BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) Lamtoro gung (Leucaena leucocephala) adalah salah satu jenis polongpolongan serbaguna yang paling banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran. Di hutan-hutan tanaman jati yang dikelola Perhutani di Jawa, lamtoro gung kerap ditanam sebagai tanaman sela untuk mengendalikan hanyutan tanah (erosi) dan meningkatkan kesuburan tanah. Lamtoro gung mengandung protein tinggi. Biji lamtoro gung kering mengandung sekitar 30% protein, bahkan tepung keping biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Slamet at al. 1987 dalam Komari, 1999). Adapun kandungan gizi biji lamtoro gung yang sudah tua setiap 100 gr dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi biji lamtoro gung Komponen Protein Lemak Serat kasar Mineral Air Sumber : (Suprihatin, 2009) Lamtoro gung Jumlah (%) 30-40 6,13 8,79 9,32 35,72 mengandung zat aktif yang berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin B. Adapun kandungan mimosin dapat direduksi dengan beberapa metode antara lain dengan perendaman dan pemanasan (Wee dan Wang, 1987; Widiastuti, 2001 dalam Fitriliyani dkk, 2010). Winarno (2004), menyatakan bahwa Mimosin bersifat sangat mudah larut dalam air. Cara menghilangkan atau menurunkan senyawa beracun tersebut dilakukan dengan merendam biji lamtoro gung dalam air pada suhu 700C (24 jam) atau pada 1000C selama 4 menit. Konsentrat protein biji lamtoro gung mengandung semua asam amino essensial yaitu lisin, leusin, isoluesin, fenilalanin, valin, treonin dan metionin. Adapun kandungan asam amino biji lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 2. 4 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 5 Tabel 2. Kandungan asam amino biji lamtoro gung Asam Amino Jumlah (%) Asp Thr Ser Glu Gly Ala Cys Val Met Ile Leu Tyr Phe Lys His Arg Pro Sumber : (Oktavia, 2002) 2,635 0,685 1,000 3,188 0,940 0,888 0,164 0,733 0,301 0,591 1,312 0,564 0,746 0,981 0,433 1,497 0,752 B. Konsentrat Protein Konsentrat protein merupakan pekatan protein dengan kandungan protein minimal 70% (FAO dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein yang dihasilkan umumnya memiliki kandungan protein sekitar 65-75%, 15-25% polisakarida tak larut, 4-6% mineral, dan 0,3-1,2% minyak (Cheftel et al ,1985 dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein dibuat untuk meningkatkan kadar protein bahan dengan cara menghilangkan komponen nonprotein, seperti karbohidrat, lemak dan mineral. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah ekstraksi dan pengendapan seluruh protein pada titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Konsentrat protein kacang-kacangan adalah produk tinggi protein yang dipersiapkan dengan metode presipitasi protein pada kacang polong (Siegel dan Fawcett ,1976 dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein dibuat untuk meningkatkan kadar protein bahan dengan cara menghilangkan komponen nonprotein, seperti karbohidrat, lemak dan mineral. Hasil penelitian Budijanto dkk (2011), menunjukkan bahwa isolat protein kecipir memiliki kadar protein 83,87% (bk), daya serap air dan stabilitas emulsi yang cukup baik. Berdasarkan sifat-sifat fisiko kimia yang dimiliki maka isolat Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 6 kecipir dapat digunakan dalam produk-produk olahan daging. Namun menurut Hasil penelitian Koesoemawardani dkk (2010), menyatakan bahwa hidrolisat protein ikan rucah menghasilkan nilai protein terlarut sebesar 24,97% dan daya buih 9,63%. Semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak enzim yang ditambahkan maka kadar protein terlarut susu kedelai juga semakin tinggi (Istiningtyas, 2012). Proses hidrolisis adalah proses pemecahan suatu molekul menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan molekul air. Hidrolisis protein adalah proses pecahnya atau terputusnya ikatan peptida dari protein menjadi molekul yang lebih sederhana. Hidrolisis ikatan peptida akan menyebabkan beberapa perubahan pada protein, yaitu meningkatkan kelarutan karena bertambahnya kandungan NH3+ dan COO- dan berkurangnya berat molekul protein atau polipeptida, rusaknya struktur globular protein (Wirahadikusumah,2008). Menurut Sediaoetama (2000) ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk menghidrolisis protein, yaitu hidrolisis menggunakan asam, basa dan enzim. a. Hidrolisis Asam Hidrolisis dengan mempergunakan asam kuat anorganik, seperti HCl atau H2SO4 pekat (4-8 normal) dan dipanaskan pada suhu mendidih, dapat dilakukan dengan tekanan di atas satu atmosfer, selama beberapa jam. Menurut Girindra (1993), akibat samping yang terjadi dengan hidrolisis asam ialah rusaknya beberapa asam amino (triptofan, sebagian serin dan threonin). b. Hidrolisis Basa Hidrolisis protein menggunakan basa merupakan proses pemecahan polipeptida dengan menggunakan basa / alkali kuat, seperti NaOH dan KOH pada suhu tinggi, selama beberapa jam, dengan tekanan di atas satu atmosfer. Menurut Girindra (1993), serin dan threonin rusak dengan basa. c. Hidrolisis Enzimatik Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan menggunakan enzim. Dapat digunakan satu jenis enzim saja, atau beberapa jenis enzim yang berbeda. Penambahan enzim perlu dilakukan pengaturan pada kondisi pH dan suhu Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 7 optimum. Pemutusan ikatan peptida oleh enzim protease dapat dijelaskan dengan mekanisme reaksi pada Gambar 1. Mekanisme reaksi hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease adalah reaksi ini diawali dengan adanya serangan nukleofilik atom S dari gugus sulfhidril asam amino sistein pada atom karbon pada ikatan pepetida pada substrat. Ikatan S - C ini menyebabkan satu ikatan dari C - O putus sehingga atom O menjadi bermutan negatif. Oksigen yang bermuatan negatif akan menyerang atom C sehingga ikatan C dengan S putus. Tahap berikutnya adalah hidrolisis dengan bantuan air (H2O). OH akan menyerang atom C asilenzim sehingga terbentuk komponen karboksil. Gambar 1. Mekanisme reaksi hidrolisis ikatan peptida (Wirahadikusumah,2008) Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 8 Dibandingkan dengan hidrolisis secara kimia (menggunakan asam atau basa), hidrolisis enzimatik lebih menguntungkan karena tidak mengakibatkan kerusakan asam amino dan asam-asam amino bebas serta peptida dengan rantai pendek yang dihasilkan lebih bervariasi, reaksi dapat dipercepat kira-kira 1012 sampai 1020, tingkat kehilangan asam amino esensial lebih rendah, biaya produksi relatif lebih murah dan menghasilkan komposisi asam amino tertentu terutama peptida rantai pendek (dipeptida dan tripeptida) yang mudah diabsorbsi oleh tubuh (Winarno, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis antara lain: a. Temperatur hidrolisis Pada temperatur hidrolisis yang rendah 60oC umumnya diperoleh protein dengan sifat-sifat fisik yang baik, sehingga pada temperatur yang tinggi >100oC sifat-sifat protein akan menurun b. Waktu hidrolisis Pada hidrolisis dengan temperatur yang lebih rendah biasanya dibutuhkan waktu yang lama. Dengan waktu yang semakin lama maka hidrolisis akan semakin rata dan luas kontak permukaan antara partikel dengan liquid semakin tinggi, tetapi apabila waktu terlalu lama maka hal itu tidak efektif. c. Konsentrasi larutan/enzim Semakin pekat larutan yang digunakan maka hidrolisat yang dihasilkan akan semakin besar. d. Besar dan ukuran bahan yang digunakan Semakin kecil ukuran bahan yang digunakan semakin cepat proses hidrolisis. e. Pengadukan Dengan adanya pengadukan maka akan mempercepat terjadinya homogenitas antara partikel dan liquid. Selain itu pengadukan mencegah terjadinya pengendapan.