BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kredit Pemilikan Rumah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan sebuah kredit bersifat
konsumtif yang diberikan oleh pihak bank kepada masyarakat untuk
memiliki rumah dengan jaminan atau agunan rumah itu sendiri. Proses
pemberian kredit KPR itu sendiri mencakup berbagai pihak, di antaranya
adalah bank, nasabah, pengembang atau developer, pemerintah, serta Bank
Indonesia (BI) sebagai pembuat kebijakan moneter di Indonesia yang turut
serta mengatur beberapa kebijakan atau kebijakan terkait KPR (termasuk
ke dalam kebijakan makroprudensial).
Sektor properti dan real estate, di Indonesia sendiri, merupakan
salah satu bisnis atau industri terbesar, bahkan dapat dikatakan di Asia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Pengembang Real Estate
Indonesia (REI) dan Universitas Indonesia tahun 2011 menunjukkan
bahwa sektor properti menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 28%
ditinjau dari pengeluaran konsumsi sektor bangunan. Akan tetapi,
meskipun memiliki pertumbuhan yang tinggi dan memberikan kontribusi
besar bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, nilai properti di Indonesia
sendiri pada beberapa tahun terakhir telah melambung sangat tinggi hingga
1
dikhawatirkan terus meningkatkan harga aset properti di Indonesia yang
tidak mencerminkan harga yang sebenarnya (bubble nilai properti).
Pertumbuhan sektor properti yang sangat tinggi tersebut menjadi
kekhawatiran bagi Bank Indonesia. Hasil survei yang diolah Direktorat
Statistik Moneter (DSM) dan Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan (DPNP) Bank Indonesia pada tahun 2012 mencatat bahwa
berdasarkan tren historik terdapat keterkaitan erat antara kenaikan jumlah
kredit dengan kenaikan harga properti, di mana ketika harga properti naik,
kredit properti juga naik hingga di atas 40% pada periode kenaikan harga
properti. Sedangkan pada triwulan I tahun 2013 sendiri, hasil Survei Harga
Properti Residensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia sendiri
mengindikasikan harga properti residensial naik 4,78% (qtq) atau 11,09%
(yty) (Indonesia, 2013). Di samping itu, penyaluran kredit perbankan
terhadap sektor properti tidak hanya KPR yang termasuk ke dalam
portofolio kredit konsumer saja, melainkan bank juga menyalurkan kredit
untuk konstruksi bangunan kepada sebagian perusahaan properti atau
developer. Manurut Survei Harga Properti Residensial pada Triwulan I
tahun 2013, berdasarkan komposisi sumber pembiayaan pembangunan
properti, sebesar 33,71% pembiayaan pembangunan pada industri properti
berasal dari pinjaman bank (Indonesia, Survei Harga Properti Residensial,
2013). Apabila kemudian industri properti collapse karena kemudian harga
properti yang mengalami bubble tersebut terkoreksi di pasar sehingga
2
harga properti jatuh di bawah nilai intrinsiknya, maka tentu akan
berdampak terhadap industri perbankan.
Oleh karena itu, Bank Indonesia kemudian menciptakan kebijakan
LTV dengan menerbitkan surat edaran BI No 14/10/DPNP. Kebijakan
LTV sendiri
merupakan salah satu instrumen dalam
kebijakan
makroprudensial yang berperan menjaga stabilitas sistem keuangan di
Indonesia. Berikut ini adalah bagan transmisi kebijakan LTV di Indonesia.
Gambar 1.1. Bagan Transmisi Kebijakan LTV di Indonesia
Instrumen
Target
Operasional
LTV untuk
KPR
Mengurangi
risiko KPR
Target
intermediasi
Mengurangi
demand terhadap
pembelian properti
Target Akhir
Meminimalisir
risiko sistemik
Sumber : Dokumen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan LTV KPR
merupakan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia untuk menahan
pertumbuhan yang berlebihan di sektor properti dan meningkatkan aspek
prudensial bank dalam penyaluran kredit properti (peningkatan aspek
manajemen risiko). Adapun surat edaran No. 15/40/DKMP yang
diterbitkan pada tanggal 24 September 2013 adalah revisi dari kebijakan
3
pembatasan LTV tahun 2012 karena dianggap masih kurang ketat dan
belum mampu menekan pertumbuhan kredit kendaraan bermotor dan non
performing loan (NPL) nominal. Berikut ini adalah beberapa aspek revisi
Bank Indonesia terhadap surat edaran tahun 2012 (SE No. 14/10/DPNP).
