STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN PADA EKOSISTEM MANGROVE (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah) ABD. WAHID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2007 Abd. Wahid NIM P052050041 iii ABSTRACT ABD. WAHID. Study of Soil Hexapods Diversity in Different Type of Land Cover on Mangrove Ecosystem in Togean Island National Park, Tojo Una-Una Regency. Under direction of HADI S. ALIKODRA, and YAYUK R. SUHARDJONO. Soil fauna is known compose 75% of each one million type of teresterial animal in the world. That number is dominated by Arthropods, specially Hexapods. In Indonesia, the research of soil Hexapods on mangrove ecosystem is very limited. Consequently, the information about diversity and role of Hexapods is also limited. Based on the reasons as mentioned above, this research focused on inventarisation of soil Hexapods diversity in ecosystem of mangrove. This research was conducted on the six types of land cover in the area of National Park of Togean Island, Tojo Una-Una Regency, Central Sulawesi Province. The data were collected from February to July 2007 by using “Pitfall Traps (PFT) and soil sampel (PCT)” method. The result showed that, the different density of population and diversity of soil Hexapods is influenced by compositioin of vegetation, litter layer, and composition of organic matter (C-organic) on six types of land. Soil environment factor like: temperature, humidity, pH, organic matter (C-organic and N-total) are also influence the abundance of soil Hexapods. This research collected 2,567 individu of soil Hexapods, compose of 2,078 Collembola, 489 Insect, which where grouped on 28 family and 12 ordo. Mangrove ecosystem with high density of different type of vegetation have a good composition and diversity of soil Hexapods. The number family that have a role as decomposition is more (78.8%-100%) than as fitofag, predator, and parasit. The variation of family with different role will emprove the stabilization of mangrove ecosystem. Keywords : Land cover, soil Hexapods diversity, soil environment factor, soil Hexapods role. iv RINGKASAN ABD. WAHID. Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una - Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA dan YAYUK R. SUHARDJONO. Pada kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean hutan mangrove umumnya rusak karena kegiatan konversi hutan mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, daerah pertanian, perkebunan, tambak, pemukiman dan pembangunan. Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun 75% dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda (serangga) (Biological Survey of Canada, 1991). Hexapoda tanah berfungsi sebagai perombak bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu, parasit dan pemangsa, serta sebagai pengendali penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Peranannya tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lain. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadiran Hexapoda tanah, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat. Data dasar mengenai keanekaragaman dan keadaan populasi Hexapoda tanah pada suatu habitat akan berguna dalam mengkaji lebih rinci peran dan manfaatnya yang berkaitan dengan kemapanan ekosistem tempat mereka hidup. Informasi yang lengkap mengenai Hexapoda tanah pada suatu habitat tertentu akan membantu dalam pengelolaan kawasan yang lebih berkesinambungan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji kepadatan populasi dan keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove, peran/fungsi masing-masing suku Hexapoda tanah dalam ekosistem mangrove, serta mengkaji faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah. Penelitian dilakukan di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah pada enam lokasi penelitian yaitu hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang, kebun campuran, tambak dan lahan kosong. Pengumpulan Hexapoda tanah dilakukan dengan menggunakan metode perangkap sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan pengambilan contoh tanah (PCT). Untuk analisis data digunakan indeks Hill (Ludwig dan Reynolds, 1988) dengan program BioDAP for Windows v.1988, dan analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan tanah (MINITAB Versi 14.01). Hexapoda tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode PFT dan PCT sebanyak 2.567 individu yang tergolong atas 28 suku, 12 ordo, dan 2 kelas. Komposisi kelas Collembola terdiri atas 3 ordo, 4 famili, dan 2.078 individu; sedangkan kelas Insecta 9 ordo, 24 famili dan 489 individu. Collembola memiliki kekayaan spesies/individu paling tinggi. Dengan menggunakan PFT, perolehan jumlah individu, suku dan ordo v Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada lokasi penelitian lebih tinggi daripada dengan menggunakan PCT, kecuali pada tambak non tumpangsari perolehan jumlah ordo dan suku lebih tinggi pada PCT. Namun jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan yang paling melimpah dengan menggunakan PCT lebih tinggi daripada dengan PFT. Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan pada daerah permukaan tanah adalah Collembola, disusul Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah Collembola dan Psocoptera. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan takson yang ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah dengan kelimpahan individu tinggi. Ditemukannya kedua takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi serta penyebarannya relatif luas di tanah. Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah individu Hexapoda tanah dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah daripada hutan mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan beragamnya vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, serta adanya perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Selain itu diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik dan N-total). Dengan metode PFT, pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling melimpah (N2) tertinggi pada di hutan mangrove jarang. Di daerah yang telah dikonversi total jumlah individu (710) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di kebun campuran, sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah dan paling melimpah tertinggi di lahan kosong, selain itu jumlah suku yang melimpah tertinggi juga ditemukan di kebun campuran. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, dengan metode PCT, total jumlah individu di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31). Sedangkan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi suku tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang. Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah tertinggi (76) di kebun campuran, demikian pula dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi semuanya ditemukan di kebun campuran. Tingginya nilai keanekaragaman Hexapoda tanah ini diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut. Menurut Suhardjono (1992), kelimpahan Collembola dan Hexapoda tanah lainnya bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah. Lapisan tanah yang jumlah individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber pakan. Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi Hexapoda tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong dan mangrove jarang vi memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasikan kondisi ekosistem yang kurang stabil. Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi pada setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Persentase perombak dipermukaan tanah (metode PFT) berkisar 78,8% - 99,5%, sedangkan di dalam tanah (metode PCT) 93,3% - 100%. Dengan metode PFT, jumlah individu Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar, baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 78,8% - 86,4%), maupun pada hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 94,0% - 99,5%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641), diikuti oleh ordo Hymenoptera/Formicidae (38) dan Diptera (25). Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa (130 individu) sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (114), Hymenoptera (11). Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) umumnya berasal dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sedangkan kelompok pemarasit tidak satupun yang ditemukan. Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44) dan Diptera (31). Kelompok yang berperan sebagai pemangsa (42 individu), sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Kelompok fitofagus (11 individu) didominasi ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove yang belum dikonversi. Pada metode PCT, jumlah perombak yang diperoleh sangat dominan baik pada hutan mangrove yang belum dikonversi (kisaran 96,4% - 100%) maupun hutan mangrove yang telah dikonversi (kisaran 93,3% - 97,4%). Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh ordo Psocoptera (36), Collembola (14) dan Diptera (14). Kelompok predator/pemangsa hanya ditemukan pada ordo Diptera (1 individu), sedangkan kelompok fitofagus diwakili oleh ordo Homoptera (1 individu). Pada hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah perombak 112 individu umumnya berasal dari Collembola (44), diikuti ordo Psocoptera (32) dan Coleoptera (20). Kelompok peran yang lain yaitu pemangsa/predator ditemukan dalam populasi yang rendah (4 individu) diwakili oleh ordo Diptera, Hymenoptera dan Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu fitofagus dan pemarasit tidak ditemukan pada lokasi tersebut. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik) adalah suhu dan kelembaban tanah, porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah. Kata kunci : vegetasi mangrove, penutupan lahan, keanekaragaman, Hexapoda tanah. vii © Hak Cipta milik IPB, tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB viii STUDI KEANEKARAGAMAN HEXAPODA TANAH DI BERBAGAI JENIS PENUTUPAN LAHAN PADA EKOSISTEM MANGROVE (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah) ABD. WAHID Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ix Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS. x Judul Tesis : Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Pada Ekosistem Mangrove (Studi Kasus di Taman Nasional Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah) Nama : Abd. Wahid NIM : P052050041 Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS. Ketua Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono Anggota Diketahui Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dr. Ir. Etty Riani, MS. Tanggal Ujian : 30 Oktober 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Lulus : November 2007 xi PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tak lupa shalawat dan salam dipersembahkan kepada Nabiullah Muhammad SAW atas keteladannya. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Pebruari 2007 – Juli 2007 adalah Keanekaragaman Hayati dengan judul “Studi Keanekaragaman Hexapoda Tanah di Berbagai Jenis Penutupan Lahan pada Ekosistem Mangrove (studi kasus di TN Kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah)”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ibu Prof. Dr. Yayuk R. Suhardjono selaku komisi pembimbing atas arahan dan diskusi yang sangat berharga selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi serta seluruh staf pengajar Pascasarjana Program Studi PSL yang telah memberikan pengetahuan yang tak ternilai selama masa perkuliahan. Disamping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Rektor serta Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB. Demikian pula pada Pengelola Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Dikti atas dukungan biaya selama masa studi. Apresiasi yang tinggi juga penulis sampaikan kepada Saudara Risman alias ”Koa” warga desa Lembanato di kepulauan Togean atas semua bantuan dan fasilitas yang diberikan selama pengumpulan data di lapangan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Fatimah dan Bapak Darmawan dari Laboratorium Zoologi LIPI di Cibinong atas bantuannya selama pengamatan di laboratorium, serta semua pihak yang telah memberi bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penghargaan yang tinggi disampaikan kepada teman-temanku angkatan 2005 program studi PSL terima kasih untuk persahabatan, bantuan serta dukungan dalam menyelesaikan studi. Pada akhirnya, karya tulis ini penulis persembahkan buat Mama dan Papa tercinta karena dengan doa dan keridhaan semua ini dapat berjalan lancar, serta kepada istri tercinta Dra. Amna Thahir, ketiga anakku Fahrul Ramadhan Junus, Nurfadhila Junus dan Farhana Shinta Wahid atas keikhlasan, pengertian, doa dan dorongan serta semangat untuk pencapaian semua ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua yang membutuhkan. Bogor, Oktober 2007 Abd. Wahid xii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Soni, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Sulawesi Tengah pada tanggal 05 Oktober 1967 dari Ayah Jasin Junus (Purnawirawan ABRI) dan Ibu Hj. Zakia Maseng. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Tahun 1986 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri I Kotamadya Gorontalo dan pada tahun yang sama melanjutkan studi ke Universitas Samratulangi (UNSRAT) Manado Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1991. Sejak Pebruari tahun 1993 penulis tercatat sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (UNTAD) Palu. Pada tahun ajaran 2005/2006 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister Sains, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dengan biaya pendidikan dari BPPS Dikti, dan suporting biaya riset dari Yayasan Fuji Xerox Asia Pacific – Astra Graphia. Penulis dinyatakan lulus dengan penilaian ”Sangat Baik” pada tanggal 30 Oktober 2007 dalam sidang ujian magister sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB Bogor. xiii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A Latar Belakang ...................................................................................... 1 B Kerangka Pemikiran .............................................................................. 4 C Perumusan Masalah ............................................................................... 7 D Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 8 E Hipotesis ................................................................................................ 8 II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... A Tinjauan Umum Hutan Mangrove ........................................................ B Tinjauan Umum Fauna Tanah ............................................................... C Serangga (Hexapoda) ............................................................................ D Indeks Keanekaragaman ....................................................................... 9 9 13 18 21 III METODE PENELITIAN ........................................................................... A Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... B Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................... C Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................................... D Metode Pengambilan Data .................................................................... E Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah .................................. F Analisis Data .......................................................................................... 23 23 23 23 28 32 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. A Hasil ...................................................................................................... A.1 Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia ....................................................... A.2 Vegetasi ......................................................................................... A.3 Serasah ........................................................................................... A.4 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... A.5 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. B Pembahasan ........................................................................................... B.1 Keanekaragaman Hexapoda Tanah ............................................... B.2 Peran Hexapoda Tanah .................................................................. B.3 Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor Lingkungan Fisik Tanah …............................................................. 36 36 36 39 40 42 51 52 52 59 V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. A Kesimpulan ........................................................................................... B Saran ..................................................................................................... 67 67 68 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ..... 69 LAMPIRAN ................................................................................................ 65 74-84 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1 Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian ..................................................... 2 23 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi penelitian .................................................................................................... 36 3 Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi ...................... 40 4 Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................... 41 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) ..................... 43 Jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) ......................................................................................................... 45 Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ..................... 46 Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan serangga pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................ 48 Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian .................................................. 49 10 Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi (N2) Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ......................................................................................... 50 11 Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian ................................ 51 12 Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter lingkungan tanah ....................................................................... 65 5 6 7 8 9 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................ 6 2 Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha di Kabupaten Tojo Una-Una ..................................................................... 24 3 Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean .................................................. 26 4 Tata letak petak penelitian di lapangan ..................................................... 29 5 Perangkap sumuran (PFT) di lapangan .................................................. 30 6 Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi) ................................................................................................. 31 Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian ................................................................................... 35 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall trap (PFT) .......................................................................................................... 44 Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada 6 tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pengambilan contoh tanah (PCT) ............................................................. 48 10 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PFT …................................................. 60 11 Perbandingan persentase jumlah suku serangga berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PCT ..................................................... 62 7 8 9 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PFT (Pitfall trap) ............................................................................................... 75 2 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PFT (Pitfall trap) ............................................................................................... 76 3 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang belum di konversi dengan metode PCT (Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 77 4 Jumlah ordo, famili, peran dan nilai keanekaragaman Hexapoda tanah pada ekosistem mangrove yang telah di konversi dengan metode PCT (Pengambilan contoh tanah) ..................................................................... 