AKHLAK GURU MENURUT AL-GHAZALI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegururuan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Oleh : AHMAD ASRORI 1810011000056 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING AKHLAK GURU MENURUT AL-GHAZALI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegururuan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Oleh Ahmad Asrori 1810011000056 Dibawah Bimbingan Dr. Khalimi, MA 19650515 199403 1 006 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul Akhlak Guru Menurut al-Ghazali disusun Oleh Ahmad Asrori, NIM 1810011000056, jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan. Jakarta, 10 April 2014 Yang Mengesahkan Dr. Khalimi, MA NIP. 196505 151994 03 1 006 ABSTRAK Nama : Ahmad Asrori NIM : 1810011000056 Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam Judul :Akhlak Guru Menurut al-Ghazali Skripsi ini mengkaji tentang akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali. Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui pendidikan akhlak dan akhlak guru yang ideal menurut pandangan al-Ghazali. Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang banyak memberikan perhatian dan penelitiannya dalam ilmu akhlak, sehingga hampir dalam kitab-kitab yang dikarangnya selalu ada hubungannya dengan materi pendidikan akhlak, seperti kitab Ihya’ Ulumu al-Din atau Mizan al-Amal. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran dan timbul dari dalam diri orang yang mengerjakan sehingga menjadi kepribadian. Guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar, sedangkan al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata al-mu’allim (guru) yang berarti orang yang mengetahui dan istilah ini banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan. Akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali terbagi dua yaitu kepribadian guru itu sendiri dan akhlak guru terhadap muridnya. Adapun kepribadian guru menurut al-Ghazali adalah pertama, tabiat dan prilaku pendidik; kedua, yaitu keterampilan mengajar dan minat serta perhatian pada proses belajar mengajar; dan ketiga, sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran. Sedangkan akhlak guru kepada muridnya yaitu guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, bersikap kasih sayang kepada muridnya, tidak meminta imbalan, tidak menyembunyikan ilmunya, menjauhi akhlak yang buruk, tidak mewajibkan muridnya cenderung kepada guru tertentu, memperlakukan muridnya dengan kesanggupannya, bekerja sama dengan muridnya dalam membahas pelajaran, dan mengamalkan ilmunya. Untuk memperoleh data yang representative dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku yang ada relevansinya dengan makalah penelitian. Kemudian diolah sesuai kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dalam skripsi ini adalah kualitatif. Akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali ini dapat memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan, khususnya kepada para guru yang bertugas sebagai seorang yang mempunyai tugas mulia yaitu memperbaiki akhlak muridnya, bukan hanya sebagai tugas gajian. Sehingga, para guru mampu memahami tugas mulia ini, dengan mengetahui syarat kepribadian yang harus dimilikinya dan mengetahui akhlak yang akan dilakukannya saat menjalankan tugasnya, sehingga para guru mampu membimbing, membersihkan, mensucikan, menyempurnakan dan membawa hati muridnya mendekatkan diri kepada Allah SWT. i KATA PENGANTAR بسم اهلل الرّحمٰن الرّحيم Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadhirat allah SWT, sehingga atas segala limpahan rahmat dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun masih belum sempurna. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jasa dan jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyak pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkan satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesainya skripsi ini: 1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Dra. Nurlena, MA.,Ph.D beserta seluruh staffnya. 2. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam yang saling memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI. 3. Ibu Marhamah Saleh, Lc.,MA Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh staffnya. 4. Bapak Dr. Khalimi, MA yang telah sabar dan meluangkan waktunya di tengah kesibukannya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan semangat selama proses penulisan dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat di kemudian hari. ii 6. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan utama, perpustakaan FITK dan perpustakaan Iman Jama, yang turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Yang paling utama untuk istri tercinta, Adinda Athiatul Maula dan kedua putri kami tercinta Nai’matul Husna Kholidah dan Laily Inayatul Maula yang penulis banggakan. Doa, rasa kasih sayang dan dukungan mereka menjadikan spirit dan semangat untuk kemajuan penulis. 8. Kawan-kawan PAI kelas B angkatan 2014 khususnya sahabat-sahabat tercinta Rodalih, Hendi Sopandi dan Suparno yang menjadi tempat berdiskusi, bertukar pikiran dengan semangat perjuangan kita bersama-sama menuju kesuksesan. Meraka selalu mendukung, menghibur, dan memberikan semangat kepada penulis. 9. Dan semua pihak terkhusus sahabat-sahabatku di SD Syekh Yusuf Tangerang yang telah membantu serta memberikan dukungan kepada penulis baik secara moril maupun materil. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, namun penulis berharap kritik dan saran yang dapat memperbaiki,baik tulisan maupun isinya. Semoga skripsi ini dapat dijadikan inspirasi bagi yang akan mengadakan penelitian selanjutnya dan dapat bermanfaat untuk kita semua. Tangerang, 5 Mei 2014 Penulis Ahmad Asrori iii DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ABSTRAK …………………………………………………….…….……… i KATA PENGANTAR ……………………………………….…….………. ii DAFTAR ISI ………………………………………………….…….………. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1 B. Pembatasan Masalah …………………………………….. 5 C. Perumusan Masalah ……………………………………… 5 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………... 5 BAB II KAJIAN TEORITIK A. ACUAN TEORI 1. Pengertian Akhlak ……………………………………..… 7 2. Pengertian, Tugas dan Tanggung Jawab Guru …………... 8 3. Syarat-syarat Guru …………………………………..….. 18 4. Kriteria Guru yang Berakhlak Karimah ………….....….. 20 B. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN ..……..…….. 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Penelitian ………………………………………….... 26 B. Metode Penulisan ……………………………………….….. 26 C. Fokus Penelitian ……………………………………………. 27 D. Prosedur Penelitian ………………………………………… 27 iv BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali 1. Arti Pendidikan Akhlak ……………………………….. 29 2. Sistem Pendidikan Akhlak ……………………………. 32 3. Tujuan Pendidkan Akhlak …………………………….. 34 4. Metode Pendidikan Akhlak …………………………… 35 B. Kriteria Akhlak Guru yang Ideal Menurut Al-Ghazali BAB V 1. Akhlak Menurut al-Ghazali ………………..………….. 38 2. Pengertian Guru …………………………….……...….. 40 3. Profesi Guru ...……………………………………….... 43 4. Tugas dan Kewajiban Guru …………………………… 45 5. Akhlak Guru yang Ideal ………………………………. 47 PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………… 57 B. Saran ……………………………………………………….. 58 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan dan kemajuan bangsa selalu diinspirasi dan digerakkan oleh pribadi-pribadi unggul dalam berbagai profesi dan bidang kehidupan. Bangsa ini merdeka karena tampilnya pribadi-pribadi unggul.1 Karenanya, negara ini sangat memerlukan kehadiran para guru yang memiliki kemampuan profesional dalam bidangnya, guna hadirnya para generasi yang kompetitif di masa datang. Akan tetapi, belum cukup apabila para guru hanya membekali dirinya dengan kemampuan profesionalnya saja, tapi harus diikuti dengan akhlak yang mulia. Oleh karena itu guru adalah contoh berjalan bagi anak didiknya, semua tingkah-lakunya akan ditiru dan dicontoh oleh anak didiknya. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan guru atau pendidik merupakan figur atau tokoh panutan peserta didik dalam mengambil semua nilai dan pemikiran tanpa memilih antara yang baik dengan yang buruk. Peserta didik memandang bahwa guru adalah satu-satunya sosok yang sangat disanjung, maka, didikan dari guru berpengaruh besar dalam memilih andil dalam membentuk kepribadian dan pemikiran peserta didik. Pentingnya guru dalam dunia pendidikan ditegaskan dalam al-Qur'an yaitu untuk membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.2 Sesuai dengan konsep guru dalam al-Qur'an yaitu sebagai "pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus" yang tertuang dalam al-Qur'an surat al-Isra' [ 17] ayat 19: 1 Komarudin Hidayat, "Merindukan Pribadi-Pribadi Unggul", dalam Kompas, Jakarta, 4 Juni 2006, h. 7. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. VIII, h. 172-173. 4M. 1 Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arch itu dengan sungguh-sungguh sedang is adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.3 Dan tujuan guru atau pendidik yang ingin dicapai dengan memberikan petunjuk tersebut, ditegaskan dalam surat adz-Dzariyat [51] ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.4 Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa guru merupakan pelita segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya keilmiahannya. Andai kata dunia tidak ada guru atau pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab pendidikan adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan (baik binatang buas maupun binatang jinak) kepada sifat insaniyah dan ilahiyah.5 Muhammad bin Muhammad al-Hamd mengatakan pendidik itu besar dimata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya. Dengan memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti penting dalam mendidik akhlak anak, keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik, kalau pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak baik, karena 3 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahnya, (Jakarta: PT.Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 387. 4 Ibid., h. 756. 5 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, terj. Ismail Ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979), h. 64-70. 2 murid meniru gurunya, sebaliknya kalau guru berakhlak buruk ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk. Hal ini diperkuat oleh tulisan Zakiah Darajat dalam bukunya "Kepribadian Guru", beliau mengatakan: Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).6 Dalam kitab Ihya' Ulumu al-Din, al-Ghazali yang dikutip dan diterjamahkan oleh Zaenuddin, dkk "Apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia itu. Maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu".7 Jadi mengajar dan mendidik adalah sangat mulia, karena cara naluri orang yang mulia itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dengan kehormatan dan kemuliaan itu membawa konsekuensi logis bahwa pendidik lebih dari sekedar petugas gajian. Dia sebagai figur teladan yang mesti ditiru dan diharapkan dalam memperlakukan anak didiknya tidak seperti domba atau ternak yang perlu digembala. Anak didik sebagai manusia yang mudah dipengaruhi, yang sifat-sifatnya mesti dibentuk dan dituntun olehnya untuk mengenal peraturan moral yang dianut oleh masyarakat. Itulah sebabnya, seorang pendidik tak cukup hanya mengandalkan kepandaian atau pemilikan otoritas disiplin ilmu tertentu saja. Dia haruslah orang yang berbudi dan beriman sekaligus amalnya, yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh jiwa anak didiknya. Jika hal ini dapat dimanifestasikan, maka rasa hormat dan tawadhu anak didik terhadap pendidik akan datang dengan mudah merasuk ke dalam otak anak didiknya, dan pada akhimya nanti anak didik pun akan menjadi manusia yang terhormat sekaligus dihormati. Disinilah 6 Zakiah Darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), Cet. IV, h.9. Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. I, h. 50 7 3 letak kemuliaan seorang guru atau pendidik sebagaimana yang diungkapkan (secara tersirat) oleh al-Ghazali tersebut. Dewasa ini sebagian sarjana pendidikan muslim apalagi non muslim lebih mengkonsentrasikan pada literatur-literatur karya Socrates, Plato, John Locke, Frobel dan sebagainya daripada mengenal tokoh-tokoh seperti alKindi, al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali dan sarjana-sarjana muslim lainnya. Mukhtar Yahya pernah menyarankan pentingnya menggali buku-buku yang ditulis oleh para pakar pendidikan muslim pada abad pertengahan: "...akan kelihatanlah bahwa di dalam sejarah pendidikan Islam terdapat butir-butir pendidikan dan pengajaran yang menjadi suri teladan serta praktek-praktek pendidikan dan pengajaran yang patut dicontoh dalam usaha mendidik dan mengajar dalam abad modern ini, dan layak untuk diperjelas serta dikembangkan dan dimanfaatkan dalam pembangunan nasional". Oleh karena itu dalam penulisan skripsi ini, penulis memilih tokoh pendidikan yaitu al-Ghazali. Al-Ghazali merupakan ulama yang memiliki banyak keistimewaan, terutama dalam teori pendidikan yang dimajukannya, yakni penyatuan kepentingan-kepentingan jasmani, akal dan rohani, ilmiah dan jiwa agama. Hampir di setiap kitab yang dihasilkannya selalu menyentuh aspek pendidikan. Dalam kitab Ihya' Ulumu al-Din, al-Ghazali melukiskan betapa penting kepribadian bagi seorang pendidik, "Seorang guru mengamalkan ilmunya lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala lebih banyak".8 Pernyataan al-Ghazali tersebut dapat diartikan bahwa aura perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang pendidik adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian seorang guru akan diteladani dan dilihat oleh anak didiknya baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja. 8 Ibid., h. 54 4 Dari sejumlah pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang guru selain harus menguasai materi yang akan diajarkan sebagai modal profesionalnya sebagai pendidik. Seorang guru juga harus memiliki kepribadian serta akhlak yang baik, karena pendidik adalah panutan bagi anak didiknya, segala perilaku yang dilakukan pendidik akan ditiru baik secara langsung maupun tidak langsung oleh anak didiknya. Oleh karena itu seorang guru atau pendidik hendaknya memiliki kepribadian dan akhlak, karena akhlak guru menjadi titik tolak terpenting yang akan menjadi penentu apakah peserta didik akan menjadi baik (sesuai norma yang berlaku) atau menjadi buruk. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah para guru sudah memiliki kepribadian atau akhlak? karena hal itu berpengaruh kepada kompetensi dalam diri guru itu sendiri, yang tentunya akan berpengaruh terhadap proses belajar dan peserta didik yang dididiknya. Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih lanjut akhlak-akhlak yang harus dimiliki guru, yang akan dituangkan dalam skripsi yang berjudul " Akhlak Guru Menurut al-Ghazali ". B. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, hanya akan dibahas tentang kriteria akhlak guru yang ideal menurut konsep Islam yaitu kepribadian guru dan akhlak guru kepada murid dalam pandangan al-Ghazali. C. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimana pandangan al-Ghazali tentang akhlak guru? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui akhlak guru menurut al-Ghazali. 5 2. Manfaat Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan beberapa manfaat yaitu: a. Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya di bidang pendidikan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para guru agar memiliki akhlak yang mulia sebagai modal awal dalam mendidik. c. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis berikutnya. 6 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Akhlak Pengertian akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama. Secara Linguistik (kebahasaan) Kata akhlak merupakan isim Jamid atau ghair mustaq, yaitu isim yang tidak mempunyai akar kata, melainkan kata tersebut begitu adanya. Kata akhlaq adalah jama’ dari kata Khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan diatas. Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam alQur’an maupun al-Hadits.1 Dilihat dari segi terminologi "akhlak" terdapat definisi beberapa pakar yang diutarakan antara lain: a. Muhamad bin `Illaan ash-Shadiqy Akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).2 b. Abdullah Dirroz Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat)3 c. Ibrahim Anis Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.4 1 Moh. Ardani, akhlak – Tasawuf ( Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet. II, h. 25. Mahjudin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), Cet. V , h. 3. 3 H. A. Musthofa, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. III, h. 14. 4 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), Cet. V , h. 4. 2 7 d. Ibnu Maskawaih Akhlak is the state of the soul which causes it to perform its action without thought and deliberation. Akhlak adalah suatu kondisi jiwa yang menyebabkan ia bertindak tanpa memerlukan pemikiran dan timbangan yang mendalam.5 e. Imam al-Ghazali Menurut al-Ghazali akhlak adalah "al-khuluq" (jamaknya al-akhlak) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, darinya timbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan".6 Dari beberapa pengertian di atas tentang definisi akhlak dapat diambil kesimpulan bahwa akhlak adalah, pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah dan lain sebagainya.7 Ketiga, perbuatan tersebut dilakukan dengan spontan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran. B. Pengertian, Tugas dan Tanggung Jawab Guru 1. Pengertian Guru Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang berarti pengajar. Selain itu terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah. Dalam bahasa Arab istilah 5 Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf Jalan Menuju Resolusi Spiritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), h. 2. 6 Zainudin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. I, h. 104.. 7 Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 10 8 yang mengacu kepada pengertian guru, yaitu al-'alim (jamaknya ulama) atau al-mu'allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti guru. Selain itu, adalah almudarris (untuk arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaran) dan al-muaddib (yang merujuk kepada guru yang secara khusus mengajar di istana) serta al-ustadz (untuk menunjuk kepada guru yang mengajar bidang pengetahuan agama Islam, dan sebutan ini hanya dipakai oleh masyarakat Indonesia dan Malaysia).8 Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah "orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing".9 Pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid Baja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.10 Guru dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).11 Guru berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu melaksanakan 8 Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h.41. 9 Ramayulis, Didaktik Metodik, (Padang: Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 1982), h. 42. 10 Ibid., h. 36. 11 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75. 9 tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.12 Sementara itu al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan berbagai kata seperti, al-mu’allim (guru), al-mudarris (pengajar), al-muaddib (pendidik) dan al-walid (orang tua).13 Al-Ghazali menyebutkan "Seorang guru adalah berurusan dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah bekerja menyempumakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekatkan diri kepada Allah SWT".14 Dapat disimpulkan bahwa guru atau pendidik menurut al-Ghazali adalah orang yang bertugas untuk menyempurnakan, membersihkan, mensucikan hati anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2. Tugas Guru Menurut Abuddin Nata, secara sederhana tugas guru adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan berkembang potensinya. Sedangkan tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. mendidik ternyata tidak semudah mengajar. 15 Menurut Nasution, ada beberapa prinsip umum untuk tugas semua guru, yaitu: a. Guru harus memahami dan menghargai murid (siswa). Mengajar adalah suatu hubungan antar manusia. Anak didik adalah manusia yang berhak atas perlakuan baik dari guru karena kelak menjadi warga negara yang dewasa yang mau menghormati orang lain. Guru yang baik adalah guru yang lebih bersifat demokratis yang banyak membicarakan dan mempertimbangkan sesuatu dengan anak didik. 12 Suryosubrata. B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 26. 13 Zainuddin, dkk, Op.cit., h. 50. Zainuddin, dkk, Op.cit., h. 53 15 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 134. 14 10 b. Guru harus mempersiapkan bahan pelajaran yang akan diberikan dengan pengertian ia harus menguasai bahan itu sepenuhnya, jangan hanya mengenal isi buku pelajaran saja, melainkan juga mengetahui pemakaian dan kegunaannya bagi kehidupan anak dan manusia umumnya. c. Guru harus mampu menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran. d. Guru harus mampu menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesungguhan individu anak. Kesungguhan anak dalam berbagai hal berbeda-beda. Biasanya guru mencoba menyesuaikan pelajaran dengan kemampuan ratarata kelas. Bagi anak yang pandai, pelajaran tertentu itu mudah, sedangkan bagi anak yang lambat dalam memahami pelajaran tersebut maka itu terasa sulit untuk menyesuaikan pelajaran dengan kemampuan individual, kondisi yang demikian ini berarti yang harus diperhatikan bukan anakanak yang lambat saja, akan tetapi juga anak-anak yang pandai, sehingga setiap anak dapat berkembang sesuai dengan kecepatan dan bakat masingmasing. e. Guru harus mengaktifkan murid dalam hal belajar. Karena berhasil tidaknya proses belajar mengajar tergantung aktif tidaknya murid tersebut. Kalau murid itu bisa aktif berarti apa yang telah disampaikan oleh guru tersebut dapat di mengerti oleh murid. f. Guru harus menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan murid. Tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja tapi seorang guru harus bisa menyampaikan/mengaitkan pelajaran yang diajarkan dengan kehidupan yang wring dilakukan murid dalam sehari-hari. g. Guru harus memberi pengertian dan bukan hanya dengan kata-kata belaka. Karena kalau hanya dengan kata-kata/bicara saja, itu tidak akan bisa membuat siswa itu mengerti dengan apa yang telah disampaikan oleh guru. Maka guru harus bisa memberikan pengertian apa maksud dari materi yang sudah diajarkan. h. Guru harus merumuskan tujuan yang akan dicapai pada setiap mata pelajaran yang diberikan. Sehingga ketika dalam menyampaikan pelajaran, 11 guru sudah mengerti tujuan dari pelajaran yang akan disampaikan dan tidak hanya mengajar saja, tapi juga ada tujuan yang ingin dicapai dari apa yang sudah diajarkan. i. Guru jangan hanya terikat oleh satu tex book saja, sebab tujuan mengajar bukanlah mengusahakan agar anak-anak mengenal dan menguasai suatu tex book. Maksudnya seorang guru harus dapat mengajarkan anak didiknya secara kontekstual bukan hanya secara tekstual. j. Tugas guru tidak hanya menguasai dalam arti menyampaikan pengetahuan saja kepada murid, melainkan senantiasa membentuk pribadi murid. 16 Sedangkan menurut Heri Juhari Muhtar dalam bukunya "Fiqih Pendidikan ", mengatakan bahwa: Secara umum tugas guru atau pendidik yaitu: 1) Mujaddid, yaitu sebagai sebagai pembaharu ilmu, baik dalam teori maupun praktek, sesuai dengan syariat Islam. 2) Mujtahid, yaitu sebagai pemikir yang ulung. 3) Mujahid, yaitu sebagai pejuang kebenaran.17 Sedangkan secara khusus tugas pendidik atau guru di lembaga pendidikan adalah : 1) Perencana: Mempersiapkan bahan, metode, dan fasilitas pengajaran serta mental untuk mengajar. 2) Pelaksana: Pemimpin dalam proses pembelajaran. 3) Penilai: Mengumpulkan data, mengklasifikasi, menganalisa, dan menilai keberhasilan PBM (Proses Belajar Mengajar). 4) Pembimbing: Membimbing, menggali, serta mengembangkan potensi peserta didik ke arah yang lebih baik. 18 AI-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya "Ihya' Ulumu al-Din" dan "Mizan alAmal ", 16 Nasution, Didaktik Asas-Asas Mengajar, (Bandung: Jem Mars, 1982), Cet. IV, h. 12-17. Heri Jauhari Muhtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 2005), Cet. I, h. 155. 18 Ibid., h. 156. 17 12 dengan pembahasan yang lugas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut: a. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya. Adapun syarat bagi seorang guru, maka is layak menjadi pengganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya 'alim (berilmu, intelektual). Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang `alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW, itu. Sebagaimana sabda Nabi SAW: "Di ceritakan oleh Qaes bin Kasir: Nabi bersabda:Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak ". (H. R. Tirmidzi) ' Kemudian al-Ghazali berpendapat: "seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya".19 Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkannya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. b. Memberikan kasih sayang terhadap anak didik. Al-Ghazali mengatakan "Memberikan kasih sayang kepada murid-murid dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri".20 Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, 19 20 Zainuddin, dkk, op.cit., h. 59. Zainuddin, dkk, op.cit., h. 61. 13 seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dengan anaknya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran. c. Menjadi teladan terhadap anak didik. Al-Ghazali mengatakan "Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak".21 Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modem Indonesia. d. Menghormati kode etik guru.22 Al-Ghazali mengatakan "Seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran lainnya dihadapan muridnya”.23 Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan (Indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya, yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling menghargai dan menghormati antar disiplin ilmu profesi. Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang lugs, misalnya hubungan guru dengan jabatan. Dengan demikian, maka tugas guru adalah mendidik dan mengajar, yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku anak kearah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Maka gurulah yang bertanggung jawab untuk menyediakan dan menciptakan lingkungan yang asri, nyaman dan menyenangkan agar terjadi proses belajar yang efektif. 