PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. M DENGAN GOUT ARTHRITIS DI PUSKESMAS GAJAHAN SURAKARTA DI SUSUN OLEH: RATIH EKA SRIYANTI NIM. P.13107 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. M DENGAN GOUT ARTHRITIS DI PUSKESMAS GAJAHAN SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyara Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan DI SUSUN OLEH: RATIH EKA SRIYANTI NIM. P.13107 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i ii iii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul ”Pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada asuhan keperawatan Tn. M dengan Gout Arthritis di Puskesmas Gajahan Surakarta.” Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Ns. Wahyu Rima Agustin, M. Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ns. Meri Okatriani, M. Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk menimba di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ns. Alfyana Nadya R, M. Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 4. Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M. Kep selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing penulis dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan studi kasus ini. 5. Ns S. Dwi Sulisetyawati, M. Kep selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan memberikan cermat, masukan-masukan membimbing penulis ,inspirasi, perasaan dengan cermat, nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan studi kasus ini. 6. Semua dosen program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. iv 7. Kedua orang tuaku (Satino dan Sri Subekti) yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan do’a serta menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan DIII Keperawatan. 8. Teman-teman seperjuanganku Septia Handayani, Nur Halimah, Nurliana Khoiriyah, Pipit Siti Nurlely, Devi Damayanti, Anik Purwaningsih, Eka Puji Astuti yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan Tugas Akhir Karya Tulis Ilmiah ini. 9. Mahasiswa satu angkatan khususnya kelas 3B Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak mampu penulis sebutkan satu persatu yang memberikan dukungan. Semoga laporan karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin Surakarta, Mei 2016 Penulis v DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang .............................................................................. 1 B. Tujuan penulisan ........................................................................... 4 C. Manfaat Penulisan ......................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ............................................................................... 5 B. Kerangka Teori .............................................................................. 31 BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset .................................................................... 32 B. Tempat dan Waktu ........................................................................ 32 C. Media dan Alat yang Digunakan ................................................... 32 D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset ............................ 32 BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien ............................................................................. 35 B. Pengkajian .................................................................................... 35 C. Daftar Perumusan Masalah ........................................................... 41 vi D. Intervensi Keperawatan ................................................................ 42 E. Implementasi Keperawatan .......................................................... 43 F. Evaluasi Keperawatan .................................................................. 47 BAB V PEMBAHASAN A. Pengkajian .................................................................................... 50 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 53 C. Intervensi Keperawatan ................................................................ 55 D. Implementasi Keperawatan ........................................................... 58 E. Evaluasi ......................................................................................... 62 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.................................................................................... 65 B. Saran .............................................................................................. 68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP vii DAFTAR TABEL Table 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri .................................................. viii 26 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) ................. 22 Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale) ........ 23 Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS) ........................................................ 23 Gambar 2.4 Kerangka Teori ........................................................................... 31 Gambar 2.5 Alat Ukur .................................................................................... 34 ix DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal Lampiran 2. Lembar konsultasi Karya tulis Ilmiah Lampiran 3. Surat Pernyataan Lampiran 4. Jurnal Utama Lampiran 5. Jurnal Pendamping Lampiran 6. Asuhan Keperawatan Lampiran 7. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal Lampiran 8. Daftar Riwayat Hidup x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gout arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi membran sinovial persendian. Gout arthritis dapat mengakibatkan terjadinya disabilitas berat serta mortalitas dini (Kapita Selekta Kedokteran, 2014). Gout arthritis merupakan penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas yang berlebihan atau trauma berulang yang dialami pada tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang. Hal ini mengakibatkan penderita gout arthritis mengalami nyeri pada bagian sendi bila digerakkan (Purwoastuti, 2009). Angka kejadian atau prevalensi gout arthritis di Amerika Serikat adalah 13,6/1000 pria dan 6,4/1000 perempuan. Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya taraf hidup. Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause (Sudoyo, 2009). 1 2 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013, prevalensi penyakit sendi adalah 24,7% dan prevalensi yang paling tertinggi yaitu di Bali mencapai 19,3%, di Sulawesi Utara juga merupakan salah satu prevalensi tertinggi yaitu mencapai 10,3%. Prevalensi penyakit sendi di Jawa Tengah pada tahun2013 adalah 33%. Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes 24,1%. Prevalensi tertinggi pada pekerjaan yang didiagnosis nakes 15,3%. Prevalensi yang didiagnosis nakes dipedesaan 13,8% lebih tinggi dari perkotaan 10,0%. Salah satu tanda dan gejala dari penderita Gout Arthritis adalah pasien mengalami keluhan nyeri (Hidayat, 2009). Nyeri merupakan suatu sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus spesifik bersifat subyektif dan berbeda antara masing-masing individu karena dipengaruhi oleh faktor psikososial seseorang, sehingga orang tersebut lebih merasakan nyeri (Potter dan Perry, 2005). Menurut Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan. Tindakan farmakologis untuk penderita gout arthritis diantaranya adalah dengan menggunakan obat-obatan seperti obat allopurinol yang berguna untuk menurunkan kadar asam urat dan non farmakologis untuk penderita gout arthritis diantaranya adalah kompres, baik itu kompres hangat dan kompres dingin. Kompres hangat dan kompres dingin dapat meringankan rasa nyeri dan radang ketika terjadi serangan asam urat yang berulang-ulang. 3 Efek pemberian terapi kompres hangat terhadap tubuh antara lain dapat meningkatkan aliran darah kebagian tubuh yang mengalami cidera, meningkatkan pengiriman leukosit dan antibiotik kedaerah luka, meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, dan meningkatkan aliran darah (Potter dan Perry, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan Wurangin, dkk (2013), dari 40 responden yang dibagi dalam dua kelompok intervensi, kelompok yang pertama dilakukan pemberian intervensi kompres hangat sedangkan kelompok kedua dilakukan intervensi kompres dingin menghasilkan kesimpulan bahwa rata-rata penurunan skala nyeri pada kompres hangat adalah 1,60 dan rata-rata penurunan skala nyeri pada kompres dingin adalah 1,05. Hal ini berarti kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri pada penderita gout arthritis. Pemberian kompres hangat akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah sehingga akan meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, dan juga memberikan rasa nyaman. Hal ini berarti kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri pada penderita gout arthritis (Potter dan Perry, 2005). Menurut data yang ada di Puskesmas Gajahan Surakarta sudah ada terapi non farmakologi untuk mengurangi nyeri yaitu dengan terapi relaksasi nafas dalam yang diberikan kepada pasien yang menderita Gout Arthritis dengan cara pasien diajarkan saat periksa dan setiap kali kontrol ke puskesmas. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk 4 mengaplikasikan tindakan terapi kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada Tn. M yang berusia 53 tahun dengan gout arthritis. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mengaplikasikan tindakan pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada penderita gout arthritis. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan gout arthritis. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan gout arthritis. c. Penulis mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan gout arthritis. d. Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan gout arthritis. e. Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan gout arthritis. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tindakan kompres hangat dalam menurunkan skala nyeri pada pasien dengan gout arthritis. 5 C. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan dimaksudkan memberikan kontribusi laporan kasus bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan masalah khususnya dalam bidang atau profesi keperawatan. 1. Bagi pasien Aplikasi ini diharapkan dapat memberikan referensi baru bagi pelayanan asuhan keperawatan di rumah sakit untuk mengelola pasien dengan gout arthritis. 2. Bagi rumah sakit Penulisan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan dijadikan intervensi mandiri bagi perawat dalam melakukan tindakan kompres hangat dalam menurunkan skala nyeri pada pasien dengan gout arthritis. 3. Bagi institusi pendidikan keperawatan Hasil penulis dapat digunakan sebagai referensi dan sumber bacaan mengenai gout arthritis sebagai acuan untuk penelitian berikutnya. 4. Bagi penulis Penulis mampu menulis secara langsung ilmu yang diperoleh selama pendidikan dan melaksanakan pendidikan secara langsung mengenai pengaruh kompres hangat dalam menurunkan skala nyeri pada penderita gout arthritis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Gout arthritis a. Definisi Gout arthritis adalah penyakit yang menyerang sendi dan tulang atau jaringan penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas yang berlebihan atau trauma berulang yang dialami pada tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang. Akibatnya, akan terasa nyeri apabila sendi digerakkan (Purwoastuti, 2009). Gout arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi membran sinovial persendian. Gout arthritis dapat mengakibatkan terjadinya disabilitas berat serta mortalitas dini (Kapita Selekta Kedokteran, 2014). b. Klasifikasi Klasifikasi pada gout arthritis menurut Hidayat (2009) yaitu : 1) Gout arthritis akut Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. 6 7 Sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin, pada 85-90% kasus. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan. Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah (Hidayat, 2009). Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal, diet tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress, tindakan operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat yang meningkatkan atau menurunkan asam urat (Hidayat, 2009). 2) Stadium interkritika Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut, dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut, meskipun pada aspirasi cairan sendi masih ditemukan kristal urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa tahun sampai 10 tahun tanpa serangan akut, dan tanpa tata laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout kronik (Hidayat, 2009). 8 3) Arthritis gout kronik Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, dan jari tangan. Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang progresif pada sendi serta menimbulkan deformitas. Tofi juga sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi infeksi sekunder. Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung beratnya dan lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan gangguan fungsi ginjal dan penggunaan diuretik (Hidayat, 2009). c. Etiologi Gout arthritis terjadi akibat adanya predisposisi genetik, yang menimbulkan reaksi imunologis pada membran sinovial. Gout arthritis lebih sering terjadi pada perempuan (rasio 3:1 dibanding laki-laki), serta insiden tertinggi ditemukan pada usia 20-45 tahun. Selain pengaruh genetik, faktor resiko yang lain adalah kemungkinan infeksi bakterial, virus, serta kebiasaan merokok. (Kapita Selekta Kedokteran, 2014). d. Tanda dan Gejala Gejala klinis pada gout arthritis menurut Purwoastuti (2009), yaitu : 1) Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal. 9 2) Rasa nyeri dan pembengkakan pada persendian. 3) Pembengkakan salah satu persendian tangan. 4) Pembengkakan pada kedua belah sendi yang sama (simetris). 5) Nodul rhematoid (benjolan) di bawah kulit pada penonjolan tulang. 6) Pemeriksaan darah terdapat titer abnormal faktor rematoid kurang dari 5%. 7) Pemeriksaan radiologis pada pergelangan tangan yang lurus menunjukkan adanya erosi yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi. e. Patofisiologi Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antaraproduksi dan sekresi, dan ketika terjadi ketidak seimbangan dua proses tersebut maka terjadi keadaan hiperurisemia, yang menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama monosodium urat diberbagai tempat atau jaringan. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur yang lebih rendah seperti pada sendi perifer tangan dan kaki, dapat menjelaskan kenapa kristal MSU (monosodiumurat) mudah diendapkan di pada kedua tempat tersebut. Pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang 10 pada daerah tersebut. Awal serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi atau menurun. Kadar asam urat yang stabil jarang muncul serangan. Pengobatan dengan allopurinol pada awalnya juga dapat menjadi faktor yang mempresipitasi serangan gout akut. Penurunan asam urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya di sinovium atau tofi (crystals shedding). Pelepasan kristal MSU akan merangsang proses inflamasi dengan mengaktifkan kompleman melalui jalur klasik maupun alternatif. Sel makrofag (paling penting), netrofil dan sel radang lain juga teraktivasi, yang akan menghasilkan mediator-mediator kimiawi yang juga berperan pada proses inflamasi (Sudoyo,dkk, 2009). f. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa medis yaitu : 1) Darah perifer: anemia, trombositosis, dan peningkatan laju endap darah. 2) Analisis cairan sendi inflamasi: leukosit 5.000-50.000/uL, PMN >50%, protein meningkat, glukosa menurun, uji bekuan musin buruk, kristal (-), kultur bakteri (-). 3) Faktor reomatoid serum umumnya positif. Faktor rematoid adalah antibodi terhadap fraksi Fc IgG dan berhubungan dengan prognosis. (Kapita Selekta Kedokteran, 2014). 11 g. Komplikasi Menurut Buku Pharmaceutical care (2006), komplikasi klinik pada pasien gout arthritis yaitu : 1) Serangan gout berulang setelah serangan awal menyebabkan ketidak mampuan mobilitas selama 2-3 minggu. 2) Chronic tophaceous gout kerusakan sendi yang meluas 3) Nefrolitiasis menyerang abdominal bagian bawah nyeri selangkang dan hematuria 4) Nefropati urat menyebabkan insufisiensi ginjal dan hipertensi 5) Nefropati asam urat menyebabkan gagal ginjal akut biasanya berkaitan dengan tumor dan kemoterapi 6) Hipersensitivitas alopurinol menyebabkan ruam pruritik, reaksi parah berkaitan dengan vaskulitis dan hepatitis. h. Asuhan keperawatan pada pasien gout arthritis Proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistemik untuk menentukan masalah klien dengan membuat perencanaan untuk mengatasinya, melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif terhadap masalah yang diatasinya tersebut (Yura, 2012). 1) Pengkajian Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan 12 data dasar dari pasien, untuk informasi yang diharapkan dari pasien. Fokus pengkajian pada pasien gout arthritis : 1) Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, dan pekerjaan. 2) Keluhan utama Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien gout arthritis untuk datang ke rumah sakit adalah nyeri yang dirasakan. 3) Riwayat penyakit sekarang Didapatkan adanya keluhan nyeri yang terjadi di otot dan tulang, termasuk didalamnya sendi dan otot sendi. Gangguan nyeri yang terus berlangsung menyebabkan aktivitas sehari-hari terhambat. Biasanya terjadi kekakuan di pagi hari, rasa nyeri, dan pembengkakan pada persendian. 4) Riwayat penyakit yang pernah diderita Penyakit apa saja yang pernah diderita pada pasien gout arthritis, biasanya menderita hipertensi. 5) Riwayat imunisasi Apabila mempunyai kemungkinan dihindarkan. akan kekebalan timbulnya yang baik, komplikasi maka dapat 13 6) Riwayat gizi Status gizi orang yang menderita gout arthritis dapat bervariasi. Semua orang dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko apabila terdapat faktor predisposisinya. 7) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi, dari ujung rambut sampai ujung kaki. 8) Sistem integumen a) Adanya turgor kulit menurun. b) Kuku sianosis atau tidak. c) Kepala dan leher Kulit kepala bersih, rambut bersih tidak ada ketombe, mata tidak anemis, hidung simetris, mukosa bibir sedikit kering, tidak terjadi perdarahan gusi, dan nyeri tekan. d) Dada Bentuk dada simetris. e) Abdomen Bentuk simetris, mengalami nyeri tekan. f) Ekstremitas Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi, dan tulang. 14 9) Pemeriksaan laboratorium a) Pemeriksaan kadar asam urat dalam darah. b) Tes cairan sinovial, fisis, inflamasi, infeksi. c) X-rays, MRI, Bone Scan untuk melihat perubahan pada struktur tulang dan kartilago. 