BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT DAN WASIAT WAJIBAH A. Pengertian Dan Dasar Hukum Wasiat 1. Pengertian Wasiat Secara Bahasa. Wasiat berasal dari bahasa arab al-waṣ ṣhiyah (Jama’nya waṣ ṣhaya), secara harfiyah antara lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Ulama’ fiqih mendefinisikan wasiat dengan “penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.1 Sayyid Sabiq mendefinisikan wasiat (waṣ ṣhiyah) itu diambil dari kata waṣhaitu aṣy-ṣ uṣhihi, artinya Auṣ ṣhaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). ṣ ṣ yaia, ṣ ṣ Maka muṣhi ṣ (orang yang berwasiat) adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.2 Dan ada yang menerangkan bahwa kata wasiat berasal dari kata “Wasiat” yang berarti suatu ucapan atau pernyataan dimulainya suatu perbuatan.3 1 Abdul Aziz Dahlan, Enṣiklopedi Hukum Iṣlam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet 1, hlm. 1926. 2 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), hlm. 230. 3 DEPAG RI, Ilmu Fiqih 3, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), cet 2, hlm. 181. 17 18 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili wasiat secara etimologi diartikan sebagai janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu semasa hidupnya atau setelah meninggalnya.4 2. Pengertian Secara Istilah Secara terminologi atau istilah para ahli fiqih, wasiat adalah perintah untuk melakukan suatu perbuatan setelah meninggal. Atau dengan kata lain, bersebekah dengan harta setelah mati.5 Dalam Istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.6 Menurut pendarat Jumhur Fuqaha mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karena tidak ada dalam syariat Islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.7 Keabsahan wasiat disepakati oleh semua mazhab, demikian juga kebolehannya dalam syariat Islam. Wasiat adalah pemberian hak untuk memiliki suatu benda atau mengambil manfaatnya, setelah meninggalnya si 4 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Iṣlam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 154-155. 5 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 545. 6 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm 230. 7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqih Mawariṣ, (Semarang: Pustaka Rizki Putri, 2010), hlm. 261. 19 pemberi wasiat, melalui pemberian sukarela (Tabarru’). Wasiat dianggap sah jika dibuat (diucapkan) dalam keadaan sehat dan bebes dari sakit, ataupun dalam keadaan sakit yang membawa kepada maut, atau sakit yang lain. Dalam kedua keadaan ini hukumnya sama menurut semua mazhab.8 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mendefinisikan wasiat sebagai berikut: Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (PS.171 huruf F KHI).9 Wasiat tidak hanya di kenal dalam sistem hukum Islam saja akan tetapi juga diatur dalam sistem hukum lain. Dalam sistem hukum barat wasiat di sebut dengan kata Teṣtament yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dan dapat ditarik kembali.10 Dari beberapa definisi diatas, wasiat dapat dipakai sebagai tindakan sukarela pewaris memberikan hak atau benda kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan (Tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah pewaris meninggal dunia. 3. Dasar Hukum Wasiat a. Al-Qur’an Dalam Surat Al-Ma’idah: 106 8 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: PT. Lintera Basritama, 2001), hlm. 504. 9 Departemen Agama RI, Kompilaṣi Hukum Iṣlam, (Jakarta: 1998), hlm. 82. 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Pasal 875, hlm. 188. 20 “Wahai orang-orang yang beriman, apabila ṣalah ṣeorang kamu menghadapi kematian, ṣedang ia akan berwaṣiat, maka hendaklah (waṣiat itu) diṣakṣikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua ṣakṣi itu ṣeṣudah ṣhalat (untuk berṣumpah), lalu mereka keduanya berṣumpah dengan nama Allah jika kumu raguragu:“(Demi Allah) kami tidak akan menukar ṣumpah ini dengan harga yang ṣedikit (untuk kepentingan ṣeṣeorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami membunyikan perṣakṣian Allah: Seṣungguhnya kami kalau demikian tentulah termaṣuk orang-orang yang berdoṣa”.11 Dalam QS. Al-Baqarah: 180. “Diwajibkan ataṣ kamu, apabila ṣeorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan hata yang banyak, berwaṣiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya ṣecara makruf, (ini adalah) kewajiban ataṣ orang-orang yang bertakwa”.12 11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Serajaya Sentra, 1988), hlm. 180. 