Sex Ratio dan Pemangsaan terhadap Rekrut pada Ikan Hias

advertisement
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Sex Ratio dan Pemangsaan terhadap Rekrut pada Ikan Hias Banggai
Cardinalfish (Pterapogon kauderni)
Samliok Ndobe1,*, Irawaty Widiastuti1 dan Abigail Moore2
1
Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako (UNTAD), Palu, Sulawesi Tengah
2
Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPL), Palu, Sulawesi Tengah
* [email protected]
Abstract
Samliok Ndobe, Irawaty Widiastuti dan Abigail Moore. 2013. Sex Ratio and Predation on
Recruits in the Marine Ornamental Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Konferensi
Akuakultur Indonesia 2013. The Banggai cardinalfish (P. kauderni, Koumans, 1933) is endemic to the
Banggai Archipelago in Central Sulawesi, Indonesia. A paternal mouthbrooder with direct development,
Indonesia made a commitment to ensure the conservation of this species, listed as Endangered in the IUCN
Red List, at the 14th Conference of the Parties to CITES in 2007. Data are still limited on several aspects
of the reproductive biology of this endangered species. The research reported here aimed to elucidate two
phenomena related to the reproductive capacity of P. kauderni. Firstly, sex ratio is an important parameter as
the reproductive capacity of P. kauderni is heavily dependent on the availability of males to brood the eggs
and larvae. Secondly, it was suspected that predation, including cannibalism, would be a significant factor in
the reproductive success of wild P. kauderni. A total of 120 specimens with a standard length > 40 mm (30
specimens from each site) were captured at random from Kadongo in Palu Bay (introduced population) and 3
sites in the Banggai Archipelago (Matanga, Tinakin Laut and Monsongan). Sex was determined through
dissection and observation of gonads in the laboratory. Sex Ratio (SR) data for each site were compared and
a t-test used to determine whether or not the sex ratio was significantly different from 1. Operational sex ratio
(OSR) at each site was estimated based on the numbers of adult specimens of each sex available for breeding
(excluding brooding males and fish with spent or immature gonads). Predation of recruits was studied
through observation of brooding males and recent recruits in the waters of Palu Bay and Bone Baru, Banggai
Island and analysis of data from a survey of P. kauderni populations and ecosystems (2011-2012), and linked
to observations made in captivity (2010). Observed SR was 1.8, male-biased and significantly different from
1 (P<0.01), but OSR was not significantly different from 1 (P>0.5). Cannibalism of recruits by adult
P. kauderni was observed in the wild. There was a statistically significant negative relationship between the
observed percentage of adult P. kauderni and recruits (17 sites), and we consider that cannibalism is an
important determining factor in the population dynamics of this species. Predation of recruits was observed
in the wild by fish from the Scorpaenidae, Cirrhitidae, Labridae and Serranidae Families. The distribution
patterns and survival of recruits seemed to be linked to the staged release of recruits observed in captivity and
we suspect that filial cannibalism of recruits at the time of their release rarely occurs in the wild. Protective
microhabitat (especially sea anemones) plays an important role in P. kauderni reproductive success.
Keywords: Cannibalism; Predation; P. kauderni; Recruits; Reproductive success; Sex ratio
Abstrak
Banggai cardinalfish (P. kauderni, Koumanns, 1933) adalah spesies ikan endemik di Kepulauan
Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia bersifat paternal mouthbrooder with direct development. Terdaftar
pada ”Red List” IUCN kategori Endangered, kelestariannya telah menjadi komitmen Indonesia pada
Conference of the Parties CITES ke-14, Tahun 2007. Data mengenai beberapa aspek biologi reproduksi ikan
terancam punah tersebut masih terbatas. Penelitian bertujuan menjelaskan dua fenomena berkaitan dengan
kemampuan berkebangbiak P. Kauderni, yaitu: (1) sex ratio merupakan parameter penting karena
kemampuan berkembangbiak P. kauderni sangat ditentukan oleh induk jantan yang mengerami telur dan
tahap awal larva. (2) diduga bahwa pemangsaan, termasuk kanibalisme merupakan faktor pengaruh terhadap
keberhasilan reproduksi P. kauderni di alam. Ikan uji sebanyak 120 ekor dengan ukuran panjang baku
>40 mm (sebanyak 30 ekor per lokasi) hasil tangkapan di alam secara acak di Kadongo, Teluk Palu (populasi
introduksi) dan 3 lokasi di Kepulauan Banggai (Matanga, Tinakin Laut dan Monsongan). Jenis kelamin
ditentukan melalui pembedahan dan pengamatan di laboratorium. Analisis data jenis kelamin (sex ratio, SR)
dengan uji t untuk membuktikan hipotesa bahwa sex ratio adalah 1:1. Operational sex ratio (OSR) pada
stasiun masing-masing diestimasi berbasis jumlah ikan dewasa jantan dan betina dalam kondisi yang
9
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
memungkinkan untuk breeding (bukan jantan yang mengerami atau ikan dengan gonad pada kondisi spent
atau immature). Kajian terhadap pemangsaan larva (rekrut) melalui survei/pengamatan induk jantan yang
mengerami dan rekrut yang baru terlepas di perairan Teluk Palu dan di Bone Baru, Pulau Banggai, serta
analisis data hasil survei terhadap populasi dan ekosistem P. kauderni (tahun 2011-2012), dikaitkan dengan
hasil pengamatan di wadah terkontrol (tahun 2010). SR rata-rata 1,8, male-biased dan berbeda nyata dengan
1 (P<0,01), namun OSR tidak berbeda nyata dengan 1 (P>0,5). Kanibalisme terhadap rekrut oleh P. kauderni
dewasa teramati di alam. Terdapat hubungan negatif nyata antar persentase P. kauderni dewasa dan rekrut
dan kanibalisme diperkirakan merupakan salah satu faktor kunci dalam dinamika populasi spesies tersebut.
Pemangsaan secara alami yang teramati dilakukan oleh ikan dari Famili Scorpaenidae, Cirrhitidae, Labridae
dan Serranidae. Pola sebaran dan kelulushidupan rekrut berkaitan dengan pola pelepasan rekrut tidak
serentak yang teramati di wadah terkontrol serta dengan upaya mengurangi pemangsaan dan diduga bahwa
kanibalisme oleh induk sendiri pasca pelepasan jarang terjadi di alam. Mikrohabitat pelindung (terutama
anemone laut) berperan penting dalam keberhasilan reproduksi P. kauderni.
Kata kunci: Kanibalisme; Pemangsaan; P. kauderni; Rekrut; Keberhasilan reproduksi; Sex ratio
Pendahuluan
Banggai cardinalfish (P. kauderni, Koumanns, 1933) adalah spesies ikan endemik di
Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya
(Vagelli dan Erdmann, 2002; Vagelli, 2008). Sejak tahun 1980-an P. kauderni diperdagangkan
(diekspor) sebagai ikan hias dalam jumlah besar (Kolm dan Bergman, 2003; Lunn dan Moreau,
2004). Akibat perdagangan tersebut, populasi introduksi P. kauderni terbentuk pada beberapa
lokasi di jalur-jalur perdagangan Banggai cardinalfish (Moore et al., 2011) termasuk di Teluk Palu,
Sulawesi Tengah (Moore dan Ndobe, 2007a).
Pola pemanfaatannya dinilai tidak berkelanjutan (Allen, 2000), dan P. kauderni menjadi
perhatian Dunia saat diusulkan pada Lampiran II CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora) oleh Amerika Serikat di Conference of the Parties
(CoP) CITES ke-14 tahun 2007 (CITES, 2007a). Proposal tersebut diundurkan (CITES, 2007b)
setelah Indonesia berkomitmen menjamin kelestarian BCF dengan pola sustainable ornamental
fishery (Moore dan Ndobe, 2007b; Indrawan dan Suseno, 2008). Pada akhir Tahun 2007
P. kauderni terdaftar sebagai spesies terancam punah (Endangered) pada Red List IUCN
(International Union for the Conservation of Nature) (Allen dan Donaldson, 2007).
Pengelolaan lestari tentu seharusnya memiliki dasar sains yang kokoh. Dengan demikian,
penelitian terhadap biologi reproduksi dan kemampuan berkembangbiak P. kauderni menjadi
penting dalam konteks pengelolaan lestari Banggai cardinalfish. Menurut Balshie-Earn (1996),
kemampuan reproduksi dari aspek produksi benih dipengaruhi antara lain oleh sex ratio (jumlah
total jantan/jumlah total betina) maupun operational sex ratio (jumlah jantan siap
reproduksi/jumlah betina siap reproduksi) atau OSR, dimana OSR cenderung dipengaruhi oleh
perbedaan dalam biologi reproduksi atau jantan dan betina suatu spesies (faktor intrinsik) maupun
faktor eksternal (lingkungan) dan stokastik (misalnya bias yang terjadi dalam suatu populasi).
Sedangkan keberhasilan reproduksi dan pertumbuhan populasi ikan demersal tropis sangat
dipengaruhi oleh kelulushidupan benih pada fase settlement (Abesamis dan Russ, 2010).
Bersifat paternal mouthbrooder with direct development, induk P. kauderni betina
melepaskan masa telur kemudian induk jantan mengerami telur (selama ±20 hari) dan larva
(selama ±10 hari) hingga terlepas sebagai rekrut yang menyerupai ikan dewasa; induk jantan tidak
makan (puasa) selama mengerami (Vagelli, 1999). Sex Ratio (SR) dan atau operational sex ratio
(OSR) yang didominasi oleh jantan (male-biased) ditemukan pada beberapa spesies mouthbrooder,
antara lain ikan Sarotherodon galilaeus, dari Famili Cichlidae, dimana jantan maupun betina dapat
mengerami (Balshie-Earn, 1996). Khusus beberapa spesies dari Famili Apogonidae (seperti pada
P. kauderni) dimana induk jantan mengerami telur maupun larva, sebagian memiliki SR dan OSR
yang male biased, misalnya Apogon notatus (Okuda, 2001) sedangkan sebagian memiliki SR dan
OSR yang tidak nyata male biased atau female biased , misalnya Apogon niger (Okuda, 1999)
dimana mortalitas lebih tinggi pada ikan betina mengimbangi masa mengerami dan pemulihan pada
10
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
ikan jantan yang lebih panjang dibanding interval antar waktu siap bertelur (memijah) pada ikan
betina.
Banggai cardinalfish betina dapat memijah dengan rentang waktu sekitar 30 hari sedangkan
ikan jantan membutuhkan rentang waktu cukup panjang antar periode mengerami telur/larva
(Kolm, 2001; Hopkins et al., 2005), dan menurut berbagai peneliti maupun penggemar ikan hias
P. kauderni jantan dapat mengerami sekitar 6 kali setahun dengan interval waktu sekitar 60 hari.
Hal ini berarti bahwa kemampuan reproduksi P. kauderni sangat ditentukan atau dibatasi oleh
jumlah dan kondisi ikan jantan, dan apabila SR = 1, maka OSR akan bias terhadap betina (femalebiased).
Menurut Vagelli dan Volpedo (2004), berdasarkan sampel relatif terbatas, sex ratio
P. kauderni tidak nyata berbeda dengan 1; namun demikian, jumlah ikan jantan lebih tinggi
dibanding jumlah betina. Penelitian pada tahun 2009 terhadap populasi introduksi di Teluk Palu (N
= 80) diperoleh SR = 1,67, yaitu male biased (Ndobe et al., 2013a) sehingga terdapat indikasi
bahwa SR pada P. kauderni mungkin bersifat male biased namun dinilai bahwa jumlah sampel
belum mencukupi untuk melakukan analisis statistik yang berarti terhadap sex ratio pada spesies
tersebut sehingga diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar. Belum ada data OSR
pada
P. kauderni yang dilaporkan dalam literatur ilmiah.
Benih (larva) P. kauderni yang dilepas oleh induk jantan disebut rekrut (recruit) dan
langsung melakukan settlement tanpa fase pelagis (Vagelli, 1999). Selanjutnya, berlindung pada
mikrohabitat terutama bulu babi Diadema sp. dan anemone laut (Ndobe et al., 2008) dengan pola
kehidupan sedentary tanpa berpindah jauh (Kolm et al., 2005). Beberapa peneliti dan penggemar
ikan hias melaporkan kanibalisme terhadap rekrut oleh induk jantan maupun ikan dewasa lainnya
pada P. kauderni yang dipelihara dalam wadah terkontrol (Adams, 2002; Hopkins et al., 2005).
Kanibalisme diduga sebagai fenomena yang penting dalam dinamika populasi Banggai
cardinalfish, namun literatur mengenai kanibalisme ataupun pemangsaan oleh ikan lainnya
terhadap rekrut P. kauderni masih sangat minim. Pengetahuan mengenai fenomena kanibalisme
penting bukan hanya dari aspek konservasi dan pengelolaan perikanan, tetapi juga dalam konteks
pengembangan budidaya, termasuk budidaya in-situ (Ndobe dan Moore, 2005) serta desain
wadah/sistem budidaya ex-situ (Hopkins et al., 2005).
Berdasarkan konteks yang tergambarkan di atas, maka penelitian yang dilakukan bertujuan
menjelaskan tiga fenomena berkaitan dengan kemampuan berkembangbiak P. kauderni yaitu (i)
sex ratio pada fase dewasa; (ii) estimasi awal (pertama) OSR pada P. kauderni dan (iii)
pemangsaan (terutama kanibalisme) terhadap P. kauderni pada fase rekrut. Pengamatan
dilaksanakan pada populasi endemik di Kepulauan Banggai maupun populasi introduksi di Teluk
Palu.
Materi dan Metode
Pengkajian terhadap Sex Ratio (SR) dan Operational Sex Ratio (OSR)
Ikan uji P. kauderni berukuran dewasa dengan ukuran panjang baku >40 mm adalah hasil
tangkapan di alam secara acak pada 1 lokasi di Teluk Palu (populasi introduksi) dan 3 lokasi di
Pulau Banggai, Kepulauan Banggai sebagaimana tercantum pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1. Lokasi pengambilan dan jumlah (n) ikan uji.
Nama Lokasi
Kode Lokasi
Tinakin Laut (Pulau Banggai)
TIL
Monsongan (Pulau Banggai)
MON
Matanga (Pulau Banggai)
MAT
Kadongo (Teluk Palu)
TPL
Jumlah Total (N)
n = jumlah ikan uji per lokasi.
n
30
30
30
30
120
11
Kordinat Lintang
S 1º 36‟ 07”
S 1º 37‟ 54”
S 1º 42‟ 47”
S 0° 44' 52"
-
Kordinat Bujur
T 123º 29‟ 24”
T 123º 28‟ 53”
T 123º 34‟ 58”
119°E 51' 21"
-
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Jumlah sampel adalah 30 ekor per lokasi, sehingga jumlah total N = 120. Ikan uji diawetkan
dalam alkohol 70%. Jenis kelamin maupun tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan melalui
pembedahan dan observasi terhadap bentuk dan warna gonad di laboratorium.
Sex ratio (SR) dihitung khusus setiap lokasi dan secara keseluruhan dengan mengunakan
persamaan (1):
SR = Jumlah ikan jantan
Jumlah ikan betina
(1)
TKG ditentukan menggunakan skala kualitatif yang telah digunakan pada penelitian tahun
2009, tercantum pada Tabel 2. Data jenis kelamin dan TKG ditabulasi dan dianalisis secara grafik.
Untuk menguji hipotesis bahwa SR = 1, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji t.
Tabel 2. Skala penentuan tingkat kematangan gonad (TKG).
TKG
Fase
Ukuran
Jantan
Sangat kecil seperti
Penampang pipih
Tidak
I
benang atau daun dan Warna kelabu atau
Masak
tipis
agak putih
Bentuk pipih
Permulaan Mengisi seperempat
II
Warna kelabu atau
Masak
rongga tubuh
agak putih
III
Hampir
Masak
Mengisi setengah
rongga tubuh
Warna agak putih
IV
Masak
Mengisi sekitar tiga
perempat rongga
tubuh
Warna agak putih
Berisi cairan
berwarna putih
Spent
Mengisi < seperempat
rongga tubuh
Betina
Bentuk seperti daun, agak pipih
Warna kemerah-merahan
Bentuk seperti daun
Warna kemerah-merahan atau kuning
Telur tidak masak
Warna kuning, hampir bening atau
bening
Bentuk telur nampak melalui dinding
ovarium
Warna kuning, hampir bening atau
bening
Telur dapat terlihat atau masa telur
telah nampak
Gonad nampak agak kempes
Estimasi awal terhadap Operational Sex Ratio (OSR) pada saat pengambilan sampel di
setiap lokasi dihuting dengan menggunakan persamaan (2):
OSR = Ma
Fa
(2)
dimana:
Ma = jumlah ikan jantan yang available (tidak mengerami atau spent; TKG≥III).
Fa = jumlah ikan betina yang available (tidak memiliki massa telur siap dilepas/siap memijah atau
spent; TKG≥III).
SR dan OSR dihitung pula khusus data hasil penelitian sebelumnya (tahun 2009). Analisis
melalui tabulasi dan secara deskriptif serta pembanding dengan literatur.
Pemangsaan terhadap rekrut
Kajian terhadap pemangsaan rekrut melalui survey/pengamatan induk jantan yang
mengerami dan rekrut yang baru terlepas di alam maupun di wadah terkontrol. Pengamatan di alam
dilakukan pada beberapa kesempatan di perairan Teluk Palu (periode 2009-2010) dan di Bone
Baru, Pulau Banggai (periode 2011-2012) serta pengamatan intensif (setiap hari) pada periode
bulan purnama (13-16 bulan di langit, 8-11 Desember 2011).
