JAMUR ENTOMOPATOGEN: POTENSI DAN TANTANGAN

advertisement
BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015
JAMUR ENTOMOPATOGEN:
POTENSI DAN TANTANGAN SEBAGAI
INSEKTISIDA ALAMI TERHADAP SERANGGA
PERUSAK TANAMAN DAN VEKTOR PENYAKIT
MANUSIA
Eris Septiana
Laboratorium Kimia Bahan Alam
Pusat Penelitian Bioteknologi
Email : eris.septiana@ lipi.go.id / [email protected]
S
erangga merupakan hewan
dengan jumlah spesies
terbanyak di dunia dengan
jumlah sekitar 1 juta spesies yang
telah diketahui. Jumlah ini merupakan
60 % dari seluruh total organisme
yang hidup di dunia saat ini (Grimaldi
& Engel 2005). Keberadaan serangga
selain membawa manfaat untuk
manusia juga menimbulkan kerugian
diantaranya ialah sebagai hama
perusak tanaman dalam bidang
pertanian serta sebagai vektor
penularan penyakit pada manusia
dalam hal kesehatan. Penggunaan
insektisida sintetis merupakan cara
yang banyak digunakan untuk
menjadi prioritas. Salah satu yang
digunakan sebagai musuh alami bagi
serangga ialah golongan
entomopathogenic fungi (jamur
entomopatogen). Jamur penyebab
penyakit pada serangga terdiri atas
jamur pembunuh langsung maupun
parasit sejati. Jamur pembunuh
langsung merupakan jamur yang
secara langsung membunuh
serangga pada fase larva melalui
aktivitas enzimatis. Sedangkan jamur
parasit sejati merupakan jamur yang
hidup bersama dengan serangga
inang dewasa dan menimbulkan
gejala penyakit sebelum
menyebabkan kematian pada
pemberantasan hama dan vektor
penyakit akibat serangga memiliki
banyak keunggulan dibandingkan
dengan penggunaan insektisida
sintetis.
Biologi, infeksi, penyebaran dan
keberadaan jamur entomopatogen
Sekitar 750 spesies jamur
entomopatogen diketahui terdiri atas
85 genus (Gillespie and Moorhouse
1989). Jamur entomopatogen
memiliki siklus hidup yang seiring
dengan fase hidup serangga target.
Menurut laporan para ahli, jamur ini
bisa dikelompokkan ke dalam dua
Gambar 1. Imago N. virescens (wereng hijau) sehat (a) dan terkolonisasi B.bassiana pada 10 HSA (b) (Ladja dkk. 2011).
menanggulangi dampak negatifnya.
Penggunaan insektisida sintetis
ternyata membawa dampak baru
berupa kerusakan lingkungan dan
timbulnya resistensi serangga target.
Untuk menanggulangi adanya
resistensi dan pencemaran
lingkungan, penggunaan insektisida
alami ataupun musuh alami serangga
serangga (Smith dkk. 1981). Jamur
entomopatogen memiliki sifat spesifik
terhadap target tertentu dengan efek
samping dan resiko yang sangat
rendah terhadap organisme non
target atau serangga yang
bermanfaat (Roberts & Humber
1981). Dengan karakteristik demikian,
penggunaan jamur entomopatogen
sebagai musuh alami dalam usaha
28
kelompok besar yaitu jamur yang
menyerang menggunakan racun
untuk melumpuhkan pertahanan
alami tubuh serangga dan jamur yang
cenderung menyerang serangga
dengan sedikit atau tanpa racun
(Shahid dkk. 2012). Persebaran
jamur ini melalui spora berupa
konidia. Disaat konidia ini menempel
pada lapisan kutikula serangga target
BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015
dan berkecambah. Selanjutnya
penyerangan dilanjutkan ke dalam
tubuh serangga target dan sistem
sirkulasi (hemolimfa). Pada tubuh
serangga yang sudah mati, jamur
akan muncul dari dalam bangkai
serangga target dan spora konidia
akan keluar bangkai hingga
menemukan kembali serangga target
berikutnya (Samson dkk. 1988).
buruk pada tanaman. Pada tulisan ini,
dipaparkan mengenai penggunaan
jamur entomopatogen sebagai
organisme pengendali hayati
terhadap serangga hama tanaman
dan vektor penularan penyakit.
