Document

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala)
Lamtoro gung (Leucaena leucocephala) adalah salah satu jenis polongpolongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman
campuran. Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, lamtoro
gung kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah
(erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah. Lamtoro gung mengandung protein
tinggi. Biji lamtoro gung kering mengandung sekitar 30% protein, bahkan tepung
keping biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Slamet at
al. 1987 dalam Komari, 1999). Adapun kandungan gizi biji lamtoro gung yang
sudah tua setiap 100 gr dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi biji lamtoro gung
Komponen
Protein
Lemak
Serat kasar
Mineral
Air
Sumber : (Suprihatin, 2009)
Lamtoro gung
Jumlah (%)
30-40
6,13
8,79
9,32
35,72
mengandung zat aktif yang berupa alkaloid, saponin,
flavonoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan
vitamin B. Adapun kandungan mimosin dapat direduksi dengan beberapa
metode antara lain dengan perendaman dan pemanasan (Wee dan Wang, 1987;
Widiastuti, 2001 dalam Fitriliyani dkk, 2010). Winarno
(2004), menyatakan
bahwa Mimosin bersifat sangat mudah larut dalam air. Cara menghilangkan atau
menurunkan senyawa beracun tersebut dilakukan dengan merendam biji lamtoro
gung dalam air pada suhu 700C (24 jam) atau pada 1000C selama 4 menit.
Konsentrat protein biji lamtoro gung mengandung semua asam amino
essensial yaitu lisin, leusin, isoluesin, fenilalanin, valin, treonin dan metionin.
Adapun kandungan asam amino biji lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
5
Tabel 2. Kandungan asam amino biji lamtoro gung
Asam Amino
Jumlah (%)
Asp
Thr
Ser
Glu
Gly
Ala
Cys
Val
Met
Ile
Leu
Tyr
Phe
Lys
His
Arg
Pro
Sumber : (Oktavia, 2002)
2,635
0,685
1,000
3,188
0,940
0,888
0,164
0,733
0,301
0,591
1,312
0,564
0,746
0,981
0,433
1,497
0,752
B. Konsentrat Protein
Konsentrat protein merupakan pekatan protein dengan kandungan protein
minimal 70% (FAO dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein yang dihasilkan
umumnya memiliki kandungan protein sekitar 65-75%, 15-25% polisakarida tak
larut, 4-6% mineral, dan 0,3-1,2% minyak (Cheftel et al ,1985 dalam Kartika,
2009). Konsentrat protein dibuat untuk meningkatkan kadar protein bahan
dengan cara menghilangkan komponen nonprotein, seperti karbohidrat, lemak
dan mineral. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah
ekstraksi dan pengendapan seluruh protein pada titik isoelektriknya yaitu pH
dimana seluruh protein menggumpal.
Konsentrat protein kacang-kacangan adalah produk tinggi protein yang
dipersiapkan dengan metode presipitasi protein pada kacang polong (Siegel dan
Fawcett
,1976 dalam
Kartika,
2009).
Konsentrat
protein dibuat untuk
meningkatkan kadar protein bahan dengan cara menghilangkan komponen
nonprotein, seperti karbohidrat, lemak dan mineral.
Hasil penelitian Budijanto dkk (2011), menunjukkan bahwa isolat protein
kecipir memiliki kadar protein 83,87% (bk), daya serap air dan stabilitas emulsi
yang cukup baik. Berdasarkan sifat-sifat fisiko kimia yang dimiliki maka isolat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
6
kecipir dapat digunakan dalam produk-produk olahan daging. Namun menurut
Hasil penelitian Koesoemawardani dkk (2010), menyatakan bahwa hidrolisat
protein ikan rucah menghasilkan nilai protein terlarut sebesar 24,97% dan daya
buih 9,63%. Semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak enzim yang
ditambahkan maka kadar protein terlarut susu kedelai juga semakin tinggi
(Istiningtyas, 2012).
Proses hidrolisis adalah proses pemecahan suatu molekul menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan molekul air. Hidrolisis
protein adalah proses pecahnya atau terputusnya ikatan peptida dari protein
menjadi molekul yang lebih sederhana. Hidrolisis ikatan peptida akan
menyebabkan beberapa perubahan pada protein, yaitu meningkatkan kelarutan
karena bertambahnya kandungan NH3+ dan COO- dan berkurangnya berat
molekul
protein
atau
polipeptida,
rusaknya
struktur
globular
protein
(Wirahadikusumah,2008). Menurut Sediaoetama (2000) ada tiga cara yang dapat
ditempuh untuk menghidrolisis protein, yaitu hidrolisis menggunakan asam, basa
dan enzim.
a. Hidrolisis Asam
Hidrolisis dengan mempergunakan asam kuat anorganik, seperti HCl atau
H2SO4 pekat (4-8 normal) dan dipanaskan pada suhu mendidih, dapat dilakukan
dengan tekanan di atas satu atmosfer, selama beberapa jam. Menurut Girindra
(1993), akibat samping yang terjadi dengan hidrolisis asam ialah rusaknya
beberapa asam amino (triptofan, sebagian serin dan threonin).
b. Hidrolisis Basa
Hidrolisis protein menggunakan basa merupakan proses pemecahan
polipeptida dengan menggunakan basa / alkali kuat, seperti NaOH dan KOH
pada suhu tinggi, selama beberapa jam, dengan tekanan di atas satu atmosfer.
Menurut Girindra (1993), serin dan threonin rusak dengan basa.
c. Hidrolisis Enzimatik
Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan menggunakan enzim. Dapat
digunakan satu jenis enzim saja, atau beberapa jenis enzim yang berbeda.
Penambahan enzim perlu dilakukan pengaturan pada kondisi pH dan suhu
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
7
optimum. Pemutusan ikatan peptida oleh enzim protease dapat dijelaskan
dengan mekanisme reaksi pada Gambar 1. Mekanisme reaksi hidrolisis ikatan
peptida oleh enzim protease adalah reaksi ini diawali dengan adanya serangan
nukleofilik atom S dari gugus sulfhidril asam amino sistein pada atom karbon
pada ikatan pepetida pada substrat. Ikatan S - C ini menyebabkan satu ikatan
dari C - O putus sehingga atom O menjadi bermutan negatif. Oksigen yang
bermuatan negatif akan menyerang atom C sehingga ikatan C dengan S putus.
Tahap berikutnya adalah hidrolisis dengan bantuan air (H2O). OH akan
menyerang atom C asilenzim sehingga terbentuk komponen karboksil.
Gambar 1. Mekanisme reaksi hidrolisis ikatan peptida
(Wirahadikusumah,2008)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
8
Dibandingkan dengan hidrolisis secara kimia (menggunakan asam atau
basa), hidrolisis enzimatik lebih menguntungkan karena tidak mengakibatkan
kerusakan asam amino dan asam-asam amino bebas serta peptida dengan
rantai pendek yang dihasilkan lebih bervariasi, reaksi dapat dipercepat kira-kira
1012 sampai 1020, tingkat kehilangan asam amino esensial lebih rendah, biaya
produksi relatif lebih murah dan menghasilkan komposisi asam amino tertentu
terutama peptida rantai pendek (dipeptida dan tripeptida) yang mudah diabsorbsi
oleh tubuh (Winarno, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis antara lain:
a. Temperatur hidrolisis
Pada temperatur hidrolisis yang rendah 60oC umumnya diperoleh protein
dengan sifat-sifat fisik yang baik, sehingga pada temperatur yang tinggi >100oC
sifat-sifat protein akan menurun
b. Waktu hidrolisis
Pada hidrolisis dengan temperatur
yang lebih rendah biasanya
dibutuhkan waktu yang lama. Dengan waktu yang semakin lama maka hidrolisis
akan semakin rata dan luas kontak permukaan antara partikel dengan liquid
semakin tinggi, tetapi apabila waktu terlalu lama maka hal itu tidak efektif.
c. Konsentrasi larutan/enzim
Semakin pekat larutan yang digunakan maka hidrolisat yang dihasilkan
akan semakin besar.
d. Besar dan ukuran bahan yang digunakan
Semakin kecil ukuran bahan yang digunakan semakin cepat proses
hidrolisis.
e. Pengadukan
Dengan adanya pengadukan maka akan mempercepat terjadinya
homogenitas antara partikel dan liquid. Selain itu pengadukan mencegah
terjadinya pengendapan.(Groggins,1958 di dalam Nordin, 2010).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
9
C. Enzim Proteolitik
Enzim merupakan unit protein fungsional yang berperan mengkatalisis
reaksi-reaksi dalam metabolisme sel dan reaksi-reaksi lain dalam tubuh.
