33 revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra indonesia

advertisement
REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
Dwi Bambang Putut Setiyadi dan Basuki
FKIP dan Program Pascasarjana
Universitas Widya Dharma Klaten
Abstrak
Revolusi mental dapat diintegrasikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian antara materi yang menyangkut mental itu
dalam pendidikan karakter, karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan
karakter yang mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam
kurikulum terbaru tersebut dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi,
apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat
memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks.
A.
PENDAHULUAN
Revolusi Mental merupakan salah satu program Presiden Jokowi sejak masa
kampanye Pemilu Presiden 2014. Hal itu menjadi salah satu daya tarik dan sekaligus
memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud
Presiden dengan istilah itu. Lalu bagaimana pelaksanaannya? Dalam sebuah diskusi yang
bertempat di Balai Kartini dijelaskan oleh Presiden bahwa revolusi mental berarti warga
Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang berkarakter santun, berbudi pekerti luhur, ramah, dan bergotong royong yang dapat
membuat masyarakat sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut mengalami perubahan tanpa
disadari yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak
baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahuntahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh karena itu, Jokowi menawarkan
ada sebuah revolusi mental. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas
adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa
pandang bulu. Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter
warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita (Kompas.com,
17 Oktober 2014).
Istilah revolusi mental yang mengemuka itu, masih menimbulkan berbagai tanggapan
di masyarakat. Ada yang setuju dan mendukung dan ada pula yang tidak setuju, bahkan
mengatakan bahwa program itu bersifat omong kosong, ada juga yang mengatakan hanya
slogan. Juga ada pula yang mengatakan bahwa istilah revolusi terlalu keras karena revolusi
merupakan perubahan yang sangat cepat disertai dengan kekerasan senjata (perang). Terhadap
berbagai pendapat tersebut perlu kiranya hal itu tidak diperdebatkan, tetapi bagaimana hal
yang baik itu agar bisa dilakukan atau diterapkan. Kalau kita belum mencoba melakukan atau
menerapkan, dari mana kita bisa memprediksi hasilnya. Yang penting adalah upaya-upaya
yang baik harus didukung dan dicoba dilaksanakan. Hal itu juga untuk menyikapi kondisi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
33
mental atau karakter bangsa yang sekarang ini menampakkan gejala-gejala kurang baik
seperti digambarkan oleh para pakar.
Seperti yang telah disampaikan Presiden di atas bahwa satu-satunya jalan untuk
revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan
merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Jika jalur pendidikan yang dipilih,
maka hal itu sesuai dengan tujuan pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran.
Dalam hal ini, revolusi mental bisa disatukan dengan pendidikan karakter yang diintegrasikan
itu.
Berdasarkan uraian di atas, revolusi mental kiranya dapat pula diintegrasikan melalui
pembelajaran seperti halnya pendidikan karakter. Hal itu sesuai dengan program kurikulum
terbaru yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran. Karena pada
dasarnya pendidikan karakter merupakan dasar pembentukan mental yang dimaksud oleh
Presiden di atas, maka revolusi mental bisa disampaikan secara terpadu bersama-sama dengan
pendidikan karakter, yaitu diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Oleh karena itu,
tidaklah mustahil apabila revolusi mental dapat pula dilakukan melalui pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia (Inggris/ Daerah). Jadi, dalam hal ini pendidikan karakter dan revolusi
mental dapat secara terpadu diintegrasikan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Dalam makalah ini dibahas mengenai bagaimana revolusi mental itu dilaksanakan melalui
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
B.
REVOLUSI MENTAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Istilah revolusi memiliki arti (1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau
keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2)
perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Penyusun Kamus, 1997:840).
Mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga
(Tim Penyusun Kamus, 1997:646). Dalam tulisan ini yang dimaksud revolusi bukan mengacu
kepada pengertian yang pertama, melainkan mengacu kepada pengertian yang kedua. Jadi,
revolusi mental dalam tulisan ini mengandung maksud perubahan yang cukup mendasar
dalam hal mental seseorang atau sekelompok orang. Sekelompok orang yang dimaksud jika
diartikan lebih luas adalah sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia seperti yang
dimaksud oleh Presiden Jokowi.
