perlindungan hukum tertanggung dalam pembatalan polis yang

advertisement
PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG DALAM PEMBATALAN
POLIS YANG DILAKUKAN OLEH PENANGGUNG (STUDI KASUS
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 534/
Pdt.G/ 2011/ PN. Jkt-Sel ANTARA PT PRIM ACITRA PERDANA MELAWAN
PT ASURANSI AXA INDONESIA)
Siti Irniarti Pratiwi
0906520471
Abstrak
Polis adalah akta perjanjian dalam asuransi, polis dalam kegiatan asuransi merupakan
salah satu bentuk dari klausula baku, yakni suatu ketentuan yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Hal ini telah menimbulkan banyak ketidakpuasan terhadap pihak tertanggung, dimana
selama ini tertanggung selalu berada di pihak yang lemah. Fakta menunjukkan bahwa
tidak sedikit sengketa mengenai asuransi yang telah diajukan, seperti pihak
penanggung membatalkan polis ditengah-tengah masa periode yang masih
berlangsung. Membahas mengenai masalah pembatalan terhadap polis, di dalam
praktek kegiatan asuransi memang biasanya selalu diusahakan jangan sampai
pembatalan polis itu dilakukan berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata. Dalam skripsi
ini dapat dilihat bagaimana Penulis mencoba meneliti kembali hukum perikatan
secara teoritis khususnya yang berkaitan dengan pangkal sengketa mengenai
pembatalan polis dalam hukum yang dijadikan dasar serta alasan gugatan, serta
Penulis mengharapkan agar nantinya perusahaan asuransi dapat memberikan
perlindungan hukum sebagaimana mestinya terhadap pihak tertanggung. Penelitian
yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dimana bahan penelitian
berasal dari bahan bacaan yang dapat memberikan gambaran umum dan pengetahuan
mengenai topik yang dibahas.
Kata kunci:
Pembatalan polis
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Pendahuluan
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa manusia di dalam kehidupannya sering
kali mengalami kejadian yang tidak pasti, yakni peristiwa-peristiwa yang membawa
keuntungan, maupun sebaliknya yakni peristiwa-peristiwa yang membawa kerugian,
misalnya seseorang mengalami kecelakaan, kebakaran rumah, sakit, meninggal dunia,
dan peristiwa-peristiwa lain yang mengganggu ketentraman hidup manusia.
Lebih lanjut dari pengertian di atas, kemungkinan menderita kerugian dimaksud
dengan resiko. Secara sederhana, resiko dapat diartikan sebagai kemungkinan
menderita suatu kerugian.1
Dengan kata lain, dalam hidup manusia selalu menghadapi resiko. Namun,
manusia selaku ciptaan Tuhan dilengkapi dengan akal budi beserta kemampuan yang
cukup tinggi untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu manusia tidak
akan menyerah terhadap resiko yang menghadang di dalam menjalani kehidupannya.
Resiko bagaimanapun kecilnya tetap menimbulkan kerugian, maka ada beberapa cara
untuk mengatasi resiko yaitu dengan jalan2 :
a. Menghindari resiko
b. Mencegah resiko
c. Menahan resiko
d. Memindahkan resiko
Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan resiko mempunyai kegunaan
yang sangat bermanfaat, mereka yang menutup perjanjian asuransi akan merasa
tentram sebab mendapat perlindungan dari kemungkinan tertimpa kerugian, karena
resiko akan tertimpa kerugian telah dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai
pihak penanggung.
Dengan adanya kegunaan positif tersebut maka keberadaan asuransi perlu
dipertahankan
dan
dikembangkan.
Namun
untuk
mengembangkan
usaha
perasuransian banyak faktor yang perlu diperhatikan antara lain : peraturan
perundang-undangan yang memadai, kesadaran masyarakat, kejujuran para pihak,
pelayanan yang baik, tingkat pendapatan masyarakat, kejujuran para pihak,
1
Man Suparman Sastrawidjaya, Aspek-aspek Hukum Asuransi, dan Surat Berharga, cet.2,
(Bandung : PT. Alumni, 2003), hal. 1.
2
Tarsisi Tamuji, Wawasan Perasuransian (Semarang; IKIP Press 1990), hal.5.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
pemahaman akan kegunaan asuransi serta pemahaman yang baik terhadap ketentuan
perundang-undangan yang terkait.3
Asuransi sangat erat kaitannya dengan perjanjian. Namun perjanjian asuransi
mempunyai sifat dan ciri-ciri khusus, yakni antrara lain :4
a)
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian aletair, dan bukan perjanjian
kommutatif Maksudnya adalah bahwa prestasi dari Penanggung untuk
memberikan ganti rugi atau sejumlah uang kepada Tertanggung diganti
kepada peristiwa yang belum pasti terjadi. Dengan demikian terdapat
kesenjangan waktu diantara prestasi tertanggung
membayar premi
dengan haknya mendapat ganti rugi dari penanggung.
b)
Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat (conditional), maksudnya
adalah bahwa perjanjian ini merupakan suatu perjanjian yang prestasi
penanggung hanya akan terlaksana apabila syarat-syarat yang ditentukan
dalam perjanjian dipenuhui. Pihak tertanggung pada satu sisi tidak
berjanji untuk memenuhi syarat, tetapi ia tidak memaksa penanggung
melaksanakan, kecuali dipenuhinya syarat-syarat.
c)
Perjanjian asuransi merupakan perjanjian yang sepihak (unilateral).
Maksudnya bahwa perjanjian dimaksud menunjukkan bahwa hanya satu
pihak saja yang memberikan janji yaitu pihak penanggung. Penanggung
memberikan janji akan mengganti kerugian apabila tertanggung sudah
membayar premi dan polis sudah berjalan, sebaliknya tertanggung tidak
menjanjikan suatu hal apapun.
d)
Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang bersifat pribadi (personal),
maksudnya ialah bahwa kerugian yang timbul harus merupakan kerugian
orang perorangan, secara pribadi, bukan kerugian kolektif ataupun
kerugian masyarakat luas. Kerugian yang bersifat pribadi itulah yang
nantinya akan diganti oleh penanggung.
e)
Perjanjian asuransi adalah perjanjian yang melekat pada syarat
penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada
hakikatnya syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan
dan diciptakan oleh penanggung atau perusahaan asuransi sendiri, dan
3
Man Suparman Sastrawidjaya dan Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung
Deposito Asuransi Usaha Perasuransian, cet. 3, (Bandung : PT.Alumni, 2004), hal.1.
4
Ibid., hal. 7-8.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
bukan karena adanya kata sepakat yang murni atau tawar menawar. Oleh
karena itu, dapat dianggap bahwa kondisi perjanjian asuransi sebagian
besar ditentukan secara sepihak oleh penanggung sehingga penanggung
dianggap sebagai penyusun perjanjian dan seharusnya mengetahui banyak
tentang apa yang akan dikemukakan. Akibatnya apabila timbul pengertian
yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung.
f)
Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik yang
sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan
perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai atau
negosiasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang
sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk
memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat
tersembunyi.