Pengamatan di wadah terkontrol (tahun 2010) terhadap induk P. kauderni jantan (N = 4)
yang telah mengerami. Ikan uji ditangkap di perairan Kadongo, salah satu lokasi populasi
introduksi di Teluk Palu. Induk jantan tersebut dipelihara dalam wadah terkontrol hingga terjadi
pelepasan rekrut. Wadah tersebut berupa akuarium berukuran 50 x 75 x 40 cm3 yang disekat
dengan kaca sehingga setiap ikan uji terpisah menjadi 6 wadah berukuran 25 x 25 x 40 cm3. Setiap
12
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
wadah diisi dengan air laut sebanyak 10 L, sarana aerasi serta mikrohabitat pelindung berupa
karang bercabang mati. Volume air ditambah dengan air tawar sesuai kebutuhan untuk
mengimbangi evaporasi. Sejumlah ikan P. kauderni dewasa lainnya dipelihara pula pada dua
wadah yang tidak berisi induk jantan yang mengerami. Pakan alami berupa artemia yang ditetaskan
diberi pada ikan yang tidak mengerami, namun dengan asumsi (berdasarkan Vagelli, 1999) bahwa
induk jantan yang mengerami tidak makan (puasa), maka pakan tersebut baru mulai diberi pada
induk dan juvenil setelah pelepasan. Parameter utama yang diamati adalah pola pelepasan rekrut,
perilaku induk dan ikan lain terhadap rekrut dan perilaku rekrut saat pelepasan dan selama 24 jam
sesudah pelepasan rekrut terakhir. Olahan data melalui tabulasi, secara deskriptif, dan dibanding
dengan hasil pengamatan di alam.
Penilaian terhadap faktor yang berpengaruh terhadap kelulushidupan rekrut di alam
berdasarkan analisis data hasil survei (Desember 2011 dan Juni 2012) di 18 lokasi (Tabel 3,
Gambar 1). Metode pengamatan adalah swim survey atau SS (Hill dan Wilkinson, 2004) serta Belt
Transect atau BT (20 m x 5 m = 100 m2) yang digunakan sejak 2004 (Ndobe et al., 2008).
Tabel 3. Lokasi dan metode pengamatan terhadap kepadatan dan struktur populasi P. kauderni
Kordinat (Garmin 76CSx)
Metode Survei
Kecamatan
Lokasi
Lintang
Bujur
BT
SS
Toropot
S 1º 56‟ 29”
T 123º 38‟ 06”
X
Kombongan
S 1º 52‟ 47”
T 123º 41‟ 24”
X
X
Bokan
Tanjung Nggasuang
S 2º 00‟ 56”
T 123º 45‟ 40”
X
X
Kepulauan
Mbuang-Mbuang
S 2º 04‟ 34”
T 123º 52‟ 15”
X
Toado
S 2º 04‟ 58”
T 123º 54‟ 38”
X
Banggai
Popisi
S 1º 29‟ 57”
T 123º 30‟ 54”
X
Utara
Bone Baru
S 1º 31‟ 53”
T 123º 29‟ 35”
X
X
Paisulimukon
S 1º 33‟ 36”
T 123º 28‟ 42”
X
Banggai
Tinakin Laut
S 1º 36‟ 07”
T 123º 29‟ 24”
X
X
Monsongan
S 1º 37‟ 54”
T 123º 28‟ 53”
X
Banggai
Pulau Bandang Besar
S 1º 41‟ 04”
T 123º 27‟ 07”
X
Tengah
Pulau Bandang Kecil
S 1º 40‟ 59”
T 123º 27‟ 14”
X
Tolokibit
S 1º 42‟ 46”
T 123º 30‟ 58”
X
Banggai
Selatan
Matanga
S 1º 42‟ 47”
T 123º 34‟ 58”
X
X
Jetty
S 1º 32‟ 52”
T 123º 14‟ 37”
X
Liang
Bajo
S 1º 33‟ 15”
T 123º 14‟ 26“
X
Bone Bone
S 1º 52‟ 31”
T 123º 06‟ 15”
X
Bang-kurung
Tolobundu
S 1º 55‟ 35”
T 123º 08‟ 33”
X
13
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Gambar 1. Penyebaran endemik P. kauderni dan letak lokasi-lokasi penelitian.
Metode BT maupun SS tersebut menggunakan peralatan SCUBA dan/atau snorkel, sesuai
kedalaman/kondisi habitat P. kauderni. Pada BT maupun SS dihitung (sensus) jumlah P. kauderni
(3 kelompok ukuran, Rekrut: SL≤15 mm; Juvenil: 15 mm<SL≤35 mm; Dewasa: SL>35 mm) serta
dua mikrohabitat bulubabi (BB) dan anemone laut (AN) yang terindikasi penting bagi
kelulushidupan rekrut (Ndobe et al., 2008; Moore et al., 2012). Data hasil BT dan SS diolah untuk
menilai keberhasilan reproduksi berkaitan dengan kepadatan populasi P. kauderni, struktur umur
populasi P. kauderni serta ketersediaan mikrohabitat dengan menilai korelasi melalui regresi linier
persentase rekrut dalam populasi (jumlah rekrut/jumlah total ikan yang teramati x 100), langsung
atau dalam bentuk log transformed, dengan tiga variabel yang tercantum pada Tabel 4. Apabila
P<0,05 dan R2>0,5 maka dinilai bahwa terdapat korelasi yang signifikan.
Tabel 4. Pasangan variabel yang dianalisis untuk menilai korelasi melalui regresi linier
Parameter X
Parameter Y
Rasionale/Hipotesa
Log (d)
Log (%R)
Dugaan peluang kanibalisme meningkat pada kepadatan tinggi
Dugaan peluang kanibalisme meningkat apabila persentase ikan
%A
%R
dewasa dalam populasi lebih tinggi
Log (AN)
Dugaan peluang pemangsaan (termasuk kanibalisme) akan lebih
dan
Log (%R)
rendah dan kelulushidupan rekrut akan lebih tinggi jika
Log (BB)
ketersediaan mikrohabitat pelindung lebih tinggi
% A = persentase P. kauderni dewasa; % R = persentase rekrut; d = kepadatan populasi P. kauderni
(ekor/m2) ; AN = Kepadatan Anemone Laut (ekor/m2); BB = kepadatan bulubabi (ekor/m2).
