sehingga dalam
prakteknya, Kurva Lorenz dari setiap negara akan selalu berada disebelah kanan
diagonal.
Pertumbuhan Penduduk
Penduduk berfungsi ganda dalam perekonomian. Dalam literatur-literatur
kuno, pada umumnya penduduk dipandang sebagai penghambat pembangunan.
keberadaannya, yang dalam jumlah besar dan dengan pertumbuhan yang tinggi,
dinilai hanya menambah beban pembangunan. Artinya, jumlah penduduk yang
besar
memperkecil
pendapatan
perkapita
dan
menimbulkan
masalah
ketenagakerjaan, sedangkan dalam literatur-literatur moderen, penduduk justru
dipandang sebagai pemacu pembangunan. berlangsungnya kegiatan produksi
adalah berkat adanya orang yang membeli dan mengkonsumsi barang-barang
yang dihasilkan. Peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usaha-usaha
produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara kesaluruhan (Dumairy,
1996).
Menurut Ricardo dalam Jhingan (2004), pertumbuhan penduduk pada
suatu saat akan mengakibatkan keadaan yang disebut dengan stationary state,
yaitu suatu saat dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Setelah
itu perekonomian akan terus menurun sampai dengan tingkat yang lebih rendah
dimana upah buruh sangat minimal, hanya cukup untuk hidup (subsistence level).
Ricardo melihat pertumbuhan penduduk dan kemerosotan pertumbuhan modal
sebagai akibat bekerjanya The Law of Diminishing Return sebagai penghalang
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, teori Neo Klasik mengganggap penduduk
memberikan sumbangan yang sangat positif terhadap pembangunan, terutama
karena:
1. Perkembangannya akan memperluas pasar.
2. Perbaikan dalam kemahiran dan mutunya dapat menciptakan berbagai akibat
yang positif kepada pembangunan.
3. Penduduk menyediakan pengusaha yang inovatif yang akan menjadi unsur
penting dalam menciptakan pembantukan modal.
Thomas Robert Maltus dalam Todaro (2003), merumuskan sebuah konsep
tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Maltus
menggambarkan suatu kecendrungan universal bahwasanya jumlah populasi di
suatu negara akan meningkat sangat capat pada deret ukur atau tingkat geometrik
(pelipatan ganda), kecuali jika hal tersebut terjadi oleh bencana kelaparan. Pada
waktu yang bersamaan, karena adanya proses pertambahan hasil yang semakin
berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap yaitu tanah, maka
persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat
aritmetik.
Oleh karena pertumbuhan pengadaan pangan tidak dapat terpacu secara
memadai atau mengimbangi kecapatan pertambahan penduduk, maka pendapatan
perkapita cendrung terus mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya
sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit diatas tingkat
subsisten (semua penghasilan hanya cukup dikonsumsi sendiri).
Investasi
Investasi
pada
hakekatnya
merupakan
langkah
awal
kegiatan
pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi
rendahnya pertumbuhan ekonomi, mencerminkan marak lesunya pembangunan.
Dalam upaya menumbuhakan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha
menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju
bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor
asing.
Modal asing dapat memasuki suatu negara dalam bentuk modal swasta dan
modal negara. Modal asing swasta dapat mengambil bentuk investasi langsung
dan investasi tidak langsung. Investasi langsung berarti bahwa perusahaan dari
negara penanam modal melakukan pengawasan atas asset (aktiva) yang ditanam
di negara pengimpor modal dengan cara investasi tersebut. Sedangkan investasi
tidak langsung lebih dikenal sebagai investasi portfolio yang sebagian besar terdiri
dari penguasaan atas saham yang dapat dipindahkan (yang dikeluarkan atau
dijamin oleh pemerintah nagara pengimpor modal), atas saham atau surat utang
oleh warga negara dari beberapa negara lain. Penggunaan modal asing tidak hanya
mengatasi kekurangan modal tetapi juga keterbelakangan teknologi.
Investasi asing negara untuk mempercepat pembangunan ekonomi adalah
lebih penting dari pada modal asing swasta, karena kebutuhan keuangan negara
berkembang begitu basar sedangkan investasi asing swasta hanya mampu
menyelesaikan sebagian kecil saja. Investasi asing swasta tidak mau terlibat
dengan masalah pengeluaran sosial seperti bidang pendidikan, kesehatan
masyarakat, program medis, latihan teknis dan penelitian, dan sebagainya.
Sekalipun bidang-bidang tersebut secara tidak langsung meningkatkan efisiensi
ekonomi dan produktifitas perekonomian, tetapi dalam jangka panjang tidak
memberikan keuntungan langsung dan karena itu hanya dapat diandalkan pada
bantuan hibah negara maju. Investasi di bidang ini memerlukan jumlah dan resiko
yang besar di mana modal swasta tidak mampu melaksanakannya (Jhingan, 2004).
Argumen yang mendukung perlunya investasi untuk pertumbuhan
ekonomi di jelaskan menurut teori Harord Domar. Teori ini menekankan perlunya
investasi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, karena investasi menciptakan
pendapatan, dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara
meningkatkan stok modal. Kerena itu, selama investasi netto tetap berlangsung,
pendapatan nyata dan output akan senantiasa membesar. Namun demikian, untuk
mempertahankan tingkat ekuilibrium pendapatan pada pekerja penuh dari tahun
ketahun, baik pendapatan nyata maupun output tersebut keduanya harus
meningkat dalam laju yang sama pada saat kapasitas produktif modal meningkat.
Kalau tidak, setiap perbedaan antara keduanya akan menimbulkan kelebihan
kapasitas. Hal ini memaksa para pengusaha membatasi pengeluaran investasinya
sehingga akhirnya akan berpengaruh buruk pada perekonomian yaitu menurunkan
pendapatan dan pekerjaan pada periode berikutnya dan menggeser perekonomian
keluar jalur ekuilibrium pertumbuhan.