3. Tanggung Jawab Guru 21 Zainuddin, dkk, op.cit., h. 61-62. Zainuddin, dkk, op.cit., h. 59-63 23 Zainuddin, dkk, op.cit, h. 62 22 14 Guru memikul tugas dan tanggung jawab yang berat, sebab tugas dan tanggung jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah saja, tetapi juga diluar sekolah. Guru adalah ksatria pahlawan pendidikan yang berjuang untuk mengurangi kebodohan, demi terwujudnya cita-cita bangsa. Tugas dan tanggung jawab guru berkaitan erat dengan upaya pengembangan sumber daya anak didik, membina dan melatih agar tertuju dan terarah kepada tujuan pendidikan (nasional). Setiap guru harus memenuhi persyaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Guru sebagai pendidik bertanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi penerusnya, sehingga menjadi proses konversi nilai, karena melalui proses pendidikan diusahakan terciptanya nilai-nilai baru. Setiap tanggung jawab mengeluarkan sejumlah kemampuan dan setiap kemampuan dapat dijabarkan lagi dalam kemampuan yang lebih khusus, antara lain: a. Tanggung jawab moral, yaitu guru harus memiliki kemampuan menghayati perilaku dan etika yang sesuai dengan Pancasila dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. b. Tanggung jawab guru dalam bidang pendidikan di sekolah, yaitu setiap guru harus menguasai cara belajar mengajar yang efektif, mampu membuat satuan pelajaran, memahami kurikulum yang baik, mampu mengajar di kelas, mampu menjadi model bagi siswa mampu memberikan nasehat, mampu menguasai teknik-teknik pemberian bimbingan dan layanan serta mampu membuat dan melaksanakan evaluasi. c. Tanggung jawab dalam bidang kemasyarakatan, yaitu turut serta menyukseskan pembangunan dalam masyarakat, guru harus mampu membimbing, mengabdi dalam masyarakat dan melayani masyarakat. d. Tanggung jawab guru dalam bidang keilmuan, yaitu guru selaku ilmuan bertanggung jawab dan turut serta memajukan terutama ilmu yang sudah menjadi spesialisasinya, dengan melaksanakan penelitian dan pembangunan.24 24 Rusyan Tabrani, Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung, PT. Remaja Rosyda Karya, 1994), h. 10. 15 Sementara itu, menurut Amstrong sebagaimana dikutip oleh Sudjana membagi tanggung jawab guru menjadi 5 (lima) kategori yaitu: 1) Tanggung jawab dalam pengajaran. 2) Tanggung jawab dalam memberikan bimbingan. 3) Tanggung jawab dalam kurikulum. 4) Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi. 5) Tanggung jawab dalam membina hubungan dengan masyarakat. 25 Dengan demikian tanggung jawab guru dalam mengembangkan profesi pada dasarnya adalah tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya. Sesungguhnya seorang guru bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau kepada anak didiknya, tetapi guru juga bertanggung jawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Sebagai instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. 2) Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya. 3) Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.26 Sedangkan al-Ghazali menjelaskan dalam kitabnya "Ihya' Ulum al-Din ", ia berkata sebagai berikut: 25 Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 1989), h. 15. 26 Roestiyah. NK, Masalah-masalah Ilmu Keguruan, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 8. 16 Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faidah kepada lainnya clan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memotong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang clapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun: "Dia adalah laksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang lain, dia sendiri terbakar menyala.27 Sudah. jelas seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting, karena pendidikan Islam adalah berintikan agama yang mementingkan akhlak, meskipun guru mempunyai bermacam-macam cabang dan tujuan. Oleh karena itu, guru dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seorang yang mempunyai tugas yang sangat tinggi dalam dunia ini, yaitu memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi, disamping tugas guru mengenalkan anak didik kepada Tuhan. Dengan ini al-Ghazali telah mengangkat status guru dan menumpukkan kepercayaannya kepada guru yang dinilainya sebagai pemberi petunjuk (mursyid) dan pembina rohani yang terbaik. Guru adalah bekerja menyempurnakan, mengangkat derajat, membersihkan dan menggiringnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jadi, mengajar ilmu termasuk pengabdian kepada Allah, sekaligus mengemban amanah Allah SWT yang terbesar. Selanjutnya, al-Ghazali jelaskan pula keutamaan mengajar dan kewajiban melaksanakannya bagi orang berilmu. Al-Ghazali sebutkan bahwa orang yang mengetahui tapi tidak menyebarkan ilmunya, tidak diamalkan dan tidak pula diajarkan kepada orang lain, maka orang tersebut sama saja seperti mengumpulkan harta untuk disimpan tanpa dapat dimanfaatkan siapapun. Dengan demikian tampaklah bahwa secara umum guru bertanggung jawab sangat besar, yaitu menghantarkan murid dan manusia terdidik yang mampu menjalankan tugas-tugas ketuhanan. Guru tak sekedar menyampaikan materi pelajaran, tetapi bertanggung jawab Pula memberikan wawasan kepada murid 27 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, terj. Ismail Ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979), h. 212. 17 agar menjadi manusia yang mampu menggali ilmu pengetahuan dan menciptakan lingkungannya yang menarik dan menyenangkan. Pendidikan kesusilaan, budi pekerti, etika, moral maupun akhlak bagi murid bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi agama atau yang ada kaitannya dengan budi. Dengan demikian, Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia rnenuntut adanya kesamaan arah dari seluruh unsur yang ada, termasuk unsur pendidikannya. C. Syarat-syarat Guru Secara sederhana, ada dua syarat umuk menjadi guru yaitu pertama, menguasai materi pelajaran dan kedua, mampu menyampaikan materi tersebut kepada anak didiknya. Akan tetapi dalam kenyataannya, dua hal tersebut sangat tidak efektif dalam proses belajar mengajar karena banyak permasalahan yang kompleks dalam proses tersebut. Sehingga apabila guru hanya membekali dirinya dengan dua syarat tersebut, maka sudah pasti tujuan pembelajaran yang ingin dicapai akan sulit bahkan gagal. Stilman. H mengatakan ada beberapa syarat-syarat guru diantaranya: 1) Mempunyai komitmen yang kuat terhadap tugas dan program. 2) Komitmen terhadap pelayanan publik. 3) Bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional. 4) Memiliki daya tanggap (responsiveness) dan akuntabilitas (accountability). 5) Memiliki derajat otonomi yang. penuh rasa tanggung jawab dalam membuat keputusan. 6) Memaksimalkan efisiensi dan kreativitas.28 Ani M. Hasan mengatakan perlu adanya persyaratan profesionalisme guru, agar melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu sebagai berikut: 1) Memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; 28 Desi Fernanda, Etika Organisasi Pemerintah, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2003), h. 74. 18 2) Penguasaan ilmu yang kuat; 3) Keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan 4) Pengembangan profesi secara berkesinambungan. 29 Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional. Mengenai syarat-syarat guru, Ibn Jama'ah mengatakan bahwa seorang guru harus menghiasi dirinya dengan akhlak seorang yang beragama, bersikap zuhud dan qana’ah serta berkepribadian agamis, yaitu memelihara dan menegakkan syariat Islam. Sementara itu, Ibn Khaldun dan Ibn al-Azraq berpendapat salah satu syarat seorang guru adalah ia harus menjauhi sikap berpolitik.30 Abuddin Nata mengatakan bahwa seorang guru paling tidak memiliki empat syarat. Pertama, syarat keagamaan, yaitu tunduk dan patuh melaksanakan syariat Islam dengan sebaik-baiknya. Kedua senantiasa berakhlak yang mulia yang dihasilkan dari pelaksanaan syariat Islam tersebut. Ketiga senantiasa meningkatkan kemampuan ilmiahnya sehingga benar-benar ahli dalam bidangnya. Keempat, mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat pada umumnya.31 Al-Ghazali secara terinci telah menetapkan syarat-syarat guru sebagai berikut: 1) Guru harus belas kasih kepada orang-orang yang belajar dan memperlakukan mereka seperti memperlakukan anak-anaknya.32 2) Guru harus mengikuti pemilik syara' (Nabi) SAW. la tidak meminta upah karena memberikan ilmu, dan tidak bermaksud balasan dan terima kasih dengannya. Tetapi ia mengajar karena mencari keridhaan Allah dan mencari pendekatan diri kepada-Nya.33 29 Ani M. Hasan, “Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan” , dalam UNM, Malang, 13 Juli 2003, h. 1. 30 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid ...., h. 92. 31 Abuddin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid ...., h. 93. 32 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’ ...., h. 171-172 33 Ibid., h. 172 19 3) Guru tidak boleh meninggalkan sedikitpun dari nasihat-nasihat guru. 34 4) Guru harus mencegah murid-muridnya dari akhlak yang buruk dengan jalan sindiran, sedapat mungkin dengan terang-terangan, dengan jalan kasih sayang, tidak dengan jalan membukakan rahasia. Karena terangterangan itu termasuk tirai kewibawaan dan menyebabkan berani menyerang karena perbedaan pendapat, dan menggerakan kelobaan untuk terns-menerus. 35 5) Guru harus menghormati ilmu-ilmu yang dimiliki orang lain, di luar pengetahuannya dan keahliannya di kalangan muridnya.36 6) Guru harus mengukur kemampuan muridnya, sehingga memberikan ilmu itu sesuai dengan kadar kemampuan murid, dan pemahamannya.37 7) Guru seyogyanya menyampaikan kepada murid yang pendek (akal) akan sesuatu yang jelas dan patut baginya, dan ia tidak menyebutkan kepadanya bahwa di balik ini ada sesuatu yang dinilai, dimana ia menyimpannya.38 8) Guru harus. mengamalkan ilmunya. Janganlah ia mendustakan perkataannya karena ilmu itu diperoleh dengan pandangan hati sedangkan pengamalan itu diperoleh dengan pandangan mata. Padahal pemilik pandangan mata itu lebih banyak.39 Apabila syarat-syarat guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. D. Kriteria Guru yang Berakhlakul Karimah Zakiah Daradjat, merumuskan persyaratan kepribadian bagi seorang guru adalah sebagai berikut : 34 Ibid., h. 174 Ibid., h. 174 36 Ibid., h. 176 37 Ibid., h. 177 38 Ibid., h. 179 39 Ibid., h. 180 35 20 Suka bekerjasama, dengan demokratis, penyayang, menghargai kepribadian anak didik, sabar, memiliki pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang brmacam, macam, perawakan yang menyenangkan dan kelakuan baik, adil dan tidak memihak, toleran, mantap, dan stabil, ada perhatian terhadap persoalan anak didik, lincah, mampu memuji perbuatan baik dan menghargai anak didik cukup dalam pengajaran, serta mampu memimpin secara baik.40 Sedangkan menurut al-Abrasyi, seorang pendidik Islam harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, diantaranya: 1) Memiliki sifat zuhud, dan mengajar karena mencari ridho Allah SWT. 2) Seorang guru harus suci dan bersih dari dosa besar, sifat riya (mencari nama), dengki, permusuhan perselisihan dan lain-lain sifat yang tercela 3) Ikhlas dalam pekerjaan, keikhlasan dan kejujuran seorang guru di dalam 'pekerjannya merupakan jalan terbaik kearah suksesnya di dalam tugas dan sukses murid-muridnya. 4) Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil. Berkepribadian dan mempunyai harga diri. 5) Seorang guru harus mencintai murid-muridnya, seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri. Bahkan seharusnya ia lebih mencintai murid-muridnya daripada anaknya sendiri. 6) Seorang harus mengetahui tabiat, pembawaan, adab, kebiasaan, rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik muridmuridnya. 7) Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya sehingga mata pelajaran yang diajarkannya tidak akan bersifat dangkal. 41 40 Zakiah darajat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 44. Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Terj. Syamsuddin Asyrofi, (Jakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h. 66-70 41 21 Sedangkan Siti Meichati menyatakan tentang persyaratan kepribadian guru adalah perhatikan dan kesenangan anak didik, kecakapan merangsang anak didik untuk belajar dan mendorong untuk berfikir, simpati, kejujuran, dan keadilan, sedia menyesuaikan diri dan memperhatikan orang lain, kegembiraan dan antusiasme, luas perhatiannya, adil dalam tindakan, menguasai diri, serta mengusai ilmu".42 Kemudian Al-Ghazali dalam "Ihya' Ulum al-Din" mengemukakan syarat-syarat kepribadian seorang pendidik sebagai berikut: 1) Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima dengan baik. 2) Senantiasa bersifat kasih dan tidak pilih kasih. 3) Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer. 4) Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya. 5) Bersikap tawadhu' dalam pertemuan-pertemuan. 6) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main. 7) Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua muridmuridnya. Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang-orang bodoh. Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya. 8) Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah yang tidak dimengerti. 9) Menampilkan hujjah yang benar. Apabila is berada dalam hak yang salah, bersedia ruju' kepada kebenaran.43 Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa persyaratan akhlak dan kepribadian guru selain seorang guru harus memiliki tabiat yang baik dalam dirinya sendiri juga harus memiliki akhlak dan kepribadian yang baik saat menghadapi peserta didik dalam proses belajar mengajar. 