Diana Wahyuni | 79 PENERAPAN DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN SISWA KELAS VB SD NEGERI 004 BUKIT DATUK KOTA DUMAI TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh Diana Wahyuni Guru SD Negeri 004 Bukit Datuk E-mail : [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk dengan penerapan model discovery learning. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik tes berupa tes hasil belajar dan teknik nontes berupa observasi aktivitas guru dan aktivitas siswa. Subjek penelitian tindakan kelas ini adalah seluruh siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk yang berjumlah 37 orang. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan selama 3 bulan pada semester ganjil tahun pelajaran 2015/2016. Temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan membaca pemahaman siswa dengan model pembelajaran discovery learning. Pada siklus I, capaian skor rata-rata membaca pemahaman mengalami peningkatan sebesar 15,33% menjadi 81,35 dengan ketuntasan klasikal mencapai 72,97%. Pada siklus II, capaian skor rata-rata mengalami peningkatan sebesar 23,76% menjadi 87,30 dengan ketuntasan klasikal mencapai 86,49%. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh simpulan bahwa penerapan model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai. Kata Kunci: discovery learning, membaca pemahaman PENDAHULUAN Keterampilan membaca merupakan salah satu bagian dari keterampilan berbahasa yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam proses pembelajaran di sekolah dasar. Untuk pembelajaran membaca di kelas tinggi, kemampuan membaca yang harus dikuasai siswa adalah kemampuan membaca pemahaman. Dalam membaca pemahaman, siswa harus dapat memahami bahasa figuratif, mengetahui tujuan pengarang, menentukan gagasan, dan mengevaluasi gagasan. Oleh karena itu, penting dilaksanakan proses pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa memperoleh kemampuan membaca. Pada kenyataannya, pembelajaran membaca pemahaman di sekolah dasar, khususnya di kelas tinggi, belum dapat dilaksanakan secara optimal. Berbagai kendala ditemui pada pembelajaran membaca pemahaman. Rendahnya skor kemampuan membaca menjadi salah satu kendala yang dihadapi guru di kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai. Dari 37 siswa, hanya 20 (54,05%) siswa yang memperoleh skor mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). 80 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 Selama pembelajaran membaca, guru cenderung mengajukan pertanyaan dengan tingkat kognisi rendah sehingga siswa kurang mampu memahami isi bacaan dan keterampilan membaca siswa menjadi kurang berkembang. Selama ini, proses pembelajaran cenderung dilaksanakan dengan metode penugasan sehingga siswa kesulitan menentukan gagasan pokok dan gagasan penjelas dalam teks yang dibacakan secara lisan maupun tulis. Bertitik tolak dari permasalahan di atas, perlu dilakukan upaya perbaikan praktik pembelajaran agar siswa memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik. Salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran di kelas adalah model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakteristik siswa. Mengingat pendekatan pembelajaran merupakan salah satu penentu keberhasilan pembelajaran, penulis mencoba menerapkan model discovery learning untuk memperbaiki kualitas pengajaran bahasa Indoensia di kelas. Melalui model discovery learning, diharapkan kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif, mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented dan mengubah modus ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus discovery siswa menemukan informasi sendiri. TINJAUAN PUSTAKA Discovery Learning Discovery learning merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, dan logis sehingga mereka dapat menemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan perilaku (Hanafiah dan Suhana, 2009:77). Menurut Bruner seperti yang dikutip Widyatusti (2015:34) discovery learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry based), konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Karena bersifat konstruktivis, para siswa menggunakan pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah dengan berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama bereksperimen dengan teknik trial and error. Lebih lanjut, metode penemuan (discovery) diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran, perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi sehingga metode penemuan (discovery) merupakan komponen dari praktik pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif (Suryobroto, 2009:178). Borthick dan Jones seperti yang dikutip Widyastuti (2015:35) mengemukakan dalam pembelajaran discovery, peserta belajar untuk mengenali masalah, solusi, mencari informasi yang relevan, mengembangkan strategi solusi, dan melaksanakan strategi yang dipilih. Dalam kolaborasi pembelajaran penemuan, peserta tenggelam dalam komunitas praktik, memecahkan masalah bersama-sama. Diana Wahyuni | 81 Berdasarkan pendapat tentang discovery learning yang dikemukakan di atas, dapat disintesiskan bahwa discovery learning merupakan model pembelajaran yang bersifat konstruktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengenali masalah, menemukan sendiri, mencari informasi konsep dan prinsip dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Model discovery learning bertujuan agar siswa terangsang oleh tugas, dan aktif mencari serta meneliti pemecahan masalah itu sendiri, mencari sumber dan belajar bersama di dalam kelompok. Diharapkan juga siswa mampu mengemukakan pendapatnya, berdebat, menyanggah, dan memperhatikan pendapatnya, menumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan lain sebagainya (Roestiyah, 1998:76). Menurut Alma, dkk., (2010:61) model discovery learning memiliki pola strategi dasar yang dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu: (1) penentuan problem, (2) perumusan hipotesis, (3) pengumpulan dan pengolahan data, dan (4) merumuskan kesimpulan. Sementara, menurut Depdikbud seperti yang dikutip Widyastuti (2015:36) tahapan dalam pembelajaran discovery learning ada 6, yakni: (1) stimulasi, (2) pernyataan/identifikasi masalah, (3) pengumpulan data, (4) pengolahan data, (5) verifikasi/pembuktian, dan (6) generalisasi/menarik kesimpulan. Masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut ini. Pada tahap stimulasi, Pertama-tama peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi bahan. Pada tahap identifikasi masalah guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah). Pada tahap pengumpulan data, guru memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Tahap pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu. Tahap generalisasi adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang 82 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Membaca Pemahaman Membuat definisi baku tentang membaca merupakan kesulitan tersendiri karena membaca memiliki banyak unsur dan batasan. Menurut Frank Smith (dalam Rachman, 2006:3) membaca adalah menyerap huruf simbol grafis yang kemudian diubah menjadi ucapan atau proses pengertian dalam otak. Sementara itu, Dwight Bolinger (dalam Rachman, 2006:3) menyatakan bahwa membaca bukan hanya persepsi visual tetapi kemampuan menyerap makna simbol grafis dan kemampuan reaksi terhadap simbol grafis tersebut. Pernyataan ini mengandung arti bahwa membaca bukan hanya mempersepsikan teks tetapi juga menyerap makna yang terdapat di dalam teks tersebut yang dilanjutkan dengan kemampuan untuk memberikan respon atau reaksi terhadap apa yang dibaca yang menghasilkan pemahaman. Miller dalam Rachman (2006:3) menjelaskan bahwa membaca adalah permainan terkaan yang bersifat psikolinguistik dan di dalamnya terdapat interaksi antara pikiran dan bahasa. Maka, dalam hal ini membaca tidak hanya memahami simbol grafis tetapi telah sampai pada tahap terjadinya sinergi antara pikiran dan pengalaman berbahasa. Dalam Dictionary of Reading terdapat definisi yang sifatnya sangat ekletik atau mencakup semua aspek, yaitu membaca merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (dalam Rachman, 2006:4). Dengan membaca, orang akan semakin teguh atau berubah pemahamannya, tergerak untuk melakukan sesuatu, atau dengan membaca pula orang akan menangis, tertawa atau marah. Sungguh demikian hebat pengaruh membaca pada diri seseorang. Dari berbagai definisi tersebut, jelaslah bahwa membaca tidak hanya merupakan proses yang melibatkan tulisan semata-mata tetapi merupakan proses timbal balik di antara tulisan dan proses menerjemahkan tulisan serta proses pemaknaan perkataan yang telah diterjemahkan tadi. Memahami definisi membaca merupakan keharusan untuk mengurai dan memahami hakikat membaca secara lebih detail, yang selanjutnya dapat memberi paradigma untuk menjabarkan proses dan tujuan membaca. Meskipun ada ahli yang mengatakan bahwa apapun definisi membaca tidaklah penting tetapi apa yang terlibat dalam kegiatan atau proses membaca itulah yang penting. Ahli yang menyatakan ini adalah Frank Smith. Ini sungguh tidak keliru karena membaca merupakan kegiatan yang sangat praktis dan tidak tergantung pada teori. Tujuan utama dari membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan. Wiryodijoyo (1989: 57-58) mengungkapkan beberapa tujuan membaca, yaitu membaca untuk kesenangan, penerapan praktik, untuk mencari informasi khusus, untuk mendapatkan gambaran umum, dan untuk mengevaluasi secara kritis (Tarigan, 2008:9). Menurut Broughton (dalam Tarigan, 2008: 24), ada tiga jenis membaca yaitu membaca nyaring atau membaca bersuara, membaca dalam hati, dan membaca telaah isi. Membaca nyaring atau bersuara merupakan kegiatan membaca yang memerlukan keterampilan yang saling berkaitan, antara lain Diana Wahyuni | 83 keterampilan melafalkan, intonasi, kejelasan, bahkan keberaniaan dalam membaca.. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam membaca nyaring atau membaca bersuara merupakan suatu keterampilan yang membutuhkan ketelitian, kejelasan, dan pemahaman. Membaca dalam hati adalah membaca yang hanya mempergunakan ingatan visual (visual memory) yang melibatkan mata dan ingatan, bertujuan untuk memperoleh informasi. Keterampilan membaca dalam hati sangat sering dilakukan oleh banyak orang, sebab dalam membaca dalam hati informasi akan mudah diperoleh tanpa mengeluarkan suara saat membaca. Membaca telaah isi adalah membaca dengan tujuan untuk mengetahui serta menelaah suatu isi bacaan secara lebih mendalam. Membaca telaah isi, pembaca memerlukan kemampuan dan keterampilan yang lebih dalam, dalam memahami isi bacaan yaitu dengan kemampuan membaca pemahaman. Jenis membaca yang harus dikuasai dan dikembangkan oleh seseorang khususnya dalam bidang akademik, yaitu membaca intensif, membaca kritis, membaca cepat, membaca apresiatif dan estetis, dan membaca teknik. Membaca intensif ialah suatu jenis membaca yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman ide-ide naskah dari ide pokok sampai ke ide-ide penjelas dan dari hal-hal yang global sampai hal-hal yang rinci. Jenis membaca inilah yang biasa disebut dengan membaca pemahaman (Mujiyanto, dkk.,2000: 51-53) Membaca kritis, merupakan tataran membaca paling tinggi. Hal ini dikarenakan ide-ide bacaan yang telah dipahami secara baik dan detail, dikomentari dan dianalisis kesalahan dan kekurangannya. Membaca cepat, membaca jenis ini dilakukan untuk memperoleh informasi keseharian secara cepat, seperti berita dan laporan utama pada surat kabar atau majalah. Membaca apresiatif dan estetis, yakni membaca yang berhubungan dengan pembinaan sikap apresiatif atau penghargaan terhadap nilai-nilai keindahan dan kejiwaan. Membaca teknik ialah jenis membaca yang mementingkan kebenaran pembacaan serta ketepatan intonasi dan jeda. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan pada tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk yang dilaksanakan dalam bentuk siklus berulang yang di dalamnya terdapat empat tahapan utama kegiatan, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas VB yang berjumlah 37 siswa. Penulis memilih kelas VB karena penulis merupakan guru kelas tersebut. Data pada penelitian ini dikumpulkan melalui teknik tes dan nontes. Teknik tes dilakukan untuk memperoleh data mengenai kemampuan membaca siswa sementara untuk data nontes dilakukan dengan observasi atau pengamatan aktivitas selama proses pembelajaran. Data kuantitatif (tes membaca pemahaman). Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kualitas kemampuan membaca pemahaman siswa. Pada setiap siklus dilakukan satu kali tes evaluasi. Analisis data menggunakan rumus : 84 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 S= 100% Keterangan: S = Nilai yang diharapkan R = Skor yang diperoleh N = Nilai maksimal Analisis peningkatan keberhasilan siswa dapat digunakan rumus: P= 100% Keterangan: P = Peningkatan Poserate = Nilai sesudah diberi tindakan Baserate = Nilai sebelum tindakan Selanjutnya, hasil belajar siswa, yaitu kemampuan membaca pemahaman dikelompokkan menjadi kategori sebagai berikut. Tabel 1. Interval Hasil Belajar Kognitif Siswa No. Persen Interval Kategori 1 86 – 100 Sangat Baik 2 71 – 85 Baik 3 56 – 70 Cukup 4 ≤ 55 Kurang Sumber: Panduan Penilaian Pengetahuan Kurikulum 2013 Revisi 2015 Aktivitas guru dan siswa selama kegiatan belajar mengajar dianalisis dengan rumus: NR = JS x 100% SM Keterangan: NR : persentase rata-rata aktivitas (guru/siswa) JS : jumlah skor aktivitas yang dilakukan SM : skor maksimal yang dapat dilihat dari aktivitas (guru/siswa) Untuk memudahkan analisis data, maka diberikan nilai atas observasi aktivitas guru dan siswa tersebut sesuai dengan kategori sebagai berikut: Tabel 2. Pedoman Skor Aktivitas Guru dan Aktivitas Siswa No. Persen Interval Kategori 1 85 – 100 Sangat Baik 2 70 – 84 Baik 3 60 – 69 Cukup 4 50 – 59 Kurang 5 Di bawah 50 Sangat Tidak Baik Sumber : Dimyati (2009) Diana Wahyuni | 85 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis Hasil Penelitian Kemampuan Membaca Pemahaman Kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk diukur dengan tes membaca pemahaman. Siswa diberikan teks bacaan untuk menentukan gagasan pokok dan gagasan penjelas teks tersebut. Berikut ini disajikan skor membaca pemahaman pada prasiklus, siklus I, dan siklus II. Tabel 3. Perbandingan Skor Membaca Pemahaman Siswa pada Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II No Rentang Kategori Frekuensi Siswa dan Persentase Nilai Prasiklus Siklus I Siklus II 1 86 – Sangat 3 (8,11%) 9 (24,32%) 18 (48,65%) 100 Baik 2 71 – 85 Baik 11 (29,73%) 18 (48,65%) 14 (37,84%) 3 56 – 70 Cukup 19 (51,35%) 10 (27,03%) 5 (13,51%) 4 ≤ 55 Kurang 4 (10,81%) Jumlah 37 (100%) 37 (100%) 37 (100%) Sumber: Data Olahan Berdasarkan tabel 3 tersebut, diketahui kemampuan membaca pemahaman pada prasiklus bahwa 3 siswa (8,11%) memperoleh skor dengan kategori sangat baik, 11 siswa (29,73%) memperoleh skor dengan kategori baik, 19 siswa (51,35%) memperoleh skor dengan kategori cukup, dan 4 siswa (10,81%) memperoleh skor dengan kategori kurang. Kemampuan membaca pemahaman pada siklus I menunjukkan 9 siswa (24,32%) memperoleh skor dengan kategori sangat baik, 18 siswa (48,65%) memperoleh skor dengan kategori baik, dan 10 siswa (27,03%) memperoleh skor dengan kategori cukup. Kemampuan membaca pemahaman pada siklus II menunjukkan 18 siswa (48,65%) memperoleh skor dengan kategori sangat baik, 14 siswa (37,84%) memperoleh skor dengan kategori baik,dan 5 siswa (13,51%) memperoleh skor dengan kategori cukup baik. Perbandingan kemampuan membaca pemahaman dapat digambarkan pada diagram berikut ini. Gambar 1. Diagram Batang Perbandingan Kemampuan Membaca Pemahaman 20 19 18 18 18 16 14 14 11 12 10 9 10 pretes 8 6 4 5 3 2 siklus I 4 siklus II 0 0 0 86 - 100 71 - 85 sangat baik baik 56 - 70 ≤ 55 cukup baik kurang baik Sumber : Data Olahan 86 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 Selanjutnya, perbandingan ketuntasan klasikal dan skor rata-rata kelas sebelum dan setelah dilaksanakan penelitian disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Ketuntasan Klasikal dan Skor Rata-rata Membaca Pemahaman Kategori Ketuntasan Prasiklus Siklus I Siklus II Tuntas 14 (37,84%) 