BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu upaya untuk menunjukkan kemandirian negara adalah dilihat dari sumber-sumber penerimaan negara. Sumber penerimaan negara pada dasarnya terbagi menjadi dua sumber utama, yaitu Penerimaan Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri. Semakin besar penerimaan dalam negerinya, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut semakin mandiri. Oleh karena itu, untuk menunjukkan kemandiriannya, maka pemerintah harus meningkatkan Penerimaan Dalam Negerinya, dalam hal ini Pajak. Pajak merupakan komponen penting penerimaan negara. Sekitar 70 persen total penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini disumbang dari penerimaan perpajakan. (sumber: www.hukumonline.com). Pemerintah membutuhkan penerimaan perpajakan untuk membiayai dan setiap tahun target penerimaan perpajakan terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan APBN. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini (2001-2005) penerimaan perpajakan bertumbuh di atas 20% setahun (di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi). Bahkan hingga 22 Desember 2006 yang lalu penerimaan pajak mencapai Rp 345,4 triliun atau 92,93 persen dari target APBNP 2006. Meskipun belum memenuhi target, namun penerimaan tersebut sudah naik 24,03 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun pertumbuhan penerimaan pajak setiap tahun ternyata tidak diimbangi dengan potensi pajak yaitu jumlah penduduk di Indonesia seluruhnya. Jika dibandingkan dengan potensi pajak, kinerja penerimaan pajak selama ini masih belum optimal. Penyebab perbedaan pajak (tax gap) tersebut mayoritas karena lemahnya administrasi perpajakan. Oleh karena itu diperlukan reformasi administrasi perpajakan. Pemerintah telah empat kali melakukan reformasi perpajakan, tahun 1983, 1994, 1997, dan 2000. Sasaran apa yang hendak dicapai pemerintah dengan reformasi yang keempat ini. Sebenarnya yang dilakukan pemerintah ini juga bukan reformasi perpajakan. Hanya sekedar mengubah beberapa pasal undangundang untuk kebijaksanaan menyesuaikan pemerintah. dengan Yang dapat perkembangan dikategorikan dunia sebagai usaha dan reformasi perpajakan adalah reformasi tahun 1983, dimana terjadi perubahan sistem yang mendasar dari “Official Assessment system” ke “Self Assessment system ”. Reformasi perpajakan lebih banyak diartikan sebagai kebutuhan akan regulasi perpajakan yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan tarif pajak progresif, tetapi tidak nampak adanya perubahan jaminan manfaat bagi Wajib Pajak dari pembayaran pajaknya. Ketiadaan jaminan ini menyebabkan kurang terjadinya perubahan kesadaran membayar pajak. Semestinya reformasi perpajakan dan birokrasi perpajakan diletakkan dalam kerangka reformasi anggaran (budgeting reform) secara menyeluruh dengan orientasi pada kepentingan rakyat sebagai pembayar pajak. Pemerintah perlu segera mengimplementasikan reformasi perpajakan, baik reformasi kebijakan perpajakan maupun reformasi administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan menjadi elemen terpenting untuk mengubah citra sistem perpajakan Indonesia di kalangan dunia usaha di dalam maupun di luar negeri. Reformasi perpajakan itu harus dapat menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan kompetitif untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif bagi kegiatan investasi dan perdagangan. Tujuan pemerintah melaksanakan reformasi perpajakan ini sebenarnya adalah untuk meningkatkan www.tempointeraktif.com). tax ratio dari 11% ke 16% (sumber: Namun tujuan itu tidak akan tercapai hanya dengan perubahan undangundang saja. Harus disertai dengan pembenahan administrasi perpajakan yang dapat memberikan kepuasan bagi Wajib Pajak. Pengelolaan penerimaan pajak dilakukan melalui reformasi perpajakan yang mencakup reformasi kebijakan dan administrasi. Reformasi administrasi perpajakan dilakukan dengan tujuan meningkatkan kepuasan Wajib Pajak di dalam memenuhi kewajiban perpajakan melalui modernisasi administrasi perpajakan. Modernisasi administrasi perpajakan antara lain meliputi perubahan struktur organisasi yang semula berdasarkan jenis pajak menjadi fungsi, menerapkan sistem administrasi perpajakan terpadu yang dapat memonitor proses pelayanan kepada masyarakat, sehingga pelayanan dapat dilakukan dengan cepat, transparan dan akuntabilitas. Indonesia memang telah melakukan penyempurnaan dalam tata cara (sistem) pemungutan pajak yang modern seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi. Antara lain dengan membentuk Bank Data Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Khusus Wajib Pajak Besar (Large Tax Office), dan yang akan dilakukan yaitu pengadaan Single Identity Number (SIN), akses langsung penerimaan pajak kepada presiden, dan lain-lain. Tujuannya, untuk (1) modernisasi administrasi perpajakan, (2) meningkatkan pelayanan, (3) meningkatkan pengawasan secara individual, (4) meningkatkan citra Dirjen Pajak, dan (5) mencegah penyalahgunaan wewenang. Salah satu contoh reformasi itu adalah dengan membuka Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar yang membawahi dua Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar atau Large Taxpayer Office (LTO) pada tahun 2002. Wajib Pajak adalah mitra Dirjen Pajak dalam pengelolaan pajak (ibaratnya pelanggan atau nasabah) guna mengamankan penerimaan negara. Sejauh mana kepuasan Wajib Pajak atas pelayanan yang diberikan Kantor Pelayanan Pajak, survei yang akan membuktikan. Dengan reformasi perpajakan, khususnya administrasi, sejak 2002 dilakukan modernisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Terjadi perubahan paradigma unit operasional Dirjen Pajak. Saat itu, dibentuk unit KPP Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer Office, LTO), sebagai cikal bakalnya. Kemudian hal yang sama dikembangkan lagi pada 2003 dan 2004 dengan model KPP Madya (Medium Taxpayer Office, MTO), yang diterapkan di KPP khusus (BUMN, PMA, Badan dan Orang Asing, dan Perusahaan Masuk Bursa). Selanjutnya pada 2005 dengan model KPP Pratama (Small Taxpayer Office, STO). Dengan demikian, keberadaan Kantor Pajak modern tersebut akan membawa perubahan paradigma terhadap semua pihak yang berkepentingan antara lain yaitu Wajib Pajak, Fiskus, Konsultan Pajak, Akuntan Publik, dan Penilai menuju ke kondisi yang lebih baik (good governance maupun corporate good governance). Dengan perubahan paradigma, organisasi KPP modern jadi berdasarkan fungsi, dari sebelumnya berdasarkan jenis pajak. Ini terkait dengan “pelayanan” sebagai kata kunci dalam pelaksanaan tugas yang diemban. Konsepnya, pertama, mengelola sejumlah Wajib Pajak tertentu. Kedua, penggunaan teknologi informasi terkini. Ketiga, dalam lingkungan yang terkendali (Controlled environment). Dan keempat, pemberian pelayanan dan pengawasan yang lebih baik. Berbeda dengan model KPP Paripurna, KPP modern memiliki beberapa karakteristik. Menerapkan kode etik pegawai, ada complaint center, help desk dengan teknologi knowledge base di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Selain sumber daya manusianya berkualitas tinggi, juga sarana dan prasarana serta sistem penggajian yang lebih baik, serta adanya taxpayer’s bill of rights. Berarti, survei terhadap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) modern merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan. Akan dapat diketahui apakah modernisasi KPP meningkatkan kepuasan Wajib Pajak, atau jangan-jangan sama saja dengan sebelumnya. Sebagus apapun organisasinya, secanggih apapun administrasinya dan teknologi yang digunakan, atau sebaik apapun kualitas sumber daya manusianya, yang dilihat dan dinilai pada akhirnya adalah output yang dihasilkan. Apalagi dalam perpajakan yang sangat krusial, karena langsung menyangkut apa yang dirasakan Wajib Pajak sebagai pembayar pajak ketika berhubungan dengan KPP. Kepuasan masyarakat (customer satisfaction) merupakan kata kunci setiap kegiatan. Apalagi di instansi pemerintah dalam rangka good governance dan pelayanan prima. Telah beberapa kali dilakukan survei baik oleh KPP sendiri, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, maupun Komite Kode Etik Pegawai, dan terakhir oleh AC Nielsen. Survei yang dilakukan AC Nielsen (Lembaga Riset Internasional) terhadap KPP Wajib Pajak Besar (LTO), merupakan riset independen. Karena yang menunjukkan dan mensponsori adalah Aus AID. Berdasarkan hasil survei AC Neilsen, tingkat kepuasan Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Besar mencapai 81 atau melebihi angka rata-rata survei Indonesia sebesar 75. Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk meneliti reformasi perpajakan dalam hal ini adalah modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah, apakah memiliki pengaruh terhadap kepuasan Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban mereka dalam hal ini pelaporan dan pembayaran pajak. Sebelumnya, dengan judul yang sama telah dilakukan penelitian oleh Arinita Triani dengan NRP B1A 03155 di Universitas Padjajaran Bandung. Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah: - Waktu Penelitian : Penelitian terdahulu dilakukan pada bulan Februari sampai dengan April 2007. - Tempat Penelitian : Tempat penelitian terdahulu adalah KPP BADORA SATU JAKARTA Jl. Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan 12760 Telepon (021) 7988568 - Objek Penelitian : KPP BADORA SATU JAKARTA yang menjadi objek penelitian sebelumnya merupakan suatu badan dan orang asing. 1.2 Identifikasi Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi penulis yaitu apakah modernisasi administrasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan maksud untuk membenahi perpajakan negara berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan Wajib Pajak. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud dapat memberikan kontribusi bukti empiris tentang masalah yang diteliti yaitu pengaruh positif modernisasi administrasi perpajakan terhadap kepuasan Wajib Pajak, yang diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu perpajakan. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui modernisasi sistem administrasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban mereka dalam hal ini pelaporan dan pembayaran pajak. 1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, penulis mengharapkan agar hasilnya dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, antara lain : 1. Bagi Penulis Penelitian ini akan melatih kemampuan teknis analitis yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan dalam melakukan pendekatan terhadap suatu masalah, sehingga dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan dalam tentang masalah yang diteliti. 2. Bagi Dirjen Pajak Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakankebijakan selanjutnya yang berkaitan langsung dengan pelayanan pajak kepada para Wajib Pajak guna meningkatkan kepuasan Wajib Pajak yang nantinya mungkin akan dapat mempengaruhi Wajib Pajak untuk taat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 3. Bagi Peneliti Lainnya Sebagai sumber informasi dan referensi untuk mendukung penelitianpenelitian selanjutnya yang memiliki relevansi dengan topik ini. 1.5 Kerangka Pemikiran Pemerintah suatu negara terutama Indonesia, dalam melaksanakan kegiatannya sangat memerlukan dana yang jumlahnya semakin tahun semakin meningkat. Dan yang dibutuhkan oleh pemerintah tersebut dapat diperoleh melalui penerimaan dari luar negeri maupun dalam negeri. Salah satu bentuk penerimaan negara dalam negeri adalah dari pajak. Dr. Budiono mantan Menteri Keuangan Republik Indonesia di era Presiden Megawati menyatakan bahwa dalam perekonomian modern, pajak merupakan sumber utama penerimaan bagi suatu negara. Dimana hal ini dapat kita lihat dari fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Regulered) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, agar peredaran minuman keras dapat ditekan. Sistem perpajakan terdiri dari tiga unsur pokok (R. Mansury : 1996) sebagai berikut: a. Kebijakan perpajakan (tax policy) b. Undang-undang perpajakan (tax lax) c. Administrasi perpajakan (tax administration) Ketiga unsur pokok di atas terjadi menurut proses sesuai dengan urutan waktu penyusunan sistem perpajakan. Secara historis, pembicaraan mengenai masalah perpajakan selalu didahului dengan menentukan terlebih dahulu kebijakan perpajakan. Kemudian kebijakan tersebut diolah dan ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, barulah terakhir didesain masalah pemungutannya dalam ruang lingkup administrasi perpajakan. Hubungan antara ketiga unsur tersebut saling menguatkan dan tergantung satu sama lain. Selama ini banyak yang memandang bahwa salah satu dari unsur pokok sistem perpajakan, yaitu kebijakan perpajakan atau undang-undang perpajakan sebagai unsur yang paling penting. Namun dewasa ini, pandangan tersebut sudah mulai bergeser. Banyak kalangan yang mulai menyadari bahwa pada akhirnya administrasi perpajakanlah yang merupakan faktor penting dalam bangunan sistem perpajakan. Fakta telah membuktikan bahwa keberhasilan pemungutan pajak dibanyak negara maju ternyata sangat ditentukan oleh kualitas administrasi. Guna meningkatkan kualitas sistem administrasi perpajakan maka salah satu bentuknya adalah dengan penerapan sistem administrasi perpajakan yang modern. Penerapan sistem administrasi perpajakan modern dilakukan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada Wajib Pajak. Penerapan sistem tersebut mencakup aspek-aspek (sumber: www.kpppmb.depkeu.go.id) : 1. Perubahan struktur organisasi dan sistem kerja KPP 2. Perubahan implementasi pelayanan kepada Wajib Pajak 3. Fasilitas pelayanan yang memanfaatkan teknologi informasi 4. Kode Etik pegawai Salah satu bentuk penerapan sistem administrasi perpajakan yang modern adalah didirikannya Kantor Pajak Wajib Pajak Besar (Large Taxpayer OfficeLTO) oleh Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan cikal bakal kantor pajak yang memiliki administrasi perpajakan modern. Keberadaan Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, selain mengadministrasikan penerimaan pajak dengan menggunakan perangkat teknologi informasi, diharapkan dapat mengubah citra Direktorat Jenderal Pajak sesuai visinya melalui pemberian pelayanan pajak profesional yang bertaraf internasional dibidang perpajakan kepada Wajib Pajak. Pada hakekatnya tujuan bisnis adalah untuk menciptakan dan mempertahankan konsumen. Semua usaha manajemen diarahkan pada satu tujuan utama yaitu terciptanya profitabilitas melalui penciptaan kepuasan konsumen yang maksimal. Begitu juga dengan pelayanan umum (public service) yang juga harus mempertahankan