pemberian kompres ha skala nyeri pada dengan program stud

advertisement
PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN
SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. M
DENGAN GOUT ARTHRITIS DI PUSKESMAS
GAJAHAN SURAKARTA
DI SUSUN OLEH:
RATIH EKA SRIYANTI
NIM. P.13107
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN KOMPRES HANGAT TERHADAP PENURUNAN
SKALA NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. M
DENGAN GOUT ARTHRITIS DI PUSKESMAS
GAJAHAN SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyara
Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH:
RATIH EKA SRIYANTI
NIM. P.13107
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya
tulis ilmiah yang berjudul ”Pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala
nyeri pada asuhan keperawatan Tn. M dengan Gout Arthritis di Puskesmas
Gajahan Surakarta.”
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1.
Ns. Wahyu Rima Agustin, M. Kep, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2.
Ns. Meri Okatriani, M. Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan
yang telah memberikan kesempatan untuk menimba di STIKes Kusuma
Husada Surakarta.
3.
Ns. Alfyana Nadya R, M. Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4.
Ns. Fakhrudin Nasrul Sani, M. Kep selaku dosen pembimbing sekaligus
sebagai penguji yang telah membimbing penulis dengan cermat, memberikan
masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta
memfasilitasi penulis demi kesempurnaan studi kasus ini.
5.
Ns S. Dwi Sulisetyawati, M. Kep selaku dosen penguji yang telah
membimbing dengan
memberikan
cermat,
masukan-masukan
membimbing penulis
,inspirasi,
perasaan
dengan
cermat,
nyaman
dalam
membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan studi kasus ini.
6.
Semua dosen program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
iv
7.
Kedua orang tuaku (Satino dan Sri Subekti) yang selalu memberikan kasih
sayang, dukungan dan do’a serta menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan DIII Keperawatan.
8.
Teman-teman seperjuanganku Septia Handayani, Nur Halimah, Nurliana
Khoiriyah, Pipit Siti Nurlely, Devi Damayanti, Anik Purwaningsih, Eka Puji
Astuti yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan
Tugas Akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
9.
Mahasiswa satu angkatan
khususnya kelas 3B Program studi DIII
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang
tidak mampu penulis sebutkan satu persatu yang memberikan dukungan.
Semoga laporan karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan
ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin
Surakarta, Mei 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ......................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang ..............................................................................
1
B. Tujuan penulisan ...........................................................................
4
C. Manfaat Penulisan .........................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori ...............................................................................
5
B. Kerangka Teori ..............................................................................
31
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset ....................................................................
32
B. Tempat dan Waktu ........................................................................
32
C. Media dan Alat yang Digunakan ...................................................
32
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset ............................
32
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien .............................................................................
35
B. Pengkajian ....................................................................................
35
C. Daftar Perumusan Masalah ...........................................................
41
vi
D. Intervensi Keperawatan ................................................................
42
E. Implementasi Keperawatan ..........................................................
43
F. Evaluasi Keperawatan ..................................................................
47
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ....................................................................................
50
B. Perumusan Masalah ......................................................................
53
C. Intervensi Keperawatan ................................................................
55
D. Implementasi Keperawatan ...........................................................
58
E. Evaluasi .........................................................................................
62
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan....................................................................................
65
B. Saran ..............................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR TABEL
Table 2.1 Respon Fisiologis Terhadap Nyeri ..................................................
viii
26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale) .................
22
Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale) ........
23
Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS) ........................................................
23
Gambar 2.4 Kerangka Teori ...........................................................................
31
Gambar 2.5 Alat Ukur ....................................................................................
34
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Usulan Judul Aplikasi Jurnal
Lampiran 2. Lembar konsultasi Karya tulis Ilmiah
Lampiran 3. Surat Pernyataan
Lampiran 4. Jurnal Utama
Lampiran 5. Jurnal Pendamping
Lampiran 6. Asuhan Keperawatan
Lampiran 7. Lembar Observasi Aplikasi Jurnal
Lampiran 8. Daftar Riwayat Hidup
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gout arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai
dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi membran sinovial
persendian. Gout arthritis dapat mengakibatkan terjadinya disabilitas berat
serta mortalitas dini (Kapita Selekta Kedokteran, 2014).
Gout arthritis merupakan penyakit yang menyerang sendi dan tulang
atau jaringan penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang diserang biasanya
persendian pada jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Keadaan ini
biasanya sebagai akibat aktivitas yang berlebihan atau trauma berulang yang
dialami pada tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang.
Hal ini mengakibatkan penderita gout arthritis mengalami nyeri pada bagian
sendi bila digerakkan (Purwoastuti, 2009).
Angka kejadian atau prevalensi gout arthritis di Amerika Serikat
adalah 13,6/1000 pria dan 6,4/1000 perempuan. Prevalensi gout bertambah
dengan meningkatnya taraf hidup. Gout merupakan penyakit dominan pada
pria dewasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout
jarang pada pria sebelum masa remaja sedangkan pada perempuan jarang
sebelum menopause (Sudoyo, 2009).
1
2
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun
2013, prevalensi penyakit sendi adalah 24,7% dan prevalensi yang paling
tertinggi yaitu di Bali mencapai 19,3%, di Sulawesi Utara juga merupakan
salah satu prevalensi tertinggi yaitu mencapai 10,3%. Prevalensi penyakit
sendi di Jawa Tengah pada tahun2013 adalah 33%. Prevalensi lebih tinggi
pada masyarakat tidak bersekolah baik yang didiagnosis nakes 24,1%.
Prevalensi tertinggi pada pekerjaan yang didiagnosis nakes 15,3%. Prevalensi
yang didiagnosis nakes dipedesaan 13,8% lebih tinggi dari perkotaan 10,0%.
Salah satu tanda dan gejala dari penderita Gout Arthritis adalah pasien
mengalami keluhan nyeri (Hidayat, 2009). Nyeri merupakan suatu sensasi
tunggal yang disebabkan oleh stimulus spesifik bersifat subyektif dan berbeda
antara masing-masing individu karena dipengaruhi oleh faktor psikososial
seseorang, sehingga orang tersebut lebih merasakan nyeri (Potter dan Perry,
2005). Menurut Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai suatu
sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan.
Tindakan farmakologis untuk penderita gout arthritis diantaranya
adalah dengan menggunakan obat-obatan seperti obat allopurinol yang
berguna untuk menurunkan kadar asam urat dan non farmakologis untuk
penderita gout arthritis diantaranya adalah kompres, baik itu kompres hangat
dan kompres dingin. Kompres hangat dan kompres dingin dapat meringankan
rasa nyeri dan radang ketika terjadi serangan asam urat yang berulang-ulang.
3
Efek pemberian terapi kompres hangat terhadap tubuh antara lain dapat
meningkatkan aliran darah kebagian tubuh yang mengalami cidera,
meningkatkan
pengiriman
leukosit
dan
antibiotik
kedaerah
luka,
meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi nyeri akibat spasme atau
kekakuan, dan meningkatkan aliran darah (Potter dan Perry, 2005).
Menurut penelitian yang dilakukan Wurangin, dkk (2013), dari 40
responden yang dibagi dalam dua kelompok intervensi, kelompok yang
pertama dilakukan pemberian intervensi kompres hangat sedangkan
kelompok kedua dilakukan intervensi kompres dingin menghasilkan
kesimpulan bahwa rata-rata penurunan skala nyeri pada kompres hangat
adalah 1,60 dan rata-rata penurunan skala nyeri pada kompres dingin adalah
1,05. Hal ini berarti kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri
pada penderita gout arthritis.
Pemberian
kompres
hangat
akan
mengakibatkan
terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah sehingga akan meningkatkan relaksasi otot dan
mengurangi nyeri akibat spasme atau kekakuan, dan juga memberikan rasa
nyaman. Hal ini berarti kompres hangat lebih efektif untuk menurunkan nyeri
pada penderita gout arthritis (Potter dan Perry, 2005).
Menurut data yang ada di Puskesmas Gajahan Surakarta sudah ada
terapi non farmakologi untuk mengurangi nyeri yaitu dengan terapi relaksasi
nafas dalam yang diberikan kepada pasien yang menderita Gout Arthritis
dengan cara pasien diajarkan saat periksa dan setiap kali kontrol ke
puskesmas. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk
4
mengaplikasikan tindakan terapi kompres hangat terhadap penurunan skala
nyeri pada Tn. M yang berusia 53 tahun dengan gout arthritis.
B. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Mengaplikasikan
tindakan
pemberian
kompres
hangat
terhadap
penurunan skala nyeri pada penderita gout arthritis.
2.
Tujuan Khusus
a.
Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien
dengan gout arthritis.
b.
Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan gout arthritis.
c.
Penulis mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien
dengan gout arthritis.
d.
Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan pada pasien
dengan gout arthritis.
e.
Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan
gout arthritis.
f.
Penulis mampu menganalisa hasil pemberian tindakan kompres
hangat dalam menurunkan skala nyeri pada pasien dengan gout
arthritis.
5
C. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dimaksudkan memberikan kontribusi laporan kasus
bagi pengembangan praktik keperawatan dan pemecahan masalah khususnya
dalam bidang atau profesi keperawatan.
1.
Bagi pasien
Aplikasi ini diharapkan dapat memberikan referensi baru bagi pelayanan
asuhan keperawatan di rumah sakit untuk mengelola pasien dengan gout
arthritis.
2.
Bagi rumah sakit
Penulisan ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan
dijadikan intervensi mandiri bagi perawat dalam melakukan tindakan
kompres hangat dalam menurunkan skala nyeri pada pasien dengan gout
arthritis.
3.
Bagi institusi pendidikan keperawatan
Hasil penulis dapat digunakan sebagai referensi dan sumber bacaan
mengenai gout arthritis sebagai acuan untuk penelitian berikutnya.
4.
Bagi penulis
Penulis mampu menulis secara langsung ilmu yang diperoleh selama
pendidikan dan melaksanakan pendidikan secara langsung mengenai
pengaruh kompres hangat dalam menurunkan skala nyeri pada penderita
gout arthritis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1.
