universitas indonesia islam kultural: kajian

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ISLAM KULTURAL: KAJIAN PEMIKIRAN POLITIK
NURCHOLISH MADJID 1970-1998
TESIS
JAMILLUDIN ALI
NPM 0806436062
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
JUNI 2010
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
ISLAM KULTURAL: KAJIAN PEMIKIRAN POLITIK
NURCHOLISH MADJID 1970-1998
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora (M. Hum) dalam bidang Ilmu Sejarah
JAMILLUDIN ALI
NPM 0806436062
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
JUNI 2010
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 30 Juni 2010
Jamilludin Ali
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Jamilludin Ali
NPM
: 0806436062
Tanda Tangan : ...............................
Tanggal
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
: 30 Juni 2010
Universitas Indonesia
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
‫ﺑﺴﻢ ا ﷲ ا ﻟﺮ ﺣﻤﻦ ا ﻟﺮ ﺣﻴﻢ‬
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang menciptakan segala
makhluk-Nya dengan prinsip keadilan, cinta dan kasih sayang. Shalawat dan
salam senantiasa dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul pencinta
ilmu pengetahuan dan keadilan, Ahlul Bait, sahabat, dan kaum muslimin.
Alhamdulillah selesainya tesis ini merupakan kebahagiaan yang tak
terhingga bagi penulis. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini,
sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berjasa membantu
penulis dalam penyelesaian tesis ini sehingga bisa diujikan.
Penghargaan dan rasa terima kasih pertama-tama penulis haturkan kepada
Pembimbing Tesis, Dr. Mohammad Iskandar, yang senantiasa meluangkan waktu
dan tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini, bukan
saja persoalan-persoalan esensial dalam penulisan tesis ini, tapi juga ketelitiannya
dalam menelaah teks-teks paragraf demi paragraf yang berujung pada
penambahan pengetahuan yang baru bagi penulis. Untuk Dr. Priyanto Wibowo
sebagai Ketua Departemen Sejarah dan Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si sebagai
Sekretaris Departemen Sejarah dan Pembimbing Akademik, yang dengan tulus
telah bersedia memberikan perhatian, pemikiran, dan waktu pada saat dibutuhkan
selama kuliah dan proses penulisan tesis. Untuk para anggota Tim Penguji Tesis
yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga, Dr. Anhar
Gonggong, Dr. H. Ita Syamtasiyah Ahyat, Bondan Kanumoyoso M. Hum. Tidak
lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wiwik dan Ibu Tri yang
merupakan pegawai sekretariat bersama Program Studi Ilmu Sejarah yang telah
banyak membantu penulis dalam memudahkan pengurusan administrasi
akademik.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada senior-senior penulis,
Bang Dr. Zayadi Hamzah, Bang Nasrun Supardi MA, Bang Suparhun MA dan
Bang Zulkifli Ph.D, yang telah bersedia berdiskusi dan memberikan dorongan
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
untuk segera menyelesaikan tesis ini. Kepada Satera penulis ucapkan terima kasih
atas pinjaman koleksi karya Nurcholish Madjid yang penulis butuhkan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Fuad yang bersedia menemani penulis
menemui narasumber di sela-sela kesibukannya.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada staf-staf Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan FIB,
Perpustakaan FISIP, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan Perpustakaan Umum Islam
Iman Jama yang telah mempermudah penulis dalam mencari sumber-sumber yang
penulis butuhkan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman
seangkatan tahun 2008: Pak Rio, Mas Fauzi, Bang Rijal, Bang Sofyan, Kang
Pepen, Bang Mangapul, Mba Siska, dan Dita, yang menjadi teman-teman diskusi
serta saling memberikan semangat dan dukungan untuk segera menyelesaikan
tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dewi K Sari yang selalu
menyemangati, mendorong, dan mendukung penulis ketika penulis membutuhkan
itu semua. Terima kasih juga kepada Bapak, Ibu, dan Bambang yang telah
mendoakan penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada
kedua orang tua penulis tercinta, Abak Ali Sabar dan Amak Rabias, yang selalu
mendukung keinginan penulis, selalu memberikan apa yang penulis inginkan, dan
selalu mendoakan penulis hingga penulis bisa menyelesaikan studi ini. Abak,
Amak, terima kasih. Terima kasih juga penulis haturkan kepada kakak-kakak
penulis beserta keluarga, Ni Duas, Dadek, Dadin, Ni Ai, Ni Gadi, dan Abang
Sawal, yang telah mendukung dan mendoakan penulis.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari dalam tesis
ini masih terdapat kekurangan. Kritik dan saran akan menjadi solusi yang tepat
untuk melengkapi kekurangannya. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Depok, 30 Juni 2010
Penulis
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah
ini:
Nama
: Jamilludin Ali
NPM
: 0806436062
Program Studi : Ilmu Sejarah
Departemen : Sejarah
Fakultas
: Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid 1970-1998
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagaipenulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Juni 2010
Yang menyatakan
( Jamilludin Ali )
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
ABSTRACT ......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ........................................................ xii
PERSEMBAHAN.............................................................................................. xiv
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Pokok Permasalahan ................................................................................. 10
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 11
1.4 Ruang Lingkup .......................................................................................... 11
1.5 Metode Penelitian dan Sumber ................................................................. 12
1.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 13
1.7 Kerangka Teori ......................................................................................... 16
1.8 Sistematika Penulisan ............................................................................... 19
2. BIOGRAFI SINGKAT NURCHOLISH MADJID
2.1 Riwayat Pendidikan .................................................................................. 21
2.2 Aktivitas Intelektual dan Organisasi ......................................................... 29
2.3 Karya-karya ............................................................................................... 43
3. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM ORDE BARU
(1942-1965)
3.1 Islam Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).................................. 53
3.1.1 Piagam Jakarta ................................................................................. 60
3.2 Islam Pada Masa Revolusi (1945-1949) ................................................... 67
3.3 Islam Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)............................ 73
3.3.1 Perdebatan Dasar Negara dalam Konstituante ................................. 74
3.4 Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965) .............................. 88
4. KONSEPSI ISLAM KULTURAL NURCHOLISH MADJID
4.1 Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong
Munculnya Islam Kultural ........................................................................ 93
4.2 Islam Kultural Dalam Konsepsi Nurcholish Madjid............................... 106
4.3 Sumber Pemikiran Nurcholish Madjid.................................................... 125
5. RESPONS DAN PENGARUH ISLAM KULTURAL
5.1 Respons Terhadap Islam Kultural ........................................................... 132
5.1.1 Kritikan Terhadap Islam Kultural .................................................. 133
5.1.2 Dukungan Terhadap Islam Kultural ............................................... 148
5.1.2.1 Dukungan dari Pemerintah Orde Baru .................................... 148
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
5.1.2.2 Dukungan dari Intelektual Muslim ......................................... 155
5.2 Pengaruh Islam Kultural ......................................................................... 162
6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 168
7. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 175
LAMPIRAN
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Daftar Singkatan dan Istilah
BPUPKI
: Badan
Penyelidik
Usaha-Usaha
Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia
GPI
: Gerakan Pemuda Islam
HMI
: Himpunan Mahasiswa Islam
ICMI
: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
ITB
: Institut Teknologi Bandung
Masjumi
: Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia
MIAI
: Majelis Islam A’la Indonesia
MPRS
: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MPI
: Majelis Permusyawaratan Islam
Parmusi
: Partai Muslimin Indonesia
Persami
: Persatuan Sarjana Muslim Indonesia
Perti
: Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia
PII
: Pelajar Islam Indonesia
PKI
: Partai Komunis Indonesia
PPKI
: Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
PNI
: Partai Nasional Indonesia
PSII
: Partai Syarikat Islam Indonesia
NU
: Nahdlatul Ulama
SDI
: Sarikat Dagang Islam
WASP
: White Anglo-Saxon Protestant
langgar
: masjid kecil tempat mengaji atau salat, tetapi tidak digunakan
untuk salat Jumat; musala
ukhrawi
: mengenai akhirat
jumud
: beku; statis
nuktoh
: titik
ijtihad
: usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk
mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai
kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Alquran dan
Sunah; pendapat; tafsiran
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
taklid
: keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) ahli
hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya;
peniruan
apologi
: tulisan atau pembicaraan formal yang digunakan untuk
mempertahankan gagasan, kepercayaan, dan lain sebagainya.
profan
: lawan sakral; duniawi
fardhu kifayah : kewajiban bersama bagi mukalaf (muslim dewasa), yang apabila
sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain
bebas dari kewajiban itu
fardhu ‘ain
: kewajiban perseorangan
muhajirin
: kaum Muslim Mekkah yang pindah ke Yastrib (Madinah)
anshar
: kaum Muslim Madinah yang membantu kaum Muslim dari
Mekkah
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama
: Jamilludin Ali
Program Studi : Ilmu Sejarah
Judul
: Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid
1970-1998
Tesis ini membahas pemikiran Nurcholish Madjid yang berkaitan dengan gagasan
Islam kultural, yaitu sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan
penolakan terhadap negara Islam. Gagasan Islam kultural yang dikembangkan
oleh Nurcholish Madjid menekankan bahwa perjuangan kepentingan umat Islam
tidak hanya dilakukan melalui jalur politik saja, tetapi dapat dilakukan melalui
jalur lainnya, seperti pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya. Selain itu,
gagasan ini mengutamakan terealisasinya nilai-nilai keislaman, seperti keadilan,
persamaan hak, partisipasi, dan musyawarah, dalam masyarakat Indonesia, bukan
pembentukan negara Islam secara formal.
Kata kunci:
Islam, Sejarah Pemikiran, Nurcholish Madjid
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name
: Jamilludin Ali
Study Program: Science of History
Title
: Cultural Islam: Study of Nurcholish Madjid’s political thought
1970-1998
The focus of this study is Nurcholish Madjid’s thought associated with the idea of
cultural Islam, namely secularization, the slogan "Islam Yes, Islamic Party of No",
and rejection of Islamic state. Cultural Islamic ideas developed by Nurcholish
Madjid emphasized that the struggle for the interests of Muslims is not only done
through political channels, but can be made through other channels, such as
education, preaching, art, and others. Also, this idea gives priority to the
realization of Islamic values in the Indonesian people, such as justice, equal rights,
participation and deliberation, not the formal establishment of an Islamic state.
Keywords:
Islam, history of thought, Nurcholish Madjid
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
PERSEMBAHAN
Tesis ini dipersembahkan untuk kedua orang tercinta
Ali Sabar dan Rabias
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta yang
mencantumkan tujuh kata penting, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada awalnya, Piagam Jakarta telah disepakati
akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Namun, setelah pemerintah
pusat Republik Indonesia dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945, Piagam
Jakarta batal dijadikan dasar negara. Hal ini karena adanya peringatan dari
angkatan laut Jepang yang memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang
beragama Kristen, Katolik dan Protestan, tidak akan menyetujui peranan istimewa
Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala negara haruslah seorang
muslim tidak jadi dicantumkan.1 Akibat peringatan Jepang itu, akhirnya ketujuh
kata tersebut hilang. Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo, ketua
Muhammadiyah ketika itu, ditambahkan sebuah kalimat baru yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.2
Peristiwa penghilangan ketujuh kata itu bisa dikatakan sebagai kebesaran
hati dari pemimpin Islam politik untuk mengalah demi persatuan Indonesia.3
Namun, penghilangan ketujuh kata itu juga menimbulkan kekecewaan bagi
sebagian kalangan Islam politik di Indonesia yang menginginkan pendirian negara
Islam (penerapan syariat Islam).
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas Indonesia,
1981, hal. 58. Lihat juga Saafroedin Bahar, et.al. (Penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, Edisi III,
hal. 415
2
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 5
3
Namun demikian, C.A.O Van Nieuwenhuijze berpendapat bahwa penerimaan Pancasila
sebagai dasar negara bukan berarti kekalahan umat Islam. Pancasila, menurutnya mengandung
prinsip-prinsip yang sesuai dengan Islam, yaitu Keesaan Tuhan, demokrasi, keadilan sosial, dan
kemanusiaan, sehingga Pancasila mengandung perspektif religius yang berfungsi sebagai landasan
sosial-politis bersama bagi umat Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Untuk lebih jelasnya lihat
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 23-28
1
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
1
Universitas Indonesia
Setelah penghilangan ketujuh kata tersebut, semangat Islam politik tidak
pernah hilang untuk kembali menegakkan negara Islam atau pelaksanaan syariat
Islam di Indonesia. Selama masa Revolusi tahun 1945-1949, keinginan golongan
Islam politik harus tertunda dahulu karena semua elemen bangsa dikerahkan
untuk melawan kembalinya Belanda.
Kesempatan itu akhirnya datang juga pada era Demokrasi Parlementer.
Pada pemilu September 1955 partai politik Islam, Masjumi dan NU, berturut-turut
berhasil menduduki peringkat kedua dan ketiga setelah PNI.4 Namun, besarnya
suara partai politik Islam tidak langsung menjamin terbentuknya negara Islam
dengan mudah. Untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Islam yang
sempat tertunda karena Revolusi, golongan Islam politik menyalurkan cita-citanya
melalui Konstituante. Di Konstituante terjadi perdebatan berkepanjangan karena
usaha golongan Islam politik itu mendapatkan perlawanan keras dari golongan
sekuler. Akibat perlawanan keras itu, usaha Islam politik, yang diwakili oleh
Masjumi, NU, PSII, dan Perti, kembali tidak berhasil mewujudkan Islam sebagai
dasar negara (negara Islam).
Melihat perdebatan yang berkepanjangan, Presiden Soekarno kemudian
menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno
membubarkan parlemen hasil pemilu tahun 1955 dan memberlakukan kembali
undang-undang dasar yang lama (UUD 1945).5 Partai-partai Islam, yaitu
4
PNI mendapat 57 kursi (22,3%), Masjumi 57 kursi (20,9%), NU 45 kursi (18,4%), PKI
39 kursi (16,4%), PSII 8 kursi (2,9%), Parkindo 8 kursi (2,6%), Partai Katholik 6 kursi (2,0%), PSI
5 kursi (2,0%), dan Perti 4 kursi (1,3%), sedangkan kursi-kursi lainnya yang berjumlah 28 kursi
(8,3,0%) diperoleh partai-partai kecil. Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy In Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1968, hal. 434-435
5
Pembubaran Konstituante dengan alasan tidak tercapainya kesepakatan antara golongan
pendukung negara Islam dan pendukung Pancasila masih menyisakan perdebatan. Menurut
sebagian kalangan berpendapat bahwa pembubaran itu bukan karena tidak tercapainya
kesepakatan antara pendukung negara Islam dengan pendukung Pancasila, melainkan karena
keinginan Soekarno yang merasa tidak memiliki peran yang besar dalam sistem Parlementer dan
dorongan dari Angkatan Darat. Ketua Konstituante, Wilopo, dalam penutupan sidang Panitia
Perumus Konstitusi pada 18 Februari 1959, menyatakan kepada sidang dengan perasaan puas
bahwa Konstituate telah dapat menyelesaikan 90% tugasnya. Sisa yang 10% itu berhubungan
dengan tugas sidang umum Konstituante berupa perubahan, pemilihan alternatif, dan pengesahan
pada Sidang terakhir Konstituante. Dengan melihat pernyataan Ketua Konstituante tersebut, maka
alasan pembubaran Konstituante karena tidak adanya kesepakatan antara golongan Islam dengan
golongan Pancasila pada dasarnya kurang tepat karena Konstituante pada kenyataannya telah
menyelesaikan 90% kerjanya. Untuk lebih jelasnya baca Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959,
penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. Lihat juga Erwien Kusuma dan
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Masjumi, NU, PSII, dan Perti, termasuk partai yang tidak bisa berbuat banyak
dalam menentang kebijakan Soekarno ini. Akibat pembubaran Parlemen ini,
perjuangan Islam politik untuk membentuk negara Islam di Indonesia kembali
gagal.
Pada masa awal Orde Baru, Islam politik di Indonesia seakan mendapat
secercah harapan untuk kembali mengusung isu syariat Islam. Pada 20 Februari
1968, partai politik berbasis Islam modernis bernama Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia) didirikan. Pendirian partai ini dilakukan setelah usaha perehabilitasian
partai Masjumi tidak diizinkan pemerintah. Dengan didirikannya partai ini,
golongan Islam politik, khususnya kalangan Islam modernis, mendapatkan
kembali sarana untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam.
Dalam Sidang MPRS tahun 1966, umat Islam menuntut agar Piagam
Jakarta tetap disebut dalam teks-teks resmi, dan pada tahun 1967-1968, tokohtokoh Islam menghendaki agar Piagam Jakarta dicantumkan dalam GBHN.6
Tuntutan ini bertujuan agar hukum Islam memiliki basis konstitusional sehingga
bisa diterapkan bagi umat Islam. Namun, usulan tersebut ditolak.7 Dengan
penolakan pengakuan Piagam Jakarta ini, golongan Islam politik kembali harus
mengalami kekecewaan karena usaha mereka kembali menemukan kegagalan.
Walaupun terjadi kegagalan perjuangan Islam politik di Indonesia,
perhatian atau apresiasi terhadap Islam di Indonesia mengalami peningkatan.
Sebagaimana diketahui, pasca peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang
kekerasan terhadap golongan komunis di berbagai wilayah Indonesia. Kekerasan
ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan komunis. Dua tahun setelah
kekerasan ini, orang-orang Jawa Muslim di wilayah Pasuruan8, meningkat
Khairul, “Detik-detik Menjelang Bubarnya Konstituante” dalam Erwien Kusuma dan Khairul
(editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di
Dewan Konstituante, Jakarta: BAUR Publishing, 2008, hal. xiii
6
Kurniawan Zein dan Saripudin HA, “Piagam Jakarta dan Syariat Islam di Indonesia:
Catatan atas kontroversi amandemen pasal 29 UUD 1945” dalam A. Syafii Maarif, Syariat Islam
Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta:
Paramadina, 2001, hal. xix
7
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2008, hal. 580581
8
Pasuruan merupakan bekas basis penganut aliran kejawen. Antara tahun 1965-1966,
terjadi peningkatan besar-besaran dalam jumlah jamaah salat Jumat di Wonorejo, satu desa di
daerah Pasuruan, yaitu dari sebelumnya hanya berjumlah 10-15 jamaah menjadi ratusan jamaah.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan di masjid karena dengan cara itu tuduhan
sebagai komunis menjadi berkurang.9 Selain Pasuruan, di desa Tegalroso (bukan
nama sebenarnya) di pedalaman Jawa Tengah juga mengalami hal yang serupa.
Menurut Bambang Pranowo,10 yang melakukan penelitian terhadap desa tersebut,
terjadi peningkatan kesadaran keagamaan di desa itu. Desa Tegalroso sebelumnya,
tahun 1966, dikenal sebagai daerah basis PKI dan PNI. Secara sosial, desa ini
terkenal sebagai tempat para pelaku tindakan kriminal. Perjudian dan pencurian
merupakan hal yang lazim. Di bidang agama, kebanyakan penduduk di desa ini,
jika dilihat dari luar, termasuk ke dalam kategori “Muslim nominal” atau abangan.
Namun setelah tahun 1966, pengaruh budaya keagamaan santri terus meningkat di
kalangan penduduk desa. Hal ini ditunjukkan dengan bertambahnya masjid dan
langgar. Namun demikian, peningkatan ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh kampanye pengganyangan PKI. Artinya, warga desa melaksanakan salat
dan pergi ke tempat-tempat ibadah untuk menunjukkan bahwa mereka tidak
terlibat dengan PKI.11
Sementara itu, di kalangan mahasiswa juga terjadi peningkatan perhatian
terhadap Islam. Namun demikian, di kalangan mahasiswa peningkatan perhatian
terhadap Islam lebih disebabkan oleh peningkatan pengajaran pelajaran agama di
universitas-universitas sekuler. Artinya, peningkatan ibadah dalam kalangan
mahasiswa tidak memiliki kaitan langsung dengan ketakutan dicap sebagai
komunis, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di wilayah Pasuruan dan
Tegalroso. Di ITB (Institut Teknologi Bandung) misalnya, sebelum peristiwa 30
September, mahasiswa yang melakukan salat Jumat digelari “Unta Arab”.12
Setelah peristiwa 30 September, gelar tersebut tidak ditemukan lagi karena terjadi
peningkatan perhatian mahasiswa terhadap Islam.
Akan tetapi pada pertengahan tahun 1967, ketika situasi politik kembali stabil, jumlah jamaah
yang hadir ke masjid kembali mengalami penurunan. Lihat Robert W. Hefner, “Islamizing Java?
Religion dan Politics in Rural East Java”, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 46, No. 3,
Agustus 1987, hal. 536 dan 541
9
Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik,
(Penerjemah A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad), Yogyakarta: LkiS, 1999, hal. 359
10
M. Bambang Pranowo, “Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa”, dalam Saiful
Muzani (editor), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES,
1993, hal. 179 dan 189
11
Ibid., hal. 189-190
12
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 518
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Peningkatan perhatian terhadap Islam tersebut, terlepas dari apa pun motif
di belakangnya, ternyata tidak lepas dari perhatian Nurcholish Madjid. Dalam
pengamatan Nurcholish Madjid, pada akhir tahun 1969, terjadi perkembangan
positif dalam umat Islam. Menurutnya daerah-daerah yang dulunya kurang
mengenal Islam secara baik, kemudian menjadikan Islam sebagai agama
utamanya, di samping agama-agama lain yang sudah ada. Di sisi lain, Nurcholish
Madjid juga melihat meningkatnya apresiasi dan respons kalangan kelas sosial
masyarakat yang lebih tinggi kepada Islam. Hal itu terlihat, misalnya, dalam
pengamalan kehidupan beragama mereka sehari-hari ataupun dalam pernyataan
dan sikap mereka yang resmi. Dengan nada bertanya Nurcholish Madjid
menyatakan apakah perkembangan itu akibat dari daya tarik yang jujur dari ideide Islam atau hanya sekedar gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik
di tanah air, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan
di pihak Islam?13
Sebaliknya, peningkatan apresiasi atau perhatian terhadap Islam di atas,
tidak diikuti oleh para pemimpin Islam. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid,
para tokoh senior, pemimpin dan elite umat Islam masih saja terlibat dalam
konflik-konflik politik internal yang berkepanjangan dan melelahkan. Sedang di
pihak lain, muncul perkembangan-perkembangan baru yang menuntut adanya
pemikiran alternatif baik di bidang agama maupun sosial politik. Dalam
pandangan Nurcholish Madjid, partai dan organisasi-organisasi Islam justru tidak
peka terhadap adanya perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat.
Partai-partai Islam, menurut pandangan Nurcholish, tidak berhasil membangun
citra positif dan simpatik di mata masyarakat dan juga pemerintah.14 Para tokoh
13
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,
cet. V, Bandung: Mizan, 1993, hal. 205
14
Ibid., hal. 204-214. Timbulnya kesan tidak baik masyarakat terhadap partai politik
nampaknya didasari oleh adanya anggota partai politik yang hanya mengambil kesempatan untuk
memperoleh jabatan dalam pemerintahan melalui partai politik. Setelah mereka berhasil duduk
dalam pemerintahan, perhatian kepada masyarakat menjadi berkurang atau hilang sama sekali.
Selain itu, anggota-anggota partai politik juga terlibat dalam tindakan korupsi. Adapun citra
negatif partai politik di mata pemerintahan Orde Baru dikarenakan pada masa-masa sebelumnya,
pada masa Demokrasi Parlementer misalnya, partai politik saling menjatuhkan. Akibatnya,
pembangunan banyak yang tidak berjalan. Dengan kenyataan seperti itu, pemerintah Orde Baru
akhirnya kurang simpatik kepada partai politik karena khawatir “pembangunan”, sebagaimana
yang menjadi slogan utama Orde Baru, tidak berjalan. Pada akhirnya, sikap tidak simpatik
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Islam dan partai politik Islam masih saja disibukkan oleh cita-cita pendirian
negara Islam. Padahal, usaha itu telah beberapa kali menemukan kegagalan.
Berdasarkan pengamatannya itu, dia berkesimpulan bahwa masyarakat
sebenarnya tidak tertarik kepada partai-partai dan ormas Islam. Ketertarikan
mereka kepada Islam bukanlah karena keberadaan partai-partai atau organisasi
kelembagaan Islam, tetapi lebih kepada substansi ide-ide keislaman itu sendiri.
Dengan kata lain, mereka lebih terikat pada nilai-nilai ajaran Islam (Islamic
injuctions) itu sendiri, dan bukan pada wadah atau kelembagaan-kelembagaan
Islam (Islamic Institutions) yang mengklaim sebagai penyebar ide dan pemikiran
keislaman serta aspirasi umat Islam.15 Namun demikian, kesimpulan Nurcholish
Madjid ini jika dilihat kepada kondisi masyarakat, sebagaimana yang telah saya
sebutkan di atas, tidak seluruhnya benar karena ternyata peningkatan perhatian
masyarakat terhadap Islam disebabkan takut dicap sebagai komunis, seperti dalam
kasus masyarakat di Pasuruan dan Tegalroso. Sementara itu, apabila dilihat dalam
kasus mahasiswa, kesimpulan Nurcholish Madjid ini agaknya dapat dibenarkan
karena sebagaimana yang terjadi di ITB peningkatan itu dikarenakan adanya
pengajaran agama terhadap mahasiswa.
Untuk mendukung kesimpulannya itu, maka pada tanggal 2 Januari 1970
di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta,
Nurcholish Madjid menyampaikan pidatonya yang berjudul “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Pidato itu disampaikan
pada acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa, dan
sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, GPI, PII, dan Persami.
Dalam pidatonya itulah muncul istilah “sekularisasi” dan slogan “Islam,
Yes, Partai Islam, No” yang menimbulkan beragam rekasi dari umat Islam.
Nurcholish Madjid sebagai tokoh pertama yang mendorong gerakan Islam kultural
pada awalnya menjadi “bulan-bulanan” kelompok yang menentangnya. Bahkan,
ada yang mengatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid terjebak pemikiran
pemerintah itu menjelma dalam peraturan fusi partai-partai politik hanya menjadi dua partai politik
saja.
15
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Yahudi, berorientasi elitis, memberi angin kepada kristenisasi, terjebak dalam
strategi Ali Moertopo, dan lain sebagainya.16
Dua tahun kemudian, yaitu pada 30 Oktober 1972 bertempat di Taman
Ismail Marzuki dalam acara “Calender of Events” yang diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Jakarta, Nurcholish Madjid kembali menyampaikan ceramahnya
yang berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam
Indonesia”. Dalam ceramahnya itu Nurcholish Madjid dengan tegas mengatakan
bahwa konsep “Negara Islam” adalah suatu kecenderungan apologetis karena
tidak ada dalam Islam.17
Di Indonesia, sebelum Nurcholish Madjid melontarkan gagasannya itu
telah terdapat dua cara dalam memandang hubungan Islam dengan negara, namun,
pada masa Nurcholish Madjid lah formulasi kedua pandangan itu menjadi jelas.18
Pandangan pertama ialah Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan
untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal,
legalistik, dan menyeluruh yang diwujudkan dengan pelaksanaan syariat Islam.
Pandangan seperti ini disebut dengan Islam politik.
Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk,
melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian populer
disebut Islam kultural.19 Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan
terbentuknya negara Islam.20 Menurut pemikiran ini, yang paling penting adalah
16
Budhy Munawar-Rachman, “Berbagai Respon atas Gagasan Pembaruan”, dalam
Ulumul Qur’an No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 55-56
17
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam
Indonesia”, dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, hal. 253-255.
18
Namun perlu ditegaskan di sini bahwa perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara
di Indonesia bukan berarti baru muncul setelah Nurcholish Madjid membacakan makalah
pembaruannya. Jauh sebelum itu, pada tahun 1930-an, telah terdapat perdebatan antara Soekarno
dengan Mohammad Natsir mengenai “peran” agama (Islam) dalam Negara. Di dalam sidang
BPUPKI perdebatan ini kembali muncul. Perdebatan mengenai hubungan Islam dan Negara
akhirnya mencapai puncaknya pada Sidang Konstituante.
19
Menurut Dawam Rahardjo kemunculan istilah Islam kultural di Indonesia ditengarai
terjadi pada tahun 1980-an. Namun, sebagai wacana, Islam kultural sudah lama ditengarai ada di
Indonesia. Bahkan, menurut Dawam, sebagai gejala sosiologis dan keagamaan, Islam kultural
sudah muncul sejak awal perkembangan Islam di Indonesia. Lihat Dawam Rahardjo, “Kata
Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam
Kultural, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. v
20
Menurut Deliar Noer yang dimaksud negara Islam adalah negara yang berdasar Islam,
syariat Islam harus berlaku atau diterapkan, dan hukum Islam harus ditegakkan. Dalam hal ini,
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, seperti keadilan, kesamaan,
partisipasi, dan musyawarah.21 Dalam istilah Nurcholish Madjid, Islam kultural
ini kemudian menjadi jelas dengan “sekularisasi atau desakralisasi”, slogan “Islam
Yes, Partai Islam, No”, dan penolakan terhadap negara Islam atau “apologi negara
Islam”.22
Dalam bukunya, Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan (hubungan) yang jelas antara agama dan
politik dalam Islam. Menurutnya, politik merupakan aspek konsekuensi yang
penting dalam Islam tetapi ia bukanlah satu-satunya aspek yang terpenting.23
Ketidakjelasan hubungan politik dan agama dalam Islam dicontohkan Nurcholish
Madjid dalam kasus polemik tentang imam dalam tradisi klasik pemikiran Islam.
