BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Permasalahan

advertisement
BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang Permasalahan
Makna tentang sebuah negara bagi masyarakat Aceh merupakan
sebuah proses sejarah yang panjang dan memiliki dinamika cukup menarik.
Bagaimana sebuah nation/state imaginer (negara bayangan) berubah
menjadi real nation atau real state (negara sesungguhnya) dalam sebuah
perjuangan kolektif yang terjadi secara lintas generasi pada masyarakat
Aceh. Bagi masyarakat Aceh proses terbentuknya negara berawal dari
sebuah impian tentang negara yang dibayangkan, kemudian melalui proses
sejarah state imaginer tersebut berubah, dimodelkan, diadaptasikan, dan
pada akhirnya ditransformasikan dalam bentuk-bentuk pola tingkah laku
masyarakat menuju real nation.1
Sejalan dengan hal tersebut di atas, menurut Driyarkara, keinginan
menuju real nation tentu saja dapat menimbulkan konflik, setiap saat dapat
merupakan realisasi, dan juga setiap saat mengandung kegagalan. 2 Hal
itulah yang terjadi di Aceh saat berkehendak untuk mewujudkan real nation
atau real state “Aceh” yang telah menjadi bagian dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik yang dilakukan oleh Teungku M.
1 Benedict
Anderson mengatakan, pembayangan sebuah negara oleh
kelompok masyarakat mengikat rasa untuk menemukan imajinasi tentang
sebuah bangsa. Lihat, Benedict Anderson, Imagined Communities
Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta: Insist, 2002), hlm. 214.
2 Kumpulan Karangan Driyarkara, Driyarkara tentang Negara dan
Bangsa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980), hlm. 13.
Daud Beureueh3 pada tahun 1950an maupun Teungku Hasan Di Tiro pada
tahun 1970an.
Kerajaan Samudra Pasai oleh masyarakat Aceh dijadikan sebagai
tonggak awal state imaginer, yaitu munculnya rasa sebagai sebuah kerajaan
atau negara besar dengan berideologikan agama Islam dalam berbangsa,
bernegara,
dan
bermasyarakat
di
seluruh
wilayah
kerajaan.
Rasa
nasionalisme primodial di bawah kerajaan tersebut dilanjutkan kembali
pada masa kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sejarahnya, kedua kerajaan
itu
pada
masanya
penuh
dengan
masa-masa
kemuliaan,
kejayaan,
kemakmuran, dan keadilan dengan dasar keagamaan (Islam) yang kuat
terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1637). 4
Agama dan adat menjadi dua pilar penting dalam pranata sosial dan
ketatanegaraan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat
bagi masyarakat Aceh pada masanya. Romantisme tentang “kehebatan”
atau kejayaan kedua kerajaan tersebut bagi masyarakat Aceh masih
melekat kuat dalam ingatan mereka.
Upaya kuat masyarakat Aceh untuk mewujudkan suatu state
imaginer
muncul
karena
adanya
usaha
kolonialis
Belanda
yang
berkehendak untuk menguasai wilayah Aceh dengan cara-cara kekerasan.
Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Belanda
3 Untuk
selanjutnya dalam penulisan disebut Daud Beureueh dan
Hasan Tiro.
4Amirul Hadi, Aceh : Sejarah , Budaya dan Tradisi ( Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. xi-xii.
2
terhadap rakyat Aceh bukanlah menyurutkan perlawananannya, bahkan
semakin mengobarkan semangat perlawanan yang berbasis pada semangat
agama dan ingatan akan kejayaan Aceh di masa lampau.
Dalam rangka menguasai Aceh, Belanda melakukan ekspedisi militer
yang pertama pada 23 Maret 1873 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal
Kohler.5 Untuk mengefektifkan tujuannya, Belanda mengerahkan kekuatan
militernya secara total dengan mengirimkan ekspedisinya yang kedua atau
Perang Aceh Kedua pada bulan Desember 1873, Perang Aceh yang ketiga
pada tahun 1884-1896, dan keempat pada 1898-1942.6
Selama
dalam
peperangan
tersebut
Belanda
beberapa
kali
menyatakan keberhasilannya menguasai wilayah Aceh melalui “Proklamasi”.
Pernyataan “proklamasi ” atas beberapa wilayah Aceh yang ditandatangani
oleh Letnan Jendral J. Van Sweeten
pada tanggal 1 Desember 1874,
proklamasi pada tanggal 7 Januari 1875. 7 Setelah itu ada proklamasi
tanggal 28 Januari 1875, proklamasi tanggal 31 Januari 1875, dan
proklamasi yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1875 serta
proklamasi tanggal 23 April 1875.
5 E.S.
8
Ambisi untuk menguasai Aceh
de Klerck, De Atjeh – Oorlog (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1912), hlm. 405.
6 Paul van ‘T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouc Hurgronje
(Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 29.
7Ibid., hlm. 31, 41, 51, 84, 96, 97, 98, 109, 125,175, dan 178.
8 Proklamasi berisi pernyataan bahwa kerajaan Aceh dan berada di
bawah pemerintahan Hindia Belanda. Proklamasi yang lainnya menyatakan
bahwa wilayah seluruh Aceh beserta rakyatnya berada dalam kekuasaan
dan naungan Belanda. Lihat C.F.H. Tuckermann, Indisch Militair Tijdschrift
(Batavia: G. Kolff & Co., 1904), Bijlage V. Lihat juga instruksi-instruksi dan
3
diutarakan oleh van Heutz melalui tulisannya pada tahun 1892 yang
berbunyi, “Perang Aceh menggerogoti jajahan kita dan harus berakhir.9
Peperangan yang terjadi di Aceh dilakukan Belanda diakui oleh
Belanda bahwa peperangan tersebut merupakan perang besar guna
mengukuhkan eksistensi kekuasaan Belanda di seluruh wilayah Nusantara.
Perang besar dan berlarut dengan memakan korban jiwa yang sangat
banyak dikatakan van ‘T Veer. bahwa, “tidak pernah Belanda melakukan
perang yang lebih besar dari pada perang di Aceh. Dalam hal lama masa
berlangsungnya perang ini dapat dibandingkan dengan perang delapan
puluh tahun. Dalam hal jumlah orang yang tewas (lebih dari seratus ribu
jiwa) perang ini sebagai peristiwa militer yang tiada bandingnya di negeri
kita (sic.)”.10
Walaupun
Belanda
mengirimkan
ekspedisi
kekuatan
militernya
secara besar-besaran dan menyatakan “proklamasinya” terhadap Aceh,
pada kenyataan Belanda tidak sepenuhnya berhasil menguasai seluruh
Aceh karena selalu mendapat perlawanan sengit dari rakyat Aceh yang
dipimpin oleh tokoh agama maupun tokoh masyarakat dalam lintas
generasi. Mereka itu antara lain adalah Teungku Cik di Tiro, Cut Nyak Dien,
Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Johan Pahlawan, dan pejuang Aceh
lainnya. Di bawah kepemimpinan para pejuang Aceh, wilayah Aceh selalu
beberapa perintah harian yang dikeluarkan oleh penguasa militer Belanda
di Aceh dalam E.B. Kielstra, Beschrijving van den Atjeh – Oorlog
(‘sGravenhage: De Gebroeders van Cleef, 1883), Bijlage XII – XXXV.
