Perlindungan Konsumen Dalam Kontrak Jual Beli Rumah Di

advertisement
Perlindungan Konsumen Dalam Kontrak Jual Beli Rumah
Di Perumahan Harapan Indah Bekasi
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
OLEH :
Marwan
NIM : 1111048000044
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
ABSTRAK
MARWAN . NIM 1111048000044. Perlindungan Konsumen Dalam Kontrak Jual
Beli Rumah Di Perumahan Harapan Indah Bekasi. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436H/2015M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang perlindungan hukum yang
didapatkan oleh konsumen terhadap perumahan khususnya dalam rumah yang
mengandung cacat tersembunyi. Dalam penelitian ini akan dibahas upaya hukum
yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk mendapatkan haknya memperoleh
rumah sesuai kontrak. Dan bentuk tanggung jawab seperti apa yang diberikan oleh
developer.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Yuridis Normatif,
yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,
diantaranya
Pendekatan
Pendekatan
Kasus
(Case
Perundang-Undangan
Approach).
(Statute
Undang-undang
Approach),
yang
dan
digunakan,
diantaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Cacat Tersembunyi, Rumah, Developer
Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., MH.
Arip Purkon, S.HI., MA.
Daftar Pustaka: Tahun 1992 sampai Tahun 2013
K A T A PE NGA NT A R
‫حيْ ِم‬
ِ ‫ن ال َّر‬
ِ ‫بِسْ ِم اللّ ِه ال َّرحْ َم‬
Assalamu’ alaikumWr. Wb
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang hanya dengan
hidayah dan nikmat dari-Nya lah skripsi penulis yang berjudul ”Perlindungan
Konsumen Dalam Kontrak Jual Beli Rumah Di Perumahan Harapan Indah
Bekasi” dapat terselesaikan dengan baik. Ini merupakan salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah J akarta. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat serta para
pengikutnya hingga akhir zaman.
Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan
berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan motivasi
rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak
terlepas dari elaborasi keilmuan yang penulis dapatkan dari kontribusi banyak
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin sampaikan setulus hati
ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr Asep Saepudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.H, Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan waktu luang,
saran, dan masukan dalam kelancaran proses penyusunan skripsi ini.
3. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Dosen Pembimbing I dan Arip
Purkon, S.HI., MA. Dosen Pembimbing II yang dengan sabar telah
memberikan bimbingan, arahan, saran, kritik dan masukan serta persetujuan
terhadap skripsi ini dan dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih
banyak atas kesediaan meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya kepada
Penulis, semoga Allah Swt membalas kebaikan beliau.
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik yang selalu ramah
dan terbuka dengan Penulis. Selain itu juga selalu siap dan mempermudah
penulis dalam mengurus segala sesuatu birokrasi selama menjadi Mahasiswa di
Ilmu Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
bekal kepada Penulis selama ini sehingga pada akhirnya tulisan ini dapat
diselesaikan oleh Penulis. Semoga ilmu yang diberikan bermanfaat buat
Penulis dan orang banyak serta mendapat balasa dari Allah Swt.
6. Kedua orang tua Penulis, Aba Mouradh Mansyur Alkatiri, dan Mama Ba’diah
Muhammad Balfas, tidak lupa untuk Jidah Aminah Zaezah yang dengan sabar
memotivasi penulis untuk segera menuntaskan penelitian penulis dan selalu
mendoakan dan memberikan dukungan sekaligus menjadi inspirasi penulis
dalam menulis tulisan ini. Tanpa mereka Penulis tidak bisa menjadi seperti
sekarang ini. Kedua adik penulis Salsabila dan Laila yang selalu bersedia
dimintai tolong untuk membuatkan kopi untuk penulis.
7. Keluarga Ami Rasyid Mahri dan Halatih Cholidah Balfas atas bantuan baik
moril maupun materil hingga penulis mampu menuntaskan penelitian penulis,
terutama kepada Kak Moch Novel. SH yang telah memberikan waktu tenaga
serta pikirannya guna membantu penulis untuk melakukan penelitian, dan juga
kepada ka Razi dan Jannah Mahri.
8. Keluarga Hal Ja’far Balfas dan Halatih Persia Thalib atas bantuan baik moril
maupun materil hingga penulis mampu menuntaskan penelitian penulis, untuk
anak-anaknya Sulaiman, Nadira, Najma, Najwa, dan Muhammad Adnan.
9. Teman-teman penulis sekelas di Ilmu Hukum angkatan 2011 dalam kurun
waktu empat tahun dengan kebersamaan kita menuntut ilmu dan kebersamaan
kita dalam canda dan tawa, di Ampuh, BLC, Team Tiga Iket, Team Hore dan
Team Skripsweet, Kelompok KKN Semanggi 2014.
10. Pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak
bisa Penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah Swt. memberikan
berkah serta karunia dan membalas kebaikan mereka, amiinn yaa raball
allamin.
Akhirnya Penulis mengucapkan terimakasih dan maaf yang sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang
membuat tidak berkenan bagi pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.
Sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 10 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMIBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJ I
LEMBAR PERTA NYAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1
B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah......................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual........................................................9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu..................................................................10
F. Metode Penelitian.................................................................................12
G. Sistematika Penulisan...........................................................................15
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN........................................................................................................17
A. Pengertian Perlindungan Konsumen..............................................17
B. Sejarah Lahirnya Perlindungan Konsumen....................................20
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen....................................24
D. Perkembangan Pengaturan Perlindungan Konsumen....................27
x
BAB III PRAKTEK BISNIS PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NO 1 TAHUN 2011..............................................................................................33
A. Tinjauan Umum Bisnis Perumahan.................................................33
B. Persyaratan Pendirian Perumahan...................................................36
C. Kegiatan Usaha Bisnis Perumahan..................................................39
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bidang Perumahan Dan
Permukiman.....................................................................................40
E. Tanggung Jawab Pengembang (Developer) Sebagai Pelaku Usaha
Bisnis Perumahan............................................................................42
BAB IV Analisis Perlindungan Konsumen Dalam Kontrak Jual Beli Rumah
Harapan Indah Bekasi............................................................................................47
A. Tinjauan Umum Perjanjian.............................................................47
B. Analisis Akta Notaris Pengikat Jual Beli Perumahan di Harapan
Indah Bekasi...................................................................................51
C. Perihal
Pembatasan
Perjanjian
Dalam
Hal
Perlindungan
Konsumen.......................................................................................53
D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Konsumen...................................56
BAB V PENUTUP.................................................................................................63
A. Kesimpulan.....................................................................................63
B. Saran...............................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................65
LAMPIRAN..........................................................................................................68
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan dari bangsa Indonesia yang tertuang dalam alinea
keempat Undang-undang Dasar 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan
umum dan untuk mencapai tujuan tersebut salah satunya dapat diwujudkan
dengan memajukan perekonomian nasional dengan meningkatkan kegiatan
ekonomi. Peningkatan kegiatan ekonomi ditandai dengan pelaku-pelaku bisnis
baru yang bermunculan yang menjadikan semakin ketatnya persaingan pelaku
bisnis tersebut, sehingga terjadi pembangunan dalam ekonomi yang menuju
kearah kesejahteraan rakyat.
Ekonomi yang baik dari masyarakat membuat daya beli masyarakat yang
pada hal ini berperan sebagai konsumen mempunyai kemauan dan kemampuan
untuk memperoleh tempat tinggal yang lebih baik lagi. Pembangunan
perumahan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar
manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi
arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja, serta menggerakan
kegiatan
ekonomi
dalam
peningkatan
dan
pemerataan
kesejahteraan
rakyat.1Kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat Indonesia merupakan
kebutuhan pokok dan merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar.
1
Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, cet 1, (Depok : Badan
Penerbit fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), h.175.
1
2
Pemenuhan
kebutuhan
masyarakat
terhadap
rumah
merupakan
pencerminan dari tujuan negara yang dirumuskan dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945, yaitu
melindungi
segenap
bangsa
Indonesia
dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Secara khusus pemerintah sangat memperhatikan kebutuhan tersebut dengan
memasukan
sektor perumahan dan pemukiman didalam ketetapan MPR NO.
II/MPR/1993 tentang Garis-Garis besar Haluan Negara sebagai sasaran
PELITA“Pembangunan disektor perumahan dan pemukiman merupakan
upaya untuk
serta
memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal yang sehat
kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman,
damai,tenteram dan sejahtera”.
Peran serta pemerintah dalam hal perumahan tidak hanya ditunjukan
dengan adanya ketetapan MPR saja, pemerintah juga mewujudkan bukti nyata
dengan menyediakan perumahan, terutama ditujukan kepada masyarakat
menengah dan berpenghasilan rendah melalui pembangunan perumahan oleh
Perum Perumnas, pesatnya permintaan masyarakat akan perumahan jauh
melebihi kemampuan pemerintah melihat potensi dari pasar perumahan yang
sangat tinggi perusahaan swasta tumbuh menjamur guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan perumahan.
Tingginya permintaan akan rumah yang menjadikan semakin banyaknya
pengembang-pengembang
perumahan baru bermunculan, hal ini jelas
menguntungkan masyarakat yang dalam hal ini berperan sebagai konsumen
dalam menentukan kebutuhan tempat tinggal yang diharapkan selain itu juga
konsumen memiliki banyak pilihan jenis perumahan serta para pengembang
3
perumahan memberikan penawaran harga yang lebih bersaing dengan
kompetitor lainnya untuk menarik konsumen.
Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini konsumen tidak
lagi menuntut barang dan/ atau jasa harus sudah tersedia, misalnya perusahaan
pengembang (developer) perumahaan sudah bisa mengadakan transaksi terlebih
dahulu sebelum bangunannya jadi.2 Padahal dalam pasal 9 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 menyatakan
“Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang dan atau
jasa tersebut tersedia”.
Sebelum melaksanakan transaksi pembelian rumah, konsumen kerap kali
menjadikan iklan sebagai media untuk memperoleh informasi guna memperoleh
rumah yang sesuai kebutuhan dan kemampuan daya beli yang diinginkannya.
Besar pengharapan konsumen agar rumah yang telah dibelinya akan memiliki
kualitas, kemampuan, dan fasilitas seperti yang diinformasikan developer
melalui iklan.
Dalam tata krama dan tata cara periklanan Indonesia, dikatakan bahwa
periklanan merupakan salah satu sarana dalam pemasaran dan sarana
penerangan, yang memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa
indonesia. Sehubungan dengan itu :
1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku
2
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cet III , (Jakarta : SinarGrafika
2011), h.29
4
2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan atau merendahkan
martabat, agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan.
3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat.3
Pengharapan konsumen merupakan hal yang sangat wajar, mengingat
dalam proses transaksi pembelian tersebut, konsumen telah memberikan
kompensasi dana, waktu, tenaga dan pikiran, agar tidak terjebak dalam
memberikan keputusan yang salah dan berpotensi menimbulkan kerugian4.
Terhadap iklan perumahan yang dengan sengaja memuat informasi menyesatkan
dan hal itu dilakukan untuk memperoleh keuntungan, sepantasnya dikategorikan
sebagai kejahatan.5
Kewajiban oleh pembeli telah dilakukan mengenai pembayaran dan
kesanggupan pelunasannya dan kewajiban penjual telah dilakukan sampai
dengan tahap pembangunan rumah, namun ketika pembeli menempati rumah
yang diperjanjikan ternyata rumah yang dijanjikan tidak bisa digunakan
selayaknya dikarenakan bangunan rumah mengalami kecacatan misalnya pada
tembok, lantai dan pada atap yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan
kualitas yang perjanjikan. Dalam hal ini penjual dianggap melakukan
wanprestasi dengan tidak memenuhi kewajiban kesepakan bersama dalam
perjanjian jual beli. Dalam Pasal 134 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dinyatakan “Setiap orang
dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak sesuai
3
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlnidungan Konsumen, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000), h.42
4
Dedi Harianto, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang Menyesatkan,
(Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), h. 71
5
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, (Bandung : Citra Aditya, 1999), h. 46
5
dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum
yang diperjanjikan”.
Keputusan dari konsumen untuk melakukan transaksi terlebih dahulu
sebelum bangunan jadi memiliki resiko yang sangat besar. Upaya perlindungan
konsumen di Indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan
hak tetapi juga adanya perspepsi yang salah dikalangan sebagian produsen
bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap
produsen.6
Para konsumen merupakan golongan yang rentan dieksploitasi oleh
pelaku usaha. Karena itu, diperlukan seperangkat
aturan hukum untuk
melindungi konsumen. Yang dimaksud konsumen adalah “pengguna akhir” (end
user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.7
Pihak yang memiliki kedudukan lebih baik memiliki peluang besar
untuk melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandighegen).8
Dalam hal ini pihak developer lah sebagai pelaku usaha yang memiliki
kedudukan lebih baik dengan mendraft kontrak perjanjian jual beli rumah.
Sekalipun memiliki kedudukan lebih baik pihak developer sebagai
penjual juga mempunyai kewajiban terhadap pembeli, yaitu ada dua kewajiban
utama pihak penjual:
6
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum perlindungan Konsumen, h. 12
7
Munir Fuady. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, cet IV ,
(Bandung : Citra Aditya Bakti 2013), h. 227
8
Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandighegen) sebagai
Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian: Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992), h.5
6
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan.
b. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung
terhadap cacat yang tersembunyi.9
Mengenai kewajiban untuk menanggung cacat tersembunyi (“verborgen
gebreken”,“hidden defects”) dapat diterangkan bahwa si penjual diwajibkan
menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya yang
membuat barang tersebut tidak dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud
atau yang mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya si pembeli
mengetahui cacat tersebut, ia sama sekali tidak akan membeli barang itu atau
tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.10
Keputusan konsumen untuk membeli rumah tidak dapat dilepaskan dari
adanya suatu perjanjian jual beli yang terjadi antara konsumen dengan
pengembang perumahan, dan salah satu unsur yang terdapat dalam suatu
perjanjian adalah dengan adanya itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) kitab UndangUndang Hukum Perdata pasal menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik”.
Seorang pembeli rumah yang menyandarkan kontrak jual beli rumah di
harapan indah Bekasi dengan kepercayaan itikad baik dari pihak developer akan
membangun rumah yang diidam-idamkan sesuai dengan kontrak yang telah
disepakati nyatanya mendapatkan rumah yang tidak sesuai dengan perjanjian
yang tertera dalam isi kontrak, dalam hal ini konsumen yang berada dalam
posisi lebih lemah jelas menjadi pihak yang dirugikan dengan kenyataan rumah
yang tidak sesuai dengan kontrak.
9
Subekti, Aneka Perjanjian, Cet Kesepuluh, (Bandung: Pt Citra Aditya Bakti), 1995, h.8
10
Subekti, Aneka Perjanjian, h.19
7
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih mendalam mengenai pemasalahan perumahan yang
dalam kontraknya mengandung cacad yang tersembunyi khususnya mengenai
perlindungan konsumen yang dalam hal ini menjadi pihak yang lebih lemah dan
harus dilindungi terhadap cacad tersembunyi yang berada dirumah yang
dibelinya dari pihak developer.
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah penulis uraikan
di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan
judul: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KONTRAK JUAL BELI
RUMAH DI PERUMAHAN HARAPAN INDAH BEKASI
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat
cukup
luasnya
pembahasan
mengenai
perlindungan
konsumen, maka dalam penelitian skripsi ini penulis membatasi hanya
membahas
perlindungan konsumen dalam
bisnis
perumahan
yang
mengandung cacat tersembunyi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah yang
telah penulis uraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penulisan
skripsi ini adalah:
a. Apa saja bentuk perlindungan hukum yang dapat diperoleh konsumen
terhadap perumahan yang mengandung cacat tersembunyi menurut
undang-undang yang berlaku?
8
b. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen ketika
mendapatkan rumah yang mengandung cacat tersembunyi diperumahan
harapan indah Bekasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum untuk mengetahui mengenai konsep
pengaturan perlindungan konsumen dalam Pasal 4 huruf b dan h
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang dapat diperoleh
konsumen terhadap perumahan yang mengandung cacat tersembunyi
menurut undang-undang yang berlaku.
b. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
konsumen ketika mendapatkan rumah
yang mengandung cacat
tersembunyi diperumahan harapan indah Bekasi.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
wawasan
dibidang
pengetahuan
mengenai
hukum
perlindungan
konsumen khususnya berkaitan dengan jual beli perumahan yang
mengandung cacat tersembunyi.
b. Manfaat Praktis
9
Secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi para
konsumen dalam melakukan upaya hukum untuk memperoleh haknya
untuk memperoleh rumah yang sesuai dengan iklan dan kontrak yang
terdapat dalam pemasaran perumahan.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan
merupakan gejala yang diteliti tetapi merupakan abstrak dari gejala tersebut.
Gejala biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian
mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.11 Penulisan skripsi ini
menggunakan definisi operasional sebagai berikut :
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Konsumen
dalam penelitian ini adalah orang yang membeli perumahan.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan konsumen.12
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,
baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana,
dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 132.
12
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 5
10
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal
yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
Pengembang atau developer adalah perusahaan yang melakukan
kegiatan pengadaan dan pengelolaan tanah serta pengadaan bangunan dan/ atau
sarana dan prasarana dengan maksud dijual atau disewakan.13
Cacat tersembunyi adalah suatu cacat atau kerusakan pada suatu benda
yang tidak terlihat secara jelas atau seketika ditemukan cacat yang tidak tampak
oleh pembeli melalui pemeriksaan yang wajar.14
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Disini penelitian akan membahas judul proposal skripsi yang berjudul
“Perlindungan konsumen kontrak jual beli rumah di perumahan harapan indah
Bekasi” yang dimana focus bahasannya ialah bagaimana kasus cacat
tersembunyi ini terjadi dilihat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Dari perjalanan peneliti mereview kasus ini, penulis mendapatkan ide penulisan
dan bahasan yang akan dibahas dari buku-buku, artikel di internet dan juga
membaca jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan kasus ini, adapun peneliti
merujuk dari buku Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yang berjudul “Hukum
Perlindungan Konsumen” dimana didalam buku itu dijelaskan bahwa konsumen
berhak untuk mengetahui secara jelas mengenai produk yang dibelinya.
Sebagai bahan pertimbangan lain dalam peneilitian ini, penulis
menyertakan hasil peneilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian
13
www.kamusbesar.com di unduh pada 23 Februari 2015
14
www.kamusbesar.com di unduh pada 23 Februari 2015
11
materi, yaitu skripsi yang disusun oleh Seto Darminto dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Tahun 2012, dengan Judul Perlindungan Hukum bagi
pembeli dalam Penjualan Satuan Pre Procet selling (Studi Kasus: Apartement
Duku Golf (PT. Magacity Development)). Penelitian ini difokuskan pada
Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB) pada pembelian apartement. Sebagai
Pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat penulis adalah
cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai Kontrak yang
diperjanjikan antara pihak konsumen dengan pelaku usaha yang menjadikan
kontrak namun dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan kontrak.