Gout arthritis
a.
Definisi
Gout arthritis adalah penyakit yang menyerang sendi dan
tulang atau jaringan penunjang sekitar sendi. Bagian tubuh yang
diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul, dan tulang
punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas yang
berlebihan atau trauma berulang yang dialami pada tulang rawan
(kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi tulang. Akibatnya, akan
terasa nyeri apabila sendi digerakkan (Purwoastuti, 2009).
Gout arthritis adalah penyakit inflamasi kronis sistemik yang
ditandai dengan pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi
membran sinovial persendian. Gout arthritis dapat mengakibatkan
terjadinya disabilitas berat serta mortalitas dini (Kapita Selekta
Kedokteran, 2014).
b.
Klasifikasi
Klasifikasi pada gout arthritis menurut Hidayat (2009) yaitu :
1) Gout arthritis akut
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60
tahun pada laki-laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan.
6
7
Sebelum 25 tahun merupakan bentuk tidak lazim arthritis
gout, yang mungkin merupakan manifestasi adanya gangguan
enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau penggunaan siklosporin,
pada 85-90% kasus. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu
radang sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun, kemudian
bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
Keluhan berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai
keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah
(Hidayat, 2009).
Faktor pencetus serangan akut antara lain trauma lokal,
diet tinggi purin, minum alkohol, kelelahan fisik, stress,
tindakan operasi, pemakaian diuretik, pemakaian obat yang
meningkatkan atau menurunkan asam urat (Hidayat, 2009).
2) Stadium interkritika
Stadium ini merupakan kelanjutan stadium gout akut,
dimana secara klinik tidak muncul tanda-tanda radang akut,
meskipun pada aspirasi cairan sendi masih ditemukan kristal
urat, yang menunjukkan proses kerusakan sendi yang terus
berlangsung progresif. Stadium ini bisa berlangsung beberapa
tahun sampai 10 tahun tanpa serangan akut, dan tanpa tata
laksana yang adekuat akan berlanjut ke stadium gout kronik
(Hidayat, 2009).
8
3) Arthritis gout kronik
Stadium ini ditandai dengan adanya tofi dan terdapat di
poliartikuler, dengan predileksi cuping telinga, dan jari tangan.
Tofi sendiri tidak menimbulkan nyeri, tapi mudah terjadi
inflamasi di sekitarnya, dan menyebabkan destruksi yang
progresif pada sendi serta menimbulkan deformitas. Tofi juga
sering pecah dan sulit sembuh, serta terjadi infeksi sekunder.
Kecepatan pembentukan deposit tofus tergantung beratnya dan
lamanya hiperurisemia, dan akan diperberat dengan gangguan
fungsi ginjal dan penggunaan diuretik (Hidayat, 2009).
c.
Etiologi
Gout arthritis terjadi akibat adanya predisposisi genetik, yang
menimbulkan reaksi imunologis pada membran sinovial. Gout
arthritis lebih sering terjadi pada perempuan (rasio 3:1 dibanding
laki-laki), serta insiden tertinggi ditemukan pada usia 20-45 tahun.
Selain pengaruh genetik, faktor resiko yang lain adalah kemungkinan
infeksi bakterial, virus, serta kebiasaan merokok.
(Kapita Selekta Kedokteran, 2014).
d.
Tanda dan Gejala
Gejala klinis pada gout arthritis menurut Purwoastuti (2009),
yaitu :
1) Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya,
selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.
9
2) Rasa nyeri dan pembengkakan pada persendian.
3) Pembengkakan salah satu persendian tangan.
4) Pembengkakan pada kedua belah sendi yang sama (simetris).
5) Nodul rhematoid (benjolan) di bawah kulit pada penonjolan
tulang.
6) Pemeriksaan darah terdapat titer abnormal faktor rematoid
kurang dari 5%.
7) Pemeriksaan radiologis pada pergelangan tangan yang lurus
menunjukkan adanya erosi yang berlokasi pada sendi atau
daerah yang berdekatan dengan sendi.
e.
Patofisiologi
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan
antaraproduksi dan sekresi, dan ketika terjadi ketidak seimbangan
dua proses tersebut maka terjadi keadaan hiperurisemia, yang
menimbulkan hipersaturasi asam urat yaitu kelarutan asam urat di
serum yang telah melewati ambang batasnya, sehingga merangsang
timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama monosodium urat
diberbagai tempat atau jaringan. Menurunnya kelarutan sodium urat
pada temperatur yang lebih rendah seperti pada sendi perifer tangan
dan kaki, dapat menjelaskan kenapa kristal MSU (monosodiumurat)
mudah diendapkan di pada kedua tempat tersebut.
Pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP1) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang
10
pada daerah tersebut. Awal serangan gout akut berhubungan dengan
perubahan kadar asam urat serum, meninggi atau menurun. Kadar
asam urat yang stabil jarang muncul serangan.
Pengobatan dengan allopurinol pada awalnya juga dapat
menjadi faktor yang mempresipitasi serangan gout akut. Penurunan
asam urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium
urat dari depositnya di sinovium atau tofi (crystals shedding).
Pelepasan kristal MSU akan merangsang proses inflamasi dengan
mengaktifkan kompleman melalui jalur klasik maupun alternatif. Sel
makrofag (paling penting), netrofil dan sel radang lain juga
teraktivasi, yang akan menghasilkan mediator-mediator kimiawi
yang juga berperan pada proses inflamasi (Sudoyo,dkk, 2009).
f.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan
diagnostik
yang
dapat
dilakukan
untuk
menegakkan diagnosa medis yaitu :
1) Darah perifer: anemia, trombositosis, dan peningkatan laju
endap darah.
2) Analisis cairan sendi inflamasi: leukosit 5.000-50.000/uL, PMN
>50%, protein meningkat, glukosa menurun, uji bekuan musin
buruk, kristal (-), kultur bakteri (-).
3) Faktor reomatoid serum umumnya positif. Faktor rematoid
adalah antibodi terhadap fraksi Fc IgG dan berhubungan dengan
prognosis. (Kapita Selekta Kedokteran, 2014).
11
g.
Komplikasi
Menurut Buku Pharmaceutical care (2006), komplikasi klinik
pada pasien gout arthritis yaitu :
1) Serangan gout berulang setelah serangan awal menyebabkan
ketidak mampuan mobilitas selama 2-3 minggu.
2) Chronic tophaceous gout kerusakan sendi yang meluas
3) Nefrolitiasis
menyerang abdominal
bagian
bawah
nyeri
selangkang dan hematuria
4) Nefropati urat menyebabkan insufisiensi ginjal dan hipertensi
5) Nefropati asam urat menyebabkan gagal ginjal akut biasanya
berkaitan dengan tumor dan kemoterapi
6) Hipersensitivitas alopurinol menyebabkan ruam pruritik, reaksi
parah berkaitan dengan vaskulitis dan hepatitis.
h.
Asuhan keperawatan pada pasien gout arthritis
Proses keperawatan adalah tindakan yang berurutan yang
dilakukan secara sistemik untuk menentukan masalah klien dengan
membuat perencanaan untuk mengatasinya, melaksanakannya dan
mengevaluasi keberhasilan secara efektif terhadap masalah yang
diatasinya tersebut (Yura, 2012).
1) Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses
keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan
12
data dasar dari pasien, untuk informasi yang diharapkan dari
pasien.
Fokus pengkajian pada pasien gout arthritis :
1) Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, dan
pekerjaan.
2) Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien gout
arthritis untuk datang ke rumah sakit adalah nyeri yang
dirasakan.
3) Riwayat penyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan nyeri yang terjadi di otot dan
tulang, termasuk didalamnya sendi dan otot sendi.
Gangguan nyeri yang terus berlangsung menyebabkan
aktivitas sehari-hari terhambat. Biasanya terjadi kekakuan
di pagi hari, rasa nyeri, dan pembengkakan pada persendian.
4) Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita pada pasien gout
arthritis, biasanya menderita hipertensi.
5) Riwayat imunisasi
Apabila
mempunyai
kemungkinan
dihindarkan.
akan
kekebalan
timbulnya
yang
baik,
komplikasi
maka
dapat
13
6) Riwayat gizi
Status gizi orang yang menderita gout arthritis dapat
bervariasi. Semua orang dengan status gizi baik maupun
buruk
dapat
beresiko
apabila
terdapat
faktor
predisposisinya.
7) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
8) Sistem integumen
a) Adanya turgor kulit menurun.
b) Kuku sianosis atau tidak.
c) Kepala dan leher
Kulit kepala bersih, rambut bersih tidak ada ketombe,
mata tidak anemis, hidung simetris, mukosa bibir
sedikit kering, tidak terjadi perdarahan gusi, dan nyeri
tekan.
d) Dada
Bentuk dada simetris.
e) Abdomen
Bentuk simetris, mengalami nyeri tekan.
f)
Ekstremitas
Akral dingin, serta terjadi nyeri otot, sendi, dan tulang.
14
9) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan kadar asam urat dalam darah.
b) Tes cairan sinovial, fisis, inflamasi, infeksi.
c) X-rays, MRI, Bone Scan untuk melihat perubahan pada
struktur tulang dan kartilago.
2) Diagnosa keperawatan
Masalah yang dapat ditemukan pada pasien Gout arthritis antara
lain :
a) Gangguan
rasa
nyaman
nyeri
berhubungan
dengan
perubahan patologis oleh gout arthritis
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan
pada sendi
c) Resiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot
d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan
penampilan tubuh, sendi bengkok
e) Ansietasberhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit
(Nanda NIC-NOC, 2013)
3) Perencanaan
a) Gangguan
rasa
nyaman
nyeri
berhubungan
perubahan patologis oleh gout arthritis
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
dengan
15
(2) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisinga.
(3) Tingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat.
(4) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
(5) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil.
b) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan
pada sendi
(1) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
(2) Bantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstremitas yang mengalami nyeri.
(3) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien.
(4) Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk latihan fisik.
c) Resiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot
(1) Sediakan lingkungan yang nyaman untuk pasien.
(2) Anjurkan keluarga untuk menemani pasien.
(3) Kontrol lingkungan dari kebisingan.
(4) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit.
d) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan
penampilan tubuh, sendi bengkok
(1) Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap
tubuhnya.
16
(2) Monitor frekuensi mengkritik dirinya.
(3) Jelaskan tentang pengobatan, perawatan penyakit.
(4) Dorong pasien mengungkapkan perasaanya.
e) Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
proses penyakit
(1) Gunakan pendekatan yang menenangkan.
(2) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
kecemasan.
(3) Instruksikan pasien menggunakan tehnik relaksasi.
(4) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan.
2.
Nyeri
a.
Pengertian
Nyeri adalah suatu sensasi tunggal yang disebabkan oleh
stimulus spesifik bersifat subyektif dan berbeda antara masingmasing individu karena dipengaruhi oleh faktor psikososial
seseorang, sehingga orang tersebut lebih merasakan nyeri (Potter
Dan Perry, 2005).
Menurut Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai
suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual,
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi
kerusakan.
17
Prasetyo (2010), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme proteksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak,
dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan
rasa nyeri.
b.
Klsifikasi nyeri
Klasifikasi nyeri menurut Andarmoyo (2013) yaitu :
1) Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi
a) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera
akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Tujuan
definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang
berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Fungsi
nyeri akut adalah memberi peringatan akan suatu cidera
atau penyakit yang akan datang.
Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (selflimiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa
pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi
kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari enam
bulan), memiliki omset yang tiba-tiba, dan terlokalisasi.
Nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi.
Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri jenis ini, seperti
18
pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, dan
lain sebagainya.
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system
saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala
seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah,
peningkatan denyut jantung, dan dilatasi pupil. Secara
verbal pasien yang mengalami nyeri akan melaporkan
adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang
dirasakannya. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya
juga akan memperlihatkan respons emosi dan perilaku
seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan
wajah, atau menyeringai.
b) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten
yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasa
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri kronik tidak
mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sulit
untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respons
terhadap
penyebabnya.
pengobatan
yang
diarahkan
pada
19
2) Klasifikasi berdasarkan asal
a) Nyeri nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan
oleh aktivitas atau sensititasi nosiseptorperifer yang
merupakan reseptor khusus yang mengantarkan stimulus
noxious. Nyeri nosiseptorperifer dapat terjadi karena
adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang sendi, otot,
jaringan ikat, dan lain-lain.
Dilihat dari sifat nyerinya maka nyeri nosiseptif
merupakan nyeri akut. Nyeri akut merupakan nyeri
nosiseptif yang mengenai daerah perifer dan letaknya lebih
terlokalisasi.
b) Nyeri neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan suatu hasil cidera atau
abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer
maupun sentral. Berbeda dengan nyeri noseseptif, nyeri
neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses input
saraf sensorik yang abnormal oleh system saraf perifer.
Nyeri ini lebih sulit diobati. Pasien akan mengalami nyeri
seperti terbakar. Nyeri neuropatik dari sifat nyerinya
merupakan nyeri kronis.
20
3) Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasinya dibedakan sebagai
berikut:
a) Superficial atau kutaneus
Nyeri Superficial adalah nyeri yang disebabkan
stimulasi kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung nyeri
dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang
tajam. Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong
kecil atau laserasi.
b) Visceral dalam
Nyeri visceral adalah nyeri yang terjadi akibat
stimulasi organ-organ internal. Karakteristik nyeri bersifat
difus dan dapat menyebar ke beberapa arah.Durasinya
bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama daripada
superficial. Pada nyeri ini juga menimbulkan rasa tidak
menyenangkan, dan berkaitan dengan mual dan gejalagejala otonom. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul, atau unik
tergantung organ yang terlibat. Contohnya sensasi pukul
(crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar
seperti ulkus lambung.
21
c) Nyeri alih
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam
nyeri viseral karena banyak organ tidak memiliki reseptor
nyeri. Jalan masuk neuron sensori dari organ yang terkena
kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari
tempat asal nyeri dirasakan, persepsi nyeri pada daerah
yang tidak terkena. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian
tubuh yang terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa
dengan berbagai karakteristik. Contohnya nyeri yang terjadi
pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri alih ke
rahang, lengan kiri, batu empedu yang dapat mengalihkan
nyeri ke selangkangan.
d) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensasi nyeri yang meluas
dari tempat awal cidera kebagian tubuh yang lain.
Karakteristiknya nyeri terasa seakan menyebar kebagian
tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh. Nyeri dapat
menjadi
intermiten
atau
konstan.
Contohnya
nyeri
punggung bagian bawah akibat diskus intravertebral yang
ruptur disertai nyeri yang meradiasi sepanjang tungkai dari
iritasi saraf skiatik.
22
4) Alat ukur nyeri
a) Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale)
VDS merupakan garis yang terdiri atas tiga sampai
lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang
sama disepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari
tidak terasa nyeri sampai terasa nyeri (nyeri yang tidak
tertahankan).
Pengukur menunjukkan pada pasien skala tersebut
atau memintanya untuk memilih intensitas nyeri yang
dirasakannya.
Gambar 2.1
b) Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale)
NRS digunakan lebih sebagai pengganti atau
pendamping VDS, klien memberikan penilain 0 sampai 10.
Nyeri pasien akan dikategorikan tidak nyeri (0). Nyeri
sedang (1-3) secara objektif pasien dapat berkomunikasi
dengan baik. Nyeri ringan (4-6) secara objektif klien
mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
dapat mendiskripsikannya, dan dapat mengikuti perintah
dengan baik. Nyeri berat (7-9) secara objektif klien
23
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, serta tidak dapat
diatasi dengan alih posisi, nafas panjang, dan distraksi.
Nyeri hebat (10) pasien sudah tidak mampu berkomunikasi
atau memukul.
Gambar 2.2
c) Visual Analog Scale (VAS)
Menurut Potter & Perry (2005), VAS merupakan
alat pengukur tingkat nyeri yang lebih sensitive karena
pasien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
angka
yang
menurut
mereka
paling
tepat
dalam
menjelaskan tingkat nyeri yang dirasakan pada satu waktu.
VAS tidak melabelkan suatu divisi, tapi tediri dari sebuah
garis lurus yang dibagi secara merata menjadi 10 segmen
dalam angka 0 sampai 10 dan memiliki alat pendiskripsi
verbal pada setiap ujungnya. Pasien diberitahu bahwa 0
menyatakan “tidak ada nyeri sama sekali” dan sepuluh
menyatakan “nyeri paling parah” yang klien dapat
bayangkan. Skala ini memberikan kebebasan kepada pasien
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
24
Gambar 2.3
5) Pengalaman nyeri
Terdapat 3 fase pengalaman nyeri yaitu :
a)
Fase antisipasi
Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima.
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling
penting
ing karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain.
Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi yang adekuat kepasa
sa pasien.
b) Fase sensasi
Fase sensasi terjadi pada saat nyeri terasa. Fase
ini terjadi ketika pasien merasakan nyeri, karena nyeri itu
bersifat subjektif maka tiap orang dalam menyikapi nyeri
juga berbeda-beda.
beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan
berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang
mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak
25
akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil. Sebaliknya,
orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Pasien dengan
tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri terhadap bantuan. Sebaliknya, orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah
nyeri, sebelum nyeri datang.
c) Fase akibat atau aftermath
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau
hilang.Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrol
dari perawat, karena nyeri bersifat krisis sehingga
dimungkinkan
pasien
mengalami
gejala
sisa
pasca
nyeri.Apabila pasien mengalami nyeri berulang, respons
akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang
berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh
kontrol
diri
untuk
meminimalkan
rasa
takut
akan
kemungkinan nyeri berulang.
d) Respon fisiologis terhadap nyeri
Perubahan atau respons fisiologis dianggap
sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan
laporan verbal pasien. Respons fisiologis harus digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada
26
pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba
memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu.
Respons fisiologis terhadap nyeri dapat sangat
membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke
medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus,
sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian
dari respons stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada
sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologis.
Apabila nyeri berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan
melibatkan organ-organ dalam maka sistem saraf simpatis
akan menghasilkan suatu aksi.
Tabel berikut ini menunjukkan respons fisiologis terhadap
nyeri.
Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap nyeri
Menurut Andarmoyo (2013)
Respons
Stimulasi simpatik
Dilatasi aliran bronkheolus dan
peningkatan frekuensi pernafasan
Peningkatan frekuensi denyut
jantung
Vasokontriksi perifer (pucat,
peningkatan tekanan darah)
Peningkatan kadar glukosa darah
Diaphoresis
Peningkatan ketengangan otot
Penyebab atau Efek
Menyebabkan peningkatan asupan
oksigen
Menyebabkan
peningkatan
transport oksigen
Meningkatkan tekanan darah
disertai perpindahan suplai darah
dari perifer dan visera ke otot-otot
skeletal dan otak
Menghasilkan energi tambahan
Mengontrol temperatur tubuh
selama stress
Mempersiapkan
otot
untuk
melakukan aksi
27
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas saluran cerna
Memungkinkan
penglihatan
yang baik
Membebaskan
energi
untuk
melakukan aktivitas dengan lebih
cepat
Stimulasi parasimpatik
Pucat
Menyebabkan
suplai
darah
berpindah dari perifer
Ketengangan otot
Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan akibat stimulasi vagal
tekanan darah
pernafasan yang cepat dan tidak menyebabkan pertahanan tubuh
teratur
gagal akibat stress nyeri yang
terlalu lama
Mual dan muntah
Mengembangkan fungsi saluran
cerna
Kelemahan atau kelelahan
Akibat pengeluaran energi fisik
e) Respon perilaku
Repon perilaku yang ditunjukkan oleh pasien
sangat beragam. Meskipun respon perilaku pasien dapat
menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu yang tidak
beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh digunakan
sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam
situasi yang tidak lazim dimana pengukuran tidak
memungkinkan (misal orang tersebut menderita retardasi
mental yang berat atau tidak sadar).
