BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan tanpa penurunan kompensasi dalam permintaan jasa pemerintahan daerah, ketika warga meningkatkan permintaan pelayanan pemerintah dan pendapatan daerah tidak dapat meningkat, atau ketika pemerintah yang lebih tinggi melanggar kewenangan pemerintah daerah dan kekuatan pemerintah dibawahnya tidak bisa menyediakan pendanaan yang diperlukan untuk meningkatkan tanggung jawab pelayanan. Indeks upaya pajak dapat menunjukan adanya fiscal stress di suatu daerah. Hal ini disebabkan karena pada saat fiscal stress, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub & Akoto 2004, 3). Sedangkan menurut Budi dan Priyo (2008:3): “Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumbersumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber Pendapatan asli Daerah.” Pada saat fiscal stress tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (Shamsub dan Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi fiscal stress. Upaya Pajak (Tax Effort) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui perbandingan antara hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah dengan potensi sumber-sumber PAD. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut. Dampak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang No. 34 tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era otonomi ini. Penerimaan daerah bisa menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan memasuki era otonomi bisa mengalami hal yang sama, tekanan fiskal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Shamsub & Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan fiscal stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi. 2. Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. Shamsub & Akoto, (2004) menemukan bahwa kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress. 3. Menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Shamsub & Akoto, (2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidak efisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscal stress. Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dikeluarkannya suatu kebijakan ataupun undang-undang bisa menjadi penyebab peningkatan fiscal stress. Kebijakan otonomi daerah dan dikeluarkannya undangundang No.34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah (Budi dan Priyo, 2002). Tuntunan otonomi daerah di mana daerah harus lebih mandiri dalam mengurus keuangannya, dan pembatasan pungutan pajak daerah memberikan tekanan kepada pemerintah daerah. Sementara itu, ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah tidak merata disetiap daerah. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya fiscal stress yang cukup tinggi di berbagai daerah Indonesia. 2.1.2 Pendapatan Daerah Pendapatan Daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Seluruh pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD dianggarkan secara bruto, yang mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil. 1) Pendapatan Asli Daerah 2) Dana Perimbangan 3) Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah 2.1.2.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah merupakam salah satu bagian dari pendapatan daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan dalam periode tahun bersangkutan. Sementara definisi pendapatan asli daerah menurut ketentuan Undang-undang tersebut Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengertian tersebut unsur-unsur dalam pengertian Pendapatan Asli Daerah antara lain : 1. diperoleh Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri. 2. Dipungut berdasarkan peraturan daerah. 3. Peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Mardiasmo (2002:132) mengenai Pendapatan Asli Daerah : “Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka diharapkan tiap-tiap pemerintah daerahnya masing-masing guna meningkatkan pendapatannya.” Sedangkan pengertian lain menurut Indra (2007:210) menyatakan bahwa : “Pendapatan asli daerah merupakan akumulasi dari pos penerimaan pajak dan pos retribusi daerah, pos penerimaan pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, pos pengelolaan investasi serta pengelolaan sumber alam.” Pendapatan asli daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah sendiri menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahaan daerah, terdiri atas : 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu : a. Hasil Pajak Daerah b. Hasil Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah 2. Dana Perimbangan, yaitu : a. Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK) c. Dana Bagi Hasil 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah 2.1.2.2 Dana Perimbangan Dana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari: 1) Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam. ) Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari: - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); - Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); - Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. b) Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari: - kehutanan; - pertambangan umum; - perikanan; - pertambangan minyak bumi; - pertambangan gas bumi; dan - pertambangan panas bumi. Pembagian Dana Bagi Hasil dibagi menurut persentase yang berbeda-beda pada setiap sumber Dana Bagi Hasil yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 21. 2) Dana Alokasi Umum; Besarnya Persentasi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dibagi atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. 3) Dana Alokasi Khusus. Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundangundangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. 2.1.2.3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini terdiri atas: 1) Hibah, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, badan/lembaga dalam negeri/perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali dan bersifat tidak mengikat. 2) Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam. 3) Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota. 4) Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. 5) Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. B. Belanja Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Pekerjaan umum; 4) Perumahan rakyat; 5) Penataan ruang; 6) Perencanaan pembangunan; 7) Perhubungan; 8) Lingkungan hidup; 9) Pertanahan; 10) Kependudukan dan catatan sipil; 11) Pemberdayaan perempuan; 12) Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 13) Sosial; 14) Tenaga kerja; 15) Koperasi dan usaha kecil menengah; 16) Penanaman modal; 17) Kebudayaan; 18) Pemuda dan oleh raga; 19) Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20) Pemerintahan umum; 21) Kepegawaian; 22) Pemberdayaan masyarakat dan desa; 23) Statistik; 24) Arsip; dan 25) Komunikasi dan informatika. Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup: 1) Pertanian; 2) Kehutanan; 3) Energi dan sumber daya mineral; 4) Pariwisata; 5) Kelautan dan perikanan; 6) Perdagangan; 7) Perindustrian; dan 8) Transmigrasi. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-masing pemerintah daerah dan klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan belanja menurut kelompok belanja, terdiri dari: 1) Belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung ini tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terbagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: a) Belanja pegawai; b) Bunga; c) Subsidi; d) Hibah; e) Bantuan sosial; f) Belanja bagi hasil; g) Bantuan keuangan; dan h) Belanja tidak terduga. 2) Belanja langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas: a) Belanja pegawai; b) Belanja barang dan jasa; dan c) Belanja modal. C. Pembiayaan Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Apabila APBD diperkirakan surplus diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah lain, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial. Sementara itu, jika APBD diperkirakan defisit maka ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang. Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup: 1) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah; 2) Penerimaan pinjaman Daerah; Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah bersumber dari: a) Pemerintah; b) Pemerintah Daerah lain; c) Lembaga keuangan bank; d) Lembaga keuangan bukan bank; dan e) Masyarakat berupa Obligasi Daerah. 3) Penerimaan kembali pemberian pinjaman; 4) Pencairan dana cadangan daerah; 5) Penerimaan piutang; dan 6) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup: 1) Pembentukan dana cadangan; 2) Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah; 3) Pembayaran pokok utang; dan 4) Pemberian pinjaman daerah. 2.1.3 Belanja Modal Belanja yang dilaporkan dalam laporan realisasi anggaran pemerintah merupakan pengeluaran kas yang sudah terjadi selama tahun berjalan (cash basis). Sedangkan beban yang dilaporkan dalam laporan keuangan bisnis adalah nilai perolehan (cost) sumber daya yang telah digunakan. Belanja modal merupakan bagian dari belanja daerah. Menurut peraturan pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, belanja daerah dibagi menjadi belanja operasi, belanja modal dan belanja tak terduga. 2.1.3.1 Definisi Belanja Modal Belanja modal daerah merupakan bagian dari belanja daerah. Berdasarkan UU NO. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Definisi lain mengenai belanja menurut PP No. 24 Tahun 2005, adalah sebagai berikut : “Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara / Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.” Pernyataan lain mengenai belanja modal yaitu menurut Syaiful (2008:2) menyatakan hal yang senada, ia menjelaskan bahwa : “Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah asset tetap/inventaris yang memeberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatan kapasitas dan kualitas aset.” Jadi, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lainnya, atau juga dengan membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan adalah membangun sendiri atau membeli. 2.1.3.2 Macam-macam Belanja Modal Belanja modal menurut PP No 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, dikategorikan sebagai berikut : 1. Belanja Tanah 2. Belanja Peralatan dan Mesin 3. Belanja Gedung dan Bangunan 4. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan 5. Belanja Aset Tetap Lainya 6. Belanja Aset Lainnya 2.1.4 Hubungan Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan PAD dan Belanja Modal 4 Penelitian sebelumnya yang dilakukan Bappenas (2003), serta Setiaji dan Adi (2007) tentang peta kemampuan daerah (propinsi, maupun kabupaten dan kota) dalam era otonomi menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pemerintah daerah berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah sebagai bagian utama dalam penyusunan APBD sebagai upaya meminimalkan ketergantungan penerimaan dari pemerintah pusat. Dalam kondisi fiscal stress tinggi, pemerintah daerah akan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah sebagai upaya meningkatkan pembiayaan daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul (2001) menunjukkan bahwa fiscal stress dapat mempengaruhi APBD suatu daerah.Hal tersebut dibuktikan dari adanya pergeseran kenaikan/penurunan dari komponen penerimaan dan pengeluaran APBD. Selain itu, ketika Pemda mengalami fiscal stress yang cukup tinggi, daerah lebih termotivasi untuk meningkatkan PAD-nya guna mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat. 2.1.5 Hubungan Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan Belanja Modal Dalam menghadapi otonomi daerah, pemerintah daerah harus lebih meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan terus mengalami perbaikan sepanjang didukung oleh tingkat pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi belanja yang memadai untuk peningkatan pelayanan publik diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan peneriamaan pendapatan asli daerah, baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya. Penelitian Haryadi (2002:10) menunjukkan fiscal stress secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Timur sebelum dan sesudah krisis.Hasil dari penelitian tersebut adalah tingkat kemampuan pembiayaan daerah sebelum krisis relatif lebih besar dibandingkan sesudah krisis, dari segi kemampuan mobilisasi daerah relatif lebih baik sesudah krisis, dari segi tingkat ketergantungan secara relatif menunjukkan perkembangan yang positif sesudah krisis. Penelitian Budi dan Priyo Hari, (2008) yang menguji fiscal lstress pada saat krisis ekonomi dan sebelum krisis ekonomi menunjukkan bahwa disaat daerah mengalami fiscal stress yang tinggi (yaitu pada saat krisis ekonomi) maka terdapat kecenderungan peningkatan belanja daerah. Fakta empiris yang hampir sama bahwa, fiscal stress mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pembiayaan daerah. Secara komprehensif, gambaran empirik bahwa dibandingkan dengan era sebelum otonomi daerah, pengaruh fiscal stress terhadap tingkat pembiayaan sesudah otonomi lebih besar dibandingkan sebelum otonomi. Perubahan pembiayaan ini lebih banyak Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan PAD dan Belanja Modal disebabkan adanya tuntutan peningkatan pelayanan publik yang ditunjukkan denganpeningkatan alokasi ataupun terjadi pergeseran belanja untuk kepentingan-kepentingan pelayanan publik secara langsung, dalam hal ini belanja pembangunan. Penelitian Budi dan Priyo, (2008:9) tentang fiscal stress menyatakan bahwa semakin tinggi fiscal stress di suatu daerah, maka semakin tinggi pula pertumbuhan belanja modal/pembangunan di daerah itu.” Berdasarkan penelitian tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan antara fiscal stress dengan pertumbuhan belanja modal. 