BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem Jaminan Sosial Nasional (national social security system) adalah sistem penyelenggaraan program negara dan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial, agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Jaminan sosial diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan seseorang, baik karena memasuki usia lanjut atau pensiun, maupun karena gangguan kesehatan, cacat, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya. Sistem Jaminan Sosial Nasional disusun dengan mengacu pada penyelenggaraan jaminan sosial yang berlaku universal dan telah diselenggarakan oleh negara-negara maju dan berkembang sejak lama. Penyelenggaraan jaminan sosial di berbagai negara memang tidak seragam, ada yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk dan ada yang hanya mencakup penduduk tertentu untuk program tertentu. Secara universal, pengertian jaminan sosial dapat dijabarkan seperti beberapa definisi yang dikutip berikut ini. Menurut Guy Standing (2000) Social security,is a system for providing income security to deal with the contingency risks of life – “sickness, maternity, employment injury, unemployment, invalidity, old age and death; the provision of medical care, and the provision of subsidies for families with children”. ILO Convention 102 Social security is the protection which society provides for its members through a series of public measures: to offset the absence or substantial reduction of income from work resulting from various contingencies (notably sickness, maternity, employment injury, unemployment, invalidity, old age and death of the breadwinner) 1 to provide people with health care; and to provide benefits for families with children." Tanpa merinci jenis program jaminan sosial lainnya, UUD 1945 telah mengamanatkan kepada Negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Pasal 28 H ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa jaminan sosial adalah hak setiap warga negara. Lebih lanjut, perlunya segera dikembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ditegaskan pada Pasal 34 ayat 2 Perubahan UUD 45 tahun 2002 yang menyatakan bahwa ―Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan‖. Tanpa rincian program jaminan sosial yang akan dikembangkan, dapat dipahami bahwa amanat tersebut menghendaki terselenggaranya berbagai program jaminan sosial secara komprehensif/menyeluruh seperti yang telah diselenggarakan negara lain, meskipun hal itu dilakukan secara bertahap. Secara universal, Jaminan Sosial dijamin oleh Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia meratifikasi deklarasi tersebut yang di dalamnya dinyatakan bahwa ― .... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial ..... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua .....‖. Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 menganjurkan agar semua negara di dunia memberi perlindungan dasar kepada setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan Sosial. Pengalaman berbagai perlindungan sosial negara bagi menunjukkan masyarakat, bahwa, jaminan sosial selain juga dapat menjadi memberikan penggerak pembangunan ekonomi. Akhir-akhir ini bermunculan kenyataan baru yang membuktikan bahwa jaminan sosial makin diperlukan mengingat bahwa kondisi perekonomian global maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis yang mengancam kesejahteraan rakyat. Krisis telah mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, dan kehilangan kesejahteraan yang menjadi haknya. Disamping itu, pendapatan masyarakat akan berkurang karena menderita penyakit atau memasuki usia lanjut. Jaminan sosial dapat diandalkan sebagai upaya penyelamat dari berbagai risiko tersebut. Jaminan sosial dapat diwujudkan melalui mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial. Adanya perlindungan terhadap risiko sosial ekonomi melalui asuransi sosial dapat mengurangi beban negara (APBN) dalam penyediaan dana bantuan sosial yang memang sangat terbatas. Melalui prinsip kegotong-royongan, meanisme asuransi sosial 2 merupakan sebuah instrumen negara yang kuat dan digunakan di hampir seluruh negara maju dalam menanggulangi risiko sosial ekonomi yang setiap saat dapat terjadi pada setiap warga negaranya. Dari aspek ekonomi makro, jaminan sosial nasional adalah suatu instrumen yang efektif untuk memobilisasi dana masyarakat dalam jumlah besar, yang sangat bermanfaat untuk membiayai program pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri. Selain memberikan perlindungan melalui mekanisme asuransi sosial, dana jaminan sosial yang terkumpul dapat menjadi sumber dana investasi yang memiliki daya ungkit besar bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Dilihat dari aspek dana, program ini merupakan suatu gerakan tabungan nasional yang berlandaskan prinsip solidaritas sosial dan kegotong-royongan. Banyak negara memulai penyelenggaraan jaminan sosial setelah mengalami krisis ekonomi yang berat dimana kebutuhan kegotong-royongan sangat terasa. Amerika Serikat mengembangkan jaminan sosial pada masa pemerintahan Presiden Roosevelt (1935) setelah negara tersebut mengalami depresi ekonomi yang sangat hebat di tahun 1932. Jerman memperkenalkan asuransi sosial semasa pemerintah Otto Van Bismarck (1883) dimana perlindungan tenaga kerja sangat dibutuhkan. Kedua negara maju tersebut kini memperoleh manfaat besar dari penyelenggaraan jaminan sosial yang dikembangkan pada waktu kedua negara tersebut sedang menghadapi resesi ekonomi. Manfaat besar dari dana yang terhimpun juga dinikmati negara berkembang yang telah menyelenggarakan jaminan sosial secara konsisten dan mencakup seluruh pekerja sektor formal. Malaysia telah berhasil memupuk Tabungan Nasional atau Dana Jaminan Sosial senilai US$ 90 Miliar melalui program jaminan hari tua pegawai (Employee Provident Fund, EPF). Kekuatan dana asuransi sosial inilah, antara lain, yang menyelamatkan Malaysia dari krisis mata uang pada tahun 1998 yang lalu. B. Pilar Perlindungan Sosial Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk terdapat tiga-pilar pendekatan yang saling melengkapi namun berbeda pola penyelenggaraannya, yaitu : Pilar Pertama menggunakan meknisme bantuan sosial (social assistance) kepada penduduk yang kurang mampu, baik dalam bentuk bantuan uang tunai maupun pelayanan tertentu, untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Pembiayaan bantuan sosial dapat bersumber dari Anggaran Negara dan atau dari Masyarakat. Mekanisme 3 bantuan sosial biasanya diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu masyarakat yang benar-benar membutuhkan, umpamanya penduduk miskin, sakit, lanjut usia, atau ketika terpaksa menganggur. Di Indonesia, bantuan sosial oleh Pemerintah kini lebih ditekankan pada pemberdayaan dalam bentuk bimbingan, rehabilitasi dan pemberdayaan yang bermuara pada kemandirian PMKS. Diharapkan setelah mandiri mereka mampu membayar iuran untuk masuk mekanisme asuransi. Kearifan lokal dalam masyarakat juga telah lama dikenal yaitu upaya-upaya kelompok masyarakat, baik secara mandiri, swadaya, maupun gotong royong, untuk memenuhi kesejahteraan anggotanya melalui berbagai upaya bantuan sosial, usaha bersama, arisan, dan sebagainya. Kearifan lokal akan tetap tumbuh sebagai upaya tambahan sistem jaminan sosial karena kearifan lokal tidak mampu menjadi sistem yang kuat, mencakup rakyat banyak, dan tidak terjamin kesinambungannya. Pemerintah mendorong tumbuhnya swadaya masyarakat guna memenuhi kesejahteraannya dengan menumbuhkan iklim yang baik dan berkembang, antara lain dengan memberi insentif untuk dapat diintegrasikan dalam sistem jaminan sosial nasional. Pilar Kedua menggunakan mekanisme asuransi sosial atau tabungan sosial yang bersifat wajib atau compulsory insurance, yang dibiayai dari kontribusi atau iuran yang dibayarkan oleh peserta. Dengan kewajiban menjadi peserta, sistem ini dapat terselenggara secara luas bagi seluruh rakyat dan terjamin kesinambungannya dan profesionalisme penyelenggaraannya. Dalam hal peserta adalah tenaga kerja di sektor formal, iuran dibayarkan oleh setiap tenaga kerja atau pemberi kerja atau secara bersama-sama sebesar prosentase tertentu dari upah. Mekanisme asuransi sosial merupakan tulang punggung pendanaan jaminan sosial di hampir semua negara. Mekanisme ini merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan mengikut-sertakan mereka secara aktif melalui pembayaran iuran. Besar iuran dikaitkan dengan tingkat pendapatan atau upah masyarakat (biasanya prosentase tertentu yang tidak memberatkan peserta) untuk menjamin bahwa semua peserta mampu mengiur. Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidak-mampuan penduduk melihat risiko masa depan dan ketidak-disiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Dengan demikian 4 sistem jaminan sosial juga mendidik masyarakat untuk merencanakan masa depan. Karena sifat kepesertaan yang wajib, pengelolaan dana jaminan sosial dilakukan sebesarbesarnya untuk meningkatkan perlindungan sosial ekonomi bagi peserta. Karena sifatnya yang wajib, maka jaminan sosial ini harus diatur oleh UU tersendiri. Di berbagai negara yang telah menerapkan sistem jaminan sosial dengan baik, perluasan cakupan peserta dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah serta kesiapan penyelenggaraannya. Tahapan biasanya dimulai dari tenaga kerja di sektor formal (tenaga kerja yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja), selanjutnya diperluas kepada tenaga kerja di sektor informal, untuk kemudian mencapai tahapan cakupan seluruh penduduk. Upaya penyelenggaraan jaminan sosial sekaligus kepada seluruh penduduk akan berakhir pada kegagalan karena kemampuan pendanaan dan manajemen memerlukan akumulasi kemampuan dan pengalaman. Kelompok penduduk yang selama ini hanya menerima bantuan sosial, umumnya penduduk miskin, dapat menjadi peserta program jaminan sosial, dimana sebagian atau seluruh iuran bagi dirinya dibayarkan oleh pemerintah. Secara bertahap bantuan ini dikurangi untuk menurunkan ketergantungan kepada bantuan pemerintah. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan perluasan kesempatan kerja dalam rangka mengurangi bantuan pemerintah membiayai iuran bagi penduduk yang tidak mampu. Pilar Ketiga menggunakan mekanisme asuransi sukarela (voluntary insurance) atau mekanisme tabungan sukarela yang iurannya atau preminya dibayar oleh peserta (atau bersama pemberi kerja) sesuai dengan tingkat risikonya dan keinginannya. Pilar ketiga ini adalah jenis asuransi yang sifatnya komersial, dan sebagai tambahan setelah yang bersangkutan menjadi peserta asuransi sosial. Penyelenggaraan asuransi sukarela dikelola secara komersial dan diatur dengan UU Asuransi. Pendapatan & cakupan jaminan sosial dengan pertumbuhan ekonomi membaik dapat dilihat dalam grafik berikut ini : 5 Kebutuhan Perlindungan Ekonomi dan Sosial Kurva Upah/Penghasilan Personal Investment (Saham, Deposito dll.) Supplements Scheme Asuransi Jiwa Private Pension Plan (DPLK) Employee Benefits Plan Asuransi Jiwa Kelompok * Pension Plan - Bantuan Sosial (Tax System) * Need Test * APBN (yang tersedia) Asuransi Sosial Pekerja Formal (PNS, TNI/Polri, Swasta) Terjangkau Belum Terjangkau Assos* Assos* Pekerja Informal (Nelayan, Petani, Pedagang, Buruh, dll.) Mampu Pencari Kerja Miskin * Assos; JAMSOSTEK, ASKES, TASPEN, ASABRI * Data Statistik Indonesia 2002 (BPS) : - Jumlah Penduduk Indonesia 212.003.000 orang - Angkatan Kerja ; 100.779.270 orang Pekerja 91.647.166 orang Pencari Kerja 9.132.104 orang - Jumlah penduduk miskin ...………….. orang 6 C. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Di Indonesia Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, sesuai dengan definisi yang tersebut terdahulu, namun kepesertaan program tersebut baru mencakup sebagian dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar lainnya, terutama yang bekerja di sektor informal, belum memperoleh perlindungan sosial. Selain itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil pada peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai untuk menjamin kesejahteraan mereka. Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa program jaminan sosial yang ada mempunyai keterbatasan. Berdasarkan kesadaran akan keterbatasan tersebut dan adanya mandat Ketetapan MPR RI nomor X/MPR/2001 kepada Presiden RI untuk mengembangkan SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu, Presiden mengambil inisiatif menyusun SJSN. SJSN disusun berlandaskan prinsip-prinsip yang mampu memenuhi keadilan, keberpihakan pada masyarakat banyak (equity egaliter), transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian (prudentiality) dan layak. Prinsip equity egaliter merupakan suatu bentuk keadilan sosial yang dicita-citakan dimana setiap penduduk harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (yang layak) tanpa memperhatikan kemampuan ekonominya. Dalam bidang kesehatan, prinsip ini diwujudkan dengan menjamin agar semua penduduk yang sakit mendapatkan pengobatan atau pembedahan yang dibutuhkan meskipun ia miskin. SJSN ini terutama akan didasarkan pada mekanisme asuransi sosial dan karenanya anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk kesejahteraan pada akhirnya akan semakin berkurang. Bagi penduduk yang tidak mampu, sebagian atau seluruh iuran akan dibayarkan oleh pemerintah, sesuai dengan tingkat ketidak-mampuan penduduk. Presiden, dalam Pidato di hadapan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002, telah menyampaikan bahwa konsep SJSN tersebut sedang disusun oleh Tim SJSN yang dibentuk oleh Pemerintah RI dengan Keppres No. 20 tahun 2002. Astek, Jamsostek telah menyelenggarakan jaminan sosial sejak tahun 1978 – 1993, mencakup sebagian tenaga kerja sektor formal dan hanya menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja. Sebagian besar tenaga kerja lainnya yang bekerja di sektor informal (tenaga kerja di luar hubungan kerja, seperti nelayan, petani dan pedagang sayur, kios, pedagang sate, baso, gado-gado, warteg, dll) belum memperoleh perlindungan sosial 7 formal sampai saat ini karena memang undang-undangnya belum menyediakan peluang untuk itu. Undang-Undang yang secara khusus mengatur jaminan sosial dan mencakup program yang lebih lengkap adalah UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek. Sampai saat ini penyelenggaraan Jamsostek baru mencakup sekitar 12 juta peserta aktif dari sekitar 31 juta tenaga kerja di sektor formal (Standing, 2000.). Selain PT Jamsostek, beberapa Badan Penyelenggara telah melaksanakan program jaminan sosial secara parsial sesuai dengan misi khususnya berupa program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri yang dikelola oleh PT ASKES Indonesia, Jaminan Hari Tua dan Pensiun Pegawai Negeri dikelola PT TASPEN dan jaminan sosial bagi TNI-Polri yang dikelola oleh PT ASABRI. Pegawai Negeri, pensiunan pegawai negeri, pensiunan TNI-Polri, Veteran, dan anggota keluarga mereka menerima jaminan kesehatan yang dikelola PT Askes berdasarkan PP No. 69/91. Selain itu pegawai negeri yang memasuki masa pensiun mendapatkan jaminan pensiun yang dikelola oleh program Tabungan Pensiun (TASPEN) berdasarkan PP No. 26 tahun 1981. Anggota TNI-Polri dan PNS Departemen Pertahanan mendapat jaminan hari tua, cacat, dan pensiun melalui program ASABRI berdasarkan PP No. 67 tahun 1991. Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri dan PNS Dephan memperoleh jaminan pensiun melalui anggaran negara (pay as you go).1 Dengan demikian, sebagain besar program pensiun pegawai negeri, TNI, dan Polri tidak didanai dari tabungan pegawai sehingga sangat bergantung pada anggaran belanja negara. Kontribusi pemerintah, dari APBN, untuk dana pensiun pegawai negeri, tentara, dan anggota polisi--yang merupakan suatu bentuk tunjangan pegawai atau employment benefits-- akan terus membengkak dan memberatkan APBN, jika tidak ditunjang dengan peningkatan iuran dari pegawai. Selain itu, tidaklah adil jika dana APBN yang berasal dari pajak akan tersedot dalam jumlah besar bagi pendanaan pensiun pegawai negeri, tentara dan anggota polisi saja. Penyelenggaraan dana pensiun yang adil dan memadai yang didanai bersama (bipartit) antara pekerja sendiri dan pemberi kerja, terlepas dari status pegawai negeri atau swasta atau usaha sendiri (self-employed) merupakan sebuah sistem yang lebih berkeadilan dan lebih terjamin kesinambungannya. 1 Sebenarnya dana Pensiun yang dikelola PT Taspen terdiri atas 14% dana dari iuran PNS dan 86% dari APBN. 8 Cakupan beberapa skema jaminan sosial yang ada (Askes, Taspen, Asabri, Jamsostek) baru diperuntukan bagi 7,8 juta tenaga kerja formal dari 100,8 juta angkatan kerja (BPS, 2003). Baru 12 juta tenaga kerja formal kini aktif sebagai peserta PT Jamsostek. Di negara-negara tetangga kepesertaan tenaga kerja yang memperoleh jaminan sosial sudah mencakup seluruh tenaga kerja formal. Khusus dalam program asuransi kesehatan sosial dengan pembiayaan dari publik, Indonesia jauh tertinggal karena baru menjamini 9 (sembilan) persen dari jumlah penduduknya, sebagaimana terlihat dalam gambar 1 berikut. Gambar 1 : Persentase Penduduk Yang Memiliki Asuransi Sosial Kesehatan / Pembiayaan Publik di Beberapa Negara 100 60 40 20 Luksemberg Kanada Islandia Denmark Norwegia Australia Jepang Itali Selandia Baru Finlandia Inggris Portugal Yunani Ceko Korea Spanyol Muangtai Perancis Austria Belgia Jerman Turki Belanda Filipina Amerika 0 Indonesia % pddk dg ASK 80 Sedangkan dalam program jaminan hari tua/pensiun, jaminan sosial di Indonesia baru mencapai maksimal 20 persen dari total pekerja sektor formal sebagaimana digambarkan pada gambar 2 berikut. 9 Gambar 2: Persentase Pekerja Sektor Formal (> 1 orang pekerja) Yang Memiliki Jaminan Hari Tua/Pensiun di Beberapa Negara 100 80 40 20 Luksemberg Kanada Islandia Denmark Norwegia Australia Itali Jepang Selandia Baru Inggris Finlandia Portugal Yunani Ceko Korea Muangtai Spanyol Perancis Austria Belgia Jerman Turki Belanda Filipina Amerika 0 Indonesia % pddk dg ASK 60 Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya cakupan kepesertaan program jaminan sosial sekarang ini terjadi karena program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil pada para peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta belum memadai untuk menjamin kesejahteraannya (Thabrany dkk, 2000). Selain itu program jaminan sosial di Indonesia belum mampu meningkatkan pertumbuhan dan menggerakan ekonomi makro karena porsi dana Jaminan Sosial terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia masih sangat kecil (Purwoko, 2001).i Sebagai contoh untuk Program Jaminan Kesehatan, berdasarkan data yang dikutip dari Profile of Asian Country, 1997, memperlihatkan belanja kesehatan per kapita Indonesia jauh tertinggal dan baru mencapai US$ 19,1 dan yang tertinggi adalah Singapore dengan US$ 667,0 akibat belum meluasnya cakupan jaminan kesehatan di Indonesia. Perbandingan belanja kesehatan di beberapa negara Asia dapat dilihat pada tabel berikut. 10 Tabel 1: Jaminan Kesehatan Berdasarkan Profile Of Asian Country PDB (US$ Milyar) NEGARA INDONESIA 214 HONGKONG PDB Per Kapita (US$) HE Per Kapita (US$) TOTAL HE (US$ Milyar) HE / PDB (%) CAKUPAN OPERASIONAL (%) 15 % 1.060 4.093 bil 19,1 1,7 % 173 bil 26.610 6,78 bil (HK) 161,3 4% MALAYSIA 97,9 bil 4.517 2,061 bil 97,3 2,4 % 18,2 % SINGAPORE 96,3 bil 31.035 3,3 bil (SIN) 667,0 3,6 % 35 % 283,4 bil 13.148 13,6 bil 623,8 4,8 % 96 % 154 bil 2.540 66 bil 108,5 4,3 % 56 % TAIWAN THAILAND - Source: Health Care Industry, Price Waterhouse, 1999 (termasuk JPS) Dari berbagai permasalahan yang berkembang saat ini, kendala pengembangan program jaminan sosial di Indonesia dapat di identifikasi utama sebagai berikut : 1. Belum adanya konsep dan undang-undang tentang SJSN yang komprehensif, terpadu, dan memberikan manfaat yang layak yang mampu menjangkau seluruh penduduk. 2. Pelayanan dari lembaga jaminan sosial yang ada dirasakan perlu ditingkatkan, baik dari segi besaran manfaat yang diterima maupun dari segi mekanisme perolehan manfaat. 3. Pengelolaan administrasi dan pelayanan kurang efisien dan kurang baik yang menyebabkan sering terjadinya keluhan peserta dan rendahnya tingkat kepuasan peserta. 4. Selama ini program jaminan sosial tidak didukung oleh perangkat penegak hukum yang konsisten, adil dan tegas, sehingga belum semua tenaga kerja memperoleh perlindungan yang optimal. 5. Adanya intervensi pejabat pemerintah terhadap penggunaan dana program jaminan sosial yang ada saat ini berdampak pada kurang optimalnya manfaat program dan menimbulkan keresahan dan rasa tidak puas di kalangan para peserta. 11 6. Seluruh badan penyelenggara jaminan sosial yang ada merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero yang harus mencari keuntungan dan menyetorkan deviden ke Pemerintah dan bukan memaksimalkan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. 7. Beberapa prinsip universal asuransi sosial, belum diterapkan secara konsisten. D. Pendekatan Yang Akan Dilaksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional akan dibangun terutama dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, sehingga tidak akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara. Namun sesuai amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (1), bagi penduduk yang tidak mampu harus mendapatkan bantuan sosial, maka sebagian atau seluruh iuran bagi penduduk tidak mampu akan ditanggung oleh pemerintah sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Bantuan sosial bagi penduduk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti korban bencana alam, kerusuhan sosial dan bencana lainnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah yang penyelenggaraannya dilaksanakan bersama pemerintah dan masyarakat, namun tidak dikelola oleh SJSN. E. Visi, Misi Dan Tujuan Berlandaskan amanat UUD 1945 hasil amandemen Pasal 28 H ayat (3), Pasal 34 ayat (2) dan amanat Sidang Tahunan MPR Nomor X/MPR-RI Tahun 2001 serta kondisi program jaminan sosial saat ini maka disusunlah visi, misi dan tujuan penyelenggaraan SJSN sebagai berikut: Visi SJSN “Mewujudkan suatu sistem Jaminan Sosial Nasional yang dapat memenuhi hak asasi yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖. Misi SJSN a. Meningkatkan kepesertaan sehingga pada suatu ketika SJSN mampu memberikan perlindungan kepada seluruh penduduk. b. Meningkatkan kualitas pelayanan sehingga seluruh penduduk merasa perlu menjadi peserta SJSN c. Meningkatkan perlindungan sehingga manfaat yang diterima peserta dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang layak. 12 Tujuan SJSN SJSN bertujuan untuk melaksanakan amanat Pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34 ayat (2) Amandemen UUD 1945, yang dituangkan dalam UU SJSN yang mengatur substansi berupa cakupan kepesertaan, besarnya iuran dan manfaat, mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial, dan kelembagaan sistem jaminan sosial yang berlaku nasional guna terwujudnya perlindungan yang adil dan manfaat yang optimal bagi para peserta. Undang-undang SJSN yang akan dilahirkan tersebut hendaknya merupakan undang-undang tentang SJSN yang dapat meningkatkan efisiensi program, meningkatkan kemampuan program untuk saling menopang, memudahkan mekanisme pengumpulan iuran dan pembayaran manfaat, memperbaiki administrasi dan manajemen pengelolaan, menetapkan struktur dan fungsi serta pengelolaan organisasi atau kelembagaan SJSN secara lebih adil, terutama pada saat-saat menurunnya tingkat kesejahteraan. F. Dasar Hukum Penyusunan SJSN Penyusunan UU SJSN didasarkan pada ketentuan UUD 1945 Pasal 28 H ayat (3) yang mengamanatkan ―Jaminan Sosial adalah hak setiap warga negara‖ dan Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan : ―Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu‖ serta ayat (4) nya menyatakan ―ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang‖. Penyusunan SJSN adalah sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No X/MPR-RI Tahun 2001 dalam Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk SJSN guna memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. Secara hukum, undang-undang SJSN akan mengatur lembaga jaminan sosial nasional yang akan dibentuk dan penyelenggaraan program jaminan sosial bagi seluruh penduduk. Dalam rangka penyusunan konsep SJSN telah dibentuk Tim SJSN dengan Keppres No. 20 tahun 2002, dan kemudian diperbaharui dengan Keppres Nomor 101 Tahun 2003. Keanggotaan Tim SJSN meliputi pejabat dari berbagai instansi terkait, kalangan akademisi, tenaga ahli dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas menyiapkan RUU SJSN. Untuk menampung aspirasi berbagai pihak terkait (stake holders) telah dilaksanakan berbagai loka karya, seminar dan sosialisasi konsep yang melibatkan pihak-pihak terkait baik di Jakarta maupun di berbagai daerah. Untuk mendukung kegiatan kesekretariatan, Ketua Tim SJSN telah membentuk Sekretariat 13 Tim SJSN yang berfungsi membantu kelancaran kegiatan kesekretariatan. Legalitas dan landasan filosofi SJSN ini diperlihatkan berikut. Gambar 3: Landasan Legalitas dan Landasan Filosofi SJSN Deklarasi HAM PBB (10 Des 1948) Pasal 25 ayat 1 (Hak Kesehatan dan Kesejahteraan, Jaminan Kesehatan, Cacat, Janda, Menganggur/PHK, Hari Tua) UUD 1945 Konvensi ILO 102 (1952) Hak jaminan sosial: Menganggur, sakit, cacat, janda, hari tua. Ratifikasi Ps 28H (3) Jaminan sosial adalah hak setiap warga negara. Ps 34 (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Kepseswapres No. 7/ 2001, 21 Maret 2001 (Pembentukan Kelompok Kerja SJSN) TAP MPR No. X/2001 (Menugaskan Presiden membentuk SJSN) Keppres No.20/2002 & 101/2003 (Presiden membentuk Tim SJSN) Naskah Akademik SJSN dan RUU SJSN (Substansi, Mekanisme dan Kelembagaan) Selain itu, Tim SJSN : 1. Mendapat bantuan tenaga ahli dari Masyarakat Uni Eropa (EU), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) serta Australia; 2. Tim telah melakukan studi banding ke Australia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Perancis, dan Jerman serta mengikuti seminar tentang Social Security di Cina; 3. Tim telah menyelesaikan konsep SJSN yang meliputi substansi, kelembagaan, mekanisme dan program yang dituangkan dalam Naskah Akademik SJSN ini. Penyusunan konsep tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai pandangan dan masukan dari penyelenggara jaminan sosial, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, asosiasi profesi, akademisi, instansi pemerintah terkait, serta lembaga swadaya masyarakat. Sudah barang tentu tidak setiap masukan yang diterima Tim dapat diakomodir ke dalam naskah RUU karena masing-masing pihak umumnya 14 memberikan masukan yang menyangkut kepentingannya. Tim menyusun konsep seperti yang tertuang dalam naskah akademik ini dan naskah RUU SJSN dengan meletakan keseimbangan dari berbagai kepentingan tersebut, serta tetap mengacu kepada prinsip jaminan sosial yang bersifat universal. 