KAJIAN METEOROLOGI DALAM KEJADIAN BANJIR BIMA TANGGAL 21 DAN 23 DESEMBER 2016 1 Kadek Setiya Wati, 2Ari Wibianto,3 Fauzia Rizki Suhendro, 4Maria Carine P.A.D.V, 5Putu Agus Dedy P., 6 Yudhith Adyatma 1,2,3,4,5,6 Prakirawan Stasiun Meteorologi Kelas II Bandara Internasional Lombok Email: [email protected] ABSTRAK Fenomena hujan lebat bukan merupakan hal baru di wilayah Indonesia yang memiliki iklim tropis. Kondisi curah hujan dengan intensitas tinggi, durasi yang cukup lama serta pendistribusian hujan yang tidak merata dapat menyebabkan banjir dan longsor di suatu tempat. Berdasarkan informasi media online liputan6.com, banjir yang terjadi sejak Rabu dinihari pada tanggal 21 Desember 2016, menyebabkan ribuan rumah di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat terendam banjir bandang. Melihat dampak yang terjadi, maka perlu dilakukan kajian kondisi meteorologi dengan pendekatan dalam skala global, regional, dan lokal menggunakan data-data reanalisis seperti data suhu muka laut, data kelembapan udara, data pola pergerakan angin, dan data medan tekanan. Selain data diatas dilakukan pula analisis cuaca menggunakan citra inderaja seperti satelit cuaca serta memanfaatkan data model numerikal untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Berdasarkan hasil analisis dalam ketiga skala tersebut diperoleh hasil bahwa hujan lebat yang mengguyur wilayah Kota Bima merupakan akibat hangatnya suhu muka laut yang mendukung terjadinya penguapan sehingga uap air tersedia dalam jumlah cukup. Gangguan cuaca berupa siklon tropis “YVETTE” mengakibatkan terjadinya belokan dan perlambatan angin di atas wilayah Pulau Sumbawa bagian timur sehingga terjadi pertumbuhan aktif awanawan konvektif yang mengakibatkan hujan terus menerus. Kata Kunci: banjir bima, cuaca ekstrem, hujan lebat, awan konvektif I. PENDAHULUAN Dalam PERKA KBMKG No.009 Tahun 2010 menjelaskan bahwa cuaca ekstrem adalah kondisi cuaca yang tidak lazim sehingga menimbulkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta. Hujan dengan intensitas lebat merupakan salah satu jenis dari cuaca ekstrem. Fenomena hujan lebat bukan merupakan hal baru di wilayah Indonesia yang memiliki iklim tropis. Kondisi curah hujan dengan intensitas tinggi, durasi yang cukup lama serta pendistribusian hujan yang tidak merata dapat menyebabkan banjir dan longsor di suatu tempat. Berdasarkan informasi media online liputan6.com, banjir yang terjadi sejak Rabu dinihari pada tanggal 21 Desember 2016, menyebabkan ribuan rumah di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat terendam banjir bandang. Sebagian besar masyarakat dievakuasi ke sejumlah tempat seperti Masjid Baitul Hamid dan Masjid Agung Kota Bima. Akibat lain dari banjir yakni listrik di wilayah Bima sempat padam serta komunikasi yang sempat terputus. Bandar Udara Salahudin Bima juga sempat tidak bisa digunakan karena terendam banjir sehingga lima jadwal penerbangan dibatalkan. Data curah hujan tanggal 20-23 Desember 2016 dari pos pengamatan Asakota mencatat curah hujan terukur adalah 98 mm; 104mm; 2 mm; 3 mm; di pos hujan Kolo curah hujan tercatat adalah 116 mm; 105mm; 40 mm; 208 mm; di pos hujan Raba curah hujan tercatat 23 mm; 101 mm; 29 mm; 129 mm; di pos hujan Rasanae Timur curah hujan tercatat 0 mm; 124 mm; 13 mm; 107.5mm. Kembali menurut PERKA KMBKG No. 009 Tahun 2010, curah hujan lebih dari 20 mm/jam atau 50 mm/ hari merupakan hujan dengan intensitas lebat dan masuk dalam kategori cuaca ekstrem. Banjir bandang Bima merupakan salah satu kejadian luar biasa dimana sangat diperlukan adanya analisis cuaca lebih lanjut. Dalam melakukan analisis cuaca, lazimnya prakirawan menggunakan data-data reanalisis dari peta synoptik seperti data suhu muka laut, data kelembapan udara, data pola pergerakan angin, dan data medan tekanan. Selain data diatas dapat juga dilakukan analisis cuaca menggunakan citra inderaja seperti satelit cuaca serta memanfaatkan data model numerikal untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya hujan lebat yang menyebabkan banjir bandang di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. II. DATA DAN METODE Dalam penelitian ini mencakup lokasi penelitian, data penelitian, dan metodelogi, dimana pada metodelogi mencakup pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis hasil pengolahan data. 2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil studi kasus pada saat kejadian hujan lebat di Kota Bima tanggal 20, 21, dan 23 Desember 2016 yang mengakibatkan terjadinya banjir dengan koordinat wilayah penelitian pada peta adalah antara 118°44'–119°22' BT dan 8°8'–8°57' LS. Kota Bima berbatasan langsung dengan Kecamatan Ambalawi disebelah utara, Kecamatan Palibelo disebelah Selatan, Teluk Bima disebelah Barat, dan Kecamatan Wawo disebelah Timur 2.2 Data Penelitian 1. Data analisis SST dan anomali dan Madden Julian Oscillation (MJO) 2. Data analisis medan tekanan, analisis medan angin, dan analisis kelembaban udara. 3. Data satelit himawari-8 tanggal 21-23 Desember 2016. 2.3 Langkah Kerja Melakukan analisis kondisi global dengan menggunakan data suhu muka laut dan anomali serta MJO. Setelah melakukan analisis kondisi skala global kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis skala regional antara lain dengan menggunakan data analisis medan tekanan, analisis medan angin, dan kelembaban udara. Untuk mengetahui kondisi lokal digunakan citra satelit dan time series suhu puncak awan pada saat kejadian dari satelit Himawari-8. Dari analisis tersebut kemudian disimpulkan faktor-faktor apa saja dan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya hujan ekstrem di kota Bima pada pada tanggal 20, 21, dan 23 Desember 2016. III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 SKALA GLOBAL 1. Suhu Muka Laut dan Anomali Berdasarkan gambar analisis kondisi Suhu Muka Laut (SML) pada gambar 3.1, wilayah perairan Samudera Pasifik Ekuatorial Barat (sekitar wilayah Indonesia) memiliki nilai suhu muka laut yang relatif hangat pada tanggal 20, 21, dan 23 Desember 2016 yaitu umumnya berkisar antara 28 – 32 ⁰C dengan kondisi suhu muka laut tertinggi terjadi di sekitar wilayah perairan Indonesia bagian timur (termasuk di sekitar perairan Sumbawa). Nilai anomali suhu muka laut di wilayah perairan Samudera Pasifik Ekuatorial Barat (sekitar wilayah Indonesia) adalah sebesar 0.75 – 1.75 ⁰C terhadap normalnya. Suhu muka laut yang hangat mengindikasikan bahwa pasokan uap air untuk proses pembentukan awan – awan konvektif cukup tersedia. Kondisi suhu muka laut yang demikian sangat mendukung pembentukan awan-awan konvektif yang berpotensi menyebabkan terjadinya hujan lebat disertai petir dan angin kencang. Gambar 3.1 Suhu Muka Laut dan Anomali Suhu Muka laut pada tanggal 20, 21, dan 23 Desember 2016 (Sumber: NOAA, 2017) 2. Madden Julian Oscillation (MJO) Gambar 3.2 Diagram Fase Pergerakan MJO tanggal 26 November 2016 hingga tanggal 4 Januari 2017 (BOM, 2017) Terdapat 8 fase pergerakan MJO dimana MJO terpantau aktif di wilayah Indonesia jika berada pada fase 4 dan 5 (maritime continet). Garis merah menandakan pergerakan untuk bulan November, garis hijau menandakan pergerakan untuk bulan Desember dan garis biru menandakan pergerakan untuk bulan Januari. Pada bulan Desember 2016 posisi MJO berada di dalam lingkaran yang menunjukkan bahwa kondisi MJO kurang aktif sehingga pertumbuhan awan yang terjadi akibat dari fenomena MJO kurang signifikan atau kurang berkontribusi pada proses pertumbuhan awan di Indonesia. 