REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Dwi Bambang Putut Setiyadi dan Basuki FKIP dan Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Revolusi mental dapat diintegrasikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian antara materi yang menyangkut mental itu dalam pendidikan karakter, karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan karakter yang mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam kurikulum terbaru tersebut dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks. A. PENDAHULUAN Revolusi Mental merupakan salah satu program Presiden Jokowi sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014. Hal itu menjadi salah satu daya tarik dan sekaligus memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud Presiden dengan istilah itu. Lalu bagaimana pelaksanaannya? Dalam sebuah diskusi yang bertempat di Balai Kartini dijelaskan oleh Presiden bahwa revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti luhur, ramah, dan bergotong royong yang dapat membuat masyarakat sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut mengalami perubahan tanpa disadari yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahuntahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh karena itu, Jokowi menawarkan ada sebuah revolusi mental. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita (Kompas.com, 17 Oktober 2014). Istilah revolusi mental yang mengemuka itu, masih menimbulkan berbagai tanggapan di masyarakat. Ada yang setuju dan mendukung dan ada pula yang tidak setuju, bahkan mengatakan bahwa program itu bersifat omong kosong, ada juga yang mengatakan hanya slogan. Juga ada pula yang mengatakan bahwa istilah revolusi terlalu keras karena revolusi merupakan perubahan yang sangat cepat disertai dengan kekerasan senjata (perang). Terhadap berbagai pendapat tersebut perlu kiranya hal itu tidak diperdebatkan, tetapi bagaimana hal yang baik itu agar bisa dilakukan atau diterapkan. Kalau kita belum mencoba melakukan atau menerapkan, dari mana kita bisa memprediksi hasilnya. Yang penting adalah upaya-upaya yang baik harus didukung dan dicoba dilaksanakan. Hal itu juga untuk menyikapi kondisi PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ 33 mental atau karakter bangsa yang sekarang ini menampakkan gejala-gejala kurang baik seperti digambarkan oleh para pakar. Seperti yang telah disampaikan Presiden di atas bahwa satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Jika jalur pendidikan yang dipilih, maka hal itu sesuai dengan tujuan pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran. Dalam hal ini, revolusi mental bisa disatukan dengan pendidikan karakter yang diintegrasikan itu. Berdasarkan uraian di atas, revolusi mental kiranya dapat pula diintegrasikan melalui pembelajaran seperti halnya pendidikan karakter. Hal itu sesuai dengan program kurikulum terbaru yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran. Karena pada dasarnya pendidikan karakter merupakan dasar pembentukan mental yang dimaksud oleh Presiden di atas, maka revolusi mental bisa disampaikan secara terpadu bersama-sama dengan pendidikan karakter, yaitu diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, tidaklah mustahil apabila revolusi mental dapat pula dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia (Inggris/ Daerah). Jadi, dalam hal ini pendidikan karakter dan revolusi mental dapat secara terpadu diintegrasikan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam makalah ini dibahas mengenai bagaimana revolusi mental itu dilaksanakan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. B. REVOLUSI MENTAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER Istilah revolusi memiliki arti (1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Penyusun Kamus, 1997:840). Mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga (Tim Penyusun Kamus, 1997:646). Dalam tulisan ini yang dimaksud revolusi bukan mengacu kepada pengertian yang pertama, melainkan mengacu kepada pengertian yang kedua. Jadi, revolusi mental dalam tulisan ini mengandung maksud perubahan yang cukup mendasar dalam hal mental seseorang atau sekelompok orang. Sekelompok orang yang dimaksud jika diartikan lebih luas adalah sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia seperti yang dimaksud oleh Presiden Jokowi. Revolusi mental yang disampaikan Presiden Jokowi menurut beberapa tulisan