Tabel 1.1. Revisi Kebijakan LTV KPR
No
SE No. 14/10/DPNP
1. Hanya
mengatur
untuk
pembiayaan kredit ruman pertama
2. Penetapan LTV hanya pada bank
konvensional
3. Tidak mengatur debitur yang
merupakan pasangan suami istri
SE No. 15/40/DKMP
Mengatur besaran LTV untuk rumah
kedua, ketiga dan seterusnya.
Kebijakan LTV juga diterapkan
untuk perbankan syariah.
Revisi dilakukan untuk membatasi
pembelian ganda antara pasangan
suami dan istri sehingga pasangan
suami istri diperlakukan sebagai satu
debitur.
4. Hanya mengatur tipe bangunan > Mengatur besaran LTV untuk tipe
70 m2
bangunan 22 m2-70 m2
Sumber : SE No. 14/10/DPNP dan SE No. 15/40/DKMP
Dalam dokumen Kajian Stabilitas Keuangan yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia pada bulan September 2013, Bank Indonesia sudah
memiliki kekhawatiran akan pertumbuhan kredit properti yang agresif atau
berlebihan sejak bulan April 2013 dan hal ini dapat dilihat dari data jumlah
debitur dengan lebih dari satu KPR pada bulan April 2013. Meskipun
Bank Indonesia sudah memiliki kekhawatiran dan rencana akan revisi
kebijakan pembatasan LTV sejak bulan April 2013, namun informasi
mengenai revisi kebijakan pembatasan LTV baru diterima oleh pasar pada
11 Juli 2013. Tepatnya adalah pada saat Bank Indonesia mengumumkan
4
akan memberlakukan pengetatan LTV untuk KPR serta KPA kedua, dan
seterusnya.
Hingga kemudian Bank Indonesia menerbitkan surat edaran pada
tanggal 24 September 2013 yang menggantikan surat edaran pada tanggal
15 Maret 2012. Oleh karena itu, peneliti akan menguji pengaruh informasi
mengenai kebijakan pembatasan LTV pada dua event date (t=0) yaitu pada
saat publik menerima informasi tentang publikasi rencana pengetatan
kebijakan pembatasan LTV pada tanggal 11 Juli 2013 yang dipublikasikan
melalui artikel berita di internet dan juga peneliti akan menguji pengaruh
informasi tentang penerbitan surat edaran Bank Indonesia pada tanggal 24
September 2013 mengenai implementasi kebijakan pembatasan LTV
terhadap reaksi pasar.
Inti dari surat edaran yang diterbitkan Bank Indonesia pada tanggal
24 September 2013 adalah pembatasan besar loan to value (pada bank
konvensional) atau financing to value (pada bank syariah). Loan to value
(LTV) atau financing to value (FTV) adalah rasio antara nilai kredit yang
dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat pemberian
kredit. Penetapan besaran maksimal loan to value (LTV) atau financing to
value (FTV) untuk kredit atau pemilikan properti dan kredit atau
pembiayaan beragun properti sebagai berikut.
5
Tabel 1.2.
Kebijakan Besaran Maksimal LTV KPR Bank Indonesia
Fasilitas Kredit Pemilikan
Luas Bangunan
Rumah/Rumah Susun ke1.
1 (pertama)
>70 m2
2.
1 (pertama)
22 m2 – 70 m2
3.
2 (kedua)
>70 m2
4.
2 (kedua)
22 m2 – 70 m2
5.
3 (ketiga) dan seterusnya
>70 m2
6.
3 (ketiga) dan seterusnya
22 m2 – 70 m2
Sumber : Surat Edaran BI No. 15/40/DKMP
No.
Besar
Maksimal LTV
70%
80%
60%
70%
50%
60%
Akibat dari terbitnya kebijakan terkait LTV/FTV tersebut adalah
masyarakat harus membayarkan uang muka (down payment) KPR yang
lebih tinggi untuk memiliki sebuah rumah (rumah tapak) ataupun jenis
bangunan lain termasuk rumah susun (griya tawang, apartemen,
kondominium, dan flat), rumah toko, rumah kantor, serta pembiayaan
lainnya yang beragun properti. Dengan menurunnya daya beli masyarakat
untuk memiliki bangunan atau properti melalui fasilitas kredit, maka tentu
saja hal ini akan mempengaruhi permintaan akan KPR/KPA (Kredit
Pemilikan Apartemen) dan permintaan akan unit bangunan properti,
khususnya rumah dan apartemen.