Sebagaimana yang diketahui, konsep imam memiliki makna yang berbeda antara
Islam Sunni dan Islam Syiah. Islam Syiah berpandangan imam merupakan wujud
penyatuan yang sempurna antara masalah duniawi dan ukhrawi. Sedangkan Islam
Sunni membedakan masalah duniawi dan ukhrawi dalam pengertian imam. Oleh
karena itulah, Nurcholish Madjid, sebagaimana dia juga mengutip pendapat Ibnu
Taimiyyah, menyatakan bahwa cara teraman untuk menyimpulkan polemik
tersebut adalah dengan menyatakan tidak adanya hubungan yang jelas antara
agama dan politik dalam Islam.24 Nampaknya, sudut pandang ini menjadi salah
satu pertimbangan bagi Nurcholish Madjid untuk menghindari pensakralan
terhadap politik dan akhirnya mengembangkan konsep Islam kultural.
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sejak dari
semula mengajarkan taat kepada hukum, dengan berpangkal dari ketaatan kepada
hukum keagamaan, dan ketaatan kepada hukum dari Allah adalah bagian dari
sikap pasrah (islâm) kepada-Nya. Semangat ajaran yang menaati hukum itu dapat
Islam dinyatakan secara formal dalam Undang-Undang Dasar negara. Dengan demikian,
pengertian pelaksanaan syariat Islam termasuk ke dalam pengertian negara Islam. Lihat Deliar
Noer, “Kata Pengantar”, dalam Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, penyunting Edy
Riyanto dan Tatang T. Sundesyah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Universitas
Mohammad Natsir, dan Penerbit Media Dakwah, 2000, hal. xiii
21
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 16
22
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 204-208
23
Madjid, Islam Agama, hal. 18
24
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dikembangkan secara modern, sehingga mencocoki tuntutan zaman sekarang.25
“Berkenaan dengan ini, ada semacam optimisme pada bangsa kita, berdasarkan
kenyataan bahwa sebagian besar bangsa kita adalah Muslim,” sebut Nurcholish
Madijd.26
Munculnya Islam kultural tidak terlepas dari keinginan intelektual muda
Islam, yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid, untuk tidak larut dalam
kekecewaan setelah melihat Islam politik tidak mendapat tempat di Indonesia.
Sementara, umat Islam di Indonesia harus terus maju dan berkembang. Islam
kultural yang dimotori oleh Nurcholish Majdid menginginkan umat Islam tetap
berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia dengan cara lain. Artinya, Islam
kultural menginginkan umat Islam tidak hanya terpaku kepada politik semata
tetapi umat Islam dapat melakukan hal lain yang bermanfaat dalam membangun
Indonesia, seperti dalam bidang pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya.27
Dengan demikian, kemunculan Islam kultural merupakan alternatif atas kebuntuan
dan
kegagalan
perjuangan
gerakan
Islam politik
di
Indonesia
dalam
memperjuangkan aspirasi umat Islam, khususnya pada masa awal Orde Baru.
Sebagaimana gerakan pembaruan lainnya, Islam kultural yang dicetuskan
oleh Nurcholish Madjid itu tidak sepi dari kritikan dan serangan keras dari
penentangnya. Nurcholish Madjid mengatakan:
Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalam kehidupan
pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah saya melontarkan
pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian
menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden
di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat
besar pengaruhnya terhadap diri saya—sampai sekarang.28
Polemik mengenai pemikiran Nurcholish Madjid itu terus menghiasi
halaman media massa di Indonesia pada tahun 1970-an. Banyak dari sahabat,
tokoh senior, dan intelektual yang mengkritik pemikirannya itu, seperti Prof. Dr.
H.M. Rasjidi, M. Natsir, Buya Hamka, Ismail Hasan Metareum, Endang
25
Ibid., hal. 83
Ibid.
27
Wawancara dengan Irfan Abu Bakar di Ciputat, 5 Juni 2010.
28
Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”,
dalam Abdul Halim (editor), Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan,
Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2006, hal. 113
26
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Saefuddin Anshari, dan lain-lain. Rasjidi merupakan salah satu tokoh yang paling
keras mengkritik Nurcholish Madjid. Dalam kritikan kerasnya Rasjidi mengatakan
bahwa titik tolak pandangan Nurcholish Madjid mengenai negara Islam sama
dengan pandangan agama Protestan.29 Walaupun demikian, ada juga kalangan
yang memiliki pandangan yang sama dengan pemikirannya itu, seperti
Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, dan lain-lainnya.
1.2 Pokok Permasalahan
Islam kultural muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap umat Islam Indonesia
yang mengalami kekecewaan dan ketidakberdayaan dalam merealisasikan citacita politiknya, yaitu diakuinya hukum Islam oleh negara sebagai pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat. Selain itu tindakan pemerintah Orde Baru yang
menekan gerakan Islam politik juga menjadi pemicu munculnya Islam kultural.
Islam kultural berusaha mencari arena baru bagi umat Islam agar dapat berperan
serta dalam membangun bangsa setelah sebelumnya aspirasi politik umat Islam
tidak dapat direalisasikan. Nurcholish Madjid sebagai pelopor gerakan Islam
kultural berpendapat bahwa membangun bangsa berarti membangun umat Islam
karena umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia. Oleh karena itu, umat
Islam harus berperan aktif dalam membangun bangsa tanpa harus melalui jalur
politik saja. Islam kultural selama masa Orde Baru memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam pembangunan umat Islam Indonesia. Namun, seperti apa pengaruh
Islam kultural dan sejauh mana pengaruhnya terhadap umat Islam perlu dilakukan
penelitian lebih mendalam terhadap gerakan ini.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid.
2. Bagaimana respons umat Islam terhadap gagasan Islam kultural yang
dirumuskan oleh Nurcholish Madjid.
H.M. Rasjidi, “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, dalam Harian Abadi,
Selasa, 5 Desember 1972. Kritikan Rasjidi tersebut kemudian dibukukan, lihat M. Rasjidi, Koreksi
Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 75.
Untuk lebih detailnya, kritikan atau respons terhadap gagasan Nurcholish Madjid akan dibahas
dalam BAB V.
29
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
3. Bagaimana pengaruh Islam kultural dalam kehidupan umat Islam di Indonesia
pada masa Orde Baru.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah
menjelaskan konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid. Hal
ini penting diketahui agar konsep Islam kulturalnya itu menjadi jelas dan terhindar
dari kesalahpahaman dalam memberikan penilaian. Selain itu, penjelasan secara
mendetail terhadap konsep Islam kultural Nurcholish Madjid dapat menghindari
sikap penolakan yang tidak kritis terhadap Nurcholish Madjid atau penerimaan
“sepenuh hati” dan “membabi buta” tanpa ada analisis kritis terhadapnya.
Di samping itu, pemaparan berbagai respons dari kalangan umat Islam juga
menjadi tujuan penelitian ini. Dengan memaparkan berbagai respons tersebut
dapat dilihat keragaman pemikiran Islam di Indonesia. Keragaman respons itu
menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi umat Islam Indonesia karena betapa pun
berbedanya corak pemikiran namun tidak membawa kepada kekerasan fisik.
Tujuan lainnya adalah menjelaskan pengaruh Islam kultural terhadap
kehidupan umat Islam di Indonesia. Dengan menjelaskan pengaruh Islam kultural
dapat diketahui apakah pemikiran Nurcholish Madjid ini membawa pengaruh
yang positif bagi umat Islam Indonesia atau sebaliknya membawa pengaruh yang
negatif.
1.4 Ruang Lingkup
Rentang waktu penelitian ini dimulai tahun 1970 sampai tahun 1998. Dipilihnya
tahun 1970 sebagai tahun permulaan kajian ini dikarenakan pada tahun itu,
tepatnya pada
pada tanggal 2 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic
Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan
sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No” yang kemudian dikenal dengan
gagasan Islam kultural. Pada waktu itu Nurcholish Madjid menyampaikan pidato
pembaruannya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat”.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Adapun tahun 1998 dipilih sebagai akhir tahun penelitian dikarenakan
pada tahun itu pemerintahan Orde Baru berakhir. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, Islam kultural muncul sebagai alternatif atas diberangusnya Islam
politik oleh Orde Baru. Setelah Orde Baru runtuh, Islam kultural bukan berarti
mati, tetapi ia mengalami perkembangan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
Indonesia pada masa reformasi.
Penelitian ini dibatasi hanya pada pemikiran Nurcholish Madjid yang
berkaitan dengan gagasan Islam kultural, yaitu sekularisasi, slogan “Islam Yes,
Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam. Pemikiran-pemikiran
Nurcholish Madjid lainnya, seperti konsep tiada tuhan (dengan “t” kecil) kecuali
Tuhan (dengan “T” besar) dan menyamakan semua agama wahyu, seperti Kristen
dan Yahudi sebagai agama islam (sikap pasrah kepada Allah), tidak termasuk
dalam cakupan penelitian ini.
1.5 Metode Penelitian dan Sumber
Kegiatan penelitian ini disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat
dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Heuristik (heuristics) merupakan kegiatan mencari sumber-sumber untuk
mendapatkan data-data, materi sejarah, atau evidensi sejarah.30 Pengumpulan
sumber primer dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Proses
pencarian sumber dilakukan di sejumlah tempat yang diyakini menyimpan
sumber-sumber primer. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia,
Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan FISIP UI, Perpustakaan Utama Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan Perpustakaan Umum Islam Iman
Jama. Di perpustakaan-perpustakaan tersebut, tahap heuristik dilakukan dengan
penelusuran dan pencarian karya-karya atau tulisan Nurcholish Madjid pada
periode 1970-1998. Tidak semua tulisan Nurcholish Madjid yang diambil. Tulisan
atau karya-karya Nurcholish Madjid yang diambil adalah yang berkaitan dengan
gagasan Islam kulturalnya. Dikarenakan Nurcholish Madjid tergolong ke dalam
30
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 86
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
cendekiawan Muslim yang banyak menghasilkan tulisan, maka proses pemilahan
tulisan-tulisannya cukup menguras waktu, apalagi tulisan-tulisannya tersebar
dalam berbagai buku dan media cetak lainnya, seperti koran dan majalah. Adapun
sumber sekunder penelitian ini adalah buku-buku atau artikel yang relevan atau
berkaitan dengan kajian.
Setelah sumber-sumber itu berhasil dikumpulkan, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik
terbagi dua yaitu kritik eksternal dan internal. Kritik eksternal adalah cara
melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek ‘luar’ dari sumber
sejarah. Kritik internal menekankan pada aspek ‘dalam’ yaitu isi dari sumber:
kesaksian.31 Setelah melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan, langkah
selanjutnya adalah melakukan interpretasi atau penafsiran. Pada tahap ini, saya
banyak mengutamakan analisis sumber sejarah. Penafsiran terhadap sumbersumber sejarah seperti tulisan Nurcholish Madjid penting dilakukan agar
pemikiran Nurcholish Madjid dapat dipahami dengan baik. Selain itu, dengan
melakukan penafsiran terhadap tulisannya itu maka dapat dilihat konteks waktu
dan tujuan tulisan itu dibuat oleh Nurcholish Madjid.
Setelah melalui proses heuristik, kritik, dan interpretasi tahap terakhir
adalah historiografi. Secara bahasa historiografi maknanya adalah sejarah
penulisan sejarah. Artinya sumber-sumber sejarah yang telah melalui proses kritik
dan interpretasi pada akhirnya menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil
penelitian atau penemuan dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejak Nurcholish Madjid melontarkan gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes,
Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam pada tahun 1970-an, telah
banyak penulis yang mencoba membahas pemikirannya itu. Di antara buku yang
membahas pemikiran Nurcholish Madjid adalah buku Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru yang ditulis oleh
31
Ibid., hal. 132-143
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy.32 Buku yang diterbitkan pada tahun 1986 ini
membicarakan tentang perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disertai
dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pemikiran Islam itu. Dalam buku ini,
juga dibicarakan pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid. Pembahasan tentang
Nurcholish Madjid lebih terfokus kepada gerakan pembaruannya yang disebutkan
dalam buku itu dengan istilah gerakan “pemikiran baru”. Artinya buku ini fokus
membicarakan
pembaruan
pemikiran
Nurcholish
Madjid,
tetapi
tidak
membicarakan lebih jauh perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid.
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam bukunya ini berusaha memetakan
corak pemikiran intelektual Muslim di Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam hal
ini, Nurcholish Madjid mereka masukkan ke dalam intelektual yang memiliki
corak
pemikiran
neo-modernisme,
yaitu
intelektual
yang
mencoba
menggabungkan dua pemikiran, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Selain
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid juga mereka masukkan ke dalam corak
pemikiran ini.33
Sementara itu, mereka juga menyebutkan tiga corak pemikiran intelektual
lainnya, yaitu sosialisme demokrat, universalisme, dan modernisme. Corak
pemikiran sosialisme demokrat berusaha melihat cita-cita keadilan sosial dan
demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Yang termasuk ke dalam corak pemikiran
ini adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo. Adapun corak
32
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986
33
Abdurrahman Wahid walaupun besar dan berkembang di kalangan tradisionalis (NU),
namun dalam pemikiran-pemikirannya banyak membicarakan tentang modernisasi. Persamaan
antara Nurcholish Madjid dengan Abdurrahman Wahid nampaknya terletak pada perhatian mereka
terhadap permasalahan modernisasi. Sedangkan perbedaannya adalah Nurcholish Madjid
membicarakan modernisasi dengan merujuk kepada peradaban Islam klasik, sementara itu
Abdurrahman Wahid berbicara peradaban Islam klasik dalam kerangka modernisasi. Artinya,
dapat dikatakan ketika berbicara modernisasi Abdurrahman Wahid berangkat dari peradaban
klasik Islam, sedangkan Nurcholish Madjid berangkat dari modernisasi barulah merujuk kepada
peradaban klasik Islam. Namun demikian, saat ini terdapat beberapa penulis yang membantah
penyamaan antara Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Di antara penulis itu adalah
Ahmad Baso dalam bukunya yang berjudul NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Dalam bukunya ini Ahmad Baso
menjelaskan perbedaan antara Abdurrahman Wahid dengan Nurcholish Madjid. Di antaranya
seperti kecenderungan Nurcholish Madjid yang selalu menampilkan citra yang “Islami”, misalnya
dengan banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, mencari “Islam yang asli dan murni”, dan
lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran
antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal, Jakarta: Erlangga, 2006, hal.
161-162
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pemikiran universalisme memandang Islam sebagai ajaran yang universal. Mereka
yang masuk ke dalam corak pemikiran ini adalah M. Amien Rais, Jalaluddin
Rakhmat, dan A.M. Saefuddin. Intelektual yang mencoba melibatkan Islam ke
dalam persoalan-persoalan sosial-politik secara lebih luas dimasukkan ke dalam
corak pemikiran modernisme, mereka ini adalah Djohan Effendi dan Ahmad
Syafi’i Maarif.
Secara keseluruhan buku Merambah Jalan Baru Islam ini membahas
perkembangan pemikiran di Indonesia pada tahun 1980-an. Nurcholish Madjid,
sebagai salah satu intelektual yang masuk ke dalam salah satu corak pemikiran
yang dibuat oleh buku ini, menjadi pembicaraan bersama dengan intelektualintelektual lainnya. Fokus pembicaraan Nurcholish Madjid lebih banyak kepada
gerakan “pemikiran baru”-nya.
Karya lain yang membicarakan tentang Nurcholish Madjid adalah buku
Muhammad Kamal Hassan yang berjudul Modernisasi Indonesia: Respon
Cendekiawan Muslim.34 Buku Muhammad Kamal Hassan ini membicarakan
tentang berbagai macam respons cendekiawan Muslim di Indonesia dalam
menghadapi perkembangan modernisasi di Indonesia pada masa Orde Baru.
Nurcholish Madjid sebagai salah satu cendekiawan Muslim di Indonesia juga
dibicarakan di dalam buku ini. Namun demikian, buku ini memandang pemikiran
Nurcholish Madjid dari sisi kalangan reformis atau kalangan pengkritik
Nurcholish Madjid sehingga kesimpulan yang didapatkan adalah pemikiran
Nurcholish Madjid bid’ah (sesat atau menyimpang). Penelitian tesis ini berusaha
menjelaskan konsep pemikiran Nurcholish Madjid secara jelas sehingga
penghakiman terhadap pemikirannya dapat dihindarkan.
Sementara itu, Siti Nadroh menulis buku yang berjudul Wacana
Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid.35 Buku ini membicarakan tentang
pandangan keagamaan dan politik Nurcholish Madjid. Penulis buku ini membagi
pemikiran Nurcholish Madjid kepada dua macam, yaitu pemikiran keagamaan dan
politik. Selain itu, Siti Nadroh juga menyinggung pembaruan pemikiran
34
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
Penerjemah Ahmadi Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987
35
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nurcholish Madjid pada awal 1970-an. Secara keseluruhan buku ini
membicarakan tentang pemikiran Nurcholish Madjid tanpa membicarakan
pengaruh dari pemikiran Nurcholish Madjid itu dalam umat Islam. Jadi, buku ini
hanya memfokuskan kajiannya kepada pemikiran Nurcholish Madjid tanpa
melihat konteks, waktu, dan pengaruh pemikiran Nurcholish Madjid bagi umat
Islam Indonesia.
Adapun buku yang membicarakan tentang Islam kultural di antaranya
adalah buku Dinamika Islam Kultural yang ditulis oleh Amin Abdullah.36 Buku
ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Amin Abdullah. Buku ini
mendefiniskan Islam kultural sebagai Islam yang mengandung pengertian bahwa
sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang
menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat atau masyarakat
tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem
yang Islami. Definisi Islam kultural seperti ini membawa penulis buku ini kepada
kesimpulan bahwa Muhammdiyah adalah organisasi kultural di Indonesia. Oleh
karena itu, sebagai besar pembahasan buku ini terfokus kepada Muhammadiyah.
Dari berbagai buku yang telah ada, kajian ini memiliki perbedaan dari segi
kekhususan penelitian mengenai pemikiran Nurcholish Madjid mengenai Islam
kultural. Selain itu, kajian ini juga berusaha membahas pengaruh pemikiran Islam
kultural Nurcholish Madjid terhadap umat Islam Indonesia, yang belum diangkat
oleh karya-karya yang telah ada. Hal ini penting karena Islam kultural pada masa
Orde Baru dianggap mampu memberikan solusi untuk kemajuan umat Islam
setelah Islam politik mengalami kemandegan bahkan dicurigai pemerintah.
1.6 Kerangka Teori
Munculnya suatu pemikiran tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial dalam
masyarakat. Perubahan itu menuntut adanya kreatifitas dari kalangan elit
masyarakat agar perubahan sosial yang terjadi bisa membawa kebaikan bagi
masyarakat. Namun demikian, setiap kreatifitas untuk menghadapi perubahan
sosial akan membawa perubahan terhadap pemikiran yang sudah mapan. Artinya,
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman
Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000
36
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
untuk menghadapi perubahan sosial dibutuhkan pembaruan pemikiran agar
pemikiran yang telah “mapan” menjadi sesuai dengan perubahan sosial yang ada.
Menurut Fazlur Rahman37 untuk memahami pembaruan pemikiran Islam
dapat dijelaskan dengan mengemukakan dialektika pembaruan dalam Islam yang
dapat dibagi menjadi empat gerakan. Pertama, gerakan revivalis, muncul pada
akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh Wahabiyah di Arab,
Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat. Ciri-ciri gerakan ini
adalah himbauan untuk kembali ke Islam orisinal, dengan menanggalkan
takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer,
meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum
tradisional, berusaha melakukan ijtihad, dan himbauan untuk membuang corak
dan pendekatan predeterministik.
Kedua, gerakan modernis. Pelopor gerakan ini adalah Sayyid Ahmad
Khan di India, Jamaluddin al-Afghani di Timur Tengah dan Muhammad Abduh di
Mesir. Gerakan ini masih tetap menjadikan revivalisme pra-modernis sebagai
dasar melakukan pembaruan. Di samping itu, yang baru dari gerakan modernis
adalah perluasan isi ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan
sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, serta pembaruan
politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional.
Gerakan ini lahir juga karena ada proses dialektika dengan pemikiran dan
masyarakat Barat. Kalangan modernis ini sedikit sekali yang bersandar pada
hadis. Dengan kata lain gerakan ini bersikap skeptis terhadap hadis, karena hadishadis sering bertolak belakang dengan banyak hal penting bahkan bertentangan
dengan al-Quran.38
Ketiga, neo-revivalisme yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi di
Pakistan.
Gerakan
ini
mendukung
gagasan
demokrasi
dan
berusaha
mempraktikkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisasi. Bahkan
gerakan ini mendasari dirinya pada basis pemikiran kalangan modernis yaitu
Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun
37
Fazlur Rahman, “Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa
ini”, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (penyunting), Perkembangan Modern dalam
Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal. 21-22
38
Ibid., hal. 26-29
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kolektif. Akan tetapi, karena usahanya untuk membedakan dirinya dari Barat,
maka neo-revivalisme merupakan reaksi terhadap modernis. Mereka tidak
menerima metode atau semangat modernis, tetapi sayangnya mereka tidak mampu
mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain hanya
berusaha membedakan Islam dari Barat.
Keempat, neo-modernis yang dipelopori oleh Fazlur Rahman sendiri. Neomodernisme dapat dipahami sebagai gerakan pemikiran Islam yang liberal,
progresif yang muncul setelah modernisme dan sintesis antara wawasan Islam
tradisional dengan penekanan modernisme atas rasionalitas, ijtihad, dan pemikiran
Barat Modern.39
Menurut Greg Barton40 kemunculan pemikiran neo-modernisme Islam di
Indonesia yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, didorong oleh iklim politik dan sosial yang
unik pada masa Orde Baru, yaitu pengabaian Orde Baru terhadap kelompokkelompok Islam agar tidak terlibat langsung dalam partai politik maupun proses
demokrasi. Pengabaian ini kemudian mendorong para intelektual muda untuk
memusatkan diri pada wilayah pemikiran semata daripada aktivitas politik.
Namun demikian, menurut Barton, faktor politik di atas sesungguhnya
tidak dapat menjelaskan secara detail besarnya antusiasme yang melanda
pemikiran Islam progresif ini. Menurutnya hal yang paling penting adalah
ketertarikan luar biasa pada ide-ide mengenai pemisahan antara gereja dan negara,
pemisahan antara keimanan pribadi dengan partai politik, yang pada gilirannya hal
ini membawa pada ide tentang negara ‘sekular’ (non-sektarian). Begitu juga
konsep bahwa ijtihad harus dikontekstualisasikan atau dikembangkan agar
mampu menjawab tuntutan masyarakat Indonesia modern. Dalam pemahaman
lebih umum, suburnya ide-ide seperti ini merupakan hasil proses modernisasi dan
globalisasi di masyarakat Indonesia.41
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme
Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, penerjemah:
Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. xx-xxi
40
Ibid., hal. 2
41
Ibid., hal. 3
39
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Gerakan neo-modernisme mencerminkan perkembangan modernisme
Islam yang lebih jauh di mana keahlian dan pengetahuan klasik maupun
tradisional digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah
teks. Seperti modernisme, neo-modernisme secara dasariah merupakan tanggapan
dalam pemikiran Islam terhadap tekanan, tantangan, serta peluang-peluang
modernitas. Namun berbeda dengan modernisme, ia berpaham pemisahan antara
gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan langsung kelompokkelompok agama ke dalam partai politik secara tidak terelakkan akan
menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan aliranaliran keagamaan.42
Selain itu, gerakan neo-modernisme tersusun dari hasil perkembangan
modernisme sebelumnya, namun ia sangat religius dan penuh motivasi dalam
memperhatikan perkembangan Islam progresif dan masyarakat Islam Indonesia.
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Fazlur Rahman, gerakan
neo-modernis Islam Indonesia sarat perhatian pada pembentukan metodologi yang
universal dan permanen terhadap tafsir Alquran, yakni tafsir yang rasional dan
peka pada konteks historis dan budaya, baik terhadap segi teks aslinya maupun
terhadap masyarakat modern yang kini tengah mencari pegangan. Aspirasiaspirasi yang ditanamkan oleh kelompok pemikiran ini tidak dengan menengok ke
belakang, sebaliknya ia diorientasikan ke masa datang dan diharapkan mampu
memecahkan kebutuhan dan tantangan dalam mode yang positif dan progresif.43
Teori yang dikemukakan oleh Greg Barton di atas dapat membantu
memahami pemikiran Islam kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid.
Pemikiran Nurcholish Madjid bagaimana pun juga memiliki kaitan yang jelas
dengan pemikiran-pemikiran yang telah ada sebelumnya seperti misalnya
pemikiran Ibn Taimiyah yang menjadi pegangan bagi kalangan modernis. Selain
itu, dengan menggunakan teori Barton ini dapat diketahui nuansa-nuansa politik
pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid karena pada awalnya kemunculan
pemikiran ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi perpolitikan di Indonesia. Teori
Ibid., hal. 5
Ibid., hal. 15
42
43
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ini juga dapat membantu memperjelas sisi kereligiusan pemikiran Nurcholish
Madjid.
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I diawali dengan
pendahuluan yang meliputi latar belakang; pokok permasalahan; tujuan penelitian;
ruang lingkup; metode penelitian dan sumber; tinjauan pustaka; kerangka teori;
dan sistematika penulisan.
Adapun Bab II berisi tentang biografi singkat Nurcholish Madjid, meliputi
masa muda, aktivitas intelektual dan organisasi, dan karya-karya. Sedangkan Bab
III berisi tentang sekilas perkembangan Islam di Indonesia sebelum Orde Baru
(1942-1965) yang meliputi Islam pada masa pendudukan Jepang (1942-1945),
dengan sub bab Piagam Jakarta; Islam pada masa Revolusi (1945-1949), Islam
pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), dengan sub bab perdebatan dasar
negara dalam Konstituante, dan Islam pada masa Demokrasi Terpimpin (19601965).
Sementara itu, Bab IV berisi konsepsi Islam kultural Nurcholish Madjid,
yang meliputi perkembangan Islam pada awal Orde Baru dan faktor pendorong
munculnya Islam kultural, Islam kultural dalam konsepsi Nurcholish Madjid, dan
sumber pemikiran Nurcholish Madjid.
Adapun Bab V berisi respons dan pengaruh Islam kultural, yang terdiri
dari respons terhadap Islam kultural dengan sub bab kritikan terhadap Islam
kultural dan dukungan terhadap Islam kultural, dengan sub bab dukungan dari
pemerintah Orde Baru dan dukungan dari intelektual Muslim, dan pengaruh Islam
kultural.
Sistematika penulisan tesisi ini diakhiri dengan Bab VI, yaitu penutup
yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dijelaskan dalam
kesimpulan.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB II
BIOGRAFI SINGKAT NURCHOLISH MADJID
2.1 Riwayat Pendidikan
Nurcholish Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939 (26
Muharram 1358 H), dari kalangan keluarga pesantren tradisional. Ayahnya,
bernama H. Abdul Madjid,44 adalah seorang kiai alim hasil godokan pesantren
Tebuireng, dan termasuk ke dalam keluarga besar Nahdatul ‘Ulama (NU), yang
secara personal memiliki hubungan dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari,45 salah
seorang pendiri NU, namun secara politik berafiliasi dengan partai politik Islam
modernis, yaitu Masjumi.46 Sementara ibunya, adalah adik dari Rais Akbar NU,
dari ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri, sewaktu
organisasi ini masih dipegang oleh para kiai.47
Dengan orang tua yang memiliki wawasan yang cukup luas dalam bidang
agama Islam, Nurcholish Madjid memiliki kesempatan besar untuk banyak belajar
44
Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), tetapi
dia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi
pesantren, Abdul Madjid seringkali dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi
ketinggian ilmu-ilmu keislaman yang dimilikinya, walau dia sendiri secara pribadi tidak pernah
menyebut dirinya kiai dan tidak pernah secara resmi “bergabung dengan kalangan” ulama.