15 BAB II JAMINAN SOSIAL DI BERBAGAI NEGARA Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsipprinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara tersebut. Masingmasing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi penyusunan SJSN. Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan sosial di 8 (delapan) negara tetangga dan negara maju sebagai perbandingan dalam menyusun sebuah SJSN. A. Konsep Badan Penyelenggara Bervariasinya badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara baik yang dikelola langsung oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta, dapat dilihat pada tiga alternatif konsep jaminan kesehatan di bawah ini. Konsep jaminan kesehatan disajikan karena menyangkut kerja sama dengan fasilitas kesehatan (health care provider) yang lebih kompleks. Sedangkan untuk program jaminan sosial lain yang kurang kompleks dapat digunakan model badan penyelenggara yang sama dengan lebih mudah dengan membuang komponen fasilitas kesehatan. Ketiga alternatif badan penyelenggara adalah sebagai berikut: 16 1. Konsep alternatif pertama : Gambar 4: Alternatif 1 - Badan Penyelenggara Kelompok Formal Badan Penyelenggara 1 2 Kelompok Informal 3 4 5 6 Fasilitas Kesehatan Peserta 2. Konsep alternatif ke dua Gambar 5: Alternatif 2 - Badan Penyelenggara Konfederasi Badan Penyelenggara, Pemerintah, Wakil Fasilitas Kesehatan Badan Penyelenggara (Masyarakat/Swasta) Verifikasi Proses Klaim Administrasi Sentral Fasilitas Kesehatan PESERTA Keterangan : Masing-masing Badan Penyelenggara JPK membayar langsung ke Fasilitas Kesehatan 17 3. Konsep alternatif ke tiga Gambar 6: Altenatif 3 - Badan Penyelenggara PEMBERI KERJA Pembayaran Iuran Proses Klaim/Pembayaran BADAN PENYELENGGARA JS Fasilitas Kesehatan PESERTA B. Sistem Jaminan Sosial Di Delapan Negara Di bawah ini disajikan beberapa model sistem jaminan sosial di delapan negara terpilih. Model-model di negara tersebut di bawah ini adalah wakil dari model-model yang sama yang diselenggarakan di banyak negara lain. Penyajian model di delapan negara merupakan ringkasan bagi pilihan model yang dapat diambil untuk menyusun RUU SJSN di Indonesia. Malaysia Sebagai negara persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Pada tahun 1951 Malaysia sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah 18 mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di Malaysia. Dengan sistem pendanaan kesehatan oleh negara, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi semua penduduk Malaysia yang sakit ringan maupun berat. Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal adalah mereka yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF secara sukarela. Di dalam penyelenggaraannya, masing-masing program dan kelompok penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi. Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO). Manfaat (benefits) yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya (lump-sum) untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau 19 memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia. Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998). Tabel 2: Perkembangan Tingkat Iuran Dana Provident Fund di Malaysia Iuran Tenaga Kerja Iuran Pemberi Kerja Total 1952 – Juni 1975 5% 5% 10% Juli 75 – Nop 80 6% 7% 13% Des 80 – Des 92 9% 11% 20% Jan 93 – Des 95 10% 12% 22% Jan 96 - 11% 12% 23% Tahun Sumber: CPF, Malaysia, 1998 Filipina Filipina memulai pengembangan program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun 1948 akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan amendemen UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957. Barulah UU JS tersebut mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS. Kemudian pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian 20 juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). Khusu pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut defisini universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001). PhilHealth bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1) uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2) Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara P24.000P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). Manfaat lain (3) yang menjadi hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara lump-sum atau bulanan bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan oleh kecelakaan kerja. Manfaat selanjutnya (4) adalah jaminan hari tua (baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun (60 tahun). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian (5) berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia. Dan yang terakhir (6) adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak 21 diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan bunga 6% setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000. Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan. Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9% (tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9% dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002). Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina). Anggota Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24% pegawai pemerintah, 9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukarela (informal), dan 2% adalah peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena diasumsikan penduduk mampu membayar sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung bersama antara 22 pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada tahun 2003, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003). Iuran jaminan sosial di Filipina cukup beragam sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 3: Kompilasi Iuran Sistem Jaminan Sosial di Filipina Iuran Tenaga Kerja Iuran Pemberi Kerja Total 5,04% 3,36% 8,4% - 1% 1,0% Jaminan sosial, GSIS 9% 12% 21,0% Kesehatan, PhilHealth 1,25% 1,25% 2,5% Swasta 6,29% 5,61% 11,9% Pemerintah 10,25% 12% 22,25% Program Jaminan sosial, SSS Kecelakaan kerja Total Sumber: GSIS Filipina, 2002. Thailand (Muangtai) Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program yang diatur oleh UU Jaminan Sosial di Thailand dimulai pada tahun 1990 Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial, namun demikian implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi 23 kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta. Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki masa pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang belum termasuk peserta SSO atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan program National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ‘30 Baht‘. Dalam program ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian membayar rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala per tahun. Penduduk yang terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp 6.000) sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan. Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program ‘30 Baht‘. Manfaat program jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan kesehatan, baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu cacad dan jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah memang menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat jaminan hari tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif. Untuk jaminan kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja pegawai, pasangan dan anaknya, orang tua pegawaipun dijamin. Jaminan yang diberikan komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila mereka memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Tentu saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri. Besarnya iuran untuk prgram jaminan sosial pegawai swasta ditanggung bersama antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem jaminan 24 sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja swasta dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing program yang total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi kerja masingmasing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain itu, pemberi kerja masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat risiko masing-masing usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan untuk jaminan sosial ini ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah dan pegawai sektor informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung anggaran belanja pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan sosial di Thailand adalah bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan diturunkan dari tadinya 4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing pihak mengiur 1%) karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena penyelenggaraan yang bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan diakumulasi. Gambaran lengkap iuran terlihat pada tabel berikut. Tabel 4 : Iuran Jaminan Sosial Pegawai Swasta di Thailand (dalam % upah), 2003 Iuran Pekerja Iuran Pemberi Kerja Iuran Pemerintah 1% 1% 1% 1,5% 1,5% 1,5% Santunan anak 2% 2% 1% Hari tua (sejak 2003) 3% 3% - Total 7,5% 7,5% 3,5% Bentuk Jaminan Kesehatan dan persalinan Cacad/invalid dan kematian Total Iuran 18,5% Sumber : SSO, Thailand, 2003 Korea Selatan Seperti yang dilakukan Jepang, Jerman, dan banyak negara lain di dunia, Korea Selatan memulai jaminan sosialnya dengan mengembangkan asuransi kesehatan wajib di tahun 1976 setelah selama 13 tahun gagal mengembangkan asuransi 25 kesehatan sukarela. Asuransi kesehatan wajib dimulai dari pemberi kerja yang memiliki jumlah pekerja banyak terus diturunkan. Pada tahun 1989 seluruh penduduk sudah memiliki asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh lebih dari 300 lembaga nirlaba. Kini seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara yaitu National Health Insurance Corporation (NHIC) suatu lembaga semi-pemerintah yang independen dengan cakupan praktis seluruh penduduk (Park, 2002). Sedangkan jaminan pensiun atau hari tua baru dilaksanakan 1988 dengan wewajibkan pemberi kerja dengan 10 karyawan atau lebih mengiur untuk jaminan pensiun. Baru pada tahun 2003 ini, seluruh pemberi kerja dengan satu atau lebih pegawai diwajibkan ikut program pensiun yang dikelola oleh National Pension Corporation (NPC). Kedua lembaga NHIC dan NPC berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan dan bukan badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Berbeda dengan NHIC yang mengelola seluruh penduduk, kecuali militer aktif dan penduduk miskin yang hanya berjumlah 3% dari seluruh penduduk, NPC hanya mengelola pensiun bagi pegawai swasta dan sektor informal. Pensiun untuk pegawai pemerintah, tentara, guru sekolah, pekerja tambang, dan petani dikelola terpisah dari NPC (Ha-Young and Hun-Sang, 2003). Manfaat yang diberikan oleh NHIC adalah jaminan kesehatan komprehensif mencakup pelayanan kesehatan, medical check up, penggantian uang tunai pada kondisi tertentu seperti dalam keadaan darurat, santunan penguburan, dan penggantian biaya protese. Setiap peserta harus membayar co-payment yang besarnya bervariasi antara jenis pelayanan, fasilitas kesehatan, dan kelompok peserta. Rata-rata besarnya co-payment bisa mencapai 40-50% dari biaya berobat, kecuali penduduk tertentu (tua, tidak mampu, atau di daerah terpencil). Pelayanan kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta (lebih dari 90%) dengan sistem klaim. Klaim harus diperiksa oleh suatu lembaga independen lain, HIRA Health Insurance Review Agency, sebelum NHIC membayar fasilitas kesehatan. Manfaat program pensiun bervariasi sesuai dengan lamanya mengiur yang diatur dengan formula tertentu (defined benefits) dengan maksimum pensiun sebesar 60% dari upah terkahir untuk yang sudah mengiur selama 40 tahun. Selain pensiun karena mancapai usia pensiun, NPC juga membayarkan pensiun cacad, pensiun ahli waris, dan pembayaran lumpsum bagi peserta yang belum memilki masa kualifikasi pensiun (10 tahun). 26 Iuran untuk program kesehatan bagi tenaga kerja di sektor formal ditetapkan sebesar 3,63% yang ditanggung bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Sedangkan untuk sektor informal, UU mengatur tingkat-tingkat penghasilan untuk masing-masing kelompok dan besarnya iuran ditetapkan tersendiri untuk tiap-tiap kelompok penghasilan. Sedangkan iuran untuk program pensiun kini sebesar 9% dari upah yang dibayar bersama-sama antara pemberi kerja dan pekerja masingmasing sebesar 4,5%. Pada tahap awal iuran besarnya hanya 3%, kemudian secara bertahap ditingkatkan sehingga kini mencapai 9%. Selain pekerja, NPC juga melayani penduduk yang secara sukarela, secara perorangan atau pekerja sektor informal, mendaftar diri dengan iuran saat ini sebesar 7%, akan tetapi juga akan ditingkatkan sehingga tahun 2005 akan mengiur sebesar 9%. Perancis Jaminan sosial di Perancis telah diselenggarakan lebih dari satu abad dengan diawali dengan jaminan kesehatan. Jaminan sosial pertama dilaksanakan pada tahun 1898 tatkala Perancis masih didominasi oleh ekonomi pertanian. Pada saat ini sistem jaminan sosial di Perancis masih diselenggarakan oleh berbagai badan penyelenggara yang berbagai kelompok peserta seperti pegawai negeri, pekerja swasta, petani, pekerja sektor informal dan tentara. Program jaminan sosial mencakup program jaminan kesehatan (CNAM), jaminan pensiun atau hari tua (CNAV), jaminan pembiyaaan keluarga (CNAF), dan jaminan perlindungan PHK (ARE). Program tersebut merupakan program jaminan dasar. Pengumpulan iuran dilakukan secara terpadu dan terpusat oleh semacam Badan Administrasi yang disebut ACOSS. Selain program jaminan dasar, masih ada program jaminan tambahan yang juga bersifat wajib untuk berbagai sektor. Berbeda dengan program jaminan sosial di banyak negara lain, di Perancis pembiyaan jaminan sosial lebih banyak bersumber dari pemberi kerja. Untuk program kesehatan, kecelakaan, dan cacad; pekerja hanya mengiur sebesar 2,45% dari upah sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 18,2%. Sementara untuk program pensiun, pekerja mengiur 6,55% sedangkan pemberi kerja mengiur sebesar 8,2%. Secara keseluruhan, pekerja mengiur sebesar 9% dan pemberi kerja mengiur sebesar 26,4% sehingga seluruh iuran menjadi 35,4% dari upah sebulan. 27 Jerman Jerman dikenal sebagai pelopor dalam bidang asuransi sosial yang merupakan tulang punggung dari sebuah jaminan sosial modern. Asuransi sosial pertama yang diselenggarakan di Jerman pada tahun 1883 menanggung penghasilan yang hilang apabila seorang pekerja menderita sakit. Sehingga dengan demikian, asuransi sosial kesehatan menjadi pintu gerbang penyelenggaraan jaminan sosial. Undangundang mengatur tata cara penyelenggaraan asuransi kesehatan sedangkan penyelenggaraan asuransi kesehatan diserahkan kepada masyarakat, yang awalnya terkait dengan tempat kerja. Jumlah badan penyelenggara yang disebut sickness funds tidak dibatasi sehingga pada awalnya mencapai ribuan, yang semuanya bersifat nirlaba. Namun demikian, karena rumitnya masalah asuransi kesehatan dan perlunya angka besar untuk menjamin kecukupan dana, maka terjadi merjer atau perpindahan peserta karena badan penyelenggara bangkrut. Kini jumlahnya tinggal 355 saja. Sistem yang digunakan Jerman adalah dengan mewajibkan penduduk yang memiliki upah di bawah 45.900 Euro per tahun untuk mengikuti program asuransi sosial wajib. Sedangkan mereka yang berpenghasilan diatas itu, boleh membeli asuransi kesehatan dari perusahaan swasta, akan tetapi sekali pilihan itu diambil, ia harus seterusnya membeli asuransi kesehatan swasta. Akibatnya, banyak orang yang berpenghasilan diatas batas tersebutpun, memiliki ikut asuransi sosial. Pada saat ini 99,8% penduduk memiliki asuransi kesehatan dan hanya 8,9% yang mengambil asuransi kesehatan swasta. Sebagian kecil penduduk (seperti militer dan penduduk sangat miskin) mendapat jaminan kesehatan melalui program khusus. Jaminan kesehatan yang ditanggung sangat besar mencakup pengobatan dan perawatan, perawatan jangka panjang, biaya transpor, obat-obatan bahkan transplantasi. Peserta bebas berobat ke dokter yang disukai atau dipercaya namun demikian pembayaran diatur melalu suatu mekanisme pembayaran kelompok ke asosiasi dokter. Asosiasi dokterlah yang mengatur pembayaran ke masing-masing anggota dokternya. Sedangkan untuk pembayaran rumah sakit dilakukan dengan anggaran global dan mulai dilaksanakan sistem pembayaran per diagnosis (DRG). Besarnya iuran untuk asuransi kesehatan kini dirasakan sangat tinggi karena mencapai 14,5% dari upah yang dibayar bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. 28 Pegawai negeri lebih banyak yang membeli asuransi kesehatan swasta karena mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 80% dari iuran (Grebe A, 2003). Australia Sistem jaminan sosial di Australia dimulai dengan sistem negara kesejahteraan dimana negara menanggung segala beban sosial seperti bantuan sosial bagi lansia (semacam uang pensiun). Sejak didirikannya Australia tahun 1901, Australia menjalankan sistem jaminan sosialnya melalui program bantuan sosial (pilar pertama dalam sistem Australia). Sampai dengan awal tahun 70-an, penduduk yang memasuki usia pensiun dan memiliki penghasilan dan aset di bawah jumlah tertentu mendapat uang pensiun otomatis dari pemerintah. Karena sifatnya bantuan sosial, maka tidak semua penduduk berhak mendapatkan dana pemerintah yang dikumpulkan dari pajak umum (general tax revenue). Oleh karenanya pemerintah mengembangkan instrumen seleksi, means test untuk menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan bantuan sosial hari tua. Sedangkan jaminan kesehatan sudah menjadi hak setiap penduduk yang pendanaanya dibiayai dari dana pajak. Baru pada tahun 1973 dirasakan perlunya mengembangkan asuransi kesehatan wajib dan pada tahun 1983 dirasakan perlunya asuransi hari tua wajib. Praktek jaminan sosial dengan sistem asuransi wajib atau asuransi sosial baru diterapkan sepenuhnya sejak tahun 1992 yang pada waktu itu, sekitar 40% pekerja memiliki asuransi hari tua. Pada tahun 2001, dengan program asuransi sosial, maka sudah 97% pekerja tetap telah menjadi peserta. Pada tahun 2001, 65% penduduk lansia menerima pensiun (Aged Pension) dari sistem asuransi wajib yang dikenal dengan superannuation. Pengelolaan jaminan sosial wajib berada di bawah Menteri Keuangan dan Administrasi, kecuali untuk angkatan bersenjata yang berada di bawah koordinasi Departemen Urusan Veteran. Penyelenggaraan sehari-hari jaminan sosial tambahan (non kesehatan) dikelola oleh lembaga swasta pengelola dana yang berada di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Sedangkan untuk asuransi kesehatan program jaminan sosial kesehatan (Medicare) dikelola oleh Health Insurance Commissioner (HIC), suatu lembaga Negara yang bersifat independen akan tetapi di bawah pengawasan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Orang Tua. Program asuransi kesehatan tidak membedakan kelompok pekerjaan karena semua pegawai swasta atau pemerintah menjadi peserta Medicare yang dikelola HIC. Pegawai swasta yang ingin mendapatkan pelayanan lebih baik dapat membeli 29 asuransi tambahan pada asuransi kesehatan swasta dibawah koordinasi Medibank Private Insurance (MPI). Besarnya iuran untuk proteksi pilar pertama yang berbentuk bantuan sosial tidak diperhitungkan terpisah karena dibiayai oleh pajak umum. Sedangkan besarnya iruan untuk asuransi hari tua wajib adalah sebesar 9% dari upah (sebelum tahun 2003, besarnya 8% dari upah) sedangkan untuk HIC besarnya iuran adalah 2,5% dari upah. Namun perlu disadari bahwa iuran untuk Medicare tersebut sebenarnya merupakan tambahan dari biaya kesehatan yang dibiayai dari anggaran pemerintah federal dan negara bagian. Amerika Serikat Jaminan sosial di Amerika pertama kali diundangkan pada tanggal 14 Agustus 1935 yang pada awalnya dikenal dengan nama OASDI program (Old-Age, Survivors, and Disability Insurance). Undang-undang jaminan sosial tersebut disetujui setelah terjadinya depresi ekonomi di Amerika di awal tahun 1930an. Awalnya, UU Jaminan Sosial Amerika tidak mencakup asuransi sosial kesehatan (Medicare). Program Medicare dalam sistem jaminan sosial di Amerika baru masuk 30 tahun kemudian, yaitu di tahun 1965 sehingga nama lain kini dikenal dengan OASDHI (H diantara D dan I sebagai singkatan dari Health). Program OASDI, tanpa kesehatan, pada hakikatnya mirip dengan program pensiun kita dimana peserta memperoleh manfaat uang tunai ketika mencapai usia pensiun, ahli waris peserta yang memenuhi syarat menerima manfaat jika peserta meninggal, dan apabila peserta menderita cacat. Menjelang UU Jaminan Sosial di Amerika diberlakukan, usulan untuk membuat program ini sukarela juga sudah diajukan dengan alasan pelanggaran atas hak kebebasan. Namun demikian, pilihan tersebut tidak diadopsi dalam UU karena bukti-bukti menunjukkan bahwa program sukarela tidak efektif. Sebenarnya Amerika termasuk terbelakang dalam mengembangkan jaminan sosialnya dibandingkan dengan Jerman dan Inggris (Rejda, 1988). Pada prinsipnya, sistem Jaminan Sosial di Amerika diselenggarakan dengan satu undang-undang dan diselenggarakan olah satu badan pemerintah (Social Security Administration). Dengan demikian, program Jaminan Sosial Amerika bersifat monopolistik dan mencakup jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Hanya saja, jaminan kesehatannya (Medicare) terbatas untuk penduduk berusia 65 tahun keatas atau yang menderita cacat tetap atau penderita sakit ginjal yang mematikan. Seluruh penduduk, apakah ia pegawai swasta maupun pegawai 30 pemerintah harus masuk program jaminan sosial sehingga perpindahan pekerja dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau dari satu negara bagian ke negara bagian lain tidak menjadi masalah. Untuk itu, setiap penduduk harus memiliki nomor jaminan sosial (9 digit) yang berlaku untuk segala macam urusan seperti sebagai nomor pajak, kartu SIM, bersekolah, menjadi nasabah bank, dan berbagai urusan kehidupan lainnya. Manfaat yang diberikan berupa jaminan pensiun yang dibayarkan menurut sistem pay as you go dimana iuran dibayarkan oleh tenaga kerja yang aktif bekerja dan pemberi kerja, sedangkan manfaat bagi pensiunan dibayarkan dari iuran tenaga kerja pada tahun yang sama. Artinya, pensiun bagi penduduk Amerika dibayar oleh tenaga kerja yang masih aktif, bukan dari tabungan pensiunan pada masa lalu. Begitu juga untuk jaminan cacad, pensiun ahli waris, dan Medicare. Jaminan pensiun diberikan berkaitan dengan tingkat penghasilan penduduk terakhir dan lamanya seorang penduduk mengiur. Besarnya pensiun yang menjadi hak setiap penduduk dapat dilihat dari Web yang setiap orang dapat menghitung atau melihat haknya setiap saat. Program Medicare hanya diberikan kepada seluruh penduduk yang mencapai usia 66 tahun atau lebih atau penduduk yang lebih muda akan tetapi menderita cacad tetap atau menderita penyakit ginjal yang memerlukan hemodialisa atau transplantasi. Jaminan kesehatan yang diberikan kepada pensiunan terbatas pada jaminan rawat inap di rumah sakit dan jaminan perawatan jangka panjang. Program ini disebut Medicare Part A yang menjadi hak semua lansia. Sedangkan untuk jaminan rawat jalan, penduduk lansia harus membeli asuransi kesehatan swasta dengan 75% premi disubsidi Medicare. Program rawat jalan ini bersifat sukarela dengan insentif premi dari Medicare. Untuk mendapatkan hak jaminan sosial, setiap orang harus memenuhi kualifikasi masa iuran dan besarnya iuran yang dikonversi dalam sistem poin. Program Kecelakaan kerja dikelola tersendiri oleh masing-masing negara bagian dengan peraturan negara bagian. Iuran untuk program jaminan sosial dikumpulkan bersamaan dengan pembayaran pajak secara umum dan karenanya disebut social security tax. Hanya saja dana dana jaminan sosial tidak masuk ke kas negara akan tetapi masuk kedalam tiga jenis Dana (trust fund) yaitu Dana Jaminan Hari Tua dan Ahli Waris (old-age and Survivors Insurance, OASI), Dana Asuransi Disabilitas (SSDI), dan Dana Medicare. Besarnya iuran tenaga kerja adalah 7,65% dan pemberi kerja juga mengiur sebesar 7,65% untuk program OASI dan masing-masing 0,9% untuk program SSDI, serta 31 masing-masing 1,45% untuk program Medicare. Total iuran pekerja menjadi 15,3% dari upah dengan maksimum upah sebesar US$ 62.500 setahun yang setiap tahun dinaikan sesuai dengan indeks yang telah disusun oleh badan penyelenggara (SSA) yang berada di bawah Departemen Pelayanan Sosial (Butler, 1999). 