2) Diagnosa keperawatan Masalah yang dapat ditemukan pada pasien Gout arthritis antara lain : a) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan perubahan patologis oleh gout arthritis b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi c) Resiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan tubuh, sendi bengkok e) Ansietasberhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit (Nanda NIC-NOC, 2013) 3) Perencanaan a) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan perubahan patologis oleh gout arthritis (1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif. dengan 15 (2) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisinga. (3) Tingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat. (4) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. (5) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi (1) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi. (2) Bantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri. (3) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien. (4) Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk latihan fisik. c) Resiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot (1) Sediakan lingkungan yang nyaman untuk pasien. (2) Anjurkan keluarga untuk menemani pasien. (3) Kontrol lingkungan dari kebisingan. (4) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit. d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan tubuh, sendi bengkok (1) Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya. 16 (2) Monitor frekuensi mengkritik dirinya. (3) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan penyakit. (4) Dorong pasien mengungkapkan perasaanya. e) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit (1) Gunakan pendekatan yang menenangkan. (2) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan. (3) Instruksikan pasien menggunakan tehnik relaksasi. (4) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan. 2. Nyeri a. Pengertian Nyeri adalah suatu sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus spesifik bersifat subyektif dan berbeda antara masingmasing individu karena dipengaruhi oleh faktor psikososial seseorang, sehingga orang tersebut lebih merasakan nyeri (Potter Dan Perry, 2005). Menurut Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan. 17 Prasetyo (2010), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri. b. Klsifikasi nyeri Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) yaitu : 1) Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi a) Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Fungsi nyeri akut adalah memberi peringatan akan suatu cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam bulan), memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi. Nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi. Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini, seperti 18 pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, dan lain sebagainya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, dan dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakannya. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai. b) Nyeri kronik Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasa berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respons terhadap penyebabnya. pengobatan yang diarahkan pada 19 2) Klasifikasi berdasarkan asal a) Nyeri nosiseptif Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensititasi nosiseptorperifer yang merupakan reseptor khusus yang mengantarkan stimulus noxious. Nyeri nosiseptorperifer dapat terjadi karena adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan nyeri nosiseptif yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih terlokalisasi. b) Nyeri neuropatik Nyeri neuropatik merupakan suatu hasil cidera atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda dengan nyeri noseseptif, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses input saraf sensorik yang abnormal oleh system saraf perifer. Nyeri ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri seperti terbakar. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya merupakan nyeri kronis. 20 3) Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya dibedakan sebagai berikut: a) Superficial atau kutaneus Nyeri Superficial adalah nyeri yang disebabkan stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung nyeri dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam. Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau laserasi. b) Visceral dalam Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.Durasinya bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada superficial. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak menyenangkan, dan berkaitan dengan mual dan gejalagejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik tergantung organ yang terlibat. Contohnya sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar seperti ulkus lambung. 21 c) Nyeri alih Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensori dari organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeri pada daerah yang tidak terkena. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu yang dapat mengalihkan nyeri ke selangkangan. d) Radiasi Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cidera kebagian tubuh yang lain. Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar kebagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan. Contohnya nyeri punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik. 22 4) Alat ukur nyeri a) Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) VDS merupakan garis yang terdiri atas tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari tidak terasa nyeri sampai terasa nyeri (nyeri yang tidak tertahankan). Pengukur menunjukkan pada pasien skala tersebut atau memintanya untuk memilih intensitas nyeri yang dirasakannya. Gambar 2.1 b) Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale) NRS digunakan lebih sebagai pengganti atau pendamping VDS, klien memberikan penilain 0 sampai 10. Nyeri pasien akan dikategorikan tidak nyeri (0). Nyeri sedang (1-3) secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik. Nyeri ringan (4-6) secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah dengan baik. Nyeri berat (7-9) secara objektif klien 23 terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, serta tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang, dan distraksi. Nyeri hebat (10) pasien sudah tidak mampu berkomunikasi atau memukul. Gambar 2.2 c) Visual Analog Scale (VAS) Menurut Potter & Perry (2005), VAS merupakan alat pengukur tingkat nyeri yang lebih sensitive karena pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian angka yang menurut mereka paling tepat dalam menjelaskan tingkat nyeri yang dirasakan pada satu waktu. VAS tidak melabelkan suatu divisi, tapi tediri dari sebuah garis lurus yang dibagi secara merata menjadi 10 segmen dalam angka 0 sampai 10 dan memiliki alat pendiskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diberitahu bahwa 0 menyatakan “tidak ada nyeri sama sekali” dan sepuluh menyatakan “nyeri paling parah” yang klien dapat bayangkan. Skala ini memberikan kebebasan kepada pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. 24 Gambar 2.3 5) Pengalaman nyeri Terdapat 3 fase pengalaman nyeri yaitu : a) Fase antisipasi Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting ing karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi yang adekuat kepasa sa pasien. b) Fase sensasi Fase sensasi terjadi pada saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri, karena nyeri itu bersifat subjektif maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak 25 akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil. Sebaliknya, orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Pasien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri terhadap bantuan. Sebaliknya, orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. c) Fase akibat atau aftermath Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang.Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis sehingga dimungkinkan pasien mengalami gejala sisa pasca nyeri.Apabila pasien mengalami nyeri berulang, respons akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang. d) Respon fisiologis terhadap nyeri Perubahan atau respons fisiologis dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan verbal pasien. Respons fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada 26 pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu. Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi. Tabel berikut ini menunjukkan respons fisiologis terhadap nyeri. Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap nyeri Menurut Andarmoyo (2013) Respons Stimulasi simpatik Dilatasi aliran bronkheolus dan peningkatan frekuensi pernafasan Peningkatan frekuensi denyut jantung Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah) Peningkatan kadar glukosa darah Diaphoresis Peningkatan ketengangan otot Penyebab atau Efek Menyebabkan peningkatan asupan oksigen Menyebabkan peningkatan transport oksigen Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dari perifer dan visera ke otot-otot skeletal dan otak Menghasilkan energi tambahan Mengontrol temperatur tubuh selama stress Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi 27 Dilatasi pupil Penurunan motilitas saluran cerna Memungkinkan penglihatan yang baik Membebaskan energi untuk melakukan aktivitas dengan lebih cepat Stimulasi parasimpatik Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah dari perifer Ketengangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jantung dan akibat stimulasi vagal tekanan darah pernafasan yang cepat dan tidak menyebabkan pertahanan tubuh teratur gagal akibat stress nyeri yang terlalu lama Mual dan muntah Mengembangkan fungsi saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik e) Respon perilaku Repon perilaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim dimana pengukuran tidak memungkinkan (misal orang tersebut menderita retardasi mental yang berat atau tidak sadar). Respon perilaku nyeri pada pasien menurut Andarmoyo (2013) : (1) Vokalisasasi, mendengkur. mengaduh, menangis, sesak nafas, 28 (2) Ekspresi wajah, meringis, menggeletukkan gigi, mengernyitkan dahi, menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka mata atau mulut dengan lebar, menggigit bibir. (3) Gerakan tubuh, gelisah, Imobilisasi,ketengangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, aktivitas melangkah yang tanggal ketika berlari atau berjalan, gerakan ritmik atau gerakan menggosok, gerakan melindungi bagian tubuh. (4) Interaksi sosial, menghindari percakapan, fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian. 6) Penatalaksanaan nyeri Menurut Andarmoyo (2013), strategi penatalaksanaan nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi nyeri terbagi menjadi dua yaitu : a) Strategi penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis (1) Bimbingan dan antisipasi (2) Terapi panas atau kompres hangat (3) Stimulasi saraf elektris transkutan atau (transcutaneous electrical nerve stimulation) (4) Distraksi (5) Relaksasi TENS 29 (6) Imajinasi terbimbing atau guided imagery (7) Hipnosis (8) Akupuntur (9) Umpan balik biologis (10) Massase b) Strategi penatalaksanaan nyeri secara farmakologis Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesik yaitu non narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiate, dan obat tambahan. 3. Kompres hangat a. Definisi Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat yang dapat menimbulkan efek fisiologis (Wahyuningsih, 2013). Menurut fauziyah (2013), kompres hangat adalah memberikan rasa hangat kepada pasien untuk mengurangi nyeri dengan menggunakan cairan yang berfungsi untuk melebarkan pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal. Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit. 30 b. Tujuan Menurut Kusyati (2006) tujuan pemberian kompres hangat adalah sebagai berikut : 1) Memperlancar sirkulasi darah. 2) Mengurangi rasa sakit. 3) Memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada pasien. 4) Merangsang peristatik. 5) Mencegah peradangan meluas. c. Langkah-langkah Menurut Rohani, dkk (2011) langkah-langkah pemberian kompres hangat adalah sebagai berikut : 1) Bungkus sumber panas dengan satu atau dua lapis handuk untuk memastikan sumber tersebut tidak terlalu panas. 2) Letakkan handuk basah hangat, bantalan panas, kantong paska silika yang dipanaskan, atau botol air panas di tempat yang terasa sakit atau nyeri. 31 B. Kerangka Teori Gout Arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik. Tindakan farmakologis untuk menangani nyeri: • • Tanda dan Gejala: • Kekauan pada pagi hari pada persendian • Pembengkakan salah satu persendian • Pembengkakan pada kedua belah sendi yang sama (simetris) • Rasa nyeri pada persendian Simvastatin 10 mg 1x1 Allopurinol 100 mg 1x1 Tindakan non farmakologis untuk menangani nyeri: • Relaksasi nafas dalam • Kompres dingin • Kompres hangat Melakukan tindakan kompres hangat. Gambar 2.4 Kerangka Teori BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek aplikasi riset Subjek aplikasi pemberian kompres hangat adalah pasien dengan gout arthritis. B. Tempat dan waktu Aplikasi riset ini dilakukan di Puskesmas Gajahan Surakarta, selama 3 hari, tanggal 4 – 7 Januari 2016. C. Media dan alat yang digunakan 1. Kompres air hangat 2. Waslap atau handuk yang bersih 3. Baskom yang berisi air hangat D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset Prosedur yang dilakukan yaitu pemeriksaan kadar asam urat dalam darah terlebih dahulu, tekanan darah, kemudian diberikan tindakan kompres air hangat dengan langkah sebagai berikut : 32 33 1. 2. Fase orientasi a. Memberikan salam b. Memperkenalkan diri c. Kontrak waktu d. Menjelaskan tujuan tindakan dan langkah prosedur e. Menyiapkan alat Fase kerja a. Mencuci tangan b. Mengecek terlebih dahulu air hangat dengan menggunakan jari tangan c. Membantu pasien pada posisi yang nyaman, terlentang, posisi duduk, atau tergantung kondisi pasien d. Melakukan tindakan kompres hangat, kompres hangat dilakukan sebanyak 1 kali dalam sehari, selama 3 sampai 5 hari e. Kompres hangat diberikan dibagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul, dan pergelangan kaki 3. f. Merapikan pasien g. Merapikan alat h. Mencuci tangan Fase terminasi a. Melakukan evaluasi tindakan b. Melakukan kontrak waktu untuk rencana tindak lanjut c. Berpamitan 34 4. Alat ukur Alat ukur yang digunakan untuk mengevaluasi aplikasi riset dengan pengukuran skala nyeri yaitu skala nyeri numerik (Judha, 2012). Gambar 2.5 BAB IV LAPORAN KASUS A. Identitas pasien Tn. M berumur 53 tahun, beragama islam, berjenis kelamin laki-laki dengan pekerjaan swasta, alamat Joyosuran Surakarta, tingkat pendidikan tamat SD, periksa ke Puskesmas Gajahan Surakarta pada tanggal 7 Januari 2016 dengan diagnosa gout arthritis, yang bertanggung jawab atas pasien adalah istrinya bernama Ny. S, umur 49 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, pendidikan SD, dan alamat sama dengan pasien yaitu Joyosuran Surakarta. B. Pengkajian 1. Riwayat kesehatan pasien Hasil pengkajian yang dilakukan dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa pada tanggal 7 Januari 2016 jam 13.00 WIB keluhan utama dari hasil pengkajian yang dilakukan pasien mengalami nyeri dibagian kaki sebelah kanan. Riwayat pengkajian pasien saat ini, pasien mengatakan 3 hari yang lalu tepatnya sejak tanggal 4 – 6 januari 2016 kaki sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, nyeri sangat dirasakan saat digunakan untuk beraktifitas dan sedikit sakit saat berjalan, kemudian pasien dibawa keluarganya ke Puskesmas Gajahan Surakarta. Hasil pemeriksaan pasien TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Riwayat penyakit dahulu 35 36 pasien sebelumnya belum pernah dirawat dirumah sakit, kemudian Tn. M juga tidak mempunyai alergi obat maupun makanan, Tn. M mengatakan sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap, dan tidak mempunyai kebiasaan khusus. Riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang menderita gout arthritis, pasien juga mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai atau menderita penyakit menular, seperti hepatitis dan TBC. Riwayat kesehatan lingkungan pasien mengatakan lingkungan tempat tinggal dan lingkungan rumahnya selalu dibersihkan dan jauh dari polusi udara. Genogram Keterangan : : Meninggal : Perempuan : Laki-laki : Pasien : Garis pernikahan : garis keturunan : tinggal serumah 37 2. Pola kesehatan fungsional Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien mengatakan kesehatan sangat penting bagi dirinya dan keluarga karena apabila kesehatannya menurun tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari. Pola nutrisi dan metabolisme, pola makan sebelum sakit frekuensi 3 kali sehari, jenis nasi, lauk, sayur, porsinya sekali makan habis, tidak ada keluhan. Selama sakit frekuensi makan sebanyak 3 kali sehari, jenis nasi, lauk, sayur, porsi sekali makan habis, tidak ada keluhan. Pola minum sebelum sakit frekuensi 7 sampai 8 kali sehari, jenis air putih dan teh, porsi satu gelas belimbing, tidak ada keluhan. Selama sakit frekuensi 7 kali sehari, jenis air putih dan teh, porsi satu gelas belimbing, tidak ada keluhan. Pola eliminasi sebelum sakit frekuensi BAK sebanyak 5 sampai 6 kali sehari, jumlah urin kurang lebih 250 cc sekali BAK, warnanya kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Selama sakit frekuensi BAK sebanyak 5 sampai 6 kali sehari, jumlah urin kurang lebih 250 cc sekali BAK, warnanya kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Sebelum sakit frekuensi BAB sebanyak 1 kali sehari, konsistensi lunak berbentuk, dan berbau khas, tidak ada keluhan. Selama sakit BAB sebanyak 1 kali sehari, konsistensi lunak berbentuk, dan berbau khas, tidak ada keluhan. Pola aktifitas dan latihan sebelum sakit kemampuan perawatan diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa 38 bantuan dari keluarga. Selama sakit kemampuan perawatan diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa bantuan dari keluarga. Pola istirahat tidur sebelum sakit jumlah jam tidur siang kurang lebih 2 jam, jumlah jam tidur malam kurang lebih 6 sampai 7 jam per hari, tidak ada keluhan. Selama sakit pasien tidak dapat tidur siang, jumlah jam tidur malam kurang lebih 5 sampai 6 jam per hari, mengeluh saat bangun merasakan nyeri di kaki bagian kanan. Pola kognitif perseptual sebelum sakit, keluarga pasien mengatakan penglihatannya jelas, pendengarannya baik, dan indra pengecapannya juga baik. Selama sakit, pasien mengatakan kakinya nyeri dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. Pola persepsi dan konsep diri, identitas pasien mampu mengenali dirinya sendiri, ideal diri pasien mengatakan ingin cepat sembuh agar dapat beraktifitas seperti biasanya lagi, harga diri pasien tidak malu dengan keadaanya sekarang, gambaran diri pasien mengatakan menerima keadaan dirinya selama ia sakit, peran pasien mengatakan sudah menjadi ayah yang baik untuk anak dan suami yang baik untuk istrinya. Pola hubungan peran sebelum sakit, pasien mengatakan memiliki hubungan baik dengan keluarga maupun dengan tetangga dan warga 39 sekitar. Selama sakit, pasien mengatakan masih berhubungan baik dengan keluarga dan tetangganya. Pola seksualitas reproduksi sebelum sakit, pasien mengatakan menjadi seorang suami dan mempunyai 4 orang anak laik-laki. Selama sakit, pasien mengatakan menjadi seorang suami dan mempunyai 4 orang anak laki-laki. Pola mekanisme koping sebelum sakit, pasien mengatakan jika ada masalah selalu bermusyawarah dengan keluarganya. Selama sakit, pasien mengatakan tidak mempunyai masalah dan menerima masalah yang ada dengan ikhlas. Pola keyakinan sebelum sakit, pasien mengatakan beragama islam dan beribadah. Selama sakit, pasien mengatakan beribadah dan berdoa semoga selalu diberikan kesehatan. 