Revolusi mental yang disampaikan Presiden Jokowi menurut beberapa tulisan
merupakan gagasan Presiden RI pertama, yaitu Ir. Sukarno. Hal ini seperti dikatakan oleh
Supelli (2014) bahwa Presiden Sukarnolah penggagas ide mengenai ―Revolusi Mental‖ yang
disampaikan oleh Preside RI pertama pada Pidato Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus tahun
1962 dengan tema ―Tahun Kemenangan‖ yang di dalam teks tersebut terdapat istilah
―revolusi belum selesai‖ dan ―revolusi mental‖. Selanjutnya dikatakan bahwa revolusi mental
adalah bentuk lain dari revolusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan merupakan
kelanjutan dari revolusi fisik.
Pembahasan mengenai revolusi mental juga disampaikan oleh Sudaryanto
(Kompas.com 23 November 2014), salah satu pakar bahasa atau linguistik, yang mengatakan
bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa,
34
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Selanjutnya dikatakan
bahwa manakala akal budi tidak dikembangkan dan kerja sama tidak dipelihara dengan
bahasa akibatnya akan terjadi hiruk-pikuk di pentas politik dan peristiwa-peristiwa lain yang
membuat meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan, dan sebagainya.
Apa yang disampaikan Sudaryanto telah ditulis dalam bukunya yang berjudul Fungsi
Hakiki Bahasa (1990). Dalam buku itu disebutkan bahwa bahasa merupakan sistem
referensial karena pada hakikatnya dia menjadi sistem yang dimanfaatkan akal budi untuk
menangkap, mengolah, membentuk, menafsirkan, menerjemah, mengungkapkan, dan
membeberbabarkan-pendeknya, dijadikan PENGHADIR-segalanya, si jagat itu, yang dapat
diacu oleh manusia. Hubungan ini bersifat vertikal. Hubungan yang bersifat horizontal adalah
hubungan bahasa dengan kerja sama antarmanusia yang berakal budi itu. Bahasa menjadi
pemelihara kerja sama.
Mental memiliki kemiripan makna dengan istilah moral, akhlak, dan budi pekerti.
Menurut Imam Ghazali (dalam Jagita, 2014) akhlak adalah keadaan yang bersifat batin di
mana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir atau tanpa dihitung risikonya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa akhlak bisa disejajarkan dengan mental karena keduanya
menyangkut kondisi batin, sedangkan moral identik dengan budi pekerti yang sudah masuk ke
tataran perilaku yang terlihat. Pengertian mental dan akhlak yang disebutkan sejajar itu, jika
dikaitkan dengan karakter maka dapat pula ketiga istilah ini merupakan istilah yang sinonim.
Dalam Tim Penyusun Kamus (1997:444) disebutkan bahwa karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan
demikian revolusi mental sangat mungkin dilaksanakan secara terpadu melalui pendidikan
karakter.
Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang
banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
rangka membina kepribadian generasi muda.
Duncan (1997: 119-131)
menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat
dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung dengan penekanan utama pada asimilasi
budaya dan pentingnya interaksi sosial. Pendapat lain, Benninga (1991: 13) menyebutkan
bahwa siswa perlu mengetahui tingkat moral tertentu untuk dapat menjadi pemikir tentang
moral dan perlu didorong untuk sering menggunakan cerita, puisi klasik dan tradisional, serta
mengerjakan tugas-tugas yang berisi gagasan mengenai moralitas dan hal- hal baik sehingga
mereka akan memahami apa yang mereka lakukan, atau mereka hafalkan untuk kemudian
akan mereka lihat sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan.
Pritchard (1988) menegaskan bahwa pendidikan karakter menawarkan prospek untuk
menciptakan berbagai konsekuensi sosial yang sangat bermanfaat. Berbagai kajian
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
35
menunjukkan bahwa peserta didik yang disiplin, dan masih memegang nilai-nilai seperti,
religius, kerja keras, dan memiliki pemahaman tentang hakikat belajar menunjukkan prestasi
belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki nilainilai karakter tersebut. Temuan ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter juga
sekaligus memberi makna pada peningkatan kualitas keterampilan akademik peserta didik
(Etzioni, 1984; Ginsburg dan Hanson, 1986).
C.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra dapat
diintegrasikan di dalam mata pelajaran itu dan digabungkan dengan pengintegrasian
pendidikan karakter. Hal itu dikarenakan perubahan atau revolusi mental diawali dari
pendidikan karakter. Dalam pembahasan selanjutnya pendidikan karakter dapat diidentikkan
dengan pendidikan mental, atau ditulis pendidikan karakter (mental), sehingga pendidikan
karakter disamakan dengan pendidikan mental. Pendidikan karakter (mental) dalam
pembelajaran bahasa dan sastra, menurut penulis dilakukan melalui rincian berikut ini.
