BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Definisi Kemampuan Berbicara Anak Usia Dini a. Pengertian Kemampuan Berbicara pada Anak Usia Dini Salah satu kemampuan yang harus dikuasai anak dalam pembelajaran bahasa adalah kemampuan berbicara. Kemampuan berbicara menempati kedudukan yang penting karena merupakan ciri kemampuan komunikatif anak. Kemampuan berbicara tidak hanya berperan dalam pembelajaran bahasa, tetapi berperan penting dalam pembelajaran yang lain. Bahasa mencakup setiap sarana komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan makna kepada orang lain. Bentuk komunikasi itu seperti tulisan, bicara, bahasa simbol, ekspresi muka, isyarat, pantomim dan seni. Hurlock (2007) menjelaskan pengertian bicara yaitu bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Bicara merupakan bentuk komunikasi yang paling efektif, maka penggunaannya paling luas dan paling penting. Kemampuan berbicara merupakan keterampilan mental-motorik. Berbicara tidak hanya melibatkan koordinasi kumpulan otot mekanisme suara yang berbeda, tetapi juga mempunyai aspek mental yakni kemampuan mengaitkan arti dengan bunyi yang dihasilkan. Tarigan (2008) berpendapat bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi, artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Arsjad dan Mukti (2005) menjelaskan kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan katakata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Tujuan utama dari berbicara yaitu untuk berkomunikasi. 7 8 Kegiatan berbicara pada umumnya merupakan aktivitas memberi dan menerima bahasa, menyampaikan gagasan dan pesan kepada lawan bicara dan pada waktu yang hampir bersamaan, pembicara akan menerima gagasan dan pesan yang disampaikan oleh lawan bicara sehingga terjadi hubungan timbal balik (Nurgiyantoro, 2001). Perkembangan bicara anak bertujuan untuk menghasilkan bunyi verbal. Kemampuan mendengar dan membuat bunyi-bunyi verbal merupakan hal pokok untuk menghasilkan berbicara. Kemampuan berbicara anak akan berkembang melalui pengucapan suku kata yang berbeda-beda yang diucapkan secara jelas. Kemampuan berbicara anak akan meningkat menggabungkan ketika kata-kata anak baru dapat mengartikan kata-kata baru, dan memberikan pernyataan dan pertanyaan. Pada usia TK (4-6 tahun) kemampuan berbahasa yang paling umum dan efektif dilakukan adalah kemampuan berbicara. Hal ini selaras dengan karakteristik umum kemampuan bahasa anak pada usia tersebut. Karakteristik ini meliputi kemampuan anak untuk dapat berbicara dengan baik, melaksanakan tiga perintah lisan secara berurutan dengan benar, mendengarkan dan menceritakan kembali cerita sederhana dengan urutan yang mudah dipahami, menyebutkan nama, jenis kelamin dan umurnya, menggunakan kata sambung seperti bagaimana, apa, mengapa, kapan, membandingkan dua hal, memahami konsep timbal balik, menyusun kalimat, mengucapkan lebih dari tiga kalimat, dan mengenal tulisan sederhana (Dhieni, dkk, 2010). Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat diartikan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi, artikulasi yang bertujuan untuk menyampaikan maksud, pikiran dan gagasan kepada orang lain. Kemampuan berbicara berguna bagi kehidupan bermasyarakat anak. Kemampuan berbicara tidak hanya penting pada pembelajaran bahasa melainkan pembelajaran yang lain. 9 b. Tahap Perkembangan Berbicara Anak Usia Dini Bowler dan Linke (Dhieni, dkk, 2010) memberikan pendapat bahwapada usia 3 tahun anak menggunakan banyak kosa kata dan kata tanya seperti apa dan siapa. Ketika usia 4 tahun anak mulai bercakap-cakap dan perkembangan bahasa anak semakin meningkat. Setelah usia 5 tahun dimana anak sudah dapat berbicara lancar dengan menggunakan berbagai kosa kata baru. Berdasarkan data yang diambil dari Quarterly (Hurlock, 2007), anak yang berusia 4-5 tahun jumlah kosa kata anak sebanyak 1.600-2.200 kata. Hurlock (2007) menjelaskan setelah anak memasuki sekolah, kosa kata mereka bertambah dengan cepat karena ketika sekolah, anak mulai diajarkan langsung, mendapat pengalaman baru, membaca pada waktu