BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 2.1.1 Landasan Teori Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis) Pasar dikatakan efisien apabila harga sekuritas mencapai harga keseimbangan baru yang diakibatkan adanya informasi yang masuk ke pasar. Semakin cepat informasi baru yang diberikan terlihat pada harga sekuritasnya, maka dapat dikatakan semakin efisien pasar modal. Menurut Tandelilin (2010:219), pasar modal efisien adalah pasar modal dimana harga semua sekuritas yang diperdagangkan telah mencerminkan informasi yang tersedia. Dalam hal ini, informasi yang tersedia bisa meliputi informasi masa lalu, informasi saat ini, serta informasi yang bersifat sebagai pendapat atau opini rasional yang beredar yang dapat mempengaruhi perubahan harga. Menurut Haugen (2001), membagi tiga kelompok informasi yaitu informasi dari harga saham masa lalu, semua informasi yang didapatkan dari publik, dan semua informasi yang ada khususnya informasi yang didapatkan dari orang dalam. Semua kelompok informasi mencerminkan seberapa jauh tingkat efisiensi pasar. Konsep dari harga pasar yang efisien dapat mencerminkan adanya proses mencari harga keseimbangan yang baru dengan melakukan penyesuaian harga sekuritas dengan memperhatikan respon terhadap informasi yang telah masuk ke pasar. Menurut Fama (1970) adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kondisi pasar modal yang efisien dapat dicapai, yaitu tidak ada biaya transaksi dalam perdagangan sekuritas, Seluruh informasi yang tersedia dapat diakses oleh semua pelaku pasar secara cuma-cuma, dan semua pelaku pasar sepakat dengan implikasi informasi baru terhadap harga dan distribusi harga di masa mendatang. Menurut Fama dalam Indriyana (2000) mengelompokkan bentuk efisiensi menjadi tiga, yaitu terdiri dari pasar efisien dalam bentuk lemah (weak form of the efficient market), pasar efisien dalam bentuk setengah kuat (semi strong from of the efficient market), dan pasar efisien dalam bentuk kuat (strong from of the efficient market). 2.1.1.1 Pasar Efisien dalam Bentuk Lemah (Weak Form of the Efficient Market) Pasar efisien dalam bentuk lemah diasumsikan bahwa harga saham dapat mencerminkan semua informasi yang ada di masa lalu (historis) mengenai harga sekuritas yang bersangkutan. Harga yang dapat dibentuk dari suatu saham adalah cerminan dari pergerakan harga saham yang dilihat dari keadaan dimasa lalu. 2.1.1.2 Pasar Efisien dalam Bentuk Setengah Kuat (Semi Strong Of The Efficient Market) Menurut Fama (1998) menyatakan bahwa bentuk setengah kuat merupakan event studies yang harga mencerminkan semua informasi yang dipublikasikan secara relevan. Artinya, harga pasar saham yang dapat dibentuk sekarang ini telah berisikan informasi masa lalu ditambahkan dengan semua informasi publik. Pada bentuk pasar efisien ini adanya return tidak normal di sekitar peristiwa suatu peristiwa merupakan representasi terhadap respon yang diberikan pasar dari peristiwa. Pasar efisien dalam bentuk setengah kuat terjadi apabila semua informasi yang ada dapat terserap atau dapat direspon dengan cepat oleh pasar. Saat respon pasar terlambat dalam menyerap informasi maka dapat dikatakan bahwa pasar tidak merupakan pasar efisien dalam bentuk setengah kuat. 2.1.1.3 Pasar Efisien dalam Bentuk Kuat (Strong Form Of The Efficient Market) Pasar dikatakan efisien dalam bentuk kuat apabila harga yang terjadi dapat mencerminkan segala informasi yang ada, baik informasi yang berasal dari publik (public information) maupun informasi yang berasal dari internal (private information). Pasar efisien dalam bentuk kuat ini mencakup segala informasi masa lalu yang relevan dan informasi yang berasal dari publik yang relevan, serta informasi yang didapatkan dari beberapa pihak tertentu saja. Pasar efisien dalam bentuk kuat ini para investor tidak akan dapat menerima return tidak normal (abnormal return). 