Perbedaan antara penggunaan jamur
entomopatogen dengan organisme
patogen serangga lainnya ialah cara
infeksinya. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, cara infeksi
sebagian besar jamur
entomopatogen melalui penempelan
pada lapisan kutikula tubuh serangga
target. Sedangkan entomopatogen
selain jamur seperti spora Bacillus
thuringiensis akan menginfeksi
serangga target melalui proses
termakan terlebih dahulu. Setelah
termakan, toksin akan mempengaruhi
peyerapan dalam saluran cerna
serangga dengan cara mengganggu
sirkulasi ion-ion dan menyebabkan
kebocoran ion tertentu. Setelah
beberapa waktu, serangga akan
mengalami gangguan makan,
kelaparan dan akhirnya mati (Gill
1995).
Beberapa penelitian tentang jamur
entomopatogen sebagai pengendali
hama serangga sudah banyak
dilakukan di Indonesia. Beauveria
bassiana dan Metarhizium sp. efektif
dalam mematikan nimfa wereng hijau
(Gambar 1) (Ladja dkk. 2011) dan
wereng coklat dalam waktu paling
cepat sekitar 4 hari (Herlinda dkk.
2008). Selain wereng, serangga
hama yang menyerang padi ialah
walang sangit (Leptocorisa oratorius)
yang menyerang bulir padi pada fase
matang susu sehingga bulir padi
akan hampa. Serangga hama ini
dapat dikendalikan dengan B.
bassiana dan Metarhizium sp. seperti
percobaan Effendy dkk. (2010) yang
melaporkan bahwa kedua isolat
jamur entomopatogen tersebut
mampu membunuh 50% nimfa
walang sangit selama 5-8 hari setelah
infeksi.
Penggunaan jamur entomopatogen
sebagai pengendali hama
pertanian
4 hari setelah penyemprotan
(Herlinda dkk. 2012). Aplikasi
bioinsektisida B. bassiana dengan
konsentrasi 0,6 mg/l dalam air
dengan selang waktu 9 hari
menunjukkan peningkatan kematian
larva serangga penggerek tongkol
jagung (Helicoperva armigera) serta
penurunan kerusakan tongkol jagung
(Khasanah 2008).
Penggunaan jamur entomopatogen
sebagai pengendali serangga
vektor penyakit pada manusia
Penelitian tentang penggunaan jamur
entomopatogen untuk
pemberantasan nyamuk banyak
dilakukan di negara berkembang di
kawasan Afrika dan Asia (Gambar 2).
Penyakit malaria Afrika merupakan
penyakit yang disebarkan oleh
nyamuk Anopheles gambiae. Jamur
entomopatogen Metarhizium
anisopliae terbukti mampu
membunuh nyamuk A. gambiae dan
Culex quinquefasciatus dewasa
(Scholte dkk. 2003). Valero-Jimenes
dkk. (2014) melaporkan bahwa
nyamuk penyebar penyakit malaria
yang lain yaitu A. coluzzii mampu
dibunuh oleh jamur entomopatogen
B. bassiana.
Gambar 2. Nyamuk dewasa sehat (a) dan terkolonisasi jamur entomopatogen (b) (foto: Hugh Sturrock, University of Eidenburg dalam Thomas & Read 2007).
Sebagian besar jamur
entomopatogen merupakan jamur
non patogen bagi tanaman yang
dapat ditemukan di filoplen
(permukaan) daun, dan di daerah
perakaran maupun sebagai jamur
endofit yang terdapat dalam jaringan
tanaman. Jamur endofit merupakan
jamur yang hidup di dalam jaringan
tanaman, bersimbiosis mutualisme
sehingga tidak menyebabkan gejala
penyakit pada inangnya (Faeth &
Fagan 2002). Oleh karena itu
pengunaan jamur entomopatogen
lebih aman karena tidak berpegaruh
Campuran spora konidia jamur
entomopatogen Verticillium tricorpus
mampu membunuh serangga hama
tungau merah jeruk (Panonychus
citri) pada tahap nimfa dan dewasa
(Puspitarini dkk. 2010). Jamur
entomopatogen juga bisa bersinergis
dengan jamur lain dalam membunuh
serangga hama. Campuran B.
