II. TINJAUAN PUSTAKA A. Lanjut Usia Pada akhir-akhir ini penelitian tentang lansia sudah mulai memasuki tahap yang menggembirakan. Para ahli melihat bahwa stereotip yang sering menyertai lansia selama ini mulai mengalami perubahan. Tanpa mengenyampingkan adanya keterbatasan fisik, para ahli menyatakan bahwa masa lanjut usia merupakan pengalaman baru, berbeda dengan yang dibayangkan (Baswedan, 2003). Tidak akan ada yang dapat memahami secara tepat masa ini sampai orang tersebut berada di periode tersebut. A. 1. Batasan Lanjut Usia Ada berbagai macam batasan kapan seseorang dikatakan sebagai lanjut usia. Di Indonesia, lanjut usia dimulai sejak usia 60 tahun sesuai dengan yang tertera pada Undang-Undang no: 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Di Amerika, usia 65 tahun digunakan sebagai benchmarck dalam mengelompokkan penduduk berusia lanjut. World Health Organization (WHO) membagi umur tua sebagai berikut: - usia 60 – 74 tahun disebut umur lanjut (elderly) - usia 75 – 90 tahun disebut umur tua (old) - usia di atas 90 tahun disebut umur sangat tua (very-old) Secara umum kita terbiasa dalam pola pikir tentang batasan lanjut usia dalam konotasi jumlah tahun (usia kronologis) karena memang ini merupakan ukuran yang paling praktis dan banyak digunakan. Ada patokan usia yang lebih spesifik, yaitu usia 5 biologis, usia psikologis dan usia sosial. Usia biologis adalah posisi seseorang dibandingkan dengan angka harapan hidup yang ada. Yang terbaik adalah mereka yang sistem organ utamanya berada di atas kondisi rata-rata. Usia sosial ditentukan dengan menilai posisi seseorang dalam kehidupan dibandingkan dengan berbagai posisi rata-rata yang dapat dicapai seseorang, posisi ini ditentukan oleh norma budaya. Dalam memberi penilaian dapat dari cara berpakaian, pola bicara, dan yang lebih menonjol biasanya dalam peran kepemimpinan. Usia psikologis menunjukkan bagaimana seseorang berfungs i dalam merespon kebutuhan/tuntutan lingkungan (Baswedan, 2003) Secara medis usia lanjut tidak dapat ditetapkan dengan pasti, karena bagi masing- masing individu saat mulai timbulnya gejala-gejala akibat proses menua adalah berbeda. Proses menjadi tua sebenarnya sudah mulai dari konsepsi, meskipun proses anabolisme dan hiperplasia merupakan karakteristik dominan setiap organisme. Proses tersebut berlangsung hingga mati, namun gejala- gejala klinik baru timbul setelah proses tersebut berlangsung bertahun-tahun dalam jangka waktu yang berbeda pada setiap orang A.2. Proses Menua (Aging) Menua (menjadi tua/aging ) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struk tur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap lesion/luka (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides dalam Darmojo dan Martono, 2000). Hal itu mengakibatkan secara 6 progresif akan menyebabkan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan makin banyaknya penumpukan distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif. Handler (1960) dalam Schanie & Willis (1986) menyatakan bahwa aging adalah akibat kemunduran yang terjadi pada organisme dewasa sebagai akibat adanya perjalanan waktu. Pada dasarnya kemunduran tersebut tak terhindarkan dan terjadi pada semua mahkluk hidup dan membuat mereka semakin sulit mengatasi tekanan lingkungan sehingga probabilitas terjadinya kematian meningkat. Dengan adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada orang yang telah lanjut usia (lansia) menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap penyakit. Hal itu tentunya harus mendapatkan perhatian khusus baik dari keluarga, masyarakat dan pemerintah kepada kelompok tersebut, mengingat kondisi yang terjadi pada saat ini ialah terjadinya peningkatan jumlah lansia yang sangat besar. Proses menua dipengaruhi oleh faktor: genetik; terkait dengan batasan umur dan jenis kelamin, lingkungan; terkait dengan waktu dan laju proses aging. Menurut Nugroho (1997) proses penuaan (aging) merupakan proses menua atau proses yang terus berlanjut, secara alamiah proses ini dimulai sejak lahir dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Proses ini berbeda-beda pada setiap orang. Birren dan Schaie (1990) menyatakan bahwa tidak ada penyebab tunggal proses ketuaan, karena banyak hal yang dialami organisme sepanjang kehidupannya dan proses ketuaan tersebut lebih banyak merupakan rentetan kejadian dan kekacauan yang berlangsung secara kebetulan. Dalam pandangan ini, proses penuaan 7 merupakan proses perubahan pada organisme yang terjadi secara acak, yang pada mulanya mengikuti pola tetapi kemudian menjadi korban proses degradasi secara acak yang diakibatkan oleh perubahan arah pertumbuhan. Menurut pandangan ini perubahan yang terjadi dalam struktur maupun fungsi organisme dipengaruhi oleh kekuatan atau faktor-faktor di luar seleksi alamiah. Individu berevolusi dari suatu pola pertumbuhan yang teratur kepada suatu keadaan yang kacau dimasa tua, disertai penurunan daya tahan untuk hidup. A.3. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Proses Penuaan: Pada lansia akan terjadi perubahan pada fisik maupun psikisnya. Adapun perubahan fisiologi yang berhubungan dengan aspek gizi pada lansia menurut Krause dan Kathleen (1984) adalah sebagai berikut: 1. Semakin berkurangnya indera penciuman dan perasa sehingga umumnya lansia kurang dapat menikmati makanan dengan baik. Hal itu sering menyebabkan kurangnya asupan pada lansia atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam yang berlebihan yang tentunya dapat berdampak kurang baik bagi kesehatan lansia. 2. Perubahan yang banyak terjadi pada fisiologi gastrointestinal yang mempengaruhi bioavailabilitas adalah atrophy gastritis. Rasinski et al (1986) melaporkan bahwa perkiraan prevalensi atrophik gastritis pada lansia di Boston sebesar 24% pada lansia berusia 60 -69 tahun, 32% pada lansia berusia 70 -79 tahun, dan 40% pada lansia berusia di atas 80 tahun. 8 3. Berkurangnya sekresi saliva yang dapat menimbulkan kesulitan dalam menelan dan dapat mempercepat terjadinya proses kerusakan pada gigi (Webb & Copeman, 1996) 4. Kehilangan gigi. Separuh lansia telah banyak kehilangan gigi, hal ini mengakibatkan terganggunya kemampuan dalam mengonsumsi makanan dengan tekstur keras, sedangkan makanan yang memiliki tekstur lunak biasanya kurang mengandung vitamin A, vitamin C, dan serat sehingga menyebabkan mudah mengalami konstipasi. 6. Menurunnya sekresi HCl HCl merupakan faktor ekstrinsik yang membantu penyerapan vitamin B12 dan kalsium, serta utilisasi protein. Kekurangan HCl dapat menyebabkan lansia mudah terkena osteoporosis. Selain itu menurunnya HC l dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi zat besi yang menyebabkan ane mia, sehingga oksigen tidak dapat diangkut dengan baik. 7. Menurunnya sekresi pepsin dan enzim proteolitik yang mengakibatkan pencernaan protein tidak efisien. 8. Menurunnya sekresi garam empedu, sehingga mengganggu proses penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K. 9. Terjadinya penurunan motilitas usus, sehingga memperpanjang “transit time” dalam saluran gastrointestinal yang mengakibatkan pembesaran perut dan konstipasi 9 Selain itu menurut Astawan dan Wahyuni (1988) perubahan-perubahan pada lansia meliputi: a. Berkurangnya cairan di dalam jaringan b. Meningkatnya kadar lemak di dalam tubuh, c. Meningkatnya kadar zat kapur dalam jaringan otak dan pembuluh darah tetapi mengalami penurunan dalam tulang d. Terjadinya perubahan pada jaringan ikat e. Menurunnya laju metabolisme basal per satuan berat badan f. Menurunnya aktivitas hormon g. Terbentuknya pigmen ketuaan pada otot jantung, sel- sel saraf, kulit, dan sebagainya h. Berkurangnya frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan berkurangnya peredaran darah dan peredaran zat gizi. Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada lansia menurut Kartari (1990) adalah: a. Kulit berubah menjadi tipis, kering, keriput dan tidak elastis lagi. Dengan demikian fungsi kulit sebagai penyekat suhu lingkungan dan perisai terhadap masuknya kuman terganggu. b. Rambut rontok, warna menjadi putih, kering dan tidak mengkilat. Hal ini berkaitan dengan perubahan degeneratif kulit. c. Berkurangnya jumlah sel otot, ukurannya atrofi, volume otot secara keseluruhan menyusut, fungsinya menurun dan kekuatannya berkurang. 10 d. Tulang menjadi keropos akibat penurunan kadar kalsium sehingga mudah patah. e. Menurunnya produksi hormon seks pada pria dan wanita A.4. Teori-teori tentang aging : Teori Sistim Organ Dasar (Organ System Based). Teori ini berdasarkan atas dugaan bahwa adanya hambatan dari organ tertentu dalam tubuh menyebabkan terjadinya proses penuaan. Organ tersebut adalah system endokrin dan system imun. Pada proses penuaan kelenjar timus mengecil, hal itu menyebabkan menurunnya fungsi imun. Penurunan system imun mengakibatkan meningkatnya insiden penyakit infeksi pada lansia. Dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan usia berhubungan dengan peningkatan insiden penyakit. Teori kekebalan tubuh yang juga termasuk dalam breakdown theories, memandang proses penuaan terjadi akibat adanya penurunan sistem kekebalan secara bertahap. Sehingga tubuh tidak dapat lagi mempertahankan diri terhadap luka, penyakit, cel mutant, ataupun sel asing. Hal ini terjadi karena hormon-hormon yang dikeluarkan kelenjar timus, yang mengontrol sistem kekebalan tubuh, menghilang dengan bertambahnya usia. Teori kekebalan (autoimmunity), menekankan bahwa tubuh lansia yang mengalami penuaan sudah tidak dapat lagi membedakan antara sel normal dan tidak normal, dan muncul antibodi ya ng menyerang keduanya yang pada akhirnya menyerang jaringan itu sendiri (Aiken, 1989). Mutasi yang berulang atau perubahan protein pascatranslasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem imun 11 tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya. Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Goldstein, 1989). Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi outo antibodi bermacam- macam pada orang lanjut usia (Brocklehurst, dalam Darmojo, 2000) Teori Radikal bebas. Teori ini paling banyak dianut serta lebih populer. Radikal bebas merupakan penyebab yang penting dari kesalahan dalam fungsi seluler. Macam- macam radikal bebas termasuk superoxide, hydroxyl, lipid peroxy, purine dan pyrimidine radicals, dihasilkan selama proses metabolisme normal. Radikal bebas oksigen dan hydrogen peroksida dalam tubuh sebagai perantara untuk menghasilkan ATP dan energi di mitokondria. Tanpa adanya perantara maka respirasi pada mitokondria akan terhenti. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, dan di dalam tubuh jika fagosit pecah, dan sebagai produk sampingan di dalam rantai pernafasan dalam mitokondria. Walaupun telah ada sistem penangkal, namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan semakin lanjut usia makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel sel makin lama makin banyak akhirnya sel mati (Oen, 1993). 12 Meski dibutuhkan, namun kehadiran radikal bebas dalam konsentrasi tinggi pada tempat dan waktu yang tidak tepat akan berbahaya karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif terhadap senyawa kimia lainnya dalam upaya mendapatkan elektron. Jika radikal bebas berada dalam inti sel, maka akan dapat merusak DNA dan menyebabkan mutasi yang mengarah pada kematian sel. Selain itu radikal bebas juga merusak membran sel, hal ini terjadi pada saat konsentrasi darah putih yang tinggi akan membebaskan radikal bebas yang akan merusak dinding pembuluh darah. Oleh karena itu tingginya jumlah sel darah putih berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit jantung dan arthritis. Terjadinya radikal bebas dalam tubuh menyebabkan molekul- molekul menjadi reaktif. Beberapa makromolekul dan protein akan bereaksi dan menghasilkan suatu ikatan silang (crosslinking), sehingga makro molekul dan protein tidak berfungsi. Hubungan ini tidak dapat diperbaiki dan akan bertumpuk seiring waktu sehingga mengarah pada malfungsi molekul, yang merupakan karakterisasi penuaan organisme. Teori Fisiologik, contohnya teori Adaptasi Stres (Stress Adaptation Theory) menjelaskan proses menua sebagai akibat adaptasi terhadap stres. Stres dapat berasal dari dalam maupun dari luar, juga dapat bersifat fisik, psikologik maupun sosial. Teori Psikologik. Teori Kognitif menerangkan proses menua dalam aspek kognitif. Teori Kontinuitas berdasarkan pada asumsi bahwa identitas merupakan fungsi dari pada hubungan serta interaksi dengan orang lain. Seseorang yang sukses sebelumnya, pada usia lanjut akan tetap berinteraksi dengan lingkungannya serta 13 tetap memelihara identitas dan kekuatan egonya. Teori tahap-tahap perkembangan manusia dari Erickson menerangkan bahwa pada tahap terakhir manusia harus memilih antara sense of integrity atau sense of despair, sedangkan Peck menambahkan bahwa pada usia lanjut seseorang harus memilih antara ego differentiation melawan work role preoccupation (pensiun). Juga harus memilih antara memulihkan hubungan yang baik dengan orang lain dan tetap aktif kreatif, atau terikat pada pikiran yang terpusat pada kemunduran fisiknya. Teori Sosiologik. Teori Perubahan Sosial yang menerangkan menurunnya sumberdaya dan meningkatnya ketergantungan mengakibatkan keadaan sosial tidak merata dan menurunnya sistem penunjang sosial. Teori Penglepasan Ikatan (Disengagement theory) menjelaskan bahwa pada usia lanjut terjadi penurunan partisipasi ke dalam masyarakat karena terjadi proses penglepasan ikatan/penarikan diri secara pelan-pelan. Pensiun merupakan contoh ilustrasi proses penglepasan ikatan, memungkinkan seseorang untuk bebas dari tanggungjawab dari pekerjaan dan tidak perlu mengejar peran lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan (Powell, 2001). Teori ini banyak mendapatkan kritikan dari berbagai ilmuwan sosial. Teori aktivitas memberikan tambahan penjelasan bahwa kehilangan peran, aktivitas, atau hubungan dapat digantikan dengan peran baru atau aktivitas baru yang dapat memberikan kebahagiaan, nilai konsensus, dan kesejahteraan. Dalam teori ini menganggap bahwa penglepasan ikatan bukan merupakan proses alamiah seperti pendapat Cumming dan Hendry. Dalam pandangan teori aktivitas, teori penglepasan adalah melekatnya sifat/pembawaan lansia dan tidak mengembangkan ke arah masa 14 tua yang positif (Powell, 2001). Pada teori ini jika seseorang sebelumnya sangat aktif pada usia lanjut akan tetap memelihara keaktivannya seperti peran dalam keluarga, peran dalam masyarakat dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. B. Psikososial Definisi psikososial (psikologi sosial) menurut McDavid dan Harari ialah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individual dalam kaitan dengan individu lain, kelompok, dan kebudayaan. Pada definisi ini fokus bukan hanya pada perilaku individu, melainkan juga pada pengalamannya. Dengan demikian pengaruh masa lampau secara nyata ikut diperhitungkan. Sementara Baron dan Ryrne mendefinisikan psikologi sosial adalah bidang ilmiah yang mencari pengertian tentang hakikat dan sebab-sebab dari perilaku dan pikiran-pikiran individu dalam situasi sosial. Pada definisi ini tidak hanya mempelajari perilaku tetapi juga mencari pengertian dan sebab-sebab dari perilaku itu (Sarwono, 1999). Perspektif psikososial pada proses penuaan adalah sebagai berikut : Proses penuaan didefinisikan sebagai transformasi dari manusia sesudah usia kematangan fisik yang memberikan peluang terjadinya penurunan daya tahan dan ini merupakan gabungan dari tansformasi reguler dalam penampilan, perilaku, pengalaman, dan peran sosial. Psikososial pada proses penuaan dapat dijelaskan sebagai hasil tidak dipakainya lagi kemampuan yang dimiliki, perubahan dalam kemampuan beradaptasi terhadap variabel lingkungan, dan kehilangan sumberdaya internal maupun eksternal, pengaruh keturunan pada usia harapan hidup. Para ilmuwan bersepakat bahwa 15 genetik/keturunan mempengaruhi panjangnya usia, meski lingkungan juga memainkan peranan yang penting