32 BAB III SUBSTANSI SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL A. Pengertian Jaminan Sosial Nasional (JSN) adalah salah satu bentuk program perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya memenuhi kebutuhan dasar hidup yang minimal layak. Program Jaminan Sosial diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi sosial bantuan sosial, dan atau tabungan wajib yang bertujuan untuk menyediakan jaminan sosial bagi seluruh penduduk, guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak. Program ini adalah milik bersama antara pemberi kerja (baik swasta maupun pemerintah) dan pekerja (baik di sektor formal maupun di sektor informal). Sudah barang tentu tidak semua penduduk mempunyai penghasilan rutin tetap yang memungkinkannya mengiur. Di pihak lain, sebagai bangsa yang berbudaya, seluruh warga negara tidak boleh membiarkan salah seorang diantaranya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Bagi masyarakat yang kurang mampu Pemerintah wajib membayar sebagian atau seluruh iuran, yang dimulai dari suatu program tertentu misalnya jaminan kesehatan. Pemberian bantuan sosial berupa iuran kepada masyarakat yang tidak mampu harus memperhatikan kemampuan keuangan pemerintah, urgensi jaminan, besarnya kelompok penduduk yang memerlukan bantuan, dan risiko ekonomis bagi penduduk jika jaminan tidak diberikan. Program bantuan sosial dalam sebuah sistem jaminan sosial bersifat rutin dan berkesinambungan. Di negara maju, bantuan sosial yang dipadukan dalam sebuah sistem jaminan sosial dapat diwujudkan untuk program jaminan kesehatan, penduduk lansia, program keluarga dan persalinan. Bantuan sosial yang diberikan pada keadaan khusus yang sifatnya sementara seperti masyarakat yang dilanda bencana alam, kerusuhan sosial, bencana lainnya, serta masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial diberikan secara terpisah dari SJSN. Bantuan sosial untuk kondisi khusus seperti itu diatur dengan UU tersendiri dan selama ini sudah diselenggarakan oleh pemerintah yang dikoordinasi oleh instansi terkait dan oleh masyarakat secara sukarela. Meskipun secara umum bantuan sosial seperti itu merupakan suatu bentuk perlindungan sosial atau jaminan sosial dalam arti luas. Lazimnya suatu sistem jaminan sosial (social security) 33 diselenggarakan berdasarkan kontribusi peserta, dan tidak mengatur program bantuan sosial lainnya. B. Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan disusun adalah suatu sistem yang dibangun berdasarkan prinsip dibawah ini. 1. Kegotong-royongan. Prinsip kegotong-royongan atau solidaritas sosial ini diwujudkan dengan mekanisme asuransi sosial dimana semua peserta mengiur sebesar prosentase tertentu dari upah atau penghasilannya. Dengan demikian terjadi suatu sistem subsidi silang. Peserta yang mampu membantu yang kurang mampu, peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi, peserta yang sehat membantu yang sakit, dan yang muda membantu yang tua. Tidak semua program jaminan sosial diwujudkan dengan mekanisme gotong royong seperti itu. Program jaminan hari tua, provident fund, biasanya dibangun dengan sistem tabungan wajib yang kurang menggambarkan kegotong-royongan seperti di atas. Namun secara umum, SJSN akan dibangun berdasarkan prinsip kegotong-royongan ini. 2. The law of the large numbers (hukum bilangan besar). Prinsip ini merupakan suatu syarat terselenggaranya sebuah mekanisme asuransi yang efisien. Pada intinya prinsip ini merupakan hukum alam dimana semakin besar jumlah peserta, semakin kecil biaya pengelolaan per peserta yang harus dikeluarkan untuk seluruh peserta. Dengan demikian, sistem akan berjalan dengan sinambung dan mampu memelihara tingkat solvabilitas yang stabil. Selain itu, pemupukan dana dalam satu ―lumbung‖ milik bersama tidak hanya memenuhi prinsip asuransi, akan tetapi juga menjadi upaya pemersatu atau menjadi perekat bangsa sehingga sebuah sistem nasional yang sama bagi seluruh rakyat akan memperkuat nasionalisme Indonesia. 3. Kepesertaan bersifat wajib (compulsory). Prinsip ini perlu ditegakkan untuk menjamin seluruh penduduk terlindungi dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya. Terpenuhinya hukum bilangan besar karena hanya dengan mewajibkan seluruh penduduk mengiur dan menyatukan risiko individual menjadi risiko bersama. Dalam prakteknya, mewajibkan penduduk sektor informal untuk mengiur memiliki banyak kendala dalam pengumpulan iuran secara reguler dan dalam penentuan tingkat iuran karena penghasilan penduduk di sektor informal tidak selalu tetap 34 seperti penghasilan penduduk di sektor formal. Pengalaman negara-negara lain yang telah memiliki sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh penduduk menunjukkan bahwa dari segi manajemen, kewajiban menjadi peserta dimulai dengan penduduk di sektor formal, baru secara bertahap dilanjutkan kepada penduduk di sektor informal. Selain itu, kecendrungan masyarakat modern secara otomatis meningkatkan jumlah penduduk di sektor formal sejalan dengan terjadinya urbanisasi dan kebutuhan persaingan di pasar global. 4. Manfaat yang layak. Jaminan sosial ditujukan untuk menjamin setiap warga negara memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang dapat memungkinkan rakyat berproduksi. Apabila manfaat (benefits) jaminan sosial diberikan terlalu kecil, maka rakyat tidak akan merasakan manfaat mengikuti program jaminan sosial dan karenanya sulit mengharapkan tingkat kepatuhan kepesertaan yang tinggi. Manfaat yang diberikan terlalu besar atau jauh lebih tinggi dari kebutuhan dasar akan membutuhkan iuran yang lebih besar, sementara sebagian besar penduduk tidak memiliki kemampuan untuk mengiur yang mengambil porsi sebagian besar upah atau penghasilannya. Oleh karenanya, manfaat yang diberikan oleh SJSN harus memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang secara bertahap ditingkatkan sesuai dengan peningkatan standar hidup dan peningkatan upah atau penghasilan penduduk. Sedangkan bagi penduduk yang mampu dapat menjadi peserta asuransi komersiil. 5. Iuran ditetapkan secara proporsional dengan penghasilan. Kepesertaan yang bersifat wajib harus didukung dengan penetapan iuran yang proporsional terhadap upah atau penghasilan. Dengan iuran yang proporsional tersebut, maka seluruh pekerja akan mampu mengiur, karena beban iuran relatif sama bagi seluruh lapisan pekerja. Penetapan iuran yang proporsional terhadap penghasilan tidak mudah dilaksakan bagi penduduk di sektor informal yang tidak memiliki penghasilan yang tetap jumlahnya atau relatif sama untuk sekelompok pekerja dengan pengalaman dan pendidikan yang sama. Bagi sektor informal iuran dapat juga ditetapkan sejumlah tertentu seperti di Filipina. Oleh karenanya penetapan iuran bagi sektor informal memerlukan studi yang memberikan informasi tentang rata-rata penghasilan bagi berbagai kelompok usaha informal. 6. Pembiayaan bersama antara pekerja dan pemberi kerja. Pada dasarnya jaminan sosial akan memberikan manfaat bagi para pekerja sehingga mereka dapat bekerja dengan tentram tanpa harus memikirkan risiko masa depan. 35 Dengan demikian produktivitasnya akan meningkat. Peningkatan produktivitas pada akhirnya akan menguntungkan pemberi kerja karena hasil produksi yang meningkat juga dapat memberikan keuntungan pengusaha yang lebih tinggi. Dari sisi pekerja, keikutsertaan mengiur, sebagai bagian tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya. Kecuali jaminan yang yang seharusnya menjadi tanggung jawab pekerja yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Oleh karenanya sangatlah wajar jika pembiayaan SJSN ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja. Prinsip ini juga diselenggarakan oleh sistem jaminan sosial di negara-negara lain. Pemerintah juga merupakan pemberi kerja bagi pegawai negeri. Pekerja di sektor informal, yang bekerja mandiri, dengan sendirinya berfungsi ganda sebagai pekerja sekaligus pemberi kerja bagi dirinya. Oleh karenanya pekerja sektor informal harus menanggung jumlah iuran yang relatif lebih besar dibandingkan dengan pekerja di sektor formal. Dalam banyak negara, dimana sektor informal telah membayar pajak dengan teratur, pemerintah dapat memberikan subsidi iuran bagi pekerja di sektor informal. 7. Penyelenggaraan SJSN bersifat nirlaba (not for profit/solidaritas sosial). Hakikat penyelenggaraan jaminan sosial adalah kegotong royongan dari dan oleh peserta. Pada sistem yang telah matang dimana seluruh penduduk sudah menjadi peserta, maka sistem ini akan menjadi suatu sistem gotong-royong nasional. Oleh karenanya, sebenarnya SJSN dimiliki oleh seluruh peserta bukan oleh sekelompok orang. Dengan demikian, segala usaha yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan nilai dana yang terkumpul harus dikembalikan kepada peserta dalam bentuk peningkatan nilai manfaat atau penurunan jumlah iuran di kemudian hari. Sisa hasil usaha di akhir tahun buku tidak dibagikan sebagai dividen dan tidak perlu dikenakan pajak penghasilan. Semua sisa hasil usaha akan menjadi hak seluruh peserta yang notabene adalah seluruh rakyat. Inilah hakikat dari prinsip nirlaba dimana seluruh dana dan hasil pengembangan dana dikembalikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. 8. Pengelolaan jaminan sosial menggunakan prinsip Dana Amanat (Trust Fund). Dalam prinsip ini, iuran yang terkumpul bukanlah penerimaan badan penyelenggara sebagai hasil jual beli dan karenanya bukan merupakan kekayaan badan penyelenggara. Iuran yang terkumpul, dan hasil pengembangannya, tetap merupakan titipan para peserta kepada badan penyelenggara yang peruntukkanya telah ditetapkan. Badan penyelenggara diberikan amanat atau kepercayaan untuk mengelola dana untuk sebesar-besarnya manfaat kepada 36 seluruh peserta. Dengan demikian, badan penyelenggara harus bisa dipercaya. Badan Penyelenggara memperoleh upah atas jasanya dalam pengelolaan dana amanat ini. Untuk memelihara tingkat ‗dipercaya‘ tersebut, penyelenggaraan jaminan sosial harus dikendalikan oleh suatu dewan yang terdiri atas wakil-wakil pihak yang mengiur. Dewan ini disebut lembaga tripartit yang terdiri atas wakilwakil pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah jumlahnya dapat antara 15 – 21 orang. Dalam sistem SJSN, yang dipilih masing-masing 5 (lima) – 7 (tujuh) orang dari kelompok pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah. 9. Pengelolaan dana dilaksanakan dengan prinsip solvabilitas, likuiditas, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas: 9.1. Prinsip solvabilitas adalah prinsip dimana dana harus selalu mencukupi untuk membiayai manfaat bagi seluruh peserta dalam jangka panjang. Pengelola harus selalu menjaga agar setiap saat dana, baik yang berupa uang tunai, dana di rekening, dana yang tersimpan dalam bentuk deposito, obligasi, dan dalam bentuk investasi lain harus selalu cukup untuk membiayai segala kewajiban SJSN kepada seluruh pesertanya. 9.2. Prinsip likuiditas adalah prinsip dimana dana harus selalu tersedia untuk membiayai seluruh manfaat seperti jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Sumber dana untuk membiayai manfaat jangka pendek adalah dana tunai, bank dan deposito yang jatuh tempo segera. 9.3. Prinsip keterbukaan merupakan suatu keharusan dalam jaminan sosial karena dana yang dikelola merupakan dana milik peserta. Oleh karenanya manajemen harus sangat terbuka yang ditunjukan dengan penyampaian akun perorangan yang menunjukkan jumlah iuran yang diterima dan akumulasinya kepada seluruh peserta dan laporan keuangan berkala yang harus dipublikasi secara terbuka dan diketahui oleh setiap peserta yang ingin mengetahuinya, serta perubahan kebijakan minimal satu kali setahun. 9.4. Prinsip kehati-hatian (prudensial) adalah suatu bentuk tanggung jawab pengelola dalam mengelola dana peserta. Penempatan dana dalam investasi harus benar-benar diperhitungkan agar terhindar dari risiko kehilangan dana akibat berbagai spekulasi atau tingkat risiko investasi yang besar. Investasi spekulasi dalam mata uang asing misalnya mempunyai risiko tinggi dan karenanya tidak dibenarkan. Begitu juga penempatan dana dalam jumlah besar di suatu bank akan mempunyai risiko besar apabila ternyata bank tersebut mengalami kebangkrutan. 37 9.5. Prinsip akuntabilitas merupakan prinsip dimana pengelola harus bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Oleh karenanya segala tindakan yang bertujuan untuk kepentingan dirinya harus dilarang. Penempatan investasi pada suatu bank dimana pengelola memiliki saham jelas merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab kepada peserta dan karenanya harus dilarang. 9.6. Prinsip efisiensi diwujudkan dengan membatasi dana yang boleh digunakan untuk biaya operasional. Untuk program jangka pendek, pengelola tidak boleh menghabiskan lebih dari 5% (lima persen) iuran yang diterima dalam satu tahun buku. Untuk program jangka panjang, iuran sama sekali tidak boleh digunakan untuk membiayai opersasional SJSN. Operasional program jangka panjang harus dibiayai dan dicukupi dari sebagian kecil (misalnya 5%) hasil pengembangan dana. 9.7. Prinsip efektivitas diwujudkan dengan memberikan jaminan yang benarbenar efektif. Sebagai contoh dalam jaminan kesehatan, pengobatan yang belum dibuktikan kebenarannya secara ilmiah tidak boleh dijamin oleh SJSN. 10. Portabilitas. Artinya manfaat jaminan sosial dapat dibawa kemana saja dan selalu tersedia dimanapun di seluruh tanah air. Manfaat yang diperoleh peserta tidak boleh putus atau hilang karena peserta pindah tempat kerja atau pindah tempat tinggal. Tentu saja, apabila peserta pindah tempat tinggal tetap ke luar negeri maka jaminan atau manfaat jaminan sosial harus terputus, karena peserta tidak lagi menjadi penduduk Indonesia sebagai suatu syarat kewajiban dan hak jaminan sosial. 11. Tanggung jawab terakhir tetap pada Pemerintah. Pada hakikatnya program jaminan sosial adalah amanat UUD45 yang harus diselenggarakan oleh Negara yang diberi mandat kepada Pemerintah. Oleh karenanya Pemerintah harus bertanggung-jawab atas keamanan keuangan bila terjadi force majeur, seperti terjadinya krisis ekonomi dan perubahan nilai tukar yang tinggi yang terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi apabila kesulitan dana terjadi karena kesalahan manajemen maka pengelola harus bertanggung-jawab atas kesalahan tersebut. Pemerintah wajib memantau secara terus menerus, secara langsung atau melalui pengaturan dan pengawasan yang ketat, agar tidak terjadi kesulitan pembiayaan yang parah. 38 C. Manfaat 1. Manfaat adalah hak peserta yang dijamin UU-SJSN sesuai dengan jenis program. Manfaat program yang dianjurkan dalam SJSN adalah jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian serta jaminan pemutusan hubungan kerja. Tiap-tiap program jaminan memberikan manfaat yang ditetapkan oleh peraturan perundangan SJSN. 2. Jenis manfaat adalah manfaat program SJSN yang diberikan dalam bentuk jaminan dana tunai maupun berkala, dan pelayanan (kesehatan/ kedokteran). 3. Penerima manfaat terbagi dalam dua jenis penerima, sesuai dengan ketentuan masing-masing program yaitu: a. Peserta. Manfaat yang diterimakan langsung kepada peserta adalah Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kecelakaan Kerja. b. Peserta dan seluruh anggota keluarganya. Manfaat Jaminan Kesehatan diberikan kepada peserta dan seluruh anggota keluarganya, namun jaminan kesehatan tidak diberikan dalam bentuk uang atau penggantian uang tetapi dalam bentuk pelayanan yang diterima di fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat kualitas tinggi yang dikontrak BPJS. Sedangkan Jaminan Hari Tua, Pensiun, dan jaminan kematian diberikan kepada ahli waris yang berhak apabila peserta meninggal dunia. D. Iuran dan Dana SJSN 1. Iuran SJSN adalah sejumlah dana yang ditetapkan secara proporsional terhadap gaji atau penghasilan peserta yang dibayarkan secara teratur oleh peserta (dan pemberi kerja bagi peserta di sektor formal) untuk memenuhi pembiayaan manfaat bagi peserta atau anggota keluarganya, sesuai dengan jenis program. Untuk sektor informal, iuran dapat ditentukan dalam jumlah tertentu. 2. Dana SJSN adalah himpunan iuran JSN beserta hasil pengembangannya yang diamanatkan oleh peserta untuk disimpan, dikelola, dan dibayarkan sebagai manfaat bagi peserta apabila syarat timbulnya hak peserta sudah terpenuhi. Syarat timbulnya hak peserta adalah kejadian yang menyebabkan terjadinya penurunan atau penghentian pendapatan atau kejadian sakit atau kecelakaan. 3. Sifat himpunan dana yaitu dana yang terkumpul dan hasil pengembangannya merupakan Dana Amanat (trust fund) yang berarti bahwa dana tersebut tidak dapat digunakan oleh pengelola sesuai peruntukan yang telah ditetapkan, 39 kecuali disetujui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (board of trustees) sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan SJSN. E. Jenis dan Manfaat Program Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar rakyat, SJSN akan mengembangkan dan memperluas jaminan melalui 6 (enam) program, sebagai berikut: 1. Jaminan Kesehatan (JK) Program Jaminan Kesehatan adalah program yang memberikan manfaat berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif, sesuai dengan kebutuhan medik yang diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan meningkatkan kesehatan peserta dan anggota keluarganya. 2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Program Jaminan Kecelakaan Kerja merupakan manfaat pelayanan pemulihan kesehatan yang terjadi akibat dari suatu kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Selain itu, program ini juga memberikan manfaat dalam bentuk santunan uang baik lump-sum ataupun secara berkala bagi peserta yang mengalami cacat atau meninggal dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja. 3. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK) Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja merupakan dana tunai yang dibayarkan oleh badan penyelenggara kepada tenaga kerja yang minimal bekerja telah 6 bulan, sesuai dengan perhitungan masa kerjanya. Pembayaran dilakukan sekaligus atau dibagi selama maksimal 6 bulan untuk menjamin kebutuhan hidup minimal sehari-hari setelah putus hubungan kerja. Dana ini beraasal dari iuran peserta dan pemberi kerja yang dipungut selama peserta masih bekerja. Namun program JPHK ini tidak dimasukkan kedalam RUU SJSN ini karena telah diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. Jaminan Hari Tua (JHT) Program Jaminan Hari Tua merupakan program yang membayarkan uang tunai secara sekaligus sebelum seorang peserta memasuki masa pensiun. Pemberian uang tunai lump-sum ini dimaksudkan untuk membekali peserta dengan uang tunai dalam memasuki usia pensiun yang dapat digunakan untuk membeli rumah atau modal untuk berusaha. Apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki masa pensiun, maka manfaat program dibayarkan kepada janda/duda, anak atau ahli waris peserta yang sah. 40 5. Jaminan Pensiun (JP) Program Pensiun merupakan program yang membayaran uang secara berkala untuk jangka waktu tertentu atau sampai peserta meninggal dunia sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun atau menderita cacat total tetap yang menyebabkan ia tidak mampu lagi bekerja. Apabila peserta meninggal dunia sebelum ia memasuki usia pensiun, maka manfaat dibayarkan kepada ahli warisnya. 6. Jaminan Kematian (JKm). Program Jaminan Kematian membayarkan sejumlah uang tunai kepada ahli waris yang sah setelah peserta meninggal dunia secara alamiah atau kecelakaan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Manfaat jaminan kematian ini diharapkan dapat meringankan beban ahli waris peserta yang ditinggalkan yang dapat digunakan untuk membiayai penguburan atau keperluan lain yang terkait dengan kematian peserta. 41 BAB IV KELEMBAGAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL Kelembagaan JSN merupakan salah satu unsur dalam suatu SJSN yang berfungsi menyelenggarakan terwujudnya tujuan jaminan sosial yang telah dirumuskan dalam SJSN sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan sosial yang melandasinya seperti telah diurakan pada Bab III. Dalam beroperasinya lembaga tersebut perlu diperlukan aspek legal sehingga lembaga tersebut memerlukan suatu bentuk badan hokum. Pembahasan kelembagaan selanjutnya dikelompokkan dalam (1) tinjauan kelembagaan jaminan sosial di iselenggarakan berbagai Negara, (2) alternative kelembagaan jaminan sosial untuk Indonesia, dan bentuk badan hokum penyelenggara. A. Tinjauan Kelembagaan Jaminan Sosial di berbagai Negara. Dalam Bab II, telah disajikan bahwa kelembagaan jaminan sosial di berbagai negara yang lebih maju dari Indonesia bervariasi dari banyak lembaga/ badan penyelenggara sampai badan penyelenggara tunggal di tingkat nasional. Jumlah badan penyelenggara akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi penyelenggaraaan program jaminan sosial. Tidak ada suatu hukum khusus yang mengharuskan jumlah dan bentuk badan penyelenggara. Selain itu, keputusan mengenai jumlah badan penyelenggara pada umumnya merupakan keputusan politik yang harus diambil oleh pemerintah suatu negara. Namun demikian, baik dari sistem jaminan sosial di berbagai negara dan literatur pembiayaan publik tampak kecendrungan penyelenggaraan jaminan sosial dimulai dengan jumlah BP yang banyak, baik menurut kelompok penduduk maupun dari sektoral mengarah kepada semakin kecil jumlahnya, bahkan ada Negara yang jamian sosialnya hanya dikelola oleh satu badan. Disamping itu, tampak adanya suatu pola yang sama yaitu penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nirlaba, baik yang dikelola langsung oleh organisasi pemerintah atau dikelola oleh badan semi (kuasi) pemerintah yang tidak dipengaruhi birokrasi pemerintahan dalam pengambilan keputusan penting dan di dalam pengelolaan dana. Badan penyelenggara Jaminan Sosial dapat bervariasi baik dari program, maupun dari fokus kepada populasi yang dilayani. Fokus populasi yang dilayani dapat dikelompokkan dalam jaminan sosial pegawai pemerintah,bahkan terpisah antara pegawai pemerintah sipil dan militer (polisi), dan pegawai swasta. Ada juga penyelenggaraan berdasarkan program seperti Asuransi Kesehatan Nasional yang melayani berbagai kelompok penduduk. Ada juga pembagian menurut kelompok 42 penduduk dan kelompok program. Demikian juga dengan tanggung jawab penyelenggaraan, ada yang melekat pada kementerian keuangan, kementrian tenaga kerja, kementrian kesejahteraan, kementrian kesehatan dan sebagainya dan ada juga yang berdiri sendiri dengan tanggung jawab langsung kepada Presiden. Secara umum sebuah badan penyelenggara mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai berikut: 1. Mengelola kepesertaan yang meliputi pendaftaran,pemberian nama identitas JS, mutasi, penghentian (penghapusan) misalnya karena meninggal dunia atu pindah permanen ke negara lain, 2. Melakukan pembayaran manfaat kepada peserta dan atau pembayaran kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan kepada peserta, 3. Menghimpun iuran dari para pemberi kerja dan atau peserta, 4. Mengelola dana yang dititipkan oleh peserta guna memberikan manfaat sebesarbesarnya kepada peserta (benefit maximizer), 5. Membuat laporan kegiatan dan keuangan secara transparan kepada seluruh peserta dan pemerintah, 6. Melakukan penelitian dan pengembangan program-program jaminan sosial sesuai dengan perubahan kebutuhan dasar peserta dan perubahan lingkungan sosial ekonomi suatu negara, 7. Melakukan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk meningkatkan kesejahteraan peserta pada khususnya dan rakyat pada umumnya. B. Alternatif Kelembagaan Jaminan Sosial Untuk Indonesia Dari berbagai bahasan penyelenggaraan dan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan jaminan social di berbagai Negara, disajikan disini berbagai alternatif badan penyelenggara jaminan social untuk Indonesia. Hal ini sangat penting disampaikan mengingat saat ini Indonesia sudah memiliki empat badan penyelenggara jaminan sosial. Perubahan mendasar dan radikal dapat menimbulkan guncangan, namun demikian tanpa perubahan badan penyelenggara sistem jaminan sosial nasional tidak akan menjadi kuat. Oleh karenanya, berbagai alternatif badan penyelenggara yang disampaikan berikut ini disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan dan risiko masing-masing pilihan/alternatif. Untuk setiap alternatif diperlukan masa transisi tertentu sehingga perubahan penyelenggaraan dari yang sedang berjalan menuju pola baru setelah adanya perubahan undang-undang tidak menimbulkan guncangan besar. Yang pasti, perubahan 43 harus selalu dijalankan guna memperbaiki manajemen maupun besarnya manfaat program yang disediakan melalui sistem jaminan sosial. Sebuah sistem jaminan sosial pada hakikatnya merupakan pelaksana program pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Suatu badan penyelenggara dapat mengelola suatu sistem jaminan sosial bagi sekelompok penduduk tertentu atau sebuah program tertentu. Oleh karena itu, sebuah badan penyelenggara dapat berada di bawah koordinasi langsung sebuah kementrian, misalnya Kementrian Tenaga Kerja atau Kementrian Keuangan apabila badan penyelenggara mengurus kelompok penduduk. Sebuah badan penyelenggara juga dapat berada di bawah koordinasi Kementrian Kesehatan apabila program yang dikelola adalah program jaminan/asuransi kesehatan yang mencakup berbagai segmen populasi. Dengan demikian koordinasi badan penyelenggara ini akan sangat tergantung dari rancangan sebuah sistem jaminan sosial. Untuk Indonesia, alternatif koordinasi badan penyelenggara dapat dilakukan melalui pilihan di bawah ini: 1. Langsung berada di bawah koordinasi Presiden/Kepala Negara Salah satu pilihan adalah sebuah Badan Penyelenggara yang langsung bertanggung-jawab kepada Presiden, tanpa melalui seorang Menteri. Sebuah badan penyelenggara yang otonom yang tidak berada di bawah koordinasi suatu kementrian atau departemen akan lebih cocok untuk program jaminan sosial yang lintas sektoral. Bentuk badan seperti ini, sebagai suatu badan setingkat Departemen atau Lembaga Non Departemen, cocok untuk rancangan sebuah sistem jaminan sosial yang mengelola berbagai program untuk berbagai kelompok penduduk. Bentuk ini juga sangat efisien dan efektif karena akan selalu menjadi fokus perhatian seluruh pihak terkait (stakeholders). Hanya saja, jika badan penyelenggara berada langsung di bawah Presiden, keputusan yang diambil dapat dipengaruhi oleh figur Presiden yang mungkin mewakili partai yang berkuasa. Dengan demikian, independensi dan otonomi badan ini sering diragukan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa badan yang terlalu dekat dengan kekuasaan sering digunakan sebagai alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. 