Respon perilaku nyeri pada pasien menurut
Andarmoyo (2013) :
(1) Vokalisasasi,
mendengkur.
mengaduh,
menangis,
sesak
nafas,
28
(2) Ekspresi
wajah,
meringis,
menggeletukkan
gigi,
mengernyitkan dahi, menutup mata atau mulut dengan
rapat atau membuka mata atau mulut dengan lebar,
menggigit bibir.
(3) Gerakan tubuh, gelisah, Imobilisasi,ketengangan otot,
peningkatan
gerakan
jari
dan
tangan,
aktivitas
melangkah yang tanggal ketika berlari atau berjalan,
gerakan ritmik atau gerakan menggosok, gerakan
melindungi bagian tubuh.
(4) Interaksi sosial, menghindari percakapan, fokus hanya
pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri, menghindari
kontak sosial, penurunan rentang perhatian.
6) Penatalaksanaan nyeri
Menurut Andarmoyo (2013), strategi penatalaksanaan
nyeri adalah suatu tindakan untuk mengurangi nyeri terbagi
menjadi dua yaitu :
a) Strategi penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis
(1) Bimbingan dan antisipasi
(2) Terapi panas atau kompres hangat
(3) Stimulasi
saraf
elektris
transkutan
atau
(transcutaneous electrical nerve stimulation)
(4) Distraksi
(5) Relaksasi
TENS
29
(6) Imajinasi terbimbing atau guided imagery
(7) Hipnosis
(8) Akupuntur
(9) Umpan balik biologis
(10) Massase
b) Strategi penatalaksanaan nyeri secara farmakologis
Analgesik merupakan metode yang paling umum
untuk mengatasi nyeri. Ada tiga jenis analgesik yaitu non
narkotik dan obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID),
analgesik narkotik atau opiate, dan obat tambahan.
3.
Kompres hangat
a.
Definisi
Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan
suhu
hangat
yang
dapat
menimbulkan
efek
fisiologis
(Wahyuningsih, 2013).
Menurut
fauziyah
(2013),
kompres
hangat
adalah
memberikan rasa hangat kepada pasien untuk mengurangi nyeri
dengan menggunakan cairan yang berfungsi untuk melebarkan
pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah lokal.
Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan
yang dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk
menghilangkan rasa sakit.
30
b.
Tujuan
Menurut Kusyati (2006) tujuan pemberian kompres hangat
adalah sebagai berikut :
1) Memperlancar sirkulasi darah.
2) Mengurangi rasa sakit.
3) Memberi rasa hangat, nyaman, dan tenang pada pasien.
4) Merangsang peristatik.
5) Mencegah peradangan meluas.
c.
Langkah-langkah
Menurut Rohani, dkk (2011) langkah-langkah pemberian
kompres hangat adalah sebagai berikut :
1) Bungkus sumber panas dengan satu atau dua lapis handuk
untuk memastikan sumber tersebut tidak terlalu panas.
2) Letakkan handuk basah hangat, bantalan panas, kantong paska
silika yang dipanaskan, atau botol air panas di tempat yang
terasa sakit atau nyeri.
31
B. Kerangka Teori
Gout Arthritis adalah penyakit
inflamasi kronis sistemik.
Tindakan farmakologis untuk
menangani nyeri:
•
•
Tanda dan Gejala:
• Kekauan pada pagi hari pada
persendian
• Pembengkakan salah satu
persendian
• Pembengkakan pada kedua
belah sendi yang sama
(simetris)
• Rasa nyeri pada persendian
Simvastatin 10 mg 1x1
Allopurinol 100 mg
1x1
Tindakan non farmakologis
untuk menangani nyeri:
• Relaksasi nafas dalam
• Kompres dingin
• Kompres hangat
Melakukan tindakan kompres
hangat.
Gambar 2.4 Kerangka Teori
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek aplikasi riset
Subjek aplikasi pemberian kompres hangat adalah pasien dengan gout
arthritis.
B. Tempat dan waktu
Aplikasi riset ini dilakukan di Puskesmas Gajahan Surakarta, selama 3 hari,
tanggal 4 – 7 Januari 2016.
C. Media dan alat yang digunakan
1.
Kompres air hangat
2.
Waslap atau handuk yang bersih
3.
Baskom yang berisi air hangat
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
Prosedur yang dilakukan yaitu pemeriksaan kadar asam urat dalam
darah terlebih dahulu, tekanan darah, kemudian diberikan tindakan kompres
air hangat dengan langkah sebagai berikut :
32
33
1.
2.
Fase orientasi
a.
Memberikan salam
b.
Memperkenalkan diri
c.
Kontrak waktu
d.
Menjelaskan tujuan tindakan dan langkah prosedur
e.
Menyiapkan alat
Fase kerja
a.
Mencuci tangan
b.
Mengecek terlebih dahulu air hangat dengan menggunakan jari
tangan
c.
Membantu pasien pada posisi yang nyaman, terlentang, posisi
duduk, atau tergantung kondisi pasien
d.
Melakukan tindakan kompres hangat, kompres hangat dilakukan
sebanyak 1 kali dalam sehari, selama 3 sampai 5 hari
e.
Kompres hangat diberikan dibagian tubuh yang diserang biasanya
persendian pada jari, lutut, pinggul, dan pergelangan kaki
3.
f.
Merapikan pasien
g.
Merapikan alat
h.
Mencuci tangan
Fase terminasi
a.
Melakukan evaluasi tindakan
b.
Melakukan kontrak waktu untuk rencana tindak lanjut
c.
Berpamitan
34
4.
Alat ukur
Alat ukur yang digunakan untuk mengevaluasi aplikasi riset dengan
pengukuran skala nyeri yaitu skala nyeri numerik (Judha, 2012).
Gambar 2.5
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
Tn. M berumur 53 tahun, beragama islam, berjenis kelamin laki-laki
dengan pekerjaan swasta, alamat Joyosuran Surakarta, tingkat pendidikan
tamat SD, periksa ke Puskesmas Gajahan Surakarta pada tanggal 7 Januari
2016 dengan diagnosa gout arthritis, yang bertanggung jawab atas pasien
adalah istrinya bernama Ny. S, umur 49 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga,
pendidikan SD, dan alamat sama dengan pasien yaitu Joyosuran Surakarta.
B. Pengkajian
1.
Riwayat kesehatan pasien
Hasil pengkajian yang dilakukan dengan metode alloanamnesa
dan autoanamnesa pada tanggal 7 Januari 2016 jam 13.00 WIB keluhan
utama dari hasil pengkajian yang dilakukan pasien mengalami nyeri
dibagian kaki sebelah kanan. Riwayat pengkajian pasien saat ini, pasien
mengatakan 3 hari yang lalu tepatnya sejak tanggal 4 – 6 januari 2016
kaki sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, nyeri sangat
dirasakan saat digunakan untuk beraktifitas dan sedikit sakit saat
berjalan, kemudian pasien dibawa keluarganya ke Puskesmas Gajahan
Surakarta. Hasil pemeriksaan pasien TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg,
nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Riwayat penyakit dahulu
35
36
pasien sebelumnya belum pernah dirawat dirumah sakit, kemudian Tn. M
juga tidak mempunyai alergi obat maupun makanan, Tn. M mengatakan
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap, dan tidak mempunyai
kebiasaan khusus. Riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dalam
keluarganya tidak ada yang menderita gout arthritis, pasien juga
mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai atau
menderita penyakit menular, seperti hepatitis dan TBC. Riwayat
kesehatan lingkungan pasien mengatakan lingkungan tempat tinggal dan
lingkungan rumahnya selalu dibersihkan dan jauh dari polusi udara.
Genogram
Keterangan :
: Meninggal
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
: Garis pernikahan
: garis keturunan
: tinggal serumah
37
2.
Pola kesehatan fungsional
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien mengatakan
kesehatan sangat penting bagi dirinya dan keluarga karena apabila
kesehatannya menurun tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari. Pola
nutrisi dan metabolisme, pola makan sebelum sakit frekuensi 3 kali
sehari, jenis nasi, lauk, sayur, porsinya sekali makan habis, tidak ada
keluhan. Selama sakit frekuensi makan sebanyak 3 kali sehari, jenis nasi,
lauk, sayur, porsi sekali makan habis, tidak ada keluhan. Pola minum
sebelum sakit frekuensi 7 sampai 8 kali sehari, jenis air putih dan teh,
porsi satu gelas belimbing, tidak ada keluhan. Selama sakit frekuensi 7
kali sehari, jenis air putih dan teh, porsi satu gelas belimbing, tidak ada
keluhan.
Pola eliminasi sebelum sakit frekuensi BAK sebanyak 5 sampai 6
kali sehari, jumlah urin kurang lebih 250 cc sekali BAK, warnanya
kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Selama sakit frekuensi BAK
sebanyak 5 sampai 6 kali sehari, jumlah urin kurang lebih 250 cc sekali
BAK, warnanya kuning jernih, dan tidak ada keluhan. Sebelum sakit
frekuensi BAB sebanyak 1 kali sehari, konsistensi lunak berbentuk, dan
berbau khas, tidak ada keluhan. Selama sakit BAB sebanyak 1 kali
sehari, konsistensi lunak berbentuk, dan berbau khas, tidak ada keluhan.
Pola aktifitas dan latihan sebelum sakit kemampuan perawatan
diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat
tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa
38
bantuan dari keluarga. Selama sakit kemampuan perawatan diri seperti
makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur,
berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa bantuan
dari keluarga.
Pola istirahat tidur sebelum sakit jumlah jam tidur siang kurang
lebih 2 jam, jumlah jam tidur malam kurang lebih 6 sampai 7 jam per
hari, tidak ada keluhan. Selama sakit pasien tidak dapat tidur siang,
jumlah jam tidur malam kurang lebih 5 sampai 6 jam per hari, mengeluh
saat bangun merasakan nyeri di kaki bagian kanan.