2.2 Kerangka pemikiran Otonomi daerah memberikan perubahan yang sangat berarti pada pemerintahan Negara Republik Indonesia khususnya bagi pemerintah daerah. Otonomi daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dalam pelaksanaanya mengalami pembaharuan oleh Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 memberikan harapan baru bagi kemajuan daerah. Dengan adanya otonomi daerah. Pemerintah daerah mendapatkan kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri termasuk dalam hal pengelolaan keuangannya. Selanjutnya, untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumbersumber pendanaan berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Dikeluarkan nya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 merupakan sebuah bukti bahwa Negara kita sekarang menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal. Dengan desentralisasi fiskal, pengelolaan keuangan public pemerintah pusat harus dilakukan dengan melimpahkan kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah. Kini, pemerintah daerah bisa menyusun anggarannya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya tanpa ada campur tangan yang cukup besar dari pemerintah pusat. Kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi ini memberikan peluang yang lebih besar bagi kemajuan daerah. Pemerintah daerah saat ini dapat mengoptimalkan sumber-sumber pendapatannya guna meningkatkan penerimaan daerah. Dengan peningkatan pendapatan, daerah dapat membelanjakan anggaran belanjanya sesuai kebutuhan daerahnya sendiri. Kebijakan otonomi daerah yang terjadi di Indonesia selain memberikan peluang, ternyata memberikan tekanan yang cukup besar kepada pemerintah daerah terutama di bidang keuangan. Kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk lebih mandiri, dengan mengandalkan sumber daya yang ada. Beruntung bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal cukup tinggi, tetapi bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah ini merupakan sebuah tantangan sekaligus tekanan. Tekanan kepada daerah semakin besar karena daerah baru saja berusaha bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi dan politik pada saat itu. Hal tersebut lah mengakibatkan terjadinya fiscal stress yang cukup tinggi diberbagai daerah. Fiscal stress yang terjadi di suatu daerah berpengaruh terhadap anggaran daerah pemerintah daerah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan pendapat Abdul, (2001:6) ketika terjadi fiscal stress pemda cenderung meningkatkan potensi penerimaannya dalam penyusunan APBD guna meningkatkan pembiayaan daerahnya. Pada saat fiscal stress tinggi, pemerintah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya. Oleh karena itu upaya pajak atau tax effort menjadi indicator adanya fiscal stress di suatu daerah (Budi dan Priyo Hari, 2008 : 3). Tax effort menunjukan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan ptensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang ditetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut. Pada saat terjadi fiscal stress, tidak hanya PAD yang mengalami peningkatan, belanja modal pun ikut mengalami peningkatan. Saat terjadi fiscal stress yang cukup tinggi, daerah semakin mendorong peningkatan belanja daerahnya termasuk belanja modal (Budi dan Priyo, 2008 : 3). Pada saat terjadi fiscal stress, belanja modal cenderung digunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas modal Pemerintah perlu memberikan fasilitas untuk berbagai kegiatan peningkatan perekonomian, hal itu dapat dilakukan dengan cara membuka kesempatan investasi. Pembangunan infrastruktur dan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dilaksankan demi mengoptimalkan daya tarik investasi. Selain itu, peningkatan pertumbuhan PAD yang salah satunya disebabkan oleh fiscal stress akan mendorong peningkatan belanja modal pula. Seperti yang diungkapkan oleh Pangabean (2009 : 71) dengan peningkatan pendapatan asli daerah tentunya akan meningkatkan pendapatan daerah karena PAD merupakan komponennya yang pada akhirnya akan diikuti oleh peningkatan belanja daerah. Peningkatan belanja daerah tentunya akan meningkatkan belanja modal, karena belanja modal merupakan komponen belanja daerah. Peningkatan belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada akhirnya adalah untuk meningkatkan Pendapatan daerah khususnya PAD. Belanja modal biasanya digunakam untuk pembangunan yang produktif. Pembangunan infrastruktur dan berbagai fasilitas lain yang dapat meningkatkan daya tarik investasi pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan pajak daerah dan pendapatan yang lainnya. Desentralisasi Fiskal Pengelolaan Keuangan Daerah APBD Tax effort atau upaya pajak Fiscal Stress Pendapatan Belanja Pertumbuhan pendapatan Asli Daerah GambarPertumbuhan 2.1 Belanja Modal Kerangka pemikiran Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Berdasarkan kerangka pemikiran dalam gambar 2.1, dapat ditarik sebuah model penelitian yang lebih sederhana lagi, seperti terlihat pada gambar 2.2 berikut : Pertumbuhan pendapatan Asli Daerah (Variabel Y1) Fiscal Stress (Variabel X) Pertumbuhan Belanja Modal (Variabel Y2) Gambar 2.2 Model Penelitian Pengaruh Fiscal Stress terhadap Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal