sambutan ketua pei cabang bandung

advertisement
KATA PENGANTAR
Panitia Seminar Nasional PEI Cabang Bandung tahun 2015 sangat berbahagia dengan antusiasme para
entomolog dari berbagai daerah di Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara ini. Hal tersebut ditandai
dengan jumlah makalah presentasi yang mencapai 70 buah, dengan peserta seminar lebih dari 200 orang.
Acara ini dimotori oleh berbagai pihak yang tergabung ke dalam PEI Cabang Bandung baik dari kalangan
Akademisi, Peneliti, dan Praktisi dengan tidak melupakan peran besar dari pihak Universitas Islam Negeri
Sunan Gunung Jati sebagai tempat penyelenggaraan seminar ini.
Tujuan Seminar Nasional PEI Bandung ini adalah: Pertama untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian
masyarakat akan pentingnya serangga bagi kesejahteraan masyarakat. Kedua berbagi informasi dan
pendapat , serta menjalin kerja sama antar akademisi, peneliti, pemerintah, industri, dan masyarakat secara
umum tentang entomologi. Ketiga menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang
entomologi di Indonesia, untuk meningkatkan komunikasi antar entomolog yang bekerja dengan bidang
yang beragam guna menghasilkan ide-ide baru dalam mengembangkan pengetahuan entomologi untuk
mensejahterakan masyarakat.
Tema Seminar Nasional PEI ini adalah “ENTOMOLOGI DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”. Seminar ini
menampilkan 4 pembicara utama dan peserta dengan “flash presentation”, dan pameran produk
pengendali hama dan penyakit. Makalah yang masuk dikategorikan menjadi : Biodiversitas dan ekologi
serangga; Fisiologi, Toksikologi, dan biologi molekuler serangga; Serangga menguntungkan ; Teknologi
Pengendalian serangga hama dan sistem produksi pangan; Entomologi pemukiman, medik veteriner;
Industri pestisida ; dan Karantina.
Akhir kata, atas nama Panita Seminar Nasional PEI Cabang Bandung, kami haturkan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati dan seluruh sivitas akademika
2. Pembicara Utama
3. PT. Syngenta Indonesia;
4. Masyarakat Produsen Pestisida Rumah Tangga
5. PT. Dow Agrosciences Indonesia
6. PT. Du pont Agricultural Product Indonesia
7. Bank Bukopin
8. Seluruh Panitia Seminar Nasional PEI Cabang Bandung, yang telah mewujudkan terselenggaranya
Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung.
9. Alhamdulillah wa Syukurillah kami panjatkan kehadirat Illahi Yaa Robbi, atas Ridho-Nya semoga Seminar
Nasional PEI Cabang Bandung ini terselenggara dengan baik, lancar tidak kurang suatu apapun.
i
SAMBUTAN KETUA PEI CABANG BANDUNG
Serangga dan manusia merupakan dua makhluk hidup yang saling berinteraksi satu sama lain sebagai
organisme dominan di dunia kehidupan. Baik sebagai musuh maupun sebagai kawan, serangga selalu
mengagumkan bagi manusia dan menjadi subjek pengamatan sejak awal peradaban manusia. Banyak
penemuan besar yang merubah peradaban dunia berasal dari penelitian pada serangga seperti genetika,
kedokteran, evolusi, ekologi, fisiologi, perilaku hewan, nutrisi, arsitektur, teknik sipil, bahkan dunia
kedirgantaraan dan teknologi penjelajahan antariksa.
Kemajuan sains dan teknologi ini sendiri tentu saja tidak seyogyanya menjadi domain bagi para peneliti di
negara-negara dengan tingkat kesadaran yang tinggi pada sains dan teknologi akan tetapi juga menjadi
tantangan bagi kita di Indonesia. Kondisi iklim, keanekaragaman hayati, dan jumlah penduduk yang tinggi
dapat menjadi modal bagi kemajuan penelitian pada dunia sains terutama pada bidang entomologi untuk
memberikan informasi penting bagi pengetahuan dunia.
Seminar nasional ini diadakan pada kota Bandung yang dikenal dengan iklim dan masyarakatnya yang
bersahabat serta kreativitas yang tinggi. Pada seminar nasional ini terdapat kesempatan bagi para
entomolog dari berbagai generasi dan pendekatan yang berbeda untuk dapat saling bertemu dan berbagi
hasil penelitian pada situasi yang saling bersinergi. Kami harap kegiatan ini akan memadukan hasil-hasil
penelitian ini yang dapat menjadi sumber informasi penting bagi pengembangan sains dan teknologi di
Indonesia, di dunia, atau mungkin suatu saat merubah arah perkembangan peradaban manusia dan
kesejahteraan manusia sebagaimana para entomolog-entomolog masa lalu.
Prof. Intan Ahmad
Ketua PEI cabang Bandung
ii
SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL
Bismillahirrahmanirrahim
Yth. Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Bp. Prof. Dr. H. Mahmud, MSi. atau yang
mewakilinya.
Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Pusat Ibu Dr. Damayanti Buchori atau yang mewakilinya
Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Cabang Bandung Bp. Prof. Intan Ahmad, Ph.D.
Yth. Dekan Fakultas Sain dan Teknologi Bp. Dr. H. Taufik Kurahman
Yth. Bapak2 Pembicara Utama; Bp. Prof. Dr. Y. Andi Trisyono; Prof. Dr. Dharma Bakti Nasution; Prof. Dr.
Baehaki; Prof. Intan Ahmad Ph.D.
Yth. Bapak dan Ibu Undangan
Yth. Para peserta Seminar dan Hadirin sekalian yang berbahagia.
Assalamualikum wr wb.
Pertama tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
ridho-Nya kita dapat berkumpul di tempat yang mulya ini dalam keadaan sehat walafiat. Kami ucapkan
selamat datang kepada para peserta seminar Nasional dan Musyawarah Angota PEI Cabang Bandung, para
Pembicara Utama, dan para peserta “Flash presentation”. Cara ini dimaksudkan untuk menampung
sebanyak mungkin para peneliti untuk mengemukakan hasil penelitiaannya dalam waktu singkat (maksimal 2
menit). Bagi peserta yang tertarik dengan yang disampaikan pemakalah, dapat diteruskan dengan
pertemuan / diskusi setelah flash presentation.
Tujuan Seminar Nasional PEI Bandung ini adalah: Pertama untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian
masyarakat akan pentingnya serangga bagi kesejah-teraan masyarakat. Kedua berbagi informasi dan
pendapat, serta menjalin kerja sama antar akademisi, peneliti, pemerintah, industri, dan masyarakat secara
umum tentang entomologi. Ketiga menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang
entomologi di Indonesia, untuk meningkatkan komunikasi antar entomolog yang bekerja dalam bidang yang
beragam guna menghasilkan ide-ide baru dalam mengembangkan pengetahuan entomologi untuk
mensejahterakan masyarakat,
Seminar kita hari ini bertema “ENTOMOLOGI DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”. Serangga berguna
jumlahnya mencapai 90% lebih sedangkan serangga yang merugikan atau serangga hama, vektor penyakit
dll, kurang dari 10 %, namun bila dalam pengelolaannya tidak berhasil, maka populasi serangga hama
semakin banyak dan dapat terjadi ledakan serangga hama. Serangga berguna sudah banyak dimanfaatkan
oleh manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Antara lain : serangga penyerbuk, serangga predator,
serangga dekomposer, penghasil madu, penghasil kroto, dll.
Seminar Nasional dan Musyawrah Angota PEI Cabang Bandung ini, diikuti peserta berjumlah 180 orang
dengan pemakalah sebanyak 70 orang.. Dalam seminar ini dibahas secara khusus makalah : Pendidikan dan
Penelitian Entomologi di Indonesia; Optimalisasi Peran Serangga Penyerbuk di Perkebunan Kelapa Sawit;
Strategi Pengendalian Serangga di Lahan Pertanian Untuk Menunjang Tercapainya Ketahanan Pangan
Indonesia; Entomologi Pemukiman dan Industri, dan Entomologi forensik. Seminar Nasional dan
Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung ini diikuti oleh : Peneliti, Staf Pengajar, Pemerintahan, Swasta,
mahsiswa, dll. Peserta seminar ini berasal dari berbagai Propinsi di Indonesia kecuali Irian Barat / Papua
iii
Dalam pelaksanaan Seminar ini, kami tidak bekerja sendiri. Kepanitiaan Seminar ini, melibatkan berbagai
unsur lembaga seperti ITB/SITH, Faperta UNPAD, Faperta Unwim, Unibba, BPTPH Jabar, BPTP Disbun Jabar,
PPTK Gambung, BB PADI Sukamandi Subang Jabar, UIN. Pada kesempatan ini Panitia menyampaikan ucapan
terima kaih banyak dan penghargaan yang tulus dan ikhlas kepada :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
PT. Syngenta Indonesia;
Masyarakat Produsen Pestisida Rumah Tangga;
PT. Dow Agrosciences Indonesia;
PT. Du pont Agricultural Product Indonesia.
Bank Bukopin.
Kepada Rekan rekan Panitia saya selaku Ketua Panitia Pelaksana Seminar Nasional dan Musyawarah
Anggota PEI Cabang Bandung mengucapkan terima-kasih atas kerja-sama yang sangat baik ini, semoga Allah
SWT memberi balasan yang berlipat ganda dan dimasukkan dalam amal shaleh. Amin. Pada kesempatan ini
Kami juga mengucapkan terima-kasih kepada para peserta seminar sekalian. Mohon maaf apabila dalam
pelaksanaan seminar ini banyak terdapat kekurangan. Semoga Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota
PEI Cabang Bandung dapat terlaksana dengan lancar tiada kurang suatu apapun. Seusai seminar para peserta
pulang ke rumah masing masing dengan selamat, berjumpa dengan keluarga, semoga selalu dalam
bimbingan, lindungan, ridho dan rahmat Allah SWT, Kami berharap semoga silaturahim ini bisa terus
berlangsung setiap 2 tahun sekali. Amin.
Sebagai penutup :
Bunyi gendang mari berdendang, hati sedih coba lenyapkan
Kami mengundang tuanpun datang, terima kasih kami sampaikan
Pintas jalan ke tanjung intan, disana petani tanam selasih
Atas perhatian dan kehadiran, kami ucapkan terima kasih
Pilih jerami derai-deraikan, biji padi menjadi beras
Terima kasih kami sampaikan, dari hati yang tulus ikhlas
Padi ketan padi simpanan, pilih padi jerami sisihkan
Budi tuan takkan kami lupakan, terima kasih kami haturkan
Tanam sirih di atas bukit, bukit berselimut embun pagi
Terima kasih kami bukan sedikit, dari mulut sampai ke hati
Wassalamualikum wr wb.
Ir. Wahyu Widayat, M.S
Ketua Panitia
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sambutan Ketua PEI Bandung
Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional
Daftar Isi
Susunan Panitia
Susunan Acara
Daftar Peserta
Keynote Speaker 1
Keynote Speaker 2
Keynote Speaker 3
Keynote Speaker 4
Keynote Speaker 5
i
ii
iii
iv
ix
xii
xvii
xx
xxi
xxvi
xxvii
xliii
Biodiversitas dan Ekologi Serangga
A-01
A-02
A-03
A-04
A-05
A-06
A-07
A-8
A-9
A-10
A-11
Perilaku Hama Pengorok Daun dari dua famili berbeda pada pertanaman
Manggis dan bentuk kerusakannya
Wilna Sari, Nina Maryana, Syafrida Manuwoto
Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang
Aulia Azh Zahra, Masriany, Lilis Setiasih, Tjandra Anggraeni
Keanekaragaman spesies serangga tangkapan lampu perangkap selama
pertanaman padi pada sawah irigasi dataran rendah
Agus Wahyana Anggara, Eko Hari Iswanto, Muhamad Hari Rabuka
Komposisi serangga permukaan tanah di Taman Keanekaragaman Hayati Kiara
Payung Sumedang
Ida Kinasih, Ana Widiana, Tri Cahyanto, Isyfa Isnaeni Romadlon
Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae)
di Kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Narti Fitriana, Ega Mulya Putri, Fahma Wijayanti
Identifikasi serangga pengunjung pada Bunga Lilin (Pachystachys lutea L.) di
sekitar Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda
Mohamad Redzka Andika Putra, Tata Kalsa, Ida Kinasih
Keanekaragaman spesies serangga hama dan musuh alami pada tanaman Kacang
Hijau di Brebes, Jawa Tengah
Dodin Koswanudin, I Made Samudra, Sutoro
Inventarisasi serangga hama pada tanaman Padi Gogo Dataran Rendah di Jatisari
Karawang, Jawa Barat
Martua Suhunan Sianipar, Rika Meliansyah, Riandi Feral, Entun Santosa, RC. Hidayat
Soesilohadi, W. Daradjat Natawigena
Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dan keragaman
serangga predatornya pada Padi Sawah Dataran Tinggi
Mochamad Ardiansyah, Martua Suhunan Sianipar, Luciana Djaya, EntunSantosa, RC.
Hidayat Soesilohadi, Wahyu Daradjat Natawigena
Pola aktivitas harian serangga Vespidae (Hymenoptera) pada Tanaman Pisang
Masriany, Fenny M. Dwivany, Tjandra Anggraeni
Perkembangan populasi Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant) dan musuh
alaminya pada lahan sawah dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang
Hairil Anwar, Meinarti Norma, Sri Murtiati
v
44
45
51
52
53
58
64
65
66
67
68
A-12
A-13
A-14
Kondisi serangga hama di Perkebunan Teh Organik Citambur
Wahyu Hidayat dan Muyarno
Fluktuasi populasi lalat buah jantan Bactocera carambolae Drew and Hancock
dan Bactocera papayae Drew and Hancock (Diptera: Tephritidae) pada beberapa
tanaman Belimbing
Dodin Koswanudin, Adi Basukriadi, I Made Samudra, Rosichon Ubaidillah
Studi keanekaan serangga tanah dengan metoda Pitfall Trap di Hutan Pantai
Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Jawa Barat
Veni Aprilia Lestari, Melanie, Hikmat Kasmara
75
76
77
Fisiologi, Toksikologi, Biologi Molekuler Serangga
B-01
B-02
B-03
B-04
B-05
B-06
B-07
B-08
B-09
B-10
Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC (Spinetoram 120 gai/lt) to
control Plutella xylostella and Crocidolomia sp. on cabbage
Iwan Rahwanudin, Lakshmipathi Srigiriraju, Agus Susanto
Identifikasi genotipe kedelai tahan Spodoptera litura Fabricus dengan metode
pemilihan inang
Marida Santi YIB, Ayda Krisnawati, M. Muchlish Adie
Morfologi spirakel Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens)
Hafiz Fauzana, F.X. Wagiman, Edhi Martono
Pengaruh beberapa genotipe kedelai terhadap biologi Ulat Grayak, Spodoptera
litura
Ayda Krisnawati, Marida Santi YIB, Muchlish Adie
Identifikasi molekuler pada lalat buah Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae)
menggunakan penanda DNA Mitochondrial Cytochrome Oxidase I
Indra Wibowo
Kelimpahan populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae) pada beberapa varietas
Ubi Kayu
Sri Wahyuningsih dan Kurnia Paramita Sari
Efektivitas ekstrak daun Kacang Babi (Vicia faba L.) terhadap mortalitas larva Ulat
Grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman Kedelai (Glycine max L.) varietas
Grobogan
Yeni Hadiyanti, Cecep Hidayat, Yati Setiati
Toksisitas insektisida golongan Organofosfat, Organoklorin, dan Piretroid pada
lebah pencari makan Trigona laeviceps
Ramadhani Eka Putra dan Muhammad Ajib Badri
Pengaruh pemberian kompos gulma Siam (Chromolaena odorata) dan Babadotan
(Ageratum conyzoides) terhadap komposisi dan keragaman arthropoda pada
tanaman cabai
Lindung Tri Puspasari, Intan Fahni Tistiyana,Sadeli Natasasmita, dan Vira Kusuma Dewi
Toksisitas insektisida lima ekstrak tumbuhan terhadap Crocidolomia pavonana F.
(Lepidoptera: Crambidae)
Syamsul Ma’arif, Lindung Tri Puspasari ,Rika Meliansyah, Rani Maharani, Yusuf Hidayat,
Ceppy Nasahi, Danar Dono
83
84
85
86
93
94
100
101
110
111
Teknologi Pengendalian Serangga Hama pada Sistem Produksi Pangan
C-01
C-02
C-03
Identifikasi potensi ketahanan 36 klon baru Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb)
terhadap hama Lanas (Cylas formicarius F) (Coleoptera: Curculionidae) di
laboratorium
Syarif Hidayat dan Yuda Muhammad Zaelani
Evaluasi ketahanan sumber daya genetik tanaman Kedelai terhadap hama
Penggerek Polong (Etiella zinckenella Treitschke)
Dodin Koswanudin, Asadi, Sutoro
Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (Snell.) terintegrasi
dan analisa pendapatan petani di perkebunan rakyat
vi
115
116
117
C-04
C-05
C-06
C-07
C-08
C-09
C-10
C-11
C-12
C-13
Alam Anshary, Flora Pasaru, Shahabuddin
Pengujian 6 jenis tanaman sebagai bahan pestisida nabati terhadap intensitas
kerusakan biji kedelai akibat serangan hama gudang Callosobruchus spp.
Yani Mulyani, Dadang Kusdinar, Ida Adviany, Erry Mustariani
Pengujian lapangan feromon sintetik terhadap hama Lanas (Cylas formicarius) pada
tanaman Ubi Jalar
I Made Samudra, Dodin Koswanudin, I Wayan Winasa, dan Wartono
Evaluasi ketahanan sumber daya genetik tanaman padi terhadap hama Wereng
Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
Dodin Koswanudin, I Made Samudra, Sutoro
Pengaruh teknik pengendalian OPT pada tanaman Cabai Merah terhadap hasil
panen, residu, dan biaya pengendalian
Eti Heni Krestini, Hersanti, Asma Sembiring
Pengaruh ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz) terhadap
hama Ulat Penggerek Buah (Helicoverpa armigera Hubner) pada tanaman Cabai
Merah (Capsicum annuum L.) Varietas Cosmos
Dikayani, Yosi Saeful Mikdar, Suryaman Birnadi
Insektisida nabati Bengkuang dan Tembakau dalam pengendalian preventif hama
daun kedelai
Kurnia Paramita Sari, Suharsono, Sri Wahyuningsih, Suntono
Uji keberadaan bakteri penyebab Penyakit Darah pada tubuh beberapa serangga
pengunjung bunga Pisang di daerah Cigadung, Bandung
Maria Marselina Bay, Fitrallisan, Masriany, Tjandra Anggraeni
Evaluasi tingkat parasitisasi parasitoid larva Penggerek Pucuk Tebu Scirpophaga
nivella Ferr. (Lepidoptera: Pyralidae) di perkebunan tebu Jatitujuh, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat
Nenet Susniahti, Ceppy Nasahi, Arie Setiawan
Pengaruh tanaman Jagung berendofit terhadap populasi Ostrinia furnacalis Guenee
Itji Diana Daud, Sylvia Sjam, Juliana Devi Patimasari
Pengaruh ekstrak Andropogon nardus untuk menekan populasi hama buah kakao
Helopeltis sp. dan P. palmipora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
Mairawita, Resti Rahayu, Nasir Nasir
125
126
133
134
139
145
151
157
160
169
Serangga Menguntungkan
D-01
D-02
D-03
D-04
Aktivitas enzim Amilase, Lipase, dan Protease dari usus larva Black Soldier Fly
(Hermetia illucens) yang diberi pakan jerami padi
Ateng Supriyatna
Kelimpahan lebah penyerbuk Apis cerana dan Trigona sp. (Hymenoptera: Apidae)
pada tanaman Brassica rapa dan hubungannya dengan faktor lingkungan
Fitrallisan, Wahiba Ruslan, Mihwan Sataral, Fahri, Tjandra Anggraeni
Keragaman serangga pada berbagai tumbuhan berbunga di sekitar pertanaman
padi di Sukamandi
N. Usyati dan Nia Kurniawati
Pengaruh populasi dan jumlah kunjungan polinator Elaeidobius kamerunicus Faust.
terhadap pembentukan fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc.
Agus Dana Permana dan R. Achmad Dzulfikar
171
178
179
180
Serangga Pemukiman, Veteriner, dan Industri Karantina
E-01
E-02
Status resistensi beberapa strain Kecoa Jerman Blatella germanica (Dyctioptera:
Blattellidae) dari 8 kota di Sumatera terhadap Deltametrin
Nova Hariani, Intan Ahmad, Maelita R. Moeis, Lee Chow-Yang
Food preferences and its application as Fipronil bait on Subterranean Termites
(Isoptera: Termitidae) under field conditions
vii
181
E-03
E-04
E-05
E-06
E-07
E-08
E-09
E-10
E-11
Ashari Zain dan Intan Ahmad
Status resistensi beberapa strain lalat rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae)
terhadap insektisida Imidakloprid dan Permethrin
Sri Yusmalinar, Kustiati, Intan Ahmad, Tjandra Anggraeni
Penurunan tingkat resistensi Kecoa Jerman (Blatella germanica L.) (Dictyoptera:
Blattellidae) yang dipelihara di laboratorium terhadap Fipronil
Trisnowati Budi Ambarningrum, Intan Ahmad, Lulu Lusianti Fitri
Identifikasi dan distribusi nyamuk di pesisir dan pegunungan Kabupaten
Pangandaran
Ilbi Restu Sholihat, Andri Ruliansyah, Ida Kinasih
Distribusi nyamuk vektor demam berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus di
Kota Bandung
Ramad Arya dan Intan Ahmad
Efektivitas ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai larvasida lalat rumah
(Musca domestica)
Haddi Wisnu Yudha, Upik Kesumawati Hadi, Supriyono
Kajian perilaku Agonistik Intraspesifik koloni rayap Coptotermes sp. (Isoptera:
Rhinotermitidae)
Ina Rosaria dan Eko Kuswanto
Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap keberlangsungan hidup rayap
Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae)
Ledya Sari, Eko Kuswanto, Lora Purnamasari, Gres Maretta
Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk
vektor penyakit
N. Sushanti Idris-Idram
Preferensi pakan beberapa strain Kecoak Jerman, Blatella germanica Linn.
(Dyctioptera: Blattellidae)
Resti Rahayu, Apriza Hongko Putra, Dahelmi, Robby Jannatan
182
183
184
187
192
193
194
195
196
200
Topik-Topik Lain yang Terkait dengan Serangga
F-01
F-02
F-03
F-04
F-05
Pengaruh minyak Atsiri Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) terhadap Kutu Kepala
(Pediculus humanus capitis)
Ucu Julita, Ida Kinasih, Ana Widiana, Neng Ema Fadhilah Z.
Kiat menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh
Wahyu Hidayat
Perilaku petani Lembang dan Pengalengan dalam pengendalian hama dan penyakit
pada tanaman kentang
Asma Sembiring
Karakteristik morfologi polong dan hubugannya dengan ketahanan terhadap hama
Pengisap Polong, Riportus linearis
M. Muchlish Adie dan Ayda Krisnawati
Teknik penyimpanan Ubi Jalar segar untuk menurunkan kerusakan hama Boleng
(Cylas formicarius)
Retno Endrasari dan Sri Murtiati
viii
202
212
213
214
215
SUSUNAN PANITIA
Pelindung
:
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati
Bandung
Dekan SITH Institut Teknologi Bandung
Ketua PP Perhimpunan Entomologi Indonesia
Penanggung Jawab
:
Ketua PEI Cabang Bandung (Prof. Intan Ahmad, Ph.D)
Wakil Ketua II PEI Cabang Bandung (Dr. Tjandra Anggraeni)
Penasehat
:
Prof. Dr. Baehaki MS
Dr. Atik Dharmadi
Prof. Dr. Wawan Hermawan
Prof. Dr. Tati S Syamsuddin
Prof.Dr. Entun Santosa
Prof. Dr. Ridad Agoes, dr.,MPH,SpPark
Dr. Agus D Permana
Dr. Ir. Sudardjat, M.P.
Dr. Danar Dono, M.Si
Panitia Pelaksana
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Bendahara
:
:
:
:
Wahyu Widayat, Ir., MS
Suhunan Sianipar, Drs MS.
Dr. Ida Kinasih , Sri Yusmalinar, M.Si, M.M, Ida Yusidah, SP
Dr. Yenny Muliani, MS. Rika Meliansyah, M.Si, Rindang
Khairani, S.Si
Bidang Bidang :
Scientific Committee:
Sekretariat SC
:
Prof. Intan Ahmad, Ph.D (ITB)
Yusup Hidayat, Ph.D (UNPAD)
Dr. Tjandra Anggraeni (ITB)
Dr. Agus Susanto (UNPAD)
Ramadhani Eka Putra, Ph.D. (ITB)
Lindung Tri Puspasari, M.Si
Masriany , M.Si
Acara, Persidangan
Dr. Tien Turmuktini
Dr. Endang Kantikowati
Pasetriyani Warsih, Ir., MP
ix
Dr. Tri Cahyanto, M.Si
Ateng Supriyatna, M.Si
Dra. Ina Darliana, M.Si
Tim dari SITH, UIN, UNPAD,
Publikasi & Dokumentasi :
Ir. Lukman Nulhakim (Koord/BPTPH Jabar)
Ir. Sunanto (Wkl Koord/ BPTPH Jabar)
Ashari Zain, S.Si.
Saiful Bahri
Agung Kaulika Rahman, SP.
Transportasi dan Pameran
:
Ir. Yadi Supriyadi, M.S.
Ir. Juju Lukman, MP
Mhs UIN, UNPAD, ITB
Dana Usaha
: Dr. Yenny Muliani
Sri Yusmalinar, M.Si, M.M
Konsumsi
: Dr. Elly Roosma Ria, Ir., M.Si.
Nenet Susniahti, Ir. MS.
Maria Wulan, Ir., M.S.
Tim UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Kesehatan (P3K)
: Poli Kesehatan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Ketertiban
: Satuan Pengaman UIN Sunan Gunung Djati Bandung
x
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
SUSUNAN ACARA
JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH PEI CABANG BANDUNG 2015
WAKTU
13.00-14.10
ACARA
Registrasi Peserta
Laporan Ketua Panitia
Sambutan Ketua PEI Pusat
Sambutan Rektor UIN Sunan Gunung Djati sekaligus membuka seminar
Pertunjukan Seni
Presentasi Pembicara Utama 1 dan 2 (Sesi I)
1. Pendidikan dan Penelitian Entomologi di Indonesia
2. Optimalisasi Peran Serangga Penyerbuk di Perkebunan Kelapa Sawit
Diskusi Sesi I
Break (Hidangan pagi/snack)
Presentasi Pembicara Utama 3
- Entomologi Forensik
Flash presentation Sesi 1
Break (Makan Siang)
Presentasi Pembicara Utama 4 dan 5 (Sesi II)
3. Strategi Pengendalian Serangga di Lahan Pertanian untuk Menunjang Tercapainya
Ketahanan Pangan di Indonesia
14.20-15.30
15.30-16.00
16.00-17.00
4. Entomologi Permukiman dan Industri
Diskusi Sesi II
Flash presentation Sesi 2
Break (Snack)
Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung
08.00-09.00
09.00-10.30
10.30-11.00
11.00-12.00
12.00-13.00
PEMBICARA
Ir. Wahyu Hidayat, M.S
Prof. Dr. Y. Andi Trisyono
Prof. Dr. Dharma B. Nasution
Prof. dr. Ridad Agoes
Pemakalah
Prof. Dr. Baehaki
Prof. Intan Ahmad, Ph.D
Pemakalah
xi
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
JADWAL Flash Presentation Sesi 1
KAMIS, 15 OKTOBER 2015
Sesi 1, Waktu: 11.00 – 12.00
A. Biodiversitas dan Ekologi Serangga
No.
Judul
1.
Perilaku Hama Pengorok Daun Dari Dua Famili Berbeda Pada Pertanaman Manggis dan Bentuk Kerusakannya
2.
Formicidae Sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang
Keanekaragaman Spesies Serangga Tangkapan Lampu Perangkap selama Pertanaman Padi pada Sawah Irigasi
3.
Dataran Rendah
4.
Komposisi Serangga Permukaan Tanah di Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung Sumedang
Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 –
5.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Identifikasi Serangga Pengunjung pada Bunga lilin (Pachystachys lutea L.) di Sekitar Taman Hutan Raya
6.
Ir.H.Juanda
Keanekaragaman Spesies Serangga Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kacang Hijau di Brebes, Jawa
7.
Tengah
8.
Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Padi Gogo Dataran Rendah di Jatisari Karawang, Jawa Barat
Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dan Keragaman Serangga Predatornya pada
9.
Padi Sawah Lahan Dataran Tinggi
10. Pola Aktivitas Harian Serangga Vespidae (Hymenoptera) pada Tanaman Pisang
Perkembangan Populasi Wereng Hijau Nephotettix virescens Distant dan Musuh Alaminya pada Lahan Sawah
11.
dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang
12. Kondisi Serangga Hama di Perkebunan Teh Organik Citambur
Fluktuasi Populasi Lalat Buah Jantan (Bactrocera carambolae Drew and Hancock) dan (Bactrocera papayae
13. Drew and Hancock) (Diptera; Tephritidae) pada Beberapa Tanaman Belimbing
B. Fisiologi, Toksikologi, Biologi Molekuler Serangga
No.
Judul
Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC (Spinetoram 120 gai/lt) to Control Plutella xylostella and
14.
Crocidolomia sp. on Cabbage
xii
Pembicara
Wilna Sari
Aulia Azh Zahra
Eko Hari Iswanto
Ida Kinasih
Narti Fitriana
Mohamad Redzka Andika B.
Dodin Koswanudin
Martua Suhunan Sianipar
Mochamad Ardiansyah
Masriany
Hairil Anwar
Wahyu Widayat
Dodin Koswanudin
Pembicara
Agus Susanto
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Identifikasi Genotipe Kedelai Tahan Spodoptera litura Fabricus dengan Metode Pemilihan Inang
Morfologi Spirakel Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens)
Pengaruh Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Biologi Ulat Grayak, Spodoptera litura
Identifikasi Molekuler pada Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) Menggunakan Penanda DNA
Mitochondrial Cytochrome Oxidase I
Kelimpahan Populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae) pada Beberapa Varietas Ubi Kayu
Efektivitas Ekstrak Daun Kacang Babi (Vicia faba L.) Terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura
F.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Varietas Grobogan
Toksisitas Insektisida Golongan Organofosfat, Organoklorin dan Piretroid Pada Lebah Pencari Makan Trigona
laeviceps
Pengaruh Pemberian Kompos Gulma Siam (Chromolaena odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides)
terhadap Komposisi dan Keragaman Arthropoda pada Tanaman Cabai
Toksisitas Insektisida Lima Ekstrak TumbuhanTerhadap Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Crambidae)
xiii
Marida Santi YIB
Hafiz Fauzana
Ayda Krisnawati
Indra Wibowo
Sri Wahyuningsih
Yeni Hadiyanti
Ramadhani Eka Putra
Lindung Tri Puspasari
Syamsul Ma’arif
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
JADWAL Flash Presentation Sesi 2
KAMIS, 15 OKTOBER 2015
Sesi 2, Waktu: 14.20 – 15.30
C. Teknologi Pengendalian Serangga Hama pada Sistem Produksi Pangan
No.
Judul
Identifikasi Potensi Ketahanan 36 Klon Baru Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap Hama Lanas (Cylas
24.
formicarius F) (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium
Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong (Etiella
25.
zinckenella Treitschke)
Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (Snell.) Terintegrasi dan Analisis Pendapatan
26.
Petani di Perkebunan Rakyat
Pengujian 6 Jenis Tanaman Sebagai Bahan Pestisida Nabati Terhadap Intensitas Kerusakan Biji Kedelai Akibat
27.
Serangan Hama Gudang Callosobruchus spp.
28. Pengujian Lapangan Feromon Sintetik terhadap Hama Lanas (Cylas formicarius) pada Tanaman Ubi Jalar
Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Padi terhadap Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata
29.
lugens Stal.)
Pengaruh Tekhnik Pengendalian OPT pada Tanaman Cabai Merah terhadap Hasil Panen, Residu dan Biaya
30.
Pengendalian
Pengaruh Ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz) Terhadap Hama Ulat Penggerek Buah
31.
(Helicoverpa armigera Hubner) pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L) Varietas Cosmos
32. Insektisida Nabati Bengkuang dan Tembakau Dalam Pengendalian Preventif Hama Daun Kedelai
Uji Keberadaan Bakteri Penyebab Penyakit Darah pada Tubuh Beberapa Serangga Pengunjung Bunga Pisang di
33.
Daerah Cigadung, Bandung
Evaluasi Tingkat Parasitisasi Parasitoid Larva Penggerek Pucuk Tebu Scirpophaga nivella Ferr. (Lepidptera:
34.
Pyralidae) Di Perkebunan Tebu Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
35. Pengaruh Tanaman Jagung Berendofit Terhadap Populasi Ostrinia Furnacalis Guenee
Pengaruh Ekstrak Andropogon nardus untuk menekan populasi hama buah kakao Helopeltis sp dan P.
Palmipora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
D. Serangga Menguntungkan
36.
xiv
Pembicara
Syarif Hidayat
Dodin Koswanudin
Alam Anshary
Yenny Muliani
I Made Samudra
Dodin Koswanudin
Eti Heni Krestini
Dikayani
Kurnia Paramita Sari
Maria Marselina Bay
Nenet Susniahti
Itji Diana Daud
Mairawita
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
No.
Judul
Aktivitas Enzim Amilase, Lipase dan Protease dari Usus Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens) yang diberi
37.
Pakan Jerami Padi
Kelimpahan Lebah Penyerbuk Apis cerana Dan Trigona sp. (Hymenoptera: Apidae) Pada Tanaman Brassica
38.
rapa Dan Hubungnnya Dengan Faktor Lingkungan
39. Keragaman Serangga pada Berbagai Tumbuhan Berbunga di Sekitar Pertanaman Padi di Sukamandi
Pengaruh Populasi dan Jumlah Kunjungan Polinator Elaeidobius kamerunicus Faust. Terhadap Pembentukan
40.
Fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc.
E. Entomologi Permukiman, Veteriner, dan Industri karantina
No.
Judul
Status resistensi Beberapa strain Kecoa Jerman Blattella germanica (Dyctioptera; Blattellidae) dari 8 Kota di
41.
Sumatera terhadap Deltametrin
Food Preferences and Its Application as Fipronil Bait on Subterranean Termites (Isoptera: Termitidae) Under
42.
Field Conditions
Status Resistensi Beberapa strain Lalat Rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae) Terhadap Insektisida
43.
Imidakloprid dan Permethrin
Penurunan Tingkat Resistensi Kecoa Jerman (Blattella germanica L) (Dictyoptera: Blattellidae) yang Dipelihara
44.
di Laboratorium Terhadap Fipronil
45. Identifikasi dan Distribusi Nyamuk di Pesisir dan Pegunungan Kabupaten Pangandaran
46. Distribusi Nyamuk Vektor Demam Berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kota Bandung
47.
Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai Larvasida Lalat rumah (Musca domestica)
48.
Kajian Perilaku Agonistik Intraspesifik Koloni Rayap Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae)
Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Keberlangsungan Hidup Rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera:
Termitidae)
50. Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit
51. Preferensi pakan beberapa strain Kecoak Jerman, Blatella germanica Linn (Dyctioptera : Blattellidae)
F. Topik-Topik Lain yang Terkait dengan Serangga
No.
Judul
Pengaruh Minayak Atsiri Serai wangi (Cymbopogon nardus L.) Terhadap Kutu Kepala (Pediculus humanus
52.
capitis)
53. Kiat Menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh
54. Perilaku Petani Lembang dan Pangalengan dalam Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang
49.
xv
Pembicara
Ateng Supriyatna
Fitrallisan
N. Usyati
Agus Dana Permana
Pembicara
Nova Hariani
Ashari Zain
Sri Yusmalinar
Trisnowati Budi Ambarningrum
Ilbi Restu Sholihat
Ramad Arya
Haddi Wisnu Yudha
Ina Rosaria
Ledya Sari
N. Sushanti Idris-Idram
Resti Rahayu
Pembicara
Ucu Julita
Wahyu Widayat
Asma Sembiring
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia
55.
56.
Karakteristik Morfologi Polong dan Hubungannya dengan Ketahanan Terhadap Hama Pengisap Polong,
Riportus linearis
Teknik Penyimpanan Ubi Jalar Segar Untuk Menurunkan Kerusakan Hama Boleng (Cylas formicarius)
xvi
M. Muchlish Adie
Retno Endrasari
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
DAFTAR PESERTA
No.
1
2
3
4
5
6
Nama
SYAMSUL MA'ARIF
SYARIF HIDAYAT
NOVA HARIANI
ALAM ANSHARY
ATENG SUPRIYATNA
SRI YUSMALINAR
Instansi
Universitas Padjadjaran
Fakultas Pertanian Unpad
Universitas Mulawarman
Fakultas Pertanian Universitas Tadulako
ITB
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
7
TRISNOWATI BUDI AMBARNINGRUM
8
WILNA SARI
9
10
11
Dr. YENNY MULIANI
AULIA AZH ZAHRA
MARTUA SUHUNAN
12
IDA KINASIH
13
NARTI FITRIANA
14
HAIRIL ANWAR
15
UCU JULITA
16
ILBI RESTU SHOLIHAT
17
MOHAMAD REDZKA ANDIKA
18
19
20
21
22
23
24
25
SRI WAHYUNINGSIH
KURNIA PARAMITA SARI
FITRALLISAN
MARIA MARSELINA BAY
RAMADHANI EKA PUTRA
MASRIANY
NENET SUSNIAHTI
AGUS DANA PERMANA
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Sekolah Tinggi Pertanian Haji Agus Salim Bukittinggi
Sumatera Barat
UNINUS
SITH ITB
Departemen Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Unpad
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
BPTP Jawa Tengah
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Fakultas Pertanian UNPAD
SITH ITB
26
27
MOCHAMAD ARDIANSYAH
RAMAD ARYA FITRA
28
DIKAYANI
29
30
31
32
33
INDRA WIBOWO
ASMA SEMBIRING
E HENI KRESTINI
AGUS SUSANTO
WAHYU WIDAYAT
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan UNPAD
Institut Teknologi Bandung
Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Sunan Gunung Djati Bandung
SITH ITB
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang
Balitsa
Universitas Padjadjaran
Balai Penelitian Teh dan Kina Gambung
34
INA ROSARIA
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung
35
36
LEDYA SARI
NIA KURNIAWATI
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
xvii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
37
38
ASHARI ZAIN
EKO HARI ISWANTO
39
ITJI DIANA DAUD
40
41
42
MARIDA SANTI YIB
AYDA KRISNAWATI
YENI HADIYANTI
SITH ITB
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas
Hasanuddin, Makassar
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
43
HADDI WISNU YUDHA
Institut Pertanian Bogor
44
45
46
47
48
AHMAD SOHIB
ROZIATUL AFWAH
ERNA HERNAWATI
IRFAN NURDIANSYAH
M NUR QADRI S
49
DESTI NURBA INDAH KURNIA
50
DEYDRA FITRIA NUR RAHMAH
51
52
53
54
55
56
57
LIA SUGIARTI
KOVERTINA RAKHMI INDRIANA
BETTY SAHETAPY
ESTER D MASAUNA
Ir SAARTJE HELENA NOYA MP
Ir JEFIIJ VIRGOWATI HASINU MP
Ir RIA Y RUMTHE MP
58
MOCHAMAD SOPIAN ANSORI SP
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
UIN SGD Bandung
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Institut Teknologi Bandung
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti
Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Barat
59
IDA FARIDA SP
Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Barat
60
LUCKY WIDIASTUTI SP
Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Barat
61
DIAH AYU SITHORESMI SP
62
63
64
65
REZZA FIRMANSYAH
RIFKY ADHIANSYAH
KARTIKA APRILIA PUTRI
RIZQI DWI ARDYANTO
Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Barat
UNINUS
SITH ITB
Institut Teknologi Bandung
PT Pundi Kencana Flour Mill
66
AZMI FIRMAN BANGKIT
Institut Pertanian Bogor
67
68
69
70
71
72
73
74
75
SUPRIYONO
NURENY GOO
SUSI SOVIANA
IMAM HANAFY
ZAHARA FADILA
ARIE ANGGRIAWAN
MIA NURUL MILANI
ASEP ANWAR SUTISNA
ADE RAHAYU IRAWAN
Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Institut Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor
UNINUS
UNINUS
UNINUS
UNINUS
xviii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
ANISSA WILDANITA
ROSALINDA
RAYI WENINGGALIN N
MUHAMAD ROMASIDIK
AULIA SYIFAK BASHOFI
SISKA RASISKA
JERIKO JULIO EBEN STEFAN
CHRISTINA NATALINA SILALAHI
MILLA LISTIAWATI
METI MASPUPAH
MELIANI
LINDUNG TRI PUSPASARI
ASRIANI
ATIAH
SALMITA SALMAN
WAHYUNI ENDAH RAHMAWATI
HEMI MAHMUDDIN
NENG YUNI MARHAMAH
UNINUS
UNINUS
UNINUS
UNINUS
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Universitas Padjadjaran
Institut Teknologi Bandung
SITH ITB
UIN SGD
UIN SGD
BIOLOGI UNPAD
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian
SITH ITB
SITH ITB
ITB
ITB
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TADULAKO
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung
xix
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KEYNOTE SPEAKER 1
Prof. Dr. Y. Andi Trisyono
PENDIDIKAN DAN PENELITIAN ENTOMOLOGI DI INDONESIA
xx
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KEYNOTE SPEAKER 2
Prof. D. Dharma B. Nasution
OPTIMALISASI PERAN SERANGGA PENYERBUK DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Peran Serangga Penyerbuk pada Perkebunan Kelapa Sawit
Darma Bakti Nasution dan Maryani Cyccu Tobing
Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU
Pendahuluan
Tanaman kelapa sawit bukanlah berasal dari Indonesia. Tanaman kelapa sawit berasal dari
Afrika. Tanaman ini di tanam di kebun Raya Bogor dan tumbuh sebanyak 4 pohon, kemudian dibawa
dan dikembangkan di Sumatera Utara dan Aceh pada tahun 1911. Sejak tahun 2010 luas tanaman
kelapa sawit lebih dari 11 juta ha yang tersebar di seluruh Kepulauan di Indonesia. Tanaman terluas
terdapat di Riau, Kalimantan Barat, dan menggeser Sumatera Utara yang sekarang berada di posisi ke 3.
Indonesia menduduki peringkat pertama dan menggeser kedudukan Malaysia sebagai Negara terluas
dan pengekspor kelapa sawit dunia. Kelapa begitu popular karena saat ini pengembangan kelapa sawit
banyak dimiliki pengusaha swasta dan rakyat. Sementara pemerintah melalui BUMN hanya memiliki
kontribusi ± 8%, sedangkan rakyat mencapai 42% dan selebihnya adalah perusahaan swasta nasional
dan asing. Produksi kelapa sawit Indonesia berupa tandan buah segar (TBS) per hektar dan rendemen
minyak masih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia. Pertumbuhan perkebunan kelapa di Indonesia
di masa mendatang cuukup besar, karena lahan yang masih tersedia cukup besaar terutama di luar
Pulau Sumatera seperti Kalimantan dan Papua. Salah satu factor yang berpengaruh adalah kemungkinan
besar adalah belum optimalnya penyerbukan. Seperti halnya pada tanaman lainnya, bahwa
penyerbukan pada kelapa sawit juga dipengaruhi oleh factor lingkungan dan makhluk hidup (Hartley,
1976).
Bunga pada tandan akan berkembang menjadi buah bila terjadi penyerbukan dengan
sempurna yaitu sampainya serbuk sari sampai ke kepala putik. Proses polinasi dapat berjalan dengan
bantuan angin atau hujan. Penyerbukan alami melaui factor fisis ini tidak menunjukkan hasil yang baik,
sehingga para pekebun sejak lama mengunakan penyerbukan bantuan (assisted pollination). Hasil yang
ditunjukkan cukup baik tetapi pekerjaan membutuhkan tenaga yang terampil dan terlatih. Di samping
itu, pekerjaan ini sangat lambat dan membutuhkan biaya yang besar. Karena perkebunan kelapa sawit
yang begitu luas dan munculnya bunga yang serentak pada periode yang pendek sehingga cara ini tidak
efisien.
Peranan Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit (SPKS)
Selain penyerbukan dengan bantuan fisis juga ditemukan serangga penyerbuk (Entomophili).
Pada kelapa sawit ada beberapa yang dikenal sebagai pollinator yaitu 3 jenis lebah ; Apis indica, A.
dorsata, Melipona laeviceps. Ketiga jenis lebah banyak diketahui berada di perkebunan kelapa sawit di
Malaysia (Hartley, 1976). Di Indonesia sendiri juga banyak ditemukan jenis lebah ini mengunjungi
tanaman ketika berbunga dan mudah ditemukan pada tanaman hortikultura. Namun sampai sekarang
belum banyak yang menyatakan lebah sebagai sebagai penyerbuk di kelapa sawit. Sebelum Elaeidobius
xxi
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
pada tanaman kelapa sawit ditemukan Thrips hawaiiensis. Serangga ini ditemukan ditemukan di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun, serangga ini kemampuannya terbatas karena banyak
dipengaruhi oleh cuaca (Lubis, 2008). Selain itu juga Pyrodercus sp (Lepidoptera: Cosmopterydae),
tetapi serangga ini bersifat polyfag (Susanto et al., 2007). Kelapa sawit memiliki bunga jantan dan betina
yang tumbuh terpisah. Bunga jantan dengan aroma yang khas menarik serangga untuk hinggap dan
bergerombol. Peranan serangga dalam penyerbukan kelapa sawit dilaporkan oleh Syed (1979) bahwa
ada serangga yang mengunjungi bunga jantan dan betina ketika mekar khususnya pada siang hari yaitu
Elaeidobius spp dan Atheta sp.
Peranan E. kamerunicus pada Kelapa Sawit di Indonesia.
Peran sarangga local sangat kecil dalam penyerbukan sawit sehingga ketika itu perlu dilakukan
penyerbukan bantuan (assisted pollination). Oleh karena itulah diambil inisiatif memasukkan serangga
Elaeidobius kamerunicus (Coleoptera : curculionidae) melalui Kerjasama Puslitbun Marihat (sebelum
bergabung menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan) dan PT PP London Sumatra.. Serangga ini
dimasukkan dari Malaysia yang telah lebih dahulu memasukkannya dari Kamerun, Afrika. Serangga ini
mendapat izin dari Menteri Pertanian dan dilepas secara terbatas pada perkebunan kelapa sawit pada
tahun 1983 (Lubis, 2008).
Sampai saat ini ada 4 jenis Elaeidobius sebagai pollinator kelapa sawit tetapi yang dimasukkan
ke Indonesia adalah E. kamerunicus. Pollinator ini baik jantan dan betina selalu mengunjungi bunga
jantan kelapa sawit. Namun, seranggan jantan memiliki kemampuan membawa pollen yang lebih tinggi
dibanding jantan. Seekor jantan dapat membawa rata-rata 235 pollen sedangkan yang betina 56 pollen
(Appiah and Agyei-Dwarko, 2013). Tanaman kelapa sawit di Indonesia banyak tumbuh di dataran
rendah. Namun, dalam keadaan tertentu uga dapat tumbuh pada dataran tinggi sampai 5 m dpl
dengan kisaran suhu 4- 8 :C.
Serangga E. kamerunicus yang hinggap di bunga jantan ternyata membawa sebanyak 65% pollen
yang viable. Setelah serangga ini dimasukkan ke Malaysia, maka sejak tahun 1981 tidak dilakukan
penyerbukan bantuan lagi. Serangga ini dimasukkan ke Indonesia dan hasilnya cukup baik karena terjadi
peningkatan keberhasilan ditandai dengan pertambahan produksi tandan sawit dari sebelumnya 36%
menjadi 56, 59 dan 69% dalam waktu 3 tahun (Mariau and Genty, 1988). Berbeda dengan Amerika
selatan, serangga yang terdapat sebagai penyerbuk ada 2 jenis yaitu Mystrops costaricensis (Nitidilidae)
dan E. subvittatus terutama di sepanjang pantai Costarica dan lembah Mexico (Caudwell et al, 2003).
Penanaman kelapa sawit di dataran tinggi hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah.
Salah satu factor yang berpengaruh adalah kehadiran serangga Pollinator. Satu hal yang
menggembirakan adalah E. kemoronicus ternyata dapat hidup dan berkembang pada dataran tinggi.
Walau di Amerika selatan dan Afrika serangga lebih baik perkembangannya di dataran rendah dan
daerah pantai. Hasil penelitian Simanjuntak et al., (2015) menyatakan bahwa sampai pada ketinggian
902 m dpl ditemukan pollinator ±188,171 individu, sedangkan pada pada 530 m dpl terdapat ± 108,493
individu/ tandan bunga jantan anthesis. Hal ini menunjukkan bahwa serangga ini telah dapat
beradaptasi dengan baik pada tanaman di lingkungan pertumbuhan kelapa sawit.
Ketersediaan bunga jantan merupakan factor penting bagi perkembangan kumbang Elaeidobius.
Selain sebagai sumber makanan, bunga jantan diketahui sebagai habitat kumbang (Headley et al., 2006).
Hasil penelitian Susanto et al. (2007) bahwa idealnya daalam 1 hektar dibutuhkan paling sedikit 3
tandan bunga jantan dengan asumsi ± 20.000 ekor kumbang sehingga mampu menghasilkan 75%
fruitset. Bila jumlah itu tercapai, maka populasi kumbang tidak menjadi factor pembatas bagi
penyerbukan kelapa sawit termasuk di daerah dataran tinggi. Keberhasilan penyerbukan merupakan hal
xxii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
yang penting dalam budidaya kelapa sawit. Keberhasilan penyerbukan sangat menentukan terhadap
produksi kelapa sawit di Indonesia (Prasetyo dan Susanto, 2010).
Aspek ekologis dan biologis E. kamerunicus
Kumbang ini berasal dari Afrika sehingga kehidupannya sangat baik di daerah yang beriklim
tropis. Indonesia yang beriklim tropis tidak jauh berbeda dengan negara asalnya sangat ideal bagi
kehidupan kumbang Elaeidobius. Topografi lahan sawit dengan beberapa variasi suhu yang beragam
tida menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pertumbuhan populasi kumbang. Fruitset merupakan
persentase buah kelapa sawit yang terbentuk sebagai hasil dari penyerbukan. Keberhasilan serangga
sebagai pollinator ditunjukkan kehadirannya pada bunga betina reseptif (Dhileepan, 1994; Praetyo,
2013). Selain itu serangga ini memiliki kemampuan untuk mengenal tanaman inangnya memalui
senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Senyawa yang dihasil bersifat volatile yang
merupakan stimulant feeding bagi serangga (Lunau, 2000). Serangga ini memiliki sikls hidup 18-34 hari
dengan lama stadia telur, 2-4 hari; larva, 8-11 hari; pupa, 4-8 hari dan imago, 4-11 hari ( Simanjuntak et
al., 2015). Serangga ini aktif siang hari dan larva dan pupanya hidup berkelompok pada tandan sawit.
Optimalisasi Peran Penyerbuk Kelapa Sawit
Setelah lebih dari 30 tahun serangga ini masuk ke Indonesia ternyata menunjukkan hasil yang
gemilang, karena dapat menaikkan pembentukan fruit set yang sangat signifikan. Ada beberapa
indicator yang menyebabkan serangga ini berfungsi sebagai pollinator yang baik.
1. Iklim yang sesuai sehingga mendukung pertumbuhan populasi dan perkembangan serangga dengan
cepat,
2. Dapat berkembang biak dengan mudah karena kelimpahan bunga sawit,
3. Memiliki kemampuan menyebar dengan baik dan cepat,
4. Dapat melakukan pembuahan dengan optimal karena serangga dapat mencapai bunga betina
ditempat yang tersembunyi sekalipun (Susanto et al., 2012). Ada 5 factor yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangbiakan serangga pollinator. Factor tersebut adalah : 1. Hilang atau
lenyapnya tanaman (habitatnya), 2. Adanya invasive spesies, 3. Adanya musuh alami
(pemangsa/parasite), 4. Perubahan iklim (climate chage) dan 5. adanya penggunaan pestisida (Raine,
2014). Pestisida adalah Salah satu faktor yang banyak berpengaruh pada kumbang penyerbuk
serangga pollinator adalah pestisida.
Beberapa faktor yang dapat mengganggu perkembangan SPKS
1. Pengaruh Pestisida terhadap perkembangan serangga Penyerbuk Sawit
Pestisida banyak digunakan untuk mengendalikan serangga hama. Tanaman kelapa sawit
memiliki banyak hama terutama pada serangga perusak daun. Ulat api merupakan hama penting pada
kelapa sawit di Indonesia. Pengendalian ulat api dapat dilakukan dengan sistem Pengendaian Hama
Terpadu (PHT). Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan hama yaitu dengan 1.
Monitor secara teratur, 2. Memelihara kebersihan kebun secara baik dan 3. Penggunaan pestisida bila
populasi sudah melewati ambang ekonomi. Manajemen kebun yang baik dengan menjaga kebersihan
kebun menyebabkan tanaman lebih aman dari gangguan hama. Bila populasi hama mencapai ambang
ekonomi, maka tidak ada cara yang dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida.
xxiii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Ulat api merupakan hama tertenting di Sumatera dan pengendaliannya dilakukan para
pekebun dengan insektisida. Pada umumnya pestisida yang digunakan adalah insektisida yang masuk ke
dalam golongan sintetik pyretroid dan Organo fospat. Hampir semua insektisida kimia pengaruh dan
menimbulkan kematian bagi serangga dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Dalam percobaan di
laboratorium mortalitas mencapai lebih dari 90%, sedangkan dengan insektisida biologis menimbulkan
kematian ±30% (Kristanto et al., 2012). Problem di pertanaman akan semakin besar pada tanaman yang
sudah berumur 15 tahun ke atas karena tanaman seperti ini memiliki tinggi batang mencapai ±20 m
(Kalidas, 2012). Penelitian lapangan tentang pengaruh insektisida telah dilakukan Prasetyo et al., (2013)
yang menunjukkan bahwa Deltametrin dan Fibronil sangat berbeda nyata dengan Bacillus thuringiensis.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila harus menggunakan insektisida pada tanaman kelapa
sawit:
1. Penggunaan insektisda harus menjadi alternative terakhir, maka oleh karena itu perlu dilakukan
monitoring yang baik dan kebersihan kebun sehingga dapat menghindari penggunaan insektisida,
2. Bila harus menggunakan insektisida haruslah menggunakan insektisida berbahan aktif biologis,
sehingga dampaknya realtif kecil bagi serangga penyerbuk sawit,
3. Teknik aplikasi yang tepat dengan akurasi yang tinggi, yaitu dengan mengarahkan semprotan ke arah
pelepah tanaman.
2. Adanya Musuh alami SPKS
Setiap makhluk hidup termasuk serangga penyerbuk mempunyai musuh alami (natural enemies). Syed
(1982) telah mengidentikasi bahwa ada beberapa predator laba-laba,semut, dan tikus yang memangsa
telur, larva, pupa dan imago SPKS. Belakangan ada nematode Cylindrocorpus inevectus yang ditemukan
memarasit SPKS.
Penguatan peran SPKS
Akhir-akhir ini ditemukan buah sawit yang perkembangan tidak normal yang disebut dengan
buah landak. Buah dinamakan demikian karena duri tandan buah lebih panjang dengan buah yang lebih
kecil dan sedikit. Hal ini terjadi diduga karena penyerbukan pada bunga betina tidak terjadi dengan
sempurna. Program pemuliaan untuk menghasilkan klon baru dengan tujuan produksi yang tinggi
ternyata menghasilkan lebih banyak bunga betina dari Bungan jantan sehingga tidak terjadi
keseimbangan yang normal. Untuk itu diperlukan penyerbukan buatan, dan pelepasan serangga SPKS ke
lapangan. Teknik pembiakan dan pelepasan SPKS di lapangan ini dinamakan dengan Hatch and Carry
(Prasetyo et al., 2014). Serangga dipelihara dan dibiakkan dalam kotak ukuran 60x60x120cm yang
terbuat dari tripleks yang atasnya ditutup dengan kain kasa yang bisa dan ditutup. Kotak berisi ini berisi
6-8 bunga jantan yang telah anthesis yang mengandung larva atau pupa (Prasetyo dan Susanto, 2012).
Kotak ini ditempatkan di kebun (TM 1 -3) yang kurang mengalami fruitset yang rendah. Hal ini dilakukan
pada perkebunan yang baru dibuka yang sex ratio nya tinggi. Kotak ditempatkan 1-3 kotak/25 ha
(Prasetyo dan Susanto,2013).
Kesimpulan
1. SPKS setelah 30 tahun dapat berkembang dengan baik dan hidup dengan baik di seluruh
perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
2. Peran SPKS sangat penting karena dapat meningkatkan fruitset sehingga produksi tandan
meningkat dengan secara signifikan,
xxiv
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
3. Keberadaan SPKS dipengaruhi oleh cuaca terutama curah hujan dan ratio bunga jantan dan betina
yang tinggi. Keberadaan bunga jantan yang banyak dapat menjamin kemantapan keberadaan SPKS.
4. Penggunaan berbagai praktek pengendalian dengan insektisida harus mempertimbangkan
keamanan terhadap SPKS teerutama pada tanaman yang tinggi.
5. Pada daerah yang kurang mengalami fruitset kurang dari 30% dapat dilakukan dengan pelepasan
SPKS dengan teknik Hatch and Carry.
Saran
Perilaku SPKS yang hidup berkelompok dan terbuka menyebabkan serangga mudah diparasit
oleh berbagai serangga maupun patogen. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai
musuh alami SPKS dihubungkan dengan keadaan musim hujan dan kemarau. Di samping itu juga perlu
diteliti pertumbuhan dan pekembangan terhadap perubahan iklim yang ektrim pada daerah yang
memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang luas.
Daftar Pustaka
Appiah SO and D Agyei Dwarko, 2013. Study on Entomophil Pollination towards Sustainable Production
and increase Profitability in the oilpalm. Elixir Agriculture 55.
Eardley,C; D.Roth,J. Clarke, S.Buchman, B. Gemmil,2006. Pollinators and Pollination. A source book for
policy and Practices. The African Pollinator initiative (API). US Department of State.
Hartley, CWS, 1976. The Oilpalm (2 edition) . Longman.
Kalidas P., 2012. Pest Problem on Oilpalm and management Strategies for Sustainability. Journal of
Agrotechnology. Review article (open access).
Kristanto, D. Bakti, ME. Tarigan, 2012. Dampak Penggunaan Insektisida Terhadap Serangga Penyerbuk
Kelapa Sawit di laboratorium. Skripsi Sarjana pada Fakultas pertanian USU.
Lubis, AU, 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack) di Indonesia (Edisi 2). Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Medan.
Raine, N., 2014. Threat of Pesticides to Insect Pollinators. Lecture on Royal Holloway, Univ of London, UK.
Prasetyo,AE; D. Sunindyo; PR. Tolentino; A. Susanto, 2013. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Aktif
insektisida Terhadap Mortalitas dan Kemunculan Kumbang baru Elaeidobius kemarunicus Faust.
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, Vol 21(3). Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.---------. dan A.
Susanto, 2012. Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit Elaeidobius kamerunicus
Faust: Agresivitas dan Dinamika Populasi di Kalimantan Tengah. Jurnal Pusat Peneliitian Kelapa Sawit.
Vol 20(3). Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. --------- dan A. Susanto, 2012. Meningkatkan
Fruitset Kelapa Sawit dengan Teknik Hatch and Carry Elaeidobius kemarunicus. Seri Kelapa Sawit
Populer 11. Pusat Penelitian Kelapa sawit, Medan.--------. WO Purba, A. Susanto., 2014.
Elaeidobius kamarunicus Faust. Application of Hatch and Carry Technique for Increasing Oil Palm
Fruitset. Journal of Oilpalm Research. Vol 26(3).
Simanjuntak, D; AE Prasetyo; A. Susanto, 2015. Karekteristik Populasi,siklus hidup dan aktivitas
Elaeidobius kamerunicus di perkebunan Kelapa sawit. Warta Pusat penelitian Kelapa Sawit. Vol
20(1). Pusat Penelitian kelapa sawit, Medan.
Susanto, A; RY Purba, dan AE. Prasetyo, 2007. Elaeidobius kemerunicus Faust. Serangga Penyerbuk
Kelapa Sawit. Seri Buku Saku 28. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.
xxv
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KEYNOTE SPEAKER 3
Prof. Ridad Agoes - Program Studi Epidemiologi, Dept Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Fak. Kedokteran Unpad.
ENTOMOLOGI FORENSIK – MASIH ADAKAH TEMPAT DAN
PELUANG DALAM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK MASA KINI
Dengan berkembangnya ilmu epidemiologi kedokteran, maka berkembang pula satu cabang ilmu
yaitu ilmu kedokteran forensik. Tugas ilmu kedokteran forensik adalah menunjang pemeriksaan
dibidang kejahatan atau kriminal.
Pada awal perkembangannya, salah satu bidang khusus yang sering digunakan untuk pemeriksaan
mayat, terutama mayat yang meninggal karena kejahatan, adalah ilmu entomologi forensik. Dari
definisinya, ilmu entomologi forensik adalah ilmu yang mempelajari dan menerapkan karakteristik
serangga insekta/arthropoda dalam kaitannya dengan investigasi kejahatan atau investigasi kriminal.
Dari sejak awal kematian, pada tubuh mayat lazim ditemukan beberapa jenis serangga yang tertarik
pada proses pembusukan. Umumnya serangga yang lazim ditemukan adalah serangga dari jenis lalat
Diptera, walaupun serangga lain pun pernah dilaporkan seperti semut, laba-laba dsb. Secara
berurutan, lalat yang ditemukan adalah spesies dari genus Calliphoridae, disusul oleh Sacrophagidae,
dan kemudian lalat rumah dari genus Muscidae.
Kedatangan dan keberadaan serangga pada sebuah mayat dapat menentukan lamanya kematian,
dari beberapa jam pasca kematian hingga beberapa bulan post mortem. Demikian pula stadium
pertumbuhan serangga tsb, mulai dari stadium telur, larva, pupa dan imago. Namun inti dari
pengamatan serangga sebagai alat deteksi forensik, dapat dikelompokkan menjadi empat kategori
yaitu penentuan masa kematian (lazim disebut Post Mortem Index atau PMI), penentuan apakah
mayat dipindahkan dari TKP, cara dan penyebab kematian, serta keterkaitan tersangka dengan
korban.
xxvi
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KEYNOTE SPEAKER 4
Prof. Dr. Baehaki - FKPR Badan Litbang Pertanian/PEI
Bandung
STRATEGI PENGELOLAAN SERANGGA HAMA DI LAHAN PERTANIAN UNTUK
MENUNJANG TERCAPAINYA KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
ABSTRAK
Pengelolaan serangga hama di lahan pertanian untuk menunjang tercapainya ketahanan pangan di
Indonesia menjadi penting baik sebelum maupun sesudah ada tanaman di lapangan. Pada tahun
1989 Indonesia memulai program PHT yang diawali dengan SL-PHT berhasil melatih 250.000 petani
sampai tahun 1993. Pengembangkan dan penerapkan PHT berlanjut dalam peningkatan produksi
padi, namun pada tahun 2004-2006 terjadi pelandaian produksi sehingga perlu terobosan lain yaitu
dengan diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) mulai 2007 dalam rangka P2BN, yang salah satu
komponen PTT-nya adalah PHT biointensif. Pada Era pemerintahan 2014-2019 dalam pemenuhan
kebutuhan pangan telah menerapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan
padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya
antara lain: pengembangan jaringan irigasi, optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice
Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi
perluasan Areal tanaman kedelai melalui penongkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai),
Perluasan Areal Tanam Jagung (PAT Jagung), Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih,
pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian), Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim,
Asuransi pertanian dan Pengawalan/pendampingan. Pengendalian hama terbaru bersama-sama
dengan teknologi peningkatan produksi lainnya harus menerapkan triangle strategis yaitu strategi
teknologi (SOP Pengendalian hama), strategi sosial, dan strategi kebijakan pemerintah yang dikemas
dalam rencana tindak lanjut (RTL) sesuai dengan masyalah di lapangan.
PENDAHULUAN
Sebagai bangsa yang besar dari negara kepulauan, Indonesia harus memenuhi kebutuhan
pangan dari produksi dalam negeri. Swasembada beras lestari adalah salah satu perwujudan dari
kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan
revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Ketahanan pangan dalam penyiapan
produksi terkendala dengan serangan serangga hama yang sering mengganggu serta keterbatasan
komponen lain yang menyangkut produksi. Usaha ketahan pangan nasional dengan diluncurkannya
program PHT oleh BAPENAS mulai 1989 diawali dengan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) yang berhasil
melatih 250.000 petani sampai tahun 1993 (Oka, 1995). Produksi padi sejak diluncurkannya program
PHT Nasional dan selama penerapannya PHT terus meningkat, namun pada perjalanannya produksi
padi melandai (leveling off) pada 2004-2006 tidak beranjak dari 54 juta ton, sehingga perlu terobosan
teknologi baru yaitu dengan diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) mulai 2007 dengan metode
berbeda. Terobosan baru tersebut yaitu Gerakan peningkatan produksi beras nasional (P2BN)
dengan peningkatan produksi beras 2 juta ton dan peningkatan produksi 5% pertahun sampai tahun
2009 sudah diupayakan dalam rangka pemantapan ketersediaan beras yang bersumber dari produksi
dalam negeri. P2BN merupakan upaya yang terkoordinasi untuk membangun sistem pertanian
tangguh dengan memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan pengelolaan
xxvii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
tanaman terpadu (PTT). Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan adalah melalui
pendekatan agribisnis, pembangunan kawasan usahatani terpadu dan berkelanjutan dengan berbasis
sumberdaya pertanian. Disamping itu, kelembagaan kedesaan juga dibina baik yang berfungsi
sebagai penghantar (delivery) yaitu kelembagaan penyuluhan pertanian, perkreditan, pemasok
sarana produksi serta pengolahan dan pemasaran hasil, maupun yang berfungsi sebagai penyerap/
penerima (receiving) yaitu kelompoktani dan koperasi (Yamin et al, 2012).
Dalam pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai, lahan merupakan
salah satu faktor produksi utama yang tidak tergantikan. Berdasarkan hasil audit lahan Kemtan
tahun 2012, luas lahan sawah 8132346 ha. Indek pertanaman 140% dan produktivitas rata–rata 5,13;
4,93; dan 1,51 t/ha berturut-turut untuk padi, jagung dan kedelai (ARAM II BPS 2014) dalam
Kepmentan No. 1243/Kpts/OT.160/12/2014.
Untuk itu pada masa pemerintahan 2014-2019 Kementrian Pertanian menetapkan Upaya
khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya antara lain: pengembangan jaringan irigasi,
optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi perluasan Areal tanaman kedelai melalui
peningkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Perluasan Areal Tanam Jagung (PAT Jagung),
Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian),
Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, Asuransi pertanian dan Pengawalan/pendampingan.
TEKNOLOGI PEMBANGUN PRODUKSI KETAHANAN PANGAN
1.
Pengendalian hama terpadu (PHT)
PHT berlandaskan kepada ekologi, ukuran populasi hama dan kerusakannya memberikan
pengaruh sangat banyak, sebagai cerminan dari pola dan pengelolaan ekosistem pertanian. PHT
sebagai konsep original untuk mengelola hama melalui studi interaksi hama dengan lingkungannya,
dipahami sebagai PHT konvensional. Beberapa akhli melontarkan PHT Biointensif yang
menggabungkan factor ekologi dengan factor ekonomi ke dalam system pertanian untuk
pengambilan keputusan agar kualitas lingkungan dan ketersediaan makanan yang diinginkan publik
terjamin. Keuntungan pelaksanaan PHT biointensif dapat meningkatkan PHT yang berkelanjutan
dengan mengurangi biaya untuk pemakaian bahan kimia, mengurangi pencemaran lingkungan baik
on-farm maupun off-farm. PHT biointensif lebih effektif menekan hama, penyakit, dan gulma bila
melalui prosedur integrasi berbagai taktik untuk menghindari hilangnya hasil dan menekan
penggunaan pestisida (Jepson, 2009).
Kunci utama PHT yang efektif adalah bila petaninya dapat memahami konsep (Defour, 2001).
Jika para petani penghasil produk mengerti terhadap pertanyaan mengapa ada ledakan hama, maka
dia akan melakukan bagaimana mengajari dirinya sendiri untuk antisipasi ledakan hama (Steiner,
1994).
Perbedaan penting antara PHT konvensional dan PHT biointensif adalah tekanannya kepada
strategi proaktif yang dirancang dalam ekosistem pertanian supaya tidak menguntungkan untuk
perkembangan hama, namun dapat menguntungkan terhadap keberadaan komplek musuh alami
predator dan parasitoid (Gambar 1). Pada waktu yang sama PHT biointensif disumbang oleh berbagai
komponen seperti PHT konvensional, monitoring, penggunaan ambang ekonomi, catatan harian
petani (farm record keeping) dan perencanaan (Dufour, 2001).
xxviii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
PHT biointensif dari awal lebih mengarah kepada manipulasi habitat serangga berguna di
atas tanah & kesehatan tanah serta monitoring dan informasi populasi hama dan musuh alami yang
akan menjurus kepada kesetimbangan biologi (biological balance) antara hama dan musuh alami.
Dilain pihak PHT konvensiaonal mengarah kepada diversitas genetik tanaman atau kultivar yang layak
pada satu ekosistem, tekanan hama, monitoring dan identifikasi hama serta pengendalian dengan
bahan kimia.
Pada pihak lain sebagai landasan dasar baik PHT biointensif maupun PHT konvensional tetap
membutuhkan sanitasi, pengaturan waktu tanam serta rotasi tanaman, demikian juga PHT
biointensif maupun PHT konvensional pada proses selanjutnya dapat menggunakan pengendalian
hayati, mekanis maupun pengendalian fisik.
Gambar 1. Ilustrasi PHT biointensif dan PHT konvensional dari Dufour (2001)
PHT biointensif adalah PHT tingkat tinggi yang menerapkan pedekatan kepada pemahaman
ekologi serangga dalam pengendalian hama. Pendekatan ini dimulai dengan diagnosis sumber
masyalah hama yang akurat, kemudian dijadikan taktik pencegahan dan pengendalian biologi untuk
menahan populasi hama pada batas yang diterima untuk memperkcil resiko (Benbrook, 1996).