Tabungan &
Investasi
S
S4
I1
I2
S3
S2
S1
C
B
A
Pendapatan
0
Y1
Y2 Y3
Y4
Sumber: Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (2004)
Gambar 2.3. Model Pertumbuhan Domar
Gambar 2.3 menjelaskan sumbu horizontal mewakili pendapatan dan
sumbu vertikal mewakili tabungan dan investasi. Perubahan pendapatan dari Y1
ke Y2 mendorong investasi I1 menyamai tabungan S1 pada titik A (Y2). Investasiinvestasi ini, pada gilirannya, meningkatkan pendapatan ke Y3 dan Y3 mendorong
I2 menyamai S2 pada B (Y3). I2 pada gilirannya menaikkan pendapatan ke Y4 dan
Y4 mendorong I3 menyamai S3 pada C (tingkat pendapatan Y4). Dengan cara
inilah perekonomian bergerak melalui lintasan pertumbuhan. Titik silang antara
garis investasi (I) dan garis yang sejajar dengan sumbu Y menunjukkan investasi
yang diperlukan pada masa berikutnya. Semakin besar proporsi tabungan, harus
semakin besar juga tingkat kenaikan output, sehingga mengundang investasi yang
memadai untuk mempertahankan keseimbangan, jika koefisien investasi
disumsikan tidak berubah.
Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat.
Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran
menyatakan bahwa Y = C + I + G + (X-M). Variabel Y melambangkan
pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan
variabel-variabel diruas kanan disebut permintaan agragat. Variabel G
melambangkan pengeluaran pemerintah (Government expenditures). Dengan
membandingkan nilai G terhadap Y, serta mengamati dari waktu ke waktu dapat
diketahui seberapa besar kontribusi pengeluaran pemerintah dalam pembentukan
permintaan agregat atau pendapatan nasional dan seberapa penting peranan
pemerintah dalam perekonomian nasional.
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila
pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa,
maka pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut.
Teori Rostow dan Musgrave dalam Dumairy (1996) menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan
ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut.
Dimana pada tiap tahap pemerintah berlaku sebagai penyedia infrastruktur
penunjang pembangunan. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase
investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini
pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah perkembangan ekonomi,
investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
agar dapat tinggal landas, namun peranan investasi swasta sudah membesar. Tetap
besarnya peranan pemerintah adalah karena pada tahap ini banyak terjadi
kegagalan pasar yang ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi itu sendiri.
Banyak terjadi kasus eksternalitas negatif, misalnya pencemaran lingkungan, yang
menuntut pemerintah untuk turun tangan mengatasinya. Rostow berpendapat
bahwa pada tahap lanjut pembangunan terjadi peralihan aktivitas pemerintah, dari
penyediaan prasarana ekonomi ke pengeluaran-pengeluaran untuk layanan sosial
seperti kesehatan dan pendidikan.
2.5.
Otonomi Daerah
Menurut UU No. 5 Tahun 1974 pasal 1 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan otonomi daerah
ditujukan bagi perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan
bertanggung jawab. Pada hakekatnya penerapan prinsip ini ditujukan untuk
mengurangi ketergantungan pada pusat bagi pelaksanaan pembangunan di daerah.
Otonomi Daerah di kota didasarkan pada prinsip desentralisasi. Dengan
tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan dan sumber pembiayaannya dari
daerah sendiri. Dengan demikian, daerah leluasa mengimplementasikan
kebutuhan dan aspirasi daerahnya dalam bentuk program/proyek pembangunan,
yang dikenal sebagai program/proyek regional/daerah. Komponen sumber
penerimaan daerah yang paling mungkin untuk melaksanakan hal tersebut adalah
Penerimaan Asli Daerah (PAD). Namun sumbangan PAD bagi penerimaan
daerahnya relatif kecil, sehingga pembangunan di kota relatif sangat terbatas
mewujudkan kebutuhan dan aspirasi daerahnya dalam bentuk program/proyek
pembangunan (Purliana, 2003).
Kaho (1997), menyatakan bahwa ada empat unsur yang berpengaruh
terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi :
1. SDM merupakan sektor esensial dari otonomi sebagai subjek dan objek
dalam pelaksanaan otonomi.
2. Keuangan merupakan faktor yang sangat menentukan pelaksanaan otonomi
daerah karena akan menentukan PAD yang bersumber dari retribusi daerah,
pajak, hasil perusahaan daerah dsb.
3. Peralatan yang cukup baik, berupa prasarana dan sarana fisik yang
memperlancar pembangunan.
4. Organisasi dan manajemen merupakan lembaga dan organisasi, pemerintah
daerah yang akan menjadi eksekutif dan legislatif di daerah.
Menurut Koswara dalam Tambunan (2001) untuk memberikan keleluasaan
pada daerah dalam wujud otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab,
untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri, tanpa ada lagi intervensi
dari pemerintah pusat, menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai kondisi dan potensi wilayahnya, maka lahirlah UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
2.6.
Kajian Penelitian Terdahulu.
Supriyantoro
(2005),
dalam
skripsinya
yang
berjudul
“Analisis
Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten-Kota di Provinsi Jawa Tengah”.
Dengan menggunakan CV Williamson hasil penelitiannya membuktikan bahwa
ketimpangan pendapatan antar daerah yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah yang
terbagi dalam sepuluh wilayah pembangunan tergolong dalam taraf ketimpangan
yang rendah dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,2768 sampai 0,3427 yang
berarti masih berada dibawah 0,35 sebagai batas taraf ketimpangan rendah.
Kemudian untuk ketimpangan pendapatan yang terjadi didalam wilayah
pembangunan yang terdiri dari Kabupaten/ Kota berada pada taraf ketimpangan
yang rendah untuk wilayah pembangunan II, III, IV yaitu antara 0,1291 sampai
0,3414 dan untuk wilayah pembangunan I, X berada pada taraf ketimpangan yang
tinggi yaitu antara 0,6403 sampai 0,9438. Sementara untuk wilayah pembangunan
VII dari tahun 1993 sampai 1999 berada pada taraf ketimpangan yang rendah dan
untuk tahun 2000 sampai 2003 berada pada taraf ketimpangan yang sedang dan
untuk wilayah pembangunan VIII berada pada taraf ketimpangan sedang yaitu
antara 0,3578 sampai 0,4426.
Analisis trend ketimpangan pendapatan antar wilayah pembangunan
menunjukkan bahwa trend ketimpangan pendapatan yang terjadi selama periode
analisis menunjukkan trend ketimpangan yang meningkat. Trend ketimpangan
pendapatan menurut wilayah pembangunan juga menunjukkan trend yang
meningkat kecuali wilayah pembangunan X. Hasil analisis korelasi dan koefisien
determinan menunjukkan bahwa hubungan pertumbuhan PDRB dan indeks
ketimpangan pendapatan lemah dan besarnya kontribusi pertumbuhan PDRB
terhadap perubahan ketimpangan pendapatan kecil yaitu sebesar 12 persen.