bassiana dengan jamur Trichoderma
virens yang disemprotkan ke
tanaman pepaya mampu membunuh
nimfa hama kutu putih papaya (P.
marginatus) sebesar 82,86 % selama
29
Kawasan Asia termasuk di Indonesia,
penggunaan jamur entomopatogen
untuk pengendalian serangga vektor
penyakit pada manusia juga telah
dilakukan. Jamur B. bassiana mampu
membunuh nyamuk A. stephensi
salah satu vektor penyakit malaria
dan nyamuk C. quinquefasciatus
vektor penyakit filariasis atau kaki
gajah baik pada fase larva maupun
dewasa (Singh & Prakash 2010).
Selain B. bassiana, M. anisopliae
juga telah dilaporkan mampu
membunuh larva awal nyamuk A.
BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015
stephensi penyebab malaria
(Fakoorziba dkk. 2014). Jamur
entomopatogen M. anisopliae mampu
membunuh larva nyamuk A. aegypti
penyebab penyakit demam berdarah
(Yasmin & Fitri 2010). Penelitian lebih
lanjut menunjukkan bahwa aplikasi
M. anisopliae dengan bahan
pembawa tepung jagung masih
mampu membunuh larva nyamuk A.
aegypti setelah penyimpanan 3 bulan
(Yasmin dkk. 2012).
Tantangan dan prospek
pengembangan jamur
entomopatogen untuk pengendali
serangga hama patogen tanaman
dan vektor penyakit pada manusia
melalui bioteknologi
Penggunaan jamur entomopatogen
tentu bukan tanpa batasan. Interaksi
antara jamur entomopatogen dengan
serangga non target, interaksi
dengan tanaman, interaksi dengan
mikroba yang lain, serta ketahanan
terhadap fungisida sintetis yang
mungkin dipakai juga harus
diperhatikan. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Thungrabeab dan
Tongma pada tahun 2007
melaporkan bahwa dua isolat jamur
entomopatogen yang umum
digunakan yaitu B. bassiana (isolat
Bb.5335) dan M. anisopliae (isolat
Ma.7965) yang diujikan terhadap
serangga non target, yang
diantaranya merupakan musuh alami
serangga target, menunjukkan hasil
yang berbeda. Pada penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa
jamur entomopatogen B. bassiana
tidak berbahaya bagi serangga yang
penting untuk tanah seperti
Heteromurus nitidus maupun
serangga non target lain seperti
Dicypus tamaninii maupun larva
Coccinella septempuncata dan
Chrysoperia carnea. Sedangkan
jamur M. anisopliae cenderung
bersifat antagonis terhadap serangga
non target dalam percobaan ini.
Dengan adanya fakta ini, maka
diperlukan sebuah penelitian yang
lebih menyeluruh terhadap
penggunaan jamur entomopatogen
terhadap serangga non target.
Selain efek terhadap serangga non
target, efek terhadap manusia dan
tumbuhan juga perlu diperhatikan.
Sebagian besar jamur
entomopatogen yang umum
digunakan merupakan jamur yang
bersifat endofit maupun saprofit yang
tidak menyebabkan penyakit pada
tanaman hidup. Meskipun demikian,
upaya penyelidikan tentang adanya
potensi sifat antagonis terhadap
tanaman juga perlu mendapat
perhatian serius. Selain itu, faktor
abiotik yang lain juga perlu mendapat
perhatian seperti penggunaan
bersamaan dengan insektisida
sintetik, fungisida, maupun zat
pemacu pertumbuhan tanaman.
Beberapa insektisida seperti
azadirachtin,methyl-o-demeton,
acetameprid, thiomethoxam,
carbosulfan relatif aman untuk B.
bassiana dan M. anisopliae.
Sedangkan insektisida seperti
chlorpyriphos, cypermethrin, difocol,
dan deltamethrin lebih toksik
terhadap kedua jamur
entomopatogen tersebut. Selain itu
beberapa fungisida seperti thiram,
metalaxyl, chlorothalonil lebih sesuai
dengan kedua cendawan
entomopatogen, sedangkan fungisida
benomyl, orthocide, mancozeb,
tebuconazole cenderung berbahaya
bagi kedua jamur entomopatogen
tersebut (Khan dkk. 2012).