9 Ibid., hlm. 157.
10 Ibid., tanpa hlm.
4
bergolak
untuk
menentang
Belanda
demi
terwujudnya
“negeri”
atau ”negara” Aceh yang merdeka, mulia, dan sejahtera, sebagaimana yang
pernah ada jaman endatunya dulu. Kebesaran Aceh sebagai sebuah
kekuatan politik dan ekonomi serta kekuatan militer yang militan semasa
kolonial
Belanda
terus
menerus
tersimpan
dalam
ingatan
kolektif
masyarakat Aceh dan dijadikan sebagai jiwa perjuangan oleh masyarakat
Aceh.
Perjuangan
panjang
masyarakat
Aceh
untuk
”merdeka”
dari
penderitaan dan harapan mewujudkan negara dapat terealisasikan pada
saat masyarakat Aceh berikrar untuk menjadi bagian dari negara Republik
Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945. Pernyataan politik dari rakyat Aceh sebagai bagian dari negara
Republik Indonesia tertuang dalam Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh oleh
beberapa tokoh ulama besar Aceh atas nama masyarakat Aceh pada tanggal
15 Oktober 1945.
11
Situasi politik di Indonesia pasca kemerdekaan ditandai dengan
adanya ketegangan-ketegangan antara tiga kekuatan besar yaitu nasionalis
sekuler, Islam, dan birokrat yang saling bersaing sehingga menimbulkan
konflik di beberapa daerah.12 Di Aceh pertentangan di tingkat lokal terjadi
T. Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah (Banda Aceh:
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999), hlm. 236.
12Era ini oleh Anthony Reid disebut sebagai masa revolusi sosial. Lihat
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia
(Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 325-326 dan Anthony
5
11
antara uleebalang (birokrat) dengan ulama (PUSA) dimana pertentangan
tersebut dimenangkan oleh kelompok ulama. Di tingkat nasional pasca
pengakuan kedaulatan akhir tahun 1949, hubungan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah Aceh mengalami ketegangan ketika
aspirasi daerah tidak terakomodasi oleh pemerintah pusat, baik dalam
bidang politik, ekonomi, maupun militer.
Di bidang politik atau pemerintahan, semula wilayah Aceh adalah
daerah istimewa setingkat provinsi. Sewaktu menghadapi Agresi Militer
Belanda II wilayah Aceh lebih luas lagi karena pemimpin Aceh yaitu Daud
Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh yang wilayahnya meliputi
wilayah Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara, yaitu Langkat, dan
Tanah Karo. Namun setelah perjuangan bersenjata berakhir, wilayah Aceh
dipersempit hanya setingkat keresidenan di bawah provinsi Sumatera Utara
yang berkedudukan di Medan.
Pada bidang militer, militer Aceh memiliki kekuatan satu divisi karena
adanya reorganisasi kekuatan militer Aceh diperkecil hanya setingkat
resimen/brigade, padahal peran militer sangat besar, bukan hanya di
wilayah Aceh tetapi terhadap wilayah lainnya, khususnya Sumatera Utara.
Militer Aceh pada waktu itu memiliki persenjataan yang lebih lengkap bila
dibandingkan divisi-divisi lainnya, seperti divisi di Sumatera dan Jawa.
Bahkan militer di Aceh mengalami surplus persenjaan sehingga mereka
Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional” dalam Prisma No.8 (Jakarta:
LP3ES, Agustus 1981), hlm. 33-37.
6
memberikan bantuan senjata kepada divisi lainnya. Selain itu kekuatan
militer Aceh dengan kekuatan besar membantu kekuatan militer Medan
dalam menghadapi serbuan Belanda pada saat Medan diserang oleh
kekuatan Belanda pada Agresi Militer Belanda II.
Pada titik itulah perjalanan sejarah Aceh mulai timbul pergeseran
atau perubahan cara pandang masyarakat Aceh tentang entitas politik
negara. Aceh dipahami sebagai entitas politik yang sama dengan entitas
politik negara Indonesia. Kemenangan yang diperoleh kelompok ulama
berdampak juga pada sikap dan pemikiran politik dalam memahami arti
kemerdekaan dan persepsi tentang negara yang didasarkan pada nilai-nilai
Islam sebagai dasar ideologi negara.
Kebijakan pemerintah pusat tentang sentralisasi administrasi dan
kekuasaan serta sentralisasi ekonomi dalam program Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) memperburuk hubungan antara pusat dan
daerah. Di sisi lain konsep ”negara” Aceh yang telah terbentuk memperoleh
momen yang tepat untuk diwujudkan dalam bentuk gerakan politik. Dengan
demikian konsep ”negara” Aceh yang telah dimodelkan, diadaptasikan, dan
pada akhirnya ditransformasikan dalam bentuk-bentuk pola tindakan
politik dalam mencapai real state Aceh secara konkrit, yang berdiri sendiri
dan terlepas dari negara Republik Indonesia.
Dengan menggunakan alur berfikir tersebut maka konsep negara yang
didasarkan pada nilai-nilai keislaman menjadi bentuk negara ideal yang
dicoba untuk diwujudkan oleh rakyat Aceh. Konsep tentang negara yang
7
ada pada masyarakat Aceh pada masa Daud Beureueh dengan DI-NII/TII
berdasarkan
pada
konsepsi
negara
otonom
berdasarkan
pada
nilai
keislaman. Namun konsep tersebut masih belum benar-benar terlepas dari
negara Indonesia karena Daud Beureueh masih menggunakan nama
Indonesia, yaitu Negara Islam Indonesia – Tentara Islam Indonesia.
Walaupun nantinya Daud Beureueh meninggalkan “keindonesiaan” dengan
mengganti sebutan negaranya menjadi “Negara Bahagian Acheh” (NBA).
Konsepsi tentang “Negara Aceh” mengalami pergeseran pada masa
Hasan Tiro yang menghendaki adanya negara Aceh yang merdeka terlepas
dengan ikatan negara Republik Indonesia dengan mengusung “negara” Aceh
Merdeka. Usaha mendirikan “negara” dalam negara tentu saja menimbulkan
konflik dengan pusat pemerintahan Republik Indonesia dalam waktu yang
relatif lama. Akan tetapi dengan adanya kesepakatan perdamainan atau
yang dikenal dengan MoU Helsinki tahun 2005 membawa dampak yang
sangat besar terhadap upaya mewujudkan kemerdekaan bagi “negara” Aceh
itu sendiri.
B.
Rumusan dan Ruang Lingkup Permasalahan
Keinginan mewujudkan “negara” sebagai real nation dalam perjalanan
sejarah masyarakat Aceh tidak muncul secara tiba-tiba tetapi melalui proses
panjang, antara lain didorong dengan adanya kesadaran sejarah atau
historical awareness. Kesadaran sejarah tersebut terus mengendap dan
diingat secara turun menurun dari generasi ke generasi dalam masyarakat
8
Aceh sehingga membentuk memory collective yang mengkristal menjadi rasa
nasionalisme Aceh dan menjadi motor penggerak perjuangan untuk
mewujudkan “negara” sebagai entitas sosial dan politik Aceh yang merdeka.
