DAFTAR ISI KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................................... 3 A. LATAR BELAKANG.............................................................................................................................. 3 B. LANDASAN HUKUM .......................................................................................................................... 6 C. MAKSUD DAN TUJUAN...................................................................................................................... 7 D. SASARAN ........................................................................................................................................... 7 E. BATASAN PENGERTIAN ..................................................................................................................... 7 BAB II PENYANDANG DISABILITAS MENTAL................................................................................................. 9 A. KARAKTERISTIK.................................................................................................................................. 9 B. PERMASALAHAN ............................................................................................................................. 15 C. KEBUTUHAN .................................................................................................................................... 17 D. POTENSI DAN TANTANGAN ............................................................................................................ 19 BAB III REHABILITASI SOSIAL PADA RUMAH ANTARA ............................................................................... 21 A. KELEMBAGAAN ............................................................................................................................... 21 B. MEKANISME LAYANAN ................................................................................................................... 24 C. KEMITRAAN DAN KERJASAMA ........................................................................................................ 29 D. INDIKATOR ...................................................................................................................................... 30 BAB IV SUPERVISI, MONITORING, EVALUASI, DAN PELAPORAN .............................................................. 32 A. SUPERVISI ........................................................................................................................................ 32 B. MONITORING .................................................................................................................................. 33 C. EVALUASI......................................................................................................................................... 33 D. PELAPORAN ..................................................................................................................................... 34 BAB V PENUTUP ........................................................................................................................................ 36 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penyusunan buku Pedoman Rumah Antara dapat diselesaikan dengan baik. Tujuan pedoman ini adalah untuk memberikan gambaran yang jelas bagi pelaksana kegiatan Rumah Antara bagi Penyandang Disabilitas Mental, sehingga layanan yang diberikan dapat terselenggara dengan baik. Pedoman ini mengulas tentang kebutuhan layanan bagi penyandang disabilitas mental, karakteristik penyandang disabilitas mental dan layanan rumah antara sebagai salah satu layanan yang dapat membantu menjembatani proses integrasi penyandang disabilitas mental dari layanan rehabilitasi menuju keluarga dan masyarakat. Penyusunan pedoman Rumah Antara didukung oleh beberapa profesi yang terlibat dalam rehabilitasi penyandang disabilitas mental, karena isu ini merupakan isu multisektor dan membutuhkan penanganan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan. Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh profesi yang terlibat, atas ide dan masukan yang diberikan demi sempurnanya pedoman ini. Harapannya buku ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pelaksana rehabilitasi sosial penyandang disabilitas mental di seluruh wilayah Indonesia. Pedoman ini tentunya masih jauh dari sempurna, sehingga jika dalam implementasinya masih terdapat ketidaksesuaian diharapkan dapat memberikan kritik dan masukan yang dapat dijadikan dasar dalam penyempurnaan pedoman. Semoga pedoman ini dapat bermanfaat dalam upaya mewujudkan layanan yang lebih baik dan pada akhirnya dapat membantu perwujudan hak-hak penyandang disabilitas mental. Jakarta, April 2017 Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Bambang Sugeng BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Permasalahan kesehatan jiwa menjadi isu penting yang menarik perhatian banyak pihak, disamping karena masalahnya tidak saja menyangkut kehidupan individu, tetapi berdampak pada keluarga dan masyarakat serta intervensinya membutuhkan keterlibatan lintas profesi. Terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengatur bagaimana upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif harus dilakukan demi perwujudan kesehatan jiwa. Pada undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa sektor kesehatan bertanggung jawab dalam rehabilitasi psikiatrik dan sektor sosial bertanggung jawab melakukan rehabilitasi sosial sehingga proses rehabilitasi bagi PDM (selanjutnya bisa disingkat PDM) dapat dilaksanakan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan dengan memperhatikan prinsip ketuntasan layanan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memperkuat pentingnya proses rehabilitasi yang secara tegas menjelaskan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan habilitasi dan rehabilitasi secara inklusif. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asazi Manusia (HAM) adalah dokumen yang memuat sasaran, strategi dan fokus kegiatan prioritas RAN HAM Indonesia dan digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia sebagai implementasi kewajiban dan tanggung jawab negara terutama pemerintah, dan didukung peran serta masyarakat. Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang AKSI HAM berisi tentang kegiatan atau program sebagai penjabaran lebih lanjut dari RAN HAM untuk dilakukan oleh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Dalam Instruksi Presiden tersebut dimuat tentang agenda aksi dalam perwujudan HAM dan penanggung jawab dalam pelaksanaan agenda aksi dimaksud. Sejalan dengan agenda ke 25 pada AKSI HAM tahun 2015 tentang penemuan, pembebasan, dan pengobatan orang dengan gangguan jiwa (selanjutnya bisa disingkat ODGJ) dipasung yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial c.q. Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas bertanggung jawab dalam mendukung pencapaian tujuan agenda ke 25 dengan mengawal penerbitan regulasi bidang rehabilitasi sosial bagi PDM. Tanggung jawab ini juga ditegaskan melalui agenda ke 67 tentang tanggung jawab dalam Pengawasan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) layanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas di daerah. Populasi PDM jumlahnya cukup signifikan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, terdapat 1,7 % dari 1000 penduduk mengalami gangguan jiwa berat. Sebanyak 14,3% dari penduduk yang mengalami gangguan jiwa berat (>57.000 orang) tercatat pernah dipasung. Berdasarkan Survei Sensus Nasional Tahun 2012, populasi PDM berjumlah 170.120 orang dari total populasi penyandang disabilitas 8.008.640 orang. Survei yang dilakukan terhadap PDM menggunakan kategori sulit mengurus diri sendiri dengan klasifikasi ringan sejumlah 129.239 orang dan klasifikasi berat 40.881 orang. Berdasarkan Survei BPS tahun 2012, diperoleh angka 40.881 orang PDM berat, yang kemungkinan besar mengalami pemasungan. Angka ini menunjukkan betapa tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan jiwa yang sesuai kebutuhan masyarakat menjadi sangat penting. Hal ini juga sejalan dengan salah satu tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yaitu menjamin adanya kehidupan yang sehat, serta mendorong kesejahteraan untuk semua orang di dunia pada semua usia. Termasuk didalamnya komitmen terhadap pencegahan dan pengobatan dari penyakit tidak menular, termasuk jenis kelainan perilaku, perkembangan mental dan syaraf, yang terus menjadi salah satu tantangan besar bagi pembangunan berkelanjutan. Kondisi PDM saat ini masih membutuhkan perhatian yang cukup serius. Kasus penelantaran dan pemasungan masih terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, yang secara dominan disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakberdayaan keluarga untuk merawat PDM serta masih minimnya akses layanan dalam pemenuhan hak-hak PDM seperti hak untuk mendapatkan identitas, akses informasi, layanan kesehatan, layanan sosial serta akses layanan lainnya yang sesuai kebutuhan. Ketiadaaan jaminan kesehatan, minimnya sarana dan prasarana kesehatan menjadi hambatan bagi kesinambungan pengobatan yang mengakibatkan lambatnya proses pemulihan. Pendampingan sosial bagi PDM dan keluarga juga belum hadir sehingga menambah beban keluarga dan lingkungan sekitar, dan menjadi faktor yang mendukung terjadinya kasus-kasus pemasungan. Terbatasnya kemampuan keluarga dan masyarakat dalam memahami permasalahan gangguan jiwa juga menyebabkan keluarga memilih altenatif non medis dalam upaya penyembuhan anggota keluarganya yang menjadi PDM. Hal ini memperparah situasi dan kondisi PDM dan memperlebar jarak terhadap akses pelayanan yang layak. Beban dan keputusasaan pada akhirnya membuat keluarga terpaksa memilih pemasungan sebagai alternatif penanganan terakhir. Untuk itu edukasi tentang upaya kesehatan jiwa menjadi hal yang sangat penting untuk diberikan kepada keluarga dan lingkungan sosial tempat tinggal PDM. Siklus rehabilitasi bagi PDM saat ini belum cukup mendukung pola perkembangan penanganan yang signifikan. PDM yang telah mendapatkan rehabilitasi psikiatrik harus segera kembali kepada keluarga, karena jangka waktu perawatan yang sudah ditentukan terutama pada pasien BPJS kesehatan dan pada kasus tertentu PDM belum optimal pemulihan kondisinya serta masih memiliki masalah dalam penyesuaian sosial. Alternatif lembaga layanan yang ada seperti panti memiliki kapasitas tampung terbatas dan secara fungsional juga belum dapat melaksanakan fungsi stabilisasi. Faktor kondisi keluarga yang belum siap dalam berbagai hal, seperti mengalami keterbatasan baik dari segi pemahaman terhadap gangguan jiwa, kemampuan perawatan dan dukungan, kemampuan ekonomi, serta beban pikologis akibat permasalahan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarganya merupakan beberapa hal yang harus dituntaskan sebelum PDM kembali ke keluarga. Rehabilitasi sosial yang menjadi ranah tanggung jawab Kementerian Sosial harus dapat dilaksanakan terintegrasi dengan rehabilitasi psikiatrik, sehingga dapat memberikan dukungan penyembuhan secara tuntas. Proses rehabilitasi sosial diarahkan pada upaya meminimalisir kekambuhan dan memperkuat penyesuaian sosial PDM dengan kehidupan di keluarga dan di masyarakat. Keberadaan fasilitas rehabilitasi sosial pemerintah maupun masyarakat sangat terbatas dan tidak tersedia di semua kabupaten/kota. Saat ini layanan rehabilitasi sosial yang dikelola baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah meliputi layanan berbasis institusi dan layanan berbasis masyarakat dalam bentuk day care dan home care, merupakan alternatif layanan yang dapat diakses. Namun demikian perlu pengembangan beberapa alternatif layanan sosial yang dapat membantu mengatasi kesulitan – kesulitan dalam proses pemulihan dan reintegrasi PDM di dalam kehidupan masyarakat. Proses pemulihan serta adaptasi PDM dengan lingkungan keluarga dan masyarakat terkadang membutuhkan waktu yang tidak singkat dan seringkali timbul permasalahan – permasalahan yang dapat memicu kekambuhan. Oleh karena itu diperlukan layanan rumah antara yang dapat menjadi jembatan bagi PDM pasca perawatan psikiatrik atau pasca perawatan di rumah sakit jiwa/rumah sakit menuju reintegrasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Rumah antara akan menjadi salah satu alternatif yang perlu dilaksanakan dalam upaya mempersiapkan PDM dan keluarga dalam proses penyesuaian diri, sehingga satu sama lain dapat menjalani kehidupan yang lebih baik. Situasi dan kondisi tersebut melatarbelakangi terbitnya beberapa regulasi yang mendorong pada implementasi pemenuhan hak – hak PDM melalui program dan layanan yang sesuai kebutuhan seperti Rumah Antara. Pedoman Rumah Antara perlu disusun sebagai panduan bagi perencana program, pelaksana kegiatan dan stakeholders terkait dalam merencanakan dan merealisasikan layanan dimaksud. B. LANDASAN HUKUM 1. Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 2. Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas; 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; 9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; 10. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas oleh Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial; 11. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentangg Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. C. MAKSUD DAN TUJUAN Maksud dan tujuan dari pedoman ini, adalah: 1. Maksud Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan penyelenggaraan Rumah Antara bagi PDM. 2. Tujuan Sebagai pedoman bagi pelaksana kegiatan pelayanan PDM melalui Rumah Antara. D. SASARAN 1. Pemerintah Pusat 2. Pemerintah Daerah 3. Masyarakat 4. Keluarga E. BATASAN PENGERTIAN 1. Orang Dengan Masalah Kejiwaan (disingkat ODMK) adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. 2. Orang Dengan Gangguan Jiwa (disingkat ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. 3. Penyandang Disabilitas Mental (disingkat PDM) adalah Orang Dengan Masalah Kejiwaan/Orang Dengan Gangguan Jiwa (disingkat ODMK/ODGJ) yang dalam berinteraksi dengan lingkungan, mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 4. Rehabilitasi Psikiatrik adalah upaya pemulihan kesehatan mental dan peningkatan keterampilan hidup dan peningkatan keterampilan, agar mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari. 5. Rehabilitasi Sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. 6. Pendamping sosial adalah seseorang yang memiliki kepedulian terhadap penanganan PDM dan sudah mendapatkan pelatihan di bidang rehabilitasi sosial PDM. 7. Fase Akut adalah fase ketika gejala gangguan jiwa yang dialami mencapai puncaknya. Dalam kondisi ini prioritas utama yang diberikan adalah layanan untuk mengontrol dan menstabilisasi gejala – gejala dan semua perilaku abnormal yang menyertai. 8. Fase Stabilisasi adalah kondisi dimana pasien sudah mulai mampu mengatasi gejala – gejala yang dialaminya, sehingga tidak terlalu mengganggu. 