untuk memodifikasi (meningkatkan) usia harapan hidup. Dasar dari teori psikososial pada proses penuaan ialah : pada saat seseorang menjadi tua, mereka memiliki perubahan perilaku, perubahan interaksi sosial, dan perubahan aktifitas karena adanya penglepasan ikatan. Hasil penelitian Darmojo (1991) menunjukkan bahwa keadaan psikososial para lansia di Indonesia pada umumnya masih baik, rasa kesepian yang banyak dijumpai di negara-negara Barat tak dijumpai, juga perasaan depresi dan yang keadaan penuh tergantung pada orang lain hanya kurang dari lima persen. Yang masih ingin tetap bekerja dan masih tetap aktif di rumah berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh lima persen. C. Depresi pada lansia Secara umum lansia terpapar pada beberapa faktor resiko depresi. Bertambahnya penyakit-penyakit fisik, faktor- faktor psikososial dan proses penuaan otak, semuanya ikut berkontribus i terhadap tingginya prevalensi depresi pada lansia. Terjadinya depresi pada lansia merupakan interaksi faktor-faktor biologik-psikologik dan sosial. Faktor sosial adalah berkurangnya interaksi sosial, kesepian, berkabung, dan kemiskinan. Faktor psikologi dapat berupa: rasa rendah diri/kurang percaya diri, kurang rasa keakraban dan menderita penyakit fisik, sedangkan faktor biologik yaitu hilangnya sejumlah neuron maupun neurotransmiter di otak, resiko genetik maupun adanya penyakit (Nasrun, 1999) 16 Penyesua ian kembali merupakan tantangan bagi sebagian besar lansia. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya sumberdaya kepribadian, isolasi sosial dan berbagai macam “kehilangan”. Oleh karenanya golongan lansia lebih banyak mengalami gangguan kejiwaan dibandingkan golongan muda. Depresi pada lansia merupakan suatu gangguan psikiatrik yang banyak dijumpai di samping gangguan kognitif dan gangguan cemas. Sekitar 8% lansia di dalam masyarakat mempunyai gejala depresi yang serius dan hampir 19% mempunyai gejala depresi ringan. Sekitar 50% lansia di rumah sakit jiwa dirawat karena kondisi depresi dan dijumpai sekitar 30% lansia yang menderita gangguan medik akut dan kronik. Menurut Wattis dan Martin angka prevalensi untuk semua jenis depresi adalah 10 – 14% dan 2 – 4% untuk depresi berat (Laksmana, 1996). Depresi pada lansia akan meningkatkan isolasi sosial, morbiditas medik, kekacauan keluarga dan penderitaan pribadi. Pada umumnya lansia jarang mengeluh perasaan depresi, namun lebih berfokus pada keluhan somatik. Menurut ICD-10 WHO, 1992/PPDGJ-III, 1993, diagnosis Episode Depresi di dasarkan pada pedoman berikut: a. Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami: suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan dan berkurangnya energi menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. b. Keadaan tersebut di atas selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari dialami akan disertai gejala-gejala berikut: konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah dan 17 tidak berguna (bahkan pada episode tipe ringan sekalipun), pandangan masa depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan napsu makan berkurang. Periode berlangsungnya gejala lebih pendek dari 2 minggu dapat dibenarkan jika gejala tersebut luar biasa beratnya dan berlangsung cepat. c. Gejala-gejala tersebut diatas menyebabkan hambatan fungsi psiko-sosial seperti cacat fungsi pekerjaan, hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari. Ketidakmampuan, kesehatan fisik, dukungan sosial, faktor sosial ekonomi mempengaruhi tingkat depresi pada lansia (Hariss,T. et al,. 2003). Depresi dapat diperberat oleh faktor- faktor berikut: adanya penyakit-penyakit fisik, 20-30% pasien lansia yang dirawat karena penyakit fisik menderita depresi, penyakit neurologik seperti demensia, parkinson, dan alzheimer; obat, seperti antihistamin, obat jantung, hipertensiantibiotik sedatif, anti parkinson dll; kehilangan seperti kehilangan pasangan hidup atau teman dekat, kehilangan rasa aman, jabatan serta kekuasaan, menurunnya kesehatan, dan lain lain; Isolasi sosial dan situasi lingkungan hidup yang buruk (Laksmana, 1996). D. Kepuasan Kepuasan pada la nsia dapat tercapai bila memiliki status ekonomi yang baik, juga kesehatan fisik dan mental, kehidupan sosial yang baik seperti kepedulian kepada masyarakat, dan memiliki hubungan yang baik dengan anak, cucu dan antar saudara kandung. Lansia akan mendapatkan kepuasan hidup apabila dapat mencapai 18 succesfull aging yaitu kesuksesan yang diperoleh pada usia tua yang merupakan dambaan bagi setiap orang dalam konteks kultural. “Kesuksesan” merupakan evaluasi yang didefinisikan secara relatif pada konteks tertentu. Pada saat ini antara berbagai kultur ada kesepakatan bahwa kesehatan dan keamanan material merupakan hal yang didambakan lansia (Keith, Fry dan Ikels, 1990). Menurut Bearon (1996) Succesfull aging dapat diukur melalui beberapa indikator dari kesejahteraan secara subyektif seperti: kepuasan hidup, kebahagiaan, moral, kesenangan/kesukaan, pandangan tentang kualitas hidup, atau ukuran yang berhubungan dengan hal yang nega tif seperti depresi, kecemasan, dan lain- lain. Aspek sosial seperti kemiskinan, kurang gizi, tempat tinggal di pedesaan, perumahan yang kurang memadai, terbatasnya kesempatan pendidikan, kehilangan akibat kekerasan atau bencana mengurangi peluang hidup dan keterbatasan akses untuk mencapai kehidupan masa tua yang baik/sejahtera (Austin, 1991). Perasaan bahagia yang dimiliki lansia dapat meningkatkan kepuasan diri pada lansia. Menurut penelitian yang dilakukan Jauhari, M (2003) disebutkan bahwa hal yang membuat sebagian besar lansia bahagia adalah terjaminnya kebutuhan hidup. E. Dukungan Sosial Dukungan sosial dapat berasal dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Yang dimaksud dengan dukungan adalah persepsi individu akan kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan oleh orang lain/kelompok lain. Interaksi sosial yang positif bagi lansia adalah adanya perhatian, penerimaan, dan 19 penghargaan agar lansia dapat beradaptasi terhadap kondisi diri pribadi maupun lingkungannya yang berkenaan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri lansia tersebut. Menurut Gottlieb (1994) dalam Catharina (2002) dukungan keluarga dan masyarakat dapat diberikan dengan cara menjalin hubungan yang akrab antara individu atau sekelompok orang lain dalam suatu jaringan sosial yang dapat diandalkan. Dalam hubungan tersebut individu merasakan adanya sekelompok orang lain yang dapat memberikan bantuan, perhatian, dan kasih sayang, penilaian, dan nasihat yang positif bagi upaya penyembuhan penyakit. Hal ini penting, mengingat menurunnya kondisi fisik lansia yang mengakibatkan tingginya insiden penyakit baik penyakit kronik maupun akut. Beberapa contoh dukungan moril yang dapat diberikan keluarga dan masyarakat antara lain: mengatur pola makan lansia, menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan tenteram, memberikan informasi tentang akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, memberikan bimbingan rohani sesuai dengan agamanya. Dukungan materil dari keluarga dan masyarakat berupa uang, makanan, obat-obatan termasuk vitamin, transportasi, keringanan biaya pengobatan, dan peluang untuk menambah penghasilan kepada lansia. Keputusan untuk memberikan dukungan kepada seseorang didasarkan pada kebutuhan individu tersebut. Dukungan dihasilkan dari adanya sikap atau kecenderungan untuk bertindak, berpikir, dan merasa menghadapi situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi bersifat menetap mengandung unsur evaluasi yang timbul dari pengalaman (Djokomoeljanto, 2001). 