Spesifikasi enzim terhadap substratnya teramat tinggi dalam mempercepat reaksi
kimia tanpa produk samping (Lehninger, 1982).
Aktivitas dari enzim dalam mengkatalis reaksi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah:
1. Konsentrasi enzim
Semakin besar konsentrasi enzim semakin cepat pula reaksi yang
belangsung. Dengan kata lain konsentrasi enzim berbanding lurus dengan
kecepatan reaksi. Sisi aktif suatu enzim dapat digunakan berulang kali oleh
banyak substrat. Substrat yang berikatan dengan sisi aktif enzim akan
membentuk produk. Pelepasan produk menyebabkan sisi aktif enzim bebas
untuk berikatan dengan substrat lainnya. Oleh karenanya hanya dibutuhkan
sejumlah kecil enzim untuk mengkatalis sejumlah besar substrat.
2. Konsentrasi substrat
Bila sejumlah enzim dalam keadaan tetap, kecepatan reaksi akan
meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi substrat. Namun, pada saat
sisi aktif semua enzim bekerja, penambahan substrat tidak dapat meningkatkan
kecepatan reaksi enzim lebih lanjut. Kondisi ini disebut konsentrasi substrat pada
titik jenuh atau disebut kecepatan maksimum (Vmax).
3. Suhu
Pada suhu yang lebih tinggi, kecepatan molekul substrat meningkat,
sehingga pada saat bertumbukan dengan enzim, energi molekul substrat
berkurang. Hal ini memudahkan terikatnya molekul substrat pada sisi aktif enzim.
Aktivitas enzim meningkat dengan meningkatnya suhu sampai pada titik tertentu.
Peningkatan suhu meningkatkan energi kinetik pada molekul substrat dan enzim,
sehingga kecepatan reaksi meningkat pula. Kecepatan enzim dalam mengkatalis
reaksi mencapai puncaknya pada suhu tertentu. Suhu ini disebut suhu optimum
enzim. Pada suhu melewati suhu optimumnya dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi enzim sehingga menurunkan kecepatan reaksi.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
10
4. Derajad Keasaman (pH)
Struktur enzim dipengaruhi oleh pH lingkungannya. Enzim dapat
bermuatan positif, negatif atau bermuatan ganda (zwitter ion). Pengaruh
perubahan pH lingkungan berpengaruh pada aktivitas sisi aktif dari enzim.
pH selain berpengaruh terhadap enzim juga berpengaruh terhadap
substrat enzim tersebut. Pengaruhnya terhadap aktivits katalitik enzim dapat
dilihat dari segi-segi struktur enzim sebagai protein, gugus katalitik dan gugus
pengikat, sedangkan dari sudut substrat pH terutama berpengaruh pada
disosiasi.
5. Inhibitor
Inhibitor merupakan suatu molekul yang menghambat ikatan enzim
dengan substratnya. Keberadaan inhibitor akan menurunkan kecepatan reaksi
enzimatis. Inhibitor dapat membentuk kompleks dengan enzim baik pada sisi
aktiv enzim maupun bagian lain dari sisi aktiv enzim. Terbentuknya komplek
enzim inhibitor akan menurunkan aktivitas enzim terhadap substratnya
(Poedjiadi, 1994). Ada dua macam inhibitor enzim, yaitu inhibitor kompetitif dan
non-kompetitif.
Inhibitor kompetitif adalah molekul penghambat yang cara kerjanya
bersaing dengan substrat untuk mendapatkan sisi aktif enzim. Contohnya,
sianida bersaing dengan oksigen untuk mendapatkan Hb dalam rantai respirasi
terakhir. Inhibitor kompetitif dapat diatasi dengan cara penambahan konsentrasi
substrat.
Inhibitor non-kompetitif adalah molekul penghambat enzim yang bekerja
dengan cara melekatkan diri pada luar sisi aktif, sehingga bentuk enzim berubah,
dan sisi aktif tidak dapat berfungsi.
Enzim protease merupakan biokatalisator untuk reaksi pemecahan
protein. Enzim ini akan mengkatalisis reaksi hidrolisis, yaitu reaksi yang
melibatkan unsur air pada ikatan spesifik substrat. Karena itu, enzim ini termasuk
dalam kelas utama enzim golongan hidrolase (Winarno, 1995).
Enzim protease dapat diperoleh dari jaringan tanaman, hewan, maupun
mikroba. Enzim protease yang dihasilkan dari tanaman diantaranya adalah
papain dan bromelin. Papain merupakan enzim protease yang dihasilkan oleh
buah pepaya. Enzim ini aktif pada pH 5,0-9,0 dalam suhu 80-900C. Bromelin
merupakan enzim protease yang berasal dari batang, akar, dan buah nanas.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
11
Bromelain merupakan jenis protease tiol yang stabil sampai suhu 700C (Rao et
al., 1998).
D. Kulit Nenas
Nenas (Anenas comosus (L) Merr) merupakan salah satu jenis buah yang
gemar dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Buah ini termasuk dalam
golongan buah yang bersifat mudah rusak dan busuk, sehingga tidak tahan
disimpan dalam jangka waktu yang lama. Bagian utama yang bernilai ekonomi
penting dari tanaman nenas adalah buahnya, yang berasa manis sampai agak
masam menyegarkan sehingga disukai oleh masyarakat. Buah nenas banyak
dimanfaatkan, baik dalam skala industri besar, menengah, kecil bahkan rumah
tangga. Buah nenas dalam skala industri umumnya dimanfaatkan dalam
pembuatan sari buah, jem, jelly, serta proses lainnya.
Limbah buah nenas terdiri dari limbah kulit, limbah mata dan limbah hati.
Limbah atau hasil ikutan (side product) nenas belum banyak dimanfaatkan dan
relatif hanya dibuang begitu saja. Enzim bromelin terdapat dalam semua jaringan
tanaman nanas. Sekitar setengah dari protein dalam nanas mengandung
protease bromelin. Di antara berbagai jenis buah, nanas merupakan sumber
protease dengan konsentrasi tinggi dalam buah yang masak. Enzim bromelain
merupakan enzim hidrolase yang aktif pada protein. Berdasarkan sumbernya,
Enzim protease ada bermacam-macam yaitu papain, ficin, dan bromelin
merupakan protease asal tanaman; tripsin adalah enzim protease dari pankreas;
pepsin dan renin dalah protease dari persit (Reed, 1975). Bromelin merupakan
unsur pokok dari nanas yang penting dan berguna dalam bidang farmasi dan
makanan (Wiseman,1986). Fungsi bromelin mirip dengan papain dan fisin,
sebagai pemecah protein. Pada akhir-akhir ini enzim bromelin lebih banyak
digunakan untuk penjernihan bir (“chillpoofing bir”) dan pengempukan daging.
