Aspek psikososial, Aktivitas Fisik, konsumsi

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lanjut Usia
Pada akhir-akhir ini penelitian tentang lansia sudah mulai memasuki tahap
yang menggembirakan. Para ahli melihat bahwa stereotip yang sering menyertai
lansia selama ini mulai mengalami perubahan. Tanpa mengenyampingkan adanya
keterbatasan fisik, para
ahli menyatakan bahwa masa lanjut usia merupakan
pengalaman baru, berbeda dengan yang dibayangkan (Baswedan, 2003). Tidak akan
ada yang dapat memahami secara tepat masa ini sampai orang tersebut berada di
periode tersebut.
A. 1. Batasan Lanjut Usia
Ada berbagai macam batasan kapan seseorang dikatakan sebagai lanjut usia.
Di Indonesia, lanjut usia dimulai sejak usia 60 tahun sesuai dengan yang tertera pada
Undang-Undang no: 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Di Amerika, usia 65
tahun digunakan sebagai benchmarck dalam mengelompokkan penduduk berusia
lanjut.
World Health Organization (WHO) membagi umur tua sebagai berikut:
-
usia 60 – 74 tahun disebut umur lanjut (elderly)
-
usia 75 – 90 tahun disebut umur tua (old)
-
usia di atas 90 tahun disebut umur sangat tua (very-old)
Secara umum kita terbiasa dalam pola pikir tentang batasan lanjut usia dalam
konotasi jumlah tahun (usia kronologis) karena memang ini merupakan ukuran yang
paling praktis dan banyak digunakan. Ada patokan usia yang lebih spesifik, yaitu usia
5
biologis, usia psikologis dan usia sosial. Usia biologis adalah posisi seseorang
dibandingkan dengan angka harapan hidup yang ada. Yang terbaik adalah mereka
yang sistem organ utamanya berada di atas kondisi rata-rata. Usia sosial ditentukan
dengan menilai posisi seseorang dalam kehidupan dibandingkan dengan berbagai
posisi rata-rata yang dapat dicapai seseorang, posisi ini ditentukan oleh norma
budaya. Dalam memberi penilaian dapat dari cara berpakaian, pola bicara, dan yang
lebih menonjol biasanya dalam peran kepemimpinan. Usia psikologis menunjukkan
bagaimana seseorang berfungs i dalam merespon kebutuhan/tuntutan lingkungan
(Baswedan, 2003)
Secara medis usia lanjut tidak dapat ditetapkan dengan pasti, karena bagi
masing- masing individu saat mulai timbulnya gejala-gejala akibat proses menua
adalah berbeda. Proses menjadi tua sebenarnya sudah mulai dari konsepsi, meskipun
proses anabolisme dan hiperplasia merupakan karakteristik dominan setiap
organisme. Proses tersebut berlangsung hingga mati, namun gejala- gejala klinik baru
timbul setelah proses tersebut berlangsung bertahun-tahun dalam jangka waktu yang
berbeda pada setiap orang
A.2. Proses Menua (Aging)
Menua (menjadi tua/aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struk tur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap lesion/luka (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Constantinides dalam Darmojo dan Martono, 2000). Hal itu mengakibatkan secara
6
progresif akan menyebabkan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan makin
banyaknya penumpukan distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai
penyakit degeneratif.
Handler (1960) dalam Schanie & Willis (1986) menyatakan bahwa aging
adalah akibat kemunduran yang terjadi pada organisme dewasa sebagai akibat adanya
perjalanan waktu. Pada dasarnya kemunduran tersebut tak terhindarkan dan terjadi
pada semua mahkluk hidup dan membuat mereka semakin sulit mengatasi tekanan
lingkungan sehingga probabilitas terjadinya kematian meningkat.
Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada orang yang telah
lanjut usia (lansia) menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap penyakit. Hal itu
tentunya harus mendapatkan perhatian khusus baik dari keluarga, masyarakat dan
pemerintah kepada kelompok tersebut, mengingat kondisi yang terjadi pada saat ini
ialah terjadinya peningkatan jumlah lansia yang sangat besar.
Proses menua dipengaruhi oleh faktor: genetik; terkait dengan batasan umur
dan jenis kelamin, lingkungan; terkait dengan waktu dan laju proses aging. Menurut
Nugroho (1997) proses penuaan (aging) merupakan proses menua atau proses yang
terus berlanjut, secara alamiah proses ini dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
oleh semua makhluk hidup. Proses ini berbeda-beda pada setiap orang.
Birren dan Schaie (1990) menyatakan bahwa tidak ada penyebab tunggal
proses ketuaan, karena banyak hal yang dialami organisme sepanjang kehidupannya
dan proses ketuaan tersebut lebih banyak merupakan rentetan kejadian dan kekacauan
yang berlangsung secara kebetulan.
Dalam pandangan ini, proses penuaan
7
merupakan proses perubahan pada organisme yang terjadi secara acak, yang pada
mulanya mengikuti pola tetapi kemudian menjadi korban proses degradasi secara
acak yang diakibatkan oleh perubahan arah pertumbuhan. Menurut pandangan ini
perubahan yang terjadi dalam struktur maupun fungsi organisme dipengaruhi oleh
kekuatan atau faktor-faktor di luar seleksi alamiah. Individu berevolusi dari suatu
pola pertumbuhan yang teratur kepada suatu keadaan yang kacau dimasa tua, disertai
penurunan daya tahan untuk hidup.
A.3. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Proses Penuaan:
Pada lansia akan terjadi perubahan pada fisik maupun psikisnya. Adapun
perubahan fisiologi yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia menurut Krause
dan Kathleen (1984) adalah sebagai berikut:
1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa sehingga umumnya
lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal itu sering
menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu,
seperti kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak
kurang baik bagi kesehatan lansia.
2. Perubahan yang banyak terjadi pada fisiologi gastrointestinal yang
mempengaruhi bioavailabilitas adalah atrophy gastritis. Rasinski et al
(1986) melaporkan bahwa perkiraan prevalensi atrophik gastritis pada
lansia di Boston sebesar 24% pada lansia berusia 60 -69 tahun, 32% pada
lansia berusia 70 -79 tahun, dan 40% pada lansia berusia di atas 80 tahun.
8
3. Berkurangnya sekresi saliva yang dapat menimbulkan kesulitan dalam
menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi
(Webb & Copeman, 1996)
4.
Kehilangan gigi.
Separuh lansia telah banyak kehilangan gigi, hal ini mengakibatkan
terganggunya kemampuan dalam mengonsumsi makanan dengan tekstur
keras, sedangkan makanan yang memiliki tekstur lunak biasanya kurang
mengandung vitamin A, vitamin C, dan serat sehingga menyebabkan
mudah mengalami konstipasi.
6. Menurunnya sekresi HCl
HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12
dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl dapat menyebabkan
lansia mudah terkena osteoporosis. Selain itu menurunnya HC l dapat
mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi yang menyebabkan ane mia,
sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik.
7. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik yang mengakibatkan
pencernaan protein tidak efisien.
8. Menurunnya sekresi garam empedu, sehingga mengganggu proses
penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K.
9. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang “transit
time” dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran
perut dan konstipasi
9
Selain itu menurut Astawan dan Wahyuni (1988) perubahan-perubahan pada lansia
meliputi:
a. Berkurangnya cairan di dalam jaringan
b. Meningkatnya kadar lemak di dalam tubuh,
c. Meningkatnya kadar zat kapur dalam jaringan otak dan pembuluh darah tetapi
mengalami penurunan dalam tulang
d. Terjadinya perubahan pada jaringan ikat
e. Menurunnya laju metabolisme basal per satuan berat badan
f.
Menurunnya aktivitas hormon
g. Terbentuknya pigmen ketuaan pada otot jantung, sel- sel saraf, kulit, dan
sebagainya
h. Berkurangnya
frekuensi
denyut
jantung
sehingga
mengakibatkan
berkurangnya peredaran darah dan peredaran zat gizi.
Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada lansia menurut Kartari (1990) adalah:
a. Kulit berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Dengan
demikian fungsi kulit sebagai penyekat suhu lingkungan dan perisai terhadap
masuknya kuman terganggu.
b. Rambut rontok, warna menjadi putih, kering dan tidak mengkilat. Hal ini
berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit.
c. Berkurangnya jumlah sel otot, ukurannya atrofi, volume otot secara
keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang.