20 Keluarga adalah unit masyarakat terkecil, di dalamnya terdapat ikatan darah atau perkawinan. Keluarga memiliki berbagai fungsi, di antaranya ialah fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi cinta kasih, dan fungsi ekonomi. Dalam lingkungan keluarga harus tercipta rasa cinta kasih antara anggota keluarga. Menurut Haryono (1995) dengan cinta kasih itu harus dilihat segala sesuatunya dengan kacamata positif untuk makin menggalang persatuan dan kesatuan antar anggota dan antar keluarga dengan keluarga lain, dan antar keluarga dengan masyarakat pada umumnya. Fungsi sosial yang baik dapat diperoleh seseorang melalui pembentukan kepribadian dalam keluarga. Beberapa hal yang memungkinkan terbentuknya fungsi sosial adalah sebagai berikut: (1) kesehatan yang baik menyebabkan orang dapat berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang diperoleh sebelumnya sehingga mempermudah masalah sosial; (2) membentuk motivasi yang dibutuhkan untuk ambil bagian dalam kegiatan sosial; (3) kemahiran dan keterampilan sosial yang diperoleh sebelumnya dapat membantu mengatasi masalah sosial yang timbul (Djokomoeljanto , 2001). Dalam penelitian tentang pola pengaturan kehidupan dan dukungan keluarga di beberapa negara Asia seperti Philipina menunjukkan bahwa merupakan hal yang tabu bila memasukkan orang tua yang sudah jompo ke panti werdha, mereka lebih menyukai merawat orang tuanya dalam keluarga (Abaya, 1991). Demikian juga dengan di negara Singapura, data yang berasal dari hasil Nasional Survey of Senior Citizens (1995) menunjukkan bahwa 85% lansia tinggal bersama anaknya, selebihnya tinggal sendiri, dan tinggal bersama pasangannya. Seperti halnya di Indonesia, 21 kecenderungan lansia tinggal bersama keluarga atau tinggal sendiri, dan merupakan hal yang tabu serta dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama bila memasukkan lansia pada panti wredha, kecuali bagi la nsia yang tidak memiliki keluarga atau atas keinginan lansia sendiri. Hidup bertempat tinggal dengan keluarga merupakan kebiasaan umum bila seorang usia lanjut ditinggal suami/isterinya atau sebelum hal ini terjadi. Umumnya memang keluargalah yang merawat lansia di rumahnya (juga di beberapa negaranegara di Asia yang lain), terutama anak perempuan. Prosentase keikutsertaan lansia naik dengan bertambahnya usia. Bantuan dari keluarga meliputi semua bidang, baik finansial, makanan, pakaian, maupun bantuan fisik juga moral ( Darmojo, 2004). E. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik dapat diukur dari aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living) seperti berjalan, menaiki tangga, makan, buang air kecil dan besar, mandi, mengganti pakaian, dan sebagainya) serta bagaimana perilaku lansia dalam menjaga kesehatannya. Pengukuran aktifitas fisik ini dapat menunjukkan kemandirian lansia dalam mengatasi kegiatannya sehari- hari. Hasil penelitian Matsubayashi dkk (2003) menunjukkan aktifitas fisik lansia di daerah Desa Karya Sari lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Sri Rahayu Jawa Barat. 22 F. Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan (Notoatmojo, 1997). Definisi lain menurut Becker (1979) perilaku kesehatan adalah hal- hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk juga tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya. Kedua definisi tersebut memiliki banyak persamaan. Perilaku kesehatan individu cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan yang diing inkan, dan kurang berdasarkan pada pengetahuan biologi (Kosa dan Robenson dalam Notoatmojo, 1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ialah faktor intern (pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya) dan faktor ekstern (iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya). G. Konsumsi Makanan Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Konsumsi makanan yang salah akan menyebabkan ketidak seimbangan zat gizi mikro maupun makro yang akan memperburuk keadaan kondisi lansia yang kondisinya sudah menurun. Sebaliknya konsumsi pangan yang cukup dan seimbang, dapat membentuk dan memelihara kesehatan dan kebugaran tubuh (Nasution dan Briawan, 1993). 23 Pengukuran yang dapat dilakukan ialah dengan menggunakan metoda kuantitatif yaitu untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), Daftar ukuran Ruma h tangga (URT), Daftar Konversi Masak-Mentah (DKMM) atau dengan menggunakan program komputer. Metoda- metoda yang biasa digunakan ialah: recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food record), penimbangan makanan (food weighing), food account, inventaris (inventory methode), dan pencatatan (foods record). (Supariasa, Bakri dan Fajar, 2000). Pedoman pola diet lansia ialah: a) Penerapan pola makan beragam dan bergizi seimbang, b) membatasi asupan energi dan lemak untuk mencegah penimbunan kalori dalam tubuh sehingga terhindar dari obesitas, c) memperhatikan konsumsi komponen gizi yang penting untuk menunjang kebugaran di usia lanjut seperti: vitamin; ß-karoten, vitamin B6 (Piridoksin), vitamin B12 (sianokobalamin), asam folat, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E (a- tokoferol), Mineral; kalsium (Ca), besi (Fe), seng (Zn), selenium (Se), magnesium (Mg), mangan (Mn), kromium (Cr), dan Kalium (K), d) membiasakan mengkonsumsi cukup serat dan cairan setiap hari. (Wirakusuma, 2000) H. Kecukupan gizi pada lansia Dengan terjadinya perubahan-perubahan tersebut di atas, maka terjadi pula perubahan kecukupan gizi pada lansia. Orang berusia 50 – 60 tahun memiliki perbedaan kebutuhan bila dibandingkan dengan orang yang berusia 80 – 90 tahun. Kecukupan gizi lansia dapat dilihat dalam tabel 1. Tentu saja kecukupan gizi bagi 24 lansia lebih rendah dari dewasa. Adapun prosentase untuk zat gizi makro adalah sebagai berikut: 20 – 25% protein, 20% lemak, 55 – 60% karbohidrat. Asam lemak yang dikonsumsi sebaiknya yang memiliki kandungan asam lemak tak jenuh jamak (poly unsaturated fatty acid) yang tinggi, yaitu asam lemak omega 3 dan omega 9 seperti yang terdapat pada ikan yang hidup di laut dalam (Krause, et al, 1984). Gangguan gizi pada lansia dapat berupa kekurangan atau kelebihan gizi. Keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit atau merupakan akibat dari satu penyakit. Terjadinya kekurangan gizi pada lansia ada yang bersifat primer maupun sekunder. Yang bersifat primer antara lain ialah: ketidak tahuan, isolasi sosial, hidup seorang diri, gangguan indera, gangguan mental, kemiskinan, sedangkan yang bersifat sekunder antara lain ialah: gangguan napsu makan/selera makan, gangguan mengunyah, malabsorbsi, obat-obatan, alkoholisme, dan lain lain. Kelompok lansia rawan terhadap keadaan kekurangan gizi. Faktor sosialekonomi seperti kemiskinan, ketidak berdayaan, dan terisolasi menyebabkan kebutuhan pangan dan gizi lansia tidak terpenuhi. Faktor fisik seperti penurunan kemampuan fisik dan gangguan kesehatan mulut juga berpengaruh terhadap terpenuhinya kecukupan gizi lansia. Hasil survei menunjukkan bahwa hampir 20 persen lansia mengonsumsi kurang dari 1.000 kalori/hari. Kekurangan gizi pada lansia banyak terjadi pada lansia yang tidak dirawat di institusi, yaitu pada lansia yang tinggal di rumah-rumah miskin, terisolasi dan mempunyai ketergantungan terhadap orang lain dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizinya, sementara Kelebihan gizi biasanya akibat dari gaya hidup semasa muda (Wirakusuma, 2000). 