9. Fase Pemeliharaan adalah fase yang ditandai dengan menurun/hilangnya gejala – gejala yang dialami oleh pasien dan waktu yang tepat untuk memulai program rehabilitasi sosial yang optimal. Mengawasi tanda – tanda dan risiko kekambuhan dari pasien serta pengawasan minum obat perlu diperhatikan pada fase ini. BAB II PENYANDANG DISABILITAS MENTAL A. KARAKTERISTIK PDM yang dilayani dalam Rumah Antara adalah ODGJ. Permasalahan gangguan jiwa menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014 merupakan permasalahan yang berkaitan dengan gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku. Permasalahan gangguan jiwa dapat dialami oleh siapa saja, dan dapat menimbulkan beban tidak saja bagi penyandangnya tetapi juga bagi keluarganya, apabila tidak mendapatkan penanganan secara tepat. Masalah gangguan jiwa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya: 1. Faktor biologis seperti penyakit fisik kronis, penyakit fisik yang mempengaruhi otak dan penyalahgunaan Napza. 2. Faktor psikologis seperti pola adaptasi, pola penyelesaian masalah, pola mekanisme pertahanan diri dan pola kepribadian. 3. Faktor sosial spiritual seperti pola relasi, sistem dukungan, situasi khusus/krisis, tantangan/tugas – tugas dan stresor atau pemicu. PDM sering kali mengalami masalah yang kompleks. Bukan saja masalah yang terjadi di dalam dirinya seperti halusinasi, waham dan sebagainya, namun yang lebih memperparah permasalahan adalah yang berasal dari luar, yaitu lingkungan sosialnya. Seorang PDM akan mengalami kondisi yang lebih parah atau kekambuhan yang sering apabila lingkungan tidak memberikan dukungan dan rawatan yang dibutuhkan. Tantangan dalam penanganan PDM sangat berkaitan erat dengan stigma dan rendahnya pemahaman serta pengetahuan keluarga/masyarakat tentang permasalahan PDM dan gangguan jiwa yang dialaminya. Salah satu stigma masyarakat adalah anggapan bahwa PDM merupakan individu yang tidak memiliki harapan sehingga akan sangat sulit untuk dioptimalkan potensinya. PDM yang telah mendapatkan rehabilitasi psikiatrik, ketika kembali ke keluarga/masyarakat, keluarga/masyarakat tidak tidak mendapatkan memiliki perawatan pengetahuan dan yang memadai keterampilan karena tentang penanganannya. Terbatasnya layanan sosial melalui panti dan layanan pendampingan sosial bagi PDM juga semakin memperburuk keadaan dan pada akhirnya hal ini menyebabkan penanganan yang dilakukan berujung pada pemasungan. Di dalam buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Pemasungan pada ODGJ yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (2016) dinyatakan bahwa, praktik pemasungan sebenarnya merupakan bentuk praktik perlakuan salah yang dapat dicegah, mengingat gangguan jiwa yang dialami sebagian besar mudah dikenali dan dapat dikurangi resikonya dengan tata laksana yang memadai. Beberapa penelitian telah menunjukkan fakta tentang jenis gangguan jiwa yang seringkali mengalami pemasungan dan alasan pemasungan dilakukan. Memahami keduanya akan membantu untuk mengembangkan berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah pemasungan, dengan memberdayakan potensi dan faktor pendukung yang ada. Berikut akan dijabarkan berbagai gangguan jiwa yang sering mengalami pemasungan: 1. Gangguan skizofrenia Gangguan skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang penyandangnya paling sering mengalami pemasungan. Lebih dari 90% PDM yang mengalami gangguan jiwa ini. Gangguan skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang mudah dikenali dan berisiko untuk melakukan tindakan kekerasan akibat dari gejalanya. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang memiliki sifat dapat kambuh, menahun, dan bila kekambuhan semakin sering terjadi maka orang dengan skizofrenia (disingkat ODS) akan mengalami penurunan fungsi yang semakin berat. Saat sakit, gangguan yang dialami meliputi gangguan perasaan, perilaku, persepsi, pikiran, kognitif dan motivasi. Rincian dari gangguan-gangguan tersebut adalah: a. Gangguan perasaan Gangguan perasaan yang timbul sangat bervariasi mulai dari emosi yang meningkat, meledak-ledak hingga emosi yang kosong, tanpa ekspresi. Respon emosi yang diekspresikan juga bervariasi, bisa luas, menyempit, hingga mendatar tanpa ekspresi, termasuk bisa sesuai namun bisa pula tertawa geli atau tanpa kendali, tanpa alasan yang jelas dan tidak sesuai dengan konteks. b. Gangguan perilaku ODS kronis cenderung tidak memperhatikan penampilannya, tidak mampu merawat diri, tidak menjaga kerapian, tidak menjaga kebersihan dirinya dan menarik diri secara sosial. c. Gangguan persepsi ODS mengalami gangguan dalam sensasi dari panca inderanya, seperti kesalahan persepsi tanpa ada stimulus yang nyata (halusinasi), kesalahan persepsi yang timbul terhadap stimulus yang nyata (ilusi), mengalami atau merasa bahwa dirinya tidak nyata, berubah bentuk, atau asing (depersonalisasi), perasaan subyektif bahwa lingkungan sekitar berubah, tidak nyata, atau asing (derealisasi). d. Gangguan pikiran Gangguan pikiran yang dialami oleh ODS meliputi gangguan pada proses pikir dan isi pikir. Gejala yang biasanya dilaporkan oleh keluarga atau masyarakat diantaranya: “bicara ngaco (kacau)”, “bicara muter – muter”, “bicara ketinggian”, “nggak nyambung”, atau “kesambet”. Gangguan isi pikir yang utama adalah waham, yaitu keyakinan salah yang tidak sesuai dengan fakta, budaya, agama, nilai – nilai, dan status pendidikan, namun tetap dipertahankan walaupun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. e. Gangguan motivasi dan neurokognitif Di samping gejala – gejala yang telah diuraikan di atas, skizofrenia juga memiliki gejala lain yang berhubungan dengan motivasi dan kognitif (kemampuan berpikir). Gejala yang berhubungan dengan motivasi diantaranya tidak memiliki minat atau kehendak, tidak berkegiatan, dan tidak mampu menata rencana sehingga menimbulkan disorganisasi. Sementara gejala yang berhubungan dengan gangguan kognitif adalah gangguan konsentrasi/atensi, gangguan memori terutama memori jangka segera/pendek, dan menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Gejala-gejala pada gangguan skizofrenia sering mengakibatkan ODS tampil dalam kondisi gaduh gelisah hingga berisiko untuk melakukan kekerasan dan sulit dipahami sehingga sulit untuk dibantu. Kondisinya yang sering terlambat dikenali sehingga terkesan terjadi tiba-tiba, berpotensi untuk disalahartikan sebagai bagian dari proses budaya dan spiritual, dianggap kesurupan, kemasukan roh/jin, keberatan nama/ilmu, bahkan tidak jarang pula dianggap sakti oleh keluarga dan masyarakat. 2. Gangguan Jiwa Lainnya dengan Perilaku Gaduh Gelisah dan Kekerasan Berisiko untuk mengalami gejala perilaku yang berupa gaduh gelisah dan kekerasan bukanlah monopoli gangguan skizofrenia. Gaduh gelisah dapat diartikan sebagai kumpulan gejala agitasi yang ditandai dengan perilaku yang tidak biasa, meningkat, dan tanpa tujuan. Tidak harus berkaitan namun dapat menjadi gejala awal dari perilaku agresif yaitu agresivitas verbal maupun gerak/motorik namun tidak ditujukan untuk mencederai seseorang (contoh: mengumpat, melempar atau merusak barang) dan perilaku kekerasan yaitu perilaku yang ditujukan untuk mencederai baik dirinya maupun orang lain (memukul, melukai diri, atau membunuh). a. Gangguan Demensia Demensia merupakan kumpulan gejala akibat gangguan pada struktur otak yang bersifat menahun, menurunkan fungsi dan mengganggu kegiatan sehari-hari akibat penurunan fungsi luhur (kognitif), termasuk daya ingat/memori (kesulitan mengingat hal-hal yang baru dipelajari bahkan dalam kondisi yang lebih berat, ingatan sebelumnya juga hilang), konsentrasi, orientasi, kemampuan memahami, mengidentifikasi risiko dan konsekuensi (berpikir kritis, menyusun rencana), berhitung, kemampuan belajar, dan berbahasa, yang berdampak pada kemampuan pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi. Problem perilaku dan psikologik yang sering ditemukan pada orang dengan demensia diantaranya gangguan persepsi, proses pikir, suasana perasaan dan perilaku yang sering disalahartikan sebagai skizofrenia. b. Gangguan Penyalahgunaan Zat (NAPZA) Gangguan penyalahgunaan zat berhubungan