78 5 6 Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat .................... 79 Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah yang ditemukan di lokasi penelitian ............................................................................... 80 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, muara laguna, muara sungai). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove (The Mangrove Information Center, 2006). Ekosistem mangrove bersifat unik, karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut yang dipengaruhi oleh periode pasang surut air laut, oleh karena itu tidak semua jenis fauna yang mampu beradaptasi sehingga kelompok fauna yang bertahan merupakan jenis fauna yang spesifik. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Pengertian hutan mangrove tidak terbatas pada daerah bervegetasi, tetapi daerah terbuka atau berlumpur, selalu atau secara teratur tergenang air laut, atau terletak di antara hutan dan laut, yang sering dikenal dengan daerah payau. Mangrove merupakan jalur hijau yang terdapat di teluk-teluk, delta, muara sungai, sampai menjorok ke arah pedalaman dan garis pantai. Di dalam ekosistem hutan mangrove terintegrasi dua tipe ekosistem yaitu ekosistem darat dan laut, sehingga kerusakan di hutan mangrove akan mengakibatkan rusaknya dua tipe ekosistem tersebut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati 2 (biodiversity) dan plasma nutfah yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan penutupan tajuk (canopy) yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan sumber daya alam yang sangat potensial. Menurut Alikodra dalam Wetlands International (2007) luas mangrove Indonesia sekitar 3,5 juta ha atau 18-32% total luas mangrove seluruh dunia. Angka ini merupakan yang terluas dibandingkan dengan Brasil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha), dan Australia (0,9 juta ha). Di Indonesia sendiri, perusakan hutan mangrove sudah tergolong cukup parah. Menurut Kusmana dalam Harian Berita Sore (2007) bahwa sekitar 6,7 juta ha atau 70% dari luas 9,4 juta ha hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha, sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi, 2000 dalam Gunarto, 2004). Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena umum di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Misalnya melimpahnya bahan 3 organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budidaya tambak intensif di lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betulbetul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Dampak lainnya adalah menurunnya keanekaragaman hayati organisme komunitas terestis akuatik (Soeriaatmadja, 1997). Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) menempati luas kawasan sebesar 362.605 ha (SK Menhut RI No. 418/Menhut/2004) dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar 25.832 ha) selebihnya merupakan wilayah perairan, terdiri dari pulaupulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit memberikan korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (Anonim, 2007). Hutan mangrove yang merupakan tumbuhan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut memberikan sumbangan yang besar bagi kelestarian pesisir dan laut di kepulauan Togean, dengan luas hutan mangrove diperkirakan sekitar 5.051 ha yang tersebar di beberapa gugusan pulau seperti Batudaka, Togean, Talatakoh dan sebagian pulau Walea. Keberadaan hutan mangrove (hutan bakau) di Kepulauan Togean selain menjaga keutuhan garis pantai juga menyokong potensi perikanan dan ekosistem terumbu karang yang menjadi andalan kehidupan masyarakat Togean. Meski memiliki luasan yang tidak terlalu besar, namun hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat penting bagi kepulauan Togean (Anonim, 2007; CII-Togean Program, 2005). Survey yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia (CII) di sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Kerusakan terbesar terjadi akibat penebangan pohon mangrove untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, konversi hutan mangrove untuk perluasan pemukiman penduduk, usaha pertambakan, serta pengambilan kulit bakau jenis Rhizophora (Ф 20-30 cm) untuk bahan pewarna jaring, akibatnya pohon yang dikuliti lambat laun akan mati karena terganggunya suplai makanan dari akar menuju ke daun (CII-Togean Program, 2005). Fenomena ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati 4 yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah. Fauna tanah (serangga, Arachnida, dan lainnya) menyusun sekitar 75% dari setiap satu juta jenis binatang teresterial yang telah diketahui di dunia saat ini. Jumlah yang besar tersebut didominasi oleh kelompok Arthropoda khususnya Hexapoda/serangga (Biological Survey of Canada, 1991 dalam Suhardjono dkk. 2000). Hexapoda tanah dapat mempercepat proses perombakan bahan organik tanah, serasah, bangkai, penghancur kayu. Selain itu berperan sebagai parasit, pemangsa dan pengendali penyakit tanaman terutama yang disebabkan oleh jamur. Peranan tersebut tidak dapat dirasakan langsung oleh manusia tetapi dapat dimanfaatkan setelah melalui jasa biota lainnya. Oleh karena itu, peran utamanya di dalam ekosistem mangrove menjadi kurang mendapat perhatian. Padahal tanpa kehadirannya, perombakan tumpukan bahan organik di sekeliling kita akan berjalan sangat lambat. Mengingat pentingnya peranan Hexapoda tanah dan terbatasnya informasi mengenai keberadaannya pada ekosistem mangrove, maka hal ini menjadi sangat menarik dan bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah di sekitar kawasan TNKT. Hasil kajian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk membantu melestarikan keanekaragaman hayati serta memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan lingkungan. B. Kerangka Pemikiran Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang unik dan tinggi dengan luas daratan yang relative sempit (sekitar 25.832 ha), terdiri dari gugusan pulau-pulau yang terpisah dan kondisi topografi yang berbukit-bukit, serta memiliki berbagai tipe ekosistem baik di darat maupun di laut mulai dari hutan dataran rendah (low-land forest), pantai berbatu, hutan bakau (mangrove), padang lamun (sea-grass bed) dan terumbu karang (coral reefs). Hal ini memberikan korelasi yang signifikan tentang adanya hubungan yang erat antara kondisi daratan dengan pesisir dan laut. Dampak ekologis yang terjadi di bagian daratan akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekologis daerah pesisir dan laut (CII-Yayasan Pijak, 2001). Kerusakan fisik habitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di TNKT umumnya terjadi pada hutan mangrove. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi 5 hutan mangrove menjadi kawasan pemukiman, pertambakan, dan eksploitasi (penebangan) hutan mangrove untuk bahan bangunan, padahal mangrove berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan organisme dari komunitas terestis akuatik. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya Hexapoda tanah. Kehadiran Hexapoda tanah dibutuhkan karena kemampuannya dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi, sehingga unsur hara yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka fenomena di dalam tanah. Selain itu Hexapoda tanah juga berperan dalam proses perombakan bahan organik tanah dan keberadaan serta aktifitasnya berpengaruh positif terhadap sifat fisik tanah (Setiadi, 1989; Suhardjono dan Adisoemarto, 1998; Poerwowidodo, 1992). Sumberdaya tanah merupakan salah satu komponen lahan yang langsung berhubungan dengan pertumbuhan tanaman hutan yang memiliki kemampuan berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh sifat fisik-kimia, faktor iklim dan keberadaan organisme tanah termasuk di dalamnya Hexapoda pada setiap jenis tanah tersebut. Oleh karena itu diperlukan kajian dalam bentuk eksplorasi mengenai keanekaragaman Hexapoda tanah di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove di sekitar TNKT, terutama pengaruh konversi hutan mangrove terhadap keberadaan Hexapoda tanah, mengingat keberadaannya sebagai salah satu komponen ekosistem dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove yaitu sebagai perombak dan penyubur tanah. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. 6 TAMAN NASIONAL KEPULAUAN TOGEAN (TNKT) POTENSI SDA ; SD Hutan ; Laut dan Perikanan ; Pariwisata (Bahari dan Budaya) SK Menhut. RI No. 418/Menhut/2004 Luas Kawasan sebesar 362.605 ha HUTAN MANGROVE (EKOSISTEM MANGROVE)  Sangat berperan bagi kelestarian kawasan pesisir & laut di TNKT  Habitat ekosistem yang terus di eksploitasi/kerusakan fisik di TNKT KONVERSI HUTAN MANGROVE  Kawasan Pemukiman  Usaha pertambakan  Eksploitasi hutan untuk kegiatan lain. PERUBAHAN FAKTOR LINGK TANAH (fisik & kimia tanah) FUNGSI EKOLOGIS TERGANGGU PERUBAHAN STRUKTUR/ VEGETASI Dampak Terhadap Mata Rantai Ekologis Hutan Mangrove Sumber KEHATI FAUNA TANAH HEXAPODA TANAH Eksplorasi Keanekaragaman Hexapoda tanah Faktor lingk. Tanah (fisik & kimia tanah) Peran/fungsi (takson) Hexapoda tanah KELESTARIAN KEHATI (Hexapoda tanah) UPAYA MENJAGA KESEIMBANGAN EKOSISTEM MANGROVE Ket. : : Ruang lingkup penelitian Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. 7 C. Perumusan Masalah Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai sekitar kawasan TNKT mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, antara lain hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mata rantai ekologi di dalam ekosistem mangrove yang berperan di antaranya sebagai sumber keanekaragaman hayati dan stabilitas lingkungan. Salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di ekosistem mangrove adalah kelompok fauna tanah di antaranya Hexapoda tanah. Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya. Menurut Poerwowidodo (1992) kelompok fauna tanah berperan penting dalam perombakan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendali aneka fenomena di dalam tanah. Dengan kata lain dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan keseimbangan ekosistem alam. Adanya konversi hutan mangrove akibat aktifitas manusia menyebabkan perubahan fungsi pada ekosistem mangrove, sehingga akan memberikan dampak terhadap keberadaan kelompok fauna tanah terutama Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove. Berdasarkan perumusan permasalahan yang dikemukakan dan pendekatan yang digunakan, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : 8 1. Bagaimana dampak konversi hutan mangrove terhadap keberadaan (keanekaragaman takson) Hexapoda tanah pada ekosistem tanah hutan mangrove. 2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) terhadap kelimpahan Hexapoda tanah. 3. Bagaimana peran/fungsi Hexapoda tanah dalam membantu menjaga keseimbangan ekosistem mangrove. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji : 1. Keanekaragaman Hexapoda tanah pada tahap suku/famili di berbagai jenis penutupan lahan pada kawasan ekosistem mangrove. 2. Peran atau fungsi masing-masing takson/suku Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove. 3. Faktor-faktor lingkungan (sifat fisik dan kimia tanah) yang mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah di dalam ekosistem mangrove. Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memperoleh informasi mengenai keanekaragaman takson dan peran penting Hexapoda tanah dalam membantu menjaga keseimbangan ekosistem mangrove. 2. Meningkatkan pengetahuan tentang keanekaragaman Hexapoda tanah sehingga membantu memotivasi untuk tetap melestarikan keanekaragaman hayati. 3. Memberi masukan dalam pengelolaan hutan mangrove yang berwawasan lingkungan dengan berdasar pada keanekaragaman Hexapoda tanah. E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Keanekaragaman Hexapoda tanah berbeda pada berbagai jenis penutupan lahan di kawasan ekosistem mangrove. 2. Kelimpahan Hexapoda tanah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, porositas, kandungan bahan organik, pH dan salinitas tanah. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hutan Mangrove A.1. Pengertian Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewwable natural resources). Berdasarkan S.K. Dirtjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978; hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang terpengaruh pasang surut air laut, yang tergenang air laut pada saat pasang dan bebas dari genangan air laut pada saat surut (Arief, 2007). Seringkali kata mangrove disamakan dengan kata mangal, tetapi MacNae (1968) dalam Arief (2007) menyarankan agar kata "mangrove" digunakan untuk satuan pohon, sedangkan kata "mangal" berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Di Suriname, kata mangro pada awalnya merupakan kata umum yang dipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Di Portugal, kata mangue digunakan untuk menunjukkan suatu individu tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, kata mangrove sama artinya dengan kata manglier. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zone intertidal tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang terbasahi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi makluk yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam; khusus yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophytic vegetation) (Arief, 2007). Berbagai pengertian mangrove tersebut sebenarnya mempunyai arti yang sama, yaitu formasi hutan khas daerah tropika dan sedikit subtropika, terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur, sedikit berpasir, serta mendapat pengaruh pasang surut air laut. Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Arief, 2007). A.2. Fungsi Mangrove Fungsi ekologis ekosistem mangrove adalah sangat khas dan kedudukannya tidak tergantikan oleh ekosistem lainnya (Anwar et al., 1984). Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, di antaranya: 10 a. Fungsi biologis Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrien untuk kelangsungan proses ekologis dan biologi. Hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya, misalnya sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang, dan biota air lainnya, tempat bersarang berbagai jenis burung, dan habitat berbagai jenis fauna (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Selain itu juga merupakan suatu habitat yang kaya akan keanekaragaman hayati. Oleh sebab itu, hutan mangrove merupakan habitat yang sangat disukai sebagai tempat mencari makan (feeding ground), bersarang (nesting ground) dan berkembang biak (nursery ground) oleh banyak satwa (Komar, dkk., 1994; Sumarhani, 1994). Diana dkk. (1994) menyatakan bahwa, fungsi biologi yang diperoleh dari hutan mangrove adalah: a) sebagai produsen primer energi makhluk hidup melalui serasah yang menjadi basis rantai makanan yang kompleks, b) sebagai tempat bertelur, memijah dan mencari makan benih-benih udang, ikan, dan kerangkerangan, c) sebagai tempat bersarang burung, kepiting, reptil, ular, dan satwa lainnya, dan d) sebagai habitat alami bagi banyak jenis biota. b. Fungsi fisik Hutan mangrove berfungsi menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, serta penyerap bahan pencemar (Anwar et al., 1984; Genisa, 1994). Peranan sebagai fungsi lindung ditunjukkan oleh hutan mangrove di sepanjang pantai, yaitu sebagai penangkis gelombang laut, sehingga melindungi pantai dari hempasan gelombang, pelindung alami yang paling kuat terhadap erosi pantai (abrasi), dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan (Sikong, 1978; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Selain itu, hutan mangrove juga berkemampuan memperbaiki tanah dengan bentuk sistem perakarannya. Manfaat perakaran mangrove adalah untuk menenangkan gerakan air yang berkelanjutan, menahan kembalinya atau terhanyutnya bahan organik dan lumpur dari sungai ke laut, dan menguatkan garis-garis pantai (Hardjosentono, 1994 dalam Rahmawaty, 2000). 11 c. Fungsi ekonomis Hutan mangrove mempunyai fungsi potensial sebagai tambak, tempat pembuatan garam, tempat rekreasi, penyedia bahan bakar, bahan bangunan, dan bahan baku industri (chips, pulp, dan kertas) (Sikong, 1978; Kartawinata dkk., 1978; Anwar et al., 1984; Widatra dan Hamada, 1994; Sumarhani, 1994; Diana dkk., 1994). Menurut Wibawa dkk. (1994), mangrove merupakan sumberdaya modal (capital resource) yang dapat memberi pelayanan ekonomi, antara lain: memberikan kesempatan kerja, peluang berusaha sebagai sumber pendapatan dan pelayanan dalam perlindungan sumberdaya alam lainnya (misalnya kerusakan pantai, karang, dan kemusnahan flora dan fauna). A.3. Adaptasi Mangrove Mangrove dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal dalam kondisi tempat terjadinya penggenangan dan sirkulasi air permukaan yang menyebabkan pertukaran dan pergantian sedimen secara terus-menerus. Sirkulasi yang tetap (terusmenerus) meningkatkan pasokan oksigen dan nutrien, untuk keperluan respirasi dan produksi yang dilakukan oleh tumbuhan (Dahuri dkk., 1996). Setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, di antaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi, penambahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai, dan aktivitas manusia (Sukardjo, 1984). Hutan mangrove dengan vegetasinya yang khas, memiliki rantai makanan yang mendukung kehidupan berbagai jenis makhluk dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat yang kompleks (Odum, 1996). Pohon mangrove mempunyai sejumlah ciri morfologi khusus yang memungkinkan mereka hidup di perairan lautan yang dangkal, yaitu berakar pendek, menyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang dan/atau dahan. Daun-daunnya kuat, mengandung banyak air dan mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garamnya tinggi (Nybakken, 1992). Sugianto (1983) dan Whitten et al., (1987) menyatakan bahwa hutan mangrove mempunyai cara yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cara yang dimaksud antara lain bentuk jenis-jenis akar khas yang merupakan salah satu ciri khas pohon mangrove, yaitu: 1) Akar tunjang dan akar udara yang dijumpai pada pohon bakau (Rhizophora sp. dan Ceriops tagal), 2) Akar nafas pada pohon api-api (Avicennia 12 sp. dan Sonneratia sp.), dan 3) Akar lutut pada pohon Bruguiera sp., Lumnitzera sp., dan Xylocarpus sp. A.4. Fauna Mangrove Anwar et al. (1984) membagi fauna hutan mangrove menjadi dua bagian, yaitu: komponen yang mutlak hidup bergantung pada air (fauna aquatik) seperti: kepiting, siput. kerang; cacing, dan ikan; dan yang hidup di daratan atau tidak langsung tergantung pada air laut, antara lain serangga, laba-laba, ular, kadal, tikus, monyet dan burung. Mac Nae (1968) dalam Arief (2007), telah menyelidiki secara intensif hewan yang ada di hutan mangrove dan menyimpulkan bahwa hutan mengrove dapat dibagi menjadi enam macam habitat. yaitu: 1. Tajuk pohon pada pokoknya dihuni oleh burung, mamalia, dan insekta yang datang dari hutan/tempat sekitarnya. . 2. Lubang pada cabang busuk dan air pada celah retakan antara batang dan ranting (habitat yang sangat baik bagi larva nyamuk). 3. Permukaan tanah dan di bawah tanah hidup berbagai jenis siput dan kepiting. Selanjutnya ditambahkan oleh Hutching and Saenger (1987), bahwa selain yang telah disebutkan, di atas permukaan tanah juga hidup berbagai jenis semut. 4. Bagian batang dan akar nafas (tempat hidup bangsa kerang dan mollusca). Akar mangrove merupakan substrat yang baik untuk berbagai jenis binatang yang menempel, selain itu ikan dan berbagai jenis moluska dan krustasea yang hidup bebas juga menemukan tempat berlindung di antara akar mangrove (Sikong, 1978) 5. Pohon kecil dihuni oleh jenis-jenis kepiting, larva nyamuk, dan katak. 6. Bagian yang berair dihuni oleh ikan, buaya, dan jenis-jenis biawak. Fauna mangrove memiliki banyak peran, antara lain : 1. Sumber protein hewani. Jenis-jenis yang umum dikonsumsi penduduk adalah ikan; moluska, dan kepiting. 2. Bahan produksi, seperti kulit yang dihasilkan oleh kelompok reptilia, yaitu ular. Supriyatna (1984 dalam Suhardjono dan Adisoemarto, 1998), melaporkan bahwa sedikitnya diketahui delapan jenis ular yang dapat ditemukan di hutan mangrove, 13 beberapa jenis di antaranya yang potensial sebagai penghasil kulit yang dapat dikembangkan. 3. Perombak bahan organik. Penelitian mengenai dekomposisi serasah hutan mangrove sering dilakukan, namun belum pernah melibatkan peran fauna mangrove dalam proses perombakan. Pada umumnya Arthropoda ini berperan sebagai pemotong dan pencerna, agar sisa bahan organik menjadi potongan atau bagian lebih kecil dan lunak, sehingga jasad renik dengan mudah melanjutkan proses perombakannya (Kevan, 1965 dalam Adianto, 1993). 