10
d. Tulang menjadi keropos akibat penurunan kadar kalsium sehingga mudah
patah.
e. Menurunnya produksi hormon seks pada pria dan wanita
A.4. Teori-teori tentang aging :
Teori Sistim Organ Dasar (Organ System Based). Teori ini berdasarkan atas
dugaan bahwa adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh
menyebabkan
terjadinya proses penuaan. Organ tersebut adalah system endokrin dan system imun.
Pada proses penuaan kelenjar timus mengecil, hal itu menyebabkan menurunnya
fungsi imun. Penurunan system imun mengakibatkan meningkatnya insiden penyakit
infeksi pada lansia. Dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan usia berhubungan
dengan peningkatan insiden penyakit.
Teori kekebalan tubuh yang juga termasuk dalam breakdown theories,
memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem kekebalan secara
bertahap. Sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan diri terhadap luka,
penyakit, cel mutant, ataupun sel asing. Hal ini terjadi karena hormon-hormon yang
dikeluarkan kelenjar timus, yang mengontrol sistem kekebalan tubuh, menghilang
dengan bertambahnya usia.
Teori kekebalan (autoimmunity), menekankan bahwa tubuh lansia yang
mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan tidak
normal, dan muncul antibodi ya ng menyerang keduanya yang pada akhirnya
menyerang jaringan itu sendiri (Aiken, 1989). Mutasi yang berulang atau perubahan
protein pascatranslasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun
11
tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan
terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan
sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel
asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya
peristiwa autoimun (Goldstein, 1989). Salah satu bukti yang ditemukan ialah
bertambahnya prevalensi outo antibodi bermacam- macam pada orang lanjut usia
(Brocklehurst, dalam Darmojo, 2000)
Teori Radikal bebas. Teori ini paling banyak dianut serta lebih populer.
Radikal bebas merupakan penyebab yang penting dari kesalahan dalam fungsi seluler.
Macam- macam radikal bebas termasuk superoxide, hydroxyl, lipid peroxy, purine
dan pyrimidine radicals, dihasilkan selama proses metabolisme normal. Radikal bebas
oksigen dan hydrogen peroksida dalam tubuh sebagai perantara untuk menghasilkan
ATP dan energi di mitokondria. Tanpa adanya perantara maka respirasi pada
mitokondria akan terhenti.
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit
pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernafasan dalam mitokondria.
Walaupun telah ada sistem penangkal, namun sebagian radikal bebas tetap lolos,
bahkan semakin lanjut usia makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses
pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak akhirnya
sel mati (Oen, 1993).
12
Meski dibutuhkan, namun kehadiran radikal bebas dalam konsentrasi tinggi
pada tempat dan waktu yang tidak tepat akan berbahaya karena mempunyai elektron
yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif terhadap senyawa kimia lainnya
dalam upaya mendapatkan elektron. Jika radikal bebas berada dalam inti sel, maka
akan dapat merusak DNA dan menyebabkan mutasi yang mengarah pada kematian
sel. Selain itu radikal bebas juga merusak membran sel, hal ini terjadi pada saat
konsentrasi darah putih yang tinggi akan membebaskan radikal bebas yang akan
merusak dinding pembuluh darah. Oleh karena itu tingginya jumlah sel darah putih
berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit jantung dan arthritis.
Terjadinya radikal bebas dalam tubuh menyebabkan molekul- molekul
menjadi reaktif. Beberapa makromolekul dan protein akan bereaksi dan menghasilkan
suatu ikatan silang (crosslinking), sehingga makro molekul dan protein tidak
berfungsi. Hubungan ini tidak dapat diperbaiki dan akan bertumpuk seiring waktu
sehingga mengarah pada malfungsi molekul, yang merupakan karakterisasi penuaan
organisme.
Teori Fisiologik, contohnya teori Adaptasi Stres (Stress Adaptation Theory)
menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal
dari dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisik, psikologik maupun sosial.
Teori Psikologik. Teori Kognitif menerangkan proses menua dalam aspek
kognitif. Teori Kontinuitas berdasarkan pada asumsi bahwa identitas merupakan
fungsi dari pada hubungan serta interaksi dengan orang lain. Seseorang yang sukses
sebelumnya, pada usia lanjut akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta
13
tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya. Teori tahap-tahap perkembangan
manusia dari Erickson
menerangkan bahwa pada tahap terakhir manusia harus
memilih antara sense of integrity atau sense of despair, sedangkan Peck
menambahkan bahwa pada usia lanjut seseorang harus memilih antara ego
differentiation melawan work role preoccupation (pensiun). Juga harus memilih
antara memulihkan hubungan yang baik dengan orang lain dan tetap aktif kreatif, atau
terikat pada pikiran yang terpusat pada kemunduran fisiknya.
Teori Sosiologik. Teori Perubahan Sosial yang menerangkan menurunnya
sumberdaya dan meningkatnya ketergantungan mengakibatkan keadaan sosial tidak
merata dan menurunnya sistem penunjang sosial. Teori Penglepasan Ikatan
(Disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan
partisipasi ke dalam masyarakat karena terjadi proses penglepasan ikatan/penarikan
diri secara pelan-pelan. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses penglepasan
ikatan, memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggungjawab dari pekerjaan dan
tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Powell,
2001). Teori ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial.
Teori aktivitas memberikan tambahan penjelasan bahwa kehilangan peran,
aktivitas, atau hubungan dapat digantikan dengan peran baru atau aktivitas baru yang
dapat memberikan kebahagiaan, nilai konsensus, dan kesejahteraan. Dalam teori ini
menganggap bahwa penglepasan ikatan bukan merupakan proses alamiah seperti
pendapat Cumming dan Hendry. Dalam pandangan teori aktivitas, teori penglepasan
adalah melekatnya sifat/pembawaan lansia dan tidak mengembangkan ke arah masa
14
tua yang positif (Powell, 2001). Pada teori ini jika seseorang sebelumnya sangat aktif
pada usia lanjut akan tetap memelihara keaktivannya seperti peran dalam keluarga,
peran dalam masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.
B. Psikososial
Definisi psikososial (psikologi sosial) menurut McDavid dan Harari ialah
studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individual dalam kaitan dengan
individu lain, kelompok, dan kebudayaan. Pada definisi ini fokus bukan hanya pada
perilaku individu, melainkan juga pada pengalamannya. Dengan demikian pengaruh
masa lampau secara nyata ikut diperhitungkan. Sementara Baron dan Ryrne
mendefinisikan psikologi sosial adalah bidang ilmiah yang mencari pengertian
tentang hakikat dan sebab-sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran individu dalam
situasi sosial. Pada definisi ini tidak hanya mempelajari perilaku tetapi juga mencari
pengertian dan sebab-sebab dari perilaku itu (Sarwono, 1999).
Perspektif psikososial pada proses penuaan adalah sebagai berikut : Proses
penuaan didefinisikan sebagai transformasi dari manusia sesudah usia kematangan
fisik yang memberikan peluang terjadinya penurunan daya tahan dan ini merupakan
gabungan dari tansformasi reguler dalam penampilan, perilaku, pengalaman, dan
peran sosial. Psikososial pada proses penuaan dapat dijelaskan sebagai hasil tidak
dipakainya lagi kemampuan yang dimiliki, perubahan dalam kemampuan beradaptasi
terhadap variabel lingkungan, dan kehilangan sumberdaya internal maupun eksternal,
pengaruh keturunan pada usia harapan hidup. Para ilmuwan bersepakat bahwa
15
genetik/keturunan
mempengaruhi
panjangnya
usia,
meski
lingkungan
juga
memainkan peranan yang penting untuk memodifikasi (meningkatkan) usia harapan
hidup. Dasar dari teori psikososial pada proses penuaan ialah : pada saat seseorang
menjadi tua, mereka memiliki perubahan perilaku, perubahan interaksi sosial, dan
perubahan aktifitas karena adanya penglepasan ikatan.
Hasil penelitian Darmojo (1991) menunjukkan bahwa keadaan psikososial
para lansia di Indonesia pada umumnya masih baik, rasa kesepian yang banyak
dijumpai di negara-negara Barat tak dijumpai, juga perasaan depresi dan yang
keadaan penuh tergantung pada orang lain hanya kurang dari lima persen. Yang
masih ingin tetap bekerja dan masih tetap aktif di rumah berkisar antara enam puluh
sampai tujuh puluh lima persen.
C. Depresi pada lansia
Secara umum lansia terpapar pada beberapa faktor resiko depresi.
Bertambahnya penyakit-penyakit fisik, faktor- faktor psikososial dan proses penuaan
otak, semuanya ikut berkontribus i terhadap tingginya prevalensi depresi pada lansia.