dengan dua kondisi utama, yaitu intoksikasi dan putus zat. Intoksikasi adalah kumpulan gejala akibat penyalahgunaan zat yang mempengaruhi satu atau lebih fungsi mental berupa: memori, orientasi, mood, perilaku, sosial dan pekerjaan. Intoksikasi dapat menimbulkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, perasaan atau perilaku yang secara klinis bermakna. Gejala Putus Zat (Withdrawal) adalah kumpulan gejala yang terjadi setelah menghentikan atau mengurangi penggunaan zat psikoaktif, sesudah penggunaan berulang kali yang berlangsung lama dan/atau dalam jumlah yang banyak dengan keluhan yang sesuai karakteristik zat psikoaktif tertentu. c. Gangguan Afektif Bipolar Gangguan jiwa ini bersifat episodik, dapat kambuh, namun berpotensi baik untuk penyembuhan cepat bila mendapatkan tata laksana yang adekuat dan segera. Namun bila tidak, dapat berdampak besar untuk timbulnya kematian. Gangguan ini terutama berhubungan dengan gejala suasana perasaan gembira berlebihan (manik), hipomanik, sedih berlebihan (depresi), atau campuran dua kutub emosi dalam satu episode. Disebut sebagai gangguan bila gejala manik berlangsung minimal satu minggu, atau empat hari untuk gejala hipomanik, atau dua minggu untuk gejala depresi dan mengakibatkan gangguan aktivitas serta fungsi sehari-hari. Dalam kondisi yang berat, dapat disertai gejala psikotik, risiko bunuh diri, maupun risiko melukai orang lain. Kondisi tersebut tentu saja membutuhkan perawatan yang lebih intensif. Risiko lain dalam kelompok gangguan ini adalah penyalahgunaan obat, zat, dan alkohol yang berujung pada perilaku berisiko lainnya seperti seks bebas. d. Retardasi Mental Gangguan ini ditandai oleh kurangnya kemampuan mental dan keterampilan yang diperlukan seseorang untuk menjalankan kehidupan termasuk menyelesaikan masalah, ditandai dengan gangguan pada keterampilan pada beberapa area perkembangan (seperti kognitif, bahasa, motorik, dan sosial) selama periode perkembangan. Ciri utamanya adalah ketidaksesuaian usia kemampuan yang dimiliki dengan usia sesungguhnya. Sebagai contoh, seorang anak memiliki kemampuan yang sesuai untuk anak umur di bawah tiga tahun, padahal usia sesungguhnya anak tersebut adalah lima tahun. Kondisi ini mengakibatkan keterbatasan fungsi intelegensia (penyelesaian masalah) dan fungsi perilaku adaptif (penyesuaian diri). e. Gangguan Perilaku pada Anak dan Remaja Gangguan perilaku pada anak dan remaja yang dapat menyebabkan perilaku gaduh gelisah, agresif, dan kekerasan diantaranya adalah gangguan perilaku menentang, gangguan atensi yang berat dan hiperaktif, serta gangguan autisme. Berdasarkan buku konsesus penatalaksanaan gangguan skizoprenia (PDSKJI, 2011), gangguan jiwa dapat diklasifikasikan pada tiga fase yaitu: 1. Fase Akut PDM pada fase akut ditandai dengan: a. Gejala agitasi yang terlihat dari adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap stimulus internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan. Agitasi juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak koperatif, ledakan kemarahan, sikap atau ancaman secara verbal, destruktif dan penyerangan fisik. b. Sensitifitas sosialnya menurun dan impulsifitasnya meningkat. Tindakan ini dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang menyuruh ODS melakukan tindakan tertentu. c. Perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakan sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau orang lain. Risiko terjadinya perilaku agresif meningkat bila ia berkomorbiditas dengan penyalahgunaan alkohol atau zat, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan sebelumnya. PDM yang berada pada fase ini harus segera mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Layanan yang dapat diberikan pada fase ini adalah melalui Rumah Sakit Jiwa atau Rumah Sakit Umum. Bentuk layanan yang diberikan adalah pemberian psikofarmaka yang optimal, mengurangi stresor sosial dan lingkungan, serta mengurangi stimulasi yang berlebihan. 2. Fase Stabilisasi PDM pada fase stabilitasi ditandai dengan: a. PDM belum mampu mengelola gejala kejiwaannya dengan baik. b. PDM rentan terhadap pemicu kekambuhan (stresor). c. PDM membutuhkan pemantauan akan kepatuhan minum obat. Pada fase ini dilakukan pengobatan optimal yang berkelanjutan, edukasi pasien dan keluarga tentang gejala dan efek samping pengobatan, dan mulai membantu pasien untuk kembali pada fungsi psikososialnya yang optimal. PDM yang berada pada fase ini dapat ditangani secara khusus pada Rumah Antara untuk dapat dilatih dalam mengenali gejala-gejala, cara mengelola gejala, melatihkan kemampuan merawat diri, dan mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. 3. Fase Pemeliharaan PDM pada fase pemeliharaan ditandai dengan: a. PDM telah memenuhi syarat terhadap kepatuhan minum obat. b. Minim terhadap resiko kekambuhan atau stresor yang memicu kekambuhan. c. Siap mengikuti kegiatan rehabilitasi sosial dengan pemantauan berkala dari psikiatrik dan perawat kesehatan jiwa. Penyandang disabilitas yang berada pada fase ini dapat diberikan layanan melalui Panti Rehabilitasi Sosial (UPT/UPTD/LKS) dan berbasis masyarakat (UILS/POS REHSOS) untuk meningkatkan keberfungsian sosialnya. B. PERMASALAHAN Pada umumnya PDM dan lingkungan sosialnya mengalami masalah yang cukup kompleks, antara lain adalah: 1. Stigma terhadap PDM. Permasalahan PDM tidak lepas dari faktor sosial budaya masyarakat. Di Indonesia, PDM masih sangat erat berkaitan dengan anggapan-anggapan masyarakat bahwa itu diakibatkan oleh hal – hal mistis seperti kerasukan roh jahat dan kutukan. melatarbelakangi cara pandang keluarga dan masyarakat tentang Hal ini bagaimana penanganan PDM. Pengobatan yang dilakukan oleh keluarga biasanya adalah dengan membawa PDM pergi ke dukun atau orang – orang pintar (supranatural). Penanganan yang diberikan tidak tepat karena tidak menyentuh akar masalah di mana persoalan PDM adalah menyangkut permasalahan kesehatan. Stigma masyarakat menilai bahwa PDM adalah orang yang tidak dapat dimaksimalkan potensinya. PDM adalah individu yang sangat bergantung pada orang lain dan harus dibantu karena dianggap tidak bisa melakukan apa – apa meskipun sudah pulih kondisinya, sehingga sering kali dianggap merepotkan keluarga atau orang-orang disekitarnya. 2. Terbatasnya pengetahuan dan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam penanganan PDM. Permasalahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: a. Faktor pendidikan keluarga yang rendah. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di daerah pelosok pedesaan dengan fasilitas pendidikan yang minim, sehingga tidak semua anggota masyarakat memiliki pendidikan yang memadai bahkan masih ada sebagian kecil yang tidak pernah bersekolah. Kondisi ini sangat memberikan pengaruh terhadap rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat khususnya berkaitan dengan masalah PDM dan cara perawatannya dalam keluarga. b. Faktor beban trauma keluarga akibat permasalahan gangguan jiwa yang dialami anggota keluarganya. Seringkali beban trauma keluarga menyebabkan keluarga sulit keluar dari situasi yang dialaminya dan menyebabkan keluarga menjadi tidak mampu berbuat yang lebih baik dalam mengupayakan perawatan bagi PDM. Keluarga lebih memilih pasrah pada keadaan dan menunggu bantuan dari pihak lain. Keluarga juga memilih untuk melakukan pemasungan pada anggota keluarganya yang PDM agar tidak menjadi ancaman bagi anggota keluarga lainnya maupun bagi orang lain di masyarakat. 