44 2. Berada di bawah koordinasi sebuah kementrian Badan penyelenggara yang berada di bawah suatu Depatemen tepat mengatur kelompok penduduk atau program yang menjadi tugas utama suatu departemen. Namun demikian, apabila program jaminan sosial menyangkut berbagai sektor dan berbagai kelompok penduduk, maka koordinasi oleh suatu departemen dapat menimbulkan gesekan politik yang keras karena banyak Departemen yang merasa berwenang mengatur dan karenanya akan menjadi ―rebutan‖ mengingat dana yang akan dikelola dapat jadi sangat besar. Departemen Keuangan dapat melihat badan ini sebagai suatu Lembaga Keuangan dan karenanya dapat menuntut agar badan tersebut berada di bawah Departemen Keuangan. Hal ini mengandung risiko bahwa badan tersebut akan dilihat sebagai suatu sumber keuangan umum negara seperti halnya BUMN di masa lalu. Padahal tujuan utama jaminan sosial bukanlah akumulasi dana sebagai usaha revenue center bagi pemerintah, akan tetapi upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi penduduk yang pengelolaannya harus memperhatikan aspek ekonomi dan keuangan. Sebaliknya Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigarasi, atau Departemen Sosial dapat melihat badan ini lebih tepat di bawah koordinasinya karena mengurusi jaminan sosial atau jaminan tenaga kerja. Padahal badan ini juga tidak hanya mengurus masalah sosial atau kesejahteraan sosial atau tenaga kerja semata, akan tetapi badan ini juga akan mengurus pengumpulan dana dan investasi yang pruden dimana kemampuan itu tidak dimiliki oleh pejabat di Departemen non keuangan. Dimanapun letak badan tersebut, pengaruh birokrasi dan kekuasaan dapat menjadikan pengelolaan badan ini menyimpang dari tujuan semula yaitu memberikan jaminan sosial yang mampu meningkatkan produktivitas penduduk. 3. Independen, bertanggung jawab langsung kepada DPR Suatu badan di bawah koordinasi DPR memang memberikan jaminan tidak ada campur tangan pemerintah. Pada kondisi banyak fraksi seperti yang kini terjadi, pembentukan sebuah Badan Penyelenggara di bawah DPR mempunyai potensi sebagai ajang rebutan partai, khususnya yang berkuasa. Lembaga seperti ini tidak masuk dalam konstitusi atau sistem pemerintahan Indonesia, sehingga bentuk ini tampaknya sulit bisa dilaksanakan. 45 F. Bentuk Badan Hukum Badan Penyelenggar 1. Badan Trust Fund (Dana Amanat) yang Independen Suatu bentuk badan tripartit yang independen terhadap birokrasi pemerintahan yang disebut Wali Amanat (Board of Trustee) dan diawasi oleh wakil-wakil pihak yang berkepentingan (stakeholders) merupakan pilihan yang paling banyak dianut di dunia. Bentuk Dana Amanat adalah bentuk badan hukum yang umum digunakan di negara-negara maju dengan berbagai nama. Badan ini dapat disebut sebagai suatu Badan Penyelenggara Publik yang bukan BUMN, bukan perusahaan swasta, dan bukan lembaga pemerintah. Bentuk Dana Amanat pada prinsipnya adalah suatu badan Quasi Pemerintah yang tidak dimiliki oleh sekelompok orang akan tetapi dimiliki oleh seluruh pesertanya, yang peruntukan dananya telah ditetapkan. Oleh karena Dana Amanat dimiliki seluruh pesertanya, maka apabila terdapat sisa hasil usaha maka sisa hasil usaha tersebut menjadi milik seluruh peserta. Jadi tidak ada pembagian dividen untuk sekolompok orang maupun untuk pemerintah seperti yang terjadi dalam bentuk BUMN. Dana sisa hasil usaha dapat diberikan sebagai pengurangan iuran tahun berikutnya, disimpan sebagai dana cadangan umum untuk seluruh peserta, atau untuk perbaikan pelayanan. Dana Amanat merupakan milik seluruh rakyat—apabila cakupan jaminan sosial sudah universal, maka sisa hasil usaha juga tidak perlu dikenakan pajak penghasilan badan karena setiap dana yang diperoleh sudah menjadi hak seluruh rakyat seperti halnya dan yang dikumpulkan dari pajak. Bedanya, dalam Dana Amanat pemerintah tidak ikut campur mengelola dana tersebut. Pengelolaan Dana Amanat diatur oleh undang-undang dan pengelola yang terdiri dari Board of Trustees (Wali Amanat) dan Executive Boards (Dewan Eksekutif yang terdiri atas Direksi beserta kelengkapannya) secara independen atau otonom tanpa campur tangan pemerintah atau partai. Wali Amanat/Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah lembaga penentu kebijakan dan sekaligus pengawas keuangan maupun penyelenggaraan lainnya yang dilaksanakan oleh eksekutif. Wali Amanat terdiri dari wakil-wakil berbagai peserta seperti wakil tenaga kerja, wakil perusahaan, wakil pemerintah, dan unsur lain yang dinilai perlu dan memiliki kemampuan menjalankan fungsi Wali Amanat. Bentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Universitas Otonom atau Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang mendekati bentuk Dana Amanat. 46 2. Badan Usaha Milik Negara/Daerah Selama ini jaminan sosial dikelola oleh badan hukum BUMN seperti PT (Persero) Askes, Jamsostek, dan Taspen. Dalam undang-undang asuransi memang diatur bahwa asuransi sosial harus dikelola oleh BUMN. Dari segi tanggung jawab pemerintah, memang bentuk BUMN lebih menjamin solvabilitas jika sewaktuwaktu terjadi masalah keuangan yang berat. Namun demikian, bentuk BUMN yang pada hakikatnya lembaga pencari laba (untuk kas negara) tidak sesuai dengan nafas jaminan sosial yang perlu memaksimalkan manfaat atau jaminan. Bentuk badan usaha ini pula yang menimbulkan tuntutan agar pengelolaan jaminan sosial atau asuransi sosial tidak dimonopoli. Padahal, jika bentuk penyelenggara kembali kepada sifat alamiahnya yang wajib kontribusi, maka bentuk BUMN tidak cocok. Jaminan sosial bukanlah urusan usaha bisnis karena jaminan sosial justeru terbentuk sebagai jawaban atas kegagalan usaha bisnis mewujudkan keadilan sosial, dan memberikan kepastian perlindungan yang berkelanjutan. Karena di Indonesia banyak pihak belum memahami dan belum percaya dengan bentuk khusus Dana Amanat. Jalan keluar yang mungkin bisa ditempuh adalah banyak BUMN khusus yang nirlaba dan aturan mainnya di atur sendiri. Dalam SJSN tidak diatur oleh UU BUMN. Namun itupun masih bisa menimbulkan kebingungan. 3. Badan Usaha Milik Swasta (free choice) Kini banyak tuntutan pihak swasta untuk ikut serta terjun mengelola jaminan sosial. Apabila hal ini disetujui, maka ini merupakan alternatif liberal yang dapat dipertimbangkan untuk pengelola jaminan sosial. Negara-negara Amerika Latin sudah mencoba bentuk ini dalam skala yang amat terbatas. Namun demikian evaluasi uji coba model Amerika Latin menunjukkan terjadinya seleksi bias yang tidak lagi mencerminkan asas keadilan sosial yang didambakan. Negara maju lain di dunia, termasuk juga negara paling liberal, Amerika Serikat, masih mengelola jaminan sosial oleh suatu badan pemerintah yang independen. Jaminan sosial yang tidak dikelola oleh badan swasta justru merupakan jawaban atas kegagalan pihak swasta mewujudkan keadilan sosial. Jadi usulan ini adalah kontradiktif dengan esensi diselenggarakannya jaminan sosial. Bentuk ini hendaknya sama sekali tidak diambil pada saat ini. 47 D. Jumlah Badan Penyelenggara dan Undang-Undang Jaminan sosial Jumlah badan penyelenggara jaminan sosial dikaitkan dengan undang-undang jaminan soial dapat dipertimbangkan menurut beberapa alternatif berikut ini. 1. Satu Badan Penyelenggara Nasional dengan Satu UU JS Nasional Pilihan yang paling ideal adalah dengan satu badan penyelenggara yang mengelola seluruh program (Social Security Administration) di Pusat yang memiliki kantor cabang di daerah-daerah. Badan di pusat ini memiliki tigadirektorat, yaitu direktorat jangka panjang, direktorat jangka pendek dan direkotrat administrasi. Direktorat Jaminan Jangka Panjang mengatur jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian, yaitu jaminan yang manfaatnya diterima pada saat menjelang memasuki hari tua atau pensiun, atau meninggal dunia yang memberikan jaminan berbentuk uang tunai. Direktorat Jaminan jangka pendek yaitu direktorat yang mengatur jaminan pelayanan seperti jaminan kesehatan. Sementara jaminan kecelakaan kerja dapat dikategorikan sebagai jaminan jangka pendek. Direktorat administrasi diperlukan karena kompleksnya administrasi dan dinamisnya peserta yang dapat pindah-pindah kerja, baik pegawai negeri ke pegawai swasta atau sebaliknya maupun pindah tempat tinggal, maka dibutuhkan satu Direktorat Khusus yang menangani administrasi peserta, termasuk mengelola dana yang terkumpul maupun yang belum digunakan. Eksekutif Badan Penyelenggara dipimpin oleh Dewan Direksi, yang mencakup Direktur yang memimpin sebuah Direktorat. Badan ini memang ideal, namun membutuhkan waktu yang cukup untuk menggabungkan seluruh badan penyelenggara yang kini mengelola populasi atau sektor yang berbeda (pegawai negeri dan pegawai swasta), baik dari segi teknis maupun dana. Disamping itu kemungkinan akan ada resistensi dari mereka yang kini mengelola, meskipun hal itu sebenarnya tidak perlu, sebab badan penyelenggara yang ada sekarang ini merupakan Badan Usaha Milik Negara. Dengan demikian Pemerintah dapat menentukan apakah badan penyelenggara yang ada akan digabungkan atau tidak. Namun, jika akan digabungkan menjadi satu badan penyelenggara, proses transisinya harus dilakukan secara bijaksana tanpa ada rasionalisasi tenaga dan tidak merugikan peserta. Ketentuan undangundnag yang baru bagi peserta baru, terutama jaminan jangka panjang. Patut juga dipertimbangkan bahwa masing-masing badan penyelenggara telah memiliki 48 peraturan tersendiri. Struktur satu badan penyelenggara Nasional dengan satu UU JS Nasional digambarkan pada gambar 7 berikut. Gambar 7: Satu Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN Presiden Dewan JSN Direksi Direktorat JJPd Direktorat JJPj Direktorat Adm 2 Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU JS Nasional Alternatif kedua yang lebih baik penerimaannya adalah badan penyelenggara yang ada tetap beroperasi tetapi dengan satu UU JSN, artinya badan penyelenggara yang ada menyesuaikan dengan UU-SJSN tersebut. Paling tidak, alternatif ini bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Dengan satu UU JSN, lebih dapat dijamin konsistensi dan uniformitas JSN bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja sektor informal. Model ini merupakan model ‗virtual tunggal‘ sebagai suatu sistem nasional. Untuk menjamin bahwa seluruh badan penyelenggara yang ada melaksanakan program jaminan sosial secara konsisten, maka perlu dibentuk sebuah Dewan Jaminan Sosial Nasional yang akan mengawasi dan membuat kebijakan umum program jaminan sosial. Alternatif kedua ini merupakan kombinasi penyelenggaraan jaminan sosial menurut sektor dan menurut program. PT Jamsostek akan tetap melayani pekerja sektor swasta ditambah sektor informal yang bisa mulai mengikuti program jaminan sosial secara sukarela. Namun demikian, program JPK Jamsostek dapat digabungkan dengan program Askes pegawai negeri yang dikelola oleh PT Askes. Dengan demikian, PT Askes akan berkonsentrasi mengelola jaminan kesehatan secara universal, baik untuk 49 pegawai swasta, pegawai negeri, sektor informal, dan penduduk miskin. Hal ini telah dilaksanakan di negara lain seperti Taiwan, Filipina, dan Korea di akhir tahun 90-an yang lalu. Sementara itu, PT Taspen dan PT ASABRI akan tetap mengelola jaminan bersifat jangka panjang untuk kedua sektor pegawai negeri dan tentara. Akan tetapi, karena badan-badan yang ada sekarang merupakan BUMN yang bertujuan mencari laba dan tidak konsisten dengan prinsip-prinsip universal, maka seluruh badan penyelenggara tersebut harus diubah menjadi suatu badan hukum nirlaba, yang merupakan badan hukum jaminan sosial atau semacam trust fund. Mengingat saat ini belum ada undang-undnag tentang dana amanat, maka antara lain dapat dipertimbangkan bentuk persero yang berciri khusus jaminan sosial yaitu pengelolaannya not for propfit, yang memperoleh fasilitas perpajakan dan dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden. Secara organogram, susunan badan penyelenggara yang akan diatur dengan UU JSN nantinya sebagaimana tercantum pada gambar 8 berikut: Gambar 8: Beberapa Badan Penyelenggara dengan Satu UU SJSN Presiden DJSN BP* JK BP* Jamsostek & informal BP* J Pensiun PNS BP* J Pensiun TNI-P * Seluruh BP diatur oleh satu UUJSN 3. Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UU JS Praktek penyelenggaraan jaminan sosial dengan satu UU untuk masing-masing sektor dan tiap sektor memiliki satu badan penyelenggara sendiri. Alternatif ini kurang menggambarkan sifat nasionalnya dan kurang optimum di dalam mewujudkan solidaritas dan keadilan sosial. Potensi bervariasi manfaat dan cara penyelenggaraan, sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial, bisa sangat 50 besar dalam model ini. Selain ini, kemungkinan kebangkrutan satu model, misalnya sektor informal, karena sulitnya mengumpulan iuran dari kelompok tersebut sangat besar. Apabila hal itu terjadi, maka citra jaminan sosial nasional akan rusak secara keseluruhan. Dalam model ini, perlu dibuat satu UU dan satu badan penyelenggara untuk pegawai negeri, untuk pekerja swasta, untuk petani, untuk sektor informal, dan sebagainya. Tiap badan penyelenggara dapat mengelola berbagai program, misalnya badan jaminan sosial pegawai negeri akan mengelola dana pensiun, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sekaligus. Penanggung jawab badan-badan tersebut diletakkan kepada menteri-menteri terkait. Organogramnya sebagaimana tercantum pada gambar 9 berikut. Gambar 9 : Beberapa Badan Penyelenggara dengan Beberapa UUJS Presiden Menteri Kesehatan Menteri Tenaga Kerja & Trans Menteri Keuangan Menteri Pertahanan BP JK BP Jamsostek & informal BP J Pensiun PNS BP J Pensiun TNI-P UU PPNS UU PTNI UU JK UU JSTI 4. Membentuk Badan Baru JSN selain yang ada sekarang (ini yang ditawarkan oleh PT.TASPEN, perlu diulas lebih panjang) Bentuk lain yang dapat diusulkan adalah membentuk badan baru yang bersifat nasional yang mengelola jaminan sosial dasar untuk seluruh program, tanpa mengganggu badan yang ada. Badan-badan yang ada dikonversi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial tambahan. Kelemahan badan baru ini adalah mahalnya biaya pembentukan badan baru dan tidak optimalnya penyelenggaraan jaminan sosial, karena tiap sektor atau tiap pegawai akan memiliki dua jaminan sosial sekaligus yang juga bersifat wajib. Hal ini sangat tidak lazim. Penambahan lembaga baru artinya akan menambah besaran iuran, baik bagi peserta maupun 51 pember kerja. Disamping itu, manfaat jaminan sosial yang ada saat ini masih belum memadai sebagai manfaat dasar. Karenanya menjadikan sekunder tidak rasional, kecuali untuk mempertahankan eksistensi yang ada. Penyelenggaraan yang lazim dilakukan adalah satu sistem yang bersifat wajib dan kemudian setiap sektor atau orang dapat memiliki jaminan sosial tambahan (suplemen) yang bersifat sukarela. Pada penyelenggaraan yang sifatnya sukarela ini, prinsip keadilan sosial (equity) kurang penting dan karenanya dapat diselenggarakan oleh sektor swasta. Kombinasi berbagai bentuk diatas masih dimungkinkan. Masing-masing bentuk badan dan jumlah badan penyelenggara mempunyai kekuatan dan kelemahan. Rangkuman Kelebihan Dan Kekurangan Dari Masing-Masing Alternatif BPJS Alternatif (1) Satu Badan Penyeleng-gara Publik Terpadu di Pusat yang menangani semua program. Badan ini berada di bawah Presiden. Kelebihan Efisiensi di dalam pengelolaan dana sangat tinggi, biaya administrasi kecil Keseragaman kebijakan secara Nasional memudahkan sosialisasi dan pemahaman mudah dilakukan dan murah Terselenggaranya equity (adil dan merata)/subsidi silang luas antar wilayah dan golongan ekonomi untuk program kesehatan Menjadi perhatian semua orang dan karenanya lebih terjaga karena semua pihak berkepentingan. Sustainabilitas menjadi tinggi Pada tahap awal bentuk ini merupakan bentuk terbaik. Kemudian hari mungkin dapat didesentralisasi Akumulasi dana (very large pool) jangka panjang yang Kekurangan Kontrol pada sebagian kecil orang di pusat yang mudah terjadi manipulasi oleh kekuasaan Kurang fleksibel dalam merespons keinginan berbagai kelompok peserta atau daerah, kurang akomodatif Diseconomy of scale, karena organisasi terlalu besar dan akan menjadi terlalu birokratis Sekali kolaps merugikan semua penduduk, namun kemungkinan ini kecil Kolusi dalam penempatan dana mudah terjadi Span of control terlalu besar sehingga bisa menimbulkan kesuli-tan kendali Wakil stakeholder (pihak berke-pentingan) – dalam pengendalian tidak banyak 52 Alternatif Kelebihan Kekurangan besar memiliki daya ungkit ekonomi tinggi (2) Beberapa Badan Pe-nyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam satu UU Terhindarnya kepesertaan ganda dan memudahkan penanganan penduduk yang pindah (portabilitas). Diperlukan nomor jaminan sosial (social security number) Masih terjaga keseragaman mekanisme dan penyelenggaraan Secara teknis tidak banyak gejolak dari badan penyelenggara atau pihak lain yang terkait (3) Beberapa Badan de-ngan Beberapa UU Mempunyai pool yang tetap besar apabila jumlah badan penyelenggara tetap seperti sekarang Dapat tercipta ‗virtual competition‘ apabila tetap berada di bawah satu DJSN Mengakomodir kepentingan kelompok yang khsusus, seperti TNI-Polri Tingkat kepuasan peserta akan lebih baik dibandingkan pilihan pertama Mengakomodir kepentingan sektoral / kelompok yang lebih luas, sehingga kepuasan peserta lebih baik Kegagalan di satu sektor dapat diisolasi sehingga tidak merugikan sektor lain Kurang menggambarkan jaminan sosial Efisiensi penyelenggaraan lebih rendah dari pilihan pertama Kemungkinan terjadi variasi pelayanan antara BP yang menimbulkan ketidak-puasan Membutuhkan pekerjaan tambahan peserta yang pindah kerja/sektor Lebih mudah dipengaruhi pejabat di sektor yang mengawasi/merasa perlu mengawasi Kepesertaan ganda mungkin terjadi. Akan tidak menguntungkan untuk program kesehatan Dapat menimbulkan kecemburuan pada sektor swasta dan informal yang merasa tidak mendapat kontribusi pemerintah Dapat terjadi ketidak-harmonisan antara satu UU dengan UU lainnya Efisiensi lebih penyelenggara Pengaruh birokrat dari kementrian yang terkait dapat sangat kuat rendah, ke-nasionalan karena untuk duplikasi Tingkat kompetisi semakin tinggi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan Untuk program kesehatan, solidaritas sosial semakin terbatas dan menimbulkan konflik pada penyelenggaraan untuk satu keluarga yang bekerja pada sektor berbeda Jumlah perwakilan dari masing-masing sektor dapat lebih banyak Akan timbul badan penyelenggara kuat dan lemah (sektor infor-mal/petani) yang tingkat peng-hasilannya lebih kecil 53 Alternatif Kelebihan (4) Pembentukan satu ba-dan JS Dasar untuk seluruh penduduk, yang ada menjadi program tambahan Kekurangan Kepuasan peserta/respons terhadap kebutuhan peserta sektor tertentu dapat lebih terakomodir Jika dibutuhkan kebijakan penggunaan dana jaminan sosial yang besar, lebih sulit mengorganisirnya Pengelolaan dana yang terkumpul lebih tersebar Memberi kesan program Nasional adanya Sangat tidak efisien dan menimbulkan duplikasi program yang sama-sama wajib Tidak mengganggu badan penyelenggara yang ada sekarang, tidak ada resistensi Memerlukan investasi pemerintah yang besar, sementara yang ada belum optimal Lebih memperlihatkan resistensi BP yang ada, yang sebenarnya tidak perlu Akan menambah beban iuran yang lebih tinggi pada saat keadaan ekonomi sulit Manfaat yang diberikan oleh BP JSD akan sangat kecil, tidak memadai atau hanya basabasi E. DASAR PILIHAN KELEMBAGAAN SJSN Dari berbagai alternatif kelembagaan tersebut, apapun pilihan haruslah mendasari niat awal dibentuknya SJSN, yaitu memberikan kepastian jaminan perlindungan yang mampu memenuhi kebutuhan berkelanjutan sehingga dapat hidup layak terwujud bagi setiap penduduk, secara kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia secara berkeadilan, dengan bertumpu kepada prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan jaminan sosial yaitu penyertaannya bersifat wajib bagi seluruh rakyat, kegotong-royongan, memberikan perlindungan yang adil pada para peserta, peserta membayar iuran, law of the large numbers atau hukum bilangan besar, transparan dan dapat dipercaya. Penyelenggaraannya bersifat nirlaba (not – profit) dan bila ada peningkatan asset akan digunakan untuk menambah manfaat bagi peserta. Kelembagaan ini haruslah dibentuk sebagai suatu sistem yang integral, terkoordinasi dan dapat menghindari terjadinya tumpang tindih sebagaimana yang terjadi pada program jaminan sosial yang ada saat ini dalam masyarakat. Oleh karenanya kelembagaan yang akan dibangun adalah kelembagaan yang independen, 54 menerapkan good governance dan dapat dipercaya untuk mewakili kepentingan para stakeholder yaitu peserta, pemberi kerja dan pemerintah. Kelembagaan dimaksud haruslah merupakan lembaga yang mengandung sifat dasar sebagai perwalian amanah. 2Dalam pelaksanaanya, lembaga tersebut senantiasa harus berpedoman pada undang-undang dan ketentuan peraturan untuk itu. Pada dasarnya keberadaan dan kelanggengan lembaga jaminan sosial nasional ini adalah tanggung jawab Pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Tap MPRRI Nomor X Tahun 2001. Artinya Pemerintah berfungsi sebagai pemberi kontribusi dalam pengadaan modal awal, ikut menjamin bila sewaktu-waktu lembaga tidak bisa memenuhi kewajibannya (default) dan bertanggung jawab dalam pengelolaan modal, mengawasi managemen dan administrasi serta pengembangan SDM yang sehat. Pemerintah harus terus menerus terlibat dalam pembinaan, pengawasan, pertumbuhan dan kesehatan serta keberlangsungan lembaga dimaksud. Peserta dan pemberi kerja juga turut bertanggung jawab dalam pemupukan modal melalui iuran/premi yang dibayarkan dan mengawasi pemenuhan manfaat dan pelayanan jaminan sosial serta pengelolaan dana. Kelanggengan lembaga SJSN ditentukan oleh besaran jumlah peserta (the law of the large numbers) dan prinsip kegotongroyongan. Oleh karena itu pekerja dan pemberi kerja turut bertanggung jawab dalam sosialisasi jaminan sosial nasional dimaksud. PILIHAN YANG DIUSULKAN Dengan pertimbangan yang sangat berhati-hati dan mendalam, Tim SJSN telah berupaya mencari bentuk susunan organisasi yang mampu mengakomodir kebutuhan sebagaimana diuraiakan di atas. Dalam proses perkembangan susunan kelembagaan SJSN yang diinginkan, telah mengalami beberapa kali perubahan karena tarik-menarik kepentingan kelayakan implementasi UU SJSN dalam waktu dekat. Perubahan susunan konsep dari awal diformulasikan sampai terakhir dikonsultasikan kepada Presiden pada Sidang Kabinet tanggal 24 Desember 2003 terlihat pada pentahapan konsep berikut. 2 Artinya, Wali Amanah adalah suatu konsep falsafah kepercayaan yang membuat suatu lembaga berfungsi sesuai dengan maksud pemberi kepercayaan tersebut. Kepercayaan yang dibicarakan dalam naskah akademik ini adalah kepercayaan yang diberikan oleh stakeholder kepada suatu lembaga untuk mengelola iuran asuransi sosial, dana terhimpun secara profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabilitas publik serta kehati-hatian. (CATATAN KALAU DIPERLUKAN) 55 1. Konsep versi pertama : LJSN SEBAGAI DANA AMANAT LJSN merupakan Dana Amanat Tunggal yang didukung oleh Dewan Pengawas. Lembaga ini berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Dalam pelaksanaan tehnis operasionalnya, LJSN membentuk beberapa organ divisi dan unit pendukung sebagaimana tergambar pada gambar berikut. 56 Gambar 10 : Konsep Versi Pertama : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dana Amanat PRESIDEN DEWAN PENASEHAT 1. Wakil Pemerintah 2. Wakil Pemberi Kerja 3. Wakil Pekerja DEWAN PENGAWAS 1. Menko Perekonomian 2. Menko Keuangan 3. Mendagri & Otda 4. Menakertrans 5. Menkes 6. Mensos 7. Tenaga Ahli Jamsos KETUA LEMBAGA JAMINAN SOSIAL NASIONAL Dir. 1 Dir. 2 Dir. 3 Dir. 4 Dir. 5 Dir. 6 Board of Investment 1. Wakil Pemerintah 2. Wakil Pemberi Kerja 3. Wakil Pekerja 4. Tenaga Ahli Investasi Satuan Kerja Audit Intern (SKAI) Direktur 1 Urusan Program Pensiun Direktur 2 Urusan Program Simpanan Hari Tua dan Santunan Kematian Direktur 3 Urusan Program Pemeliharaan Kesehatan & Jaminan Kecelakaan Kerja Staf Ahli 1. Aktuaria 2. Hukum 3. Keuangan Direktur 4 Urusan Akuntansi & Keuangan Direktur 5 Urusan Administrasi 1. Teknologi Informatika 2. Kepegawaian 3. Umum Direktur 6 Urusan Litbang & Humas 57 Keterangan : Dewan Amanat terdiri dari : a. Ketua LJSN, berfungsi mengkoordinasikan semua kegiatan operasional program dan unsur-unsur penunjang lainnya, baik menyangkut masalah akutansi, keuangan dan administrasi. Ketua dibantu direktur masing- masing program dan unsur-unsur penunjang; b. Dewan Penasehat berfungsi memberi program jaminan sosial nasional. nasehat/arahan pelaksanaan Dewan Penasehat terdiri dari wakil pemerintah, wakil pemberi kerja dan wakil pekerja; c. Board of Investment berfungsi mengelola dana milik seluruh peserta. Keanggotaan terdiri dari wakil pemerintah, wakil, pemberi kerja dan wakil pekerja yang harus memiliki keahlian dalam investasi, keterbukaan dan akuntabilitas; d. Satuan Kerja Audit Intern SKAI) berfungsi dalam segala bentuk pengawasan terhadap terselenggaranya administrasi keuangan intern. e. Dalam perkembangan perjalanan SJSN dari waktu ke waktu, diperlukan bantuan dari para ahli di bidang aktuaria, hukum dan keuangan. Keterlibatan mereka bersifat ad-hock (bila diperlukan); f. Untuk menjamin bahwa LJSN sesuai dengan amanah stakeholder dan UU SJSN, lembaga ini harus di awasi oleh suatu badan pengawas yang mewakili stakholder. Dari unsur pemerintah akan diwakili oleh Menko Kesra dan menteri terkait lainnya. Sedangkan pekerja dan pemberi kerja dapat mengusulkan wakilnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalalm UU SJSN. g. Ketua beserta seluruh jajaran Dewan Amanat berfungsi sebagai penyususn kebijakan dengan memperhatikan saran-saran dari Dewan Penasehat dan Dewan Pengawas. 