27 (72,97%) 32 (86,49%) Tidak Tuntas 23 (62,16%) 10 (27,03%) 5 (13,51%) Rata-rata Kelas 70,54 81,35 87,30 Peningkatan rata-rata 15,33% 23,76% Sumber: Data Olahan Berdasarkan tabel 4 tersebut, ketuntasan klasikal sebelum dilaksanakan penelitian hanya mencapai 37,84% dengan skor rata-rata kelas sebesar 70,54. Pada siklus I ketuntasan klasikal mengalami peningkatan menjadi 72,97% dengan skor rata-rata kelas sebesar 81,35. Pada siklus II ketuntasan klasikal mencapai 87,30% dengan skor rata-rata kelas sebesar 87,30. Peningkatan skor rata-rata pada siklus I adalah 15,33% dan siklus II peningkatan skor rata-rata mencapai 23,76%. Perbandingan ketuntasan klasikal dapat digambarkan berikut ini. Gambar 2. Diagram Batang Perbandingan Ketuntasan Klasikal Hasil Observasi 86,49% 90,00% 80,00% 70,00% 60,00% 50,00% 40,00% 30,00% 20,00% 10,00% 0,00% 72,97% 62,16% 37,84% 27,03% 13,51% Tuntas Pretes 37,84% Siklus I 72,97% Siklus II 86,49% Belum Tuntas 62,16% 27,03% 13,51% Sumber : Data Olahan Hasil observasi aktivitas guru dengan model discovery learning disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 5. Perbandingan Hasil Observasi Aktivitas Guru Siklus Pertemuan Persentase Kriteria Aktivitase 1 Siklus I Pertemuan 1 73,33% Baik Pertemuan 2 83,33% Baik 2 Siklus II Pertemuan 1 83,33% Baik Pertemuan 2 90% Sangat Baik Sumber: Data Olahan No. Diana Wahyuni | 87 Berdasarkan tabel 5 tersebut, diketahui bahwa aktivitas guru pada siklus I pertemuan ke-1 memperoleh persentase skor 73,33% dengan kategori baik. Pada pertemuan ke-2 siklus I, aktivitas guru mengalami peningkatan menjadi 83,33% dengan kategori baik. Pada siklus II pertemuan ke-1, aktivitas guru memperoleh persentase skor 83,33% dengan kategori baik dan pada pertemuan ke-2 aktivitas guru mengalami peningkatan menjadi 90% dengan kategori sangat baik. Perbandingan hasil observasi aktivitas guru dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 3. Diagram Batang Hasil Observasi Aktivitas Guru 73.33% 83.33% 83.33% 90% sangat baik 85 - 100 baik 70 - 84 Siklus I pertemuan 2 pertemuan 1 pertemuan 2 cukup baik 60 - 69 pertemuan 1 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% kurang baik 50 - 59 sangat tidak baik <50 Siklus II Sumber : Data Olahan Perbandingan hasil observasi aktivitas siswa disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 6. Perbandingan Hasil Observasi Aktivitas Siswa No. Siklus Pertemuan Persentase Kriteria Aktivitase 1 Siklus I Pertemuan ke-1 67,57% cukup Pertemuan ke-2 75,05% Baik 2 Siklus II Pertemuan ke-1 81,08% Baik Pertemuan ke-2 87,66% sangat baik Sumber: Data Olahan Berdasarkan tabel 4.8 di atas, diperoleh informasi bahwa aktivitas siswa pada siklus I pertemuan ke-1 memperoleh persentase 75,56% dengan kategori baik. Pada pertemuan ke-2 siklus I, aktivitas siswa mengalami peningkatan menjadi 79,96% dengan kategori baik. Pada siklus II pertemuan ke-1, aktivitas siswa memperoleh persentase 80,63% dengan kategori baik dan pada pertemuan ke-2 persentase skor 86,71% dengan kategori sangat baik. Perbandingan hasil observasi aktivitas siswa dapat digambarkan sebagai berikut. 88 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 Gambar 4. Diagram Batang Hasil Observasi Aktivitas Siswa 86,71% 79,96% 80,63% 75,56% sangat baik 86 - 100 baik 71 - 85 pertemuan 2 pertemuan 2 Siklus I pertemuan 1 cukup baik 56 - 70 pertemuan 1 88,00% 86,00% 84,00% 82,00% 80,00% 78,00% 76,00% 74,00% 72,00% 70,00% 68,00% kurang baik ≤ 55 Siklus II Sumber : Data Olahan Dari analisis hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dan aktivitas pembelajaran di kelas. Sebelum dilakukan penelitian, capaian skor rata-rata membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai adalah 70,54 dengan persentase ketuntasan klasikal 37,84%. Setelah dilakukan penelitian tindakan dengan penerapan discovery learning, capaian skor rata-rata membaca pemahaman mengalami peningkatan sebesar 15,33% menjadi 81,35 dengan ketuntasan klasikal mencapai 72,97%. Pada siklus II, capaian skor ratarata mengalami peningkatan sebesar 23,76% menjadi 87,30 dengan ketuntasan klasikal mencapai 86,49%. Temuan penelitian tersebut, sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa pembelajaran discovery learning membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, bergantung dari cara belajar siswa. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer (Kemdikbud, 2013:4). Selain meningkatkan proses kognitif siswa, discovery learning mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar. Menurut Bruner, belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui discovery learning yang merupakan proses belajar. Guru harus menciptakan situasi belajar yang problematis, menstimulus siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, mencari jawaban sendiri dan melakukan eksperimen. Bentuk lain dari belajar penemuan adalah guru menyajikan contohcontoh dan si pembelajar bekerja dengan contoh tersebut sampai dapat menemukan sendiri (Putrayasa, 2012:66). Berdasarkan hasil penelitian serta teori yang mendukung temuan penelitian, maka dapat penulis simpulkan bahwa model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai. Diana Wahyuni | 89 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan model discovery learning pada siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman pada muatan pelajaran bahasa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan skor rata-rata dan ketuntasan klasikal. Sebelum dilakukan penelitian, capaian skor rata-rata membaca pemahaman siswa kelas VB SD Negeri 004 Bukit Datuk Kota Dumai adalah 70,54 dengan persentase ketuntasan klasikal 37,84%. Setelah dilakukan penelitian tindakan dengan penerapan discovery learning, capaian skor rata-rata membaca pemahaman mengalami peningkatan sebesar 15,33% menjadi 81,35 dengan ketuntasan klasikal mencapai 72,97%. Pada siklus II, capaian skor rata-rata mengalami peningkatan sebesar 23,76% menjadi 87,30 dengan ketuntasan klasikal mencapai 86,49%. 2. Model discovery learning dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Pada siklus I pertemuan ke-1 memperoleh persentase 75,56% dengan kategori baik. Pada pertemuan ke-2 siklus I, aktivitas siswa mengalami peningkatan menjadi 79,96% dengan kategori baik. Pada siklus II pertemuan ke-1, aktivitas siswa memperoleh persentase 80,63% dengan kategori baik dan pada pertemuan ke-2 persentase skor 86,71% dengan kategori sangat baik. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut. 1. Guru dapat menerapkan model discovery learning sebagai salah satu alternatif model pembelajaran di kelas untuk meningkatkan capaian hasil belajar dan aktivitas siswa di kelas. 2. Penggunaan metode atau model pembelajaran yang bervariasi harus terus ditingkatkan agar dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. 3. Penelitian ini dapat dikembangkan oleh peneliti lanjutan, dengan meneliti variabel hasil belajar afektif atau psikomotor dan dapat dikembangkan dengan meneliti variabel lain. DAFTAR PUSTAKA. Alma, Buchari, dkk. 2010. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Penerbit Alfabeta. Dimyati dan Mudjiono. 1993. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta. Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhada. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama. 90 | e-jurnalmitrapendidikan, Volume 1, Nomor 3, Mei 2017 Kemdikbud. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Jakarta: Departemen Pendidikan nasional. Lalu, Azhar. 1993. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional. Mujiyanto, Yant, dkk. 2000. Puspa Ragam Bahasa Indonesia. Surakarta: UNS Press. Rachman, Arif. 2006. Meningkatkan Motivasi Membaca. Jakarta: Ganeca Press. Roestiyah, N.K. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Suryosubroto. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Bandung. Widyastuti, Ellyza Sri. 2015. Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning pada Materi Konsep Ilmu Ekonomi. Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2015. Wiryodijoyo. 1989. Membaca: Strategi Pengantar dan Tekniknya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.