3. Kesulitan mengakses layanan kesehatan. PDM belum mendapatkan layanan sesuai kebutuhan, sehingga sering kali mengalami kekambuhan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa PDM seringkali tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) karena sebagian besar keluarga malu untuk melaporkan kepada aparat desa akan keberadaan anggota keluarganya yang mengalami masalah gangguan jiwa. Dampaknya akan menyulitkan keluarga jika ingin mengakses layanan kesehatan gratis bagi PDM melalui BPJS Kesehatan. Kondisi ini diperparah dengan akses layanan dasar bagi PDM masih sangat terbatas dan belum merata ke seluruh daerah. 4. Minimnya sarana prasarana layanan yang dimiliki oleh setiap daerah: Rumah Sakit Jiwa belum ada di setiap daerah, panti rehabilitasi sosial dan layanan berbasis masyarakat jumlahnya sangat terbatas. 5. Kurangnya koordinasi lintas sektor dalam rehabilitasi bagi PDM. Layanan dasar bagi PDM belum dapat dilaksanakan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan. Sebagai contoh, layanan kesehatan yang dilaksanakan bagi PDM belum dapat terkoneksi dengan baik dengan layanan rehabilitasi sosial. Masing – masing sektor melaksanakan layanan sesuai dengan agendanya dan belum dapat berkontribusi satu sama lain, sehingga hasil yang dicapai dalam proses pemberian layanan juga belum maksimal. 6. Terbatasnya kuantitas dan kualitas SDM yang bekerja di bidang kesehatan jiwa. Peran SDM di bidang kesehatan jiwa baik dari sektor kesehatan maupun dari sektor sosial sangat penting dalam memberikan layanan rehabilitasi bagi PDM. Peran SDM di bidang kesehatan jiwa dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dan keluarga tentang permasalahan PDM, penanganan (perawatan dan pengasuhan) serta pemberdayaan PDM. 7. Terbatasnya program penguatan keluarga dan masyarakat. Isu PDM belum dapat dipahami oleh semua sektor, sehingga program layanan bagi PDM juga belum sepenuhnya hadir sampai level pedesaan. Keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat bagi PDM belum mendapatkan sentuhan yang optimal, padahal keluarga dan masyarakat merupakan potensi yang dapat dimaksimalkan dalam program rehabilitasi bagi PDM. Program – program penguatan pada keluarga dan masyarakat masih sangat sedikit dilakukan oleh berbagai sektor yang terkait. C. KEBUTUHAN Menurut Albert Maramis dalam World Health Report 2011 (WHO), kebutuhan di bidang kesehatan jiwa masyarakat terdiri dari: 1. Kebutuhan di bidang medis: a. Deteksi dini b. Informasi tentang penyakit dan pengobatannya c. Layanan medik d. Dukungan psikologik e. Rawat inap 2. Kebutuhan di bidang Rehabilitasi: a. Dukungan sosial b. Pendidikan c. Dukungan vokasional d. Day care e. Perawatan jangka panjang f. Kebutuhan spiritual 3. Kebutuhan di dalam Komunitas: a. Pencegahan stigma dan diskriminasi b. Partisipasi sosial sepenuhnya c. Pemenuhan HAM 4. Kebutuhan di dalam Keluarga: a. Keterampilan merawat b. Kohesi keluarga c. Jejaring dengan keluarga lain d. Dukungan krisis e. Dukungan keuangan f. Sulih Rawat/Respite care Pemenuhan kebutuhan stabilisasi bagi PDM di empat seting tersebut harus dilakukan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga diperlukan sebuah wadah dalam bentuk lembaga yang dapat berfungsi untuk melaksanakan fungsi terkait dengan kebutuhan-kebutuhan dimaksud. Kehadiran Rumah Antara menjadi sangat penting karena merupakan: 1. Lembaga rehabilitasi sosial yang dapat memberikan layanan rawat inap berjangka waktu tertentu dalam upaya pemulihan setelah rehabilitasi psikiatrik di rumah sakit jiwa/ rumah sakit umum, untuk belajar mengenali gejala – gejala , cara mengelola gejala, melatihkan kemampuan merawat diri, dan mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. 2. Tempat bagi PDM mendapatkan dukungan sosial untuk meningkatkan keterampilan sosial serta mengurangi ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 3. Tempat untuk mengembangkan kemampuan interaksi/penyesuaian sosial sebagai latihan untuk kembali kepada keluarga dan kehidupan di masyarakat sehingga dapat berpartisipasi penuh dalam setiap aspek kegiatan. 4. Tempat pemulihan yang mudah untuk diakses: lokasinya berada di tengah – tengah komunitas. 5. Tempat melakukan proses pendampingan sosial secara intensif bagi PDM. 6. Tempat yang dapat berfungsi memberikan edukasi terhadap keluarga PDM dalam hal keterampilan perawatan, pencegahan stigma dan diskriminasi dan dukungan krisis. D. POTENSI DAN TANTANGAN Beberapa potensi dan tantangan yang dapat kita identifikasi terkait dengan penanganan PDM, yang selanjutnya dapat memberikan dukungan dalam perwujudan kegiatan rumah antara. Potensi yang dapat mendukung upaya pelaksanaan rumah antara adalah: 1. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang pembagian urusan antara pusat dan daerah, diharapkan hal ini akan menjadi pedoman bagi daerah dalam menentukan visi, misi dan program daerah termasuk didalamnya dapat mengakomodir tentang isu-isu PDM. 2. Kolaborasi antara Kementerian/Lembaga terkait bidang disabilitas mental, akan menjadi daya dorong yang positif dalam mengusung program prioritas bagi PDM. 3. Komitmen daerah dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Disabilitas. Peraturan Daerah ini akan menjadi dasar hukum bagi daerah dalam mengakomodir kegiatan-kegiatan yang bertujuan mewujudkan hak-hak PDM di daerah, salah satunya adalah kegiatan Rumah Antara. 4. Fasilitas sarana prasarana yang dimiliki oleh daerah, dimana sebagian besar daerah telah berupaya membangun rumah singgah yang difungsikan sebagai tempat layanan sementara bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Sarana ini juga dapat dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Rumah Antara. Tantangan yang perlu dijawab dalam pengembangan kegiatan-kegiatan perwujudan hak PDM adalah: 1. Isu PDM belum menjadi isu prioritas bagi semua daerah, ini menuntut pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Sosial harus segera menerbitkan Peraturan Menteri Sosial tentang Standar Pelayanan Minimal, yang didalamnya juga mengatur tentang urusan disabilitas dan melakukan advokasi sosial agar isu PDM juga mendapat tempat yang porsinya tepat sesuai dengan kapasitas daerah. 2. Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) bidang kesehatan jiwa dari sektor sosial, yaitu pekerja sosial. Keberadaan pekerja sosial di Indonesia sampai saat ini jumlahnya masih sangat terbatas, dimana belum semua provinsi/kabupaten/kota memiliki pekerja sosial profesional yang dapat menjadi motor penggerak program rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas di beberapa seting layanan. 3. Tersedianya rehabilitasi yang berkesinambungan sehingga tercapai ketuntasan rehabilitasi bagi PDM. Rehabilitasi yang tuntas dapat dicapai dengan sinergitas pelayanan dari berbagai pihak yang diperlukan dalam penanganan PDM. BAB III REHABILITASI SOSIAL PADA RUMAH ANTARA A. KELEMBAGAAN 1. Pengertian Layanan Rumah Antara adalah alternatif layanan yang diberikan dalam sebuah lembaga dengan tujuan untuk memulihkan kondisi bio psiko sosial spiritual PDM dan memberikan dukungan penuh dalam proses integrasi ke dalam kehidupan masyarakat. Konsep layanan Rumah Antara berorientasi pada upaya pencegahan kekambuhan pasca episode kejiwaan akut dan stabilisasi kondisi PDM dalam penyesuaian sosial dan peningkatan keterampilan sosial. Layanan pada Rumah Antara terdiri dari layanan rehabilitasi psikiatrik, psikososial, sosial, dan vokasional. Layanan rehabilitasi psikiatrik dan psikososial meliputi layanan perawatan rutin yang dilakukan oleh psikiater, perawat, atau tenaga bidang kesehatan jiwa untuk manajemen gejala dan manajemen terapi termasuk kepatuhan minum obat. Layanan rehabilitasi sosial dan vokasional dilakukan oleh pekerja sosial, psikolog, terapi okupasi dan pendamping untuk peningkatan keberfungsian sosial, sehingga PDM dapat berintegrasi di masyarakat. Rumah Antara dilaksanakan dengan kerjasama antara sektor sosial dan sektor kesehatan dengan pertimbangan bahwa manajemen kesehatan jiwa mencakup aspek bio, psiko, sosial dan spiritual yang harus dilaksanakan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan. 2. Maksud dan Tujuan a. Maksud Pendirian Rumah Antara dimaksudkan agar PDM memiliki tempat untuk pemulihan secara optimal, sehingga dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya, sebelum kembali ke kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. b. Tujuan 1) Memberikan kesempatan PDM dalam meningkatkan kemampuan mengelola gejala sehingga dapat mencegah kekambuhan. 