Meskipun dia tetap menyebut dirinya sebagai “orang biasa”, namun hal itu tidaklah membendung
keinginannya untuk membangun sebuah madrasah. Bahkan dia menjadi pemeran utama dalam
pembangunan madrasah yang dia kelola sendiri, dan juga paling berperan dalam membesarkan
serta mengawasi Madrasah al-Wathaniyah, di Mojoanyar, Jombang. Madrasah tersebut membuka
proses kegiatan belajar mengajar pada sore hari dan sering disebut “sekolah sore”, yang
dipersiapkan untuk para siswa yang mengikuti SR di pagi hari. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad
Wahib, dan Abdurrahman Wahid, penerjemah Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 72
45
KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pendiri organisasi Islam tradisionalis
terbesar di Indonesia, NU. Abdul Madjid adalah salah seorang murid kesayangan Kiai Hasyim
Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Untuk beberapa tahun lamanya ayah Nurcholish Madjid
belajar langsung di bawah bimbingan Hasyim Asy’ari, bahkan pernah dinikahkan dengan
keponakan Sang Guru, Halimah (setelah cerai menjadi Nyai Kiai Adlan Ali dan Abdul Madjid
sendiri kemudian menikah dengan gadis lain atas pilihan Sang Guru yang melahirkan Nurcholish
Madjid). Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan
Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, hal. 122
46
Keteguhan Abdul Madjid dalam hal afiliasi politiknya dengan Masjumi tidak
tergoyahkan walaupun banyak dari saudara-saudaranya yang berpindah ke NU setelah NU keluar
dari Masjumi. Lihat Greg Fealy dan Virginia Hooker (editor), Voices of Islam in Southeast Asia: a
Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications, 2006, hal. 220
47
Kompas, Minggu, 3 November 1985, hal. 2
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
21
dari orang tuanya. Dengan demikian, Abdul Madjid banyak memberikan pengaruh
kepada Nurcholish Madjid, baik dalam hal keilmuan atau pun motivasi dalam
menuntut ilmu. Seperti yang pernah disebutkan oleh Nurcholish Madjid sendiri
mengenai hobi membacanya yang dia warisi dari ayahnya, dia berkata:
Membaca buku bagi saya merupakan hobi. Setiap mau tidur saya selalu
membaca dan ini saya warisi dari ayah saya. Waktu kecil saya sering tidur
di samping ayah, sebelum tidur dia selalu membaca sambil merokok. Cara
ayah mensosialisasikan kebiasaan membaca pada saya tersebut, terulang
pada anak-anak saya (kecuali tidak sambil merokok).48
Dikarenakan hobi membacanya itu, Ahmad Wahib, sahabat Nurcholish
Madjid, menyatakan bahwa buku adalah pacar Nurcholish Madjid yang pertama.49
Berkat hobi membacanya ini, Nurcholish Madjid memiliki “peralatan” yang
cukup untuk menganalisis berbagai sumber ilmu pengetahuan, baik Islam maupun
Barat, yang berguna untuk mengembangkan pemahaman keislamannya.
Posisi ayahnya yang tetap berpegang pada kebiasaan NU dalam hal
keagamaan, namun berafiliasi kepada Masjumi dalam hal politik, juga membawa
pengaruh kepada Nurcholish Madjid. Dalam hal ini, Abdul Madjid nampaknya
ingin menunjukkan bahwa dasar keagamaan seseorang tidak menghalanginya
untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu yang berbeda dengan dasar
keagamaannya. Artinya, Abdul Madjid ingin menunjukkan bahwa partai politik
bukanlah sesuatu yang mutlak berkaitan dengan agama. Tetapi, partai politik
hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, ia bukan tujuan itu sendiri. Oleh
karena itu, partai politik bukanlah yang terpenting. Di kemudian hari, pemikiran
ini menjadi lebih jelas dalam pemikiran Nurcholish Madjid dengan konsep
“sekularisasi”-nya atau “desakralisasi”.
Nurcholish Madjid mendapatkan pendidikan dasar (Sekolah Rakyat) di
Mojoanyar dan Bareng. Selain belajar di Sekolah Rakyat, dia juga belajar di
Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri di
Mojoanyar, Jombang. Pada masa pendidikan dasarnya inilah, Nurcholish Madjid
sudah menampakkan kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan
48
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 126
Djohan Effendi dan Ismed Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 160-167
49
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
atas prestasinya. Hal ini menimbulkan rasa malu dan rasa kagum ayahnya karena
kedudukan sang ayah saat itu sebagai pendiri dan pengajar di madrasah alWathaniyah.50
Melihat latar pendidikannya ini, maka dapat diketahui bahwa sejak kecil
Nurcholish Madjid telah menerima dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan
umum (SR) dan pendidikan agama (madrasah). Dengan sistem pendidikan seperti
ini, Nurcholish Madjid memperoleh keuntungan karena dia menerima dua macam
bidang keilmuan sekaligus, yaitu pengetahuan umum dan agama. Sistem
pendidikan seperti ini sangat membantunya dalam perkembangan pemikirannya
selanjutnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 14 tahun,
Nurcholish Madjid kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren (tingkat
menengah SMP) Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi karena dia berasal dari
keluarga NU yang Masjumi, maka dia tidak betah51 di pesantren yang afiliasi
politiknya adalah NU ini. Nurcholish Madjid berkata:
Ayah saya sendiri dimusuhi oleh para kiai di Jombang. Karena situasi
seperti ini, lalu saya minta agar ayah pindah saja ke NU.52
Akan tetapi, usul Nurcholish Madjid itu ditolak oleh ayahnya dengan
alasan yang bisa berpolitik itu Masjumi, bukan NU. Lagi pula, menurut
Nurcholish Madjid, ayahnya berpendapat bahwa KH. Hasyim Asy’ari sendiri
pernah berfatwa bahwa Masjumi merupakan satu-satunya wadah aspirasi umat
Islam Indonesia.53
50
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123
Tidak betahnya Nurcholish Madjid di Pesantren Darul ‘Ulum berkaitan dengan
persoalan ayahnya. Ayah Nurcholish Madjid, KH. Abdul Madjid, sebagai warga NU tetap
memegang pilihan politiknya kepada Masjumi (pada mulanya Masjumi juga merupakan pilihan
politis warga NU termasuk para tokoh-tokohnya), sementara tokoh-tokoh NU lainnya yang karena
satu dan lain hal memilih keluar dari Masjumi. Sikap politik ayah Nurcholish Madjid yang tetap
berafiliasi ke Masjumi inilah yang membawa dampak kehadiran Nurcholish Madjid di Pesantren
Darul ‘Ulum kurang mendapat sambutan hangat. Nurcholish Madjid dianggap sebagai anak
Masjumi yang kesasar ke kandang NU. Sebagaimana diungkapkan oleh Fachry Ali dalam Seminar
Sehari Kritik dan apresiasi atas Pemikiran Dr. Nurcholish Madjid, diadakan oleh Forum Studi
Islam Fakultas Ushuluddin IAIN (UIN) Jakarta, di Auditorium IAIN Jakarta, 3 Juli 1997.
Lengkapnya lihat Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 22
52
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123
53
Ibid.
51
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nurcholish Madjid menuturkan bahwa seringkali ayahnya menangis di
sawah karena sangat terluka oleh serangan-serangan pribadi yang dialamatkan
kepadanya.54 Dia pernah mengungkapkan “kemarahan” NU terhadap ayahnya
yang tetap berafiliasi kepada Masjumi, dia mengatakan:
Ayah saya dulu—dia orang Masjumi, meskipun namanya Haji Abdul
Madjid, yakni bukan orang priyayi—pernah mengalami masalah besar
sekali karena di masjid keluarga kami ditempeli poster kampanye Masjumi
yang mengutip hadis: “Kalau sesuatu diserahkan kepada orang bukan
ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya!” Orang NU tersinggung.
Mereka menganggap poster ini menyinggung NU. Paham mereka kirakira: politik jangan diserahkan kepada ulama. Mereka memahami itu
sebagai arogansi intelektual. Dan itu berlangsung sudah lama sekali.55
Masalah ini nampaknya memengaruhi Nurcholish Madjid yang sedang
menempuh pendidikan di Pesantren Darul ‘Ulum, sehingga dia pun meminta
dipindahkan ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu’allimin AlIslamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Pesantren Darus Salam
sendiri tidak mementingkan masalah politik dan tergolong pesantren yang sangat
modern pada masa itu. Di tempat inilah Nurcholish Madjid lebih lanjut menimba
berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam. Di pesantren ini dia juga menerima
pelajaran bahasa Arab dan Inggris secara intensif.56 Pesantren ini mewajibkan
santri-santrinya berbicara dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di pesantren
ini dia kembali menjadi salah seorang siswa terbaik dengan meraih juara kelas
sehingga dari kelas I dia bisa loncat ke kelas III SMP.57
Mengenai pengalamannya sewaktu sekolah di KMI, Nurcholish Madjid
pernah mengatakan:
Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat
modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya demikian adalah
berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta
pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang
54
Barton, Gagasan Islam, hal. 74
Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran
Islam di Kanvas Peradaban, Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008, hal. 2332.
Lihat juga surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 15 September
1983 dengan judul “Saya banyak Kesalahan”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi
Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad
Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 105
56
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. liv
57
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123
55
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa
Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya
dilarang... Di pesantren ini juga sudah ada kegiatan olahraga yang sangat
maju, termasuk pakaiannya dengan kostum bercelana pendek. Saya masih
ingat, soal ini sempat menjadi bahan olok-olokan masyarakat di Jombang.
“Masak Gontor santrinya pakai celana pendek!” begitu kata mereka.
Soalnya, kalau di Pesantren Rejoso, santrinya tetap sarungan waktu
bermain sepakbola. Orang-orang Gontor juga sudah memakai dasi. Di
Gontor, kalau sembahyang, para santrinya gundulan, tidak pakai kopiah,
dan cuma pakai celana panjang, tidak sarungan. Kalau di Jombang waktu
itu orang yang masuk ke masjid dengan hanya memakai celana panjang
masih jarang sekali. Pendeknya waktu itu Gontor benar-benar merupakan
kantong, enclave, yang terpisah dari dunia sekelilingnya. Oleh sebab itu,
ketika berkunjung ke sana, seorang pastur dari Madiun terkaget-kaget
sekali. Menurutnya, Gontor sudah merupakan “pondok modern”. Dan
memang istilah “pondok modern” itu berasal dari pastur ini. Tetapi ada
satu hal yang sangat saya sesali karena saya tidak menemukannya di
Pondok Pesantren Gontor. Di pesantren saya yang sebelumnya di Rejoso,
para kiai dan guru-guru senior secara bergilir menjadi imam sembahyang.
Bagi saya, itu satu kekhususan sendiri... Karena imamnya mereka, maka
jamaah punya motivasi untuk berduyun-duyun ke masjid. Kalau azan
dikumandangkan, kita bilang, “Yuk, shalat jamaah, yuk. Sekarang
imamnya kiai anu...”58
Dengan menimba ilmu di lembaga pendidikan yang mengajarkan dua
metode pendidikan, sebagaimana yang dia peroleh pada masa pendidikan
dasarnya, maka Nurcholish Madjid memiliki kelebihan dalam penguasaan
khazanah ilmu-ilmu keislaman dan umum. Selain itu, penguasaannya terhadap
bahasa Arab dan bahasa Inggris memudahkannya untuk mempelajari buku-buku
asing—baik Arab maupun Inggris—dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Hal ini
sangat
membantu
Nurcholish
Madjid
dalam
mengembangkan
wawasan
keilmuannya karena khazanah keilmuan Islam umumnya ditulis dengan bahasa
Arab dan ilmu-ilmu modern ditulis dengan bahasa Inggris.
Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren
Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas
Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir
saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid
mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah,
Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu
58
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. liv-lv
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak
kunjung tiba. Belakangan terbetik kabar bahwa kala itu di Mesir sulit memperoleh
visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid pergi ke Mesir.
Nurcholish Madjid sendiri memang sempat kecewa. Tetapi, KH. Zarkasyi bisa
“menghibur”-nya dan rupanya dia tidak kehilangan akal. Lalu dia mengirim surat
ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
dan meminta agar Nurcholish Madjid bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi
Islam tersebut. Maka, berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang ada di
IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana,
meskipun tanpa menyandang ijazah negeri.59
Di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian memilih memasuki
Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab. Dengan memilih IAIN sebagai tempat
kuliahnya, Nurcholish Madjid memiliki akses yang luas terhadap sumber-sumber
khazanah intelektual Islam karena IAIN merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam tinggi terpenting di Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan
Buya Hamka. Hal ini bisa terjadi disebabkan dia tinggal di asrama Masjid Agung
al-Azhar di mana Buya Hamka berada dan biasa menjadi imam di masjid itu. Di
samping itu, Nurcholish Madjid pernah beberapa tahun menjadi staf editor Panji
Masyarakat yang didirikan dan diasuh oleh Buya Hamka.60 Dia sempat menjalani
hubungan dekat dengan Buya Hamka selama lebih kurang 5 tahun.61 Kedekatan
hubungannya dengan Buya Hamka nampak dalam perkataannya, “Beliau (Buya
Hamka) tempat saya berdiskusi dan menyelesaikan problem pribadi”.62
59
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123-124
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
Penerjemah: Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 153
61
Komaruddin Hidayat mengungkapkan tentang kedekatan dan kekaguman Nurcholish
Madjid terhadap Buya Hamka. Dalam berbagai forum obrolan maupun dalam perkuliahan di
Paramadina, berulang kali Nurcholish Madjid mengemukakan rasa hormat dan kekagumannya
pada Buya Hamka yang dinilai mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya,
dan semangat Alquran sehingga dakwah dan paham keislaman yang ditawarkan Buya Hamka
sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Lihat Komaruddin Hidayat “Kata
Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. vi
62
Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 129
60
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Pergaulan yang cukup lama dengan Buya Hamka secara tidak langsung
membawa dampak kepada perkembangan wawasan pemikiran Nurcholish Madjid
karena selama pergaulan itulah terjadi tukar-pikiran atau diskusi antara Nurcholish
Madjid dengan Buya Hamka. Pergaulan itu nampaknya juga menyebabkan
Nurcholish Madjid menjadi lebih akrab dengan permasalahan umat Islam
Indonesia ketika itu karena Buya Hamka pada saat itu dikenal sebagai salah satu
tokoh umat Islam yang memiliki pengaruh besar. Dikarenakan besarnya jasa Buya
Hamka kepadanya sangat wajar apabila Nurcholish Madjid berkata, “Saya
berterima kasih sekali kepada Buya.”63
Selama menjalani masa studinya di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid juga
berusaha mengembangkan kemampuan bahasanya, selain bahasa Arab dan bahasa
Inggris yang telah dikuasainya. Untuk itu dia mengambil kursus bahasa Prancis di
Alliance Francaise dan selesai tahun 1962. Selain bahasa Arab, Inggris, dan
Prancis, dia juga fasih dalam bahasa Persia yang diajarkan dalam perkuliahan di
IAIN.64 Dengan beragam bahasa yang dikuasainya dan hobi membaca yang
dimilikinya, maka dia mampu membaca buku yang tidak hanya terbatas kepada
buku-buku keislaman saja (buku berbahasa Arab), seperti buku tulisan Ibn
Taimiyah, Al-Maududi, Al-Kindi, Al-Ghazali, Hassan Al-Banna, dan lain-lainnya,
tetapi juga banyak membaca karya-karya ilmuwan Barat dalam bidang filsafat,
sosiologi, dan politik seperti karya Karl Marx, Karl Meinheim, Arnold Toynbee,
Robert N. Bellah, Harvey Cox, Talcott Parson, dan lain-lainnya.
Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid menyelesaikan Sarjana Lengkap
(Drs.), dengan judul skripsi: al-Qur’an: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun
Ma’nan, yang maksudnya adalah Alquran dilihat secara bahasa bersifat lokal
(ditulis dengan bahasa Arab), sedangkan dari segi makna mengandung sifat
universal.65 Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid beberapa tahun
sempat mengajar di almamaternya itu.
Pada Maret 1978, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke
jenjang yang lebih tinggi, yaitu tingkat doktoral di Universitas Chicago, Amerika
63
Ibid.
Lihat catatan kaki Barton, Gagasan Islam, hal. 78
65
Hidayat, “Kata Pengantar”, hal. vi
64
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Serikat, dengan mendalami ilmu politik dan filsafat Islam. Pada tahun 1984,
Nurcholish Madjid mendapat gelar Ph.D. dengan nilai cum laude dalam bidang
Filsafat Islam (Islamic Thought) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam
(teologi) menurut Ibn Taimiyah, yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and
Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam
Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).66
Sepanjang hidupnya Nurcholish Madjid telah mencetuskan gagasangagasan “radikal” dalam pemikiran Islam sehingga menyebabkan sosoknya
menjadi kontroversial.67 Pada 15 Agustus 2005, Nurcholish Madjid dirawat di RS
Pondok Indah karena mengalami gangguan pada pencernaan. Sebelumnya, pada
23 Juli 2004 dia sempat menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping,
Provinsi Guangdong, China. Pada hari Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan
24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan,
di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad
Mikail,
menantunya
David
Bychkon,
sahabatnya
Utomo
Danandjaja,
sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya, akhirnya
Nurcholish
Madjid
menghembuskan
nafas
terakhirnya.
Jenazah
Rektor
Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina
di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra
Utama itu diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara
penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama
Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata
pada hari Selasa, 30 Agustus 2005, pukul 10.00 WIB. Sementara, acara
pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri
Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab.68
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lvi, Madjid, Islam Agama,
hal. 224, dan Barton, Gagasan Islam, hal. 85
67
Pemikiran “radikal” yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid di antaranya adalah
konsep sekularisasi, “Islam Yes, Partai Islam No” dan tidak ada negara Islam, yang menjadi kajian
utama dalam penelitian ini. Selain itu, Nurcholish Madjid juga mencetuskan pemikiran “radikal”
lainnya seperti “tidak ada tuhan (dengan “t” kecil), selain Tuhan (dengan “T” besar)” ketika dia
mengartikan kalimat laa ilaha illallah, dan menyamakan semua agama wahyu, seperti Kristen,
Yahudi, Katolik, dan sebagainya sebagai islam (dengan “i” kecil yang dia artikan dengan sikap
pasrah kepada Allah).
68
Dikutip dari berbagai sumber seperti Kompas cetak online, www.kompas.com, dan
www.tokohindonesia.com, Selasa, 30 Agustus 2005, Tempo, 11 September 2005
66
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nurcholish Madjid meninggalkan pemikiran-pemikiran keislaman yang
akan menjadi bahan renungan bagi generasi intelektual Muslim setelahnya.
Pemikiran-pemikirannya itu tidak dapat dipungkiri memberikan pengaruh yang
cukup besar bagi perkembangan umat Islam di Indonesia. Sebagai sosok yang
mencetuskan gagasan Islam kultural pada saat umat Islam menginginkan
terlaksananya syariat Islam atau diakuinya Piagam Jakarta oleh negara, sosok
Nurcholish Madjid terkesan “menyimpang” dari arus utama aspirasi umat Islam
sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam umat Islam. Namun, sebagai
manusia gagasan-gagasan Nurcholish Madjid itu tidak pernah sempurna. Oleh
karena itu, gagasan Nurcholish Madjid senantiasa akan mendapat perhatian dan
kritikan dari umat Islam, baik itu yang pro atau pun yang kontra dengan
pemikirannya.
2.2 Aktivitas Intelektual dan Organisasi
Sebagai seorang intelektual muda yang aktif pada masanya, Nurcholish Madjid
tidak hanya terpaku kepada bangku kuliah. Dia menjalani banyak aktivitas
organisasi. Di antaranya Nurcholish Madjid terlibat aktif dalam organisasi
kemahasiswaan Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia mulai
memasuki HMI pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester menjalani masa
perkuliahannya. Dimulai dari tingkat Cabang Ciputat, Nurcholish Madjid telah
menunjukkan kemampuannya sebagai seorang leader, yang tidak saja dikagumi
oleh kawan-kawannya, tetapi juga disegani rival-rivalnya. Pada akhir tahun 1966,
HMI melakukan Kongres di kota Solo. Pada waktu itu Nurcholish Madjid menjadi
calon kuat Ketua Pengurus Besar (PB) HMI. Karena citra kepemimpinannya yang
menonjol, Nurcholish Madjid terpilih menjadi ketua PB HMI. Bahkan, dia terpilih
menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode berturut-turut, yaitu periode
1966-1969 dan periode 1969-1971.69
Selain aktif di HMI, Nurcholish Madjid juga pernah menjabat berbagai
posisi penting dalam organisasi kemahasiswaan dunia, di antaranya sebagai
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1999, hal. 26
69
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Presiden Persatuan Mahasiswa Asia Tenggara (1967-1969) dan Wakil Sekjen
IIFSO (International Islamic Federation of Student Organisation).70
Dalam masa inilah, Nurcholish Madjid membangun citra dirinya sebagai
seorang pemikir muda Islam. Pada training Ideopolitor Oktober 1967 di
Pekalongan, yang diikuti oleh anggota PB HMI dan wakil-wakil Badko seluruh
Indonesia, Nurcholish Madjid tampil dengan prasarannya tentang modernisasi, di
mana dia mengingatkan akan bahaya westernisasi, sekularisme, sekularisasi, dan
sebagainya.71 Setahun kemudian, yaitu tahun 1968, Nurcholish Madjid menulis
makalah yang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”72,
sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Dalam
makalahnya ini dia berusaha menjelaskan tentang modernisasi dalam tinjauan
Islam dan menegaskan kembali bahaya-bahaya ideologi Barat bagi umat Islam,
seperti sekularisme, rasionalisme, dan humanisme.
Pada bulan Oktober 1968, Nurcholish Madjid berangkat ke Amerika
Serikat atas undangan State Departement. Seorang pejabat Kedutaan Besar
Amerika Serikat yang ditanya mengapa Nurcholish Madjid diundang ke Amerika,
menjawab, “sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini”. Di sana dia
mengunjungi
universitas-universitas,
mempelajari
kehidupan
mahasiswa,
mengadakan diskusi-diskusi, dan lain sebagainya. Dia berada di Negeri Paman
Sam itu selama dua bulan.73 Dari Amerika Serikat Nurcholish Madjid
melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah.74
Perjalanan ke Timur Tengah inilah yang banyak memberikan pengaruh
bagi perkembangan pemikirannya. Perjalanan ini dia dapatkan sebagai hadiah
untuk makalah yang telah disajikan di Arab Saudi pada kunjungan pertamanya.
Hadiah tersebut berupa tiket perjalanan di akhir tahun 1969, sebagai tamu resmi
pemerintah Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.75 Besarnya pengaruh
Madjid, Islam Agama, hal. 224
Effendi dan Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran, hal. 157
72
Nurcholish Madjid, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi,” dalam
bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1993, cet. V, hal. 171-203
73
Effendi dan Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran, hal. 161
74
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lvi
75
Barton, Gagasan Islam, hal. 79
70
71
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
perjalanan ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi, bagi pemikiran Nurcholish
Madjid dikarenakan di Arab Saudi menganut mazhab Wahabi.76 Dengan melihat
secara langsung kehidupan masyarakat penganut mazhab ini, Nurcholish Madjid
mendapatkan kesan yang mendalam tentang keyakinan kuat akan pentingnya
ijtihad dan pemurnian agama.
Pada tahun 1969, Nurcholish Madjid menulis sebuah buku pedoman
ideologis HMI, yang disebut Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai
sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama NilaiNilai Identitas Kader (NIK). Buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel
Nurcholish Madjid yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training
kepemimpinan HMI, yaitu Dasar-Dasar Islamisme.
Karena pemikiran-pemikirannya pada masa ini, 1966-1969, dan terutama
bakat intelektualnya yang luar biasa, yang berkecenderungan modern, tetapi
sekaligus sosialis-religius—dia pun oleh generasi Masjumi yang lebih tua, sangat
diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan
Mohammad Natsir, sehingga di masa ini dia dikenal sebagai “Natsir Muda”.
Namun sesudah tahun 1970 setelah dia menyampaikan makalah pembaruannya,
golongan
tua
kecewa
akibat
makalahnya
itu
mempromosikan
paham
77
sekularisasi. Kekecewaan golongan tua terhadap Nurcholish Madjid juga timbul
akibat sikap “penentangannya” terhadap partai politik Islam dan negara Islam.
Akibat gagasannya ini, harapan golongan tua terhadap Nurcholish Madjid menjadi
hilang dan berganti dengan penentangan terhadap Nurcholish Madjid sehingga dia
harus menerima kritikan keras dari generasi tua maupun teman-teman
segenerasinya.
Penolakannya terhadap negara Islam disampaikan pada tanggal 30
Oktober 1972 di auditorium Taman Ismail Marzuki, dalam makalahnya yang
76
Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan slogan pemurnian
agama Islam, kembali kepada Alquran dan Sunnah, dan pintu ijtihad terus terbuka, mazhab ini
melakukan “pembaruan” besar-besaran di Arab Saudi. Sebagai contoh mereka melakukan
penggusuran makam-makam di Arab Saudi karena mereka anggap hal itu menyebabkan
kemusyrikan di dalam masyarakat. Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibn
Taimiyyah. Kemampuannya berkolaborasi dengan keluarga Suud menghasilkan kekuasaan yang
besar sehingga mereka dapat menguasai Arab Saudi sampai saat ini.
77
Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 152-153
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”,
Nurcholish Madjid menegaskan bahwa usaha mendirikan negara Islam merupakan
bentuk apologia umat Islam.
Selanjutnya, Nurcholish Madjid harus menghadapi berbagai kritikan keras
dari berbagai kalangan.78 Kritikan maupun serangan keras yang ditujukan
kepadanya berlangsung sampai dia melanjutkan pendidikan ke Chicago.
Nurcholish Madjid menyebutkan suasana ketika itu:
...Di samping reaksi-reaksi yang bersifat lisan, yang disampaikan dalam
bentuk tabligh dan khutbah jumat, dua buku ditujukan untuk memberikan
bantahan atau komentar terhadap gagasan saya... Yang pertama berjudul
Pembaruan Pemikiran Islam, berisikan tulisan saya dan komentar atau
reaksi dari wakil-wakil organisasi-organisasi lain di luar HMI... Buku
kedua berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang
Sekulerisasi ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, berisikan analisis beliau
yang tajam dan kritis terhadap gagasan-gagasan saya...79
Dari perkataan Nurcholish Madjid itu nampak jelas bahwa reaksi atas
makalahnya itu tidak hanya berbentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk lisan yang
disampaikan melalui ceramah-ceramah dan khutbah Jumat. Banyaknya reaksi itu
menunjukkan bahwa umat Islam pada masa itu tidak siap atau bahkan tidak
menyetujui gagasan yang diajukan oleh Nurcholish Madjid. Selain itu, kritikankritikan dalam khutbah Jumat juga menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish
Madjid tidak hanya mendapat perhatian dari intelektual Muslim tetapi juga oleh
masyarakat.
Salah seorang yang paling keras mengkritik Nurcholish Madjid adalah
Prof. Dr. H. M. Rasjidi.80 Mengenai hal ini Nurcholish Madjid berkata:
Tiga hal tampak di hadapan saya menyangkut komentar keras Rasjidi, dan
reaksi pahitnya terhadap gagasan-gagasan saya. Pertama adalah diskusi
78
Mengenai kritikan-kritikan terhadap Nurcholish Madjid, termasuk kritikan keras dari
HM. Rasjidi, lihat BAB V
79
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxii
80
HM. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama RI. Dia lahir di Kota Gede, Yogyakarta,
pada tahun 1914. Rasjidi menempuh pendidikan pada sekolah Al-Irsjad di Jakarta sebelum
menyelesaikan pelajarannya pada Universitas Raja Fuad I di Kairo. Setelah kembali ke Indonesia
pada tahun 1931, dia mengajar pada Muallimin Muhammadiyah dan Pesantren Luhur di Surakarta.
Dia adalah komisaris PII yang dipimpin oleh Sukiman dan Wiwoho, dan kemudian aktif dalam
MIAI dan Masjumi. Lebih lengkap lihat Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terj. oleh Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1988, hal. 470-471. Mengenai kritikan Rasjidi dan lainnya akan dibahas dalam BAB V.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
keras yang diselenggarakan oleh pimpinan HMI dan PII pada bulan
Agustus 1972. Diskusi tersebut diselenggarakan dengan ketidakhadiran
saya, ketika saya sedang mengadakan kunjungan ke beberapa negara Asia,
sementara pihak panitia penyelenggara tidak memberitahukan saya
sebelumnya. Sebagai akibatnya, absennya saya dalam diskusi tersebut—
yang pertama kali diadakan bersama generasi tua seperti Rasjidi—
dijadikan alasan oleh beberapa orang peserta yang menyangka, bahkan
menuduh saya sebagai pengecut. Insiden kedua adalah elaborasi yang
secara lebih jauh di dalam gagasan sekularisasi di dalam buletin yang
diterbitkan oleh saya dan kawan-kawan pada tahun 1972. Nama buletin
tersebut adalah Arena. Yang ketiga adalah penyajian makalah saya pada
tanggal 30 Oktober 1972 di auditorium Taman Ismail Marzuki. Tema
Pembicaraan saat itu adalah “Menyegarkan Paham Keagamaan di
Kalangan Umat Islam Indonesia”.81
Penerbitan buletin Arena ditujukan untuk menyebarkan secara luas
gagasan-gagasan Nurcholish Madjid kepada masyarakat. Dengan dibacanya
secara luas gagasan-gagasan itu diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman
berkepanjangan dalam masyarakat. Namun, harapan itu nampaknya tidak berhasil
karena gagasan-gagasan Nurcholish Madjid itu tetap menimbulkan kritikan dan
serangan keras dari umat Muslim.