merupakan gagasan Presiden RI pertama, yaitu Ir. Sukarno. Hal ini seperti dikatakan oleh Supelli (2014) bahwa Presiden Sukarnolah penggagas ide mengenai ―Revolusi Mental‖ yang disampaikan oleh Preside RI pertama pada Pidato Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus tahun 1962 dengan tema ―Tahun Kemenangan‖ yang di dalam teks tersebut terdapat istilah ―revolusi belum selesai‖ dan ―revolusi mental‖. Selanjutnya dikatakan bahwa revolusi mental adalah bentuk lain dari revolusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan merupakan kelanjutan dari revolusi fisik. Pembahasan mengenai revolusi mental juga disampaikan oleh Sudaryanto (Kompas.com 23 November 2014), salah satu pakar bahasa atau linguistik, yang mengatakan bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, 34 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Selanjutnya dikatakan bahwa manakala akal budi tidak dikembangkan dan kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa akibatnya akan terjadi hiruk-pikuk di pentas politik dan peristiwa-peristiwa lain yang membuat meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan, dan sebagainya. Apa yang disampaikan Sudaryanto telah ditulis dalam bukunya yang berjudul Fungsi Hakiki Bahasa (1990). Dalam buku itu disebutkan bahwa bahasa merupakan sistem referensial karena pada hakikatnya dia menjadi sistem yang dimanfaatkan akal budi untuk menangkap, mengolah, membentuk, menafsirkan, menerjemah, mengungkapkan, dan membeberbabarkan-pendeknya, dijadikan PENGHADIR-segalanya, si jagat itu, yang dapat diacu oleh manusia. Hubungan ini bersifat vertikal. Hubungan yang bersifat horizontal adalah hubungan bahasa dengan kerja sama antarmanusia yang berakal budi itu. Bahasa menjadi pemelihara kerja sama. Mental memiliki kemiripan makna dengan istilah moral, akhlak, dan budi pekerti. Menurut Imam Ghazali (dalam Jagita, 2014) akhlak adalah keadaan yang bersifat batin di mana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir atau tanpa dihitung risikonya. Lebih lanjut dikatakan bahwa akhlak bisa disejajarkan dengan mental karena keduanya menyangkut kondisi batin, sedangkan moral identik dengan budi pekerti yang sudah masuk ke tataran perilaku yang terlihat. Pengertian mental dan akhlak yang disebutkan sejajar itu, jika dikaitkan dengan karakter maka dapat pula ketiga istilah ini merupakan istilah yang sinonim. Dalam Tim Penyusun Kamus (1997:444) disebutkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian revolusi mental sangat mungkin dilaksanakan secara terpadu melalui pendidikan karakter. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Duncan (1997: 119-131) menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung dengan penekanan utama pada asimilasi budaya dan pentingnya interaksi sosial. Pendapat lain, Benninga (1991: 13) menyebutkan bahwa siswa perlu mengetahui tingkat moral tertentu untuk dapat menjadi pemikir tentang moral dan perlu didorong untuk sering menggunakan cerita, puisi klasik dan tradisional, serta mengerjakan tugas-tugas yang berisi gagasan mengenai moralitas dan hal- hal baik sehingga mereka akan memahami apa yang mereka lakukan, atau mereka hafalkan untuk kemudian akan mereka lihat sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan. Pritchard (1988) menegaskan bahwa pendidikan karakter menawarkan prospek untuk menciptakan berbagai konsekuensi sosial yang sangat bermanfaat. Berbagai kajian PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ 35 menunjukkan bahwa peserta didik yang disiplin, dan masih memegang nilai-nilai seperti, religius, kerja keras, dan memiliki pemahaman tentang hakikat belajar menunjukkan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki nilainilai karakter tersebut. Temuan ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter juga sekaligus memberi makna pada peningkatan kualitas keterampilan akademik peserta didik (Etzioni, 1984; Ginsburg dan Hanson, 1986). C. PEMBAHASAN Pelaksanaan revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra dapat diintegrasikan di dalam mata pelajaran itu dan digabungkan dengan pengintegrasian pendidikan karakter. Hal itu dikarenakan perubahan atau revolusi mental diawali dari pendidikan karakter. Dalam pembahasan selanjutnya pendidikan karakter dapat diidentikkan dengan pendidikan mental, atau ditulis pendidikan karakter (mental), sehingga pendidikan karakter disamakan dengan pendidikan mental. Pendidikan karakter (mental) dalam pembelajaran bahasa dan sastra, menurut penulis dilakukan melalui rincian berikut ini. 1. Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Bahasa Pendidikan mental melalui pembelajaran bahasa dapat dilakukan melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut pemilihan kosakata, frasa, maupun kalimat yang mengandung kesantunan baik melalui media bahasa lisan maupun tulis. Selain itu, juga pengetahuan tentang komponen tutur yang menyangkut siapa yang berbicara, dengan siapa, kapan, dalam situasi yang bagaimana, bagaimana norma bicara, dan sebagainya dapat juga memperjelas bagaimana ragam atau pilihan bahasa yang digunakan. Selain itu, pembelajaran bahasa juga diarahkan kepada fungsi hakiki bahasa, seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama. Model ini kiranya dapat diterapkan pula dengan memadukan pada materi pembelajaran bahasa dan sastra. Kosakata, frasa, kalimat yang bagaimana yang dipakai agar para siswa atau peserta didik dapat mengembangkan akal budinya dengan baik dan dapat memelihara kerja sama dengan sesama para peserta didik atau anggota masyarakat lainnya dalam suatu aktivitas kehidupan sehari-hari menjadi materi yang mendasari pembelajaran yang berdasarkan fungsi hakiki bahasa itu. Materi itu menjadi wajib hukumnya untuk diajarkan kepada para peserta didik. Agar dapat mengembangkan akal budinya siswa diupayakan untuk menguasai bahasa. Agar dapat menguasai bahasa, para peserta didik perlu diberikan materi-materi yang dapat memperkaya penguasaan bahasa siswa. Penguasaan bahasa yang dimiliki para peserta didik itu dapat menjadikannya terampil dalam menjelaskan dunia dan isinya, serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya dengan lebih mudah. Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat dipisahkan dari akal budi, dan sebaliknya akal budi tak bisa dipisahkan dengan bahasa, seperti yang disampaikan oleh Sudaryanto. Selanjutnya setelah peserta didik menguasai pemakaian bahasa, secara logika mereka akan dapat memelihara kerja sama. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan kekerjasamaan antarmanusia yang berakal budi. 36 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ Bahasa menjadi pemelihara kerja sama antara O1 denga O2, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Penguasaan bahasa diawali dari penguasaan kosakata meningkat sampai kalimat dan teks. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 telah dirancang berbasis teks dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai wahana pengetahuan (Kemendikbud, 2013). Dalam pembelajaran model ini para siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Teks menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual. Dalam pembelajaran berbasis teks dijelaskan berbagai cara pengajaran pengetahuan dengan berbagai jenis teks. Dengan demikian itu memudahkan peserta didik menangkap makna yang tertuang dalam suatu teks. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan Sudaryanto tentang fungsi hakiki bahasa, yaitu agar siswa dapat mengembangkan akal budi. Juga memudahkan menyajikan gagasan dalam bentuk teks yang sesuai sehingga memudahkan orang lain memahami gagasan yang ingin disampaikan. Hal ini juga sesuai dengan fungsi hakiki bahasa yang kedua yaitu untuk memelihara kerja sama. Dalam Kurikulum itu juga dipaparkan berbagai jenis teks yang tidak lepas dari kehidupan sehari-hari para peserta didik. Misalnya pembelajaran teks deskripsi pada siswa kelas VII yang bertujuan agar siswa dapat menyusun teks laporan hasil observasi secara kelompok dan mandiri. Sebelum penyusunan berlangsung siswa melakukan wawancara dan observasi terhadap suatu objek yang akan dilaporkan. Dalam kegiatan penyusunan teks deskripsi telah terjadi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa, yaitu berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam kegiatan ini terintegrasi pula nilai-nilai delapan belas pendidikan karakter yang dapat dikembangkan. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks di dalamnya telah mencakup berbagai keterampilan berbahasa. Ada keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis di dalamnya. Empat keterampilan berbahasa itu sudah terintegrasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks. Jadi, pada dasarnya tidak menghilangkan esensi dari pembelajaran pada Kurikulum sebelumnya, malahan dalam Kurikulum 2013 itu bisa dimasukkan pembelajarn sastra dalam porsi yang lebih banyak. 2. Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Sastra Senada dengan pembelajaran bahasa, pendidikan mental melalui pembelajaran sastra dapat dilakukan pula melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut adanya kandungan pendidikan karakter (mental) di dalamnya. Teks sastra mencakup bentuk-bentuk prosa, puisi, dan drama. Prosa, puisi, dan drama lama banyak mengandung nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Materi-materi seperti itulah yang sebaiknya diberikan kepada para peserta didik agar dapat diperoleh pendidikan mental dari dalamnya. Jika genre lama itu kurang menarik, hendaklah disusun materi yang sesuai dengan kondisi zaman sehingga lebih menarik para peserta didik untuk membacanya. Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 yang berbasis teks, sastra bisa diberikan di dalamnya karena sastra termasuk genre teks. Jadi, dalam hal pemilihan materi PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ 37 genre sastra yang menyangkut prosa dapat kita pilihkan materi prosa yang berisi pendidikan mental, bgitu pula materi puisi dan drama. Dalam mencapai tujuan adanya revolusi mental hendaklah pemerintah juga menyediakan buku-buku sastra yang memadai, yang bisa dibaca oleh para siswa. Budaya membaca sms, whatsap, bbm, maupun media sosial lainnya dapat kita alihkan kepada budaya membaca tek-teks sastra yang bermanfaat. Apabila pengadaan buku-buku sastra terlalu mahal biayanya, bisa dialihkan pada media elektronik yang sekarang sangat mudah diakses oleh para siswa. Karya-karya puisi khususnya telah banyak bermunculan dalam media sosial, walaupun harus diseleksi untuk diberikan kepada peserta didik. Guru hendaklah berperan besar dalam kegiatan ini karena berjalan atau tidaknya dalam mencapai tujuan pembelajaran terletak padanya. Guru dapat memberikan tugas kepada setiap siswa untuk mewajibkan membaca teks-teks sastra yang telah dipilih oleh guru. Tugas itu ditekankan kepada pemahaman nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tek-teks sastra itu. Setelah itu, siswa diberi tugas pula untuk mempresentasikan kepada siswa lain tentang temuannya dalam membaca teks sastra. Dalam presentasi ini, telah terintegrasi pembelajaran keterampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, dan diakhiri menyimak) sekaligus materi yang berhubungan dengan sastra dan pendidikan mental. Seperti halnya dalam pembelajaran bahasa, dalam kegiatan ini juga telah terintegrasi pendidikan karakter sejumlah delapan belas yang harus dikembangkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar. D. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian antara materi yang menyangkut materi mental itu dalam pendidikan karakter, karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan karakter yang mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam kurikulum terbaru tersebut telah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra sangat memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks. DAFTAR PUSTAKA Benninga, J. (1991). Moral, Character, Civic Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press. Duncan, Barbara, J. (1997). ―Character Education: Reclaiming The Social‖ Educational Theory. Vol. 47.1.119- 130. Etzioni, Amitai. (1984). Self-Disicipline, Schools, and Business Community. Washington, D.C: National Chamber Foundation, ( ERIC Document no. ED 249-335) Gall M.D, J.P. Gall, dan W. Borg. (2003). Educational Research : An Introduction. Boston : Pearson 38 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ Ginsburg, Alan, and Sandra Hanson.(1986). Gaining Ground: Values and High School Success.( Contract no. 300-83-0211) Washington, D.C.: U.S. Department of Edication. Jagita. 2014. ―Revolusi Mental Melalui Pendidikan‖ http:// www.jagita.com/ news/ 2014 Oktober 15 Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pritchard, Ivor. (1988). ―Character Education: Research Prospects and Problems‖. American Journal of Education.Vol. 96.No. 4 (Aug., 1988). Pp. 469-495. Sartono, Frans. 2014. ―Revolusi Mental Berawal dari Bahasa‖. Kompas.com, 23 November 2014. Sudaryanto. 1990. Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Supelly, Karlina. 2014. ―Mengartikan Revolusi Mental‖ dalam Business-center.hapsastudia.com/opini/politik-di-indnesia PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖ 39