Pola kognitif perseptual sebelum sakit, keluarga pasien
mengatakan penglihatannya jelas, pendengarannya baik, dan indra
pengecapannya juga baik. Selama sakit, pasien mengatakan kakinya
nyeri dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti
ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang
timbul kurang lebih 5 menit.
Pola persepsi dan konsep diri, identitas pasien mampu mengenali
dirinya sendiri, ideal diri pasien mengatakan ingin cepat sembuh agar
dapat beraktifitas seperti biasanya lagi, harga diri pasien tidak malu
dengan keadaanya sekarang, gambaran diri pasien mengatakan menerima
keadaan dirinya selama ia sakit, peran pasien mengatakan sudah menjadi
ayah yang baik untuk anak dan suami yang baik untuk istrinya.
Pola hubungan peran sebelum sakit, pasien mengatakan memiliki
hubungan baik dengan keluarga maupun dengan tetangga dan warga
39
sekitar. Selama sakit, pasien mengatakan masih berhubungan baik
dengan keluarga dan tetangganya. Pola seksualitas reproduksi sebelum
sakit, pasien mengatakan menjadi seorang suami dan mempunyai 4 orang
anak laik-laki. Selama sakit, pasien mengatakan menjadi seorang suami
dan mempunyai 4 orang anak laki-laki.
Pola mekanisme koping sebelum sakit, pasien mengatakan jika
ada masalah selalu bermusyawarah dengan keluarganya. Selama sakit,
pasien mengatakan tidak mempunyai masalah dan menerima masalah
yang ada dengan ikhlas. Pola keyakinan sebelum sakit, pasien
mengatakan beragama islam dan beribadah. Selama sakit, pasien
mengatakan beribadah dan berdoa semoga selalu diberikan kesehatan.
3.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pengkajian fisik didapatkan pada Tn. M keadaan umum
baik dengan tingkat kesadaran penuh (Composmentis). Pemeriksaan
tanda-tanda vital meliputi tekanan darah 120/90 mmHg, nadi 82 x/m,
pernafasan 20x/m, suhu 36.5 oc. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala
bersih, tidak ada ketombe, rambut bersih, warna hitam dan putih. Pada
pemeriksaan mata didapatkan hasil simetris kanan dan kiri, palpebra
tidak ada odema, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil
isokor, reflek terhadap cahaya (+). Pemeriksaan hidung simetris antara
kanan dan kiri, tidak terdapat polip, dan tidak ada sekret. Pemeriksaan
telinga simetris kanan dan kiri, bersih, tidak ada serumen. Pemeriksaan
mulut bersih, bibir lembab, dan tidak ada stomatitis. Pada pemeriksaan
40
leher didapatkan hasil tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nadi karotis
teraba, dan tidak ada kaku kuduk.
Pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat dilakakukan
pemeriksaan inspeksi bentuk dada simetris, dan tidak ada jejas, saat
dilakukan palpasi vocal fremitus kanan dan kiri sama, saat dilakukan
perkusi suara paru sonor, saat dilakukan auskultasi vesikuler pada
seluruh lapang paru. Pemeriksaan jantung saat inspeksi didapatkan ictus
cordis tidak tampak, saat dilakukan palpasi didapatkan ictus cordis teraba
pada intercosta ke V, saat dilakukan perkusi didapatkan bunyi pekak, saat
dilakukan auskultasi bunyi jantung satu terdengar lup, bunyi jantung dua
terdengar dup dan tidak ada suara tambahan. Pemeriksaan abdomen saat
di inspeksi tidak ada jejas, umbilikus tidak menonjol, saat dilakukan
auskultasi bising usus terdengar 11 x/m, saat dilakukan perkusi kuadran I
pekak, kuadran II, III, IV timpani, saat dilakukan palpasi tidak ada nyeri
tekan.
Pemeriksaan genetalia didapatkan hasil bersih, tidak terpasang
kateter. Pemeriksaan anus didapatkan tidak ada hemoroid. Pada
pemeriksaan ekstremitas, ektremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot
kanan dan kiri 5, ROM kanan dan kiri normal, capilary refile normal < 3
detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat,
ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5,
ROM kanan dan kiri sedikit susah berjalan, capilary refile normal < 3
detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat.
41
4.
Pemeriksaan penunjang laboratorium
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan pada
tanggal 7 januari 2016 yaitu kolestrol 241 mg/dl (nilai normal <200
mg/dl), gula darah puasa 105 mg/dl (nilai normal 80-109 mg/dl),
trigliserida 153 mg/dl (nilai normal 30 – 200 mg/dl), HDL 40 mg/dl (nilai
normal >40 mg/dl), LDL 148,3 mg/dl (nilai normal <130 mg/dl), Ao 9.7
mg/dl (nilai normal 3.4 – 7.0 mg/dl), SGOT 45.7 u/L (nilai normal <12
u
/L), SGPT 53.2 u/L (nilai normal 12 u/L), ureum 26 mg/dl (nilai normal
20 – 45 mg/dl), kreatinin 1.1 mg/dl (nilai normal 0.5 – 1.5 mg/dl).
5.
Therapy
Therapy yang diberikan ke Tn. M pada tanggal 7 januari 2016
adalah simvastatin 10 mg 1x1, golongan obat statin, untuk menurunkan
kolestrol dalam darah. Obat allopurinol 100 mg 1x1, golongan obat
xanthine-oxidase, untuk mencegah gout dan mencegah peningkatan
kadar asam urat.
C. Daftar perumusan masalah
Hasil pengkajian pada hari Jumat 8 Januari 2016 jam 08.15 WIB
didapatkan data subyektif Tn. M mengatakan kaki sebelah kanan terasa nyeri
dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuktusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang
lebih 5 menit, data obyektif pasien tampak meringis kesakitan, tekanan darah:
120/90 mmHg, nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc, asam urat:
42
9.7 mg/dl. Berdasarkan analisa data diatas maka dapat dirumuskan diagnosa
keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses
penyakit. Proses penyakit karena adanya perubahan patologis oleh gout
arthritis.
Hasil pengkajian pada hari Jumat 8 Januari 2016 jam 08.20 WIB
didapatkan data subyektif Tn.M mengatakan kakinya terasa sakit saat
berjalan, data obyektif pasien tampak meringis kesakitan dan terlihat pucat
dan lemas, tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m, pernafasan: 20 x/m,
suhu: 36.5 oc, kekuatan otot atas kanan 5 dan kiri 5, kekuatan otot bawah
kanan 4 dan kiri 5. Berdasarkan analisa data diatas maka dapat dirumuskan
diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
kekakuan pada sendi.
D.
Intervensi Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan pada dignosa gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan dengan proses penyakit setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan rasa nyaman nyeri pada
Tn. M dapat teratasi dengan kriteria hasil nyeri pada pasien akan berkurang
dari skala 4 menjadi 2, pasien dapat menunjukkan ekpresi wajah atau postur
tubuh rileks. Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut intervensi
keperawatan yang ditegakkan oleh penulis yaitu lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif rasionalnya untuk mengetahui karakteristik, frekuensi,
dan kualitas nyeri, kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
43
seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan rasionalnya untuk
memberikan posisi dan lingkungan yang nyaman, tingkatkan istirahat dan
berikan kompres hangat rasionalnya untuk membantu pemulihan pada pasien
dan mengurangi nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri rasionalnya
untuk mengurangi rasa nyeri, , kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak berhasil rasionalnya untuk mengurangi nyeri dan
proses penyembuhan pada pasien.
Rencana tindakan keperawatan pada diagnosa hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kekakuan pada sendi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan hambatan mobilitas fisik pada Tn.
M dapat teratasi dengan kriteria hasil kaki pasien tidak terasa sakit saat
berjalan, pasien dapat menunjukkan postur tubuh rileks. Berdasarkan tujuan
dan kriteria hasil tersebut intervensi keperawatan yang ditegakkan oleh
penulis yaitu mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi rasionalnya
untuk mengetahui perkembangan pasien, membantu pasien untuk melakukan
latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri rasionalnya untuk
memperbaiki kekuatan otot dan fungsi sendi, memberikan pendidikan
kesehatan kepada pasien rasionalnya untuk memberikan pemahan kepada
pasien, mengkolaborasikan dengan fisioterapi untuk latihan fisik rasionalnya
untuk meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas yang sakit.
44
E. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 8
Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.45 WIB melakukan pengkajian
nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat beraktifitas,
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T:
nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, respon obyektif pasien tampak
meringis kesakitan. Diagnosa yang kedua jam 08.50 WIB mengkaji
kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuan dalam mobilisasi, respon
obyektif pasien masih tampak kebingungan.
Diagnosa yang pertama jam 09.00 WIB mengontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
diberikan lingkungan yang nyaman, respon obyektif pasien tampak nyaman
dan rileks. Diagnosa yang kedua jam 09.10 WIB membantu pasien untuk
melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk melakukan latihan gerak
aktif, respon obyektif pasien tampak belum mengerti tentang latihan tersebut.
Diagnosa yang pertama jam 09.20 WIB meningkatkan istirahat dan
memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan bersedia diberikan kompres
hangat, respon obyektif pasien masih merasakan sakit sehingga istirahat
45
kurang dan pasien masih belum mengerti tentang kompres. Diagnosa yang
kedua jam 09.30 WIB memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien
dengan respon subyektif pasien bersedia untuk diberikan pendidikan
kesehatan, respon obyektif pasien tampak sudah mengerti dan paham.
Diagnosa yang pertama jam 09.45 WIB mengkolaborasikan dengan
perawat pemberian analgetik allopurinol 10 mg 1x1 untuk mengurangi nyeri
dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk minum obat,
respon obyektif pasien tampak mengerti dan melakukannya dengan benar .
Diagnosa yang kedua jam 10.00 WIB mengkolaborasikan dengan fisioterapi
untuk latihan fisik dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia
dengan ketentuan tersebut, respon obyektif pasien tampak kooperatif.