42 43 Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: FIP IKIP, 1982), h. 67. Zainudin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), Cet. I,h. 55. 22 C. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Untuk hasil penelitian yang relevan ini, penulis menyajikan tiga skripsi dari beberapa judul, tujuannya untuk mengkomparasi hal-hal penting dari beberapa skripsi. Diantaranya: (a) skripsi yang di buat oleh Zakiyah Husnul Karomah NIM 203011001521 tahun 2009 UIN Jakarta dengan judul “Profil Ayah dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Kepribadian anak” studi penelitian di wilayah Rw 09 Kel. Baru Jakarta Timur. Skripsi ini membahas tentang bagaimana peranan ayah dalam membentuk kepribadian anak. Sosok ayah yang dimaksud yaitu ayah kandung sebagai kepala keluarga dilihat dari keseluruhan aspek baik dari segi wajah, ucapan, pesan, keteladanan, maupun tingkah laku sehari-hari. Dan anak yang dimaksud usia 10-15 tahun yang berada di wilayah tersebut. Kesimpulan dari skripsi ini adalah sifat dan sikap ayah yang baik terhadap anaknya dalam upaya meningkatkan kepribadian anak di wilayah Rw 09 Kelurahan Baru Jakarta Timur sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Seperti yang ada di jawaban angket yaitu seorang ayah selain memberikan nafkah juga sangat berperan dalam mendidik anak-anaknya melalui perhatian dan kasih sayang. Skripsi ini menggunakan penelitian kuantitatif. (b) skripsi yang dibuat oleh Syarif Hidayatullah NIM 1060110000195 tahun 2011 UIN Jakarta dengan judul “Perhatian Orang Tua Dalam Upaya Pembentukan Kepribadian anak” studi penelitian di Rw 04 Kel. Gondrong Kec. Cipondoh kota Tangerang. Skripsi ini membahas bagaimana orang tua memperhatikan kepribadian anak. Orang tua yang dimaksud yaitu terdiri dari ibu dan ayah, yang dari keduanya memiliki peran dalam memperhatikan anak. Kesimpulan dari penelitian di lingkungan tersebut dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara perhatian orang tua dengan pembentukan kepribadian anak di lingkungan tersebut. Bahwa baik dan buruknya kepribadian anak yang terbentuk itu tergantung dari tinggi dan rendahnya perhatian orang tua yang diberikan kepada anak. Skripsi ini menggunak penelitian kuantitatif. Sehingga perbandingannya dengan skripsi yang dibuat penulis adalah penulis menggunakan sosok ibu sebagai peran utama dalam membentuk kepribadian anak, tidak hanya bentuk perhatian yang dilakukan oleh ibu melainkan berbagai metode lainnya 23 yang digunakan dalam skripsi ini dan anak yang diharapkan dari seorang ibu adalah anak sholeh. Dan penulis juga menggunakan penelitian kepustakaan (library research). (c) Skripsi yang dibuat oleh Nur Azizah NIM 1060110000139 tahun 2011 UIN Jakarta dengan judul “Pelaksanaan Pendidikan Akhlak Dalam Membentuk Kepribadian Muslim” studi penelitian pada kelas VIII MTs AlIslamiyah Jakarta Barat. Skripsi ini membahas tentang apakah pendidikan akhlak di MTs ini bisa membentuk kepribadian muslim?. Pendidikan akhlak yang dimaksud adalah tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian meliputi hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu. Sedang kepribadian muslim yang dimaksud adalah kepribadian yang seluruh aspeknya yakni baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatannya, maupun filsafat hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan. Jadi kesimpulan dari skripsi ini adalah pendidikan akhlak yang digunakan dengan tujuan membentuk kepribadian muslim yaitu dengan berbagai macam metode seperti keteladanan, latihan, pembiasaan, nasihat, pujian dan hukuman. Skripsi ini menggunakan penelitian kuantitatif. Adapun perbandingannya dengan skripsi yang dibuat oleh penulis adalah penulis menggunakan sosok ibu sebagai peran utama dalam membentuk kepribadian anak, darinyalah seorang ibu memberikan teladan, bimbingan perilaku sehingga anak yang diharapkan menjadi anak sholeh kelak. Penulis juga lebih khusus menitik beratkan kepada anak saja dalam hal kepribadian, tidak melebar luas, dan penulis juga menggunakan penelitian kepustakaan (Library research). Kesimpulan dari ketiga judul skripsi yang penulis ambil dengan tujuan untuk mengkomparasi atau membandingkan dengan skripsi yang penulis buat, secara khusus skripsi-skripsi itu dibuat dengan penelitian kuantitatif yaitu meneliti mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya, dengan disertai table, grafik, bagan, gambar atau tampilan lain. Dan subjek dari skripsi-skripsi itu bersifat luas seperti: perhatian orang tua, pendidikan akhlak. Hanya satu dari ketiga itu saja yang bersifat khusus yaitu profil ayah. Dan kesemuaanya sama-sama membahas tentang kepribadian. 24 Sedangkan perbandingan dari skripsi yang penulis buat berjudul “ akhlak Guru Menurut al-Ghazali”. Adapun subjek dari skripsi ini bersifat khusus yaitu membahas tentang” akhlak guru” yakni bagimana sosok guru memberikan peranannya kepada anak didiknya dengan baik dalam membentuk kepribadian, sehingga hasilnya anak didiknya memiliki perilaku yang baik dan menjadi anak yang sholeh dambaan setiap umat sesuai dengan pandangan Islam. Dan metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan teknik analisis deskriptif. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan membaca, menelaah buku-buku, majalah,surat kabar dan bahan-bahan informasi lainnya, terutama yang berkaitan dengan judul skripsi yang dibuat oleh penulis 25 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali a. Arti Pendidikan Akhlak Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang banyak memberikan perhatian dan penelitian dalam ilmu akhlak, sehingga hampir dalam kitabkitab yang dikarangnya selalu ada hubungannya dengan materi pendidikan akhlak, seperti kitab Ihya’ Ulumu al-Din atau Mizan al-Amal. Berbicara tentang pendidikan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. AlGhazali mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak, sebagaimana al-Ghazali katakan dalam kitab Mizan al-Amal: yang dikutip dan diterjamahkan oleh Zaenuddin, dkk “tujuan murid dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.1 Pendapat al-Ghazali didukung Athiyah Abrasyi yang mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.2 Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.3 Senada dengan hal itu Sikun Pribadi mengatakan bahwa: “Psycho-Hygiene sebagai satu aspek daripada tujuan pendidikan. Psycho-Hygiene atau kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi yang mutlak untuk produktif, kreatif dan 1 Zainuddin, dkk, Seluk BelukPendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi aksara, 1991), cet.1, h. 44. 2 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. II, h. 15. 3 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, al-Ma‟arif, 1980), cet. IV, h. 48-49. 29 progresif. Sebab sebelum kondisi itu terjadi kita tidak akan memperoleh manusia yang dapat melaksanakan segala cita-cita yang luhur”.4 Selain itu, Mahmud Yunus mengatakan”tugas yang pertama dan terutama yang terpikul atas pundak alim ulama, guru agama dan pemimpin Islam ialah mendidik anak-anak, para pemuda, putra-putri, orang-orang dan masyarakat umumnya supaya semuanya itu berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang halus”.5 Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak menurut al-Ghazali pada hakikatnya adalah tujuan utama pendidikan itu sendiri, karena akhlak adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu Negara. Menurut al-Ghazali akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguhsungguh. Sebagaimana al-Ghazali katakan “seandainya akhlak itu tidak menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan dan tidak pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan “perbaiki akhlak sekalian”.6 Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur‟an surat ar-Ra‟ad (13) ayat 11: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila 4 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan FIP IKIP, 1982), h.56. 5 Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hida Karya Agung,1978), h. 12. 6 Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz.III, (Beirut: Darul al-Fikri, t.t), h.54. 30 Allah menghendaki keburukan terhadapa suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain dia.7 Hal ini sejalan dengan pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pembahasan akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu adalah yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Kedua watak terseebut menurut Ibnu Miskawaih bahwa watak itu hakikatnya tidak alami, walaupun kita diciptakan dengan menenrima watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.8 Sama halnya dengan yang dikatakan Abuddin Nata bahwa pembentukan atau pendidikan akhlak diartikan sebagai usaha sungguhsungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten.9 Pendapat al-Ghazali berbeda dengan Nativisme yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1778-1860), dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa bakat mempunyai peranan penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan „merubah emas jadi perak‟ jadi suatu hal yang tidak mungkin. Dengan demikian faktor lingkungan dan pendidikan menurut aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. dalam pendidikan ilmu aliran ini dikenal sebagai aliran Pedagogik Pesivisme yaitu pendidikan yang tidak dapat dipengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh pendidik.10 Senada dengan aliran empirisme dipelopori oleh John Locke (1632-1704). Beliau mengatakan bahwa pendidikanitu perlu sekali. Teori ini dikenal dengan teori tabularasa. Menurut teori ini lingkunganlah yang 7 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Terjamah,(Jakarta:Karya Mulya, 2012),h.337. Ibnu Miskawaih, Tahdzib al akhlak wa Tathhir al-A’raq, (Beirut: Mansyurrah Dar alMaktabah al-Hayat, 1398 H), h. 25. 9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 156. 10 Amir Dien Indrakusuma, op.cit., h. 83. 8 31 menjadi penentu pekembangan seseorang. karena baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan atau pendidikan. Berbeda dengan aliran Nativisme, para ahliyang mengikuti aliran „Empirisme‟ berpendapat bahwa perkembangan itu sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkungan/pendidikan sedangkan faktor dasar/pembawaaan tidak berpengaruh sama sekali.11 Pendapat al-Ghazali sejalan dengan aliran konvergensi dipelopori oleh William Stem (1871-1938). Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi pendidikan itu perlu sekali, tetapi semua ini terbatas karena bakat daripada anak didik. Aliran ini menjembatani atau memenengahi kedua teori sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori Nativisme, sesuai dengan namanya Konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.12 Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak itu sangat diperlukan, karena akhlak seseorang dapat dirubah dengan jalan pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh orang tua, guru ataupun lembaga pendidikan. Secara tidak langsung, al-Ghazali tidak sependapat dengan aliran nativisme yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah instinct (garizah) yang dibawa sejak lahir, sehingga orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya, demikian pula sebaliknya. b. Sistem Pendidikan Akhlak Perhatian Islam terhadap pendidikan akhlak dapat pula dilihat terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan 11 Alifus Sabri, Pengembangan Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. I, h. 173. 12 Amir Dien Indrakusuma, op.cit., h. 83. 32 yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagian pada seluruh kehidupan manusia.13 Hal ini sejalan dengan Yatimin Abdullah, yang mengatakan bahwa pendidikan akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.14 Sistem pendidikan akhlak menurut al-Ghazali terbagi dua yaitu pendidikan non formal dan formal, al-Ghazali berkata: Pendidikan akhlak ini, berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya, bila anak telah mulai Nampak daya khayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al-hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Di samping itu, pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan kepribadian anak-anak. yang kedua yaitu pendidikan formal, bila anak sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan ke sekolah yang baik, dimanaia diajarkan al-Qur‟an, hadits dan hal-hal yang bermanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan didepan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi permainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak.15 Yatimin Abdullah mengatakan bahwa pendidikan akhlak Islam merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.16 Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orangtua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan 13 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Ter. Moh. Rifa‟i dari judul asli Khluk al-Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), h. 13. 14 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2007), h. 22. 15 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu al-din, (Kairo: Daar al-Takwa, 2000), h. 624-627. 16 Yatimin Abdulah, op.cit., h. 22. 