Masyarakat Aceh memiliki kemampuan untuk menjadikan saranasarana ingatan sosial itu sebagai sebuah saluran untuk melegitimasikan
adanya negara imajiner dan negara sesungguhnya yang tersosialisasikan
sebagai sebuah collective memory. Kesadaran kesejarahan Aceh selanjutnya
dijadikan sebagai bahan dasar bagi api nasionalisme membentuk Negara
Islam Indonesia dan Negara Bahagian Acheh (NBA) maupun Negara Acheh
Sumatra, yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya bermetamorfosa
menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).13
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut
maka
Tesis
ini
akan
memfokuskan pada bagaimana sebuah nation imaginer masyarakat Aceh
dikonstruksi, dimodelkan, dan ditransformasikan kemudian ditransisikan
menjadi
real nation ”negara” Aceh mulai pascaproklamasi kemerdekaan
Indonesia tahun 1953 hingga MoU Helsinki 2005. Disamping itu bagaimana
sebuah idealisme atau nasionalisme Aceh tentang negara dan dipertahankan
sebagai sebuah kesadaran kesejarahan kolektif dengan menggunakan
memori kolektif dari anggota masyarakat itu yang mampu menjadi motor
penggerak dalam pola-pola tindakan untuk mewujudkan real nation.
13Sebutan
“Negara Aceh Sumatra” sesuai dengan nama negara yang
diproklamasikan oleh Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 di Aceh.
Penyebutan Sumatra dalam nama “Negara Aceh” tidak digunakan lagi pada
saat internasionalisasi gerakan Aceh semakin intensif.
9
Dalam Tesis ini akan dipertanyakan pula upaya-upaya dalam
membangun “Negara Kebangsaan Aceh” dalam sebuah wacana dalam
masyarakat dan juga upaya-upaya tindakan nyata dari waktu ke waktu dari
pascaberdirinya negara Republik Indonesia sampai MoU Helsinki. Adapun
skope temporalnya adalah pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun
1953 sampai MoU Helsinki 2005, namun akan mengambil latar belakang
pada masa kerajaan besar di Aceh dan masa kolonial Belanda. Dengan
demikian
skope
temporalnya
diawali
tahun
1953
dengan
alasan
pembentukan ”Negara Aceh” sudah terbentuk dalam sebuah gerakan politik
DI-NII/TII Daud Beureueh tahun 1953 dan Hasan Tiro dengan Negara
Acheh Sumatra dan GAM sampai terjadinya MoU Helsinki tahun 2005, yang
mengakhiri konflik negara RI dan GAM.
C.
Tujuan Penelitian
Tesis yang berjudul Membayangkan Aceh Sebagai Negara: Sejarah
Gerakan Nasionalisme Lokal 1953 - 2005 bertujuan untuk mendiskripsikan
bagaimana sebuah makna ideal tentang sebuah negara pada masyarakat
Aceh dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. “Negara” Aceh yang
berbentuk suatu negara bayangan kemudian bertransisi menjadi sebuah
Negara yang sesungguhnya bagi masyarakat Aceh pascaproklamasi 17
Agustus 1945 hingga MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Selain itu, Tesis ini
mendiskripsikan tentang bagaimana ingatan kolektif atau ingatan bersama
(collective memory) dan kesadaran sejarah mengalami sebuah proses lintas
10
waktu dan lintas generasi serta mempengaruhi pola-pola tindakan atau
gerakan politik pada masyarakat Aceh.
D.
Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan masyarakat Aceh telah banyak
dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, antara lain dilakukan oleh
Ibrahim Alfian, Anthony Reid, Amirul Hadi, Jakobi, dan lain sebagainya.
Para peneliti tersebut lebih memfokuskan pada sejarah kejayaan dan
peperangan di Aceh serta kontribusi atau keterlibatan masyarakat Aceh
dalam upaya mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan konflik
yang terjadi antara “Aceh” dengan “Indonesia - Jawa /Jakarta”.
Ibrahim Alfian dalam karyanya yang berjudul Wajah Aceh dalam
Lintasan Sejarah menguraikan tentang peran dan kejayaan Aceh dari masa
kerajaan serta peran yang dilakukan dalam upaya mempertahankan
Indonesia.
Sedangkan
karya
yang
berjudul
Perang
di
Jalan
Allah
menguraikan tentang ideologi Islam yang menjiwai perjuangan masyarakat
Aceh ketika berha-dapan dengan pemilik kekuasaan. Buku karya Muhamad
Ibrahim, dkk. berjudul Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
memfokuskan pada perjalanan sejarah Aceh mulai masa pra sejarah sampai
masa kemerdekaan yang disajikan secara naratif dan kompleks tetapi tidak
secara khusus berbicara tentang pembayangan masyarakat Aceh tentang
negara serta gerakan-gerakan politiknya dalam rangka mewujudkan “Negara
Aceh”.
11
Karya ilmiah lain yang berbicara tentang Aceh adalah karya Amirul
Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi yang
menyajikan sejarah Aceh
sejak masa kedatangan Portugis sampai masa Perang Aceh dari kacamata
sejarah dan perkembangan budaya. Dalam salah satu bagian berbicara
mengenai ingatan sosial dan kesadaran sejarah masyarakat Aceh, namun
demikian tidak mengkaji tentang bagaimana ingatan sosial dan kesadaran
sejarah membentuk nasionalisme dalam rangka membangun wacana
tentang sebuah “negara” merdeka.
Karya lainnya tentang Hasan Tiro dan Gerakan Aceh Merdeka serta
peristiwa-peristiwa tentang penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh ditulis oleh M. Isa Sulaiman yang berjudul Aceh Merdeka Ideologi,
Kepemimpinan, dan Gerakan. Selain itu karya Al Chaidar yang berjudul
Aceh Bersimbah Darah Mengungkap Penerapan Status DOM 1989 -1998.
Namun yang membedakan dengan Tesis ini, dalam buku tersebut tidak
menjelaskan tentang konsep negara dan proses terbentuknya “negara” Aceh.
Penulis Aceh yang handal dan sangat terkenal dari manca negara
adalah Anthony Reid. Dalam bukunya yang berjudul Veranda of Violence
melihat konflik Aceh dari akar permasalahan, yaitu dari kekecewaan yang
timbul atau dialami oleh masyarakat Aceh terhadap pemerintah Republik
Indonesia atas segala “pengingkaran” terhadap peran penting masyarakat
Aceh terhadap kontribusi mereka terhadap eksistensi negara Republik
Indonesia pada masa-masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
12
Karya Anthony Reid lainnya tentang Aceh adalah Asal Mula Konflik
Aceh. Dalam karyanya itu dia memfokuskan akar konflik yang terjadi di
Aceh diawali kedatangan bangsa asing (Eropa) ke wilayah Aceh. Kedatangan
bangsa Eropa merubah status kerajaan Aceh yang merdeka dan berdaulat
menjadikan satu kerajaan yang penuh dengan peperangan dalam usaha
mengusir kedatangan bangsa asing. Buku lain dari Anthony Reid adalah
Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia. Beberapa bagian dari
buku ini membicarakan tentang Aceh dan peran politik Aceh mulai dari
masa kerajaan, tentang munculnya pertentangan kaum elite di Aceh pasca
kemerdekaan dan munculnya konflik elite daerah dengan pusat hingga
masa Orde Baru. Namun karya-karya Anthony Reid tersebut tidak
menyinggung masalah pembentukan konsep “negara” yang kemudian
menjadi tujuan
dalam setiap gerakan perlawanan
terhadap negara.