4. Penyerbukan. Beberapa jenis serangga seperti kelompok lebah madu (Apis spp.), tawon endas (Xylocopa spp.) dan kumbang mudah ditemukan di antara bungabunga mangrove. Besar kemungkinan kelompok lain seperti kelelawar dan burung juga berperan sebagai penyerbuk mangrove atau anggota vegetasi lain (Suhardjono dan Adisoemarto, 1998). Whitten, et al. (1987) melaporkan bahwa di sepanjang pantai Sulawesi terdapat 34 jenis burung laut yang digolongkan sebagai jenis yang bermigrasi dan menghabiskan sebagian waktunya di mangrove. B. Tinjauan Umum Fauna Tanah B.1. Pengertian Fauna Tanah Fauna tanah adalah organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya dihabiskan di dalam tanah (Wallwork, 1976; Kimmins, 1987). Suhardjono dan Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa, Arthropoda tanah adalah semua kelompok binatang yang sebagian atau seluruh daur hidupnya bergantung kepada tanah karena sumber pakannya terdapat di tanah. Jasad tanah yang dinyatakan oleh Poerwowidodo (1992) adalah semua jasad hidup yang seluruh atau sebagian besar daur hidup dan kegiatan untuk kelangsungan hidupnya dilakukan di dalam tanah. Kelompok ini mencakup jasad tanah yang kasat mata dan jasad renik dari golongan binatang misalnya protozoa dan tumbuhan misalnya bakteri. Wallwork (1976) melaporkan adanya lima kelompok Arthrophoda yang sering ditemukan di tanah, yaitu: Crustaceae, Myriapoda, Aptergyota, Arachnida dan beberapa Hexapoda. 14 B.2. Macam Fauna Tanah Kelompok fauna tanah sangat banyak dan beraneka-ragam, mulai dari Protozoa, Rotifera, Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga Vertebrata. Fauna tanah dapat dikelompokkan atas dasar ukuran tubuhnya, kehadirannya di tanah, habitat yang dipilihnya, yang mempengaruhi sistem tanah dan kegiatan makannya (Suin, 2003; Hole, 1981). a. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh. Berdasarkan ukuran tubuhnya, fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh berkisar antara 20 μ dan 200 μ, misalnya: Protozoa, Acarina, Nematoda, Rotifera, dan Tardigrada, (2) Mesofauna, adalah kelompok ukuran tubuh berkisar antara 200 μ dan 1 cm, contohnya adalah: Acarina, Collembola, Nematoda, Rotifera, Araneida, larva serangga, dan Isopoda, (3) Makrofauna, adalah kelompok yang berukuran tubuh lebih besar dari 1 cm, termasuk pada kelompok ini adalah: Megascolesidae, Mollusca, Insecta, dan Vertebrata (Wallwork. 1970; Brown, 1980; Kimmins, 1987). Sedangkan menurut Suhardjono dan Adisoemarto (1997), berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah dikelompokkan menjadi: (1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran tubuh < 0.15 mm, seperti: Protozoa dan stadia pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda, (2) Mesofauna adalah kelompok yang berukuran tubuh 0.16 - 10.4 mm dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti: Insekta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking; (3) Makrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10.5 mm, seperti: Insekta, Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil. b. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan kehadiran Berdasarkan kehadiran fauna tanah dibagi atas kelompok transien, temporer, periodik, dan permanen (Suin, 2003). Sedangkan Hole (1981) membagi binatang tanah ke dalam enam kategori berdasarkan keberadaannya di dalam tanah, yakni: 1) Permanen, yaitu fauna tanah yang seluruh daur hidupnya berada di dalam tanah, contohnya cacing tanah dan Collembola, 2) Sementara, yaitu binatang tanah yang salah satu fase hidupnya berada di tanah, sedangkan fase lainnya tidak atau secara berkala di tanah, contohnya 15 larva-larva serangga, 3) Periodik, yaitu binatang-binatang tanah yang sering berpindahpindah masuk dan keluar dari tanah, contohnya bentuk-bentuk aktif serangga, 4) Bertukar-tukar, yaitu satu atau lebih generasi binatang yang berada di dalam tanah, generasi lainnya hidup di atas tanah, contohnya Rhopalosiphoninus dan Biorhiza, 5) Mendiami sementara, yaitu fase inaktif (telur, pupa, fase hibernasi) berada di tanah dan fase aktif berada di atas tanah, contohnya serangga, 6) Kebetulan, yaitu binatang yang jatuh atau tertiup angin dari tajuk dan masuk ke dalam tanah, contohnya larva serangga dari tajuk pohon dan binatang permukaan yang jatuh ke dalam lubang tanah. Dari pendapat Hole (1981) tersebut menurut Suhardjono (1997), dibedakan menjadi empat kelompok saja, karena sebenarnya pembagian nomor 2, 4, dan 5 hampir serupa, yaitu singgah (transit), sementara, berkala (periodik), dan menetap (permanen). c. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan tempat hidup pada lapisan tanah Berdasarkan tempat hidupnya pada lapisan tanah, digolongkan sebagai : (1) Epigon, yaitu fauna tanah yang hidup pada lapisan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah, (2) Hemiedafon, hidup pada lapisan organik tanah, (3) Euedafon, yang hidup pada lapisan mineral tanah (Suin, 2003). d. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan cara mempengaruhi sistem tanah Menurut Hole (1981), binatang tanah dibagi menjadi dua golongan berdasarkan caranya mempengaruhi sistem tanah, yaitu: (1). Binatang eksopedonik (mempengaruhi dari luar tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran besar, sebagian besar tidak menghuni sistem tanah; meliputi kelas Mamalia, Aves, Reptilia, dan Amphibia. (2) Binatang endopedonik (mempengaruhi dari dalam tanah), golongan ini mencakup binatang-binatang berukuran kecil sampai sedang (θ < 1,0 cm), umumnya tinggal di dalam sistem tanah dan mempengaruhi penampilannya dari sisi dalam, meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Tardigrada, Onychophora, Oligochaeta, Hirudinea, dan Gastropoda. e. Pengelompokan fauna tanah berdasarkan jenis makanan/cara makan. Fauna tanah juga dibedakan berdasarkan jenis makanan, ada yang bersifat herbivora, saprovora, fungivora, dan predator (Suin, 2003). Wallwork (1970), Brown 16 (1980), dan Borror, et al. (1996) membagi binatang tanah berdasarkan kebiasaan makannya, yaitu: 1) Microphytic feeders, merupakan binatang pemakan tumbuhan mikro, seperti spora dan lumut. Termasuk dalam kelompok ini adalah beberapa spesies semut, Nematoda, Protozoa, dan beberapa Mollusca. 2) Saprophytic feeders, merupakan pemakan bahan organik (serasah segar, setengah segar dan bahan organik yang telah melapuk), contohnya cacing tanah, Millipoda, Isopoda, Acarina, dan Collembola. Termasuk di dalamnya binatang tanah pemakan feses (coprophagous), pemakan kayu mati (xylophagous) dan pemakan bangkai (necrophagous). 3) Phytophagous, merupakan binatang pemakan tumbuhan (contohnya Mollusca dan larva Lepidoptera), pemakan sistem perakaran (contohnya kumbang Scarabidae, Lepidoptera, Mollusca dan jangkrik), pemakan bagian kayu (contohnya beberapa jenis rayap dan larva Coleoptera). 4) Carnivora, termasuk dalam kelompok ini adalah predator (pemakan binatang tanah lain) seperti Carabidae, Staphylinidae, laba-laba, kalajengking, Centipede, beberapa Nematoda dan Mollusca. B.3. Peran Fauna Tanah Secara esensial semua fauna yang menghuni lingkungan hutan mempengaruhi sifat-sifat tanah (Setiadi, 1989). Kehadiran jasad tanah yang beraneka ragam dengan populasi optimum di ekosistem hutan tanaman sangat penting untuk melestarikan kesinambungan dan kecukupan pasokan hara melalui keikutsertaannya dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik (Poerwowidodo dan Haneda, 1998). Fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik untuk memperoleh energi. Dengan demikian anasir hara dan senyawa lain yang terbebaskan dapat berperan dalam daur kehidupan dan pengendalian aneka fenomena di dalam tanah. Kehidupan dan kegiatannya yang khusus ini menjadikannya sebagai salah satu faktor pembentuk tanah (Poerwowidodo, 1992). Selanjutnya Setiadi (1989) menambahkan bahwa organisme tanah berperan penting di dalam ekosistemnya, yaitu sebagai perombak bahan organik dan mensintesa kemudian melepaskan kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuh- 17 tumbuhan hijau. Dengan kata lain, dilihat dari fungsi, organisme tanah ini memainkan peranan yang sangat penting dalam mempertahankan dinamika dan stabilitas ekosistem alam. Di dalam tanah telah diketahui bahwa komponen biotik memberikan sumbangan terhadap proses aliran energi dari ekosistem setempat. Hal tersebut dicapai karena kelompok biotis ini dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan hewan yang telah mati. Proses inilah yang dikenal dengan proses dekomposisi atau perombakan (Burges and Raw, 1967). Serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu (Wallwork, 1976). Secara garis besar proses perombakan berlangsung sebagai berikut; pertama-tama perombak yang besar atau makrofauna meremah-remah substansi nabati yang telah mati, kemudian materi ini akan melalui usus dan akhirnya menghasilkan butiran-butiran feses. Butiran-butiran tersebut dapat dimakan oleh mesofauna dan atau makrofauna pemakan kotoran, seperti cacing tanah yang hasil akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk feses pula. Materi terakhir ini akan dirombak oleh mikroorganisme terutama bakteri untuk diuraikan lebih lanjut. Selain dengan cara tersebut, dapat pula feses dikonsumsi lebih dahulu oleh mikrofauna dengan bantuan enzim spesifik yang terdapat dalam saluran pencernaannya. Penguraian akan menjadi lebih sempurna apabila hasil ekskresi hewan ini dihancurkan dan diuraikan lebih lanjut oleh mikroorganisme terutama bakteri hingga sampai pada proses mineralisasi. Melalui proses tersebut, mikroorganisme yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan lagi (Burges and Raw, 1967). B.4. Pengaruh Tanah dan Vegetasi terhadap Keberadaan Fauna Tanah Fauna tanah merupakan bagian dari ekosistem tanah sehingga kehidupannya sangat ditentukan oleh faktor fisik dan kimia tanah serta lingkungan di sekitarnya (Suin, 2003). Menurut Szujecki (1987), faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan serangga tanah di hutan, adalah: 1) struktur tanah berpengaruh pada gerakan dan penetrasi; 2) kelembaban tanah dan kandungan hara berpengaruh terhadap perkembangan dalam daur hidup; 3) suhu tanah mempengaruhi peletakan telur; 4) cahaya dan tata udara mempengaruhi kegiatannya. Fauna tanah bereaksi cepat terhadap perubahan di lingkungannya yang datang dari tanah itu sendiri, faktor 18 iklim atau akibat pengolahan tanah (Herbke, 1962; Brauns, 1968; Graff, 1971 dalam Adianto, 1993). Populasi fauna tanah umumnya meningkat pada tanah subur yang mampu menyuplai nutrisi tetapi sifat kimiawi tanah biasanya kurang berpengaruh langsung daripada sifat fisik tanah (Setiadi, 1989). Selain itu pula ditambahkan oleh Setiadi (1989) bahwa kegiatan organisme tanah juga dipengaruhi oleh musim dan kedalaman tanah, karena setiap organisme tanah mempunyai selang optimum untuk pertumbuhannya. Kegiatan organisme tanah yang terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, menurun pada musim panas dan dingin serta kegiatan biasanya terpusat di permukaan tanah (Setiadi, 1989). Kedalaman lapisan tanah menentukan kadar bahan organik dan nitrogen. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm, makin ke bawah makin berkurang. Bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik, kimia tanah dan meningkatkan aktifitas biota tanah. Sumber utama bahan organik tanah berupa jaringan tumbuhan, sedangkan sumber kedua adalah hewan. Kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh keadaan iklim, terutama suhu dan curah hujan. Kandungan kapur, erosi, tekstur, drainase dan vegetasi penutup tanah juga dapat mempengaruhi penimbunan bahan organik tanah (Buckman dan Brady, 1982; Foth, 1998). C. Serangga (Hexapoda) C.1. Klasifikasi Serangga Dunia binatang terbagi menjadi 14 filum berdasarkan tingkat kekompleksan dan urutan evolusinya, sehingga filum binatang disusun dari filum yang rendah ke filum yang tinggi. Semua serangga adalah anggota dari filum Arthropoda (binatang dengan kaki beruas-ruas), yang terbagi menjadi tiga sub filum, yaitu Trilobita (telah punah dan tinggal fosil), Chelicerata (terdiri atas beberapa kelas termasuk Arachnida), dan Mandibulata (terdiri atas beberapa kelas yang salah satunya adalah kelas Insecta/Hexapoda) (Lilies, 1997). Kelas Hexapoda dibagi menjadi beberapa ordo (Borror et al., 1996), yaitu Protura, Collembola, Diplura, Microcoryphia, Thysanura, Ephemeroptera, Odonata, 19 Grylloblattaria, Phasmida, Orthoptera, Mantodea, Blattaria, Isoptera, Dermaptera, Embiidina, Plecoptera, Zoroptera, Psocoptera, Pthiroptera, Hemiptera, Homoptera, Thysanoptera, Neuroptera, Coleoptera, Strepsiptera, Mecoptera, Siphonaptera, Diptera, Trichoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera. Sedangkan menurut Kristensen (1991), Hexapoda diangkat jadi super kelas dan terbagi ke dalam dua kelas, yaitu: Ellipura (Pra-insecta) dan Insecta. Ellipura terdiri atas ordo Collembola, Protura, dan Diplura. Sedangkan dalam kelas Insecta ada 25 ordo, meliputi : Orthoptera, Isoptera, Blattodea, Mantodea, Grylloblattodea, Phasmatodea, Strepsiptera, Dermaptera, Embioptera, Plecoptera, Psocoptera, Zoraptera, Thysanoptera, Hemiptera, Coleoptera, Neuroptera, Trichoptera, Lepidoptera, Diptera, Siphanoptera, Pthiroptera, Megaloptera, Rhapidioptera, Mecoptera, dan Hymenoptera. Berdasarkan klasifikasi Manton (1979 dalam Suhardjono, 2007) yang memisahkan Collembola dari kelas Insecta (Serangga). Selanjutnya Jordana dan Arbea (1989) membedakan kelas Collembola menjadi empat ordo berdasarkan bentuk tubuh. Ordo pertama adalah Poduromorpha bertubuh gilik dengan pembagian ruas-ruas toraks dan abdomen tampak jelas. Ordo kedua adalah Entomobryomorpha bertubuh gilik, bagian dorsal ruas toraks pertama tidak jelas. Ordo ketiga adalah Symphyleona dengan bentuk tubuh bulat, dengan ruas-ruas toraks masih terlihat dan ruas abdomen ke-4 menjadi abdomen kecil. Ordo keempat adalah Neelipleona juga bertubuh bulat, tetapi ruas-ruas toraks tidak jelas dan pada umumnya tidak bermata (Suhardjono, 2007). Pada umumnya serangga dewasa mempunyai ciri-ciri : tubuh terdiri dari tiga bagian (kepala, toraks dan abdomen), sepasang antena, dua pasang sayap, tiga pasang kaki serta mempunyai bagian-bagian mulut yang terdiri dari mandibula, maksila, hipofaring, epifaring, labium dan labrum (Mani, 1982; Natawigena, 1990; Borror et all., 1996). C.2. Peran Serangga Serangga tidak selalu bersifat hama. Lingkungan telah mempunyai sistem keseimbangan antara komponen-komponennya (Hardi dan Anggraeni, 1997). Ditinjau dari segi kepentingan manusia, serangga dapat digolongkan ke dalam: 1) serangga hama, termasuk serangga yang dapat menimbulkan kerugian, seperti ulat, wereng, kepik, belalang, ngengat, dan lain-lain, 2) serangga berfaedah, merupakan sumber 20 penghasil bahan makanan bagi manusia, ikan, dan burung, seperti lebah dan ulat sutera, 3) serangga penyerbuk, yang dapat membantu penyerbukan tanaman, sehingga menunjang keberhasilan pembuahan, seperti kupu-kupu, kumbang, dan beberapa spesies lebah (Natawigena, 1990). Serangga mempunyai peranan yang berguna bagi organisme lain, sebagaimana disebutkan oleh Partosoedjono (1985) adalah sebagai berikut: 1. Membantu dalam aktifitas penyerbukan, baik pada tanaman pertanian, perkebunan, maupun kehutanan. 2. Menghasilkan produk madu dari peternakan lebah madu. 3. Ulat sutera (Bombyx mori) banyak diternakkan sebagai penghasil kokon sutera yang merupakan bahan baku bagi industri tekstil. 4. Penyedia bahan makanan, baik bagi manusia, ikan, maupun burung. 5. Perombak, beberapa jenis serangga memakan sisa-sisa tumbuhan dan organisme lain yang telah mati. 6. Musuh alami, dalam hal ini sebagai parasit dan predator, misalnya dari ordo Odonata, Orthoptera, Hymenoptera dan Hemiptera. Beberapa di antara serangga mempunyai peranan amat kecil terhadap bahan organik tanah, sedang lainnya seperti semut dan kumbang sangat mempengaruhi susunan humus karena ditranslokasikan atau dicernakan. Hasil kerja semut sangat nyata, karena serangga ini menggunakan jaringan tumbuhan yang sedikit banyak telah terurai sebagai makanan. Jadi berperan sebagai pengurai perintis, proses yang akan dilanjutkan oleh bakteri dan fungi (Buckman dan Brady, 1982). Collembola merupakan kelompok serangga tanah, yang berperan penting dalam membantu mempercepat proses perombakan bahan organik tanah. Hal ini disebabkan karena mereka mengkonsumsi jamur dan bahan organik membusuk. Collembola juga dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator (=indikator hayati) polusi tanah dari logam berat atau pestisida. Di samping itu, berkat perilakunya dalam mengkonsumsi jamur, maka Collembola dapat dimanfaatkan sebagai pengendali penyakit tanaman. Pada sawah yang diberakan dapat ditemukan Collembola dalam jumlah banyak. Dalam kondisi ini, Collembola merupakan cadangan pakan bagi para predator hama pertanian, dalam hal ini Collembola berlaku sebagai pakan 21 alternatif bagi predator. Dengan demikian, Collembola dinilai membantu menjaga keseimbang-an ekosistem lahan persawahan dengan mempertahankan populasi serangga predator (Suhardjono, 2007). C.3. Habitat Serangga Habitat adalah tempat suatu organisme hidup (Romoser dan Stoffolano, 1998). Pada dasarnya serangga merupakan hewan darat, walaupun sebagian besar ada yang hidup di air tawar, air asin dan macam habitat lain. Serangga banyak ditemukan pada lapisan serasah dan di lapisan tanah atas, baik secara berkoloni (seperti: Isoptera dan Hymenoptera) maupun secara individu (seperti: Diptera, Lepidoptera, Coleoptera, Orthoptera, Acarina, dan Collembola) (Daly, 1978). Collembola tanah terdapat pada lapisan tanah atas, berkisar pada kedalaman tanah dari 0 cm sampai 15 cm (Suhardjono, 1992). Selanjutnya Suhardjono (2007) mengemukakan bahwa sebagian besar anggota Collembola adalah penghuni tanah, namun ada beberapa yang dapat ditemukan pada kanopi dengan ketinggian 40 m. Binatang ini menempati berbagai macam habitat, dari tepi pantai sampai pegunungan tinggi bahkan yang bersalju. D. Indeks Keanekaragaman Berbagai konsep dan ide pengukuran keanekaragaman hayati sampai saat ini masih merupakan bahan diskusi menarik di kalangan para ahli ekologi. Secara umum, seluruh konsep tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: "kekayaan jenis" (species richness), "heterogenitas" (heterogenity), dan "eveness " (Bengen, 2000; Suin, 2003). Menurut Situmorang (1999) Hexapoda yang sering ditemukan di permukaan tanah kebanyakan berasal dari ordo Hymenoptera, Diptera, Orthoptera dan Collembola. Sedangkan menurut Salim (1998) keanekaragaman jenis Hexapoda tanah terbesar adalah di hutan daratan campuran, sedangkan yang terkecil di hutan mangrove yang rusak. Ordo Hemiptera memiliki kelimpahan tertinggi disusul oleh ordo Orthoptera, Hymenoptera, Diptera, Lepidoptera, Odonata dan Coleoptera. Namun Hexapoda dari ordo Hemiptera dan Coleoptera tidak ditemukan di tipe ekosistem hutan mangrove yang rusak. 22 Keanekaragaman Hexapoda di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik dan pH tanah (Adianto, 1993). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang atau disebut juga dengan serasah. Besarnya kandungan bahan organik ini dapat dilihat dari kandungan C-organik tanah. Sedangkan tingginya kemasaman suatu sistem tanah dapat mempengaruhi keberadaan fauna tanah. Wallwork (1976) mengatakan bahwa Collembola dan Acarina akan melimpah pada komunitas yang memiliki kemasaman yang cukup tinggi. Hal ini juga didukung oleh Adianto (1993) yang mengatakan bahwa Collembola merupakan fauna yang dominan karena habitatnya bersifat asam. Kehidupan di dalam tanah selain ditentukan oleh pH, kandungan C-organik dan salinitas juga ditentukan oleh faktor-faktor lain seperti kandungan air tanah, faktor iklim mikro di dalam tanah dan cahaya matahari (Adianto, 1993). Faktor-faktor abiotis tersebut dapat menentukan kehadiran atau ketidak-hadiran suatu jenis tertentu dari Hexapoda tanah atau dapat pula menentukan kepadatan populasi fauna tanah. Indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk mencirikan hubungan kelompok marga dan komunitas (Ludwig and Reynolds, 1988). Indeks keanekaragaman marga (genus diversity indices) dapat dilihat dari dua komponen, yaitu: 1) jumlah marga dalam komunitas, yang sering disebut kekayaan marga (genus richness) 2). kemerataan marga (genus eveness) atau keseimbangan, yang menggambarkan distribusi kelimpahan di antara jenis. Sehingga dapat dikatakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan kombinasi nilai dari kekayaan jenis dan kemerataan. Berbagai metode dan rumus digunakan untuk mengukur indeks keanekaragaman serangga (Shannon and Wiener, Simpson, dan Hill), masingmasing metode mempunyai cara penghitungan dengan rumus dan tujuan tertentu. 23 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di hutan mangrove yang berada dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) Kabupaten Tojo Unauna. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil survey pendahuluan serta dukungan data dari CII-Togean Program tentang situasi dan kondisi hutan mangrove di kawasan TNKT. Deskripsi titik koordinat masing-masing lokasi penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Penelitian ini dilaksanakan sejak Pebruari 2007 sampai Juli 2007. Tabel 1. Deskripsi titik koordinat lokasi penelitian No. Lokasi 1 2 3 4 5 6 Desa Lembanato Desa Taningkola Teluk kilat (Hole kilat) Desa Taningkola Desa Baulu Desa Baulu Koordinat S 00o20’04,8” S 00o25’50,0” S 00o22’43,0” S 00o25’50,0” S 00o21’36,3” S 00o21’40,9” E 121o57’02,6” E 121o49’33,8” E 121o56’50,9” E 121o49’33,8” E 121o59’10,8” E 121o59’08,2” Jenis penutupan lahan mangrove Hutan mangrove lebat Hutan mangrove sedang Hutan mangrove jarang Kebun campuran Tambak non tumpangsari Lahan kosong B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah; (1) contoh tanah komposit (serasah, humus dan tanah), (2) alkohol 70% digunakan selama analisis di laboratorium dan lapangan, (3) gliserin digunakan di lapangan untuk mengurangi penguapan alkohol, dan (4) bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium. Alat-alat yang digunakan adalah; (1) cangkul kecil, (2) parang/pisau, (3) ring sampel, (4) termometer tanah (5) tabung plastik bekas isi film, (6) gelas plastik, (7) kantong blacu/karung terigu, (8) pita ukur 200 cm, (9) penggaris 20 cm, (10) soil tester, (11) pinset, (12) kamera digital, (13) GPS (Garmin III plus), (14) tali plastik, (15) mikroskop binokuler, (16) peralatan untuk analisis tanah di laboratorium dan (17) peralatan untuk identifikasi Hexapoda tanah. C. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Wilayah kepulauan Togean letaknya terpencil dan terisolasi dari daratan yang luas karena dibatasi oleh wilayah perairan. Kepulauan ini terdiri dari ± 50 pulau besar dan kecil dengan 7 pulau utama yaitu Batudaka, Togean, Talatakoh, Waleabahi, Waleakodi, 24 Una-Una dan Malenge (Gambar 2). Penunjukkannya sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No. 418/Menhut/2004, yang menempati luas kawasan sebesar 362.605 ha dengan luas daratan (termasuk kawasan hutan) sekitar 25.832 ha, dengan rincian : 1) hutan lindung 10.659 ha; 2) hutan produksi terbatas 193 ha; 3) hutan produksi tetap 11.759 ha; 4) hutan produksi yang dapat dikonversi 3.221 ha, selebihnya merupakan wilayah perairan. Secara geografis Kepulauan ini terletak di tengah Teluk Tomini yang memanjang dari barat ke timur pada posisi koordinat 00o08’21”00o45’12” LS dan 121o33’21”-122o231’36” BT, dengan luas daratan ± 755,4 Km2 (BPS, 2006; Anonim 2007). Gambar 2. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean seluas ± 362,605.00 ha (berdasarkan SK Menhut. No. 418/Menhut-II/2004, tanggal 19 oktober 2004) Secara administrasi kepulauan Togean termasuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Una-Una (sejak tahun 2003) yang merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Pengelolaannya masih mengacu pada Rencana Detail Tata ruang (RDTR) yang dibuat oleh Kabupaten Poso sebagai kabupaten induk. Dibagi menjadi 4 kecamatan yaitu Una-Una, Togean, Walea Kepulauan dan Walea dengan jumlah desa 25 keseluruhan mencapai 48 desa. Kecamatan Una-Una terdiri dari Pulau Una-Una dan Batudaka dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Wakai (Batudaka). Kecamatan Togean terdiri dari Pulau Togean dan beberapa pulau kecil dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Lebiti (Togean). Kecamatan Walea Kepulauan terdiri dari Pulau Talatakoh, Malenge dan Waleakodi dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Popolii (Waleakodi), sedangkan kecamatan Walea terdiri dari Pulau Waleabahi dan beberapa pulau kecil lainnya dengan ibukota kecamatan berkedudukan di Pasokan (Waleabahi) (BPS, 2006; Anonim 2007). Kepulauan Togean dan sekitarnya mempunyai dua musim yakni musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Desember sampai Maret. Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, kepulauan ini umumnya termasuk dalam kawasan tipe E dan D (500-2000 mm/thn). Sumber mata air tersebar di daerah tertentu seperti lembah, daerah pesisir dan sekitar tanaman bakau (BPS., 2006). Kepulauan Togean merupakan bagian dari ekosistem terumbu karang penting dari ”Segitiga Terumbu Karang” (Coral Triangle) yang merupakan area-area yang memiliki keragaman karang tertinggi di dunia. Coral triangle ini meliputi wilayah Indonesia, Philipina, Malaysia, Papua Nugini, hingga Micronesia. Terumbu karang di kepulauan ini oleh Marine RAP (2001, dalam CII-Togean Program, 2005) dinyatakan sebagai “The Heart of Coral Triangle”, kaya akan keanekaragaman hayati laut dengan tipe terumbu karang (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll) yang letaknya berdekatan satu sama lain. Kepulauan Togean memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya pada ekosistem hutan mangrove. Survey oleh CI-Indonesia dan Yayasan Pijak (2001) mengidentifikasi sekitar 33 spesies mangrove yang terdiri dari 19 spesies mangrove sejati (true mangrove) dan 14 spesies mangrove ikutan (associate mangrove) yang dikelompokan ke dalam 26 genus dan 21 famili. Fauna yang teridentifikasi hidup di hutan mangrove yaitu sekitar 50 spesies yang tergolong dalam 47 genus, yaitu golongan Aves (10 genus), Pisces (10 genus), Amphibia (2 genus), Reptilia (3 genus), Mamalia (2 genus), dan Benthos (20 genus) (CII-Togean Program, 2005). Berdasarkan hasil klasifikasi citra, bahwa ekosistem mangrove tersebar hampir di sepanjang garis pantai pulau-pulau yang ada di Kepulauan Togean. Wilayah pesisir yang 26 paling banyak memiliki ekosistem mangrove adalah sepanjang garis pantai P. Togean, merupakan kawasan ekosistem mangrove yang terluas; pesisir timur P. Batudaka, yaitu pada kawasan pesisir yang bersebelahan dengan P. Togean; dan pantai di sebelah selatan P. Talatakoh yang bersebelahan dengan P. Togean. Sementara itu di pulau-pulau yang lain juga terdapat ekosistem mangrove, namun dengan luasan yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan ketiga pulau tersebut. Secara spasial, luasan mangrove yang diestimasi dari hasil klasifikasi citra satelit tahun 2001 dibandingkan dengan hasil klasifikasi peta citra tahun 2007 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas mangrove dari 5.322,837 ha turun menjadi 5.050,91 ha, atau selama 6 tahun terjadi penurunan luas mangrove sebesar 271,93 ha (5,11 % dari luas pada tahun 2001) (Anonim, 2007). 3 Gambar 3. Lokasi penelitian berdasarkan jenis tutupan hutan mangrove di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean. Keterangan lokasi pengamatan : 1). Desa Taningkola; 2). Teluk Kilat (desa Lembanato); 3). Desa Baulu Lokasi penelitian terletak di pulau Batudaka dan Togean. Kedua pulau ini dipilih atas pertimbangan bahwa kedua pulau tersebut merupakan gugusan pulau yang terbesar dan memiliki garis pantai yang terpanjang di antara gugusan pulau lainnya di kepulauan Togean. Lokasi pengumpulan spesimen yang dipilih adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran, tambak non tumpang-sari, dan lahan kosong. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan 27 pada ekosistem mangrove di masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7. Adapun deskripsi masing-masing lokasi pengamatan dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Hutan Mangrove Lebat Hutan mangrove lebat merupakan hutan mangrove yang vegetasinya didominasi oleh mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Xylocarpus dan Bruguiera. Kondisi hutan ini didominasi oleh tegakan dengan kerapatan pohon yang cukup tinggi, penutupan tajuk pohon yang cukup baik menyebabkan udara di dalam hutan terasa sejuk. Kondisi di lantai hutan relatif lembab atau basah dengan serasah yang tergolong tebal. Hutan mangrove lebat ini salah satunya terdapat di pulau Togean yaitu di sekitar teluk kilat, desa Lembanato. 2. Hutan Mangrove Sedang Hutan mangrove sedang merupakan hutan mangrove yang di tumbuhi oleh vegetasi mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Lumnitzera dan Bruguiera dengan kondisi tegakan pohon yang tidak terlalu rapat, sehingga berkas sinar matahari dapat mencapai lantai hutan dan keadaan di dalam hutan tidak terlalu gelap, kondisi lantai hutan sedikit lembab dan serasah tergolong sedang. Salah satu hutan mangrove tipe ini terdapat di pulau Batudaka yaitu di sekitar desa Taningkola. 3. Hutan Mangrove Jarang Lokasi pengambilan spesimen untuk hutan mangrove jarang ini dilakukan di pulau Togian yaitu di sekitar teluk kilat (hole kilat). Vegetasi hutan mangrove ini terdiri dari mangrove sejati seperti Rhizophoraceae, Heritiera dan Lumnitzera yang kondisi tegakan pohonnya sudah sangat jarang, sehingga sinar matahari dapat langsung menyinari lantai hutan yang di tumbuhi rumput. Di samping itu, di lokasi ini ditemukan juga mangrove ikutan seperti jenis pandan bakau, paku laut. Serasah di sekitar lokasi ini tergolong sedang sampai tipis, yang berasal dari rumput maupun tumbuhan di sekitarnya. 4. Kebun Campuran Kebun campuran merupakan kebun yang tumbuhannya terdiri dari berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman perkebunan. Daerah ini sebelumnya merupakan hutan mangrove yang oleh masyarakat setempat dikonversi menjadi kebun campuran. Lokasi 28 kebun campuran ini salah satunya berada di pulau Batudaka, tepatnya di desa Taningkola. Tanaman yang dominan ditemukan di kebun campuran ini adalah tanaman kelapa. Di samping itu, ditemukan juga vegetasi berupa semak dan tumbuhan bawah sejenis rumputrumputan. Hal ini dimungkinkan karena tajuk pohon tidak menghalangi cahaya matahari masuk ke lantai hutan, sehingga tumbuhan bawah bisa tumbuh. Banyaknya jenis tumbuhan yang terdapat di kebun campuran, sehingga serasah di lokasi ini tergolong tebal. 5. Tambak Non Tumpangsari Daerah ini merupakan daerah hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak. Tambak yang diamati ini bukan merupakan tambak tumpangsari, karena seluruh vegetasi mangrove di sekitar tambak telah dibersihkan. Di lokasi ini tidak ditemukan vegetasi, yang tersisa hanya akar-akar dari tumbuhan mangrove. Serasah di lokasi ini tergolong sedang yang berasal dari pohon dan ranting yang lapuk, serta akar pohon mangrove. Lokasi tambak non tumpangsari ini salah satunya terdapat di pulau Togean di sekitar desa Baulu. 6. Lahan Kosong Lahan kosong yang terdapat di sekitar desa Baulu pulau Togean, sebelumnya merupakan hutan mangrove. Vegetasi mangrovenya oleh penduduk setempat dimanfaatkan untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Setelah vegetasi mangrovenya dibabat untuk kepentingan komersial, kemudian lahan ini ditinggalkan tanpa dilakukan penanaman kembali (revegetasi). Eksploitasi berlebihan oleh masyarakat setempat menyebabkan kematian vegetasi mangrove secara alami, di lokasi ini hanya ditumbuhi oleh tumbuhan bawah jenis kangkung pantai (Ipomoea pes-caprae) dan paku cai (Acrostichum aureum L.). Kurangnya keberadaan rumput dan semak di sekitar lokasi, menyebabkan serasah di lahan kosong ini tergolong agak tipis. D. Metode Pengambilan Data D.1. Penempatan Petak Penelitian Petak penelitian ditempatkan pada beberapa lokasi penelitian. Sebagai lokasi perlakuan adalah hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, hutan mangrove sedang, hutan mangrove jarang), dan hutan mangrove yang telah dikonversi 29 (kebun campuran, tambak non tumpangsari, lahan kosong). Indikator hutan mangrove yang belum dikonversi adalah sebagai berikut : 1) hutan mangrove lebat, ditandai dengan kanopi yang rapat, serasah tebal, lantai basah, sinar matahari sedikit mencapai lantai. 2) hutan mangrove sedang, ditandai dengan kanopi yang kurang rapat, serasah kurang tebal (sedang), lantai basah, sinar matahari lebih banyak mencapai lantai. 3) hutan mangrove jarang, ditandai dengan proporsi kanopi yang lebih banyak terbuka, serasah agak tipis sampai sedang, lantai kurang basah (agak kering). 5m 5m 5m 5m 5m 5m 5m Gambar 4. Tata letak petak penelitian di lapangan. Keterangan : = Titik peletakan Pitfall traps (PFT) = Titik pencuplikan contoh tanah (PCT) Pada setiap lokasi penelitian dibuat transek secara acak dari arah laut ke daratan, berukuran 25 m x 10 m (Gambar 4) sebanyak dua transek sebagai unit contoh primer. Selanjutnya pada setiap transek dibuat sub-transek sebagai plot pengamatan yang berukuran 5 m x 5 m secara silang kiri-kanan poros transek sebagai unit contoh sekunder (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000). Penempatan perangkap sumuran (Pitfall traps) dan pengambilan contoh tanah pada plot/petak pengamatan dilakukan secara terstrata (stratified sampling) dan masing-masing lokasi penelitian diambil 5 satuan contoh secara sistematis. D.2. Pengumpulan Serangga Tanah Metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan adalah metode Perangkap Sumuran atau Pitfall Traps (PFT) dan metode Pengambilan Contoh Tanah 30 (PCT). Pemilahan serangga tanah dari contoh tanah dilakukan dengan menggunakan Corong Barlese. (Mercianto, dkk. 1997; Rahmawaty, dkk. 2000; Suin, 2003). D.2.1. Metode Perangkap Sumuran/Pitfall Traps (PFT) Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Metode PFT diterapkan langsung di lapangan. Perangkap sumuran dipilih atas dasar pemikiran praktis, harganya murah, mudah digunakan dan dibawa, karena perangkap sumuran tersebut berupa gelas plastik yang biasanya dipakai sebagai gelas minum dengan ukuran Ф = 5 cm dan tinggi 10 cm. Perangkap sumuran cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman individu. Selain itu Hexapoda tanah yang dapat ditangkap adalah Hexapoda diurnal dan nokturnal. Namun metode ini mempunyai keterbatasan bahwa Hexapoda yang tertangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan lantai hutan (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985). Sketsa PFT Gambar 5. Perangkap sumuran (PFT) di lapangan Perangkap sumuran di pasang dengan cara menanam gelas yang berisi alkohol 70% setinggi 5 cm di atas tanah (Gambar 5) dan ditetesi 1 tetes gliserin untuk mengurangi penguapan alkohol. Permukaan gelas harus benar-benar rata dengan permukaan tanah. Pemasangan perangkap dipilih di daerah yang relatif kering agar dapat ditanam dan air tidak masuk. Pengumpulan Hexapoda dengan metode ini harus memperhatikan waktu-waktu pasang surut air laut di kawasan ekosistem mangrove. Lama pemasangan perangkap untuk masing-masing lokasi ditetapkan selama 22 jam, berdasarkan periode waktu pasang-surut air laut. Hasil tangkapan dipindahkan ke dalam kantong plastik dan diikat. 31 D.2.2. Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) Metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) digunakan untuk memisahkan atau memilih Hexapoda dari serasah dan tanah. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan Hexapoda yang berada di dalam lapisan tanah. Adapun cara pengumpulan Hexapoda dengan metode ini adalah mengambil contoh tanah beserta serasah dan humus di atasnya. Contoh tanah yang diambil sebanyak 0.5 liter, ukuran petak pengambilan 10 cm x 10 cm dengan ketebalan antara 6-8 cm. Contoh tanah tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong belacu/karung terigu untuk dibawa ke laboratorium. Contoh tanah yang telah diambil, selanjutnya di letakkan pada corong Barlese hasil modifikasi (Gambar 6). Gambar 6. Alat pemisah serangga dari serasah dan tanah (Corong barlese modifikasi) Contoh tanah kemudian diperlakukan di dalam corong Barlese Modifikasi selama satu minggu dan setiap tiga hari sekali dilakukan pembalikan tanah yang terdapat pada corong Barlese, apabila tanah tersebut kering diberi percikan air agar fauna di dalam tanah tersebut tidak mati. Sebagai larutan pembunuh sekaligus preservasi digunakan alkohol 70%. Selanjutnya fauna/Hexapoda yang tertampung kemudian dipisah-pisahkan (disortir), dan diidentifikasi sampai tahap suku atau famili dengan bantuan mikroskop. Hexapoda tersebut kemudian dihitung jumlahnya. 32 D.3. Pengambilan Data Sifat Fisik dan Kimia Tanah D.3.1. Sifat Fisik Tanah Analisis sifat fisik tanah meliputi : suhu tanah dan kelembaban tanah pengukuran-nya dilakukan langsung di lapangan, kecuali untuk tekstur tanah, bobot isi (bulkdensity) dan kadar air pengamatannya dilakukan di laboratorium. Pengambilan contoh tanah utuh menggunakan ”ring sample” yang diletakkan di kedua sudut dan di tengah-tengah untuk setiap petak penelitian, kemudian dianalisis di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. D.3.2. Sifat Kimia Tanah Untuk mengetahui sifat kimia tanah, diambil secara parsial tiga contoh tanah komposit masing-masing sebanyak 250 gram pada setiap petak. Pengambilan contoh tanah dilakukan di sekitar petak peletakan PFT. Unsur-unsur yang akan dianalisis adalah pH tanah (H2O & KCl), kandungan bahan organik (C-Organik), kandungan N, P dan K, kandungan Ca, serta salinitas tanah. Pengukuran pH tanah selain dilakukan di laboratorium, juga dilakukan langsung di lokasi penelitian. Analisis kimia tanah dilakukan di laboratorium analitik Balai Penelitian Tanah, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian, Bogor. D.4. Pengukuran/Pengamatan Serasah Pengukuran/pengamatan serasah dilakukan pada masing-masing petak penelitian, meliputi tebal/tipis serasah, kelembaban, pH, dan suhu tanah. D.5. Pengukuran/Pengamatan Suhu dan Kelembaban Udara Pengukuran/pengamatan suhu dan kelembaban udara dilakukan pada saat penelitian berlangsung. E. Identifikasi dan Analisis Peran Hexapoda Tanah Identifikasi serangga/Hexapoda tanah hasil tangkapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu mikroskop stereo binokuler di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bidang Zoologi Cibinong, Bogor. Identifikasi dilakukan sampai pada tahap famili/suku. Spesimen serangga diawetkan dalam alkohol 70%. Analisis peran Hexapoda tanah dilakukan berdasarkan kelompok takson/taksa dan mengacu pada literatur yang tersedia, serta berdasarkan morfologi mulut. 33 F. Analisis Data Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dihitung berbagai parameter di bawah ini : F.1. Keanekaragaman Jenis Hexapoda Tanah Nilai keanekaragaman Hexapoda tanah dihitung berdasarkan nilai keanekaragaman yang dikemukakan oleh Hill (Ludwig and Reynolds, 1988). Nilai keanekaragaman tersebut memiliki kemudahan karena dihitung dengan menggunakan ordo nol, satu dan dua, sehingga dari nilai ordo satu dan ordo dua tersebut dapat digunakan untuk menentukan jumlah suku yang melimpah dan mendominasi untuk setiap type komunitas atau jenis penutupan lahan. Nilai keanekaragaman tersebut adalah sebagai berikut : NA = S ∑ ( Pi ) 1 / (1− A ) i =1 Ordo Nol : N0 = S Ordo Satu : N1 = e H ' Ordo Dua : N2 = 1 λ No merupakan jumlah suku yang terdapat di dalam sample. Nilai No ini sama dengan nilai S. Untuk mengetahui nilai keanekaragaman Hill. dibutuhkan dua indeks keanekaragaman lain. Indeks yang sering digunakan adalah indeks ShannonWiener (H') dan indeks Simpson ( λ ). Indeks Shannon-Wiener (Odum, 1996) yang dimaksud adalah : S H ' = − ∑ ( Pi ln Pi ) i =1 Simpson (1949) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mendefinisikan sebagai berikut : λ= S ∑ i =1 ni ( ni −1 ) n ( n −1) Di mana : S λ = Jumlah suku/famili serangga tanah yang ditemukan dalam sample = Indeks Simpson 34 H’ N0 N1 N2 P1 = = = = = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener Jumlah suku/famili dalam sampel Jumlah kelimpahan suku Jumlah dari suku yang paling melimpah (dominan) n1/N, dimana : n1 = Jumlah individu jenis ke-1 N = Jumlah individu seluruh jenis Magurran (1988) mengklasifikasikan nilai-nilai indek Shanon (H’) ke dalam 3 kategori yaitu: H’ = < 1,5 (keanekaragaman rendah); H’ = 1,5 - 3,5 (keanekaragaman sedang), dan H’ = > 3,5 (keanekaragaman tinggi). Untuk menghitung nilai indeks Hill, termasuk indeks Shannon-Wiener (H') dan indeks Simpson ( λ ) digunakan program analisis BioDAP for Windows v.1988. F.2. Analisis Faktor Lingkungan Pengujian yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter faktor lingkungan (suhu, kelembaban, porositas, salinitas, pH, kandungan bahan organik tanah), baik Hexapoda tanah yang aktif di permukaan tanah (metode PFT) maupun yang aktif di dalam tanah (metode PCT), yang menggunakan analisis korelasi dengan Program MINITAB Versi 14.01. Daerah yang dipilih untuk dijadikan sampel pengukuran adalah hutan mangrove lebat, daerah ini dipilih atas pertimbangan karena hutan mangrovenya belum dikonversi (masih utuh) dan belum mengalami gangguan yang nyata terhadap aktivitas manusia. Di samping itu vegetasi yang dominan tumbuh di daerah ini adalah jenis mangrove sejati dengan kerapatan dan penutupan tajuk pohon yang cukup baik. 35 1. Mangrove Lebat 4. Kebun Campuran 2. Mangrove Sedang 5. Tambak non tumpangsari 3. Mangrove Jarang 6. Lahan Kosong Gambar 7. Kondisi fisik jenis-jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian. 