BAB I - Jamsos Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (national social security system) adalah sistem
penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial,
agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia.
Jaminan sosial
diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan
hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut
atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain
sebagainya.
Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan
jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara
maju dan berkembang sejak lama. Penyelenggaraan jaminan sosial di berbagai negara
memang tidak seragam, ada yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk dan
ada yang hanya mencakup penduduk tertentu untuk program tertentu. Secara universal,
pengertian jaminan sosial dapat dijabarkan seperti beberapa definisi yang dikutip berikut
ini.
Menurut Guy Standing (2000)
Social security,is a system for providing income security to deal with the
contingency risks of life – “sickness, maternity, employment injury,
unemployment, invalidity, old age and death; the provision of medical care, and
the provision of subsidies for families with children”.
ILO Convention 102
Social security is the protection which society provides for its members through
a series of public measures:

to offset the absence or substantial reduction of income from work
resulting from various contingencies (notably sickness, maternity,
employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of the
breadwinner)
1

to provide people with health care; and

to provide benefits for families with children."
Tanpa merinci jenis program jaminan sosial lainnya, UUD 1945 telah mengamanatkan
kepada Negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Pasal 28 H
ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara.
Lebih lanjut, perlunya segera dikembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
ditegaskan pada Pasal 34 ayat 2 Perubahan UUD 45 tahun 2002 yang menyatakan
bahwa ―Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan‖. Tanpa rincian program jaminan sosial yang akan dikembangkan, dapat
dipahami bahwa amanat tersebut menghendaki terselenggaranya berbagai program
jaminan sosial secara komprehensif/menyeluruh seperti yang telah diselenggarakan
negara lain, meskipun hal itu dilakukan secara bertahap.
Secara universal, Jaminan Sosial dijamin oleh Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia meratifikasi deklarasi tersebut yang di
dalamnya dinyatakan bahwa ― .... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai
hak atas jaminan sosial ..... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja,
menjanda, hari tua .....‖. Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 menganjurkan agar semua
negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam
rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial.
Pengalaman
berbagai
perlindungan
sosial
negara
bagi
menunjukkan
masyarakat,
bahwa,
jaminan
sosial
selain
juga
dapat
menjadi
memberikan
penggerak
pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan kenyataan baru yang membuktikan
bahwa jaminan sosial makin diperlukan mengingat bahwa kondisi perekonomian global
maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan
rakyat.
Krisis
telah mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, berkurangnya
pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang menjadi haknya. Disamping itu,
pendapatan masyarakat akan berkurang karena menderita penyakit atau memasuki usia
lanjut. Jaminan sosial dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko
tersebut.
Jaminan sosial dapat diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial.
Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dapat
mengurangi beban negara (APBN) dalam penyediaan dana bantuan sosial yang memang
sangat terbatas.
Melalui prinsip kegotong-royongan, meanisme asuransi sosial
2
merupakan sebuah instrumen negara yang kuat dan digunakan di hampir seluruh negara
maju dalam menanggulangi risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada
setiap warga negaranya.
Dari aspek ekonomi makro, jaminan sosial nasional adalah suatu instrumen yang efektif
untuk memobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar, yang sangat bermanfaat untuk
membiayai program pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain
memberikan perlindungan melalui mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang
terkumpul dapat menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi
pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini merupakan
suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip solidaritas sosial
dan
kegotong-royongan.
Banyak negara memulai penyelenggaraan jaminan sosial setelah mengalami krisis
ekonomi yang berat dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat terasa.
Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa pemerintahan Presiden
Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami depresi ekonomi yang sangat hebat
di tahun 1932. Jerman memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintah Otto Van
Bismarck (1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan. Kedua negara
maju tersebut kini memperoleh manfaat besar dari penyelenggaraan jaminan sosial yang
dikembangkan pada waktu kedua negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi.
Manfaat besar dari dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah
menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh pekerja sektor
formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan Nasional atau Dana Jaminan Sosial
senilai US$ 90 Miliar melalui program jaminan hari tua pegawai (Employee Provident
Fund, EPF).
Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang menyelamatkan
Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998 yang lalu.
B. Pilar Perlindungan Sosial
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk terdapat tiga-pilar pendekatan
yang saling melengkapi namun berbeda pola penyelenggaraannya, yaitu :
Pilar Pertama
menggunakan meknisme bantuan sosial (social assistance) kepada
penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai
maupun
pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Pembiayaan bantuan
sosial dapat bersumber dari Anggaran Negara dan atau dari Masyarakat. Mekanisme
3
bantuan sosial biasanya diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, umpamanya penduduk
miskin, sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur.
Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini lebih ditekankan pada pemberdayaan
dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang bermuara pada
kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka mampu membayar iuran untuk
masuk mekanisme asuransi.
Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal yaitu upaya-upaya kelompok
masyarakat, baik secara mandiri, swadaya, maupun gotong royong, untuk memenuhi
kesejahteraan anggotanya melalui berbagai upaya bantuan sosial, usaha bersama,
arisan, dan sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan
sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem yang kuat,
mencakup rakyat banyak, dan tidak terjamin kesinambungannya.
Pemerintah
mendorong
tumbuhnya
swadaya
masyarakat
guna
memenuhi
kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan berkembang, antara lain
dengan memberi insentif untuk dapat diintegrasikan dalam sistem jaminan sosial nasional.
Pilar Kedua menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat
wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan
oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara
luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya dan profesionalisme
penyelenggaraannya.
Dalam hal peserta adalah tenaga kerja di sektor formal, iuran dibayarkan oleh setiap
tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar prosentase tertentu
dari upah.
Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial di
hampir semua negara.
Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal penduduk dengan mengikut-sertakan mereka
secara aktif
melalui pembayaran iuran. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah
masyarakat (biasanya prosentase tertentu yang tidak memberatkan peserta)
untuk
menjamin bahwa semua peserta mampu mengiur.
Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidak-mampuan penduduk melihat risiko masa
depan dan ketidak-disiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian
4
sistem jaminan sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan.
Karena sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan sebesarbesarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi peserta. Karena sifatnya
yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh UU tersendiri.
Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan
cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi
masyarakat dan pemerintah serta kesiapan penyelenggaraannya.
Tahapan biasanya
dimulai dari tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam
hubungan kerja), selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk
kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk.
Upaya penyelenggaraan
jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada kegagalan karena
kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan akumulasi kemampuan dan
pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan sosial,
umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program jaminan sosial, dimana
sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap
bantuan ini dikurangi untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah.
Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka
mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak mampu.
Pilar Ketiga
menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau
mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta (atau
bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini
adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang
bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial.
Penyelenggaraan asuransi sukarela
dikelola secara komersial dan diatur dengan UU Asuransi.
Pendapatan & cakupan jaminan sosial dengan pertumbuhan ekonomi membaik dapat
dilihat dalam grafik berikut ini :
5
Kebutuhan Perlindungan
Ekonomi dan Sosial
Kurva Upah/Penghasilan
Personal Investment
(Saham, Deposito dll.)
Supplements
Scheme
Asuransi Jiwa Private Pension Plan (DPLK)
Employee Benefits Plan
Asuransi Jiwa Kelompok * Pension Plan -
Bantuan Sosial (Tax System)
* Need Test
* APBN (yang tersedia)
Asuransi Sosial
Pekerja Formal
(PNS, TNI/Polri, Swasta)
Terjangkau Belum Terjangkau
Assos*
Assos*
Pekerja Informal
(Nelayan, Petani, Pedagang, Buruh, dll.)
Mampu
Pencari Kerja
Miskin
* Assos; JAMSOSTEK, ASKES, TASPEN, ASABRI
* Data Statistik Indonesia 2002 (BPS) :
- Jumlah Penduduk Indonesia 212.003.000 orang
- Angkatan Kerja ;
100.779.270 orang
Pekerja
91.647.166 orang
Pencari Kerja
9.132.104 orang
- Jumlah penduduk miskin
...………….. orang
6
C. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Di Indonesia
Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang
diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, sesuai dengan
definisi yang tersebut terdahulu, namun kepesertaan program tersebut baru mencakup
sebagian dari masyarakat yang bekerja di sektor formal.
Sebagian besar lainnya,
terutama yang bekerja di sektor informal, belum memperoleh perlindungan sosial. Selain
itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang
adil pada peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai
untuk menjamin kesejahteraan mereka.
Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa program jaminan sosial yang ada
mempunyai keterbatasan. Berdasarkan kesadaran akan keterbatasan tersebut dan
adanya mandat Ketetapan MPR RI nomor X/MPR/2001 kepada Presiden RI untuk
mengembangkan SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh
dan terpadu, Presiden mengambil inisiatif menyusun SJSN. SJSN disusun berlandaskan
prinsip-prinsip yang mampu memenuhi keadilan, keberpihakan pada masyarakat banyak
(equity egaliter), transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian (prudentiality) dan layak. Prinsip
equity egaliter merupakan suatu bentuk keadilan sosial yang dicita-citakan dimana setiap
penduduk harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (yang layak) tanpa
memperhatikan kemampuan ekonominya. Dalam bidang kesehatan, prinsip ini diwujudkan
dengan menjamin agar semua penduduk yang sakit mendapatkan pengobatan atau
pembedahan yang dibutuhkan meskipun ia miskin. SJSN ini terutama akan didasarkan
pada mekanisme asuransi sosial dan karenanya anggaran belanja negara yang
dialokasikan untuk kesejahteraan pada akhirnya akan semakin berkurang. Bagi penduduk
yang tidak mampu, sebagian atau seluruh iuran akan dibayarkan oleh pemerintah, sesuai
dengan tingkat ketidak-mampuan penduduk. Presiden, dalam Pidato di hadapan Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002, telah
menyampaikan bahwa konsep SJSN tersebut sedang disusun oleh Tim SJSN yang
dibentuk oleh Pemerintah RI dengan Keppres No. 20 tahun 2002.
Astek, Jamsostek
telah menyelenggarakan jaminan sosial sejak tahun 1978 – 1993,
mencakup sebagian tenaga kerja sektor formal dan hanya menyelenggarakan Jaminan
Kecelakaan Kerja. Sebagian besar tenaga kerja lainnya yang bekerja di sektor informal
(tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan, petani dan pedagang sayur, kios,
pedagang sate, baso, gado-gado, warteg, dll) belum memperoleh perlindungan sosial
7
formal sampai saat ini karena memang undang-undangnya belum menyediakan peluang
untuk itu.
Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial dan mencakup program
yang lebih lengkap adalah UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Sampai saat ini penyelenggaraan
Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif dari sekitar 31 juta tenaga kerja di
sektor formal (Standing, 2000.). Selain PT Jamsostek, beberapa Badan Penyelenggara
telah melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi khususnya
berupa program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT
ASKES Indonesia, Jaminan Hari Tua dan Pensiun Pegawai Negeri dikelola PT TASPEN
dan jaminan sosial bagi TNI-Polri yang dikelola oleh PT ASABRI.
Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-Polri, Veteran, dan anggota
keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang dikelola PT Askes berdasarkan PP
No. 69/91. Selain itu pegawai negeri yang memasuki masa pensiun mendapatkan jaminan
pensiun yang dikelola oleh program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No.
26 tahun 1981. Anggota TNI-Polri dan PNS Departemen Pertahanan mendapat jaminan
hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI berdasarkan PP No. 67 tahun 1991.
Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri dan PNS Dephan memperoleh jaminan
pensiun melalui anggaran negara (pay as you go).1 Dengan demikian, sebagain besar
program pensiun pegawai negeri, TNI, dan Polri tidak didanai dari tabungan pegawai
sehingga sangat bergantung pada anggaran belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari
APBN, untuk dana pensiun pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi--yang merupakan
suatu bentuk tunjangan pegawai atau employment benefits-- akan terus membengkak dan
memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari pegawai. Selain
itu, tidaklah adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan tersedot dalam jumlah
besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri, tentara dan anggota polisi saja.
Penyelenggaraan dana pensiun yang adil dan memadai yang didanai bersama (bipartit)
antara pekerja sendiri dan pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta
atau usaha sendiri (self-employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan
lebih terjamin kesinambungannya.
1
Sebenarnya dana Pensiun yang dikelola PT Taspen terdiri atas 14% dana dari iuran PNS dan 86% dari
APBN.
8
Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Askes, Taspen, Asabri, Jamsostek)
baru diperuntukan bagi 7,8 juta tenaga kerja formal dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS,
2003). Baru 12 juta tenaga kerja formal kini aktif sebagai peserta PT Jamsostek.
Di negara-negara tetangga kepesertaan tenaga kerja yang memperoleh jaminan sosial
sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal. Khusus dalam program asuransi kesehatan
sosial dengan pembiayaan dari publik, Indonesia jauh tertinggal karena baru menjamini 9
(sembilan) persen dari jumlah penduduknya, sebagaimana terlihat
dalam gambar 1
berikut.
Gambar 1 :
Persentase Penduduk Yang Memiliki Asuransi Sosial Kesehatan / Pembiayaan
Publik di Beberapa Negara
100
60
40
20
Luksemberg
Kanada
Islandia
Denmark
Norwegia
Australia
Jepang
Itali
Selandia Baru
Finlandia
Inggris
Portugal
Yunani
Ceko
Korea
Spanyol
Muangtai
Perancis
Austria
Belgia
Jerman
Turki
Belanda
Filipina
Amerika
0
Indonesia
% pddk dg ASK
80
Sedangkan dalam program jaminan hari tua/pensiun, jaminan sosial di Indonesia baru
mencapai maksimal 20 persen dari total pekerja sektor formal sebagaimana
digambarkan pada gambar 2 berikut.
9
Gambar 2:
Persentase Pekerja Sektor Formal (> 1 orang pekerja)
Yang Memiliki Jaminan Hari Tua/Pensiun di Beberapa Negara
100
80
40
20
Luksemberg
Kanada
Islandia
Denmark
Norwegia
Australia
Itali
Jepang
Selandia Baru
Inggris
Finlandia
Portugal
Yunani
Ceko
Korea
Muangtai
Spanyol
Perancis
Austria
Belgia
Jerman
Turki
Belanda
Filipina
Amerika
0
Indonesia
% pddk dg ASK
60
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya cakupan kepesertaan
program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program tersebut belum
sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil pada para peserta dan
manfaat
yang
diberikan
kepada
peserta
belum
memadai
untuk
menjamin
kesejahteraannya (Thabrany dkk, 2000).
Selain itu program jaminan sosial di Indonesia belum mampu meningkatkan
pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena porsi dana Jaminan Sosial
terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia masih sangat kecil (Purwoko, 2001).i
Sebagai contoh untuk Program Jaminan Kesehatan, berdasarkan data yang dikutip
dari Profile of Asian Country, 1997, memperlihatkan belanja kesehatan per kapita
Indonesia jauh tertinggal dan baru mencapai US$ 19,1 dan yang tertinggi adalah
Singapore dengan US$ 667,0 akibat belum meluasnya cakupan jaminan kesehatan di
Indonesia. Perbandingan belanja kesehatan di beberapa negara Asia dapat dilihat
pada tabel berikut.
10
Tabel 1:
Jaminan Kesehatan Berdasarkan Profile Of Asian Country
PDB
(US$
Milyar)
NEGARA
INDONESIA
214
HONGKONG
PDB
Per
Kapita
(US$)
HE
Per
Kapita
(US$)
TOTAL
HE
(US$
Milyar)
HE / PDB
(%)
CAKUPAN
OPERASIONAL
(%)
15 %
1.060
4.093 bil
19,1
1,7 %
173 bil
26.610
6,78 bil (HK)
161,3
4%
MALAYSIA
97,9 bil
4.517
2,061 bil
97,3
2,4 %
18,2 %
SINGAPORE
96,3 bil
31.035
3,3 bil (SIN)
667,0
3,6 %
35 %
283,4 bil
13.148
13,6 bil
623,8
4,8 %
96 %
154 bil
2.540
66 bil
108,5
4,3 %
56 %
TAIWAN
THAILAND
-
Source: Health Care Industry, Price Waterhouse, 1999 (termasuk JPS)
Dari
berbagai
permasalahan
yang
berkembang
saat
ini,
kendala
pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat di identifikasi
utama
sebagai
berikut :
1. Belum adanya konsep dan undang-undang tentang SJSN yang komprehensif,
terpadu, dan memberikan manfaat yang layak yang mampu menjangkau seluruh
penduduk.
2. Pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada dirasakan perlu ditingkatkan,
baik dari segi besaran manfaat yang diterima maupun dari segi mekanisme
perolehan manfaat.
3. Pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efisien dan kurang baik yang
menyebabkan sering terjadinya keluhan peserta dan rendahnya tingkat kepuasan
peserta.
4. Selama ini program jaminan sosial tidak didukung oleh perangkat penegak hukum
yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum semua tenaga kerja memperoleh
perlindungan yang optimal.
5. Adanya intervensi pejabat pemerintah terhadap penggunaan dana program
jaminan sosial yang ada saat ini berdampak pada kurang optimalnya manfaat
program dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan para
peserta.
11
6. Seluruh badan penyelenggara jaminan sosial yang ada merupakan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero yang harus mencari keuntungan dan
menyetorkan deviden ke Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
7. Beberapa prinsip universal asuransi sosial, belum diterapkan secara konsisten.
D. Pendekatan Yang Akan Dilaksanakan
Sistem Jaminan Sosial Nasional akan dibangun terutama dengan mekanisme
asuransi sosial dan tabungan sosial, sehingga tidak akan membebani anggaran
pendapatan dan belanja negara. Namun sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1),
bagi penduduk yang tidak mampu harus mendapatkan bantuan sosial, maka sebagian
atau seluruh iuran bagi penduduk tidak mampu akan ditanggung oleh pemerintah sesuai
dengan kemampuan keuangan negara. Bantuan sosial bagi penduduk Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti korban bencana alam, kerusuhan sosial
dan
bencana
lainnya
menjadi
tanggung
jawab
penuh
pemerintah
yang
penyelenggaraannya dilaksanakan bersama pemerintah dan masyarakat, namun tidak
dikelola oleh SJSN.
E. Visi, Misi Dan Tujuan
Berlandaskan amanat UUD 1945 hasil amandemen Pasal 28 H ayat (3), Pasal 34
ayat (2) dan amanat Sidang Tahunan MPR Nomor X/MPR-RI Tahun 2001 serta kondisi
program jaminan sosial saat ini maka disusunlah visi, misi dan tujuan penyelenggaraan
SJSN sebagai berikut:
Visi SJSN
“Mewujudkan suatu sistem Jaminan Sosial Nasional yang dapat memenuhi hak
asasi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖.
Misi SJSN
a.
Meningkatkan kepesertaan sehingga pada suatu ketika SJSN mampu
memberikan perlindungan kepada seluruh penduduk.
b.
Meningkatkan kualitas pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu
menjadi peserta SJSN
c.
Meningkatkan perlindungan sehingga manfaat yang diterima peserta dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang layak.
12
Tujuan SJSN
SJSN bertujuan untuk melaksanakan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34 ayat
(2) Amandemen UUD 1945, yang dituangkan dalam UU SJSN yang mengatur
substansi berupa cakupan kepesertaan, besarnya iuran dan manfaat, mekanisme
penyelenggaraan jaminan sosial, dan kelembagaan
sistem jaminan sosial yang
berlaku nasional guna terwujudnya perlindungan yang adil dan manfaat yang optimal
bagi para peserta. Undang-undang SJSN yang akan dilahirkan tersebut hendaknya
merupakan
undang-undang tentang
SJSN yang dapat meningkatkan efisiensi
program, meningkatkan kemampuan program untuk saling menopang, memudahkan
mekanisme pengumpulan iuran dan pembayaran manfaat, memperbaiki administrasi
dan manajemen pengelolaan, menetapkan struktur dan fungsi serta pengelolaan
organisasi atau kelembagaan SJSN secara lebih adil, terutama pada saat-saat
menurunnya tingkat kesejahteraan.
F. Dasar Hukum Penyusunan SJSN
Penyusunan UU SJSN didasarkan pada ketentuan UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3)
yang mengamanatkan ―Jaminan Sosial adalah hak setiap warga negara‖ dan Pasal 34
ayat (2) yang menyatakan : ―Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu‖ serta ayat
(4) nya menyatakan ―ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang‖.
Penyusunan SJSN adalah sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No
X/MPR-RI Tahun 2001 dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001, yang menugaskan
Presiden untuk membentuk SJSN guna memberikan perlindungan sosial yang
menyeluruh dan terpadu. Secara hukum, undang-undang SJSN akan mengatur lembaga
jaminan sosial nasional yang akan dibentuk dan penyelenggaraan program jaminan sosial
bagi seluruh penduduk.
Dalam rangka penyusunan konsep SJSN telah dibentuk Tim SJSN dengan Keppres
No. 20 tahun 2002, dan kemudian diperbaharui dengan Keppres Nomor 101 Tahun
2003.
Keanggotaan Tim SJSN meliputi pejabat dari berbagai instansi terkait,
kalangan akademisi, tenaga ahli dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas
menyiapkan RUU SJSN. Untuk menampung aspirasi berbagai pihak terkait (stake
holders) telah dilaksanakan berbagai loka karya, seminar dan sosialisasi konsep yang
melibatkan pihak-pihak terkait baik di Jakarta maupun di berbagai daerah. Untuk
mendukung kegiatan kesekretariatan, Ketua Tim SJSN telah membentuk Sekretariat
13
Tim SJSN yang berfungsi membantu kelancaran kegiatan kesekretariatan. Legalitas
dan landasan filosofi SJSN ini diperlihatkan berikut.
Gambar 3:
Landasan Legalitas dan Landasan Filosofi SJSN
Deklarasi HAM PBB
(10 Des 1948)
Pasal 25 ayat 1 (Hak Kesehatan dan Kesejahteraan,
Jaminan Kesehatan, Cacat, Janda, Menganggur/PHK, Hari
Tua)
UUD 1945
Konvensi ILO 102
(1952)
Hak jaminan sosial: Menganggur,
sakit, cacat, janda, hari tua.
Ratifikasi
Ps 28H (3) Jaminan sosial adalah hak setiap warga
negara.
Ps 34 (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu.
Kepseswapres No. 7/ 2001, 21 Maret 2001
(Pembentukan Kelompok Kerja SJSN)
TAP MPR No. X/2001
(Menugaskan Presiden membentuk SJSN)
Keppres No.20/2002 & 101/2003
(Presiden membentuk Tim SJSN)
Naskah Akademik SJSN
dan RUU SJSN
(Substansi, Mekanisme dan
Kelembagaan)
Selain itu, Tim SJSN :
1. Mendapat bantuan tenaga ahli dari Masyarakat Uni Eropa (EU), Bank Pembangunan
Asia (ADB), dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) serta Australia;
2. Tim telah melakukan studi banding ke Australia, Filipina, Thailand, Korea Selatan,
Perancis, dan Jerman serta mengikuti seminar tentang Social Security di Cina;
3. Tim telah menyelesaikan konsep SJSN yang meliputi substansi, kelembagaan,
mekanisme dan program yang dituangkan dalam Naskah Akademik SJSN ini.
Penyusunan konsep tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
pandangan dan masukan dari penyelenggara jaminan sosial, serikat pekerja, asosiasi
pengusaha, asosiasi profesi, akademisi, instansi pemerintah terkait, serta lembaga
swadaya masyarakat. Sudah barang tentu tidak setiap masukan yang diterima Tim
dapat diakomodir ke dalam naskah RUU karena masing-masing pihak umumnya
14
memberikan masukan yang menyangkut kepentingannya. Tim menyusun konsep
seperti yang tertuang dalam naskah akademik ini dan naskah RUU SJSN dengan
meletakan keseimbangan dari berbagai kepentingan tersebut, serta tetap mengacu
kepada prinsip jaminan sosial yang bersifat universal.
15
BAB II
JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA
Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam
memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsipprinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme asuransi
sosial dan tabungan sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas.
Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di
berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan
budaya penduduk di negara tersebut.
Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah
sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari
sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara tersebut. Masingmasing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh karenanya berbagai contoh
tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi penyusunan SJSN.
Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan sosial di 8
(delapan) negara tetangga dan negara maju sebagai perbandingan dalam menyusun
sebuah SJSN.
A. Konsep Badan Penyelenggara
Bervariasinya badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara baik yang
dikelola langsung oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta,
dapat dilihat pada tiga alternatif konsep jaminan kesehatan di bawah ini. Konsep jaminan
kesehatan disajikan karena menyangkut kerja sama dengan fasilitas kesehatan (health
care provider) yang lebih kompleks. Sedangkan untuk program jaminan sosial lain yang
kurang kompleks dapat digunakan model badan penyelenggara yang sama dengan lebih
mudah dengan membuang komponen fasilitas kesehatan. Ketiga alternatif badan
penyelenggara adalah sebagai berikut:
16
1. Konsep alternatif pertama :
Gambar 4:
Alternatif 1 - Badan Penyelenggara
Kelompok
Formal
Badan Penyelenggara
1
2
Kelompok
Informal
3
4
5
6
Fasilitas Kesehatan
Peserta
2. Konsep alternatif ke dua
Gambar 5:
Alternatif 2 - Badan Penyelenggara
Konfederasi Badan Penyelenggara,
Pemerintah, Wakil Fasilitas Kesehatan
Badan Penyelenggara
(Masyarakat/Swasta)
Verifikasi
Proses Klaim
Administrasi
Sentral
Fasilitas Kesehatan
PESERTA
Keterangan : Masing-masing Badan Penyelenggara JPK membayar langsung ke
Fasilitas Kesehatan
17
3. Konsep alternatif ke tiga
Gambar 6:
Altenatif 3 - Badan Penyelenggara
PEMBERI KERJA
Pembayaran
Iuran
Proses
Klaim/Pembayaran
BADAN
PENYELENGGARA JS
Fasilitas
Kesehatan
PESERTA
B. Sistem Jaminan Sosial Di Delapan Negara
Di bawah ini disajikan beberapa model sistem jaminan sosial di delapan negara
terpilih. Model-model di negara tersebut di bawah ini adalah wakil dari model-model yang
sama yang diselenggarakan di banyak negara lain. Penyajian model di delapan negara
merupakan ringkasan bagi pilihan model yang dapat diambil untuk menyusun RUU SJSN
di Indonesia.
Malaysia
Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang
lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan
sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai
program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident
fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri
yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF
kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah
18
mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain
itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat
yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena
pemerintah
federal
Malaysia
bertanggung
jawab
atas
pembiayaan
dan
penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif
gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup
sistem jaminan sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh
negara, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk
Malaysia yang sakit ringan maupun berat.
Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian,
dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta
EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka
yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan
pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF
secara sukarela.
Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok penduduk
yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh
Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah naungan
Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas
wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas
khusus,
seperti
investasi,
lembaga
ini
membentuk
Panel
Investasi.
Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh
kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan
pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program
jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam
bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO).
Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat
menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump-sum)
untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk
anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja
tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF.
(2) Peserta dapat
menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli
warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat
menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau
19
memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah.
(4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000,
tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia.
Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun
ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan
secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat
kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali
seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta
sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998).
Tabel 2:
Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia
Iuran Tenaga
Kerja
Iuran Pemberi
Kerja
Total
1952 – Juni 1975
5%
5%
10%
Juli 75 – Nop 80
6%
7%
13%
Des 80 – Des 92
9%
11%
20%
Jan 93 – Des 95
10%
12%
22%
Jan 96 -
11%
12%
23%
Tahun
Sumber: CPF, Malaysia, 1998
Filipina
Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun 1948
akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun
1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial
dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU
tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU
tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai
diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja
sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS.
Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan
lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993
pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian
20
juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut dikenal dengan
Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak
23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4
juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). Khusu pegawai
negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut
sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal
yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri.
Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang
dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai
pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan
pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial
menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut
menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas,
kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra,
selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi
umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah
Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875)
yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan
GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance
Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001).
PhilHealth bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai
BUMN.
Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai
selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari,
baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita yang
hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara P24.000P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak
peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan bagi
peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan
disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua
(baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60
tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang tunai
atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila
terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima
bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak
21
diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying
conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit
(loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan bunga 6%
setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun untuk pinjaman lebih
dari P15.000.
Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak termasuk
iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama
antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah untuk
perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan
kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan
yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga
kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan
oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar
P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja
membayar sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah
P3.000 sebulan. Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24
kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran
untuk asuransi kesehatan adalah 2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat
inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9%
(tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada
GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9%
dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002).
Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki
keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina). Anggota
Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah, 9%
penduduk tidak mampu, 11% peserta sukarela (informal), dan 2% adalah peserta
khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah
jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar
pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada sistem
biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini diterima
oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena
diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak
menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji
yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran
yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung bersama antara
22
pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor
informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi penduduk miskin,
iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada
tahun 2003, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja
untuk memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi
kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue,
2003). Iuran jaminan sosial di Filipina cukup beragam sebagaimana ditampilkan
dalam tabel berikut.
Tabel 3:
Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina
Iuran Tenaga
Kerja
Iuran Pemberi
Kerja
Total
5,04%
3,36%
8,4%
-
1%
1,0%
Jaminan sosial, GSIS
9%
12%
21,0%
Kesehatan, PhilHealth
1,25%
1,25%
2,5%
Swasta
6,29%
5,61%
11,9%
Pemerintah
10,25%
12%
22,25%
Program
Jaminan sosial, SSS
Kecelakaan kerja
Total
Sumber: GSIS Filipina, 2002.
Thailand (Muangtai)
Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai
pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur oleh
UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand
mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai
enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola
oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang
mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang.
Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen
Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi
23
kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan
kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja
dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO
adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi
peserta. Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran
belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung
meliputi jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki
masa pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang
belum termasuk peserta SSO atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan
program National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ‘30 Baht‘. Dalam
program ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja
swasta diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan
berobat jika mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah
kemudian membayar rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala
per tahun. Penduduk yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp
6.000) sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu
sudah termasuk segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif
jika diperlukan.
Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi
jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita
cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan
hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan
anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program ‘30 Baht‘. Manfaat program
jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan kesehatan,
baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu cacad dan
jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah memang
menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat jaminan hari
tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif.
Untuk jaminan
kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja pegawai,
pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang diberikan
komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila mereka
memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Tentu
saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan
di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri.
Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung bersama
antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem jaminan
24
sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja swasta
dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing program yang
total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi kerja masingmasing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain itu, pemberi kerja
masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang
besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat risiko masing-masing
usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan untuk jaminan sosial ini
ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah dan pegawai sektor
informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung anggaran belanja
pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan sosial di Thailand adalah
bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan diturunkan dari tadinya
4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing pihak mengiur 1%)
karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena penyelenggaraan yang
bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan diakumulasi. Gambaran
lengkap iuran terlihat pada tabel berikut.
Tabel 4 :
Iuran Jaminan Sosial Pegawai Swasta di Thailand
(dalam % upah), 2003
Iuran Pekerja
Iuran Pemberi
Kerja
Iuran
Pemerintah
1%
1%
1%
1,5%
1,5%
1,5%
Santunan anak
2%
2%
1%
Hari tua
(sejak 2003)
3%
3%
-
Total
7,5%
7,5%
3,5%
Bentuk Jaminan
Kesehatan
dan persalinan
Cacad/invalid
dan kematian
Total Iuran
18,5%
Sumber : SSO, Thailand, 2003
Korea Selatan
Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea
Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan
wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi
25
kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang
memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun
1989 seluruh
penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih
dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan
penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu
lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh
penduduk (Park, 2002).
Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru
dilaksanakan 1988 dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau
lebih mengiur untuk jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi
kerja dengan satu atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang
dikelola oleh National Pension Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan
NPC berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan
dan bukan badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Berbeda
dengan NHIC yang mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan
penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya
mengelola pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk
pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola
terpisah dari NPC (Ha-Young and Hun-Sang, 2003).
Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif
mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada
kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan
penggantian biaya protese. Setiap peserta harus membayar co-payment yang
besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok
peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya
berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil).
Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun
swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus diperiksa oleh suatu
lembaga independen lain, HIRA Health Insurance Review Agency, sebelum NHIC
membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai
dengan lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits)
dengan maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terkahir untuk yang sudah
mengiur selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC
juga membayarkan pensiun cacad, pensiun ahli waris, dan pembayaran lumpsum bagi peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun).
26
Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan
sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja.
Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan untuk
masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap
kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9%
dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masingmasing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian
secara bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC
juga melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja
sektor informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga
akan ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%.
Perancis
Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad dengan
diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan pada
tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada saat
ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai badan
penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri, pekerja
swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan sosial
mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari tua
(CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (CNAF), dan jaminan perlindungan PHK
(ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran
dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang
disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan
tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor.
Berbeda dengan program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis
pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk
program kesehatan, kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45%
dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk
program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur
sebesar 8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja
mengiur sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan.
27
Jerman
Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang merupakan
tulang punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Asuransi sosial pertama yang
diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung penghasilan yang hilang
apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga dengan demikian, asuransi
sosial kesehatan menjadi pintu gerbang penyelenggaraan jaminan sosial. Undangundang mengatur tata cara penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan
penyelenggaraan asuransi kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang
awalnya terkait dengan tempat kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut
sickness funds tidak dibatasi sehingga pada awalnya mencapai ribuan, yang
semuanya bersifat nirlaba. Namun demikian, karena rumitnya masalah asuransi
kesehatan dan perlunya angka besar untuk menjamin kecukupan dana, maka
terjadi merjer atau perpindahan peserta karena badan penyelenggara bangkrut.
Kini jumlahnya tinggal 355 saja.
Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang
memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi
sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli
asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil,
ia harus seterusnya membeli asuransi kesehatan swasta. Akibatnya, banyak orang
yang berpenghasilan diatas batas tersebutpun, memiliki ikut asuransi sosial. Pada
saat ini 99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang
mengambil asuransi kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer
dan penduduk sangat miskin) mendapat jaminan kesehatan melalui program
khusus.
Jaminan kesehatan yang ditanggung sangat besar mencakup pengobatan dan
perawatan, perawatan jangka panjang, biaya transpor, obat-obatan bahkan
transplantasi. Peserta bebas berobat ke dokter yang disukai atau dipercaya namun
demikian pembayaran diatur melalu suatu mekanisme pembayaran kelompok ke
asosiasi dokter. Asosiasi dokterlah yang mengatur pembayaran ke masing-masing
anggota dokternya. Sedangkan untuk pembayaran rumah sakit dilakukan dengan
anggaran global dan mulai dilaksanakan sistem pembayaran per diagnosis (DRG).
Besarnya iuran untuk asuransi kesehatan kini dirasakan sangat tinggi karena
mencapai 14,5% dari upah yang dibayar bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
28
Pegawai negeri lebih banyak yang membeli asuransi kesehatan swasta karena
mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 80% dari iuran (Grebe A, 2003).
Australia
Sistem jaminan sosial di Australia dimulai dengan sistem negara kesejahteraan
dimana negara menanggung segala beban sosial seperti bantuan sosial bagi lansia
(semacam uang pensiun). Sejak didirikannya Australia tahun 1901, Australia
menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui program bantuan sosial (pilar
pertama dalam sistem Australia). Sampai dengan awal tahun 70-an, penduduk
yang memasuki usia pensiun dan memiliki penghasilan dan aset di bawah jumlah
tertentu mendapat uang pensiun otomatis dari pemerintah. Karena sifatnya bantuan
sosial, maka tidak semua penduduk berhak mendapatkan dana pemerintah yang
dikumpulkan dari pajak umum (general tax revenue). Oleh karenanya pemerintah
mengembangkan instrumen seleksi, means test untuk menentukan siapa-siapa
yang berhak mendapatkan bantuan sosial hari tua. Sedangkan jaminan kesehatan
sudah menjadi hak setiap penduduk yang pendanaanya dibiayai dari dana pajak.
Baru pada tahun 1973 dirasakan perlunya mengembangkan asuransi kesehatan
wajib dan pada tahun 1983 dirasakan perlunya asuransi hari tua wajib. Praktek
jaminan sosial dengan sistem asuransi wajib atau asuransi sosial baru diterapkan
sepenuhnya sejak tahun 1992 yang pada waktu itu, sekitar 40% pekerja memiliki
asuransi hari tua. Pada tahun 2001, dengan program asuransi sosial, maka sudah
97% pekerja tetap telah menjadi peserta. Pada tahun 2001, 65% penduduk lansia
menerima pensiun (Aged Pension) dari sistem asuransi wajib yang dikenal dengan
superannuation.
Pengelolaan jaminan sosial wajib berada di bawah Menteri Keuangan dan
Administrasi, kecuali untuk angkatan bersenjata yang berada di bawah koordinasi
Departemen Urusan Veteran.
Penyelenggaraan sehari-hari jaminan sosial
tambahan (non kesehatan) dikelola oleh lembaga swasta pengelola dana yang
berada di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Sedangkan untuk asuransi
kesehatan program jaminan sosial kesehatan (Medicare) dikelola oleh Health
Insurance Commissioner (HIC), suatu lembaga Negara yang bersifat independen
akan tetapi di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Orang
Tua. Program asuransi kesehatan tidak membedakan kelompok pekerjaan karena
semua pegawai swasta atau pemerintah menjadi peserta Medicare yang dikelola
HIC. Pegawai swasta yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik dapat membeli
29
asuransi tambahan pada asuransi kesehatan swasta dibawah koordinasi Medibank
Private Insurance (MPI).
Besarnya iuran untuk proteksi pilar pertama yang berbentuk bantuan sosial tidak
diperhitungkan terpisah karena dibiayai oleh pajak umum. Sedangkan besarnya
iruan untuk asuransi hari tua wajib adalah sebesar 9% dari upah (sebelum tahun
2003, besarnya 8% dari upah) sedangkan untuk HIC besarnya iuran adalah 2,5%
dari upah. Namun perlu disadari bahwa iuran untuk Medicare tersebut sebenarnya
merupakan tambahan dari biaya kesehatan yang dibiayai dari anggaran pemerintah
federal dan negara bagian.
Amerika Serikat
Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus
1935 yang pada awalnya dikenal dengan nama OASDI program (Old-Age,
Survivors, and Disability Insurance).
Undang-undang jaminan sosial tersebut
disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an.
Awalnya, UU Jaminan Sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan
(Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk
30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan
OASDHI (H diantara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI,
tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana
peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris
peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan
apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika
diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan
dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan.
Namun demikian, pilihan
tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program
sukarela
tidak
efektif.
Sebenarnya
Amerika
termasuk
terbelakang
dalam
mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris
(Rejda, 1988). Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan
dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah
(Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial
Amerika bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan
kesehatan. Hanya saja, jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk
berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal
yang mematikan. Seluruh penduduk, apakah ia pegawai swasta maupun pegawai
30
pemerintah harus masuk program jaminan sosial sehingga perpindahan pekerja
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau dari satu negara bagian ke negara
bagian lain tidak menjadi masalah. Untuk itu, setiap penduduk harus memiliki
nomor jaminan sosial (9 digit) yang berlaku untuk segala macam urusan seperti
sebagai nomor pajak, kartu SIM, bersekolah, menjadi nasabah bank, dan berbagai
urusan kehidupan lainnya.
Manfaat yang diberikan berupa jaminan pensiun yang dibayarkan menurut sistem
pay as you go dimana iuran dibayarkan oleh tenaga kerja yang aktif bekerja dan
pemberi kerja, sedangkan manfaat bagi pensiunan dibayarkan dari iuran tenaga
kerja pada tahun yang sama. Artinya, pensiun bagi penduduk Amerika dibayar oleh
tenaga kerja yang masih aktif, bukan dari tabungan pensiunan pada masa lalu.
Begitu juga untuk jaminan cacad, pensiun ahli waris, dan Medicare. Jaminan
pensiun diberikan berkaitan dengan tingkat penghasilan penduduk terakhir dan
lamanya seorang penduduk mengiur. Besarnya pensiun yang menjadi hak setiap
penduduk dapat dilihat dari Web yang setiap orang dapat menghitung atau melihat
haknya setiap saat. Program Medicare hanya diberikan kepada seluruh penduduk
yang mencapai usia 66 tahun atau lebih atau penduduk yang lebih muda akan
tetapi menderita cacad tetap atau menderita penyakit ginjal yang memerlukan
hemodialisa atau transplantasi. Jaminan kesehatan yang diberikan kepada
pensiunan terbatas pada jaminan rawat inap di rumah sakit dan jaminan perawatan
jangka panjang. Program ini disebut Medicare Part A yang menjadi hak semua
lansia. Sedangkan untuk jaminan rawat jalan, penduduk lansia harus membeli
asuransi kesehatan swasta dengan 75% premi disubsidi Medicare. Program rawat
jalan ini bersifat sukarela dengan insentif premi dari Medicare. Untuk mendapatkan
hak jaminan sosial, setiap orang harus memenuhi kualifikasi masa iuran dan
besarnya iuran yang dikonversi dalam sistem poin. Program Kecelakaan kerja
dikelola tersendiri oleh masing-masing negara bagian dengan peraturan negara
bagian.
Iuran untuk program jaminan sosial dikumpulkan bersamaan dengan pembayaran
pajak secara umum dan karenanya disebut social security tax. Hanya saja dana
dana jaminan sosial tidak masuk ke kas negara akan tetapi masuk kedalam tiga
jenis Dana (trust fund) yaitu Dana Jaminan Hari Tua dan Ahli Waris (old-age and
Survivors Insurance, OASI), Dana Asuransi Disabilitas (SSDI), dan Dana Medicare.
Besarnya iuran tenaga kerja adalah 7,65% dan pemberi kerja juga mengiur sebesar
7,65% untuk program OASI dan masing-masing 0,9% untuk program SSDI, serta
31
masing-masing 1,45% untuk program Medicare. Total iuran pekerja menjadi 15,3%
dari upah dengan maksimum upah sebesar US$ 62.500 setahun yang setiap tahun
dinaikan sesuai dengan indeks yang telah disusun oleh badan penyelenggara
(SSA) yang berada di bawah Departemen Pelayanan Sosial (Butler, 1999).
32
BAB III
SUBSTANSI SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
A. Pengertian
Jaminan Sosial Nasional (JSN) adalah salah satu bentuk program perlindungan
sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya memenuhi
kebutuhan
dasar
hidup
yang
minimal
layak.
Program
Jaminan
Sosial
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi sosial bantuan sosial,
dan atau tabungan wajib yang bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial bagi
seluruh penduduk, guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Program ini adalah
milik bersama antara pemberi kerja (baik swasta maupun pemerintah) dan pekerja
(baik di sektor formal maupun di sektor informal). Sudah barang tentu tidak semua
penduduk mempunyai penghasilan rutin tetap yang memungkinkannya mengiur. Di
pihak lain, sebagai bangsa yang berbudaya, seluruh warga negara tidak boleh
membiarkan salah seorang diantaranya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu Pemerintah wajib membayar
sebagian atau seluruh iuran, yang dimulai dari suatu program tertentu misalnya
jaminan kesehatan. Pemberian bantuan sosial berupa iuran kepada masyarakat
yang tidak mampu harus memperhatikan kemampuan keuangan pemerintah, urgensi
jaminan, besarnya kelompok penduduk yang memerlukan bantuan, dan risiko
ekonomis bagi penduduk jika jaminan tidak diberikan. Program bantuan sosial dalam
sebuah sistem jaminan sosial bersifat rutin dan berkesinambungan. Di negara maju,
bantuan sosial yang dipadukan dalam sebuah sistem jaminan sosial dapat
diwujudkan untuk program jaminan kesehatan, penduduk lansia, program keluarga
dan persalinan.
Bantuan sosial yang diberikan pada keadaan khusus yang sifatnya sementara
seperti masyarakat yang dilanda bencana alam, kerusuhan sosial, bencana lainnya,
serta masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial diberikan secara
terpisah dari SJSN. Bantuan sosial untuk kondisi khusus seperti itu diatur dengan UU
tersendiri dan selama ini sudah diselenggarakan oleh pemerintah yang dikoordinasi
oleh instansi terkait dan oleh masyarakat secara sukarela. Meskipun secara umum
bantuan sosial seperti itu merupakan suatu bentuk perlindungan sosial atau jaminan
sosial dalam arti luas. Lazimnya suatu sistem jaminan sosial (social security)
33
diselenggarakan berdasarkan kontribusi peserta, dan tidak mengatur program
bantuan sosial lainnya.
B. Prinsip-Prinsip Dasar
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang
dibangun berdasarkan prinsip dibawah ini.
1. Kegotong-royongan. Prinsip kegotong-royongan atau solidaritas sosial ini
diwujudkan dengan mekanisme asuransi sosial dimana semua peserta mengiur
sebesar prosentase tertentu dari upah atau penghasilannya. Dengan demikian
terjadi suatu sistem subsidi silang. Peserta yang mampu membantu yang kurang
mampu, peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, peserta
yang sehat membantu yang sakit, dan yang muda membantu yang tua. Tidak
semua program jaminan sosial diwujudkan dengan mekanisme gotong royong
seperti itu. Program jaminan hari tua, provident fund, biasanya dibangun dengan
sistem tabungan wajib yang kurang menggambarkan kegotong-royongan seperti
di atas. Namun secara umum, SJSN akan dibangun berdasarkan prinsip
kegotong-royongan ini.
2. The law of the large numbers (hukum bilangan besar). Prinsip ini merupakan
suatu syarat terselenggaranya sebuah mekanisme asuransi yang efisien. Pada
intinya prinsip ini merupakan hukum alam dimana semakin besar jumlah peserta,
semakin kecil biaya pengelolaan per peserta yang harus dikeluarkan untuk
seluruh peserta. Dengan demikian, sistem akan berjalan dengan sinambung dan
mampu memelihara tingkat solvabilitas yang stabil. Selain itu, pemupukan dana
dalam satu ―lumbung‖ milik bersama tidak hanya memenuhi prinsip asuransi,
akan tetapi juga menjadi upaya pemersatu atau menjadi perekat bangsa sehingga
sebuah sistem nasional yang sama bagi seluruh rakyat akan memperkuat
nasionalisme Indonesia.
3. Kepesertaan bersifat
wajib (compulsory). Prinsip ini perlu ditegakkan untuk
menjamin seluruh penduduk terlindungi dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Terpenuhinya hukum bilangan besar karena hanya dengan mewajibkan seluruh
penduduk mengiur dan menyatukan risiko individual menjadi risiko bersama.
Dalam prakteknya, mewajibkan penduduk sektor informal untuk mengiur memiliki
banyak kendala dalam pengumpulan iuran secara reguler dan dalam penentuan
tingkat iuran karena penghasilan penduduk di sektor informal tidak selalu tetap
34
seperti penghasilan penduduk di sektor formal. Pengalaman negara-negara lain
yang telah memiliki sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh penduduk
menunjukkan bahwa dari segi manajemen, kewajiban menjadi peserta dimulai
dengan penduduk di sektor formal, baru secara bertahap dilanjutkan kepada
penduduk di sektor informal. Selain itu, kecendrungan masyarakat modern secara
otomatis meningkatkan jumlah penduduk di sektor formal sejalan dengan
terjadinya urbanisasi dan kebutuhan persaingan di pasar global.
4. Manfaat yang layak. Jaminan sosial ditujukan untuk menjamin setiap warga
negara memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang dapat memungkinkan rakyat
berproduksi. Apabila manfaat (benefits) jaminan sosial diberikan terlalu kecil,
maka rakyat tidak akan merasakan manfaat mengikuti program jaminan sosial
dan karenanya sulit mengharapkan tingkat kepatuhan kepesertaan yang tinggi.
Manfaat yang diberikan terlalu besar atau jauh lebih tinggi dari kebutuhan dasar
akan membutuhkan iuran yang lebih besar, sementara sebagian besar penduduk
tidak memiliki kemampuan untuk mengiur yang mengambil porsi sebagian besar
upah atau penghasilannya. Oleh karenanya, manfaat yang diberikan oleh SJSN
harus memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang secara bertahap ditingkatkan
sesuai dengan peningkatan standar hidup dan peningkatan upah atau
penghasilan penduduk. Sedangkan bagi penduduk yang mampu dapat menjadi
peserta asuransi komersiil.
5. Iuran ditetapkan secara proporsional dengan penghasilan. Kepesertaan yang
bersifat wajib harus didukung dengan penetapan iuran yang proporsional
terhadap upah atau penghasilan. Dengan iuran yang proporsional tersebut, maka
seluruh pekerja akan mampu mengiur, karena beban iuran relatif sama bagi
seluruh lapisan pekerja. Penetapan iuran yang proporsional terhadap penghasilan
tidak mudah dilaksakan bagi penduduk di sektor informal yang tidak memiliki
penghasilan yang tetap jumlahnya atau relatif sama untuk sekelompok pekerja
dengan pengalaman dan pendidikan yang sama. Bagi sektor informal iuran dapat
juga ditetapkan sejumlah tertentu seperti di Filipina. Oleh karenanya penetapan
iuran bagi sektor informal memerlukan studi yang memberikan informasi tentang
rata-rata penghasilan bagi berbagai kelompok usaha informal.
6. Pembiayaan bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Pada dasarnya
jaminan sosial akan memberikan manfaat bagi para pekerja sehingga mereka
dapat bekerja dengan tentram tanpa harus memikirkan risiko masa depan.
35
Dengan demikian produktivitasnya akan meningkat. Peningkatan produktivitas
pada akhirnya akan menguntungkan pemberi kerja karena hasil produksi yang
meningkat juga dapat memberikan keuntungan pengusaha yang lebih tinggi. Dari
sisi pekerja, keikutsertaan mengiur, sebagai bagian tanggung jawab terhadap diri
dan keluarganya. Kecuali jaminan yang yang seharusnya menjadi tanggung
jawab pekerja yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Oleh
karenanya sangatlah wajar jika pembiayaan SJSN ditanggung bersama antara
pemberi kerja dan pekerja. Prinsip ini juga diselenggarakan oleh sistem jaminan
sosial di negara-negara lain. Pemerintah juga merupakan pemberi kerja bagi
pegawai negeri. Pekerja di sektor informal, yang bekerja mandiri, dengan
sendirinya berfungsi ganda sebagai pekerja sekaligus pemberi kerja bagi dirinya.
Oleh karenanya pekerja sektor informal harus menanggung jumlah iuran yang
relatif lebih besar dibandingkan dengan pekerja di sektor formal. Dalam banyak
negara, dimana sektor informal telah membayar pajak dengan teratur, pemerintah
dapat memberikan subsidi iuran bagi pekerja di sektor informal.
7. Penyelenggaraan SJSN bersifat nirlaba (not for profit/solidaritas sosial). Hakikat
penyelenggaraan jaminan sosial adalah kegotong royongan dari dan oleh peserta.
Pada sistem yang telah matang dimana seluruh penduduk sudah menjadi
peserta, maka sistem ini akan menjadi suatu sistem gotong-royong nasional. Oleh
karenanya, sebenarnya SJSN dimiliki oleh seluruh peserta bukan oleh
sekelompok orang. Dengan demikian, segala usaha yang dikembangkan dalam
rangka meningkatkan nilai dana yang terkumpul harus dikembalikan kepada
peserta dalam bentuk peningkatan nilai manfaat atau penurunan jumlah iuran di
kemudian hari. Sisa hasil usaha di akhir tahun buku tidak dibagikan sebagai
dividen dan tidak perlu dikenakan pajak penghasilan. Semua sisa hasil usaha
akan menjadi hak seluruh peserta yang notabene adalah seluruh rakyat. Inilah