Sedangkan Paul van ‘T Veer dalam bukunya yang berjudul Perang Aceh
menulis tentang sebab-sebab dan bagaimana perang Aceh berlangsung dari
Ekspedisi Pertama sampai Perang Aceh Keempat.
Untuk memperkuat Tesis ini, penulis menggunakan dokumendokumen
tentang
Daud
Beureueh
dan
Hasan
Tiro
yang
belum
terpublikasikan. Dokumen-dokumen tersebut dikeluarkan oleh institusi
kemiliteran, baik yang ada di tingkat pusat (Staf Umum Angkatan Darat)
maupun di tingkat daerah, yaitu Komando Daerah Militer Aceh (KDMA)
berkedudukan di Banda Aceh, Staf Tentara dan Teritorium I (TT I) Bukit
Barisan di Medan dan dokumen yang tersimpan di Dinas Sejarah Angkatan
13
Darat di Bandung. Dokumen-dokumen tersebut antara lain dokumen asli
yang dikeluarkan Daud Beureueh dan Hasan Tiro, tulisan-tulisan Hasan
Tiro, Laporan Situasi, Troff Info, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anggota
atau simpatisan Daud Beureueh dan Hasan Tiro, dan nara sumber dari elite
atau mantan kombatan GAM serta dari grassroot.
Berbeda
dengan
penulisan-penulisan
sebelumnya,
Tesis
ini
difokuskan pada bagaimana Aceh sebagai entitas politik memiliki daya
untuk membangun imaginer state yang kemudian berjuangan untuk
membangun konsepsi tentang real state
“Negara Kebangsaan Aceh” yang
merdeka, terlepas dari kerangka negara Republik Indonesia. Namun citacita untuk mewujudkan suatu itu terkubur dengan ditandatanganinya MOU
Helsinki. Selain itu, yang membedakan Tesis ini adalah membuktikan
bahwa konsep tentang negara selalu ada pada diri rakyat Aceh dan menjadi
tujuan dengan jalan membentuk gerakan politik untuk dapat mewujudkan
“Negara Kebangsaan Aceh”.
E.
Kerangka Konsep
Kajian tentang komunitas-komunitas sosial yang sedang mencari
identitas politik telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Benedict
Anderson dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities Komunitaskomunitas Terbayang,
14
Buku itu menjabarkan bagaimana kelompok-
kelompok sosial melakukan pencarian identitas mereka. Karya lain yang
Benedict Anderson, Imagined Community Komunitas-komunitas
Terbayang (Yogyakarta: Insist), 2002.
14
14
mengkaji tentang pencarian identitas yaitu karya Amartya Sen yang
berjudul Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas.15
Komunitas-komunitas dengan identitas yang masih diperjuangkan
menjadi menarik untuk dikaji ketika diterapkan pada kelompok sosial yang
mencari identitas suatu “negara”.
16
Dengan demikian nation imaginer
merupakan sebuah kajian tentang kelompok sosial yang sedang dalam
proses mewujudkan identitas politik mereka dalam sebuah negara.
Dalam masyarakat Aceh, ingatan tentang kemuliaan dan kejayaan
pernah dirasakan oleh para endatunya dulu terus terwariskan dalam
ingatan kolektif masyarakat Aceh dari waktu ke waktu, dari generasi ke
generasi selanjutnya. Proses perekontruksian dari state imaginer dan proses
transisi menjadi real state dalam Tesis ini menggunakan alur yang
dikemukakan oleh Benedict Anderson 17 mengenai pembayangan sebuah
negara oleh suatu kelompok masyarakat. Pembentukan diawali oleh adanya
keterkaitan
rasa
cinta
terhadap
sebuah
kejayaan
masa
lalu
yang
mengendap menjadi sebuah kesadaran dasar penyatuan rasa yang menjadi
identitas bersama sebagai sebuah “bangsa”. Kebanggaan dan rasa cinta
Amaratya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (Serpong:
Marjin Kiri, 2007).
16 Dalam tulisan ini penulis mengacu arti negara (state) menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu : 1. Organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. 2.
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan
tujuan nasionalnya. Lihat Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan I edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 777.
17 Benedict Anderson, loc. cit..
15
15
bersama ini berkembang menjadi sebuah cita-cita yang kemudian dijadikan
sebagai model dalam idealisme primodial dan menjadi pola awal sebuah
tindakan untuk merealisasikan apa yang cita-cita dari sebuah negara yaitu
negara bayangan (state/nation imaginer).
Pada tahapan selanjutnya proses transformasi dan transisi yang lebih
jelas dengan pola-pola tindakan gerakan massa dan pernyataan politik
dalam koridor negara mulai diwujudkan sebagai real nation. Meskipun
dalam kasus masyarakat Aceh masa tranformasi dan transisi ini masih
dalam sebuah ikatan legal dalan suatu negara, yaitu negara Republik
Indonesia.
Sampai saat ini bayang-bayang kejayaan Aceh yang tertulis dalam
Hadih Maja terus diingat dan dihafal oleh masyarakat Aceh, antara lain
yang berbunyi:
“Adat bak Poteu Meureuhom”
“Hukom bak Teungku Syiah Kuala”
Kedua kalimat tersebut di atas memiliki makna bahwa dalam masalah adat,
pemerintahan, ekonomi, politik, dan sebagainya merujuk kepada Sultan
Iskandar Muda. Dalam hal hukum agama atau hukum syara’ orang
merujuk pada Teungku Syiah Kuala atau Abdur-Rauf Al-Singkili.18
Keadaan Aceh yang penuh dengan kemakmuran tersebut berangsurangsur berubah saat kedatangan penjajah bangsa Eropa, khususnya
Belanda yang berkehendak untuk menguasai wilayah di ujung barat pulau
18T.
Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 185.
16
Sumatera
itu
karena
perdagangan/pelayaran.
memiliki
Setelah
nilai
mengerahkan
sangat
strategis
beberapa
bagi
ekspedisinya,
dengan korban yang sangat besar dari kedua belah pihak, akhirnya Belanda
menyatakan “proklamasi”, bahwa Aceh sudah berada dalam genggamannya.
Jatuhnya Aceh dan wafatnya Sang Sultan akibat kolera tidak ada artinya
bagi penaklukan Aceh dan sedikitpun tidak mempengaruhi perlawanan
rakyat Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan
sergapan-sergapan atas perkemahan Belanda tetap terjadi siang malam.