Sintesis
Hasil penenlitian secara keseluruhan dianalisis sehubungan dengan kemamupuan
berkembangbiak dan keberhasilan reproduksi P. kauderni. Termasuk implikasi bagi pengelolaan
sumberdaya dan pengembangan budidaya, terutama budidaya in-situ serta beberapa fenomena yang
membutuhkan riset lanjutan.
Hasil dan Pembahasan
Sex Ratio (SR) dan Operational Sex Ratio (OSR)
14
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Data ukuran panjang baku (standard length, SL) dan berat (W) rata-rata ± SD (standard
deviation), jenis kelamin dan TKG pengamatan ikan uji pada kajian sex ratio khusus 4 lokasi pada
penelitian ini serta pada penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 5. Sex ratio (SR) dan
Operational Sex Ratio (OSR) dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 5. Data ukuran panjang baku, jenis kelamin dan TKG.
SL ± SD
W ± SD
Jumlah ikan
Lokasi
(mm)
(g)
M
F
Kadongo
48.4 ± 3.4
5.0 ± 0.9
18
12
Matanga
43.0 ± 4.5
3.5 ± 1.1
20
10
Tinakin Laut
51.5 ± 3.8
6.3 ± 1.3
21
9
Monsongan
46.6 ± 2.8
4.6 ± 0.7
18
12
Teluk Palu (2009) 48.3 ± 6.5
4.8 ± 1.9
50
30
I
0
1
0
0
8
Jumlah ikan dengan TKG
II
III
IV
Spent
8
11
8
3
16
10
3
0
7
10
6
4
8
11
8
3
25
24
12
11
Tabel 6. Sex Ratio (SR) dan estimasi Operational Sex Ratio (OSR).
SR
Bias SR Jumlah jantan Jumlah ikan available
OSR
Bias OSR
Lokasi
(M/F) M atau F
yang erami
Ma
Fa
M atau F
M atau F
Kadongo
1.5
MB
3
9
10
0.90
FB
Matanga
2.0
MB
4
5
4
1.25
MB
Tinakin Laut
2.3
MB
7
6
4
1.50
MB
Monsongan
1.5
MB
3
7
8
0.88
FB
Teluk Palu (2009)
1.7
MB
3
19
17
1.12
MB
Rata-rata ± SE
1.8 ± 0.2 MB*
1.13 ± 0.1
ns
ns: tidak berbeda nyata dengan 1; * berbeda nyata dengan 1; MB = male-biased; FB = female biased.
Data pada Tabel 5 dan 6 menunjukkan bahwa SR cenderung male-biased, dengan nilai ratarata 1,8. Uji t menunjukkan bahwa SR nyata berbeda dengan 1 (P<0,01), sehingga hipotesa nol
bahwa SR pada P. kauderni adalah 1 ditolak. Sedangkan OSR kadang male biased dan kadangkala
female biased dengan nilai rata-rata 1,13 namun secara keseluruhan tidak berbeda nyata dengan
1 (P>0,05).
Jumlah sampel masih relatif terbatas dari aspek cakupan geografis maupun jumlah total, dan
estimasi OSR sejauh diketahui adalah estimasi pertama khusus P. kauderni, dan mungkin terdapat
faktor-faktor yang belum diakomodasi. Namun demikian, disimpulkan bahwa sex ratio pada
P. kauderni cenderung male biased, seperti dilaporkan oleh Okuda (2001) khusus Apogon notatus.
Berbeda dengan A. notatus, terindikasi bahwa OSR bervariasi antar lokasi dan dalam waktu dan
cenderung tidak berbeda jauh dari 1, seperti dilaporkan khusus Apogon niger (Okuda, 1999).
Selanjutnya, terindikasi bahwa hanya sebagian relatif kecil (8%-33%, rata-rata 16%) ikan jantan
mengerami pada saat (bulan) yang sama.
Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa reproduksi P. kauderni terjadi setiap bulan
sepanjang tahun, namun mengindikasikan bahwa di alam kemampuan reproduksi ikan jantan di
bawah 6 kali per tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan fenomena kanibalisme terhadap telur
yang dilaporkan pada beberapa jenis ikan dari Famili Apogonidae, dimana frekuensi kanibalisme
massa telur dipengaruhi oleh ukuran, umur dan kondisi lingkungan atau musim (Okuda et al.,
1997; Takeyama et al., 2002) dan Kolm (2001) telah mengemukakan dugaan bahwa hal serupa
terjadi pada P. kauderni.
Pengamatan pemangsaan rekrut di alam
Pemangsaan secara alami yang teramati dilakukan oleh ikan dari Famili Scorpaenidae,
Cirrhitidae, Labridae dan Serranidae. Khususnya Scorpaenidae, pengamatan rutin selama 4 hari
sekitar bulan purnama di Bone baru ditemukan bahwa pada tiga hari pertama, sejumlah ikan
tersebut terkumpul di sekitar kelompok P. kauderni dimana terdapat 9 ekor ikan jantan yang
sedang mengerami larva. Ikan Scorpaenidae tersebut nampaknya mengawasi dan mengikuti jejak
induk jantan. Pada hari ke-3, sejumlah larva terlepas dan pemangsaan sempat diamati langsung.
15
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Pada hari ke-4, ikan jantan yang mengerami maupun ikan Scorpaenidae telah tidak terlihat, dan
rekrut baru terlihat dalam hampir semua anemone laut di sekitarnya. Kanibalisme rekrut pada saat
pelepasan oleh Cirrhitidae, Labridae dan Serranidae teramati pada bulan purnama di Bone Baru
(September dan Desember 2011).
Pemangsaan rekrut oleh P. kauderni dewasa selain induk pada saat pelepasan teramati di
alam di Bone Baru maupun di Teluk Palu (Mei, 2010). Pada saat pengamatan, apabila induk jantan
yang mengerami larva berada di dalam atau berdekatan dengan kelompok Banggai cardinalfish
lain, sejumlah P. kauderni dewasa melayang di sekitar induk jantan dan saat rekrut terlepas, satu
atau lebih ikan tersebut langsung sambar dan selalu ada yang berhasil memangsanya.