Untuk bahan pertimbangan lain juga penulis dalam hal ini menyertakan
hasil penelitian terdahulu sebagai bahan pertimbangan tinjauan kajian materil,
yaitu skripsi yang disusun oleh Fanny Amalul Arifin dari Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013, dengan Judul Tanggung Jawab
Developer Yang Wanprestasi Dalam Kontrak Jual Beli Rumah dan Hubungan
Hukumnya Dengan Perlindungan Konsumen (Studi PT.DLM Surabaya). Dalam
penelitian ini difokuskan pada upaya pertanggung jawaban developer yang
dituntut oleh konsumen karena spesifikasi bangunan yang diterimanya tidak
sesuai dengan isi perjanjian yang tertuang dalam perjanjian pengikat jual beli
yang telah disepakati kedua belah pihak. Sebagai pertimbangan sekaligus
pembeda penelitian yang akan diangkat penulis adalah cakupan pembahasan
skripsi yang lebih fokus bentuk tanggung jawab yang diterima oleh konsumen
dan bagaimana upaya tuntutan konsumen perumahan mengenai isi kontrak yang
sesuai dengan keinginan konsumen.
F. Metode Penelitian
12
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten.Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.15Sedangkan
menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan
know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar knowabout. Sebagai kegiatan know-how peneilitian hukum dilakukan untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis
masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah
tersebut.16
Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. Sifat dari penelitian ini adalah
deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat
teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
15
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press), h. 42.
16
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group), h. 60.
13
2. Pendekatan yang dipakai
Sehubungan dengan penelitian ini yang menggunakan penelitian yuridis
normatif (legal research), yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada
norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan serta
norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut
kebiasaan yang berlaku di masyarakat.17 Pendekatan Perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
3. Bahan dan Sumber Penelitian
Bahan hukum dan sumber penelitian dalam penelitian ini ada tiga jenis,
yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencangkup
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
mempunyai kekuasaan hukum mengikat.18 Bahan Dalam penelitian ini
yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No.8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang
No.1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peran dan Penggunaan Kepustakaan Di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia), 1979, h. 18
18
Soerjono Soekanto,
Indonesia,1986), Cet.III, h. 52
Pengantar penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
14
hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.
c. Bahan non-hukum
Bahan non-hukum merupakan bahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti
Kamus Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku
yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, wawancara dengan pihak
terkait dalam penelitian ini peraturan perundang-undangan dan pendapat
sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari
internet.
5. Metode Penulisan dan Metode Pengelolahan Data
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis alat pengumpulan data, yaitu
studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara atau interview.19 Penulis
mencoba menggabungkan kedua alat pengumpulan data tersebut dalam
menganalisis suatu kasus yang hendak dilakukan penelitian. Studi dokumen
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), h.21
15
merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data
tertulis dengan mempergunakan ”content analysys”, sedangkan wawancara
digunakan oleh Penulis sebagai deskripsi tambahan dengan mengeksplorasi
dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, misalnya pihak developer
dan pihak konsumen.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan disusun dengan sistematik yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih menjelaskan
ruang lingkup dan cangkupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan
letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan
Diuraikan tentang latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review)
Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perlindungan Konsumen
Bab ini membahas pengertian dan Sejarah Perlindungan
Konsumen di Indonesia, Asas dan Tujuan Perlindungan
Konsumen, Perkembangan Peraturan perlindungan Konsumen di
Indonesia
Undang-Undang No. 8
Perlindungan Konsumen,
Tahun
1999 Tentang
16
BAB III
Tinjauan Umum Mengenai Praktek Bisnis Perumahan ditinjau
dari Undang-Undang No 1 Tahun 2011
Bab ini membahas
Tinjauan Umum Bisnis Perumahan,
Persyaratan Pendirian Perumahan, Kegiatan Usaha Bisnis
Perumahan, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bidang
Perumahan dan Permukiman, Tanggung Jawab Pengembang
(developer) sebagai pelaku usaha Bisnis Properti.
BAB IV
Merupakan bab inti
Bab ini membahas bagaimana bentuk perlindungan konsumen
yang didapat dalam kontrak jual beli di perumahan harapan indah
Bekasi dilihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 1
tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
terkait
tentang
cacat
tersembunyi
terhadap
perlindungan
konsumen.
BAB V
Penutup
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk
itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian,dan
memberikan usulan-usulan mengenai permasalahan yang telah di
bahas dalam penulisan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam
pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyatakan Perlindungan Konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/ jasa
kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.1
Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan
perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.
Secara umum ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu2
1. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right to safety)
2. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to informed)
3. Hak untuk memilih ( the right to choose)
4. Hak untuk didengar ( the right to be heard)
1
Az. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Jurnal Teropong, Mei 2003,
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia), h. 6-7
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Grasindo, 2000), h 16- 27
17
18
Empat
hak
dasar
yang
diakui
secara
internasional
dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam
The International Organization of Consumer Union ( IOCU )
menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan
konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.3
Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Di dalam
perpustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari
suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu
produksi lainnya. Oleh karena itu, pengertian yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.4
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang
berstatus pemakai barang dan atau/ jasa. Istilah “orang” sebetulnya
menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut
naturlike persoon atau termasuk juga badan hukum rechtpersoon. Hal ini
3
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, cet III ,(Jakarta : Sinar
Grafika 2011), h. 31
4
Elsi Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,
2005), h. 120
19
berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk ”pelaku usaha” dalam
pasal 1 angka (3), “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.” Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, korporasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lainnya.
Secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon, dengan
menyebutkan kata-kata “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu
yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada
orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencangkup juga badan
usaha dengan makna lebih luas dari pada badan hukum.5
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampaknya berusaha
menghindari
penggunaan
kata
“produsen”
sebagai
lawan
kata
“konsumen”. Untuk itu digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna
lebih luas. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap
bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang
memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada
produk, menjadikan dirinya sebagai produsen.6
5
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 27
6
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 9
20
Pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No 8 Tahun 1999 yang berarti luas dengan menyatakan pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan hukum
akan
memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian, dengan tidak begitu
kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak
pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik seandainya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam
Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan
kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan ketika ia dirugikan akibat
penggunaan produk7
B. Sejarah Lahirnya Perlindungan Konsumen
Pesatnya kemajuan bidang ilmu pengetahuan, pembangunan dan
perkembangan
perekonomian
pertumbuhan
nilai
ekonomi
dunia
juga
Indonesia.
turut
mengembangkan
Kemajuan
teknologi
telekomunikasi, dan informatika juga turut mendukung perluasan ruang
gerak transaksi barang dan jasa hingga melintas batas-batas wilayah suatu
negara. Kondisi ini pada satu sisi sangat bermanfaat bagi kepentingan
konsumen karena kebutuhannya akan barang dan jasa yang diinginkannya
dapat terpenuhi dan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan keperluannya.
7
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi konsumen di Indonesia,
Disertasi, (Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000), h. 31
21
Sisi lain kondisi tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, karena posisi konsumen
yang lebih lemah, revolusi industri di Inggris yang dimulai abad ke-18
kiranya dapat dianggap sebagai awal dari proses perubahan pola
kehidupan masyarakat yang semula merupakan masyarakat agraris
menjadi masyarakat industri. Berkembangan dan semakin majunya
teknologi kemudian mendorong pula peningkatan volume produksi barang
dan jasa. Perkembangan ini juga mengubah hubungan antara penyedia
produk dan pemakai produk yang semakin berjarak. Produk barang dan
jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin
lama semakin canggih, sehingga timbul kesenjangan terhadap kebenaran
informasi dan daya tanggap konsumen. Kondisi tersebut kemudian
menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.8
Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia barat,
negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan
tentang perlindungan konsumen sejak lama memiliki peraturan tentang
perlindungan konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB pun tidak kurang
perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/ 248 Tahun 1985. Dalam
resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi9
8
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4
Erman Rajagukguk, makalah “Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era
Perdagangan Bebas”, dalam buku Hukum perlindungan Konsumen, penyunting Husni Syawali dan
Neni Sri Imaniyati, Bandung: Mandar Maju, 2000, h.1
9
22
a.
Pelindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanan
b.
Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen
c.
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang
tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi
d.
Pendidikan konsumen
e.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif
f.
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen
Filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik
Indonesia yaitu pancasila, yang salah satu silanya mengatur mengenai
“Kesejahteraan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dalam arti memberi
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, tepat kiranya jika grand theory dari pemikiran ini adalah teori
keadilan, yang semula dikemukakan oleh filsuf Aristoteles10, karena
semula dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah
untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat
konsumen.11
10
Aristoteles: Justice is a political virtue by the rules of it the state is regulated and these
rules the criterion of what right. (Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya
menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang hak).