Bank memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi, di mana bank
menghimpun dana dari masyarakat, baik dalam bentuk tabungan, giro, dan
deposito dan kemudian menyalurkannya kembali kepada pihak ketiga
yaitu masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit, dengan berbagai
6
macam bentuk kredit dan salah satunya adalah kredit properti yang terbagi
atas tiga jenis yaitu kredit konstruksi, kredit real estate dan KPR/KPA.
Bank kemudian mengambil keuntungan melalui selisih bunga antara bunga
tabungan, giro, serta deposito terhadap bunga kredit termasuk bunga kredit
properti, termasuk bunga KPR/KPA. Semakin banyak dana yang dapat
dihimpun bank dari masyarakat dan semakin banyak pihak yang
membutuhkan kredit atau pinjaman dari bank maka keuntungan yang
diraih oleh bank akan semakin tinggi.
Peranan bank sebagai lembaga intermediasi tentu sangat tergantung
dari keuntungan yang berasal dari selisih bunga tersebut, termasuk bunga
KPR yang dibebankan kepada nasabah, namun di sisi lain, tidak semua
bank menawarkan produk KPR kepada masyarakat, melainkan hanya
bank-bank tertentu dan nilai total KPR yang ditawarkan masing-masing
bank kepada nasabah pun berbeda-beda. Menurut hasil Survei Harga
Properti Residensial Triwulan I tahun 2013 yang dilakukan Bank
Indonesia, KPR masih menjadi sumber pembiayaan utama pembelian
properti residensial (Indonesia, Survei Harga Properti Residensial, 2013).
Berikut ini adalah data sumber pembiayaan konsumen berdasarkan hasil
survei tersebut.
7
Gambar 1.2.
Grafik Sumber Pembiayaan Konsumen (dalam Persentase) pada
Triwulan I Tahun 2013
10.47%
Tunai
13.07%
Tunai Bertahap
KPR
76.46%
Sumber : Survei Harga Properti Residensial Triwulan I-2013
Data grafik di atas didapatkan bahwa sebagian besar konsumen
(74,76%) masih memilih KPR sebagai fasilitas utama dalam transaksi
pembelian properti residensial, khususnya pada rumah tipe kecil. Di
samping itu, KPR juga menjadi peluang bisnis yang sangat diincar oleh
bank karena memiliki tren yang meningkat setiap tahunnya dan persaingan
bank-bank penyalur KPR semakin kompetitif.
Dengan pertumbuhan permintaan akan KPR yang sangat tinggi yaitu
sebesar 26,68% pada tahun 2012, maka tentu saja pertumbuhan profit atau
keuntungan yang diperoleh bank melalui penyaluran KPR juga akan
tinggi. Sehingga apabila Bank Indonesia kemudian menerapkan kebijakan
pembatasan LTV pada tahun 2013 yang dapat menurunkan permintaan
masyarakat akan KPR, maka dampaknya adalah penurunan profit bank
8
yang menyalurkan KPR tersebut. Penurunan profit tersebut terutama akan
dirasakan oleh bank yang menyalurkan KPR dalam jumlah besar seperti
Bank BTN, meskipun pengaruh tersebut akan terjadi selama beberapa
waktu dan kemudian penyaluran KPR tersebut akan mulai mengalami
stabilitas pada titik tertentu.
Selain berpengaruh terhadap sektor perbankan, informasi tentang
kebijakan pembatasan LTV/FTV juga akan mempengaruhi sektor properti,
khususnya perusahaan pengembang atau developer, di mana informasi
tentang kebijakan tersebut akan berpengaruh pada unit penjualan bangunan
atau properti, khususnya rumah dan apartemen serta dapat menurunkan
profit perusahaan pengembang atau developer. Meskipun konsumen
produk KPR/KPA pada umumnya adalah masyarakat dari kalangan
menengah ke bawah, di sisi lain perusahaan pengembang atau developer
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia adalah perusahaan pengembang
dengan skala besar dan dapat dikatakan sebagian besar konsumen dari
perusahaan pengembang besar tersebut adalah masyarakat kalangan
menengah ke atas dan pola transaksi masyarakat menengah ke atas adalah
melalui pembayaran tunai ataupun tunai bertahap (cicilan), namun tetap
saja ada sebagian konsumen baik dari kalangan menengah ke atas yang
tetap melakukan pembayaran melalui KPR. Berikut ini adalah data
mengenai metode pembayaran konsumen dua developer skala besar yang
telah go public yaitu PT Ciputra Surya Tbk dan Lippo Karawaci Tbk.
