1 BAB I PENDAHULUAN IA Latar Belakang Proses

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
Proses aterosklerosis merupakan suatu proses yang mendasari terjadinya
berbagai macam penyakit yang memiliki prevalensi yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Proses aterosklerosis
didasari dan diawali oleh terganggunya keseimbangan atau homeostasis di lapisan
sel endotel di pembuluh darah arteria yang disebut sebagai disfungsi endotel.
Lapisan endotel pembuluh darah arteria merupakan regulator utama bagi
homeostasis pada vaskular arteria. Lapisan endotel memiliki kemampuan menjaga
keseimbangan antara vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah, mencegah
dan menstimulasi proliferasi dan migrasi sel otot polos, serta trombogenesis dan
fibrinolisis. Adanya berbagai stressor baik mekanik maupun kimiawi dapat
mengganggu keseimbangan tersebut yang menyebabkan terjadinya disfungsi
endotel yang dapat menyebabkan berbagai keadaan yang akan mengawali
terjadinya proses aterosklerosis seperti terjadinya peningkatan permeabilitas
endotel, agregasi platelet, adhesi leukosit, dan pelepasan sitokin (Davignon et al.,
2004). Adanya beberapa stressor mekanik dan kimiawi termasuk adanya faktor
risiko kardiovaskular tradisional akan menyebabkan stressor oksidatif yang
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel yang dapat terjadi di semua pembuluh
darah arteria di seluruh tubuh (Esper et al., 2006).
1
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit yang
sebagian besar dihubungkan dengan adanya aterosklerosis pada pembuluh darah
koroner. Aterosklerosis adalah suatu proses yang bersifat kronis, progresif dan
multifaktorial yang mengenai pembuluh darah arteria dengan karakter terdapatnya
lesi di lapisan intima pembuluh darah arteria yang disebut sebagai plak ateroma
yang menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh darah arteria (Lily, 2011).
Penyakit jantung dan pembuluh darah hingga saat ini masih merupakan
penyebab kematian dan disabilitas terbanyak di dunia. Menurut World Health
Organization (WHO), kejadian kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh
darah sekitar 17,3 juta di tahun 2008 dengan rerata prevalensi 30% dari seluruh
kematian pertahun. Penyakit jantung koroner (PJK) menjadi penyebab kematian
pada 38% sampai 46% seluruh kejadian kematian akibat penyakit kardiovaskular
(Mendis et al.,2011). Di Indonesia, prevalensi PJK adalah sebesar 7.2%
berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007.
Meskipun PJK bukan merupakan prevalensi jenis penyakit yang tertinggi seperti
penyakit infeksi, namun menduduki peringkat pertama sebagai penyebab
kematian berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
yaitu sebesar 26.3% kematian (Delima et al., 2009).
Didasari oleh adanya pemikiran bahwa proses aterosklerosis dapat terjadi
secara menyeluruh di pembuluh darah arteria akibat adanya disfungsi endotel,
dalam
perkembangannya
telah
banyak
dilakukan
penelitian
mengenai
aterosklerosis di pembuluh darah arteria selain arteria koroner sebagai pembuktian
adanya disfungsi endotel yang dapat terjadi di seluruh pembuluh darah. Dalam
2
perkembangannya, penelitian juga ditujukan untuk menilai apakah adanya
aterosklerosis di pembuluh darah arteria lainnya dapat digunakan sebagai
prediktor adanya aterosklerosis di arteria koroner. Selain itu, aterosklerosis di
pembuluh darah arteria lainnya juga dapat menyebabkan komorbiditas bagi pasien
dengan PJK yang tentunya akan menambah beban bagi pasien. Pada studi yang
dilakukan oleh Kablak-Ziembicka et al. (2004), Coskun et al. (2009) dan Geeta et
al. (2014) digambarkan adanya hubungan antara peningkatan Carotid IntimaMedia Thickness (CIMT) dengan adanya dan luasnya aterosklerosis pada arteria
koroner. Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Khoury et al. (1997)
didapatkan hasil penelitian adanya aterosklerosis yang signifikan pada aorta,
arteria karotis dan arteria femoralis pada pasien dengan lesi signifikan pada arteria
koronernya dibandingkan pada populasi dengan arteria koroner yang normal.