kepuasan konsumennya walaupun pelayanan umum pada umumnya tidak berorientasi pada laba atau profit. Jasa perpajakan termasuk dalam pelayanan umum, karena Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 mendefinisikan pelayanan umum sebagai berikut: “Segala bentuk pelayan yang dilaksanakan Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan.” Dan definisi kepuasan konsumen menurut Philip Kotler (2005; 70) adalah “Perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja (hasil) yang diharapkan. Sedangkan Day Colalain Tse dan Wilton (1998) (sumber: www.eprints.ums.ac.id) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. Engel, et al (1990) (sumber: www.eprints.ums.ac.id) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan. Dari definisi-definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan konsumen merupakan hasil akhir dari perbandingan antara harapan dengan kenyataan. Jika kinerja di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang. Wajib Pajak adalah mitra Dirjen Pajak dalam pengelolaan pajak (ibaratnya pelanggan atau nasabah) guna mengamankan penerimaan Negara sejauh mana kepuasaan Wajib Pajak atas pelayanan yang diberikan KPP, survei yang akan membuktikan. Kepuasan masyarakat (customers satisfaction) merupakan kata kunci setiap kegiatan. Apalagi di Instansi Pemerintah dalam rangka good governance. Bila sistem administrasi mampu mengakomodasi kepentingan para Wajib Pajak niscaya kepatuhan pemenuhan perpajakan mereka akan semakin meningkat. Apabila wajib pajak merasa puas akan pelayanan yang diberikan oleh KPP dan Wajib Pajak memiliki persepsi yang baik terhadap Instansi Perpajakan, maka besar kemungkinan meningkatnya kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya akan berujung pada peningkatan penerimaan pajak. Untuk itu, reformasi perpajakan nasional yang terus berjalan dewasa ini sangat penting dengan selalu memperhatikan perbaikan sistem administrasi perpajakan. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikirannya adalah sebagai berikut: Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Pajak sebagai sumber daya pembiayaan pembangunan Reformasi Sistem Perpajakan Modernisasi Administrasi Perpajakan Reformasi Kebijakan Perpajakan Pengaruhnya Persepsi Wajib Pajak akan Modernisasi Administrasi Perpajakan Wajib Pajak Puas Hipotesis: Modernisasi administrasi perpajakan berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan Wajib Pajak. 1.6 Metodologi Penelitian Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, jenis penelitian yang dipilih oleh penulis adalah metode deskriptif kualitatif dengan bentuk penelitian survei. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: indirect research untuk mendapatkan data-data sekunder melalui studi kepustakaan. Sedangkan metode kedua adalah direct research untuk mendapatkan data-data primer melalui studi lapangan. Teknik dan cara yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data untuk melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Penelitian Kepustakaan Teknik penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data kepustakaan dengan cara mempelajari, mengkaji, serta menelaah literaturliteratur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, maupun makalah yang berkaitan dengan penelitian. Referensi di dapat melalui artikel-artikel yang terdapat di dalam majalah, koran, maupun di dapat secara elektronik melalui internet research. Kegunaan penelitian kepustakaan adalah untuk memperoleh dasar-dasar teori yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisis masalah yang diteliti, serta sebagai data pendukung yang berfungsi sebagai landasan teori guna mendukung data primer. 2. Penelitian Lapangan Teknik penelitian lapangan ini dilaksanakan peneliti untuk meninjau secara langsung objek penelitian dengan maksud memperoleh data primer. Data primer adalah data yang langsung didapatkan dari sumber data (subjek penelitian) (Sugiyono, 2007; 129). Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data yaitu dengan kuesioner. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2007; 135). Jenis kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup, responden dapat memilih jawaban yang tersedia. Pada tahap awal penelitian dilakukan terhadap KPP untuk mencari data Wajib Pajak yang terdaftar di dalamnya yang akan digunakan penulis sebagai responden. Tahap selanjutnya adalah menyebarkan kuesioner kepada Wajib Pajak yang telah dipilih oleh penulis untuk menjadi responden. 1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian awal dilakukan pada KPP Pratama Bandung Cicadas Jl.Soekarno Hatta No.781 Bandung untuk memperoleh data Wajib Pajak yang akan dijadikan responden dalam penelitian ini dan setelah itu menyebarkan kuesioner pada Wajib Pajak yang telah dipilih untuk menjadi responden. Sedangkan waktu penelitian diperkirakan November 2008 sampai dengan Januari 2009.