senggang, mendengarkan radio dan televisi.Pada penggabungan kata ke kalimat, mula-mula anak menggunakan kalimat satu kata yakni kata benda atau kata kerja, yang kemudian digabungkan dengan isyarat untuk mengungkapkan suatu pikiran seperti ketika anak mengatakan “beri” sambil menunjuk salah satu mainan berarti “berikan saya mainan itu”. Anak yang kira-kira berusia 12 sampai dengan 18 bulan menggunakan bentuk kalimat kata tunggal. Anak yang berusia 2 tahun menggabungkan kata ke dalam kalimat pendek yang sering kali berupa kalimat tidak lengkap yang berisi satu atau dua kata benda, satu kata kerja, dan kadang satu kata sifat atau kata keterangan. Anak menghapuskan kata depan, kata ganti, dan kata sandang. Bentuk kalimatnya seperti “pegang boneka”, “pergi tidur”, “selamat jalan” dan “ingin minum”. Pada waktu anak berusia 4 tahun, kalimat yang diucapkan anak hampir lengkap, dan setahun kemudian kalimat yang diucapkan anak sudah lengkap berisi semua unsur kalimat. Zubaidah (2003) mengutarakan tahap perkembangan berbicara dibagi menjadi dua periode yaitu periode pralinguistik dan periode linguistik. Pada periode pralinguistik ini terjadi sejak lahir hingga usia 11 bulan yang ditandai dengan keluarnya suara tangis dan bunyi-bunyi yang lain. Setelah 10 anak belajar mengeluarkan suara dalam bentuk tangis, anak mulai belajar mengoceh (babling stage). Tahap ini disebut juga tahap omong kosong atau tahap kata tanpa makna. Anak tidak menghasilkan suatu kata yang dapat dikenal, tetapi mereka berbuat seolah-olah mengatur ucapan-ucapan sesuai pola suku kata. Periode linguistik berada pada tahap suku kata dimana anak hanya mengulang kata yang telah didengar. Suhartono (2005) menjelaskan anak usia TK berada pada tahap perkembangan berbicara yang memiliki ciri-ciri yaitu 1) Anak mampu menggunakan bahasa dalam bentuk negatif, interogatif, 2) Kalimat yang diucapkan sudah mengarah pada kalimat pendek dan sederhana, 3) Berani mengatakan tidak jika disuruh melakukan sesuatu, 4) Dapat menunjukkan ketidaksetujuan, 5) Bicara lebih teratur dan terstruktur, 6) Bicara anak sudah dapat dipahami orang lain, 7) Anak mampu merespon pembicaraan orang lain baik positif maupun negatif. Berdasarkan pendapat dari para ahli diatas, dapat disimpulkan tahap perkembangan berbicara anak pada usia 3 tahun menggunakan banyak kosa kata dan kata tanya seperti apa dan siapa. Usia 4 tahun anak mulai bercakap-cakap dan usia 5 tahun sudah dapat berbicara secara lancar sehingga dapat dimengerti orang lain. Jumlah kosa kata anak pada usia 4-5 tahun mencapai 1.600-2.200 kata. c. Bentuk Tugas Kompetensi Berbicara Ada banyak bentuk tugas yang dapat diberikan kepada peserta didik untuk mengukur kompetensi berbicara. Bentuk tugas yang dipilih harus memungkinkan peserta didik untuk tidak mengekspresikan kemampuan berbahasa saja, melainkan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, atau menyampaikan informasi. Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, selain itu juga dapat mengetahui kemampuan berbicara peserta didik yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian tugas hendaklah dilakukan dengan cara yang menarik dan menyenangkan agar 11 peserta didik tidak merasa tertekan dan dapat mengungkapkan kompetensi berbahasa secara normal dan maksimal (Nurgiyantoro, 2011). Kemampuan berbicara dapat diketahui dengan berbagai tugas kompetensi seperti berbicara berdasarkan gambar, berbicara berdasarkan rangsang suara, berbicara berdasarkan rangsang visual dan suara, bercerita, wawancara, berpidato, berdiskusi dan berdebat. Tugas kompetensi tersebut dapat dilakukan dengan membuat rubrik penilaian yang berisi aspek-aspek penilaian. Setiap tugas kompetensi memiliki aspek penilaian yang berbedabeda. Otto (2015) menjelaskan ketika anak-anak mempelajari bahasa, mereka sedang mengembangkan lima aspek atau komponen yaitu fonetik, semantik, sintaksis, morfemik dan pragmatik. Masing-masing aspek ini merujuk pada pengetahuan bahasa yang lebih spesifik. Aspek-aspek ini berkembang sejalan dengan aspek lainnya. Santrock (2007) juga berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sistem aturan bahasa terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Fonologi adalah sistem suara dalam sebuah bahasa. Sebuah fonem adalah unit terkecil dalam sebuah bahasa. Morfologi berkaitan dengan sistem dari unit-unit bermakna yang terlibat dalam pembentukan kata. Sintaksis berarti sistem yang melibatkan bagaimana kata-kata dikombinasikan sehingga membentuk frasa-frasa dan kalimat-kalimat yang dapat diterima. Semantik adalah sistem yang melibatkan arti kata-kata dan kalimat, sedangkan pragmatik berarti sistem menggunakan percakapan dan pengetahuan yang tetap terkait penggunaan bahasa secara efektif dalam konteks. Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, peneliti akan menggunakan pendapat dari Nurgiyantoro (2011) untuk menilai kemampuan berbicara anak yaitu dengan menggunakan rangsang gambar. Gambar yang digunakan yaitu gambar cerita. Aspek yang akan dinilai dalam penilaian berbicara berdasarkan rangsang gambar seperti kesesuaian 12 dengan gambar, ketepatan logika urutan cerita, ketepatan makna keseluruhan cerita, ketepatan kata, ketepatan kalimat, dan kelancaran. d. Manfaat Berbicara pada Anak Usia Dini Hurlock (2007) mengutarakan bahwa selama masa awal kanak-kanak, anak-anak memiliki keinginan yang kuat untuk belajar berbicara. Belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi. Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan mudah diterima sebagai anggota kelompok daripada anak dengan komunikasi terbatas. Anak-anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami banyak rintangan baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila anak pandai berbicara seperti teman-teman yang lain. Anak-anak dengan kemampuan berbicara yang baik, dapat mengkomunikasikan ide dan mengajukan pertanyaan selama kegiatan pembelajaran di sekolah. Kemampuan berbicara anak mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis karena baik membaca maupun menulis melibatkan proses dan penggunaan bahasa. Kemampuan berbicara yang berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis mempunyai dasarmeliputi kosakata, produksi dan pemahaman sintaksis, kesadaran fonemik, dan produksi serta kesadaran naratif (Otto, 2015). Pendapat Otto (2015) didukung oleh pendapat Santi (2009) bahwa anak yang mudah berbicara atau bercakap-cakap akan lebih pandai membaca. Kemampuan berbicara membuat anak mengungkapkan perasaan dan memulai hubungan sosial dilingkungannya. Windor (Otto, 2015) menjelaskan keberhasilan yang lain dalam hubungan kemampuan berbicara yaitu kemampuan interaksisosial anak. Anak-anak yang memliki kemampuan berbicara yang baik akan lebih berhasil dalam berkomunikasi, baik dengan guru maupun teman sebaya. Keberhasilan anak dalam melakukan percakapan dan merespon ketika 13 pembelajaran akan berpengaruh terhadap keberhasilan selanjutnya saat di sekolah. Study Idrissova, Smagulova, & Tussupbekova (2015) menyatakan bahwaKeterampilan mendengarkan dan berbicara saling terkait saat kegiatan dalam pembelajaran.Ketika keterampilan mendengarkan anak meningkat akan memiliki efek positif pada kemampuan berbicara Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kemampuan berbicara memberikan dampak positif bagi anak. Anak yang mempunyai kemampuan berbicara yang baik dapat mengutarakan ide dan mengajukan pertanyaan. Anak akan menjadi lebih pandai membaca dan lebih mudah berinteraksi kepada orang lain seperti guru atau teman sebaya. 2. Definisi Take and Give a. Pengertian Take and Give Huda (Yuliastini, dkk, 2015) menjelaskan take and give dapat diartikan saling memberi dan menerima materi antarsiswa. Model pembelajaran tipe take and give adalah suatu tipe pembelajaran yang mengajak siswa untuk saling berbagi mengenai materi yang disampaikan oleh guru. Take and give melatih siswa terlibat secara aktif dalam menyampaikan materi yang mereka terima kepada siswa lain dengan menggunakan media kartu yang didalamnya berupa materi yang harus dipahami dan dihafalkan oleh siswa. Prayogo (2012) mengutarakan model pembelajaran take and give