12 Ibid., hlm. 44. 21 Dalam QS. An-Nisa’: 11. “(Pembagian-pembagian terṣebut di ataṣ) ṣeṣudah dipenuhi waṣiat yang ia buat atau (dan) ṣeṣudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui ṣiapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Seṣungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijakṣana”.13 b. As-Sunnah ضققلىق اللهققق لع نققههق لقققلاللق لقققلالل لرلوىق الهبلخلاق ِضرىىق لوهمنسِضلهمق لعققِضنق انبققِضنق هعلملرلر ِض صققللىق ال ه لرهسققنوهلق ال ل لققق لعلنيققِضهق لولسققلللمق :لمققلالحىقق انمققِضرمئق همنسققِضلممق للققهه لققق ل صىق ِضفنيِضهق ليِضبنيهتق لنيللتنيقِضنق إِض ل صقليهتههق لمنكهتنولبهةِضعنققلدههق ,لقققلاللق انبقهن للولو ِض لشنيهءهينو ِض صققللىق اللهققق لعلنيققِضه هعلملر:لملاق لملرنتق لعللىق لنيلهةق همنهذق لسِضمنعهتق لرهسقنوللق اللِضققق ل صليِضتى .لولسلللمق ليهقنوهلق لذق ِضللكق إِضلللوِضعننِضد يق لو ِض “Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muṣlim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata: Telah berṣabda Raṣulullah SAW,: “Hak bagi ṣeorang muṣlim yang mempunyai ṣeṣuatu yang hendak diwaṣiatkan, ṣeṣudah bermalam ṣelama dua malam tiada lain waṣiatnya itu tertuliṣ pada amal kebaikannya.” Ibnu Umar berkata: Tidak berlalu bagiku ṣatu malampun ṣejak aku mendengar Raṣulullah SAW, mengucapkan haditṣ itu kecuali waṣiatku ṣelalu berada di ṣiṣiku”.14 صققللىق اللهقق ص,اللنققههق لقققلالل,,:لجققلالءِضننيق لرهسققنوهلق اللِضققق ل لعننق لسنعِضدنبِضنق ألِضبنيق لولقلا م لِ,ضالنققنيق لقققندلبللغ لعلنيِضهق لولسللنمق ليهعنوهدِضننيق ِضمننق لولجمعق انشلتلدِضبني,لفهقنلهت:ليلالرهسنوللق ا لِض صققلدهق ِضبنيق ِضملنق ناللولجِضحق لمققلالتلرىق لوأللنلاهذنولمققلامل,لوللليِضرهشققِضننيق ِضاللانبلنققهةِضلني,أللفلألت ل لق؟لقلالل:ق لل,هقنلهت:لفققلالىثلههثق؟ ِضبهثلهلثنيق لملاِضلنيق؟ق لقلالل:لل,هقنلهت:لفلاللشنطهرليلالرهسنوللق ا لِض لقلالل:الىثلههثق لوالىثلههثق لكِضثنيلرلانولكِضبنيهرإِضلنلكق ِضاننق لتققلذلرلولرلثلتلكق أنغِضنليققلالءلخنيهرِضمننق لانن ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق لتلدلعهنمق لعلالةةليلتلكلفهفنولنق اللنلالس},,رواهق الجملاعة{ 13 Ibid., hlm. 116. 14 Imam Az-Zabidi, Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, 2000), hlm. 496. 22 “Dari Ṡā’d bin Abi Wāqqāṣh, bahwa ia berkata: Raṣulullah SAW, pernah datang ketempatku untuk melawat aku ketika aku ṣakit keraṣ, lalu aku bertanya: Ya Raṣulullah! Seṣungguhnya ṣakitku ṣudah ṣangat payah ṣebagaimana yang engkau lihat ṣendiri, ṣedangkan aku ini orang yang kaya dan tidak ada ahli wariṣ lain ṣelain anakku perempuan, apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku itu? Ia menjawab: Jangan. Aku bertanya lagi: Ya Raṣulullah! Bagaimana kalu ṣeparonya? Ia pun menjawab lagi: Jangan. Aku bertanya lagi: Kalau ṣepertiga? Ia menjawab: Sepertiga dan (ṣekali lagi) ṣepertiga itu ṣudah cukup banyak atau ṣudah cukup beṣar, karena ṣeṣungguhnya engkau jika meninggalkan ahli wariṣmu itu dalam keadaan cukup/kaya akan lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka itu dalam keadaan kekurangan yang ṣelalu menadahkan tangan kepada orang lain”. (HR. Jama’ah).15 صققللىق اللهققق لعلنيققِضه لقققلاللق لرهسققنوهلق اللِضققق ل:لولرلوىق ِضانبهنق لملالجلةق لعننق لجلاِضبمرق لقلالل لمننق لملالت:ق لولسلللم صليمةلملالتق لعللىق لسِضبنيملق لوهسلنمةق لولملالتق لعللىق لتِضقىىق لولشققلهلالدمةق لولمققلالت لعللىق لو ِض لمنغهفنوةرق الهه. ق ق ق ق “Di riwayatkan oleh Ibnu Majah dari Jabir, dia berkata: Telah berṣabda Raṣulullah SAW.: “Barang ṣiapa yang mati dalam keadaan berwaṣiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan Sunnah, mati dalam keadaan takwa dan Syahid, dan mati dalam keadaan diampuni doṣanya”.16 c. Al-Ijma’ Rasulullah SAW telah pulang ke Rahmatullah tetapi beliau tidak mewasiatkan sesuatu, sebab beliau tidak meninggalkan harta yang hendak diwasiatkan, hal ini sesuai dengan hadits beliau: ضليق ا له ق لهنلق لكلالن:لق لعنهلملاق أللنههق هسِضئلل لق نبِضنق ألِضبنيق ألنولفىق لر ِض لعننق لعنبِضدا لِض صللىق ا له ل:صىق؟