2) Menjamin kesinambungan pelayanan rehabilitasi bagi PDM. 3) Meningkatkan dukungan keluarga dan lingkungan terhadap pemulihan PDM. 4) Meningkatkan keberfungsian sosial PDM. 5) Meningkatkan partispasi aktif PDM di dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Struktur dan Fungsi Struktur Organisasi Rumah Antara Pelaksanaan kegiatan Rumah Antara dibawah koordinasi Dinas Sosial Provinsi, dengan struktur organisasi dan fungsi sebagai berikut: a. Koordinator Koordinator memiliki fungsi mengatur pelaksanaan kegiatan Rumah Antara, antara lain membuat perencanaan kegiatan, memonitor pelaksanaan proses kegiatan, melaporkan perkembangan kegiatan dan melakukan konsultasi serta koordinasi dengan stake holders yang terlibat. Koordinator dapat diangkat dari unsur pegawai Dinas Sosial Provinsi atau petugas yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial Provinsi. b. Bagian Administrasi Bagian administrasi memiliki fungsi menyusun perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan di bidang administrasi kegiatan serta administrasi keuangan Rumah Antara. Bagian administrasi dapat diangkat dari unsur pegawai Dinas Sosial Provinsi atau petugas yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial Provinsi. c. Bagian Rehabilitasi Psikiatrik dan Psikososial Bagian Rehabilitasi Psikiatrik dan Psikososial berfungsi untuk mengatur pelaksanaan upaya pemulihan kesehatan mental dan peningkatan keterampilan hidup dengan cara mengkoordinir tenaga pelaksana (Psikiater, Perawat dan terapis okupasi), fasilitasi sumber yang mendukung pelaksanaan kegiatan dan konsultasi serta koordinasi dengan penyedia akses layanan kesehatan lainnya. d. Bagian Rehabilitasi Sosial Bagian Rehabilitasi Sosial memiliki fungsi untuk mengatur pelaksanaan upaya refungsionalisasi dan pengembangan fungsi sosial PDM secara wajar dalam kehidupan masyarakat, dengan cara mengkoordinir tenaga pelaksana (Pekerja sosial, Psikolog dan Pendamping Sosial), fasilitasi sumber yang mendukung pelaksanaan kegiatan dan konsultasi serta koordinasi dengan penyedia akses layanan sosial lainnya. e. Case Manager (Manajer Kasus) Manajer kasus memiliki fungsi merencanakan, mengorganisasikan, mengkoordinasikan dan memonitor pelayanan – pelayanan dan sumber – sumber yang dibutuhkan untuk merespon kebutuhan – kebutuhan individu terhadap kesehatan dan pelayanan sosial (American Hospital Association, 1987:2). 4. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia pelaksana kegiatan rumah antara terdiri dari: a. Psikiater b. Pekerja Sosial c. Perawat d. Terapis Okupasi e. Psikolog f. Pendamping Sosial 5. Sarana dan Prasarana a. Ruangan untuk kantor dan administrasi b. Asrama untuk kapasitas tampung maksimal 30 orang c. Ruangan pemeriksaan/konseling d. Ruang Bimbingan e. Dapur dan Ruang makan B. MEKANISME LAYANAN 1. Sasaran Sasaran pelayanan Rumah Antara adalah PDM dengan kriteria sebagai berikut: a. PDM pasca episode kejiwaan akut. b. PDM yang masih memerlukan perawatan psikiatrik lanjutan dan pemantauan dalam proses stabilisasi kondisi kejiwaannya. c. PDM yang mengalami hambatan dalam penyesuaian sosial. d. PDM yang mendapat penolakan dari keluarga dan masyarakat dalam proses reintegrasi sosial. 2. Proses Layanan Proses layanan pada Rumah Antara dilakukan secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan di bawah koordinasi seorang manajer kasus. PDM dapat mengakses layanan rumah antara dengan mengikuti tahapan sebagai berikut: Proses Layanan di Rumah Antara Bagan di atas menjelaskan bahwa proses layanan pada Rumah Antara dapat dilaksanakan sebagai berikut: a. PDM pasca episode kejiwaan akut yang telah mendapatkan rehabilitasi psikiatrik di RSU/RSJ atau rumah perawatan kesehatan jiwa dapat dirujuk untuk mendapatkan layanan di Rumah Antara. b. Asesmen, untuk menentukan apakah PDM sesuai dengan kriteria penerima manfaat yang akan diberikan layanan di Rumah Antara. Jika tidak sesuai dengan kriteria maka dilakukan rujukan untuk mendapatkan layanan yang sesuai kebutuhan pada layanan yang sudah tersedia. Kriteria PDM yang dapat diberikan layanan pada Rumah Antara adalah yang berada pada fase stabilisasi dengan kondisi sebagai berikut: 1) PDM belum mampu mengelola gejala kejiwaannya dengan baik. 2) PDM rentan terhadap pemicu kekambuhan (stresor). 3) PDM membutuhkan pemantauan akan kepatuhan minum obat. 4) Keluarga PDM membutuhkan dukungan pemulihan kondisi pasca trauma terhadap masalah kejiwaan yang dialami oleh anggota keluarga. c. Penerimaan dan registrasi. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan dalam proses pemulihan dan peningkatan keberfungsian sosialnya dari sisi: 1) PDM 2) Keluarga 3) Lingkungan d. Pemberian layanan rehabililitasi psikiatrik dan rehabilitasi sosial secara terintegrasi, terkoordinasi dan berkesinambungan. e. Evaluasi perkembangan PDM. f. Berdasarkan hasil evaluasi perkembangan berkala dapat dilakukan proses integrasi ke keluarga atau dirujuk ke layanan lain sesuai kebutuhan. PDM yang tidak memiliki keluarga atau wali dapat dirujuk untuk mendapatkan layanan pada UPT/UPTD/LKS. PDM yang sudah kembali ke keluarga dapat melanjutkan proses rehabilitasi sosial dengan mengakses layanan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat. g. Bimbingan lanjut bagi PDM yang telah berada dalam keluarga dan masyarakat. 3. Jenis Layanan Jenis layanan yang diberikan di Rumah Antara berdasarkan tahapan layanan adalah: a. Layanan Rehabilitasi Psikiatrik Rehabilitasi Psikiatrik adalah Upaya rehabilitasi yang dilakukan dengan tujuan pemulihan pasien dari disabilitas psikiatrik yang dialaminya, yaitu adanya satu atau lebih fungsi yang terganggu, sehingga mengganggu otonomi seseorang dalam pekerjaan, pendidikan, keluarga dan relasi sosial, rekreasi dan kehidupan yang mandiri. Rehabilitasi psikiatrik yang dilakukan ditujukan untuk meminialisir resiko kekambuhan yang sangat tinggi pada fase stabilisasi ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi pencapaian teurapeutik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnya gejala akut. Layanan rehabilitasi psikiatrik yang diberikan adalah: 1) Manajemen gejala Bertujuan untuk mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Hal ini termasuk kemampuan PDM mengenali gejala-gejala dan cara mengelola gejala. 2) Manajemen terapi (antara lain kepatuhan minum obat) Pemantauan yang terus-menerus dan penilaian selama fase stabil penting untuk menentukan manfaat obat yang didapat oleh ODS. Penilaian yang terus-menerus membuat ODS atau semua yang berinteraksi dengan ODS dapat memantau setiap perubahan gejala dan fungsi. Hal ini termasuk kemampuan merawat diri dan mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Prinsip dalam melakukan Rehabilitasi Psikiatrik antara lain: 1) Pemulihan hidup yang normal di masyarakat merupakan hal yang mungkin terwujud bagi PDM apabila “best practice” dalam rehabilitasi diterapkan. 2) Penurunan fungsi (Impairment), disabilitas, dan cacat (handicap) dapat dikurangi dan diatasi dengan mengintegrasikan intervensi farmakologi dan psikososial yang didukung oleh kebijakan pemerintah. 