Melihat sifat dan ciri-ciri khusus perjanjian asuransi adalah perjanjian yang
melekat pada syarat penanggung (adhesion), mengakibatkan sering kali pihak
tertanggung menjadi pihak yang dipermainkan oleh pihak Penanggung sebagai pihak
yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat. Sebagai contoh adalah pada prakteknya
pihak tertanggung harus mengikuti “kemauan” dari pihak penanggung berdasarkan
perjanjian yang tertuang dalam polis yang telah dibuat terlebih dahulu oleh pihak
Penanggung, tanpa memberi kesempatan kepada pihak tertanggung untuk
mengubahnya. Sehinggga dapat dikatakan bahwa perjanjian asuransi biasanya
menerapkan prinsip “take it or leave it”.
Perjanjian tertulis asuransi tertuang dalam polis. Polis adalah suatu istilah yang
digunakan dalam perjanjian asuransi. Dengan kata lain, polis adalah akta perjanjian
dalam asuransi. Polis biasanya memuat uraian yang sangat banyak dan rinci pada
bagian ‘resiko yang dipertanggungkan’ karena klausul tersebut merupakan ruang
lingkup pertanggungan yang menjadi kewajiban penanggung dan menjadi dasar
perhitungan premi yang menjadi kewajiban tertanggung. Selain bagian ‘resiko yang
dipertanggungkan’ tersebut, bagian dari polis yang memuat klausul yang banyak dan
rinci biasanya yang menyangkut prosedur. Misalnya klausul tentang prosedur
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
pembayaran dan penerimaan premi, prosedur pengajuan dan pembayaran klaim, dan
prosedur penyelesaian sengketa.5
Melihat penjelasan di atas, maka lahirlah perikatan yang bersumber dari
perjanjian yang tertuang dalam perjanjian tertulis (polis) antara pihak penanggung dan
pihak tertanggung dalam kegiatan asuransi. Perikatan didefinisikan sebagai suatu
hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu menuntut
sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.6 Dalam kegiatan asuransi hal tersebut dapat dilihat dengan adanya pihak
tertanggung yang sepakat untuk mengalihkan resikonya kepada penanggung dan
membayar sejumlah uang kepada penanggung sebagai premi atas pengalihan resiko
tersebut, sedangkan pihak penanggung sepakat untuk membayar atau membiayai
kerugian yang mungkin akan dialami oleh tertanggung pada saat terjadi resiko.
Polis dalam kegiatan asuransi merupakan salah satu bentuk dari klausula baku,
yakni suatu ketentuan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.7 Dalam klausula baku isi perjanjian
sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen hanya
dihadapkan pada dua pilihan yaitu take it or leave it, perjanjian baku yang terwujud
dalam polis, tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang
menandatanganinya.8
Hal ini telah menimbulkan banyak ketidakpuasan terhadap pihak tertanggung,
dimana selama ini tertanggung selalu berada di pihak yang lemah. Fakta
menunjukkan bahwa tidak sedikit sengketa mengenai asuransi yang telah diajukan,
baik melalui pengadilan maupun diluar pengadilan. Tidak hanya sampai disitu, dalam
kegiatan asuransi, seringkali tertanggung mengalami kesulitan pengurusan klaim,
bahkan penanggung mangkir untuk membayar klaim asuransi yang telah disepakati
dalam polis, dengan cara membatalkan polis ditengah-tengah masa periode yang
masih
berlangsung, hal itu jelas dirasa merugikan tertanggung sebagai pihak
konsumen dalam dunia asuransi. Hal-hal yang merugikan tertanggung dikhawatirkan
5
Kornelius Simanjuntak, Brian Amy Prasetyo, Myra R.B Setiawan, Hukum Asuransi, cet. 1,
(Depok: Kampus UI, 2011), hal 67-68. 6
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 8, (Jakarta: Intermasa, 2001), hal.1.
7
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal.18.
8
Ibid., hal. 118.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
dapat mengurangi rasa kepercayaan masyarakat untuk mengalihkan resiko mereka
pada perusahaan asuransi, karena dianggap hanya membuang-buang uang.
Untuk menghindari berkurangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap
kegiatan Asuransi, maka terdapat ketentuan yang berkaitan dengan perjanjian asuransi
dalam hubungannya dengan perlindungan bagi pihak tertanggung yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum perdata (KUHPER), Kitab Undang-Undang Hukum
dagang (KUHD), ketentuan dalam praktek asuransi seperti yang dapat dipelajari
dalam polis. Ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maupun
dalam polis yang telah disebutkan diatas dapat dipergunakan oleh pemegang polis
dalam mempertahankan hak-haknya pada suatu perjanjian asuransi .9
Pada kesempatan kali ini, Penulis ingin membahas mengenai masalah
pembatalan terhadap polis, berhubungan dengan hal pembatalan polis tersebut, di
dalam praktek kegiatan asuransi memang biasanya selalu diusahakan jangan sampai
pembatalan polis itu dilakukan berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, berarti polis
merupakan salah satu perjanjian yang telah melakukan pengenyampingan pasal 1266
KUHPerdata. Pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata ini dilakukan karena proses
pembatalan yang ditempuh melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar
dan waktu yang lama sehingga hal ini tidak efisien bagi para pelaku bisnis.10
Melalui studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 534/
Pdt.G/ 2011/ PN. Jkt- Sel antara PT Prima Citra Perdana Melawan PT Asuransi AXA
Indonesia mengenai putusan perbuatan melawan hukum atas pembatalan polis secara
sepihak yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia selaku Penanggung, yang
menggambarkan bahwa kedua belah pihak yakni pihak penanggung (PT Asuransi
AXA Indonesia) dan pihak tertanggung (PT Prima Citra Perdana) sama-sama
mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi yakni perjanjian asuransi heavy equipment
dan asuransi kendaraan bermotor, namun terdapat permasalahan ditengah berjalannya
masa periode kegiatan asuransi tersebut, pihak penanggung yakni PT Asuransi AXA
Indonesia melakukan pembatalan polis secara sepihak terhadap pihak tertanggung
yakni PT Prima Citra Perdana, sehingga menyebabkan PT Prima Citra Perdana
merasakan dirugikan. Atas kerugiannya tersebut, maka PT Prima Citra Perdana
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan bahwa pembatalan yang
9
Sastrawidjaya, op, cit., hal 8.
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus, cet.1, (Jakarta: Kencana, 2004),
10
hal. 63.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia tidak dimintakan pada hakim sesuai
dengan apa yang tercantum dalam pasal 1266 KUHPerdata.
Penulis mencoba meneliti kembali hukum perikatan secara teoritis khususnya
yang berkaitan dengan pangkal sengketa dalam hukum yang dijadikan dasar serta
alasan gugatan, serta Penulis mengharapkan agar nantinya perusahaan asuransi dapat
memberikan perlindungan hukum sebagaimana mestinya terhadap pihak tertanggung,
sehingga kegiatan asuransi ke depannya mendapat kepercayaan masyarakat
sepenuhnya sebagai lembaga untuk mengalihkan resiko dalam kehidupan.
Pembahasan
Polis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk akta perjanjian asuransi.
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang,
mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik di tahap awal,
selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian.11 Jadi polis tetap
mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan
merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat
bukti bagi tertanggung terhadap penanggung.12
Pada dasarnya setiap polis terdiri dari 4 bagian, yaitu :13
1.