2. Konsep versi kedua : LJSN sebagai Dewan Pengendalian LJSN sebagai badan wali amanah yang berfungsi hanya sebagai badan yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki perwakilan wilayah dengan jumlah sesuai kebutuhan. Struktur dan organnya ditampilkan dalam dua alternatif pada gambar 11. 58 Gambar 11 : Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian (Alternatif 1) PRESIDEN RI Dewan Pengawas LJSN TRUSTEESHIP a. Ketua/Wakil Ketua b. Unsur Pemerintah c. Unsur Tenaga Kerja d. Unsur Pemberi Kerja e. Pakar f. Perwakilan Badan Pengelola Sekretariat LJSN Direktur 6 Dewan Wali tur 6 Amanah “X” Urusan Litbang & Humas san Litbang & Humas Litbang & Humas Badan Pengelola Direktur Utama ang & Humas & Humas Komite Investasi Humas mas DIR DIR DIR A B C Komite Audit Pemantauan dan Pengawasan Manajemen SJSN Dewan Wali Amanah “Y” MANAGEMEN T Badan Pengelola Direktur Utama Internal Audit Komite Investasi DIR D DIR A Internal Audit DIR B DIR C DIR D JANGKA PANJANG JANGKA PANJANG JANGKA PENDEK Komite Investasi LJSN Wilayah Penyelenggara Daerah Pemantauan dan Pengawasan Operasional SJSN Penyelenggara Daerah 59 Keterangan: a. LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Presiden dibantu oleh Dewan Pengawas (terdiri dari Menko dan Menteri terkait) LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden b. LJSN sebagai wali amanah berfungsi sebagai badan yang bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan dan pengawasan terhadap peleksanaan UU SJSN. Guna menghimpun aspirasi daerah, LJSN memiliki perwakilan dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan.; c. Sebagai pengelola dan sekaligus penyelenggara, dilaksanakan oleh badan yang independen yang disebut badan penyelenggara yang bersifat wali amanah dan operasionalisasi program dilaksanakan oleh eksekutif. Badan ini tunduk kepada UU SJSN dan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh LJSN. d. Untuk memenuhi prisip the law of the large number, kegotong-royongan, distribusi pendapatan, badan pelnyelenggara dilaksanakan secara nasional; e. Didaerah dapat dibentuk unit-unit penyelenggaran daerah; 60 Gambar 12 : Konsep Versi Kedua : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Pengendalian (Alternatif 2) PRESIDEN Dewan Pengawas LJSN TRUSTEESHIP a. b. c. d. e. f. Ketua/Wakil Ketua Unsur Pemerintah Unsur Tenaga Kerja Unsur Pemberi Kerja Pakar Perwakilan Badan Pengelola Sekretariat LJSN Dewan Wali Amanah “X” Pemantauan dan Pengawasan Manajemen SJSN DIR A Internal Audit DIR B DIR C MANAGEMEN T Badan Pengelola Direktur Utama Badan Pengelola Direktur Utama Komite Investasi Dewan Wali Amanah “Y” DIR D Komite Investasi DIR A DIR B DIR C DIR D Daerah Penyelenggara Daerah Penyelenggara Daerah External Audit JANGKA PENDEK Pusat Komite Audit JANGKA PANJANG Komite Investasi 61 Keterangan : a. LJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Lembaga ini terdiri dari Pengurus berfungsi sebagai wali amanah yang mewakili peserta, wakil-wakil badan penyelenggara, pakar di bantu oleh Komite Investasi, Komite Audit dan Sekretariat LJSN. b. LJSN sekaligus berfungsi sebagai badan penyelenggara; c. LJSN membentuk badan eksekutif dengan struktur organisasi sesuai kebutuhan; d. Komite Investasi merupakan satuan kerja yang melaksanakan segala bentuk pengelolaan dana milik seluruh peserta. Keanggotaannya sebanyak-banyaknya lima orang termasuk ketua dan wakil ketua, terdiri dari tiga orang pejabat LJSN, satu orang pakar investasi dan satu orang pakar aktuaris; e. Komite Audit merupakan satuan kerja audit intern yang melaksanakan segala bentuk pengawasan terhadap terselenggaranya adminstrasi keuangan internal dan eksternal. f. Di daerah LJSN memiliki unit penyelenggaran daerah. 3. Konsep versi ketiga : LJSN sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional. LJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Administrasi Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang susunan organisasinya adalah sebagai berikut. 62 Gambar 13 : Konsep Versi Ketiga : Lembaga Jaminan Sosial Nasional Sebagai Dewan Jaminan Sosial Nasional PRESIDEN DEWAN DANA JAMINAN SOSIAL NASIONAL PUSAT Sekretariat DDJSN BADAN ADMINISTRASI JAMINAN SOSIAL TRUSHTESHIP Dewan Penasehat MANAJEMEN PESERTA INVESTASI Kepala Badan AJSN Sekretaris Utama DEPUTI II Keuangan & Investasi DEPUTI III Audit Internal PUSAT LJSN LJSN DEPUTI I Kepesertaan Direktur Utama Jaminan Kesehatan Nasional DIR A DIR B DIR C DIR D Unit Pengelola di daerah Cabang-Cabang PPK PPK BADAN PENYELENGGARA Direktur Utama Jaminan Hari Tua Nasional DIR A DIR B DIR C Unit Pengelola di daerah Cabang-cabang BAJS Regional PPK PPK DIR D PUSAT DAERAH 63 LJSN Keterangan : a. LJSN merupakan sebuah badan hukum jaminan sosial Indonesia yang dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya bersifat otonom; b. LJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Adminsitrasi Jaminan Sosial Nasional (BAJSN), Badan Penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nsional (BPJKN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial c. DJSN merupakan badan pengambil keputusan tertinggi dalam SJSN yang dibentuk khusus oleh UU SJSN. Anggota DJSN dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan Presiden. Anggota DDJSN merupakan jabatan kehormatan dan tidak memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota DJSN berhak menerima honorarium pada setiap masa sidang. d. BAJSN adalah badan yang melaksanakan fungsi administrasi kepesertaan dan pengelolaan dana SJSN berdasrkan kewenangan yang dilimpahkan oleh DJSN. BAJSN dibentuk oleh Presiden dalam rangka mengemban amanat UUSJSN. Pengurus BAJSN ditetapkan oleh Presiden berdasrkan usulan DJSN dan di pimpin oleh seorang kepala badan, dibantu sekretaris utama dan tiga orang deputi. 4. Konsep Versi empat : Badan Jaminan Sosial Nasional (Tunggal). Berdasarkan bahasan alternatif badan penyelenggara, kelebihan dan kekurangan dari masing-masing alternatif sebagaimana di uraikan dalam beberapa versi di atas, dikembangkan lagi LJSN dengan nama ―Badan Jaminan Sosial Nasional‖ seperti bagan berikut. 64 Gambar 14 : Susunan Organisasi Badan Jaminan Sosial Nasional PRESIDEN Pusat Penentu Kebijakan Registrasi & investasi B J S N Direktorat Jangka Pendek JSN Direktur Utama BJSN Direktorat Administrasi JSN Direktorat Jangka Panjang JSN B J S N Daerah Cabang Cabang Cabang BJSN Keterangan : a. BJSN merupakan badan khusus yang dibentuk oleh UU SJSN. Bentuk badan khusus ini bukan BUMN dan bukan suatu organ pemerintah, namun dinilai sebagai bentuk yang paling pas untuk menjalankan tugas pengelolaan dana publik secara luwes, memungkinkan pengembangan dana secara optimal, dan di awasi oleh peserta, tidak dipengaruhi oleh birokrasi pemerintah, sehingga dapat lebih responsif menjawab tuntutan peserta. Dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya bersifat independen; b. BJSN terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Dewan Direksi; c. DJSN merupakan organ tertinggi dalam BJSN yang mempunyai kewenangan pengambilan keputusan tertinggi dalam SJSN, oleh karenanya DJSN harus mempertanggung-jawabkan penyelenggaraan SJSN kepada Presiden; 65 d. Dewan Direksi adalah organ BJSN yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sehari-hari SJSN secara penuh. Dewan Direksi di pimpin oleh Direktur yang terdiri atas 4 (empat) orang direktur yaitu Direktur Utamadan tiga direktur yang memi yang meminpin program atau kegiatan penunjang program seperti sistem informasi, akuntansi, dlsnya. e. Direktorat terdiri dari Direktorat Administrasi JSN, Direktorat Jangka Pendek dan Jangka Panjang. f. Penyelenggaraan JSN di daerah, mengikuti pentahapan cakupan wilayah dan jenis program JSN, tergantung kepada kesiapan semua stakeholder yang terkait. 5. Konsep Versi Ke-lima : Konsep kelembagaan SJSN berubah lagi setelah dilaksanakan ekspose di depan Presiden dan pada Rapat Kabinet Terbatas tanggal 24 Desember 2003 . Bentuk tunggal yang ideal tetap menjadi harapan, akan tetapi dalam UU disiapkan bentuk transisi, sehingga gambaran Badan Penyelenggara menjadi tiga komponen besar, sebagaimana tampak dalam gambar berikut. 66 Gambar 15 : Susunan Organisasi Sistem Jaminan Sosial Nasional PRESIDEN Dewan JSN Dewan JSN PT. PT. PT. A S K E S T A S P E N A S A B R I Cab Cab Cab J A M S O S T E K PT. Cab J A M S O S T E K Cab * Setiap Badan Penyelenggara merupakan Badan Hukum sendiri I N F O R M A L A S K E S T A S P E N A S A B R I Cab Cab Cab Program Jangka Pendek JK JKK Administrasi JSN Kerja sama Dengan Ditjen Minduk Depdagri Program Jangka Panjang JPHK JHT JP JKM Satu Badan 10-15 tahun • Large number • Efisiensi • Teknologi Portabilitas Keadilan sosial Keterangan : a. Pada susunan kelembagaan sebelah kiri di atas memperlihatkan ada empat badan penyelenggara (BP) jaminan sosial yang beroperasi selama ini dengan memanfaatkan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial dalam menyelenggarakan fungsi sosialnya yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan Asabri; b. Pada susunan kelembagaan di bagian tengah, ke-empat BP ada di bawah payung DSJN. DJSN merupakan organ tertinggi dalam kelembagaan SJSN berada di bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. c. Susunan kelembagaan di sebelah kanan merupakan suatu kelembagaan SJSN (dilebur menjadi satu) yang berfungsi menangani program jangka pendek (JK dan JKK) dan jangka panjang (JHT, JP dan JKM) DJSN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden d. Pada tahap awal (susunan kelembagaan paling kiri) BP PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan PT. Asabri masing-masing berjalan sebagimana biasa, dan secara bertahap dalam kurun waktu 10 -15 tahun menyesuaikan diri dengan UU SJSN ini untuk melebur menjadi satu. 67 6. Konsep Versi ke enam : BUMN Khusus sebagai BPJS Setelah melalui pembahasan yang komprehensif dan mendalam tentang badan penyelenggara dengan berbagai alternatif sebagaimana tersebut di atas, Tim sepakat untuk mengambil pilihan membentuk suatu lembaga yang bernama ―Badan Penyelenggara Jaminan Sosial‖ disingkat BPJS. Bentuk badan khusus yang bukan BUMN dan bukan pula suatu organ Pemerintah, namun dinilai sebagai bentuk yang paling pas untuk menjalankan tugas pengelolaan dana publik secara luwes, memungkinkan pengembangan dana secara optimal, di awasi oleh peserta, dan tidak dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan, sehingga dapat lebih responsif menjawab tuntutan peserta.. BPJS merupakan sebuah badan jaminan sosial Indonesia yang dalam mengambil kebijakan, penyelenggaraan, pengelolaan keuangan, pengelolaan ketenagaan, dan menjalankan operasinya bersifat independen. Badan ini terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS. Oleh karena belum adanya badan hukum wali amanah sebagaimana dibahas sebelumnya, maka bentuk badan hukum yang ada digunakan dengan menambahkan ciri khusus prinsip dasar jaminan sosial yaitu nirlaba, tidak dikenai pajak dan dibebaskan dari kewajiban pembayaran deviden. Bentuk badan hukum ini didasari Persero Khusus yang merupakan hasil kompromi yang dapat diterima oleh banyak pihak. Susunan organisasi BPJS dapat dilihat pada gambar berikut. 68 Gambar 16: Badan Jaminan Sosial Indonesia PRESIDEN DJSN RUPS RUPS RUPS RUPS RUPS DK DK DK DK DK Direksi JS Direksi JS Direksi JS Direksi JS Direksi JS J A M S O S T E K A S K E S T A S P E N A S A B R I I N F O R M A L Cab Cab Cab BP JS Cab - Secara bertahap menyesuaikan diri dengan UU SJSN - Presiden menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi - DJSN adalah Pembantu Presiden dalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi Keterangan : 1. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) a. DJSN sebagai organ SJSN yang berfungsi membantu Presiden di dalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. DJSN terdiri atas sebanyak-banyaknya 15 orang yang mewakili unsur pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Organ DJSN dipimpin oleh seorang menteri; b. Keanggotaan DJSN 69 1) Anggota DJSN ditetapkan oleh Presiden. Calon anggota DJSN harus memenuhi kriteria : a) pemahaman tentang penyelenggaraan jaminan sosial; b) memiliki mandat dari organisasi yang diwakilinya; c) bersih diri dari perbuatan tercela dan melawan hukum; d) memiliki kemampuan dan integritas yang tinggi; e) serta sehat jasmani dan rohani Dengan kriteria tersebut, diharapkan anggota DJSN dapat benar-benar mengambil keputusan yang terbaik bagi seluruh peserta, mampu mengawasi dan mengendalikan penyelenggaraan SJSN sesuai dengan cita-cita yang diamanatkan UUD ‗45. 2) Untuk menjamin keterwakilan pihak pekerja dan pemberi kerja, calon anggota DJSN dari wakil peserta dan pemberi kerja haruslah diusulkan oleh paling sedikit tiga organisasi terkait 3) Anggota DJSN wakil pemerintah adalah orang yang ditunjuk Presiden dan mewakili Departemen: Kesehatan, Tenaga Kerja, Keuangan, Sosial, Industri dan Perdagangan, atau Pertanian ; 4) Anggota DJSN merupakan jabatan kehormatan dan bukan pegawai BPJS, oleh karenanya anggota DJSN hanya menjalankan masa bakti untuk maksimum dua periode. Sebagai pejabat kehormatan anggota DJSN tidak memperoleh gaji tetap bulanan, tetapi anggota DJSN berhak menerima honorarium dan uang sidang untuk setiap sidang-sidang yang dihadirinya. 5) Keanggotaan DJSN berakhir karena : a) Meninggal dunia; b) Mengundurkan diri; c) Diberhentikan; d) Berakhirnya masa tugas. c. Tugas dan Fungsi DJSN DJSN membantu Presiden didalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Di dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya, DJSN perlu dilengkapi dengan Komite Ahli yang terdiri atas para pakar di bidang aktuaria, investasi, jaminan sosial, ekonomi, hukum, kesehatan, dan asuransi. Komite ahli ini akan memberikan kajian obyektif kepada DJSN sebagai landasan 70 pembuatan kebijakan umum yang didukung oleh fakta-fakta yang obyektif. Komite Ahli diangkat oleh DJSN melalui suatu proses seleksi keahlian, baik secara permanen maupun secara ad hoc sesuai dengan kebutuhan kajian. Jumlah anggota Komite Ahli disesuaikan dengan kebutuhan. d. Masa kerja Masa kerja anggota DJSN perlu diatur agar tidak sama dengan masa kerja Direksi agar tidak terjadi kolusi antara DJSN dengan Direksi. Untuk itu, masa kerja anggota DJSN perlu ditetapkan selama tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk yang kedua kalinya. Agar pengawasan dan kebijakan yang dilakukan DJSN berjalan efektif, susunan anggota DJSN setiap tahun harus berubah. Untuk pertama kalinya, sepertiga dari anggota DJSN diangkat untuk masa kerja satu tahun, sepertiga lagi untuk masa kerja dua tahun, dan sepertiga sisanya untuk masa kerja tiga tahun. Seterusnya anggota DJSN diangkat untuk masa tiga tahun akan tetapi setiap tahun sepertiga anggota DJSN diganti. Dengan demikian akan terjadi kesinambungan kebijakan dan proses pembelajaran bagi anggota DJSN yang baru. 2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) BPJS berbentuk persero khusus mengikuti semua ketentuan PT (persero), kecuali a. Bersifat nirlaba; b. Perlakuan khusus dalam perpajakan; c. Deviden digunakan untuk meningkatkan manfaat bagi peserta. Adapun beberapa karakteristik dari BPJS adalah: a. BPJS tunduk kepada ketentuan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan; b. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memegang kekuasaan tertinggi dalam BPJS dan memegang segala kewenangan yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisasris; c. Menteri Koordinator Kesra bertindak selaku RUPS karena seluruh saham BPJS dimiliki oleh Negara. Dalam prakteknya RUPS diserahkan kepada DJSN, d. RUPS mengambil seluruh hasil pengelolaan Dana Amanat untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta. Tidak ada deviden kepada pemerintah selaku pemilik BPJS. 71 e. Kepengurusan BPJS dilakukan oleh Direksi. Direksi beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Anggota Direksi diangkat dan di berhentikan oleh RUPS. Pengangkatan anggota direksi dilakukan melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan dengan kriteria persyaratan : 1) Warga Negara Indonesia; 2) Sehat fisik dan mental; 3) Memahami berbagai aspek penyelenggaraan Jaminan sosial; 4) Memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman, berkelakuan baik, dan memiliki dedikasi untuk mengembangkan BPJS; 5) Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi anggota direksi, komisaris, atau dewan pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit; 6) Tidak pernah masuk dalam daftar orang tercela yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan; 7) Tidak pernah berdasarkan atau putusan sedang menjalani pengadilan yang pidana telah penjara mempunyai kekuatan hukum tetap; 8) Tidak sedang menjalani proses pemeriksaan peradilan yang diancam dengan pidana penjara paling sedikit satu tahun. F. PENYELENGGARAAN JSN DI DAERAH Dalam era otonomi daerah, masalah kewenangan daerah dalam penyelenggaraan jaminan sosial memang tidak tercantum dalam peraturan perundangan yang mengatur kewenangan daerah. Jaminan sosial merupakan tugas negara yang jauh lebih efektif diselenggarakan secara nasional, karena harus dinikmati secara sama antar daerah. Perbedaan perlakuan jaminan sosial, yang merupakan hak seluruh penduduk, akan menimbulkan kecemburuan sosial. Oleh karenanya, dimanapun di dunia, penyelenggaraan jaminan sosial dikelola secara nasional dan tidak didesentralisasi. Dalam PP 25 tahun 2000 sebenarnya juga sudah jelas bahwa pemerintah pusat memegang kewenangan pengaturan jaminan sosial. 72 Menyadari bahwa berbagai aparat daerah merasakan memiliki kewenangan atau ingin turut serta mengendalikan jaminan sosial, apalagi yang menyangkut penggunaan dana yang terkumpul dari penduduk di daerah tersebut, UU SJSN harus mengakomodir beberapa hal yang mungkin dilaksanakan di daerah. Hal yang paling penting adalah pengelolaan dana dan investasi dana. Dalam UU SJSN, seharusnya paling banyak 51% dana yang terkumpul dapat diinvestasikan di daerah yang bersangkutan. Sudah barang tentu, fokus utama SJSN adalah tingkat solvabilitas, kehati-hatian, dan likuiditas. Jika daerah tidak memiliki instrumen investasi yang dibolehkan oleh UU, maka daerah tersebut tidak bisa menuntut agar 51% dana yang terkumpul diinvestasikan di daerah. Sebaliknya, ketentuan ini bisa merangsang pemerintah daerah mengembangkan instrumen investasi yang handal yang memenuhi syarat untuk investasi dana jaminan sosial. Daerah yang lebih mampu mengembangkan instrumen investasi dapat menyerap dana dari daerah lain, sejauh instrumen tersebut memenuhi syarat investasi dana jaminan sosial. Dalam bidang kesehatan, pemerintah daerah sebenarnya tidak perlu khawatir dengan aspirasi daerah. Sebab, sebagian besar dana iuran jaminan kesehatan akan digunakan oleh penduduk di daerah yang sama. Akan sangat kecil kemungkinan penduduk daerah tersebut berobat secara reguler ke daerah lain. Melihat pola pemakaian pelayanan kesehatan, sekitar 80% biaya kesehatan dapat dihabiskan di daerah yang bersangkutan. Oleh karenanya pengaturan tarif pelayanan kesehatan yang akan dibayar oleh BPJS kepada fasilitas kesehatan dapat dinegosiasikan berdasarkan estimasi biaya pelayanan kesehatan di daerah tersebut sebesar 80%. Namun demikian, harus disisihkan dana paling sedikit 10% dari iuran yang diterima untuk membiayai pelayanan kesehatan yang dirujuk atau terpaksa dilayani di daerah lain, misalnya kecelakaan atau sakit mendadak pada saat kunjungan ke daerah lain. Selain itu, pelayanan kesehatan selalu bersifat tidak pasti. Bisa jadi suatu ketika terjadi kejadian luar biasa suatu penyakit sehingga membutuhkan dana yang besar. Oleh karenanya, paling sedikit 5% dari iuran yang diterima harus ditempatkan sebagai cadangan teknis. Kedua komponen itu, yang besarnya sekitar 15%, harus ditempatkan pada tingkat nasional sehingga memungkinkan terjadinya subsidi silang. Dalam hal perluasan peserta di daerah, penyelenggaraan SJSN di daerah mengikuti pentahapan cakupan wilayah dan jenis program SJSN berdasarkan kesiapan stakeholders yang terkait untuk dalam meberikan kontribusi dan pemberian manfaat/santunan yang ditetapkan. 73 Penjaminan bagi penduduk miskin di suatu propinsi, kota/kabupaten dapat dimulai lebih lambat dibandingkan penjaminan di propinsi, kota atau kabupaten lainnya karena kesiapan dan kemampuan dana yang berbeda. Di antara pelbagai jenis program SJSN, penyelenggaraan program juga dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan pemerintah daerah. Sebagai ilustrasi, program Jaminan Kesehatan bagi penduduk miskin akan didahulukan dibandingkan dengan Program Jaminan Hari Tua bagi penduduk miskin. 74 BAB V PROGRAM JAMINAN SOSIAL NASIONAL A. Program Jaminan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan Nasional disingkat Program JK adalah suatu program Pemerintah dan Masyarakat/Rakyat dengan tujuan memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh (komprehensif) bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia dapat hidup sehat, produktif, dan sejahtera. 1. Substansi a. Program JK diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial (social insurance) dengan kepesertaan wajib. b. Program bersifat wajib dan diarahkan mencakup seluruh rakyat (universal coverage) yang akan dicapai secara bertahap. Pada satu saat nanti seluruh rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Melalui prinsip ini tercipta subsidi silan g antara yang sehat kepada yang sakit, antara yang kaya kepada yang miskin, dan antara yang muda kepada yang tua. Penduduk yang telah menjadi peserta dan menginginkan manfaat tambahan di luar program JK dapat memiliki asuransi kesehatan tambahan dengan membeli asuransi kesehatan komersial, jaminan kesehatan sukarela atau membayar dari kantong sendiri. Penduduk yang telah menjadi peserta asuransi sukarela dapat meneruskan kepesertaannya. c. Manfaat JK diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan dengan pengendalian biaya dan pelayanan menggunakan teknik managed care. d. Manfaat program JK yang dijamin bersifat komprehensif sesuai dengan kebutuhan medik. e. Program JK diselenggarakan berdasarkan prinsip ekuitas dimana peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mediknya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya yang diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar prosentase tertentu dari upah bagi pekerja di sektor formal atau sejumlah tertentu bagi pekerja di 75 sektor informal dan pemerintah membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu. 1) Iuran bagi rakyat yang menerima upah ditetapkan berdasarkan prosentase tertentu dari upah yang ditanggung bersama antara majikan dan karyawan. 2) Iuran bagi pekerja infomal diperhitungkan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi peserta melalui suatu formula atau jumlah tetap per bulan atau per tahun yang akan dikembangkan oleh Komite Aktuaria dari BPJS. 3) Rakyat yang tidak memiliki penghasilan tetap atau tidak mampu mengiur, sebagian/seluruh iuran akan mendapat bantuan iuran dari pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah. f. Seorang peserta tetap memperoleh jaminan apabila ia pindah tempat tinggal atau pindah pekerjaan (prinsip portabilitas). g. Undang-undang dan peraturan yang terkait menggariskan agar program JK dikelola oleh secara independen dengan manajemen yang transparan dan akuntabilitas yang tinggi. 2. Kelembagaan Program JK dikelola oleh suatu BPJS sesuai dengan yang ditetapkan UU SJSN. Pengelola JK akan hanya khusus menangani jaminan kesehatan yang nantinya mengelola seluruh jaminan kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, pekerja di sektor informal. Penggabungan ini dimaksudkan untuk menjamin terjadinya efisiensi yang tinggi, portabilitas, dan pengendalian pelayanan yang memadai. Saat penggabungan akan dikaji secara terus-menerus oleh DJSN dengan memperhatikan kemampuan BPJS, kesiapan fasilitas kesehatan, dan kesiapan pemberi kerja swasta bergabung. Bagi penduduk tidak mampu dimana iurannya dibayarkan oleh Pemerintah tersedia dua opsi yaitu bergabung dengan BP yang ada atau Pemerintah mendirikan lembaga khusus dengan tetap mengaju pada UU SJSN. Masing-masing pilihan mempunyai kelebihan dan kelemahan. Apabila mendirikan lembaga baru, diperkirakan himupunan iuran tidak mampu memberikan manfaat pelayanan yang memadai mengingat dana terhimpun terbats, kebutuhan pelayanan tinggi, cross subsidi terbatas karena hanya diantara masyarakat tidak mampu dan biaya operasional lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bergabung dengan BP yang telah ada. 76 3. Mekanisme a. Kepesertaan 1) Peserta JK terdiri atas peserta pekerja formal (pegawai pemerintah, pekerja swasta, baik bersifat tetap maupun tidak tetap), peserta yang mempunyai penghasilan atas usaha sendiri (swakarya atau sektor informal seperti petani, nelayan, dll) dan penduduk yang tidak atau belum memiliki penghasilan (kelompok tidak mampu). Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat JK. 2) Rekruitmen kepesertaan dilakukan secara bertahap dengan perluasan cakupan dilaksanakan dengan memperhatikan azas kemudahan pengumpulan iuran secara rutin dengan prioritas sebagai berikut : a) Pemberi kerja wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya kepada BPJS. b) Bagi pemberi kerja yang pada saat Undang-undang JSN diundangkan telah menjadi peserta pada suatu badan, secara bertahap kepesertaannya disesuaikan dengan Undang-undang SJSN. c) Kelompok kerja di sektor informal mendaftarkan diri melalui kelompok usahanya/ koperasi atau secara individual ke BPJS. Pada tahap awal, kelompok ini menjadi peserta secara sukarela yang nantinya secara bertahap menjadi peserta wajib. d) Penduduk yang tidak mampu termasuk keluarga miskin (gakin) dan kelompok khusus akan ditetapkan dan didaftarkan oleh pemerintah daerah kepada BPJS. e) Fasilitas kesehatan (Health Care Provider) seperti rumah sakit, dokter praktek, klinik, laboratorium, apotik dan lainnya yang berminat melayani peserta SJSN melakukan kontrak dengan BPJS dan harus mematuhi persyaratan yang ditetapkan BPJS. Selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut melayani peserta dan anggota keluarganya kemudian mengklaim biaya pelayanan tersebut, baik dimuka ataupun setelah pelayanan diberikan, kepada BPJS. BPJS berhak melakukan pengendalian mutu dan utilisasi pelayanan guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi program JK. 3) Perluasan cakupan kepesertaan diutamakan dimulai dari penerima upah yang saat ini belum memiliki JK dari salah satu badan penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang ini. 77 4) Dipertimbangkan untuk memperluas cakupan kepada orang tua pekerja sebagai suatu konsep extended family untuk mempercepat pencapaian cakupan universal, dimana pekerja membayar iuran tambahan sebesar 1% dari upahnya untuk menanggung orang tua atau mertuanya yang sah. 5) Kepesertaan tetap berlaku apabila seseorang mengalami perubahan status pekerjaan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK)/pensiun/cacat total tetap yang menyebabkan seseorang peserta kehilangan kemampuan untuk memperoleh penghasilan dan membayar iuran. 