2.1.2 Corporate Action Menurut Groves (2008), c orporate action merupakan aksi emiten yang berpengaruh terhadap jumlah dan harga saham baik yang beredar maupun yang belum diterbitkan. Beberapa kebijakan umum yang dilakukan dalam corporate action adalah right issue, stock split, pembagian bonus shares, dan pembagian deviden baik dalam bentuk stock yang selanjutnya disebut stock deviden maupun dalam bentuk kas yang biasa disebut dengan cash deviden. Kebijakan tersebut dapat dilakukan secara terpisah ataupun terkait satu dengan yang lainnya tergantung dari keputusan pemegang saham tersebut. Corporate action menarik perhatian pihakpihak yang terkait di pasar modal khususnya para pemegang saham. Keputusan corporate action harus disetujui dalam suatu rapat umum, baik Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) karena akan mempengaruhi jumlah kepemilikan penyertaan sahamnya. Salah satu corporate action yang mempengaruhi jumlah dan harga saham adalah stock split. Keputusan emiten melakukan corporate action untuk mencapai beberapa tujuan seperti meningkatkan modal perusahaan, meningkatkan likuiditas transaksi saham, dan tujuan lainnya. Keputusan melakukan corporate action harus diketahui oleh investor karena akan mempengaruhi komposisi kepemilikan sekuritas setelah peristiwa. Dengan demikian, investor baik dari pemegang saham maupun non-pemegang saham harus menganalisis dampak dari corporate action sehingga dapat mempersiapkan antisipasi yang tepat dalam membuat keputusan. 2.1.3 Stock split Menurut kamus istilah keuangan dan investasi, stock split atau pemecahan saham merupakan pemecahan jumlah saham yang beredar dari suatu perusahaan tanpa penambahan apapun dalam ekuitas pemegang saham. Stock split merupakan kosmetika saham, dalam arti bahwa kegiatan tersebut merupakan upaya untuk pemolesan saham agar lebih terlihat menarik oleh investor sekalipun tidak meningkatkan kemakmuran investor (Hana, 2010). Tujuan dari emiten melakukan pemecahan nilai nominal saham adalah untuk meningkatkan likuiditas. Kegiatan stock split dilakukan agar para investor dapat menjangkau harga saham pada rentang tertentu. Dengan hal ini diharapkan investor semakin banyak terlibat dalam transaksi sekuritas yang diterbitkan oleh emiten. Kegiatan stock split ini dikatakan mengandung informasi (information content) apabila menimbulkan reaksi pasar setelah peristiwa stock split terjadi. Alat yang digunakan untuk mengukur adanya reaksi pasar adalah dengan memperhatikan return yang diterima oleh investor. Menurut Mila (2010) pengaruh informasi terhadap harga saham menunjukkan hasil yang menyenangkan disekitar waktu peristiwa stock split, harga saham mengalami kenaikan yang cukup tinggi, namun bukti yang diperoleh harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Stock split ini tidak memiliki nilai ekonomis karena tidak menambah modal emiten maupun kesejahteraan investor. Menurut Van Home dan Machowicz (dalam Andi Pramana, 2012), peristiwa stock split hanya memberi efek fatamorgana bagi investor karena stock split tidak menambah nilai dari perusahaan. Investor seperti memiliki banyak aset namun tidak menambah kemakmuran investor. Pada dasarnya ada dua jenis stock split yang dapat dilakukan (Ewijaya dan Nur Indriantoro, 2011): a) Split up Split up adalah penurunan nilai nominal per lembar saham yang mengakibatkan bertambahnya jumlah saham yang beredar. Misalnya stock split dengan split factor yang telah ditentukan sebelumnya 2:1, 3:1, dan 4:1 (2:1, angka 2 merupakan jumlah saham yang beredar dan angka 1 adalah nilai nominal saham). b) Split down Split down adalah peningkatan nilai nominal per lembar saham dan mengurangi jumlah saham yang beredar. Misalnya stock split dengan split factor 1:2, 1:3, dan 1,4. Jadi split down merupakan kebalikan split-up yang dilakukan oleh suatu emiten. 