hakikat dari prinsip nirlaba dimana seluruh dana dan hasil pengembangan dana
dikembalikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta.
8. Pengelolaan jaminan sosial menggunakan prinsip Dana Amanat (Trust
Fund).
Dalam prinsip ini, iuran yang terkumpul bukanlah penerimaan badan
penyelenggara sebagai hasil jual beli dan karenanya bukan merupakan kekayaan
badan penyelenggara. Iuran yang terkumpul, dan hasil pengembangannya, tetap
merupakan
titipan
para
peserta
kepada
badan
penyelenggara
yang
peruntukkanya telah ditetapkan. Badan penyelenggara diberikan amanat atau
kepercayaan untuk mengelola dana untuk sebesar-besarnya manfaat kepada
36
seluruh peserta. Dengan demikian, badan penyelenggara harus bisa dipercaya.
Badan Penyelenggara memperoleh upah atas jasanya dalam pengelolaan dana
amanat ini. Untuk memelihara tingkat ‗dipercaya‘ tersebut, penyelenggaraan
jaminan sosial harus dikendalikan oleh suatu dewan yang terdiri atas wakil-wakil
pihak yang mengiur. Dewan ini disebut lembaga tripartit yang terdiri atas wakilwakil pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah jumlahnya dapat antara 15 – 21
orang. Dalam sistem SJSN, yang dipilih masing-masing 5 (lima) – 7 (tujuh) orang
dari kelompok pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah.
9. Pengelolaan dana dilaksanakan dengan prinsip solvabilitas, likuiditas,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas:
9.1. Prinsip solvabilitas adalah prinsip dimana dana harus selalu mencukupi
untuk membiayai manfaat bagi seluruh peserta dalam jangka panjang.
Pengelola harus selalu menjaga agar setiap saat dana, baik yang berupa
uang tunai, dana di rekening, dana yang tersimpan dalam bentuk deposito,
obligasi, dan dalam bentuk investasi lain harus selalu cukup untuk
membiayai segala kewajiban SJSN kepada seluruh pesertanya.
9.2. Prinsip likuiditas adalah prinsip dimana dana harus selalu tersedia untuk
membiayai seluruh manfaat seperti jaminan kesehatan dan jaminan
kecelakaan kerja. Sumber dana untuk membiayai manfaat jangka pendek
adalah dana tunai, bank dan deposito yang jatuh tempo segera.
9.3. Prinsip keterbukaan merupakan suatu keharusan dalam jaminan sosial
karena dana yang dikelola merupakan dana milik peserta. Oleh karenanya
manajemen harus sangat terbuka yang ditunjukan dengan penyampaian
akun perorangan yang menunjukkan jumlah iuran yang diterima dan
akumulasinya kepada seluruh peserta dan laporan keuangan berkala yang
harus dipublikasi secara terbuka dan diketahui oleh setiap peserta yang
ingin mengetahuinya, serta perubahan kebijakan minimal satu kali setahun.
9.4. Prinsip kehati-hatian (prudensial) adalah suatu bentuk tanggung jawab
pengelola dalam mengelola dana peserta. Penempatan dana dalam
investasi harus benar-benar diperhitungkan agar terhindar dari risiko
kehilangan dana akibat berbagai spekulasi atau tingkat risiko investasi yang
besar. Investasi spekulasi dalam mata uang asing misalnya mempunyai
risiko tinggi dan karenanya tidak dibenarkan. Begitu juga penempatan dana
dalam jumlah besar di suatu bank akan mempunyai risiko besar apabila
ternyata bank tersebut mengalami kebangkrutan.
37
9.5. Prinsip
akuntabilitas
merupakan
prinsip
dimana
pengelola
harus
bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Oleh karenanya segala
tindakan yang bertujuan untuk kepentingan dirinya harus dilarang.
Penempatan investasi pada suatu bank dimana pengelola memiliki saham
jelas merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab kepada peserta
dan karenanya harus dilarang.
9.6. Prinsip efisiensi diwujudkan dengan membatasi dana yang boleh digunakan
untuk biaya operasional. Untuk program jangka pendek, pengelola tidak
boleh menghabiskan lebih dari 5% (lima persen) iuran yang diterima dalam
satu tahun buku. Untuk program jangka panjang, iuran sama sekali tidak
boleh digunakan untuk membiayai opersasional SJSN. Operasional program
jangka panjang harus dibiayai dan dicukupi dari sebagian kecil (misalnya
5%) hasil pengembangan dana.
9.7. Prinsip efektivitas diwujudkan dengan memberikan jaminan yang benarbenar efektif. Sebagai contoh dalam jaminan kesehatan, pengobatan yang
belum dibuktikan kebenarannya secara ilmiah tidak boleh dijamin oleh
SJSN.
10.
Portabilitas. Artinya manfaat jaminan sosial dapat dibawa kemana saja dan
selalu tersedia dimanapun di seluruh tanah air. Manfaat yang diperoleh peserta
tidak boleh putus atau hilang karena peserta pindah tempat kerja atau pindah
tempat tinggal. Tentu saja, apabila peserta pindah tempat tinggal tetap ke luar
negeri maka jaminan atau manfaat jaminan sosial harus terputus, karena peserta
tidak lagi menjadi penduduk Indonesia sebagai suatu syarat kewajiban dan hak
jaminan sosial.
11.
Tanggung jawab terakhir tetap pada Pemerintah. Pada hakikatnya program
jaminan sosial adalah amanat UUD45 yang harus diselenggarakan oleh Negara
yang diberi mandat kepada Pemerintah. Oleh karenanya Pemerintah harus
bertanggung-jawab atas keamanan keuangan bila terjadi force majeur, seperti
terjadinya krisis ekonomi dan perubahan nilai tukar yang tinggi yang terjadi secara
tiba-tiba. Akan tetapi apabila kesulitan dana terjadi karena kesalahan manajemen
maka pengelola harus bertanggung-jawab atas kesalahan tersebut. Pemerintah
wajib memantau secara terus menerus, secara langsung atau melalui pengaturan
dan pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi kesulitan pembiayaan yang parah.
38
C. Manfaat
1. Manfaat adalah hak peserta yang dijamin UU-SJSN
sesuai dengan jenis
program. Manfaat program yang dianjurkan dalam SJSN adalah jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan
kematian serta jaminan pemutusan hubungan kerja. Tiap-tiap program jaminan
memberikan manfaat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan SJSN.
2. Jenis manfaat adalah manfaat program SJSN yang diberikan dalam bentuk
jaminan dana tunai maupun berkala, dan pelayanan (kesehatan/ kedokteran).
3. Penerima manfaat terbagi dalam dua jenis penerima, sesuai dengan ketentuan
masing-masing program yaitu:
a. Peserta.
Manfaat yang diterimakan langsung kepada peserta adalah Jaminan Hari Tua,
Jaminan Pensiun dan Jaminan Kecelakaan Kerja.
b. Peserta dan seluruh anggota keluarganya.
Manfaat Jaminan Kesehatan diberikan kepada peserta dan seluruh anggota
keluarganya, namun jaminan kesehatan tidak diberikan dalam bentuk uang
atau penggantian uang tetapi dalam bentuk pelayanan yang diterima di
fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat kualitas tinggi yang dikontrak BPJS.
Sedangkan Jaminan Hari Tua, Pensiun, dan jaminan kematian diberikan
kepada ahli waris yang berhak apabila peserta meninggal dunia.
D. Iuran dan Dana SJSN
1. Iuran SJSN adalah sejumlah dana yang ditetapkan secara proporsional
terhadap gaji atau penghasilan peserta yang dibayarkan secara teratur oleh
peserta (dan pemberi kerja bagi peserta di sektor formal) untuk memenuhi
pembiayaan manfaat bagi peserta atau anggota keluarganya, sesuai dengan
jenis program. Untuk sektor informal, iuran dapat ditentukan dalam jumlah
tertentu.
2. Dana SJSN adalah himpunan iuran JSN beserta hasil pengembangannya yang
diamanatkan oleh peserta untuk disimpan, dikelola, dan dibayarkan sebagai
manfaat bagi peserta apabila syarat timbulnya hak peserta sudah terpenuhi.
Syarat timbulnya hak peserta adalah kejadian yang menyebabkan terjadinya
penurunan atau penghentian pendapatan atau kejadian sakit atau kecelakaan.
3. Sifat himpunan dana yaitu dana yang terkumpul dan hasil pengembangannya
merupakan Dana Amanat (trust fund) yang berarti bahwa dana tersebut tidak
dapat digunakan oleh pengelola sesuai peruntukan yang telah ditetapkan,
39
kecuali disetujui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (board of trustees)
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan SJSN.
E. Jenis dan Manfaat Program
Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar rakyat, SJSN akan mengembangkan dan
memperluas jaminan melalui 6 (enam) program, sebagai berikut:
1. Jaminan Kesehatan (JK)
Program Jaminan Kesehatan adalah program yang memberikan manfaat berupa
pelayanan kesehatan yang komprehensif, sesuai dengan kebutuhan medik yang
diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan meningkatkan kesehatan peserta
dan anggota keluarganya.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Program Jaminan Kecelakaan Kerja merupakan manfaat pelayanan pemulihan
kesehatan yang terjadi akibat dari suatu kecelakaan yang berhubungan dengan
pekerjaan seseorang. Selain itu, program ini juga memberikan manfaat dalam
bentuk santunan uang baik lump-sum ataupun secara berkala bagi peserta yang
mengalami cacat atau meninggal dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja.
3. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK)
Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja
merupakan
dana tunai yang
dibayarkan oleh badan penyelenggara kepada tenaga kerja yang minimal bekerja
telah 6 bulan, sesuai dengan perhitungan masa kerjanya. Pembayaran dilakukan
sekaligus atau dibagi selama maksimal 6 bulan untuk menjamin kebutuhan hidup
minimal sehari-hari setelah putus hubungan kerja. Dana ini beraasal dari iuran
peserta dan pemberi kerja yang dipungut selama peserta masih bekerja. Namun
program JPHK ini tidak dimasukkan kedalam RUU SJSN ini karena telah diatur
dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Jaminan Hari Tua (JHT)
Program Jaminan Hari Tua merupakan program yang membayarkan uang tunai
secara sekaligus sebelum seorang peserta memasuki masa pensiun. Pemberian
uang tunai lump-sum ini dimaksudkan untuk membekali peserta dengan uang
tunai dalam memasuki usia pensiun yang dapat digunakan untuk membeli rumah
atau modal untuk berusaha. Apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki
masa pensiun, maka manfaat program dibayarkan kepada janda/duda, anak atau
ahli waris peserta yang sah.
40
5. Jaminan Pensiun (JP)
Program Pensiun merupakan program yang membayaran uang secara berkala
untuk jangka waktu tertentu atau sampai peserta meninggal dunia sebagai
substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan setelah peserta memasuki usia
pensiun atau menderita cacat total tetap yang menyebabkan ia tidak mampu lagi
bekerja. Apabila peserta meninggal dunia sebelum ia memasuki usia pensiun,
maka manfaat dibayarkan kepada ahli warisnya.
6. Jaminan Kematian (JKm).
Program Jaminan Kematian membayarkan sejumlah uang tunai kepada ahli waris
yang sah setelah peserta meninggal dunia secara alamiah atau kecelakaan yang
tidak berhubungan dengan pekerjaan. Manfaat jaminan kematian ini diharapkan
dapat meringankan beban ahli waris peserta yang ditinggalkan yang dapat
digunakan untuk membiayai penguburan atau keperluan lain yang terkait dengan
kematian peserta.
41
BAB IV
KELEMBAGAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL
Kelembagaan JSN merupakan salah satu unsur dalam suatu SJSN yang
berfungsi menyelenggarakan terwujudnya tujuan jaminan sosial yang telah dirumuskan
dalam SJSN sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang melandasinya seperti
telah diurakan pada Bab III. Dalam beroperasinya lembaga tersebut perlu diperlukan
aspek legal sehingga lembaga tersebut memerlukan suatu bentuk badan hokum.
Pembahasan kelembagaan selanjutnya dikelompokkan dalam (1) tinjauan kelembagaan
jaminan sosial di iselenggarakan berbagai Negara, (2) alternative kelembagaan jaminan
sosial untuk Indonesia, dan bentuk badan hokum penyelenggara.
A. Tinjauan Kelembagaan Jaminan Sosial di berbagai Negara.
Dalam Bab II, telah disajikan bahwa kelembagaan jaminan sosial di berbagai
negara yang lebih maju dari Indonesia bervariasi dari banyak lembaga/ badan
penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional. Jumlah badan
penyelenggara akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraaan
program jaminan sosial. Tidak ada suatu hukum khusus yang mengharuskan jumlah dan
bentuk
badan
penyelenggara.
Selain
itu,
keputusan
mengenai
jumlah
badan
penyelenggara pada umumnya merupakan keputusan politik yang harus diambil oleh
pemerintah suatu negara. Namun demikian, baik dari sistem jaminan sosial di berbagai
negara dan literatur pembiayaan publik tampak kecendrungan penyelenggaraan jaminan
sosial dimulai dengan jumlah BP yang banyak, baik menurut kelompok penduduk
maupun dari sektoral mengarah kepada semakin kecil jumlahnya, bahkan ada Negara
yang jamian sosialnya hanya dikelola oleh satu badan. Disamping itu, tampak adanya
suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik
yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi)
pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan
penting dan di dalam pengelolaan dana.
Badan penyelenggara Jaminan Sosial dapat bervariasi baik dari program, maupun
dari fokus kepada populasi yang dilayani. Fokus populasi yang dilayani dapat
dikelompokkan dalam jaminan sosial pegawai pemerintah,bahkan terpisah antara
pegawai pemerintah sipil dan militer (polisi), dan pegawai swasta. Ada juga
penyelenggaraan berdasarkan program seperti Asuransi Kesehatan Nasional yang
melayani berbagai kelompok penduduk.
Ada juga pembagian menurut kelompok
42
penduduk dan kelompok program. Demikian juga dengan tanggung jawab
penyelenggaraan, ada yang melekat pada kementerian keuangan, kementrian tenaga
kerja, kementrian kesejahteraan, kementrian kesehatan dan sebagainya dan ada juga
yang berdiri sendiri dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden.
Secara umum sebuah badan penyelenggara mempunyai tugas pokok dan fungsi
sebagai berikut:
1. Mengelola kepesertaan yang meliputi pendaftaran,pemberian nama identitas JS,
mutasi, penghentian (penghapusan) misalnya karena meninggal dunia atu pindah
permanen ke negara lain,
2. Melakukan pembayaran manfaat kepada peserta dan atau pembayaran kepada
pihak ketiga yang memberikan pelayanan kepada peserta,
3. Menghimpun iuran dari para pemberi kerja dan atau peserta,
4. Mengelola dana yang dititipkan oleh peserta guna memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada peserta (benefit maximizer),
5. Membuat laporan kegiatan dan keuangan secara transparan kepada seluruh
peserta dan pemerintah,
6. Melakukan penelitian dan pengembangan program-program jaminan sosial sesuai
dengan perubahan kebutuhan dasar peserta dan perubahan lingkungan sosial
ekonomi suatu negara,
7. Melakukan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk meningkatkan kesejahteraan
peserta pada khususnya dan rakyat pada umumnya.
B. Alternatif Kelembagaan Jaminan Sosial Untuk Indonesia
Dari
berbagai
bahasan
penyelenggaraan
dan
prinsip-prinsip
dasar
penyelenggaraan jaminan social di berbagai Negara, disajikan disini berbagai alternatif
badan penyelenggara jaminan social untuk Indonesia. Hal ini sangat penting disampaikan
mengingat saat ini Indonesia sudah memiliki empat badan penyelenggara jaminan sosial.
Perubahan mendasar dan radikal dapat menimbulkan guncangan, namun demikian tanpa
perubahan badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional tidak akan menjadi kuat.
Oleh karenanya, berbagai alternatif badan penyelenggara yang disampaikan berikut ini
disusun
dengan
mempertimbangkan
kebutuhan
dan
risiko
masing-masing
pilihan/alternatif. Untuk setiap alternatif diperlukan masa transisi tertentu sehingga
perubahan penyelenggaraan dari yang sedang berjalan menuju pola baru setelah adanya
perubahan undang-undang tidak menimbulkan guncangan besar. Yang pasti, perubahan
43
harus selalu dijalankan guna memperbaiki manajemen maupun besarnya manfaat
program yang disediakan melalui sistem jaminan sosial.
Sebuah sistem jaminan sosial pada hakikatnya merupakan pelaksana program
pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.
Suatu badan penyelenggara dapat mengelola suatu sistem jaminan sosial bagi
sekelompok penduduk tertentu atau sebuah program tertentu. Oleh karena itu, sebuah
badan penyelenggara dapat berada di bawah koordinasi langsung sebuah kementrian,
misalnya Kementrian Tenaga Kerja atau Kementrian Keuangan apabila badan
penyelenggara mengurus kelompok penduduk. Sebuah badan penyelenggara juga dapat
berada di bawah koordinasi Kementrian Kesehatan apabila program yang dikelola adalah
program jaminan/asuransi kesehatan yang mencakup berbagai segmen populasi.
Dengan demikian koordinasi badan penyelenggara ini akan sangat tergantung dari
rancangan sebuah sistem jaminan sosial. Untuk Indonesia, alternatif koordinasi badan
penyelenggara dapat dilakukan melalui pilihan di bawah ini:
1. Langsung berada di bawah koordinasi Presiden/Kepala Negara
Salah satu pilihan adalah sebuah Badan Penyelenggara yang langsung
bertanggung-jawab kepada Presiden, tanpa melalui seorang Menteri. Sebuah
badan penyelenggara yang otonom yang tidak berada di bawah koordinasi suatu
kementrian atau departemen akan lebih cocok untuk program jaminan sosial yang
lintas sektoral. Bentuk badan seperti ini, sebagai suatu badan setingkat
Departemen atau Lembaga Non Departemen, cocok untuk rancangan sebuah
sistem jaminan sosial yang mengelola berbagai program untuk berbagai
kelompok penduduk. Bentuk ini juga sangat efisien dan efektif karena akan selalu
menjadi fokus perhatian seluruh pihak terkait (stakeholders). Hanya saja, jika
badan penyelenggara berada langsung di bawah Presiden, keputusan yang
diambil dapat dipengaruhi oleh figur Presiden yang mungkin mewakili partai yang
berkuasa. Dengan demikian, independensi dan otonomi badan ini sering
diragukan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa badan yang terlalu dekat
dengan
kekuasaan
sering
digunakan
sebagai
alat
penguasa
untuk
mempertahankan kekuasaan.
44
2. Berada di bawah koordinasi sebuah kementrian
Badan penyelenggara yang berada di bawah suatu Depatemen tepat mengatur
kelompok penduduk atau program yang menjadi tugas utama suatu departemen.
Namun demikian, apabila program jaminan sosial menyangkut berbagai sektor
dan berbagai kelompok penduduk, maka koordinasi oleh suatu departemen dapat
menimbulkan gesekan politik yang keras karena banyak Departemen yang
merasa berwenang mengatur dan karenanya akan menjadi ―rebutan‖ mengingat
dana yang akan dikelola dapat jadi sangat besar. Departemen Keuangan dapat
melihat badan ini sebagai suatu Lembaga Keuangan dan karenanya dapat
menuntut agar badan tersebut berada di bawah Departemen Keuangan. Hal ini
mengandung risiko bahwa badan tersebut akan dilihat sebagai suatu sumber
keuangan umum negara seperti halnya BUMN di masa lalu. Padahal tujuan
utama jaminan sosial bukanlah akumulasi dana sebagai usaha revenue center
bagi pemerintah, akan tetapi upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan
bagi penduduk yang pengelolaannya harus memperhatikan aspek ekonomi dan
keuangan. Sebaliknya Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigarasi, atau Departemen Sosial dapat melihat badan ini lebih tepat di
bawah koordinasinya karena mengurusi jaminan sosial atau jaminan tenaga kerja.
Padahal badan ini juga tidak hanya mengurus masalah sosial atau kesejahteraan
sosial atau tenaga kerja semata, akan tetapi badan ini juga akan mengurus
pengumpulan dana dan investasi yang pruden dimana kemampuan itu tidak
dimiliki oleh pejabat di Departemen non keuangan. Dimanapun letak badan
tersebut, pengaruh birokrasi dan kekuasaan dapat menjadikan pengelolaan
badan ini menyimpang dari tujuan semula yaitu memberikan jaminan sosial yang
mampu meningkatkan produktivitas penduduk.
3. Independen, bertanggung jawab langsung kepada DPR
Suatu badan di bawah koordinasi DPR memang memberikan jaminan tidak ada
campur tangan pemerintah. Pada kondisi banyak fraksi seperti yang kini terjadi,
pembentukan sebuah Badan Penyelenggara di bawah DPR mempunyai potensi
sebagai ajang rebutan partai, khususnya yang berkuasa. Lembaga seperti ini
tidak masuk dalam konstitusi atau sistem pemerintahan Indonesia, sehingga
bentuk ini tampaknya sulit bisa dilaksanakan.
45
F. Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggar
1. Badan Trust Fund (Dana Amanat) yang Independen
Suatu bentuk badan tripartit yang independen terhadap birokrasi pemerintahan
yang disebut Wali Amanat (Board of Trustee) dan diawasi oleh wakil-wakil pihak
yang berkepentingan (stakeholders) merupakan pilihan yang paling banyak dianut
di dunia. Bentuk Dana Amanat adalah bentuk badan hukum yang umum
digunakan di negara-negara maju dengan berbagai nama. Badan ini dapat
disebut sebagai suatu Badan Penyelenggara Publik yang bukan BUMN, bukan
perusahaan swasta, dan bukan lembaga pemerintah. Bentuk Dana Amanat pada
prinsipnya adalah suatu badan Quasi Pemerintah yang tidak dimiliki oleh
sekelompok orang akan tetapi dimiliki oleh seluruh pesertanya, yang peruntukan
dananya telah ditetapkan. Oleh karena Dana Amanat dimiliki seluruh pesertanya,
maka apabila terdapat sisa hasil usaha maka sisa hasil usaha tersebut menjadi
milik seluruh peserta. Jadi tidak ada pembagian dividen untuk sekolompok orang
maupun untuk pemerintah seperti yang terjadi dalam bentuk BUMN. Dana sisa
hasil usaha dapat diberikan sebagai pengurangan iuran tahun berikutnya,
disimpan sebagai dana cadangan umum untuk seluruh peserta, atau untuk
perbaikan pelayanan. Dana Amanat merupakan milik seluruh rakyat—apabila
cakupan jaminan sosial sudah universal, maka sisa hasil usaha juga tidak perlu
dikenakan pajak penghasilan badan karena setiap dana yang diperoleh sudah
menjadi hak seluruh rakyat seperti halnya dan yang dikumpulkan dari pajak.
Bedanya, dalam Dana Amanat pemerintah tidak ikut campur mengelola dana
tersebut. Pengelolaan Dana Amanat diatur oleh undang-undang dan pengelola
yang terdiri dari Board of Trustees (Wali Amanat) dan Executive Boards (Dewan
Eksekutif yang terdiri atas Direksi beserta kelengkapannya) secara independen
atau otonom tanpa campur tangan pemerintah atau partai. Wali Amanat/Dewan
Jaminan Sosial Nasional adalah lembaga penentu kebijakan dan sekaligus
pengawas keuangan maupun penyelenggaraan lainnya yang dilaksanakan oleh
eksekutif. Wali Amanat
terdiri dari wakil-wakil berbagai peserta seperti wakil
tenaga kerja, wakil perusahaan, wakil pemerintah, dan unsur lain yang dinilai
perlu dan memiliki kemampuan menjalankan fungsi Wali Amanat. Bentuk Dana
Pensiun Pemberi Kerja dan Universitas Otonom atau Badan Hukum Pendidikan
adalah badan hukum yang mendekati bentuk Dana Amanat.
46
2. Badan Usaha Milik Negara/Daerah
Selama ini jaminan sosial dikelola oleh badan hukum BUMN seperti PT (Persero)
Askes, Jamsostek, dan Taspen. Dalam undang-undang asuransi memang diatur
bahwa asuransi sosial harus dikelola oleh BUMN. Dari segi tanggung jawab
pemerintah, memang bentuk BUMN lebih menjamin solvabilitas jika sewaktuwaktu terjadi masalah keuangan yang berat. Namun demikian, bentuk BUMN
yang pada hakikatnya lembaga pencari laba (untuk kas negara) tidak sesuai
dengan nafas jaminan sosial yang perlu memaksimalkan manfaat atau jaminan.
Bentuk badan usaha ini pula yang menimbulkan tuntutan agar pengelolaan
jaminan sosial atau asuransi sosial tidak dimonopoli. Padahal, jika bentuk
penyelenggara kembali kepada sifat alamiahnya yang wajib kontribusi, maka
bentuk BUMN tidak cocok. Jaminan sosial bukanlah urusan usaha bisnis karena
jaminan sosial justeru terbentuk sebagai jawaban atas kegagalan usaha bisnis
mewujudkan keadilan sosial, dan memberikan kepastian perlindungan yang
berkelanjutan. Karena di Indonesia banyak pihak belum memahami dan belum
percaya dengan bentuk khusus Dana Amanat. Jalan keluar yang mungkin bisa
ditempuh adalah banyak BUMN khusus yang nirlaba dan aturan mainnya di atur
sendiri. Dalam SJSN tidak diatur oleh UU BUMN. Namun itupun masih bisa
menimbulkan kebingungan.
3. Badan Usaha Milik Swasta (free choice)
Kini banyak tuntutan pihak swasta untuk ikut serta terjun mengelola jaminan
sosial. Apabila hal ini disetujui, maka ini merupakan alternatif liberal yang dapat
dipertimbangkan untuk pengelola jaminan sosial. Negara-negara Amerika Latin
sudah mencoba bentuk ini dalam skala yang amat terbatas. Namun demikian
evaluasi uji coba model Amerika Latin menunjukkan terjadinya seleksi bias yang
tidak lagi mencerminkan asas keadilan sosial yang didambakan. Negara maju lain
di dunia, termasuk juga negara paling liberal, Amerika Serikat, masih mengelola
jaminan sosial oleh suatu badan pemerintah yang independen. Jaminan sosial
yang tidak dikelola oleh badan swasta justru merupakan jawaban atas kegagalan
pihak swasta mewujudkan keadilan sosial. Jadi usulan ini adalah kontradiktif
dengan esensi diselenggarakannya jaminan sosial. Bentuk ini hendaknya sama
sekali tidak diambil pada saat ini.
47
D. Jumlah Badan Penyelenggara dan Undang-Undang Jaminan sosial
Jumlah badan penyelenggara jaminan sosial dikaitkan dengan undang-undang
jaminan soial dapat dipertimbangkan menurut beberapa alternatif berikut ini.
1. Satu Badan Penyelenggara Nasional dengan Satu UU JS Nasional
Pilihan yang paling ideal adalah dengan satu badan penyelenggara yang
mengelola seluruh program (Social Security Administration) di Pusat yang
memiliki kantor cabang di daerah-daerah. Badan di pusat ini memiliki
tigadirektorat, yaitu direktorat jangka panjang, direktorat jangka pendek dan
direkotrat administrasi. Direktorat Jaminan Jangka Panjang mengatur jaminan
pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian, yaitu jaminan yang manfaatnya
diterima pada saat menjelang memasuki hari tua atau pensiun, atau meninggal
dunia yang memberikan jaminan berbentuk uang tunai. Direktorat Jaminan jangka
pendek yaitu direktorat yang mengatur jaminan pelayanan seperti jaminan
kesehatan. Sementara jaminan kecelakaan kerja dapat dikategorikan sebagai
jaminan jangka pendek. Direktorat administrasi diperlukan karena kompleksnya
administrasi dan dinamisnya peserta yang dapat pindah-pindah kerja, baik
pegawai negeri ke pegawai swasta atau sebaliknya maupun pindah tempat
tinggal, maka dibutuhkan satu Direktorat Khusus yang menangani administrasi
peserta, termasuk mengelola dana yang terkumpul maupun yang belum
digunakan. Eksekutif Badan Penyelenggara dipimpin oleh Dewan Direksi, yang
mencakup Direktur yang memimpin sebuah Direktorat.
Badan ini memang ideal, namun membutuhkan waktu yang cukup untuk
menggabungkan seluruh badan penyelenggara yang kini mengelola populasi atau
sektor yang berbeda (pegawai negeri dan pegawai swasta), baik dari segi teknis
maupun dana. Disamping itu kemungkinan akan ada resistensi dari mereka yang
kini mengelola, meskipun hal itu sebenarnya tidak perlu, sebab badan
penyelenggara yang ada sekarang ini merupakan Badan Usaha Milik Negara.
Dengan demikian Pemerintah dapat menentukan apakah badan penyelenggara
yang ada akan digabungkan atau tidak. Namun, jika akan digabungkan menjadi
satu badan penyelenggara, proses transisinya harus dilakukan secara bijaksana
tanpa ada rasionalisasi tenaga dan tidak merugikan peserta. Ketentuan undangundnag yang baru bagi peserta baru, terutama jaminan jangka panjang. Patut
juga dipertimbangkan bahwa masing-masing badan penyelenggara telah memiliki
48
peraturan tersendiri. Struktur satu badan penyelenggara Nasional dengan satu
UU JS Nasional digambarkan pada gambar 7 berikut.
Gambar 7:
Satu Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN
Presiden
Dewan JSN
Direksi
Direktorat
JJPd
Direktorat
JJPj
Direktorat
Adm
2 Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU JS Nasional
Alternatif kedua yang lebih baik penerimaannya adalah badan penyelenggara
yang ada tetap beroperasi tetapi dengan satu UU JSN, artinya badan
penyelenggara yang ada menyesuaikan dengan UU-SJSN tersebut. Paling tidak,
alternatif ini bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Dengan satu UU JSN, lebih
dapat dijamin konsistensi dan uniformitas JSN bagi pegawai negeri, pegawai
swasta, dan pekerja sektor informal. Model ini merupakan model ‗virtual tunggal‘
sebagai suatu sistem nasional.
Untuk menjamin bahwa seluruh badan penyelenggara yang ada melaksanakan
program jaminan sosial secara konsisten, maka perlu dibentuk sebuah Dewan
Jaminan Sosial Nasional yang akan mengawasi dan membuat kebijakan umum
program
jaminan
sosial.
Alternatif
kedua
ini
merupakan
kombinasi
penyelenggaraan jaminan sosial menurut sektor dan menurut program. PT
Jamsostek akan tetap melayani pekerja sektor swasta ditambah sektor informal
yang bisa mulai mengikuti program jaminan sosial secara sukarela. Namun
demikian, program JPK Jamsostek dapat digabungkan dengan program Askes
pegawai negeri yang dikelola oleh PT Askes. Dengan demikian, PT Askes akan
berkonsentrasi mengelola jaminan kesehatan secara universal, baik untuk
49
pegawai swasta, pegawai negeri, sektor informal, dan penduduk miskin. Hal ini
telah dilaksanakan di negara lain seperti Taiwan, Filipina, dan Korea di akhir
tahun 90-an yang lalu. Sementara itu, PT Taspen dan PT ASABRI akan tetap
mengelola jaminan bersifat jangka panjang untuk kedua sektor pegawai negeri
dan tentara.
Akan tetapi, karena badan-badan yang ada sekarang merupakan BUMN yang
bertujuan mencari laba dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip universal, maka
seluruh badan penyelenggara tersebut harus diubah menjadi suatu badan hukum
nirlaba, yang merupakan badan hukum jaminan sosial atau semacam trust fund.
Mengingat saat ini belum ada undang-undnag tentang dana amanat, maka antara
lain dapat dipertimbangkan bentuk persero yang berciri khusus jaminan sosial
yaitu pengelolaannya not for propfit, yang memperoleh fasilitas perpajakan dan
dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden.
Secara organogram, susunan badan penyelenggara yang akan diatur dengan UU
JSN nantinya sebagaimana tercantum pada gambar 8 berikut:
Gambar 8:
Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN
Presiden
DJSN
BP* JK
BP* Jamsostek
& informal
BP* J Pensiun
PNS
BP* J Pensiun
TNI-P
* Seluruh BP diatur oleh satu UUJSN
3.
Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UU JS
Praktek penyelenggaraan jaminan sosial dengan satu UU untuk masing-masing
sektor dan tiap sektor memiliki satu badan penyelenggara sendiri. Alternatif ini
kurang menggambarkan sifat nasionalnya dan kurang optimum di dalam
mewujudkan solidaritas dan keadilan sosial. Potensi bervariasi manfaat dan cara
penyelenggaraan, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial, bisa sangat
50
besar dalam model ini.
Selain ini, kemungkinan kebangkrutan satu model,
misalnya sektor informal, karena sulitnya mengumpulan iuran dari kelompok
tersebut sangat besar. Apabila hal itu terjadi, maka citra jaminan sosial nasional
akan rusak secara keseluruhan.
Dalam model ini, perlu dibuat satu UU dan satu badan penyelenggara untuk
pegawai negeri, untuk pekerja swasta, untuk petani, untuk sektor informal, dan
sebagainya. Tiap badan penyelenggara dapat mengelola berbagai program,
misalnya badan jaminan sosial pegawai negeri akan mengelola dana pensiun,
jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sekaligus.
Penanggung jawab badan-badan tersebut diletakkan kepada menteri-menteri
terkait. Organogramnya sebagaimana tercantum pada gambar 9 berikut.
Gambar 9 :
Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UUJS
Presiden
Menteri
Kesehatan
Menteri Tenaga
Kerja & Trans
Menteri
Keuangan
Menteri
Pertahanan
BP JK
BP Jamsostek
& informal
BP J Pensiun
PNS
BP J Pensiun
TNI-P
UU PPNS
UU PTNI
UU JK
UU JSTI
4. Membentuk Badan Baru JSN selain yang ada sekarang (ini yang
ditawarkan oleh PT.TASPEN, perlu diulas lebih panjang)
Bentuk lain yang dapat diusulkan adalah membentuk badan baru yang bersifat
nasional yang mengelola jaminan sosial dasar untuk seluruh program, tanpa
mengganggu badan yang ada. Badan-badan yang ada dikonversi menjadi badan
penyelenggara jaminan sosial tambahan. Kelemahan badan baru ini adalah
mahalnya biaya pembentukan badan baru dan tidak optimalnya penyelenggaraan
jaminan sosial, karena tiap sektor atau tiap pegawai akan memiliki dua jaminan
sosial sekaligus yang juga bersifat wajib. Hal ini sangat tidak lazim. Penambahan
lembaga baru artinya akan menambah besaran iuran, baik bagi peserta maupun
51
pember kerja. Disamping itu, manfaat jaminan sosial yang ada saat ini masih
belum memadai sebagai manfaat dasar. Karenanya menjadikan sekunder tidak
rasional, kecuali untuk mempertahankan eksistensi yang ada. Penyelenggaraan
yang lazim dilakukan adalah satu sistem yang bersifat wajib dan kemudian setiap
sektor atau orang dapat memiliki jaminan sosial tambahan (suplemen) yang
bersifat sukarela. Pada penyelenggaraan yang sifatnya sukarela ini, prinsip
keadilan sosial (equity) kurang penting dan karenanya dapat diselenggarakan
oleh sektor swasta.
Kombinasi berbagai bentuk diatas masih dimungkinkan. Masing-masing bentuk
badan dan jumlah badan penyelenggara mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Rangkuman Kelebihan Dan Kekurangan Dari
Masing-Masing Alternatif
BPJS
Alternatif
(1)
Satu
Badan
Penyeleng-gara
Publik Terpadu di
Pusat
yang
menangani
semua program.
Badan ini berada
di
bawah
Presiden.
Kelebihan