Diagnosis sumber masyalah harus dimulai dari desk study yang dilanjutkan di lapangan dengan
participatory rural appraisal (PRA = pemahaman pedesaan secara partisipatif). PRA sering
diterjemahkan menjadi Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) dalam menentukan prioritas yang
dibutuhkan petani (Baehaki, 2014). Tujuan Utama PHT biointensif adalah memberikan petunjuk dan
pilihan terhadap pengelolaan hama yang effektif dengan memanfaatkan organisme yang berguna
(beneficial organism) dalam satu system ekologi.
xxix
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Jalan menuju penerapan PHT Biointensif telah tersedia beberapa kiomponen, baik yang
berasal dari disiplin enotomogi maupun disiplin lain (nutrient management, irrigation management,
weed management, variety management, sistim polykultur).
a. Rekayasa ekologi (Ecological engineering) dengan pupuk organic sebagai pengkayaan
predator
Pupuk organik dapat menggunakan kompos jerami, tinja sapi dari sistem integrasi paditernak (SIPT), tinja hewan lain, dan bahan lainnya untuk perkembangan lalat Ephytrid, Colembola dan
Chironomid. Tiga kelompok serangga netral dan pemakan sisa bahan organik (detritus) dapat
berkembang pada bahan organik (Settle et al. 1996). Bahan organik memperkaya populasi musuh
alami Ephytrid, Colembola, dan Chironomid sebagai makanan laba-laba (sebagai musuh alami yang
berguna menekan hama). Kondisi lingkungan pertanian dengan mengedepankan kinerja musuh alami
disebut rekayasa ekologi (Ecological engineering) (Baehaki 2014). Salah satu tujuan dari rekayasa
ekologi adalah kesehatan ekosistem menuju pertanian berkelanjutan (Costanza 2012). Dalam
praktek pengkayaan musuh alami dapat dilakukan pada pertanaman jajar legowo + pupuk dari SIPT
(Baehaki et al. 2012).
b. Rekayasa ekologi (Ecological engineering) dengan SIPALAPA dan tanaman bunga untuk
pengkayaan predator dan parasitoid
Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihan biodiversitas (restored biodiversity) dan
pelayanan ekosistem dengan mengembangkan tanaman bunga di sekitar tanaman padi (pematang,
surjan atau tegalan) telah dilakukan di Indonesia dengan memperkenalkan sistem integrasi palawija
pada tanaman padi (SIPALAPA) pada tahun 2002, yaitu menanam kedelai, jagung, dan sayuran
seperti sawi dan kacang panjang di pematang (Baehaki 2011a). Pada system integrasi pertanaman
padi dan palawija sebagai metode baru pengembangan pertanian modern bahwa tanaman palawija
sebagai tempat berlindung (shelter) komunitas musuh alami, b) pengkayaan musuh alami spesifik
dan musuh alami umum, dan d) tempat bersembunyi (refuji) musuh alami dan dan tempat
berkembang biak musuh alami baik predator maupun parasitoid.
Hal demikian juga dilakukan di Vietnam, dengan tanaman bunga (Huan and Chien, 2010).
Tanaman bunga yang ditanam adalah yang mengandung nektar sebagai makanan parasitoid untuk
kebugaran dan memperpanjang umur. Tanaman bunga yang dipakai seperti Wedelia chinensis,
Helianthus sp, Lantana camara, Crotalaria, okra atau wijen Sesamum indicum yang ditanam di
pematang sawah. Rekayasa ekologi di China dengan menanam wijen di pematang sawah.
c. Zat penghambat hama pengisap cairan tanaman padi
Asam oksalat, maleat, dan trans-akotinik sebesar 0,1% dapat menghambat wereng cokelat
mengisap cairan tanaman, sedangkan asam sitrat, malat, dan suksinat tidak dapat menghambat
hisapan cairan tanaman oleh wereng cokelat (Yoshihara 1980). Data proteomik (protein genom)
menunjukkan bahwa mekanisme makan wereng cokelat disertai dengan bermacam tekanan seperti
melukai, stres oksidatif, patogenesis dan sifat herbivora serangga. Saat seranggga makan,
pengembangan pertahanan dasar yang kuat terjadi pada galur rentan dibandingkan dengan galur
tahan. Ekspresi protein jasmonic acid (JA) sintesis, protein stress oksidatif, Gns1 (glucanase 1),
protein kinase dan clathrin dengan rantai protein yang berat meningkat pada kedua galur rentan
maupun tahan, tetapi tingkat ekspresi yang lebih tinggi terlihat pada galur rentan setelah diberi
perlakuan wereng cokelat (Wei et al. 2009). Uraian di atas memberikan petunjuk bagaimana
xxx
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
seharusnya pemulia tanaman menyikapi perakitan varietas yang tahan wereng cokelat, sehingga
dalam perakitan varietas harus didasari kesesuaian gen ketahanannya.
d. Teknologi Pengendalian Hama Padi Dengan Sistem Rotasi Palawija Pada Padi (ROPALAPA)
Teknologi Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Rotasi palawija pada padi (ROPALAPA)
adalah termasuk strategi proaktif PHT biointensif. ROPALAPA diartikan bahwa pada satu areal ada
pergantian pertanaman yaitu setelah panen padi, lahan tersebut ditanami palawaija. Palawija yang
dianjurkan adalah kedelai dan kacang hijau. ROPALAPA dapat meningkatan agribisnis horizontal,
membantu program pemerintah, mengurangi import palawija, pengendalian hama untuk memutus
siklus hama padi, memperkaya musuh alami, bila palawijanya ikan akan baik untuk pengendalian
penggerek, terutama yang berdiapause.
e. Tanaman Perangkap
Tanaman perangkap sering kali merupakan tanaman lebih kecil dan sering ditanam lebih
awal dari tanaman utama yang digunakan untuk mengalihkan serangan serangga menjauh dari
tanaman utama dengan menggunakan sumber makanan lebih menarik. Tanaman perangkap
biasanya harus dihancurkan sebelum serangga mereproduksi. Tanaman perangkap harus mempunyai
keistimewaan lebih disukai dari pada tanaman budidaya utamanya. Hama yang menyerang tanaman
perangkap sebaiknya dihilangkan sebelum hama dapat menyelesaikan siklus hidupnya atau hama
tidak diberi kesempatan menyelesaikan semua siklus hidupnya.
Tanaman jarak kepyar, sorgum, dan kacang hijau dapat digunakan sebagai tanaman
perangkap pada tanaman budidaya tembakau. Populasi hama pada tembakau dapat ditekan hingga
50%, oleh karena itu penyemprotan insektisida secara berjadwal untuk mengendalikan serangga
hama tembakau cerutu besuki merupakan tindakan pengendalian yang tidak efektif dan juga tidak
efisien (Nurindah et al., 2009). Penggunaan kacang hijau memberikan produksi kerosok (daun
tembakau kering) dengan mutu paling tinggi dibanding dengan tanaman perangkap lainnya. Dari
hortikultura dilaporkan bahwa tanamann kubis dapat terhindar dari serangan hama Plutella
xylostella, karena adanya tanaman yellow rocket (Barbarea vulgaris (R. Br.) variety arcuata) yang
dijadikan tanaman perangkap. Hama tersebut sangat tertarik kepada yellow rocket untuk bertelur,
namun larvanya tidak hidup pada tanaman tersebut (Perez et al., 2004).
Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman perangkap atau penolak
hama jagung Chilo partellus (Pyralidae) and Busseola fusca (noctidea) dalam Strategi tolak-tarik
(push-pull strategy). Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput Sudan (Sorghum vulgare
sudanense) menunjukkan sebagai tanaman perangkap, sedangkan rumput molasses (Melinis
minuflora) dan silverleaf Desmodium (Desmodium uncinatum) menolak (repelen) peletakan telur
penggerek batang (Khan et al., 2000 in Khan dan Pickett, 2004). Tumpangsari rumput molase yang
dengan jagung akan mengurangi serangan penggerek batang dan meningkatkan parasitisme oleh
musuh alami, Cotesia sesamiae (Khan et al. 1997 in Khan dan Pickett, 2004), namun demikian
keempat rumput tersebut selain sebagai tanaman parangkap juga secara ekonomi sangat penting
sebagai makanan ternak di Afrika Timur.
f.
Lampu perangkap hama (light traps)
Lampu perangkap sangat penting untuk mendeteksi hama betina/jantan imigran yang
pertama kali datang di pesemaian atau pertanaman. Alat ini penting untuk mengetahui kehadiran
hama imigran dan dapat menangkap hama dalam jumlah besar. BB Padi telah menyalurkan lampu
xxxi
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
perangkap elektrik BSE-G3 sebanyak 26 unit untuk berbagai Kebun Penelitian Jawa dan Bali (Baehaki,
2013). Satu lampu pengangkap BSE-G3 dan BSE-G4 dengan kekuatan lampu ML 150 Watt dapat
meliputi 500 ha untuk monitoring dan meliputi 100 ha untuk reduksi hama.
Pada percobaan rekayasa ekologi seluas 37 ha di Jin Hua povinsi Zhejiang, China telah
dipasang lampu perangkap sebanyak 40 buah, jumlah ini terlalu banyak dari yang dibutuhkan untuk
pemantauan wereng imigrasi. Perangkap ini cukup banyak murunkan hama, namun ada risiko bahwa
musuh alami, khususnya beberapa parasitoid hymenopteran bisa dibunuh (Gurr, 2009).
2.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
Pengendalian hama padi merupakan prioritas utama setelah ada pertanaman padi di
lapangan, karena kegagalan pengendalian hama tersebut akan menurunkan produksi yang sangat
drastis. Dalam rangka penyelamatan produksi padi maka pengendalian hama telah mnggunakan
berbagai teknologi mulai penyediaan varietas tahan, penggunaan musuh alami, cara budidaya (waktu
tanam, pengairan, pemupukan, dll), dan insektisida yang dirangkum dalam PTT atau dalam bentuk
lain tergantung kepada siapa pengelola dan apa kepentingannya.
PTT dibangun oleh teknologi yang dihasilkan dari berbagai disiplin dan bidang keakhlian.
Ahli proteksi tanaman menghasilkan dan menyempurnakan konsep dan teknologi pengendalian
hama terpadu (PHT) yang bertujuan untuk pencapaian keseimbangan biologi hama-musuh alami
supaya ada dibawah ambang ekonomi. Ahli agronomi menghasilkan pengelolaan nutrisi tanaman
terpadu (PNT), bertujuan menghasilkan budidaya sehat dengan suplemen yang dirakitnya serta
identifikasi nutrisi mayor dan minor, Ahli pemuliaan menhasilkan pengelolaan varietas terpadu
(PVT), bertujuan menghasilkan varietas tahan hama, produksi tinggi, dan berkualitas. Ahli tata guna
air menghasilkan pengelolaan air terpadu (PAT), bertujuan untuk menhasilkan teknologi hemat air.
Ahli gulma menghasilkan pengendalian gulma terpadu (PGT), bertujuan untuk menekan gulma yang
mengganggu pertumbuhan padi.
Disamping itu perlu dikembangkan pengelolaan pestisida terpadu (PPT), bahkan PTT
memerlukan sosial ekonomi dan pasca panen. PTT mengkombinasikan semua teknologi pertanian
moden bertujuan untuk menhasilkan produksi tanaman dengan kuantitas dan kualitas yang
diperlukan, dilain pihak sistim pertanian terpadu (integrated farming system) bertujuan produksi
nabati dan daging dengan proses zero waste untuk mencapai system pertanian berkelanjutan
(Baehaki, 2006; Baehaki, 2010) (Tabel 1).
Tabel 1. Teknologi pendukung pengelolaan tanaman terpadu.
Kelompok
Akhli/juru
san
Teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian
Teknologi Parsial tiap kelompok
Tujuan
Proteksi
Tanaman
Pengendalian hama terpadu
(Integrated Pest Management =
IPM)
Keseimbangan
biologi hamamusuh alami ada
dibawah ambang
ekonomi
Agronomi
Pengelolaan nutrisi tanamam
terpadu (Integrated Nutrient
Management = INM)
Budidaya sehat,
identifikasi nutrisi
makro dan mikro
Pemuliaa
Pengelolaan variets terpadu
Varietas tahan
xxxii
Holistik
Pengelolaan
Tanaman
terpadu
(Integrated Crop
Management =
ICM) bertujuan
produksi
tanaman
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
n
Tanaman
(Integrated Varieties
Management = IVM)
hama, produksi
tinggi, berkualitas
Tataguna
Air
Pengelolaan air terpadu
(Integrated Water Management
= IWM)
Efisiensi
pemakaian air
Gulma
Pengendalian gulma terpadu
(Integrated Weeds
Management = IWM)
Menekan
persaingan padigulma
Kimia dan
biopestisi
da
Pengelolaan kimia pestisida
terpadu dan biopestisida
(Integrated Chemical Pesticide
Management =IPCM and
biopesticides)
Efikasi tinggi,
Target selektif
Alsintan
Pengelolaan alat dan mesin
pertanian
Akurasi Alat dan
mesin
Sosial
Ekonomi
Analisis break event point dan
lingkungan
Kebijakan dan
lingkungan
Integrated farming System bertujuan
produksi nabati dan daging dengan
proses zero waste
Integrated Crop Management (ICM) +
Peternakan
Sumber: Baehaki (2006, 2010)
Teknologi pengelolaan tanaman terpadu di Vietnam melaksanakan program Three
Reductions, Three Gains (3R, 3G) dengan bahasa daerahnya Ba Giam, Ba Táng. Program ini untuk
mereduksi ongkos produksi, meningkatkan kesehatan petani, dan mempertahankan lingkungan
sawah irigasi di Vietnam Selatan melalui reduksi pemakaian benih, pemakaian pupuk dan insektisida.
Program tersebut berhasil di An Giang menurunkan pemakaian benih dari 200-350 kg/ha menjadi
151 kg/ha, tetapi di Can Tho masih 220 kg/ha. Pemakaian nitrogen menurun dari 150-300 kg/ha
menjadi 100-120 kg/ha, dan aplikasi insektisida sebanyak 10-15 kali menurun 13 - 33%, karena
aplikasi dimulai dari 45 hst (no early spraying =NES) (Huelgas dan Templeton, 2010).
Di Indonesia penurunan pemakaian benih dengan perbaikan pemuliaan dan produksi benih
dari 40 kg/ha menjadi 15 kg/ha, demikian juga efisiensi pemakaian Nitrogen/NPK meningkat, dan
pelaksanaan PHT telah mereduki pemakaian insektisida dan frekuensinya, serta telah mengeliminir
insektisida yang efikasinya rendah.
Disadari bahwa PHT memegang peranan penting dalam pengembangan PTT, hal ini karena
konsepsi dan teknologi PHT lebih dahulu berkembang. Bradley et al. (2002) menggambarkan bahwa
PHT berada di lingkaran pusat yang bertujuan terfokus terhadap pengendalian hama. PTT yang
dibagun oleh PHT berada pada lingkaran kedua yang bertujuan pengelolaan tanaman untuk produksi,
sedangkan pada lingkaran ke tiga adalah sistem pertanian terpadu yang dibangun oleh seluruh aspek
penunjang pertanian terutama PTT dan peternakan (Gambar 2a).
Selain itu teknologi pendukung PTT harus pula dibangun oleh berbagai teknologi dari disiplin
lain seperti akhli tanah, akhli lingkungan dan teknologi dari akhli-akhli lainnya. Sekelompok
agronomis dari University of Hertfordshire (2001) yang mengemukakan bahwa PTT dibangun oleh
pengelolaan varietas, pengelolaan tanaman-ternak, organisasi dan perencanaan, efisisnsi energy,
pengelolaan nutrisi tanaman, proteksi tanaman, lokasi, rotasi tanaman, pengelolaan satwa liar,
habitat dan fitur landscape (Gambar 2b).
xxxiii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Sumber: Bradley et al, 2002
Sumber: University of Hertfordshire (2011)
Gambar 2. Teknologi modern pembangun pengelolaan tanaman terpaddu dan Farming System
PTT yang diadopsi petani, menyangkut beberapa perubahan pada praktek pertanian yang
telah ada, karena PTT selalu berkembang dan menggunakan teknologi mutahir. PTT pada pandangan
produsen menjamin keberlangsungan hidup berkelanjutan, sedangkan pada pandangan konsumen
mengharapkan pasokan berkelanjutan yang terjangkau disertai kualitas barang yang dihasilkan.
Dalam praktek meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan, petani diberikan pilihan teknologi
produksi yang telah dikembangkan dan disebarkan secara efektif melalui pendekatan PTT.
Balasubramanian et al (2010) melaporkan bahwa petani semakin mengadopsi PTT seperti petani di
India, Indonesia, dan Filipina, juga saat ini PTT sudah diperkenalkan ke Bangladesh, Timor Timur, dan
PTT memiliki potensi untuk para petani skala kecil di Afrika dan ditempat lain.
IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA
Tekonologi pengendalian hama sudah sangat banyak macamnya, namun penerapan di
lapangan banyak yang tidak berhasil, disebabkan melupakan sosial kemasyarakatan diantaranya
tidak ada kesepakatan waktu tanam, bimbingan kurang, sentuhan IQ petani tidak memadai.
Teknik pengendalian hama terbaru yang harus diterapkan adalah menerapkan 3 strategis
pengendalian yaitu strategi teknologi (SOP Pengendalian wereng coklat), strategi sosial (Sosiologi)
dan strategi kebijakan pemerintah (Gambar 3).
xxxiv
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
SOP of pests
management
Technology
Public
administration
Sociology
Gambar 3. Strategi segetiga (triangle strategies) pengendalian hama
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengendalian hama tidak dapat diselesaikan hanya
dengan teknologi, karena teknologi itu barang pasip, tidak akan aktif bila tidak ada yang
menggerakkan. Penggerak utama teknologi adalah masyarakat tani sebagai pemakai teknologi. Di
pihak lain bila mana ada sesuatu yang tidak baik yang berlaku untuk kepentingan umum di lahan
produksi pertanian, maka harus ada strategi ke tiga adalah kebijakan pemerintah.
Strategi Teknologi
Dalam pengendalian wereng coklat sebagai contoh, sudah banyak teknologi yang dihasilkan
untuk mengendalikannya sejak ditemukannya varietas tahan IR64 sampai yang terakhir
ditemukannya varietas Inpari 13 yang tahan wereng coklat lapangan dan toleran serangan penyakit
virus kerdil. Strategi teknologi telah dituangkan dalam SOP Pengendalian wereng coklat (Baehaki,
2011b). Strategi ini menyangkut Varietas pilihan, Lampu Perangkap (Light traps), Waktu Pesemaian
Padi, Tuntaskan Pengendalian Pada Generasi 1, Pengamatan Wereng Coklat di Pertanaman dan
Pengendaliannya berdasar musuh alami, Penggunaan Insektisida dan Pengendalian Penyakit disebar
Vektor
Strategi Sosial
Sebagian besar petani dalam melaksanakan usaha produksinya kurang mandiri, petani
terindikasi menjadi peminta. Petani kurang mempunyai rasa memiliki terhadap apa yang
diusahakannya yang menyebabkan banyak ketergantungan kepada institusi dan petani selalu ikutikutan. Oleh karena itu sebenarnya program pemerintah dengan dibentuknya kelompok tani yang
mengarah kepada gapoktan untuk mendidik petani supaya mandiri. Namun demikian sebaik apapun
program/proyek kalau hanya konsumsi instan, maka setelah selesai kegiatan dapat diduga tidak ada
keberlanjutan. Hal ini salah satu penyebabknya adalah komitmen stakeholder baik itu dari unsur
pemerintah sector bisnis dan masyarakat agribisnis lainnya dalam mendukung upaya pembangunan
padi belum maksimal (Hafsah, 2004).
xxxv
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Pembangunan pangan dan pertanian pedesaan ditandai oleh introduksi teknologi yang
kemudian dikenal dengan revolusi hijau dengan menampilkan varietas unggul, pupuk buatan,
mekanisasi pertanian, irigasi teknis, dan intensifikasi petanian massal mampu mengangkat hatkatmartabat penduduk desa (Dharmawan, 2006). Oleh karena itu untuk menyikapi hal tersebut
dibutuhkan tanggung jawab dari semua pihak.
a. Tanggung Jawab Petani Bertanam Padi Berjamaah
Apa yang terjadi di tingkat petani saat ini. Alur pikir yang ditampilkan tidak dalam kapasitas
tingkat kepercayaan 95%, tetapi paling tidak di daerah setelah terbentuknya kelompok tani (poktan)
dan gabungan kelompok tani (gapoktan) cenderung menjadi kemompok-kelompok yang ingin berdiri
sendiri dan tidak memikirkan kelompok lainnya. Perlu dipahami bahwa: a. secara organisasi
kelompok, poktan dan gapoktan dibenarkan berusaha mandiri dan mensejahteraan kelompoknya, b)
secara organisasi kenegaran yang lebih luas antar poktan dan gapoktan harus ada koordinasi dan
sinkronisasi dalam hal bertanam padi bersama secara berjamaah dalan areal yang luas disesuaikan
dengan agroekosistemnya.
Antar organisasi atau kelompok tani sebaiknya harus saling bersinergi, namun demikian untuk
menggerakan masyarakat diperlukan modal social (social capital) yang sangat penting dalam konsep
pembangunan pertanian menuju target pemerintah. Tiga komponen utama yang penting dalam hal
modal social adalah 1). Kepercayaan (trust) antar komponen /anggota masyarakat yang
memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu persoalan, 2). Jejaring organisasi kelompok
(social networking) atau jejaring individu berupa ikatan (bond) atau pertemanan (bridge) untuk
mendukung gerak aksi kolektivitas menjadi makin sinergi, dan 3). Norma-norma dan system nilai
(norms and institutions) yang biasanya berciri local yang mengawal serta menjaga proses
pembangunan sehingga tidak mengalami penyimpangan (Dharmawan, 2004).
Secara teknis tanam padi berjamaah sangat penting untuk menghindari penumpukan hama pada
satu daerah atau penumpukan hama pada titik serangan yang akan menyebar menjadi hama pada
areal yang luas. Tanam padi berjamaah secara serentak dalam areal yang luas tidak dibatasi oleh
batas administrasi. Wereng coklat imigran terbang bermigrasi tidak dapat dihalangi oleh sungai atau
lautan. Bila suatu daerah panen atau puso maka wereng makroptera (bersayap panjang) akan
terbang bermigrasi mencari tanaman muda dalam populasi tinggi, hinggap (landing) dan berkembang
biak pada tanaman padi muda. Bila areal tempat migrasi sempit, maka populasi imigran akan padat.
Hal ini perlu disadari oleh petugas maupun petani bahwa wereng coklat dapat bermigrasi
sampai 200 km dari daerah/titik serangan ke daerah yang pertanamannya masih vegetatif, bahkan
telah diketahui bahwa wereng coklat dari daratan Cina dan Vietnam Selatan bermigrasi melintasi
lautan menuju Korea dan Jepang.
b. Tanggung Jawab Pemerintah Membimbing Tanam Padi Berjamaah
Secara teknis perlu dilakukan pertemuan dengan komisi perlindungan tanaman untuk
membicarakan perbaikan pedoman pengamatan dan pengendalian wereng coklat dengan mengacu
kepada SOP Pengendalian wereng coklat terbaru yang dikeluarkan BB Padi. Pertemuan untuk
koordinasi harus terus dilakukan dan ditindaklanjuti dengan action.
Di tingkat atas Dirjentan dalam pencapaian target produksi didukung oleh Badan SDM, Badan
Litbang dan PLA. Di tingkat lapangan perlu harmonisasi antara tri partit yaitu POPT, PPL dan KCD, hal
ini penting untuk menyamakan persepsi, tugas kenegaraan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu
xxxvi
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
perlu dilakukan penyegaran/refresing di bidang perlindungan tanaman yang melibatkan dinas yang
ada dilapangan (POPT, PPL, dan KCD/UPTD). Keharmonisan tripartit sangat ditungtut untuk
membawa petani tanam berjamaah dalam satu kawasan dengan jadwal waktu tanamnya diberi
batasan antara tanam pertanam dantanam terakhir adalah 15 hari.
Dari sisi tujuan, implementasi otonomi daearah pada dasarnya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian daerah dalam mengembangkan daerah sendiri. Wijaya (2002)
berpandangan bahwaa otonomi daerah diarahkan untuk:
1. Peningkatan pelayanan public dan pengembangan kreatifitas serta aparatur pemerintahan di
daerah
2. Kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah dalam kewenangan dan keuangan
3. Menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat daerah
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Dari uraian di atas pemerintah terutama pemerintah daerah harus membawa masyarakat untuk
membangun daerahnya. Satu hal yang penting untuk digarisbawahi berkaitan dengan community
relations adalah butir 1 khusus untuk pengembangan kreatifitas masyarakat.
c. Tanggung Jawab Pengusaha Penghasil Sarana Produksi
Tanggung para pengusaha berupa tanggung jawab sosial korporat yang melakukan tindakan
social termasuk lingkungan hidup lebih dari batas-batas yang ditngtut oleh undang-undang.
Tanggung jawab social sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan
memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan
kerja dan keluarganya serta komunitas local dan masyarakat secara keseluruhan Natufe (2001). Pilar
dasar tersebut di atas untuk mendorong kesejahteraan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, dan
tanggung jawab social.
Organisasi bisnis maupun pemerintah harus dilengkapi dengan konsep pengembangan
masyarakat (community development) sebagai upaya pemberdayaan melalui kemampuan dan
potensi masyarakat. Kindervatter (1979) menyebutkan bahwa masyarakat akan berorientasi pada
kebutuhan material maupun non material, mempunyai misi dan visi masa depan berdasar
endogenous yang ada, mempunyai sumber yang dimilikinya, dan bersifat ekologis dengan
memanfaatkan sumberdaya secara rasional dan kesadaran, dan menuntut perubahan dalam relasi
social, kegiatan ekonomi, dan struktur kekuasaan. Potensi-potensi tersebut terkadang nampak
namun sulit dipahami. Oleh karena itu untuk mengembangkan masyarakat itu perlu dikaji melalui
participatory Rural appraisal (PRA). Dalam prosesnya PRA harus melibatkan masyarakat untuk
berpikir merencanakan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan (Rianingsih,
1996 dalam Irianta, 2007).
Tanggung jawab untuk pengembangan kreatifitas masyarakat tersebut bukan hanya ada pada
pemerintah, namun juga partisipasi pihak swasta, khususnya organisasi bisnis yang menjalankan
usaha di wilayah kabupaten/kota memberi bimbingan untuk tanam berjamaah.
Strategi Kebijakan Pemerintah
Dukungan politik untuk mengembangkan dan penerapan PHT secara luas yaitu Intruksi Presiden
No.3 tahun 1986 yang melarang 57 formulasi insektisida pada tanaman padi dari golongan
xxxvii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
organofosfat dan hanya memperbolehkan 10 insektisida dari golongan karbamat (BPMC, MICP, dan
karbofuran) untuk mengendalikan wereng coklat. Hal ini diesebabkan telah terjadi ledakan wereng
coklat diakibatkan oleh pemakaian insektisida yang menimbulkan resurgensi.
Pada saat produksi padi mencapai pelandaian (leveling off) maka dengan segera pemerintah
mencari jalan untuk merakit varietas baru melalui Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian
sebagai pemecah pelandaian supaya produksi meningkat kembali. Di bidang pengelolaan hama
dengan menerapkan PHT yang dikawal oleh jajaran Direktorat Perlindungan tanaman Pangan
mengalami pelandaian produksi dan tetap di sekitar 54.000.000 ton sejak 2002 sampai 2006,
sehingga perlu strategi baru yaitu diterapkannya Pengelolalan Tanaman Terpadu (PTT) sejak 2007
dalan rangka Peningkatan produksi Beras Nasional (P2BN) untuk meningkatkan produksi beras 5% (2
juta Ton) setiap tahunnya (Baehaki dan Mejaya, 2014).
Pengembangkan PTT supaya lebih cepat dan mudah diadopsi petani diperlukan sekolah lapang
PTT (SL-PTT) yang merupakan produk Badan Litbang Pertanian. Buku Panduan pertama Pelaksanaan
SL-PTT Padi, kedelai dan jagung disusun oleh Badan Litbang (Suryana et al, 2008a,b,c). Setelah
diterapkan SL-PTT maka produksi padi pada tahun 2007 meningkat menjadi 57,157 juta ton dari
produksi tahun 2006 (54,455 juta ton). Produksi tahun 2008 dan 2009 yaitu mencapai 60,326 dan
64,399 juta ton (Tabel 2). Atas kesuksesan pencapaian target tersebut maka Dirjen Tanaman Pangan
mengadakan Jambore Nasional SL-PTT di Donohudan- Solo- Jawa Tengah dengan menggelar
pertanaman SL-PTT. Kesuksesan ini disebabkan ada pendampingan dari areal SL-PTT oleh Dirjen
Tanaman Pangan, Badan Litbang, dan Pemda.
Tabel. 2. Perkembangan produksi Padi dan serangan wereng coklat di Indonesia.
Tahun
Areal Panen
(ha)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
11786430
12147637
12327425
12883576
13253450
13203643
13.443.443
13,7699.13
13.797.000
2015
14.309.000
Serangan
wereng
Coklat
(Ha)
11746
47360
28421
35987
24152
47473
137768
218060
Produksi Padi
(Juta ton)
Target
Capaian
54,340
55,030
55,718
58,184
61,093
63,525
66,680
70,590
74,390
?
73,161
74,845
Keterangan : *) BPS , ** ASEM, *** Angka Ramalan
SL-PHT = Sekolah Lapang PHT
SL-PTT = Sekolah Lapang PTT
xxxviii
54,088
54,151
54,455
57,157
60,326
64,399
66,469
65,757
69,045
71,290
70,850*
*
75,550*
**
Pelaksanaan
program
SL-PHT
SL-PHT
SL-PHT
SL-PTT
SL-PTT
SL-PTT
SL-PTT
SL-PTT
SL-PTT
SL-PTT
UPSUS
UPSUS
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Pada saat ledakan wereng coklat 2010 yang telah mencapai 105.000 ha, segala upaya
pemerintah telah dilakukan, namun upaya ini gagal. Hal ini disebabkan tidak menggunakan strategi
pertama yaitu sosiologi tanam berjamaah. Dari pengalaman tersebut pemerintah merubah
kebijakannya dengan:
1. Menata ulang pengendalian wereng coklat dengan membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL
= action plan continous) pasca ledakan. Pada pembuatan RTL tersebut melibatkan
Pemda (dinas pertanian provinsi/kabupaten/kota), bakorluh dan bapeluh, BBPOPT, para
penyuluh, POPT, KCD. Di luar kedinasan tersebut BB Padi berperan sebagai perekat
instansi tersebut di atas untuk menjadi koordinator dan inisiator. Pembuatan RTL
tersebut telah diterapkan di Jawa Barat dan Hasilnya sangat memuaskan dapat di lihat
dari hasil panen MP 2010/2011. Di BB Padi hasil Inpari 13 yang dipanen Menteri
Pertanian RI pada 23 Februari 2011 mencapai 9.3-10.7 ton GKG, suatu prestasi yang
briliant (Baehaki, 2014).
2. Untuk tanam serempak di Pemda Jawa Barat telah memberlakukan pemberhentian air
irigasi pasca perbaikan rutin bulan September 2010.
Pemda Jawa Barat dapat meredam gejolak hama wereng coklat dengan kebersamaan dan
meraih sukses besar pada MP 2010/2011. Lain halnya di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pada
MP 2010/2011 masih tetap dilanda serangan wereng coklat disebabkan tidak ada pertanaman yang
berjamaah. Dalam rangka mensukseskan target produksi pemerintah sebesar 70,6 juta ton GKG,
maka strategi segtitiga tersebut di atas telah dibawa ke Jawa Tengah dan akan dibawa Jawa Timur
supaya membuat RTL dalam Workshop di Solo pada 30 Maret 2011 yang akan dilanjutkan di
Surabaya.
Mulai tahun 2014 Kementrian pertanian menetapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian
swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi
tersier, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (GP-PTT) baik padi, jagung, dan kedelai, Penyediaan Sarana dan prasarana
pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian) Pengendalian OPT dan dampak
perubahan iklim. Upsus ini dikawal oleh Jajaran Kementrian Pertanian (Badan Litbang, Dirjen
Prasarana dan sarana Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Hortikultura, Dirjen PPHP, Irjen) dan
Pemda.
Dengan UPSUS, produksi padi tahun 2014 (ASEM) sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling
(GKG)
atau
mengalami
penurunan
dibandingkan
tahun
2013.
(BPS,
2015.
http://www.bps.go.id/brs/view/id/1122). Pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS)
memprediksikan angka produksi padi akan meningkat 6,64 persen atau sebanyak 75,55 juta ton
dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data BPS, angka ini merupakan yang tertinggi dalam 10
tahun terakhir.
xxxix
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengembangan program PHT mulai 1989, dapat membawa Indonesia dikenal sebagai Negara
yang sedang berkembang yang berhasil mengembangkan dan menerapkan konsep PHT dalam
peningkatan produksi padinya.
Pada saat produksi padi mencapai pelandaian (leveling off) maka dengan segera pemerintah
mencari jalan untuk merakit varietas baru dan Pengembangan Pertanian dengan menerapkan
strategi lain yaitu diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) sejak 2007 dalam rangka P2BN
Pada Era pemerintahan 2014-2019 dalam pemenuhan kebutuhan pangan telah menerapkan
Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui
kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya antara lain: pengembangan
jaringan irigasi, optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan
Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi perluasan Areal tanaman
kedelai melalui penongkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Perluasan Areal Tanam
Jagung (PAT Jagung), Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat
dan mesin pertanian) Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, Asuransi pertanian dan
Pengawalan/pendampingan.
Pelaksanaan pengendalian hama terbaru yang harus menerapkan triangle strategis
pengendalian yaitu strategi teknologi (SOP Pengendalian hama), strategi sosial (Sosiologi), dan
strategi kebijakan pemerintah.
Pengendalian hama tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi tetapi harus diselesaikan
secara social yaitu dengan keserempakan waktu tanam yang dibinglkai oleh kebijakan
pemerintah.
Tiga komponen utama yang penting dalam hal modal social adalah 1). Kepercayaan (trust) antar
komponen/anggota masyarakat yang memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu
persoalan, 2). Jejaring organisasi kelompok (social networking) atau jejaring individu berupa
ikatan (bond) atau pertemanan (bridge) untuk mendukung gerak aksi kolektivitas menjadi makin
sinergi, dan 3). Norma-norma dan system nilai (norms and institutions) yang biasanya berciri
local yang mengawal serta menjaga proses pembangunan sehingga tidak mengalami
penyimpangan
DAFTAR PUSTAKA
Baehaki.S.E. 2006. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi Dalam Perspektif Praktek Pertanian
Yang Baik (Good Agricultural Practices). Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Badan Litbang Pertanian,
Depertemen Pertanian. 70 hal. ISBN: 979-3871-23-7
Baehaki S.E. 2010. Implementasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Di Indonesia. Disampaikan pada
Peringatan Ulang Tahun Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Ke-40 Tahun 2010. Yogyakarta, 1-2
Oktober 2010. 21p
Baehaki, S.E. 2011a. Pengelolaan wereng cokelat sebagai hama dan vektor penyakit kerdil hampa dan kerdil
rumput. Seminar Nasional Pengendalian Tungro dan Hama Utama Padi Lainnya Mendukung Swasembada
Padi Berkelanjutan. Pros. Sem. Nas. Pengendalian Tungro dan Hama Utama Padi Lainnya Mendukung
Swasembada Padi Berkelanjutan. Puslitbangtan. p.48-68.
Baehaki S.E. 2011b. Strategi Fundamental Pengendalian Hama Wereng Batang Coklat Dalam Pengamanan
Produksi Padi Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian.
Vol. 4, No. 1.p63-75.
Baehaki S.E. 2011. Perubahan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Konvensional Menuju PHT Biointensif. Pros.
Sem. Nas. Inovasi teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Puslitbangtan. Badan Litbang TP.
Buku 2.p203-214
xl
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Baehaki S.E. 2014. Budidaya Tanam Padi Berjamaah Suatu Upaya Meredam Ledakan Hama Dan Penyakit Dalam
Rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan. Edisi 2. p230.
Baehaki S.E. 2012. Perkembangan Biotipe Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. IPTEK Tanaman Pangan
VOL. 7 (1), 2012. Puslitbangtan. Badan Litbang, p8-17.
Baehaki, S.E., D. Munawar, dan E. Kiswanto. 2012. Pengaruh pola tanam dan pupuk organik terhadap
perkembangan wereng cokelat dan pengkayaan musuh alami. Seminar Hasil Penelitian BB padi, 10-11
Agustus 2012. 16p.
Baehaki, S.E dan Mejaya. 2014. Wereng Cokelat sebagai Hama Global Bernilai Ekonomi Tinggi dan Strategi
Pengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 9 (1): 1 -12
Balasubramanian .V, R. Rajendran, S. Anbumani, P. Stalin, T.M. Thiyagarajan, E. Castro, B. Chandrasekaran, and
I. Las. 2010. Integrated Crop Management (ICM) for sustaining irrigated rice yield and farmers’ income in
Asia. C:\Users\TOSHIBA\AppData\Local\Temp\Lead10.mht
Benbrook, C.M. 1996. Pest Management at the Crossroads. Consumers Union, Yonkers. N.Y. 272p
Bradley B.D, M Christodoulou, C. Caspari and, P. Di Luca. 2002. Integrated Crop Management Systems in the EU.
This Report is an Amended Version of the Final Report Submitted to DG Environment. ICM_Finalreport.
144p.
Costanza, R. 2012. Ecosystem health and ecological engineering. Ecol. Eng. 45: 24-29.
Dharmawan, A.H. 2006. Pendekatan pembangunan pertanian dan pedesaan: Dimensi sosial dan budaya.
Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi tenaga pemandu teknologi mendukung
Prima Tani. Cisarua-Bogor. p16.
Dufour, R. 2001. Biointensive integrated pest management. ATTRA. National Sustainable Agricultural
Information Service. http://www.attra.org/attra-pub/ipm.html. verified 28 Nov 2008.
Gurr, G.M. 2009b. F inal report, ecological engineering to reduce rice crop vulnerability to planthopper
outbreaks. 29p. http://ricehoppers.net/wp-content/uploads/2010/04/Final-Report-I-GM-Gurr.pdf
Hafsah. M.J. Potensi, Peluang Dan Strategi Pencapaian Swa Sembada Beras Dan Kemandirian Pangan Nasional
Menuju Proksi Mantap. Disampaikan Pada Acara Seminar Padi Nasional tanggal 15 juli 2004 di Sukamandi.
19p.
Huan. N. H and H. V. Chien. 2010. Ecological Engineering Gets National Attention in Vietnam. http://
ricehopper.net/2010.
Huelgas Z.M and D.J. Templeton, 2010. Adoption of crop management technology and cost- efficiency impacts:
the case of three reductions, three gains in the Mekong River Delta of Vietnam. In FG Palis et al., 2010,
Research to impact: Case studies for natural resource management for irrigated rice in Asia. Los Banos –
IRRI. p289-316.
Iriantara. Y. 2007. Community Relations, konsep dan aplikasinya. Simbiosa Rekatama Media, Bandung. 196p.
Jepson P. 2009. Biointensive integrated pest management (IPM). IPPC, 2040 Cordley Hall, Oregon State
University, Corvallis, OR 97331. 8p.
Joko Pramono, J, S. Basuki dan Widarto. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui
Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Agrosains 7(1): 1-6, 2005
Khan, Z.R and J. A. Pickett. 2004. The ‘push–pull’ strategy for stemborer management: a case study in
exploiting biodiversity and chemical ecology. 155-164. In Gurr et al., 2004. Ecological Engineering for Pest
Management. Advances in Habitat Manipulation for Arthropods. CSIRO Publishing. p225
Kindervatter, S. 1979. Non formal education as an empowering process with case studies from Indonesia and
Thailand. Amherst, mass: Center for International Education-University of Massashusetts.
Natufe. O.I. 2001. The problematic of sustainable development and corporate social responsibility: Policy
implication for the Niger Delta. http://www.urhobo.kinsfolk.com/second annual conference/conference
matters/Natufe.htm
Nguyen Huu Huan and Ho Van Chien. 2010. Ecological Engineering Gets National Attention in Vietnam.
http://ricehopper.net/2010
Nurindah, D. A. Sunarto, dan Sujak. 2009. Tanaman perangkap untuk pengendalian serangga hama tembakau.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(2):55-68, Oktober 2009 ISSN: 2085-6717
Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpdu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press.
254p
Perez, F.R.B., A. M. Shelton, and B. A. Nault. 2004. Evaluating trap crops for diamondback moth, Plutella
xylostella (Lepidoptera: Plutellidae) Journal of Economic Entomology. 97(4):1365-72. DOI:10.1603/00220493-97.4.1365
Steiner. P.W. 1994. IPM: What it is, what it isn’t. IPMnet News. Oktober
xli
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Settle. W.H, H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim, D. Hindayana, A.S. Lestari, P. Ningsih, dan Sartanto.
1996. Managing tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist Natural Enemies and Alternative
prey. Ecology, 77(7), pp1975-1988.
Suryana. A, Suyamto, Baehaki S.E, S. Abdurachman, I.N Widiarta, H.M. Toha. 2008a. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian. 38p.
Suryana. A, Suyamto, Marwoto, A. Taufiq, M.M. Adie, Subandi, dan I.N Widiarta. 2008b. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. 39p.
Suryana. A, Suyamto, Zubachtirodin, M.S. Pabbage, S. Saenong, dan I.N Widiarta. 2008c. Panduan Pelaksanaan
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Departemen Pertanian. 38p.
University
of
Hertfordshire.
2011.
Integrated
Crop
Management
–
Definition.
http://adlib.everysite.co.uk/adlib/defra/content.aspx?doc=12578&id=12581#why
Wei Z, W. Hu1, Q. Lin, X. Cheng, M. Tong, L. Zhu, R. Chen and G. He. 2009) Understanding rice plant resistance
to the Brown Planthopper (Nilaparvata lugens): A proteomic approach. Proteomics. 9, 2798-2808.
Wijaya. H.A.W. 2002. Otonomi Daerah dan daerah Otonom. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Yamin MS., MS, T. Harjaka, B. Prayudi. J. Siswanto, D. Sartono, Sumartono dan Y. Widyastuti, SP. 2012. Kajian
dan strategi pengurangan penggunaan pestisida sintetis untuk meningkatkan produktivitas padi secara
berkelanjutan di kabupaten klaten - jawa tengah. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. 20p.
Yoshihara, Y, Sogawa K, M.D. Pathak, B.O. Jiliano, and S. Sakamura. 1980. Oxalic acid as a sucking inhibitor of
the brown planhopper in rice (Delphacidae, Homoptera). Ent. Exp. & App. 27: 149-155.
xlii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
KEYNOTE SPEAKER 4
Prof. Intan Ahmad, PhD – Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati
ITB
ENTOMOLOGI PEMUKIMAN DAN INDUSTRI
Entomologi permukiman dan industri sebagai suatu disiplin telah tumbuh menjadi semakin penting
artinya bersamaan dengan semakin meningkatnya urbanisasi di berbagai belahan dunia. Sekarang
lebih dari 54 % populasi manusia di dunia hidup di daerah permukiman. Globalisasi telah
mengakibatkan tingginya mobilitas barang dan manusia yang mengakibatkan semakin menyebarnya
serangga hama dari satu tempat ke tempat lain. Untuk lingkungan permukiman, dengan semua
kompleksitasnya telah memberikan habitat untuk berbagai serangga termasuk beberapa di
antaranya merupakan hama, seperti kecoa, lalat, nyamuk, rayap, yang amat mengganggu manusia,
sehingga perlu dikendalikan, terutama dengan menggunakan insektisida. Tetapi berbeda dengan
hama pertanian, penentu dilaksanakannya pengendalian bukanlah jumlah serangga yang dapat
merugikan secara ekonomi tetapi lebih kepada aspek yang berhubungan erat dengan kualitas hidup
manusia, aspek estetika, peace of mind atau reaksi emosional. Dengan demikian untuk lingkungan
permukiman digunakan aesthetic injury level (tingkat kerusakan estetika). Sehingga untuk
pengendalian hama permukiman, berlaku suatu premis yang menyatakan bahwa walau tidak ada
kerugian secara ekonomi, kerusakan sudah terjadi sehingga pengendalian harus tetap dilakukan.
Lebih lanjut, presentasi makalah ini akan membahas tentang konsep dan penerapan urban and
industrial pest management dengan berbagai contoh dari Indonesia, termasuk permasalahan
terjadinya resistensi terhadap insektisida pada berbagai serangga hama permukiman yang
merupakan tantangan tersendiri.
xliii
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-01
Perilaku Hama Pengorok Daun Dari Dua Famili Berbeda
Pada Pertanaman Manggis dan Bentuk Kerusakannya
Wilna Sari1*, Nina Maryana1, Syafrida Manuwoto2
1
Prodi DIII Budidaya Pertanian, Sekolah Tinggi Pertanian Haji Agus Salim, Bukittinggi, Sumatera Barat
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
2
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Manggis berasal dari daerah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang
mendapat julukan sebagai ratu buah karena keistimewaan dan kelezatan rasanya. Buah ini memiliki
banyak manfaat dan nutrisi. Berbagai usaha terus dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman
manggis agar menghasilkan buah yang berkualitas, sehat dan menjadi salah satu komoditi ekspor di
negara kita. Seiring dengan pertumbuhannya, tanaman ini banyak diserang hama dan penyakit,
terutama pada tanaman yang memiliki flush. Pada masa ini, hama yang ditemukan di antaranya
adalah hama pengorok daun dari famili Phyllocnistidae dan Gracillariidae. Masing-masing hama ini
mempunyai morfologi yang sangat berbeda dan bentuk kerusakan yang ditimbulkan juga berbeda.
Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui bentuk masing-masing
hama pengorok daun dengan bentuk kerusakan serta musuh alaminya. Penelitian ini dilakukan di
Cengal, Desa Karacak, kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bibit
manggis yang diberi sungkup mika plastik dan dimasukkan sepasang imago pengorok lalu dibiarkan
berkopulasi hingga meletakkan telur dan mulai membentuk korokan. Telur yang telah diletakkan
imago betina diamati sampai menetas menjadi larva, kemudian dihitung panjang korokan setiap hari
hingga larva memasuki prapupa atau berhenti mengorok. Untuk musuh alami diperoleh dengan cara
mengambil stadia larva dan pupa hama dari lapangan untuk dipelihara hingga muncul parasitoid
atau tidak. Dari pengamatan diketahui bahwa cara mengorok larva terlihat seperti gerakan
mengetam atau menggunting ke arah kiri dan kanan. Bentuk korokan hama pengorok famili
Phyllocnistidae lebih kecil dan membentuk liang korokan di sepanjang daun, sedangkan pengorok
famili Gracillariidae lama kelamaan semakin melebar dan terdapat banyak larva di dalam korokan
tersebut. Serangan hama ini selalu berada di permukaan atas daun di bagian ujung dan pangkal.
Gejala akhir pada tanaman yang bisa dilihat jika terserang kedua hama tersebut adalah daun akan
mengering dan berwarna kecoklatan, bahkan tidak bisa berkembang lagi jika jumlah serangan hama
sudah banyak. Musuh alami yang diperoleh berasal dari kelompok parasitoid sebanyak tujuh spesies
parasitoid dari Ordo Hymenoptera yang berasal dari lima Famili yaitu Chrysocharis sp., Achrysocharis
sp., dan Tetrastichus sp. (Eulophidae), Elasmus sp. (Elasmidae) dan masing-masing satu spesies dari
Famili Encyrtidae, Braconidae, dan Eurytomidae.
Kata kunci: manggis, pengorok daun, musuh alami
44
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-02
Formicidae Sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan
Pisang
Aulia Azh Zahra1, Masriany1, Lilis Setiasih1, dan Tjandra Anggraeni1*
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Formicidae merupakan famili serangga yang memiliki manfaat sebagai pengurai, predator dan
biomonitoring perubahan lingkungan. Serangga ini sering ditemukan pada daerah perkebunan
tanaman buah tropika. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh waktu biologis, suhu
dan intensitas cahaya terhadap jumlah individu serangga Formicidae di dalam melakukan aktivitas
biologis pada perbungaan pisang. Pengambilan data serangga menggunakan metode purposive
sampling (sweeping net dan visual) di Balitbu Tropika Subang, Jawa Barat pada pagi (pukul 07.0009.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari (15.00-17.00). Pengukuran dan analisis suhu udara dengan
menggunakan sling psychrometer dan luxmeter untuk intensitas cahaya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada Formicidae terdapat 2 spesies yaitu Tapinoma sp. dan Formica sp.
Serangga Formicidae yang mengunjungi perbungaan pisang lebih banyak spesies Tapinoma sp.
dibandingkan Formica sp. Persentase jumlah individu Tapinoma sp. lebih banyak pada pagi hari
sebesar 75,16%, sedangkan siang hari sebesar 12,74% dan sore hari sebesar 12,10%. Persentase
jumlah individu Formica sp. lebih banyak pada pagi hari sebesar 87,04%, sedangkan siang hari
sebesar 2, 78% dan sore hari sebesar 10,19%. Pada suhu udara 26,11-29,4oC dan intensitas cahaya
13700- 22100 luxmeter lebih tinggi jumlah serangga Formicidae. Hasil penelitian menunjukkan
waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi jumlah individu serangga Formicidae
untuk melakukan aktivitas biologis di sekitar perbungaan pisang.
Kata Kunci: Formicidae, Tapinoma sp., Formica sp, pisang.
45
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Formicidae merupakan salah satu famili serangga dari ordo Hymenoptera. Serangga ini dapat
ditemukan batang tumbuhan, padang rumput dan pemukiman masyarakat [1]. Namun Serangga ini
sering ditemukan pada daerah perkebunan tanaman buah tropika di Indonesia terutama di daerah
Jawa Barat. Formicidae merupakan serangga eusosial yang dapat beradaptasi dengan kehidupan
atau aktivitas manusia dan sifat polimorfismenya yang tinggi [2]. Formicidae memiliki manfaat
sebagai pengurai, predator dan biomonitoring perubahan lingkungan pada sekitar lingkungan atau
ekosistem [3]. Namun sekitar 0,5% dari spesies Formicidae yang ditemukan merupakan hama yang
mengganggu kehidupan manusia di derah Asia [4].
Formicidae dapat menjadi predator serangga yang menjadi hama alami pada tanaman pisang.
Sehingga diperlukan kontrol untuk mengetahui populasi Formicidae yang sesuai untuk pengendalian
hama [5]. Salah satu cara pengendalian populasi hama pada pisang dengan mengetahui waktu
biologis, suhu, intensitas cahaya, dan faktor abiotik lainnya yang sesuai dengan karakteristik biologi
Formicidae [6]. Hal ini dikarenakan Formicidae dalam kegiatan aktivitas mencari makanan
tergantung sumber makanan, morfologi, fisiologi, karakteristik perilaku serangga, intensitas cahaya,
suhu, kelembaban, dan faktor lainnya [7]. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh
waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya terhadap jumlah individu serangga Formicidae di dalam
melakukan aktivitas biologis pada perbungaan pisang.
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Area Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanaman pisang sedang berbunga. Penelitian dilakukan di Kebun
Percobaan Subang Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) di Subang, Jawa Barat.
Balitbu Tropika di Jalan Garuda III Wera, Kelurahan Dangdeur, Kecamatan Subang, Kabupaten
Subang. Waktu penelitian pada bulan Januari 2015. Identifikasi spesimen serangga dan verifikasi
spesimen serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Biologi, Sekolah Ilmu Teknologi
Hayati, ITB.
Pengamatan Formicidae sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang
Pengamatan Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang dilakukan dalam tiga
periode waktu yaitu pagi (pukul 07.00-09.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari (15.00-17.00).
Pengamatan serangga pengunjung dengan total pengamatan selama 5 hari. Metode yang digunakan
dalam pengamatan serangga dengan sweeping net dan visual. Pengambilan sampel serangga secara
purposive sampling yaitu mengambilan spesies dan individu serangga pengunjung. Pengukuran dan
analisis faktor abiotik dengan menggunakan sling psychrometer (suhu udara) dan luxmeter
(intensitas cahaya).
Pengawetan dan Identifikasi Spesimen Serangga
Spesimen serangga pada Formicidae dimasukkan pada botol koleksi. Serangga tersebut diawetkan
dengan etanol 70%. Identifikasi spesimen dibantu dengan mikroskop stereo. Penentuan genus
berdasarkan Borror et al. [8].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang dilakukan tahun 2015.
Pengambilan serangga Formicidae dilakukan selama masa perbungaan pisang. Hasil pengamatan
46
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang terdapat 2 spesies yaitu Tapinoma sp
dan Formica sp.
Jumlah serangga Formicidae pada gambar 1 menunjukkan bahwa spesies Tapinoma sp. lebih banyak
dibandingkan spesies Formica sp. Spesies Tapinoma sp. sebesar 79,02% sedangkan spesies Formica
sp. sebesar 20,98%. Persentase jumlah serangga Tapinoma sp. lebih besar pada pengamatan hari ke1 sedangkan Formica sp. lebih besar pada pengamatan hari ke-5. Tapinoma sp. dapat mengurangi
jumlah serangga Formicidae lainnya seperti Formica sp. pada kawasan perkebunan pisang. Menurut
Fowler et al. [9] bahwa pada perkebunan pisang daerah Sao Paula Brasil Tapinoma melanocephalum
dapat mengurangi spesies semut lainnya.
Gambar 1. Jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang
Pengamatan serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang dilakukan pada pagi, siang
dan sore hari terlihat pada gambar 2. Persentase jumlah Formica sp. lebih besar pada pagi hari
sebesar 87%, sedangkan siang hari sebesar 3% dan sore hari sebesar 10%. Persentase jumlah
Tapinoma sp. lebih besar pada pagi hari sebesar 75%, sedangkan siang hari sebesar 13% dan sore
hari sebesar 12%. Menurut Fajarwati et al. [10] ordo Hymenoptera yang mengunjungi bunga tomat
terdapat pada pagi, siang dan sore hari. Jumlah serangga pengunjung bunga tomat terutama ordo
Hymenoptera paling banyak pada pagi hari dibandingkan siang dan sore hari. Menurut Atmowidi et
al. [11] keragaman serangga tertinggi pada pagi hari di tanaman caisin (Brassica rapa). Pada
tanaman Nerium oleander bahwa serangga pengunjung bunga lebih banyak pada pagi hari [12].
Gambar 2. Persentase jumlah Tapinoma sp. dan Formica sp. pada pagi, siang dan sore hari.
Pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan
pisang terdapat nilai koefisien kolerasi (R2) Tapinoma sp. dan Formica sp. adalah 0,1 terlihat pada
gambar 3. Pada penelitian ini terlihat serangga Formicidae terhadap cahaya, menunjukkan jumlah
Tapinoma sp. lebih banyak pada kisaran ± 19300 lux di pagi sedangkan Formica sp. jumlah banyak
jumlah pada kisaran ± 13700 lux di pagi hari. Penelitian Dudareva dan Pichersky [13], bahwa
47
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
kunjungan serangga terhadap tanaman dipengaruhi oleh volume atau kandungan nektar di bunga
tinggi pada pagi hari namun terus menurun hingga sore hari, salah satu penyebabnya yaitu intensitas
cahaya.
Gambar 3. Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan
pisang.
Bahwa serangga pengunjung perbungaan memiliki rentang intensitas cahaya dari 13700- 22100
lux. Pada Tapinoma sp. memiliki intensitas cahaya optimal sekitar ± 13700 - 19300 lux. Respon
serangga Formica sp. terhadap cahaya bersifat negatif dimana semakin banyak cahaya maka
semakin kurang jumlah serangga. Menurut Graham dan Knight [14] bahwa respon serangga
terhadap cahaya dapat bersifat positif atau negatif. Intensitas mempengaruhi aktivitas serangga
berupa perkembangan, pertumbuhan dan penyebaran. Pengaruh suhu terhadap jumlah serangga
Formicidae pengunjung perbungaan pisang terdapat nilai koefisien kolerasinya (R2) Tapinoma sp.
dan Formica sp. adalah 0,1 terlihat pada gambar 4. Pada Formica sp. semakin tinggi suhu maka
semakin rendah jumlah serangga, sedangkan Tapinoma sp. semakin tinggi suhu maka semakin
tinggi jumlah serangga. Hal ini karena bentang lahan perkebunan pisang terbuka antara jarak antara
tanaman pisang satu dengan yang lain sehingga suhu udara disekitar tanaman semakin tinggi pada
siang hari.
Gambar 4. Grafik pengaruh suhu terhadap jumlah serangga fromicidae pengunjung perbungaan pisang.
Suhu dapat menentukan atau mengatur aktivitas biologis serangga. Suhu serangga Formicidae
pengunjung perbungaan pisang sekitar ± 26,11-29,40oC. Aktifitas serangga pengunjung bunga
(lebah) memiliki puncak aktifitas pada suhu 17-27oC [15]. Serangga pengunjung bunga Impatiens
balsamina pada daerah Surian memiliki jumlah lebih banyak pada suhu 24-26oC [16]. Begitu pula
serangga pengunjung bunga Nerium oleander bahwa serangga pengunjung bunga lebih banyak pada
suhu ± 26,5oC [17]. Serangga pada suhu 29-38oC yaitu suhu aktivitas serangga efektif pada suhu
48
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
±28°C aktivitas serangga paling tinggi 13. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif sekitar suhu
minimum 15oC, suhu optimum 25oC, dan suhu maksimum 45oC [18].
Pada suhu sekitar ± 29,40oC jumlah serangga pengunjung bunga lebih rendah, akibat kualitas
dan ketersediaan nektar yang berkurang. Pada siang hari terjadi penurunan volume atau kandungan
nektar dalam bunga. Dimana suhu yang tinggi menyebabkan ketersediaan dan kualitas nektar akibat
proses kimia pada tubuh tumbuhan [13].
Serangga Formicidae hasil pengamatan berdasarkan tujuannya pada bunga pisang yaitu
penyerbukan bunga atau mengambil nektar, hama, pengurai atau pemakan bunga layu, Tapinoma sp.
[6]. Formica sp. berfungsi sebagai pengurai, predator dan organisma biomonitoring. Nektar dari
pisang dapat dijadikan sebagai sumber makronutrisi bagi Formicidae berupa protein, lipid dan
karbohidrat [3].
Hubungan interaksi antara serangga dengan tanaman dapat menberikan manfaat kepada
keduanya. Bagi tumbuhan, interaksi tersebut dapat bermanfaat untuk terjadinya penyerbukan. Bagi
serangga, interaksi tumbuhan dengan tanaman dapat bermanfaat sebagai sumber pakan (berupa
nektar dan serbuk sari), tempat berkembang biak dan tempat berlindung [19]. Serbuk sari digunakan
untuk sumber protein sedangkan nektar digunakan sumber gula bagi serangga [10].
KESIMPULAN
Jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang lebih tinggi pada pagi hari
dibandingkan siang dan sore hari. Pengaruh jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan
pisang terhadap intensitas cahaya memiliki nilai koefisien kolerasi (R2) sebesar 0,1 dan 0,1. Hal yang
sama terjadi pada pengaruh jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang terhadap
suhu memiliki nilai koefisien kolerasi (R2) sebesar 0,1 dan 0,1. Sehingga terlihat waktu biologis, suhu
dan intensitas cahaya mempengaruhi jumlah individu serangga Formicidae untuk melakukan
aktivitas biologis di sekitar perbungaan pisang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih ditujukan kepada Dr Wardono Niloperbowo yang telah memberikan saran maupun
masukan untuk penelitian ini. Terima kasih kepada Santi, Cucu, Palamade, Dadang dan Iftikah Rahmi
F. yang telah membantu dalam pengambilan sampel penelitian di Balitbu Subang, Jawa Barat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Way, M. J. & Khoo, K. C., Role of Ants in Pest Management, Annual Review of Entomology, 37: pp.479-503, 1992.
Wilson, E. O., The Insect Socienties, London: Harvard University Press, 1971.
Noor, M.F. & Raffiudin, R., Eksplorasi Keragaman Spesies Semut di Ekosistem Terganggu Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa
Barat, Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS, 12(115), pp1-6, 2013.
Lee, C.Y., Tropical household ants: pest status, species diversity, foraging behaviour, and baiting studies, Dalam: Jones, S.C., Zhai, J.,
Robinson, W.H., eds Proceedings of the 4th international conference on Urban Pests. Virginia, Pocahontas Press, pp. 3-8, 2002.
Hasanuddin, K., Survei Hama- Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Pisang (Musa spp.) Di Desa Ujung Lamuru, Kecamatan
Lappariaja, Kabupaten Bone, Skripsi Universitas Hasanuddin, 2011.
Sigit, S.H., Koesharto, F.X., Hadi, U.K., Gunandini, D.J., Soviana, S., Wirawan, I.A., Chalidaputra, M., Rivai, M., Priyambodo, S., Yusuf,
S., & Utomo, S., Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi & Pengendalian, Bogor: UKPHP, 2006.
HÅ‘lldobler, B & Wilson, E. O., The Ants, Cambridge Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1990.
Borror, D.J. & White, R.E., A Field Guide to Insects America north of Mexico, USA: Houghton Mifflin Company Boston New York,
1998.
Fowler, H.G.; Schlindwein, M.N.; Medeiros, M.A. , Exotic ants and community simplification in Brazil: a review of the impact of exotic
ants on native ant assemblages. Dalam : Williams, D.F. ed. Exotic ants: biology, impact and control of introduced species, Boulder,
Westview Press, pp. 151-162, 1994.
Fajarwati, M. R., Atmowidi, T. & Dorly., Keanekaragaman Serangga pada Bunga Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) di Lahan
Pertanian Organik, Jurnal Entomologi Indonesia, 6 (2), pp. 77-85, 2009.
Atmowidi, T., Buchori,D., Manuwoto, S., Suryobroto, B.,& Hidayat,P., Diversity of insect pollinators and seed set of mustard (Brassica
rapa: Brassicaceae), Hayati, 14, pp.155-161, 2007.
49
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
Yuliani, W., Dahelmi, & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Nerium oleander Linn. (Apocynaceae) di Kecamatan
Pauh, Padang, Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2), pp. 96-102, 2013.
Dudareva, N. & Pichersky, E., Biology of Floral Scent, London: Taylor & Francis, 2006.
Graham, S.A. & Knight, F.B.,Principles Of Forest Entomology, New York, USA : McGraw- Hill book company, 1967.
Nismah, Perkembangan koloni Galo-Galo Trigona (Tetragonula) laeviceps Smith, Tesis. Padang: FMIPA Universitas Andalas, 1983.
Khairiah, N., Dahelmi & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Pacar Air (Impatiens balsamina Linn. : Balsaminaceae) ,
Jurnal Biologi Universitas Andalas, 1(1), pp. 9-14, 2012.
Yuliani, W., Dahelmi, & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Nerium oleander Linn. (Apocynaceae) di Kecamatan
Pauh, Padang, Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2), pp. 96-102, 2013.
Jumar, Entomologi Pertanian, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Sedgley, M. & Griffin, A.R.,Sexual Reproduction of Tree Crops, London: Academic Press, 1989.
Plowright R.C., Thomson J.D., Lefkovitch L.P., Plowright CMS, An experimental study of the effect of colony resource level
manipulation on foraging for pollen by worker bumble bees. Canada Journal of Zoology, 71, pp. 1393-1396, 1993.
50
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-03
Keanekaragaman Spesies Serangga Tangkapan Lampu
Perangkap selama Pertanaman Padi pada Sawah Irigasi
Dataran Rendah
Agus Wahyana Anggara1*, Eko Hari Iswanto1, dan Muhamad Hari Rabuka2
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Politeknik Agroindustri Subang.
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Beragam spesies serangga terdapat pada pertanaman padi sepanjang musim tanam. Pemantauan
harian menggunakan lampu perangkap dilakukan untuk mengetahui spesies serangga pada
pertanaman padi musim kemarau (MK) 2012. Pengambilan serangga tangkapan lampu perangkap
dilakukan setiap pagi sejak bulan April hingga Juni 2012, selanjutnya dilakukan identifikasi spesies
dan dihitung jumlahnya. Hasil pengamatan diperolah total serangga yang tertangkap lampu
perangkap pada pertanaman padi MK 2012 sebanyak 4.839.708 ekor yang tergolong dalam 5 ordo,
14 familia, dan 16 spesies. Berdasarkan perannya pada pertanaman padi, serangga tangkapan
dikelompokkan menjadi organisme pengganggu tanaman (OPT) dan hama (4.822.940 ekor), musuh
alami (15.447 ekor), serta serangga netral dan dekomposer (1.321 ekor). Serangga OPT terdiri atas
kepinding tanah Scotinophara coarctata (Hemiptera : Pentatomidae), penggerek batang padi kuning
Scirpophaga incertulas (Lepidoptera : Pyralidae), penggerek batang padi merah jambu Sesamia
inferens (Lepidoptera : Noctuidae), wereng coklat Nilaparvata lugens (Homoptera : Delphacidae),
ngengat hama pelipat daun Cnaphalocrocis medinalis (Lepidoptera : Pyralidae), walang sangit
Leptocorisa oratorius (Hemiptera : Alydidae), ngengat hama putih Nympula depunctalis
(Lepidoptera : Pyralidae), dan anjing tanah Gryllotalpa orientalis (Orthoptera : Gryllotalpidae).
Kelompok serangga musuh alami terdiri atas kumbang paederus Paederus fuscifes (Coleoptera :
Staphilinidae), kumbang pemangsa Eretes occidentalis (Coleoptera : Dytiscidae), kumbang pemburu
Ophionea nigrofasciata (Coleoptera : Carabidae), kumbang kubah Micraspis lineata (Coleoptera :
Coccinellidae), kumbang harimau Cicindella punctulata (Coleoptera : Cicindelidae), dan kepik mirid
Cyrtorinus lividipennis (Hemiptera : Miridae). Kelompok serangga netral dan dekomposer adalah
kumbang air Hydrophilus triangularis (Coleoptera : Hydrophilidae) dan kumbang kayu Anoplophara
sp (Coleoptera : Cerambycidae). Serangga yang paling dominan tertangkap lampu perangkah adalah
kepinding tanah, penggerek batang padi kuning, dan kumbang paederus. Banyaknya individu
kelompok serangga OPT dan hama padi yang tertarik mendatangi sehingga tertangkap lampu
perangkap menunjukkan bahwa lampu perangkap dapat berfungsi sebagai alat pemantau populasi
serangga pada pertanaman padi.
Kata kunci: serangga, lampu perangkap, tanaman padi
51
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-04
Komposisi Serangga Permukaan Tanah di Taman
Keanekaragaman Hayati Kiara Payung Sumedang
Ida Kinasih1, Ana Widiana1, Tri Cahyanto1, Isyfa Isnaeni Romadlon1
1
*
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Salah satu usaha Provinsi Jawa Barat dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati yaitu
adanya Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) Kiara Payung Sumedang, yang baru dibangun tahun
2011. Penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kelimpahan, kekayaan dan komposisi
mesofauna dan makrofauna serangga permukaan tanah di Taman Kehati. Penelitian telah dilakukan
selama bulan Januari hingga Februari 2015 pada beberapa blok yaitu blok 2 (3,05 ha), blok 4 (0.855
ha), blok 5 (2.061 ha), blok 6 (1.461 ha), dan blok 7 (0.779 ha). Sampling serangga tanah dilakukan
sebanyak 10 kali sampling dengan menggunakan pitfall trap dengan total 135 trap. Peletakan trap
dilakukan secara acak dengan jumlah sesuai luasan blok, yaitu blok 2 sebanyak 45 trap; blok 4
sebanyak 15 trap; blok 5 sebanyak 30 trap; blok 6 sebanyak 30 trap; dan blok 7 sebanyak 15 trap.
Serangga permukaan tanah yang ditemukan di Taman Kehati Kiara Payung 8 ordo yang terbagi ke
dalam 20 famili dan 47 taksa. Blok 2 memiliki kelimpahan individu tertinggi (1904 individu) diikuti
blok 6 (1649 individu), sedangkan terendah pada blok 4 (663 individu). Jumlah taksa tertinggi pada
blok 2 (40 taksa), diikuti oleh blok 6 (39 taksa), sedangkan terendah blok 5 (29 taksa). Berdasarkan
indeks Shanon-Wiener, keanekaragaman serangga permukaan tanah di blok 5 paling rendah (1,37)
sedangkan blok 6 paling tinggi (2,26) yang diikuti oleh blok 4 (2,26) dan blok 7 (2,16). Penelitian ini
juga menunjukkan adanya vegetasi tumbuhan dan ketebalan seresah mempengaruhi keberadaan
serangga permukaan tanah.
Kata kunci: Serangga permukaan tanah, komposisi, keanekaragaman, Taman Kehati
52
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-05
Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang
(Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 –
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)
Narti Fitriana1*, Ega Mulya Putri1, Fahma Wijayanti1
1
*
Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) merupakan serangga yang mudah dikenali
karena memiliki antena yang panjang. Keberadaan kumbang sungut panjang dipengaruhi oleh
adanya vegetasi tumbuhan berkayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman
jenis dan pola distribusi kumbang sungut panjang di tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan
pinus dan hutan alam) kawasan Gunung Bunder, Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun
Salak (TNGHS) menggunakan metode survei. Pengamatan dilakukan pada bulan Juni sampai dengan
Agustus 2014 menggunakan perangkap Artocarpus (AT) dan metode hand sorting. Perangkap
Artocarpus (AT) merupakan perangkap yang menggunakan umpan daun nangka. Berdasarkan hasil
identifikasi, kumbang sungut panjang yang terdapat pada lokasi pengamatan terdiri dari 15 spesies.
Indeks keanekaragaman enis H’ kumbang sungut panjang di lokasi penelitian tergolong sedang
masing-masing H’=1,41 di hutan rasamala; 1,29 di hutan pinus dan 1,69 di hutan alam. Indeks
kemerataan (E) kumbang sungut panjang di lokasi penelitian tergolong rendah, yaitu hutan rasamala
E=0,23; hutan pinus E=1,29 dan hutan alam E=1,69. Sybra fuscotriangularis dan Zorillispe spinipennis
merupakan kumbang sungut panjang dengan sebaran luas di lokasi pengamatan. Pola distribusi
kumbang sungut panjang di lokasi penelitian cenderung seragam, kecuali S. fuscotriangularis dengan
pola distribusi cenderung mengelompok.