9
Tabel 1.3.
Persentase Konsumen Berdasarkan Metode Pembayaran PT Ciputra
Surya Tbk Tahun 2012
No
1.
2.
3.
Metode
Pembayaran
Angsuran
Tunai
KPR
Jumlah Konsumen (%)
2011
2012
11,9
31
14,3
18,4
73,8
50,7
Sumber : Annual Report PT Ciputra Surya Tbk Tahun 2012
Tabel 1.4.
Persentase Konsumen Berdasarkan Metode Pembayaran Lippo
Karawaci Tbk Tahun 2012
Proyek
Lippo Village (Residential)
Lippo Cikarang (Residential)
Lippo Cikarang (Ligh Industrial)
Tanjung Bunga
Kemang Village
The St. Moritz
Jumlah Konsumen (%) Tahun 2012
Angsuran
Tunai
KPR
11
64
25
45
6
49
82
14
4
15
76
9
20
26
54
29
21
50
Sumber : Annual Report Lippo Karawaci Tbk Tahun 2012
Berbeda dengan konsumen kalangan menengah ke bawah yang pada
umumnya memanfaatkan KPR untuk kepemilikan rumah pertama (bersifat
konsumtif), konsumen kalangan kelas menengah ke atas melakukan
pembelian properti tidak hanya untuk konsumsi, melainkan juga untuk
investasi, sehingga konsumen tersebut pada umumnya memanfaatkan KPR
untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya; dan implementasi
kebijakan pembatasan maksimal LTV/FTV juga berlaku tidak hanya
kepemilikan rumah pertama saja, melainkan juga kepemilikan kedua,
ketiga, dan seterusnya. Oleh karena itu, informasi tentang kebijakan
pembatasan maksimal LTV/FTV terhadap KPR juga akan memengaruhi
10
unit penjualan properti dan akan berdampak pada sektor properti,
meskipun pengaruhnya akan lebih dirasakan pada perusahaan pengembang
atau developer skala menengah.
Menurut Hipotesis Pasar Modal yang Efisien, pada pasar modal yang
efisien, harga selalu merefleksikan secara penuh semua informasi yang
tersedia. Jika suatu informasi baru yang relevan terkait suatu aktiva masuk
ke pasar dan diterima oleh investor, maka investor akan menggunakan
informasi tersebut untuk menganalisis nilai dari aktiva tersebut. Oleh
karena itu, informasi publik mengenai kebijakan LTV akan mempengaruhi
keputusan investor, khususnya investor yang memiliki saham di sektor
perbankan dan sektor properti, untuk menjual sahamnya karena menilai
kebijakan tersebut akan membawa dampak negatif terhadap bisnis properti
dan bisnis perbankan. Reaksi investor terhadap pengumuman publik
tersebut dapat memengaruhi return saham sektor perbankan dan properti.
Hal ini kemudian mengundang pertanyaan lebih lanjut mengenai
pengaruh informasi tentang kebijakan tersebut terhadap saham perbankan
dan saham properti. Oleh karena alasan tersebut, penulis kemudian
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
TERHADAP
KEBIJAKAN
BANK
“REAKSI PASAR
INDONESIA
TENTANG
PEMBATASAN LOAN TO VALUE PADA KREDIT PEMILIKAN
RUMAH : ANALISIS SAHAM SEKTOR PERBANKAN DAN
PROPERTI”.
11
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditentukan
permasalahan yang ingin diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini adalah
apakah pasar bereaksi terhadap informasi publikasi rencana pengetatan
LTV pada KPR dan informasi tentang penerbitan surat edaran Bank
Indonesia pada tanggal 24 September 2013 terkait implementasi kebijakan
pembatasan LTV pada KPR.