Dari tahun 1970 sampai 1974, Nurcholish Madjid menjadi intelektual
muda yang mendapat sorotan sangat tajam. Sorotan itu menjadi lebih tajam
setelah dia membacakan makalahnya pada tanggal 30 Oktober 1972. Para
pengkritik gagasan Nurcholish Madjid merasa berkewajiban untuk terus-menerus
mengingatkan kekeliruan-kekeliruan yang telah dilakukan Nurcholish Madjid.82
Kritikan dan serangan keras yang dialamatkan kepadanya tidak
ditanggapinya secara reaktif. Pada 29 Maret 1983, dalam suratnya kepada
Mohamad Roem,83 Nurcholish Madjid menyebutkan sikapnya dalam menanggapi
serangan keras dari Rasjidi. Dia menyatakan:
81
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv
Barton, Gagasan Islam, hal. 83
83
Mr. Mohamad Roem lahir di Parakan, Jawa Tengah, 16 Mei 1908—meninggal di
Jakarta, 24 September 1983 adalah seorang diplomat ulung dan salah satu pemimpin bangsa
Indonesia pada masa Perang Revolusi. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana
Menteri, Menteri Dalam negeri dan Menteri Luar Negeri Indonesia pada pemerintahan Presiden
Soekarno. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mohamad_Roem, pada tanggal 3 Juni 2010.
82
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Sebabnya begitu Pak Rasjidi mulai menyerang, saya segera dipanggil oleh
Ustaz Abdul Ghaffar Ismail84 dari Pekalongan dan diwanti-wanti agar
tidak menjawab secara langsung. Ustaz Ghaffar tidak lupa memberi
dorongan kepada saya untuk belajar lebih banyak, sambil menghibur,
“Kamu bisa lebih besar dari Rasjidi,” kata beliau. Berbagai alasan yang
dikemukakan Ustaz Ghaffar untuk wanti-wantinya dan dorongan
belajarnya itu.”85
Nurcholish Madjid juga menyatakan bahwa apabila dia menanggapi
serangan Rasjidi itu maka bisa saja ongkos sosial politik yang harus dikeluarkan
akan terlalu besar. Pernyataan Nurcholish Madjid ini menurut saya dikarenakan
sosok Rasjidi dianggap sebagai salah satu tokoh penting umat Islam. Sebagai
menteri agama RI pertama, Rasjidi memiliki pengaruh di kalangan umat Islam
Indonesia. Selain itu, Rasjidi merupakan tokoh akademisi Islam terkemuka pada
saat itu. Dengan demikian, pengaruh Rasjidi itu bisa “merugikan” Nurcholish
Madjid apabila dia menanggapi secara terbuka serangan darinya.
Lebih jauh dalam suratnya kepada Mohamad Roem itu, Nurcholish Madjid
kembali menyebutkan tentang keraguannya untuk menurutkan keinginan diri
sendiri dan desakan kawan-kawan untuk menjawab Rasjidi secara lebih tuntas
saat itu. Menurutnya, keraguan itu tidak saja dikarenakan nasihat dari Ustaz
Ghaffar tetapi juga dikarenakan cara Rasjidi menangani suatu permasalahan dan
melakukan pembahasan. Keraguan itu kini diperkuat oleh kenyataan bagaimana
cara Pak Rasjidi “menangani” Harun Nasution dan Ahmad Wahib, suatu cara
yang menurut Nurcholish Madjid banyak disesalkan orang.86
84
KH. Abdul Ghaffar Ismail lahir di Bukittinggi pada 11 Agustus 1911. Orang tua dari
Taufik Ismail—sastrawan terkemuka Indonesia—ini mengikuti pendidikan SD dan pesantren di
Sumatera Thawalib di Sumatera Tengah. Dia pernah menjadi pengurus besar Partai Masjumi pada
tahun 1946, menjadi tahanan politik dan diasingkan ke Pekalongan, Jawa Tengah dan menetap di
sana sebagai seorang guru Agama Islam. Di kota ini KH. Abdul Ghaffar Ismail kemudian
mengadakan pengajian setiap senin malam atau dikenal dengan Pengajian Malam Selasa yang
berjalan hingga setengah abad lamanya. Dia meninggal pada Agustus 1998.
85
Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29
Maret 1983 dengan judul “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”. Surat tersebut
kemudian dibukukan dalam Sasono (penyunting), Surat-Surat Politik, hal. 23.
86
Ibid. Kritikan Rasjidi terhadap Ahmad Wahib terkait dengan diterbitkannya buku yang
memuat pemikiran Ahmad Wahib. Buku yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir
berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Menurut Rasjidi buku
tersebut memberi gambaran mengenai seorang pemuda yang cerdas, tetapi tidak mendapat
bimbingan melainkan barangkali mendapat dorongan untuk ngelantur dalam kesesatannya.
Sementara itu kritikan Rasjidi terhadap Harun Nasution juga terkait dengan penerbitan buku Harun
Nasution yang berjudul Islam Dipandang dari Berbagai Aspeknya. Menurut Rasjidi buku Harun
Nasution tersebut telah mengusap wajah Islam dengan debu yang basah, sehingga wajahnya
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan walaupun perlakuan Rasjidi
kepadanya dan teman-temannya dirasa kurang pada tempatnya, namun dia, insya
Allah tidak berburuk sangka kepada Rasjidi. Hal ini dikarenakan dia dan temantemannya sudah merasakan sendiri betapa pahitnya diburuk-sangkai sehingga dia
tidak mau melakukan hal yang sama. Selain itu juga karena tak sampai hati, atau
kurang masuk akal, memburuk sangkai tokoh seperti Rasjidi.87 Dia mengatakan:
Tetapi pada analisis finalnya, koreksi Rasjidi memperlihatkan
keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap Islam di Indonesia, dan
timbul dari hasratnya yang tinggi untuk “menyelamatkan” generasi muda
Muslim di negara ini (bukunya didekasikan kepada pelajar-pelajar
Muslim). Meskipun demikian, saya tidak setuju dengan beberapa koreksi
dan komentarnya. Untuk satu hal, sebagaian besar dari koreksi dan
komentar tersebut bersifat sangat personal. Menoleh ke belakang, melihat
pengalaman-pengalaman pahit kami, saya berkeinginan sekali untuk tidak
melakukan kesalahan taktis sebagaimana terjadi pada tanggal 2 Januari
1970. Biaya sosial yang dikeluarkan sangatlah mahal, dan kami menderita
kerusakan reputasi kami yang sulit diobati di hadapan masyarakat Muslim.
Jika saya bisa kembali ke zaman itu, saya pasti akan menggunakan
pendekatan-pendekatan saya yang sebelumnya, yaitu penetrasi secara
perlahan-lahan (penetration pacifique) atau “metode penyelundupan” di
dalam upaya memperkenalkan gagasan-gagasan baru. Metode inilah yang
saya gunakan ketika menulis buku NDP. Tetapi waktu telah lewat, dan
saya beserta kawan-kawan telah berusaha mengadakan pemecahan
terhadap banyak dan berbagai kesulitan, dan membangun kembali reputasi
kami mengenai perubahan sosial dan pembaruan.
Akan tetapi walaupun Nurcholish Madjid terlihat menunjukkan sikap
nrimo dalam menanggapi berbagai serangan terhadap gagasannya, khususnya
serangan Rasjidi, nampaknya dia kurang menyukai berbagai reaksi keras terhadap
gagasannya itu. Hal itu nampak dalam isi suratnya kepada Mohamad Roem pada 9
Mei 1983 yang menyebutkan bahwa “pengalamannya selama belasan tahun yang
lalu menjengkelkannya.”88 Mengingat bahwa surat itu ditulis pada tahun 1983
maka yang dimaksudkan oleh Nurcholish Madjid “pengalaman belasan tahun
yang lalu menjengkelkannya” tentunya peristiwa pada awal tahun 1970-an.
nampak dalam keadaan seburuk-buruknya. Lebih lengkapnya lihat Rasjidi, “Pergolakan pemikiran
Islam”, dalam Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982, hal. 42-43
87
Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 24
88
Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 9 Mei
1983 dengan judul “Saya Cemburu dengan Pak Roem”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam
Sasono (penyunting), Surat-Surat Politik, hal. 52-53.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nurcholish Madjid nampaknya tidak menduga gagasannya akan
mendapatkan “serangan” keras dari berbagai kalangan, termasuk dari pimpinan
eks-Masjumi. Hal ini dikarenakan dia adalah pemimpin HMI dan HMI dianggap
sebagai “anak” dari Masjumi. Sebagai pemimpin HMI, Nurcholish Madjid
berharap pemimpin eks-Masjumi dapat menerima gagasannya itu. Dia
mengatakan:
...Reaksi pahit para pemimpin Masjumi terhadap gagasan modernisasi
saya adalah sesuatu yang mengejutkan. Bagaimanapun juga, anggota HMI
adalah para mahasiswa di perguruan tinggi yang secara natural mewarisi
kepemimpinan Masjumi. Mereka adalah kelompok Muslim yang terdekat
cara berpikirnya dengan Masjumi, yang paling memahami aspirasi-aspirasi
mereka.
Menurut saya, Nurcholish Madjid nampaknya kurang menyadari kondisi
psikologis pemimpin-pemimpin eks-Masjumi, seperti M. Natsir, Hamka, dan lain
sebagainya. Sebagai wakil-wakil umat Islam yang memperjuangkan terbentuknya
negara Islam, pemimpin-pemimpin eks-Masjumi tersebut terlibat secara langsung
dalam
memperjuangkan
terbentuknya
negara
Islam,
seperti
di
Dewan
Konstituante. Kegagalan perjuangan itu menimbulkan kekecewaan terhadap diri
mereka dan kekecewaan itu bertambah dengan adanya gagasan Nurcholish Madjid
yang sama sekali menolak ide negara Islam seperti yang mereka inginkan. Hal
inilah yang mendorong para pimpinan eks-Masjumi melakukan kritikan keras
kepada Nurcholish Madjid.
Sebagai golongan muda, Nurcholish Madjid tidak merasakan langsung
perjuangan para pemimpin eks-Masjumi tersebut. Perbedaan kondisi dan generasi
inilah yang melahirkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Nurcholish Madjid
sendiri menyebutkan setidaknya ada dua perbedaan antara golongan tua (para
pemimpin eks-Masjumi) dengan golongan muda (Nurcholish Madjid dan temantemannya). Dua perbedaan itu yang menyebabkan generasi muda Muslim menurut
Nurcholish Madjid merasa keberatan dan berusaha untuk merubahnya. Dia
berkata:
Ada dua hal dari Masjumi yang tidak bisa disepakati oleh generasi Muslim
yang lebih muda. Pertama, adalah gagasan mengenai apa yang disebut
“Negara Islam”. Adalah merupakan keyakinan pokok kaum Muslim
bahwa ajaran-ajaran agama mereka, mengilhami mereka di dalam seluruh
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
aktivitas-aktivitas dunia ini, termasuk yang berhubungan dengan masalahmasalah kenegaraan atau politik. Tetapi untuk menyuarakan apa yang
disebut Masjumi dengan negara Islam, bagi mereka adalah terlalu
formalistik dan tidak fleksibel. Keberatan yang kedua, terletak dalam hal
sikap keras kepala yang kaku dari pimpinan Masjumi di dalam
menghadapi masalah-masalah politik praktis. Sikap tidak fleksibel ini
membawa mereka untuk cenderung melihat persoalan secara hitam-putih;
yaitu sejauh konsep halal dan haram, tindakan yang boleh atau terlarang
dalam ajaran-ajaran Islam. Kami menganggap hal ini sebagai terlalu
banyak campur tangan agama di dalam kejadian praktis sehari-hari.
Sesungguhnya, jika saat itu para pemimpin Masjumi bersikap lebih
fleksibel dan relativistik, maka posisi politis mereka akan lebih baik saat
ini; dan implementasi dari kebijaksanaan pembangunan pemerintah pasti
akan dipengaruhi oleh orang-orang yang lebih bijaksana dan jujur. Tetapi
waktu telah berlalu, ketika para pemimpin Masjumi mengabaikan hadis
yang berbunyi, “Dalam masalah-masalah keagamaan, kamu harus
bertanya kepada saya; tetapi dalam masalah-masalah keduniawian, kamu
lebih tahu daripada saya.” Kiai dan ulama adalah orang-orang yang
menjadi tempat bertanya bagi masalah-masalah keagamaan; tetapi para
pemimpin Masjumi—sesuai dengan latar belakang mereka—mestinya
mengetahui lebih banyak mengenai masalah-masalah politik daripada
guru-guru agama mereka. Dan itu merupakan salah satu gagasan
terpenting yang kami—generasi muda—ingin merealisasikannya. Tetapi
pada waktunya, sungguh menyedihkan bagi kami, nyata bahwa termaterma yang kami pergunakan di dalam pembahasan kami mendatangkan
dampak yang lebih jauh, dari apa yang kami maksudkan. Bahkan di
negara-negara yang lebih maju, terma-terma sekularisme dan sekularisasi
masih ditanggapi secara emosional dan kontroversial—sesuatu yang kami
ingin melupakannya.89
Kerasnya serangan dari pimpinan eks-Masjumi tidak terlepas dari situasi
yang menempa mereka. Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, para
pimpinan eks-Masjumi terlibat langsung dalam perjuangan pembentukan negara
Islam di Indonesia.90 Oleh karena pimpinan eks-Masjumi langsung merasakan
perjuangan itu, maka wajar mereka melakukan serangan keras terhadap
Nurcholish Madjid karena telah mengemukakan gagasan yang bertolak belakang
dengan apa yang mereka perjuangkan selama ini.
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk “devaluasi” atau
“demitologisasi” atas apa saja yang bertentangan dengan tawhîd, yaitu pandangan
yang paling asasi dalam Islam. Jargon “Islam Yes, Partai Islam No” ingin
89
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxii-lxv
Perjuangan keras mereka dalam perjuangan pengakuan pembentukan negara Islam
dapat dilihat dalam BAB III.
90
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
mengungkapkan bahwa partai Islam itu bukanlah hal yang esensial, dan sama
sekali tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna sekularisasi
menurut Nurcholish Madjid, yaitu mengembalikan mana yang sakral sebagai
sakral, dan yang profan sebagai profan. Politik Islam yang tadinya dianggap
“sakral”,
yaitu
“didesakralisasi”.
merupakan
bagian
dari
perjuangan
Islam,
sekarang
91
Dengan gagasan sekularisasinya, banyak orang awam yang menganggap
pemikiran Nurcholish Madjid dicap cenderung sekuler, Barat-oriented, terjebak
pemikiran Yahudi, berorientasi elitis, memberi angin kepada kristenisasi, terjebak
dalam strategi Ali Moertopo, keterangannya membuat umat bingung, teologinya
mengganggu kemapanan iman dan lembaga keagamaan, banyak pengertiannya
yang rancu, counter productive terhadap perjuangan umat, ikut merangsang reaksi
fundamentalis, menimbulkan skeptisisme terhadap agama, bahkan menyimpang
dari ajaran Islam.92 Bahkan ada yang menyerangnya dengan mengatakan bahwa
dia adalah penjilat Soeharto.93 Mengenai tuduhan yang mengatakan bahwa
gagasannya membenarkan gagasan pembangunan Orde Baru yang konsepnya
dibuat oleh Ali Moertopo Cs. dan CSIS, Nurcholish Madjid mengatakan:
Mengenai pandangan beberapa pengamat bahwa pemikiran saya saat itu
menjustifikasi tatanan sosial politik Orde Baru, saya kira pengaruh itu
memang ada. Karena seperti kata pepatah Prancis, “Kawan dari kawan
saya adalah kawan saya. Musuh dari musuh saya adalah kawan saya.”
Karena kebetulan waktu itu Orde Baru tidak cocok dengan Masjumi, dan
saya tidak cocok dengan Masjumi, maka sepertinya saya menjadi “teman”
dari Orde Baru. Di situ ada persoalan klaim. Itu terutama klaim-klaim
dengan gaya covert operation; intelijen. Mereka biasa selalu mengklaim,
“O, itu orang saya.” Jadi, ada paralelisme saja. Berkenaan dengan tuduhan
bahwa saya merupakan bagian dari CSIS karena ide-ide saya sejalan
dengan, misalnya, kebijakan tentang parpol, yang didesain oleh Ali
Moertopo Cs., saya kira hal itu hanya kebetulan saja, kebetulan paralel
saja. Lagi pula substansi pemikaran saya yang bisa dirujuk sangat sedikit
sekali, kalau bukan tidak ada sama sekali. Kecuali bahwa partai itu tidak
boleh lagi mengklaim simbol-simbol eksklusif terutama simbol
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv
Budhy Munawar-Rachman, “Berbagai Respon atas Gagasan Pembaruan”, dalam
Ulumul Qur’an No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 55-56
93
R. William Liddle, “Revolusi Nurcholish Madjid” dalam Majalah Tempo, 11 September
2005, hal. 98
91
92
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
keagamaan. Itu saja, yang barangkali digunakan oleh mereka [yang
melontarkan tuduhan].94
Nurcholish Madjid menyadari bahwa gagasan Islam kultural yang
dilontarkannya itu secara tidak langsung mendukung program Orde Baru. Sebagai
contoh slogan “Islam Yes, Partai Islam No” memudahkan langkah Orde Baru
untuk menyatukan semua partai hanya menjadi dua partai saja. Partai-partai Islam,
Parmusi, NU, PSII, dan Perti, setelah pemilu 1971 digabungkan ke dalam satu
partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun demikian, gagasannya itu masih lebih baik apabila dibandingkan
dengan keadaan umat Islam yang tetap memperjuangkan ide-ide penerapan syariat
Islam karena hal itu tentunya akan mendapatkan perlawanan keras dari
pemerintah Orde Baru sehingga akan mengakibatkan kerugian yang lebih besar
kepada umat Islam. Nurcholish Madjid berkata:
Saya sendiri sangat sadar bahwa pemikiran saya itu menjustifikasi Orde
Baru. Tapi, alternatifnya, pilihan lainnya buruk sekali, macet sama sekali.
Jadi kalau dihitung pilihan harga, pilihan itu masih lebih murah. Dengan
demikian, sebagian kritik orang terhadap makalah saya itu sebagian
dipengaruhi oleh motif itu, yaitu kemarahan orang terhadap Orde Baru.
Dan memang waktu itu Soeharto benci sekali terhadap orang Islam.
Soeharto itu betul-betul abangan, tipe yang sengit terhadap Islam santri.
Dengan Pak Natsir saja dia tidak mau berjabat tangan. Sampai sejauh itu
sikap Pak Harto.95
Militer sebagai pemegang kekuasaan Orde Baru sebelumnya telah
menunjukkan tindakan keras terhadap usaha pembentukan negara Islam. Gerakan
DI/TII yang berusaha mendirikan negara Islam ditumpas habis oleh tentara. Selain
itu, dalam sidang-sidang Konstituante kalangan militer juga tidak setuju dengan
ide negara Islam yang diajukan oleh golongan Islam. Ketidaksetujuan itulah yang
mendorong mereka untuk mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit
kembali ke UUD 1945. Setelah militer berhasil mengusai kekuasaan, mereka
pastinya menolak setiap usaha mendirikan negara Islam dan akan melakukan
semua cara untuk mencegahnya.
Nurcholish Madjid menganggap bahwa gagasan Islam kulturalnya lebih
baik daripada dia tidak mencetuskan gagasan itu atau tidak mendukung upaya
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv-lxv
Ibid., hal. lxvi
94
95
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
politik yang dilakukan oleh para pemimpin Islam generasi tua, seperti upaya
penerapan syariat Islam. Karena penentangan yang terus-menurus kepada
pemerintah justru akan melahirkan tindakan yang keras dari pemerintah. Dia
berkata:
Tetapi sebaliknya, saya juga sangat tidak yakin bahwa sekiranya kita
mengeluarkan pikiran-pikiran yang bisa dikatakan mendukung kelompokkelompok yang menentang Orde Baru (misalnya, kelompok Dewan
Dakwah waktu itu), hasilnya akan baik. Saya kira hasilnya malah akan
hancur-hancuran. Sebab hal itu merupakan psikologi penciptaan solidaritas
karena defence mechanism. Kalau Soeharto, yang notabene bisa di-extend
menjadi militer, diserang terus dengan menggunakan gaya-gaya mereka
[kelompok Islam itu], maka Soeharto dapat menjadi semakin keras. Jadi
orang seperti Benny [Moerdani] akan mendapatkan semacam legitimasi.96
Tindakan-tindakan keras Orde Baru kemudian terbukti terhadap umat
Islam yang menganut paham fundamental dalam merealisasikan cita-citanya,
seperti yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984.
Selama Orde Baru berkuasa, Nurcholish Madjid secara konsisten
menyebarkan gagasan Islam kulturalnya. Berbagai tulisan dia publikasikan untuk
mendukung gagasan yang dia munculkan pada awal tahun 1970 itu. Seperti pada
tahun 1983, melalui tulisannya yang berjudul Cita-cita Politik Kita, Nurcholish
Madjid kembali menegaskan bahwa salah satu apologia yang paling berat ialah
usaha golongan Islam politik untuk mengajukan Islam sebagai sebuah ideologi.
Padahal menurutnya dengan menjadikan Islam sebagai ideologi justru akan
merendahkan agama Islam karena Islam sendiri seharusnya menjadi sumber
ideologi bagi para pemeluknya.97
Selain itu ketika pemerintah Orde Baru berusaha mengajukan Pancasila
sebagai Asas Tunggal dan mendapat penentangan keras dari umat Islam,
Nurcholish Madjid justru mengatakan bahwa umat Islam harus menerima
Pancasila karena nilai-nilai dalam Pancsila dibenarkan oleh ajaran Islam.98
Pemerintah Orde Baru akhirnya memberlakukan Asas Tunggal pada tahun 1985.
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal tersebut, umat Islam yang mengakui Asas
96
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxvi-lxvii
Nurcholish Madjid, “Cita-cita Politik Kita”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal
(penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hal. 3-4
98
Ibid., hal. 10
97
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Tunggal setidaknya mendapatkan “pembenaran” dengan adanya pendapat
Nurcholish Madjid tersebut.99
Mengenai kemajuan umat Islam Indonesia akibat dari gagasan Islam
kultural yang dikembangkannya Nurcholish Madjid berkata:
Boleh dikatakan sekarang ini wacana Islam itu menjadi wacana nasional,
wacana umum. Di kalangan militer pun sekarang tidak tabu lagi untuk
mengutip ayat-ayat Alquran dan sebaginya, seolah-olah di dalam HMI
saja. Makanya secara simbolik menarik sekali bahwa jargon-jargon HMI
menjadi jargon nasional, seperti wa billâhi al-tawfîq wa al-hidâyah itu.
Memang semua itu bersifat hipotetis. Dan biaya yang dibutuhkan untuk
membuktikan bahwa hipotesis mereka itu benar, mahal sekali.100
Walaupun Nurcholish Madjid sendiri mengakui kemajuan umat Islam
diakibatkan oleh gagasan Islam kulturalnya, namun pengakuannya itu harus
diteliti lebih jauh. Untuk mengetahui apakah gagasan Islam kultural itu memiliki
pengaruh yang positif atau negatif maka hal ini akan dibicarakan lebih jauh dalam
BAB VI.
Sepanjang hidupnya Nurcholish Madjid tidak hanya aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi seperti HMI, IIFSO, dan lain sebagainya. Dia juga menjalani
aktivitas intelektualnya sebagai Pimpinan Umum Majalah Mimbar Jakarta (19711974). Lewat tulisan-tulisan di Mimbar Jakarta, gagasan-gagasan Nurcholish
Madjid menyebar ke masyarakat luas.101 Selain itu, Nurcholish Madjid juga
pernah menjabat sebagai Direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan)
Jakarta (1973-1976), Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi Jakarta
(1974-1992); Fellow dalam Eisenhover Fellowship (1990). Pada tahun 1998, dia
dikukuhkan sebagai Profesor dan Guru Besar IAIN Jakarta, serta menjadi Ahli
Peneliti Utama (APU) LIPI pada tahun 1999.102 Selain itu dia juga sempat
menjadi anggota KOMNAS HAM RI. Bahkan pada tahun 2003, Nurcholish
99
“Pembenaran” di sini bukan berarti sebagai legitimasi terhadap umat Islam yang
mengakui Asas Tunggal karena legitimasi itu sendiri telah ditetapkan melalui keputusan
pemerintah melalui undang-undang. “Pembenaran” di sini memiliki pengertian bahwa umat Islam
yang mengakui Asas Tunggal setidaknya tidak merasa pengakuan itu melanggar Islam karena
pengakuan itu sendiri dibenarkan oleh Islam, sebagaimana pendapat itu dikemukakan oleh
Nurcholish Madjid.
100
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxvii
101
Barton, Gagasan Islam, hal. 83-84
102
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Madjid sempat menjadi kandidat calon presiden melalui konvensi partai Golkar
sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Nurcholish Madjid juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Yayasan
Wakaf Paramadina.103 Yayasan ini merupakan lembaga keagamaan yang
menyadari keterpaduan antara Keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan
dari nilai-nilai Islam yang universal, dengan tradisi lokal Indonesia.104 Melalui
Yayasan ini, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid mendapatkan sarana untuk
penyebarannya. Apalagi dengan didirikannya Universitas Paramadina oleh
Yayasan ini, maka gagasan-gagasan Nurcholish Madjid dapat disampaikan secara
sistematis kepada mahasiswa-mahasiswa yang menempuh pendidikan di
universitas ini.105
Lebih lanjut untuk penyebaran gagasan-gagasan Nurcholish Madjid secara
lebih luas, maka dilakukan kuliah-kuliah umum, seminar-seminar, kelompokkelompok diskusi serta program-program training. Seminar bulanan berkala
diselenggarakan lewat pertemuan di Hotel Kartika Chandra dan di Hotel Regent,
salah satu hotel berbintang lima di jantung Jakarta.106 Seminar bulanan yang
dilakukan di hotel mewah ini merupakan strategi yang sengaja dari Nurcholish
Madjid, berlandaskan alasan bahwa kelompok kelas menengah ini merupakan
kelompok strategis dalam menentukan pembangunan masyarakat Indonesia.107
Selain itu penyebaran gagasan-gagasan Nurcholish Madjid juga tersebar luas ke
masyarakat melalui buku-buku maupun tulisan-tulisannya di berbagai media cetak
di Indonesia.
103
Menurut Barton yang mengutip pernyataan Nurcholish Madjid, “Paramadina” berasal
dari kata “para”, yang merupakan bahasa Spanyol yang berarti unggul atau bermutu tinggi,
sedangkan “madina” merupakan kata Arab yang berarti kota, dan secara lebih luas berarti
peradaban. Lihat Barton, Gagasan Islam, hal. 54. Adapun menurut Malik, kata “Paramadina”
merupakan gabungan dari dua kata, “parama” dan “dina”, yang pertama bahasa Sansekerta, yang
berarti utama dan unggul, yang kedua bahasa Arab, “din”, yang berarti agama. Lihat Malik dan
Ibrahim, Zaman Baru, hal. 137
104
Ibid.
105
Wawancara dengan Hadi dan Rian (mahasiswa Universitas Paramadina), di Universitas
Paramadina, 7 Juni 2010
106
Barton, Gagasan Islam, hal. 505
107
Ibid., hal. 503
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
2.3 Karya-karya
Nurcholish Madjid tergolong cendekiawan Muslim yang banyak menghasilkan
karya, baik berupa buku, makalah, dan artikel. Karya-karya Nurcholish Madjid itu
tersebar dalam berbagai media cetak seperti majalah dan koran, maupun dalam
bentuk buku. Dengan diterbitkannya karya-karyanya itu, maka pemikiranpemikirannya dapat dibaca, dikaji, dan dikritisi secara utuh oleh umat Islam.
Untuk memudahkan pemikiran-pemikirannya sampai ke masyarakat secara luas,
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, didirikanlah Yayasan Paramadina
sebagai sarana untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid,
baik melalui perkuliahan, seminar-seminar, maupun penerbitan buku.
Terdapat beberapa karya yang berkaitan dengan gagasan Islam
kulturalnya. Di antaranya adalah buku Khazanah Intelektual Islam yang
diterbitkan setelah dia menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Buku yang
diterbitkan pada tahun 1984 ini menunjukkan corak pemikiran neo-modernisme
Nurcholish Madjid. Dalam buku ini dimuat beberapa karya-karya intelektual
Islam, baik pada masa klasik maupun modern, yang memiliki pengaruh besar bagi
perkembangan kemajuan dunia Islam. Nurcholish Madjid mengumpulkan karyakarya terbaik intelektual Muslim tersebut yang dimulai dari Al-Kindi (wafat kirakira 258 H/870 M) sampai terakhir Muhammad Abduh (1262-1323 H/1845 –
1905 M). Dalam karyanya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan kekayaan
khazanah intelektual Islam dan menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat berkaitan
erat dengan ilmu pengetahuan.