(Groggins,1958 di dalam Nordin, 2010). Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 9 C. Enzim Proteolitik Enzim merupakan unit protein fungsional yang berperan mengkatalisis reaksi-reaksi dalam metabolisme sel dan reaksi-reaksi lain dalam tubuh. Spesifikasi enzim terhadap substratnya teramat tinggi dalam mempercepat reaksi kimia tanpa produk samping (Lehninger, 1982). Aktivitas dari enzim dalam mengkatalis reaksi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: 1. Konsentrasi enzim Semakin besar konsentrasi enzim semakin cepat pula reaksi yang belangsung. Dengan kata lain konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Sisi aktif suatu enzim dapat digunakan berulang kali oleh banyak substrat. Substrat yang berikatan dengan sisi aktif enzim akan membentuk produk. Pelepasan produk menyebabkan sisi aktif enzim bebas untuk berikatan dengan substrat lainnya. Oleh karenanya hanya dibutuhkan sejumlah kecil enzim untuk mengkatalis sejumlah besar substrat. 2. Konsentrasi substrat Bila sejumlah enzim dalam keadaan tetap, kecepatan reaksi akan meningkat dengan adanya peningkatan konsentrasi substrat. Namun, pada saat sisi aktif semua enzim bekerja, penambahan substrat tidak dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim lebih lanjut. Kondisi ini disebut konsentrasi substrat pada titik jenuh atau disebut kecepatan maksimum (Vmax). 3. Suhu Pada suhu yang lebih tinggi, kecepatan molekul substrat meningkat, sehingga pada saat bertumbukan dengan enzim, energi molekul substrat berkurang. Hal ini memudahkan terikatnya molekul substrat pada sisi aktif enzim. Aktivitas enzim meningkat dengan meningkatnya suhu sampai pada titik tertentu. Peningkatan suhu meningkatkan energi kinetik pada molekul substrat dan enzim, sehingga kecepatan reaksi meningkat pula. Kecepatan enzim dalam mengkatalis reaksi mencapai puncaknya pada suhu tertentu. Suhu ini disebut suhu optimum enzim. Pada suhu melewati suhu optimumnya dapat menyebabkan terjadinya denaturasi enzim sehingga menurunkan kecepatan reaksi. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 10 4. Derajad Keasaman (pH) Struktur enzim dipengaruhi oleh pH lingkungannya. Enzim dapat bermuatan positif, negatif atau bermuatan ganda (zwitter ion). Pengaruh perubahan pH lingkungan berpengaruh pada aktivitas sisi aktif dari enzim. pH selain berpengaruh terhadap enzim juga berpengaruh terhadap substrat enzim tersebut. Pengaruhnya terhadap aktivits katalitik enzim dapat dilihat dari segi-segi struktur enzim sebagai protein, gugus katalitik dan gugus pengikat, sedangkan dari sudut substrat pH terutama berpengaruh pada disosiasi. 5. Inhibitor Inhibitor merupakan suatu molekul yang menghambat ikatan enzim dengan substratnya. Keberadaan inhibitor akan menurunkan kecepatan reaksi enzimatis. Inhibitor dapat membentuk kompleks dengan enzim baik pada sisi aktiv enzim maupun bagian lain dari sisi aktiv enzim. Terbentuknya komplek enzim inhibitor akan menurunkan aktivitas enzim terhadap substratnya (Poedjiadi, 1994). Ada dua macam inhibitor enzim, yaitu inhibitor kompetitif dan non-kompetitif. Inhibitor kompetitif adalah molekul penghambat yang cara kerjanya bersaing dengan substrat untuk mendapatkan sisi aktif enzim. Contohnya, sianida bersaing dengan oksigen untuk mendapatkan Hb dalam rantai respirasi terakhir. Inhibitor kompetitif dapat diatasi dengan cara penambahan konsentrasi substrat. Inhibitor non-kompetitif adalah molekul penghambat enzim yang bekerja dengan cara melekatkan diri pada luar sisi aktif, sehingga bentuk enzim berubah, dan sisi aktif tidak dapat berfungsi. Enzim protease merupakan biokatalisator untuk reaksi pemecahan protein. Enzim ini akan mengkatalisis reaksi hidrolisis, yaitu reaksi yang melibatkan unsur air pada ikatan spesifik substrat. Karena itu, enzim ini termasuk dalam kelas utama enzim golongan hidrolase (Winarno, 1995). Enzim protease dapat diperoleh dari jaringan tanaman, hewan, maupun mikroba. Enzim protease yang dihasilkan dari tanaman diantaranya adalah papain dan bromelin. Papain merupakan enzim protease yang dihasilkan oleh buah pepaya. Enzim ini aktif pada pH 5,0-9,0 dalam suhu 80-900C. Bromelin merupakan enzim protease yang berasal dari batang, akar, dan buah nanas. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 11 Bromelain merupakan jenis protease tiol yang stabil sampai suhu 700C (Rao et al., 1998). D. Kulit Nenas Nenas (Anenas comosus (L) Merr) merupakan salah satu jenis buah yang gemar dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Buah ini termasuk dalam golongan buah yang bersifat mudah rusak dan busuk, sehingga tidak tahan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Bagian utama yang bernilai ekonomi penting dari tanaman nenas adalah buahnya, yang berasa manis sampai agak masam menyegarkan sehingga disukai oleh masyarakat. Buah nenas banyak dimanfaatkan, baik dalam skala industri besar, menengah, kecil bahkan rumah tangga. Buah nenas dalam skala industri umumnya dimanfaatkan dalam pembuatan sari buah, jem, jelly, serta proses lainnya. Limbah buah nenas terdiri dari limbah kulit, limbah mata dan limbah hati. Limbah atau hasil ikutan (side product) nenas belum banyak dimanfaatkan dan relatif hanya dibuang begitu saja. Enzim bromelin terdapat dalam semua jaringan tanaman nanas. Sekitar setengah dari protein dalam nanas mengandung protease bromelin. Di antara berbagai jenis buah, nanas merupakan sumber protease dengan konsentrasi tinggi dalam buah yang masak. Enzim bromelain merupakan enzim hidrolase yang aktif pada protein. Berdasarkan sumbernya, Enzim protease ada bermacam-macam yaitu papain, ficin, dan bromelin merupakan protease asal tanaman; tripsin adalah enzim protease dari pankreas; pepsin dan renin dalah protease dari persit (Reed, 1975). Bromelin merupakan unsur pokok dari nanas yang penting dan berguna dalam bidang farmasi dan makanan (Wiseman,1986). Fungsi bromelin mirip dengan papain dan fisin, sebagai pemecah protein. Pada akhir-akhir ini enzim bromelin lebih banyak digunakan untuk penjernihan bir (“chillpoofing bir”) dan pengempukan daging. Pada penelitian Kumaunang dan Kamu (2011), menyatakan bahwa aktivitas enzim bromelin dari ekstrak kulit nenas menunjukkan perlakuan terbaik yaitu kadar protein tertinggi pada pengendapan dengan amonium sulfat 60%, temperatur optimum enzim bromelin 650C serta pH optimum 6,5. Menurut Istiningtyas (2012), suhu optimum enzim bromelin yaitu 55oC. Hal ini sesuai Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 12 dengan pernyataan Sebayang (2006) yang mengatakan bahwa suhu optimum isolasi enzim bromelin dari bonggol nenas yaitu 55oC. Bromelin adalah nama dari enzim proteolitik yang ditemukan ditanaman nenas (Hale et al.,2005; Hebbar et al,. 