Kata kunci: diversitas, distribusi, Cerambycidae, Resort Salak 2.
53
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Kumbang (Ordo Coleoptera) dapat dikenali dengan adanya sayap keras yang menutupi
permukaan tubuhnya. Sayap keras yang menutupi tubuh kumbang disebut dengan elytra. Kumbang
mempunyai variasi tipe antenna, karakter ini dibutuhkan dalam melakukan identifikasi. Formulasi
tibia dan tarsus kumbang merupakan karakter lain yang digunakan dalam proses identifikasi.
Kumbang banyak terdapat di sekitar kehidupan manusia. Peranannya dalam ekosistem
sangatlah diperlukan. Banyak kumbang tinja yang membantu degradasi feses menjadi partikel kecil
sehingga lebih mudah didekomposisikan oleh decomposer lain. Kumbang pengebor kayu lapuk ikut
membantu dekomposisi sehingga ekosistem dapat berlangsung dengan seimbang. Terkadang
kumbang juga merusak tanaman budidaya manusia sehingga dikategorikan sebagai serangga hama.
Namun demikian banyak tumbuhan yang penyerbukannya juga dibantu oleh kumbang. Dengan
demikian keberadaan kumbang dalam menjaga kestabilan ekosistem sangat dibutuhkan.
Kumbang yang hidup dan terdapat di Indonesia diperkirakan mencapai 10% dari total kumbang
yang ada di dunia [1]. Satu diantara kumbang perombak yang memiliki perenan penting dalam
ekosistem adalah kumbang sungut panjang (Cerambicidae). Sesuai dengan namanya, ciri utama
kumbang ini adalah mempunyai antenna/sungut yang relatif panjang jika dibandingkan dengan
panjang tubuhnya. Larva kumbang sungut panjang merupakan organism decomposer yang
merombak kayu terutama yang sedang mengalami pelapukan menjadi material organic yang kecil [2].
Menurut Noerdjito et al. [2], kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) sebagian besar
anggota jenisnya, terutama stadium larvanya hidup sebagai pengebor kayu dan cenderung memilih
kayu mati atau kering yang sedang mengalami proses pelapukan. Beberapa jenis diketahui hidup
pada kayu yang ditanam sebagai tanaman industri, sehingga dianggap sebagai hama, misalnya
Xysttrocera festiva pada tanaman jejunjing (Paraseriantes falcataria).
Keberadaan kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) sangat dipengaruhi oleh tipe
vegetasi dan ketinggian tempat [3][4]. Hal ini dijelaskan dalam penelitiannya di Gunung Ciremai,
Jawa Barat dan di Kebun Raya Bogor [5][6][7]. Kehadiran kumbang sungut panjang (Coleoptera:
Cerambycidae) di suatu habitat berkaitan erat dengan adanya tumbuhan berkayu karena larva
kumbang ini hidup di dalam kayu. Oleh karena itu kegiatan manusia yang ada hubungannya dengan
penebangan tumbuhan berkayu atau pengambilan pohon tumbang untuk berbagai keperluan rumah
tangga akan sangat besar pengaruhnya terhadap struktur komunitas dan pola distribusi kumbang ini.
Resort Salak 2 merupakan daerah ekowisata yang terletak di kawasan Gunung Halimun Salak.
Daerah ini mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh rasamala, pinus dan hutan alami yang
heterogen. Kawasan ini termasuk dataran tinggi dengan ketinggian mencapai 1000 m dari
permukaan laut. Menurut pendapat Lien dan Yuan [8], keanekeragaman jenis serangga pada tempat
yang pada ketinggian 1000 m atau lebih cenderung berkurang. Namun blaporan tentang
keanekaragaman jenis dan pola distribusi kumbang sungut panjang di kawasan Resort Salak 2. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan pola distribusi
kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Resot Salak 2, Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei. Kumbang sungut panjang dikoleksi
menggunakan perangkap daun nangka (Artocarpus Trap) seperti yang dilakukan oleh Noerdjito [7] di
Kebun Raya Bogor. Perangkap daun nangka digantungkan pada dahan pohon sedemikian rupa,
pengoleksian dilakukan dengan cara memukul perangkap dan menampung kumbang sungut panjang
54
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
menggunakan kain putih. Kumbang sungut panjang disimpan dalam botol yang sudah diisi dengan
alkohol 70% dan diberi label, selanjutnya diidentifikasi di laboratorium atau dibandingkan dengan
koleksi yang terdapat di Museum Zoologicum Bogoriense, Cibinong, Jawa Barat. Pengoleksian
dilakukan secara berkala pada hari ke-3, 7, dan 11 setelah perangkap dipasang. Perangkap daun
nangka dipasang masing-masing 15 buah di hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alami. Selama
pengoleksian berlangsung dilakukan pencatatan faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembapan
udara relatif dan kecepatan angin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kumbang sungut panjang yang dikoleksi di Resort Salak 2 Taman Nasional Gunung Halimun
Salak berjumlah 15 jenis dengan total 126 individu seperti yang tercantum pada Tabel 1. Selama
pengamatan berlangsung suhu udara berkisar 18-26ï‚°C, kelembapan udara relatif 73-89% dan
kecepatan angin 0-0,6 m/s.
Tabel 1.
Jumlah jenis dan individu kumbang sungut panjang yang dikoleksi di hutan rasamala, hutan
pinus dan hutan alam di Resort Salak 2, Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan
perangkap daun nangka
Jenis kumbang
Acalolepta laevifrons (Aurivillius, 1924)
Acalolepta rusticatrix (Fisher, 1925)
Cacia subfasciata (Schwarzer, 1931)
Cleptometopus javanicus (Breuning, 1943)
Exocentrus artocarpi (Breuning, 1939)
Nctymenius varicornis (White, 1853)
Pterolophia melanura (Pascoe, 1859)
Pterolophia triangularis (Pascoe, 1866)
Pterolophia uniformis (Pascoe, 1859)
Ropica obliquelineata (Breuning, 1939)
Ropica strandi (Breuning, 1942)
Sciades minutus (Breuning, 1977)
Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944)
Trachelophora cervicollis (Pascoe, 1866)
Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939)
Jumlah Spesies
Jumlah individu
H’
E
Rasamala
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
5
10
1
4
6
22
1.418
0.236
Pinus
Hutan
Alam
0
2
1
1
0
0
0
0
13
0
6
0
41
0
9
2
0
0
0
1
2
5
1
5
0
0
0
13
0
2
7
73
1.298
0.185
8
31
1.695
0.211
∑
2
2
1
1
1
2
5
1
18
1
7
5
64
1
15
15
126
Berdasarkan Tabel 1, jumlah individu kumbang sungut panjang paling banyak ditemukan di
hutan pinus terutama untuk S. fuscotriangularis. Hal ini dimungkinkan karena kumbang ini
mempunyai toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan baik abiotis maupun biotis. Hal yang
sama juga telah disampaikan oleh Nordjito [3]. Bentuk daun pinus yang menyerupai jarum
menyebabkan tutupan tajuk menjadi kecil sehingga cahaya matahari dapat lebih banyak memasuki
kawasan ini. Hal ini dijelaskan oleh Fahri [9] bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
55
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
komunitas kumbang sungut panjang adalah jenis pohon, penutupan tajuk, serasah serta pohon
busuk atau yang sedang mengalami proses pelapukan. Tutupan tajuk pada hutan pinus tidak terlalu
rapat, sehingga tidak menghalangi masuknya cahaya matahari pada proses pengeringan perangkap
daun nangka.
Indeks keanekaragaman jenis kumbang sungut panjang paling tinggi ditemukan di hutan alam.
Tingginya nilai ini dapat disebabkan karena di hutan alam kumbang mempunyai pilihan sumber
pakan lain selain nangka. Pernyataan yang sama juga telah dilaporkan oleh Fahri [9] dalam
laporannya yang menuliskan bahwa keberadaan kumbang sungut panjang pada suatu habitat
dipengaruhi oleh jenis tumbuhan. Larva kumbang sungut panjang di habitat hutan alam mempunyai
banyak pilihan dalam mengebor batang dan dahan tumbuhan lain. Habitat hutan alam memiliki
ranting, cabang dan kayu lapuk yang merupakan habitat bagi larva kumbang sungut panjang.
Ranting-ranting dan pohon memperkaya total kayu yang lapuk pada kawasan hutan alam ini.
Berbeda dengan kondisi habitat pada hutan rasamala dan hutan pinus yang mayoritas hanya terdiri
dari satu jenis pohon yang berukuran besar. Tingkat keanekaragaman tumbuhan pada kedua lokasi
(hutan rasamala dan hutan pinus) ini relatif tidak memiliki ranting dan kayu lapuk sebagai habitat
larva dan dewasa kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Menurut Magurran [10]
dan Speight et al. [11] bahwa keragaman habitat akan mempengaruhi keragaman jenis organisme,
habitat yang lebih heterogen mampu memberikan enis “niche” yang lebih banyak sehingga mampu
menopang jenis organisme yang lebih banyak pula.
Jenis kumbang Cerambycidae yang dikoleksi pada ketiga habitat di Resort Salak 2 ini
memiliki kemiripan dengan koleksi kumbang Cerambycidae di kawasan Cidahu dan Citiis [3][7].
Diantara kumbang sungut panjang yang dilaporkan sama adalah Acalolepta laevifrons, A. rusticatrix,
Ropica strandi, R. obliquelineata, Sybra fuscotriangularis, Cleptometopus javanicus, Sciades minutus,
Zorillispe spinipennis, Pterolophia melanura, Pterolophia uniformis, Pterolophia triangularis dan
Nyctimenius varicornis. Menurut Noerdjito [7], Sciades minutus, Zorillispe spinipennis dan
Cleptometopus javanicus merupakan spesies endemik di Jawa.
Gambar 1. Jumlah individu yang dikoleksi pada hari ke-3, 7 dan 11 di hutan rasamala, pinus dan hutan alam
menggunakan perangkap daun nangka
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa pengoleksian kumbang sungut panjang paling efektif
dilaksanakan pada hari ke-7 pemasangan perangkap daun nangka. Pada hari ke-3 perangkap daun
nagka masih relative segar sedangkan pada hari ke-7 mulai kering. Kebiasaan kumbang sungut
panjang membuat lubang pada ranting daun yang sedang mengalami pelapukan dapat menjadi
56
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
penyebab tingginya intensitas kumbang mengunjungi perangkap sehingga banyak yang dapat
dikoleksi. Hal ini dapat juga disebabkan karena metabolit perangkap daun nangka yang digunakan
menghasilkan aroma/odor yang optimal pada hari ke-7 pemasangan sehingga mengundang lebih
banyak kumbang sungut panjang mendatangi perangkap yang dipasang. Hal yang sama juga
dijelaskan oleh dan Tantowijoyo dan Giyanto [12] bahwa proses pengeringan dari ranting dan daun
nangka mengeluarkan odor yang menarik kumbang.
Pola sebaran kumbang sungut panjang dihitung menggunakan indeks Morisita [10].
Berdasarkan analisis data tersebut, pola sebaran kumbang sungut panjang di hutan rasamala, pinus
dan hutan alam cenderung seragam. Namun, S. fuscotriangularis memiliki pola sebaran
berkelompok di lokasi penelitian. Jumlah individu S. fuscotriangularis juga merupakan yang
terbanyak di lokasi penelitian. Hal serupa juga ditemukan oleh Sataral dkk. [13] yang melaporkan
penelitiannya di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat. Menurut Fahri [9], faktor biotik
merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan kumbang sungut panjang.
Menurut Indriyanto [14], tipe pola persebaran seragam terjadi apabila kondisi lingkungan cukup
seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi. Kompetisi
yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa indeks keanekaragaman
jenis kumbang sungut panjang di Resort Salak 2, Taman Nasional Gunung Halimun Salak tergolong
sedang dengan pola sebaran yang merata kecuali untuk Sybra fuscotriangularis yang tersebar
mengelompok.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
Noerdjito, W. A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera) di dalam: Amir M, Kahono S. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun
Jawa Bagian Barat, JICA Biodiversity Coversation Project, 149-200.
Noerdjito, W. A., H, Makihara dan K, Matsumoto. 2005. Longicorn Beetle Fauna (Coleoptera: Cerambycidae) Colected from
Friendship Forest at Sekaroh, Lombok. Proc. Int. Workshop on the Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forests, 2223 February, 2005., FFPRI, Tsukuba, Japan, pp. 55-64.
Noerdjito, W. A. 2009. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Berbagai Tipe Habitat di
Gunung Salak, Sisi Selatan, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. LIPI. Hal 75-87.
Noerdjito, W. A. 2009. Struktur Komunitas Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Gunung Ciremai.
Jurnal Biologi Indonesia 4(5); 371-384. Edisi khusus kawasan Gunung Ciremai Bagian 1.
Noerdjito, W. A. 2010. Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Jurnal Biologi
Indonesia. 6(2): 289-292.
Noerdjito, W. A. 2010. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Keanekaragaman dan Pola Distribusi Serangga di Gunung Salak.
Laporan Akhir. LIPI.
Noerdjito, W. A. 2010. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kebun Raya Bogor.
Prosiding seminar Nasional, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bogor 2008. Hal (289-291).
Lien, V. V. And D. Yuan. 2003. The Differences of Butterfly (Lepidoptera, Papilionoidea) Communities in Habitats with Various
Degrees of Disturbance and Altitudes in Tropical. Biodiv and Concer, 12, 1099-1111.
Fahri, Badjeber. 2013. Diversity and Abundance of Cerambycid Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) on the Four Types of Land Use in
Jambi Province. Tesis. IPB. Bogor.
Magurran, A. E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing Company. Australia.
Speight, M. R., Hunter, M.D., and Watt, A.D. 1999. Ecology of Insect: Concepts and Applications. Blackwell Science Pty Ltd, Oxford.
UK
Tantowijoyo, W dan Giyanto. 2011. Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate. Maluku
Utara. LIPI Press. Hal 167-185.
Sataral M., T.Atmowidi, W.A. Noerdjito. 2015. Diversity and abundance of longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in Gunung
Walat Educational Forest, West Java, Indonesia. Journal of Insect Biodiversity 3(17): 1-12, 2015
Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Penerbit: Bumi Aksara. Jakarta.
57
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-06
Identifikasi Serangga Pengunjung pada Bunga Lilin
(Pachysiachys lutea L.) di Sekitar Taman Hutan Raya IR. H.
DJUANDA
Mohamad Redzka Andika Putra1*, Tata Kalsa2, Ida Kinasih1
1
Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2
Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Dago Pakar Bandung
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan
mengurangi keanekaragaman hayati. Identifikasi dan keanekaragaman serangga pengunjung dapat
dijadikan sebagai indikator baik atau buruknya suatu wilayah. Pengamatan ini bertujuan untuk
mengetahui jenis-jenis serangga pengunjung pada bunga lilin (Pachystachys lutea L.) yang berada di
sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuada. Pengamatan serangga dilakukan sebanyak 5 kali
yang dilakukan dari pukul 08.00-09.00 WIB. Korelasi antara lingkungan (suhu dan kelembapan)
dengan keanekaragaman dan kelimpahan serangga yang dinalisis dengan Indeks Shannon-Wiener
dan uji Correlate. Serangga pengunjung yang teramati berjumlah 1000 individu. Hasil identifikasi
menunjukkan terdiri dari 5 ordo yang terbagi ke dalam 6 famili dan 11 jenis. Nilai indeks
keanekaragaman dan kelimpahan sangat rendah (0,92 dan 0,51). Serangga paling banyak ditemukan
pada jam 08.10-08.30 WIB dengan suhu antara 18,5-210C dan kelembapan udara 83-96%. Analisis
faktor lingkungan suhu dan kelembapan terhadap kelimpahan serangga pengunjung didapatkan
suhu berkorelasi positif dan kelembapan berkorelasi negatif terhadap kelimpahan serangga.
Kata Kunci: Serangga pengunjung, Bunga Lilin, Tahura Ir. H. Djuanda
58
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan biodiversitas tinggi di dunia, diantaranya
adalah flora dan fauna yang beranekaragam dan terdapat flora dan fauna yang tidak dapat
ditemukan di daerah atau negara manapun salah satu tempat yang memiliki keanekaragaman tinggi
adalah wilayah hutan. Dengan semakin berkembangnya kebutuhan manusia maka hutan menjadi
salah satu wilayah yang paling banyak dimanfaatkan sehingga menyebabkan rusaknya hutan yang
ada di Indonesia.
Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah Indonesia membangun suatu wilayah hutan buatan
yang didominasi oleh beranekaragam jenis pohon juga sebagai kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan atau yang alami atau bukan alami yang disebut Taman Hutan raya, salah
satu tanaman yang terdapat di Jawa Barat adalah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Banyak jenis
tumbuhan yang terdapat di dalamnya salah satunya adalah bunga lilin (Pachysiachys lutea L.).
Bunga lilin (P. lutea L.) termasuk ke dalam famili Acantaceae [1], dikenal sebagai tanaman hias
yang dapat dijadikan sebagai obat-obatan. Bentuk bunga bulir dengan seludang bunga berbentuk
oval dan ujung meruncing. Bunga tersusun seperti bongkol, dengan ukuran bervariasi dan berwarna
kuning [2].
Bunga memiliki serbuk sari dan pollen yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan baik oleh
serangga pollinator [3], predator dan parasitoid [4] serta serangga yang menjadikan bunga tersebut
sebagai tempat tinggal. Serangga-serangga ini dapat mempengaruhi bunga P. lutea baik
menguntungkan maupun merugikan. Keuntungan yang didapatkan tumbuhan dari serangga yaitu
dapat terjadi penyerbukan berupa polen yang terbawa pada bagian tubuh serangga [5][6]. Serangga
dengan tumbuhan diperkirakan telah menjalin sebuah interaksi sejak zaman Cretaceous (130-90 juta
tahun yang lalu) [3]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis serangga pengunjung dan
upaya konservasi serangga pengunjung pada bunga lilin (P. lutea L.) yang berada di daerah sekitar
Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda.
BAHAN DAN METODA
Waktu dan Area Penelitian
Pengamatan ini dilakukan di daerah Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda, Dago Pakar, Jawa Barat
antara Goa Jepang dan Goa Belanda, metode pengamatan yang digunakan adalah dengan observasi
dan pengkoleksian langsung. Pengamatan keanekaragaman serangga dilakukan dari tanggal Juni
2015-Juli 2015 dilakukan pada 12 sampel pohon bunga lilin dan sebanyak 5 kali pengamatan mulai
dari pukul 08.00- 09.00 WIB.
Survei Lapangan
Survei lapangan dilaksanakan dengan tujuan proses pencarian lokasi sampilng yang akan
dilakukan dan morfologi dari bunga yang akan diamati serangga pengunjungnya, ditentukan pula
batas-batas dan area yang akan diamati agar dapat memudahkan pengamatan serta jumlah pohon
yang akan dijadikan sampel pengamatan.
Pengukuran Faktor Lingkungan
Pengukuran ini meliputi suhu dan kelembapan di sekitar area pengamatan yang telah
ditentukan, hal ini dilakukan untuk dapat menguatkan hasil pengamatan dan mempermudah proses
identifikasi serangga pengunjung di area tersebut.
Pengamatan Serangga
Pohon bunga lilin diamati mulai dari jam 08.00-09.00 WIB dan di cek satu persatu pada setap
bunga yang terdapat dalam pohon, serangga ditangkap dengan menggunakan pinset atau manual
59
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
dengan tangan kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70% sebagai
pengawet spesimen.
Identifikasi Serangga
Serangga yang telah ditangkap kemudian diidentifikasi dengan mengamati struktur morfologi
dari serangga yang baru ditangkap kemudian mencocokannya dengan buku identifikasi serangga
sampai tingkat famili, pelaksanaan pengamatan morfologi serangga dilakukan di laboratorium
ekologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Berdasarkan IKAPI [7] dan Borror [8](1996)
Data dan Analisis
Data yang telah didapat disajikan dalam bentuk tabel agar dapat memudahkan penulisan,
dihitung rata-rata dan persentase per periode waktu dan dihitung indeks keanekaragamannya
dengan menggunakan indeks keragaman dan kemerataan Shannon H’dan E . Rumus yang di
gunakan adalah [9]:
H’ = -∑ni /N ln ni/N
E = H’/ln S
Keterangan:
ni = Jumlah individu dari i spesies; N = Jumlah total individu; S = Jumlah spesies.
Dilakukan pula perhitungan korelasi antara jumlah serangga dengan faktor lingkungan (suhu dan
kelembapan) dengan menggunakan aplikasi SPSS 17.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil identifikasi ditemukan sebanyak 11 spesies serangga dengan jumlah
keseluruhan sekitar 1000 individu yang termasuk ke dalam 6 famili dan 5 ordo serangga yang
mengunjungi bunga P. lutea. Serangga yang paling dominan mengunjungi bunga ini adalah ordo
Hymenoptera (73,8%), diikuti oleh Thysanoptera (16,1%), Hemiptera (9,7%). Dari ordo Hymenoptera
ditemukan famili Formicidae terdiri dari 5 jenis, dari famili Thripinidae ditemukan 1 jenis, dari larva
Coleoptera ditemukan 1 jenis, dari famili Aphididae ditemukan 2 jenis, dari famili Miridae ditemukan
1 jenis, dari ordo Isoptera ditemukan 1 jenis (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis-jenis dan jumlah serangga pengunjung yang didapatkan pada bunga P. lutea L.
No
1
2
3
4
5
6
Ordo
Hymenoptera
Hemiptera (Subordo
Heteroptera)
Hemiptera (Subordo
Homoptera
Thysanoptera
Coleoptera
Isoptera
Famili
Jenis
Jumlah
Persen (%)
Formicidae
5 jenis
738
73,8%
Miridae
1 jenis
13
1,3%
Aphididae
2 Jenis
84
8,4%
Thripinidae
1 jenis
1 jenis
1 jenis
161
2
2
16,1%
0,2%
0,2%
Berdasarkan hasil identifikasi serangga yang telah dilakukan, serangga pengunjung yang
teramati memiliki fungsi ekologis yang berbeda-beda. Ada yang berfungsi sebagai polinator yang
membantu penyerbukan dan menjadian bunga P. lutea sebagai tempat tinggal (famili Formicidae
berbadan hitam), sebagai hama bagi tumbuhan (famili Aphididae, famili Miridae dan famili
Thriphidae), sebagai predator (sebagian besar famili Formicidae dan larva Coleoptera) dan ada pula
yang hanya sekedar hinggap pada bunga tersebut. Keberadaan serangga ini pada bunga P. lutea baik
musuh alami / predator, serangga polinator maupun hama ini dapat diduga karena dipengaruhi oleh
60
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
ketersediaan makanan dan tempat tinggal sebagai naungan/tempat berlindung [10] di sekitar bunga
P. lutea. Wratten & Van Emden [4] melaporkan bahwa diversifikasi habitat dapat menyediakan
nektar dan polen bagi parasitoid dan predator serta dapat berfungsi sebagai tempat berlindung
sementara. Bagi serangga, serbuk sari digunakan sebagai sumber protein, sedangkan nektar sebagai
sumber gula yang sangat dibutuhkan untuk kehidupannya [11]. Kombinasi gula dalam nektar
menentukan keanekaragaman serangga yang mengunjungi [12]. Selain serbuk sari dan nektar,
morfologi bunga berpengaruh terhadap keanekaragaman serangga pengunjungnya [13].
Beberapa faktor yang mempengaruhi kunjungan serangga pada bunga, diantaranya adalah
kandungan nektar, konsentrasi gula, kandungan senyawa kimia [14], dan kelimpahan bunga [15][16].
Berdasarkan angka indeks keanekaragaman terlihat bahwa serangga pengunjung pada bunga P.
lutea sebesar 0,92, hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman serangga pada saat jam 08.00-09.00
disekitar daerah antara Goa Jepang dan Goa Belanda termasuk kategori sangat rendah H’<1 Tabel
2). Hal ini dapat terjadi disebabkan karena aktivitas pengunjung dan masyarakat sekitar disekitar
tempat pengamatan yang mengakibatkan ketidak nyamanan pada serangga dan kurangnya
perhatian pada aspek lingkungan, selain faktor manusia rendahnya keanekaragaman ini dipengaruhi
oleh faktor makanan, faktor lingkungan yang ada di sekitar tempat pengamatan [17], keragaman
komponen penyusun ekosistem [10] dan aktivitas hewan lain baik sebagai predator, parasitoid,
polinator maupun hama baik pada bunga maupun pada serangga pengunjung. Menurut Krebs [9],
keanekaragaman jenis berfungsi untuk mengukur tingkat keteraturan dan kestabilan suatu
ekosistem, hal ini diartikan bahwa semakin rendah nilai indeks keanekaragaman maka semakin
menurun tingkat keteraturan dan kestabilan ekosistem. Menurut Oka [18] dalam komunitas yang
keanekaragamannya tinggi, suatu populasi spesies tertentu tidak dapat menjadi dominan.
Sebaliknya dalam komunitas yang keanekaragamannya rendah, satu atau dua spesies populasi
mungkin dapat menjadi dominan. Keanekaragaman dan dominansi berkorelasi negatif.
Tabel 2. Hasil Perhitungan Indeks Keanekaragaman dan Kelimpahan Shannon-Wiener Serangga Pengunjung
pada Bunga P. lutea
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Spesies
Sp1
Sp2
Sp3
Sp4
Sp5
Sp6
Sp7
Sp 8
Sp9
Sp10
Sp 11
Ordo
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Hymenoptera
Thysanoptera
Hemiptera
Hemiptera
Hemiptera
Coleoptera
Isoptera
Jumlah
Famili
Formicidae
Formicidae
Formicidae
Formicidae
Formicidae
Thriphidae
Aphididae
Aphididae
Miridae
Larva Coleoptera
H'
0,236523
0,030696
0,012429
0,038627
0,012429
0,294042
0,205085
0,012429
0,056456
0,012429
0,012429
0,923575
E
0,132006
0,017132
0,006937
0,021558
0,006937
0,164108
0,11446
0,006937
0,031509
0,006937
0,006937
0,515457
Berdasarkan angka indeks kelimpahan terlihat bahwa serangga pengunjug pada bunga P. lutea
sebesar 0.51, hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan serangga pada saat jam 08.00-09.00 disekitar
daerah antara Goa Jepang dan Goa Belanda termasuk kategori sangat rendah H’<1 . Hal ini dapat
terjadi disebabkan karena banyaknya jumah bunga P. lutea dalam satu pohon sehingga sumber
61
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
makanan yang dapat digunakan oleh serangga banyak khususnya serangga polinator dan serangga
hama, selain itu banyaknya serangga lain dapat mengundang serangga lain baik sebagai predator
dan parasitoid. Menurut Sihombing [19], melimpahnya suatu jenis serangga polinator disuatu
wilayah dikarenakan daya dukung wilayah tersebut sesuai terhadap kehidupan serangga. Daya
dukung tersebut berupa faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, baik berupa faktor
biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik berupa keanekaragaman tanaman penghasil nektar dan
tepung sari (pollen), serta hama dan penyakit. Faktor abiotik berupa temperatur, kelembaban udara,
curah hujan dan lama penyinaran. Faktor lingkungan ini akan mempengaruhi aktivitas hidup,
keadaan makanan di alam, dan perkembangan populasi. Apabila kondisi suatu wilayah mendukung
berkembangnya suatu spesies maka spesies tersebut populasinya akan melimpah, demikian juga
sebaliknya.
Selain tipe habitat dan morfologi bunga, keanekaragaman serangga juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara dan intensitas cahaya [20]. Berdasarkan analisi
suhu udara faktor ini berpengaruh positif terhadap jumlah serangga dan kelembapan perpengaruh
negatif terhadap jumlah serangga. Secara umum, dari pengamatan selama 5 hari serangga paling
banyak ditemukan pada kisaran 08.10-08.30 WIB dengan suhu antara 18,5-210C dan kelembapan
udara 83-96%. Menurut Asbani & Winarno [21], Cholid & Winarno [22] bahwa serangga penyerbuk
umumnya berkunjung pada pagi hari mulai dari jam 07.00-10.00 wib yang bertepatan pada saat
bunga mekar. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum
250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu optimum kemampuan serangga untuk melahirkan
keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit [23].
KESIMPULAN
Jumlah serangga pengunjung yang didapat pada bunga lilin (Pachysiachys lutea L.) berjumlah
1000 individu yang terdiri dari 11 spesies, 6 famili dan dengan 5 ordo yang terdiri dari Hymenoptera
5 jenis, Thysanoptera 1 jenis, Hemiptera 3 jenis, Coleoptera 1 jenis dan 1 jenis. Serangga yang paling
dominan antara lain dari famii Formicidae sp1 (Hymenoptera), famili Thripidae (Thysanoptera) dan
famili Aphididae sp 9 (Hemiptera). Indeks Keanekaragaman Serangga dan Indeks Kelimpahan
Serangga pada saat pengamatan tergolong sangat rendah (masing-masing 0,92 dan 0,51) hal ini
dipengaruhi oleh faktor makanan, faktor jumlah antar spesies yang timpang (ada yang sangat banyak
dan ada yang sangat sedikit) dan faktor abiotik (suhu dan kelembapan) yang tidak sesuai dengan
suhu optimum serangga.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H.
Djuanda Dago Pakar atas izin dalam penggunaan lahan unuk pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
Ken, F. 2010. Bunga Lilin: Bentuknya Mirip Api Lilin. [online]. Tersedia :
http://taman.idealonline.co.id/index.php/home/read/74/bunga-lilin:-bentuknya-mirip-api-lilin. Diakses pada 05 Agustus jam 08.04
WIB.
Tim KKN. 2012. Katalog Tanaman Obat Keluarga (Toga) Desa Krisik 2012. Malang: Universitas Brawijaya.
Schoonhoven, L. M, Jermy T, van Loon JA. 1998. Insect-Plant Biology: from physiology to evolution. London: Chapman & Hall.
Wratten dan Van Emden. 1994. Habitat Managemen for Echanched Activity of Natural Enemies of Insect Pests. dalam D. M. Glen, M.
P. Graves and H. M. Anderson. Ecology and Integrated Farming System Chilchester. Inggris: Willey.
Sedgley, M dan Griffin A. R. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. London: Academic Press.
Kevan, P. G. 1984. Bee Botany: Pollination, foraging and floral calendars. Proceedings of the Expert Consultation on Beekeeping in
Apis mellifera in Tropical and SubTropical Asia. Food and Agricultural Organization of the United States. Roma, 51-56.
IKAPI. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta : Kanisius.
62
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
Borror, D. J,. Triplehorn, C. A, dan Johnson, N. F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Krebs, C. J. 2001. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance 5th ed. California: Benjamin Cummings.
Apituley, F. L., A. S. Laksono dan B. Yanuwiadi. 2012. Kajian Komposisi Serangga Polinator Tanaman Apel (Malus sylvestris Mill) di
Desa Poncokusumo Kabupaten Malang. El-Hayah 2 (2), 85-96.
Plowright R. C, Thomson J. D, Lefkovitch L. P, Plowright C. M. S. 1993. An Experimental Study of the Effect of Colony Resource Level
Manipulation on Foraging for Pollen by Worker Bumble Bees. Canadian Journal of Zoology 71: 1393-1396.
Hainsworth, F. R, Hamill, T. 1993. Foraging Rules For Nectar: Food Choices by Painted Ladies. American Naturalist 142 (5): 857–867.
Neal, P, Dafni. A, Giurfa. M. 1998. Floral Symmetry and Its Role in Plant-Pollinator Systems: Terminology, Distribution and
Hypotheses. Annual Review of Ecology and Systematics 29: 345–373.
Martin, E. C, McGregor, S. E. 1973. Changing Trend in Insect Pollination of Commercial Crops. Annual Review of Entomology 18 (1):
207-226.
Kandori, I. 2002. Diverse Visitors with Various Pollinator Importance and Temporal Change in the Important Pollinators of Geranium
thunbergii (Geraniaceae). Ecological Research 17 (3):283–294.
Hegland, S. J dan Totland O.
5. Relationships Between Species’ Floral Traits and Pollinator Visitation in a Temperate Grassland.
Oecologia 145 (4): 586–594.
Banjo, A. D, Lawal O. A, Aina S. A. 2006. The Entomofauna of Two Medicinal Euphorbiaceae in Southwestern Nigeria. Journal of
Applied Sciences Research 2 (11) : 858-863.
Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : Gajah mada University Press.
Sihombing, L. 2005. Food Security Analisis Ketersediaan dan Akses (Studi Kasus Propinsi Sumatera Utara), Prosiding Seminar Sehari
Strategi Penguatan Ketahanan Pangan. 4 Juli 2005. Medan.
Amano, K., T. Nemoto and T. A. Heard. 2000. What are Stingless Bees and Why and How to Use Them As Crop Pollinatior a Review.
JARQ 34 (3): 183 190.
Asbani, N. dan D. Winamo. 2009. Bioekologi Penyerbukan dan Pembuahan pada Jarak Pagar Andromonoecious. Jurnal Grivita 31
(1): 12-18.
Cholid, M. dan D. Winarrno. 2006. Pemberdayaan Serangga Penyerbuk dan Tanaman Pemikat Untuk Meningkatkan Produktivitas
Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Balittas.Doc. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Jumar. 2000. Entomologi Serangga. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
63
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-07
Keanekaragaman Spesies Serangga Hama dan Musuh Alami
pada Tanaman Kacang Hijau di Brebes, Jawa Tengah
Dodin Koswanudin1*, I Made Samudra1, dan Sutoro1
1
*
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Serangga hama merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya kacang hijau, sehingga
perlu dilakukan berbagai upaya dalam mengatasinya. Pencarian sumber daya genetik atau plasma
nutfah yang tahan serangga hama termasuk penelitian dasar yang penting dalam menyiapkan materi
genetik pada kegiatan perakitan varietas tahan. Tujuan penelitian untuk mendapatkan sumberdaya
genetik kedelai yang tahan terhadap serangga hama. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai
Juli 2014 di dusun Kalibuntu, Desa Kalibuntu, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah. Percobaan
mengunakan rancangan acak kelompok, Sumber daya genetik kedelai yang diuji sebanyak 20 aksesi
dengan 3 (tiga) ulangan. Luas petak 4 m x 5 m, benih kedelai ditanam 2 biji/lubang tanam dengan
jarak tanam 20 cm x 30 cm. Tanaman dipupuk dengan Urea, SP-36 dan KCl sesuai dosis anjuran dan
dipelihara sebaik-baiknya agar memenuhi syarat untuk percobaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa serangga hama yang muncul meliputi kutudaun (Aphis cracivora), kutu kebul (Bemisia tabaci),
pengisap polong (Riptortus linearis) dan (Nezara viridula), pemakan polong (Helicoverpa armigera)
dan penggerek polong (Maruca testulalis). Serangga musuh alami meliputi predator (Coccinella sp.,
Lycosa psuedoanulata, Phaederus fuscifes) dan parasitoid (Snellinius manillae, Ooencyrtus sp.,
Trichogrammatoidea spp.).
Kata kunci: Keanekaragaman, serangga, kacang hijau.
64
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-08
Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Padi Gogo
Dataran Rendah di Jatisari Karawang, Jawa Barat
Martua Suhunan Sianipar1*, Rika Meliansyah1, Riandi Feral1, Entun Santosa1,
RC. Hidayat Soesilohadi2, W. Daradjat Natawigena1
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNPAD
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Padi merupakan komoditas tanaman pangan penting di Indonesia. Ada beberapa jenis varietas padi
di Indonesia, diantaranya varietas Padi Gogo. Padi Gogo bisa menjadi salah satu pemecahan masalah
disaat musim kekeringan. Salah satu faktor penghambat dalam budidaya padi gogo adanya serangan
hama. Penelitian dilaksanakan dari Oktober 2013 sampai Desember 2013 bertujuan
menginventarisasi serangga hama pada tanaman padi gogo dataran rendah di Jatisari, Karawang,
Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang
dikumpulkan meliputi jenis dan jumlah serangga yang terperangkap yang kemudian dihitung indeks
keragamannya. Pengambilan sampel dilakukan langsung dengan tangan, penggunaan perangkap
kuning berperekat, perangkap cahaya, perangkap pitfall dan penjaringan. Pengamatan dilakukan
sebanyak 12 kali dimulai dari fase vegetatif, hingga generatif. Dengan interval setiap satu minggu
sekali. Hasil penelitian mendapatkan 6 ordo, dan 15 famili/spesies, dengan jumlah individu serangga
sebanyak 1722 individu. Jenis serangga hama yang tertangkap dengan perangkap ini yaitu,
Dissosteira spp., Oxya spp., Cofana spp., Recilia dorsalis, Nilaparvata lugens, Graphocephala spp.,
Nephotettix spp., Leptocorisa spp., Scotinophara spp., Scarabaeidae, Atherigona spp., Scirpophaga
spp., Cnaphalocrocis spp. Adapun serangga dengan jumlah terbanyak di lahan padi gogo dataran
rendah di Jatisari, Karawang, Jawa Barat ini yaitu Oxya spp., sebanyak 322 individu. Sedangkan,
serangga dengan jumlah terendah yaitu Acheta domesticus spp., sebanyak 31 individu di temukan
diareal pertanaman. Indeks keragaman H’ serangga hama bisa dikatakan berada di level yang
sedang, mulai dari awal fase vegetatif, hingga akhir fase generatif
Kata kunci: Keragaman, Serangga hama, Padi gogo, Dataran rendah
65
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-09
Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens
Stal.) dan Keragaman Serangga Predatornya pada Padi
Sawah Lahan Dataran Tinggi
Mochamad Ardiansyah1, Martua Suhunan Sianipar1*, Luciana Djaya1,
EntunSantosa1, RC. Hidayat Soesilohadi2, Wahyu Daradjat Natawigena1
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNPAD
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Hama Wereng Batang Coklat/WBC (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama utama tanaman padi.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi WBC dan keragaman musuh alaminya pada
tanaman padi sawah di dataran tinggi. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan eksperimen.
Survei dilakukan pada 3 petak lahan percobaan berukuran 15 mx 20 m bertempat di Desa
Panyocokan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan eksperimen dilakukan di rumah kaca
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Metode
pengambilan sampel dilakukan secara diagonal sistematis dengan menggunakan perangkap kuning
dan perangkap jarring dan dengan dilihat langsung pada rumpun padi lalu jumlah WBC dihitung.
Ekperimen dilakukan dengan meletakkan sepasang WBC dalamwadah, lalu diamati keperidian, siklus
hidup, dan sex ratio keturunannya. WBC yang tertangkap dihitung jumlahnya dan diakumulasikan
setiap minggunya. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan populasi di lahan survey di bawah 10
ekor/rumpun artinya populasi WBC masih di bawah ambang ekonomi atau ambang kendali. Suhu,
kelembaban, dan curah hujan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap populasi WBC.
Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis regresi masing-masing pada suhu (Y= 0,557 – 8,167x ; R2 =
0,039 ; P= 0,465), kelembaban (Y = -0,077 + 9,112x ; R2 = 0,045 ; P = 0,428), dan curah hujan (Y = 0,118 + 3,412x ; R2 = 0,136 ; P = 0,159). Indeks keragaman musuh alami cenderung mengalami
fluktuasi dari rendah sampai sedang. Pada kisaran suhu 21,1-34,8 oC hasil pengamatan keperidian
menunjukkan WBC dapat menghasilkan 127-207 individu baru selama masa hidupnya. Pada
pengamatan siklus hidup, WBC memerlukan rata-rata 37,66 hari sampai menghasilkan generasi baru.
Pengamatan sex ratio menunjukkan perbandingan (jantan:betina) 1,06:1.
Kata Kunci: Populasi, Wereng Batang Coklat, Keragaman, Predator, Sawah, Dataran Tinggi, Ciwidey,
Bandung
66
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-10
Pola Aktivitas Harian Serangga Vespidae (Hymenoptera)
pada Tanaman Pisang
Masriany1,2, Fenny M. Dwivany1, Tjandra Anggraeni1*
1
Sekolah Ilmu Teknologi dan Hayati, ITB
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Blood disease bacterium (BDB) adalah salah satu penyakit utama pada tanaman pisang yang
persebarannya diduga disebabkan oleh serangga pengunjung bunga pisang. Salah satu serangga
pengunjung bunga Pisang adalah famili Vespidae. Pola aktivitas harian Vespidae pada perbungaan
pisang perlu dilakukan sebagai informasi awal terkait potensi Vespidae sebagai vector BDB.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola aktivitas harian serangga Vespidae pada Bunga
Pisang. Pengambilan data serangga dilakukan pada bulan Januari-September 2015 dengan
menggunakan metode purposive sampling di Kebun Pecobaaan Balitbu Subang, Jawa Barat. Waktu
pengamatan dibagi atas tiga waktu: pada pagi (pukul 07.00- 09.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari
(15.00-17.00). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persentase kunjungan serangga Vespidae pada
bunga pisang tertinggi pada pagi hari sebanyak 56%, pada siang hari mengalami penurunan drastis
menjadi 21% dan pada sore hari sekitar 23%. Perbandingan tingkat preferensi serangga Vespidae
pada bunga pisang betina lebih tinggi dibandingkan dengan bunga pisang jantan. Tingkat kunjungan
serangga Vespidae pada bunga pisang tampaknya berkorelasi positif dengan waktu dan fase
perbungaan pisang.
Kata Kunci: pola aktivitas harian Vespidae, Bunga pisang betina, bunga pisang jantan.
67
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-11
Perkembangan populasi Wereng Hijau (Nephotettix
virescens Distant) dan musuh alaminya pada lahan sawah
dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang
Hairil Anwar1*, Meinarti Norma1, Sri Murtiati1
1
*
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Dinamika populasi hama wereng hijau Nephotettix virescens Distant dan musuh alaminya pada lahan
sawah dengan sistem irigasi inter-mitten merupakan salah satu terobosan untuk meningkatkan
ketahanan pangan nasional menuju swasembada beras berkelanjutan. Kegiatan ini dilaksanakan
pada MT I tahun 2010 yang berlokasi di Kelurahan Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kodya
Semarang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan populasi hama wereng coklat
pada beberapa kultivar padi di lahan sawah dengan sistem irigasi berselang. Adapun komponen
teknologi yang diterapkan pada kegiatan ini adalah komponen teknologi PTT padi sawah spesifik
lokasi menggunakan 5 (lima) kultivar padi sawah meliputi : Inpari-1, Galur Harapan, Situ Bagendit,
Lokal Umbul, dan Conde. Metode menggunakan sistem random sampling secara diagonal pada
masing-masing lokasi. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap perkembangan populasi wereng
hijau dengan interval pengamatan setiap dua minggu sekali. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa
perkembangan populasi hama wereng hijau pada sistem irigasi berselang memiliki pola sebaran yang
bervariasi pada masing-masing kultivar padi disetiap stadia pertumbuhan tanaman. Pada stadia
vegetatif (14-21 HST) secara visual masing-masing kultivar padi populasinya rerata berkisar 12-20
ekor per lokasi per rumpun. Sedang pada stadia generatif (35-45 HST) populasinya rerata bekisar
antara 6-10 ekor per rumpun. Dari tiap stadia pertumbuhan tanaman padi ternyata pada stadia
reproduksi yaitu umur tanaman 7–8 minggu setelah tanam (49-60 HST) mempunyai pola sebaran
populasi wereng hijau yang cukup tinggi rerata mencapai berkisar 4-17 ekor per rumpun, sedang
pola sebaran populasi paling tinggi terjadi pada umur tanaman 76-90 HST (stadia pemasakan) yaitu
rata-rata populasinya berkisar 5-19 ekor per rumpun. Populasi wereng hijau tertinggi terjadi pada
kultivar lokal umbul, baik dengan perlakuan genangan air maupun perlakuan tanpa genangan air.
Sedangkan populasi terendah terjadi pada kultivar Inpari-1 baik dengan perlakuan genangan air
maupun pada perlakuan tanpa genangan air. Pola sebaran wereng hijau terjadi umumnya akibat
dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya perubahan iklim, kondisi lingkungan diantaranya kurang
berperannya musuh alami. Musuh alami yang ditemukan di lapang diantaranya: Lycosa
pseudoannulata dan Oxyopes sp dengan tingkat populasi relatif rendah rerata berkisar 4-7 ekor per
rumpun, baik pada perlakuan tanpa genangan air maupun dengan genangan air.
Kata kunci: wereng hijau, tanaman padi, dan inter-mitten.
68
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Dalam bidang ketahanan pangan, padi merupakan bahan makanan pokok hampir seluruh
masyarakat Indonesia dan menyumbang lebih dari 60 persen terhadap konsumsi energi dan protein.
Ketersediaan beras, yang cukup bagi kebutuhan konsumsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap
tingkat asupan gizi masyarakat. Introduksi varietas unggul baru yang memiliki beberapa keunggulan
seperti umur panen genjah, potensi hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman biotik merupakan
salah satu upaya untuk mengatasi berbagai kendala biotik dan abiotik pada budidaya padi saat ini.
Salah satu kendala usaha tani padi yang belum terpecahkan adalah serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) seperti hama wereng hijau. Ketahanan varietas unggul baru terhadap
hama wereng hijau sangat penting karena hama wereng hijau merupakan hama utama tanaman
padi dapat menularkan penyakit tungro. Di Indonesia hama ini menimbulkan kerusakan dari ringan
sampai berat. Hama ini dapat menyerang tanaman padi dari stadia bibit di persemaian sampai
menjelang panen. Wereng hijau juga merupakan vektor dari virus tungro, serangan penyakit virus ini
biasanya mengikuti serangan wereng hijau. Salah satu cara yang relatif murah dan aman untuk
menanggulangi serangan wereng hijau adalah penanaman varietas yang tahan atau varietas unggul
baru [1].
Masalah tersebut sampai saat ini belum dapat diprediksi dan dikendalikan secara optimal,
sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, penurunan
mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani. Untuk
mengantisipasi kerugian tersebut diperlukan upaya pengendalian hama wereng hijau secara terpadu
termasuk perlakuan penggunaan air irigasi, dan pemanfaatan musuh alami (natural enemis)
disamping penggunaan cara lain [1].
Penggunaan air secara berselang/intermitten dapat menekan perkembangan populasi hama
wereng hijau [1] sehingga diharapkan adanya penurunan kehilangan hasil sampai persentase
kehilangan hasil mendekati 20%. Demikian pula, menurut (Herutaji, 1987) dalam Hairil Anwar dkk.
[2] bahwa pemanfaatan potensi musuh alami cukup baik di alam bebas, sehingga dapat bertahan
dan berdaya guna dalam menekan dan menurunkan populasi wereng hijau. Apabila pendayagunaan
tersebut dapat berhasil dicapai maka populasi wereng hijau di alam akan dapat diatur dengan
sendirinya oleh musuh alami untuk meningkat tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu usaha-usaha
pemanfaatan musuh alami perlu dilakukan sebagai salah satu strategi pengendalian terhadap hama
wereng hijau.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di lahan petani desa Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang
pada musim tanam 2010/2011 dengan luas lahan 2.500 m2. Pada penelitian ini introduksi efisiensi
pemakaian air pada tanaman padi dengan perlakuan pengairan : a) pengairan berselang interval
setiap 3 hari sekali dan b) pengairan petani (eksisting). komponen teknologi yang diterapkan pada
kegiatan ini adalah komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah spesifik
lokasi menggunakan 5 (lima) varietas padi sawah meliputi, Situbagendit, Inpari-1, Conde, galur
harapan, dan varietas lokal Umbul, dengan sistem tanam jajar legowo 2:1 dan eksisting petani
dengan system tanam tegel/biasa. Penelitian menggunakan sistem random sampling secara diagonal
pada masing-masing lokasi. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap perkembangan populasi
wereng hijau dan musuh alaminya dengan interval setiap dua minggu sekali.
69
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman padi mulai berumur 14 hingga 90 hari setelah
tanam (HST), perkembangan populasi wereng hijau per rumpun tergolong fluktuatif, seperti pada
Gambar 1 dan 2. Keragaan tersebut diakibatkan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik
biotik maupun abiotik. Hal ini dapat dilihat pada kelima kultivar komoditas padi yang ditanam
menunjukkan bahwa dengan sistem tanam yang berbeda yaitu, sistem tanam transplanting
tegel/biasa dibandingkan jajar legowo 2:1 memberikan ritme perkembangan populasi wereng hijau
yang berbeda.
Keragaan populasi wereng hijau pada varietas Lokal Umbul, umur 14 HST dan 21 HST tingkat
populasinya tergolong paling tinggi bila dibanding varietas lainnya yaitu rerata mencapai 20
ekor/rumpun pada pengairan biasa dan 12 ekor/rumpun pada pengarian berselang dengan sistem
tanam tegel (biasa petani) dan populasi wereng hijau terendah pada varietas Inpari-1.
Gambar 1. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Biasa/tegel di Karangmalang, kec.
Mijen,kota Semarang
Gambar 2. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Jajar legowo 2:1 di Karangmalang,
Mijen, Kota Semarang
Keragaan populasi wereng hijau pada varietas Situ Bagendit, umur 35 HST dan 45 HST tingkat
populasinya tergolong paling tinggi bila dibanding varietas lainnya yaitu rerata mencapai 10
70
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
ekor/rumpun pada pengairan biasa dan 6 ekor/rumpun pada pengarian berselang. Sedang populasi
wereng coklat terendah pada varietas Inpari-1 dan Conde dengan rerata yang sama mencapai 10
ekor/rumpun pada pengairan biasa. Pada pengairan berselang populasi wereng hijau terendah
rerata mencapai 6 ekor/rumpun (varietas Inpari-1 dan Galur Harapan).
Pada umur tanaman 49 HST dan 56 HST populasi wereng coklat mencapai berkisar 4
ekor/rumpun (varietas Inpari-1 dan Conde) dan 17 ekor/rumpun (varietas Situ Bagendit) pada sistem
tanam tegel dengan pengairan biasa dan berkisar 4 ekor/rumpun (varietas Conde dan Galur
Harapan) dan 17 ekor/rumpun (varietas Situ Bagendit) pada sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan
pengairan berselang. Sedang populasi wereng coklat pada tanaman umur di atas 70 HST dan 90 HST
mencapai rerata berkisar 5 ekor/rumpun (varietas Galur Harapan) dan 19 ekor/rumpun (varietas Situ
Bagendit) pada sistem tanam tegel dengan pengairan biasa, pada sistem tanam jajar legowo 2:1
dengan pengairan berselang tingkat populasi wereng hijau mencapai rerata berkisar 5 ekor/rumpun
(varietas Conde) dan 19 ekor/rumpun pada varietas Situ Bagendit seperti tersaji pada gambar 3 dan
4.
Gambar 3. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Biasa/tegel di Karangmalang, kec.
Mijen, kota Semarang
Gambar 4. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Jajar legowo 2:1 di Karangmalang,
Mijen, Kota Semarang
Secara umum pertumbuhan pertanaman padi berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi
populasi wereng hijau pada umur tanaman sekitar 7 HST menunjukkan tingkat populasi relatif
71
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
rendah, pada umumnya populasi wereng hijau baru terbentuk disebabkan adanya populasi migran.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kisimoto [3] bahwa serangga mulai tertarik terhadap tanaman
padi sejak berumur 10 - 20 HST.
Di sisi lain, sifat populasi wereng hijau memiliki laju pertumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh
suhu dengan kisaran 24 - 33,5 °C, sehingga pada daerah beriklim sedang awalnya kepadatan populasi
rendah, kemudian populasi tersebut naik dengan cepat. Sehingga secara tidak langsung melalui
dampak dari perubahan iklim dapat menyebabkan meningkatnya populasi wereng hijau. Hal
tersebut membuktikan bahwa faktor lingkungan (sistem tanam) sangat berpengaruh terhadap
perkembangan wereng hijau [2].
Faktor lingkungan yang turut berperan dalam menekan perkembangan populasi wereng hijau
adalah cara/sistem tanam, pemanfaatan musuh alami/predator dan tata guna air (TGA). Menurut
Abdulrachman [4] tanam jajar legowo biasanya diterapkan untuk mengantisipasi daerah yang
banyak serangan hama dan penyakit, termasuk wereng hijau atau kemungkinan terjadinya
keracunan besi. Namun belakangan ini berdasarkan hasil kajian telah terbukti bahwa tanam jajar
legowo dapat memberikan tambahan keuntungan sekitar 5-10% dari sistem tanam tegel/biasa
petani [5]. Sedangkan Baehaki, et al. [6] mengemukakan bahwa umumnya tingkat kepadatan
populasi musuh alami/predator akan bertambah bila faktor makanan banyak tersedia, rerata
perkembangan populasi musuh alami laba-laba (4,7 ekor/rumpun) mengikuti rerata perkembangan
populasi wereng hijau pada kondisi pertanaman padi berpengairan biasa. Pada pertanaman padi
dengan pengairan berselang/intermiten, ternyata rerata perkembangan populasi wereng hijau
relatif lebih tinggi (12 ekor/rumpun). Hal tersebut disebabkan oleh pola perkembangan populasi
awal yang umumnya rendah, dan baru mencapai puncaknya pada generasi 2 atau saat tanaman
padi umur 6 sampai 11 minggu setelah tanam/MST [6] seperti tersaji pada gambar 5.
Gambar 5. Dinamika populasi musuh alami pada pertanaman padi di Karangmalang, kecamatan Mijen, kota
Semarang
Mengingat besarnya peranan musuh alami dalam memangsa wereng hijau maka perlu
dilestarikan keberadaannya pada ekosistem pertanaman padi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sumartono [7], tersedianya faktor makanan akan mempengaruhi daya mencari mangsa dan
kepiridian. Silkus predator pada dasarnya tergantung pada silkus makanannya atau spesies serangga
(Utida, 1957, cit. [8]). Aktivitas musuh alami memangsa tergantung dari populasi wereng hijau,
makin banyak populasinya, makin banyak pula yang dimangsa [9] seperti tersaji pada gambar 6.
72
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Gambar 6. Dinamika populasi musuh alami pada pertanaman padi di Karangmalang, kecamatan Mijen, kota
Semarang
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah
penggunaan air (TGA). Tanaman padi selama pertumbuhan sebenarnya tidak terlalu banyak
membutuhkan air, berdasarkan hasil penelitian ketubuhan air bagi pertanaman padi sekitar 60%
tanpa menurunkan hasil, bahkan dapat menurukan populasi jasad pengganggu tanaman padi (Fagi,
et al 1983 cit [10]). Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan air sistem penggenangan/cara
petani dapat meingkatkan populasi wereng hijau bila dibandingkan dengan sistem pengairan
berselang.
Pada sistem irigasi berselang/intermiten selain memberi kesempatan bagi akar untuk
mendapatkan aerasi yang cukup untuk perkembangan akar, dan bisa menaikkan temperatur tanah
sehingga dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat, juga dapat mengurangi kelembaban [11] yang
mengakibatkan perkembangan populasi hama wereng hijau menjadi turun (10%). Sedangkan pada
sistem pengairan biasa, dinamika populasinya akan mengalami kenaikan saat tanaman umur sekitar
30 HST. Masing-masing varietas padi memiliki pola sebaran hampir sama, tertinggi pada varietas
lokal Umbul rerata mencapai 16,0 ekor/rumpun dan Situ Bagendit rerata mencapai 4,0 ekor/rumpun,
sedang populasi terendah pada varietas Inpari-1 yaitu mencapai 0,1 ekor/rumpun. Hal tersebut
sesuai pendapat Gani, et al. [6] bahwa pemanfaatan air secara intermiten/berselang akan
mengurangi populasi wereng hijau, nematoda di daerah perakaran, mengurangi emisi gas metan
(CH4) dan memperbaiki kualitas hasil gabah. Hal tersebut terlihat dari keragaan fioiologis tanaman
seperti tersaji pada Gambar 7.
Gambar 7. Keragaan morfologi komoditas padi kultivar unggul pada kegiatan di desa Karangmalang,
kecamatan Mijen, kota Semarang
KESIMPULAN
1) Kelima varietas padi yang ditanam menunjukkan bahwa dengan sistem tanam yang berbeda
yaitu, sistem tanam transplanting tegel/biasa dibandingkan jajar legowo 2:1 memberikan ritme
perkembangan populasi wereng hijau yang berbeda. Tertinggi pada varietas Inpari-1 rerata
73
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
mencapai 17,0 ekor/rumpun dan populasi terendah pada varietas lokal umbul dengan rerata
mencapai 3,0 ekor/rumpun.
2) Adanya introduksi pengairan berselang pada tanaman padi di desa Karangmalang, kecamatan
Mijen, kota Semarang dapat merubah pola petani dalam usahatani tanaman padi. Introduksi
kultivar padi unggul baru genjah dan sistem tanam jajar legowo yang dilakukan pada musim
tanam ketiga/kemarau dapat menurunkan kehilangan hasil dari 10% menjadi 1,5%, sehingga
meningkatkan ketahanan atau kedaulatan pangan.
SARAN
1) Irigasi berselang/intermiten selain memberi kesempatan bagi akar untuk mendapatkan aerasi
yang cukup untuk perkembangan akar, dan bisa menaikkan temperatur tanah sehingga dapat
mengaktifkan mikroba bermanfaat, juga dapat mengurangi kelembaban yang mengakibatkan
perkembangan populasi wereng hijau menjadi turun.
2) Petani sangat mengharapkan adanya perubahan pola tanam dari padi-padi-padi menjadi
padi-padi-palawija/hortikultura) dan penerapan system tanam jajar legowo 2:1 atau 4:1 untuk
memotong sklus hidup hama wereng hijau dan mengantisipasi pada musim tanam ke III
yang kadang-kadang kekurangan air.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Baehaki, 2011. Pengendalian OPT Utama Padi (Bahan pelatihan) Dalam Rangka mendukung program P2BN. Cipayung, Bogor, Jawa
Barat.
Anwar, H dan M. Norma, 2013. Dinamika Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stall dan Musuh Alaminya pada Lahan
Sawah dengan Sistem Irigasi Berselang di Kodya Semarang Jawa Tengah. Makalah BPTP Jawa Tengah
Kisimoto R. 1977. Bionimics. The rice brown planthopper. ASPAC
Abdulrachman, 2004. Teknologi Budidaya Padi Tipe Baru. Makalah pada Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengelolaan Tanaman
Terpadu di Balitpa Sukamandi, Subang, Jawa Barat.
Aguswara, 2011. Panduan Teknik Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Sistem Tanaman Jajar Legowo. (Makalah), Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi
Baehaki dan M. Iman 1991. Status Hama Wereng pada tanaman Padi dan Pengendaliannya. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian
Jakarta
Sumartono, S., 1985. Peranan Pengendalian Hayati Dalam Pengelolaan Serangga Hama, Simposium Pengendalian Hayati Serangga
Hama, Malang.
Badan Litbang Pertanian (1970). Ekologi Serangga. Lembaga Penelitian Hortikultura Malang, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Baehaki dan D. Sukarna., 1987. Manfaat musuh alami dalam mengatasi wereng Coklat. Makalah seminar wereng coklat. (Buku
Kompilasi Hasil Penelitian Hama Wereng Coklat), Puslitbangtan, Bogor.
Syam, M dan Hermanto, 1995. Teknologi Produksi Padi Mendukung Swasembada Beras. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Gani, A., Rahman, Dahono, Rustam and H. Hengsdijk, 2002. Synopsis of water management experiment in Indonesia. IRRI, Los Banos,
Phillippines.
74
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-12
Kondisi Serangga Hama di Perkebunan Teh Organik
Citambur
Wahyu Widayat1* dan Muyarno2
1
Pusat Penelitian Teh dan Kina, Bandung
PT. Bukit Sari, Cianjur Jawa Barat
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Perkebunan teh organik Citambur sebelumnya merupakan perkebunan teh konvensi-onal yang
menggunakan agrokimia, luas 750 ha. Tercatat luas serangan serangga hama pada musim kemarau
tidak kurang dari 230 ha, serangan penyakit pada musim hujan tidak kurang dari 300 ha. Untuk
mengendalikan serangga hama (Helopeltis, Empoasca) sebanyak 600 kg/th, fungisida untuk
pengendalian penyakit cacar teh (Blister blight) sebanyak 1.200 kg/th, dan herbisida untuk
pengendalian gulma 2.300 lt/th. Bila terjadi ledakan serangan serangga hama penggunaan
insektisida bisa mencapai 5 X lipat. Mulai tahun 2004, dilakukan pengelolaan kebun menuju kebun
teh organik, pengguna-an agrokimia sintetik dihentikan, penanaman pohon tepi jalan, pohon
pelindung dilakukan. Berangsur-angsur serangan serangga hama menurun, banyak ditemukan
musuh alami; sampai akhirnya tidak ada ledakan serangga hama. Pada tahun 2009-2010
mendapatkan sertifikat kebun teh organik dari MEE, Jepang dan Amerika Serikat, dari Control Union
Certification (CUC).
Kata kunci:
75
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-13
Fluktuasi Populasi Lalat Buah Jantan (Bactrocera
carambolae Drew and Hancock) dan (Bactrocera papayae
Drew and Hancock) (Diptera; Tephritidae) pada Beberapa
Tanaman Belimbing
Dodin Koswanudin1, Adi Basukriadi2, I Made Samudra1, dan Rosichon
Ubaidillah3
1
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia
3
Bidang Zoologi, Puslitbang Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Lalat buah (Bactrocera carambolae) dan (Bactrocera papayae) termasukhama yang menyerang
buah-buahan dan menimbulkan kerugian yang cukup besar serta berperan sebagai organisme
pengganggu tanaman karantina. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menurunkan
serangan lalat buah adalah dengan melakukan pemasangan perangkap metil eugenol untuk lalat
buah jantan. Tujuan penelitian mendapatkan informasi dan mempelajari sebaran dan fluktuasi
populasi lalat buah (Bactrocera carambolae) dan (Bactrocera papayae) pada tanaman belimbing.
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2011 sampai Januari 2012 di kebun buah Taman Wisata
Mekarsari, Cileungsi, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian menggunakan rancangan acak
kelompok teridiri atas 12 varietas belimbing (Malaya, Dewi, Sembirirng, Wulan, Welahan, Wijaya,
Demak Kapur, Demak Kunir, Paris, Bangkok, Pilipin, dan Tailan). Setiap tanaman belimbing terdiri
atas 4 pohon yang dipasang 1 buah perangkap metil eugenol/pohon sebagai ulangan. Parameter
yang diamati adalah jumlah lalat buah jantan yang tertangkap dalam perangkap yang diamati setiap
seminggu sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi lalat buah jantan (Bactrocera
carambolae) dan (Bactrocera papayae) yang tertangkap berfluktuasi pada setiap jenis tanaman
belimbing dan waktu pengamatan. Populasi lalat buah jantan yang paling rendah terjadi pada
belimbing Welahan (227,0 – 901,0 ekor) dan tertinggi pada belimbing Malaya (551,0 – 2900,0 ekor).
Kata kunci: Fluktuasi populasi, B. carambolae dan B. papayae, belimbing.
76
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
A-14
Studi Keanekaan Serangga Tanah Dengan Metode Pitfall
Trap di Hutan Pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Jawa
Barat
Veni Aprilia Lestari1, Melanie1, Hikmat Kasmara1
1
*
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
Penulis yang berkorespodensi : email:
Abstrak
Kata kunci:
77
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Hutan Pantai Cisela termasuk dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Cagar alam ini
terletak di sebelah selatan Kabupaten Cianjur, termasuk kedalam wilayah Desa Cidamar dan Desa
Karangwangi, Kecamatan Cidaun. Hutan pantai merupakan salah satu tipe hutan penting di
Indonesia yang tumbuh pada lahan kering di kawasan pesisir. Hutan pantai penting dalam menjaga
stabilitas ekosistem pesisir, misalnya melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, dan
sebagai habitat berbagai satwa [1]. Serangga tanah mempunyai potensi yang tidak ternilai terutama
dalam membantu perombakan bahan organik tanah. Kegiatannya dalam perombakan bahan organik
merupakan salah satu peran penting dalam proses pembentukan tanah. Disamping itu, serangga
tanah juga menjadi organisme penyeimbang lingkungan. Beberapa diantaranya bahkan dapat
digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan tanah atau keadaan tanah [2]. Biasanya terdapat
perbedaan keanekaragaman serangga tanah yang hidup di siang hari (diurnal) dan malam hari
(nocturnal). Serangga tanah pada hutan pantai umumnya memiliki toleransi pada kadar garam tinggi,
hal ini membuat keanekaragamannya berbeda daripada hutan biasa. Metode yang biasa digunakan
yaitu metode pitfall trap. Namun demikian, masih sangat sedikit penelitiaan mengenai
keanekaragaman serangga tanah di kawasan hutan pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaaan serangga tanah di hutan pantai Cagar
Alam Bojonglarang Jayanti dengan menggunakan metode pitfall trap.
BAHAN DAN METODA
Metode penelitian yaitu melalui survey untuk menentukan lokasi pemasangan transek. Adapun
inventarisasi serangga yaitu melalui perangkap lubang (pitfall trap). Metode pengambilan data yang
dilakukan dengan metode sampling yang termasuk dalam metode eksperimental. Pengambilan
sampel dilakukan di hutan pantai Cisela melalui pembuatan dua transek masing-masing 50 m. Di
setiap transek akan diambil sampel di 5 titik masing-masing berjarak 10 meter yang diletakkan
secara zigzag. Pemasangan perangkap dilakukan pada pukul 08.30-15.30 WIB untuk
menginventarisasi serangga tanah diurnal dan pada pukul 15.30-08.30 WIB untuk menginventarisasi
serangga tanah nocturnal. Serta dilakukan pula pengambilan data fisik lingkungan yang terdiri dari
temperatur udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah, serta mencatat kondisi
lingkungan berupa komposisi vegetasi, cuaca, dan ketebalan sersah. Serangga tanah diidentifikasi
dan dianalisis. Analisis data serangga tanah berupa Kelimpahan Mutlak (KM), Kelimpahan Relatif (KR),
Frekuensi Mutlak (KM), Frekuensi Relatif (FR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Simpsons (D), dan
Indeks Shannon-Wienner H’ .
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data pengamatan kondisi fisik Lingkungan di transek 1 dan 2 pada hutan pantai Cisela dapat dilihat
pada Tabel 1. Sedangkan hasil serangga tanah diurnal dan nocturnal pada lokasi penelitian. dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
78
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Tabel 1.
Data fisik lingkungan dan vegetasi
Waktu
Diurnal
(diambil pagi
hari)
Nocturnal
(diambil sore
hari)
Data Fisik Lingkungan dan
Vegetasi
Suhu Udara â—¦C
Kelembaban Udara (%)
pH Tanah
Kelembaban Tanah (%)
Intensitas Cahaya (lux)
Ketebalan Sersah (cm)
Vegetasi
Suhu Udara â—¦C
Kelembaban Udara (%)
pH Tanah
Kelembaban Tanah (%)
Intensitas Cahaya (lux)
Ketebalan Sersah (cm)
Vegetasi
Gambar 1.
Transek 1
Transek 2
37,17
79,67
5,53
40,67
123 x 100
0,8
Pandanus tectorius,
Epipremnum sp.,
Stachytarpheta
jamaicensis, Commelina sp.
Barringtonia asiatica
33
80
5,53
40,67
96 x 100
0,8
Pandanus tectorius,
Epipremnum sp.,
Stachytarpheta
jamaicensis, Commelina sp.
Barringtonia asiatica
33,33
80
5,53
40,67
123 x 100
0,34
Commelina sp., Hibiscus
tiliaseus, Pandanus
tectorius, Epipremnum sp.
32,67
79,67
5,53
40,67
96 x 100
0,34
Commelina sp., Hibiscus
tiliaseus, Pandanus
tectorius, Epipremnum sp.
Grafik Kelompok Serangga Tanah Diurnal yang Diperoleh di Hutan Pantai Cisela
79
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Gambar 2.
Grafik Kelompok Serangga Tanah Nocturnal yang Diperoleh di Hutan Pantai Cisela
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa dalam kondisi diurnal dan nocturnal masingmasing didapatkan 4 famili serangga tanah yaitu Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan
Pyrrhocoridae untuk diurnal serta Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Nitidulidae untuk diurnal.
Jumlah famili yang didapat tergolong sedikit untuk jenis hutan pantai. Famili serangga permukaan
tanah diurnal dan nocturnal yang paling banyak terdapat di hutan pantai Cisela yaitu Formicidae.
Formicidae merupakan famili semut-semutan. Semut sangat mudah dikenali. Bentuk sayap semut
menyerupai tabuhan. Salah satu sifat-sifat struktural yang jelas dari semut adalah sungut yang
biasanya menyiku dan ruas pertama seringkali sangat panjang. Koloni mengandung tiga kasta: ratu,
jantan dan pekerja. Ratu lebih besar dari pada anggota kasta lainnya (Elzinga, 1987 dalam [3]).
Salah satu faktor utama yang menyebabkan Formicidae banyak terdapat dalam perangkap yaitu
karena digunakannya gula dalam larutan perangkap. Semut menyukai makanan yang mengandung
sukrosa. Menurut Lee (2002) dalam [4] umpan yang mengandung sukrosa memiliki daya tarik
sebagian jenis semut untuk berkunjung.
Yang membedakan antara diurnal dan nocturnal yaitu ketika diurnal terdapat famili Pyrrhocoridae
sedangkan ketika nocturnal didapatkan famili Nitidulidae. Famili Nitidulidae merupakan famili dari
jenis kumbang kecil. Biasanya berukuran kecil. Di seluruh dunia terdapat sekitar 2800 spesies. Famili
ini terdapat pada berbagai jenis habitat, beberapa spesies memakan serbuk sari, menghisap getah
dari pohon, ada pula yang ditemukan di bawah kulit atau berhubungan dengan semut. Beberapa
spesies juga memakan bangkai hewan dan kotoran. Kebanyakan spesies dari famili ini banyak
memakan serbuk sari sehingga pada umumnya aktif pada siang hari. Hal ini tidak sesuai dengan yang
didapat. Kemungkinan Nitidulidae terperangkap ketika pagi hari (di bawah pukul 08.30).
Berikut ini adalah hasil analisis data serangga tanah yang terdapat di hutan pantai Cisela. Hasil
perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
80
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Tabel 2.
Nilai Kelimpahan, Frekuensi, Nilai Penting, Dominansi, dan Keanekaragaman Kelompok Serangga
Tanah Diurnal yang Diperoleh Di Hutan Pantai Cisela
No
1.