25 Tabel 1. Angka kecukupan gizi untuk lansia Zat Gizi Energi (Kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin D (ug) Vitamin E (mg) Vitamin K (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Vitamin B12 (mg) Asam Folat (ug) Piridoksin (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Seng (mg) Iodium (ug) Selenium (ug) Sumber: WNPG, 2004 Laki-laki (BB=62 kg) 2050 60 600 15 15 65 1.0 1.3 16 2.4 400 1.7 90 800 600 13 13.4 150 30 Perempuan (BB=54 kg) 1600 45 500 15 15 55 0.8 1.1 14 2.4 400 1.5 75 800 600 12 9.8 150 30 Untuk mempermudah dalam penerapannya, kecukupan makanan satu hari untuk usia 60 tahun ke atas yang dijabarkan pada tabel 2. Tabel 2. Kecukupan makanan satu hari (usia 60 tahun ke atas) Jenis bahan makanan 1. Nasi 2. Lauk daging/ikan, tempe tahu 3. Sayur 4. Buah Laki-laki 3 x 200 gr (3 X 1,5 gls belimbing) 1,5 x 50 gr 5 x 25 gr (1 pt kecil) 5 x 50 gr 1,5 x 100 gr (1,5 x 1 gls penuh sayur) 2 x 100 gr (1 pt sedang) Perempuan 2 X 200 gr (2 X 1,5 gls belimbing) 2 x 50 gr 4 x 25 gr (1pt kecil) 4 x 50 gr 1,5 x 100 gr 2 x 100 gr (1 pt sedang) Sumber: Leaflet DepKes RI 26 I. Status Gizi Status gizi seseorang dapat dinilai dengan dua cara yaitu secara langsung dan tak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan pengukuran: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan secara tak langsung : survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Di Amerika Serikat survei konsumsi makanan digunakan sebagai salah satu cara dalam menentukan status gizi. Sebenarnya survei konsumsi tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau masyarakat secara langsung. Hasil survei hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya status gizi (Supariasa, dkk 1987) Cara pengukuran yang paling banyak dilakukan ialah pengukuran antropometri. Arti dari antropometri ialah ukuran tubuh manusia yang bila ditinjau dari sudut pandang gizi pengukuran tersebut berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat gizi dan umur. Pengukuran secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Hal itu dapat terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Christijani, R (2003) ditemukan bahwa lansia yang berstatus gizi kurang sebanyak 31,0 %, yang berstatus gizi normal sebanyak 67,1%, dan yang berstatus gizi lebih 1,8%. J. Sistem Imun Sistem kekebalan tubuh terdiri dari mekanisme pertahanan, homeostatis, dan pengawasan. Mekanisme pertahanan meliputi pemusnahan mikroorganisme yang 27 berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatis meliputi pemusnahan sel-sel yang aus. Mekanisme pengawasan berfungsi mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi, atau menunjukkan tanda-tanda tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria, 1996). Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu kekebalan adaptif dan non adaptif (Harlow dan Lane, 1999). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh natural killer (NK). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali. Sementara itu pada kekebalan spesfik/adaptif ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen. Gambar berikut ini memberikan penjelasan secara skematik sistem imun non spesifik (innate) dan spesifik (adaptif/acquired) 28 Gambar 1 . Skema sistem imun nonadaptif (innate) dan adaptif (acquired) Sumber: Roitt’s Essential Immunology 2001 Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi selsel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi tersebut terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi- komplemen-fagosit dan antara sel T- makrofag (Baratawijaya, 2002). Pada sistem kekebalan spesifik terdapat dua populasi sel limfosit yang berperan yaitu Limfosit B yang menghasilkan kekebalan humoral dan sel limfosit T yang menghasilkan kekebalan seluler (Roitt, 2001). Kedua populasi limfosit 29 merupakan anggota sel darah putih yang mulai berkembang dari sel awal pada kehidupan janin haematopoietik yang diproduksi di sum-sum tulang. Yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B tersebut berasal dari sel asal multi poten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya (Baratawidjaya, 2002) Sel limfosit B menjadi dewasa dalam sum-sum tulang dan dalam kelenjarkelenjar limfa setelah bermigrasi dari sum-sum. Sel ini bertanggung jawab terhadap serangan sel dan senyawa asing dengan mensintesis antibodi dimulai dengan aktivitas seluler ketika sel B bertemu dengan antigen. Setelah pertemuan dengan antigen, sel B mengalami aktivitas seluler, berubah menjadi limfoblast lalu berproliferasi dan mensintesis antibodi antigen yang ditemuinya. Sel B dapat mensintesis lima jenis antibodi yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD dan melepasnya ke dalam darah untuk memusnahkan antigennya dengan membentuk kompleks antibodi (Kresno, 1996 ). Antibodi akan dilepas ke dalam darah untuk memusnahkan antigen dengan cara membentuk kompleks antibodi-antigen secara spesifik (Roitt dan Delves, 2001). Antibodi termasuk dalam kelompok besar glikoprotein yang memiliki struktur kunci dan ciri-ciri fungsional. Secara fungsional, antibodi dapat dibedakan berdasarkan 30 kemampuannya untuk berikatan baik terhadap antigen maupun terhadap sel atau protein tertentu dalam sistem imun. Gambar 2. Distribusi Organ dan Jaringan limfosit di seluruh Tubuh Sumber: Roitt’s (2001) Secara struktur, antibodi terdiri dari satu atau lebih copy dari unit karakteristik yang dapat divisualisasikan memiliki be ntuk seperti huruf Y. Tiap-tiap Y mengandung 4 polipeptida, dua di antaranya dikenal sebagai heavy chain dan dua lainnya sebagai light chain. Setiap satu jenis sel limfosit B hanya memproduksi satu jenis antibodi anti terhadap antigen tertentu. Limfosit ya ng terpicu oleh adanya 31 antigen akan mengalami proliferasi membentuk klon sel plasma yang akan memproduksi antibodi antigen yang ditemuinya, system ini disebut seleksi klonal (Roitt, 2001). Gambar 3. Seleksi klonal dalam pembentukan antibodi dan sel memori setelah kontak pertama dengan antigen Sumber: Roitt ( 2001) Setelah rangsangan antigen, Limfosit B akan mengalami proses perkembangan (maturation) melalui 2 jalur, yaitu: 1) berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk immunoglobulin (antibody), dan membelah lalu kembali ke 32 dalam keadaan istirahat sebagai sel memori (Kresno, 1996). Sel memori membutuhkan siklus lebih pendek sebelum berkembang menjadi sel efektor (sel plasma), hal ini mempercepat reaksi tubuh bila terjadi pemaparan sekunder dari antigen yang sama (Roitt, 2001). Kemampuan respon imun pada saat orang berusia lanjut akan mengalami penurunan. Proses penuaan menimbulkan abnormalitas sistem imun yang memberi kontribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada usia lanjut. Banyak faktor eksternal yang mempengaruhi hal ini, seperti nutrisi, populasi, bahan kimia, sinar ultraviolet, genetik, riwayat penyakit , pengaruh neuendokrin dan endokrin serta variasi anatomi, semua ini akan mengganggu fungsi sistem imun ( Subowo, 1993; Alder dkk, 1990). Meningkatnya usia menyebabkan sekresi mukus lambat, angka klirens dan jumlah mukus total paru berkurang, sekresi kelenjar keringat berkurang, kulit cenderung kering, dan pH cairan lambung meningkat. Semua hal tersebut dapat menimbulkan kolonisasi bakteri yang meningkat oleh karena tubuh tidak efisien menghilangkan bakteri dan virus (Alder dkk, Yoshikawa, 1990; Soeharyo dkk, 1994). Salah satu perubahan yang terjadi ialah pada kemampuan sistem imun humoral yang dapat dinilai dengan menghitung jumlah limfosit atau mengukur kadar imunoglobulin dalam serum. Usia yang bertambah akan diikuti dengan perubahan perbandingan populasi limfosit T. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan kadar Immunoglobulin. Kenaikan kadar IgA dan IgG dalam serum diikuti kenaikan kadarnya dalam cairan otak. Sekresi Ig A (sIgA) merupakan bagian dari sistem imun 33 sekretori berfungsi sebagai aktivitas antiviral seperti pada infeksi akibat rhinovirus, adenovirus, cehovirus dan virus morbili. Aktivitas lainnya adalah sebagai anti toksin pada beberapa mirkoorganisme yang menghasilkan eksotoksin seperti V.cholerae dan anti mikroba pada Steptococcus mutan yang membentuk plak pada permukaan gigi sebagai awal dari karies gigi (Sigal dkk, 1994; Subowo, 1993). Respon Imun Pada Permukaan Mukosa (MALT) Sistem imun pada permukaan mukosa disebut dengan MALT (mucosaassociated lymphoid tissue), membran mukosa adalah merupakan pertahanan pertama inang dari lingkungan di luar tubuh. Permukaan mukosa terdapat di sepanjang rongga internal yang meliputi rongga hidung, rongga mulut, saluran pernafasan, saluran pencernaan (gastrointestinal tract=GI tract), dan saluran genital (Roitt dan Delves, 2001 ; Kiyono, 1997). Saluran cerna orang dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 400m2 . Permukaan yang luas tersebut selalu terpajan dengan berbagai mikroba dan makanan yang mungkin dapat menerangkan mengapa 2/3 seluruh sistem imun ada di saluran cerna. Peyer’s patch merupakan agregat folikel