Induk jantan yang mengerami larva sering terlihat sendiri, relatif jauh dari kelompok, dan
berdekatan dengan anemone laut, baik yang dihuni maupun yang tidak dihuni oleh ikan badut
(Amphiprion sp.). Selama periode 2004-2013, belum pernah teramati pemangsaan terhadap rekrut
yang berlindung dalam anemone. Pemangsaan oleh ikan berwarna kriptik yang tidak sempat
diidentifikasi serta kanibalisme oleh P. kauderni dewasa terhadap rekrut yang berlindung di
bulubabi sempat teramati di Mbuang-Mbuang, pada saat cuaca memburuk dan kelompok bulubabi
membentuk semacam kuba yang mampu menahan terhadap ombak dengan merekatkan durinya
satu dengan lainnya. Semua ukuran P. kauderni terpaksa masuk bersamaan di bawah massa
tersebut, sehingga rekrut mudah dimangsa. Kanibalisme terhadap rekrut di bulubabi juga teramati
saat mereka keluar dari duri bulubabi untuk memakan, antara lain di Pulau Bandang dan di Teluk
Palu.
Korelasi kepadatan dengan kelimpahan rekrut
Korelasi antar kepadatan populasi P. kauderni (d) dalam satuan individu per m2 (ekor/m2)
dan kelimpahan relatif rekrut atau persentase rekrut dalam populasi (% R) bervariasi dengan
kepadatan. Pada kepadatan rendah, di bawah 0,5 ekor/m2 (N = 13), tidak terdapat korelasi nyata
(P>0,05, R2 = 0,28). Untuk kepadatan di atas 0,5 ekor/m2 (N = 10), korelasi kepadatan dengan
persentase juvenil bersifat nyata dan menjelaskan sebagian besar perbedaan yang teramati
(P< 0,0001, R2 = 0,872). Regresi linier tercantum pada Gambar 2.
y = -0.945x + 1.364
R² = 0.872
Log (% Rekrut)
1.8
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2 -0.2 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
Log (d), d = kepadatan (ind/m2
Gambar 2. Regresi linier hubungan kepadatan populasi dan persentase rekrut P. kauderni.
Korelasi struktur umur populasi dengan kelimpahan rekrut
Hubungan antar persentase P. kauderni dewasa dan persentase rekrut dalam setiap populasi
(N=16) bersifat nyata (P<0,0001). Korelasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 dan menunjukkan
bahwa persentase rekrut cenderung lebih rendah persentase ikan dewasa. Tidak terdapat hubungan
nyata (P>0,5) antar persentase ikan dewasa dan juvenil atau antar persentase ikan juvenil dan
rekrut.
16
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
% R (persentase rekrut)
50%
40%
y = -0.543x + 0.361
R² = 0.706
30%
20%
10%
0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
% A (persentase P. kauderni dewasa)
70%
80%
Gambar 3. Korelasi antar persentase P. kauderni ukuran rekrut dan dewasa pada 16 populasi.
Korelasi kepadatan mikrohabitat dengan kelimpahan rekrut
Tidak terdapat korelasi nyata antar persentase rekrut P. kauderni dengan kepadatan bulubabi
(P>0,5). Hubungan antara persentase rekrut P. kauderni dan kepadatan anemone laut bersifat nyata
(P<0,0001) dengan R2 = 0,874. Korelasi positif tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
Persentase rekrut Log [%R]
2.5
2
y = 0.551x + 2.286
R² = 0.874
1.5
1
0.5
0
-4.5
-4
-3.5
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
Kepadatan anemon laut Log [AN]
Gambar 4. Korelasi persentase rekrut P. kauderni dengan kepadatan mikrohabitat anemone laut.
Pelepasan rekrut dan kanibalisme di wadah terkontrol
Pelepasan rekrut di wadah terkontrol dimulai pada senja atau fajar dan berlangsung 12
hingga 36 jam. Pada awal rekrut dilepas dalam kelompok kecil, 1 sampai 3 ekor, dengan rentang
waktu sekitar 30 menit hingga 2 jam antar pelepasan. Setelah beberapa kali pelepasan perlahan
tersebut, sejumlah besar rekrut (puluhan ekor) dilepas serentak 1 atau 2 kali, kemudian kembali
pada pola perlahan hingga akhir pelepasan. Gerakan jantan saat pelepasan sangat unik (tidak
pernah teramati di luar proses tersebut) dan diperkkirakan membutuhkan banyak energi. Seusai
pelepasan, ikan jantan nampak sangat lemas dan mencari perlindungan di sudut wadah. Sebagian
kecil rekrut nampak tak berdaya saat pelepasan dan membutuhkan beberapa detik sebelum mulai
berenang namun sebagian besar rekrut langsung aktif berenang dan mulai memangsa artemia yang
diberikan. Mereka membentuk sebuah gerombolan yang segera berlindung dalam mikrohabitat
yang disediakan apabila merasa terancam.
Kanibalisme oleh induk jantan mulai sekitar 12 jam setelah pelepasan berakhir. Pada wadah
dimana induk dibiarkan dengan rekrut selama 24 jam, induk sempat memangsa sekitar 40-an larva,
dimana dari lebih dari 50 ekor yang dilepaskan hanya 13 ekor masih tersisa. P. kauderni yang
dipelihara di wadah di sebelah induk jantan yang mengerami berupaya untuk memangsa rekrut
pada saat pelepasan.
Implikasi bagi pengelolaan sumberdaya dan pengembangan budidaya
Nyata bahwa pemangsaan termasuk kanibalisme terhadap rekrut P. kauderni saat pelepasan
oleh induk jantan merupakan fenomena yang umum terjadi. Dengan rentang waktu antar pelepasan
17
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
dan kanibalisme oleh induk jantan di wadah terkontrol, diduga bahwa filial cannibalism atau
kanibalisme oleh induk sendiri pasca pelepasan jarang terjadi di alam. Kemungkinan kecil bahwa
beberapa jam setelah pelepasan induk jantan masih berdekatan dengan rekrut yang dilepas.
Pola pelepasan rekrut tidak serentak yang teramati di wadah terkontrol diduga terjadi pula di
alam, berkaitan dengan upaya mengurangi pemangsaan atau memaksimalkan kelulushidupan
rekrut. Pelepasan perlahan dapat menjadi signal bagi induk jantan untuk mencari tempat yang aman
bagi pelepasan sebagian besar rekrut. Kemudian pemangsa yang mengawasi gerakannya mungkin
sudah akan puas setelah mendapat beberapa ekor. Kemungkinan induk pada fase tersebut yang
kerapkali terlihat menyendiri dan di sekitar anemone laut (Moore et al., 2012) sehingga kelompok
rekrut di anemone laut kerap kali berjumlah beberapa puluh ekor namun di bulubabi biasanya 1
sampai 3 ekor (Ndobe et al., 2008 dan 2013b; Moore et al., 2011 dan 2012). Selanjutnya hasil
penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antar kelimpahan anemone dan
persentase rekrut dalam populasi P. kauderni, berserta hubungan terbalik dengan persentase
(kelimpahan relatif) P. kauderni dewasa dan kepadatan populasi (kecuali pada kepadatan sangat
rendah) secara bersamaan memperkuat dugaan bahwa kanibalisme berperan penting dalam
dinamika populasi khususnya keberhasilan reproduksi dan rekrutmen pada spesies tersebut dan
bahwa anemone laut penting sebagai mikrohabit pelindung pada fase rekrut.
Implikasi dari hasil tersebut antara lain bahwa kemampuan populasi P. kauderni untuk
bertahan atau berkembang sangat tergantung dari ketersediaan perlindungan bagi rekrut pada saat
pelepasan. Kemudian bahwa, asal mikrohabitat tersebut tersedia, pemanfaatan yang menurunkan
jumlah ikan juvenil ukuran besar dan dewasa (ukuran mampu memangsa rekrut) dapat memberi
peluang lebih besar keberhasilan reproduksi P. kauderni dewasa yang ada, sehingga persentase
rekrut dapat meningkat. Budidaya ex-situ tebukti relatif mahal dan sulit diterapkan ditingkat
masyarakat ataupun UPTD BBI (Balai Benih Ikan di Bone Baru). Dengan melakukan perlindugan
atau bahkan upaya pemulihan dan berkembangan terhadap mikrohabitat, maka daya dukung
populasi alam akan meningkat, menunjang konservasi dan pemanfaatan lestari Banggai
cardinalfish. Selain itu, informasi ini dapat digunakan untuk merencanakan lanjutan pengembangan
budidaya in-situ; konsep tersebut telah diprakarsai tahun 2006 diharapkan dapat dikembangkan
hingga aplikatif.
Kesimpulan
Sex ratio pada P. kauderni bersifat male-biased dengan nilai rata-rata 1.8 dan nyata berbeda
dengan 1 pada peneltian ini. Disarankan kajian lanjutan terhadap faktor-faktor yang menentukan
operational sex ratio pada P. kauderni. Estimasi yang diperoleh tidak nyata berbeda dengan 1,
sehingga terindikasi bahwa jumlah jantan yang lebih besar cenderung mengimbangi frekuensi
berembangbiak jantan yang lebih rendah, meskipun terindikasi bervariasi antar lokasi dan waktu.
Kanibalisme terhadap rekrut oleh P. kauderni dewasa teramati di alam dan diduga
merupakan fenomena yang lazim terjadi, namun diduga bahwa kanibalisme oleh induk sendiri
pasca pelepasan jarang terjadi di alam. Terdapat hubungan negatif nyata antar kepadatan populasi
serta persentase P. kauderni dewasa dan persentase rekrut, dan kanibalisme diperkirakan
merupakan salah satu faktor kunci dalam dinamika populasi Banggai cardinalfish. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap tingkat kanibalisme akan sangat berpengaruh terhadap resilience dan
daya dukung suatu populasi atau stok ikan hias P. kauderni. Pada budidaya spesies tersebut,
menghindari kanibalisme menjadi hal yang mutlak diperhatikan.
Pemangsaan terhadap rekrut P. kauderni yang teramati di alam dilakukan oleh ikan dari
Famili Scorpaenidae, Cirrhitidae, Labridae dan Serranidae serta ikan demersal lain tak terindifikasi.
Pola sebaran dan kelulushidupan rekrut di alam diperkirakan berkaitan dengan pola pelepasan
rekrut tidak serentak yang teramati di wadah terkontrol. Pola tersebut kemungkian besar
merupakan upaya atau adaptasi untuk mengurangi pemangsaan terhadap dan meningkatkan
kelulushidupan rekrut. Mikrohabitat pelindung (terutama anemone laut) berperan penting dalam
keberhasilan reproduksi P. kauderni.
Dari aspek pengelolaan lestari sumberdaya P. kauderni, implikasi antara lain bahwa perlu
mellindngi dan jika perlu melakukan pemulihan terhadap habitatnya dan secara khusus
18
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
mikrohabitat pelindung. Selain itu, informasi ini diharapkan dapat dugunakan dalam
pengembangan lanjutan budidaya bersifat in-situ sebagai upaya konservasi ataupun aktivitas
ekonomi masyarakat.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah membiayai penilitian ini pada skema hibah
Fundamental (Tahun 2013). Diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mebantu selam
penelitian dan penyusunan makalah ini, rekan-rekan dosen di Program Studi Budidaya Perairan
Universitas Tadulako, Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan, serta rekan-rekan dan kelompok
nelayan Banggai cardinalfish di Kepulauan Banggai.
Daftar Pustaka
Abesamis, R.A. and G.R. Russ. 2010. Patterns of recruitment of coral reef fishes in a monsoonal
environment. Coral Reefs, 29 (4): 911–921. DOI 10.1007/s00338-010-0653-y.
Adams B. (2002). Breeding Banggai Cardinal Fish Pterapagon kauderni. Marine Scene, Marine Aquarium
Societies of North America, 11 (2): 6.
Allen, G.R. (2000). Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderni Koumans, 1933 (Apogonidae).
Environmental Biology of Fishes, 57: 142.
Allen, G.R. and T.J. Donaldson. 2007. Pterapogon kauderni. In: IUCN. 2009. IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2009.1. <www.iucnredlist.org>. [Downloaded on 11 July 2009].
Balshine-Earn, S. 1996. Reproductive rates, operational sex ratios and mate choice in St. Peter‟s fish.