33 buruk bagi perkembangan generasi. Demikian pula pendidikan di rumah serta pergulan. Dalam kontek ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pendidikan ditentukan oleh titik temu faktor pembawaan anak dan pendidikan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.17 c. Tujuan Pendidikan Akhlak Al-Ghazali menjelaskan yang disebut dengan al-sa‟adah yaitu mampu hidup dengan baik di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan ini dapat dicapai kalau dalam kehidupan manusia ada satu nilai baik (al-khair) atau nilai tambah (al-fhadail), oleh al-Ghazali dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Nilai intelektual dan sikap moral yang meliputi ilmu pengetahuan, hikmah, kebijaksanaan, kesucian, sifat-sifat baik, keberanian, moral, dan cinta keadilan. b. Nilai fisik dan energi yang meliputi kesehatan jasmani dan rohani, kemampuan psikis, ketampanan, dan kecantikan serta umur panjang. c. Nilai tambah yang bersifat spiritual berupa hidayah Allah SWT, petunjuk kebenaran-Nya serta perlindungan-Nya.18 Senada yang dikatakan Ibnu Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong melakukan perbuatan yang benilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh kebahagian disisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan prilaku yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan memperoleh kebahagian (al-sa‟adah).19 Pendapat al-Ghazali ini tidak berbeda dengan 17 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1, h. 113. Mahjuddin, Konsep Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya Dalam Hadis, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000), cet. 1, h. 5. 19 Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin press, 1997), h. 70. 18 34 Abdul Hak Ansari yang mengatakan “al-sa‟adah” merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagian (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perpection), kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautifulness)”.20 Sama halnya yang dikatakan Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan akhlak akan membawa kebahagian bagi individu dan masyarakat pada umumnya, juga kebahagian hidup di dunia dan akhirat.21 Dari penjelasan tersebut, al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak adalah al-sa’adah yaitu kebahagian di dunia dan akhirat, bahwa individu yang memiliki akhlak yang baik akan mendapat kebahagian di dunia maupun di akhirat. Dan untuk mencapai kebahagian tersebut, individu tersebut harus memiliki tiga hal dalam dirinya yaitu nilai intelektual dan moral, nilai fisik dan energi serta nilai tambah yang berasal dari Allah SWT. d. Metode Pendidikan Akhlak Perhatian Islam dalam pendidikan akhlak dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Hasil analisis al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep pendidikan akhlak. Seperti rukun Islam yang ketiga yaitu zakat, yang mengandung pendidikan akhlak, yaitu agar orang yang melaksanakan zakat membersihkan dirinya dari sifat kikir, dan membersihkan hartanya dari hak orang lain. Al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat zakat adalah membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih mulia.22 Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Abuddin Nata pendidikan akhlak yang ditempuh Islam adalah menggunakan cara atau sistem yang 20 Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 11-12. 21 Abuddin Nata, op.cit., h. 170-171. 22 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, terj. Moh. Rifa‟i dari judul asli Khluk al-Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), h. 12. 35 integrated, yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.23 Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik akhlak dengan mencontoh, latihan, pembiasaan (drill) kemudian anjuran dan larangan sebagai alat pendidikan dalam rangka membina anak sesuai dengan ajaran Islam. Proses pembentukan kepribadian ini berlangsung secara perlahan dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan. A. Metode pembiasaan Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan: Apbila anak dibiasakanuntuk mengamalkan apa-apa yang baik, dibeeri pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh diatas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya dan semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak itu sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagaimana seseorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan kepada orang (orang tua, pendidik) yang bertanggung jawab untuk memelihara dan mengasuhnya.24 Berkenaan dengan ini al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabi‟atnya yang mendarah daging.25 B. Metode keteladanan 23 Abuddin Nata, op.cit., h. 162. Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan…, h. 107. 25 Imam al-Ghazali, Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din, (Kairo: Maktabah al-Hindi, t.t), h. 99, lihat pula Asamaran. AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), cet. II, h. 162-163. 24 36 Al-Ghazali mengatakan: “Akhlak yang baik baik tidak dapat dibentuk dengan pelajaran, intruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup hanya dengan seorang guru mengatakan kerjakan ini dan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidaka akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata”.26 C. Metode Latihan (Drill) Al-Ghazali berkata: Jikalau anak itu sudah mencapai usia antara tujuh tahun hingga sepuluh tahun pada saat itu tentulah ia sudah dapat disebut tamyiz yakni dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan buruk, maka janganlah sekali-kali anak itu diberi kesempatan atau diizinkan meninggalkan beersuci secara agama dan lebih-lebih lagi shalat. Dalam bulan Ramadhan hendaklah ia diperintahkan puasa dengan cara yang baik, tentu saja sebagai latihan bolehlah beberapa hari dulu dan tahun berikutnya ditambah lagi sehingga akhirnya berpuasa penuh selama sebulan.27 D. Metode Anjuran dan Larangan Al-Ghazali mengatakan: “Dan janganlah anak itu diperkenalkan biasa berludah di tempat yang bukan semestinya, yakni dimana saja ia berada di situlah ia berludah dengan semaunya, jangan pula beringus dengan menguap tanpa menutupi mulutnya di hadapan orang lain, tidak baik pula kialau ia membelakangi orang lain”.28 Menurut al-Ghazali ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan memohon karuni Allah dan sempurnanya fitrah (kejadian), agar nafsu sahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a‟lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu itu disebut 26 Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Terj. Moh. Rifa‟i dari judul asli Khulukal-Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), h. 16. 27 Zainuddin, op.cit, h. 116. 28 Ibid., h. 112. 37 29 juga dengan ladunniah. Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatanperbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, berubah dengan pendidikan latihan.30 Begitu terincinya penjelasan al-Ghazali tentanng metode pendidikan akhlak al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan akhlak telah tercermin di seluruh aspek ibadah dalam rukun Islam. Secara tidak langsung ibadah-ibadah tersebut telah mendidik mereka yang melaksanakannya menjadi pribadi-pribadi yang baik dan bahagia. Selanjutnya al-Ghazali memaparkan metode-metode untuk mendidik akhlak diantaranya metode pembiasaan, metode latihan, metode keteladanan, metode anjuran dan larangan. Selain itu pendidikan akhlak juga dapat dilakukan dengan cara mujahadah dan pembiasaan untuk berbuat baik atau dengan cara mujahadah dan riyadhoh. B. Kriteria Akhlak Guru yang Ideal Sebelum membahas akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian akhlak, pengertian guru, profesi guru serta tugas dan kewajiban guru menurut al-Ghazali. Akhlak guru yang ideal yang akan dibahas dalam bab ini adalah akhlak guru terhadap dirinya sendiri (kepribadian guru) dan akhlak guru kepada murid. 1. Pengertian Akhlak Menurut al-Ghazali akhlak adalah “al-Khuluk” (jamaknya alakhlak) ialah ibarat (sifat atau keadaan) dari prilaku yang konstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, dari jiwanya timbul perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”.31 Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak, 29 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, Terj. Nailul Umam Wibowo, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 72-73. 30 Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Kairo: Daar al-Takwa, 2000), h. 601-602. 31 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan …,h. 102. 38 bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa melakukan penelitian terlebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cenderung kepada kekejian.32 Akhlak bukan merupakan “perbuatan” bukan “kekuatan”, bukan “ma‟rifah” (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu “hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya menahan atau member. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari” keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah”. 33 Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang dikemukakan Ibnu Miskawaih, tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah “keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Ia tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu.34 Sama seperti yang dikatakan Ibrahim Anis bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.35 M. Abdullah Dirroz juga berkata bahwa akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat).36 Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan tokoh lainnya. Ia membagi akhlak menjadi yang baik 32 Al-Ghazali, Ihya Ulumu al-Din, (Kairo: Dar al-Takwa, 2000), jilid II, h. 599. Ibid, h. 599. 34 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Bandung: PT. Raja Grafindo, 2003), cet. II, h. 4. 35 Ibid., h.4. 36 H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2005), cet. III, h. 14. 33 39 atau mahmudah dan madzmumah atau buruk.37 Dalam Ihya Ulumu alDin, al-Ghazali membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyat). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabur serta riya. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.38 Jadi akhlak berasal dari kata (al-khuluq) yang berarti prilaku, selanjutnya al-Ghazali menerangkan adalah perilaku yang tetap yang berasal dari dalam jiwa, sehingga menghasilkan perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa adanya pemikiran sehingga menghasilkan perbuatan yang baik atau buruk. 2. Pengertian Guru Kata guru beasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa inggris dijumpai kata teacher yang berarti pengajar.39 Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikkan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasandan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patutu dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya. Al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata seperti, almuallimin (guru). 40 pendapat al-Ghazali ini berasal dari istilah bahasa Arab yaitu al-alim (jamaknya ulama) atau al-Mualim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan 37 Abuddin Nata, op.cit., h. 43. Abdullah Amin, Antara Ghazali dan Kant, (Bandung: Mizan, 2002), h. 2. 39 John M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Bandung: Gramedia, 1982), h. 581.selain itu terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar di rumah, mengajar ekstra, memberi les tambahan pelajaran, educator, pendidik, ahli didik, lecturer, pemberi kuliah, penceramah dalam kamus bhasa Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982, h. 608, 207, dan 353. 40 Zainuddin, dkk, op.cit., h. 50. 38 40 pendidikan untuk menunjuk pada arti guru.41 Selain itu, kata al-alim diungkap dalam bentuk jamak, al-Alimuun yang terdapat dalam surat alAnkabut (29) ayat 43. Kata tersebut dalam ayat yang dimaksud digunakan dalam hubungannya dengan orang-orang yang mampu menangkap hikmah atau pelajaran yang tersirat dalam berbagai perumpamaan yang diceritakan dalam al-Qur‟an.42 Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Abuddin Nata bahwasanya guru berasal dari kata al-alim berarti seorang guru yang harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, sehingga mampu menangkap pesanpesan, hikmah, petunjuk, dan rahmat dari segala ciptaan Tuhan serta memiliki potensi batiniyah yang kuat sehingga ia dapat mengarahkan hasil kerja dari kecerdasan untuk diabdikan kepada Tuhan.43 Menurut alGhazali guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT.44 Abuddin Nata menambahkan, al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.45 Pendapat al-Ghazali diperkuat oleh Ramayulis yang menyatakan bahwa seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah “orang yang memikul tanggung jawab untuk membimbing”.46 Di buku lain Ramayulis memaparkan, pendidik tidak sama dengan pengajar, sebab pengajar itu 41 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf …, h.41. Ibid., h. 43. 43 Ibid., h. 47. 44 Zainuddin, dkk, op.cit., h. 53. 45 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2000), cet. I, h. 95-99. 46 Ramayulis, Didaktik Metodik, (Padang: Fakults Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 1982), h. 42. 