Pada penelitian Kumaunang dan Kamu (2011), menyatakan bahwa aktivitas
enzim bromelin dari ekstrak kulit nenas menunjukkan perlakuan terbaik yaitu
kadar protein tertinggi pada pengendapan dengan amonium sulfat 60%,
temperatur optimum enzim bromelin 650C serta pH optimum 6,5.
Menurut
Istiningtyas (2012), suhu optimum enzim bromelin yaitu 55oC. Hal ini sesuai
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
12
dengan pernyataan Sebayang (2006) yang mengatakan bahwa suhu optimum
isolasi enzim bromelin dari bonggol nenas yaitu 55oC.
Bromelin adalah nama dari enzim proteolitik yang ditemukan ditanaman
nenas (Hale et al.,2005; Hebbar et al,. 2008 dalam Nadzirah,dkk. 2013).
Bromelin diisolasi dari buah nenas dengan menghancurkan daging buah untuk
mendapatkan ekstrak kasar enzim bromelin. Bromelin tergolong kelompok enzim
protease sulfhidril, merupakan glukoprotein. Bromelin mempunyai gugus aktif
yaitu sistein dan histidin. Spesifitas menghidrolisis substrat yang mengandung
sisa asam amino L-ariginina, L-lisina, L-glisina dan L-sitrulina (Martoharsono dan
Rahayu, 1978). Buah nenas yang muda maupun yang tua mengandung enzim
bromelin (Winarno, 1983). Akivitas bromelin dalam buah yang muda lebih tinggi
dibanding buah yang tua (Winarno, 1995).
Menurut Kumaunang dan Kamu (2011), aktivitas enzim bromelin dari
ekstrak kulit nenas dapat ditentukan oleh temperatur dan pH. Temperatur sangat
erat berhubungan dengan energi aktivitas dan kestabilan enzim. Peningkatan
temperatur dapat menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi dan secara
bersamaan meningkatkan kecepatan inaktivasi enzim (Stauffer,1989 dalam
Kumaunang dan Kamu ,2011). Selain itu aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh
pH medium. pH saat aktivitas enzim maksimum adalah pH optimum. pH optimum
merupakan pH saat gugus pemberi dan penerima proton yang berperan penting
pada sisi katalitik enzim atau pada sisi pengikat substrat berada dalam tingkat
ionisasi yang diinginkan, sehingga substrat lebih mudah berinteraksi dengan sisi
katalitik enzim (Nielsen et al, 1999 dalam Kumaunang dan Kamu ,2011 ).
Aplikasi
bromelin
dalam
pengolahan
makanan
digunakan
untuk
keempukan daging (Rohrbach et al, 2003 dalam Nadzirah, dkk. 2013 ). Selain itu
bromelin juga telah digunakan pada pembuatan bir, memanggang kue untuk
meningkatkan sifat krispi, pembuatan hidrolisat protein dan sebagai suplemen
diet (Babu et al. 2008 dalam Nadzirah, dkk. 2013 ).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
13
E. Landasan Teori
Konsentrat protein merupakan pekatan protein dengan kandungan protein
minimal 70% (FAO dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein dibuat untuk
meningkatkan kadar protein bahan dengan cara menghilangkan komponen
nonprotein, seperti karbohidrat, lemak dan mineral. Prinsip yang digunakan untuk
mengisolasi protein total adalah ekstraksi dan pengendapan seluruh protein pada
titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal..
Pemisahan konsentrat protein yaitu mengekstraksi tepung biji lamtoro
gung dengan air dan memanfaatkan filtrat, sedangkan bagian yang mengendap
merupakan karbohidrat pati. Filtrat dilakukan koagulasi dan pengendapan
dengan cara penambahan asam dan pemanasan agar mencapai pH tertentu
(pH isoelektrik), terjadi penggumpalan dan endapan (protein) dipisahkan dari
cairan (pati).
Penggumpalan dan endapan protein tersebut dihidrolisis dengan enzim
kasar kulit nenas. Prinsip hidrolisis enzim adalah memutuskan ikatan peptida dari
protein dan memisahkan bagian-bagian lain yang bukan protein. Mekanisme
reaksi hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease adalah Reaksi ini diawali
dengan adanya serangan nukleofilik atom S dari gugus sulfhidril asam amino
sistein pada atom karbon pada ikatan peptida pada substrat. Ikatan S - C ini
menyebabkan satu ikatan dari C - O putus sehingga atom O menjadi bermutan
negatif. Oksigen yang bermutan negatif akan menyerang atom C sehingga ikatan
C dengan S putus. Tahap berikutnya adalah hidrolisis dengan bantuan air (H2O).
OH akan menyerang atom C asilenzim sehingga terbentuk komponen karboksil.
Konsentrat protein yang dihasilkan melalui proses pengendapan pada pH
isoelektrik dan hidrolisis enzim menjadi lebih baik karena prose hidrolisis dapat
mencegah rusaknya asam-asam amino.
Enzim protease yang dihasilkan dari dari kulit nenas dapat dimanfaatkan
sebagai enzim untuk proses hidrolisa. Bromelin adalah enzim yang diekstrak dari
buah nenas (nenas comosus). Bromelin tergolong kelompok enzim protease
sulfhidril, merupakan glukoprotein.
Konsentrasi enzim dan lama inkubasi dapat meningkatkan kadar protein.
Semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi maka hidrolisat
yang dihasilkan semakin besar. Hasil penelitian Istiningtyas (2012) menyatakan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
14
bahwa susu kedelai hasil
fermentasi 48 jam dengan penambahan enzim
bromelin 300 ppm mempunyai kadar protein terlarut paling tinggi. Semakin lama
waktu fermentasi dan semakin banyak enzim yang ditambahkan maka kadar
protein terlarut susu kedelai juga semakin tinggi. Hasil penelitian Fitriliyani dkk
(2010) menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 24 jam kadar protein terlarut
tertinggi yaitu pada perlakuan penambahan ekstrak enzim 100ml/kg yaitu
sebesar
0,0396%.
Kadar
protein
terlarut
meningkat
sejalan
dengan
meningkatnya jumlah enzim kasar yang ditambahkan. Menurut Purbasari (2008)
bahwa produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur
menggunakan perlakuan waktu hidrolisis yaitu 12 jam, 24 jam, 36 jam dan 48
jam. Kondisi optimum untuk menghidrolisis protein kerang mas ngur adalah pada
waktu hidrolisis 48 jam.
Bji lamtoro gung kering mengandung sekitar 30% protein, bahkan tepung
keping biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Budijanto
et al, 1987). Konsentrat protein dapat dimanfaatkan pada produk bakery, daging
olahan, dan vegetarian food.
F. Hipotesis
Konsentrasi enzim dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap
kualitas konsentrat protein yang dihasilkan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB III
BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Analisa Pangan, laboratorium
Kimia Pangan, laboratorium Biokimia Pangan dan laboratorium Uji Inderawi
Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang dilakukan pada bulan April–
Juni 2013.
B. Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian pembuatan konsentrat
protein adalah biji lamtoro gung yang diperoleh dari Sumenep, enzim kasar
bromelin dari limbah kulit nenas yang diperoleh dari Surabaya.
Bahan-bahan untuk analisa kimia diantaranya aquades, asam asetat,
amonium sulfat, natrium asetat ,minyak kedelai, K2S2O4, H2SO4, HgO, K2S 4%,
NaOH 0,1N, HCL (0,1N), indikator metil merah, petroleum eter ,susu skim,
formaldehid, dan indikator Fenolftalein.
C. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian pembuatan konsentrat protein
adalah gelas ukur, pH meter, waterbath, pipet, waterbath shaker, termometer,
sentrifuge dan cabinet dryer,
Alat yang digunakan untuk analisa erlenmeyer, gelas ukur,gelas beaker,
pipet volume, pipet tetes, buret, vortex, sentrifuge, neraca analitik, magnetic
stirer,pH meter dan blender.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) pola faktorial dengan dua faktor, masing-masing kombinasi perlakuan
diulang tiga kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan
15
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
16
analisis ragam (ANOVA). Bila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan
dilanjutkan dengan uji BNJ (Gasperz,1994).