Diagnosa yang pertama jam 10.15 WIB mengkolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia dengan ketentuan tersebut, respon obyektif
pasien masih tampak kebingungan dan belum mengerti.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Sabtu tanggal 9
Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.30 WIB malakukan pengkajian
nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki sudah
berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S:
skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, respon obyektif
pasien masih meringis kesakitan. Diagnosa yang kedua jam 08.45 WIB
mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon subyektif
46
pasien mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuannya dalam mobilisasi,
respon obyektif pasien masih tampak sedikit belum mengerti.
Diagnosa yang pertama jam 09.00 WIB meningkatkan istirahat dan
memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan bersedia diberikan kompres
hangat, respon obyektif pasien masih merasakan sakit. Diagnosa yang kedua
jam 09.45 WIB membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstremitas yang mengalami nyeri dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia untuk melakukan latihan gerak aktif, respon obyektif
pasien tampak sudah mengerti dengan latihan tersebut. Diagnosa yang
pertama jam 10.00 WIB mengkolaborasikan dengan perawat pemberian
analgetik allopurinol 10 mg 1x1 untuk mengurangi nyeri dengan respon
subyektif pasien bersedia untuk minum obat, respon obyektif pasien
melakukannya dengan benar.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada hari Minggu tanggal
10 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 08.30 WIB melakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki
sudah berkurang bahkan hilang, Q: nyeri sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R:
nyeri di kaki sudah berkurang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering
timbul, respon obyektif pasien sudah tampak rileks. Diagnosa yang kedua jam
08.45 WIB mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan respon
47
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dikaji kemampuannya dalam
mobilisasi, respon obyektif pasien sudah mengerti dan terlihat lebih rileks.
Diagnosa yang pertama 09.00 WIB meningkatkan istirahat dan
memberikan kompres hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk meningkatkan istirahatnya dan diberikan kompres hangat,
respon obyektif pasien mengatakan sudah enakan dan tidak terlalu merasakan
sakit lagi karena sudah di kompres hangat. Diagnosa yang pertama jam 09.15
WIB mengkolaborasikan dengan perawat pemberian analgetik allopurinol 10
mg 1x1 untuk mengurangi nyeri dengan respon subyektif pasien bersedia
untuk minum obat, respon obyektif pasien melakukannya dengan benar.
F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dengan menggunakan metode SOAP pada hari
Jumat tanggal 8 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 13.15 WIB hasil
evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri
seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang
timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien tampak meringis kesakitan.
Analisa masalah belum teratasi, skala nyeri 4. Perencanaan keperawatan
dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi
sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya terasa sakit saat
berjalan, obyektif pasien tampak kesakitan dan terlihat pucat. TTV: tekanan
48
darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc.
Analisa masalah belum teratasi, kaki masih terasa sakit saat berjalan.
Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu pantau tanda-tanda vital, berikan
kompres hangat di kaki.
Hari Sabtu tanggal 9 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam 13.15
WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri di kaki sudah
berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk tetapi tidak sering, R: nyeri
terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit,
obyektif pasien masih tampak meringis kesakitan. Analisa masalah teratasi
sebagian, skala nyeri 3. Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala
nyeri, berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi
sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya masih terasa
sakit saat berjalan tetapi sudah berkurang semenjak dikompres hangat,
obyektif pasien masih sedikit merasa kesakitan tetapi sudah tidak sering.
TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg, nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu:
36.5 oc. Analisa masalah teratasi sebagian, rasa sakit dikaki sudah berkurang.
Perencanaan keperawatan dilanjutkan yaitu berikan kompres hangat di kaki.
Hari Minggu tanggal 10 Januari 2016 pada diagnosa pertama jam
13.15 WIB hasil evaluasi sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan
bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri di kaki sudah
berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti
49
ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala nyeri
2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif pasien sudah tidak tampak
meringis kesakitan, terlihat lebih rileks. Analisa masalah teratasi, skala nyeri
2. Perencanaan keperawatan pertahankan intervensi.
Diagnosa keperawatan yang kedua jam 13.45 WIB hasil evaluasi
sebagai berikut, untuk subyektif pasien mengatakan kakinya sudah tidak
terasa sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat, obyektif pasien
sudah tidak merasakan sakit dikakinya. TTV: tekanan darah: 120/90 mmHg,
nadi: 82 x/m. pernafasan: 20 x/m, suhu: 36.5 oc. Analisa masalah teratasi,
kaki sudah tidak terasa sakit saat berjalan. Perencanaan keperawatan
pertahankan intervensi.
BAB V
PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan membahas tentang aplikasi tindakan pemberian
kompres hangat untuk menurunkan skala nyeri pada pasien pada asuhan
keperawatan Tn. M dengan gout arthritis yang dilakukan penulis di Puskesmas
Gajahan Surakarta pada tanggal 8 – 10 januari 2016.
A. Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dari tahapan proses keperawatan,
kemudian dalam mengkaji harus memperhatikan data dasar dari pasien, untuk
informasi yang diharapkan dari pasien (Hidayat, 2012). Pengkajian
merupakan inti dari berfikir kritis dan pemecahan masalah klinik. Setelah
mengumpulkan data dan memvalidasi data subyektif dan obyektif serta
menginterpretasikan
data,
penulis
melakukan
analisa
data
dan
mengelompokkan sesuai dengan data yang didapatkan dari hasil pengkajian
(Potter dan Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan penulis meliputi
pengkajian identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan 11 fungsi gordon.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 08.00 WIB
dengan keluhan utama pasien mengatakan nyeri dan kaki kanan terasa sakit
saat berjalan. Andarmoyo (2013), mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori
subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan
50
51
dengan kerusakan jaringan yang aktual, potensial atau yang dirasakan dalam
kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan.
Data yang mendukung keluhan utama pasien nyeri pada kaki kanan
yaitu pola fungsi kognitif dan perseptual dengan melakukan pengkajian nyeri
menggunakan (PQRST). P: nyeri kaki saat beraktifitas, Q: nyeri seperti
ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T: nyeri hilang timbul
kurang lebih 5 menit. P (Provocate) yang berarti penyebab atau stimulusstimulus nyeri, Q (Quality) yang berarti kualitas nyeri, R (Region) yang
berarti lokasi nyeri, S (Severe) yang berarti tingkat keparahan nyeri, T (Time)
yang berarti durasi nyeri (Prasetyo, 2010).
Pengkajian riwayat penyakit sekarang, pasien mengatakan 3 hari yang
lalu tepatnya sejak tanggal 4 – 7 januari 2016 kaki sebelah kanan terasa nyeri
dan sedikit bengkak, nyeri sangat dirasakan saat digunakan untuk beraktifitas
dan sedikit sakit saat berjalan, kemudian pasien dibawa keluarganya ke
Puskesmas Gajahan Surakarta.
Tanda dan Gejala klinis pada gout arthritis menurut Purwoastuti
(2009), yaitu: kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya,
selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal, rasa nyeri dan pembengkakan
pada persendian, pembengkakan salah satu persendian tangan, pembengkakan
pada kedua belah sendi yang sama (simetris), nodul rhematoid (benjolan) di
bawah kulit pada penonjolan tulang, pemeriksaan darah terdapat titer
abnormal faktor rematoid kurang dari 5%, pemeriksaan radiologis pada
52
pergelangan tangan yang lurus menunjukkan adanya erosi yang berlokasi
pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi.
Pengkajian pola aktifitas dan latihan, sebelum sakit kemampuan
perawatan diri seperti makan atau minum, toileting, berpakaian, mobilitas
ditempat tidur, berpindah, ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa
bantuan dari keluarga. Selama sakit kemampuan perawatan diri seperti makan
atau minum, toileting, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, berpindah,
ambulasi atau ROM selalu dilakukan sendiri tanpa bantuan dari keluarga.
Pemeriksaan ektremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot kanan dan
kiri 5, ROM kanan dan kiri normal, capilary refile normal < 3 detik,
perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat, ekstremitas bawah
didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, ROM kanan dan kiri
sedikit susah berjalan, capilary refile normal < 3 detik, perubahan bentuk
tulang tidak ada, perabaan akral hangat.
Terapi pada tanggal 7 januari 2016 pasien mendapatkan terapi dari
dokter obat simvastatin 10 mg 1x1, termasuk golongan obat statin, yang
berfungsi untuk menurunkan kolestrol dalam darah. Obat allopurinol 100 mg
1x1, termasuk golongan obat xanthine-oxidase, yang berfungsi untuk
mencegah gout dan mencegah peningkatan kadar asam urat.
53
B. Perumusan Masalah
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon
aktual atau potensial pasien terhadap masalah kesehatan. Respon aktual dan
potensial pasien didapatkan dari data dasar pengkajian, dan catatan medis
pasien. Hasil pengkajian dan pengelompokkan data penulis menemukan
beberapa masalah kesehatan dan memfokuskan pada fungsi kesehatan
fungsional yang membutuhkan dukungan dan bantuan pemulihan sesuai
dengan kebutuhan hirarki Maslow (Potter dan Perry, 2005).
Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada
Tn. M ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan
dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit. Proses penyakit karena
adanya perubahan patologis oleh gout arthritis.
Perumusan masalah keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri yang
diambil penulis telah disesuaikan dengan diagnosa yang ada dalam buku. Saat
dilakukan pengkajian didapatkan data subyektif: pasien mengatakan kaki
sebelah kanan terasa nyeri dan sedikit bengkak, P: nyeri kaki saat beraktifitas,
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T:
nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. Data obyektif: pasien tampak
meringis kesakitan. Batasan karakteristik nyeri yaitu: perubahan frekuensi
jantung, perubahan frekuensi pernafasan, gelisah, meringis, perubahan posisi
untuk menghindari nyeri (Herdman, 2012).
54
Gangguan rasa nyaman nyeri adalah pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan
aktual atau potensial atau gambaran dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(international for the study of pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan dari
intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat
diramalkan dan durasinya kurang dar 6 bulan (Herdman, 2012).