2008 dalam Nadzirah,dkk. 2013). Bromelin diisolasi dari buah nenas dengan menghancurkan daging buah untuk mendapatkan ekstrak kasar enzim bromelin. Bromelin tergolong kelompok enzim protease sulfhidril, merupakan glukoprotein. Bromelin mempunyai gugus aktif yaitu sistein dan histidin. Spesifitas menghidrolisis substrat yang mengandung sisa asam amino L-ariginina, L-lisina, L-glisina dan L-sitrulina (Martoharsono dan Rahayu, 1978). Buah nenas yang muda maupun yang tua mengandung enzim bromelin (Winarno, 1983). Akivitas bromelin dalam buah yang muda lebih tinggi dibanding buah yang tua (Winarno, 1995). Menurut Kumaunang dan Kamu (2011), aktivitas enzim bromelin dari ekstrak kulit nenas dapat ditentukan oleh temperatur dan pH. Temperatur sangat erat berhubungan dengan energi aktivitas dan kestabilan enzim. Peningkatan temperatur dapat menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi dan secara bersamaan meningkatkan kecepatan inaktivasi enzim (Stauffer,1989 dalam Kumaunang dan Kamu ,2011). Selain itu aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH medium. pH saat aktivitas enzim maksimum adalah pH optimum. pH optimum merupakan pH saat gugus pemberi dan penerima proton yang berperan penting pada sisi katalitik enzim atau pada sisi pengikat substrat berada dalam tingkat ionisasi yang diinginkan, sehingga substrat lebih mudah berinteraksi dengan sisi katalitik enzim (Nielsen et al, 1999 dalam Kumaunang dan Kamu ,2011 ). Aplikasi bromelin dalam pengolahan makanan digunakan untuk keempukan daging (Rohrbach et al, 2003 dalam Nadzirah, dkk. 2013 ). Selain itu bromelin juga telah digunakan pada pembuatan bir, memanggang kue untuk meningkatkan sifat krispi, pembuatan hidrolisat protein dan sebagai suplemen diet (Babu et al. 2008 dalam Nadzirah, dkk. 2013 ). Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 13 E. Landasan Teori Konsentrat protein merupakan pekatan protein dengan kandungan protein minimal 70% (FAO dalam Kartika, 2009). Konsentrat protein dibuat untuk meningkatkan kadar protein bahan dengan cara menghilangkan komponen nonprotein, seperti karbohidrat, lemak dan mineral. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi protein total adalah ekstraksi dan pengendapan seluruh protein pada titik isoelektriknya yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal.. Pemisahan konsentrat protein yaitu mengekstraksi tepung biji lamtoro gung dengan air dan memanfaatkan filtrat, sedangkan bagian yang mengendap merupakan karbohidrat pati. Filtrat dilakukan koagulasi dan pengendapan dengan cara penambahan asam dan pemanasan agar mencapai pH tertentu (pH isoelektrik), terjadi penggumpalan dan endapan (protein) dipisahkan dari cairan (pati). Penggumpalan dan endapan protein tersebut dihidrolisis dengan enzim kasar kulit nenas. Prinsip hidrolisis enzim adalah memutuskan ikatan peptida dari protein dan memisahkan bagian-bagian lain yang bukan protein. Mekanisme reaksi hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease adalah Reaksi ini diawali dengan adanya serangan nukleofilik atom S dari gugus sulfhidril asam amino sistein pada atom karbon pada ikatan peptida pada substrat. Ikatan S - C ini menyebabkan satu ikatan dari C - O putus sehingga atom O menjadi bermutan negatif. Oksigen yang bermutan negatif akan menyerang atom C sehingga ikatan C dengan S putus. Tahap berikutnya adalah hidrolisis dengan bantuan air (H2O). OH akan menyerang atom C asilenzim sehingga terbentuk komponen karboksil. Konsentrat protein yang dihasilkan melalui proses pengendapan pada pH isoelektrik dan hidrolisis enzim menjadi lebih baik karena prose hidrolisis dapat mencegah rusaknya asam-asam amino. Enzim protease yang dihasilkan dari dari kulit nenas dapat dimanfaatkan sebagai enzim untuk proses hidrolisa. Bromelin adalah enzim yang diekstrak dari buah nenas (nenas comosus). Bromelin tergolong kelompok enzim protease sulfhidril, merupakan glukoprotein. Konsentrasi enzim dan lama inkubasi dapat meningkatkan kadar protein. Semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi maka hidrolisat yang dihasilkan semakin besar. Hasil penelitian Istiningtyas (2012) menyatakan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 14 bahwa susu kedelai hasil fermentasi 48 jam dengan penambahan enzim bromelin 300 ppm mempunyai kadar protein terlarut paling tinggi. Semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyak enzim yang ditambahkan maka kadar protein terlarut susu kedelai juga semakin tinggi. Hasil penelitian Fitriliyani dkk (2010) menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 24 jam kadar protein terlarut tertinggi yaitu pada perlakuan penambahan ekstrak enzim 100ml/kg yaitu sebesar 0,0396%. Kadar protein terlarut meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah enzim kasar yang ditambahkan. Menurut Purbasari (2008) bahwa produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur menggunakan perlakuan waktu hidrolisis yaitu 12 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam. Kondisi optimum untuk menghidrolisis protein kerang mas ngur adalah pada waktu hidrolisis 48 jam. Bji lamtoro gung kering mengandung sekitar 30% protein, bahkan tepung keping biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Budijanto et al, 1987). Konsentrat protein dapat dimanfaatkan pada produk bakery, daging olahan, dan vegetarian food. F. Hipotesis Konsentrasi enzim dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap kualitas konsentrat protein yang dihasilkan Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. BAB III BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Analisa Pangan, laboratorium Kimia Pangan, laboratorium Biokimia Pangan dan laboratorium Uji Inderawi Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang dilakukan pada bulan April– Juni 2013. B. Bahan Penelitian Bahan baku yang digunakan dalam penelitian pembuatan konsentrat protein adalah biji lamtoro gung yang diperoleh dari Sumenep, enzim kasar bromelin dari limbah kulit nenas yang diperoleh dari Surabaya. Bahan-bahan untuk analisa kimia diantaranya aquades, asam asetat, amonium sulfat, natrium asetat ,minyak kedelai, K2S2O4, H2SO4, HgO, K2S 4%, NaOH 0,1N, HCL (0,1N), indikator metil merah, petroleum eter ,susu skim, formaldehid, dan indikator Fenolftalein. C. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian pembuatan konsentrat protein adalah gelas ukur, pH meter, waterbath, pipet, waterbath shaker, termometer, sentrifuge dan cabinet dryer, Alat yang digunakan untuk analisa erlenmeyer, gelas ukur,gelas beaker, pipet volume, pipet tetes, buret, vortex, sentrifuge, neraca analitik, magnetic stirer,pH meter dan blender. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan dua faktor, masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan 15 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 16 analisis ragam (ANOVA). Bila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji BNJ (Gasperz,1994). 