1.
Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Bahasa
Pendidikan mental melalui pembelajaran bahasa dapat dilakukan melalui pemilihan
materi-materi yang menyangkut pemilihan kosakata, frasa, maupun kalimat yang
mengandung kesantunan baik melalui media bahasa lisan maupun tulis. Selain itu, juga
pengetahuan tentang komponen tutur yang menyangkut siapa yang berbicara, dengan siapa,
kapan, dalam situasi yang bagaimana, bagaimana norma bicara, dan sebagainya dapat juga
memperjelas bagaimana ragam atau pilihan bahasa yang digunakan.
Selain itu, pembelajaran bahasa juga diarahkan kepada fungsi hakiki bahasa, seperti
yang dikemukakan oleh Sudaryanto bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang
kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu mengembangkan akal budi dan untuk
memelihara kerja sama. Model ini kiranya dapat diterapkan pula dengan memadukan pada
materi pembelajaran bahasa dan sastra. Kosakata, frasa, kalimat yang bagaimana yang dipakai
agar para siswa atau peserta didik dapat mengembangkan akal budinya dengan baik dan dapat
memelihara kerja sama dengan sesama para peserta didik atau anggota masyarakat lainnya
dalam suatu aktivitas kehidupan sehari-hari menjadi materi yang mendasari pembelajaran
yang berdasarkan fungsi hakiki bahasa itu. Materi itu menjadi wajib hukumnya untuk
diajarkan kepada para peserta didik.
Agar dapat mengembangkan akal budinya siswa diupayakan untuk menguasai bahasa.
Agar dapat menguasai bahasa, para peserta didik perlu diberikan materi-materi yang dapat
memperkaya penguasaan bahasa siswa. Penguasaan bahasa yang dimiliki para peserta didik
itu dapat menjadikannya terampil dalam menjelaskan dunia dan isinya, serta segala sesuatu
yang berhubungan dengannya dengan lebih mudah. Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat
dipisahkan dari akal budi, dan sebaliknya akal budi tak bisa dipisahkan dengan bahasa, seperti
yang disampaikan oleh Sudaryanto. Selanjutnya setelah peserta didik menguasai pemakaian
bahasa, secara logika mereka akan dapat memelihara kerja sama. Hubungan ini juga dapat
dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan kekerjasamaan antarmanusia yang berakal budi.
36
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Bahasa menjadi pemelihara kerja sama antara O1 denga O2, baik sebagai individu maupun
sebagai masyarakat.
Penguasaan bahasa diawali dari penguasaan kosakata meningkat sampai kalimat dan
teks. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 telah dirancang
berbasis teks dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai wahana pengetahuan
(Kemendikbud, 2013). Dalam pembelajaran model ini para siswa diharapkan mampu
memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Teks
menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks
dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual.
Dalam pembelajaran berbasis teks dijelaskan berbagai cara pengajaran pengetahuan
dengan berbagai jenis teks. Dengan demikian itu memudahkan peserta didik menangkap
makna yang tertuang dalam suatu teks. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan Sudaryanto
tentang fungsi hakiki bahasa, yaitu agar siswa dapat mengembangkan akal budi. Juga
memudahkan menyajikan gagasan dalam bentuk teks yang sesuai sehingga memudahkan
orang lain memahami gagasan yang ingin disampaikan. Hal ini juga sesuai dengan fungsi
hakiki bahasa yang kedua yaitu untuk memelihara kerja sama.
Dalam Kurikulum itu juga dipaparkan berbagai jenis teks yang tidak lepas dari
kehidupan sehari-hari para peserta didik. Misalnya pembelajaran teks deskripsi pada siswa
kelas VII yang bertujuan agar siswa dapat menyusun teks laporan hasil observasi secara
kelompok dan mandiri. Sebelum penyusunan berlangsung siswa melakukan wawancara dan
observasi terhadap suatu objek yang akan dilaporkan. Dalam kegiatan penyusunan teks
deskripsi telah terjadi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan empat keterampilan
berbahasa, yaitu berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam kegiatan ini terintegrasi
pula nilai-nilai delapan belas pendidikan karakter yang dapat dikembangkan.
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks di dalamnya telah mencakup berbagai
keterampilan berbahasa. Ada keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis di dalamnya. Empat keterampilan berbahasa itu sudah
terintegrasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks. Jadi, pada dasarnya tidak
menghilangkan esensi dari pembelajaran pada Kurikulum sebelumnya, malahan dalam
Kurikulum 2013 itu bisa dimasukkan pembelajarn sastra dalam porsi yang lebih banyak.