merupakan model pembelajaran yang memiliki sintaks, menuntut siswa mampu memahami materi pelajaran yang diberikan guru dan teman sebaya atau siswa lainnya. Model pembelajaran ini melatih siswa terlibat secara aktif dalam menyampaikan materi yang siswa terima dari teman atau siswa yang lainnya secara berulang-ulang. Slavin (Shoimin, 2014) berpendapat model pembelajaran take and give pada dasarnya mengacu pada konstruktivisme, yaitu pembelajaran 14 yang dapat membuat siswa itu sendiri aktif dan membangun pengetahuan yang akan menjadi milik anak. Proses pembelajaran ini, siswa mengecek dan menyesuaikan pengetahuan baru yang dipelajari dengan kerangka berpikir yang telah anak miliki. Berdasarkan pendapat di atas, dapat diartikan bahwa model pembelajaran take and give merupakan pembelajaran saling memberi dan menerima materi dari teman melalui kartu. Anak terlibat secara aktif dalam memberikan materi. Take and give melatih siswa untuk memahami materi yang diterima dari guru atau teman. b. Kelebihan dan Kelemahan Take and Give Taufik, dkk (Rais, 2014) memaparkan bahwa model pembelajaran take and give mempunyai kelebihan yaitu peserta didik dilatih untuk memahami materi dengan dengan waktu yang cepat, dapat menghemat waktu dalam pemahaman dan penguasaan siswa akan informasi.Kekurangan dari take and give meliputi jika informasi yang disampaikan kurang tepat maka informasi yang diterima siswa lainpun kurang tepat, atau dengan kata lain tidak efektif dan terlalu bertele-tele. Shoimin (2014) menjelaskan ada beberapa kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran take and give. Kelebihan pembelajaran take and give sebagai berikut : 1) Peserta didik akan lebih memahami penguasaan materi dan informasi karena mendapatkan informasi dari guru dan peserta didik lain. 2) Dapat menghemat waktu dalam pemahaman dan penguasaan peserta didik akan informasi. 3) Meningkatkan kemampuan untuk bekerja sama dan bersosialisasi. 4) Melatih kepekaan diri, empati melalui variasi perbedaan sikap-tingkah laku selama bekerja sama. 5) Upaya mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri. 15 6) Meningkatkan motivasi belajar (partisipasi dan minat), harga diri dan sikap-tingkah laku yang positif serta meningkatkan prestasi belajar. Adapun kelemahan dalam pembelajaran take and give (Shoimin, 2014) sebagai berikut: 1) Bila informasi yang disampaikan peserta didik kurang tepat (salah), informasi yang peserta didik terima pun akan kurang tepat. 2) Kurang efektif dan terlalu bertele-tele. Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan model pembelajaran take and give memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari take and give yaitu dapat menghemat waktu dalam pemahaman dan penguasaan siswa akan informasi, meningkatkan kemampuan untuk bekerja sama, upaya mengurangi rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri. Take and give juga memiliki kekurangan seperti bila informasi yang disampaikan kurang tepat maka informasi yang diterima pun akan kurang tepat, kurang efektif, dan terlalu bertele-tele. Kelemahan take and give dapat diminimalisir dengan pemberian materi yang menarik seperti memberikan cerita pada anak. Cerita dapat diberikan per bagian cerita agar anak tidak bosan saat mendengarkan cerita yang terlalu lama. Kartu yang berisi materi bisa menggunakan gambar. Gambar dapat membuat anak lebih antusias saat saling memberi dan menerima materi. c. Langkah-langkah Pembelajaran Take and Give Hanafiah dan Suhana (2010) menjelaskan langah-langkah dalam pembelajaran take and give sebagai berikut : 1) Membuat kartu berukuran ± 10 x 15 cm bagi sejumlah peserta. 2) Setiap kartu berisi sub materi (yang berbeda dengan kartu yang lainnya, materi sesuai dengan indikator pembelajaran). 3) Menyiapkan kelas sebagaimana mestinya. 4) Menjelaskan materi sesuai indikator pembelajaran. 5) Untuk memantapkan penguasaan peserta, setiap peserta didik diberi satu kartu untuk dipelajari atau dihafal lebih kurang 5 menit. 16 6) Semua peserta didik diminta untuk berdiri dan mencari pasangan untuk saling memberi informasi. Setiap siswa harus mencatat nama pasangannya pada kartu. 