Deklarasi, merupakan bagian yang berisikan keterangan-keterangan yang
tertanggung berikan kepada penanggung, yaitu identitas, nilai barang yang
bersangkutan, dan isinya.
2.
Klausula pertanggungan, merupakan bagian yang ditentukan oleh
penanggung dimana bagian ini disebutkan resiko-resiko apa saja yang akan
dipertanggungkan nantinya, syarat-syarat yang diminta oleh penanggung,
serta jumalah uang pertanggungan.
3.
Pengecualian-pengecualian, pada bagian ini berisikan ketentuan mengenai
kerugian yang dikecualikan oleh penanggung.
4.
Kondisi-kondisi, pada bagian ini dijelaskan mengenai apa yang menjadi
hak dan kewajiban para pihak, seperti pembayaran premi, ganti rugi yang
diberikan, subrogasi, pengembalian premi (restorno).
11
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet.4, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hal.123.
12
Ibid. 13
YE Kaihatu, Asuransi Kebakaran, hal 37.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Namun perlu diingat, karena polis asuransi adalah perjanjian yang melekat pada
syarat Penanggung (adhesion), karena di dalam perjanjian asuransi pada hakikatnya
syarat dan kondisi perjanjian hampir seluruhnya ditentukan dan diciptakan oleh
penanggung atau perusahaan asuransi sendiri, dan bukan karena adanya kata sepakat
yang murni atau tawar menawar. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa kondisi
perjanjian asuransi sebagian besar ditentukan secara sepihak oleh penanggung
sehingga penanggung dianggap sebagai penyusun perjanjian dan seharusnya
mengetahui banyak tentang apa yang akan dikemukakan. Akibatnya apabila timbul
pengertian yang tidak jelas, harus diuntungkan pihak tertanggung. Dalam praktek
kegiatan asuransi, biasanya perusahaan-perusahaan asuransi menggunakan formulir
polis mereka sendiri-sendiri dan mengisinya menurut kepentingan keadaannya atau
memakai standar polis yang bersifat internasional yang telah tersedia.14 Atau dengan
kata lain polis dalam kegiatan asuransi merupakan salah satu bentuk dari klausula
baku, yakni suatu ketentuan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.15
Walaupun di dalam klausula baku, isi perjanjian sepenuhnya ditentukan secara
sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu
"take it or leave it", perjanjian baku yang terwujud dalam polis, tetap merupakan
perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya.16 Polis merupakan
suatu bukti yang sempurna bahwa telah ditutupnya perjanjian asuransi antara pihak
penanggung dan tertanggung, maka erat kaitannya polis tersebut dengan perjanjian
yang ketentuan peraturannya terdapat dalam KUHPerdata. Perjanjian yang sah
berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak pembuatnya (pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata), artinya pihak-pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan menaati
undang-undang. Suatu asas penting dalam hukum perjanjian adalah asas kebebasan
berkontrak yang ditentukan dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu semua
perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
14
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, cet.5, (Surabaya: Usana Offset,
1982), hal 21.
15
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal.18.
16
Ibid., hal. 118.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Dengan menekankan kata perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan bagi masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka
yang membuatnya seperti undang-undang. 17 Sehingga jika ada yang melanggar
perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang,
yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa
melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang
telah ditetapkan dalam undang-undang.18 Oleh karena itu sistem hukum perjanjian
dinamakan sistem terbuka.
Melihat penjelasan diatas, maka dalam kegiatan asuransi, dapat dikatakan
bahwa polis merupakan suatu undang-undang bagi pihak tertanggung dan pihak
penanggung. Sehingga masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai
dengan apa yang tertera dalam polis. Berhubungan dengan pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata tersebut, maka polis dalam kegiatan asuransi dianggap merupakan
undang-undang yang bersifat khusus atau dalam istilah hukum biasa dikenal dengan
asas lex specialist derogat legi generali. Pengertian dari asas lex spesialist derogat
legi generali yakni undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan
pemberlakuan undang-undang yang bersifat umum, artinya apabila ada dua undangundang yang mengatur hal yang sama dengan isinya yang saling bertentangan, maka
hakim harus menerapkan undang-undang yang khusus mengatur tersebut.19
Selain itu, polis juga merupakan suatu bukti perikatan yang salah satu
ketentuannya, memuat ketentuan syarat batal di dalamnya, sehingga dapat dikatakan
bahwa polis merupakan suatu perikatan syarat batal, yakni perikatan yang sudah lahir
justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Dalam
prakteknya syarat batal ini sering dicantumkan dalam klausul yang mengatur tentang
kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian beserta penyebab dan konsekuensinya
bagi para pihak. Sehingga dengan kata lain, dengan terdapatnya syarat batal dalam
polis, maka polis menganut pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata juga sangat
sering dicantumkan dalam perjanjian untuk mengatur pemutusan perjanjian.
Ketentuan dalam pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata bukanlah keharusan, orang dapat
17
Tim Pengajar Pengantar Hukum Indonesia, Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia, (Depok:
Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 2008), hal. 155.
18
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, cet.3, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992),
hal. 97.
19
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, cet.1, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.60.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
menolak ketentuan itu dalam perjanjian, khusus untuk menghindari mereka terpaksa
pergi ke pengadilan untuk meminta pembatalan suatu perjanjian. 20 Karena suatu
keputusan pengadilan memerlukan waktu yang lama, mereka memilih melepaskan
ketentuan dalam pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata, yang keduanya bukanlah
ketentuan undan-undang yang mengandung keharusan.
Pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian (terminasi) dapat dilakukan
dengan penyebutan alasan pemutusan perjanjian, dalam hal ini, dalam perjanjian
diperinci alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat
memutus perjanjian. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan
salah satu pihak memutuskan perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi yang disebutkan
dalam perjanjian saja. Cara lain pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian
yakni kesepakatan kedua belah pihak. Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja,
karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, perjanjian dapat di
terminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak.
Ketentuan perlindungan bagi pemegang polis terdapat dalam KUHD,
KUHPerdata. KUHD sebagai sebagai sumber pengaturan dalam kegiatan asuransi
telah mencantumkan ketentuan perlindungan bagi pihak tertanggung (pemegang
polis), namun ketentuan perlindungan bagi pihak tertanggung dalam hal terjadinya
pembatalan dalam polis, KUHD sendiri tidak mengatur secara spesifik mengenai hal
tersebut. Hal pembatalan polis ini hanya diatur dalam pasal 254 KUHD, yakni
mengenai terjadinya pembatalan polis dilakukan untuk mencegah perjanjian asuransi
tidak menjadi perjudian. KUHPerdata sebagai ketentuan yang melengkapi KUHD,
lebih spesifik mengatur mengenai perlindungan bagi pemegang polis dalam hal terjadi
pembatalan. KUHPerdata mengatur bahwa jika terdapat kesesatan, paksaan dan
penipuan dari penanggung atau dengan kata lain tidak memenuhi syarat sah perjanjian
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata, maka dapat mengajukan
permohonan pembatalan perjanjian asuransi kepada pengadilan. Selain itu, terdapat
juga ketentuan pembatalan mengenai dapat dimintakannya pembatalan perjanjian ke
muka hakim berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata jika terjadi keterlambatan
pembayaran premi. Namun untuk pengaturan perlindungan tertanggung dalam hal
pembatalan yang dilakukan oleh penanggung akibat loss ratio, tidak dibayarnya
klaim, dll tidak terdapat di dalam KUHPerdata.