Terjadinya depresi pada lansia merupakan interaksi faktor-faktor biologik-psikologik
dan sosial. Faktor sosial adalah berkurangnya interaksi sosial, kesepian, berkabung,
dan kemiskinan. Faktor psikologi dapat berupa: rasa rendah diri/kurang percaya diri,
kurang rasa keakraban dan menderita penyakit fisik, sedangkan faktor biologik yaitu
hilangnya sejumlah neuron maupun neurotransmiter di otak, resiko genetik maupun
adanya penyakit (Nasrun, 1999)
16
Penyesua ian kembali merupakan tantangan bagi sebagian besar lansia. Hal ini
berkaitan dengan berkurangnya sumberdaya kepribadian, isolasi sosial dan berbagai
macam “kehilangan”. Oleh karenanya golongan lansia lebih banyak mengalami
gangguan kejiwaan dibandingkan golongan muda. Depresi pada lansia merupakan
suatu gangguan psikiatrik yang banyak dijumpai di samping gangguan kognitif dan
gangguan cemas. Sekitar 8% lansia di dalam masyarakat mempunyai gejala depresi
yang serius dan hampir 19% mempunyai gejala depresi ringan. Sekitar 50% lansia di
rumah sakit jiwa dirawat karena kondisi depresi dan dijumpai sekitar 30% lansia yang
menderita gangguan medik akut dan kronik. Menurut Wattis dan Martin angka
prevalensi untuk semua jenis depresi adalah 10 – 14% dan 2 – 4% untuk depresi berat
(Laksmana, 1996).
Depresi pada lansia akan meningkatkan isolasi sosial, morbiditas medik,
kekacauan keluarga dan penderitaan pribadi. Pada umumnya lansia jarang mengeluh
perasaan depresi, namun lebih berfokus pada keluhan somatik.
Menurut ICD-10 WHO, 1992/PPDGJ-III, 1993, diagnosis Episode Depresi di
dasarkan pada pedoman berikut:
a. Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami: suasana
perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan
berkurangnya energi menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
b. Keadaan tersebut di atas selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari
dialami akan disertai gejala-gejala berikut: konsentrasi dan perhatian berkurang,
harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan
17
tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan sekalipun), pandangan masa
depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan
diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan napsu makan berkurang.
Periode berlangsungnya gejala lebih pendek dari 2 minggu dapat dibenarkan jika
gejala tersebut luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
c. Gejala-gejala tersebut diatas menyebabkan hambatan fungsi psiko-sosial seperti
cacat fungsi pekerjaan, hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari.
Ketidakmampuan, kesehatan fisik, dukungan sosial, faktor sosial ekonomi
mempengaruhi tingkat depresi pada lansia (Hariss,T. et al,. 2003). Depresi dapat
diperberat oleh faktor- faktor berikut: adanya penyakit-penyakit fisik, 20-30% pasien
lansia yang dirawat karena penyakit fisik menderita depresi, penyakit neurologik
seperti demensia, parkinson, dan alzheimer; obat, seperti antihistamin, obat jantung,
hipertensiantibiotik sedatif, anti parkinson dll; kehilangan seperti kehilangan
pasangan hidup atau teman dekat, kehilangan rasa aman, jabatan serta kekuasaan,
menurunnya kesehatan, dan lain lain; Isolasi sosial dan situasi lingkungan hidup
yang buruk (Laksmana, 1996).
D. Kepuasan
Kepuasan pada la nsia dapat tercapai bila memiliki status ekonomi yang baik,
juga kesehatan fisik dan mental, kehidupan sosial yang baik seperti kepedulian
kepada masyarakat, dan memiliki hubungan yang baik dengan anak, cucu dan antar
saudara kandung. Lansia akan mendapatkan kepuasan hidup apabila dapat mencapai
18
succesfull aging yaitu kesuksesan yang diperoleh pada usia tua yang merupakan
dambaan bagi setiap orang dalam konteks kultural. “Kesuksesan” merupakan evaluasi
yang didefinisikan secara relatif pada konteks tertentu. Pada saat ini antara berbagai
kultur ada kesepakatan bahwa kesehatan dan keamanan material merupakan hal yang
didambakan lansia (Keith, Fry dan Ikels, 1990).
Menurut Bearon (1996) Succesfull aging dapat diukur melalui beberapa
indikator dari kesejahteraan secara subyektif seperti: kepuasan hidup, kebahagiaan,
moral, kesenangan/kesukaan, pandangan tentang kualitas hidup, atau ukuran yang
berhubungan dengan hal yang nega tif seperti depresi, kecemasan, dan lain- lain.
Aspek sosial seperti kemiskinan, kurang gizi, tempat tinggal di pedesaan,
perumahan yang kurang memadai, terbatasnya kesempatan pendidikan, kehilangan
akibat kekerasan atau bencana mengurangi peluang hidup dan keterbatasan akses
untuk mencapai kehidupan masa tua yang baik/sejahtera (Austin, 1991).
Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan kepuasan diri pada
lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari, M (2003) disebutkan bahwa hal
yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah terjaminnya kebutuhan hidup.
E. Dukungan Sosial
Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah.
Yang dimaksud dengan dukungan adalah persepsi individu akan kenyamanan,
perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan oleh orang lain/kelompok lain.
Interaksi sosial yang positif bagi lansia adalah adanya perhatian, penerimaan, dan
19
penghargaan agar lansia dapat beradaptasi terhadap kondisi diri pribadi maupun
lingkungannya yang berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri
lansia tersebut. Menurut Gottlieb (1994) dalam Catharina (2002) dukungan keluarga
dan masyarakat dapat diberikan dengan cara menjalin hubungan yang akrab antara
individu atau sekelompok orang lain dalam suatu jaringan sosial yang dapat
diandalkan. Dalam hubungan tersebut individu merasakan adanya sekelompok orang
lain yang dapat memberikan bantuan, perhatian, dan kasih sayang, penilaian, dan
nasihat yang positif bagi upaya penyembuhan penyakit.
Hal ini penting, mengingat menurunnya kondisi fisik lansia yang
mengakibatkan tingginya insiden penyakit baik penyakit kronik maupun akut.
Beberapa contoh dukungan moril yang dapat diberikan keluarga dan masyarakat
antara lain: mengatur pola makan lansia, menciptakan lingkungan hidup yang sehat
dan tenteram, memberikan informasi tentang akses untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, memberikan bimbingan rohani sesuai dengan agamanya. Dukungan
materil dari keluarga dan masyarakat berupa uang, makanan, obat-obatan termasuk
vitamin, transportasi, keringanan biaya pengobatan, dan peluang untuk menambah
penghasilan kepada lansia.
Keputusan untuk memberikan dukungan kepada seseorang didasarkan pada
kebutuhan individu tersebut. Dukungan dihasilkan dari adanya sikap atau
kecenderungan untuk bertindak, berpikir, dan merasa menghadapi situasi atau nilai.
Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi bersifat menetap mengandung unsur
evaluasi yang timbul dari pengalaman (Djokomoeljanto, 2001).
20
Keluarga adalah unit masyarakat terkecil, di dalamnya terdapat ikatan darah
atau perkawinan. Keluarga memiliki berbagai fungsi, di antaranya ialah fungsi
keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi cinta kasih, dan fungsi ekonomi. Dalam
lingkungan keluarga harus tercipta rasa cinta kasih antara anggota keluarga. Menurut
Haryono (1995) dengan cinta kasih itu harus dilihat segala sesuatunya dengan
kacamata positif untuk makin menggalang persatuan dan kesatuan antar anggota dan
antar keluarga dengan keluarga lain, dan antar keluarga dengan masyarakat pada
umumnya. Fungsi sosial yang baik dapat diperoleh seseorang melalui pembentukan
kepribadian dalam keluarga. Beberapa hal yang memungkinkan terbentuknya fungsi
sosial adalah sebagai berikut: (1) kesehatan yang baik menyebabkan orang dapat
berpartisipasi
dalam
kegiatan
sosial
yang
diperoleh
sebelumnya
sehingga
mempermudah masalah sosial; (2) membentuk motivasi yang dibutuhkan untuk ambil
bagian dalam kegiatan sosial; (3) kemahiran dan keterampilan sosial yang diperoleh
sebelumnya dapat membantu mengatasi masalah sosial yang timbul (Djokomoeljanto ,
2001).