Dengan buku ini, Nurcholish Madjid berharap pembaca, umat Islam
Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam, mengetahui kekayaan
intelektual Islam di bidang pemikiran, khususnya dalam bidang filsafat dan
teologi serta bidang-bidang lainnya yang dianggap perlu. Kekayaan intelektual ini
penting diketahui agar umat Islam dapat mempelajari, menganalisis dan
mengkajinya untuk kemudian digunakan dalam menghadapi setiap tantangan yang
dihadapi.
Dari karyanya ini dapat dilihat bahwa Nurcholish Madjid sangat
mementingkan pengetahuan sejarah peradaban Islam klasik dalam memahami
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Islam. Dengan mengetahui sejarah perkembangan peradaban Islam, umat Islam
dapat mengambil apa yang baik dari peradaban Islam klasik itu sehingga dapat
diterapkan pada abad modern. Adapun hal yang tidak baik atau tidak cocok
dengan abad modern dapat ditinggalkan atau “dimodifikasi” agar sesuai dengan
perkembangan zaman. Inilah yang menjadi ciri pemikiran Nurcholish Madjid
dalam merumuskan setiap gagasannya, yaitu memelihara yang lama dan
mengambil yang baru yang lebih baik (‫ﺢ‬
ِ ‫ﺻَﻠ‬
ْ ‫ﻷ‬
َ ‫ﺠ ِﺪ ْﻳ ِﺪ ْا‬
َ ‫ﺧ ُﺬ ﺑِﺎ ْﻟ‬
ْ‫ﻷ‬
َ ‫ﻰ ا ْﻟ َﻘ ِﺪ ْﻳ ِﻢ َوا‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ‫ﻈ ُﺔ‬
َ ‫ﺤﺎ َﻓ‬
َ ‫)َا ْﻟ ُﻤ‬.
Karya selanjutnya adalah buku yang berjudul Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan. Buku yang memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan
“Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam ini diterbitkan
pertama kali pada tahun 1987. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berusaha
memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Buku ini
termasuk salah satu karya Nurcholish Madjid yang laris. Ini terbukti dengan
adanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya tahun 1987 sampai
tahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini menunjukkan
bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini mendapat perhatian luas dari umat
Islam, baik yang pro maupun yang kontra.
Dikarenakan tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan hasil perenungan
Nurcholish Madjid selama dua dasawarsa, maka melalui buku ini dapat dilihat
proses perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid yang mengalami proses
pematangan. Sebagai contoh, dalam buku ini dapat dilihat mengenai permasalahan
kata “sekularisasi”. Ketika penggunaan kata “sekularisasi” itu menimbulkan
penentangan keras, Nurcholish Madjid berusaha menjelaskan pada tulisan
berikutnya. Akan tetapi walaupun dia telah menjelaskan kata itu, namun tetap saja
penentangan keras tidak mengendur. Akhirnya untuk menghindari penentangan
keras yang justru akan merugikan umat Islam atau dirinya, Nurcholish Madjid
tidak menggunakan kata itu lagi dan menggantinya dengan kata “desakralisasi”.
Buku Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan yang diterbitkan tahun 1992
merupakan buku “terlengkap” Nurcholish Madjid. Buku ini merupakan kumpulan
dari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Oleh karena itu, tulisan dalam buku ini
memuat pembahasan-pembahasan terkait dengan suatu masalah tertentu, seperti
misalnya pembahasan mengenai Islam dan budaya lokal. Pendekatan topikal ini
menurut
Nurcholish
Madjid
diperlukan
untuk
mempertajam
pemusatan
pembahasan, sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Dengan tulisantulisan dalam buku ini diharapkan pembaca mampu memahami Islam secara lebih
komprehensif.
Bukunya ini berusaha menawarkan konsep Islam kultural yang produktif
dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk
semua, rahmatan lil ‘alamin. Islam sebagai sebuah ajaran yang universal harus
mampu diterapkan kepada masyarakat agar Islam dapat membangun peradaban
sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Islam klasik dahulu.
Buku ini ditulis sebagai bagian dari usaha membangun dialog keterbukaan
dengan mengembangkan tradisi menyatakan yang benar dan baik secara bebas
dan tanpa prasangka, untuk kepentingan bersama yang diharapkan dapat
mendorong tumbuhnya wawasan jauh ke depan dengan tetap berpegang teguh
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dikarenakan keluasan dan kedalaman
pembahasannya, buku ini dianggap sebagai magnum opus-nya Nurcholish Madjid.
Karya Nurcholish Madjid lainnya yang memuat gagasan Islam kulturalnya
adalah buku Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia. Buku yang diterbitkan tahun 1995 ini nampaknya ingin
menunjukkan bahwa agama dan budaya itu berbeda, namun tidak dapat
dipisahkan. Kebenaran Islam yang universal selalu memiliki kemampuan untuk
beradaptasi kepada lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang,
secara otentik (setia kepada asasnya sendiri) dan kreatif (termasuk juga kritis).108
Dalam buku ini, Nurcholish Madjid berhasil menunjukkan bahwa Islam
Indonesia, sebagai pembahasan dalam buku ini, merupakan Islam yang absah.
Artinya Islam Indonesia tidak bisa dianggap “kurang Islami” apabila
dibandingkan dengan Islam di tempat-tempat lain, seperti Islam di Arab.
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, hal. xviii
108
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Setelah membaca buku ini diharapkan pembaca mampu membedakan
antara agama dan budaya sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara
keduanya. Hal ini penting agar umat Islam Indonesia mampu memandang masa
depannya dengan penuh percaya diri tanpa merasa rendah diri apabila
dibandingkan dengan umat Islam yang berada di Arab.
Dalam buku Islam Agama Kemanusiaan ini juga disebutkan bahwa politik
merupakan aspek konsekuensi yang penting dalam Islam tetapi ia bukanlah satusatunya aspek yang terpenting.109 Dengan menyatakan ini, Nurcholish Madjid
nampaknya ingin menegaskan kekonsistenannya dalam memperjuangkan Islam
kultural di Indonesia.
Adapun buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Agama Peradaban:
Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah kembali
menegaskan corak pemikiran neo-modernismenya. Buku ini menyajikan analisa
dan refleksi wacana keislaman, baik wacana keislaman klasik maupun modern.
Analisis Islam klasik digunakan untuk merefleksikan wacana keislaman modern.
Dalam karyanya ini, Nurcholish Madjid, menurut Komaruddin Hidayat, tidak ragu
untuk melakukan kritik historis terhadap perilaku Nabi dan para sahabat.
Kesalahan apapun yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan mungkin
Muhammad sendiri sebagai manusia, sama sekali tidak akan menodai dan
merendahkan ajaran Islam karena Islam memang tidak memiliki obsesi bagi
terwujudnya sebuah masyarakat suci (monastic and sacred society), melainkan
historical society, dengan segala sifat kemanusiaannya.110
Dengan melalui kajian sejarah dan sosiologi, buku ini berusaha
menyajikan wawasan dan interpretasi terhadap Islam, sehingga ajaran Islam dapat
terbebas dari mitos, walaupun menurut Nurcholish Madjid sendiri agama Islam
merupakan agama yang paling terbebaskan dari mitos,111 dan pemihakan ideologis
karena kepentingan politik praktis. Hal ini penting dilakukan karena beberapa
Ibid., hal. 18
Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama
Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:
Paramadina, 1995, hal. xi
111
Madjid, Islam Agama, hal. 219
109
110
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ajaran Islam telah “disusupi” oleh mitos-mitos yang kadangkala diciptakan oleh
umat Islam sendiri yang itu mengakibatkan Islam kehilangan daya pencerahannya.
Karya Nurcholish Madjid lainnya yang tidak kalah penting adalah buku
Pintu-Pintu Menuju Tuhan yang diterbitkan tahun 1996. Melalui buku ini,
Nurcholish Madjid ingin menyampaikan pesan bahwa untuk mencari kebenaran
tidak harus melalui satu pintu, tetapi dapat dilakukan dengan melalui berbagai
pintu. Sebagaimana ayat Alquran yang menyatakan:
‫ب ُﻣ َﺘ َﻔ ﱢﺮ َﻗ ٍﺔ‬
ٍ ‫ﻦ َا ْﺑﻮَا‬
ْ ‫ﺧُﻠﻮْا ِﻣ‬
ُ ‫ﺣ ٍﺪ وَا ْد‬
ِ ‫ب وَا‬
ٍ ‫ﻦ ﺑَﺎ‬
ْ ‫ﺧُﻠﻮْا ِﻣ‬
ُ ‫ﻻ َﺗ ْﺪ‬
َ ‫ﻰ‬
‫ل ﻳَﺎ َﺑ ِﻨ ﱠ‬
َ ‫َوﻗَﺎ‬
Wahai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklah
dari berbagai pintu yang berbeda. (QS. Yusuf:67) Ayat ini menunjukkan bahwa
umat Islam seharusnya memiliki kreatifitas untuk mencari kebenaran. Dalam buku
ini Nurcholish Madjid menunjukkan berbagai pintu untuk mencari kebenaran. Di
antara pintu-pintu tersebut adalah pintu tawhid dan iman, pintu sejarah dan
peradaban, pintu tafsir, pintu etik dan moral, pintu spiritual, pintu pluralisme dan
kemanusiaan, dan pintu sosial dan politik. Semua pintu-pintu itu terdapat dalam
ajaran Islam. Dengan menunjukkan pintu-pintu tersebut, Nurcholish Madjid ingin
menegaskan bahwa perjuangan umat Islam dalam mencari keridaan Tuhan tidak
hanya bergantung kepada pintu politik semata, melainkan dapat ditempuh melalui
pintu-pintu lainnya.
Namun demikian, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam mencari
kebenaran, sifat-sifat toleran, lapang dada, terbuka, kerendah-hatian, tidak fanatik,
dan tidak berpikiran sempit, mutlak dibutuhkan. Dengan sifat-sifat tersebut,
pencapaian kemenangan Islam dapat dinikmati oleh setiap makhluk. Hal inilah
yang menjadi pesan utama pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang tertuang
dalam buku ini.
Buku Kaki Langit Peradaban Islam yang diterbitkan pada tahun 1997
ingin menunjukkan bahwa telah terjadi suatu hal yang ironis dalam umat Islam,
yaitu ketertinggalan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, ajaran
Islam secara jelas dan nyata menunjukkan adanya keterkaitan antara iman dan
ilmu. Keterkaitan itu telah dibuktikan oleh peradaban Islam klasik yang berhasil
mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada masanya.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Bahkan pada masa kemajuannya itu, peradaban Islam menjadi rujukan bangsabangsa lain pada masa itu. Akan tetapi saat ini yang terjadi justru kebalikannya.
Umat Islam menjadi umat yang paling terbelakang.
Dengan menunjukkan kejayaan peradaban Islam klasik dan ketertinggalan
umat Islam saat ini, Nurcholish Madjid ingin mengajak umat Islam untuk bangkit
mengejar ketertinggalannya itu. Ketertinggalan itu bukanlah hal yang harus
diratapi dan disesali, melainkan harus menjadi semangat untuk menatap masa
depan. Agar dalam meraih masa depan itu umat Islam tidak terjebak dalam mimpi
atau nostalgia dengan kejayaan peradaban Islam klasik, maka Nurcholish Madjid
menuliskan “pijakan-pijakan” untuk melangkah ke masa depan itu. Dengan
menunjukkan keterkaitan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan, Nurcholish Madjid
ingin membuktikan kemampuan umat Islam membangun peradabannya
sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu.
Buku Masyarakat Religius terbitan tahun 1997 merupakan kumpulan dari
tulisan-tulisan Nurcholish Madjid pada tahun-tahun 1986-an sampai 1990-an.
Melalui karyanya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan bahwa pada
dasarnya manusia, individu maupun kolektif (masyarakat), memiliki sisi religius
(naluri untuk berkepercayaan). Menurut Nurcholish Madjid manusia hidup tidak
mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan
jiwanya yang dinyatakan dalam keharuan, ketidakberdayaan diri, dan keinsafan.112
Dengan demikian, buku ini menyajikan tesis bahwa makna hidup yang
hakiki dan sejati dalam diri manusia memang ada. Tetapi, hal itu tidak nampak
dalam segi-segi formal atau bentuk lahiriah kegamaan melainkan ia berada di
baliknya. Artinya, segi formalitas harus “ditembus” dan batas-batas lahiriah harus
“diseberangi”. Jika hal itu mampu dilakukan oleh manusia, maka akan tumbuh
sikap-sikap religius yang lebih sejalan dengan makna dan maksud hakiki ajaran
agama. Pada akhirnya buku ini ingin menunjukkan bahwa manusia, individu
maupun masyarakat, dapat berkembang bersama sisi religius yang dimilikinya
yang dalam buku ini sisi religius yang dimaksud adalah agama Islam.
112
Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 9
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Perhatian besarnya terhadap kemajuan umat Islam Indonesia melahirkan
buku Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia yang
diterbitkan tahun 1997. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid mengungkapkan
peran strategis ajaran–ajaran Islam sebagai panutan bagi pembangunan di
Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa tradisi-tradisi Islam banyak yang telah
diserap dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia.
Dalam buku ini Nurcholish Madjid menunjukkan salah satu tradisi Islam
yang sangat berguna untuk dikembangkan oleh umat Islam di Indonesia, yaitu
tradisi semangat dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dengan membandingkan
karya dua tokoh yang hidup pada waktu yang sama (abad ke-12), yaitu karya AlGhazali (Ihya Ulum al-Din) dan Jayabaya (Jangka Jayabaya), di mana karya AlGhazali dipenuhi dengan renungan kefilsafatan yang amat mendalam sementara
karya Jayabaya dipandang sebagai hasil sebuah kreatifitas imiginatif,113
Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa tradisi menuntut ilmu pengetahuan dalam
Islam telah sangat maju pada masanya. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia
seharusnya mencontoh semangat tradisi Islam tersebut agar umat Islam Indonesia
dapat membangun peradaban yang tinggi sebagaimana yang pernah diciptakan
oleh umat Islam terdahulu.
Diharapkan dengan membaca buku ini, pembaca dapat menemukan bahwa
ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan ibadah saja, tetapi Islam juga
mengandung nilai-nilai penting yang dapat membangun umat Islam menjadi
sebuah peradaban yang tinggi. Nilai-nilai Islam tersebut, seperti demokrasi,
toleransi, keadilan, hak asasi manusia, dan lain sebagainya, telah sering
disebutkan oleh Nurcholish Madjid dalam berbagai tulisannya. Ketidakbosanan
Nurcholish Madjid untuk membahas permasalahan ini agar umat Islam segera
menyadari akan keberadaan nilai-nilai tersebut dalam Islam.
Sebagai seorang intelektual yang banyak mencetuskan gagasan mengenai
Islam dan kemasyarakatan, Nurcholish Madjid selalu mengaitkan pemikirannya
dengan perkembangan masyarakat Islam, khususnya umat Islam Indonesia. Oleh
karena itu, setiap ada peristiwa yang berkaitan dengan umat Islam, Nurcholish
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 43-44
113
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Madjid selalu berusaha mencetuskan gagasan-gagasan yang dapat membuat umat
Islam tergerak untuk berpikir lebih mendalam. Atau apabila ada “kemandegan”
dalam umat, maka dia akan mencetuskan pemikiran yang dapat membuat umat
selalu berada dalam dinamika pemikiran. Hal ini sesuai dengan keyakinannya
bahwa manusia harus terus menerus berpikir dan mengembangkan pemikirannya
karena tidak ada yang mutlak yang berkaitan dengan manusia, hanya Allah saja
yang mutlak. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid setiap manusia (umat
Islam) dituntut untuk selalu aktif berpikir demi kemajuan umat. Pemikiranpemikiran Nurcholish Madjid ini kemudian dikumpulkan menjadi buku yang
berjudul Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer.
Buku ini berbeda dengan buku-buku Nurcholish Madjid sebelumnya.
Buku ini merupakan kumpulan wawancara Nurcholish Madjid yang pernah
dimuat di berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1996.
Oleh karena itu, tema yang dikemukakan sangat beragam, seperti tema mengenai
agama, budaya, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Dikarenakan dalam
bentuk wawancara, tema-tema tersebut muncul sesuai dengan konteks waktu pada
saat wawancara dilangsungkan.
Sebagai sebuah pemikiran, gagasan Nurcholish Madjid tentunya tidak sepi
dari kritikan. Artinya tidak semua orang setuju dan menerima gagasan yang
dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Bahkan, banyak pihak yang secara keras
mengkritik dan menyerang gagasannya itu. Untuk itu, dibutuhkan sebuah dialog
terbuka dan jujur dalam menanggapi berbagai gagasannya itu. Dialog terbuka
dibutuhkan agar tidak terjadi salah paham atau pun pemitosan terhadap
gagasannya itu. Dengan buku ini, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid dapat
“didialogkan” secara terbuka dan kritis sehingga pemikirannya dapat ditempatkan
sesuai dengan tempat dan proporsinya.
Buku Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi yang diterbitkan tahun 1999
merupakan buku terakhir yang memuat pemikiran politik Nurcholish Madjid.
Buku ini memuat tujuh artikel yang pernah ditulis oleh Nurcholish Madjid.
Walapun berjudul Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, namun kebanyakan
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
tulisan yang dimuat dalam buku ini ditulis oleh Nurcholish Madjid pada masa
sebelum reformasi bergulir di Indonesia (pada masa Orde Baru), hanya dua tulisan
yang ditulis setelah Soeharto lengser, yaitu Menata Kembali Kehidupan
Bermasyarakat dan Bernegara Menuju Peradaban Baru Indonesia (183-199) dan
Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Buku (203-265).
Tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini membahas nilai-nilai politik Islam
yang dapat diterapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia atau terciptanya
“masyarakat madani”. Berbagai tema, seperti demokrasi, keadilan, keterbukaan,
toleransi, dan lain sebagainya, dibahas oleh Nurcholish Madjid. Menurut
Nurcholish Madjid, dalam Islam terdapat nilai-nilai yang dapat digunakan untuk
kemajuan umat Islam, seperti tugas melawan setiap bentuk kezaliman yang
diungkapkan dengan kalimat amr ma’ruf nahi munkar.114 Umat Islam saat ini
hanya diperlukan untuk mendalami kembali dan mengembangkan nilai-nilai yang
telah ada di dalam Islam sesuai dengan masa saat ini agar umat Islam maju dan
berkembang sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu, pada
masa Rasul dan Khalifah Ar-Rasyidin.
Buku ini ingin menunjukkan bahwa Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai
penting yang dapat diterapkan untuk menciptakan peradaban besar umat Islam.
Tinggal umat Islam sendiri berusaha untuk merealisasikan perkatan Nabi SAW,
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu
menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu percaya kepada
Tuhan.”115 Dikarenakan Islam telah memiliki semua “peralatan” untuk
menciptakan sebuah peradaban maju, maka umat Islam sudah seharusnya
merealisasikan cita-cita politik Islam itu agar berguna bagi umat Islam dan
manusia secara keseluruhan, Islam rahmatan lil ‘alamiin.
Dari berbagai karya-karya Nurcholish Madjid tersebut dapat dilihat
keinginan besarnya untuk memajukan umat Islam Indonesia. Sesuai dengan
gagasan Islam kulturalnya, kemajuan umat Islam Indonesia dapat diraih tanpa
harus melalui pembentukan negara Islam sebagaimana yang diinginkan oleh
114
Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam era Reformasi, Jakarta: Paramadina,
1999,hal. 43-44
115
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya. Yang terpenting menurut Nurcholish
Madjid adalah terlaksananya nilai-nilainya Islam dalam masyarakat, seperti
demokrasi, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai Islam tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa harus
dibentuknya negara Islam secara formal. Dengan melalui pendidikan dan
peningkatan kesadaran umat Islam terhadap nilai-nilai Islam maka umat Islam
dapat menerapkan nilai-nilai itu dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia
akan menjadi “negara Islam” tanpa harus mencantumkan Piagam Jakarta atau
Islam secara jelas dan formal dalam undang-undangnya.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB III
SEKILAS PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM
ORDE BARU (1942-1965)
3.1 Islam Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Minyak Indonesia merupakan faktor utama yang mendorong Jepang terlibat dalam
Perang Pasifik pada akhir tahun 1941.116 Walaupun tentunya alasan ideologi lebih
besar dari sekedar mendapatkan minyak Indonesia, yaitu membangun dunia yang
damai di bawah ideologi Hakkō Ichi-u.117 Sebelumnya, Jepang banyak melakukan
aktivitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam
dan meniupkan slogan anti Barat, seperti menyelenggarakan pertemuan
organisasi-organisasi Islam di Tokyo.118
Jepang juga memiliki sikap yang berbeda dengan Belanda dalam hal
menyikapi agama (Islam). Belanda menerapkan politik netral terhadap agama,
sedangkan Jepang berusaha mendekati dan membujuk para pemimpin Islam
dengan cara mengakomodasi kepentingan mereka, seperti mendukung MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia), Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia),
mendirikan Kantor Departemen Agama, dan mengadakan pelatihan kepada ulama
dan kiai.119 Namun demikian, politik Jepang ini sangat sedikit mempertimbangkan
116
Nugroho Notosusanto, The PETA Army During The Japanese Occupation of Indonesia,
Tokyo: Waseda University Press, 1979, hal. 25
117
Terdapat beberapa penafsiran terhadap makna Hakkō Ichi-u. Namun pada intinya
Hakkō Ichi-u bermakna Jepang mendominasi seluruh dunia. Lihat ibid., hal. 25
118
Terdapat beberapa faktor yang mendorong rakyat Indonesia menerima dengan “tangan
terbuka” kedatangan Jepang di Indonesia. Faktor pertama berasal dari dalam Indonesia, yaitu
sebelum kedatangan pasukan Jepang, pengusaha Jepang atau pemilik toko-toko Jepang terkenal
memberikan harga yang murah apabila dibandingkan dengan toko-toko Eropa. Selain itu,
keramahtamahan Jepang sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi masyarakat Indonesia. Hal ini
menjadikan rakyat Indonesia berpandangan lebih positif terhadap Jepang. Adapun faktor dari luar
adalah kemenangan mudah Jepang atas Kekaisaran Czar Rusia pada tahun 1905 di Mancuria dan
negosiasi perdamaian di Portsmouth tahun 1905 yang mengakui Jepang sebagai kerajaan penting
di dunia. Pengakuan ini secara tidak langsung memiliki makna kemenangan Asia atas Eropa. Lihat
Nugroho Notosusanto, The PETA Army During The Japanese Occupation of Indonesia, Tokyo:
Waseda University Press, 1979, hal. 19-20. Lihat juga Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 147
119
Untuk lebih jelasnya mengenai kebijakan Jepang terhadap Islam lihat Harry J. Benda,
The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, W. van
Hoeve Ltd. – The Hague and Bandung, 1958.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
53
Islam dalam tingkat sosio-religius. Artinya, Islam dalam hal perkembangan
keagamaannya kurang mendapat dukungan dari Jepang. Misalnya dalam hal
pendidikan, Jepang kurang mendukung perkembangan pesantren.120
Sebagaimana penjajah-penjajah lainnya, pertimbangan utama Jepang
tetaplah politik. Pendekatan Jepang terhadap Islam hanyalah untuk kepentingan
politik semata. Oleh karena kepentingan yang terbesar adalah politik, maka
Jepang tidak segan-segan mengizinkan ulama untuk membentuk laskar seperti
Hizbullah dan Sabilillah. Izin Jepang ini mempunyai tujuan agar Hizbullah dan
Sabilillah dapat mendukungnya dalam perang melawan Sekutu.
Namun demikian, tindakan Jepang ini, terlepas dari motif di belakangnya,
membawa pengaruh yang positif bagi umat Islam. Dalam diri umat Islam muncul
rasa percaya diri karena bertambahnya peranan umat Islam dalam pemerintahan
pendudukan Jepang. Selain itu, dengan dibentuknya laskar Hizbullah dan
Sabilillah, umat Islam dapat menggunakan senjata-senjata modern, sesuatu yang
sama sekali tidak mungkin mereka alami pada masa penjajahan Belanda.121 Pada
masa Revolusi, lasykar-lasykar tersebut berperan aktif dalam perlawanan terhadap
Belanda.
Pada bulan Maret 1943, Jepang membentuk PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat). Badan ini berada di bawah pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi empat
orang Indonesia yang terkemuka diangkat sebagai ketuanya, yaitu Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansur, ketua
Muhammadiyah dari masa sebelum Jepang.122 Dengan masuknya Kiai Haji Mas
Mansur dalam PUTERA, maka salah satu pemimpin Islam berhasil menduduki
kepemimpinan organisasi nasionalis.123
Selain itu, Jepang juga mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan
Islam untuk mendirikan organisasi sendiri. Untuk pertama kali dalam sejarah
modern, pemerintah di Indonesia secara resmi memberi tempat yang penting
George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Sebelas Maret
University Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 140
121
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 99
122
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2008, hal. 415
123
Benda, The Crescent, hal. 117
120
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kepada kalangan Islam.124 Pemerintah Jepang secara berangsur-angsur mengakui
organisasi-organisasi Islam, tetapi tidak membolehkan pendirian kembali
organisasi-organisasi nasionalis sebelum perang, misalnya seperti Partai Nasional
Indonesia (PNI).125 Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah dan NU
disahkan kembali, disusul dengan Perikatan Umat Islam (sebelumnya bernama
Persyarikatan Ulama) di Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan
Umat Islam di Sukabumi.126
Menurut Deliar Noer127 ada beberapa faktor yang mendorong Jepang
mensahkan kembali ormas-ormas Islam. Pertama, Jepang mengalami kemunduran
kedudukan dalam Perang Pasifik. Hal itu menyebabkan Jepang memerlukan
bantuan yang lebih besar dari rakyat, khususnya penduduk di daerah pedesaan.
Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang dipatuhi oleh penduduk. Kedua,
Kenyataan bahwa organisasi-organisasi tersebut, walau tidak resmi, masih
melanjutkan kegiatan mereka dengan pimpinan dan guru-guru setempat, bahkan
masih sering menjaga koordinasi di antara sesama mereka. Hubungan tidak resmi
tersebut mempersulit Jepang dalam melakukan pengawasan. Lewat pengesahan,
maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan. Ketiga, pengakuan Jepang
terhadap fungsi PUTERA dan kemudian Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa
Hokokai) yang tidak mampu memperoleh dukungan penuh dari kalangan Islam.
Keempat, Jepang tampaknya ingin memperbaiki beberapa kesalahan yang telah
diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara
sai keirei (memberi hormat kepada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan
90° ke arah Tokyo), menahan K.H. Hasyim Asya’ari selama empat bulan, dan
menutup beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal
pendudukan.
Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor
Departemen Agama) di ibukota dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya di
124
125
Ibid.
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti Pers, 1987,
hal. 23
126
127
Ibid.
Ibid., hal. 23-24
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
seluruh Indonesia dengan nama Shumuka.128 Pada awalnya, badan ini diketuai
oleh seorang Jepang bernama Horie (1942), kemudian digantikan oleh Prof.
Husein Djajaningrat, dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari (1944).129 Pemerintah
Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain
sebagainya.130
Menurut Benda, terdapat tiga perbedaan kebijaksaan Belanda dengan
Jepang terhadap Islam pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya,
yaitu:131 Pertama, pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi sandaran politik
kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah
golongan Islam132 dan nasionalis sekuler.133 Kedua, pada masa penjajahan
Belanda, pemimpin nasionalis sekuler mengalami penindasan, seperti misalnya
dibuang, sedangkan pada masa Jepang pemimpin nasionalis sekuler diakui secara
resmi dan diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan militer Jepang. Dan
ketiga, pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin kepada golongan
Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah
Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun
dalam bidang politik. Kenyataan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik di
Indonesia kelak.
Dukungan Jepang yang memberikan porsi lebih besar kepada golongan
Islam dibandingkan dengan Belanda menyebabkan golongan Islam dapat berperan
lebih besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang nampaknya
menyebabkan golongan Islam merasa memiliki saham yang besar, selain tentunya
konsistensi kalangan Islam dalam menentang penjajahan Belanda, terhadap
perjuangan kemerdekaan di Indonesia sehingga umat Islam merasa memiliki hak
yang besar agar keinginan mereka, seperti pengakuan Islam sebagai ideologi
negara pada masa kemerdekaan, diakui pemerintah.
128
Benda, The Crescent, hal. 98
Ibid.
130
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin
Press, 1994, hal. 25
131
Benda, The Crescent, hal. 199-201
132
Golongan Islam adalah kelompok yang berusaha menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia.
133
Golongan sekuler adalah kelompok yang menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara
Indonesia.
129
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Pada bulan Oktober 1943, pemerintah Jepang membubarkan MIAI karena
dinilai anti Jepang. Kemudian Jepang membentuk organisasi federatif baru yang
bernama Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia) dengan pendukung utama
berasal dari Muhammadiyah dan NU.134 Menurut Benda, terbentuknya Masjumi
merupakan “kemenangan politik Jepang terhadap Islam.”135 Memang tidak dapat
dibantah, Masjumi dibentuk untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang.