20
Tan Thong Kie, op.cit., hal. 380.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Dalam memahami adanya pembatalan polis yang dilakukan oleh penanggung,
maka terdapat suatu studi kasus yakni Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.534/Pdt.G/2011/ PN.Jkt-Sel yang akan dianalisa berdasarkan teori perikatan
dalam KUHPerdata.
Duduk Perkara
Perkara bermula dari perjanjian asuransi yang diadakan oleh pihak PT Prima
Citra Perdana dan pihak PT Asuransi AXA Indonesia. PT Prima Citra Perdana
merupakan badan usaha yang bergerak di bidang kontraktor tambang yang lokasi
kegiatan usahanya berada diseluruh wilayah negara Indonesia, sehingga untuk
melaksanakan kegiatan usahanya tersebut, PT Prima Citra Perdana dilengkapi dengan
alat-alat industri dan angkutan. Oleh karena itu, untuk menunjang kelancaran dalam
melakukan kegiatan usaha tersebut, PT Prima Citra Perdana melindungi harta
bendanya dengan jasa asuransi.
Setelah melakukan negosiasi dengan perusahaan asuransi, yakni PT Asuransi
AXA Indonesia untuk dilakukan penutupan asuransi, terjadilah kesepakatan antara
kedua belah pihak tersebut, sehingga mereka mengikatkan diri dalam sebuah
perjanjian asuransi, dimana dalam perjanjian tersebut PT Prima Citra Perdana
bertindak sebagai tertanggung dan PT Asuransi AXA Indonesia bertindak sebagai
penanggung. Perjanjian asuransi tersebut terbagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu
perjanjian asuransi heavy equipment dan perjanjian asuransi untuk kendaraan
bermotor. Perjanjian-perjanjian asuransi tersebut terdiri dari beberapa nomor polis
beserta masa periodenya, yakni :
A.
Polis-polis untuk asuransi heavy equipment
No. Polis
Masa Periode
PEG 10062034
15 Juli 2010 - 15 Juli 2011
PEG 10061887
15 Juli 2010 - 15 Juli 2011
PEG 00119432
15 Juli 2010 - 15 Juli 2011
PEG 10062572
9 Agustus 2010 - 9 Agustus 2011
PEG 10062747
21 Agustus 2010 - 21 Agustus 2011
PEG 10063182
1 September 2010 - 1 September 2011
B.
Polis-polis untuk asuransi kendaraan bermotor
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
No. Polis
Masa Periode
VPX 00120469
15 Juli 2010 - 14 Juli 2011
VPX 00121227
5 Agustus 2010 - 4 Agustus 2011
VPX 00125918
30 November 2010 - 29 November 2011
VPX 00126245
13 Februari 2010 - 12 Februari 2011
VPX 00126262
14 Desember 2010 - 13 Desember 2011
VPX 00121228
5 Agustus 2010 - 4 Agustus 2011
VPX 00125125
18 November 2010 - 17 November 2011
Dengan tercapainya kesepakatan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian
asuransi tersebut, PT Prima Citra Perdana mempunyai kewajiban untuk membayar
premi dan PT Asuransi AXA Indonesia mempunyai kewajiban untuk membayar
penggantian kerugian dalam masa periode pertanggungan sesuai dengan jumlah
pertanggungan yang tercantum dalam polis. Berdasarkan hal tersebut, maka seluruh
polis tersebut menjadi sah dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1313
KUHPerdata dan pasal 246 KUHD.
Namun, pada tanggal 20 Januari 2011, pihak penanggung (PT Asuransi AXA
Indonesia) yang diwakili oleh Gracia Shirley selaku Vice President Sales and
Distribution Dept menyampaikan secara lisan kepada pihak tertanggung (PT Prima
Citra Perdana rencana pihak penanggung untuk membatalkan polis-polis asuransi
heavy equipment yang belum berakhir masa periodenya dengan alasan rasio dari total
kerugian yang diklaim melebihi premi asuransi yang telah dibayar. Pihak tertanggung
pada waktu itu menolak rencana pembatalan tersebut karena pada kenyataannya klaim
yang diajukan pihak tertanggung belum melebihi total kerugian yang diklaim dari
jumlah pertanggungan (nilai pertanggungan maksimal hingga $5.048.450,00 USD dan
Rp 9.700.000.000 serta 3.526.000.000,00) dan alasan tersebut tidak dibenarkan dalam
prinsip bisnis dan hukum, serta pembatalan itu menunjukkan itikad buruk dari pihak
penanggung karena berusaha mangkir dari kewajiban penggantian kerugian dalam
kegiatan asuransi.
Kemudian, pihak penanggung mengalihkan sisa masa periode polis tersebut
kepada perusahaan asuransi lain yaitu PT Asuransi Indrapura, namun pengalihan
tanggung jawab tersebut tidak disertai dengan premi yang telah dibayar oleh pihak
tertanggung, sehingga pihak tertanggung tidak dapat mengajukan klaim terhadap PT
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Asuransi Indrapura. Akibat dari kesalahan dan itikad tidak baik dari PT Asuransi
AXA Indonesia tersebut, PT Prima Citra Perdana menanggapi dengan keberatannya,
sehingga PT Asuransi AXA Indonesia kembali menjalankan tanggung jawabnya
sebagai penanggung atas sisa waktu tanggungan dari pihak PT Prima Citra Perdana.
Pada tanggal 19 April 2011 PT Asuransi AXA Indonesia kembali mengeluarkan
surat yang pada pokoknya berisi pembatalan seluruh polis. Terhadap perjanjian
asuransi heavy equipment dengan alasan loss ratio dan frekuensi kecelakaan yang
tinggi, sedangkan terhadap perjanjian asuransi kendaraan bermotor dengan alasan
tidak dilengkapi dengan STNK dan BPKB, dimana masa periode semua perjanjian
asuransi tersebut belum berakhir.
Menanggapi surat pembatalan yang dikeluarkan oleh PT Asuransi AXA
Indonesia tersebut, PT Prima Cita Perdana mengajukan keberatan dan somasi pada
tanggal 25 Mei 2011, karena alasan yang diajukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia
tidak masuk akal dan mengada-ada. Sebab alasan pada pembatalan polis asuransi
heavy equipment adalah bahwa yang dimaksud dengan loss ratio oleh PT Asuransi
AXA Indonesia adalah nilai premi asuransi yang dibayarkan berbanding dengan nilai
kerugian yang diklaim dan tidak berdasarkan dengan nilai pertanggungan. Sedangkan
pada perjanjian asuransi kendaraan bermotor bahwa tidak memiliki STNK dan BPKB
merupakan alasan yang tidak masuk akal, karena pada awal perjanjian polis, pihak PT
Asuransi AXA Indonesia seharusnya telah melakukan inspeksi (proses underwriting)
secara menyeluruh terhadap kendaraan bermotor yang diasuransikan untuk
menghindari munculnya hal-hal yang merugikan dikemudian hari.
Akan tetapi, PT Asuransi AXA Indonesia tetap melaksanakan pembatalan polis
tersebut secara sepihak. PT Prima Citra Perdana sangat merasa dirugikan dengan
adanya tindakan pembatalan polis secara sepihak yang dilakukan oleh PT Asuransi
AXA Indonesia, karena PT Prima Citra Perdana beranggapan bahwa pembatalan polis
yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia tidak berdasarkan alasan atau syarat
yang ditentukan dalam perjanjian sebagai isyarat pembatalan perjanjian dan PT Prima
Citra Perdana juga selalu memenuhi kewajibannya yakni membayar premi.
Pembatalan polis secara sepihak yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA
Indonesia, karena pihaknya menganggap bahwa hukum pembatalan yang dilakukan
oleh PT Asuransi AXA Indonesia diatur dalam kondisi 9 Polis Asuransi Contractors
Plant and Machinery (polis asuransi heavy equipment) dan dalam polis Standar
Asuransi Kendaraan Bermotor diatur dalam pasal 27 ayat (1).
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Kondisi 9 Polis Asuransi Contractors Plant and Machinery menyatakan :
"This policy may be terminated at the request of the insured at any time in
which case the insurers will retain the customary short-period rate for the time
this policy has been in force. This policy may equally be terminated at the
oprion of the insurerd by seven days notice to the effect being given to the
insured which case the insurers will be liable to repay on demand a rateable
proportion of the premium for the unexpired term form the date of cancellation
less any reasonable inspection charges the insurers may have incurred."
Sementara pasal 27 ayat (1) Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor
Indonesia menyatakan :
"Selain dari hal-hal yang diatur pada pasal 6 ayat (2), penanggung dan
tertanggung masing-masing berhak setiap waktu menghentikan pertanggungan
ini dengan memberitahukan alasannya. Pemberitahuan penghentian dimaksud
dilakukan secara tertulis melalui surat tercatat oleh pihak yang menghendaki
pengehntian pertanggungan kepada pihak lainnya di alamat terakhir yang
diketahui. Penanggung bebas dari segala kewajiban berdasarkan polis ini, 5
(lima) hari kalender terhitung sejak tanggal pengiriman surat tercatatnya untuk
pemberitahuan tersebut."
Maka dengan adanya ketentuan tersebut dalam polis, pihak PT Asuransi AXA
Indonesia merasa berhak untuk memutus perjanjian dengan pihak PT Prima Citra
Perdana. Sedangkan dengan adanya pembatalan perjanjian sepihak tersebut, pihak PT
Prima Citra Perdana merasa sangat dirugikan. Karena dengan adanya tindakan
pembatalan polis yang dilakukan oleh pihak PT Asuransi AXA Indonesia, pihak PT
Prima Citra Perdana telah kehilangan haknya atas sisa masa periode asuransi yang
belum dijalani, dimana seharusnya pihak PT Prima Citra Perdana dapat mengajukan
klaim atas sesuatu kerugian yang disebabkan oleh hal-hal yang tak tentu, apalagi
menurut pihak PT Prima Citra Perdana, alasan pembatalan polis yang diajukan oleh
pihak PT Asuransi AXA Indonesia yakni untuk polis heavy equipment adalah loss
ratio dan frekuensi kecelakaan yang tinggi serta untuk polis kendaraan bermotor
adalah tidak adanya STNK dan BPKB
menunjukkan adanya itikad buruk
sebagaimana yang telah dijelaskan secara singkat diatas.
Dalam gugatannya, PT Prima Citra Mandiri mendasarkan gugatannya pada
perbuatan melawan hukum atas serangkaian tindakan pihak PT Asuransi AXA
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Indonesia yang melakukan pembatalan polis secara sepihak dengan tidak mengacu
pada pasal 1266 KUHPerdata.
Analisa :
Majelis Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap
kasus tersebut memutuskan bahwa pihak PT Asuransi AXA Indonesia telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang didasarkan karena pembatalan polis
asuransi yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia tidak berdasarkan alasan
atau syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam syarat batalnya perjanjian pada
pasal 1266 KUHPerdata.
Menurut pasal 1266 KUHPerdata, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai
syarat supaya pembatalan itu dapat dilakukan. Tiga syarat itu adalah :
a) Perjanjian bersifat timbal balik;
b) Harus ada wanprestasi;
c) Harus dengan putusan hakim.
Dalam kasus, dengan adanya polis, kedua belah pihak harus taat terhadap polis,
karena polis merupakan wujud dari ketentuan-ketentuan yang telah mereka sepakati
dalam melaksanakan kegiatan asuransi, sehingga mereka harus menaati ketentuan
yang tercantum seperti undang-undang, sesuai dengan pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, jika terdapat pembatalan yang dilakukan oleh salah satu pihak baik itu
pihak penanggung maupun tertanggung maka harus sesuai atau mengikuti ketentuan
yang terdapat dalam polis.
Polis dalam kegiatan asuransi merupakan salah satu bentuk dari klausula baku,
yakni suatu ketentuan yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.21 Dalam klausula baku isi perjanjian
sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha dan konsumen hanya
dihadapkan pada dua pilihan yaitu take it or leave it, perjanjian baku yang terwujud
dalam polis, tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang
menandatanganinya.22 Polis merupakan suatu bukti yang sempurna bahwa telah
ditutupnya perjanjian asuransi antara pihak penanggung dan tertanggung, maka erat
kaitannya polis tersebut dengan perjanjian yang ketentuan peraturannya terdapat
21
Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hal.18.
22
Ibid., hal. 118.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
dalam KUHPerdata. Perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihakpihak pembuatnya (pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata), artinya pihak-pihak harus
menaati perjanjian itu sama dengan menaati undang-undang atau yang biasa kita sebut
dengan asas pacta sunt servanda.
Dengan menekankan kata perkataan semua, maka pasal tersebut seolah-olah
berisikan suatu pernyataan bagi masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka
yang membuatnya seperti undang-undang. 23 Sehingga jika ada yang melanggar
perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang,
yang mempunyai akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi barang siapa
melanggar perjanjian yang ia buat, maka ia akan mendapat hukuman seperti yang
telah ditetapkan dalam undang-undang.24 Oleh karena itu sistem hukum perjanjian
dinamakan sistem terbuka.
Dalam kegiatan asuransi, dapat dikatakan bahwa polis merupakan suatu
undang-undang bagi pihak tertanggung dan pihak penanggung. Sehingga masingmasing pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang tertera dalam
polis. Berhubungan dengan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut, maka polis
dalam kegiatan asuransi dianggap merupakan undang-undang yang bersifat khusus
atau dalam istilah hukum biasa dikenal dengan asas lex specialist derogat legi
generali. Pengertian dari asas lex spesialist derogat legi generali yakni undangundang yang bersifat khusus mengenyampingkan pemberlakuan undang-undang
yang bersifat umum, artinya apabila ada dua undang-undang yang mengatur hal yang
sama dengan isinya yang saling bertentangan, maka hakim harus menerapkan undangundang yang khusus mengatur tersebut.25
Di dalam praktek kegiatan asuransi selalu diusahakan jangan sampai
pembatalan polis itu dilakukan berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, karena jika
meminta pembatalan polis berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, maka setiap
dilakukan pembatalan, maka setiap kali itulah penanggung harus menghadap ke muka
hakim.26 Untuk mencegah itu maka di dalam praktek dipakailah suatu klausula dalam
ketentuan polis yang berisikan bahwa berarti polis merupakan salah satu perjanjian
yang telah melakukan pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata. Pengenyampingan
23
Tim Pengajar Pengantar Hukum Indonesia, op.cit., hal. 155.