6) Untuk efektifitas percepatan kepesertaan maka BPJS diberikan kewenangan memeriksa kebenaran pelaporan pemberi kerja/ peserta yang harus dilakukan secara terus menerus disertai upaya persuasif dan intensif serta pelayanan yang bermutu. b. Manfaat 1) Sesuai dengan prinsip asuransi sosial, manfaat diberikan dengan mempertimbangkan besaran kontribusi secara keseluruhan (bukan orang per orang atau kelompok per kelompok) guna mengoptimalkan kegotongroyongan diantara peserta. Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi, maka program JK diselenggarakan melalui pengendalian mutu, pembiayaan yang optimal, serta pemberian pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medik. 2) Manfaat JK bersifat pelayanan individual yang mempunyai kebutuhan medik yang luas mencakup pelayanan promotif - preventif, seperti imunisasi dan Keluarga Berencana. 3) Paket jaminan harus memadai dan dirasakan manfaatnya dalam rangka menjamin kesinambungan program dan tingkat kepuasan peserta. Pelayanan disesuaikan dengan standar kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS. Paket jaminan JK ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun. 4) Pemeliharaan kesehatan diberikan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta yang memenuhi standar tertentu dan berizin. Apabila tidak tersedia fasilitas pelayanan dimaksud, kepada peserta diberikan kompensasi. 5) Manfaat rawat inap diberikan di rumah sakit pemerintah / swasta di kelas standar. Manfaat kelas standar (bukan pelayanan mediknya, tetapi pelayanan non medik). Pada awalnya pelayanan non medik dapat berbeda antara kelompok yang berpenghasilan tinggi dengan yang 78 rendah dan penduduk miskin yang iurannya dibayarkan pemerintah. Akan tetapi pada akhirnya nanti, semua pelayanan medik dan pelayanan non mediknya akan diberikan secara sama yaitu setara dengan perawatan kelas II RS swasta saat ini bagi semua peserta. Peserta khusus yang preminya dibayarkan oleh pemerintah pada tahap awal juga dapat dijamin hanya untuk pelayanan rawat inap jika jumlah iuran dari pemerintah tidak mencukupi untuk menjamin secara komprehensif. 6) Pemeriksaan deteksi dini (screening) terhadap penyakit/kondisi tertentu seperti pap smear, potensi penyakit akibat kerja, dll diberikan secara berkala kepada peserta yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan kemampuan keuangan BPJS. 7) Standar pelayanan medik termasuk standar manajemen pelayanan medik serta obat akan diatur oleh Departemen Kesehatan dan tidak akan diatur dalam UU SJSN. 8) Besarnya tarif pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan ditetatapkan bersama oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah, Asosiasi fasilitas kesehatan, dan Kantor Cabang BPJS sesuai dengan standar dan harga yang wajar di wilayah tersebut dan ditinjau setiap dua tahun sekali. 9) Dalam pembayaran manfaat pelayanan kesehatan, BPJS melakukan koordinasi dengan badan penyelenggara lainnya (seperti PT Jasa Raharja untuk kecelakaan lalu lintas) dengan menggunakan prinsip indemnitas (jumlah total penggantian biaya pelayanan kesehatan tidak melebihi jumlah biaya pada fasilitas kesehatan (incurred cost) berdasarkan tarif yang telah ditetapkan. 10) Pembayaran kepada fasilitas kesehatan dilakukan secara prospektif (paket pelayanan dan besarnya pembayaran per paket ditetapkan dimuka) dan peserta dapat diharuskan untuk membayar sebagian kecil biaya (urun biaya) untuk pelayanan tertentu sebagai alat untuk mengendalikan pemanfaatan yang berlebih atau mengendalikan biaya pelayanan. c. Iuran 1) Untuk peserta yang menerima upah, iuran ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja dalam porsi yang sama (50:50). Hal ini dengan pertimbangan bahwa pekerja dan keluarganya perlu turut bertanggung njawab atas kesehatan mereka. Konsepsi ini diberlakukan di banyak 79 negara. Disamping itu Pemberi kerja dapat mengkompensasi iuran yang dibayarkan oleh peserta sebagai tambahan upah. Besaran iuran akan diperhitungkan dengan analisis aktuaria tiap dua tahun. 2) Iuran untuk pekerja formal ditentukan secara berkala dengan Peraturan Pemerintah. Mengingat biaya pelayanan kesehatan meningkat dengan cepat. 3) Iuran bagi pekerja di sektor informal ditetapkan dengan formula/jumlah tetap yang akan dikembangkan oleh DJSN dengan mempertimbangkan kemampuan pendapatan penduduk dan tingkat kemahalan pelayanan kesehatan di suatu daerah. 4) Iuran bagi peserta pensiunan ditentukan secara berkala dengan Peraturan Pemerintah. 5) Pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dibebaskan dari pembayaran iuran maksimum 6 (enam) bulan. Setelah itu apabila peserta tidak mampu mengiur, mereka maasuk dalam kelompok tidak mampu. 6) Dalam masa transisi jumlah iuran yang harus kembali kepada peserta dalam bentuk pelayanan dan dana cadangan sekurang-kurangnya 85% dan secara bertahap dinaikkan sampai 95% dari total iuran. Pada tahun ke 11 tidak boleh melebihi 5% dari total iuran yang diterima untuk program 7) Paling sedikit 80% dari iuran yang terkumpul di suatu daerah dapat dirundingkan untuk dialokasikan bagi pembayaran pelayanan kesehatan di daerah. Sisanya akan diperhitungkan untuk biaya rujukan ke daerah lain, cadangan teknis, biaya operasional program JK dan untuk menstimulansi peningkatan fasilitas pelayanan medik di daerah. B. Program Jaminan Kecelakaan Kerja Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bertujuan memberikan kepastian jaminan pelayanan dan santunan apabila tenaga kerja mengalami kecelakaan saat menuju, menunaikan dan selesai menunaikan tugas pekerjaan dan berbagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. 1. Substansi a. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi yang berhubungan dengan pekerjaan utama tenaga kerja. Terjadinya kecelakaan secara tiba-tiba yang tidak diduga sebelumnya, di luar kekuasaan manusia dan tidak disengaja 80 oleh yang bersangkutan dan hazard atau penyebabnya datang dari luar tubuh peserta; b. Kecelakaan kerja terjadi disebabkan oleh banyak hal seperti mesin, angkutan lalu-lintas, peledakan, kebakaran, panas atau dingin yang berlebihan, keracunan, bahan kimia, arus listrik, sinar, bahan biologis, terjatuh, tergelincir, terpukul/terbentur benda, perkakas kerja tangan, hewan, olah raga, dll.; c. Kecelakaan dapat terjadi di tempat kerja, seperti kecelakaan dimana tenaga kerja melakukan pekerjaan sehari-hari sesuai dengan tugas (hubungan kerja) yang diberikan pemberi kerja; d. Kecelakaan yang terjadi di luar tempat kerja yaitu kecelakaan yang terjadi selama perjalanan pergi dan pulang dari rumah menuju tempat kerja atau tempat yang berhubungan dengan pekerjaan dan sebaliknya melalui jalan yang biasa dilalui; e. Penyakit yang timbul akibat hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau yang terkait dengan lingkungan pekerjaan dipandang sebagai kecelakaan kerja, apabila jenis serta persyaratannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan pemerintah; f. Suatu penyakit yang tidak tercantum dalam lampiran ketentuan pemerintah sebagai penyakit akibat kerja, namun dapat dibuktikan secara medis bahwa penyakit tersebut timbul karena hubungan kerja, dianggap sebagai kecelakaan kerja; g. Tata cara diagnosis dan pelaporan penyakit akibat kerja diatur oleh peraturan pemerintah yang ditetapkan kemudian; h. Yang tidak termasuk Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pada waktu cuti atau hari-hari libur lainnya dimana yang bersangkutan bebas dari urusan pekerjaan dan tanggung jawabnya, kecuali yang bersangkutan mendapat panggilan atau tugas dari pemberi kerja. Dalam hal tersebut kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi ke tempat tujuan cuti dan sebaliknya yang tercantum dalam surat izin cuti dapat menimbulkan hak manfaat bagi peserta; i. JKK merupakan program jangka pendek yang iurannya dibayarkan untuk jaminan pada masa yang sama; j. JKK diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial dan pelayanan terkendali dengan pemberian jaminan manfaat berupa pelayanan kesehatan individual yang berhubungan dengan kecelakaan kerja serta 81 pemberian manfaat dalam bentuk santunan uang bagi kondisi kecelakaan tertentu; k. Program JKK wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja dengan beban iuran proporsional terhadap upah yang disesuaikan dengan tingkat resiko lingkungan kerja dan hanya dibayarkan oleh pemberi kerja. Pekerja di sektor informal dianggap sebagai pemberi kerja dalam peraturan ini. 2. Kelembagaan Program JKK dikelola oleh BPJS sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Pengelolaan JKK dapat digabungkan dengan pengelolaan program lain seperti jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Kemampuan suatu BPJS untuk mengelola program-program tersebut untuk satu atau lebih kelompok penduduk atau pekerja akan dikaji secara rutin oleh DJSN. Selanjutnya DJSN akan memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menetapkan penggabungan atau pemisahan pengelolaan oleh suatu BPJS. 3. Mekanisme a. Kepesertaan 1) Peserta JKK terdiri atas peserta yang mempunyai penghasilan dalam bentuk upah (pekerja formal) tetap maupun tidak tetap dan peserta yang mempunyai penghasilan atas usahanya sendiri (sektor informal). 2) Kepesertaan bersifat wajib bagi setiap pemberi kerja tanpa kecuali tetapi dilaksanakan secara bertahap mulai dari pemberi kerja yang memiliki pekerja 10 (sepuluh) orang atau lebih baru terus diwajibkan sampai pada pemberi kerja dengan 1 (satu) orang pekerja atau lebih. 3) Pentahapan rekruitmen peserta dilakukan dengan cara : a) Untuk kelompok penerima upah dan yang belum memiliki JKK saat Undang-undang SJSN diundangkan, pemberi kerja pada wajib mendaftarkan seluruh tenaga kerjanya kepada BPJS yang ditetapkan; b) Kelompok kerja sektor informal mendaftarkan diri melalui kelompok usahanya/ koperasi atau secara individual ke BPJS. 4) Perluasan cakupan kepesertaan diutamakan kepada pemberi kerja yang saat ini belum memberikan JKK melalui PT Jamsostek. 5) Perluasan cakupan dilaksanakan dengan memperhatikan azas kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin. 82 b. Manfaat 1) Manfaat JKK hanya diberikan kepada peserta, sedangkan anggota keluarga tidak berhak mendapat manfaat JKK. Anggota keluarga yang mendapat kecelakaan mendapat jaminan dari program Jaminan Kesehatan dan atau kecelakaan lalu lintas, sesuai dengan jenis kecelakaan yang dialaminya. 2) Manfaat JKK bersifat individual dan komprehensif mencakup pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang sesuai dengan kecelakaan yang diderita oleh tenaga kerja. 3) Pelayanan medik JKK diberikan dalam bentuk pelayanan seperti pada program JK. Pekerja yang sementara tidak mampu bekerja (STMB) karena belum sehat dan yang mengalami kecacatan akibat suatu kecelakaan atau penyakit akibat kerja atau peserta yang mengalami kematian akibat suatu kecelakaan kerja mendapat jaminan tambahan dalam bentuk santunan tunai, lump-sum dan atau berkala sesuai dengan formula yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 4) Paket jaminan diberikan secara memadai dan dirasakan manfaatnya, dalam rangka menjamin kesinambungan program dan tingkat kepuasan tertentu. Untuk menyesuaikan dengan standar kebutuhan peserta yang berubah dan kemampuan keuangan BPJS, paket jaminan JKK ditinjau secara berkala setip 2 dua tahun. 5) Pelayanan kuratif dan rehabilitattif diberikan oleh fasilitas kesehatan pemerintah dan atau fasilitas kesehatan swasta yang berijin dan memenuhi standar tertentu. 6) Manfaat rawat inap JKK diberikan di rumah sakit pemerintah/ swasta dengan standar ruang perawatan di kelas II. 7) Dalam pembayaran manfaat pelayanan kesehatan, BPJS melakukan koordinasi dengan badan penyelenggara lainnya (seperi PT Jasa Raharja untuk kecelakaan lalu lintas) dengan menggunakan prinsip indemnitas yaitu jumlah total penggantian biaya pelayanan kesehatan tidak melebihi jumlah biaya pada fasilitas kesehatan (incured cost) berdasarkan tarif yang telah ditetapkan. 8) Standar pelayanan medik termasuk standar manajemen pelayanan medik serta obat ditetapkan oleh Departemen Kesehatan dan tidak akan diatur oleh UU SJSN. 9) Besarnya tarif prospektif pelayanan kesehatan ditetapkan bersama Dinas Kesehatan atau Pemerintah Daerah, asosiasi fasiltias kesehatan, dan Kantor 83 Cabang BPJS sesuai dengan standar dan harga yang wajar yang ditinjau setiap dua tahun sekali. c. Iuran 1) Iuran dibebankan sepenuhnya kepada pemberi kerja dan tidak ada diskriminasi upah berdasarkan jender, ditetapkan secara berkala dengan Peraturan Pemerintah. 2) Pembayaran kepada fasilitas kesehatan (provider) dilakukan secara prospektif (paket pelayanan dan besarnya pembayaran per paket ditetapkan dimuka) dan pemberi kerja membayar urun biaya (co-payment atau cost sharing), untuk merangsang tanggung jawab pemberi kerja menyediakan lingkungan keselamatan dan kesehatan kerja yang tinggi. 3) Sekurang-kurangnya 95 % dari total iuran yang terkumpul harus dimanfaatkan untuk pelayanan, pembayaran santunan, dan atau akumulasi dana cadangan (biaya operasional atau manajemen oleh BPJS tidak boleh melebihi 5 % dari total iuran yang diterima) 4) Dalam masa transisi jumlah iuran yang harus kembali kepada peserta sekurang-kuranya 85% dan secara bertahap dinaikkan sampai 95% dari total iuran. G. Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK) merupakan program yang sangat membantu pemberi kerja maupun pekerja. Program ini dibiayai dari iuran rutin, yang relatif kecil dan terjangkau, oleh kedua belah pihak. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja adalah program jaminan pengganti pendapatan bagi penganggur sementara yang telah mempunyai pekerjaan tetap, akan tetapi karena terpaksa menjadi penganggur dan berupaya untuk bekerja kembali. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja diberikan untuk jangka waktu tertentu. Prinsip-prinsip dasar sistem jaminan sosial nasional berlaku universal bagi setiap program jaminan sosial termasuk program JPHK. Namun karena kekhususan sifat JPHK, perlu penjelasan secara rinci sebagai berikut. 1. Substansi a. Tujuan program JPHK Tujuan program JPHK aadalah membantu pekerja yang terpaksa berhenti bekerja sementara (pengangguran) untuk : 84 1) Menjamin kelangsungan pendapatan setiap bulan sampai tenaga kerja mendapat pekerjaan baru; 2) Menjamin kecukupan pendapatan untuk dapat memelihara standar hidup minimal pekerja dan keuangannya; 3) Memberi waktu kepada pekerja yang bersangkutan mencari dan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan dan pengalaman kerjanya. 4) Memberi kesempatan kepada pekerja yang bersangkutan memperoleh dan memanfaatkan dukungan yang tersedia seperti informasi lowongan kerja dari dinas ketenagakerjaan atau mengikuti pelatihan yang memudahkannya memperoleh pekerjaan baru. b. Kriteria Penganggur sementara Penganggur yang berhak menerima manfaat program, harus memenuhi kriteria di bawah ini: 1) Pernah mempunyai pekerjaan tetap dan telah menjadi peserta program paling sedikit selama satu tahun. Dengan demikian manfaat program ini tidak berlaku atau belum berlaku bagi : a) Pencari pekerja baru yang belum pernah bekerja; b) Pekerja yang belum mengikuti program ini satu tahun atau lebih. 2) Diberhentikan oleh pemberi kerja dengan alasan yang dapat diterima, misalnya penciutan perusahaan, perubahan tehnologi, pemindahan usaha, atau pemberi kerja bangkrut. Manfaat program ini tidak diberikan kepada : a) Mereka yang sengaja berhenti untuk mencari pekerjaan baru b) Mereka yang sengaja berhenti untuk urusan keluarga. 3) Tetap mampu bekerja. Apabila yang bersangkutan tidak mampu bekerja atau tidak dapat segera dipekerjakan kembali, misalnya karena menderita cacat atau kehilangan kemampuan bekerja, pekerja tersebut tidak memperoleh JPHK, akan tetapi pekerja tersebut dapat memperoleh santuan JKK atau pensiun program lain. 4) Harus bersedia dan berupaya untuk bekerja kembali. Pada saat menerima manfaat program, pengangguran yang bersangkutan harus membuktikan upaya yang dilakukan, misalnya telah menghubungi instansi penyalur tenaga kerja, mengunjungi perusahaan tertentu dan atau menunjukkan bukti lamaran yang telah dikirimkan. Pengangguran yang sama sekali tidak berupaya mencari pekerjaan baru tidak berhak memperoleh manfaat program ini. 85 5) Bersedia menerima pekerjaan yang serupa dengan pekerjaan sebelumnya, atau sesuai dengan kualifikasi dan kemampuan fisik yang dimiliki, dengan balas jasa yang layak. Dalam hubungan ini seseorang penganggur berhak menolak pekerjaan dan tetap berhak memperoleh jaminan pengangguran jika: a) Pekerjaan yang ditawarkan adalah lowongan sebagai akibat dari pemogokan atau perselisihan industrial; b) Upah, jam kerja dan syarat kerja lainnya berada di bawah standar normal, dan yang bersangkutan harus menerima ikatan di luar kewajaran yang merugikan dirinya. 6) Harus bersifat sementara. Pengangguran itu hanya merupakan masa transisi saat mana pekerja berusaha untuk mendapatkan pekerjaan baru, dan bukan pengangguran yang berkepanjangan. 2. Kelembagaan a. Seluruh iuran JPHK dikreditir pada dana JPHK yang merupakan titipan dari pengusaha dan pekerja untuk dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (trustee) guna memberikan manfaat dikemudian hari dalam hal pekerja mengalami JPHK. b. Dana JPHK dalam BPJS dibagi dalam tiga rekening. Rekening pertama untuk pembayarana manfaat, rekening kedua untuk biaya administrasi, dan rekening ketiga untuk cadangan. c. Seluruh dan cadangan diinvestasikan baik dalam bentuk aktiva fisik (gedung, atau proverti) maupun dalam bentuk aktiva finasial (obligasi, saham, deposito), sesuai dengan prinsip investasi yang diatur dalam UU SJSN. d. Iuran pengusaha dan pekerja diperlakukan sebagai titipan dana yang dipercayakan pada badan penyelenggara. Oleh karena iuran tersebut diterima jauh sebelum manfaat dibayarkan (setidak-tidaknya setahun), maka badan penyelenggara tidak memerlukan modal sendiri. e. Sistem akutansi dana JPHK di dasarkan pada persamaan : Aktiva - Hutang = Aktiva Bersih Aktiva bersih ini tersedia untuk pembayaran manfaat. Sebelum digunakan untuk pembayaran manfaat, aktiva bersih ini diinvestasikan untuk 86 mendapatkan hasil. Hasil investasi tiap tahun ditambahkan pada aktiva bersih f. Biaya administrasi, termasuk gaji, ditetapkan sebagai fee yang dihitung sebagai presentasi tertentu dari iuran dengan maksimum 5 % dari total iuran yang diterima. 3. Mekanisme a. Lingkungan kepesertaan : E. Semua pemberi kerja yang memperkerjakan 10 orang atau lebih sebagai pekerja tetap wajib mengikutsetakan mereka menjadi peserta program JPHK ini. F. Program JPHK ini dapat diperluas secara bertahap untuk mengikutsertakan : a) Pegawai Negeri Sipil b) Pemberi kerja yang memperkerjakan satu orang atau lebih; c) TNI dan Polri, pekrja mandiri (self employed) dan sektor informal, d) Pekerja pertanian e) Pekerja pembantu rumah. b. Syarat timbulnya Hak Periode dasar pekerjaan adalah empat kuartal atau 52 minggu sebelum tahun manfaat. Tahun manfaat adalah 52 minggu dimana pekerja yang bersangkutan dapat menerima manfaat dengan jumlah maksimum tertentu. Jumlah manfaat yang diperoleh pekerja selama periode dasar dapat dinyatakan dengan beberapa cara : 1) Perkalian dari manfaat mingguan. Pekerja harus memiliki pendapatan pekerja sebesar perkalian tertentu dari besarnya manfaat JPHK mingguan (misalnya 30) atau upah kuartal tinggi (misalnya 11 /2). Contoh : jika manfaat mingguan Rp. 10.000,- maka upah yang disyaratkan (qualitifyng wages) adalah Rp 300.000,- Jika digunakan upah kuartal tinggi, maka pendapatan pekerja di periode dasar harus 11/2 x jumlah pendapatan kuartal tinggi dalam periode itu. 2) Jumlah kualifikasi tetap (plat). Upah periode dasar dinyatakan dalam jumlah tetap, misalnya Rp. 1.200.000,- dengan setidak-tidaknya Rp. 400.000,- dalam masing-masing dua kuartal agar memenuhi manfaat mingguan minimum. 87 3) Minggu kerja. Pekerja harus telah bekerja selama beberapa minggu, dan menerima tidak-tidaknya jumlah upah tertentu per minggu. Pembayaran manfaat JPHK dilakukan setelah melalui suatu masa tunggu (waiting period) selama satu bulan. Maksud masa tunggu adalah menghilangkan klaim jangka sangat pendek menekan biaya program dan biaya adminsitrasi, serta memberi waktu untuk memproses klaim. Oleh sebab itu peserta dapat mengambil manfaat JPHK setiap dia masih menganggur dalam suatu bulan. c. Diskualifikasi atas Hak. Peserta dapat didiskualifikasi dari penerimaan manfaat JPHK, yaitu bila pekerja berhenti bekerja secara sukarela, menolak pekerjaan yang sesuai. Diskualifikasi dapat berupa (i) penundaan manfaat untuk waktu tertentu atau setelah kondisi tertentu dipenuhi, (ii) pembatalan hak atas manfaat, atau (iii) pengurangan manfaat. 1) Berhenti bekerja sukarela. Jika pekerja secara sukarela berhenti tanpa alasan baik (good couse), maka ia didiskualifikasi menerima manfaat. Jika ada alasan baik maka manfaat tidak ditolak. Istilah ―alasan baik‖ berhubungan dengan pekerjaan, pemberi kerja, dan kesalahan pengusaha. Teorinya, jika pemberi kerja menciptakan kondisi kerja dimana tidak ada pekerja yang dapat mentolerir, maka pemberhentian pekerja bukan sukarela, dan ia harus diberikan manfaat. Sebaliknya, jika pekerja berhenti karena alasan lain, ia menyebabkan PHK, dan tidak berhak atas manfaat. 4) Penolakan pekerjaan yang sesuai. Kriteria pekerjaan yang sesuai (suittable) termasuk kesesuaian derajat resiko atas kesehatan, keselamatan, dan moral; kesesuaian kemampuan fisik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman dengan pekerjaan, kesesuaian upah dengan upah sebelumnya, serta jarak antara pekerjaan dan rumah. 5) Perselisihan industrial. Pekerja yang menganggur karena pemogokan pada umumnya didiskualifikasi karena beberapa alasan : a) Pemogokan dan idealis merupakan taktis perselisihan ekonomis dimana negara harus netral; b) Pembayaran manfaat berarti pemberi kerja ikut membiayai pemogokan. 88 c) Penlakan manfaat dibenarkan karena pekerja tidak terpaksan menganggur, tetapi memilih menggunakan haknya untuk mogok. 6) Sebab-sebab lain. Manfaat PHK tidak diberikan kepada guru sekolah dan dosen perguruan tinggi pada waktu liburan diantara tahun ajaran. Manfaat juga tidak dapat diberikan kepada pekerja asing ilegal dan atlit profesional atas dasar pekerjaan sebagai altlit. Manfaat PHK juga tidak diberikan kepada pekerja yang menerima pesangon, tunjangann cacat, skorsing atau cuti dangan upah. d. Tingkat Manfaat Besar tunjangan penganguran biasanya lebih kecil dari upah tetap setiap akhir bulan, dan dapat berbeda-beda, sebagai presentasi dari upah terakhir atau rata-rata upah selama 6 bulan atau 12 bulan terakhir. Peserta dapat juga digolongkan dalam kelaskelas upah. Presentase manfaat yang diterima menurun menurut peningkatan kelas upah. Kompensi jaminan sosial ILO 1952 menetapkan besarnya tunjangan pengangguran sebesar 45 % upah terakhir, atau upah rata-rata 52 minggu terakhir. Masa pemberian tunjangan perlu dibatasi untuk tidak terlalu lama, misalnya maksimum antara 3-6 bulan. Konpensi jaminan sosial ILO 1952 menentukan bahwa maksimum pembayaran tunjangan paling sedikit selama 13 minggu atau 3 bulan dalam setahun. Bila seseorang masih menganggur melampaui batas maksimum, dia dapat mengambil manfaat program bantuan sosial. Disamping itu, tunjangan pengangguran, dapat diberikan pembayaran menurun sesuai dengan lamanya seseorang menganggur seperti tercantum dalam tabel berikut ini. Tabel 5 : Manfaat JPHK sebagai Persen (%) Upah Terakhir Bulan Kelas A Kelas B Kelas C Pertama 75 65 60 Kedua 65 65 60 Ketiga 65 65 60 89 Keempat 55 50 45 Kelima 55 50 45 Keenam 55 50 45 Untuk Indonesia dengan kondisi perekonomian dan kehidpan sosial sekarang ini, besar manfaat program untuk tahun pertama penyelenggara disarankan sebagai berikut: 1) Kelompok penghasilan dibagi dalam tiga kelas, yaitu : a) Kelas A: berpenghasilan di bawah Rp. 1juta/bulan b) Kelas B : berpenghasilan Rp. 1 juta – Rp 3 juta; c) Kelas C : berpenghasilan Rp 3 juta/bulan atau lebih Besaran kelompok ini akan disesuaikan setiap dua tahun 2) Manfaat JPHK berupa tunjangan untuk kelompok berpenghasilan kelas A adalah pada bulan pertama sebesar 75 % gaji; bulan kedua dan ketiga masing-masing 65 % gaji; bulan keempat, kelima dan keenam masing-masing 55 % gaji per bulan. 3) Kelompok kelas B menerima manfaat JPHK atau tunjangan pengangguran sebesar 65 % gaji pada bulan pertama, kedua dan ketiga, dan 50 % gaji pada bulan keempat, kelima dan keenam. 4) Kelompok penghasilan kelas C menerima manfaat JPHK atau tunjangan pengangguran sebesar 60 % gaji dalam tiga bulan pertama dan 45 % gaji dalam tiga bulan kedua. 5) Sisa dana tabungan dan pengembangannya setelah dikurangi manfaat tunjangan pengangguran yang telah diambil dan biaya-biaya lain, dibayarkan pada saat pensiun, atau kepada ahli warisnya pada saat pekerja meninggal sebelum masa pensiun. 