11
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 32
23
Keadilan prosedural yang menghasilkan legal justice, tidak hanya
tidak memadai melainkan bisa menjauhkan hukum dari tujuan mulianya
sendiri yakni menegakan keadilan bagi semua orang (bukan bagi hukum
itu sendiri) dalam masyarakat12. Sebagai negara hukum Indonesia
mempunyai keharusan untuk terus menegakan konsep negara hukum itu
sendiri dengan menegakan supremacy of law dengan memberikan keadilan
yang seadil-adilnya bagi setiap warga negara Indonesia. Sesuai dengan
pesan dari para founding father kita yang merumuskan dalam sila kelima
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Pesan yang ingin disampaikan oleh Presiden pertama Republik
Indonesia, yaitu Ir.Soekarno, bahwa Pancasila tidak lain merupakan jiwa
bangsa, intisari dari peradaban bangsa Indonesia, landasan filsafat, dan
weltanschauung dari bangsa Indonesia.13
Filsuf besar yaitu Plato menulis pada buku yang berjudul Republic.
Yang paling pertama diperbincangkan Plato dalam bukunya tersebut
adalah masalah makna dari keadilan yang oleh Plato disebutnya
dengan istilah Yunani “diskaiosune”. Sebenarnya istilah diskaiosune
ini memiliki arti yang lebih luas dari “keadilan”, karena termasuk juga
didalamnya konsep moralitas individual dan moralitas sosial. Menurut
Plato, keadilan kepada setiap orang, karena itu konsep diskaiosune
tersebut tersimpul juga makna berbuat kebaikan (doing right). Akan
12
Ahmad Sudiro, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan Internasional), (Jakarta, raja
Grafindo, 2013), h. 133
13
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
(Jakarta, Gatra Pustaka), h. 28
24
tetapi, karena konsep kesenjangan tersebut berbeda-beda bahkan saling
bertentangan antara satu warga masyarakat dengan warga masyarakat
lainnya, maka konsep keadilan sejatinya tidak lain dari berbagai
formula untuk merumuskan kompromi-kompromi.14
C. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam
terbentuknya suatu peraturan adalah Asas. Asas dapat berarti dasar,
landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu
dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak
menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga
disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berpikir tentang sesuatu.
Asas dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 menurut pasal 2 berbunyi “Perlindungan Konsumen
berasaskan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan,
keamanan,
dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Penjelasan dari bunyi
pasal ini, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha
bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan
nasional, yaitu :
14
Munir Fuady, Perlindunagan Pemegang Saham Minoritas, (Bandung, CV Utomo,
2005), h .17
25
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan,
dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen
dalam penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 tersebut, bila
diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 asas yaitu15:
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas kesamaan dan
keselamatan konsumen
15
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 26
26
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. Asas kepastian hukum.
Disamping asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah
tujuan. Tujuan adalah sasaran. Tujuan adalah cita-cita. Tujuan lebih
dari hanya sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan
yang jelas. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan sebuah
keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah
maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas. Dan
salah satu tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian
hukum dalam masyarakat yang bersendikan pada keadilan.
Adapun tujuan perlindungan konsumen pada pasal 3 UndangUndang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 bertujuan untuk:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c.
meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
27
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
Semua yang menjadi landasan dasar dari lahirnya Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
pada
hakikatnya
telah
memberikan
kesetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku usaha, tetapi konsep
perlindungan konsumen sebagai suatu kebutuhan harus senantiasa
disosialisasikan untuk menciptakan hubungan konsumen dan pelaku
usaha dengan prinsip kesejahteraan yang berkeadilan, dan untuk
mengimbangi kegiatan pelaku usaha yang menjalankan prinsip
ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin
dengan modal seminimal mungkin yang dapat merugikan kepentingan
konsumen, langsung maupun tidak langsung.
D. Perkembangan Pengaturan Perlindungan Konsumen
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk eksportimport dan penanaman modal. Kini transaksi bisnis menjadi beraneka
ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli,
alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lainlain globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan
pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati
28
batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini
dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi ekonomi.16
Globalisasi adalah gerakan perluasan pasar, dan di semua pasar
yang berdasarkan persaingan, selalu ada yang menang dan kalah.
Perdagangan bebas juga menambah kesenjangan antara negara maju dan
negara berkembang, yang akan membawa akibat pada komposisi
masyarakat dan kondisi kehidupan mereka. Tiadanya perlindungan
konsumen adalah sebagian dari gejala negeri yang kalah dalam
perdagangan bebas.17
Makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi
penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa
yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Untuk
mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau
tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan
dampaknya.
Dengan
demikian,
upaya-upaya
untuk
memberikan
perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan
suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya,
terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan
yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era
perdagangan bebas yang akan datang.
16
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 4
17
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 5
29
Dalam sambutannya Guru Besar Universitas Indonesia, Erman
Rajagukguk18 menjelaskan bahwa di Indonesia untuk pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan pendapatan dapat dilaksanakan dalam waktu
bersamaan, apabila kita ingin tiga tingkat pembangunan dijalani secara
serentak, budaya hukum Indonesia harus dapat mengakomodasi tujuantujuan yang demikian itu. Kita harus memiliki hukum, institusi hukum dan
profesi hukum, yang mampu menjaga integrasi dan persatuan nasional,
dapat mendorong pertumbuhan perdagangan dan industri, serta berfungsi
memajukan keadilan sosial, kesejahteraan manusia, pembagian yang adil
atas hak dan keistimewaan, tugas dan beban. Persatuan nasional,
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial mesti dapat tercermin
dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan pembaruan hukum,
institusi hukum, dan profesi hukum. Pembangunan yang komperhensif
harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, keduanya tidak dalam posisi
yang berlawanan dan dengan demikian pembangunan akan mampu
menarik partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi bertambah penting karena
bangsa kita berada dalam era globalisasi, artinya harus bersaing dengan
bangsa-bangsa lain.
Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di
Indonesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni
18
Erman Rajagukguk, Peran Hukum dalam Pembangunan pada Era Globalisasi:
Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, pidato pengukuhan jabatan Guru besar UI, 4
januari 1997, dalam buku nyanyi sunyi kemerdekaan Erman Rajagukguk (Tetes-Tetes pemikiran
1971-2006), Jakarta: Fakultas Hukum UI, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006, h. 158
30
dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat (nongoverment
organization) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), setelah YLKI kemudian muncul beberapa organisasi serupa,
antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di
Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990
bergabung sebagai anggota Consumers International (CI). Di luar itu,
dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa berorientasi
pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Bina Konsumen
Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI diberbagai provinsi
ditanah air.19
YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang
diketuai
oleh
Lasmidjah
Hardi,
yang
semula
justru
bertujuan
mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang bernama
Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan
wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini
dituangkan dalam anggaran dasar yayasan dihadapan notaris G.H.S.
Loemban Tobing, S.H. dengan akta nomor 26, 11 Mei 1973.20
Didalam segala aktifitasnya Yayasan
Lembaga Konsumen
Indonesia bertindak dalam kepastianya selaku perwakilan konsumen,
keberadaan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga sangat
membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atsa hak-hak konsumen.
Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian,
19
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,h. 40-43
20
Celiana Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, h. 15
31
penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan
upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.
Diluar
pengadilan
umum
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan
dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha diluar peradilan, berdasarkan
pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No Tahun 1999
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa atara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum”. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah
Pengadilan khusus konsumen (Small claim court) yang sangat diharapkan
dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan
cepat, sederhana dan murah. Mekanisme gugatan dilakukan secara
sukarela dan kedua belah pihak yang bersengketa, hal ini berlaku untuk
gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class
action) dilakukan melalui peradilan umum. Dengan demikian, BPSK
hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan
dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga
(pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan.
Putusan dari BPSK tidak dapat dibanding kecuali bertentangan dengan
32
hukum yang berlaku.21 Dalam UUPK Bab XI- Bab XIII membahas secara
khusus dari pasal 49-63 tentang segala macam aturan dari BPSK.
21
Mariam Gaharpun, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Korban Atas Tindakan
Pelaku Usaha, (Jurnal Yustika, Vol.3 No. 1 Juli 2000), h. 43
BAB III
PRAKTEK BISNIS PERUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1
TAHUN 2011
A. Tinjauan Umum Bisnis Perumahan
Mengingat makin tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional,
kebutuhan akan perumahan semakin meningkat dari tahun ke tahun, hal ini
dapat kita lihat dengan makin banyaknya perumahan baru yang
bermunculnya di wilayah baik yang sedang berkembang atau telah
mengalami kemajuan yang pesat.
Rumusan mengenai pengertian
perumahan sendiri pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Permukiman adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari
permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah
yang layak huni.
Dalam banyak istilah rumah lebih digambarkan sebagai sesuatu yang
bersifat fisik atau bangunan untuk tempat tinggal / bangunan pada umumnya
(seperti gedung dan sebagainya). Jika ditinjau secara lebih dalam rumah
tidak sekedar bangunan melainkan konteks sosial dari kehidupan keluarga
dimana manusia saling mencintai dan berbagi dengan orang-orang
terdekatnya.1
Dalam pandangan ini rumah lebih merupakan suatu sistem sosial
ketimbang sistem fisik. Hal ini disebabkan karena rumah berkaitan erat
1
Aminudin, Peran Rumah Dalam Kehidupan Manusia, Kanisius,(Semarang, 2007), h. 12
33
34
dengan manusia, yang memiliki tradisi sosial, perilaku dan keinginankeinginan yang berbeda dan selalu bersifat dinamis, karenanya rumah
bersifat kompleks dalam mengakomodasi konsep dalam diri manusia dan
kehidupannya. Beberapa konsep tentang rumah:
1.