Behavioural Ecology and Sociobiology, 39: 107–116.
CITES. 2007a. COP 14 Prop. XX. Convention on the International Trade in Endangered Species,
Fourteenth meeting of the Conference of the Parties, The Hague (Netherlands), 3-15 June 2007,
Consideration of Proposals for Amendment of Appendices I and II. Proposal: Inclusion of the
Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni, Koumans 1933) in Appendix II of CITES.
http://www.cites.org. 12 pp. [Downloaded 10 January 2007].
CITES. 2007b. Summary record of the 10th session of Committee I. E14-Com-I-Rep-10.
http://www.cites.org. 9 pp. [Downloaded 24 June 2007].
Hill, J. and C. Wilkinson. 2004. Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs, Australian Institute of
Marine Science, Townsville, Australia. 117 pp.
Hopkins, S., H. Ako and C.S. Tamaru. 2005. Manual for the Production of the Banggai Cardinalfish,
Pterapogon kauderni, in Hawai„i. Rain Garden Ornamentals, College Of Tropical Agriculture
and Human Resources Department of Molecular Biosciences and Bioengineering and University
of Hawai„i Sea Grant College Program, Hawaii. 32pp.
Indrawan, M. and Suseno. 2008. The complications of CITES inclusion of endemic species in Indonesia:
Lessons learned from an in-country deliberation on protecting the Banggai cardinalfish,
Pterapogon kauderni. SPC Live Reef Fish Information Bulletin, 18: 13-16.
Kolm, N. (2001). Females produce larger eggs for large males in a paternal mouthbrooding fish.
Proceedings of The Royal Society of London, Series B, 268: 2229-2234.
Kolm, N. and A. Berglund. 2003. Wild Populations of a Reef Fish Suffer from "Non-Destructive"
Aquarium Trade Fishery. Conservation Biology, 17 (3): 910-914.
Kolm, N., E.A. Hoffman, J. Olsson, A. Berglund and A.G. Jones. 2005. Group stability and homing
behavior but no kin group structures in a coral reef fish. Behavioral Ecology, 16: 521–527.
Lunn, K.E. and A.M. Moreau. 2004. Unmonitored trade in Marine Ornamental Fishes: the Case of
Indonesia's Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral Reefs, 23: 344-341.
Moore, A. and S. Ndobe. 2007a. Discovery of an introduced Banggai Cardinalfish population in Palu Bay,
Central Sulawesi, Indonesia. Coral Reefs, 26: 569.
Moore, A. and S. Ndobe. 2007b. The Banggai Cardinalfish and CITES – a local perspective. Reef
Encounters, 38: 15-17.
Moore, A., S. Ndobe and M. Zamrud. 2011. Monitoring the Banggai Cardinalfish, an Endangered
Restricted Range Endemic Species. Journal of Indonesian Coral Reef (JICoR), 1 (2): 99-113.
19
Konferensi Akuakultur Indonesia 2013
Moore, A., S. Ndobe, A.M. Salanggon, Ederyan and A. Rahman. 2012. Banggai Cardinalfish
Ornamental Fishery: The Importance of Microhabitat. Proceedings of the 12th International Coral
Reef
Symposium,
Cairns,
Australia,
9-13
July
2012.
http://www.icrs2012.com/proceedings/manuscripts/ ICRS2012_ 13C_1.pdf.
Ndobe, S. and A. Moore. 2005. Potensi dan Pentingnya Pengembangan Budidaya In-situ Pterapogon
kauderni (Banggai Cardinalfish). InfoMAI, 4 (2): 9-14.
Ndobe, S., Madinawati and A. Moore. 2008. Pengkajian Ontogenetic Shift pada Ikan Endemik
Pterapogon kauderni. Jurnal Mitra Bahari. 2 (2): 32-55.
Ndobe. S., D. Setyohadi, E.Y. Herawati, Soemarno, A. Moore, M.D. Palomares and D. Pauly. 2013a.
Life History of Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni; Pisces, Apogonidae) in Banggai
Islands and Palu Bay, Sulawesi, Indonesia. Acta Ichthyologica Et Piscatoria. [accepted for
publication].
Ndobe, S., A. Moore, A.I.M. Salanggon, Muslihudin, D. Setyohadi, E.Y. Herawati and Soemarno.
2013b. Pengelolaan Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderni) melalui Konsep EcosystemBased Approach. Marine Fisheries [accepted for publication].
Okuda,
N.
1999.
Female
mating strategy
and
male
brood cannibalism in a
sand-dwelling cardinalfish. Animal Behaviour, 58: 273–279.
Okuda, N. 2001. The costs of reproduction to males and females of a paternal
mouthbrooding cardinalfish Apogon notatus. Journal of Fish Biology, 58: 776–787.
Okuda, N., T. Takeyama and Y. Yanagisawa. 1997. Age-specific filial cannibalism in a paternal
mouthbrooding fish. Behavioural Ecology and Sociobiology, 41: 363-369.
Takeyama, T., N. Okuda and Y. Yanagisawa. 2002. Seasonal pattern of filial cannibalism by Apogon
doederleini mouthbrooding males. Journal of Fish Biology, 61: 633–644. doi: 10.1111/j.10958649.2002.tb00901.x.
Vagelli, A. 1999. The Reproductive biology and early ontogeny of the mouthbreeding Banggai Cardinalfish,
Pterapogon kauderni (Perciformes, Apogonidae). Environmental Biology of Fishes, 56:79-92.
Vagelli, A. and A.V. Volpedo. 2004. Reproductive Ecology of P. kauderni, an endemic apogonid from
Indonesia with direct development. Environmental Biology of Fishes, 70: 235-245.
Vagelli, A.A. 2008. The unfortunate journey of P. kauderni: A remarkable apogonid endangered by the
international ornamental fish trade, and its case in CITES. SPC Live Reef Fish Information
Bulletin, 18: 17-28.
Vagelli, A.A. and M.V. Erdmann. 2002. First Comprehensive Survey of the Banggai Cardinalfish,
Pterapogon kauderni. Environmental Biology of Fishes, 63:1-8.
20
Download