Namun, beberapa pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut, seperti
diakui oleh K.H. Wahid Hasyim.136
Dukungan yang besar terhadap golongan Islam menyebabkan golongan
nasionalis sekuler mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi
Masjumi. Namun demikian, perkembangan berikutnya berbalik arah. Menjelang
proklamasi,
terutama
setelah
Badan
Penyelidik
Usaha-usaha
Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, Jepang
memberikan dukungan porsi yang lebih besar kepada golongan nasionalis sekuler
daripada golongan Islam. Jepang tampaknya lebih mempersiapkan golongan
nasionalis
sekuler
untuk
memegang
kendali
politik
Indonesia
setelah
kemerdekaan. Dalam “persaingan” kepemimpinan nasional, golongan Islam gagal
menandingi popularitas golongan nasionalis sekuler, terutama Soekarno dan
Mohammad Hatta.137
Menurut penulis, berubahnya sikap Jepang ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa tokoh-tokoh sekuler, seperti Soekarno dan Hatta, lebih memiliki
pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan
tokoh-tokoh golongan Islam. Pengaruh tokoh-tokoh ini diharapkan mampu
memobilisasi rakyat Indonesia mendukung peperangan Jepang melawan Sekutu.
Sebagaimana diketahui, Jepang pada penghujung kekuasaannya di Indonesia
mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan melawan Sekutu, sehingga
Jepang membutuhkan dukungan yang lebih besar dari rakyat Indonesia.
Nampaknya Jepang berkeyakinan bahwa dukungan rakyat Indonesia dapat
134
Thaba, Islam dan Negara, hal. 150
Benda, The Crescent, hal. 151
136
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran
Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, hal. 81. Namun di sini tidak jelas apa
yang dimaksudkan oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dengan “melencengkan tujuan tersebut”.
137
Thaba, Islam dan Negara, hal. 151
135
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
diperoleh melalui tokoh-tokoh golongan sekuler, bukan golongan Islam. Hal
inilah nampaknya yang mendorong Jepang memberikan peran yang lebih besar
kepada golongan sekuler.
“Kemenangan” golongan nasionalis sekuler dapat dilihat dari komposisi
anggota BPUPKI. Dari 68 anggota, golongan Islam hanya diwakili oleh 15 orang
saja.138 Selebihnya merupakan golongan sekuler yang dengan tegas menolak
Islam sebagai dasar negara. Wakil-wakil golongan Islam itu antara lain adalah
K.H.A. Sanusi (PUII), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), K.H. Mas
Masjkur (Muhammadiyah), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H.A.
Wahid Hasjim (NU), K.H. Masjkur (NU), Soekiman Wirjosandjojo (PII sebelum
perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang),
dan K.H. Abdul Halim (PUI).139
Dengan adanya badan ini, para pemimpin Islam menggunakan kesempatan
untuk mengajukan kepentingan-kepentingan Islam. Sebagai contoh, usulan
mengenai syarat presiden Indonesia harus beragama Islam berhasil diterima oleh
anggota BPUPKI. Sebelum usul ini diterima, terjadi perdebatan yang sengit dan
berkepanjangan antara golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam, sehingga
sidang BPUPKI harus diskor untuk keesokan harinya, yaitu pada 16 Juli 1945.
Untuk meyakinkan anggota sidang, Soekarno harus berpidato panjang lebar dalam
sidang BPUPKI. Menurut Soekarno para anggota sidang harus berkorban demi
kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, segala upaya harus dilakukan demi
terciptanya undang-undang dasar yang menjadi pegangan bagi bangsa Indonesia
merdeka. Soekarno mengatakan:
... Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam Undangundang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah
orang Indonesia asli yang beragama Islam”.... Saya minta dengan rasa
menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan
offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan
kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa
lekas damai.140
Saafroedin Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, edisi. III, hal. xxviii
139
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 102
140
Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 356-357
138
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Dengan perkataan Soekarno tersebut, maka usulan yang pada awalnya
diajukan oleh Pratalykrama141 disetujui oleh mayoritas anggota BPUPKI kecuali
tiga orang perwakilan Tionghoa yang tidak ikut serta menyetujuinya.142 Adapun
wakil-wakil Kristen akhirnya menerima dengan perasaan berat himbauan
Soekarno itu.143
Akan tetapi satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, dalam sidang
PPKI, syarat itu dihapus. Mohammad Hatta dengan jelas membacakan Undangundang Dasar yang sama sekali berbeda dengan hasil sidang BPUPKI.
Mohammad Hatta mengatakan:
Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia
seluruhnya, supaya dalam masa yang genting ini kita mewujudkan
persatuan yang bulat maka pasal-pasal yang bertentangan dikeluarkan dari
Undang-undang Dasar. Oleh karena itu, maka dapat disetujui, misalnya
pasal 6 alenia 1 menjadi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. “Yang
bergama Islam”, dicoret.144
Dengan dicoretnya pasal itu dari Undang-undang Dasar, golongan Islam
harus mengalami kekecewaan karena aspirasinya, yang pada sidang BPUPKI
diterima, ternyata setelah Indonesia memproklamasikan diri justru ditolak.
Bahkan lebih jauh atas usulan I Gusti Ktut Pudja, kata “Atas berkat Rahmat
Allah” juga diganti dengan “Atas Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa”.145 Dengan
demikian, kata “Allah” yang identik dengan Islam juga dihilangkan dari
pembukaan undang-undang dasar. Jika dilihat dalam perjalanan sidang PPKI itu
nampak jelas kalau perjuangan golongan Islam politik mengalami kegagalan
karena perjuangan mereka mewujudkan kepentingan Islam dalam undang-undang
dasar mengalami kegagalan.
Dalam sidang PPKI juga dilakukan penghapusan terhadap tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Penghapusan ini selanjutnya menimbulkan perdebatan dan
permasalahan yang berkepanjangan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Sebagai penganut agama mayoritas, umat Islam merasa bahwa negara sudah
141
Nama Lengkapnya adalah Raden Abdulrahim Pratalykrama. Dia lahir di Sumenep,
Jawa Timur pada 10 Juni 1898. Jabatannya ketika itu adalah Wakil Residen Kediri.
142
Ibid., hal. 358
143
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 108
144
Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 415
145
Ibid., hal. 419
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
seharusnya mengakui Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Sedemikian besarnya
keinginan kalangan Islam politik untuk memperjuangkan pengakuan Piagam
Jakarta oleh negara, maka kiranya perlu disebutkan sejarah singkat lahir sampai
dihapuskannya Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945.
3.1.1
Piagam Jakarta
Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis sekuler
dengan golongan Islam.146 Piagam yang disahkan pada 22 Juni 1945 itu
memuat tujuh kata “sakral” yang selanjutnya dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia menimbulkan perdebatan berkepanjangan, dan tidak jarang
perdebatan itu berlangsung dengan keras. Ketujuh kata itu adalah “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun
demikian, kompromi yang memuat tujuh kata itu, yang dengan susah payah
dicapai, pada akhirnya harus dihapuskan demi alasan persatuan bangsa
Indonesia yang masih berumur sangat muda.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Piagam Jakarta
merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis sekuler dengan
golongan Islam dalam BPUPKI.147 Kedua golongan itu sebelum menghasilkan
kompromi, bersikeras untuk mewujudkan masing-masing ideologinya sebagai
dasar
negara
Indonesia
merdeka.
Golongan
nasionalis
sekuler
memperjuangkan pemisahan agama dan negara. Sebaliknya, golongan Islam
memperjuangkan penyatuan agama dan negara.
Dalam sidang pertama BPUPKI pada 31 Mei 1945 yang membahas Dasar
Negara, Soepomo menyatakan tentang keberatannya mengenai dasar negara
Islam. Dia menyatakan bahwa apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara
Indonesia merdeka, maka bentuk negara Indonesia itu bukanlah negara
146
Dikatakan kompromi dikarenakan masing-masing pihak dalam BPUPKI, yaitu
golongan Islam dan nasionalis sekuler, berhasil menerima keputusan memasukkan ketujuh kata
pada Piagam Jakarta ke dalam mukaddimah UUD 1945 setelah sebelumnya masing-masing pihak
bersikeras untuk menjadikan ideologinya masing-masing sebagai ideologi negara Indonesia
merdeka.
147
BPUPKI, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, merupakan badan yang dibentuk untuk
membuat undang-undang bagi negara Indonesia merdeka yang telah dijanjikan oleh Jepang. Badan
ini dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Setelah melakukan sidang sebanyak dua kali, badan ini
kemudian resmi dibubarkan pemerintah Jepang pada tanggal 6 Agustus 1945.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
persatuan, melainkan negara yang berdasarkan kepada golongan terbesar,
yaitu golongan Islam.148 Kesulitan yang ditimbulkan apabila negara Islam
yang akan didirikan adalah keengganan golongan minoritas seperti agama
Kristen dan lain-lainnya bergabung atau mempersatukan dirinya ke dalam
negara itu, walaupun negara Islam menjamin kepentingan golongan-golongan
minoritas tersebut. Dalam kesempatan itu, Soepomo juga menyinggung
pernyataan Mohammad Hatta yang menekankan bahwa urusan negara dan
agama dalam negara Indonesia merdeka harus dipisahkan.149
Melihat pertentangan yang terjadi antara golongan nasionalis sekuler dan
golongan Islam, maka atas inisiatif Soekarno dibentuklah panitia kecil yang
bertugas mencari solusi atas pertentangan itu. Panitia ini kemudian dikenal
dengan nama Panitia Sembilan dikarenakan beranggotakan sembilan orang,
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo,
A.A. Maramis, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar
Muzakkir, dan Abdul Wahid Hasyim.
Setelah melalui pembicaraan serius dicapailah satu kompromi antara
golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam. Kompromi itu adalah
dicantumkannya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan undang-undang dasar negara
Indonesia.150 Dengan dicantumkannya kata-kata itu, maka umat Islam menjadi
golongan yang istimewa di Indonesia karena kewajiban menjalankan syariat
Islam dijamin oleh negara. Selain itu, dengan dicantumkannya ketujuh kata itu
dalam pembukaan undang-undang dasar Indonesia, pemerintah memiliki
kewajiban untuk menyediakan sarana pelaksanaannya.
148
Bahar, et.al , (penyunting), Risalah Sidang, hal. 40
Ibid., hal. 38. Dari pernyataan Soepomo ini dapat dilihat bahwa Hatta dari awal telah
menunjukkan penentangannya terhadap negara Islam sampai akhirnya dia berhasil memainkan
“peranan” kuncinya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk menghapus tujuh kata dalam
Piagam Jakarta.
150
Dalam pembukaan dimuat Pancasila. Kata “pembukaan” digunakan secara silih
berganti dengan kata-kata “preambule” dan “mukaddimah”. Soekarno dan golongan nasionalis
sekuler lainnya lebih sering menggunakan kata “preambule”, sedangkan golongan Islam lebih
sering menggunakan kata “mukaddimah”. Adapun saat ini yang lebih sering digunakan adalah kata
“pembukaan”.
149
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Kesepakatan yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan ini kemudian
dinamakan “Djakarta Charter” (Piagam Jakarta) oleh Muhammad Yamin,151
atau oleh Soekiman dinamakan dengan “gentlement agreement”.152 Meskipun
Ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wediodiningrat, pada tanggal 10 Juli 1945
mengelak membahas Piagam Jakarta tersebut, dengan alasan Ketua Panitia
Kecil melangkahi tugasnya, tetapi pada akhirnya teks ini menjadi acuan pada
pembahasan Undang-Undang Dasar, baik di rapat-rapat Panitia Hukum Dasar,
maupun rapat-rapat besar BPUPKI, pada hari-hari berikutnya.153
Dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945 yang bertempat di
Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Departemen Luar Negeri), seorang
anggota Panitia Hukum Dasar yang beragama Protestan, Mr. Latuharhary
menyatakan keberatannya terhadap kalimat yang terdapat dalam Piagam
Jakarta itu, yaitu kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Apabila kalimat itu masih ada di dalam pembukaan
undang-undang dasar, maka menurutnya, “akibatnya akan sangat besar sekali,
umpamanya terhadap agama lain”.154 Selain itu, dia juga mempertanyakan
bagaimana cara melaksanakan syariat Islam tersebut, yang apabila
dilaksanakan dapat mengakibatkan rakyat yang menjalankan agama Islam
harus meninggalkan adat-istiadatnya, misalnya orang Minangkabau yang
memiliki adat yang bertentangan dengan Islam.155 Oleh karena itu, Mr.
Latuhahary mengusulkan agar kalimat itu dihapuskan saja dan dicari kalimat
lain yang tidak akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Bahkan,
Bahar, et.al , (penyunting), Risalah Sidang, hal. 177
Ibid., hal. 120. Piagam Jakarta ini, pada awalnya, akan dibacakan dalam pernyataan
kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi sebagaimana yang telah diketahui bersama, yang dibacakan
dalam proklamasi adalah teks yang sama sekali berbeda dengan yang dirancang oleh BPUPKI.
Teks yang dibacakan Soekarno dalam proklamasi 17 Agustus 1945 adalah teks yang dirancang dan
disusun di rumah Laksamana Mayeda.
153
Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta:
MaHMIlub, 2007, hal. 17. Namun di sini tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Ridwan Saidi
sebagai “melangkahi tugasnya”. Radjiman Wedioningrat memang tidak langsung menanggapi
hasil yang dicapai oleh Panitia Kecil yang diketuai oleh Soekarno, melainkan dia mencoba
memberikan kesempatan kepada anggota BPUPKI lainnya untuk membicarakan hal lain sebagai
tambahan hasil yang telah dicapai oleh Panitia Kecil. Inilah nampaknya yang menjadi alasan bagi
Ridwan Saidi untuk mengatakan bahwa Radjiman Wedioningrat mengelak membahas teks hasil
dari Panitia Kecil tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai jalannya sidang BPUPKI lihat Bahar,
et.al, (penyunting), Risalah Sidang.
154
Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 216
155
Ibid.
151
152
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Djajadiningrat dengan nada bertanya menyatakan apakah kalimat itu tidak
akan menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang dan lainlain.156
Golongan Islam yang merasa kalimat itu sangat penting dan telah
diperjuangkan dengan susah payah kemudian menanggapi pernyataan Mr.
Latuhahary tersebut. Dalam hal ini, Haji Agus Salim, sebagai salah seorang
tokoh Islam terkemuka, berkata:
Saya percaya bahwa perubahan aliran adat pada kita pihak Islam kepada
syariat Islam adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh
kekuasaan pemerintah, sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan
tegas pertikaian di Minangkabau sudah selesai, bisa ditentukan di mana
dasar hukum adat dan di mana dasar hukum agama. Jadi, itu satu perkara
yang tidak akan menerbitkan kekacauan sebagaimana disangkakan.157
Walaupun Agus Salim telah membantah kekhawatiran yang diungkapkan
oleh Latuhahary tersebut, namun bantahan itu belum mampu memberikan rasa
aman bagi penentang-penentangnya. Justru Wongsonegoro mengusulkan agar
kalimat itu ditambah dengan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan
menurut agamanya masing-masing”.158 Dengan usulan ini semua agama
menjadi sama kedudukannya di negara Indonesia. Dengan demikian, umat
Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia tidak memiliki keistimewaan lagi
karena memiliki kedudukan yang sama dengan pemeluk agama-agama
lainnya.
Dikarenakan perdebatan itu dikhawatirkan akan semakin panjang dan akan
memperburuk jalannya rapat, maka Soekarno, sebagai Ketua Panitia Hukum
Dasar, berusaha sekuat tenaga membela hasil keputusan yang menurutnya
merupakan kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Dia
berkata, “kompromi itu terdapat sesudah keringat kita menetes.”159 Bahkan
menurutnya apabila ketujuh kata itu tidak dimasukkan dalam pembukaan
undang-undang dasar maka yang akan terjadi adalah perselisihan yang
berkepanjangan karena golongan Islam tentunya tidak akan menerima hal
156
Ibid., hal. 217
Ibid., hal. 216-217
158
Ibid.
159
Ibid., hal. 218
157
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
itu.160 Akhirnya, setelah mendengar perkataan Soekarno itu, perdebatan
mengenai ketujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dapat diselesaikan.
Namun, pada rapat BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, bertempat di Gedung
Tyuuoo Sangi-In (sekarang Departemen Luar Negeri) yang membahas tentang
pernyataan kemerdekaan, masalah ketujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut
kembali muncul. Kali ini yang menyinggung masalah itu adalah Ki Bagus
Hadikusumo, ketika itu Ketua Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo
mengusulkan agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan saja.161
Jadi, apabila usulan itu diterima, maka kalimatnya akan berbunyi, “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam”. Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini,
menurut penulis apabila diterima akan mengakibatkan syariat Islam berlaku
tidak hanya kepada umat Islam saja, melainkan kepada seluruh rakyat
Indonesia. Dengan usulan ini, maka Indonesia benar-benar akan menjadi
negara Islam, seperti di Iran atau Pakistan yang menerapkan hukum Islam
untuk seluruh rakyatnya.
Memang jika dilihat dari Risalah Sidang BPUPKI, golongan Islam ketika
itu memiliki dua pandangan mengenai kalimat dalam Piagam Jakarta tersebut.
Pendapat pertama, yang didukung oleh KH. Ahmad Sanoesi, Ki Bagus
Hadikusumo, dan Abdul Kahar Muzakkir, menuntut sesuatu yang lebih tegas,
yaitu kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan saja karena menurut
mereka penerapan syariat Islam tidak mengenal pembatasan atau dalam
bahasa Sanoesi, yang dikutip oleh Hadikusumo, kata-kata itu “tidak ada
haknya dalam bahasa Arab”.162 Pendapat kedua, yang didukung oleh
Abikusno Tjokrosoejoso dan Masjkur, menyatakan bahwa kalimat itu
merupakan hasil kompromi antara golongan Islam dengan golongan sekuler.
Oleh karena itu, ia selayaknya diterima oleh umat Islam.
Mendengar usulan Ki Bagus Hadikusumo ini, Soekarno kembali
menyinggung tentang kompromi yang dicapai antara golongan kebangsaan
dengan golongan Islam. Oleh karena itu, dia meminta agar rapat BPUPKI
160
Ibid., hal. 216
Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini merupakan kelanjutan dari usulan yang telah
dikemukakan sebelumnya oleh Kiai Sanoesi. Lihat Ibid., hal. 241
162
Ibid.
161
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dapat menerima hasil kompromi itu.163 Abikoesno Tjokrosoejoso, salah satu
anggota Panitia Sembilan, juga mendukung pernyataan Soekarno tersebut. Dia
meminta agar anggota BPUPKI mengutamakan “perdamaian agar pihak luar
tidak melihat kita (anggota BPUPKI) selalu berselisih paham.”164
Setelah mendengar perkataan Abikoesno tersebut, sidang BPUPKI pun
menerima secara bulat usulan yang diajukan oleh Abikusno Tjokrosoejoso
tersebut. Dengan demikian, berakhirlah perdebatan mengenai ketujuh kata
dalam Piagam Jakarta.
Perjuangan Islam politik pada sidang BPUPKI menunjukkan keberhasilan
karena Piagam Jakarta berhasil disepakati secara bulat oleh rapat BPUPKI.
Akan tetapi, keberhasilan itu tidak berlangsung lama. Satu hari setelah
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, golongan Islam harus
menerima kekecewaan karena apa yang berhasil diperjuangkannya itu tidak
dilaksanakan di negara Indonesia merdeka. Artinya, Piagam Jakarta tidak
menjadi dasar negara Indonesia merdeka sebagaimana yang telah disepakati
dalam sidang BPUPKI.
Dalam Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)165 pada
tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yang memuat ketujuh kata itu
dihapus atau dicoret.166 Mohammad Hatta yang bertugas membacakan hasil
penghapusan itu mengatakan:
163
Ibid.
Ibid., hal. 248
165
PPKI dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 setelah BPUPKI dinyatakan selesai
tugasnya pada tanggal 6 Agustus 1945
166
Sebelum proses pencoretan Piagam Jakarta, Soekarno dan Hatta mendekati Teuku
Mohammad Hassan (wakil Aceh) dan Wahid Hasyim untuk bersedia membujuk pendukung
terkuat posisi Islam dalam PPKI, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Meskipun berasal dari keluarga
bangsawan, ikatan Hassan dengan masyarakat Aceh, yang terkenal sebagai pembela Islam yang
kuat, diharapkan bisa efektif membujuk Ki Bagus Hadikusumo. Ternyata, baik Hassan maupun
Hasyim tidak bisa meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Upaya terakhir dilakukan oleh Kasman
Singodimedjo yang mengajukan argumen bahwa dalam situasi sangat kritis, yakni persatuan Islam
menjadi sedemikian penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh
kedatangan pasukan Sekutu, posisi Islam haruslah bersedia mengalah. Yang lebih penting lagi,
Kasman Singodimedjo meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo bahwa berdasarkan sebuah pasal dalam
draf UUD, dikatakan bahwa dalam waktu enam bulan, sebuah sesi khusus akan dilakukan untuk
menyusun UUD yang lebih komprehensif. Karena percaya bahwa posisi Islam akan diajukan
kembali pada sesi tersebut, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima pencoretan Piagam Jakarta.
Namun, sesi khusus itu tidak pernah diadakan karena adanya gelombang besar revolusi
164
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
...Berhubung dengan itu juga berubah pasal 29. Ini bersangkutan pula
dengan preambule. Pasal 29 ayat 1 menjadi begini: “Negara berdasar atas
ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat yang dibelakang itu yang berbunyi:
“dengan kewajiban” dan lain-lain dicoret saja.167
Kali ini golongan Islam dalam sidang PPKI tidak berkomentar banyak
menanggapi pernyataan Mohammad Hatta tersebut. Dengan demikian, seluruh
anggota PPKI sepakat untuk menghapus ketujuh kata itu dari dalam
pembukaan undang-undang dasar negara Indonesia.
Proses awal penghapusan ketujuh kata dalam Piagam Jakarta terjadi pada
pagi hari tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dilangsungkan.
Proses penghapusan itu sendiri sejauh ini memiliki dua versi, yaitu versi
Mohammad Hatta dan versi Sujono Martosewojo. Kedua versi itu adalah:168
1. Versi
Sekitar
Proklamasi
yang
ditulis
oleh
Mohammad
Hatta,
menyebutkan yang bertemu dengan Hatta adalah opsir Jepang, yang
namanya Hatta lupa, dan seorang staf Laksamana Mayeda yang bernama
Nisyijima.
2. Versi Dr. Sujono Martosewojo dkk dalam buku Mahasiswa ’45 Prapatan10, menyebutkan yang bertemu dengan Hatta adalah mahasiswa Prapatan
10, yaitu Piet Mamahit dan Iman Slamet.
Dengan dihapuskannya ketujuh kata itu dalam undang-undang dasar
negara Indonesia, maka golongan Islam mengalami kegagalan dalam
perjuangan mendirikan negara Islam (pelaksanaan syariat Islam). Kegagalan
ini bagi sebagian golongan Islam menimbulkan kekecewaan yang cukup
besar. Namun, kekecewaan itu tidak mengakibatkan pemimpin Islam politik
berhenti memperjuangkan terbentuknya negara Islam di Indonesia. Perjuangan
itu berlanjut kembali pada masa Demokrasi Parlementer. Adapun pada masa
revolusi, yang akan dibicarakan di bawah ini, golongan Islam tidak berusaha
memperjuangkan penegakan negara Islam (pelaksanaan syariat Islam).
kemerdekaan. Lihat catatan kaki Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 344
167
Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 415
168
Untuk lebih lengkapnya lihat Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum
dan Sejarah, Jakarta: MaHMIlub, 2007, hal. 36
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
3.2 Islam Pada Masa Revolusi (1945-1949)
Pada masa revolusi, Islam politik melupakan sejenak perjuangan menegakkan
negara Islam. Pada masa ini, semua kekuatan rakyat Indonesia bersatu untuk
melawan kembalinya Belanda. Namun demikian, umat Islam juga tidak
melupakan penegakan kehidupan bernegara yang baik. Untuk itu, umat Islam
membentuk partai politik guna mendukung sistem pemerintahan demokratis di
Indonesia dan guna memudahkan umat Islam dalam menyampaikan aspirasinya
serta memudahkan penyatuan umat Islam dalam mendukung perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan di atas dibentuklah partai politik
Masjumi. Masjumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di Gedung
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 7-8 November 1945.
Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Masjumi adalah satu-satunya partai
politik Islam di Indonesia, dan Masjumi lah yang akan memperjuangkan nasib
politik umat Islam Indonesia. Dengan keputusan ini, keberadaan partai politik
Islam yang lain tidak diakui.169 Dengan adanya satu partai politik Islam
diharapkan cita-cita Islam menjadi mudah untuk direalisasikan.
Partai ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama, modernis
dan tradisionalis, di samping dari pemimpin-pemimpin umat non-ulama JawaMadura. Pemimpin-pemimpin umat dari luar Jawa juga berdiri sepenuhnya di
belakang partai baru ini, sekalipun mereka tidak dapat menghadiri Kongres di
Yogyakarta karena sulitnya transportasi antarpulau pada waktu itu.170
169
Thaba, Islam dan Negara, hal. 159. Namun demikian, terdapat satu partai Islam yang
tidak mau bergabung dengan Masjumi, yaitu Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Partai ini
memiliki basis pendukung di Sumatera, terutama Sumatera Tengah. Partai ini secara ideologis
berkaitan dengan Tarbiyah Islamiyah. Terbentuknya Tarbiyah Islamiyah sendiri merupakan
respons atas kegiatan pembaruan di Minangkabau yang dilakukan oleh ulama modernis yang baru
pulang dari Mekkah, seperti Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Haji Miskin Pandai Sikek. Sama
dengan NU yang terbentuk akibat dari kegiatan modernisasi di Jawa, namun NU mau bergabung
dengan Masjumi yang didominasi oleh kalangan modernis. Hal ini bisa terjadi dikarenakan di
Pulau Jawa telah ada upaya untuk menyatukan kalangan tradisionalis dan modernis, seperti dalam
MIAI. Usaha-usaha penyatuan inilah yang memudahkan NU bergabung dengan Masjumi. Adapun
di Sumatera belum ada usaha penyatuan seperti di Jawa, sehingga Perti, yang menganut paham
tradisionalis, menolak bergabung dengan Masjumi, yang didominasi oleh kalangan modernis.
Mengenai perkembangan gerakan modernis di Indonesia lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen
Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994.
170
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 112
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Masjumi mewakili kepentingan-kepentingan politik umat Islam. Dalam
Anggaran Dasar Masjumi ditegaskan bahwa “tujuan partai ialah terlaksananya
ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan
negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi”.171 Dengan tegas disebutkan
bahwa tujuan politik partai Masjumi adalah terbentuknya Negara Republik
Indonesia berdasarkan Islam.172 Tujuan ini lebih jauh dijabarkan dalam Tafsiran
Anggaran Dasar, di mana diberikan gambaran umum tentang apa yang disebut
suatu negara yang berdasarkan Islam itu:
Kita menuju kepada “Baldatun thoiyibatun, wa rabbun ghofur” negara
yang berkebajikan diliputi keampunan Illahi, di mana negara melakukan
kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantaraan wakil-wakil
rakyat yang dipilih; di mana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat,
kemerdekaan, persamaan, tasamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai
yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya; di mana kaum
Muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur perikehidupan pribadi
dan masyarakatnya sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam sebagai
yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah; di mana golongan
keagamaan lainnya memilih kemerdekaan untuk menganut dan
mengamalkan agamanya serta mengembangkan kebudayaannya, di mana
bagi seluruh penduduknya dari segenap lapisan dapat hidup atas dasar
keragaman; terjamin baginya hak-hak asasi manusia yang termasuk di
dalamnya keadilan di lapangan sosial, ekonomi dan politik, kemerdekaan
berpikir dan mengeluarkan pendapat, kemerdekaan menganut dan
menjalankan agama satu dan lainnya tidak bertentangan dengan undangundang negara dan susila.173
Partai ini dianggap sebagai partai yang terbesar di Republik Indonesia,
walaupun sampai terselenggaranya pemilihan umum hal ini hanya dapat menjadi
anggapan belaka, karena pada pemilihan umum 1955, Masjumi hanya berhasil
meraih posisi kedua di bawah PNI. Partai ini tidak terorganisasikan secara teratur,
dan mengalami perpecahan utama di dalamnya antara para pemimpin Islam
tradisionalis dan modernis.174 Perpecahan yang terjadi antara NU dan
Muhammadiyah tidak terlepas dari persaingan “perebutan” posisi dalam partai
dan pemerintahan. Dalam hal persaingan itu, NU lebih banyak mengalami
171
Ibid., hal. 113
Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa
1944-1946, terj. oleh Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 253
173
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 113-114
174
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477. Sebagaimana diketahui, golongan Islam
tradisionalis diasosiasikan dengan NU, sedangkan golongan Islam modernis diasosiasikan dengan
Muhammadiyah.