42 41 hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada murid. Prestasi tertinggi yang dapat dicapai seorang pengajar apabila ia berhasil membuat pelajar memahami dan menguasai materi pengajaran yang diajarkan kepadanya. Tetapi seorang pendidik bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pengajaran kepada murid saja tetapi juga membentuk kepribadian seorang anak didik bernilai tinggi.47 Suryasubrata menjelaskan bahwa guru berarti juga orang dewasa dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaanya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. Dan meampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai mahkluk individu yang mandiri.48 Senada yang dikatakan Ahmad Tafsir bahwa pendidik sebagaimana teori barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang beertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa). Pendidik disini adalah mereka yang memberikan pelajaran peserta didik, yang memegang suatu mata pelajaran tertentu di sekolah.49 Selanjutnya dijumpai pula pendapatnya al-Ghazali hendaknya seorang guru tidak mengharapkan imbalan, balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi dengan mengajar itu bermaksud mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.50 Sama seperti pendapat Zakiah Daradjat, dan kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati benar-benar keindahan dan kemuliaan tugas ini, karena boleh jadi karena boleh jadi itu sebenarnya tidak sengaja mengajar, akan 47 48 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998) cet. II, h. 36. Suryasubrata. B, Beberapa Aspek Dasar Kependidikan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 26. 49 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), h. 74-75. 50 Muhammad al-Ghazali, Ihya ulumu al-Din, terj. Moh. Rifa‟i, (Semarang: CV. Mizan, 1979), cet. IV. H. 214. 42 tetapi ia menjadi guru hanyalah untuk mencari nafkah, maka pekerjaannya sebagai guru dinilai dari segi material. Apabila yang dipandang mater atau hasil lansung yang diterimanya tidak seimbang dengan beban kerja yang dipikulnya, maka ia akan mengalami kegoncangan. Sehingga tindakan dan sikapnya terhadap anak didik akan terpengaruh pula. Hal itupun dapat merusak nilai pendidikan yang diterima oleh anak didik.51dapat dipahami bahwasanya pendapat alGazhali tentang guru hampir sama dengan pendapat para tokoh pendidikan masa kini, akan tetapi al-Ghazali lebih luas dalam memberi pengertian guru. Al-Ghazali menggunakan istilah dalam memberikan pengertian guru yang berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Muallim (guru). Muallim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi dan implementasi. Secara luas al-Ghazali menjelaskan bahwa guru adalah seorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati muridnya mendekatkan kepada Allah SWT, juga seorang guru harus memiliki kesempurnaan akal dan fisiknya, memiliki akhlak yang baik dan mengharapkan gaji. 3. Profesi Guru Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi alas an dalam profesi guru yaitu: a. Alasan yang berhubungan dengan sifat naluriyah Dalam kitab Ihya Ulum al-Din ia menyebutkan “apabila ilmu itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu”.52 Jadi profesi guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sangat mulia, karrena cara naluri orang yang berilmu 51 52 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 41-42. Zainuddin, dkk, op.cit, h. 50. 43 itu dimuliakan dan dihormati orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka guru sebagai orang yang mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan bagi murid yang diajarkannya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Zainuddin yang mengatakan bahwa guru yang memiliki tugas mulia itu menduduki posotif-status terhormat dan mulia dengan kehormatan dan kemulian itu membawa konsekuensi logis bahwa pengajar lebih dari sekedar petugas gajian.53 b. Alasan yang berhubungan dengan kemanfaatan umum. Al-Ghazali mengatakan: “orang yang mempunyai ilmu itu berada dalam berikut: mencari faedah guna menuntut ilmu, mencari hasil pengetahuan sehingga ia tidak bertanya, dan memberikan wawasan ilmu dan mengajarkannya”.54 Hal ini sejalan dengan perkataan Ali Saifuddin yang menyatakan pekerjaan guru adalah pekerjaan yang paling mulia, sesuai dengan filsafat hidupnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai sikap pengabdiannya, yaitu pelayanan jasa pada masyarakat dan kemanusiaan.55 Begitu pula yang dijelaskan oleh Zainuddin bahwa barang siapa telah mencapai ilmu pengetahuan, kemudian ia dapat mengambil faedahnya selanjutnya diajarkan, maka ia laksana matahari yang bersinar dan menyinari lainnya. Ia adalah laksana kasturi yang dapat mengharumkan dan ia sendiri bau harum.56 Jadi dapat dimengerti bahwa al-Ghazali menjelaskan bahwa kemuliaan mengajar adalah memiliki dua segi kemanfaatan. Pertama bagi orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan itu sendiri akan semakin bertambah pengetahuan dan pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaatnya dan mengambil ilmu pengetahuan sebaikbaiknya. Kedua bagi orang lain yang diberi ilmu pengetahuan, diajar dan dididik akan semakin bertambah pula pengetahuan dan 53 Ibid., h. 51. Ibid., h. 52. 55 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan FIP IKIP, 1982), h. 40. 56 Zainuddin, dkk, op.cit., h. 52. 54 44 pengalamannya, sehingga dapat mengambil manfaat ilmu pengetahuan tersebut. c. Alasan yang berhubungan dengan unsur yang dikerjakan.57 Al-Ghazali menyebutkan: “seorang guru adalah berurusan langsung dengan hati dan jiwa manusia, dan wujud yang paling mulia di muka bumi ini adalah jenis manusia. Bagian paling mulia dari bagian-bagian (jauhar) tubuh manusia adalah hatinya, sedangkan guru adalah adalah bekerja menyempurnakan, membersihkan, dan membawakan hati itu mendekatkan kepada Allah SWT”.58 Senada dengan al-Ghazali, Abuddin Nata menjelaskan bahwa guru dapat membersihkan diri orang lain dari segala perbuatan dan akhlak yang tercela. Sama halnya yang dikatakan Zainuddin bahwa seorang guru adalah orang yang menempati status mulia di muka bumi, ia mendidik jiwa, hati, akal dan roh manusia.59 Urian tersebut menjelaskan bahwa al-Ghazali lewat pengaruh logikanya menganggap posisi guru adalah orang yang paling mulia. Karena guru adalah seseorang yang bertugas membersihkan dan menyempurnakan hati murid-muridnya, yang dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa hati adalah bagian paling mulia dari tubuh manusia. Manakala seoirang guru mampu bekerja secara optimal, yaitu membersihkan dan menyempurnakan hati anak didiknya, maka sudah sepatutnya seorang guru tersebut adalah makhluk yang termulia. 4. Tugas dan Kewajiban Guru Al-Ghazali menjelaskan tentang tugas dan kewajiban seorang pendidik pada bagian khusus dari kitabnya yaitu “Ihya Ulum al-Din”dan “Mizan al-Amal” dengan pembahasan yang luas dan mendalam. Dapat diuraikan sebagai berikut: a. Mengikuti jejak Rasulullah dalam tugas dan kewajibannya. Adapun syarat bagi seorang guru, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya „alim (berilmu, intelektual). 57 Ibid., h. 50-53. Ibid, h. 53. 59 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf…, h.47. 58 45 Tetapi tidak pulalah tiap-tiap orang yang „alim itu layak menempati kedudukan sebagai ganti Rasulullah SAW, itu. Kemudian al-Ghazali berpendapat: “seorang guru hendaknya mengikuti ajaran Rasulullah SAW, maka ia tidak pernah mencari upah, balas jasa dan ucapan terima kasih dalam mengajarkan ilmu pengetahuan. Tetapi maksud mengajar adalah mencari keridhoan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya”60 jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarkan adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata. Akan tetapi, jika hanya untuk memenuhi kebutuhan tidak apa, al-Ghazali melarang jika gaji itu untuk memperkaya diri dan menumpuk harta. b. Memberikan kasih sayang terhadap peserta didik. Al-Ghazali mengatakan “memberikan kasih sayang kepada muridmurid dan memberlakuakan mereka seperti anaknya sendiri”. 61 Dengan demikian seorang guru seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang tua anak didiknya, yaitu mencintai anak didiknya seperti memikirkan keadaan anaknya. Jadi, hubungan psikologis antara kedua orang tua dengan anaknya, seperti hubungan naluriah antara kedua orang tua dan ananya, sehingga hubungan timbal balik yang harmonis tersebut akan berpengaruh positif ke dalam proses pendidikan dan pengajaran c. Menjadi teladan terhadap anak didik Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak”.62 Dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang dikemukakan al-Ghazali dalam pentingnya suri teladan terhadap anak didik, mempunyai relevansi dengan teori-teori pendidikan modern Indonesia. d. Menghormati kode etik guru. 60 Zainuddin, dkk, op.cit…, h. 59. Ibid., h. 61. 62 Ibid., h. 61-62.. 61 46 Al-ghazali mengatakan “Seorang guru yang memegang salah satu vak mata pelajaran, sebaiknya jangan menjelek-jelekan mata pelajaran linnya dihadapan muridnya.”63 Gagasan al-Ghazali itu relevan dengan apa yang dilaksanakan pada dunia pendidikan (Indonesia) dewasa ini yaitu penyelenggaraan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di perguruan tinggi khususnya, yang diberikan pada setiap mahasiswa dari jurusan dan program pendidikan apapun yang arahnya adalah adanya saling menghargai dan menghormati antar disiplin ilmu profesi. Pandangan al-Ghazali tersebut dalam dunia pendidikan sekarang dikembangkan menjadi kode etik pendidikan dalam arti yang luas, misalnya hubungan guru dengan jabatan. Dengan demikian, maka tugas guru adalah mendidik dan mengajar, yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku anak ke arah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Maka gurulah yang betanggung jawab menyediakan dan menciptakan lingkungan yang asri, nyaman dan menyenangkan agar terjadi proses belajar yang efektif. 5. Akhlak Guru yang Ideal Kriteria kepribadian guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki pendidikan yang telah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan „re-education and reconstruction of personality”. Yaitu seorang guru harus menjadi pembaharu dalam pembelajaran yang selama ini salah diterima anak didiknya, serta berusaha untuk memperbaiki dirinya juga muridnya agar menjadi pribadi yang kuat. a. Kepribadian guru Al-Ghazali menjelaskan kepribadian guru yang ideal diantaranya: 1) Sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik. 2) Senantiasa harus bersifat kasih tidak pilih kasih. 63 Ibid., h. 62. 47 3) Jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer. 4) Tidak takabur, kecuali terhadap orang yang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya. 5) Bersikap tawadhu dalam pertemuan-pertemuan. 6) Sikap dan pembicaraannya tidak main-main. 7) Menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya. 8) Menyantuni serta tidak membentak-bentak orang bodoh. 9) Membimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara sebaik-baiknya. 10) Berani berkata: saya tidak tahu, terhadap masalah-masalah yang tidak dimengerti. 11) Menampilkan hujjah yang benar. Apabila ia berada dalam hak yang salah, bersedia ruju‟ kepada kebenaran.64 Dapat disimpulkan dari pemaparan al-Ghazali, dapat diklasifikasikan kepribadian guru terbagi tiga aspek. Pertama, tabiat dan prilaku pendidik, yaitu sabar menerima masalah-masalah yang ditanyakan murid dan harus diterima baik, senantiasa harus bersifat kasih tidak pilih kasih, jika duduk harus sopan dan tunduk, tidak riya/pamer, tidak takabur, kecuali terhadap orang zalim, dengan maksud mencegah dari tindakannya, dan bersikap tawadhu dalam pertemuan-pertemuan. Ibnu Jama‟ah mengatakan bahwa: Seorang guru harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai seorang yang beragama atau sebagai seorang mukmin. Akhlak yang diharuskan atau terpuji tersebut adalah rendah hati, khusyu, tawadhu, dan berserah diri kepada Allah SWT. mendekatkan diri kepada-Nya, baik dalam keadaan terang-terangan maupun tersembunyi, selain itu juga harus bersikap zuhud dan qanaah. Dalam kaitan ini seorang guru harus menyedikitkan makan dan bersikap sederhana dalam berpakaian, sesuai dengan kadar kebutuhan pokok, 64 Ibid., h. 56-57. 48 yaitu mengambil dunia sekedar untuk mencukupi dirinya dan keluarga.65 Selain itu menurut Ibnu Jama‟ah: “seorang guru harus mempunyai kepribadian agamis, artinya memlihara dan menegakkan syariat Islam, termasuk hal-hal yang disunahkan menurut syariat baik ucapan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur‟an, mengingat Allah baik dengan hati maupun dengan lisan dan menjaga keagungan Nabi ketika disebutkan namanya”.66 Pendapat al-Ghazali juga seperti diungkapkan Majdah Hanusi Saruji yakni: Akhlak pribadi guru adalah ia berniat dalam mengajar untuk mencapai keridhaan Allah, bukan untuk tujuan yang bersifat duniawi, seperti memperoleh harta benda, kegagahan, ketenaran, atau menjadi kelompok elit yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Berakhlak yang baik sesuai dengan ketentuan syara‟, menjauhkan diri dari sifat hasud, riya, merasa besar diri merendahkan orang lain yang tidak sederajat, memelihara ilmu dari kemungkinan hilang atau tercemar dengan perbuatan buruk.67 Begitu pula yang dijelaskan Abuddin Nata bahwa seorang guru harus memiliki syarat keagamaan, yaitu patuh dan tunduk melaksanakan syariat Islam, lalu senantiasa berakhlak yang mulia yang dihasilkan dari pelaksanaan syariat tersebut.68 Kemudian kesimpulan dari pemaparan alGhazali tentang kepribadian guru yang ideal yang kedua, keteraampilan mengajar serta perhatian terhadap proses belajar mengajar yakni sikap dan pembicaraannya tidak main-main, menanam sifat bersahabat di dalam hatinya terhadap semua murid-muridnya, menyantuni serta tidak membentak-bentak orang bodoh dan memebimbing dan mendidik murid yang bodoh dengan cara yang sebaik-baiknya. Senada perkataan Ibnu Khaldun: 65 Abd al-Amir Syams al-Din, al-Mazhab al-Tarbawi ‘ind Ibnu Jama’ah, (Beirut: Dar Iqra, 1404 H/1984 M), h. 23. 