Selain efek terhadap serangga non
target maupun tanaman serta zat
kimia lainnya, efek bunuh terhadap
serangga target juga perlu
diperhatikan. Seperti diketahui bahwa
prinsip kerja jamur entomopatogen
tidak secepat insektisida sintetis yang
dapat secara langsung mematikan
serangga target, akan tetapi perlu
waktu yang lebih lama dalam
membunuh serangga target yaitu
sampai 14 hari setelah infeksi (Ladja
dkk. 2011). Untuk menanggulangi
dan meningkatkan efektivitas jamur
entomopatogen, diperlukan peran
ilmu bioteknologi. Bioteknologi
menyediakan kesempatan yang baik
dalam pengembangan jamur
entomopatogen.
Pemahaman mekanisme
patogenisistas perlu dilakukan,
terutama pada daerah penyerangan
di kutikula serangga dimana enzim
sangat berperan. Untuk
meningkatkan kecepatan bunuh
terhadap serangga uji, dapat
dilakukan dengan cara menyisipkan
gen racun cry dan cyt dari bakteri
Bacillus thuringiensis ke dalam jamur
yang sampai saat ini belum pernah
dilakukan. Alternatif lain ialah
pemanfaatan metabolit sekunder dari
jamur entomopatogen. Penerapan
metabolit sekunder sangat berguna
terutama untuk memberantas
serangga pada fase larva yang tidak
terpengaruh oleh serangan jamur
entomopatogen (Singh dkk. 2010).
30
Penelitian di bidang bioteknologi
untuk mengatasi serangan serangga
masih terbatas pada serangga hama
tanaman dan belum kepada
serangga vektor penyakit pada
manusia. Salah satunya ialah
penyisipan gen cry pada padi
transgenik sehingga tahan terhadap
serangan serangga patogen tanaman
padi (Rahmawati & Slamet-Loedin
2006). Oleh karena itu, penerapan
bioteknologi diharapkan
menghasilkan strain jamur hasil
manipulasi genetik yang mampu
mengendalikan serangga lebih
efektif. Selain itu, penelitian juga
harus tertuju pada pengembangan
formulasi untuk serangga target yang
menyerang tanaman yang bernilai
ekonomis tinggi. Sehingga
diharapkan kedepannya akan
diperoleh sebuah bioinsektisida alami
yang lebih efektif dalam membunuh
hama serangga target maupun vektor
penyakit dan lebih berwawasan
lingkungan serta kemudahan dalam
aplikasinya.
Referensi
Effendy TA, Septiadi R, Salim A,
Mazid A. 2010. Jamur
entomopatogen asal tanah
lebak di Sumatera Selatan dan
potensinya sebagai agensia
hayati walang sangit
(Leptocorisa oratorius (F.)).
Jurnal HPT Tropika. 10: 154161.
Faeth SH, Fagan WF. 2002. Fungal
endophytes: common host plant
symbionts but uncommon
mutualists. Integrative and
Comparative Biology. 42: 360368.
Fakoorziba MR, Veys-Behbahani R,
Djadid ND, Azizi K, Sharififard
M. 2014. Screening of the
entomopathogenic fungi,
Metarhizium anisopliae and
Beauveria bassiana against
early larval instars of Anopheles
stephensi (Diptera: Culicidae).
Journal of Entomology. 11: 8794.
Gill SS. 1995. Mechanism of action of
Bacillus thuringiensis toxins.
Memorias do Instituto Oswaldo
Cruz. 90: 69-74.
Gillespie AT, Moorhouse ER. 1989.
The use of fungi to control pest
of agricultural and horticultural
importance. In: Biotechnology of
BioTrends Vol.1 No.1 Tahun 2015
fungi for improvement of plant
growth. Whipps JM, Lumsdon
RD. (eds.). London: Cambrodge
University Press.
Grimaldi D, Engel MS. 2005.
Evolution of the insects. New
York: Cambridge University
Press.
Herlinda S, Darmawan KA,
Firmansyah, Adam T, Irsan C,
Thalib R. 2012. Bioesai
bioinsektisida Beauveria
bassiana dari Sumatera Selatan
terhadap kutu putih papaya,
Paracoccus marginatus
Williams & Granara De Willink
(Hemiptera: Pseudococcidae).