Hendra (2004), melakukan penelitian yang menganalisis “Peranan Sektor
Pertanian Dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Antar Daerah di Provinsi
Lampung” tahun 1995-2001 dengan menggunakan formulasi CV Williamson.
Dari hasil analisis diperoleh bahwa sektor pertanian merupakan penyumbang
terbesar dalam PDRB Lampung. Dominasi dari sektor pertanian juga hampir
semua kabupaten/kota di Lampung. Dari seluruh kabupaten/kota yang ada
(kecuali Metro dan Bandar Lampung), sektor pertanian menjadi penyumbang
terbesar terhadap pembentukan PDRB daerah. Selama periode analisis tahun
1995-2001 sektor pertanian tumbuh rata-rata 4.52 persen per tahun, sementara
laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3.74 persen per tahun. Hasil analisis korelasi
menunjukkan terjadi korelasi negatif yang kuat antara PDRB/kapita dengan
persentase pangsa pertanian sebasar -0.847 yang berarti dearah yang mempunyai
dominasi di sektor pertanian cenderung mempunyai PDRB/kapita yang rendah.
Tingkat ketimpangan pendapatan yang terjadi di Provinsi Lampung selama
periode analisis yaitu tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 cenderung menurun,
walaupun penurunan itu tidak sinifikan. Tahun 1995 indeks ketimpangan
pendapatan sebesar 0.4404 dan pada tahun 2001 indeks ketimpangan turun
menjadi sebesar 0.4068. Terjadi korelasi positif antara PDRB/kapita dengan
indeks ketimpangan sebesar 0.796 yang berarti meningkatnya pertumbuhan
ekonomi akan menyebabkan ketimpangan pendapatan yang semakin besar.
Dari hasil analisis peranan pertanian juga terlihat bahwa sektor pertanian
mempunyai peranan yang besar dalam mengirangi tingkat ketimpangan
pendapatan antar daerah yang terjadi. Indeks ketimpangan pendapatan dengan
memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan sekitar antara 0.440404068 tahun 1995-2001 sedangkan kalau PDRB sektor pertanian dikeluarkan dari
perhitungan indeks ketimpangan meningkat menjadi berkisar antara 0.83730.7680. Selisih antara kedua perhitungan tersebut menunjukkan besarnya peranan
sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan daerah. Dari hasil
analisis
korelasi
menunjukkan
terjadi
hubungan
negatif
antara
indeks
ketimpangan dengan kontribusi sektor pertanian sebesar -0.919. Berarti
peningkatan pada sektor pertanian akan memperkecil ketimpangan pendapatan
yang terjadi.
2.7.
Kerangka Konseptual Penelitian
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita (PDRB)
dalam jangka panjang, dimana kenaikan tersebut harus lebih tinggi dari persentase
pertambahan jumlah penduduk dan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu
akan berlanjut yang melibatkan berbagai faktor produksi seperti tenaga kerja,
kapital, sumberdaya alam dan teknologi tetapi menurut beberapa pakar ekonomi
(Kuznet dan Kaldor) selain faktor produksi yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, faktor lain yang tidak kalah penting adalah distribusi pendapatan
masyarakat. Ketimpangan kesejahteraan yang terjadi pada masyarakat akan
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau negara.
Penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” ini akan menganalisis
pengaruh pertumbuhan penduduk, investasi, pengeluaran pemerintah terhadap
pertumbuhan Provinsi Jawa Barat. Yang menjadi fokus penelitian adalah melihat
pengaruh distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi dan perubahan
pengaruh kebijakan otonomi daerah yang diterapkan terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat. Secara konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai
bagan berikut:
Kebijakan Otonomi
Daerah
Krisis Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi
Jawa Barat
Pertumbuhan Penduduk
Investasi Luar Negeri
Investasi Dalam Negeri
Pengeluaran Pemerintah
Gambar : 2.4. Kerangka Konseptual Penelitian
Distribusi
Pendapatan
2.8.
Hipotesis Penelitian
Penelitian yang berjudul “ Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” dapat ditarik beberapa
hipotesis yakni:
1. Ketimpangan Distribusi pendapatan berpengaruh positif atau negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
2. Pertumbuhan penduduk berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat.
3. Investasi luar negeri dan dalam negeri berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Barat.
4. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat.
5. Kebijakan otonomi Daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat.
6. Krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
yang akan dipergunakan adalah data time series tahun 1992 sampai tahun 2004.
Data diperoleh dari berbagai sumber antara lain data dari BPS Jawa barat yang
berada di Bandung dan dinas-dinas lain yang terkait dalam wilayah Provinsi Jawa
Barat. Data dan sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dapat adalah
seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1. Data Dan Sumber Data Yang Digunakan Dalam Penelitian
No
Data
Sumber Data
1
Pendapatan/kapita
BPS Jawa Barat
2
Jumlah Populasi
BPS Jawa Barat
3
Investasi Luar Negeri
Bank Indonesia
4
Investasi Dalam Negeri
Bank Indonesia
5
Pengeluaran Pemerintah
BPS Jawa Barat
6
Rasio Gini
BPS Jawa Barat
3.2.
Lokasi dan Waktu Pengumpulan Data
Penelitian mengenai “Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” wilayah kajian berlokasi di
Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan
bahwa data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdapat pada instansi tersebut,
sedangkan pemilihan lokasi dengan mengambil Provinsi Jawa Barat sebagai objek
penelitian didasarkan pertimbangan sebagai berikut: (1) Provinsi Jawa Barat
memiliki letak geografis yang cukup strategis karena berada di persimpangan Laut
Jawa dan DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Samudra Indonesia, dan Selat
Sunda. Letak geografis Jawa Barat yang strategis ini merupakan keuntungan bagi
daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. (2) Adanya
Otonomi daerah memberikan wewenang dan hak kepada Kabupaten / Kota untuk
mengatur perekonomiannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan
penelitian dilakukan pada bulan Mei 2006.
3.3.
Model Ekonometrika
Model ekonometrika yang dipakai dalam menjelaskan penelitian mengenai
“ Analisis Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Jawa Barat“ menggunakan kriteria Rasio Gini dengan persamaan:
LPDRB = α0+α1LPP+α2GE+ α3IDN(-1)+α4ILN(-1)+α5RG+ α6DK+ α7DOT+et
Dimana:
LPDRB
= Logaritma PDRB Riil/kapita (Rp) tahun dasar 2000
LPP
= Logaritma Jumlah Penduduk
GE
= Proposi Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDRB Riil
IDN
= Proposi Investasi Dalam Negeri Riil Terhadap PDRB Riil
Periode Sebelumnya.