Famili
KM
KR (%)
FM
FR (%)
INP (%)
Formicidae
35,95
95,23
1
54,05
149,29
2.
Blaberidae
1,4
3,7
0,45
24,32
28,03
3.
Grylloidea
0,35
0,92
0,25
13,51
14,44
4.
Pyrrhocoridae
0,05
0,13
0,15
8,11
8,24
Tabel 3.
D
H'
0,90
0,221
Nilai Kelimpahan, Frekuensi, Nilai Penting, Dominansi, dan Keanekaragaman Kelompok Serangga
Tanah Nocturnal yang Diperoleh Di Hutan Pantai Cisela
No
1.
Famili
Formicidae
KM
31
KR (%)
94,37
FM
0,9
FR (%)
50
INP (%)
144,08
2.
Blaberidae
1,7
5,18
0,65
36,1
41,27
3.
Grylloidea
0,1
0,3
0,1
5,6
5,859
4.
Nitidulidae
0,15
0,46
0,15
8,3
8,78
D
H'
0,89
0,252
Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa kelimpahan tertinggi baik kondisi diurnal maupun
nocturnal yaitu dimiliki oleh famili Formicidae. Formicidae juga menjadi famili yang paling sering
ditemukan pada perangkap. Tinggi atau rendahnya kepadatan suatu spesies sangat ditentukan oleh
individu yang masuk ke dalam perangkap. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
vegetasi, umpan, luas permukaan dan besarnya perangkap yang digunakan (Southwood, 1978 dalam
[5]).
Kondisi fisik lingkungan dan vegetasi juga mempengaruhi keberadaan suatu spesies. Sesuai dengan
Cox dan Moore (1994) dalam [6] yang mengatakan bahwa keberadaan semut dapat pula dipengaruhi
oleh kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, dan kualitas habitat. Faktor yang
mempengaruhi habitat yang cocok bagi kehidupan semut diantaranya ketersediaan makanan yang
cukup serta faktor suhu dan kelembaban udara mikro yang sesuai dengan kehidupan semut
didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmawadi [7] bahwa makrofauna tanah termasuk
semut akan lebih dominan pada kawasan dengan sumber makanan yang sesuai serta kondisi iklim
yang menunjang.
Nilai dominansi yang didapat yaitu 0.9 untuk diurnal dan 0,89 untuk nocturnal. Dengan demikian
dominansi serangga permukaan di hutan pantai Cisela tergolong tinggi, sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa jika nilai Indeks Simpsons (D) mendekati satu (0,6-1) maka komunitas didominasi
oleh jenis tertentu [8]. Sedangkan nilai indeks diversitas yang diperoleh yaitu 0,221 untuk diurnal
dan 0,251 untuk nocturnal. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa keanekaragaman di lokasi
penelitian tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa nilai H’l < 1
menunjukkan bahwa keanekaragaman tergolong sedikit atau rendah (Maguran, 1988 dalam [9]).
Keanekaragaman jenis serangga dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas makanan, antara lain
banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, umur tanaman inang, dan
komposisi tegakan [10]. Pada hutan pantai memiliki dominan pasir daripada tanah, serta vegetasi
yang ada
di Hutan Pantai didominasi oleh Pandanus tectorius, Epipremnum sp., Stachytarpheta jamaicensis,
Commelina sp., dan Thespesia populnea, kebanyakan dari tumbuhan tersebut bukan pohon yang
berkanopi rapat sehingga pada siang hari di pinggir pantai suhunya cukup tinggi, keadaan lingkungan
81
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
yang seperti ini membuat hanya beberapa serangga saja yang mampu bertahan hidup. Namun
jumlah famili yang didapat tergolong sedikit untuk jenis hutan pantai.
Dengan ditemukannya Formicidae dan Nitidulidae, maka kualitas tanah di lokasi penelitian cukup
baik. Sebab Formicidae memiliki peran ekologis penting terkait dengan siklus hara, menguraikan
bahan organik, semut juga memiliki peran besar dalam mencampur aduk tanah, serta sarang semut
di bawah tanah dapat memperbaiki aerasi, drainase, dan kesuburan tanah. Beberapa spesies dalam
famili Nitidulidae juga memakan bangkai hewan dan kotoran atau berperan dalam dekomposisi
bahan organik mati dengan melibatkan proses dinamis meliputi proses fisik kompleks, kimia dan
interaksi biologis yang lengkap siklus nutrisi biogeokimia. Proses ini sebagian besar dilakukan oleh
mikroba, tetapi fauna tanah memiliki stimulasi penting peran. Serangga berpartisipasi dalam
dekomposisi proses, memakan organik materi, dan meningkatkan tingkat dekomposisi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Famili serangga tanah yang ditemukan di hutan pantai Cisela Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yaitu
Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Pyrrhocoridae untuk diurnal serta Formicidae, Blaberidae,
Grylloidea, dan Nitidulidae untuk nocturnal. Dominansinya untuk kedua periode waktu tersebut
tergolong tinggi yaitu sebesar 0.9 untuk diurnal dan 0,89 untuk nocturnal, sedangkan
keanekaragamannya tergolong rendah yaitu sebesar 0,221 untuk diurnal dan 0,252 untuk nocturnal.
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan adanya perhatian khusus dari BKSDA dan para
peneliti untuk dapat lebih menjaga ekosistem hutan pantai Cisela. Penelitian lanjutan dapat
dilakukan seperti meleliti keanekaragaman serangga di seluruh hutan pantai Cagar Alam
Bojonglarang Jayanti. Diharapkan penelitian keanekaragaman ini dapat dilakukan setiap beberapa
tahun sekali untuk mengetahui perkembangan kondisi kualitas tanah di hutan pantai.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
mendukung kegiatan penelitian khususnya kepada Pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas dan prasarana demi kelancaran penelitian ini serta Panita
Kuliah Kerja Lapangan 2015 Biologi Universitas Padjadjaran.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
Onrizal dan Cecep, K. 2004. Kajian Ekologi Hutan Pantai di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Komunikasi
Penelitian Volume 16 (6).
Patang, F. 2011. Berbagai Kelompok Serangga Tanah yang Tertangkap di Hutan Koleksi Kebun Raya Unmul Samarinda dengan
Menggunakan 5 Macam Larutan. Jurnal Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman. Samarinda.
Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal
Penelitian Sains: Volume 10, Nomor 2. Hal 241-253.
Astuti. A. F, Henry. H, dan Dahelmi. 2014. Jenis-Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Bangunan Kampus Universitas Andalas
Limau Manis Padang. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 3(1) : 34-38.
Ramadanu. R, Nurhadi, dan Elza, S. 2013. Komposisi Semut (Hymenoptera:Formicidae) Permukaan Tanah Di Kebun Gambir Di
Kanagarian Siguntur Muda Kecamatan Koto Xi Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Ejournal STKIP PGRI Sumatera Barat.
Noor. M. F. dan Raffiudin. R. 2013. Eksplorasi Keragaman Spesies Semut Di Ekosistem Terganggu Kawasan Cagar Alam Telaga Warna
Jawa Barat. Jurnal FKIP UNS.
Rahmawadi, H. 1997. Pengaruh Pemberian Pakan terhadap Preferensi Hadir Semut Hitam (Dolicoderus thoracicus Smith) pada
Tanaman Kakao. [Skripsi]. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Gajah mada University Press. Jogjakarta. H. 134-162.
Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Suratmo. F. G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor.
82
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B-01
Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC
(Spinetoram 120 gai/lt) to Control Plutella xylostella and
Crocidolomia sp. on Cabbage
Iwan Rahwanudin, Lakshmipathi Srigiriraju, and Agus Susanto*
Dow AgroSciences and Padjadjaran University
*
Penulis yang berkorespodensi : email:
Abstrak
Efficacy and long lasting effect of Endure® 120 SC (spinetoram 120 gai/l) at 250 – 600 ml/ha (30 – 72
g ai/ha), along with two commercial standards (chlorantraniliprole 50 SC and chlorfenapyr 100 SC) at
registered rates were tested against Plutella xylostella and Crocidolomia binotalis on cabbage.
Applications were made when insect infestation reached action threshold (0.5 larvae per plant for P.
xylostella and 0.3 egg mass for C. binotalis), 45 days after transplanting. The field trial was laid out
using randomized complete block design (RCBD) with 8 treatments, along with untreated check and
replicated four times. The trials were conducted to answer key questions about control efficacy and
long lasting activity of Endure® compared to other important commercial standards on cabbage.
Results indicated that, applications of Endure® are very effective to control P. xylostella and C.
binotalis on cabbage. Efficacy of Endure® (30 gai/ha – 72 gai/ha) was higher than commercially
available standards to control these insect pests. Efficacy reached 94.29 - 100% on P. xylostella and
97.78 - 100% efficacy on C. binotalis at 7 day after application. Applications made with Endure®
provided longer residuality, up to 21 days after application, compared to the standards tested
(74.55 % on P. xylostella and 79.03 – 84.68 % control efficacy on C. binotalis).
Keywords: Cabbage, Plutella xylostella, Crocidolomia binotalis, Spinetoram, Endure®
83
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B - 02
Identifikasi Genotipe Kedelai Tahan Spodoptera litura
Fabricius Dengan Metode Pemilihan Inang
Marida Santi YIB1*, Ayda Krisnawati1, dan M. Muchlish Adie1
1
*
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Kedelai merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di dunia selain beras. Penelitian dan
pengembangan yang berkaitan dengan budidaya dan modifikasi genetik telah dilakukan sebagai
upaya untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil kedelai. Namun, ancaman hama seperti
Spodoptera litura menjadi kendala dalam upaya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
genotipe kedelai yang memiliki sifat ketahanan non preference terhadap serangan larva S. litura.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015 di rumah kaca dan laboratorium Entomologi Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak
kelompok, 10 perlakuan genotipe dan diulang tiga kali. Perlakuannya adalah genotipe G 511
H/Anj//Anj///Anj-11-2, G 511 H/Anjasmoro-1-6, G 511 H/Anj//Anj///Anj-7-1, G 511
H/Anjasmoro//Anjasmoro-5-1, G 511 H/Argom//Argom-2-1, G 511 H/Anjasmoro-1-4, G 511
H/Anjasmoro-1-2, Anjasmoro, Grobogan, dan G100H. Genotipe G100H digunakan sebagai
pembanding tahan ulat grayak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan genotipe kedelai
yang diuji berpengaruh nyata terhadap tingkat ketahanan terhadap larva S. litura. Intensitas
kerusakan daun pada umur 7 HST berkisar antara 4,21-26,31% dan pada 14 HST berkisar antara 6,0231,20%. Intensitas kerusakan daun tertinggi terdapat pada genotipe G 511
H/Anjasmoro//Anjasmoro-5-1. Sedangkan, tingkat kerusakan daun terendah terdapat pada genotipe
G 511 H/Anj//Anj///Anj-7-1, tidak berbeda nyata dengan tingkat kerusakan daun pada varietas
Grobogan, dan sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pembanding tahan. Kesimpulannya,
diperoleh satu genotipe yang tahan berdasarkan intensitas kerusakan daun yaitu G 511
H/Anj//Anj///Anj-7-1 dan dua genotipe yang tergolong agak tahan terhadap larva S. litura yaitu G
511 H/Anjasmoro-1-6 dan G 511 H/Anjasmoro-1-4.
Kata kunci: S. litura, kedelai, ketahanan, non preferens
84
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B – 03
Morfologi Spirakel Wereng Batang Padi Coklat
(Nilaparvata lugens)
Hafiz Fauzana1*, F.X. Wagiman2, Edhi Martono2
1
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Spirakel merupakan lubang eksternal saluran pernapasan serangga, tempat masuknya oksigen dan
keluarnya karbon dioksida, selanjutnya pada bagian dalam melalui tabung trakea yang bercabangcabang dan meluas ke seluruh tubuh. Bentuk, ukuran, dan jumlah spirakel setiap jenis serangga
berbeda-beda. Wereng batang padi coklat (WBC, Nilaparvata lugens) diduga mempunyai bentuk
spirakel yang spesifik, dan diduga juga mempunyai jumlah dan ukuran spirakel berbeda dengan jenis
serangga lainnya. Oleh karena itu perlu pengamatan morfologi khusus spirakel WBC. Tujuan
penelitian adalah mengetahui morfologi spirakel WBC meliputi bentuk, jumlah dan ukuran spirakeL.
Metoda pengamatan terhadap spirakel WBC menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM)
yang dilaksanakan di Balai Konservasi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Spirakel WBC
yang dijadikan ulangan sebanyak 3 ulangan tiap ruas pada masing-masing spirakel. Gambar spirakel
yang terlihat jelas langsung difoto dan diukur luasnya dengan SEM. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa spirakel WBC berbentuk elip, dimana terdapat 2 pasang spirakel di bagian toraks pada ruas
mesotoraks dan metatoraks, dan 6 pasang pada ruas abdomen, pada ruas pertama sampai keenam
abdomen masing-masing pada bagian sisi lateral kiri dan kanan. Luas spirakel WBC terkecil pada
toraks yaitu 39, μm , dan terbesar yaitu 14.8 1 μm , dengan rerata 4.1 , ± 4.554,7 μm dan
pada abdomen luas spirakel WBC terkecil yaitu 17,9 μm dan terbesar yaitu 751, μm , dengan
rerata 164,18 ± 116,1 μm . Dari hasil pengamatan morfologi spirakel WBC pada tiap ruas
menunjukkan lubang spirakel semuanya fungsional atau berfungsi untuk pertukaran gas ditunjukkan
oleh lubang spirakel yang tidak rudimenter. Kesimpulan yang didapat bahwa morfologi spirakel WBC
spesifik yaitu berbentuk elip, terdapat 8 pasang spirakel dengan luas lubang spirakel yang bervariasi.
Dari hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa semua spirakel bersifat fungsional.
Kata kunci: Wereng batang padi coklat, spirakel, morfologi, pernapasan, serangga
85
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B - 04
Pengaruh Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Biologi Ulat
Grayak, Spodoptera litura
Ayda Krisnawati1*, Marida Santi Y.I.B.1, M. Muchlish Adie1
1
*
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi)
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Ulat grayak merupakan serangga hama yang bersifat polifag, dan menjadi hama pemakan daun
utama pada kedelai di Indonesia. Bahan yang digunakan adalah tujuh genotipe kedelai dan tiga
varietas pembanding yakni Anjasmoro dan Grobogan (keduanya berukuran biji besar), serta G100H
(tahan ulat grayak). Penelitian dilaksanakan di rumah kasa dan laboratorium pemuliaan Balitkabi.
Daun dari setiap genotipe kedelai digunakan sebagai sumber pakan ulat grayak dan dilihat
perkembangan biologinya, berupa panjang larva, lebar larva, dan bobot larva pada 7, 10, dan 15 hari
setelah infestasi (hsi); serta panjang, lebar dan bobot pupa. Bobot larva merupakan resultante dari
panjang dan lebar larva. Rata-rata bobot larva meningkat 97,62% dibandingkan dengan bobot larva
pada 7 hsi. Bobot pupa beragam dari 0,1874-0,5639 g (rata-rata 0,3197 g). Variabilitas bobot larva
pada umur 10 hsi cukup beragam antar genotipe kedelai dengan kisaran 0,0326-0,2015 g (rata-rata
0,1238 g). G100H memiliki bobot larva 90,0326 g dan bobot pupa terendah (0,1874 g). Berdasarkan
bobot larva 10 hsi, G1 dan G7 memiliki bobot larva masing-masing 0,0968 g dan 0,0962 g, lebih
rendah dibandingkan dengan tujuh genotipe kedelai yang diuji. Jika berdasarkan bobot pupa, G1
konsisten memiliki bobot pupa terendah jika dibandingkan enam genotipe lainnya. Fakta ini
mengungkapkan bahwa G100H adalah yang paling tahan diikuti oleh G1. G100H berpotensi
digunakan sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak, G1 berpeluang dikembangkan sebagai
varietas kedelai toleran ulat grayak.
Kata kunci : Glycine max, ulat grayak, biologi.
86
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
PENDAHULUAN
Hama ulat grayak (Spodoptera litura) menjadi hama pemakan daun yang paling merugikan pada
tanaman kedelai di Indonesia. Hal ini disebabkan karena melimpahnya ketersediaan inang sepanjang
musim dan iklim yang berkesesuaian maka hama ulat grayak selalu menjadi ancaman penurunan
produksi kedelai. Satu-satunya pengendaliannya adalah mengandalkan insektisida, dan petani
umumnya melakukan pengendalian hama ulat grayak bukan pada fase larva terpeka. Selain itu,
penggunaan insektisida cenderung lewat dosis dan diikuti oleh interval pengendalian yang cukup
rapat. Disisi lain, penggunaan insektisida nabati belum terlalu dipahami oleh petani sehingga belum
memberikan pengaruh nyata dalam menekan serangan ulat grayak. Satu-satunya varietas toleran
ulat grayak yang ada saat ini yakni varietas Ijen, memiliki bentuk ketahanan antibiosis, yang pada
skala tertentu kurang efektif sebagai pengendali ulat grayak.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, ulat grayak ditengarai resisten terhadap golongan
insektisida tertentu. Di China dilaporkan oleh Tong et al. [1], ulat grayak resisten terhadap insektisida
golongan organofosfat, pirethroid, dan karbamat. Sedangkan di Indonesia, resistensi ulat grayak
terhadap insektisida monokrotofos, endosulfan dan dekametrin dilaporkan terjadi sejak tahun 1995
[2]. Kasus yang sama, juga terjadi pada tanaman tembakau, yakni resisten terhadap insektisida
golongan endosulfan dan metomil [3]. Upaya mengurangi dampak kerugian tersebut adalah dengan
menyediakan varietas kedelai yang relatif toleran terhadap hama ulat grayak. Penanaman varietas
tahan dilaporkan berpengaruh buruk terhadap aspek biologi serangga, terutama laju kematian yang
tinggi pada sebagian atau seluruh stadia perkembangan serangga, seperti penurunan bobot ulat,
bobot kepompong, dan perkembangan yang tidak sempurna [4].
Ketahanan tanaman terhadap hama ditentukan oleh berbagai faktor biofisik dan faktor biokimia
(nitrogen, asam amino, gula, alkaloid, dan sebagainya). Faktor biofisik seperti kepadatan trikoma,
permukaan lilin, ketebalan lapisan sel dan kutikula, warna, serta permukaan dan ukuran daun,
merupakan peluang ketahanan terhadap hama daun [5][6][7]. Peningkatan ketahanan kedelai
terhadap ulat grayak diawali melalui pemahaman berbagai karakter biofisik yang paling berperanan
terhadap ketahanan. Tekanan biofisik berpeluang mengurangi interaksi antara inang dengan
serangga, bahkan juga akan mengganggu proses makan dari larva dan dampaknya adalah
mengganggu metabolisme larva. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa kepadatan trikoma pada
daun berpengaruh buruk terhadap perkembangan biologi ulat grayak [8][9][10]. Penelitian bertujuan
untuk mengidentifikasi pengaruh genotipe kedelai terhadap perkembangan biologi ulat grayak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2014 di laboratorium Balai
Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, menggunakan rancangan acak
lengkap, 10 perlakuan yang diulang lima kali. Bahan yang digunakan adalah tujuh genotipe kedelai
dan tiga varietas pembanding yakni Anjasmoro dan Grobogan (keduanya berukuran biji besar), serta
G100H (tahan ulat grayak). Genotipe yang digunakan tertera pada Tabel 1. Penanaman genotipe
dilakukan di rumah kasa Balitkabi. Setiap genotipe ditanam pada pot plastik berdiameter 28 cm, dua
tanaman/pot. Penanaman diatur sesuai untuk keperluan uji biologi ulat grayak di laboratorium.
87
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Tabel 1. Kode dan nama genotipe kedelai. 2014.
Kode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama genotipe
G 511 H/Anjasmoro//Anjasmoro-2-8
G 511 H/Arg//Arg///Arg///Arg-12-15
G 511 H/Anj//Anj///Anj-6-3
G 511 H/Arg//Arg///Arg///Arg-19-7
G 511 H/Anjasmoro-1-7
G 511 H/Anj//Anj///Anj////Anjs-6-7
G 511 H/Anjasmoro-1-4
Anjasmoro
Grobogan
G100H
Penelitian perkembangan biologi ulat grayak dilakukan di laboratorium Balitkabi. Penelitian
menggunakan daun trifoliat yang terdapat pada buku ke dua dari tanaman kedelai berumur 27 hari
setelah tanam (hst). Dua helai daun kedelai segar dari masing-masing genotipe diletakkan di dalam
cawan petri dengan ukuran tinggi 2 cm dan diameter 12 cm, yang diberi alas kertas saring. Ke dalam
cawan petri masing-masing perlakuan diinfestasi tiga ekor larva S. litura instar 3. Daun kedelai
diganti setiap hari. Pada hari ke-7, hari ke-10, dan hari ke-15 setelah infestasi (hsi), dilakukan
pengukuran panjang, lebar, dan bobot larva. Larva dipelihara hingga menjadi pupa, kemudian
dilakukan pengukuran terhadap panjang, lebar, dan bobot pupa. Data yang diperoleh dianalisis
ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan tanaman terhadap serangga hama tidak hanya berbeda antar spesies tetapi juga
beragam dalam spesies. Sidik ragam beberapa biologi ulat grayak (Tabel 2) diperoleh pengaruh nyata
antar parameter biologi ulat grayak berupa panjang larva, lebar larva, bobot larva, panjang pupa,
lebar pupa, dan bobot pupa. Mengindikasikan terdapatnya perbedaan karakter biologi ulat grayak
sebagai akibat perbedaan pakan dari 10 genotipe kedelai.
Tabel 2. Sidik ragam karakter biologi ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015.
Karakter
Bobot larva 7 hsi
Bobot larva 10 hsi
Bobot larva 15 hsi
Panjang larva 7 hsi
Panjang larva 10 hsi
Panjang larva 15 hsi
Lebar larva 7 hsi
Lebar larva 10 hsi
Lebar larva 15 hsi
Panjang pupa
Lebar pupa
Bobot pupa
Ulangan
0,00002197 tn
0,00254835 tn
0,00760619 tn
1,03833467 tn
11,2671979 tn
4,8297193 tn
0,04648933 tn
0,09080620 tn
0,20497163 tn
0,76212354 tn
0,15878956 tn
0,00041880 tn
88
Kuadrat tengah
Genotipe
0,00012594 **
0,01183092 **
0,17603416 **
7,76299998 **
45,3087767 **
67,1903373 **
0,21679716 *
0,99940843 **
2,22382328 **
8,57860577 **
0,88178520 **
0,00734600 **
KK(%)
38,23
39,28
19,95
15,66
14,82
8,65
18,97
14,85
10,84
3,92
6,28
10,60
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
* = nyata pada p = 0,05; ** = nyata pada p = 0,01, dan tn = tidak nyata.
KK = koefisien keragaman
Rata-rata panjang larva pada 7, 10 dan 15 hsi (hari setelah investasi) masing-masing 8,81 mm,
18,28 mm dan 30,28 mm, terdapat penambahan panjang larva sebesar 1,82 pada 10 hsi
dibandingkan dengan panjang larva pada 7 hsi, dan panjang larva pada 15 hsi meningkat 70,91%
dibandingkan dengan panjang larva pada umur 7 hsi. Genotipe G10 adalah G100H, merupakan
genotipe kedelai yang selama ini memang dianggap tahan terhadap ulat grayak [11][12] ternyata
konsisten memiliki panjang larva terendah sejak 7 hsi hingga 15 hsi, sedangkan dari sembilan
genotipe lainnya, genotipe G5 yang konsisten lebih pendek larvanya (Tabel 3).
Tabel 3. Panjang larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015.
Genotipe
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata
7 HSI (mm)
8,8667
10,6667
10,4667
9,0667
7,8333
9,3333
8,6667
8,0000
8,8000
6,4000
8,8100
10 HSI (mm)
17,5333
23,3333
22,0667
18,9333
17,6667
18,1000
17,3333
16,9333
18,7333
12,1667
18,2800
15 HSI (mm)
32,1667
30,9667
31,6000
31,3000
30,4000
30,7667
32,3333
32,0333
31,2333
20,0000
30,2800
Rata-rata
19,5222
21,6556
21,3778
19,7667
18,6333
19,4000
19,4444
18,9889
19,5889
12,8556
19,1233
Pola yang sama sebagaimana tertera pada Tabel 4, lebar larva dari G10 juga konsisten
terpendek dibandingkan sembilan genotipe lainnya, demikian juga diantara sembilan genotipe,
selain G10, genotipe G5 konsisten memiliki lebar larva terpendek.
Tabel 4. Lebar larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015.
Genotipe
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata
7 HSI
1,3467
1,7333
1,8133
1,4467
1,3400
1,6000
1,4267
1,4800
1,6600
1,1200
1,4967
10 HSI
2,5533
3,3733
3,4500
3,0267
2,6367
2,8867
2,7333
2,7733
2,8400
1,8533
2,8127
15 HSI
5,0167
4,8033
5,2000
4,9200
4,4700
4,8133
5,2400
5,1967
5,1933
3,0200
4,7873
Rata-rata
2,9722
3,3033
3,4878
3,1311
2,8156
3,1000
3,1333
3,1500
3,2311
1,9978
3,0322
Mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangga hama diantaranya dapat berupa antibiosis
atau antisenosis atau keduanya dimiliki bersamaan oleh tanaman sebagai mekanisme ketahanannya.
89
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Ketahanan antibiosis maupun antisenosis, berpengaruh terhadap proses penggangguan terhadap
serangga hama, dan akan berdampak terhadap daya makan dan selanjutnya akan mengganggu
metabolisme dari serangga hama [13][14][15].
Bobot larva sebagai salah satu gambaran ukuran ketahanan terhadap hama ulat grayak (Tabel
5) merupakan resultante dari panjang dan lebar larva. Genotipe G10 memiliki bobot larva paling
kecil yakni 0,0071 g pada 7 hsi, meningkat menjadi 0,155 g pada 15 hsi, jauh lebih rendah
dibandingkan rata-rata 10 genotipe yang mencapai 0,0156 g pada 7 hsi dan 0,6548 g pada 15 hsi.
Pada sisi ini, dapat diputuskan bahwa G10 berkriteria tahan terhadap ulat grayak. G10 memang
memiliki trikoma yang cukup padat, yakni 41,33/25mm2 [12]. Belum ada penelitian lebih lanjut
terhadap G10 apakah ketahanannya semata-mata disebabkan ketahanan biofisik (trikoma) ataukah
juga memiliki ketahanan biokimia. Pada kelompok hama Lepidoptera dilaporkan adanya korelasi
negatif antara kepadatan trikoma pada daun kedelai dengan bobot larva dan pupa [16]. Selain G10,
genotipe G5 memiliki bobot larva yang lebih rendah dibandingkan sembilan genotipe lainnya.
Artinya, G5 tergolong tahan terhadap ulat grayak, walaupun derajat ketahanannya lebih rendah
dibandingkan G10.
Tabel 5. Berat larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015.
Gen
1
2
3
k4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata
7 HSI
0,0140
0,0258
0,0209
0,0159
0,0125
0,0161
0,0145
0,0138
0,0157
0,0071
0,0156
10 HSI
0,0968
0,2015
0,1956
0,1379
0,1186
0,1194
0,0962
0,1239
0,1159
0,0326
0,1238
15 HSI
0,6359
0,7296
0,7962
0,6841
0,6076
0,6772
0,7835
0,7970
0,6821
0,1550
0,6548
Rata-rata
0,2489
0,3190
0,3376
0,2793
0,2462
0,2709
0,2981
0,3116
0,2712
0,0649
0,2648
Pengaruh genotipe kedelai terhadap karakteristik pupa ditampilkan pada Tabel 6. Panjang pupa
beragam dari 14,01 – 18,51 mm dengan rata-rata 17,62 mm, rentang lebar pupa antara 3,91 – 5,36
mm (rata-rata 5,05 mm), bobot pupa beragam dari 0,18 – 0,56 g (rata-rata 0,91 g). Genotipe kedelai
yang tahan terhadap ulat grayak juga berpengaruh nyata terhadap capaian bobot pupanya. G10
yang berdasarkan bobot larva dianggap tahan, memiliki panjang, lebar dan bobot pupa yang nyata
lebih rendah dari genotipe kedelai lainnya. Penurunan bobot ulat dan pupa yang menyebabkan
tingginya kematian ulat pada genotipe kedelai yang tahan juga dilaporkan oleh Suharsono dan Adie
[17].
Genotipe G5, berdasarkan bobot larva memiliki ketahanan terhadap ulat grayak lebih rendah
dibandingkan G10, ternyata berdasarkan bobot pupa tidak konsisten sebagaimana bobot larva.
Penelitian yang dilakukan oleh Adie et al. [18] juga melakukan kajian biologi ulat grayak dan
mendapatkan hasil yang tidak konsisten jika berdasarkan bobot pupa, sehingga bobot pupa tidak
disarankan sebagai indikator ketahanan kedelai terhadap ulat grayak.
90
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
Tabel 6. Panjang, lebar,dan berat pupa ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015.
Genotipe
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata-rata
Panjang pupa
17.6300
17.8400
18.4033
17.8000
18.3200
18.2400
18.5100
17.6267
17.8400
14.0100
17.6220
Lebar pupa
5.3167
5.3600
5.2767
5.2367
5.1400
4.9933
5.2000
5.0633
5.0333
3.9100
5.0530
Berat pupa
0.2935
0.2990
0.3129
0.2982
0.3170
0.3170
0.3146
0.2940
0.5636
0.1874
0.3197
Lebih lanjut dikemukakan bahwa genotipe 100H yang teridentifikasi tahan ulat grayak, besar
kemungkinannya disebabkan oleh faktor antibiosis dan antixenosis. Adanya penurunan bobot larva
maupun pupa dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator ketahanan antibiosis, sedangkan
faktor antixenosis sementara lebih banyak diduga disebabkan oleh kepadatan trikomanya, meskipun
beberapa kasus antixenosis juga dipengaruhi oleh senyawa kimia yang mampu menolak serangga
[19].
KESIMPULAN
Bobot larva berpeluang digunakan sebagai salah satu tolok ukur ketahanan kedelai terhadap
ulat grayak. G10 dinilai tahan terhadap ulat grayak dapat digunakan sebagai sumber gen untuk
peningkatan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. G5 dapat dikembangkan sebagai varietas
unggul dengan tingkat ketahanan moderat terhadap ulat grayak.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
Tong, H., Q. Su, X. Zhou, and L. Bai. 2013. Field resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to organophosphates,
pyrethroids, carbamates and four newer chemistry insecticides in Hunan, China. Journal of Pest Science 86 (3): 599–609.
Marwoto dan Bedjo. 1997. Resistensi hama ulat grayak Spodoptera litura terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di
Jawa Timur. p. 61-67. Dalam. N. Nugrahaeni (Ed.). Komponen Teknologi Peningkatan Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian. Balitkabi Malang.
Hadiyani, S. 1995. Pengendalian serangga hama tanaman serat dan tembakau di tingkat petani. Prosiding Seminar Regional
resistensi serangga terhadap insektisida dan upaya pengendaliannya. PEI Cabang Malang, 12 Oktober 1995.
Dent, D. 2000. Insect Pest Management. 2nd edn. CABI Publishing, 410 p
Smith, C.M. 1989. Plant resistance to insect. A fundamental approach. John Wiley&Sons. 286p.
David, H. and Easwaramoorthy, S., 1988, Physical resistance mechanisms in insect-plant interactions. In: (Eds.) T.N. Ananthakrishnan
and A. Raman. Dynamics of Insect-Plant Interactions: Recent Advances and Future Trends, Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi,
India, pp: 45-70.
Peter, A, J., Shanower, T.G. and Romeis, J. 1995. The role of plant trichomes in resistance: a selective review. Phytophaga 7: 41-63.
Turnipseed, S.G. 1977. Influence of Trichome Variations on Populations of Small Phytophagous Insects in Soybean. Environmental
Entomology 6 (6): 815-817.
Khan, Z.R., J.T. Ward, and D.M. Norris. 1986. Role of trichomes in soybean resistance to cabbage looper, Tricholplusia ni. Entomol.
Exp. Appl. 42:109-117.
Oki, N., Komatsu, K., T. Sayama, T. Ishimoto, M. Takahashi, and M. Takhashi. 2012. Genetic analysis of antixenosis resistance to the
common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) and its relationship with pubescence characteristics in soybean (Glycine max (L.)
Merr.). Breeding Science 61: 608–617.
Suharsono dan Suntono, 2007. Efektivitas beberapa jenis insektisida kimia dan galur tahan untuk mengendalikan hama perusak
daun. Hasil Penelitian Tahun 2005. Balitkabi, Malang. 7p
Adie, M.M. 2008. Perbaikan Ketahanan Kedelai Terhadap Hama Ulat Grayak melalui Modifikasi Karakter Trikoma Daun. Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Painter, R.H. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Macmillan Co. New York. 520 pp.
Kogan, M. 1982. Plant resistance in pest management. In R.L. Metcalf and W.H. Luckman (eds.) Introduction to Pest Management.
John Wiley & Sons. p. 93-134.
91
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
Kogan, M., and E.F. Ortman. 1978. Antixenosis. A new term proposed to define Painter’s “NonPreference” modality of resistance.
Bull. Entomol. Soc. Am. 24: 175-176.
Lambert, L., R.M. Beach, T.C. Kilen, and J.W. Tood. 1992. Soybean pubescence and its on larval development and oviposition
preference of lepidoptera insects. Crop Sci. 32:463-466.
Suharsono dan M.M. Adie. 2010. Identifikasi sumber ketahanan aksesi plasma nutfah kedelai untuk ulat grayak Spodoptera litura F.
Buletin Plasma Nutfah 16(1): 29–37.
M. Muchlish Adie, G.W.A. Susanto, dan Riana Kesumawaty. 2003. Ketahanan Beberapa Genotipe Kedelai terhadap Ulat Grayak.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 22 No. 1. 5p.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press. 273p.
92
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B - 05
Identifikasi Molekuler pada Lalat Buah Bactrocera spp.
(Diptera: Tephritidae) Menggunakan Penanda DNA
Mitochondrial Cytochrome Oxidase I
Indra Wibowo1*, Rifky Adhiansyah1, Agus Dana Permana1
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Bactrocera spp. adalah lalat buah dari Famili Tephritidae yang seringkali menjadi hama tanaman
buah-buahan. Salah satu tahap awal dari pengendalian hama adalah mengenali spesies hama
melalui identifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pada tingkat molekuler dan
mengetahui kekerabatan antar spesies genus Bactrocera berdasarkan pohon filogenetiknya. Survei
dilaksanakan pada tanaman buah di pekarangan rumah penduduk di Kecamatan Coblong, Bandung.
Sampel lalat buah diperoleh menggunakan perangkap mengandung metil eugenol dan dari Balai
Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA), Lembang. Lalat buah yang diperoleh dari perangkap dengan
metil eugenol teridentifikasi secara morfologi sebagai Bractocera carambolae, Bractocera papayae,
dan Bractocera umbrosa, sementara lalat buah dari BALITSA adalah Bractocera cucurbitae. Isolasi
gen mitochondrial cytochrom oxidase I (mtCOI) dilakukan menggunakan PCR. Produk PCR
disekuensing, selanjutnya hasil sekuensing dianalisis menggunakan software MEGA6 untuk
mengetahui kekerabatan filogenetiknya. Pohon filogenetik dibuat menggunakan Maximum
Likelihood (ML) dan Neighbor-Joining (NJ) berdasarkan gen mtCOI. Baik menggunakan ML maupun
NJ, B. carambolae dan B. papayae berada dalam satu clade yang sama, sementara B. umbrosa dan B.
cucurbitae, masing-masing berada di clade yang berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa B.
carambolae dan B. papayae merupakan spesies yang sama atau gen penanda mtCOI tidak mampu
mengidentifikasi B. carambolae dan B. papayae sebagai spesies yang berbeda. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa B. carambolae berkerabat lebih dekat dengan B. papayae
dibandingkan dengan B. umbrosa dan B. cucurbitae.
Kata kunci : Bactrocera carambolae, B. papayae, B. cucurbitae, B. umbrosa,, mtCOI, Maximum
Likelihood, Neighbor-Joining
93
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015,
Bandung, Indonesia
B - 06
Kelimpahan Populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae)
Pada Beberapa Varietas Ubikayu
Sri Wahyuningsih1 dan Kurnia Paramita Sari1
1
*
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi)
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi ubikayu adalah serangan hama
tungau merah. Populasi hama tungau merah biasanya melimpah pada musim kemarau. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat serangan hama tungau merah pada ubikayu.
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2015, di Kebun Percobaan (KP) Kendalpayak,
Balitkabi Malang. Menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang empat kali. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 5 varietas unggul ubikayu (Malang6, Malang4, Darul Hidayah,
Adira1, UJ-5). Setiap varietas ditanam pada petak berukuran 6 m x 5 m dengan jarak tanam 100 cm x
75 cm. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah populasi tungau merah dan intensitas serangan
tungau merah. Persentase tingkat serangan hama dinilai menggunakan skoring untuk menentukan
tinggi rendahnya tingkat serangan. Serangan hama terjadi secara alami. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa intensitas serangan tungau merah tertinggi terdapat pada varietas Darul
Hidayah yaitu 44,99% dibandingkan pada varietas UJ-5 (30,62%), Malang 6 (32,91%), Malang 4
(37,13%), dan Adira 1 (37,78%). Rata-rata populasi tungau merah tertinggi terdapat pada varietas
Darul Hidayah (1021 ekor/3 daun). Secara umum populasi tungau ditemukan paling banyak pada
daun bagian tengah dan bawah.
Kata kunci: Ubikayu, tungau merah, intensitas
94
PENDAHULUAN
Kebutuhan ubikayu dalam negeri di masa yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan semakin berkembangnya industri berbahan baku ubikayu.
Kebutuhan ubikayu pada tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar 30 juta ton ubi segar, dan
diperlukan peningkatan produksi sekitar 27% per tahun, dan di sisi lain luas pertanaman ubikayu
menurun 0,5% per tahun [1]. Salah satu kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi ubikayu
adalah serangan hama tungau merah (Tetranychus urticae) [2]. Tungau merah dapat menyebabkan
kerusakan tanaman ubikayu dengan cara mengurangi luas areal fotosintesis dan mengakibatkan
penurunan hasil panen ubikayu. Kerusakan tanaman dapat diperparah oleh kondisi musim kering,
deraan kekeringan dan kesuburan tanah yang rendah. Hama tungau merah menyebabkan kerugian
lebih besar pada pertanaman ubikayu diwilayah beriklim kering [3]. Populasi tungau merah biasanya
melimpah pada musim kemarau karena siklus hidup pada musim kemarau lebih pendek sehingga
populasi berkembang lebih cepat yang menyebabkan terjadinya serangan serius dan menimbulkan
kerusakan yang lebih parah [5][6][7]. Hama tungau merah menyerang pada daun muda yang
menyebabkan penampilan daun berubah menjadi melintir, mengeras dan pertumbuhannya menjadi
terhambat [7].
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Indiati [8] di rumah kaca dilaporkan bahwa serangan tungau
merah dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 95%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Lampung sebelum tahun 2010, penanaman ubikayu pada periode bulan
Februari hingga Juni mengalami serangan hama tungau merah dengan intensitas tinggi dan
menyebabkan kerontokan pada semua daun, sedangkan di Probolinggo (Jawa Timur) ubikayu yang
ditanam pada musim kering tahun 2010 mengalami serangan tungau merah dengan intensitas 54%,
menyebabkan kehilangan hasil 25-54% Indiati [9]. Byrne et al. [10] melaporkan bahwa pada varietas
ubikayu yang rentan hama tungau merah hasil umbi menurun rata-rata mencapai 73 % sedangkan
pada varietas yang tahan hanya mencapai 15 %.
Sebaran populasi tungau pada tanaman ubi kayu terkonsentrasi pada daun tengah, sedikit sekali
pada daun bawah dan pucuk, pada daun tersebut tungau merah banyak diam sepanjang tulang daun
dan di pusat tulang daun. Gejala serangan hama tungau merah (T. urticae) diawali dengan terlihatnya
spot (bercak) kuning sepanjang tulang daun pada daun-daun bawah dan tengah. Bercak tersebut
kemudian menyebar keseluruh permukaan daun sehingga daun berwarna kemerahan, coklat atau
seperti karat. Daun-daun yang terserang parah akhirnya kering, dan terjadi kerontokan seluruh daun
[11]. Pada tanaman yang terserang parah, umbi yang dihasilkan umumnya berukuran kecil dan secara
langsung akan mempengaruhi hasil/produksi tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
tingkat kelimpahan hama tungau merah pada beberapa varietas ubikayu.
MATERIAL DAN METODA
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2015, di Kebun Percobaan (KP)
Kendalpayak, Balitkabi Malang. Menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang empat kali.
Perlakuan terdiri dari 5 varietas ubikayu, yaitu Malang 6, Malang 4, Darul Hidayah, Adira 1, UJ-5.
Masing-masing ditanam pada petak berukuran 6 m x 5 m dengan jarak tanam 100 cm x 75 cm. Dosis
pupuk yang digunakan 200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Pemupukan dilakukan secara
bertahap, tahap pertama pada umur satu bulan setelah tanam (100 kg Urea + 50 kg KCl + 100 kg SP36/ha) dan tahap kedua pada umur 3 bulan setelah tanam.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah populasi hama tungau merah dan intensitas serangan
hama tungau merah berdasarkan skoring. Serangan hama dilapangan terjadi secara alami. Populasi
95
tungau imago/tanaman diketahui dengan cara menghitung jumlah tungau dewasa yang berwarna
merah (imago). Skor kerusakan daun akibat serangan tungau disajikan pada Tabel 1. Intensitas
serangan tungau dihitung dengan rumus :
I= ∑
nxv
x 100%
NxV
I = intensitas serangan,
N = jumlah daun dalam satu tanaman,
V = nilai skor tertinggi (dalam hal ini 5),
n = jumlah daun dalam setiap kategori skor,
v = kategori skor (0 sampai 5)
Tabel 1. Skor kerusakan daun ubikayu akibat serangan tungau merah T. urticae.
Skor
Keterangan
0
Daun sehat (tidak ada bercak)
1
Ada awal bercak kekuningan (sekitar10%) pada beberapa daun bawah dan atau daun tengah.
2
Bercak kekuningan agak banyak (11-20%) pada daun bawah dan tengah.
3
Kerusakan yang jelas; banyak bercak kuning (21-50%), sedikit daerah mengalami nekrotik (<
20%), khususnya daun bawah dan tengah agak mengkerut, sejumlah daun menjadi kuning
dan rontok.
4
Kerusakan parah (51-75%) pada daun bagian bawah dan tengah, populasi tungau melimpah
dan dijumpai benang-benang putih seperti jaring laba-laba.
5
Kerontokan daun total; pucuk tanaman mengecil; benang putih semakin banyak; kematian
tanaman.
Sumber: Bellotti dan Schoonhoven [11].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada populasi tanaman ubikayu, dijumpai adanya gejala
serangan tungau merah disetiap varietas. Serangan tungau mulai tampak pada tanaman umur 4 BST
(Bulan Setelah Tanam), pada Tabel 2. Terlihat bahwa jumlah populasi tungau tertinggi pada varietas
Darul Hidayah, pada daun bagian atas (766 ekor), daun tengah (992 ekor), daun bawah (1305 ekor).
Pada varietas UJ-5 populasi daun bagian atas (146 ekor), daun tengah (195 ekor), daun bawah (241
ekor). Pada varietas Malang4 populasi daun bagian atas (67 ekor), daun tengah (178 ekor), daun
bawah (253 ekor). Pada varietas Adira1 populasi daun bagian atas (80 ekor), daun tengah (120 ekor),
daun bawah (130 ekor). Pada varietas Malang6 populasi daun bagian atas (62 ekor), daun tengah (85
ekor), daun bawah (175 ekor). Rata-rata populasi tungau merah tertinggi pada posisi daun tengah dan
bawah. Hal itu disebabkan karena populasi tungau mulai muncul pada daun paling tua. Selain itu,
kedudukan daun bagian bawah dan tengah sedikit terkena paparan sinar matahari bila dibandingkan
96
dengan daun bagian atas. Sehingga, daun tengah dan bawah lebih cocok sebagai tempat berlindung
tungau merah. Reddall et al. [12] melaporkan bahwa pada daun kapas yang berbulu, koloni tungau
berkembang lebih cepat, dan kerusakan pada daun kapas yang mulus lebih tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa kerusakan lebih cepat terjadi pada daun kapas yang mulus, sedangkan daun yang berbulu
tahan terhadap tungau. Warabieda [13] berpendapat bahwa aktifitas pergerakan tungau lebih tinggi
pada daun yang berbulu jarang dibandingkan berbulu lebat.
Tabel 2. Rata-rata populasi tungau merah pada posisi bagian daun
Varietas
Darul Hidayah
UJ-5
Malang4
Adira1
Malang6
Rata-rata
Daun
atas
766
146
67
80
62
224
Daun tengah
Daun
bawah
1305
241
253
130
175
420
992
195
178
120
85
314
Rata-rata
1021
194
166
110
107
319
Gambar 1. Populasi tungau merah pada posisi daun, Malang, MK 2015
Dilihat dari hasil pengamatan (Gambar 2) dengan kepadatan populasi tungau merah yang tertinggi
pada varietas Darul Hidayah populasi tungau pada pengamatan 1 (124 ekor/tanaman), pengamatan 2
(779 ekor/tanaman), pengamatan 3 (943 ekor/tanaman), pengamatan 4 (1217 ekor/tanaman). Pada
varietas UJ-5 pengamatan 1 (56 ekor/tanaman), pengamatan 2 (192 ekor/tanaman), pengamatan 3
(220 ekor/tanaman), pengamatan 4 (114 ekor/tanaman). Pada varietas Malang4 pengamatan 1 (98
ekor/tanaman), pengamatan 2 (138 ekor/tanaman), pengamatan 3 (82 ekor/tanaman), pengamatan 4
(180 ekor/tanaman). Pada varietas Adira1 pengamatan 1 (63 ekor/tanaman), pengamatan 2 (51
ekor/tanaman), pengamatan 3 (53 ekor/tanaman), pengamatan 4 (163 ekor/tanaman). Populasi
terendah terdapat pada varietas Malang6 pada pengamatan 1 (86 ekor/tanaman), pengamatan 2 (71
ekor/tanaman), pengamatan 3 (97 ekor/tanaman), pengamatan 4 (68 ekor/tanaman). Indiati [14]
melaporkan populasi tungau pada 6 MST berkisar antara 15-115 ekor/tanaman. Populasi terendah
terdapat pada varietas Adira1 dan Malang 6 relatif tahan terhadap tungau.
97
Gambar 2. Jumlah populasi tungau merah, Malang, MK 2015
Pada Gambar 3 serangan tertinggi terdapat pada varietas Darul Hidayah dengan tingkat serangan
44,99%, Adira1 (37,78%), Malang4 (37,13%), Malang6 (32,91%), dan UJ-5 (30,62%). Intensitas serangan
berbanding lurus dengan populasi, dimana populasi paling tinggi pada varietas Darul Hidayah sehingga
intensitas tertinggi terlihat juga pada varietas Darul Hidayah.
Penggunaan varietas tahan tungau merupakan salah satu upaya untuk pengendalian tungau
merah. Hasil penelitian Nukenine et al. [15] menunjukkan bahwa varietas ubikayu yang toleran
kekeringan terindikasi tahan terhadap hama tungau merah selama musim kering.
Gambar 3. Intensitas serangan tungau merah, Malang, MK 2015
KESIMPULAN
1. Ragam intensitas hama tungau merah berbeda antar varietas ubikayu, Darul Hidayah cenderung
tidak tahan terhadap hama tungau merah dan Adira1 lebih tahan terhadap hama tungau merah.
2. Kelimpahan populasi hama tungau merah terbanyak berada didaun bagian tengah dan bawah.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Suryana, A. 2006. Kebijakan penelitian dan pengembangan ubikayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan. Dalam :Harnowo,
98
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
Subandi and Saleh (Ed.). Proseding lokakarya prospek, strategi, dan teknologi pengembangan ubikayu untuk agroindustri dan
ketahanan pangan. Malang. September 7. 2006. Bogor. Puslibangtan Pangan. P.1-19.
Meyer, M.K.P.S. 1996. Mite pests and their predators on cultivated plants in Southern Arica.Vegetables and berries. ARC, South
Africa.
Knapp, M, B. Wagner, and M. Navajas. 2003. Molecular discrimination between the spider mite Tetranychus evansi Baker &
Pritchard, an important pest of tomatoes in southern Africa, and the closely related species T. urticae Koch (Acarina: Tetranychidae).
Afr. Entomol. 11:300–304.
Flechtmann, C.H.W. and E.W. Baker. 1970. A preliminary report on the Tetranychidae (Acarina) of Brazil. Ann. of Entomol. Soc.
America 63:156-163.
Nyiira, Z.M. 1972. Report of investation on cassava mite, Mono-nychellus tanajoa (Bondar). Kawanda Research Station, Kampala,
Uganda. 14 p.
Nyiira, Z.M. 1973. Bioecological studies on the cassava mite, M. tanajoa (Bondar) (Acarina: Tetranychidae). Proc. 3rd. International
Symposium on Tropical Root Crops. IITA, Ibadan, Nigeria. 6p.
Jovicich, E., D.J. Cantliffe, L. S. Osborne, and P.J. Stoffella. 2004. Mite population and damage caused by broad mites
(Polyphagotarsonemus latus Banks infesting bell pepper (Capsicum annum L.) at different seeding development stages. Acta
Horticulturae 659(1): 339-344.
Indiati, S.W. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubikayu. Dalam: Pemberdayaan tepung ubijalar sebagai substitusi terigu,
dan potensi kacang-kacangan untuk pengayaan kualitas pangan. A.A. Rahmianna (Ed.). Edisi Khusus Balitkabi No. 15-1999. p.122126.
Indiati, S.W. 2011. Serangan hama tungau merah, Tetranychus urticae pada beberapa varietas ubikayu. Makalah disampaikan pada
Seminar di BPTP Lampung. Bandar Lampung. 5 April 2011. 10 p.
Byrne, D.H., J.M. Guerrero, A.C. Bellotti, and V.E. Gracen. 1982. Yield and plant growth responses of Mononychellus mite resistant
and susceptible cultivars under protected vs. Infested conditions. Crop Science 22:486-490.
Bellotti, A.C and A.v. Schoonhoven. 1978. Cassava pests and their control. Cassava Information Center. CIAT, Cali, Colombia. 71p.
Reddall, A.A., V.O.Sadras, L.J. Wilson, and P.C. Gregg. 2011. Contradictions in host plant resistance to pests: spider mite
(Tetranychus urticae Koch) behaviour undermines the potential resistance of smooth-leaved cotton (Gossypium hirsutum L.). Pest
Manag Sci. 67(3):360-9. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21308962 (20 Agustus 2015).
Warabieda, W. 2003. Influence of leaf pubescence on the behaviour of the two-spotted spider mite (Tetranychus urticae) and the
European red mite (Panonychus ulmi). Acta Agrobotanica. 56(1/2):109-115).
Indiati, S.W. 2012. Ketahanan varietas/klon ubikayu umur genjah terhadap tungau merah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan Vol. 31 No.1 2012: 53-59.
Nukenine E.N., A.G.O. Dixon, A.T. Hassan, and J.A.N.Asiwe. 1999. Evaluation of cassava cultivars for canopy retention and its
relationship with field resistance to green spider mite. African Crop. Sci. 7(1):47-57.
99
B - 07
Efektivitas Ekstrak Daun Kacang Babi (Vicia faba L.)
Terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura
F.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Varietas
Grobongan
Yeni Hadiyanti1, Cecep Hidayat1*, Yati Setiati1
1
Jurusan Agroteknologi fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati
Bandung
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Produksi kedelai belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada kesenjangan kebutuhan
kedelai sebesar ± 1,5 juta ton yang harus dipenuhi dari impor. Salah satu kendalanya yaitu
kehilangan hasil yang bisa mencapai 80% karena ulat grayak, untuk itu dilakukan penelitian untuk
mengetahui efektifitas daun kacang babi (Vicia faba) sebagai racun perut/racun kontak terhadap
larva ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai (Glycine maxima), yang dilaksanakan di
Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Karawang, Jawa Barat
dari Maret sampai Juni 2015 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana. Penelitian
dilakukan dua tahap yaitu uji pendahuluan dan uji utama. Uji pendahuluan dilakukan sebanyak dua
kali. Hasil dua uji pendahuluan diperoleh konsentrasi 125 g sebagai racun perut yang lebih baik
dalam meningkatkan mortalitas dan tingkat palatabilitas larva ulat grayak. Konsentrasi yang paling
baik pada uji pendahuluan digunakan untuk rekomendasi konsentrasi pada uji utama. Hasil uji utama
yaitu konsentrasi 150 g sebagai racun perut dapat menurunkan keparahan serangan larva ulat
grayak.
Kata kunci: Glycine maxima, Racun kontak, Racun perut, Spodoptera litura, Vicia faba
100
B - 08
Toksisitas Insektisida Golongan Organofosfat, Organoklorin
dan Piretroid Pada Lebah Pencari Makan Trigona laeviceps
Ramadhani Eka Putra1* dan Muhammad Ajib Badri1
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Aplikasi insektisida merupakan kegiatan yang umum dilakukan pada lahan pertanian dengan tujuan
untuk melindungi produk pertanian. Akan tetapi, kegiatan ini kadang menimbulkan “unintended
consequences” terhadap organisme lain yang bukan menjadi target dari insektisida seperti
perubahan pada kondisi fisiologis bahkan kematian. Salah satu dari organisme non target tersebut
adalah lebah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan toksisitas dari insektisida yang umum
diaplikasikan pada sistem pertanian Indonesia dari golongan organofosfat (profenofos, kloropirifos,
dimetoat), organoklorin (endosulfan), dan piretroid (beta siflutrin, deltametrin) terhadap lebah
madu lokal Trigona laeviceps. Toksisitas dari insektisida pada penelitian ini didefinisikan dalam
bentuk nilai LD50 dan Hazard Quotient. Kelompok lebah yang digunakan sebagai hewan uji adalah
lebah pencari makan. Sebelum aplikasi, lebah dianestesi menggunakan pendinginan dengan suhu 1 C selama 45 detik. Sebanyak 1μL larutan profenofos , 5 , 1 , 15 ,
pg/µL), kloropirifos (0,
, 4 , 6 , 8 pg/μL , dimetoat , 4 , 8 , 1 , 16 pg/μL , endosulfan , , 4 , 6 , 8 pg/μL , beta
siflutrin , 5, 1 , 15,
pg/μL , dan deltametrin , 5, 1 , 15,
pg/μL diaplikasikan secara topikal
pada bagian toraks lebah. Setiap kelompok perlakuan terdiri atas dua puluh ekor lebah yang
dipelihara pada 2 bee cup. Jumlah lebah yang mati dalam waktu 48 jam, dikonversi menjadi nilai
mortalitas, dan nilai LD50 ditentukan menggunakan analisa probit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai LD50 untuk profenofos, kloropirifos, dimetoat, endosulfan, beta siflutrin, dan
deltametrin sebesar 130,25 pg/lebah, 62,27 pg/lebah, 88,53 pg/lebah, 55,50 pg/lebah, 4,44 pg/lebah,
dan 8,95 pg/lebah. Berdasarkan nilai Hazard Quotient, seluruh insektisida tersebut dinyatakan
memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah pencari makan Trigona laeviceps.
Kata kunci: insektisida, organofosfat, organoklorin, piretroid, stingless bees, toksisitas
101
PENDAHULUAN
Dalam sistem pertanian, tindakan perlindungan terhadap serangan hama merupakan suatu
komponen yang tidak dapat dipisahkan. Dengan tuntutan kepada pertanian untuk menghasilkan
produk lebih banyak, maka terjadi peningkatan aplikasi insektisida. Akan tetapi, kegiatan ini kadang
menimbulkan unintended consequences terhadap organisme lain yang bukan menjadi target dari
insektisida seperti perubahan pada kondisi fisiologis bahkan kematian. Seringkali hewan non target
tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari servis ekosistem yang memberikan kontribusi
besar pada sistem pertanian seperti perlindungan hama oleh musuh alami, siklus air dan nutrisi oleh
hewan tanah, dan penyerbukan oleh agen-agen penyerbuk. Untuk melindungi servis ekosistem ini
maka pengujian insektisida untuk memastikan insektisida tersebut aman bagi lingkungan, termasuk
polinator, sebelum dipasarkan ke konsumen merupakan suatu keharusan [1].
Di antara ketiga contoh servis ekosistem ini, servis penyerbukan dikategorikan sebagai servis yang
paling penting berkaitan dengan produksi makanan bagi manusia [2]. Diantara berbagai polinator di
alam, serangga merupakan polinator utama di sistem pertanian. Menurut Devillers [3], serangga
polinator adalah serangga yang dalam aktivitas pencarian pakannya berupa pollen atau nektar dan
berperan dalam penyerbukan tumbuhan. Diantara kelompok serangga polinator, lebah menjadi
polinator yang paling efisien dan diperkirakan sebanyak 33% tanaman pangan dipolinasi oleh lebah
[4]. Akan tetapi beberapa tahun ini, terdapat perhatian lebih pada lebah dimana terjadi penurunan
populasi lebah secara signifikan pada beberapa daerah produksi pertanian dunia. Faktor yang diduga
menjadi penyebab hal ini antara lain (1) penurunan suplai makanan dan fragmentasi habitat
(Pinheiro dan Freitas, 2010) dan penggunaan insektisida sintetik kimia [5].
Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap toksisitas insektisida sintetik kimia yang
umum digunakan di Indonesia terhadap Trigona laeviceps (Meliopinni), salah satu serangga
penyerbuk lokal yang sedang dikembangkan sebagai agen penyerbuk bagi sistem pertanian [6][7][8].
Pengetahuan akan toksisitas insektisida pada lebah ini dapat dikatakan belum dipublikasikan di
Indonesia. Insektisida yang diujikan adalah insektisida sintetik kimia dari golongan organofosfat
(profenofos, kloropirifos, dimetoat), organoklorin (endosulfan), dan piretroid (beta siflutrin,
deltametrin).
Profenofos adalah insektisida organofosfat yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga
serta tungau pada beberapa tanaman dan diketahui berbahaya bagi organisme non-target, pada
ekosistem terestrial maupun perairan [9] selain meninggalkan residu pada tanaman [10][11].
Klorpirifos merupakan salah satu jenis pestisida golongan organofosfat yang bekerja sebagai racun
kontak, racun lambung, dan inhalasi pada serangga hama dari ordo Coleoptera, Diptera, Homoptera,
dan Lepidoptera baik di daun maupun di dalam tanah [12]. Dimetoat adalah jenis insektisida yang
termasuk dalam golongan organofosfat yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut pada
hama-hama dari kelas Acarinae, Coleoptera, Aphids, Diptera, Lepidoptera, Pseudococcidae dan
Thysanoptera [12]. Endosulfan adalah insektisida organoklorin yang digunakan pada bidang
pertanian sebagai pengendali hama serangga dan diketahui memiliki toksisitas tinggi pada lebah
madu [13]. Beta siflutrin adalah pestisida piretroid yang knock down effect yang bersifat langsung
dan cepat [12][14]. Deltametrin adalah jenis insektisida yang termasuk dalam kelompok
pestisida piretroid. Deltametrin, merupakan insektisida non-sistemik yang sangat kuat, memiliki efek
knock-down yang sangat baik, serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Dibidang
pertanian, insektisida ini digunakan untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Coleoptera,
Heteropetra, Homopetra, Lepidopetra, dan Thysanopetra, serta beberapa hama dari ordo
Orthopetra (Acrididae, al.Locusta sp) [15].
102
Pada penelitian ini toksisitas yang diukur merupakan toksisitas akut dengan pengamatan
kematian dalam waktu 24, 48, dan 96 jam (Boyd, 2005). Derajat toksisitas diukur menggunakan nilai
LD50 [16] dan Hazard Quotient [17].
METODE KERJA
Tahap Persiapan
Sebanyak dua koloni lebah T. laeviceps yang berbeda digunakan dalam penelitian ini. Sarang kolonikoloninya terbuat dari kayu yang diberi lubang untuk jalur keluar masuk lebah dan diletakkan di
Laboratorium Toksikologi, SITH ITB. Disiapkan 10 bee cups setiap kelompok perlakuan untuk 2 koloni
yang berbeda dan setiap koloni terdapat 10 spesimen lebah T. laeviceps Lebah Trigona Sp. terlebih
dahulu ditangkap dengan tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam bee cups yang telah ditutupi kain
tile dan kapas (Gambar 1) Ketika penelitian berlangsung, lebah Trigona laeviceps diberi makan
dengan larutan sukrosa 20% yang diteteskan pada kapas. Suhu tempat penyimpanan sarang dan
gelas plastik berisi lebah T. laeviceps berkisar 27±2oC.
Gambar 1. Bee cups yang digunakan pada penelitian
Uji Toksisitas LD50 Insektisida
Dimulai dengan pembuatan larutan stok dan larutan perlakuan insektisida. Larutan stok profenofos
dengan konsentrasi 500 dan larutan perlakuannya 0, 50, 100, 150, dan 200 pg/µL Larutan stok
klorpirifos disiapkan dengan konsentrasi 200 g/L. dan dibuat larutan perlakuan klorpirifos dengan
konsentrasi , , 4 , 6 , dan 8 pg/μL. Larutan stok dimetoat disiapkan dengan konsentrasi 4 g/L
dan larutan perlakuannya , 4 , 8 , 1 , dan 16 pg/μL Larutan stok endosulfan memiliki
konsentrasi 200 g/L dan larutan perlakuannya , , 4 , 6 , dan 8 pg/μL Larutan stok beta siflutrin
dengan konsentrasi 5g/L dan larutan perlakuannya , 5, 1 , 15, dan
pg/μL. Larutan stok
deltametrin disiapkan dengan konsentrasi 25 g/L dan larutan perlakuannya 0, 5, 10, 15, dan pg/μL
Kemudian lebah T. laeviceps dianestesi dengan pendinginan pada suhu -10oC selama 45 detik.
Larutan kontrol dan perlakuan masing-masing diaplikasikan sebanyak 1 μL pada bagian toraks lebah
Penentuan Nilai LD50 dan Tingkat Toksisitas Insektisida
Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan pada jam ke 1, 2, 4, 8, 16, 24, 48, 72 dan 96 jam
setelah aplikasi insektisida. Dilakukan pencatatan jumlah lebah yang mati (mortalitas) selama
103
pengamatan berlangsung. Data jumlah kematian lebah kemudian dianalisis dengan program Probit,
menggunakan Software StatPlus Portable 2009, untuk menentukan nilai LD50 ketiga insektisida pada
lebah T. laeviceps Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai Hazard Quotient (EC, 2002) dengan
rumus sebagai berikut:
Nilai Hazard Quotient yang didapatkan dari hasil penghitungan dibandingkan dengan kriteria
klasifikasi insektisida berdasarkan tingkat toksisitasnya terhadap lebah (Tabel 1) [17].
Tabel 1. Standar nilai toksisita untuk nilai LD50 bagi lebah
Dosis yang dianjurkan/LD50
< 50
50-2500
> 2500
Klasifikasi Toksisitas
Rendah
Menengah
Tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan LD50 Profenofos pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
Hasil pengamatan dan analisis data dengan Program Analisis Probit, menggunakan Software StatPlus
Portable 2009 menunjukkan bahwa nilai LD50 profenofos pada lebah pencari makan T. laeviceps
adalah sebesar 130,25 ± 0,33 pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 2). Nilai LD50
tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai LD50 profenofos pada spesies lebah lain di literatur,
seperti Apis mellifera (95.000 pg/lebah). Apabila rata-rata berat lebah pencari makan T. laeviceps
adalah 0,0038 g , maka LD50 topikal profenofos terhadap T. laeviceps adalah 34276 pg/g lebah.
Dengan menggunakan rata-rata badan A. mellifera 0,125 g [18], LD50 topikal A. mellifera adalah
760.000 pg/g lebah [19]. Berdasarkan nilai LD50 profenofos memiliki toksisitas yang lebih tinggi
terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan spesies lebah A. mellifera. Adanya perbedaan nilai LD50
tersebut diduga terjadi karena terdapat perbedaan toleransi antara satu spesies lebah dengan lebah
lainnya [20].
Gambar 2. LD50 akut topikal (48 jam) profenofos pada lebah pencari makan T. laeviceps
Insektisida, termasuk profenofos, bekerja terhadap T. laeviceps ketika terjadi kontak dengan kulit,
termakan (masuk ke lambung), dan inhalasi (ke sistem pernapasan). Secara biokimia, profenofos
yang merupakan insektisida organofosfat dapat menjadi inhibitor enzim cholinesterase dalam
104
penggunaannya. Beberapa zat yang terkandung dalam insektisida golongan organofosfat mampu
mengurangi kemampuan enzim cholinesterase untuk menghidrolisis acetylcholinesterase, sehingga
laju penyampaian rangsangan pada impuls saraf terhambat dan pada akhirnya akan menyebabkan
kelainan fungsi sistem saraf. Mekanisme dari insektisida non-sistemik ini adalah dengan cara kontak
langsung dan kontak pada lambung. Profenofos dapat mengakibatkan efek translaminar serta
memiliki sifat ovicidal [21].
Penentuan LD50 Klorpirifos pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
LD50 topikal klorpirifos pada lebah pencari makan T. laeviceps pada jam ke 48 adalah 62,27 ± 0,39
pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 3). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan
dengan LD50 topikal klorpirifos pada A. mellifera, yaitu 70.000 pg/lebah [22]. Jika rata-rata berat T.
laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 untuk T. laeviceps
adalah 16.386 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 560.000 pg/g lebah.
Gambar 3. LD50 akut topikal (48 jam) klorpirifos pada lebah pencari makan Trigona laeviceps
Klorpirifos merupakan insektisida berspektrum luas yang dapat membunuh serangga melalui kontak
langsung dengan mempengaruhi fungsi normal dari sistem saraf [23]. Klorpirifos mempengaruhi
sistem saraf dengan menghambat proses pemecahan asetilkolin (ACh) (neurotransmitter) [24]. Saat
serangga terpapar, klorpirifos akan berikatan dengan sisi aktif dari enzim kolinesterase (ChE), yang
mencegah proses pemecahan asetilkolin pada pembelahan sinapsis. Terakumulasinya ACh pada
pembelahan sinapsis menyebabkan stimulasi yang berlebihan pada sel neuronal, hal ini menjadi
penyebab terjadinya neurotoksisitas dan akhirnya menyebabkan kematian [25].
Penentuan LD50 Dimetoat pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
Hasil analisis menunjukkan 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal dimetoat terhadap lebah
pencari makan T. laeviceps adalah 88,53 ± 0,25 pg/lebah (Gambar 4). Nilai tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan LD50 topikal dimetoat pada A. mellifera, yaitu 152000 pg/lebah [26]. Jika ratarata berat Trigona Sp 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 dimetoat
pada T. laeviceps adalah 23.297 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 1.216.000 pg/g lebah.
Berdasarkan nilai LD50, dimetoat lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A. mellifera.
105
Gambar 4. LD50 akut topikal (48 jam) dimetoat pada lebah pencari makan Trigona laeviceps
Menurut Rasyid [21], dimetoat akan mengikat enzim acetylcholinesterase yang berfungsi
menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf,
setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim acetylcholinesterase menjadi kolin
dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim acetylcholinesterase terjadi penumpukan asetilkolin,
akibatnya impul saraf akan terstimulasi secara terus menerus menerus menyebabkan gejala paralisis
dan kemudian kematian.
Penentuan LD50 Endosulfan pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
Hasil analisis menunjukkan 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal endosulfan terhadap lebah
pencari makan T. laeviceps adalah 55,50 ± 0,47 pg/lebah (Gambar 5). Nilai tersebut lebih kecil jika
dibandingkan dengan LD50 topikal endosulfan pada A. mellifera, yaitu 350.000 pg/lebah [27]. Jika
rata-rata berat Trigona Sp 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50
endosulfan pada T. laeviceps adalah 13.875 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 2.800.000 pg/g lebah.
Berdasarkan nilai LD50, endosulfan lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A.
mellifera.
Gambar 5. LD50 akut topikal (48 jam) endosulfan pada lebah pencari makan Trigona laeviceps
Endosulfan memblokir saluran klorida aktivasi GABA (gamma-aminobutyric acid) ketika diaplikasikan
pada T. laeviceps sehingga terjadi gangguan. GABA adalah inhibitory neurotransmitter utama di otak
yang berfungsi menjaga keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi neuronal di otak [28]. Gangguan
pada GABA menyebabkan penurunan inhibisi pada penyampaian sinyal neuron, sehingga eksitasi
terjadi secara berlebihan [28] dan menyebabkan paralisis dan kematian serangga [29].
106
Penentuan LD50 Beta Siflutrin pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
Berdasarkan hasil analisis data, nilai LD50 beta siflutrin pada lebah pencari makan T. laeviceps pada
jam ke 48 adalah 4,44 ± 0,5 pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 6). Nilai tersebut
lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 beta siflutrin pada A. mellifera, yaitu 50.000 pg/lebah [23].
Jika rata-rata berat T. laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50
topikal untuk T. laeviceps adalah 1170 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 400.000 pg/g lebah.
Gambar 6. LD50 akut topikal (48 jam) beta siflutrin lebah pencari makan Trigona laeviceps
Insektisida beta siflutrin merupakan racun saraf yang cara kerjanya sama dengan insektisida dari
golongan organoklorin seperti DDT [30][31]. Beta siflutrin bekerja menghambat inaktivasi channel
Na+ pada membran di sepanjang akson sel saraf yang aktivitasnya tergantung pada perbedaan
muatan antara bagian dalam dan luar sel [32]. Terhambatnya inaktivasi channel tersebut
menyebabkan Na+ dari luar terus menerus masuk ke dalam sel yang menghasilkan impuls yang tidak
normal, sehingga saraf membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meneruskan sinyal [33]. Bila hal
ini terjadi secara terus menerus dapat mengakibatkan paralisis disertai kematian [34].