2.1.4 Split Factor Split factor merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan untuk menaikkan jumlah lembar saham beredar dan menurunkan harga saham. Stock split dengan jenis pemecahan split up adalah penurunan nilai nominal per lembar saham yang mengakibatkan bertambahnya jumlah lembar saham beredar sedangkan stock split dengan jenis pemecahan split down adalah peningkatan nilai nominal per lembar saham dan mengurangi jumlah saham yang beredar. Karakteristik corporate action stock split adalah memiliki split factors, misalnya stock split dengan split factor 1:2, 1:3 atau 1:4 menunjukkan bahwa jumlah lembar saham beredar setelah split naik menjadi masing-masing dua kali, tiga kali, atau empat kali lebih besar dibandingkan sebelum split. Dalam hal ini, split factor diartikan sebagai perbandingan antara jumlah lembar saham beredar setelah stock split dengan jumlah lembar saham beredar sebelum stock split (Szewczyk dan Tsetsekos, 1993). Besaran perbandingan split factors menjadi pertimbangan bagi investor untuk melakukan transaksi pembelian saham. Jenis data split factor dalam penelitian ini adalah rasio. Perusahaan yang memiliki split factor 1:2, 1:3 dan 1:4 dikonversikan menjadi nilai rasio. Sebagai contoh split factor 1:2 menjadi 0,5; 1:3 menjadi 0,33; 1:4 menjadi 0,25 dan seterusnya. 2.1.5 Teori Stock Split Dalam stock split, ada dua teori yang populer sebagai literature, yaitu Trading Range Theory dan Signaling Range Theory. 1) Trading Range Theory Teori ini mengatakan bahwa harga saham yang terlalu tinggi menyebabkan kurang aktifnya perdagangan saham sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan stock split. Leung (2005) mengatakan apabila harga pada per split tinggi, maka stock split semakin menguatkan kebenaran akan motif tersebut. Harsono (2004) menyatakan bahwa dengan melakukan stock split harga saham menjadi tidak terlalu tinggi sehingga mampu dijangkau oleh calon investor dan pada akhirnya meningkatkan likuiditas saham. Sehingga menurut trading range theory, perusahaan melakukan stock split karena memandang harga sahamnya terlalu tinggi, atau bisa juga dikatakan bahwa harga saham yang terlalu tinggi itulah yang mendorong perusahaan melakukan stock split. 2) Signaling Theory Teori ini menjelaskan bahwa stock split akan memberikan informasi kepada investor dan calon investor tentang prospek peningkatan keuntungan di masa depan yang signifikan. Dalam signaling theory yang mendorong perusahaan melakukan stock split adalah karena adanya kesempatan investasi serta prospek perusahaan yang baik di masa depan (Jogiyanto, 2003). 2.1.6 Abnormal Return Motivasi utama investor menanamkan modalnya dalam suatu investasi adalah mendapatkan tingkat pengembalian (return) investasi yang optimal. Return merupakan tingkat keuntungan yang dinikmati investor atas suatu investasi yang dilakukannya (Robert, 1997). Return saham yang akan diterima oleh investor sangat dipengaruhi oleh jenis investasi yang dipilih. Untuk mengukur besarnya return yang akan diterima investor sehubungan dengan adanya peristiwa stock split diukur dengan adanya abnormal return yang diterima oleh investor. Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi di pasar modal. Return dapat dibagi menjadi return realisasi dan return ekspektasi. Jogiyanto (2005), mendefinisikan return realisasi sebagai return yang telah terjadi yang dapat dihitung berdasarkan data historis sedangkan return ekspektasi adalah return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi dan menggunakan return realisasi sebagai dasar mengukur return ekspektasi. Abnormal return merupakan selisih antara return realisasi (actual return) dan return ekspektasi (expected return). Tingkat keuntungan yang sesungguhnya merupakan selisih antara harga saham periode sekarang dengan periode sebelumnya. Abnormal return yang positif menunjukkan tingkat keuntungan yang diperoleh lebih besar yaitu antara actual return dan expected return. Berkaitan dengan peristiwa stock split, apabila terjadi abnormal return yang positif setelah stock split dapat memberikan keuntungan diatas normal pada investor dan sebaliknya jika terdapat abnormal return yang negatif menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dibawah normal. Return ekspektasian merupakan return yang harus diestimasi. Brown & Warner, 1985 (dalam Jogiyanto, 2010) mengestimasi return ekspektasian menggunakan model estimasi meanadjusted model, market model dan market-adjusted model. Mean-adjusted model menganggap bahwa return ekspektasi bernilai konstan yang sama dengan rata-rata return realisasi sebelumnya selama periode estimasi. Model ini dapat dinotasikan sebagai berikut: t Rij E(Rit)= j t T ..........................................................................