66 Ibid., h. 20. 67 Majdah Hanusy Saruji, Thuruq al-Ta’lim fi Allah Islam, (Israel: Syifa Amaru alMa‟arif al-Tsaqafi, tt) , cet II, h. 50. 68 Abuddin Nata, op.cit, h. 93. 49 Seorang guru harus mengajar secara bertahap, mengulang-ulang sesuai dengan pokok pembahasan dan kesanggupan murid, tidak memaksakan atau membunuh daya nalar siswa, tidak berpindah satu topik ke topik lain, sebelum topik petama dikuasai, tidak memandang kelupaan sebagai sebagai suatu aib, tetapi agar mengatasinya dengan jalan mengulang, jangan bersikap keras kepada murid. Seorang guru juga harus membiasakan diskusi dan tukar pikiran dengan murid, memilih bidang kajian yang disukai murid, mendekatkan murid pada pencapaian tujuan, memperlihatkan tingkat kesanggupan murid dan menolongnya agar murid tersebut memahami pelajaran.69 Abuddin Nata mengatakan bahwa kepribadian guru bersifat komprehensif karena mencakup hampir semua masalah yang perlu dikuasai guru, yaitu dari hal motivasi mengajar, perlakuan demokratis dan manusiawi terhadap siswa, teknik dan urutan penyampaian mata pelajaran, memotivasi siswa, teknik memberikan pertanyaan serta etika memulai mengajar.70 Kemudian kesimpulan ketiga, sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran yaitu barni berkata : “saya tidak tahu”, terhadap masalah-masalah yang tidak dimengerti dan menampilkan hujjah yang benar. Hampir sama dengan Abdullah Badran yang mengatakan “jika da orang yang bertanya tentang sesuatu yang ganjil maka janganlah orang yang bertanya itu diremehkan atau dihina, dan apabila ditanya tentang sesuatu yang belum diketahuinya atau menyimpang dari topik pembahasannya, maka katakanlah bahwasanya saya belum tahu atau saya tidak menjelaskannya, dan jangan malu mengatakan yang demikian itu”.71 Begitu pula Abd al-Amir Syams alDin yang mengatakan: Selanjutnya sebagai seorang guru tidak boleh mengabaikan kewajibannya. Ia wajib bekerja yang dapat menghasilkan ilmu yang berkelanjutan, ia harus tetap membaca, menelaah, berfikir, menghafal, mengarang dan berdiskusi. Dan ia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan ilmu, kecuali 69 Abd al-Amir Syams al-Din, Al-Fikr al-Tarbawy ind Ibnu Khaldun wa Ibnu al-Azraq, (Beirut: Dar Iqra, 1404/1984), cet. I, h. 83-86. 70 Abuddin Nata, op.cit., h. 97. 71 Abdullah Badran, Kitab al-ilmu wa Adab al-Alim wa Muta’alim, (Beirut: Dar al-Khair, 1413 H/1993 M), h. 87-89. 50 untuk makan, minum, tiidur, istirahat dan menggauli istrinya dan menghasilkan bekal hidup.72 Pendapat al-Ghazali tentang kepribadian guru juga sejalan dengan Siti Meichati juga menyatakan “…perhatian dan kesenangan kepada anak didik, kecakapan merangsang anak didik untuk belajar dan mendorong untuk berfikir, simpati, kejujuran, keadilan, serta sedia menyesuaikan diri dan memperhatikan orang lain, kegembiraan dan antusiasme, luas perhatiannya, adil dalam tindakan, menguasai diri, menguasai ilmu”.73 Juga yang dijelaskan Zakiah Dardjat syarat kepribadian seorang guru yaitu: Suka bekerjasama dengan demokratis, penyayang, menghargai kepribadian anak didik, sabar, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang bermacam-macam, perawakan yang menyenangkan dan kelakuan baik, adil dan memihak, toleran, mantap, dan stabil, ada perhatian terhadap persoalan anak didik, cukup dalam pengajaran, serta mampu memimpin secara baik.74 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa al-Ghazali memberikan beberapa persyaratan kepribadian bagi seorang guru meliputi berbagai aspek, diantaranya tabiat dan prilaku pendidk, ketrampilan mengajar dan perhatian terhadap psoses belajar mengajar, serta sikap ilmiah dan cinta terhadap kebenaran. b. Akhlak Guru kepada Murid Al-Ghazali memandang bahwa pekerjaan mengajar adalah lebih mulia dibandingkan dengan memanfaatkan harta. Hal demikian didasarkan pada alasan, karena orang yang meminta ilmu itu berlapislapis, ada yang kaya, miskin, raja, rakyat, dan sebagainya. Sedangkan orang yang meminta harta hanya orang miskin atau orang yang membutuhkan saja. Oleh karena itu seorang guru harus memiliki 72 Abd al-Amir Syams al-Din, op.cit., h. 23. Siti Meichati, Pengantar Ilmu Pendidkan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1975), h. 67. 74 Zakiah Darajdat, Kepribadian Guru, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h.44. 73 51 akhlak sesuai dengan tingkatan orang yang menuntut ilmu tersebut atau muridnya, diantaranya: Pertama, bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar. Dalam kaitan ini al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Oleh sebab itu seorang guru memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan posisi orang tua. Oleh karena itu seorang guru wajib memperlakukan muridnya dengan rasa kasih sayang dan mendorongnya agar mempersiapkan diri untuk mendapatkan kehidupan akhirat yang kekal dan bahagia. Sedangkan jika seoarang guru sibuk menyiapkan muridnya untuk kehidupan duniawi, maka ia tidak akan bersikap kasih sayang yang demikian itu, melainkan sebaliknya yaitu akan menghancurkannya.75 Kedua, seorang guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Sebagaimana perkataannya “lihatlah kesudahan agama di tangan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka bermaksud mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah) oleh sebaab itu mereka memiliki ilmu fikih dan kalam serta mengajarkan dua ilmu itu dan lain-lainya lagi. Mereka menghabiskan harta dan pangkat serta menanggung kehinaan untuk melayani sultan-sultan untuk mencari pembagian makanan. Alangkah hinannya seorang alim yang rela kedudukan seperti itu.76 Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakuakan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa memberi imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah. Oleh sebab itu seorang guru harus melaksanakan tugas 75 76 Imam al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, (Beirut: Dar al-Ma‟arif, 1951), juz I, h. 97. Zainuddin, dkk, op.cit, h. 55. 52 mengajarnya sebagai anugrah dan rasa kasih sayang kepada orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan apa-apa. Dan apabila tugasnya itu dihargai, maka amalnya itu bukanalah karena Allah. Dalam hal ini dapat disimpulkan secara tersirat bahwa al-Ghazali mengharamkan gaji guru, apabila alQur‟an (ilmu-ilmu lain) dijadiakan alat sebagai mencari rezeki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seorang guru), tetapi yang boleh adalah hanya mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya.77 Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika pelajar itu membutuhkannya. Untuk itu perlu diupayakan ilmu sesuai dengan setiap tingkat kecerdasan para siswa.78 Keempat, menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindari sedapat mungkin. Berkenaan dengan ini maka sesuai dengan istilah tarbiyah yang pada intinya menumbuhkan pemahaman melalui diri si anak itu sendiri, dan karenanya waqjib mengikuti caracara yang sesuai dalam memperlakukanpara siswa disertai petunjuk dan arahan guru. Untuk ini al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara mengajar yang benar, seperti mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi si anak dan timbul rasa bosan dan mendorong cepat hilangnya hafalan. Menurut al-Ghazali ini termasuk pekerjaan mengajar yang mendalam.79 Kelima, tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fikih yang menjelekkan guru bahasa dan sebaliknya, dan sebagian ulama kalam memusuhi ulama fikih. Demikian seterusnya sehingga setiap guru menilai bahwa ilmunya 77 Ibid. Imam al-Ghazali, op.cit., h. 99. 79 Ibid., h. 95. 78 53 lebih utama dari lainnya. Hal ini merupakan bagian yang harus dihindari dan dijauhi oleh seorang guru. Menurut al-Ghazali hal yang demikian termasuk kelemahan dan tidak mendorong pengembangan akal pikiran para siswa. Yang demikian itu termasuk akhlak tercela, dan setiap guru harus menjauhinya.80 Keenam, memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya. Sebagaimana al-Ghazali sarankan kepada guru yaitu “seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belum sampai tingkat akal fikirnnya, sehingga ia akan lari dari pelajaran atau menjadiaka tumpul otaknya”.81 Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa tujuan mengajar bukanlah memperbanyak pengajaran dan melaksanakan dengan cepat, melainkan setahap demi setahap dan agar tidak beralih dari satu tema ke tema yang lain, dari satu pokok bahasan ke bahasan yang lainnya kecuali murid telah paham dan menguasainya dengan baik pelajaran terdahulu. Bila hal tersebut tidak dilakukan guru, maka murid tidak akan pernah memahami pelajaran yang diajarkan, otak mereka akan tumpul dan proses pembelajaran pun akan sia-sia. Ketujuh, kerja sama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan. Jika terpenuhi syarat-syarat ketelitian, pemjelasan dan keterangan dari suatu ilmu yang diberikan kepada seorang pelajar, dan apabila ia merasa belum menguasai dengan sempurna dan mencapai tujuan dengan sesungguhnya, dan jika dimungkinkan pelajaran lebih dapat menjelaskan dan tergerak hatinya, namun ia kikir menyampaikannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pelajar sendiri meiliki pemahaman dan kecerdasan lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disampaikan atau datang kepadanya. AlGhazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi seorang pelajar 80 81 Ibid. Zainuddin, dkk, op.cit., h. 78. 54 diberikan kecerdasan dan kesempurnaan akal oleh Allah SWT, sehingga ia amat cerdas dan brilian sehingga keadaan ini lebih beruntung.82 Kedelapan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya. AlGhazali mengatakan “seorang guru itu harus mengamalkan ilmunya, lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.83 Sebagain besar atau semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. Menurut kebiasaan bahwa seorang guru adalah sebaagai panutan, dan para siswa mengikuti apa yang ditunjukkan pada gurunya. Dengan perkataan lain bahwa dalam keadaan bergaul dengan para siswa, mereka berkata: kalaulah guru itu menunjukkan prilakuDengan perkataan lain bahwa dalam keadaan bergaul dengan para siswa, mereka berkata: kalaulah guru itu menunjukkan prilaku yang baik dan bersikap lapang, niscaya niscaya guru tidaka akan memiliki pengaruh. Perumpaan guru yang baik dan benar adalah seperti benih di tanam di tanah dan bayangannya dari tiang, maka bagaimana tanah itu tumbuh tanpa benih, dan bagaimana mungkin bayangan itu bengkok sedangkan tiang itu lurus.84 Seorang guru menurut al-Ghazali adalah seorang yang diserahi menghilangkan akhlak buruk dan menggantinya dengan akhlak yang baik agar para pelajar itu mudah menuju jalan ke akhirat yang menyampaikannya kepada Allah.85 82 Imam al-Ghazali, op.cit., h. 97. Zainuddin, dkk, op.cit, h. 61-62. 84 Imam al-Ghazali, op.cit., h. 97. 85 Imam al-Ghazali, Ayyuhal al-Walad, (Beirut: al-Lajnah al-Dauliyah li al-Tarjamah alRawa‟i al-Insaniyah, 1951), h. 35. 83 55 Berdasarkan uraian tersebut, al-Ghazali menggambarkan sosok guru yang memiliki akhlak ideal kepada muridnya adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para siswanya, dapat bekerja sama dengan mereka dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya, sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. 56 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang banyak memberikan perhatian dan penelitiannya dalam ilmu akhlak, sehingga hampir dalam kitab-kitab yang dikarangnya selalu ada hubungannya dengan materi pendidikan akhlak, seperti kitab Ihya Ulumu al-Din atau Mizan al-Amal. Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam dalam jiwa seseorang, dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran dan timbul dari dalam diri orang yang mengerjakan sehingga menjadi kepribadian. Guru berasal dari bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar, sedangkan al-Ghazali mempergunakan istilah guru dengan kata al-mu‟allim (guru) yang berarti orang yang mengetahui dan istilah ini banyak digunakan para ulama/ahli pendidikan. Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali terbagi dua yaitu kepribadian guru itu sendiri dan akhlak guru terhadap muridnya. Adapun kepribadian guru menurut al-Ghazali adalah pertama, tabiat dan prilaku pendidik; kedua,yaitu keterampilan mengajar dan minat serta perhatian terhadap proses belajar mengajar; ketiga, sikap ilmiah dan cinta kebenaran. Sedangkan akhlak guru kepada muridnya yaitu guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, beersikap kasih sayang kepada muridnya, tidak meminta imbalan, tidak menyembunyikan ilmunya, menjauhi akhlak yang buruk, tidak mewajibkan muridnya cenderung kepada guru tertentu, memperlakukan murid dengan kesanggupannya, bekerja sama dengan murid dalam membahas pelajaran dan mengamalkan ilmunya. Dengan demikian akhlak guru yang ideal menurut al-Ghazali ini dapat memberikan landasan bagi pelaksanaan pendidikan, khususnya kepada para guru yang bertugas sebagai seorang yang mempunyai tugas mulia yaitu memperbaiki akhlak muridnya, bukan hanya sebagai tugas gajian. Sehingga 57 syarat kepribadian yang harus dimilikinya dan mengetahui akhlak yang akan dilakukannya saat menjalankan tugasnya, sehingga para guru mampu membimbing, membersihkan, mensucikan, menyempurnakan dan membawa hati muridnya mendekatkan diri kepada Allah SWT. B. Saran 1. Pendidikan akhlak merupakan tujuan utama dari pendidikan, karena Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hendaknya para guru memahami bahwa tujuan dari tugasnya yang terpenting adalah menjadikan anak didiknya berakhlak mulia, dengan terlebih dahulu para guru memiliki kepribadian yang mulia. 