ق لفلقلالل ق لكنيلفق هكِضتلبق لعللى:لفِضقنيلل,ل لق لعلنيِضهق لولسلللمق ألنو ل اللنِضبىيق ل صىق ِضبِضكلتلاِضبق الل ق ألنوق أهِضمهرواق ِضبلانللو ِض,صليهه اللنلاِضسق انللو ِض. ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ألنو ل:صليِضه “Di riwayatkan dari Thalhah bin Muṣarrif: Aku bertanya kepada Abdullah bin Aufa r.a., “Apakah Nabi SAW, meninggalkan waṣiat? “Ia menjawab, “Tidak.” Ia berkata, “Bagaimana perihal perintah 15 Mu’ammal Hamidy, et. al., Nailul Authar Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), hlm. 2022. 16 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 233. 23 Nabi SAW. Kepada manuṣia untuk meninggalkan waṣiat?” Ia menjawab, “Nabi SAW. Mewaṣiatkan Kitab Allah.”17 Karena beliau tidak meninggalkan harta setelah beliau meninggal, sedang tanah beliau, semua telah di wakafkan. Adapun para sahabat, maka mereka mewasiatkan sebagian dari harta mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka juga mempunyai wasiat yang tertulis untuk ahli waris sepeninggalan mereka.18 Umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang banyak menjalankan wasiat, perbuatan yang demikian itu tidak pernah di ingkari oleh seorangpun. Ketiadaan ingkar seorang itu menunjukkan adanya Ijma’.Kaum muslimpun sepakat bahwa tindakan wasiat syari’at Allah dan Rasulnya, Ijma’ di dasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan As Sunnah yang mengatur tentang wasiat.19 d. Dalil Aqli (Logika) Secara Aqli (logika), seorang Muslim yang taat kepada Allah SWT, pasti berkeinginan agar akhir hayatnya diakhiri dengan amal-amal saleh, salah satu amal saleh tersebut adalah berwasiat. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW dalam Sabdanya: صللىق ا له ِضالنق ا لل:لقلالل.لق لعلنيِضهق لولسللنم صققلدلق لقق لت ل لعننق الِضبنيق اللدنرلداِضءق لعِضنق اللنِضبليق ل لعلنيهكققنمق ِضبهثهلققِضثق النمققلواِضلهكنمق ِضعننققلدلولفلاِضتهكنمق ِضزليققلالد ةِضفيق لحلسققلنلاِضتهكنمق ِضللينجلعللهققلالهكنم [ِضزليلالد ةِضفنيق النعلملاِضلهكنمي]رواهق اللدارقطنى “Dari Abu Darda, dari Nabi SAW, ia berṣabda, “Seṣungguhnya Allah berṣedekah kepadamu dengan ṣepertiga dari hartamu ketika matimu, untuk menambah kebaikan-kebaikanmu, karena ia hendak 17 Imam Az-Zabidi, op.cit., hlm. 496. 18 Sayyid Sabiq, loc.cit. 19 Mardani, op.cit., hlm. 111. 24 menjadikannya untukmu ṣebagai tambahan amal-amalmu”.(HR Daraquthni).20 Untuk menambah kekurangan-kekurangan amal perbuatannya sewaktu masih hidup, tidak ada jalan lain selain memberikan wasiat, untuk itu apabila wasiat di syari’atkan karena di dalam wasiat terdapat unsur pemindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan sesuatu yang dapat di artikan sebagaimana sedekah yang diperintahkan Rasulullah. B. Syarat dan Rukun Wasiat Para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan uraian rukun dan syarat wasiat. Menurut mayoritas ulama fiqih yang lazim dikenal dengan sebuah Jumhur Al-Fuqaha, ada empat rukun (unsur) wasiat, yaitu: Orang yang berwasiat (Al-Muṣhi/ Al-Muwaṣhṣhi), orang atau pihak yang menerima wasiat (Al-Muṣha lah/ Al-Muṣha Ilayh), barang harta yang diwasiatkan (Al-Muṣha bih) dan shighat atau ijab kabul wasiat. Menurut ulama’ Hanafiah dalam wasiat hanya diperlukan pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat karena menurut mereka wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi pihak yang menerima wasiat, akad itu tidak bersifat mengikat.21 Dalam wasiat sebagaimana dalam kitab-kitab fiqih maupun para pakar hukum Islam adalah mempunyai maksud yang sama dengan menentukan syarat dan rukun dalam wasiat, adapun syarat dan rukun wasiat adalah sebagai berikut: 1. Orang yang memberi wasiat (Muṣhi) 20 Mu’ammah Hamidy, op.cit., hlm. 2024. 21 Muhammad Amin Summa, op.cit., hlm. 129. 25 Dalam hukum Islam, orang yang berwasiat disyariatkan agar seorang Mushi hendaknya mempunyai kesanggupan untuk melepaskan hak milik kepada orang lain. Dengan ketentuan syarat mushi yaitu: baligh (dewasa), berakal sehat (aqli), bebas menyatakan kehendaknya merupakan tindakan tabarru’ (sukarela) dan beragama Islam.22 Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih Sunnah menyatakan bahwa orang yang berwasiat itu disyariatkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelainan.23 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 194 Ayat 1 mensyariatkan pewasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain.24 2. Orang yang menerima wasiat (Muṣha Lahu) Para ulama’ mazhab sepakat bahwa penerima wasiat adalah mereka yang bukan termasuk dalam golongan ahli waris dari si mayit (muṣhi), kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.25 Dalam hadis ini meskipun khabar ahad, akan tetapi diterima oleh para ulama dan disepakati oleh orang banyak. 22 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewariṣan Iṣlam di Pengadilan Agama dan Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW) di Pengadilan negeri Suatu Studi Kaṣuṣ, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. 140. 23 Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 242. 24 KHI BAB 1, Pasal 194 Ayat 1. 25 Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., hlm. 507. 26 ضلىق ا له لسققِضمنعهتق لرهسققنوللق اللِضقق.لق لتلعققلاللىق لعنققههق لقققلالل لعننق اهلملالملةاللبلاِضهِضلليق لر ِض صققللىق اللققق لعلنيققهق لولسققللمق ليهقققنوهلق إِضلنق الللققق ألنعلطققىق هكققللق ِضذن يق لحققىقق لحلقققه ل )رواهق احمقققققدوالربعهق لانسقققققلائق ومنقققققه.صقققققليلةِضللواِضرِضث لللو ِض,أللل,ه رواه.أحمدوالترمققدىق مققذ يق اوقققواهق ابنققهق خزيمققةوابنهق الجققلارود الدارقطنىق منق ابنق علبلاسق وزادفىق اخرهق إللالننق ليلشلاهءاللرلولشهةللسنللاوه (ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق حن “Dari Umamah Al-Bahili R.A. beliau berkata: Saya mendengar Raṣulullah SAW, berṣabda: “Seṣungguhnya Allah memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada waṣiat bagi ahli wariṣ. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’ah ṣelain An Naṣa’i (Jadi hanya: Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). Dan dinilai Haṣan oleh Ahmad dan At-Tirmizi. Penilaian itu diperkuat oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Jarud. Juga diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Ibnu Abbaṣ r.a. dan beliau menambahkan pada akhir matannya kalimai: Kecuali pada ahli wariṣ menghendakinya (menyetujuinya). Dan ṣanadnya: baguṣ.”.26 3. Barang atau Sesuatu yang diwasiatkan (Muṣ ṣa bihi) Dalam mushbih terdapat syarat harta yang diwasiatkan, yaitu: a. Objek yang diwasiatkan bisa berupa semua hatra yang nilai, baik berupa barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau kesenangan. b. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi separtiga dari harta peninggalan/ warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. c. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris. d. Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. e. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. f. Harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebslum 26 Abubakar Muhammad, Terjemah Subuluṣṣalam III, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1995), hlm. 382-383. 27 meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.27 Dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemikiran setelah pemberi wasiat mati, maka sah wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat. Dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina, sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan.28 4. Ucapan wasiat (Sigot) Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Rofik, bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (ṣigot) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu ṣharih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan jawaban (qabul) penerimaan secara langsung. Sementara hibah memerlukan adanya jawaban penerimaan dalam suatu majlis.29 Wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami, akan tetapi menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali ketentuan ini hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat bisu dan tidak busa tulis baca. Apabila yang berwasiat mampu tulis baca, maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Sebaliknya, ulama Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i berpendapat 27 Mardani, op.cit., hlm. 113-115. 