Dalam penelitian tentang pola pengaturan kehidupan dan dukungan keluarga di
beberapa negara Asia seperti Philipina menunjukkan bahwa merupakan hal yang tabu
bila memasukkan orang tua yang sudah jompo ke panti werdha, mereka lebih
menyukai merawat orang tuanya dalam keluarga (Abaya, 1991). Demikian juga
dengan di negara Singapura, data yang berasal dari hasil Nasional Survey of Senior
Citizens (1995) menunjukkan bahwa 85% lansia tinggal bersama anaknya, selebihnya
tinggal sendiri, dan tinggal bersama pasangannya.
Seperti halnya di Indonesia,
21
kecenderungan lansia tinggal bersama keluarga atau tinggal sendiri, dan merupakan
hal yang tabu serta dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama bila memasukkan
lansia pada panti wredha, kecuali bagi la nsia yang tidak memiliki keluarga atau atas
keinginan lansia sendiri.
Hidup bertempat tinggal dengan keluarga merupakan kebiasaan umum bila
seorang usia lanjut ditinggal suami/isterinya atau sebelum hal ini terjadi. Umumnya
memang keluargalah yang merawat lansia di rumahnya (juga di beberapa negaranegara di Asia yang lain), terutama anak perempuan. Prosentase keikutsertaan lansia
naik dengan bertambahnya usia. Bantuan dari keluarga meliputi semua bidang, baik
finansial, makanan, pakaian, maupun bantuan fisik juga moral ( Darmojo, 2004).
E. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik dapat diukur dari aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living)
seperti berjalan, menaiki tangga, makan, buang air kecil dan besar, mandi, mengganti
pakaian, dan sebagainya) serta bagaimana perilaku lansia dalam menjaga
kesehatannya. Pengukuran aktifitas fisik ini dapat menunjukkan kemandirian lansia
dalam mengatasi kegiatannya sehari- hari. Hasil penelitian Matsubayashi dkk (2003)
menunjukkan aktifitas fisik lansia di daerah Desa Karya Sari lebih tinggi
dibandingkan dengan di Desa Sri Rahayu Jawa Barat.
22
F. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, dan lingkungan (Notoatmojo, 1997). Definisi lain menurut Becker (1979)
perilaku kesehatan adalah hal- hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan
seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga
tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan,
sanitasi, dan sebagainya. Kedua definisi tersebut memiliki banyak persamaan.
Perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang
yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diing inkan, dan kurang
berdasarkan pada pengetahuan biologi (Kosa dan Robenson dalam Notoatmojo,
1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ialah faktor intern (pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya) dan faktor ekstern (iklim,
manusia, sosial ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya).
G. Konsumsi Makanan
Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam
penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Konsumsi makanan yang salah
akan menyebabkan ketidak seimbangan zat gizi mikro maupun makro yang akan
memperburuk keadaan kondisi lansia yang kondisinya sudah menurun. Sebaliknya
konsumsi pangan yang cukup dan seimbang, dapat membentuk dan memelihara
kesehatan dan kebugaran tubuh (Nasution dan Briawan, 1993).
23
Pengukuran yang dapat dilakukan ialah dengan menggunakan metoda
kuantitatif yaitu untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat
dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM), Daftar ukuran Ruma h tangga (URT), Daftar Konversi Masak-Mentah
(DKMM) atau dengan menggunakan program komputer. Metoda- metoda yang biasa
digunakan ialah: recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food record),
penimbangan makanan (food weighing), food account, inventaris (inventory
methode), dan pencatatan (foods record). (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2000).
Pedoman pola diet lansia ialah: a) Penerapan pola makan beragam dan bergizi
seimbang, b) membatasi asupan energi dan lemak untuk mencegah penimbunan
kalori dalam tubuh sehingga terhindar dari obesitas, c) memperhatikan konsumsi
komponen gizi yang penting untuk menunjang kebugaran di usia lanjut seperti:
vitamin; ß-karoten, vitamin B6 (Piridoksin), vitamin B12 (sianokobalamin), asam
folat, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E (a- tokoferol), Mineral; kalsium (Ca), besi
(Fe), seng (Zn), selenium (Se), magnesium (Mg), mangan (Mn), kromium (Cr), dan
Kalium (K), d) membiasakan mengkonsumsi cukup serat dan cairan setiap hari.
(Wirakusuma, 2000)
H. Kecukupan gizi pada lansia
Dengan terjadinya perubahan-perubahan tersebut di atas, maka terjadi pula
perubahan kecukupan gizi pada lansia. Orang berusia 50 – 60 tahun memiliki
perbedaan kebutuhan bila dibandingkan dengan orang yang berusia 80 – 90 tahun.
Kecukupan gizi lansia dapat dilihat dalam tabel 1. Tentu saja kecukupan gizi bagi
24
lansia lebih rendah dari dewasa. Adapun prosentase untuk zat gizi makro adalah
sebagai berikut: 20 – 25% protein, 20% lemak, 55 – 60% karbohidrat. Asam lemak
yang dikonsumsi sebaiknya yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh jamak
(poly unsaturated fatty acid) yang tinggi, yaitu asam lemak omega 3 dan omega 9
seperti yang terdapat pada ikan yang hidup di laut dalam (Krause, et al, 1984).
Gangguan gizi pada lansia dapat berupa kekurangan atau kelebihan gizi.
Keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit atau merupakan akibat
dari satu penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia ada yang bersifat primer
maupun sekunder. Yang bersifat primer antara lain ialah: ketidak tahuan, isolasi
sosial, hidup seorang diri, gangguan indera, gangguan mental, kemiskinan, sedangkan
yang bersifat sekunder antara lain ialah: gangguan napsu makan/selera makan,
gangguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan, alkoholisme, dan lain lain.
Kelompok lansia rawan terhadap keadaan kekurangan gizi. Faktor sosialekonomi seperti kemiskinan, ketidak berdayaan, dan terisolasi menyebabkan
kebutuhan pangan dan gizi lansia tidak terpenuhi. Faktor fisik seperti penurunan
kemampuan fisik dan gangguan kesehatan mulut juga berpengaruh terhadap
terpenuhinya kecukupan gizi lansia. Hasil survei menunjukkan bahwa hampir 20
persen lansia mengonsumsi kurang dari 1.000 kalori/hari. Kekurangan gizi pada
lansia banyak terjadi pada lansia yang tidak dirawat di institusi, yaitu pada lansia
yang tinggal di rumah-rumah miskin, terisolasi dan mempunyai ketergantungan
terhadap orang lain dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizinya, sementara
Kelebihan gizi biasanya akibat dari gaya hidup semasa muda (Wirakusuma, 2000).
25
Tabel 1. Angka kecukupan gizi untuk lansia
Zat Gizi
Energi (Kkal)
Protein (g)
Vitamin A (RE)
Vitamin D (ug)
Vitamin E (mg)
Vitamin K (mg)
Thiamin (mg)
Riboflavin (mg)
Niasin (mg)
Vitamin B12 (mg)
Asam Folat (ug)
Piridoksin (mg)
Vitamin C (mg)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Seng (mg)
Iodium (ug)
Selenium (ug)
Sumber: WNPG, 2004
Laki-laki
(BB=62 kg)
2050
60
600
15
15
65
1.0
1.3
16
2.4
400
1.7
90
800
600
13
13.4
150
30
Perempuan
(BB=54 kg)
1600
45
500
15
15
55
0.8
1.1
14
2.4
400
1.5
75
800
600
12
9.8
150
30
Untuk mempermudah dalam penerapannya, kecukupan makanan satu hari
untuk usia 60 tahun ke atas yang dijabarkan pada tabel 2.
Tabel 2. Kecukupan makanan satu hari (usia 60 tahun ke atas)
Jenis bahan makanan
1. Nasi
2. Lauk daging/ikan,
tempe
tahu
3. Sayur
4. Buah
Laki-laki
3 x 200 gr
(3 X 1,5 gls belimbing)
1,5 x 50 gr
5 x 25 gr (1 pt kecil)
5 x 50 gr
1,5 x 100 gr
(1,5 x 1 gls penuh sayur)
2 x 100 gr
(1 pt sedang)
Perempuan
2 X 200 gr
(2 X 1,5 gls belimbing)
2 x 50 gr
4 x 25 gr (1pt kecil)
4 x 50 gr
1,5 x 100 gr
2 x 100 gr
(1 pt sedang)
Sumber: Leaflet DepKes RI
26
I. Status Gizi
Status gizi seseorang dapat dinilai dengan dua cara yaitu secara langsung dan
tak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan
pengukuran: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan secara tak
langsung : survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Di Amerika
Serikat survei konsumsi makanan digunakan sebagai salah satu cara dalam
menentukan status gizi. Sebenarnya survei konsumsi tidak dapat menentukan status
gizi seseorang atau masyarakat secara langsung. Hasil survei hanya dapat digunakan
sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya status gizi (Supariasa, dkk 1987)
Cara pengukuran yang paling banyak dilakukan ialah pengukuran antropometri. Arti
dari antropometri ialah ukuran tubuh manusia yang bila ditinjau dari sudut pandang
gizi pengukuran tersebut berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat gizi dan umur. Pengukuran secara
umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Hal
itu dapat terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti
lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Christijani, R (2003) ditemukan bahwa lansia yang berstatus gizi kurang sebanyak
31,0 %, yang berstatus gizi normal sebanyak 67,1%, dan yang berstatus gizi lebih
1,8%.