Efisiensi
di
dalam
pengelolaan dana sangat
tinggi, biaya administrasi
kecil
Keseragaman
kebijakan
secara
Nasional
memudahkan
sosialisasi
dan pemahaman mudah
dilakukan dan murah
Terselenggaranya
equity
(adil dan merata)/subsidi
silang luas antar wilayah
dan
golongan
ekonomi
untuk program kesehatan
Menjadi perhatian semua
orang dan karenanya lebih
terjaga karena semua pihak
berkepentingan.
Sustainabilitas
menjadi
tinggi

Pada tahap awal bentuk ini
merupakan bentuk terbaik.
Kemudian hari mungkin
dapat didesentralisasi

Akumulasi dana (very large
pool) jangka panjang yang
Kekurangan

Kontrol pada sebagian kecil orang di pusat
yang mudah terjadi manipulasi oleh kekuasaan

Kurang fleksibel dalam merespons keinginan
berbagai kelompok peserta atau daerah,
kurang akomodatif

Diseconomy of scale, karena organisasi terlalu
besar dan akan menjadi terlalu birokratis

Sekali kolaps merugikan semua penduduk,
namun kemungkinan ini kecil

Kolusi dalam penempatan dana mudah terjadi

Span of control terlalu besar sehingga bisa
menimbulkan kesuli-tan kendali

Wakil stakeholder (pihak berke-pentingan) –
dalam pengendalian tidak banyak
52
Alternatif
Kelebihan
Kekurangan
besar memiliki daya ungkit
ekonomi tinggi
(2) Beberapa Badan
Pe-nyelenggara
Jaminan Sosial
Nasional dalam
satu UU

Terhindarnya kepesertaan
ganda dan memudahkan
penanganan
penduduk
yang pindah (portabilitas).
Diperlukan nomor jaminan
sosial
(social
security
number)

Masih terjaga keseragaman
mekanisme
dan
penyelenggaraan

Secara teknis tidak banyak
gejolak
dari
badan
penyelenggara atau pihak
lain yang terkait


(3) Beberapa Badan
de-ngan
Beberapa UU
Mempunyai pool yang tetap
besar apabila jumlah badan
penyelenggara tetap seperti
sekarang
Dapat
tercipta
‗virtual
competition‘ apabila tetap
berada di bawah satu DJSN

Mengakomodir kepentingan
kelompok yang khsusus,
seperti TNI-Polri

Tingkat kepuasan peserta
akan
lebih
baik
dibandingkan
pilihan
pertama

Mengakomodir
kepentingan sektoral / kelompok
yang lebih luas, sehingga
kepuasan peserta lebih baik

Kegagalan di satu sektor
dapat diisolasi sehingga
tidak merugikan sektor lain

Kurang
menggambarkan
jaminan sosial

Efisiensi penyelenggaraan lebih rendah dari
pilihan pertama

Kemungkinan terjadi variasi pelayanan antara
BP yang menimbulkan ketidak-puasan

Membutuhkan pekerjaan tambahan
peserta yang pindah kerja/sektor

Lebih mudah dipengaruhi pejabat di sektor
yang mengawasi/merasa perlu mengawasi

Kepesertaan ganda mungkin terjadi. Akan tidak
menguntungkan untuk program kesehatan

Dapat menimbulkan kecemburuan pada sektor
swasta dan informal yang merasa tidak
mendapat kontribusi pemerintah

Dapat terjadi ketidak-harmonisan antara satu
UU dengan UU lainnya

Efisiensi lebih
penyelenggara

Pengaruh birokrat dari kementrian yang terkait
dapat sangat kuat
rendah,
ke-nasionalan
karena
untuk
duplikasi

Tingkat kompetisi semakin
tinggi
yang
dapat
meningkatkan
kualitas
pelayanan

Untuk program kesehatan, solidaritas sosial
semakin terbatas dan menimbulkan konflik
pada penyelenggaraan untuk satu keluarga
yang bekerja pada sektor berbeda

Jumlah perwakilan
dari
masing-masing sektor dapat
lebih banyak

Akan timbul badan penyelenggara kuat dan
lemah (sektor infor-mal/petani) yang tingkat
peng-hasilannya lebih kecil
53
Alternatif
Kelebihan
(4) Pembentukan satu
ba-dan JS Dasar
untuk
seluruh
penduduk, yang
ada menjadi program tambahan
Kekurangan

Kepuasan peserta/respons
terhadap kebutuhan peserta
sektor tertentu dapat lebih
terakomodir

Jika dibutuhkan kebijakan penggunaan dana
jaminan sosial yang besar, lebih sulit
mengorganisirnya