ILN
= Proposi Investasi Luar Negeri Riil Terhadap PDRB Riil
Periode Sebelumnya.
RG
= Rasio Gini
DK
= Dummy Krisis (0 = Sebelum krisis, 1 = Sesudah Krisis)
DOT
= Dummy Otonomi Daerah (0 = Sebelum Otonomi, 1=
Sesudah Otonomi)
3.4.
α0
= Intersep
α1,.. α6
= Koefisien regresi.
Metode Analisis / Pengolahan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Squre
(OLS). Perhitungan data dengan menggunakan program Microsoft Excell dan
pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program Eviews 4.1.
3.5.
Uji Kriteria Ekonomi dan Statistik
Uji kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter
yang di estimasi, apakah sesuai dengan teori / keadaan atau tidak. Sedangkan uji
kriteria statistik dilakukan dengan: uji koefisien Determinasi (R2), uji t, dan uji F.
1. Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted)
Uji Koefisien Determinasi (R2 / R2 adjusted) digunakan untuk melihat
seberapa besar kemampuan variabel-variabel bebas dalam suatu model
untuk menjelaskan variabel terikatnya. Nilai R2 / R2 adjusted berkisar
antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati 1 maka model semakin
baik. Untuk menghitung koefisien determinasi adalah:
R2 =
Jumlah Kuadrat Residual
Jumlah Kuadrat Total
2. Uji t
Uji t merupakan kriteria statistik untuk melihat signifikansi variabel bebas
tertentu mempengaruhi variabel terikatnya. Koefisien penduga ini (uji t)
perlu berbeda dari nol secara signifikan atau P-Valuenya sangat kecil.
Pengujian uji parsial ini (uji-t) dapat dilihat dari nilai probabilitas tstatistiknya.
Uji satu arah :
Ho : b1 = b2 .....= bi = 0
H1 : bi > 0 atau bi < 0
tolak H0 jika t hit
> t
α
artinya, variabel signifikan berpengaruh nyata
pada taraf α.
Uji dua arah :
H0 : b = b2 .....= bi = 0
H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0
tolak H0 jika t hit
>t
α/2
artinya variabel signifikan berpengaruh nyata
pada taraf α.
3. Uji F
Uji ini dilakukan untuk melihat apakah semua koefisien regresi berbeda
dengan nol atau dengan kata lain bahwa model tersebut dapat diterima.
Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan adalah variabel bebas
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
Uji F hipotesis yang di uji adalah:
H0: b1 = b2 = b3 = ....= 0
H1: minimal ada salah satu bi ≠ 0
Uji F ini dilakukan dengan membandingkan nilai taraf nyata (α) yang di
tetapkan dan nilai probabilitas F-statistiknya. Dari uji F tersebut dapat
diketahui suatu model dapat diterima atau tidak.
Kriteria uji:
Probability F-Statistik < taraf nyata (α), maka tolak Ho
Probability F-Statistik > taraf nyata (α), maka terima Ho
Jika uji F tolak H0 atau terima H1, maka dapat disimpulkan minimal ada
satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya
dan model yang digunakan dapat diterima. Sebaliknya jika dalam uji F
terima Ho atau tolak H1 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun
variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadapa variabel terikatnya dan
model tidak layak digunakan.
3.6. Uji Ekonometrika
1. Multikolinearitas
Multikolinearitas mengacu pada kondisi dimana terdapat korelasi linear
diantara variabel bebas sebuah model. Jika dalam suatu model terdapat
multikolinear akan menyebabkan nilai R2 yang tinggi dan lebih banyak variabel
bebas yang tidak signifikan dari pada variabel bebas yang signifikan atau bahkan
tidak ada satupun. Masalah multikolinearitas dapat dilihat melalui correlation
matrix, dimana batas tidak terjadi korelasi sesama variabel yaitu dengan uji Akar
Unit sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari │0.80│ (Gujarati, 1997).
Melalui correlation matrix ini dapat pula digunakan Uji Klein dalam mendeteksi
multikolinearitas. Apabila terdapat nilai korelasi yang lebih dari │0.80│, maka
menurut uji Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut
tidak melebihi nilai R-squared (Adj) atau R2-nya.
2. Heteroskedastisitas
Kondisi heteroskedastisitas merupakan kondisi yang melanggar asumsi
dari regresi linear klasik. Heteroskedastisitas menunjukkan nilai varian dari
variabel bebas yang berbeda, sedangkan asumsi yang dipenuhi dalam linear klasik
adalah mempunyai varian yang sama (konstan) / homoskedastisitas.
Pengujian masalah heteroskedasitas dilakukan dengan menggunakan uji
White Heteroscedasticity Test (Gujarati,1997). Pengujian ini dilakukan dengan
cara melihat probabilitas Obs*R-squared-nya.
H0 : δ = 0
H1 : δ ≠ 0
Kriteria uji
Probability Obs*-Square < taraf nyata (α), maka terima Ho
Probability Obs*- Square> taraf nyata (α), maka tolak Ho
Tolak H0 maka persamaan tersebut tidak mengalami gejala heteroskedastisitas.
Begitu sebaliknya, jika terima H0 maka persamaan tersebut mengalami gejala
heteroskedastisitas.
3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antara anggota serangkaian observasi yang
diurutkan menurut waktu atau ruang. Masalah autokorelasi dapat diketahui
dengan menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.
H 0: ∂ = 0
H1 : ∂ ≠ 0
Kriteria uji:
Probability Obs *- Square < taraf nyata (α), maka terima Ho
Probability Obs* - Square > taraf nyata (α), maka tolak Ho
Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata
tertentu (tolak H0), maka persamaan itu tidak mengalami autokorelasi. Bila nilai
Obs*R-squared-nya lebih kecil dari taraf nyata tertentu (terima H0) maka
persamaan itu mengalami autokorelasi.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan jika sampel yang digunakan kurang dari 30. Uji
ini berguna untuk melihat error term terdistribusi secara normal. Uji ini disebut
uji Jarque-bera Test.
Pengujian ini dilakukan dengan cara melihat probality Jarque-bera Test.