J. Sistem Imun
Sistem kekebalan tubuh terdiri dari mekanisme pertahanan, homeostatis, dan
pengawasan. Mekanisme pertahanan meliputi pemusnahan mikroorganisme yang
27
berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatis meliputi pemusnahan
sel-sel yang aus. Mekanisme pengawasan berfungsi mendeteksi dan menghancurkan
sel yang termutasi, atau menunjukkan tanda-tanda tidak normal karena terinfeksi oleh
virus atau mikroorganisme lain (Zakaria, 1996).
Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis
besar dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu kekebalan adaptif dan non
adaptif (Harlow dan Lane, 1999). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang
merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya
sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh natural killer
(NK). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan
meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali.
Sementara itu pada kekebalan spesfik/adaptif ditujukan untuk melawan
molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang
berulang kali. Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat
mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan
secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini dikenal dengan
nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen.
Gambar berikut ini memberikan penjelasan secara skematik sistem imun non spesifik
(innate) dan spesifik (adaptif/acquired)
28
Gambar 1 . Skema sistem imun nonadaptif (innate) dan adaptif (acquired)
Sumber: Roitt’s Essential Immunology 2001
Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal
benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul
dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi selsel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi tersebut
terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang
terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun
spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi- komplemen-fagosit dan antara sel
T- makrofag (Baratawijaya, 2002).
Pada sistem kekebalan spesifik terdapat dua populasi sel limfosit yang
berperan yaitu Limfosit B yang menghasilkan kekebalan humoral dan sel limfosit T
yang menghasilkan kekebalan seluler (Roitt, 2001). Kedua populasi limfosit
29
merupakan anggota sel darah putih yang mulai
berkembang dari sel awal pada
kehidupan janin haematopoietik yang diproduksi di sum-sum tulang.
Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel
B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B tersebut berasal dari sel asal multi poten. Bila
sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi
sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan
di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi
ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya (Baratawidjaya, 2002)
Sel limfosit B menjadi dewasa dalam sum-sum tulang dan dalam kelenjarkelenjar limfa setelah bermigrasi dari sum-sum. Sel ini bertanggung jawab terhadap
serangan sel dan senyawa asing dengan mensintesis antibodi dimulai dengan aktivitas
seluler ketika sel B bertemu dengan antigen. Setelah pertemuan dengan antigen, sel
B mengalami aktivitas seluler, berubah menjadi limfoblast lalu berproliferasi dan
mensintesis antibodi antigen yang ditemuinya. Sel B dapat mensintesis lima jenis
antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD dan melepasnya ke dalam darah untuk
memusnahkan antigennya dengan membentuk kompleks antibodi (Kresno, 1996 ).
Antibodi akan dilepas ke dalam darah untuk memusnahkan antigen dengan
cara membentuk kompleks antibodi-antigen secara spesifik (Roitt dan Delves, 2001).
Antibodi termasuk dalam kelompok besar glikoprotein yang memiliki struktur kunci
dan ciri-ciri fungsional. Secara fungsional, antibodi dapat dibedakan berdasarkan
30
kemampuannya untuk berikatan baik terhadap antigen maupun terhadap sel atau
protein tertentu dalam sistem imun.
Gambar 2. Distribusi Organ dan Jaringan limfosit di seluruh Tubuh
Sumber: Roitt’s (2001)
Secara struktur, antibodi terdiri dari satu atau lebih copy dari unit karakteristik
yang dapat divisualisasikan memiliki be ntuk seperti huruf Y. Tiap-tiap Y
mengandung 4 polipeptida, dua di antaranya dikenal sebagai heavy chain dan dua
lainnya sebagai light chain. Setiap satu jenis sel limfosit B hanya memproduksi satu
jenis antibodi anti terhadap antigen tertentu. Limfosit ya ng terpicu oleh adanya
31
antigen akan mengalami proliferasi membentuk klon sel plasma yang akan
memproduksi antibodi antigen yang ditemuinya, system ini disebut seleksi klonal
(Roitt, 2001).
Gambar 3. Seleksi klonal dalam pembentukan antibodi dan sel memori setelah kontak
pertama dengan antigen
Sumber: Roitt ( 2001)
Setelah
rangsangan
antigen,
Limfosit
B
akan
mengalami
proses
perkembangan (maturation) melalui 2 jalur, yaitu: 1) berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang membentuk immunoglobulin (antibody), dan membelah lalu kembali ke
32
dalam keadaan istirahat sebagai sel memori (Kresno, 1996). Sel memori
membutuhkan siklus lebih pendek sebelum berkembang menjadi sel efektor (sel
plasma), hal ini mempercepat reaksi tubuh bila terjadi pemaparan sekunder dari
antigen yang sama (Roitt, 2001).
Kemampuan respon imun pada saat orang berusia lanjut akan mengalami
penurunan. Proses penuaan menimbulkan abnormalitas sistem imun yang memberi
kontribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada usia lanjut. Banyak
faktor eksternal yang mempengaruhi hal ini, seperti nutrisi, populasi, bahan kimia,
sinar ultraviolet, genetik, riwayat penyakit , pengaruh neuendokrin dan endokrin serta
variasi anatomi, semua ini akan mengganggu fungsi sistem imun ( Subowo, 1993;
Alder dkk, 1990).
Meningkatnya usia menyebabkan sekresi mukus lambat, angka klirens dan
jumlah mukus total paru berkurang, sekresi kelenjar keringat berkurang, kulit
cenderung kering, dan pH cairan lambung meningkat. Semua hal tersebut dapat
menimbulkan kolonisasi bakteri yang meningkat oleh karena tubuh tidak efisien
menghilangkan bakteri dan virus (Alder dkk, Yoshikawa, 1990; Soeharyo dkk, 1994).
Salah satu perubahan yang terjadi ialah pada kemampuan sistem imun humoral
yang dapat dinilai dengan menghitung jumlah limfosit atau mengukur kadar
imunoglobulin dalam serum. Usia yang bertambah akan diikuti dengan perubahan
perbandingan populasi limfosit T.
Hal ini ditunjukkan oleh perubahan kadar
Immunoglobulin. Kenaikan kadar IgA dan IgG dalam serum diikuti kenaikan
kadarnya dalam cairan otak. Sekresi Ig A (sIgA) merupakan bagian dari sistem imun
33
sekretori berfungsi sebagai aktivitas antiviral seperti pada infeksi akibat rhinovirus,
adenovirus, cehovirus dan virus morbili. Aktivitas lainnya adalah sebagai anti toksin
pada beberapa mirkoorganisme yang menghasilkan eksotoksin seperti V.cholerae dan
anti mikroba pada Steptococcus mutan yang membentuk plak pada permukaan gigi
sebagai awal dari karies gigi (Sigal dkk, 1994; Subowo, 1993).
Respon Imun Pada Permukaan Mukosa (MALT)
Sistem imun pada permukaan mukosa disebut dengan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue),
membran mukosa adalah merupakan pertahanan
pertama inang dari lingkungan di luar tubuh. Permukaan mukosa terdapat di
sepanjang rongga internal yang meliputi rongga hidung, rongga mulut, saluran
pernafasan, saluran pencernaan (gastrointestinal tract=GI tract), dan saluran genital
(Roitt dan Delves, 2001 ; Kiyono, 1997).
Saluran cerna orang dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 400m2 .
Permukaan yang luas tersebut selalu terpajan dengan berbagai mikroba dan makanan
yang mungkin dapat menerangkan mengapa 2/3 seluruh sistem imun ada di saluran
cerna. Peyer’s patch merupakan agregat folikel limfoid di mukosa gastrointestinal
yang ditemukan di seluruh jejunum dan ileum (terbanyak di ileum terminal). Peyer’s
patch merupakan tempat precursor sel B yang dapat melakukan switching untuk
memproduksi IgA (Baratawidjaya, 2002).