Jurnal Entomologi Indonesia. 9:
81-87.
Herlinda S, Mulyati SI, Suwandi.
2008. Jamur entomopatogen
berformulasi cair sebagai
bioinsektisida untuk pengendali
wereng coklat. Agritrop. 27:
119-126.
Khan S, Bagwan NB, Fatima S, Iqbal
MA. 2012. In vitro compatibility
of two entomopathogenic fungi
with selected insecticides,
fungicides, and plant growth
regulators. Libyan Agriculture
Research Center Journal
International. 3: 36-41.
Khasanah N. 2008. Pengendalian
hama penggerek tongkol jagung
Helicoverpa armigera Hubner.
(Lepidoptera: Noctuidae)
dengan Beauveria bassiana
strain lokal pada pertanaman
jagung manis di Kabupaten
Donggala. AGROLAND. 15:
106-111.
Ladja FT, Santoso T, Nurhayati E.
2011. Potensi cendawan
entomopatogen Verticillium
lecanii dan Beauveria bassiana
dalam mengendalikan wereng
hijau dan menekan intensitas
penyakit tungro. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan.
30: 114-120.
Puspitarini RD, Afandi A, Soleh FA.
2010. Patogenitas jamur
entomopatogen Verticillium
tricorpus Isaac
(Deuteromycetes: Moniliales)
pada tungau merah jeruk
Panonychus citri (McGregor)
(Acari: Tetranychidae). Agravita.
32: 83-89.
Rahmawati S, Slamet-Loedin IH.
2006. Introduksi gen cryIBcryIAa ke dalam genom padi
(Oryza sativa) cv. Rojolele
menggunakan transformasi
Agrobacterium. Hayati. 13: 1925.
Roberts DW, Humber RA. 1981.
Entomogenous fungi. In: Cole
GT, Kendrick B. (eds.). Biology
of Conidial Fungi. Academic
Press: New York. Pp 201-236.
Samson RA, Evans HC, Latg JP.
1988. Atlas of
entomopathogenic fungi.
Springer: Berlin Heidelberg New
York.
Scholte EJ, Njiru BN, Smallegange
RC, Takken W, Knols BGJ.
2003. Infection of malaria
(Anopheles gambiae s.s.) and
filariasis (Culex
quinquefasciatus) vectors with
the entomopathogenic fungus
Metarhizium anisopliae. Malaria
Journal. 2: 29.
Shahid AA, Rao AQ, Bakhsh A,
Husnain T. 2012.
Entomopathogenic fungi as
biological controllers: New
insights into their virulence and
pathogenicity. Archieves of
Biological Science Belgrade. 61:
21-42.
31
Singh G, Prakash S. 2010. Fungi
Beauveria bassiana (Balsamo)
metabolites for controlling
malaria and filarial in tropical
countries. Advance in Biomedial
Research. 238-242. ISSN:
1790-5125, ISBN: 978-960-474164-9.
Smith RJ, Pekrul S, Grula EA. 1981.
Requirement for sequential
enzymatic activities for
penetration of the integument of
the corn earworm. Journal of
Invertebrate Pathology. 38: 335344.
Thomas MB, Read AF. Can fungal
biopesticides control malaria?.
Nature Reviews Microbiology. 5:
377-383.
Thungrabeab M, Tongma S. 2007.
Effect of entomopathogenic
fungi, Beauveria bassiana
(BALSAM) and Metarhizium
anisopliae (METSCH) on non
target insects. King Mongkut's
Institute of Technology
Ladkrabang Science and
Technology Journal. 7: 8-12.
Valero-Jimenez CA, Debets AJM,van
Kan JAL, Schoustra SE, Takken
W, Zwaan BJ, Koenraadt CJM.
2014. Natural variation in
virulence of the
entomopathogenic fungus
Beauveria bassiana against
malaria mosquitoes. Malaria
Journal. 13: 479.
Yasmin Y, Fitri L. 2010. The effect of
Metarhizium anisopliae fungi on
mortality of Aedes aegypti
larvae. Jurnal Natural. 10: 3135.
Yasmin Y, Fitri L, Bustam BM. 2012.
Analisis efektivitas tepung jamur
sebagai larvasida Aedes
aegypti. Jurnal Natur Indonesia
14: 126-130.
32
Download