Rumah sebagai pengejawantahan jati diri; rumah sebagai simbol dan
pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya
Rumah sebagai wadah keakraban ; rasa memiliki, rasa kebersamaan,
2.
kehangatan, kasih dan rasa aman
3.
Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi ; tempat melepaskan
diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin
4.
Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah merupakan tempat
kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam
untaian proses ke masa depan
5.
Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari
6.
Rumah sebagai pusat jaringan sosial
7.
Rumah sebagai struktur fisik.2
Tingginya pertumbuhan penduduk kota-kota di Indonesia berasal dari
pergeseran konsentrasi dari desa ke kota, hal ini menunjukan
kecenderungan yang tinggi tumbuhnya kota-kota di Indonesia. Sayangnya
terjadi keadaan yang tidak sesuai antara tingkat kemampuan dengan
kebutuhan sumber daya manusia untuk lapangan kerja yang ada
diperkotaan, mengakibatan timbulnya kelas sosial didalam masyarakat.
2
Hendrawan, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, (Rineke Cipta,
Jakarta, 2004), h. 54
35
Berbagai program pengadaan perumahan telah dilakukan oleh pemerintah
dan swasta (real estat), tetapi apa yang dilakukan masih belum mencukupi,
baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari segi jumlah ternyata
pemerintah dan swasta hanya mampu menyediakan lebih kurang 10% saja
dari kebutuhan rumah, sementara sisanya dibangun sendiri oleh
masyarakat. Dari segi kualitas banyak pihak yang berpendapat bahwa
program yang ada belum menyentuh secara holistik dimensi sosial
masyarakat, sehingga masih perlu diupayakan perbaikan-perbaikan.3
Dalam pendekatan teknis, perumahan yang berorientasi terhadap kepuasan
penghuni harus memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Struktur dan konstruksi rumah yang cukup kuat dan aman.
b. Material bangunan yang menjamin terciptanya kenyamanan dan
kesehatan di dalam rumah.
c. Prasarana/infrastruktur yang memenuhi standar kenyamanan,
kesehatan dan keamanan lingkungan.4
Pada Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Kawasan
Permukiman
Penyelenggaraan
perumahan
dan
kawasan
permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan,
dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang
terkoordinasi dan terpadu. Penyelengaraan bisnis perumahan dilakukan
3
Widyaningsih, Beberapa Pokok Pikiran Tentang Perumahan, (Tarsito, Bandung, 2006),
h. 15
4
Zulfie Syarief, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan Permukiman bagi
Masyarakat Berpendapatan Rendah, (USU Press, Medan, 2000), h. 9
36
untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar
manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat,
menurut ketentuan Pasal 19 UU No. 1 Tahun 2011 pengadaan pembangunan
atau penyelenggaraan rumah dan perumahan tersebut dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak
setiap warga negara untuk menempati, menikmati dan memiliki rumah yang
layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Penyelenggaraan
perumahan meliputi: a) perencanaan perumahan, b) pembangunan perumahan, c)
pemanfaatan perumahan, dan d) pengendalian perumahan. Perumahan tersebut
mencakup rumah atau perumahan beserta prasarana, dan sarana umum.
Jenis rumah berdasarkan pelaku pembangunan dan hunian meliputi jenis
rumah komersial, rumah umum, rumah swadaya, rumah khusus dan rumah
negara. Jenis rumah dalam bisnis perumahan digolongkan kedalam rumah
komersial yang selenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
B. Persyaratan Pendirian Perumahan
Untuk membuat adanya suatu keharmonisan dalam bisnis perumahan para
pengembang atau developer harus memenuhi beberapa persyaratan dalam
mendirkan perumahan, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Pertama
37
Pastikan tanah yang dikelola menjadi perumahan merupakan tanah yang
tidak melanggar Rencana Tata Ruang Kota supaya tidak ada kerumitan
dalam melakukan proses perijinan. Lakukan juga pengecekan Rencana
Tata Ruang kota untuk memastikan akan dijadikan apa lahan tersebut
dalam perencanaan tata ruang kota, semisal lokasi yang dipilih akan
dijadikan pemukiman maka dapat dilanjutkan propses pengajuan perijinan
pendirian perumahan. Pemilihan lokasi perumahan bisa melalui langkah
“pendomplengan” lokasi yang telah banyak perumahan. Hal ini dinilai
lebih menjanjikan dalam berinvestasi, akan tetapi harga tanahnya juga jauh
lebih mahal.
2. Tahap Kedua
Pada tahap kedua ini dilanjutkan dengan mengurus izin ke Dinas
Pekerjaan Umum serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Izin
pertama yang harus diurus adalah Advice Planning. Pada tiap instansi
memiliki nama yang berbeda untuk jenis perizinan „Advice Planning‟, izin
Advice Planning berguna untuk kesesuaian antara tata ruang di lokasi yang
dituju dengan Site Plan pengembangan. Beberapa berkas yang wajib
disediakan untuk mengurus izin tersebut antara lain adalah proposal izin
pemanfaatan ruang yang memuat segala aspek yang menyangkut
perencanaan lokasi yang dilampiri dengan sertifikat tanah dan apabila
tanah masih menggunakan nama orang lain harus dicantumkan surat kuasa
bermaterai yang juga dilengkapi dengan Site Plan. Produk izin berupa
gambar rekomendasi Advise Planning yang memuat garis besar aturan-
38
aturan pembangunan serta Surat Keputusan atau Izin Prinsip yang
disetujui Bupati atau Walikota. Pada beberapa daerah perijinan ini hanya
untuk lahan dengan luas lebih dari 1 Ha, akan tetapi pada beberapa daerah
lain ada juga yang tidak mempunyai batas luas lahan. Pada umumnya lebih
dari lima rumah telah dianggap sebagai perumahan.
3. Tahap Ketiga
Tahap ketiga dilaksanakan di Badan Pertanahan Negara. Langkah awalnya
adalah melakukan pengecekan sertifikat serta pengecekan patok pembatas.
Memastikan bahwa status yang disyaratkan untuk lahan adalah HGB (Hak
Guna Bangunan), ini berarti lokasi yang akan digunakan menggunakan
nama perusahaan atau PT yang bersangkutan dan dapat juga dikavling atas
nama masing-masing individu. Pada setiap proses perizinan akan selalu
muncul retribusi dan pajak perizinan, akan tetapi besar kemungkinan pada
tiap daerah akan memiliki prosedur yang berbeda. Setelah proses perijinan
legalitas clear dilanjutkan dengan mengurus Izin Perubahan Penggunaan
Tanah. Ini merupakan langkah awal pengajuan Izin Mendirikan Bangunan.
4. Tahap Keempat
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), Pada umumnya
Amdal berlaku untuk lokasi dengan luas lahan > 1 Ha, jika luas lahan
kurang dari 1 Ha cukup dengan mengurus ijin UKL (Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup) atau / UPL (Upaya Pemanfaatan Lingkungan Hidup).
Proses awal dari tahap keempat ini mengharuskan pengecekan kadar air
tanah dan proposal mengenai kelebihan dan dampak yang ditimbulkan dari
39
proyek yang akan dilaksanakan. Produk dari perijinan ini berupa surat
rekomendasi dari kantor KLH yang selanjutnya dilampirkan dalam
pengajuan IMB.
5. Tahap Kelima
Pada tahap kelima adalah melakukan pengajuan IMB sekaligus
pengesahan Site Plan Perumahan (zoning) ke kantor Perijinan Satu Atap
atau kantor 16 Perizinan Terpadu. Syarat pengajuan IMB terdiri atas
akumulasi perizinan-perizinan yang telah diurus sebelum memasuki tahap
ke lima ini. Jika seluruh syarat telah terlampir, hanya tinggal menunggu
keluarnya ijin serta membayar retribusi yang nominalnya disesuaikan
dengan luas tanah dan bangunan.5
C. KEGIATAN USAHA BISNIS PERUMAHAN
Bisnis perumahan adalah kegiatan pertukaran barang, jasa atau
uang yang berkaitan dengan lahan dan bangunan hunian. Secara umum
jenis investasi dibidang properti dapat dikategorikan dalam beberapa
jenis, antara lain adalah lahan (tanah), hunian (residensial), serta jenis
bangunan untuk perdagangan (komersial). jenis investasi hunian
(residensial) adalah terkait dengan jual beli hunian atau/ rumah yang
sudah terbangun, dimana kondisi dari lingkungan yang disediakan lebih
5
Eko Budiharjo, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan, (Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 1998), h. 12.
40
lengkap prasarana dan sarananya termasuk adanya fasilitas umum dan
fasilitas sosial yang telah ditetapkan dalam site plannya.6
Pada pasal 3 Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan
Permukiman menyatakan bahwa Perumahan dan Kawasan Permukiman
diselenggarakan untuk;
a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman;
b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran
penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan
hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk
mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR;
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi
pembangunan perumahan dengan tetap
d. Memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan
perkotaan maupun kawasan perdesaan;
e. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman;
f. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya;
dan
g. Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana,
terpadu, dan berkelanjutan.
6
http://www.sarjanaku.com/2013/04/pengertian-bisnis-properti-tujuan.html , diakses
pada Selasa, 19 Mei 2015.
41
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bidang Perumahan dan
Permukiman
Mengenai hubungan pelaku usaha dan konsumen kedua belah
pihak memiliki hak dan kewajiban, khususnya telah diatur dalam Pasal
129 dan 130 Undang-Undang No 1 Tahun 2011
Dan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman,
setiap orang berhak:
a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah
yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman;
d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman;
e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami
secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman; dan
f. mengajukan
penyelenggaraan
gugatan
perwakilan
perumahan
dan
ke
kawasan
pengadilan
terhadap
permukiman
yang
merugikan masyarakat.