Keluhan utama pada kasus gout arthritis secara umum adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut timbul karena adanya pembengkakan dan trauma
berulang yang dialami pada tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi
bantal bagi tulang. Hal ini mengakibatkan penderita gout arthritis mengalami
nyeri pada bagian sendi bila digerakkan (Purwoastuti, 2009). Nyeri dapat
timbul pada saat aktifitas dan hilang pada saat istirahat.
Berdasarkan
data
tersebut
penulis
memprioritaskan
diagnosa
gangguan rasa nyaman nyeri berdasarkan hirarki kebutuhan menurut Maslow
yaitu masuk dalam kebutuhan tingkat kedua mencakup kebutuhan keamanan
dan keselamatan (fisik dan psikologis) yang merupakan kebutuhan paling
dasar kedua yang harus diprioritaskan (Potter dan Perry, 2005).
Diagnosa kedua yang diangkat penulis adalah hambatan mobilitas
fisik berhubungan dengan kekauan otot. Hambatan mobilitas fisik adalah
keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh pada satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri dan terarah (NANDA, 2012).
Data yang mendukung diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik
meliputi data subyektif: pasien mengatakan kakinya terasa sakit saat berjalan,
55
data obyektif pasien tampak meringis kesakitan dan terlihat pucat dan lemas.
Menurut NANDA (2012), batasan karakteristik hambatan mobilitas fisik
yaitu
kesulitan
membolak-balik
posisi,
serta
keterbatasan
rentang
pergerakkan sendi, dan sesuai dengan pengkajian pada pasien.
Menurut kebutuhan Maslow hambatan mobilitas fisik masuk dalam
kebutuhan prioritas kedua keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis).
Penulis memprioritaskan diagnosa hambatan mobilitas fisik sebagai diagnosa
kedua setelah nyeri, karena hambatan mobilitas fisik tidak bersifat urgent
(Potter dan Perry, 2005).
Berdasarkan data tersebut penulis menyimpulkan bahwa diagnosa
yang diangkat sudah sesuai dengan batasan karakteristik yang sesuai dengan
buku (Herdman, 2012).
C. Intervensi Keperawatan
Proses keperawatan yang dilakukan setelah merumuskan diagnosa
keperawatan yang spesifik, perawat menggunakan keterampilan berpikir
kritis untuk menetapkan prioritas diagnosa dengan membuat peringkat dalam
urutan kepentingannya. Prioritas ditegakkan untuk mengidentifikasi urutan
intervensi keperawatan. Intervensi keperawatan adalah tindakan yang
dirancang untuk membantu pasien dalam beralih dari tingkat kesehatan saat
ini ke tingkat kesehatan yang diinginkan dalam hasil yang diharapkan (Potter
dan Perry, 2005).
56
Setelah mengkaji, mendiagnosa, dan menetapkan prioritas tentang
kebutuhan perawatan kesehatan pasien, penulis merumuskan tujuan dan hasil.
Tujuan tidak hanya memenuhi kebutuhan pasien tetapi juga harus mencakup
pencegahan. Tujuan yang penulis susun sesuai dengan teori yang ada pada
buku fundamental keperawatan Potter dan Perry (2005), mengacu pada 7
faktor: berpusat pada pasien, faktor tunggal menunjukkan hanya satu respon
pasien, faktor yang dapat diamati perubahan yang dapat diamati dapat terjadi
dalam temuan fisiologis, tingkat pengetahuan pasien dan perilaku, faktor yang
dapat diukur, faktor batasan waktu serta tujuan dan hasil yang diharapkan
menunjukkan kapan respon yang diharapkan harus terjadi, faktor mutual,
faktor realistik tujuan dan hasil yang diharapkan singkat dan realistik.
Berdasarkan diagnosa yang telah penulis rumuskan dengan menyesuaikan
prioritas permasalahan, penulis menyusun intervensi sebagai berikut:
1.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan gangguan rasa nyaman nyeri pada Tn. M dapat teratasi
dengan kriteria hasil: nyeri pada pasien akan berkurang dari skala 4
menjadi 2, pasien dapat menunjukkan ekpresi wajah atau postur tubuh
rileks. Intervensi
(Observation,
yang penulis rumuskan menggunakan ONEC
Nursing
Intervention,
Education,
Collaboration)
observation: lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yaitu
berguna untuk mengetahui karakteristik, frekuensi, dan kualitas nyeri
(Judha, dkk, 2012). Nursing intervention: kontrol lingkungan yang dapat
57
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan
yaitu untuk memberikan posisi yang nyaman (Judha, dkk, 2012).
Education: tingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat yaitu
berguna membantu pemulihan dan mengurangi rasa nyeri (Purwoastuti,
2009). Collaboration: berikan analgetik untuk mengurangi nyeri yaitu
berguna untuk mengurangi rasa nyeri (Judha, dkk, 2012), kolaborasikan
dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil yaitu
berguna mengurangi nyeri dan proses penyembuhan (Judha, dkk, 2012).
2.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan otot
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan hambatan mobilitas fisik pada Tn. M dapat teratasi dengan
kriteria hasil: kaki pasien tidak terasa sakit saat berjalan, pasien dapat
menunjukkan postur tubuh rileks. Intervensi yang penulis rumuskan
menggunakan ONEC (Observation, Nursing Intervention, Education,
Collaboration) obsevation: Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
yaitu berguna untuk mengetahui perkembangan pasien (Muttaqin, 2008).
Nursing intervention: bantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif
pada
ekstremitas
yang
mrngalami
nyeri
yaitu
berguna
untuk
memperbaiki kekuatan otot dan fungsi sendi (Craven dan Hiller, 2009).
Education: berikan pendidikan kesehatan kepada pasien yaitu berguna
untuk memberikan pemahaman kepada pasien (Craven dan Hiller, 2009).
Collaboration: kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik yang
58
berguna untuk meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas yang sakit
(Muttaqin, 2008).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah komponen dari proses keperawatan
yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan kriteria hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter dan Perry, 2005).
Proses implementasi penulis mengkaji kembali pasien, memodifikasi
rencana asuhan, dan menuliskan kembali hasil yang diharapkan sesuai dengan
kebutuhan. Komponen implementasi dari proses keperawatan mempunyai
lima tahap: mengkaji ulang, menelaah dan memodifikasi rencana asuhan yang
sudah ada, mengidentifikasi area bantuan, mengimplementasikan intervensi
keperawatan, dan mengkomunikasikan intervensi (Potter dan Perry, 2005).
Dalam pembahasan ini penulis berusaha menerangkan hasil aplikasi
keperawatan pemberian kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri pada
asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis. Penulis melakukan
implementasi berdasarkan dari intervensi yang telah disusun dengan
memperhatikan aspek tujuan dan kriteria hasil dalam rentang normal yang
diharapkan. Tindakan keperawatan yang penulis lakukan selama 3 hari
kelolaan pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis yaitu:
59
1.
Diagnosa pertama: gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan
proses penyakit.
Penulis melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif,
mengkontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, meningkatkan istirahat dan memberikan kompres hangat,
pencahayaan dan kebisingan, memberikan analgetik untuk mengurangi
nyeri, mengkolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
Penulis melakukan tindakan kompres hangat selama 3 hari
berturut-turut, kompres hangat dilakukan 1 kali dalam sehari selama 15
menit. Bila tindakan ini tidak dilakukan akan berdampak pada hasil
penurunan nyeri. Hari pertama saat dilakukan tindakan kompres hangat
karakteristik nyeri yang dirasakan Tn. M, P: nyeri kaki saat beraktifitas,
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T:
nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, dengan respon pasien meringis
kesakitan.
Hari kedua saat dilakukan kompres hangat P: nyeri kaki sudah
berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki,
S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, dengan
respon pasien masih meringis kesakitan.
Hari ketiga saat dilakukan kompres hangat P: nyeri di kaki sudah
berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah tidak seperti
ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan hilang, S: skala
60
nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, dengan respon pasien sudah
tampak rileks.
Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan yang
dilakukan untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan
rasa sakit. Langkah-langkah melakukan tehnik ini adalah bungkus
sumber panas dengan satu atau dua lapis handuk untuk memastikan
sumber tersebut tidak terlalu panas, letakkan handuk basah hangat,
bantalan panas, kantong paska silika yang dipanaskan, atau botol air
panas di tempat yang terasa sakit atau nyeri (Riyadi, 2012).
Kompres hangat dapat meringankan rasa nyeri dan radang ketika
terjadi serangan asam urat yang berulang-ulang. Efek pemberian kompres
hangat terhadap tubuh antara lain meningkatkan aliran darah kebagian
tubuh yang mengalami cidera, meningkatkan pengiriman leukosit dan
antibiotik ke daerah luka, meningkatkan relaksasi otot dan mengurangi
nyeri akibat spasme atau kekakuan, meningkatkan aliran darah dan
meningkatkan pergerakan zat sisa dan nutrisi (Potter dan Perry, 2005).
Menurut Riyadi (2012), kompres hangat adalah tindakan yang dilakukan
untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit.
Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian.
2.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan otot
Penulis
mengkaji
kemampuan
pasien
dalam
mobilisasi,
membantu pasien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ektremitas
61
yang mengalami nyeri, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien,
kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan fisik.
Hari pertama penulis melakukan tindakan mengkaji kemampuan
pasien dalam mobilisasi yaitu berguna untuk mengetahui perkembangan
pasien (Muttaqin, 2008). Ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan
otot kanan 4 dan kiri 5, pasien mengatakan kakinya sedikit sakit saat
berjalan, pasien masih tampak meringis kesakitan.
Hari kedua penulis melakukan tindakan membantu pasien untuk
melakukan lartihan gerak aktif pada ektremitas yang mengalami nyeri
dengan ektremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri
5, pasien mengatakan kakinya sedikit sakit saat berjalan, pasien masih
tampak meringis kesakitan.
Hari ketiga penulis melakukan tindakan kompres hangat dan
mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dengan ektremitas bawah
didapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri 5, pasien mengatakan
kakinya sudah tidak sakit lagi saat berjalan karena sudah diberi kompres
hangat untuk mengurangi rasa sakit, pasien tampak menunjukkan postur
tubuh rileks.