1. Faktor Berubah
Faktor I : Konsentrasi enzim bromelin yaitu :
A1 : 0 mg/100g
A2 : 40 mg/100g
A3 : 80 mg/100g
A4 : 100 mg/100g
Faktor II : Lama inkubasi yaitu :
B1 : 24 jam
B2 : 48 jam
Dari hasil kombinasi dua faktor tersebut diperoleh delapan perlakuan sebagai
berikut :
Lama Inkubasi
Konsentrasi Enzim Bromelin
A1
A2
A3
A4
B1
A1B1
A2B1
A3B1
A4B1
B2
A1B2
A2B2
A3B2
A4B2
Keterangan:
A1B1
: Enzim Bromelin Konsentrasi 0 mg/100g, lama inkubasi 24 jam
A2B1
: Enzim Bromelin Konsentrasi 40 mg/100g, lama inkubasi 24 jam
A3B1
: Enzim Bromelin Konsentrasi 80 mg/100g, lama inkubasi 24 jam
A4B1
: Enzim Bromelin Konsentrasi 100 mg/100g, lama inkubasi 24 jam
A1B2
: Enzim Bromelin Konsentrasi 0 mg/100g, lama inkubasi 48 jam
A2B2
: Enzim Bromelin Konsentrasi 40 mg/100g, lama inkubasi 48 jam
A3B2
: Enzim Bromelin Konsentrasi 80 mg/100g, lama inkubasi 48 jam
A4B2
: Enzim Bromelin Konsentrasi 100 mg/100g, lama inkubasi 48 jam
Menurut Gasperz (1994), model statistik untuk Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari dua faktor adalah sebagai berikut :
yang terdiri dari dua faktor adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk.................(1)
i = 1, … ,a
j = 1, … , b
k = 1, …, c
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
17
Keterangan:
Yijk
: Nilai pengamatan dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B)
µ
: Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya)
αi
: Pengaruh perlakuan ke-i dari A
βj
: Pengaruh perlakuan ke-j dari B
(αβ)ij
: Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B
εijk
: Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k memperoleh perlakuan
kombinasi ke-ij
2. Variabel Tetap
a.
Penyesuaian pH sampai 6,5
b.
Suhu pemanasan 100oC selama 5 menit
c.
Pendinginan sampai suhu 55oC
d.
Suhu Waterbath shaker 55oC selama 24 jam atau 48 jam
e.
Kecepatan sentrifuge 2500 rpm
f.
Suhu pengeringan cabinet dryer 30oC
E. Parameter yang diamati
1. Parameter untuk analisa tepung biji lamtoro gung
a. Analisa Kadar Air (AOAC 1970, Rangana, 1979 dalam Sudarmadji, 1984)
b. Analisa Protein (AOAC. 1970 di dalam Sudarmadji, 1984)
c. Analisa Lemak (Woodman, 1941 di dalam Sudarmadji ,1984)
d. Analisa Kadar Abu (Sudarmadji, 1984)
2. Parameter unutuk analisa ekstrak enzim kasar kulit nenas
Uji aktivitas enzim proteolitik
3. Parameter untuk analisa konsentrat lamtoro gung
a. Rendemen Protein (Hartanti dkk, 1998)
b. Bulk density (Okezie dan Bello, 1988 di dalam Budijanto dkk, 2011)
c. Analisis daya serap minyak (Soluski dan Fleming, 1977 di dalam Budijanto
dkk, 2011)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
18
d. Analisis daya serap air (Lin et al., 1974 di dalam Widowati et al., 1998 di
dalam Budijanto dkk, 2011)
e. Analisis daya buih (Widowati et al., 1998 di dalam Budijanto dkk, 2011)
f. Analisis Kapasitas dan Stabilitas emulsi (modifikasi Franzen dan Kinsella,
1979 di dalam Budijanto dkk, 2011)
g. Organoleptik (Warna dan Bau)
F. Prosedur penelitian
1. Pembuatan tepung biji lamtoro gung
a. Dilakukan perendaman biji lamtoro gung dengan air (1 ; 2) selama 24 jam
dan setiap 8 jam sekali dilakukan penggantian air, yang bertujuan untuk
melunakkan struktur jaringan dan sehingga mempermudah pengupasan
dan pengganntian air rendaman yang mengandung lendir
b. Dilakukan penirisan
c. Dilakukan pengupasan kulit yang bertujuan untuk menghilangkan kulit yang
menempel pada biji lamtoro gung
d. Dilakukan pengeringan menggunakan cabinet dryer selama selama 14 jam
pada suhu 500C . Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air dan
mempermudah proses penggilingan
e. Dilakukan penggilingan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran
f. Dilakukan pengayakan 100 mesh yang bertujuan untuk
memperkecil
ukuran dan mempercepat proses hidrolisa
g. Tepung biji lamtoro gung yang dihasilkan dilakukan analisa terhadap kadar
air, protein, lemak, dan abu
2. Pembuatan ekstrak enzim kasar kulit nenas
a. Dilakukan pemotongan dan penimbangan kulit nenas
b. Dilakukan homogenisasi dengan 200 ml larutan buffer natrium asetat pH
6.5
c. Dilakukan Penyaringan dengan kain kasa dan diperoleh enzim kasar
d. Dilakukan sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 25 menit dan
penyimpanan 40C
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
19
e. Dilakukan penambahan amonium sulfat 60% dan pengadukan dengan
megnetik stirer selama 25 menit
f. Dilakukan inkubasi pada 40C selama 24 jam
g. Dilakukan sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 25 menit
h. Dilakukan pencucian endapan dengan 10 ml natrium asetat 0,1 M pada pH
6,5
3. Pembuatan konsentrat protein biji lamtoro gung
a. Suspensi tepung biji lamtoro gung (TBL : Air = 10 : 100 g/ml)
b. Dilakukan penyesuaian pH dengan penambahan NaOH 0,1 N supaya
mendapatkan pH optimum enzim
c. Dilakukan pemanasan pada suhu 1000C selama 5 menit
d. Dilakukan pendingan hingga suhu mencapai 55oC
e. Dilakukan penambahan ekstrak enzim kasar kulit nenas (0, 40, 80,100
mg/100g TBL)
f. Dilakukan inkubasi dengan menggunakan waterbath shaker pada suhu
550C selama 24 jam dan 48 jam
g. Dilakukan penambahan air panas 50 ml pada suhu 800C sebanyak dua kali
untuk menginaktifkan enzim kasar kulit nenas dan menghilangkan bahan
kimia
h. Dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 30 menit
i. Dilakukan pengeringan endapan dengan cabinet dryer pada suhu 300C
selama 20 jam
Adapun diagram alir proses pembuatan tepung biji lamtoro gung, ekstrak
enzim kasar kulit nenas dan pembuatan konsentrat protein biji lamtoro
gungdapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4 :
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
20
Biji lamtoro gung
gung
Perendaman (t = 24 jam)
Penirisan
Pengupasan kulit
Pengeringan dengan cabinet dryer
(T=500C, t= 14 jam)
Penggilingan
Pengayakan 100 mesh
Tepung biji lamtoro gung
Analisa :
 Kadar air
 Protein
 Lemak
 Kadar abu
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung biji lamtoro gung
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
21
Kulit nenas
Pemotongan dan penimbangan
Homogenisasi
Penyaringan
200 ml larutan buffer
natrium asetat
pH (6.5)
Ampas
Filtrat
Sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm
(T=40C, t =25 menit )
Penambahan Amonium sulfat 60% di aduk
dengan pengaduk magnetik selama 45 menit
Inkubasi T= 4oC, 24 jam
Sentrifuge Kec = 3500 rpm, 25 menit
Filtrat
Endapan
Dilakukan pencucian dengan 10 ml natrium asetat 0,1 M
pada pH 6-6,5
Enzim limbah kulit nenas
Analisa :
Uji aktivitas proteolitik
Gambar 3. Diagram alir pembuatan ekstrak enzim kasar kulit nenas
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
22
Suspensi tepung biji lamtoro gung gung (TBL)
(TBL : Air = 10 : 100 g/ml)
Penyesuaian pH sampai 6,5
Penambahan
NaOH 0,1N
Pemanasan T =100oC, 5 menit
Pendinginan hingga suhu 55oC
Penambahan ekstrak enzim kasar
kulit nenas
Lama nkubasi:
24 jam
48 jam
Konsentrasi :
0 mg/100g
40 mg/100g
80 mg/100g
100 mg/100g
Suhu Waterbath shaker 55oC
Penambahan air panas 50 ml suhu 800C (dua kali)
Sentrifuge (Kec =2500 rpm, 30 menit)
Endapan
Filtrat
Pengeringan dengan cabinet dryer
(T=30oC, t=20 jam)
Konsentrat Protein
Biji Lamtoro Gung
Analisa :
a. Rendemen Protein
b. Bulk density
c. Analisis daya serap minyak
d. Analisis daya serap air
e. Analisis daya buih
f. Analisis kapasitas dan stabilitas emulsi
g. Organoleptik (warna dan bau)
Gambar 4. Diagram alir pembuatan konsentrat protein biji lamtoro gung
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku dan analisa sifat fungsional
dan organoleptik konsentrat protein biji lamtoro gung.
A. Analisa Bahan Baku
1. Tepung Biji Lamtoro Gung
Hasil penelitian Suprihatin (2009), kandungan gizi pada buah lamtoro
gung yaitu protein 30-40%, lemak 6,13%, serat kasar 8,79%, mineral 9,32% dan
air 35,77%. Menurut hasil penelitian Feny (2012), kandungan gizi pada buah
lamtoro gung dengan kulit yaitu kadar protein 19,75%, kadar lemak 5,58%, kadar
air 14,31% dan kadar abu 5,66%. Hasil analisa bahan awal tepung biji lamtoro
gung tanpa kulit dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisa tepung biji lamtoro gung tanpa kulit
Analisa
Jumlah (%)
Kadar air
12,26
Kadar abu
6,73
Kadar lemak
3,19
Kadar protein
55,38
Pada Tabel 3, menunjukkan bahwa hasil analisa bahan baku tepung biji
lamtoro gung tanpa kulit menunjukkan bahwa kadar air 12,26%, kadar abu
6,73%, kadar lemak 3,19% dan kadar protein 55,38%. Hal ini diduga lamtoro
gung diolah menjadi tepung tanpa mengikutsertakan kulit, dimana kulitnya
mengandung selulosa dan proses penepungan dapat menurunkan kadar air
sehingga konsentrasi protein tepung biji lamtoro gung menjadi lebih tinggi.
Tepung biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Slamet et
al,1987 dalam Komari, 1999).
2. Aktivitas Proteolitik Enzim Limbah Kulit Nenas
Aktivitas proteolitik enzim menunjukkan kemampuan enzim untuk
menghidrolisis rantai-rantai peptida protein. Semakin tinggi aktivitas proteolitik
suatu enzim, maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam memutuskan
rantai-rantai peptida pada protein (Abubakar, 1998).
23
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
24
Hasil penelitian pada Tabel 4, menunjukkan bahwa aktivitas proteolitik
enzim limbah kulit nenas optimal pada konsentrasi 40% sebesar 1,1206%N,
sedangkan konsentrasi 20% sebesar 0,5743%N dan konsentrasi 30% sebesar
0,8125% pada pH 6,5 dan suhu 370C . Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi konsentrasi enzim maka semakin besar aktivitasnya. Hasil penelitian
Kumaunang dan Kamu (2011), diketahui aktivitas proteolitik enzim bromelin kulit
nenas sebesar 0,101 unit/menit pada pH 6,5 dan suhu 65oC.
Tabel 4. Data aktivitas proteolitik enzim limbah kulit nenas.
Sampel
Kadar N (%)
Konsentrasi 20%
Konsentrasi 30%
Konsentrasi 40%
Enzim limbah
0,5743
0,8125
1,1206
kulit nenas
Hasil penelitian Intani (2012), menunjukkan bahwa hidrolisat isolat protein
bungkil wijen sangrai dengan enzim bromelin terjadi peningkatan rasio E/S dari
1%- 5%(w/w) meningkatkan derajat hidrolisis 1, 85 kalinya dan meningkatkan
kadar protein terlarut 1,2 kalinya.
B. Analisa Konsentrat Protein
1. Rendemen protein
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi tidak terdapat interaksi
nyata terhadap rendemen protein yang dihasilkan, masing-masing perlakuan
berpengaruh nyata (p< 0,05). Rerata rendemen protein konsentrat protein bij
lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung
dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
Konsentrasi
Rata-rata
enzim limbah kulit nenas (mg/100g)
rendemen protein (%)
100,27 + 2,06b
0
102,29 + 2,06ab
40
103,62 + 2,06a
80
103,90 + 2,06a
100
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
25
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
limbah kulit nenas maka nilai rata-rata rendemen protein semakin meningkat. Hal
ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka
semakin banyak pula protein yang terhidrolisis, sehingga semakin tinggi pula
rendemen protein. Semakin tinggi rendemen produk hidrolisat menunjukkan
bahwa semakin banyak protein yang terhidrolisis (Purbasari, 2008).
Tabel 6. Nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung
dengan perlakuan lama inkubasi
Lama Inkubasi
Rata-rata
(Jam)
rendemen protein (%)
101,33 + 2,14b
24
103,71 + 2,14a
48
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka
nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung semakin
meningkat. Hal ini terjadi karena lama inkubasi dapat memberi kesempatan
enzim limbah kulit nenas untuk menghidrolisis protein sehingga semakin tinggi
pula rendemen proteinnya. Hasil penelitian Purbasari (2008) menunjukkan
bahwa konsentrasi enzim papain 6% (b/v) dari total volume substrat dan lama
inkubasi 48 jam memberikan hasil terbaik yaitu rendemen sebesar 31,58%.
Menurut Winarno (1983), lama inkubasi dapat memberi kesempatan enzim
untuk memecah substrat sehingga hasil hidrolisa semakin meningkat.
2. Bulk Density (Densitas Kamba)
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi
nyata (p< 0,05) terhadap bulk density yang dihasilkan, masing-masing perlakuan
berpengaruh nyata (p<0,05). Rerata densitas kamba dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai rata-rata densitas kamba konsentrat protein dengan perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi
Perlakuan
Rerata densitas kamba
Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi
(g/ml)
nenas (mg/100g)
(Jam)
0,69 + 0,01b
0
24
0,68 + 0,01bc
40
24
0,65 + 0,01cd
80
24
0,64 + 0,01de
100
24
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
26
Lanjutan Tabel 7. Nilai rata-rata densitas kamba konsentrat protein dengan
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi
Perlakuan
Rerata densitas kamba
Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi
(g/ml)
nenas (mg/100g)
(Jam)
0,74 + 0,01a
0
48
0,67 + 0,01bcd
40
48
0,59 + 0,01f
80
48
0,61 + 0,01ef
100
48
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa densitas kamba terbanyak pada
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100gr dengan lama inkubasi
48 jam menghasilkan densitas kamba sebesar 0,74 g/ml, sedangkan densitas
kamba terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
80mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam menghasilkan densitas kamba
sebesar 0,59 g/ml. Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu
unit volume tertentu. Densitas kamba merupakan sifat penting tepung-tepungan
karena berperan penting dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran.