Muhammad, op.cit., hal. 97.
25
Mas, op.cit., hal.60.
26
Simanjuntak, op.cit., hal.41
24
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
pasal 1266 KUHPerdata juga sangat sering dicantumkan dalam perjanjian untuk
mengatur pemutusan perjanjian. Pengenyampingan pasal ini mempunyai makna
bahwa jika para pihak ingin memutuskan perjanjian mereka, maka para pihak tidak
perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputus langsung oleh para
pihak. Pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata ini sendiri sebenarnya masih
merupakan kontroversi diantara para ahli hukum maupun praktisi. beberapa alasan
yang mendukung pendapat ini, misalnya pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi para pembuatnya, sehingga pengeyampingan pasal 1266 KUHPerdata ini
harus ditaati oleh kedua belah pihak, ditambah lagi bahwa jalan yang ditempuh
melalui pengadilan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama
sehingga hal ini tidak efisien bagi para pelaku bisnis.27
Selain itu, menurut pendapat Tan Thong Kie, ketentuan dalam pasal 1266 dan
1267 KUHPerdata bukanlah keharusan, orang dapat menolak ketentuan itu dalam
perjanjian, khusus untuk menghindari mereka terpaksa pergi ke pengadilan untuk
meminta pembatalan suatu perjanjian.28 Dalam suatu perjanjian timbal balik, dengan
atau tanpa syarat batal di dalamnya, dicantumkan bahwa para pihak melepaskan pasal
1266 dan 1267 KUHPerdata, Inilah yang tidak dapat diterima orang, karena suatu
keputusan pengadilan memerlukan waktu yang lama, mereka memilih melepaskan
ketentuan dalam pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata, yang keduanya bukanlah
ketentuan undan-undang yang mengandung keharusan. Pelepasan pasal itu
menyebabkan bahwa para pihak, dengan waktu yang ditetapkan, setuju bahwa
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya sudah batal.29
Dengan adanya pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata dalam polis, maka
dipakailah suatu klausula dalam ketentuan polis yang berisikan mengenai syarat atas
pembatalan polis. Walupun dengan adanya ketentuan pengenyampingan pasal 1266
KUHPerdata dirasa merugikan pihak tertanggung, namun sudah seharusnya kita
mematuhi apa yang telah dicantumkan dalam perjanjian sebagai ketentuan yang harus
ditaati oleh kedua belah pihak berdasarkan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Ketentuan pembatalan yang terdapat dalam polis asuransi heavy equipment
yang tercantum dalam kondisi 5, kondisi 8 poin (a), dan kondisi 9 Polis Asuransi
27
Suharnoko, op.cit., hal. 63.
Tan Thong Kie, op.cit.,hal. 380.
29
Ibid.
28
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Contractors Plant and Machinery (polis asuransi heavy equipment) serta ketentuan
dalam polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor diatur dalam pasal 6, pasal 7,
pasal 8, pasal 10, dan pasal 27 ayat (1) merupakan suatu bentuk pengenyampingan
pasal 1266 KUHPerdata. Melalui ketentuan-ketentuan pembatalan tersebut, pihak
penangggung dapat membatalkan polis tanpa
meminta putusan pengadilan,
pembatalan polis dapat terjadi jika syarat batal yang tercantum dalam ketentuan
tersebut terjadi.
Namun yang terjadi, dalam kasus, pihak PT Prima Citra Perdana mendalilkan
gugatannya bahwa pembatalan polis yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA
Indonesia tersebut tidak berdasarkan alasan atau syarat yang ditentukan dalam
perjanjian sebagai syarat pembatalan dalam perjanjian, serta pembatalan tersebut
tanpa melalui permintaan atau permohonan hakim atau pengadilan sehingga
pembatalan yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia merupakan suatu
perbuatan melawan hukum, karena nyata-nyata telah bertentangan dengan pasal 1266
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHPerdata.
Sedangkan, menurut PT Asuransi AXA Indonesia, pembatalan polis secara
sepihak yang dilakukan oleh pihaknya, dikarenakan pihaknya menganggap bahwa
hukum pembatalan yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia telah diatur
dalam kondisi 9 Polis Asuransi Contractors Plant and Machinery (polis asuransi
heavy equipment) dan dalam pasal 27 ayat (1) polis Standar Asuransi Kendaraan
Bermotor.
Kondisi 9 Polis Asuransi Contractors Plant and Machinery menyatakan :
"This policy may be terminated at the request of the insured at any time in
which case the insurers will retain the customary short-period rate for the time
this policy has been in force. This policy may equally be terminated at the
option of the insurerd by seven days notice to the effect being given to the
insured which case the insurers will be liable to repay on demand a rateable
proportion of the premium for the unexpired term form the date of cancellation
less any reasonable inspection charges the insurers may have incurred."
Sementara pasal 27 ayat (1) Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor
Indonesia menyatakan :
"Selain dari hal-hal yang diatur pada pasal 6 ayat (2), penanggung dan
tertanggung masing-masing berhak setiap waktu menghentikan pertanggungan
ini dengan memberitahukan alasannya. Pemberitahuan penghentian dimaksud
dilakukan secara tertulis melalui surat tercatat oleh pihak yang menghendaki
pengehntian pertanggungan kepada pihak lainnya di alamat terakhir yang
diketahui. Penanggung bebas dari segala kewajiban berdasarkan polis ini, 5
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
(lima) hari kalender terhitung sejak tanggal pengiriman surat tercatatnya untuk
pemberitahuan tersebut."
Maka dengan adanya ketentuan pembatalan tersebut dalam kedua polis, pihak
PT Asuransi AXA Indonesia merasa berhak untuk memutus perjanjian dengan pihak
PT Prima Citra Mandiri. Penulis berpendapat bahwa ketentuan yang tercantum dalam
kondisi 9 polis heavy equipment dan pasal 27 ayat (1) polis kendaraan bermotor
merupakan ketentuan yang termasuk ke dalam syarat batal yang tercantum dalam
perjanjian, sehingga dengan dipenuhinya syarat batal dalam ketentuan tersebut, yakni
pihak penanggung telah memberikan surat pemberitahuan tentang pembatalan beserta
alasan kepada pihak penanggung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
penghentian polis (pada tanggal 19 April 2011 pihak penanggung memberikan surat
pemberitahuan untuk membatalkan polis-polis, efektif tanggal 19 Mei 2011), maka
polis dapat batal sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati dalam polis.
Bagaimanapun juga polis yang telah disepakati kedua belah pihak wajib untuk ditaati,
dengan dianutnya ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, maka jelas mengenai
ketentuan pembatalan perjanjian sesuai dengan pasal 1266 KUHPerdata patut untuk
dikesampingkan. Sehingga pembatalan ke muka hakim tidak wajib dilakukan oleh
pihak penanggung.