Orang Aceh tidak memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya puluhan
atau ratusan orang yang bersama-sama bertindak tetapi dengan itu
diawalilah gerilya yang mereka lakukan dengan hebat, bagaikan telah
mendapat latihan yang sempurna.19
Militansi rakyat Aceh tidak terlepas dari dukungan dari pihak pemuka
agama. Merekalah yang memberikan pengaruh agama Islam terhadap setiap
langkah perjuangan jihad mereka. Mereka beranggapan bahwa nantinya
akan memperoleh kebahagian di akherat kelak bila meninggal berupa surga
karena mati syahid. Mati demi membela agama terhadap kaum kafir. Dan
“keyakinan” itu dilegitimasikan melalui beberapa hikayat yang melegenda
dan dijadikan sebagai way of life rakyat Aceh. Dalam Hikayat Suekreuet
Mawot dituliskan bagaimana bahagianya orang yang mati syahid.
19Paul
20
van ‘T Veer, op. cit., hlm. 75.
Alamsjah Banta, dkk., Pengungkapan Latar Belakang dan Kajian
Isi Naskah Kuno Hikayat Seukreuet Mawot dan Hikayat Potroe Bulukeih
(Jakarta: Depdikbud, 1993), hlm. 28 dan 74.
17
20M.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sartono Kartodirnya, dalam gerakangerakan keagamaan mempunyai ciri-ciri, pertama adanya pemimpin gerakan
adalah
seorang
prophet
penolakan terhadap
yang
mempunyai
kekuatan
magis.
Kedua,
situasi yang ada dan harapan akan datangnya
milenium berupa masa–masa keemasan. Ketiga, ideologi tentang Perang
Sabil yang membentuk militansi.21
Ulama besar Aceh seperti Teungku Cik di Tiro yang ikut dalam
perjuangan melawan Belanda, 2 tahunan setelah pernyataan “Proklamasi”
Belanda, membuat legitimasi atau mengabsahkan sifat suci perjuangan,
yaitu perang suci terhadap kaum kafir. Selanjutnya di Aceh beredar tulisantulisan suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan
terinci memainkan peran besar sebagai sarana propaganda perjuangan.
Hikayat “prang” berbentuk buku-buku kecil, ditulis dengan tangan serta
bergambar gambar. Teks-teks seperti di atas penuh dengan gugahan
semangat untuk turut serta dalam perjuangan dan keterangan-keterangan
praktis tentang cara-cara bertempur.22
Dalam perlawanan rakyat Aceh kepada Belanda demi membela
martabat Aceh diwujudkan dalam berbagai bentuk, antara lain dimasukkan
dalam syair kesenian tradisional, yaitu dalam Tari Likok Pulo Aceh. Dalam
syair tarian itu tertulis, ”Salam salammu’alaikum Bapak di Kamou, kamou
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1992), hlm. 13-19.
22Paul van ‘T Veer, op. cit., hlm. 91-92.
18
21
kasampau u Aceh Raya, Beu mangat meujak beu mangarmeuwou, Doa keu
kamaue tentra negara”.23
Sebagaimana kronologis sejarah perjuangan rakyat Aceh, kecintaan
pada “negara” terwariskan dari generasi ke generasi. Pada jaman Belanda
mereka mendambakan negeri yang penuh kemakmuran sebagaimana pada
jaman Sultan Iskandar Muda. Pada masa revolusi Indonesia, pascaProklamasi kemerdekaan, dengan sungguh-sungguh seluruh rakyat Aceh
berdiri mendukung dan menyatakan sebagai bagian dari negara Indonesia.
Jadi negara Indonesia menjadi “negara” tujuan. Akan tetapi setelah “tidak
sepaham” oleh Indonesia, segenap rakyat Aceh menentang negara Repubik
Indonesia. Mereka kemudian mendirikan “negara” Negara Islam Indonesia
(NII), kemudian Negara Bahagian Acheh (NBA) - Negara Acheh Sumatera
(NAS), kemudian Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perjuangan mereka untuk membentuk “negara” kandas di tengah
jalan akibat operasi militer yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Operasi
militer, dengan tidak mengesampingkan pendekatan secara adat Aceh,
akhirnya membuat Daud Beureueh turun gunung, kembali ke pangkuan
real nation negara Indonesia tahun 1962. Untuk beberapa tahun kemudian
Aceh mulai kondusif tetapi mereka kemudian kembali membentuk suatu
“negara” tatkala pemerintah pusat dianggap kurang memperhatikan nasib
rakyat Aceh. Aceh dengan segala kekayaan alamnya yang melimpah mereka
23Z.H.
Idris, dkk., Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Propinsi
Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Depdiknas, 1993), hlm. 107.
19
anggap diperlakukan tidak adil oleh Indonesia. Pemerintah pusat, yang
identik dengan Jakarta atau Jawa, dianggap telah mengeruk kekayaan alam
Aceh yang melimpah hanya untuk pembangunan di Jawa. Di bawah
komando Hasan Tiro mereka membuat gerakan politik, dan membangun
kekuatan militer, untuk membentuk kembali suatu “negara”, yaitu Negara
Acheh Sumatra (Aceh Merdeka) guna membangun Aceh yang lebih baik
tahun 1976. Gerakan Hasan Tiro ini tumbuh relatif cepat di masyarakat
karena didukung oleh segenap tokoh “alumni” dari NII.
Perjuangan dalam memperjuangkan “negara” impian itu relatif cukup
panjang sampai dengan diadakannya MoU Helsinki antara pemerintah RI
dengan GAM pada tahun 2005. Dengan hadirnya perjanjian itu, maka
”terkubur” keinginan mereka untuk membentuk “negara/real state” karena
salah satu isi pasalnya berisikan ketegasan bahwa wilayah Aceh masuk
dalam wilayah atau koridor NKRI. Akan tetapi keinginan untuk mendirikan
suatu “negara” masih terus ada bagi masyarakat Aceh. Hal ini dapat
diketahui dari komentar-komentar terhadap MoU Helsinki lewat obrolan di
keude kupie atau jejaring sosial.
1. Konsep Etnisitas : Aceh, Jawa, dan Indonesia
Masyarakat Aceh secara historis terbentuk dari masyarakat yang
plural. 24 Pemahaman tentang etnisitas pada masyarakat Aceh dipahami
24C.
Snouck Hurgronje menyebut ada tiga elemen suku bangsa yang
membentuk etnis Aceh yaitu Arab, Turki, dan Persia dalam Amirul Hadi, op.
cit., hlm. 283.
20
secara
berbeda.
Pemahaman
secara
umum
etnisitas
sebagai
suatu
penggolongan dasar dari organisasi sosial yang keanggotaannya didasarkan
pada persamaan asal, agama atau bahasa. 25 Namun dalam Tesis ini
etnisitas dipahami dengan berbeda. Etnisitas bukan sebatas persamaan
tentang asal, agama, dan bahasa namun lebih jauh dari itu etnisitas
dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan memobilisasi massa dan
politik.
26
Max
Weber
menyatakan,
bahwa
adanya
kecenderungan
menggunakan perbedaan etnisitas untuk kepentingan kelompok sosial yang
berupaya untuk memonopoli atau menguasai kekayaan, prestise, dan
kekuatan politis dengan secara sengaja untuk menghalangi masuknya etnis
lain.27
Pemahaman tentang etnisitas tersebut sebagai konsep dasar bagi
analisis tentang pertentangan etnis di Aceh, antara etnis Aceh dan etnis
Jawa. Perbedaan etnisitas tidak hanya dipahami sebagai perbedaan kultur
geneologi namun lebih jauh dimana permasalahan etnisitas dibawa pada
ruang politis tentang pembentukan identitas negara. Dengan demikian
masyarakat Aceh dalam ruang politik mengidentikkan Jawa dengan negara
Indonesia.
Pada saat kedua kekuatan berhadap-hadapan antara masyarakat
Aceh dengan Indonesia, identitas yang muncul terwakilkan antara Aceh dan
Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial
(Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2000), hlm. 310.
26 Glaser dan Moinyhan, Etnisity: Theory and Experience (Cambride:
MA, 1975), hlm. 10.
27Adam Kuper dan Jessica Kuper, op. cit., hlm. 311.
21
25
Jawa. Ketika isu Indonesia sebagai negara “kolonial” maka etnis Jawapun
teridentifikasikan sebagai kolonial bagi masyarakat Aceh dengan ungkapan
dan sebutan “Kapee Hitam”. Bahkan dalam tulisan-tulisannya, Hasan Tiro
mengyebutkan pemerintah negara Indonesia dengan sebutan “Kolonialis
Sawo Matang”.28
2. Konsep Ingatan Kolektif (Collective Memories)
Memahami sejarah, pada intinya adalah memahami manusia sebagai
pelaku inti dalam sejarah dan sebuah cerita kehidupan. Dari masingmasing individu apabila dihimpun akan menjadi tumpukan ingatan
pengalaman masyarakat atau ingatan kolektif. Dari ingatan bersama
tersebut dapat menimbulkan rasa nasionalisme, yang selanjutnya dapat
menjadi gerakan politik, dan militer. Dengan demikian, manusia sebagai
28 Hal
ini dapat dilihat di dinding makam Belanda (kerkhof) di kota
Banda Aceh dan sebutan “Kapee” semula diberikan masyarakat Aceh untuk
orang-orang Belanda yang menjajah Aceh yang dianggap sebagai orang
kafir. Bagi rakyat Aceh perang melawan Belanda kemudian Jepang adalah
perang yang tidak saja disandarkan pada upaya pembebasan atas hegemoni
kolonialisme tapi juga perlawanan untuk sebuah ideologi. Inilah perang
yang mereka sebut sebagai perang melawan kaphe yang kerap diidentikkan
dengan kafir. Makna kafir di sini tidak diterjemahkan dalam makna
harafiah, sebab arti yang lebih signifikan dalam konteks Aceh adalah
“penjajah”. Dengan kata lain, “kafir” sebetulnya merupakan terminologi
yang lebih bermakna “imperialis” ketimbang “nonmuslim”, sebab pada
kenyataannya masyarakat Aceh (terutama pada era Sultan Iskandar Muda)
kerap menjalin hubungan karib dengan berbagai bangsa nonmuslim seperti
Inggris, Amerika, Italia. Isue kaphe/kafir digunakan juga oleh Daud
Beureueh dan Hasan Tiro untuk menyebut epemerintah Indonesia dalam
agitasi politiknya. Bahkan dalam satu tulisannya, pemerintah Indonesia
dikatakan sebagai “kolonial sawo matang”. Lihat Kodam Iskandar Muda,
Kodam Iskandar Muda (Sejarah dan Pengabdiannya) (Banda Aceh: Dinas
Penerangan Kodam Iskandar Muda, 2003), hlm.8.
22
mahluk
sosial
tentu
saja
memiliki
ingatan-ingatan
sosial
(collective
memories). Ingatan sosial dalam beberapa studi keilmuan telah digunakan
untuk menjadi sumber data.
Memori kolektif akan berkaitan erat dengan masalah social meaning
(pemaknaan atau pemahaman sosial). Allessandro Portelli 29 mengatakan
bahwa ingatan manusia berkaitan dengan kemampuan manusia tersebut
untuk memahami dan mengerti serta memaknai terhadap objek yang
dihadapi. Dalam kajian-kajian Antropologi maupun Sosiologi, ingatan
manusia terhadap objek sangat tergantung pada bagaimana seseorang akan
memaknai terhadap suatu objek yang sangat berkitan dengan adanya
pengaruh intern dari seseorang dan pengaruh dari luar berupa pengaruh
lingkungan yang ada di luar manusia itu sendiri seperti pengaruh sosial,
politik, budaya, dan lain sebagainya.
Hal
yang
perlu
dipahami
bahwa
ingatan
sosial
salah
satu
karakteristiknya bersifat nostalgia yang cenderung melihat peristiwa ke
belakang. Ingatan sosial sebagai sebuah nostalgia muncul pada saat
masyarakat tersebut sedang mengalami kesulitan hidup, kekecewaan, dan
sejenisnya yang juga membuka pintu bagi pandangan mengagungkan masa
lalu sebagai jalan keluar dan tidak jarang disertai dengan penciptaan
sebuah imajinasi.30
Allesandro Protelli, “What Makes Oral History Different” dalam
Robert Perks and Alistair Thomson, The Oral History Reader (London and
New York : Routledge, 1998), hlm. 67-68.
30 Amirul Hadi, op .cit., hlm. 275.
23
29
Memori kolektif masyarakat Aceh dibentuk dan terbentuk secara
bersamaan dengan perjalanan sejarah (masyarakat) Aceh itu sendiri, baik
secara individu maupun kolektif. Dalam diri masyarakat Aceh dapat
digambarkan sebagai sebuah lembaran-lembaran sejarah yang membentuk
dan mengkristal dalam dirinya, dari dulu hingga sekarang ini.
Sebagaimana masyarakat di wilayah-wilayah lain di wilayah Nusantara, kesadaran sejarah akan menjadi bagian yang tak terpisahkan
perjalanan suatu masyarakat itu sendiri. Namun masyarakat Aceh memiliki
catatan tersendiri karena sebagian besar masyarakat Aceh dibentuk sebagai
masyarakat yang mempunyai jiwa militan yang sangat tinggi. Berbagai
peperangan terdahulu yang dilakukan oleh para pendahulunya menjadikan
rakyat Aceh sebagai pejuang militan dan syuhada yang siap untuk mati
sahid apabila harga diri dan kehormatannya dirampas.
Setelah Indonesia merdeka, Aceh muncul di atas panggung sejarah
Indonesia dan memainkan peranan yang sangat signifikan pada masa-masa
revolusi. Masyarakat Aceh memberikan sumbangan tenaga dan harta benda
guna mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik di tingkat
daerah, nasional, maupun internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa
sampai masa sekarangpun keberadaan Aceh sebagai entitas sosial, politik,
dan ekonomi serta strategi militer masih sangat penting dalam kerangka
NKRI.