1. Faktor Berubah Faktor I : Konsentrasi enzim bromelin yaitu : A1 : 0 mg/100g A2 : 40 mg/100g A3 : 80 mg/100g A4 : 100 mg/100g Faktor II : Lama inkubasi yaitu : B1 : 24 jam B2 : 48 jam Dari hasil kombinasi dua faktor tersebut diperoleh delapan perlakuan sebagai berikut : Lama Inkubasi Konsentrasi Enzim Bromelin A1 A2 A3 A4 B1 A1B1 A2B1 A3B1 A4B1 B2 A1B2 A2B2 A3B2 A4B2 Keterangan: A1B1 : Enzim Bromelin Konsentrasi 0 mg/100g, lama inkubasi 24 jam A2B1 : Enzim Bromelin Konsentrasi 40 mg/100g, lama inkubasi 24 jam A3B1 : Enzim Bromelin Konsentrasi 80 mg/100g, lama inkubasi 24 jam A4B1 : Enzim Bromelin Konsentrasi 100 mg/100g, lama inkubasi 24 jam A1B2 : Enzim Bromelin Konsentrasi 0 mg/100g, lama inkubasi 48 jam A2B2 : Enzim Bromelin Konsentrasi 40 mg/100g, lama inkubasi 48 jam A3B2 : Enzim Bromelin Konsentrasi 80 mg/100g, lama inkubasi 48 jam A4B2 : Enzim Bromelin Konsentrasi 100 mg/100g, lama inkubasi 48 jam Menurut Gasperz (1994), model statistik untuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor adalah sebagai berikut : yang terdiri dari dua faktor adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk.................(1) i = 1, … ,a j = 1, … , b k = 1, …, c Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 17 Keterangan: Yijk : Nilai pengamatan dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B) µ : Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya) αi : Pengaruh perlakuan ke-i dari A βj : Pengaruh perlakuan ke-j dari B (αβ)ij : Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B εijk : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k memperoleh perlakuan kombinasi ke-ij 2. Variabel Tetap a. Penyesuaian pH sampai 6,5 b. Suhu pemanasan 100oC selama 5 menit c. Pendinginan sampai suhu 55oC d. Suhu Waterbath shaker 55oC selama 24 jam atau 48 jam e. Kecepatan sentrifuge 2500 rpm f. Suhu pengeringan cabinet dryer 30oC E. Parameter yang diamati 1. Parameter untuk analisa tepung biji lamtoro gung a. Analisa Kadar Air (AOAC 1970, Rangana, 1979 dalam Sudarmadji, 1984) b. Analisa Protein (AOAC. 1970 di dalam Sudarmadji, 1984) c. Analisa Lemak (Woodman, 1941 di dalam Sudarmadji ,1984) d. Analisa Kadar Abu (Sudarmadji, 1984) 2. Parameter unutuk analisa ekstrak enzim kasar kulit nenas Uji aktivitas enzim proteolitik 3. Parameter untuk analisa konsentrat lamtoro gung a. Rendemen Protein (Hartanti dkk, 1998) b. Bulk density (Okezie dan Bello, 1988 di dalam Budijanto dkk, 2011) c. Analisis daya serap minyak (Soluski dan Fleming, 1977 di dalam Budijanto dkk, 2011) Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 18 d. Analisis daya serap air (Lin et al., 1974 di dalam Widowati et al., 1998 di dalam Budijanto dkk, 2011) e. Analisis daya buih (Widowati et al., 1998 di dalam Budijanto dkk, 2011) f. Analisis Kapasitas dan Stabilitas emulsi (modifikasi Franzen dan Kinsella, 1979 di dalam Budijanto dkk, 2011) g. Organoleptik (Warna dan Bau) F. Prosedur penelitian 1. Pembuatan tepung biji lamtoro gung a. Dilakukan perendaman biji lamtoro gung dengan air (1 ; 2) selama 24 jam dan setiap 8 jam sekali dilakukan penggantian air, yang bertujuan untuk melunakkan struktur jaringan dan sehingga mempermudah pengupasan dan pengganntian air rendaman yang mengandung lendir b. Dilakukan penirisan c. Dilakukan pengupasan kulit yang bertujuan untuk menghilangkan kulit yang menempel pada biji lamtoro gung d. Dilakukan pengeringan menggunakan cabinet dryer selama selama 14 jam pada suhu 500C . Tujuan pengeringan adalah menurunkan kadar air dan mempermudah proses penggilingan e. Dilakukan penggilingan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran f. Dilakukan pengayakan 100 mesh yang bertujuan untuk memperkecil ukuran dan mempercepat proses hidrolisa g. Tepung biji lamtoro gung yang dihasilkan dilakukan analisa terhadap kadar air, protein, lemak, dan abu 2. Pembuatan ekstrak enzim kasar kulit nenas a. Dilakukan pemotongan dan penimbangan kulit nenas b. Dilakukan homogenisasi dengan 200 ml larutan buffer natrium asetat pH 6.5 c. Dilakukan Penyaringan dengan kain kasa dan diperoleh enzim kasar d. Dilakukan sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 25 menit dan penyimpanan 40C Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 19 e. Dilakukan penambahan amonium sulfat 60% dan pengadukan dengan megnetik stirer selama 25 menit f. Dilakukan inkubasi pada 40C selama 24 jam g. Dilakukan sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 25 menit h. Dilakukan pencucian endapan dengan 10 ml natrium asetat 0,1 M pada pH 6,5 3. Pembuatan konsentrat protein biji lamtoro gung a. Suspensi tepung biji lamtoro gung (TBL : Air = 10 : 100 g/ml) b. Dilakukan penyesuaian pH dengan penambahan NaOH 0,1 N supaya mendapatkan pH optimum enzim c. Dilakukan pemanasan pada suhu 1000C selama 5 menit d. Dilakukan pendingan hingga suhu mencapai 55oC e. Dilakukan penambahan ekstrak enzim kasar kulit nenas (0, 40, 80,100 mg/100g TBL) f. Dilakukan inkubasi dengan menggunakan waterbath shaker pada suhu 550C selama 24 jam dan 48 jam g. Dilakukan penambahan air panas 50 ml pada suhu 800C sebanyak dua kali untuk menginaktifkan enzim kasar kulit nenas dan menghilangkan bahan kimia h. Dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 30 menit i. Dilakukan pengeringan endapan dengan cabinet dryer pada suhu 300C selama 20 jam Adapun diagram alir proses pembuatan tepung biji lamtoro gung, ekstrak enzim kasar kulit nenas dan pembuatan konsentrat protein biji lamtoro gungdapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4 : Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 20 Biji lamtoro gung gung Perendaman (t = 24 jam) Penirisan Pengupasan kulit Pengeringan dengan cabinet dryer (T=500C, t= 14 jam) Penggilingan Pengayakan 100 mesh Tepung biji lamtoro gung Analisa : Kadar air Protein Lemak Kadar abu Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung biji lamtoro gung Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 21 Kulit nenas Pemotongan dan penimbangan Homogenisasi Penyaringan 200 ml larutan buffer natrium asetat pH (6.5) Ampas Filtrat Sentrifuge pada kecepatan 3500 rpm (T=40C, t =25 menit ) Penambahan Amonium sulfat 60% di aduk dengan pengaduk magnetik selama 45 menit Inkubasi T= 4oC, 24 jam Sentrifuge Kec = 3500 rpm, 25 menit Filtrat Endapan Dilakukan pencucian dengan 10 ml natrium asetat 0,1 M pada pH 6-6,5 Enzim limbah kulit nenas Analisa : Uji aktivitas proteolitik Gambar 3. Diagram alir pembuatan ekstrak enzim kasar kulit nenas Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 22 Suspensi tepung biji lamtoro gung gung (TBL) (TBL : Air = 10 : 100 g/ml) Penyesuaian pH sampai 6,5 Penambahan NaOH 0,1N Pemanasan T =100oC, 5 menit Pendinginan hingga suhu 55oC Penambahan ekstrak enzim kasar kulit nenas Lama nkubasi: 24 jam 48 jam Konsentrasi : 0 mg/100g 40 mg/100g 80 mg/100g 100 mg/100g Suhu Waterbath shaker 55oC Penambahan air panas 50 ml suhu 800C (dua kali) Sentrifuge (Kec =2500 rpm, 30 menit) Endapan Filtrat Pengeringan dengan cabinet dryer (T=30oC, t=20 jam) Konsentrat Protein Biji Lamtoro Gung Analisa : a. Rendemen Protein b. Bulk density c. Analisis daya serap minyak d. Analisis daya serap air e. Analisis daya buih f. Analisis kapasitas dan stabilitas emulsi g. Organoleptik (warna dan bau) Gambar 4. Diagram alir pembuatan konsentrat protein biji lamtoro gung Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku dan analisa