Dan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman,
setiap orang wajib:
42
a. menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di
perumahan dan kawasan permukiman;
b. turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang
lain dan/atau kepentingan umum;
c. menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan,
dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan
permukiman; dan
d. mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan
utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.
Selain adanya hak dan kewajiban dalam Undang-Undang No 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman terdapat
juga tentang pelarang, tepatnya pada pasal 134 yang menyatakan
“Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan,
yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi,
persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan”.
E. Tanggung Jawab Pengembang (Developer) Sebagai Pelaku Usaha
Bisnis Perumahan
Disamping adanya kewajiban dan hak ada satu lagi yang perlu
diperhatikan oleh pengembang yaitu tanggung jawab (Responsibility)
yang harus dipikul oleh pengembang / pelaku usaha sebagai bagian dari
kewajiban yang mengikat kegiatan dalam berusaha. Sehingga diharapkan
43
adanya kewajiban dari developer untuk selalu bersikap hati-hati dalam
menjanjikan rumah yang dijualnya.
Tanggung jawab (Responsibility) dapat didefinisikan sebagai suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan
suatu produk. Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari
prinnsip-prinsip suatu tanggung jawab, karena prinsip tentang tanggung
jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan
konsumen.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan yaitu:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault),
yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Presumption of
liabilty) yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu bertanggung
jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa dia tidak bersalah, jadi
beban pebuktian ada pada tergugat.
3. Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab (Preseumption of
nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga
untuk selalu bertanggung jawab. Dimana tergugat selalu dianggap tidak
bertanggung jawab sampai dibuktukan bahwa ia bersalah.
44
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (Script liability), dalam prinsip ini
menetapkan keslagan tidak sebagai faktor penentu namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab.
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability)
dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh
secara sepihak menentukan klausa yang merugikan konsumen, termasuk
membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka
harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.7
Jika dicermati sebenarnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengadopsi konsep tanggung jawab.
Dalam pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen disebutkan
bahwa:
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang diderita konsumen akibat
mengkonsumsi barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
Pasal 28 UU Perlindungan Konsumen menyatakan:
“Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur dalam gugatan ganti
rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23,
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
Lebih lanjut apabila membicarakan mengenai tanggung jawab developer
maka hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab moral developer kepada
7
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Grasindo, Jakarta, 2000), h. 58
45
konsumennya. Pada umumnya developer yang bernaung dalam Persatuan
Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) memiliki tanggung jawab moral
terhadap konsumen. Tanggung jawab moral developer ini terangkum dalam
kode etik Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia yang dikenal dengan
“Sapta Brata”. Adapun isi dari Sapta Brata adalahal sebagai berikut:
1. Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya
senantiasa berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya
senantiasa mentaati segala undang-undang maupun peraturan yang berlaku
di Indonesia.
3. Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya,
senantiasa menjaga keselarasan antara kepentingan usahanya dengan
kepentingan pembangunan bangsa dan negara.
4. Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya,
senantiasa menempatkan dirinya sebagai perusahaan swasta nasional yang
bertanggung jawab, menghormati dan menghargai profesi usaha real estate
dan menjunjung tinggi rasa keadilan, kebenaran dan kejujuran.
5. Anggota Real Estate dalam melaksanakan usahanya, senantiasa
menjunjung tinggi AD/ART Real Estate Indonesia serta memegang teguh
disiplin dan solidaritas organisasi.
46
6. Anggota Real Estate dalam melaksanakan usahanya, dengan sesama
pengusaha senantiasa saling menghormati, menghargai, dan saling
membantu serta menghindarkan diri dari persaingan yang tidak sehat.
7. Anggota Real Estate Indonesia dalam melaksanakan usahanya,
senantiasa memberikan pelayanan pada masyarakat dengan sebaikbaiknya.8
8
AD/ART Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia
BAB IV
ANALISIS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM KONTRAK JUAL
BELI RUMAH DI HARAPAN INDAH BEKASI
A. Tinjaun Umum Pejanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber dari adanya perikatan,
perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada
salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata Perjanjian didefinsikan sebagai: ”Perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan
tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu
perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak
yang wajib berprestasi dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak
atas prestasi tersebut.1
Perihal prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
melakukan perikatan firman Allah SWT juga mengatur dalam QS AlMaidah ayat 1:
‫يا أَُيهَا انَذيٍَ آ َيُُىا أَوْفُىا بِانْ ُعقُى ِد أُحِهَتْ نَ ُكىْ بَهيًَةُ انْ َأَْعاوِ ِإّالَ يا ُيتْهى‬
ُ‫ٌ انهَ َه يَحْ ُكىُ يا يُزيد‬
َ ِ‫حزُوٌ إ‬
ُ ْ‫ّصيْ ِد َو َأَْتُى‬
َ ‫عَهيْ ُكىْ غَيْ َز يُحِهِي ان‬
َ
1
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,
(Rajawali Pers, Jakarta, 2004), h. 92
47
48
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad
itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”(QS AlMaidah ayat 3 )
Pada ayat ini menjelaskan tentang keharusan memenuhi akad
atau janji. Dimana dengan akad seseorang sudah terikat dengan
perjanjiannya baik itu antara seseorang dengan Allah maupun antara
seseorang
dengan
hamba-hambanya
(makhluk
lainnya).
Allah
menghalalkan setiap akad yang sesuai dengan ketentuan-Nya, tetapi
selain itu Allah mengharamkan segala bentuk akad yang tidak sesuai
dengan syariah islam dan ketentuan Allah. Menurut Islam seorang
muslim harus komitmen dengan perjanjian yang dilakukannya.
Fungsi utama suatu kontrak dalam hukum positif adalah untuk
memberikan kepastian tentang mengikatnya suatu perjanjian antara
para pihak, sehingga prinsip-prinsip itikad baik dalam sistem hukum
civil law dan promissory estoppel,2 dalam sistem hukum common law
hanya dapat diberlakukan jika perjanjian sudah memenuhi syarat
sahnya perjanjian.3
Dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka untuk mengikat dirinya
2
Salah satu doktrin hukum yang mencegah seseorang untuk menarik kembali janjinya
3
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, (Kencana, Jakarta, 2004), h. 20
49
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halal
Empat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang digolongkan kedalam dua bagian
1. Unsur subyektif, yaitu unsur pertama dan kedua yang menjadi
unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang mengadakan
perjanjian.
2. Unsur obyektif, yaitu unsur ketiga dan keempat yang menjadi
unsur pokok yang langsung dengan obyek perjanjian.
Unsur subyektif mencangkup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan
perjanjian.
Sedangkan
unsur
obyektif
meliputi
keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang
diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang
disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum.4
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal dengan
adanya tiga unsur dalam perjanjian:
a. Unsur esensialia
b. Unsur naturalia
c. Unsur aksidenttalia
4
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, h. 94
50
Pada hakikatnya ketiga macam unsur dalam perjanjian tersebut
merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur pada
pasal 1320 dan Pasal 1339 B.W. Rumusan dari pasal 1339 menyatakan
bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan dalam kontrak melainkan juga segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau
undang-undang”.
Dalam kontrak unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam
suatu kontrak setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.
Misalnya dalam dalam perjanjian yang mengandung esensialia jual beli,
pasti terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk
menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi.
Ketentuan ini tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak, karena sifat
jual beli menghendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan
mentolelir suatu bentuk jual beli dimana penjual tidak mau menanggung
cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya.5
Dalam hukum kontrak dikenal dengan lima asas penting, yaitu:6
1. Asas kebebasan berkontrak
2. Asas konsensualisme
3. Asas pacta sunt servanda
4. Asas itikad baik
5
6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, h. 89
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2004), h. 9-12
51
5. Asas kepribadian (personalitas)
B. Analisis Akta Notaris Pengikat Jual Beli Perumahan di Harapan
Indah Bekasi
Dalam kontrak juall beli ini dibuat dihadapan Notaris HJ. Tuti
Alawiyah, S.H yang beralamat diruko naga swalayan blok A No. 2 Jl Raya
Sultan Agung Km 27 Medan Satria, Bekasi, dibuat tanggal 21 Desember
2012. Dengan pihak pertama diwakili direksi untuk dan atas nama
Persoroan Terbatas dari PT. Duta Bumi Adipratama, dan pihak kedua oleh
Tuan Lenarki Latupeirissa. M.H selaku Pembeli. Bahwa untuk proyek
tersebut pihak pertama telah mendirikan telah mendirikan sebuah
bangunan diatas tanah Hak Guna Bangunan yang akan dijual kepada calon
pembeli baik secara tunai, pembayaran bertahap atau lembaga non Bank.
Bangunan seluas 160 m2 yang terletak di Propinsi Jawa Barat, Kabupaten
Bekasi,
Kecamatan
Tarumajaya,
Desa
Pusaka
Rakyat.