Pengelolaan dana yang
terkumpul lebih tersebar

Memberi kesan
program Nasional
adanya

Sangat tidak efisien dan menimbulkan duplikasi
program yang sama-sama wajib

Tidak mengganggu badan
penyelenggara yang ada
sekarang,
tidak
ada
resistensi

Memerlukan investasi pemerintah yang besar,
sementara yang ada belum optimal

Lebih memperlihatkan resistensi BP yang ada,
yang sebenarnya tidak perlu

Akan menambah beban iuran yang lebih tinggi
pada saat keadaan ekonomi sulit

Manfaat yang diberikan oleh BP JSD akan
sangat kecil, tidak memadai atau hanya basabasi
E. DASAR PILIHAN KELEMBAGAAN SJSN
Dari berbagai alternatif kelembagaan tersebut, apapun pilihan haruslah mendasari
niat awal dibentuknya SJSN, yaitu memberikan kepastian jaminan perlindungan yang
mampu
memenuhi
kebutuhan
berkelanjutan sehingga dapat
hidup
layak
terwujud
bagi
setiap
penduduk,
secara
kesejahteraan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia secara berkeadilan, dengan bertumpu kepada prinsip-prinsip
dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi
seluruh rakyat, kegotong-royongan, memberikan perlindungan yang adil pada para
peserta, peserta membayar iuran, law of the large numbers atau hukum bilangan
besar, transparan dan dapat dipercaya. Penyelenggaraannya bersifat nirlaba (not –
profit) dan bila ada peningkatan asset akan digunakan untuk menambah manfaat
bagi peserta. Kelembagaan ini haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral,
terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang
terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini dalam masyarakat. Oleh
karenanya kelembagaan yang akan dibangun adalah kelembagaan yang independen,
54
menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para
stakeholder yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Kelembagaan dimaksud
haruslah merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian
amanah. 2Dalam pelaksanaanya, lembaga tersebut senantiasa harus berpedoman
pada undang-undang dan ketentuan peraturan untuk itu.
Pada dasarnya keberadaan dan kelanggengan lembaga jaminan sosial nasional ini
adalah tanggung jawab Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Tap MPRRI Nomor X Tahun 2001. Artinya Pemerintah berfungsi sebagai pemberi kontribusi
dalam pengadaan modal awal, ikut menjamin bila sewaktu-waktu lembaga tidak bisa
memenuhi kewajibannya (default) dan bertanggung jawab dalam pengelolaan modal,
mengawasi managemen dan administrasi serta pengembangan SDM yang sehat.
Pemerintah harus terus menerus terlibat
dalam pembinaan, pengawasan,
pertumbuhan dan kesehatan serta keberlangsungan lembaga dimaksud. Peserta dan
pemberi kerja juga turut bertanggung jawab dalam pemupukan modal melalui
iuran/premi yang dibayarkan dan mengawasi pemenuhan manfaat dan pelayanan
jaminan sosial serta pengelolaan dana. Kelanggengan lembaga SJSN ditentukan
oleh besaran jumlah peserta (the law of the large numbers) dan prinsip kegotongroyongan. Oleh karena itu pekerja dan pemberi kerja turut bertanggung jawab dalam
sosialisasi jaminan sosial nasional dimaksud.
PILIHAN YANG DIUSULKAN
Dengan pertimbangan yang sangat berhati-hati dan mendalam, Tim SJSN telah
berupaya mencari bentuk susunan organisasi yang mampu mengakomodir kebutuhan
sebagaimana
diuraiakan
di
atas.
Dalam
proses
perkembangan
susunan
kelembagaan SJSN yang diinginkan, telah mengalami beberapa kali perubahan
karena tarik-menarik kepentingan kelayakan implementasi UU SJSN dalam waktu
dekat. Perubahan susunan konsep dari awal diformulasikan sampai terakhir
dikonsultasikan kepada Presiden pada Sidang Kabinet tanggal 24 Desember 2003
terlihat pada pentahapan konsep berikut.
2
Artinya, Wali Amanah adalah suatu konsep falsafah kepercayaan yang membuat suatu lembaga
berfungsi sesuai dengan maksud pemberi kepercayaan tersebut. Kepercayaan yang dibicarakan
dalam naskah akademik ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh stakeholder kepada suatu
lembaga untuk mengelola iuran asuransi sosial, dana terhimpun secara profesional, efektif,
efisien, transparan dan akuntabilitas publik serta kehati-hatian. (CATATAN KALAU DIPERLUKAN)
55
1. Konsep versi pertama : LJSN SEBAGAI DANA AMANAT
LJSN merupakan Dana Amanat Tunggal yang didukung oleh Dewan Pengawas.
Lembaga ini berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Dalam pelaksanaan tehnis operasionalnya, LJSN membentuk beberapa
organ divisi dan unit pendukung sebagaimana tergambar pada gambar berikut.
56
Gambar 10 :
Konsep Versi Pertama : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dana Amanat
PRESIDEN
DEWAN PENASEHAT
1. Wakil Pemerintah
2. Wakil Pemberi Kerja
3. Wakil Pekerja
DEWAN PENGAWAS
1. Menko Perekonomian
2. Menko Keuangan
3. Mendagri & Otda
4. Menakertrans
5. Menkes
6. Mensos
7. Tenaga Ahli Jamsos
KETUA LEMBAGA JAMINAN SOSIAL NASIONAL
Dir. 1
Dir. 2
Dir. 3
Dir. 4
Dir. 5
Dir. 6
Board of Investment
1. Wakil Pemerintah
2. Wakil Pemberi Kerja
3. Wakil Pekerja
4. Tenaga Ahli Investasi
Satuan Kerja
Audit Intern
(SKAI)
Direktur 1
Urusan Program Pensiun
Direktur 2
Urusan Program
Simpanan Hari Tua dan
Santunan Kematian
Direktur 3
Urusan Program
Pemeliharaan Kesehatan &
Jaminan Kecelakaan Kerja
Staf Ahli
1. Aktuaria
2. Hukum
3. Keuangan
Direktur 4
Urusan Akuntansi &
Keuangan
Direktur 5
Urusan Administrasi
1. Teknologi Informatika
2. Kepegawaian
3. Umum
Direktur 6
Urusan Litbang & Humas
57
Keterangan :
Dewan Amanat terdiri dari :
a. Ketua LJSN, berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan operasional
program dan unsur-unsur penunjang lainnya, baik menyangkut masalah
akutansi, keuangan dan administrasi. Ketua dibantu
direktur masing-
masing program dan unsur-unsur penunjang;
b. Dewan
Penasehat
berfungsi
memberi
program jaminan sosial nasional.
nasehat/arahan
pelaksanaan
Dewan Penasehat terdiri dari wakil
pemerintah, wakil pemberi kerja dan wakil pekerja;
c. Board of Investment berfungsi mengelola dana milik seluruh peserta.
Keanggotaan terdiri dari wakil pemerintah, wakil, pemberi kerja dan wakil
pekerja yang harus memiliki keahlian dalam investasi, keterbukaan dan
akuntabilitas;
d. Satuan Kerja
Audit Intern SKAI)
berfungsi dalam segala bentuk
pengawasan terhadap terselenggaranya administrasi keuangan intern.
e. Dalam perkembangan perjalanan SJSN dari waktu ke waktu, diperlukan
bantuan dari para ahli di bidang aktuaria, hukum dan keuangan.
Keterlibatan mereka bersifat ad-hock (bila diperlukan);
f.
Untuk menjamin bahwa LJSN sesuai dengan amanah stakeholder dan UU
SJSN, lembaga ini harus di awasi oleh suatu badan pengawas yang
mewakili stakholder. Dari unsur pemerintah akan diwakili oleh Menko Kesra
dan menteri terkait lainnya. Sedangkan pekerja dan pemberi kerja dapat
mengusulkan wakilnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalalm UU
SJSN.
g. Ketua beserta
seluruh jajaran Dewan
Amanat berfungsi sebagai
penyususn kebijakan dengan memperhatikan saran-saran dari Dewan
Penasehat dan Dewan Pengawas.
2. Konsep versi kedua : LJSN sebagai Dewan Pengendalian
LJSN sebagai badan wali amanah yang berfungsi hanya sebagai badan yang
bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan UU SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki
perwakilan wilayah dengan jumlah sesuai kebutuhan. Struktur dan organnya
ditampilkan dalam dua alternatif pada gambar 11.
58
Gambar 11 :
Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian
(Alternatif 1)
PRESIDEN RI
Dewan Pengawas
LJSN
TRUSTEESHIP
a. Ketua/Wakil Ketua
b. Unsur Pemerintah
c. Unsur Tenaga Kerja
d. Unsur Pemberi Kerja
e. Pakar
f. Perwakilan Badan Pengelola
Sekretariat LJSN
Direktur 6 Dewan Wali
tur 6
Amanah “X”
Urusan Litbang & Humas
san Litbang & Humas
Litbang & Humas Badan Pengelola
Direktur Utama
ang & Humas
& Humas
Komite Investasi
Humas
mas
DIR
DIR
DIR
A
B
C
Komite Audit
Pemantauan dan Pengawasan Manajemen
SJSN
Dewan Wali
Amanah “Y”
MANAGEMEN
T
Badan Pengelola
Direktur Utama
Internal Audit
Komite Investasi
DIR
D
DIR
A
Internal Audit
DIR
B
DIR
C
DIR
D
JANGKA
PANJANG
JANGKA PANJANG
JANGKA PENDEK
Komite Investasi
LJSN Wilayah
Penyelenggara Daerah
Pemantauan dan Pengawasan Operasional SJSN
Penyelenggara Daerah
59
Keterangan:
a. LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Presiden dibantu oleh Dewan Pengawas (terdiri dari Menko dan
Menteri terkait) LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara
langsung kepada Presiden
b. LJSN sebagai wali amanah berfungsi sebagai badan yang bertanggung jawab
dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap peleksanaan UU
SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki perwakilan dengan
jumlah sesuai dengan kebutuhan.;
c. Sebagai pengelola dan sekaligus penyelenggara, dilaksanakan oleh badan
yang independen yang disebut badan penyelenggara yang bersifat wali
amanah dan operasionalisasi program dilaksanakan oleh eksekutif. Badan ini
tunduk kepada UU SJSN dan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh LJSN.
d. Untuk memenuhi prisip the law of the large number, kegotong-royongan,
distribusi pendapatan, badan pelnyelenggara dilaksanakan secara nasional;
e. Didaerah dapat dibentuk unit-unit penyelenggaran daerah;
60
Gambar 12 :
Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian
(Alternatif 2)
PRESIDEN
Dewan Pengawas
LJSN
TRUSTEESHIP
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Ketua/Wakil Ketua
Unsur Pemerintah
Unsur Tenaga Kerja
Unsur Pemberi Kerja
Pakar
Perwakilan Badan Pengelola
Sekretariat LJSN
Dewan Wali
Amanah “X”
Pemantauan dan Pengawasan Manajemen
SJSN
DIR
A
Internal Audit
DIR
B
DIR
C
MANAGEMEN
T
Badan Pengelola
Direktur Utama
Badan Pengelola
Direktur Utama
Komite Investasi
Dewan Wali
Amanah “Y”
DIR
D
Komite Investasi
DIR
A
DIR
B
DIR
C
DIR
D
Daerah
Penyelenggara Daerah
Penyelenggara Daerah
External Audit
JANGKA PENDEK
Pusat
Komite Audit
JANGKA PANJANG
Komite Investasi
61
Keterangan :
a.
LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada
Presiden. Lembaga ini terdiri dari Pengurus berfungsi sebagai wali
amanah yang mewakili peserta, wakil-wakil badan penyelenggara, pakar
di bantu oleh Komite Investasi, Komite Audit dan Sekretariat LJSN.
b.
LJSN sekaligus berfungsi sebagai badan penyelenggara;
c.
LJSN membentuk badan eksekutif dengan struktur organisasi sesuai
kebutuhan;
d.
Komite Investasi merupakan satuan kerja yang melaksanakan segala
bentuk pengelolaan dana milik seluruh peserta. Keanggotaannya
sebanyak-banyaknya lima orang termasuk ketua dan wakil ketua, terdiri
dari tiga orang pejabat LJSN, satu orang pakar investasi dan satu orang
pakar aktuaris;
e.
Komite Audit merupakan satuan kerja audit intern yang melaksanakan
segala bentuk pengawasan terhadap terselenggaranya adminstrasi
keuangan internal dan eksternal.
f.
Di daerah LJSN memiliki unit penyelenggaran daerah.
3. Konsep versi ketiga : LJSN sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional.
LJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Administrasi
Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
Nasional, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang susunan
organisasinya adalah sebagai berikut.
62
Gambar 13 :
Konsep Versi Ketiga : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional
PRESIDEN
DEWAN DANA JAMINAN SOSIAL NASIONAL
PUSAT
Sekretariat DDJSN
BADAN ADMINISTRASI JAMINAN SOSIAL
TRUSHTESHIP
Dewan Penasehat
MANAJEMEN PESERTA
INVESTASI
Kepala Badan AJSN
Sekretaris Utama
DEPUTI II
Keuangan & Investasi
DEPUTI III
Audit Internal
PUSAT
LJSN
LJSN
DEPUTI I
Kepesertaan
Direktur Utama
Jaminan Kesehatan Nasional
DIR
A
DIR
B
DIR
C
DIR
D
Unit Pengelola di daerah
Cabang-Cabang
PPK
PPK
BADAN PENYELENGGARA
Direktur Utama
Jaminan Hari Tua Nasional
DIR
A
DIR
B
DIR
C
Unit Pengelola di daerah
Cabang-cabang
BAJS
Regional
PPK
PPK
DIR
D
PUSAT
DAERAH
63
LJSN
Keterangan :
a. LJSN merupakan sebuah badan hukum jaminan sosial Indonesia yang
dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan,
pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya bersifat otonom;
b. LJSN
terdiri dari Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan
Adminsitrasi Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggaran
Jaminan Kesehatan Nsional (BPJKN), dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
c. DJSN merupakan badan pengambil keputusan tertinggi dalam SJSN yang
dibentuk khusus oleh UU SJSN. Anggota DJSN dipilih berdasarkan kriteria
yang
ditetapkan
Presiden.
Anggota
DDJSN
merupakan
jabatan
kehormatan dan tidak memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota
DJSN berhak menerima honorarium pada setiap masa sidang.
d. BAJSN adalah badan yang melaksanakan fungsi administrasi kepesertaan
dan pengelolaan dana SJSN berdasrkan kewenangan yang dilimpahkan
oleh DJSN. BAJSN dibentuk oleh Presiden dalam rangka mengemban
amanat UUSJSN. Pengurus BAJSN ditetapkan oleh Presiden berdasrkan
usulan DJSN dan di pimpin oleh seorang kepala badan, dibantu sekretaris
utama dan tiga orang deputi.
4. Konsep Versi empat : Badan Jaminan Sosial Nasional (Tunggal).
Berdasarkan bahasan alternatif badan penyelenggara, kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing alternatif sebagaimana di uraikan dalam
beberapa versi di atas, dikembangkan lagi LJSN dengan nama ―Badan
Jaminan Sosial Nasional‖ seperti bagan berikut.
64
Gambar 14 :
Susunan Organisasi Badan Jaminan Sosial Nasional
PRESIDEN
Pusat
Penentu
Kebijakan
Registrasi
& investasi
B
J
S
N
Direktorat
Jangka Pendek
JSN
Direktur
Utama BJSN
Direktorat
Administrasi
JSN
Direktorat
Jangka Panjang
JSN
B
J
S
N
Daerah
Cabang
Cabang
Cabang
BJSN
Keterangan :
a. BJSN merupakan badan khusus yang dibentuk oleh UU SJSN. Bentuk
badan khusus ini bukan BUMN dan bukan suatu organ pemerintah,
namun dinilai sebagai bentuk yang paling pas untuk menjalankan tugas
pengelolaan dana publik secara luwes, memungkinkan pengembangan
dana secara optimal, dan di awasi oleh peserta, tidak dipengaruhi oleh
birokrasi pemerintah, sehingga dapat lebih responsif menjawab tuntutan
peserta. Dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan
keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya
bersifat independen;
b. BJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Dewan
Direksi;
c. DJSN merupakan organ tertinggi dalam BJSN yang mempunyai
kewenangan pengambilan keputusan tertinggi dalam SJSN, oleh
karenanya DJSN harus mempertanggung-jawabkan penyelenggaraan
SJSN kepada Presiden;
65
d. Dewan Direksi adalah organ BJSN yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan sehari-hari SJSN secara penuh. Dewan Direksi di
pimpin oleh Direktur yang terdiri atas 4 (empat) orang direktur yaitu
Direktur Utamadan tiga direktur yang memi yang meminpin program
atau kegiatan penunjang program seperti sistem informasi, akuntansi,
dlsnya.
e. Direktorat terdiri dari Direktorat Administrasi JSN, Direktorat Jangka
Pendek dan Jangka Panjang.
f.
Penyelenggaraan JSN di daerah, mengikuti pentahapan cakupan
wilayah dan jenis program JSN, tergantung kepada kesiapan semua
stakeholder yang terkait.
5. Konsep Versi Ke-lima :
Konsep kelembagaan SJSN berubah lagi setelah dilaksanakan ekspose di depan
Presiden dan pada Rapat Kabinet Terbatas tanggal 24 Desember 2003 . Bentuk
tunggal yang ideal tetap menjadi harapan, akan tetapi dalam
UU disiapkan
bentuk transisi, sehingga gambaran Badan Penyelenggara menjadi tiga
komponen besar, sebagaimana tampak dalam gambar berikut.
66
Gambar 15 :
Susunan Organisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional
PRESIDEN
Dewan JSN
Dewan JSN
PT.
PT.
PT.
A
S
K
E
S
T
A
S
P
E
N
A
S
A
B
R
I
Cab
Cab
Cab
J
A
M
S
O
S
T
E
K
PT.
Cab
J
A
M
S
O
S
T
E
K
Cab
* Setiap Badan Penyelenggara
merupakan Badan Hukum sendiri
I
N
F
O
R
M
A
L
A
S
K
E
S
T
A
S
P
E
N
A
S
A
B
R
I
Cab
Cab
Cab
Program
Jangka
Pendek
JK
JKK
Administrasi
JSN
Kerja sama
Dengan Ditjen
Minduk
Depdagri
Program
Jangka
Panjang
JPHK
JHT
JP
JKM
Satu Badan
10-15 tahun
• Large number
• Efisiensi
• Teknologi
 Portabilitas
 Keadilan sosial
Keterangan :
a. Pada susunan kelembagaan sebelah kiri di atas memperlihatkan ada empat
badan penyelenggara (BP) jaminan sosial yang beroperasi selama ini dengan
memanfaatkan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial dalam
menyelenggarakan fungsi sosialnya yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT
Taspen dan Asabri;
b. Pada susunan kelembagaan di bagian tengah, ke-empat BP ada di bawah
payung DSJN. DJSN merupakan organ tertinggi dalam kelembagaan SJSN
berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden.
c. Susunan kelembagaan di sebelah kanan merupakan suatu kelembagaan
SJSN (dilebur menjadi satu) yang berfungsi menangani program jangka
pendek (JK dan JKK) dan jangka panjang (JHT, JP dan JKM) DJSN diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden
d. Pada tahap awal (susunan kelembagaan paling kiri) BP PT Jamsostek, PT
Askes, PT Taspen dan PT. Asabri masing-masing berjalan sebagimana biasa,
dan secara bertahap dalam kurun waktu 10 -15 tahun menyesuaikan diri
dengan UU SJSN ini untuk melebur menjadi satu.
67
6. Konsep Versi ke enam : BUMN Khusus sebagai BPJS
Setelah melalui pembahasan yang komprehensif dan mendalam tentang badan
penyelenggara dengan berbagai alternatif sebagaimana tersebut
di atas, Tim
sepakat untuk mengambil pilihan membentuk suatu lembaga yang bernama ―Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial‖ disingkat BPJS. Bentuk badan khusus yang bukan
BUMN dan bukan pula suatu organ Pemerintah, namun dinilai sebagai bentuk yang
paling pas untuk menjalankan tugas
pengelolaan dana publik secara luwes,
memungkinkan pengembangan dana secara optimal, di awasi oleh peserta, dan tidak
dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan, sehingga dapat lebih responsif menjawab
tuntutan peserta..
BPJS merupakan sebuah badan jaminan sosial Indonesia yang dalam mengambil
kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan
menjalankan operasinya bersifat independen. Badan ini terdiri dari Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS. Oleh karena belum adanya badan hukum wali
amanah sebagaimana dibahas sebelumnya, maka bentuk badan hukum yang ada
digunakan dengan menambahkan ciri khusus prinsip dasar jaminan sosial yaitu
nirlaba, tidak dikenai pajak dan dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden.
Bentuk badan hukum ini didasari Persero Khusus yang merupakan hasil kompromi
yang dapat diterima oleh banyak pihak.
Susunan organisasi BPJS dapat dilihat pada gambar berikut.
68
Gambar 16:
Badan Jaminan Sosial Indonesia
PRESIDEN
DJSN
RUPS
RUPS
RUPS
RUPS
RUPS
DK
DK
DK
DK
DK
Direksi
JS
Direksi
JS
Direksi
JS
Direksi
JS
Direksi
JS
J
A
M
S
O
S
T
E
K
A
S
K
E
S
T
A
S
P
E
N
A
S
A
B
R
I
I
N
F
O
R
M
A
L
Cab
Cab
Cab
BP
JS
Cab
- Secara bertahap menyesuaikan diri dengan UU SJSN
- Presiden menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi
- DJSN adalah Pembantu Presiden dalam menetapkan
kebijakan umum dan sinkronisasi
Keterangan :
1. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
a. DJSN
sebagai organ SJSN yang berfungsi membantu Presiden di dalam
menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. DJSN
terdiri atas sebanyak-banyaknya 15 orang yang mewakili unsur pekerja, pemberi
kerja dan pemerintah. Organ DJSN dipimpin oleh seorang menteri;
b. Keanggotaan DJSN
69
1) Anggota DJSN ditetapkan oleh Presiden. Calon anggota DJSN harus
memenuhi kriteria :
a) pemahaman tentang penyelenggaraan jaminan sosial;
b) memiliki mandat dari organisasi yang diwakilinya;
c) bersih diri dari perbuatan tercela dan melawan hukum;
d) memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi;
e) serta sehat jasmani dan rohani
Dengan kriteria tersebut, diharapkan anggota DJSN dapat benar-benar
mengambil keputusan yang terbaik bagi seluruh peserta, mampu
mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan SJSN sesuai dengan
cita-cita yang diamanatkan UUD ‗45.
2) Untuk menjamin keterwakilan pihak pekerja dan pemberi kerja, calon
anggota DJSN dari wakil peserta dan pemberi kerja haruslah diusulkan
oleh paling sedikit tiga organisasi terkait
3) Anggota DJSN wakil pemerintah adalah orang yang ditunjuk Presiden dan
mewakili Departemen: Kesehatan, Tenaga Kerja, Keuangan, Sosial,
Industri dan Perdagangan, atau Pertanian ;
4) Anggota DJSN merupakan jabatan kehormatan dan bukan pegawai BPJS,
oleh karenanya anggota DJSN hanya menjalankan masa bakti untuk
maksimum dua periode. Sebagai pejabat kehormatan anggota DJSN tidak
memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota DJSN berhak menerima
honorarium dan uang sidang untuk setiap sidang-sidang yang dihadirinya.
5) Keanggotaan DJSN berakhir karena :
a)
Meninggal dunia;
b)
Mengundurkan diri;
c)
Diberhentikan;
d)
Berakhirnya masa tugas.
c. Tugas dan Fungsi DJSN
DJSN membantu Presiden didalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi
penyelenggaraan SJSN. Di dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, DJSN
perlu dilengkapi dengan Komite Ahli yang terdiri atas para pakar di bidang
aktuaria, investasi, jaminan sosial, ekonomi, hukum, kesehatan, dan asuransi.
Komite ahli ini akan memberikan kajian obyektif kepada DJSN sebagai landasan
70
pembuatan kebijakan umum yang didukung oleh fakta-fakta yang obyektif. Komite
Ahli diangkat oleh DJSN melalui suatu proses seleksi keahlian, baik secara
permanen maupun secara ad hoc sesuai dengan kebutuhan kajian. Jumlah
anggota Komite Ahli disesuaikan dengan kebutuhan.
d. Masa kerja
Masa kerja anggota DJSN perlu diatur agar tidak sama dengan masa kerja
Direksi agar tidak terjadi kolusi antara DJSN dengan Direksi. Untuk itu, masa
kerja anggota DJSN perlu ditetapkan selama tiga tahun dan dapat diangkat
kembali untuk yang kedua kalinya. Agar pengawasan dan kebijakan yang
dilakukan DJSN berjalan efektif, susunan anggota DJSN setiap tahun harus
berubah. Untuk pertama kalinya, sepertiga dari anggota DJSN diangkat untuk
masa kerja satu tahun, sepertiga lagi untuk masa kerja dua tahun, dan sepertiga
sisanya untuk masa kerja tiga tahun. Seterusnya anggota DJSN diangkat untuk
masa tiga tahun akan tetapi setiap tahun sepertiga anggota DJSN diganti.
Dengan
demikian
akan
terjadi
kesinambungan
kebijakan
dan
proses
pembelajaran bagi anggota DJSN yang baru.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
BPJS berbentuk persero khusus mengikuti semua ketentuan PT (persero), kecuali
a.
Bersifat nirlaba;
b.
Perlakuan khusus dalam perpajakan;
c.
Deviden digunakan untuk meningkatkan manfaat bagi peserta.
Adapun beberapa karakteristik dari BPJS adalah:
a.
BPJS tunduk kepada ketentuan pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan;
b.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memegang kekuasaan tertinggi
dalam BPJS dan memegang segala kewenangan yang tidak diserahkan
kepada Direksi atau Komisasris;
c.
Menteri Koordinator Kesra bertindak selaku RUPS karena seluruh saham
BPJS dimiliki oleh Negara. Dalam prakteknya RUPS diserahkan kepada
DJSN,
d.
RUPS mengambil seluruh hasil pengelolaan Dana Amanat untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan
Peserta. Tidak ada deviden kepada pemerintah selaku pemilik BPJS.
71
e.
Kepengurusan BPJS dilakukan oleh Direksi. Direksi beranggotakan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang. Anggota Direksi diangkat dan di berhentikan oleh RUPS.
Pengangkatan anggota direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan
dan kepatutan dengan kriteria persyaratan :
1) Warga Negara Indonesia;
2) Sehat fisik dan mental;
3) Memahami berbagai aspek penyelenggaraan Jaminan sosial;
4) Memenuhi
kriteria
keahlian,
integritas,
kepemimpinan,
pengalaman, berkelakuan baik, dan memiliki dedikasi untuk
mengembangkan BPJS;
5) Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah
dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi anggota direksi,
komisaris, atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit;
6) Tidak pernah masuk dalam daftar orang tercela yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa
keuangan;
7) Tidak
pernah
berdasarkan
atau
putusan
sedang
menjalani
pengadilan
yang
pidana
telah
penjara
mempunyai
kekuatan hukum tetap;
8) Tidak sedang menjalani proses pemeriksaan peradilan yang
diancam dengan pidana penjara paling sedikit satu tahun.
F. PENYELENGGARAAN JSN DI DAERAH
Dalam era otonomi daerah, masalah kewenangan daerah dalam penyelenggaraan
jaminan sosial memang tidak tercantum dalam peraturan perundangan yang
mengatur kewenangan daerah. Jaminan sosial merupakan tugas negara yang jauh
lebih efektif diselenggarakan secara nasional, karena harus dinikmati secara sama
antar daerah. Perbedaan perlakuan jaminan sosial, yang merupakan hak seluruh
penduduk, akan menimbulkan kecemburuan sosial. Oleh karenanya, dimanapun di
dunia, penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nasional dan tidak
didesentralisasi. Dalam PP 25 tahun 2000 sebenarnya juga sudah jelas bahwa
pemerintah pusat memegang kewenangan pengaturan jaminan sosial.
72
Menyadari bahwa berbagai aparat daerah merasakan memiliki kewenangan atau
ingin turut serta mengendalikan jaminan sosial, apalagi yang menyangkut
penggunaan dana yang terkumpul dari penduduk di daerah tersebut, UU SJSN harus
mengakomodir beberapa hal yang mungkin dilaksanakan di daerah. Hal yang paling
penting adalah pengelolaan dana dan investasi dana. Dalam UU SJSN, seharusnya
paling banyak 51% dana yang terkumpul dapat diinvestasikan di daerah yang
bersangkutan. Sudah barang tentu, fokus utama SJSN adalah tingkat solvabilitas,
kehati-hatian, dan likuiditas. Jika daerah tidak memiliki instrumen investasi yang
dibolehkan oleh UU, maka daerah tersebut tidak bisa menuntut agar 51% dana yang
terkumpul diinvestasikan di daerah. Sebaliknya, ketentuan ini bisa merangsang
pemerintah daerah mengembangkan instrumen investasi yang handal yang
memenuhi syarat untuk investasi dana jaminan sosial. Daerah yang lebih mampu
mengembangkan instrumen investasi dapat menyerap dana dari daerah lain, sejauh
instrumen tersebut memenuhi syarat investasi dana jaminan sosial.
Dalam bidang kesehatan, pemerintah daerah sebenarnya tidak perlu khawatir
dengan aspirasi daerah. Sebab, sebagian besar dana iuran jaminan kesehatan akan
digunakan oleh penduduk di daerah yang sama. Akan sangat kecil kemungkinan
penduduk daerah tersebut berobat secara reguler ke daerah lain. Melihat pola
pemakaian pelayanan kesehatan, sekitar 80% biaya kesehatan dapat dihabiskan di
daerah yang bersangkutan. Oleh karenanya pengaturan tarif pelayanan kesehatan
yang akan dibayar oleh BPJS kepada fasilitas kesehatan dapat dinegosiasikan
berdasarkan estimasi biaya pelayanan kesehatan di daerah tersebut sebesar 80%.
Namun demikian, harus disisihkan dana paling sedikit 10% dari iuran yang diterima
untuk membiayai pelayanan kesehatan yang dirujuk atau terpaksa dilayani di daerah
lain, misalnya kecelakaan atau sakit mendadak pada saat kunjungan ke daerah lain.
Selain itu, pelayanan kesehatan selalu bersifat tidak pasti. Bisa jadi suatu ketika
terjadi kejadian luar biasa suatu penyakit sehingga membutuhkan dana yang besar.
Oleh karenanya, paling sedikit 5% dari iuran yang diterima harus ditempatkan
sebagai cadangan teknis. Kedua komponen itu, yang besarnya sekitar 15%, harus
ditempatkan pada tingkat nasional sehingga memungkinkan terjadinya subsidi silang.
Dalam hal perluasan peserta di daerah, penyelenggaraan SJSN di daerah mengikuti
pentahapan cakupan wilayah dan jenis program SJSN berdasarkan kesiapan
stakeholders yang terkait untuk dalam meberikan kontribusi dan pemberian
manfaat/santunan yang ditetapkan.
73
Penjaminan bagi penduduk miskin di suatu propinsi, kota/kabupaten dapat dimulai
lebih lambat dibandingkan penjaminan di propinsi, kota atau kabupaten lainnya
karena kesiapan dan kemampuan dana yang berbeda. Di antara pelbagai jenis
program SJSN, penyelenggaraan program juga dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan dan kesiapan pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, program
Jaminan Kesehatan bagi penduduk miskin akan didahulukan dibandingkan dengan
Program Jaminan Hari Tua bagi penduduk miskin.
74
BAB V
PROGRAM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
A. Program Jaminan Kesehatan
Program Jaminan Kesehatan Nasional disingkat Program JK adalah suatu program