H0 : error term terdistribusi normal
H1 : error term tidak terdistribusi normal
Kriteria uji:
Probability (P-Value) < taraf nyata (α), maka tolak Ho
Probability (P-Value) > taraf nyata (α), maka terima Ho
Jika terima H0 maka persamaan tersebut tidak memiliki error term
terdistribusi normal dan sebaliknya, jika tolak H0 (terima H1) maka persamaan
tersebut memiliki error term terdistribusi normal.
IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT
4.1.
Wilayah dan Penduduk Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat dalam perkembangan sejarah merupakan provinsi
yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi
Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang pembentukan
Provinsi Jawa Barat. Selam lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah
Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten
Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan
Kota Depok (1999).
Dalam kurun waktu 1994-1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah
Pembantu Gubernur tetap 5 wilayah dengan terdiri dari : 20 kabupaten dan 5
kotamadya, dan tahun 1999 jumlah kotamadya bertambah menjadi 8 kotamadya.
Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kotip
Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom.
Lahirnya UU No.23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah
Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi
Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten
Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota
Cilegon. Adanya perubahan itu, maka saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari : 16
Kabupaten dan 9 Kotamadya, dengan membawahkan 584 Kecamatan, 5.201 Desa
dan 609 Kelurahan.
Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat
setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan
sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan
penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk
selama dasawarsa 1990-2000 mencapai angka 2,17 persen. Sedangkan pada tahun
2003, jumlah penduduk telah bertambah menjadi 38.0590540 jiwa dengan
kepadatan penduduknya mencapai rata-rata 1.064 jiwa per kilometer persegi.
4.2.
Keadaan Iklim dan Geografi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50∋- 7°50∋ LS
dan 104°48∋-104°48∋ BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan
dengan Provinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di selatan dan Selat
Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 pulau di Samudera
Indonesia , 4 pulau di Laut Jawa, 14 pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat
Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.
Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah
Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara
merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit
dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan
tengah. Dengan ditetapkannya Wilayah Banten menjadi Provinsi Banten, maka
luas wilayah Jawa Barat saat ini menjadi 35.746,26 Km2.
Selain itu, Jawa Barat yang memiliki lahan yang subur yang berasal dari
endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari
luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan Provinsi Jawa
Barat ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional. Kondisi ini didukung pula
oleh iklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu rata-rata perbulan
mencapai 189 mm.
Ciri utama daratan Jawa Barat adalah wilayah pegunungan curam di
selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah
lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100 s/d 1.500 m dpl, wilayah
dataran luas di utara ketinggian 0 s/d 10 m dpl, dan wilayah aliran sungai. Iklim di
Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 9°C di Puncak Gunung Pangrango dan
34°C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun
dibeberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.
V. ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN DISTRIBUSI
PENDAPATAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI
JAWA BARAT
5.1.
1.
Hasil Estimasi Model Pengaruh Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat.
Uji Ekonometrika
Multikolinearitas merupakan suatu keadaaan dimana terjadinya satu atau
dua variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan
variabel bebas lainnya. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan
melihat correlation matrix, jika korelasi antar variabel bebas dalam persamaan
regresi kurang dari ⎪0.8⎮(rule of thumbs) maka disimpulkan bahwa dalam
persamaan regresi tidak terjadi gejala multikolinearitas, dan sebaliknya jika
coefficient matrix > dari ⎪0.8⎮ maka disimpulkan pada persamaan regresi terjadi
gejala multikolinearitas. Namun menurut uji klein bahwa gejala multikolinearitas
dimana coefficient matrix > rule of thumbs dapat diabaikan jika koefisien
determinasi > dari koefisien matrixnya. Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa ada
coefisient matrix yang lebih besar dari rule of thumbs namun lebih kecil dari
koefisien determinasi model sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa model
tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas.
Tabel 5.1. Uji Multikolinearitas
LPP
IDN
LPP
1.000.000
-0.336832 -0.090690 -0.120671 -0.341977 -0.088117 0.710395
IDN
-0.336832
ILN
-0.090690
0.342083
GE
-0.120671
-0.470677 -0.267434
RG
-0.341977
0.715726
DOT
-0.088117
-0.614137 -0.576193 0.846573 -0.881134
DK
0.710395
-0.524532 -0.426931 0.325542 -0.740804 0.527046 1.000.000
Sumber: Lampiran 4
ILN
GE
RG
DOT
DK
1.000.000 0.342083 -0.470677 0.715726 -0.614137 -0.524532
1.000.000 -0.267434 0.634973 -0.576193 -0.426931
1.000.000 -0.758221 0.846573
0.634973 -0.758221
0.325542
1.000.000 -0.881134 -0.740804
1.000.000 0.527046
Pengujian heteroskedastisitas ditujukan untuk menguji apakah dalam
sebuah model regresi berganda terjadi ketidaksamaan varians residual dari suatu
pengamatan ke pengamatan yang lain atau dapat juga dikatakan untuk menguji
melihat apakah model regresi memenuhi asumsi bahwa model memiliki gangguan
yang variannya sama (homoskedastisitas). Pengujian asumsi ini dilakukan dengan
menggunakan uji White Heteroskedasticity. Apabila hasil nilai probabilitas Obs*
R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (α = 10%) maka
disimpulkan bahwa model persamaan mempunyai variabel pengganggu yang
variannya sama (homoskedastisitas).
Tabel 5.2. Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.812960
Obs*R-squared
9.065477
Probability
Probability
0.189389
0.208743
Sumber: Lampiran 5
dari uji yang dilakukan dimana nilai dari probabilitas Obs* R-squared adalah
sebesar 0.208743, maka disimpulkan bahwa model persamaan tidak memiliki
masalah heteroskedastisitas.
Selanjutnya kriteria ekonomi yang perlu diuji adalah Autokorelasi
merupakan pelanggaran asumsi klasik yang menyatakan bahwa dalam
pengamatan-pengamatan yang berbeda terdapat korelasi antar error term.
Pengujian autokorelasi dengan menggunakan perangkat E.views 4.1 dapat
diketahui melalui serial correlation LM Test, dimana jika nilai probability obs*
R-Squared pada model lebih besar dari taraf nyata (α = 10%) yang digunakan
maka disimpulkan bahwa model persamaan tidak mengalami gejala autokorelasi,
dan sebaliknya jika probability obs* R-Squared lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan (α = 10%) maka model mengalami gejala autokorelasi.