Sedangkan adanya penyempitan atau oklusi akibat aterosklerosis di arteria
pudendus hipogastrik dianggap sebagai salah satu patofisiologi yang mendasari
terjadinya disfungsi ereksi (DE) akibat penurunan aliran darah pada area corpus
cavernosus (Azadzoi, 2006). Hipotesis mengenai adanya beban pada endotel
pembuluh darah secara sistemik yang menyebabkan terjadinya disfungsi endotel,
penebalan lapisan intima dan media, obstruksi vaskuler dan pengurangan aliran
akibat adanya stenosis juga mendasari beberapa penelitian yang menilai
prevalensi DE pada PJK serta hubungan antara DE dan lesi aterosklerosis pada
pembuluh darah koroner. Pada studi yang dilakukan oleh Hodges et al. (2007),
Feldman et al. (1994) dan Kloner et al. (2003) didapatkan hasil pada pasien
dengan penyakit jantung koroner terdapat prevalensi disfungsi ereksi 42-75%.
3
Pada studi lain yang dilakukan oleh Solomon et al. (2003) dan Foroutan et al.
(2007) didapatkan hasil terdapatnya hubungan antara tingkat keparahan DE
dengan jumlah pembuluh darah yang mengalami stenosis yang didapatkan pada
pasien penyakit jantung koroner kronis yang dilakukan angiografi koroner.
Perbedaan ukuran pembuluh darah, jumlah percabangan serta komposisi
pembuluh darah antara pembuluh darah arteria koroner dengan arteria pudenda
yang memberi vaskularisasi ke area penis merupakan faktor lokal yang
mempengaruhi kejadian aterosklerosis di arteria tersebut sehingga secara teori
terjadinya disfungsi endotel dan aterosklerosis di arteria pudenda yang
menyebabkan waktu terjadinya gejala DE dan PJK yang berbeda, hal tersebut
mendasari penelitian yang dilakukan oleh Shamlaul et al. (2004) yang
menyatakan
bahwa
DE
yang
ditegakkan
dengan
pemeriksaan
Duplex
Ultrasonography merupakan prediktor adanya PJK pada pasien yang asimtomatis.
Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Morntorsi et al. (2006) yang
menilai risiko tejadinya DE pada pasien PJK yang telah dilakukan koronografi
terdapat hasil bahwa sumbatan pada 3 pembuluh darah koroner memberikan risiko
yang independen terhadap kejadian DE yang didiagnosis dengan kuisioner
International Index of Erectyle Function (IIEF).
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tersebut tampak suatu
hubungan antara gejala DE dan penyakit jantung koroner dan hal tersebut sesuai
juga dengan patofisiologi keduanya yang melalui jalur yang hampir sama. Gejala
DE juga memiliki hubungan dengan jumlah pembuluh darah di arteria koroner
yang terkena dan kronisitas penyakit jantung koroner yang dialami. Beberapa
4
penelitian juga menyimpulkan bahwa DE bisa merupakan suatu prediktor
penyakit jantung koroner di kemudian hari, di lain pihak adanya bukti lesi
aterosklerosis yang berat pada pembuluh darah koroner merupakan risiko
terjadinya DE yang lebih tinggi. Berdasarkan berbagai penelitian tersebut,
penelitian ini mencoba melihat apakah derajat keparahan lesi arteria koroner yang
pada penelitian ini dinilai dengan skor Syntax merupakan risiko terhadap kejadian
DE pada penderita PJK stabil. Skor Syntax dikembangkan untuk menggambarkan
karakterisktik dari vaskular koroner yang mencakup penggambaran jumlah lesi,
lokasi dan kompleksitas lesi serta pengaruh fungsional lesi (Sianos et al., 2006).
Sedangkan derajat keparahan DE didapatkan dengan pengukuran melalui
kuisioner International Index of Erectyle Function (IIEF) sebagaimana yang
dipakai juga pada penelitian sebelumnya.