MALT membentuk satu sistem hubungan sekretori dimana sel lifosit yang
teraktivasi oleh antigen, terutama yang memproduksi IgA dan IgE, akan bersirkulasi
34
pada seluruh permukaan mukosa membentuk sistem imun mukosal (Roitt dan Delves,
2001). Mekanisme respon imun mukosal ini akan terjadi bila antigen masuk melalui
jalur mulut. Respon imun yang paling umum terjadi adalah respon imun humoral
yaitu peningkatan jumlah sel pensekresi IgA dan IgA sekretori meskipun sel
pensekresi IgG, IgE, dan IgM juga ada dalam jumlah dan tingkat aktivitasnya jauh
lebih rendah (Perdigon, et al, 1995 dan Erickson dan Hubbard, 2000)
Immunoglobulin A
Antibodi IgA memiliki satu, dua atau tiga unit Y. Setiap unit Y memiliki tiga
domain protein. Dua domain bersifat identik dan membentuk dua lengan dari unit Y.
setiap lengan memiliki tempat untuk berikatan dengan antigen secara spesifik yang
disebut dengan epitop. Domain ketiga membentuk bagian dasar unit yang penting
untuk beberapa aktivitas respon imun seperti aktivasi makrofag dan komplemen
(Harlow dan Lane, 1999)
Imunoglobulin A (IgA) ditemukan dalam dua bentuk yaitu serum dan dalam
berbagai sekresi yang merupakan bagian terbanyak. Komponen sekretori melindungi
IgA dari protease mamalia, sIgA melindungi tubuh oleh karena dapat bereaksi dengan
molekul adhesi dari pathogen potensial dan mencegah adherens dan kolonisasinya
dalam sel pejamu. IgA juga dapat bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil,
monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat
meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisasi toksin.
35
Di dalam serum, IgA ditemukan dengan jumlah sedikit, tetapi kadarnya dalam
cairan sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah,
dan air susu ibu lebih tinggi dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam
serum maupun dalam sekresi dapat menetralisasi toksin atau virus dan mencegah
terjadinya kontak antara toksin atau virus dengan sel alat sasaran. (Baratawidjaya,
2002).
Imunoglobulin A (IgA) dalam serum dapat mengaglutinasikan kuman,
mengganggu motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis (opsonisasi) oleh sel
polimorfonuklier. IgA sendiri dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif,
tidak seperti halnya dengan IgG dan IgM, yang dapat mengaktifkan komplemen
melalui jalur klasik (Baratawidjaya, 2002).
IgA sekretori (sIgA) dalam bentuk polimerik menjadi stabil oleh ikatan
polipeptida rantai J (sistein kaya polipeptida) dengan berat molekul (BM) 15000
(Roitt dan Delves, 2001) dan mengandung komponen sekretori. IgA sekretori ideal
untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen karena tahan terhadap proteolisis
intraluminal dan tidak menimbulkan respon inflamasi (Salminen, et al., 1998c).
Imunoglobulin A adalah kelas imunoglobulin kedua terbanyak setelah IgG.
IgA plasma pada umumnya dijumpai dalam bentuk monomerik dan merupakan 15
persen dari kadar imunoglobulin total. Paruh waktunya adalah 5 – 6 hari (Kresno,
1996). Konsentrasi imunoglobulin A normal di darah adalah 1.4-4 mg/ml serum
(Roitt dan Delves, 2001).
36
Gambar 4. Transpor IgA melalui epitel
Sumber: Baratawidjaya (2002)
Defisiensi IgA sering disertai dengan dibentuknya antibodi terhadap antigen
makanan dan inhalan pada alergi. Kadar IgA yang tinggi ditemukan pada infeksi
kronik saluran nafas dan cerna, seperti tuberculosis, sirosis alkoholik, penyakit celiac,
colitis, ulseratif dan penyakit crone. Fungsi IgA serum dalam bentuk monomerik
belum banyak diketahui.
Penurunan Imunitas pada lansia
Kemampuan respon imun pada saat orang berusia lanjut akan mengalami
penurunan. Proses penuaan menimbulkan abnormalitas sistem imun yang memberi
kontribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada usia lanjut. Banyak
faktor eksternal yang mempengaruhi hal ini, seperti: nutrisi, populasi, bahan kimia,
sinar ultraviolet, genetik, penyakit yang pernah diderita , pengaruh neuendokrin dan
37
endokrin serta variasi anatomi akan mengganggu fungsi sistem imun ( Subowo, 1993;
Alder dkk, 1990 ).
Degenerasi terhadap
thymus (kelenjar
kecil
bertanggungjawab terhadap pemeliharaan T-lymphocytes
di
bagian
leher
yang
untuk mengkoordinasi
sistem kekebalan tubuh) terjadi secara berangsur-angsur. B-lymphocytes, sel yang
menghasilkan antibodi juga kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, terjadinya
penurunan sistem kekebalan karena kemampuan tubuh untuk merespon serangan
mikroskopis dan kemampuan produksi antibodi berkurang akibat proses penuaan
(Wirakusuma, 2002).
Meningkatnya usia menyebabkan sekresi mukus lambat, angka klirens dan
jumlah mukus total paru berkurang, sekresi kelenjar keringat berkurang, kulit
cenderung kering, pH cairan lambung meningkat. Semua hal tersebut dapat
menimbulkan kolonisasi yang meningkat oleh karena tubuh tidak efisien
menghilangkan bakteri dan virus (Alder dkk, Yoshikawa, 1990; Soeharyo dkk, 1994).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan malnutrisi protein dan
energi berpengaruh terhadap lemahnya kekebalan tubuh khususnya sel yang
bertanggungjawab terhadap sistem kekebalan tubuh. Dengan demikian perbaikan
asupan gizi pada lansia dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuhnya.
Penurunan
sistem kekebalan menjadikan lansia rentan terhadap berbagai serangan penyakit
infeksi. Menjelang usia lanjut frekuensi sakit pada orang tua menjadi lebih sering
dibandingkan saat muda. Pola penyakit yang menyerang lansia erat hubungannya
dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh (Wirakusuma, 2002).
38
K. Mikroflora Usus
Mikroflora usus sangat penting untuk kesehatan. Mikroflora usus diperoleh
sejak lahir, yang terdiri dari bermacam-macam mikroba yang memiliki fungsi penting
bagi inangnya dalam hal ini manusia. Selama dalam kandungan, janin hidup dan
tumbuh dalam lingkungan yang steril. Akan tetapi, segera setelah dilahirkan janin
terpajan/terpapar oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroflora
kulit ibunya, serta dari lingkungan (Brassart dan Schiffrin, 2000).
Komposisi Mikroflora usus berubah seiring dengan meningkatnya umur
seseorang. Pada orang dewasa yang sehat, mikroflora usus berada dalam
keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antar individu yang satu dengan individu
yang lain (Mizutani, 1992).
Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang
mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan,
dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan
suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan
manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan
proporsi bakteri “baik” dan
menekan jumlah bakteri jahat ya itu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan
menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih
pesat (Surono, 2004).
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mikroflora usus seperti yang
terdapat pada gambar 5.
39
Stres
Makanan
Obat-obatan
Faktor genetik dan fisiologi inang
Komposisi flora usus
Metabolit-metabolit yang
dihasilkan flora usus
Iklim
Kontaminasi bakteri
Gambar 5. Faktor- faktor yang mempengaruhi mikroflora usus (Mitsuoka, 1989)
Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang
mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan,
dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan
suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan
manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan
proporsi bakteri “baik” dan
menekan jumlah bakteri jahat yaitu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan
menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih
pesat (Surono, 2004).
Pada saat menjelang usia dewasa populasi Bifidobacteria sedikit menurun.
Pada usia lanjut, terjadi peningkatan populasi Clostridium perfringens, yaitu bakteri
40
pembusuk, diikuti dengan penurunan Bifidobacteria (Surono, 2004) seperti yang
terdapat pada gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh penuaan pada fekal flora
Sumber: Mitsouka, 1989 dalam Surono, 2004
Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang
mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan,
dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan
suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan
manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan
proporsi bakteri “baik” dan
menekan jumlah bakteri jahat yaitu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan
menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih
pesat (Surono, 2004).