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil A.1. Faktor Lingkungan Fisik dan Kimia Hasil pengukuran faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang serta kawasan hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pada masing-masing lokasi penelitian. No. Variabel yang diukur Suhu Udara (oC) Kelembaban Udara (%) Suhu Tanah (oC) Kelembaban Tanah (%) pH Tanah Lapangan pH Tanah Laboratorium - H2O - KCl Bahan Organik/ 7. C-Organik (%) 8. Salinitas/DHL (dS/m) 9. N-total (%) 10. Fosphor (P) - Potensial (mg/100 g) - Tersedia (ppm) 11. Kalium (K) - Potensial (mg/100 g) - Tersedia (ppm) 12. Ca-potensial (mg/100 g) 1. 2 3. 4. 5. 6. 13. Kelas Tekstur - Pasir (%) - Debu (%) - Liat (%) 14. Kadar Air (%) 15. Bobot isi tanah/Bd (g/cc) 16. Ruang pori total (%) Hutan Mangrove belum dikonversi Hutan Mangrove telah dikonversi Mangrove Mangrove Mangrove lebat sedang jarang Kebun campuran Tambak Lahan non T.sari kosong 29,11 73,75 26,83 78,67 6,00 29,38 72,50 27,13 76,67 6,30 31,15 67,00 27,17 74,33 6,16 29,83 72,67 27,03 76,25 7,01 32,13 64,50 28,10 73,33 5,83 31,53 67,67 27,88 73,17 5,09 5,80 5,70 6,90 6,70 6,50 6,20 7,40 7,00 5,60 5,40 4,50 3,80 22,45 19,19 16,00 26,27 11,71 1,78 13.14 0.57 5.82 0.62 7.59 0.39 2 .6 5 1 .3 5 7.55 0.35 1.42 0.13 15 34 44 51 21 47 73 39 37 27 77 12.8 514 4201 664 113 632 3542 250 1506 1054 76 427 5383 266 1378 412 136 273 41 Lempung berdebu Lempung berpasir Lempung berdebu Lempung liat berdebu Lempung berliat Lempung berpasir 25,80 52,12 22,09 76,00 0,31 78,8 67,85 21,15 11,08 69,70 0,47 67,3 16,20 59,89 23,99 73,60 0,30 79,1 3,77 62,39 33,92 82,40 0 ,1 7 8 8 ,4 28,72 43,15 28,19 79,50 0,19 86,9 53,17 29,77 17,11 49,20 0,17 88,6 37 Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara serta suhu dan kelembaban tanah pada masing-masing jenis penutupan lahan di ekosistem mangrove pada lokasi penelitian menunjukkan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Suhu udara berkisar antara 29,11oC 32,13oC sedangkan suhu tanah berkisar 26,83oC - 28,10oC, kelembaban udara berkisar antara 64,50% - 73,75% sedangkan kelembaban tanah berkisar 73,33% - 78,67%. Analisis kandungan bahan organik tanah menunjukkan bahwa persentase kandungan bahan organik tanah tertinggi diperoleh di daerah yang telah dikonversi menjadi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove lebat, mangrove sedang, mangrove jarang dan tambak non tumpangsari, sedangkan di lahan kosong kandungan bahan organik tanahnya tergolong sangat rendah (< 2%), sesuai dengan kriteria kandungan C-organik yang dikemukakan oleh Mustafa dkk., (1982). Intensitas kemasaman suatu sistem tanah diperlihatkan oleh nilai pH-nya. Hasil pengukuran di lapangan dan di laboratorium dari masing-masing jenis penutupan lahan di ekosistem mangrove yang diteliti terlihat ada perbedaan nilai pH tanah (Tabel 2). Pada daerah ekosistem mangrove belum dikonversi yang diteliti secara umum pH tanahnya tergolong sedikit asam sampai netral, dimana pH lapangan berkisar antara 6,00 – 6,30; pH H2O dan pH KCl tanah masing-masing 5,80 – 6,90 dan 5,70 – 6,70. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Arief (2007), bahwa nilai pH tanah pada kawasan-kawasan mangrove yang didominasi oleh tegakan jenis Rhizophora spp. berkisar antara 4,6 – 6,5. Selanjutnya pada daerah ekosistem mangrove yang telah dikonversi, secara umum pH tanahnya tergolong cukup asam sampai netral, dimana pH lapangan berkisar antara 5,09 – 7,01; pH H2O dan pH KCl tanah masingmasing 4,50 – 7,40 dan 3,80 – 7,00, dimana lahan kosong, tambak non tumpangsari dan kebun campuran masing-masing termasuk kategori cukup asam, agak asam dan netral. Pengukuran salinitas/DHL tanah menunjukkan bahwa hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi kebun campuran dan lahan kosong memiliki kadar salinitas tanah yang rendah yaitu 2,65 dS/m dan 1,42 dS/m, sedangkan hutan mangrove sedang, mangrove jarang dan tambak non tumpangsari kadar salinitas tanahnya sedang masing-masing 5,82 dS/m, 7,59 dS/m dan 7,55 dS/m. Adapun hutan mangrove lebat kadar salinitas tanahnya tergolong agak tinggi yaitu sebesar 13,14 dS/m. Nilai salinitas/DHL yang tinggi mengindikasikan bahwa pada hutan mangrove lebat mengandung banyak ion-ion garam terlarut (Effendi, 2000). 38 Kandungan N-total tanah secara umum tergolong sedang sampai tinggi (0,35% 0,62%), kecuali pada daerah yang telah dikonversi menjadi kebun campuran tergolong sangat tinggi (1,35%), dan untuk lahan kosong kandungan N-totalnya tergolong sangat rendah (0,35%). Sedangkan kandungan Ca-potensial tergolong agak tinggi terutama pada lokasi kebun campuran (5 5.383 mg/100 g) dan hutan mangrove sedang (3542 mg/100g), selanjutnya diikuti oleh hutan mangrove jarang (1.054 mg/100 g). Untuk lokasi hutan mangrove lebat, tambak non tumpangsari dan lahan kosong, kandungan Ca-potensialnya tergolong rendah (masing-masing 664 mg/100 g, 412 mg/100 g, 41 mg/100 g). Kandungan P-tersedia tanah diberbagai jenis penutupan lahan pada ekosistem mangrove yang diteliti cenderung sama, yaitu berkisar antara 12,8 ppm – 51,0 ppm. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kandungan P-tersedia pada lokasi penelitian cenderung rendah. Untuk kandungan K-tersedia terlihat ada perbedaan diberbagai jenis penutupan lahan (Tabel 2), dimana pada hutan mangrove lebat, mangrove jarang dan tambak kandungan K-tersedia agak tinggi (masing-masing 4.201 ppm; 1.506 ppm; 1.378 ppm), sedangkan pada lahan kosong hanya sekitar 273 ppm yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan mangrove sedang (632 ppm) dan kebun campuran (427 ppm). Kelas tekstur tanah pada setiap lokasi penelitian ditentukan dari perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat (yaitu partikel tanah yang Ф efektifnya ≤ 2 mm) berdasarkan segitiga tekstur tanah (Balittanah Deptan, 2006). Pada hutan mangrove lebat dan mangrove jarang memiliki kelas tekstur tanah lempung berdebu yang berarti komposisi debu yang dominan, pada hutan mangrove sedang dan lahan kosong memiliki tekstur tanah lempung berpasir dimana komposisi pasir yang dominan, pada lahan tambak non tumpangsari memiliki tekstur tanah lempung berliat dimana komposisi debu sedikit libih tinggi dibandingkan dengan pasir dan liat. Sedangkan pada kebun campuran memiliki kelas tekstur tanah lempung liat berdebu yang berarti fraksi liat yang banyak debunya. Persentase kadar air tanah di hutan mangrove sedang dan lahan kosong tergolong rendah dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya. Rendahnya angka ini berkaitan dengan kelas tekstur tanah yang termasuk kategori kasar dan sedang yaitu tekstur lempung berpasir. Adapun di kebun campuran persentase kadar air tanahnya tergolong tinggi (82,40%), tingginya kadar air tanah tersebut ada kaitannya dengan tekstru tanah yang termasuk dalam kelas lempung liat berdebu. 39 Hasil pengukuran terhadap bobot isi tanah (Bd) di kebun campuran dan lahan kosong dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya mempunyai nilai terendah (0,17 g/cc), sebaliknya persentase ruang pori total tanah pada kedua lokasi tersebut nilainya paling tinggi (88,40% dan 88,60%). Hal ini disebabkan karena kerapatan massa tanah yang menurun, menyebabkan ruang pori bertambah sehingga volume berat tanah berkurang (Balittanah Deptan, 2006). A.2. Vegetasi Hasil pengamatan terhadap vegetasi pada masing-masing lokasi penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove yang belum dikonversi didominasi oleh jenis mangrove sejati dari genus Rhizophora, Bruguiera, Lumnitzera dan Xylocarpus. Sedangkan di hutan mangrove yang telah dikonversi tidak ditemukan lagi jenis mangrove sejati, tetapi masih bisa ditemukan jenis-jenis mangrove ikutan seperti kangkung laut (Ipomoea pes-caprae.), seruni laut (Wedelia biflora), Lantana camara, pecut kuda (Stachytarpheta jamaicensis). Selain itu ditemukan juga tanaman pertanian dan perkebunan seperti kelapa, pisang, talas lompong dan jambu biji serta tumbuhan sejenis rumput-rumputan. Hasil pengamatan terhadap jenis dan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi penelitian menunjukkan bahwa pada lokasi hutan mangrove lebat dan sedang didominasi oleh jenis mangrove sejati dengan vegetasi yang tergolong sangat rimbun sampai rimbun, kecuali jenis Bruguiera spp. dan Heritiera spp. tergolong jarang. Sedangkan di hutan mangrove jarang ditemukan vegetasi mangrove sejati, mangrove ikutan yang kerapatannya tergolong jarang serta tumbuhan sejenis rumput-rumputan dengan kerapatan yang rimbun. Adapun kawasan ekosistem mangrove yang telah dikonversi, didominasi oleh jenis rumput-rumputan, tanaman perkebunan dan pertanian (terutama di kebun campuran) serta jenis mangrove ikutan (terutama di lahan kosong). Sedangkan di daerah tambak tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena tambak tersebut merupakan tambak non tumpangsari, dimana yang tersisa hanya akar-akar dan batang pohon bekas tebangan dari tumbuhan mangrove yang melapuk (Tabel 3). 40 Tabel 3. Jenis dan kerapatan tumbuhan pada masing-masing lokasi penelitian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Jenis Tumbuhan Jangkar (B. gymnorrhyza Lamk.) Tanjang lanang (R. mucronata) Bakau (R. stylosa Griff.) Heritiera littoralis Dryand. Lumnitzera littorea Voigt. Nyiri Xylocarpus granatum Konig. Nipah (Nypa fructicans Wrumb.) Pandan bakau (P. tectorius) Kangkung laut (Ipomoea pes-caprae) Tembelekan (Lantana camara L.) Pecut Kuda (S. jamaicensis) Paku laut (Acrostichum aureum) Seruni laut (W. biflora) Talas lompong (Colocasia esculenta) Rumput Kelapa Pisang Jambu biji Hutan Mangrove belum dikonversi Mangrove lebat √ √√√ √√ ≠ ≠ √√ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ Hutan Mangrove telah dikonversi Mangrove Mangrove Tambak Lahan Kebun sedang jarang Campuran non T.sari Kosong √ √√ ≠ √ √√ √ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ √ √ ≠ √ √ ≠ √ √ ≠ ≠ ≠ √ ≠ ≠ √√ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ √ √ √ √ ≠ √ √ √√√ √√ √√ √ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ ≠ √√ ≠ ≠ √√ √ ≠ √ ≠ ≠ ≠ Keterangan : ≠ √ √√ √√√ : : : : Tanpa vegetasi Vegetasi jarang Vegetasi rimbun Vegetasi sangat rimbun A.3. Serasah Kawasan hutan mangrove memiliki fenomena yang khas, yakni terjadinya guguranguguran daun, dan adanya endapan lumpur yang ditunjang oleh proses dekomposisi sisa-sisa bagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang) (Arief, 2007). Serasah berasal dari daun-daun dan ranting-ranting yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis pohon mangrove tersebut, kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan banyak ditutupi oleh serasah. Serasah merupakan salah satu penyusun bahan organik yang semakin lama akan terakumulasi dan menjadi tebal. Serasah ini akan digunakan oleh Hexapoda permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat hidup. Handayanto (1996) dalam Arief (2007) mengemukakan bahwa dalam subsistem dekomposisi, organisme midle (mesofauna; di antaranya Hexapoda tanah) berperan sebagai organisme perombak awal bahan tanaman, serasah 41 dan bahan organik lainnya. Organisme tersebut mengkonsumsi bahan-bahan organik tersebut dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan organik lain sehingga menjadi fragmen berukuran kecil yang siap didekomposisi oleh mikroba tanah. Hasil pengukuran tebal serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengamatan keadaan serasah di berbagai jenis komunitas pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian. No. Lokasi Penelitian 1. Mangrove lebat 2. Mangrove sedang 3. Mangrove jarang 4. Kebun campuran 5. Tambak non tumpangsari 6. Lahan kosong Keterangan : Tipis Sedang Tebal Kondisi Ketebalan Serasah Tebal Sedang Tipis-Sedang Tebal Sedang Tipis : 0 - 0.9 cm : 1 - 2 cm : > 2.1 cm Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi ketebalan serasah baik pada hutan mangrove yang telah dikonversi maupun yang belum dikonversi ketebalan serasahnya bervariasi dari tebal sampai tipis. Pada kawasan yang telah dikonversi, ketebalan serasah (di kebun campuran) diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan rumput-rumputan serta adanya pencahayaan dari sinar matahari. Sedangkan pada daerah tambak, ditemukan ketebalan serasah dengan kategori sedang, karena kondisi tambak sejak tahun 2003 (sejak panen perdana) tidak lagi difungsikan (terbengkalai) sehingga sisa akar-akar dan batang pohon bekas tebangan dari tumbuhan mangrove ditemukan melapuk disekitar tambak tersebut yang menghasilkan serasah, walaupun daerah tersebut tidak ditemukan komunitas tumbuhan karena merupakan tambak non tumpangsari. Berkurangnya ketebalan serasah pada lahan kosong, karena daerah ini lebih didominasi tanaman paku laut (Acrostichum aureum) dan batata pantai (Ipomoea pescaprae), sedangkan rumput-rumputan vegetasinya jarang (Tabel 3). Pada kawasan hutan mangrove yang belum dikonversi, ketebalan serasah (di hutan mangrove lebat) diduga berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati (Rhizophora spp.) yang tergolong sangat rimbun sehingga lantai hutan cukup basah dan kelembaban udara cukup tinggi. Sedangkan pada hutan mangrove jarang, ketebalan serasahnya bervariasi dari tipis sampai 42 sedang, kondisi ini berkaitan dengan kerapatan vegetasi mangrove sejati tergolong jarang (Tabel 3) walaupun vegetasi rumput-rumputan agak rimbun tetapi hanya pada zona yang ke arah daratan (lembah/perbukitan) dimana arus pasang surut semakin kecil/tidak ada. A.4. Keanekaragaman Hexapoda Tanah Keanekaragaman Hexapoda tanah yang diperoleh terdiri dari kelas Collembola dan Insecta. Kelas Collembola terdiri dari 4 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha, Neelipleona dan Symphypleona (Jordana & Arbea, 1989), tetapi dalam penelitian ini ditemukan 3 ordo yaitu Poduromorpha, Entomobryomorpha dan Symphypleona. Populasi Hexapoda tanah paling banyak ditemukan dengan menggunakan metode pitfall trap/PFT (Tabel 5) dibandingkan dengan metode pengambilan contoh tanah/PCT (Tabel 6). Berdasarkan data pada Tabel 5, menunjukkan bahwa Entomobryomorpha (Entomobryidae) merupakan ordo yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Entomobryomorpha merupakan salah satu ordo dari kelas Collembola yang jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, tambak non tumpangsari dan hutan mangrove lebat. Selanjutnya ordo Symphypleona (kelas Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di tambak non tumpangsari dan hutan mangrove lebat. Dengan menggunakan metode PFT, ordo Entomobryomorpha dan Symphypleona (kelas Collembola), serta ordo Orthoptera dan Hymenoptera (kelas Insecta) merupakan Hexapoda tanah yang jumlah populasi individunya tinggi jika dibandingkan dengan ordo lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di tambak non tumpangsari, kebun campuran dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan mangrove sedang, mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas Insecta yaitu ordo Orthoptera, populasi individu yang tinggi ditemukan di hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang, sedangkan ordo Hymenoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di kebun campuran hutan, mangrove sedang dan mangrove jarang. 43 Tabel 5. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pitfall Trap (PFT). Nama Takson A. Kelas Collembola A.1. Ordo Poduromorpha 1 Hypogastruridae A.2. Ordo Entomobryomorpha 2 Entomobryidae 3 Isotomidae Sub total A.3. Ordo Symphypleona 4 Sminthuridae Total Collembola B. Kelas Insecta B.1. Ordo Hymenoptera 5 Formicidae (1) 6 Formicidae (2) Sub total B.2. Ordo Coleoptera 7 Anthicidae 8 Nitidulidae 9 Ptiliidae 10 Scolitidae 11 Staphylinidae Sub total B.3. Ordo Orthoptera 12 Gryllidae 13 Gryllotalpidae Sub total B.4. Ordo Dictyoptera 14 Blattidae B.5. Ordo Diptera 15 Culicidae 16 Drosophilidae 17 Dolichopodidae 18 Sciaridae 19 Simuliidae 20 Phoridae Sub total B.6. Ordo Homoptera 21 Delphacidae B.7. Ordo Hemiptera 22 Gerridae 23 Pentatomidae Sub total B.8. Ordo Lepidoptera 24 Tineidae (moth) B.9. Ordo Psocoptera 25 Liposcelidae 26 Nimfa Sub total Total Insecta Total Hexapoda (Collembola+Insecta) Hutan Mangrove belum konversi Sub total Hutan Mangrove telah konversi Sub total Total Mangrove Mangrove Mangrove Individu Kebun Lahan Individu Individu/ Tambak Taksa lebat sedang jarang campuran kosong 0 0 0 0 51 1 0 52 52 167 13 180 136 0 136 47 0 47 350 13 363 484 16 500 2 307 309 60 0 60 546 323 869 896 336 1.232 211 10 57 278 47 351 60 458 736 391 146 104 641 598 661 120 1.379 2.020 4 2 6 19 4 23 15 5 20 38 11 49 30 11 41 0 0 0 14 3 17 44 14 58 82 25 107 0 2 1 4 2 9 0 0 2 0 1 3 0 0 0 0 0 0 0 2 3 4 3 12 1 0 1 1 2 5 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 1 5 2 1 3 1 3 10 2 3 6 5 6 22 56 0 56 32 0 32 26 0 26 114 0 114 11 1 12 3 0 3 4 0 4 18 1 19 132 1 133 3 2 1 6 1 0 0 1 7 0 7 0 3 1 6 17 0 1 0 0 1 5 7 0 1 0 0 0 2 3 0 9 0 3 2 13 27 3 12 3 0 0 16 34 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 3 3 13 3 0 0 18 37 3 22 3 3 2 31 64 1 0 2 3 5 0 0 5 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 4 0 0 0 0 0 0 2 2 4 2 2 4 0 1 0 1 0 0 1 1 2 0 2 2 94 0 0 0 68 0 0 0 52 0 2 2 214 2 8 10 112 0 0 0 3 0 0 0 30 2 8 10 145 2 10 12 359 485 214 156 855 710 664 150 1.524 2.379 44 66 1 Sp. Collembola 66 4 750 71 0 Metode Pit Fall Trap (PFT) 59 8 Sp. Insecta Sp. total 48 5 39 1 15 0 12 0 10 4 3 30 52 68 150 11 2 14 6 21 4 300 15 6 450 94 Jumlah Hexapoda tanah 600 0 ML MS MJ KC Hutan Mangrove belum dikonversi Tb LK Hutan Mangrove telah dikonversi Lokasi Gambar 8. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pitfall Trap (PFT). Keterangan : ML : Mangrove lebat MS MJ KC Tb LK : Mangrove sedang : Mangrove jarang : Kebun campuran : Tambak non tumpangsari : Lahan kosong Berdasarkan Gambar 8 di atas, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah paling banyak terperangkap dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti tambak non tumpangsari dan hutan mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku, kecuali pada tambak non tumpangsari dengan jumlah ordo dan suku paling sedikit di antara lokasi penelitian lainnya (Tabel 8). Dari Gambar 8 di atas juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode PFT, jumlah individu kelas Collembola lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan individu kelas Insecta pada hampir setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. 