Pemerintah dan Masyarakat/Rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan
kesehatan yang menyeluruh (komprehensif) bagi setiap rakyat Indonesia agar
penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera.
1. Substansi
a.
Program JK diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial
(social insurance) dengan kepesertaan wajib.
b.
Program bersifat wajib dan diarahkan mencakup seluruh rakyat (universal
coverage) yang akan dicapai secara bertahap. Pada satu saat nanti seluruh
rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali.
Melalui prinsip ini tercipta
subsidi silan g antara yang sehat kepada yang sakit, antara yang kaya
kepada yang miskin, dan antara yang muda kepada yang tua. Penduduk
yang telah menjadi peserta dan menginginkan manfaat tambahan di luar
program JK dapat memiliki asuransi kesehatan tambahan dengan membeli
asuransi kesehatan komersial, jaminan kesehatan sukarela atau membayar
dari kantong sendiri. Penduduk yang telah menjadi peserta asuransi
sukarela dapat meneruskan kepesertaannya.
c.
Manfaat
JK diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan dengan
pengendalian biaya dan pelayanan menggunakan teknik managed care.
d.
Manfaat program JK yang dijamin bersifat komprehensif sesuai dengan
kebutuhan medik.
e.
Program JK diselenggarakan berdasarkan prinsip ekuitas dimana peserta
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mediknya
dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya yang
diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari
upah bagi pekerja di sektor formal atau sejumlah tertentu bagi pekerja di
75
sektor informal dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak
mampu.
1) Iuran bagi rakyat yang menerima upah ditetapkan berdasarkan
prosentase tertentu dari upah yang ditanggung bersama antara
majikan dan karyawan.
2) Iuran bagi pekerja infomal diperhitungkan dengan mempertimbangkan
kemampuan ekonomi peserta melalui suatu formula atau jumlah tetap
per bulan atau per tahun yang akan dikembangkan oleh Komite
Aktuaria dari BPJS.
3) Rakyat yang tidak memiliki penghasilan tetap atau tidak mampu
mengiur, sebagian/seluruh iuran akan mendapat bantuan iuran dari
pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah.
f.
Seorang peserta tetap memperoleh jaminan apabila ia pindah tempat tinggal
atau pindah pekerjaan (prinsip portabilitas).
g.
Undang-undang dan peraturan yang terkait menggariskan agar program JK
dikelola oleh secara independen dengan manajemen yang transparan dan
akuntabilitas yang tinggi.
2. Kelembagaan
Program JK dikelola oleh suatu BPJS sesuai dengan yang ditetapkan UU SJSN.
Pengelola JK akan hanya khusus menangani jaminan kesehatan yang nantinya
mengelola seluruh jaminan kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta,
pekerja di sektor informal. Penggabungan ini dimaksudkan untuk menjamin
terjadinya efisiensi yang tinggi, portabilitas, dan pengendalian pelayanan yang
memadai. Saat penggabungan akan dikaji secara terus-menerus oleh DJSN
dengan memperhatikan kemampuan BPJS, kesiapan fasilitas kesehatan, dan
kesiapan pemberi kerja swasta bergabung. Bagi penduduk tidak mampu dimana
iurannya dibayarkan oleh Pemerintah tersedia dua opsi yaitu bergabung dengan
BP yang ada atau Pemerintah mendirikan lembaga khusus dengan tetap mengaju
pada UU SJSN. Masing-masing pilihan mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Apabila mendirikan lembaga baru, diperkirakan himupunan iuran tidak mampu
memberikan manfaat pelayanan yang memadai mengingat
dana terhimpun
terbats, kebutuhan pelayanan tinggi, cross subsidi terbatas karena hanya diantara
masyarakat tidak mampu dan biaya operasional lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan bergabung dengan BP yang telah ada.
76
3. Mekanisme
a. Kepesertaan
1) Peserta JK terdiri atas peserta pekerja formal (pegawai pemerintah,
pekerja swasta, baik bersifat tetap maupun tidak tetap),
peserta yang
mempunyai penghasilan atas usaha sendiri (swakarya atau sektor informal
seperti petani, nelayan, dll) dan penduduk yang tidak atau belum memiliki
penghasilan (kelompok tidak mampu). Anggota keluarga peserta berhak
menerima manfaat JK.
2) Rekruitmen kepesertaan dilakukan secara bertahap dengan perluasan
cakupan
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
azas
kemudahan
pengumpulan iuran secara rutin dengan prioritas sebagai berikut :
a) Pemberi kerja wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya kepada
BPJS.
b) Bagi pemberi kerja yang pada saat Undang-undang JSN diundangkan
telah
menjadi
peserta
pada
suatu
badan,
secara
bertahap
kepesertaannya disesuaikan dengan Undang-undang SJSN.
c) Kelompok kerja di sektor informal mendaftarkan diri melalui kelompok
usahanya/ koperasi atau secara individual ke BPJS. Pada tahap awal,
kelompok ini menjadi peserta secara sukarela yang nantinya secara
bertahap menjadi peserta wajib.
d) Penduduk yang tidak mampu termasuk keluarga miskin (gakin) dan
kelompok khusus akan ditetapkan dan didaftarkan oleh pemerintah
daerah kepada BPJS.
e) Fasilitas kesehatan (Health Care Provider) seperti rumah sakit, dokter
praktek, klinik, laboratorium, apotik dan lainnya yang berminat
melayani peserta SJSN melakukan kontrak dengan BPJS dan harus
mematuhi persyaratan yang ditetapkan BPJS. Selanjutnya fasilitas
kesehatan tersebut melayani peserta dan anggota keluarganya
kemudian mengklaim biaya pelayanan tersebut, baik dimuka ataupun
setelah pelayanan diberikan, kepada BPJS. BPJS berhak melakukan
pengendalian mutu dan utilisasi pelayanan guna meningkatkan
efektifitas dan efisiensi program JK.
3) Perluasan cakupan kepesertaan diutamakan dimulai dari penerima upah
yang saat ini belum memiliki JK dari salah satu badan penyelenggara
jaminan sosial yang ada sekarang ini.
77
4) Dipertimbangkan untuk memperluas cakupan kepada orang tua pekerja
sebagai suatu konsep extended family untuk mempercepat pencapaian
cakupan universal, dimana pekerja membayar iuran tambahan sebesar 1%
dari upahnya untuk menanggung orang tua atau mertuanya yang sah.
5) Kepesertaan tetap berlaku apabila seseorang mengalami perubahan status
pekerjaan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK)/pensiun/cacat total
tetap yang menyebabkan seseorang peserta kehilangan kemampuan untuk
memperoleh penghasilan dan membayar iuran.
6) Untuk efektifitas percepatan kepesertaan maka BPJS diberikan kewenangan
memeriksa kebenaran pelaporan pemberi kerja/ peserta yang harus
dilakukan secara terus menerus disertai upaya persuasif dan intensif serta
pelayanan yang bermutu.
b. Manfaat
1) Sesuai dengan prinsip asuransi sosial, manfaat diberikan dengan
mempertimbangkan besaran kontribusi secara keseluruhan (bukan orang
per orang atau kelompok per kelompok) guna mengoptimalkan kegotongroyongan diantara peserta. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi,
maka
program
JK
diselenggarakan
melalui
pengendalian
mutu,
pembiayaan yang optimal, serta pemberian pelayanan yang sesuai
dengan kebutuhan medik.
2) Manfaat JK bersifat pelayanan individual yang mempunyai kebutuhan
medik yang luas mencakup pelayanan promotif - preventif, seperti
imunisasi dan Keluarga Berencana.
3) Paket jaminan harus memadai dan dirasakan manfaatnya dalam rangka
menjamin kesinambungan program dan tingkat kepuasan peserta.
Pelayanan disesuaikan dengan standar kebutuhan peserta yang dapat
berubah dan kemampuan keuangan BPJS.
Paket jaminan JK ditinjau
secara berkala setiap 2 (dua) tahun.
4) Pemeliharaan
kesehatan
diberikan
oleh
penyelenggara
pelayanan
kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta yang memenuhi standar
tertentu dan berizin. Apabila tidak tersedia fasilitas pelayanan dimaksud,
kepada peserta diberikan kompensasi.
5) Manfaat rawat inap diberikan di rumah sakit pemerintah / swasta di kelas
standar. Manfaat kelas standar (bukan pelayanan mediknya,
tetapi
pelayanan non medik). Pada awalnya pelayanan non medik dapat
berbeda
antara kelompok yang berpenghasilan tinggi dengan yang
78
rendah dan penduduk miskin yang iurannya dibayarkan pemerintah. Akan
tetapi pada akhirnya nanti, semua pelayanan medik dan pelayanan non
mediknya akan diberikan secara sama yaitu setara dengan perawatan
kelas II RS swasta saat ini bagi semua peserta. Peserta khusus yang
preminya dibayarkan oleh pemerintah pada tahap awal juga dapat dijamin
hanya untuk pelayanan rawat inap jika jumlah iuran dari pemerintah tidak
mencukupi untuk menjamin secara komprehensif.
6) Pemeriksaan deteksi dini (screening) terhadap penyakit/kondisi tertentu
seperti pap smear, potensi penyakit akibat kerja, dll diberikan secara
berkala kepada peserta yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan
kemampuan keuangan BPJS.
7) Standar pelayanan medik termasuk standar manajemen pelayanan medik
serta obat akan diatur oleh Departemen Kesehatan dan tidak akan diatur
dalam UU SJSN.
8) Besarnya tarif pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas
kesehatan ditetatapkan bersama oleh Dinas Kesehatan Pemerintah
Daerah, Asosiasi fasilitas kesehatan, dan Kantor Cabang BPJS sesuai
dengan standar dan harga yang wajar di wilayah tersebut dan ditinjau
setiap dua tahun sekali.
9) Dalam pembayaran manfaat pelayanan kesehatan, BPJS melakukan
koordinasi dengan badan penyelenggara lainnya (seperti PT Jasa Raharja
untuk kecelakaan lalu lintas) dengan menggunakan prinsip indemnitas
(jumlah total penggantian biaya pelayanan kesehatan tidak melebihi
jumlah biaya pada fasilitas kesehatan (incurred cost) berdasarkan tarif
yang telah ditetapkan.
10) Pembayaran kepada fasilitas kesehatan dilakukan secara prospektif
(paket pelayanan dan besarnya pembayaran per paket ditetapkan dimuka)
dan peserta dapat diharuskan untuk membayar sebagian kecil biaya (urun
biaya) untuk pelayanan tertentu sebagai alat untuk mengendalikan
pemanfaatan yang berlebih atau mengendalikan biaya pelayanan.
c. Iuran
1) Untuk peserta yang menerima upah, iuran ditanggung bersama oleh
pemberi kerja dan pekerja dalam porsi yang sama (50:50). Hal ini dengan
pertimbangan bahwa pekerja dan keluarganya perlu turut bertanggung
njawab atas kesehatan mereka. Konsepsi ini diberlakukan di banyak
79
negara. Disamping itu Pemberi kerja dapat mengkompensasi iuran yang
dibayarkan oleh peserta sebagai
tambahan upah. Besaran iuran akan
diperhitungkan dengan analisis aktuaria tiap dua tahun.
2) Iuran untuk pekerja formal ditentukan secara berkala dengan
Peraturan
Pemerintah. Mengingat biaya pelayanan kesehatan meningkat dengan
cepat.
3) Iuran bagi pekerja di sektor informal ditetapkan dengan formula/jumlah
tetap yang akan dikembangkan oleh DJSN dengan mempertimbangkan
kemampuan pendapatan penduduk dan tingkat kemahalan pelayanan
kesehatan di suatu daerah.
4) Iuran bagi peserta pensiunan ditentukan secara berkala dengan Peraturan
Pemerintah.
5) Pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dibebaskan
dari pembayaran iuran maksimum 6 (enam) bulan. Setelah itu apabila
peserta tidak mampu mengiur,
mereka maasuk dalam kelompok tidak
mampu.
6) Dalam masa transisi jumlah iuran yang harus kembali kepada peserta
dalam bentuk pelayanan dan dana cadangan sekurang-kurangnya 85%
dan secara bertahap dinaikkan sampai 95% dari total iuran. Pada tahun ke
11 tidak boleh melebihi 5% dari total iuran yang diterima untuk program
7) Paling sedikit 80% dari iuran yang terkumpul di suatu daerah dapat
dirundingkan untuk dialokasikan bagi pembayaran pelayanan kesehatan di
daerah. Sisanya akan diperhitungkan untuk biaya rujukan ke daerah lain,
cadangan teknis, biaya operasional program JK dan untuk menstimulansi
peningkatan fasilitas pelayanan medik di daerah.
B. Program Jaminan Kecelakaan Kerja
Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bertujuan memberikan kepastian jaminan
pelayanan dan santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju,
menunaikan dan selesai menunaikan tugas pekerjaan dan berbagai penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan.
1. Substansi
a.
Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi yang berhubungan dengan
pekerjaan utama tenaga kerja. Terjadinya kecelakaan secara tiba-tiba yang
tidak diduga sebelumnya, di luar kekuasaan manusia dan tidak disengaja
80
oleh yang bersangkutan dan hazard atau penyebabnya datang dari luar
tubuh peserta;
b.
Kecelakaan
kerja
terjadi disebabkan oleh banyak hal seperti
mesin,
angkutan lalu-lintas, peledakan, kebakaran, panas atau dingin yang
berlebihan, keracunan, bahan kimia, arus listrik, sinar, bahan biologis,
terjatuh, tergelincir, terpukul/terbentur benda,
perkakas kerja tangan,
hewan, olah raga, dll.;
c.
Kecelakaan dapat terjadi di tempat kerja, seperti kecelakaan dimana tenaga
kerja melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan tugas (hubungan
kerja) yang diberikan pemberi kerja;
d.
Kecelakaan yang terjadi di luar tempat kerja yaitu kecelakaan yang terjadi
selama perjalanan pergi dan pulang dari rumah menuju tempat kerja atau
tempat yang berhubungan dengan pekerjaan dan sebaliknya melalui jalan
yang biasa dilalui;
e.
Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja adalah
penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau yang terkait dengan lingkungan pekerjaan
dipandang sebagai kecelakaan kerja, apabila jenis serta persyaratannya
memenuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah;
f.
Suatu penyakit yang tidak tercantum dalam lampiran ketentuan pemerintah
sebagai penyakit akibat kerja, namun dapat dibuktikan secara medis bahwa
penyakit tersebut timbul karena hubungan kerja, dianggap sebagai
kecelakaan kerja;
g.
Tata cara
diagnosis dan pelaporan penyakit akibat kerja diatur oleh
peraturan pemerintah yang ditetapkan kemudian;
h.
Yang tidak termasuk Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi
dalam perjalanan pada waktu cuti atau hari-hari libur lainnya dimana yang
bersangkutan bebas dari urusan pekerjaan dan tanggung jawabnya, kecuali
yang bersangkutan mendapat panggilan atau tugas dari pemberi kerja.
Dalam hal tersebut kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi ke
tempat tujuan cuti dan sebaliknya yang tercantum dalam surat izin cuti
dapat menimbulkan hak manfaat bagi peserta;
i.
JKK merupakan program jangka pendek yang iurannya dibayarkan untuk
jaminan pada masa yang sama;
j.
JKK
diselenggarakan
berdasarkan
mekanisme
asuransi
sosial
dan
pelayanan terkendali dengan pemberian jaminan manfaat berupa pelayanan
kesehatan individual yang berhubungan dengan kecelakaan kerja serta
81
pemberian manfaat dalam bentuk santunan uang bagi kondisi kecelakaan
tertentu;
k.
Program JKK wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja dengan beban iuran
proporsional terhadap upah yang disesuaikan dengan tingkat resiko
lingkungan kerja dan hanya dibayarkan oleh pemberi kerja.
Pekerja di
sektor informal dianggap sebagai pemberi kerja dalam peraturan ini.
2. Kelembagaan
Program JKK dikelola oleh BPJS sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Pengelolaan
JKK dapat digabungkan dengan pengelolaan program lain seperti jaminan kematian,
jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Kemampuan suatu BPJS untuk mengelola
program-program tersebut untuk satu atau lebih kelompok penduduk atau pekerja
akan dikaji secara rutin oleh DJSN. Selanjutnya DJSN akan memberikan
rekomendasi kepada Presiden untuk menetapkan penggabungan atau pemisahan
pengelolaan oleh suatu BPJS.
3. Mekanisme
a. Kepesertaan
1) Peserta JKK terdiri atas peserta yang mempunyai penghasilan dalam bentuk
upah (pekerja formal) tetap maupun tidak tetap dan peserta yang mempunyai
penghasilan atas usahanya sendiri (sektor informal).
2) Kepesertaan bersifat wajib bagi setiap pemberi kerja tanpa kecuali tetapi
dilaksanakan secara bertahap mulai dari pemberi kerja yang memiliki pekerja
10 (sepuluh) orang atau lebih baru terus diwajibkan sampai pada pemberi
kerja dengan 1 (satu) orang pekerja atau lebih.
3) Pentahapan rekruitmen peserta dilakukan dengan cara :
a) Untuk kelompok penerima upah dan yang belum memiliki JKK
saat
Undang-undang
SJSN
diundangkan,
pemberi
kerja
pada
wajib
mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya kepada BPJS yang ditetapkan;
b) Kelompok kerja sektor informal mendaftarkan diri melalui kelompok
usahanya/ koperasi atau secara individual ke BPJS.
4) Perluasan cakupan kepesertaan diutamakan kepada pemberi kerja yang saat
ini belum memberikan JKK melalui PT Jamsostek.
5) Perluasan cakupan dilaksanakan dengan memperhatikan azas kemudahan
rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin.
82
b. Manfaat
1) Manfaat JKK hanya diberikan kepada peserta, sedangkan anggota keluarga
tidak berhak mendapat manfaat JKK. Anggota keluarga yang mendapat
kecelakaan mendapat jaminan dari program Jaminan Kesehatan dan atau
kecelakaan lalu lintas, sesuai dengan jenis kecelakaan yang dialaminya.
2) Manfaat JKK
bersifat individual dan komprehensif mencakup pelayanan
kuratif dan rehabilitatif yang sesuai dengan kecelakaan yang diderita oleh
tenaga kerja.
3) Pelayanan medik JKK diberikan dalam bentuk pelayanan seperti pada
program JK. Pekerja yang sementara tidak mampu bekerja (STMB) karena
belum sehat dan yang mengalami kecacatan akibat suatu kecelakaan atau
penyakit akibat kerja atau peserta yang mengalami kematian akibat suatu
kecelakaan kerja mendapat jaminan tambahan dalam bentuk santunan tunai,
lump-sum dan atau berkala sesuai dengan formula yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
4) Paket jaminan diberikan secara memadai dan dirasakan manfaatnya, dalam
rangka menjamin kesinambungan program dan tingkat kepuasan tertentu.
Untuk menyesuaikan dengan standar kebutuhan peserta yang berubah dan
kemampuan keuangan BPJS, paket jaminan JKK ditinjau secara berkala setip
2 dua tahun.
5) Pelayanan kuratif dan rehabilitattif diberikan oleh fasilitas
kesehatan
pemerintah dan atau fasilitas kesehatan swasta yang berijin dan memenuhi
standar tertentu.
6) Manfaat rawat inap JKK diberikan di rumah sakit pemerintah/ swasta dengan
standar ruang perawatan di kelas II.
7) Dalam pembayaran manfaat pelayanan kesehatan, BPJS melakukan
koordinasi dengan badan penyelenggara lainnya (seperi PT Jasa Raharja
untuk kecelakaan lalu lintas) dengan menggunakan prinsip indemnitas yaitu
jumlah total penggantian biaya pelayanan kesehatan tidak melebihi jumlah
biaya pada fasilitas kesehatan (incured cost) berdasarkan tarif yang telah
ditetapkan.
8) Standar pelayanan medik termasuk standar manajemen pelayanan medik
serta obat ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan tidak akan diatur oleh
UU SJSN.
9) Besarnya tarif prospektif pelayanan kesehatan ditetapkan bersama Dinas
Kesehatan atau Pemerintah Daerah, asosiasi fasiltias kesehatan, dan Kantor
83
Cabang BPJS sesuai dengan standar dan harga yang wajar yang ditinjau
setiap dua tahun sekali.
c. Iuran
1) Iuran dibebankan sepenuhnya kepada pemberi kerja
dan tidak ada
diskriminasi upah berdasarkan jender, ditetapkan secara berkala dengan
Peraturan Pemerintah.
2) Pembayaran kepada fasilitas kesehatan (provider) dilakukan secara prospektif
(paket pelayanan dan besarnya pembayaran per paket ditetapkan dimuka)
dan pemberi kerja membayar urun biaya (co-payment atau cost sharing),
untuk merangsang tanggung jawab pemberi kerja menyediakan lingkungan
keselamatan dan kesehatan kerja yang tinggi.
3) Sekurang-kurangnya 95 %
dari total iuran yang terkumpul harus
dimanfaatkan untuk pelayanan, pembayaran santunan, dan atau akumulasi
dana cadangan (biaya operasional atau manajemen oleh BPJS tidak boleh
melebihi 5 % dari total iuran yang diterima)
4) Dalam masa transisi jumlah iuran yang harus kembali kepada peserta
sekurang-kuranya 85% dan secara bertahap dinaikkan sampai 95% dari total
iuran.
G.
Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja
Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK) merupakan program yang
sangat membantu pemberi kerja maupun pekerja. Program ini dibiayai dari iuran
rutin, yang relatif kecil dan terjangkau, oleh kedua belah pihak.
Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja adalah program jaminan pengganti
pendapatan bagi penganggur sementara yang telah mempunyai pekerjaan tetap,
akan tetapi karena terpaksa menjadi penganggur dan berupaya untuk bekerja
kembali. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja diberikan untuk jangka waktu
tertentu. Prinsip-prinsip dasar sistem jaminan sosial nasional berlaku universal
bagi setiap program jaminan
sosial termasuk program JPHK. Namun karena
kekhususan sifat JPHK, perlu penjelasan secara rinci sebagai berikut.
1. Substansi
a. Tujuan program JPHK
Tujuan program JPHK aadalah membantu pekerja yang terpaksa berhenti
bekerja sementara (pengangguran) untuk :
84
1) Menjamin kelangsungan pendapatan setiap bulan sampai tenaga kerja
mendapat pekerjaan baru;
2) Menjamin kecukupan pendapatan untuk dapat memelihara standar
hidup minimal pekerja dan keuangannya;
3) Memberi waktu kepada pekerja yang bersangkutan mencari dan
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan dan pengalaman
kerjanya.
4) Memberi kesempatan kepada pekerja yang bersangkutan memperoleh
dan
memanfaatkan
dukungan
yang
tersedia
seperti
informasi
lowongan kerja dari dinas ketenagakerjaan atau mengikuti pelatihan
yang memudahkannya memperoleh pekerjaan baru.
b. Kriteria Penganggur sementara
Penganggur yang berhak menerima manfaat program, harus memenuhi
kriteria di bawah ini:
1)
Pernah mempunyai pekerjaan tetap dan telah menjadi peserta program
paling sedikit selama satu tahun. Dengan demikian manfaat program ini
tidak berlaku atau belum berlaku bagi :
a) Pencari pekerja baru yang belum pernah bekerja;
b) Pekerja yang belum mengikuti program ini satu tahun atau lebih.
2)
Diberhentikan oleh pemberi kerja dengan alasan yang dapat diterima,
misalnya penciutan perusahaan, perubahan tehnologi, pemindahan
usaha, atau pemberi kerja bangkrut. Manfaat program ini tidak diberikan
kepada :
a) Mereka yang sengaja berhenti untuk mencari pekerjaan baru
b) Mereka yang sengaja berhenti untuk urusan keluarga.
3)
Tetap mampu bekerja. Apabila yang bersangkutan tidak mampu bekerja
atau tidak dapat segera dipekerjakan kembali, misalnya karena menderita
cacat atau kehilangan kemampuan bekerja, pekerja tersebut tidak
memperoleh JPHK, akan tetapi pekerja tersebut dapat memperoleh
santuan JKK atau pensiun program lain.
4)
Harus bersedia dan berupaya untuk bekerja kembali. Pada saat
menerima manfaat program, pengangguran yang bersangkutan harus
membuktikan upaya yang dilakukan, misalnya telah menghubungi
instansi penyalur tenaga kerja, mengunjungi perusahaan tertentu dan
atau menunjukkan bukti lamaran yang telah dikirimkan. Pengangguran
yang sama sekali tidak berupaya mencari pekerjaan baru tidak berhak
memperoleh manfaat program ini.
85
5)
Bersedia
menerima
pekerjaan
yang
serupa
dengan
pekerjaan
sebelumnya, atau sesuai dengan kualifikasi dan kemampuan fisik yang
dimiliki, dengan balas jasa yang layak. Dalam hubungan ini seseorang
penganggur berhak menolak pekerjaan dan tetap berhak memperoleh
jaminan pengangguran jika:
a) Pekerjaan yang ditawarkan adalah lowongan sebagai akibat dari
pemogokan atau perselisihan industrial;
b) Upah, jam kerja dan syarat kerja lainnya berada di bawah standar
normal, dan yang bersangkutan harus menerima ikatan di luar
kewajaran yang merugikan dirinya.
6)
Harus bersifat sementara. Pengangguran itu hanya merupakan masa
transisi saat mana pekerja berusaha untuk mendapatkan pekerjaan baru,
dan bukan pengangguran yang berkepanjangan.
2. Kelembagaan
a.
Seluruh iuran JPHK dikreditir pada dana JPHK yang merupakan titipan dari
pengusaha dan pekerja untuk dikelola dan dikembangkan oleh Badan
Penyelenggara
Jaminan
Sosial
(trustee)
guna
memberikan
manfaat
dikemudian hari dalam hal pekerja mengalami JPHK.
b. Dana JPHK dalam BPJS dibagi dalam tiga rekening. Rekening pertama untuk
pembayarana manfaat, rekening kedua untuk biaya administrasi, dan rekening
ketiga untuk cadangan.
c. Seluruh dan cadangan diinvestasikan baik dalam bentuk aktiva fisik (gedung,
atau proverti) maupun dalam bentuk aktiva finasial (obligasi, saham,
deposito), sesuai dengan prinsip investasi yang diatur dalam UU SJSN.
d. Iuran pengusaha dan pekerja diperlakukan sebagai titipan dana yang
dipercayakan pada badan penyelenggara. Oleh karena iuran tersebut diterima
jauh sebelum manfaat dibayarkan (setidak-tidaknya setahun), maka badan
penyelenggara tidak memerlukan modal sendiri.
e. Sistem akutansi dana JPHK di dasarkan pada persamaan :
Aktiva - Hutang = Aktiva Bersih
Aktiva bersih ini tersedia untuk pembayaran manfaat. Sebelum digunakan
untuk
pembayaran
manfaat,
aktiva
bersih
ini
diinvestasikan
untuk
86
mendapatkan hasil.
Hasil investasi tiap tahun ditambahkan pada aktiva
bersih
f. Biaya administrasi, termasuk gaji, ditetapkan sebagai fee yang dihitung
sebagai presentasi tertentu dari iuran dengan maksimum 5 % dari total iuran
yang diterima.
3. Mekanisme
a. Lingkungan kepesertaan :
E. Semua pemberi kerja yang memperkerjakan 10 orang atau lebih sebagai
pekerja tetap wajib mengikutsetakan mereka menjadi peserta program
JPHK ini.
F. Program
JPHK
ini
dapat
diperluas
secara
bertahap
untuk
mengikutsertakan :
a) Pegawai Negeri Sipil
b) Pemberi kerja yang memperkerjakan satu orang atau lebih;
c) TNI dan Polri, pekrja mandiri (self employed) dan sektor informal,
d) Pekerja pertanian
e) Pekerja pembantu rumah.
b. Syarat timbulnya Hak
Periode dasar pekerjaan adalah empat kuartal atau 52 minggu sebelum
tahun manfaat. Tahun manfaat adalah 52 minggu dimana pekerja yang
bersangkutan dapat menerima manfaat dengan jumlah maksimum tertentu.
Jumlah manfaat yang diperoleh pekerja selama periode dasar dapat
dinyatakan dengan beberapa cara :
1) Perkalian dari manfaat mingguan. Pekerja harus memiliki pendapatan
pekerja sebesar perkalian tertentu dari besarnya manfaat JPHK
mingguan (misalnya 30) atau
upah kuartal tinggi (misalnya 11 /2).
Contoh : jika manfaat mingguan Rp. 10.000,- maka upah yang
disyaratkan (qualitifyng wages) adalah Rp 300.000,- Jika digunakan
upah kuartal tinggi, maka pendapatan pekerja di periode dasar harus
11/2 x jumlah pendapatan kuartal tinggi dalam periode itu.
2) Jumlah kualifikasi tetap (plat). Upah periode dasar dinyatakan dalam
jumlah tetap, misalnya Rp. 1.200.000,- dengan setidak-tidaknya Rp.
400.000,- dalam masing-masing dua kuartal agar memenuhi manfaat
mingguan minimum.
87
3) Minggu kerja. Pekerja harus telah bekerja selama beberapa minggu, dan
menerima tidak-tidaknya jumlah upah tertentu per minggu.
Pembayaran manfaat JPHK dilakukan setelah melalui suatu masa tunggu
(waiting period) selama satu bulan. Maksud masa tunggu adalah
menghilangkan klaim jangka sangat pendek menekan biaya program dan
biaya adminsitrasi, serta memberi waktu untuk memproses klaim. Oleh
sebab itu
peserta dapat mengambil manfaat
JPHK setiap dia masih
menganggur dalam suatu bulan.
c. Diskualifikasi atas Hak.
Peserta dapat didiskualifikasi dari penerimaan manfaat JPHK, yaitu bila
pekerja berhenti bekerja secara sukarela, menolak pekerjaan yang sesuai.
Diskualifikasi dapat berupa (i) penundaan manfaat untuk waktu tertentu atau
setelah kondisi tertentu dipenuhi, (ii) pembatalan hak atas manfaat, atau (iii)
pengurangan manfaat.
1)
Berhenti bekerja sukarela.
Jika pekerja secara sukarela berhenti tanpa alasan baik (good couse),
maka ia didiskualifikasi menerima manfaat. Jika ada alasan baik maka
manfaat tidak ditolak. Istilah ―alasan baik‖
berhubungan dengan
pekerjaan, pemberi kerja, dan kesalahan pengusaha. Teorinya, jika
pemberi kerja menciptakan kondisi kerja dimana tidak ada pekerja yang
dapat mentolerir, maka pemberhentian pekerja bukan sukarela, dan ia
harus diberikan manfaat. Sebaliknya, jika pekerja berhenti karena alasan
lain, ia menyebabkan PHK, dan tidak berhak atas manfaat.
4) Penolakan pekerjaan yang sesuai.
Kriteria pekerjaan yang sesuai (suittable) termasuk kesesuaian derajat
resiko atas kesehatan, keselamatan, dan moral; kesesuaian kemampuan
fisik,
pendidikan
dan
pelatihan,
pengalaman
dengan
pekerjaan,
kesesuaian upah dengan upah sebelumnya, serta jarak antara pekerjaan
dan rumah.
5) Perselisihan industrial.
Pekerja
yang
menganggur
karena
pemogokan
pada
umumnya