2.
Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Sastra
Senada dengan pembelajaran bahasa, pendidikan mental melalui pembelajaran sastra
dapat dilakukan pula melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut adanya kandungan
pendidikan karakter (mental) di dalamnya. Teks sastra mencakup bentuk-bentuk prosa, puisi,
dan drama. Prosa, puisi, dan drama lama banyak mengandung nilai-nilai pendidikan di
dalamnya. Materi-materi seperti itulah yang sebaiknya diberikan kepada para peserta didik
agar dapat diperoleh pendidikan mental dari dalamnya. Jika genre lama itu kurang menarik,
hendaklah disusun materi yang sesuai dengan kondisi zaman sehingga lebih menarik para
peserta didik untuk membacanya.
Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 yang berbasis teks, sastra bisa
diberikan di dalamnya karena sastra termasuk genre teks. Jadi, dalam hal pemilihan materi
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
37
genre sastra yang menyangkut prosa dapat kita pilihkan materi prosa yang berisi pendidikan
mental, bgitu pula materi puisi dan drama. Dalam mencapai tujuan adanya revolusi mental
hendaklah pemerintah juga menyediakan buku-buku sastra yang memadai, yang bisa dibaca
oleh para siswa. Budaya membaca sms, whatsap, bbm, maupun media sosial lainnya dapat
kita alihkan kepada budaya membaca tek-teks sastra yang bermanfaat. Apabila pengadaan
buku-buku sastra terlalu mahal biayanya, bisa dialihkan pada media elektronik yang sekarang
sangat mudah diakses oleh para siswa. Karya-karya puisi khususnya telah banyak
bermunculan dalam media sosial, walaupun harus diseleksi untuk diberikan kepada peserta
didik.
Guru hendaklah berperan besar dalam kegiatan ini karena berjalan atau tidaknya
dalam mencapai tujuan pembelajaran terletak padanya. Guru dapat memberikan tugas kepada
setiap siswa untuk mewajibkan membaca teks-teks sastra yang telah dipilih oleh guru. Tugas
itu ditekankan kepada pemahaman nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tek-teks
sastra itu. Setelah itu, siswa diberi tugas pula untuk mempresentasikan kepada siswa lain
tentang temuannya dalam membaca teks sastra. Dalam presentasi ini, telah terintegrasi
pembelajaran keterampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, dan diakhiri menyimak)
sekaligus materi yang berhubungan dengan sastra dan pendidikan mental. Seperti halnya
dalam pembelajaran bahasa, dalam kegiatan ini juga telah terintegrasi pendidikan karakter
sejumlah delapan belas yang harus dikembangkan oleh para guru dalam proses belajar
mengajar.
D.
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui
pengintegrasian antara materi yang menyangkut materi mental itu dalam pendidikan karakter,
karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan karakter yang
mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam kurikulum
terbaru tersebut telah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra sangat
memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang
berbasis teks.
DAFTAR PUSTAKA
Benninga, J. (1991). Moral, Character, Civic Education in the Elementary School. New York:
Teachers College Press.
Duncan, Barbara, J. (1997). ―Character Education: Reclaiming The Social‖ Educational
Theory. Vol. 47.1.119- 130.
Etzioni, Amitai. (1984). Self-Disicipline, Schools, and Business Community. Washington,
D.C: National Chamber Foundation, ( ERIC Document no. ED 249-335)
Gall M.D, J.P. Gall, dan W. Borg. (2003). Educational Research : An Introduction. Boston :
Pearson
38
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
Ginsburg, Alan, and Sandra Hanson.(1986). Gaining Ground: Values and High School
Success.( Contract no. 300-83-0211) Washington, D.C.: U.S. Department of
Edication.
Jagita. 2014. ―Revolusi Mental Melalui Pendidikan‖ http:// www.jagita.com/ news/ 2014
Oktober 15
Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Pritchard, Ivor. (1988). ―Character Education: Research Prospects and Problems‖. American
Journal of Education.Vol. 96.No. 4 (Aug., 1988). Pp. 469-495.
Sartono, Frans. 2014. ―Revolusi Mental Berawal dari Bahasa‖. Kompas.com, 23 November
2014.
Sudaryanto. 1990. Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Supelly, Karlina. 2014. ―Mengartikan Revolusi Mental‖ dalam Business-center.hapsastudia.com/opini/politik-di-indnesia
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖
39
Download