7) Demikian seterusnya sampai setiap peserta dapat saling memberi dan menerima materi masing-masing (take and give). 8) Untuk mengevaluasi keberhasilan, berikan siswa pertanyaan yang tidak sesuai dengan kartunya (kartu orang lain). 9) Strategi ini dapat dimodifikasi sesuai keadaan. 10) Kesimpulan. Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Shoimin (2014), yang merumuskan langkah-langkah pembelajaran take and give sebagai berikut : 1) Menyiapkan media yang terbuat dari kartu. 2) Menjelaskan materi sesuai TPK. 3) Untuk memantapkan penguasaan peserta tiap siswa diberi masingmasing 1 kartu untuk dipelajari (dihafal) lebih kurang 5 menit. Kartu dibuat dengan ukuran ± 10x15 cm sebanyak siswa di kelas. Tiap kartu berisi sub materi (yang berbeda dengan kartu yang lainnya, materi sesuai dengan TPK). 4) Semua siswa diminta untuk berdiri dan mencari pasangan untuk saling menginformasi. Tiap siswa harus mencatat nama pasangannya pada kartu. 5) Demikian seterusnya sampai peserta dapat saling memberi dan menerima materi masing-masing (take and give). 6) Strategi ini dapat dimodifikasi sesuai keadaan. 7) Untuk mengevaluasi keberhasilan, berikan siswa pertanyaan yang tidak sesuai dengan kartunya (kartu orang lain). 8) Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalahan pemahaman dan memberikan penguatan. 9) Kesimpulan. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan langkah-langkah dalam model pembelajaran take and give yaitu 1) 17 membuat kartu berukuran 10×15 cm yang berisi materi,2) Guru menjelaskan sesuai materi, 3) Untuk memantapkan penguasaan materi, anak diberi kartu yang berisi materi kemudian dihafal, 4) Setelah itu anak mencari pasangan, 5) Anak saling bertukar informasi antar pasangan, 6) Untuk mengevaluasi keberhasilan, anak dapat diberi pertanyaan yang tidak sesuai dengan kartunya, 7) Ketika jawaban dari anak tidak sesuai, maka guru dapat menjelaskan dan diberi penguatan. d. Penerapan Take and Give pada Anak Usia Dini Berdasarkan langkah-langkah yang telah dikemukakan Shoimin (2014), Hanafiah dan Suhana (2010) bahwa model pembelajaran take and give dapat dimodifikasi sesuai keadaan. Peneliti akan menerapkan model pembelajaran take and give pada anak usia dini. Maka, dalam melakukan langkah-langkah take and give perlu memperhatikan keadaan dan kondisi anak. Penerapan pada anak usia dini dengan model take and give dapat dilakukan sebagai berikut yaitu 1) Menyiapkan kartu yang berisi materi, 2) Guru menjelaskan materi pada anak, materi terupa gambar cerita yang berjudul “Nasa tak malas lagi”. Materi yang disampaikan per bagian ceritadalam setiap pertemuan, 3) Guru membagikan kartu sesuai dengan jumlah anak, kartu berupa gambar seperti gambar tokoh, tumbuhan, hewan, benda di sekitar dan lain-lain, 4) Anak diminta untuk melihat kartu yang berisi gambar kurang lebih 5 menit, 5) Lalu anak mencari pasanganuntuk saling bertukar informasi, 5) Guru memberi nama pada kartu anak sesuai pasangannya, 6) Anak mulai untuk saling memberi dan menerima informasi dengan cara bertanya satu sama lain, 7) Setelah selesai, guru memberikan pertanyaan kepada anak secara bergantian, 8) Pertanyaan yang diberikan menggunakan kartu orang lain (kartu pasangan), 9) Jika anak memberikan jawaban yang kurang tepat, maka dapat diberikan penguatan dan jawaban dapat dibenarkan. 18 3. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan, mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan, beberapa penelitian tersebut adalah sebagai berikut : a. Dahlia L, M.Thamrim, Ali M (2013) Penelitian yang berjudul “Kemampuan Berbicara Menggunakan Bahasa Indonesia Anak Usia 5-6 Tahun TK Keranjik”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kemampuan berbicara anak berkembang sesuai harapan karena anak sudah menggunakan bahasa indonesia. Kemampuan anak berkomunikasi dengan guru menggunakan bahasa indonesia dikategorikan berkembang sesuai harapan karena anak dapat menggunakan bahasa indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Penelitian