Penentuan LD50 Deltametrin pada Lebah Pencari Makan Trigona sp.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal deltametrin
terhadap lebah pencari makan T. laeviceps adalah 8,95 ± 0,22 pg/lebah (Gambar 6). Nilai tersebut
lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 topikal deltametrin pada A. mellifera, yaitu 4300 pg/lebah
[35]. Jika rata-rata berat T. laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai
LD50 deltametrin pada T. laeviceps adalah 2355 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 34.400 pg/g lebah.
Berdasarkan nilai LD50, deltametrin lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A.
mellifera.
107
Gambar 6. LD50 akut topikal (48 jam) deltametrin pada lebah pencari makan Trigona laeviceps
Deltametrin juga merupakan racun saraf yang cara kerjanya sama dengan insektisida beta siflutrin
karena termasuk golongan yang sama, yakni piretroid. Menurut Jones [32], cara kerja deltametrin
adalah menjadi inhibitor dari inaktivasi channel Na+ pada membran di sepanjang akson sel saraf.
Saraf membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meneruskan sinyal karena terhambatnya
inaktivasi channel Na+ tersebut sehingga impuls yang dihasilkan tidak normal [33] dan dapat
mengakibatkan paralisis disertai kematian jika terjadi secara terus-menerus [34].
Klasifikasi Insektisida Berdasarkan Toksisitas
Berdasarkan hasil perbandingan antara dosis insektisida yang dianjurkan produsen dengan nilai LD50
dari masing-masing insektisida pada T. laeviceps didapatkan bahwa nilai Hazard Quotient profenofos,
kloropirifos, dimetoat, endosulfan, beta siflutrin, dan deltametrin adalah sebesar 1.91 x 10 6, 1.60 x
106, 2.25 x 106, 1.80 x 106, 2.84 x 106 dan 1.39 x 106. Nilai tersebut lebih besar dari 500, sehingga
ketiga insektisida tersebut dinyatakan memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah T. laeviceps
Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan mengenai kehadiran T. laeviceps di alam pada saat
penggunaan insektisida.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LD50 (48 jam) profenofos, kloropirifos, dimetoat,
endosulfan, beta siflutrin, dan deltametrin sebesar 130,25 pg/lebah, 62,27 pg/lebah, 88,53 pg/lebah,
55,50 pg/lebah, 4,44 pg/lebah, dan 8,95 pg/lebah. Berdasarkan nilai Hazard Quotient, ketiga
golongan dari insektisida tersebut dinyatakan memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah pencari
makan Trigona laeviceps.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada anggota Laboratorium Perkembangan Hewan Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati ITB yang telah banyak memberikan bantuan dan saran selama penelitian
ini berlangsung. Penelitian ini sebagian dibiayai oleh dana penelitian Strategi Nasional DIKTI yang
diterima oleh penulis pertama.
References
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Rortais, A., Arnold, G., Halm, M.P., Touffet-Briens, F. 2005. Modes of honeybees exposure to systemic insecticides: estimated
amounts of contaminated pollen and nectar consumed by different categories of bees. Apidologie 36:71–83.
Klein, A.M., Vaissière, B.E, Cane, J.H., Steffan-Dewenter, I., Cunningham, S.A., Kremen, C. and Tscharntke, T. 2007. Importance of
pollinators in changing landscapes for world crops. Proceeding of Biological Science 274(1608): 303–313.
Devillers J. 2002. The ecological importance of honey bees and their relevance to ecotoxicology. In: Devillers J, Pham-Dele`gue MH
(eds) Honey Bees Estimating the Environmental Impact of Chemicals. Taylor & Francis, London, pp 1–332.
Bernal, Higes M. 2011. An exposure study to assess the potential impact of fipronil in treated sunflower seeds on honey bee colony
losses in Spain. Pest Management Science 67:1320–1331.
Carvalho, S.M., Carvalho, G.A., Carvalho, C.F., Bueno. 2009. Toxicidade de acaricidas/inseticidas empregados na citricultura para
abelha africanizada Apis mellifera L. 1758 (Hymenoptera: Apidae). Arq Inst Biol, 76: 597–606.
Kumar, M. S., Ranjit, S., Alagumuthu. 2012. Traditional Beekeeping of Stingless Bee (Trigona Sp) by Kani Tribes of Western Ghats,
Tamil Nadu, India. Indian Journal of Traditional Knowledge, 11 (2): 342-345
Putra, R.E. Putra, Kinasih, I. Efficiency of local Indonesia honey bees (Apis cerana L.) and stingless bee (Trigona iridipennis) on
Tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) Pollination. Pakistan Journal of Biological Sciences, Vol. 17 No.1, pp.86-91, 2014.
Putra, R.E., Permana, A.D., Kinasih, I. Application of Asiatic Honey Bees (Apis cerana) and Stingless Bees (Trigona laeviceps) as
Pollinator Agents of Hot Pepper (Capsicum annuum L.) at Local Indonesia Farm System. Psyche , Vol. 2014 Article 687979, 2014.
Ramika, R., Safni, Lukman, U. 2012. Degradasi Senyawa Profenofos dalam Insektisida Curacron 500EC Secara Fotolisis dengan
Penambahan TiO2-ZEOLIT. Jurnal Kimia Unand. Volume 1 nomor 1.
108
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
[31]
[32]
[33]
[34]
[35]
McDaniel KL, Moser VC. Differential profiles of cholinesterase inhibition and neurobehavioral effects in rats exposed to fenamiphos
or profenofos. Neurotoxicology and Teratology 2004; 26:407–415.
Abass K, Reponen R, Jalonen J, Pelkonen O. 2007 In vitro metabolism and interaction of profenofos by human, mouse and rat liver
preparations. Pesticide Biochemistry and Physiology 87: 238–247.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Visweswara R., Kumar, N., S., Armanath, R., Madhavi, J., M., Prasanna, L., P., Kalyani, P. 2011. Estimation of Endosulfan Insecticide
Residues in Paddy of Khrisna District. IJRPC. Vol 1 (1) 55-56.
Hazra, F., Rosdiana, L. 2013. Verifikasi Metode Penentuan Residu Pestisida Beta Siflutrin dalam Kentang (Solanum tuberosum L)
secara Komatografi Gas. Jurnal Sains Terapan Edisi III Vol 3 (1) : 62-68.
Matsimura, F., 1999. Toxicology of Insecticides. Departement of Entomology, University of Wisconsin-Madison. Plenum Press. New
York.
Shetty A.J., Deepa, S., & Alwar, M. C. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Current science, 93(7),
917-920.
EC (European Commision), 2002. Guidance Document on Terrestrial Ecotoxicology Under Council Directive 91/414/EEC, Brussels:
European Commission Health & Consumer Protection.
Wang, Ying., Lan-Ting Ma., Bao-Hua Xu. 2014. Diversity in life history of queen and worker honey bees, Apis mellifera L. College of
Animal Science and Technology, Shandong Agricultural University, Tai’ an, Shandong, 71 18, China.
Winter, P.A. 1990. Profenofos : An Acute Contact Study with the Honey Bee. Laboratory Report No. 108-321. Ciba-Geigy
Corporation, Greensboro, NC. EPA MRID No. 416273-08.
Valdovinos, G.R., Quezada-Euan, J.J.G., Ancona-Xiu, P., Moo-Vale, H., Carmona, A., Sanchez, E.R. 2009. Comparative toxicity of
pesticides to stingless bees (Hymenoptera: Apidae: Meliponini), J Econ Entomol, 102 (5): 1737-1742.
Rasyid, R., 1995. Prinsip-prinsip Kimia Medicinal, Jilid I, Ed Kedua, UGM-Press.
Dow AgroSciences, 2013. Material Safety Data Sheet : Lorsban* 4E Insecticide (Chlorpyrifos). Canada : A Subsidiary of The Dow
Chemical Company.
U.S. Environmental Protection Agency, 1999. Reregistration Eligibility Science Chapter for Chlorpyrifos Fate and Environmental
Risk Assessment Chapter; Office of Prevention,Pesticides and Toxic Substances, Office of Pesticide Programs, Environmental Fate
andEffects Division, U.S. Government Printing Office: Washington, DC.
Smegal, D. C., 2000, Human Health Risk Assessment Chlorpyrifos; U.S. Environmental Protection Agency, Office of Prevention,
Pesticides and Toxic Substances, Office of Pesticide Programs, Health Effects Division, U.S. Government Printing Office:
Washington, DC, pp 1-131.
Karanth, S. and Pope, C., 2000, Carbosylesterase and A-Esterase Activities during Maturation and Aging: Relationship to the
Toxicity of Chlorpyrifos and Parathion in Rats. Toxicol. Sci. 58, 282-289.
Herbert, E.W., Jr. (1992). Honey bee nutrition. In: The Hive and the Honey Bee (Graham, J.M., Eds). Hamilton, IL, pp. 197–224.
PPDB, 2010. The pesticide properties database (PPDB) developed by the Agriculture & Environment Research Unit (AERU),
University of Hertfordshire, funded by UK national sources and the EU-funded FOOTPRINT project (FP6-SSP-022704).
Johnston, G. A. R. (2005). GABAA receptor channel pharmacology. Curr. Pharm. Design 11, 1867–1885.
Bobe, A., Coste, C.M., and J. Cooper. 1997. Factors Influencing the Adsorption of Fipronil on Soils. J. Agric. Food Chem. 45, 48614865.
Cox, C. 1994. Cyfluthrin. Journal of Pesticide Reformation, 14 (2) : 28-34.
Singh, A. K., Saxena, P. N., Sharma H. N. 2009. Stress induced by beta-cyfluthrin, a type-2 pyrethroid, on brain biochemistry of
Albino rat (Rattus norvegicus). Biology and Medicine, 1 (2): 74-86.
Jones, D.A. 1995. Environmental fate of cypermethrin. Environmental Monitoring and Pest management Branch, Department of
Pesticide Regulation, Sacramento, California, USA.
Soderlund, D., Clark, J., Sheets, L., Mullin, L., Piccirillo, V., Sargent, D., Weiner, M. 2002. Mechanisms of pyrethroid neurotoxicity:
Implications for cumulative risk assessment. Toxicology, 171(1): 3-59
Christensen, B., Lauridsen, T., Ravn, H., & Bayley, M. 2005. A comparison of feeding efficiency and swim-ming ability of daphnia
magna exposed to cypermethrin. Aquatic Toxicology, 73(2): 210-220
De Wael, L.; van Laere, O. 1989. Toxicity and the repellent activity of synthetic pyrethroids towards the honeybee (Apis
mellifera L.). Proceedings of the XXXIst International Congress of Apiculture, Warsaw, Poland, August 19-25, 1987.209-216.
Published by Bucharest, Apimondia Publishing House, Romania.
109
B - 09
Pengaruh Pemberian Kompos Gulma Siam (Chromolaena
odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap
Komposisi dan Keragaman Arthropoda pada Tanaman Cabai
Lindung Tri Puspasari1*,Intan Fahni Tistiyana2,Sadeli Natasasmita1, dan Vira
Kusuma Dewi1
1
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Mahasiswa Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Pemanfaatan gulma sebagai kompos dinilai potensial, karena murah, mudah didapatkan dan ramah
lingkungan sehingga tidak merusak keseimbangan ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari serta membandingkan komposisi dan keragaman arthropoda pada tanaman cabai yang
diberi kompos gulma siam (Chromolaena odorata) dan babadotan (Ageratum conyzoides) di desa
Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Pengamatan dilakukan secara visual dan
langsung terhadap jenis dan jumlah arthropoda pada tanaman cabai yang diberi kompos gulma siam
dan babadotan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi arthropoda yang dijumpai terbagi
dalam kelompok fungsional sebagai hama, predator dan netral. Tanaman Cabai yang diberi kompos
gulma siam (C. odorata) cenderung memiliki nilai indeks keragaman yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanaman cabai yang diberi kompos babadotan meskipun kategorinya masih rendah.
Pemberian kompos gulma siam dan babadotan cenderung dapat menekan populasi Aphis gossyipii.
Kata kunci : Chromolaena odorata, Ageratum conyzoides, Arthropoda, Keragaman
110
B - 10
Toksisitas Insektisida Lima EkstrakTumbuhanTerhadap
Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Crambidae)
Syamsul Ma’arif1, Danar Dono2*, Yusup Hidayat2, Lindung Tri Puspasari2, Rani
Maharani3, Ceppy Nasahi2, Rika Meliansyah2
1
Mahasiswa Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
3
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Ekstrak daun Muntingia calabura, rimpang Acorus calamus, biji Cerbera odollam, daun Lantana
camara, dan daun Tithonia diversifolia diketahui memiliki aktivitas insektisida, namun pengaruhnya
terhadap Crocidolomia pavonana belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level
toksisitas dari ekstrak tersebut terhadap C. pavonana. Pengujian toksisitas kelima ekstrak tumbuhan
tersebut dilaksanakan di Laboratorium Pestisida dan Toksikologi Lingkungan, Departemen Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, berlangsung dari
Agustus 2014 sampai April 2015 pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl). Percobaan
terdiri dari screening lima ekstrak tumbuhan dan uji toksisitas menggunakan metode celup pakan.
Hasil screening menunjukkan ekstrak biji C. odollam menyebabkan mortalitas C. pavonana tertinggi
dengan nilai LC50 sebesar 0,020% pada 7 hsa. Selain toksik, ekstrak biji C. odollam memperpanjang
lama perkembangan larva, menghambat aktivitas makan (antifidan), serta menurunkan berat kering
larva.
Kata kunci: Cerbera odollam, Crocidolomia pavonana, Ekstrak tumbuhan
111
PENDAHULUAN
Crocidolomia pavonana F. merupakan salah satu hama penting dari tumbuhan famili Brassicaceae
yang menimbulkan kerusakan berat. Saat ini telah dikembangkan pestisida yang berasal dari tumbuhan.
Tumbuhan yang dapat dijadikan bahan pestisida nabati diantaranya adalah kersen (Muntingia calabura
L.), rimpang jeringau (Acorus calamus L.), Tanaman bintaro (Cerbera odollam Gaertn.), Saliara atau
tembelekan (Lantana camara L.), dan Kipahit (Tithonia diversifolia (Hemsl.) A. Gray.
BAHAN DAN METODE
Percobaan diawali dengan screening 5 ekstrak tumbuhan menggunakan masing-masing konsentrasi
0,1% dan 0,5% untuk mengetahui ekstrak tumbuhan yang paling toksik. Setelah mendapatkan ekstrak
paling toksik, ekstrak tersebut dilakukan pengujian lagi untuk mengetahui potensinya sebagai pestisida
nabati dengan konsentrasi 0,02%; 0,05%; 0,10%; 0,25%; 0,60%.
Pengujian ini dilakukan untuk menentukan mortalitas larva (LC50), waktu perkembangan larva, luas
pakan dikonsumsi larva, dan bobot kering larva instar IV C. pavonana. Data dianalisis dengan Analisis
Ragam (ANOVA) dengan uji lanjut jarak berganda Duncan pada taraf 5% menggunakan SPSS 17.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian diperoleh ekstrak biji C. odollam pada konsentrasi 0,1% maupun 0,5% menyebabkan
mortalitas larva C. pavonana tertinggi. Hasil percobaan menunjukkan konsentrasi 0,1% ekstrak biji C.
odollam dapat menyebakan mortalitas larva sebesar 73,33% lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak
lainnya. Ekstrak biji 0,5% C. odollam juga menyebabkan mortalitas tertinggi di bandingkan dengan
ekstrak lain dengan nilai persentase mortalitas 86,66% (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase mortalitas screening lima ekstrak tumbuhan
Uji Toksisitas Ekstrak Biji C. odollam
Ekstrak Biji C. odollam mengakibatkan mortalitas terhadap larva C. pavonana. Hasil uji pendahuluan
menunjukkan 5 konsentrasi interval geometris yang akan diujikan adalah 0,02%; 0,05%; 0,10%; 0,25%;
0,60% (Gambar 1).
112
Gambar 1. Perkembangan mortalitas larva C. Pavonana setelah perlakuan ekstrak C. Odollam
Semakin tinggi tingkat konsentrasi ekstrak biji C. odollam yang diaplikasikan maka meningkat pula
angka mortalitas larva. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dono dkk., [1][2] yang menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi ekstrak Barringtonia asiatica yang diujikan, maka angka
mortalitas C. pavonana terus mengalami peningkatan. Dapat disimpulkan persentase mortalitas larva
meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.
Analisis probit dilakukan terhadap data mortalitas pada hari ke-2 sampai dengan 7 hsa.
Larva C. pavonana yang mati akibat perlakuan ekstrak biji C. odollam menunjukkan gejala ukuran tubuh
larva terlihat lebih kecil dan pucat dibandingkan dengan ukuran tubuh dan warna larva pada kontrol,
selain itu larva juga mengalami perpanjangan lama perkembangan, luas konsumsi daun pakan lebih
sedikit, dan berat kering larva perlakuan lebih ringan dibandingkan kontrol.
KESIMPULAN
Diantara daun M. calabura, rimpang A. calamus, biji C. odollam, daun L. camara, dan daun T. diversifolia
yang paling toksik terhadap larva C. pavonana adalah ekstrak biji C. odollam dengan nilai LC50 sebesar
0,020% pada 7 hsa yang juga menghambat perkembangan larva, mengurangi daya konsumsi pakan,
serta berpengaruh terhadap berat kering larva.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian RAPID ber udul “Produksi, Standarisasi, Legalisasi, dan
Pemasaran Formula Insektisida Ekstrak Azadirachta indica dan Barringtonia asiatica”. Dengan peneliti
utama Danar Dono.
113
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
Dono, Danar, Syarif Hidayat, Nasahi Ceppy, and Emelda Anggraini.
8. “Pengaruh Ekstrak Bi i Barringtonia Asiatica L
(Kurz)(Lecythidaceae) Terhadap Mortalitas Larva Dan Fekunditas Crocidolomia Pavonana F. (Lepidoptera: Pyralidae .” Jurnal Agrikultura.
19: 5–14. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/article/view/601/655.
Dono, Danar, and Rismanto.
8. “Aktivitas Residu Ekstrak Bi i Barringtonia Asiatica L. Kurz. Terhadap Larva Crocidolomia Pavonana F.
Lepidoptera : Pyralidae .” Jurnal Agrikultura . 3: 184–90. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/article/view/999/1041.
114
C - 01
Identifikasi Potensi Ketahanan 36 Klon Baru Ubi Jalar
(Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap Hama Lanas (Cylas
formicarius F) (Coleoptera : Curculionidae) di Laboratorium
Syarif Hidayat1 dan Yuda Muhammad Zaelani2
1
Staf Pengajar Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad
Alumni Fakultas Pertanian Unpad
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Hama lanas (Cylas formicarius F) merupakan hama utama pada ubi jalar (Ipomoea batatas). Serangan
hama ini selama penyimpanan dapat mengakibatkan kehilangan hasil hingga 100%. Ketahanan ubi
jalar merupakan salah satu strategi utama untuk mengendalikan hama tersebut. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji potensi ketahanan klon ubi jalar terhadap hama lanas.
Pengujian ini dilakukan dengan metode no-choice terhadap 36 klon ubijalar, yaitu klon 3(16),
12(140), 7(66), 2(43), 1(41), 52(107), 29(17), 8(57), 48(5), 14(79), 74(256), 42(10), 75(166), 36(135),
47(125), 5(57), 30(58), 46(133), 22(29), 54(21), 51(69), 65(183), 68(216), 41(23), RANCING, 73(213),
58(27), 39(147), 49(7), 66(179), 20(124), 21(30), 28(106), 33(50), 23(89), dan 55(96). Pengujian
dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua kali ulangan. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa setelah satu bulan penyimpanan tidak ada klon ubi jalar yang mempunyai
potensi ketahanan yang tinggi terhadap hama lanas dimana 31 klon bersifat rentan dan 5 klon
bersifat agak rentan.
Kata kunci : klon ubi jalar, ketahanan, dan hama lanas.
115
C - 02
Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Kedelai
terhadap Hama Penggerek Polong (Etiella zinckenella
Treitschke)
Dodin Koswanudin1, Asadi1, Sutoro1
1
*
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Hama penggerek polong (Etiella zinckenella) termasuk serangga hama utama yang sering menimbulkan
kerusakan sehingga menurunkan produktivitas tanaman kedelai. Salah satu upaya dalam menekan
serangan hama adalah dengan menggunakan varietas tahan. Dalam perakitan varietas tahan perlu
didukung oleh ketersediaan sumber daya genetik tanaman yang mempunyai sifat ketahanan terhadap
hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan sumber daya genetik kedelai terhadap
hama penggerek polong. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Nopember 2014 di dusun Pecinan,
desa Wanacala, kecamatan Songgom, Kabupaten Brebes dan rumah kaca BB. Biogen, Cikeumeuh, Bogor.
Pada tahap pertama sebanyak 104 aksesi kedelai termasuk pembanding tahan, ditanam pada petak
ukuran 2 m x 2 m dan jarak tanam 30 cm x 20 cm, dipupuk sesuai anjuran dan dilakukan perawatan.
Parameter yang diamati daya tumbuh benih, kerusakan polong, kerusakan biji dan populasi larva E.
zinckenella. Pada tahap II penelitian dilakukan di rumah kaca dengan tiga ulangan, untuk mempelajari
meknisme ketahanan SDG kedelai yang menunjukkan agak tahan dan agak tahan hasil penelitian di
lapangan. Benih kedelai 2 biji ditanam dalam pot ember bermedia tanah dan pupuk kandang, pada fase
berpolong tanaman diinfestasi 5 pasang imago E. zinckenella, disungkup kurungan plastik milar, pada
bagian atas kurungan digantungkan kapas yang telah diserapkan dalam larutan madu 10%. Parameter
yangdiamati mortalitas imago, kerusakan polong dan biji, dan populasi larva. Hasil penelitian tahap
pertama diperoleh 19 aksesi kedelai yang menunjukkan agak tahan sampai tahan dengan tingkat
kerusakan polong dan biji berkisar antara 10 – 20%, meliputi aksesi (Register 3267) C.7301-1278-Cpop,
Dieng, Kembang putih, Kretek balap, Lokal Jombang, Lokal Trenggalek, lokal Banyuwangi, lokal Jember,
lokal Badung, MLG 2973, MLG 2974, Kacang lutung, Wilis, AGS 244, Kayu B, GM. 118. Si, Lokal
Bombongan, Lokal Bombongan II, Sindoro, GM 4839. Hasil penelitian tahap II diperoleh SDG kedelai
yang menunjukkan mekanisme ketahanan yang tinggi terhadap hama penggerek polong meliputi aksesi
Lokal Trenggalek, lokal Banyuwangi, lokal Jember, lokal Badung, MLG 2973, MLG 2974.
Kata kunci : Evaluasi, ketahanan, E. zinckenella, SDG kedelai
116
C - 03
Pengendalian Terintegrasi Penggerek Buah Kakao,
Copomorpha cramerella (snell.) dan Analisis Pendapatan
Petani di Perkebunan Rakyat
Alam Anshary1*, Flora Pasaru1, Shahabuddin1
1
*
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha cramerella (Snell.) ditemukan menyerang pada daerah
sentra produksi kakao di Indonesia. Hama ini dapat menurunkan produksi hingga 80%. Berbagai cara
telah dilakukan oleh petani untuk mengendalikan PBK, namun masih ditemukan menyerang
pertanaman kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi teknik
pemangkasan dan penggunaan cendawan Beauveria bassiana untuk menekan tingkat serangan PBK.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan, perlakuan
terdiri atas cendawan B. bassiana, teknik pemangkasan, integrasi teknik pemangkasan + cendawan B.
bassiana (TPks+CBb), dan Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase serangan PBK
adalah 2,65% pada perlakuan (TPks+CBb) lebih rendah dibanding perlakuan lainnya dan hasil estimasi
produksi diketahui (1,82 ton/ha) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Model hasil estimasi
produksi kakao telah diketahui dengan koefisien determinasi R2 = 0,9273. Biaya produksi pada usaha
tani kakao menggunakan teknologi pengendalian perlakuan (TPks+CBb) sebesar Rp. 6.666.050/ha
dan pendapatan petani Rp 67.133.950, sedangkan biaya produksi tanpa pengendalian Rp.
9.205.550/ha serta pendapatan petani Rp 36.736.450. Metode ini dapat diterapkan oleh petani
dalam skala kelompok tani.
Kata kunci: Kakao, Penggerek buah kakao, Pemangkasan, Beauveria bassiana, Pendapatan petani.
117
PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan
Ghana namun demikian berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah dan petani dalam
pengembangan kakao. Untuk lingkup Asia, selain itu Indonesia menempati urutan pertama sebagai
penghasil kakao dengan produksi lebih kurang 450.000 ton/thn, disusul Papua New Guinea yang
hanya mampu memproduksi lebih kurang 50.000 ton/thn [1]. Berbagai hal yang masih menjadi
permasalahan adalah produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki kualitas rendah dan pada
umumnya tidak difermentasi sehingga harus dicampur dengan biji kakao impor. Selain itu mutu dan
produksi rendah karena adanya serangan serangga Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha
cramerella (Snell.). PBK merupakan hama yang sangat merusak biji kakao dan secara signifikan dapat
menurunkan produksi hingga 6% per tahun [2][3][4].
Penelitian upaya pengendalian PBK terus dilakukan, hasil penelitian Anshary et al. [5]
menggunakan semut Dolichoderus thoracicus, Beauveria bassiana dan metode pemangkasan
menunjukkan penurunan tingkat serangan PBK lebih rendah dibandingkan kontrol. Peneliti lain, Ho et
al. [6] serta Saripah dan Azhar [7] juga telah melakukan hal yang sama. Selain dari itu berbagai upaya
pencegahan dan pengendalian serangan PBK di lapangan telah dilakukan oleh petani kakao namun
hasilnya belum maksimal karena teknik pengendalian yang digunakan tidak terintegrasi [5]. Tujuan
penelitian adalah dihasilkan inovasi paket perlindungan tanaman kakao terintegrasi yang secara tidak
langsung akan meningkatkan pendapatan petani kakao.
MATERIAL DAN METODA
Penelitian dilaksanakan di desa Rahmat, kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi pada bulan Januari
2014 sampai dengan Agustus 2014 (tahap I) dan Januari 2015 sampai dengan Agustus 2015 (tahap II).
Kegiatan Tahap I
Penelitian didesain dalam Rancangan Acak Lengkap, dengan 5 perlakukan yaitu (1) predator D.
thoracicus, (2) cendawan B. bassiana, (3) pemangkasan + D. thoracicus, (4) pemangkasan + B.
bassiana, dan (5) kontrol. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Indikator capaian adalah data analisis
tingkat serangan PBK dan produksi kakao dalam petak sampel kebun kakao pada setiap perlakuan
(luas areal percobaan satu ha dengan jumlah populasi tanaman 833 pohon).
Prosedur pelaksanaan penelitian mencakup (1) perbanyakan massal D. thoracicus dan cara
aplikasinya, (2) perbanyakan massal B. bassiana dan cara aplikasinya, (3) teknik pemangkasan
(modifikasi metode Ho et al. [6] dan Anshary et al. [8]). Hal-hal yang diamati dan dianalisis dalam
penelitian ini mengacu pada Anshary et al. [8] yaitu persentase buah kakao yang terserang. Data
dianalisis dalam uji F dan uji lanjut BNT pada taraf 5% [9].
Kegiatan Tahap II
Kegiatan Penelitian dengan metode survei terhadap petani yang menerapkan Teknologi
Pengendalian PBK Terintegrasi (TPPT) dan yang tidak menggunakan Teknologi TPPT (Pemangkasan;
Pemangkasan + B. bassiana; dan kontrol. Peserta Responden petani kakao dipilih secara acak
sebanyak 30 orang dari sejumlah 89 petani yang ada di desa Rahmat dengan menggunakan metode
simple random sampling. Teknik simple random sampling dilakukan menurut Charisma dan Sudrajat
[10]. Petani terpilih mengikuti metode TPPT dan petani yang tidak menerapkan TPPT. Petani yang
menerapkan TPPT telah melakukan kegiatan berupa Demonstrasi Plot yang dilakukan oleh petani
kakao di masing-masing kebun sendiri. Indikator capaian adalah data analisa pendapatan usahatani
petani kakao sebagai berikut :
118
1.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao
Estimasi penggunaan faktor produksi terhadap produksi digunakan analaisis fungsi produksi
Cobb-Douglas [11][12] yaitu suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua variabel atau
lebih (variabel dependen =Y dan variabel independen =X). Analisis kuantitatif yang digunakan
adalah Analisis Regresi Berganda dengan persamaan :
Y = a0 + a1x1 + a2x2 + a3x3 + a4x4 +a5x5 [10].
2.
Analisis pendapatan usahatani kakao
Dalam analisis ini digunakan rumus :
Pd = TR – TC.
TC = (FC + VC)
TR = (YxPy) [10].
Ket. Pd : pendapatan usaha tani; TR : total penerimaan; TC : total biaya; FC : biaya tetap; VC :
biaya tidak tetap; Y : produksi; Py : harga Y.
Total biaya produksi kakao dihitung dengan rumus:
TC = TFC + TVC
Ket. TC = Total biaya produksi, TFC = total biaya tetap. TVC = Total biaya variabel [13].
Analisis data
Seluruh parameter pengamatan petani yang melakukan TPPT dan petani yang tidak melakukan
TPPT digunakan uji (Uji t, dua rata-rata) [9].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Buah Kakao yang Terserang PBK
Hasil pengamatan dan analisis statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata
persentase buah kakao yang terserang PBK pada perlakuan pemangkasan + B. bassiana dengan
perlakuan D. thoracicus, B. bassiana, dan perlakuan pemangkasan + D. thoracicus (Anshary,
Shahabuddin, Pasaru 2014), perbedaan tersebut dipengaruhi oleh masing-masing kandungan
komponen perlakuan. Hasil analisis penelitian Tahun I [5] menunjukkan pula perbedaan perlakuan
yang diintergrasikan antara pemangkasan dan B. Bassiana dengan persentase serangan PBK lebih
rendah 2,28% dibandingkan jika B. bassiana tidak diintegrasikan dengan perlakuan pemangkasan.
Perlakuan Pemangkasan + B. bassiana menunjukkan rata-rata persentase buah kakao terserang PBK
paling rendah, dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 1). Kondisi lingkungan mikro yang sangat
mendukung pertumbuhan cendawan B. bassiana serta bentuk kanopi tanaman yang baik
memungkinkan cahaya matahari masuk pada kebun kakao lebih optimal.
Tabel 1. Persentase Buah Kakao Terserang PBK Pada Berbagai Perlakuan
Kode
Perlakuan
Kontrol
Bb
Dt
Pks+Dt
Pks+Bb
Waktu Pengamatan
I
15,2
12,3
11,5
11,2
10,1
II
19,5
12,7
11,4
11,5
10,4
III
20,1
12,5
11,2
10,4
9,8
IV
23,4
10,3
10,4
10,2
9,2
V
25,3
10,1
10,5
10,5
7,2
Rerata (%)
20,73c
11,63a
11,05a
10,83a
9,35b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata.
BNT = 1,58 α= , 5 Anshary, Shahabuddin, dan Pasaru, 14 .
119
Secara ekologis kondisi seperti ini tidak sesuai untuk pertumbuhan, perkembangan dan perilaku
serangga PBK, pada akhirnya terjadi mortalitas atau migrasi sehingga populasi lebih rendah dan
menyebabkan persentase serangan pada buah kakao relatif lebih rendah. Faktor pendukung lainnya
adalah peranan B. Bassiana yang dapat mematikan semua perkembangan PBK. Aplikasi B. bassiana
pada pertanaman kakao dapat memberikan keuntungan ganda karena selain dapat menginfeksi
langsung pada serangga PBK, B. basiana dapat juga bertahan pada jaringan tanaman kakao [5].
Posada dan Vega [14] melaporkan bahwa B. bassiana dapat bersifat endofit dan epifit dalam jaringan
tanaman kakao. Secara ekologis kondisi seperti ini dapat menguntungkan bagi ketersediaan musuh
alami karena sebagai proses tersedianya sumber inokulum B. bassiana di alam. Beauveria bassiana
dapat menginfeksi tubuh serangga PBK karena selain memiliki kemampuan penetrasi masuk ke
dalam tubuh inangnya juga karena mempunyai enzim dan toksin yang beracun [5].
Persentase buah kakao yang terserang PBK yang diberi perlakuan pemangkasan dan B. bassiana
memiliki trend lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya dan kontrol. Sebaliknya persentase buah
kakao yang terserang pada perlakuan kontrol terdapat kecenderungan meningkat dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh dari masing-masing komponen
perlakuan tersebut dan telah bekerja memberikan dampak yang buruk pada dinamika persentase
serangan PBK di perkebunan kakao rakyat [5].
Analisis Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Biaya produksi usahatani terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap, biaya tetap adalah biaya
yang dikeluarkan oleh petani yang besar kecilnya tidak mempengaruhi hasil produksi seperti pajak
dan penyusutan peralatan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang habis
digunakan dalam satu tahun kegiatan usahatani kakao. Biaya produksi pada usaha tani kakao TPPT
sebesar Rp. 9.205.550/ha, sedangkan biaya produksi dengan TPPT sebesar Rp. 6.666.050/ha.
Usaha untuk memaksimalkan peranan pengendalian PBK dilaksanakan dengan TPPT, TPPT dalam
mempertahankan produksi usahatani kakao yaitu dengan menggunakan faktor produksi secara
optimum. Faktor-faktor yang diidentifikasi dapat mempengaruhi produksi kakao adalah jumlah
pohon produktif, jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk, lamanya berusahatani kakao, tingkat
pendidikan formal dan intensitas penyuluhan. Estimasi produksi (Y) terhadap faktor produksi kakao
(X), faktor produksi (X) secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata terhadap produksi (Y) hal ini
ditunjukkan dengan nilai Fhitung sebesar 48,891 > Ftabel pada taraf α= , 5 = ,53 . Nilai koefisien
determinasi (R2)= 0,9273 (Tabel 2) yang berarti ada korelasi positif faktor yang mempengruhi
produksi dengan produksi kakao sebesar 92,8 persen dan sisanya 7,2 persen persen disebabkan oleh
faktor lain yang tidak termasuk dalam model.
Tabel 2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao
Variabel
Intersep
Jumlah pohon produktif (X1)
Tenaga kerja (X2)
Jumlah pupuk (X3)
Lama berusahatani (X4)
Pendidikan Formal (X5)
Intensitas Penyuluhan (X6)
R2 =0,9273
t.tabel α= , 5 = ,53
N=30
Kode
b0
b1
b2
b3
b4
b5
b6
Koef. Regresi
0,2099
0,5396
0,3429
0,3141
0,3562
0,0834
0,4973
120
t.hitung
4,6273*
2,5694*
2,5497*
2,5527*
0,8139tn
2,5537*
Sumber : Hasil analisis data primer
Hasil uji t dari enam variabel yang diteliti terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata yaitu
jumlah pohon produktif (X1), Tenaga kerja (X2), Jumlah pupuk (X3), Lama berusaha tani (X4),
sedangkan pendidikan formal (X5) tidak berpengaruh nyata (Tabel 3). Berdasarkan model
persamaan regresi dapat diketahui besarnya pengaruh variabel independen (xi) terhadap variabel
dependen (Y) yang ditunjukkan dari nilai besaran Y. Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, besaran
koefisien regresi masing-masing faktor produksi merupakan elastisitas produksi dari faktor-faktor
produksi tersebut [11]. Dari data hasil penelitian diperoleh model persamaan hasil estimasi produksi
kakao adalah sebagai berikut :
Y=0,2099 + 0,5396X1 + 0,3429X2 + 0,3141X3 + 0,3562X4 + 0,0834X5 + 0,2973X6.
a. Jumlah Pohon Produksi
Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa jumlah pohon produktif (X1) berpengaruh nyata
terhadap produksi kakao pada taraf α 5%. Hasil analisis t-hitung 4,6273 > t-tabel α 5% = ,53 ,
sehingga Ho ditolak. Nilai koefisien regresi jumlah pohon produktif sebesar 0,5396 berarti dengan
bertambahnya pohon produktif sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi kakao sebesar
0,5396%, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan. Souza et al. [15] melaporkan bahwa
jumlah produksi tanaman kakao dipengaruhi oleh faktor kepadatan populasi tanaman dalam satu
areal lahan kakao per tahun. Baharuddin [16] melaporkan bahwa penentuan jarak tanam membawa
konsekuensi ikutan antara kebutuhan bahan tanaman, tenaga kerja, cara pemeliharaan,
produktivitas, atau serangan hama dan penyakit tanaman kakao, secara fisiologis jarak tanam
menyangkut penyediaan ruangan yang akan ditempati oleh tanaman. Semakin sempit ruang yang
tersedia, semakin kuat persaingan antara tanaman yang berdekatan yang pada akhirnya
mempengaruhi jumlah pohon yang berproduksi.
b. Tenaga Kerja
Hasil analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa curahan tenaga kerja (X2) berpengaruh nyata
terhadap produksi kakao pada taraf α 5%. Hal ini terlihat dari nilai t-hitung 2,5694> t-tabel α 5% =
2,530), sehingga Ho ditolak. Nilai koefisien regresi tenaga kerja sebesar 0,3429 berarti dengan
bertambah curahan tenaga kerja sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi sebesar
0,3429 %, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan.
Deppeler [17] melaporkan bahwa meskipun pekerja memiliki peran penting dalam sistem
pertanian usahatani kakao, mereka tidak mendapatkan perhatian yang cukup memadai. Sebaliknya
Wahyudi et al. [18] melaporkan bahwa salah satu keberhasilan usahatani kakao adalah penggunaan
tenaga kerja, kenyataan ini menunjukkan bahwa pengawasan secara intensif dan penggunaan jumlah
tenaga kerja yang tepat sangat penting dilakukan agar didapatkan produksi dan prodiktivitas hasil
yang tinggi.
c. Pemupukan
Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan jumlah pupuk (X3) berpengaruh nyata terhadap
produksi kakao pada taraf α 5%. Berdasarkan hasil analisis t-hitung dengan nilai 2,5497 > t-tabel α
5% = 2,530), sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai koefisien regresi penggunaan pupuk sebesar
0,3141 berarti dengan bertambah perlakuan pemberian pupuk sebesar satu persen (1%) akan
meningkatkan produksi kakao sebesar 0,3141%, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemupukan memberikan pengaruh nyata terhadap produksi
kakao. Berdasarkan laporan Baah et al. [19] bahwa di Ghana terjadi peningkatan penggunaan pupuk
oleh petani kakao, namun produktivitas tanaman kakao masih rendah yaitu pada 400 kg/ha terhadap
potensi lebih dari 2,5 ton per hektar. Wahyudi et al. [18] melaporkan bahwa aplikasi pemupukan
cukup menggembirakan yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi serta mutu hasil produksi,
121
namun efisiensi pupuk yang diberikan dengan jumlah pupuk yang diserap umumnya tergolong
rendah.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Uribe, Mendez, dan Mantilla et al. [20] bahwa
kebutuhan pemupukan tanaman kakao dengan produksi relatif tertinggi apabila diberi perlakuan
150 kg N, 90 kg P2O5 dan 200 kg KO/ha, pemupukan yang memadai dan seimbang pada tanaman
kakao tidak hanya menguntungkan, tapi juga menopang dan membangun hasil yang tinggi dari waktu
ke waktu.
d. Intensitas Penyuluhan
Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi keikutsertaan petani dalam penyuluhan kakao (X6)
berpengaruh nyata positif terhadap produksi kakao pada tigkat 5%. Hal ini terlihat dari nilai t-hitung
2,5537 > t-tabel α 5% = ,53 , sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai koefisien regresi lntensitas
penyuluhan Usahatani kakao sebesar 0,4973 berarti dengan dengan sering petani mengikuti
penyuluhan Usahatani kakao sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi kakao sebesar
0,4973%, dengan asumsi faktor lain dianggap konstan.
Hasil penelitian Akinnagbe dan Ajayi [21] melaporkan bahwa petani kakao telah mendapat
manfaat dari kegiatan penyuluhan dalam hal meningkatkan pengetahuan dan keterampilan akuisisi
produksi kakao serta keuntungan ekonomi dalam hal hasil dan pendapatan. Oladosu dan Yekinn [22].
melaporkan bahwa di Nigeria, program penyuluhan pertanian telah ditargetkan pada petani kakao
untuk mengembangkan tanaman kakao sebagai sumber pendapatan petani. Kegiatan penyuluhan
pertanian kepada petani kakao yang ditargetkan untuk mengidentifikasi lembaga yang memberikan
pelayanan dan tingkat penggunaan teknologi produki kakao serta kendala-kendala yang mereka
hadapi dalam meningkatkan produksi kakao. Penelitian ini dilakukan di wilayah pemerintah lokal Ekiti
Barat terhadap 120 petani kakao.
Analisis biaya produksi
Biaya produksi usahatani terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap, biaya tetap adalah biaya
yang dikeluarkan oleh petani yang besar kecilnya tidak mempengaruhi hasil produksi seperti pajak
dan penyusutan peralatan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang habis
digunakan dalam satu tahun kegiatan usahatani kakao. Biaya produksi pada usaha tani kakao tanpa
TPPT sebesar Rp. 9.205.550/ha, sedangkan biaya produksi dengan TPPT sebesar Rp. 6.666.050/ha.
Penerimaan Usahatani
Penerimaaan dalam struktur usahatani kakao yang menggunakan TPPT adalah antara produksi
yang diperoleh dengan harga jual, sehingga penerimaan ditentukan oleh besar kecilnya produksi
yang dihasilkan dengan harga jual dari produksi tersebut. Petani yang menggunakan TPPT
memperoleh hasil kakao rata-rata 2.480 kg/ha/tahun dan penerimaan rata-rata
Rp.73.800.000/ha/thn dengan harga jual 30.000/kg.
Penerimaan dalam struktur usahatani kakao tanpa penggunaan TPPT adalah perkalian antara
produksi yang diperoleh dari masing-masing tanaman dengan harga jual kemudian hasilnya
dijumlahkan, sehingga penerimaan ditentukan oleh besar kecilnya produksi dari masing-masing
tanaman yang dihasilkan dengan harga jual dari produksi tersebut. Petani yang tidak menggunakan
TPPT menghasilkan kakao rata-rata 1.612 kg/ha/thn. Rata-rata penerimaan petani Rp.
45.942.000/ha/thn dengan harga jual Rp.28.500/kg.
122
Analisis Komparatif Pendapatan Petani Kakao (Petani yang menerapkan TPPT dan yang tidak
menerapkan TPPT)
Hasil analisis statistika menunjukkan nilai t hitung = 8,791 > t tabel = 1,984 pada taraf
kepercayaan 95% uji dua arah, hal ini menunjukkan menolak hipotesis nol yang berarti ada
perbedaan yang siginifikan antara pendapatan petani kakao dengan TPPT dan tanpa TPPT.
Pendapatan petani kakao dengan TPPT (Rp. 67.133.950) lebih besar dibandingkan pendapatan
petani kakao TPTT (36.736.450) (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan Pendapatan Petani dengan Teknologi
Pengendalian PBK dan tanpa Teknologi Pengendalian PBK
No.
1
2
3
Uraian
Biaya
a. Biaya tetap
b. Biaya variabel
Total biaya
Penerimaan
Pendapatan
Petani
dengan TPPT
90.560
6.575.490
6.666.050
73.800.000
67.133.950
Petani tanpa
TPPT
90.560
9.114.990
9.205.550
45.942.000
36.736.450
Sumber : Hasil analisis data primer
Hal ini disebabkan karena terjadinya reduksi biaya pada aktivitas usahatani oleh petani dengan
TPPT, selain itu jumlah fisik atau produksi kakao dan harga jual biji kakao yang dihasilkan petani
dengan menggunakan TPPT lebih besar dibandingkan produksi kakao dan harga jual biji kakao yang
tanpa TPPT. Dalam hal lain Tito [23] melaporkan bahwa terjadi perbedaan pendapatan petani kakao
dengan teknologi pertanaman polikultur dibandingkan pertanaman monokuktur. Pada teknologi
polikultur diterapkan pengendalian hama dan kondisi ekosistem lebih stabil dibandingkan
pertanaman monokultur. Kondisi ekosistem yang relatif stabil akan memungkinkan unjuk kerja
musuh-musuh alami akan berjalan lebih efisien, dalam kondisi musuh alami bekerja efisien maka
populasi hama akan berada pada posisi ambang eknomi terkendali.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil analisis tingkat serangan PBK diketahui paling rendah pada perlakuan integrasi
(Pemangkasan+Bb) disusul berturut-turut pada perlakuan B. bassiana dan kontrol .
2. Biaya produksi pada usaha tani kakao tanpa TPPT lebih besar dibandingkan apabila petani
menggunakan TPPT.
3. Pendapatan petani apabila melakukan TPPT lebih besar dibandingkan apabila tanpa melakukan
TPPT pada pertanaman kakao.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Creative Data Make Investigation (CDMI). 2014. Peluang Bisnis Industri Kakao & Kopi di Indonesia, 20152019.www.cdmione.com/source/Kakao&Kopi2015.pdf.
Albert, L.S.C; S. Kalmar. 2013. Development of hendheld interactive decision tool to pacilitate cocoa pod borer management.
Malaysian International Cocoa Converence, 7-8 October 2013. Malaysian Cocoa Board. Programme and Abstracts book. p.31.
IPOTNEWS. 2013. Produksi Turun Ekspor Kakao Indonesia Anjlok. https:// www. ipotnews. Com /index. php
Baon, J.B., A.A. Prawoto, A. Wibawa, S. Abdoellah. 2014. Review increasing cocoa productivity and farmer capacity in surrounding
area of PT Kaltim Prima Coal and PT Berau Coal. J. of Degraded Admining Landsmanagement 1(2): 97-104.
Anshary, A.; Shahabuddin; dan F. Pasaru. 2014. Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (snell.) dengan
menggunakan Beauveria bassiana vuill.(bals.) dan semut Dolichodrus thoracicus (Smith). Prosiding Seminar Nasional Pertanian
Fakultas Pertanian Undana. Kupang, 30 september 2014.
123
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
Ho, C.T., K.C. Lim ; dan K.C. Khoo. 2003. Biological control of cocoa pests: by Dolichoderus thoracicus (Hymenoptera: Formicidae)
Bull. of Entomol. Res. (6) 92, 117 - 135.
Saripah, B. dan Azhar, I. 2014. Five years of using cocoa black ants to control Cocoa Pod Borer at farmer plot-an epilogue. Malaysian
Cocoa J. 7:8-14.
Anshary, A; Shahabuddin; dan F. Pasaru. 2013. Biological control of the cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella on cacao
plantation for maintaining cocoa production in Central Sulawesi Indonesia. Malaysian International Cocoa Conference. Sunway
Pyramid Convention Center Kuala Lumpur, 7-8 October 2013. Proceedings of the Malaysian International Cocoa Conference 2013
(MICC 2013) Malaysian Cocoa Board. Kuala Lumpur. Pp. 62-68.
Steel, R.G.D. dan G.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. 2nd ed. McGraw Hill Books Co. New York. 633 p.
Charisma, G. dan Sudrajat. 2012. Peranan usahatani kakao terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani di desa Wiyono,
Gedong Tataan, Lampung.
Raval, D. 2011. Both the recent literature on production function identification and a considerable body of other empirical work on
firm expansion assume a Cobb-Douglas. https://ideas.repec. org/p/cen /wpaper/11-05.html
Vîlcu, G.E. 2011. A geometric perspective on the generalized Cobb–Douglas production functions. Applied Mathematics Letters.
4(5): 777-783.
Suripatty, M.P. 2011. Analisis struktur biaya produksi dan kontribusi pendapatan komoditi kakao (Theobroma cacao L.) di desa Latu. J.
Agroforestri. VI(2):135-140.
Posada, F. dan F. E. Vega. 2005. Establishment of the fungal entomopathogen Beauveria bassiana (Ascomycota: Hypocreales) as an
endophyte in cocoa seedlings (Theobroma cacao). Mycologia, 97(6) : 1195-1200.
Souza, C.A.S.; L.A.D. Dias; M.A.G.Aguilar; S. Soneghti; J. Oliveira; J.L.A. Costa. Cacao yield in different planting densities. Braz. Arsch.
Biol. Technol. 52(6). http://www.scielo.br /scielo.php?script = sci _arttext&pid =S1516-89132009000600001.
Baharuddin. 2009. Analisis produksi dan pendapatan usahatani kakao di desa Pohi Kecamatan Luwuk Tengah Kabupaten Banggai.
Tesis. Program Pascasarjana Untad. 57 halaman.
Deppeler, A . 2013. The Unmaking of the Cocoa Farmer: Analysis of Benefits and Challenges of third-party audited Certification
Schemes
for Cocoa Producers and Laborers in Ghana.
Bern University of Applied Sciences. https://www.
bfh.ch/fileadmin/data/publikationen/2014/3_Deppeler_The_Unmaking_of _the_ cocoal_ farmer _IFAMA.pdf.
Wahyudi; T. Panggabean; Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya. Jakarta.
Baah, F.; V.Anchirinah, F.Armah. 2011. Soil fertility management practices of cocoa farmers in the Eastern Region of Ghana. Agric.
Biol. J. N. Am., 2011, 2(1): 173-181.
Uribe, A.; H. Mendez; dan J. Mantilla. 2001. Effect of balanced fertilization on cocoa yield. Better Crops International 15(2):1-3.
Akinnagbe, O.M dan A.R. Ajayi. 2010. Assessment of farmers’ benefits derived from Olam Organisation’s Sustainable Cocoa
Production Extension Activities in Ondo State, Nigeria. Journal of Agricultural Extension. 14 (1): 11-21.
Oladosu, I. O. dan O. T. Yekinn. 2008. An assessment of agricultural extension activities to cocoa farmers in Ekiti West Local
Government Area of Ekiti State. International Journal of Agricultural Economics & Rural Development - 1 (2).
http://www.ijaerd.lautechaee-edu.com. Diunduh 21 Agustus 2015.
Tito, M. 2008. Analisis komparatif antara pendapatan usahatani kakao monokultur dan polikultur di desa nggawia Kecamatan Tojo
Barat, Kabupaten Tojo Una-Una. Thesis. Program Pascasarjana Untad. 84 hal.
124
C - 04
Pengujian 6 Jenis Tanaman Sebagai Bahan Pestisida Nabati
Terhadap Intensitas Kerusakan Biji Kedelai Akibat Serangan
Hama Gudang Callosobruchus spp.
Yenny Muliani1*, Dadang Kusdinar2, Ida Adviany1, Erry Mustariani1
1
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara Bandung
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara Bandung
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan penting di Indonesia,
yangmengandung protein nabati lebih dari 40%, rendah kolesterol dan memiliki kandungan gizi yang
tinggi serta memiliki unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh.Produksi dalam negeri saat ini
baru mampu memenuhi sebanyak 37,01 persen dari kebutuhan, sehingga untuk memenuhi
kekurangan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Hama pasca panen Callosobruchus spp.
merupakan hama utama yang selalu menyerang biji kedelai di gudang tempat penyimpanan.
Serangan hama gudang ini dapat menurukan kuantitas maupun kualitas dari biji kedelai, baik kedelai
yang akan dikonsumsi maupun untuk benih. Penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana dalam
mengendalikan hama banyak menimbulkan dampak negatif. Keadaan ini membuat masyarakat mulai
memikirkan cara yang lebih baik, aman dan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Salah satu peluangnya adalah pemanfaatan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan untuk
dikembangkan potensinya dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman yang aman bagi
lingkungan. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental menggunakan rancangan
percobaan acak lengkap (Completely Randomized Design), pola faktorial dengan 4 perlakuan varietas
kedelai yaitu varietas Anjasmoro, Argomulyo, Detam dan grobogan serta 6 jenis tumbuhan sebagai
bahan pestisida nabatiyang diulang 3 kali.Hasil penelitian, menunjukkan bahwa ke-6 tanaman yang
diuji sebagai pestisida nabati berpengaruh terhadap mortalitas hama gudang Callosobruchus spp.
tetapi tanaman sirsak, belimbing wuluh, cengkeh dan kemangi merupakan tanaman yang berpotensi
dalam mengendalikan hama gudang tersebut.
Kata kunci : Pestisida nabati, kedelai, hama gudang, Callosobruchus spp.
125
C - 05
Pengujian Lapangan Feromon Sintetik terhadap Hama Lanas
(Cylas formicarius) pada Tanaman Ubi Jalar
I Made Samudra1, Dodin Koswanudin1, I Wayan Winasa1, Wartono1
1
*
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Hama lanas yang disebabkan oleh Cylas formicarius, merupakan hama penting pada tanaman ubi
jalar. Pada saat akan kopulasi, kumbang betina memproduksi dan mengeluarkan feromon seks untuk
mengundang kumbang jantan. Feromon seks telah diidentifikasi sebagai (Z)-3-dodecen-1-ol (E)-2butenoate. Karet septa yang mengandung feromon sintetik (Feromon Cylas) tersebut dilakukan uji
lapangan, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui daya tarik feromon sintetik terhadap kumbang
jantan. Pengujian Feromon Cylas dilakukan di kebun ubi jalar, menggunakan perangkap berair dan
digantungkan pada tiang bambu setinggi 25 cm di atas permukaan tanah. Kepadatan perangkap
adalah setara dengan 8, 16, 24, 32 perangkap per hektar, namun luas petak per perlakuan adalah ±
0,2 ha. Sebagai pembanding negatif adalah perangkap tidak berferomon. Dari 6 kali pengamatan,
jumlah kumbang yang tertangkap pada perlakuan yang diumpan dengan Feromon Cylas berbeda
sangat nyata lebih banyak dibandingkan control (tanpa Feromon Cylas). Sedangkan antar perangkap
berferomon, terjadi fluktuasi tangkapan. Petakan dengan 8 perangkap/ha mengalami dua kali jumlah
tangkapan paling tinggi. Dengan demikian kepadatan jumlah perangkap dari 8-32 perangkap/ha
sangat efektif, namun untuk efisiensi, kepadatan perangkap antara 8-16 perangkap per ha sudah
cukup untuk pengendalian hama lanas, C. formicarius.
Kata kunci: Cylas formicarius, hama lanas, ubi jalar
126
PENDAHULUAN
Hama lanas atau hama boleng (sweet potato weevil) pada ubi jalar yang disebabkan oleh kumbang
Cylas formicarius (Fabricius) merupakan hama yang sangat merusak pada tanaman ubi jalar (Ipomoea
batatas (L.), dan tersebar di daerah tropik dan subtropik [1]. Larva atau ulat serangga ini merusak
dengan membuat lubang di dalam umbi, yang menyebabkan kerusakan ubi, menurunkan
produktivitas dan kualitas ubi. Akibat serangan tersebut, ubi akan terasa pahit karena adanya
senyawa sejenis terpen dan menyebabkan rasa tidak enak. Selain itu, larva juga dapat menyerang
pangkal batang ubi jalar yang menyebabkan proses pengisian ubi terhambat dan akhirnya ubi tidak
berkembang dengan baik [1][2].
Serangga hama sangat sulit dikendalikan dengan aplikasi insektisida konvensional karena larva
dan pupa sangat tersembunyi dalam ubi, dan karena vegetasi tanaman yang merambat
menyebabkan aplikasi insektisida tidak mencapai serangga target, sehingga kurang efektif.
Keberadaan larva dan pupa yang sangat tersembunyi disertai dengan kumbang dewasa yang
aktif pada malam hari menyebabkan sulitnya mendeteksi keberadaan hama tersebut. Oleh karena itu
diperlukan cara baru untuk mendeteksi dan mengendalikan hama lanas tersebut, yang lebih efektif
dan efisien [3].
Sejak dilakukan identifikasi dan bioasai feromon seks C. formicarius, maka senyawa tersebut
diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi (memantau) dan sebagai alat pengendali populasi
hama lanas. Senyawa sintetik yang bersifat aktif sebagai feromon seks yang memikat serangga jantan
diidentifikasi sebagai (Z)-3-dodecen-1-ol (E)-2-butenoate [4].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji daya pikat (attractiveness) formulasi feromon
sintetik terhadap kumbang C. formicarius pada pertanaman ubi jalar.
BAHAN DAN METODA
Lokasi, Waktu dan Penguji
Pertanaman ubi jalar petani di Desa Bantar Kambing, Kec. Semplak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,
2014
Bahan
Produk feromon sintetik diresapkan pada karet septa (diformulasikan oleh BB BIOGEN). Perangkap
ber air (water trap) 2,5 l, dan berventilasi dua jendela (1 x 6 cm). Pengujian dilakukan di pertanaman
ubi jalar petani di Desa Bantar Kambing,Semplak, Bogor, pada luasan kurang lebih 5 ha, jarak tanam
50 cm x 25 cm, jenis ubi Ace (nama lokal).
Perlakuan
Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah: A., delapan (8) perangkap berferomon sintetik
per hektar B. Enam belas (16) perangkap berferomon sintetik per hektar, C. Dua puluh empat (24)
perangkap berferomon sintetik per hektar, D. Tiga puluh dua (32) perangkap berferomon sintetik per
hektar, E. Enam belas(16) perangkap tidak berferomon per hektar (kontrol),
Ulangan.
Luas masing-masing petak perlakuan adalah ± 0,2 ha. Jumlah ulangan yang digunakan adalah 5
ulangan (blok).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Denah penempatan
perlakuan secara acak adalah sebagai berikut
127
Blok I
Blok II
Blok III
Blok IV
Blok V
A
E
C
B
A
E
C
B
C
D
B
D
A
E
E
D
B
E
A
B
C
A
D
D
C
Pemilihan Lokasi
Dalam satu hamparan pertanaman ubi jalar ditempatkan 5 perlakuan, masing-masing perlakuan ±
0,2 ha. Antar jarak perlakuan minimal 50 meter, antar ulangan (blok) minimal 100 meter.
Pertanaman ubi jalar adalah pertanaman petani, jarak tanam 50 x 25 cm, varietas Ace (nama lokal).
Pemasangan Perangkap ber-Feromon
Perangkap dibuat dari stoples plastik (2,5l) (Gb.1) dengan dua jendela kiri dan kanan berukuran 1 x 6
cm. Di dalam perangkap dipasang 1 umpan feromon sintetik yang digantungkan dekat ujung atas
tutup perangkap. Perangkap digantungkan pada tiang kayu/bambu yang panjangnya 0,75 meter,
sebagian batang bambu ditancapkan pada tanah, sehingga posisi perangkap 0,25 m di atas
permukaan tanaman
Pengamatan
Pengamatan dilakukan 5 hari sekali, dengan menghitung jumlah kumbang yang terperangkap di
dalam perangkap, kemudian kumbang dikeluarkan dari perangkap (dikumpulkan). Kumbang yang
telah diamati direndam dalam alkohol. Setelah pengamatan maka alat perangkap dipasang kembali
pada tempatnya.
Analisa data
Analisa data jumlah kumbang yang tertangkap dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan
dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Kriteria efikasi
Jumlah kumbang/imago yang tertangkap di masing-masing perlakuan, dibandingkan dengan kontrol
negatif (tanpa feromon).
Perlakuan perangkap berferomon dikatakan efektif apabila pada sekurang-kurangnya (1/2 n + 1)
kali pengamatan (n = jumlah total pengamatan), jumlah tangkapan kumbang/imago pada perlakuan
ber-feromon berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol (perangkap tidak berferomon) pada
taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perangkap berferomon disiapkan seperti pada Gambar 1. Untuk mempercepat serangga tenggelam
dan mati maka digunakan larutan air sabun (5 g/liter air), dan sebanyak 200 ml ditambahkan ke
dalam perangkap. Perangkap berferomon digantungkan pada tiang bamboo, kurang lebih 25 cm
diatas permukaan tanah, atau dasar perangkap menyentuh kanopi tanaman ubi jalar.
128
A
Gambar 1.
B
A. Bentuk perangkap berair dan posisi pada tanaman ubi jalar.
B. Bangkai kumbang Cylas formicarius hasil tangkapan perangkap
Pengamatan pertama dilakukan 5 hari setelah pemasangan, hasil tangkapan dapat dilihat
pada Tabel 1. Pada pengamatan pertama jumlah kumbang tertangkap berkisar antara 492 – 653 ekor
per perlakuan, dan sangat berbeda nyata dengan kontrol (tanpa umpan feromon). Disini terlihat
bahwa dengan kepadatan 8 perangkap/ha jumlah yang tertangkap relatif paling banyak, tidak
berbeda nyata dengan 24 atau 32 perangkap/ha. Ini bisa terjadi, karena populasi C. formicarius di
lapangan sangat berlimpah, daya jangkau feromon cukup luas, sehingga kumbang C. formicarius
tetap bisa merunut dan datang keperangkap. Jumlah total yang tertangkap pada pengamatan
pertama mencapai 11.000-an ekor kumbang jantan.
Tabel 1. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-1. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
II
684
485
559
696
0
Ulangan
III
505
673
429
396
480
788
440
570
0
0
IV
799
687
507
391
0
V
602
461
508
461
0
Rerata
652,6a
491,6b
568,4ab
511,6ab
0,0c
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil tangkapan pada pengamatan kedua dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil tangkapan rerata berkisar
antara 543-802 ekor per perlakuan, paling tinggi didapatkan pada perlakuan dengan jumlah
perangkap terbanyak. Sedangkan pada kontrol tidak didapatkan kumbang C. formicarius yang masuk.
Jumlah kumbang jantan yang tertangkap mencapai 13.500-an ekor, meningkat dibandingkan dengan
hasil tangkapan sebelumnya.
129
Tabel 2. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-2. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
II
532
536
687
884
0
Ulangan
III
489
751
579
694
698
954
694
979
0
0
IV
441
832
567
682
V
Rerata
503 543,2c
623 652,8bc
664 714,0ab
772 802,2a
0
0
0,0d
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Pada pengamatan yang ke-3, hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 3. Rerata jumlah tangkapan
perperlakuan antara 329-552 ekor per perlakuan, terbanyak didapatkan pada perlakuan dengan
jumlah perangkap paling banyak (32 perangkap/ha). Tangkapan pada perlakuan dengan 8 perangkap
dan 24 perangkap per ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan pada kontrol tidak
dijumpai kumbang yang masuk. Jumlah total serangga yang tertangkap pada pengamatan ke-3
sebanyak 8.600an ekor, menurun dari pengamatan sebelumnya.
Tabel 3. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-3. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
351
273
416
436
0
Ulangan
II
III
290
484
249
384
444
630
603
679
0
0
IV
444
429
389
520
V
334
309
407
522
0
0
Rerata
380,6bc
328,8c
457,2b
552,0a
0,0d
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil pengamatan ke-4, dapat dilihat pada Tabel 4. Rerata jumlah tangkapan pada masing-masing
perlakuan berkisar antara 163-242 ekor, antar perlakuan tidak ada perbedaan yang nyata. Pada
kontrol tidak ada kumbang yang terperangkap. Jumlah kumbang yang terperangkap mencapai 4.200an ekor, juga menurun dibandingkan dengan hasil pengamatan sebelumnya.
Tabel 4. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-4. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
160
136
165
149
0
Ulangan
II
III
159
281
88
271
156
356
120
457
0
0
IV
352
195
174
270
0
V
176
123
188
212
0
Rerata
225,6a
162,6a
207,8a
241,6a
0,0b
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil pengamatan ke-5 dapat dilihat pada Tabel 5. Rerata jumlah tangkapan berkisar antara 335-615
ekor per perlakuan, sedangkan pada kontrol tidak ada kumbang yang tertangkap. Disini kembali
terjadi pada perlakuan dengan kepadatan perangkap terkecil, diperoleh rerata jumlah tangkapan
130
yang paling tinggi seperti pengamatan pertama kali. Peluang terjadinya fluktuasi jumlah tangkapan,
dipengaruhi juga oleh sebaran serangga tidak merata, arah angin, posisi trap di lapangan. Jumlah
total tangkapan mencapai 9100-an ekor, meningkat dibanding pengamatan sebelumnya.
Tabel 5. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-5. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
II
548
257
384
412
0
Ulangan
III
513
299
259
372
0
IV
V
707
348
510
576
783
467
532
540
525
305
358
425
0
0
0
Rerata
615,2a
335,2c
408,6bc
465,0b
0,0d
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Hasil pengamatan ke-6 kumbang lanas, dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah rerata tangkapan berkisar
antara 204-364 ekor per perlakuan, tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan kepadatan 32
perangkap/ha. Pada kontrol tidak didapatkan kumbang lanas yang tertangkap. Jumlah kumbang yang
tertangkap mencapai 5400-an ekor, menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan pengamatan ke5.
Tabel 6. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-6. Bogor.
Kode
A
B
C
D
E
Perlakuan
(Setara /ha)
8 perangkap /ha
16 perangkap/ha
24 perangkap/ha
32 perangkap/ha
16 perangkap tanpa
feromon/ha
I
282
260
194
318
0
Ulangan
II
III
170
291
117
125
183
329
324
410
0
0
IV
323
344
361
427
0
V
Rerata
216
256,4b
174
204,0b
204
254,2b
344
364,6a
0
0,0c
Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%
Dari hasil-hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa terjadi fluktuasi tangkapan selama
pengamatan. Hal ini mungkin terjadi karena lahan pertanaman ubi yang dipakai beragam antar
ulangan atau blok, keragaman stadia populasi lanas di lapangan. Ini dapat dilihat pada Gambar 2,
fluktuasi hasil tangkapan. Namun secara umum, gambaran fluktuasi tangkapan terjadi pada semua
perlakuan. Puncak populasi kedua terjadi pada pengamatan ke-5, ini mungkin terjadi karena generasi
tersebut adalah generasi baru yang keluar dari umbi ubi jalar. Selain itu adanya migrasi dari lokasi
lain, menurut Sugimoto et al. [5], daya tarik feromon mencapai 50 -60 meter.
131
Populasi Cylas sp.
(ekor)
A
B
C
D
Kontrol
Waktu Pengamatan
Gambar 2. Fluktuasi tangkapan kumbang Cylas formicarius pada pertanaman ubi jalar.
KESIMPULAN
1. Feromon sintetik yang dipasang pada alat perangkap sangat efektif memikat dan memerangkap
kumbang lanas, C. formicarius.
2. Dengan 8-32 perangkap berferomon per hektar dapat memberikan hasil tangkapan yang
berbeda sangat nyata dibandingkan dengan kontrol.
3. Jumlah perangkap yang efektif dan efisien untuk pengendalian lanas, C. formicarius cukup 8-16
perangkap per hektar.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Talekar, N.S., R.M. Lai and K.W. Cheng. 1989. Integrated control of sweetpotato weevil at Penghu Island. Plant Prot.Bull. 31: 185-191.
Kalshoven L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Rev. P.A. Van Der Lan. PT. Ichtiar Baru. Jakarta.
Hwang Jenn Sheng. 1994. Integrated control of sweetpotato weevil, Cylas formicarius Fabricius, with sex pheromone and insecticide.
Heath,R.R., J.A. Coffelt, P.E. Sonnett, F.I. Proshold, B.Dueben and J. Tumilson. 1986. Identification of sex pheromone produced by
female sweetpotato weevil, Cilas formicarius elegantulus (Summer). J. Chem. Ecol. 12: 1489-1503.
Sugimoto T., Y.Sakuratani, O. Setokuchi,T. Kamikado, K. Kiritani and T. Okada. 1994. Estimation of attractive area of pheromone traps
and dispersal distance, of male adults of sweetpotato weevil, Cylas formicarius (Fabricius)(Coleoptera,Curculionidae). Appl.
Entomol.Zool,29(3):349- 358.
132
C - 06
Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Padi
terhadap Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens
Stal.)
Dodin Koswanudin1*, I Made Samudra1, Sutoro1
1
*
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
Abstrak
Hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) termasuk serangga hama utama yang sering
menimbulkan kerusakan sehingga menurunkan produktivitas tanaman padi. Salah satu upaya dalam
menekan serangan hama adalah dengan menggunakan varietas tahan. Dalam perakitan varietas
tahan perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya genetik tanaman yang mempunyai sifat
ketahanan terhadap hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan sumber daya
genetik padi terhadap hama wereng batang coklat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai
Agustus 2015 di rumah kaca. SDG padi yang dievaluasi sebanyak 100 aksesi padi ditambah kontrol
peka (IR-42 dan IR-64) dan kontrol tahan (PTB) dengan 3 ulangan ditanam sebanyak 30 biji/aksesi
satu baris dalam bak-bak kayu/plastik dalam media tanah dan pupuk kandang, jarak antar aksesi padi
2,5 cm dilakukan skrining massal di terhadap wereng batang coklat dengan metode seedling test..
Pada umur 15 hari setelah sebar diinfestasi nimfa wereng batang coklat 3-4 ekor/tanaman,
selanjutnya tanaman disungkup dengan kurungan plastik milar. Parameter yang diamati adalah
tanaman terserang dengan skor 0-9 (standar scoring IRRI 1980 yang disederhanakan INGER 1996).
Hasil penelitian diperoleh SDG padi yang tahan terhadap hama wereng batang coklat sebanyak 5
aksesi yaitu Banda Cina (Register 7663), Rambute (Register 8587), Ketan Botol (Register 8611), Ingsa
Cendana (Register 9458) dan Padi Darit (Register 19738).
Kata kunci: Evaluasi, ketahanan, N. lugens, SDG padi.
133
C - 07
Pengaruh Tekhnik Pengendalian OPT Pada Tanaman Cabai
Merah Terhadap Pertumbuhan Tanaman, Perkembangan
OPT, Hasil Panen dan Biaya Pengendalian
Eti Heni Krestini1, Hersanti1, dan Asma Sembiring1
1
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
3
Peneliti Balai Penelitian Tanaman Sayuran
*
Penulis yang berkorespodensi : [email protected]
2
Abstrak
Permintaan pasar akan cabai merah dari tahun ketahun terus meningkat, sementara produksi cabai
merah sering berfluktuasi karena adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). OPT
merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya cabai merah, oleh karena itu berbagai upaya
selalu dilakukan petani terutama penggunaan pestisida dengan tujuan untuk menekan
perkembangan OPT karena hal ini dapat menghampat pertumbuhan tanaman cabai dan pada
akhirnya menghilangkan sebagian hasil panen sehingga secara ekonomi merugikan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Tekhnik Pengendalian OPT (berdasarkan ambang
kendali, terjadwal dan cara petani) terhadap hasil panen buah cabai, kandungan residu dan besarnya
biaya pengendalian yang dikeluarkan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan
diantara masing-masing pengaruh penerapan tekhnik pengendalian OPT terhadap pertumbuhan
tanaman dan perkembangan OPT tetapi terlihat adanya perbedaan dari efisiensi biaya pengendalian.