3) Terapi secara individual adalah pilar dasar rehabilitasi karena setiap orang adalah unik termasuk bagaimana keluarga, suku, budaya berperan dalam respon dari terapi yang diberikan. 4) Rehabilitasi akan lebih efektif dan pemulihan akan lebih cepat tercapai apabila pasien dan keluarga berperan secara aktif mulai dari perencanaan dan pelaksanaan terapi. 5) Integrasi dan koordinasi dari berbagai multi disiplin lintas profesi, program dan sektor yang terkait dibutuhkan untuk kemajuan proses rehabilitasi. 6) Membangun kekuatan, minat, dan kapabilitas dari pasien adalah landasan utama dari rehabilitasi. 7) Rehabilitasi memerlukan waktu, berlangsung bertahap, membutuhkan ketahanan, kesabaran, dan ketekunan dari pasien, keluarga dan pemberi layanan. b. Layanan Rehabilitasi Sosial Layanan rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dalam pengembangan individu untuk memungkinkan PDM mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Beberapa layanan rehabilitasi sosial yang dapat dilaksanakan di Rumah Antara, adalah: 1). Bimbingan Keterampilan Kehidupan Sehari-hari a) Bimbingan aktifitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian, kebersihan diri, serta belajar menggunakan fasilitas umum dengan atau tanpa alat bantu, dan sebagainya. b) Bimbingan keterampilan mempertahankan kehidupannya di masyarakat secara wajar seperti keterampilan komunikasi, keterampilan pengelolaan uang, keterampilan dalam memahami aturan/ kaidah/ norma di masyarakat. 2). Bimbingan Fisik Bimbingan pemeliharaan kesehatan dan ketahanan fisik, seperti latihan mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan otot dan koordinasi gerakan. 3). Bimbingan Mental Bimbingan peningkatan kemampuan menghadapi masalah, menghadapi stresor, memilih alternatif solusi atau jalan keluar masalah. Teknik yang dapat digunakan adalah teknik percakapan sosial, teknik konseling dasar, teknik motivasi/ support dan teknik pengubahan perilaku. 4). Bimbingan Kerohanian Bimbingan keagamaan untuk meningkatkan penerimaan diri, membangun semangat dan motivasi, serta meningkatkan ibadah keagamaan. 5). Bimbingan Sosial Bimbingan keterampilan hubungan antar pribadi atau membina hubungan sosial, seperti berteman, menjalin komunikasi dan membangun rasa tanggung jawab terhadap pribadi maupun lingkungan. 6). Bimbingan keterampilan pengembangan diri Kegiatan pengembangan diri PDM melalui praktek keterampilan vokasi, berupa bimbingan keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaan. Upaya meningkatkan kemandirian untuk bekerja, mengikuti aturan dan tata tertib, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan memelihara alat kerja dan dapat menerima kritikan. 7). Layanan komunikasi, edukasi dan informasi Kegiatan pemberian informasi, sosialisasi dan bimbingan terkait masalah, kebutuhan dan penanganan yang dialami PDM dan keluarganya. Prinsip dalam rehabilitasi sosial: a. Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengembalikan kemampuan fungsi sosial didasari perspektif kekuatan/ kapasitas individu yang terus berkembang, sehingga perubahan kemampuan fungsi sosial adalah hal yang mungkin pada setiap PDM sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. b. Penghormatan atas martabat yang melekat, otonomi individu termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan bentuk rehabilitasi sosial. c. Melibatkan orang-orang terdekat dan lingkungan terdekat sebagai system sumber mediator dalam rehabilitasi sosial. d. Individualiasi, dalam artian rehabilitasi sosial yang dilakukan adalah spesifik bagi setiap orang karena setiap individu adalah unik dan berbeda. e. Pemberdayaan, capaian kemandirian diutamakan sehingga PDM selalu dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi sosial. Pencapaian sekecil mungkin selalu didukung dan dihargai. Mencapai kemandirian mental, psikologis, sosial dan fisik, dalam arti adanya keseimbangan antara apa yang masih dapat dilakukannya dan apa yang tidak dapat dilakukannya. f. Non diskriminasi pelayanan terhadap semua PDM yang membutuhkan layanan. 4. Jangka Waktu Layanan Jangka waktu layanan kegiatan Rumah Antara maksimal adalah enam bulan, dengan pemantauan perkembangan PDM secara berkala. Setelah memenuhi target perkembangan yang diinginkan, maka PDM dirujuk ke layanan yang sesuai dengan kebutuhan. 5. Catatan Kasus Setiap tahap pada proses layanan hendaknya didukung dengan pencatatan secara individual (per penerima manfaat). C. KEMITRAAN DAN KERJASAMA Kemitraan dan kerjasama diharapkan dapat mendukung keberhasilan Rumah Antara dalam memberikan layanan kepada penyandang disabilias mental sesuai dengan kebutuhannya. Kemitraan dan kerjasama dapat dijalin antara pemerintah dan masyarakat juga antara sektor kesehatan dan sektor sosial dengan merujuk kepada peran dan fungsi masingmasing sebagai berikut: 1. Rumah Sakit atau Rumah Sakit Jiwa sebagai mitra dalam pemberian layanan rehabilitasi psikiatrik dan rehabilitasi sosial. Kemitraan ini dapat dibangun melalui penyusunan Kesepakatan Bersama dengan Rumah Sakit dimana Rumah Sakit dapat mengembangkan layanan berdasarkan program kerja Rumah Sakit. 2. Puskesmas sebagai mitra dalam layanan kesinambungan obat bagi PDM dan program edukasi keluarga PDM. 3. Dinas sosial/instansi sosial memberikan pembinaan pengawasan kepada pelaksanaan rumah antara, konsultasi, bantuan sosial, program pemberdayaan, program pendampingan oleh pekerja sosial kepada PDM dan keluarganya. 4. Panti rehabilitasi memberikan pendampingan, informasi dan edukasi. 5. Lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan jiwa melalui program bersama yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pemulihan PDM. 6. Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) melalui kegiatan deteksi dini, penjangkauan dan pendampingan. 7. Balai latihan kerja/ institusi ketenagakerjaan dalam peningkatan keterampilan vokasional. 8. Organisasi konsumen kesehatan jiwa. 9. Asosiasi keluarga PDM. 10. Organisasi Kemasyarakatan. 11. Lembaga masyarakat desa. 12. Penyintas atau orang yang telah berhasil bertahan dari masalah atau gangguan kejiwaan yang dialaminya. D. INDIKATOR 1. Indikator Input a. Jumlah PDM yang datang ke Rumah Antara b. Jumlah rujukan dari RS/RSJ, keluarga dan organisasi konsumen 2. Indikator Proses a. Terlaksananya kegiatan di Rumah Antara b. Terlaksananya kegiatan layanan psikiatrik dan rehabilitasi sosial yang terintegrasi. 3. Indikator Output a. Jumlah PDM yang mendapatkan layanan di Rumah Antara. b. Menurunnya angka PDM yang mengalami kekambuhan. 4. Indikator Outcome a. Meningkatnya kemampuan penyesuaian diri, keterampilan sosial PDM untuk berintegrasi dengan keluarga dan masyarakat. b. Meningkatnya partisipasi aktif PDM di dalam kehidupan masyarakat. c. Meningkatnya dukungan lingkungan terhadap pemulihan PDM. 5. Indikator Impact Terwujudnya layanan yang terintegrasi bagi penanganan PDM. BAB IV SUPERVISI, MONITORING, EVALUASI, DAN PELAPORAN Supervisi, monitoring, evaluasi dan pelaporan program dilakukan secara berkala. Keseluruhan proses ini akan memastikan bahwa kegiatan Rumah Antara dilakukan secara profesional dan memberikan umpan balik positif bagi upaya perbaikan layanan. A. SUPERVISI Supervisi merupakan kegiatan pembinaan untuk mengetahui apakah pelaksanaan pelayanan di Rumah Antara sesuai dengan ketentuan buku pedoman pelayanan Rumah Antara. Kegiatan ini bertujuan untuk mengoptimalisasi sumber daya manusia (pelaksana) pelayanan Rumah Antara. 1. Ruang lingkup supervisi: a. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam kegiatan layanan Rumah Antara, termasuk apakah pembagian tugas telah dilaksanakan secara profesional (sesuai dengan beban kerja dan saling mengisi/ menunjang kegiatan). b. Pengelolaan layanan meliputi kegiatan rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikiatrik dan rehabilitasi psikososial. c. Pengelolaan dana meliputi penggunaan dana dan pelaporannya. d. Pengelolaan sarana dan prasarana yang dimiliki. 