limfoid di mukosa gastrointestinal yang ditemukan di seluruh jejunum dan ileum (terbanyak di ileum terminal). Peyer’s patch merupakan tempat precursor sel B yang dapat melakukan switching untuk memproduksi IgA (Baratawidjaya, 2002). MALT membentuk satu sistem hubungan sekretori dimana sel lifosit yang teraktivasi oleh antigen, terutama yang memproduksi IgA dan IgE, akan bersirkulasi 34 pada seluruh permukaan mukosa membentuk sistem imun mukosal (Roitt dan Delves, 2001). Mekanisme respon imun mukosal ini akan terjadi bila antigen masuk melalui jalur mulut. Respon imun yang paling umum terjadi adalah respon imun humoral yaitu peningkatan jumlah sel pensekresi IgA dan IgA sekretori meskipun sel pensekresi IgG, IgE, dan IgM juga ada dalam jumlah dan tingkat aktivitasnya jauh lebih rendah (Perdigon, et al, 1995 dan Erickson dan Hubbard, 2000) Immunoglobulin A Antibodi IgA memiliki satu, dua atau tiga unit Y. Setiap unit Y memiliki tiga domain protein. Dua domain bersifat identik dan membentuk dua lengan dari unit Y. setiap lengan memiliki tempat untuk berikatan dengan antigen secara spesifik yang disebut dengan epitop. Domain ketiga membentuk bagian dasar unit yang penting untuk beberapa aktivitas respon imun seperti aktivasi makrofag dan komplemen (Harlow dan Lane, 1999) Imunoglobulin A (IgA) ditemukan dalam dua bentuk yaitu serum dan dalam berbagai sekresi yang merupakan bagian terbanyak. Komponen sekretori melindungi IgA dari protease mamalia, sIgA melindungi tubuh oleh karena dapat bereaksi dengan molekul adhesi dari pathogen potensial dan mencegah adherens dan kolonisasinya dalam sel pejamu. IgA juga dapat bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisasi toksin. 35 Di dalam serum, IgA ditemukan dengan jumlah sedikit, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluran kemih, air mata, keringat, ludah, dan air susu ibu lebih tinggi dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisasi toksin atau virus dan mencegah terjadinya kontak antara toksin atau virus dengan sel alat sasaran. (Baratawidjaya, 2002). Imunoglobulin A (IgA) dalam serum dapat mengaglutinasikan kuman, mengganggu motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis (opsonisasi) oleh sel polimorfonuklier. IgA sendiri dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif, tidak seperti halnya dengan IgG dan IgM, yang dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik (Baratawidjaya, 2002). IgA sekretori (sIgA) dalam bentuk polimerik menjadi stabil oleh ikatan polipeptida rantai J (sistein kaya polipeptida) dengan berat molekul (BM) 15000 (Roitt dan Delves, 2001) dan mengandung komponen sekretori. IgA sekretori ideal untuk menjaga permukaan mukosa dari antigen karena tahan terhadap proteolisis intraluminal dan tidak menimbulkan respon inflamasi (Salminen, et al., 1998c). Imunoglobulin A adalah kelas imunoglobulin kedua terbanyak setelah IgG. IgA plasma pada umumnya dijumpai dalam bentuk monomerik dan merupakan 15 persen dari kadar imunoglobulin total. Paruh waktunya adalah 5 – 6 hari (Kresno, 1996). Konsentrasi imunoglobulin A normal di darah adalah 1.4-4 mg/ml serum (Roitt dan Delves, 2001). 36 Gambar 4. Transpor IgA melalui epitel Sumber: Baratawidjaya (2002) Defisiensi IgA sering disertai dengan dibentuknya antibodi terhadap antigen makanan dan inhalan pada alergi. Kadar IgA yang tinggi ditemukan pada infeksi kronik saluran nafas dan cerna, seperti tuberculosis, sirosis alkoholik, penyakit celiac, colitis, ulseratif dan penyakit crone. Fungsi IgA serum dalam bentuk monomerik belum banyak diketahui. Penurunan Imunitas pada lansia Kemampuan respon imun pada saat orang berusia lanjut akan mengalami penurunan. Proses penuaan menimbulkan abnormalitas sistem imun yang memberi kontribusi pada sebagian besar penyakit akut dan kronik pada usia lanjut. Banyak faktor eksternal yang mempengaruhi hal ini, seperti: nutrisi, populasi, bahan kimia, sinar ultraviolet, genetik, penyakit yang pernah diderita , pengaruh neuendokrin dan 37 endokrin serta variasi anatomi akan mengganggu fungsi sistem imun ( Subowo, 1993; Alder dkk, 1990 ). Degenerasi terhadap thymus (kelenjar kecil bertanggungjawab terhadap pemeliharaan T-lymphocytes di bagian leher yang untuk mengkoordinasi sistem kekebalan tubuh) terjadi secara berangsur-angsur. B-lymphocytes, sel yang menghasilkan antibodi juga kehilangan fungsinya. Dengan kata lain, terjadinya penurunan sistem kekebalan karena kemampuan tubuh untuk merespon serangan mikroskopis dan kemampuan produksi antibodi berkurang akibat proses penuaan (Wirakusuma, 2002). Meningkatnya usia menyebabkan sekresi mukus lambat, angka klirens dan jumlah mukus total paru berkurang, sekresi kelenjar keringat berkurang, kulit cenderung kering, pH cairan lambung meningkat. Semua hal tersebut dapat menimbulkan kolonisasi yang meningkat oleh karena tubuh tidak efisien menghilangkan bakteri dan virus (Alder dkk, Yoshikawa, 1990; Soeharyo dkk, 1994). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan malnutrisi protein dan energi berpengaruh terhadap lemahnya kekebalan tubuh khususnya sel yang bertanggungjawab terhadap sistem kekebalan tubuh. Dengan demikian perbaikan asupan gizi pada lansia dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuhnya. Penurunan sistem kekebalan menjadikan lansia rentan terhadap berbagai serangan penyakit infeksi. Menjelang usia lanjut frekuensi sakit pada orang tua menjadi lebih sering dibandingkan saat muda. Pola penyakit yang menyerang lansia erat hubungannya dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh (Wirakusuma, 2002). 38 K. Mikroflora Usus Mikroflora usus sangat penting untuk kesehatan. Mikroflora usus diperoleh sejak lahir, yang terdiri dari bermacam-macam mikroba yang memiliki fungsi penting bagi inangnya dalam hal ini manusia. Selama dalam kandungan, janin hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang steril. Akan tetapi, segera setelah dilahirkan janin terpajan/terpapar oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroflora kulit ibunya, serta dari lingkungan (Brassart dan Schiffrin, 2000). Komposisi Mikroflora usus berubah seiring dengan meningkatnya umur seseorang. Pada orang dewasa yang sehat, mikroflora usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antar individu yang satu dengan individu yang lain (Mizutani, 1992). Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan, dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan proporsi bakteri “baik” dan menekan jumlah bakteri jahat ya itu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih pesat (Surono, 2004). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mikroflora usus seperti yang terdapat pada gambar 5. 39 Stres Makanan Obat-obatan Faktor genetik dan fisiologi inang Komposisi flora usus Metabolit-metabolit yang dihasilkan flora usus Iklim Kontaminasi bakteri Gambar 5. Faktor- faktor yang mempengaruhi mikroflora usus (Mitsuoka, 1989) Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan, dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan proporsi bakteri “baik” dan menekan jumlah bakteri jahat yaitu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih pesat (Surono, 2004). Pada saat menjelang usia dewasa populasi Bifidobacteria sedikit menurun. Pada usia lanjut, terjadi peningkatan populasi Clostridium perfringens, yaitu bakteri 40 pembusuk, diikuti dengan penurunan Bifidobacteria (Surono, 2004) seperti yang terdapat pada gambar 6. Gambar 6. Pengaruh penuaan pada fekal flora Sumber: Mitsouka, 1989 dalam Surono, 2004 Populasi bakteri dalam ekosistem saluran pencernaan orang sehat yang mengonsumsi diet berimbang umumnya stabil. Perubahan pola hidup, pola makan, dan kondisi sakit mengubah stabilitas ekosistem tersebut. Sehingga perlu diupayakan suatu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora usus dengan melakukan manajemen mikroflora usus yaitu meningkatkan proporsi bakteri “baik” dan menekan jumlah bakteri jahat yaitu dengan cara mengkonsumsi probiotik dan menyediakan nutrisi sesuai untuk bakteri probiotik agar dalam usus berkembang lebih pesat (Surono, 2004). 