KATA PENGANTAR Panitia Seminar Nasional PEI Cabang Bandung tahun 2015 sangat berbahagia dengan antusiasme para entomolog dari berbagai daerah di Indonesia untuk berpartisipasi dalam acara ini. Hal tersebut ditandai dengan jumlah makalah presentasi yang mencapai 70 buah, dengan peserta seminar lebih dari 200 orang. Acara ini dimotori oleh berbagai pihak yang tergabung ke dalam PEI Cabang Bandung baik dari kalangan Akademisi, Peneliti, dan Praktisi dengan tidak melupakan peran besar dari pihak Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati sebagai tempat penyelenggaraan seminar ini. Tujuan Seminar Nasional PEI Bandung ini adalah: Pertama untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat akan pentingnya serangga bagi kesejahteraan masyarakat. Kedua berbagi informasi dan pendapat , serta menjalin kerja sama antar akademisi, peneliti, pemerintah, industri, dan masyarakat secara umum tentang entomologi. Ketiga menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang entomologi di Indonesia, untuk meningkatkan komunikasi antar entomolog yang bekerja dengan bidang yang beragam guna menghasilkan ide-ide baru dalam mengembangkan pengetahuan entomologi untuk mensejahterakan masyarakat. Tema Seminar Nasional PEI ini adalah “ENTOMOLOGI DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”. Seminar ini menampilkan 4 pembicara utama dan peserta dengan “flash presentation”, dan pameran produk pengendali hama dan penyakit. Makalah yang masuk dikategorikan menjadi : Biodiversitas dan ekologi serangga; Fisiologi, Toksikologi, dan biologi molekuler serangga; Serangga menguntungkan ; Teknologi Pengendalian serangga hama dan sistem produksi pangan; Entomologi pemukiman, medik veteriner; Industri pestisida ; dan Karantina. Akhir kata, atas nama Panita Seminar Nasional PEI Cabang Bandung, kami haturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati dan seluruh sivitas akademika 2. Pembicara Utama 3. PT. Syngenta Indonesia; 4. Masyarakat Produsen Pestisida Rumah Tangga 5. PT. Dow Agrosciences Indonesia 6. PT. Du pont Agricultural Product Indonesia 7. Bank Bukopin 8. Seluruh Panitia Seminar Nasional PEI Cabang Bandung, yang telah mewujudkan terselenggaranya Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung. 9. Alhamdulillah wa Syukurillah kami panjatkan kehadirat Illahi Yaa Robbi, atas Ridho-Nya semoga Seminar Nasional PEI Cabang Bandung ini terselenggara dengan baik, lancar tidak kurang suatu apapun. i SAMBUTAN KETUA PEI CABANG BANDUNG Serangga dan manusia merupakan dua makhluk hidup yang saling berinteraksi satu sama lain sebagai organisme dominan di dunia kehidupan. Baik sebagai musuh maupun sebagai kawan, serangga selalu mengagumkan bagi manusia dan menjadi subjek pengamatan sejak awal peradaban manusia. Banyak penemuan besar yang merubah peradaban dunia berasal dari penelitian pada serangga seperti genetika, kedokteran, evolusi, ekologi, fisiologi, perilaku hewan, nutrisi, arsitektur, teknik sipil, bahkan dunia kedirgantaraan dan teknologi penjelajahan antariksa. Kemajuan sains dan teknologi ini sendiri tentu saja tidak seyogyanya menjadi domain bagi para peneliti di negara-negara dengan tingkat kesadaran yang tinggi pada sains dan teknologi akan tetapi juga menjadi tantangan bagi kita di Indonesia. Kondisi iklim, keanekaragaman hayati, dan jumlah penduduk yang tinggi dapat menjadi modal bagi kemajuan penelitian pada dunia sains terutama pada bidang entomologi untuk memberikan informasi penting bagi pengetahuan dunia. Seminar nasional ini diadakan pada kota Bandung yang dikenal dengan iklim dan masyarakatnya yang bersahabat serta kreativitas yang tinggi. Pada seminar nasional ini terdapat kesempatan bagi para entomolog dari berbagai generasi dan pendekatan yang berbeda untuk dapat saling bertemu dan berbagi hasil penelitian pada situasi yang saling bersinergi. Kami harap kegiatan ini akan memadukan hasil-hasil penelitian ini yang dapat menjadi sumber informasi penting bagi pengembangan sains dan teknologi di Indonesia, di dunia, atau mungkin suatu saat merubah arah perkembangan peradaban manusia dan kesejahteraan manusia sebagaimana para entomolog-entomolog masa lalu. Prof. Intan Ahmad Ketua PEI cabang Bandung ii SAMBUTAN KETUA PANITIA SEMINAR NASIONAL Bismillahirrahmanirrahim Yth. Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Bp. Prof. Dr. H. Mahmud, MSi. atau yang mewakilinya. Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Pusat Ibu Dr. Damayanti Buchori atau yang mewakilinya Yth. Ketua Perhimpunan Entomologi Cabang Bandung Bp. Prof. Intan Ahmad, Ph.D. Yth. Dekan Fakultas Sain dan Teknologi Bp. Dr. H. Taufik Kurahman Yth. Bapak2 Pembicara Utama; Bp. Prof. Dr. Y. Andi Trisyono; Prof. Dr. Dharma Bakti Nasution; Prof. Dr. Baehaki; Prof. Intan Ahmad Ph.D. Yth. Bapak dan Ibu Undangan Yth. Para peserta Seminar dan Hadirin sekalian yang berbahagia. Assalamualikum wr wb. Pertama tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas ridho-Nya kita dapat berkumpul di tempat yang mulya ini dalam keadaan sehat walafiat. Kami ucapkan selamat datang kepada para peserta seminar Nasional dan Musyawarah Angota PEI Cabang Bandung, para Pembicara Utama, dan para peserta “Flash presentation”. Cara ini dimaksudkan untuk menampung sebanyak mungkin para peneliti untuk mengemukakan hasil penelitiaannya dalam waktu singkat (maksimal 2 menit). Bagi peserta yang tertarik dengan yang disampaikan pemakalah, dapat diteruskan dengan pertemuan / diskusi setelah flash presentation. Tujuan Seminar Nasional PEI Bandung ini adalah: Pertama untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat akan pentingnya serangga bagi kesejah-teraan masyarakat. Kedua berbagi informasi dan pendapat, serta menjalin kerja sama antar akademisi, peneliti, pemerintah, industri, dan masyarakat secara umum tentang entomologi. Ketiga menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam bidang entomologi di Indonesia, untuk meningkatkan komunikasi antar entomolog yang bekerja dalam bidang yang beragam guna menghasilkan ide-ide baru dalam mengembangkan pengetahuan entomologi untuk mensejahterakan masyarakat, Seminar kita hari ini bertema “ENTOMOLOGI DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT”. Serangga berguna jumlahnya mencapai 90% lebih sedangkan serangga yang merugikan atau serangga hama, vektor penyakit dll, kurang dari 10 %, namun bila dalam pengelolaannya tidak berhasil, maka populasi serangga hama semakin banyak dan dapat terjadi ledakan serangga hama. Serangga berguna sudah banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk meningkatkan kesejahteraannya. Antara lain : serangga penyerbuk, serangga predator, serangga dekomposer, penghasil madu, penghasil kroto, dll. Seminar Nasional dan Musyawrah Angota PEI Cabang Bandung ini, diikuti peserta berjumlah 180 orang dengan pemakalah sebanyak 70 orang.. Dalam seminar ini dibahas secara khusus makalah : Pendidikan dan Penelitian Entomologi di Indonesia; Optimalisasi Peran Serangga Penyerbuk di Perkebunan Kelapa Sawit; Strategi Pengendalian Serangga di Lahan Pertanian Untuk Menunjang Tercapainya Ketahanan Pangan Indonesia; Entomologi Pemukiman dan Industri, dan Entomologi forensik. Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung ini diikuti oleh : Peneliti, Staf Pengajar, Pemerintahan, Swasta, mahsiswa, dll. Peserta seminar ini berasal dari berbagai Propinsi di Indonesia kecuali Irian Barat / Papua iii Dalam pelaksanaan Seminar ini, kami tidak bekerja sendiri. Kepanitiaan Seminar ini, melibatkan berbagai unsur lembaga seperti ITB/SITH, Faperta UNPAD, Faperta Unwim, Unibba, BPTPH Jabar, BPTP Disbun Jabar, PPTK Gambung, BB PADI Sukamandi Subang Jabar, UIN. Pada kesempatan ini Panitia menyampaikan ucapan terima kaih banyak dan penghargaan yang tulus dan ikhlas kepada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. PT. Syngenta Indonesia; Masyarakat Produsen Pestisida Rumah Tangga; PT. Dow Agrosciences Indonesia; PT. Du pont Agricultural Product Indonesia. Bank Bukopin. Kepada Rekan rekan Panitia saya selaku Ketua Panitia Pelaksana Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung mengucapkan terima-kasih atas kerja-sama yang sangat baik ini, semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda dan dimasukkan dalam amal shaleh. Amin. Pada kesempatan ini Kami juga mengucapkan terima-kasih kepada para peserta seminar sekalian. Mohon maaf apabila dalam pelaksanaan seminar ini banyak terdapat kekurangan. Semoga Seminar Nasional dan Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung dapat terlaksana dengan lancar tiada kurang suatu apapun. Seusai seminar para peserta pulang ke rumah masing masing dengan selamat, berjumpa dengan keluarga, semoga selalu dalam bimbingan, lindungan, ridho dan rahmat Allah SWT, Kami berharap semoga silaturahim ini bisa terus berlangsung setiap 2 tahun sekali. Amin. Sebagai penutup : Bunyi gendang mari berdendang, hati sedih coba lenyapkan Kami mengundang tuanpun datang, terima kasih kami sampaikan Pintas jalan ke tanjung intan, disana petani tanam selasih Atas perhatian dan kehadiran, kami ucapkan terima kasih Pilih jerami derai-deraikan, biji padi menjadi beras Terima kasih kami sampaikan, dari hati yang tulus ikhlas Padi ketan padi simpanan, pilih padi jerami sisihkan Budi tuan takkan kami lupakan, terima kasih kami haturkan Tanam sirih di atas bukit, bukit berselimut embun pagi Terima kasih kami bukan sedikit, dari mulut sampai ke hati Wassalamualikum wr wb. Ir. Wahyu Widayat, M.S Ketua Panitia iv DAFTAR ISI Kata Pengantar Sambutan Ketua PEI Bandung Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional Daftar Isi Susunan Panitia Susunan Acara Daftar Peserta Keynote Speaker 1 Keynote Speaker 2 Keynote Speaker 3 Keynote Speaker 4 Keynote Speaker 5 i ii iii iv ix xii xvii xx xxi xxvi xxvii xliii Biodiversitas dan Ekologi Serangga A-01 A-02 A-03 A-04 A-05 A-06 A-07 A-8 A-9 A-10 A-11 Perilaku Hama Pengorok Daun dari dua famili berbeda pada pertanaman Manggis dan bentuk kerusakannya Wilna Sari, Nina Maryana, Syafrida Manuwoto Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang Aulia Azh Zahra, Masriany, Lilis Setiasih, Tjandra Anggraeni Keanekaragaman spesies serangga tangkapan lampu perangkap selama pertanaman padi pada sawah irigasi dataran rendah Agus Wahyana Anggara, Eko Hari Iswanto, Muhamad Hari Rabuka Komposisi serangga permukaan tanah di Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung Sumedang Ida Kinasih, Ana Widiana, Tri Cahyanto, Isyfa Isnaeni Romadlon Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Narti Fitriana, Ega Mulya Putri, Fahma Wijayanti Identifikasi serangga pengunjung pada Bunga Lilin (Pachystachys lutea L.) di sekitar Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda Mohamad Redzka Andika Putra, Tata Kalsa, Ida Kinasih Keanekaragaman spesies serangga hama dan musuh alami pada tanaman Kacang Hijau di Brebes, Jawa Tengah Dodin Koswanudin, I Made Samudra, Sutoro Inventarisasi serangga hama pada tanaman Padi Gogo Dataran Rendah di Jatisari Karawang, Jawa Barat Martua Suhunan Sianipar, Rika Meliansyah, Riandi Feral, Entun Santosa, RC. Hidayat Soesilohadi, W. Daradjat Natawigena Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dan keragaman serangga predatornya pada Padi Sawah Dataran Tinggi Mochamad Ardiansyah, Martua Suhunan Sianipar, Luciana Djaya, EntunSantosa, RC. Hidayat Soesilohadi, Wahyu Daradjat Natawigena Pola aktivitas harian serangga Vespidae (Hymenoptera) pada Tanaman Pisang Masriany, Fenny M. Dwivany, Tjandra Anggraeni Perkembangan populasi Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant) dan musuh alaminya pada lahan sawah dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang Hairil Anwar, Meinarti Norma, Sri Murtiati v 44 45 51 52 53 58 64 65 66 67 68 A-12 A-13 A-14 Kondisi serangga hama di Perkebunan Teh Organik Citambur Wahyu Hidayat dan Muyarno Fluktuasi populasi lalat buah jantan Bactocera carambolae Drew and Hancock dan Bactocera papayae Drew and Hancock (Diptera: Tephritidae) pada beberapa tanaman Belimbing Dodin Koswanudin, Adi Basukriadi, I Made Samudra, Rosichon Ubaidillah Studi keanekaan serangga tanah dengan metoda Pitfall Trap di Hutan Pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Jawa Barat Veni Aprilia Lestari, Melanie, Hikmat Kasmara 75 76 77 Fisiologi, Toksikologi, Biologi Molekuler Serangga B-01 B-02 B-03 B-04 B-05 B-06 B-07 B-08 B-09 B-10 Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC (Spinetoram 120 gai/lt) to control Plutella xylostella and Crocidolomia sp. on cabbage Iwan Rahwanudin, Lakshmipathi Srigiriraju, Agus Susanto Identifikasi genotipe kedelai tahan Spodoptera litura Fabricus dengan metode pemilihan inang Marida Santi YIB, Ayda Krisnawati, M. Muchlish Adie Morfologi spirakel Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens) Hafiz Fauzana, F.X. Wagiman, Edhi Martono Pengaruh beberapa genotipe kedelai terhadap biologi Ulat Grayak, Spodoptera litura Ayda Krisnawati, Marida Santi YIB, Muchlish Adie Identifikasi molekuler pada lalat buah Bactrocera spp. (Diptera : Tephritidae) menggunakan penanda DNA Mitochondrial Cytochrome Oxidase I Indra Wibowo Kelimpahan populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae) pada beberapa varietas Ubi Kayu Sri Wahyuningsih dan Kurnia Paramita Sari Efektivitas ekstrak daun Kacang Babi (Vicia faba L.) terhadap mortalitas larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman Kedelai (Glycine max L.) varietas Grobogan Yeni Hadiyanti, Cecep Hidayat, Yati Setiati Toksisitas insektisida golongan Organofosfat, Organoklorin, dan Piretroid pada lebah pencari makan Trigona laeviceps Ramadhani Eka Putra dan Muhammad Ajib Badri Pengaruh pemberian kompos gulma Siam (Chromolaena odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap komposisi dan keragaman arthropoda pada tanaman cabai Lindung Tri Puspasari, Intan Fahni Tistiyana,Sadeli Natasasmita, dan Vira Kusuma Dewi Toksisitas insektisida lima ekstrak tumbuhan terhadap Crocidolomia pavonana F. (Lepidoptera: Crambidae) Syamsul Ma’arif, Lindung Tri Puspasari ,Rika Meliansyah, Rani Maharani, Yusuf Hidayat, Ceppy Nasahi, Danar Dono 83 84 85 86 93 94 100 101 110 111 Teknologi Pengendalian Serangga Hama pada Sistem Produksi Pangan C-01 C-02 C-03 Identifikasi potensi ketahanan 36 klon baru Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap hama Lanas (Cylas formicarius F) (Coleoptera: Curculionidae) di laboratorium Syarif Hidayat dan Yuda Muhammad Zaelani Evaluasi ketahanan sumber daya genetik tanaman Kedelai terhadap hama Penggerek Polong (Etiella zinckenella Treitschke) Dodin Koswanudin, Asadi, Sutoro Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (Snell.) terintegrasi dan analisa pendapatan petani di perkebunan rakyat vi 115 116 117 C-04 C-05 C-06 C-07 C-08 C-09 C-10 C-11 C-12 C-13 Alam Anshary, Flora Pasaru, Shahabuddin Pengujian 6 jenis tanaman sebagai bahan pestisida nabati terhadap intensitas kerusakan biji kedelai akibat serangan hama gudang Callosobruchus spp. Yani Mulyani, Dadang Kusdinar, Ida Adviany, Erry Mustariani Pengujian lapangan feromon sintetik terhadap hama Lanas (Cylas formicarius) pada tanaman Ubi Jalar I Made Samudra, Dodin Koswanudin, I Wayan Winasa, dan Wartono Evaluasi ketahanan sumber daya genetik tanaman padi terhadap hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Dodin Koswanudin, I Made Samudra, Sutoro Pengaruh teknik pengendalian OPT pada tanaman Cabai Merah terhadap hasil panen, residu, dan biaya pengendalian Eti Heni Krestini, Hersanti, Asma Sembiring Pengaruh ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz) terhadap hama Ulat Penggerek Buah (Helicoverpa armigera Hubner) pada tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Varietas Cosmos Dikayani, Yosi Saeful Mikdar, Suryaman Birnadi Insektisida nabati Bengkuang dan Tembakau dalam pengendalian preventif hama daun kedelai Kurnia Paramita Sari, Suharsono, Sri Wahyuningsih, Suntono Uji keberadaan bakteri penyebab Penyakit Darah pada tubuh beberapa serangga pengunjung bunga Pisang di daerah Cigadung, Bandung Maria Marselina Bay, Fitrallisan, Masriany, Tjandra Anggraeni Evaluasi tingkat parasitisasi parasitoid larva Penggerek Pucuk Tebu Scirpophaga nivella Ferr. (Lepidoptera: Pyralidae) di perkebunan tebu Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat Nenet Susniahti, Ceppy Nasahi, Arie Setiawan Pengaruh tanaman Jagung berendofit terhadap populasi Ostrinia furnacalis Guenee Itji Diana Daud, Sylvia Sjam, Juliana Devi Patimasari Pengaruh ekstrak Andropogon nardus untuk menekan populasi hama buah kakao Helopeltis sp. dan P. palmipora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat Mairawita, Resti Rahayu, Nasir Nasir 125 126 133 134 139 145 151 157 160 169 Serangga Menguntungkan D-01 D-02 D-03 D-04 Aktivitas enzim Amilase, Lipase, dan Protease dari usus larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens) yang diberi pakan jerami padi Ateng Supriyatna Kelimpahan lebah penyerbuk Apis cerana dan Trigona sp. (Hymenoptera: Apidae) pada tanaman Brassica rapa dan hubungannya dengan faktor lingkungan Fitrallisan, Wahiba Ruslan, Mihwan Sataral, Fahri, Tjandra Anggraeni Keragaman serangga pada berbagai tumbuhan berbunga di sekitar pertanaman padi di Sukamandi N. Usyati dan Nia Kurniawati Pengaruh populasi dan jumlah kunjungan polinator Elaeidobius kamerunicus Faust. terhadap pembentukan fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc. Agus Dana Permana dan R. Achmad Dzulfikar 171 178 179 180 Serangga Pemukiman, Veteriner, dan Industri Karantina E-01 E-02 Status resistensi beberapa strain Kecoa Jerman Blatella germanica (Dyctioptera: Blattellidae) dari 8 kota di Sumatera terhadap Deltametrin Nova Hariani, Intan Ahmad, Maelita R. Moeis, Lee Chow-Yang Food preferences and its application as Fipronil bait on Subterranean Termites (Isoptera: Termitidae) under field conditions vii 181 E-03 E-04 E-05 E-06 E-07 E-08 E-09 E-10 E-11 Ashari Zain dan Intan Ahmad Status resistensi beberapa strain lalat rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae) terhadap insektisida Imidakloprid dan Permethrin Sri Yusmalinar, Kustiati, Intan Ahmad, Tjandra Anggraeni Penurunan tingkat resistensi Kecoa Jerman (Blatella germanica L.) (Dictyoptera: Blattellidae) yang dipelihara di laboratorium terhadap Fipronil Trisnowati Budi Ambarningrum, Intan Ahmad, Lulu Lusianti Fitri Identifikasi dan distribusi nyamuk di pesisir dan pegunungan Kabupaten Pangandaran Ilbi Restu Sholihat, Andri Ruliansyah, Ida Kinasih Distribusi nyamuk vektor demam berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kota Bandung Ramad Arya dan Intan Ahmad Efektivitas ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai larvasida lalat rumah (Musca domestica) Haddi Wisnu Yudha, Upik Kesumawati Hadi, Supriyono Kajian perilaku Agonistik Intraspesifik koloni rayap Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae) Ina Rosaria dan Eko Kuswanto Pengaruh suhu dan kelembaban terhadap keberlangsungan hidup rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae) Ledya Sari, Eko Kuswanto, Lora Purnamasari, Gres Maretta Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit N. Sushanti Idris-Idram Preferensi pakan beberapa strain Kecoak Jerman, Blatella germanica Linn. (Dyctioptera: Blattellidae) Resti Rahayu, Apriza Hongko Putra, Dahelmi, Robby Jannatan 182 183 184 187 192 193 194 195 196 200 Topik-Topik Lain yang Terkait dengan Serangga F-01 F-02 F-03 F-04 F-05 Pengaruh minyak Atsiri Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) terhadap Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) Ucu Julita, Ida Kinasih, Ana Widiana, Neng Ema Fadhilah Z. Kiat menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh Wahyu Hidayat Perilaku petani Lembang dan Pengalengan dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kentang Asma Sembiring Karakteristik morfologi polong dan hubugannya dengan ketahanan terhadap hama Pengisap Polong, Riportus linearis M. Muchlish Adie dan Ayda Krisnawati Teknik penyimpanan Ubi Jalar segar untuk menurunkan kerusakan hama Boleng (Cylas formicarius) Retno Endrasari dan Sri Murtiati viii 202 212 213 214 215 SUSUNAN PANITIA Pelindung : Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dekan SITH Institut Teknologi Bandung Ketua PP Perhimpunan Entomologi Indonesia Penanggung Jawab : Ketua PEI Cabang Bandung (Prof. Intan Ahmad, Ph.D) Wakil Ketua II PEI Cabang Bandung (Dr. Tjandra Anggraeni) Penasehat : Prof. Dr. Baehaki MS Dr. Atik Dharmadi Prof. Dr. Wawan Hermawan Prof. Dr. Tati S Syamsuddin Prof.Dr. Entun Santosa Prof. Dr. Ridad Agoes, dr.,MPH,SpPark Dr. Agus D Permana Dr. Ir. Sudardjat, M.P. Dr. Danar Dono, M.Si Panitia Pelaksana Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara : : : : Wahyu Widayat, Ir., MS Suhunan Sianipar, Drs MS. Dr. Ida Kinasih , Sri Yusmalinar, M.Si, M.M, Ida Yusidah, SP Dr. Yenny Muliani, MS. Rika Meliansyah, M.Si, Rindang Khairani, S.Si Bidang Bidang : Scientific Committee: Sekretariat SC : Prof. Intan Ahmad, Ph.D (ITB) Yusup Hidayat, Ph.D (UNPAD) Dr. Tjandra Anggraeni (ITB) Dr. Agus Susanto (UNPAD) Ramadhani Eka Putra, Ph.D. (ITB) Lindung Tri Puspasari, M.Si Masriany , M.Si Acara, Persidangan Dr. Tien Turmuktini Dr. Endang Kantikowati Pasetriyani Warsih, Ir., MP ix Dr. Tri Cahyanto, M.Si Ateng Supriyatna, M.Si Dra. Ina Darliana, M.Si Tim dari SITH, UIN, UNPAD, Publikasi & Dokumentasi : Ir. Lukman Nulhakim (Koord/BPTPH Jabar) Ir. Sunanto (Wkl Koord/ BPTPH Jabar) Ashari Zain, S.Si. Saiful Bahri Agung Kaulika Rahman, SP. Transportasi dan Pameran : Ir. Yadi Supriyadi, M.S. Ir. Juju Lukman, MP Mhs UIN, UNPAD, ITB Dana Usaha : Dr. Yenny Muliani Sri Yusmalinar, M.Si, M.M Konsumsi : Dr. Elly Roosma Ria, Ir., M.Si. Nenet Susniahti, Ir. MS. Maria Wulan, Ir., M.S. Tim UIN Sunan Gunung Djati Bandung Kesehatan (P3K) : Poli Kesehatan UIN Sunan Gunung Djati Bandung Ketertiban : Satuan Pengaman UIN Sunan Gunung Djati Bandung x Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia SUSUNAN ACARA JADWAL ACARA SEMINAR NASIONAL DAN MUSYAWARAH PEI CABANG BANDUNG 2015 WAKTU 13.00-14.10 ACARA Registrasi Peserta Laporan Ketua Panitia Sambutan Ketua PEI Pusat Sambutan Rektor UIN Sunan Gunung Djati sekaligus membuka seminar Pertunjukan Seni Presentasi Pembicara Utama 1 dan 2 (Sesi I) 1. Pendidikan dan Penelitian Entomologi di Indonesia 2. Optimalisasi Peran Serangga Penyerbuk di Perkebunan Kelapa Sawit Diskusi Sesi I Break (Hidangan pagi/snack) Presentasi Pembicara Utama 3 - Entomologi Forensik Flash presentation Sesi 1 Break (Makan Siang) Presentasi Pembicara Utama 4 dan 5 (Sesi II) 3. Strategi Pengendalian Serangga di Lahan Pertanian untuk Menunjang Tercapainya Ketahanan Pangan di Indonesia 14.20-15.30 15.30-16.00 16.00-17.00 4. Entomologi Permukiman dan Industri Diskusi Sesi II Flash presentation Sesi 2 Break (Snack) Musyawarah Anggota PEI Cabang Bandung 08.00-09.00 09.00-10.30 10.30-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 PEMBICARA Ir. Wahyu Hidayat, M.S Prof. Dr. Y. Andi Trisyono Prof. Dr. Dharma B. Nasution Prof. dr. Ridad Agoes Pemakalah Prof. Dr. Baehaki Prof. Intan Ahmad, Ph.D Pemakalah xi Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia JADWAL Flash Presentation Sesi 1 KAMIS, 15 OKTOBER 2015 Sesi 1, Waktu: 11.00 – 12.00 A. Biodiversitas dan Ekologi Serangga No. Judul 1. Perilaku Hama Pengorok Daun Dari Dua Famili Berbeda Pada Pertanaman Manggis dan Bentuk Kerusakannya 2. Formicidae Sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang Keanekaragaman Spesies Serangga Tangkapan Lampu Perangkap selama Pertanaman Padi pada Sawah Irigasi 3. Dataran Rendah 4. Komposisi Serangga Permukaan Tanah di Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung Sumedang Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 – 5. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Identifikasi Serangga Pengunjung pada Bunga lilin (Pachystachys lutea L.) di Sekitar Taman Hutan Raya 6. Ir.H.Juanda Keanekaragaman Spesies Serangga Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kacang Hijau di Brebes, Jawa 7. Tengah 8. Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Padi Gogo Dataran Rendah di Jatisari Karawang, Jawa Barat Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dan Keragaman Serangga Predatornya pada 9. Padi Sawah Lahan Dataran Tinggi 10. Pola Aktivitas Harian Serangga Vespidae (Hymenoptera) pada Tanaman Pisang Perkembangan Populasi Wereng Hijau Nephotettix virescens Distant dan Musuh Alaminya pada Lahan Sawah 11. dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang 12. Kondisi Serangga Hama di Perkebunan Teh Organik Citambur Fluktuasi Populasi Lalat Buah Jantan (Bactrocera carambolae Drew and Hancock) dan (Bactrocera papayae 13. Drew and Hancock) (Diptera; Tephritidae) pada Beberapa Tanaman Belimbing B. Fisiologi, Toksikologi, Biologi Molekuler Serangga No. Judul Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC (Spinetoram 120 gai/lt) to Control Plutella xylostella and 14. Crocidolomia sp. on Cabbage xii Pembicara Wilna Sari Aulia Azh Zahra Eko Hari Iswanto Ida Kinasih Narti Fitriana Mohamad Redzka Andika B. Dodin Koswanudin Martua Suhunan Sianipar Mochamad Ardiansyah Masriany Hairil Anwar Wahyu Widayat Dodin Koswanudin Pembicara Agus Susanto Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Identifikasi Genotipe Kedelai Tahan Spodoptera litura Fabricus dengan Metode Pemilihan Inang Morfologi Spirakel Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens) Pengaruh Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Biologi Ulat Grayak, Spodoptera litura Identifikasi Molekuler pada Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) Menggunakan Penanda DNA Mitochondrial Cytochrome Oxidase I Kelimpahan Populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae) pada Beberapa Varietas Ubi Kayu Efektivitas Ekstrak Daun Kacang Babi (Vicia faba L.) Terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Varietas Grobogan Toksisitas Insektisida Golongan Organofosfat, Organoklorin dan Piretroid Pada Lebah Pencari Makan Trigona laeviceps Pengaruh Pemberian Kompos Gulma Siam (Chromolaena odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap Komposisi dan Keragaman Arthropoda pada Tanaman Cabai Toksisitas Insektisida Lima Ekstrak TumbuhanTerhadap Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Crambidae) xiii Marida Santi YIB Hafiz Fauzana Ayda Krisnawati Indra Wibowo Sri Wahyuningsih Yeni Hadiyanti Ramadhani Eka Putra Lindung Tri Puspasari Syamsul Ma’arif Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia JADWAL Flash Presentation Sesi 2 KAMIS, 15 OKTOBER 2015 Sesi 2, Waktu: 14.20 – 15.30 C. Teknologi Pengendalian Serangga Hama pada Sistem Produksi Pangan No. Judul Identifikasi Potensi Ketahanan 36 Klon Baru Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap Hama Lanas (Cylas 24. formicarius F) (Coleoptera: Curculionidae) di Laboratorium Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong (Etiella 25. zinckenella Treitschke) Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (Snell.) Terintegrasi dan Analisis Pendapatan 26. Petani di Perkebunan Rakyat Pengujian 6 Jenis Tanaman Sebagai Bahan Pestisida Nabati Terhadap Intensitas Kerusakan Biji Kedelai Akibat 27. Serangan Hama Gudang Callosobruchus spp. 28. Pengujian Lapangan Feromon Sintetik terhadap Hama Lanas (Cylas formicarius) pada Tanaman Ubi Jalar Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Padi terhadap Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata 29. lugens Stal.) Pengaruh Tekhnik Pengendalian OPT pada Tanaman Cabai Merah terhadap Hasil Panen, Residu dan Biaya 30. Pengendalian Pengaruh Ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz) Terhadap Hama Ulat Penggerek Buah 31. (Helicoverpa armigera Hubner) pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L) Varietas Cosmos 32. Insektisida Nabati Bengkuang dan Tembakau Dalam Pengendalian Preventif Hama Daun Kedelai Uji Keberadaan Bakteri Penyebab Penyakit Darah pada Tubuh Beberapa Serangga Pengunjung Bunga Pisang di 33. Daerah Cigadung, Bandung Evaluasi Tingkat Parasitisasi Parasitoid Larva Penggerek Pucuk Tebu Scirpophaga nivella Ferr. (Lepidptera: 34. Pyralidae) Di Perkebunan Tebu Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. 35. Pengaruh Tanaman Jagung Berendofit Terhadap Populasi Ostrinia Furnacalis Guenee Pengaruh Ekstrak Andropogon nardus untuk menekan populasi hama buah kakao Helopeltis sp dan P. Palmipora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat D. Serangga Menguntungkan 36. xiv Pembicara Syarif Hidayat Dodin Koswanudin Alam Anshary Yenny Muliani I Made Samudra Dodin Koswanudin Eti Heni Krestini Dikayani Kurnia Paramita Sari Maria Marselina Bay Nenet Susniahti Itji Diana Daud Mairawita Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia No. Judul Aktivitas Enzim Amilase, Lipase dan Protease dari Usus Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens) yang diberi 37. Pakan Jerami Padi Kelimpahan Lebah Penyerbuk Apis cerana Dan Trigona sp. (Hymenoptera: Apidae) Pada Tanaman Brassica 38. rapa Dan Hubungnnya Dengan Faktor Lingkungan 39. Keragaman Serangga pada Berbagai Tumbuhan Berbunga di Sekitar Pertanaman Padi di Sukamandi Pengaruh Populasi dan Jumlah Kunjungan Polinator Elaeidobius kamerunicus Faust. Terhadap Pembentukan 40. Fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc. E. Entomologi Permukiman, Veteriner, dan Industri karantina No. Judul Status resistensi Beberapa strain Kecoa Jerman Blattella germanica (Dyctioptera; Blattellidae) dari 8 Kota di 41. Sumatera terhadap Deltametrin Food Preferences and Its Application as Fipronil Bait on Subterranean Termites (Isoptera: Termitidae) Under 42. Field Conditions Status Resistensi Beberapa strain Lalat Rumah Musca domestica (Diptera: Muscidae) Terhadap Insektisida 43. Imidakloprid dan Permethrin Penurunan Tingkat Resistensi Kecoa Jerman (Blattella germanica L) (Dictyoptera: Blattellidae) yang Dipelihara 44. di Laboratorium Terhadap Fipronil 45. Identifikasi dan Distribusi Nyamuk di Pesisir dan Pegunungan Kabupaten Pangandaran 46. Distribusi Nyamuk Vektor Demam Berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kota Bandung 47. Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai Larvasida Lalat rumah (Musca domestica) 48. Kajian Perilaku Agonistik Intraspesifik Koloni Rayap Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae) Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Keberlangsungan Hidup Rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae) 50. Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit 51. Preferensi pakan beberapa strain Kecoak Jerman, Blatella germanica Linn (Dyctioptera : Blattellidae) F. Topik-Topik Lain yang Terkait dengan Serangga No. Judul Pengaruh Minayak Atsiri Serai wangi (Cymbopogon nardus L.) Terhadap Kutu Kepala (Pediculus humanus 52. capitis) 53. Kiat Menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh 54. Perilaku Petani Lembang dan Pangalengan dalam Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang 49. xv Pembicara Ateng Supriyatna Fitrallisan N. Usyati Agus Dana Permana Pembicara Nova Hariani Ashari Zain Sri Yusmalinar Trisnowati Budi Ambarningrum Ilbi Restu Sholihat Ramad Arya Haddi Wisnu Yudha Ina Rosaria Ledya Sari N. Sushanti Idris-Idram Resti Rahayu Pembicara Ucu Julita Wahyu Widayat Asma Sembiring Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 55. 56. Karakteristik Morfologi Polong dan Hubungannya dengan Ketahanan Terhadap Hama Pengisap Polong, Riportus linearis Teknik Penyimpanan Ubi Jalar Segar Untuk Menurunkan Kerusakan Hama Boleng (Cylas formicarius) xvi M. Muchlish Adie Retno Endrasari Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia DAFTAR PESERTA No. 1 2 3 4 5 6 Nama SYAMSUL MA'ARIF SYARIF HIDAYAT NOVA HARIANI ALAM ANSHARY ATENG SUPRIYATNA SRI YUSMALINAR Instansi Universitas Padjadjaran Fakultas Pertanian Unpad Universitas Mulawarman Fakultas Pertanian Universitas Tadulako ITB Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB 7 TRISNOWATI BUDI AMBARNINGRUM 8 WILNA SARI 9 10 11 Dr. YENNY MULIANI AULIA AZH ZAHRA MARTUA SUHUNAN 12 IDA KINASIH 13 NARTI FITRIANA 14 HAIRIL ANWAR 15 UCU JULITA 16 ILBI RESTU SHOLIHAT 17 MOHAMAD REDZKA ANDIKA 18 19 20 21 22 23 24 25 SRI WAHYUNINGSIH KURNIA PARAMITA SARI FITRALLISAN MARIA MARSELINA BAY RAMADHANI EKA PUTRA MASRIANY NENET SUSNIAHTI AGUS DANA PERMANA Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Sekolah Tinggi Pertanian Haji Agus Salim Bukittinggi Sumatera Barat UNINUS SITH ITB Departemen Hama dan Penyakit Fakultas Pertanian Unpad Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BPTP Jawa Tengah Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Fakultas Pertanian UNPAD SITH ITB 26 27 MOCHAMAD ARDIANSYAH RAMAD ARYA FITRA 28 DIKAYANI 29 30 31 32 33 INDRA WIBOWO ASMA SEMBIRING E HENI KRESTINI AGUS SUSANTO WAHYU WIDAYAT Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan UNPAD Institut Teknologi Bandung Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung SITH ITB Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang Balitsa Universitas Padjadjaran Balai Penelitian Teh dan Kina Gambung 34 INA ROSARIA Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung 35 36 LEDYA SARI NIA KURNIAWATI Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung Balai Besar Penelitian Tanaman Padi xvii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 37 38 ASHARI ZAIN EKO HARI ISWANTO 39 ITJI DIANA DAUD 40 41 42 MARIDA SANTI YIB AYDA KRISNAWATI YENI HADIYANTI SITH ITB Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin, Makassar Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi UIN Sunan Gunung Djati Bandung 43 HADDI WISNU YUDHA Institut Pertanian Bogor 44 45 46 47 48 AHMAD SOHIB ROZIATUL AFWAH ERNA HERNAWATI IRFAN NURDIANSYAH M NUR QADRI S 49 DESTI NURBA INDAH KURNIA 50 DEYDRA FITRIA NUR RAHMAH 51 52 53 54 55 56 57 LIA SUGIARTI KOVERTINA RAKHMI INDRIANA BETTY SAHETAPY ESTER D MASAUNA Ir SAARTJE HELENA NOYA MP Ir JEFIIJ VIRGOWATI HASINU MP Ir RIA Y RUMTHE MP 58 MOCHAMAD SOPIAN ANSORI SP UIN Sunan Gunung Djati Bandung UIN SGD Bandung Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati UIN Sunan Gunung Djati Bandung Institut Teknologi Bandung Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat 59 IDA FARIDA SP Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat 60 LUCKY WIDIASTUTI SP Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat 61 DIAH AYU SITHORESMI SP 62 63 64 65 REZZA FIRMANSYAH RIFKY ADHIANSYAH KARTIKA APRILIA PUTRI RIZQI DWI ARDYANTO Balai Proteksi Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat UNINUS SITH ITB Institut Teknologi Bandung PT Pundi Kencana Flour Mill 66 AZMI FIRMAN BANGKIT Institut Pertanian Bogor 67 68 69 70 71 72 73 74 75 SUPRIYONO NURENY GOO SUSI SOVIANA IMAM HANAFY ZAHARA FADILA ARIE ANGGRIAWAN MIA NURUL MILANI ASEP ANWAR SUTISNA ADE RAHAYU IRAWAN Fakultas Kedokteran Hewan IPB Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Fakultas Kedokteran Hewan IPB Institut Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor UNINUS UNINUS UNINUS UNINUS xviii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 ANISSA WILDANITA ROSALINDA RAYI WENINGGALIN N MUHAMAD ROMASIDIK AULIA SYIFAK BASHOFI SISKA RASISKA JERIKO JULIO EBEN STEFAN CHRISTINA NATALINA SILALAHI MILLA LISTIAWATI METI MASPUPAH MELIANI LINDUNG TRI PUSPASARI ASRIANI ATIAH SALMITA SALMAN WAHYUNI ENDAH RAHMAWATI HEMI MAHMUDDIN NENG YUNI MARHAMAH UNINUS UNINUS UNINUS UNINUS Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Universitas Padjadjaran Institut Teknologi Bandung SITH ITB UIN SGD UIN SGD BIOLOGI UNPAD Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian SITH ITB SITH ITB ITB ITB FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TADULAKO Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung xix Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KEYNOTE SPEAKER 1 Prof. Dr. Y. Andi Trisyono PENDIDIKAN DAN PENELITIAN ENTOMOLOGI DI INDONESIA xx Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KEYNOTE SPEAKER 2 Prof. D. Dharma B. Nasution OPTIMALISASI PERAN SERANGGA PENYERBUK DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Peran Serangga Penyerbuk pada Perkebunan Kelapa Sawit Darma Bakti Nasution dan Maryani Cyccu Tobing Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Pendahuluan Tanaman kelapa sawit bukanlah berasal dari Indonesia. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika. Tanaman ini di tanam di kebun Raya Bogor dan tumbuh sebanyak 4 pohon, kemudian dibawa dan dikembangkan di Sumatera Utara dan Aceh pada tahun 1911. Sejak tahun 2010 luas tanaman kelapa sawit lebih dari 11 juta ha yang tersebar di seluruh Kepulauan di Indonesia. Tanaman terluas terdapat di Riau, Kalimantan Barat, dan menggeser Sumatera Utara yang sekarang berada di posisi ke 3. Indonesia menduduki peringkat pertama dan menggeser kedudukan Malaysia sebagai Negara terluas dan pengekspor kelapa sawit dunia. Kelapa begitu popular karena saat ini pengembangan kelapa sawit banyak dimiliki pengusaha swasta dan rakyat. Sementara pemerintah melalui BUMN hanya memiliki kontribusi ± 8%, sedangkan rakyat mencapai 42% dan selebihnya adalah perusahaan swasta nasional dan asing. Produksi kelapa sawit Indonesia berupa tandan buah segar (TBS) per hektar dan rendemen minyak masih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia. Pertumbuhan perkebunan kelapa di Indonesia di masa mendatang cuukup besar, karena lahan yang masih tersedia cukup besaar terutama di luar Pulau Sumatera seperti Kalimantan dan Papua. Salah satu factor yang berpengaruh adalah kemungkinan besar adalah belum optimalnya penyerbukan. Seperti halnya pada tanaman lainnya, bahwa penyerbukan pada kelapa sawit juga dipengaruhi oleh factor lingkungan dan makhluk hidup (Hartley, 1976). Bunga pada tandan akan berkembang menjadi buah bila terjadi penyerbukan dengan sempurna yaitu sampainya serbuk sari sampai ke kepala putik. Proses polinasi dapat berjalan dengan bantuan angin atau hujan. Penyerbukan alami melaui factor fisis ini tidak menunjukkan hasil yang baik, sehingga para pekebun sejak lama mengunakan penyerbukan bantuan (assisted pollination). Hasil yang ditunjukkan cukup baik tetapi pekerjaan membutuhkan tenaga yang terampil dan terlatih. Di samping itu, pekerjaan ini sangat lambat dan membutuhkan biaya yang besar. Karena perkebunan kelapa sawit yang begitu luas dan munculnya bunga yang serentak pada periode yang pendek sehingga cara ini tidak efisien. Peranan Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit (SPKS) Selain penyerbukan dengan bantuan fisis juga ditemukan serangga penyerbuk (Entomophili). Pada kelapa sawit ada beberapa yang dikenal sebagai pollinator yaitu 3 jenis lebah ; Apis indica, A. dorsata, Melipona laeviceps. Ketiga jenis lebah banyak diketahui berada di perkebunan kelapa sawit di Malaysia (Hartley, 1976). Di Indonesia sendiri juga banyak ditemukan jenis lebah ini mengunjungi tanaman ketika berbunga dan mudah ditemukan pada tanaman hortikultura. Namun sampai sekarang belum banyak yang menyatakan lebah sebagai sebagai penyerbuk di kelapa sawit. Sebelum Elaeidobius xxi Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia pada tanaman kelapa sawit ditemukan Thrips hawaiiensis. Serangga ini ditemukan ditemukan di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun, serangga ini kemampuannya terbatas karena banyak dipengaruhi oleh cuaca (Lubis, 2008). Selain itu juga Pyrodercus sp (Lepidoptera: Cosmopterydae), tetapi serangga ini bersifat polyfag (Susanto et al., 2007). Kelapa sawit memiliki bunga jantan dan betina yang tumbuh terpisah. Bunga jantan dengan aroma yang khas menarik serangga untuk hinggap dan bergerombol. Peranan serangga dalam penyerbukan kelapa sawit dilaporkan oleh Syed (1979) bahwa ada serangga yang mengunjungi bunga jantan dan betina ketika mekar khususnya pada siang hari yaitu Elaeidobius spp dan Atheta sp. Peranan E. kamerunicus pada Kelapa Sawit di Indonesia. Peran sarangga local sangat kecil dalam penyerbukan sawit sehingga ketika itu perlu dilakukan penyerbukan bantuan (assisted pollination). Oleh karena itulah diambil inisiatif memasukkan serangga Elaeidobius kamerunicus (Coleoptera : curculionidae) melalui Kerjasama Puslitbun Marihat (sebelum bergabung menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan) dan PT PP London Sumatra.. Serangga ini dimasukkan dari Malaysia yang telah lebih dahulu memasukkannya dari Kamerun, Afrika. Serangga ini mendapat izin dari Menteri Pertanian dan dilepas secara terbatas pada perkebunan kelapa sawit pada tahun 1983 (Lubis, 2008). Sampai saat ini ada 4 jenis Elaeidobius sebagai pollinator kelapa sawit tetapi yang dimasukkan ke Indonesia adalah E. kamerunicus. Pollinator ini baik jantan dan betina selalu mengunjungi bunga jantan kelapa sawit. Namun, seranggan jantan memiliki kemampuan membawa pollen yang lebih tinggi dibanding jantan. Seekor jantan dapat membawa rata-rata 235 pollen sedangkan yang betina 56 pollen (Appiah and Agyei-Dwarko, 2013). Tanaman kelapa sawit di Indonesia banyak tumbuh di dataran rendah. Namun, dalam keadaan tertentu uga dapat tumbuh pada dataran tinggi sampai 5 m dpl dengan kisaran suhu 4- 8 :C. Serangga E. kamerunicus yang hinggap di bunga jantan ternyata membawa sebanyak 65% pollen yang viable. Setelah serangga ini dimasukkan ke Malaysia, maka sejak tahun 1981 tidak dilakukan penyerbukan bantuan lagi. Serangga ini dimasukkan ke Indonesia dan hasilnya cukup baik karena terjadi peningkatan keberhasilan ditandai dengan pertambahan produksi tandan sawit dari sebelumnya 36% menjadi 56, 59 dan 69% dalam waktu 3 tahun (Mariau and Genty, 1988). Berbeda dengan Amerika selatan, serangga yang terdapat sebagai penyerbuk ada 2 jenis yaitu Mystrops costaricensis (Nitidilidae) dan E. subvittatus terutama di sepanjang pantai Costarica dan lembah Mexico (Caudwell et al, 2003). Penanaman kelapa sawit di dataran tinggi hasilnya lebih rendah dibandingkan dengan dataran rendah. Salah satu factor yang berpengaruh adalah kehadiran serangga Pollinator. Satu hal yang menggembirakan adalah E. kemoronicus ternyata dapat hidup dan berkembang pada dataran tinggi. Walau di Amerika selatan dan Afrika serangga lebih baik perkembangannya di dataran rendah dan daerah pantai. Hasil penelitian Simanjuntak et al., (2015) menyatakan bahwa sampai pada ketinggian 902 m dpl ditemukan pollinator ±188,171 individu, sedangkan pada pada 530 m dpl terdapat ± 108,493 individu/ tandan bunga jantan anthesis. Hal ini menunjukkan bahwa serangga ini telah dapat beradaptasi dengan baik pada tanaman di lingkungan pertumbuhan kelapa sawit. Ketersediaan bunga jantan merupakan factor penting bagi perkembangan kumbang Elaeidobius. Selain sebagai sumber makanan, bunga jantan diketahui sebagai habitat kumbang (Headley et al., 2006). Hasil penelitian Susanto et al. (2007) bahwa idealnya daalam 1 hektar dibutuhkan paling sedikit 3 tandan bunga jantan dengan asumsi ± 20.000 ekor kumbang sehingga mampu menghasilkan 75% fruitset. Bila jumlah itu tercapai, maka populasi kumbang tidak menjadi factor pembatas bagi penyerbukan kelapa sawit termasuk di daerah dataran tinggi. Keberhasilan penyerbukan merupakan hal xxii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia yang penting dalam budidaya kelapa sawit. Keberhasilan penyerbukan sangat menentukan terhadap produksi kelapa sawit di Indonesia (Prasetyo dan Susanto, 2010). Aspek ekologis dan biologis E. kamerunicus Kumbang ini berasal dari Afrika sehingga kehidupannya sangat baik di daerah yang beriklim tropis. Indonesia yang beriklim tropis tidak jauh berbeda dengan negara asalnya sangat ideal bagi kehidupan kumbang Elaeidobius. Topografi lahan sawit dengan beberapa variasi suhu yang beragam tida menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pertumbuhan populasi kumbang. Fruitset merupakan persentase buah kelapa sawit yang terbentuk sebagai hasil dari penyerbukan. Keberhasilan serangga sebagai pollinator ditunjukkan kehadirannya pada bunga betina reseptif (Dhileepan, 1994; Praetyo, 2013). Selain itu serangga ini memiliki kemampuan untuk mengenal tanaman inangnya memalui senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman. Senyawa yang dihasil bersifat volatile yang merupakan stimulant feeding bagi serangga (Lunau, 2000). Serangga ini memiliki sikls hidup 18-34 hari dengan lama stadia telur, 2-4 hari; larva, 8-11 hari; pupa, 4-8 hari dan imago, 4-11 hari ( Simanjuntak et al., 2015). Serangga ini aktif siang hari dan larva dan pupanya hidup berkelompok pada tandan sawit. Optimalisasi Peran Penyerbuk Kelapa Sawit Setelah lebih dari 30 tahun serangga ini masuk ke Indonesia ternyata menunjukkan hasil yang gemilang, karena dapat menaikkan pembentukan fruit set yang sangat signifikan. Ada beberapa indicator yang menyebabkan serangga ini berfungsi sebagai pollinator yang baik. 1. Iklim yang sesuai sehingga mendukung pertumbuhan populasi dan perkembangan serangga dengan cepat, 2. Dapat berkembang biak dengan mudah karena kelimpahan bunga sawit, 3. Memiliki kemampuan menyebar dengan baik dan cepat, 4. Dapat melakukan pembuahan dengan optimal karena serangga dapat mencapai bunga betina ditempat yang tersembunyi sekalipun (Susanto et al., 2012). Ada 5 factor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan serangga pollinator. Factor tersebut adalah : 1. Hilang atau lenyapnya tanaman (habitatnya), 2. Adanya invasive spesies, 3. Adanya musuh alami (pemangsa/parasite), 4. Perubahan iklim (climate chage) dan 5. adanya penggunaan pestisida (Raine, 2014). Pestisida adalah Salah satu faktor yang banyak berpengaruh pada kumbang penyerbuk serangga pollinator adalah pestisida. Beberapa faktor yang dapat mengganggu perkembangan SPKS 1. Pengaruh Pestisida terhadap perkembangan serangga Penyerbuk Sawit Pestisida banyak digunakan untuk mengendalikan serangga hama. Tanaman kelapa sawit memiliki banyak hama terutama pada serangga perusak daun. Ulat api merupakan hama penting pada kelapa sawit di Indonesia. Pengendalian ulat api dapat dilakukan dengan sistem Pengendaian Hama Terpadu (PHT). Ada 2 cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan hama yaitu dengan 1. Monitor secara teratur, 2. Memelihara kebersihan kebun secara baik dan 3. Penggunaan pestisida bila populasi sudah melewati ambang ekonomi. Manajemen kebun yang baik dengan menjaga kebersihan kebun menyebabkan tanaman lebih aman dari gangguan hama. Bila populasi hama mencapai ambang ekonomi, maka tidak ada cara yang dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida. xxiii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Ulat api merupakan hama tertenting di Sumatera dan pengendaliannya dilakukan para pekebun dengan insektisida. Pada umumnya pestisida yang digunakan adalah insektisida yang masuk ke dalam golongan sintetik pyretroid dan Organo fospat. Hampir semua insektisida kimia pengaruh dan menimbulkan kematian bagi serangga dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Dalam percobaan di laboratorium mortalitas mencapai lebih dari 90%, sedangkan dengan insektisida biologis menimbulkan kematian ±30% (Kristanto et al., 2012). Problem di pertanaman akan semakin besar pada tanaman yang sudah berumur 15 tahun ke atas karena tanaman seperti ini memiliki tinggi batang mencapai ±20 m (Kalidas, 2012). Penelitian lapangan tentang pengaruh insektisida telah dilakukan Prasetyo et al., (2013) yang menunjukkan bahwa Deltametrin dan Fibronil sangat berbeda nyata dengan Bacillus thuringiensis. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bila harus menggunakan insektisida pada tanaman kelapa sawit: 1. Penggunaan insektisda harus menjadi alternative terakhir, maka oleh karena itu perlu dilakukan monitoring yang baik dan kebersihan kebun sehingga dapat menghindari penggunaan insektisida, 2. Bila harus menggunakan insektisida haruslah menggunakan insektisida berbahan aktif biologis, sehingga dampaknya realtif kecil bagi serangga penyerbuk sawit, 3. Teknik aplikasi yang tepat dengan akurasi yang tinggi, yaitu dengan mengarahkan semprotan ke arah pelepah tanaman. 2. Adanya Musuh alami SPKS Setiap makhluk hidup termasuk serangga penyerbuk mempunyai musuh alami (natural enemies). Syed (1982) telah mengidentikasi bahwa ada beberapa predator laba-laba,semut, dan tikus yang memangsa telur, larva, pupa dan imago SPKS. Belakangan ada nematode Cylindrocorpus inevectus yang ditemukan memarasit SPKS. Penguatan peran SPKS Akhir-akhir ini ditemukan buah sawit yang perkembangan tidak normal yang disebut dengan buah landak. Buah dinamakan demikian karena duri tandan buah lebih panjang dengan buah yang lebih kecil dan sedikit. Hal ini terjadi diduga karena penyerbukan pada bunga betina tidak terjadi dengan sempurna. Program pemuliaan untuk menghasilkan klon baru dengan tujuan produksi yang tinggi ternyata menghasilkan lebih banyak bunga betina dari Bungan jantan sehingga tidak terjadi keseimbangan yang normal. Untuk itu diperlukan penyerbukan buatan, dan pelepasan serangga SPKS ke lapangan. Teknik pembiakan dan pelepasan SPKS di lapangan ini dinamakan dengan Hatch and Carry (Prasetyo et al., 2014). Serangga dipelihara dan dibiakkan dalam kotak ukuran 60x60x120cm yang terbuat dari tripleks yang atasnya ditutup dengan kain kasa yang bisa dan ditutup. Kotak berisi ini berisi 6-8 bunga jantan yang telah anthesis yang mengandung larva atau pupa (Prasetyo dan Susanto, 2012). Kotak ini ditempatkan di kebun (TM 1 -3) yang kurang mengalami fruitset yang rendah. Hal ini dilakukan pada perkebunan yang baru dibuka yang sex ratio nya tinggi. Kotak ditempatkan 1-3 kotak/25 ha (Prasetyo dan Susanto,2013). Kesimpulan 1. SPKS setelah 30 tahun dapat berkembang dengan baik dan hidup dengan baik di seluruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia, 2. Peran SPKS sangat penting karena dapat meningkatkan fruitset sehingga produksi tandan meningkat dengan secara signifikan, xxiv Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 3. Keberadaan SPKS dipengaruhi oleh cuaca terutama curah hujan dan ratio bunga jantan dan betina yang tinggi. Keberadaan bunga jantan yang banyak dapat menjamin kemantapan keberadaan SPKS. 4. Penggunaan berbagai praktek pengendalian dengan insektisida harus mempertimbangkan keamanan terhadap SPKS teerutama pada tanaman yang tinggi. 5. Pada daerah yang kurang mengalami fruitset kurang dari 30% dapat dilakukan dengan pelepasan SPKS dengan teknik Hatch and Carry. Saran Perilaku SPKS yang hidup berkelompok dan terbuka menyebabkan serangga mudah diparasit oleh berbagai serangga maupun patogen. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai musuh alami SPKS dihubungkan dengan keadaan musim hujan dan kemarau. Di samping itu juga perlu diteliti pertumbuhan dan pekembangan terhadap perubahan iklim yang ektrim pada daerah yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang luas. Daftar Pustaka Appiah SO and D Agyei Dwarko, 2013. Study on Entomophil Pollination towards Sustainable Production and increase Profitability in the oilpalm. Elixir Agriculture 55. Eardley,C; D.Roth,J. Clarke, S.Buchman, B. Gemmil,2006. Pollinators and Pollination. A source book for policy and Practices. The African Pollinator initiative (API). US Department of State. Hartley, CWS, 1976. The Oilpalm (2 edition) . Longman. Kalidas P., 2012. Pest Problem on Oilpalm and management Strategies for Sustainability. Journal of Agrotechnology. Review article (open access). Kristanto, D. Bakti, ME. Tarigan, 2012. Dampak Penggunaan Insektisida Terhadap Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit di laboratorium. Skripsi Sarjana pada Fakultas pertanian USU. Lubis, AU, 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jack) di Indonesia (Edisi 2). Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. Raine, N., 2014. Threat of Pesticides to Insect Pollinators. Lecture on Royal Holloway, Univ of London, UK. Prasetyo,AE; D. Sunindyo; PR. Tolentino; A. Susanto, 2013. Pengaruh Beberapa Jenis Bahan Aktif insektisida Terhadap Mortalitas dan Kemunculan Kumbang baru Elaeidobius kemarunicus Faust. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, Vol 21(3). Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.---------. dan A. Susanto, 2012. Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit Elaeidobius kamerunicus Faust: Agresivitas dan Dinamika Populasi di Kalimantan Tengah. Jurnal Pusat Peneliitian Kelapa Sawit. Vol 20(3). Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. --------- dan A. Susanto, 2012. Meningkatkan Fruitset Kelapa Sawit dengan Teknik Hatch and Carry Elaeidobius kemarunicus. Seri Kelapa Sawit Populer 11. Pusat Penelitian Kelapa sawit, Medan.--------. WO Purba, A. Susanto., 2014. Elaeidobius kamarunicus Faust. Application of Hatch and Carry Technique for Increasing Oil Palm Fruitset. Journal of Oilpalm Research. Vol 26(3). Simanjuntak, D; AE Prasetyo; A. Susanto, 2015. Karekteristik Populasi,siklus hidup dan aktivitas Elaeidobius kamerunicus di perkebunan Kelapa sawit. Warta Pusat penelitian Kelapa Sawit. Vol 20(1). Pusat Penelitian kelapa sawit, Medan. Susanto, A; RY Purba, dan AE. Prasetyo, 2007. Elaeidobius kemerunicus Faust. Serangga Penyerbuk Kelapa Sawit. Seri Buku Saku 28. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan. xxv Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KEYNOTE SPEAKER 3 Prof. Ridad Agoes - Program Studi Epidemiologi, Dept Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fak. Kedokteran Unpad. ENTOMOLOGI FORENSIK – MASIH ADAKAH TEMPAT DAN PELUANG DALAM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK MASA KINI Dengan berkembangnya ilmu epidemiologi kedokteran, maka berkembang pula satu cabang ilmu yaitu ilmu kedokteran forensik. Tugas ilmu kedokteran forensik adalah menunjang pemeriksaan dibidang kejahatan atau kriminal. Pada awal perkembangannya, salah satu bidang khusus yang sering digunakan untuk pemeriksaan mayat, terutama mayat yang meninggal karena kejahatan, adalah ilmu entomologi forensik. Dari definisinya, ilmu entomologi forensik adalah ilmu yang mempelajari dan menerapkan karakteristik serangga insekta/arthropoda dalam kaitannya dengan investigasi kejahatan atau investigasi kriminal. Dari sejak awal kematian, pada tubuh mayat lazim ditemukan beberapa jenis serangga yang tertarik pada proses pembusukan. Umumnya serangga yang lazim ditemukan adalah serangga dari jenis lalat Diptera, walaupun serangga lain pun pernah dilaporkan seperti semut, laba-laba dsb. Secara berurutan, lalat yang ditemukan adalah spesies dari genus Calliphoridae, disusul oleh Sacrophagidae, dan kemudian lalat rumah dari genus Muscidae. Kedatangan dan keberadaan serangga pada sebuah mayat dapat menentukan lamanya kematian, dari beberapa jam pasca kematian hingga beberapa bulan post mortem. Demikian pula stadium pertumbuhan serangga tsb, mulai dari stadium telur, larva, pupa dan imago. Namun inti dari pengamatan serangga sebagai alat deteksi forensik, dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu penentuan masa kematian (lazim disebut Post Mortem Index atau PMI), penentuan apakah mayat dipindahkan dari TKP, cara dan penyebab kematian, serta keterkaitan tersangka dengan korban. xxvi Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KEYNOTE SPEAKER 4 Prof. Dr. Baehaki - FKPR Badan Litbang Pertanian/PEI Bandung STRATEGI PENGELOLAAN SERANGGA HAMA DI LAHAN PERTANIAN UNTUK MENUNJANG TERCAPAINYA KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA ABSTRAK Pengelolaan serangga hama di lahan pertanian untuk menunjang tercapainya ketahanan pangan di Indonesia menjadi penting baik sebelum maupun sesudah ada tanaman di lapangan. Pada tahun 1989 Indonesia memulai program PHT yang diawali dengan SL-PHT berhasil melatih 250.000 petani sampai tahun 1993. Pengembangkan dan penerapkan PHT berlanjut dalam peningkatan produksi padi, namun pada tahun 2004-2006 terjadi pelandaian produksi sehingga perlu terobosan lain yaitu dengan diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) mulai 2007 dalam rangka P2BN, yang salah satu komponen PTT-nya adalah PHT biointensif. Pada Era pemerintahan 2014-2019 dalam pemenuhan kebutuhan pangan telah menerapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya antara lain: pengembangan jaringan irigasi, optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi perluasan Areal tanaman kedelai melalui penongkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Perluasan Areal Tanam Jagung (PAT Jagung), Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian), Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, Asuransi pertanian dan Pengawalan/pendampingan. Pengendalian hama terbaru bersama-sama dengan teknologi peningkatan produksi lainnya harus menerapkan triangle strategis yaitu strategi teknologi (SOP Pengendalian hama), strategi sosial, dan strategi kebijakan pemerintah yang dikemas dalam rencana tindak lanjut (RTL) sesuai dengan masyalah di lapangan. PENDAHULUAN Sebagai bangsa yang besar dari negara kepulauan, Indonesia harus memenuhi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri. Swasembada beras lestari adalah salah satu perwujudan dari kemandirian pangan dan ketahanan pangan nasional yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK). Ketahanan pangan dalam penyiapan produksi terkendala dengan serangan serangga hama yang sering mengganggu serta keterbatasan komponen lain yang menyangkut produksi. Usaha ketahan pangan nasional dengan diluncurkannya program PHT oleh BAPENAS mulai 1989 diawali dengan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) yang berhasil melatih 250.000 petani sampai tahun 1993 (Oka, 1995). Produksi padi sejak diluncurkannya program PHT Nasional dan selama penerapannya PHT terus meningkat, namun pada perjalanannya produksi padi melandai (leveling off) pada 2004-2006 tidak beranjak dari 54 juta ton, sehingga perlu terobosan teknologi baru yaitu dengan diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) mulai 2007 dengan metode berbeda. Terobosan baru tersebut yaitu Gerakan peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan peningkatan produksi beras 2 juta ton dan peningkatan produksi 5% pertahun sampai tahun 2009 sudah diupayakan dalam rangka pemantapan ketersediaan beras yang bersumber dari produksi dalam negeri. P2BN merupakan upaya yang terkoordinasi untuk membangun sistem pertanian tangguh dengan memasyarakatkan teknologi dan inovasi baru melalui pendekatan pengelolaan xxvii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia tanaman terpadu (PTT). Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan adalah melalui pendekatan agribisnis, pembangunan kawasan usahatani terpadu dan berkelanjutan dengan berbasis sumberdaya pertanian. Disamping itu, kelembagaan kedesaan juga dibina baik yang berfungsi sebagai penghantar (delivery) yaitu kelembagaan penyuluhan pertanian, perkreditan, pemasok sarana produksi serta pengolahan dan pemasaran hasil, maupun yang berfungsi sebagai penyerap/ penerima (receiving) yaitu kelompoktani dan koperasi (Yamin et al, 2012). Dalam pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai, lahan merupakan salah satu faktor produksi utama yang tidak tergantikan. Berdasarkan hasil audit lahan Kemtan tahun 2012, luas lahan sawah 8132346 ha. Indek pertanaman 140% dan produktivitas rata–rata 5,13; 4,93; dan 1,51 t/ha berturut-turut untuk padi, jagung dan kedelai (ARAM II BPS 2014) dalam Kepmentan No. 1243/Kpts/OT.160/12/2014. Untuk itu pada masa pemerintahan 2014-2019 Kementrian Pertanian menetapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya antara lain: pengembangan jaringan irigasi, optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi perluasan Areal tanaman kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Perluasan Areal Tanam Jagung (PAT Jagung), Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian), Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, Asuransi pertanian dan Pengawalan/pendampingan. TEKNOLOGI PEMBANGUN PRODUKSI KETAHANAN PANGAN 1. Pengendalian hama terpadu (PHT) PHT berlandaskan kepada ekologi, ukuran populasi hama dan kerusakannya memberikan pengaruh sangat banyak, sebagai cerminan dari pola dan pengelolaan ekosistem pertanian. PHT sebagai konsep original untuk mengelola hama melalui studi interaksi hama dengan lingkungannya, dipahami sebagai PHT konvensional. Beberapa akhli melontarkan PHT Biointensif yang menggabungkan factor ekologi dengan factor ekonomi ke dalam system pertanian untuk pengambilan keputusan agar kualitas lingkungan dan ketersediaan makanan yang diinginkan publik terjamin. Keuntungan pelaksanaan PHT biointensif dapat meningkatkan PHT yang berkelanjutan dengan mengurangi biaya untuk pemakaian bahan kimia, mengurangi pencemaran lingkungan baik on-farm maupun off-farm. PHT biointensif lebih effektif menekan hama, penyakit, dan gulma bila melalui prosedur integrasi berbagai taktik untuk menghindari hilangnya hasil dan menekan penggunaan pestisida (Jepson, 2009). Kunci utama PHT yang efektif adalah bila petaninya dapat memahami konsep (Defour, 2001). Jika para petani penghasil produk mengerti terhadap pertanyaan mengapa ada ledakan hama, maka dia akan melakukan bagaimana mengajari dirinya sendiri untuk antisipasi ledakan hama (Steiner, 1994). Perbedaan penting antara PHT konvensional dan PHT biointensif adalah tekanannya kepada strategi proaktif yang dirancang dalam ekosistem pertanian supaya tidak menguntungkan untuk perkembangan hama, namun dapat menguntungkan terhadap keberadaan komplek musuh alami predator dan parasitoid (Gambar 1). Pada waktu yang sama PHT biointensif disumbang oleh berbagai komponen seperti PHT konvensional, monitoring, penggunaan ambang ekonomi, catatan harian petani (farm record keeping) dan perencanaan (Dufour, 2001). xxviii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PHT biointensif dari awal lebih mengarah kepada manipulasi habitat serangga berguna di atas tanah & kesehatan tanah serta monitoring dan informasi populasi hama dan musuh alami yang akan menjurus kepada kesetimbangan biologi (biological balance) antara hama dan musuh alami. Dilain pihak PHT konvensiaonal mengarah kepada diversitas genetik tanaman atau kultivar yang layak pada satu ekosistem, tekanan hama, monitoring dan identifikasi hama serta pengendalian dengan bahan kimia. Pada pihak lain sebagai landasan dasar baik PHT biointensif maupun PHT konvensional tetap membutuhkan sanitasi, pengaturan waktu tanam serta rotasi tanaman, demikian juga PHT biointensif maupun PHT konvensional pada proses selanjutnya dapat menggunakan pengendalian hayati, mekanis maupun pengendalian fisik. Gambar 1. Ilustrasi PHT biointensif dan PHT konvensional dari Dufour (2001) PHT biointensif adalah PHT tingkat tinggi yang menerapkan pedekatan kepada pemahaman ekologi serangga dalam pengendalian hama. Pendekatan ini dimulai dengan diagnosis sumber masyalah hama yang akurat, kemudian dijadikan taktik pencegahan dan pengendalian biologi untuk menahan populasi hama pada batas yang diterima untuk memperkcil resiko (Benbrook, 1996). Diagnosis sumber masyalah harus dimulai dari desk study yang dilanjutkan di lapangan dengan participatory rural appraisal (PRA = pemahaman pedesaan secara partisipatif). PRA sering diterjemahkan menjadi Kajian Kebutuhan dan Peluang (KKP) dalam menentukan prioritas yang dibutuhkan petani (Baehaki, 2014). Tujuan Utama PHT biointensif adalah memberikan petunjuk dan pilihan terhadap pengelolaan hama yang effektif dengan memanfaatkan organisme yang berguna (beneficial organism) dalam satu system ekologi. xxix Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Jalan menuju penerapan PHT Biointensif telah tersedia beberapa kiomponen, baik yang berasal dari disiplin enotomogi maupun disiplin lain (nutrient management, irrigation management, weed management, variety management, sistim polykultur). a. Rekayasa ekologi (Ecological engineering) dengan pupuk organic sebagai pengkayaan predator Pupuk organik dapat menggunakan kompos jerami, tinja sapi dari sistem integrasi paditernak (SIPT), tinja hewan lain, dan bahan lainnya untuk perkembangan lalat Ephytrid, Colembola dan Chironomid. Tiga kelompok serangga netral dan pemakan sisa bahan organik (detritus) dapat berkembang pada bahan organik (Settle et al. 1996). Bahan organik memperkaya populasi musuh alami Ephytrid, Colembola, dan Chironomid sebagai makanan laba-laba (sebagai musuh alami yang berguna menekan hama). Kondisi lingkungan pertanian dengan mengedepankan kinerja musuh alami disebut rekayasa ekologi (Ecological engineering) (Baehaki 2014). Salah satu tujuan dari rekayasa ekologi adalah kesehatan ekosistem menuju pertanian berkelanjutan (Costanza 2012). Dalam praktek pengkayaan musuh alami dapat dilakukan pada pertanaman jajar legowo + pupuk dari SIPT (Baehaki et al. 2012). b. Rekayasa ekologi (Ecological engineering) dengan SIPALAPA dan tanaman bunga untuk pengkayaan predator dan parasitoid Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihan biodiversitas (restored biodiversity) dan pelayanan ekosistem dengan mengembangkan tanaman bunga di sekitar tanaman padi (pematang, surjan atau tegalan) telah dilakukan di Indonesia dengan memperkenalkan sistem integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA) pada tahun 2002, yaitu menanam kedelai, jagung, dan sayuran seperti sawi dan kacang panjang di pematang (Baehaki 2011a). Pada system integrasi pertanaman padi dan palawija sebagai metode baru pengembangan pertanian modern bahwa tanaman palawija sebagai tempat berlindung (shelter) komunitas musuh alami, b) pengkayaan musuh alami spesifik dan musuh alami umum, dan d) tempat bersembunyi (refuji) musuh alami dan dan tempat berkembang biak musuh alami baik predator maupun parasitoid. Hal demikian juga dilakukan di Vietnam, dengan tanaman bunga (Huan and Chien, 2010). Tanaman bunga yang ditanam adalah yang mengandung nektar sebagai makanan parasitoid untuk kebugaran dan memperpanjang umur. Tanaman bunga yang dipakai seperti Wedelia chinensis, Helianthus sp, Lantana camara, Crotalaria, okra atau wijen Sesamum indicum yang ditanam di pematang sawah. Rekayasa ekologi di China dengan menanam wijen di pematang sawah. c. Zat penghambat hama pengisap cairan tanaman padi Asam oksalat, maleat, dan trans-akotinik sebesar 0,1% dapat menghambat wereng cokelat mengisap cairan tanaman, sedangkan asam sitrat, malat, dan suksinat tidak dapat menghambat hisapan cairan tanaman oleh wereng cokelat (Yoshihara 1980). Data proteomik (protein genom) menunjukkan bahwa mekanisme makan wereng cokelat disertai dengan bermacam tekanan seperti melukai, stres oksidatif, patogenesis dan sifat herbivora serangga. Saat seranggga makan, pengembangan pertahanan dasar yang kuat terjadi pada galur rentan dibandingkan dengan galur tahan. Ekspresi protein jasmonic acid (JA) sintesis, protein stress oksidatif, Gns1 (glucanase 1), protein kinase dan clathrin dengan rantai protein yang berat meningkat pada kedua galur rentan maupun tahan, tetapi tingkat ekspresi yang lebih tinggi terlihat pada galur rentan setelah diberi perlakuan wereng cokelat (Wei et al. 2009). Uraian di atas memberikan petunjuk bagaimana xxx Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia seharusnya pemulia tanaman menyikapi perakitan varietas yang tahan wereng cokelat, sehingga dalam perakitan varietas harus didasari kesesuaian gen ketahanannya. d. Teknologi Pengendalian Hama Padi Dengan Sistem Rotasi Palawija Pada Padi (ROPALAPA) Teknologi Pengendalian Hama Padi dengan Sistem Rotasi palawija pada padi (ROPALAPA) adalah termasuk strategi proaktif PHT biointensif. ROPALAPA diartikan bahwa pada satu areal ada pergantian pertanaman yaitu setelah panen padi, lahan tersebut ditanami palawaija. Palawija yang dianjurkan adalah kedelai dan kacang hijau. ROPALAPA dapat meningkatan agribisnis horizontal, membantu program pemerintah, mengurangi import palawija, pengendalian hama untuk memutus siklus hama padi, memperkaya musuh alami, bila palawijanya ikan akan baik untuk pengendalian penggerek, terutama yang berdiapause. e. Tanaman Perangkap Tanaman perangkap sering kali merupakan tanaman lebih kecil dan sering ditanam lebih awal dari tanaman utama yang digunakan untuk mengalihkan serangan serangga menjauh dari tanaman utama dengan menggunakan sumber makanan lebih menarik. Tanaman perangkap biasanya harus dihancurkan sebelum serangga mereproduksi. Tanaman perangkap harus mempunyai keistimewaan lebih disukai dari pada tanaman budidaya utamanya. Hama yang menyerang tanaman perangkap sebaiknya dihilangkan sebelum hama dapat menyelesaikan siklus hidupnya atau hama tidak diberi kesempatan menyelesaikan semua siklus hidupnya. Tanaman jarak kepyar, sorgum, dan kacang hijau dapat digunakan sebagai tanaman perangkap pada tanaman budidaya tembakau. Populasi hama pada tembakau dapat ditekan hingga 50%, oleh karena itu penyemprotan insektisida secara berjadwal untuk mengendalikan serangga hama tembakau cerutu besuki merupakan tindakan pengendalian yang tidak efektif dan juga tidak efisien (Nurindah et al., 2009). Penggunaan kacang hijau memberikan produksi kerosok (daun tembakau kering) dengan mutu paling tinggi dibanding dengan tanaman perangkap lainnya. Dari hortikultura dilaporkan bahwa tanamann kubis dapat terhindar dari serangan hama Plutella xylostella, karena adanya tanaman yellow rocket (Barbarea vulgaris (R. Br.) variety arcuata) yang dijadikan tanaman perangkap. Hama tersebut sangat tertarik kepada yellow rocket untuk bertelur, namun larvanya tidak hidup pada tanaman tersebut (Perez et al., 2004). Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman perangkap atau penolak hama jagung Chilo partellus (Pyralidae) and Busseola fusca (noctidea) dalam Strategi tolak-tarik (push-pull strategy). Rumput gajah (Pennisetum purpureum) dan rumput Sudan (Sorghum vulgare sudanense) menunjukkan sebagai tanaman perangkap, sedangkan rumput molasses (Melinis minuflora) dan silverleaf Desmodium (Desmodium uncinatum) menolak (repelen) peletakan telur penggerek batang (Khan et al., 2000 in Khan dan Pickett, 2004). Tumpangsari rumput molase yang dengan jagung akan mengurangi serangan penggerek batang dan meningkatkan parasitisme oleh musuh alami, Cotesia sesamiae (Khan et al. 1997 in Khan dan Pickett, 2004), namun demikian keempat rumput tersebut selain sebagai tanaman parangkap juga secara ekonomi sangat penting sebagai makanan ternak di Afrika Timur. f. Lampu perangkap hama (light traps) Lampu perangkap sangat penting untuk mendeteksi hama betina/jantan imigran yang pertama kali datang di pesemaian atau pertanaman. Alat ini penting untuk mengetahui kehadiran hama imigran dan dapat menangkap hama dalam jumlah besar. BB Padi telah menyalurkan lampu xxxi Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia perangkap elektrik BSE-G3 sebanyak 26 unit untuk berbagai Kebun Penelitian Jawa dan Bali (Baehaki, 2013). Satu lampu pengangkap BSE-G3 dan BSE-G4 dengan kekuatan lampu ML 150 Watt dapat meliputi 500 ha untuk monitoring dan meliputi 100 ha untuk reduksi hama. Pada percobaan rekayasa ekologi seluas 37 ha di Jin Hua povinsi Zhejiang, China telah dipasang lampu perangkap sebanyak 40 buah, jumlah ini terlalu banyak dari yang dibutuhkan untuk pemantauan wereng imigrasi. Perangkap ini cukup banyak murunkan hama, namun ada risiko bahwa musuh alami, khususnya beberapa parasitoid hymenopteran bisa dibunuh (Gurr, 2009). 2. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Pengendalian hama padi merupakan prioritas utama setelah ada pertanaman padi di lapangan, karena kegagalan pengendalian hama tersebut akan menurunkan produksi yang sangat drastis. Dalam rangka penyelamatan produksi padi maka pengendalian hama telah mnggunakan berbagai teknologi mulai penyediaan varietas tahan, penggunaan musuh alami, cara budidaya (waktu tanam, pengairan, pemupukan, dll), dan insektisida yang dirangkum dalam PTT atau dalam bentuk lain tergantung kepada siapa pengelola dan apa kepentingannya. PTT dibangun oleh teknologi yang dihasilkan dari berbagai disiplin dan bidang keakhlian. Ahli proteksi tanaman menghasilkan dan menyempurnakan konsep dan teknologi pengendalian hama terpadu (PHT) yang bertujuan untuk pencapaian keseimbangan biologi hama-musuh alami supaya ada dibawah ambang ekonomi. Ahli agronomi menghasilkan pengelolaan nutrisi tanaman terpadu (PNT), bertujuan menghasilkan budidaya sehat dengan suplemen yang dirakitnya serta identifikasi nutrisi mayor dan minor, Ahli pemuliaan menhasilkan pengelolaan varietas terpadu (PVT), bertujuan menghasilkan varietas tahan hama, produksi tinggi, dan berkualitas. Ahli tata guna air menghasilkan pengelolaan air terpadu (PAT), bertujuan untuk menhasilkan teknologi hemat air. Ahli gulma menghasilkan pengendalian gulma terpadu (PGT), bertujuan untuk menekan gulma yang mengganggu pertumbuhan padi. Disamping itu perlu dikembangkan pengelolaan pestisida terpadu (PPT), bahkan PTT memerlukan sosial ekonomi dan pasca panen. PTT mengkombinasikan semua teknologi pertanian moden bertujuan untuk menhasilkan produksi tanaman dengan kuantitas dan kualitas yang diperlukan, dilain pihak sistim pertanian terpadu (integrated farming system) bertujuan produksi nabati dan daging dengan proses zero waste untuk mencapai system pertanian berkelanjutan (Baehaki, 2006; Baehaki, 2010) (Tabel 1). Tabel 1. Teknologi pendukung pengelolaan tanaman terpadu. Kelompok Akhli/juru san Teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian Teknologi Parsial tiap kelompok Tujuan Proteksi Tanaman Pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Management = IPM) Keseimbangan biologi hamamusuh alami ada dibawah ambang ekonomi Agronomi Pengelolaan nutrisi tanamam terpadu (Integrated Nutrient Management = INM) Budidaya sehat, identifikasi nutrisi makro dan mikro Pemuliaa Pengelolaan variets terpadu Varietas tahan xxxii Holistik Pengelolaan Tanaman terpadu (Integrated Crop Management = ICM) bertujuan produksi tanaman Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia n Tanaman (Integrated Varieties Management = IVM) hama, produksi tinggi, berkualitas Tataguna Air Pengelolaan air terpadu (Integrated Water Management = IWM) Efisiensi pemakaian air Gulma Pengendalian gulma terpadu (Integrated Weeds Management = IWM) Menekan persaingan padigulma Kimia dan biopestisi da Pengelolaan kimia pestisida terpadu dan biopestisida (Integrated Chemical Pesticide Management =IPCM and biopesticides) Efikasi tinggi, Target selektif Alsintan Pengelolaan alat dan mesin pertanian Akurasi Alat dan mesin Sosial Ekonomi Analisis break event point dan lingkungan Kebijakan dan lingkungan Integrated farming System bertujuan produksi nabati dan daging dengan proses zero waste Integrated Crop Management (ICM) + Peternakan Sumber: Baehaki (2006, 2010) Teknologi pengelolaan tanaman terpadu di Vietnam melaksanakan program Three Reductions, Three Gains (3R, 3G) dengan bahasa daerahnya Ba Giam, Ba Táng. Program ini untuk mereduksi ongkos produksi, meningkatkan kesehatan petani, dan mempertahankan lingkungan sawah irigasi di Vietnam Selatan melalui reduksi pemakaian benih, pemakaian pupuk dan insektisida. Program tersebut berhasil di An Giang menurunkan pemakaian benih dari 200-350 kg/ha menjadi 151 kg/ha, tetapi di Can Tho masih 220 kg/ha. Pemakaian nitrogen menurun dari 150-300 kg/ha menjadi 100-120 kg/ha, dan aplikasi insektisida sebanyak 10-15 kali menurun 13 - 33%, karena aplikasi dimulai dari 45 hst (no early spraying =NES) (Huelgas dan Templeton, 2010). Di Indonesia penurunan pemakaian benih dengan perbaikan pemuliaan dan produksi benih dari 40 kg/ha menjadi 15 kg/ha, demikian juga efisiensi pemakaian Nitrogen/NPK meningkat, dan pelaksanaan PHT telah mereduki pemakaian insektisida dan frekuensinya, serta telah mengeliminir insektisida yang efikasinya rendah. Disadari bahwa PHT memegang peranan penting dalam pengembangan PTT, hal ini karena konsepsi dan teknologi PHT lebih dahulu berkembang. Bradley et al. (2002) menggambarkan bahwa PHT berada di lingkaran pusat yang bertujuan terfokus terhadap pengendalian hama. PTT yang dibagun oleh PHT berada pada lingkaran kedua yang bertujuan pengelolaan tanaman untuk produksi, sedangkan pada lingkaran ke tiga adalah sistem pertanian terpadu yang dibangun oleh seluruh aspek penunjang pertanian terutama PTT dan peternakan (Gambar 2a). Selain itu teknologi pendukung PTT harus pula dibangun oleh berbagai teknologi dari disiplin lain seperti akhli tanah, akhli lingkungan dan teknologi dari akhli-akhli lainnya. Sekelompok agronomis dari University of Hertfordshire (2001) yang mengemukakan bahwa PTT dibangun oleh pengelolaan varietas, pengelolaan tanaman-ternak, organisasi dan perencanaan, efisisnsi energy, pengelolaan nutrisi tanaman, proteksi tanaman, lokasi, rotasi tanaman, pengelolaan satwa liar, habitat dan fitur landscape (Gambar 2b). xxxiii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Sumber: Bradley et al, 2002 Sumber: University of Hertfordshire (2011) Gambar 2. Teknologi modern pembangun pengelolaan tanaman terpaddu dan Farming System PTT yang diadopsi petani, menyangkut beberapa perubahan pada praktek pertanian yang telah ada, karena PTT selalu berkembang dan menggunakan teknologi mutahir. PTT pada pandangan produsen menjamin keberlangsungan hidup berkelanjutan, sedangkan pada pandangan konsumen mengharapkan pasokan berkelanjutan yang terjangkau disertai kualitas barang yang dihasilkan. Dalam praktek meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan, petani diberikan pilihan teknologi produksi yang telah dikembangkan dan disebarkan secara efektif melalui pendekatan PTT. Balasubramanian et al (2010) melaporkan bahwa petani semakin mengadopsi PTT seperti petani di India, Indonesia, dan Filipina, juga saat ini PTT sudah diperkenalkan ke Bangladesh, Timor Timur, dan PTT memiliki potensi untuk para petani skala kecil di Afrika dan ditempat lain. IMPLEMENTASI TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA Tekonologi pengendalian hama sudah sangat banyak macamnya, namun penerapan di lapangan banyak yang tidak berhasil, disebabkan melupakan sosial kemasyarakatan diantaranya tidak ada kesepakatan waktu tanam, bimbingan kurang, sentuhan IQ petani tidak memadai. Teknik pengendalian hama terbaru yang harus diterapkan adalah menerapkan 3 strategis pengendalian yaitu strategi teknologi (SOP Pengendalian wereng coklat), strategi sosial (Sosiologi) dan strategi kebijakan pemerintah (Gambar 3). xxxiv Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia SOP of pests management Technology Public administration Sociology Gambar 3. Strategi segetiga (triangle strategies) pengendalian hama Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengendalian hama tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi, karena teknologi itu barang pasip, tidak akan aktif bila tidak ada yang menggerakkan. Penggerak utama teknologi adalah masyarakat tani sebagai pemakai teknologi. Di pihak lain bila mana ada sesuatu yang tidak baik yang berlaku untuk kepentingan umum di lahan produksi pertanian, maka harus ada strategi ke tiga adalah kebijakan pemerintah. Strategi Teknologi Dalam pengendalian wereng coklat sebagai contoh, sudah banyak teknologi yang dihasilkan untuk mengendalikannya sejak ditemukannya varietas tahan IR64 sampai yang terakhir ditemukannya varietas Inpari 13 yang tahan wereng coklat lapangan dan toleran serangan penyakit virus kerdil. Strategi teknologi telah dituangkan dalam SOP Pengendalian wereng coklat (Baehaki, 2011b). Strategi ini menyangkut Varietas pilihan, Lampu Perangkap (Light traps), Waktu Pesemaian Padi, Tuntaskan Pengendalian Pada Generasi 1, Pengamatan Wereng Coklat di Pertanaman dan Pengendaliannya berdasar musuh alami, Penggunaan Insektisida dan Pengendalian Penyakit disebar Vektor Strategi Sosial Sebagian besar petani dalam melaksanakan usaha produksinya kurang mandiri, petani terindikasi menjadi peminta. Petani kurang mempunyai rasa memiliki terhadap apa yang diusahakannya yang menyebabkan banyak ketergantungan kepada institusi dan petani selalu ikutikutan. Oleh karena itu sebenarnya program pemerintah dengan dibentuknya kelompok tani yang mengarah kepada gapoktan untuk mendidik petani supaya mandiri. Namun demikian sebaik apapun program/proyek kalau hanya konsumsi instan, maka setelah selesai kegiatan dapat diduga tidak ada keberlanjutan. Hal ini salah satu penyebabknya adalah komitmen stakeholder baik itu dari unsur pemerintah sector bisnis dan masyarakat agribisnis lainnya dalam mendukung upaya pembangunan padi belum maksimal (Hafsah, 2004). xxxv Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Pembangunan pangan dan pertanian pedesaan ditandai oleh introduksi teknologi yang kemudian dikenal dengan revolusi hijau dengan menampilkan varietas unggul, pupuk buatan, mekanisasi pertanian, irigasi teknis, dan intensifikasi petanian massal mampu mengangkat hatkatmartabat penduduk desa (Dharmawan, 2006). Oleh karena itu untuk menyikapi hal tersebut dibutuhkan tanggung jawab dari semua pihak. a. Tanggung Jawab Petani Bertanam Padi Berjamaah Apa yang terjadi di tingkat petani saat ini. Alur pikir yang ditampilkan tidak dalam kapasitas tingkat kepercayaan 95%, tetapi paling tidak di daerah setelah terbentuknya kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) cenderung menjadi kemompok-kelompok yang ingin berdiri sendiri dan tidak memikirkan kelompok lainnya. Perlu dipahami bahwa: a. secara organisasi kelompok, poktan dan gapoktan dibenarkan berusaha mandiri dan mensejahteraan kelompoknya, b) secara organisasi kenegaran yang lebih luas antar poktan dan gapoktan harus ada koordinasi dan sinkronisasi dalam hal bertanam padi bersama secara berjamaah dalan areal yang luas disesuaikan dengan agroekosistemnya. Antar organisasi atau kelompok tani sebaiknya harus saling bersinergi, namun demikian untuk menggerakan masyarakat diperlukan modal social (social capital) yang sangat penting dalam konsep pembangunan pertanian menuju target pemerintah. Tiga komponen utama yang penting dalam hal modal social adalah 1). Kepercayaan (trust) antar komponen /anggota masyarakat yang memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu persoalan, 2). Jejaring organisasi kelompok (social networking) atau jejaring individu berupa ikatan (bond) atau pertemanan (bridge) untuk mendukung gerak aksi kolektivitas menjadi makin sinergi, dan 3). Norma-norma dan system nilai (norms and institutions) yang biasanya berciri local yang mengawal serta menjaga proses pembangunan sehingga tidak mengalami penyimpangan (Dharmawan, 2004). Secara teknis tanam padi berjamaah sangat penting untuk menghindari penumpukan hama pada satu daerah atau penumpukan hama pada titik serangan yang akan menyebar menjadi hama pada areal yang luas. Tanam padi berjamaah secara serentak dalam areal yang luas tidak dibatasi oleh batas administrasi. Wereng coklat imigran terbang bermigrasi tidak dapat dihalangi oleh sungai atau lautan. Bila suatu daerah panen atau puso maka wereng makroptera (bersayap panjang) akan terbang bermigrasi mencari tanaman muda dalam populasi tinggi, hinggap (landing) dan berkembang biak pada tanaman padi muda. Bila areal tempat migrasi sempit, maka populasi imigran akan padat. Hal ini perlu disadari oleh petugas maupun petani bahwa wereng coklat dapat bermigrasi sampai 200 km dari daerah/titik serangan ke daerah yang pertanamannya masih vegetatif, bahkan telah diketahui bahwa wereng coklat dari daratan Cina dan Vietnam Selatan bermigrasi melintasi lautan menuju Korea dan Jepang. b. Tanggung Jawab Pemerintah Membimbing Tanam Padi Berjamaah Secara teknis perlu dilakukan pertemuan dengan komisi perlindungan tanaman untuk membicarakan perbaikan pedoman pengamatan dan pengendalian wereng coklat dengan mengacu kepada SOP Pengendalian wereng coklat terbaru yang dikeluarkan BB Padi. Pertemuan untuk koordinasi harus terus dilakukan dan ditindaklanjuti dengan action. Di tingkat atas Dirjentan dalam pencapaian target produksi didukung oleh Badan SDM, Badan Litbang dan PLA. Di tingkat lapangan perlu harmonisasi antara tri partit yaitu POPT, PPL dan KCD, hal ini penting untuk menyamakan persepsi, tugas kenegaraan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu xxxvi Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia perlu dilakukan penyegaran/refresing di bidang perlindungan tanaman yang melibatkan dinas yang ada dilapangan (POPT, PPL, dan KCD/UPTD). Keharmonisan tripartit sangat ditungtut untuk membawa petani tanam berjamaah dalam satu kawasan dengan jadwal waktu tanamnya diberi batasan antara tanam pertanam dantanam terakhir adalah 15 hari. Dari sisi tujuan, implementasi otonomi daearah pada dasarnya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian daerah dalam mengembangkan daerah sendiri. Wijaya (2002) berpandangan bahwaa otonomi daerah diarahkan untuk: 1. Peningkatan pelayanan public dan pengembangan kreatifitas serta aparatur pemerintahan di daerah 2. Kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah dalam kewenangan dan keuangan 3. Menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat daerah 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. Dari uraian di atas pemerintah terutama pemerintah daerah harus membawa masyarakat untuk membangun daerahnya. Satu hal yang penting untuk digarisbawahi berkaitan dengan community relations adalah butir 1 khusus untuk pengembangan kreatifitas masyarakat. c. Tanggung Jawab Pengusaha Penghasil Sarana Produksi Tanggung para pengusaha berupa tanggung jawab sosial korporat yang melakukan tindakan social termasuk lingkungan hidup lebih dari batas-batas yang ditngtut oleh undang-undang. Tanggung jawab social sebagai komitmen berkelanjutan kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan sumbangan pada pembangunan ekonomi sekaligus memperbaiki mutu hidup angkatan kerja dan keluarganya serta komunitas local dan masyarakat secara keseluruhan Natufe (2001). Pilar dasar tersebut di atas untuk mendorong kesejahteraan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, dan tanggung jawab social. Organisasi bisnis maupun pemerintah harus dilengkapi dengan konsep pengembangan masyarakat (community development) sebagai upaya pemberdayaan melalui kemampuan dan potensi masyarakat. Kindervatter (1979) menyebutkan bahwa masyarakat akan berorientasi pada kebutuhan material maupun non material, mempunyai misi dan visi masa depan berdasar endogenous yang ada, mempunyai sumber yang dimilikinya, dan bersifat ekologis dengan memanfaatkan sumberdaya secara rasional dan kesadaran, dan menuntut perubahan dalam relasi social, kegiatan ekonomi, dan struktur kekuasaan. Potensi-potensi tersebut terkadang nampak namun sulit dipahami. Oleh karena itu untuk mengembangkan masyarakat itu perlu dikaji melalui participatory Rural appraisal (PRA). Dalam prosesnya PRA harus melibatkan masyarakat untuk berpikir merencanakan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan (Rianingsih, 1996 dalam Irianta, 2007). Tanggung jawab untuk pengembangan kreatifitas masyarakat tersebut bukan hanya ada pada pemerintah, namun juga partisipasi pihak swasta, khususnya organisasi bisnis yang menjalankan usaha di wilayah kabupaten/kota memberi bimbingan untuk tanam berjamaah. Strategi Kebijakan Pemerintah Dukungan politik untuk mengembangkan dan penerapan PHT secara luas yaitu Intruksi Presiden No.3 tahun 1986 yang melarang 57 formulasi insektisida pada tanaman padi dari golongan xxxvii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia organofosfat dan hanya memperbolehkan 10 insektisida dari golongan karbamat (BPMC, MICP, dan karbofuran) untuk mengendalikan wereng coklat. Hal ini diesebabkan telah terjadi ledakan wereng coklat diakibatkan oleh pemakaian insektisida yang menimbulkan resurgensi. Pada saat produksi padi mencapai pelandaian (leveling off) maka dengan segera pemerintah mencari jalan untuk merakit varietas baru melalui Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian sebagai pemecah pelandaian supaya produksi meningkat kembali. Di bidang pengelolaan hama dengan menerapkan PHT yang dikawal oleh jajaran Direktorat Perlindungan tanaman Pangan mengalami pelandaian produksi dan tetap di sekitar 54.000.000 ton sejak 2002 sampai 2006, sehingga perlu strategi baru yaitu diterapkannya Pengelolalan Tanaman Terpadu (PTT) sejak 2007 dalan rangka Peningkatan produksi Beras Nasional (P2BN) untuk meningkatkan produksi beras 5% (2 juta Ton) setiap tahunnya (Baehaki dan Mejaya, 2014). Pengembangkan PTT supaya lebih cepat dan mudah diadopsi petani diperlukan sekolah lapang PTT (SL-PTT) yang merupakan produk Badan Litbang Pertanian. Buku Panduan pertama Pelaksanaan SL-PTT Padi, kedelai dan jagung disusun oleh Badan Litbang (Suryana et al, 2008a,b,c). Setelah diterapkan SL-PTT maka produksi padi pada tahun 2007 meningkat menjadi 57,157 juta ton dari produksi tahun 2006 (54,455 juta ton). Produksi tahun 2008 dan 2009 yaitu mencapai 60,326 dan 64,399 juta ton (Tabel 2). Atas kesuksesan pencapaian target tersebut maka Dirjen Tanaman Pangan mengadakan Jambore Nasional SL-PTT di Donohudan- Solo- Jawa Tengah dengan menggelar pertanaman SL-PTT. Kesuksesan ini disebabkan ada pendampingan dari areal SL-PTT oleh Dirjen Tanaman Pangan, Badan Litbang, dan Pemda. Tabel. 2. Perkembangan produksi Padi dan serangan wereng coklat di Indonesia. Tahun Areal Panen (ha) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 11786430 12147637 12327425 12883576 13253450 13203643 13.443.443 13,7699.13 13.797.000 2015 14.309.000 Serangan wereng Coklat (Ha) 11746 47360 28421 35987 24152 47473 137768 218060 Produksi Padi (Juta ton) Target Capaian 54,340 55,030 55,718 58,184 61,093 63,525 66,680 70,590 74,390 ? 73,161 74,845 Keterangan : *) BPS , ** ASEM, *** Angka Ramalan SL-PHT = Sekolah Lapang PHT SL-PTT = Sekolah Lapang PTT xxxviii 54,088 54,151 54,455 57,157 60,326 64,399 66,469 65,757 69,045 71,290 70,850* * 75,550* ** Pelaksanaan program SL-PHT SL-PHT SL-PHT SL-PTT SL-PTT SL-PTT SL-PTT SL-PTT SL-PTT SL-PTT UPSUS UPSUS Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Pada saat ledakan wereng coklat 2010 yang telah mencapai 105.000 ha, segala upaya pemerintah telah dilakukan, namun upaya ini gagal. Hal ini disebabkan tidak menggunakan strategi pertama yaitu sosiologi tanam berjamaah. Dari pengalaman tersebut pemerintah merubah kebijakannya dengan: 1. Menata ulang pengendalian wereng coklat dengan membuat Rencana Tindak Lanjut (RTL = action plan continous) pasca ledakan. Pada pembuatan RTL tersebut melibatkan Pemda (dinas pertanian provinsi/kabupaten/kota), bakorluh dan bapeluh, BBPOPT, para penyuluh, POPT, KCD. Di luar kedinasan tersebut BB Padi berperan sebagai perekat instansi tersebut di atas untuk menjadi koordinator dan inisiator. Pembuatan RTL tersebut telah diterapkan di Jawa Barat dan Hasilnya sangat memuaskan dapat di lihat dari hasil panen MP 2010/2011. Di BB Padi hasil Inpari 13 yang dipanen Menteri Pertanian RI pada 23 Februari 2011 mencapai 9.3-10.7 ton GKG, suatu prestasi yang briliant (Baehaki, 2014). 2. Untuk tanam serempak di Pemda Jawa Barat telah memberlakukan pemberhentian air irigasi pasca perbaikan rutin bulan September 2010. Pemda Jawa Barat dapat meredam gejolak hama wereng coklat dengan kebersamaan dan meraih sukses besar pada MP 2010/2011. Lain halnya di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur pada MP 2010/2011 masih tetap dilanda serangan wereng coklat disebabkan tidak ada pertanaman yang berjamaah. Dalam rangka mensukseskan target produksi pemerintah sebesar 70,6 juta ton GKG, maka strategi segtitiga tersebut di atas telah dibawa ke Jawa Tengah dan akan dibawa Jawa Timur supaya membuat RTL dalam Workshop di Solo pada 30 Maret 2011 yang akan dilanjutkan di Surabaya. Mulai tahun 2014 Kementrian pertanian menetapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) baik padi, jagung, dan kedelai, Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian) Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim. Upsus ini dikawal oleh Jajaran Kementrian Pertanian (Badan Litbang, Dirjen Prasarana dan sarana Pertanian, Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Hortikultura, Dirjen PPHP, Irjen) dan Pemda. Dengan UPSUS, produksi padi tahun 2014 (ASEM) sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013. (BPS, 2015. http://www.bps.go.id/brs/view/id/1122). Pada tahun 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan angka produksi padi akan meningkat 6,64 persen atau sebanyak 75,55 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut data BPS, angka ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. xxxix Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KESIMPULAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pengembangan program PHT mulai 1989, dapat membawa Indonesia dikenal sebagai Negara yang sedang berkembang yang berhasil mengembangkan dan menerapkan konsep PHT dalam peningkatan produksi padinya. Pada saat produksi padi mencapai pelandaian (leveling off) maka dengan segera pemerintah mencari jalan untuk merakit varietas baru dan Pengembangan Pertanian dengan menerapkan strategi lain yaitu diterapkannya SL-PTT (Sekolah Lapang PTT) sejak 2007 dalam rangka P2BN Pada Era pemerintahan 2014-2019 dalam pemenuhan kebutuhan pangan telah menerapkan Upaya khusus (UPSUS) pencapaian swasembada berkelanjutan padi, jagung, dan kedelai melalui kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier dan pendukung lainnya antara lain: pengembangan jaringan irigasi, optimalisasi Lahan, Pengembangan system of Rice Intensification (SRI), Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), Optimalisasi perluasan Areal tanaman kedelai melalui penongkatan indeks pertanaman (PAT-PIP Kedelai), Perluasan Areal Tanam Jagung (PAT Jagung), Penyediaan Sarana dan prasarana pertanian (benih, pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian) Pengendalian OPT dan dampak perubahan iklim, Asuransi pertanian dan Pengawalan/pendampingan. Pelaksanaan pengendalian hama terbaru yang harus menerapkan triangle strategis pengendalian yaitu strategi teknologi (SOP Pengendalian hama), strategi sosial (Sosiologi), dan strategi kebijakan pemerintah. Pengendalian hama tidak dapat diselesaikan hanya dengan teknologi tetapi harus diselesaikan secara social yaitu dengan keserempakan waktu tanam yang dibinglkai oleh kebijakan pemerintah. Tiga komponen utama yang penting dalam hal modal social adalah 1). Kepercayaan (trust) antar komponen/anggota masyarakat yang memudahkan proses komunikasi dan pengelolaan suatu persoalan, 2). Jejaring organisasi kelompok (social networking) atau jejaring individu berupa ikatan (bond) atau pertemanan (bridge) untuk mendukung gerak aksi kolektivitas menjadi makin sinergi, dan 3). Norma-norma dan system nilai (norms and institutions) yang biasanya berciri local yang mengawal serta menjaga proses pembangunan sehingga tidak mengalami penyimpangan DAFTAR PUSTAKA Baehaki.S.E. 2006. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi Dalam Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good Agricultural Practices). Orasi Pengukuhan Profesor Riset, Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian. 70 hal. ISBN: 979-3871-23-7 Baehaki S.E. 2010. Implementasi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Di Indonesia. Disampaikan pada Peringatan Ulang Tahun Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) Ke-40 Tahun 2010. Yogyakarta, 1-2 Oktober 2010. 21p Baehaki, S.E. 2011a. Pengelolaan wereng cokelat sebagai hama dan vektor penyakit kerdil hampa dan kerdil rumput. Seminar Nasional Pengendalian Tungro dan Hama Utama Padi Lainnya Mendukung Swasembada Padi Berkelanjutan. Pros. Sem. Nas. Pengendalian Tungro dan Hama Utama Padi Lainnya Mendukung Swasembada Padi Berkelanjutan. Puslitbangtan. p.48-68. Baehaki S.E. 2011b. Strategi Fundamental Pengendalian Hama Wereng Batang Coklat Dalam Pengamanan Produksi Padi Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian. Vol. 4, No. 1.p63-75. Baehaki S.E. 2011. Perubahan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Konvensional Menuju PHT Biointensif. Pros. Sem. Nas. Inovasi teknologi Berbasis Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Puslitbangtan. Badan Litbang TP. Buku 2.p203-214 xl Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Baehaki S.E. 2014. Budidaya Tanam Padi Berjamaah Suatu Upaya Meredam Ledakan Hama Dan Penyakit Dalam Rangka Swasembada Pangan Berkelanjutan. Edisi 2. p230. Baehaki S.E. 2012. Perkembangan Biotipe Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi. IPTEK Tanaman Pangan VOL. 7 (1), 2012. Puslitbangtan. Badan Litbang, p8-17. Baehaki, S.E., D. Munawar, dan E. Kiswanto. 2012. Pengaruh pola tanam dan pupuk organik terhadap perkembangan wereng cokelat dan pengkayaan musuh alami. Seminar Hasil Penelitian BB padi, 10-11 Agustus 2012. 16p. Baehaki, S.E dan Mejaya. 2014. Wereng Cokelat sebagai Hama Global Bernilai Ekonomi Tinggi dan Strategi Pengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan. Vol. 9 (1): 1 -12 Balasubramanian .V, R. Rajendran, S. Anbumani, P. Stalin, T.M. Thiyagarajan, E. Castro, B. Chandrasekaran, and I. Las. 2010. Integrated Crop Management (ICM) for sustaining irrigated rice yield and farmers’ income in Asia. C:\Users\TOSHIBA\AppData\Local\Temp\Lead10.mht Benbrook, C.M. 1996. Pest Management at the Crossroads. Consumers Union, Yonkers. N.Y. 272p Bradley B.D, M Christodoulou, C. Caspari and, P. Di Luca. 2002. Integrated Crop Management Systems in the EU. This Report is an Amended Version of the Final Report Submitted to DG Environment. ICM_Finalreport. 144p. Costanza, R. 2012. Ecosystem health and ecological engineering. Ecol. Eng. 45: 24-29. Dharmawan, A.H. 2006. Pendekatan pembangunan pertanian dan pedesaan: Dimensi sosial dan budaya. Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi tenaga pemandu teknologi mendukung Prima Tani. Cisarua-Bogor. p16. Dufour, R. 2001. Biointensive integrated pest management. ATTRA. National Sustainable Agricultural Information Service. http://www.attra.org/attra-pub/ipm.html. verified 28 Nov 2008. Gurr, G.M. 2009b. F inal report, ecological engineering to reduce rice crop vulnerability to planthopper outbreaks. 29p. http://ricehoppers.net/wp-content/uploads/2010/04/Final-Report-I-GM-Gurr.pdf Hafsah. M.J. Potensi, Peluang Dan Strategi Pencapaian Swa Sembada Beras Dan Kemandirian Pangan Nasional Menuju Proksi Mantap. Disampaikan Pada Acara Seminar Padi Nasional tanggal 15 juli 2004 di Sukamandi. 19p. Huan. N. H and H. V. Chien. 2010. Ecological Engineering Gets National Attention in Vietnam. http:// ricehopper.net/2010. Huelgas Z.M and D.J. Templeton, 2010. Adoption of crop management technology and cost- efficiency impacts: the case of three reductions, three gains in the Mekong River Delta of Vietnam. In FG Palis et al., 2010, Research to impact: Case studies for natural resource management for irrigated rice in Asia. Los Banos – IRRI. p289-316. Iriantara. Y. 2007. Community Relations, konsep dan aplikasinya. Simbiosa Rekatama Media, Bandung. 196p. Jepson P. 2009. Biointensive integrated pest management (IPM). IPPC, 2040 Cordley Hall, Oregon State University, Corvallis, OR 97331. 8p. Joko Pramono, J, S. Basuki dan Widarto. 2005. Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Agrosains 7(1): 1-6, 2005 Khan, Z.R and J. A. Pickett. 2004. The ‘push–pull’ strategy for stemborer management: a case study in exploiting biodiversity and chemical ecology. 155-164. In Gurr et al., 2004. Ecological Engineering for Pest Management. Advances in Habitat Manipulation for Arthropods. CSIRO Publishing. p225 Kindervatter, S. 1979. Non formal education as an empowering process with case studies from Indonesia and Thailand. Amherst, mass: Center for International Education-University of Massashusetts. Natufe. O.I. 2001. The problematic of sustainable development and corporate social responsibility: Policy implication for the Niger Delta. http://www.urhobo.kinsfolk.com/second annual conference/conference matters/Natufe.htm Nguyen Huu Huan and Ho Van Chien. 2010. Ecological Engineering Gets National Attention in Vietnam. http://ricehopper.net/2010 Nurindah, D. A. Sunarto, dan Sujak. 2009. Tanaman perangkap untuk pengendalian serangga hama tembakau. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri 1(2):55-68, Oktober 2009 ISSN: 2085-6717 Oka, I.N. 1995. Pengendalian Hama Terpdu dan Implementasinya di Indonesia. Gajah Mada University Press. 254p Perez, F.R.B., A. M. Shelton, and B. A. Nault. 2004. Evaluating trap crops for diamondback moth, Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae) Journal of Economic Entomology. 97(4):1365-72. DOI:10.1603/00220493-97.4.1365 Steiner. P.W. 1994. IPM: What it is, what it isn’t. IPMnet News. Oktober xli Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Settle. W.H, H. Ariawan, E.T. Astuti, W. Cahyana, A.L. Hakim, D. Hindayana, A.S. Lestari, P. Ningsih, dan Sartanto. 1996. Managing tropical Rice Pests Through Conservation of Generalist Natural Enemies and Alternative prey. Ecology, 77(7), pp1975-1988. Suryana. A, Suyamto, Baehaki S.E, S. Abdurachman, I.N Widiarta, H.M. Toha. 2008a. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian. 38p. Suryana. A, Suyamto, Marwoto, A. Taufiq, M.M. Adie, Subandi, dan I.N Widiarta. 2008b. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. 39p. Suryana. A, Suyamto, Zubachtirodin, M.S. Pabbage, S. Saenong, dan I.N Widiarta. 2008c. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Departemen Pertanian. 38p. University of Hertfordshire. 2011. Integrated Crop Management – Definition. http://adlib.everysite.co.uk/adlib/defra/content.aspx?doc=12578&id=12581#why Wei Z, W. Hu1, Q. Lin, X. Cheng, M. Tong, L. Zhu, R. Chen and G. He. 2009) Understanding rice plant resistance to the Brown Planthopper (Nilaparvata lugens): A proteomic approach. Proteomics. 9, 2798-2808. Wijaya. H.A.W. 2002. Otonomi Daerah dan daerah Otonom. Raja Grafindo Persada. Jakarta Yamin MS., MS, T. Harjaka, B. Prayudi. J. Siswanto, D. Sartono, Sumartono dan Y. Widyastuti, SP. 2012. Kajian dan strategi pengurangan penggunaan pestisida sintetis untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan di kabupaten klaten - jawa tengah. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 20p. Yoshihara, Y, Sogawa K, M.D. Pathak, B.O. Jiliano, and S. Sakamura. 1980. Oxalic acid as a sucking inhibitor of the brown planhopper in rice (Delphacidae, Homoptera). Ent. Exp. & App. 27: 149-155. xlii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia KEYNOTE SPEAKER 4 Prof. Intan Ahmad, PhD – Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB ENTOMOLOGI PEMUKIMAN DAN INDUSTRI Entomologi permukiman dan industri sebagai suatu disiplin telah tumbuh menjadi semakin penting artinya bersamaan dengan semakin meningkatnya urbanisasi di berbagai belahan dunia. Sekarang lebih dari 54 % populasi manusia di dunia hidup di daerah permukiman. Globalisasi telah mengakibatkan tingginya mobilitas barang dan manusia yang mengakibatkan semakin menyebarnya serangga hama dari satu tempat ke tempat lain. Untuk lingkungan permukiman, dengan semua kompleksitasnya telah memberikan habitat untuk berbagai serangga termasuk beberapa di antaranya merupakan hama, seperti kecoa, lalat, nyamuk, rayap, yang amat mengganggu manusia, sehingga perlu dikendalikan, terutama dengan menggunakan insektisida. Tetapi berbeda dengan hama pertanian, penentu dilaksanakannya pengendalian bukanlah jumlah serangga yang dapat merugikan secara ekonomi tetapi lebih kepada aspek yang berhubungan erat dengan kualitas hidup manusia, aspek estetika, peace of mind atau reaksi emosional. Dengan demikian untuk lingkungan permukiman digunakan aesthetic injury level (tingkat kerusakan estetika). Sehingga untuk pengendalian hama permukiman, berlaku suatu premis yang menyatakan bahwa walau tidak ada kerugian secara ekonomi, kerusakan sudah terjadi sehingga pengendalian harus tetap dilakukan. Lebih lanjut, presentasi makalah ini akan membahas tentang konsep dan penerapan urban and industrial pest management dengan berbagai contoh dari Indonesia, termasuk permasalahan terjadinya resistensi terhadap insektisida pada berbagai serangga hama permukiman yang merupakan tantangan tersendiri. xliii Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-01 Perilaku Hama Pengorok Daun Dari Dua Famili Berbeda Pada Pertanaman Manggis dan Bentuk Kerusakannya Wilna Sari1*, Nina Maryana1, Syafrida Manuwoto2 1 Prodi DIII Budidaya Pertanian, Sekolah Tinggi Pertanian Haji Agus Salim, Bukittinggi, Sumatera Barat Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2 * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Manggis berasal dari daerah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang mendapat julukan sebagai ratu buah karena keistimewaan dan kelezatan rasanya. Buah ini memiliki banyak manfaat dan nutrisi. Berbagai usaha terus dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman manggis agar menghasilkan buah yang berkualitas, sehat dan menjadi salah satu komoditi ekspor di negara kita. Seiring dengan pertumbuhannya, tanaman ini banyak diserang hama dan penyakit, terutama pada tanaman yang memiliki flush. Pada masa ini, hama yang ditemukan di antaranya adalah hama pengorok daun dari famili Phyllocnistidae dan Gracillariidae. Masing-masing hama ini mempunyai morfologi yang sangat berbeda dan bentuk kerusakan yang ditimbulkan juga berbeda. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui bentuk masing-masing hama pengorok daun dengan bentuk kerusakan serta musuh alaminya. Penelitian ini dilakukan di Cengal, Desa Karacak, kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bibit manggis yang diberi sungkup mika plastik dan dimasukkan sepasang imago pengorok lalu dibiarkan berkopulasi hingga meletakkan telur dan mulai membentuk korokan. Telur yang telah diletakkan imago betina diamati sampai menetas menjadi larva, kemudian dihitung panjang korokan setiap hari hingga larva memasuki prapupa atau berhenti mengorok. Untuk musuh alami diperoleh dengan cara mengambil stadia larva dan pupa hama dari lapangan untuk dipelihara hingga muncul parasitoid atau tidak. Dari pengamatan diketahui bahwa cara mengorok larva terlihat seperti gerakan mengetam atau menggunting ke arah kiri dan kanan. Bentuk korokan hama pengorok famili Phyllocnistidae lebih kecil dan membentuk liang korokan di sepanjang daun, sedangkan pengorok famili Gracillariidae lama kelamaan semakin melebar dan terdapat banyak larva di dalam korokan tersebut. Serangan hama ini selalu berada di permukaan atas daun di bagian ujung dan pangkal. Gejala akhir pada tanaman yang bisa dilihat jika terserang kedua hama tersebut adalah daun akan mengering dan berwarna kecoklatan, bahkan tidak bisa berkembang lagi jika jumlah serangan hama sudah banyak. Musuh alami yang diperoleh berasal dari kelompok parasitoid sebanyak tujuh spesies parasitoid dari Ordo Hymenoptera yang berasal dari lima Famili yaitu Chrysocharis sp., Achrysocharis sp., dan Tetrastichus sp. (Eulophidae), Elasmus sp. (Elasmidae) dan masing-masing satu spesies dari Famili Encyrtidae, Braconidae, dan Eurytomidae. Kata kunci: manggis, pengorok daun, musuh alami 44 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-02 Formicidae Sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang Aulia Azh Zahra1, Masriany1, Lilis Setiasih1, dan Tjandra Anggraeni1* 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Formicidae merupakan famili serangga yang memiliki manfaat sebagai pengurai, predator dan biomonitoring perubahan lingkungan. Serangga ini sering ditemukan pada daerah perkebunan tanaman buah tropika. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya terhadap jumlah individu serangga Formicidae di dalam melakukan aktivitas biologis pada perbungaan pisang. Pengambilan data serangga menggunakan metode purposive sampling (sweeping net dan visual) di Balitbu Tropika Subang, Jawa Barat pada pagi (pukul 07.0009.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari (15.00-17.00). Pengukuran dan analisis suhu udara dengan menggunakan sling psychrometer dan luxmeter untuk intensitas cahaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada Formicidae terdapat 2 spesies yaitu Tapinoma sp. dan Formica sp. Serangga Formicidae yang mengunjungi perbungaan pisang lebih banyak spesies Tapinoma sp. dibandingkan Formica sp. Persentase jumlah individu Tapinoma sp. lebih banyak pada pagi hari sebesar 75,16%, sedangkan siang hari sebesar 12,74% dan sore hari sebesar 12,10%. Persentase jumlah individu Formica sp. lebih banyak pada pagi hari sebesar 87,04%, sedangkan siang hari sebesar 2, 78% dan sore hari sebesar 10,19%. Pada suhu udara 26,11-29,4oC dan intensitas cahaya 13700- 22100 luxmeter lebih tinggi jumlah serangga Formicidae. Hasil penelitian menunjukkan waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi jumlah individu serangga Formicidae untuk melakukan aktivitas biologis di sekitar perbungaan pisang. Kata Kunci: Formicidae, Tapinoma sp., Formica sp, pisang. 45 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Formicidae merupakan salah satu famili serangga dari ordo Hymenoptera. Serangga ini dapat ditemukan batang tumbuhan, padang rumput dan pemukiman masyarakat [1]. Namun Serangga ini sering ditemukan pada daerah perkebunan tanaman buah tropika di Indonesia terutama di daerah Jawa Barat. Formicidae merupakan serangga eusosial yang dapat beradaptasi dengan kehidupan atau aktivitas manusia dan sifat polimorfismenya yang tinggi [2]. Formicidae memiliki manfaat sebagai pengurai, predator dan biomonitoring perubahan lingkungan pada sekitar lingkungan atau ekosistem [3]. Namun sekitar 0,5% dari spesies Formicidae yang ditemukan merupakan hama yang mengganggu kehidupan manusia di derah Asia [4]. Formicidae dapat menjadi predator serangga yang menjadi hama alami pada tanaman pisang. Sehingga diperlukan kontrol untuk mengetahui populasi Formicidae yang sesuai untuk pengendalian hama [5]. Salah satu cara pengendalian populasi hama pada pisang dengan mengetahui waktu biologis, suhu, intensitas cahaya, dan faktor abiotik lainnya yang sesuai dengan karakteristik biologi Formicidae [6]. Hal ini dikarenakan Formicidae dalam kegiatan aktivitas mencari makanan tergantung sumber makanan, morfologi, fisiologi, karakteristik perilaku serangga, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, dan faktor lainnya [7]. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya terhadap jumlah individu serangga Formicidae di dalam melakukan aktivitas biologis pada perbungaan pisang. BAHAN DAN METODA Waktu dan Area Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tanaman pisang sedang berbunga. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Subang Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Balitbu Tropika) di Subang, Jawa Barat. Balitbu Tropika di Jalan Garuda III Wera, Kelurahan Dangdeur, Kecamatan Subang, Kabupaten Subang. Waktu penelitian pada bulan Januari 2015. Identifikasi spesimen serangga dan verifikasi spesimen serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Biologi, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, ITB. Pengamatan Formicidae sebagai Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang Pengamatan Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang dilakukan dalam tiga periode waktu yaitu pagi (pukul 07.00-09.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari (15.00-17.00). Pengamatan serangga pengunjung dengan total pengamatan selama 5 hari. Metode yang digunakan dalam pengamatan serangga dengan sweeping net dan visual. Pengambilan sampel serangga secara purposive sampling yaitu mengambilan spesies dan individu serangga pengunjung. Pengukuran dan analisis faktor abiotik dengan menggunakan sling psychrometer (suhu udara) dan luxmeter (intensitas cahaya). Pengawetan dan Identifikasi Spesimen Serangga Spesimen serangga pada Formicidae dimasukkan pada botol koleksi. Serangga tersebut diawetkan dengan etanol 70%. Identifikasi spesimen dibantu dengan mikroskop stereo. Penentuan genus berdasarkan Borror et al. [8]. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang dilakukan tahun 2015. Pengambilan serangga Formicidae dilakukan selama masa perbungaan pisang. Hasil pengamatan 46 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Formicidae sebagai serangga pengunjung perbungaan pisang terdapat 2 spesies yaitu Tapinoma sp dan Formica sp. Jumlah serangga Formicidae pada gambar 1 menunjukkan bahwa spesies Tapinoma sp. lebih banyak dibandingkan spesies Formica sp. Spesies Tapinoma sp. sebesar 79,02% sedangkan spesies Formica sp. sebesar 20,98%. Persentase jumlah serangga Tapinoma sp. lebih besar pada pengamatan hari ke1 sedangkan Formica sp. lebih besar pada pengamatan hari ke-5. Tapinoma sp. dapat mengurangi jumlah serangga Formicidae lainnya seperti Formica sp. pada kawasan perkebunan pisang. Menurut Fowler et al. [9] bahwa pada perkebunan pisang daerah Sao Paula Brasil Tapinoma melanocephalum dapat mengurangi spesies semut lainnya. Gambar 1. Jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang Pengamatan serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang dilakukan pada pagi, siang dan sore hari terlihat pada gambar 2. Persentase jumlah Formica sp. lebih besar pada pagi hari sebesar 87%, sedangkan siang hari sebesar 3% dan sore hari sebesar 10%. Persentase jumlah Tapinoma sp. lebih besar pada pagi hari sebesar 75%, sedangkan siang hari sebesar 13% dan sore hari sebesar 12%. Menurut Fajarwati et al. [10] ordo Hymenoptera yang mengunjungi bunga tomat terdapat pada pagi, siang dan sore hari. Jumlah serangga pengunjung bunga tomat terutama ordo Hymenoptera paling banyak pada pagi hari dibandingkan siang dan sore hari. Menurut Atmowidi et al. [11] keragaman serangga tertinggi pada pagi hari di tanaman caisin (Brassica rapa). Pada tanaman Nerium oleander bahwa serangga pengunjung bunga lebih banyak pada pagi hari [12]. Gambar 2. Persentase jumlah Tapinoma sp. dan Formica sp. pada pagi, siang dan sore hari. Pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang terdapat nilai koefisien kolerasi (R2) Tapinoma sp. dan Formica sp. adalah 0,1 terlihat pada gambar 3. Pada penelitian ini terlihat serangga Formicidae terhadap cahaya, menunjukkan jumlah Tapinoma sp. lebih banyak pada kisaran ± 19300 lux di pagi sedangkan Formica sp. jumlah banyak jumlah pada kisaran ± 13700 lux di pagi hari. Penelitian Dudareva dan Pichersky [13], bahwa 47 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia kunjungan serangga terhadap tanaman dipengaruhi oleh volume atau kandungan nektar di bunga tinggi pada pagi hari namun terus menurun hingga sore hari, salah satu penyebabnya yaitu intensitas cahaya. Gambar 3. Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang. Bahwa serangga pengunjung perbungaan memiliki rentang intensitas cahaya dari 13700- 22100 lux. Pada Tapinoma sp. memiliki intensitas cahaya optimal sekitar ± 13700 - 19300 lux. Respon serangga Formica sp. terhadap cahaya bersifat negatif dimana semakin banyak cahaya maka semakin kurang jumlah serangga. Menurut Graham dan Knight [14] bahwa respon serangga terhadap cahaya dapat bersifat positif atau negatif. Intensitas mempengaruhi aktivitas serangga berupa perkembangan, pertumbuhan dan penyebaran. Pengaruh suhu terhadap jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang terdapat nilai koefisien kolerasinya (R2) Tapinoma sp. dan Formica sp. adalah 0,1 terlihat pada gambar 4. Pada Formica sp. semakin tinggi suhu maka semakin rendah jumlah serangga, sedangkan Tapinoma sp. semakin tinggi suhu maka semakin tinggi jumlah serangga. Hal ini karena bentang lahan perkebunan pisang terbuka antara jarak antara tanaman pisang satu dengan yang lain sehingga suhu udara disekitar tanaman semakin tinggi pada siang hari. Gambar 4. Grafik pengaruh suhu terhadap jumlah serangga fromicidae pengunjung perbungaan pisang. Suhu dapat menentukan atau mengatur aktivitas biologis serangga. Suhu serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang sekitar ± 26,11-29,40oC. Aktifitas serangga pengunjung bunga (lebah) memiliki puncak aktifitas pada suhu 17-27oC [15]. Serangga pengunjung bunga Impatiens balsamina pada daerah Surian memiliki jumlah lebih banyak pada suhu 24-26oC [16]. Begitu pula serangga pengunjung bunga Nerium oleander bahwa serangga pengunjung bunga lebih banyak pada suhu ± 26,5oC [17]. Serangga pada suhu 29-38oC yaitu suhu aktivitas serangga efektif pada suhu 48 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia ±28°C aktivitas serangga paling tinggi 13. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif sekitar suhu minimum 15oC, suhu optimum 25oC, dan suhu maksimum 45oC [18]. Pada suhu sekitar ± 29,40oC jumlah serangga pengunjung bunga lebih rendah, akibat kualitas dan ketersediaan nektar yang berkurang. Pada siang hari terjadi penurunan volume atau kandungan nektar dalam bunga. Dimana suhu yang tinggi menyebabkan ketersediaan dan kualitas nektar akibat proses kimia pada tubuh tumbuhan [13]. Serangga Formicidae hasil pengamatan berdasarkan tujuannya pada bunga pisang yaitu penyerbukan bunga atau mengambil nektar, hama, pengurai atau pemakan bunga layu, Tapinoma sp. [6]. Formica sp. berfungsi sebagai pengurai, predator dan organisma biomonitoring. Nektar dari pisang dapat dijadikan sebagai sumber makronutrisi bagi Formicidae berupa protein, lipid dan karbohidrat [3]. Hubungan interaksi antara serangga dengan tanaman dapat menberikan manfaat kepada keduanya. Bagi tumbuhan, interaksi tersebut dapat bermanfaat untuk terjadinya penyerbukan. Bagi serangga, interaksi tumbuhan dengan tanaman dapat bermanfaat sebagai sumber pakan (berupa nektar dan serbuk sari), tempat berkembang biak dan tempat berlindung [19]. Serbuk sari digunakan untuk sumber protein sedangkan nektar digunakan sumber gula bagi serangga [10]. KESIMPULAN Jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan siang dan sore hari. Pengaruh jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang terhadap intensitas cahaya memiliki nilai koefisien kolerasi (R2) sebesar 0,1 dan 0,1. Hal yang sama terjadi pada pengaruh jumlah serangga Formicidae pengunjung perbungaan pisang terhadap suhu memiliki nilai koefisien kolerasi (R2) sebesar 0,1 dan 0,1. Sehingga terlihat waktu biologis, suhu dan intensitas cahaya mempengaruhi jumlah individu serangga Formicidae untuk melakukan aktivitas biologis di sekitar perbungaan pisang. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih ditujukan kepada Dr Wardono Niloperbowo yang telah memberikan saran maupun masukan untuk penelitian ini. Terima kasih kepada Santi, Cucu, Palamade, Dadang dan Iftikah Rahmi F. yang telah membantu dalam pengambilan sampel penelitian di Balitbu Subang, Jawa Barat. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] Way, M. J. & Khoo, K. C., Role of Ants in Pest Management, Annual Review of Entomology, 37: pp.479-503, 1992. Wilson, E. O., The Insect Socienties, London: Harvard University Press, 1971. Noor, M.F. & Raffiudin, R., Eksplorasi Keragaman Spesies Semut di Ekosistem Terganggu Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat, Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS, 12(115), pp1-6, 2013. Lee, C.Y., Tropical household ants: pest status, species diversity, foraging behaviour, and baiting studies, Dalam: Jones, S.C., Zhai, J., Robinson, W.H., eds Proceedings of the 4th international conference on Urban Pests. Virginia, Pocahontas Press, pp. 3-8, 2002. Hasanuddin, K., Survei Hama- Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Pisang (Musa spp.) Di Desa Ujung Lamuru, Kecamatan Lappariaja, Kabupaten Bone, Skripsi Universitas Hasanuddin, 2011. Sigit, S.H., Koesharto, F.X., Hadi, U.K., Gunandini, D.J., Soviana, S., Wirawan, I.A., Chalidaputra, M., Rivai, M., Priyambodo, S., Yusuf, S., & Utomo, S., Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi & Pengendalian, Bogor: UKPHP, 2006. HÅ‘lldobler, B & Wilson, E. O., The Ants, Cambridge Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1990. Borror, D.J. & White, R.E., A Field Guide to Insects America north of Mexico, USA: Houghton Mifflin Company Boston New York, 1998. Fowler, H.G.; Schlindwein, M.N.; Medeiros, M.A. , Exotic ants and community simplification in Brazil: a review of the impact of exotic ants on native ant assemblages. Dalam : Williams, D.F. ed. Exotic ants: biology, impact and control of introduced species, Boulder, Westview Press, pp. 151-162, 1994. Fajarwati, M. R., Atmowidi, T. & Dorly., Keanekaragaman Serangga pada Bunga Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) di Lahan Pertanian Organik, Jurnal Entomologi Indonesia, 6 (2), pp. 77-85, 2009. Atmowidi, T., Buchori,D., Manuwoto, S., Suryobroto, B.,& Hidayat,P., Diversity of insect pollinators and seed set of mustard (Brassica rapa: Brassicaceae), Hayati, 14, pp.155-161, 2007. 49 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] Yuliani, W., Dahelmi, & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Nerium oleander Linn. (Apocynaceae) di Kecamatan Pauh, Padang, Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2), pp. 96-102, 2013. Dudareva, N. & Pichersky, E., Biology of Floral Scent, London: Taylor & Francis, 2006. Graham, S.A. & Knight, F.B.,Principles Of Forest Entomology, New York, USA : McGraw- Hill book company, 1967. Nismah, Perkembangan koloni Galo-Galo Trigona (Tetragonula) laeviceps Smith, Tesis. Padang: FMIPA Universitas Andalas, 1983. Khairiah, N., Dahelmi & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Pacar Air (Impatiens balsamina Linn. : Balsaminaceae) , Jurnal Biologi Universitas Andalas, 1(1), pp. 9-14, 2012. Yuliani, W., Dahelmi, & Syamsuardi, Jenis-Jenis Serangga Pengunjung Bunga Nerium oleander Linn. (Apocynaceae) di Kecamatan Pauh, Padang, Jurnal Biologi Universitas Andalas, 2(2), pp. 96-102, 2013. Jumar, Entomologi Pertanian, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Sedgley, M. & Griffin, A.R.,Sexual Reproduction of Tree Crops, London: Academic Press, 1989. Plowright R.C., Thomson J.D., Lefkovitch L.P., Plowright CMS, An experimental study of the effect of colony resource level manipulation on foraging for pollen by worker bumble bees. Canada Journal of Zoology, 71, pp. 1393-1396, 1993. 50 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-03 Keanekaragaman Spesies Serangga Tangkapan Lampu Perangkap selama Pertanaman Padi pada Sawah Irigasi Dataran Rendah Agus Wahyana Anggara1*, Eko Hari Iswanto1, dan Muhamad Hari Rabuka2 1 Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Politeknik Agroindustri Subang. * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Beragam spesies serangga terdapat pada pertanaman padi sepanjang musim tanam. Pemantauan harian menggunakan lampu perangkap dilakukan untuk mengetahui spesies serangga pada pertanaman padi musim kemarau (MK) 2012. Pengambilan serangga tangkapan lampu perangkap dilakukan setiap pagi sejak bulan April hingga Juni 2012, selanjutnya dilakukan identifikasi spesies dan dihitung jumlahnya. Hasil pengamatan diperolah total serangga yang tertangkap lampu perangkap pada pertanaman padi MK 2012 sebanyak 4.839.708 ekor yang tergolong dalam 5 ordo, 14 familia, dan 16 spesies. Berdasarkan perannya pada pertanaman padi, serangga tangkapan dikelompokkan menjadi organisme pengganggu tanaman (OPT) dan hama (4.822.940 ekor), musuh alami (15.447 ekor), serta serangga netral dan dekomposer (1.321 ekor). Serangga OPT terdiri atas kepinding tanah Scotinophara coarctata (Hemiptera : Pentatomidae), penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas (Lepidoptera : Pyralidae), penggerek batang padi merah jambu Sesamia inferens (Lepidoptera : Noctuidae), wereng coklat Nilaparvata lugens (Homoptera : Delphacidae), ngengat hama pelipat daun Cnaphalocrocis medinalis (Lepidoptera : Pyralidae), walang sangit Leptocorisa oratorius (Hemiptera : Alydidae), ngengat hama putih Nympula depunctalis (Lepidoptera : Pyralidae), dan anjing tanah Gryllotalpa orientalis (Orthoptera : Gryllotalpidae). Kelompok serangga musuh alami terdiri atas kumbang paederus Paederus fuscifes (Coleoptera : Staphilinidae), kumbang pemangsa Eretes occidentalis (Coleoptera : Dytiscidae), kumbang pemburu Ophionea nigrofasciata (Coleoptera : Carabidae), kumbang kubah Micraspis lineata (Coleoptera : Coccinellidae), kumbang harimau Cicindella punctulata (Coleoptera : Cicindelidae), dan kepik mirid Cyrtorinus lividipennis (Hemiptera : Miridae). Kelompok serangga netral dan dekomposer adalah kumbang air Hydrophilus triangularis (Coleoptera : Hydrophilidae) dan kumbang kayu Anoplophara sp (Coleoptera : Cerambycidae). Serangga yang paling dominan tertangkap lampu perangkah adalah kepinding tanah, penggerek batang padi kuning, dan kumbang paederus. Banyaknya individu kelompok serangga OPT dan hama padi yang tertarik mendatangi sehingga tertangkap lampu perangkap menunjukkan bahwa lampu perangkap dapat berfungsi sebagai alat pemantau populasi serangga pada pertanaman padi. Kata kunci: serangga, lampu perangkap, tanaman padi 51 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-04 Komposisi Serangga Permukaan Tanah di Taman Keanekaragaman Hayati Kiara Payung Sumedang Ida Kinasih1, Ana Widiana1, Tri Cahyanto1, Isyfa Isnaeni Romadlon1 1 * Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Salah satu usaha Provinsi Jawa Barat dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati yaitu adanya Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) Kiara Payung Sumedang, yang baru dibangun tahun 2011. Penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kelimpahan, kekayaan dan komposisi mesofauna dan makrofauna serangga permukaan tanah di Taman Kehati. Penelitian telah dilakukan selama bulan Januari hingga Februari 2015 pada beberapa blok yaitu blok 2 (3,05 ha), blok 4 (0.855 ha), blok 5 (2.061 ha), blok 6 (1.461 ha), dan blok 7 (0.779 ha). Sampling serangga tanah dilakukan sebanyak 10 kali sampling dengan menggunakan pitfall trap dengan total 135 trap. Peletakan trap dilakukan secara acak dengan jumlah sesuai luasan blok, yaitu blok 2 sebanyak 45 trap; blok 4 sebanyak 15 trap; blok 5 sebanyak 30 trap; blok 6 sebanyak 30 trap; dan blok 7 sebanyak 15 trap. Serangga permukaan tanah yang ditemukan di Taman Kehati Kiara Payung 8 ordo yang terbagi ke dalam 20 famili dan 47 taksa. Blok 2 memiliki kelimpahan individu tertinggi (1904 individu) diikuti blok 6 (1649 individu), sedangkan terendah pada blok 4 (663 individu). Jumlah taksa tertinggi pada blok 2 (40 taksa), diikuti oleh blok 6 (39 taksa), sedangkan terendah blok 5 (29 taksa). Berdasarkan indeks Shanon-Wiener, keanekaragaman serangga permukaan tanah di blok 5 paling rendah (1,37) sedangkan blok 6 paling tinggi (2,26) yang diikuti oleh blok 4 (2,26) dan blok 7 (2,16). Penelitian ini juga menunjukkan adanya vegetasi tumbuhan dan ketebalan seresah mempengaruhi keberadaan serangga permukaan tanah. Kata kunci: Serangga permukaan tanah, komposisi, keanekaragaman, Taman Kehati 52 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-05 Diversitas dan distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Narti Fitriana1*, Ega Mulya Putri1, Fahma Wijayanti1 1 * Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) merupakan serangga yang mudah dikenali karena memiliki antena yang panjang. Keberadaan kumbang sungut panjang dipengaruhi oleh adanya vegetasi tumbuhan berkayu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan pola distribusi kumbang sungut panjang di tiga lokasi penelitian (hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam) kawasan Gunung Bunder, Resort Salak 2 – Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menggunakan metode survei. Pengamatan dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2014 menggunakan perangkap Artocarpus (AT) dan metode hand sorting. Perangkap Artocarpus (AT) merupakan perangkap yang menggunakan umpan daun nangka. Berdasarkan hasil identifikasi, kumbang sungut panjang yang terdapat pada lokasi pengamatan terdiri dari 15 spesies. Indeks keanekaragaman enis H’ kumbang sungut panjang di lokasi penelitian tergolong sedang masing-masing H’=1,41 di hutan rasamala; 1,29 di hutan pinus dan 1,69 di hutan alam. Indeks kemerataan (E) kumbang sungut panjang di lokasi penelitian tergolong rendah, yaitu hutan rasamala E=0,23; hutan pinus E=1,29 dan hutan alam E=1,69. Sybra fuscotriangularis dan Zorillispe spinipennis merupakan kumbang sungut panjang dengan sebaran luas di lokasi pengamatan. Pola distribusi kumbang sungut panjang di lokasi penelitian cenderung seragam, kecuali S. fuscotriangularis dengan pola distribusi cenderung mengelompok. Kata kunci: diversitas, distribusi, Cerambycidae, Resort Salak 2. 53 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Kumbang (Ordo Coleoptera) dapat dikenali dengan adanya sayap keras yang menutupi permukaan tubuhnya. Sayap keras yang menutupi tubuh kumbang disebut dengan elytra. Kumbang mempunyai variasi tipe antenna, karakter ini dibutuhkan dalam melakukan identifikasi. Formulasi tibia dan tarsus kumbang merupakan karakter lain yang digunakan dalam proses identifikasi. Kumbang banyak terdapat di sekitar kehidupan manusia. Peranannya dalam ekosistem sangatlah diperlukan. Banyak kumbang tinja yang membantu degradasi feses menjadi partikel kecil sehingga lebih mudah didekomposisikan oleh decomposer lain. Kumbang pengebor kayu lapuk ikut membantu dekomposisi sehingga ekosistem dapat berlangsung dengan seimbang. Terkadang kumbang juga merusak tanaman budidaya manusia sehingga dikategorikan sebagai serangga hama. Namun demikian banyak tumbuhan yang penyerbukannya juga dibantu oleh kumbang. Dengan demikian keberadaan kumbang dalam menjaga kestabilan ekosistem sangat dibutuhkan. Kumbang yang hidup dan terdapat di Indonesia diperkirakan mencapai 10% dari total kumbang yang ada di dunia [1]. Satu diantara kumbang perombak yang memiliki perenan penting dalam ekosistem adalah kumbang sungut panjang (Cerambicidae). Sesuai dengan namanya, ciri utama kumbang ini adalah mempunyai antenna/sungut yang relatif panjang jika dibandingkan dengan panjang tubuhnya. Larva kumbang sungut panjang merupakan organism decomposer yang merombak kayu terutama yang sedang mengalami pelapukan menjadi material organic yang kecil [2]. Menurut Noerdjito et al. [2], kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) sebagian besar anggota jenisnya, terutama stadium larvanya hidup sebagai pengebor kayu dan cenderung memilih kayu mati atau kering yang sedang mengalami proses pelapukan. Beberapa jenis diketahui hidup pada kayu yang ditanam sebagai tanaman industri, sehingga dianggap sebagai hama, misalnya Xysttrocera festiva pada tanaman jejunjing (Paraseriantes falcataria). Keberadaan kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) sangat dipengaruhi oleh tipe vegetasi dan ketinggian tempat [3][4]. Hal ini dijelaskan dalam penelitiannya di Gunung Ciremai, Jawa Barat dan di Kebun Raya Bogor [5][6][7]. Kehadiran kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di suatu habitat berkaitan erat dengan adanya tumbuhan berkayu karena larva kumbang ini hidup di dalam kayu. Oleh karena itu kegiatan manusia yang ada hubungannya dengan penebangan tumbuhan berkayu atau pengambilan pohon tumbang untuk berbagai keperluan rumah tangga akan sangat besar pengaruhnya terhadap struktur komunitas dan pola distribusi kumbang ini. Resort Salak 2 merupakan daerah ekowisata yang terletak di kawasan Gunung Halimun Salak. Daerah ini mempunyai tipe vegetasi yang didominasi oleh rasamala, pinus dan hutan alami yang heterogen. Kawasan ini termasuk dataran tinggi dengan ketinggian mencapai 1000 m dari permukaan laut. Menurut pendapat Lien dan Yuan [8], keanekeragaman jenis serangga pada tempat yang pada ketinggian 1000 m atau lebih cenderung berkurang. Namun blaporan tentang keanekaragaman jenis dan pola distribusi kumbang sungut panjang di kawasan Resort Salak 2. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan pola distribusi kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Resot Salak 2, Taman Nasional Gunung Halimun Salak. BAHAN DAN METODA Penelitian ini dilakukan menggunakan metode survei. Kumbang sungut panjang dikoleksi menggunakan perangkap daun nangka (Artocarpus Trap) seperti yang dilakukan oleh Noerdjito [7] di Kebun Raya Bogor. Perangkap daun nangka digantungkan pada dahan pohon sedemikian rupa, pengoleksian dilakukan dengan cara memukul perangkap dan menampung kumbang sungut panjang 54 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia menggunakan kain putih. Kumbang sungut panjang disimpan dalam botol yang sudah diisi dengan alkohol 70% dan diberi label, selanjutnya diidentifikasi di laboratorium atau dibandingkan dengan koleksi yang terdapat di Museum Zoologicum Bogoriense, Cibinong, Jawa Barat. Pengoleksian dilakukan secara berkala pada hari ke-3, 7, dan 11 setelah perangkap dipasang. Perangkap daun nangka dipasang masing-masing 15 buah di hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alami. Selama pengoleksian berlangsung dilakukan pencatatan faktor lingkungan meliputi suhu udara, kelembapan udara relatif dan kecepatan angin. HASIL DAN PEMBAHASAN Kumbang sungut panjang yang dikoleksi di Resort Salak 2 Taman Nasional Gunung Halimun Salak berjumlah 15 jenis dengan total 126 individu seperti yang tercantum pada Tabel 1. Selama pengamatan berlangsung suhu udara berkisar 18-26ï‚°C, kelembapan udara relatif 73-89% dan kecepatan angin 0-0,6 m/s. Tabel 1. Jumlah jenis dan individu kumbang sungut panjang yang dikoleksi di hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam di Resort Salak 2, Taman Nasional Gunung Halimun Salak menggunakan perangkap daun nangka Jenis kumbang Acalolepta laevifrons (Aurivillius, 1924) Acalolepta rusticatrix (Fisher, 1925) Cacia subfasciata (Schwarzer, 1931) Cleptometopus javanicus (Breuning, 1943) Exocentrus artocarpi (Breuning, 1939) Nctymenius varicornis (White, 1853) Pterolophia melanura (Pascoe, 1859) Pterolophia triangularis (Pascoe, 1866) Pterolophia uniformis (Pascoe, 1859) Ropica obliquelineata (Breuning, 1939) Ropica strandi (Breuning, 1942) Sciades minutus (Breuning, 1977) Sybra fuscotriangularis (Breuning, 1944) Trachelophora cervicollis (Pascoe, 1866) Zorillispe spinipennis (Breuning, 1939) Jumlah Spesies Jumlah individu H’ E Rasamala 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 5 10 1 4 6 22 1.418 0.236 Pinus Hutan Alam 0 2 1 1 0 0 0 0 13 0 6 0 41 0 9 2 0 0 0 1 2 5 1 5 0 0 0 13 0 2 7 73 1.298 0.185 8 31 1.695 0.211 ∑ 2 2 1 1 1 2 5 1 18 1 7 5 64 1 15 15 126 Berdasarkan Tabel 1, jumlah individu kumbang sungut panjang paling banyak ditemukan di hutan pinus terutama untuk S. fuscotriangularis. Hal ini dimungkinkan karena kumbang ini mempunyai toleransi yang luas terhadap faktor lingkungan baik abiotis maupun biotis. Hal yang sama juga telah disampaikan oleh Nordjito [3]. Bentuk daun pinus yang menyerupai jarum menyebabkan tutupan tajuk menjadi kecil sehingga cahaya matahari dapat lebih banyak memasuki kawasan ini. Hal ini dijelaskan oleh Fahri [9] bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi 55 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia komunitas kumbang sungut panjang adalah jenis pohon, penutupan tajuk, serasah serta pohon busuk atau yang sedang mengalami proses pelapukan. Tutupan tajuk pada hutan pinus tidak terlalu rapat, sehingga tidak menghalangi masuknya cahaya matahari pada proses pengeringan perangkap daun nangka. Indeks keanekaragaman jenis kumbang sungut panjang paling tinggi ditemukan di hutan alam. Tingginya nilai ini dapat disebabkan karena di hutan alam kumbang mempunyai pilihan sumber pakan lain selain nangka. Pernyataan yang sama juga telah dilaporkan oleh Fahri [9] dalam laporannya yang menuliskan bahwa keberadaan kumbang sungut panjang pada suatu habitat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan. Larva kumbang sungut panjang di habitat hutan alam mempunyai banyak pilihan dalam mengebor batang dan dahan tumbuhan lain. Habitat hutan alam memiliki ranting, cabang dan kayu lapuk yang merupakan habitat bagi larva kumbang sungut panjang. Ranting-ranting dan pohon memperkaya total kayu yang lapuk pada kawasan hutan alam ini. Berbeda dengan kondisi habitat pada hutan rasamala dan hutan pinus yang mayoritas hanya terdiri dari satu jenis pohon yang berukuran besar. Tingkat keanekaragaman tumbuhan pada kedua lokasi (hutan rasamala dan hutan pinus) ini relatif tidak memiliki ranting dan kayu lapuk sebagai habitat larva dan dewasa kumbang sungut panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Menurut Magurran [10] dan Speight et al. [11] bahwa keragaman habitat akan mempengaruhi keragaman jenis organisme, habitat yang lebih heterogen mampu memberikan enis “niche” yang lebih banyak sehingga mampu menopang jenis organisme yang lebih banyak pula. Jenis kumbang Cerambycidae yang dikoleksi pada ketiga habitat di Resort Salak 2 ini memiliki kemiripan dengan koleksi kumbang Cerambycidae di kawasan Cidahu dan Citiis [3][7]. Diantara kumbang sungut panjang yang dilaporkan sama adalah Acalolepta laevifrons, A. rusticatrix, Ropica strandi, R. obliquelineata, Sybra fuscotriangularis, Cleptometopus javanicus, Sciades minutus, Zorillispe spinipennis, Pterolophia melanura, Pterolophia uniformis, Pterolophia triangularis dan Nyctimenius varicornis. Menurut Noerdjito [7], Sciades minutus, Zorillispe spinipennis dan Cleptometopus javanicus merupakan spesies endemik di Jawa. Gambar 1. Jumlah individu yang dikoleksi pada hari ke-3, 7 dan 11 di hutan rasamala, pinus dan hutan alam menggunakan perangkap daun nangka Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa pengoleksian kumbang sungut panjang paling efektif dilaksanakan pada hari ke-7 pemasangan perangkap daun nangka. Pada hari ke-3 perangkap daun nagka masih relative segar sedangkan pada hari ke-7 mulai kering. Kebiasaan kumbang sungut panjang membuat lubang pada ranting daun yang sedang mengalami pelapukan dapat menjadi 56 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia penyebab tingginya intensitas kumbang mengunjungi perangkap sehingga banyak yang dapat dikoleksi. Hal ini dapat juga disebabkan karena metabolit perangkap daun nangka yang digunakan menghasilkan aroma/odor yang optimal pada hari ke-7 pemasangan sehingga mengundang lebih banyak kumbang sungut panjang mendatangi perangkap yang dipasang. Hal yang sama juga dijelaskan oleh dan Tantowijoyo dan Giyanto [12] bahwa proses pengeringan dari ranting dan daun nangka mengeluarkan odor yang menarik kumbang. Pola sebaran kumbang sungut panjang dihitung menggunakan indeks Morisita [10]. Berdasarkan analisis data tersebut, pola sebaran kumbang sungut panjang di hutan rasamala, pinus dan hutan alam cenderung seragam. Namun, S. fuscotriangularis memiliki pola sebaran berkelompok di lokasi penelitian. Jumlah individu S. fuscotriangularis juga merupakan yang terbanyak di lokasi penelitian. Hal serupa juga ditemukan oleh Sataral dkk. [13] yang melaporkan penelitiannya di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat. Menurut Fahri [9], faktor biotik merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberadaan kumbang sungut panjang. Menurut Indriyanto [14], tipe pola persebaran seragam terjadi apabila kondisi lingkungan cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi. Kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa indeks keanekaragaman jenis kumbang sungut panjang di Resort Salak 2, Taman Nasional Gunung Halimun Salak tergolong sedang dengan pola sebaran yang merata kecuali untuk Sybra fuscotriangularis yang tersebar mengelompok. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] Noerdjito, W. A. 2003. Keragaman Kumbang (Coleoptera) di dalam: Amir M, Kahono S. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat, JICA Biodiversity Coversation Project, 149-200. Noerdjito, W. A., H, Makihara dan K, Matsumoto. 2005. Longicorn Beetle Fauna (Coleoptera: Cerambycidae) Colected from Friendship Forest at Sekaroh, Lombok. Proc. Int. Workshop on the Landscape Level Rehabilitation of Degraded Tropical Forests, 2223 February, 2005., FFPRI, Tsukuba, Japan, pp. 55-64. Noerdjito, W. A. 2009. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Berbagai Tipe Habitat di Gunung Salak, Sisi Selatan, Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. LIPI. Hal 75-87. Noerdjito, W. A. 2009. Struktur Komunitas Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kawasan Gunung Ciremai. Jurnal Biologi Indonesia 4(5); 371-384. Edisi khusus kawasan Gunung Ciremai Bagian 1. Noerdjito, W. A. 2010. Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae). Jurnal Biologi Indonesia. 6(2): 289-292. Noerdjito, W. A. 2010. Dampak Kegiatan Manusia terhadap Keanekaragaman dan Pola Distribusi Serangga di Gunung Salak. Laporan Akhir. LIPI. Noerdjito, W. A. 2010. Keragaman dan Distribusi Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera: Cerambycidae) di Kebun Raya Bogor. Prosiding seminar Nasional, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bogor 2008. Hal (289-291). Lien, V. V. And D. Yuan. 2003. The Differences of Butterfly (Lepidoptera, Papilionoidea) Communities in Habitats with Various Degrees of Disturbance and Altitudes in Tropical. Biodiv and Concer, 12, 1099-1111. Fahri, Badjeber. 2013. Diversity and Abundance of Cerambycid Beetles (Coleoptera: Cerambycidae) on the Four Types of Land Use in Jambi Province. Tesis. IPB. Bogor. Magurran, A. E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing Company. Australia. Speight, M. R., Hunter, M.D., and Watt, A.D. 1999. Ecology of Insect: Concepts and Applications. Blackwell Science Pty Ltd, Oxford. UK Tantowijoyo, W dan Giyanto. 2011. Eksplorasi Keragaman Serangga Coleoptera dan Lepidoptera di Pulau Moti, Ternate. Maluku Utara. LIPI Press. Hal 167-185. Sataral M., T.Atmowidi, W.A. Noerdjito. 2015. Diversity and abundance of longhorn beetles (Coleoptera: Cerambycidae) in Gunung Walat Educational Forest, West Java, Indonesia. Journal of Insect Biodiversity 3(17): 1-12, 2015 Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Penerbit: Bumi Aksara. Jakarta. 57 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-06 Identifikasi Serangga Pengunjung pada Bunga Lilin (Pachysiachys lutea L.) di Sekitar Taman Hutan Raya IR. H. DJUANDA Mohamad Redzka Andika Putra1*, Tata Kalsa2, Ida Kinasih1 1 Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2 Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Dago Pakar Bandung * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengurangi keanekaragaman hayati. Identifikasi dan keanekaragaman serangga pengunjung dapat dijadikan sebagai indikator baik atau buruknya suatu wilayah. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis serangga pengunjung pada bunga lilin (Pachystachys lutea L.) yang berada di sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuada. Pengamatan serangga dilakukan sebanyak 5 kali yang dilakukan dari pukul 08.00-09.00 WIB. Korelasi antara lingkungan (suhu dan kelembapan) dengan keanekaragaman dan kelimpahan serangga yang dinalisis dengan Indeks Shannon-Wiener dan uji Correlate. Serangga pengunjung yang teramati berjumlah 1000 individu. Hasil identifikasi menunjukkan terdiri dari 5 ordo yang terbagi ke dalam 6 famili dan 11 jenis. Nilai indeks keanekaragaman dan kelimpahan sangat rendah (0,92 dan 0,51). Serangga paling banyak ditemukan pada jam 08.10-08.30 WIB dengan suhu antara 18,5-210C dan kelembapan udara 83-96%. Analisis faktor lingkungan suhu dan kelembapan terhadap kelimpahan serangga pengunjung didapatkan suhu berkorelasi positif dan kelembapan berkorelasi negatif terhadap kelimpahan serangga. Kata Kunci: Serangga pengunjung, Bunga Lilin, Tahura Ir. H. Djuanda 58 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan biodiversitas tinggi di dunia, diantaranya adalah flora dan fauna yang beranekaragam dan terdapat flora dan fauna yang tidak dapat ditemukan di daerah atau negara manapun salah satu tempat yang memiliki keanekaragaman tinggi adalah wilayah hutan. Dengan semakin berkembangnya kebutuhan manusia maka hutan menjadi salah satu wilayah yang paling banyak dimanfaatkan sehingga menyebabkan rusaknya hutan yang ada di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal ini, pemerintah Indonesia membangun suatu wilayah hutan buatan yang didominasi oleh beranekaragam jenis pohon juga sebagai kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan atau yang alami atau bukan alami yang disebut Taman Hutan raya, salah satu tanaman yang terdapat di Jawa Barat adalah Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Banyak jenis tumbuhan yang terdapat di dalamnya salah satunya adalah bunga lilin (Pachysiachys lutea L.). Bunga lilin (P. lutea L.) termasuk ke dalam famili Acantaceae [1], dikenal sebagai tanaman hias yang dapat dijadikan sebagai obat-obatan. Bentuk bunga bulir dengan seludang bunga berbentuk oval dan ujung meruncing. Bunga tersusun seperti bongkol, dengan ukuran bervariasi dan berwarna kuning [2]. Bunga memiliki serbuk sari dan pollen yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan baik oleh serangga pollinator [3], predator dan parasitoid [4] serta serangga yang menjadikan bunga tersebut sebagai tempat tinggal. Serangga-serangga ini dapat mempengaruhi bunga P. lutea baik menguntungkan maupun merugikan. Keuntungan yang didapatkan tumbuhan dari serangga yaitu dapat terjadi penyerbukan berupa polen yang terbawa pada bagian tubuh serangga [5][6]. Serangga dengan tumbuhan diperkirakan telah menjalin sebuah interaksi sejak zaman Cretaceous (130-90 juta tahun yang lalu) [3]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis serangga pengunjung dan upaya konservasi serangga pengunjung pada bunga lilin (P. lutea L.) yang berada di daerah sekitar Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. BAHAN DAN METODA Waktu dan Area Penelitian Pengamatan ini dilakukan di daerah Taman Hutan Raya Ir. H Djuanda, Dago Pakar, Jawa Barat antara Goa Jepang dan Goa Belanda, metode pengamatan yang digunakan adalah dengan observasi dan pengkoleksian langsung. Pengamatan keanekaragaman serangga dilakukan dari tanggal Juni 2015-Juli 2015 dilakukan pada 12 sampel pohon bunga lilin dan sebanyak 5 kali pengamatan mulai dari pukul 08.00- 09.00 WIB. Survei Lapangan Survei lapangan dilaksanakan dengan tujuan proses pencarian lokasi sampilng yang akan dilakukan dan morfologi dari bunga yang akan diamati serangga pengunjungnya, ditentukan pula batas-batas dan area yang akan diamati agar dapat memudahkan pengamatan serta jumlah pohon yang akan dijadikan sampel pengamatan. Pengukuran Faktor Lingkungan Pengukuran ini meliputi suhu dan kelembapan di sekitar area pengamatan yang telah ditentukan, hal ini dilakukan untuk dapat menguatkan hasil pengamatan dan mempermudah proses identifikasi serangga pengunjung di area tersebut. Pengamatan Serangga Pohon bunga lilin diamati mulai dari jam 08.00-09.00 WIB dan di cek satu persatu pada setap bunga yang terdapat dalam pohon, serangga ditangkap dengan menggunakan pinset atau manual 59 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia dengan tangan kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70% sebagai pengawet spesimen. Identifikasi Serangga Serangga yang telah ditangkap kemudian diidentifikasi dengan mengamati struktur morfologi dari serangga yang baru ditangkap kemudian mencocokannya dengan buku identifikasi serangga sampai tingkat famili, pelaksanaan pengamatan morfologi serangga dilakukan di laboratorium ekologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Berdasarkan IKAPI [7] dan Borror [8](1996) Data dan Analisis Data yang telah didapat disajikan dalam bentuk tabel agar dapat memudahkan penulisan, dihitung rata-rata dan persentase per periode waktu dan dihitung indeks keanekaragamannya dengan menggunakan indeks keragaman dan kemerataan Shannon H’dan E . Rumus yang di gunakan adalah [9]: H’ = -∑ni /N ln ni/N E = H’/ln S Keterangan: ni = Jumlah individu dari i spesies; N = Jumlah total individu; S = Jumlah spesies. Dilakukan pula perhitungan korelasi antara jumlah serangga dengan faktor lingkungan (suhu dan kelembapan) dengan menggunakan aplikasi SPSS 17. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil identifikasi ditemukan sebanyak 11 spesies serangga dengan jumlah keseluruhan sekitar 1000 individu yang termasuk ke dalam 6 famili dan 5 ordo serangga yang mengunjungi bunga P. lutea. Serangga yang paling dominan mengunjungi bunga ini adalah ordo Hymenoptera (73,8%), diikuti oleh Thysanoptera (16,1%), Hemiptera (9,7%). Dari ordo Hymenoptera ditemukan famili Formicidae terdiri dari 5 jenis, dari famili Thripinidae ditemukan 1 jenis, dari larva Coleoptera ditemukan 1 jenis, dari famili Aphididae ditemukan 2 jenis, dari famili Miridae ditemukan 1 jenis, dari ordo Isoptera ditemukan 1 jenis (Tabel 1). Tabel 1. Jenis-jenis dan jumlah serangga pengunjung yang didapatkan pada bunga P. lutea L. No 1 2 3 4 5 6 Ordo Hymenoptera Hemiptera (Subordo Heteroptera) Hemiptera (Subordo Homoptera Thysanoptera Coleoptera Isoptera Famili Jenis Jumlah Persen (%) Formicidae 5 jenis 738 73,8% Miridae 1 jenis 13 1,3% Aphididae 2 Jenis 84 8,4% Thripinidae 1 jenis 1 jenis 1 jenis 161 2 2 16,1% 0,2% 0,2% Berdasarkan hasil identifikasi serangga yang telah dilakukan, serangga pengunjung yang teramati memiliki fungsi ekologis yang berbeda-beda. Ada yang berfungsi sebagai polinator yang membantu penyerbukan dan menjadian bunga P. lutea sebagai tempat tinggal (famili Formicidae berbadan hitam), sebagai hama bagi tumbuhan (famili Aphididae, famili Miridae dan famili Thriphidae), sebagai predator (sebagian besar famili Formicidae dan larva Coleoptera) dan ada pula yang hanya sekedar hinggap pada bunga tersebut. Keberadaan serangga ini pada bunga P. lutea baik musuh alami / predator, serangga polinator maupun hama ini dapat diduga karena dipengaruhi oleh 60 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia ketersediaan makanan dan tempat tinggal sebagai naungan/tempat berlindung [10] di sekitar bunga P. lutea. Wratten & Van Emden [4] melaporkan bahwa diversifikasi habitat dapat menyediakan nektar dan polen bagi parasitoid dan predator serta dapat berfungsi sebagai tempat berlindung sementara. Bagi serangga, serbuk sari digunakan sebagai sumber protein, sedangkan nektar sebagai sumber gula yang sangat dibutuhkan untuk kehidupannya [11]. Kombinasi gula dalam nektar menentukan keanekaragaman serangga yang mengunjungi [12]. Selain serbuk sari dan nektar, morfologi bunga berpengaruh terhadap keanekaragaman serangga pengunjungnya [13]. Beberapa faktor yang mempengaruhi kunjungan serangga pada bunga, diantaranya adalah kandungan nektar, konsentrasi gula, kandungan senyawa kimia [14], dan kelimpahan bunga [15][16]. Berdasarkan angka indeks keanekaragaman terlihat bahwa serangga pengunjung pada bunga P. lutea sebesar 0,92, hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman serangga pada saat jam 08.00-09.00 disekitar daerah antara Goa Jepang dan Goa Belanda termasuk kategori sangat rendah H’<1 Tabel 2). Hal ini dapat terjadi disebabkan karena aktivitas pengunjung dan masyarakat sekitar disekitar tempat pengamatan yang mengakibatkan ketidak nyamanan pada serangga dan kurangnya perhatian pada aspek lingkungan, selain faktor manusia rendahnya keanekaragaman ini dipengaruhi oleh faktor makanan, faktor lingkungan yang ada di sekitar tempat pengamatan [17], keragaman komponen penyusun ekosistem [10] dan aktivitas hewan lain baik sebagai predator, parasitoid, polinator maupun hama baik pada bunga maupun pada serangga pengunjung. Menurut Krebs [9], keanekaragaman jenis berfungsi untuk mengukur tingkat keteraturan dan kestabilan suatu ekosistem, hal ini diartikan bahwa semakin rendah nilai indeks keanekaragaman maka semakin menurun tingkat keteraturan dan kestabilan ekosistem. Menurut Oka [18] dalam komunitas yang keanekaragamannya tinggi, suatu populasi spesies tertentu tidak dapat menjadi dominan. Sebaliknya dalam komunitas yang keanekaragamannya rendah, satu atau dua spesies populasi mungkin dapat menjadi dominan. Keanekaragaman dan dominansi berkorelasi negatif. Tabel 2. Hasil Perhitungan Indeks Keanekaragaman dan Kelimpahan Shannon-Wiener Serangga Pengunjung pada Bunga P. lutea No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Spesies Sp1 Sp2 Sp3 Sp4 Sp5 Sp6 Sp7 Sp 8 Sp9 Sp10 Sp 11 Ordo Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Hymenoptera Thysanoptera Hemiptera Hemiptera Hemiptera Coleoptera Isoptera Jumlah Famili Formicidae Formicidae Formicidae Formicidae Formicidae Thriphidae Aphididae Aphididae Miridae Larva Coleoptera H' 0,236523 0,030696 0,012429 0,038627 0,012429 0,294042 0,205085 0,012429 0,056456 0,012429 0,012429 0,923575 E 0,132006 0,017132 0,006937 0,021558 0,006937 0,164108 0,11446 0,006937 0,031509 0,006937 0,006937 0,515457 Berdasarkan angka indeks kelimpahan terlihat bahwa serangga pengunjug pada bunga P. lutea sebesar 0.51, hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan serangga pada saat jam 08.00-09.00 disekitar daerah antara Goa Jepang dan Goa Belanda termasuk kategori sangat rendah H’<1 . Hal ini dapat terjadi disebabkan karena banyaknya jumah bunga P. lutea dalam satu pohon sehingga sumber 61 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia makanan yang dapat digunakan oleh serangga banyak khususnya serangga polinator dan serangga hama, selain itu banyaknya serangga lain dapat mengundang serangga lain baik sebagai predator dan parasitoid. Menurut Sihombing [19], melimpahnya suatu jenis serangga polinator disuatu wilayah dikarenakan daya dukung wilayah tersebut sesuai terhadap kehidupan serangga. Daya dukung tersebut berupa faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan serangga, baik berupa faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor biotik berupa keanekaragaman tanaman penghasil nektar dan tepung sari (pollen), serta hama dan penyakit. Faktor abiotik berupa temperatur, kelembaban udara, curah hujan dan lama penyinaran. Faktor lingkungan ini akan mempengaruhi aktivitas hidup, keadaan makanan di alam, dan perkembangan populasi. Apabila kondisi suatu wilayah mendukung berkembangnya suatu spesies maka spesies tersebut populasinya akan melimpah, demikian juga sebaliknya. Selain tipe habitat dan morfologi bunga, keanekaragaman serangga juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu udara, kelembaban udara dan intensitas cahaya [20]. Berdasarkan analisi suhu udara faktor ini berpengaruh positif terhadap jumlah serangga dan kelembapan perpengaruh negatif terhadap jumlah serangga. Secara umum, dari pengamatan selama 5 hari serangga paling banyak ditemukan pada kisaran 08.10-08.30 WIB dengan suhu antara 18,5-210C dan kelembapan udara 83-96%. Menurut Asbani & Winarno [21], Cholid & Winarno [22] bahwa serangga penyerbuk umumnya berkunjung pada pagi hari mulai dari jam 07.00-10.00 wib yang bertepatan pada saat bunga mekar. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada suhu optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit [23]. KESIMPULAN Jumlah serangga pengunjung yang didapat pada bunga lilin (Pachysiachys lutea L.) berjumlah 1000 individu yang terdiri dari 11 spesies, 6 famili dan dengan 5 ordo yang terdiri dari Hymenoptera 5 jenis, Thysanoptera 1 jenis, Hemiptera 3 jenis, Coleoptera 1 jenis dan 1 jenis. Serangga yang paling dominan antara lain dari famii Formicidae sp1 (Hymenoptera), famili Thripidae (Thysanoptera) dan famili Aphididae sp 9 (Hemiptera). Indeks Keanekaragaman Serangga dan Indeks Kelimpahan Serangga pada saat pengamatan tergolong sangat rendah (masing-masing 0,92 dan 0,51) hal ini dipengaruhi oleh faktor makanan, faktor jumlah antar spesies yang timpang (ada yang sangat banyak dan ada yang sangat sedikit) dan faktor abiotik (suhu dan kelembapan) yang tidak sesuai dengan suhu optimum serangga. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Dago Pakar atas izin dalam penggunaan lahan unuk pelaksanaan penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Ken, F. 2010. Bunga Lilin: Bentuknya Mirip Api Lilin. [online]. Tersedia : http://taman.idealonline.co.id/index.php/home/read/74/bunga-lilin:-bentuknya-mirip-api-lilin. Diakses pada 05 Agustus jam 08.04 WIB. Tim KKN. 2012. Katalog Tanaman Obat Keluarga (Toga) Desa Krisik 2012. Malang: Universitas Brawijaya. Schoonhoven, L. M, Jermy T, van Loon JA. 1998. Insect-Plant Biology: from physiology to evolution. London: Chapman & Hall. Wratten dan Van Emden. 1994. Habitat Managemen for Echanched Activity of Natural Enemies of Insect Pests. dalam D. M. Glen, M. P. Graves and H. M. Anderson. Ecology and Integrated Farming System Chilchester. Inggris: Willey. Sedgley, M dan Griffin A. R. 1989. Sexual Reproduction of Tree Crops. London: Academic Press. Kevan, P. G. 1984. Bee Botany: Pollination, foraging and floral calendars. Proceedings of the Expert Consultation on Beekeeping in Apis mellifera in Tropical and SubTropical Asia. Food and Agricultural Organization of the United States. Roma, 51-56. IKAPI. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta : Kanisius. 62 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] Borror, D. J,. Triplehorn, C. A, dan Johnson, N. F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Krebs, C. J. 2001. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance 5th ed. California: Benjamin Cummings. Apituley, F. L., A. S. Laksono dan B. Yanuwiadi. 2012. Kajian Komposisi Serangga Polinator Tanaman Apel (Malus sylvestris Mill) di Desa Poncokusumo Kabupaten Malang. El-Hayah 2 (2), 85-96. Plowright R. C, Thomson J. D, Lefkovitch L. P, Plowright C. M. S. 1993. An Experimental Study of the Effect of Colony Resource Level Manipulation on Foraging for Pollen by Worker Bumble Bees. Canadian Journal of Zoology 71: 1393-1396. Hainsworth, F. R, Hamill, T. 1993. Foraging Rules For Nectar: Food Choices by Painted Ladies. American Naturalist 142 (5): 857–867. Neal, P, Dafni. A, Giurfa. M. 1998. Floral Symmetry and Its Role in Plant-Pollinator Systems: Terminology, Distribution and Hypotheses. Annual Review of Ecology and Systematics 29: 345–373. Martin, E. C, McGregor, S. E. 1973. Changing Trend in Insect Pollination of Commercial Crops. Annual Review of Entomology 18 (1): 207-226. Kandori, I. 2002. Diverse Visitors with Various Pollinator Importance and Temporal Change in the Important Pollinators of Geranium thunbergii (Geraniaceae). Ecological Research 17 (3):283–294. Hegland, S. J dan Totland O. 5. Relationships Between Species’ Floral Traits and Pollinator Visitation in a Temperate Grassland. Oecologia 145 (4): 586–594. Banjo, A. D, Lawal O. A, Aina S. A. 2006. The Entomofauna of Two Medicinal Euphorbiaceae in Southwestern Nigeria. Journal of Applied Sciences Research 2 (11) : 858-863. Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : Gajah mada University Press. Sihombing, L. 2005. Food Security Analisis Ketersediaan dan Akses (Studi Kasus Propinsi Sumatera Utara), Prosiding Seminar Sehari Strategi Penguatan Ketahanan Pangan. 4 Juli 2005. Medan. Amano, K., T. Nemoto and T. A. Heard. 2000. What are Stingless Bees and Why and How to Use Them As Crop Pollinatior a Review. JARQ 34 (3): 183 190. Asbani, N. dan D. Winamo. 2009. Bioekologi Penyerbukan dan Pembuahan pada Jarak Pagar Andromonoecious. Jurnal Grivita 31 (1): 12-18. Cholid, M. dan D. Winarrno. 2006. Pemberdayaan Serangga Penyerbuk dan Tanaman Pemikat Untuk Meningkatkan Produktivitas Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Balittas.Doc. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Jumar. 2000. Entomologi Serangga. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 63 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-07 Keanekaragaman Spesies Serangga Hama dan Musuh Alami pada Tanaman Kacang Hijau di Brebes, Jawa Tengah Dodin Koswanudin1*, I Made Samudra1, dan Sutoro1 1 * Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Serangga hama merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya kacang hijau, sehingga perlu dilakukan berbagai upaya dalam mengatasinya. Pencarian sumber daya genetik atau plasma nutfah yang tahan serangga hama termasuk penelitian dasar yang penting dalam menyiapkan materi genetik pada kegiatan perakitan varietas tahan. Tujuan penelitian untuk mendapatkan sumberdaya genetik kedelai yang tahan terhadap serangga hama. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juli 2014 di dusun Kalibuntu, Desa Kalibuntu, Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah. Percobaan mengunakan rancangan acak kelompok, Sumber daya genetik kedelai yang diuji sebanyak 20 aksesi dengan 3 (tiga) ulangan. Luas petak 4 m x 5 m, benih kedelai ditanam 2 biji/lubang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 30 cm. Tanaman dipupuk dengan Urea, SP-36 dan KCl sesuai dosis anjuran dan dipelihara sebaik-baiknya agar memenuhi syarat untuk percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga hama yang muncul meliputi kutudaun (Aphis cracivora), kutu kebul (Bemisia tabaci), pengisap polong (Riptortus linearis) dan (Nezara viridula), pemakan polong (Helicoverpa armigera) dan penggerek polong (Maruca testulalis). Serangga musuh alami meliputi predator (Coccinella sp., Lycosa psuedoanulata, Phaederus fuscifes) dan parasitoid (Snellinius manillae, Ooencyrtus sp., Trichogrammatoidea spp.). Kata kunci: Keanekaragaman, serangga, kacang hijau. 64 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-08 Inventarisasi Serangga Hama pada Tanaman Padi Gogo Dataran Rendah di Jatisari Karawang, Jawa Barat Martua Suhunan Sianipar1*, Rika Meliansyah1, Riandi Feral1, Entun Santosa1, RC. Hidayat Soesilohadi2, W. Daradjat Natawigena1 1 Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNPAD Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Padi merupakan komoditas tanaman pangan penting di Indonesia. Ada beberapa jenis varietas padi di Indonesia, diantaranya varietas Padi Gogo. Padi Gogo bisa menjadi salah satu pemecahan masalah disaat musim kekeringan. Salah satu faktor penghambat dalam budidaya padi gogo adanya serangan hama. Penelitian dilaksanakan dari Oktober 2013 sampai Desember 2013 bertujuan menginventarisasi serangga hama pada tanaman padi gogo dataran rendah di Jatisari, Karawang, Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang dikumpulkan meliputi jenis dan jumlah serangga yang terperangkap yang kemudian dihitung indeks keragamannya. Pengambilan sampel dilakukan langsung dengan tangan, penggunaan perangkap kuning berperekat, perangkap cahaya, perangkap pitfall dan penjaringan. Pengamatan dilakukan sebanyak 12 kali dimulai dari fase vegetatif, hingga generatif. Dengan interval setiap satu minggu sekali. Hasil penelitian mendapatkan 6 ordo, dan 15 famili/spesies, dengan jumlah individu serangga sebanyak 1722 individu. Jenis serangga hama yang tertangkap dengan perangkap ini yaitu, Dissosteira spp., Oxya spp., Cofana spp., Recilia dorsalis, Nilaparvata lugens, Graphocephala spp., Nephotettix spp., Leptocorisa spp., Scotinophara spp., Scarabaeidae, Atherigona spp., Scirpophaga spp., Cnaphalocrocis spp. Adapun serangga dengan jumlah terbanyak di lahan padi gogo dataran rendah di Jatisari, Karawang, Jawa Barat ini yaitu Oxya spp., sebanyak 322 individu. Sedangkan, serangga dengan jumlah terendah yaitu Acheta domesticus spp., sebanyak 31 individu di temukan diareal pertanaman. Indeks keragaman H’ serangga hama bisa dikatakan berada di level yang sedang, mulai dari awal fase vegetatif, hingga akhir fase generatif Kata kunci: Keragaman, Serangga hama, Padi gogo, Dataran rendah 65 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-09 Populasi Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dan Keragaman Serangga Predatornya pada Padi Sawah Lahan Dataran Tinggi Mochamad Ardiansyah1, Martua Suhunan Sianipar1*, Luciana Djaya1, EntunSantosa1, RC. Hidayat Soesilohadi2, Wahyu Daradjat Natawigena1 1 Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNPAD Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Hama Wereng Batang Coklat/WBC (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama utama tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari populasi WBC dan keragaman musuh alaminya pada tanaman padi sawah di dataran tinggi. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan eksperimen. Survei dilakukan pada 3 petak lahan percobaan berukuran 15 mx 20 m bertempat di Desa Panyocokan Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan eksperimen dilakukan di rumah kaca Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Metode pengambilan sampel dilakukan secara diagonal sistematis dengan menggunakan perangkap kuning dan perangkap jarring dan dengan dilihat langsung pada rumpun padi lalu jumlah WBC dihitung. Ekperimen dilakukan dengan meletakkan sepasang WBC dalamwadah, lalu diamati keperidian, siklus hidup, dan sex ratio keturunannya. WBC yang tertangkap dihitung jumlahnya dan diakumulasikan setiap minggunya. Hasil penelitian menunjukkan kepadatan populasi di lahan survey di bawah 10 ekor/rumpun artinya populasi WBC masih di bawah ambang ekonomi atau ambang kendali. Suhu, kelembaban, dan curah hujan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap populasi WBC. Hal tersebut ditunjukkan dengan analisis regresi masing-masing pada suhu (Y= 0,557 – 8,167x ; R2 = 0,039 ; P= 0,465), kelembaban (Y = -0,077 + 9,112x ; R2 = 0,045 ; P = 0,428), dan curah hujan (Y = 0,118 + 3,412x ; R2 = 0,136 ; P = 0,159). Indeks keragaman musuh alami cenderung mengalami fluktuasi dari rendah sampai sedang. Pada kisaran suhu 21,1-34,8 oC hasil pengamatan keperidian menunjukkan WBC dapat menghasilkan 127-207 individu baru selama masa hidupnya. Pada pengamatan siklus hidup, WBC memerlukan rata-rata 37,66 hari sampai menghasilkan generasi baru. Pengamatan sex ratio menunjukkan perbandingan (jantan:betina) 1,06:1. Kata Kunci: Populasi, Wereng Batang Coklat, Keragaman, Predator, Sawah, Dataran Tinggi, Ciwidey, Bandung 66 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-10 Pola Aktivitas Harian Serangga Vespidae (Hymenoptera) pada Tanaman Pisang Masriany1,2, Fenny M. Dwivany1, Tjandra Anggraeni1* 1 Sekolah Ilmu Teknologi dan Hayati, ITB Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Blood disease bacterium (BDB) adalah salah satu penyakit utama pada tanaman pisang yang persebarannya diduga disebabkan oleh serangga pengunjung bunga pisang. Salah satu serangga pengunjung bunga Pisang adalah famili Vespidae. Pola aktivitas harian Vespidae pada perbungaan pisang perlu dilakukan sebagai informasi awal terkait potensi Vespidae sebagai vector BDB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola aktivitas harian serangga Vespidae pada Bunga Pisang. Pengambilan data serangga dilakukan pada bulan Januari-September 2015 dengan menggunakan metode purposive sampling di Kebun Pecobaaan Balitbu Subang, Jawa Barat. Waktu pengamatan dibagi atas tiga waktu: pada pagi (pukul 07.00- 09.00), siang (11.00-13.00) dan sore hari (15.00-17.00). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persentase kunjungan serangga Vespidae pada bunga pisang tertinggi pada pagi hari sebanyak 56%, pada siang hari mengalami penurunan drastis menjadi 21% dan pada sore hari sekitar 23%. Perbandingan tingkat preferensi serangga Vespidae pada bunga pisang betina lebih tinggi dibandingkan dengan bunga pisang jantan. Tingkat kunjungan serangga Vespidae pada bunga pisang tampaknya berkorelasi positif dengan waktu dan fase perbungaan pisang. Kata Kunci: pola aktivitas harian Vespidae, Bunga pisang betina, bunga pisang jantan. 67 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-11 Perkembangan populasi Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant) dan musuh alaminya pada lahan sawah dengan Irigasi Intermitten di Kodya Semarang Hairil Anwar1*, Meinarti Norma1, Sri Murtiati1 1 * Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Dinamika populasi hama wereng hijau Nephotettix virescens Distant dan musuh alaminya pada lahan sawah dengan sistem irigasi inter-mitten merupakan salah satu terobosan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional menuju swasembada beras berkelanjutan. Kegiatan ini dilaksanakan pada MT I tahun 2010 yang berlokasi di Kelurahan Karangmalang, Kecamatan Mijen, Kodya Semarang. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan populasi hama wereng coklat pada beberapa kultivar padi di lahan sawah dengan sistem irigasi berselang. Adapun komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan ini adalah komponen teknologi PTT padi sawah spesifik lokasi menggunakan 5 (lima) kultivar padi sawah meliputi : Inpari-1, Galur Harapan, Situ Bagendit, Lokal Umbul, dan Conde. Metode menggunakan sistem random sampling secara diagonal pada masing-masing lokasi. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap perkembangan populasi wereng hijau dengan interval pengamatan setiap dua minggu sekali. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa perkembangan populasi hama wereng hijau pada sistem irigasi berselang memiliki pola sebaran yang bervariasi pada masing-masing kultivar padi disetiap stadia pertumbuhan tanaman. Pada stadia vegetatif (14-21 HST) secara visual masing-masing kultivar padi populasinya rerata berkisar 12-20 ekor per lokasi per rumpun. Sedang pada stadia generatif (35-45 HST) populasinya rerata bekisar antara 6-10 ekor per rumpun. Dari tiap stadia pertumbuhan tanaman padi ternyata pada stadia reproduksi yaitu umur tanaman 7–8 minggu setelah tanam (49-60 HST) mempunyai pola sebaran populasi wereng hijau yang cukup tinggi rerata mencapai berkisar 4-17 ekor per rumpun, sedang pola sebaran populasi paling tinggi terjadi pada umur tanaman 76-90 HST (stadia pemasakan) yaitu rata-rata populasinya berkisar 5-19 ekor per rumpun. Populasi wereng hijau tertinggi terjadi pada kultivar lokal umbul, baik dengan perlakuan genangan air maupun perlakuan tanpa genangan air. Sedangkan populasi terendah terjadi pada kultivar Inpari-1 baik dengan perlakuan genangan air maupun pada perlakuan tanpa genangan air. Pola sebaran wereng hijau terjadi umumnya akibat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya perubahan iklim, kondisi lingkungan diantaranya kurang berperannya musuh alami. Musuh alami yang ditemukan di lapang diantaranya: Lycosa pseudoannulata dan Oxyopes sp dengan tingkat populasi relatif rendah rerata berkisar 4-7 ekor per rumpun, baik pada perlakuan tanpa genangan air maupun dengan genangan air. Kata kunci: wereng hijau, tanaman padi, dan inter-mitten. 68 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Dalam bidang ketahanan pangan, padi merupakan bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia dan menyumbang lebih dari 60 persen terhadap konsumsi energi dan protein. Ketersediaan beras, yang cukup bagi kebutuhan konsumsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap tingkat asupan gizi masyarakat. Introduksi varietas unggul baru yang memiliki beberapa keunggulan seperti umur panen genjah, potensi hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman biotik merupakan salah satu upaya untuk mengatasi berbagai kendala biotik dan abiotik pada budidaya padi saat ini. Salah satu kendala usaha tani padi yang belum terpecahkan adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti hama wereng hijau. Ketahanan varietas unggul baru terhadap hama wereng hijau sangat penting karena hama wereng hijau merupakan hama utama tanaman padi dapat menularkan penyakit tungro. Di Indonesia hama ini menimbulkan kerusakan dari ringan sampai berat. Hama ini dapat menyerang tanaman padi dari stadia bibit di persemaian sampai menjelang panen. Wereng hijau juga merupakan vektor dari virus tungro, serangan penyakit virus ini biasanya mengikuti serangan wereng hijau. Salah satu cara yang relatif murah dan aman untuk menanggulangi serangan wereng hijau adalah penanaman varietas yang tahan atau varietas unggul baru [1]. Masalah tersebut sampai saat ini belum dapat diprediksi dan dikendalikan secara optimal, sehingga dapat mengakibatkan kerugian yang cukup besar baik berupa kehilangan hasil, penurunan mutu, terganggunya kontinuitas produksi, serta penurunan pendapatan petani. Untuk mengantisipasi kerugian tersebut diperlukan upaya pengendalian hama wereng hijau secara terpadu termasuk perlakuan penggunaan air irigasi, dan pemanfaatan musuh alami (natural enemis) disamping penggunaan cara lain [1]. Penggunaan air secara berselang/intermitten dapat menekan perkembangan populasi hama wereng hijau [1] sehingga diharapkan adanya penurunan kehilangan hasil sampai persentase kehilangan hasil mendekati 20%. Demikian pula, menurut (Herutaji, 1987) dalam Hairil Anwar dkk. [2] bahwa pemanfaatan potensi musuh alami cukup baik di alam bebas, sehingga dapat bertahan dan berdaya guna dalam menekan dan menurunkan populasi wereng hijau. Apabila pendayagunaan tersebut dapat berhasil dicapai maka populasi wereng hijau di alam akan dapat diatur dengan sendirinya oleh musuh alami untuk meningkat tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu usaha-usaha pemanfaatan musuh alami perlu dilakukan sebagai salah satu strategi pengendalian terhadap hama wereng hijau. BAHAN DAN METODA Penelitian dilaksanakan di lahan petani desa Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang pada musim tanam 2010/2011 dengan luas lahan 2.500 m2. Pada penelitian ini introduksi efisiensi pemakaian air pada tanaman padi dengan perlakuan pengairan : a) pengairan berselang interval setiap 3 hari sekali dan b) pengairan petani (eksisting). komponen teknologi yang diterapkan pada kegiatan ini adalah komponen teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah spesifik lokasi menggunakan 5 (lima) varietas padi sawah meliputi, Situbagendit, Inpari-1, Conde, galur harapan, dan varietas lokal Umbul, dengan sistem tanam jajar legowo 2:1 dan eksisting petani dengan system tanam tegel/biasa. Penelitian menggunakan sistem random sampling secara diagonal pada masing-masing lokasi. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap perkembangan populasi wereng hijau dan musuh alaminya dengan interval setiap dua minggu sekali. 69 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan pada tanaman padi mulai berumur 14 hingga 90 hari setelah tanam (HST), perkembangan populasi wereng hijau per rumpun tergolong fluktuatif, seperti pada Gambar 1 dan 2. Keragaan tersebut diakibatkan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Hal ini dapat dilihat pada kelima kultivar komoditas padi yang ditanam menunjukkan bahwa dengan sistem tanam yang berbeda yaitu, sistem tanam transplanting tegel/biasa dibandingkan jajar legowo 2:1 memberikan ritme perkembangan populasi wereng hijau yang berbeda. Keragaan populasi wereng hijau pada varietas Lokal Umbul, umur 14 HST dan 21 HST tingkat populasinya tergolong paling tinggi bila dibanding varietas lainnya yaitu rerata mencapai 20 ekor/rumpun pada pengairan biasa dan 12 ekor/rumpun pada pengarian berselang dengan sistem tanam tegel (biasa petani) dan populasi wereng hijau terendah pada varietas Inpari-1. Gambar 1. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Biasa/tegel di Karangmalang, kec. Mijen,kota Semarang Gambar 2. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Jajar legowo 2:1 di Karangmalang, Mijen, Kota Semarang Keragaan populasi wereng hijau pada varietas Situ Bagendit, umur 35 HST dan 45 HST tingkat populasinya tergolong paling tinggi bila dibanding varietas lainnya yaitu rerata mencapai 10 70 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia ekor/rumpun pada pengairan biasa dan 6 ekor/rumpun pada pengarian berselang. Sedang populasi wereng coklat terendah pada varietas Inpari-1 dan Conde dengan rerata yang sama mencapai 10 ekor/rumpun pada pengairan biasa. Pada pengairan berselang populasi wereng hijau terendah rerata mencapai 6 ekor/rumpun (varietas Inpari-1 dan Galur Harapan). Pada umur tanaman 49 HST dan 56 HST populasi wereng coklat mencapai berkisar 4 ekor/rumpun (varietas Inpari-1 dan Conde) dan 17 ekor/rumpun (varietas Situ Bagendit) pada sistem tanam tegel dengan pengairan biasa dan berkisar 4 ekor/rumpun (varietas Conde dan Galur Harapan) dan 17 ekor/rumpun (varietas Situ Bagendit) pada sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan pengairan berselang. Sedang populasi wereng coklat pada tanaman umur di atas 70 HST dan 90 HST mencapai rerata berkisar 5 ekor/rumpun (varietas Galur Harapan) dan 19 ekor/rumpun (varietas Situ Bagendit) pada sistem tanam tegel dengan pengairan biasa, pada sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan pengairan berselang tingkat populasi wereng hijau mencapai rerata berkisar 5 ekor/rumpun (varietas Conde) dan 19 ekor/rumpun pada varietas Situ Bagendit seperti tersaji pada gambar 3 dan 4. Gambar 3. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Biasa/tegel di Karangmalang, kec. Mijen, kota Semarang Gambar 4. Perkembangan populasi wereng hijau dengan sistem tanam Jajar legowo 2:1 di Karangmalang, Mijen, Kota Semarang Secara umum pertumbuhan pertanaman padi berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi populasi wereng hijau pada umur tanaman sekitar 7 HST menunjukkan tingkat populasi relatif 71 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia rendah, pada umumnya populasi wereng hijau baru terbentuk disebabkan adanya populasi migran. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kisimoto [3] bahwa serangga mulai tertarik terhadap tanaman padi sejak berumur 10 - 20 HST. Di sisi lain, sifat populasi wereng hijau memiliki laju pertumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh suhu dengan kisaran 24 - 33,5 °C, sehingga pada daerah beriklim sedang awalnya kepadatan populasi rendah, kemudian populasi tersebut naik dengan cepat. Sehingga secara tidak langsung melalui dampak dari perubahan iklim dapat menyebabkan meningkatnya populasi wereng hijau. Hal tersebut membuktikan bahwa faktor lingkungan (sistem tanam) sangat berpengaruh terhadap perkembangan wereng hijau [2]. Faktor lingkungan yang turut berperan dalam menekan perkembangan populasi wereng hijau adalah cara/sistem tanam, pemanfaatan musuh alami/predator dan tata guna air (TGA). Menurut Abdulrachman [4] tanam jajar legowo biasanya diterapkan untuk mengantisipasi daerah yang banyak serangan hama dan penyakit, termasuk wereng hijau atau kemungkinan terjadinya keracunan besi. Namun belakangan ini berdasarkan hasil kajian telah terbukti bahwa tanam jajar legowo dapat memberikan tambahan keuntungan sekitar 5-10% dari sistem tanam tegel/biasa petani [5]. Sedangkan Baehaki, et al. [6] mengemukakan bahwa umumnya tingkat kepadatan populasi musuh alami/predator akan bertambah bila faktor makanan banyak tersedia, rerata perkembangan populasi musuh alami laba-laba (4,7 ekor/rumpun) mengikuti rerata perkembangan populasi wereng hijau pada kondisi pertanaman padi berpengairan biasa. Pada pertanaman padi dengan pengairan berselang/intermiten, ternyata rerata perkembangan populasi wereng hijau relatif lebih tinggi (12 ekor/rumpun). Hal tersebut disebabkan oleh pola perkembangan populasi awal yang umumnya rendah, dan baru mencapai puncaknya pada generasi 2 atau saat tanaman padi umur 6 sampai 11 minggu setelah tanam/MST [6] seperti tersaji pada gambar 5. Gambar 5. Dinamika populasi musuh alami pada pertanaman padi di Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang Mengingat besarnya peranan musuh alami dalam memangsa wereng hijau maka perlu dilestarikan keberadaannya pada ekosistem pertanaman padi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumartono [7], tersedianya faktor makanan akan mempengaruhi daya mencari mangsa dan kepiridian. Silkus predator pada dasarnya tergantung pada silkus makanannya atau spesies serangga (Utida, 1957, cit. [8]). Aktivitas musuh alami memangsa tergantung dari populasi wereng hijau, makin banyak populasinya, makin banyak pula yang dimangsa [9] seperti tersaji pada gambar 6. 72 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Gambar 6. Dinamika populasi musuh alami pada pertanaman padi di Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah penggunaan air (TGA). Tanaman padi selama pertumbuhan sebenarnya tidak terlalu banyak membutuhkan air, berdasarkan hasil penelitian ketubuhan air bagi pertanaman padi sekitar 60% tanpa menurunkan hasil, bahkan dapat menurukan populasi jasad pengganggu tanaman padi (Fagi, et al 1983 cit [10]). Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan air sistem penggenangan/cara petani dapat meingkatkan populasi wereng hijau bila dibandingkan dengan sistem pengairan berselang. Pada sistem irigasi berselang/intermiten selain memberi kesempatan bagi akar untuk mendapatkan aerasi yang cukup untuk perkembangan akar, dan bisa menaikkan temperatur tanah sehingga dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat, juga dapat mengurangi kelembaban [11] yang mengakibatkan perkembangan populasi hama wereng hijau menjadi turun (10%). Sedangkan pada sistem pengairan biasa, dinamika populasinya akan mengalami kenaikan saat tanaman umur sekitar 30 HST. Masing-masing varietas padi memiliki pola sebaran hampir sama, tertinggi pada varietas lokal Umbul rerata mencapai 16,0 ekor/rumpun dan Situ Bagendit rerata mencapai 4,0 ekor/rumpun, sedang populasi terendah pada varietas Inpari-1 yaitu mencapai 0,1 ekor/rumpun. Hal tersebut sesuai pendapat Gani, et al. [6] bahwa pemanfaatan air secara intermiten/berselang akan mengurangi populasi wereng hijau, nematoda di daerah perakaran, mengurangi emisi gas metan (CH4) dan memperbaiki kualitas hasil gabah. Hal tersebut terlihat dari keragaan fioiologis tanaman seperti tersaji pada Gambar 7. Gambar 7. Keragaan morfologi komoditas padi kultivar unggul pada kegiatan di desa Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang KESIMPULAN 1) Kelima varietas padi yang ditanam menunjukkan bahwa dengan sistem tanam yang berbeda yaitu, sistem tanam transplanting tegel/biasa dibandingkan jajar legowo 2:1 memberikan ritme perkembangan populasi wereng hijau yang berbeda. Tertinggi pada varietas Inpari-1 rerata 73 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia mencapai 17,0 ekor/rumpun dan populasi terendah pada varietas lokal umbul dengan rerata mencapai 3,0 ekor/rumpun. 2) Adanya introduksi pengairan berselang pada tanaman padi di desa Karangmalang, kecamatan Mijen, kota Semarang dapat merubah pola petani dalam usahatani tanaman padi. Introduksi kultivar padi unggul baru genjah dan sistem tanam jajar legowo yang dilakukan pada musim tanam ketiga/kemarau dapat menurunkan kehilangan hasil dari 10% menjadi 1,5%, sehingga meningkatkan ketahanan atau kedaulatan pangan. SARAN 1) Irigasi berselang/intermiten selain memberi kesempatan bagi akar untuk mendapatkan aerasi yang cukup untuk perkembangan akar, dan bisa menaikkan temperatur tanah sehingga dapat mengaktifkan mikroba bermanfaat, juga dapat mengurangi kelembaban yang mengakibatkan perkembangan populasi wereng hijau menjadi turun. 2) Petani sangat mengharapkan adanya perubahan pola tanam dari padi-padi-padi menjadi padi-padi-palawija/hortikultura) dan penerapan system tanam jajar legowo 2:1 atau 4:1 untuk memotong sklus hidup hama wereng hijau dan mengantisipasi pada musim tanam ke III yang kadang-kadang kekurangan air. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] Baehaki, 2011. Pengendalian OPT Utama Padi (Bahan pelatihan) Dalam Rangka mendukung program P2BN. Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Anwar, H dan M. Norma, 2013. Dinamika Populasi Hama Wereng Coklat Nilaparvata lugens Stall dan Musuh Alaminya pada Lahan Sawah dengan Sistem Irigasi Berselang di Kodya Semarang Jawa Tengah. Makalah BPTP Jawa Tengah Kisimoto R. 1977. Bionimics. The rice brown planthopper. ASPAC Abdulrachman, 2004. Teknologi Budidaya Padi Tipe Baru. Makalah pada Lokakarya Pemuliaan Partisipatif dan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Balitpa Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Aguswara, 2011. Panduan Teknik Budidaya Padi Sawah Irigasi dengan Sistem Tanaman Jajar Legowo. (Makalah), Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi Baehaki dan M. Iman 1991. Status Hama Wereng pada tanaman Padi dan Pengendaliannya. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian Jakarta Sumartono, S., 1985. Peranan Pengendalian Hayati Dalam Pengelolaan Serangga Hama, Simposium Pengendalian Hayati Serangga Hama, Malang. Badan Litbang Pertanian (1970). Ekologi Serangga. Lembaga Penelitian Hortikultura Malang, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Baehaki dan D. Sukarna., 1987. Manfaat musuh alami dalam mengatasi wereng Coklat. Makalah seminar wereng coklat. (Buku Kompilasi Hasil Penelitian Hama Wereng Coklat), Puslitbangtan, Bogor. Syam, M dan Hermanto, 1995. Teknologi Produksi Padi Mendukung Swasembada Beras. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Gani, A., Rahman, Dahono, Rustam and H. Hengsdijk, 2002. Synopsis of water management experiment in Indonesia. IRRI, Los Banos, Phillippines. 74 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-12 Kondisi Serangga Hama di Perkebunan Teh Organik Citambur Wahyu Widayat1* dan Muyarno2 1 Pusat Penelitian Teh dan Kina, Bandung PT. Bukit Sari, Cianjur Jawa Barat * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Perkebunan teh organik Citambur sebelumnya merupakan perkebunan teh konvensi-onal yang menggunakan agrokimia, luas 750 ha. Tercatat luas serangan serangga hama pada musim kemarau tidak kurang dari 230 ha, serangan penyakit pada musim hujan tidak kurang dari 300 ha. Untuk mengendalikan serangga hama (Helopeltis, Empoasca) sebanyak 600 kg/th, fungisida untuk pengendalian penyakit cacar teh (Blister blight) sebanyak 1.200 kg/th, dan herbisida untuk pengendalian gulma 2.300 lt/th. Bila terjadi ledakan serangan serangga hama penggunaan insektisida bisa mencapai 5 X lipat. Mulai tahun 2004, dilakukan pengelolaan kebun menuju kebun teh organik, pengguna-an agrokimia sintetik dihentikan, penanaman pohon tepi jalan, pohon pelindung dilakukan. Berangsur-angsur serangan serangga hama menurun, banyak ditemukan musuh alami; sampai akhirnya tidak ada ledakan serangga hama. Pada tahun 2009-2010 mendapatkan sertifikat kebun teh organik dari MEE, Jepang dan Amerika Serikat, dari Control Union Certification (CUC). Kata kunci: 75 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-13 Fluktuasi Populasi Lalat Buah Jantan (Bactrocera carambolae Drew and Hancock) dan (Bactrocera papayae Drew and Hancock) (Diptera; Tephritidae) pada Beberapa Tanaman Belimbing Dodin Koswanudin1, Adi Basukriadi2, I Made Samudra1, dan Rosichon Ubaidillah3 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia 3 Bidang Zoologi, Puslitbang Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Lalat buah (Bactrocera carambolae) dan (Bactrocera papayae) termasukhama yang menyerang buah-buahan dan menimbulkan kerugian yang cukup besar serta berperan sebagai organisme pengganggu tanaman karantina. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menurunkan serangan lalat buah adalah dengan melakukan pemasangan perangkap metil eugenol untuk lalat buah jantan. Tujuan penelitian mendapatkan informasi dan mempelajari sebaran dan fluktuasi populasi lalat buah (Bactrocera carambolae) dan (Bactrocera papayae) pada tanaman belimbing. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2011 sampai Januari 2012 di kebun buah Taman Wisata Mekarsari, Cileungsi, kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok teridiri atas 12 varietas belimbing (Malaya, Dewi, Sembirirng, Wulan, Welahan, Wijaya, Demak Kapur, Demak Kunir, Paris, Bangkok, Pilipin, dan Tailan). Setiap tanaman belimbing terdiri atas 4 pohon yang dipasang 1 buah perangkap metil eugenol/pohon sebagai ulangan. Parameter yang diamati adalah jumlah lalat buah jantan yang tertangkap dalam perangkap yang diamati setiap seminggu sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi lalat buah jantan (Bactrocera carambolae) dan (Bactrocera papayae) yang tertangkap berfluktuasi pada setiap jenis tanaman belimbing dan waktu pengamatan. Populasi lalat buah jantan yang paling rendah terjadi pada belimbing Welahan (227,0 – 901,0 ekor) dan tertinggi pada belimbing Malaya (551,0 – 2900,0 ekor). Kata kunci: Fluktuasi populasi, B. carambolae dan B. papayae, belimbing. 76 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia A-14 Studi Keanekaan Serangga Tanah Dengan Metode Pitfall Trap di Hutan Pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Jawa Barat Veni Aprilia Lestari1, Melanie1, Hikmat Kasmara1 1 * Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Penulis yang berkorespodensi : email: Abstrak Kata kunci: 77 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Hutan Pantai Cisela termasuk dalam kawasan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Cagar alam ini terletak di sebelah selatan Kabupaten Cianjur, termasuk kedalam wilayah Desa Cidamar dan Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun. Hutan pantai merupakan salah satu tipe hutan penting di Indonesia yang tumbuh pada lahan kering di kawasan pesisir. Hutan pantai penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir, misalnya melindungi pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, dan sebagai habitat berbagai satwa [1]. Serangga tanah mempunyai potensi yang tidak ternilai terutama dalam membantu perombakan bahan organik tanah. Kegiatannya dalam perombakan bahan organik merupakan salah satu peran penting dalam proses pembentukan tanah. Disamping itu, serangga tanah juga menjadi organisme penyeimbang lingkungan. Beberapa diantaranya bahkan dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan tanah atau keadaan tanah [2]. Biasanya terdapat perbedaan keanekaragaman serangga tanah yang hidup di siang hari (diurnal) dan malam hari (nocturnal). Serangga tanah pada hutan pantai umumnya memiliki toleransi pada kadar garam tinggi, hal ini membuat keanekaragamannya berbeda daripada hutan biasa. Metode yang biasa digunakan yaitu metode pitfall trap. Namun demikian, masih sangat sedikit penelitiaan mengenai keanekaragaman serangga tanah di kawasan hutan pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaaan serangga tanah di hutan pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti dengan menggunakan metode pitfall trap. BAHAN DAN METODA Metode penelitian yaitu melalui survey untuk menentukan lokasi pemasangan transek. Adapun inventarisasi serangga yaitu melalui perangkap lubang (pitfall trap). Metode pengambilan data yang dilakukan dengan metode sampling yang termasuk dalam metode eksperimental. Pengambilan sampel dilakukan di hutan pantai Cisela melalui pembuatan dua transek masing-masing 50 m. Di setiap transek akan diambil sampel di 5 titik masing-masing berjarak 10 meter yang diletakkan secara zigzag. Pemasangan perangkap dilakukan pada pukul 08.30-15.30 WIB untuk menginventarisasi serangga tanah diurnal dan pada pukul 15.30-08.30 WIB untuk menginventarisasi serangga tanah nocturnal. Serta dilakukan pula pengambilan data fisik lingkungan yang terdiri dari temperatur udara, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah, serta mencatat kondisi lingkungan berupa komposisi vegetasi, cuaca, dan ketebalan sersah. Serangga tanah diidentifikasi dan dianalisis. Analisis data serangga tanah berupa Kelimpahan Mutlak (KM), Kelimpahan Relatif (KR), Frekuensi Mutlak (KM), Frekuensi Relatif (FR), Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Simpsons (D), dan Indeks Shannon-Wienner H’ . HASIL DAN PEMBAHASAN Data pengamatan kondisi fisik Lingkungan di transek 1 dan 2 pada hutan pantai Cisela dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hasil serangga tanah diurnal dan nocturnal pada lokasi penelitian. dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. 78 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Tabel 1. Data fisik lingkungan dan vegetasi Waktu Diurnal (diambil pagi hari) Nocturnal (diambil sore hari) Data Fisik Lingkungan dan Vegetasi Suhu Udara â—¦C Kelembaban Udara (%) pH Tanah Kelembaban Tanah (%) Intensitas Cahaya (lux) Ketebalan Sersah (cm) Vegetasi Suhu Udara â—¦C Kelembaban Udara (%) pH Tanah Kelembaban Tanah (%) Intensitas Cahaya (lux) Ketebalan Sersah (cm) Vegetasi Gambar 1. Transek 1 Transek 2 37,17 79,67 5,53 40,67 123 x 100 0,8 Pandanus tectorius, Epipremnum sp., Stachytarpheta jamaicensis, Commelina sp. Barringtonia asiatica 33 80 5,53 40,67 96 x 100 0,8 Pandanus tectorius, Epipremnum sp., Stachytarpheta jamaicensis, Commelina sp. Barringtonia asiatica 33,33 80 5,53 40,67 123 x 100 0,34 Commelina sp., Hibiscus tiliaseus, Pandanus tectorius, Epipremnum sp. 32,67 79,67 5,53 40,67 96 x 100 0,34 Commelina sp., Hibiscus tiliaseus, Pandanus tectorius, Epipremnum sp. Grafik Kelompok Serangga Tanah Diurnal yang Diperoleh di Hutan Pantai Cisela 79 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Gambar 2. Grafik Kelompok Serangga Tanah Nocturnal yang Diperoleh di Hutan Pantai Cisela Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa dalam kondisi diurnal dan nocturnal masingmasing didapatkan 4 famili serangga tanah yaitu Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Pyrrhocoridae untuk diurnal serta Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Nitidulidae untuk diurnal. Jumlah famili yang didapat tergolong sedikit untuk jenis hutan pantai. Famili serangga permukaan tanah diurnal dan nocturnal yang paling banyak terdapat di hutan pantai Cisela yaitu Formicidae. Formicidae merupakan famili semut-semutan. Semut sangat mudah dikenali. Bentuk sayap semut menyerupai tabuhan. Salah satu sifat-sifat struktural yang jelas dari semut adalah sungut yang biasanya menyiku dan ruas pertama seringkali sangat panjang. Koloni mengandung tiga kasta: ratu, jantan dan pekerja. Ratu lebih besar dari pada anggota kasta lainnya (Elzinga, 1987 dalam [3]). Salah satu faktor utama yang menyebabkan Formicidae banyak terdapat dalam perangkap yaitu karena digunakannya gula dalam larutan perangkap. Semut menyukai makanan yang mengandung sukrosa. Menurut Lee (2002) dalam [4] umpan yang mengandung sukrosa memiliki daya tarik sebagian jenis semut untuk berkunjung. Yang membedakan antara diurnal dan nocturnal yaitu ketika diurnal terdapat famili Pyrrhocoridae sedangkan ketika nocturnal didapatkan famili Nitidulidae. Famili Nitidulidae merupakan famili dari jenis kumbang kecil. Biasanya berukuran kecil. Di seluruh dunia terdapat sekitar 2800 spesies. Famili ini terdapat pada berbagai jenis habitat, beberapa spesies memakan serbuk sari, menghisap getah dari pohon, ada pula yang ditemukan di bawah kulit atau berhubungan dengan semut. Beberapa spesies juga memakan bangkai hewan dan kotoran. Kebanyakan spesies dari famili ini banyak memakan serbuk sari sehingga pada umumnya aktif pada siang hari. Hal ini tidak sesuai dengan yang didapat. Kemungkinan Nitidulidae terperangkap ketika pagi hari (di bawah pukul 08.30). Berikut ini adalah hasil analisis data serangga tanah yang terdapat di hutan pantai Cisela. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. 80 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Tabel 2. Nilai Kelimpahan, Frekuensi, Nilai Penting, Dominansi, dan Keanekaragaman Kelompok Serangga Tanah Diurnal yang Diperoleh Di Hutan Pantai Cisela No 1. Famili KM KR (%) FM FR (%) INP (%) Formicidae 35,95 95,23 1 54,05 149,29 2. Blaberidae 1,4 3,7 0,45 24,32 28,03 3. Grylloidea 0,35 0,92 0,25 13,51 14,44 4. Pyrrhocoridae 0,05 0,13 0,15 8,11 8,24 Tabel 3. D H' 0,90 0,221 Nilai Kelimpahan, Frekuensi, Nilai Penting, Dominansi, dan Keanekaragaman Kelompok Serangga Tanah Nocturnal yang Diperoleh Di Hutan Pantai Cisela No 1. Famili Formicidae KM 31 KR (%) 94,37 FM 0,9 FR (%) 50 INP (%) 144,08 2. Blaberidae 1,7 5,18 0,65 36,1 41,27 3. Grylloidea 0,1 0,3 0,1 5,6 5,859 4. Nitidulidae 0,15 0,46 0,15 8,3 8,78 D H' 0,89 0,252 Berdasarkan analisis data, diketahui bahwa kelimpahan tertinggi baik kondisi diurnal maupun nocturnal yaitu dimiliki oleh famili Formicidae. Formicidae juga menjadi famili yang paling sering ditemukan pada perangkap. Tinggi atau rendahnya kepadatan suatu spesies sangat ditentukan oleh individu yang masuk ke dalam perangkap. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya vegetasi, umpan, luas permukaan dan besarnya perangkap yang digunakan (Southwood, 1978 dalam [5]). Kondisi fisik lingkungan dan vegetasi juga mempengaruhi keberadaan suatu spesies. Sesuai dengan Cox dan Moore (1994) dalam [6] yang mengatakan bahwa keberadaan semut dapat pula dipengaruhi oleh kompetisi interspesifik, variasi ketersediaan sumber makanan, dan kualitas habitat. Faktor yang mempengaruhi habitat yang cocok bagi kehidupan semut diantaranya ketersediaan makanan yang cukup serta faktor suhu dan kelembaban udara mikro yang sesuai dengan kehidupan semut didalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmawadi [7] bahwa makrofauna tanah termasuk semut akan lebih dominan pada kawasan dengan sumber makanan yang sesuai serta kondisi iklim yang menunjang. Nilai dominansi yang didapat yaitu 0.9 untuk diurnal dan 0,89 untuk nocturnal. Dengan demikian dominansi serangga permukaan di hutan pantai Cisela tergolong tinggi, sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa jika nilai Indeks Simpsons (D) mendekati satu (0,6-1) maka komunitas didominasi oleh jenis tertentu [8]. Sedangkan nilai indeks diversitas yang diperoleh yaitu 0,221 untuk diurnal dan 0,251 untuk nocturnal. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa keanekaragaman di lokasi penelitian tergolong rendah. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa nilai H’l < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman tergolong sedikit atau rendah (Maguran, 1988 dalam [9]). Keanekaragaman jenis serangga dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas makanan, antara lain banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, umur tanaman inang, dan komposisi tegakan [10]. Pada hutan pantai memiliki dominan pasir daripada tanah, serta vegetasi yang ada di Hutan Pantai didominasi oleh Pandanus tectorius, Epipremnum sp., Stachytarpheta jamaicensis, Commelina sp., dan Thespesia populnea, kebanyakan dari tumbuhan tersebut bukan pohon yang berkanopi rapat sehingga pada siang hari di pinggir pantai suhunya cukup tinggi, keadaan lingkungan 81 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia yang seperti ini membuat hanya beberapa serangga saja yang mampu bertahan hidup. Namun jumlah famili yang didapat tergolong sedikit untuk jenis hutan pantai. Dengan ditemukannya Formicidae dan Nitidulidae, maka kualitas tanah di lokasi penelitian cukup baik. Sebab Formicidae memiliki peran ekologis penting terkait dengan siklus hara, menguraikan bahan organik, semut juga memiliki peran besar dalam mencampur aduk tanah, serta sarang semut di bawah tanah dapat memperbaiki aerasi, drainase, dan kesuburan tanah. Beberapa spesies dalam famili Nitidulidae juga memakan bangkai hewan dan kotoran atau berperan dalam dekomposisi bahan organik mati dengan melibatkan proses dinamis meliputi proses fisik kompleks, kimia dan interaksi biologis yang lengkap siklus nutrisi biogeokimia. Proses ini sebagian besar dilakukan oleh mikroba, tetapi fauna tanah memiliki stimulasi penting peran. Serangga berpartisipasi dalam dekomposisi proses, memakan organik materi, dan meningkatkan tingkat dekomposisi. KESIMPULAN DAN SARAN Famili serangga tanah yang ditemukan di hutan pantai Cisela Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yaitu Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Pyrrhocoridae untuk diurnal serta Formicidae, Blaberidae, Grylloidea, dan Nitidulidae untuk nocturnal. Dominansinya untuk kedua periode waktu tersebut tergolong tinggi yaitu sebesar 0.9 untuk diurnal dan 0,89 untuk nocturnal, sedangkan keanekaragamannya tergolong rendah yaitu sebesar 0,221 untuk diurnal dan 0,252 untuk nocturnal. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan adanya perhatian khusus dari BKSDA dan para peneliti untuk dapat lebih menjaga ekosistem hutan pantai Cisela. Penelitian lanjutan dapat dilakukan seperti meleliti keanekaragaman serangga di seluruh hutan pantai Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Diharapkan penelitian keanekaragaman ini dapat dilakukan setiap beberapa tahun sekali untuk mengetahui perkembangan kondisi kualitas tanah di hutan pantai. UCAPAN TERIMA KASIH Peneliti ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung kegiatan penelitian khususnya kepada Pihak Cagar Alam Bojonglarang Jayanti yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas dan prasarana demi kelancaran penelitian ini serta Panita Kuliah Kerja Lapangan 2015 Biologi Universitas Padjadjaran. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] Onrizal dan Cecep, K. 2004. Kajian Ekologi Hutan Pantai di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Jurnal Komunikasi Penelitian Volume 16 (6). Patang, F. 2011. Berbagai Kelompok Serangga Tanah yang Tertangkap di Hutan Koleksi Kebun Raya Unmul Samarinda dengan Menggunakan 5 Macam Larutan. Jurnal Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mulawarman. Samarinda. Riyanto. 2007. Kepadatan, Pola Distribusi dan Peranan Semut pada Tanaman di Sekitar Lingkungan Tempat Tinggal. Jurnal Penelitian Sains: Volume 10, Nomor 2. Hal 241-253. Astuti. A. F, Henry. H, dan Dahelmi. 2014. Jenis-Jenis Semut (Hymenoptera: Formicidae) di Bangunan Kampus Universitas Andalas Limau Manis Padang. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J. Bio. UA.) 3(1) : 34-38. Ramadanu. R, Nurhadi, dan Elza, S. 2013. Komposisi Semut (Hymenoptera:Formicidae) Permukaan Tanah Di Kebun Gambir Di Kanagarian Siguntur Muda Kecamatan Koto Xi Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Ejournal STKIP PGRI Sumatera Barat. Noor. M. F. dan Raffiudin. R. 2013. Eksplorasi Keragaman Spesies Semut Di Ekosistem Terganggu Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Jurnal FKIP UNS. Rahmawadi, H. 1997. Pengaruh Pemberian Pakan terhadap Preferensi Hadir Semut Hitam (Dolicoderus thoracicus Smith) pada Tanaman Kakao. [Skripsi]. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Odum, E.P. 1971. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Gajah mada University Press. Jogjakarta. H. 134-162. Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna Tanah. Bumi Aksara. Jakarta. Suratmo. F. G. 1974. Perlindungan Hutan. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. 82 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B-01 Efficacy and Long Lasting Effect of Endure® 120 SC (Spinetoram 120 gai/lt) to Control Plutella xylostella and Crocidolomia sp. on Cabbage Iwan Rahwanudin, Lakshmipathi Srigiriraju, and Agus Susanto* Dow AgroSciences and Padjadjaran University * Penulis yang berkorespodensi : email: Abstrak Efficacy and long lasting effect of Endure® 120 SC (spinetoram 120 gai/l) at 250 – 600 ml/ha (30 – 72 g ai/ha), along with two commercial standards (chlorantraniliprole 50 SC and chlorfenapyr 100 SC) at registered rates were tested against Plutella xylostella and Crocidolomia binotalis on cabbage. Applications were made when insect infestation reached action threshold (0.5 larvae per plant for P. xylostella and 0.3 egg mass for C. binotalis), 45 days after transplanting. The field trial was laid out using randomized complete block design (RCBD) with 8 treatments, along with untreated check and replicated four times. The trials were conducted to answer key questions about control efficacy and long lasting activity of Endure® compared to other important commercial standards on cabbage. Results indicated that, applications of Endure® are very effective to control P. xylostella and C. binotalis on cabbage. Efficacy of Endure® (30 gai/ha – 72 gai/ha) was higher than commercially available standards to control these insect pests. Efficacy reached 94.29 - 100% on P. xylostella and 97.78 - 100% efficacy on C. binotalis at 7 day after application. Applications made with Endure® provided longer residuality, up to 21 days after application, compared to the standards tested (74.55 % on P. xylostella and 79.03 – 84.68 % control efficacy on C. binotalis). Keywords: Cabbage, Plutella xylostella, Crocidolomia binotalis, Spinetoram, Endure® 83 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B - 02 Identifikasi Genotipe Kedelai Tahan Spodoptera litura Fabricius Dengan Metode Pemilihan Inang Marida Santi YIB1*, Ayda Krisnawati1, dan M. Muchlish Adie1 1 * Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Kedelai merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di dunia selain beras. Penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan budidaya dan modifikasi genetik telah dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil kedelai. Namun, ancaman hama seperti Spodoptera litura menjadi kendala dalam upaya tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui genotipe kedelai yang memiliki sifat ketahanan non preference terhadap serangan larva S. litura. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Mei 2015 di rumah kaca dan laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak kelompok, 10 perlakuan genotipe dan diulang tiga kali. Perlakuannya adalah genotipe G 511 H/Anj//Anj///Anj-11-2, G 511 H/Anjasmoro-1-6, G 511 H/Anj//Anj///Anj-7-1, G 511 H/Anjasmoro//Anjasmoro-5-1, G 511 H/Argom//Argom-2-1, G 511 H/Anjasmoro-1-4, G 511 H/Anjasmoro-1-2, Anjasmoro, Grobogan, dan G100H. Genotipe G100H digunakan sebagai pembanding tahan ulat grayak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan genotipe kedelai yang diuji berpengaruh nyata terhadap tingkat ketahanan terhadap larva S. litura. Intensitas kerusakan daun pada umur 7 HST berkisar antara 4,21-26,31% dan pada 14 HST berkisar antara 6,0231,20%. Intensitas kerusakan daun tertinggi terdapat pada genotipe G 511 H/Anjasmoro//Anjasmoro-5-1. Sedangkan, tingkat kerusakan daun terendah terdapat pada genotipe G 511 H/Anj//Anj///Anj-7-1, tidak berbeda nyata dengan tingkat kerusakan daun pada varietas Grobogan, dan sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pembanding tahan. Kesimpulannya, diperoleh satu genotipe yang tahan berdasarkan intensitas kerusakan daun yaitu G 511 H/Anj//Anj///Anj-7-1 dan dua genotipe yang tergolong agak tahan terhadap larva S. litura yaitu G 511 H/Anjasmoro-1-6 dan G 511 H/Anjasmoro-1-4. Kata kunci: S. litura, kedelai, ketahanan, non preferens 84 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B – 03 Morfologi Spirakel Wereng Batang Padi Coklat (Nilaparvata lugens) Hafiz Fauzana1*, F.X. Wagiman2, Edhi Martono2 1 Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Riau Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Spirakel merupakan lubang eksternal saluran pernapasan serangga, tempat masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida, selanjutnya pada bagian dalam melalui tabung trakea yang bercabangcabang dan meluas ke seluruh tubuh. Bentuk, ukuran, dan jumlah spirakel setiap jenis serangga berbeda-beda. Wereng batang padi coklat (WBC, Nilaparvata lugens) diduga mempunyai bentuk spirakel yang spesifik, dan diduga juga mempunyai jumlah dan ukuran spirakel berbeda dengan jenis serangga lainnya. Oleh karena itu perlu pengamatan morfologi khusus spirakel WBC. Tujuan penelitian adalah mengetahui morfologi spirakel WBC meliputi bentuk, jumlah dan ukuran spirakeL. Metoda pengamatan terhadap spirakel WBC menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilaksanakan di Balai Konservasi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Spirakel WBC yang dijadikan ulangan sebanyak 3 ulangan tiap ruas pada masing-masing spirakel. Gambar spirakel yang terlihat jelas langsung difoto dan diukur luasnya dengan SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa spirakel WBC berbentuk elip, dimana terdapat 2 pasang spirakel di bagian toraks pada ruas mesotoraks dan metatoraks, dan 6 pasang pada ruas abdomen, pada ruas pertama sampai keenam abdomen masing-masing pada bagian sisi lateral kiri dan kanan. Luas spirakel WBC terkecil pada toraks yaitu 39, μm , dan terbesar yaitu 14.8 1 μm , dengan rerata 4.1 , ± 4.554,7 μm dan pada abdomen luas spirakel WBC terkecil yaitu 17,9 μm dan terbesar yaitu 751, μm , dengan rerata 164,18 ± 116,1 μm . Dari hasil pengamatan morfologi spirakel WBC pada tiap ruas menunjukkan lubang spirakel semuanya fungsional atau berfungsi untuk pertukaran gas ditunjukkan oleh lubang spirakel yang tidak rudimenter. Kesimpulan yang didapat bahwa morfologi spirakel WBC spesifik yaitu berbentuk elip, terdapat 8 pasang spirakel dengan luas lubang spirakel yang bervariasi. Dari hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa semua spirakel bersifat fungsional. Kata kunci: Wereng batang padi coklat, spirakel, morfologi, pernapasan, serangga 85 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B - 04 Pengaruh Beberapa Genotipe Kedelai Terhadap Biologi Ulat Grayak, Spodoptera litura Ayda Krisnawati1*, Marida Santi Y.I.B.1, M. Muchlish Adie1 1 * Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Ulat grayak merupakan serangga hama yang bersifat polifag, dan menjadi hama pemakan daun utama pada kedelai di Indonesia. Bahan yang digunakan adalah tujuh genotipe kedelai dan tiga varietas pembanding yakni Anjasmoro dan Grobogan (keduanya berukuran biji besar), serta G100H (tahan ulat grayak). Penelitian dilaksanakan di rumah kasa dan laboratorium pemuliaan Balitkabi. Daun dari setiap genotipe kedelai digunakan sebagai sumber pakan ulat grayak dan dilihat perkembangan biologinya, berupa panjang larva, lebar larva, dan bobot larva pada 7, 10, dan 15 hari setelah infestasi (hsi); serta panjang, lebar dan bobot pupa. Bobot larva merupakan resultante dari panjang dan lebar larva. Rata-rata bobot larva meningkat 97,62% dibandingkan dengan bobot larva pada 7 hsi. Bobot pupa beragam dari 0,1874-0,5639 g (rata-rata 0,3197 g). Variabilitas bobot larva pada umur 10 hsi cukup beragam antar genotipe kedelai dengan kisaran 0,0326-0,2015 g (rata-rata 0,1238 g). G100H memiliki bobot larva 90,0326 g dan bobot pupa terendah (0,1874 g). Berdasarkan bobot larva 10 hsi, G1 dan G7 memiliki bobot larva masing-masing 0,0968 g dan 0,0962 g, lebih rendah dibandingkan dengan tujuh genotipe kedelai yang diuji. Jika berdasarkan bobot pupa, G1 konsisten memiliki bobot pupa terendah jika dibandingkan enam genotipe lainnya. Fakta ini mengungkapkan bahwa G100H adalah yang paling tahan diikuti oleh G1. G100H berpotensi digunakan sumber gen ketahanan terhadap ulat grayak, G1 berpeluang dikembangkan sebagai varietas kedelai toleran ulat grayak. Kata kunci : Glycine max, ulat grayak, biologi. 86 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Hama ulat grayak (Spodoptera litura) menjadi hama pemakan daun yang paling merugikan pada tanaman kedelai di Indonesia. Hal ini disebabkan karena melimpahnya ketersediaan inang sepanjang musim dan iklim yang berkesesuaian maka hama ulat grayak selalu menjadi ancaman penurunan produksi kedelai. Satu-satunya pengendaliannya adalah mengandalkan insektisida, dan petani umumnya melakukan pengendalian hama ulat grayak bukan pada fase larva terpeka. Selain itu, penggunaan insektisida cenderung lewat dosis dan diikuti oleh interval pengendalian yang cukup rapat. Disisi lain, penggunaan insektisida nabati belum terlalu dipahami oleh petani sehingga belum memberikan pengaruh nyata dalam menekan serangan ulat grayak. Satu-satunya varietas toleran ulat grayak yang ada saat ini yakni varietas Ijen, memiliki bentuk ketahanan antibiosis, yang pada skala tertentu kurang efektif sebagai pengendali ulat grayak. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, ulat grayak ditengarai resisten terhadap golongan insektisida tertentu. Di China dilaporkan oleh Tong et al. [1], ulat grayak resisten terhadap insektisida golongan organofosfat, pirethroid, dan karbamat. Sedangkan di Indonesia, resistensi ulat grayak terhadap insektisida monokrotofos, endosulfan dan dekametrin dilaporkan terjadi sejak tahun 1995 [2]. Kasus yang sama, juga terjadi pada tanaman tembakau, yakni resisten terhadap insektisida golongan endosulfan dan metomil [3]. Upaya mengurangi dampak kerugian tersebut adalah dengan menyediakan varietas kedelai yang relatif toleran terhadap hama ulat grayak. Penanaman varietas tahan dilaporkan berpengaruh buruk terhadap aspek biologi serangga, terutama laju kematian yang tinggi pada sebagian atau seluruh stadia perkembangan serangga, seperti penurunan bobot ulat, bobot kepompong, dan perkembangan yang tidak sempurna [4]. Ketahanan tanaman terhadap hama ditentukan oleh berbagai faktor biofisik dan faktor biokimia (nitrogen, asam amino, gula, alkaloid, dan sebagainya). Faktor biofisik seperti kepadatan trikoma, permukaan lilin, ketebalan lapisan sel dan kutikula, warna, serta permukaan dan ukuran daun, merupakan peluang ketahanan terhadap hama daun [5][6][7]. Peningkatan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak diawali melalui pemahaman berbagai karakter biofisik yang paling berperanan terhadap ketahanan. Tekanan biofisik berpeluang mengurangi interaksi antara inang dengan serangga, bahkan juga akan mengganggu proses makan dari larva dan dampaknya adalah mengganggu metabolisme larva. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa kepadatan trikoma pada daun berpengaruh buruk terhadap perkembangan biologi ulat grayak [8][9][10]. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh genotipe kedelai terhadap perkembangan biologi ulat grayak. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Desember 2014 di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi), Malang, menggunakan rancangan acak lengkap, 10 perlakuan yang diulang lima kali. Bahan yang digunakan adalah tujuh genotipe kedelai dan tiga varietas pembanding yakni Anjasmoro dan Grobogan (keduanya berukuran biji besar), serta G100H (tahan ulat grayak). Genotipe yang digunakan tertera pada Tabel 1. Penanaman genotipe dilakukan di rumah kasa Balitkabi. Setiap genotipe ditanam pada pot plastik berdiameter 28 cm, dua tanaman/pot. Penanaman diatur sesuai untuk keperluan uji biologi ulat grayak di laboratorium. 87 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Tabel 1. Kode dan nama genotipe kedelai. 2014. Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama genotipe G 511 H/Anjasmoro//Anjasmoro-2-8 G 511 H/Arg//Arg///Arg///Arg-12-15 G 511 H/Anj//Anj///Anj-6-3 G 511 H/Arg//Arg///Arg///Arg-19-7 G 511 H/Anjasmoro-1-7 G 511 H/Anj//Anj///Anj////Anjs-6-7 G 511 H/Anjasmoro-1-4 Anjasmoro Grobogan G100H Penelitian perkembangan biologi ulat grayak dilakukan di laboratorium Balitkabi. Penelitian menggunakan daun trifoliat yang terdapat pada buku ke dua dari tanaman kedelai berumur 27 hari setelah tanam (hst). Dua helai daun kedelai segar dari masing-masing genotipe diletakkan di dalam cawan petri dengan ukuran tinggi 2 cm dan diameter 12 cm, yang diberi alas kertas saring. Ke dalam cawan petri masing-masing perlakuan diinfestasi tiga ekor larva S. litura instar 3. Daun kedelai diganti setiap hari. Pada hari ke-7, hari ke-10, dan hari ke-15 setelah infestasi (hsi), dilakukan pengukuran panjang, lebar, dan bobot larva. Larva dipelihara hingga menjadi pupa, kemudian dilakukan pengukuran terhadap panjang, lebar, dan bobot pupa. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan tanaman terhadap serangga hama tidak hanya berbeda antar spesies tetapi juga beragam dalam spesies. Sidik ragam beberapa biologi ulat grayak (Tabel 2) diperoleh pengaruh nyata antar parameter biologi ulat grayak berupa panjang larva, lebar larva, bobot larva, panjang pupa, lebar pupa, dan bobot pupa. Mengindikasikan terdapatnya perbedaan karakter biologi ulat grayak sebagai akibat perbedaan pakan dari 10 genotipe kedelai. Tabel 2. Sidik ragam karakter biologi ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015. Karakter Bobot larva 7 hsi Bobot larva 10 hsi Bobot larva 15 hsi Panjang larva 7 hsi Panjang larva 10 hsi Panjang larva 15 hsi Lebar larva 7 hsi Lebar larva 10 hsi Lebar larva 15 hsi Panjang pupa Lebar pupa Bobot pupa Ulangan 0,00002197 tn 0,00254835 tn 0,00760619 tn 1,03833467 tn 11,2671979 tn 4,8297193 tn 0,04648933 tn 0,09080620 tn 0,20497163 tn 0,76212354 tn 0,15878956 tn 0,00041880 tn 88 Kuadrat tengah Genotipe 0,00012594 ** 0,01183092 ** 0,17603416 ** 7,76299998 ** 45,3087767 ** 67,1903373 ** 0,21679716 * 0,99940843 ** 2,22382328 ** 8,57860577 ** 0,88178520 ** 0,00734600 ** KK(%) 38,23 39,28 19,95 15,66 14,82 8,65 18,97 14,85 10,84 3,92 6,28 10,60 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia * = nyata pada p = 0,05; ** = nyata pada p = 0,01, dan tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman Rata-rata panjang larva pada 7, 10 dan 15 hsi (hari setelah investasi) masing-masing 8,81 mm, 18,28 mm dan 30,28 mm, terdapat penambahan panjang larva sebesar 1,82 pada 10 hsi dibandingkan dengan panjang larva pada 7 hsi, dan panjang larva pada 15 hsi meningkat 70,91% dibandingkan dengan panjang larva pada umur 7 hsi. Genotipe G10 adalah G100H, merupakan genotipe kedelai yang selama ini memang dianggap tahan terhadap ulat grayak [11][12] ternyata konsisten memiliki panjang larva terendah sejak 7 hsi hingga 15 hsi, sedangkan dari sembilan genotipe lainnya, genotipe G5 yang konsisten lebih pendek larvanya (Tabel 3). Tabel 3. Panjang larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015. Genotipe 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata 7 HSI (mm) 8,8667 10,6667 10,4667 9,0667 7,8333 9,3333 8,6667 8,0000 8,8000 6,4000 8,8100 10 HSI (mm) 17,5333 23,3333 22,0667 18,9333 17,6667 18,1000 17,3333 16,9333 18,7333 12,1667 18,2800 15 HSI (mm) 32,1667 30,9667 31,6000 31,3000 30,4000 30,7667 32,3333 32,0333 31,2333 20,0000 30,2800 Rata-rata 19,5222 21,6556 21,3778 19,7667 18,6333 19,4000 19,4444 18,9889 19,5889 12,8556 19,1233 Pola yang sama sebagaimana tertera pada Tabel 4, lebar larva dari G10 juga konsisten terpendek dibandingkan sembilan genotipe lainnya, demikian juga diantara sembilan genotipe, selain G10, genotipe G5 konsisten memiliki lebar larva terpendek. Tabel 4. Lebar larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015. Genotipe 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata 7 HSI 1,3467 1,7333 1,8133 1,4467 1,3400 1,6000 1,4267 1,4800 1,6600 1,1200 1,4967 10 HSI 2,5533 3,3733 3,4500 3,0267 2,6367 2,8867 2,7333 2,7733 2,8400 1,8533 2,8127 15 HSI 5,0167 4,8033 5,2000 4,9200 4,4700 4,8133 5,2400 5,1967 5,1933 3,0200 4,7873 Rata-rata 2,9722 3,3033 3,4878 3,1311 2,8156 3,1000 3,1333 3,1500 3,2311 1,9978 3,0322 Mekanisme ketahanan tanaman terhadap serangga hama diantaranya dapat berupa antibiosis atau antisenosis atau keduanya dimiliki bersamaan oleh tanaman sebagai mekanisme ketahanannya. 89 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Ketahanan antibiosis maupun antisenosis, berpengaruh terhadap proses penggangguan terhadap serangga hama, dan akan berdampak terhadap daya makan dan selanjutnya akan mengganggu metabolisme dari serangga hama [13][14][15]. Bobot larva sebagai salah satu gambaran ukuran ketahanan terhadap hama ulat grayak (Tabel 5) merupakan resultante dari panjang dan lebar larva. Genotipe G10 memiliki bobot larva paling kecil yakni 0,0071 g pada 7 hsi, meningkat menjadi 0,155 g pada 15 hsi, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata 10 genotipe yang mencapai 0,0156 g pada 7 hsi dan 0,6548 g pada 15 hsi. Pada sisi ini, dapat diputuskan bahwa G10 berkriteria tahan terhadap ulat grayak. G10 memang memiliki trikoma yang cukup padat, yakni 41,33/25mm2 [12]. Belum ada penelitian lebih lanjut terhadap G10 apakah ketahanannya semata-mata disebabkan ketahanan biofisik (trikoma) ataukah juga memiliki ketahanan biokimia. Pada kelompok hama Lepidoptera dilaporkan adanya korelasi negatif antara kepadatan trikoma pada daun kedelai dengan bobot larva dan pupa [16]. Selain G10, genotipe G5 memiliki bobot larva yang lebih rendah dibandingkan sembilan genotipe lainnya. Artinya, G5 tergolong tahan terhadap ulat grayak, walaupun derajat ketahanannya lebih rendah dibandingkan G10. Tabel 5. Berat larva ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015. Gen 1 2 3 k4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata 7 HSI 0,0140 0,0258 0,0209 0,0159 0,0125 0,0161 0,0145 0,0138 0,0157 0,0071 0,0156 10 HSI 0,0968 0,2015 0,1956 0,1379 0,1186 0,1194 0,0962 0,1239 0,1159 0,0326 0,1238 15 HSI 0,6359 0,7296 0,7962 0,6841 0,6076 0,6772 0,7835 0,7970 0,6821 0,1550 0,6548 Rata-rata 0,2489 0,3190 0,3376 0,2793 0,2462 0,2709 0,2981 0,3116 0,2712 0,0649 0,2648 Pengaruh genotipe kedelai terhadap karakteristik pupa ditampilkan pada Tabel 6. Panjang pupa beragam dari 14,01 – 18,51 mm dengan rata-rata 17,62 mm, rentang lebar pupa antara 3,91 – 5,36 mm (rata-rata 5,05 mm), bobot pupa beragam dari 0,18 – 0,56 g (rata-rata 0,91 g). Genotipe kedelai yang tahan terhadap ulat grayak juga berpengaruh nyata terhadap capaian bobot pupanya. G10 yang berdasarkan bobot larva dianggap tahan, memiliki panjang, lebar dan bobot pupa yang nyata lebih rendah dari genotipe kedelai lainnya. Penurunan bobot ulat dan pupa yang menyebabkan tingginya kematian ulat pada genotipe kedelai yang tahan juga dilaporkan oleh Suharsono dan Adie [17]. Genotipe G5, berdasarkan bobot larva memiliki ketahanan terhadap ulat grayak lebih rendah dibandingkan G10, ternyata berdasarkan bobot pupa tidak konsisten sebagaimana bobot larva. Penelitian yang dilakukan oleh Adie et al. [18] juga melakukan kajian biologi ulat grayak dan mendapatkan hasil yang tidak konsisten jika berdasarkan bobot pupa, sehingga bobot pupa tidak disarankan sebagai indikator ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. 90 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Tabel 6. Panjang, lebar,dan berat pupa ulat grayak dari 10 genotipe kedelai. 2015. Genotipe 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata Panjang pupa 17.6300 17.8400 18.4033 17.8000 18.3200 18.2400 18.5100 17.6267 17.8400 14.0100 17.6220 Lebar pupa 5.3167 5.3600 5.2767 5.2367 5.1400 4.9933 5.2000 5.0633 5.0333 3.9100 5.0530 Berat pupa 0.2935 0.2990 0.3129 0.2982 0.3170 0.3170 0.3146 0.2940 0.5636 0.1874 0.3197 Lebih lanjut dikemukakan bahwa genotipe 100H yang teridentifikasi tahan ulat grayak, besar kemungkinannya disebabkan oleh faktor antibiosis dan antixenosis. Adanya penurunan bobot larva maupun pupa dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator ketahanan antibiosis, sedangkan faktor antixenosis sementara lebih banyak diduga disebabkan oleh kepadatan trikomanya, meskipun beberapa kasus antixenosis juga dipengaruhi oleh senyawa kimia yang mampu menolak serangga [19]. KESIMPULAN Bobot larva berpeluang digunakan sebagai salah satu tolok ukur ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. G10 dinilai tahan terhadap ulat grayak dapat digunakan sebagai sumber gen untuk peningkatan ketahanan kedelai terhadap ulat grayak. G5 dapat dikembangkan sebagai varietas unggul dengan tingkat ketahanan moderat terhadap ulat grayak. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] Tong, H., Q. Su, X. Zhou, and L. Bai. 2013. Field resistance of Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) to organophosphates, pyrethroids, carbamates and four newer chemistry insecticides in Hunan, China. Journal of Pest Science 86 (3): 599–609. Marwoto dan Bedjo. 1997. Resistensi hama ulat grayak Spodoptera litura terhadap insektisida di daerah sentra produksi kedelai di Jawa Timur. p. 61-67. Dalam. N. Nugrahaeni (Ed.). Komponen Teknologi Peningkatan Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balitkabi Malang. Hadiyani, S. 1995. Pengendalian serangga hama tanaman serat dan tembakau di tingkat petani. Prosiding Seminar Regional resistensi serangga terhadap insektisida dan upaya pengendaliannya. PEI Cabang Malang, 12 Oktober 1995. Dent, D. 2000. Insect Pest Management. 2nd edn. CABI Publishing, 410 p Smith, C.M. 1989. Plant resistance to insect. A fundamental approach. John Wiley&Sons. 286p. David, H. and Easwaramoorthy, S., 1988, Physical resistance mechanisms in insect-plant interactions. In: (Eds.) T.N. Ananthakrishnan and A. Raman. Dynamics of Insect-Plant Interactions: Recent Advances and Future Trends, Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi, India, pp: 45-70. Peter, A, J., Shanower, T.G. and Romeis, J. 1995. The role of plant trichomes in resistance: a selective review. Phytophaga 7: 41-63. Turnipseed, S.G. 1977. Influence of Trichome Variations on Populations of Small Phytophagous Insects in Soybean. Environmental Entomology 6 (6): 815-817. Khan, Z.R., J.T. Ward, and D.M. Norris. 1986. Role of trichomes in soybean resistance to cabbage looper, Tricholplusia ni. Entomol. Exp. Appl. 42:109-117. Oki, N., Komatsu, K., T. Sayama, T. Ishimoto, M. Takahashi, and M. Takhashi. 2012. Genetic analysis of antixenosis resistance to the common cutworm (Spodoptera litura Fabricius) and its relationship with pubescence characteristics in soybean (Glycine max (L.) Merr.). Breeding Science 61: 608–617. Suharsono dan Suntono, 2007. Efektivitas beberapa jenis insektisida kimia dan galur tahan untuk mengendalikan hama perusak daun. Hasil Penelitian Tahun 2005. Balitkabi, Malang. 7p Adie, M.M. 2008. Perbaikan Ketahanan Kedelai Terhadap Hama Ulat Grayak melalui Modifikasi Karakter Trikoma Daun. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang. Painter, R.H. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Macmillan Co. New York. 520 pp. Kogan, M. 1982. Plant resistance in pest management. In R.L. Metcalf and W.H. Luckman (eds.) Introduction to Pest Management. John Wiley & Sons. p. 93-134. 91 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia [15] [16] [17] [18] [19] Kogan, M., and E.F. Ortman. 1978. Antixenosis. A new term proposed to define Painter’s “NonPreference” modality of resistance. Bull. Entomol. Soc. Am. 24: 175-176. Lambert, L., R.M. Beach, T.C. Kilen, and J.W. Tood. 1992. Soybean pubescence and its on larval development and oviposition preference of lepidoptera insects. Crop Sci. 32:463-466. Suharsono dan M.M. Adie. 2010. Identifikasi sumber ketahanan aksesi plasma nutfah kedelai untuk ulat grayak Spodoptera litura F. Buletin Plasma Nutfah 16(1): 29–37. M. Muchlish Adie, G.W.A. Susanto, dan Riana Kesumawaty. 2003. Ketahanan Beberapa Genotipe Kedelai terhadap Ulat Grayak. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 22 No. 1. 5p. Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Univ. Press. 273p. 92 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B - 05 Identifikasi Molekuler pada Lalat Buah Bactrocera spp. (Diptera: Tephritidae) Menggunakan Penanda DNA Mitochondrial Cytochrome Oxidase I Indra Wibowo1*, Rifky Adhiansyah1, Agus Dana Permana1 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Bactrocera spp. adalah lalat buah dari Famili Tephritidae yang seringkali menjadi hama tanaman buah-buahan. Salah satu tahap awal dari pengendalian hama adalah mengenali spesies hama melalui identifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pada tingkat molekuler dan mengetahui kekerabatan antar spesies genus Bactrocera berdasarkan pohon filogenetiknya. Survei dilaksanakan pada tanaman buah di pekarangan rumah penduduk di Kecamatan Coblong, Bandung. Sampel lalat buah diperoleh menggunakan perangkap mengandung metil eugenol dan dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA), Lembang. Lalat buah yang diperoleh dari perangkap dengan metil eugenol teridentifikasi secara morfologi sebagai Bractocera carambolae, Bractocera papayae, dan Bractocera umbrosa, sementara lalat buah dari BALITSA adalah Bractocera cucurbitae. Isolasi gen mitochondrial cytochrom oxidase I (mtCOI) dilakukan menggunakan PCR. Produk PCR disekuensing, selanjutnya hasil sekuensing dianalisis menggunakan software MEGA6 untuk mengetahui kekerabatan filogenetiknya. Pohon filogenetik dibuat menggunakan Maximum Likelihood (ML) dan Neighbor-Joining (NJ) berdasarkan gen mtCOI. Baik menggunakan ML maupun NJ, B. carambolae dan B. papayae berada dalam satu clade yang sama, sementara B. umbrosa dan B. cucurbitae, masing-masing berada di clade yang berbeda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa B. carambolae dan B. papayae merupakan spesies yang sama atau gen penanda mtCOI tidak mampu mengidentifikasi B. carambolae dan B. papayae sebagai spesies yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa B. carambolae berkerabat lebih dekat dengan B. papayae dibandingkan dengan B. umbrosa dan B. cucurbitae. Kata kunci : Bactrocera carambolae, B. papayae, B. cucurbitae, B. umbrosa,, mtCOI, Maximum Likelihood, Neighbor-Joining 93 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia B - 06 Kelimpahan Populasi Tungau Merah (Tetranychus urticae) Pada Beberapa Varietas Ubikayu Sri Wahyuningsih1 dan Kurnia Paramita Sari1 1 * Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi ubikayu adalah serangan hama tungau merah. Populasi hama tungau merah biasanya melimpah pada musim kemarau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat serangan hama tungau merah pada ubikayu. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2015, di Kebun Percobaan (KP) Kendalpayak, Balitkabi Malang. Menggunakan rancangan acak kelompok yang diulang empat kali. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 varietas unggul ubikayu (Malang6, Malang4, Darul Hidayah, Adira1, UJ-5). Setiap varietas ditanam pada petak berukuran 6 m x 5 m dengan jarak tanam 100 cm x 75 cm. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah populasi tungau merah dan intensitas serangan tungau merah. Persentase tingkat serangan hama dinilai menggunakan skoring untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat serangan. Serangan hama terjadi secara alami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan tungau merah tertinggi terdapat pada varietas Darul Hidayah yaitu 44,99% dibandingkan pada varietas UJ-5 (30,62%), Malang 6 (32,91%), Malang 4 (37,13%), dan Adira 1 (37,78%). Rata-rata populasi tungau merah tertinggi terdapat pada varietas Darul Hidayah (1021 ekor/3 daun). Secara umum populasi tungau ditemukan paling banyak pada daun bagian tengah dan bawah. Kata kunci: Ubikayu, tungau merah, intensitas 94 PENDAHULUAN Kebutuhan ubikayu dalam negeri di masa yang akan datang akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan semakin berkembangnya industri berbahan baku ubikayu. Kebutuhan ubikayu pada tahun 2025 diperkirakan mencapai sekitar 30 juta ton ubi segar, dan diperlukan peningkatan produksi sekitar 27% per tahun, dan di sisi lain luas pertanaman ubikayu menurun 0,5% per tahun [1]. Salah satu kendala yang dihadapi dalam peningkatan produksi ubikayu adalah serangan hama tungau merah (Tetranychus urticae) [2]. Tungau merah dapat menyebabkan kerusakan tanaman ubikayu dengan cara mengurangi luas areal fotosintesis dan mengakibatkan penurunan hasil panen ubikayu. Kerusakan tanaman dapat diperparah oleh kondisi musim kering, deraan kekeringan dan kesuburan tanah yang rendah. Hama tungau merah menyebabkan kerugian lebih besar pada pertanaman ubikayu diwilayah beriklim kering [3]. Populasi tungau merah biasanya melimpah pada musim kemarau karena siklus hidup pada musim kemarau lebih pendek sehingga populasi berkembang lebih cepat yang menyebabkan terjadinya serangan serius dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah [5][6][7]. Hama tungau merah menyerang pada daun muda yang menyebabkan penampilan daun berubah menjadi melintir, mengeras dan pertumbuhannya menjadi terhambat [7]. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Indiati [8] di rumah kaca dilaporkan bahwa serangan tungau merah dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 95%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lampung sebelum tahun 2010, penanaman ubikayu pada periode bulan Februari hingga Juni mengalami serangan hama tungau merah dengan intensitas tinggi dan menyebabkan kerontokan pada semua daun, sedangkan di Probolinggo (Jawa Timur) ubikayu yang ditanam pada musim kering tahun 2010 mengalami serangan tungau merah dengan intensitas 54%, menyebabkan kehilangan hasil 25-54% Indiati [9]. Byrne et al. [10] melaporkan bahwa pada varietas ubikayu yang rentan hama tungau merah hasil umbi menurun rata-rata mencapai 73 % sedangkan pada varietas yang tahan hanya mencapai 15 %. Sebaran populasi tungau pada tanaman ubi kayu terkonsentrasi pada daun tengah, sedikit sekali pada daun bawah dan pucuk, pada daun tersebut tungau merah banyak diam sepanjang tulang daun dan di pusat tulang daun. Gejala serangan hama tungau merah (T. urticae) diawali dengan terlihatnya spot (bercak) kuning sepanjang tulang daun pada daun-daun bawah dan tengah. Bercak tersebut kemudian menyebar keseluruh permukaan daun sehingga daun berwarna kemerahan, coklat atau seperti karat. Daun-daun yang terserang parah akhirnya kering, dan terjadi kerontokan seluruh daun [11]. Pada tanaman yang terserang parah, umbi yang dihasilkan umumnya berukuran kecil dan secara langsung akan mempengaruhi hasil/produksi tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelimpahan hama tungau merah pada beberapa varietas ubikayu. MATERIAL DAN METODA Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus 2015, di Kebun Percobaan (KP) Kendalpayak, Balitkabi Malang. Menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang empat kali. Perlakuan terdiri dari 5 varietas ubikayu, yaitu Malang 6, Malang 4, Darul Hidayah, Adira 1, UJ-5. Masing-masing ditanam pada petak berukuran 6 m x 5 m dengan jarak tanam 100 cm x 75 cm. Dosis pupuk yang digunakan 200 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha. Pemupukan dilakukan secara bertahap, tahap pertama pada umur satu bulan setelah tanam (100 kg Urea + 50 kg KCl + 100 kg SP36/ha) dan tahap kedua pada umur 3 bulan setelah tanam. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah populasi hama tungau merah dan intensitas serangan hama tungau merah berdasarkan skoring. Serangan hama dilapangan terjadi secara alami. Populasi 95 tungau imago/tanaman diketahui dengan cara menghitung jumlah tungau dewasa yang berwarna merah (imago). Skor kerusakan daun akibat serangan tungau disajikan pada Tabel 1. Intensitas serangan tungau dihitung dengan rumus : I= ∑ nxv x 100% NxV I = intensitas serangan, N = jumlah daun dalam satu tanaman, V = nilai skor tertinggi (dalam hal ini 5), n = jumlah daun dalam setiap kategori skor, v = kategori skor (0 sampai 5) Tabel 1. Skor kerusakan daun ubikayu akibat serangan tungau merah T. urticae. Skor Keterangan 0 Daun sehat (tidak ada bercak) 1 Ada awal bercak kekuningan (sekitar10%) pada beberapa daun bawah dan atau daun tengah. 2 Bercak kekuningan agak banyak (11-20%) pada daun bawah dan tengah. 3 Kerusakan yang jelas; banyak bercak kuning (21-50%), sedikit daerah mengalami nekrotik (< 20%), khususnya daun bawah dan tengah agak mengkerut, sejumlah daun menjadi kuning dan rontok. 4 Kerusakan parah (51-75%) pada daun bagian bawah dan tengah, populasi tungau melimpah dan dijumpai benang-benang putih seperti jaring laba-laba. 5 Kerontokan daun total; pucuk tanaman mengecil; benang putih semakin banyak; kematian tanaman. Sumber: Bellotti dan Schoonhoven [11]. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada populasi tanaman ubikayu, dijumpai adanya gejala serangan tungau merah disetiap varietas. Serangan tungau mulai tampak pada tanaman umur 4 BST (Bulan Setelah Tanam), pada Tabel 2. Terlihat bahwa jumlah populasi tungau tertinggi pada varietas Darul Hidayah, pada daun bagian atas (766 ekor), daun tengah (992 ekor), daun bawah (1305 ekor). Pada varietas UJ-5 populasi daun bagian atas (146 ekor), daun tengah (195 ekor), daun bawah (241 ekor). Pada varietas Malang4 populasi daun bagian atas (67 ekor), daun tengah (178 ekor), daun bawah (253 ekor). Pada varietas Adira1 populasi daun bagian atas (80 ekor), daun tengah (120 ekor), daun bawah (130 ekor). Pada varietas Malang6 populasi daun bagian atas (62 ekor), daun tengah (85 ekor), daun bawah (175 ekor). Rata-rata populasi tungau merah tertinggi pada posisi daun tengah dan bawah. Hal itu disebabkan karena populasi tungau mulai muncul pada daun paling tua. Selain itu, kedudukan daun bagian bawah dan tengah sedikit terkena paparan sinar matahari bila dibandingkan 96 dengan daun bagian atas. Sehingga, daun tengah dan bawah lebih cocok sebagai tempat berlindung tungau merah. Reddall et al. [12] melaporkan bahwa pada daun kapas yang berbulu, koloni tungau berkembang lebih cepat, dan kerusakan pada daun kapas yang mulus lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan lebih cepat terjadi pada daun kapas yang mulus, sedangkan daun yang berbulu tahan terhadap tungau. Warabieda [13] berpendapat bahwa aktifitas pergerakan tungau lebih tinggi pada daun yang berbulu jarang dibandingkan berbulu lebat. Tabel 2. Rata-rata populasi tungau merah pada posisi bagian daun Varietas Darul Hidayah UJ-5 Malang4 Adira1 Malang6 Rata-rata Daun atas 766 146 67 80 62 224 Daun tengah Daun bawah 1305 241 253 130 175 420 992 195 178 120 85 314 Rata-rata 1021 194 166 110 107 319 Gambar 1. Populasi tungau merah pada posisi daun, Malang, MK 2015 Dilihat dari hasil pengamatan (Gambar 2) dengan kepadatan populasi tungau merah yang tertinggi pada varietas Darul Hidayah populasi tungau pada pengamatan 1 (124 ekor/tanaman), pengamatan 2 (779 ekor/tanaman), pengamatan 3 (943 ekor/tanaman), pengamatan 4 (1217 ekor/tanaman). Pada varietas UJ-5 pengamatan 1 (56 ekor/tanaman), pengamatan 2 (192 ekor/tanaman), pengamatan 3 (220 ekor/tanaman), pengamatan 4 (114 ekor/tanaman). Pada varietas Malang4 pengamatan 1 (98 ekor/tanaman), pengamatan 2 (138 ekor/tanaman), pengamatan 3 (82 ekor/tanaman), pengamatan 4 (180 ekor/tanaman). Pada varietas Adira1 pengamatan 1 (63 ekor/tanaman), pengamatan 2 (51 ekor/tanaman), pengamatan 3 (53 ekor/tanaman), pengamatan 4 (163 ekor/tanaman). Populasi terendah terdapat pada varietas Malang6 pada pengamatan 1 (86 ekor/tanaman), pengamatan 2 (71 ekor/tanaman), pengamatan 3 (97 ekor/tanaman), pengamatan 4 (68 ekor/tanaman). Indiati [14] melaporkan populasi tungau pada 6 MST berkisar antara 15-115 ekor/tanaman. Populasi terendah terdapat pada varietas Adira1 dan Malang 6 relatif tahan terhadap tungau. 97 Gambar 2. Jumlah populasi tungau merah, Malang, MK 2015 Pada Gambar 3 serangan tertinggi terdapat pada varietas Darul Hidayah dengan tingkat serangan 44,99%, Adira1 (37,78%), Malang4 (37,13%), Malang6 (32,91%), dan UJ-5 (30,62%). Intensitas serangan berbanding lurus dengan populasi, dimana populasi paling tinggi pada varietas Darul Hidayah sehingga intensitas tertinggi terlihat juga pada varietas Darul Hidayah. Penggunaan varietas tahan tungau merupakan salah satu upaya untuk pengendalian tungau merah. Hasil penelitian Nukenine et al. [15] menunjukkan bahwa varietas ubikayu yang toleran kekeringan terindikasi tahan terhadap hama tungau merah selama musim kering. Gambar 3. Intensitas serangan tungau merah, Malang, MK 2015 KESIMPULAN 1. Ragam intensitas hama tungau merah berbeda antar varietas ubikayu, Darul Hidayah cenderung tidak tahan terhadap hama tungau merah dan Adira1 lebih tahan terhadap hama tungau merah. 2. Kelimpahan populasi hama tungau merah terbanyak berada didaun bagian tengah dan bawah. DAFTAR PUSTAKA [1] Suryana, A. 2006. Kebijakan penelitian dan pengembangan ubikayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan. Dalam :Harnowo, 98 [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] Subandi and Saleh (Ed.). Proseding lokakarya prospek, strategi, dan teknologi pengembangan ubikayu untuk agroindustri dan ketahanan pangan. Malang. September 7. 2006. Bogor. Puslibangtan Pangan. P.1-19. Meyer, M.K.P.S. 1996. Mite pests and their predators on cultivated plants in Southern Arica.Vegetables and berries. ARC, South Africa. Knapp, M, B. Wagner, and M. Navajas. 2003. Molecular discrimination between the spider mite Tetranychus evansi Baker & Pritchard, an important pest of tomatoes in southern Africa, and the closely related species T. urticae Koch (Acarina: Tetranychidae). Afr. Entomol. 11:300–304. Flechtmann, C.H.W. and E.W. Baker. 1970. A preliminary report on the Tetranychidae (Acarina) of Brazil. Ann. of Entomol. Soc. America 63:156-163. Nyiira, Z.M. 1972. Report of investation on cassava mite, Mono-nychellus tanajoa (Bondar). Kawanda Research Station, Kampala, Uganda. 14 p. Nyiira, Z.M. 1973. Bioecological studies on the cassava mite, M. tanajoa (Bondar) (Acarina: Tetranychidae). Proc. 3rd. International Symposium on Tropical Root Crops. IITA, Ibadan, Nigeria. 6p. Jovicich, E., D.J. Cantliffe, L. S. Osborne, and P.J. Stoffella. 2004. Mite population and damage caused by broad mites (Polyphagotarsonemus latus Banks infesting bell pepper (Capsicum annum L.) at different seeding development stages. Acta Horticulturae 659(1): 339-344. Indiati, S.W. 1999. Status tungau merah pada tanaman ubikayu. Dalam: Pemberdayaan tepung ubijalar sebagai substitusi terigu, dan potensi kacang-kacangan untuk pengayaan kualitas pangan. A.A. Rahmianna (Ed.). Edisi Khusus Balitkabi No. 15-1999. p.122126. Indiati, S.W. 2011. Serangan hama tungau merah, Tetranychus urticae pada beberapa varietas ubikayu. Makalah disampaikan pada Seminar di BPTP Lampung. Bandar Lampung. 5 April 2011. 10 p. Byrne, D.H., J.M. Guerrero, A.C. Bellotti, and V.E. Gracen. 1982. Yield and plant growth responses of Mononychellus mite resistant and susceptible cultivars under protected vs. Infested conditions. Crop Science 22:486-490. Bellotti, A.C and A.v. Schoonhoven. 1978. Cassava pests and their control. Cassava Information Center. CIAT, Cali, Colombia. 71p. Reddall, A.A., V.O.Sadras, L.J. Wilson, and P.C. Gregg. 2011. Contradictions in host plant resistance to pests: spider mite (Tetranychus urticae Koch) behaviour undermines the potential resistance of smooth-leaved cotton (Gossypium hirsutum L.). Pest Manag Sci. 67(3):360-9. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21308962 (20 Agustus 2015). Warabieda, W. 2003. Influence of leaf pubescence on the behaviour of the two-spotted spider mite (Tetranychus urticae) and the European red mite (Panonychus ulmi). Acta Agrobotanica. 56(1/2):109-115). Indiati, S.W. 2012. Ketahanan varietas/klon ubikayu umur genjah terhadap tungau merah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 31 No.1 2012: 53-59. Nukenine E.N., A.G.O. Dixon, A.T. Hassan, and J.A.N.Asiwe. 1999. Evaluation of cassava cultivars for canopy retention and its relationship with field resistance to green spider mite. African Crop. Sci. 7(1):47-57. 99 B - 07 Efektivitas Ekstrak Daun Kacang Babi (Vicia faba L.) Terhadap Mortalitas Larva Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Varietas Grobongan Yeni Hadiyanti1, Cecep Hidayat1*, Yati Setiati1 1 Jurusan Agroteknologi fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Produksi kedelai belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada kesenjangan kebutuhan kedelai sebesar ± 1,5 juta ton yang harus dipenuhi dari impor. Salah satu kendalanya yaitu kehilangan hasil yang bisa mencapai 80% karena ulat grayak, untuk itu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas daun kacang babi (Vicia faba) sebagai racun perut/racun kontak terhadap larva ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman kedelai (Glycine maxima), yang dilaksanakan di Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Karawang, Jawa Barat dari Maret sampai Juni 2015 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu uji pendahuluan dan uji utama. Uji pendahuluan dilakukan sebanyak dua kali. Hasil dua uji pendahuluan diperoleh konsentrasi 125 g sebagai racun perut yang lebih baik dalam meningkatkan mortalitas dan tingkat palatabilitas larva ulat grayak. Konsentrasi yang paling baik pada uji pendahuluan digunakan untuk rekomendasi konsentrasi pada uji utama. Hasil uji utama yaitu konsentrasi 150 g sebagai racun perut dapat menurunkan keparahan serangan larva ulat grayak. Kata kunci: Glycine maxima, Racun kontak, Racun perut, Spodoptera litura, Vicia faba 100 B - 08 Toksisitas Insektisida Golongan Organofosfat, Organoklorin dan Piretroid Pada Lebah Pencari Makan Trigona laeviceps Ramadhani Eka Putra1* dan Muhammad Ajib Badri1 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati – Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Aplikasi insektisida merupakan kegiatan yang umum dilakukan pada lahan pertanian dengan tujuan untuk melindungi produk pertanian. Akan tetapi, kegiatan ini kadang menimbulkan “unintended consequences” terhadap organisme lain yang bukan menjadi target dari insektisida seperti perubahan pada kondisi fisiologis bahkan kematian. Salah satu dari organisme non target tersebut adalah lebah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan toksisitas dari insektisida yang umum diaplikasikan pada sistem pertanian Indonesia dari golongan organofosfat (profenofos, kloropirifos, dimetoat), organoklorin (endosulfan), dan piretroid (beta siflutrin, deltametrin) terhadap lebah madu lokal Trigona laeviceps. Toksisitas dari insektisida pada penelitian ini didefinisikan dalam bentuk nilai LD50 dan Hazard Quotient. Kelompok lebah yang digunakan sebagai hewan uji adalah lebah pencari makan. Sebelum aplikasi, lebah dianestesi menggunakan pendinginan dengan suhu 1 C selama 45 detik. Sebanyak 1μL larutan profenofos , 5 , 1 , 15 , pg/µL), kloropirifos (0, , 4 , 6 , 8 pg/μL , dimetoat , 4 , 8 , 1 , 16 pg/μL , endosulfan , , 4 , 6 , 8 pg/μL , beta siflutrin , 5, 1 , 15, pg/μL , dan deltametrin , 5, 1 , 15, pg/μL diaplikasikan secara topikal pada bagian toraks lebah. Setiap kelompok perlakuan terdiri atas dua puluh ekor lebah yang dipelihara pada 2 bee cup. Jumlah lebah yang mati dalam waktu 48 jam, dikonversi menjadi nilai mortalitas, dan nilai LD50 ditentukan menggunakan analisa probit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LD50 untuk profenofos, kloropirifos, dimetoat, endosulfan, beta siflutrin, dan deltametrin sebesar 130,25 pg/lebah, 62,27 pg/lebah, 88,53 pg/lebah, 55,50 pg/lebah, 4,44 pg/lebah, dan 8,95 pg/lebah. Berdasarkan nilai Hazard Quotient, seluruh insektisida tersebut dinyatakan memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah pencari makan Trigona laeviceps. Kata kunci: insektisida, organofosfat, organoklorin, piretroid, stingless bees, toksisitas 101 PENDAHULUAN Dalam sistem pertanian, tindakan perlindungan terhadap serangan hama merupakan suatu komponen yang tidak dapat dipisahkan. Dengan tuntutan kepada pertanian untuk menghasilkan produk lebih banyak, maka terjadi peningkatan aplikasi insektisida. Akan tetapi, kegiatan ini kadang menimbulkan unintended consequences terhadap organisme lain yang bukan menjadi target dari insektisida seperti perubahan pada kondisi fisiologis bahkan kematian. Seringkali hewan non target tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dari servis ekosistem yang memberikan kontribusi besar pada sistem pertanian seperti perlindungan hama oleh musuh alami, siklus air dan nutrisi oleh hewan tanah, dan penyerbukan oleh agen-agen penyerbuk. Untuk melindungi servis ekosistem ini maka pengujian insektisida untuk memastikan insektisida tersebut aman bagi lingkungan, termasuk polinator, sebelum dipasarkan ke konsumen merupakan suatu keharusan [1]. Di antara ketiga contoh servis ekosistem ini, servis penyerbukan dikategorikan sebagai servis yang paling penting berkaitan dengan produksi makanan bagi manusia [2]. Diantara berbagai polinator di alam, serangga merupakan polinator utama di sistem pertanian. Menurut Devillers [3], serangga polinator adalah serangga yang dalam aktivitas pencarian pakannya berupa pollen atau nektar dan berperan dalam penyerbukan tumbuhan. Diantara kelompok serangga polinator, lebah menjadi polinator yang paling efisien dan diperkirakan sebanyak 33% tanaman pangan dipolinasi oleh lebah [4]. Akan tetapi beberapa tahun ini, terdapat perhatian lebih pada lebah dimana terjadi penurunan populasi lebah secara signifikan pada beberapa daerah produksi pertanian dunia. Faktor yang diduga menjadi penyebab hal ini antara lain (1) penurunan suplai makanan dan fragmentasi habitat (Pinheiro dan Freitas, 2010) dan penggunaan insektisida sintetik kimia [5]. Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap toksisitas insektisida sintetik kimia yang umum digunakan di Indonesia terhadap Trigona laeviceps (Meliopinni), salah satu serangga penyerbuk lokal yang sedang dikembangkan sebagai agen penyerbuk bagi sistem pertanian [6][7][8]. Pengetahuan akan toksisitas insektisida pada lebah ini dapat dikatakan belum dipublikasikan di Indonesia. Insektisida yang diujikan adalah insektisida sintetik kimia dari golongan organofosfat (profenofos, kloropirifos, dimetoat), organoklorin (endosulfan), dan piretroid (beta siflutrin, deltametrin). Profenofos adalah insektisida organofosfat yang digunakan untuk mengendalikan hama serangga serta tungau pada beberapa tanaman dan diketahui berbahaya bagi organisme non-target, pada ekosistem terestrial maupun perairan [9] selain meninggalkan residu pada tanaman [10][11]. Klorpirifos merupakan salah satu jenis pestisida golongan organofosfat yang bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi pada serangga hama dari ordo Coleoptera, Diptera, Homoptera, dan Lepidoptera baik di daun maupun di dalam tanah [12]. Dimetoat adalah jenis insektisida yang termasuk dalam golongan organofosfat yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut pada hama-hama dari kelas Acarinae, Coleoptera, Aphids, Diptera, Lepidoptera, Pseudococcidae dan Thysanoptera [12]. Endosulfan adalah insektisida organoklorin yang digunakan pada bidang pertanian sebagai pengendali hama serangga dan diketahui memiliki toksisitas tinggi pada lebah madu [13]. Beta siflutrin adalah pestisida piretroid yang knock down effect yang bersifat langsung dan cepat [12][14]. Deltametrin adalah jenis insektisida yang termasuk dalam kelompok pestisida piretroid. Deltametrin, merupakan insektisida non-sistemik yang sangat kuat, memiliki efek knock-down yang sangat baik, serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Dibidang pertanian, insektisida ini digunakan untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Coleoptera, Heteropetra, Homopetra, Lepidopetra, dan Thysanopetra, serta beberapa hama dari ordo Orthopetra (Acrididae, al.Locusta sp) [15]. 102 Pada penelitian ini toksisitas yang diukur merupakan toksisitas akut dengan pengamatan kematian dalam waktu 24, 48, dan 96 jam (Boyd, 2005). Derajat toksisitas diukur menggunakan nilai LD50 [16] dan Hazard Quotient [17]. METODE KERJA Tahap Persiapan Sebanyak dua koloni lebah T. laeviceps yang berbeda digunakan dalam penelitian ini. Sarang kolonikoloninya terbuat dari kayu yang diberi lubang untuk jalur keluar masuk lebah dan diletakkan di Laboratorium Toksikologi, SITH ITB. Disiapkan 10 bee cups setiap kelompok perlakuan untuk 2 koloni yang berbeda dan setiap koloni terdapat 10 spesimen lebah T. laeviceps Lebah Trigona Sp. terlebih dahulu ditangkap dengan tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam bee cups yang telah ditutupi kain tile dan kapas (Gambar 1) Ketika penelitian berlangsung, lebah Trigona laeviceps diberi makan dengan larutan sukrosa 20% yang diteteskan pada kapas. Suhu tempat penyimpanan sarang dan gelas plastik berisi lebah T. laeviceps berkisar 27±2oC. Gambar 1. Bee cups yang digunakan pada penelitian Uji Toksisitas LD50 Insektisida Dimulai dengan pembuatan larutan stok dan larutan perlakuan insektisida. Larutan stok profenofos dengan konsentrasi 500 dan larutan perlakuannya 0, 50, 100, 150, dan 200 pg/µL Larutan stok klorpirifos disiapkan dengan konsentrasi 200 g/L. dan dibuat larutan perlakuan klorpirifos dengan konsentrasi , , 4 , 6 , dan 8 pg/μL. Larutan stok dimetoat disiapkan dengan konsentrasi 4 g/L dan larutan perlakuannya , 4 , 8 , 1 , dan 16 pg/μL Larutan stok endosulfan memiliki konsentrasi 200 g/L dan larutan perlakuannya , , 4 , 6 , dan 8 pg/μL Larutan stok beta siflutrin dengan konsentrasi 5g/L dan larutan perlakuannya , 5, 1 , 15, dan pg/μL. Larutan stok deltametrin disiapkan dengan konsentrasi 25 g/L dan larutan perlakuannya 0, 5, 10, 15, dan pg/μL Kemudian lebah T. laeviceps dianestesi dengan pendinginan pada suhu -10oC selama 45 detik. Larutan kontrol dan perlakuan masing-masing diaplikasikan sebanyak 1 μL pada bagian toraks lebah Penentuan Nilai LD50 dan Tingkat Toksisitas Insektisida Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan pada jam ke 1, 2, 4, 8, 16, 24, 48, 72 dan 96 jam setelah aplikasi insektisida. Dilakukan pencatatan jumlah lebah yang mati (mortalitas) selama 103 pengamatan berlangsung. Data jumlah kematian lebah kemudian dianalisis dengan program Probit, menggunakan Software StatPlus Portable 2009, untuk menentukan nilai LD50 ketiga insektisida pada lebah T. laeviceps Selanjutnya dilakukan penghitungan nilai Hazard Quotient (EC, 2002) dengan rumus sebagai berikut: Nilai Hazard Quotient yang didapatkan dari hasil penghitungan dibandingkan dengan kriteria klasifikasi insektisida berdasarkan tingkat toksisitasnya terhadap lebah (Tabel 1) [17]. Tabel 1. Standar nilai toksisita untuk nilai LD50 bagi lebah Dosis yang dianjurkan/LD50 < 50 50-2500 > 2500 Klasifikasi Toksisitas Rendah Menengah Tinggi HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan LD50 Profenofos pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. Hasil pengamatan dan analisis data dengan Program Analisis Probit, menggunakan Software StatPlus Portable 2009 menunjukkan bahwa nilai LD50 profenofos pada lebah pencari makan T. laeviceps adalah sebesar 130,25 ± 0,33 pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 2). Nilai LD50 tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai LD50 profenofos pada spesies lebah lain di literatur, seperti Apis mellifera (95.000 pg/lebah). Apabila rata-rata berat lebah pencari makan T. laeviceps adalah 0,0038 g , maka LD50 topikal profenofos terhadap T. laeviceps adalah 34276 pg/g lebah. Dengan menggunakan rata-rata badan A. mellifera 0,125 g [18], LD50 topikal A. mellifera adalah 760.000 pg/g lebah [19]. Berdasarkan nilai LD50 profenofos memiliki toksisitas yang lebih tinggi terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan spesies lebah A. mellifera. Adanya perbedaan nilai LD50 tersebut diduga terjadi karena terdapat perbedaan toleransi antara satu spesies lebah dengan lebah lainnya [20]. Gambar 2. LD50 akut topikal (48 jam) profenofos pada lebah pencari makan T. laeviceps Insektisida, termasuk profenofos, bekerja terhadap T. laeviceps ketika terjadi kontak dengan kulit, termakan (masuk ke lambung), dan inhalasi (ke sistem pernapasan). Secara biokimia, profenofos yang merupakan insektisida organofosfat dapat menjadi inhibitor enzim cholinesterase dalam 104 penggunaannya. Beberapa zat yang terkandung dalam insektisida golongan organofosfat mampu mengurangi kemampuan enzim cholinesterase untuk menghidrolisis acetylcholinesterase, sehingga laju penyampaian rangsangan pada impuls saraf terhambat dan pada akhirnya akan menyebabkan kelainan fungsi sistem saraf. Mekanisme dari insektisida non-sistemik ini adalah dengan cara kontak langsung dan kontak pada lambung. Profenofos dapat mengakibatkan efek translaminar serta memiliki sifat ovicidal [21]. Penentuan LD50 Klorpirifos pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. LD50 topikal klorpirifos pada lebah pencari makan T. laeviceps pada jam ke 48 adalah 62,27 ± 0,39 pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 3). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 topikal klorpirifos pada A. mellifera, yaitu 70.000 pg/lebah [22]. Jika rata-rata berat T. laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 untuk T. laeviceps adalah 16.386 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 560.000 pg/g lebah. Gambar 3. LD50 akut topikal (48 jam) klorpirifos pada lebah pencari makan Trigona laeviceps Klorpirifos merupakan insektisida berspektrum luas yang dapat membunuh serangga melalui kontak langsung dengan mempengaruhi fungsi normal dari sistem saraf [23]. Klorpirifos mempengaruhi sistem saraf dengan menghambat proses pemecahan asetilkolin (ACh) (neurotransmitter) [24]. Saat serangga terpapar, klorpirifos akan berikatan dengan sisi aktif dari enzim kolinesterase (ChE), yang mencegah proses pemecahan asetilkolin pada pembelahan sinapsis. Terakumulasinya ACh pada pembelahan sinapsis menyebabkan stimulasi yang berlebihan pada sel neuronal, hal ini menjadi penyebab terjadinya neurotoksisitas dan akhirnya menyebabkan kematian [25]. Penentuan LD50 Dimetoat pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. Hasil analisis menunjukkan 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal dimetoat terhadap lebah pencari makan T. laeviceps adalah 88,53 ± 0,25 pg/lebah (Gambar 4). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 topikal dimetoat pada A. mellifera, yaitu 152000 pg/lebah [26]. Jika ratarata berat Trigona Sp 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 dimetoat pada T. laeviceps adalah 23.297 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 1.216.000 pg/g lebah. Berdasarkan nilai LD50, dimetoat lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A. mellifera. 105 Gambar 4. LD50 akut topikal (48 jam) dimetoat pada lebah pencari makan Trigona laeviceps Menurut Rasyid [21], dimetoat akan mengikat enzim acetylcholinesterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf, setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim acetylcholinesterase menjadi kolin dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim acetylcholinesterase terjadi penumpukan asetilkolin, akibatnya impul saraf akan terstimulasi secara terus menerus menerus menyebabkan gejala paralisis dan kemudian kematian. Penentuan LD50 Endosulfan pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. Hasil analisis menunjukkan 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal endosulfan terhadap lebah pencari makan T. laeviceps adalah 55,50 ± 0,47 pg/lebah (Gambar 5). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 topikal endosulfan pada A. mellifera, yaitu 350.000 pg/lebah [27]. Jika rata-rata berat Trigona Sp 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 endosulfan pada T. laeviceps adalah 13.875 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 2.800.000 pg/g lebah. Berdasarkan nilai LD50, endosulfan lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A. mellifera. Gambar 5. LD50 akut topikal (48 jam) endosulfan pada lebah pencari makan Trigona laeviceps Endosulfan memblokir saluran klorida aktivasi GABA (gamma-aminobutyric acid) ketika diaplikasikan pada T. laeviceps sehingga terjadi gangguan. GABA adalah inhibitory neurotransmitter utama di otak yang berfungsi menjaga keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi neuronal di otak [28]. Gangguan pada GABA menyebabkan penurunan inhibisi pada penyampaian sinyal neuron, sehingga eksitasi terjadi secara berlebihan [28] dan menyebabkan paralisis dan kematian serangga [29]. 106 Penentuan LD50 Beta Siflutrin pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. Berdasarkan hasil analisis data, nilai LD50 beta siflutrin pada lebah pencari makan T. laeviceps pada jam ke 48 adalah 4,44 ± 0,5 pg/lebah dengan tingkat kepercayaan 95% (Gambar 6). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 beta siflutrin pada A. mellifera, yaitu 50.000 pg/lebah [23]. Jika rata-rata berat T. laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 topikal untuk T. laeviceps adalah 1170 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 400.000 pg/g lebah. Gambar 6. LD50 akut topikal (48 jam) beta siflutrin lebah pencari makan Trigona laeviceps Insektisida beta siflutrin merupakan racun saraf yang cara kerjanya sama dengan insektisida dari golongan organoklorin seperti DDT [30][31]. Beta siflutrin bekerja menghambat inaktivasi channel Na+ pada membran di sepanjang akson sel saraf yang aktivitasnya tergantung pada perbedaan muatan antara bagian dalam dan luar sel [32]. Terhambatnya inaktivasi channel tersebut menyebabkan Na+ dari luar terus menerus masuk ke dalam sel yang menghasilkan impuls yang tidak normal, sehingga saraf membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meneruskan sinyal [33]. Bila hal ini terjadi secara terus menerus dapat mengakibatkan paralisis disertai kematian [34]. Penentuan LD50 Deltametrin pada Lebah Pencari Makan Trigona sp. Hasil analisis data menunjukkan bahwa 48 jam setelah pengaplikasian LD50 topikal deltametrin terhadap lebah pencari makan T. laeviceps adalah 8,95 ± 0,22 pg/lebah (Gambar 6). Nilai tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan LD50 topikal deltametrin pada A. mellifera, yaitu 4300 pg/lebah [35]. Jika rata-rata berat T. laeviceps 0,0038 g dan berat badan A. mellifera 0,125 g [18], maka nilai LD50 deltametrin pada T. laeviceps adalah 2355 pg/g lebah dan A. mellifera adalah 34.400 pg/g lebah. Berdasarkan nilai LD50, deltametrin lebih toksik terhadap T. laeviceps dibandingkan dengan A. mellifera. 