2. Pelaksana supervisi a. Pemerintah pusat (Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan). b. Pemerintah daerah Dinas Sosial/Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota. c. Tim supervisor yang telah ditunjuk. 3. Pelaksanaan supervisi Kegiatan supervisi dapat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, artinya supervisi dapat dilakukan sewaktu-waktu jika dipandang perlu dan/ atau jika terdapat kesulitankesulitan yang dihadapi oleh petugas/ pelaksana layanan Rumah Antara. B. MONITORING Monitoring adalah kegiatan pemantauan/ pengawasan untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan di Rumah Antara. 1. Ruang lingkup monitoring a. Proses layanan yang dilakukan meliputi kegiatan rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikiatrik dan rehabilitasi psikososial. b. Realisasi kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. c. Pengelolaan dana. d. Penggunaan sarana prasarana. 2. Pelaksana monitoring a. Petugas Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan. b. Petugas Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/ Kota. c. Tim monitoring yang telah ditunjuk. 3. Pelaksanaan monitoring Dilaksanakan pada saat kegiatan berlangsung hingga selesainya kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung. C. EVALUASI Evaluasi adalah proses kegiatan yang dilaksanakan untuk menilai hasil-hasil kegiatan yang telah dicapai. Dari kegiatan evaluasi ini dapat diperoleh informasi kesesuaian atau penyimpangan-penyimpangan dalam pencapaian tujuan, hambatan-hambatan yang dihadapi serta perubahan-perubahan yang diperlukan untuk penyesuaian program sebagai bahan untuk pembuatan kebijakan selanjutnya. 1. Ruang lingkup evaluasi: a. Proses penyelenggaraan kegiatan meliputi proses layanan rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikiatrik dan rehabilitasi psikososial. b. Capaian indikator keberhasilan dan tujuan. c. Pengelolaan dana, yaitu: penggunaan dan pelaporan selama proses layanan berjalan. d. Penggunaan sarana dan prasarana apakah sudah dimanfaatkan secara optimal untuk penyelenggaraan layanan. e. Penerima manfaat, apakah layanan yang diberikan telah mempunyai nilai manfaat dan sesuai dengan kebutuhannya. f. Faktor-faktor yang mempengaruhi (pendukung dan penghambat). 2. Pelaksana Evaluasi a. Petugas Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan. b. Petugas Dinas Sosial dan Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota. c. Tim evaluasi yang telah ditunjuk. 3. Pelaksanaan Evaluasi Dilaksanakan secara berkala saat kegiatan berlangsung maupun setelah selesainya kegiatan. D. PELAPORAN Pelaporan adalah penyampaian informasi tentang kegiatan yang sudah dilaksanakan, hambatan atau masalah yang dihadapi, alternatif dan usulan untuk mengatasi masalah. 1. Ruang lingkup laporan: a. Realisasi layanan, yakni kegiatan layanan yang sudah diberikan kepada PDM dan keluarganya. b. Kondisi PDM meliputi jumlah yang telah dilayani (pencapaian kuantitatif) dan hasil pelayanan (pencapaian kualitatif). c. Penggunaan sarana dan prasarana serta dukungan fasilitas yang dimiliki lembaga. d. Kondisi sumber daya manusia pelaksana kegiatan. e. Pengelolaan dana meliputi sumber (penerimaan) dan penggunaan dana selama proses pelayanan. 2. Pelaksana: Pelaksana pelaporan adalah Rumah Antara disampaikan kepada: a. Kementerian Sosial b. Kementerian Kesehatan c. Dinas Sosial Provinsi/Kabupaten/Kota d. Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota 3. Pelaksanaan laporan: a. Laporan bulanan b. Laporan triwulan c. Laporan semester d. Laporan tahunan 4. Bentuk laporan a. Umumnya dalam bentuk narasi b. Matrik dalam bentuk tabel. Pelaporan dapat dikatakan baik apabila memenuhi beberapa unsur antara lain: a. Disusun secara sistematis. b. Memuat masalah-masalah kegiatan pengembangan Rumah Antara. c. Mudah dibaca dan dipahami. d. Dilengkapi dengan data dan foto kegiatan. BAB V PENUTUP Permasalahan PDM akhir-akhir ini mengemuka yang disebabkan oleh banyaknya publikasi tentang kasus-kasus perlakuan salah, penelantaran dan pemasungan di berbagai tempat. Ekspose tersebut menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat tentang layanan-layanan yang telah dikembangkan dalam merespon kebutuhan PDM. Tantangan dalam mewujudkan hak-hak PDM harus dapat diantisipasi dengan baik sehingga menjadi kekuatan dalam mengeksplorasi layanan yang dapat menjawab kebutuhan. Pedoman Rumah Antara ini akan membantu daerah dalam mengembangkan salah satu alternatif layanan bagi PDM, di samping layanan rehabilitasi sosial yang sudah ada seperti layanan berbasis panti, dan layanan day care (Unit Informasi dan Layanan Sosial/ UILS). Pengembangan layanan rehabilitasi sosial oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dilaksanakan sebagai respon terhadap tuntutan pemenuhan hak penyandang disabilitas, khususnya PDM. Daerah dapat melakukan identifikasi terhadap kebutuhan dan sistem sumber yang ada diwilayahnya masing-masing, untuk kemudian dapat memilih alternatif layanan apa yang dapat dikembangkan sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan PDM. Diharapkan pedoman ini dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan Rumah Antara. Implementasinya ke depan juga dapat memperkaya pengembangan konsep Rumah Antara sebagai sebuah layanan yang menjembatani penyandang disabilitas dari layanan rehabilitasi psikiatrik menuju proses integrasi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian proses pemulihan PDM dapat diupayakan semaksimal mungkin dan pada akhirnya dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat. TIM PENYUSUN 1. Drs. Bambang Sugeng, MM Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas 2. DR. Rini Hartini Rinda Lektor Kepala STKS Bandung 3. DR. Dorang Luhpuri, SIP Lektor Kepala STKS Bandung 4. Dr. Lahargo Kembaren, Sp.Kj Kepala Rehabilitasi Medik RS Marzoeki Mahdi Bogor 5. Dra. Neneng Ratnaningsih Kasubdit Rehsos Penyandang Disabilitas Mental 6. Dr. Edduwar I Riyadi, Sp.Kj Kasubdit Keswa Dewasa dan Lansia Kemenkes 7. DR. Yanti Damayanti Kasi Pelayanan Sosial Direktorat RSPD 8. Juena Sitepu Kabag OHH Direktorat Jenderah Rehsos 9. Ema Widiati, M.Si Kasi Rehsos Orang dengan Masalah Kejiwaan 10. Anang Risnanto, AKS Kasi Rehsos Orang dengan Gangguan Jiwa 11. Imi Fitriah, MPS.Sp Peksos Muda PSBL Dharma Guna Bengkulu 12. Akhdian Noor, AKS Peksos Pertama PSBL Budi Luhur Banjarbaru 13. Ahmadin Kasi Rehsos PSBL Phala Martha Sukabumi 14. Dr. Savitri W. Kamarudin, Sp.Kj Kepala Instalasi Rehab Psikososial RSJ Suharto Herdjan Grogol 15. Nurlaela Kepala Satpel Pembinaan Sosial PSBL Harapan Sentosa 2 16. T. Dewi Melfi Hamid, SH, M.Kn Perancang Perundang-undangan Madya Kemensos 17. Sahawiah Abdullah Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia 18. Dra. Sri Winarni, M. Psi Praktisi Sosial 19. Nano Triyono Staf Seksi Rehsos Lansia & PD Dinsos Provinsi DKI Jakarta 20. Bagus Hargo Utomo Ketua KPSI 21. Rumondang Napitupulu, SH Penyusun Bahan Rehsos Direktorat RSPD 22. Desrywani M. Situmeang, ST, M.Si Penyusun Bahan Rehsos Direktorat RSPD 23. Sarmauli Tamba, SE Kasi Pemenuhan Aksesibilitas Dasar Direktorat RSPD 24. Tina Camelia Zonneveld, AKS Penyusun Bahan Rehsos Direktorat RSPD 25. Ria Irawan, SST Penyuluh Sosial Pertama Direktorat RSPD 26. Irma Dwiandari, S.Sos Pekerja Sosial Pertama Direktorat RSPD 27. Lili Suwardi Ketua Organisasi Cahaya Jiwa Cianjur 28. Adi Johan TRC Kemensos 29. Nyoman Surya NP, S.Kom Penyusun Bahan Pemeliharaan Kesos Dit. RSPD 30. Aris Miarti, S.Sos Calon Pekerja Sosial Direktorat RSPD