Dalam perkembangan berbangsa dan bernegara selanjutnya terjadi
perbedaan-perbedaan “persepsi” antara Jakarta dengan Aceh. Kondisi ini
24
mengarahkan masyarakat Aceh yang mempunyai sence of nation imaginer
Aceh begitu kuat langsung mengalihkan orientasinya ke nation imaginer di
masa lampau. Mereka sudah tidak peduli dengan negara Republik Indonesia
lagi karena negara Republik Indonesia tidak memberikan harapan atau nilai
lebih yang lebih baik sebagaimana mereka impikan atau harapkan. Hal ini
menjadikan timbulnya aksi-aksi sosial yang berorientasi pada nilai (value).
Dengan demikian historical memory sebagai kelampauan dapat
dianggap sebagai contoh atau gambaran tentang apa yang terjadi pada hari
ini. Kelampauan dalam diri masyarakat sebagai pengalaman yang akan
terus mengalir dalam ingatan setiap individu dalam suatu masyarakat.
Peristiwa masa lampau dipandang sebagai willed event, yaitu sesuatu terjadi
karena manusia berpikir, percaya, memutuskan, merencanakan, dan
bertindak. Dalam hal ini suatu peristiwa dianggap sebagai konsep sejarah
yang telah dihayati menjadi bagian dalam dari kesadaran bersama. 31
Kesadaran bersama yang ada sebagai sebuah “bangsa” yang terpisah dari
negara induk pada masa kolonial Belanda hingga memasuki negara
Republik Indonesia berakar dari adanya kesadaran akan ingatan tentang
sejarah masa lampau dan menjadi ingatan bersama pada masa-masa
selanjutnya. Akan tetapi kesadaran tersebut harus berbenturan dengan real
nation negara Republik Indonesia.
Taufik Abdullah, “Dari Sejarah Lokal ke Kesadaran Nasional:
Beberapa Problematik Metodologis” dalam T. Ibrahim Alfian (dkk.), Dari
Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1989), hlm. 235.
25
31
Collective memory dalam Tesis ini merupakan rekaman ingatan sosial
yang tumbuh pada masyarakat Aceh, yang mereka ketahui dan mereka
alami, tentang konflik yang berkecamuk di Aceh. Ingatan sosial beriringan
dengan
pengalaman
pribadi
dalam
proses
pembentukan
identitas
masyarakat Aceh yang akhirnya membentuk kesadaran untuk membuat
gerakan atau tindakan bersama. Kesadaran bersama masyarakat Aceh
diwujudkan dalam bentuk collective movement dengan tujuan membentuk
real nation “Negara Aceh” yang terlepas dari kerangka NKRI. Perjuangan
mencapai “Negara Aceh” merdeka ini masih terus mengalir atau bergulir
dalam ingatan setiap masyarakat Aceh hingga sekarang ini.
F.
Sumber dan Metode Penelitian
Sumber yang digunakan dalam Tesis ini berasal dari sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer dalam tulisan ini diperoleh dari
sumber-sumber dokumen dan wawancara dengan para pelaku sejarah.
Sedangkan sumber sekunder dalam tulisan ini berasal dari literatur dan
surat kabar atau media masa sejaman dan juga sumber wawancara dengan
saksi atau generasi yang kemudian.
Sumber primer tertulis berupa arsip kolonial dan daerah yang
diperoleh di Pusat Perpustakaan Angkatan Darat seperti Beschrijving Atjeh
Oorlog, Aceh Oorlog, dokumen-dokumen negara, Perpusnas, dan arsip
daerah Aceh. Selain dokumen tertulis, Tesis ini menggunakan sumber
primer lainnya yang berasal dari sumber lisan yaitu para pelaku sejarah.
26
Sumber sekunder berupa sumber tertulis yang berupa koran dan
media masa sejaman dan sumber lisan dari para saksi yang mengetahui
jalannya peristiwa. Sumber foto sejaman juga digunakan dalam tulisan ini
terutama untuk memberikan penjelasan yang lebih komprehensip analisis
tertulis. Sumber pendukung lainnya adalah hasil-hasil penulisan dan
penelitian yang berupa buku, Encyclopaedy Van Nederlandsch Indie, laporan
serta hasil penulisan ilmiah lainnya. Untuk melengkapi sumber yang ada
agar memadai, penulis juga menggunakan sumber alternatif.
Permasalahan penulis dalam penelitian ini adalah adanya sebagian
bab penulisan yang memiliki rentang waktu relatif jauh dari masa penulisan.
Dalam mensikapi permasalahan tersebut, penulis mengambil keputusan
terutama dalam pemakaian sumber. Minimnya sumber primer dari pelaku
sejarah
disikapi
penulis
dengan
menggunakan
sumber
dokumentasi
maupun oral. Walaupun begitu penulis tetap bekerja sesuai dengan koridorkoridor dalam metodologi penulisan sejarah atau historiografi.
Metode
penulisan
sejarah
meliputi
heuristik,
kritik
sumber,
eksplanasi sumber, dan diakhiri dengan historiografi. Pencarian sumber
dimulai dengan menginventarisasikan dokumen dan karya tertulis yang ada
di Aceh, Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung. Inventarisasi sumber berupa
wawancara dilakukan di berbagai wilayah konflik di provinsi Aceh, seperti
Banda Aceh, Lhok Seumawe, Aceh Utara, Aceh Selatan, Langsa, dan Aceh
Tamiang.
Wawancara
dilakukan
terhadap
orang-orang
yang
terlibat,
27
mengetahui, dan mereka yang mendengar tentang perjuangan masyarakat
Aceh.
Dalam proses inventarisasi ini penulis sekaligus mengadakan kritik
terhadap sumber lisan dengan melakukan pengelompokan terhadap nara
sumber primer dan sekunder. Sumber primer diklasifikasikan bagi mereka
yang hidup sejaman, mengetahui peristiwa, terlibat, dan dapat merasakan,
termasuk di dalamnya adalah melihat serta mendengar. Sedangkan sumber
sekunder diklasifikasikan sebagai sumber kedua bagi mereka yang hidup
sejaman atau tidak sejaman, namun hanya mendengar informasi karena
tidak mengetahui peristiwa secara langsung tentang suatu peristiwa yang
akan ditulis.
Untuk memperoleh data dari sumber lisan penulis menetapkan
generasi pertama (anak) dan generasi kedua (cucu). Kriteria ini diambil
dengan pertimbangan bahwa anak masih dapat bercerita tentang kejadian
yang dialami pada saat berada di tengah-tengah keluarga, meskipun ada
kelemahannya yaitu pada faktor usia. Selain itu juga dari cucu, dengan
pertimbangan mereka dapat dijadikan sumber sekunder karena mereka
dapat memberikan informasi tentang apa yang pernah diceritakan oleh
orang tua mereka tentang kakek dan neneknya. Teknik yang digunakan
untuk memperoleh nara sumber dengan teknik snow ball sampling yaitu
dengan model mengambil seorang atau beberapa nara sumber yang
kemudian meminta kepada nara sumber tersebut untuk menunjukkan nara
sumber-nara sumber lainnya.