sifat fungsional dan organoleptik konsentrat protein biji lamtoro gung. A. Analisa Bahan Baku 1. Tepung Biji Lamtoro Gung Hasil penelitian Suprihatin (2009), kandungan gizi pada buah lamtoro gung yaitu protein 30-40%, lemak 6,13%, serat kasar 8,79%, mineral 9,32% dan air 35,77%. Menurut hasil penelitian Feny (2012), kandungan gizi pada buah lamtoro gung dengan kulit yaitu kadar protein 19,75%, kadar lemak 5,58%, kadar air 14,31% dan kadar abu 5,66%. Hasil analisa bahan awal tepung biji lamtoro gung tanpa kulit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisa tepung biji lamtoro gung tanpa kulit Analisa Jumlah (%) Kadar air 12,26 Kadar abu 6,73 Kadar lemak 3,19 Kadar protein 55,38 Pada Tabel 3, menunjukkan bahwa hasil analisa bahan baku tepung biji lamtoro gung tanpa kulit menunjukkan bahwa kadar air 12,26%, kadar abu 6,73%, kadar lemak 3,19% dan kadar protein 55,38%. Hal ini diduga lamtoro gung diolah menjadi tepung tanpa mengikutsertakan kulit, dimana kulitnya mengandung selulosa dan proses penepungan dapat menurunkan kadar air sehingga konsentrasi protein tepung biji lamtoro gung menjadi lebih tinggi. Tepung biji lamtoro gung tanpa kulit mengandung sekitar 50% protein (Slamet et al,1987 dalam Komari, 1999). 2. Aktivitas Proteolitik Enzim Limbah Kulit Nenas Aktivitas proteolitik enzim menunjukkan kemampuan enzim untuk menghidrolisis rantai-rantai peptida protein. Semakin tinggi aktivitas proteolitik suatu enzim, maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam memutuskan rantai-rantai peptida pada protein (Abubakar, 1998). 23 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 24 Hasil penelitian pada Tabel 4, menunjukkan bahwa aktivitas proteolitik enzim limbah kulit nenas optimal pada konsentrasi 40% sebesar 1,1206%N, sedangkan konsentrasi 20% sebesar 0,5743%N dan konsentrasi 30% sebesar 0,8125% pada pH 6,5 dan suhu 370C . Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim maka semakin besar aktivitasnya. Hasil penelitian Kumaunang dan Kamu (2011), diketahui aktivitas proteolitik enzim bromelin kulit nenas sebesar 0,101 unit/menit pada pH 6,5 dan suhu 65oC. Tabel 4. Data aktivitas proteolitik enzim limbah kulit nenas. Sampel Kadar N (%) Konsentrasi 20% Konsentrasi 30% Konsentrasi 40% Enzim limbah 0,5743 0,8125 1,1206 kulit nenas Hasil penelitian Intani (2012), menunjukkan bahwa hidrolisat isolat protein bungkil wijen sangrai dengan enzim bromelin terjadi peningkatan rasio E/S dari 1%- 5%(w/w) meningkatkan derajat hidrolisis 1, 85 kalinya dan meningkatkan kadar protein terlarut 1,2 kalinya. B. Analisa Konsentrat Protein 1. Rendemen protein Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi tidak terdapat interaksi nyata terhadap rendemen protein yang dihasilkan, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p< 0,05). Rerata rendemen protein konsentrat protein bij lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas Konsentrasi Rata-rata enzim limbah kulit nenas (mg/100g) rendemen protein (%) 100,27 + 2,06b 0 102,29 + 2,06ab 40 103,62 + 2,06a 80 103,90 + 2,06a 100 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 25 Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka nilai rata-rata rendemen protein semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka semakin banyak pula protein yang terhidrolisis, sehingga semakin tinggi pula rendemen protein. Semakin tinggi rendemen produk hidrolisat menunjukkan bahwa semakin banyak protein yang terhidrolisis (Purbasari, 2008). Tabel 6. Nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung dengan perlakuan lama inkubasi Lama Inkubasi Rata-rata (Jam) rendemen protein (%) 101,33 + 2,14b 24 103,71 + 2,14a 48 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin lama waktu inkubasi, maka nilai rata-rata rendemen protein konsentrat protein biji lamtoro gung semakin meningkat. Hal ini terjadi karena lama inkubasi dapat memberi kesempatan enzim limbah kulit nenas untuk menghidrolisis protein sehingga semakin tinggi pula rendemen proteinnya. Hasil penelitian Purbasari (2008) menunjukkan bahwa konsentrasi enzim papain 6% (b/v) dari total volume substrat dan lama inkubasi 48 jam memberikan hasil terbaik yaitu rendemen sebesar 31,58%. Menurut Winarno (1983), lama inkubasi dapat memberi kesempatan enzim untuk memecah substrat sehingga hasil hidrolisa semakin meningkat. 2. Bulk Density (Densitas Kamba) Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi nyata (p< 0,05) terhadap bulk density yang dihasilkan, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05). Rerata densitas kamba dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai rata-rata densitas kamba konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi Perlakuan Rerata densitas kamba Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi (g/ml) nenas (mg/100g) (Jam) 0,69 + 0,01b 0 24 0,68 + 0,01bc 40 24 0,65 + 0,01cd 80 24 0,64 + 0,01de 100 24 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 26 Lanjutan Tabel 7. Nilai rata-rata densitas kamba konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi Perlakuan Rerata densitas kamba Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi (g/ml) nenas (mg/100g) (Jam) 0,74 + 0,01a 0 48 0,67 + 0,01bcd 40 48 0,59 + 0,01f 80 48 0,61 + 0,01ef 100 48 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa densitas kamba terbanyak pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam menghasilkan densitas kamba sebesar 0,74 g/ml, sedangkan densitas kamba terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam menghasilkan densitas kamba sebesar 0,59 g/ml. Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba merupakan sifat penting tepung-tepungan karena berperan penting dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran. Tepung-tepungan umumnya memiliki densitas kamba sekitar 0,40-0,75 g/ml (Schubert,1987 dalam Budijanto dkk, 2011). Densitas kamba konsentrat protein biji kedelai adalah 0,63 g/ml. Berdasarkan rentang tersebut, densitas kamba konsentrat protein lamtoro gung berada pada kisaran densitas kamba tepung-tepungan secara umum dan konsentrat kedelai. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap densitas kamba konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 5. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 27 Gambar 5. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi dapat menurunkan densitas kamba konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan konsentrat protein yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih sedikit. Semakin tinggi densitas kamba menunjukkan konsentrat protein semakin ringkas dan padat. Perbedaan densitas kamba tiap konsentrat atau isolat protein dipengaruhi oleh metode pengeringan ekstrak protein (Al-Kahtani dan Abou-Arab ,1993 dalam Budijanto dkk, 2011). Konsentrat protein kedelai biasanya dikeringkan dengan spray dryer, dimana rendemen yang dihasilkan memiliki densitas kamba lebih besar daripada yang dikeringkan dengan freeze dryer. Partikel yang dihasilkan dari spray dryer biasanya kecil, sehingga meningkatkan densitas kamba (Al-Kahtani dan Abou Arab, 1993 dalam Budijanto dkk, 2011). Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 28 3. Daya Serap Air (DSA) Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi nyata (p< 0,05) terhadap daya serap air yang dihasilkan, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05). Rerata daya serap air dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai rata-rata daya serap air konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi Perlakuan Rerata DSA Konsentrasi enzim limbah kulit Lama inkubasi (ml /g) nenas (mg/100g) (Jam) 3,20 + 0,04e 0 24 3,40 + 0,04d 40 24 3,70 + 0,04c 80 24 3,90 + 0,04b 100 24 3,65 + 0,04c 0 48 3,90 + 0,04b 40 48 4,00 + 0,04b 80 48 4,15 + 0,04a 100 48 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa daya serap air terbanyak pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 100mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam menghasilkan daya serap air sebesar 4,15 ml/g, sedangkan daya serap air terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100gr dengan lama inkubasi 24 jam menghasilkan daya serap air sebesar 3,2 ml/g. Komposisi asam amino protein mempengaruhi sifat daya serap air isolat protein. Isolat protein mengandung banyak asam amino ionik (asam glutamat, asam aspartat dan lisin) sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya serap air (Budijanto dkk, 2011). Daya serap air pada konsentrat kedelai berada di kisaran 2,4 – 3,4 g H2O/g solid (Hudson,1994 dalam Budijanto ,2011). Daya serap air berkisar antara 182-213% untuk isolat kedelai dan komak (Suwarno, 2003). Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 6. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 29 Gambar 6. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung Pada Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi dapat meningkatkan daya serap air konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan dan lama inkubasi dalam proses hidrolisa maka semakin banyak pula protein yang terhidrolisis,dengan semakin banyak protein maka protein yang mempunyai sifat larut dalam air akan mudah terdispersi sehingga pada saat pengukuran daya serap air semakin besar. Daya serap air berkaitan dengan protein, karena protein merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap penyerapan air. Semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi daya serap airnya (Fennema,1996). Beberapa produk yang membutuhkan daya serap air yang tinggi adalah produk daging, produk sosis , bakery serta mie. Pada choped meat dan produk bakery, daya serap air berperan dalam pembentukan tekstur dari emulsi daging dan adonan bakery. Serta mengurangi cooking and baking loses dan meningkatkan moistness pada produk akhir (Suwarno, 2003). Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 30 4. Daya Serap Minyak (DSM) Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi nyata (p< 0,05) terhadap daya serap minyak yang dihasilkan, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata daya serap minyak dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai rata-rata daya serap minyak konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi Perlakuan Rerata DSM Konsentrasi enzim limbah Lama inkubasi (ml air/g sampel) kulit nenas (mg/100g) (Jam) 1,80 + 0,05a 0 24 jam 1,55 + 0,05b 40 24 jam 1,25 + 0,05c 80 24 jam 1,00 + 0,05d 100 24 jam 1,90 + 0,05a 0 48 jam 1,50 + 0,05b 40 48 jam 1,35 + 0,05c 80 48 jam 1,30 + 0,05c 100 48 jam Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Pada Tabel 9, menunjukkan bahwa daya serap minyak tertinggi pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam dengan jumlah daya serap minyak 1,9 ml/g, sedangkan daya serap minyak terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 100mg/100gr dengan lama inkubasi 24 jam sebesar 1,3 ml/gr. Hal ini menunjukkan bahwa pada penggunaan konsentrasi 100mg/100gr dan lama inkubasi 48 jam masih setara pada daya serap minyak konsentrat protein kedelai. Daya serap minyak pada konsentrat kedelai berada di kisaran 1,33 – 1,54 ml minyak/g solid (Kinsella,1979 dalam Budijanto,dkk 2011). Daya serap minyak kedelai dan komak yaitu 179,46% dan 183,19%(Suwarno,,2003). Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap minyak konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 7. Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 31 Gambar 7. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap daya serap minyak konsentrat protein biji lamtoro gung Pada Gambar 7, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi dapat menurunkan daya serap minyak konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini diduga adanya perbedaan jenis protein dan konsentrasi enzim yang dapat mempengaruhi daya serap minyak biji lamtoro gung dan kedelai . Semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan serta lama inkubasi dalam proses hidrolisa maka semakin banyak protein yang terhidrolisis. Pada produk donat dan pancake penambahan tepung kedelai dapat membantu menjaga kelebihan lemak selama penggorengan. Hal ini akibat denaturasi protein yang membentuk barrier untuk menahan lemak dipermukaan donat (Kartika, 2009). Daya serap minyak oleh protein kedelai pada produk daging olahan dapat memperbaiki formasi serta menstabilkan emulsi dan matriks gel yang dapat menghalangi migrasi lemak ke permukaan. Pengikatan lemak pada produk bubuk dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan ukuran partikel terkecil serta densitas yang rendah mengabsorbsi dan memerangkap minyak lebih banyak dibandingkan protein yang densitasnya tinggi (Zayas, 1997 dalam Budijanto dkk, 2011). Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 32 5. Kapasitas dan Stabilitas Emulsi Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi tidak terdapat interaksi nyata terhadap kapasitas dan stabilitas emulsi yang dihasilkan, masingmasing perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kilit nenas dapat dilihat pada Tabel 10. Demikian juga rerata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein dengan perlakuan lama inkubasi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10. Nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas Konsentrasi enzim limbah kulit nenas Rata-rata (mg/100g) Kapasitas dan stabilitas emulsi (%) 41,00 + 1,55b 0 43,25 + 1,55ab 40 45,50 + 1,55a 80 45,75 + 1,55a 100 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Tabel 11. Nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi konsentrat protein biji lamtoro gung dengan perlakuan lama inkubasi Lama Inkubasi Rata-rata (Jam) Kapasitas dan stabilitas emulsi (%) 42,50 + 2,04b 24 jam 45,25 + 2,04a 48 jam Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) menunjukkan Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka nilai rata-rata kapasitas dan stabilitas emulsi semakin meningkat. Demikian juga semakin lama waktu inkubasi, maka nilai rata-rata kapasitas dan stablilitas emulsi konsentrat protein biji lamtoro gung semakin meningkat (Tabel 11). Semakin tinggi konsentrasi enzim limbah kulit nenas maka semakin banyak protein yang terhidrolisis. Semakin lama inkubasi maka semakin banyak pula protein yang terhidrolisis. Tingginya kadar protein yang terhidrolisis enzim bromelin akan menyelubungi droplet minyak sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan stabilitas emulsi. Kapasitas emulsi isolat kedelai kontrol sebesar 30,05% (Rahayu, 1995). Kapasitas dan stabilitas emulsi meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein (Zayas dalam Suwarno, 2003). Protein merupakan surface active agents yang efektif karena memiliki Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 33 kemampuan untuk menurunkan tegangan interfasial antara komponen hidrofobik dan hidrofilik pada bahan pangan. Protein dengan kandungan asam amino non polar yang tinggi (lebih dari 30% dari total asam amino) menunjukkan aktivitas emulsi dan daya buih yang tinggi, namun memiliki daya gel yang rendah (Birowo, 2013). Protein memiliki kemampuan membentuk lapisan permukaan penyerap yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat menahan minyak dan membentuk emulsi minyak dalam air (oil in water) yang stabil (Philips, 1976 dalam Suwarno, 2003). Emulsifier digunakan hampir pada semua jenis pangan olahan dengan sistem dispersi untuk mencegah terjadinya pemisahan antara fase terdispersi dan fase pendispersi. Beberapa produk pangan yang memerlukan emulsifier adalah keju, margarin, mentega dan es krim (Suwarno, 2003). 6. Kapasitas Buih Berdasarkan analisa ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dengan lama inkubasi terdapat interaksi nyata (p< 0,05) terhadap kapasitas buih yang dihasilkan, masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p < 0,05). Rerata kapasitas buih dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai rata-rata kapasitas buih konsentrat protein dengan perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkbasi Perlakuan Rata-rata Kapasitas buih Konsentrasi enzim limbah Lama inkubasi (%) kulit nenas (mg/100g) (Jam) 1,00 + 0,22f 0 24 2,25 + 0,22e 40 24 4,75 + 0,22d 80 24 5,50 + 0,22c 100 24 2,00 + 0,22e 0 48 5,00 + 0,22cd 40 48 7,00 + 0,22b 80 48 8,00 + 0,22a 100 48 Ket: nilai yang diikuti huruf yang pada masing-masing pengamatan menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% (Uji Tukey) Pada Tabel 12, menunjukkan bahwa kapasitas buih tertinggi pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 100mg/100gr dengan lama inkubasi 48 jam dengan jumlah kapasitas buih 8%, sedangkan kapasitas buih terendah pada perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 0mg/100g Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 34 dengan lama inkubasi 24 jam sebesar 1%. Menurut Suwarno (2003), kapasitas buih untuk kedelai dan komak yaitu 116% dan 79%. Hasil penelitian Budijanto dkk (2011) menunjukkan bahwa nilai daya buih kecipir sebesar 89,5%. Kemampuan pembuihan meningkat jika konsentrasi protein juga meningkat karena akan meningkatkan ketebalan lapisan film pada interfasial (Kartika, 2009). Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap kapasitas buih konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Hubungan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap kapasitas buih konsentrat protein biji lamtoro gung Pada Gambar 8, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim dan semakin lama inkubasi dapat meningkatkan kapasitas buih konsentrat biji lamtoro gung yang dihasilkan. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi enzim yang digunakan serta lama inkubasi dalam proses hidrolisa maka semakin banyak pula protein yang terhidrolisis. Kemampuan pembuihan meningkat jika konsentrasi protein meningkat dikarenakan meningkatnya ketebalan lapisan film pada interfasial. Walaupun demikian, buih protein dari biji lamtoro gung sangat tidak stabil akibat adanya foam inhibitor. Foam inhibitor yang diperkirakan adalah sisa lemak. Lemak dapat melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas, 1997 dalam Suwarno, 2003). Sifat protein membentuk buih yang stabil penting dalam memproduksi beberapa Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 35 makanan. Distribusi ukuran gelembung udara dalam buih mempengaruhi penampakan dan tekstur, smoothness, serta kecerahan makanan(Kartika, 2009). 7. Uji Organoleptik a. Warna Berdasarkan hasil analisa Kruskal Wallis (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan warna konsentrat protein biji lamtoro gung. Jumlah skoring kesukaan terhadap warna konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai rata-rata skoring terhadap nilai warna konsentrat protein biji lamtoro gung Perlakuan Jumlah panelis Mean skoring Konsentrasi enzim Lama inkubasi (mg/100g) (Jam) 0 24 20 85,78 40 24 20 104,08 80 24 20 105,68 100 24 20 69,90 0 48 20 24,55 40 48 20 65,80 80 48 20 86,60 100 48 20 101,63 Ket : skor tertinggi paling disukai panelis Pada Tabel 13 menunjukkan bahwa setiap taraf perlakuan yaitu perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi memberikan tingkat penilaian yang berbeda terhadap konsentrat potein biji lamtoro gung. Hasil analisa Kruskal Wallis pada Tabel 12 menunjukkan bahwa skoring kesukaan terhadap warna konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan rata-rata antara 24-105. Perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam merupakan perlakuan yang memiliki kesukaan warna dengan rata-rata skoring tertinggi 105,68, sedangkan perlakuan konsentrasi 0mg/100g dan lama inkubasi 48 jam merupakan perlakuan yang memiliki kesukaan warna dengan rata-rata skoring 24,55 . Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa panelis lebih menyukai kesukaan warna pada konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam, sedangkan panelis tidak menyukai warna pada konsentrasi 0mg/100g dan lama inkubasi 48 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 36 jam. Secara garis besar lama inkubasi (48 jam) mengurangi skoring kesukaan panelis. Hal ini diduga karena pada saat pembuatan konsentrat protein ada pemanasan dua kali, yaitu pemanasan untuk sterilisasi dan pemanasan pada saat inkubasi. Disisi lain, substrat (tepung lamtoro gung) yang masih banyak mengandung karbohidrat dan protein dan dengan adanya pemanasan akan mengalami reaksi Maillard. Reaksi Maillard menyebabkan terjadinya perubahan warna menjadi lebih gelap yaitu coklat (melanoidin). Mekanisme reaksi Maillard terdiri atas 3 tahap reaksi, yaitu reaksi tahap awal (initial stage), reaksi intermediet, dan reaksi tahap akhir (final stage). Reaksi tahap awal terjadi pembentukan glikosilamin N-tersubstitusi dan penyusunan ulang (rearrangement) glikosamin. Pada tahap intermedit (tahap antara) berlangsung reaksi dehidrasi membentuk furfural (-3H2O) atau membentuk redukton (-2H2O). Terjadi fisi yang melibatkan interaksi asam amino dengan senyawa-senyawa dikarbonil baik dehidroredukton maupun produk-produk fisi, dehidroredukton atau aldehid Strecter menjadi produk-produk berberat molekul tinggi (melanoidin) melalui interaksinya dengan amin (Rosida, 2011). b. Bau Berdasarkan hasil analisa Kruskal Wallis (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan bau konsentrat protein biji lamtoro gung. Jumlah skoring kesukaan terhadap bau konsentrat protein biji lamtoro gung dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Nilai rata-rata skoring terhadap nilai bau konsentrat protein biji lamtoro gung Perlakuan Jumlah panelis Mean skoring Konsentrasi enzim Lama inkubasi (mg/100g) (Jam) 0 24 20 106,80 92,38 40 24 20 24 20 109,00 80 24 20 100,20 100 76,33 0 48 20 50,68 40 48 20 20 51,28 80 48 100 48 20 57,35 Ket : skor tertinggi paling disukai panelis Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 37 Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa setiap taraf perlakuan yaitu perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi memberikan tingkat penilaian yang berbeda terhadap konsentrat potein biji lamtoro gung. Hasil analisa Kruskal Wallis pada Tabel 14 menunjukkan bahwa skoring kesukaan terhadap bau konsentrat protein biji lamtoro gung yang dihasilkan ratarata antara 50-109. Perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam merupakan perlakuan yang memiliki kesukaan bau dengan rata-rata ranking tertinggi 109,00, sedangkan perlakuan konsentrasi 40mg/100g dan lama inkubasi 48 jam merupakan perlakuan yang memiliki kesukaan bau dengan rata-rata ranking 50,68 . Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa panelis lebih menyukai kesukaan bau pada konsentrasi enzim limbah kulit nenas 80mg/100g dan lama inkubasi 24 jam, sedangkan panelis tidak menyukai bau pada konsentrasi 40mg/100g dan lama inkubasi 48 jam. Secara garis besar lama inkubasi (48 jam) mengurangi skoring kesukaan panelis. Hal ini diduga karena pada saat pembuatan bahan baku konsentrat protein yaitu tepung lamtoro gung tanpa melalui proses blanching sehingga aktivitas enzim lipoksigenase dapat menyebabkan bau langu pada konsentrat protein lamtoro gung. Adanya aktivitas enzim lipoksigenase yang secara alami terdapat didalam kacang-kacangan dapat menyebabkan bau langu (Muchtadi, 1992). Senyawa penyebab rasa langu (off flavor) merupakan senyawa volatil yang termasuk dalam senyawa golongan keton, aldehida dan alkohol akibat aktivitas enzim lipoksigenase yang memecah asam lemak dalam kedelai, yaitu asam linoleat dan asam linolenat (Liu, 1997 dalam Eliana, 1989). Reaksi bau langu oleh enzim lipoksigenase dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Mekanisme bau langu oleh enzim lipoksigenase (Liu, 1997 dalam Eliana, 1989) Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Hasil penelitian konsentrat protein biji lamtoro gung didapatkan : 1. Terdapat interaksi yang nyata (p < 0,05) antara perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi terhadap densitas kamba, daya serap air, daya serap minyak dan kapasitas buih, sedangkan untuk rendemen protein dan kapasitas dan stabilitas emulsi tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi 2. Konsentrat protein biji lamtoro gung terbaik didapatkan dari perlakuan konsentrasi enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi berdasarkan parameter sifat fungsional adalah 100mg/100gr enzim limbah kulit nenas dan lama inkubasi 48 jam memiliki rendemen protein 103,90%, densitas kamba 0,61 g/ml, daya serap air 4,15 ml/g, daya serap minyak 1,3 ml/g, kapasitas dan stabilitas emulsi 45,75%, kapasitas buih 8%. B. Saran Penulis menyarankan untuk mendapatkan konsentrat protein biji lamtoro gung yang optimal perlu dikembangkan penggunaan berbagai macam enzim , baik enzim dari nabati (papain) maupun hewani (enzim rumen domba) dengan peningkatan konsentrasi dan lama inkubasi. 38 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2012. Modul Praktikum Biokimia Dan Analisis Pangan. Malang : Universitas Brawijaya Anonymous . 2013. Pembahasan IV. http: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12282/ diakses 23 Juli 2013. Birowo,R.K. 2013. Emulsifikasi pangan. http://haiyulfadhli.blogspot.com/2011/06/emulsifikasi-pangan.html diakses 25 Juli 2013 Buckle K.A, Edwards R.A, Fleet G.H, Wootton,M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Penterjemah Purnomo, Hari dan Adiono. Budijanto S, Sitanggang AB dan Murdiati W . 2011. Karakteristik Sifat Fisiko Kimia Dan Fungsional Isolat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus L). Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan. XXII. (2) : 130136. Eliana,Aswati,1989. Identifikasi Enzim Lipoksigenase Dari Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis Hypogaea) Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fitriyani I, Harris E, Mokoginta I dan Nahrowi. 2010. Peningkatan Kualitas Nutrisi Tepung Daun Lamtoro gung Sebagai Pakan Ikan Dengan Penambahan Ekstrak Enzim Cairan Rumen Domba. Berita Biologi. 10. (2). : 135-142. Gaspersz, Vincent. 1998. “Statistical Process Control”. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Girindra. Aisjah. 1993. Biokimia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Istiningtyas, ES. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Dan Penambahan Enzim Bromelin Terhadap Kadar Protein Terlarut Pada Susu Kedelai (Glycine Max L Mer) Hasil Fermentasi Tesis. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Yogyakarta Kartika,Y.D. 2009. Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L) Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kumaunang Maureen Dan Vanda Kamu. 2011. Aktivitas Enzim Bromelin Dari Ekstrak Kulit Nenas (Anenas Comosus). Jurnal Ilmiah Sains.11.(2) :198201. Lehninger, A. L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Maggy, T. Penerjemah. Erlangga, Jakarta. 39 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 40 Martoharsono Soeharsono dan Rahaju Kapti. 1978. Enzimologi. Yogyakarta : Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Oktavia, Yeny. 2002. Pengaruh Pengukusan Terhadap Kadar Asam Amino Dari Biji Lamtoro Gung Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Katolik Widya Mandala. Poejiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia, UI Press. Jakarta Purbasari, Dian .(2008). Produksi Dan Karaterisasi Hidrolisat Protein Dari Kerang Mas Ngur (Atactodea striata) Skripsi. Fakultas perikanan dan ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rosida, Dedin F. 2011. Reaksi Maillard Mekanisme dan Peran dalam Pangan dan Kesehatan. Yogyakarta : Yayasan Humaniora Sediaoetomo,A.D. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid 2. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat Sudarmadji S, Haryono B dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. Suprihatin. 2009. Hidrolisis Protein dari Biji Lamtoro Gung. Surabaya : UNESA University Press. Suwarno, Maryani. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab Purpureus (L) Sweet) Sebagai Bahan Baku Isolat Protein Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Triyono, Agus. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam Pada Proses Isolasi Protein Terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.). Di Dalam : Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses, Universitas Diponegoro, Semarang, 4-5 Agustus. Winarno, F.G. 1983. Gizi Pangan, Teknologi dan Konsumsi. Jakarta : Gramedia. Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Wirahadikusumah,M. 2008. Biokimia Protein Enzim dan Asam Nukleat. ITB : Bandung Wiseman, Alan, 1986, Handbook of Enzyme Biotechnology, 2nd, John Wiley and son. New York . Wuryanti.2004.Isolasi Dan Penentuan Aktivias Spesifik Enzim Bromelin Dari Buah Nanas (Ananas Comosus L.). Artikel: JKSA. VII. (3). Hal :83-87 Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.