28 Sayyid Sabiq. loc.cit. 29 Mardani, loc.cit. 28 bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis.30 C. Teknis Pelaksanaan Wasiat Dalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyariatkan bahwa orang yang menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainya membolehkanya.31 Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahui bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni separtiga harta peninggalan mayit, dengan nash hadits Nabi SAW., “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak,” Maka, ukuran wasiat adalah sepertiga.32 ضليق ا له لنوأللنق اللنلالسق لع ى:لق لع ن هلملالقلالل ضنواِضمِضنق الىثهلِضثق ِضاللى لعِضنق انبِضنق لعلبلامسق لر ِض صللىق ا له الىثلههثق لوالىثلههثق لكِضثنيهرا:لق لعلنيِضهق لولسلللمق لقلالل الىرهبِضعق لفِضلالنق لرهسنوللق ا لِض لق ل “Dari Ibnu ‘Abbaṣ r.a. ia berkata: Kalau manuṣia pada meremehkan dari ṣepertiga ṣampai ṣeperempat, maka ṣeṣungguhnya Raṣulullah SAW, pernah berṣabda, “Sepertiga dan (ṣekali lagi) ṣepertiga itu adalah banyak”. (HR. Ahmad Bukhari dan Muṣlim).33 ضلىق ا له لق لتلعلاللىق لع ن ههق لقلاللق هقنلهتق ليلالرهسققنوللق اللِضقق صق لر ِض لعننق لسنحهدنبِضنق الِضبىق لولقلا م ل.صلدهقق ِضبهثلهلثنىق لملاِضلىق؟لقلالل لهقنلققهت لالنلاهذنولملاملق لوللليِضرهشِضنىق ِضاللانبلنهةِضلنيق لواِضحلدهةلالفلالت ل لالهثلهققهثق والهثلهققهث,صققلدهقق ِضبهثهلِضثققِضهق لقققلالل لالفللالت ل:للهقنلققهت:صققلدهقق ِضبلشققنطِضرِضهق؟ق لقققلالل لالفلالت ل لكِضثيهرِضالنققلكق لاننق لتلذلرلولشققلتلكق لانغِضنليققلألخنيهرق ِضمققلنق لاننق لتققلذلرههنمق لعلاللققةةق ليلتلكلفهفققنولن (ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق ق اللنلالس)متفقق عليه “Dari Sa’ad bin Abi Waqqaṣ beliau berkata: Saya berkata: Ya, Raṣulullah ṣaya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya) dan tidak ada yang mewariṣi ṣaya kecuali ṣeorang anak perempuan. 30 Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perṣpektif Iṣlam, (Jakarta: PT. Kencana, 2008), hlm. 72. 31 Ahmad Kamil & M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indoneṣia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 139. 32 Wahbah Az-Zuhaili, op.cit., hlm. 228. 33 Mu’ammal Hamidy, loc.cit. 29 Apakah ṣaya ṣedekahkan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Jangan! Saya bertanya lagi: Apakah ṣaya ṣedekahkan ṣeparuhnya? Beliau menjawab: Jangan! Saya bertanya lagi: Apakah ṣaya ṣedekahkan ṣepertiga? Beliau berṣabda: Sepertiga itu. Sepertiga itu banyak. Seṣungguhnya kamu tinggalkan ahli wariṣmu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan mereka melatar yang akan meminta-minta kepada orang. Muttafaq’alaih”.34 Dalam hadits tersebut terdapat dalil larangan wasiat lebih dari sepertiga itu bagi orang yang mempunyai ahli waris. Batas ini sudah disepakati ulama (Ijma’ ulama). Hanya saja mereka berselisi pendapat. Apakah sepertiga itu paling banyak, atau paling sedikit? Menurut pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i dan sekelompok ulama lain bahwa yang lebih baik adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabdanya: “Bahwa sepertiga itu, banyak”.35 D. Unsur dalam KUH Perdata (BW) Wasiat Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris “ab inteṣtato” (tanpa wasiat) atau hukum waris “by ver ṣterf” (berhubung dengan meninggalnya seorang), atau hukum waris menurut Undang-undang (Wettelijk erfrecht). Hukum waris yang kedua disebut hukum waris wasiat (teṣtamentair erfrecht). Hukum waris ab inteṣtato, tidak dibicarakan sekarang. Tapi di uraikan nanti dalam membicarakan para waris yang berhak menerima warisan.36 Salah satu yang membedakan antara warisan tanpa wasiat dengan warisan dengan surat wasiat (ab inteṣtato) adalah bahwa menurut sistem KUH 34 Abubakar Muhammad, Subuluṣ Salam III, op.cit., hlm. 377. 35 Ibid, hlm. 379. 36 Ali Afandi, S.H., Hukum Wariṣ Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 14. 