41
L. Probiotik
Konsep probiotik sudah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu, namun baru abad
ke-19 dibuktikan secara ilmiah oleh Ilya Metchnikoff, seorang ilmuan Rusia yang
bekerja di Institut Pasteur, Paris. Metchnikoff mendapatkan, bangsa Bulgaria yang
mempunyai kebiasaan mengonsumsi yogurt (susu fermentasi) tetap sehat dalam usia
lanjut. Susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu
meningkatkan kerja enzim galaktosidase yang memudahkan pencernaan laktosa
dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi ( proses fermentasi pada produk susu, pikel
buah dan sayuran, mengakibatkan terjadinya peningkatan ketersediaan biologis
mineral dengan cara meningkatkan pemanfaatan kalsium, fosfor, dan besi oleh tubuh.
Dengan demikian lebih baik bila dibandingkan dengan mineral yang berasal dari susu
yang tidak difermentasi. Disamping itu kandungan vitamin B1 dan B2 lebih tinggi
pada susu fermentasi. Proses fermentasi pada susu probiotik menurunkan kadar
kolesterol darah, mencegah kanker, dan mengatasi diare. Selain itu probiotik juga
dipercaya dapat meningkatkan metabolisme mineral terutama kalsium, mengurangi
bakteri Helicobacter pylori yang menyebabkan infeksi lambung yang berkepanjangan
(Surono, 2002).
Probiotik termasuk dalam kelompok bakteri baik, misalnya: Bifidobacterium,
Eubacterium dan Lactobacillus. Sedangkan yang dikategorikan sebagai bakteri jahat
adalah Clostridium, Shigella, dan Veillonella. Bakteri-bakteri ini hidup di dalam usus
dalam keadaan seimbang, bila keseimbangan bakteri ini terganggu misalnya terjadi
peningkatan bakteri jahat (patogen) maka akan mengganggu kesehatan orang yang
42
bersangkutan. Bakteri jahat mengeluarkan racun yang dapat menyebabkan diare serta
mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam
saluran pencernaan. Sebaliknya bakteri yang baik akan menghasilkan antibiotika
alami yang membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta
meningkatkan kekebalan tubuh (Surono, 2002).
Ada berbagai definisi probiotik, diantaranya yang dikemukakan oleh Fuller
(1991) yaitu bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan yang
mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan baik pada manusia dan
binatang, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal.
Probiotik asal dadih IS-27526 telah terbukti dapat meningkatkan jumlah
coliform pada faeces dan bakteri asam laktat serta menurunkan jumlah total mikroba
aerob dan anaerob pada lansia ( Pato, dkk. , 2004). Demikian juga pada anak balita,
terbukti secara signifikan meningkatkan total serum IgA serta total saliva IgA
(Surono, dkk., 2004; Reuwepassa, 2005).
Ada beberapa kriteria atau persyaratan agar suatu mikroorganisme dapat
dikatakan probiotik yang efektif dan menguntungkan terhadap kesehatan. Persyaratan
dan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: berasal dari manusia (human origin),
stabil terhadap asam maupun cairan empedu, dapat menempel (adhesi) pada usus
manusia, dapat membentuk koloni pada usus manusia, bersifat antagonis terhadap
bakteri pathogen, memproduksi senyawa antimikroba, bersifat meningkatkan sistem
imun, secara klinis terbukti efeknya terhadap kesehatan, dan aman untuk dikons umsi
(Bassart dan Schiffrin, 2000).
43
Jenis bakteri asam laktat yang telah banyak digunakan sebagai kultur probiotik
adalah Lactobacillus dan Bifidobacteria. Kedua jenis tersebut dikonsumsi dalam
produk makanan fermentasi. Lactobacillus dan Bifidobacteria adalah flora normal
dari usus manusia.
Jumlah sel mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik masih
menjadi perdebatan, akan tetapi umumnya adalah sebesar 10 6 – 108 cfu/ml (Tannock,
1999). Dimana jumlah (viabilitas) mikroorganisme setelah melalui saluran
pencernaan adalah sekitar 106 – 107 cfu/g mukosa (Rouhnik, 1993 di dalam Charteris
et al., 1998) dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan imunitas.
Probiotik memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan diantaranya ia lah:
sintesis
vitamin,
aktifitas
Beta-Galactosidase,
dekonjugasi
garam
empedu,
menghasilkan hydrogen peroksida, memproduksi D dan L asam laktat, mampu
menghambat bakteri pathogen, beradhesi (melekat) dan kolonisasi pada permukaan
usus, mampu berkompetisi pelekatan pada permukaan us us, dan menstimulir sistem
imun. (Surono, 2004). Gambar 7 memperlihatkan manfaat probiotik bagi kesehatan
manusia , terutama bagi saluran pencernaan, juga mencegah kanker usus, penurunan
kadar kolesterol, pencegahan bakteri pathogen, menstimulir respon imun, mengurangi
sembelit, pencegah diabetes, meningkatkan daya cerna laktosa pada penderita
intoleransi laktosa dan menangani alergi terhadap makanan.
44
Suppression of
endogenous
CP
pathogens.eg.antibiotic
-associated diarrhoea
Control of
irritable
Bowel
Syndrome
Control of
inflamatory Bowel
Disease
Ballanced
immune
response
Colonisatio
n resistance
Suppression
of exogenous
pathogens.eg.
travellers
diarrhoea
Strengthened
innate immunity
Normalised
intestinal
microbiota
composition
Immunimodulation
Probiotics
Supply in risk
factors for colon
cancer
Alieviate
food allergy
symtoms in
infants
Metabolic effect
Lower serum
cholesterol
Bile salt deconjugation
and secretion
Lactose hydrolysis
Reduction in
risk for colon
cancer
Level of
toxigenic/mutagenic
reaction in the gut
Improved lactose
tolerance
Gambar 7. Manfaat positif bakteri probiotik bagi kesehatan manusia
Sumber: Salminen dkk, 1996; Kaur dkk., 2002; Saarela dkk., 2002; Ouwenhand dkk.,
2002 dalam Surono, 2004)
45
Ringkasan manfaat kesehatan susu fermentasi probiotik pada saluran
pencernaan , mikrobiota usus, diare, dan lainnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Ringkasan manfaat kesehatan susu probiotik
Aktivitas/efek
Manfaat kesehatan
Saluran pencernaan
Aktif terhadap infeksi H.pylori
Memperbaik i pencernaan laktosa
Menstimulir imunitas saluran usus
Menstimulir gerak peristaltik usus
Mikrobiota usus
Keseimbangan populasi mikrobiota
Mengurangi aktivitas fekal enzim
Kolonisasi pada saluran usus
Mengurangi kesempatan infeksi Salmonella spp
Diare
Pencegahan/penanganan diare akut dan rotavirus
Mencegah diare akibat antibiotik
Penanganan diare akibat Clostridium difficile
Efek lainnya
Memperbaiki kekebalan terhadap penyakit
Menekan terjadinya kanker
Menurunkan serum kolesterol
Menurunkan tekanan darah tinggi
Sumber: Tammime dan Robinson (1999) dalam Surono (2004)
Untuk meningkatkan aktivitas probiotik dalam usus besar sehingga dapat
memberikan manfaat yang lebih baik, maka diperlukan juga adanya prebiotik. Istilah
prebiotik diperkenalkan oleh Gibson dan Roberfroid (1995), dan didefinisikan
sebagai suatu bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang memberikan manfaat
46
bagi tubuh karena secara selektif menstimulir pertumbuhan dan aktivitas bakteri baik
dalam usus besar. Di dalam usus besar, bahan prebiotik akan difermentasi oleh
bakteri probiotik terutama Bifidobacteria dan Lactobaccilus dan menghasilkan asam
lemak rantai pendek dalam bentuk asam asetat, propionat, butirat, L-laktat, juga
karbondioksida dan hydrogen yang dapat dipakai sebagai sumber energi oleh tubuh.
Sumber prebiotik adalah berasal dari sayuran dan buah seperti onion, asparagus,
pisang, kedelai dan artichoke (Surono, 2004).
M. Interaksi Probiotik dengan Sistem Imun
Mekanisme bakteri probiotik dalam memperbaiki dan menstimulir system
imun adalah dengan meningkatkan kandungan antibodi (Bloksma dkk, 1979) dan
meningkatkan aktifitas makrofag, memfasilitasi transport antigen (Kaur, dkk, 2002).
Kemampuan sistem imun mukosal dalam menjaga tubuh terhadap infeksi dan
peradangan saluran usus serta menstimulir sel T menjadi toleran terhadap antigen
yang masuk bersama makanan, mengantar studi bagaimana mekanisme bakteri asam
laktat menstimulir sistem imun mukosal tanpa efek samping. Sistem imun mukosal
bertanggung jawab terhadap 60% produksi imunoglobulin setiap hari (Mestecky dan
Mc Ghee, 1987 dalam Surono, 2004).