Tabel 5.3. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.783750 Probability
0.354261
Obs*R-squared
0.145724
4.453095
Probability
Sumber: Lampiran 6
Dari model Pengaruh ketimpangan distribusi pendapatan terhadap
pertumbuhan ekonomi Jawa Barat didapatkan bahwa nilai dari probability obs* R-
Squared adalah sebesar 0.145724, lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu sebesar sepuluh persen (α = 10%). Oleh karena itu model persamaan yang
digunakan tidak mengalami gejala autokorelasi.
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah error term terdistribusi
secara normal dimana uji ini disebut uji Jarque Bera-Test, dimana jika nilai
probability Jarque_Bera pada model lebih besar dari taraf nyata (α = 10%) yang
digunakan maka disimpulkan bahwa model persamaan memiliki error term
terdistribusi normal, dan sebaliknya jika probability Jarque_Bera lebih kecil dari
taraf nyata yang digunakan (α = 10%) maka persamaan memiliki error term yang
tidak terdistribusi normal.
Tabel 5.4 Uji Normalitas
5
S e r ie s : R e s id u a ls
S a m p le 1 9 9 2 2 0 0 4
O b s e r v a t io n s 1 3
4
3
2
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
39990362
42091905
47341441
29367143
6828923.
-0.473252
1.674200
Jarque-Bera
Probability
1.326808
0.515095
1
0
30000000
35000000
sumber : Lampiran 7
40000000
45000000
Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa nilai probabilitinya sebesar 0.515095 lebih
besar dari α=10%, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam model OLS persamaan
tersebut tidak mempunyai masalah normalitas atau error term terdistribusi
normal.
2.
Hasil Estimasi Model
Hasil estimasi parameter model pengaruh ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat adalah ditunjukkan pada
Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Hasil Estimasi Parameter Model Pengaruh Ketimpangan
Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa
Barat.
Variable
LPP
ILN(-1)
IDN(-1)
GE
RG
DOT
DK
C
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
-5.750721
1.123413
-5.118973 0.0144*
-0.864896
1.571486
-0.550368 0.6204
10.96609
2.324458
4.717697 0.0180*
0.600155
0.106510
5.634712 0.0111*
0.025111
0.010114
2.482669 0.0891*
0.892442
0.201908
4.420031 0.0215*
-0.103453
0.074907
-1.381080 0.0261*
-83.22204
20.02101
-4.156736 0.0253*
19.01364
0.963138 Mean dependent var
0.098599
0.877126 S.D. dependent var
3.736845
0.034562 Akaike info criterion
3.447466
0.003584 Schwarz criterion
11.19777
28.55265 F-statistic
0.036363
2.444072 Prob(F-statistic)
Keterangan : * nyata pada taraf 10%
Berdasarkan hasil pendugaan dari Tabel 5.5 diatas maka, model persamaan
memiliki koefisien determinasi (R-Square) sebesar 0.9631 artinya bahwa variasi
variabel endogennya (Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat) dapat dijelaskan secara
linear oleh variabel bebasnya di dalam persamaan sebesar 96.31 persen, dan
sisanya sebesar 3.69 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar persamaan.
Dari hasil uji-F didapatkan bahwa variabel-variabel eksogen mampu
menerangkan variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai P-value = 0.036363
yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu sebesar sepuluh persen
(α = 10%). Nilai ini menandakan bahwa persamaan diatas telah mendukung
keabsahan model.
Dari uji-t menunjukkan ada enam variabel eksogen yang berpengaruh
nyata/signifikan terhadap variabel endogennya, pada taraf nyata sepuluh persen.
Variabel-variabel tersebut adalah laju pertumbuhan penduduk, investasi dalam
negeri periode sebelumnya, pengeluaran pemerintah, ketimpangan distribusi
pendapatan, dummy otonomi daerah dan dummy krisis ekonomi, sedangkan
variabel lainnya yakni investasi luar negeri periode sebelumnya tidak signifikan
mempengaruhi variabel tak bebasnya (pertumbuhan ekonomi Jawa Barat) pada
taraf nyata sepuluh persen (α = 10%).
Dari hasil estimasi berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa laju
pertumbuhan penduduk Jawa Barat berpengaruh negatif yang signifikan terhadap
laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien sebesar -5.75 Artinya,
jika laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat meningkat sebesar satu persen maka
laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan turun sebesar sebesar 5.75 persen,
dan sebaliknya, jika laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat turun sebesar satu
persen maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan naik sebesar sebesar
5.75 persen, asumsi cateris paribus. Temuan ini sesuai dengan hipotesis dimana
dengan peningkatan jumlah penduduk akan memperkecil pendapatan perkapita,
dengan tanpa dibarengngi dengan SDM yang berdaya saing peningkatan laju
pertumbuhan
penduduk
akan
membawa
masalah
baru
yakni
masalah
ketenagakerjaan. Pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan tersedianya
lapangan pekerjaan yang memadai akan meningkatkan pengangguran yang
menjadi penghambat pembangunan.
Investasi luar negeri periode sebelumnya berpengaruh negatif yang tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Modal dalam negeri yang
tidak mencukupi dalam mencapai target pembangunan sehingga keberadan aliran
dana dari luar negeri ke Jawa Barat sangat diharapkan keberadaannya dimana
dalam hal ini adalah dalam bentuk investasi. Namun dari temuan ini bahwa aliran
dana tersebut tidak signifikan dan tidak sesuai dengan teori ekonomi yang ada
dimana investasi sebagai modal pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Hal ini dapat disebabkan oleh investasi luar negeri yang kerapkali
dibarengngi mesin-mesin yang tidak efektif untuk diterapkan dan sumber daya
yang kurang memadai dalam menyerap aliran teknologi dari luar negeri.
Fenomena ini juga dapat disebabkan oleh investasi luar negeri yang ditujukan
pada sektor yang kurang efisien (non riil).
Investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien sebesar
10.97. Artinya adalah jika investasi dalam negeri periode sebelumnya meningkat
sebesar satu persen maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat naik sebesar
10.97 persen, dan sebaliknya jika investasi dalam negeri periode sebelumnya
menurun sebesar satu persen maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat turun
sebesar 10.97 persen. Temuan ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa investasi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Investasi
merupakan salah satu variabel yang meningkatkan output yang mana hal ini
ditunjukkan oleh pendekatan pengeluaran dimana output sebagai jumlah dari
konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net eksport. Peningkatan
investasi dengan asumsi cateris paribus akan meningktakan output. Peningkatan
output ini menunjukkan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran pemerintah Jawa Barat berpengaruh positif yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien sebesar 0.60.