Dalam perkara tersebut, pihak PT Prima Citra Perdana juga mendalilkan
gugatannya bahwa pihaknya merasa dirugikan karena alasan pembatalan polis-polis
tersebut tidak didasarkan ketentuan yang tercantum dalam polis maupun dibenarkan
menurut bisnis dan hukum. Untuk alasan pada pembatalan polis asuransi heavy
equipment, yakni loss ratio yang dimaksud oleh pihak PT Asuransi AXA Indonesia
adalah bahwa nilai premi asuransi yang dibayarkan berbanding dengan nilai kerugian
yang diklaim dan tidak berdasarkan nilai pertanggungan, padahal kenyataannya klaim
yang diajukan pihak PT Prima Citra Perdana belum melebihi total kerugian yang
diklaim dari jumlah pertanggungan (nilai pertanggungan maksimal hingga
$5.048.450,00 USD dan Rp 9.700.000.000 serta 3.526.000.000,00) dan alasan
tersebut tidak dibenarkan dalam prinsip bisnis maupun hukum, tidak sesuai dengan
pasal 253 ayat (1) KUHD yang menyatakan bahwa jumlah kerugian yang diklaim
berbanding jumlah nilai pertanggungan dalam perjanjian a quo. Sedangkan untuk
alasan frekuensi kecelakaan yang tinggi seharusnya pihak PT Asuransi AXA
Indonesia, sebelum melakukan penutupan perjanjian asuransi dengan pihak PT Prima
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Citra Perdana telah memperhitungkan resiko kecelakaan terhadap alat-alat berat yang
dijadikan obyek asuransi dalam perjanjian asuransi heavy equipment dalam proses
underwritting yang menjadi prosedur baku sebagai kewajiban pihak PT Asuransi
AXA Indonesia selaku penanggung untuk melakukan inspeksi dan analisa secara
menyeluruh terhadap alat-alat berat yang diasuransikan. Namun jika memang
ditengah-tengah masa periode asuransi, terjadi suatu keadaan yang memberatkan
resiko terhadap obyek yang telah diasuransikan, pihak PT Asuransi AXA Indonesia
tidak seharusnya langsung melakukan pembatalan terhadap polis secara sepihak
begitu saja. Sekiranya pihak penanggung perlu mengadakan suatu pertimbangan
untuk menilai apakah perubahan resiko yang terjadi itu cukup memberatkan pihak
penanggung atau tidak, jika perubahan resiko tersebut masih dapat ditolerir dan
disanggupi oleh pihak penanggung, maka pihak penanggung dapat menentukan
kebijakan lain, seperti menentukan premi baru atau jika pihak penanggung tidak lagi
menyanggupi, mereka dapat melakukan pembatalan dengan pengembalian premi
kepada pihak tertanggung sesuai yang diatur dalam kondisi 9 polis heavy equipment.
Untuk alasan pada pembatalan polis asuransi kendaraan bermotor, yakni tidak
adanya STNK dan BPKB pada kendaraan bermotor yang telah diasuransikan, maka
pihak PT Asuransi AXA Indonesia selaku pihak penanggung sebelum melakukan
penutupan perjanjian asuransi dengan pihak PT Prima Citra Perdana telah melakukan
inspeksi secara menyeluruh dan memperhitungkan keadaan kendaraan bermotor yang
diasuransikan secara cermat atas seluruh resiko yang akan terjadi nantinya pada
kendaraan bermotor yang dijadikan obyek asuransi dalam perjanjian asuransi
kendaraan bermotor dalam proses underwritting, untuk menghindari munculnya halhal yang merugikan dikemudian hari. Menurut asumsi Penulis, jika proses
underwritting tersebut telah dilakukan sebagaimana mestinya, maka sudah sepatutnya
pihak PT Asuransi AXA Indonesia telah memperhitungkan fakta tidak adanya STNK
dan BPKB kendaraan bermotor yang telah diasuransikan sebagai resiko yang akan
ditanggung olehnya. Kecuali PT Prima Citra Perdana melakukan suatu penipuan atau
penyembunyian fakta mengenai tidak adanya STNK dan BPKB kendaraan bermotor
tersebut, jika hal itu terbukti, maka pembatalan perjanjian dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang ada dalam pasal 6 polis asuransi kendaraan bermotor. Atau
lebih lanjut lagi, mengenai masalah penipuan ini dapat dilaporkan pihak penanggung
kepada pihak yang berwajib sesuai dengan pasal 378 KUHP.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Kiranya dapat diingat kembali bunyi klausul pembatalan yang tercantum dalam
ketentuan dalam kondisi 9 polis asuransi heavy equipment dan pasal 27 ayat (1) polis
standar asuransi kendaraan bermotor yang menyebutkan bahwa kedua belah pihak
dapat membatalkan polis dengan mengajukan surat tertulis disertai dengan alasannya.
Jadi sesuai dengan isi klausul pembatalan tersebut, maka pihak PT Asuransi AXA
Indonesia berhak untuk melakukan pembatalan polis.
Namun, menurut Penulis dengan adanya ketentuan dalam kondisi 9 polis
asuransi heavy equipment dan pasal 27 ayat (1) polis asuransi kendaraan bermotor,
ketentuan tersebut merupakan ketentuan karet, Kedua belah pihak sama-sama
mempunyai hak untuk membatalkan polis, dengan hanya melakukan pemberitahuan
penghentian yang dimaksud secara tertulis oleh pihak yang menghendaki penghentian
pertanggungan kepada pihak lainnya dengan alasan apapun. Ketentuan ini dapat saja
dijadikan dasar bagi pihak yang tidak beritikad baik untuk melakukan kecurangan
dengan cara melakukan pembatalan polis untuk mangkir dari kewajiban
sesungguhnya, akibatnya tindakan pembatalan tersebut memberikan kesan adanya
suatu pembatalan secara sepihak yang dilakukan oleh salah satu pihak. Seperti yang
terjadi dalam kasus yang terdapat dalam putusan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 534/ Pdt.G/ 2011/ PN. Jkt-Sel Mengenai Putusan Perbuatan Melawan
Hukum yang dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia terhadap PT. Prima Citra
Perdana. Sehingga menurut Penulis, ketentuan pembatalan yang terdapat dalam polis
sesungguhnya
hanya
menguntungkan
pihak
penangggung
dan
kurang
menggambarkan pelindungan bagi pihak tertanggung yang jelas-jelas mempunyai
posisi yang lemah dalam perjanjian asuransi.
Sudah seharusnya dalam ketentuan pembatalan seperti yang tercantum dalam
kondisi 9 polis asuransi heavy equipment dan pasal 27 ayat (1) polis asuransi
kendaraan bermotor dilengkapi dengan memperinci alasan-alasan apa saja yang dapat
dijadikan dasar untuk pembatalan polis, sehingga ketentuan tersebut tidak dijadikan
dasar bagi pihak yang tidak beritikad baik untuk membatalkan polis dengan
menggunakan alasan apa saja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penutup
Dari penjabaran yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa :
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
a) Pihak penanggung dapat membatalkan polis dengan alasan loss ratio sesuai
dengan klausul pembatalan yang tercantum dalam polis yang menyebutkan
bahwa kedua belah pihak dapat membatalkan polis dengan mengajukan surat
tertulis disertai dengan alasannya. Jadi sesuai dengan isi klausul pembatalan
tersebut, dalam kasus, maka pihak PT Asuransi AXA Indonesia berhak untuk
melakukan pembatalan polis.
b) KUHD sendiri tidak mengatur secara spesifik mengenai hal pembatalan polis.