172
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“kekalahan” dalam persaingannya dengan kalangan modernis sehingga akhirnya
mereka memutuskan untuk keluar dari Masjumi pada tahun 1952. Sebelumnya
pada tahun 1947, PSII telah lebih dahulu keluar dari Masjumi.
Susunan Dewan Partai (Majelis Syuro) dan Pengurus Besar Masjumi yang
pertama memperlihatkan bahwa partai ini mencakup berbagai golongan dalam
Islam. Ketua Majelis Syuro adalah Hasyim Asy’ari dan salah seorang wakil
ketuanya adalah putranya, Wahid Hasyim (keduanya dari NU). Di dalam
kepengurusan duduk H. Agus Salim, Syekh Djamil Djambek, dan beberapa kiai,
sedangkan Pengurus Besar terdiri atas politisi karir seperti Soekiman, Abikusno,
Mohammad Natsir, Mohamad Roem, dan Kartosuwirjo.175 Basis politik Masjumi
terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis
pribumi, para kiai dan ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang
didemobilisasikan.176
Pada masa revolusi seluruh komponen yang ada di Republik Indonesia
berjuang bersatu padu menentang kembalinya Belanda di Indonesia. Salah
satunya adalah Masjumi. Masjumi dengan segenap kemampuannya menentang
kembalinya Belanda ke Indonesia. Oleh karena itu, Masjumi menolak
perundingan dengan Belanda yang berakibat merugikan bangsa Indonesia.177
Salah seorang tokoh Masjumi, Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, mengatakan:
Dalam hubungan ini tidaklah dapat disangsikan lagi bahwa Masjumi
merupakan kekuasaan yang telah mempertahankan cita-cita kemerdekaan,
tidak dapat dibelokkan oleh mereka, yang memegang tampuk pimpinan
negara, pada jalan-jalan yang menyimpang?? dari tuntutan jiwa patriotik
bangsa Indonesia. Telah menolak perjanjian-perjanjian Linggarjati dan
Renville, yang dipelopori oleh mereka, yang sekarang (1959) ini
membanggakan dan menamakan diri golongan revolusioner progressif...
Kurang lebih lima tahun Masjumi bermarkas besar di kota Yogya yang
bersejarah ini dan dengan hati bersih dan ikhlas turut mengantarkan
175
Thaba, Islam dan Negara, hal. 159
Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477
177
Seperti dalam kasus penolakan terhadap Perjanjian Linggarjati, Masjumi dengan kritis
menolak perjanjian itu karena dianggap merugikan bangsa Indonesia. Karena penolakan tersebut
maka dalam sidang-sidang di KNIP Perjanjian Linggarjati tidak dapat diratifikasi. Namun,
akhirnya Masjumi menerima Perjanjian itu dikarenakan “ancaman” dari Hatta yang menyatakan
dia dan Soekarno akan meletakkan jabatan seandainya Perjanjian itu terus ditolak. Lihat Deliar
Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950,
Jakarta: Yayasan Risalah, 2005, hal. 109
176
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
bangsa dan tanah air Indonesia memasuki suasana baru, alam
kemerdekaan “tumpah darah Indonesia”, yang berlandaskan UndangUndang Dasar 1945.178
Walaupun seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk Masjumi, terus
berjuang melawan kembalinya Belanda, namun kepentingan Islam tetap
diperjuangkan oleh Masjumi. Seperti mengenai pendidikan. Pada tahun 1946,
Masjumi berusaha mewujudkan undang-undang wajib belajar bagi seluruh rakyat
Indonesia, minimum pendidikan sekolah dasar, namun hal itu baru bisa terwujud
pada Kabinet Natsir (1950).179 Perjuangan Masjumi dalam mewujudkan wajib
belajar bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dimaklumi karena mayoritas rakyat
Indonesia memeluk agama Islam sehingga apabila umat Islam Indonesia cerdas
maka umat Islam Indonesia akan maju dengan sendirinya.
Di
KNIP
(Komite
Nasional
Indonesia
Pusat),
Masjumi
juga
memperjuangkan kepentingan golongan Islam. Pada tanggal 2 Maret 1947
dilaksanakan sidang KNIP yang beragendakan pemandangan dari anggota KNIP
tentang kebijaksanaan pemerintah. Dalam sidang ini Masjumi dengan keras
mengecam pemerintah karena tidak adanya peningkatan dalam madrasah.180
Pada masa revolusi, kabinet yang memimpin pemerintahan di Republik
Indonesia silih berganti jatuh. Di antara penyebab jatuh bangunnya kabinet pada
masa ini dikarenakan perbedaan pandangan dalam melihat perundingan Indonesia
dengan Belanda. Masjumi pada masa ini lebih banyak berperan sebagai oposisi
terhadap pemerintah. Walaupun ada anggota Masjumi yang duduk dalam kabinet
namun itu bukan atas nama partai tapi atas nama pribadi-pribadi.
Sebagai oposisi, Masjumi memainkan perannya di KNIP. Dalam rapat
KNIP dengan pemerintah, Masjumi mengkritik pemerintah Amir Syarifuddin
yang tidak memberikan perhatian kepada kiai. Selain itu, Masjumi juga mendesak
178
Dikutip dari Thaba, Islam dan Negara, hal. 160. Lihat juga Maarif, Islam dan Masalah,
hal. 33
179
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta:
Paramadina, 1999, hal. 265. Lihat juga Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 369
180
Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen
Indonesia 1945-1950, Jakarta: Yayasan Risalah, 2005, hal. 115
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
agar dalam ketentaraan diajarkan pendidikan agama.181 PSII, yang menduduki
Menteri Agama dalam kabinet Amir Syarifuddin, membantah kalau pemerintah
tidak memberikan perhatian tehadap umat Islam. Dalam hal ini pemerintah
menyatakan tetap memperhatikan kiai dan pesantren, bahkan pemerintah telah
membagikan 3.000 mushaf Alquran kepada pesantren-pesantren.182
Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II, yang merupakan hasil reshuffle,
Masjumi bersedia ikut serta dengan maksud mempengaruhi PM Amir Syarifuddin
dalam perundingan-perundingannya dengan Belanda.183 Namun, usaha Masjumi
ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947.184
Dengan disepakatinya Perjanjian Renville, Masjumi kemudian menarik diri dari
kabinet. Setelah timbul perpecahan internal, PM Amir Syarifuddin menyerahkan
mandatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1949, Masjumi juga memperjuangkan pendidikan agama harus
menjadi kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Menurut
Masjumi, pendidikan agama harus diajarkan menurut agama yang dianut oleh
murid-murid yang bersangkutan. Tetapi perjuangan Masjumi itu mengalami
kegagalan dikarenakan adanya penentangan dari PNI dan PKI.185 Penentangan
kedua partai tersebut dikarenakan ketakutan mereka apabila pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah maka ideologi Masjumi akan berkembang dengan
pesat.
Pada masa revolusi umat Islam menunjukkan konsistensinya dalam
mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, pada masa yang
dipenuhi dengan konflik bersenjata dan perundingan ini, para pemimpin Islam
tidak pernah memunculkan keinginan mereka untuk merealisasikan cita-cita
terbentuknya negara Islam. Umat Islam tidak mau memanfaatkan situasi bangsa
Indonesia yang tengah berjuang menghadapi Belanda untuk memaksakan
kehendaknya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis di Madiun.
Sebagaimana telah dicatat dalam sejarah, pada bulan September 1948, kaum
Noer dan Akbarsyah, KNIP, hal. 160-172
Ibid., hal. 173
183
Thaba, Islam dan Negara, hal. 161
184
Kahin, Nasionalisme, hal. 283
185
Ibid.
181
182
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
komunis di Madiun mengadakan pemberontakan untuk menentang pemerintahan
RI di Yogyakarta, akan tetapi dengan tekad dan semangat yang kuat pemerintah
berhasil menumpas pemberontakan ini.
Demikian juga halnya dalam menyikapi pemberontakan DI/TII yang
menginginkan terbentuknya negara Islam. Masjumi menolak penggunaan cara
kekerasan dalam mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Islam di Indonesia.
Sikap ini dibuktikan dengan penolakan Masjumi terhadap pemberontakan DI/TII
yang diproklamirkan oleh S.M. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949.186 Dalam
Pengumuman Sikap Dewan Pimpinan Masjumi atas pemberontakan DI/TII pada
Januari 1951, M. Natsir, yang ketika itu menjabat sebagai ketua Masjumi,
menyatakan bahwa, “partai Masjumi hendak mencapai maksudnya dengan jalan
demokratis parlementer, melalui jalan sesuai undang-undang dasar...dan tidak
dengan jalan kekerasan.”187 Sikap umat Islam ini menunjukkan konsistensi
dukungannya
terhadap
kesatuan
negara
Republik
Indonesia,
walaupun
kepentinganya belum bisa terpenuhi sepenuhnya.
Pada masa ini pulalah sejarah mencatat peranan Masjumi, sekurangkurangnya tokoh-tokohnya, dalam penyelesaian revolusi, terutama dari masa aksi
militer Belanda kedua sampai pada penyerahan kedaulatan.188 Misalnya peranan
Mohamad Roem, anggota Masjumi, yang berhasil memimpin delegasi Republik
Indonesia dalam perundingan RI-Belanda pada tanggal 14 April 1949, yaitu
Perundingan Roem-Roijen. Perundingan ini merupakan perundingan pendahulu
untuk “memuluskan” langkah penyerahan kedaulatan yang akan dilaksanakan di
Belanda. Berkat perundingan ini, Konferensi Meja Bundar di Belanda pada
tanggal 23 Agustus-2 November 1949 dapat terlaksana.189 Penyerahan kedaulatan
akhirnya ditandatangani pada 29 Desember 1949. Dengan ditandatanganinya
186
Akan tetapi menurut C. Van Dijk, Masjumi tidak menunjukkan sikap yang tegas
terhadap pemberontakan DI/TII, bahkan Masjumi cenderung bersimpati terhadap DI/TII. Lihat C.
Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hal. 142
187
“Seorang Besar dengan Banyak Teman”, Tempo, 21/XXXVII/14-20 Juli 2008
188
Noer, Partai Islam, hal. 186
189
Berbeda dengan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, KMB tidak mendapat
penentangan dari Masjumi dan PSII. Partai-partai ini menerima hasil perjanjian KMB tersebut.
Dengan diterimanya hasil perjanjian KMB, maka proses ratifikasi di KNIP tidak menemui
kesulitan dan berjalan dengan lancar. Dalam pemungutan suara yang menerima KMB berjumlah
226 suara, termasuk Masjumi 49 suara dan PSII 6 suara, dan yang menolak 62 suara. Lebih
lengkapnya hasil Lihat Noer dan Akbarsyah, KNIP, hal. 277
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Piagam Pengakuan dan Penyerahan Kedaulatan tersebut maka berakhirlah masa
revolusi di Indonesia.
3.3 Islam Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Pada
masa
Demokrasi
Parlementer,
golongan
Islam
politik
mencoba
memunculkan kembali gagasan negara Islam yang sempat tertunda dikarenakan
revolusi yang terjadi di Indonesia. Seperti pada masa sebelum kemerdekaan (masa
sidang BPUPKI), perjuangan golongan Islam ini mendapat penentangan keras dari
kalangan nasionalis sekuler yang mendukung Pancasila sebagai negara. Pada
masa ini, penentangan kalangan nasionalis sekuler tidak mengalami perubahan.
Bahkan penentangan itu menjadi bertambah keras yang nampak jelas dalam
perdebatan di Konstituante.
Di Dewan Konstituante partai-partai Islam berusaha keras mewujudkan
cita-cita terbentuknya negara Indonesia yang berlandaskan Islam. Partai-partai
Islam dalam Konstituante beradu argumen dengan partai-partai pendukung
Pancasila. Pada akhirnya dikarenakan masing-masing pihak tidak ada yang mau
mengalah, Konstituante yang ditugaskan merumuskan dasar negara tidak berhasil
menyelesaikan tugasnya.
Dalam Konstituante kelompok pendukung Pancasila memiliki 274 kursi
yang terdiri dari tujuh fraksi besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Komunis Indonesia (PKI), Republik Proklamasi, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), Partai Katholik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), serta empat belas fraksi kecil lainnya.190
Sementara kelompok pendukung Islam mempunyai 230 kursi yang terdiri dari
empat fraksi besar yaitu Masjumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), serta empat fraksi
kecil lainnya. Sedangkan kelompok pendukung Sosial-Ekonomi mempunyai 10
kursi yang terdiri dari tiga fraksi yaitu Partai Buruh, Partai Murba, dan Acoma.191
190
Erwien Kusuma dan Khairul, “Detik-detik Menjelang Bubarnya Konstituante” dalam
Erwien Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam
Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Jakarta: BAUR Publishing, 2008, hal. xii
191
Ibid., hal. xiii
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Sedikitnya pendukung Sosial-Ekonomi inilah yang menyebabkan mereka tidak
mampu berbicara banyak dalam Konstituante.
Salah satu sidang pleno yang paling sengit perdebatannya dalam sidang
Konstituante terjadi pada tanggal 11 November sampai 6 Desember 1957 yang
membahas masalah dasar negara. Sidang yang dilaksanakan dalam dua sesi itu
melibatkan 47 orang pembicara dalam sesi pertama dan 54 orang pembicara
dalam sesi kedua.192 Perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam Konstituante
menunjukkan bahwa masing-masing kelompok, terutama kelompok pendukung
Pancasila dan kelompok pendukung Islam, terkesan ngotot dalam mengajukan
pendapat-pendapatnya. Argumen-argumen yang dikemukakan diharapkan dapat
mengubah pendirian anggota-anggota kelompok yang menentang. Tetapi
dikarenakan masing-masing pihak merasa argumen atau pendapatnya lah yang
paling benar, unggul, dan sempurna, maka hasilnya justru kelompok yang
menentang semakin menjauh dari kesepakatan.193
3.3.1
Perdebatan Dasar Negara dalam Konstituante
Perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara (negara Islam) di
Konstituante menyebabkan partai-partai Islam bersatu dan kompak dalam
menyuarakan
aspirasinya.
Demikian
pula
halnya
partai-partai
yang
mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Perjuangan ini menimbulkan
perdebatan yang keras antara pendukung Pancasila di satu sisi dengan
pendukung negara Islam pada sisi lainnya.
Pembahasan dasar negara dalam proses pembuatan konstitusi selalu
melahirkan perdebatan yang tajam dan mendalam. Hal itu karena dasar negara
menjadi pijakan utama yang menentukan arah dan cara penyelenggaraan
negara.194 Tiga dasar negara yang menjadi perdebatan fraksi-fraksi di Dewan
Konstituante adalah Sosial-Ekonomi, Islam, dan Pancasila. Namun pada
perkembangannya, perdebatan yang tajam dan mendalam lebih terfokus
192
Ibid., hal. xvi-xvii
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995, hal. xxxii
194
Jimly Asshiddiqie, “Titik Temu dan Titik Imbang Antara Pancasila dan Islam”, dalam
Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. vii
193
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kepada Islam dan Pancasila.195 Pendukung dasar negara Sosial-Ekonomi
memiliki pendukung yang sedikit sehingga perdebatan mengerucut hanya
pada Pancasila dan Islam. Masing-masing pendukung dasar negara
mengemukakan argumen-argumen penguat pendapatnya. Bahkan, dalam
perdebatan itu tidak jarang sebagian anggota fraksi langsung “menyerang”
anggota fraksi yang berlainan pendapat dengannya.
Sebenarnya, kontroversi mengenai dasar negara ini telah dimulai jauh-jauh
hari sebelum dilaksanakannya Pemilihan Umum 1955. Presiden Soekarno
dalam pidatonya pada tanggal 27 Januari 1953 di Amuntai, Kalimantan
Selatan, menganjurkan rakyat untuk menolak usul atau ajakan untuk
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dia berkata:
“Jangan mau, jangan mau, jangan mau!, karena ini akan menyebabkan
daerah-daerah seperti Maluku, Bali, Flores, Kepulauan Kai, dan Sulawesi
Utara lepas dari Republik Indonesia.”196
Pidato itu mengagetkan tokoh-tokoh Islam, apalagi Soekarno pernah
memberikan janji-janji—pada saat pembicaraan di BPUPKI dan PPKI—yang
akhirnya menghasilkan kompromi Piagam Jakarta. Berbagai reaksi keras
disampaikan oleh para pemimpin Islam terhadap pidato ini, baik dari
Masjumi, NU, PSII, dan Perti, maupun ormas-ormas Islam.197 Isa Anshary,
salah satu tokoh Masjumi, bahkan mengutuk pidato Presiden itu sebagai
pidato yang tidak demokratis, tidak konstitusional, dan berlawanan dengan
ideologi Islam yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia.198
Selanjutnya
dalam sidang
Konstituante
perdebatan-perdebatan
itu
menemukan tempatnya. Pendukung Islam dengan segenap kemampuannya
berusaha mewujudkan terbentuknya negara Islam. Akan tetapi usaha
pemimpin Islam itu mengalami tantangan keras dari pendukung Pancasila.
Akibatnya
perdebatan-perdebatan
keras
tidak
bisa
dielakkan
dalam
Konstituante.
195
Ibid., hal. viii
Noer, Partai Islam, hal. 264
197
Thaba, Islam dan Negara, hal. 171
198
Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 31
196
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Fraksi-fraksi pendukung Islam meyakini bahwa Islam merupakan dasar
negara yang tepat karena sumber kebenarannya tidak perlu diragukan, sesuai
dengan keyakinan mayoritas rakyat Indonesia, serta memiliki prinsip-prinsip
dasar yang sesuai dengan demokrasi modern. Fraksi pendukung dasar negara
Islam tidak menyetujui Pancasila sebagai dasar negara karena tidak memiliki
makna yang jelas dan pasti.199 Sedangkan fraksi-fraksi Pancasila berargumen
Pancasila adalah nilai-nilai dasar yang merupakan kepribadian bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan dasar yang tepat bagi negara
Indonesia.200
Kelompok kebangsaan pendukung Pancasila menilai bahwa Islam
hanyalah salah satu saja dari pandangan yang diyakini oleh rakyat Indonesia
sehingga tidak mewakili kepribadian bangsa. Jika Islam menjadi dasar negara,
menurut kelompok ini, ditakutkan kelompok masyarakat lain merasa tidak
terlindungi. Selain itu, mereka juga belum melihat ada negara yang berhasil
maju dengan dasar Islam. Bahkan, banyak negara-negara Islam saat itu adalah
negara dengan sistem monarki.201 Para penentang dasar negara Islam
menyebutkan salah satu negara yang menganut dasar Islam dengan sistem
monarki seperti Arab Saudi. Negara-negara “Islam” lainnya yang menjadi
contoh bagi pendukung kebangsaan adalah Pakistan dan Afganistan.
Dalam perdebatan itu salah seorang anggota fraksi PNI yang mendukung
dasar negara Pancasila, Soewirjo, dalam pidatonya memberikan argumen
tentang kelemahan Islam apabila dijadikan dasar negara, berkata:
Dasar negara Sosial-Ekonomi dan dasar negara Islam tidak jelek. Tapi
keduanya belum mencakup nilai-nilai yang telah disepakati dalam Komisi
199
Asshiddiqie, “Titik Temu”, hal. viii
Sementara itu, kelompok pendukung Sosial-Ekonomi, yang memiliki pendukung
sedikit sehingga aspirasinya tenggelam oleh pendukung Pancasila dan Islam, melihat revolusi
Indonesia sebagai sumber pandangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Hamzah
dari Partai Buruh, selama revolusi Indonesia rakyat bergerak, berjuang, dan berontak untuk
dibebaskan dari kesengsaraan ekonomi, tetapi kebebasan ini belum terwujud karena ekonomi
Indonesia masih bergantung pada kekuasaan imperialis dan kapitalis, dan belum sepenuhnya
dikendalikan oleh negara dan bangsa Indonesia, sebagaimana diharapkan oleh UUD 1945 dan
massa rakyat. Oleh karena itu, dasar negara Sosial-Ekonomi sangat tepat untuk mewujudkan
aspirasi-aspirasi rakyat Indonesia ini. Lihat Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 74
201
Ibid.
200
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
I tentang ketentuan-ketentuan ideologi atau dasar negara.202 .... Dasar
negara Islam mungkin telah mencukupi syarat ketiga, keempat, dan
kelima, tapi belum nampak mencukupi syarat pertama, yaitu sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia dan juga syarat kedua yaitu dijiwai
semangat Revolusi 17 Agustus 1945.203
Selain itu, untuk memperkuat argumennya tentang keunggulan Pancasila,
Soewirjo, mengutip pernyataan dua tokoh nasional, yaitu Soekarno dan Hatta,
yang menyatakan bahwa Pancasila adalah jaminan hakiki bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk tetap berkehidupan bebas dan merdeka, adil dan makmur.204
Soewirjo juga menyatakan kekhawatirannya apabila Indonesia berusaha
mencari dasar negara yang baru selain Pancasila karena dasar yang baru itu
belum tentu cocok dengan Indonesia. Dia berkata:
Jadi tidak perlulah kita repot mencari dasar negara yang lain. Kewajiban
kita sekarang, hanyalah memperbaiki atau menyempurnakan rumusan
dasar negara yang sudah ada tadi, bukan menggantinya dengan dasar
negara lain yang belum tentu cocok dengan kepentingan Republik
Indonesia sendiri.205
Dalam kesimpulan pidatonya, Soewirjo menyatakan bahwa baik dasar
Sosial-Ekonomi maupun Islam sudah tercakup dalam dasar Pancasila.206
Masalah cakup mencakupi ini juga disinggung oleh anggota fraksi Islam dari
Masjumi,
Kasman
Singodimedjo.
Hanya
bedanya
apabila
Soewirjo
beranggapan Islam sudah tercakup dalam Pancasila, Kasman Singodimejo
menyatakan sebaliknya, yaitu Pancasila sudah tercakup dalam Islam. Anggota
fraksi PNI lainnya, Nur Sutan Iskandar, juga berusaha memperkuat argumen
rekan sefraksinya, Soewirjo, mengenai sudah tercakupnya Islam dalam
Pancasila. Dia menyatakan, “dikarenakan di dalam Pancasila sudah tersimpul
202
Sebagaimana telah disepakati dalam Komisi I Dewan Konstituante, ketentuanketentuan Dasar Negara harus meliputi lima hal, yaitu pertama sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia; kedua, dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945; ketiga musyawarah hendaknya
menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan;
keempat terjaminnya adanya kebebasan beragama dan beribadat; dan kelima berisikan jaminanjaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial. Lihat Nasution,
Aspirasi Pemerintahan, hal. 50 dan Erwien Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam,
hal. 4.
203
Pidato Soewirjo, “Dasar Negara dan Kepribadian Bangsa”, dalam Kusuma dan Khairul
(editor), Pancasila dan Islam, hal. 5
204
Ibid., hal. 5
205
Ibid., hal. 13
206
Ibid., hal. 14
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
cita-cita Islam, alangkah baiknya Pancasila akan tetap menjadi dasar negara
NKRI.”207
Adapun PKI yang menjadi pendukung Pancasila, walaupun menurut
pendukung Islam tidak sesuai dengan ajaran PKI yang ateis karena pada sila
pertama Pancasila terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajukan argumenargumen untuk mendukung pilihannya itu. Bahkan, dalam argumenargumennya itu sebagian anggota fraksi PKI “menyerang” langsung personal
anggota-anggota pendukung Islam. Seperti KH. A. Dasuki Siradj yang
menyebutkan M. Natsir hanya mengutip ayat-ayat Alquran di tengahtengahnya saja, tidak dari awal dan akhirnya.208 Bahkan lebih jauh KH. A.
Dasuki Siradj tidak hanya menyerang anggota fraksi Masjumi, melainkan
langsung partainya. Dia berkata:
PKI tidak dapat menerima Islam untuk dijadikan dasar negara bukan
karena anti-agama, melainkan praktek yang dijalankan selama ini oleh
para pemimpin Masjumi yang selalu merugikan negara dan rakyat.209
Mengenai praktek partai Islam yang dianggap merugikan dan tidak
mementingkan rakyat juga disebut oleh Atmodarminto anggota fraksi Partai
Gerinda. Dengan blak-blakan dia menyebutkan bukti bahwa telah tiga kali
partai-partai Islam menjadi inti dan memegang jabatan Perdana Menteri dari
Kabinet Koalisi, akan tetapi selama itu rakyat tidak menjadi makmur, sebab,
menurutnya, para pemimpin partai-partai Islam setelah memegang kekuasaan
negara lalu memalingkan muka atau lupa kepada janji-janjinya.210
Adapun Njoto mengemukakan argumen yang membantah pernyataan M.
Natsir bahwa Pancasila tidak berakar dalam masyarakat Indonesia. Dia
menyatakan bahwa apabila Pancasila tidak berakar dalam masyarakat pastilah
masyarakat
memilih
partai-partai
pendukung
Islam.
Namun,
pada
207
Pidato Nur Sutan Iskandar, “Pancasila dan Negara Agama”, dalam Kusuma dan
Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 26
208
Pidato K.H. Dasuki Siradj, “PKI Tidak akan Membikin Double Boekhouding”, dalam
Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 285
209
Ibid., hal. 288
210
Atmodarminto, “Abangan Menentang Negara Islam”, dalam Herbert Feith dan Lance
Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 188
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kenyataannya, menurut Njoto, lebih dari 50% masyarakat memilih partaipartai pendukung Pancasila, bukan sebaliknya.211
Pidato-pidato dari anggota-anggota fraksi pendukung Pancasila lainnya
hampir sama. Misalnya dari fraksi Partai Katolik yang menyatakan apabila
Islam dijadikan dasar negara maka golongan lain hanya akan menjadi obyek
dari golongan Islam yang memerintah.212 Hal inilah yang menyebabkan
Soehardi menolak Islam dijadikan dasar negara karena dalam bernegara
semua warga negara harus memiliki hak sama.
Pendapat Soehardi itu juga didukung oleh Atmodarminto. Dia menyatakan
apabila Islam dijadikan dasar negara maka warga negara yang memiliki hak
penuh hanya orang-orang Islam saja, sedangkan warga negara lainnya yang
tidak beragama Islam pasti akan dikurangi haknya.213 Bahkan, apabila
kalangan Islam memaksakan Islam dijadikan dasar negara, maka menurut
Atmodarminto akan terjadi perang saudara di Indonesia.214
Adapun argumen-argumen anggota pendukung Islam, baik dari fraksi
Masjumi maupun fraksi NU, tidak kalah kritisnya dibandingkan argumen
pendukung Pancasila. Mereka menggunakan berbagai macam alasan dan dalil
untuk memperkuat argumen atau pendapat-pendapatnya. Salah satu anggota
fraksi Masjumi yang memberikan jawaban dan argumen secara panjang lebar
dan mendetail adalah Mohammad Natsir.
Dalam pidato panjangnya M. Natsir berusaha mengemukakan argumenargumen tentang keunggulan Islam apabila dijadikan dasar negara. Dalam
pidatonya itu dia berkata:
Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak
di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai
dasar negara kita. Akan tetapi berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaranajaran Islam yang mempunyai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu
mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan
211
Pidato Njoto, “Meterre la Coda Dove Con va il Capo”, dalam Kusuma dan Khairul
(editor), Pancasila dan Islam, hal. 320-321
212
Pidato R.A. Soehardi, “Negara: Religious Institution atau Human Institution”, dalam
Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 347-348
213
Atmodarminto, “Abangan Menentang”, hal. 188
214
Ibid., hal. 186
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
masyarakat, dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling hargamenghargai antara berbagai golongan di dalam negara.215
Selain itu dia juga menyatakan kelemahan-kelemahan Pancasila apabila
dijadikan dasar negara Indonesia. M. Natsir menyatakan walaupun di dalam
Pancasila terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa, namun itu bukan berarti
Pancasila mengandung nilai agama. Hal itu dikarenakan sila Ketuhanan
tersebut bersumber dari paham sekuler, bukan agama. Pancasila bukan
bersumber dari salah satu wahyu Illahi. Jadi, Pancasila, menurut M. Natsir,
bukanlah satu bentuk pengakuan dan penyaksian akan Kedaulatan Tuhan.216
Pendapat M. Natsir ini juga didukung oleh rekan sefraksinya yaitu M. Rusjad
Nurdin yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
simbol yang kosong.217
Walaupun dalam Pancasila tidak terdapat nilai agama, tetapi menurut M.
Natsir di dalam Pancasila harus diakui terkandung ide-ide yang baik. Namun,
ide-ide baik itu tidak dapat dijelaskan oleh para pendukung Pancasila sendiri.