Artinya adalah jika pengeluaran pemerintah Jawa Barat meningkat sebesar satu
persen maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat naik sebesar 0.60 persen, dan
sebaliknya jika pengeluaran pemerintah Jawa Barat menurun sebesar satu persen
maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat turun sebesar 0.60 persen.
Pengeluaran pemerintah yang ditujukan pada pengeluaran produktif yakni
pengeluaran yang ditujukan pada pengeluaran yang memberikan keuntungan
ekonomi
seperti
meningkatkan
pembangunan
dan
atau
perbaikan
infrastruktur
akan
produktifitas dan mendorong investor untuk menanamkan
modalnya. Peningkatan investasi sebagai modal pembangunan pada akhirnya akan
meningkatkan output/ pertumbuhan ekonomi.
Ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat berpengaruh
positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan
koefisien sebesar 0.02. Artinya adalah jika ketimpangan distribusi pendapatan
penduduk Jawa Barat meningkat sebesar satu persen maka laju pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat naik sebesar 0.02 persen, dan sebaliknya jika ketimpangan
distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat menurun sebesar satu persen maka
laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat turun sebesar 0.02 persen, asumsi cateris
paribus. Temuan ini menunjukkan adanya trade-off antara pertumbuhan ekonomi
dan ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan teori
Kuznets dan Kaldor yang menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi
pendapatan merupakan kondisi yang diperlukan bagi tercapainya peningkatan
ekonomi. Ini berarti bahwa semakin tidak meratanya distribusi pendapatan suatu
negara, semakin tinggi pula laju pertumbuhan ekonominya karena orang-orang
kaya memiliki rasio tabungan yang lebih tinggi dari pada orang-orang miskin
sehingga akan meningkatkan aggregate saving rate yang diikuti oleh peningkatan
investasi sebagai modal pembangunan yang akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Kebijakan otonomi daerah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi Jawa barat, artinya adalah setelah diterapkannya otonomi daerah maka
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Temuan empiris ini sesuai
dengan tujuan otonomi daerah itu sendiri yakni perwujudan otonomi daerah yang
nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pada hakekatnya penerapan prinsip
ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan pada pusat bagi pelaksanaan
pembangunan daerah. Otonomi Daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, tiap daerah diberi kebebasan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan otonomi daerah kebijakan yang sentralis
digantikan dengan kebijakan yang desentralis tetapi dalam pengawasan
pemerintah pusat, sehingga dalam hal ini suatu daerah dapat menentukan arah
pertumbuhan ekonominya yang sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Artinya adalah
krisis ekonomi menurunkan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini
diakibatkan ketidakstabilan makroekonomi dan politik pada masa krisis
berdampak
pada
terhambatnya
pembangunan
ekonomi
Jawa
Barat.
Ketidakstabilan makroekonomi maupun politik ini akan meningkatkan resiko dan
penilaian pasar yang semakin sulit dan melesukan investasi sebagai modal
pembangunan. Kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri semakin
rendah sehingga mengalihkan atau bahkan mencabut modalnya sehingga akan
mengurangi produksi (Agregat Supply) dan meningkatkan harga, asumsi cateris
paribus. Meningkatnya harga akan mengurangi daya beli masyarakat yang pada
akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai Analisis Pengaruh ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa barat dapat ditarik beberapa
kesimpulan yakni :
1. Faktor tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi
Jawa Barat dengan koefisien positif. Hal ini menandakan tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini berjalan
searah dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Semakin tinggi
tingkat ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Jawa Barat akan semakin meningkat pula.
2. Pengaruh variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat diantaranya; pertama, faktor laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat
ternyata memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga laju pertumbuhan penduduk
meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin
menurun. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thomas
Robert Maltus; kedua, faktor pengeluaran pemerintah Jawa Barat memiliki
pengaruh yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal
ini menunjukan pengaruh pengeluaran pemerintah yang signifikan dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi, yang artinya kebijakan alokasi
pengeluaran pemerintah tepat sasaran; ketiga, investasi dalam negeri
periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga jika investasi dalam negeri
periode sebelumnya meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat akan semakin meningkat.
6. 2.
Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Dari temuan empiris yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa adanya
trade off antara pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan ketimpangan
distribusi pendapatan maka pemerintah diharapkan mampu memfokuskan
sasaran kebijakan yang tepat yakni memacu pertumbuhan dengan
memperhatikan distribusi pendapatan. Hal ini dapat dilakukan dengan
memperluas akses modal dan kesempatan kerja (mendorong meningkatnya
sektor riil yang berorientasi masyarakat menengah kebawah seperti
UMKM) yang dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia seperti memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat.
2. Pemerintah Jawa Barat diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan
penduduk dengan menggalakan program KB kembali.
3. Meningkatkan pengeluaran pemerintah pada pengeluaran produktif seperti
pembangunan kawasan usaha yang strategis guna meningkatkan jumlah
investasi sebagai modal pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Asfaroni, A.2003. “Modal Manusia, Penanaman Modal Asing dan Pertumbuhan
Ekonomi”. Mini Economica, 33: 33-45.
Badan Pusat Statistik.1992-2004. Indikator Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa
Barat. Badan Pusat Statistik, Bandung.
Bank Indonesia. 1997-2005. Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI).
[www.bi.go.id].
Bank Indonesia. 1997-2005. Laporan Tahunan Bank Indonesia. Bank Indonesia,
Jakarta.
Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. BPFE. Yogyakarta.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.
Elgar, E. 2001. Open-Economics for Developing Countries. Cheltenham, UK.
Northampton, MA, USA.
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga,Jakarta.
Hendra. 2004. Peranan Sektor Pertanian Dalam Mengurangi Ketimpangan
Pendapatan Antar Daerah di Provinsi Lampung.[Skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Jhingan, M. L. 2004. Ekonomi Pembagunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Kaho, J. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Kuznet, S. 1995. Quantitative Aspec of the Economic Growth of Nation : I.
Economic Development and Cultiral Change,Vol. V.
Lumbanraja, G.T. 2006. Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI)
Terhadap Nilai Tukar Rupiah. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Mydrall, G. 1957. Economic Theory and Underdeveloped Region. Methuen
London.
Supriyantoro, G. 2005. Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten-Kota
di Provinsi Jawa Tengah. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Sukirno, S. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar
Kebijaksanaan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bima Grafika,
Jakarta.
Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara. Jakarta.
Tambunan, T. H. 2001. Tranformasi Ekonomi Indonesia (Teori dan Penemuan
Empiris). Salemba Empat, Jakarta.