3.2 SKALA REGIONAL 1. Medan Tekanan Gambar 3.3 Peta Analisis MSLP tanggal 20 – 23 Desember 2016 pukul 00.00 UTC (Sumber: BOM, 2017) Peta analisis MSLP (Mean Sea Level Pressure) pukul 00.00 UTC tanggal 20 sampai dengan 23 Desember 2016 ditunjukkan dalam gambar 3.3. Wilayah Indonesia umumnya berada dalam rentang nilai tekanan udara antara 1004 hPa sampai dengan 1010 hPa. Pusat tekanan rendah lebih banyak terbentuk di wilayah selatan khatulistiwa atau di bagian Belahan Bumi Selatan (BBS). Pada tanggal 20 Desember 2016 terlihat adanya daerah pusat tekanan rendah di wilayah Perairan Selatan Pulau Bali (996 hPa) dan di sebelah Utara Australia (998 hPa). Keesokan harinya tanggal 21 Desember 2016, kedua pusat tekanan rendah tersebut menguat menjadi 994 hPa dan 997 hPa dengan posisi pusat tekanan rendah di utara Australia bergeser lebih ke selatan. Kedua pusat tekanan rendah ini kemudian membentuk palung tekanan rendah di wilayah Samudera Hindia sebelah Selatan kepulauan Nusa Tenggara Timur. Pada tanggal 22 Desember 2016 terbentuk dua gangguan cuaca yaitu yang pertama Siklon tropis “YVETTE” (990 hPa) terbentuk di wilayah perairan Selatan Pulau Bali dan badai tropis “NOCK-TEN” (1000 hPa) yang terbentuk di wilayah Samudera Pasifik Utara Papua. Siklon tropis “YVETTE” inilah yang berpengaruh terhadap kondisi cuaca di wilayah Pulau Sumbawa khususnya bagian Timur. Tanggal 23 Desember 2016 pukul 00.00 UTC terpantau masih terdapat badai tropis “NOCK-TEN” di perairan sebelah Timur Filipina, namun untuk siklon tropis “YVETTE” terpantau sudah punah dan berubah menjadi pusat tekanan rendah dengan tekanan udara di pusatnya mencapai 990 hPa. 2. Medan Angin Data yang digunakan yaitu data FNL yang diunduh dari rda.ucar.edu yang memiliki format grib2 dengan resolusi 1 derajat x 1 derajat. Pada tanggal 19 Desember 2016 sudah terdapat dua buah putaran siklonik di sebelah selatan Indonesia dimana gejala bertahan hingga tanggal 21 Desember 2016. Kecepatan di sekitaran wilayah Bima masih berkisar antara 10 – 20 knot, dimana dominan angin bertiup dari arah Barat Laut. Pada tanggal 20 dan 21 Desember 2016 terlihat bahwa putaran siklonik di selatan Indonesia semakin kuat, yang ditandai dengan peningkatan kecepatan angin di sekitar putaran siklonik ini dan dapat mencapai lebih dari 50 knot. Untuk sekitar wilayah bima sendiri terjadi peningkatan kecepatan angin di sekitar perairan utara Bima, dimana kecepatan anginnya dapat mencapai 40 knot. Gambar 3.4 Peta angin 850 mb tanggal 19 – 21 Desember 2016 jam 00 dan 12 UTC (dalam knot) Terjadi pula daerah belokan dan perlambatan angin di wilayah Bima, dimana perlambatan ini memaksa udara untuk bergerak ke atas sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses kondensasi dan memicu terjadinya awan-awan konvektif yang menyebabkan hujan lebat di daerah yang dilaluinya. Untuk tanggal 22 dan 23 Desember 2016 terlihat bahwa posisi pusaran siklonik yang terdapat di Benua Australia mulai bergerak ke selatan menjauhi wilayah Indonesia. Untuk kecepatan angin dari pusaran siklonik yang berada di Samudra Hindia mulai berkurang. Untuk di wilayah Bima kecepatan anginnya mengalami penurunan hingga pada tanggal 23 Desember 2016 memiliki kecepatan angin berkisar antara 10 – 30 knot. Daerah perlambatan angin sudah berkurang di wilayah Bima. Gambar 3.5 Peta angin 850 mb tanggal 22 – 23 Desember 2016 jam 00 dan 12 UTC (dalam knot) 3. Kelembaban Udara Dari gambar 3.6 terlihat bahwa pada tanggal 19 – 24 Desember 2016 untuk nilai kelembaban relatif terdapat nilai kelembaban relatif yang besar di wilayah perairan utara Bima (berkisar antara 70 – 90 %). Dimana kelembaban ini masuk ke wilayah Bima akibat gerakan angin yang berhembus dari arah Barat Laut. Kelembaban relatif terkait dengan jumlah uap air yang ada di atmosfer. Uap air yang banyak masuk ke wilayah Bima yang kemudian berubah menjadi awan hujan konvektif yang memicu terjadinya hujan lebat di wilayah tersebut. Gambar 3.6 Peta kelembaban relatif 850 mb tanggal 19 – 24 Desember 2016 jam 00 UTC (dalam persen) 3.3 SKALA LOKAL 1. Citra Satelit dan Suhu Puncak Awan Gambar 3.7 Suhu puncak awan tanggal 20-23 Desember 2016 di pos hujan Asakota 1 (kiri) dan Asakota 2 (kanan) Awan konvektif umumnya memiliki bentuk dan tinggi puncak awan yang berubah lebih cepat dibandingkan dengan awan stratiform karena masa hidupnya yang pendek. Selain itu, awan konvektif jenis Cumulonimbus juga dapat diindikasikan