didiskualifikasi karena beberapa alasan :
a)
Pemogokan
dan idealis merupakan taktis perselisihan
ekonomis dimana negara harus netral;
b)
Pembayaran manfaat berarti pemberi kerja ikut membiayai
pemogokan.
88
c)
Penlakan manfaat dibenarkan karena pekerja tidak terpaksan
menganggur, tetapi memilih menggunakan haknya untuk
mogok.
6) Sebab-sebab lain.
Manfaat PHK tidak diberikan kepada guru sekolah dan dosen perguruan
tinggi pada waktu liburan diantara tahun ajaran. Manfaat juga tidak dapat
diberikan kepada pekerja asing ilegal dan atlit profesional atas dasar
pekerjaan sebagai altlit. Manfaat PHK juga tidak diberikan kepada pekerja
yang menerima pesangon, tunjangann cacat, skorsing atau cuti dangan
upah.
d. Tingkat Manfaat
Besar tunjangan penganguran biasanya lebih kecil dari upah tetap setiap akhir bulan,
dan dapat berbeda-beda, sebagai presentasi dari upah terakhir atau rata-rata upah
selama 6 bulan atau 12 bulan terakhir. Peserta dapat juga digolongkan dalam kelaskelas upah. Presentase manfaat yang diterima menurun menurut peningkatan kelas
upah.
Kompensi jaminan sosial ILO
1952 menetapkan besarnya tunjangan
pengangguran sebesar 45 % upah terakhir, atau upah rata-rata 52 minggu terakhir.
Masa pemberian tunjangan perlu dibatasi untuk tidak terlalu lama, misalnya
maksimum antara 3-6 bulan. Konpensi jaminan sosial ILO 1952 menentukan bahwa
maksimum pembayaran tunjangan paling sedikit selama 13 minggu atau 3 bulan
dalam setahun. Bila seseorang masih menganggur melampaui batas maksimum, dia
dapat mengambil manfaat program bantuan sosial. Disamping itu,
tunjangan pengangguran, dapat diberikan
pembayaran
menurun sesuai dengan lamanya
seseorang menganggur seperti tercantum dalam tabel berikut ini.
Tabel 5 :
Manfaat JPHK sebagai Persen (%) Upah Terakhir
Bulan
Kelas A
Kelas B
Kelas C
Pertama
75
65
60
Kedua
65
65
60
Ketiga
65
65
60
89
Keempat
55
50
45
Kelima
55
50
45
Keenam
55
50
45
Untuk Indonesia dengan kondisi perekonomian dan kehidpan sosial sekarang ini,
besar manfaat program untuk tahun pertama penyelenggara disarankan sebagai
berikut:
1) Kelompok penghasilan dibagi dalam tiga kelas, yaitu :
a) Kelas A: berpenghasilan di bawah Rp. 1juta/bulan
b) Kelas B : berpenghasilan Rp. 1 juta – Rp 3 juta;
c)
Kelas C : berpenghasilan Rp 3 juta/bulan atau lebih
Besaran kelompok ini akan disesuaikan setiap dua tahun
2) Manfaat JPHK berupa tunjangan untuk kelompok berpenghasilan kelas A adalah
pada bulan pertama sebesar 75 % gaji; bulan kedua dan ketiga masing-masing
65 % gaji; bulan keempat, kelima dan keenam masing-masing 55 % gaji per
bulan.
3) Kelompok kelas B menerima manfaat JPHK atau tunjangan pengangguran
sebesar 65 % gaji pada bulan pertama, kedua dan ketiga, dan 50 % gaji pada
bulan keempat, kelima dan keenam.
4) Kelompok penghasilan kelas C menerima manfaat JPHK
atau tunjangan
pengangguran sebesar 60 % gaji dalam tiga bulan pertama dan 45 % gaji dalam
tiga bulan kedua.
5) Sisa dana tabungan dan pengembangannya setelah dikurangi manfaat tunjangan
pengangguran yang telah diambil dan biaya-biaya lain, dibayarkan pada saat
pensiun, atau kepada ahli warisnya pada saat pekerja meninggal sebelum masa
pensiun.
90
e. Pembayaran Iuran
Pembiayaan JPHK ditanggung bersama oleh pengusaha dan pekerja. Sebagaimana
dengan program jaminan sosial lainnya, iuran pengusaha dianggap sebagai biaya
produksi. Demikian juga pekerja mengurangi pendapatan yang terkena pajak. Jadi,
secara tidak langsung, pemerintah juga ikut menanggung pembiayaan JPHK. Dalam
hal ini besar iuran di usulkan 5 % gaji setiap bulan terdiri atas :
1) Iuran pemberi kerja : 3 % gaji/bulan;
2) Iuran pekerja : 2 % gaji perbulan
Mengingat saat ini
program JPHK
baru saja diundangkan dengan UU
Ketenagakerjaaan (UU Nomor 13/2003), maka program JPHK dapat dipertimbangkan
untuk tidak dimasukkan dalam UU SJSN.
D. Program Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan
Kematian
Program Jaminan Hari Tua disingkat JHT merupakan jaminan yang diselenggarakan
secara nasional berdasar tabungan wajib. Tujuannya untuk memberikan bekal kepada
peserta ketika memasuki masa purna tugas. Tetapi, apabila peserta mengalami cacat
tetap sehingga tidak mampu bekerja atau meninggal dunia sebelum masa pensiun,
maka ahli waris peserta berhak menerima JHT.
Program
Jaminan
Pensiun
disingkat
JP
merupakan
program
jaminan
yang
diselenggarakan secara nasional berdasarkan sistem asuransi dan tabungan.
Tujuannya untuk menjamin kebutuhan hidup minimum yang layak, ketika peserta
memasuki pensiun atau mengalami cacat tetap sehingga tidak dapat bekerja.
Program Jaminan Kematian disingkat JKm merupakan program
jaminan/santunan
kematian yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan mekanisme asuransi
sosial.
1. Substansi
a. Jaminan Hari Tua (JHT), pembayaran sekaligus sebelum peserta memasuki
masa pensiun, bisa diterima kepada janda/duda, anak atau ahli waris
peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia.
b. Jaminan Pensiun (JP), merupakan pembayaran berkala jangka panjang
sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta
mencapai usia tua (pensiun),
mengalami cacat total permanen, atau
meninggal dunia. JP dimaksud berbeda dengan pensiun sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1992.
Jaminan Pensiun terdiri dari:
91
1) Jaminan Pensiun
Peserta harus mencapai hari tua dan memiliki masa mengiur minimal.
Untuk menetapkan usia pensiun, digunakan beberapa pertimbangan
antara lain; kondisi fisik penduduk pada umumnya, ratio beban keluarga,
umur harapan hidup, kesempatan kerja dan perkembangan ekonomi
nasional. Atas pertimbangan tersebut, usia pensiun yang berlaku saat ini
umumnya 55 tahun dengan masa iur minimal 15 tahun. Dimasa datang,
usia pensiun dapat berubah menjadi 60 atau 65 tahun.
2) Pensiun Cacat
Peserta mengalami cacat total permanen dan memiliki masa mengiur
minimal dan peserta yang mengalami cacat total permanen dengan
memiliki masa kurang dari minimal.
3) Pensiun Janda/Duda
a) Janda/duda dari peserta penerima pensiun atau peserta yang
menderita cacat total tetap.
b)
Jnda/duda menerima pensiun seumur hidup, kecuali yang
bersangkutan menikah kembali.
4) Pensiun Anak
Penerima jaminan pensiun anak adalah :
a) Anak dari peserta penerima pensiun atau peserta yang mengalami
cacat total tetap atau penerima pensiun janda/duda.
b) Anak menerima pensiun sampai ia mencapai usia 23 tahun atau
telah bekeja atau menikah.
c)
Anak kandung, anak tiri, atau anak angkat yang dibuktikan
dengan surat pengakuan dari instansi yang berwenang.
5) Pinjaman Dana.
Peserta yang telah membayar iuran, atau iurannya telah dibayarkan oleh
pemberi kerja untuk jangka waktu tertentu, harus diberikan hak untuk
mendapatkan pinjaman dana hari tua atau jaminan pensiunnya untuk
menutupi kebutuhan esensial yang urgen. Misalnya, peserta yang telah
mengiur lebih dari 15 tahun tetapi belum memasuki usia pensiun,
diberikan hak meminjam dana untuk pembayaran uang muka rumah atau
apartemen yang akan dibeli untuk hari tuanya kelak. Sudah barangtentu,
pembelian rumah atau apartemen kedua tidak bisa difasilitasi dengan
pembayaran manfaat JHT atau JP. Pembiayaan uang muka atau uang
yang cukup besar dalam memenuhi biaya pendidikan anak juga dapat
dibiayai dari pinjaman dana JHT/JP.
92
c. Jaminan Kematian (JKm), merupakan jaminan santunan yang diberikan
kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia.
1) Jaminan kematian merupakan program asuransi sosial jiwa wajib bagi
peserta/pekerja sektor formal dan informal.
2) Jaminan kematian merupakan program yang pembiayaannya berasal dari
iuran pemberi kerja.
3) Jaminan kematian dibayarkan sekaligus (lump-sum) kepada ahli waris
apabila peserta meningal dunia.
2.
Kelembagaan
Program JHT, JP, dan JKM diselenggarakan oleh BPJS yang ditetapkan
oleh Pemerintah. Untuk penetapan BPJS ini, DJSN akan selalu mengkaji
berbagai aspek yang menyangkut kemampuan BPJS mengelola program
yang sesuai dengan
UU SJSN
agar tidak terjadi ketidak-adilan
penyelenggaraan jaminan sosial bagi pekerja pegawai pemerintah,
pegawai swasta, maupun pekerja di sektor informal. Pemerintah dapat
menetapkan satu atau lebih BPJS yang mengelola JHT, JP, dan JKm.
3.
Mekanisme
Mekanisme penyelenggaraan program Jaminan Hari Tua (JHT)/JP mencakup tiga
aspek pentahapan yaitu :
a.
Cakupan kepesertaan
Cakupan kepesertaan JHT dilaksanakan secara simultan dengan program
jaminan
lain
berdasarkan
dengan
memperhatikan
perkembangan
kemampuan
perekonomian
pembiayaan
nasional,
kesiapan
kelembagaan serta pemahaman masyarakat luas. Dengan demikian
tahapan cakupan kepesertaan dengan kemungkinan simultan tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Tahap pertama: kepesertaan bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja
dengan pemberi kerja;
2) Tahap kedua: kepesertaan bagi tenaga kerja yang menjalin hubungan
kerja dengan perorangan atau lembaga yang bukan badan hukum;
3) Tahap ketiga: kepesertaan tenaga kerja sektor informal.
b.
Jenis Program
Sebagaimana halnya dengan cakupan kepesertaan, pentahapan jenis
program
mempertimbangkan
pula
aspek-aspek
derajat
manfaat,
93
kemampuan memikul pembiayaan dan kesiapan BPJS dan masyarakat
luas serta azas desentralisasi.
c.
Besaran Manfaat
Karena lamanya peserta mengiur untuk memperoleh hak JHT dan JP
sangat bervariasi dan kondisi sosial ekonomi juga bervariasi, maka
manfaat JHT dan pensiun harus diatur secara rinci secara berkala dengan
peraturan pemerintah setelah dilakukan perhitungan akturia yang cermat.
d.
Dana
Seluruh
dana
yang
terkumpul
dari
iuran
dan
hasil
bersih
pengembangannya merupakan milik peserta. Pengelolaan dana tersebut
diatur oleh DJSN
e.
Sistem Akuntansi
BPJS harus memelihara akun perorangan dan menyampaikan rekapitulasi
iuran yang telah diterima beserta hasil pengembangannya kepada setiap
peserta setiap tahun. Dengan demikian, maka peserta dapat menghitung
setiap tahun besarnya tabungan yang dimilikinya untuk masa pensiunnya
kelak. Disamping itu, penyampaian akun perorangan tersebut juga
merupakan suatu mekanisme akuntabilitas dan keterbukaan manajemen
BPJS sehingga akan meningkatkan tingkat kepercayaan peserta kepada
BPJS.
f.
Pengelolaan dana dan Investasi
Dana jaminan sosial, khususnya dana jangka panjang seperti dana JHT
dan JP, akan terakumulasi menjadi sangat besar. Penggunaan dana dan
investasi dana yang tersedia tersebut harus diatur secara ketat agar tidak
disalah-gunakan. Meskipun DJSN akan menetapkan kebijakan umum
penggunaan dana dan investasi, pengaturan yang tegas agar bisa
difahami dan diyakini oleh seluruh peserta bahwa dana yang terkumpul
tidak disalah-gunakan atau tidak diinvestasikan dalam intrumen investasi
yang berisiko tinggi. Ketentuan tentang penggunaan dana dan ketentuan
investasi, yang nantinya harus masuk dalam UU adalah sebagai berikut;
(1)
Ketentuan tentang Kekayaan BPJS
Kekayaan BPJS terdiri dari :
a. Kekayaan negara yang dipisahkan untuk pendirian BPJS;
b. Kekayaan yang dibeli dari dana operasional BPJS;
c. Kekayaan lain yang diperoleh dari hibah kepada BPJS.
Pemerintah dan atau pihak lain dapat menambah Kekayaan Badan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
94
Pemisahan Kekayaan Negara sebagai Kekayaan Badan ditetapkan
pada saat pendirian BPJS atau Perubahan BPJS dari bentuk
badan yang lama dan penambahan Kekayaan Badan selama
mengelola program jaminan sosial
(2)
Proteksi terhadap kebangkrutan BPJS
Di seluruh dunia, BPJS tidak dirancang untuk sewaktu-waktu dapat
bangkrut. Berbeda dengan perusahaan saham yang memang
sewaktu-waktu dapat bangkrut. Dalam program jaminan sosial,
prinsipnya penerimaan dan pengeluaran dikendalikan secara
berkala, sebagaimana juga APBN. Jika penerimaan terlalu berlebih,
peraturan pemerintah harus diubah untuk menurunkan tingkat iuran
atau meningkatkan nilai manfaat. Apabila biaya manfaat terlalu
besar yang dapat mengancam kesehatan keuangan BPJS,
peraturan baru dapat dikeluarkan untuk menurunkan besaran
manfaat atau meningkatkan iuran. Begitu seterusnya. Namun
apabila terjadi suatu keadaan yang mendadak yang tidak bisa
diprediksi, Pemerintah bertanggung jawab melakukan tindakantindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan
keuangan BPJS. Tindakan khusus tersebut misalnya memberikan
hibah dari APBN. Perlu difahami bahwa hibah semacam itu
bukanlah hibah untuk sebuah BUMN seperti halnya kasus yang
terjadi pada PT Dirgantara Indonesia yang bangkrut. Hibah tersebut
pada hakikatnya adalah hibah kepada seluruh peserta atau seluruh
rakyat jika cakupannya sudah mencapai seluruh penduduk.
(3)
Biaya operasional atau biaya usaha
Pengelolaan JSN bukanlah pengelolaan suatu usaha mencari
untung oleh suatu badan usaha milik sekelompok orang atau
dikuasai sekelompok orang. Pengelolaan JSN merupakan amanat
seluruh peserta/rakyat. Oleh karenanya direksi dan pengelola tidak
bisa menggunakan dana semaunya. Namun demikian, pengelolaan
JSN menuntut profesionalisme oleh karenanya gaji dan tunjangan
pengelola
dan
pengawas
harus
memadai
dan
kompetitif
sebagaimana layaknya perusahaan swasta atau BUMN. Biaya
operasional atau biaya usaha harus dibatasi agar manfaat
penghimpunan dana dapat benar-benar diberikan sebesar-besarnya
untuk kepentingan peserta. Di bebebara negara, seperti Thailand
dan Taiwan, iuran peserta bahkan sama sekali tidak digunakan
95
untuk biaya operasional. Biaya operasional sepenuhnya ditanggung
oleh dana APBN. Untuk Indonesia, jika mungkin pemerintahlah yang
memberikan dana hibah untuk biaya opeprasional setiap tahun. Jika
tidak mungkin, paling sedikit biaya operasional harus diatur sebagai
berikut:
Pembiayaan penyelenggaraan operasional program jangka pendek
setinggi-tingginya 5 (lima) persen dari iuran yang diterima.
Pembiayaan
penyelenggaraan
operasional
program
jangka
panjang setinggi-tingginya 1-5 persen dari hasil pengembangan
dana, tergantung dari besarnya akumulasi dana yang dikelola.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, biaya operasional
program jangka pendek BJSN dapat melebihi 5% (lima persen)
yang secara bertahap diturunkan sehingga paling lambat pada
tahun ke 10 (sepuluh) besarnya biaya operasional tidak melebihi
5% (lima persen) dari total iuran yang diterima.
Masing-masing program jaminan sosial dibuat akun tersendiri.
BPJS tidak diperkenankan melakukan subsidi silang antar program
dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana
program lain
BPSJ harus mengelola keuangan sesuai dengan standar akuntansi
keuangan publik yang berlaku.
Pengelolaan keuangan BPJS harus dilaksanakan dengan prinsip
kehati-hatian, efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
(4)
Ketentuan investasi
Dana
JSN
yang
dikembangkan
dapat
diinvestasikan
oleh
BPJS
harus
secara
dikelola
optimal
dan
dengan
mempertimbangkan aspek solvabilitas, likuiditas, kehati-hatian,
keamanan dana, dan hasil yang memadai.
Dana JSN yang terpupuk dan belum digunakan, diinvestasikan
secara hati-hati dengan mempertimbangkan tingkat risiko,
tingkat hasil, dan likuiditas. DJSN harus menggariskan kebijakan
rinci tentang hal ini.
Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari Dana program JHT dan
Pensiun
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1),
harus
diinvestasikan dalam bentuk obligasi atau bentuk investasi
jangka panjang lainnya yang diterbitkan oleh Pemerintah atau
96
Pemerintah Daerah atau dana obligasi korporasi yang dijamin
Pemerintah.
Paling banyak 50% (lima puluh persen) Dana JSN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus disimpan dalam bentuk deposito
di pasar uang Indonesia pada bank pemerintah, bank daerah,
atau bank swasta yang sehat dan dijamin Pemerintah.
Penempatan dana pada obligasi dan/atau deposito berjangka
harus dilakukan dengan memperhatikan likuiditas Dana.
Setinggi-tingginya 51% (lima puluh satu persen) dari Dana JSN
yang terkumpul di suatu daerah dapat diinvestasikan oleh BJSN
dalam bentuk obligasi dan atau deposito yang memenuhi syarat
di daerah tersebut .
Apabila pasar modal yang memenuhi syarat di daerah tersebut
belum atau tidak tersedia, maka dana tersebut diinvestasikan di
daerah lain yang memberikan hasil tertinggi.
Setinggi-tingginya 5% (lima persen) dari Dana JSN dapat
diinvestasikan dalam bentuk penyertaan saham dan atau dalam
bentuk properti.
Investasi hanya dapat dilakukan di Indonesia dalam bentuk:
a. Deposito on call;
b. Deposito berjangka;
c. Sertifikat deposito;
d. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia;
e. Obligasi yang tercatat di Bursa Efek;
f.
Saham yang tercatat di Bursa Efek;
g. Unit pennyertaan Reksadana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang yang mengatur tentang Pasar Modal;
h. Penyertaan langsung pada saham yang tidak tercatat di
Bursa Efek yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang
didirikan berdasarkan hukum Indonesia; dan/atau
i.
Bangunan dan/atau tanah.
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam setiap bentuk investasi
pada satu pihak tidak boleh melebihi 5 % (lima persen) dari
jumlah nilai investasi, kecuali penempatan pada Bank Indonesia
dan Pemerintah Republik Indonesia.
97
Dalam terjadi penggabungan pihak-pihak tempat BPJS melakukan
investasi
sehingga
total
investasi
pada
Pihak
hasil
penggabungan menjadi lebih besar dari batas penempatan dana
pada satu pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
investasi dana JSN pada Pihak hasil penggabungan tersebut
harus disesuaikan, dalam jangka waktu paling lama 12 (dua
belas) bulan terhitung sejak tanggal penggabungan.
BPJS tidak boleh melakukan investasi baru pada Pihak hasil
penggabungan (merjer) selama penyesuaian belum selesai
dilakukan.
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam bentuk investasi Deposito
on Call, Deposito Berjangka, dan Sertifikat Depostio tidak boleh
melebihi 50% (lima puluh persen) dari jumlah nilai investasi.
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam jenis investasi dalam
Saham dan unit penyertaan tidak boleh melebihi 5% (lima
persen) dari jumlah nilai investasi.
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam jenis investasi obligasi
tidak boleh melebihi 70% (tujuh puluh persen) investasi obligasi
pemerintah dan 20% (dua puluh persen) investasi obligasi
korporasi.
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam penyertaan langsung
harus:
a. Tidak boleh melebihi 2% (dua persen) dari jumlah nilai
investasi BPJS,
b. Berbentuk saham yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang
memiliki prospek baik dimasa mendatang serta telah
menghasilkan keuntungan selama 3 (tiga) tahun berturutturut, atau
c. Berbentuk saham yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang
tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan BPJS
Penempatan kekayaan Dana JSN dalam bangunan dan/atau tanah
harus :
a. Memberikan penghasilan kepada Dana JSN atau bertambah
nilai
karena
pembangunan,
penggunaan,
dan/atau
pengelolaan oleh pihak lain yang dilakukan melalui transaksi
yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku; atau
98
b. Penempatan pada tanah, bangunan atau tanah dengan
bangunan tidak boleh melebihi 5% (lima persen) dari jumlah
nilai investasi.
g.
Manfaat
1) Besaran Pensiun
a)
Pensiun yang akan dibayarkan kepada peserta akan lebih
menguntungkan peserta apabila pensiun dibayarkan dengan
manfaat pasti (defined benefit). Besaran pensiun adalah
prosentase dari rata-rata penghasilan tahun terakhir, diperkirakan
dengan jumlah minimal 60% dan maksimal 80% dari upah tahun
terakhir; Namun demikian, pemberian pensiun manfaat pasti kini
umumnya menghadapi kendala pendanaan, mengingat hasil
investasi dan masa pembayaran pensiun ternyata tidak sesuai
dengan kajian aktuaris. Sementara pensiun iuran pasti akan
menghadapi kendala kecukupan dana pensiun untuk memeneuhi
kebutuhan dasar yang layak, khususnya bagi mereka yang
bekerja denga upah rendah.
membagi
dua
mekanisme
Oleh karenanya, pendekatan
jaminan
pensiun
merupakan
pendekatan yang lebih realistis. Dalam model ini, dapat diatur
sebagian iuran untuk manfaat pasti dan sebagian lagi untuk iuran
pasti. Misalnya, jika iuran ditetapkan 10% dari upah dan
komposisi manfaat pasti adalah 20%, maka perhitungan akturia
diperhitungkan bahwa iuran 2% upah akan digunakan untuk
memberikan pensiun dengan manfaat pasti. Sedangkan yang 8%
upah digunakan untuk membiayai pensiun dengan iuran pasti
(sesungguhnya hal ini merupakan tabungan wajib atau provident
fund). Setiap peserta akan memperolah uang pensiun 80% dari
iuran pasti dan 20% dari pensiun manfaat pasti. Tentu saja model
ini
memerlukan
kalkulasi
aktuaria
yang
cermat,
untuk
memastikan bahwa pendanaan pensiun tidak terlalu terancam
(dengan iuran pasti, tanpa subsidi) namun demikian, program
masih bisa memberikan subisi sedikit pada penerima upah
rendah dengan pensiun manfaat pasti.
b) Persyaratan untuk menerima pensiun diatur dengan peraturan
pemerintah setelah hasil kajian aktuaria selesai dilakukan.
Namun demikian, cukup memadai apabila kualifikasi untuk
99
menerima pensiun haruslah seseorang paling sedikit
telah
mengiur selama 15 tahun seperti yang dilakukan oleh Korea
Selatan. Pensiun pegawai negeri sekarang ini mensyaratkan
lama kerja paling sedikit 20 tahun dan usia 50 tahun.
2) Besaran Pensiun Cacat
a) Besaran pensiun cacat adalah prosentase dari rata-rata
penghasilan tahun terakhir dengan jumlah minimal diperkirakan
60% dan maksimal 80% dari upah tahun terakhir; provident
b) Persyaratan untuk menerima pensiun diatur dengan peraturan
pemerintah setelah hasil kajian aktuaria selesai dilakukan.
3) Besaran Pensiun Anak
Besaran pensiun anak adalah prosentase dari besaran pensiun
janda/duda dengan altenatif :
a)
Pensiun janda/duda dari peserta yang telah pensiun/ yang
menderita cacat total tetap;
b) Besaran pensiun minimal diperkirakan 40% dan maksimal 60%
dari upah tahun terakhir.
4) Besaran Jaminan Kematian
Besaran jaminan kematian diperkirakan 10 kali upah tahun terakhir.
100
BAB VI
MEKANISME
A. Kepesertaan
1. Pengertian
Peserta adalah semua penduduk yang membayar iuran sesuai dengan ketentuan
masing-masing program. Yang dimaksud penduduk adalah WNI yang berada di
dalam maupun di luar negeri dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di
Indonesia untuk masa paling sedikit 6 (enam) bulan. Untuk program jangka
pendek, WNA yang bekerja di Indonesia wajib membayar iuran atau menjadi
peserta. Sedangkan unutk program jangka panjang, hanya WNA yang tak
menjadi peserta jaminan sosial yang sama di negara asalnya dan ada perjanjian
timbal balik dengan negara tersebut yang diwajibkan menjadi peserta.
2. Sifat kepesertaan
Pada prinsipnya setiap penduduk wajib menjadi peserta, akan tetapi upaya
penegakan hukum atas kepesertaan tersebut diselenggarakan secara bertahap
sesuai dengan kesiapan teknis pengumpulan iuran dan kelayakan program.
3. Kewajiban peserta
Setiap peserta wajib membayar iuran secara teratur. Pemberi kerja wajib
memotong iuran dari upah pekerja, menambahkan iuran yang menjadi tanggung
jawabnya dan membayarkan ke rekening BPJS setiap awal bulan. Bagi pekerja di
sektor informal seluruh iuran ditanggung oleh peserta. Penduduk di sektor
informal dan yang tidak bekerja dan tidak mampu tetap wajib menjadi peserta
dengan iuran yang ditanggung, akan tetapi sebagian atau seluruh iurannya
(tergantung tingkat kemiskinannya) dibayarkan oleh Pemerintah.
4. Hak peserta
Setiap peserta berhak memperoleh manfaat sesuai ketentuan program.
Persyaratan dan tata cara memperoleh manfaat diatur oleh peraturan
perundangan SJSN. Yang dimaksudkan dengan persyaratan adalah kejadian
yang menimbulkan hak seperti kejadian sakit merupakan syarat peserta berhak
101
mendapatkan jaminan kesehatan sedangkan memasuki usia pensiun merupakan
syarat untuk memperoleh hak pensiun.
5. Syarat kepesertaan
a. Setiap peserta harus mempunyai Nomor Identitas Jaminan Sosial
b. Setiap peserta harus membayar iuran, baik yang dibayarkan dari upah sendiri,
dari pemberi kerja, oleh orang tua sebagai peserta, maupun oleh Pemerintah.
6. Pendaftaran peserta
a. Pendaftaran peserta di sektor formal. Pemberi kerja di sektor formal, sesuai
dengan
jumlah
pekerja
yang
dimilikinya,
wajib
mendaftarkan
dan
membayarkan iuran seluruh pekerjanya dan seluruh pimpinannya ke BPJS
paling lama satu bulan setelah terjadinya hubungan kerja. Dalam pendaftaran
peserta tersebut, pemberi kerja wajib melampirkan data pribadi pekerja secara
lengkap beserta daftar anggota keluarga yang akan menjadi ditanggung oleh
peserta. Termasuk dalam daftar anggota adalah orang tua atau mertua yang
sah. Formulir lengkap pekerja dapat diambil dari kantor cabang BPJS dan dari
website BPJS.
b. Pendaftaran oleh kelompok. Pekerja sektor informal yang memiliki kelompok
usaha atau koperasi mendaftarkan diri dan anggota keluarganya melalui
organisasi usahanya. Organisasi usaha seperti koperasi atau asosiasi usaha
wajib mendaftarkan anggotanya dan anggota keluarga mereka ke BPJS
sebagaimana pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya.
c. Pendaftaran oleh pekerja yang bersangkutan. Pekerja sektor informal yang
tidak
menjadi
anggota
asosiasi
atau
koperasi
di
bidang
usahanya
mendaftarkan diri mereka dan anggota keluarganya ke BPJS secara
perorangan. Sesuai pentahapan, DJSN akan menetapkan kriteria/persyaratan
pekerja sektor informal yang dapat mendaftarkan diri pada suatu tahap
tertentu. Persyaratan pendaftaran ini diperlukan untuk menjamin bahwa
pekerja dapat membayar iuran secara teratur.
d. Pendaftaran oleh Pemerintah (kelompok khusus/tak mampu). Kelompok
khusus seperti penduduk di sektor informal yang tergolong penduduk miskin
yang berhak mendapat bantuan atau subsidi iuran menjadi peserta melalui
pendaftaran oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung-jawab untuk
itu, sesuai dengan peraturan perundangan.
102
7. Tanda kepesertaan
Setiap peserta yang telah didaftarkan atau mendaftarkan diri, termasuk anggota
keluarganya, Kantor cabang BPJS akan memberikan Kartu BPJS yang
merupakan kartu identitas yang diperlukan untuk mendapatkan hak manfaat.
Penerbitan kartu sementara oleh kantor cabang BPJS harus diselesaikan pada
hari yang sama sedangkan kartu BPJS tetap harus sudah diselesaikan paling
lambat dalam waktu satu minggu.
8. Perluasan kepesertaan
Kepesertaan mencakup seluruh penduduk dan dilakukan secara bertahap sesuai
kesiapan penyelenggaraan dan kelayakan program. BPJS, Pemberi Kerja,
Pekerja, Pemerintah dan Masyarakat perlu bersama-sama mengupayakan
perluasan kepesertaan dimaksud.
B. Manfaat
1. Pengertian
Hak peserta yang dijamin SJSN bervariasi sesuai dengan jenis program yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak.
2. Jenis manfaat
Manfaat program JSN terbagi menjadi dua golongan besar yaitu:
a. Manfaat dalam bentuk dana tunai lump-sum maupun berkala
b. Pelayanan kesehatan/kedokteran
3. Jumlah manfaat
Besarnya santunan untuk masing-masing program bervariasi sesuai program.
Pada prinsipnya manfaat diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal.
Dalam hal pelayanan kesehatan, kebutuhan dasar yang minimal bukanlah
pelayanan yang murah atau yang hanya diberikan oleh dokter atau puskesmas,
akan tetapi seluruh kebutuhan yang secara medik perlu diberikan kepada yang
bersangkutan, khususnya yang tidak sanggup dipikul sendiri. Manfaat diberikan
di tempat pelayanan yang dapat dijangkau peserta dengan mekanisme yang
sederhana.
103
4. Lama jaminan / manfaat
Masing-masing program mempunyai batas maksimum atau jumlah tertentu dalam
pemberian manfaat sesuai dengan ketentuan masing-masing program. Badan
penyelenggara harus menyampaikan tentang hak-hak peserta dan cara
memperolehnya.
5. Penerima manfaat
Program SJSN memberikan manfaat kepada dua jenis penerima, sesuai
dengan ketentuan masing-masing progam
a. Peserta Program Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan
Kecelakaan Kerja hanya diberikan kepada peserta apabila peserta
masih hidup. Apabila peserta telah meninggal, manfaat JHT dan
pensiun publik diberikan kepada ahli waris yang berhak.
c. Peserta dan anggota keluarganya. Jaminan kesehatan diberikan
kepada peserta dan seluruh anggota keluarganya sedangkan jaminan
kematian hanya diberikan kepada anggota keluarga (ahli waris) yang
berhak menerimanya.
6. Pembayaran manfaat
a. Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan milik Pemerintah maupun milik Swasta yang mengikat kontrak
dengan BPJS. Apabila tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan dimaksud,
maka diberikan kompensasi sebagai pengganti sesuai standar. Pembayaran
BPJS kepada fasilitas kesehatan didorong kepada pembayaran prospektif,
pembayaran yang besarannya disepakati dimuka oleh kedua belah pihak.
Dengan pembayaran prospektif ini, maka perlu disusun paket-paket
pelayanan dan tarif yang harus dibayar oleh BPJS. Pembayaran prospektif
dapat dilakukan dengan cara pembayaran kapitasi, paket, per hari rawat,
ataupun berdasarkan per diagnosis. Pembayaran kapitasi adalah pembayaran
kepada fasilitas kesehatan yang berdasarkan jumlah peserta dalam keadaan
sehat yang diperhitungkan per kapita per bulan. Pembayaran per diagnosis
adalah pembayaran berdasarkan jenis penyakit, bukan berdasarkan jumlah
pelayanan
yang
diberikan.
Pembayaran
prospektif
merupakan
cara
pembayaran yang efektif dan efisien sehingga dana JSN dapat terkendali.
104
b. Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan kecelakaan kerja memiliki dua jenis manfaat yaitu yang berupa
pelayanan kesehatan dan berupa uang apabila peserta menderita cacat
sementara ataupun cacat tetap permanen. Pembayaran untuk manfaat yang
berupa pelayanan akan dilakukan sama dengan yang dilakukan untuk jaminan
kesehatan. Namun demikian, untuk manfaat yang berbentuk uang tunai, yang
merupakan pengganti pendapatan selama peserta tidak mampu bekerja
akibat kecacatan, dibayarkan secara berkala kepada peserta yang memenuhi
syarat.
c. Jaminan Hari Tua, Pensiun, dan Kematian
1) Secepat-cepatnya lima tahun sebelum memasuki masa pensiun, pekerja
mengajukan permintaan pembayaran jaminan hari tua dan pensiun
kepada kantor BPJS. Dalam hal peserta meninggal dunia sebelum usia
pensiun, maka ahli waris harus melaporkan kematian peserta sekaligus
mengisi permohonan pembayaran JHT dan pensiun. Seluruh iuran JHT
dan hasil pengembangannya dibayarkan kepada ahli waris. Sedangkan
uang pensiun dibayarkan secara berkala kepada ahli waris yang sah.
2) Dalam hal peserta meninggal dunia, ahli waris juga berhak mendapatkan
jaminan kematian. Pemberi kerja atau ahli waris mengajukan permintaan
pembayaran jaminan kematian disertai dokumen yang diperlukan.
C.
Iuran dan Dana JSN
1. Pengertian
a. Iuran JSN adalah sejumlah dana berupa prosentase tertentu dari gaji atau
upah atau penghasilan yang dibayarkan secara teratur oleh peserta dan
pemberi kerja untuk memenuhi pembayaran manfaat bagi peserta di
kemudian hari dan memenuhi biaya operasional penyelenggaraan JSN.
b. Dana JSN atau Dana adalah himpunan iuran peserta beserta hasil
pengembangannya dan sumber lain yang sah yang diamanatkan peserta
kepada BPJS untuk dikelola dan diinvestasikan guna memenuhi pembayran
manfaat bagi peserta di kemudian hari
c. Keseluruhan Dana adalah milik peserta yang diperuntukkan bagi pemenuhan
hak peserta di kemudian hari.
105
2. Sifat himpunan dana
Dana yang terkumpul dan hasil pengembangannya merupakan Dana Amanat
(trust funds) yang berarti bahwa dana tersebut tidak dapat digunakan oleh BPJS
kecuali disetujui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang.
3. Besar iuran
Besarnya iuran untuk masing-masing program diatur lebih lanjut dalam Bab V
tentang program-program.
4. Sumber iuran
Iuran untuk program SJSN bersumber dari :
a. Pekerja
b. Pemberi kerja. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk
dalam kategori Pemberi Kerja untuk Pegawai Negeri, TNI dan Polri, serta
pensiunan PNS dan TNI-Polri.
c. Pemerintah (untuk yang penduduk yang tidak mampu)
5. Frekuensi pembayaran iuran
Setiap pekerja yang mempunyai pendapatan bulanan seperti upah, bonus dan
hasil penjualan barang atau jasa wajib membayar iuran secara bulanan. Bagi
pekerja di sektor formal, pemberi kerja wajib memungut dan menambahkan
pembayaran iuran serta membayarkan iuran ke BPJS. Pemerintah Daerah wajib
membayarkan iuran bagi pegawainya dan bagi penduduk yang tidak mampu yang
iurannya ditanggung Pemerintah.
6. Pengumpul dan pengelola dana
Badan JSN yang dalam hal ini Direktorat Administrasi JSN yang dibentuk dengan
undang-undang
ini
bertanggung
jawab
mengumpulkan,
mengelola,
dan
membayarkan manfaat kepada peserta atau fasilitas kesehatan dalam hal
manfaat diberikan dalam bentuk pelayananan kesehatan.
106
7. Pembayaran Iuran
a. Iuran dibayar oleh pemberi kerja untuk seluruh pekerjanya setiap bulan
melalui rekening BPJS di bank-bank yang ditunjuk, paling lambat tanggal 15
untuk iuran di bulan yang bersangkutan.
b. Keterlambatan pembayaran iuran dikenakan denda yang ditanggung oleh
pemberi kerja.
8. Penggunaan dana
Dana yang terkumpul hanya dapat digunakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan ini. Dana yang belum digunakan untuk pembayaran
manfaat akan diinvestasikan dalam berbagai instrumen investasi yang akan diatur
secara ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan dana.
9. Pertanggungjawaban
BPJS
harus membuat laporan akun peserta dan menyampaikannya kepada
peserta setiap tahun. Selain itu, BPJS harus membuat pertanggung-jawaban
penyelenggaraan JSN secara berkala kepada Presiden. Laporan neraca keuangan
SJSN yang telah diaudit harus dipublikasikan di media masa di tingkat Nasional dan
di tingkat Daerah sebagai suatu upaya keterbukaan manajemen.
10. Pengawasan
Pengawasan penyelenggaraan JSN dilakukan oleh badan audit internal yang
dibentuk di lingkungan BPJS dan Badan Audit Eksternal (Badan Pemeriksa
Keuangan dan atau Akuntan Publik) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena
BPJS merupakan badan penyelenggara JSN, maka harus dikembangkan Sistem
Akuntansi Khusus Dana Publik yang dikelola oleh BPJS.
11. Investasi
Investasi dana amanat dilakukan oleh BPJS sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan UU SJSN. Investasi harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,
keamanan Dana, solvabilitas, likuiditas, dan transparansi.
107
D.
Biaya Operasional Program
1. Biaya Operasional Program Jaminan Kesehatan (JK) dan Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK).
Biaya operasional adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk mengelola BPJS dari mulai
pendaftaran peserta sampai pembayaran manfaat. Yang termasuk biaya operasional
adalah biaya upah pengelola, direksi, anggota DJSN, bonus prestasi, kewajiban iuran
JSN, biaya bahan dan alat habis pakai, biaya gedung dan kantor, biaya listrik, air dan
komunikasi,
biaya
transportasi,
dan
biaya
perjalanan
yang
terkait
dengan
penyelenggaraan SJSN.
Program JK dan JKK merupakan program jangka pendek dalam arti manfaatnya dapat
segera dinikmati, yaitu bahwa iuran yang dihimpun kemungkinan digunakan pada tahun
yang sama. Karena himpunan (pool) program ini yang bersifat nasional dan besar, dapat
terjadi efisiensi yang sangat tinggi. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa
biaya operasional yang dibutuhkan paling banyak hanya 5% (lima persen) dari iuran yang
diterima setahun. Oleh karenanya, biaya operasional yang meliputi biaya gaji/upah
pengelola, administrasi, pengadaan yang dibutuhkan, perjalanan, dan bonus pengelola
akan dibatasi maksimum 5% (lima persen). Tentu saja, pada awal penyelenggaraan JSN,
jumlah peserta dalam himpunan belum cukup besar, karenanya dalam 10 tahun pertama
biaya operasional dimungkinkan dapat mencapai maksimum 15%.
2. Biaya Operasional Program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun
(JP) dan Jaminan Kematian (JKm).
Program JHT dan JP merupakan program yang manfaatnya dinikmati dalam
program JHHT dan JP merupakan program jangka panjang, yaitu bahwa iuran
yang terkumpul akan dihimpun dan diinvestasi sampai peserta memasuki usia
pensiun. Akumulasi iuran peserta dapat mencapai 40 tahun, baru hak peserta
timbul. Oleh karenanya, akan terhimpun dana yang besar sekali yang dapat
dikelola oleh BPJS. Untuk mengelola program yang dananya sangat besar
tersebut, tidak diperlukan biaya operasional yang diambil dari iuran peserta.
Program JKm merupakan program santunan yang diberikan pada ahli waris pada
saat peserta meninggal dunia. Biaya operasional cukup diambil dari sebagian
kecil maksimum 5% dari hasil pengembangan Dana. Sudah barang tentu pada
tahap awal dimana himpunan peserta belum cukup besar, prosentase hasil
pengembangan yang dapat digunakan untuk biaya operasional dapat lebih besar.
108
Setiap tahun DJSN akan menghitung prosentase hasil pengembangan yang boleh
digunakan untuk biaya operasional.
E. Mekanisme Pembentukan dan Pengembangan Kelembagaan
1. Kelembagaan SJSN
Segera setelah UU SJSN diundangkan, Presiden membentuk DJSN dengan
tugas membantu Presiden di dalam menetapkan kebijakan umum dan
sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
b. Tata Kerja BPJS / Manajemen Operasional SJSN
Tata kerja BPJS Akan diatur secara rinci dengan Peraturan Pemerintah sesuai
dengan UU SJSN.
109
BAB VII
PENEGAKAN HUKUM
A. Akses Informasi
Sebagai
suatu sistem, SJSN telah dirancang dengan memperhatikan kondisi
pelaksanaan berbagai program jaminan sosial saat ini dan proyeksi yang akan
datang. Secara substantif, materinya memuat aturan mengenai kelembagaan,
mekanisme kerja dan berbagai kewajiban yang terkait dengan operasional sistem.
Untuk lebih menjamin bekerjanya sistem tersebut, perlu diatur ketentuan mengenai
penegakan hukumnya baik dalam bentuk sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Secara strategis, keduanya diperlukan sebagai pemaksa bagi kepatuhan dan
ketaatan pihak-pihak terkait guna terwujudnya Sistem JSN yang efektif dan memadai
sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal tertentu, pengenaan sanksi di atur secara
berjenjang. Artinya, apabila sanksi administratif tidak efektif untuk memaksa
pelaksanaan kewajiban, maka diterapkan sanksi pidana.
B. Sanksi Administratif
Sanksi administratif dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan mengenai kewajiban
membayar iuran. Bentuknya berupa denda yang dikenakan setelah terlebih dahulu
diberikan peringatan dalam jangka waktu yang cukup. Pihak-pihak yang berpotensi
melakukan pelanggaran ini adalah pemberi kerja dan pekerja. Bentuk pelanggaran
lazimnya berupa keterlambatan pembayaran iuran atau mendaptarkan sebagian saja
pegawai. Karenannya, sanksinya ditetapkan dalam formula perhitungan denda
sebesar 1 % (satu persen) dari iuran pokok perbulan untuk paling lama dua belas
bulan.
Apabila setelah dilakukan pemeriksaaan ternyata terdapat kekurangan pembayaran
iuran, maka peserta yang bersangkutan diwajibkan melunasi kekurangannya itu
disertai dengan denda yang ditetapkan sebesara satu persen sebulan yang dihitung
dari jumlah kekurangan tersebut untuk paling lama dua belas bulan. Selanjutnya
apabila selewatnya batas waktu dua belas bulan ternyata peserta tetap tidak
memenuhi kewajiban membayar iurannya, maka terhadap tindak pelanggaran itu
dikenakan sanksi pidana.
110
C. Sanksi Pidana
Sanksi pidana diarahkan pada pelanggaran kewajiban, baik yang dilakukan oleh
pemberi kerja di sektor formal maupun di sektor informal, serta badan penyelenggara.
Sanksi pidana bagi pemberi kerja dikenakan apabila pemberi kerja tersebut tidak
melaksanakan kewajiban mendaftarkan pekerjanya kepada badan penyelenggara.
Khusus bagi pemberi kerja di sektor informal kewajiban untuk mendaftarkan tersebut
berlaku untuk dirinya dan pekerjanya. Betapapun sanksi seperti itu diperlukan
sebagai upaya pemaksa bagi pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Yang pasti, sanksi pidana tidak di arahkan kepada peserta. Hal ini perlu ditegaskan
mengingat kewajiban ini bukan menyangkut pembayaran iuran kepesertaan, tetapi
lebih kepada kewajiban untuk mendaftarkan diri dan pekerja sebagai peserta SJSN.
Di beberapa negara yang telah mengembangkan sistem seperti ini, sanksi pidana
juga ditentukan bagi peserta yang tidak membayar iurannya. Hal ini dimungkinkan
mengingat sistem yang diberlakukan telah mengharuskan setiap peserta membayar
sendiri secara langsung iuran kepesertaan, karenanya sanksi pidana dapat
diberlakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh peserta tersebut. Adapun
sanksi pidana bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya atau tidak
memungut iuran dari pekerja, ditetapkan secara kumulatif, yaitu hukuman kurungan
dan denda. Sanksi seperti itu tidak mengurangi ataupun menghapus kewajiban
pembayaran iuran yang tertunggak. Bahkan, apabila pelanggaran diulang kembali,
maka harus dikenakan sanksi tambahan. Sanksi pidana juga diberlakukan terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh badan penyelenggara, yaitu dalam hal badan
penyelenggara tidak melaksanakan kewajiban memberikan manfaat program
sebagaimana di tetapkan. Dalam hal tindak pelanggaran itu terjadi karena kesalahan
direksi dan/atau komisaris, maka pidana denda diperberat dengan pidana kurungan.
D. Penyidikan
Mengingat bentuk-bentuk pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana
tersebut secara tehnis tidak pelik dan bersifat sederhana, maka penyidikannya
tidak perlu dilakukan oleh pejabat penyidik khusus (PPNS). Penyidikan cukup
dilakukan oleh penyidik kepolisian sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
111
BAB VIII
MASA PERALIHAN
Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk menjamin adanya satu sistem
penyelenggaraan secara nasional. Untuk mewujudkan adanya satu sistem yang berskala
nasional diperkirakan membutuhkan waktu yang panjang. Oleh sebab itu dalam jangka
pendek lembaga-lembaga yang sekarang ada dapat melanjutkan program-programnya
berdasarkan ketentuan masing-masing sambil menyesuaikan diri terhadap satu sistem
nasional sebagaimana dimaksud dalam UU SJSN.
Prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam masa peralihan adalah sebagai berikut:
1. Tidak merugikan peserta yang telah mengikuti program jaminan sosial yang sedang
diselenggarakan oleh PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen dan PT. Asabri;
2. Memanfaatkan personil, sistem dan kekayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang ada tanpa harus menimbulkan pemutusan hubungan kerja atau kerusakan
sistem yang ada;
3. Melakukan perubahan sistem, program, maupun kekayaan yang ada secara bertahap
sehingga tidak menimbulkan gejolak di kalangan personil maupun peserta jaminan
sosial yang ada sesuai UU SJSN.
112
BAB IX
PENUTUP
Kondisi perekonomian yang berkembang saat ini baik dilihat secara global, regional
maupun nasional, mendorong semakin diperlukannya suatu sistem jaminan sosial yang
bersifat nasional dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem
jaminan sosial dimaksud harus mampu memberikan perlindungan menyeluruh
bagi
masyarakat terutama pada kondisi-kondisi tertentu seperti sakit, mengalami kecelakaan,
meninggal, kehilangan pekerjaan dan pada saat memasuki usia lanjut. Sementara
beberapa jaminan sosial yang ada yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan PT
Asabri dan JPKM belum mampu memenuhi tuntutan dimaksud. Oleh karenanya
diperlukan UU SJSN untuk memperkuat BP menjalankan visi jaminan sosial.
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR-RI
Tahun 2001 menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dalam upaya memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan
terpadu. Oleh karenanya Presiden merasa perlu melahirkan SJSN yang pelaksanaannya
ditetapkan dengan Undang-undang.
Dipertanyakan oleh banyak komponen, dalam kondisi ekonomi saat ini, mampukan
Pemerintah memberikan jaminan sosial dimaksud, terutama bagi tenaga kerja di sektor
informal ? Sebelum sektor informal, kita harus buktikan dulu bahwa jaminan sosial bagi
sektor formal dapat berjalan baik dan memuaskan. Perlu dipahami bahwa SJSN tidak
dibiayai oleh pemerintah sendiri tetapi bersama-sama dengan pemberi
kerja dan
pekerja. Tantangan ini akan diantisipasi dalam Undang-undang SJSN yang akan
dilahirkan dan diharapkan dalam waktu dekat ini dapat diundangkan. Pelaksanaannya
menjadi
tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pekerja dan Pemberi Kerja.
Masing-masing pihak memberikan iuran. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan
beragamnya status pekerjaan, maka jangkauan kepesertaan dilakukan secara bertahap,
di awali dari tenaga kerja produktif yang mempunyai upah/penghasilan. Bagi tenaga kerja
yang karena kondisi tertentu menjadi miskin sehingga
tidak mampu mengiur, untuk
sementara diatasi dengan mekanisme bantuan sosial. Lembaga yang akan dibangun
tidak bertujuan mencari laba, namun mencari dana untuk membiayai manfaat sebesarbesarnya, oleh karenanya sisa hasil usaha penyelenggaraan program sewajarnya bebas
pajak penghasilan badan.
113
Untuk menjamin pengelolaan keuangan yang aman dan pelayanan yang optimal, jaminan
sosial nasional ini akan dikelola dalam suatu wadah/lembaga secara nasional
berdasarkan prinsip Dana Amanat. Kantor perwakilan akan berada di seluruh daerah
dengan kebutuhan dan semangat otonomi. Badan hukum lembaga tersebut sebaiknya
berupa badan hukum quasi pemerintah atau badan hukum milik masyarakat. Badan
hukum tersebut belum resmi di kenal di Indonesia. Lembaga dimaksud harus dikelola
secara profesional, transparan dan memiliki akuntabilitas publik yang tinggi.
Konsep Naskah Akademik SJSN ini merupakan konsep ke-enam yang merupakan intisari
Konsepsi Awal SJSN yang telah menghimpun masukan-masukan dari berbagai unsur,
antara lain dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), beberapa serikat pekerja
(SPBI), studi banding penyelenggaraan asuransi sosial di Australia, Amerika Serikat,
Jerman, Perancis, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Malaysia dan workshop di China.
Konsep ini diperkaya pula dari hasil rapat Sidang Kabinet Terbatas yang dipimpin
langsung oleh Presiden RI, Rakor Menko Kesra
khusus membicarakan SJSN yang
dipimpin langsung oleh Menko Kesra dan dialog informal Tim SJSN dengan anggota
Komisi VII DPR-RI.
Dalam menyusun konsep SJSN ini, Tim SJSN melakukan
pembahasan yang mendalam yang terdiri dari para tenaga ahli asuransi, wakil dari
BUMN dan badan penyelenggara program jaminan sosial yang beroperasi selama ini,
PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri dan beberapa pejabat dari isntansi
terkait lainnya seperti Depdagri, BKKBN, Meneg PAN dan Badan Kepegawaian Negara
(BKN).
Sebelum konsep Naskah Akademik SJSN ini dituangkan menjadi Draft RUU SJSN, di
dengar
pula
masukan
masyarakat
dalam
menentukan
tahapan
penjangkauan
kepesertaan, besaran iuran, dan mekanisme penyelenggaraan SJSN, dll. Selanjutnya,
sosialisasi konsep SJSN ini akan dilakukan kepada masyarakat yang lebih luas di pusat
dan daerah termasuk dengan DPR dan DPRD. Direncanakan secara bertahap Tim SJSN
akan melakukan sosialisasi ke beberapa wilayah di Indonesia dengan bantuan
pendanaan dari dana bilateral dan multi lateral seperti Uni Eropa (untuk 14
wilayah/provinsi), ADB dan ILO. Dengan kegiatan sosialisasi ini diharapkan semua unsur
yang terlibat di pusat dan daerah mempunyai cara pandang dan persepsi yang sama
terhadap konsep SJSN.
Dengan telah menyebarnya informasi di masyarakat tentang rencana Pemerintah akan
mengundangkan UU SJSN dalam waktu dekat ini, banyak rumor berkembang. Agar tidak
menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama pihak penyelenggara dan peserta
jaminan sosial yang sudah berjalan, perlu ditegaskan disini bahwa sistem yang ada tetap
114
berjalan seperti biasa. Tidak ada dana iuran peserta yang dialaihkan ke badan atau
peserta lain. Apabila UU SJSN telah diberlakukan, badan penyelenggara tersebut harus
menyesuaikan programnya dengan aturan yang tercantum dalam UU SJSN.
ooOoo
115
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Butler, RJ. The Economics of Social Insurance and Employee Benefits. Kluwer
Academic Publisher, Boston, USA, 1999 pp199 – 220
BPS. Statistik Kesejahteraan Indonesia 2002. BPS, Jakarta, 2003
Departemen
Kesehatan
–
GTZ,
Makalah
"Pengembangan sistem asuransi
Seminar
Eksekutif
tentang
kesehatan sosial di Indonesia"
Departemen Kesehatan - GTZ (Deutsche Gessellschaft fur Technische
Zusammenarbeit) Germany, tanggal 22 – 23 Oktober 2002
Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance
Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003
Grebe, A. Presentation material, Berlin, June 2003
Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey,
1988, p. 25
Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN.
Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1998
Standing D. Unemployment and Income Security, ILO, Geneva, June 2000
Thabrany H, Purwanto E, Mochtar O, Hasyim. Review Jaminan Sosial di
Indonesia. Lembaga Pranata Pembangunan Universitas Indonesia,
Jakarta, 2000.
Jamsostek. Laporan Tahunan Jamsostek tahun 2002. Jakarta, 2003
Lembaga Penelitian UI dan Menko Perekonomian - Kajian tentang Kebijakan
Jaminan Sosial (Jakarta, Desember 2000)
Purwoko, B. Trend of Social Security in Indonesia. PT Jamsostek, Jakarta 2001
116
Depkes. Makalah Seminar Nasional tentang "Pembiayaan sosial untuk Jaminan
Kesehatan ". Departemen Kesehatan, Jakarta, 19 Desember 2002
Park . National Health Insurance in Korea, Research Division, NHIC.
Memeograph presented for an Indonesian delegate, 2002
Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina.
18 Juni 2002.
.
Social Security at the Dawn af the 21 st Century
ILO. Social Security Programs Throughout The World - 1999
SSO Thailand. Social Security System in Thailand and Its Prospect for the Future.
Bangkok, 2003
SSS The Philippine. Guide Book for SSS Members. Manila, 7th Edition, 2001
Ha-Young and Hun-Sang, National Pension Scheme in Korea. Makalah disajikan
dalam ISSA Training, Bali, 13-22 Oktober 2003
B. PERATURAN PERUNDANGAN
1.
Deklarasi HAM PBB, 10 Desember 1948 (Pasal 25 ayat (1)
2.
Konvensi ILO 102, 1952
3.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
4.
Ketetapan MPR-RI Nomor : X/MPR/2001 Tentang Laporan Pelaksanaan
Putusan MPR-RI
Oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001.
5.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara (Lembaran Negara No.70, 2003 dan Tambahan Lembaran Negara
N0. 4297)
6.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara,
117
7.
Undang-Undang RI No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
8.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
9.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
11. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
12. Undang-Undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun
13. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi
14. Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang JAMSOSTEK
15. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
16. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaiamana yang telah diubah
dengan UU No. 1994 dan UU No. 6 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan tata Cara Perpajakan
17. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan
dio Perusahaan
18. Undang-undang RI No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
19. Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara
20. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan
Pensiun Janda/Duda Pegawai
21. Undang-Undang No. 11 Tahun 1956 Tentang Pembelandjaan Pensiun
Presiden RI
118
22. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya UU
Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari RI untuk seluruh
Indonesia
23. Peraturan Perundangan Nomor 7 Tahun 1963 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.
24. Peraturan Pemerintah RI No. 64 Tahun 2001 Tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan
Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan
Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
25. Peraturan Pemerintah RI Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
26. Peraturan Pemerintah RI No. 89 Tahun 2000 Tentang Pencabutan PP No.
98 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan
Menteri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau
Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan
Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI
kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha
Milik Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP
No. 48 Tahun 2000.
27. Peraturan Pemerintah RI No. 98 Tahun 1999 Tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada
Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara
Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
28. Peraturan Pemerintah RI No. 96 Tahun 1999 Tentang Pengalihan
Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat
Umum
Pemegang
Saham
(RUPS)
atau
Pemegang
Sahan
pada
Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang
119
sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara
Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara.
29. Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas PP
No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perasuransian
30. Peraturan Pemerintah RI No. 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian,
31. Peraturan Pemerintah. No. 6 Tahun 1992 tentang ASKES
32. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan
Kesehatan bagi Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran,
Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya
33. Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1991 Tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial ABRI menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero).
34. Peraturan Pemerintah RI No. 67 Tahun 1991 Tentang Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata RI
35. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981 tentang TASPEN
36. Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 1981 Tentang Asuransi Sosial
Pegawai Negeri Sipil RI
37. Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1971 Tentang Pendirian
Perusahaan Umum Asuransi Sosial ABRI
38. Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1971 Tentang Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata RI
39. Rancangan Peraturan Pemerintah No. …………. Tentang Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
40. Keputusan Presiden RI No. 56 Tahun 1974 Tentang Pembagian,
Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya Iuran-iuran
120
yang dipungut dari Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima
Pensiun.
41. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2002 dan Nomor 101 Tahun 2003
tentang Pembentukkan Tim SJSN
42. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : C2-2749.HT.01.Tahun ‘98 Tentang
Perseroan Terbatas.
43. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 481/KMK.017/1999 Tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
44. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 481/KMK.017/1999 Tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
45. Keputusan Menteri keuangan RI Nomor 303/KMK.017/2000 Tentang
Perubahan atas kep. Menteri Keuangan RI Nomor 481/KMK.017/199
Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
46. Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. : SKEP/1212/M/XII/2000
Tentang Kenaikan Besarnya Santuran ASABRI
47. Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. : Skep/1212a/M/XII/2000
Tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI
48. Keputusan Seswapres Nomor 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 tentang
Pembentukkan Kelompok Kerja SJSN.
49. Keputusan Ketua Tim SJSN Nomor ...... tahun 2002 tentang Pembentukan
Sekretariat Tim SJSN.
121
DAFTAR SINGKATAN
SJSN
= Sistem Jaminan Sosial Nasional
NA
= Naskah Akademik
RUU
= Rancangan Undang-undang
JS
= Jaminan Sosial
JK
= Jaminan Kesehatan
JKK
= Jaminan Kecelakaan Kerja
JHT
= Jaminan Hari Tua
JP
= Jaminan Pensiun
JKM
= Jaminan Kematian
DJSN
= Dewan Jaminan Sosial Nasional
BPJS
= Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
RUPS
= Rapat Umum Pemegang Saham
PERSERO
= Perusahaan Perseroan
ASKES
= Asuransi Kesehatan
JAMSOSTEK = Jaminan Sosial Tenaga Kerja
TASPEN
= Tabungan Asuransi Pensiun
ASABRI
= Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
BUMN
= Badan Usaha Milik Negara
PERUM
= Perusahaan Umum
Dana Amanat = Dana Jaminan Sosial Nasional
122
123
Download