Todaro, M. P. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.
World Bank. 2002. National Socio Economic Survey, Module Consumption.
Lampiran I : Data Penelitian
Periode PDRB/Kap IDN
ILN
PDRB
RG
GE
PP
Dot DK
1992
1237645 142543
2546
46298829
0,312
894714
33584213 0
0
1993
1543733
11588
2494
54675361
0,301
1035306
34941063 0
0
1994
1604362
15863
4466
62400245
0,305
1195374
35252423 0
0
1995
1718502
19338
12445
76198179
0,299
1507228
35494829 0
0
1996
1769080
19213
7762
89405209
0,292
1622267
37285131 0
0
1997
1428230
37429
7966 101100563
0,289
1604888
39206787 0
1
1998
1413173
8117
5504 142763786
0,279
660000
40896320 0
1
1999
1558058
18342
1499 159349580
0,263
917771
42428584 0
1
2000
1600442
9742
3138 174649549
0,241
1159104
43553000 0
1
2001
1630771
7025
2780 193176425
0,235
2222994
36075355 1
1
2002
1667439
5587
1054 214302257
0,201
2368343
36914883 1
1
2003
1680012
5567
1294 270695000
0,189
3309049
37980422 1
1
2004
1654232
7556
2672 305305606
0,194
3514628
38611000 1
1
Sumber: BPS, Bank Indonesia
Keterangan
PDRB/kapita
IDN
ILN
PDRB
RG
GE
PP
Dot
DK
: Pendapatan Perkapita Jawa Barat (dalam rupiah)
: Investasi Dalam Negeri di Jawa Barat (dalam Rp.Millyar)
: Investasi Luar Negeri di Jawa Barat (dalam juta $USD)
: Produk Domestik Bruto Jawa Barat
: Rasio Gini
: Pengeluaran Pemerintah Jawa Barat (dalam Jt Rupiah)
: Jumlah Penduduk Jawa Jawa Barat
: Dummy Otonomy Daerah
: Dummy Krisis Ekonomi
Lampiran 2: Data Yang Digunakan Dalam Model
Obs
LKAP
LPP
RG
ILN_PDRB IDN_PDRB G_PDRB
Dot
DK
1992
14.02872
17.32957
0,312
11,3391
30,7870
1,9325
0
0
1993
14.24971
17.36917
0,301
9,6247
21,1942
1,8936
0
0
1994
14.28824
17.37804
0,305
15,7455
25,4214
1,9157
0
0
1995
14.35696
17.38490
0,299
37,6952
25,3786
1,9780
0
0
1996
14.38597
17.43411
0,292
20,6888
21,4898
1,8145
0
0
1997
14.17195
17.48436
0,289
36,6387
37,0216
1,5874
0
1
1998
14.16135
17.52655
0,279
30,9389
5,6856
0,4623
0
1
1999
14.25895
17.56333
0,263
6,6649
11,5105
0,5759
0
1
2000
14.28579
17.58949
0,241
17,2397
5,5780
0,6637
0
1
2001
14.30456
17.40112
0,235
14,9666
3,6366
1,1508
1
1
2002
14.32680
17.42413
0,201
4,3969
2,6071
1,1051
1
1
2003
14.33431
17.45258
0,189
4,0465
2,0566
1,2224
1
1
2004
14.31885
17.46905
0,194
8,1305
2,4749
1,1512
1
1
Data : diolah
Keterangan
LKAP
LPP
RG
ILN_PDRB
IDN_PDRB
G_PDRB
Dot
Dk
: Logaritma pendapatan perkapita
: Logaritma jumlah penduduk Jawa Barat
: Rasio Gini
: Proposi investasi luar negeri terhadap PDRB
: Proposi investasi dalam negeri terhadap PDRB
: Proposi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB
: Dummy otonomi daerah
: Dummy krisis
Lampiran 3: Hasil Estimasi Persamaan Pengaruh Ketimpangan Distribusi
Pendapatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat
Dependent Variable: LPDBR
Method: Least Squares
Date: 06/06/06 Time: 00:31
Sample(adjusted): 1992 2004
Included observations: 13 after adjusting endpoints
Variable
LPP
ILN(-1)
IDN(-1)
GE
Coefficient
-5.750721
-0.864896
10.96609
0.600155
Std. Error
1.123413
1.571486
2.324458
0.106510
t-Statistic
-5.118973
-0.550368
4.717697
5.634712
Prob.
0.0144
0.6204
0.0180
0.0111
RG
DOT
0.025111
0.892442
0.010114
0.201908
2.482669
4.420031
0.0891
0.0215
DK
C
-0.103453
-83.22204
0.074907
20.02101
-1.381080
-4.156736
0.0261
0.0253
R-squared
0.963138
Mean dependent var
19.01364
Adjusted R-squared
S.E. of regression
0.877126
0.034562
S.D. dependent var
Akaike info criterion
0.098599
-3.736845
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.003584
28.55265
2.444072
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-3.447466
11.19777
0.036363
Lampiran 4. Uji Multikolinearitas
LPP
IDN
LPP
1.000.000
-0.336832 -0.090690 -0.120671 -0.341977 -0.088117
ILN
IDN
-0.336832
1.000.000 0.342083
GE
RG
DOT
DK
0.710395
-0.470677
0.715726
-0.614137 -0.524532
1.000.000 -0.267434
0.634973
-0.576193 -0.426931
ILN
-0.090690
0.342083
GE
-0.120671
-0.470677 -0.267434
RG
-0.341977
0.715726
0.634973
-0.758221
DOT
-0.088117
-0.614137 -0.576193
0.846573
-0.881134
DK
0.710395
-0.524532 -0.426931
0.325542
-0.740804
1.000.000 -0.758221
0.846573
0.325542
1.000.000 -0.881134 -0.740804
1.000.000 0.527046
0.527046
1.000.000
Lampiran 5. Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.812960
Obs*R-squared
9.065477
Probability
Probability
0.189389
0.208743
Lampiran 6. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
1.783750 Probability
0.354261
Obs*R-squared
0.145724
4.453095
Probability
Lampiran 7. Uji Normalitas
5
Series: Residuals
Sample 1992 2004
Observations 13
4
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
3
2
39990362
42091905
47341441
29367143
6828923.
-0.473252
1.674200
1
Jarque-Bera 1.326808
Probability 0.515095
0
30000000 35000000 40000000 45000000
Download