107 Gambar 6. LD50 akut topikal (48 jam) deltametrin pada lebah pencari makan Trigona laeviceps Deltametrin juga merupakan racun saraf yang cara kerjanya sama dengan insektisida beta siflutrin karena termasuk golongan yang sama, yakni piretroid. Menurut Jones [32], cara kerja deltametrin adalah menjadi inhibitor dari inaktivasi channel Na+ pada membran di sepanjang akson sel saraf. Saraf membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meneruskan sinyal karena terhambatnya inaktivasi channel Na+ tersebut sehingga impuls yang dihasilkan tidak normal [33] dan dapat mengakibatkan paralisis disertai kematian jika terjadi secara terus-menerus [34]. Klasifikasi Insektisida Berdasarkan Toksisitas Berdasarkan hasil perbandingan antara dosis insektisida yang dianjurkan produsen dengan nilai LD50 dari masing-masing insektisida pada T. laeviceps didapatkan bahwa nilai Hazard Quotient profenofos, kloropirifos, dimetoat, endosulfan, beta siflutrin, dan deltametrin adalah sebesar 1.91 x 10 6, 1.60 x 106, 2.25 x 106, 1.80 x 106, 2.84 x 106 dan 1.39 x 106. Nilai tersebut lebih besar dari 500, sehingga ketiga insektisida tersebut dinyatakan memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah T. laeviceps Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan mengenai kehadiran T. laeviceps di alam pada saat penggunaan insektisida. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai LD50 (48 jam) profenofos, kloropirifos, dimetoat, endosulfan, beta siflutrin, dan deltametrin sebesar 130,25 pg/lebah, 62,27 pg/lebah, 88,53 pg/lebah, 55,50 pg/lebah, 4,44 pg/lebah, dan 8,95 pg/lebah. Berdasarkan nilai Hazard Quotient, ketiga golongan dari insektisida tersebut dinyatakan memiliki toksisitas yang tinggi terhadap lebah pencari makan Trigona laeviceps. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terima kasih kepada anggota Laboratorium Perkembangan Hewan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB yang telah banyak memberikan bantuan dan saran selama penelitian ini berlangsung. Penelitian ini sebagian dibiayai oleh dana penelitian Strategi Nasional DIKTI yang diterima oleh penulis pertama. References [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] Rortais, A., Arnold, G., Halm, M.P., Touffet-Briens, F. 2005. Modes of honeybees exposure to systemic insecticides: estimated amounts of contaminated pollen and nectar consumed by different categories of bees. Apidologie 36:71–83. Klein, A.M., Vaissière, B.E, Cane, J.H., Steffan-Dewenter, I., Cunningham, S.A., Kremen, C. and Tscharntke, T. 2007. Importance of pollinators in changing landscapes for world crops. Proceeding of Biological Science 274(1608): 303–313. Devillers J. 2002. The ecological importance of honey bees and their relevance to ecotoxicology. In: Devillers J, Pham-Dele`gue MH (eds) Honey Bees Estimating the Environmental Impact of Chemicals. Taylor & Francis, London, pp 1–332. Bernal, Higes M. 2011. An exposure study to assess the potential impact of fipronil in treated sunflower seeds on honey bee colony losses in Spain. Pest Management Science 67:1320–1331. Carvalho, S.M., Carvalho, G.A., Carvalho, C.F., Bueno. 2009. Toxicidade de acaricidas/inseticidas empregados na citricultura para abelha africanizada Apis mellifera L. 1758 (Hymenoptera: Apidae). Arq Inst Biol, 76: 597–606. Kumar, M. S., Ranjit, S., Alagumuthu. 2012. Traditional Beekeeping of Stingless Bee (Trigona Sp) by Kani Tribes of Western Ghats, Tamil Nadu, India. Indian Journal of Traditional Knowledge, 11 (2): 342-345 Putra, R.E. Putra, Kinasih, I. Efficiency of local Indonesia honey bees (Apis cerana L.) and stingless bee (Trigona iridipennis) on Tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) Pollination. Pakistan Journal of Biological Sciences, Vol. 17 No.1, pp.86-91, 2014. Putra, R.E., Permana, A.D., Kinasih, I. Application of Asiatic Honey Bees (Apis cerana) and Stingless Bees (Trigona laeviceps) as Pollinator Agents of Hot Pepper (Capsicum annuum L.) at Local Indonesia Farm System. Psyche , Vol. 2014 Article 687979, 2014. Ramika, R., Safni, Lukman, U. 2012. Degradasi Senyawa Profenofos dalam Insektisida Curacron 500EC Secara Fotolisis dengan Penambahan TiO2-ZEOLIT. Jurnal Kimia Unand. Volume 1 nomor 1. 108 [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] [31] [32] [33] [34] [35] McDaniel KL, Moser VC. Differential profiles of cholinesterase inhibition and neurobehavioral effects in rats exposed to fenamiphos or profenofos. Neurotoxicology and Teratology 2004; 26:407–415. Abass K, Reponen R, Jalonen J, Pelkonen O. 2007 In vitro metabolism and interaction of profenofos by human, mouse and rat liver preparations. Pesticide Biochemistry and Physiology 87: 238–247. Djojosumarto, P. 2008. Pestisida & Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka. Visweswara R., Kumar, N., S., Armanath, R., Madhavi, J., M., Prasanna, L., P., Kalyani, P. 2011. Estimation of Endosulfan Insecticide Residues in Paddy of Khrisna District. IJRPC. Vol 1 (1) 55-56. Hazra, F., Rosdiana, L. 2013. Verifikasi Metode Penentuan Residu Pestisida Beta Siflutrin dalam Kentang (Solanum tuberosum L) secara Komatografi Gas. Jurnal Sains Terapan Edisi III Vol 3 (1) : 62-68. Matsimura, F., 1999. Toxicology of Insecticides. Departement of Entomology, University of Wisconsin-Madison. Plenum Press. New York. Shetty A.J., Deepa, S., & Alwar, M. C. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Current science, 93(7), 917-920. EC (European Commision), 2002. Guidance Document on Terrestrial Ecotoxicology Under Council Directive 91/414/EEC, Brussels: European Commission Health & Consumer Protection. Wang, Ying., Lan-Ting Ma., Bao-Hua Xu. 2014. Diversity in life history of queen and worker honey bees, Apis mellifera L. College of Animal Science and Technology, Shandong Agricultural University, Tai’ an, Shandong, 71 18, China. Winter, P.A. 1990. Profenofos : An Acute Contact Study with the Honey Bee. Laboratory Report No. 108-321. Ciba-Geigy Corporation, Greensboro, NC. EPA MRID No. 416273-08. Valdovinos, G.R., Quezada-Euan, J.J.G., Ancona-Xiu, P., Moo-Vale, H., Carmona, A., Sanchez, E.R. 2009. Comparative toxicity of pesticides to stingless bees (Hymenoptera: Apidae: Meliponini), J Econ Entomol, 102 (5): 1737-1742. Rasyid, R., 1995. Prinsip-prinsip Kimia Medicinal, Jilid I, Ed Kedua, UGM-Press. Dow AgroSciences, 2013. Material Safety Data Sheet : Lorsban* 4E Insecticide (Chlorpyrifos). Canada : A Subsidiary of The Dow Chemical Company. U.S. Environmental Protection Agency, 1999. Reregistration Eligibility Science Chapter for Chlorpyrifos Fate and Environmental Risk Assessment Chapter; Office of Prevention,Pesticides and Toxic Substances, Office of Pesticide Programs, Environmental Fate andEffects Division, U.S. Government Printing Office: Washington, DC. Smegal, D. C., 2000, Human Health Risk Assessment Chlorpyrifos; U.S. Environmental Protection Agency, Office of Prevention, Pesticides and Toxic Substances, Office of Pesticide Programs, Health Effects Division, U.S. Government Printing Office: Washington, DC, pp 1-131. Karanth, S. and Pope, C., 2000, Carbosylesterase and A-Esterase Activities during Maturation and Aging: Relationship to the Toxicity of Chlorpyrifos and Parathion in Rats. Toxicol. Sci. 58, 282-289. Herbert, E.W., Jr. (1992). Honey bee nutrition. In: The Hive and the Honey Bee (Graham, J.M., Eds). Hamilton, IL, pp. 197–224. PPDB, 2010. The pesticide properties database (PPDB) developed by the Agriculture & Environment Research Unit (AERU), University of Hertfordshire, funded by UK national sources and the EU-funded FOOTPRINT project (FP6-SSP-022704). Johnston, G. A. R. (2005). GABAA receptor channel pharmacology. Curr. Pharm. Design 11, 1867–1885. Bobe, A., Coste, C.M., and J. Cooper. 1997. Factors Influencing the Adsorption of Fipronil on Soils. J. Agric. Food Chem. 45, 48614865. Cox, C. 1994. Cyfluthrin. Journal of Pesticide Reformation, 14 (2) : 28-34. Singh, A. K., Saxena, P. N., Sharma H. N. 2009. Stress induced by beta-cyfluthrin, a type-2 pyrethroid, on brain biochemistry of Albino rat (Rattus norvegicus). Biology and Medicine, 1 (2): 74-86. Jones, D.A. 1995. Environmental fate of cypermethrin. Environmental Monitoring and Pest management Branch, Department of Pesticide Regulation, Sacramento, California, USA. Soderlund, D., Clark, J., Sheets, L., Mullin, L., Piccirillo, V., Sargent, D., Weiner, M. 2002. Mechanisms of pyrethroid neurotoxicity: Implications for cumulative risk assessment. Toxicology, 171(1): 3-59 Christensen, B., Lauridsen, T., Ravn, H., & Bayley, M. 2005. A comparison of feeding efficiency and swim-ming ability of daphnia magna exposed to cypermethrin. Aquatic Toxicology, 73(2): 210-220 De Wael, L.; van Laere, O. 1989. Toxicity and the repellent activity of synthetic pyrethroids towards the honeybee (Apis mellifera L.). Proceedings of the XXXIst International Congress of Apiculture, Warsaw, Poland, August 19-25, 1987.209-216. Published by Bucharest, Apimondia Publishing House, Romania. 109 B - 09 Pengaruh Pemberian Kompos Gulma Siam (Chromolaena odorata) dan Babadotan (Ageratum conyzoides) terhadap Komposisi dan Keragaman Arthropoda pada Tanaman Cabai Lindung Tri Puspasari1*,Intan Fahni Tistiyana2,Sadeli Natasasmita1, dan Vira Kusuma Dewi1 1 Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Mahasiswa Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Pemanfaatan gulma sebagai kompos dinilai potensial, karena murah, mudah didapatkan dan ramah lingkungan sehingga tidak merusak keseimbangan ekosistem. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari serta membandingkan komposisi dan keragaman arthropoda pada tanaman cabai yang diberi kompos gulma siam (Chromolaena odorata) dan babadotan (Ageratum conyzoides) di desa Cileles, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Pengamatan dilakukan secara visual dan langsung terhadap jenis dan jumlah arthropoda pada tanaman cabai yang diberi kompos gulma siam dan babadotan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi arthropoda yang dijumpai terbagi dalam kelompok fungsional sebagai hama, predator dan netral. Tanaman Cabai yang diberi kompos gulma siam (C. odorata) cenderung memiliki nilai indeks keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman cabai yang diberi kompos babadotan meskipun kategorinya masih rendah. Pemberian kompos gulma siam dan babadotan cenderung dapat menekan populasi Aphis gossyipii. Kata kunci : Chromolaena odorata, Ageratum conyzoides, Arthropoda, Keragaman 110 B - 10 Toksisitas Insektisida Lima EkstrakTumbuhanTerhadap Crocidolomia pavonana F (Lepidoptera: Crambidae) Syamsul Ma’arif1, Danar Dono2*, Yusup Hidayat2, Lindung Tri Puspasari2, Rani Maharani3, Ceppy Nasahi2, Rika Meliansyah2 1 Mahasiswa Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 3 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Ekstrak daun Muntingia calabura, rimpang Acorus calamus, biji Cerbera odollam, daun Lantana camara, dan daun Tithonia diversifolia diketahui memiliki aktivitas insektisida, namun pengaruhnya terhadap Crocidolomia pavonana belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level toksisitas dari ekstrak tersebut terhadap C. pavonana. Pengujian toksisitas kelima ekstrak tumbuhan tersebut dilaksanakan di Laboratorium Pestisida dan Toksikologi Lingkungan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, berlangsung dari Agustus 2014 sampai April 2015 pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl). Percobaan terdiri dari screening lima ekstrak tumbuhan dan uji toksisitas menggunakan metode celup pakan. Hasil screening menunjukkan ekstrak biji C. odollam menyebabkan mortalitas C. pavonana tertinggi dengan nilai LC50 sebesar 0,020% pada 7 hsa. Selain toksik, ekstrak biji C. odollam memperpanjang lama perkembangan larva, menghambat aktivitas makan (antifidan), serta menurunkan berat kering larva. Kata kunci: Cerbera odollam, Crocidolomia pavonana, Ekstrak tumbuhan 111 PENDAHULUAN Crocidolomia pavonana F. merupakan salah satu hama penting dari tumbuhan famili Brassicaceae yang menimbulkan kerusakan berat. Saat ini telah dikembangkan pestisida yang berasal dari tumbuhan. Tumbuhan yang dapat dijadikan bahan pestisida nabati diantaranya adalah kersen (Muntingia calabura L.), rimpang jeringau (Acorus calamus L.), Tanaman bintaro (Cerbera odollam Gaertn.), Saliara atau tembelekan (Lantana camara L.), dan Kipahit (Tithonia diversifolia (Hemsl.) A. Gray. BAHAN DAN METODE Percobaan diawali dengan screening 5 ekstrak tumbuhan menggunakan masing-masing konsentrasi 0,1% dan 0,5% untuk mengetahui ekstrak tumbuhan yang paling toksik. Setelah mendapatkan ekstrak paling toksik, ekstrak tersebut dilakukan pengujian lagi untuk mengetahui potensinya sebagai pestisida nabati dengan konsentrasi 0,02%; 0,05%; 0,10%; 0,25%; 0,60%. Pengujian ini dilakukan untuk menentukan mortalitas larva (LC50), waktu perkembangan larva, luas pakan dikonsumsi larva, dan bobot kering larva instar IV C. pavonana. Data dianalisis dengan Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji lanjut jarak berganda Duncan pada taraf 5% menggunakan SPSS 17.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian diperoleh ekstrak biji C. odollam pada konsentrasi 0,1% maupun 0,5% menyebabkan mortalitas larva C. pavonana tertinggi. Hasil percobaan menunjukkan konsentrasi 0,1% ekstrak biji C. odollam dapat menyebakan mortalitas larva sebesar 73,33% lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak lainnya. Ekstrak biji 0,5% C. odollam juga menyebabkan mortalitas tertinggi di bandingkan dengan ekstrak lain dengan nilai persentase mortalitas 86,66% (Tabel 1). Tabel 1. Persentase mortalitas screening lima ekstrak tumbuhan Uji Toksisitas Ekstrak Biji C. odollam Ekstrak Biji C. odollam mengakibatkan mortalitas terhadap larva C. pavonana. Hasil uji pendahuluan menunjukkan 5 konsentrasi interval geometris yang akan diujikan adalah 0,02%; 0,05%; 0,10%; 0,25%; 0,60% (Gambar 1). 112 Gambar 1. Perkembangan mortalitas larva C. Pavonana setelah perlakuan ekstrak C. Odollam Semakin tinggi tingkat konsentrasi ekstrak biji C. odollam yang diaplikasikan maka meningkat pula angka mortalitas larva. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dono dkk., [1][2] yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi ekstrak Barringtonia asiatica yang diujikan, maka angka mortalitas C. pavonana terus mengalami peningkatan. Dapat disimpulkan persentase mortalitas larva meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak. Analisis probit dilakukan terhadap data mortalitas pada hari ke-2 sampai dengan 7 hsa. Larva C. pavonana yang mati akibat perlakuan ekstrak biji C. odollam menunjukkan gejala ukuran tubuh larva terlihat lebih kecil dan pucat dibandingkan dengan ukuran tubuh dan warna larva pada kontrol, selain itu larva juga mengalami perpanjangan lama perkembangan, luas konsumsi daun pakan lebih sedikit, dan berat kering larva perlakuan lebih ringan dibandingkan kontrol. KESIMPULAN Diantara daun M. calabura, rimpang A. calamus, biji C. odollam, daun L. camara, dan daun T. diversifolia yang paling toksik terhadap larva C. pavonana adalah ekstrak biji C. odollam dengan nilai LC50 sebesar 0,020% pada 7 hsa yang juga menghambat perkembangan larva, mengurangi daya konsumsi pakan, serta berpengaruh terhadap berat kering larva. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian RAPID ber udul “Produksi, Standarisasi, Legalisasi, dan Pemasaran Formula Insektisida Ekstrak Azadirachta indica dan Barringtonia asiatica”. Dengan peneliti utama Danar Dono. 113 DAFTAR PUSTAKA [1] [2] Dono, Danar, Syarif Hidayat, Nasahi Ceppy, and Emelda Anggraini. 8. “Pengaruh Ekstrak Bi i Barringtonia Asiatica L (Kurz)(Lecythidaceae) Terhadap Mortalitas Larva Dan Fekunditas Crocidolomia Pavonana F. (Lepidoptera: Pyralidae .” Jurnal Agrikultura. 19: 5–14. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/article/view/601/655. Dono, Danar, and Rismanto. 8. “Aktivitas Residu Ekstrak Bi i Barringtonia Asiatica L. Kurz. Terhadap Larva Crocidolomia Pavonana F. Lepidoptera : Pyralidae .” Jurnal Agrikultura . 3: 184–90. http://jurnal.unpad.ac.id/agrikultura/article/view/999/1041. 114 C - 01 Identifikasi Potensi Ketahanan 36 Klon Baru Ubi Jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb) terhadap Hama Lanas (Cylas formicarius F) (Coleoptera : Curculionidae) di Laboratorium Syarif Hidayat1 dan Yuda Muhammad Zaelani2 1 Staf Pengajar Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad Alumni Fakultas Pertanian Unpad * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Hama lanas (Cylas formicarius F) merupakan hama utama pada ubi jalar (Ipomoea batatas). Serangan hama ini selama penyimpanan dapat mengakibatkan kehilangan hasil hingga 100%. Ketahanan ubi jalar merupakan salah satu strategi utama untuk mengendalikan hama tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji potensi ketahanan klon ubi jalar terhadap hama lanas. Pengujian ini dilakukan dengan metode no-choice terhadap 36 klon ubijalar, yaitu klon 3(16), 12(140), 7(66), 2(43), 1(41), 52(107), 29(17), 8(57), 48(5), 14(79), 74(256), 42(10), 75(166), 36(135), 47(125), 5(57), 30(58), 46(133), 22(29), 54(21), 51(69), 65(183), 68(216), 41(23), RANCING, 73(213), 58(27), 39(147), 49(7), 66(179), 20(124), 21(30), 28(106), 33(50), 23(89), dan 55(96). Pengujian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan dua kali ulangan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa setelah satu bulan penyimpanan tidak ada klon ubi jalar yang mempunyai potensi ketahanan yang tinggi terhadap hama lanas dimana 31 klon bersifat rentan dan 5 klon bersifat agak rentan. Kata kunci : klon ubi jalar, ketahanan, dan hama lanas. 115 C - 02 Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong (Etiella zinckenella Treitschke) Dodin Koswanudin1, Asadi1, Sutoro1 1 * Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Hama penggerek polong (Etiella zinckenella) termasuk serangga hama utama yang sering menimbulkan kerusakan sehingga menurunkan produktivitas tanaman kedelai. Salah satu upaya dalam menekan serangan hama adalah dengan menggunakan varietas tahan. Dalam perakitan varietas tahan perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya genetik tanaman yang mempunyai sifat ketahanan terhadap hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan sumber daya genetik kedelai terhadap hama penggerek polong. Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Nopember 2014 di dusun Pecinan, desa Wanacala, kecamatan Songgom, Kabupaten Brebes dan rumah kaca BB. Biogen, Cikeumeuh, Bogor. Pada tahap pertama sebanyak 104 aksesi kedelai termasuk pembanding tahan, ditanam pada petak ukuran 2 m x 2 m dan jarak tanam 30 cm x 20 cm, dipupuk sesuai anjuran dan dilakukan perawatan. Parameter yang diamati daya tumbuh benih, kerusakan polong, kerusakan biji dan populasi larva E. zinckenella. Pada tahap II penelitian dilakukan di rumah kaca dengan tiga ulangan, untuk mempelajari meknisme ketahanan SDG kedelai yang menunjukkan agak tahan dan agak tahan hasil penelitian di lapangan. Benih kedelai 2 biji ditanam dalam pot ember bermedia tanah dan pupuk kandang, pada fase berpolong tanaman diinfestasi 5 pasang imago E. zinckenella, disungkup kurungan plastik milar, pada bagian atas kurungan digantungkan kapas yang telah diserapkan dalam larutan madu 10%. Parameter yangdiamati mortalitas imago, kerusakan polong dan biji, dan populasi larva. Hasil penelitian tahap pertama diperoleh 19 aksesi kedelai yang menunjukkan agak tahan sampai tahan dengan tingkat kerusakan polong dan biji berkisar antara 10 – 20%, meliputi aksesi (Register 3267) C.7301-1278-Cpop, Dieng, Kembang putih, Kretek balap, Lokal Jombang, Lokal Trenggalek, lokal Banyuwangi, lokal Jember, lokal Badung, MLG 2973, MLG 2974, Kacang lutung, Wilis, AGS 244, Kayu B, GM. 118. Si, Lokal Bombongan, Lokal Bombongan II, Sindoro, GM 4839. Hasil penelitian tahap II diperoleh SDG kedelai yang menunjukkan mekanisme ketahanan yang tinggi terhadap hama penggerek polong meliputi aksesi Lokal Trenggalek, lokal Banyuwangi, lokal Jember, lokal Badung, MLG 2973, MLG 2974. Kata kunci : Evaluasi, ketahanan, E. zinckenella, SDG kedelai 116 C - 03 Pengendalian Terintegrasi Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (snell.) dan Analisis Pendapatan Petani di Perkebunan Rakyat Alam Anshary1*, Flora Pasaru1, Shahabuddin1 1 * Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha cramerella (Snell.) ditemukan menyerang pada daerah sentra produksi kakao di Indonesia. Hama ini dapat menurunkan produksi hingga 80%. Berbagai cara telah dilakukan oleh petani untuk mengendalikan PBK, namun masih ditemukan menyerang pertanaman kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi teknik pemangkasan dan penggunaan cendawan Beauveria bassiana untuk menekan tingkat serangan PBK. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan, perlakuan terdiri atas cendawan B. bassiana, teknik pemangkasan, integrasi teknik pemangkasan + cendawan B. bassiana (TPks+CBb), dan Kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase serangan PBK adalah 2,65% pada perlakuan (TPks+CBb) lebih rendah dibanding perlakuan lainnya dan hasil estimasi produksi diketahui (1,82 ton/ha) lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Model hasil estimasi produksi kakao telah diketahui dengan koefisien determinasi R2 = 0,9273. Biaya produksi pada usaha tani kakao menggunakan teknologi pengendalian perlakuan (TPks+CBb) sebesar Rp. 6.666.050/ha dan pendapatan petani Rp 67.133.950, sedangkan biaya produksi tanpa pengendalian Rp. 9.205.550/ha serta pendapatan petani Rp 36.736.450. Metode ini dapat diterapkan oleh petani dalam skala kelompok tani. Kata kunci: Kakao, Penggerek buah kakao, Pemangkasan, Beauveria bassiana, Pendapatan petani. 117 PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana namun demikian berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah dan petani dalam pengembangan kakao. Untuk lingkup Asia, selain itu Indonesia menempati urutan pertama sebagai penghasil kakao dengan produksi lebih kurang 450.000 ton/thn, disusul Papua New Guinea yang hanya mampu memproduksi lebih kurang 50.000 ton/thn [1]. Berbagai hal yang masih menjadi permasalahan adalah produk biji kakao Indonesia dikenal memiliki kualitas rendah dan pada umumnya tidak difermentasi sehingga harus dicampur dengan biji kakao impor. Selain itu mutu dan produksi rendah karena adanya serangan serangga Penggerek Buah Kakao (PBK), Conopomorpha cramerella (Snell.). PBK merupakan hama yang sangat merusak biji kakao dan secara signifikan dapat menurunkan produksi hingga 6% per tahun [2][3][4]. Penelitian upaya pengendalian PBK terus dilakukan, hasil penelitian Anshary et al. [5] menggunakan semut Dolichoderus thoracicus, Beauveria bassiana dan metode pemangkasan menunjukkan penurunan tingkat serangan PBK lebih rendah dibandingkan kontrol. Peneliti lain, Ho et al. [6] serta Saripah dan Azhar [7] juga telah melakukan hal yang sama. Selain dari itu berbagai upaya pencegahan dan pengendalian serangan PBK di lapangan telah dilakukan oleh petani kakao namun hasilnya belum maksimal karena teknik pengendalian yang digunakan tidak terintegrasi [5]. Tujuan penelitian adalah dihasilkan inovasi paket perlindungan tanaman kakao terintegrasi yang secara tidak langsung akan meningkatkan pendapatan petani kakao. MATERIAL DAN METODA Penelitian dilaksanakan di desa Rahmat, kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi pada bulan Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014 (tahap I) dan Januari 2015 sampai dengan Agustus 2015 (tahap II). Kegiatan Tahap I Penelitian didesain dalam Rancangan Acak Lengkap, dengan 5 perlakukan yaitu (1) predator D. thoracicus, (2) cendawan B. bassiana, (3) pemangkasan + D. thoracicus, (4) pemangkasan + B. bassiana, dan (5) kontrol. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Indikator capaian adalah data analisis tingkat serangan PBK dan produksi kakao dalam petak sampel kebun kakao pada setiap perlakuan (luas areal percobaan satu ha dengan jumlah populasi tanaman 833 pohon). Prosedur pelaksanaan penelitian mencakup (1) perbanyakan massal D. thoracicus dan cara aplikasinya, (2) perbanyakan massal B. bassiana dan cara aplikasinya, (3) teknik pemangkasan (modifikasi metode Ho et al. [6] dan Anshary et al. [8]). Hal-hal yang diamati dan dianalisis dalam penelitian ini mengacu pada Anshary et al. [8] yaitu persentase buah kakao yang terserang. Data dianalisis dalam uji F dan uji lanjut BNT pada taraf 5% [9]. Kegiatan Tahap II Kegiatan Penelitian dengan metode survei terhadap petani yang menerapkan Teknologi Pengendalian PBK Terintegrasi (TPPT) dan yang tidak menggunakan Teknologi TPPT (Pemangkasan; Pemangkasan + B. bassiana; dan kontrol. Peserta Responden petani kakao dipilih secara acak sebanyak 30 orang dari sejumlah 89 petani yang ada di desa Rahmat dengan menggunakan metode simple random sampling. Teknik simple random sampling dilakukan menurut Charisma dan Sudrajat [10]. Petani terpilih mengikuti metode TPPT dan petani yang tidak menerapkan TPPT. Petani yang menerapkan TPPT telah melakukan kegiatan berupa Demonstrasi Plot yang dilakukan oleh petani kakao di masing-masing kebun sendiri. Indikator capaian adalah data analisa pendapatan usahatani petani kakao sebagai berikut : 118 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao Estimasi penggunaan faktor produksi terhadap produksi digunakan analaisis fungsi produksi Cobb-Douglas [11][12] yaitu suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua variabel atau lebih (variabel dependen =Y dan variabel independen =X). Analisis kuantitatif yang digunakan adalah Analisis Regresi Berganda dengan persamaan : Y = a0 + a1x1 + a2x2 + a3x3 + a4x4 +a5x5 [10]. 2. Analisis pendapatan usahatani kakao Dalam analisis ini digunakan rumus : Pd = TR – TC. TC = (FC + VC) TR = (YxPy) [10]. Ket. Pd : pendapatan usaha tani; TR : total penerimaan; TC : total biaya; FC : biaya tetap; VC : biaya tidak tetap; Y : produksi; Py : harga Y. Total biaya produksi kakao dihitung dengan rumus: TC = TFC + TVC Ket. TC = Total biaya produksi, TFC = total biaya tetap. TVC = Total biaya variabel [13]. Analisis data Seluruh parameter pengamatan petani yang melakukan TPPT dan petani yang tidak melakukan TPPT digunakan uji (Uji t, dua rata-rata) [9]. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Buah Kakao yang Terserang PBK Hasil pengamatan dan analisis statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata persentase buah kakao yang terserang PBK pada perlakuan pemangkasan + B. bassiana dengan perlakuan D. thoracicus, B. bassiana, dan perlakuan pemangkasan + D. thoracicus (Anshary, Shahabuddin, Pasaru 2014), perbedaan tersebut dipengaruhi oleh masing-masing kandungan komponen perlakuan. Hasil analisis penelitian Tahun I [5] menunjukkan pula perbedaan perlakuan yang diintergrasikan antara pemangkasan dan B. Bassiana dengan persentase serangan PBK lebih rendah 2,28% dibandingkan jika B. bassiana tidak diintegrasikan dengan perlakuan pemangkasan. Perlakuan Pemangkasan + B. bassiana menunjukkan rata-rata persentase buah kakao terserang PBK paling rendah, dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 1). Kondisi lingkungan mikro yang sangat mendukung pertumbuhan cendawan B. bassiana serta bentuk kanopi tanaman yang baik memungkinkan cahaya matahari masuk pada kebun kakao lebih optimal. Tabel 1. Persentase Buah Kakao Terserang PBK Pada Berbagai Perlakuan Kode Perlakuan Kontrol Bb Dt Pks+Dt Pks+Bb Waktu Pengamatan I 15,2 12,3 11,5 11,2 10,1 II 19,5 12,7 11,4 11,5 10,4 III 20,1 12,5 11,2 10,4 9,8 IV 23,4 10,3 10,4 10,2 9,2 V 25,3 10,1 10,5 10,5 7,2 Rerata (%) 20,73c 11,63a 11,05a 10,83a 9,35b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata. BNT = 1,58 α= , 5 Anshary, Shahabuddin, dan Pasaru, 14 . 119 Secara ekologis kondisi seperti ini tidak sesuai untuk pertumbuhan, perkembangan dan perilaku serangga PBK, pada akhirnya terjadi mortalitas atau migrasi sehingga populasi lebih rendah dan menyebabkan persentase serangan pada buah kakao relatif lebih rendah. Faktor pendukung lainnya adalah peranan B. Bassiana yang dapat mematikan semua perkembangan PBK. Aplikasi B. bassiana pada pertanaman kakao dapat memberikan keuntungan ganda karena selain dapat menginfeksi langsung pada serangga PBK, B. basiana dapat juga bertahan pada jaringan tanaman kakao [5]. Posada dan Vega [14] melaporkan bahwa B. bassiana dapat bersifat endofit dan epifit dalam jaringan tanaman kakao. Secara ekologis kondisi seperti ini dapat menguntungkan bagi ketersediaan musuh alami karena sebagai proses tersedianya sumber inokulum B. bassiana di alam. Beauveria bassiana dapat menginfeksi tubuh serangga PBK karena selain memiliki kemampuan penetrasi masuk ke dalam tubuh inangnya juga karena mempunyai enzim dan toksin yang beracun [5]. Persentase buah kakao yang terserang PBK yang diberi perlakuan pemangkasan dan B. bassiana memiliki trend lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya dan kontrol. Sebaliknya persentase buah kakao yang terserang pada perlakuan kontrol terdapat kecenderungan meningkat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pengaruh dari masing-masing komponen perlakuan tersebut dan telah bekerja memberikan dampak yang buruk pada dinamika persentase serangan PBK di perkebunan kakao rakyat [5]. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biaya produksi usahatani terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap, biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang besar kecilnya tidak mempengaruhi hasil produksi seperti pajak dan penyusutan peralatan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang habis digunakan dalam satu tahun kegiatan usahatani kakao. Biaya produksi pada usaha tani kakao TPPT sebesar Rp. 9.205.550/ha, sedangkan biaya produksi dengan TPPT sebesar Rp. 6.666.050/ha. Usaha untuk memaksimalkan peranan pengendalian PBK dilaksanakan dengan TPPT, TPPT dalam mempertahankan produksi usahatani kakao yaitu dengan menggunakan faktor produksi secara optimum. Faktor-faktor yang diidentifikasi dapat mempengaruhi produksi kakao adalah jumlah pohon produktif, jumlah tenaga kerja, penggunaan pupuk, lamanya berusahatani kakao, tingkat pendidikan formal dan intensitas penyuluhan. Estimasi produksi (Y) terhadap faktor produksi kakao (X), faktor produksi (X) secara bersama-sama berpengaruh sangat nyata terhadap produksi (Y) hal ini ditunjukkan dengan nilai Fhitung sebesar 48,891 > Ftabel pada taraf α= , 5 = ,53 . Nilai koefisien determinasi (R2)= 0,9273 (Tabel 2) yang berarti ada korelasi positif faktor yang mempengruhi produksi dengan produksi kakao sebesar 92,8 persen dan sisanya 7,2 persen persen disebabkan oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam model. Tabel 2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao Variabel Intersep Jumlah pohon produktif (X1) Tenaga kerja (X2) Jumlah pupuk (X3) Lama berusahatani (X4) Pendidikan Formal (X5) Intensitas Penyuluhan (X6) R2 =0,9273 t.tabel α= , 5 = ,53 N=30 Kode b0 b1 b2 b3 b4 b5 b6 Koef. Regresi 0,2099 0,5396 0,3429 0,3141 0,3562 0,0834 0,4973 120 t.hitung 4,6273* 2,5694* 2,5497* 2,5527* 0,8139tn 2,5537* Sumber : Hasil analisis data primer Hasil uji t dari enam variabel yang diteliti terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata yaitu jumlah pohon produktif (X1), Tenaga kerja (X2), Jumlah pupuk (X3), Lama berusaha tani (X4), sedangkan pendidikan formal (X5) tidak berpengaruh nyata (Tabel 3). Berdasarkan model persamaan regresi dapat diketahui besarnya pengaruh variabel independen (xi) terhadap variabel dependen (Y) yang ditunjukkan dari nilai besaran Y. Dalam fungsi produksi Cobb-Douglas, besaran koefisien regresi masing-masing faktor produksi merupakan elastisitas produksi dari faktor-faktor produksi tersebut [11]. Dari data hasil penelitian diperoleh model persamaan hasil estimasi produksi kakao adalah sebagai berikut : Y=0,2099 + 0,5396X1 + 0,3429X2 + 0,3141X3 + 0,3562X4 + 0,0834X5 + 0,2973X6. a. Jumlah Pohon Produksi Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa jumlah pohon produktif (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi kakao pada taraf α 5%. Hasil analisis t-hitung 4,6273 > t-tabel α 5% = ,53 , sehingga Ho ditolak. Nilai koefisien regresi jumlah pohon produktif sebesar 0,5396 berarti dengan bertambahnya pohon produktif sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi kakao sebesar 0,5396%, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan. Souza et al. [15] melaporkan bahwa jumlah produksi tanaman kakao dipengaruhi oleh faktor kepadatan populasi tanaman dalam satu areal lahan kakao per tahun. Baharuddin [16] melaporkan bahwa penentuan jarak tanam membawa konsekuensi ikutan antara kebutuhan bahan tanaman, tenaga kerja, cara pemeliharaan, produktivitas, atau serangan hama dan penyakit tanaman kakao, secara fisiologis jarak tanam menyangkut penyediaan ruangan yang akan ditempati oleh tanaman. Semakin sempit ruang yang tersedia, semakin kuat persaingan antara tanaman yang berdekatan yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah pohon yang berproduksi. b. Tenaga Kerja Hasil analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa curahan tenaga kerja (X2) berpengaruh nyata terhadap produksi kakao pada taraf α 5%. Hal ini terlihat dari nilai t-hitung 2,5694> t-tabel α 5% = 2,530), sehingga Ho ditolak. Nilai koefisien regresi tenaga kerja sebesar 0,3429 berarti dengan bertambah curahan tenaga kerja sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi sebesar 0,3429 %, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan. Deppeler [17] melaporkan bahwa meskipun pekerja memiliki peran penting dalam sistem pertanian usahatani kakao, mereka tidak mendapatkan perhatian yang cukup memadai. Sebaliknya Wahyudi et al. [18] melaporkan bahwa salah satu keberhasilan usahatani kakao adalah penggunaan tenaga kerja, kenyataan ini menunjukkan bahwa pengawasan secara intensif dan penggunaan jumlah tenaga kerja yang tepat sangat penting dilakukan agar didapatkan produksi dan prodiktivitas hasil yang tinggi. c. Pemupukan Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan jumlah pupuk (X3) berpengaruh nyata terhadap produksi kakao pada taraf α 5%. Berdasarkan hasil analisis t-hitung dengan nilai 2,5497 > t-tabel α 5% = 2,530), sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai koefisien regresi penggunaan pupuk sebesar 0,3141 berarti dengan bertambah perlakuan pemberian pupuk sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi kakao sebesar 0,3141%, dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap konstan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pemupukan memberikan pengaruh nyata terhadap produksi kakao. Berdasarkan laporan Baah et al. [19] bahwa di Ghana terjadi peningkatan penggunaan pupuk oleh petani kakao, namun produktivitas tanaman kakao masih rendah yaitu pada 400 kg/ha terhadap potensi lebih dari 2,5 ton per hektar. Wahyudi et al. [18] melaporkan bahwa aplikasi pemupukan cukup menggembirakan yang ditunjukkan dengan peningkatan produksi serta mutu hasil produksi, 121 namun efisiensi pupuk yang diberikan dengan jumlah pupuk yang diserap umumnya tergolong rendah. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Uribe, Mendez, dan Mantilla et al. [20] bahwa kebutuhan pemupukan tanaman kakao dengan produksi relatif tertinggi apabila diberi perlakuan 150 kg N, 90 kg P2O5 dan 200 kg KO/ha, pemupukan yang memadai dan seimbang pada tanaman kakao tidak hanya menguntungkan, tapi juga menopang dan membangun hasil yang tinggi dari waktu ke waktu. d. Intensitas Penyuluhan Hasil analisis menunjukkan bahwa frekuensi keikutsertaan petani dalam penyuluhan kakao (X6) berpengaruh nyata positif terhadap produksi kakao pada tigkat 5%. Hal ini terlihat dari nilai t-hitung 2,5537 > t-tabel α 5% = ,53 , sehingga Ho ditolak dan H1 diterima. Nilai koefisien regresi lntensitas penyuluhan Usahatani kakao sebesar 0,4973 berarti dengan dengan sering petani mengikuti penyuluhan Usahatani kakao sebesar satu persen (1%) akan meningkatkan produksi kakao sebesar 0,4973%, dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Hasil penelitian Akinnagbe dan Ajayi [21] melaporkan bahwa petani kakao telah mendapat manfaat dari kegiatan penyuluhan dalam hal meningkatkan pengetahuan dan keterampilan akuisisi produksi kakao serta keuntungan ekonomi dalam hal hasil dan pendapatan. Oladosu dan Yekinn [22]. melaporkan bahwa di Nigeria, program penyuluhan pertanian telah ditargetkan pada petani kakao untuk mengembangkan tanaman kakao sebagai sumber pendapatan petani. Kegiatan penyuluhan pertanian kepada petani kakao yang ditargetkan untuk mengidentifikasi lembaga yang memberikan pelayanan dan tingkat penggunaan teknologi produki kakao serta kendala-kendala yang mereka hadapi dalam meningkatkan produksi kakao. Penelitian ini dilakukan di wilayah pemerintah lokal Ekiti Barat terhadap 120 petani kakao. Analisis biaya produksi Biaya produksi usahatani terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap, biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang besar kecilnya tidak mempengaruhi hasil produksi seperti pajak dan penyusutan peralatan. Biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani yang habis digunakan dalam satu tahun kegiatan usahatani kakao. Biaya produksi pada usaha tani kakao tanpa TPPT sebesar Rp. 9.205.550/ha, sedangkan biaya produksi dengan TPPT sebesar Rp. 6.666.050/ha. Penerimaan Usahatani Penerimaaan dalam struktur usahatani kakao yang menggunakan TPPT adalah antara produksi yang diperoleh dengan harga jual, sehingga penerimaan ditentukan oleh besar kecilnya produksi yang dihasilkan dengan harga jual dari produksi tersebut. Petani yang menggunakan TPPT memperoleh hasil kakao rata-rata 2.480 kg/ha/tahun dan penerimaan rata-rata Rp.73.800.000/ha/thn dengan harga jual 30.000/kg. Penerimaan dalam struktur usahatani kakao tanpa penggunaan TPPT adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dari masing-masing tanaman dengan harga jual kemudian hasilnya dijumlahkan, sehingga penerimaan ditentukan oleh besar kecilnya produksi dari masing-masing tanaman yang dihasilkan dengan harga jual dari produksi tersebut. Petani yang tidak menggunakan TPPT menghasilkan kakao rata-rata 1.612 kg/ha/thn. Rata-rata penerimaan petani Rp. 45.942.000/ha/thn dengan harga jual Rp.28.500/kg. 122 Analisis Komparatif Pendapatan Petani Kakao (Petani yang menerapkan TPPT dan yang tidak menerapkan TPPT) Hasil analisis statistika menunjukkan nilai t hitung = 8,791 > t tabel = 1,984 pada taraf kepercayaan 95% uji dua arah, hal ini menunjukkan menolak hipotesis nol yang berarti ada perbedaan yang siginifikan antara pendapatan petani kakao dengan TPPT dan tanpa TPPT. Pendapatan petani kakao dengan TPPT (Rp. 67.133.950) lebih besar dibandingkan pendapatan petani kakao TPTT (36.736.450) (Tabel 3). Tabel 3. Perbandingan Pendapatan Petani dengan Teknologi Pengendalian PBK dan tanpa Teknologi Pengendalian PBK No. 1 2 3 Uraian Biaya a. Biaya tetap b. Biaya variabel Total biaya Penerimaan Pendapatan Petani dengan TPPT 90.560 6.575.490 6.666.050 73.800.000 67.133.950 Petani tanpa TPPT 90.560 9.114.990 9.205.550 45.942.000 36.736.450 Sumber : Hasil analisis data primer Hal ini disebabkan karena terjadinya reduksi biaya pada aktivitas usahatani oleh petani dengan TPPT, selain itu jumlah fisik atau produksi kakao dan harga jual biji kakao yang dihasilkan petani dengan menggunakan TPPT lebih besar dibandingkan produksi kakao dan harga jual biji kakao yang tanpa TPPT. Dalam hal lain Tito [23] melaporkan bahwa terjadi perbedaan pendapatan petani kakao dengan teknologi pertanaman polikultur dibandingkan pertanaman monokuktur. Pada teknologi polikultur diterapkan pengendalian hama dan kondisi ekosistem lebih stabil dibandingkan pertanaman monokultur. Kondisi ekosistem yang relatif stabil akan memungkinkan unjuk kerja musuh-musuh alami akan berjalan lebih efisien, dalam kondisi musuh alami bekerja efisien maka populasi hama akan berada pada posisi ambang eknomi terkendali. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil analisis tingkat serangan PBK diketahui paling rendah pada perlakuan integrasi (Pemangkasan+Bb) disusul berturut-turut pada perlakuan B. bassiana dan kontrol . 2. Biaya produksi pada usaha tani kakao tanpa TPPT lebih besar dibandingkan apabila petani menggunakan TPPT. 3. Pendapatan petani apabila melakukan TPPT lebih besar dibandingkan apabila tanpa melakukan TPPT pada pertanaman kakao. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] Creative Data Make Investigation (CDMI). 2014. Peluang Bisnis Industri Kakao & Kopi di Indonesia, 20152019.www.cdmione.com/source/Kakao&Kopi2015.pdf. Albert, L.S.C; S. Kalmar. 2013. Development of hendheld interactive decision tool to pacilitate cocoa pod borer management. Malaysian International Cocoa Converence, 7-8 October 2013. Malaysian Cocoa Board. Programme and Abstracts book. p.31. IPOTNEWS. 2013. Produksi Turun Ekspor Kakao Indonesia Anjlok. https:// www. ipotnews. Com /index. php Baon, J.B., A.A. Prawoto, A. Wibawa, S. Abdoellah. 2014. Review increasing cocoa productivity and farmer capacity in surrounding area of PT Kaltim Prima Coal and PT Berau Coal. J. of Degraded Admining Landsmanagement 1(2): 97-104. Anshary, A.; Shahabuddin; dan F. Pasaru. 2014. Pengendalian Penggerek Buah Kakao, Copomorpha cramerella (snell.) dengan menggunakan Beauveria bassiana vuill.(bals.) dan semut Dolichodrus thoracicus (Smith). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Fakultas Pertanian Undana. Kupang, 30 september 2014. 123 [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] Ho, C.T., K.C. Lim ; dan K.C. Khoo. 2003. Biological control of cocoa pests: by Dolichoderus thoracicus (Hymenoptera: Formicidae) Bull. of Entomol. Res. (6) 92, 117 - 135. Saripah, B. dan Azhar, I. 2014. Five years of using cocoa black ants to control Cocoa Pod Borer at farmer plot-an epilogue. Malaysian Cocoa J. 7:8-14. Anshary, A; Shahabuddin; dan F. Pasaru. 2013. Biological control of the cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella on cacao plantation for maintaining cocoa production in Central Sulawesi Indonesia. Malaysian International Cocoa Conference. Sunway Pyramid Convention Center Kuala Lumpur, 7-8 October 2013. Proceedings of the Malaysian International Cocoa Conference 2013 (MICC 2013) Malaysian Cocoa Board. Kuala Lumpur. Pp. 62-68. Steel, R.G.D. dan G.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. 2nd ed. McGraw Hill Books Co. New York. 633 p. Charisma, G. dan Sudrajat. 2012. Peranan usahatani kakao terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani di desa Wiyono, Gedong Tataan, Lampung. Raval, D. 2011. Both the recent literature on production function identification and a considerable body of other empirical work on firm expansion assume a Cobb-Douglas. https://ideas.repec. org/p/cen /wpaper/11-05.html Vîlcu, G.E. 2011. A geometric perspective on the generalized Cobb–Douglas production functions. Applied Mathematics Letters. 4(5): 777-783. Suripatty, M.P. 2011. Analisis struktur biaya produksi dan kontribusi pendapatan komoditi kakao (Theobroma cacao L.) di desa Latu. J. Agroforestri. VI(2):135-140. Posada, F. dan F. E. Vega. 2005. Establishment of the fungal entomopathogen Beauveria bassiana (Ascomycota: Hypocreales) as an endophyte in cocoa seedlings (Theobroma cacao). Mycologia, 97(6) : 1195-1200. Souza, C.A.S.; L.A.D. Dias; M.A.G.Aguilar; S. Soneghti; J. Oliveira; J.L.A. Costa. Cacao yield in different planting densities. Braz. Arsch. Biol. Technol. 52(6). http://www.scielo.br /scielo.php?script = sci _arttext&pid =S1516-89132009000600001. Baharuddin. 2009. Analisis produksi dan pendapatan usahatani kakao di desa Pohi Kecamatan Luwuk Tengah Kabupaten Banggai. Tesis. Program Pascasarjana Untad. 57 halaman. Deppeler, A . 2013. The Unmaking of the Cocoa Farmer: Analysis of Benefits and Challenges of third-party audited Certification Schemes for Cocoa Producers and Laborers in Ghana. Bern University of Applied Sciences. https://www. bfh.ch/fileadmin/data/publikationen/2014/3_Deppeler_The_Unmaking_of _the_ cocoal_ farmer _IFAMA.pdf. Wahyudi; T. Panggabean; Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya. Jakarta. Baah, F.; V.Anchirinah, F.Armah. 2011. Soil fertility management practices of cocoa farmers in the Eastern Region of Ghana. Agric. Biol. J. N. Am., 2011, 2(1): 173-181. Uribe, A.; H. Mendez; dan J. Mantilla. 2001. Effect of balanced fertilization on cocoa yield. Better Crops International 15(2):1-3. Akinnagbe, O.M dan A.R. Ajayi. 2010. Assessment of farmers’ benefits derived from Olam Organisation’s Sustainable Cocoa Production Extension Activities in Ondo State, Nigeria. Journal of Agricultural Extension. 14 (1): 11-21. Oladosu, I. O. dan O. T. Yekinn. 2008. An assessment of agricultural extension activities to cocoa farmers in Ekiti West Local Government Area of Ekiti State. International Journal of Agricultural Economics & Rural Development - 1 (2). http://www.ijaerd.lautechaee-edu.com. Diunduh 21 Agustus 2015. Tito, M. 2008. Analisis komparatif antara pendapatan usahatani kakao monokultur dan polikultur di desa nggawia Kecamatan Tojo Barat, Kabupaten Tojo Una-Una. Thesis. Program Pascasarjana Untad. 84 hal. 124 C - 04 Pengujian 6 Jenis Tanaman Sebagai Bahan Pestisida Nabati Terhadap Intensitas Kerusakan Biji Kedelai Akibat Serangan Hama Gudang Callosobruchus spp. Yenny Muliani1*, Dadang Kusdinar2, Ida Adviany1, Erry Mustariani1 1 Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara Bandung Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara Bandung * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan penting di Indonesia, yangmengandung protein nabati lebih dari 40%, rendah kolesterol dan memiliki kandungan gizi yang tinggi serta memiliki unsur-unsur kimia yang dibutuhkan oleh tubuh.Produksi dalam negeri saat ini baru mampu memenuhi sebanyak 37,01 persen dari kebutuhan, sehingga untuk memenuhi kekurangan kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Hama pasca panen Callosobruchus spp. merupakan hama utama yang selalu menyerang biji kedelai di gudang tempat penyimpanan. Serangan hama gudang ini dapat menurukan kuantitas maupun kualitas dari biji kedelai, baik kedelai yang akan dikonsumsi maupun untuk benih. Penggunaan pestisida kimia yang tidak bijaksana dalam mengendalikan hama banyak menimbulkan dampak negatif. Keadaan ini membuat masyarakat mulai memikirkan cara yang lebih baik, aman dan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu peluangnya adalah pemanfaatan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan untuk dikembangkan potensinya dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman yang aman bagi lingkungan. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (Completely Randomized Design), pola faktorial dengan 4 perlakuan varietas kedelai yaitu varietas Anjasmoro, Argomulyo, Detam dan grobogan serta 6 jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida nabatiyang diulang 3 kali.Hasil penelitian, menunjukkan bahwa ke-6 tanaman yang diuji sebagai pestisida nabati berpengaruh terhadap mortalitas hama gudang Callosobruchus spp. tetapi tanaman sirsak, belimbing wuluh, cengkeh dan kemangi merupakan tanaman yang berpotensi dalam mengendalikan hama gudang tersebut. Kata kunci : Pestisida nabati, kedelai, hama gudang, Callosobruchus spp. 125 C - 05 Pengujian Lapangan Feromon Sintetik terhadap Hama Lanas (Cylas formicarius) pada Tanaman Ubi Jalar I Made Samudra1, Dodin Koswanudin1, I Wayan Winasa1, Wartono1 1 * Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Hama lanas yang disebabkan oleh Cylas formicarius, merupakan hama penting pada tanaman ubi jalar. Pada saat akan kopulasi, kumbang betina memproduksi dan mengeluarkan feromon seks untuk mengundang kumbang jantan. Feromon seks telah diidentifikasi sebagai (Z)-3-dodecen-1-ol (E)-2butenoate. Karet septa yang mengandung feromon sintetik (Feromon Cylas) tersebut dilakukan uji lapangan, pengujian ini dilakukan untuk mengetahui daya tarik feromon sintetik terhadap kumbang jantan. Pengujian Feromon Cylas dilakukan di kebun ubi jalar, menggunakan perangkap berair dan digantungkan pada tiang bambu setinggi 25 cm di atas permukaan tanah. Kepadatan perangkap adalah setara dengan 8, 16, 24, 32 perangkap per hektar, namun luas petak per perlakuan adalah ± 0,2 ha. Sebagai pembanding negatif adalah perangkap tidak berferomon. Dari 6 kali pengamatan, jumlah kumbang yang tertangkap pada perlakuan yang diumpan dengan Feromon Cylas berbeda sangat nyata lebih banyak dibandingkan control (tanpa Feromon Cylas). Sedangkan antar perangkap berferomon, terjadi fluktuasi tangkapan. Petakan dengan 8 perangkap/ha mengalami dua kali jumlah tangkapan paling tinggi. Dengan demikian kepadatan jumlah perangkap dari 8-32 perangkap/ha sangat efektif, namun untuk efisiensi, kepadatan perangkap antara 8-16 perangkap per ha sudah cukup untuk pengendalian hama lanas, C. formicarius. Kata kunci: Cylas formicarius, hama lanas, ubi jalar 126 PENDAHULUAN Hama lanas atau hama boleng (sweet potato weevil) pada ubi jalar yang disebabkan oleh kumbang Cylas formicarius (Fabricius) merupakan hama yang sangat merusak pada tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas (L.), dan tersebar di daerah tropik dan subtropik [1]. Larva atau ulat serangga ini merusak dengan membuat lubang di dalam umbi, yang menyebabkan kerusakan ubi, menurunkan produktivitas dan kualitas ubi. Akibat serangan tersebut, ubi akan terasa pahit karena adanya senyawa sejenis terpen dan menyebabkan rasa tidak enak. Selain itu, larva juga dapat menyerang pangkal batang ubi jalar yang menyebabkan proses pengisian ubi terhambat dan akhirnya ubi tidak berkembang dengan baik [1][2]. Serangga hama sangat sulit dikendalikan dengan aplikasi insektisida konvensional karena larva dan pupa sangat tersembunyi dalam ubi, dan karena vegetasi tanaman yang merambat menyebabkan aplikasi insektisida tidak mencapai serangga target, sehingga kurang efektif. Keberadaan larva dan pupa yang sangat tersembunyi disertai dengan kumbang dewasa yang aktif pada malam hari menyebabkan sulitnya mendeteksi keberadaan hama tersebut. Oleh karena itu diperlukan cara baru untuk mendeteksi dan mengendalikan hama lanas tersebut, yang lebih efektif dan efisien [3]. Sejak dilakukan identifikasi dan bioasai feromon seks C. formicarius, maka senyawa tersebut diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi (memantau) dan sebagai alat pengendali populasi hama lanas. Senyawa sintetik yang bersifat aktif sebagai feromon seks yang memikat serangga jantan diidentifikasi sebagai (Z)-3-dodecen-1-ol (E)-2-butenoate [4]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji daya pikat (attractiveness) formulasi feromon sintetik terhadap kumbang C. formicarius pada pertanaman ubi jalar. BAHAN DAN METODA Lokasi, Waktu dan Penguji Pertanaman ubi jalar petani di Desa Bantar Kambing, Kec. Semplak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 2014 Bahan Produk feromon sintetik diresapkan pada karet septa (diformulasikan oleh BB BIOGEN). Perangkap ber air (water trap) 2,5 l, dan berventilasi dua jendela (1 x 6 cm). Pengujian dilakukan di pertanaman ubi jalar petani di Desa Bantar Kambing,Semplak, Bogor, pada luasan kurang lebih 5 ha, jarak tanam 50 cm x 25 cm, jenis ubi Ace (nama lokal). Perlakuan Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah: A., delapan (8) perangkap berferomon sintetik per hektar B. Enam belas (16) perangkap berferomon sintetik per hektar, C. Dua puluh empat (24) perangkap berferomon sintetik per hektar, D. Tiga puluh dua (32) perangkap berferomon sintetik per hektar, E. Enam belas(16) perangkap tidak berferomon per hektar (kontrol), Ulangan. Luas masing-masing petak perlakuan adalah ± 0,2 ha. Jumlah ulangan yang digunakan adalah 5 ulangan (blok). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Denah penempatan perlakuan secara acak adalah sebagai berikut 127 Blok I Blok II Blok III Blok IV Blok V A E C B A E C B C D B D A E E D B E A B C A D D C Pemilihan Lokasi Dalam satu hamparan pertanaman ubi jalar ditempatkan 5 perlakuan, masing-masing perlakuan ± 0,2 ha. Antar jarak perlakuan minimal 50 meter, antar ulangan (blok) minimal 100 meter. Pertanaman ubi jalar adalah pertanaman petani, jarak tanam 50 x 25 cm, varietas Ace (nama lokal). Pemasangan Perangkap ber-Feromon Perangkap dibuat dari stoples plastik (2,5l) (Gb.1) dengan dua jendela kiri dan kanan berukuran 1 x 6 cm. Di dalam perangkap dipasang 1 umpan feromon sintetik yang digantungkan dekat ujung atas tutup perangkap. Perangkap digantungkan pada tiang kayu/bambu yang panjangnya 0,75 meter, sebagian batang bambu ditancapkan pada tanah, sehingga posisi perangkap 0,25 m di atas permukaan tanaman Pengamatan Pengamatan dilakukan 5 hari sekali, dengan menghitung jumlah kumbang yang terperangkap di dalam perangkap, kemudian kumbang dikeluarkan dari perangkap (dikumpulkan). Kumbang yang telah diamati direndam dalam alkohol. Setelah pengamatan maka alat perangkap dipasang kembali pada tempatnya. Analisa data Analisa data jumlah kumbang yang tertangkap dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%. Kriteria efikasi Jumlah kumbang/imago yang tertangkap di masing-masing perlakuan, dibandingkan dengan kontrol negatif (tanpa feromon). Perlakuan perangkap berferomon dikatakan efektif apabila pada sekurang-kurangnya (1/2 n + 1) kali pengamatan (n = jumlah total pengamatan), jumlah tangkapan kumbang/imago pada perlakuan ber-feromon berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol (perangkap tidak berferomon) pada taraf 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Perangkap berferomon disiapkan seperti pada Gambar 1. Untuk mempercepat serangga tenggelam dan mati maka digunakan larutan air sabun (5 g/liter air), dan sebanyak 200 ml ditambahkan ke dalam perangkap. Perangkap berferomon digantungkan pada tiang bamboo, kurang lebih 25 cm diatas permukaan tanah, atau dasar perangkap menyentuh kanopi tanaman ubi jalar. 128 A Gambar 1. B A. Bentuk perangkap berair dan posisi pada tanaman ubi jalar. B. Bangkai kumbang Cylas formicarius hasil tangkapan perangkap Pengamatan pertama dilakukan 5 hari setelah pemasangan, hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 1. Pada pengamatan pertama jumlah kumbang tertangkap berkisar antara 492 – 653 ekor per perlakuan, dan sangat berbeda nyata dengan kontrol (tanpa umpan feromon). Disini terlihat bahwa dengan kepadatan 8 perangkap/ha jumlah yang tertangkap relatif paling banyak, tidak berbeda nyata dengan 24 atau 32 perangkap/ha. Ini bisa terjadi, karena populasi C. formicarius di lapangan sangat berlimpah, daya jangkau feromon cukup luas, sehingga kumbang C. formicarius tetap bisa merunut dan datang keperangkap. Jumlah total yang tertangkap pada pengamatan pertama mencapai 11.000-an ekor kumbang jantan. Tabel 1. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-1. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I II 684 485 559 696 0 Ulangan III 505 673 429 396 480 788 440 570 0 0 IV 799 687 507 391 0 V 602 461 508 461 0 Rerata 652,6a 491,6b 568,4ab 511,6ab 0,0c Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Hasil tangkapan pada pengamatan kedua dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil tangkapan rerata berkisar antara 543-802 ekor per perlakuan, paling tinggi didapatkan pada perlakuan dengan jumlah perangkap terbanyak. Sedangkan pada kontrol tidak didapatkan kumbang C. formicarius yang masuk. Jumlah kumbang jantan yang tertangkap mencapai 13.500-an ekor, meningkat dibandingkan dengan hasil tangkapan sebelumnya. 129 Tabel 2. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-2. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I II 532 536 687 884 0 Ulangan III 489 751 579 694 698 954 694 979 0 0 IV 441 832 567 682 V Rerata 503 543,2c 623 652,8bc 664 714,0ab 772 802,2a 0 0 0,0d Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Pada pengamatan yang ke-3, hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 3. Rerata jumlah tangkapan perperlakuan antara 329-552 ekor per perlakuan, terbanyak didapatkan pada perlakuan dengan jumlah perangkap paling banyak (32 perangkap/ha). Tangkapan pada perlakuan dengan 8 perangkap dan 24 perangkap per ha tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan pada kontrol tidak dijumpai kumbang yang masuk. Jumlah total serangga yang tertangkap pada pengamatan ke-3 sebanyak 8.600an ekor, menurun dari pengamatan sebelumnya. Tabel 3. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-3. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I 351 273 416 436 0 Ulangan II III 290 484 249 384 444 630 603 679 0 0 IV 444 429 389 520 V 334 309 407 522 0 0 Rerata 380,6bc 328,8c 457,2b 552,0a 0,0d Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Hasil pengamatan ke-4, dapat dilihat pada Tabel 4. Rerata jumlah tangkapan pada masing-masing perlakuan berkisar antara 163-242 ekor, antar perlakuan tidak ada perbedaan yang nyata. Pada kontrol tidak ada kumbang yang terperangkap. Jumlah kumbang yang terperangkap mencapai 4.200an ekor, juga menurun dibandingkan dengan hasil pengamatan sebelumnya. Tabel 4. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-4. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I 160 136 165 149 0 Ulangan II III 159 281 88 271 156 356 120 457 0 0 IV 352 195 174 270 0 V 176 123 188 212 0 Rerata 225,6a 162,6a 207,8a 241,6a 0,0b Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Hasil pengamatan ke-5 dapat dilihat pada Tabel 5. Rerata jumlah tangkapan berkisar antara 335-615 ekor per perlakuan, sedangkan pada kontrol tidak ada kumbang yang tertangkap. Disini kembali terjadi pada perlakuan dengan kepadatan perangkap terkecil, diperoleh rerata jumlah tangkapan 130 yang paling tinggi seperti pengamatan pertama kali. Peluang terjadinya fluktuasi jumlah tangkapan, dipengaruhi juga oleh sebaran serangga tidak merata, arah angin, posisi trap di lapangan. Jumlah total tangkapan mencapai 9100-an ekor, meningkat dibanding pengamatan sebelumnya. Tabel 5. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-5. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I II 548 257 384 412 0 Ulangan III 513 299 259 372 0 IV V 707 348 510 576 783 467 532 540 525 305 358 425 0 0 0 Rerata 615,2a 335,2c 408,6bc 465,0b 0,0d Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Hasil pengamatan ke-6 kumbang lanas, dapat dilihat pada Tabel 6. Jumlah rerata tangkapan berkisar antara 204-364 ekor per perlakuan, tertinggi didapatkan pada perlakuan dengan kepadatan 32 perangkap/ha. Pada kontrol tidak didapatkan kumbang lanas yang tertangkap. Jumlah kumbang yang tertangkap mencapai 5400-an ekor, menurun dibandingkan dengan hasil tangkapan pengamatan ke5. Tabel 6. Hasil tangkapan kumbang lanas, C. formicarius pada perangkap ber-feromon, pengamatan ke-6. Bogor. Kode A B C D E Perlakuan (Setara /ha) 8 perangkap /ha 16 perangkap/ha 24 perangkap/ha 32 perangkap/ha 16 perangkap tanpa feromon/ha I 282 260 194 318 0 Ulangan II III 170 291 117 125 183 329 324 410 0 0 IV 323 344 361 427 0 V Rerata 216 256,4b 174 204,0b 204 254,2b 344 364,6a 0 0,0c Angka rerata yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Dari hasil-hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa terjadi fluktuasi tangkapan selama pengamatan. Hal ini mungkin terjadi karena lahan pertanaman ubi yang dipakai beragam antar ulangan atau blok, keragaman stadia populasi lanas di lapangan. Ini dapat dilihat pada Gambar 2, fluktuasi hasil tangkapan. Namun secara umum, gambaran fluktuasi tangkapan terjadi pada semua perlakuan. Puncak populasi kedua terjadi pada pengamatan ke-5, ini mungkin terjadi karena generasi tersebut adalah generasi baru yang keluar dari umbi ubi jalar. Selain itu adanya migrasi dari lokasi lain, menurut Sugimoto et al. [5], daya tarik feromon mencapai 50 -60 meter. 131 Populasi Cylas sp. (ekor) A B C D Kontrol Waktu Pengamatan Gambar 2. Fluktuasi tangkapan kumbang Cylas formicarius pada pertanaman ubi jalar. KESIMPULAN 1. Feromon sintetik yang dipasang pada alat perangkap sangat efektif memikat dan memerangkap kumbang lanas, C. formicarius. 2. Dengan 8-32 perangkap berferomon per hektar dapat memberikan hasil tangkapan yang berbeda sangat nyata dibandingkan dengan kontrol. 3. Jumlah perangkap yang efektif dan efisien untuk pengendalian lanas, C. formicarius cukup 8-16 perangkap per hektar. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] Talekar, N.S., R.M. Lai and K.W. Cheng. 1989. Integrated control of sweetpotato weevil at Penghu Island. Plant Prot.Bull. 31: 185-191. Kalshoven L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Rev. P.A. Van Der Lan. PT. Ichtiar Baru. Jakarta. Hwang Jenn Sheng. 1994. Integrated control of sweetpotato weevil, Cylas formicarius Fabricius, with sex pheromone and insecticide. Heath,R.R., J.A. Coffelt, P.E. Sonnett, F.I. Proshold, B.Dueben and J. Tumilson. 1986. Identification of sex pheromone produced by female sweetpotato weevil, Cilas formicarius elegantulus (Summer). J. Chem. Ecol. 12: 1489-1503. Sugimoto T., Y.Sakuratani, O. Setokuchi,T. Kamikado, K. Kiritani and T. Okada. 1994. Estimation of attractive area of pheromone traps and dispersal distance, of male adults of sweetpotato weevil, Cylas formicarius (Fabricius)(Coleoptera,Curculionidae). Appl. Entomol.Zool,29(3):349- 358. 132 C - 06 Evaluasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Tanaman Padi terhadap Hama Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) Dodin Koswanudin1*, I Made Samudra1, Sutoro1 1 * Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor Penulis yang berkorespodensi : [email protected] Abstrak Hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) termasuk serangga hama utama yang sering menimbulkan kerusakan sehingga menurunkan produktivitas tanaman padi. Salah satu upaya dalam menekan serangan hama adalah dengan menggunakan varietas tahan. Dalam perakitan varietas tahan perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya genetik tanaman yang mempunyai sifat ketahanan terhadap hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan sumber daya genetik padi terhadap hama wereng batang coklat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Agustus 2015 di rumah kaca. SDG padi yang dievaluasi sebanyak 100 aksesi padi ditambah kontrol peka (IR-42 dan IR-64) dan kontrol tahan (PTB) dengan 3 ulangan ditanam sebanyak 30 biji/aksesi satu baris dalam bak-bak kayu/plastik dalam media tanah dan pupuk kandang, jarak antar aksesi padi 2,5 cm dilakukan skrining massal di terhadap wereng batang coklat dengan metode seedling test.. Pada umur 15 hari setelah sebar diinfestasi nimfa wereng batang coklat 3-4 ekor/tanaman, selanjutnya tanaman disungkup dengan kurungan plastik milar. Parameter yang diamati adalah tanaman terserang dengan skor 0-9 (standar scoring IRRI 1980 yang disederhanakan INGER 1996). Hasil penelitian diperoleh SDG padi yang tahan terhadap hama wereng batang coklat sebanyak 5 aksesi yaitu Banda Cina (Register 7663), Rambute (Register 8587), Ketan Botol (Register 8611), Ingsa Cendana (Register 9458) dan Padi Darit (Register 19738). Kata kunci: Evaluasi, ketahanan, N. lugens, SDG padi. 133 C - 07 Pengaruh Tekhnik Pengendalian OPT Pada Tanaman Cabai Merah Terhadap Pertumbuhan Tanaman, Perkembangan OPT, Hasil Panen dan Biaya Pengendalian Eti Heni Krestini1, Hersanti1, dan Asma Sembiring1 1 Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 3 Peneliti Balai Penelitian Tanaman Sayuran * Penulis yang berkorespodensi : [email protected] 2 Abstrak Permintaan pasar akan cabai merah dari tahun ketahun terus meningkat, sementara produksi cabai merah sering berfluktuasi karena adanya serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). OPT merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya cabai merah, oleh karena itu berbagai upaya selalu dilakukan petani terutama penggunaan pestisida dengan tujuan untuk menekan perkembangan OPT karena hal ini dapat menghampat pertumbuhan tanaman cabai dan pada akhirnya menghilangkan sebagian hasil panen sehingga secara ekonomi merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Tekhnik Pengendalian OPT (berdasarkan ambang kendali, terjadwal dan cara petani) terhadap hasil panen buah cabai, kandungan residu dan besarnya biaya pengendalian yang dikeluarkan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan diantara masing-masing pengaruh penerapan tekhnik pengendalian OPT terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan OPT tetapi terlihat adanya perbedaan dari efisiensi biaya pengendalian. Pengendalian OPT cara petani memperlihatkan persentase jumlah hasil panen sehat tertinggi walaupun secara ekonomis pengendalian OPT cara petani tidak dapat dikatakan lebih efisien karena peningkatan biayanya jauh lebih besar dari peningkatan produksi buah sehat dan dilihat dari kandungan residu pada buah yang dihasilkan menunjukkan kandungan residu tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kata kunci: Cabai merah, Organisme pengganggu tanaman, tekhnik pengendalian 134 PENDAHULUAN Fenomena adanya perubahan iklim berdampak juga terjadinya perubahan status organisme penggangggu tanaman (OPT), pada tanaman cabai merah ditandai dengan meningkatnya serangan virus kuning, antraknosa, hawar daun, layu bakteri, lalat buah dan ulat penggerek buah yang dapat mengakibatkan kehilangan hasil 25-100% [1]. Salah satu alternatif yang paling banyak dilakuakn petani untuk menanggulangi OPT adalah dengan pestisida. Penggunaan pestisida secara intensif seringkali menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun produk hasil pertanian. Selain itu, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan juga dapat menambah biaya produksi dan menyebabkan terjadinya resistensi OPT. Hasyim et al. [2] melaporkan bahwa, di sentra produksi cabai terdapat lebih dari 60 jenis pestisida yang digunakan petani dengan frekuensi penggunaan berkisar antara 2-3 hari sekali dalam setiap minggu atau sekitar 35-50% dari total biaya produksi. Penggunaan pestisida secara intensif ini seringkali menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun produk hasil pertanian. Selain itu, penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dapat menambah biaya produksi dan menyebabkan resistensi OPT. Diperlukan upaya untuk mengurangi dampak negatif penggunaan bahan kimia dan perubahan iklim terhadap sumberdaya dan sistem produksi cabai merah serta terhadap sosial ekonomi petani. Untuk menyiapkan antisipasinya, perlu diterapkan dan disiapkan berbagai teknologi yang dapat diaplikasikan dipetani, salah satunya adalah konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan pilihan yang tepat untuk menjawab persoalan dampak negatif penggunaan pestisida yang berlebihan sebab pada dasarnya PHT bertujuan untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang tinggi, kerusakan ekononomi yang diakibatkan OPT rendah, serta kualitas dan keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Menurut Hasyim et al. [2], PHT adalah upaya perlindungan tanaman yang memadukan beberapa cara pengendalian melalui pendekatan yang lebih mengutamakan peran agroekosistem, pendekatan ini mencakup teknik sistem pertanian, seperti tumpang sari (intercropping), penggunaan tanaman perangkap, varietas tahan, dan biopestisida. Berdasarkan konsepsi PHT, pestisida hanya digunakan kalau memang benar-benar diperlukan (sesuai dengan hasil pengamatan egroekosistem). Selain itu, penggunaannya harus berhati-hati dan sekecil mungkin gangguannya terhadap lingkungan. Secara umum, penggunaan pestisida harus mengikuti lima kaidah yaitu tepat sasaran, jenis, waktu, dosis/konsentrasi dan cara penggunaannya. The International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics (ICRISAT) [3] menyebutkan beberapa komponen teknologi PHT yang dapat terapkan pada budidaya cabai adalah dilakukannya treatment pada benih,manajement pengendalian pada waktu pembenihan, pemakaian tanaman perangkap seperti tagetes dan jagung, penggunaan pupuk hayati seperti trichoderma, biopestisida dan management pengendalian pada hama dan penyakit secara spesifik sesuai dengan jenis dan keberadaan OPT Petani cabai merah belum sepenuhnya dapat menerapkan PHT meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan PHT sebagai dasar perlindungan tanaman sebab pada praktiknya petani masih mengkhawatirkan terjadinya gagal panen sehingga penggunaan pestisida kimia masih terus dilakukan. Besarnya modal yang dikeluarkan petani dalam budidaya cabai merah menjadi salah satu pendorong petani cabai melakukan penyemprotan secara terjadwal 2-3 kali seminggu, persentase petani yang melakukan penyemprotan secara terjadwal berkisar antara 57,14-64,29% 135 [4]. Adiyoga (2007) melaporkan bahwa dalam satu musim tanam, para petani menggunakan pestisida sebanyak 21 kali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan Tekhnik Pengendalian OPT (berdasarkan ambang kendali, terjadwal (selasa dan jumat) dan cara petani (tiga hari sekali) terhadap persentase buah sakit dan sehat pada hasil panen buah cabai dan besarnya biaya pengendalian yang dikeluarkan. MATERIAL DAN METODA Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai varietas CB1, pupuk kompos, pupuk NPK (16:16:16) dan pestisida. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapang, dengan penerapan tekhnik pengendalian OPT yang berbeda yaitu (berdasarkan ambang kendali, terjadwal setiap senin / jumat dan cara petani) semua perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak lima kali. Penelitian dilakukan dengan cara mengamati jenis dan frekuensi pestisida, menghitung persentase anatara buah yang sakit dan sehat, perkembangan OPT kemudian menghitung estimasi biaya pengendalian pada masing-masing tekhnik pengendalian. Pengamatan terhadap perkembangan OPT dan persentase buah sehat/sakit dilakukan terhadap sepuluh tanaman contoh pada tiap perlakuan yang ditetapkan dengan cara acak sistematis. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman (Tinggi Tanaman dan Lebar Kanopi) Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan cabai merah selama penelitian berlangsung disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel tersebut terlihat pertumbuhan tanaman antara perlakuan pada 10 MST relatif seragam dengan kisaran tinggi tanaman pada akhir pengamatan 48,09-52,41cm dengan nilai tertinggi pada perlakuan 1, sedangkan untuk lebar kanopi pada akhir pengamatan berkisar antara 29,16-32,43 cm dengan nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan ke-2. Hasil dari penelitian ini terlihat perlakuan pengendalian yang diuji tidak mempengaruhi pertumbuhan akhir tanaman cabai. Hal senada juga dilaporkan Setiawati [5] yang menyebutkan pertumbuhan tanaman cabai pada beberapa perlakuan PHT yang diujikan pada 12 MST menunjukkan pertumbuhan yang relatif seragam walaupun pada awal pertumbuhan menunjukkan ukuran tinggi dan lebar kanopi berbeda. Tabel 1. Pertumbuhan tanaman cabai Perlakuan Tinggi tanaman Lebar kanopi MST (cm) MST (cm) 2 6 10 2 6 10 1 23,54 30,62 52,41 7,26 19,89 31,41 2 25,72 27,66 48,09 7,45 21,13 32,43 3 24,11 26,85 50,62 8,26 23,15 29,16 Perkembangan Organisme Penganggu Tanaman (OPT) pada Buah Cabai OPT merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan kehilangan hasil pada budidaya cabai. Jenis dan persentase OPT yang menyerang buah cabai selama penelitian berlangsung disajikan pada tabel 2. OPT penting yang menyerang cabai merah antara lain lalat buah (Bactrochera sp), 136 ulat Spodoptera litura dan penyakit antraknosa (Colletotrichum sp). Persentase masing-masing serangan OPT berbeda pada masing-masing perlakuan yang diuji. Persentase buah terserang OPT berkisar antara 18,93-23,49%. Persentase serangan OPT terkecil ditunjukkan oleh perlakuan petani sedangkan untuk kedua perlakuan lainnya tidak terlalu jauh beda yaitu berkisar 23%. Tabel 2. Persentase intensitas serangan masing-masing OPT pada buah cabai Teknik Pengendalian Lalat Buah S. litura Antraknosa Abiotik Sehat Ambang kendali 9,43 7,89 4,54 1,59 76,55 Terjadwal 9,44 6,05 5,56 2,44 76,51 Kebiasaan petani 9,2 3,81 5,52 0,4 81,07 Pada perlakuan 1 dengan teknik pengendalian berdasarkan ambang kendali dan perlakuan pengendalian secara terjadwal persentase lalat buah menduduki serangan tertinggi kemudian serangan S. litura, antraknosa dan sisanya disebatkan oleh faktor abiotik (cuaca panas). Sedangkan untuk perlakuan pengendalian kebiasaan petani lalat buah di urutan pertama tertinggi, kedua antraknosa dan ketiga S. litura. Secara umum perkembangan OPT pada ketiga tekhnik pengendalian tidak menunjukkan adanya perbedaan dari jenis dan intensitas serangan OPT artinya tekhnik pengendalian dengan menggunakan ambang kendali hasilnya tidak lebih jelek dari cara pengendalian terjadwal atau kebiasaan petani. Tabel 3. Jenis dan frekuensi masing-masing pestisida selama penelitian Bahan Aktif/ Jenis Pestisida Propineb Imidaklorofid Abamektin Klorpirifos Fungisida Insektisida Insektisida Insektisida Difenokonasol Fungisida Kandungan residu pestisida pada buah cabai Perlakuan Pengendalian Kebiasaan Terjadwal Ambang Petani Kendali 35 30 17 8 8 4 4 4 2 10 10 5 4 0,036 4 0,01 4 0,01 Daftar jenis pestisida dan frekuensi masing-masing perlakuan pengendalian disajikan pada tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat selama penelitian ini dilaksanakan ada lima macam bahan aktif yang digunakan dengan frekuensi masing-masing bahan aktif beragam. Pada semua perlakuan terlihat propineb merupakan fungisida yang paling sering digunakan, sedangkan insektisida klorpinifos menepati urutan kedua, kemudian imidaklorofid, abamektin dan yang terakhir fungisida difenokonasol. Persentase kandungan residu pestisida pada buah cabai antar perlakuan menunjukkan adanya perbedaan nilai dimana perlakuan penyemprotan yang dilakukan oleh petani menunjukkan nilai residu pestisida yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. 137 Tabel 4. Perbandingan biaya pengendalian selama penelitian Perlakuan Biaya pengendalian per plot (Rp) Efisiensi biaya pengendalian Ambang Kendali 165,360 47,43% Terjadwal 294,720 6,29% Kebiasaan Petani 314,520 - Pada tabel 4 terlihat perbandingan biaya masing-masing tekhnik pengendalian yang digunakan, pengendalian yang biasa dilakukan petani dengan frekuensi penyemprotan 2-3 hari sekali membutuhkan biaya yang lebih besar dari pada pengendalian terjadwal dan berdasarkan ambang kendali. Tekhnik pengendalian terjadwal dapat mengurangi biaya pengendalian sampai 6,29% sedangkan pengendalian dengan menggunakan ambang kendali lebih efisien sebesar 47,43% dibandingkan dengan pengendalian cara petani. KESIMPULAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya perbedaan diantara masing-masing pengaruh penerapan tekhnik pengendalian OPT terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan OPT tetapi terlihat adanya perbedaan dari efisiensi biaya pengendalian. Pengendalian OPT cara petani memperlihatkan persentase jumlah hasil panen sehat tertinggi walaupun secara ekonomis pengendalian OPT cara petani tidak dapat dikatakan lebih efisien karena peningkatan biayanya jauh lebih besar dari peningkatan produksi buah sehat dan dilihat dari kandungan residu pada buah yang dihasilkan menunjukkan kandungan residu tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] Setiawati, W, R. Sutarya, K. Sumiarta, A. Kamandadu, I.B. Suryawan, E. Latifah & Luther, dkk. 2011. Incidence and severity of pest and disease on vegetables inrelation to climate change. Prosiding Seminar nasional hortikultura Indonesia. Balitsalembang. Hasyim, A., W. Setiawati., dan L. Lukman.2015 Inovasi teknologi pengendalian OPT ramah lingkungan pada cabai: upaya alternatif menuju ekosistem harmonis. Pengembangan Inovasi Pertanian 8 (1): 1-10. ICRISAT. 2011. Integrated Pest Managemn Of Chilli, Tomatto and Onion. The International Crops Research Institute Sulistiyono, L, R.C. Tarumingkeng, B. Sanim, Dadang. 2012. Kajian Penggunaan Pestisida pada Budidaya Tanaman Syuran oleh Petani SLPHT dan Non SLPHT di Provinsi Jawa Timur.Agri-tek. 13(1):82-93. Setiawati, W, N. Sumarni, Y. Koesandriyani, A. Hasym, TS Uhan, R. Sutarya.2013. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Cabai Merah untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim. J. Hort. 23(2) : 174-183. 138 C - 08 Pengaruh Ekstrak Pule Pandak (Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz) Terhadap Hama Ulat Penggerek Buah (Helicoverpa armigera Hubner) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L) Varietas COSMOS Dikayani, Yosi Saeful Mikdar, dan Suryaman Birnadi 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz dengan nama lokal pule pandak mengandung senyawa aktif yang berpotensi sebagai bioinsektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak Pule pandak (Rauwolfia serpentina) terhadap hama ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera) pada tanaman cabai merah. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun percobaan Universitas Padjadjaran Ciparanje-Jatinangor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2013. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan faktor utama adalah ekstrak Pule pandak dengan 9 taraf konsentrasi yaitu K0 = tanpa ekstrak pule pandak , K1 = 250ppm, K2 = 500ppm, K3 = 750ppm, K4 = 1000ppm, K5 = 1250, K6 = 1500ppm, K7 = 1750ppm, K8 = 2000ppm. Rancangan ini terdiri dari 9 perlakuan dengan 5 kali ulangan. Pengujian lanjut dilakukan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektrak pule pandak berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas ulat penggerek buah (Helicoverpa armigera) namun tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan akibat serangan ulat penggerek buah (Helicoperva armigera). Perlakuan ekstrak pule pandak yang optimum adalah ekstrak pule pandak dengan konsentrasi 2000 ppm dengan tingkat kematian ulat penggerek buah Helicoperva armigera rata rata sekitar 88%. Kata kunci: Capsicum annuum L., Helicoverpa armigera, Rauwolfia serpentina Benth ex Kurz. 139 PENDAHULUAN Tanaman cabai merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan tidak mengenal musim. Pemenuhan kebutuhan akan tanaman cabai tersebut harus terpenuhi kapan saja. Tingginya minat dan permintaan pasar tehadap tanaman cabai sedikit banyak akan mempengaruhi pendapatan para petani, sehingga kesejahteraan petani mampu meningkat. Namun permasalahan utama dalam budidaya cabai adalah tingkat produktivitasnya, serangan hama penyakit kerap menjadi masalah utama yang mengakibatkan kurangnya hasil panen tanaman cabai. Usaha peningkatan produksi tanaman cabe seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik. Salah satu hama yang sering menyerang tanaman cabai adalah ulat buah (Helicoverpa armigera Hubner). Hama ulat penggerek buah merupakan salah satu hama penting pada tanaman cabai merah. Kehilangan hasil karena serangan hama tersebut dapat mencapai 60% [1]. Kerusakan yang terjadi selama ini disebabkan oleh ulah manusia sendiri, sebagai contoh penggunaan bahan-bahan kimia yang berbahaya sebagai penanggulangan hama pada tanaman. Penerapan di bidang pertanian ternyata tidak semua insektisida mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 persen pestisida mengenai sasaran, sedangkan 80 persen lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu insektisida tersebut mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Insektisida alternatif yang efektif, dapat mengurangi pencemaran lingkungan, dan harganya relatif murah. Salah satu alternatif yang mempunyai prospek untuk dikembangkan ialah dengan memanfaatkan berbagai senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuhan [2]. Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, steroid dan tannin yang bersifat sebagai larvasida dan insektisida [3]. Tanaman yang mempunyai kandungan alkaloid salah satunya adalah tanaman pule pandak. Pule pandak mempunyai kadar kandungan alkaloid yang berbeda menurut bagian tumbuhan, umur, masa pertumbuhan (generatif dan vegetatif), teknik perbanyakan serta kondisi tempat tumbuh. Akar pule pandak yang sering digunakan juga memiliki kandungan alkaloid yang berbedabeda, berkisar 0,8-1,5 % bahkan kadang-kadang bisa mencapai 2,5 %. Pule pandak mengandung reserpine yang kadarnya dalam akar mencapai 0,04-0,09 % [4]. Berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa, H. armigera resisten terhadap insektisida dari golongan piretroid sintetik, oragnofosfat, dan karbamat [1]. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang intensif agar tidak terjadi serangan. Penanganan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip pengendalian hama penyakit terpadu dan ramah lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mempelajari pengaruh konsentrasi ekstrak pule pandak (Rauwolfia serpentine Benth ex Kurz) terhadap hama ulat penggerek buah (H. armigera Hubner) dan hasil tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) varietas cosmos. 2. Menetapkan konsentrasi ekstrak pule pandak (R. serpentine Benth ex Kurz) yang optimum untuk menurunkan intensitas serangan hama ulat penggerek buah (H. armigera Hubner) pada tanaman cabai merah (C. annuum L.) varietas cosmos. 140 BAHAN DAN METODA Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Benih tanaman cabai merah (C. annum L.) varietas cosmos, ekstrak pule pandak, tanah lapisan top soil, biakan H. armigera, Aseton, pupuk. Alat yang digunakan yaitu sekop, polybag ukuran 30 cm x 40 cm, jaring kasa/inseknet, meteran, timbangan, timbangan analitik, hand sprayer, ajir, tali rapia, label, tabung ukur Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode eksperimental (percobaan). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dan 5 kali ulangan. Faktornya yaitu konsentrasi ekstrak pule pandak dengan 9 taraf konsentrasi yaitu: k0 = tanpa ekstrak pule pandak k1 = konsentrasi ekstrak pule pandak 250 ppm k2 = konsentrasi ekstrak pule pandak 500 ppm k3 = konsentrasi ekstrak pule pandak 750 ppm k4 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1000 ppm k5 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1250 ppm k6 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1500 ppm k7 = konsentrasi ekstrak pule pandak 1750 ppm k8 = konsentrasi ekstrak pule pandak 2000 ppm HASIL DAN PEMBAHASAN Mortalitas (%). Mortalitas hama merupakan tingkat kematian hama sasaran dalam hal ini hama ulat penggerek buah. Pengamatan Mortalitas hama dilakukan pada saat satu hari setelah hama di introduksikan pada tanaman cabai umur 63 HST pengamatan dilakukan setiap 2 hari. Berdasarkaan hasil analisis statistik tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh ekstrak pule pandak sangat berpengaruh nyata terhadap mortalitas atau tingkat kematian dari hama ulat H. armigera. Adapun pengaruh ekstrak pule pandak terhadap mortalitas hama H. armigera terlihat pada Tabel 1. Perlakuan ekstrak pule pandak 2000 ppm tertinggi yaitu 9.36%. Konsentrasi tinggi yang diberikan menyebabkan larva tidak dapat berkembang dengan sempurna, akibat keracunan yang disebabkan oleh senyawa-senyawa toksik yang merusak jaringan saraf, seperti senyawa alkaloid sehingga menghambat proses larva menjadi pupa. Stadia pupa merupakan masa yang tidak aktif, namun proses metamorfosis pupa tetap berjalan, dengan demikian untuk membentuk pupa sangat tergantung pada makanan yang dikonsumsi pada waktu stadia larva [5]. 141 Tabel 1. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap mortalitas ulat Helicoverpa armigera pada umur tanaman cabai (75 HST). Mortalitas K0 0 ppm K1 250 ppm K2 500 ppm K3 750 ppm K4 1000 ppm K5 1250 ppm K6 1500 ppm K7 1750 ppm K8 2000 ppm Perlakuan 1.47 ab 0.71 a 2.60 ab 4.01 cd 7.53 ef 5.43 de 6.80 ef 8.05 f 9.36 g Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada arah vertikal berbeda tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 %. Intensitas Serangan (%). Ulat H. armigera di introduksikan pada tanaman cabai umur 63 HST dan serangan hama ini mulai terlihat pada tanaman cabai umur 64 HST. Pengamatan dilakukan seminggu kemudian pada tanaman cabai umur 69 HST. Intensitas serangan dihitung dengan cara mengamati buah yang terserang dengan ciri atau gejala serangan buah cabai yang berlubang dan membusuk. Pengaruh pemberian ekstrak pule pandak terhadap Intensitas Serangan H. armigera disajikan pada tabel Hasil analisis statistik menunjukkan pengaruh ekstrak pule pandak terhadap intensitas serangan tidak berbeda nyata terhadap kontrol secara statistik. Ekstrak pule pandak memiliki dampak sebagai penghambat pertumbuhan serangga sehingga tingkat intensitas serangan tidak dapat secara langsung ditekan karena sifat zat alkaloid dalam pule pandak berfungsi sebagai penghambat dan tidak mematikan hama secara langsung [6]. Tabel 2. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap Intensitas Serangan ulat Helicoverpa armigera pada pada umur tanaman cabai (69 HST) Perlakuan K0 0 ppm K1 250 ppm K2 500 ppm K3 750 ppm K4 1000 ppm K5 1250 ppm K6 1500 ppm K7 1750 ppm Intensitas serangan (5) 7.34 a 5.10 a 6.45 a 5.78 a 5.16 a 5.85 a 2.49 a 4.40 a K8 2000 ppm 5.29 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 % 142 Keparahan Serangan (%). Intensitas Serangan hama H.armigera merupakan persentasi jumlah buah yang terserang hama dari total buah yang diamati. Sementara keparahan serangan merupakan persentasi tingkat kerusakan dari tanaman yang terserang oleh H. armigera. Keparahan Serangan ini dapat dijelaskan dengan cara membagi kisaran dari gejala terendah (tidak ada gejala sama sekali) hingga gejala tertinggi (gejala paling parah) ke dalam kategori-kategori tertentu. Pengamatan keparahan serangan dilakukan pada umur tanaman cabai berumur 70 HST seminggu setelah dilakukan pengintroduksian dengan cara menghitung buah yang terserang. Pengamatan ini berlangsung selama 2 minggu selama hama ulat penggerek buah melakukan satu kali siklus hidup. Tabel 3. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap keparahan serangan ulat Helicoverpa armigera pada umur tanaman cabai (69 HST). Perlakuan K0 0 ppm K1 250 ppm K2 500 ppm K3 750 ppm K4 1000 ppm K5 1250 ppm K6 1500 ppm K7 1750 ppm K8 2000 ppm Keparahan serangan 6.92 a 4.02 a 5.79 a 4.91 a 4.11 a 5.17 a 1.72 a 3.65 a 3.84 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 % Ekstrak pule pandak memiliki dampak sebagai penghambat pertumbuhan serangga sehingga tingkat intensitas serangan tidak dapat secara langsung ditekan karena sifat zat alkaloid dalam pule pandak berfungsi sebagai penghambat dan tidak mematikan hama secara langsung [5]. Bobot Basah Buah (gram). . Penghitungan bobot basah buah dilakukan pada saat tanaman cabai memasuki umur 90 HST atau pada masa panen pertama. Pengaruh ekstrak pule pandak tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah buah seperti yang disajikan pada tabel 4. 143 Tabel 4. Pengaruh Pemberian ekstrak Pule pandak terhadap Bobot Basah buah cabai merah pada umur tanaman cabai (90HST). Perlakuan K0 0 ppm K1 250 ppm K2 500 ppm K3 750 ppm K4 1000 ppm K5 1250 ppm K6 1500 ppm K7 1750 ppm K8 2000 ppm Bobot basah buah 4.43 a 2.72 a 2.53 a 3.10 a 4.44 a 4.44 a 3.09 a 3.03 a 3.66 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada arah vertikal bepengaruh tidak nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5 % Gejala serangan H. armigera menyebabkan buah berlubang dan buah menjadi busuk kemudian jatuh ke tanah,sehingga produksi hasil tanaman cabai merah menurun dan buah cabai yang terkena serangan hama ulat penggerek buah ini menjadi tidak laku dipasaran KESIMPULAN Ekstrak Pule pandak berpengaruh sangat nyata terhadap mortalitas hama ulat penggerek buah H. armigera tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan serangan Hama Ulat Penggerek Buah H. armigera dan tidak berpengaruh nyata terhadap Hasil buah Cabai Merah (C. annum L) varietas Cosmos. Perlakuan ekstrak pule pandak konsentrasi 2000 ppm mempunyai pengaruh yang optimum terhadap mortalitas hama ulat penggerek buah H. armigera dengan tingkat kematian tertinggi rata–rata sekitar 88%. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] Hasyim,A,W. Setiawati, R. Murtiningsih, dan E, Sofiari.2010. Efikasi dan Persistensi Minyak Serai Sebagai Biopestisida Terhadap Helicoverpa armigera hubn.(lepidoptera : nocyuidae). Jurnal Penelitian Horrtikultura. Subiyakto.2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi pengembangannya. ISSN: 14128004. Sukorini, Henik.2003. Pengaruh Pestisida Organik Dan Interval Penyemprotan Terhadap Hama Plutella Xylostella Pada Budidaya Tanaman Kubis Organik. Jurnal penelitian. Wibawa, Ikrar Teguh. 2006. Pengaruh Pemberian Pil Kb Yang Mengandung Hormon Sintetik Etinilestradiol Dan Norgestrel Terhadap Pertumbuhan Bibit Pule Pandak (Rauvolfia serpentine Benth.). Skripsi IPB. Subiakto, S. 2002. Pestisida Nabati. Pembuatan & Pemanfaatan. Balai Penelitian Tanaman Hortikultura. Lembang. Kumar,Arvind. kuldeep Sharma dan M.A. Khan.2008. effect of Sarpgandha (Rauwolfia serpentina) Leaf extract on Development of Spilarctia obliqua. Journal. 144 C - 09 Insektisida Nabati Bengkuang dan Tembakau dalam Pengendalian Preventif Hama Daun Kedelai Kurnia Paramita Sari1, Suharsono1, Sri Wahyuningsih1, Suntono1 1 * Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Hama kedelai di Indonesia dilaporkan banyak jumlah dan jenisnya. Salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan dengan aplikasi insektisida nabati. Bengkuang dan tembakau berpotensi dijadikan sebagai insektisida nabati. Tujuan penelitian adalah mengetahui efektifitas insektisida nabati bengkuang dan tembakau terhadap hama kedelai. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balitkabi pada tahun 2013. Rancangan percobaan menggunakan rancangan faktorial, faktor I adalah jenis pestisida (nabati dan bengkuang), faktor II adalah konsentrasi pestisida (0; 0,1%; 0,2%; 0,4%; 0,8%). Jenis hama daun yang ditemukan adalah belalang, kutu kebul, ulat daun dan lalat bibit. Populasi paling tinggi diseluruh tanaman adalah belalang dan kutu kebul. Besarnya intensitas serangan hama daun dan kutu kebul tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Akan tetapi terjadi penurunan populasi kutu kebul. Hal ini membuktikan bahwa insektisida nabati tidak bekerja secara langsung setelah diaplikasikan akan tetapi perlahan-lahan mengurangi populasi hama. Penggunaan insektisida nabati lebih ditekankan untuk pengendalian preventif. Kata kunci: Glycine max, pestisida nabati, hama daun, pengendalian preventif. 145 PENDAHULUAN Hama kedelai di Indonesia dilaporkan banyak jenis dan jumlahnya, dan dikelompokkan menjadi hama daun dan hama polong. Pengendalian hama yang umum dilakukan adalah dengan penggunaan insektisida kimia. Penggunaan pestisida yang berlebihan berdampak negatif pada lingkungan dan manusia. Seiring bertambahnya kebutuhan manusia tentang kesehatan, beberapa dekade terakhir telah dikenal penggunaan pestisida nabati. Feinstein [1] melaporkan lebih dari 2000 spesies dari 170 famili mempunyai kandungan insektisida, sedangkan Grainge et al. [2] mensinyalir terdapat lebih dari 1000 spp. Tumbuhan yang mengandung insektisida diperkirakan lebih dari 380 spp. Rincian lebih lanjut menunjukkan yang mengandung pencegah makan (antifeedant) adalah lebih dari 35 spp, mengandung akarisida lebih dari 270 spp, mengandung zat penolak (repellent) adalah lebih dari 30 spp yang mengandung zat penghambat pertumbuhan. Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae. Bengkuang merupakan tumbuhan yang termasuk dalam suku polong-polongan (fabaceae). Biji bengkuang dapat digunakan sebagai pembasmi serangga karena mengandung rotenone dan bersifat racun tinggi [3]. Semua bagian tanaman bengkuang kecuali umbi mengandung rotenon, berdasarkan bobot kering rotenon pada batang adalah 0,03%, daun 0,11%, polong 0,02%, dan biji 0,66% [4]. Kandungan rotenon murni pada biji yang telah masak berkisar 0,5-1,0% [5]. Pada biji kandungan rotenonnya paling tinggi, sehingga biji sering digunakan untuk memberantas hama yang dikenal dengan insektisida nabati bengkuang. Tembakau merupakan salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Kandungan daun tembakau yaitu nicotin sebagai racun pada serangga [6]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas insektisida nabati bengkuang dan tembakau terhadap hama kedelai. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan di screen house pada musim kemarau 2013. Adapun tahap penelitian terdiri dari: Persiapan ekstrak daun biji bengkuang dan daun tembakau Biji bengkuang di rendam dengan menggunakan heksana dengan perbandingan 1:10 (w/v) selama 24 jam, sedangkan daun tembakau kering direndam dengan menggunakan etanol dengan perbandingan 1:10 (w/v). Ekstrak tersebut selanjutnya disaring berulang-ulang sampai mendapatkan hasil saringan yang jernih, kemudian pelarutnya diuapkan dengan rotary evaporator. Tahap penelitian Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok faktorial 2 faktor (jenis dan konsentrasi pestisida nabati), yang diulang sebanyak tiga kali. Jenis pestisida nabati menggunakan bengkuang dan tembakau. Faktor dua merupakan konsentrasi terdiri dari: 0; 0,1; 0,2; 0,4; 0,8%. Kedelai varietas Anjasmoro ditanam dalam polybag berkapasitas 10 kg sebanyak 3-4 biji/polybag, pemupukan dilakukan bersamaan tanam dengan menggunakan 2 g urea, 1 g SP-36, dan 2,5 g/pot 146 KCl. Pemeliharaan tanaman meliputi pengairan yang dilakukan sesuai kondisi tanah dan juga penjarangan yang dilakukan pada umur 14 HST. Penyiangan gulma dilakukan pada 21 dan 28 HST. Aplikasi insektisida nabati (bengkuang dan tembakau) pada umur 21 HST hingga 2 minggu sebelum panen. Variabel pengamatan meliputi jenis hama daun, populasi hama daun, intensitas serangan hama daun, dan hasil panen. HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis hama yang banyak ditemukan adalah belalang, kutu kebul, ulat daun, dan lalat bibit. Hama belalang dan kutu kebul selalu ditemukan disetiap rumpun kedelai baik pada pengamatan 25, 35, dan 45 HST. Ulat daun mulai ditemukan pada 35 HST dan 45 HST, sedangkan lalat bibit hanya ditemukan pada umur 35 HST (Tabel 1). Tabel 1. Jenis hama dan predator yang ditemukan pada rumpun kedelai (Malang, 2013). Perlakuan Belalang Bengkuang 0 Bengkuang 0,1% Bengkuang 0,2% Bengkuang 0,4% Bengkuang 0,8% Bengkuang 0,1% Tembakau 0 Tembakau 0,1% Tembakau 0,2% Tembakau 0,4% Tembakau 0,8% 25 35 45 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Jenis hama/Predator Kutu kebul Coccinella Ulat daun Umur tanaman (HST) 25 35 45 25 35 45 25 35 45 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Lalat bibit 25 35 v 45 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v Keterangan : tanda Ñ´ menun ukkan adanya populasi hama. Dari beberapa hasil pengamatan yang tertera pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa tidak ditemukannya hama daun pada beberapa perlakuan pestisida nabati dipengaruhi oleh fungsi pestisida nabati yaitu sebagai anti makan (antifeedant) dan sebagai penolak (repellent). Senyawa pestisida yang terkandung didalam bahan menempel pada dinding permukaan daun, sehingga dapat dirasakan oleh hama yang ada. Disisi lain, bila tetap ditemukan adanya hama hal itu disebabkan karena pengaruh persentase repelensi. 147 Tabel 2. Intensitas serangan belalang pada umur 35 dan 45 hst (Malang, 2013) No Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bengkuang 0 Bengkuang 0,1% Bengkuang 0,2% Bengkuang 0,4% Bengkuang 0,8% Tembakau 0 Tembakau 0,1% Tembakau 0,2% Tembakau 0,4% Tembakau 0,8% P Value Intensitas serangan pada…HST % 35 45 1,53 1,61 ab 1,03 1,71 ab 1,48 2,15 a 1,01 1,43 b 1,01 1,46 b 0,19 0,19 c 1,22 2,14 a 1,38 2,20 a 0,71 1,22 b 1,24 1,58 ab ns 0,25 0,0001** Intensitas serangan belalang pada 35 HST tidak berbeda setiap perlakuan baik kontrol maupun perlakuan insektisida. Intensitas belalang pada 45 HST, pada perlakuan bengkuang tidak berbeda baik pada kontrol maupun aplikasi dengan insektisida. Pada perlakuan tembakau, intensitas terendah justru terletak pada kontrol (Tabel 2). Hal ini dapat dipengaruhi oleh tidak ditangkapnya signal oleh belalang. Pemilihan inang oleh serangga dipengaruhi signal dari tanaman. Aplikasi insektisida nabati bengkuang dan tembakau belum dapat mengurangi besarnya kerusakan yang diakibatkan oleh hama daun (belalang). Hal itu dapat dipengaruhi oleh terurainya kandungan senyawa kimia bahan nabati yang menempel didaun, sehingga tidak terjadi penolakan. Presentase repelensi dipengaruhi oleh konsentrasi dan lama pemaparan [7]. Tabel 3. Intensitas serangan kutu kebul pada umur 35 dan 45 HST, (Malang, 2013) No Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bengkuang 0 Bengkuang 0,1% Bengkuang 0,2% Bengkuang 0,4% Bengkuang 0,8% Tembakau 0 Tembakau 0,1% Tembakau 0,2% Tembakau 0,4% Tembakau 0,8% P Value Intensitas serangan pada…HST % 35 45 1,93 a 1,76 1,85 a 1,36 1,43 a 1,14 1,50 a 1,89 1,69 a 1,85 0,27 b 0,21 2,04 a 1,12 1,39 a 1,23 1,41 a 2,02 1,47 a 1,68 ** 0,0001 0,42ns Intensitas serangan kutu kebul 35 HST pada perlakuan bengkuang tidak berbeda setiap perlakuan (baik pada aplikasi bengkuang maupun kontrol). Untuk aplikasi dengan menggunakan tembakau, intensitas serangan terendah pada kontrol tembakau (0,27%) (Tabel 3). Pada 40 HST 148 intensitas serangan kutu kebul tidak berbeda baik pada aplikasi bengkuang maupun tembakau. Secara keseluruhan rata-rata intensitas serangan kutu kebul menurun dari pengamatan sebelumnya. Penurunan intensitas serangan kutu kebul dapat dipengaruhi oleh penurunan populasi kutu kebul. Penurunan jumlah populasi disebabkan karena senyawa kimia rotenone dan nicotin yang menempel pada daun kedelai. Hal ini berarti bahwa aplikasi insektisida nabati tembakau ataupun bengkuang dapat mempengaruhi gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh kutu kebul. Akan tetapi, pengaruh yang ditimbulkan oleh pestisida nabati tidak bisa langsung terlihat sehingga membutuhkan waktu. Dimana salah satu sifat pestisida nabati adalah daya racunnya lambat. Tabel 4. Intensitas serangan ulat daun pada umur 35 dan 45 HST, (Malang,2013) No Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bengkuang 0 Bengkuang 0,1% Bengkuang 0,2% Bengkuang 0,4% Bengkuang 0,8% Tembakau 0 Tembakau 0,1% Tembakau 0,2% Tembakau 0,4% Tembakau 0,8% P Value Intensitas serangan pada…HST % 35 45 0 0,97 ab 0 1,15 ab 0 0,79 b 0 0,90 ab 0 0,78 b 0 0,13 c 0 1,26 a 0 0,84 ab 0 0,89 ab 0 0,86 ab 0,0001** Serangan ulat daun baik ulat grayak maupun ulat jengkal mulai ditemukan pada umur 45 HST. Merujuk pada Tabel 1,populasi ulat grayak dan jengkal mulai umur 35 HST sudah ditemukan, akan tetapi intensitas serangannya baru terihat pada umur 45 HST. Hal ini disebabkan penolakan akibat aroma insektisida nabati yang diaplikasikan. Hal yang sama pada pola sebelumnya, aplikasi bengkuang tidak mempengaruhi besarnya intensitas serangan pada semua perlakuan. Untuk aplikasi tembakau, ditemukan intensitas serangan terendah pada perlakuan kontrol (0,13%) (Tabel 4). Secara umum rata-rata intensitas serangan ulat daun sama antar perlakuan. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh senyawa kimia rotenon dan nicotin yang mengendap di daun sehingga ulat tidak menyukai daun tersebut. Pada perlakuan kontrol serangan tetap rendah. Hal ini dapat dipengaruhi karena adanya percikan pestisida nabati dari perlakuan lain dan juga bau pestisida nabati bengkuang dan tembakau yang menyengat sehingga mempengaruhi larva untuk tidak memilih. Hasil penelitian Ahmed et al. [8] mengungkapkan bahwa aplikasi ekstrak tembakau memberikan hasil yang paling tinggi dalam menekan hama dibandingkan dengan aplikasi ekstrak daun Bara Bishkatali, minyak wijen, dan juga campuran antara minyak wijen, minyak biji mimba serta minyak jarak. Dari pola pengamatan yang ada menunjukkan bahwa efektifitas pertisida nabati bengkuang dan tembakau sama dengan perlakuan kontrol. Hal tersebut dimungkinkan karena sifat dari pestisida nabati yang mudah terurai dan daya kerjanya lambat. Dengan demikian, pestisida 149 nabati lebih tepat digunakan sebagai salah satu pengendalian preventif yang diaplikasikan dalam interval waktu yang dekat. KESIMPULAN 1. Hama daun kedelai ulat grayak, kutu kebul, belalang, dan lalat bibit mulai ditemukan pada umur 25, 35 dan 45 HST 2. Aplikasi insektisida nabati lebih diutamakan untuk pengendalain preventif. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. M. Muchlish Adie yang telah membimbing dalam penulisan karya ilmiah ini serta Suntono, SP yang telah membantu dalam proses penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] Feinstein, L. 1952. Insecticides from plants, In: Insects: The Year Book of Agriculture, U.S. D.A. Washington, D.C. 22-229. Grainge, M., S. Ahmed, W.C. Mitchell, dan J.W Hylin. 1985. Plant Species Reportedly Possessing Pest Control Properties. An EWC/UH Database, Resources System. Institut E.W. Center, Univ. Of Hawaii. Honolulu. 249 hal. Yongkhamcha, B and K. Indrapichate. 2012. Insecticidal efficacy of mintweed, yam bean and celery seed extracts on Aedes aegypti L. International Journal of Agriculture Sciences. Vol. 4 (3): 207-212. Duke, J. A. 1981. Handbook of Legumes of World Economic Importance. Plenum Perss. New York & London. 345 hal. Sorensen, M. 1996. Yam Bean Pachyrhizus DC. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. Isman, M.B. 1997. Neem and others botanical insecticides: Barriers to commercialization. Phytoparasitica 25(4): 339-344. Hasyim, A., w. Setiawati, R. Murtiningsih dan E. Sofiari. 2010. Efikasi dan Presistensi Minyak Serai sebagai Biopestisida terhadap Helicoverpa armigera Hubn. (Lepidoptera: Noctuidae). J. Hort.20(4):377-386. Ahmed, K.N., M. Khatun, S.H.A Pramanik, A. Nargis, N.C. Dey and K.C. Dey. 2006. Effect of Plant Extracts on the Yield of Soybean Crop Under Different Climatic Conditions. Bangladesh J.Sci. Ind. Res 41(1-2):73-76. 150 C - 10 Uji Keberadaan Bakteri Penyebab Penyakit Darah Pada Tubuh Beberapa Serangga Pengunjung Bunga Pisang di Daerah Cigadung, Bandung Maria Marselina Bay1, Fitrallisan1, Masriany1, Tjandra Anggraeni1* 1 * Sekolah Ilmu Tekhnologi Hayati, Institut Tekhnologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Penyakit darah (layu bakteri) pada tanaman pisang yang disebabkan oleh Blood Disease Bacterium (BDB) pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1920 di kepulauan Selayar. Pada tahun 2005, penyakit tanaman pisang ini dinyatakan telah menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia. Percepatan penyebaran penyakit ini ditengarai disebabkan oleh serangga pengunjung bunga pisang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keberadaan bakteri penyebab penyakit darah dari tubuh serangga pengunjung bunga pisang di kebun pisang Cigadung Kota Bandung Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2015. Sampel serangga (serangga dewasa) diambil dari bunga pisang dengan menggunakan jaring serangga dengan metode purpossive sampling, sebanyak tiga kali pengulangan. Isolasi BDB dari tubuh serangga dewasa dilakukan pada bagian dalam dan luar tubuh serangga. Isolasi BDB dilakukan dengan metode pembilasan dan maserasi yang dibiakkan pada medium Tryphenil Tetrazolium Chloride (TTC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga pengunjung bunga pisang di Cigadung terdiri atas ordo Diptera dan Hymenoptera. Isolat bakteri yang diduga BDB dapat diisolasi dari luar tubuh serangga, tetapi dari dalam tubuh serangga tidak ditemukan adanya isolat BDB. Tidak ditemukannya isolat BDB dari dalam tubuh serangga dewasa dapat dikaitkan dengan mekanisme sistem pertahanan tubuh serangga tersebut. Dengan demikian, terkait potensi serangga sebagai vector BDB maka perlu adanya penelitian lanjutan mengenai mekanisme sistem imun serangga terhadap BDB. Kata kunci : Blood Disease Bacterium, serangga pengunjung bunga pisang, penyakit darah tanaman pisang, sistem pertahanan tubuh. 151 PENDAHULUAN Potensi produksi buah pisang di Indonesia memiliki daerah sebaran yang luas dimana hampir seluruh wilayah merupakan daerah penghasil pisang yang ditanam di pekarangan maupun di ladang, dan sebagian sudah ada dalam bentuk perkebunan. Produksi pisang di Indonesia menempati peringkat tertinggi diikuti oleh tanaman buah lainnya, dimana pada tahun 2001 produksi pisang di Indonesia mencapai 4.300.422 ton dengan kontribusi terbesar adalah dari daerah Jawa Barat (1.431.941 ton)[1]. Peningkatan produksi pisang tidak terlepas dari permasalahan teknik budidaya yang belum intensif serta serangan hama dan penyakit pada tanaman pisang. Hama adalah organisme pengganggu dan merusak tanaman serta menyebabkan kerugian ekonomis, sedangkan penyakit adalah proses fisiologi tumbuhan yang terganggu [2]. Penyakit-penyakit yang menyerang tanaman pisang antara lain penyakit layu fusarium dan penyakit darah yang dikenal dengan istilah blood disease, penyakit sigatoka dan penyakit kerdil pisang atau bunchy top. Penyakit darah (Blood Disease) pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1907 di Kepulauan Selayar. Pada tahun 1987 serangan penyakit ini terjadi di Bogor, kemudian menyebar diseluruh pulau Jawa, pulau Sumatera dan Kalimantan. Saat ini umumnya pulau-pulau besar di Indonesia dinyatakan telah terinfeksi dengan penyakit darah pada pisang [3][4]. Perkembangan dan penyebaran penyakit darah tergolong sangat cepat dan diperkirakaan berkisar antara 100km/tahun [5]. Cepat berkembang dan menyebarnya penyakit darah telah diteliti dan dilaporkan bahwa penyebarannya disebabkan oleh serangga-serangga pengunjung bunga [6]. BAHAN DAN METODA Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015-September 2015 di daerah Cigadung, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purpossive sampling. Uji keberadaan bakteri penyakit darah dilakukan di laboratorium Uji Hayati Serangga, Sekolah Ilmu Tekhnologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Pengambilan Sampel Imago Serangga dari Bunga Pisang Penangkapan serangga dari lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan jaring serangga (sweeping net) yang dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00-09.00 WIB) dan pada sore hari (pukul 16.00-17.00 WIB). Isolasi BDB dari bagian tubuh sampel serangga yang mengunjungi bunga pisang BDB diisolasi dengan menggunakan medium Tryphenil Tetrazolium Chloride (TTC) [7]. Isolasi bakteri dilakukan dari imago serangga yang diambil dari lokasi penelitian. Serangga didisinfeksi ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3-5 kali. Isolasi bagian kepala Isolasi bagian luar kepala. Isolasi dilakukan dengan cara memotong bagian kepala imago sampel serangga, kemudian bagian kepala dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit lalu dibilas dengan aquades sebanyak 4-5 kali. Setelah itu sebanyak 0,5 ml air bilasan ditanam pada media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni bakteri penyebab penyakit darah pisang dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam. 152 Isolasi bagian dalam kepala. Kepala serangga didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu dibilas dengan air steril 4-5 kali, kemudian ditiriskan dan digerus sampai hancur lalu ditambahkan air steril 4,5 ml. Hasil gerusan diencerkan (10-1, 10-2, 10-3), kemudian 1 μL masing-masing hasil pengenceran dibiakkan dengan metode tuang pada medium spesifik TTC, diinkubasi pada suhu ruang selama 24-48 jam. Isolasi bagian tubuh Isolasi bagian luar tubuh. Tubuh serangga sampel didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air steril sebanyak 4-5 kali. Air bilasan sebanyak 0,5 ml kemudian ditanam pada medium spesifik TTC menggunakan metode tuang. Isolasi bagian dalam tubuh. Tubuh serangga sampel didisinfeksi dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu dicuci dengan air steril sebanyak 4-5 kali, kemudian ditiriskan dan digerus sampai hancur. Hasil gerusan ditambahkan dengan 4,5 mL air steril. Hasil gerusan kemudian diencerkan (10-1, 10-2, 10-3), kemudian 10 μL masing-masing hasil pengenceran dibiakkan dengan metode tuang pada medium selektif TTC, diinkubasi pada suhu ruang selama 24-48 jam. Isolasi bagian toraks. Isolasi diilakukan dengan cara mengambil bagian toraks dari sampel serangga kemudian dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu sebanyak 0,5 ml air bilasan ditanam pada media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam Isolasi bagian abdomen. Isolasi diilakukan dengan cara mengambil bagian abdomen dari sampel serangga kemudian dicuci dengan Natrium Hipoklorit 1% selama 5 menit. Setelah itu sebanyak 0,5 ml air bilasan ditanam pada media TTC dengan metode tuang. Pengamatan terhadap ciri-ciri koloni BDB dilakukan setelah biakan berumur 24-48 jam HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan sampel serangga pengunjung bunga pisang Pengambilan sampel dilakukan di daerah Cigadung, Jawa Barat menggunakan jaring serangga berhasil memperoleh 3 jenis serangga dari ordo yang berbeda (lihat gambar 1.) Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali bertujuan untuk melihat keanekaragaman seranggga-serangga pengunjung bunga pisang di daerah Cigadung. Hasilnya adalah bahwa tidak banyak serangga yang mengunjungi bunga pisang di daerah tersebut, karena dari tiga kali pengulangan, hanya diperoleh 3 jenis serangga. Dari ketiga jenis serangga tersebut, salah satu spesies yang paling banyak mengunjungi bunga pisang dibandingkan dua spesies lainnya. Gambar 1. Spesies serangga yang diperoleh dari lokasi penelitian Keterangan Gambar : Gambar A : Ischiodon scutellaris [8]; Gambar B : Apis cerana (www.google.co.id) ; Gambar C : Vespa analis [8]. 153 Isolasi BDB dari serangga pengunjung bunga pisang Isolasi sebagai usaha untuk menemukan BDB dilakukan pada bagian tubuh serangga (lihat gambar 2). Karena ukuran tubuh serangga yang tidak terlalu besar dan rentang sayap yang kecil sehingga isolasi tidak dapat dilakukan dari bagian sayap maupun kaki seranggaserangga tersebut. Isolasi dilakukan pada seluruh bagian tubuh, bagian kepala, toraks dan abdomen. Isolasi bagian tubuh Isolasi dari bagian luar tubuh. Isolasi dari permukaan tubuh dilakukan pada salah satu dari ketiga spesies yang diperoleh, karena ukuran tubuh serangga yang terlalu kecil, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan isolasi pada bagian tubuh lainnya seperti kepala, toraks dan abdomen. Hasil isolasi pada bagian luar (permukaan) tubuh serangga menunjukkan hasil yang positif pada salah satu spesies serangga yang diperoleh. Pada bagian permukaan tubuh spesies tersebut ditemukan adanya koloni BDB. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa spesies ini merupakan spesies terbanyak yang mengunjungi bunga pisang pada lokasi penelitian di daerah Cigadung jika dibandingkan dengan dua spesies lainnya yang diperoleh. Keberadaan koloni bakteri pada permukaan tubuhnya disebabkan karena aktivitas serangga yang mengunjungi bunga pisang dari bunga pisang yang sakit ke bunga pisang yang sehat. Isolasi dari dalam tubuh. Pada bagian dalam tubuh serangga ini tidak ditemukan adanya koloni bakteri yang tumbuh pada media TTC yang digunakan. Tidak ditemukannya koloni bakteri pada bagian dalam tubuh serangga ini, dapat dikaitkan dengan mekanisme pertahanan tubuh serangga tersebut. Isolasi dari bagian luar kepala. Isolasi dari bagian kepala, toraks dan abdomen dilakukan pada dua spesies lainnya karena ukuran kedua spesies ini cukup besar. Hasil isolasi dari bagian luar kepala salah satu spesies menunjukan hasil positif, dimana terlihat ada koloni bakteri yang tumbuh pada media yang digunakan. Sedangkan pada spesies lainnya tidak ditemukan adanya koloni bakteri yang tumbuh. Ditemukannya koloni bakteri dari bagian luar kepala mungkin terjadi ketika serangga ini beraktivitas mencari makan dan berpindah dari satu tanaman pisang ke tanaman pisang yang lainnya. Isolasi dari bagian dalam kepala. Hasil isolasi dari bagian dalam kepala dua spesies serangga lainnya menunjukkan hasil negatif, dengan tidak ditemukannya koloni bakteri yang hidup pada media yang digunakan. Tidak ditemukannya isolat bakteri pada bagian dalam kepala dua spesies ini diduga karena bakteri ini tidak ikut terbawa bersama nectar yang dimakan oleh serangga-serangga tersebut. Isolasi dari bagian toraks. Salah satu spesies dari kedua jenis serangga yang diisolasi pada bagian toraks menunjukkan hasil positif, dengan ditemukannya koloni bakteri yang tumbuh pada media pertumbuhan yang digunakan. Sedangkan spesies lainnya menunjukkan hasil negatif, karena tidak ada isolat bakteri yang hidup pada media pertumbuhannya. Ditemukannya isolat bakteri pada bagian toraks salah satu serangga, diduga karena aktifitas serangga tersebut yang mengunjungi bunga pisang yang sakit kemudian berpindah ke bunga pisang yang sehat. Penting untuk diketahui bahwa seringkali tanaman yang terinfeksi masih tampak normal dari luar, daun-daun masih hijau dan buah kelihatan berkembang normal [9]. Isolasi dari bagian luar abdomen. Isolasi pada abdomen dari dua serangga menunjukkan hasil negatif, dimana tidak ditemukannya koloni bakteri pada media pertumbuhan. Hal ini mungkin 154 disebabkan karena hanya bagian kepala dari serangga ini yang bersentuhan dengan bunga pisang saat mengambil nektar, sehingga propagul bakteri tidak melekat atau berpindah ke bagian abdomen dari serangga ini. Hasil isolat bakteri yang diperoleh dari bagian permukaan tubuh, bagian luar kepala serta toraks serangga-serangga ini, mungkin terjadi karena ketika mencari makan pada bunga tanaman pisang yang sakit, propagul bakteri ini melekat pada bagian-bagian tubuh tersebut. Ciri yang dapat dilihat pada patogen bakteri hasil isolasi adalah mirip dengan patogen BDB dimana bentuk koloni bulat, tidak fluidal, pinggiran koloninya jelas dan bening, berwarna merah terang dan ada koloni yang berwarna merah muda. Ciri lainnya adalah koloninya agak lengket, sehingga agak sulit ketika diambil dengan jarum ose [10]. Menurut Tinzara et al (2006) dalam Mairawita et al. [11], serangga pada saat mencari makan akan terkontaminasi bakteri dan membawa bahan makanan yang mengandung propagul bakteri. Serangga mengisap cairan oose dari pelukaan akibat gugurnya bunga jantan atau seludang tanaman. Namun hasil isolasi yang dilakukan pada serangga-serangga yang diperoleh dari lokasi menunjukkan bahwa tidak ada isolat bakteri yang ditemukan dari dalam tubuh. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada propagul bakteri yang ikut terbawa bersama cairan yang diambil atau dapat juga dikaitkan dengan sistem pertahanan tubuh serangga sendiri. Sebagai reaksi terhadap adanya benda asing yang masuk, serangga akan mengaktifkan bentuk pertahanan tubuhnya yang meliputi respon pertahanan selular dan humoral. Karena aktifnya kedua respon pertahanan ini sehingga hasil isolasi yang dilakukan tidak menemukan isolat bakteri dalam tubuh serangga-serangga tersebut. Namun untuk memastikan hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai respon pertahanan tubuh seranggaserangga yang diduga vector penyakit darah pisang (Blood Disease Bacterium). Gambar 2. Hasil isolasi BDB dari bagian tubuh serangga-serangga pengunjung bunga Keterangan gambar : Gambar A : koloni bakteri hasil isolasi dari permukaan tubuh, gambar B : koloni bakteri hasil isolasi dari bagian luar kepala, gambar C : koloni bakteri hasil isolasi dari bagian toraks Table 1. Hasil isolasi BDB dari imago serangga-serangga pengunjung bunga pisang Sampel Spesies 1 Sumber isolasi Imago spesies 1 Spesies 2 Imago spesies 2 Spesies 3 Imago spesies 3 Bagian yang diisolasi Permukaan tubuh Dalam tubuh Bagian luar kepala Bagian dalam kepala Bagian toraks Bagian abdomen Bagian luar kepala Bagian dalam kepala Bagian toraks Bagian abdomen 155 Keberadaan BDB + + + - DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] Prabawati, S., Suyanti & Dondy A. Setyabudi. 2008. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan BUAH PISANG. Jakarta. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.. Rodiya, M. 2013. Karakterisasi Morfologi Tanaman Pisang (Musa paradisiaca L) di Kabupaten Agam. Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa Padang.. Supriadi. 2005. Present Status of Blood Disease in Indonesia. In C. Allen. P.Prior.A.C.Hayward.Eds. Bacterial Wilt Disease and The Ralstonia Solanacearum Species complex : St. Paul. APS Press p. 395-404. Hermanto, C., Sutanto, A., Jum unidang, Edison, H.S. Daniels, J.W., O’Neil, W.T. Sinohin, V.G.O, Molina, A.B., Taylor, P. 2011. Incident and distribution of fusarium wilt disease of banana in Indonesia, ISHS Acta Hort. Vol. 897, pp. 313-322. S.J.Eden-Green. 1994. Musa Disease fact Sheet No. 3. BANANA BLOOD DISEASE. INIBAP.,(3), 3-4 Setyobudi, L, Hermanto, C. 2010. Rehabilitation of Cooking Banana Farms : Base Line Status of Banana Disease Bacterium (BDB) Distribution in Sumatera. Advancing Banana and Plantain R dan D in Asia and The Pacific, 10 : 117-120. Baharuddin B. 1994. Pathological, biochemical and serological characterization of the blood disease bacterium affecting banana and plantain (Musa sp.) in Indonesia. Goettingen: Cuvillier Verlag. Zahra, A.A. 2015. Beberapa Faktor Penentu Keanekaragaman Serangga Pengunjung Perbungaan Pisang Nangka (Musa paradisiaca) di Subang, Jawa Barat. Program Studi Biologi Sekolah Ilmu dan Teknologi hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung. Mairawita, Trimurti, H, Nasril, Ahsol H & Nasril N. 2012. Potensi Trigona spp. Sebagai Agen Penyebar Bakteri Ralstonia Solanacearum Phylotipe IV Penyebab Penyakit Darah Pada Tanaman Pisang. J. HPT Tropika, vol 12, No.1 :92-101.. Asrul. 2008. Uji Sensitivitas Koloni BDB (Blood Disease Bacterium) Terhadap Pemberian Bahan Kimia Secara in Vitro. J. Agroland 15 (3) : 198-203. Mairawita, Trimurti H, Ahsol, Nasril N & Susiwati. 2012. Potensi Serangga Pengunjung Bunga Sebagai Vektor Penyakit Darah Bakteri (Ralstonia solanacearum IV) Pada Pisang di Sumatera Barat. Jurnal Entomologi Indonesia Vol. 9 No. 1, 38-4. 156 C - 11 Evaluasi Tingkat Parasitisasi Parasitoid Larva Penggerek Pucuk Tebu Scirpophaga nivella Ferr. (Lepidoptera: Pyralidae) Di Perkebunan Tebu Jatitujuh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat Nenet Susniahti1*, Ceppy Nasahi1, Arie Setiawan2 1 Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, UNPAD Alumni Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UNPAD * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Tanaman tebu (Saccharum officinarum) merupakan komoditas penting di Indonesia yang banyak dibudidayakan di P. Jawa dan P. Sumatera. Scirpophaga nivella, salah satu jenis hama penting yang masih menjadi kendala dalam produksi tebu. Pemanfaatan parasitoid merupakan alternatif yang paling aman untuk mengendalikan hama tersebut. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keberadaan dan peranan parasitoid larva S. nivella di lahan perkebunan tebu PG. Jatitujuh, PT. Rajawali II.Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Entomologi, Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UNPAD, Laboratorium Research and Development PT. Rajawali II, Jatitujuh, Jawa Barat dan di Perkebunan Tebu PG Jatitujuh pada bulan September 2009 sampai bulan Desember 2009. Metode yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel pucuk tebu yang terserang penggerek pucuk dilakukan pada tebu berumur 3 - 6 bulan. Sampel diambil dari 5 lokasi, yaitu : kebun Kidang Kencana Timur, kebun Kidang Kencana Barat, kebun Ranca Bugang, kebun Makam Bujang dan kebun Sumur Dalam Timur.Hasil identifikasi, diperoleh 3 jenis parasitoid larva : Stenobracon nicevillei ( Braconidae), Elasmus zehntneri (Elasmidae) dan Isotima javensis Rohw. (Ichneumonidae). Parasitoid larva yang dominan adalah S. nicevillei. Secara rinci, parasitisasinya adalah: S. nicevillei: 4.76%, E. zehntneri: 3,57%, dan I. javensis 0,48%. Evaluasi berdasarkan peranannya masing-masing, nilainya masih rendah: (0 – 15,48% ), dari potensi parasitisasi secara keseluruhan hanya 8,81%. Kata kunci: S. nivella, parasitoid larva, tanaman tebu 157 PENDAHULUAN Tanaman tebu (Saccharum officinarum)sampai saat ini masih merupakan salah satu komoditas pertanian di Indonesia. Berbagai produk dapat dihasilkan dari tanaman tebu, namun produk utamanya adalah sukrosa yang terkandung sekitar 10% dari tanaman tebu. Sukrosa ini akan diproses untuk pembuatan gula (Kuntohartono & Thijsse, 2009). Dalam perjalanannya, produksi gula nasional cenderung tidak stabil. Pada tahun 1995 produksi gula nasional mencapai 2.14 juta ton, pada tahun berikutnya produksi gula nasional menurun hingga pada tahun 1998 mencapai titik terendah yaitu 1.4 juta ton. Pada tahun 2001 produksinya meningkat kembali menjadi 1.73 ton, pada tahun 2003 menurun menjadi 1,6 juta ton (Widakdo, 2004). Salah satu kendala dalam upaya meningkatkan produksi tebu di Indonesia adalah adanya gangguan hama. Penurunan produksi tebu akibat serangan hama dapat mencapai 10-50%. Salah satu jenis hama yang menyerang tanaman tebu adalah penggerek pucuk tebu Scirpophaga nivella (Lepidoptera : Pyralidae). Kerugian yang diakibatkannya dipengaruhi oleh umur dan varietas tebu. Kerugian akan semakin besar jika tanaman tebu dalam waktu yang bersamaan terserang hama penggerek pucuk dan penggerek batang tebu (Hidayat, 2004). Serangan penggerek pucuk di Indonesia dapat menyebabkan kerusakan hingga 56% dan kehilangan gula sebesar 8.9% (Mujiono, 1990) sehingga dapat menimbulkan kerugian hingga 128.159 ton gula (Hatmosuwarno, 1982 dalam Mahrub dkk., 2000). Cara pengendalian hama penggerek pucuk tebu yang sering dilakukan yaitu secara rogesan. Cara ini biasa dilakukan pada tanaman tebu umur 3-6 bulan yang bertujuan mengambil ulat (larvanya) dengan cara memotong bagian pucuk tebu, sehingga dapat menyelamatkan tanaman tebu lainnya yang belum terserang. Namun, cara rogesan ini memerlukan banyak tenaga kerja. Salah satu alternatif pengendalian lainnya yang aman dan ramah lingkungan adalah pengendalian secara hayati dengan memanfaatkan musuh alaminya berupa parasitoid, predator, dan patogen. Menurut Untung (2006), musuh alami seperti parasitoid, predator telah diketahui sebagai faktor pengatur dan pengendali populasi serangga hama yang efektif. Namun, menurut Gordh & Ellington (2001) dalam Nurindah dkk.( 2001), penggunaan kelompok patogen dan predator di perkebunan tebu belum memberikan hasil yang meyakinkan. Pemanfaatan parasitoid telur Trichogramma sp sudah lama dilaksanakan dalam upaya mengendalikan penggerek pucuk tebu di lahan pertanaman tebu, Jatitujuh. Namun potensi mengendalikan populasi hama penggrek pucuk tebu belum memberikan hasil yang memuaskan dan tingkat serangan penggerek pucukpun masih tinggi. Menurut Karindah dkk. (2002), kondisi seperti ini seringkali terjadi karena adanya kesenjangan waktu antara kehadiran parasitoid di kebun dengan tersedianya lelur serangga inang, dan perbedaan siklus hidup. Perbedaan siklus hidup parasitoid telur, yang lebih pendek daripada siklus hidup penggerek pucuk tebu, menyebabkan terjadinya kesenjangan waktu. Ketika populasi telur penggerek pucuk meningkat, potensi parasitoid telur untuk mengendalikan populasi hama belum dapat diharapkan karena populasinya masih rendah. Oleh karena itu, pada program augmentasi, waktu pelepasannya perlu disesuaikan dengan ketersediaan serangga inang di lapangan. Alternatif lainnya adalah memanfaatkan lebih dari satu jenis parasitoid yang berbeda waktu menyerangnya, yaitu parasitoid larva. Menurut Karindah dkk (2002), penggunaan parasitoid larva dapat mengatasi kesenjangan pada saat telur serangga inang rendah. Evaluasi terhadap keberadaan parasitoid larva penggerek pucuk tebu di lahan tebu, Jatitujuh ini bertujuan untuk 158 menginventarisir jenis-jenis parasitoid larva dan mengetahui tingkat parasitisasi tiap jenis parasitoid larva yang ditemukan di lahan tebu, jatitujuh, kabupaten Majalengka, sehingga diharapkan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam upaya mengendalikan hama penggerek pucuk tebu secara hayati. BAHAN DAN METODA Pengambilan atau pengumpulan parasitoid larva dilakukan dengan cara meroges pucuk tebu yang terserang penggerek pucuk. Pengambilan sampel dilakukan pada tanaman tebu yang berumur 3-6 bulan, karena peluang keberadaan populasi penggerek pucuk tebu pada saat ini cukup tinggi. Pengambilan sampel pucuk tebu diambil dari 5 lokasi yaitu di kebun : Kidang Kencana Timur, Kidang Kencana Barat, Ranca Bugang, Makam Bujang dan Kebun Sumur Dalam Timur, tanpa melihat jenis dan varietas tanaman tebu. Cara pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan yang dianjurkan oleh Samoedi dan Wiriatmodjo (1987) yaitu : tiap lokasi diambil petak percobaan seluas 0,5 ha dan ditentukan 12 titik sampel secara diagonal. Masing-masing tituk sepanjang 6 meter juring tanaman. Penentuan titik sampel dilakukan pada sepanjang kedua diagonal petakpercobaan, jarak antar titik sampel 5 meter. Pengambilan larva penggerek pucuk tebu dilakukan pada tiap titik sampel. Tiap petak percobaan diambil sampel 12 pucuk tebu yang terserang. Selanjutnya, larva penggerek pucuk tersebut dipelihara sampai parasitoid larva muncul atau ngengat penggerek pucuk muncul. Tingkat parasitisasi parsitoid dihitung dengan menggunakan rumus : Tingkat Parasitisasi= x 100% HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan dapat dilihat pada Tabel dibawah ini Tabel 1. Rata-rata Tingkat Paratisisasi parasitoid larva (persen) dan Jenis parasitoid larva yang dominan di kebun PG.Jati Tujuh Kebun Petak Sumur Dalam Timur Makam Bujang Selatan Kidang Kencana Timur Kanca Bugang Kidang Kencana Barat Rata-Rata Jenis dan rata-rata tingkat parasitisasi Parasitoid (%) E. Zehntneri 2,38 2,38 10,71 1,19 1.19 3,57 S.Incertulas 1,19 0,00 1,19 15,48 5,95 4,76 I.Javensis 1,19 0,00 0,00 0,00 1,19 0,48 Total parasitisasi (%) 4,76 2,38 11,9 16,67 8,33 8,81 Kesimpulan : Hasil evaluasi parasitoid larva pada musim tanam 2009/2010 di Perkebunan Tebu PGJati Tujuh adalah 1. Parasitoid larva yang ditemukan adalah E. zehntneri, S. incertulas dan I. javensis 2. Parasitoid larva yang dominan menyerang penggerek pucuk tebu adalah stenobracon nicevillei dengan tingkat paratisasi 4,76 persen 159 C - 12 Pengaruh Tanaman Jagung Berendofit Terhadap Populasi Ostrinia furnacalis Guenee Itji Diana Daud1, Sylvia Sjam1, Juliana Devi Patimasari2 1 Dosen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin, Makassar Mahasiswa Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanuddin, Makassar * Penulis yang berkorespodensi : email: 2 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi hama Ostrinia furnacalis yang menggerek pada jagung berendofit. Sebanyak empat varietas jagung yang digunakan pada pertanaman jagung di Kabupaten Bone Kecamatan Bengo Desa Liliriawang dan di laboratorium Penyakit, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, berlangsung mulai November 2014 sampai Februari 2015. Varietas jagung yang digunakan yaitu varietas Lagaligo, Sukmaraga, Gumarang dan Arjuna. Pengamatan dilakukan sebanyak tujuh kali pengamatan secara sistem diagonal dengan metode pengamatan langsung pada tanaman. Ostrnia furnacalis yang ditemukan pada pertanaman diambil dan dipelihara sampai mati di laboratorium kemudian disterilisasi permukaan dan ditumbuhkan pada media PDA. Hasil isolat larva yang mati kemudian dimurnikan lagi pada media PDA yang baru dan diamati di bawah mikroskop untuk melihat keberadaan cendawan Beauveria bassiana yang menginfeksi larva O. furnacalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata populasi O. furnacalis tertinggi pada varietas jagung Arjuna dan terendah pada varietas Lagaligo, rata-rata larva yang terinfeksi juga tertinggi pada varietas Arjuna sebanyak 75%, Sukmaraga 66,60%, Gumarang 55,50%, dan varietas Lagaligo 63,60%. Untuk rata-rata produksi panenan setelah dikonversi ke hektar varietas Lagaligo sebesar 7,04 ton/ha, varietas Sukmaraga sebesar 5,54 ton/ha, Gumarang 5,12 ton/ha dan varietas Arjuna sebesar 3,84 ton/ha. Kata Kunci: Ostrinia furnacalis, Jagung, Cendawan endofit 160 PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu makanan pokok di Indonesia, selain beras. Dewasa ini dalam perkembangan ekonomi, jagung selain merupakan makanan pokok, juga sebagai bahan baku industri. Seperti bahan baku pembuatan kue dan juga pakan ternak. Oleh karena itu dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan akan produksi jagung akan menjadi meningkat [1]. Sekitar 89% tanaman jagung di Indonesia dikembangkan pada dataran rendah dan lahan kering dengan tingkat kesuburan yang rendah mengakibatkan rendahnya produktivitas jagung. Kendala abiotik banyak disebabkan oleh ketersediaan hara pada tanah, sementara kendala biotik meliputi gangguan yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT) dimana OPT ini terdiri dari gulma, penyakit, dan hama [2]. Salah satu hambatan dalam meningkatkan produksi jagung di Indonesia adalah adanya serangan hama. Ostrnia furnacalis Guenee merupakan salah satu hama utama yang menyerang pada semua fase pertumbuhan tanaman jagung. Serangan yang terjadi pada stadia vegetatif menyebabkan daun dan batang mengalami kerusakan sehingga proses fotosintesis menjadi kurang dan batang menjadi lemah dan patah pada bagian ruasnya [3]. Konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran teknologi PHT adalah : 1) Produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan [4]. Pengendalian menggunakan pestisida bukan satu-satunya cara pengendalian, masih ada alternatif pengendalian hama lainnya. Salah satunya pengendalian secara alami yang lebih ramah lingkungan dan baik bagi kesehatan. Misalnya saja penggunaan cendawan endofit. Cendawan endofit merupakan cendawan yang hidup pada bagian dalam jaringan tanaman sehat tanpa menimbulkan gejala pada tanaman inang. Cendawan ini juga dapat berasosiasi dengan tanaman inang yang bersifat saling menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan endofit mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan tanaman jagung dan mortalitas larva O. furnacalis [5]. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukanlah penelitian dengan udul ”Pengamatan Populasi Ostrinia furnacalis pada Empat Varietas Tanaman Jagung Berendofit”. Empat varietas tanaman agung yang diamati yaitu Arjuna, Lagaligo, Gumarang dan Sukmaraga. TUJUAN DAN KEGUNAAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat populasi O. furnacalis yang menggerek tanaman jagung pada empat varietas jagung berendofit. Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai bahan informasi dan data awal populasi O. furnacalis pada tanaman jagung berendofit setiap varietas jagung 161 METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada pertanaman jagung di lahan petani di Desa Liliriawang, Kecamatan Bengo, Kabupaten Bone dan di laboratorium Penyakit, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, berlangsung mulai November 2014 sampai selesai Metode Pelaksanaan Pengamatan di Lapangan Persiapan Lahan Lahan yang digunakan sebagai tempat penelitian terlebih dahulu dibersihkan dengan cara mencangkul kemudian pada lahan tersebut dibuatkan petak-petak perlakuan dengan ukuran 80 x 5 m sebanyak 20 petak sehingga luas keseluruhan lahan yang digunakan 80 are . Jarak antara petak satu dengan petak yang lainnya adalah 1 m. Benih jagung ditanam pada setiap petak ditanam dengan cara di tugal sedalam 5 cm dan setiap lubang tanam ditanami 2 biji benih dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Penyediaan Benih Berendofit : Benih jagung yang digunakan adalah Arjuna (A), Lagaligo (LAG), Gumarang (GUM) dan Sukmaraga (SUK) yang merupakan F1 Dari benih berendofit. Benih jagung berendofit siap untuk ditanam di lahan petani yang berada di kecamatan Bengo, Kabupaten Bone. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang terdiri dari 4 perlakuan yaitu varietas benih berendofit Arjuna (A), Lagaligo (LAG), Gumarang (GUM) dan Sukmaraga (SUK). Masing-masing varietas ditanam pada lahan seluas 20 are. Setiap varietas dengan luas 20 are terdiri dari 5 ulangan, sehingga pada saat pengamatan populasi larva O. furnacalis dilakukan pada 80 tanaman setiap varietas. Pengamatan dan Parameter Pengamatan Pengamatan dilakukan mulai tanaman berumur 35 hari setelah tanam (hst). Pengamatan berakhir pada umur tanaman 77 hari setelah tanam (hst). Sehingga total keseluruhan pengamatan sebanyak 7 kali pengamatan. Jumlah tanaman yang diamati setiap kali pengamatan sebanyak 80 sampel tanaman setiap varietas. Sehingga jumlah keseluruhan tanaman yang diamati setiap pengamatan 320 tanaman. Pengambilan sampel tanaman dilakukan secara diagonal. Parameter pengamatan yang diamati yaitu: a. Pengamatan populasi O. furnacalis. Pengamatan populasi larva dan pupa dilakukan pada daun dengan adanya bekas gerekan melintang pada daun, rambut tongkol jagung yang masih muda (berwarna hijau pucat), didalam tongkol. Serta rambut tongkol jagung yang sudah tua (berwarna coklat gelap). Larva dan pupa yang berada dalam batang diperiksa dengan cara memotong dan membelah ruas batang secara hati-hati agar tidak merusak tanaman. b. Melakukan pemeliharaan O. furnacalis Larva O. furnacalis yang diambil dari pertanaman jagung kemudian dipelihara dan diberi makan sesuai kebutuhan sampai mati. c. Pengukuran berat bobot biji Melakukan pengukuran berat bobot biji dengan menimbang biji jagung setiap tongkol yang diamati dengan menggunakan timbangan. 162 Pengamatan di Laboratorium Pembuatan Media Potato Dektrosa Agar (PDA) Pada pembuatan media PDA digunakan kentang 200 gr, agar 17 gr, gula 20 gr, dan aquades 1000 ml. Pada tahap pertama kentang dicuci bersih dan dipotong-potong dadu kemudian ditimbang sebanyak 200 gr lalu direbus dengan aquades sebanyak 1000 ml sampai mendidih. Air rebusan kentang disaring lalu diambil airnya dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi gula dan agar-agar yang telah dilarutkan dengan sedikit aquades, tambahkan aquades hingga mencukupi 1000 ml sebagai pengganti volume air yang hilang selama perebusan. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi tambahkan antibiotik clorompenicol 500 mg. Selanjutnya dipanaskan diatas hot plate sambil diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, erlenmeyer kemudian ditutup dengan aluminium foil dan media disterilisasi dengan autoclave selama 2 jam, setelah itu media siap dituang pada cawan petri. Pengujian kematian akibat B. bassiana pada kadaver O. furnacalis. Kadaver O. furnacalis yang telah mati disterilisai permukaan terlebih dahulu. Kadaver direndam di dalam Natrium hyphoclorit (NaOCl) selama 3 menit kemudian dicuci dengan menggunakan aquades steril sebanyak tiga kali selama 1 menit, lalu diletakkan diatas kertas saring. Setelah itu ditumbuhkan pada media PDA. Cendawan yang tumbuh menyelubungi kadaver ditumbuhkan lagi pada media PDA yang baru untuk dimurnikan dan diamati dibawah mikroskop untuk membuktikan keberadaan B. bassiana. Analisis Data Analisis sidik ragam dilakukan pada setiap pengamatan, jika diantara perlakuan menunjukkan perbedaan nyata maka diuji dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Larva dan Pupa O. furnacalis Hasil pengamatan populasi O. furnacalis selama 7 kali pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis Uji BNJ terhadap kepadatan populasi O.furnacalis menunjukkan perbedaan nyata pada umur tanaman 77 HST, sedangkan umur tanaman 35, 42, 49, 56, 63, dan 70 HST menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Tabel 1. Rata- rata populasi O. furnacalis pada berbagai umur tanaman Umur Tanaman 35 42 49 a a Lagaligo 0 0 0a Sukmaraga 0.2a 0.2a 0.2a Gumarang 0.2a 0.2a 0.2a Arjuna 0a 0a 0a BNJ 21 0.61 21 Perlakuan 56 0a 0a 0.2a 0.2a 0.61 63 1a 0.4a 0.4a 0.2a 1.45 70 1a 0.4a 0.6a 1.2a 2.49 77 0a 0.4ab 0.2ab 1.8b 1.71 Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % 163 tidak nyata pada Uji Beda Pada Tabel 1 terlihat bahwa populasi O. furnacalis sudah terdapat pada umur tanaman 35 hari untuk varietas Sukmaraga dan Gumarang sedangkan untuk varietas Lagaligo dan Arjuna belum ditemukan O. furnacalis. Hal ini menunjukkan O. furnacalis hanya memilih tanaman jagung varietas Gumarang dan Sukmaraga sebagai inang. Untung [6] mengemukakan bahwa ada 5 tahap serangga dalam menemukan inangnya, yaitu 1) penemuan habitat, 2) penemuan inang, 3) pengenalan inang, 4) penerimaan inang dan 5) kesesuaian inang. Pada umur tanaman 42-49 hari populasi O. furnacalis masih tetap tidak ditemukan pada varietas Lagaligo dan Arjuna, hanya ditemukan pada varietas Sukmaraga dan Gumarang saja. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor fisiologis dan morfologi dari varietas jagung tersebut. Pada umur 56 hari populasi larva O. furnacalis hanya ditemukan masing-masing satu ekor pada varietas Gumarang dan varietas Arjuna. Jumlah populasi O. furnacalis sangat sedikit padahal menurut [7] seekor imago betina dapat meletakkan telur 251-265 butir. Hal ini disebabkan karena faktor tertentu, diantaranya keberadaan Cecopet (Euborellia annulata) pada pertanaman jagung. Cecopet (E. annulata) merupakan predator larva dan pupa penggerek batang jagung dan predator telur dan larva penggerek tongkol. Telur serangga ini yang baru diletakkan berbentuk oval, mengkilap dan putih. Ukurannya bertambah setiap hari sampai pada hari ke empat sampai dua kali lipat ukurannya dari ukuran semula. Telur yang baru diletakkan berukuran 0,95 mm x 1,55 mm. Sebelum menetas, telur berbentuk mutiara, putih dan tembus cahaya serta perkembangannya menjadi embrio mulai tampak [8]. Pada umur tanaman 63-70 hari terlihat bahwa populasi O. furnacalis menyerang pada empat varietas jagung berendofit dan semakin meningkat pada umur 70 hari. Hal ini disebabkan O. furnacalis menemukan inang yang sesuai dan mendapatkan sumber makanan yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan, sehingga populasi meningkat. Menurut Natawigena [9], faktor lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan tinggi rendahnya populasi hama, salah satunya adalah faktor makanan. Tersedianya makanan dengan kualitas yang cocok akan menyebabkan peningkatan populasi hama dengan cepat. Pada umur tanaman 77 hari populasi O. furnacalis mengalami penurunan. Setelah dianalisis menggunakan Uji lanjut BNJ diperoleh adanya perbedaan nyata pada data tersebut, varietas Sukmaraga dan Gumarang tidak berbeda nyata satu sama lainnya namun berbeda nyata dengan varietas Lagaligo dan Arjuna. Hal tersebut diduga disebabkan karena pada saat itu O. furnacalis masih menemukan inang yang cocok dan sumber makanan masih tersedia. Selain itu peranan B. bassiana yang terdapat dalam jaringan tanaman juga berpotensi dalam menginfeksi O. furnacalis. Sesuai yang dikemukakan McCoy dkk. [10] bahwa cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada seranggaserangga Diptera maupun Hymenoptera. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. 164 Persentase larva terinfeksi B. bassiana Persentase larva O. furnacalis yang terinfeksi cendawan B. bassiana dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Rata-rata persentase larva O. furnacalis yang terinfeksi B. bassiana Perlakuan Rata-rata (%) Lagaligo Sukmaraga 63.6 66.6 Gumarang Arjuna 55.5 75 Berdasarkan hasil yang diperoleh dari isolasi kadaver O. furnacalis yang ditumbuhkan pada media PDA di laboratorium, hasil isolasi larva tersebut kemudian dimurnikan lagi pada media PDA yang baru dan diidentifikasi dengan bantuan mikroskop untuk menunjukkan keberadaan cendawan B.bassiana pada larva O. furnacalis. Diperoleh data persentase rata-rata jumlah larva yang terinfeksi pada varietas Lagaligo sebesar 63,6% dari 11 larva O. furnacalis yang mati, pada varietas Sukmaraga diperoleh rata-rata persentase sebesar 66,6% dari 9 larva yang mati, varietas Gumarang diperoleh persentase sebesar 55,5% dari 9 larva yang mati dan pada varietas Arjuna diperoleh persentase sebesar 75% dari 12 larva yang mati. Gambar 1. Cendawan B.bassiana tumbuh pada permukaan larva O.furnacalis Gambar 2. Hasil reisolasi B.bassiana pada media PDA dari larva O.furnacalis 165 Gambar 3. Penampakan B.bassiana dengan mikroskop pada pembesaran 40X Gambar 1 menunjukkan bahwa larva O. furnacalis yang mati, terlebih dahulu disterilisasi permukaan dengan menggunakan NaOcl dan aquades steril kemudian diletakkan diatas kertas saring dalam cawan petri. Gambar 2 adalah hasil reisolasi dari larva yang diselubungi oleh cendawan B. bassiana pada media PDA yang baru. Sedangkan pada Gambar 3 dapat dilihat penampakan konidia B.bassiana yang diamati dibawah mikroskop pada pembesaran 40X. Konidia B.bassiana terlihat berkumpul di bagian ujung, konidianya bersel satu, berbentuk oval dan agak bulat [11]. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap larva O. furnacalis yang mati karena terinfeksi menunjukkan tubuh larva pada mulanya berwarna coklat kehitaman dan setelah beberapa hari akan ditumbuhi miselium yang berwarna putih seperti tepung. Hal ini sesuai dengan yang telah dikemukakan oleh Tanada dan Kaya [12], bahwa inang yang terserang biasanya berubah warna dan muncul noda-noda hitam pada bagian kutikula sebagai titik infeksi yang pertama yang akhirnya menginfeksi serangga dan mengalami kematian serta tubuhnya akan tertutupi oleh spora jamur menyerupai mummi. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt dkk. [13] menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa [14]. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome dkk. [15] menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperature yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan serangga inang agar terjadi infeksi. Plate [16] juga menyatakan bahwa 166 epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya. 4.3 Berat bobot biji jagung Pengamatan akhir (panen) semua perlakuan menghasilkan berat bobot biji tanaman jagung, akan tetapi terdapat masing-masing perlakuan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3. Rata-rata Berat bobot biji jagung Perlakuan Rata-rata Berat Bobot Rata-rata biji/16 tanaman (kg) Produksi/Hektar (Ton) Lagaligo Sukmaraga Gumarang Arjuna BNJ 3.57a 2.72b 2.67b 1.98c 1.11 7.04 5.54 5.12 3.84 Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % Penimbangan berat bobot biji jagung dilakukan setelah panen di lapangan. Hasil percobaan menunjukkan terdapat perbedaan berat bobot biji pada masing-masing perlakuan. Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil penimbangan rata-rata berat bobot biji yang diperoleh dari empat varietas jagung berendofit. Pada varietas Lagaligo rata-rata berat bobot biji yang diperoleh sebesar 3,57 kg setelah dikonversi 7,04 ton/ha, varietas Sukmaraga sebesar 2,72 kg setelah dikonversi 5,54 ton/ha, varietas Gumarang sebesar 2,67 kg setelah dikonversi 5,12 ton/ha, dan varietas Arjuna diperoleh 1,98 kg setelah dikonversi 3,84 ton/ha. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa Varietas Sukmaraga dan Gumarang tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan varietas Lagaligo dan Arjuna. Hal ini disebabkan karena kurangnya populasi O. furnacalis pada pertanaman sehingga kerusakan yang ditimbulkan tidak mempengaruhi jumlah produksi panenan. Potensi hasil varietas lagaligo memiliki rata-rata hasil 5,5 ton/ha dan potensi hasil hingga 7,5 ton/ha pipilan kering, varietas Sukmaraga ratarata hasil mencapai 6 ton/ha dan potensi hasil 8,5 ton/ha, varietas Gumarang memiliki ratarata hasil 5 ton/ha dan potensi hasil hingga 8 ton/ha pipilan kering, untuk varietas Arjuna memiliki rata-rata hasil 4,3 ton/ha dan potensi hasil hingga 7,5 ton/ha pipilan kering . Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Total rata-rata populasi larva O. furnacalis dari 7 kali pengamatan, pada pengamatan I-IV tetap hanya berkisar 0,4 dan pada pengamatan V rata-rata populasi meningkat menjadi 2,0 kemudian meningkat lagi menjadi 3,2 pada pengamatan VI, tetapi kembali rendah pada pengamatan VII sebesar 2,4. 167 2. Rata-rata persentase larva yang terinfeksi oleh cendawan B. Bassiana pada perlakuan benih endofit yang diamati di laboratorium tertinggi pada varietas Arjuna sebesar 75%, kemudian varietas Sukmaraga 66,6%, varietas Lagaligo 63,6% dan varietas Gumarang 55,5%. 3. Berat bobot biji pada masing-masing varietas yaitu varietas Lagaligo sebesar 7,04 ton/ha, varietas Sukmaraga sebesar 5,54 ton/ha, varietas Gumarang 5,12 ton/ha, pada varietas Gumarang sebesar 3.840 ton/ha dan terendah pada varietas Arjuna sebesar 3,84 ton/ha. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] Subandi, M. Dahlan, dan A. Rifin. 1998. Hasil dan strategi penelitian jagung,sorgum, dan terigu dalam pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. p. 347- 357. Dalam: Inovasi Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Purwono, dan R. Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar swadaya,Jakarta. Kalshoven, L.G.E. 1987. The Pest of Crops in Indonesia. Ichtiar Baru, Jakarta Anonim, 2011. Budidaya Tanaman Jagung (Zea mays L.). Tersedia di http://www.ngambarsari.com/2011/04/budidayatanaman-jagung-zea- mays-l.html. Diakses tanggal 29 Oktober 2014 Esa, M.F. 2015. PENGARUH ENDOFITISME Beauveria bassiana Vuill TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DAN MORTALITAS LARVA Ostrinia furnacalis Gueene. Skripsi Sarjana Universitas Hasanuddin. Untung, K. 1993. Pengantar Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273 hlm. Nonci, N. 2004. Biologi dan musuh alami penggerek batang Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman jagung. Jurnal Litbang Pertanian 23:8-14. Javier P.A. and Morallo Rejesus B., 1991. Selective Toxicity of Insecticide to the Earwig Eauborellia annulata fabricus (Dermaptera: Anisolabididae) Predatory to the Asian Corn Borer Ostrinia furnacalis Guenne. The Philiphine Agriculturist. Natawigena,H. 1990. Pengendalian Hama Terpadu. Amico, Bandung. McCoy, C.W., R.A. Samson, and D.G. Boucias. 1988. Entomogenous Fungi. In: CRC Handbook of Natural Pesticides. Microbial Insecticides, Part A. Entomogenous Protozoa and Fungi (C.M. Ignoffo, ed.). Vol. 5, pp. 151-236. CRC Press, Boca raton, Florida. Barnett, H. L., B. B. Hunter. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi fourth ed. Burgess Publishing Company. Minneopolis. Minnesota. Tanada, Y. and Kaya, H. 1993. Insect pathology. USA, Academic Press, 665 p. Hunt, D.W.A., Borden, J.H., Rahe, J.E., Whitney, H.S. 1984. Nutrient-mediated germination of Beauveria bassiana conidia on the integument of the bark beetle Dendroctonus ponderosae (Coleoptera: Scolytidae). J. Invertebr. Pathol. 44: 304-314. Thomas, K. C., Khachatourians, G. G. & Ingledew, W. M. (1987). Production and properties of Beauveriu bussiunu conidia in submerged culture. Can J Microbiol33, 12-20. Broome J.R, Sikorowski P.P, Norment B.R. 1976. A mechanism of pathogenicity of B. bassiana on larvae of the imported fire ant Solenopsis richteri. J. Invertebr. Pathol. (28): 87-91. Plate, J. 1976. Fungi. Biological Control: A guide to natural enemies in North America. Cornel University.4pp. 168 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia C - 13 Pengaruh Estrak Andropogon Nardus Untuk Menekan Populasi Hama Buah Kakao, Helopeltis sp. dan Phythopthora palmivora di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat Mairawita1, Resti Rahayu1, Nasir Nasir1 1 * Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang Jalan Limau Manis, Padang, 25163 Penulis yang berkorespodensi : email: Abstrak (Extended) Pada tahun 2006 di Pariaman, Wakil Presiden RI telah menetapkan Sumatera Barat (Sumbar) menjadi pusat kawasan pengembangan kakao di Kawasan Indonesia Barat (KIB). Semenjak sekitar 10 tahun terakhir, perkembangan luas tanam kakao di Sumbar dari tahun ke tahun meningkat sangat pesat. Salah satu sentra produksi kakao di Sumbar Padang Pariaman, Pasaman. Walaupun kondisi agroekosistem dan minat masyarakat sangat tinggi, namun kondisi umum usaha tani kakao di Sumbar belum memberikan hasil yang optimal. Hal ini terlihat dari produktivitas kakao yang masih rendah. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya serangan OPT paling ganas yaitu hama penggerek buah kakao (PBK) yang dapat menekan produksi sampai dengan 82,2% disebabkan oleh Conopomorpha cramerella dan patogen busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh Phytophtora. Serangan OPT pada kakao berpotensi untuk meningkat dari waktu ke waktu, karena rendahnya sistem budidaya Good Agricultural Practices (GAP) yang diterapkan. Sampai saat ini, belum ada cara yang efektif yang dapat digunakan petani untuk mengendalikan C. cramerella dan P. palmivora. Inovasi ini sangat berpeluang untuk dikembangakan dalam usaha peningkatan produksi dan kualitas kakao dalam rangka mendukung industri kakao di Sumbar. Sehubungan dengan potensi dan permasalahan kakao di Sumatera Barat seperti yang disebutkan diatas, semenjak beberapa tahun lalu dilakukan berbagai usaha peningkatan kualitas kebun kakao dan produknya. Usaha pengendalian OPT utama seperti PBK dan BBK belum berhasil optimal, karena sebagian besar petani bertindak hanya mengendalikan OPT secara langsung ketika ada serangan atau gejala. Padahal konsep utama pengendalian OPT adalah preventif dan keterpaduan, yang tergabung dalam sistim budidaya yang baik. Kegiatan untuk menopang produksi yang tinggi melalui Good Agricultural Practices (GAP) tidak terimplementasi. Dari aspek budidaya, terlihat dari rendahnya produktivitas yaitu hanya 40-45% dari potensi genetik tanaman kakao yang mampu berproduksi sampai 1,7-2 ton/ha/tahun. Itulah sebabnya dalam program ini, GAP kakao akan diterapkan dibeberapa desa/nagari binaan yang akan dijadikan visitor plot bagi petani kakao lainnya. Salah satu kegiatan iptek yang akan dilakukan dalam GAP ini adalah pengendalian PBK dan BBK dengan biopestisida ekstrak jahe liar A. nardus. Pada penelitian sebelumnya diketahui ekstrak biopestisida ini berhasil menekan serangan OPT utama buah kakao sampai dengan 100% Berbagai uji pendahuluan terhadap efektifitasnya dalam skala kecil dan laboratorium telah dilakukan semenjak tahun 2010. 169 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas biopestisida ekstrak A. nardus di lapangan, terhadap OPT utama kakao tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Stratified Random Sampling dan dilakukan di Kabupaten Padang Pariaman pada kebun binaan seluas + 1 ha. Perlakuan yang diterapkan pada tahun pertama dimodifikasi dengan adanya kombinasi perlakuan dan frekuensi penyemprotan. Perlakuan yang diterapkan adalah penyemprotan 12 ml/L dan 24 ml/L, masing-masing dilakukan dengan dua frekuensi penyemprotan yaitu setiap seminggu sekali dan 15 hari sekali, selain itu diterapkan kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil menunjukkan bahwa serangan Helopeltis sp. dan P. palmivora yang teramati di lapangan mengalami penurunan. Pada minggu ke 12 penurunan serangan Helopeltis sp. dan Phytopthora sp. masing-masing berkisar antara 16,26-36,5% dan 5,5-9,75%, namun secara statistik tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan. Kata kunci : Penggerek Buah Kakao, Busuk Bua Kakao, Helopeltis sp. dan Phytophtora sp, Andropogon nardus 170 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia D - 01 Aktivitas Enzim Amilase, Lipase dan Protease dari Usus Larva Black Soldier Fly (Hermetia illucens) yang diberi Pakan Jerami Padi Ateng Supriyatna1* 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Kemampuan larva lalat Black Soldier (Hermetia illucens) untuk hidup dalam sampah organik, mengindikasikan bahwa larva tersebut dapat memanfaatkan sampah tersebut sebagai pakan dan berperan dalam menguraikan sampah organik. Dalam saluran pencernaannya larva tersebut mengeluarkan enzim pencernaan untuk mengkonversi sampah organik menjadi protein dan lemak tubuh. Aktivitas enzim suatu organisme dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah suhu. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui suhu optimum pada aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease yang diisolasi dari usus larva lalat Black Soldiers (Hermetia illucens) yang diberi pakan jerami padi. Pada penelitian ini metode yang digunakan yaitu metode eksperimental dengan memberikan faktor variasi suhu inkubasi (30, 35, 40, 45, dan 50) 0C. Untuk mengetahui nilai aktivitas enzim diukur dengan menggunakan sepktrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease pada setiap suhu yang berbeda. Aktivitas enzim amilase pada variasi suhu secara berturut-turut yaitu 0,30 U/mL, 0,39 U/mL, 0,42 U/mL, 0,30 U/mL dan 0,28 U/mL. aktivitas enzim lipase secara berturut-turut yaitu 0,22 U/mL, 0,24 U/mL, 0,41 U/mL, 0,32 U/mL, dan 0,21 U/mL, sedangkan aktivitas enzim protease secara berturut-turut yaitu 0,57 U/mL, 0,67 U/mL, 0,87, 0,96 U/mL, dan 0,77 U/mL. aktivitas enzim amilase otptimum pada suhu 40 0C yaitu 0,42 U/mL, enzim lipase optimum pada suhu 40 0C yaitu 0,41 U/mL, sedangkan enzim protease optimum pada suhu 45 0C yaitu 0,96 U/mL. Kata kunci : enzim, amylase, lipase, protease, larva, Black Soldiers Fly 171 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Kemampuan larva Hermetia illucens untuk hdup dalam sampah organik membuka kemungkinan lain, yaitu potensi larva H. illucens untuk menghasilkan enzim amilase, lipase, dan protease. Larva H. illucens banyak ditemukan hidup di tumpukan sampah organik atau pada kotoran hewan ternak. Melihat fenomena tersebut, larva H. illucens diduga mengekskresikan senyawa kimia berupa enzim untuk menghidrolisis substrat yang digunakan sebagai pakannya. Enzim adalah biokatalisator yang berfungsi sebagai katalis dalam proses biologis [1]. Enzim yang dikenal luas penggunaannya adalah enzim amilase, lipase, dan protease yang merupakan enzim hidrolitik pemecah senyawa makromolkul karbohidrat, lemak, dan ptotein. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan “U i Aktivitas Enzim Amilase, Lipase, dan Protease dari Ekstrak Usus Larva Hermetia illucens” untuk mempela ari potensi larva H. illucens sebagai penghasil enzim amilase, lipase, dan protease serta pendegradasi limbah organik. Larva H. illucens memiliki enzim protease, amilase, dan lipase,protease berfungsi mengubah protein menjadi asam amino, amilase mengubah pati menjadi maltosa, dan lipase mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol [2]. Enzim merupakan sekelompok protein yang mengatur dan menjalankan perubahan-perubahan kimia dalam sistem Biologi. Enzim dihasilkan oleh organ-organ pada hewan dan tanaman yang secara katalitik menjalankan berbagai reaksi, seperti hidrolisis, oksidasi, reduksi, isomerasi, adisi, transfer radikal, pemutusan rantai karbon [3]. Secara umum, enzim menghasilkan kecepatan, spesifikasi, dan kedali pengaturan terhadap reaksi dalam tubuh. Enzim berfungsi sebagai katalisator, yaitu senyawa yang meningkatkan kecepatan reaksi kimia [4]. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat dibandingkan ketika reaksi tersebut tidak menggunakan katalis. Seperti katalis lainnya, enzim juga menurunkan atau memeprkecil energi aktivasi suatu reaksi kimia [5]. Dalam raksi tersebut enzim mengubah senyawa yang slanjutnya disebut substrat menjadi suatu senyawa yang baru yaitu produk, namun enzim tidak ikut berubah dalam reaksi tersebut [6]. Setiap enzim memiliki aktivitas maksimum pada suhu tertentu, aktivitas enzim akan semakin meningkat dengan bertambahnya suhu hingga suhu optimum tercapai. Setelah itu kenaikan suhu lebih lanjut akan menyebabkan aktivitas enzim menurun [7]. Amilase dapat diperoleh dari berbagai sumber mikroorganisme, tanaman, dan hewan [8]. Molekul amilum dakan dipercah oleh amilase pada ikatan α-1,4-glikosida dan α-1,6-glikosida [9]. Amilase dibedakan men adi endoamilase dan eksoamilase. Endoamilase umumnya dikenal seagai α-amilase, sedangkan eksoamilase dikenal sebagai β-amilase [3]. Enzim protease mempunyai dua pengertian, yaitu proteinase yang mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen yang lebih sederhana, dan peptidase yang menhdirolisis fragmen polipeptida menjadi asam amino. Enzim proteoitik yang berasal dari mikroorganisme adalah protease yang mengandung proteinase dan peptidase [10]. Enzim lipase adalah enzim yang bekerja untuk menghidrolisis lemak danminyak. Berdasarkan fungsi fisiologisnya enzim lipase mempunyai peranan penting menghidrolisis lemak dan minyak menjadi asam lemak dan gliserol yangdibutuhkan dalam proses metabolisme. Enzim lipase ini dapat memecah ikatan ester pada lemak sehingga menjadi asam lemak dan gliserol [5]. Menurut Yu et al. [11] lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam hidrolisis triasilgliserol (trigliserida) untuk menghasilkan asam lemak rantai panjang dan gliserol Hermetia illucens merupakan salah satu jenis serangga potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan tambahan bagi ikan dan hewan ternak [12][13]. Kandungan protein larva (magot) H. illucens cukup tinggi, 172 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia yaitu sekitar 40%. Oliver [14] melaporkan bahwa larva H. illucens mengandung 42% protein. Sheppard dan Newton [15] juga melaporkan hal yang serupa, bahwa kandungan protein yang tinggi pada larva lalat black soldier dapat digunakan sebagai pakan ternak atau ikan. Hasil lain pada tubuh larva serangga adalah protein. Serangga memiliki kandungan protein tinggi yang dapat dijadikan sebagai suplemen untuk pakan ternak, kandungan proteinnya hampir sama dengan protein pada tepung ikan [16][17]. Larva serangga dapat dijadikan sumber pakan karena memiliki kandungan protein tinggi [18]. Larva atau magot H. illucens sangat potensial digunakan sebagai sumber protein pengganti pada pakan ikan dan ternak lainnya. Menurut Hem [19] dalam penelitiannya di Republik Guinea, dimana biaya pelet ikan dan bahan seperti tepung ikan, minyak ikan, kedelai sangat tinggi sehingga menjadi kendala untuk pengembangan akuakultur. Pemanfaatan larva H. illucens sebagai sumber protein alternatif berhasil mengatasi masalah tersebut [19]. Pakan ikan alternatif ini bisa didapatkan dengan harga yang relatif murah dan efisien. Larva atau magot memiliki kandungan protein mencapai 42%, lemak 35%, dan kadar air hanya 8% [15].Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengukur aktivitas enzim amilase, lipase, dan protease yang diisolasi dari usus larva H.illucens, dan 2) mengetahui suhu optimum enzim amilase, lipase, dan protease yang dihasilkan dari ekstrak usus larva H.illucens. BAHAN DAN METODA Ekstrak usus larva H.illucens Bahan utama yang digunakan adalah larva H.illucens dari daerah Cibiru Bandung. Bahan kimia yang digunakan meliputi bahan proses ekstraksi dan bahan kimia untuk uji aktivitas amilase, lipase, dan protease. Parameter yang diuji adalah suhu inkubasi pada lima taraf (30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC). Sebanyak 200 ekor larva dibedah pada bagian dorsal dengan membuat sayatan membujur dari kepala hingga anus, kemudian ususnya dipisahkan dan disimpan dalam pelarut buffer posfat (PBS) pH 7,2 dalam suhu 4oC. Usus larva divorteks selama ±1 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dengan mikropipet 1 ml yang digunakan sebagai ekstrak enzim kasar untuk dilakukan uji aktivitas enzim amilase, lipase dan protease. Uji Aktivitas Amilase Sebelum uji aktivitas amilase dilakukan, terlebih dahulu membuat kurva standar glukosa. Larutan glukosa 1000 g/ml sebanyak 100 ml, diencerkan menjadi berbagai konsentrasi dari 100-600 g/ml. Tiap konsentrasi dimasukkan kedalam tabung reaksi masing-masing 1 ml kemudian ditambahkan reagen DNS 1,5 ml dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 menit, lalu didinginkan dengan air mengalir, kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan spetrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.Uji amilase dilakukan dengan menambahkan amilum 1% sebanyak 1 ml pada ekstrak enzim kasar sebanyak 1 ml, kemudian diinkubasi pada variasi suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C selama 10 menit. Aktivitas enzim dihentikan dengan menambahkan 2 ml DNS, kemdian diinkubasi pada suhu 37oC selama 5 menit. Aktivitas amilase ditentukan dengan mengukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Uji Aktivitas Lipase Penentuan aktivitas lipase, terlebih dahulu dilkaukan pengukuran kurva standar. Kurva standar dibuat dengan menggunakan beberapa variasi konsentrasi asam oleat. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi 31,68 ; 63,38 ; 95,04 ; 126,72 ; 158,84 (x 10 -2 M). Variasi konsentrasi tersebut dibuat dengan menggunakan larutan standar asam oleat 3,168 M, larutan tersebut diambil sebannyak 1; 2; 3; 173 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 4; 5 mL lalu diencerkan dengan Heksana sampai 10 mL. Campuran selanjutnya diambil 4 mL dan ditambahkan reagen tembaga (II) asetat 1 mL diaduk 1 menit. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotomter pada panjang gelombang 715 nm. Penentuan aktivitas lipase dilakukan dengan menggunakan metode Kwon dan Rhee [20], yaitu substrat yang digunakan dalam metode ini adalah minyak zaitun. Minyak zaitun sebanyak 1 mL, ditambahkan dengan 1 mL buffer fosfat pH 7,2 dan 1 mL larutan enzim. Campuran ini di vortes selama 10 menit dan selanjutnya diinkubasi pada waterbath selama 20 menit. Selanjutnya campuran ditambahkan larutan 1 mL HCl 6N dan 5 mL heksana. Campuran selanjutnya dikocok kuat dengan menggunakan voteks tube dan lapisan atas diambil sebanyak 4 mL, kemudian ditambahkan 1 mL reagen tembaga (II) asetat dan diaduk 1 menit. Campuran diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 715 nm. Aktivitas lipase diukur pada suhu inkubasi yang bervariasi yaitu 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC dengan menggunakan inkubator, dan masing-masing variasi diperlakukan sama seperti penentuan aktivitas yang sebelumnya [20][21]. Untuk larutan blangko dibuat sesuai dengan prosedur untuk sampel, tanpa penambahan larutan enzim karena larutan enzim diganti dengan menggunakan aquades. Uji Aktivitas Protease Pengukuran aktivitas protease dilakukan berdasarkan metode Bergmeyer [22]. Sebanyak 1 mL larutan 2% kasein dicampur dengan 1 mL buffer borat (0,01 M) pH 8,0, 0,20 mL asam khlorida 0,05 M dan 0,20 mL ekstrak enzim protease (ekstrak usus larva Hermetia illucens) yang akan ditetapkan aktivitasnya. Kemudian diinkubasi pada watterbath dengan variasi suhu yang ditetapkan yaitu : yaitu 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC selama 10 menit, lalu ditambahkan 2 mL asam trikhloroasetat (TCA) 0,1 M,kemudian diinkubasi selama 10 menit lalu lakukan sentrifugasi. Bagian filtrat 1,5 mL dicampur dengan 5 mL dinatrium karbonat 0,4 M dan pereaksi Folin Ciocalteu’s 1ml dan biarkan selama 20 menit kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kasar usus larva mempunyai aktivitas enzim amilase, protease, dan lipase pada suhu yang berbeda. Amilase memiliki aktivitas pada suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C, secara berturut-turut yaitu 0,12 unit/mL, 0.13 unit/mL, 0.30 unit/mL, 0.27 unit/mL, dan 0.13 unit/mL (Gambar 1), aktivitas enzim amilase optimum pada suhu 40oC dengan aktivitas enzim 0,30 unit/mL. Aktivitas enzim lipase pada suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C secara berturut-turut yaitu 0,44526 unit/mL, 0,6789 unit/mL, 0,8248 unit/mL, 0,5758 unit/mL, dan 0,5758 unit/mL (Gambar 2), aktivitas lipase optimum pada suhu 40°C yaitu 0,8248 unit/mL. Aktivitas enzim protease pada suhu 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, dan 50°C, secara berturut-turut yaitu 0,0516 unit/mL, 0,1088 unit/mL, 0,1713 unit/mL, 0,1855 unit/mL, dan 0,1463 unit/mL (Gambar 3), aktivitas protease optimum pada suhu 45°C yaitu 0,1855 unit/mL. 174 Aktivitas Enzim Amilase (U/mL) Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.30 0.2 0.15 0.1 30 0.42 0.39 0.30 35 40 0.28 45 50 Suhu (°C) Gambar 1. Aktivitas enzim amilase ekstrak usus larva Hermetia illucens 0.5 aktivitas Enzim Lipase (Unit/mL) 0.4 0.41 0.3 0.2 0.32 0.24 0.22 0.21 0.1 0 30 35 40 Suhu (°C) 45 50 Aktivitas enzim (U/mL) Gambar 2. Aktivitas enzim lipase ekstrak usus larva Hermetia illucens 1.2 1 0.8 0.87 0.6 0.4 0.57 0.96 0.77 0.67 0.2 0 30 35 40 45 50 suhu (°C) Gambar 3. Aktivitas enzim protease ekstrak usus larva Hermetia illucens Berdasarkan grafik di atas, suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim amilase, lipase dan protease. Aktivitas enzim amilase dari ekastrak usus larva H. illucens yang diinkubasi pada variasi suhu 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu 0,30 U/mL, 0,39 U/mL, 0,42 U/mL, 0,30 U/mL, 0,28 U/mL. Pada suhu 40oC enzim amilase mencapai suhu optimum untuk menghidrolisis substrat dengan nilai aktivitas mencapai 0,42 U/mL. Aktivitas enzim lipase dari ekstrak usus larva H. illucens yang diinkubasi pada varisi suhu 30oC, 35oC, 40oC , 45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu 0,22 U/mL, 0,24 U/mL, 0,41 U/mL, 0,32 U/mL dan 0,21 U/mL. Pada suhu 40 oC enzim lipase mencapai suhu optimum untuk menghidrolisis substrat dengan nilai aktivitas mencapai 0,41 U/mL. Aktivitas enzim proteasae dari ekstrak usus larva H. illucens yang diinkubasi pada variasi suhu 30oC, 35oC, 40oC, 45oC, dan 50oC secara berturut-turut yaitu 0,57 U/mL, 0,67 U/mL, 0,87 U/mL, 0,96 U/mL, 0,77 U/mL. Pada suhu 45oC enzim protease mencapai suhu optimum untuk menghidrolisis substrat dengan nilai aktivitas 0,96 U/mL. 175 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Pada suhu rendah aktivitas enzim amilase tidak optimal karena energi yang diserap oleh enzim tersebut tidak cukup menghidrolisis substrat sehingga nilai aktivitas enzim tersebut menjadi rendah. Sedangkan ketika suhu terlalu tinggi, enzim akan mengalami denaturasi yaitu terganggunya bagian aktif enzim sehingga kecepatan reaksinyapun menurun [5]. Menurut Sebayang [23], struktur tertier enzim yang terdiri dari ikatan hidrofobik jika menyerap energi tinggi akan terjadi pemutusan dan mengakibatkan terjadinya pembukaan struktur tertier sehingga konformasi enzim berubah dan menyebabkan aktivitasnya menurun. Penurunan aktivitas enzim setelah suhu optimum terjadi karena pada suhu yang paling tinggi dari suhu optimum, protein dapat terdenaturasi, selain itu substrat juga dapat mengalami perubahan konformasi sehingga dalam memasuki sisi aktif tidak seleluasa seperti pada keadaan suhu optimumnya dan menyebabkan aktivitas enzim berkurang [1]. Peningkatan suhu sebelum tercapainya suhu optimum akan meningkatkan laju reaksi katalitik enzim karena meningkatnya energi kinetik molekul-mlekul yang bereaksi. Sebaliknya, suhu dinaikkan sesudah suhu optimum kompleks enzim-substrat yang melampau energi aktivasi terlalu besar, sehingga memecah ikatan sekunder pada konformasi enzim dan sisi aktifnya. Hal ini mengakibatkan enzim terdenaturasi dan kehilangan sifat katalitiknya [24]. Aktivitas enzim pada serangga secara umum adalh sekitar 35-45oC, di bawah 35oC, aktivitas enzim pada serangga akan sangat lambat dikarenakan kurangnya energi untuk terjadinya reaksi, sedangkan jika di atas suhu 50oC, enzim akan terdenaturasi dengan cepat. Hal ini bergantung pada batas toleransi suhu serangga untuk bertahan hidup dan perilaku termoregulasinya [25]. Pada serangga pentatomid, Cyclopelta siccifolia, aktivitas optimum amilase pada ususnya adalah 35oC [26], sedangkan pada larva kumbang kelapa Rhynchophorus phoenicic [27], dan larva kumbang, kolanut, Sophrorhinus insperatus [28], aktivitas enzim amilase tertinggi adalah pada suhu 45oC Dalam hal ini, larva H. illucens dipelihara pada media dengan kisaran suhu 33-38oC, dengan usia aktif makan hingga 28 hari. Suhu dan kualitas media pertumbuhan berpengaruh terhadap waktu perkembangan larva. Tomberlin [29], menyatakan bahwa larva H. illucens dengan media pertumbuhan gandum pada suhu 3036oC, perkembangan larva mencapai 18-25,9 hari. Rachmawati [30], larva H. illucens yang diperlihara pada media PKM (Palm Kernel Meal), perkembangan larva mencapai 19 hari. Usia larva pada penelitian ini sedikit lebih lama dibandingkan dengan penelitian di atas. Hal tersebut diduga nutrisi yang terdapat pada jerami padi lebih rendah dari PKM dan gandum, sehingga perkembangan larva lebih lama. Namun pada penelitian ini telah membuktikan bahwa larva H. illucens dapat mengkonsumsi bahan organik, salah satunya adalah jerami padi. KESIMPULAN Enzim amilase, lipase, dan protease dari ekstrak kasar usus larva Hermetia illucens yang diberi pakan jerami padi, memiliki nilai aktivitas yang berbeda pada variasi suhu (30, 35, 40, 45, 50) . Aktivitas enzim amilase optimum pada suhu 40 yaitu 0,42 U/mL, Aktivitas enzim lipase optimum pada suhu 40 yaitu 0,41 U/mL, sedangkan Aktivitas enzim protease optimum pada suhu 45 yaitu 0,96 U/mL. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] Lehninger, A.L., 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid1. Erlangga, Jakarta Kim, W., Bae, S., Park, K., Lee, S., Choi, W., Han, S., Koh, Y., 2011. Biochemical Characterization Of Digestive Enzymes In The Black Soldier Fly, Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae). Journal of Asia Pasific Entomology. Vol 14. Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran. EGC. 176 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] Marks, D.B.A.D., Marks, C.M., Smith. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Poedjiadi, A., Supriyanti, F.M.T. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Palmer, T. 1991. Understanding Enzyme Third Edition. Ellis Horwood Limited. England Megiandari, A. 2009. Isolasi Dan Pencirian Enzim Protease Keratinolitik Dari Usus Biawak Air [Tesis] Jurusan Kimia FMIPA. IPB. Bogor. Aiyer, P.V. 2005. Amylases And Their Applications. African Journal Of Biotechnology.Vol.4 (13). Richana, N. . Prospek Dan Produksi Enzim α-Amilase Dari Mikroorganisme. Agro Bio. Vol. 3(2):15-58. Ferdiansyah. V. 2005. Pemanfaatan Kitosan Dari Cangkang Udang Sebagai Matriks Penyangga Pada Imobilisasi Enzim Protease [Skripsi]. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor Yu, G., He, P., Shao, L., And Lee, D. 2007. Enzyme Activities In Activated Sludge Flocs. Applied Microbiology And Biotechnology, 77, 605612. Newton, G.L., Booram, C.V., Barker, R.W., Hale, O.M., 1977. Dried Hermetia illucens Larvae Meal As A Supplement For Swine. Journal If Animal Science, 44, 395-400. St-Hilaire, S., Sheppard, D.C., Tomberlin, J.K., Irving, S., Newton, G.L., Mcguire, M.A., Mosley, E.E., Hardy, R.W., Sealey, W., 2007. Fly Prepupae As A Feedstuff For Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Journal Of The World Aquaculture Society, 38, 59-67. Oliver, P. A. 2004. The Bioconversion of Putrescent Wastes. Engineering Separation Recycling (ESR). Washington, Lousiana Sheppard, D.C., Newton, G.L. 1994. Avalue Added Manure Management System Using The Black Soldier Fly. Bioresource Technology 50, 275-279. Chiou, Y. Y. And Chen W. J., 1982. Production of The Maggot Protein Reared With Swine Manure. Natl. Sci. Council Mo. (ROC) 10:677-672. Moreki, J. C., Tiroesele, B., Chiripasi, S. C. 2012. Prospect of Utilizing Insect as Alternative Sources of Protein in Polutry Diets in Botswana: A Review. Journal of Animal Science Advances, 2(8): 649-658. Finke, D. M. 2003. Gut Loading To Enhance The Nutrient Content Of Insects As Food For Reptiles: A Mathematical Approach Volume 22, Issue 2, Pages 147-162. Hem, S., Toure, S., Sabla, C., Legendre, M. 2008. Bioconversion of Palm Kernel Meal For Aquaculture: Experience From The Forest Region (Republic of Guinea). African Journal of Biotechnology Vol. 7(8), Pp. 1192-1198. Kwon Y.D, Rhee J.S., (1986), A Simple And Rapid Colorimetric Method For Determination Of Free Fatty Acids For Lipase Assay, JAOCS, 63: 89-92 Yuneta, R. 2009. Pengaruh Suhu Pada Lipase Dari Bakteri Bacillus subtilis. Skripsi. Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Bergmeyer, H.V., Grassl. 1983. Method Of Enzymatic Analysis Vol. 2. Florida: Weinheim Deefield. Sebayang, F. 5. Isolasi Dan Pengu ian Aktivitas Enzim α-Amylase dari Aspergillus niger dengan Menggunakan Media Campuran Onggok dan Dedak. Jurnal Komunikasi Penelitian. Vol. 17(5). Novita, W.K., Arif, F.C., Nisa, Dan Murdiyatmo, U., 2006. Karakteristik Parsial Ekstrak Kasar Enzim Protease dari Bacillus amyliquefaciens. NRRL B-14396. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 7(2) 96-105. Chapman, R.F. 1998. The Insect: Stucture And Function. Cambridge University Press. New York. Naveed, A., Dayananda, G.Y., Bhawane, G.P., Hosseti, B.B. 2007. Amylase, Invertase And Trehalase Activity In The Pentatomid Bug. Cyclopelta siccifolia W. Journ of Ecophysiol and Ocupatio. Health.7. Otomoso, O.T. Dan Adedire, C.O. 2011. Amylase Activity In The Midgut Homogenate of The Palm Weevil, Rhynchophorus phoenicis F. (Coleoptera: Curculionidae). Journal of Agriculture And Biological Science. Vol 2(1). Adedire, C.O. dan Balougn, R.A. 1992. Amylase Activity in the Gut Homogenate of The Kola Nut Weevil. Sophrorhinus insperatus Faust And Its Response To Inhibitors From Kola Nuts. Insect Science And Its Application. 13,223-230. Tomberlin, J.K., Sheppard, D.C., Joyce, J.A., 2002. Selected Life-History Traits of BlackSoldier Flies (Diptera: Stratiomyidae) Reared on Three Artificial Diets. Ann. Entomol.Soc. Am. 95, 379-286. Rachmawati, Buchori, D., Hidayati, P., Hem, S., Fahmi, M.R. 2010. Perkembangan Dan Kandungan Nutrisi Larva Hermetia illucens (Linnaeus) (Diptea: Stratiomydae) Pada Bungkil Kelapa Sawit. J. Entomol. Indon. Vol. 7. No 1, 28-41. 177 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia D - 02 Kelimpahan Lebah Penyerbuk Apis cerana dan Trigona sp. (Hymenoptera: Apidae) Pada Tanaman Brassica rapa dan Hubungannya Dengan Faktor Lingkungan Fitrallisan1, Wahiba Ruslan2, Mihwan Sataral3, Fahri2, Tjandra Anggraeni1* 1 Program Studi Magister Biologi, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tadulako 3 Program Studi Biosains Hewan, Depertemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Brassica rapa merupakan tanaman hermaprodit namun bersifat self-incompatibility, sehingga diperlukan agen penyerbuk seperti lebah untuk membantu proses penyerbukannya. Apis cerana dan Trigona sp. merupakan jenis lebah yang juga diketahui berperan sebagai agen penyerbuk pada B. rapa. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kelimpahan lebah A. cerana dan Trigona sp. sebagai penyerbuk dan hubungannya dengan faktor lingkungan. Metode yang digunakan untuk mengamati yaitu scan sampling. Pengamatan serangga penyerbuk pada tanaman sawi putih dilakukan pada bunga yang sedang mekar sebanyak 50 tanaman. Pengamatan dilakukan selama 15 20 menit setiap jam, mulai pukul 07.30 - 15.30 WITA selama 10 hari pada bulan Juni 2014. Pengamatan faktor lingkungan meliputi suhu udara (ºC), kelembaban udara (%), dan intensitas cahaya (lux). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah Individu A. cerana (5269 individu) lebih tinggi dibandingkan Trigona sp. (459 individu). Jumlah individu umumnya tertinggi dijumpai antara pukul 08.30 – 10.30. Jumlah individu A. cerana dan Trigona sp. berkorelasi positif dengan kelembaban udara dan intensitas cahaya, tetapi berkorelasi negatif dengan suhu. Kata kunci: Apis cerana, Trigona sp., Brassica rapa, faktor lingkungan . 178 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia D - 03 Keragaman Serangga pada Berbagai Tumbuhan Berbunga di Sekitar Pertanaman Padi di Sukamandi N. Usyati1* dan Nia Kurniawati1 1 * Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Produksi dan produktivitas tanaman padi di Indonesia seringkali mengalami penurunan salah satunya karena serangan hama. Penggunaan insektisida sampai saat ini masih tetap menjadi andalan petani dalam mengendalikan hama. Penggunaan insektisida yang kurang tepat dan kurang bijaksana akan berdampak negatif bagi lingkungan. Untuk itu perlu dicari teknologi untuk mengendalikan hama yang efektif dan ramah lingkungan, salah satunya dengan penanaman tanaman berbunga. Dengan penambahan tanaman berbunga dapat meningkatkan keragaman serangga musuh alami sehingga daya tekan terhadap populasi hama meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga dengan adanya penambahan tumbuhan berbunga. Penelitian dilakukan di kebun percobaan BB-Padi Sukamandi pada MT-1 dan MT-2 Tahun 2011. Sampel serangga diambil pada tumbuhan bunga yaitu: A: Cleome aspera J (Capparidaceae); B: Asystasia gangetica (L) (Acanthaceae); C: Eclipta prostrata (L) (Asteraceae); D: Cleome gynandra (L) (Capparidaceae); E: Wedelia trilobata (L) (Asteraceae); F: Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae) pada tiga titik. Pengambilan sampel serangga dilakukan setiap 2 minggu sekali, sejak 2 minggu setelah tanam sampai 10 hari menjelang panen dengan perangkap kuning (yellow pan trap) dan perangkap jebak (pitfall trap). Hasil tangkapan serangga dengan perangkap kuning (yellow pan trap) pada MT-1 menunjukkan bahwa keragaman serangga cenderung lebih tinggi dengan penambahan Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae), terdiri dari 6 ordo dan 14 famili dimana jumlah terbanyak pada famili Isotomidae (34), sedangkan pada MT-2 keragaman serangga cenderung lebih tinggi dengan penambahan Wedelia trilobata (L) (Asteraceae), terdiri dari 5 ordo dan 10 famili dimana jumlah terbanyak pada famili Chironomidae (62). Hasil tangkapan dengan perangkap jebak (pitfall trap) pada MT-1 menunjukkan bahwa keragaman serangga cenderung lebih tinggi pada Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae), dengan 5 ordo dan 12 famili yang didominasi famili Neelidae (35), sedangkan pada MT-2 terdapat pada Eclipta prostrata (L) (Asteraceae), dengan 5 ordo dan 7 famili yang didominasi oleh famili Isotomidae (28). Sesamum orientale (L) (Pedaliaceae), Wedelia trilobata (L) (Asteraceae), dan Eclipta prostrata (L) (Asteraceae) adalah tumbuhan berbunga yang berpotensi dalam meningkatkan keragaman serangga di pertanaman padi. Kata kunci: keragaman serangga, tanaman berbunga, pengendalian hama ramah lingkungan 179 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia D - 04 Pengaruh Populasi dan Jumlah Kunjungan Polinator Elaeidobius kamerunicus Faust. Terhadap Pembentukan Fruit set Kelapa Sawit Elaeis guinensis Jaqc. Agus Dana Permana1* dan R. Achmad Dzulfikar1 1 * Sekolah Ilmu Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Elaeidobius kamerunicus adalah serangga polinator kelapa sawit. Penelitian populasi E. kamerunicus pada tanaman sawit berusia 8 dan 6 tahun dilakukan di Kabupaten Lamandau, Kumai, Kalimantan Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan status besaran populasi E. kamerunicus pada umur tanaman 6 dan 8 tahun dan menentukan korelasi populasi E. kamerunicus terhadap persentase fruit set yang terbentuk, serta untuk menentukan jumlah kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari dan Juni 2014. Prediksi populasi E. kamerunicus dihitung dengan pengambilan sampel serangga di 9 spikelet bunga jantan pada 10.00 –10.30 WIB. Dilakukan juga pengamatan pola kunjungan dan penghitungan jumlah kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina pada 8.30-12.30 WIB. Persentase fruit set didapat dengan menghitung seluruh buah pada janjang buah kelapa sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fruit set yang dihasilkan di area pengamatan rendah yang diakibatkan besaran populasi E. kamerunicus per hektar terlalu rendah, sehingga tidak berkorelasi dengan persentase fruit set yang terbentuk. Jumlah kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina berkorelasi positif dengan persentase fruit set yang terbentuk. Pola kunjungan E. kamerunicus ke bunga betina diduga dipengaruhi oleh waktu dan suhu. Kata kunci : Polinator, Elais guineensis, Elaeidobius kamerunicus, kelapa sawit, fruit set. 180 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E - 01 Status resistensi Beberapa strain Kecoa Jerman Blattella germanica (Dyctioptera; Blattellidae) dari 8 Kota di Sumatera terhadap Deltametrin Nova Hariani1*, Intan Ahmad2, Maelita R. Moeis2, Lee Chow-Yang3 1 Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Mulawarman, Jln. Barongtongkok No. 4 Gn. Kelua. Samarinda-75123 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132 3 School of Biological Sciences, Universiti Sains Malaysia, 11800 Penang, Malaysia * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Kecoak Jerman, Blattella germanica Linnaeus (Dictyoptera: Blattellidae) adalah serangga hama pemukiman. Keberadaan kecoak ini dapat merugikan manusia dari segi ekonomi, estetika dan kesehatan. Banyak pengendalian yang dilakukan selama ini tidak memberikan hasil yang diharapkan atau dapat dikategorikan mengalami kegagalan dan tidak efektif karena sudah terjadi resistensi kecoak terhadap insektisida. Fenomena resistensi terhadap insektisida pada kecoak Jerman, B. germanica (L). sudah dilaporkan hampir dari seluruh negara didunia termasuk Indonesia. Tingkat resistensi dapat diukur beberapa metode antara lain metode topikal aplikasi (Topical Application). Resistensi insektisida merupakan suatu dinamika, fenomena multidimensi, yang tergantung pada faktor-faktor biokimia, fisiologi, genetika dan ekologi (lokasi geografi/site specific).Untuk dapat lebih memahami fenomena resistensi maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui status resistensi kecoak Jerman dari 14 lokasi dari 8 provinsi di Indonesia terhadap deltametrin (piretroid) dengan metode topikal aplikasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua kecoak strain lapangan sudah resisten terhadap insektisida deltametrin,dibandingkan dengan kecoak strain rentan insektisida standar VCRU. Klasifikasi resistensi kecoak terhadap deltametrin tergolong resistensi tinggi sampai resistensi luar biasa sangat tinggi yaitu dengan kisaran RR50:19 kali (PDG1) sampai 1020 kali (MDN2). Tingkat resistensi yang sudah tergolong tinggi sampai luar biasa sangat tinggi ini, pada kecoak Jerman strain lapangan di Indonesia terhadap deltamethrin diduga terjadi karena pemakaian deltametrin untuk mengendalikan serangga hama di Indonesia tergolong tinggi (dilihat dari jumlah insektisida yang beredar). Kata kunci: Resistensi, Kecoak Jerman, Deltametrin 181 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E - 02 Food Preferences and Its Application as Fipronil Bait on Subterranean Termites (Isoptera: Termitidae) Under Field Conditions Ashari Zain1 and Intan Ahmad1* 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132 Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Termites have become a major pest due to their capability of damaging structures, buildings and cause financial loss. In order to prevent further damage, many have been trying to invent methods for controlling termites. A method that has been studied extensively is bait system. To achieved significant results of baiting, three factors are needed to be considered; termite’s biology, bait materials and active ingredients. However, while the method can be used effectively on a certain termite species, there is still small information about whether it will yield the same results when applied on a different termite species in different geographical locations and localities. This study aimed to evaluate the effectiveness of various materials as bait on local species. Five common materials; albizia wood (Paraserianthes sp. raw and plywood), meranti woods (white and red meranti; Shorea sp.) and cardboards were tested in a 0.05 ha field to evaluate local termites’ preferences, O. javanicus by measuring the consumption rate. A capture-mark-recapture method was conducted three times to determine termites’ foraging population. The best material based on consumption rate served as bait by impregnated with 40 ppm firponil. Reduced foraging population was measured to evaluate its effectiveness. Odontotermes javanicus attacked all materials but only white meranti wood (Shorea sp.) had significant consumption rate (p<0.05), 0.99 grams/day (5 months period). 67.6 grams of white meranti contained 2.7 mg fipronil that served as bait could repress half of O. javanicus foraging population from 265,350 down to 121,245 foragers in 34 day of application. The combination of high cellulose content and slow-acting fipronil may contribute to the ability of the bait to reduced termites’ foraging population. Kata kunci: food preferences, albizia wood, cardboards, meranti woods, Odontotermes javanicus, Pericapritermes latignathus, fipronil bait 182 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E - 03 Status Resistensi Beberapa Strain Lalat Rumah Musca domestica (Diptera : Muscidae) Terhadap Insektisida Imidakloprid dan Permetrin Sri Yusmalinar1, Kustiati2, Intan Ahmad1*, Tjandra Anggraeni1 1 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha No. 10 Bandung-40132 Departemen Biologi FMIPA Universitas Tanjungpura, Pontianak * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Lalat rumah Musca domestica merupakan salah satu hama permukiman yang telah menimbulkan kerugian manusia dari segi estetika, kesehatan dan ekonomi. Salah satu pengendalian lalat rumah yang terlihat lebih cepat hasilnya yaitu penggunaan insektisida karena dapat membunuh dalam jumlah banyak dan cepat. Namun penggunaan insektisida yang tidak tepat dapat memicu terjadinya resistensi. Walaupun demikian, untuk di Indonesia status resistensi lalat rumah terhadap golongan insektisida yang sudah umum digunakan yaitu piretroid (permetrin) dan neonikotinoid (imidaklorid) belum banyak diketahui. Bioesei dengan cara metoda umpan dan aplikasi topikal dilakukan untuk mengetahui status resistensi lalat rumah yang dikoleksi dari Serang (SRG), Bandung (BDG), Jakarta (JKT), Jogyakarta (JOG), Semarang (SMG), Surabaya (SBY), Palembang (PLB) dan Medan (MDN). Hasil uji resistensi yang dibandingkan dengan lalat rumah standar rentan insektisida DPIL, menunjukkan bahwa resistensi lalat rumah terhadap imidakloprid dengan metoda umpan tergolong rentan sampai rendah yaitu kisaran RR50 : 0,17 kali (SBY) sampai 2,58 kali (SRG). Adapun resistensi lalat rumah terhadap permetrin dengan metoda topikal tergolong rendah sampai sangat tinggi yaitu kisaran RR50 : 1,32 kali (BDG) sampai 2823,53 kali (SRG). Kesimpulan secara umum menunjukkan bahwa resistensi lalat rumah strain BDG, SRG, JKT terhadap insektisida imidakloprid masih rendah, sedangkan pada lalat rumah strain SMG, PLB, JOG dan SBY masih rentan. Adapun resistensi terhadap insektisida permetrin pada lalat rumah strain SRG, SMG, JKT dan JOG termasuk klasifikasi resistensi yang tinggi. Kata kunci: Musca domestica, resistensi, imidakloprid, permetrin 183 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E - 04 Penurunan Tingkat Resistensi Kecoa Jerman (Blattella germanica L) (Dictyoptera: Blattellidae) yang Dipelihara di Laboratorium Terhadap Fipronil Trisnowati Budi Ambarningrum1,2, Intan Ahmad3* Lulu Lusianti Fitri3 1 Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 3 Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Pengendalian populasi kecoa jerman (Blattella germanica L) masih menggunakan insektisida yang diaplikasikan dengan cara semprot, namun pengendalian yang telah dilakukan selama ini banyak mengalami kegagalan akibat telah terjadinya resistensi pada kecoa jerman terhadap beberapa golongan insektisida, termasuk fipronil. Status resistensi kecoa jerman yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia terhadap fipronil mempunyai kisaran dari tingkat rendah sampai tinggi (Strain JKT-1 = 36.30, JKT-2=23.03, JKT3=12.09, BDG1=4.63, BDG-2=12.04, BDG-3=7, dan SBY= 11.0)[3]. Metode yang digunakan adalah metode glass jar Sepuluh individu jantan didedahkan dalam gelas uji selama dua jam. Jumlah individu yang mati dicatat setiap jam sampai semua individu mati. Perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai lethal time 50 (LT50 dan LT95). Hasil uji hayati menunjukkan bahwa setelah kecoa jerman dipelihara di laboratorium selama kurun waktu 4-8 tahun terlihat penurunan tingkat resistensi terhadap fipronil. Dari tujuh strain kecoa jerman yang diuji 5 strain (JKT-1, JKT-2, JKT-3, BDG-3, SBY) menunjukkan tingkat resistensi yang rendah, sedangkan 2 strain (BDG-1 dan BDG-2) menunjukkan tidak resisten terhadap fipronil. Tidak adanya tekanan/seleksi pada populasi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium tampaknya dapat menyebabkan turunnya tingkat resistensi kecoa jerman. Kata kunci: 184 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Pengendalian populasi kecoa jerman (Blattella germanica L) masih menggunakan insektisida yang diaplikasikan dengan cara semprot, namun pengendalian yang telah dilakukan selama ini banyak mengalami kegagalan akibat telah terjadinya resistensi pada kecoa jerman terhadap beberapa golongan insektisida, termasuk fipronil [1,2]. Status resistensi kecoa jerman yang berasal dari beberapa wilayah di Indonesia terhadap fipronil mempunyai kisaran dari tingkat rendah sampai tinggi (Strain JKT-1 = 36.30, JKT-2=23.03, JKT3=12.09, BDG1=4.63, BDG-2=12.04, BDG-3=7, dan SBY= 11.0) [2]. Tingkat resistensi suatu serangga terhadap insektisida dapat menurun apabila tidak terdedah insektisida, misalnya pada kondisi pemeliharaan di laboratorium selama beberapa generasi. BAHAN DAN METODA Metode yang digunakan adalah metode glass jar [3]. Sebanyak 2.5 ml fipronil 0.03% yang dilarutkan dalam aseton di masukkan sepanjang permukaan bagian dalam dinding gelas menggunakan mikropipet. Gelas diguling-gulingkan di atas meja supaya insektisida melapisi permukaan bagian dalam dinding gelas secara merata, kemudian gelas didiamkan sampai aseton menguap. Sepuluh individu jantan didedahkan dalam gelas uji selama dua jam. Setelah itu kecoa jerman dipindahkan dalam toples plastik yang bersih serta diberi makan dan minum. Jumlah individu yang mati dicatat setiap jam sampai semua individu mati. Perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit untuk menentukan nilai lethal time 50 (LT50 dan LT95). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji hayati menunjukkan bahwa setelah kecoa jerman dipelihara di laboratorium selama kurun waktu 4-8 tahun terlihat penurunan tingkat resistensi terhadap fipronil dibandingkan penelitian Hariani [2]. Tingkat resistensi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium terhadap fipronil 0.03% sepeti terlihat pada Tabel 1. Gambar 1 Tingkat resistensi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium terhadap fipronil 0.03% (Keterangan : JKT= Jakarta, BDG= Bandung, SBY= Surabaya) 185 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Dari tujuh strain kecoa jerman yang diuji 5 strain (JKT-1, JKT-2, JKT-3, BDG-3, SBY) menunjukkan tingkat resistensi yang rendah, sedangkan 2 strain (BDG-1 dan BDG-2) menunjukkan tidak resisten terhadap fipronil. Tidak adanya tekanan/seleksi pada populasi kecoa jerman yang dipelihara di laboratorium tampaknya dapat menyebabkan turunnya tingkat resistensi kecoa jerman [4][5]. DAFTAR PUSTAKA [1] Ahmad, I., Sriwahjuningsih, Astari, S., Putra, R.A., Permana, A.D. Entomological Research.39: 123-127 (2009). [2] Hariani, N., Disertasi, ITB (2013). [3] WHO. Pesticides and Their Application for Control of Vectors and Pests of Public Health Importance, six edition (2006). [4] Cochran, D.G. Journal of Economic Entomology Vol. 86, issue 6, pp. 1639-1644 (1993) [5] Lee, C.Y., Yap, H.H., Chong, N.l., Lee, R.S.T., Bulletin of Entomological Research 86: 675-682 (1996) 186 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E - 05 Identifikasi dan Distribusi Nyamuk di Pesisir dan Pegunungan Kabupaten Pangandaran Ilbi Restu Sholihat1, Andri Ruliansyah2, Ida Kinasih1* 1 Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Loka Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (Loka Litbang P2B2), Ciamis * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Kabupaten Pangandaran memiliki dua kawasan yaitu pegunungan dan pesisir. Kedua kawasan ini merupakan tempat/habitat nyamuk untuk berkembang. Penyakit yang terdapat di masyarakat di Kabupaten Pangandaran salah satunya yaitu penyakit DBD dan malaria. Tujuan dari pengamatan ini untuk mengetahui jenis nyamuk yang ada di pesisir dan pegunungan di Kabupaten Pangandaran dan mengetahui faktor yang mempengaruhi distribusi populasi nyamuk. Metode yang digunakan ialah Human landing serta metode resting dengan waktu penangkapan dilakukan pukul 18:00-06:00 WIB.Penangkapan nyamuk dilakukan di dua tempat yaitu pesisir dengan daerah Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan Parigi, dan Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang. Tempat yang lain di daerah pegunungan yaitu Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar. Masingmasing tempat diambil sampel dari 3 rumah dan 1 kandang. Nyamuk yang tertangkap selanjutnya dilakukan identifikasi. Titik koordinat penangkapan nyamuk dari hasil GPS dianalisa dengan ArcGIS untuk menghasilkan wilayah penyebaran. Lingkungan fisik seperti suhu dan kelembaban mempengaruhi penyebaran jenis nyamuk dari setiap daerah. Hasil yang didapatkan terdapat 18 spesies yang tersebar di daerah pesisir dan pegunungan yaitu An. sundaicus, An. indefinitus, An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus, An tesselatus, An. aconitus, An maculatus, An kochi, An annularis, Cx tritaeniorhynchus, Cx quinquefasciatus, Cx hutchinsoni, Cx vishnui, Cx fascochepalus, Ae albopictus, Ae aegypti, dan Armigeres subalbatus. Lingkungan fisik sangat mempengaruhi terhadap distribusi atau kelimpahan nyamuk dan juga berpengaruh terhadap jenis nyamuk. Suhu di daerah pesisir ialah 22-29oC dengan kelembaban 78-99% sehingga jenis nyamuk yang mendominasi ialah dari genus Culex sp., sedangkan di pegunungan suhu 19-25oC dengan kelembaban 88-99% sehingga jenis nyamuk yang mendominasi ialah dari genus Culex sp. dan Anopheles spp. Kata kunci: Nyamuk, jenis, distribusi, Pangandaran 187 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Keragaman berbagai spesies vektor dan penyebaran di seluruh wilayah Indonesia mengakibatkan epidemologi penyakit telur vektor pertambahan kompleks. Dinamika penularan di suatu wilayah berbeda dengan wilayah lain karena perbedaan bio-geografi, lingkungan, spesies vektor, bio-ekologi, distribusi dan pola sosial budaya serta prilaku masyarakat. Permasalahan pengendalian vektor di Indonesia antara lain yaitu belum teridentifikasi spesies dan pemetaan sebaran vektor di wilayah endemis, belum lengkapnya peraturan penggunaan insektesida dalam pengendalian vektor, peningkatan populasi resisten beberapa vektor terhadap insektisida, keterbatasan sumber daya manusia, logistik maupun biaya operasional, serta kurangnya keterpaduan dalam pengendalian vektor [1]. Dilandasi dari salah satu permasalahan tersebut maka dilakukan pengamatan secara observasi untuk mengidentifikasi vektor nyamuk yang ada di daerah endemik untuk mengetahui penyebaran suatu sepesies dari nyamuk tersebut. Pengamatan dilakukan di Pandangaran, Jawa Barat yang masih diperlukan data atau riset mengenai nyamuk yang merupakan vektor dari penyakit diantaranya; chikungunya, malaria, DBD dan filariasis. Jenis nyamuk sebagai vektor tersebut ialah Aedes spp., Anopheles spp. dan Culex spp. Penyakit yang menyerang masyarakat di Kabupaten Pangandaran pada umumnya ialah penyakit DBD dan malaria. Selama beberapa tahun kebelakang menurut Ruliansyah et al. [2] menyebutkan jumlah orang yang terkena virus DBD, pada tahun 2003 terdapat 45 kasus dengan kematian 1 orang kemudian meningkat tajam mencapai 222 kasus di tahun 2004, pada tahun 2005 sebesar 123 kasus, pada tahun 2006 sebesar 354 kasus, pada tahun 2007 sebesar 477, pada tahun 2008 sebesar 251, pada tahun 2009 sebesar 734 dan pada tahun 2010 sebesar 205. Penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Pangandaran terdapat di beberapa daerah. Hakim [3] mengemukakan bahwa selama 4 tahun berturut-turut Desa Pamotan merupakan daerah endemis malaria tinggi atau dengan strata High Case Incidence (HCI) dengan annual parasite incidence (API) lebih dari 5 % yaitu pada tahun 2000 dengan API sebesar 18,148 %, tahun 2001 dengan API sebesar 18,356 %, tahun 2002 dengan API sebesar 19,399 % dan tahun 2003 dengan API sebesar 9,512 %. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Waktu penangkapan nyamuk dilakukan pada jam 18:00-06:00 WIB. tempat penangkapan nyamuk di lakukan di empat daerah yaitu Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan Parigi, Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang dan Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar dengan masing-masing diambil sampel dari 3 rumah dan 1 kandang. Kegiatan dilakukan pada bulan JuliAgustus 2015. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam identifikasi nyamuk diantaranya ialah; aspirator, cangkir kertas, senter, mikroskop disecting stereo, salinitas meter, pH meter, hygrothermo meter, alat tulis, buku identifikasi dan form penangkapan nyamuk. Bahan yang digunakan dalam identifikasi nyamuk diantaranya ialah; kloroform untuk membius nyamuk, kain kasa untuk mencegah nyamuk terlepas dan kapas untuk menutup tempat nyamuk. Prosedur Penangkapan Nyamuk Penangkapan dengan metode humman landing dan metode resting. Waktu penangkapan dilakukan pukul 18:00-06:00 WIB. Metode HLC (human landing collection), digunakan tiga rumah sebagai lokasi 188 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia penangkapan, dimana masing-masing rumah terdapat satu sampai tiga orang penangkap, masingmasing di luar dan di dalam rumah. Bekerja selama 40 menit sekali selama 12 jam human landing dalam rumah dan di luar, nyamuk yang hinggap di badan ditangkap menggunakan aspirator. Penangkapan dengan metode resting (istirahat) di dinding/kandang. Dinding yang dimaksud ialah setiap tiga rumah sebagai lokasi penangkapan sedangkan kandang menggunakan kandang sapi dan terdapat tiga orang penangkap. Bekerja 10 menit sekali selama 12 jam resting di dinding dan kandang, nyamuk yang sedang hinggap di dinding rumah atau kandang ditangkap menggunakan aspirator. Nyamuk hasi penangkapan dari kedua metode tersebut kemudian dibunuh menggunakan kloroform, dihitung jumlahnya dan diidentifikasi spesiesnya menggunakan mikroskop stereo. Analisis Data Data yang diperoleh dideskripsikan berupa tabel dan grafik. Selain itu juga dilakukan pemodelan peta dengan menggunakan software ArcGIS 9.3, Global Mapper v11.01 dan BaseCamp Garmin. HASIL DAN PEMBAHASAN Di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran memiliki suhu berkisar 25-26°C dan kelembaban relatif 86-90 %, desa Cibenda Kecamatan Parigi memiliki suhu 25-27°C dan kelembaban relatif 8592%, Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang memiliki suhu 25-26°C dan kelembaban relatif 87-94%. Ketiga tempat ini merupakan daerah pesisir. Sedangkan daerah pegunungan yaitu Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar dengan suhu berkisar 22-23°C dan kelembaban relatif 88-92%. Hasil distribusi nyamuk di kabupaten Pangandaran pada pengamatan yang telah dilakukan menghasilkan jumlah spesies yang berbeda dari yang pernah dilakukan oleh Lokalitbang P2B2 Ciamis sebelumnya. Jumlah spesies yang diperoleh lebih sedikit seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pada pengamatan sebelumnya didapat 18 spesies, sedangkan pada pengamatan kali ini didapat 14 spesies. 189 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Gambar 1. Peta Sebaran Jenis Nyamuk di Pesisir dan Pegunungan. Tanda bintang merah menunjukkan spesies yang diperoleh pada saat pengamatan Penyebaran nyamuk di Kabupaten Pangandaran selama satu bulan mengidentifikasi ke setiap daerah pesisir seperti Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran, Desa Cibenda Kecamatan Parigi, Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang dan Desa Pangkalan Kecamatan Langkaplancar didapatkan jenis nyamuk yang beragam dan ada pula yang sama dari setiap kawasan. Hasil yang didapatkan dari identifikasi nyamuk yang telah dilakukan kawasan pesisir yang teridentifikasi dan mengalami pengurangan spesies nyamuk. Pada daerah pesisir terdapat An. sundaicus, An. barbirostis, An. subpictus, An. indefinitus, An. vagus, An. kochi, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. hutchinsoni, Cx. vishnui, Ae. albopictus, Armigeres subalbatus, sedangkan derah pegunungan jenis nyamuk yang teridentifikasi ialah An. aconitus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. barbirostis, Cx. hutchinsoni, Cx. vishnui, Ar. subalbatus. Penyebab dari berkurangnya penyebaran jenis nyamuk di daerah pesisir dan pegunungan diantaranya diduga karena faktor fisik lingkungan, sehingga mempengaruhi terhadap penyebaran nyamuk. Perindukan nyamuk harus sesuai dengan toleransi jenis nyamuk tersebut terhadap kondisi lingkungan fisik. Setiap jenis nyamuk memiliki perbedaan terhadap toleransi terhadap suatu lingkungan sehingga setiap vektor akan menyebarkan suatu penyakit sesuai tempat perindukannya yang mendukung terhadap perkembangbiakannya. Depkes RI [4], menyatakan bahwa jenis-jenis nyamuk yang ditemukan pada setiap lokasi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, di pulau Jawa di kota dengan banyak tempat-tempat penampungan air buatan manusia (drum, tempayan, bak mandi) banyak ditemukan Ae. aegypi sedangkan di kebun190 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia kebun dengan penampungan air alamiah (tonggak bambu, lobang di pohon, pelepah dau) dapat ditemukan Ae. albopictus. Ar. subalbatus memerlukan lingkungan kelembaban relatif lebih dari 65% untuk beraktivitas, terutama setelah turun hujan. Selain itu juga populasi Ar. subalbatus dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat [5]. Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. vishnui dapat ditemukan di daerah persawahan dan genangan air [6]. KESIMPULAN Jenis nyamuk di Kabupaten Pangandaran dari daerah pesisir ialah An. sundaicus, An. barbirostis, An. subpictus, An. indefinitus, An. vagus, An. kochi, Culex tritaeniorhynchus, Culex quinquefasciatus, Culex hutchinsoni, Culex vishnui, Aedes albopictus, Armigeres subalbatus, sedangkan derah pegunungan jenis nyamuk yang teridentifikasi ialah An. aconitus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. barbirostis, Culex hutchinsoni, Culex vishnui, Armigeres subalbatus. Lingkungan fisik sangat mempengaruhi terhadap distribusi nyamuk dan juga berpengaruh terhadap jenis nyamuk. Suhu di daerah pesisir ialah 22-29o C dengan kelembaban 78-99% sehingga jenis nyamk yang mendominasi ialah dari genus Culex spp. sedangkan di pegunungan suhu 19-25o C dengan kelembaban 88-99% jenis nyamuk yang mendominasi ialah genus Anopheles spp. dan Culex spp. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] Kementrian Kesehatan. 2011. Atlas Vektor Penyakit Di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. Jakarta. Ruliansyah Andri, Totok Gunawan, and Sugeng Juwono M. 2011. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Daerah Rawan Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat). Aspirator 3(2), h.72-81. Hakim Lukman. 2013. Faktor Risiko Penularan Malaria Di Desa Pamotan Kabupaten Pangandaran. Aspirator 5(2), h.45-54. Departemen Kesehatan. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Prilaku Vektor. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Chaves LF, Imanishi N, Hoshi T. 2015. Population dynamics of Armigeres subalbatus (Diptera: Culicidae) across a temperate altitudinal gradient. Bulletin of Entomological Research 15:1-9 Fakoorziba , Mohammad Reza and Vijayan V. Achuthan , 2006. Seasonal Abundance of Larval Stage of Culex Species Mosquitoes (Diptera: Culicidae) in an Endemic Area of Japanese Encephalitis in Mysore, India. Pakistan Journal of Biological Sciences, 9: 24682472. 191 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 06 Distribusi Nyamuk Vektor Demam Berdarah Aedes aegypti dan Aedes albopictus di Kota Bandung Ramad Arya1* dan Intan Ahmad1 1 * Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Penyakit DBD atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus betina. Kota Bandung adalah salah satu daerah yang dinyatakan DBD sebagai KLB dari tujuh kota dan kabupaten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi vektor nyamuk demam berdarah, Ae.aegypti dan Ae.albopictus yang dikumpulkan dengan menggunakan metode survei ovitrap di lima Kecamatan endemis demam berdarah di Kota Bandung dan menganalisa hubungan faktor yang mempengaruhi distribusi nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling. Sampel berjumlah 400, disebar di lima Kecamatan endemis di kota Bandung pada bulan September 2014 hingga Januari 2015. Uji korelasi pearson dilakukan untuk mengetahui rerata jumlah larva nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dengan parameter iklim seperti suhu, kelembapan dan curah hujan di lima Kecamatan endemis di kota Bandung selama bulan September 2014 hingga Januari 2015. Berdasarkan studi ovitrap menunjukan bahwa nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditemukan bersamaan. Namun secara umum nyamuk Ae. aegypti ditemukan sangat tinggi distribusinya di lima Kecamatan endemis di kota Bandung dibandingkan dengan nyamuk Ae. albopictus. Hasil analisis korelasi pearson curah hujan berpengaruh signifikant terhadap perolehan rerata larva Ae. aegypti (p: 0,025) p<0.05. Analisis korelasi pearson suhu terhadap rerata larva Ae. aegypti diperoleh (p: 0,044), p< 0,05 menunjukan bahwa suhu berpengaruh signifikan terhadap rerata perolehan larva Ae. aegypti. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditemukan bersamaan, namunnyamuk Ae. aegypti mendominasi di lima Kecamatan endemis di Kota Bandung. Curah hujan dan suhu berpengaruh terhadap distribusi nyamuk Ae. aegypti di Kota Bandung. Kata kunci : Distribusi, Ae. aegypti, Ae. albopictus, iklim. 192 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 07 Efektivitas Ekstrak Buah Bintaro (Cerbera odollam) sebagai Larvasida Lalat rumah (Musca domestica) Haddi Wisnu Yudha1*, Upik Kesumawati Hadi1, Supriyono1 1 * Institut Pertanian Bogor Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Cerbera odollam atau yang dikenal dengan bintaro di Indonesiaadalah tanaman bersifat racun yang terletak di pesisir pantai, di hutan pasang, yang berfungsi untuk menahan pasangnya air laut, mencegah terjadinya longsor dan sebagai tanaman hias. Bintaro diketahui memiliki potensi sebagai larvasida alami namun penelitian tentang penggunaan bintaro untuk pengendalian larva Musca domestica belum dilakukan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengukur efektivitas buah bintaro sebagai larvasida terhadap M. domestica. Bagian dari buah bintaro yang digunakan yaitu biji dan kulit. Biji dan kulit buah bintaro diekstraksi dengan pelarut methanol 96% kemudian diencerkan dengan aquabidest. Ekstrak biji dan kulit buah bintaro diuji pada kelompok larva dengan konsentrasi biji 0, 10, 30, 60, 80 g/100 ml dan kulit 80 g/100 ml. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak biji dan kulit buah bintaro mampu digunakan sebagai larvasida. Ekstrak biji bintaro memiliki efektivitas lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak kulit bintaro. Berdasarkan uji fitokimia, senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam biji dan kulit buah bintaro adalah golongan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan steroid. Kata kunci: biji, Cerbera odollam, kulit, larvasida, Musca domestica 193 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 08 Kajian Perilaku Agonistik Intraspesifik Koloni Rayap Coptotermes sp. (Isoptera: Rhinotermitidae) Ina Rosaria1* dan Eko Kuswanto2 1 Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Agonistik baik inter- dan intrakoloni maupun inter- dan intraspesies sering terjadi pada serangga social termasuk rayap. Studi ini bertujuan untuk mengetahui perilaku agonistik intraspesifik koloni rayap Coptotermes sp (Isoptera: Rhinotermitidae). Sampel rayap yang diuji berasal dari tiga lokasi yaitu dari Kabupaten Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, dan Way Kanan. Sampel terlebih dahulu diidentifikasi kemudian dilakukan pemeliharaan. Pengamatan perilaku agonistik dilakukan dalam tempat uji yang berupa cawan petri, rayap dari masing-masing koloni diberi silver pen atau tanda yang membedakan individu antarkoloni. Semua kasta dipasangkan dengan perbandingan 1:1. Peristiwa agonistik yang terjadi direkam selama 5 menit pertama dalam setiap kombinasi uji. Berdasarkan hasil penelitian, tidak terjadi perilaku agonistik intraspesifik rayap Coptotermes sp., perilaku yang terjadi adalah hanya pada level antennation atau saling mempertemukan antena yang bertujuan untuk saling mengenali antarin dividu rayap. Analisis GC-MS mengidentifikasi senyawa kimia pentadecanoic acid methyl ester, cis-linoleic acid, methyl ester, (Z)-9-octadecanoic acid, oxalic acid, 2-ethylhexyl-hexyl ester, decanedioic acid, dan dedecyl ester. Senyawa-senyawa ini diduga berperan dalam komunikasi antar individu rayap Coptotermes sp. sehingga terjadi pengenalan yang baik antar individu intraspesies. Kata kunci: 194 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 09 Pengaruh Suhu dan Kelembaban terhadap Keberlangsungan Hidup Rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae) Ledya Sari1*, Eko Kuswanto2, Lora Purnamasari1, Gres Maretta1 1 Prodi Pendidikan Biologi, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak Suhu dan kelembaban merupakan dua faktor penting dalam survival organisme termasuk rayap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan kelembaban terhadap keberlangsungan hidup rayap Macrotermes gilvus Hagen (Isoptera: Termitidae). Pengukuran pengaruh suhu dan kelembaban terhadap pergerakan rayap M. gilvus Hagen dilakukan dengan menggunakan wadah uji suhu dan wadah uji kelembaban. Wadah uji suhu, terdiri dari sebuah gelas dan sebuah wadah alumunium berukuran 3 cm x 1,5 cm x 1 cm, gelas diisi air dengan suhu air sesuai yang diinginkan. Karena suhu air dalam gelas itu selalu berubah, suhu setiap zona untuk setiap tes diukur dua kali, pada awal dan akhir tes, dan rata-rata digunakan untuk mewakili suhu masingmasing zona, meletakkan 10 ekor sampel rayap tanah M. gilvus Hagen, yang digunakan sebagai eksperimen di dalam wadah alumunium yang mengapung di atas air dalam gelas tersebut untuk mengamati pergerakan rayap tanah M. gilvus Hagen selama 5 menit untuk setiap suhu masingmasing zona. Wadah uji kelembaban, terdiri dari tiga wadah plastik bulat (diameter 15 cm) dengan tiga buah gelas kecil dalam susunan linear, di atas gelas yang dalam posisi berdiri tersebut merekat juga sebuah cawan petri terbuka, wadah uji pertama menggunakan kelembaban rendah diisi dengan gel silica 100 gram (12% RH), wadah uji kedua menggunakan kelembaban sedang diisi dengan gel silica 2 gram (51% RH), dan wadah uji ketiga menggunakan kelembaban tinggi diisi dengan air suling 400 ml (98% RH) sehingga dapat menjaga gradien kelembaban 12-98% di arena tes, melihat dan mencatat pergerakan rayap tanah M. gilvus Hagen selama 5 menit, 15 menit, 35 menit, 75 menit dan 155 menit. Selanjutnya dilakukan analisis dan mengklasifikasi pergerakan rayap ke dalam tiga kategori, yaitu: rayap bergerak aktif, rayap hidup tetapi tidak bergerak, dan rayap mati. Berdasarkan hasil penelitian, suhu optimum yang dibutuhkan rayap M. gilvus untuk dapat bergerak aktif yaitu kisaran 19-23,5oC, sedangkan kelembaban yang dibutuhkan untuk rayap M. gilvus bergerak aktif adalahRH 98%. Persentase rayap yang bergerak aktif pada suhu 19-23,5oC yaitu 93% dan persentase rayap yang bergerak aktif pada kelembaban tinggi yaitu 92% Kata Kunci: 195 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 10 Beberapa faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit N. Sushanti Idris-Idram 1* 1 * Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak (Extended) Penyakit tular nyamuk atau “mosquito-borne diseases” merupakan salah satu masalah kesehatan utama di masyarakat. Nyamuk penularnya terutama dari genus Culex, Aedes dan Anopheles. Culex spp. vektor utama filariasis dan Japanese encephalitis, Aedes spp vektor demam dengue dan demam berdarah dengue, dan Anopheles spp vektor malaria. Penyakit tersebut diketahui endemik di berbagai negara di dunia terutama di negara sub-tropis dan tropis dan sering kali menimbulkan epidemik dengan tingkat kematian yang tinggi. Usaha pengendalian penyakit tersebut telah dilakukan baik terhadap patogen maupun nyamuk vektor penyakit dengan cara memutuskan rantai penularannya. Perlawanan terhadap penyakit tular nyamuk telah mengakibatkan konsekuensi sangat besar baik dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Insektisida masih menjadi andalan utama meskipun pada akhirnya terjadi resistensi dari nyamuk vektor penyakit. Pada berbagai publikasi terakhir dilaporkan meningkatnya penggunaan insektisida untuk pengendalian vektor penyakit diikuti dengan meningkatnya resistensi terhadap insektisida dan pada gilirannya terjadi peningkatan penularan penyakit. Berbagai faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit didiskusikan dalam makalah ini. Kata kunci: nyamuk, resistensi insektisida, epidemiologi. Abstract Mosquito-borne diseases is one of public health important problems. The major mosquito vectors are Culex, Aedes and Anopheles genera. Culex spp are the major vector of filariasis and Japanese encephalitis; Aedes spp are vector of dengue and dengue hemorrhagic fever; and Anopheles spp are vector of malaria. That diseases are found endemic in many countries especially in sub-tropic and tropic areas. Its epidemic frequently occurs with high mortality rates. Control efforts have been carried out towards pathogens as well as vectors to interrupt the chain of transmissions. The fight against diseases that are spreaded by mosquitoes have enormous environmental, economics and social consequences. Chemical insecticides remain the first line of the defences. Though it’s impacted to the vector’s resistant to the insecticides. The current publications reported increasing of the insecticides used in the control efforts followed by insecticide resistances, in turn to the high level of transmission. Some factors associated with insecticide resistances in mosquito vectors of human diseases is discussed in this paper Key words: mosquito, insecticide resistances, epidemiology. 196 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Pendahuluan Sudah 145 tahun sejak ditemukannya penyakit tular nyamuk atau mosquito-borne diseases sampai sekarang masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit tersebut disebabkan agen penyakit diperantarai serangga nyamuk. Agen penyakit tersebut berasal dari berbagai macam virus, protozoa dan nematoda [1]. Jenis-jenis penyakit tersebut, yaitu: malaria, demam dengue/demam berdarah dengue, arbovirus (chikungunya, yellow fever, west nile virus (WNV), eastern equine encephalitis (EEE), japanese encephalitis (JE), rift valley fever (RVF) dan filariasis [2]. Penyakit tersebut dianggap identik dengan kemiskinan karena menyebabkan kecacatan jasmani serta berakibat terhadap rendahnya produktivitas pada orang dewasa dan kehilangan kesempatan pendidikan pada anak-anak dan remaja. Penyakit tersebut diketahui endemik di berbagai negara di dunia terutama di negara sub-tropis dan tropis dan sering kali menimbulkan epidemik dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Kasus-kasus gejala klinis penyakit tersebut seringkali bersifat asimtomatik. Mobilitas penderita asimtomatik memungkinkan peningkatan dan penyebarluasan penyakit tular nyamuk. Penyakit tersebut termasuk penyakit paling berbahaya, sulit diramalkan, sulit dicegah dan dikontrol karena berhubungan dengan bioekologi nyamuk vektornya yang memfasilitasi kelangsungan siklus hidup agen penyakitnya. Dengan demikian pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut tidak akan efektif jika tidak secara langsung mengendalikan nyamuk vektornya [1]. Nyamuk vektor penyakit Dalam parasitologi, nyamuk vektor ialah nyamuk yang mampu membawa dan memindahkan agen penyakit dari satu hospes ke hospes lainnya ketika mengisap darah [1]. Kemampuan nyamuk tersebut dibuktikan oleh ilmuwan Inggris, Patrick Manson dan Ronald Ross. Sebelumnya yaitu pada tahun 1830an – 1880an tidak seorangpun yang mengetahui hubungan antara agen penyakit dengan nyamuk. Pada tahun 1878, Patrick Manson membuktikan Culex pipiens quinquefasciatus (dahulu Cx. pipiens fatigans) dapat menularkan parasit filaria Wuchereria bancrofti. Menyusul pada tahun 1897 Ronald Ross membuktikan nyamuk Anopheles spp dapat menularkan parasit malaria Plasmodium spp [3]. Pada awal abad ke-20, pada tahun 1924 diketahui nyamuk Aedes aegypti (dahulu Stegomyia fasciata) dapat menularkan virus dengue dibuktikan oleh Siler [4]. Bukti hubungan antara agen penyakit dengan nyamuk didasari adanya perkembangan biologi agen penyakit di dalam tubuh nyamuk. Oleh karena itu penularan yang terjadi disebut penularan biologi dan berdasarkan sifatnya terbagi empat jenis yaitu propagative pada arbovirus, cyclopropagative pada malaria, penularan cyclodevelopmental pada filariasis dan trans-ovarial pada dengue [5]. Nyamuk vektor setelah terinfeksi agen penyakit akan tetap infektif selama hidupnya sehingga kelangsungan hidup agen penyakit dapat dipertahankan secara alamiah [1]. Pengendalian nyamuk vektor penyakit Pengendalian nyamuk vektor penyakit bertujuan supaya tidak terjadi penularan penyakit dan pada gilirannya menurunkan morbiditas dan mortalitas. Metoda pengendalian vektor yang digunakan adalah cara mekanik, hayati, kimiawi dan peran serta masyarakat. Perlawanan terhadap penyakit tular nyamuk telah mengakibatkan perubahan lingkungan dan sosial ekonomi. Metoda yang paling banyak digunakan adalah cara kimiawi menggunakan insektisida [6]. Sampai saat ini obat dan vaksin yang benar-benar ampuh belum ditemukan untuk memberantas agen penyakitnya. Oleh karena itu 197 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia insektisida dijadikan andalan utama untuk pengendalian nyamuk vektor penyakit meskipun pada akhirnya menimbulkan resistensi pada nyamuk vektor penyakit. Resistensi insektisida Resistensi insektisida ialah suatu karakter serangga vektor yang diturunkan untuk memberikan peningkatan toleransi terhadap insektisida tertentu supaya dapat bertahan hidup lebih lama terhadap konsentrasi senyawa kimia yang secara normal mematikan spesies nyamuk vector [6]. Pada tahun 1939 ditemukan senyawa kimia DDT (dichloro-diphenyl-tichloroethane) oleh Paul Hermann Muller dan pada tahun 1946 pertama kali senyawa tersebut digunakan untuk pengendalian nyamuk vektor penyakit. Setahun kemudian pada tahun 1947 pertama kali dilaporkan kasus resistensi DDT pada Ae. tritaeniorhynchus dan Ae. solicitans. Sejak saat itu lebih dari 100 spesies nyamuk dilaporkan mengalami multi resisten insektisida dan diantaranya lebih dari 50 spesies nyamuk Anopheles spp [7]. Pemerintah Indonesia pertama kali meluncurkan penggunaan insektisida DDT pada tahun 1952 untuk pengendalian nyamuk vektor malaria dan penggunaannya berakhir pada tahun 1970 karena dilaporkan adanya resistensi nyamuk vektor malaria terhadap insektisida tersebut. Setelah pelarangan menggunakan insektisida tersebut, penggunaan insektisida beralih ke organofosfat, karbamat dan pyretroid. Namun efek penggunaan insektisida dalam kurun waktu tersebut menimbulkan nyamuk vektor penyakit yang resisten terhadap insektisida. Cara mendeteksi resistensi insektisida pada populasi nyamuk vektor penyakit adalah dengan uji hayati, biokimia dan molekuler. Hasil uji tersebut menunjukkan resistensi terhadap dua jenis insektisida yaitu DDT dan dieldrin pada An. aconitus vektor malaria di daerah rural Jawa dan Bali. Resistensi terhadap DDT telah terjadi pada An. sundaicus vektor malaria di pantai Jawa Timur, Lampung dan Cilacap. Uji secara bio kimia mendeteksi sensitivitas An. maculatus, An. aconitus dan An. sundaicus terhadap organofosfat dan karbamat dilaporkan toleran atau resisten dengan kisaran antara 2,9-33,3%. Resistensi terhadap pyrethroids juga dilaporkan pada Anopheles spp di Jepara Jawa Tengah. Pengendalian nyamuk Ae. aegypti vektor DBD dengan menggunakan Malathion 0,8% lebih dari 10 tahun dan beberapa daerah menggunakan Cynof 0,05% ICON 0,05%. Hasil deteksi resistensi terhadap organofosfat pada Ae. aegypti di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan tahun 2006 menunjukkan adanya resistensi terhadap malathion akan tetapi masih peka terhadap larvasida ABATE. Telah dilakukan kajian peta resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida kelompok organofosfat, karbamat dan pyretroids di beberapa daerah endemis di Jawa Tengah dan DIY tahun 2010. Hasil kajian tersebut menunjukkan nyamuk tersebut di sebagian besar daerah telah resisten terhadap malathion 0,8%, bendiokarb 0,1% dan pyretroids 0,75%. Sementara di sebagian daerah lainnya masih toleran dan peka terhadap cypermetrin 0,05% dan bendiokarb 0,01% [8]. Faktor-faktor yang berhubungan dengan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit Resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit berhubungan dengan faktor-faktor dari aspek nyamuk vektor penyakit dan program penanggulangan penyakit tular vektor serta peran serta masyarakat. Aspek nyamuk vektor penyakit bersifat genetik yaitu kemampuan menghindari insektisida, perubahan metabolik atau fisiologi nyamuk vektor dan hasil dari tiga jenis mekanisme resistensi terdiri dari penurunan penetrasi insektisida, peningkatan metabolisme insektisida oleh esterase, monooxygenase atau Glutathion-S-Transferases (GSTs) dan modifikasi target site [9]. 198 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Ilustrasi perkembangan resistensi insektisida pada nyamuk vektor penyakit dapat dilihat dalam diagram skenario perkembangan resistensi insektisida (diadaptasi dari Scoot, 1995) [10]. Aspek program penanggulangan penyakit tular vektor bersifat kebijakan yaitu penggunaan Longlasting insecticidal nets (LLINs) dan indoor residual spraying (IRS). Aspek peran serta masyarakat meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan insektisida rumah tangga. Daftar Pustaka [1] Gubler, D. J. Special Issue. Resurgent Vector-Borne Diseases as a Global Health Problem. Emerging Infectious Diseases., Vol. 4, No. 3, July–September (1998). [2] Mosquito Zone. Vector-Borne Disease Primary Examples. www.mosquitozone.com [3] Sharma, S. Sir Ronald Ross and the Malarial Parasite Discovery of its Route - From Man to Mosquito and Back. Resonance, July (2006). [4] VAZEILLE-FALCOZ et al. Replication of Dengue Type 2 Virus in Culex Quinquefasciatus (Diptera: Culicidae). Am. J. Trop. Med. Hyg., 60(2), pp. 319–321 (1999), [5] Gubler, D.J. Vector-borne diseases. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 28 (2), 583-588 (2009). [6] World Health Organization. Vector control Methods for use by individuals and communities. Prepared by Jan A. Rozendaal. Copyright 1999 by The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. [7] World Health Organization. Vector resistance to pesticides: 15th report of the who Expert Committee on Vector Biology and Control. Technical report, 818 (1992). [8] Widiarti et al. Uji Bio Kimia Kerentanan Vector Malaria terhadap Insektisida Organofosfat dan Karbamat di Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bulletin Penelitian Kesehatan Balai Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit, Badan Litbangkes (2002). [9] Hemingway, J. Genetic and Biochemistry of Insecticide Resistance in Anophelines. Ph.D thesis. University London (1981). [10] Scott, J.A. The molecular genetics of resistance as response to stress. Symposium on Pesticide Resistance, Florida Entomologist 78, 399-414 (1995). 199 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia E – 11 Preferensi Pakan Beberapa Strain Kecoak Jerman, Blattella germanica Linn. (Dictyoptera: Blattellidae) Resti Rahayu1*, Apriza Hongko Putra2, Dahelmi1, Robby Jannatan1 1 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang Jalan Limau Manis, Padang, 25163 STKIP YPM Bangko, Jalan Sudirman KM 2, Merangin, 37314 * Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] 2 Abstrak (Extended) Kecoak merupakan hama penting pemukiman (Urban Pest), terkait dari segi estetika, kesehatan dan ekonomi. Hasil penelitian kami, delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa kecoak jerman dari beberapa kota di Indonesia, telah resisten terhadap insektisida sintetik yang umum digunakan untuk pengendalian. Hal yang mengejutkan diketahui tingkat resistensi (RR50) terhadap permetrin dan fipronil di Indonesia tertinggi di dunia yaitu masing-masing 1013,17 dan 44,72 kali dibandingkan standar. Penemuan ini harus mendapatkan perhatian lebih, karena semakin tinggi tingkat resistensi dampak atau bahaya terhadap manusia dan lingkungan juga akan semakin tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut sangat perlu dicari jalan keluar (alternatif baru) yang efektif dan aman terhadap lingkungan agar usaha/pengendalian yang dilakukan tidak sia-sia. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan adalah penggunaan bio insektisida atau bioekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Bio insektisida mempunyai beberapa kelebihan diantaranya mudah terbiodegradasi aman terhadap lingkungan dan banyak tersedia di alam. Diantara tumbuhan yang dapat digunakan adalah sereh wangi (Cymbopogon nardus). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak sereh wangi dan efektif digunakan untuk pengendalian hama karena mengandung metabolit sekunder yang dapat menghambat perkembangan serangga bahkan untuk beberapa kasus dapat mematikan hama target. Sedangkan informasi efektifitas sereh wangi terhadap kecoak belum ditemukan. Selain jenis insektisida, hal yang harus diperhatikan adalah teknik atau cara aplikasi insektisida. Selama ini teknik untuk pengendalian kecoak melalui penyemprotan. Teknik penyemprotan memiliki kelemahan antara lain kurang tepat sasaran karena kecoak mempunyai mobilitas tinggi (sangat aktif) dan potensi kontaminasi lingkungan tinggi, waktu pengaplikasiannya tidaklah bisa setiap saat. Diantara metode aplikasi untuk pengendalian kecoak yang aman dan efisien adalah metode umpan atau bait. Metoda umpan dapat yang aplikasikan setiap saat. Pakan sebagai umpan harus mampu bersaing dengan pakan alami dan tingkat kesukaan kecoak terhadap makanan/pakan juga berbeda, maka perlu diketahui tingkat kesukaan makanan (preferensi makanan) yang paling tinggi untuk dijadikan umpan. Indonesia pengunaan umpan untuk pengendalian kecoak masih merupakan hal yang masih jarang. Hal ini juga disebabkan jenis umpan yang beredar dipasaran masih langka dan dengan harga jual yang sangat mahal. Umpan adalah campuran pakan dengan zat toksik (insektisida) dan beberapa senyawa lain. Syarat pakan yang baik dijadikan umpan adalah pakan yang paling disukai oleh target (disini kecoak), dan harus mampu bersaing dengan pakan alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis pakan yang paling disukai oleh beberapa strain kecoak jerman. Pakan yang digunakan, yaitu selai nanas, stroberi, kacang dan cokelat, memakai 200 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia metoda uji Tabung Y dengan sedikit modifikasi. Diamati, frekuensi kehadiran dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh masing-masing strain kecoak yang diujikan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jenis pakan yang paling banyak dikunjungi dan dikonsumsi oleh kecoak jerman strain VCRU-WHO, PLZ-PDG dan KRSA-BDG adalah selai nanas, sedangkan oleh strain GFA-JKT adalah selai stroberi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kesukaan antara kecoak strain GFA-JKT dengan strain lain (VCRU-WHO, PLZ-PDG, dan KRSA-BDG). Hasil analisis regresi antara frekuensi kehadiran dengan jumlah konsumsi pakan kecoak terdapat korelasi positif tetapi sangat rendah (tidak signifikan) hanya r = 0,52. Ini menunjukan bahwa pakan yang sering dikunjungi belum tentu pakan tersebut yang paling banyak dimakan. Hasil akhir penelitian ini diharapkan diperoleh formulasi umpan kecoak yang efektif untuk pengendalian kecoak. Kata kunci: Blattella germanica, kecoak jerman, resistensi, konsumsi pakan, preference food, umpan. 201 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia F – 01 Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) Terhadap Kutu Kepala (Pediculus humanus capitis) Ucu Julita1*, Ida Kinasih1, Ana Widiana1, Neng Ema Fadhilah Z.1 1 * Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) adalah serangga ektoparasitik kecil yang hidup dan makan pada kepala manusia. Aktivitas mereka mengakibatkan iritasi kulit kepala sehingga menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksiksitas serai wangi (Cymbopogon nardus L) terhadap kutu kepala (P. humanus capitis) dan untuk memperoleh konsentrasi optimum dan Lethal Concentration (LC50). Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah Static Test dan Filter Paper Diffusion Bioassay Method dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 3 ulangan. Konsentrasi yang diuji pada masing-masing minyak atsiri serai wangi adalah 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% dan kontrol negatif (0%) serta kontrol positif (Lindane 0,5%). Pengamatan mortalitas kutu kepala uji dilakukan setiap 30 menit sekali selama 24 jam. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam One Way ANOVA, bila berbeda nyata diuji lanjut dengan Duncan. Perhitungan LC50 menggunakan software analisis probit. Hasil penelitian menunjukkan minyak atsiri dapat dijadikan sebagai insektisida nabati untuk kutu kepala. Konsentrasi optimum yang mempunyai tingkat mortalitas tinggi pada kutu kepala dewasa dan nimfa adalah pada konsentrasi 6% dengan tingkat mortalitas sebanyak 100%. Hal ini menunjukkan bahwa, minyak atsiri dari serai wangi pada konsentrasi 6% menujukkan daya efektifitas yang sama dengan insektisida lindane 0,5% untuk memberantas kutu kepala. Nilai LC50-24jam untuk kutu kepala dewasa adalah 0,904 dengan waktu tercepat kematian pada konsentrasi 6% (selama 4 jam setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi). Sedangkan nilai LC50 dalam 24 jam untuk nimfa kutu kepala adalah 0,652 dengan waktu tercepat kematian pada konsentrasi 3% (selama 30 menit setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi). Kata kunci : Cymbopogon nardus L, Pediculus humanus capitis, Pediculosis capitis, Sitronella, minyak atsiri, insektisida nabati 202 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia PENDAHULUAN Kutu kepala (Pediculus humanus capitis) merupakan parasit obligat yaitu parasit yang seluruh siklus hidupnya mulai dari pradewasa sampai dewasa hidup bergantung pada inangnya. Kutu ini ditemukan pada rambut dan kulit kepala dan ditularkan terutama melalui kontak fisik. Perilaku dari kutu kepala ini dapat menyebabkan anemia sedangkan ciri awal dari adanya kutu ini adalah iritasi yang dapat menyebabkan masalah fisiologis dan sosial [1]. Dalam kasus lainnya, infeksi yang disebabkan oleh kutu kepala pada tingkat keparahan ditandai dengan adanya pengelupasan dan pengerasan kulit kepala, terutama di daerah belakang kepala. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan, rambut bisa menjadi kusut dengan adanya cairan yang mengandung sel-sel mati (exudate) dan mempermudah untuk jamur menginfeksi daerah tersebut [2]. Pediculus humanus capitis sering menyerang pada anak-anak, dengan kejadian maksimum antara 5 sampai 13 tahun. Meskipun kutu kepala bukanlah vektor penyakit pada manusia dan tidak menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan kepada orang-orang, kutu kepala ini dapat menyebabkan penderitaan sosial yang cukup besar, ketidaknyamanan dan kecemasan orang tua pada anak-anaknya karena tidak hadir pada saat sekolah dan bekerja [3]. Terdapat beberapa faktor yang dapat membantu penyebaran kutu kepala antara lain faktor sosial-ekonomi, tingkat pengetahuan, higiene perorangan, kepadatan tempat tinggal (misalnya di asrama, panti asuhan, sekolah dasar), dan karakteristik individu (umur, panjang rambut, dan tipe rambut). Akibat dari serangan kutu kepala yang tidak diobati dapat menimbulkan berbagai dampak pada penderitanya, antara lain berkurangnya kualitas tidur anak pada malam hari akibat rasa gatal, stigma sosial, rasa malu dan rendah diri [2]. Selama ini, teknik untuk mengendalikan kutu kepala masih bertumpu pada penggunaan insektisida anti kutu. Bahan kimia yang sering digunakan untuk mengendalikan kutu adalah bahan kimia termasuk berbagai insektisida sintetis yang bersifat racun saraf seperti DDT, lindane, malathion, carbaryl, dan permetrin [4]. Nutanson et al. [3] menyatakan bahwa sampai saat ini dapat dikatakan belum ada yang dapat membunuh 100% kutu kepala dan telurnya. Karena produk-produk ini digunakan secara berulang dan terlalu sering, saat ini serangan kutu kepala sulit dikendalikan karena telah meningkatnya resistensi kutu kepala itu sendiri terhadap obat kutu sintetik. Disamping dampak resistensi terhadap kutu itu sendiri, penggunaan obat kutu sintetik mengakibatkan dampak buruk bagi penggunanya. Lindane merupakan salah satu insektisida berbahaya yang digunakan untuk membasmi kutu rambut dan kudis. Dalam Beyond Pesticides [5] menyatakan bahwa Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) telah menyimpulkan bahwa lindane adalah karsinogen bagi manusia dan EPA telah mengklasifikasikan lindane sebagai karsinogen manusia berdasarkan tumor hati dan paru-paru pada tikus. Negara bagian California telah mendaftarkan lindane sebagai zat karsinogen sejak tahun 1989. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengobatan alternatif seperti dengan menggunakan bahan-bahan alami, salah satunya adalah penggunaan minyak atsiri yang berasal dari tumbuhan. Minyak atsiri atau disebut juga volatile oil atau essential oil adalah istilah yang digunakan untuk minyak mudah menguap dan diperoleh dalam tanaman (daun, bunga, buah, kulit batang dan akar) dengan cara destilasi. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni, akan tetapi merupakan campuran senyawa organik yang seringkali tersusun lebih dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan. 203 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Sebagian komponen minyak atsiri adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen, atau karbon, hidrogen, dan oksigen yang tidak bersifat aromatik. Senyawa-senyawa ini secara umum disebut terpenoid [6]. Minyak atsiri dari tumbuhan telah banyak digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai insektisida. Beberapa minyak atsiri menunjukkan bahwa mereka mungkin dapat diaplikasikan dalam pengendalian kutu secara tradisional [7]. Salah satu tanaman yang memiliki senyawa yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati yaitu serai wangi (C. nardus), karena serai wangi ini memiliki kemampuan untuk menurunkan populasi hama khususnya serangga. Serai wangi (C. nardus L) merupakan salah satu jenis tanaman penghasil minyak atsiri. Hasil penyulingan daunnya, diperoleh minyak serai wangi yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama citronella oil. Minyak serai wangi Indonesia dalam pasaran dunia terkenal dengan nama Java Citronella Oil. Bagian daun serai wangi banyak mengandung minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronelol, geraniol, mirsena, nerl, farsenol, metal heptenon, dan diptena. Bahan aktif yang mengandung zat beracun adalah sitronella dan geraniol [8][9]. Komponen utama minyak serai wangi adalah sitronella dan geraniol yang masing-masing mempunyai aroma yang khas dan melebihi keharuman minyak serai sendiri. Komponenkomponen tersebut diisolasi lalu diubah menjadi turunannya. Baik minyak, komponen utama atau turunannya banyak digunakan dalam industri kosmetika, parfum, sabun dan farmasi [10]. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui toksiksitas serai wangi (C. nardus L) terhadap kutu kepala (P. humanus capitis), mengetahui konsentrasi optimum dari serai wangi (C. nardus) yang dapat mematikan kutu kepala (P. humanus capitis), serta mengetahui Lethal Concentration (LC50) serai wangi (C. nardus) terhadap mortalitas kutu kepala (P. humanus capitis). BAHAN DAN METODA Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan di Poltekes Bandung dan Cisaat Sukabumi. Waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan yaitu Desember 2013 sampai Februari 2014. Alat Dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, kertas saring, pipet tetes, kain kasa, sisir serit, kertas label, gelas ukur, botol vial, gunting, cutter, mikroskop, oven, batang pengaduk, karet gelang, seperangkat alat destilasi dan alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serai wangi (bagian daun dan batangnya), kutu kepala, aquades, larutan tween 80%, sodium sulfate dan peditox dengan kandungan Lindane 0,5% sebagai kontrol positif. Kutu kepala dewasa dan nimfa dikumpulkan dari anak-anak Madrasah Diniyah antara usia 6-11 tahun, dengan persetujuan dari orang tua dan guru madrasah, bertempat tinggal di Kabupaten Sukabumi. Kutu kepala (Gambar 1) dikumpulkan dengan cara menyisir anak-anak yang terlihat terinfeksi kutu kepala. Setelah koleksi kutu kepala dikumpulkan dan disimpan pada helai rambut manusia dalam cawan petri. 204 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Gambar 1. Kutu kepala (P. humanus capitis) dewasa (a) dan nimfa (b). (Perbesaran 40x) Pembuatan Minyak Atsiri Serai Wangi Pembuatan minyak atsiri serai wangi dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu POLTEKES Bandung. Pembuatan minyak atsiri serai wangi dilakukan dengan cara destilasi uap yang bertujuan untuk mengambil minyak atsiri yang terkandung di dalam serai wangi tersebut. Mula-mula serai wangi yang telah didapatkan dibersihkan dari kotoran yang menempel kemudian dikering anginkan selama 3 hari di dalam suhu ruang. Serai wangi yang telah kering dipotong-potong dengan ukuran sekitar 3-5 cm lalu ditimbang daun dan batang serai wangi sebanyak 250 gram. Daun dan batang yang telah ditimbang dimasukan ke dalam labu destilasi leher dengan penambahan air sebagai pelarut di bawahnya. Air dipanaskan pada labu leher dua untuk digunakan sebagai pembangkit steam dan memasang selang pendingin dan menyalakan pendinginnya. Kemudian menyalakan pemanas hot plate dan mengatur daya panasnya sampai maksimal dan destilasi selama 3 jam lalu ditampung destilat dalam corong pemisah dan memisahkan minyak dari air, kemudian diambil hasil distilat dan distilat yang dihasilkan dimurnikan menggunakan sodium sulfat yang sebelumnya telah dipanaskan di dalam oven yang bertujuan untuk memaksimalkan penyerapan air pada distilat tersebut. Setelah itu ditambahkan sedikit demi sedikit sodium sulfat sampai air dalam hasil destilat tersebut habis. Minyak atsiri yang telah murni kemudian di simpan dalam botol vial berwarna coklat dan ditutup rapat yang bertujuan untuk mencegah proses penguapan. Minyak atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan dengan uap air dicampur dengan aquades + tween 80 sebagai agen pengemulsi. Untuk mendapatkan konsentrasi-konsentrasi tersebut maka digunakan perhitungan pengenceran, agar mendapatkan konsentrasi yang sesuai, maka digunakan rumus pengenceran menurut Baroroh (2004) dalam Astuti dkk (2012) : M1.V1 = M2.V2 Keterangan : M1: Konsentrasi larutan sebelum diencerkan V1: Volume larutan sebelum diencerkan M2: Konsentrasi larutan setelah diencerkan V2: Volume larutan setelah diencerkan 205 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Aplikasi Minyak Atsiri Serai Wangi Metode yang digunakan adalah Static Test, suatu metode uji dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan penggantian larutan maupun pemindahan organisme dan Pengujian bioassay menggunakan Filter Paper Diffusion Bioassay Method [11]. Pengujian dimulai dalam waktu 10 menit setelah pengumpulan kutu. Kertas saring diletakan ke dalam cawan petri lalu disimpan dalam cawan petri dan disimpan beberapa helai rambut. Cawan petri berisi kertas saring ditetesi dengan minyak atsiri serai wangi sesuai dengan konsentrasi yang digunakan kemudian kutu kepala dimasukan ke dalam cawan petri masing-masing 10 ekor dan ditutup menggunakan kain kasa dan diinkubasi dalam kondisi normal (suhu ruang) dan diamati kematian kutu kepala uji setiap 30 menit sekali selama 24 jam. Percobaan Pada penelitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 konsentrasi serta 3 kali ulangan. Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu uji range finding test dan definitive test. Pada range finding test yaitu uji pendahuluan digunakan 5 konsentrasi dengan kisaran yang lebar yaitu 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% dan peditox yang mengandung heksaklorosikloheksan (Lindane) 0,5% sebagai kontrol positif serta dilakukan tiga kali pengulangan dan setiap konsentrasi yang di uji diaplikasikan terhadap 10 ekor kutu kepala. Sedangkan pada definitive test digunakan untuk penentuan LC50-24j adalah konsentrasi yang dipersempit dari hasil range finding test dan digunakan 10 ekor kutu kepala masing-masing untuk nimfa kutu kepala dan kutu kepala dewasa. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah ketika kutu yang diberi perlakuan mati. Kutu dinilai mati jika tidak ada tanda-tanda vital seperti gerakan-gerakan kaki dan antenna setelah diberi rangsangan berupa sentuhan. Analisis Data Pengamatan mortalitas kutu kepala dilakukan dengan cara menghitung jumlah kutu kepala uji yang mati pada setiap perlakuan. Persentase kematian dihitung dengan rumus : (M = A/B x 100%) Keterangan : M = persentase mortalitas (%) A = Jumlah kutu kepala uji yang mati (ekor) B = Jumlah kutu kepala uji yang digunakan (ekor), Untuk mengetahui LC50 dilakukan Analisis Probit dengan menggunakan SPSS. 16 (Finney, 1971 dalam Ramadhani [12]). Data uji toksisitas akut dianalisis menggunakan analisis variasi (Anova) one way untuk menentukan signifikasi perlakuan yang dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui signifikasi antar perlakuan. 206 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat Mortalitas Kutu Kepala Dewasa (P. humanus capitis) Dari hasil penelitian yang dilakukan persentase mortalitas kutu kepala dewasa oleh minyak atsiri serai wangi didapatkan data seperti gambar di bawah ini. Gambar 2. Mortalitas kutu kepala dewasa (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi (C. nardus) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak atsiri dari serai wangi dengan konsentrasi 1% menunjukkan rata-rata mortalitas terendah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Seiring dengan peningkatan konsentrasi, rata-rata mortalitas kutu kepala dewasa juga semakin meningkat. Pada Gambar 2 juga dapat dilihat bahwa minyak atsiri dari serai wangi pada konsentrasi 6% menunjukkan jumlah mortalitas yang sama dengan lindane 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa, minyak atsiri dari serai wangi pada konsentrasi 6% menujukkan daya efektifitas yang sama dengan insektisida lindane 0,5% untuk memberantas kutu kepala. Berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis variasi (Anova) one way diketahui bahwa nilai signifikasi antar perlakuan kutu kepala dewasa dewasa pada serai wangi sebesar 0,03. Hal ini menunjukan bahwa nilai signifikasi antara perlakuan berbeda nyata. Gambar 3. Waktu mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi (C. nardus) 207 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Waktu mortalitas kutu kepala dewasa terbanyak pada minyak atsiri serai wangi tercepat yaitu pada konsentrasi 6%, terjadi pada 30 menit ke-8 (4jam) sedangkan pada kontrol positif (lindane 0,5%) mortalitas terbanyak yaitu terjadi pada 30 menit ke-16 (8 jam) setelah pemaparan (Gambar 3). Pengaruh Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) Dari hasil penelitian yang dilakukan persentase mortalitas kutu kepala oleh minyak atsiri serai wangi selama penelitian di dapatkan data seperti di Gambar 4. Gambar 4. Mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) setelah aplikasi minyak atsiri serai wangi (C. nardus) Hasil analisis menggunakan analisis variasi (Anova) one way diketahui bahwa nilai signifikasi antar perlakuan nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) pada serai wangi (C. nardus) menunjukan bahwa nilai antar perlakuan tidak berbeda nyata pada konsentrasi 2%, 3%, 4%, 5%, 6%, dan lindane 0,5%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa pada konsentrasi kecilpun minyak atsiri serai wangi dapat menyebabkan mortalitas kutu kepala dengan baik dan dapat dikatakan bahwa pemakaian konsentrasi mulai dari 1% sampai 6% mempunyai efektifitas yang sama dalam membunuh nimfa kutu kepala dari waktu ke waktu. Gambar 5. Waktu mortalitas nimfa kutu kepala (P. humanus capitis) oleh minyak atsiri serai wangi (C. nardus) 208 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Dari Gambar 5 diketahui untuk waktu mortalitas nimfa kutu kepala terbanyak pada minyak atsiri serai wangi tercepat yaitu pada konsentrasi 3%, terjadi pada 30 menit ke-1 (1/2jam) sedangkan pada kontrol positif (lindane 0,5%) mortalitas terbanyak yaitu terjadi pada 30 menit ke-11 (5 jam) setelah pemaparan. Mortalitas kutu kepala yang terjadi pada larutan minyak atsiri serai wangi terlihat bertahap, dimulai dari kemampuan anggota badan dan antena kutu kepala bergerak di tempat uji yang telah terpapar bahan uji sampai aktivitas bergerak ke tempat lain yang berkurang setiap jamnya. Hal tersebut menjadi salah satu sebab terjadinya kematian pada kutu. Berdasarkan Setiawati dkk. [13] senyawa sitronela yang terkandung dalam minyak atsiri serai wangi mempunyai sifat racun dehidrasi (desiccant), racun tersebut merupakan racun kontak yang dapat mengakibatkan kematian karena kehilangan cairan terus menerus. Serangga yang terkena racun ini akan mati karena kekurangan cairan. Penyerapan insektisida yang mempunyai efek racun kontak sebagian besar terjadi pada kutikula. Senyawa aktif akan berpenetrasi ke dalam tubuh serangga melalui bagian yang dilapisi oleh kutikula yang tipis, seperti selaput antar ruas, selaput persendian pada pangkal embelan dan kemoreseptor pada tarsus. Senyawa aktif diduga mampu berdifusi dari lapisan kutikula terluar melalui lapisan yang lebih dalam menuju hemolimpa, mengikuti aliran hemolimfa dan disebarkan ke seluruh bagian tubuh serangga sehingga lama kelamaan serangga akan kehilangan cairan secara terus menerus dan akan membuat tubuh serangga kehilangan cairan akhirnya mengalami kematian [14]. Selain dari racun kontak, senyawa sitronella juga bersifat racun saraf. Hal ini berdasarkan atas Tarumingkeng (1971) dalam Abidin dkk. [15] yang menyatakan bahwa mekanisme kerja dari senyawa sitronella ini yaitu sebagai racun kontak dan racun saraf, sebagai racun kontak masuk ke dalam tubuh rayap melalui lubang-lubang alami atau langsung masuk melalui mulut bersamaan dengan bahan makanan yang dimakan, kemudian senyawa ini akan masuk ke organ pencernaan dan diserap oleh dinding usus selanjutnya ditranslokasikan menuju ke pusat saraf. Saraf rayap yang terganggu akan mempengaruhi keseimbangan ion-ion yang ada dalam sel saraf sehingga menyebabkan kematian pada rayap. Selain dari sitronella, kandungan terpenting lainnya yang terdapat pada minyak atsiri serai wangi adalah geraniol. Menurut Ketaren (1985) dalam Suprianto [16] menyebutkan bahwa kandungan geraniol dalam minyak atsiri serai wangi sebesar 12-18%. Hasil penelitian lainnya menunjukan bahwa geraniol yang terkandung dalam minyak atsiri bunga kenanga mempunyai efektivitas sebagai pengusir nyamuk pada konsentrasi 0,120%, dan 0,180%. Dari segi sediaan lotion minyak atsiri bunga kenanga mempunyai warna dan sifat fisik yang stabil [17]. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa minyak atsiri bunga kenanga dengan kandungan geraniol dalam sediaan gel dengan konsentrasi 3% lebih baik digunakan sebagai agen penolak nyamuk [18]. Selain itu juga penelitian lainnya menunjukan bahwa minyak atsiri serai wangi (C. nardus) mempunyai efek insektisida terhadap nyamuk Aedes dewasa. Konsentrasi minimum ekstrak serai wangi (C. nardus) yang dapat membunuh maksimum nyamuk Aedes dewasa yaitu pada konsentrasi 30%. Pada konsentrasi 30% jam ke-4 dan ke-24 didapatkan efek ekstrak serai wangi (C. nardus) [19]. Komponen aroma dari minyak atsiri cepat berinteraksi saat dihirup, senyawa tersebut berinteraksi dengan sistem saraf pusat dan langsung merangsang pada sistem penciuman, kemudian sistem ini akan menstimulasi saraf-saraf pada otak di bawah kesetimbangan korteks serebral [20]. 209 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia Senyawa-senyawa berbau harum dari minyak atsiri suatu bahan tumbuhan telah terbukti pula dapat mempengaruhi aktivitas lokomotor [21]. Sedangkan pada hasil pengujian menggunakan peditox dengan kandungan Lindane 0,5%, tubuh kutu kepala mengalami kejang-kejang, akan tetapi masih terlihat gerakan kaki dan antenna. Lindane diserap melalui kulit dan masuk ke aliran darah. Lindane memiliki efek listrik yang mampu melumpuhkan saraf dari kutu rambut dan kutu-kutu lainnya. Ditemukan kenyataan bahwa lindane berpengaruh pada kekebalan dan sistem saraf. Penggunaan lindane sebagai obat jelas akan menuai pertanyaan mengenai kadar racun dan pengaruhnya bagi target yang diobati tersebut. Lindane di Indonesia sendiri diproduksi sebagian besar untuk obat kutu rambut, terutama yang bermerk Peditox. Bahan ini merupakan racun saraf dan diketahui mengakibatkan kerusakan terhadap hati dan ginjal, dan diduga menyebabkan kanker. Menurut Hicks dan Elston [22], efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia. Nilai LC50-24jam Minyak Atsiri Serai Wangi (C. nardus) Terhadap Kutu Kepala Dewasa dan Nimfa Kutu Kepala (P. humanus capitis) Analisis probit menunjukan bahwa nilai LC50 dalam 24 jam untuk minyak atsiri serai wangi yang dipaparkan terhadap kutu kepala dewasa yaitu sebesar 0,904 ml/100ml (0,904%). Hal tersebut menunjukan bahwa konsentrasi terendah dari minyak atsiri serai wangi yang dapat membunuh hingga 50% kutu kepala dewasa ialah sebesar 0,904 ml/100ml (0,904%) pada waktu pengamatan 24 jam setelah pemaparan. Hasil dari analisi probit menunjukan bahwa nilai LC50 dalam 24 jam untuk minyak atsiri serai wangi yang dipaparkan terhadap nimfa kutu kepala yaitu sebesar 0,652 ml/100ml (0,652%). Hal tersebut menunjukan bahwa konsentrasi terendah dari minyak atsiri serai wangi yang dapat membunuh hingga 50% kutu kepala ialah sebesar 0,652 ml/100ml pada waktu pengamatan 24 jam setelah pemaparan. KESIMPULAN Dari hasil penelitian uji toksisitas minyak atsiri serai wangi (C. nardus) Terhadap Tingkat Mortalitas Kutu Kepala (P. humanus capitis), maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Minyak atsiri serai wangi (C. nardus L. Rendle) bersifat dapat mematikan terhadap kutu kepala (P. humanus capitis). 2. Konsentrasi yang mempunyai tingkat mortalitas kutu kepala dewasa dan nimfa tertinggi adalah pada konsentrasi 6% dengan tingkat mortalitas sebanyak 100%. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa sitronela yang terkandung dalam minyak atsiri serai wangi mempunyai potensi yang hampir sama dengan lindane 0,5% sebagai insektisida alami. 3. Nilai LC50-24jam untuk kutu kepala dewasa adalah 0,904 dengan waktu tercepat untuk dapat membunuh kutu kepala dewasa adalah terjadi di konsentrasi 6% pada 30 menit ke-8 (4jam) setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi dan nilai LC50 dalam 24 jam untuk nimfa kutu kepala 210 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia adalah 0,652 dengan waktu tercepat untuk dapat membunuh kutu kepala dewasa adalah terjadi di konsentrasi 3% pada 30 menit ke-1 (1/2jam) setelah pemaparan minyak atsiri serai wangi Saran untuk penelitian selanjutnya adalah diperlukan pengujian penggunaan minyak atsiri serai wangi sebagai insektisida alami secara langsung dioleskan ke kepala penderita karena jika digunakan dalam bentuk lotion atau shampo ditakutkan keefektifan dari kandungan minyak atsiri serai wangi itu sendiri berkurang. DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] Yousefi, Saeedeh, Faezeh Shamsipoor dan Yaser Salim Abadi. 2012. Epidemiological Study of Head Louse (Pediculus humanus capitis) Infestation Among Primary School Students in Rural Areas of Sirjan County, South of Iran. Thrita J Med Sci. Vol 1 (2): 53-56. Sinaga, Riana Miranda. 2013. Efektifitas Alat Pemanas Pelurus Rambut Dalam Penanganan Pedikulosis Kapitis. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas. Medan. Sumatera Utara. Nutanson, I. C.J. Steen, R.A. Schwartz, C.K. Janniger. 2008. Pediculus humanus capitis: an update. Acta Dermatoven APA Vol 17 (4). Burgess IF. 2004. Human lice and their control. Annual Review of Entomology 49: 457-481. Beyond Pesticides. 2010. Chemical Watch Factsheet Lindane. A Beyond Pesticides Ptotecting Health and The Environment With Science, Policy and Action. Washington, DC. US. Guenther, E., 2006. Minyak Atsiri, Jilid 1, penerjemah Ketaren S., Penerbit UI Press, Jakarta. Toloza. A.C, Julio Zygadlo, Fernando Biurrun, Alicia Rotman, and María I Picollo. 2010. Bioactivity of Argentinean essential oils against permethrinresistant head lice, Pediculus humanus capitis. Journal of Insect Science. Vol 10. Kardinan, A. 1992. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta. Penerbit Penebar Swadaya. Emmyzar dan Muhammad, H. 2002. Budidaya Serai wangi (Cymbopogon nardus L). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 22 p Sukamto, M. Djazuli, dan Dedi Suheryadi. 2011. Seraiwangi (Cymbopogon nardus L) Sebagai Penghasil Minyak Atsiri, Tanaman Konservasi Dan Pakan Ternak. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat Dan Aromatik. Bogor. Purwal, Lipi., Vivek Shrivastava, UK Jain. 2010. Assessment of Pediculicidal Potential of Formulation Containing Essential Oils of Mentha piperita and Cymbopogan citratus. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. Ramadhani, 2009. Uji Toksisitas Akut Ektrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus atilis) Terhadap Larva Artemia Salina Leach Dengan Metoda Brain Shrimp Lethality Test (BST). Skripsi : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro Semarang. Setiawati, W And R. Murtiningsih. 2011. Kompatibilitas Minyak Serai Wangi dengan Predator Menochilus sexmaculatus Untuk Pengendalian Vector Penyakit Virus Kuning. Jurnal Holikultura XXI (4):344-352. Prijono, D. 1994. Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Abidin, M. Zaenal., Desita Salbiah., Agus Sutikno. 2012. Uji Penggunaan Tepung Serai Wangi (Cymbopogon nardus L.) Dalam Mengendalikan Rayap (Coptotermes curvignatus) Pada Skala Laboratorium. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Suprianto. 2008. Potensi Ekstrak Sereh Wangi (Cymbopogon nardus L.) Sebagai Anti Streptococcus Mutans. Skripsi. Program Studi Biokimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bariyah, Sry Rahayu Eka. 2010. Karakterisasi Simplisia Dan Uji Aktivitas Anti Nyamuk Dari Minyak Atsiri Bunga Tumbuhan Kenanga (Cananga Odorata (Lam.) Hook.F. & Thomson) Pada Sediaan Lotion. Skripsi. Program Ekstensi Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan. Johannes, Eva., Syahribulan, Isra Wahid., Wakidah. 2009. Uji Efektivitas Repelen Gel Ekstrak Bunga Kenanga (Canangium odoratum LAMK.) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti LINN. Majalah Farmasi dan Farmakologi vol 13 (3). Hal 81-84 Universitas Hasanuddin Jurusan Farmasi. Sardjono, Teguh W, Sudiarto, Inaas Azmy Haidar. 2011. Uji Efektivitas Ekstrak Serai Wangi (Cymbopogon nardus) Sebagai Insektisida Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Metode Fogging. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Buckle, J. 1999. Use of Aromatherapy as Complementary Treatment for Chronic Pain. J. Alternative Therapies; 5, 42-51. Buchbauer, G. 1993. Biological Effects of fragrances and Essential Oils. Journal Perfumer and flavorist; 18, 19 - 24. Hicks MI dan Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy. Vol 22 : 279-292. 211 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia F – 02 Kiat Menuju Zero Pesticide di Perkebunan Teh Wahyu Widayat1* 1 * Pusat Penelitian Teh dan Kina, Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Ekosisten perkebunan teh yang monokultur pasti akan berhadapan dengan organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mengendalikannya diperlukan pestisida yang cukup banyak, dampak negatifnya sangat merugikan lingkungan dan kesehatan manusia, serta membutuhkan biaya yang cukup mahal. Untuk menurunkan populasi serangga hama harus dilakukan perbaikan ekosistem perkebunan yang monokulture menjadi polikulture dengan cara : 1) Menanam minimal 5 jenis klon teh, 2) Penanaman berbagai jenis pohon pelindung. 3) Penanaman berbagai jenis pohon tepi jalan. 4) Pengelolaan pohon pelindung. 5) Budidaya tanaman sehat. 6) Penanaman pohon pelindung dari famili meliaceae untuk lokasi endemik serangan serangga. Dalam jangka waktu 3 tahun penggunaan pestisida untuk pengendalian OPT jauh menurun. Kata kunci: 212 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia F – 03 Perilaku Petani Lembang dan Pangalengan dalam Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang Asma Sembiring 1* 1 * Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Serangan hama penyakit pada tanaman kentang hingga saat ini masih menimbulkan masalah terhadap pertumbuhan kentang maupun produksi hasil tanamannya. Kehilangan hasil panen akibat serangan hama penyakit pada tanaman sayuran secara umum di atas 40% hingga mencapai 100%. Pada kentang, serangan penyakit tertentu seperti Phytophthora infestans mengurangi hasil kentang hingga 90%. Belum lagi ditambah dengan serangan hama dan penyakit lainnya. Dalam upaya mengatasi serangan tersebut serta untuk mengoptimalkan produksi panen kentang, petani menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kentang mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku petani Lembang dan Pangalengan dalam mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman kentang. Penelitian dilakukan dari bulan Mei hingga September 2009 di Lembang dan Pangalengan. Metode yang dilakukan adalah survei kepada 20 petani, masing-masing 10 petani kentang di Lembang dan 10 di Pangalengan. Data diolah secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan petani (80%) melakukan pencampuran pestisida untuk mengatasi hama dan penyakit pada kentang. Sebanyak 60% petani mencampurkan 2 jenis pestisida dalam penyemprotan. Sementara, 25% lainnya mencampur 3 jenis pestisida. Sebagian besar petani (80%) melakukan penyemprotan secara rutin, yakni 2 x seminggu. Dalam mengendalikan hama dan penyakit, 75% responden menyatakan menggunakan pestisida nabati dan hanya sedikit responden yang melakukan pengendalian dengan musuh alami, yaitu 3 responden (15%). Pada umumnya (90% responden) tidak menggunakan perangkap dalam pengendalian hama dan penyakit pada kentang. Akan halnya pengendalian secara mekanis, 50% responden menyatakan sering melakukannya, sementara 45% responden lainnya tidak melakukannya. Kata kunci : 213 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia F – 04 Karakteristik Morfologi Polong dan Hubungannya Dengan Ketahanan Terhadap Hama Pengisap Polong, Riptortus linearis M. Muchlish Adie1* dan Ayda Krisnawati 1 1 * Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) Jl. Raya Kendalpayak km 8 PO Box 66 Malang Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Hama pengisap polong, Riptortus linearis, menjadi hama potensial merugikan pada kedelai. Sebanyak 10 genotipe kedelai diidentifikasi karakter morfologinya di rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi) di Malang dari bulan Maret hingga Juni 2015. Setiap genotipe ditanam pada pot plastik. Ketahanan diuji dengan pilihan dan tanpa pilihan. Karakter morfologi yang diamati adalah panjang trikoma, jumlah trikoma, ketebalan kulit polong, panjang polong dan lebar polong. Pengelompokan ketahanan menggunakan metode Chiang dan Talekar. Ragam karakter morfologi polong berbeda antar genotipe. Panjang trikoma adalah 86.03 hingga 146.10 mm2 dengan rata-rata 110.26 mm, rentang kepadatan trikoma antara 15.67 – 33.33/4 mm (rata-rata 25.27 mm2), kisaran ketebalan kulit polong 86.77- 111.17 mm (rata-rata 99.12 mm), panjang polong beragam dari 2.43 – 5.43 cm (rata-rata 4.10 cm) dan kisaran dari karakter lebar polong 0.90 – 1.23 cm (rata-rata 1.04 cm). Pada uji dengan pilihan, karakter panjang trikoma dan ketebalan kulit polong masingmasing memiliki nilai korelasi r = -780** dan r = -786**, sedangkan pada uji tanpa pilihan, karakter panjang trikoma dan ketebalan kulit polong memiliki nilai korelasi masing-masing bernilai r = -933** dan r = -907**. Karakter morfologi polong yakni panjang trikoma dan ketebalan kulit polong berperan sebagai penentu ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong. Genotipe G100H tergolong tahan hama pengisap polong, berpeluang digunakan sebagai sumber gen peningkatan ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong. Kata kunci : Glycine max, pengisap polong, ketahanan morfologi. 214 Prosiding Seminar Nasional Perhimpuan Entomologi Indonesia Cabang Bandung 2015,15 Oktober 2015, Bandung, Indonesia F –05 Teknik Penyimpanan Ubi Jalar Segar Untuk Menurunkan Kerusakan Oleh Hama Boleng (Cylas formicarius) Retno Endrasari1* dan Sri Murtiati1 1 * Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah Penulis yang berkorespodensi : email: [email protected] Abstrak Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi sebagai bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak. Untuk mendapatkan mutu ubi jalar segar dibutuhkan kegiatan pascapanen yang benar supaya mutunya tetap terjaga. Salah satu kegiatan pascapanen yang penting pada produksi ubi jalar adalah penyimpanan. Kadar air yang tinggi dalam ubi jalar segar menyebabkan ubi jalar tidak tahan disimpan lama. Salah satu penyebab penurunan mutu ubi jalar segar selama penyimpanan adalah terinfeksi hama boleng. Hama boleng merupakan hama utama pada ubi jalar dan dapat merusak umbi yang disimpan di gudang. Hama tersebut juga dapat menurunkan hasil hingga 80%. Penurunan kualitas berpengaruh terhadap keragaan organoleptik dan kandungan fisikokimia ubi jalar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan hama boleng adalah suhu, kelembaban udara, cahaya, angin dan faktor makanan. Kata kunci: penyimpanan, ubi jalar, hama boleng 215