90 e. Pembayaran Iuran Pembiayaan JPHK ditanggung bersama oleh pengusaha dan pekerja. Sebagaimana dengan program jaminan sosial lainnya, iuran pengusaha dianggap sebagai biaya produksi. Demikian juga pekerja mengurangi pendapatan yang terkena pajak. Jadi, secara tidak langsung, pemerintah juga ikut menanggung pembiayaan JPHK. Dalam hal ini besar iuran di usulkan 5 % gaji setiap bulan terdiri atas : 1) Iuran pemberi kerja : 3 % gaji/bulan; 2) Iuran pekerja : 2 % gaji perbulan Mengingat saat ini program JPHK baru saja diundangkan dengan UU Ketenagakerjaaan (UU Nomor 13/2003), maka program JPHK dapat dipertimbangkan untuk tidak dimasukkan dalam UU SJSN. D. Program Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian Program Jaminan Hari Tua disingkat JHT merupakan jaminan yang diselenggarakan secara nasional berdasar tabungan wajib. Tujuannya untuk memberikan bekal kepada peserta ketika memasuki masa purna tugas. Tetapi, apabila peserta mengalami cacat tetap sehingga tidak mampu bekerja atau meninggal dunia sebelum masa pensiun, maka ahli waris peserta berhak menerima JHT. Program Jaminan Pensiun disingkat JP merupakan program jaminan yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan sistem asuransi dan tabungan. Tujuannya untuk menjamin kebutuhan hidup minimum yang layak, ketika peserta memasuki pensiun atau mengalami cacat tetap sehingga tidak dapat bekerja. Program Jaminan Kematian disingkat JKm merupakan program jaminan/santunan kematian yang diselenggarakan secara nasional berdasarkan mekanisme asuransi sosial. 1. Substansi a. Jaminan Hari Tua (JHT), pembayaran sekaligus sebelum peserta memasuki masa pensiun, bisa diterima kepada janda/duda, anak atau ahli waris peserta yang sah apabila peserta meninggal dunia. b. Jaminan Pensiun (JP), merupakan pembayaran berkala jangka panjang sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan karena peserta mencapai usia tua (pensiun), mengalami cacat total permanen, atau meninggal dunia. JP dimaksud berbeda dengan pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1992. Jaminan Pensiun terdiri dari: 91 1) Jaminan Pensiun Peserta harus mencapai hari tua dan memiliki masa mengiur minimal. Untuk menetapkan usia pensiun, digunakan beberapa pertimbangan antara lain; kondisi fisik penduduk pada umumnya, ratio beban keluarga, umur harapan hidup, kesempatan kerja dan perkembangan ekonomi nasional. Atas pertimbangan tersebut, usia pensiun yang berlaku saat ini umumnya 55 tahun dengan masa iur minimal 15 tahun. Dimasa datang, usia pensiun dapat berubah menjadi 60 atau 65 tahun. 2) Pensiun Cacat Peserta mengalami cacat total permanen dan memiliki masa mengiur minimal dan peserta yang mengalami cacat total permanen dengan memiliki masa kurang dari minimal. 3) Pensiun Janda/Duda a) Janda/duda dari peserta penerima pensiun atau peserta yang menderita cacat total tetap. b) Jnda/duda menerima pensiun seumur hidup, kecuali yang bersangkutan menikah kembali. 4) Pensiun Anak Penerima jaminan pensiun anak adalah : a) Anak dari peserta penerima pensiun atau peserta yang mengalami cacat total tetap atau penerima pensiun janda/duda. b) Anak menerima pensiun sampai ia mencapai usia 23 tahun atau telah bekeja atau menikah. c) Anak kandung, anak tiri, atau anak angkat yang dibuktikan dengan surat pengakuan dari instansi yang berwenang. 5) Pinjaman Dana. Peserta yang telah membayar iuran, atau iurannya telah dibayarkan oleh pemberi kerja untuk jangka waktu tertentu, harus diberikan hak untuk mendapatkan pinjaman dana hari tua atau jaminan pensiunnya untuk menutupi kebutuhan esensial yang urgen. Misalnya, peserta yang telah mengiur lebih dari 15 tahun tetapi belum memasuki usia pensiun, diberikan hak meminjam dana untuk pembayaran uang muka rumah atau apartemen yang akan dibeli untuk hari tuanya kelak. Sudah barangtentu, pembelian rumah atau apartemen kedua tidak bisa difasilitasi dengan pembayaran manfaat JHT atau JP. Pembiayaan uang muka atau uang yang cukup besar dalam memenuhi biaya pendidikan anak juga dapat dibiayai dari pinjaman dana JHT/JP. 92 c. Jaminan Kematian (JKm), merupakan jaminan santunan yang diberikan kepada keluarga atau ahli waris yang sah pada saat peserta meninggal dunia. 1) Jaminan kematian merupakan program asuransi sosial jiwa wajib bagi peserta/pekerja sektor formal dan informal. 2) Jaminan kematian merupakan program yang pembiayaannya berasal dari iuran pemberi kerja. 3) Jaminan kematian dibayarkan sekaligus (lump-sum) kepada ahli waris apabila peserta meningal dunia. 2. Kelembagaan Program JHT, JP, dan JKM diselenggarakan oleh BPJS yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk penetapan BPJS ini, DJSN akan selalu mengkaji berbagai aspek yang menyangkut kemampuan BPJS mengelola program yang sesuai dengan UU SJSN agar tidak terjadi ketidak-adilan penyelenggaraan jaminan sosial bagi pekerja pegawai pemerintah, pegawai swasta, maupun pekerja di sektor informal. Pemerintah dapat menetapkan satu atau lebih BPJS yang mengelola JHT, JP, dan JKm. 3. Mekanisme Mekanisme penyelenggaraan program Jaminan Hari Tua (JHT)/JP mencakup tiga aspek pentahapan yaitu : a. Cakupan kepesertaan Cakupan kepesertaan JHT dilaksanakan secara simultan dengan program jaminan lain berdasarkan dengan memperhatikan perkembangan kemampuan perekonomian pembiayaan nasional, kesiapan kelembagaan serta pemahaman masyarakat luas. Dengan demikian tahapan cakupan kepesertaan dengan kemungkinan simultan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Tahap pertama: kepesertaan bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja dengan pemberi kerja; 2) Tahap kedua: kepesertaan bagi tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja dengan perorangan atau lembaga yang bukan badan hukum; 3) Tahap ketiga: kepesertaan tenaga kerja sektor informal. b. Jenis Program Sebagaimana halnya dengan cakupan kepesertaan, pentahapan jenis program mempertimbangkan pula aspek-aspek derajat manfaat, 93 kemampuan memikul pembiayaan dan kesiapan BPJS dan masyarakat luas serta azas desentralisasi. c. Besaran Manfaat Karena lamanya peserta mengiur untuk memperoleh hak JHT dan JP sangat bervariasi dan kondisi sosial ekonomi juga bervariasi, maka manfaat JHT dan pensiun harus diatur secara rinci secara berkala dengan peraturan pemerintah setelah dilakukan perhitungan akturia yang cermat. d. Dana Seluruh dana yang terkumpul dari iuran dan hasil bersih pengembangannya merupakan milik peserta. Pengelolaan dana tersebut diatur oleh DJSN e. Sistem Akuntansi BPJS harus memelihara akun perorangan dan menyampaikan rekapitulasi iuran yang telah diterima beserta hasil pengembangannya kepada setiap peserta setiap tahun. Dengan demikian, maka peserta dapat menghitung setiap tahun besarnya tabungan yang dimilikinya untuk masa pensiunnya kelak. Disamping itu, penyampaian akun perorangan tersebut juga merupakan suatu mekanisme akuntabilitas dan keterbukaan manajemen BPJS sehingga akan meningkatkan tingkat kepercayaan peserta kepada BPJS. f. Pengelolaan dana dan Investasi Dana jaminan sosial, khususnya dana jangka panjang seperti dana JHT dan JP, akan terakumulasi menjadi sangat besar. Penggunaan dana dan investasi dana yang tersedia tersebut harus diatur secara ketat agar tidak disalah-gunakan. Meskipun DJSN akan menetapkan kebijakan umum penggunaan dana dan investasi, pengaturan yang tegas agar bisa difahami dan diyakini oleh seluruh peserta bahwa dana yang terkumpul tidak disalah-gunakan atau tidak diinvestasikan dalam intrumen investasi yang berisiko tinggi. Ketentuan tentang penggunaan dana dan ketentuan investasi, yang nantinya harus masuk dalam UU adalah sebagai berikut; (1) Ketentuan tentang Kekayaan BPJS Kekayaan BPJS terdiri dari : a. Kekayaan negara yang dipisahkan untuk pendirian BPJS; b. Kekayaan yang dibeli dari dana operasional BPJS; c. Kekayaan lain yang diperoleh dari hibah kepada BPJS. Pemerintah dan atau pihak lain dapat menambah Kekayaan Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. 94 Pemisahan Kekayaan Negara sebagai Kekayaan Badan ditetapkan pada saat pendirian BPJS atau Perubahan BPJS dari bentuk badan yang lama dan penambahan Kekayaan Badan selama mengelola program jaminan sosial (2) Proteksi terhadap kebangkrutan BPJS Di seluruh dunia, BPJS tidak dirancang untuk sewaktu-waktu dapat bangkrut. Berbeda dengan perusahaan saham yang memang sewaktu-waktu dapat bangkrut. Dalam program jaminan sosial, prinsipnya penerimaan dan pengeluaran dikendalikan secara berkala, sebagaimana juga APBN. Jika penerimaan terlalu berlebih, peraturan pemerintah harus diubah untuk menurunkan tingkat iuran atau meningkatkan nilai manfaat. Apabila biaya manfaat terlalu besar yang dapat mengancam kesehatan keuangan BPJS, peraturan baru dapat dikeluarkan untuk menurunkan besaran manfaat atau meningkatkan iuran. Begitu seterusnya. Namun apabila terjadi suatu keadaan yang mendadak yang tidak bisa diprediksi, Pemerintah bertanggung jawab melakukan tindakantindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS. Tindakan khusus tersebut misalnya memberikan hibah dari APBN. Perlu difahami bahwa hibah semacam itu bukanlah hibah untuk sebuah BUMN seperti halnya kasus yang terjadi pada PT Dirgantara Indonesia yang bangkrut. Hibah tersebut pada hakikatnya adalah hibah kepada seluruh peserta atau seluruh rakyat jika cakupannya sudah mencapai seluruh penduduk. (3) Biaya operasional atau biaya usaha Pengelolaan JSN bukanlah pengelolaan suatu usaha mencari untung oleh suatu badan usaha milik sekelompok orang atau dikuasai sekelompok orang. Pengelolaan JSN merupakan amanat seluruh peserta/rakyat. Oleh karenanya direksi dan pengelola tidak bisa menggunakan dana semaunya. Namun demikian, pengelolaan JSN menuntut profesionalisme oleh karenanya gaji dan tunjangan pengelola dan pengawas harus memadai dan kompetitif sebagaimana layaknya perusahaan swasta atau BUMN. Biaya operasional atau biaya usaha harus dibatasi agar manfaat penghimpunan dana dapat benar-benar diberikan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Di bebebara negara, seperti Thailand dan Taiwan, iuran peserta bahkan sama sekali tidak digunakan 95 untuk biaya operasional. Biaya operasional sepenuhnya ditanggung oleh dana APBN. Untuk Indonesia, jika mungkin pemerintahlah yang memberikan dana hibah untuk biaya opeprasional setiap tahun. Jika tidak mungkin, paling sedikit biaya operasional harus diatur sebagai berikut: Pembiayaan penyelenggaraan operasional program jangka pendek setinggi-tingginya 5 (lima) persen dari iuran yang diterima. Pembiayaan penyelenggaraan operasional program jangka panjang setinggi-tingginya 1-5 persen dari hasil pengembangan dana, tergantung dari besarnya akumulasi dana yang dikelola. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, biaya operasional program jangka pendek BJSN dapat melebihi 5% (lima persen) yang secara bertahap diturunkan sehingga paling lambat pada tahun ke 10 (sepuluh) besarnya biaya operasional tidak melebihi 5% (lima persen) dari total iuran yang diterima. Masing-masing program jaminan sosial dibuat akun tersendiri. BPJS tidak diperkenankan melakukan subsidi silang antar program dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain BPSJ harus mengelola keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan publik yang berlaku. Pengelolaan keuangan BPJS harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian, efisien, efektif, transparan dan akuntabel. (4) Ketentuan investasi Dana JSN yang dikembangkan dapat diinvestasikan oleh BPJS harus secara dikelola optimal dan dengan mempertimbangkan aspek solvabilitas, likuiditas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Dana JSN yang terpupuk dan belum digunakan, diinvestasikan secara hati-hati dengan mempertimbangkan tingkat risiko, tingkat hasil, dan likuiditas. DJSN harus menggariskan kebijakan rinci tentang hal ini. Paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari Dana program JHT dan Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diinvestasikan dalam bentuk obligasi atau bentuk investasi jangka panjang lainnya yang diterbitkan oleh Pemerintah atau 96 Pemerintah Daerah atau dana obligasi korporasi yang dijamin Pemerintah. Paling banyak 50% (lima puluh persen) Dana JSN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disimpan dalam bentuk deposito di pasar uang Indonesia pada bank pemerintah, bank daerah, atau bank swasta yang sehat dan dijamin Pemerintah. Penempatan dana pada obligasi dan/atau deposito berjangka harus dilakukan dengan memperhatikan likuiditas Dana. Setinggi-tingginya 51% (lima puluh satu persen) dari Dana JSN yang terkumpul di suatu daerah dapat diinvestasikan oleh BJSN dalam bentuk obligasi dan atau deposito yang memenuhi syarat di daerah tersebut . Apabila pasar modal yang memenuhi syarat di daerah tersebut belum atau tidak tersedia, maka dana tersebut diinvestasikan di daerah lain yang memberikan hasil tertinggi. Setinggi-tingginya 5% (lima persen) dari Dana JSN dapat diinvestasikan dalam bentuk penyertaan saham dan atau dalam bentuk properti. Investasi hanya dapat dilakukan di Indonesia dalam bentuk: a. Deposito on call; b. Deposito berjangka; c. Sertifikat deposito; d. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; e. Obligasi yang tercatat di Bursa Efek; f. Saham yang tercatat di Bursa Efek; g. Unit pennyertaan Reksadana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur tentang Pasar Modal; h. Penyertaan langsung pada saham yang tidak tercatat di Bursa Efek yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; dan/atau i. Bangunan dan/atau tanah. Penempatan kekayaan Dana JSN dalam setiap bentuk investasi pada satu pihak tidak boleh melebihi 5 % (lima persen) dari jumlah nilai investasi, kecuali penempatan pada Bank Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia. 97 Dalam terjadi penggabungan pihak-pihak tempat BPJS melakukan investasi sehingga total investasi pada Pihak hasil penggabungan menjadi lebih besar dari batas penempatan dana pada satu pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka investasi dana JSN pada Pihak hasil penggabungan tersebut harus disesuaikan, dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penggabungan. BPJS tidak boleh melakukan investasi baru pada Pihak hasil penggabungan (merjer) selama penyesuaian belum selesai dilakukan. Penempatan kekayaan Dana JSN dalam bentuk investasi Deposito on Call, Deposito Berjangka, dan Sertifikat Depostio tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari jumlah nilai investasi. Penempatan kekayaan Dana JSN dalam jenis investasi dalam Saham dan unit penyertaan tidak boleh melebihi 5% (lima persen) dari jumlah nilai investasi. Penempatan kekayaan Dana JSN dalam jenis investasi obligasi tidak boleh melebihi 70% (tujuh puluh persen) investasi obligasi pemerintah dan 20% (dua puluh persen) investasi obligasi korporasi. Penempatan kekayaan Dana JSN dalam penyertaan langsung harus: a. Tidak boleh melebihi 2% (dua persen) dari jumlah nilai investasi BPJS, b. Berbentuk saham yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang memiliki prospek baik dimasa mendatang serta telah menghasilkan keuntungan selama 3 (tiga) tahun berturutturut, atau c. Berbentuk saham yang diterbitkan oleh Badan Hukum yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan BPJS Penempatan kekayaan Dana JSN dalam bangunan dan/atau tanah harus : a. Memberikan penghasilan kepada Dana JSN atau bertambah nilai karena pembangunan, penggunaan, dan/atau pengelolaan oleh pihak lain yang dilakukan melalui transaksi yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku; atau 98 b. Penempatan pada tanah, bangunan atau tanah dengan bangunan tidak boleh melebihi 5% (lima persen) dari jumlah nilai investasi. g. Manfaat 1) Besaran Pensiun a) Pensiun yang akan dibayarkan kepada peserta akan lebih menguntungkan peserta apabila pensiun dibayarkan dengan manfaat pasti (defined benefit). Besaran pensiun adalah prosentase dari rata-rata penghasilan tahun terakhir, diperkirakan dengan jumlah minimal 60% dan maksimal 80% dari upah tahun terakhir; Namun demikian, pemberian pensiun manfaat pasti kini umumnya menghadapi kendala pendanaan, mengingat hasil investasi dan masa pembayaran pensiun ternyata tidak sesuai dengan kajian aktuaris. Sementara pensiun iuran pasti akan menghadapi kendala kecukupan dana pensiun untuk memeneuhi kebutuhan dasar yang layak, khususnya bagi mereka yang bekerja denga upah rendah. membagi dua mekanisme Oleh karenanya, pendekatan jaminan pensiun merupakan pendekatan yang lebih realistis. Dalam model ini, dapat diatur sebagian iuran untuk manfaat pasti dan sebagian lagi untuk iuran pasti. Misalnya, jika iuran ditetapkan 10% dari upah dan komposisi manfaat pasti adalah 20%, maka perhitungan akturia diperhitungkan bahwa iuran 2% upah akan digunakan untuk memberikan pensiun dengan manfaat pasti. Sedangkan yang 8% upah digunakan untuk membiayai pensiun dengan iuran pasti (sesungguhnya hal ini merupakan tabungan wajib atau provident fund). Setiap peserta akan memperolah uang pensiun 80% dari iuran pasti dan 20% dari pensiun manfaat pasti. Tentu saja model ini memerlukan kalkulasi aktuaria yang cermat, untuk memastikan bahwa pendanaan pensiun tidak terlalu terancam (dengan iuran pasti, tanpa subsidi) namun demikian, program masih bisa memberikan subisi sedikit pada penerima upah rendah dengan pensiun manfaat pasti. b) Persyaratan untuk menerima pensiun diatur dengan peraturan pemerintah setelah hasil kajian aktuaria selesai dilakukan. Namun demikian, cukup memadai apabila kualifikasi untuk 99 menerima pensiun haruslah seseorang paling sedikit telah mengiur selama 15 tahun seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan. Pensiun pegawai negeri sekarang ini mensyaratkan lama kerja paling sedikit 20 tahun dan usia 50 tahun. 2) Besaran Pensiun Cacat a) Besaran pensiun cacat adalah prosentase dari rata-rata penghasilan tahun terakhir dengan jumlah minimal diperkirakan 60% dan maksimal 80% dari upah tahun terakhir; provident b) Persyaratan untuk menerima pensiun diatur dengan peraturan pemerintah setelah hasil kajian aktuaria selesai dilakukan. 3) Besaran Pensiun Anak Besaran pensiun anak adalah prosentase dari besaran pensiun janda/duda dengan altenatif : a) Pensiun janda/duda dari peserta yang telah pensiun/ yang menderita cacat total tetap; b) Besaran pensiun minimal diperkirakan 40% dan maksimal 60% dari upah tahun terakhir. 4) Besaran Jaminan Kematian Besaran jaminan kematian diperkirakan 10 kali upah tahun terakhir. 100 BAB VI MEKANISME A. Kepesertaan 1. Pengertian Peserta adalah semua penduduk yang membayar iuran sesuai dengan ketentuan masing-masing program. Yang dimaksud penduduk adalah WNI yang berada di dalam maupun di luar negeri dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia untuk masa paling sedikit 6 (enam) bulan. Untuk program jangka pendek, WNA yang bekerja di Indonesia wajib membayar iuran atau menjadi peserta. Sedangkan unutk program jangka panjang, hanya WNA yang tak menjadi peserta jaminan sosial yang sama di negara asalnya dan ada perjanjian timbal balik dengan negara tersebut yang diwajibkan menjadi peserta. 2. Sifat kepesertaan Pada prinsipnya setiap penduduk wajib menjadi peserta, akan tetapi upaya penegakan hukum atas kepesertaan tersebut diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan kesiapan teknis pengumpulan iuran dan kelayakan program. 3. Kewajiban peserta Setiap peserta wajib membayar iuran secara teratur. Pemberi kerja wajib memotong iuran dari upah pekerja, menambahkan iuran yang menjadi tanggung jawabnya dan membayarkan ke rekening BPJS setiap awal bulan. Bagi pekerja di sektor informal seluruh iuran ditanggung oleh peserta. Penduduk di sektor informal dan yang tidak bekerja dan tidak mampu tetap wajib menjadi peserta dengan iuran yang ditanggung, akan tetapi sebagian atau seluruh iurannya (tergantung tingkat kemiskinannya) dibayarkan oleh Pemerintah. 4. Hak peserta Setiap peserta berhak memperoleh manfaat sesuai ketentuan program. Persyaratan dan tata cara memperoleh manfaat diatur oleh peraturan perundangan SJSN. Yang dimaksudkan dengan persyaratan adalah kejadian yang menimbulkan hak seperti kejadian sakit merupakan syarat peserta berhak 101 mendapatkan jaminan kesehatan sedangkan memasuki usia pensiun merupakan syarat untuk memperoleh hak pensiun. 5. Syarat kepesertaan a. Setiap peserta harus mempunyai Nomor Identitas Jaminan Sosial b. Setiap peserta harus membayar iuran, baik yang dibayarkan dari upah sendiri, dari pemberi kerja, oleh orang tua sebagai peserta, maupun oleh Pemerintah. 6. Pendaftaran peserta a. Pendaftaran peserta di sektor formal. Pemberi kerja di sektor formal, sesuai dengan jumlah pekerja yang dimilikinya, wajib mendaftarkan dan membayarkan iuran seluruh pekerjanya dan seluruh pimpinannya ke BPJS paling lama satu bulan setelah terjadinya hubungan kerja. Dalam pendaftaran peserta tersebut, pemberi kerja wajib melampirkan data pribadi pekerja secara lengkap beserta daftar anggota keluarga yang akan menjadi ditanggung oleh peserta. Termasuk dalam daftar anggota adalah orang tua atau mertua yang sah. Formulir lengkap pekerja dapat diambil dari kantor cabang BPJS dan dari website BPJS. b. Pendaftaran oleh kelompok. Pekerja sektor informal yang memiliki kelompok usaha atau koperasi mendaftarkan diri dan anggota keluarganya melalui organisasi usahanya. Organisasi usaha seperti koperasi atau asosiasi usaha wajib mendaftarkan anggotanya dan anggota keluarga mereka ke BPJS sebagaimana pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya. c. Pendaftaran oleh pekerja yang bersangkutan. Pekerja sektor informal yang tidak menjadi anggota asosiasi atau koperasi di bidang usahanya mendaftarkan diri mereka dan anggota keluarganya ke BPJS secara perorangan. Sesuai pentahapan, DJSN akan menetapkan kriteria/persyaratan pekerja sektor informal yang dapat mendaftarkan diri pada suatu tahap tertentu. Persyaratan pendaftaran ini diperlukan untuk menjamin bahwa pekerja dapat membayar iuran secara teratur. d. Pendaftaran oleh Pemerintah (kelompok khusus/tak mampu). Kelompok khusus seperti penduduk di sektor informal yang tergolong penduduk miskin yang berhak mendapat bantuan atau subsidi iuran menjadi peserta melalui pendaftaran oleh instansi pemerintah daerah yang bertanggung-jawab untuk itu, sesuai dengan peraturan perundangan. 102 7. Tanda kepesertaan Setiap peserta yang telah didaftarkan atau mendaftarkan diri, termasuk anggota keluarganya, Kantor cabang BPJS akan memberikan Kartu BPJS yang merupakan kartu identitas yang diperlukan untuk mendapatkan hak manfaat. Penerbitan kartu sementara oleh kantor cabang BPJS harus diselesaikan pada hari yang sama sedangkan kartu BPJS tetap harus sudah diselesaikan paling lambat dalam waktu satu minggu. 8. Perluasan kepesertaan Kepesertaan mencakup seluruh penduduk dan dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan penyelenggaraan dan kelayakan program. BPJS, Pemberi Kerja, Pekerja, Pemerintah dan Masyarakat perlu bersama-sama mengupayakan perluasan kepesertaan dimaksud. B. Manfaat 1. Pengertian Hak peserta yang dijamin SJSN bervariasi sesuai dengan jenis program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak. 2. Jenis manfaat Manfaat program JSN terbagi menjadi dua golongan besar yaitu: a. Manfaat dalam bentuk dana tunai lump-sum maupun berkala b. Pelayanan kesehatan/kedokteran 3. Jumlah manfaat Besarnya santunan untuk masing-masing program bervariasi sesuai program. Pada prinsipnya manfaat diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Dalam hal pelayanan kesehatan, kebutuhan dasar yang minimal bukanlah pelayanan yang murah atau yang hanya diberikan oleh dokter atau puskesmas, akan tetapi seluruh kebutuhan yang secara medik perlu diberikan kepada yang bersangkutan, khususnya yang tidak sanggup dipikul sendiri. Manfaat diberikan di tempat pelayanan yang dapat dijangkau peserta dengan mekanisme yang sederhana. 103 4. Lama jaminan / manfaat Masing-masing program mempunyai batas maksimum atau jumlah tertentu dalam pemberian manfaat sesuai dengan ketentuan masing-masing program. Badan penyelenggara harus menyampaikan tentang hak-hak peserta dan cara memperolehnya. 5. Penerima manfaat Program SJSN memberikan manfaat kepada dua jenis penerima, sesuai dengan ketentuan masing-masing progam a. Peserta Program Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kecelakaan Kerja hanya diberikan kepada peserta apabila peserta masih hidup. Apabila peserta telah meninggal, manfaat JHT dan pensiun publik diberikan kepada ahli waris yang berhak. c. Peserta dan anggota keluarganya. Jaminan kesehatan diberikan kepada peserta dan seluruh anggota keluarganya sedangkan jaminan kematian hanya diberikan kepada anggota keluarga (ahli waris) yang berhak menerimanya. 6. Pembayaran manfaat a. Jaminan Kesehatan Jaminan kesehatan diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan milik Pemerintah maupun milik Swasta yang mengikat kontrak dengan BPJS. Apabila tidak ada fasilitas pelayanan kesehatan dimaksud, maka diberikan kompensasi sebagai pengganti sesuai standar. Pembayaran BPJS kepada fasilitas kesehatan didorong kepada pembayaran prospektif, pembayaran yang besarannya disepakati dimuka oleh kedua belah pihak. Dengan pembayaran prospektif ini, maka perlu disusun paket-paket pelayanan dan tarif yang harus dibayar oleh BPJS. Pembayaran prospektif dapat dilakukan dengan cara pembayaran kapitasi, paket, per hari rawat, ataupun berdasarkan per diagnosis. Pembayaran kapitasi adalah pembayaran kepada fasilitas kesehatan yang berdasarkan jumlah peserta dalam keadaan sehat yang diperhitungkan per kapita per bulan. Pembayaran per diagnosis adalah pembayaran berdasarkan jenis penyakit, bukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan. Pembayaran prospektif merupakan cara pembayaran yang efektif dan efisien sehingga dana JSN dapat terkendali. 104 b. Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan kecelakaan kerja memiliki dua jenis manfaat yaitu yang berupa pelayanan kesehatan dan berupa uang apabila peserta menderita cacat sementara ataupun cacat tetap permanen. Pembayaran untuk manfaat yang berupa pelayanan akan dilakukan sama dengan yang dilakukan untuk jaminan kesehatan. Namun demikian, untuk manfaat yang berbentuk uang tunai, yang merupakan pengganti pendapatan selama peserta tidak mampu bekerja akibat kecacatan, dibayarkan secara berkala kepada peserta yang memenuhi syarat. c. Jaminan Hari Tua, Pensiun, dan Kematian 1) Secepat-cepatnya lima tahun sebelum memasuki masa pensiun, pekerja mengajukan permintaan pembayaran jaminan hari tua dan pensiun kepada kantor BPJS. Dalam hal peserta meninggal dunia sebelum usia pensiun, maka ahli waris harus melaporkan kematian peserta sekaligus mengisi permohonan pembayaran JHT dan pensiun. Seluruh iuran JHT dan hasil pengembangannya dibayarkan kepada ahli waris. Sedangkan uang pensiun dibayarkan secara berkala kepada ahli waris yang sah. 2) Dalam hal peserta meninggal dunia, ahli waris juga berhak mendapatkan jaminan kematian. Pemberi kerja atau ahli waris mengajukan permintaan pembayaran jaminan kematian disertai dokumen yang diperlukan. C. Iuran dan Dana JSN 1. Pengertian a. Iuran JSN adalah sejumlah dana berupa prosentase tertentu dari gaji atau upah atau penghasilan yang dibayarkan secara teratur oleh peserta dan pemberi kerja untuk memenuhi pembayaran manfaat bagi peserta di kemudian hari dan memenuhi biaya operasional penyelenggaraan JSN. b. Dana JSN atau Dana adalah himpunan iuran peserta beserta hasil pengembangannya dan sumber lain yang sah yang diamanatkan peserta kepada BPJS untuk dikelola dan diinvestasikan guna memenuhi pembayran manfaat bagi peserta di kemudian hari c. Keseluruhan Dana adalah milik peserta yang diperuntukkan bagi pemenuhan hak peserta di kemudian hari. 105 2. Sifat himpunan dana Dana yang terkumpul dan hasil pengembangannya merupakan Dana Amanat (trust funds) yang berarti bahwa dana tersebut tidak dapat digunakan oleh BPJS kecuali disetujui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. 3. Besar iuran Besarnya iuran untuk masing-masing program diatur lebih lanjut dalam Bab V tentang program-program. 4. Sumber iuran Iuran untuk program SJSN bersumber dari : a. Pekerja b. Pemberi kerja. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk dalam kategori Pemberi Kerja untuk Pegawai Negeri, TNI dan Polri, serta pensiunan PNS dan TNI-Polri. c. Pemerintah (untuk yang penduduk yang tidak mampu) 5. Frekuensi pembayaran iuran Setiap pekerja yang mempunyai pendapatan bulanan seperti upah, bonus dan hasil penjualan barang atau jasa wajib membayar iuran secara bulanan. Bagi pekerja di sektor formal, pemberi kerja wajib memungut dan menambahkan pembayaran iuran serta membayarkan iuran ke BPJS. Pemerintah Daerah wajib membayarkan iuran bagi pegawainya dan bagi penduduk yang tidak mampu yang iurannya ditanggung Pemerintah. 6. Pengumpul dan pengelola dana Badan JSN yang dalam hal ini Direktorat Administrasi JSN yang dibentuk dengan undang-undang ini bertanggung jawab mengumpulkan, mengelola, dan membayarkan manfaat kepada peserta atau fasilitas kesehatan dalam hal manfaat diberikan dalam bentuk pelayananan kesehatan. 106 7. Pembayaran Iuran a. Iuran dibayar oleh pemberi kerja untuk seluruh pekerjanya setiap bulan melalui rekening BPJS di bank-bank yang ditunjuk, paling lambat tanggal 15 untuk iuran di bulan yang bersangkutan. b. Keterlambatan pembayaran iuran dikenakan denda yang ditanggung oleh pemberi kerja. 8. Penggunaan dana Dana yang terkumpul hanya dapat digunakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ini. Dana yang belum digunakan untuk pembayaran manfaat akan diinvestasikan dalam berbagai instrumen investasi yang akan diatur secara ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan dana. 9. Pertanggungjawaban BPJS harus membuat laporan akun peserta dan menyampaikannya kepada peserta setiap tahun. Selain itu, BPJS harus membuat pertanggung-jawaban penyelenggaraan JSN secara berkala kepada Presiden. Laporan neraca keuangan SJSN yang telah diaudit harus dipublikasikan di media masa di tingkat Nasional dan di tingkat Daerah sebagai suatu upaya keterbukaan manajemen. 10. Pengawasan Pengawasan penyelenggaraan JSN dilakukan oleh badan audit internal yang dibentuk di lingkungan BPJS dan Badan Audit Eksternal (Badan Pemeriksa Keuangan dan atau Akuntan Publik) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena BPJS merupakan badan penyelenggara JSN, maka harus dikembangkan Sistem Akuntansi Khusus Dana Publik yang dikelola oleh BPJS. 11. Investasi Investasi dana amanat dilakukan oleh BPJS sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan UU SJSN. Investasi harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, keamanan Dana, solvabilitas, likuiditas, dan transparansi. 107 D. Biaya Operasional Program 1. Biaya Operasional Program Jaminan Kesehatan (JK) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Biaya operasional adalah biaya-biaya yang diperlukan untuk mengelola BPJS dari mulai pendaftaran peserta sampai pembayaran manfaat. Yang termasuk biaya operasional adalah biaya upah pengelola, direksi, anggota DJSN, bonus prestasi, kewajiban iuran JSN, biaya bahan dan alat habis pakai, biaya gedung dan kantor, biaya listrik, air dan komunikasi, biaya transportasi, dan biaya perjalanan yang terkait dengan penyelenggaraan SJSN. Program JK dan JKK merupakan program jangka pendek dalam arti manfaatnya dapat segera dinikmati, yaitu bahwa iuran yang dihimpun kemungkinan digunakan pada tahun yang sama. Karena himpunan (pool) program ini yang bersifat nasional dan besar, dapat terjadi efisiensi yang sangat tinggi. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa biaya operasional yang dibutuhkan paling banyak hanya 5% (lima persen) dari iuran yang diterima setahun. Oleh karenanya, biaya operasional yang meliputi biaya gaji/upah pengelola, administrasi, pengadaan yang dibutuhkan, perjalanan, dan bonus pengelola akan dibatasi maksimum 5% (lima persen). Tentu saja, pada awal penyelenggaraan JSN, jumlah peserta dalam himpunan belum cukup besar, karenanya dalam 10 tahun pertama biaya operasional dimungkinkan dapat mencapai maksimum 15%. 2. Biaya Operasional Program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kematian (JKm). Program JHT dan JP merupakan program yang manfaatnya dinikmati dalam program JHHT dan JP merupakan program jangka panjang, yaitu bahwa iuran yang terkumpul akan dihimpun dan diinvestasi sampai peserta memasuki usia pensiun. Akumulasi iuran peserta dapat mencapai 40 tahun, baru hak peserta timbul. Oleh karenanya, akan terhimpun dana yang besar sekali yang dapat dikelola oleh BPJS. Untuk mengelola program yang dananya sangat besar tersebut, tidak diperlukan biaya operasional yang diambil dari iuran peserta. Program JKm merupakan program santunan yang diberikan pada ahli waris pada saat peserta meninggal dunia. Biaya operasional cukup diambil dari sebagian kecil maksimum 5% dari hasil pengembangan Dana. Sudah barang tentu pada tahap awal dimana himpunan peserta belum cukup besar, prosentase hasil pengembangan yang dapat digunakan untuk biaya operasional dapat lebih besar. 108 Setiap tahun DJSN akan menghitung prosentase hasil pengembangan yang boleh digunakan untuk biaya operasional. E. Mekanisme Pembentukan dan Pengembangan Kelembagaan 1. Kelembagaan SJSN Segera setelah UU SJSN diundangkan, Presiden membentuk DJSN dengan tugas membantu Presiden di dalam menetapkan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. b. Tata Kerja BPJS / Manajemen Operasional SJSN Tata kerja BPJS Akan diatur secara rinci dengan Peraturan Pemerintah sesuai dengan UU SJSN. 109 BAB VII PENEGAKAN HUKUM A. Akses Informasi Sebagai suatu sistem, SJSN telah dirancang dengan memperhatikan kondisi pelaksanaan berbagai program jaminan sosial saat ini dan proyeksi yang akan datang. Secara substantif, materinya memuat aturan mengenai kelembagaan, mekanisme kerja dan berbagai kewajiban yang terkait dengan operasional sistem. Untuk lebih menjamin bekerjanya sistem tersebut, perlu diatur ketentuan mengenai penegakan hukumnya baik dalam bentuk sanksi administratif maupun sanksi pidana. Secara strategis, keduanya diperlukan sebagai pemaksa bagi kepatuhan dan ketaatan pihak-pihak terkait guna terwujudnya Sistem JSN yang efektif dan memadai sebagaimana yang diharapkan. Dalam hal tertentu, pengenaan sanksi di atur secara berjenjang. Artinya, apabila sanksi administratif tidak efektif untuk memaksa pelaksanaan kewajiban, maka diterapkan sanksi pidana. B. Sanksi Administratif Sanksi administratif dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan mengenai kewajiban membayar iuran. Bentuknya berupa denda yang dikenakan setelah terlebih dahulu diberikan peringatan dalam jangka waktu yang cukup. Pihak-pihak yang berpotensi melakukan pelanggaran ini adalah pemberi kerja dan pekerja. Bentuk pelanggaran lazimnya berupa keterlambatan pembayaran iuran atau mendaptarkan sebagian saja pegawai. Karenannya, sanksinya ditetapkan dalam formula perhitungan denda sebesar 1 % (satu persen) dari iuran pokok perbulan untuk paling lama dua belas bulan. Apabila setelah dilakukan pemeriksaaan ternyata terdapat kekurangan pembayaran iuran, maka peserta yang bersangkutan diwajibkan melunasi kekurangannya itu disertai dengan denda yang ditetapkan sebesara satu persen sebulan yang dihitung dari jumlah kekurangan tersebut untuk paling lama dua belas bulan. Selanjutnya apabila selewatnya batas waktu dua belas bulan ternyata peserta tetap tidak memenuhi kewajiban membayar iurannya, maka terhadap tindak pelanggaran itu dikenakan sanksi pidana. 110 C. Sanksi Pidana Sanksi pidana diarahkan pada pelanggaran kewajiban, baik yang dilakukan oleh pemberi kerja di sektor formal maupun di sektor informal, serta badan penyelenggara. Sanksi pidana bagi pemberi kerja dikenakan apabila pemberi kerja tersebut tidak melaksanakan kewajiban mendaftarkan pekerjanya kepada badan penyelenggara. Khusus bagi pemberi kerja di sektor informal kewajiban untuk mendaftarkan tersebut berlaku untuk dirinya dan pekerjanya. Betapapun sanksi seperti itu diperlukan sebagai upaya pemaksa bagi pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Yang pasti, sanksi pidana tidak di arahkan kepada peserta. Hal ini perlu ditegaskan mengingat kewajiban ini bukan menyangkut pembayaran iuran kepesertaan, tetapi lebih kepada kewajiban untuk mendaftarkan diri dan pekerja sebagai peserta SJSN. Di beberapa negara yang telah mengembangkan sistem seperti ini, sanksi pidana juga ditentukan bagi peserta yang tidak membayar iurannya. Hal ini dimungkinkan mengingat sistem yang diberlakukan telah mengharuskan setiap peserta membayar sendiri secara langsung iuran kepesertaan, karenanya sanksi pidana dapat diberlakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh peserta tersebut. Adapun sanksi pidana bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya atau tidak memungut iuran dari pekerja, ditetapkan secara kumulatif, yaitu hukuman kurungan dan denda. Sanksi seperti itu tidak mengurangi ataupun menghapus kewajiban pembayaran iuran yang tertunggak. Bahkan, apabila pelanggaran diulang kembali, maka harus dikenakan sanksi tambahan. Sanksi pidana juga diberlakukan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh badan penyelenggara, yaitu dalam hal badan penyelenggara tidak melaksanakan kewajiban memberikan manfaat program sebagaimana di tetapkan. Dalam hal tindak pelanggaran itu terjadi karena kesalahan direksi dan/atau komisaris, maka pidana denda diperberat dengan pidana kurungan. D. Penyidikan Mengingat bentuk-bentuk pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana tersebut secara tehnis tidak pelik dan bersifat sederhana, maka penyidikannya tidak perlu dilakukan oleh pejabat penyidik khusus (PPNS). Penyidikan cukup dilakukan oleh penyidik kepolisian sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 111 BAB VIII MASA PERALIHAN Sistem Jaminan Sosial Nasional dimaksudkan untuk menjamin adanya satu sistem penyelenggaraan secara nasional. Untuk mewujudkan adanya satu sistem yang berskala nasional diperkirakan membutuhkan waktu yang panjang. Oleh sebab itu dalam jangka pendek lembaga-lembaga yang sekarang ada dapat melanjutkan program-programnya berdasarkan ketentuan masing-masing sambil menyesuaikan diri terhadap satu sistem nasional sebagaimana dimaksud dalam UU SJSN. Prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam masa peralihan adalah sebagai berikut: 1. Tidak merugikan peserta yang telah mengikuti program jaminan sosial yang sedang diselenggarakan oleh PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen dan PT. Asabri; 2. Memanfaatkan personil, sistem dan kekayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang ada tanpa harus menimbulkan pemutusan hubungan kerja atau kerusakan sistem yang ada; 3. Melakukan perubahan sistem, program, maupun kekayaan yang ada secara bertahap sehingga tidak menimbulkan gejolak di kalangan personil maupun peserta jaminan sosial yang ada sesuai UU SJSN. 112 BAB IX PENUTUP Kondisi perekonomian yang berkembang saat ini baik dilihat secara global, regional maupun nasional, mendorong semakin diperlukannya suatu sistem jaminan sosial yang bersifat nasional dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem jaminan sosial dimaksud harus mampu memberikan perlindungan menyeluruh bagi masyarakat terutama pada kondisi-kondisi tertentu seperti sakit, mengalami kecelakaan, meninggal, kehilangan pekerjaan dan pada saat memasuki usia lanjut. Sementara beberapa jaminan sosial yang ada yaitu PT Jamsostek, PT Askes, PT Taspen dan PT Asabri dan JPKM belum mampu memenuhi tuntutan dimaksud. Oleh karenanya diperlukan UU SJSN untuk memperkuat BP menjalankan visi jaminan sosial. Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001 menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dalam upaya memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. Oleh karenanya Presiden merasa perlu melahirkan SJSN yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Undang-undang. Dipertanyakan oleh banyak komponen, dalam kondisi ekonomi saat ini, mampukan Pemerintah memberikan jaminan sosial dimaksud, terutama bagi tenaga kerja di sektor informal ? Sebelum sektor informal, kita harus buktikan dulu bahwa jaminan sosial bagi sektor formal dapat berjalan baik dan memuaskan. Perlu dipahami bahwa SJSN tidak dibiayai oleh pemerintah sendiri tetapi bersama-sama dengan pemberi kerja dan pekerja. Tantangan ini akan diantisipasi dalam Undang-undang SJSN yang akan dilahirkan dan diharapkan dalam waktu dekat ini dapat diundangkan. Pelaksanaannya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pekerja dan Pemberi Kerja. Masing-masing pihak memberikan iuran. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya status pekerjaan, maka jangkauan kepesertaan dilakukan secara bertahap, di awali dari tenaga kerja produktif yang mempunyai upah/penghasilan. Bagi tenaga kerja yang karena kondisi tertentu menjadi miskin sehingga tidak mampu mengiur, untuk sementara diatasi dengan mekanisme bantuan sosial. Lembaga yang akan dibangun tidak bertujuan mencari laba, namun mencari dana untuk membiayai manfaat sebesarbesarnya, oleh karenanya sisa hasil usaha penyelenggaraan program sewajarnya bebas pajak penghasilan badan. 113 Untuk menjamin pengelolaan keuangan yang aman dan pelayanan yang optimal, jaminan sosial nasional ini akan dikelola dalam suatu wadah/lembaga secara nasional berdasarkan prinsip Dana Amanat. Kantor perwakilan akan berada di seluruh daerah dengan kebutuhan dan semangat otonomi. Badan hukum lembaga tersebut sebaiknya berupa badan hukum quasi pemerintah atau badan hukum milik masyarakat. Badan hukum tersebut belum resmi di kenal di Indonesia. Lembaga dimaksud harus dikelola secara profesional, transparan dan memiliki akuntabilitas publik yang tinggi. Konsep Naskah Akademik SJSN ini merupakan konsep ke-enam yang merupakan intisari Konsepsi Awal SJSN yang telah menghimpun masukan-masukan dari berbagai unsur, antara lain dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), beberapa serikat pekerja (SPBI), studi banding penyelenggaraan asuransi sosial di Australia, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Korea Selatan, Thailand, Filipina, Malaysia dan workshop di China. Konsep ini diperkaya pula dari hasil rapat Sidang Kabinet Terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden RI, Rakor Menko Kesra khusus membicarakan SJSN yang dipimpin langsung oleh Menko Kesra dan dialog informal Tim SJSN dengan anggota Komisi VII DPR-RI. Dalam menyusun konsep SJSN ini, Tim SJSN melakukan pembahasan yang mendalam yang terdiri dari para tenaga ahli asuransi, wakil dari BUMN dan badan penyelenggara program jaminan sosial yang beroperasi selama ini, PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan PT Asabri dan beberapa pejabat dari isntansi terkait lainnya seperti Depdagri, BKKBN, Meneg PAN dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebelum konsep Naskah Akademik SJSN ini dituangkan menjadi Draft RUU SJSN, di dengar pula masukan masyarakat dalam menentukan tahapan penjangkauan kepesertaan, besaran iuran, dan mekanisme penyelenggaraan SJSN, dll. Selanjutnya, sosialisasi konsep SJSN ini akan dilakukan kepada masyarakat yang lebih luas di pusat dan daerah termasuk dengan DPR dan DPRD. Direncanakan secara bertahap Tim SJSN akan melakukan sosialisasi ke beberapa wilayah di Indonesia dengan bantuan pendanaan dari dana bilateral dan multi lateral seperti Uni Eropa (untuk 14 wilayah/provinsi), ADB dan ILO. Dengan kegiatan sosialisasi ini diharapkan semua unsur yang terlibat di pusat dan daerah mempunyai cara pandang dan persepsi yang sama terhadap konsep SJSN. Dengan telah menyebarnya informasi di masyarakat tentang rencana Pemerintah akan mengundangkan UU SJSN dalam waktu dekat ini, banyak rumor berkembang. Agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama pihak penyelenggara dan peserta jaminan sosial yang sudah berjalan, perlu ditegaskan disini bahwa sistem yang ada tetap 114 berjalan seperti biasa. Tidak ada dana iuran peserta yang dialaihkan ke badan atau peserta lain. Apabila UU SJSN telah diberlakukan, badan penyelenggara tersebut harus menyesuaikan programnya dengan aturan yang tercantum dalam UU SJSN. ooOoo 115 DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Butler, RJ. The Economics of Social Insurance and Employee Benefits. Kluwer Academic Publisher, Boston, USA, 1999 pp199 – 220 BPS. Statistik Kesejahteraan Indonesia 2002. BPS, Jakarta, 2003 Departemen Kesehatan – GTZ, Makalah "Pengembangan sistem asuransi Seminar Eksekutif tentang kesehatan sosial di Indonesia" Departemen Kesehatan - GTZ (Deutsche Gessellschaft fur Technische Zusammenarbeit) Germany, tanggal 22 – 23 Oktober 2002 Dueckue, P. PhilHealth today. Presentation on the Social Health Insurance Meeting, Bangkok, July 3-6, 2003 Grebe, A. Presentation material, Berlin, June 2003 Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. Prentice Hall, New Jersey, 1988, p. 25 Kertonegoro, S. Sistem dan Program Jaminan Sosial di Negara-negara ASEAN. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1998 Standing D. Unemployment and Income Security, ILO, Geneva, June 2000 Thabrany H, Purwanto E, Mochtar O, Hasyim. Review Jaminan Sosial di Indonesia. Lembaga Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. Jamsostek. Laporan Tahunan Jamsostek tahun 2002. Jakarta, 2003 Lembaga Penelitian UI dan Menko Perekonomian - Kajian tentang Kebijakan Jaminan Sosial (Jakarta, Desember 2000) Purwoko, B. Trend of Social Security in Indonesia. PT Jamsostek, Jakarta 2001 116 Depkes. Makalah Seminar Nasional tentang "Pembiayaan sosial untuk Jaminan Kesehatan ". Departemen Kesehatan, Jakarta, 19 Desember 2002 Park . National Health Insurance in Korea, Research Division, NHIC. Memeograph presented for an Indonesian delegate, 2002 Purwanto, E dan Wibisana, W. Laporan Studi Banding Jaminan Sosial di Filipina. 18 Juni 2002. . Social Security at the Dawn af the 21 st Century ILO. Social Security Programs Throughout The World - 1999 SSO Thailand. Social Security System in Thailand and Its Prospect for the Future. Bangkok, 2003 SSS The Philippine. Guide Book for SSS Members. Manila, 7th Edition, 2001 Ha-Young and Hun-Sang, National Pension Scheme in Korea. Makalah disajikan dalam ISSA Training, Bali, 13-22 Oktober 2003 B. PERATURAN PERUNDANGAN 1. Deklarasi HAM PBB, 10 Desember 1948 (Pasal 25 ayat (1) 2. Konvensi ILO 102, 1952 3. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 4. Ketetapan MPR-RI Nomor : X/MPR/2001 Tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI Oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001. 5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara No.70, 2003 dan Tambahan Lembaran Negara N0. 4297) 6. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, 117 7. Undang-Undang RI No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas UndangUndang No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian 8. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia 10. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan 11. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. 12. Undang-Undang No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun 13. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Asuransi 14. Undang-Undang No. 3 tahun 1992 tentang JAMSOSTEK 15. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan 16. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaiamana yang telah diubah dengan UU No. 1994 dan UU No. 6 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan 17. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dio Perusahaan 18. Undang-undang RI No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 19. Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara 20. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 1969 Tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai 21. Undang-Undang No. 11 Tahun 1956 Tentang Pembelandjaan Pensiun Presiden RI 118 22. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya UU Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari RI untuk seluruh Indonesia 23. Peraturan Perundangan Nomor 7 Tahun 1963 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 24. Peraturan Pemerintah RI No. 64 Tahun 2001 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. 25. Peraturan Pemerintah RI Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. 26. Peraturan Pemerintah RI No. 89 Tahun 2000 Tentang Pencabutan PP No. 98 Tahun 1999 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No. 48 Tahun 2000. 27. Peraturan Pemerintah RI No. 98 Tahun 1999 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Saham pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara. 28. Peraturan Pemerintah RI No. 96 Tahun 1999 Tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Pemegang Sahan pada Perusahaan Perseroan (PERSERO) dan Perseroan Terbatas yang 119 sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara RI kepada Menteri Negara Penanaman Modal, dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara. 29. Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perasuransian 30. Peraturan Pemerintah RI No. 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, 31. Peraturan Pemerintah. No. 6 Tahun 1992 tentang ASKES 32. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1991 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya 33. Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1991 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Asuransi Sosial ABRI menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 34. Peraturan Pemerintah RI No. 67 Tahun 1991 Tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI 35. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1981 tentang TASPEN 36. Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 1981 Tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil RI 37. Peraturan Pemerintah RI No. 45 Tahun 1971 Tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Sosial ABRI 38. Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1971 Tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata RI 39. Rancangan Peraturan Pemerintah No. …………. Tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) 40. Keputusan Presiden RI No. 56 Tahun 1974 Tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Besarnya Iuran-iuran 120 yang dipungut dari Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun. 41. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2002 dan Nomor 101 Tahun 2003 tentang Pembentukkan Tim SJSN 42. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : C2-2749.HT.01.Tahun ‘98 Tentang Perseroan Terbatas. 43. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 481/KMK.017/1999 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 44. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 481/KMK.017/1999 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 45. Keputusan Menteri keuangan RI Nomor 303/KMK.017/2000 Tentang Perubahan atas kep. Menteri Keuangan RI Nomor 481/KMK.017/199 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 46. Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. : SKEP/1212/M/XII/2000 Tentang Kenaikan Besarnya Santuran ASABRI 47. Surat Keputusan Menteri Pertahanan No. : Skep/1212a/M/XII/2000 Tentang Kenaikan Besarnya Santunan ASABRI 48. Keputusan Seswapres Nomor 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 tentang Pembentukkan Kelompok Kerja SJSN. 49. Keputusan Ketua Tim SJSN Nomor ...... tahun 2002 tentang Pembentukan Sekretariat Tim SJSN. 121 DAFTAR SINGKATAN SJSN = Sistem Jaminan Sosial Nasional NA = Naskah Akademik RUU = Rancangan Undang-undang JS = Jaminan Sosial JK = Jaminan Kesehatan JKK = Jaminan Kecelakaan Kerja JHT = Jaminan Hari Tua JP = Jaminan Pensiun JKM = Jaminan Kematian DJSN = Dewan Jaminan Sosial Nasional BPJS = Badan Penyelenggara Jaminan Sosial RUPS = Rapat Umum Pemegang Saham PERSERO = Perusahaan Perseroan ASKES = Asuransi Kesehatan JAMSOSTEK = Jaminan Sosial Tenaga Kerja TASPEN = Tabungan Asuransi Pensiun ASABRI = Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia BUMN = Badan Usaha Milik Negara PERUM = Perusahaan Umum Dana Amanat = Dana Jaminan Sosial Nasional 122 123