yang akan dilaksanakan peneliti mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian Dahlia L, M.Thamrin, Ali M. Perbedaan tersebut terletak pada variabel bebasnya yaitu jika penelitian ini menggunakan bahasa indonesia, maka peneliti menggunakan model pembelajaran take and give, dan persamaan lain terletak pada variabel terikatnya yaitu kemampuan berbicara anak. b. Proctor P, McDonald D, Gill W, Heaven S, Marr J, Young J (2015) Penelitian yang berjudul “Increasing Early Childhood Educator’s Use of Communication Facilitating and Language Modelling Strategies : Brief Speech and Language Therapy Training”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pelatihanSpeech and Language Therapy (SLT) dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada anak usia dini. Terdapat persamaan dan perbedaan dari penelitian tersebut. Persamaannya terletak pada variabel terikatnya yaitu kemampuan berbicara dan perbedaannya terletak pada variabel bebasnya yaitu penelitian ini menggunakan pelatihan Speech and Language Therapy, sedangkan yang akan peneliti lakukan menggunakan model take and give. 19 c. Yuliastini Sri N.L.G, Tastra Kade I.D, Sudhita Romy I.W (2015) Penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Take and Give Berbantuan Multimedia Interaktif Terhadap Hasil Belajar IPS”. Hasil penelitian menunjukkan hasil belajar IPS siswa yang menggunakan model pembelajaran take and give berbantuan multimedia interaktif cenderung tinggi. Dibuktikan dengan hasil data posttest. Penelitian yang dilakukan Yuliastini Sri N.L.g, Tastra Kade I.D, Sudhita Romy I.W (2015) memiliki perbedaan dan persamaan dari peneliti. Perbedaannya terletak pada variabel terikat yaitu penelitian tersebut meneliti hasil belajar IPS anak, sedangkan peneliti meneliti kemampuan berbicara. Persamaan dari penelitian tersebut terletak pada variabel bebasnya yaitu menggunakan model take and give. d. Barekat B, Mohammadi S (2014) Penelitian yang berjudul “The Contribution of The Theachers’ Use of Dialogic Discourse Pattern to The Improvement of The Students’ Speaking Ability”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan dialog wacana yang dilakukan guru dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa. Penelitian yang akan dilaksanakan peneliti mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian Barekat B, Mohammadi S. perbedaan tersebut terdapat pada variabel bebasnya yaitu penelitian ini menggunakan dialog wacana, sedangkan peneliti menggunakan model take and give. Persamaan terdapat pada variabel terikatnya yaitu kemampuan berbicara. B. Kerangka Berpikir Kemampuan berbicara perlu dikembangkan dalam pembelajaran TK. Sesuai dengan tahapan perkembangan yaitu anak pada usia TK mulai belajar berbicara. Berbicara perlu dikembangkan karena kemampuan berbicara membuat anak mampu mengutarakan ide dan mengajukan pertanyaan. Anak akan lebih pandai membaca dengan kemampuan berbicara yang baik. Kemampuan berbicara membuat anak mudah berinteraksi dengan orang lain. Mengembangkan 20 kemampuan berbicara bisa dilakukan di rumah, sekolah dan lingkungan sekitar. Ketika di sekolah, dalam mengembangkan kemampuan berbicara dapat menggunakan model pembelajaran. Model pembelajaran bisa melibatkan guru dengan anak atau anak dengan anak. Berdasarkan alasan tersebut, peneliti akan melakukan penelitian menggunakan model pembelajaran take and give. Take and give merupakan pembelajaran saling memberi dan menerima informasi antar anak.Take and give dapat disesuaikan dengan keadaan. Take and give membuat anak belajar secara aktif. Kerangka berpikir peneliti tersebut dapat digambarkan melalui gambar di bawah ini : Kemampuan berbicara perlu dikembangkan pada anak usia dini Pemberian model take and give dalam kegiatan Kemampuan berbicara anak akan meningkat setelah diterapkan model take and give Gambar 1. Kerangka Berpikir C. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diajukan hipotesis bahwa penggunaan model take and give berpengaruh terhadap kemampuan berbicara anak kelompok A di TK Ar-Rohmah, Wirun, Mojolaban, Sukoharjo.