30 Perdata, bahwa jika warisan tanpa wasiat mengenal pergantian kedudukan ahli waris (Plaatṣvervulling), maka terhadap warisan dengan wasiat tidak dikenal pergantian kedudukan penerima wasiat oleh ahli warisnya jika penerima wasiat tersebut lebih dahulu meninggal dari pewasiatnya. Asal saja wasiat tersebut dibuat sesuai dengan pembatasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh kaidah hukum yang berlaku. Perlu pula ditambahkan bahwa kalau menurut sistem KUH Perdata, suatu wasiat haruslah dibuat dalam bentuk tertulis (dalam bentuk akta) menurut syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang yang disebut dengan “Sutar wasiat”.37 Menurut sistem KUH Perdata, maka surat wasiat haruslah dibuat dalam bentu surat (akta) dalam pasal 875 KUH Perdata, surat wasiat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu surat wasiat menurut bentuknya dan wasiat menurut isinya. 1. Surat wasiat menurut bentuknya. Menurut ketentuan Pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam yaitu: a. Surat wasiat Olografiṣ (ditulis sendiri) Surat wasiat olografiṣ adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris. Surat wasiat olografiṣ harus disimpan pada seorang notaris. Penyimpanan tersebut harus dilakukan dengan akta penyimpanan, yang dibuat oleh notaris yang menyimpan surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh notaris yang menyimpan surat wasiat tersebut, pewaris dan dua orang saksi yang menghadiri peristiwa itu (Pasal 932 KUH Perdata) Kekuatan pembuktian surat wasiat olografiṣ yang disimpan pada notaris sama dengan ketentuan pembuktian surat wasiat yang seluruhnya 37 Munir Fuady, Konṣep Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 154. 31 dibuat oleh notaris (akta umum). Hari dan tanggal pembuatan akta penyimpanan dianggap sebagai hari dan tanggal pembuatan surat wasiat tanpa memperhatikan hari dan tanggal surat wasiat itu sendiri (Pasal 933 KUH Perdata).38 b. Surat Wasiat Umum (Openbaar taṣtament). Surat wasiat umum adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewsiat di depan notaris, hingga notaris mengetahui isinya bahkan dapat menyarankan agar isi wasiat tersebut sesuai dengan kehendak pewaris dan agar sesuai dengan hukum yang berlaku.39 Setiap surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di depan notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 938 KUH Perdata). Dalam Pasal 939 KUH Perdata jika surat wasiat tersebut sudah ditulis sendiri oleh pewasiat akan tetapi dia menghendaki agar dibuat suatu akta wasiat umum, maka untuk menjadi akta umum, sebelumnya notaris akan membaca isi surat tersebut dengan pewasiat dan saksi-saksi.40 c. Surat wasiat rahasia (Tertutup) Surat wasiat rahasia adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewaris dengan tulisan sendiri atau ditulis oleh orang lain, yang ditandatangani oleh pewaris. Surat wasiat atau sampul yang berisi surat wasiat harus tertutup dan disegel, kemudian diserahkan kepada notaris dengan dihadiri oleh empat orang saksi. Pewaris harus menerangkan bahwa surat itu berisi wasiatnya yang ditulis sendiri atau ditulis orang lain dan 38 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indoneṣia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 203. 39 Munir Fuady, op.cit., hlm. 156. 40 Abdulkadir Muhammad, loc.cit. 32 ditandatangani oleh pewaris. Notaris harus mencatat keterangan pewaris dalam akta yang disebut akta pengalamatan (Superṣcriptie). Akta tersebut harus ditus diatas kertas surat wasiat atau sampul yang berisi alamat wasiat itu. Kemudian, harus ditandatangani oleh pewaris, notaris, dan empat orang saksi (Pasal 940 KUH Perdata).41 Dari tiga macam bentuk wasiat, maka surat wasiat umum paling banyak dipakai dan juga paling baik. Sebab menurut Subekti, notaris dapat mengawasi isinya sehingga dia dapat memberikan nasihat-nasihat supaya isi surat wasiat tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan.42 2. Surat wasiat menurut isinya. Menurut isinya, ada dua macam surat wasiat, yaitu surat wasiat pengangkatan waris (Erfṣtelling) dan surat wasiat hibah (Legaat). Isi surat wasiat tidak hanya mengenai harta kekayaan, tetapi dapat juga mengenai penunjukan wali untuk anak orang yang meninggal itu atau pengangkatan pelaksanaan surat wasiat untuk mengawasi dan mengatur pelaksanaan wasiat. a. Surat wasiat pengangkatan waris (erfṣtelling). Dalam Pasal 954 KUH Perdata Surat wasiat pengangkatan waris adalah surat wasiat yang berisi wasiat dimana orang yang mewasiatkan (pewaris) memberikan kepada seorang atau lebih seluruh atau sebagian dari harta kekayaanya jika dia meninggal dunia. Ahli waris berdasarkan pada pasal ini disebut ahli waris wasiat (taṣtamentaire erfgenaam). Seperti halnya dengan ahli waris ab 41 Ibid., hlm. 204. 