Tepung-tepungan umumnya memiliki densitas kamba sekitar 0,40-0,75
g/ml (Schubert,1987 dalam Budijanto dkk, 2011). Densitas kamba konsentrat
protein biji kedelai adalah 0,63 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas
kamba konsentrat protein lamtoro gung berada pada kisaran densitas kamba
tepung-tepungan secara umum dan konsentrat kedelai. Hubungan konsentrasi
enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap densitas kamba konsentrat
protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 5.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
27
Gambar 5. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
terhadap daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung
Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
dan semakin lama inkubasi dapat menurunkan densitas kamba konsentrat
protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan konsentrat protein
yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit. Semakin tinggi densitas
kamba menunjukkan konsentrat protein semakin ringkas dan padat. Perbedaan
densitas kamba tiap konsentrat atau isolat protein dipengaruhi oleh metode
pengeringan ekstrak protein (Al-Kahtani dan Abou-Arab ,1993 dalam Budijanto
dkk, 2011). Konsentrat protein kedelai biasanya dikeringkan dengan spray dryer,
dimana rendemen yang dihasilkan memiliki densitas kamba lebih besar daripada
yang dikeringkan dengan freeze dryer. Partikel yang dihasilkan dari spray dryer
biasanya kecil, sehingga meningkatkan densitas kamba (Al-Kahtani dan Abou
Arab, 1993 dalam Budijanto dkk, 2011).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
28
3. Daya Serap Air (DSA)
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi
nyata (p< 0,05) terhadap daya serap air yang dihasilkan, masing-masing
perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05). Rerata daya serap air dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Nilai rata-rata daya serap air konsentrat protein dengan perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi
Perlakuan
Rerata DSA
Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi
(ml /g)
nenas (mg/100g)
(Jam)
3,20 + 0,04e
0
24
3,40 + 0,04d
40
24
3,70 + 0,04c
80
24
3,90 + 0,04b
100
24
3,65 + 0,04c
0
48
3,90 + 0,04b
40
48
4,00 + 0,04b
80
48
4,15 + 0,04a
100
48
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa daya serap air terbanyak pada
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 100mg/100gr dengan lama
inkubasi 48 jam menghasilkan daya serap air sebesar 4,15 ml/g, sedangkan
daya serap air terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
0mg/100gr dengan lama inkubasi 24 jam menghasilkan daya serap air sebesar
3,2 ml/g. Komposisi asam amino protein mempengaruhi sifat daya serap air isolat
protein. Isolat protein mengandung banyak asam amino ionik (asam glutamat,
asam aspartat dan lisin) sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya serap
air (Budijanto dkk, 2011).
Daya serap air pada konsentrat kedelai berada di kisaran 2,4 – 3,4 g
H2O/g solid (Hudson,1994 dalam Budijanto ,2011). Daya serap air berkisar
antara 182-213% untuk isolat kedelai dan komak (Suwarno, 2003). Hubungan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap air
konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 6.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
29
Gambar 6. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
terhadap daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung
Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
dan semakin lama inkubasi dapat meningkatkan daya serap air konsentrat
protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi
konsentrasi enzim yang digunakan dan lama inkubasi dalam proses hidrolisa
maka semakin banyak pula protein yang terhidrolisis,dengan semakin banyak
protein maka protein yang mempunyai sifat larut dalam air akan mudah
terdispersi sehingga pada saat pengukuran daya serap air semakin besar. Daya
serap air berkaitan dengan protein, karena protein merupakan komponen yang
bertanggung jawab terhadap penyerapan air. Semakin tinggi kadar protein,
semakin tinggi daya serap airnya (Fennema,1996). Beberapa produk yang
membutuhkan daya serap air yang tinggi adalah produk daging, produk sosis ,
bakery serta mie. Pada choped meat dan produk bakery, daya serap air berperan
dalam pembentukan tekstur dari emulsi daging dan adonan bakery. Serta
mengurangi cooking and baking loses dan meningkatkan moistness pada produk
akhir (Suwarno, 2003).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
30
4. Daya Serap Minyak (DSM)
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi
nyata (p< 0,05) terhadap daya serap minyak yang dihasilkan, masing-masing
perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata daya serap minyak dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Nilai rata-rata daya serap minyak konsentrat protein dengan perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi
Perlakuan
Rerata DSM
Konsentrasi enzim limbah
Lama inkubasi
(ml air/g sampel)
kulit nenas (mg/100g)
(Jam)
1,80 + 0,05a
0
24 jam
1,55 + 0,05b
40
24 jam
1,25 + 0,05c
80
24 jam
1,00 + 0,05d
100
24 jam
1,90 + 0,05a
0
48 jam
1,50 + 0,05b
40
48 jam
1,35 + 0,05c
80
48 jam
1,30 + 0,05c
100
48 jam
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Pada Tabel 9, menunjukkan bahwa daya serap minyak tertinggi pada
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100gr dengan lama inkubasi
48 jam dengan jumlah daya serap minyak 1,9 ml/g, sedangkan daya serap
minyak terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
100mg/100gr dengan lama inkubasi 24 jam sebesar 1,3 ml/gr. Hal ini
menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi 100mg/100gr dan lama
inkubasi 48 jam masih setara pada daya serap minyak konsentrat protein
kedelai. Daya serap minyak pada konsentrat kedelai berada di kisaran 1,33 –
1,54 ml minyak/g solid (Kinsella,1979 dalam Budijanto,dkk 2011). Daya serap
minyak kedelai dan komak yaitu 179,46% dan 183,19%(Suwarno,,2003).
Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap
daya serap minyak konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada
Gambar 7.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
31
Gambar 7. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
terhadap daya serap minyak konsentrat protein biji lamtoro gung
Pada Gambar 7, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
dan semakin lama inkubasi dapat menurunkan daya serap minyak konsentrat
protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini diduga adanya perbedaan jenis
protein dan konsentrasi enzim yang dapat mempengaruhi daya serap minyak biji
lamtoro gung dan kedelai . Semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan
serta lama inkubasi dalam proses hidrolisa maka semakin banyak protein yang
terhidrolisis. Pada produk donat dan pancake penambahan tepung kedelai dapat
membantu menjaga kelebihan lemak selama penggorengan. Hal ini akibat
denaturasi protein yang membentuk barrier untuk menahan lemak dipermukaan
donat (Kartika, 2009). Daya serap minyak oleh protein kedelai pada produk
daging olahan dapat memperbaiki formasi serta menstabilkan emulsi dan matriks
gel yang dapat menghalangi migrasi lemak ke permukaan. Pengikatan lemak
pada produk bubuk dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk
bubuk dengan ukuran partikel terkecil serta densitas yang rendah mengabsorbsi
dan memerangkap minyak lebih banyak dibandingkan protein yang densitasnya
tinggi (Zayas, 1997 dalam Budijanto dkk, 2011).