Oleh karena itu dapat dirumuskan permasalahan penelitian yang
terangkum dalam enam pertanyaan penelitian berikut ini.
1.2.1. Rumusan Masalah Pertama
a. Apakah pasar bereaksi negatif terhadap informasi tentang rencana
pengetatan loan to value Kredit Pemilikan Rumah oleh Bank
Indonesia pada 11 Juli 2013 pada saham perbankan ?
b. Apakah pasar bereaksi negatif terhadap informasi tentang penerbitan
surat edaran Bank Indonesia tanggal 24 September 2013 terkait
kebijakan pembatasan loan to value Kredit Pemilikan Rumah pada
saham properti ?
1.2.2. Rumusan Masalah Kedua
a.
Apakah pasar bereaksi negatif terhadap informasi tentang penerbitan
surat edaran Bank Indonesia tanggal 24 September 2013 terkait
kebijakan pembatasan LTV KPR pada saham perbankan ?
12
b. Apakah pasar bereaksi negatif terhadap informasi tentang penerbitan
surat edaran Bank Indonesia tanggal 24 September 2013 terkait
kebijakan pembatasan LTV KPR pada saham properti ?
1.2.3. Rumusan Masalah Ketiga
a. Apakah reaksi negatif pasar lebih kuat untuk bank yang memiliki
proporsi KPR tinggi ?
b. Apakah reaksi negatif pasar lebih kuat pada perusahaan properti
yang melayani KPR dibandingkan perusahaan properti yang tidak
melayani KPR ?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang
menjadi pokok permasalahan penelitian, yaitu untuk :
1. Menganalisis apakah terdapat reaksi negatif pasar terhadap
informasi tentang publikasi rencana pengetatan loan to value
Kredit Pemilikan Rumah oleh Bank Indonesia pada 11 Juli 2013
pada saham perbankan dan saham properti.
2. Menganalisis apakah terdapat reaksi negatif pasar terhadap
informasi tentang penerbitan surat edaran Bank Indonesia
tanggal 24 September 2013 terkait kebijakan pembatasan loan to
value Kredit Pemilikan Rumah
pada saham perbankan dan
saham properti.
13
3. Menganalisis apakah reaksi negatif pasar lebih kuat pada bank
yang memiliki proporsi KPR tinggi.
4. Menganalisis apakah reaksi negatif pasar lebih kuat pada
kelompok perusahaan properti yang menyalurkan KPR dibanding
yang tidak menyalurkan KPR.
1.4. Batasan Penelitian
Penilitian ini bersifat studi peristiwa dan ada dua peristiwa yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu publikasi rencana pengetatan LTV
oleh para petinggi Bank Indonesia pada tanggal 11 Juli 2013 dan
penerbitan surat edaran terkait kebijakan pembatasan loan to value pada
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) No. 15/40/DKMP pada tanggal 24
September 2013.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada
beberapa pihak yang terkait dengan penelitian seperti Bank Indonesia, bank
umum maupun bank syariah, perusahaan pengembang atau developer, dan
peneliti. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Bank Indonesia, sebagai bank sentral, dapat memahami pengaruh
dari informasi publik terkait kebijakan loan to value pada KPR
terhadap sektor perbankan dan sektor properti, terutama sebagai
14
bahan evaluasi atas kebijakan tersebut yang telah dilaksanakan
pada September 2013 lalu hingga saat ini dan sebagai
pertimbangan dalam melakukan implementasi ataupun perubahan
terkait kebijakan serupa di masa depan.
2. Memberikan tambahan pengetahuan bagi bank umum dan
perusahaan pengembang properti mengenai sejauh apa pengaruh
yang ditimbulkan dari informasi terkait kebijakan loan to value
pada KPR terhadap sektor perbankan dan sektor properti yang
diukur melalui abnormal return saham. Selain itu, penelitian ini
juga dapat memberikan informasi mengenai reaksi atau tindakan
investor dalam menghadapi informasi publik yang dapat
mempengaruhi penyaluran KPR, khususnya mengenai pembatasan
loan to value pada KPR.
3. Peneliti memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
mengenai studi peristiwa khususnya pembatasan loan to value
pada KPR dan pengaruhnya terhadap abnormal return saham
perbankan dan properti serta mengetahui sektor mana yang lebih
sensitif terhadap informasi terkait kebijakan tersebut.
15
Download