I.B Masalah Penelitian
Disfungsi endotel merupakan keadaan yang mendasari terjadinya proses
aterosklerosis di pembuluh darah arteria. Dari berbagai penelitian dibuktikan
bahwa aterosklerosis yang terjadi di pembuluh darah arteria koroner dapat terjadi
juga di pembuluh darah arteria lainnya yang membuktikan bahwa terjadinya
disfungsi endotel tidak bersifat lokal di area pembuluh darah tertentu. Adanya
proses aterosklerosis di pembuluh darah selain arteria koroner pada penderita PJK
tentunya akan menambah beban morbiditas bagi pasien PJK. Disfungsi ereksi
merupakan manifestasi klinis yang salah satunya dapat disebabkan oleh adanya
aterosklerosis di arteria pudendus, dan dari beberapa penelitian memiliki
prevalensi kejadian yang cukup tinggi pada pasien PJK. Diketahui pula bahwa
5
kejadian DE berhubungan dengan kronisitas dan jumlah pembuluh darah arteria
koroner yang terkena aterosklerosis. Secara patofisiologi telah diketahui bahwa
terjadinya disfungsi endotel dan aterosklerosis disebabkan oleh adanya faktor
risiko yang bersifat sistemik ataupun lokal, di sisi lain manifestasi klinis DE tidak
hanya dapat dipengaruhi oleh faktor vaskular, akan tetapi juga dapat terjadi akibat
pengaruh psikologis, fibroelastisitas, hormonal dan neurogenik. Sehingga belum
diketahui apakah adanya derajat keparahan lesi arteria koroner yang tinggi
merupakan suatu risiko untuk terjadinya manifestasi klinis DE pada pasien yang
artinya faktor vasogenik merupakan faktor yang memiliki pengaruh terbesar pada
kejadian DE pada pasien.
I.C Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka dapat dibangun suatu
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah pada penderita PJK stabil dengan derajat keparahan lesi arteria koroner
yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya DE dibandingkan
penderita dengan derajat keparahan lesi arteria koroner yang lebih rendah?
I.D Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiapakah pada penderita PJK stabil
dengan derajat keparahan lesi arteria koroner yang tinggi memiliki risiko lebih
tinggi untuk terjadinya DE dibandingkan penderita dengan derajat keparahan lesi
arteria koroner yang lebih rendah.
6
I.E Manfaat Penelitian
Telah diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang dimungkinkan sebagai
faktor yang memberikan pengaruh terhadap kejadian DE pada seseorang, dan
telah diketahui pula bahwa kejadian DE pada penderita PJK memiliki prevalensi
yang cukup tinggi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
valid terhadap faktor yang mempengaruhi kejadian DE pada penderita PJK stabil
dan juga akan memberikan informasi terhadap para klinisi tentang seberapa besar
beban kejadian DE pada pasien PJK stabil sebenarnya serta dapat memberikan
informasi tentang hubungan antara derajat keparahan lesi arteria koroner yang
berhubungan dengan kronisitas aterosklerosis yang terjadi terhadap kejadian dan
keparahan DE. Sehingga diharapkan dengan penelitian ini akan memberikan
perhatian dan penanganan yang lebih baik pada pasien laki laki penderita PJK
stabil yang juga menderita DE. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
manfaat pada pasien yang mengalami DE sehingga mereka nantinya akan
mendapatkan penanganan yang lebih baik dari sisi edukasi, program prevalensi
ataupun dalam tatalaksananya. Penelitian ini juga diharapkan memberikan
informasi di masyarakat luas mengenai faktor yang memiliki peranan utama dan
yang paling berpengaruh bagi kejadian DE pada pasien penyakit jantung koroner.
I.F Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang menilai hubungan antara lesi di arteria
koroner dengan kejadian DE. Pada studi yang dilakukan oleh Montorsi et al.,
(2006) yang dinamakan AssoCiatiOn Between eRectyle dysfunction and coronary
Artery disease (COBRA) diteliti mengenai hubungan antara prevalensi DE dengan
7
gejala klinis PJK dan jumlah lesi arteria koroner yang terlibat serta risiko
keterlibatan arteria koroner terhadap kejadian DE. Hubungan prevalensi DE
dengan derajat keparahan aterosklerosis pada arteria koroner yang dinyatakan
dengan jumlah lesi pada arteria koroner diteliti oleh Johaness et al. (2000),
Montorsi et al. (2003) dan Shanker et al. (2012). Pada studi yang dilakukan oleh
Solomon et al. (2003), Foroutan et al. (2007) dan Canat et al. (2013) diteliti
mengenai hubungan antara keparahan DE dengan jumlah lesi arteria koroner
yang dilihat dari pemeriksaan angiografi koroner. Sedangkan pada penelitian ini
mencoba meneliti risiko derajat keparahan lesi arteria koroner yang dinyatakan
dengan skor Syntax terhadap kejadian DE yang didapatkan dari hasil nilai pada
kuisioner IIEF.
8
Download