Pengendalian OPT cara petani memperlihatkan persentase jumlah hasil panen sehat tertinggi
walaupun secara ekonomis pengendalian OPT cara petani tidak dapat dikatakan lebih efisien karena
peningkatan biayanya jauh lebih besar dari peningkatan produksi buah sehat dan dilihat dari
kandungan residu pada buah yang dihasilkan menunjukkan kandungan residu tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan lainnya.
Kata kunci: Cabai merah, Organisme pengganggu tanaman, tekhnik pengendalian
134
PENDAHULUAN
Fenomena adanya perubahan iklim berdampak juga terjadinya perubahan status organisme
penggangggu tanaman (OPT), pada tanaman cabai merah ditandai dengan meningkatnya
serangan virus kuning, antraknosa, hawar daun, layu bakteri, lalat buah dan ulat penggerek buah
yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil 25-100% [1]. Salah satu alternatif yang paling banyak
dilakuakn petani untuk menanggulangi OPT adalah dengan pestisida. Penggunaan pestisida secara
intensif seringkali menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun produk hasil
pertanian. Selain itu, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan juga dapat menambah biaya
produksi dan menyebabkan terjadinya resistensi OPT.
Hasyim et al. [2] melaporkan bahwa, di sentra produksi cabai terdapat lebih dari 60 jenis
pestisida yang digunakan petani dengan frekuensi penggunaan berkisar antara 2-3 hari sekali
dalam setiap minggu atau sekitar 35-50% dari total biaya produksi. Penggunaan pestisida secara
intensif ini seringkali menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun produk
hasil pertanian. Selain itu, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dapat menambah biaya
produksi dan menyebabkan resistensi OPT.
Diperlukan upaya untuk mengurangi dampak negatif penggunaan bahan kimia dan
perubahan iklim terhadap sumberdaya dan sistem produksi cabai merah serta terhadap sosial
ekonomi petani. Untuk menyiapkan antisipasinya, perlu diterapkan dan disiapkan berbagai
teknologi yang dapat diaplikasikan dipetani, salah satunya adalah konsep pengendalian hama
terpadu (PHT).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan pilihan yang tepat untuk menjawab persoalan
dampak negatif penggunaan pestisida yang berlebihan sebab pada dasarnya PHT bertujuan untuk
mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi, kerusakan ekononomi yang diakibatkan OPT
rendah, serta kualitas dan keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Menurut Hasyim et al. [2], PHT
adalah upaya perlindungan tanaman yang memadukan beberapa cara pengendalian melalui
pendekatan yang lebih mengutamakan peran agroekosistem, pendekatan ini mencakup teknik
sistem pertanian, seperti tumpang sari (intercropping), penggunaan tanaman perangkap, varietas
tahan, dan biopestisida.
Berdasarkan konsepsi PHT, pestisida hanya digunakan kalau memang benar-benar diperlukan
(sesuai dengan hasil pengamatan egroekosistem). Selain itu, penggunaannya harus berhati-hati
dan sekecil mungkin gangguannya terhadap lingkungan. Secara umum, penggunaan pestisida
harus mengikuti lima kaidah yaitu tepat sasaran, jenis, waktu, dosis/konsentrasi dan cara
penggunaannya. The International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT) [3]
menyebutkan beberapa komponen teknologi PHT yang dapat terapkan pada budidaya cabai
adalah dilakukannya treatment pada benih,manajement pengendalian pada waktu pembenihan,
pemakaian tanaman perangkap seperti tagetes dan jagung, penggunaan pupuk hayati seperti
trichoderma, biopestisida dan management pengendalian pada hama dan penyakit secara spesifik
sesuai dengan jenis dan keberadaan OPT
Petani cabai merah belum sepenuhnya dapat menerapkan PHT meskipun pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan PHT sebagai dasar perlindungan tanaman sebab pada praktiknya petani
masih mengkhawatirkan terjadinya gagal panen sehingga penggunaan pestisida kimia masih terus
dilakukan. Besarnya modal yang dikeluarkan petani dalam budidaya cabai merah menjadi salah
satu pendorong petani cabai melakukan penyemprotan secara terjadwal 2-3 kali seminggu,
persentase petani yang melakukan penyemprotan secara terjadwal berkisar antara 57,14-64,29%
135
[4]. Adiyoga (2007) melaporkan bahwa dalam satu musim tanam, para petani menggunakan
pestisida sebanyak 21 kali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan
Tekhnik Pengendalian OPT (berdasarkan ambang kendali, terjadwal (selasa dan jumat) dan cara
petani (tiga hari sekali) terhadap persentase buah sakit dan sehat pada hasil panen buah cabai
dan besarnya biaya pengendalian yang dikeluarkan.
MATERIAL DAN METODA
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai varietas CB1, pupuk kompos,
pupuk NPK (16:16:16) dan pestisida. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapang,
dengan penerapan tekhnik pengendalian OPT yang berbeda yaitu (berdasarkan ambang kendali,
terjadwal setiap senin / jumat dan cara petani) semua perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak
lima kali. Penelitian dilakukan dengan cara mengamati jenis dan frekuensi pestisida, menghitung
persentase anatara buah yang sakit dan sehat, perkembangan OPT kemudian menghitung
estimasi biaya pengendalian pada masing-masing tekhnik pengendalian. Pengamatan terhadap
perkembangan OPT dan persentase buah sehat/sakit dilakukan terhadap sepuluh tanaman
contoh pada tiap perlakuan yang ditetapkan dengan cara acak sistematis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman (Tinggi Tanaman dan Lebar Kanopi)
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan cabai merah selama penelitian berlangsung disajikan
pada Tabel 1. Pada Tabel tersebut terlihat pertumbuhan tanaman antara perlakuan pada 10 MST
relatif seragam dengan kisaran tinggi tanaman pada akhir pengamatan 48,09-52,41cm dengan
nilai tertinggi pada perlakuan 1, sedangkan untuk lebar kanopi pada akhir pengamatan berkisar
antara 29,16-32,43 cm dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan ke-2. Hasil dari penelitian
ini terlihat perlakuan pengendalian yang diuji tidak mempengaruhi pertumbuhan akhir tanaman
cabai. Hal senada juga dilaporkan Setiawati [5] yang menyebutkan pertumbuhan tanaman cabai
pada beberapa perlakuan PHT yang diujikan pada 12 MST menunjukkan pertumbuhan yang relatif
seragam walaupun pada awal pertumbuhan menunjukkan ukuran tinggi dan lebar kanopi berbeda.
Tabel 1. Pertumbuhan tanaman cabai
Perlakuan
Tinggi tanaman
Lebar kanopi
MST (cm)
MST (cm)
2
6
10
2
6
10
1
23,54
30,62
52,41
7,26
19,89
31,41
2
25,72
27,66
48,09
7,45
21,13
32,43
3
24,11
26,85
50,62
8,26
23,15
29,16
Perkembangan Organisme Penganggu Tanaman (OPT) pada Buah Cabai
OPT merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kehilangan hasil pada budidaya cabai.
Jenis dan persentase OPT yang menyerang buah cabai selama penelitian berlangsung disajikan
pada tabel 2. OPT penting yang menyerang cabai merah antara lain lalat buah (Bactrochera sp),
136
ulat Spodoptera litura dan penyakit antraknosa (Colletotrichum sp). Persentase masing-masing
serangan OPT berbeda pada masing-masing perlakuan yang diuji. Persentase buah terserang OPT
berkisar antara 18,93-23,49%. Persentase serangan OPT terkecil ditunjukkan oleh perlakuan
petani sedangkan untuk kedua perlakuan lainnya tidak terlalu jauh beda yaitu berkisar 23%.
Tabel 2. Persentase intensitas serangan masing-masing OPT pada buah cabai
Teknik Pengendalian
Lalat Buah
S. litura
Antraknosa
Abiotik
Sehat
Ambang kendali
9,43
7,89
4,54
1,59
76,55
Terjadwal
9,44
6,05
5,56
2,44
76,51
Kebiasaan petani
9,2
3,81
5,52
0,4
81,07
Pada perlakuan 1 dengan teknik pengendalian berdasarkan ambang kendali dan perlakuan
pengendalian secara terjadwal persentase lalat buah menduduki serangan tertinggi kemudian
serangan S. litura, antraknosa dan sisanya disebatkan oleh faktor abiotik (cuaca panas).
Sedangkan untuk perlakuan pengendalian kebiasaan petani lalat buah di urutan pertama tertinggi,
kedua antraknosa dan ketiga S. litura. Secara umum perkembangan OPT pada ketiga tekhnik
pengendalian tidak menunjukkan adanya perbedaan dari jenis dan intensitas serangan OPT
artinya tekhnik pengendalian dengan menggunakan ambang kendali hasilnya tidak lebih jelek dari
cara pengendalian terjadwal atau kebiasaan petani.
Tabel 3. Jenis dan frekuensi masing-masing pestisida selama penelitian
Bahan Aktif/
Jenis Pestisida
Propineb
Imidaklorofid
Abamektin
Klorpirifos
Fungisida
Insektisida
Insektisida
Insektisida
Difenokonasol Fungisida
Kandungan residu pestisida
pada buah cabai
Perlakuan Pengendalian
Kebiasaan Terjadwal Ambang
Petani
Kendali
35
30
17
8
8
4
4
4
2
10
10
5
4
0,036
4
0,01
4
0,01
Daftar jenis pestisida dan frekuensi masing-masing perlakuan pengendalian disajikan pada tabel 3.
Pada tabel tersebut terlihat selama penelitian ini dilaksanakan ada lima macam bahan aktif yang
digunakan dengan frekuensi masing-masing bahan aktif beragam. Pada semua perlakuan terlihat
propineb merupakan fungisida yang paling sering digunakan, sedangkan insektisida klorpinifos
menepati urutan kedua, kemudian imidaklorofid, abamektin dan yang terakhir fungisida
difenokonasol. Persentase kandungan residu pestisida pada buah cabai antar perlakuan
menunjukkan adanya perbedaan nilai dimana perlakuan penyemprotan yang dilakukan oleh
petani menunjukkan nilai residu pestisida yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
137
Tabel 4. Perbandingan biaya pengendalian selama penelitian
Perlakuan
Biaya pengendalian per plot (Rp)
Efisiensi biaya pengendalian
Ambang Kendali
165,360
47,43%
Terjadwal
294,720
6,29%
Kebiasaan Petani
314,520
-
Pada tabel 4 terlihat perbandingan biaya masing-masing tekhnik pengendalian yang digunakan,
pengendalian yang biasa dilakukan petani dengan frekuensi penyemprotan 2-3 hari sekali
membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada pengendalian terjadwal dan berdasarkan ambang
kendali. Tekhnik pengendalian terjadwal dapat mengurangi biaya pengendalian sampai 6,29%
sedangkan pengendalian dengan menggunakan ambang kendali lebih efisien sebesar 47,43%
dibandingkan dengan pengendalian cara petani.
KESIMPULAN
Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan diantara masing-masing pengaruh
penerapan tekhnik pengendalian OPT terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan OPT
tetapi terlihat adanya perbedaan dari efisiensi biaya pengendalian. Pengendalian OPT cara petani
memperlihatkan persentase jumlah hasil panen sehat tertinggi walaupun secara ekonomis
pengendalian OPT cara petani tidak dapat dikatakan lebih efisien karena peningkatan biayanya
jauh lebih besar dari peningkatan produksi buah sehat dan dilihat dari kandungan residu pada
buah yang dihasilkan menunjukkan kandungan residu tertinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Setiawati, W, R. Sutarya, K. Sumiarta, A. Kamandadu, I.B. Suryawan, E. Latifah & Luther, dkk. 2011. Incidence and severity of
pest and disease on vegetables inrelation to climate change. Prosiding Seminar nasional hortikultura Indonesia. Balitsalembang.
Hasyim, A., W. Setiawati., dan L. Lukman.2015 Inovasi teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan pada cabai: upaya
alternatif menuju ekosistem harmonis. Pengembangan Inovasi Pertanian 8 (1): 1-10.
ICRISAT. 2011. Integrated Pest Managemn Of Chilli, Tomatto and Onion. The International Crops Research Institute
Sulistiyono, L, R.C. Tarumingkeng, B. Sanim, Dadang. 2012. Kajian Penggunaan Pestisida pada Budidaya Tanaman Syuran oleh
Petani SLPHT dan Non SLPHT di Provinsi Jawa Timur.Agri-tek. 13(1):82-93.
Setiawati, W, N. Sumarni, Y. Koesandriyani, A. Hasym, TS Uhan, R. Sutarya.2013. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama
Terpadu pada Tanaman Cabai Merah untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim. J. Hort. 23(2) : 174-183.
138
C - 08
Pengaruh Ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina
Benth ex Kurz) Terhadap Hama Ulat Penggerek Buah
(Helicoverpa armigera Hubner) Pada Tanaman Cabai
Merah (Capsicum annuum L) Varietas COSMOS
Dikayani, Yosi Saeful Mikdar, dan Suryaman Birnadi
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz dengan nama lokal pule pandak mengandung senyawa aktif
yang berpotensi sebagai bioinsektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
ekstrak Pule pandak (Rauwolfia serpentina) terhadap hama ulat penggerek buah (Helicoverpa
armigera) pada tanaman cabai merah. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun
percobaan Universitas Padjadjaran Ciparanje-Jatinangor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret sampai Juli 2013. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental
berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan faktor utama adalah ekstrak Pule pandak dengan
9 taraf konsentrasi yaitu K0 = tanpa ekstrak pule pandak , K1 = 250ppm, K2 = 500ppm, K3 =
750ppm, K4 = 1000ppm, K5 = 1250, K6 = 1500ppm, K7 = 1750ppm, K8 = 2000ppm. Rancangan ini
terdiri dari 9 perlakuan dengan 5 kali ulangan. Pengujian lanjut dilakukan dengan uji Duncan
Multiple Range Test (DMRT) 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektrak pule pandak
berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera)
namun tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan akibat serangan ulat penggerek buah
(Helicoperva armigera). Perlakuan ekstrak pule pandak yang optimum adalah ekstrak pule pandak
dengan konsentrasi 2000 ppm dengan tingkat kematian ulat penggerek buah Helicoperva
armigera rata rata sekitar 88%.
Kata kunci: Capsicum annuum L., Helicoverpa armigera, Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz.
139
PENDAHULUAN
Tanaman cabai merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tidak mengenal musim.
Pemenuhan kebutuhan akan tanaman cabai tersebut harus terpenuhi kapan saja. Tingginya minat
dan permintaan pasar tehadap tanaman cabai sedikit banyak akan mempengaruhi pendapatan
para petani, sehingga kesejahteraan petani mampu meningkat. Namun permasalahan utama
dalam budidaya cabai adalah tingkat produktivitasnya, serangan hama penyakit kerap menjadi
masalah utama yang mengakibatkan kurangnya hasil panen tanaman cabai.
Usaha peningkatan produksi tanaman cabe seringkali dihadapkan adanya gangguan hama
dan penyakit. Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak
diatasi dengan baik. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman cabai adalah ulat buah
(Helicoverpa armigera Hubner). Hama ulat penggerek buah merupakan salah satu hama penting
pada tanaman cabai merah. Kehilangan hasil karena serangan hama tersebut dapat mencapai
60% [1].
Kerusakan yang terjadi selama ini disebabkan oleh ulah manusia sendiri, sebagai contoh
penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya sebagai penanggulangan hama pada tanaman.
Penerapan di bidang pertanian ternyata tidak semua insektisida mengenai sasaran. Kurang lebih
hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran, sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah.
Akumulasi residu insektisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian.
Insektisida alternatif yang efektif, dapat mengurangi pencemaran lingkungan, dan harganya
relatif murah. Salah satu alternatif yang mempunyai prospek untuk dikembangkan ialah dengan
memanfaatkan berbagai senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuhan [2]. Berbagai jenis
tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid,
asetogenin, steroid dan tannin yang bersifat sebagai larvasida dan insektisida [3].
Tanaman yang mempunyai kandungan alkaloid salah satunya adalah tanaman pule pandak.
Pule pandak mempunyai kadar kandungan alkaloid yang berbeda menurut bagian tumbuhan,
umur, masa pertumbuhan (generatif dan vegetatif), teknik perbanyakan serta kondisi tempat
tumbuh. Akar pule pandak yang sering digunakan juga memiliki kandungan alkaloid yang berbedabeda, berkisar 0,8-1,5 % bahkan kadang-kadang bisa mencapai 2,5 %. Pule pandak mengandung
reserpine yang kadarnya dalam akar mencapai 0,04-0,09 % [4].
Berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa, H. armigera resisten terhadap insektisida dari
golongan piretroid sintetik, oragnofosfat, dan karbamat [1]. Oleh karena itu perlu dilakukan
penanganan yang intensif agar tidak terjadi serangan. Penanganan tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan prinsip pengendalian hama penyakit terpadu dan ramah lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mempelajari pengaruh konsentrasi ekstrak pule pandak (Rauwolfia serpentine Benth ex
Kurz) terhadap hama ulat penggerek buah (H. armigera Hubner) dan hasil tanaman cabai merah
(Capsicum annuum L.) varietas cosmos.
2. Menetapkan konsentrasi ekstrak pule pandak (R. serpentine Benth ex Kurz) yang optimum
untuk menurunkan intensitas serangan hama ulat penggerek buah (H. armigera Hubner) pada
tanaman cabai merah (C. annuum L.) varietas cosmos.
140
BAHAN DAN METODA
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Benih tanaman cabai merah (C. annum L.)
varietas cosmos, ekstrak pule pandak, tanah lapisan top soil, biakan H. armigera, Aseton, pupuk.
Alat yang digunakan yaitu sekop, polybag ukuran 30 cm x 40 cm, jaring kasa/inseknet, meteran,
timbangan, timbangan analitik, hand sprayer, ajir, tali rapia, label, tabung ukur
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental (percobaan). Rancangan percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan 5
kali ulangan. Faktornya yaitu konsentrasi ekstrak pule pandak dengan 9 taraf konsentrasi yaitu:
k0 = tanpa ekstrak pule pandak
k1 = konsentrasi ekstrak pule pandak 250 ppm
k2 = konsentrasi ekstrak pule pandak 500 ppm
k3 = konsentrasi ekstrak pule pandak 750 ppm
k4 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1000 ppm
k5 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1250 ppm
k6 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1500 ppm
k7 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1750 ppm
k8 = konsentrasi ekstrak pule pandak 2000 ppm
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas (%).
Mortalitas hama merupakan tingkat kematian hama sasaran dalam hal ini hama ulat
penggerek buah. Pengamatan Mortalitas hama dilakukan pada saat satu hari setelah hama di
introduksikan pada tanaman cabai umur 63 HST pengamatan dilakukan setiap 2 hari.
Berdasarkaan hasil analisis statistik tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh ekstrak pule
pandak sangat berpengaruh nyata terhadap mortalitas atau tingkat kematian dari hama ulat H.
armigera. Adapun pengaruh ekstrak pule pandak terhadap mortalitas hama H. armigera terlihat
pada Tabel 1. Perlakuan ekstrak pule pandak 2000 ppm tertinggi yaitu 9.36%. Konsentrasi tinggi
yang diberikan menyebabkan larva tidak dapat berkembang dengan sempurna, akibat keracunan
yang disebabkan oleh senyawa-senyawa toksik yang merusak jaringan saraf, seperti senyawa
alkaloid sehingga menghambat proses larva menjadi pupa. Stadia pupa merupakan masa yang
tidak aktif, namun proses metamorfosis pupa tetap berjalan, dengan demikian untuk membentuk
pupa sangat tergantung pada makanan yang dikonsumsi pada waktu stadia larva [5].
141
Tabel 1. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak
terhadap mortalitas ulat Helicoverpa armigera pada
umur tanaman cabai (75 HST).
Mortalitas
K0 0 ppm
K1 250 ppm
K2 500 ppm
K3 750 ppm
K4 1000 ppm
K5 1250 ppm
K6 1500 ppm
K7 1750 ppm
K8 2000 ppm
Perlakuan
1.47 ab
0.71 a
2.60 ab
4.01 cd
7.53 ef
5.43 de
6.80 ef
8.05 f
9.36 g
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada arah vertikal berbeda tidak nyata
menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %.
Intensitas Serangan (%).
Ulat H. armigera di introduksikan pada tanaman cabai umur 63 HST dan serangan hama ini
mulai terlihat pada tanaman cabai umur 64 HST. Pengamatan dilakukan seminggu kemudian pada
tanaman cabai umur 69 HST. Intensitas serangan dihitung dengan cara mengamati buah yang
terserang dengan ciri atau gejala serangan buah cabai yang berlubang dan membusuk.
Pengaruh pemberian ekstrak pule pandak terhadap Intensitas Serangan H. armigera disajikan
pada tabel Hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh ekstrak pule pandak terhadap intensitas
serangan tidak berbeda nyata terhadap kontrol secara statistik. Ekstrak pule pandak memiliki
dampak sebagai penghambat pertumbuhan serangga sehingga tingkat intensitas serangan tidak
dapat secara langsung ditekan karena sifat zat alkaloid dalam pule pandak berfungsi sebagai
penghambat dan tidak mematikan hama secara langsung [6].
Tabel 2. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap
Intensitas Serangan ulat Helicoverpa armigera pada pada
umur tanaman cabai (69 HST)
Perlakuan
K0 0 ppm
K1 250 ppm
K2 500 ppm
K3 750 ppm
K4 1000 ppm
K5 1250 ppm
K6 1500 ppm
K7 1750 ppm
Intensitas serangan (5)
7.34 a
5.10 a
6.45 a
5.78 a
5.16 a
5.85 a
2.49 a
4.40 a
K8 2000 ppm
5.29 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama
pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji
Duncan pada taraf nyata 5 %
142
Keparahan Serangan (%).
Intensitas Serangan hama H.armigera merupakan persentasi jumlah buah yang terserang
hama dari total buah yang diamati. Sementara keparahan serangan merupakan persentasi tingkat
kerusakan dari tanaman yang terserang oleh H. armigera. Keparahan Serangan ini dapat
dijelaskan dengan cara membagi kisaran dari gejala terendah (tidak ada gejala sama sekali) hingga
gejala tertinggi (gejala paling parah) ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengamatan keparahan
serangan dilakukan pada umur tanaman cabai berumur 70 HST seminggu setelah dilakukan
pengintroduksian dengan cara menghitung buah yang terserang. Pengamatan ini berlangsung
selama 2 minggu selama hama ulat penggerek buah melakukan satu kali siklus hidup.
Tabel 3. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap
keparahan serangan ulat Helicoverpa armigera pada umur
tanaman cabai (69 HST).
Perlakuan
K0 0 ppm
K1 250 ppm
K2 500 ppm
K3 750 ppm
K4 1000 ppm
K5 1250 ppm
K6 1500 ppm
K7 1750 ppm
K8 2000 ppm
Keparahan serangan
6.92 a
4.02 a
5.79 a
4.91 a
4.11 a
5.17 a
1.72 a
3.65 a
3.84 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama
pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji
Duncan pada taraf nyata 5 %
Ekstrak pule pandak memiliki dampak sebagai penghambat pertumbuhan serangga sehingga
tingkat intensitas serangan tidak dapat secara langsung ditekan karena sifat zat alkaloid dalam
pule pandak berfungsi sebagai penghambat dan tidak mematikan hama secara langsung [5].
Bobot Basah Buah (gram). .
Penghitungan bobot basah buah dilakukan pada saat tanaman cabai memasuki umur 90 HST
atau pada masa panen pertama. Pengaruh ekstrak pule pandak tidak berpengaruh nyata terhadap
bobot basah buah seperti yang disajikan pada tabel 4.
143
Tabel 4. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap
Bobot Basah buah cabai merah pada umur tanaman cabai
(90HST).
Perlakuan
K0 0 ppm
K1 250 ppm
K2 500 ppm
K3 750 ppm
K4 1000 ppm
K5 1250 ppm
K6 1500 ppm
K7 1750 ppm
K8 2000 ppm
Bobot basah buah
4.43 a
2.72 a
2.53 a
3.10 a
4.44 a
4.44 a
3.09 a
3.03 a
3.66 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama
pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji Duncan
pada taraf nyata 5 %
Gejala serangan H. armigera menyebabkan buah berlubang dan buah menjadi busuk
kemudian jatuh ke tanah,sehingga produksi hasil tanaman cabai merah menurun dan buah cabai
yang terkena serangan hama ulat penggerek buah ini menjadi tidak laku dipasaran
KESIMPULAN
Ekstrak Pule pandak berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas hama ulat penggerek
buah H. armigera tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan serangan Hama Ulat
Penggerek Buah H. armigera dan tidak berpengaruh nyata terhadap Hasil buah Cabai Merah (C.
annum L) varietas Cosmos.
Perlakuan ekstrak pule pandak konsentrasi 2000 ppm mempunyai pengaruh yang optimum
terhadap mortalitas hama ulat penggerek buah H. armigera dengan tingkat kematian tertinggi
rata–rata sekitar 88%.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Hasyim,A,W. Setiawati, R. Murtiningsih, dan E, Sofiari.2010. Efikasi dan Persistensi Minyak Serai Sebagai Biopestisida Terhadap
Helicoverpa armigera hubn.(lepidoptera : nocyuidae). Jurnal Penelitian Horrtikultura.
Subiyakto.2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi pengembangannya. ISSN: 14128004.
Sukorini, Henik.2003. Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan Terhadap Hama Plutella Xylostella Pada Budidaya
Tanaman Kubis Organik. Jurnal penelitian.
Wibawa, Ikrar Teguh. 2006. Pengaruh Pemberian Pil Kb Yang Mengandung Hormon Sintetik Etinilestradiol Dan Norgestrel
Terhadap Pertumbuhan Bibit Pule Pandak (Rauvolfia serpentine Benth.). Skripsi IPB.
Subiakto, S. 2002. Pestisida Nabati. Pembuatan & Pemanfaatan. Balai Penelitian Tanaman Hortikultura. Lembang.
Kumar,Arvind. kuldeep Sharma dan M.A. Khan.2008. effect of Sarpgandha (Rauwolfia serpentina) Leaf extract on Development
of Spilarctia obliqua. Journal.
144
C - 09
Insektisida Nabati Bengkuang dan Tembakau dalam
Pengendalian Preventif Hama Daun Kedelai
Kurnia Paramita Sari1, Suharsono1, Sri Wahyuningsih1, Suntono1
1
*
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Hama kedelai di Indonesia dilaporkan banyak jumlah dan jenisnya. Salah satu alternatif
pengendalian yang ramah lingkungan dengan aplikasi insektisida nabati. Bengkuang dan
tembakau berpotensi dijadikan sebagai insektisida nabati. Tujuan penelitian adalah mengetahui
efektifitas insektisida nabati bengkuang dan tembakau terhadap hama kedelai. Penelitian
dilakukan di rumah kaca Balitkabi pada tahun 2013. Rancangan percobaan menggunakan
rancangan faktorial, faktor I adalah jenis pestisida (nabati dan bengkuang), faktor II adalah
konsentrasi pestisida (0; 0,1%; 0,2%; 0,4%; 0,8%). Jenis hama daun yang ditemukan adalah
belalang, kutu kebul, ulat daun dan lalat bibit. Populasi paling tinggi diseluruh tanaman adalah
belalang dan kutu kebul. Besarnya intensitas serangan hama daun dan kutu kebul tidak berbeda
nyata pada setiap perlakuan. Akan tetapi terjadi penurunan populasi kutu kebul. Hal ini
membuktikan bahwa insektisida nabati tidak bekerja secara langsung setelah diaplikasikan akan
tetapi perlahan-lahan mengurangi populasi hama. Penggunaan insektisida nabati lebih ditekankan
untuk pengendalian preventif.
Kata kunci: Glycine max, pestisida nabati, hama daun, pengendalian preventif.
145
PENDAHULUAN
Hama kedelai di Indonesia dilaporkan banyak jenis dan jumlahnya, dan dikelompokkan
menjadi hama daun dan hama polong. Pengendalian hama yang umum dilakukan adalah dengan
penggunaan insektisida kimia. Penggunaan pestisida yang berlebihan berdampak negatif pada
lingkungan dan manusia. Seiring bertambahnya kebutuhan manusia tentang kesehatan, beberapa
dekade terakhir telah dikenal penggunaan pestisida nabati.
Feinstein [1] melaporkan lebih dari 2000 spesies dari 170 famili mempunyai kandungan
insektisida, sedangkan Grainge et al. [2] mensinyalir terdapat lebih dari 1000 spp. Tumbuhan yang
mengandung insektisida diperkirakan lebih dari 380 spp. Rincian lebih lanjut menunjukkan yang
mengandung pencegah makan (antifeedant) adalah lebih dari 35 spp, mengandung akarisida lebih
dari 270 spp, mengandung zat penolak (repellent) adalah lebih dari 30 spp yang mengandung zat
penghambat pertumbuhan. Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili
tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae,
Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae.
Bengkuang merupakan tumbuhan yang termasuk dalam suku polong-polongan (fabaceae).
Biji bengkuang dapat digunakan sebagai pembasmi serangga karena mengandung rotenone dan
bersifat racun tinggi [3]. Semua bagian tanaman bengkuang kecuali umbi mengandung rotenon,
berdasarkan bobot kering rotenon pada batang adalah 0,03%, daun 0,11%, polong 0,02%, dan biji
0,66% [4]. Kandungan rotenon murni pada biji yang telah masak berkisar 0,5-1,0% [5]. Pada biji
kandungan rotenonnya paling tinggi, sehingga biji sering digunakan untuk memberantas hama
yang dikenal dengan insektisida nabati bengkuang. Tembakau merupakan salah satu tumbuhan
yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Kandungan daun tembakau yaitu nicotin sebagai
racun pada serangga [6].
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas insektisida nabati bengkuang dan
tembakau terhadap hama kedelai.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di screen house pada musim kemarau 2013. Adapun tahap penelitian terdiri
dari:
Persiapan ekstrak daun biji bengkuang dan daun tembakau
Biji bengkuang di rendam dengan menggunakan heksana dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama
24 jam, sedangkan daun tembakau kering direndam dengan menggunakan etanol dengan
perbandingan 1:10 (w/v). Ekstrak tersebut selanjutnya disaring berulang-ulang sampai
mendapatkan hasil saringan yang jernih, kemudian pelarutnya diuapkan dengan rotary
evaporator.
Tahap penelitian
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok faktorial 2 faktor (jenis dan konsentrasi
pestisida nabati), yang diulang sebanyak tiga kali. Jenis pestisida nabati menggunakan bengkuang
dan tembakau. Faktor dua merupakan konsentrasi terdiri dari: 0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,8%. Kedelai
varietas Anjasmoro ditanam dalam polybag berkapasitas 10 kg sebanyak 3-4 biji/polybag,
pemupukan dilakukan bersamaan tanam dengan menggunakan 2 g urea, 1 g SP-36, dan 2,5 g/pot
146
KCl. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan yang dilakukan sesuai kondisi tanah dan juga
penjarangan yang dilakukan pada umur 14 HST. Penyiangan gulma dilakukan pada 21 dan 28 HST.
Aplikasi insektisida nabati (bengkuang dan tembakau) pada umur 21 HST hingga 2 minggu
sebelum panen. Variabel pengamatan meliputi jenis hama daun, populasi hama daun, intensitas
serangan hama daun, dan hasil panen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis hama yang banyak ditemukan adalah belalang, kutu kebul, ulat daun, dan lalat bibit.
Hama belalang dan kutu kebul selalu ditemukan disetiap rumpun kedelai baik pada pengamatan
25, 35, dan 45 HST. Ulat daun mulai ditemukan pada 35 HST dan 45 HST, sedangkan lalat bibit
hanya ditemukan pada umur 35 HST (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis hama dan predator yang ditemukan pada rumpun kedelai (Malang, 2013).
Perlakuan
Belalang
Bengkuang 0
Bengkuang 0,1%
Bengkuang 0,2%
Bengkuang 0,4%
Bengkuang 0,8%
Bengkuang 0,1%
Tembakau 0
Tembakau 0,1%
Tembakau 0,2%
Tembakau 0,4%
Tembakau 0,8%
25
35
45
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Jenis hama/Predator
Kutu kebul
Coccinella
Ulat daun
Umur tanaman (HST)
25 35 45 25 35 45 25 35 45
v
v
v v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Lalat bibit
25
35
v
45
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Keterangan : tanda Ñ´ menun ukkan adanya populasi hama.
Dari beberapa hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa tidak
ditemukannya hama daun pada beberapa perlakuan pestisida nabati dipengaruhi oleh fungsi
pestisida nabati yaitu sebagai anti makan (antifeedant) dan sebagai penolak (repellent). Senyawa
pestisida yang terkandung didalam bahan menempel pada dinding permukaan daun, sehingga
dapat dirasakan oleh hama yang ada. Disisi lain, bila tetap ditemukan adanya hama hal itu
disebabkan karena pengaruh persentase repelensi.
147
Tabel 2. Intensitas serangan belalang pada umur 35 dan 45 hst (Malang, 2013)
No
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bengkuang 0
Bengkuang 0,1%
Bengkuang 0,2%
Bengkuang 0,4%
Bengkuang 0,8%
Tembakau 0
Tembakau 0,1%
Tembakau 0,2%
Tembakau 0,4%
Tembakau 0,8%
P Value
Intensitas serangan pada…HST %
35
45
1,53
1,61 ab
1,03
1,71 ab
1,48
2,15 a
1,01
1,43 b
1,01
1,46 b
0,19
0,19 c
1,22
2,14 a
1,38
2,20 a
0,71
1,22 b
1,24
1,58 ab
ns
0,25
0,0001**
Intensitas serangan belalang pada 35 HST tidak berbeda setiap perlakuan baik kontrol
maupun perlakuan insektisida. Intensitas belalang pada 45 HST, pada perlakuan bengkuang tidak
berbeda baik pada kontrol maupun aplikasi dengan insektisida. Pada perlakuan tembakau,
intensitas terendah justru terletak pada kontrol (Tabel 2). Hal ini dapat dipengaruhi oleh tidak
ditangkapnya signal oleh belalang. Pemilihan inang oleh serangga dipengaruhi signal dari tanaman.
Aplikasi insektisida nabati bengkuang dan tembakau belum dapat mengurangi besarnya
kerusakan yang diakibatkan oleh hama daun (belalang). Hal itu dapat dipengaruhi oleh terurainya
kandungan senyawa kimia bahan nabati yang menempel didaun, sehingga tidak terjadi penolakan.
Presentase repelensi dipengaruhi oleh konsentrasi dan lama pemaparan [7].
Tabel 3. Intensitas serangan kutu kebul pada umur 35 dan 45 HST, (Malang, 2013)
No
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bengkuang 0
Bengkuang 0,1%
Bengkuang 0,2%
Bengkuang 0,4%
Bengkuang 0,8%
Tembakau 0
Tembakau 0,1%
Tembakau 0,2%
Tembakau 0,4%
Tembakau 0,8%
P Value
Intensitas serangan pada…HST %
35
45
1,93 a
1,76
1,85 a
1,36
1,43 a
1,14
1,50 a
1,89
1,69 a
1,85
0,27 b
0,21
2,04 a
1,12
1,39 a
1,23
1,41 a
2,02
1,47 a
1,68
**
0,0001
0,42ns
Intensitas serangan kutu kebul 35 HST pada perlakuan bengkuang tidak berbeda setiap
perlakuan (baik pada aplikasi bengkuang maupun kontrol). Untuk aplikasi dengan menggunakan
tembakau, intensitas serangan terendah pada kontrol tembakau (0,27%) (Tabel 3). Pada 40 HST
148
intensitas serangan kutu kebul tidak berbeda baik pada aplikasi bengkuang maupun tembakau.
Secara keseluruhan rata-rata intensitas serangan kutu kebul menurun dari pengamatan
sebelumnya. Penurunan intensitas serangan kutu kebul dapat dipengaruhi oleh penurunan
populasi kutu kebul.
Penurunan jumlah populasi disebabkan karena senyawa kimia rotenone dan nicotin yang
menempel pada daun kedelai. Hal ini berarti bahwa aplikasi insektisida nabati tembakau ataupun
bengkuang dapat mempengaruhi gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh kutu kebul. Akan tetapi,
pengaruh yang ditimbulkan oleh pestisida nabati tidak bisa langsung terlihat sehingga
membutuhkan waktu. Dimana salah satu sifat pestisida nabati adalah daya racunnya lambat.
Tabel 4. Intensitas serangan ulat daun pada umur 35 dan 45 HST, (Malang,2013)
No
Perlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bengkuang 0
Bengkuang 0,1%
Bengkuang 0,2%
Bengkuang 0,4%
Bengkuang 0,8%
Tembakau 0
Tembakau 0,1%
Tembakau 0,2%
Tembakau 0,4%
Tembakau 0,8%
P Value
Intensitas serangan pada…HST %
35
45
0
0,97 ab
0
1,15 ab
0
0,79 b
0
0,90 ab
0
0,78 b
0
0,13 c
0
1,26 a
0
0,84 ab
0
0,89 ab
0
0,86 ab
0,0001**
Serangan ulat daun baik ulat grayak maupun ulat jengkal mulai ditemukan pada umur 45 HST.
Merujuk pada Tabel 1,populasi ulat grayak dan jengkal mulai umur 35 HST sudah ditemukan, akan
tetapi intensitas serangannya baru terihat pada umur 45 HST. Hal ini disebabkan penolakan
akibat aroma insektisida nabati yang diaplikasikan.
Hal yang sama pada pola sebelumnya, aplikasi bengkuang tidak mempengaruhi besarnya
intensitas serangan pada semua perlakuan. Untuk aplikasi tembakau, ditemukan intensitas
serangan terendah pada perlakuan kontrol (0,13%) (Tabel 4). Secara umum rata-rata intensitas
serangan ulat daun sama antar perlakuan. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh senyawa kimia
rotenon dan nicotin yang mengendap di daun sehingga ulat tidak menyukai daun tersebut. Pada
perlakuan kontrol serangan tetap rendah. Hal ini dapat dipengaruhi karena adanya percikan
pestisida nabati dari perlakuan lain dan juga bau pestisida nabati bengkuang dan tembakau yang
menyengat sehingga mempengaruhi larva untuk tidak memilih. Hasil penelitian Ahmed et al. [8]
mengungkapkan bahwa aplikasi ekstrak tembakau memberikan hasil yang paling tinggi dalam
menekan hama dibandingkan dengan aplikasi ekstrak daun Bara Bishkatali, minyak wijen, dan
juga campuran antara minyak wijen, minyak biji mimba serta minyak jarak.
Dari pola pengamatan yang ada menunjukkan bahwa efektifitas pertisida nabati bengkuang
dan tembakau sama dengan perlakuan kontrol. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dari
pestisida nabati yang mudah terurai dan daya kerjanya lambat. Dengan demikian, pestisida
149
nabati lebih tepat digunakan sebagai salah satu pengendalian preventif yang diaplikasikan dalam
interval waktu yang dekat.
KESIMPULAN
1. Hama daun kedelai ulat grayak, kutu kebul, belalang, dan lalat bibit mulai ditemukan pada
umur 25, 35 dan 45 HST
2. Aplikasi insektisida nabati lebih diutamakan untuk pengendalain preventif.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Muchlish Adie yang telah membimbing dalam
penulisan karya ilmiah ini serta Suntono, SP yang telah membantu dalam proses penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
Feinstein, L. 1952. Insecticides from plants, In: Insects: The Year Book of Agriculture, U.S. D.A. Washington, D.C. 22-229.
Grainge, M., S. Ahmed, W.C. Mitchell, dan J.W Hylin. 1985. Plant Species Reportedly Possessing Pest Control Properties. An
EWC/UH Database, Resources System. Institut E.W. Center, Univ. Of Hawaii. Honolulu. 249 hal.
Yongkhamcha, B and K. Indrapichate. 2012. Insecticidal efficacy of mintweed, yam bean and celery seed extracts on Aedes
aegypti L. International Journal of Agriculture Sciences. Vol. 4 (3): 207-212.
Duke, J. A. 1981. Handbook of Legumes of World Economic Importance. Plenum Perss. New York & London. 345 hal.
Sorensen, M. 1996. Yam Bean Pachyrhizus DC. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy.
Isman, M.B. 1997. Neem and others botanical insecticides: Barriers to commercialization. Phytoparasitica 25(4): 339-344.
Hasyim, A., w. Setiawati, R. Murtiningsih dan E. Sofiari. 2010. Efikasi dan Presistensi Minyak Serai sebagai Biopestisida terhadap
Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera: Noctuidae). J. Hort.20(4):377-386.
Ahmed, K.N., M. Khatun, S.H.A Pramanik, A. Nargis, N.C. Dey and K.C. Dey. 2006. Effect of Plant Extracts on the Yield of Soybean
Crop Under Different Climatic Conditions. Bangladesh J.Sci. Ind. Res 41(1-2):73-76.
150
C - 10
Uji Keberadaan Bakteri Penyebab Penyakit Darah Pada
Tubuh Beberapa Serangga Pengunjung Bunga Pisang di
Daerah Cigadung, Bandung
Maria Marselina Bay1, Fitrallisan1, Masriany1, Tjandra Anggraeni1*
1
*
Sekolah Ilmu Tekhnologi Hayati, Institut Tekhnologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Penyakit darah (layu bakteri) pada tanaman pisang yang disebabkan oleh Blood Disease Bacterium
(BDB) pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1920 di kepulauan Selayar. Pada tahun 2005,
penyakit tanaman pisang ini dinyatakan telah menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia.
Percepatan penyebaran penyakit ini ditengarai disebabkan oleh serangga pengunjung bunga
pisang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keberadaan bakteri penyebab penyakit
darah dari tubuh serangga pengunjung bunga pisang di kebun pisang Cigadung Kota Bandung
Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2015. Sampel serangga (serangga
dewasa) diambil dari bunga pisang dengan menggunakan jaring serangga dengan metode
purpossive sampling, sebanyak tiga kali pengulangan. Isolasi BDB dari tubuh serangga dewasa
dilakukan pada bagian dalam dan luar tubuh serangga. Isolasi BDB dilakukan dengan metode
pembilasan dan maserasi yang dibiakkan pada medium Tryphenil Tetrazolium Chloride (TTC). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa serangga pengunjung bunga pisang di Cigadung terdiri atas ordo
Diptera dan Hymenoptera. Isolat bakteri yang diduga BDB dapat diisolasi dari luar tubuh serangga,
tetapi dari dalam tubuh serangga tidak ditemukan adanya isolat BDB. Tidak ditemukannya isolat
BDB dari dalam tubuh serangga dewasa dapat dikaitkan dengan mekanisme sistem pertahanan
tubuh serangga tersebut. Dengan demikian, terkait potensi serangga sebagai vector BDB maka
perlu adanya penelitian lanjutan mengenai mekanisme sistem imun serangga terhadap BDB.
Kata kunci : Blood Disease Bacterium, serangga pengunjung bunga pisang, penyakit darah
tanaman pisang, sistem pertahanan tubuh.
151
PENDAHULUAN
Potensi produksi buah pisang di Indonesia memiliki daerah sebaran yang luas dimana
hampir seluruh wilayah merupakan daerah penghasil pisang yang ditanam di pekarangan
maupun di ladang, dan sebagian sudah ada dalam bentuk perkebunan. Produksi pisang di
Indonesia menempati peringkat tertinggi diikuti oleh tanaman buah lainnya, dimana pada tahun
2001 produksi pisang di Indonesia mencapai 4.300.422 ton dengan kontribusi terbesar adalah
dari daerah Jawa Barat (1.431.941 ton)[1].
Peningkatan produksi pisang tidak terlepas dari permasalahan teknik budidaya yang belum
intensif serta serangan hama dan penyakit pada tanaman pisang. Hama adalah organisme
pengganggu dan merusak tanaman serta menyebabkan kerugian ekonomis, sedangkan penyakit
adalah proses fisiologi tumbuhan yang terganggu [2]. Penyakit-penyakit yang menyerang
tanaman pisang antara lain penyakit layu fusarium dan penyakit darah yang dikenal dengan
istilah blood disease, penyakit sigatoka dan penyakit kerdil pisang atau bunchy top.
Penyakit darah (Blood Disease) pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1907 di
Kepulauan Selayar. Pada tahun 1987 serangan penyakit ini terjadi di Bogor, kemudian menyebar
diseluruh pulau Jawa, pulau Sumatera dan Kalimantan. Saat ini umumnya pulau-pulau besar di
Indonesia dinyatakan telah terinfeksi dengan penyakit darah pada pisang [3][4]. Perkembangan
dan penyebaran penyakit darah tergolong sangat cepat dan diperkirakaan berkisar antara
100km/tahun [5]. Cepat berkembang dan menyebarnya penyakit darah telah diteliti dan
dilaporkan bahwa penyebarannya disebabkan oleh serangga-serangga pengunjung bunga [6].
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015-September 2015 di daerah Cigadung, Jawa Barat.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purpossive sampling. Uji
keberadaan bakteri penyakit darah dilakukan di laboratorium Uji Hayati Serangga, Sekolah Ilmu
Tekhnologi Hayati, Institut Teknologi Bandung.
Pengambilan Sampel Imago Serangga dari Bunga Pisang
Penangkapan serangga dari lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan jaring
serangga (sweeping net) yang dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00-09.00 WIB) dan pada sore
hari (pukul 16.00-17.00 WIB).
Isolasi BDB dari bagian tubuh sampel serangga yang mengunjungi bunga pisang
BDB diisolasi dengan menggunakan medium Tryphenil Tetrazolium Chloride (TTC) [7]. Isolasi
bakteri dilakukan dari imago serangga yang diambil dari lokasi penelitian. Serangga didisinfeksi
ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit kemudian
dibilas dengan air steril sebanyak 3-5 kali.
Isolasi bagian kepala
Isolasi bagian luar kepala. Isolasi dilakukan dengan cara memotong bagian kepala imago sampel
serangga, kemudian bagian kepala dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit lalu
dibilas dengan aquades sebanyak 4-5 kali. Setelah itu sebanyak 0,5 ml air bilasan ditanam pada
media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab
penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam.
152
Isolasi bagian dalam kepala. Kepala serangga didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1% selama
5 menit. Setelah itu dibilas dengan air steril 4-5 kali, kemudian ditiriskan dan digerus sampai
hancur lalu ditambahkan air steril 4,5 ml. Hasil gerusan diencerkan (10-1, 10-2, 10-3), kemudian
1 μL masing-masing hasil pengenceran dibiakkan dengan metode tuang pada medium spesifik
TTC, diinkubasi pada suhu ruang selama 24-48 jam.
Isolasi bagian tubuh
Isolasi bagian luar tubuh. Tubuh serangga sampel didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1%
selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air steril sebanyak 4-5 kali. Air bilasan sebanyak 0,5 ml
kemudian ditanam pada medium spesifik TTC menggunakan metode tuang.
Isolasi bagian dalam tubuh. Tubuh serangga sampel didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1%
selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air steril sebanyak 4-5 kali, kemudian ditiriskan dan
digerus sampai hancur. Hasil gerusan ditambahkan dengan 4,5 mL air steril. Hasil gerusan
kemudian diencerkan (10-1, 10-2, 10-3), kemudian 10 μL masing-masing hasil pengenceran
dibiakkan dengan metode tuang pada medium selektif TTC, diinkubasi pada suhu ruang selama
24-48 jam.
Isolasi bagian toraks. Isolasi diilakukan dengan cara mengambil bagian toraks dari sampel
serangga kemudian dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu sebanyak
0,5 ml air bilasan ditanam pada media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri
koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam
Isolasi bagian abdomen. Isolasi diilakukan dengan cara mengambil bagian abdomen dari sampel
serangga kemudian dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu sebanyak
0,5 ml air bilasan ditanam pada media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri
koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan sampel serangga pengunjung bunga pisang
Pengambilan sampel dilakukan di daerah Cigadung, Jawa Barat menggunakan jaring
serangga berhasil memperoleh 3 jenis serangga dari ordo yang berbeda (lihat gambar 1.)
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali bertujuan untuk melihat keanekaragaman
seranggga-serangga pengunjung bunga pisang di daerah Cigadung. Hasilnya adalah bahwa tidak
banyak serangga yang mengunjungi bunga pisang di daerah tersebut, karena dari tiga kali
pengulangan, hanya diperoleh 3 jenis serangga. Dari ketiga jenis serangga tersebut, salah satu
spesies yang paling banyak mengunjungi bunga pisang dibandingkan dua spesies lainnya.
Gambar 1. Spesies serangga yang diperoleh dari lokasi penelitian
Keterangan Gambar : Gambar A : Ischiodon scutellaris [8]; Gambar B : Apis cerana (www.google.co.id) ;
Gambar C : Vespa analis [8].
153
Isolasi BDB dari serangga pengunjung bunga pisang
Isolasi sebagai usaha untuk menemukan BDB dilakukan pada bagian tubuh serangga
(lihat gambar 2). Karena ukuran tubuh serangga yang tidak terlalu besar dan rentang sayap
yang kecil sehingga isolasi tidak dapat dilakukan dari bagian sayap maupun kaki seranggaserangga tersebut. Isolasi dilakukan pada seluruh bagian tubuh, bagian kepala, toraks dan
abdomen.
Isolasi bagian tubuh
Isolasi dari bagian luar tubuh. Isolasi dari permukaan tubuh dilakukan pada salah satu dari
ketiga spesies yang diperoleh, karena ukuran tubuh serangga yang terlalu kecil, sehingga
tidak memungkinkan untuk melakukan isolasi pada bagian tubuh lainnya seperti kepala,
toraks dan abdomen.
Hasil isolasi pada bagian luar (permukaan) tubuh serangga menunjukkan hasil yang
positif pada salah satu spesies serangga yang diperoleh. Pada bagian permukaan tubuh
spesies tersebut ditemukan adanya koloni BDB. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan
bahwa spesies ini merupakan spesies terbanyak yang mengunjungi bunga pisang pada lokasi
penelitian di daerah Cigadung jika dibandingkan dengan dua spesies lainnya yang diperoleh.
Keberadaan koloni bakteri pada permukaan tubuhnya disebabkan karena aktivitas serangga
yang mengunjungi bunga pisang dari bunga pisang yang sakit ke bunga pisang yang sehat.
Isolasi dari dalam tubuh. Pada bagian dalam tubuh serangga ini tidak ditemukan adanya
koloni bakteri yang tumbuh pada media TTC yang digunakan. Tidak ditemukannya koloni
bakteri pada bagian dalam tubuh serangga ini, dapat dikaitkan dengan mekanisme
pertahanan tubuh serangga tersebut.
Isolasi dari bagian luar kepala. Isolasi dari bagian kepala, toraks dan abdomen dilakukan pada
dua spesies lainnya karena ukuran kedua spesies ini cukup besar. Hasil isolasi dari bagian luar
kepala salah satu spesies menunjukan hasil positif, dimana terlihat ada koloni bakteri yang
tumbuh pada media yang digunakan. Sedangkan pada spesies lainnya tidak ditemukan
adanya koloni bakteri yang tumbuh. Ditemukannya koloni bakteri dari bagian luar kepala
mungkin terjadi ketika serangga ini beraktivitas mencari makan dan berpindah dari satu
tanaman pisang ke tanaman pisang yang lainnya.
Isolasi dari bagian dalam kepala. Hasil isolasi dari bagian dalam kepala dua spesies serangga
lainnya menunjukkan hasil negatif, dengan tidak ditemukannya koloni bakteri yang hidup
pada media yang digunakan. Tidak ditemukannya isolat bakteri pada bagian dalam kepala dua
spesies ini diduga karena bakteri ini tidak ikut terbawa bersama nectar yang dimakan oleh
serangga-serangga tersebut.
Isolasi dari bagian toraks. Salah satu spesies dari kedua jenis serangga yang diisolasi pada
bagian toraks menunjukkan hasil positif, dengan ditemukannya koloni bakteri yang tumbuh
pada media pertumbuhan yang digunakan. Sedangkan spesies lainnya menunjukkan hasil
negatif, karena tidak ada isolat bakteri yang hidup pada media pertumbuhannya.
Ditemukannya isolat bakteri pada bagian toraks salah satu serangga, diduga karena aktifitas
serangga tersebut yang mengunjungi bunga pisang yang sakit kemudian berpindah ke bunga
pisang yang sehat. Penting untuk diketahui bahwa seringkali tanaman yang terinfeksi masih
tampak normal dari luar, daun-daun masih hijau dan buah kelihatan berkembang normal [9].
Isolasi dari bagian luar abdomen. Isolasi pada abdomen dari dua serangga menunjukkan hasil
negatif, dimana tidak ditemukannya koloni bakteri pada media pertumbuhan. Hal ini mungkin
154
disebabkan karena hanya bagian kepala dari serangga ini yang bersentuhan dengan bunga
pisang saat mengambil nektar, sehingga propagul bakteri tidak melekat atau berpindah ke
bagian abdomen dari serangga ini. Hasil isolat bakteri yang diperoleh dari bagian permukaan
tubuh, bagian luar kepala serta toraks serangga-serangga ini, mungkin terjadi karena ketika
mencari makan pada bunga tanaman pisang yang sakit, propagul bakteri ini melekat pada
bagian-bagian tubuh tersebut. Ciri yang dapat dilihat pada patogen bakteri hasil isolasi adalah
mirip dengan patogen BDB dimana bentuk koloni bulat, tidak fluidal, pinggiran koloninya jelas
dan bening, berwarna merah terang dan ada koloni yang berwarna merah muda. Ciri lainnya
adalah koloninya agak lengket, sehingga agak sulit ketika diambil dengan jarum ose [10].
Menurut Tinzara et al (2006) dalam Mairawita et al. [11], serangga pada saat mencari
makan akan terkontaminasi bakteri dan membawa bahan makanan yang mengandung
propagul bakteri.
Serangga mengisap cairan oose dari pelukaan akibat gugurnya bunga jantan atau seludang
tanaman. Namun hasil isolasi yang dilakukan pada serangga-serangga yang diperoleh dari
lokasi menunjukkan bahwa tidak ada isolat bakteri yang ditemukan dari dalam tubuh. Hal ini
bisa terjadi karena tidak ada propagul bakteri yang ikut terbawa bersama cairan yang diambil
atau dapat juga dikaitkan dengan sistem pertahanan tubuh serangga sendiri.
Sebagai reaksi terhadap adanya benda asing yang masuk, serangga akan mengaktifkan
bentuk pertahanan tubuhnya yang meliputi respon pertahanan selular dan humoral. Karena
aktifnya kedua respon pertahanan ini sehingga hasil isolasi yang dilakukan tidak menemukan
isolat bakteri dalam tubuh serangga-serangga tersebut. Namun untuk memastikan hal ini,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai respon pertahanan tubuh seranggaserangga yang diduga vector penyakit darah pisang (Blood Disease Bacterium).
Gambar 2. Hasil isolasi BDB dari bagian tubuh serangga-serangga pengunjung bunga
Keterangan gambar : Gambar A : koloni bakteri hasil isolasi dari permukaan tubuh, gambar B : koloni
bakteri hasil isolasi dari bagian luar kepala, gambar C : koloni bakteri hasil isolasi dari bagian toraks
Table 1. Hasil isolasi BDB dari imago serangga-serangga pengunjung bunga pisang
Sampel
Spesies 1
Sumber isolasi
Imago spesies 1
Spesies 2
Imago spesies 2
Spesies 3
Imago spesies 3
Bagian yang diisolasi
Permukaan tubuh
Dalam tubuh
Bagian luar kepala
Bagian dalam kepala
Bagian toraks
Bagian abdomen
Bagian luar kepala
Bagian dalam kepala
Bagian toraks
Bagian abdomen
155
Keberadaan BDB
+
+
+
-
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
Prabawati, S., Suyanti & Dondy A. Setyabudi. 2008. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan BUAH PISANG. Jakarta.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian..
Rodiya, M. 2013. Karakterisasi Morfologi Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L) di Kabupaten Agam. Fakultas Pertanian
Universitas Tamansiswa Padang..
Supriadi. 2005. Present Status of Blood Disease in Indonesia. In C. Allen. P.Prior.A.C.Hayward.Eds. Bacterial Wilt Disease
and The Ralstonia Solanacearum Species complex : St. Paul. APS Press p. 395-404.
Hermanto, C., Sutanto, A., Jum unidang, Edison, H.S. Daniels, J.W., O’Neil, W.T. Sinohin, V.G.O, Molina, A.B., Taylor, P.
2011. Incident and distribution of fusarium wilt disease of banana in Indonesia, ISHS Acta Hort. Vol. 897, pp. 313-322.
S.J.Eden-Green. 1994. Musa Disease fact Sheet No. 3. BANANA BLOOD DISEASE. INIBAP.,(3), 3-4
Setyobudi, L, Hermanto, C. 2010. Rehabilitation of Cooking Banana Farms : Base Line Status of Banana Disease Bacterium
(BDB) Distribution in Sumatera. Advancing Banana and Plantain R dan D in Asia and The Pacific, 10 : 117-120.
Baharuddin B. 1994. Pathological, biochemical and serological characterization of the blood disease bacterium affecting
banana and plantain (Musa sp.) in Indonesia. Goettingen: Cuvillier Verlag.
Zahra, A.A. 2015. Beberapa Faktor Penentu Keanekaragaman Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang Nangka (Musa
paradisiaca) di Subang, Jawa Barat. Program Studi Biologi Sekolah Ilmu dan Teknologi hayati Institut Teknologi Bandung.
Bandung.
Mairawita, Trimurti, H, Nasril, Ahsol H & Nasril N. 2012. Potensi Trigona spp. Sebagai Agen Penyebar Bakteri Ralstonia
Solanacearum Phylotipe IV Penyebab Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang. J. HPT Tropika, vol 12, No.1 :92-101..
Asrul. 2008. Uji Sensitivitas Koloni BDB (Blood Disease Bacterium) Terhadap Pemberian Bahan Kimia Secara in Vitro. J.
Agroland 15 (3) : 198-203.
Mairawita, Trimurti H, Ahsol, Nasril N & Susiwati. 2012. Potensi Serangga Pengunjung Bunga Sebagai Vektor Penyakit
Darah Bakteri (Ralstonia solanacearum IV) Pada Pisang di Sumatera Barat. Jurnal Entomologi Indonesia Vol. 9 No. 1, 38-4.
156
C - 11
Evaluasi Tingkat Parasitisasi Parasitoid Larva Penggerek
Pucuk Tebu Scirpophaga nivella Ferr. (Lepidoptera:
Pyralidae) Di Perkebunan Tebu Jatitujuh, Kabupaten
Majalengka, Jawa Barat
Nenet Susniahti1*, Ceppy Nasahi1, Arie Setiawan2
1
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, UNPAD
Alumni Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UNPAD
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan komoditas penting di Indonesia yang banyak
dibudidayakan di P. Jawa dan P. Sumatera. Scirpophaga nivella, salah satu jenis hama penting
yang masih menjadi kendala dalam produksi tebu. Pemanfaatan parasitoid merupakan alternatif
yang paling aman untuk mengendalikan hama tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
keberadaan dan peranan parasitoid larva S. nivella di lahan perkebunan tebu PG. Jatitujuh, PT.
Rajawali II.Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Entomologi, Departemen Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UNPAD, Laboratorium Research and Development PT.
Rajawali II, Jatitujuh, Jawa Barat dan di Perkebunan Tebu PG Jatitujuh pada bulan September 2009
sampai bulan Desember 2009. Metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan
sampel pucuk tebu yang terserang penggerek pucuk dilakukan pada tebu berumur 3 - 6 bulan.
Sampel diambil dari 5 lokasi, yaitu : kebun Kidang Kencana Timur, kebun Kidang Kencana Barat,
kebun Ranca Bugang, kebun Makam Bujang dan kebun Sumur Dalam Timur.Hasil identifikasi,
diperoleh 3 jenis parasitoid larva : Stenobracon nicevillei ( Braconidae), Elasmus zehntneri
(Elasmidae) dan Isotima javensis Rohw. (Ichneumonidae). Parasitoid larva yang dominan adalah S.
nicevillei. Secara rinci, parasitisasinya adalah: S. nicevillei: 4.76%, E. zehntneri: 3,57%, dan I.
javensis 0,48%. Evaluasi berdasarkan peranannya masing-masing, nilainya masih rendah: (0 –
15,48% ), dari potensi parasitisasi secara keseluruhan hanya 8,81%.
Kata kunci: S. nivella, parasitoid larva, tanaman tebu
157
PENDAHULUAN
Tanaman tebu (Saccharum officinarum)sampai saat ini masih merupakan salah satu komoditas
pertanian di Indonesia. Berbagai produk dapat dihasilkan dari tanaman tebu, namun produk
utamanya adalah sukrosa yang terkandung sekitar 10% dari tanaman tebu. Sukrosa ini akan
diproses untuk pembuatan gula (Kuntohartono & Thijsse, 2009).
Dalam perjalanannya, produksi gula nasional cenderung tidak stabil. Pada tahun 1995
produksi gula nasional mencapai 2.14 juta ton, pada tahun berikutnya produksi gula nasional
menurun hingga pada tahun 1998 mencapai titik terendah yaitu 1.4 juta ton. Pada tahun 2001
produksinya meningkat kembali menjadi 1.73 ton, pada tahun 2003 menurun menjadi 1,6 juta ton
(Widakdo, 2004). Salah satu kendala dalam upaya meningkatkan produksi tebu di Indonesia
adalah adanya gangguan hama.
Penurunan produksi tebu akibat serangan hama dapat mencapai 10-50%. Salah satu jenis
hama yang menyerang tanaman tebu adalah penggerek pucuk tebu Scirpophaga nivella
(Lepidoptera : Pyralidae). Kerugian yang diakibatkannya dipengaruhi oleh umur dan varietas tebu.
Kerugian akan semakin besar jika tanaman tebu dalam waktu yang bersamaan terserang hama
penggerek pucuk dan penggerek batang tebu (Hidayat, 2004). Serangan penggerek pucuk di
Indonesia dapat menyebabkan kerusakan hingga 56% dan kehilangan gula sebesar 8.9% (Mujiono,
1990) sehingga dapat menimbulkan kerugian hingga 128.159 ton gula (Hatmosuwarno, 1982
dalam Mahrub dkk., 2000).
Cara pengendalian hama penggerek pucuk tebu yang sering dilakukan yaitu secara rogesan.
Cara ini biasa dilakukan pada tanaman tebu umur 3-6 bulan yang bertujuan mengambil ulat
(larvanya) dengan cara memotong bagian pucuk tebu, sehingga dapat menyelamatkan tanaman
tebu lainnya yang belum terserang. Namun, cara rogesan ini memerlukan banyak tenaga kerja.
Salah satu alternatif pengendalian lainnya yang aman dan ramah lingkungan adalah pengendalian
secara hayati dengan memanfaatkan musuh alaminya berupa parasitoid, predator, dan patogen.
Menurut Untung (2006), musuh alami seperti parasitoid, predator telah diketahui sebagai faktor
pengatur dan pengendali populasi serangga hama yang efektif. Namun, menurut Gordh &
Ellington (2001) dalam Nurindah dkk.( 2001), penggunaan kelompok patogen dan predator di
perkebunan tebu belum memberikan hasil yang meyakinkan.
Pemanfaatan parasitoid telur Trichogramma sp sudah lama dilaksanakan dalam upaya
mengendalikan penggerek pucuk tebu di lahan pertanaman tebu, Jatitujuh. Namun potensi
mengendalikan populasi hama penggrek pucuk tebu belum memberikan hasil yang memuaskan
dan tingkat serangan penggerek pucukpun masih tinggi. Menurut Karindah dkk. (2002), kondisi
seperti ini seringkali terjadi karena adanya kesenjangan waktu antara kehadiran parasitoid di
kebun dengan tersedianya lelur serangga inang, dan perbedaan siklus hidup.
Perbedaan siklus hidup parasitoid telur, yang lebih pendek daripada siklus hidup penggerek
pucuk tebu, menyebabkan terjadinya kesenjangan waktu. Ketika populasi telur penggerek pucuk
meningkat, potensi parasitoid telur untuk mengendalikan populasi hama belum dapat diharapkan
karena populasinya masih rendah. Oleh karena itu, pada program augmentasi, waktu
pelepasannya perlu disesuaikan dengan ketersediaan serangga inang di lapangan. Alternatif
lainnya adalah memanfaatkan lebih dari satu jenis parasitoid yang berbeda waktu menyerangnya,
yaitu parasitoid larva. Menurut Karindah dkk (2002), penggunaan parasitoid larva dapat
mengatasi kesenjangan pada saat telur serangga inang rendah. Evaluasi terhadap keberadaan
parasitoid larva penggerek pucuk tebu di lahan tebu, Jatitujuh ini bertujuan untuk
158
menginventarisir jenis-jenis parasitoid larva dan mengetahui tingkat parasitisasi tiap jenis
parasitoid larva yang ditemukan di lahan tebu, jatitujuh, kabupaten Majalengka, sehingga
diharapkan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam upaya mengendalikan hama penggerek
pucuk tebu secara hayati.
BAHAN DAN METODA
Pengambilan atau pengumpulan parasitoid larva dilakukan dengan cara meroges pucuk tebu yang
terserang penggerek pucuk. Pengambilan sampel dilakukan pada tanaman tebu yang berumur 3-6
bulan, karena peluang keberadaan populasi penggerek pucuk tebu pada saat ini cukup tinggi.
Pengambilan sampel pucuk tebu diambil dari 5 lokasi yaitu di kebun : Kidang Kencana Timur,
Kidang Kencana Barat, Ranca Bugang, Makam Bujang dan Kebun Sumur Dalam Timur, tanpa
melihat jenis dan varietas tanaman tebu. Cara pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan yang
dianjurkan oleh Samoedi dan Wiriatmodjo (1987) yaitu : tiap lokasi diambil petak percobaan
seluas 0,5 ha dan ditentukan 12 titik sampel secara diagonal. Masing-masing tituk sepanjang 6
meter juring tanaman. Penentuan titik sampel dilakukan pada sepanjang kedua diagonal
petakpercobaan, jarak antar titik sampel 5 meter. Pengambilan larva penggerek pucuk tebu
dilakukan pada tiap titik sampel. Tiap petak percobaan diambil sampel 12 pucuk tebu yang
terserang. Selanjutnya, larva penggerek pucuk tersebut dipelihara sampai parasitoid larva muncul
atau ngengat penggerek pucuk muncul. Tingkat parasitisasi parsitoid dihitung dengan
menggunakan rumus :
Tingkat Parasitisasi= x 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengamatan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini
Tabel 1. Rata-rata Tingkat Paratisisasi parasitoid larva (persen) dan Jenis parasitoid larva yang
dominan di kebun PG.Jati Tujuh
Kebun Petak
Sumur Dalam Timur
Makam Bujang Selatan
Kidang Kencana Timur
Kanca Bugang
Kidang Kencana Barat
Rata-Rata
Jenis dan rata-rata tingkat parasitisasi Parasitoid (%)
E. Zehntneri
2,38
2,38
10,71
1,19
1.19
3,57
S.Incertulas
1,19
0,00
1,19
15,48
5,95
4,76
I.Javensis
1,19
0,00
0,00
0,00
1,19
0,48
Total
parasitisasi (%)
4,76
2,38
11,9
16,67
8,33
8,81
Kesimpulan :
Hasil evaluasi parasitoid larva pada musim tanam 2009/2010 di Perkebunan Tebu PGJati Tujuh
adalah
1. Parasitoid larva yang ditemukan adalah E. zehntneri, S. incertulas dan I. javensis
2. Parasitoid larva yang dominan menyerang penggerek pucuk tebu adalah stenobracon
nicevillei dengan tingkat paratisasi 4,76 persen
159
C - 12
Pengaruh Tanaman Jagung Berendofit Terhadap Populasi
Ostrinia furnacalis Guenee
Itji Diana Daud1, Sylvia Sjam1, Juliana Devi Patimasari2
1
Dosen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin, Makassar
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin, Makassar
*
Penulis yang berkorespodensi : email:
2
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi hama Ostrinia furnacalis yang
menggerek pada jagung berendofit. Sebanyak empat varietas jagung yang digunakan pada
pertanaman jagung di Kabupaten Bone Kecamatan Bengo Desa Liliriawang dan di laboratorium
Penyakit, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,
Makassar, berlangsung mulai November 2014 sampai Februari 2015. Varietas jagung yang
digunakan yaitu varietas Lagaligo, Sukmaraga, Gumarang dan Arjuna. Pengamatan dilakukan
sebanyak tujuh kali pengamatan secara sistem diagonal dengan metode pengamatan langsung
pada tanaman. Ostrnia furnacalis yang ditemukan pada pertanaman diambil dan dipelihara
sampai mati di laboratorium kemudian disterilisasi permukaan dan ditumbuhkan pada media PDA.
Hasil isolat larva yang mati kemudian dimurnikan lagi pada media PDA yang baru dan diamati di
bawah mikroskop untuk melihat keberadaan cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi
larva O. furnacalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata populasi O. furnacalis tertinggi
pada varietas jagung Arjuna dan terendah pada varietas Lagaligo, rata-rata larva yang terinfeksi
juga tertinggi pada varietas Arjuna sebanyak 75%, Sukmaraga 66,60%, Gumarang 55,50%, dan
varietas Lagaligo 63,60%. Untuk rata-rata produksi panenan setelah dikonversi ke hektar varietas
Lagaligo sebesar 7,04 ton/ha, varietas Sukmaraga sebesar 5,54 ton/ha, Gumarang 5,12 ton/ha dan
varietas Arjuna sebesar 3,84 ton/ha.
Kata Kunci: Ostrinia furnacalis, Jagung, Cendawan endofit
160
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia, selain beras. Dewasa ini
dalam perkembangan ekonomi, jagung selain merupakan makanan pokok, juga sebagai bahan
baku industri. Seperti bahan baku pembuatan kue dan juga pakan ternak. Oleh karena itu
dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan
akan produksi jagung akan menjadi meningkat [1].
Sekitar 89% tanaman jagung di Indonesia dikembangkan pada dataran rendah dan lahan kering
dengan tingkat kesuburan yang rendah mengakibatkan rendahnya produktivitas jagung.
Kendala abiotik banyak disebabkan oleh ketersediaan hara pada tanah, sementara kendala
biotik meliputi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) dimana
OPT ini terdiri dari gulma, penyakit, dan hama [2].