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
32
5. Kapasitas dan Stabilitas Emulsi
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi tidak terdapat
interaksi nyata terhadap kapasitas dan stabilitas emulsi yang dihasilkan, masingmasing perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata kapasitas dan stabilitas
emulsi konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kilit nenas
dapat dilihat pada Tabel 10. Demikian juga rerata kapasitas dan stabilitas emulsi
konsentrat protein dengan perlakuan lama inkubasi dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 10. Nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein
dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
Konsentrasi enzim limbah kulit nenas
Rata-rata
(mg/100g)
Kapasitas dan stabilitas emulsi (%)
41,00 + 1,55b
0
43,25 + 1,55ab
40
45,50 + 1,55a
80
45,75 + 1,55a
100
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Tabel 11. Nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein biji
lamtoro gung dengan perlakuan lama inkubasi
Lama Inkubasi
Rata-rata
(Jam)
Kapasitas dan stabilitas emulsi
(%)
42,50 + 2,04b
24 jam
45,25 + 2,04a
48 jam
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
menunjukkan
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
limbah kulit nenas maka nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi semakin
meningkat. Demikian juga semakin lama waktu inkubasi, maka nilai rata-rata
kapasitas dan stablilitas emulsi konsentrat protein biji lamtoro gung semakin
meningkat (Tabel 11). Semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka
semakin banyak protein yang terhidrolisis. Semakin lama inkubasi maka semakin
banyak pula protein yang terhidrolisis. Tingginya kadar protein yang terhidrolisis
enzim
bromelin
akan
menyelubungi
droplet
minyak
sehingga
dapat
meningkatkan kapasitas dan stabilitas emulsi. Kapasitas emulsi isolat kedelai
kontrol sebesar 30,05% (Rahayu, 1995). Kapasitas dan stabilitas emulsi
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein (Zayas dalam Suwarno,
2003). Protein merupakan surface active agents yang efektif karena memiliki
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
33
kemampuan untuk menurunkan tegangan interfasial antara komponen hidrofobik
dan hidrofilik pada bahan pangan. Protein dengan kandungan asam amino non
polar yang tinggi (lebih dari 30% dari total asam amino) menunjukkan aktivitas
emulsi dan daya buih yang tinggi, namun memiliki daya gel yang rendah (Birowo,
2013). Protein memiliki kemampuan membentuk lapisan permukaan penyerap
yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat menahan minyak
dan
membentuk emulsi minyak dalam air (oil in water) yang stabil (Philips, 1976
dalam Suwarno, 2003). Emulsifier digunakan hampir pada semua jenis pangan
olahan dengan sistem dispersi untuk mencegah terjadinya pemisahan antara
fase terdispersi dan fase pendispersi. Beberapa produk pangan yang
memerlukan emulsifier adalah keju, margarin, mentega dan es krim (Suwarno,
2003).
6. Kapasitas Buih
Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi
nyata (p< 0,05) terhadap kapasitas buih yang dihasilkan, masing-masing
perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata kapasitas buih dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12. Nilai rata-rata kapasitas buih konsentrat protein dengan perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi
Perlakuan
Rata-rata
Kapasitas buih
Konsentrasi enzim limbah
Lama inkubasi
(%)
kulit nenas (mg/100g)
(Jam)
1,00 + 0,22f
0
24
2,25 + 0,22e
40
24
4,75 + 0,22d
80
24
5,50 + 0,22c
100
24
2,00 + 0,22e
0
48
5,00 + 0,22cd
40
48
7,00 + 0,22b
80
48
8,00 + 0,22a
100
48
Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey)
Pada Tabel 12, menunjukkan bahwa kapasitas buih tertinggi pada
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 100mg/100gr dengan lama
inkubasi 48 jam dengan jumlah kapasitas buih 8%, sedangkan kapasitas buih
terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100g
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
34
dengan lama inkubasi 24 jam sebesar 1%. Menurut Suwarno (2003), kapasitas
buih untuk kedelai dan komak yaitu 116% dan 79%. Hasil penelitian Budijanto
dkk (2011) menunjukkan bahwa nilai daya buih kecipir sebesar 89,5%.
Kemampuan pembuihan meningkat jika konsentrasi protein juga meningkat
karena akan meningkatkan ketebalan lapisan film pada interfasial (Kartika, 2009).
Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap
kapasitas buih konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
terhadap kapasitas buih konsentrat protein biji lamtoro gung
Pada Gambar 8, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim
dan semakin lama inkubasi dapat meningkatkan kapasitas buih konsentrat biji
lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi
enzim yang digunakan serta lama inkubasi dalam proses hidrolisa maka semakin
banyak pula protein yang terhidrolisis. Kemampuan pembuihan meningkat jika
konsentrasi protein meningkat dikarenakan meningkatnya ketebalan lapisan film
pada interfasial. Walaupun demikian, buih protein dari biji lamtoro gung sangat
tidak stabil akibat adanya foam inhibitor. Foam inhibitor
yang diperkirakan
adalah sisa lemak. Lemak dapat melemahkan interaksi protein-protein dengan
mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas, 1997 dalam Suwarno, 2003). Sifat
protein membentuk buih yang stabil penting dalam memproduksi beberapa
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
35
makanan. Distribusi ukuran gelembung udara dalam buih mempengaruhi
penampakan dan tekstur, smoothness, serta kecerahan makanan(Kartika, 2009).
7. Uji Organoleptik
a. Warna
Berdasarkan hasil analisa Kruskal Wallis (Lampiran 8) menunjukkan
bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan warna konsentrat protein biji
lamtoro gung. Jumlah skoring kesukaan terhadap warna konsentrat protein biji
lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Nilai rata-rata skoring terhadap nilai warna konsentrat protein biji
lamtoro gung
Perlakuan
Jumlah panelis
Mean skoring
Konsentrasi enzim Lama inkubasi
(mg/100g)
(Jam)
0
24
20
85,78
40
24
20
104,08
80
24
20
105,68
100
24
20
69,90
0
48
20
24,55
40
48
20
65,80
80
48
20
86,60
100
48
20
101,63
Ket : skor tertinggi paling disukai panelis
Pada Tabel 13 menunjukkan bahwa setiap taraf perlakuan yaitu
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi memberikan
tingkat penilaian yang berbeda terhadap konsentrat potein biji lamtoro gung.
Hasil analisa Kruskal Wallis pada Tabel 12 menunjukkan bahwa skoring
kesukaan terhadap warna konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan
rata-rata antara 24-105. Perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas
80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam merupakan perlakuan yang memiliki
kesukaan warna dengan rata-rata skoring tertinggi 105,68, sedangkan perlakuan
konsentrasi 0mg/100g dan lama inkubasi 48 jam merupakan perlakuan yang
memiliki kesukaan warna dengan rata-rata skoring 24,55 . Berdasarkan Tabel 13
dapat dilihat bahwa panelis lebih menyukai kesukaan warna pada konsentrasi
enzim limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam, sedangkan
panelis tidak menyukai warna pada konsentrasi 0mg/100g dan lama inkubasi 48
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
36
jam. Secara garis besar lama inkubasi (48 jam) mengurangi skoring kesukaan
panelis. Hal ini diduga karena pada saat pembuatan konsentrat protein ada
pemanasan dua kali, yaitu pemanasan untuk sterilisasi dan pemanasan pada
saat inkubasi. Disisi lain, substrat (tepung lamtoro gung) yang masih banyak
mengandung karbohidrat dan protein dan dengan adanya pemanasan akan
mengalami reaksi Maillard. Reaksi Maillard menyebabkan terjadinya perubahan
warna menjadi lebih gelap yaitu coklat (melanoidin).
Mekanisme reaksi Maillard terdiri atas 3 tahap reaksi, yaitu reaksi tahap
awal (initial stage), reaksi intermediet, dan reaksi tahap akhir (final stage). Reaksi
tahap awal terjadi pembentukan glikosilamin N-tersubstitusi dan penyusunan
ulang (rearrangement) glikosamin. Pada tahap intermedit (tahap antara)
berlangsung reaksi dehidrasi membentuk furfural (-3H2O) atau membentuk
redukton (-2H2O). Terjadi fisi yang melibatkan interaksi asam amino dengan
senyawa-senyawa dikarbonil baik dehidroredukton maupun produk-produk fisi,
dehidroredukton atau aldehid Strecter menjadi produk-produk berberat molekul
tinggi (melanoidin) melalui interaksinya dengan amin (Rosida, 2011).
b. Bau
Berdasarkan hasil analisa Kruskal Wallis (Lampiran 9) menunjukkan
bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi
berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan bau konsentrat protein biji lamtoro
gung. Jumlah skoring kesukaan terhadap bau konsentrat protein biji lamtoro
gung dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Nilai rata-rata skoring terhadap nilai bau konsentrat protein biji lamtoro
gung
Perlakuan
Jumlah panelis
Mean skoring
Konsentrasi enzim Lama inkubasi
(mg/100g)
(Jam)
0
24
20
106,80
92,38
40
24
20
24
20
109,00
80
24
20
100,20
100
76,33
0
48
20
50,68
40
48
20
20
51,28
80
48
100
48
20
57,35
Ket : skor tertinggi paling disukai panelis
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
37
Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa setiap taraf perlakuan yaitu
perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi memberikan
tingkat penilaian yang berbeda terhadap konsentrat potein biji lamtoro gung.