berdasarkan suhu puncak awannya yang dapat mencapai kurang dari -40°C. Lingkaran berwarna merah dan hijau pada gambar 3.7 di atas menyatakan indikasi adanya liputan awan Cumulonimbus. Adanya kenaikan dan penurunan grafik suhu puncak awan yang tajam dapat mengindikasikan adanya pertumbuhan dan peluruhan awan jenis ini, dimana pada waktu peluruhannya berkaitan dengan kondisi hujan lebat. Meninjau grafik suhu puncak awan di atas, dapat diketahui bahwa hujan intensitas sedang hingga lebat terjadi pada tanggal 21 Desember 2016 dinihari hingga malam hari. Menjelang tengah malam tanggal 21 Desember 2016 hujan kembali turun selanjutnya berhenti hingga pagi hari tanggal 22 Desember 2016. Menjelang siang hari tanggal 22 Desember 2016, kembali terjadi hujan hingga malam hari. Pada tanggal 23 Desember 2016, hujan kembali turun hampir sepanjang hari, mirip dengan kejadian tanggal 21 Desember 2016. Gambar 3.8 Citra satelit wilayah NTB tanggal 21 dan 23 Desember 2016 Citra satelit menunjukkan dengan lebih jelas adanya liputan awan yang tebal di atas wilayah Bima tanggal 21 dan 23 Desember 2016. Selama tanggal 21 dan 23 Desember 2016 tersebut, hampir sepanjang hari wilayah Bima tertutup oleh gugusan awan tebal yang tampak tumbuh dan meluruh secara berkesinambungan. Melihat kondisi tersebut tidak heran jika wilayah Kota Bima hingga terendam banjir akibat hujan yang terjadi terus menerus. IV. KESIMPULAN Berdasarkan analisis skala global, regional dan lokal yang telah dilakukan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa dinjau dari skala global, kondisi suhu muka laut yang cenderung hangat di wilayah perairan Indonesia khususnya di sekitar perairan Sumbawa sangat mendukung penguapan yang mengindikasikan bahwa pasokan uap air dalam proses pembentukan awan – awan konvektif tersedia. Adanya gangguan cuaca berupa siklon tropis “YVETTE” di Samudera Hindia sebelah Selatan Bali mengakibatkan terjadinya belokan sekaligus perlambatan angin di atas wilayah Pulau Sumbawa bagian timur. Kondisi tersebut mengakibatkan massa udara dipaksa untuk bergerak ke atas sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses kondensasi dan memicu tumbuhnya awan-awan konvektif yang menyebabkan hujan lebat di daerah yang dilaluinya. Hujan lebat yang berlangsung dalam jangka waktu lama itulah yang mengakibatkan kenaikan volume air di sekitar Kota Bima hingga akhirnya menggenangi beberapa luas daratan Kota Bima. V. DAFTAR PUSTAKA BMKG, 2016, Citra Satelit Himawari-8 Area NTB, diakses tanggal 24 Desember 2016 [daring] (http://satelit.bmkg.go.id/IMAGE/HIMA/H08_EH_NTB_0*00.png). BMKG, 2017, Koordinat Pos hujan Kerjasama Kota Bima, diakses tanggal 9 Januari 2017 [daring] (http://dataonline.bmkg.go.id/mcstation_metadata). BMKG, 2017, Prosedur Identifikasi Awan dengan Citra Satelit MTSAT, diakses tanggal 7 Januari 2017,[daring] (http://satelit.bmkg.go.id/BMKG/other/pdf/7.%20Prosedur%20Identifikasi%20Aw an.pdf). BOM, 2016, Asia MSL Pressure Analysis, diakses tanggal 7 Januari 2017 [daring] (http://reg.bom.gov.au/australia/charts/darwin_MSLP_00z.shtml). BOM, 2017, Maden Julian Oscillation Phase Diagram, diakses tanggal 7 Januari 2017 [daring] (http://www.bom.gov.au/climate/mjo/). Liputan6, 2017, Berita Banjir Bima, diakses tanggal 8 Januari 2017 [daring] (http://www.liputan6.com/). NCAR, 2017, Data FNL tanggal 19-24 Desember 2016, diakses tanggal 7 Januari 2016 [daring] (http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/). NOAA, 2017, Sea Surface Temperature and Anomaly, diakses tanggal 7 Januari 2017 [daring] (https://www.esrl.noaa.gov/psd/map/clim/sst.shtml). Sagita, N. dan Prasetya, R., 2013, Analisis Citra Satelit MTSAT dan TRMM Menggunakan Software ER MAPPER, SATAID, dan PANOPLY Saat Kejadian Curah Hujan Ekstrem di Wilayah Manado, 16 Februari 2013, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol.9 No.2 Juni 2013. MENGETAHUI KASI OBSERVASI DAN INFORMASI STAMET BIL DEVI ARDIANSYAH, S.P. NIP. 197804071999031001