Sesuai
peruntuannya sebagai rumah tinggal yang fasilitas dan turutannya berupa
aliran listrik dan saluran air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum
yang ddidirikan berdasarkan izin mendirikan bangunan yang didirikan
oleh instansi berwenang, setempat dikenal dengan cluster Aralia
Perumahan Harapan Indah 2.7
Ketentuan pengikatan diri pihak pertama memperkenankan pihak
kedua untuk menempati tanah dan bangunan untuk menyetujui dan
mengikat diri untuk:
7
Akta Pengikat Jual Beli, Notaris Hj Tuti Alawiyah,S.H, Tanggal 21 Desember 2012
52
a. Menempati tanah dan bangunan rumah tinggal secara baik dan layak
b. Memelihara dengan baik atas biaya sendiri
c. Memperbaiki atas biaya sendiri segala kerusakan yang tejadi atas tanah
dan bangunan tersebut
d. Membayar segala kewajiban atas fasilitas atau jasa yang diberikan
pihak lain seperti antara lain langganan listrik, langganan air bersih
dan sebagainya secara tertib dan teratur
e. Membayar pajak bumi dan bangunan serta pajak retribusi maupun
pungutan-pungutan lain yang wajib dan lazim dikenakan terhadap
pemilik atau penghuni rumah secara tepat dan teratur.
Akta pengikat juall beli ini batal demi hukum apabila pihak kedua
tidak melaksanakan kewajiban pembayarannya menurut akta ini
sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh pihak pertama, maka
dengan demikian
jual beli tanah dan bangunan tersebut dianggap
batal dan pihak kedua harus mengembalikan tanah dan bangunan
tersebut dalam keadaan kosong. Para pihak sepakat bahwa dengan
batalnya
akta
ini
pihak
pertama
tidak
diwajibkan
untuk
mengembalikan pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak kedua
dan dianggap sebagai sewa tanah dan bangunan sehingga pihak kedua
baik sekarang maupun dikemudian hari melepaskan pihak pertama dari
segala tuntutan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut baik
secara pidana maupun perdata, dan pihak pertama berhak untuk
menjual kembali tanah dan bangunan itu kepada pihak lainnya, dan
53
beban biaya yang timbul dalam pembuatan akta ini menjadi beban dan
harus dibayar seluruhnya oleh pihak kedua melalui pihak pertama .
Batal demi hukumnya pengikat jual beli ini apabila pihak kedua
tidak melakukan kewajibannya menurut akta ini. Pihak pertama yang
memang tidak memiliki kewajiban berarti terhadap pihak kedua
otomatis bila melakuakan wanprestasi pada akta pengikat jual beli ini
tidak akan membuat batal demi hukumnya akta pengikat jual beli ini.
Isi dari akta pengikat jual beli ini antara PT. Dutabumi Adipratama
dengan Konsumen menggambarkan bagaimana lemahnya posisi tawar
konsumen yang dibebankan harus memenuhi semua kewajiban pada
kontrak ini, dan yang terpenting bentuk perlindungan konsumen bila
mana terjadi kerusakan pada rumah yang dibeli oleh konsumen tidak
menanggungkan suatu bentuk pertanggung jawaban renovasi rumah
yang dibebankan kepada developer.
C. Perihal Pembatasan Perjanjian Dalam Hal Perlindungan Konsumen
Meskipun kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji
khusus memperluas atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan oleh undang-undang, bahkan mereka diperbolehkan
mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan
menanggung sesuatu apapun. Namun ini ada pembatasannya, yaitu
meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan
menanggung sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab
54
tentang apa yang berupa berupa akibat dari sesuatu perbuatan yang
telah dilakukan olehnya, semua yang bertentangan dengan hal ini
adalah batal.8
Dasar
dari
kewajiban
bagi
sang
developer
disini
untuk
menanggung cacat tersembunyi pada barang yang dibeli oleh
konsumen adalah pada pasal 1504, pasal 1505 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi, pasal 1504 : “Penjual harus
diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang
yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian
itu sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali
tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membeli selain
dengan harga yang kurang”.
Dan pada pasal 1505 : “Penjual tidaklah diwajibkan menanggung
terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh
pembelii”.
Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan cacat tersembunyi
adalah:
I.
Suatu yang tidak tampak atau diketahui pada saat
pembelian dilaksanakan
II.
Suatu keadaan yang jika diketahui pada saat
pembelian dilakukan akan:
8
Subekti, Aneka Pejanjian, (Citra Aditya Bakti, Bandung), 1995, h.18
55
1) Pembeli tidak akan membeli kebendaan tersebut sama
sekali, atau
2) Pembeli tidak kan membayar harga pembelian tersebut,
kecuali dengan nilai jual yang lebih rendah dari pada yang
telah dibayar olehnya.
Oleh karena cacat tersembunyi tersebut:
a. Mengakibatkan
kebendaan
yang
dibeli
tidak
dapat
dipergunakan sesuai dengan maksud penggunaannya
b. Mengakibatkan
berkurangnya
manfaat
pemakaian
atau
penggunaan kebendaan tersebut.9
Jika dibaca lebih lanjut dalam rumusan pasal 1506 Kitab UndangUndang Hukum Perdata Menyatakan bahwa: “Ia diwajibkan
menanggung terhadap cacat tersembunyi meskipun ia sendiri tidak
mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal sedemikian,
telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung
sesuatu apa pun”.
Pasal 1506 diatas menunjukan kepada kita semua bahwa yang
dinamakan cacat tersembunyi adalah suatu keadaan yang baik
diketahui atau tidak diketahui oleh penjual, ia tetap diwajibkan untuk
menanggung cacat tersembunyi yang diderita oleh konsumen,
kecuali adanya perjanjian yang disepakati kedua pihak untuk tidak
9
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Juall Beli (Seri Hukum Perikatan), (Raja
Grafindo, Jakarta, 2003), h. 178-179
56
ada tanggungan yang diwajibkan kepada pengembang untuk
menanggung suatu apapun.
Selain perlindungan konsumen yang berada pada pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam Juga mengatur
mengenai pelarangan untuk tidak melakukan jual beli yang
mengandunng cacat tesembunyi dengan terdapat Hadist Riwayat
Ibnu Majah:
،َ‫سَهى‬
َ َ‫ل انهَهِ صَهَى اهللُ عََهيْ ِه و‬
َ ‫ سَ ًِعْتُ َرسُى‬:َ‫ قَال‬،ٍ‫عقْبَ َة بٍِْ عَا ِيز‬
ُ ٍْ‫ع‬
َ
ِ‫حمُ نًُِسْهِ ٍى بَاعَ ِيٍْ َأخِي ِه َبيْعًا فِيه‬
ِ ‫ وَنَا َي‬،ِ‫ «انًُْسِْهىُ َأخُى انًُْسِْهى‬:ُ‫يَقُىل‬
ُ‫عيْبٌ ِإنَا بََيَُهُ َنه‬
َ
Artinya: Dari Uqbah bin Amir berkata, saya mendengar rasulullah
saw bersabda : “Orang Muslim adalah saudara orang muslim, tidak
halal bagi seorang muslim menjual kepada saudaranya, (sesuatu
barang yang) di dalamnya terdapat aib, kecuali ia menjelaskan
kondisinya”. (HR Ibnu Majah)
D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Konsumen
Cacat tersembunyi ini setelah penulis tanyakan kepada penghuni
disekitaran cluster ditempat penulis mengadakan penelitian bukan
hanya diderita oleh satu rumah saja, tapi berberapa rumah
juga
mengalami kerusakan yang sama. Namun para konsumen lain
melakukan upaya pemenuhan haknya sebagai konsumen hanya
melakukan keluhan secara lisan kepada konsumen dan karna
lambatnya waktu perbaikan yang dijanjikan oleh developer tidak
57
kunjung ada, mereka yang tidak memiliki basic hukum dan
memahami tentang perlindungan konsumen memperbaiki kerusakan
yang dideritanya dengan biaya sendiri.10
Salah seorang konsumen yang memiliki basic hukum dan mengerti
tentang upaya pemenuhan haknya sebagai konsumen melakukan
beberapa upaya untuk mendapatkan kembali haknya sebagai
konsumen dengang melakukan beberapa upaya, yaitu:
Upaya yang dilakukan oleh konsumen untuk mendapatkan haknya
1. Menyampaikan secara langsung kepada pihak developer secara
lisan dengan kekadaan rumah yag dibelinya, hingga beberapa kali
sebelum konsumen pergi beracara ke pengadilan. Komplain yang
dilakukan konsumen dengan baik-baik untuk memusyawarakan
kerusakan yang diderita konsumen.
2. Walau
jelas-jelas
menderita
kerugian
akibat
wanprestasi
developer, namun tidak berarti komplain konsumen segera
mendapat tanggapan, apalagi sampai ditindak lanjuti. Komplain
konsumen seharusnya mendapatkan respon positif dari pihak
pengembang, sebagai indikasi adanya itikad baik pengembang,
utamanya terkait dengan pemberian ganti rugi atau kompensasi
sebagai bentuk pertanggung jawabannya sebagai pelaku usaha.