Probiotik mampu menstimulir sistem imun akibat adanya senyawa
peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding selnya, melalui komponen dinding
sel peptidoglikan yang menginduksi pada permukaan mukosa. Glukan pada dinding
sel bakteri merangsang makrofag memproduksi interlekuin, meningkatkan aktivitas
proliferasi sel limfosit. Sel limfosit membelah menjadi limfosit T dan limfosit B.
47
Limfosit melepaskan interferon, kembali mengaktifkan makrofag dan limfosit B
memproduksi antibodi yang merupakan respon mekanisme humoral dalam
mekanisme kekebalan spesifik (Ouwehand, dkk, 1999 dan Anderson, 1992).
Interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel M hanya menstimulir
respons imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat probiotik
dengan sel folikel epitelium menstimulir respon imun non–spesifik atau peradangan,
meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik. Interaksinya dengan sel
epithelial dapat mengarah ke peningkatan lokal imunitas atau non-respons dengan
bebas antigen (Surono, 2004).
Jaringan limfoid saluran pencernaan, atau dikenal sebagai GALT (gut
associated lymphoid tissue) adalah yang pertama kontak dengan komponen makanan,
berbagai antigen dari makanan, bakteri “baik” dan “jahat”, dan komponen lainnya
dari luar tubuh. GALT terdiri dari limfosit intraepitelial usus dan limfosit lamina
propria mukosa, komponen agregat imun yang mencakup Peyer’s patches yang
mengandung limfosit B dan T (Surono, 2004). Peyer’s patches banyak terdapat pada
lamina propria usus dan lapisan epitel. Peyer’s patches berfungsi memfasilitasi
transport antigen sehingga meningkatkan respon imun. Limfosit pada lamina propria
sebagian besar adalah limfosit B, yang beberapa diantaranya sudah matang sebagai
sel penghasil antibodi (Burkitt dkk., 1995 dalam Surono, 2004).
Interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel M hanya menstimulir
respons imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat probiotik
dengan sel folikel epitelium me nstimulir respon imun non–spesifik atau peradangan,
48
meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik. Interaksinya dengan sel
epithelial dapat mengarah ke peningkatan lokal imunitas atau non-respons dengan
bebas antigen (Surono, 2004).
Untuk dapat memastikan bakteri asam laktat yang dikonsumsi melakukan
kontak dengan sistem kekebalan dalam usus, maka bakteri asam laktat harus memiliki
sifat-sifat penting seperti tahan terhadap asam dan garam empedu, viabilitas dalam
saluran pencernaan, bertahan terhadap hambatan seperti mukus, epitelium, mikroflora
kompleks, dan pelekatan bakteri asam laktat pada mukosa. Dengan demikian, kriteria
bakteri probiotik yang ideal yaitu dapat memberikan efek positif bagi kesehatan, tidak
pathogen, dan tidak menghasilkan toksin, dikonsumsi dalam keadaan hidup dalam
jumlah besar, mampu bertahan pada saluran pencernaan, misalnya tahan terhadap
keasaman tinggi, serta stabil dan tetap hidup (Surono, 2004).
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan hasil sensus pendud uk yang dilakukan BPS tahun 2000, jumlah
lansia di propinsi Jawa Barat sudah mencapai 3,4 juta lansia, sekitar setengah jumlah
balita. Nantinya pada tahun 2010 lansia dan balita akan tetap bertambah namun dalam
jumlah yang seimbang. Pada tahun 2020 lansia (11,4%) akan lebih banyak dibanding
balita (6,9%), dan jumlah nominalnya juga semakin tinggi. Selama ini perhatian
pemerintah kepada lansia masih belum memadai, permasalahan lansia yang harus
diperhatikan bukan saja masalah kesehatan, namun aspek lain dalam kehidupan lansia
perlu mendapat perhatian lebih serius, baik dari keluarga maupun masyarakat
termasuk pemerintah.
49
Adanya perubahan dalam lingkaran hidup keluarga dimana anak-anak yang
semula berkumpul dengan orang tua ternyata harus meninggalkan orang tua dengan
berbagai alasan seperti: menikah, bekerja, sekolah, dan sebagainya. Dengan
terjadinya
perubahan-perubahan
tersebut
tentu
akan
menimbulkan
berbagai
permasalahan pada lansia, misalnya berkurangnya tenaga/keluarga yang merawat
lansia sementara dengan kondisi fisik lansia yang semakin menurun menyebabkan
pentingnya kehadiran seseorang untuk membantu merawat lansia.
Dalam pandangan masyarakat Indonesia dan beberapa negara di Asia pada
umumnya mengirim orang tua yang sudah berusia lanjut ke panti werdha merupakan
suatu hal yang tabu dan menunjukkan rendahnya penghormatan kepada orang tua.
Hal itu menyebabkan hingga saat ini keluarga merupakan sistem pendukung utama
bagi lansia dan jumlah anak yang masih hidup merupakan hal yang penting sebagai
sumber dari family support system (Wahyuni, 2003).
Meskipun demikian dengan semakin banyaknya perempuan yang memasuki
sektor publik menyebabkan berkurangnya curahan waktu yang dapat digunakan untuk
merawat lansia, juga keadaan ekonomi yang semakin sulit membuat keluarga yang
tidak mampu cenderung mengirim lansia ke panti werdha, sehingga pada
kenyataannya peran panti wredha menjadi penting dalam memberikan dukungan
sosial terhadap lansia.
Bertambahnya usia mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan seperti
perubahan perilaku, perubahan interaksi sosial, dan perubahan aktivitas, selain itu
proses penuaan juga mempengaruhi penurunan fungsi organ dan fungsi imun pada
50
lansia, berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan adanya suatu upaya yang dapat
meningkatkan kesehatan dengan melakukan upaya perbaikan melalui intervensi gizi.
Diduga pemberian intervensi susu plus probiotik akan meningkatkan respons
imun dari lansia dengan meningkatkan antibodi IgA sehingga diharapkan dapat
meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini terjadi mengingat probiotik dapat membantu
keseimbangan mikroflora usus dengan cara meningkatkan jumlah bakteri baik dan
menurunkan jumlah bakteri jahat. Bakteri jahat mengeluarkan racun yang dapat
menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya
senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan. Sebaliknya bakteri yang baik akan
membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan
kekebalan tubuh (Surono, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, antibodi IgA baik pada serum maupun
IgA sekretori merupakan salah satu parameter sistem imun yang baik untuk pengujian
manfaat probiotik terhadap sistem imun. Pada penelitian ini dilakukan uji klinis untuk
mengetahui efek dari isolat bakteri asam laktat (BAL) dadih Enterococcus faecium
IS-27526 terhadap sistem imun lansia, karena respon imun di permukaan mukosal
didominasi oleh respon imun spesifik yaitu peningkatan jumlah sel pensekresi IgA
dan IgA sekretori (Perdignon, et al., 1995).
Terjadinya “secondary aging” yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh
trauma atau penyakit kronis. Kehadiran kondisi kronis sangat mengganggu lansia
dalam menjalankan aktivitas sosialnya seperti melaksanakan tugas merawat diri (selfcare), menikmati kehidupan sosial, dan melaksanakan aktivitas produktif (Eisdofer &
51
Wilkie, 1997). Dengan mengupayakan lansia selama mungkin tetap dalam keadaan
sehat baik fisik, mental, dan sosial untuk mencapai keadaan successful aging
merupakan wujud kepedulian agar para lansia tidak menjadi beban bagi masyarakat.
Secara skematik, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Latar belakang :
- Jenis kelamin
- Usia
- Tempat tinggal- Status
perkawinan
Psikososial:
- Kepuasan
- Depresi
Dukungan sosial:
- Keluarga
- Masyarakat
- Pemerintah
Status gizi:
Respon Imun
- IMT
- Konsumsi makanan
Intervensi dengan
susu probiotik
Fisik:
- Aktifitas fisik
- Perilaku kesehatan
Gambar 8 . Skema kerangka pemikiran pengaruh aspek psikososial dan fisik
terhadap status gizi dan pengaruh intervensi susu probiotik terhadap
respon imun lansia
52
Hipotesis :
Dari kerangka pemikiran yang terdapat pada gambar 8, dikemukakan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan aspek psikososial antara lansia yang berada di panti dan
di masyarakat.
2. Terdapat perbedaan aktivitas fisik, konsumsi makanan, dan status gizi antara
lansia yang berada di panti dan di masyarakat.
3. Terdapat pengaruh intervensi susu plus probiotik asal dadih Enterococcus
faecium IS-27526 terhadap respons imun IgA lansia.
53
Download