42 Ibid., hlm. 205. 33 intestato, ahli waris wasiat memperoleh segala hak an kewajiban dari pewaris yang meninggal dunia. Ahli waris wasiat berada dibawah titel umum (onder algemene titel).43 b. Surat wasiat hibah (legaat). Dalam Pasal 957 KUH Perdata surat wasiat hibah (legaat) adalah surat wasiat yang memuat ketetapan khusus, dimana orang yang mewasiatkan (pewaris) memberikan kepada seorang atau beberapa orang: 1. Suatu atau beberapa benda tertentu, atau 2. Seluruh benda dari suatu jenis tertentu, misalnya, benda bergerak, benda tidak bergerak, atau 3. Hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalan pewaris. Orang-orang yang memperoleh harta warisan berdasar pada hibah wasiat menurut pasal ini disebut legatariṣ. Mereka berada dibawah titel khusus (onder bijzondere titel). Legatariṣ ini bukan ahli waris. Legatariṣ tidak menggantikan pewaris mengenal hak dan kewajibannya. Legatariṣ tidak wajib membayar utang-utang pewaris yang meninggal itu. Legatariṣ hanya berhak menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan kepadanya dari pada ahli waris.44 Jadi kedudukan seorang legatariṣ yaitu seperti kedudukan seorang yang berpiutang (creditur) dari orang yang meninggalkan warisan dengan demikian orang yang bersangkutan tidak mempunyai tanggung 43 Ali Afandi, op.cit., hlm. 16. 44 Abdulkadir Muhammad, loc.cit. 34 jawab atas utang-utang orang yang meninggalkan warisan. Bahkan legatariṣ tersebut bisa menggugat dari ahli waris agar barang tertentu itu dikembalikan kepadanya.45 E. Landasan Teori Hukum Acara dan Hukum Materiil. Hukum perdata dibagi dalam hukum perdata materiil dan hukum perdata formil. Hukum perdata formil atau hukum acara perdata mengatur pertikaian hukum mengenai kepentingan-kepentingan perdata atau dengan perkara lain: cara mempertahankan peraturan-peraturan hukum perdata materiil dengan pertolongan hakim. Hukum perdata materiil mengatur kepentingankepentingan perdata.46 Hukum perdata formil ini disebut juga hukum acara perdata, yaitu seluruh kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pedata sebagaima yang diatur dalam hukum perdata materil. Hukum acara perdata dapat pula disebut hukum proses, sebab Hukum Acara ini terdiri dari rangkaian cara-cara bertindak di depan pengadilan, mulai dari memasukkan gugatan/permohonan sampai selesai diputuskan dan dilaksanakan.47 Jadi Hukum Acara adalah Kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang 45 Oemarsalim, Daṣar-Daṣar Hukum Wariṣ di Indoneṣia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 116. 46 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), hlm. 220. 47 Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Di Indoneṣia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 84. 35 berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil. Dengan singkat dapat juga dikatakan bahwa hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil.48 Menurut Drs. H.A. Mukti Arto, SH. Hukum Acara Pengadilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau cara bagaimana bertindak dimuka Pengadilan Agama dan bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana mestinya.49 Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyatakan, “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Kecuali yang telah diatur ṣecara khuṣuṣ dalam Undang-Undang ini”.50 Dengan penegasan pasal ini terdapat penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sesuai ketentuan Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989, yang memerlukan hukum acara perdata di lingkungan Pengadilan Umum berlaku pada lingkungan Pengadilan Agama, maka secara formal harus mengacu pada suasana yang terdapat di lingkungan Pengadilan Umum. Oleah karena itu, mengenai intervensi, misalnya, yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses 48 Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proṣeṣ Perṣidangan, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2011), hlm. 3. 