(1) Keterangan : E(Rit) ke-t. Rij T =Return ekspektasi sekuritas ke-I pada periode peristiwa =Return realisasi sekuritas ke-I pada periode estimasi ke j. =lamanya periode estimasi yaitu dari t1–t2. Periode estimasi merupakan periode yang berada sebelum periode peristiwa. Periode peristiwa disebut juga dengan periode jendela (event window). Periode estimasi dan periode jendela dapat dilihat pada gambar 2.1. Dalam gambar, t1 sampai t2 merupakan periode estimasi, sedangkan t3 sampai t4 merupakan periode peristiwa dan t0 adalah periode saat terjadinya peristiwa. Panjang dari periode peristiwa sangat bervariasi dan umumnya antara 3 hari sampai dengan 30 hari. Gambar 2.1 Periode estimasi dan Periode Jendela Periode Estimasi t1 Periode Peristiwa t2 t3 Sumber : Teori Portofolio dan Analisis Investasi (Jogiyanto, 2010) t0 t4 Market model merupakan model perhitungan abnormal return yang menggunakan teknik regresi yang ditemukan oleh Harry Markowitz (1952). Terdapat dua langkah dalam menghitung abnormal return dengan menggunakan metode ini, pertama melakukan perhitungan return ekpektasi ke-i pada periode estimasi. Kedua menggunakan model ekspektasi dapat dibentuk dengan menggunakan teknik regresi Ordinary Least Square (OLS) dengan persamaan sebagai berikut: Rij= αi +βiRMj+Eij ..................................................................(2) Keterangan: Rij αi βi RMj Eij = Return harapan sekuritas ke-i pada periode estimasi ke-j. = Intercept untuk sekuritas ke-i. =Koefisien slope yang merupakan beta sekuritas ke-i. = Return indeks pasar pada periode estimasi ke-j. =Kesalahan residu ke-i pada periode estimasi ke-j. Market adjusted model menjelaskan penduga yang terbaik untuk mengestimasi return suatu sekuritas adalah return indeks pasar pada saat tersebut. Jika menggunakan model ini maka tidak perlu menggunakan periode estimasi karena return sekuritas yang diestimasi adalah sama dengan return indeks pasar. 2.1.7 Event Study Menurut Jogiyanto (2000) event study merupakan studi yang mempelajari reaksi pasar terhadap suatu peristiwa yang informasinya dipublikasikan sebagai suatu peristiwa. Jika peristiwa mengandung informasi (information content), maka pasar diharapkan akan bereaksi pada waktu peristiwa tersebut diterima oleh pasar. Dari pengertian tersebut sebenarnya event study dapat digunakan untuk melihat reaksi pasar modal dengan pendekatan pergerakan harga saham terhadap suatu peristiwa tertentu. Sejalan dengan tujuan itu, event study dapat digunakan untuk menguji hipotesis pasar efisien (efficient market hyphothesis) pada bentuk setengah kuat (semi – strong form), seperti yang dilakukan Fama, dkk (1969), yang kemudian diikuti oleh berbagai peneliti pada pasar modal lainnya. Peristiwa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peristiwa stock split yang dilakukan perusahaan yang terdaftar di BEI. Dalam event study dikenal istilah event window (jendela peristiwa) / event date (tanggal peristiwa) dan estimation period (periode estimasi). Pasar dikatakan efisien bentuk setengah kuat jika tidak terdapat abnormal return pada saat peristiwa, akan tetapi jika terdapat abnormal return pasar masih bisa dikatakan efisien bentuk setengah kuat dengan kondisi pasar harus cepat bereaksi dan menuju harga keseimbangan yang baru (Surya, 2006). Dapat disimpulkan bahwa pengujian efisiensi pasar setengah kuat dapat dilakukan setelah pengujian kandungan informasi. 2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah, maka rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2013:93). Berdasarkan rumusan masalah, maka hipotesis yang dikemukakan adalah : 2.2.1 Pengaruh reaksi pasar pada peristiwa stock split di Bursa Efek Indonesia Salah satu alat ukur yang digunakan untuk menguji adanya reaksi pasar adalah melalui abnormal return di sekitar peristiwa stock split. Menurut Oktaviani (2010), abnormal return merupakan selisih antara return yang sesungguhnya dengan return yang di ekspektsi masingmasing saham. Dimana terdapatnya perbedaan hasil penelitian mengenai abnormal return di sekitar peristiwa stock split di sekitar peristiwa yang menjadikan topik penelitian ini semakin menarik. Pradnyana (2013) melakukan penelitian pada perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012 dengan abnormal return yang signifikan reaksi pasar. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu uji beda rata-rata dengan periode jendela 15 hari yang terdiri dari 7 hari sebelum peristiwa dan 7 hari setelah peristiwa. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan abnormal return sebelum dan sesudah peristiwa stock split. Asih (2011) juga menemukan hal yang serupa dengan penelitiannya di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2010. Manfaat stock split menurut trade range theory adalah mengembalikan harga saham ke dalam rentang optimal harga agar dijangkau oleh pasar. Harga yang terjangkau oleh pasar nantinya diharapkan dapat meningkatkan daya beli investor dan pada akhirnya meningkatkan likuiditas perdagangan saham Wulf (2002). Aktivitas transaksi yang terjadi setelah peristiwa stock split menunjukkan pasar bereaksi terhadap peristiwa. Louis & Robinson (2003) dalam penelitiannya melakukan wawancara dengan CFO beberapa perusahaan yang melakukan stock split. Hasil atas wawancara sejalan dengan signaling theory yaitu keputusan melakukan stock split karena mereka percaya dan optimis bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik di masa mendatang. Pihak manajemen perusahaan berusaha mengirim sinyal positif ke pasar melalui aktivitas stock split. Dari uraian penelitian dan pemaparan teori yang melandasi stock split diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Terdapat reaksi pasar pada peristiwa stock split di Bursa Efek Indonesia. 2.2.2 Pengaruh split factor perusahaan terhadap reaksi pasar pada peristiwa stock split di Bursa Efek Indonesia Reaksi pasar dapat dilihat dari perilaku investor melakukan transaksi di sepanjang peristiwa tertentu. Perilaku yang ditunjukkan investor dapat berupa penjualan maupun pembelian. Stock split merupakan peristiwa yang cukup unik, karena perusahaan tidak memperoleh arus kas secara langsung, namun dapat memberikan suatu stimulus kepada pasar melalui harga yang lebih rendah dari sebelumnya. Proses menuju harga saham sesuai dengan yang ditargetkan dilakukan melalui stock split dengan memperhatikan split factor perusahaan. Semakin besar angka pembagi dalam split factor, maka harga saham perusahaan akan semakin rendah. Harga saham yang baru mulai berlaku setelah perusahaan menyelesaikan persyaratan secara administratif dengan pihak bursa efek. Harga saham yang rendah setelah stock split merupakan pesan atau sinyal positif yang berusaha dikirimkan oleh perusahaan kepada pasar. Harga saham perusahaan yang sesuai dengan target dan dapat terjangkau merupakan tujuan penentuan besaran split factors yang diharapkan dapat menimbulkan reaksi di pasar. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Huang (2002) dengan memfokuskan pada perusahaan yang memiliki split factor 1:2 atau lebih rendah, menghasilkan bahwa sepanjang periode pengamatan terdapat abnormal returns positif dalam rentang waktu lima hari sebelum peristiwa stock split. Kesimpulan yang serupa juga ditunjukkan oleh Sari dan Susanto (2004) yang menyimpulkan bahwa split factors memiliki sinyal positif yang dapat memberikan keterangan informasi mengenai prediksi pertumbuhan laba di masa mendatang. Dari uraian penelitian dan pemaparan teori yang melandasi split factor diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Split factor berpengaruh terhadap reaksi pasar di Bursa Efek Indonesia. 2.3 Model Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terjadi reaksi pasar pada peristiwa stock split di Bursa Efek Indonesia dan apakah terdapat pengaruh yang signifikan split factor perusahaan terhadap reaksi pasar pada peristiwa stock split, maka dapat digambarkan model penelitian sebagai berikut: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis Corporate Action Stock split Rata-rata Abnormal Return Sebelum Stock split Rata-rata Abnormal Return Sesudah Stock split Uji Beda Dua Rata-rata Sumber : Wang Sutrisno (2000) Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis Split factor Abnormal Return