Hal pembatalan polis ini hanya diatur dalam pasal 254 KUHD, yakni mengenai
terjadinya pembatalan polis dilakukan untuk mencegah perjanjian asuransi tidak
menjadi perjudian, sedangkan KUHPerdata lebih spesifik mengatur mengenai
perlindungan bagi pemegang polis dalam hal terjadi pembatalan. KUHPerdata
mengatur bahwa jika terdapat kesesatan, paksaan dan penipuan dari penanggung
dapat
mengajukan
pengadilan
dan
permohonan
juga
terdapat
pembatalan
ketentuan
perjanjian
pembatalan
asuransi
mengenai
kepada
dapat
dimintakannya pembatalan polis berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata jika terjadi
keterlambatan pembayaran premi. Namun untuk pengaturan perlindungan
tertanggung dalam hal pembatalan yang dilakukan oleh penanggung akibat loss
ratio, tidak dibayarnya klaim, dll tidak terdapat di dalam KUHPerdata.
c) Dari hasil analisa kasus pembatalan polis secara sepihak yang dilakukan oleh PT.
Asuransi AXA Indonesia terhadap PT. Prima Citra Perdana dapat ditarik benang
merah bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum tidak terpenuhi.
Pembatalan yang dilakukan oleh PT Asuransi AXA Indonesia bukan merupakan
suatu perbuatan melawan hukum karena jika dilihat berdasarkan teori hukum
perikatan yang menganut pengenyampingan pasal 1266 KUHPerdata dan asas
kebebasan berkontrak yang sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, maka
Penulis dapat berpendapat bahwa pembatalan yang dilakukan oleh PT Asuransi
AXA Indonesia telah sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kedua polis,
yakni ketentuan dalam kondisi 9 polis asuransi heavy equipment dan ketentuan
dalam pasal 27 ayat (1) polis asuransi kendaraan bermotor.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka terdapat saran yang ingin disampaikan
oleh Penulis berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap tertanggung, yakni
bahwa ketentuan pembatalan yang sudah ada dalam polis heavy equipment dan polis
kendaraan bermotor yang terdapat dalam kasus, merupakan suatu ketentuan karet
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
yang dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak beritikad baik untuk lari dari
tanggungjawabnya dalam kegiatan asuransi. Untuk mencegahnya, sudah seharusnya
perusahaan asuransi merubah isi klausul pembatalan dalam polis tersebut dengan cara
melengkapi dan memperinci alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam
pembatalan polis, sehingga ketentuan pembatalan tersebut kedepannya tidak
disalahgunakan
oleh
pihak
yang
tidak
beritikad
baik
untuk
lari
dari
tanggungjawabnya dalam kegiatan asuransi.
Daftar Pustaka
Buku
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Cet.1. Jakarta: Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Ali, A. Hasyim. Pengantar Asuransi. Cet.1. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni, 1995.
Fuady, Munir. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001.
-------------. Perbuatan Melawan Hukum. Cet.2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2005.
Gunarto, H. Asuransi Kebakaran Indonesia. Jakarta: Tirta Pustaka, 1984.
Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet.2. Bandung: Alumni, 1996.
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Cet.4. Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Kanter, E.Y dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Kie, Tan Thong. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2007.
Mamudji, Sri et al. Metode Penilitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet.1. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004.
Mashudi, H. dan Moch. C. Ali. Hukum Asuransi. Bandung: Mandar Maju, 1995.
Meiliana, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan. Cet. 1. Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Cet.1. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Muhammad, A.K. Hukum Asuransi Indonesia. Cet. 4. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti,2004.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti,
2002.
-------------. Hukum Perikatan. Cet.3. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
Projodikoro, W. Hukum Asuransi di Indonesia. Cet. 11. Jakarta: Intermasa, 1996.
Prawoto, Agus. Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi Guide LIne
Untuk Membeli Polis Asuransi yang Tepat dari Perusahaan Asuransi yang
Benar. Ed.1. Cet.1. Yogyakarta: BPFE, 1995.
Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Ed. 6. Jakarta : Djambatan, 1990.
Salim, A. Abbas. Asuransi dan Manajemen Risiko. Cet. 8. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Sastrawidjaya, Man Suparman. Aspek-aspek Hukum Asuransi, dan Surat Berharga.
Cet.2. Bandung : PT. Alumni, 2003.
Sastrawidjaya, Man Suparman dan Endang. Hukum Asuransi Perlindungan
Tertanggung Deposito Asuransi Usaha Perasuransian. Cet. 3.
Bandung :
PT.Alumni, 2004.
Sianipar, J. Tinggi. Asuransi Pengangkutan Laut (Marine Insurance) Prinsip-Prinsip
Pokok Dalam Melaksanakan Penutupan dan Pengurusan Claim Asuransi.
Cet.3. Jakarta: Penerbit Tidak Diketahui, 1990.
Simanjuntak, Emmy Pangaribuan. Hukum Pertanggungan. Cet.5. Surabaya: Usana
Offset, 1982.
-------------. Hukum Pertanggungan. Cet. 10. Bandung: Pionir Jaya, 1990.
Simanjuntak,
E.P.
Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya.
Cet.2.
Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
1990
Simanjuntak, Kornelius, Brian Amy Prasetyo dan Myra R.B Setiawan. Hukum
Asuransi. Cet. 1, Depok: Kampus UI, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 2007.
Soemitro, Rony Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia,
1982.
Subekti. Hukum Perjanjian. Cet. 8. Jakarta: Intermasa, 2000.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
-----------. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet. 24. Jakarta: PT. Intermasa, 1992.
Suharnoko. Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus. Cet.1. Jakarta: Kencana,
2004.
Tamuji, Tarsisi. Wawasan Perasuransian. Semarang: IKIP Press, 1990.
Tim Pengajar Pengantar Hukum Indonesia. Buku Ajar Pengantar Hukum Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Unversitas Indonesia, 2008.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun
1974, TLN No. 3019.
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 tahun 1999, LN No.
42 Tahun 1999, TLN. No. 3821.
Indonesia, Undang-Undang Usaha Perasuransian, UU No.2 Tahun1992, LN 13
Tahun 1992, TLN. No. 3467.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Hukum Kepailitan [Wetboek Van
Koophandel en Faillissements-Verordenign]. Diterjemahkan oleh R. Subekti
dan R. Tjitrosubibio. Cet. 31. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosubibio. Cet. 20. Jakarta : Padnya Paramita , 1991.
Internet
Reasuransi, http://st301242.sitekno.com/page/32843/reasuransi.html. Diunduh pada
20 September 2012.
Skripsi
Putri, Pramita Kencana. "Tinjauan Normatif Asuransi Lingkungan Sebagai Asuransi
Wajib." Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009.
Wiyono. "Penyelesaian Klaim Asuransi Kesehatan Pada Rumah Sakit X." Skripsi
Sarjana Unviversitas Indonesia, Depok, 2011.
Perlindungan hukum..., Siti Irniarti Pratiwi, FH UI, 2013.
Download