41 L. Probiotik Konsep probiotik sudah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu, namun baru abad ke-19 dibuktikan secara ilmiah oleh Ilya Metchnikoff, seorang ilmuan Rusia yang bekerja di Institut Pasteur, Paris. Metchnikoff mendapatkan, bangsa Bulgaria yang mempunyai kebiasaan mengonsumsi yogurt (susu fermentasi) tetap sehat dalam usia lanjut. Susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidase yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi ( proses fermentasi pada produk susu, pikel buah dan sayuran, mengakibatkan terjadinya peningkatan ketersediaan biologis mineral dengan cara meningkatkan pemanfaatan kalsium, fosfor, dan besi oleh tubuh. Dengan demikian lebih baik bila dibandingkan dengan mineral yang berasal dari susu yang tidak difermentasi. Disamping itu kandungan vitamin B1 dan B2 lebih tinggi pada susu fermentasi. Proses fermentasi pada susu probiotik menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker, dan mengatasi diare. Selain itu probiotik juga dipercaya dapat meningkatkan metabolisme mineral terutama kalsium, mengurangi bakteri Helicobacter pylori yang menyebabkan infeksi lambung yang berkepanjangan (Surono, 2002). Probiotik termasuk dalam kelompok bakteri baik, misalnya: Bifidobacterium, Eubacterium dan Lactobacillus. Sedangkan yang dikategorikan sebagai bakteri jahat adalah Clostridium, Shigella, dan Veillonella. Bakteri-bakteri ini hidup di dalam usus dalam keadaan seimbang, bila keseimbangan bakteri ini terganggu misalnya terjadi peningkatan bakteri jahat (patogen) maka akan mengganggu kesehatan orang yang 42 bersangkutan. Bakteri jahat mengeluarkan racun yang dapat menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan. Sebaliknya bakteri yang baik akan menghasilkan antibiotika alami yang membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan kekebalan tubuh (Surono, 2002). Ada berbagai definisi probiotik, diantaranya yang dikemukakan oleh Fuller (1991) yaitu bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada kesehatan baik pada manusia dan binatang, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal. Probiotik asal dadih IS-27526 telah terbukti dapat meningkatkan jumlah coliform pada faeces dan bakteri asam laktat serta menurunkan jumlah total mikroba aerob dan anaerob pada lansia ( Pato, dkk. , 2004). Demikian juga pada anak balita, terbukti secara signifikan meningkatkan total serum IgA serta total saliva IgA (Surono, dkk., 2004; Reuwepassa, 2005). Ada beberapa kriteria atau persyaratan agar suatu mikroorganisme dapat dikatakan probiotik yang efektif dan menguntungkan terhadap kesehatan. Persyaratan dan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: berasal dari manusia (human origin), stabil terhadap asam maupun cairan empedu, dapat menempel (adhesi) pada usus manusia, dapat membentuk koloni pada usus manusia, bersifat antagonis terhadap bakteri pathogen, memproduksi senyawa antimikroba, bersifat meningkatkan sistem imun, secara klinis terbukti efeknya terhadap kesehatan, dan aman untuk dikons umsi (Bassart dan Schiffrin, 2000). 43 Jenis bakteri asam laktat yang telah banyak digunakan sebagai kultur probiotik adalah Lactobacillus dan Bifidobacteria. Kedua jenis tersebut dikonsumsi dalam produk makanan fermentasi. Lactobacillus dan Bifidobacteria adalah flora normal dari usus manusia. Jumlah sel mikroba hidup yang harus terdapat pada produk probiotik masih menjadi perdebatan, akan tetapi umumnya adalah sebesar 10 6 – 108 cfu/ml (Tannock, 1999). Dimana jumlah (viabilitas) mikroorganisme setelah melalui saluran pencernaan adalah sekitar 106 – 107 cfu/g mukosa (Rouhnik, 1993 di dalam Charteris et al., 1998) dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan imunitas. Probiotik memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan diantaranya ia lah: sintesis vitamin, aktifitas Beta-Galactosidase, dekonjugasi garam empedu, menghasilkan hydrogen peroksida, memproduksi D dan L asam laktat, mampu menghambat bakteri pathogen, beradhesi (melekat) dan kolonisasi pada permukaan usus, mampu berkompetisi pelekatan pada permukaan us us, dan menstimulir sistem imun. (Surono, 2004). Gambar 7 memperlihatkan manfaat probiotik bagi kesehatan manusia , terutama bagi saluran pencernaan, juga mencegah kanker usus, penurunan kadar kolesterol, pencegahan bakteri pathogen, menstimulir respon imun, mengurangi sembelit, pencegah diabetes, meningkatkan daya cerna laktosa pada penderita intoleransi laktosa dan menangani alergi terhadap makanan. 44 Suppression of endogenous CP pathogens.eg.antibiotic -associated diarrhoea Control of irritable Bowel Syndrome Control of inflamatory Bowel Disease Ballanced immune response Colonisatio n resistance Suppression of exogenous pathogens.eg. travellers diarrhoea Strengthened innate immunity Normalised intestinal microbiota composition Immunimodulation Probiotics Supply in risk factors for colon cancer Alieviate food allergy symtoms in infants Metabolic effect Lower serum cholesterol Bile salt deconjugation and secretion Lactose hydrolysis Reduction in risk for colon cancer Level of toxigenic/mutagenic reaction in the gut Improved lactose tolerance Gambar 7. Manfaat positif bakteri probiotik bagi kesehatan manusia Sumber: Salminen dkk, 1996; Kaur dkk., 2002; Saarela dkk., 2002; Ouwenhand dkk., 2002 dalam Surono, 2004) 45 Ringkasan manfaat kesehatan susu fermentasi probiotik pada saluran pencernaan , mikrobiota usus, diare, dan lainnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Ringkasan manfaat kesehatan susu probiotik Aktivitas/efek Manfaat kesehatan Saluran pencernaan Aktif terhadap infeksi H.pylori Memperbaik i pencernaan laktosa Menstimulir imunitas saluran usus Menstimulir gerak peristaltik usus Mikrobiota usus Keseimbangan populasi mikrobiota Mengurangi aktivitas fekal enzim Kolonisasi pada saluran usus Mengurangi kesempatan infeksi Salmonella spp Diare Pencegahan/penanganan diare akut dan rotavirus Mencegah diare akibat antibiotik Penanganan diare akibat Clostridium difficile Efek lainnya Memperbaiki kekebalan terhadap penyakit Menekan terjadinya kanker Menurunkan serum kolesterol Menurunkan tekanan darah tinggi Sumber: Tammime dan Robinson (1999) dalam Surono (2004) Untuk meningkatkan aktivitas probiotik dalam usus besar sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih baik, maka diperlukan juga adanya prebiotik. Istilah prebiotik diperkenalkan oleh Gibson dan Roberfroid (1995), dan didefinisikan sebagai suatu bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang memberikan manfaat 46 bagi tubuh karena secara selektif menstimulir pertumbuhan dan aktivitas bakteri baik dalam usus besar. Di dalam usus besar, bahan prebiotik akan difermentasi oleh bakteri probiotik terutama Bifidobacteria dan Lactobaccilus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek dalam bentuk asam asetat, propionat, butirat, L-laktat, juga karbondioksida dan hydrogen yang dapat dipakai sebagai sumber energi oleh tubuh. Sumber prebiotik adalah berasal dari sayuran dan buah seperti onion, asparagus, pisang, kedelai dan artichoke (Surono, 2004). M. Interaksi Probiotik dengan Sistem Imun Mekanisme bakteri probiotik dalam memperbaiki dan menstimulir system imun adalah dengan meningkatkan kandungan antibodi (Bloksma dkk, 1979) dan meningkatkan aktifitas makrofag, memfasilitasi transport antigen (Kaur, dkk, 2002). Kemampuan sistem imun mukosal dalam menjaga tubuh terhadap infeksi dan peradangan saluran usus serta menstimulir sel T menjadi toleran terhadap antigen yang masuk bersama makanan, mengantar studi bagaimana mekanisme bakteri asam laktat menstimulir sistem imun mukosal tanpa efek samping. Sistem imun mukosal bertanggung jawab terhadap 60% produksi imunoglobulin setiap hari (Mestecky dan Mc Ghee, 1987 dalam Surono, 2004). Probiotik mampu menstimulir sistem imun akibat adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding selnya, melalui komponen