45 Tabel 6. Jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas di ekosistem mangrove dengan menggunakan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT). Nama Takson A. Kelas Collembola A.1. Ordo Poduromorpha 1 Hypogastruridae A.2. Ordo Entomobryomorpha 2 Entomobryidae 3 Isotomidae Sub total A.3. Ordo Symphypleona 4 Sminthuridae Total Collembola B. Kelas Insecta B.1. Ordo Hymenoptera 5 Formicidae (1) 6 Formicidae (2) Sub total B.2. Ordo Coleoptera 7 Eucnemidae 8 Nitidulidae 9 Ptiliidae 10 Scarabidae 11 Staphylinidae Sub total B.3. Ordo Diptera 12 Culicidae 13 Dolichopodidae 14 Drosophilidae 15 Sciaridae 16 Phoridae Sub total B.4. Ordo Homoptera 17 Delphacidae B.5. Ordo Psocoptera 18 Liposcelidae 19 Nimfa Sub total Total Insecta Total Hexapoda (Collembola+Insecta) Hutan Mangrove belum konversi Hutan Mangrove telah konversi Total Sub total Sub total Mangrove Mangrove Mangrove Individu Kebun Lahan Individu Individu/ Tambak Taksa lebat sedang jarang campuran kosong 0 0 0 0 11 0 0 11 11 4 3 7 2 1 3 1 1 2 7 5 12 3 10 13 0 9 9 0 2 2 3 21 24 10 26 36 1 0 1 2 9 0 0 9 11 8 3 3 14 33 9 2 44 58 3 0 3 1 0 1 2 0 2 6 0 6 2 1 3 0 0 0 3 0 3 5 1 6 11 1 12 0 2 0 0 0 2 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 4 0 0 0 4 0 8 0 0 1 9 1 2 0 2 0 5 0 7 0 0 0 7 1 17 0 2 1 21 1 21 0 2 1 25 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 12 12 0 0 0 0 2 2 0 1 0 0 14 15 0 0 0 0 3 3 1 0 1 0 3 5 1 0 0 0 0 1 2 0 1 0 6 9 2 1 1 0 20 24 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 13 14 4 9 13 0 9 9 5 31 36 2 26 28 0 2 2 2 0 2 4 28 32 9 59 68 20 28 14 62 43 12 13 68 130 28 31 17 76 76 21 15 112 188 46 Tabel 7. Populasi serangga tanah dengan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT) pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian. Taksa/Suku Arthropleona 1 Entomobryidae 2 Hypogastruridae 3 Isotomidae Symphypleona 4 Sminthuridae Hymenoptera 5 Formicidae (1) 6 Formicidae (2) Coleoptera 7 Eucnemidae 8 Nitidulidae 9 Ptiliidae 10 Scarabidae 11 Staphylinidae Diptera 12 Culicidae 13 Dolichopodidae 14 Drosophilidae 15 Sciaridae 16 Phoridae Homoptera 17 Delphacidae Psocoptera 18 Liposcelidae 19 Nimfa Jumlah Taksa/Suku Arthropleona 1 Entomobryidae 2 Hypogastruridae 3 Isotomidae Symphypleona 4 Sminthuridae Hymenoptera 5 Formicidae (1) 6 Formicidae (2) Coleoptera 7 Eucnemidae 8 Nitidulidae 9 Ptiliidae 10 Scarabidae 11 Staphylinidae Diptera 12 Culicidae 13 Dolichopodidae 14 Drosophilidae 15 Sciaridae 16 Phoridae Homoptera 17 Delphacidae Psocoptera 18 Liposcelidae 19 Nimfa Jumlah Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang ∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr % ∑i Ind./ltr % 4 0 3 0,80 0,00 0,60 14,29 0,00 10,71 2 0 1 0,40 0,00 0,20 6,45 0,00 3,23 1 0 1 0,20 0,00 0,20 5,88 0,00 5,88 1 0,20 3,57 0 0,00 0,00 1 0,20 5,88 3 0 0,60 0,00 10,71 0,00 1 0 0,20 0,00 3,23 0,00 2 0 0,40 0,00 11,76 0,00 0 2 0 0 0 0,00 0,40 0,00 0,00 0,00 0,00 7,14 0,00 0,00 0,00 0 1 0 0 0 0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 3,23 0,00 0,00 0,00 0 1 0 0 0 0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 5,88 0,00 0,00 0,00 0 1 0 0 0 0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 3,57 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0 12 0,00 0,00 0,00 0,00 2,40 0,00 0,00 0,00 0,00 38,71 0 0 0 0 2 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00 0,00 0,00 11,76 0 0,00 0,00 1 0,20 3,23 0 0,00 0,00 1 13 28 0,20 2,60 5,60 3,57 46,43 100,00 4 9 31 0,80 1,80 6,20 12,90 29,03 100,00 0 9 17 0,00 1,80 3,40 0,00 52,94 100,00 Kebun campuran ∑i Ind./ltr % Tambak non tumpangsari ∑i Ind./ltr % Lahan kosong ∑i Ind./ltr % 3 11 10 0,60 2,20 2,00 3,95 14,47 13,16 0 0 9 0,00 0,00 1,80 0,00 0,00 42,86 0 0 2 0,00 0,00 0,40 0,00 0,00 13,33 9 1,80 11,84 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 2 1 0,40 0,20 2,63 1,32 0 0 0,00 0,00 0,00 0,00 3 0 0,60 0,00 20,00 0,00 0 8 0 0 1 0,00 1,60 0,00 0,00 0,20 0,00 10,53 0,00 0,00 1,32 1 2 0 2 0 0,20 0,40 0,00 0,40 0,00 4,76 9,52 0,00 9,52 0,00 0 7 0 0 0 0,00 1,40 0,00 0,00 0,00 0,00 46,67 0,00 0,00 0,00 0 0 0 0 3 0,00 0,00 0,00 0,00 0,60 0,00 0,00 0,00 0,00 3,95 1 0 1 0 3 0,20 0,00 0,20 0,00 0,60 4,76 0,00 4,76 0,00 14,29 1 0 0 0 0 0,20 0,00 0,00 0,00 0,00 6,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 0 0,00 0,00 2 26 76 0,40 5,20 15,20 2,63 34,21 100,00 0 2 21 0,00 0,40 4,20 0,00 9,52 100,00 2 0 15 0,40 0,00 3,00 13,33 0,00 100,00 47 Berdasarkan data pada Tabel 6 dan 7, menunjukkan bahwa Psocoptera merupakan ordo yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan pada hampir setiap jenis komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Psocoptera merupakan salah satu ordo dari kelas Insecta yang jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang. Selanjutnya ordo Entomobryomorpha (kelas Collembola) jumlah individunya tinggi ditemukan di kebun campuran, tambak non tumpangsari dan mangrove lebat, sedangkan ordo Diptera memiliki jumlah individu tinggi pada lokasi mangrove sedang, ordo Coleoptera pada lokasi kebun campuran dan lahan kosong. Dengan metode PCT, ordo Entomobryomorpha (kelas Collembola), ordo Psocoptera (kelas Insecta) merupakan Hexapoda tanah yang jumlah individunya tinggi jika dibandingkan dengan ordo lainnya. Jumlah populasi Collembola tinggi ditemukan di kebun campuran, tambak non tumpangsari, dan hutan mangrove lebat, sedangkan di lokasi lainnya (hutan mangrove sedang, mangrove jarang dan lahan kosong) populasinya hampir merata. Pada kelas Insecta yaitu ordo Psocoptera populasi individu yang tinggi ditemukan di kebun campuran, hutan mangrove lebat, mangrove sedang dan mangrove jarang, sedangkan ordo Diptera (Phoridae) populasi individu yang tinggi ditemukan di mangrove sedang. Berdasarkan grafik batang pada Gambar 9, menunjukkan bahwa total Hexapoda tanah paling banyak terkumpul dari lokasi kebun campuran, kemudian diikuti hutan mangrove sedang dan mangrove lebat, begitu pula dengan jumlah ordo dan suku (Tabel 7). Pada grafik batang tersebut juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode PCT, kecenderungan jumlah individu kelas Insecta lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan jumlah individu kelas Collembola pada enam tipe komunitas ekosistem mangrove di lokasi penelitian. 48 Metode Pengumpulan contoh tanah (PCT) 80 70 60 40 28 28 33 43 50 31 30 3 MS MJ 2 3 10 15 9 12 14 20 13 20 21 17 8 Jumlah Hexapoda tanah 76 Sp. Collembola Sp. Insecta Sp. total 0 ML KC Hutan Mangrove belum dikonversi Tb LK Hutan Mangrove telah dikonversi Lokasi Gambar 9. Perbandingan jumlah individu Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan menggunakan metode Pengambilan Contoh Tanah (PCT). Keterangan : ML : Mangrove lebat MS MJ KC Tb LK : Mangrove sedang : Mangrove jarang : Kebun campuran : Tambak non tumpangsari : Lahan kosong Tabel 8. Jumlah ordo, suku dan individu dari dua metode pengumpulan Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian. Lokasi Penelitian 1 2 3 1 2 3 Hutan Mangrove belum konversi Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang Hutan Mangrove telah konversi Kebun campuran Tambak non tumpangsari Lahan kosong Metode PFT Ordo Suku ∑ indv. Metode PCT Ordo Suku ∑ indv. 9 8 7 17 12 9 485 214 156 6 6 6 8 8 7 28 31 17 11 4 7 22 5 12 710 664 150 7 4 5 11 8 6 76 21 15 49 Hasil analisis data dengan menggunakan indeks Hill diperoleh nilai keanekaragaman suku seperti yang terlihat pada Tabel 8. Hasil perhitungan N0, N1 dan N2 dengan menggunakan indeks Shannon-Wienner dan indeks Simpson disajikan pada Lampiran 1,2,3,4. Pada Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa dengan metode PFT, total jumlah suku Hexapoda tanah (N0) yang diperoleh lebih tinggi dari pada metode PCT. Sedangkan total nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) Hexapoda tanah, dengan metode PFT lebih rendah dari pada metode PCT. Dari enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian, dengan metode PFT jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi diperoleh pada kebun campuran (22 suku), sedangkan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) Hexapoda tanah tertinggi ditemukan di hutan mangrove jarang masingmasing sebanyak 5 suku N1 dan 4 suku N2 yaitu suku Sminthuridae, Entomobryidae (kelas Collembola) dan Gryllidae, Formicidae-1 (kelas Insecta). Adapun dengan metode PCT, lokasi kebun campuran memperoleh jumlah suku Hexapoda tanah (N0) tertinggi (11 suku), demikian pula dengan jumlah nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) Hexapoda tanah yang diperoleh tertinggi di antara enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian dengan nilai masing-masing sebanyak 7 suku N1 dan 6 suku N2 yaitu suku Hypogastruridae, Isotomidae, Sminthuridae (kelas Collembola) dan nimfa Liposcelidae, Nitidulidae, Phoridae (kelas Insecta). Tabel 9. Nilai keanekaragaman famili atau suku Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian. Lokasi Penelitian 1 2 3 1 2 3 Hutan Mangrove belum konversi Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang Hutan Mangrove telah konversi Kebun campuran Tambak non tumpangsari Lahan kosong Jumlah Metode PFT NO N1 N2 Metode PCT NO N1 N2 17 12 9 4,314 3,597 4,664 3,114 2,300 3,876 8 8 7 5,251 5,006 4,513 4,154 4,266 3,579 22 5 12 77 3,962 2,107 4,102 22,747 2,095 2,031 3,068 16,484 11 8 6 48 7,126 5,742 4,037 31,674 5,734 5,000 4,038 26,772 Keterangan : N0 : Jumlah suku Hexapoda tanah N1 : Nilai kelimpahan suku Hexapoda tanah N2 : Nilai dominansi suku Hexapoda tanah 50 Tabel 10. Suku serangga tanah berdasarkan nilai kelimpahan (N1) dan nilai dominansi (N2) Hexapoda tanah pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian. Metode Tipe komunitas mangrove N1 N2 PFT Mangrove lebat 4,314 3,114 Mangrove sedang 3,597 2,300 Mangrove jarang 4,664 3,876 Kebun campuran 3,962 2,095 Tambak non tumpangsari 2,107 2,031 4,102 3,068 Mangrove lebat 5,251 4,154 Mangrove sedang 5,006 4,266 Lahan Kosong PCT Mangrove jarang 4,513 3,579 Kebun campuran 7,126 5,734 Tambak non tumpangsari 5,742 5,000 Lahan kosong 4,037 4,038 Suku/famili N1 Suku/famili N2 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 Sminthuridae Entomobryidae Gryllidae Isotomidae Entomobryidae Gryllidae Formicidae (1) Sminthuridae Sminthuridae Entomobryidae Gryllidae Formicidae (1) Formicidae (2) Entomobryidae Hypogastruridae Sminthuridae Formicidae (1) Sminthuridae Isotomidae Entomobryidae Sminthuridae Formicidae (1) Gryllidae Nimfa Liposcelidae Entomobryidae Isotomidae Formicidae (1) Nitidulidae Phoridae Nimfa Liposcelidae Liposcelidae Entomobryidae Formicidae (1) Nimfa Liposcelidae Phoridae Formicidae (1) Isotomidae Entomobryidae Nimfa Liposcelidae Hypogastruridae Isotomidae Sminthuridae Nitidulidae Phoridae Entomobryidae Isotomidae Phoridae Nitidulidae Nimfa Liposcelidae Scarabidae Drosophilidae Nitidulidae Formicidae (1) Isotomidae Liposcelidae 1 Sminthuridae 2 Entomobryidae 3 Gryllidae 1 Entomobryidae 2 Gryllidae 1 2 3 4 Sminthuridae Entomobryidae Gryllidae Formicidae (1) 1 Entomobryidae 2 Hypogastruridae 1 2 1 2 3 Sminthuridae Isotomidae Entomobryidae Sminthuridae Formicidae (1) 1 2 3 4 Nimfa Liposcelidae 1 2 3 4 Entomobryidae Isotomidae Formicidae (1) Phoridae Nimfa Liposcelidae Liposcelidae Entomobryidae 1 2 3 4 Phoridae Formicidae (1) Isotomidae 1 2 3 4 5 6 Hypogastruridae Isotomidae Sminthuridae Nitidulidae Phoridae 1 2 3 4 5 1 2 3 4 Nimfa Liposcelidae Nimfa Liposcelidae Isotomidae Phoridae Nitidulidae Nimfa Liposcelidae Scarabidae Nitidulidae Formicidae (1) Isotomidae Liposcelidae ∑ ind. 211 167 56 13 136 32 19 10 57 47 26 15 5 484 51 47 30 351 307 60 60 14 4 13 4 3 3 2 12 9 4 2 1 9 2 2 1 1 26 11 10 9 8 3 3 9 3 2 2 2 1 7 3 2 2 51 A.5. Peran Hexapoda Tanah Hasil pengklasifikasian jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan, terutama dalam ekosistem mangrove disajikan pada Tabel 11. Sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan peran masing-masing suku pada setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian secara lengkap disajikan pada Lampiran 1,2,3,4. Tabel 11. Jumlah suku Hexapoda tanah berdasarkan perannya dalam lingkungan pada enam tipe komunitas mangrove di lokasi penelitian. Peran dalam lingkungan Hutan Mangrove belum konversi Hutan Mangrove telah konversi Mangrove lebat Mangrove sedang Mangrove jarang Kebun campuran Tambak Lahan kosong 1 Fitofagus (Ft) 5 1 2 10 0 1 2 Perombak (Pr) 419 175 123 669 661 141 3 Pemangsa (Pm) 61 38 31 31 3 8 4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0 485 214 156 710 664 150 1 Fitofagus (Ft) 0 1 0 0 0 0 2 Perombak (Pr) 27 30 17 74 20 14 3 Pemangsa (Pm) 1 0 0 2 1 1 4 Pemarasit (Pp) 0 0 0 0 0 0 28 31 17 76 21 15 Metode PFT Jumlah Metode PCT Jumlah Pada metode PFT, terlihat bahwa jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah yang terbesar, kemudian diikuti oleh kelompok pemangsa yang menempati setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian. Selanjutnya urutan ketiga adalah kelompok fitofagus, kecuali lokasi Tambak non tumpangsari kelompok ini tidak ditemukan. Sedangkan kelompok pemarasit tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian (Tabel 11). Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT jumlah suku Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak memiliki jumlah terbesar pada setiap komunitas mangrove di lokasi penelitian, setelah itu kelompok pemangsa (pada lokasi hutan mangrove lebat, kebun campuran, tambak, lahan kosong) dan kelompok fitofagus hanya pada hutan mangrove sedang. Sedangkan kelompok pemarasit sama sekali tidak ditemukan pada semua lokasi penelitian, seperti pada metode PFT (Tabel 11). 52 B. Pembahasan B.1. Keanekaragaman Hexapoda Tanah Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Hexapoda tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode PFT dan PCT adalah sebanyak 2.567 individu, yang terdiri atas 2.078 individu Collembola dan 489 individu Insecta (Tabel 5 dan 6). Suku atau famili yang terkumpul seluruhnya berjumlah 28 suku dan 12 ordo, yang terdiri dari 4 suku Collembola dan sisanya 24 adalah suku-suku Insecta. Collembola merupakan salah satu Filum Arthropoda tanah dan merupakan kelompok Hexapoda tanah yang keanekaragaman jenis dan jumlah individunya tinggi. Menurut Haq dan Ramani (1988), besarnya populasi fauna tanah tergantung pada kontribusi kelompok Collembola dan Acarina. Di samping itu, beberapa kelompok Acarina merupakan predator bagi Collembola, sehingga terdapat korelasi antara jumlah Collembola dan Acarina (Mercianto, 1994). Secara keseluruhan dengan menggunakan metode PFT dan PCT total jumlah individu Hexapoda tanah (Gambar 8 dan 9) dan rata-rata jumlah suku Hexapoda tanah (Tabel 9) di hutan mangrove yang belum dikonversi lebih rendah dari pada hutan mangrove yang telah dikonversi (terutama pada komunitas kebun campuran). Hal ini diduga berkaitan dengan beragamnya jenis tumbuhan dan vegetasi yang tumbuh di daerah yang telah dikonversi, di samping itu adanya perubahan vegetasi di atas permukaan tanah, memberi pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Hexapoda tanah. Seperti yang dinyatakan oleh Watt (1973) dalam Adianto (1993), bahwa lingkungan fisik (dan kimia) yang mantap memungkinkan terkumpulnya keanekaragaman biologis dalam ekosistem dewasa (mantap) yang menunjang kestabilan populasi. Jadi perubahan lingkungan habitat suatu komunitas dapat menurunkan populasi atau menaikkan populasi suatu organisme yang lain, ataupun dapat menyebabkan bermigrasinya suatu kelompok fauna ke tempat yang lebih sesuai untuk hidupnya atau bahkan hilangnya suatu spesies atau kelompok fauna dari habitat aslinya yang telah mengalami perubahan tadi (Wurmbach, 1968 dalam Adianto, 1993). B.1.1. Metode PFT Metode perangkap Pitfall Traps (PFT) merupakan metode yang cukup memberi hasil yang baik dalam jumlah dan keanekaragaman takson. Keterbatasan metode PFT ialah 53 Hexapoda yang ditangkap hanyalah yang merayap dan aktif berkeliaran di permukaan tanah (Golley, 1977 dalam Suhardjono, 1985). Pernyataan ini sesuai dengan data dari hasil penelitian yang telah dilakukan di hutan mangrove yang belum dikonversi maupun yang telah dikonversi. Total jumlah individu Hexapoda tanah yang diperoleh dengan metode PFT cenderung lebih tinggi (2.379 individu) daripada dengan metode PCT (188 individu) (Tabel 5 dan 6; Gambar 8 dan 9). Perbedaan ini diduga berhubungan dengan metode pengumpulan sampel Hexapoda tanah yang digunakan. Pada metode PCT, volume sampel tanah yang diambil dibatasi pada ukuran petak (10 x 10) cm dan ketebalan antara 6-8 cm, dengan sekali pengambilan (waktu terbatas). Sedangkan dengan metode PFT, pengumpulan sampel Hexapoda tanah lebih terbuka dengan waktu yang relatif lama (selama 22 jam) sehingga hasil yang diperoleh lebih banyak dibanding metode PCT. Dugaan lain, berkaitan dengan kondisi iklim di lokasi pengambilan sampel yang tergolong kering (waktu pencuplikan bulan Mei - Juni). Pada permukaan tanah yang kering menyebabkan fauna tanah lebih cenderung bermigrasi ke lapisan yang lebih dalam, atau mungkin berada dalam tahap pradewasa (telur dan pupa) atau sebaliknya bentuk dewasa yang aktif terbang, sehingga tidak dapat terpilah oleh Corong Barlese. Setiadi (1989) mengemukakan bahwa kegiatan organisme tanah dipengaruhi oleh musim dan ke dalaman tanah. Kegiatan organisme tanah terbesar terjadi pada musim semi dan gugur, sebaliknya menurun pada musim panas dan dingin. Di samping itu, sebagian besar dari anggota Hexapoda yang tertangkap dengan metode PFT adalah yang hidup berkeliaran di atas permukaan tanah, yang masuk perangkap secara tidak sengaja kemungkinan karena terangsang oleh bau alkohol, karena alkohol merupakan zat yang cukup baik sebagai daya tarik banyak suku dari Hexapoda (Collembola dan Insecta) (Suhardjono, 1997). Takson yang jumlah individunya paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan adalah Collembola, kemudian Hymenoptera (Formicidae), dan Orthoptera (Tabel 5). Ditemukannya takson tersebut hampir di setiap jenis penutupan lahan menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan berbagai kondisi fisik setempat. Di samping itu (terutama Collembola), merupakan takson yang jumlah individunya cukup besar dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Sesuai dengan pernyataan Wallwork (1976) besarnya populasi Collembola, Hymenoptera (semut) dan Acarina (tungau) mencapai 80% dari populasi Arthropoda yang ada, merupakan ciri khas 54 hutan tropik. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Suhardjono (1985; 1997), Rahmawaty dkk. (2000) dan Rohyani (2001). Kemudian Russell (1988) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda tanah yang paling melimpah baik jumlah maupun keanekaragamannya serta memiliki agihan yang luas. Selanjutnya Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyebutkan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah, selain itu Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (485 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah (N1) dan yang paling melimpah/nilai dominansi (N2) tertinggi ada di hutan mangrove jarang (Tabel 9). Tingginya dominansi jumlah individu dan ordo Hexapoda tanah pada hutan mangrove lebat diduga berkaitan dengan kerapatan pohon mangrove. Menurut Arief (2007) keadaan kerapatan pohon sangat menguntungkan bagi kepadatan fauna tanah/Hexapoda tanah, karena pohon merupakan tunjangan yang berarti bagi kehidupannya. Tegakan dan tajuk pohon mampu berperan sebagai penghalang langsung dari sinar matahari atau menjadi naungan bagi Hexapoda tanah. Di sisi lain, sinar matahari juga merupakan tunjangan kehidupan bagi pohon dalam hal proses fotosintesis. Hexapoda yang banyak ditemukan di hutan mangrove sedang dan mangrove jarang selain Collembola adalah Orthoptera (Gryllidae) dan Hymenoptera (Formicidae) (Tabel 5). Tingginya jumlah kedua ordo ini (terutama formicidae) diduga karena pada hutan mangrove sedang dan jarang, kondisi tegakan pohon mangrove sejati semakin jarang akibat aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan pohon mangrove antara lain untuk kebutuhan kayu bakar dan pewarnaan jaring, sehingga memungkinkan lebih banyak sinar matahari yang mencapai lantai hutan. Dugaan ini diperkuat oleh Suwondo (2002) bahwa Formicidae lebih menyukai tempat yang terbuka, karena Formicidae umumnya bertindak sebagai pemangsa kelompok serangga lainnya. Selanjutnya Adisoemarto (1974) dalam Suhardjono (1985) menyatakan bahwa selain makanan, Orthoptera juga membutuhkan ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya. Sedangkan keberadaan Hymenoptera di suatu habitat dipengaruhi oleh faktor ketersediaan bahan makanan, kelembaban tanah, pencahayan dan sarang yang dibangun (Wallwork, 55 1970). Di samping itu, terdapatnya jenis mangrove ikutan (Paku laut A. aureum) dan rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong sedang, merupakan sumber makanan dan tempat yang paling disukai kedua ordo tersebut. Dugaan ini diperkuat Borror et al. (1996), bahwa Orthoptera merupakan Hexapoda tanah yang sering ditemukan di berbagai habitat, terutama daerah kering dan berumput. Selain itu, Orthoptera merupakan kelompok Hexapoda yang suka memakan bagian tumbuhan segar. Tumbuhan yang di makan adalah rumput dan gulma (Suhardjono, 1985). Tingginya nilai NO (jumlah suku Hexapoda tanah) dan perolehan jumlah individu pada hutan mangrove lebat dibandingkan dengan hutan mangrove yang belum dikonversi lainnya diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari guguran daun, ranting dan cabang yang juga disebut serasah/litter (Foth, 1998). Serasah ini akan digunakan oleh Hexapoda permukaan tanah sebagai sumber makanan dan tempat hidup, karena umumnya serasah adalah daerah yang kaya akan sumber makanan, jadi semakin tebal serasah semakin banyak bahan makanan yang dapat diolah untuk menghasilkan garam-garam mineral dari proses metabolisme Hexapoda tanah (Suhardjono, 1987; Situmorang, 1999). Pada lokasi penelitian hutan mangrove yang telah dikonversi perolehan total jumlah individu (710 individu) dengan jumlah suku (NO) Hexapoda tanah tertinggi di kebun campuran (Gambar 8), sedangkan jumlah suku Hexapoda tanah yang melimpah tertinggi di lahan kosong dan kebun campuran, selanjutnya jumlah suku yang paling melimpah tertinggi di lahan kosong (Tabel 9). Keadaan ini menggambarkan bahwa daerah yang telah dikonversi dapat memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi keberadaan Hexapoda tanah. Di setiap daerah yang telah dikonversi memiliki keunggulan tersendiri yang memungkinkan kehadiran takson tertentu, sehingga mengakibatkan adanya fauna tanah yang khas. Kebun campuran memiliki jumlah individu, jumlah ordo dan suku Hexapoda tanah tertinggi (yaitu 710 individu, 11 ordo dan 22 suku), keadaan ini diduga karena pada lokasi tersebut ditemukan jenis tumbuhan yang cukup beragam dibandingkan lokasi penelitian lainnya. Tumbuhan yang beragam ini dimungkinkan karena salinitas pada lokasi tersebut tergolong rendah yang ditunjang dengan kandungan bahan organik (C-organik) yang tergolong tinggi (Tabel 2). Salinitas tanah mempunyai peranan 56 penting, Sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan kelulusan hidup tanaman (MacNae, 1968 dalam Arief, 2007). Collembola (Entomobryidae, Sminthuridae dan Isotomidae) merupakan salah satu takson Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran dan tambak (Tabel 5). Kondisi ini diduga berkaitan dengan tebalnya serasah pada kedua lokasi tersebut. Serasah dapat berasal dari dari daun-daun dan ranting-ranting yang jatuh ke lantai hutan serta adanya kayu yang lapuk dari jenis pohon mangrove tersebut, kemudian mengalami pelapukan sehingga menyebabkan lantai hutan banyak ditutupi oleh serasah. Suhardjono (1985) menyatakan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan merupakan tempat tinggal serangga tanah adalah serasah. Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah kandungan bahan organik (C-organik), dan berdasarkan hasil analisis (Tabel 2) bahwa kriteria kandungan C-organik pada kedua lokasi tersebut tergolong tinggi (kisaran 10 – 30%) (Mustafa dkk., 1982). Sumber bahan organik di lantai hutan berasal dari serasah. Bahan organik juga tersusun dari unsur Nitrogen, Kalium, dan Calsium. Serangga tanah hidupnya sangat tergantung pada tersedianya bahan organik berupa serasah atau lainnya di atas permukaan tanah (Suhardjono dkk., 1997). Hymenoptera (Formicidae) merupakan salah satu ordo Hexapoda yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah individu ini karena pada habitat tersebut ditemukan adanya sarang semut sebagai tempat hidup dan berkembang biak. Formicidae merupakan salah satu famili dari ordo Hymenoptera yang keberadaannya terdapat di mana-mana dan jumlahnya melebihi kebanyakan binatang darat lainnya (Borror and Delong, 1989 dalam Situmorang, 1999). Hal lain yang juga turut mempengaruhi kelimpahan Hymenoptera pada lokasi tersebut adalah adanya jenis rumput-rumputan dengan serasah yang tergolong tebal yang merupakan sumber bahan makanan dan tempat yang paling disukai oleh kelompok ini. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Adianto (1993), kepadatan individu Hymenoptera lebih banyak di petak percobaan dengan perlakuan rumput. Diptera dan Orthopthera (Gryllidae) merupakan dua ordo Hexapoda tanah yang jumlah individunya paling banyak ditemukan di kebun campuran (Tabel 5). Tingginya jumlah individu dari ordo Diptera pada kebun campuran diduga karena vegetasi tumbuhan bawah (ground cover) pada kebun campuran cukup banyak ditemukan gulma 57 berdaun lebar di antaranya talas lompong (Colocasia sp.), seruni laut (W. biflora), dan tembelekan (L. camara), dengan laju pertumbuhan vegetatif yang tergolong tinggi, mengakibatkan tumbuhan ini selalu memiliki daun tua dan membusuk. Bagian tumbuhan yang membusuk merupakan salah satu substrat utama yang dimanfaatkan imago Diptera sebagai makanan dan tempat bertelur (Borror et al., 1996). Gryllidae (Orthoptera) merupakan kelompok jengkrik, selama pengamatan di lapangan terlihat giat memakan bagian tumbuhan sedangkan lainnya memakan serangga lain (pemangsa). Hasil ini diperkuat oleh Suhardjono (1985), kelompok jengkrik (Gryllidae) merupakan serangga pemakan bagian tumbuhan segar, sedangkan jenis lainnya sebagai pemakan bangkai serangga lain. Tumbuhan yang dimakan ialah rumput atau gulma lainnya yang banyak terdapat di kebun campuran. Selain itu jangkrik mampu hidup pada berbagai kondisi baik basah maupun kering dan aktif pada malam hari, serta mempunyai kemampuan bergerak dan melompat yang baik. Orthoptera (Gryllidae) dan Diptera selain makanan membutuhkan pula ruang terbuka dan sinar matahari untuk aktifitas geraknya (Adisoemarto, 1974 dalam Suhardjono, 1985), Kebun campuran selain banyak ditumbuhi rumput-rumputan dan gulma juga memiliki ruang terbuka sehingga lantai hutannya banyak ditembus sinar matahari. B.1.2. Metode PCT Pada metode pengambilan contoh tanah dan serasah (PCT), total populasi Hexapoda tanah yang diperoleh lebih rendah (188 individu), tetapi kelompok pradewasa Hexapoda tanah cenderung lebih banyak ditemukan yaitu larva/nimfa ordo Psocoptera dibanding metode PFT. Data larva/nimfa serangga ini mendukung pernyataan Hole (1981) tentang salah satu fase dalam daur hidup serangga berada di tanah. Dengan menggunakan metode ini, fauna yang ditangkap kebanyakan dari ordo Hexapoda yang sebagian besar hidupnya berada di dalam tanah (eudafik). Ordo yang tidak ditemukan pada metode PCT adalah Protura, padahal kelompok ini merupakan takson yang umumnya hidup di dalam tanah (Neal et a.l, 1983). Hal ini diduga karena Protura adalah takson yang keanekaragaman dan jumlah individunya kecil sehingga sulit ditemukan atau ditangkap, keadaan ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mercianto (1995) dan Rohyani (2001). Sedangkan populasi Hexapoda tanah yang ditemukan dalam jumlah yang cukup besar di berbagai jenis penutupan lahan adalah Collembola dan Psocoptera (Tabel 6). Hal ini dimungkinkan karena takson tersebut termasuk 58 organisme yang mempunyai kelimpahan cukup besar di habitat tanah dan penyebarannya relatif luas. Selain itu, diduga juga berkaitan dengan cara hidup kedua takson tersebut yang biasanya berkelompok, mempunyai kemampuan adaptasi dan dapat menciptakan lingkungan hidup sendiri. Takeda (1981) dalam Suwondo (2002) menyatakan bahwa Collembola merupakan mikroarthropoda yang dominan pada habitat tanah. Selain itu Collembola menyukai habitat permukaan tanah yang banyak mengandung serasah dari jatuhan daun, ranting serta bagian tumbuhan lainnya. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, total jumlah individu (Gambar 8) di hutan mangrove sedang menempati urutan tertinggi (31 individu). Sedangkan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah serta nilai kelimpahan suku dan nilai dominansi suku Hexapoda tanah tertinggi di hutan mangrove lebat dan mangrove sedang (Tabel 9). Tingginya populasi Hexapoda tanah di hutan mangrove sedang, berkaitan dengan tingginya jumlah populasi Psocoptera dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6) yang ditemukan di lokasi tersebut. Kondisi ini diduga terjadi karena kemampuan kedua ordo tersebut untuk beradaptasi di berbagai habitat. Jumlah yang besar dari kedua ordo ini merupakan suatu bukti keberhasilannya, sebagai sebuah kelompok yang mampu beradaptasi terhadap habitatnya (Prasetyo, 1999). Selain itu diduga berkaitan erat dengan tabiat tinggalnya di dalam tanah, yaitu baik individu Psocoptera (nimfa dan Liposcelidae) maupun Phoridae (Diptera) tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya menetap di dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya dapat ditemukan di dalam tanah dan kelompok ini merupakan kelompok Arthropoda tanah yang sebenarnya (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997). Di hutan mangrove yang telah dikonversi, jumlah populasi Hexapoda tanah di kebun campuran (76 individu) menempati urutan tertinggi (Gambar 8), demikian pula halnya dengan jumlah ordo dan jumlah suku Hexapoda tanah (NO) serta nilai kelimpahan suku (N1) dan nilai dominansi suku (N2) tertinggi keseluruhannya ditemukan di kebun campuran. Selanjutnya di lokasi ini ditemukan jumlah populasi Collembola, Psocoptera dan Coleoptera (Tabel 6) yang lebih tinggi dibanding dengan lokasi penelitian lainnya. Tingginya jumlah populasi ketiga takson ini diduga berkaitan dengan ketebalan serasah dan kandungan bahan organik (C-organik) di lokasi tersebut. Kelimpahan Collembola bergantung pada ketersediaan bahan organik dan ketebalan lapisan serasah (Takeda, 1979 dalam Suhardjono, 1992). Lapisan tanah yang jumlah 59 individu fauna tanahnya paling tinggi adalah lapisan tanah yang banyak serasah dan humusnya. Pada lapisan ini ditemukan jamur dan sisa bahan organik sebagai sumber pakan (Suhardjono, 1992). Pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap kelimpahan Collembola tanah, seperti pencangkulan yang merupakan proses pembalikan lapisan tanah dinilai menguntungkan Collembola (Hazra dan Choudhuri, 1983 dalam Suhardjono, 2007). Pada lahan tambak, kelompok Hexapoda tanah yang populasinya paling tinggi adalah Collembola (Isotomidae) dan Diptera (Phoridae) (Tabel 6). Isotomidae merupakan suku Collembola tanah yang ukurannya cukup besar dan mudah dijumpai baik dipermukaan lantai hutan maupun di tanah (Suhardjono dkk., 1997), sedangkan Phoridae merupakan suku Diptera yang dominan ditemukan dalam bentuk stadium dewasa dan menyukai lokasi yang banyak berbau busuk (bau bangkai). Tingginya populasi kedua takson tersebut di tambak dimungkinkan karena keadaan lokasi yang basah dan lembab serta tingginya kandungan bahan organik tanah (C-organik). Dugaan ini diperkuat oleh Adianto (1993), bahwa kebanyakan dari kelompok Diptera membutuhkan lingkungan yang basah dan lembab karena makanannya adalah materi tumbuhan yang telah hancur, fauna/serangga yang telah mati, jamur kayu, fases, dan telur Hexapoda. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah berkaitan dengan ketebalan serasah dan ditemukannya sampah-sampah kayu yang melapuk di lokasi tambak tersebut. Alasan ini diperkuat oleh pernyataan Allison (1973) dalam Adianto (1993), bahwa serasah dan sampah-sampah merupakan bahan pelindung untuk sejumlah fauna tertentu, terutama untuk kelompok Arthropoda tanah yang sebagian besar menghabiskan hidupnya di dalam tanah. Suhardjono (1985) menambahkan bahwa daerah yang banyak sumber makanan dan merupakan tempat tinggal Hexapoda tanah adalah serasah/litter. B.2. Peran Hexapoda Tanah B.2.1. Metode PFT Di dalam ekosistem tanah, Hexapoda (serangga) tanah mempunyai berbagai fungsi, yaitu fitofagus, perombak, pemangsa, dan pemarasit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metode PFT, persentase jumlah perombak yang diperoleh pada hutan mangrove yang belum dikonversi memiliki jumlah terbesar di antara peran/ fungsi yang lain yaitu 86,4% di hutan mangrove lebat; 81,8% di mangrove sedang dan 60 78,8% di mangrove jarang. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi, persentase jumlah perombak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pada hutan mangrove yang belum dikonversi yaitu sebesar 94,2% di kebun campuran, 99,5% di tambak, dan 94,0% di lahan kosong (Gambar 10). Hasil yang diperoleh sesuai dengan yang dilaporkan Mercianto dkk. (1990); Suhardjono (1997; 1998); Rahmawaty dkk. (2000). Itulah sebabnya Hexapoda tanah pada umumnya dikenal sebagai perombak bahan organik yang sangat berperan di dalam perputaran daur hara walaupun peranannya tidak dapat langsung dirasakan oleh manusia tetapi melalui jasa biota lainnya. Sebagai perombak bahan organik, serangga (Hexapoda tanah) bersama jasad renik lainnya memanfaatkan sisa-sisa organisme yang telah mati dan mengubahnya menjadi humus. Di dalam humus tersebut terkandung nutrisi yang kemudian sangat berguna bagi kelangsungan hidup tumbuhan. Mangrove lebat Ft Pp Pm 1,0% 0,0% 12,6% Mangrove sedang Pr Ft Pm Pp 0,5% 0,0% 17,8% 86,4% Kebun campuran Ft 1,4% Pp 0,0% Pm 4,4% Pr 94,2% Mangrove jarang Pr 81,8% Ft Pp 1,3% 0,0% Tambak NTs Ft 0,0% Pp 0,0% Pm 0,5% Pm 19,9% Pr 78,8% Lahan kosong Pr 99,5% Ft 0,7% Pp 0,0% Pm 5,3% Pr 94,0% Gambar 10. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PFT. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 717 individu didominasi oleh Collembola (641 individu), masing-masing di mangrove lebat (391), mangrove sedang (146) dan mangrove jarang (104). Selanjutnya adalah ordo Hymenoptera/Formicidae (38 individu) dan Diptera (25 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 4 dan 16 individu di mangrove 61 lebat, 19 dan 6 individu di mangrove sedang, 15 dan 3 individu di mangrove jarang (Lampiran 1). Alasan yang sama, di antaranya keadaan serasah dan kandungan bahan organik yang menjadi faktor penentu (Tabel 2, 4). Collembola dapat ditemukan dihampir semua macam habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung terhadap populasi Collembola (Suhardjono, 2000). Nooryanto (1987 dalam Rahmawaty dkk., 2000) melaporkan bahwa perbedaan tipe habitat menyebabkan adanya perbedaan populasi Collembola. Faktor lingkungan seperti pH, kandungan bahan organik, dan suhu dapat mempengaruhi keberadaan Collembola (Choudhuri and Roy, 1972; Takeda, 1981 dalam Suhardjono, 1992; Adianto, 1993; Rahmawaty dkk., 2000). Hasil penelitian menunjukkan gejala yang sama dengan hasil yang dilaporkan. Seperti yang terlihat pada Lampiran 1, total populasi Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa sebanyak 130 individu, dengan rincian hutan mangrove lebat (61), mangrove sedang (38), dan mangrove jarang (31). Kelompok pemangsa tersebut didominasi oleh Orthoptera (114 individu), yaitu hutan mangrove lebat (56), mangrove sedang (32) dan mangrove jarang (26). Peringkat berikutnya adalah ordo Hymenoptera (11 individu), yaitu hutan mangrove lebat (2), mangrove sedang (4) dan mangrove jarang (5). Serangga yang berperan sebagai pemangsa berfungsi sebagai penyeimbang di dalam ekosistem, karena itu kehadiran pemangsa di sini juga dibutuhkan. Serangga yang berperan sebagai fitofagus (8 individu) sebagian besar dari ordo Coleoptera (4) dan Homoptera (3), sisanya dari ordo Lepidoptera (1). Sedangkan kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan. Selanjutnya pada hutan mangrove yang telah dikonversi (Lampiran 2), terlihat bahwa jumlah perombak 1.471 individu umumnya berasal dari Collembola (1.379), Hymenoptera (44) dan Diptera (31), secara berurutan ditemukan masing-masing 598; 30; 28 individu di kebun campuran, 661; 0; 0 individu di lokasi tambak, dan 128; 14; 3 individu di lahan kosong. Seperti halnya pada hutan mangrove yang belum dikonversi, kelompok peran Hexapoda tanah yang banyak dijumpai adalah dari Collembola, Hymenoptera (Formcidae) dan Diptera. Alasan yang sama juga berlaku terhadap ketiga kelompok perombak dan kelompok lainnya (Tabel 2, 4). Kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai pemangsa sebanyak 42 individu, dengan rincian di kebun campuran (31), lokasi tambak (3), dan lahan kosong (8). Kelompok ini sebagian besar berasal dari ordo Orthoptera (19) dan Hymeoptera (14). Hexapoda tanah yang berperan sebagai 62 fitofagus (11 individu) sebagian besar dari ordo Homoptera (5) dan Hemiptera (4), sisanya dari ordo Coleoptera dan Lepidoptera masing-masing 1 individu. Pada kelompok pemarasit tidak satupun individu yang ditemukan, seperti pada hutan mangrove yang belum dikonversi. B.2.2. Metode PCT Seperti halnya pada metode PFT, pada metode PCT juga diperoleh persentase jumlah perombak terbesar, bahkan ada yang mencapai 100%. Pada hutan mangrove yang belum dikonversi (hutan mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang) persentase jumlah perombak yang diperoleh masing-masing adalah 96,4%; 96,8% dan 100%. Sedangkan pada hutan mangrove yang telah dikonversi, persentase jumlah perombak yang diperoleh cenderung lebih rendah dibandingkan pada hutan mangrove yang belum dikonversi yaitu sebesar 97,4% pada kebun campuran, 95,2% pada tambak, dan 93,3% pada lahan kosong (Gambar 11). Mangrove lebat Ft 0,0% Pp 0,0% Pm 3,6% Pr 96,4% Ft 3,2% Kebun campuran Ft 0,0% Pp 0,0% Pm 2,6% Pr 97,4% Mangrove jarang Mangrove sedang Pp 0,0% Pm 0,0% Pr 96,8% Ft 0,0% Pp 0,0% Pm 4,8% Pr 95,2% Pm 0,0% Pr 100,0% Lahan kosong Tambak NTs Ft 0,0% Pp 0,0% Ft 0,0% Pp 0,0% Pm 6,7% Pr 93,3% Gambar 11. Perbandingan persentase jumlah suku serangga tanah berdasarkan peran dalam lingkungan dengan metode PCT. Pada komunitas hutan mangrove yang belum dikonversi (Lampiran 3), kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 76 individu didominasi oleh ordo Psocoptera (36 individu), yaitu di mangrove lebat (14), mangrove sedang (13) dan mangrove jarang (9). Selanjutnya diikuti Collembola (14 individu) dan Diptera (14 63 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing 8 dan 0 individu di mangrove lebat, 3 dan 12 individu di mangrove sedang, 3 dan 2 individu di mangrove jarang. Populasi Psocoptera yang ditemukan terbanyak adalah stadium pradewasa (nimfa) dan imago Liposcelidae yang tergolong kelompok Hexapoda tanah yang tinggalnya menetap di dalam tanah, karena baik stadia juvenile (pradewasa) maupun imagonya dapat ditemukan di dalam tanah (Suhardjono dan Adisoemarto, 1997). Hexapoda tanah yang berperan sebagai predator/pemangsa hanya ditemukan pada ordo Diptera (1 individu) yang terdapat di hutan mangrove lebat. Kelompok yang memakan bagian tumbuhan segar (fitofagus) tercatat memiliki persentase kehadiran populasi sangat kecil (3,2%) yang diwakili oleh Homoptera dan terdapat di hutan mangrove sedang. Pada komunitas hutan mangrove yang telah dikonversi (Lampiran 4), kelompok Hexapoda tanah yang berperan sebagai perombak berjumlah 112 individu dan perolehan paling banyak berasal dari Collembola (44 individu), yaitu di kebun campuran (33), tambak (9) dan lahan kosong (2). Kemudian diikuti Psocoptera (32 individu) dan Coleoptera (20 individu), secara berurutan ditemukan masing-masing di kebun campuran (28 dan 8), tambak (2 dan 5), lahan kosong (2 dan 7). Hasil ini hampir sama dengan yang dilaporkan Suhardjono (1998) dan Rahmawaty dkk. (2000). Kelompok peran yang lain yaitu pemangsa/predator ditemukan dalam jumlah populasi yang rendah (4 individu), dengan rincian 2 individu di kebun campuran, serta 1 individu masing-masing di lokasi tambak dan di lahan kosong. Kelompok ini terdiri dari ordo Diptera, Hymenoptera dan Coleoptera. Dua kelompok peran yang lain, yaitu kelompok fitofagus dan pemarasit tidak ditemukan pada tiga lokasi di atas dengan menggunakan metode PCT. Pada metode PFT, baik pada lokasi hutan mangrove yang belum maupun yang telah dikonversi, Hexapoda tanah yang dijumpai paling banyak jumlah individunya secara umum berasal dari kelompok takson/ordo yang sama, seperti Collembola, Hymenoptera (Formicidae), Orthoptera dan Diptera. Begitu pula dengan metode PCT, Hexapoda tanah yang dijumpai paling banyak jumlahnya cenderung berasal dari kelompok takson/ordo yang sama, seperti Collembola, Psocoptera dan Coleoptera. Tetapi apabila dibandingkan hasil tangkapan baik pada metode PFT maupun metode PCT, Hexapoda tanah yang dijumpai paling banyak jumlahnya cenderung berasal dari ordo yang berbeda, kecuali kelompok takson Collembola yang kehadirannya selalu ditemukan pada setiap lokasi penelitian. Hasil ini diperkuat oleh Suhardjono (2000; 2007), bahwa Collembola dapat 64 ditemukan di hampir semua habitat dan keadaan vegetasi berpengaruh tidak langsung terhadap kehadiran Collembola tanah. Meskipun demikian perbedaan komposisi vegetasi berakibat nyata pada komposisi populasi Collembola. Selain itu terdapat perbedaan jumlah individu dari kedua metode yang digunakan. Dengan menggunakan metode PFT, jumlah suku dan individu Hexapoda tanah yang diperoleh lebih banyak daripada metode PCT. Lebih beragamnya jumlah suku menunjukkan pula bahwa metode PFT lebih baik dibandingkan dengan metode PCT seperti yang telah diteliti sebelumnya (Suhardjono, 1985; Rahmawaty dkk., 2000). Berdasarkan klasifikasi kelompok peran takson/suku Hexapoda tanah yang diperoleh, baik yang aktif di permukaan tanah maupun yang hidup di dalam tanah, maka tidak satupun individu yang ditemukan dari kelompok pemarasit pada keenam tipe penutupan lahan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena lingkungan/habitat dari lantai hutan mangrove yang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut, tidak sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan dari kelompok pemarasit tersebut (Suhardjono, komunikasi pribadi). Selanjutnya dijelaskan bahwa kelompok pemarasit (terutama Hymenoptera) lebih dominan ditemukan pada bagian canopi (di atas tanah) dengan habitat tertutup (creek) dari ekosistem mangrove. Metode pencuplikan contoh tanah (PCT) menggambarkan Hexapoda tanah yang ada di dalam tanah, sedangkan metode PFT tanah menggambarkan Hexapoda tanah yang ada di permukaan tanah. Serangga-serangga tanah tersebut berperan penting dalam mempertahankan dinamika suatu ekosistem di alam, salah satunya adalah sebagai perombak bahan organik. Menurut Setiadi (1989), bahan organik yang tersedia akan dihancurkan dan diuraikan oleh serangga/Hexapoda tanah serta disintesa kemudian dilepas kembali dalam bentuk bahan anorganik yang tersedia bagi tumbuhan. Suhardjono dan Adisoemarto (1997) mengemukakan bahwa peran Arthropoda/Hexapoda tanah bersifat tidak langsung dalam lingkungan karena tidak dapat langsung dilihat dan dinikmati. Peran tersebut tercermin dari aktifitas Hexapoda tanah memakan bahan organik yang dapat berupa serasah, kayu lapuk, dan kotoran. Bahan yang dimakan adalah bahan buangan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh makhluk lainnya. Di dalam tubuhnya bahan organik tersebut dicerna untuk kemudian dikeluarkan lagi sudah dalam bentuk bahan terurai yang dapat memperkaya unsur-unsur hara tanah. Unsur hara tanah bermanfaat untuk hidup dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, dan tumbuhan sendiri berguna untuk makhluk 65 hidup lainnya. Dalam hal ini Hexapoda tanah lebih banyak berperan dalam transfer energi dibandingkan kontribusinya terhadap nutrisi dan pengaliran mineral (Suhardjono dkk., 2000). B.3. Hubungan Kelimpahan Hexapoda Tanah dengan Faktor Lingkungan Tanah Pengujian juga dilakukan untuk menganalisis hubungan antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan (suhu, kelembaban, porositas, salinitas, pH, kandungan bahan organik tanah), baik Hexapoda tanah yang aktif di permukaan tanah (metode PFT) maupun yang aktif di dalam tanah (metode PCT) pada sepuluh titik pengambilan sampel di lokasi hutan mangrove lebat. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan tanah disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Koefisien korelasi1) antara kelimpahan Hexapoda tanah dengan parameter lingkungan tanah Kelimpahan Hexapoda Tanah Parameter Lingkungan Tanah Bahan Organik (C-organik) N-total pH Salinitas Ruang pori T (oC) RH (%) Permukaan Tanah (PFT) 0,69* (0,026)2) 0,57 (0,083) -0,71* (0,021) 0,65* (0,040) 0.60 (0,066) -0,92** (0,000) 0.88** (0,001) Dalam Tanah (PCT) 0,84** (0,003) 0,69* (0,028) -0,72* (0,020) -0,47 (0,168) 0,67* (0,036) -0,72* (0,020) 0,69* (0,029) Keterangan : * : ** : 1) : 2) : Nyata sangat nyata pearson correlation P-value Berdasarkan hasil analisis di atas (Tabel 12), diperoleh bahwa kelimpahan Hexapoda tanah yang aktif dipermukaan tanah (metode PFT) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan beberapa parameter lingkungan tanah yaitu suhu, kelembaban, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah. Begitu juga Hexapoda tanah yang aktif di dalam tanah (metode PCT), menunjukkan hubungan yang signifikan dengan beberapa parameter lingkungan tanah, yaitu suhu, kelembaban, porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah. Keseluruhan parameter lingkungan tanah yang dianalisis (Tabel 12) yang berkorelasi signifikan dengan 66 kelimpahan Hexapoda baik yang menggunakan metode PFT maupun PCT, hasilnya hampir sama dengan yang diperoleh Rohyani (2001), perbedaannya terutama terletak pada komponen porositas tanah dan bahan organik, dari hasil penelitian (Table 12) porositas tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda yang aktif di dalam tanah. Sedangkan kandungan bahan organik tanah mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah baik yang aktif dipermukaan maupun di dalam tanah. Secara keseluruhan dari hasil analisis korelasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor lingkungan terutama suhu dan kelembaban tanah, pH, salinitas dan bahan organik (C-organik) tanah lebih berpengaruh terhadap kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan yang meliputi suhu dan kelembaban tanah, porositas, pH, dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah lebih berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik). 67 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah : 1. Dalam penelitian ini telah dikumpulkan sebanyak 2.567 individu Hexapoda tanah yang tergolong atas 28 suku, 12 ordo, dan 2 kelas. Komposisi kelas Collembola terdiri atas 3 ordo, 4 famili, dan 2.078 individu; sedangkan kelas Insecta 9 ordo, 24 famili dan 489 individu. Collembola memiliki kekayaan spesies/individu paling tinggi. 2. Pada kawasan hutan mangrove yang belum dikonversi, baik menggunakan metode PFT dan PCT rata-rata jumlah individu dan suku Hexapoda tanah lebih rendah dibandingkan dengan hutan mangrove yang telah dikonversi. 3. Takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan di permukaan tanah adalah Collembola, Hymenoptera (Formicidae) dan Orthoptera, sedangkan di dalam tanah adalah Collembola dan Psocoptera. 4. Collembola dan Hymenoptera (Formicidae) merupakan takson dengan jumlah individu paling banyak dan ditemukan hampir di setiap jenis penutupan lahan baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah. 5. Lokasi kebun campuran dan hutan mangrove lebat memiliki komposisi Hexapoda tanah yang lebih baik. Keadaan ini akan menciptakan suatu kondisi ekosistem yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). Sedangkan lahan kosong, tambak dan mangrove jarang memiliki komposisi Hexapoda tanah yang rendah, mengindikasikan kondisi ekosistem yang kurang stabil. 6. Berdasarkan perannya dalam lingkungan, kelompok perombak mendominasi setiap jenis penutupan lahan, baik di permukaan tanah maupun di dalam tanah. Persentase perombak di permukaan tanah berkisar 78,8%-99,5%, sedangkan di dalam tanah 93,3%-100%. Banyaknya famili yang berperan sebagai perombak lebih besar (78,8%-100%) daripada famili yang berperan sebagai fitofag, pemangsa dan pemarasit. Adanya variasi famili berdasarkan peran tersebut 68 dengan tipe komunitas mangrove yang bervegetasi lebih beragam akan menciptakan suatu kondisi ekosistem yang lebih mantap (kestabilan ekosistem). 7. Faktor lingkungan suhu dan kelembaban, pH, salinitas dan bahan organik (Corganik) tanah berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang aktif di permukaan tanah. Sedangkan faktor lingkungan suhu dan kelembaban, porositas, pH dan kandungan bahan organik (C-organik, N-total) tanah berpengaruh pada kelimpahan Hexapoda yang hidup di dalam tanah (eudafik). B. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan antara lain mengidentifikasi takson-takson tersebut sampai ke taraf lebih kecil (marga atau jenis) dan selanjutnya melakukan pengamatan biologi serta ekologi takson yang bersangkutan, untuk melihat kemungkinan adanya Hexapoda tanah yang dapat dijadikan sebagai bioindikator perubahan lingkungan pada ekosistem mangrove di Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT). Selain itu mengidentifikasi kemungkinan adanya senyawa yang bersifat toksik yang dapat mempengaruhi kelimpahan Hexapoda tanah. 69 DAFTAR PUSTAKA Adianto. 1993. Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, dan Insektisida. Biologi Pertanian. Penerbit Alumni. Bandung: 194 pp. Anonim. 2007. Profil Sumberdaya Pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Kerjasama antara Conservation Internasional Indonesia, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Pemerintah Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Sulawesi Tengah & Taman Nasional Laut Kepulauan Togean: 105 pp. (belum dipublikasikan). Anwar, I., S.J. Damanik, N. Hisyam, dan A.J. Anthony. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera. Gajah Mada University Press. Yogyakarta: 653 pp. Arief, A. 2007. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta: 47 pp. Balittanah Deptan, 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor: 282 pp. Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor : 86 pp. Borror, D.J., C.A. Triplehort, dan N.F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi ke-6. Terjemahan Soetiyono Partosoedjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta : 1083 pp. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2006. Kebupaten Tojo Una-Una dalam Angka; Kepulauan Togean. Kerjasama BPS dengan Bappeda Kabupaten Tojo Una-Una. Brown, A.L. 1980. Ecology of Soil Organism. Heinemann Educational Books: 116 pp. Buckman, H.O., and N.C. Brady, 1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bharata Karya Aksara. Jakarta: 788 pp. Burges and Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. New York: 729 pp. Choudhuri, D.K. and S. Roy. 1972. An Ecological Study on Collembola of West Bengal (India). Rec. Zool. Surv. India. 66 (1-4): 81-101. CII-Togean Program. 2005. Konservasi Berbasis Masyarakat Melalui Daerah Perlindungan Laut Di Kepulauan Togean-Sulawesi Tengah. Conservation International Indonesia (CII) - Togean Program, Sulawesi Tengah, Palu. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Cetakan I. PT. Pradnya Paramita. Jakarta: 301 pp. Daly, H.V. 1978. Introduction to Insect Biology and Diversity. McGraw-Hill Kagakusha Ltd.: 564 pp. Diana, E., Widarjanto, dan R. Ahmad. 1994. Lahan Mangrove untuk Pembangunan Transmigrasi. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 266 - 271. 70 Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (tidak dipublikasikan) Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta (Terjemahan Purbayanti dkk.): 782 pp. Genisa, A.S. 1994. Komunitas Ikan di Daerah Mangrove Muara Sungai Musi Banyuasin, Palembang. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 168-174. Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 23(1): 15-21. Haq dan Ramani. 1998. Population Ecology of Microarthropods in Relation to Vegetation and Rainfall. In Veeresh, G.K. (ed). 1988. Advances in Management and Conservation of Soil Fauna. Oxford and IBH Pub. Co., New Delhi: 797-803 Hardi, T., dan I. Anggraeni. 1997. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Serangga yang Bijaksana. Prosiding Diskusi Hasil-Hasil Penelitian: "Penerapan Hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk Mendukung Pengelolaan SDA Hayati dan Ekosistemnya". Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam: 245 - 248. [Harian Berita Sore]. 2007. 70 Persen Hutan Mangrove Di Indonesia Rusak. 25 Juni 2007, Pontianak. http://beritasore.com/2007/06/25/70-persen-hutan-mangrove-diindonesia-rusak/. Dikunjungi 27 Oktober 2007. Hole, F. D. 1981. Effect of Animal on Soil. Geoderma. 25: 75-112. Hutchings, P., dan P. Saenger. 1987. Ecology of Mangroves. University of Queensland Press. Australia: 369 pp. Jordana, R., and Arbea, J.I. 1989. Clave de identificación de los géneros de Colémbolos de Espańa (Insecta: Collembola). Publicaciones de Biología de la Universidad de Nevarra-Pamplona Serie Zoologica, 19: 1-16 + 16 lám. Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.M. Tantra. 1979. Status Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta, Pebruari 1978: 21-39. Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. MacMillan Publishing Company. New York: 531 pp. Komar, Y., S. Miura, R. Terui, S. Hamada, dan F. Rahim. 1994. Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan Benih Mangrove di Persemaian. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 140 -142. Lilies, C. 1997. Kunci Determinasi Serangga. Cetakan ke-6. Penerbit Kanisius. Yogyakarta: 223 pp. Ludwig, J.A. dan J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology : A Primer Methods and Computing. John Wiley and Sons Inc. New York : 337 pp. Magurran, A.E. 1988. Egological Diversity and Its Measurements. Croom Helm Limited. London: 493 pp. 71 Mani, M. S. 1982. General Entomology. 3rd ed. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi: 912 pp. Mercianto, Y. 1995. Studi Keanekaragaman Serangga Tanah pada Tiga Habitat Tegakan Dipterocarpaceae yang Berbeda di Kebun Percobaan Haurbentes, Jasinga, Jawa Barat. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas MIPA-IPB. 36 pp. Mercianto, Y., Y. R. Suhardjono, dan D. Duryadi. 1997. Perbandingan Populasi Serangga Tanah Pada Tiga Komposisi Tegakan Dipterocarpaceae. Prosiding Seminar Biologi XIV dan Kongres Nasional Biologi XI, Vol. 2. Perhimpunan Biologi Indonesia cabang Jakarta, Depok, hal. 85-90. Mustafa M., R. Dhanio, dan H. Zubair. 1982. Sifat Fisik dan Kimia Tanah di Bawah Tegakan Mangrove. Buletin Penelitian Lingkungan dan Pembangunan 2(2): 97 – 118. Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Orba Sakti Bandung. Bandung: 200 pp. Neal, E.G., and K.R.C. Neal. 1983. Biology for Today. Bland Food Press. London, UK: 298 pp. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta: 459 pp. Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi Ketiga). Terjemahan Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 697 pp. Partosoedjono, S. 1985. Mengenal Serangga. Agromedia. Bogor: 101 pp. Poerwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya: 344 pp. Poerwowidodo dan N.F. Haneda. 1992. Studi Keanekaragaman Jasad Tanah di Bawah Aneka Macam Penutupan Lahan. Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, Bogor 29 Oktober 1998. Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Lembaga Penelitian IPB. Bogor : 10 pp. Prasetyo, E. 1999. Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Kelimpahan dan keragaman Famili Serangga pada Areal Tanaman Acacia mangium (Studi Kasus PT. Pakerin, Sumatera Selatan). Jurusan Management Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor: 14 – 38. Rahmawaty, C. Kusmana, dan Y.R. Suhardjono. 2000. Keanekaragaman Serangga Tanah dan Perannya pada Komunitas Rhizhophora spp. dan Ceriops tagal di Hutan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai-Sulawesi Tenggara. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung 16-18 Oktober 2000. Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: 61-67. Rohyani, I.M. 2001. Keanekaragaman Hexapoda Tanah Di Berbagai Jenis Penutupan Lahan Mangrove (Studi Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat). Tesis Program Studi PSL. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor : 57 pp. Romoser, W.S. and J.G. Stoffolano. 1998. The Science of Entomology. 4th Edition. Mc. Graw-Hill. Boston: 605 pp. 72 Setiadi, Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi IPB. Bogor: 103 pp. Sikong. M. 1978. Peranan Hutan Mangrove sebagai Tempat Asuhan (Nursery Ground) Berbagai Jenis Ikan dan Crustacea. Prosiding Seminar I Ekosistem Hutan Mangrove: 106 - 113. Situmorang, R.S. 1999. Studi Keanekaragaman Serangga Permukaan Tanah pada Berbagai Tegakan Mangrove (Studi Kasus di RPH Tegal Tangkil, BKPH Ciasem, KPH Purwakarta, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat). Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor: 38 pp. Soegianto. 1983. Kenalilah Flora Pantai Kita. Penerbit Widjaya. Jakarta: 152 pp. Soeriaatmadja, R.E. 1997. Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Makalah Seminar Nasional Biologi XV. Bandar Lampung 24–26 Juli 1997. Perhimpunan Biologi Indonesia, Bandar Lampung: 19 pp. Suhardjono, Y.R. 1985. Perbandingan Populasi Serangga Permukaan Lantai Hutan Wanariset, Kalimantan Timur. Berita Biologi 3 (3) : 104-107. Suhardjono, Y.R. 1992. Fauna Collembola Tanah di Pulau Bali dan Pulau Lombok. Ringkasan Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia: 16 pp. Suhardjono, Y.R. 1997. Perbedaan Lima Macam Larutan yang Digunakan dalam Perangkap Sumuran pada Pengumpulan Serangga Permukaan Tanah. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV: 283 - 288. Suhardjono, Y.R. dan S. Adisoemarto. 1997. Arthopoda Tanah: Artinya Bagi Tanah, Makalah pada Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung 24 - 26 Juni 1997: 10 pp. Suhardjono,Y.R. dan S.Adisoemarto. 1998. Pengembangan Rancangan Pendayagunaan Fauna Mangrove Indonesia: Kendala dan Peluang yang Tersedia. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove: 114-126. Suhardjono, Y.R. 1998. Serangga Serasah: Keanekaragaman Takson dan Perannya di Kebun Raya Bogor. Biota Vol. III (1) Februari 1998:16 – 24. Suhardjono, Y.R. 2000. Collembola Tanah. Peran dan Pengelolaannya. Makalah pada Lokakarya Sehari Peran Taksonomi dalam Pemanfaatan dan Pelestarian Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Universitas Indonesia. Depok, 20 April 2000. Suhardjono, Y.R., Adianto, dan S. Adisoemarto. 2000. Strategi Pengembangan Pengelolaan Arthropoda Tanah. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung-Bogor 16-18 Oktober 2000: Perhimpunan Entomologi Indonesia dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia: 9-24. Suhardjono, Y.R. 2007. Collembola: Secercah Harapan untuk Nusantara. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Juni 2007: 46 pp. 73 Suin, N. M. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara Jakarta bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, ITB Bandung: 189 pp. Sukardjo, S. 1984. Ekosistem Mangrove. Oseana. 4: 102 - 115. Sumarhani. 1994. Rehabilitasi Hutan Mangrove Terdegradasi dengan Sistem Perhutanan Sosial. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 110-116. Suwondo. 2002. Komposisi dan Keanekaragaman Mikroarthropoda Tanah Sebagai Bioindikator Karakteristik Biologi Pada Tanah Gambut.http://www.unri.ac.id/ jurnal/jurnal_natur/vol4(2)/suwondo.pdf. Dikunjungi 26 April 2006. Szujecki. A. 1987. Ecology of Forest Insect. PWN - Polish Scientific Publishers. Warszawa: 352 pp. [The Mangrove Information Center]. 2006. http://www.mangrovecentre.or.id/Profile/ ttgmangrove.htm. Dikunjungi 22 Mei 2006. Wallwork, J.A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc. Graw-Hill. London: 283 pp. Wallwork, J.A. 1976. The Distribution a Diversity of Soil Fauna. Academy Press, San Francisco: 355 pp. [Wetlands International]. 2007. Jakarta Hancur Bila Menggrove Lenyap. 20 Juli 2007, Jakarta. http://www.antara.co.id/arc/2007/7/20/wetlands-international--jakartahancur-bila-menggrove-lenyap/. Dikunjungi 27 Oktober 2007. Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta: 792 pp. Wibawa, M.S., A. Luthfi, and A. Sutardi. 1994. Dimensi Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 150 -154. Widatra, I.G.M., dan S. Hamada. 1994. Uji Coba Penanaman Pohon Mangrove di Gili Petangan. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove: 86 - 93. 74 LAMPIRAN 75 76 77 78 79 Lampiran 5. Hasil analisis korelasi antara kelimpahan Hexapoda tanah dan parameter faktor lingkungan pada hutan mangrove lebat. PFT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb khe bo n tot pH 0.694 0.026 n tot 0.574 0.511 0.083 0.131 pH -0.712 -0.417 -0.732 0.021 0.231 0.016 salin 0.653 0.394 0.296 -0.601 0.040 0.260 0.407 0.066 pori 0.602 0.779 0.297 -0.337 0.066 0.008 0.404 0.342 suhu -0.924 -0.738 -0.478 0.665 0.000 0.015 0.162 0.036 kelemb 0.882 0.628 0.414 -0.656 0.001 0.052 0.235 0.039 Cell Contents: Pearson correlation P-Value salin pori suhu -0.610 0.061 0.446 0.196 -0.937 0.000 bo 0.515 0.128 -0.787 0.007 0.739 0.015 PCT Correlations: khe, bo, n tot, pH, salin, pori, suhu, kelemb khe bo n tot pH 0.835 0.003 n tot 0.687 0.598 0.028 0.068 pH -0.716 -0.688 -0.549 0.020 0.028 0.100 salin -0.473 -0.278 -0.572 0.116 0.168 0.437 0.084 0.750 pori 0.666 0.581 0.624 -0.702 0.036 0.078 0.054 0.024 suhu -0.717 -0.837 -0.732 0.728 0.020 0.003 0.016 0.017 kelemb 0.686 0.820 0.561 -0.758 0.029 0.004 0.092 0.011 Cell Contents: Pearson correlation P-Value salin pori suhu -0.130 0.721 0.142 0.696 -0.009 0.981 -0.521 0.123 0.535 0.111 -0.908 0.000 bo 80 Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian. Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Collembola Order Poduromorpha Superfamily Hypogastruroidea Family Hypogastruridae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Collembola Order Entomobryomorpha Superfamily Entomobryoidea Family Entomobryidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Collembola Order Entomobryomorpha Superfamily Isotomoidea Family Isotomidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Collembola Order Symphypleona Superfamily Family Sminthuridae Peran : Perombak 81 Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 1) Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Hymenoptera Superfamily Vespoidea Family Formicidae Peran : Perombak & Pemangsa Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Psocoptera Superfamily Family Liposcelidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Orthoptera Superfamily Family Gryllidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Diptera Superfamily Family Phoridae Peran : Perombak 82 Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 2) Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Diptera Superfamily Family Drosophilidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Cucujoidea Family Nitidulidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Staphylinoidea Family Staphylinidae Peran : Pemangsa Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Homoptera Superfamily Fulgoroidea Family Delphacidae Peran : Fitofagus 83 Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 3) Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Family Scolitidae Peran : Fitofagus Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Dictyoptera Superfamily Family Blattidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Diptera Superfamily Family Sciaridae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Diptera Superfamily Family Culicidae Peran : Pemangsa 84 Lampiran 6. Penampilan beberapa jenis Hexapoda tanah hasil penelitian (Lanjutan 4) Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Staphylinoidea Family Ptiliidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Tenebrionoidea Family Anthicidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Coleoptera Superfamily Elateroidea Family Eucnemidae Peran : Perombak Keterangan : Kingdom Animalia (Animals) Phylum Arthropoda (Arthropods) Superclass Hexapoda (Hexapods) Class Insecta Order Diptera Superfamily Empidoidea Family Dolichopodidae Peran : Pemangsa 85