49 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 7. 50 Undang-Undang Pengadilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1992), hlm. 29. 36 perkara yang sedang diperiksa pengadilan, merupakan suatu hal boleh saja dilakukan. Hal ini sudah disebutkan dalam Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989. Dengan diizinkannya intervensi diharapkan penyelesaian perkara dapat segera diputus dan keputusannya tidak akan saling bertentangan.51 Undang-undang dalam materiil berarti peraturan yang dibuat oleh badan pemerintah yang berwewenang yang berlaku umum dan yang mengikat penduduk.52 Pelaksanaan dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata dapatlah berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang bersangkutan tampa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi, bahwa hukum materiil perdata dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah gangguan keseimbangan kepentinggan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materiil perdata yang telah dilanggar haruslah di pertahankan atau ditegakkan.53 F. Hakikat dan Sejarah Singkat Wasiat Wajibah. Pesoalan ahli waris ini merupakan masalah yang sering diperdebatkan para ahli hukum Islam, termasuk di indonesia sampai lahirnya hukum Islam. Sebagian mereka mengatakan bahwa ahli waris pengganti ini dapat saja mendapat warisan dengan dasar wasiat wajibah.54 51 Sulaikin Lubis, op.cit., hlm 86. 52 Schaffmeister, Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2011), hlm.1. 53 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indoneṣia, (Yogyakarta: PT. Liberty, 2006), hlm. 1. 54 Abdul Manan, Aneka Maṣalah Hukum Perdata Iṣlam di Indoneṣia, (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 166. 37 Prof. Dr. H. Abdul Manan Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang yang tertentu dalam keadaan tertentu pula.55 Andi Syamsu Alam Wasiat wajibah adalah Suatu wasiat yang diperuntukan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.56 Dinamakan wasiat wajibah, disebabkan dua hal yaitu: 1. Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan penerima wasiat. 2. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki-laki 2 kali lipat bagian perempuan.57 Wasiat wajibah sebagaimana yang dikemukakan oleh Fatchur Rahman mempunyai titik singgung yang sangat erat dengan hukum kewarisan Islam yang apabila dilaksanakan akan menimbulkan banyak persoalan yang memerlukan solusi penyelesaian dengan sebaik-baiknya agar prinsip keadilan dan kemanusiaan dapat ditegakkan sebagaimana yang di kehendaki oleh hukum kewarisan.58 55 Ibid. 56 Andi Syamsu Alam, op.cit., hlm.79. 57 Dr. Mardani, loc.cit. 38 Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, istilah wasiat wajibah disebutkan pada Pasal 209 Ayat 1 dan Ayat 2, sebagai berikut: 1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terdapat orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat. 2. Terdapat anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.59 Pengertian wasiat wajibah sebagaimana dikemukakan sama dan disejajarkan dengan pengertian wasiat wajibah yang terdapat dalam UndangUndang Mesir, kuat dugaan bahwa rumusan wasiat wajibah yang terdapat dalam KHI mengikuti pengertian wasiat wajibah yang terdapat dalam UndangUndang Wasiat Mesir. Drs. H. Ahmad Kamil mengemukakan bahwa pemberian hak wasiat wajibah kepada anak angkat oleh KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara terbatas kedalam Hukum Islam, karena berpindahnya tanggung jawab orang tua asal kepada orang tua angkatnya mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan berdasarkan keputusan pengadilan yang disebutkan dalam huruf (h) Pasal 71 tentang Ketentuan Umum Kewarisan. 58 Abdul Manan, op.cit., hlm. 167. 59 Abdurahman, Kompilaṣi Hukum Iṣlam di Indoneṣia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1995). hlm. 164. 39 Dilihat dari aspek metodologis, dapat dipahami bahwa persoalan wasiat wajibah dalam KHI adalah persoalan Ijtihadi yang ditetapkan berdasarkan argumen hukum maṣlahah al-murṣhalah yang berorientasi untuk ṣ mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia.60 60 Ahmad Kamil, op.cit., hlm. 148. 40