2. Hendaknya para guru mengetahui, memahami serta mengaplikasikan kepribadian yang mulia sehingga para guru dapat menjadikan teladan yang baik bagi murid-muridnya. 3. Hendaknya para guru dalam menjalankan proses pembelajaran diiringi dengan akhlak mulia sehingga mampu mencapai tujuan pembelajaran sudah direncanakan, sehingga murid-muridnya berakhlak mulia, bahkan menjadikan mereka dekat dengan Allah SWT. 58 DAFTAR PUSTAKA Agama RI, Kementrian, Al-Qur’an dan Terjamah, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu al-Din, Pensucian Jiwa, Jakarta: Iqra Kurnia Gemilang, 2005. Ardani, Moh., Akhlak – Tasawuf, Jakarta: Karya Mulia, Cet. II 2005. Abdullah, Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Mizan, 2007. Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj, oleh Syamsudin Asyrofi, Jakarta: Titian Ilahi Press, 1996. ______, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 Ahmad, Zainal Abidin, Riwayat Hidup al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, cet. I, 1975. Amin, Abdullah, Antara Ghazali dan Kant, Bandung: Mizan, 2002. Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. I, 1991. Asamaran, AS., Penganatar Studi Akhlak, Jakarta: Rajawali Pers, cet. II, 1992. Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan FIP IKIP, 1982. Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. ______, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 2005. Al-Din, Abd al-Amin Syams, al-Fikr al-Tarbawy ‘ind Ibn Khaldun wa Ibnu alAzraq, Bairut: Dar Iqra, 1404 H/1984 M. Dunya, Sulaiman, al-Haqiqah fi Nazhar al-Ghazali, Kairo: Dar Ihya al-Kutub alArabiayah, 1947. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: 2011. Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982. Fernanda, Desi, Etika Organisasi Pemerintah, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2003. Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Terj. Dari Khuluk al-Muslim oleh Moh. Rifa’i, Semarang: Wicaksana, 1993. ______, Bidayah al-Hidayah, Terj. Oleh Nailul Umam Wibowo, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003. ______, Kitab al-Arbain fi Ushul al-Din, Kairo: Maktabah al-Hindi, t.t. ______, Al-Munqidz min al-Dhalal, Istambul: Husain Hilmi bin Said Istambuli, 1983. Ghazali, M. Bahri, Konsep Ilmu Menurut al-Ghazali, Yogyakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, Cet. I, 1991. Mahjuddin, Konsep Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an dan Petunjuk Penerapannya dalam Hadits, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 2000 ______, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. V, 2003. Majid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Majidi, Busyairi, Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim, Bandung: alMa’arif, cet. IV, 1980. Miskawaih, Ibnu, Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq, Beirut: Mansyurrah Dar al-Maktabah al-Hayat, 1398 H. Maichati, Siti, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1975. Mubarak, Zaki, al-Akhlak ‘inda al-Ghazali, Disertasi Egyption University, Kairo: Universitas Mesir, 1924. Muhtar, Heri Jauhari, Fiqih Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet, ,I, 2005. Mustaqim, Abdul, Akhlak Tasawuf Jalan Menuju Resolusi Spiritual, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007. Mustofa, H. A., Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, Cet. III,2005. ______, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2007. An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushulut Tarbiyah wa Asalibiha fi Baiti wa alMadrasati wa al-Mujtama’, Terj. Oleh Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 1996. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. ______, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,Cet. V, 2003. ______, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. ______, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. ______, Perspektif Islam tentang Pola Hubunganguru-Murid (Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Ramayulis, Didaktik Metodik, Padang: Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 1982. ______, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. II, 1998. Roestiyah, NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: Bina Aksara, 1982. Saruji, Majdah Hanusy, Thuruq al-Ta’lim fi Allah al-Islam, Israel: Syifa Amru alMa’arif al-Tsaqafi, Cet, II, t.t. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, Cet. VIII, 1998. Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 1989. I i. .r, UJI REFERENSI IIALAMAN FOOTNOTE NO SKRIPSI HALAMAN PARAF REFERENSI PEMBIMBING An-Nahlawi, Abdurrahman Ushulut Tarbiyah wa Asalibiha fi Baiti wa al-Madrasatiwa al- I Terj. Mujtama', 204 Oleh I Shihabuddin, (Jakarta: Gerna T , Insani,1996). M. I I Shihab, Quraish lrlembumikan al-Qar'an dan ) Peran Wahyu Kehidupan r72 Masyarakat, (Bandung:Mizan, Cet. VIII, 1ee8). (- il Al-Maglribi bi as-SaidAlMaghribi,, Kafa a J Turabbi Waladan, Terj. Oleh Zainal 153 Abidin, (Jakarta:Darul Haq, 2004). Zakiah Darajat, Kepribadian 4 Guru, (Iakarta: Bulan Bintang 3 9 200s). Mahjuddin, Tasawuf, Kuliah Akhlak (Jakarta: Kalam 10 a J Mulia, Cet.V,2003). H. 6 A. Mustof4 Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,Cet.III,2005). .t ;{ Akhlak l0 l4 I 1,,. i, Abuddin 7 Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja t0 l4 10 2 11 4l Grafindo Persada, Cet. Vo 2003). Abdul Mustaqim, Akhlak Jalan Menuju Tasawuf 8 Spiritual, Resolusi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007). Abuddin Nat4 Perspeltif Islam tentang Pola Hubungan Guru- 9 Murid (Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Humaidi t0 Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak u t0 L,^. V (Surabaya:Bina llmu, 1979) Abuddin ll Nata, I Paradigma PendidikanIslam, (Jakarta:PT. I 13 t34 15 155 18 t5 Rqia GrafindoPersada,2001). Heri Jauhari Muhtar, Fiqih Pendidikan t2 @andung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 200s). Nana Sudjana" Dasar-Dasar t3 Proses Belajar MengQar, (Jakarta:Sinar Baru Algesindo, 1e89). .1 '. I I { t4 Upoya Tabrani, Rusyan Pembaharuan dalam 18 10 19 8 L9 212 2l 74 Pendidikan dan Pengajaran (Bandung, PT: RemajaRosda Karya,1994) N. K. Roestiyah, It'Iasalah- l5 Masalah llmu Keguruan, (Jakarta:Bina Aksara"1982). Al-Ghazali, Ihya' Ulumu al- t6 Din, Teq. Oleh Ismail Ya'qubo (Semarang:F aizan, 1979). Desi t7 Etiko Fernandq, Organisasi Pemerintah, (Jakarta: Lembaga AdministrasiNegar4 2003). Ani M Hasan, Pengembangan ProfesionalismeGuru di Abad 1 8 Pengetahuan( Malang, LJNM \ 2l 2003) { Al-Ghazali, Ihya' Ulumu al- l 9 Din, (Kabo, Dar al-Taqwa, Jil. tr,2002). 22 17l 22 20 22 87 Abd al-Amin Syams Al-Din, 20 al-Madzhab al-Tarbowy'ind Ibn Jama'ah, @eirut: Dar Khair,cet.III, 1404II/1984M) Abdullah Badran,Kitab 'al-Ilm 21 wa Adab al-'Alim Muta'lim,(Beirut:Dar Cet.II[ l4r311/1993) .: ,l wa Khairo I 22 Muhammad Athiyah Al- 24 66 Abrasyi,Beberapa Pemikiran Pendidilran l Islam,Ter.Oleh SyamsudinAsyrofi,(Jakarta:Titi an Ilahi Press,1996) Siti Maichati,, Pengantar Ilmu 28 (Yogyakarta: Pendidikan, 25 67 26 I Yayasan Penerbit FIP IKIP, r97s). Al-Gharali, Ihya' Uumu al- 29 Din, PensucianJiwa, (Jakarta: Iqra Kurnia Gemilang,2005). H. A. MustafUFilsafatIslam, 30 @andung: Pustaka Setia, 28 215 2007). I M. Bahi Ghazali, Konsepllmu 31 al-Ghazali, Menurut (Yogyakarta: CV. 34 26 35 4 35 99. 36 1',7 Pedoman Ilmu Jaya,Cet.I, 1991). Nurcholis Maji4, 32 Intelektual Klnzanah (Jakarta: Islarn, Bulan Bintang, 1984). Al-Ghazali, Al-Munqidz min 33 al-Dhalal, Hilmi bin (Istambul: Husain Said Istambuli, 1e83). Zainuddin, dklq seluk Beluk 34 Pendidikan dari al-Ghuali, (Jakarta:Bumi Aksara, 1991) & rF CeLI 35 Husain Ahmad Amino Seratus dalam Seiarah Islam,(Bandung: Remaja Tokoh 37 177 I RosdaKuryq 2001)Cet. VII Abul 36 I Wafa al-Ghanimi al- Taftajani, Suli dari Zaman ke 38 156 39 51. 4l 6 Zaman (Bandung: Pustaka, 1997)Cet.II Imam 37 Rambu al-Ghazali, RambuMengenal Allah, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2003)Cet.I SulaimanDunya, al-Haqiqahfi 38 Nazhar al-Ghazali, (Kairo: Dar il tr- Ihya al-Kutub al-Arabiayah, re47). Zaki Mubaralq al-Akhlak 39 'inda al-Ghcaali, Disertasi Egyption II II t 42 99 45 15 45 48 University, (Kairo: Universitas Mesir, 1924\. Muhammad 40 Athiyah Al- Abrasyi, Dosar-Dasar Polmk Islam,(Jakarta: Pendidikan BulanBintang,Cet. I. 1975) Ahmad 4l t D. Marimba" Pengantar fils"fat Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma'arif, 1980)Cet.IV, 5 I I 42 Imam Barnadib Sutari, 46 56 46 54 47 25 47 156 48 13 48 173 49 22 50 113 Pengantar llmu Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan FIP IKIP, 1982) Al-Ghazali,Ilrya' Uumu al- 43 Din, (Beirut:Dar al-Fikri, Jr;r,. m, t.t). Ibnu Miskawaih,, Tahdzib al- 44 Akhlak wa Tathir al-A'raq, @eirut: Mansyurrah Dar alMaktabahal-Hayat,1398H). Natq Abuddin Akhlak 45 Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1997). Al-Ghazali, Al,hlak Seorang 46 Muslim, Terj. Dari Khuluk alMuslim oleh Moh. Rifa'i, (Semarang:Wicaksan4 1993). Alifus Sabri, Pengembangan Psikalogi Umum dan 47 Perkembangan, (Jakarta:PedomanIlmu Jaya, 1993)Cet.I Yatimin Abdullah,^SrzdiAkhlak 48 dalam PerspeHif al- Qur' an,(Jakafia:Mizan, 2407) H.M Arifino Ilmu Pendidiknn 49 Islam,(Jakafta:Bumi Aksara, Cet.I. 1991) {! I Majidi, Busyairi Konsep Pendidikan Islam Para Filosof 50 Muslim, (Bandung:al-Ma'arif, 50 70 5t 11 52 r62 -) cet.IV, 1980). 5 1 Abuddin Nata" Pemikiran Para Tolmh Islam, Pendidikan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2000). AS Asamaran,PengantarStudi 52 Akhlah (Jakarta: Rajawali Press,Cet.ll,1992. t/ Al-Ghazali,Kitab al-Arbainfi 53 Ushul al-Din, (Kairo: 52 99 53 72 56 2 56 58r 57 42 58 36 Maktabah al-Hindi,t.t). Al-Ghazali, Bidoyah al- 54 Hidayah, Terj. Oleh Nailul Umam Wibowo, (Yogyakarta: PustakaSufi,2003). Abdullah Amin, Antara 5 5 Ghazali dan Kant,(Bandung: Mizan2002) John M Echols dan Hasan 56 Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, le82). Ramayulis, Didaktik Metodik, 5 7 (Padang: Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, 1982). Ramayulis, Ilmu Pendidikan 5 8 Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, IT F t I ;., Cet.II, 1998). . B, Beberapa Suryasubrata Aspek Dasar Kependidikan, 5 9 (Jakarta: Binaaksar41983) 58 26 60 59 4l 64 50 66 83 Zakiah Darajat, Pendidiksn Islam, IJmu (Jakarta: Bumi Aksara,1996) Majdah HanusySaruji, Thuruq al-Ta'lim Ji Allah al-Islam, 6l (Israel: Syifa Amru al-Ma'arif al-Tsaqafi,Cet,II, t.t). Abd al-Amin Syams Al-Din, 'ind lbn al-Fikr al-Tarbawy 62 Khaldun wa lbnu al-Azraq, (Bairut: Dar Iqra, 1404W1984 M). t' Abdullah Badran,Kitab al-Ilmi 63 wa Adab al-alin wa Mutolim, 66 87 72 35 Skripsi FITK UIN (Beirut: Dar al-Khair, 1993) Al-Ghazali, Ayyuha al-l(alad, 64 (Beirut: al-Lajnah al-Dauliyah Li al-Tadamah al-Rawa'i alInsaniyah,1951). Fahrurrozi, Aziz dkk, Pedoman 65 Penulisan slcripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, (Jakarta:FITK UIN, 2011). I \r 20rl Seluruhrefeerensiyangdigunakandalampenulisanskripsiyangberjudul*Alftlak al-Ghazali"yang disusunoleh Guru dalamKonsepIslam MenurutPandangan AgamaIslamFakultas JurusanPendidikan AhmadAsrori,NIM 1810011000056 Ilmu Tarbiyah dan KeguruanUIN Syarif HidayatullahJakarta,telah diuji kebenarannya olehdosenpembimbingskripsipadatanggall0 April 2014. Iakartal0 April2014 ,' I I Skripsi DosenPembimbing 199403 r 006 FlrP.196505rs ;'-, ,t' ,1 "l t'I AGAMA KEMENTERIAN UINJAKARTA FITK FORM(FR) No.Dokumen : : Tgt Terbit FITK-FR-AKD-081 I Maret 2010 Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia sKRlPSl Sunnr BIMBINGAN r 2013 Jakarta,25 Desembe 1/KM.01'31'.'.....12014 Nomor: Un.01/F, : Lamp. : BimbinganSkriPsi Hal KepadaYth. Dr. Khalimi,MA. Skripsi Pernbimbing FakultasIlmu TarbiyahdanKeguruan UIN SyarifHidayatullah Jakarta. Assalamu'alaikumwr.wb. I/II Dengan ini diharapkankesediaanSaudarauntuk menjadi pembimbing penulisanskripsimahasiswa: (materi/teknis) Nama AhmadAsrori NIM 1810011000056 Jurusau AgamaIslam Pendidikan Semester X (Sepuluh) JudulSkripsi AlAkhlak Guru Menurut Konsep Islam Dalam Pandangan Ghazali 25 Desenrber Judul tersebuttelah disetujui oleh Jurusanyang bersangkutanpada tanggal pada redaksional perubahan 2013, abstraksiloutlineteriampir. Saudaradapat melakukan pernbimbing mohon judut tersebut. Apabila p..ubuhun substaniial dianggap perlu, menghubungiJurusanterlebih dahulu. (enarn) bulan, dan dapat Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalam waktu 6 perpanjangan. surat tanpa diperpaijang sclama6 (enam)bulan berikutnya AtasperhatiandankerjasamaSaudara,karnitrcapkanterimakasih. Wassal amu'al aikum wr.w b. a.n.Dekan Kajur Dr. Aeama Islam ul Majid Khon,M.Ag. / N n I 9580707I 987031005 Tembusan: 1. DekanFITK 2. Mahasiswa Ybs.