3. Pemeriksaan Fisik Hasil pengkajian fisik didapatkan pada Tn. M keadaan umum baik dengan tingkat kesadaran penuh (Composmentis). Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 82 x/m, pernafasan 20x/m, suhu 36.5 oc. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih, tidak ada ketombe, rambut bersih, warna hitam dan putih. Pada pemeriksaan mata didapatkan hasil simetris kanan dan kiri, palpebra tidak ada odema, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, reflek terhadap cahaya (+). Pemeriksaan hidung simetris antara kanan dan kiri, tidak terdapat polip, dan tidak ada sekret. Pemeriksaan telinga simetris kanan dan kiri, bersih, tidak ada serumen. Pemeriksaan mulut bersih, bibir lembab, dan tidak ada stomatitis. Pada pemeriksaan 40 leher didapatkan hasil tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nadi karotis teraba, dan tidak ada kaku kuduk. Pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakakukan pemeriksaan inspeksi bentuk dada simetris, dan tidak ada jejas, saat dilakukan palpasi vocal fremitus kanan dan kiri sama, saat dilakukan perkusi suara paru sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada seluruh lapang paru. Pemeriksaan jantung saat inspeksi didapatkan ictus cordis tidak tampak, saat dilakukan palpasi didapatkan ictus cordis teraba pada intercosta ke V, saat dilakukan perkusi didapatkan bunyi pekak, saat dilakukan auskultasi bunyi jantung satu terdengar lup, bunyi jantung dua terdengar dup dan tidak ada suara tambahan. Pemeriksaan abdomen saat di inspeksi tidak ada jejas, umbilikus tidak menonjol, saat dilakukan auskultasi bising usus terdengar 11 x/m, saat dilakukan perkusi kuadran I pekak, kuadran II, III, IV timpani, saat dilakukan palpasi tidak ada nyeri tekan. Pemeriksaan genetalia didapatkan hasil bersih, tidak terpasang kateter. Pemeriksaan anus didapatkan tidak ada hemoroid. Pada pemeriksaan ekstremitas, ektremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot kanan dan kiri 5, ROM kanan dan kiri normal, capilary refile normal < 3 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat, ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, ROM kanan dan kiri sedikit susah berjalan, capilary refile normal < 3 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat. 41 4. Pemeriksaan penunjang laboratorium Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan pada tanggal 7 januari 2016 yaitu kolestrol 241 mg/dl (nilai normal <200 mg/dl), gula darah puasa 105 mg/dl (nilai normal 80-109 mg/dl), trigliserida 153 mg/dl (nilai normal 30 – 200 mg/dl), HDL 40 mg/dl (nilai normal >40 mg/dl), LDL 148,3 mg/dl (nilai normal <130 mg/dl), Ao 9.7 mg/dl (nilai normal 3.4 – 7.0 mg/dl), SGOT 45.7 u/L (nilai normal <12 u /L), SGPT 53.2 u/L (nilai normal 12 u/L), ureum 26 mg/dl (nilai normal 20 – 45 mg/dl), kreatinin 1.1 mg/dl (nilai normal 0.5 – 1.5 mg/dl). 5. Therapy Therapy yang diberikan ke Tn. M pada tanggal 7 januari 2016 adalah simvastatin 10 mg 1x1, golongan obat statin, untuk menurunkan kolestrol dalam darah. Obat allopurinol 100 mg 1x1, golongan obat xanthine-oxidase, untuk mencegah gout dan mencegah peningkatan kadar asam urat. C. Daftar perumusan masalah Hasil pengkajian pada hari Jumat 8 Januari 2016 jam 08.15 WIB didapatkan data subyektif Tn. M mengatakan kaki sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuktusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, data obyektif pasien tampak meringis kesakitan, tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc, asam urat: 42 9.7 mg/dl. Berdasarkan analisa data diatas maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit. Proses penyakit karena adanya perubahan patologis oleh gout arthritis. Hasil pengkajian pada hari Jumat 8 Januari 2016 jam 08.20 WIB didapatkan data subyektif Tn.M mengatakan kakinya terasa sakit saat berjalan, data obyektif pasien tampak meringis kesakitan dan terlihat pucat dan lemas, tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc, kekuatan otot atas kanan 5 dan kiri 5, kekuatan otot bawah kanan 4 dan kiri 5. Berdasarkan analisa data diatas maka dapat dirumuskan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi. D. Intervensi Keperawatan Rencana tindakan keperawatan pada dignosa gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan rasa nyaman nyeri pada Tn. M dapat teratasi dengan kriteria hasil nyeri pada pasien akan berkurang dari skala 4 menjadi 2, pasien dapat menunjukkan ekpresi wajah atau postur tubuh rileks. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut intervensi keperawatan yang ditegakkan oleh penulis yaitu lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif rasionalnya untuk mengetahui karakteristik, frekuensi, dan kualitas nyeri, kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri 43 seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan rasionalnya untuk memberikan posisi dan lingkungan yang nyaman, tingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat rasionalnya untuk membantu pemulihan pada pasien dan mengurangi nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri rasionalnya untuk mengurangi rasa nyeri, , kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil rasionalnya untuk mengurangi nyeri dan proses penyembuhan pada pasien. Rencana tindakan keperawatan pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik pada Tn. M dapat teratasi dengan kriteria hasil kaki pasien tidak terasa sakit saat berjalan, pasien dapat menunjukkan postur tubuh rileks. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut intervensi keperawatan yang ditegakkan oleh penulis yaitu mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi rasionalnya untuk mengetahui perkembangan pasien, membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri rasionalnya untuk memperbaiki kekuatan otot dan fungsi sendi, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien rasionalnya untuk memberikan pemahan kepada pasien, mengkolaborasikan dengan fisioterapi untuk latihan fisik rasionalnya untuk meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas yang sakit. 44 E. Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 8 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.45 WIB melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, respon obyektif pasien tampak meringis kesakitan. Diagnosa yang kedua jam 08.50 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuan dalam mobilisasi, respon obyektif pasien masih tampak kebingungan. Diagnosa yang pertama jam 09.00 WIB mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diberikan lingkungan yang nyaman, respon obyektif pasien tampak nyaman dan rileks. Diagnosa yang kedua jam 09.10 WIB membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan latihan gerak aktif, respon obyektif pasien tampak belum mengerti tentang latihan tersebut. Diagnosa yang pertama jam 09.20 WIB meningkatkan istirahat dan memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan bersedia diberikan kompres hangat, respon obyektif pasien masih merasakan sakit sehingga istirahat 45 kurang dan pasien masih belum mengerti tentang kompres. Diagnosa yang kedua jam 09.30 WIB memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dengan respon subyektif pasien bersedia untuk diberikan pendidikan kesehatan, respon obyektif pasien tampak sudah mengerti dan paham. Diagnosa yang pertama jam 09.45 WIB mengkolaborasikan dengan perawat pemberian analgetik allopurinol 10 mg 1x1 untuk mengurangi nyeri dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk minum obat, respon obyektif pasien tampak mengerti dan melakukannya dengan benar . Diagnosa yang kedua jam 10.00 WIB mengkolaborasikan dengan fisioterapi untuk latihan fisik dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia dengan ketentuan tersebut, respon obyektif pasien tampak kooperatif. Diagnosa yang pertama jam 10.15 WIB mengkolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia dengan ketentuan tersebut, respon obyektif pasien masih tampak kebingungan dan belum mengerti. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Sabtu tanggal 9 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.30 WIB malakukan pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki sudah berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, respon obyektif pasien masih meringis kesakitan. Diagnosa yang kedua jam 08.45 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon subyektif 46 pasien mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuannya dalam mobilisasi, respon obyektif pasien masih tampak sedikit belum mengerti. Diagnosa yang pertama jam 09.00 WIB meningkatkan istirahat dan memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan bersedia diberikan kompres hangat, respon obyektif pasien masih merasakan sakit. Diagnosa yang kedua jam 09.45 WIB membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan latihan gerak aktif, respon obyektif pasien tampak sudah mengerti dengan latihan tersebut. Diagnosa yang pertama jam 10.00 WIB mengkolaborasikan dengan perawat pemberian analgetik allopurinol 10 mg 1x1 untuk mengurangi nyeri dengan respon subyektif pasien bersedia untuk minum obat, respon obyektif pasien melakukannya dengan benar. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 10 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.30 WIB melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki sudah berkurang bahkan hilang, Q: nyeri sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri di kaki sudah berkurang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, respon obyektif pasien sudah tampak rileks. Diagnosa yang kedua jam 08.45 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon 47 subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuannya dalam mobilisasi, respon obyektif pasien sudah mengerti dan terlihat lebih rileks. Diagnosa yang pertama 09.00 WIB meningkatkan istirahat dan memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan diberikan kompres hangat, respon obyektif pasien mengatakan sudah enakan dan tidak terlalu merasakan sakit lagi karena sudah di kompres hangat. Diagnosa yang pertama jam 09.15 WIB mengkolaborasikan dengan perawat pemberian analgetik allopurinol 10 mg 1x1 untuk mengurangi nyeri dengan respon subyektif pasien bersedia untuk minum obat, respon obyektif pasien melakukannya dengan benar. F. Evaluasi Keperawatan Evaluasi keperawatan dengan menggunakan metode SOAP pada hari Jumat tanggal 8 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 13.15 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien tampak meringis kesakitan. Analisa masalah belum teratasi, skala nyeri 4. Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya terasa sakit saat berjalan, obyektif pasien tampak kesakitan dan terlihat pucat. TTV: tekanan 48 darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Analisa masalah belum teratasi, kaki masih terasa sakit saat berjalan. Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu pantau tanda-tanda vital, berikan kompres hangat di kaki. Hari Sabtu tanggal 9 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 13.15 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri di kaki sudah berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk tetapi tidak sering, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien masih tampak meringis kesakitan. Analisa masalah teratasi sebagian, skala nyeri 3. Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya masih terasa sakit saat berjalan tetapi sudah berkurang semenjak dikompres hangat, obyektif pasien masih sedikit merasa kesakitan tetapi sudah tidak sering. TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Analisa masalah teratasi sebagian, rasa sakit dikaki sudah berkurang. Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu berikan kompres hangat di kaki. Hari Minggu tanggal 10 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 13.15 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri di kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti 49 ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan, terlihat lebih rileks. Analisa masalah teratasi, skala nyeri 2. Perencanaan keperawatan pertahankan intervensi. Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya sudah tidak terasa sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat, obyektif pasien sudah tidak merasakan sakit dikakinya. TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Analisa masalah teratasi, kaki sudah tidak terasa sakit saat berjalan. Perencanaan keperawatan pertahankan intervensi. BAB V PEMBAHASAN Bab ini penulis akan membahas tentang aplikasi tindakan pemberian kompres hangat untuk menurunkan skala nyeri pada pasien pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis yang dilakukan penulis di Puskesmas Gajahan Surakarta pada tanggal 8 – 10 januari 2016. A. Pengkajian Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang diharapkan dari pasien (Hidayat, 2012). Pengkajian merupakan inti dari berfikir kritis dan pemecahan masalah klinik. Setelah mengumpulkan data dan memvalidasi data subyektif dan obyektif serta menginterpretasikan data, penulis melakukan analisa data dan mengelompokkan sesuai dengan data yang didapatkan dari hasil pengkajian (Potter dan Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan penulis meliputi pengkajian identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan 11 fungsi gordon. Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 08.00 WIB dengan keluhan utama pasien mengatakan nyeri dan kaki kanan terasa sakit saat berjalan. Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan 50 51 dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan. Data yang mendukung keluhan utama pasien nyeri pada kaki kanan yaitu pola fungsi kognitif dan perseptual dengan melakukan pengkajian nyeri menggunakan (PQRST). P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulusstimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri, R (Region) yang berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan nyeri, T (Time) yang berarti durasi nyeri (Prasetyo, 2010). Pengkajian riwayat penyakit sekarang, pasien mengatakan 3 hari yang lalu tepatnya sejak tanggal 4 – 7 januari 2016 kaki sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, nyeri sangat dirasakan saat digunakan untuk beraktifitas dan sedikit sakit saat berjalan, kemudian pasien dibawa keluarganya ke Puskesmas Gajahan Surakarta. Tanda dan Gejala klinis pada gout arthritis menurut Purwoastuti (2009), yaitu: kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal, rasa nyeri dan pembengkakan pada persendian, pembengkakan salah satu persendian tangan, pembengkakan pada kedua belah sendi yang sama (simetris), nodul rhematoid (benjolan) di bawah kulit pada penonjolan tulang, pemeriksaan darah terdapat titer abnormal faktor rematoid kurang dari 5%, pemeriksaan radiologis pada 52 pergelangan tangan yang lurus menunjukkan adanya erosi yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi. Pengkajian pola aktifitas dan latihan, sebelum sakit kemampuan perawatan diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa bantuan dari keluarga. Selama sakit kemampuan perawatan diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa bantuan dari keluarga. Pemeriksaan ektremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot kanan dan kiri 5, ROM kanan dan kiri normal, capilary refile normal < 3 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat, ekstremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, ROM kanan dan kiri sedikit susah berjalan, capilary refile normal < 3 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat. Terapi pada tanggal 7 januari 2016 pasien mendapatkan terapi dari dokter obat simvastatin 10 mg 1x1, termasuk golongan obat statin, yang berfungsi untuk menurunkan kolestrol dalam darah. Obat allopurinol 100 mg 1x1, termasuk golongan obat xanthine-oxidase, yang berfungsi untuk mencegah gout dan mencegah peningkatan kadar asam urat. 53 B. Perumusan Masalah Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial pasien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan potensial pasien didapatkan dari data dasar pengkajian, dan catatan medis pasien. Hasil pengkajian dan pengelompokkan data penulis menemukan beberapa masalah kesehatan dan memfokuskan pada fungsi kesehatan fungsional yang membutuhkan dukungan dan bantuan pemulihan sesuai dengan kebutuhan hirarki Maslow (Potter dan Perry, 2005). Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn. M ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit. Proses penyakit karena adanya perubahan patologis oleh gout arthritis. Perumusan masalah keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri yang diambil penulis telah disesuaikan dengan diagnosa yang ada dalam buku. Saat dilakukan pengkajian didapatkan data subyektif: pasien mengatakan kaki sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. Data obyektif: pasien tampak meringis kesakitan. Batasan karakteristik nyeri yaitu: perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, gelisah, meringis, perubahan posisi untuk menghindari nyeri (Herdman, 2012). 54 Gangguan rasa nyaman nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau gambaran dalam hal kerusakan sedemikian rupa (international for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dar 6 bulan (Herdman, 2012). Keluhan utama pada kasus gout arthritis secara umum adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut timbul karena adanya pembengkakan dan trauma berulang yang dialami pada tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang. Hal ini mengakibatkan penderita gout arthritis mengalami nyeri pada bagian sendi bila digerakkan (Purwoastuti, 2009). Nyeri dapat timbul pada saat aktifitas dan hilang pada saat istirahat. Berdasarkan data tersebut penulis memprioritaskan diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri berdasarkan hirarki kebutuhan menurut Maslow yaitu masuk dalam kebutuhan tingkat kedua mencakup kebutuhan keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis) yang merupakan kebutuhan paling dasar kedua yang harus diprioritaskan (Potter dan Perry, 2005). Diagnosa kedua yang diangkat penulis adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekauan otot. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh pada satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (NANDA, 2012). Data yang mendukung diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik meliputi data subyektif: pasien mengatakan kakinya terasa sakit saat berjalan, 55 data obyektif pasien tampak meringis kesakitan dan terlihat pucat dan lemas. Menurut NANDA (2012), batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik yaitu kesulitan membolak-balik posisi, serta keterbatasan rentang pergerakkan sendi, dan sesuai dengan pengkajian pada pasien. Menurut kebutuhan Maslow hambatan mobilitas fisik masuk dalam kebutuhan prioritas kedua keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis). Penulis memprioritaskan diagnosa hambatan mobilitas fisik sebagai diagnosa kedua setelah nyeri, karena hambatan mobilitas fisik tidak bersifat urgent (Potter dan Perry, 2005). Berdasarkan data tersebut penulis menyimpulkan bahwa diagnosa yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai dengan buku (Herdman, 2012). C. Intervensi Keperawatan Proses keperawatan yang dilakukan setelah merumuskan diagnosa keperawatan yang spesifik, perawat menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menetapkan prioritas diagnosa dengan membuat peringkat dalam urutan kepentingannya. Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dirancang untuk membantu pasien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat ini ke tingkat kesehatan yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan (Potter dan Perry, 2005). 56 Setelah mengkaji, mendiagnosa, dan menetapkan prioritas tentang kebutuhan perawatan kesehatan pasien, penulis merumuskan tujuan dan hasil. Tujuan tidak hanya memenuhi kebutuhan pasien tetapi juga harus mencakup pencegahan. Tujuan yang penulis susun sesuai dengan teori yang ada pada buku fundamental keperawatan Potter dan Perry (2005), mengacu pada 7 faktor: berpusat pada pasien, faktor tunggal menunjukkan hanya satu respon pasien, faktor yang dapat diamati perubahan yang dapat diamati dapat terjadi dalam temuan fisiologis, tingkat pengetahuan pasien dan perilaku, faktor yang dapat diukur, faktor batasan waktu serta tujuan dan hasil yang diharapkan menunjukkan kapan respon yang diharapkan harus terjadi, faktor mutual, faktor realistik tujuan dan hasil yang diharapkan singkat dan realistik. Berdasarkan diagnosa yang telah penulis rumuskan dengan menyesuaikan prioritas permasalahan, penulis menyusun intervensi sebagai berikut: 1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan rasa nyaman nyeri pada Tn. M dapat teratasi dengan kriteria hasil: nyeri pada pasien akan berkurang dari skala 4 menjadi 2, pasien dapat menunjukkan ekpresi wajah atau postur tubuh rileks. Intervensi (Observation, yang penulis rumuskan menggunakan ONEC Nursing Intervention, Education, Collaboration) observation: lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yaitu berguna untuk mengetahui karakteristik, frekuensi, dan kualitas nyeri (Judha, dkk, 2012). Nursing intervention: kontrol lingkungan yang dapat 57 mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan yaitu untuk memberikan posisi yang nyaman (Judha, dkk, 2012). Education: tingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat yaitu berguna membantu pemulihan dan mengurangi rasa nyeri (Purwoastuti, 2009). Collaboration: berikan analgetik untuk mengurangi nyeri yaitu berguna untuk mengurangi rasa nyeri (Judha, dkk, 2012), kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil yaitu berguna mengurangi nyeri dan proses penyembuhan (Judha, dkk, 2012). 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan otot Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik pada Tn. M dapat teratasi dengan kriteria hasil: kaki pasien tidak terasa sakit saat berjalan, pasien dapat menunjukkan postur tubuh rileks. Intervensi yang penulis rumuskan menggunakan ONEC (Observation, Nursing Intervention, Education, Collaboration) obsevation: Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi yaitu berguna untuk mengetahui perkembangan pasien (Muttaqin, 2008). Nursing intervention: bantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mrngalami nyeri yaitu berguna untuk memperbaiki kekuatan otot dan fungsi sendi (Craven dan Hiller, 2009). Education: berikan pendidikan kesehatan kepada pasien yaitu berguna untuk memberikan pemahaman kepada pasien (Craven dan Hiller, 2009). Collaboration: kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik yang 58 berguna untuk meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas yang sakit (Muttaqin, 2008). D. Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan adalah komponen dari proses keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter dan Perry, 2005). Proses implementasi penulis mengkaji kembali pasien, memodifikasi rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai lima tahap: mengkaji ulang, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang sudah ada, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan intervensi keperawatan, dan mengkomunikasikan intervensi (Potter dan Perry, 2005). Dalam pembahasan ini penulis berusaha menerangkan hasil aplikasi keperawatan pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis. Penulis melakukan implementasi berdasarkan dari intervensi yang telah disusun dengan memperhatikan aspek tujuan dan kriteria hasil dalam rentang normal yang diharapkan. Tindakan keperawatan yang penulis lakukan selama 3 hari kelolaan pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis yaitu: 59 1. Diagnosa pertama: gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit. Penulis melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, mengkontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, meningkatkan istirahat dan memberikan kompres hangat, pencahayaan dan kebisingan, memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri, mengkolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. Penulis melakukan tindakan kompres hangat selama 3 hari berturut-turut, kompres hangat dilakukan 1 kali dalam sehari selama 15 menit. Bila tindakan ini tidak dilakukan akan berdampak pada hasil penurunan nyeri. Hari pertama saat dilakukan tindakan kompres hangat karakteristik nyeri yang dirasakan Tn. M, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, dengan respon pasien meringis kesakitan. Hari kedua saat dilakukan kompres hangat P: nyeri kaki sudah berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, dengan respon pasien masih meringis kesakitan. Hari ketiga saat dilakukan kompres hangat P: nyeri di kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala 60 nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, dengan respon pasien sudah tampak rileks. Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit. Langkah-langkah melakukan tehnik ini adalah bungkus sumber panas dengan satu atau dua lapis handuk untuk memastikan sumber tersebut tidak terlalu panas, letakkan handuk basah hangat, bantalan panas, kantong paska silika yang dipanaskan, atau botol air panas di tempat yang terasa sakit atau nyeri (Riyadi, 2012). Kompres hangat dapat meringankan rasa nyeri dan radang ketika terjadi serangan asam urat yang berulang-ulang. Efek pemberian kompres hangat terhadap tubuh antara lain meningkatkan aliran darah kebagian tubuh yang mengalami cidera, meningkatkan pengiriman leukosit dan antibiotik ke daerah luka, meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, meningkatkan aliran darah dan meningkatkan pergerakan zat sisa dan nutrisi (Potter dan Perry, 2005). Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit. Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian. 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan otot Penulis mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ektremitas 61 yang mengalami nyeri, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik. Hari pertama penulis melakukan tindakan mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi yaitu berguna untuk mengetahui perkembangan pasien (Muttaqin, 2008). Ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, pasien mengatakan kakinya sedikit sakit saat berjalan, pasien masih tampak meringis kesakitan. Hari kedua penulis melakukan tindakan membantu pasien untuk melakukan lartihan gerak aktif pada ektremitas yang mengalami nyeri dengan ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, pasien mengatakan kakinya sedikit sakit saat berjalan, pasien masih tampak meringis kesakitan. Hari ketiga penulis melakukan tindakan kompres hangat dan mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, pasien mengatakan kakinya sudah tidak sakit lagi saat berjalan karena sudah diberi kompres hangat untuk mengurangi rasa sakit, pasien tampak menunjukkan postur tubuh rileks. Range of Motion (ROM) adalah latihan gerak sendi untuk meningkatkan aliran darah perifer dan mencegah kekakuan otot atau sendi (Eldawati, 2011). Tujuan ROM untuk memperbaiki dan mencegah kekakuan otot, memelihara atau meningkatkan fleksibilitas sendi, memelihara atau 62 meningkatkan pertumbuhan tulang dan mencegah kontraktur. Latihan gerak sendi dapat segera dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot dan ketahanan otot sehingga memperlancar aliran darah serta suplai oksigen untuk jaringan sehingga akan mempercepat proses penyembuhan (Eldawati, 2011). E. Evaluasi Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan yang dibuat pada tahap perencanaan (Potter dan Perry, 2005). Evaluasi yang akan dilakukan oleh penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana tindakan dapat dilaksanaka dengan SOAP (subjective, objective, analisa, planning) (Setiadi, 2012). Evaluasi hari pertama masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi pasien masih meringis kesakitan dan skala nyeri 4, subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien tampak meringis kesakitan. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. Evaluasi hari kedua masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum teratasi pasien masih tampak sedikit meringis kesakitan dan skala nyeri 3, subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, 63 P: nyeri di kaki sudah berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk tetapi tidak sering, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien masih tampak meringis kesakitan. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri. Evaluasi hari ketiga masalah gangguan rasa nyaman nyeri teratasi pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan dan terlihat lebih rileks, subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri di kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan, terlihat lebih rileks. Intervensi keperawatan dipertahankan. Evaluasi hari pertama masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi pasien tampak kesakitan dan terlihat pucat, subyektif pasien mengatakan kakinya terasa sakit saat berjalan, obyektif pasien tampak kesakitan dan terlihat pucat. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu pantau tanda-tanda vital, berikan kompres hangat di kaki. Evaluasi hari kedua masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi karena kaki pasien masih sedikit terasa sakit saat berjalan, subyektif pasien mengatakan kakinya masih terasa sakit saat berjalan tetapi sudah berkurang semenjak dikompres hangat, obyektif pasien masih sedikit merasa kesakitan 64 tetapi sudah tidak sering. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu berikan kompres hangat di kaki. Evaluasi hari ketiga masalah hambatan mobilitas fisik teratasi karena kaki pasien sudah tidak terasa sakit, subyektif pasien mengatakan kakinya sudah tidak terasa sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat, obyektif pasien sudah tidak merasakan sakit dikakinya. Intervensi keperawatan dipertahankan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis di Puskesmas Gajahan Surakarta selama tiga hari kelolaan dengan menerapkan aplikasi pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Pengkajian Keluhan utama yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian pasien mengatakan nyeri dibagian kaki sebelah kanan. Tanggal 8 januari 2016 penulis melakukan pengkajian nyeri, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. Pasien juga mengeluh kaki kanannya sedikit bengkak dan sakit saat digunakan beraktifitas dan berjalan. Kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5 kiri 5, ekstremitas bawah kanan 4 kiri 5. 2. Diagnosa Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn. M ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama 65 66 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit. Proses penyakit karena adanya perubahan patologis oleh gout arthritis, diagnosa prioritas kedua hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi. 3. Intervensi Diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit, intervensi yang dilakukan: lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisinga, tiingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil. Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi, intervensi yang dilakukan: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, bantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri, berikan pendidikan kesehatan kepada pasien, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik. 4. Implementasi Dalam asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis di Puskesmas Gajahan Surakarta telah sesuai dengan intervensi yang penulis rumuskan. Penulis menekankan pemberian kompres hangat untuk 67 menurunkan skala nyeri, dengan melakukan kompres hangat sebanyak 1 kali dalam sehari, selama 3 hari kelolaan. 5. Evaluasi Hasil evaluasi masalah keperawatan pertama gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit teratasi. P: nyeri di kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan, terlihat lebih rileks. Intervensi keperawatan dihentikan. Hasil evaluasi masalah keperawatan kedua hambatan mobilitas fisik teratasi, subyektif pasien mengatakan kakinya sudah tidak terasa sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat, obyektif pasien sudah tidak merasakan sakit dikakinya. Intervensi keperawatan dihentikan. 6. Analisa pemberian kompres hangat Analisa hasil implementasi aplikasi jurnal yang telah dilakukan oleh Mellynda Wurangian, Hendro Bidjuni, dan Vandri Kallo, dengan judul “Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Penderita Gout Arthritis Di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu Manado” penulis mendapatkan hasil analisa dari implementasi yang dilakukan selama 3 hari kelolaan yaitu terjadi penurunan skala nyeri dengan dilakukan kompres hangat sebanyak 1 kali dalam sehari, skala nyeri hari 68 pertama 4, skala nyeri hari kedua 3, skala nyeri hari ketiga 2. Hasil tersebut sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan dan terbukti sesuai teori yang ada terjadi penurunan skala nyeri setelah dilakukan kompres hangat. B. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gout arthritis, penulis memberikan usulan dan masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain: 1. Bagi institusi pelayanan kesehatan Diharapkan rumah sakit atau puskesmas khususnya Puskesmas Gajahan Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun pasien serta keluarga pasien. Khususnya dalam proses rehabilitasi medik dengan melibatkan keluarga pasien untuk berperan aktif sehingga pasien dan keluarga mengerti perawatan lanjutan dirumah. 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Hendaknya perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang lebih dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat melibatkan keluarga pasien dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga mampu melakukan tindakan kompres hangat. 69 3. Bagi institusi pendidikan Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dengan mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan keperawatan yang dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat yang professional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan. 4. Bagi penulis Memberikan ilmu dan menambah wawasan penulis mengenai gout arthritis dan penatalaksanaan dalam asuhan keperawatan yang komprehensif. DAFTAR PUSTAKA Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep & Proses KeperawatanNyeri. Jogjakarta: ArRuzz Media. Craven dan Hiller. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC Eldawati. 2011. Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Terhadap Kemampuan Mobilisasi Dini. Universitas Indonesia: Jakarta Fauziyah, lin. 2013.Efektifitas Tehnik Effleurage dan Kompres Hangat. EGC: Jakarta. Hermand, T heather. 2012. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC Hidayat, Rudy. 2009. Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Hidayat, u’un Wahyudi. 2012. Informasi Spesialite Obat, Volume 27. Jakarta: PT ISFI Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri. Yogyakarta: Nudha Medika. Kusyati. 2006. Tujuan Pemberian Kompres Hangat. http://www. ac. id. Diakses padat anggal 15 November 2015. Muchid, Abdul. Buku Pharmaceutical Care untuk Pasien Arhtritis Rematik. Jakarta. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Musculoskeletal. Jakarta: EGC NANDA. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis & NANDA. Edisi jilid I. Jakarta. Media Action Publishing. Perry, G.A & Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. EGC: Jakarta. Prasetyo, S.N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta :Graha Ilmu. Purwoastuti, Endang. 2009. Waspadai Gangguan Rematik. Yogyakarta: Kanisius. Riset Kesehatan Dasar Tentang Penyakit Sendi. 2013. Badan Penelitian dan Perkembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta Riyadi, S. & Harmoko, H. 2012. Standart Operating Procedure dalam Praktek Klinik Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Setiadi. 2012. Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan Praktik, Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudoyo, A.W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam, Edisike 5. Interna Publishing. Jakarta. Tanto, Chris, Frans Liwang, Sonia Hanifan, Eka Adip Pradipta. 2014. Buku Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV vol II. Jakarta: Media Aesculapius. Wahyuningsih, Arinta. 2013. Standart Asuhan Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media.