Sehingga sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh UU No. 8
Tahun 1999, yaitu Pasal 7 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1999 ;
10
Wawancara dengan konsumen, pada Minggu 14 Juni 2015, pukul 12.30
58
“kewajiban
pelaku
usaha
adalah
beritikad
baik
dalam
menjalankan usahanya”
Upaya pertama dengan menyampaikan keluhan secara lisan
kepada developer tidak mendapatkan tindak lanjut dan itkad baik
dari developer, membuat konsumen melakukan tindakan kedua
dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Kerusakan kepada
PT. Dutabumi Adipratama dan Kontraktor pembangunan Cluster
Aralia Kota Harapan Indah Bekasi dengan memberikan daftar
keruskan yang diderita oleh rumah konsumen:
1. Kamar lantai 1 pada tembok sisi kanan merembes dan
mengucur air keluar dari wallpaper yang telah dipasang
oleh pemohon mengakibatkan rusaknya seluruh wallpaper
yang telah dipasang
2. Air keluar meluber dari cela-cela tegel pada tegel kamar
lantai 1 digunakan
3. Merembesnya air sampai ketembok sisi kanan dari pintu
masuk rumah dilantai 1 mengakibtkan wallpaper rusak
4. Rembesnya air dari kamar mandi dilantai 2 merusak
plafon kamar mandi pada kamar dilantai 1
5. Pintu kamar mandi tidak ada bolongan untuk pengait
kunci pintu kamar mandi
6. Tangan tangga kayu hanya dicantol dengan paku sehingga
ketika dipegang copot dan tidak bisa lagi digunakan
59
7. Kamar mandi pada lantai 2 sejak awal sudah dikasih tahu
ke developer dan kontraktor tetapi tidak ditangani dengan
serius dan ditinggalkan begitu saja sampai sekarang
sehingga tidak dapat digunakan karena kalau digunakan
air akan merembes kekamar lantai 1
8. Washtafel pada kamar mandi lantai 2 tidak dapat
digunakan karena air tidak keluar
9. Merembesnya air pada dak dibalkon kamar lantai 2
sebelah kiri mengakibatkan saklar lampu balkon kamar
lantai 2 tidak bisa digunakan pada musim hujan
10. Tidak adanya lampu pada washtafel kamar mandi lantai 1
dan 2.11
Bahwa
pemohon
berharap
penanganan
kerusakan
rumah
pemohon yang sejak awal pemohon ditempati dan telah berulang
kali pemohon beritahukan serta pemohon laporkan akan segera
dilakukan, sehingga tidak membuat kerusakan yang makin parah
terhadap rumah pemohon. Oleh karena itu pemohon menyerahkan
sepenuhnya kepada developer dan kontraktor untuk memperbaiki
dan atau merenovasi cacat tersembunyi pada rumah pemohon
yang pemohon beli dari PT Dutabumi Adipratama, dengan segera
setelah surat ini disampaikan.
11
Wawancara dengan konsumen, pada Minggu 14 Juni 2015, pukul 12.30
60
3. Konsumen yang telah melakukan 2 kali upaya sebelumnya
dengan melakukan upaya secara lisan dengan baik-baik kepada
developer sampai dengan tindakan ke 3 yaitu dengan melakukan
tindakan kasar dikantor developer sampai membuat para pekerja
dikantor berhamburan keluar akibat takut dengan kedatangan
konsumen yang merah dengan tidak adanya itikad baik yang coba
ditawarkan oleh developer mengenai kerusakan yang dialami
konsumen.
4. Konsumen merasa telah melakukan 2 itikad baik sebelumnya
namun tidak ada respon yang baik dari developer memaksa
konsumen untuk melakukan hal kasar terkait memperoleh haknya
sebagai konsumen. Pihak developer meminta agar dinegosiasikan
lagi secara baik-baik dengan kerusakan rumah yang dideritan oleh
konsumen dan menyatakan bersedia untuk merenovasi kerusakan
yang diderita oleh konsumen
5. Niatan awal konsumen yang hanya meminta perbaikan rumah
dengan keadaan rumah yang mengandung cacat tersembunyi,
bertambah dengan meminta adendum kontrak pengikat jual beli
dengan
menambahkan
klausul
renovasi
rumah
sebagai
penambahan pada klausul akta pengikat jual beli yang telah
disepakati12
12
Wawancara dengan konsumen, pada Minggu 14 Juni 2015, pukul 12.30
61
Selain itu developer juga memberikan tanggapan mengenai
tindakan yang dilakukan oleh konsumen, yaitu
1. Menanggapi upaya pertama yang dilakukan oleh konsumen
developer memberikann teguran kepada kontraktor dengan
menegur secara lisan menegenai pekerjaan yang dilakukan oleh
kontraktor.
2. Bentuk pertanggung jawaban lain setelah menegur kontraktor,
developer mengirimkan team ketempat konsumen untuk melihat
secara langsung apa sajakah kerusakan yang harus diperbaiki
dirumah konsumen.
3. Setelah mengirimkan team ketempat konsumen dan mendengar
hasil keadaan rumah yang ditempati oleh konsumen, developer
mengundang langsung kepada konsumen dengan memberikan
surat undangan untuk membicarakan mengenai kerusakan yang
dialami oleh rumah konsumen.
4. Konsumen developer dan kontraktor duduk bersama untuk
membicarakan solusi perihal masalah kerusakan rumah yang
dididerita
oleh konsumen, dengan memberikan opsi untuk
memperbaikan rumah yang rusak kepada konsumen.
5. Setelah duduk bersama untuk menentukan solusi yang tebaik dari
kasus yang dialami oleh konsumen, developer memberikan itikad
baik kepada konsumen untuk memperbaiki segala kerusakan
62
rumah yang dialami oleh konsumen, sehingga konsumen
menempati rumah secara baik dan layak.13
Dari kedua hasil wawancara diatas kita dapat melihat
bahwa rumah yang ditempati oleh konsumen benar mengandung
cacat tersembunyi, dan segala upaya telah dilakukan oleh
konsumen untuk mendapatkan bentuk pertanggung jawaban yang
yang diharapkan oleh konsumen, untuk meadendum akta pengikat
jual beli dengan menambahkan bunyi pasal yang memastikan
adanya renovasi rumah yang dilakukan oleh pihak developer bila
mana terjadi kerusakan yang mengandung cacat tersembunyi, dan
segera melakukan perbaikan secepatnya terhadap rumah pada saat
ini yang sudah mengalami kerusakan sangat parah. Meskipun
demikian keinginan bentuk pertanggung jawaban yang diinginkan
oleh konsumen tidak semuanya menjadi kenyataan, karena pihak
developer tidak ingin melakukan adanya adendum akta pengikat
jual beli dengan konsumen dan hanya mau untuk memberikan
pertanggung jawaban untuk merenovasi kerusakan rumah yang
diderita oleh konsumen.
13
Wawancara dengan pihak developer, pada Jum’at 12 Juni 2015, Pukul 11.00
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Al-Hadist
Buku:
Aminudin, Peran Rumah Dalam Kehidupan Manusia, Semarang : Kanisius, 2007
Budiharjo, Eko, Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan, Yogyakarta,
Gajah Mada University Press, 1998
Fuady, Munir, Perlindungan Pemegang Saham Minoritas, Bandung, CV Utomo, 2005
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, cet IV ,
Bandung : Citra Aditya Bakti 2013
Harianto, Dedi, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang
Menyesatkan, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
Hendrawan, Pembangunan Perumahan Berwawasan Lingkungan, Jakarta : Rineke
Cipta, 2004
H.S, Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004
Hutagalung, Arie. S. Serba Aneka Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi, cet 1, Depok :
Badan Penerbit fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
Kartika, Elsa, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta : Gramedia Widiarsana Indonesia, 2005.
Kartohadiprodjo, Soediman, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Jakarta, Gatra Pustaka.
Kristiyanti, Celiana Tri Siwi, Hukum Perlindungan Konsumen, cet III , Jakarta :
SinarGrafika 2011
Miru, Ahmadi dan Yodo Sutarman.Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo
Persada, 2004
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta,
Rajawali Pers, 2004
Nasution, AZ, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta ; Grasindo, 2000
Nugroho, Susanti Adi, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta, Kencana, 2011
66
Panggabean, Henry P.Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandighegen)
sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian: Berbagai Perkembangan
Hukum di Belanda, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Grasindo, 2000
Subekti, Aneka Perjanjian, Cet Kesepuluh, Bandung: Pt Citra Aditya Bakti, 1995.
Sudiro, Ahmad, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan Internasional), Jakarta,
Raja Grafindo, 2013.
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Bandung : Citra Aditya, 1999.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisi Kasus, Jakarta, Kencana, 2004
Syarief, Zulfi, Kebijakan Pemerintah di Bidang Perumahan dan Permukimman Bagi
Masyarakat Berpendapatan Rendah, Medan : USU Press, 2000
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlidungan Konsumen, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Widjaya, Gunawan dan Kartini Muljadi, Jual Beli (Seri Hukum Perikatan), Jakarta,
Raja Gradindo, 2003.
Widyaningsih, Beberpa Pokok Pikiran Tentang Perumahan, Bandung : Tarsito, 2006
Jurnal
Rajagukguk, Erman, Peran Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi:
Implikasinya bagi Pendidikan di Indonesia, pidato pengukuhan jabatan Guru
besar UI, 4 Januari 1997, dalam buku Nyayian Sunyi Kemerdekaan Erman
Rajagukguk (Tetes-Tetes Pemikiran 1971-2006), Jakaarta, Fakultas Hukum
UI, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006.
Rajagukguk, Erman, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era
Perdagangan Bebas, dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen,
penyunting Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyanti, Mandar Maju, 2000
Gaharpun, Mariam, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Tindakan Pelaku
Usaha, Jurnal Yustika, Vol. 3 No 1 Juli 2000
Peraturan Perundang-Undangan:
67
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Peraturan Lainya:
AD/ ART Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia
Internet:
http://www.kamusbesar.com
http://www.sarjanaku.com/2013/04/pengertian-bisnis-properti-tujuan.html
Download