Salah satu hambatan dalam meningkatkan produksi jagung di Indonesia adalah adanya
serangan hama. Ostrnia furnacalis Guenee merupakan salah satu hama utama yang
menyerang pada semua fase pertumbuhan tanaman jagung. Serangan yang terjadi pada stadia
vegetatif menyebabkan daun dan batang mengalami kerusakan sehingga proses fotosintesis
menjadi kurang dan batang menjadi lemah dan patah pada bagian ruasnya [3].
Konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan suatu cara pendekatan atau cara
berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang
berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1) Produksi pertanian mantap tinggi, 2)
Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman
tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran
lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan [4].
Pengendalian menggunakan pestisida bukan satu-satunya cara pengendalian, masih ada
alternatif pengendalian hama lainnya. Salah satunya pengendalian secara alami yang lebih
ramah lingkungan dan baik bagi kesehatan. Misalnya saja penggunaan cendawan endofit.
Cendawan endofit merupakan cendawan yang hidup pada bagian dalam jaringan tanaman
sehat tanpa menimbulkan gejala pada tanaman inang. Cendawan ini juga dapat berasosiasi
dengan tanaman inang yang bersifat saling menguntungkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan endofit mempunyai pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan tanaman jagung dan mortalitas larva O. furnacalis [5]. Berdasarkan
uraian tersebut, maka dilakukanlah penelitian dengan udul ”Pengamatan Populasi Ostrinia
furnacalis pada Empat Varietas Tanaman Jagung Berendofit”. Empat varietas tanaman agung
yang diamati yaitu Arjuna, Lagaligo, Gumarang dan Sukmaraga.
TUJUAN DAN KEGUNAAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi O. furnacalis yang menggerek
tanaman jagung pada empat varietas jagung berendofit.
Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai bahan informasi dan data awal populasi O.
furnacalis pada tanaman jagung berendofit setiap varietas jagung
161
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada pertanaman jagung di lahan petani di Desa Liliriawang,
Kecamatan Bengo, Kabupaten Bone dan di laboratorium Penyakit, Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, berlangsung mulai
November 2014 sampai selesai
Metode Pelaksanaan
Pengamatan di Lapangan
Persiapan Lahan
Lahan yang digunakan sebagai tempat penelitian terlebih dahulu dibersihkan dengan cara
mencangkul kemudian pada lahan tersebut dibuatkan petak-petak perlakuan dengan ukuran
80 x 5 m sebanyak 20 petak sehingga luas keseluruhan lahan yang digunakan 80 are . Jarak
antara petak satu dengan petak yang lainnya adalah 1 m. Benih jagung ditanam pada setiap
petak ditanam dengan cara di tugal sedalam 5 cm dan setiap lubang tanam ditanami 2 biji
benih dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm.
Penyediaan Benih Berendofit :
Benih jagung yang digunakan adalah Arjuna (A), Lagaligo (LAG), Gumarang (GUM) dan
Sukmaraga (SUK) yang merupakan F1 Dari benih berendofit. Benih jagung berendofit siap
untuk ditanam di lahan petani yang berada di kecamatan Bengo, Kabupaten Bone.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang terdiri
dari 4 perlakuan yaitu varietas benih berendofit Arjuna (A), Lagaligo (LAG), Gumarang (GUM)
dan Sukmaraga (SUK). Masing-masing varietas ditanam pada lahan seluas 20 are. Setiap
varietas dengan luas 20 are terdiri dari 5 ulangan, sehingga pada saat pengamatan populasi
larva O. furnacalis dilakukan pada 80 tanaman setiap varietas.
Pengamatan dan Parameter Pengamatan
Pengamatan dilakukan mulai tanaman berumur 35 hari setelah tanam (hst). Pengamatan
berakhir pada umur tanaman 77 hari setelah tanam (hst). Sehingga total keseluruhan
pengamatan sebanyak 7 kali pengamatan. Jumlah tanaman yang diamati setiap kali
pengamatan sebanyak 80 sampel tanaman setiap varietas. Sehingga jumlah keseluruhan
tanaman yang diamati setiap pengamatan 320 tanaman. Pengambilan sampel tanaman
dilakukan secara diagonal. Parameter pengamatan yang diamati yaitu:
a. Pengamatan populasi O. furnacalis.
Pengamatan populasi larva dan pupa dilakukan pada daun dengan adanya bekas gerekan
melintang pada daun, rambut tongkol jagung yang masih muda (berwarna hijau pucat),
didalam tongkol. Serta rambut tongkol jagung yang sudah tua (berwarna coklat gelap). Larva
dan pupa yang berada dalam batang diperiksa dengan cara memotong dan membelah ruas
batang secara hati-hati agar tidak merusak tanaman.
b. Melakukan pemeliharaan O. furnacalis
Larva O. furnacalis yang diambil dari pertanaman jagung kemudian dipelihara dan diberi
makan sesuai kebutuhan sampai mati.
c. Pengukuran berat bobot biji
Melakukan pengukuran berat bobot biji dengan menimbang biji jagung setiap tongkol yang
diamati dengan menggunakan timbangan.
162
Pengamatan di Laboratorium
Pembuatan Media Potato Dektrosa Agar (PDA)
Pada pembuatan media PDA digunakan kentang 200 gr, agar 17 gr, gula 20 gr, dan aquades
1000 ml. Pada tahap pertama kentang dicuci bersih dan dipotong-potong dadu kemudian
ditimbang sebanyak 200 gr lalu direbus dengan aquades sebanyak 1000 ml sampai mendidih.
Air rebusan kentang disaring lalu diambil airnya dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang
berisi gula dan agar-agar yang telah dilarutkan dengan sedikit aquades, tambahkan aquades
hingga mencukupi 1000 ml sebagai pengganti volume air yang hilang selama perebusan. Untuk
mencegah terjadinya kontaminasi tambahkan antibiotik clorompenicol 500 mg. Selanjutnya
dipanaskan diatas hot plate sambil diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, erlenmeyer
kemudian ditutup dengan aluminium foil dan media disterilisasi dengan autoclave selama 2
jam, setelah itu media siap dituang pada cawan petri.
Pengujian kematian akibat B. bassiana pada kadaver O. furnacalis.
Kadaver O. furnacalis yang telah mati disterilisai permukaan terlebih dahulu. Kadaver
direndam di dalam Natrium hyphoclorit (NaOCl) selama 3 menit kemudian dicuci dengan
menggunakan aquades steril sebanyak tiga kali selama 1 menit, lalu diletakkan diatas kertas
saring. Setelah itu ditumbuhkan pada media PDA. Cendawan yang tumbuh menyelubungi
kadaver ditumbuhkan lagi pada media PDA yang baru untuk dimurnikan dan diamati dibawah
mikroskop untuk membuktikan keberadaan B. bassiana.
Analisis Data
Analisis sidik ragam dilakukan pada setiap pengamatan, jika diantara perlakuan menunjukkan
perbedaan nyata maka diuji dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Larva dan Pupa O. furnacalis
Hasil pengamatan populasi O. furnacalis selama 7 kali pengamatan dapat dilihat pada Tabel
1. Hasil analisis Uji BNJ terhadap kepadatan populasi O.furnacalis menunjukkan perbedaan
nyata pada umur tanaman 77 HST, sedangkan umur tanaman 35, 42, 49, 56, 63, dan 70 HST
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.
Tabel 1. Rata- rata populasi O. furnacalis pada berbagai umur tanaman
Umur Tanaman
35
42
49
a
a
Lagaligo
0
0
0a
Sukmaraga 0.2a 0.2a 0.2a
Gumarang 0.2a 0.2a 0.2a
Arjuna
0a
0a
0a
BNJ
21
0.61 21
Perlakuan
56
0a
0a
0.2a
0.2a
0.61
63
1a
0.4a
0.4a
0.2a
1.45
70
1a
0.4a
0.6a
1.2a
2.49
77
0a
0.4ab
0.2ab
1.8b
1.71
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang
Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 %
163
tidak nyata pada Uji Beda
Pada Tabel 1 terlihat bahwa populasi O. furnacalis sudah terdapat pada umur tanaman 35 hari
untuk varietas Sukmaraga dan Gumarang sedangkan untuk varietas Lagaligo dan Arjuna belum
ditemukan O. furnacalis. Hal ini menunjukkan O. furnacalis hanya memilih tanaman jagung
varietas Gumarang dan Sukmaraga sebagai inang. Untung [6] mengemukakan bahwa ada 5
tahap serangga dalam menemukan inangnya, yaitu 1) penemuan habitat, 2) penemuan inang,
3) pengenalan inang, 4) penerimaan inang dan 5) kesesuaian inang.
Pada umur tanaman 42-49 hari populasi O. furnacalis masih tetap tidak ditemukan pada
varietas Lagaligo dan Arjuna, hanya ditemukan pada varietas Sukmaraga dan Gumarang saja.
Hal ini diduga disebabkan oleh faktor fisiologis dan morfologi dari varietas jagung tersebut.
Pada umur 56 hari populasi larva O. furnacalis hanya ditemukan masing-masing satu ekor pada
varietas Gumarang dan varietas Arjuna. Jumlah populasi O. furnacalis sangat sedikit padahal
menurut [7] seekor imago betina dapat meletakkan telur 251-265 butir. Hal ini disebabkan
karena faktor tertentu, diantaranya keberadaan Cecopet (Euborellia annulata) pada
pertanaman jagung. Cecopet (E. annulata) merupakan predator larva dan pupa penggerek
batang jagung dan predator telur dan larva penggerek tongkol. Telur serangga ini yang baru
diletakkan berbentuk oval, mengkilap dan putih. Ukurannya bertambah setiap hari sampai
pada hari ke empat sampai dua kali lipat ukurannya dari ukuran semula. Telur yang baru
diletakkan berukuran 0,95 mm x 1,55 mm. Sebelum menetas, telur berbentuk mutiara, putih
dan tembus cahaya serta perkembangannya menjadi embrio mulai tampak [8].
Pada umur tanaman 63-70 hari terlihat bahwa populasi O. furnacalis menyerang pada empat
varietas jagung berendofit dan semakin meningkat pada umur 70 hari. Hal ini disebabkan O.
furnacalis menemukan inang yang sesuai dan mendapatkan sumber makanan yang cocok
untuk pertumbuhan dan perkembangan, sehingga populasi meningkat. Menurut Natawigena
[9], faktor lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan tinggi rendahnya
populasi hama, salah satunya adalah faktor makanan. Tersedianya makanan dengan kualitas
yang cocok akan menyebabkan peningkatan populasi hama dengan cepat.
Pada umur tanaman 77 hari populasi O. furnacalis mengalami penurunan. Setelah dianalisis
menggunakan Uji lanjut BNJ diperoleh adanya perbedaan nyata pada data tersebut, varietas
Sukmaraga dan Gumarang tidak berbeda nyata satu sama lainnya namun berbeda nyata
dengan varietas Lagaligo dan Arjuna. Hal tersebut diduga disebabkan karena pada saat itu O.
furnacalis masih menemukan inang yang cocok dan sumber makanan masih tersedia. Selain itu
peranan B. bassiana yang terdapat dalam jaringan tanaman juga berpotensi dalam
menginfeksi O. furnacalis. Sesuai yang dikemukakan McCoy dkk. [10] bahwa cendawan B.
bassiana memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera,
Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada seranggaserangga Diptera maupun Hymenoptera. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia
pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya.
164
Persentase larva terinfeksi B. bassiana
Persentase larva O. furnacalis yang terinfeksi cendawan B. bassiana dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2. Rata-rata persentase larva O. furnacalis yang terinfeksi B. bassiana
Perlakuan
Rata-rata (%)
Lagaligo
Sukmaraga
63.6
66.6
Gumarang
Arjuna
55.5
75
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari isolasi kadaver O. furnacalis yang ditumbuhkan pada
media PDA di laboratorium, hasil isolasi larva tersebut kemudian dimurnikan lagi pada media
PDA yang baru dan diidentifikasi dengan bantuan mikroskop untuk menunjukkan keberadaan
cendawan B.bassiana pada larva O. furnacalis. Diperoleh data persentase rata-rata jumlah
larva yang terinfeksi pada varietas Lagaligo sebesar 63,6% dari 11 larva O. furnacalis yang mati,
pada varietas Sukmaraga diperoleh rata-rata persentase sebesar 66,6% dari 9 larva yang mati,
varietas Gumarang diperoleh persentase sebesar 55,5% dari 9 larva yang mati dan pada
varietas Arjuna diperoleh persentase sebesar 75% dari 12 larva yang mati.
Gambar 1. Cendawan B.bassiana tumbuh pada permukaan larva O.furnacalis
Gambar 2. Hasil reisolasi B.bassiana pada media PDA dari larva O.furnacalis
165
Gambar 3. Penampakan B.bassiana dengan mikroskop pada pembesaran 40X
Gambar 1 menunjukkan bahwa larva O. furnacalis yang mati, terlebih dahulu disterilisasi
permukaan dengan menggunakan NaOcl dan aquades steril kemudian diletakkan diatas kertas
saring dalam cawan petri. Gambar 2 adalah hasil reisolasi dari larva yang diselubungi oleh
cendawan B. bassiana pada media PDA yang baru. Sedangkan pada Gambar 3 dapat dilihat
penampakan konidia B.bassiana yang diamati dibawah mikroskop pada pembesaran 40X.
Konidia B.bassiana terlihat berkumpul di bagian ujung, konidianya bersel satu, berbentuk oval
dan agak bulat [11].
Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap larva O. furnacalis yang mati karena terinfeksi
menunjukkan tubuh larva pada mulanya berwarna coklat kehitaman dan setelah beberapa hari
akan ditumbuhi miselium yang berwarna putih seperti tepung. Hal ini sesuai dengan yang telah
dikemukakan oleh Tanada dan Kaya [12], bahwa inang yang terserang biasanya berubah warna
dan muncul noda-noda hitam pada bagian kutikula sebagai titik infeksi yang pertama yang
akhirnya menginfeksi serangga dan mengalami kematian serta tubuhnya akan tertutupi oleh
spora jamur menyerupai mummi.
Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian
berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt dkk. [13] menyatakan bahwa
perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan
umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan
nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa [14].
Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau
kontaminasi pakan. Broome dkk. [15] menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang
dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran
pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding
usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak
diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana
biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat.
Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat
menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat
kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama
tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat
kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperature yang
tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau
terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi. Plate [16] juga menyatakan bahwa
166
epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid,
tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga
potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang
lainnya.
4.3 Berat bobot biji jagung
Pengamatan akhir (panen) semua perlakuan menghasilkan berat bobot biji tanaman jagung,
akan tetapi terdapat masing-masing perlakuan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Rata-rata Berat bobot biji jagung
Perlakuan
Rata-rata Berat Bobot Rata-rata
biji/16 tanaman (kg)
Produksi/Hektar (Ton)
Lagaligo
Sukmaraga
Gumarang
Arjuna
BNJ
3.57a
2.72b
2.67b
1.98c
1.11
7.04
5.54
5.12
3.84
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada Uji Beda
Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 %
Penimbangan berat bobot biji jagung dilakukan setelah panen di lapangan. Hasil percobaan
menunjukkan terdapat perbedaan berat bobot biji pada masing-masing perlakuan. Tabel 3
menunjukkan bahwa hasil penimbangan rata-rata berat bobot biji yang diperoleh dari empat
varietas jagung berendofit. Pada varietas Lagaligo rata-rata berat bobot biji yang diperoleh
sebesar 3,57 kg setelah dikonversi 7,04 ton/ha, varietas Sukmaraga sebesar 2,72 kg setelah
dikonversi 5,54 ton/ha, varietas Gumarang sebesar 2,67 kg setelah dikonversi 5,12 ton/ha, dan
varietas Arjuna diperoleh 1,98 kg setelah dikonversi 3,84 ton/ha. Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa Varietas Sukmaraga dan Gumarang tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi
berbeda nyata dengan varietas Lagaligo dan Arjuna. Hal ini disebabkan karena kurangnya
populasi O. furnacalis pada pertanaman sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak
mempengaruhi jumlah produksi panenan. Potensi hasil varietas lagaligo memiliki rata-rata
hasil 5,5 ton/ha dan potensi hasil hingga 7,5 ton/ha pipilan kering, varietas Sukmaraga ratarata hasil mencapai 6 ton/ha dan potensi hasil 8,5 ton/ha, varietas Gumarang memiliki ratarata hasil 5 ton/ha dan potensi hasil hingga 8 ton/ha pipilan kering, untuk varietas Arjuna
memiliki rata-rata hasil 4,3 ton/ha dan potensi hasil hingga 7,5 ton/ha pipilan kering .
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Total rata-rata populasi larva O. furnacalis dari 7 kali pengamatan, pada pengamatan I-IV
tetap hanya berkisar 0,4 dan pada pengamatan V rata-rata populasi meningkat menjadi
2,0 kemudian meningkat lagi menjadi 3,2 pada pengamatan VI, tetapi kembali rendah
pada pengamatan VII sebesar 2,4.
167
2. Rata-rata persentase larva yang terinfeksi oleh cendawan B. Bassiana pada perlakuan
benih endofit yang diamati di laboratorium tertinggi pada varietas Arjuna sebesar 75%,
kemudian varietas Sukmaraga 66,6%, varietas Lagaligo 63,6% dan varietas Gumarang
55,5%.
3. Berat bobot biji pada masing-masing varietas yaitu varietas Lagaligo sebesar 7,04 ton/ha,
varietas Sukmaraga sebesar 5,54 ton/ha, varietas Gumarang 5,12 ton/ha, pada varietas
Gumarang sebesar 3.840 ton/ha dan terendah pada varietas Arjuna sebesar 3,84 ton/ha.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
Subandi, M. Dahlan, dan A. Rifin. 1998. Hasil dan strategi penelitian jagung,sorgum, dan terigu dalam pencapaian dan
pelestarian swasembada pangan. p. 347- 357. Dalam: Inovasi Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
Purwono, dan R. Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar swadaya,Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. 1987. The Pest of Crops in Indonesia. Ichtiar Baru, Jakarta
Anonim, 2011. Budidaya Tanaman Jagung (Zea mays L.). Tersedia di http://www.ngambarsari.com/2011/04/budidayatanaman-jagung-zea- mays-l.html. Diakses tanggal 29 Oktober 2014
Esa, M.F. 2015. PENGARUH ENDOFITISME Beauveria bassiana Vuill TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DAN
MORTALITAS LARVA Ostrinia furnacalis Gueene. Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273 hlm.
Nonci, N. 2004. Biologi dan musuh alami penggerek batang Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae) pada
tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 23:8-14.
Javier P.A. and Morallo Rejesus B., 1991. Selective Toxicity of Insecticide to the Earwig Eauborellia annulata fabricus
(Dermaptera: Anisolabididae) Predatory to the Asian Corn Borer Ostrinia furnacalis Guenne. The Philiphine Agriculturist.
Natawigena,H. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Amico, Bandung.
McCoy, C.W., R.A. Samson, and D.G. Boucias. 1988. Entomogenous Fungi. In: CRC Handbook of Natural Pesticides.
Microbial Insecticides, Part A. Entomogenous Protozoa and Fungi (C.M. Ignoffo, ed.). Vol. 5, pp. 151-236. CRC Press, Boca
raton, Florida.
Barnett, H. L., B. B. Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi fourth ed. Burgess Publishing Company.
Minneopolis. Minnesota.
Tanada, Y. and Kaya, H. 1993. Insect pathology. USA, Academic Press, 665 p.
Hunt, D.W.A., Borden, J.H., Rahe, J.E., Whitney, H.S. 1984. Nutrient-mediated germination of Beauveria bassiana conidia
on the integument of the bark beetle Dendroctonus ponderosae (Coleoptera: Scolytidae). J. Invertebr. Pathol. 44: 304-314.
Thomas, K. C., Khachatourians, G. G. & Ingledew, W. M. (1987). Production and properties of Beauveriu bussiunu conidia
in submerged culture. Can J Microbiol33, 12-20.
Broome J.R, Sikorowski P.P, Norment B.R. 1976. A mechanism of pathogenicity of B. bassiana on larvae of the imported
fire ant Solenopsis richteri. J. Invertebr. Pathol. (28): 87-91.
Plate, J. 1976. Fungi. Biological Control: A guide to natural enemies in North America. Cornel University.4pp.
168
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
C - 13
Pengaruh Estrak Andropogon Nardus Untuk Menekan
Populasi Hama Buah Kakao, Helopeltis sp. dan Phythopthora
palmivora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat
Mairawita1, Resti Rahayu1, Nasir Nasir1
1
*
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang Jalan Limau Manis, Padang, 25163
Penulis yang berkorespodensi : email:
Abstrak (Extended)
Pada tahun 2006 di Pariaman, Wakil Presiden RI telah menetapkan Sumatera Barat (Sumbar) menjadi
pusat kawasan pengembangan kakao di Kawasan Indonesia Barat (KIB). Semenjak sekitar 10 tahun
terakhir, perkembangan luas tanam kakao di Sumbar dari tahun ke tahun meningkat sangat pesat.
Salah satu sentra produksi kakao di Sumbar Padang Pariaman, Pasaman.
Walaupun kondisi agroekosistem dan minat masyarakat sangat tinggi, namun kondisi umum usaha
tani kakao di Sumbar belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari produktivitas kakao
yang masih rendah. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya serangan OPT paling ganas yaitu
hama penggerek buah kakao (PBK) yang dapat menekan produksi sampai dengan 82,2% disebabkan
oleh Conopomorpha cramerella dan patogen busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh
Phytophtora. Serangan OPT pada kakao berpotensi untuk meningkat dari waktu ke waktu, karena
rendahnya sistem budidaya Good Agricultural Practices (GAP) yang diterapkan. Sampai saat ini,
belum ada cara yang efektif yang dapat digunakan petani untuk mengendalikan C. cramerella dan P.
palmivora. Inovasi ini sangat berpeluang untuk dikembangakan dalam usaha peningkatan produksi
dan kualitas kakao dalam rangka mendukung industri kakao di Sumbar.
Sehubungan dengan potensi dan permasalahan kakao di Sumatera Barat seperti yang disebutkan
diatas, semenjak beberapa tahun lalu dilakukan berbagai usaha peningkatan kualitas kebun kakao
dan produknya. Usaha pengendalian OPT utama seperti PBK dan BBK belum berhasil optimal, karena
sebagian besar petani bertindak hanya mengendalikan OPT secara langsung ketika ada serangan atau
gejala. Padahal konsep utama pengendalian OPT adalah preventif dan keterpaduan, yang tergabung
dalam sistim budidaya yang baik. Kegiatan untuk menopang produksi yang tinggi melalui Good
Agricultural Practices (GAP) tidak terimplementasi. Dari aspek budidaya, terlihat dari rendahnya
produktivitas yaitu hanya 40-45% dari potensi genetik tanaman kakao yang mampu berproduksi
sampai 1,7-2 ton/ha/tahun. Itulah sebabnya dalam program ini, GAP kakao akan diterapkan
dibeberapa desa/nagari binaan yang akan dijadikan visitor plot bagi petani kakao lainnya.
Salah satu kegiatan iptek yang akan dilakukan dalam GAP ini adalah pengendalian PBK dan BBK
dengan biopestisida ekstrak jahe liar A. nardus. Pada penelitian sebelumnya diketahui ekstrak
biopestisida ini berhasil menekan serangan OPT utama buah kakao sampai dengan 100% Berbagai uji
pendahuluan terhadap efektifitasnya dalam skala kecil dan laboratorium telah dilakukan semenjak
tahun 2010.
169
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas biopestisida ekstrak A. nardus di lapangan,
terhadap OPT utama kakao tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Stratified
Random Sampling dan dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman pada kebun binaan seluas + 1 ha.
Perlakuan yang diterapkan pada tahun pertama dimodifikasi dengan adanya kombinasi perlakuan
dan frekuensi penyemprotan. Perlakuan yang diterapkan adalah penyemprotan 12 ml/L dan 24 ml/L,
masing-masing dilakukan dengan dua frekuensi penyemprotan yaitu setiap seminggu sekali dan 15
hari sekali, selain itu diterapkan kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil menunjukkan bahwa
serangan Helopeltis sp. dan P. palmivora yang teramati di lapangan mengalami penurunan. Pada
minggu ke 12 penurunan serangan Helopeltis sp. dan Phytopthora sp. masing-masing berkisar antara
16,26-36,5% dan 5,5-9,75%, namun secara statistik tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan.
Kata kunci : Penggerek Buah Kakao, Busuk Bua Kakao, Helopeltis sp. dan Phytophtora sp, Andropogon
nardus
170
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
D - 01
Aktivitas Enzim Amilase, Lipase dan Protease dari Usus Larva
Black Soldier Fly (Hermetia illucens) yang diberi Pakan
Jerami Padi
Ateng Supriyatna1*
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Kemampuan larva lalat Black Soldier (Hermetia illucens) untuk hidup dalam sampah organik,
mengindikasikan bahwa larva tersebut dapat memanfaatkan sampah tersebut sebagai pakan dan
berperan dalam menguraikan sampah organik. Dalam saluran pencernaannya larva tersebut
mengeluarkan enzim pencernaan untuk mengkonversi sampah organik menjadi protein dan lemak
tubuh. Aktivitas enzim suatu organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu.
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui suhu optimum pada aktivitas enzim
amilase, lipase, dan protease yang diisolasi dari usus larva lalat Black Soldiers (Hermetia illucens) yang
diberi pakan jerami padi. Pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode eksperimental
dengan memberikan faktor variasi suhu inkubasi (30, 35, 40, 45, dan 50) 0C. Untuk mengetahui nilai
aktivitas enzim diukur dengan menggunakan sepktrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease pada
setiap suhu yang berbeda. Aktivitas enzim amilase pada variasi suhu secara berturut-turut yaitu 0,30
U/mL, 0,39 U/mL, 0,42 U/mL, 0,30 U/mL dan 0,28 U/mL. aktivitas enzim lipase secara berturut-turut
yaitu 0,22 U/mL, 0,24 U/mL, 0,41 U/mL, 0,32 U/mL, dan 0,21 U/mL, sedangkan aktivitas enzim
protease secara berturut-turut yaitu 0,57 U/mL, 0,67 U/mL, 0,87, 0,96 U/mL, dan 0,77 U/mL.
aktivitas enzim amilase otptimum pada suhu 40 0C yaitu 0,42 U/mL, enzim lipase optimum pada suhu
40 0C yaitu 0,41 U/mL, sedangkan enzim protease optimum pada suhu 45 0C yaitu 0,96 U/mL.
Kata kunci : enzim, amylase, lipase, protease, larva, Black Soldiers Fly
171
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
PENDAHULUAN
Kemampuan larva Hermetia illucens untuk hdup dalam sampah organik membuka kemungkinan
lain, yaitu potensi larva H. illucens untuk menghasilkan enzim amilase, lipase, dan protease. Larva H.
illucens banyak ditemukan hidup di tumpukan sampah organik atau pada kotoran hewan ternak.
Melihat fenomena tersebut, larva H. illucens diduga mengekskresikan senyawa kimia berupa enzim
untuk menghidrolisis substrat yang digunakan sebagai pakannya. Enzim adalah biokatalisator yang
berfungsi sebagai katalis dalam proses biologis [1]. Enzim yang dikenal luas penggunaannya adalah
enzim amilase, lipase, dan protease yang merupakan enzim hidrolitik pemecah senyawa makromolkul
karbohidrat, lemak, dan ptotein. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan “U i Aktivitas Enzim Amilase,
Lipase, dan Protease dari Ekstrak Usus Larva Hermetia illucens” untuk mempela ari potensi larva H.
illucens sebagai penghasil enzim amilase, lipase, dan protease serta pendegradasi limbah organik. Larva
H. illucens memiliki enzim protease, amilase, dan lipase,protease berfungsi mengubah protein menjadi
asam amino, amilase mengubah pati menjadi maltosa, dan lipase mengubah lemak menjadi asam lemak
dan gliserol [2].
Enzim merupakan sekelompok protein yang mengatur dan menjalankan perubahan-perubahan
kimia dalam sistem Biologi. Enzim dihasilkan oleh organ-organ pada hewan dan tanaman yang secara
katalitik menjalankan berbagai reaksi, seperti hidrolisis, oksidasi, reduksi, isomerasi, adisi, transfer
radikal, pemutusan rantai karbon [3].
Secara umum, enzim menghasilkan kecepatan, spesifikasi, dan kedali pengaturan terhadap reaksi
dalam tubuh. Enzim berfungsi sebagai katalisator, yaitu senyawa yang meningkatkan kecepatan reaksi
kimia [4]. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat dibandingkan ketika
reaksi tersebut tidak menggunakan katalis. Seperti katalis lainnya, enzim juga menurunkan atau
memeprkecil energi aktivasi suatu reaksi kimia [5]. Dalam raksi tersebut enzim mengubah senyawa yang
slanjutnya disebut substrat menjadi suatu senyawa yang baru yaitu produk, namun enzim tidak ikut
berubah dalam reaksi tersebut [6]. Setiap enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu,
aktivitas enzim akan semakin meningkat dengan bertambahnya suhu hingga suhu optimum tercapai.
Setelah itu kenaikan suhu lebih lanjut akan menyebabkan aktivitas enzim menurun [7].
Amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber mikroorganisme, tanaman, dan hewan [8]. Molekul
amilum dakan dipercah oleh amilase pada ikatan α-1,4-glikosida dan α-1,6-glikosida [9]. Amilase
dibedakan men adi endoamilase dan eksoamilase. Endoamilase umumnya dikenal seagai α-amilase,
sedangkan eksoamilase dikenal sebagai β-amilase [3]. Enzim protease mempunyai dua pengertian, yaitu
proteinase yang mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen yang lebih
sederhana, dan peptidase yang menhdirolisis fragmen polipeptida menjadi asam amino. Enzim
proteoitik yang berasal dari mikroorganisme adalah protease yang mengandung proteinase dan
peptidase [10].
Enzim lipase adalah enzim yang bekerja untuk menghidrolisis lemak danminyak. Berdasarkan fungsi
fisiologisnya enzim lipase mempunyai peranan penting menghidrolisis lemak dan minyak menjadi asam
lemak dan gliserol yangdibutuhkan dalam proses metabolisme. Enzim lipase ini dapat memecah ikatan
ester pada lemak sehingga menjadi asam lemak dan gliserol [5]. Menurut Yu et al. [11] lipase
merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam hidrolisis triasilgliserol (trigliserida)
untuk menghasilkan asam lemak rantai panjang dan gliserol
Hermetia illucens merupakan salah satu jenis serangga potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan
tambahan bagi ikan dan hewan ternak [12][13]. Kandungan protein larva (magot) H. illucens cukup tinggi,
172
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
yaitu sekitar 40%. Oliver [14] melaporkan bahwa larva H. illucens mengandung 42% protein. Sheppard
dan Newton [15] juga melaporkan hal yang serupa, bahwa kandungan protein yang tinggi pada larva
lalat black soldier dapat digunakan sebagai pakan ternak atau ikan.
Hasil lain pada tubuh larva serangga adalah protein. Serangga memiliki kandungan protein tinggi
yang dapat dijadikan sebagai suplemen untuk pakan ternak, kandungan proteinnya hampir sama dengan
protein pada tepung ikan [16][17]. Larva serangga dapat dijadikan sumber pakan karena memiliki
kandungan protein tinggi [18]. Larva atau magot H. illucens sangat potensial digunakan sebagai sumber
protein pengganti pada pakan ikan dan ternak lainnya. Menurut Hem [19] dalam penelitiannya di
Republik Guinea, dimana biaya pelet ikan dan bahan seperti tepung ikan, minyak ikan, kedelai sangat
tinggi sehingga menjadi kendala untuk pengembangan akuakultur. Pemanfaatan larva H. illucens sebagai
sumber protein alternatif berhasil mengatasi masalah tersebut [19]. Pakan ikan alternatif ini bisa
didapatkan dengan harga yang relatif murah dan efisien. Larva atau magot memiliki kandungan protein
mencapai 42%, lemak 35%, dan kadar air hanya 8% [15].Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengukur
aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease yang diisolasi dari usus larva H.illucens, dan 2) mengetahui
suhu optimum enzim amilase, lipase, dan protease yang dihasilkan dari ekstrak usus larva H.illucens.
BAHAN DAN METODA
Ekstrak usus larva H.illucens
Bahan utama yang digunakan adalah larva H.illucens dari daerah Cibiru Bandung. Bahan kimia yang
digunakan meliputi bahan proses ekstraksi dan bahan kimia untuk uji aktivitas amilase, lipase, dan
protease. Parameter yang diuji adalah suhu inkubasi pada lima taraf (30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC).
Sebanyak 200 ekor larva dibedah pada bagian dorsal dengan membuat sayatan membujur dari kepala
hingga anus, kemudian ususnya dipisahkan dan disimpan dalam pelarut buffer posfat (PBS) pH 7,2
dalam suhu 4oC. Usus larva divorteks selama ±1 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
14.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dengan mikropipet 1 ml yang digunakan sebagai
ekstrak enzim kasar untuk dilakukan uji aktivitas enzim amilase, lipase dan protease.
Uji Aktivitas Amilase
Sebelum uji aktivitas amilase dilakukan, terlebih dahulu membuat kurva standar glukosa. Larutan
glukosa 1000 g/ml sebanyak 100 ml, diencerkan menjadi berbagai konsentrasi dari 100-600 g/ml.
Tiap konsentrasi dimasukkan kedalam tabung reaksi masing-masing 1 ml kemudian ditambahkan reagen
DNS 1,5 ml dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 menit, lalu didinginkan dengan air mengalir,
kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan spetrofotometer pada panjang
gelombang 540 nm.Uji amilase dilakukan dengan menambahkan amilum 1% sebanyak 1 ml pada ekstrak
enzim kasar sebanyak 1 ml, kemudian diinkubasi pada variasi suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C
selama 10 menit. Aktivitas enzim dihentikan dengan menambahkan 2 ml DNS, kemdian diinkubasi pada
suhu 37oC selama 5 menit. Aktivitas amilase ditentukan dengan mengukur absorbansi dengan
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Uji Aktivitas Lipase
Penentuan aktivitas lipase, terlebih dahulu dilkaukan pengukuran kurva standar. Kurva standar
dibuat dengan menggunakan beberapa variasi konsentrasi asam oleat. Konsentrasi yang digunakan
adalah konsentrasi 31,68 ; 63,38 ; 95,04 ; 126,72 ; 158,84 (x 10 -2 M). Variasi konsentrasi tersebut dibuat
dengan menggunakan larutan standar asam oleat 3,168 M, larutan tersebut diambil sebannyak 1; 2; 3;
173
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
4; 5 mL lalu diencerkan dengan Heksana sampai 10 mL. Campuran selanjutnya diambil 4 mL dan
ditambahkan reagen tembaga (II) asetat 1 mL diaduk 1 menit. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan spektrofotomter pada panjang gelombang 715 nm. Penentuan aktivitas lipase dilakukan
dengan menggunakan metode Kwon dan Rhee [20], yaitu substrat yang digunakan dalam metode ini
adalah minyak zaitun. Minyak zaitun sebanyak 1 mL, ditambahkan dengan 1 mL buffer fosfat pH 7,2 dan
1 mL larutan enzim. Campuran ini di vortes selama 10 menit dan selanjutnya diinkubasi pada waterbath
selama 20 menit. Selanjutnya campuran ditambahkan larutan 1 mL HCl 6N dan 5 mL heksana. Campuran
selanjutnya dikocok kuat dengan menggunakan voteks tube dan lapisan atas diambil sebanyak 4 mL,
kemudian ditambahkan 1 mL reagen tembaga (II) asetat dan diaduk 1 menit. Campuran diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 715 nm. Aktivitas lipase diukur pada suhu inkubasi yang
bervariasi yaitu 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC dengan menggunakan inkubator, dan masing-masing
variasi diperlakukan sama seperti penentuan aktivitas yang sebelumnya [20][21]. Untuk larutan blangko
dibuat sesuai dengan prosedur untuk sampel, tanpa penambahan larutan enzim karena larutan enzim
diganti dengan menggunakan aquades.
Uji Aktivitas Protease
Pengukuran aktivitas protease dilakukan berdasarkan metode Bergmeyer [22]. Sebanyak 1 mL
larutan 2% kasein dicampur dengan 1 mL buffer borat (0,01 M) pH 8,0, 0,20 mL asam khlorida 0,05 M
dan 0,20 mL ekstrak enzim protease (ekstrak usus larva Hermetia illucens) yang akan ditetapkan
aktivitasnya. Kemudian diinkubasi pada watterbath dengan variasi suhu yang ditetapkan yaitu : yaitu
30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC selama 10 menit, lalu ditambahkan 2 mL asam trikhloroasetat (TCA) 0,1
M,kemudian diinkubasi selama 10 menit lalu lakukan sentrifugasi. Bagian filtrat 1,5 mL dicampur dengan
5 mL dinatrium karbonat 0,4 M dan pereaksi Folin Ciocalteu’s 1ml dan biarkan selama 20 menit
kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kasar usus larva mempunyai aktivitas enzim amilase,
protease, dan lipase pada suhu yang berbeda. Amilase memiliki aktivitas pada suhu 30°C, 35°C, 40°C,
45°C, dan 50°C, secara berturut-turut yaitu 0,12 unit/mL, 0.13 unit/mL, 0.30 unit/mL, 0.27 unit/mL, dan
0.13 unit/mL (Gambar 1), aktivitas enzim amilase optimum pada suhu 40oC dengan aktivitas enzim 0,30
unit/mL. Aktivitas enzim lipase pada suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C secara berturut-turut yaitu
0,44526 unit/mL, 0,6789 unit/mL, 0,8248 unit/mL, 0,5758 unit/mL, dan 0,5758 unit/mL (Gambar 2),
aktivitas lipase optimum pada suhu 40°C yaitu 0,8248 unit/mL. Aktivitas enzim protease pada suhu 30°C,
35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C, secara berturut-turut yaitu 0,0516 unit/mL, 0,1088 unit/mL, 0,1713 unit/mL,
0,1855 unit/mL, dan 0,1463 unit/mL (Gambar 3), aktivitas protease optimum pada suhu 45°C yaitu
0,1855 unit/mL.
174
Aktivitas Enzim Amilase
(U/mL)
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25 0.30
0.2
0.15
0.1
30
0.42
0.39
0.30
35
40
0.28
45
50
Suhu (°C)
Gambar 1. Aktivitas enzim amilase ekstrak usus larva Hermetia illucens
0.5
aktivitas Enzim Lipase
(Unit/mL)
0.4
0.41
0.3
0.2
0.32
0.24
0.22
0.21
0.1
0
30
35
40
Suhu (°C)
45
50
Aktivitas enzim (U/mL)
Gambar 2. Aktivitas enzim lipase ekstrak usus larva Hermetia illucens
1.2
1
0.8
0.87
0.6
0.4
0.57
0.96
0.77
0.67
0.2
0
30
35
40
45
50
suhu (°C)
Gambar 3. Aktivitas enzim protease ekstrak usus larva Hermetia illucens
Berdasarkan grafik di atas, suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim amilase, lipase dan
protease. Aktivitas enzim amilase dari ekastrak usus larva H. illucens yang diinkubasi pada variasi suhu
30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu 0,30 U/mL, 0,39 U/mL, 0,42 U/mL, 0,30
U/mL, 0,28 U/mL. Pada suhu 40oC enzim amilase mencapai suhu optimum untuk menghidrolisis
substrat dengan nilai aktivitas mencapai 0,42 U/mL. Aktivitas enzim lipase dari ekstrak usus larva H.
illucens yang diinkubasi pada varisi suhu 30oC, 35oC, 40oC , 45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu
0,22 U/mL, 0,24 U/mL, 0,41 U/mL, 0,32 U/mL dan 0,21 U/mL. Pada suhu 40 oC enzim lipase mencapai
suhu optimum untuk menghidrolisis substrat dengan nilai aktivitas mencapai 0,41 U/mL. Aktivitas
enzim proteasae dari ekstrak usus larva H. illucens yang diinkubasi pada variasi suhu 30oC, 35oC, 40oC,
45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu 0,57 U/mL, 0,67 U/mL, 0,87 U/mL, 0,96 U/mL, 0,77 U/mL.
Pada suhu 45oC enzim protease mencapai suhu optimum untuk menghidrolisis substrat dengan nilai
aktivitas 0,96 U/mL.
175
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Pada suhu rendah aktivitas enzim amilase tidak optimal karena energi yang diserap oleh enzim
tersebut tidak cukup menghidrolisis substrat sehingga nilai aktivitas enzim tersebut menjadi rendah.
Sedangkan ketika suhu terlalu tinggi, enzim akan mengalami denaturasi yaitu terganggunya bagian aktif
enzim sehingga kecepatan reaksinyapun menurun [5]. Menurut Sebayang [23], struktur tertier enzim
yang terdiri dari ikatan hidrofobik jika menyerap energi tinggi akan terjadi pemutusan dan
mengakibatkan terjadinya pembukaan struktur tertier sehingga konformasi enzim berubah dan
menyebabkan aktivitasnya menurun. Penurunan aktivitas enzim setelah suhu optimum terjadi karena
pada suhu yang paling tinggi dari suhu optimum, protein dapat terdenaturasi, selain itu substrat juga
dapat mengalami perubahan konformasi sehingga dalam memasuki sisi aktif tidak seleluasa seperti pada
keadaan suhu optimumnya dan menyebabkan aktivitas enzim berkurang [1].
Peningkatan suhu sebelum tercapainya suhu optimum akan meningkatkan laju reaksi katalitik
enzim karena meningkatnya energi kinetik molekul-mlekul yang bereaksi. Sebaliknya, suhu dinaikkan
sesudah suhu optimum kompleks enzim-substrat yang melampau energi aktivasi terlalu besar, sehingga
memecah ikatan sekunder pada konformasi enzim dan sisi aktifnya. Hal ini mengakibatkan enzim
terdenaturasi dan kehilangan sifat katalitiknya [24].
Aktivitas enzim pada serangga secara umum adalh sekitar 35-45oC, di bawah 35oC, aktivitas enzim
pada serangga akan sangat lambat dikarenakan kurangnya energi untuk terjadinya reaksi, sedangkan
jika di atas suhu 50oC, enzim akan terdenaturasi dengan cepat. Hal ini bergantung pada batas toleransi
suhu serangga untuk bertahan hidup dan perilaku termoregulasinya [25]. Pada serangga pentatomid,
Cyclopelta siccifolia, aktivitas optimum amilase pada ususnya adalah 35oC [26], sedangkan pada larva
kumbang kelapa Rhynchophorus phoenicic [27], dan larva kumbang, kolanut, Sophrorhinus insperatus
[28], aktivitas enzim amilase tertinggi adalah pada suhu 45oC Dalam hal ini, larva H. illucens dipelihara
pada media dengan kisaran suhu 33-38oC, dengan usia aktif makan hingga 28 hari.
Suhu dan kualitas media pertumbuhan berpengaruh terhadap waktu perkembangan larva.
Tomberlin [29], menyatakan bahwa larva H. illucens dengan media pertumbuhan gandum pada suhu 3036oC, perkembangan larva mencapai 18-25,9 hari. Rachmawati [30], larva H. illucens yang diperlihara
pada media PKM (Palm Kernel Meal), perkembangan larva mencapai 19 hari. Usia larva pada penelitian
ini sedikit lebih lama dibandingkan dengan penelitian di atas. Hal tersebut diduga nutrisi yang terdapat
pada jerami padi lebih rendah dari PKM dan gandum, sehingga perkembangan larva lebih lama. Namun
pada penelitian ini telah membuktikan bahwa larva H. illucens dapat mengkonsumsi bahan organik,
salah satunya adalah jerami padi.
KESIMPULAN
Enzim amilase, lipase, dan protease dari ekstrak kasar usus larva Hermetia illucens yang diberi
pakan jerami padi, memiliki nilai aktivitas yang berbeda pada variasi suhu (30, 35, 40, 45, 50) .
Aktivitas enzim amilase optimum pada suhu 40 yaitu 0,42 U/mL, Aktivitas enzim lipase optimum pada
suhu 40
yaitu 0,41 U/mL, sedangkan Aktivitas enzim protease optimum pada suhu 45 yaitu 0,96
U/mL.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
Lehninger, A.L., 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid1. Erlangga, Jakarta
Kim, W., Bae, S., Park, K., Lee, S., Choi, W., Han, S., Koh, Y., 2011. Biochemical Characterization Of Digestive Enzymes In The Black Soldier
Fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Journal of Asia Pasific Entomology. Vol 14.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. EGC.
176
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
Marks, D.B.A.D., Marks, C.M., Smith. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
Poedjiadi, A., Supriyanti, F.M.T. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Palmer, T. 1991. Understanding Enzyme Third Edition. Ellis Horwood Limited. England
Megiandari, A. 2009. Isolasi Dan Pencirian Enzim Protease Keratinolitik Dari Usus Biawak Air [Tesis] Jurusan Kimia FMIPA. IPB. Bogor.
Aiyer, P.V. 2005. Amylases And Their Applications. African Journal Of Biotechnology.Vol.4 (13).
Richana, N.
. Prospek Dan Produksi Enzim α-Amilase Dari Mikroorganisme. Agro Bio. Vol. 3(2):15-58.
Ferdiansyah. V. 2005. Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Udang Sebagai Matriks Penyangga Pada Imobilisasi Enzim Protease [Skripsi].
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor
Yu, G., He, P., Shao, L., And Lee, D. 2007. Enzyme Activities In Activated Sludge Flocs. Applied Microbiology And Biotechnology, 77, 605612.
Newton, G.L., Booram, C.V., Barker, R.W., Hale, O.M., 1977. Dried Hermetia illucens Larvae Meal As A Supplement For Swine. Journal If
Animal Science, 44, 395-400.
St-Hilaire, S., Sheppard, D.C., Tomberlin, J.K., Irving, S., Newton, G.L., Mcguire, M.A., Mosley, E.E., Hardy, R.W., Sealey, W., 2007. Fly
Prepupae As A Feedstuff For Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Journal Of The World Aquaculture Society, 38, 59-67.
Oliver, P. A. 2004. The Bioconversion of Putrescent Wastes. Engineering Separation Recycling (ESR). Washington, Lousiana
Sheppard, D.C., Newton, G.L. 1994. Avalue Added Manure Management System Using The Black Soldier Fly. Bioresource Technology 50,
275-279.
Chiou, Y. Y. And Chen W. J., 1982. Production of The Maggot Protein Reared With Swine Manure. Natl. Sci. Council Mo. (ROC) 10:677-672.
Moreki, J. C., Tiroesele, B., Chiripasi, S. C. 2012. Prospect of Utilizing Insect as Alternative Sources of Protein in Polutry Diets in Botswana:
A Review. Journal of Animal Science Advances, 2(8): 649-658.
Finke, D. M. 2003. Gut Loading To Enhance The Nutrient Content Of Insects As Food For Reptiles: A Mathematical Approach Volume 22,
Issue 2, Pages 147-162.
Hem, S., Toure, S., Sabla, C., Legendre, M. 2008. Bioconversion of Palm Kernel Meal For Aquaculture: Experience From The Forest Region
(Republic of Guinea). African Journal of Biotechnology Vol. 7(8), Pp. 1192-1198.
Kwon Y.D, Rhee J.S., (1986), A Simple And Rapid Colorimetric Method For Determination Of Free Fatty Acids For Lipase Assay, JAOCS, 63:
89-92
Yuneta, R. 2009. Pengaruh Suhu Pada Lipase Dari Bakteri Bacillus subtilis. Skripsi. Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Bergmeyer, H.V., Grassl. 1983. Method Of Enzymatic Analysis Vol. 2. Florida: Weinheim Deefield.
Sebayang, F.
5. Isolasi Dan Pengu ian Aktivitas Enzim α-Amylase dari Aspergillus niger dengan Menggunakan Media Campuran
Onggok dan Dedak. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol. 17(5).
Novita, W.K., Arif, F.C., Nisa, Dan Murdiyatmo, U., 2006. Karakteristik Parsial Ekstrak Kasar Enzim Protease dari Bacillus amyliquefaciens.
NRRL B-14396. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 7(2) 96-105.
Chapman, R.F. 1998. The Insect: Stucture And Function. Cambridge University Press. New York.
Naveed, A., Dayananda, G.Y., Bhawane, G.P., Hosseti, B.B. 2007. Amylase, Invertase And Trehalase Activity In The Pentatomid Bug.
Cyclopelta siccifolia W. Journ of Ecophysiol and Ocupatio. Health.7.
Otomoso, O.T. Dan Adedire, C.O. 2011. Amylase Activity In The Midgut Homogenate of The Palm Weevil, Rhynchophorus phoenicis F.
(Coleoptera: Curculionidae). Journal of Agriculture And Biological Science. Vol 2(1).
Adedire, C.O. dan Balougn, R.A. 1992. Amylase Activity in the Gut Homogenate of The Kola Nut Weevil. Sophrorhinus insperatus Faust
And Its Response To Inhibitors From Kola Nuts. Insect Science And Its Application. 13,223-230.
Tomberlin, J.K., Sheppard, D.C., Joyce, J.A., 2002. Selected Life-History Traits of BlackSoldier Flies (Diptera: Stratiomyidae) Reared on
Three Artificial Diets. Ann. Entomol.Soc. Am. 95, 379-286.
Rachmawati, Buchori, D., Hidayati, P., Hem, S., Fahmi, M.R. 2010. Perkembangan Dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens
(Linnaeus) (Diptea: Stratiomydae) Pada Bungkil Kelapa Sawit. J. Entomol. Indon. Vol. 7. No 1, 28-41.
177
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
D - 02
Kelimpahan Lebah Penyerbuk Apis cerana dan Trigona sp.
(Hymenoptera: Apidae) Pada Tanaman Brassica rapa dan
Hubungannya Dengan Faktor Lingkungan
Fitrallisan1, Wahiba Ruslan2, Mihwan Sataral3, Fahri2, Tjandra Anggraeni1*
1
Program Studi Magister Biologi, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako
3
Program Studi Biosains Hewan, Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Brassica rapa merupakan tanaman hermaprodit namun bersifat self-incompatibility, sehingga
diperlukan agen penyerbuk seperti lebah untuk membantu proses penyerbukannya. Apis cerana dan
Trigona sp. merupakan jenis lebah yang juga diketahui berperan sebagai agen penyerbuk pada B.
rapa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kelimpahan lebah A. cerana dan Trigona sp.
sebagai penyerbuk dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Metode yang digunakan untuk
mengamati yaitu scan sampling. Pengamatan serangga penyerbuk pada tanaman sawi putih
dilakukan pada bunga yang sedang mekar sebanyak 50 tanaman. Pengamatan dilakukan selama 15 20 menit setiap jam, mulai pukul 07.30 - 15.30 WITA selama 10 hari pada bulan Juni 2014.
Pengamatan faktor lingkungan meliputi suhu udara (ºC), kelembaban udara (%), dan intensitas
cahaya (lux). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah Individu A. cerana (5269 individu) lebih
tinggi dibandingkan Trigona sp. (459 individu). Jumlah individu umumnya tertinggi dijumpai antara
pukul 08.30 – 10.30. Jumlah individu A. cerana dan Trigona sp. berkorelasi positif dengan
kelembaban udara dan intensitas cahaya, tetapi berkorelasi negatif dengan suhu.
Kata kunci: Apis cerana, Trigona sp., Brassica rapa, faktor lingkungan
.
178
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
D - 03
Keragaman Serangga pada Berbagai Tumbuhan Berbunga di
Sekitar Pertanaman Padi di Sukamandi
N. Usyati1* dan Nia Kurniawati1
1
*
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Produksi dan produktivitas tanaman padi di Indonesia seringkali mengalami penurunan salah satunya
karena serangan hama. Penggunaan insektisida sampai saat ini masih tetap menjadi andalan petani
dalam mengendalikan hama. Penggunaan insektisida yang kurang tepat dan kurang bijaksana akan
berdampak negatif bagi lingkungan. Untuk itu perlu dicari teknologi untuk mengendalikan hama yang
efektif dan ramah lingkungan, salah satunya dengan penanaman tanaman berbunga. Dengan
penambahan tanaman berbunga dapat meningkatkan keragaman serangga musuh alami sehingga
daya tekan terhadap populasi hama meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman serangga dengan adanya penambahan tumbuhan berbunga. Penelitian dilakukan di
kebun percobaan BB-Padi Sukamandi pada MT-1 dan MT-2 Tahun 2011. Sampel serangga diambil
pada tumbuhan bunga yaitu: A: Cleome aspera J (Capparidaceae); B: Asystasia gangetica (L)
(Acanthaceae); C: Eclipta prostrata (L) (Asteraceae); D: Cleome gynandra (L) (Capparidaceae); E:
Wedelia trilobata (L) (Asteraceae); F: Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae) pada tiga titik.
Pengambilan sampel serangga dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam
sampai 10 hari menjelang panen dengan perangkap kuning (yellow pan trap) dan perangkap jebak
(pitfall trap). Hasil tangkapan serangga dengan perangkap kuning (yellow pan trap) pada MT-1
menunjukkan bahwa keragaman serangga cenderung lebih tinggi dengan penambahan Sesamum
orientale (L) (Pedaliaceae), terdiri dari 6 ordo dan 14 famili dimana jumlah terbanyak pada famili
Isotomidae (34), sedangkan pada MT-2 keragaman serangga cenderung lebih tinggi dengan
penambahan Wedelia trilobata (L) (Asteraceae), terdiri dari 5 ordo dan 10 famili dimana jumlah
terbanyak pada famili Chironomidae (62). Hasil tangkapan dengan perangkap jebak (pitfall trap) pada
MT-1 menunjukkan bahwa keragaman serangga cenderung lebih tinggi pada Sesamum orientale (L)
(Pedaliaceae), dengan 5 ordo dan 12 famili yang didominasi famili Neelidae (35), sedangkan pada
MT-2 terdapat pada Eclipta prostrata (L) (Asteraceae), dengan 5 ordo dan 7 famili yang didominasi
oleh famili Isotomidae (28). Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae), Wedelia trilobata (L) (Asteraceae),
dan Eclipta prostrata (L) (Asteraceae) adalah tumbuhan berbunga yang berpotensi dalam
meningkatkan keragaman serangga di pertanaman padi.
Kata kunci: keragaman serangga, tanaman berbunga, pengendalian hama ramah lingkungan
179
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
D - 04
Pengaruh Populasi dan Jumlah Kunjungan Polinator
Elaeidobius kamerunicus Faust. Terhadap Pembentukan
Fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc.
Agus Dana Permana1* dan R. Achmad Dzulfikar1
1
*
Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Elaeidobius kamerunicus adalah serangga polinator kelapa sawit. Penelitian populasi E. kamerunicus
pada tanaman sawit berusia 8 dan 6 tahun dilakukan di Kabupaten Lamandau, Kumai, Kalimantan
Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan status besaran populasi E. kamerunicus pada
umur tanaman 6 dan 8 tahun dan menentukan korelasi populasi E. kamerunicus terhadap persentase
fruit set yang terbentuk, serta untuk menentukan jumlah kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari dan Juni 2014. Prediksi populasi E. kamerunicus
dihitung dengan pengambilan sampel serangga di 9 spikelet bunga jantan pada 10.00 –10.30 WIB.
Dilakukan juga pengamatan pola kunjungan dan penghitungan jumlah kunjungan E. kamerunicus ke
bunga betina pada 8.30-12.30 WIB. Persentase fruit set didapat dengan menghitung seluruh buah
pada janjang buah kelapa sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fruit set yang dihasilkan di
area pengamatan rendah yang diakibatkan besaran populasi E. kamerunicus per hektar terlalu
rendah, sehingga tidak berkorelasi dengan persentase fruit set yang terbentuk. Jumlah kunjungan E.
kamerunicus ke bunga betina berkorelasi positif dengan persentase fruit set yang terbentuk. Pola
kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina diduga dipengaruhi oleh waktu dan suhu.
Kata kunci : Polinator, Elais guineensis, Elaeidobius kamerunicus, kelapa sawit, fruit set.
180
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E - 01
Status resistensi Beberapa strain Kecoa Jerman Blattella
germanica (Dyctioptera; Blattellidae) dari 8 Kota di
Sumatera terhadap Deltametrin
Nova Hariani1*, Intan Ahmad2, Maelita R. Moeis2, Lee Chow-Yang3
1
Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Mulawarman, Jln. Barongtongkok No. 4 Gn. Kelua. Samarinda-75123
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132
3
School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Kecoak Jerman, Blattella germanica Linnaeus (Dictyoptera: Blattellidae) adalah serangga hama
pemukiman. Keberadaan kecoak ini dapat merugikan manusia dari segi ekonomi, estetika dan
kesehatan. Banyak pengendalian yang dilakukan selama ini tidak memberikan hasil yang diharapkan
atau dapat dikategorikan mengalami kegagalan dan tidak efektif karena sudah terjadi resistensi
kecoak terhadap insektisida. Fenomena resistensi terhadap insektisida pada kecoak Jerman, B.
germanica (L). sudah dilaporkan hampir dari seluruh negara didunia termasuk Indonesia. Tingkat
resistensi dapat diukur beberapa metode antara lain metode topikal aplikasi (Topical Application).
Resistensi insektisida merupakan suatu dinamika, fenomena multidimensi, yang tergantung pada
faktor-faktor biokimia, fisiologi, genetika dan ekologi (lokasi geografi/site specific).Untuk dapat lebih
memahami fenomena resistensi maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui status
resistensi kecoak Jerman dari 14 lokasi dari 8 provinsi di Indonesia terhadap deltametrin (piretroid)
dengan metode topikal aplikasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kecoak strain lapangan
sudah resisten terhadap insektisida deltametrin,dibandingkan dengan kecoak strain rentan
insektisida standar VCRU. Klasifikasi resistensi kecoak terhadap deltametrin tergolong resistensi
tinggi sampai resistensi luar biasa sangat tinggi yaitu dengan kisaran RR50:19 kali (PDG1) sampai
1020 kali (MDN2). Tingkat resistensi yang sudah tergolong tinggi sampai luar biasa sangat tinggi ini,
pada kecoak Jerman strain lapangan di Indonesia terhadap deltamethrin diduga terjadi karena
pemakaian deltametrin untuk mengendalikan serangga hama di Indonesia tergolong tinggi (dilihat
dari jumlah insektisida yang beredar).
Kata kunci: Resistensi, Kecoak Jerman, Deltametrin
181
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E - 02
Food Preferences and Its Application as Fipronil Bait on
Subterranean Termites (Isoptera: Termitidae) Under Field
Conditions
Ashari Zain1 and Intan Ahmad1*
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Termites have become a major pest due to their capability of damaging structures, buildings and
cause financial loss. In order to prevent further damage, many have been trying to invent methods
for controlling termites. A method that has been studied extensively is bait system. To achieved
significant results of baiting, three factors are needed to be considered; termite’s biology, bait
materials and active ingredients. However, while the method can be used effectively on a certain
termite species, there is still small information about whether it will yield the same results when
applied on a different termite species in different geographical locations and localities. This study
aimed to evaluate the effectiveness of various materials as bait on local species. Five common
materials; albizia wood (Paraserianthes sp. raw and plywood), meranti woods (white and red
meranti; Shorea sp.) and cardboards were tested in a 0.05 ha field to evaluate local termites’
preferences, O. javanicus by measuring the consumption rate. A capture-mark-recapture method
was conducted three times to determine termites’ foraging population. The best material based on
consumption rate served as bait by impregnated with 40 ppm firponil. Reduced foraging population
was measured to evaluate its effectiveness. Odontotermes javanicus attacked all materials but only
white meranti wood (Shorea sp.) had significant consumption rate (p<0.05), 0.99 grams/day (5
months period). 67.6 grams of white meranti contained 2.7 mg fipronil that served as bait could
repress half of O. javanicus foraging population from 265,350 down to 121,245 foragers in 34 day of
application. The combination of high cellulose content and slow-acting fipronil may contribute to the
ability of the bait to reduced termites’ foraging population.
Kata kunci: food preferences, albizia wood, cardboards, meranti woods, Odontotermes javanicus,
Pericapritermes latignathus, fipronil bait
182
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E - 03
Status Resistensi Beberapa Strain Lalat Rumah Musca
domestica (Diptera : Muscidae) Terhadap Insektisida
Imidakloprid dan Permetrin
Sri Yusmalinar1, Kustiati2, Intan Ahmad1*, Tjandra Anggraeni1
1
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132
Departemen Biologi FMIPA Universitas Tanjungpura, Pontianak
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Lalat rumah Musca domestica merupakan salah satu hama permukiman yang telah menimbulkan
kerugian manusia dari segi estetika, kesehatan dan ekonomi. Salah satu pengendalian lalat rumah
yang terlihat lebih cepat hasilnya yaitu penggunaan insektisida karena dapat membunuh dalam
jumlah banyak dan cepat. Namun penggunaan insektisida yang tidak tepat dapat memicu terjadinya
resistensi. Walaupun demikian, untuk di Indonesia status resistensi lalat rumah terhadap golongan
insektisida yang sudah umum digunakan yaitu piretroid (permetrin) dan neonikotinoid (imidaklorid)
belum banyak diketahui. Bioesei dengan cara metoda umpan dan aplikasi topikal dilakukan untuk
mengetahui status resistensi lalat rumah yang dikoleksi dari Serang (SRG), Bandung (BDG), Jakarta
(JKT), Jogyakarta (JOG), Semarang (SMG), Surabaya (SBY), Palembang (PLB) dan Medan (MDN). Hasil
uji resistensi yang dibandingkan dengan lalat rumah standar rentan insektisida DPIL, menunjukkan
bahwa resistensi lalat rumah terhadap imidakloprid dengan metoda umpan tergolong rentan sampai
rendah yaitu kisaran RR50 : 0,17 kali (SBY) sampai 2,58 kali (SRG). Adapun resistensi lalat rumah
terhadap permetrin dengan metoda topikal tergolong rendah sampai sangat tinggi yaitu kisaran
RR50 : 1,32 kali (BDG) sampai 2823,53 kali (SRG). Kesimpulan secara umum menunjukkan bahwa
resistensi lalat rumah strain BDG, SRG, JKT terhadap insektisida imidakloprid masih rendah,
sedangkan pada lalat rumah strain SMG, PLB, JOG dan SBY masih rentan. Adapun resistensi terhadap
insektisida permetrin pada lalat rumah strain SRG, SMG, JKT dan JOG termasuk klasifikasi resistensi
yang tinggi.
Kata kunci: Musca domestica, resistensi, imidakloprid, permetrin
183
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E - 04
Penurunan Tingkat Resistensi Kecoa Jerman (Blattella
germanica L) (Dictyoptera: Blattellidae) yang Dipelihara di
Laboratorium Terhadap Fipronil
Trisnowati Budi Ambarningrum1,2, Intan Ahmad3* Lulu Lusianti Fitri3
1
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
3
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Pengendalian populasi kecoa jerman (Blattella germanica L) masih menggunakan insektisida yang
diaplikasikan dengan cara semprot, namun pengendalian yang telah dilakukan selama ini banyak
mengalami kegagalan akibat telah terjadinya resistensi pada kecoa jerman terhadap beberapa
golongan insektisida, termasuk fipronil. Status resistensi kecoa jerman yang berasal dari beberapa
wilayah di Indonesia terhadap fipronil mempunyai kisaran dari tingkat rendah sampai tinggi (Strain
JKT-1 = 36.30, JKT-2=23.03, JKT3=12.09, BDG1=4.63, BDG-2=12.04, BDG-3=7, dan SBY= 11.0)[3].
Metode yang digunakan adalah metode glass jar Sepuluh individu jantan didedahkan dalam gelas uji
selama dua jam. Jumlah individu yang mati dicatat setiap jam sampai semua individu mati. Perlakuan
diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai
lethal time 50 (LT50 dan LT95). Hasil uji hayati menunjukkan bahwa setelah kecoa jerman dipelihara di
laboratorium selama kurun waktu 4-8 tahun terlihat penurunan tingkat resistensi terhadap fipronil.
Dari tujuh strain kecoa jerman yang diuji 5 strain (JKT-1, JKT-2, JKT-3, BDG-3, SBY) menunjukkan
tingkat resistensi yang rendah, sedangkan 2 strain (BDG-1 dan BDG-2) menunjukkan tidak resisten
terhadap fipronil. Tidak adanya tekanan/seleksi pada populasi kecoa jerman yang dipelihara di
laboratorium tampaknya dapat menyebabkan turunnya tingkat resistensi kecoa jerman.
Kata kunci:
184
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
PENDAHULUAN
Pengendalian populasi kecoa jerman (Blattella germanica L) masih menggunakan insektisida yang
diaplikasikan dengan cara semprot, namun pengendalian yang telah dilakukan selama ini banyak
mengalami kegagalan akibat telah terjadinya resistensi pada kecoa jerman terhadap beberapa golongan
insektisida, termasuk fipronil [1,2]. Status resistensi kecoa jerman yang berasal dari beberapa wilayah di
Indonesia terhadap fipronil mempunyai kisaran dari tingkat rendah sampai tinggi (Strain JKT-1 = 36.30,
JKT-2=23.03, JKT3=12.09, BDG1=4.63, BDG-2=12.04, BDG-3=7, dan SBY= 11.0) [2]. Tingkat resistensi
suatu serangga terhadap insektisida dapat menurun apabila tidak terdedah insektisida, misalnya pada
kondisi pemeliharaan di laboratorium selama beberapa generasi.
BAHAN DAN METODA
Metode yang digunakan adalah metode glass jar [3]. Sebanyak 2.5 ml fipronil 0.03% yang dilarutkan
dalam aseton di masukkan sepanjang permukaan bagian dalam dinding gelas menggunakan mikropipet.
Gelas diguling-gulingkan di atas meja supaya insektisida melapisi permukaan bagian dalam dinding gelas
secara merata, kemudian gelas didiamkan sampai aseton menguap. Sepuluh individu jantan didedahkan
dalam gelas uji selama dua jam. Setelah itu kecoa jerman dipindahkan dalam toples plastik yang bersih
serta diberi makan dan minum. Jumlah individu yang mati dicatat setiap jam sampai semua individu
mati. Perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit untuk
menentukan nilai lethal time 50 (LT50 dan LT95).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji hayati menunjukkan bahwa setelah kecoa jerman dipelihara di laboratorium selama kurun
waktu 4-8 tahun terlihat penurunan tingkat resistensi terhadap fipronil dibandingkan penelitian Hariani
[2]. Tingkat resistensi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium terhadap fipronil 0.03% sepeti
terlihat pada Tabel 1.
Gambar 1 Tingkat resistensi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium terhadap fipronil 0.03%
(Keterangan : JKT= Jakarta, BDG= Bandung, SBY= Surabaya)
185
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Dari tujuh strain kecoa jerman yang diuji 5 strain (JKT-1, JKT-2, JKT-3, BDG-3, SBY) menunjukkan tingkat
resistensi yang rendah, sedangkan 2 strain (BDG-1 dan BDG-2) menunjukkan tidak resisten terhadap
fipronil. Tidak adanya tekanan/seleksi pada populasi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium
tampaknya dapat menyebabkan turunnya tingkat resistensi kecoa jerman [4][5].
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Ahmad, I., Sriwahjuningsih, Astari, S., Putra, R.A., Permana, A.D. Entomological Research.39: 123-127 (2009).
[2]
Hariani, N., Disertasi, ITB (2013).
[3]
WHO. Pesticides and Their Application for Control of Vectors and Pests of Public Health Importance, six edition (2006).
[4]
Cochran, D.G. Journal of Economic Entomology Vol. 86, issue 6, pp. 1639-1644 (1993)
[5]
Lee, C.Y., Yap, H.H., Chong, N.l., Lee, R.S.T., Bulletin of Entomological Research 86: 675-682 (1996)
186
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E - 05
Identifikasi dan Distribusi Nyamuk di Pesisir dan
Pegunungan Kabupaten Pangandaran
Ilbi Restu Sholihat1, Andri Ruliansyah2, Ida Kinasih1*
1
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2), Ciamis
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Kabupaten Pangandaran memiliki dua kawasan yaitu pegunungan dan pesisir. Kedua kawasan ini
merupakan tempat/habitat nyamuk untuk berkembang. Penyakit yang terdapat di masyarakat di
Kabupaten Pangandaran salah satunya yaitu penyakit DBD dan malaria. Tujuan dari pengamatan ini
untuk mengetahui jenis nyamuk yang ada di pesisir dan pegunungan di Kabupaten Pangandaran dan
mengetahui faktor yang mempengaruhi distribusi populasi nyamuk. Metode yang digunakan ialah
Human landing serta metode resting dengan waktu penangkapan dilakukan pukul 18:00-06:00
WIB.Penangkapan nyamuk dilakukan di dua tempat yaitu pesisir dengan daerah Desa Pangandaran
Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan Parigi, dan Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang.
Tempat yang lain di daerah pegunungan yaitu Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar. Masingmasing tempat diambil sampel dari 3 rumah dan 1 kandang. Nyamuk yang tertangkap selanjutnya
dilakukan identifikasi. Titik koordinat penangkapan nyamuk dari hasil GPS dianalisa dengan ArcGIS
untuk menghasilkan wilayah penyebaran. Lingkungan fisik seperti suhu dan kelembaban
mempengaruhi penyebaran jenis nyamuk dari setiap daerah. Hasil yang didapatkan terdapat 18
spesies yang tersebar di daerah pesisir dan pegunungan yaitu An. sundaicus, An. indefinitus, An.
vagus, An. barbirostris, An. subpictus, An tesselatus, An. aconitus, An maculatus, An kochi, An
annularis, Cx tritaeniorhynchus, Cx quinquefasciatus, Cx hutchinsoni, Cx vishnui, Cx fascochepalus, Ae
albopictus, Ae aegypti, dan Armigeres subalbatus. Lingkungan fisik sangat mempengaruhi terhadap
distribusi atau kelimpahan nyamuk dan juga berpengaruh terhadap jenis nyamuk. Suhu di daerah
pesisir ialah 22-29oC dengan kelembaban 78-99% sehingga jenis nyamuk yang mendominasi ialah
dari genus Culex sp., sedangkan di pegunungan suhu 19-25oC dengan kelembaban 88-99% sehingga
jenis nyamuk yang mendominasi ialah dari genus Culex sp. dan Anopheles spp.