Range of Motion (ROM) adalah latihan gerak sendi untuk
meningkatkan aliran darah perifer dan mencegah kekakuan otot atau
sendi (Eldawati, 2011).
Tujuan ROM untuk memperbaiki dan mencegah kekakuan otot,
memelihara atau meningkatkan fleksibilitas sendi, memelihara atau
62
meningkatkan pertumbuhan tulang dan mencegah kontraktur. Latihan
gerak sendi dapat segera dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot
dan ketahanan otot sehingga memperlancar aliran darah serta suplai
oksigen untuk jaringan sehingga akan mempercepat proses penyembuhan
(Eldawati, 2011).
E. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan yang dibuat pada tahap
perencanaan (Potter dan Perry, 2005). Evaluasi yang akan dilakukan oleh
penulis disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga
rencana tindakan dapat dilaksanaka dengan SOAP (subjective, objective,
analisa, planning) (Setiadi, 2012).
Evaluasi hari pertama masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum
teratasi pasien masih meringis kesakitan dan skala nyeri 4, subyektif pasien
mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya, P: nyeri kaki saat
beraktifitas, Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala
nyeri 4, T: nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit, obyektif pasien tampak
meringis kesakitan. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri,
berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi hari kedua masalah gangguan rasa nyaman nyeri belum
teratasi pasien masih tampak sedikit meringis kesakitan dan skala nyeri 3,
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya,
63
P: nyeri di kaki sudah berkurang, Q: nyeri masih seperti ditusuk-tusuk tetapi
tidak sering, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 3, T: nyeri hilang timbul
kurang lebih 5 menit, obyektif pasien masih tampak meringis kesakitan.
Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu kaji skala nyeri, berikan analgetik
untuk mengurangi nyeri.
Evaluasi hari ketiga masalah gangguan rasa nyaman nyeri teratasi
pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan dan terlihat lebih rileks,
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diperiksa karakteristik nyerinya,
P: nyeri di kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri
sudah tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan
hilang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif pasien
sudah tidak tampak meringis kesakitan, terlihat lebih rileks. Intervensi
keperawatan dipertahankan.
Evaluasi hari pertama masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
pasien tampak kesakitan dan terlihat pucat, subyektif pasien mengatakan
kakinya terasa sakit saat berjalan, obyektif pasien tampak kesakitan dan
terlihat pucat. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu pantau tanda-tanda
vital, berikan kompres hangat di kaki.
Evaluasi hari kedua masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
karena kaki pasien masih sedikit terasa sakit saat berjalan, subyektif pasien
mengatakan kakinya masih terasa sakit saat berjalan tetapi sudah berkurang
semenjak dikompres hangat, obyektif pasien masih sedikit merasa kesakitan
64
tetapi sudah tidak sering. Intervensi keperawatan dilanjutkan yaitu berikan
kompres hangat di kaki.
Evaluasi hari ketiga masalah hambatan mobilitas fisik teratasi karena
kaki pasien sudah tidak terasa sakit, subyektif pasien mengatakan kakinya
sudah tidak terasa sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat,
obyektif pasien sudah tidak merasakan sakit dikakinya. Intervensi
keperawatan dipertahankan.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari
pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi
pada asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis di Puskesmas Gajahan
Surakarta selama tiga hari kelolaan dengan menerapkan aplikasi pemberian
kompres hangat terhadap penurunan skala nyeri, maka dapat ditarik
kesimpulan:
1.
Pengkajian
Keluhan utama yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
pasien mengatakan nyeri dibagian kaki sebelah kanan. Tanggal 8 januari
2016 penulis melakukan pengkajian nyeri, P: nyeri kaki saat beraktifitas,
Q: nyeri seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri terasa di kaki, S: skala nyeri 4, T:
nyeri hilang timbul kurang lebih 5 menit. Pasien juga mengeluh kaki
kanannya sedikit bengkak dan sakit saat digunakan beraktifitas dan
berjalan. Kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5 kiri 5, ekstremitas
bawah kanan 4 kiri 5.
2.
Diagnosa
Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan
pada Tn. M ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki
kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama
65
66
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses
penyakit. Proses penyakit karena adanya perubahan patologis oleh gout
arthritis, diagnosa prioritas kedua hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan kekakuan pada sendi.
3.
Intervensi
Diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan proses penyakit, intervensi yang dilakukan: lakukan pengkajian
nyeri
secara
komprehensif,
kontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisinga,
tiingkatkan istirahat dan berikan kompres hangat, berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak berhasil.
Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan kekakuan pada sendi, intervensi yang dilakukan: kaji kemampuan
pasien dalam mobilisasi, bantu pasien untuk melakukan latihan gerak
aktif pada ekstremitas yang mengalami nyeri, berikan pendidikan
kesehatan kepada pasien, kolaborasi dengan fisioterapi untuk latihan
fisik.
4.
Implementasi
Dalam asuhan keperawatan Tn. M dengan gout arthritis di
Puskesmas Gajahan Surakarta telah sesuai dengan intervensi yang
penulis rumuskan. Penulis menekankan pemberian kompres hangat untuk
67
menurunkan skala nyeri, dengan melakukan kompres hangat sebanyak 1
kali dalam sehari, selama 3 hari kelolaan.
5.
Evaluasi
Hasil evaluasi masalah keperawatan pertama gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan proses penyakit teratasi. P: nyeri di
kaki sudah berkurang bahkan sudah tidak timbul lagi, Q: nyeri sudah
tidak seperti ditusuk-tusuk, R: nyeri dikaki sudah berkurang bahkan
hilang, S: skala nyeri 2, T: nyeri sudah tidak sering timbul, obyektif
pasien sudah tidak tampak meringis kesakitan, terlihat lebih rileks.
Intervensi keperawatan dihentikan.
Hasil evaluasi masalah keperawatan kedua hambatan mobilitas
fisik teratasi, subyektif pasien mengatakan kakinya sudah tidak terasa
sakit lagi saat berjalan semenjak dikompres hangat, obyektif pasien
sudah tidak merasakan sakit dikakinya. Intervensi keperawatan
dihentikan.
6.
Analisa pemberian kompres hangat
Analisa hasil implementasi aplikasi jurnal yang telah dilakukan
oleh Mellynda Wurangian, Hendro Bidjuni, dan Vandri Kallo, dengan
judul “Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada
Penderita Gout Arthritis Di Wilayah Kerja Puskesmas Bahu Manado”
penulis mendapatkan hasil analisa dari implementasi yang dilakukan
selama 3 hari kelolaan yaitu terjadi penurunan skala nyeri dengan
dilakukan kompres hangat sebanyak 1 kali dalam sehari, skala nyeri hari
68
pertama 4, skala nyeri hari kedua 3, skala nyeri hari ketiga 2. Hasil
tersebut sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan dan terbukti sesuai
teori yang ada terjadi penurunan skala nyeri setelah dilakukan kompres
hangat.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gout arthritis, penulis memberikan usulan dan masukan yang positif
khususnya dibidang kesehatan antara lain:
1.
Bagi institusi pelayanan kesehatan
Diharapkan rumah sakit atau puskesmas khususnya Puskesmas
Gajahan Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun
pasien serta keluarga pasien. Khususnya dalam proses rehabilitasi medik
dengan melibatkan keluarga pasien untuk berperan aktif sehingga pasien
dan keluarga mengerti perawatan lanjutan dirumah.
2.
Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat
Hendaknya perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan
yang lebih dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lain dalam
memberikan asuhan keperawatan. Perawat melibatkan keluarga pasien
dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga mampu melakukan
tindakan kompres hangat.
69
3.
Bagi institusi pendidikan
Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih
berkualitas dengan mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan
keperawatan yang dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat
yang professional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik
keperawatan.
4.
Bagi penulis
Memberikan ilmu dan menambah wawasan penulis mengenai
gout arthritis dan penatalaksanaan dalam asuhan keperawatan yang
komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep & Proses KeperawatanNyeri. Jogjakarta: ArRuzz Media.
Craven dan Hiller. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC
Eldawati. 2011. Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Terhadap Kemampuan
Mobilisasi Dini. Universitas Indonesia: Jakarta
Fauziyah, lin. 2013.Efektifitas Tehnik Effleurage dan Kompres Hangat. EGC:
Jakarta.
Hermand, T heather. 2012. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Hidayat, Rudy. 2009. Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Hidayat, u’un Wahyudi. 2012. Informasi Spesialite Obat, Volume 27. Jakarta: PT
ISFI
Judha, dkk. 2012. Teori Pengukuran Nyeri. Yogyakarta: Nudha Medika.
Kusyati. 2006. Tujuan Pemberian Kompres Hangat. http://www. ac. id. Diakses
padat anggal 15 November 2015.
Muchid, Abdul. Buku Pharmaceutical Care untuk Pasien Arhtritis Rematik.
Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Musculoskeletal. Jakarta: EGC
NANDA. 2012. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis &
NANDA. Edisi jilid I. Jakarta. Media Action Publishing.
Perry, G.A & Potter, P.A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. EGC: Jakarta.
Prasetyo, S.N. 2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta :Graha
Ilmu.
Purwoastuti, Endang. 2009. Waspadai Gangguan Rematik. Yogyakarta: Kanisius.
Riset Kesehatan Dasar Tentang Penyakit Sendi. 2013. Badan Penelitian dan
Perkembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia:
Jakarta
Riyadi, S. & Harmoko, H. 2012. Standart Operating Procedure dalam Praktek
Klinik Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiadi. 2012. Konsep dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori
dan Praktik, Edisi 1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudoyo, A.W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam, Edisike 5. Interna
Publishing. Jakarta.
Tanto, Chris, Frans Liwang, Sonia Hanifan, Eka Adip Pradipta. 2014. Buku
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV vol II. Jakarta:
Media
Aesculapius.
Wahyuningsih, Arinta. 2013. Standart Asuhan Keperawatan. Jakarta : Trans Info
Media.
Download