28
Penggunaan
sumber
lisan
sebagai
kajian
oral
history
untuk
mendapatkan suatu gambaran nyata tentang fenomena sosial yang ada.
Kajian oral history akan sangat tergantung pada masalah memori manusia.
Konsekuensi penggunaan perspektif baru dalam penggunaan sumber
seperti foto, artifact, dan juga oral history maka dalam tulisan Tesis ini akan
menggunakan pendekatan pemaknaan terhadap fakta dan bukti subjektif.
Sumber-sumber alternatif dalam Tesis akan diarahkan pada sejarah
masyarakat. Bambang Purwanto menyatakan penggunaan sumber-sumber
sejarah tentang kehidupan sehari-hari menggunakan epistimologi baru dan
metodologis sejarah sosial yang bergerak menjadi sejarah masyarakat, post
social history atau sejarah kebudayaan baru dengan menitikberatkan pada
peran bahasa sebagai agen dasar kesadaran manusia dan mereproduksi
secara sosial sebuah arti. Dengan demikian masa lalu dan masa kini hadir
melalui lensa persepsi kebahasaan. Historiografi yang dihasilkan sebagai
tulisan sejarah tidak hanya berarti konstruksi masa lalu melainkan juga
sebagai refleksi kesadaran intelektual atau budaya .32
Setelah
sumber-sumber
diperoleh,
langkah
selanjutnya
yang
dilakukan oleh penulis adalah melakukan kritik terhadap sumber-sumber
yang ada. Penulis melihat kapan tulisan dibuat, oleh siapa, dan untuk
kepentingan apa. Hal ini juga berlaku pada artikel-artikel yang terdapat
Bambang Purwanto. “Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta:
Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia” dalam kumpulan makalah
Rethinking
Indonesian History, Decolonialising
Indonesian History
(Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada dan
KITLV, 12-14 Desember 2005), hlm. 25.
29
32
dalam surat kabar atau koran. Khusus untuk sumber lisan, kritik terhadap
nara sumber dilakukan sebelum dan pada saat wawancara. Sebelum
wawancara penulis berusaha mencari informasi tentang nara sumber yang
akan diwawancarai dengan melihat latar belakang dari para nara sumber.
Pada saat wawancara penulis akan melihat mimik informan saat bercerita
atau menjawab pertanyaan dari penulis.
Kritik selanjutnya terhadap sumber tertulis adalah melihat isi dan
substansi tulisan. Apabila terjadi ketidakcocokan maka akan dilakukan
model cross check atau mencocokan dengan sumber lainnya. Hal ini juga
dilakukan terhadap teknik dalam melakukan wawancara. Cross check tetap
dilakukan agar penulis mendapatkan validitas data. Selain itu agar dapat
menghindari terjadinya subjektivitas dari para nara sumber yang dapat
mengakibatkan kekeliruan atau bias dalam melakukan intepretasi atau
eksplanasi sehingga dapat berimplikasi negatif pada hasil tulisan atau
historiografi.
Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data atau
sumber-sumber penulisan yang ada dengan melakukan klasifikasi sesuai
dengan permasalahan yang ada. Dalam menganalisis, penulis menggunakan
pendekatan-pendekatan dari ilmu sosial misalnya dalam menganalisis
tentang kekerasan negara. Penggunaan teori dan konsep tidak bertujuan
untuk memperoleh pembenaran atas suatu kejadian tetapi lebih ditujukan
untuk membantu melihat persoalan yang ada secara jernih dari kacamata
teori dan konsep yang ada.
30
G.
Sistematika Penulisan
Tesis yang berjudul Membayangkan Aceh Sebagai Negara Bangsa:
Sejarah Gerakan Nasionalisme Lokal, 1953 - 2005 akan mengupas tentang
nation imaginer Aceh menjadi “real nation” Aceh yang diperjuangkan oleh
Daud Beureueh dan Hasan Tiro berdasarkan ingatan kolektif dengan latar
belakang pada kejayaan kerajaan-kerajaan besar di Aceh dan masa kolonial
Belanda. Adapun skope temporalnya adalah pascaproklamasi negara
Republik Indonesia tahun 1953 saat diproklamasikannya NII sampai
ditandatanganinya Nota Kesepahaman atau MoU Helsinki tahun 2005.
Untuk memudahkan pembabakan waktu dan mengakomodir subtansi
tulisan ini, Tesis ini dibagi dalam lima bab, yaitu:
Bab I yaitu Pengantar, yang menjelaskan tentang keterkaitan dengan
latar belakang penulisan dan fokus kajian. Selain itu menguraikan tentang
dasar konsep dan teori serta pendekatan sejarah yang digunakan dalam
Tesis ini.
Bab II Akar Nasionalisme Primodial Masyarakat Aceh, yang akan
membedah ”negara” pada masa kebesaran dan kejayaan kerajaan Aceh
Darussalam dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kemudian
melihat bagaimana kerajaan Aceh sebagai sebuah negara
kolonial
Belanda
yang
menjadi
dasar
perjalanan
pada masa
politik
dalam
mewujudkan ”negara bayangan” Aceh. Pada bab ini mengupas secara detail
tahapan munculnya konsep nation imaginer dalam diri masyarakat Aceh
31
yang dimulai dengan keterkaitan kecintaan masyarakat Aceh terhadap masa
lalunya.
Bab III Perjuangan Daud Beureueh Membentuk “Negara Aceh” 1953.
Bab ini akan mengupas tentang pertentangan-pertentangan elite politik
akibat konstelasi politik di tingkat nasional yang berdampak pada
perubahan-perubahan konsep tentang negara. Konsep tentang negara
merupakan produk politik yang dikombinasikan dengan dasar ideologi yang
diambil dari Islam. Bagaimana negara bayangan oleh masyarakat Aceh
mulai dimodelkan menjadi negara yang sesungguhnya sebagai sebuah
gerakan politik akibat dari munculnya respont masyarakat Aceh yang
dipimpin
oleh
Daud
Beureueh
terhadap
keputusan-keputusan
atau
kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia tentang Aceh dalam bidang
pemerintahan dan militer. Pada Bab ini juga akan membahas adanya real
nation yang diploklamasikan dengan nama Negara Islam Indonesia kemudian berubah lagi menjadi Negara Bahagian Acheh (NBA).
Bab IV Perjuangan Hasan Tiro Membentuk Real State Aceh dan Nota
Kesepahaman (MoU) Helsinki 2005, menjelaskan pembentukan wacana
kolonialis pribumi (Jawa) terhadap wilayah Aceh dan konsep-konsep Hasan
Tiro tentang “Negara Aceh” (Negara Acheh Sumatra - GAM) yang merdeka
terlepas dari negara Republik Indonesia. Hal lain yang dijelaskan adalah
hasil dari penandatanganan MoU Helsinki tahun 2005 yang merupakan
tonggak pupusnya gerakan politik untuk mewujudkan “Negara Aceh” yang
merdeka.
32
Bab V Kesimpulan, merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
dari pokok permasalahan dalam penulisan.
33
Download