Kata kunci: Nyamuk, jenis, distribusi, Pangandaran
187
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
PENDAHULUAN
Keragaman berbagai spesies vektor dan penyebaran di seluruh wilayah Indonesia mengakibatkan
epidemologi penyakit telur vektor pertambahan kompleks. Dinamika penularan di suatu wilayah
berbeda dengan wilayah lain karena perbedaan bio-geografi, lingkungan, spesies vektor, bio-ekologi,
distribusi dan pola sosial budaya serta prilaku masyarakat. Permasalahan pengendalian vektor di
Indonesia antara lain yaitu belum teridentifikasi spesies dan pemetaan sebaran vektor di wilayah
endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan insektesida dalam pengendalian vektor,
peningkatan populasi resisten beberapa vektor terhadap insektisida, keterbatasan sumber daya
manusia, logistik maupun biaya operasional, serta kurangnya keterpaduan dalam pengendalian
vektor [1]. Dilandasi dari salah satu permasalahan tersebut maka dilakukan pengamatan secara
observasi untuk mengidentifikasi vektor nyamuk yang ada di daerah endemik untuk mengetahui
penyebaran suatu sepesies dari nyamuk tersebut.
Pengamatan dilakukan di Pandangaran, Jawa Barat yang masih diperlukan data atau riset mengenai
nyamuk yang merupakan vektor dari penyakit diantaranya; chikungunya, malaria, DBD dan filariasis.
Jenis nyamuk sebagai vektor tersebut ialah Aedes spp., Anopheles spp. dan Culex spp.
Penyakit yang menyerang masyarakat di Kabupaten Pangandaran pada umumnya ialah penyakit DBD
dan malaria. Selama beberapa tahun kebelakang menurut Ruliansyah et al. [2] menyebutkan jumlah
orang yang terkena virus DBD, pada tahun 2003 terdapat 45 kasus dengan kematian 1 orang
kemudian meningkat tajam mencapai 222 kasus di tahun 2004, pada tahun 2005 sebesar 123 kasus,
pada tahun 2006 sebesar 354 kasus, pada tahun 2007 sebesar 477, pada tahun 2008 sebesar 251,
pada tahun 2009 sebesar 734 dan pada tahun 2010 sebesar 205.
Penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Pangandaran terdapat di beberapa daerah. Hakim [3]
mengemukakan bahwa selama 4 tahun berturut-turut Desa Pamotan merupakan daerah endemis
malaria tinggi atau dengan strata High Case Incidence (HCI) dengan annual parasite incidence (API)
lebih dari 5 % yaitu pada tahun 2000 dengan API sebesar 18,148 %, tahun 2001 dengan API sebesar
18,356 %, tahun 2002 dengan API sebesar 19,399 % dan tahun 2003 dengan API sebesar 9,512 %.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Waktu penangkapan nyamuk dilakukan pada jam 18:00-06:00 WIB. tempat penangkapan nyamuk di
lakukan di empat daerah yaitu Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan
Parigi, Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang dan Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar dengan
masing-masing diambil sampel dari 3 rumah dan 1 kandang. Kegiatan dilakukan pada bulan JuliAgustus 2015.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam identifikasi nyamuk diantaranya ialah; aspirator, cangkir kertas, senter,
mikroskop disecting stereo, salinitas meter, pH meter, hygrothermo meter, alat tulis, buku
identifikasi dan form penangkapan nyamuk.
Bahan yang digunakan dalam identifikasi nyamuk diantaranya ialah; kloroform untuk membius
nyamuk, kain kasa untuk mencegah nyamuk terlepas dan kapas untuk menutup tempat nyamuk.
Prosedur Penangkapan Nyamuk
Penangkapan dengan metode humman landing dan metode resting. Waktu penangkapan dilakukan
pukul 18:00-06:00 WIB. Metode HLC (human landing collection), digunakan tiga rumah sebagai lokasi
188
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
penangkapan, dimana masing-masing rumah terdapat satu sampai tiga orang penangkap, masingmasing di luar dan di dalam rumah. Bekerja selama 40 menit sekali selama 12 jam human landing
dalam rumah dan di luar, nyamuk yang hinggap di badan ditangkap menggunakan aspirator.
Penangkapan dengan metode resting (istirahat) di dinding/kandang. Dinding yang dimaksud ialah
setiap tiga rumah sebagai lokasi penangkapan sedangkan kandang menggunakan kandang sapi dan
terdapat tiga orang penangkap. Bekerja 10 menit sekali selama 12 jam resting di dinding dan
kandang, nyamuk yang sedang hinggap di dinding rumah atau kandang ditangkap menggunakan
aspirator. Nyamuk hasi penangkapan dari kedua metode tersebut kemudian dibunuh menggunakan
kloroform, dihitung jumlahnya dan diidentifikasi spesiesnya menggunakan mikroskop stereo.
Analisis Data
Data yang diperoleh dideskripsikan berupa tabel dan grafik. Selain itu juga dilakukan pemodelan peta
dengan menggunakan software ArcGIS 9.3, Global Mapper v11.01 dan BaseCamp Garmin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran memiliki suhu berkisar 25-26°C dan kelembaban
relatif 86-90 %, desa Cibenda Kecamatan Parigi memiliki suhu 25-27°C dan kelembaban relatif 8592%, Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang memiliki suhu 25-26°C dan kelembaban relatif 87-94%.
Ketiga tempat ini merupakan daerah pesisir. Sedangkan daerah pegunungan yaitu Desa Pangkalan
Kecamatan Langkaplancar dengan suhu berkisar 22-23°C dan kelembaban relatif 88-92%.
Hasil distribusi nyamuk di kabupaten Pangandaran pada pengamatan yang telah dilakukan
menghasilkan jumlah spesies yang berbeda dari yang pernah dilakukan oleh Lokalitbang P2B2 Ciamis
sebelumnya. Jumlah spesies yang diperoleh lebih sedikit seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Pada pengamatan sebelumnya didapat 18 spesies, sedangkan pada pengamatan kali ini didapat 14
spesies.
189
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Gambar 1. Peta Sebaran Jenis Nyamuk di Pesisir dan Pegunungan. Tanda bintang merah menunjukkan spesies
yang diperoleh pada saat pengamatan
Penyebaran nyamuk di Kabupaten Pangandaran selama satu bulan mengidentifikasi ke setiap daerah
pesisir seperti Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan Parigi, Desa
Pamotan Kecamatan Kalipucang dan Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar didapatkan jenis
nyamuk yang beragam dan ada pula yang sama dari setiap kawasan. Hasil yang didapatkan dari
identifikasi nyamuk yang telah dilakukan kawasan pesisir yang teridentifikasi dan mengalami
pengurangan spesies nyamuk. Pada daerah pesisir terdapat An. sundaicus, An. barbirostis, An.
subpictus, An. indefinitus, An. vagus, An. kochi, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx.
hutchinsoni, Cx. vishnui, Ae. albopictus, Armigeres subalbatus, sedangkan derah pegunungan jenis
nyamuk yang teridentifikasi ialah An. aconitus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. barbirostis, Cx.
hutchinsoni, Cx. vishnui, Ar. subalbatus.
Penyebab dari berkurangnya penyebaran jenis nyamuk di daerah pesisir dan pegunungan
diantaranya diduga karena faktor fisik lingkungan, sehingga mempengaruhi terhadap penyebaran
nyamuk. Perindukan nyamuk harus sesuai dengan toleransi jenis nyamuk tersebut terhadap kondisi
lingkungan fisik. Setiap jenis nyamuk memiliki perbedaan terhadap toleransi terhadap suatu
lingkungan sehingga setiap vektor akan menyebarkan suatu penyakit sesuai tempat perindukannya
yang mendukung terhadap perkembangbiakannya.
Depkes RI [4], menyatakan bahwa jenis-jenis nyamuk yang ditemukan pada setiap lokasi ditentukan
oleh faktor-faktor lingkungan, di pulau Jawa di kota dengan banyak tempat-tempat penampungan air
buatan manusia (drum, tempayan, bak mandi) banyak ditemukan Ae. aegypi sedangkan di kebun190
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
kebun dengan penampungan air alamiah (tonggak bambu, lobang di pohon, pelepah dau) dapat
ditemukan Ae. albopictus.
Ar. subalbatus memerlukan lingkungan kelembaban relatif lebih dari 65% untuk beraktivitas,
terutama setelah turun hujan. Selain itu juga populasi Ar. subalbatus dipengaruhi oleh ketinggian
suatu tempat [5]. Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. vishnui dapat ditemukan di daerah persawahan dan
genangan air [6].
KESIMPULAN
Jenis nyamuk di Kabupaten Pangandaran dari daerah pesisir ialah An. sundaicus, An. barbirostis, An.
subpictus, An. indefinitus, An. vagus, An. kochi, Culex tritaeniorhynchus, Culex quinquefasciatus, Culex
hutchinsoni, Culex vishnui, Aedes albopictus, Armigeres subalbatus, sedangkan derah pegunungan
jenis nyamuk yang teridentifikasi ialah An. aconitus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An.
barbirostis, Culex hutchinsoni, Culex vishnui, Armigeres subalbatus.
Lingkungan fisik sangat mempengaruhi terhadap distribusi nyamuk dan juga berpengaruh terhadap
jenis nyamuk. Suhu di daerah pesisir ialah 22-29o C dengan kelembaban 78-99% sehingga jenis nyamk
yang mendominasi ialah dari genus Culex spp. sedangkan di pegunungan suhu 19-25o C dengan
kelembaban 88-99% jenis nyamuk yang mendominasi ialah genus Anopheles spp. dan Culex spp.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
Kementrian Kesehatan. 2011. Atlas Vektor Penyakit Di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir
Penyakit. Jakarta.
Ruliansyah Andri, Totok Gunawan, and Sugeng Juwono M. 2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis untuk Pemetaan Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis
Provinsi Jawa Barat). Aspirator 3(2), h.72-81.
Hakim Lukman. 2013. Faktor Risiko Penularan Malaria Di Desa Pamotan Kabupaten Pangandaran. Aspirator 5(2), h.45-54.
Departemen Kesehatan. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Prilaku Vektor. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Chaves LF, Imanishi N, Hoshi T. 2015. Population dynamics of Armigeres subalbatus (Diptera: Culicidae) across a temperate
altitudinal gradient. Bulletin of Entomological Research 15:1-9
Fakoorziba , Mohammad Reza and Vijayan V. Achuthan , 2006. Seasonal Abundance of Larval Stage of Culex Species Mosquitoes
(Diptera: Culicidae) in an Endemic Area of Japanese Encephalitis in Mysore, India. Pakistan Journal of Biological Sciences, 9: 24682472.
191
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 06
Distribusi Nyamuk Vektor Demam Berdarah Aedes aegypti
dan Aedes albopictus di Kota Bandung
Ramad Arya1* dan Intan Ahmad1
1
*
Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Penyakit DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina. Kota Bandung
adalah salah satu daerah yang dinyatakan DBD sebagai KLB dari tujuh kota dan kabupaten. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui distribusi vektor nyamuk demam berdarah, Ae.aegypti dan
Ae.albopictus yang dikumpulkan dengan menggunakan metode survei ovitrap di lima Kecamatan
endemis demam berdarah di Kota Bandung dan menganalisa hubungan faktor yang mempengaruhi
distribusi nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode stratified random sampling. Sampel berjumlah 400, disebar di lima Kecamatan
endemis di kota Bandung pada bulan September 2014 hingga Januari 2015. Uji korelasi pearson
dilakukan untuk mengetahui rerata jumlah larva nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dengan
parameter iklim seperti suhu, kelembapan dan curah hujan di lima Kecamatan endemis di kota
Bandung selama bulan September 2014 hingga Januari 2015. Berdasarkan studi ovitrap menunjukan
bahwa nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditemukan bersamaan. Namun secara umum nyamuk
Ae. aegypti ditemukan sangat tinggi distribusinya di lima Kecamatan endemis di kota Bandung
dibandingkan dengan nyamuk Ae. albopictus. Hasil analisis korelasi pearson curah hujan berpengaruh
signifikant terhadap perolehan rerata larva Ae. aegypti (p: 0,025) p<0.05. Analisis korelasi pearson
suhu terhadap rerata larva Ae. aegypti diperoleh (p: 0,044), p< 0,05 menunjukan bahwa suhu
berpengaruh signifikan terhadap rerata perolehan larva Ae. aegypti. Dari penelitian ini disimpulkan
bahwa nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditemukan bersamaan, namunnyamuk Ae. aegypti
mendominasi di lima Kecamatan endemis di Kota Bandung. Curah hujan dan suhu berpengaruh
terhadap distribusi nyamuk Ae. aegypti di Kota Bandung.
Kata kunci : Distribusi, Ae. aegypti, Ae. albopictus, iklim.
192
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 07
Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai
Larvasida Lalat rumah (Musca domestica)
Haddi Wisnu Yudha1*, Upik Kesumawati Hadi1, Supriyono1
1
*
Institut Pertanian Bogor
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Cerbera odollam atau yang dikenal dengan bintaro di Indonesiaadalah tanaman bersifat racun yang
terletak di pesisir pantai, di hutan pasang, yang berfungsi untuk menahan pasangnya air laut,
mencegah terjadinya longsor dan sebagai tanaman hias. Bintaro diketahui memiliki potensi sebagai
larvasida alami namun penelitian tentang penggunaan bintaro untuk pengendalian larva Musca
domestica belum dilakukan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengukur efektivitas buah
bintaro sebagai larvasida terhadap M. domestica. Bagian dari buah bintaro yang digunakan yaitu biji
dan kulit. Biji dan kulit buah bintaro diekstraksi dengan pelarut methanol 96% kemudian diencerkan
dengan aquabidest. Ekstrak biji dan kulit buah bintaro diuji pada kelompok larva dengan konsentrasi
biji 0, 10, 30, 60, 80 g/100 ml dan kulit 80 g/100 ml. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak biji dan kulit
buah bintaro mampu digunakan sebagai larvasida. Ekstrak biji bintaro memiliki efektivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan ekstrak kulit bintaro. Berdasarkan uji fitokimia, senyawa metabolit sekunder
yang terkandung dalam biji dan kulit buah bintaro adalah golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin
dan steroid.
Kata kunci: biji, Cerbera odollam, kulit, larvasida, Musca domestica
193
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 08
Kajian Perilaku Agonistik Intraspesifik Koloni Rayap
Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae)
Ina Rosaria1* dan Eko Kuswanto2
1
Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Agonistik baik inter- dan intrakoloni maupun inter- dan intraspesies sering terjadi pada serangga
social termasuk rayap. Studi ini bertujuan untuk mengetahui perilaku agonistik intraspesifik koloni
rayap Coptotermes sp (Isoptera: Rhinotermitidae). Sampel rayap yang diuji berasal dari tiga lokasi
yaitu dari Kabupaten Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, dan Way Kanan. Sampel terlebih dahulu
diidentifikasi kemudian dilakukan pemeliharaan. Pengamatan perilaku agonistik dilakukan dalam
tempat uji yang berupa cawan petri, rayap dari masing-masing koloni diberi silver pen atau tanda
yang membedakan individu antarkoloni. Semua kasta dipasangkan dengan perbandingan 1:1.
Peristiwa agonistik yang terjadi direkam selama 5 menit pertama dalam setiap kombinasi uji.
Berdasarkan hasil penelitian, tidak terjadi perilaku agonistik intraspesifik rayap Coptotermes sp.,
perilaku yang terjadi adalah hanya pada level antennation atau saling mempertemukan antena yang
bertujuan untuk saling mengenali antarin dividu rayap. Analisis GC-MS mengidentifikasi senyawa
kimia pentadecanoic acid methyl ester, cis-linoleic acid, methyl ester, (Z)-9-octadecanoic acid, oxalic
acid, 2-ethylhexyl-hexyl ester, decanedioic acid, dan dedecyl ester. Senyawa-senyawa ini diduga
berperan dalam komunikasi antar individu rayap Coptotermes sp. sehingga terjadi pengenalan yang
baik antar individu intraspesies.
Kata kunci:
194
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 09
Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Keberlangsungan
Hidup Rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera:
Termitidae)
Ledya Sari1*, Eko Kuswanto2, Lora Purnamasari1, Gres Maretta1
1
Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak
Suhu dan kelembaban merupakan dua faktor penting dalam survival organisme termasuk rayap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan kelembaban terhadap
keberlangsungan hidup rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae). Pengukuran
pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pergerakan rayap M. gilvus Hagen dilakukan dengan
menggunakan wadah uji suhu dan wadah uji kelembaban. Wadah uji suhu, terdiri dari sebuah gelas
dan sebuah wadah alumunium berukuran 3 cm x 1,5 cm x 1 cm, gelas diisi air dengan suhu air sesuai
yang diinginkan. Karena suhu air dalam gelas itu selalu berubah, suhu setiap zona untuk setiap tes
diukur dua kali, pada awal dan akhir tes, dan rata-rata digunakan untuk mewakili suhu masingmasing zona, meletakkan 10 ekor sampel rayap tanah M. gilvus Hagen, yang digunakan sebagai
eksperimen di dalam wadah alumunium yang mengapung di atas air dalam gelas tersebut untuk
mengamati pergerakan rayap tanah M. gilvus Hagen selama 5 menit untuk setiap suhu masingmasing zona. Wadah uji kelembaban, terdiri dari tiga wadah plastik bulat (diameter 15 cm) dengan
tiga buah gelas kecil dalam susunan linear, di atas gelas yang dalam posisi berdiri tersebut merekat
juga sebuah cawan petri terbuka, wadah uji pertama menggunakan kelembaban rendah diisi dengan
gel silica 100 gram (12% RH), wadah uji kedua menggunakan kelembaban sedang diisi dengan gel
silica 2 gram (51% RH), dan wadah uji ketiga menggunakan kelembaban tinggi diisi dengan air suling
400 ml (98% RH) sehingga dapat menjaga gradien kelembaban 12-98% di arena tes, melihat dan
mencatat pergerakan rayap tanah M. gilvus Hagen selama 5 menit, 15 menit, 35 menit, 75 menit dan
155 menit. Selanjutnya dilakukan analisis dan mengklasifikasi pergerakan rayap ke dalam tiga
kategori, yaitu: rayap bergerak aktif, rayap hidup tetapi tidak bergerak, dan rayap mati. Berdasarkan
hasil penelitian, suhu optimum yang dibutuhkan rayap M. gilvus untuk dapat bergerak aktif yaitu
kisaran 19-23,5oC, sedangkan kelembaban yang dibutuhkan untuk rayap M. gilvus bergerak aktif
adalahRH 98%. Persentase rayap yang bergerak aktif pada suhu 19-23,5oC yaitu 93% dan persentase
rayap yang bergerak aktif pada kelembaban tinggi yaitu 92%
Kata Kunci:
195
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 10
Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi
insektisida pada nyamuk vektor penyakit
N. Sushanti Idris-Idram 1*
1
*
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak (Extended)
Penyakit tular nyamuk atau “mosquito-borne diseases” merupakan salah satu masalah kesehatan
utama di masyarakat. Nyamuk penularnya terutama dari genus Culex, Aedes dan Anopheles. Culex
spp. vektor utama filariasis dan Japanese encephalitis, Aedes spp vektor demam dengue dan demam
berdarah dengue, dan Anopheles spp vektor malaria. Penyakit tersebut diketahui endemik di
berbagai negara di dunia terutama di negara sub-tropis dan tropis dan sering kali menimbulkan
epidemik dengan tingkat kematian yang tinggi. Usaha pengendalian penyakit tersebut telah
dilakukan baik terhadap patogen maupun nyamuk vektor penyakit dengan cara memutuskan rantai
penularannya. Perlawanan terhadap penyakit tular nyamuk telah mengakibatkan konsekuensi sangat
besar baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Insektisida masih menjadi andalan utama
meskipun pada akhirnya terjadi resistensi dari nyamuk vektor penyakit. Pada berbagai publikasi
terakhir dilaporkan meningkatnya penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor penyakit diikuti
dengan meningkatnya resistensi terhadap insektisida dan pada gilirannya terjadi peningkatan
penularan penyakit. Berbagai faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk
vektor penyakit didiskusikan dalam makalah ini.
Kata kunci: nyamuk, resistensi insektisida, epidemiologi.
Abstract
Mosquito-borne diseases is one of public health important problems. The major mosquito vectors
are Culex, Aedes and Anopheles genera. Culex spp are the major vector of filariasis and Japanese
encephalitis; Aedes spp are vector of dengue and dengue hemorrhagic fever; and Anopheles spp are
vector of malaria. That diseases are found endemic in many countries especially in sub-tropic and
tropic areas. Its epidemic frequently occurs with high mortality rates. Control efforts have been
carried out towards pathogens as well as vectors to interrupt the chain of transmissions.
The fight against diseases that are spreaded by mosquitoes have enormous environmental,
economics and social consequences. Chemical insecticides remain the first line of the defences.
Though it’s impacted to the vector’s resistant to the insecticides.
The current publications reported increasing of the insecticides used in the control efforts followed
by insecticide resistances, in turn to the high level of transmission. Some factors associated with
insecticide resistances in mosquito vectors of human diseases is discussed in this paper
Key words: mosquito, insecticide resistances, epidemiology.
196
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Pendahuluan
Sudah 145 tahun sejak ditemukannya penyakit tular nyamuk atau mosquito-borne diseases sampai
sekarang masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia. Penyakit tersebut disebabkan agen penyakit diperantarai serangga nyamuk.
Agen penyakit tersebut berasal dari berbagai macam virus, protozoa dan nematoda [1]. Jenis-jenis
penyakit tersebut, yaitu: malaria, demam dengue/demam berdarah dengue, arbovirus (chikungunya,
yellow fever, west nile virus (WNV), eastern equine encephalitis (EEE), japanese encephalitis (JE), rift
valley fever (RVF) dan filariasis [2]. Penyakit tersebut dianggap identik dengan kemiskinan karena
menyebabkan kecacatan jasmani serta berakibat terhadap rendahnya produktivitas pada orang
dewasa dan kehilangan kesempatan pendidikan pada anak-anak dan remaja. Penyakit tersebut
diketahui endemik di berbagai negara di dunia terutama di negara sub-tropis dan tropis dan sering
kali menimbulkan epidemik dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Kasus-kasus gejala klinis
penyakit tersebut seringkali bersifat asimtomatik. Mobilitas penderita asimtomatik memungkinkan
peningkatan dan penyebarluasan penyakit tular nyamuk.
Penyakit tersebut termasuk penyakit paling berbahaya, sulit diramalkan, sulit dicegah dan dikontrol
karena berhubungan dengan bioekologi nyamuk vektornya yang memfasilitasi kelangsungan siklus
hidup agen penyakitnya. Dengan demikian pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut tidak akan
efektif jika tidak secara langsung mengendalikan nyamuk vektornya [1].
Nyamuk vektor penyakit
Dalam parasitologi, nyamuk vektor ialah nyamuk yang mampu membawa dan memindahkan agen
penyakit dari satu hospes ke hospes lainnya ketika mengisap darah [1]. Kemampuan nyamuk
tersebut dibuktikan oleh ilmuwan Inggris, Patrick Manson dan Ronald Ross. Sebelumnya yaitu pada
tahun 1830an – 1880an tidak seorangpun yang mengetahui hubungan antara agen penyakit dengan
nyamuk. Pada tahun 1878, Patrick Manson membuktikan Culex pipiens quinquefasciatus (dahulu Cx.
pipiens fatigans) dapat menularkan parasit filaria Wuchereria bancrofti. Menyusul pada tahun 1897
Ronald Ross membuktikan nyamuk Anopheles spp dapat menularkan parasit malaria Plasmodium
spp [3]. Pada awal abad ke-20, pada tahun 1924 diketahui nyamuk Aedes aegypti (dahulu Stegomyia
fasciata) dapat menularkan virus dengue dibuktikan oleh Siler [4]. Bukti hubungan antara agen
penyakit dengan nyamuk didasari adanya perkembangan biologi agen penyakit di dalam tubuh
nyamuk. Oleh karena itu penularan yang terjadi disebut penularan biologi dan berdasarkan sifatnya
terbagi empat jenis yaitu propagative pada arbovirus, cyclopropagative pada malaria, penularan
cyclodevelopmental pada filariasis dan trans-ovarial pada dengue [5]. Nyamuk vektor setelah
terinfeksi agen penyakit akan tetap infektif selama hidupnya sehingga kelangsungan hidup agen
penyakit dapat dipertahankan secara alamiah [1].
Pengendalian nyamuk vektor penyakit
Pengendalian nyamuk vektor penyakit bertujuan supaya tidak terjadi penularan penyakit dan pada
gilirannya menurunkan morbiditas dan mortalitas. Metoda pengendalian vektor yang digunakan
adalah cara mekanik, hayati, kimiawi dan peran serta masyarakat. Perlawanan terhadap penyakit
tular nyamuk telah mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosial ekonomi. Metoda yang paling
banyak digunakan adalah cara kimiawi menggunakan insektisida [6]. Sampai saat ini obat dan vaksin
yang benar-benar ampuh belum ditemukan untuk memberantas agen penyakitnya. Oleh karena itu
197
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
insektisida dijadikan andalan utama untuk pengendalian nyamuk vektor penyakit meskipun pada
akhirnya menimbulkan resistensi pada nyamuk vektor penyakit.
Resistensi insektisida
Resistensi insektisida ialah suatu karakter serangga vektor yang diturunkan untuk memberikan
peningkatan toleransi terhadap insektisida tertentu supaya dapat bertahan hidup lebih lama
terhadap konsentrasi senyawa kimia yang secara normal mematikan spesies nyamuk vector [6].
Pada tahun 1939 ditemukan senyawa kimia DDT (dichloro-diphenyl-tichloroethane) oleh Paul
Hermann Muller dan pada tahun 1946 pertama kali senyawa tersebut digunakan untuk pengendalian
nyamuk vektor penyakit. Setahun kemudian pada tahun 1947 pertama kali dilaporkan kasus
resistensi DDT pada Ae. tritaeniorhynchus dan Ae. solicitans. Sejak saat itu lebih dari 100 spesies
nyamuk dilaporkan mengalami multi resisten insektisida dan diantaranya lebih dari 50 spesies
nyamuk Anopheles spp [7]. Pemerintah Indonesia pertama kali meluncurkan penggunaan insektisida
DDT pada tahun 1952 untuk pengendalian nyamuk vektor malaria dan penggunaannya berakhir pada
tahun 1970 karena dilaporkan adanya resistensi nyamuk vektor malaria terhadap insektisida tersebut.
Setelah pelarangan menggunakan insektisida tersebut, penggunaan insektisida beralih ke
organofosfat, karbamat dan pyretroid. Namun efek penggunaan insektisida dalam kurun waktu
tersebut menimbulkan nyamuk vektor penyakit yang resisten terhadap insektisida. Cara mendeteksi
resistensi insektisida pada populasi nyamuk vektor penyakit adalah dengan uji hayati, biokimia dan
molekuler.
Hasil uji tersebut menunjukkan resistensi terhadap dua jenis insektisida yaitu DDT dan dieldrin pada
An. aconitus vektor malaria di daerah rural Jawa dan Bali. Resistensi terhadap DDT telah terjadi pada
An. sundaicus vektor malaria di pantai Jawa Timur, Lampung dan Cilacap. Uji secara bio kimia
mendeteksi sensitivitas An. maculatus, An. aconitus dan An. sundaicus terhadap organofosfat dan
karbamat dilaporkan toleran atau resisten dengan kisaran antara 2,9-33,3%. Resistensi terhadap
pyrethroids juga dilaporkan pada Anopheles spp di Jepara Jawa Tengah. Pengendalian nyamuk Ae.
aegypti vektor DBD dengan menggunakan Malathion 0,8% lebih dari 10 tahun dan beberapa daerah
menggunakan Cynof 0,05% ICON 0,05%. Hasil deteksi resistensi terhadap organofosfat pada Ae.
aegypti di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan tahun 2006 menunjukkan adanya
resistensi terhadap malathion akan tetapi masih peka terhadap larvasida ABATE. Telah dilakukan
kajian peta resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida kelompok organofosfat, karbamat dan
pyretroids di beberapa daerah endemis di Jawa Tengah dan DIY tahun 2010. Hasil kajian tersebut
menunjukkan nyamuk tersebut di sebagian besar daerah telah resisten terhadap malathion 0,8%,
bendiokarb 0,1% dan pyretroids 0,75%. Sementara di sebagian daerah lainnya masih toleran dan
peka terhadap cypermetrin 0,05% dan bendiokarb 0,01% [8].
Faktor-faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit
Resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit berhubungan dengan faktor-faktor dari aspek
nyamuk vektor penyakit dan program penanggulangan penyakit tular vektor serta peran serta
masyarakat. Aspek nyamuk vektor penyakit bersifat genetik yaitu kemampuan menghindari
insektisida, perubahan metabolik atau fisiologi nyamuk vektor dan hasil dari tiga jenis mekanisme
resistensi terdiri dari penurunan penetrasi insektisida, peningkatan metabolisme insektisida oleh
esterase, monooxygenase atau Glutathion-S-Transferases (GSTs) dan modifikasi target site [9].
198
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Ilustrasi perkembangan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit dapat dilihat dalam
diagram skenario perkembangan resistensi insektisida (diadaptasi dari Scoot, 1995) [10].
Aspek program penanggulangan penyakit tular vektor bersifat kebijakan yaitu penggunaan Longlasting insecticidal nets (LLINs) dan indoor residual spraying (IRS). Aspek peran serta masyarakat
meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan insektisida rumah tangga.
Daftar Pustaka
[1]
Gubler, D. J. Special Issue. Resurgent Vector-Borne Diseases as a Global Health Problem. Emerging Infectious Diseases., Vol. 4, No. 3,
July–September (1998).
[2]
Mosquito Zone. Vector-Borne Disease Primary Examples. www.mosquitozone.com
[3] Sharma, S. Sir Ronald Ross and the Malarial Parasite Discovery of its Route - From Man to Mosquito and Back. Resonance, July (2006).
[4]
VAZEILLE-FALCOZ et al. Replication of Dengue Type 2 Virus in Culex Quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Am. J. Trop. Med. Hyg.,
60(2), pp. 319–321 (1999),
[5]
Gubler, D.J. Vector-borne diseases. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 28 (2), 583-588 (2009).
[6]
World Health Organization. Vector control Methods for use by individuals and communities. Prepared by Jan A. Rozendaal.
Copyright 1999 by The American Society of Tropical Medicine and Hygiene.
[7]
World Health Organization. Vector resistance to pesticides: 15th report of the who Expert Committee on Vector Biology and Control.
Technical report, 818 (1992).
[8]
Widiarti et al. Uji Bio Kimia Kerentanan Vector Malaria terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat di Propinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Bulletin Penelitian Kesehatan Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Litbangkes (2002).
[9]
Hemingway, J. Genetic and Biochemistry of Insecticide Resistance in Anophelines. Ph.D thesis. University London (1981).
[10] Scott, J.A. The molecular genetics of resistance as response to stress. Symposium on Pesticide Resistance, Florida Entomologist 78,
399-414 (1995).
199
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
E – 11
Preferensi Pakan Beberapa Strain Kecoak Jerman, Blattella
germanica Linn. (Dictyoptera: Blattellidae)
Resti Rahayu1*, Apriza Hongko Putra2, Dahelmi1, Robby Jannatan1
1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang Jalan Limau Manis, Padang, 25163
STKIP YPM Bangko, Jalan Sudirman KM 2, Merangin, 37314
*
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
2
Abstrak (Extended)
Kecoak merupakan hama penting pemukiman (Urban Pest), terkait dari segi estetika, kesehatan dan
ekonomi. Hasil penelitian kami, delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa kecoak jerman dari
beberapa kota di Indonesia, telah resisten terhadap insektisida sintetik yang umum digunakan untuk
pengendalian. Hal yang mengejutkan diketahui tingkat resistensi (RR50) terhadap permetrin dan
fipronil di Indonesia tertinggi di dunia yaitu masing-masing 1013,17 dan 44,72 kali dibandingkan
standar. Penemuan ini harus mendapatkan perhatian lebih, karena semakin tinggi tingkat resistensi
dampak atau bahaya terhadap manusia dan lingkungan juga akan semakin tinggi. Sehubungan
dengan hal tersebut sangat perlu dicari jalan keluar (alternatif baru) yang efektif dan aman terhadap
lingkungan agar usaha/pengendalian yang dilakukan tidak sia-sia. Salah satu alternatif yang dapat
ditawarkan adalah penggunaan bio insektisida atau bioekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Bio
insektisida mempunyai beberapa kelebihan diantaranya mudah terbiodegradasi aman terhadap
lingkungan dan banyak tersedia di alam. Diantara tumbuhan yang dapat digunakan adalah sereh
wangi (Cymbopogon nardus). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sereh wangi dan
efektif digunakan untuk pengendalian hama karena mengandung metabolit sekunder yang dapat
menghambat perkembangan serangga bahkan untuk beberapa kasus dapat mematikan hama target.
Sedangkan informasi efektifitas sereh wangi terhadap kecoak belum ditemukan.
Selain jenis insektisida, hal yang harus diperhatikan adalah teknik atau cara aplikasi insektisida.
Selama ini teknik untuk pengendalian kecoak melalui penyemprotan. Teknik penyemprotan memiliki
kelemahan antara lain kurang tepat sasaran karena kecoak mempunyai mobilitas tinggi (sangat aktif)
dan potensi kontaminasi lingkungan tinggi, waktu pengaplikasiannya tidaklah bisa setiap saat.
Diantara metode aplikasi untuk pengendalian kecoak yang aman dan efisien adalah metode umpan
atau bait. Metoda umpan dapat yang aplikasikan setiap saat. Pakan sebagai umpan harus mampu
bersaing dengan pakan alami dan tingkat kesukaan kecoak terhadap makanan/pakan juga berbeda,
maka perlu diketahui tingkat kesukaan makanan (preferensi makanan) yang paling tinggi untuk
dijadikan umpan. Indonesia pengunaan umpan untuk pengendalian kecoak masih merupakan hal
yang masih jarang. Hal ini juga disebabkan jenis umpan yang beredar dipasaran masih langka dan
dengan harga jual yang sangat mahal. Umpan adalah campuran pakan dengan zat toksik (insektisida)
dan beberapa senyawa lain. Syarat pakan yang baik dijadikan umpan adalah pakan yang paling
disukai oleh target (disini kecoak), dan harus mampu bersaing dengan pakan alami.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pakan yang paling disukai oleh beberapa strain
kecoak jerman. Pakan yang digunakan, yaitu selai nanas, stroberi, kacang dan cokelat, memakai
200
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
metoda uji Tabung Y dengan sedikit modifikasi. Diamati, frekuensi kehadiran dan jumlah pakan yang
dikonsumsi oleh masing-masing strain kecoak yang diujikan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa
jenis pakan yang paling banyak dikunjungi dan dikonsumsi oleh kecoak jerman strain VCRU-WHO,
PLZ-PDG dan KRSA-BDG adalah selai nanas, sedangkan oleh strain GFA-JKT adalah selai stroberi. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kesukaan antara kecoak strain GFA-JKT dengan strain
lain (VCRU-WHO, PLZ-PDG, dan KRSA-BDG). Hasil analisis regresi antara frekuensi kehadiran dengan
jumlah konsumsi pakan kecoak terdapat korelasi positif tetapi sangat rendah (tidak signifikan) hanya
r = 0,52. Ini menunjukan bahwa pakan yang sering dikunjungi belum tentu pakan tersebut yang
paling banyak dimakan. Hasil akhir penelitian ini diharapkan diperoleh formulasi umpan kecoak yang
efektif untuk pengendalian kecoak.
Kata kunci: Blattella germanica, kecoak jerman, resistensi, konsumsi pakan, preference food, umpan.
201
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
F – 01
Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (Cymbopogon nardus
L.) Terhadap Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis)
Ucu Julita1*, Ida Kinasih1, Ana Widiana1, Neng Ema Fadhilah Z.1
1
*
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) adalah serangga ektoparasitik kecil yang hidup dan makan
pada kepala manusia. Aktivitas mereka mengakibatkan iritasi kulit kepala sehingga menyebabkan
infeksi sekunder oleh bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksiksitas serai wangi
(Cymbopogon nardus L) terhadap kutu kepala (P. humanus capitis) dan untuk memperoleh
konsentrasi optimum dan Lethal Concentration (LC50). Metode yang digunakan dalam pengujian ini
adalah Static Test dan Filter Paper Diffusion Bioassay Method dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Konsentrasi yang diuji pada masing-masing minyak
atsiri serai wangi adalah 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan kontrol negatif (0%) serta kontrol positif
(Lindane 0,5%). Pengamatan mortalitas kutu kepala uji dilakukan setiap 30 menit sekali selama 24
jam. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam One Way ANOVA, bila berbeda nyata diuji
lanjut dengan Duncan. Perhitungan LC50 menggunakan software analisis probit. Hasil penelitian
menunjukkan minyak atsiri dapat dijadikan sebagai insektisida nabati untuk kutu kepala. Konsentrasi
optimum yang mempunyai tingkat mortalitas tinggi pada kutu kepala dewasa dan nimfa adalah pada
konsentrasi 6% dengan tingkat mortalitas sebanyak 100%. Hal ini menunjukkan bahwa, minyak atsiri
dari serai wangi pada konsentrasi 6% menujukkan daya efektifitas yang sama dengan insektisida
lindane 0,5% untuk memberantas kutu kepala. Nilai LC50-24jam untuk kutu kepala dewasa adalah
0,904 dengan waktu tercepat kematian pada konsentrasi 6% (selama 4 jam setelah pemaparan
minyak atsiri serai wangi). Sedangkan nilai LC50 dalam 24 jam untuk nimfa kutu kepala adalah 0,652
dengan waktu tercepat kematian pada konsentrasi 3% (selama 30 menit setelah pemaparan minyak
atsiri serai wangi).
Kata kunci : Cymbopogon nardus L, Pediculus humanus capitis, Pediculosis capitis, Sitronella, minyak
atsiri, insektisida nabati
202
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
PENDAHULUAN
Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan parasit obligat yaitu parasit yang seluruh
siklus hidupnya mulai dari pradewasa sampai dewasa hidup bergantung pada inangnya. Kutu ini
ditemukan pada rambut dan kulit kepala dan ditularkan terutama melalui kontak fisik. Perilaku dari
kutu kepala ini dapat menyebabkan anemia sedangkan ciri awal dari adanya kutu ini adalah iritasi
yang dapat menyebabkan masalah fisiologis dan sosial [1].
Dalam kasus lainnya, infeksi yang disebabkan oleh kutu kepala pada tingkat keparahan ditandai
dengan adanya pengelupasan dan pengerasan kulit kepala, terutama di daerah belakang kepala.
Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan, rambut bisa menjadi kusut dengan adanya
cairan yang mengandung sel-sel mati (exudate) dan mempermudah untuk jamur menginfeksi daerah
tersebut [2].
Pediculus humanus capitis sering menyerang pada anak-anak, dengan kejadian maksimum
antara 5 sampai 13 tahun. Meskipun kutu kepala bukanlah vektor penyakit pada manusia dan tidak
menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan kepada orang-orang, kutu kepala ini dapat
menyebabkan penderitaan sosial yang cukup besar, ketidaknyamanan dan kecemasan orang tua
pada anak-anaknya karena tidak hadir pada saat sekolah dan bekerja [3].
Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu penyebaran kutu kepala antara lain faktor
sosial-ekonomi, tingkat pengetahuan, higiene perorangan, kepadatan tempat tinggal (misalnya di
asrama, panti asuhan, sekolah dasar), dan karakteristik individu (umur, panjang rambut, dan tipe
rambut). Akibat dari serangan kutu kepala yang tidak diobati dapat menimbulkan berbagai dampak
pada penderitanya, antara lain berkurangnya kualitas tidur anak pada malam hari akibat rasa gatal,
stigma sosial, rasa malu dan rendah diri [2].
Selama ini, teknik untuk mengendalikan kutu kepala masih bertumpu pada penggunaan
insektisida anti kutu. Bahan kimia yang sering digunakan untuk mengendalikan kutu adalah bahan
kimia termasuk berbagai insektisida sintetis yang bersifat racun saraf seperti DDT, lindane, malathion,
carbaryl, dan permetrin [4].
Nutanson et al. [3] menyatakan bahwa sampai saat ini dapat dikatakan belum ada yang dapat
membunuh 100% kutu kepala dan telurnya. Karena produk-produk ini digunakan secara berulang
dan terlalu sering, saat ini serangan kutu kepala sulit dikendalikan karena telah meningkatnya
resistensi kutu kepala itu sendiri terhadap obat kutu sintetik. Disamping dampak resistensi terhadap
kutu itu sendiri, penggunaan obat kutu sintetik mengakibatkan dampak buruk bagi penggunanya.
Lindane merupakan salah satu insektisida berbahaya yang digunakan untuk membasmi kutu rambut
dan kudis.
Dalam Beyond Pesticides [5] menyatakan bahwa Badan Internasional untuk Penelitian Kanker
(IARC) telah menyimpulkan bahwa lindane adalah karsinogen bagi manusia dan EPA telah
mengklasifikasikan lindane sebagai karsinogen manusia berdasarkan tumor hati dan paru-paru pada
tikus. Negara bagian California telah mendaftarkan lindane sebagai zat karsinogen sejak tahun 1989.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengobatan alternatif seperti dengan
menggunakan bahan-bahan alami, salah satunya adalah penggunaan minyak atsiri yang berasal dari
tumbuhan. Minyak atsiri atau disebut juga volatile oil atau essential oil adalah istilah yang digunakan
untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dalam tanaman (daun, bunga, buah, kulit batang dan
akar) dengan cara destilasi. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi merupakan campuran
senyawa organik yang seringkali tersusun lebih dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan.
203
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Sebagian komponen minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Senyawa-senyawa ini secara umum
disebut terpenoid [6].
Minyak atsiri dari tumbuhan telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai
insektisida. Beberapa minyak atsiri menunjukkan bahwa mereka mungkin dapat diaplikasikan dalam
pengendalian kutu secara tradisional [7].
Salah satu tanaman yang memiliki senyawa yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati
yaitu serai wangi (C. nardus), karena serai wangi ini memiliki kemampuan untuk menurunkan
populasi hama khususnya serangga. Serai wangi (C. nardus L) merupakan salah satu jenis tanaman
penghasil minyak atsiri. Hasil penyulingan daunnya, diperoleh minyak serai wangi yang dalam dunia
perdagangan dikenal dengan nama citronella oil. Minyak serai wangi Indonesia dalam pasaran
dunia terkenal dengan nama Java Citronella Oil. Bagian daun serai wangi banyak mengandung
minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronelol, geraniol, mirsena, nerl, farsenol, metal
heptenon, dan diptena. Bahan aktif yang mengandung zat beracun adalah sitronella dan geraniol
[8][9].
Komponen utama minyak serai wangi adalah sitronella dan geraniol yang masing-masing
mempunyai aroma yang khas dan melebihi keharuman minyak serai sendiri. Komponenkomponen tersebut diisolasi lalu diubah menjadi turunannya. Baik minyak, komponen utama atau
turunannya banyak digunakan dalam industri kosmetika, parfum, sabun dan farmasi [10].
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui toksiksitas serai wangi (C. nardus L) terhadap kutu
kepala (P. humanus capitis), mengetahui konsentrasi optimum dari serai wangi (C. nardus) yang
dapat mematikan kutu kepala (P. humanus capitis), serta mengetahui Lethal Concentration (LC50)
serai wangi (C. nardus) terhadap mortalitas kutu kepala (P. humanus capitis).
BAHAN DAN METODA
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Poltekes Bandung dan Cisaat Sukabumi. Waktu penelitian dilakukan
selama 2 bulan yaitu Desember 2013 sampai Februari 2014.
Alat Dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, kertas saring, pipet tetes,
kain kasa, sisir serit, kertas label, gelas ukur, botol vial, gunting, cutter, mikroskop, oven, batang
pengaduk, karet gelang, seperangkat alat destilasi dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah serai wangi (bagian daun dan batangnya), kutu kepala, aquades, larutan
tween 80%, sodium sulfate dan peditox dengan kandungan Lindane 0,5% sebagai kontrol positif.
Kutu kepala dewasa dan nimfa dikumpulkan dari anak-anak Madrasah Diniyah antara usia 6-11
tahun, dengan persetujuan dari orang tua dan guru madrasah, bertempat tinggal di Kabupaten
Sukabumi. Kutu kepala (Gambar 1) dikumpulkan dengan cara menyisir anak-anak yang terlihat
terinfeksi kutu kepala. Setelah koleksi kutu kepala dikumpulkan dan disimpan pada helai rambut
manusia dalam cawan petri.
204
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Gambar 1.
Kutu kepala (P. humanus capitis) dewasa (a) dan nimfa (b). (Perbesaran 40x)
Pembuatan Minyak Atsiri Serai Wangi
Pembuatan minyak atsiri serai wangi dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu POLTEKES
Bandung. Pembuatan minyak atsiri serai wangi dilakukan dengan cara destilasi uap yang bertujuan
untuk mengambil minyak atsiri yang terkandung di dalam serai wangi tersebut.
Mula-mula serai wangi yang telah didapatkan dibersihkan dari kotoran yang menempel
kemudian dikering anginkan selama 3 hari di dalam suhu ruang. Serai wangi yang telah kering
dipotong-potong dengan ukuran sekitar 3-5 cm lalu ditimbang daun dan batang serai wangi sebanyak
250 gram. Daun dan batang yang telah ditimbang dimasukan ke dalam labu destilasi leher dengan
penambahan air sebagai pelarut di bawahnya.
Air dipanaskan pada labu leher dua untuk digunakan sebagai pembangkit steam dan memasang
selang pendingin dan menyalakan pendinginnya. Kemudian menyalakan pemanas hot plate dan
mengatur daya panasnya sampai maksimal dan destilasi selama 3 jam lalu ditampung destilat dalam
corong pemisah dan memisahkan minyak dari air, kemudian diambil hasil distilat dan distilat yang
dihasilkan dimurnikan menggunakan sodium sulfat yang sebelumnya telah dipanaskan di dalam oven
yang bertujuan untuk memaksimalkan penyerapan air pada distilat tersebut. Setelah itu
ditambahkan sedikit demi sedikit sodium sulfat sampai air dalam hasil destilat tersebut habis. Minyak
atsiri yang telah murni kemudian di simpan dalam botol vial berwarna coklat dan ditutup rapat yang
bertujuan untuk mencegah proses penguapan.
Minyak atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan dengan uap air dicampur dengan aquades +
tween 80 sebagai agen pengemulsi. Untuk mendapatkan konsentrasi-konsentrasi tersebut maka
digunakan perhitungan pengenceran, agar mendapatkan konsentrasi yang sesuai, maka digunakan
rumus pengenceran menurut Baroroh (2004) dalam Astuti dkk (2012) :
M1.V1 = M2.V2
Keterangan :
M1: Konsentrasi larutan sebelum diencerkan
V1: Volume larutan sebelum diencerkan
M2: Konsentrasi larutan setelah diencerkan
V2: Volume larutan setelah diencerkan
205
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Aplikasi Minyak Atsiri Serai Wangi
Metode yang digunakan adalah Static Test, suatu metode uji dimana selama uji berlangsung
tidak dilakukan penggantian larutan maupun pemindahan organisme dan Pengujian bioassay
menggunakan Filter Paper Diffusion Bioassay Method [11]. Pengujian dimulai dalam waktu 10 menit
setelah pengumpulan kutu. Kertas saring diletakan ke dalam cawan petri lalu disimpan dalam cawan
petri dan disimpan beberapa helai rambut.
Cawan petri berisi kertas saring ditetesi dengan minyak atsiri serai wangi sesuai dengan
konsentrasi yang digunakan kemudian kutu kepala dimasukan ke dalam cawan petri masing-masing
10 ekor dan ditutup menggunakan kain kasa dan diinkubasi dalam kondisi normal (suhu ruang) dan
diamati kematian kutu kepala uji setiap 30 menit sekali selama 24 jam.
Percobaan
Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 konsentrasi serta 3 kali
ulangan. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu uji range finding test dan definitive test.
Pada range finding test yaitu uji pendahuluan digunakan 5 konsentrasi dengan kisaran yang
lebar yaitu 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% dan peditox yang mengandung heksaklorosikloheksan
(Lindane) 0,5% sebagai kontrol positif serta dilakukan tiga kali pengulangan dan setiap konsentrasi
yang di uji diaplikasikan terhadap 10 ekor kutu kepala.
Sedangkan pada definitive test digunakan untuk penentuan LC50-24j adalah konsentrasi yang
dipersempit dari hasil range finding test dan digunakan 10 ekor kutu kepala masing-masing untuk
nimfa kutu kepala dan kutu kepala dewasa.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah ketika kutu yang diberi perlakuan mati. Kutu
dinilai mati jika tidak ada tanda-tanda vital seperti gerakan-gerakan kaki dan antenna setelah diberi
rangsangan berupa sentuhan.
Analisis Data
Pengamatan mortalitas kutu kepala dilakukan dengan cara menghitung jumlah kutu kepala uji
yang mati pada setiap perlakuan. Persentase kematian dihitung dengan rumus :
(M = A/B x 100%)
Keterangan :
M = persentase mortalitas (%)
A = Jumlah kutu kepala uji yang mati (ekor)
B = Jumlah kutu kepala uji yang digunakan (ekor),
Untuk mengetahui LC50 dilakukan Analisis Probit dengan menggunakan SPSS. 16 (Finney, 1971
dalam Ramadhani [12]). Data uji toksisitas akut dianalisis menggunakan analisis variasi (Anova) one
way untuk menentukan signifikasi perlakuan yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan
untuk mengetahui signifikasi antar perlakuan.
206
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat Mortalitas Kutu Kepala Dewasa
(P. humanus capitis)
Dari hasil penelitian yang dilakukan persentase mortalitas kutu kepala dewasa oleh minyak atsiri
serai wangi didapatkan data seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.
Mortalitas kutu kepala dewasa (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi (C.
nardus)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri dari serai wangi dengan
konsentrasi 1% menunjukkan rata-rata mortalitas terendah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Seiring dengan peningkatan konsentrasi, rata-rata mortalitas kutu kepala dewasa juga semakin
meningkat.
Pada Gambar 2 juga dapat dilihat bahwa minyak atsiri dari serai wangi pada konsentrasi 6%
menunjukkan jumlah mortalitas yang sama dengan lindane 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa,
minyak atsiri dari serai wangi pada konsentrasi 6% menujukkan daya efektifitas yang sama dengan
insektisida lindane 0,5% untuk memberantas kutu kepala.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis variasi (Anova) one way diketahui bahwa nilai
signifikasi antar perlakuan kutu kepala dewasa dewasa pada serai wangi sebesar 0,03. Hal ini
menunjukan bahwa nilai signifikasi antara perlakuan berbeda nyata.
Gambar 3.
Waktu mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi
(C. nardus)
207
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Waktu mortalitas kutu kepala dewasa terbanyak pada minyak atsiri serai wangi tercepat yaitu
pada konsentrasi 6%, terjadi pada 30 menit ke-8 (4jam) sedangkan pada kontrol positif (lindane
0,5%) mortalitas terbanyak yaitu terjadi pada 30 menit ke-16 (8 jam) setelah pemaparan (Gambar 3).
Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat mortalitas nimfa kutu kepala (P.
humanus capitis)
Dari hasil penelitian yang dilakukan persentase mortalitas kutu kepala oleh minyak atsiri serai
wangi selama penelitian di dapatkan data seperti di Gambar 4.
Gambar 4.
Mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi (C.
nardus)
Hasil analisis menggunakan analisis variasi (Anova) one way diketahui bahwa nilai signifikasi
antar perlakuan nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) pada serai wangi (C. nardus) menunjukan
bahwa nilai antar perlakuan tidak berbeda nyata pada konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan lindane
0,5%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada konsentrasi kecilpun minyak atsiri serai wangi dapat
menyebabkan mortalitas kutu kepala dengan baik dan dapat dikatakan bahwa pemakaian
konsentrasi mulai dari 1% sampai 6% mempunyai efektifitas yang sama dalam membunuh nimfa kutu
kepala dari waktu ke waktu.
Gambar 5.
Waktu mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) oleh minyak atsiri serai wangi (C.
nardus)
208
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Dari Gambar 5 diketahui untuk waktu mortalitas nimfa kutu kepala terbanyak pada minyak atsiri
serai wangi tercepat yaitu pada konsentrasi 3%, terjadi pada 30 menit ke-1 (1/2jam) sedangkan pada
kontrol positif (lindane 0,5%) mortalitas terbanyak yaitu terjadi pada 30 menit ke-11 (5 jam) setelah
pemaparan.
Mortalitas kutu kepala yang terjadi pada larutan minyak atsiri serai wangi terlihat bertahap,
dimulai dari kemampuan anggota badan dan antena kutu kepala bergerak di tempat uji yang telah
terpapar bahan uji sampai aktivitas bergerak ke tempat lain yang berkurang setiap jamnya. Hal
tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya kematian pada kutu.
Berdasarkan Setiawati dkk. [13] senyawa sitronela yang terkandung dalam minyak atsiri serai
wangi mempunyai sifat racun dehidrasi (desiccant), racun tersebut merupakan racun kontak yang
dapat mengakibatkan kematian karena kehilangan cairan terus menerus. Serangga yang terkena
racun ini akan mati karena kekurangan cairan.
Penyerapan insektisida yang mempunyai efek racun kontak sebagian besar terjadi pada kutikula.
Senyawa aktif akan berpenetrasi ke dalam tubuh serangga melalui bagian yang dilapisi oleh kutikula
yang tipis, seperti selaput antar ruas, selaput persendian pada pangkal embelan dan kemoreseptor
pada tarsus. Senyawa aktif diduga mampu berdifusi dari lapisan kutikula terluar melalui lapisan yang
lebih dalam menuju hemolimpa, mengikuti aliran hemolimfa dan disebarkan ke seluruh bagian tubuh
serangga sehingga lama kelamaan serangga akan kehilangan cairan secara terus menerus dan akan
membuat tubuh serangga kehilangan cairan akhirnya mengalami kematian [14].
Selain dari racun kontak, senyawa sitronella juga bersifat racun saraf. Hal ini berdasarkan atas
Tarumingkeng (1971) dalam Abidin dkk. [15] yang menyatakan bahwa mekanisme kerja dari senyawa
sitronella ini yaitu sebagai racun kontak dan racun saraf, sebagai racun kontak masuk ke dalam tubuh
rayap melalui lubang-lubang alami atau langsung masuk melalui mulut bersamaan dengan bahan
makanan yang dimakan, kemudian senyawa ini akan masuk ke organ pencernaan dan diserap oleh
dinding usus selanjutnya ditranslokasikan menuju ke pusat saraf. Saraf rayap yang terganggu akan
mempengaruhi keseimbangan ion-ion yang ada dalam sel saraf sehingga menyebabkan kematian
pada rayap.
Selain dari sitronella, kandungan terpenting lainnya yang terdapat pada minyak atsiri serai wangi
adalah geraniol. Menurut Ketaren (1985) dalam Suprianto [16] menyebutkan bahwa kandungan
geraniol dalam minyak atsiri serai wangi sebesar 12-18%.
Hasil penelitian lainnya menunjukan bahwa geraniol yang terkandung dalam minyak atsiri bunga
kenanga mempunyai efektivitas sebagai pengusir nyamuk pada konsentrasi 0,120%, dan 0,180%. Dari
segi sediaan lotion minyak atsiri bunga kenanga mempunyai warna dan sifat fisik yang stabil [17].
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa minyak atsiri bunga kenanga dengan kandungan geraniol
dalam sediaan gel dengan konsentrasi 3% lebih baik digunakan sebagai agen penolak nyamuk [18].
Selain itu juga penelitian lainnya menunjukan bahwa minyak atsiri serai wangi (C. nardus)
mempunyai efek insektisida terhadap nyamuk Aedes dewasa. Konsentrasi minimum ekstrak serai
wangi (C. nardus) yang dapat membunuh maksimum nyamuk Aedes dewasa yaitu pada konsentrasi
30%. Pada konsentrasi 30% jam ke-4 dan ke-24 didapatkan efek ekstrak serai wangi (C. nardus) [19].
Komponen aroma dari minyak atsiri cepat berinteraksi saat dihirup, senyawa tersebut
berinteraksi dengan sistem saraf pusat dan langsung merangsang pada sistem penciuman, kemudian
sistem ini akan menstimulasi saraf-saraf pada otak di bawah kesetimbangan korteks serebral [20].
209
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
Senyawa-senyawa berbau harum dari minyak atsiri suatu bahan tumbuhan telah terbukti pula dapat
mempengaruhi aktivitas lokomotor [21].
Sedangkan pada hasil pengujian menggunakan peditox dengan kandungan Lindane 0,5%, tubuh
kutu kepala mengalami kejang-kejang, akan tetapi masih terlihat gerakan kaki dan antenna. Lindane
diserap melalui kulit dan masuk ke aliran darah. Lindane memiliki efek listrik yang mampu
melumpuhkan saraf dari kutu rambut dan kutu-kutu lainnya. Ditemukan kenyataan bahwa lindane
berpengaruh pada kekebalan dan sistem saraf.
Penggunaan lindane sebagai obat jelas akan menuai pertanyaan mengenai kadar racun dan
pengaruhnya bagi target yang diobati tersebut. Lindane di Indonesia sendiri diproduksi sebagian
besar untuk obat kutu rambut, terutama yang bermerk Peditox. Bahan ini merupakan racun saraf
dan diketahui mengakibatkan kerusakan terhadap hati dan ginjal, dan diduga menyebabkan kanker.
Menurut Hicks dan Elston [22], efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP,
kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda klinis
toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor,
kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian.
Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah
seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia.
Nilai LC50-24jam Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Kutu Kepala Dewasa dan Nimfa Kutu
Kepala (P. humanus capitis)
Analisis probit menunjukan bahwa nilai LC50 dalam 24 jam untuk minyak atsiri serai wangi yang
dipaparkan terhadap kutu kepala dewasa yaitu sebesar 0,904 ml/100ml (0,904%). Hal tersebut
menunjukan bahwa konsentrasi terendah dari minyak atsiri serai wangi yang dapat membunuh
hingga 50% kutu kepala dewasa ialah sebesar 0,904 ml/100ml (0,904%) pada waktu pengamatan 24
jam setelah pemaparan.
Hasil dari analisi probit menunjukan bahwa nilai LC50 dalam 24 jam untuk minyak atsiri serai
wangi yang dipaparkan terhadap nimfa kutu kepala yaitu sebesar 0,652 ml/100ml (0,652%). Hal
tersebut menunjukan bahwa konsentrasi terendah dari minyak atsiri serai wangi yang dapat
membunuh hingga 50% kutu kepala ialah sebesar 0,652 ml/100ml pada waktu pengamatan 24 jam
setelah pemaparan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian uji toksisitas minyak atsiri serai wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat
Mortalitas Kutu Kepala (P. humanus capitis), maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Minyak atsiri serai wangi (C. nardus L. Rendle) bersifat dapat mematikan terhadap kutu kepala (P.
humanus capitis).
2. Konsentrasi yang mempunyai tingkat mortalitas kutu kepala dewasa dan nimfa tertinggi adalah
pada konsentrasi 6% dengan tingkat mortalitas sebanyak 100%. Hal ini menunjukkan bahwa
senyawa sitronela yang terkandung dalam minyak atsiri serai wangi mempunyai potensi yang
hampir sama dengan lindane 0,5% sebagai insektisida alami.
3. Nilai LC50-24jam untuk kutu kepala dewasa adalah 0,904 dengan waktu tercepat untuk dapat
membunuh kutu kepala dewasa adalah terjadi di konsentrasi 6% pada 30 menit ke-8 (4jam)
setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi dan nilai LC50 dalam 24 jam untuk nimfa kutu kepala
210
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
adalah 0,652 dengan waktu tercepat untuk dapat membunuh kutu kepala dewasa adalah terjadi
di konsentrasi 3% pada 30 menit ke-1 (1/2jam) setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah diperlukan pengujian penggunaan minyak atsiri serai
wangi sebagai insektisida alami secara langsung dioleskan ke kepala penderita karena jika digunakan
dalam bentuk lotion atau shampo ditakutkan keefektifan dari kandungan minyak atsiri serai wangi itu
sendiri berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
[21]
[22]
Yousefi, Saeedeh, Faezeh Shamsipoor dan Yaser Salim Abadi. 2012. Epidemiological Study of Head Louse (Pediculus humanus capitis)
Infestation Among Primary School Students in Rural Areas of Sirjan County, South of Iran. Thrita J Med Sci. Vol 1 (2): 53-56.
Sinaga, Riana Miranda. 2013. Efektifitas Alat Pemanas Pelurus Rambut Dalam Penanganan Pedikulosis Kapitis. Tesis. Program
Pendidikan Dokter Spesialis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas. Medan. Sumatera
Utara.
Nutanson, I. C.J. Steen, R.A. Schwartz, C.K. Janniger. 2008. Pediculus humanus capitis: an update. Acta Dermatoven APA Vol 17 (4).
Burgess IF. 2004. Human lice and their control. Annual Review of Entomology 49: 457-481.
Beyond Pesticides. 2010. Chemical Watch Factsheet Lindane. A Beyond Pesticides Ptotecting Health and The Environment With
Science, Policy and Action. Washington, DC. US.
Guenther, E., 2006. Minyak Atsiri, Jilid 1, penerjemah Ketaren S., Penerbit UI Press, Jakarta.
Toloza. A.C, Julio Zygadlo, Fernando Biurrun, Alicia Rotman, and María I Picollo. 2010. Bioactivity of Argentinean essential oils against
permethrinresistant head lice, Pediculus humanus capitis. Journal of Insect Science. Vol 10.
Kardinan, A. 1992. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta. Penerbit Penebar Swadaya.
Emmyzar dan Muhammad, H. 2002. Budidaya Serai wangi (Cymbopogon nardus L). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 22 p
Sukamto, M. Djazuli, dan Dedi Suheryadi. 2011. Seraiwangi (Cymbopogon nardus L) Sebagai Penghasil Minyak Atsiri, Tanaman
Konservasi Dan Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat Dan Aromatik. Bogor.
Purwal, Lipi., Vivek Shrivastava, UK Jain. 2010. Assessment of Pediculicidal Potential of Formulation Containing Essential Oils of
Mentha piperita and Cymbopogan citratus. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences.
Ramadhani, 2009. Uji Toksisitas Akut Ektrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus atilis) Terhadap Larva Artemia Salina Leach Dengan
Metoda Brain Shrimp Lethality Test (BST). Skripsi : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro Semarang.
Setiawati, W And R. Murtiningsih. 2011. Kompatibilitas Minyak Serai Wangi dengan Predator Menochilus sexmaculatus Untuk
Pengendalian Vector Penyakit Virus Kuning. Jurnal Holikultura XXI (4):344-352.
Prijono, D. 1994. Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Abidin, M. Zaenal., Desita Salbiah., Agus Sutikno. 2012. Uji Penggunaan Tepung Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) Dalam
Mengendalikan Rayap (Coptotermes curvignatus) Pada Skala Laboratorium. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Riau.
Suprianto. 2008. Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) Sebagai Anti Streptococcus Mutans. Skripsi. Program Studi
Biokimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bariyah, Sry Rahayu Eka. 2010. Karakterisasi Simplisia Dan Uji Aktivitas Anti Nyamuk Dari Minyak Atsiri Bunga Tumbuhan Kenanga
(Cananga Odorata (Lam.) Hook.F. & Thomson) Pada Sediaan Lotion. Skripsi. Program Ekstensi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Medan.
Johannes, Eva., Syahribulan, Isra Wahid., Wakidah. 2009. Uji Efektivitas Repelen Gel Ekstrak Bunga Kenanga (Canangium odoratum
LAMK.) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti LINN. Majalah Farmasi dan Farmakologi vol 13 (3). Hal 81-84 Universitas Hasanuddin
Jurusan Farmasi.
Sardjono, Teguh W, Sudiarto, Inaas Azmy Haidar. 2011. Uji Efektivitas Ekstrak Serai Wangi (Cymbopogon nardus) Sebagai Insektisida
Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Metode Fogging. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya.
Buckle, J. 1999. Use of Aromatherapy as Complementary Treatment for Chronic Pain. J. Alternative Therapies; 5, 42-51.
Buchbauer, G. 1993. Biological Effects of fragrances and Essential Oils. Journal Perfumer and flavorist; 18, 19 - 24.
Hicks MI dan Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy. Vol 22 : 279-292.
211
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
F – 02
Kiat Menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh
Wahyu Widayat1*
1
*
Pusat Penelitian Teh dan Kina, Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Ekosisten perkebunan teh yang monokultur pasti akan berhadapan dengan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Untuk mengendalikannya diperlukan pestisida yang cukup banyak, dampak
negatifnya sangat merugikan lingkungan dan kesehatan manusia, serta membutuhkan biaya yang
cukup mahal. Untuk menurunkan populasi serangga hama harus dilakukan perbaikan ekosistem
perkebunan yang monokulture menjadi polikulture dengan cara : 1) Menanam minimal 5 jenis klon
teh, 2) Penanaman berbagai jenis pohon pelindung. 3) Penanaman berbagai jenis pohon tepi jalan. 4)
Pengelolaan pohon pelindung. 5) Budidaya tanaman sehat. 6) Penanaman pohon pelindung dari
famili meliaceae untuk lokasi endemik serangan serangga. Dalam jangka waktu 3 tahun penggunaan
pestisida untuk pengendalian OPT jauh menurun.
Kata kunci:
212
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
F – 03
Perilaku Petani Lembang dan Pangalengan dalam
Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang
Asma Sembiring 1*
1
*
Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Serangan hama penyakit pada tanaman kentang hingga saat ini masih menimbulkan masalah
terhadap pertumbuhan kentang maupun produksi hasil tanamannya. Kehilangan hasil panen akibat
serangan hama penyakit pada tanaman sayuran secara umum di atas 40% hingga mencapai 100%.
Pada kentang, serangan penyakit tertentu seperti Phytophthora infestans mengurangi hasil kentang
hingga 90%. Belum lagi ditambah dengan serangan hama dan penyakit lainnya. Dalam upaya
mengatasi serangan tersebut serta untuk mengoptimalkan produksi panen kentang, petani
menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kentang
mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku petani Lembang dan Pangalengan dalam
mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kentang. Penelitian dilakukan dari bulan Mei
hingga September 2009 di Lembang dan Pangalengan. Metode yang dilakukan adalah survei kepada
20 petani, masing-masing 10 petani kentang di Lembang dan 10 di Pangalengan. Data diolah secara
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan petani (80%) melakukan
pencampuran pestisida untuk mengatasi hama dan penyakit pada kentang. Sebanyak 60% petani
mencampurkan 2 jenis pestisida dalam penyemprotan. Sementara, 25% lainnya mencampur 3 jenis
pestisida. Sebagian besar petani (80%) melakukan penyemprotan secara rutin, yakni 2 x seminggu.
Dalam mengendalikan hama dan penyakit, 75% responden menyatakan menggunakan pestisida
nabati dan hanya sedikit responden yang melakukan pengendalian dengan musuh alami, yaitu 3
responden (15%). Pada umumnya (90% responden) tidak menggunakan perangkap dalam
pengendalian hama dan penyakit pada kentang. Akan halnya pengendalian secara mekanis, 50%
responden menyatakan sering melakukannya, sementara 45% responden lainnya tidak
melakukannya.
Kata kunci :
213
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
F – 04
Karakteristik Morfologi Polong dan Hubungannya Dengan
Ketahanan Terhadap Hama Pengisap Polong, Riptortus
linearis
M. Muchlish Adie1* dan Ayda Krisnawati 1
1
*
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO Box 66 Malang
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Hama pengisap polong, Riptortus linearis, menjadi hama potensial merugikan pada kedelai. Sebanyak
10 genotipe kedelai diidentifikasi karakter morfologinya di rumah kasa Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) di Malang dari bulan Maret hingga Juni 2015. Setiap genotipe
ditanam pada pot plastik. Ketahanan diuji dengan pilihan dan tanpa pilihan. Karakter morfologi yang
diamati adalah panjang trikoma, jumlah trikoma, ketebalan kulit polong, panjang polong dan lebar
polong. Pengelompokan ketahanan menggunakan metode Chiang dan Talekar. Ragam karakter
morfologi polong berbeda antar genotipe. Panjang trikoma adalah 86.03 hingga 146.10 mm2 dengan
rata-rata 110.26 mm, rentang kepadatan trikoma antara 15.67 – 33.33/4 mm (rata-rata 25.27 mm2),
kisaran ketebalan kulit polong 86.77- 111.17 mm (rata-rata 99.12 mm), panjang polong beragam dari
2.43 – 5.43 cm (rata-rata 4.10 cm) dan kisaran dari karakter lebar polong 0.90 – 1.23 cm (rata-rata
1.04 cm). Pada uji dengan pilihan, karakter panjang trikoma dan ketebalan kulit polong masingmasing memiliki nilai korelasi r = -780** dan r = -786**, sedangkan pada uji tanpa pilihan, karakter
panjang trikoma dan ketebalan kulit polong memiliki nilai korelasi masing-masing bernilai r = -933**
dan r = -907**. Karakter morfologi polong yakni panjang trikoma dan ketebalan kulit polong
berperan sebagai penentu ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong. Genotipe G100H
tergolong tahan hama pengisap polong, berpeluang digunakan sebagai sumber gen peningkatan
ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong.
Kata kunci : Glycine max, pengisap polong, ketahanan morfologi.
214
Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung,
Indonesia
F –05
Teknik Penyimpanan Ubi Jalar Segar Untuk Menurunkan
Kerusakan Oleh Hama Boleng (Cylas formicarius)
Retno Endrasari1* dan Sri Murtiati1
1
*
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah
Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected]
Abstrak
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi sebagai
bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak. Untuk mendapatkan mutu ubi jalar segar
dibutuhkan kegiatan pascapanen yang benar supaya mutunya tetap terjaga. Salah satu kegiatan
pascapanen yang penting pada produksi ubi jalar adalah penyimpanan. Kadar air yang tinggi dalam
ubi jalar segar menyebabkan ubi jalar tidak tahan disimpan lama. Salah satu penyebab penurunan
mutu ubi jalar segar selama penyimpanan adalah terinfeksi hama boleng. Hama boleng merupakan
hama utama pada ubi jalar dan dapat merusak umbi yang disimpan di gudang. Hama tersebut juga
dapat menurunkan hasil hingga 80%. Penurunan kualitas berpengaruh terhadap keragaan
organoleptik dan kandungan fisikokimia ubi jalar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan hama
boleng adalah suhu, kelembaban udara, cahaya, angin dan faktor makanan.
Kata kunci: penyimpanan, ubi jalar, hama boleng
215
Download