dinding sel peptidoglikan yang menginduksi pada permukaan mukosa. Glukan pada dinding sel bakteri merangsang makrofag memproduksi interlekuin, meningkatkan aktivitas proliferasi sel limfosit. Sel limfosit membelah menjadi limfosit T dan limfosit B. 47 Limfosit melepaskan interferon, kembali mengaktifkan makrofag dan limfosit B memproduksi antibodi yang merupakan respon mekanisme humoral dalam mekanisme kekebalan spesifik (Ouwehand, dkk, 1999 dan Anderson, 1992). Interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel M hanya menstimulir respons imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel folikel epitelium menstimulir respon imun non–spesifik atau peradangan, meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik. Interaksinya dengan sel epithelial dapat mengarah ke peningkatan lokal imunitas atau non-respons dengan bebas antigen (Surono, 2004). Jaringan limfoid saluran pencernaan, atau dikenal sebagai GALT (gut associated lymphoid tissue) adalah yang pertama kontak dengan komponen makanan, berbagai antigen dari makanan, bakteri “baik” dan “jahat”, dan komponen lainnya dari luar tubuh. GALT terdiri dari limfosit intraepitelial usus dan limfosit lamina propria mukosa, komponen agregat imun yang mencakup Peyer’s patches yang mengandung limfosit B dan T (Surono, 2004). Peyer’s patches banyak terdapat pada lamina propria usus dan lapisan epitel. Peyer’s patches berfungsi memfasilitasi transport antigen sehingga meningkatkan respon imun. Limfosit pada lamina propria sebagian besar adalah limfosit B, yang beberapa diantaranya sudah matang sebagai sel penghasil antibodi (Burkitt dkk., 1995 dalam Surono, 2004). Interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel M hanya menstimulir respons imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat probiotik dengan sel folikel epitelium me nstimulir respon imun non–spesifik atau peradangan, 48 meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik. Interaksinya dengan sel epithelial dapat mengarah ke peningkatan lokal imunitas atau non-respons dengan bebas antigen (Surono, 2004). Untuk dapat memastikan bakteri asam laktat yang dikonsumsi melakukan kontak dengan sistem kekebalan dalam usus, maka bakteri asam laktat harus memiliki sifat-sifat penting seperti tahan terhadap asam dan garam empedu, viabilitas dalam saluran pencernaan, bertahan terhadap hambatan seperti mukus, epitelium, mikroflora kompleks, dan pelekatan bakteri asam laktat pada mukosa. Dengan demikian, kriteria bakteri probiotik yang ideal yaitu dapat memberikan efek positif bagi kesehatan, tidak pathogen, dan tidak menghasilkan toksin, dikonsumsi dalam keadaan hidup dalam jumlah besar, mampu bertahan pada saluran pencernaan, misalnya tahan terhadap keasaman tinggi, serta stabil dan tetap hidup (Surono, 2004). Kerangka Pemikiran Berdasarkan hasil sensus pendud uk yang dilakukan BPS tahun 2000, jumlah lansia di propinsi Jawa Barat sudah mencapai 3,4 juta lansia, sekitar setengah jumlah balita. Nantinya pada tahun 2010 lansia dan balita akan tetap bertambah namun dalam jumlah yang seimbang. Pada tahun 2020 lansia (11,4%) akan lebih banyak dibanding balita (6,9%), dan jumlah nominalnya juga semakin tinggi. Selama ini perhatian pemerintah kepada lansia masih belum memadai, permasalahan lansia yang harus diperhatikan bukan saja masalah kesehatan, namun aspek lain dalam kehidupan lansia perlu mendapat perhatian lebih serius, baik dari keluarga maupun masyarakat termasuk pemerintah. 49 Adanya perubahan dalam lingkaran hidup keluarga dimana anak-anak yang semula berkumpul dengan orang tua ternyata harus meninggalkan orang tua dengan berbagai alasan seperti: menikah, bekerja, sekolah, dan sebagainya. Dengan terjadinya perubahan-perubahan tersebut tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan pada lansia, misalnya berkurangnya tenaga/keluarga yang merawat lansia sementara dengan kondisi fisik lansia yang semakin menurun menyebabkan pentingnya kehadiran seseorang untuk membantu merawat lansia. Dalam pandangan masyarakat Indonesia dan beberapa negara di Asia pada umumnya mengirim orang tua yang sudah berusia lanjut ke panti werdha merupakan suatu hal yang tabu dan menunjukkan rendahnya penghormatan kepada orang tua. Hal itu menyebabkan hingga saat ini keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi lansia dan jumlah anak yang masih hidup merupakan hal yang penting sebagai sumber dari family support system (Wahyuni, 2003). Meskipun demikian dengan semakin banyaknya perempuan yang memasuki sektor publik menyebabkan berkurangnya curahan waktu yang dapat digunakan untuk merawat lansia, juga keadaan ekonomi yang semakin sulit membuat keluarga yang tidak mampu cenderung mengirim lansia ke panti werdha, sehingga pada kenyataannya peran panti wredha menjadi penting dalam memberikan dukungan sosial terhadap lansia. Bertambahnya usia mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan seperti perubahan perilaku, perubahan interaksi sosial, dan perubahan aktivitas, selain itu proses penuaan juga mempengaruhi penurunan fungsi organ dan fungsi imun pada 50 lansia, berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan adanya suatu upaya yang dapat meningkatkan kesehatan dengan melakukan upaya perbaikan melalui intervensi gizi. Diduga pemberian intervensi susu plus probiotik akan meningkatkan respons imun dari lansia dengan meningkatkan antibodi IgA sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini terjadi mengingat probiotik dapat membantu keseimbangan mikroflora usus dengan cara meningkatkan jumlah bakteri baik dan menurunkan jumlah bakteri jahat. Bakteri jahat mengeluarkan racun yang dapat menyebabkan diare serta mengeluarkan enzim yang mendorong terbentuknya senyawa karsinogenik dalam saluran pencernaan. Sebaliknya bakteri yang baik akan membantu keutuhan mukosa usus, proses metabolisme, serta meningkatkan kekebalan tubuh (Surono, 2002). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, antibodi IgA baik pada serum maupun IgA sekretori merupakan salah satu parameter sistem imun yang baik untuk pengujian manfaat probiotik terhadap sistem imun. Pada penelitian ini dilakukan uji klinis untuk mengetahui efek dari isolat bakteri asam laktat (BAL) dadih Enterococcus faecium IS-27526 terhadap sistem imun lansia, karena respon imun di permukaan mukosal didominasi oleh respon imun spesifik yaitu peningkatan jumlah sel pensekresi IgA dan IgA sekretori (Perdignon, et al., 1995). Terjadinya “secondary aging” yaitu ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma atau penyakit kronis. Kehadiran kondisi kronis sangat mengganggu lansia dalam menjalankan aktivitas sosialnya seperti melaksanakan tugas merawat diri (selfcare), menikmati kehidupan sosial, dan melaksanakan aktivitas produktif (Eisdofer & 51 Wilkie, 1997). Dengan mengupayakan lansia selama mungkin tetap dalam keadaan sehat baik fisik, mental, dan sosial untuk mencapai keadaan successful aging merupakan wujud kepedulian agar para lansia tidak menjadi beban bagi masyarakat. Secara skematik, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Latar belakang : - Jenis kelamin - Usia - Tempat tinggal- Status perkawinan Psikososial: - Kepuasan - Depresi Dukungan sosial: - Keluarga - Masyarakat - Pemerintah Status gizi: Respon Imun - IMT - Konsumsi makanan Intervensi dengan susu probiotik Fisik: - Aktifitas fisik - Perilaku kesehatan Gambar 8 . Skema kerangka pemikiran pengaruh aspek psikososial dan fisik terhadap status gizi dan pengaruh intervensi susu probiotik terhadap respon imun lansia 52 Hipotesis : Dari kerangka pemikiran yang terdapat pada gambar 8, dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan aspek psikososial antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat. 2. Terdapat perbedaan aktivitas fisik, konsumsi makanan, dan status gizi antara lansia yang berada di panti dan di masyarakat. 3. Terdapat pengaruh intervensi susu plus probiotik asal dadih Enterococcus faecium IS-27526 terhadap respons imun IgA lansia. 53