Hasil analisa Kruskal Wallis pada Tabel 14 menunjukkan bahwa skoring
kesukaan terhadap bau konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan ratarata antara 50-109. Perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100g
dan lama inkubasi 24 jam merupakan perlakuan yang memiliki kesukaan bau
dengan rata-rata ranking tertinggi 109,00, sedangkan perlakuan konsentrasi
40mg/100g dan lama inkubasi 48 jam merupakan perlakuan yang memiliki
kesukaan bau dengan rata-rata ranking 50,68 . Berdasarkan Tabel 14 dapat
dilihat bahwa panelis lebih menyukai kesukaan bau pada konsentrasi enzim
limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam, sedangkan panelis
tidak menyukai bau pada konsentrasi 40mg/100g dan lama inkubasi 48 jam.
Secara garis besar lama inkubasi (48 jam) mengurangi skoring kesukaan panelis.
Hal ini diduga karena pada saat pembuatan bahan baku konsentrat protein yaitu
tepung lamtoro gung tanpa melalui proses blanching sehingga aktivitas enzim
lipoksigenase dapat menyebabkan bau langu pada konsentrat protein lamtoro
gung. Adanya aktivitas enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat didalam
kacang-kacangan dapat menyebabkan bau langu (Muchtadi, 1992).
Senyawa penyebab rasa langu (off flavor) merupakan senyawa volatil
yang termasuk dalam senyawa golongan keton, aldehida dan alkohol akibat
aktivitas enzim lipoksigenase yang memecah asam lemak dalam kedelai, yaitu
asam linoleat dan asam linolenat (Liu, 1997 dalam Eliana, 1989). Reaksi bau
langu oleh enzim lipoksigenase dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Mekanisme bau langu oleh enzim lipoksigenase (Liu, 1997 dalam
Eliana, 1989)
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Hasil penelitian konsentrat protein biji lamtoro gung didapatkan :
1. Terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) antara perlakuan konsentrasi
enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap densitas kamba,
daya serap air, daya serap minyak dan kapasitas buih, sedangkan untuk
rendemen protein dan kapasitas dan stabilitas emulsi tidak terdapat
interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit
nenas dan lama inkubasi
2. Konsentrat protein biji lamtoro gung terbaik didapatkan dari perlakuan
konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi berdasarkan
parameter sifat fungsional adalah 100mg/100gr enzim limbah kulit nenas
dan lama inkubasi 48 jam memiliki rendemen protein 103,90%, densitas
kamba 0,61 g/ml, daya serap air 4,15 ml/g, daya serap minyak 1,3 ml/g,
kapasitas dan stabilitas emulsi 45,75%, kapasitas buih 8%.
B. Saran
Penulis menyarankan untuk mendapatkan konsentrat protein biji
lamtoro gung yang optimal perlu dikembangkan penggunaan berbagai macam
enzim , baik enzim dari nabati (papain) maupun hewani (enzim rumen domba)
dengan peningkatan konsentrasi dan lama inkubasi.
38
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2012. Modul Praktikum Biokimia Dan Analisis Pangan. Malang :
Universitas Brawijaya
Anonymous . 2013. Pembahasan IV.
http: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12282/
diakses 23 Juli 2013.
Birowo,R.K. 2013. Emulsifikasi pangan.
http://haiyulfadhli.blogspot.com/2011/06/emulsifikasi-pangan.html
diakses 25 Juli 2013
Buckle K.A, Edwards R.A, Fleet G.H, Wootton,M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia. Penterjemah Purnomo, Hari dan Adiono.
Budijanto S, Sitanggang AB dan Murdiati W . 2011. Karakteristik Sifat Fisiko
Kimia Dan Fungsional Isolat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus
Tetragonolobus L). Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan. XXII. (2) : 130136.
Eliana,Aswati,1989. Identifikasi Enzim Lipoksigenase Dari Beberapa Varietas
Kacang Tanah (Arachis Hypogaea) Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Fitriyani I, Harris E, Mokoginta I dan Nahrowi. 2010. Peningkatan Kualitas Nutrisi
Tepung Daun Lamtoro gung Sebagai Pakan Ikan Dengan Penambahan
Ekstrak Enzim Cairan Rumen Domba. Berita Biologi. 10. (2). : 135-142.
Gaspersz, Vincent. 1998. “Statistical Process Control”. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Girindra. Aisjah. 1993. Biokimia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Istiningtyas, ES. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Dan Penambahan Enzim
Bromelin Terhadap Kadar Protein Terlarut Pada Susu Kedelai (Glycine
Max L Mer) Hasil Fermentasi Tesis. Fakultas MIPA. Universitas Negeri
Yogyakarta
Kartika,Y.D. 2009. Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Biji Kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus L) Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Kumaunang Maureen Dan Vanda Kamu. 2011. Aktivitas Enzim Bromelin Dari
Ekstrak Kulit Nenas (Anenas Comosus). Jurnal Ilmiah Sains.11.(2) :198201.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Maggy, T. Penerjemah. Erlangga,
Jakarta.
39
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
40
Martoharsono Soeharsono dan Rahaju Kapti. 1978. Enzimologi. Yogyakarta :
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada.
Oktavia, Yeny. 2002. Pengaruh Pengukusan Terhadap Kadar Asam Amino Dari
Biji Lamtoro Gung Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Katolik Widya
Mandala.
Poejiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia, UI Press. Jakarta
Purbasari, Dian .(2008). Produksi Dan Karaterisasi Hidrolisat Protein Dari Kerang
Mas Ngur (Atactodea striata) Skripsi. Fakultas perikanan dan ilmu
kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Rosida, Dedin F. 2011. Reaksi Maillard Mekanisme dan Peran dalam Pangan
dan Kesehatan. Yogyakarta : Yayasan Humaniora
Sediaoetomo,A.D. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 2. Jakarta :
Penerbit Dian Rakyat
Sudarmadji S, Haryono B dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan Dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.
Suprihatin. 2009. Hidrolisis Protein dari Biji Lamtoro Gung. Surabaya : UNESA
University Press.
Suwarno, Maryani. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab Purpureus (L) Sweet)
Sebagai Bahan Baku Isolat Protein Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
Triyono, Agus. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam
Pada Proses Isolasi Protein Terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau
(Phaseolus Radiatus L.). Di Dalam : Seminar Rekayasa Kimia Dan
Proses, Universitas Diponegoro, Semarang, 4-5 Agustus.
Winarno, F.G. 1983. Gizi Pangan, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta : Gramedia.
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Wirahadikusumah,M. 2008. Biokimia Protein Enzim dan Asam Nukleat. ITB :
Bandung
Wiseman, Alan, 1986, Handbook of Enzyme Biotechnology, 2nd, John Wiley and
son. New York .
Wuryanti.2004.Isolasi Dan Penentuan Aktivias Spesifik Enzim Bromelin Dari
Buah Nanas (Ananas Comosus L.). Artikel: JKSA. VII. (3). Hal :83-87
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Download