Para pendukung Pancasila menurut Natsir tidak mampu menjelaskan dan
menunjukkan apa isi Pancasila sebenarnya, apa urutan, apa asalnya, apa
nucleusnya (intinya) dan hubungannya, interdependensinya satu sama lain.218
Dikarenakan ketidakjelasan Pancasila tersebut maka ia tidak pantas dijadikan
sebagai dasar negara karena dasar negara haruslah tegas dan jelas agar dapat
membimbing bangsa Indonesia.219
Lebih tegas M. Natsir mengatakan bahwa Pancasila sebagai filsafat negara
bagi kami (umat Islam) adalah kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada
jiwa umat Islam yang sudah mempunyai satu ideologi yang tegas, terang, dan
lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntuan hidup dan
sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.220 Natsir mengibaratkan apabila
215
Pidato Mohammad Natsir, “Negara Islam versus Negara Sekuler”, dalam Kusuma dan
Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 63-64
216
Ibid., hal. 72
217
Pidato M. Rusjad Nurdin, “Antara Islam, Pancasila, dan Sekulerisme”, dalam Ibid., hal.
114
218
Natsir, “Negara Islam”, hal. 73
219
Ibid., hal. 74
220
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
umat Islam menerima Pancasila seperti orang yang melompat dari bumi
tempat berpijak ke ruang, vakum, tak berhawa.221 Dia berkata:
Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudarasaudara pendukung Pancasila. Sila-sila yang Saudara maksud ada terdapat
dalam Islam, bukan sebagai “pure concepts” yang steriel, tetapi sebagai
nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan
menerima Islam sebagai falsafah negara, Saudara-saudara pembela
Pancasila sedikit pun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung
Pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh
satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas, dan mengandung
kekuatan. Tak ada satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu
yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam
sebagai dasar negara. 222
Menurut M. Natsir negara Islam yang akan dibentuk bukanlah negara
teokrasi. Negara Islam adalah negara demokrasi, yang dalam istilahnya
dinamakan dengan “Theistic Democracy”.223 Dengan pendapatnya itu, M.
Natsir ingin membantah kekhawatiran kelompok pendukung Pancasila yang
menyatakan bahwa apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara maka akan
terbentuk negara teokrasi, yang akan berakibat kepada adanya diskriminasi
terhadap kelompok selain Islam.
Selain M. Natsir, anggota fraksi Masjumi lainnya yang mengemukakan
pidato untuk mendukung ide Islam dijadikan sebagai dasar negara adalah Mr.
R.H. Kasman Singodimedjo. Dalam pidatonya, Kasman Singodimedjo
“menyerang” PKI yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Padahal
menurutnya PKI menganut paham ateisme sehingga tidak mungkin menerima
Pancasila.224 Di sini, menurut Kasman Singodimedjo, nampak kontradiksi
dalam Pancasila. Seharusnya sebagai dasar negara Pancasila tidak boleh
mengandung kontradikasi.
Kasman Singodimedjo juga menyebutkan ajaran-ajaran Islam yang sangat
berguna bagi bangsa Indonesia apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara.
Ibid., hal. 75
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsesus Nasional
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal.
83-84
223
Natsir, “Negara Islam”, hal. 76
224
Pidato Mr. R.H. Kasman Singodimedjo, “Alasan Kenapa Islam Menjadi Dasar
Negara”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 86-87. Lihat juga
Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 51
221
222
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Ajaran-ajaran itu di antaranya Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan
musyawarah yang mendudukkan kebenaran dan hak, Islam mewajibkan
pemimpin rakyat, pemimpin negara, dan pemimpin pemerintahan penuh
tanggung jawab kepada rakyat dan kepada Tuhan, Islam menegakkan
kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan, atau
eksploitasi manusia atas manusia dalam bentuk apapun, Islam memberantas
kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup
keragaman antara golongan dan golongan (kelas), Islam mewajibkan
menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak
boleh ada egoisme yang tamak atau bakhil; kekayaan (milik) perseorangan
tidak terlepas dari fungsi sosial sehingga rezeki dapat merata, dan Islam
memberikan penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.225
Dikarenakan ajaran-ajaran itulah maka Islam sangat pantas dan layak,
menurut Kasman Singodimedjo, dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.
Nilai-nilai keislaman itu akan dapat membuat bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang sejahtera dan maju apabila diterapkan oleh bangsa Indonesia.
Dengan menyebutkan ajaran-ajaran Islam ini, Kasman Singodimedjo ingin
membantah keraguan pendukung Pancasila yang mengkhawatirkan apabila
Islam dijadikan dasar negara maka warga negara selain pemeluk agama Islam
akan mengalami diskriminasi. Selain menyebutkan keunggulan Islam apabila
dijadikan sebagai dasar negara, Kasman lebih jauh juga menyebutkan posisi
Pancasila sebagai subordinasi dari Islam dengan mengatakan, “Islam itu
adalah Serba Sila, termasuk dus Pancasila, jadi, Pancasila tidak dapat
dibandingkan dengan Islam, Pancasila adalah bikinan manusia, Islam adalah
ciptaan Allah.”226
Dalam pidato terakhirnya Kasman Singodimedjo mengatakan:
Saudara Ketua, apabila pada waktu itu, tanggal 18 Agustus 1945,
pemimpin-pemimpin Islam tidak berkepala batu, tetapi bahkan menerima
baik untuk menunda pembicaraan mengenai materi-materi Islam itu,
mengingat suasana waktu itu, Saudara Ketua. Maka hal itu menjadi bukti
untuk kesekian kalinya bahwa umat Islam memang berlapang dada.
225
226
Ibid., hal. 92-98
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 158
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Semoga pada waktu sekarang ini di Dewan Konstituante sini dada itu tidak
harus dilapangkan lagi. Sebab, Saudara Ketua, pelapangan dada itu telah
maksimal. Paling banyak dada itu tinggal meledak! Allahu Akbar! Allahu
Akbar! Allahu Akbar!227
Pernyataan Kasman Singodimedjo itu menunjukkan bahwa golongan
Islam pada saat bersedia menghapus ketujuh kata dalam mukaddimah UUD
1945 dikarenakan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan bagi pemimpin
Islam untuk memaksakan diri. Sebagaimana diketahui setelah proklamasi 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin
kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu, segala upaya dilakukan agar
persatuan bangsa Indonesia tetap terjaga utuh demi menghadapi Belanda.
Mengenai situasi yang mendorong penghapusan ketujuh kata itu Mohammad
Hatta berkata:
Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945,
sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus
Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku
Hasan dari Sumatra mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk
membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa,
kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati
kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan
negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15
menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di
waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan negara.228
Selain menunjukkan kelapangan dada umat Islam dalam penghapusan
ketujuh kata dalam mukaddimah undang-undang dasar, para pendukung dasar
negara Islam juga menyatakan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan yang
menjadi pegangan para pejuang adalah Islam, bukan Pancasila. Para pejuang
tidak pernah mengucapkan Pancasila apalagi menjiwainya karena pada saat
itu Pancasila belum dikenal. Yang terdengar pada saat perjuangan
kemerdekaan adalah kata-kata “Allahu Akbar”.229 Dengan mengungkapakan
kalimat “Allahu Akbar” Hamka ingin menunjukkan bahwa Islamlah yang
227
Singodimedjo, “Alasan Kenapa”, hal. 106
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas Indonesia,
1981, hal. 60
229
Pidato Hamka, “Berbeda dalam Mencari Kebenaran”, dalam Kusuma dan Khairul
(editor), Pancasila dan Islam, hal. 143. Lihat juga Greg Fealy dan Virginia Hooker (editor), Voices
of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications, 2006,
hal. 215-220
228
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menjiwai perjuangan bangsa Indonesia sampai berhasil mengumandangkan
kemerdekaannya bahkan sampai sekarang.
Sementara itu KH Masjkur, dari fraksi NU, dalam pidatonya juga
menyebutkan keunggulan Islam sebagai dasar negara jika dibandingkan
dengan Pancasila. Dia menyebutkan tiga hal yang mendasari layaknya Islam
dijadikan sebagai dasar negara.230 Pertama unsur-unsur Islam telah menjiwai
sebagian
besar
masyarakat
bangsa
Indonesia,
sehingga
merupakan
kepribadian bangsa Indonesia. Kedua Pancasila tetap merupakan rumusan
yang kosong, yang tidak berketentuan arah dan tujuannya. Dan ketiga ajaran
Islam memenuhi syarat untuk mengatur hidup dan perikehidupan manusia.
Selain perdebatan-perdebatan yang keras tersebut ternyata terdapat
sebagian anggota Konstituante yang berusaha mengemukakan pendapatnya
dengan lebih “lembut”. Bahkan, dia berusaha mengkompromikan kedua kubu,
yaitu pendukung Pancasila dan Islam. Anggota ini berasal dari PSI, yang
walaupun sikap resmi fraksinya mendukung Pancasila, namun dalam
pidatonya terkesan berusaha mengkompromikan kedua kubu yang saling
bertentangan. Dia adalah Prof. Mr. S.T. Alisjahbana yang berkata:
Kami dari PSI dengan sungguh-sungguh berharap kepada golongangolongan yang seolah-olah bertentangan dalam sidang-sidang Dewan
Konstituante ini, agar dapat melapangkan hati seluas-luasnya, sehingga
kita secepatnya dapat memperoleh suatu rumusan yang dapat dipakai
sebagai pedoman selanjutnya, sehingga pekerjaan kita jangan terkatungkatung tiada henti.231
Namun, pidato seruan S.T. Alisjahbana tersebut tidak banyak berpengaruh
dalam Konstituante. Masing-masing kubu tetap ngotot mempertahankan
keyakinannya masing-masing sehingga sebagaimana yang akan diketahui
selanjutnya sidang Dewan Konstituante tidak berhasil membuat keputusan.
Pendirian teguh pendukung Islam dalam hal menjadikan Islam sebagai
dasar negara ini disandarkan pada beberapa alasan:232 Pertama, mereka
230
Pidato K.H. Masjkur, “Titik Temu dan Titik Tolak antara Islam dan Pancasila”, dalam
Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 253-254
231
Pidato S.T. Alisjahbana, “Pancasila di tengah-tengah Pergolakan Dunia”, dalam Ibid.,
hal. 386
232
Noer, Partai Islam, hal. 266
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
melihat dasar ini (syariat Islam) sebagai masalah yang mereka janjikan selama
kampanye pemilihan umum tahun 1955.233 Oleh karena itu, menurut mereka
janji harus ditepati. Kedua, mereka melihat Konstituante sebagai forum tempat
tiap kelompok atau fraksi mengemukakan cita-cita. Dan ketiga, para
pemimpin Islam melihat Konstituante sebagai forum dakwah. Disebabkan
alasan-alasan di atas itulah para pemimpin Islam di Konstituante terus
berjuang keras mewujudkan terlaksananya syariat Islam bagi umat Islam.
Terlepas dari alasan-alasan itu, nampaknya yang menjadi alasan utama bagi
partai Islam untuk mengajukan Islam sebagai dasar negara adalah dikarenakan
upaya itu merupakan tugas keagamaan.234
Sebenarnya dalam lingkungan Masjumi terdapat pendapat lain mengenai
keinginan Masjumi menerapkan Islam sebagai dasar negara. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Jusuf Wibisono. Menurutnya partai-partai Islam seharusnya
bersikap lebih luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Jusuf
Wibisono berpendapat bahwa lebih baik organisasi-organisai Islam bekerja
mendidik masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam daripada semata-mata
berpegang dengan penuh semangat pada cita-cita Islam tersebut di atas.235
Pendapat Jusuf Wibisono ini dapat dianggap sebagai akar dari pemikiran
Islam kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid pada masa
pemerintahan Orde Baru.
Sementara itu keteguhan kelompok pendukung Pancasila disebabkan oleh
anggapan mereka bahwa mendukung Pancasila merupakan kewajiban yang
berasal dari mandat Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru
bagi negara yang sudah berdiri dengan landasan khas, yaitu Pancasila.236
Keteguhan masing-masing kelompok inilah yang menyebabkan perdebatan
233
Pada kampanye pemilu tahun 1955 partai-partai Islam berusaha “menjual” Islam untuk
menarik masyarakat memilih partai-partai Islam, di antara isu yang “dijual” adalah mengenai
negara Islam. Bagi partai-partai yang menentang atau tidak setuju dengan ide negara Islam itu,
juru kampanye partai-partai Islam tidak segan-segan mengutuk atau mengkafirkan penentangpenentangnya itu. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai kampanye pada pemilu tahun 1955
lihat Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), 1999, hal. 9-55
234
Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 77
235
Noer, Partai Islam, hal. 267
236
Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 76
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
tentang dasar negara berlangsung sampai dengan rapat yang terakhir pada
tanggal 2 Juni 1959 tanpa menghasilkan suatu keputusan.
Dalam perdebatan yang berkepanjangan tersebut, Konstituante benarbenar menghadapi kebuntuan dalam menyelesaikan masalah dasar negara.
Akibatnya, dibutuhkan waktu yang lama untuk menyusun konstitusi baru bagi
negara Indonesia. Tetapi bagaimana pun juga, sebenarnya pada permulaan
1959, Konstituante telah berhasil menyelesaikan 90% kerjanya dalam waktu
kurang dari 2,5 tahun. Hal tersebut dapat diketahui, ketika pada 18 Februari
1959, pada penutupan sidang Panitia Perumus Konstitusi, Ketua Konstituante
Wilopo melaporkan kepada sidang dengan perasaan puas bahwa Konstituate
telah dapat menyelesaikan tugasnya 90%. Agaknya sisa yang 10% itu
berhubungan dengan tugas sidang umum Konstituante berupa perubahan,
pemilihan alternatif, dan pengesahan.237
Karena kebuntuan yang dialami oleh sidang Konstituante, maka pada
tanggal 2 Maret 1959, Perdana Menteri Djuanda mengemukakan kepada
parlemen pemikiran untuk kembali ke UUD 1945. Ide yang sama juga
dikemukakan oleh Presiden Soekarno kepada Konstituante di Bandung pada
22 April 1959.238
Dalam menanggapi usulan pemerintah itu, para wakil Islam di
Konstituante, tidak mau menerima UUD 1945 tanpa modifikasi. Mereka
mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali ke dalam UUD 1945
tujuh kata yang telah hilang, yaitu kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.239 Menanggapi hal itu, Djuanda pada 22 April 1959
dalam keterangannya, sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dari
para wakil Islam di Konstituante, menyatakan bahwa Piagam Jakarta
“menjiwai” UUD 1945, dan oleh karena itu, memberi dasar bagi pelaksanaan
hukum agama.240
237
Kusuma dan Khairul, “Detik-detik”, hal. xiii
Ibid., hal. xiv
239
Ibid.
240
Ibid., hal. xv
238
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Jawaban dari pemerintah itu tentu saja tidak memuaskan kalangan Islam.
Maka ketua Fraksi Islam di Konstituante, yang saat itu dijabat oleh KH
Masjkur dari NU, mengemukakan mosi agar ketujuh kata tersebut di atas
dapat masuk lagi dalam mukaddimah UUD 1945.241 Pada malam hari tanggal
1 Juni 1959 diadakan pemungutan suara dengan hasil 201 suara mendukung
mosi Masjkur dan 265 suara menolak, dengan anggota yang hadir sebanyak
470 orang.242
Prinsip tidak mau mengalah atau berkompromi di antara kelompok
pendukung Pancasila dan kelompok pendukung negara Islam mendapatkan
kritik dari Mohammad Hatta, yang mengatakan:
Dua golongan besar yang hebat berjuang dalam Konstituante. Aliran yang
berpegang—dengan mulut—kepada Pancasila yang pengikutnya kira-kira
52 persen dalam Konstituante dan aliran negara Islam, yang sokongannya
dalam Konstituante hanya 48 persen. Menurut peraturan undang-undang
yang menjadi dasar dalam Konstituante, suatu usul dalam Konstituante
hanya dapat diterima dengan suara 2/3 terbanyak, yaitu kira-kira 67
persen. Jadinya negara yang menuntut negara Islam bagi Indonesia, tidak
akan dapat mencapai cita-citanya. Sungguhpun demikian, mereka terus
memperjuangkan tujuan mereka itu dalam Konstituante. Alangkah
baiknya, apabila mereka menunjukkan sikap toleransi. Setelah mereka
berjuang sungguh-sungguh dan kalah suara, mereka tidak meneruskan
perjuangan itu dan secara demokrasi menerima kekalahan itu dan mufakat
dengan Pancasila, sebagai bermula menjadi dasar negara.243
Dengan mengatakan ini, secara tidak langsung Hatta menunjukkan
kekonsistenannya dalam mendukung Pancasila. Sebagai orang yang sangat
“berperan” dalam penghapusan Piagam Jakarta, Hatta ingin berusaha kembali
memainkan “peran” tersebut. Tetapi, nampaknya dia kurang menyadari
sepenuhnya perasaan pendukung negara Islam. Golongan Islam menerima
penghapusan Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945 dikarenakan, sebagaimana
yang disebutkan Kasman Singodimedjo, pertimbangan persatuan bangsa yang
akan menghadapi kedatangan Belanda kembali sehingga harus dihadapi
dengan persatuan dan kekompakan bangsa Indonesia. Sementara, pada saat
sekarang (masa Demokrasi Parlementer) keadaan itu sudah berubah. Bangsa
241
Ibid.
Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 400-401
243
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 153
242
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Indonesia benar-benar telah merdeka. Oleh karena itu, dikarenakan penjajah
Belanda tidak bercokol lagi di Indonesia dan undang-undang pun mengizinkan
perjuangan pembentukan negara Islam, maka menurut pendukung negara
Islam saat itu adalah waktu yang tepat untuk memperjuangkannya. Dengan
pertimbangan inilah kelompok pendukung negara Islam tetap gigih
memperjuangkan aspirasinya walaupun dari segi kekuatan suara mereka kalah
dari kelompok pendukung Pancasila.
Dikarenakan kebuntuan di Konstituante tidak kunjung terpecahkan, maka
pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali secara resmi UUD 1945
sebagai undang-undang dasar negara. Sejak saat itu, Konstituante bubar.244
Dengan dibubarkannya Dewan Konstituante, Islam politik kembali gagal
merealisasikan cita-cita terbentuknya negara Islam. Bahkan pada masa
selanjutnya, yaitu Demokrasi Terpimpin, peran dari partai-partai Islam
mengalami penurunan. Lebih tragisnya, Partai Masjumi yang dianggap
sebagai partai Islam terbesar harus membubarkan dirinya setelah dipaksa oleh
Presiden Soekarno membubarkan diri.
3.4 Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965)
Dalam amanatnya pada 22 April 1959, Presiden Soekarno mengemukakan 12
definisi Demokrasi Terpimpim. Satu di antaranya menyatakan Demokrasi
Terpimpin adalah demokrasi, atau, dalam UUD 1945 dikatakan demokrasi “yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.245 Dalam
kesempatan lainnya, Presiden Soekarno menjelaskan Demokrasi Terpimpin
adalah demokrasi kekeluargaan246, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya
diktator.247
244
Lihat catatan kaki nomor 5 BAB I
Ibid., hal. 183
246
Demokrasi kekeluargaan memiliki makna demokrasi yang mendasarkan sistem
pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di
tangan seseorang “sesepuh”—seseorang tetua—yang tidak mendiktatori, tetapi “memimpin”,
“mengayomi”. Lihat Maarif, Islam dan Masalah, hal. 184
247
Ibid., hal. 183
245
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, politik memainkan peran yang
sangat penting sehingga perkembangan ekonomi negara menjadi terabaikan.
Ideologi negara memiliki peranan penting dalam mengatur semua sendi kehidupan
berbangsa.248 Oleh karena itu, Presiden Soekarno memiliki hak penuh dalam
menentukan ideologi negara. Pada masa ini, Presiden Soekarno mengemukakan
satu istilah untuk menyatukan semua ideologi yang dianggapnya sesuai dengan
bangsa Indonesia, yaitu istilah NASAKOM (NASionalisme, Agama (Islam),
KOMunisme).
Pada tahun 1957, partai Islam Masjumi bukan saja tambah renggang dan
asing dari Soekarno tetapi juga tambah bertentangan secara konfrontatif dengan
Presiden.249 Penentangan keras Masjumi terhadap Soekarno tidak terlepas dari
keteguhan Masjumi dalam memperjuangkan demokrasi. M. Natsir, Ketua Umum
Masjumi, menulis banyak artikel yang digunakan untuk membantah dan
menunjukkan berbagai kelemahan sistem Demokrasi Terpimpin.
Perjuangan Masjumi dalam mempertahankan prinsipnya akhirnya berakhir
pada tanggal 17 Agustus 1960 pukul 5.20 pagi. Saat itu pimpinan pusat Masjumi
menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa
Masjumi harus dibubarkan. Surat itu mengatakan bahwa, “Paduka Yang Mulia
Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan
keputusan Presiden (No. 200/1960) bahwa partai Masjumi harus dibubarkan.
Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960,
pimpinan partai Masjumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini
harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, partai Masjumi
akan diumumkan sebagai “partai terlarang”.250 Kurang dari sebulan kemudian,
yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masjumi menyatakan partainya
bubar.251
Dengan bubarnya Masjumi, NU menjadi parpol Islam terbesar. Akan
tetapi, sebenarnya, pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijaksanaan
Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES,
1988, hal. xxi
249
Noer, Partai Islam, hal. 369
250
Ibid., hal. 386
251
Ibid., hal. 387
248
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
nasional sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.252 Selain
NU, terdapat partai Islam lain, yaitu PSII dan Perti. Ketiga partai ini berhasil
bertahan selama periode Demokrasi Terpimpin karena mereka mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan Demokrasi Terpimpin seperti yang
dikehendaki Presiden Soekarno.253 Yang terpenting bagi ketiga partai politik ini
adalah bagaimana caranya menyenangkan Soekarno dan menjaga agar Soekarno
tidak menjadi marah sehingga bersedia melindungi kepentingan mereka.254
Kelihatannya ketiga partai Islam tadi tidak lagi memperlihatkan
identitasnya. Mereka sekedar mengikuti kehendak Soekarno. Misalnya sikap NU
mengenai kemerosotan ekonomi selama periode Demokrasi Terpimpin. Para
pemimpin NU meminta rakyat untuk tabah dan melarang rakyat menyalahkan
pemerintah. Mengenai “ganyang Malaysia” NU juga menunjukkan sikap yang taat
kepada Soekarno. Padahal, dalam hal pemikiran agama NU lebih dekat kepada
Muslim Malaysia daripada kalangan modernis Islam Indonesia.255 Hal itu dapat
dibuktikan dengan seringnya orang-orang Islam Malaysia menghadiri kongres
NU. Seharusnya mereka tidak mendukung “ganyang Malaysia”. Tapi nampaknya,
politik dalam pandangan NU berbeda dengan ideologi sehingga dalam
pelaksanaannya juga berbeda.
Adapun PSII menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda dengan NU.
Sebagai partai yang pengikutnya lebih kecil dari NU maka tidak dapat diharapkan
banyak terobosan dalam partai ini. Mengenai Manipol (GBHN) misalnya, PSII
melihatnya “sesuai” dengan tujuan PSII dan bersamaan dengan itu sesuai dengan
ajaran Islam. Partai ini memutuskan dalam kongresnya di Bandung pada tahun
1962 untuk mendesak Menteri Penghubung Alim Ulama agar menyelenggarakan
kursus-kursus tentang Manipol untuk segenap ulama di Indonesia.256
Perti mengambil sikap yang sama dengan kedua partai Islam di atas. Partai
ini turut duduk dalam parlemen yang diangkat oleh Presiden dan dalam Front
252
Thaba, Islam dan Negara, hal. 180
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999, hal. 25
254
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 184
255
Noer, Partai Islam, hal. 395
256
Ibid., hal. 396
253
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nasional.257 Mengenai “ganyang Malaysia” Perti justru mengambil sikap yang
lebih mendukung gerakan itu, yaitu dengan menolak undangan Tungku Abdul
Rahman, Perdana Menteri Malaysia, untuk menghadiri suatu konferensi Islam
Asia Tenggara dan Timur Jauh yang didukung oleh Muktamar Alam Islam dari
Pakistan.258
Akibat sikap partai Islam, terutama NU, yang menerima Demokrasi
Terpimpin, Masjumi menyatakan kekecewaannya dengan menyatakan:
Dan kalau memang NU menerima putusan ini (masuk dalam DPRGR
tanpa Masjumi) dengan segala kerelaan hati, jelaslah sudah bahwa NU ikut
menguburkan satu partai Islam yang terbesar bersama-sama lawan-lawan
idenya, melenyapkan satu teman seperjuangannya sendiri dari permukaan
bumi Indonesia ini, yang mungkin pada suatu saat teman itu akan banyak
gunanya untuk kepentingan perjuangan Islam, sekalipun barangkali akan
memberikan kerugian kepada NU atau Liga Muslimin... Ah kalau bukan
kepada Mu ya Tuhan, kepada siapa lagi keperihan jiwa ini diadukan...259
Dengan adanya pernyataan Masjumi ini dapat diketahui bahwa masingmasing partai Islam lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Persatuan dan
kekompakan yang diperlihatkan pada saat persidangan Majelis Konstituante tidak
terlihat lagi. “Islam” sebagai pemersatu di antara partai-partai Islam itu telah
hilang atau sama sekali tidak menjadi perhatian. Yang menjadi perhatian adalah
kepentingan golongan masing-masing. Masjumi, dengan demikian, ditinggalkan
sendirian oleh teman seperjuangannya hingga akhirnya dipaksa membubarkan diri
oleh pemerintah. Di sini dapat dilihat bahwa sebenarnya “Islam” tidak dapat
menjamin adanya kekompakan atau persatuan di antara pendukungnya.
Penggunaan jargon Islam dalam arena politik justru menimbulkan sisi negatif bagi
Islam karena Islam tidak mampu menyatukan umatnya.
Sebagai dukungan partai-partai Islam itu kepada Soekarno maka mereka
mendapatkan jatah kursi dalam pemerintahan. Dalam kabinet Djuanda (19571959) NU mendapat 4 kursi dan PSII 1 kursi dan dalam kabinet tahun 1959
jumlah menteri NU dan PSII menjadi 3.260 Selanjutnya kabinet Soekarno itu
257
Front Nasional didirikan tahun 1961 dengan tugas menggalang rakyat untuk membantu
pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah.
258
Noer, Partai Islam, hal. 397
259
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 187
260
Noer, Partai Islam, hal. 398
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
mengalami beberapa kali reshuffle dan masing-masing partai Islam tersebut juga
mengalami pasang surut dalam posisinya di kabinet.
Hal yang sangat mengherankan dan memiriskan adalah ketidakpedulian
ketiga partai itu terhadap penahanan tokoh-tokoh Islam. Bahkan seorang tokoh
NU, Imron Rosjadi, turut ditahan tanpa diperdulikan oleh rekan-rekannya
separtai.261 Ketidakpedulian mereka itu menunjukkan bahwa politik benar-benar
telah menjauhkan rasa kepedulian antar sesama umat Islam. Demokrasi Terpimpin
nampaknya berhasil menjauhkan partai Islam itu dari golongannya sendiri, Islam.
Pada tahun 1965, terjadi pemberontakan yang mengakibatkan runtuhnya
rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno. PKI yang dituduh sebagai dalang
pemberontakan itu berhasil ditumpas habis oleh ABRI dan umat Islam bersama
kekuatan masyarakat lainnya. Umat Islam memainkan peran yang sangat besar
dalam menumpas PKI. NU dan Muhammadiyah menganggap tindakan
menghancurkan PKI sebagai suatu kewajiban agama. Bahkan ulama-ulama Aceh
dengan tegas menyatakan bahwa ajaran Komunisme adalah “kufur”, sehingga
siapa saja yang mati dalam menumpas PKI dianggap sebagai mati “syahid”.262
Selanjutnya, Islam Indonesia memasuki arena baru, yaitu pemerintahan
Orde Baru. Dalam masa-masa pemerintahan Orde Baru inilah muncul pemikiran
Islam kultural yang menolak negara Islam dan penomor satuan partai politik
sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Pembahasan
mengenai perkembangan Islam politik pada masa Orde Baru dan kemunculan
Islam kultural akan dibahas dalam bab berikutnya, yaitu BAB IV.
261
262
Ibid., hal. 412
Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 25
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB IV
KONSEPSI ISLAM KULTURAL DALAM PEMIKIRAN NURCHOLISH
MADJID
4.1
Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong
Munculnya Islam Kultural
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru muncul harapan baru di kalangan umat
Islam bahwa mereka dapat berperan aktif dalam politik.263 Munculnya harapan itu
dikarenakan beberapa tindakan pemerintah Orde Baru yang menunjukkan
“pemihakan” kepada umat Islam, seperti pembebasan tokoh-tokoh Islam dan
diizinkannya koran dan majalah Islam diterbitkan kembali setelah sebelumnya
pada masa Soekarno dilarang. Selain itu, umat Islam berkeyakinan bahwa mereka
memiliki peran yang besar dalam memberangus gerakan komunis di Indonesia
(PKI). Oleh karena itu, suatu hal yang wajar, menurut mereka, bahwa mereka
dapat kembali berperan secara aktif dalam politik—setelah sebelumnya pada
Demokrasi Terpimpin hal itu mengalami kendala dan halangan. Dengan aktifnya
umat Islam dalam politik, maka harapan untuk kembali mengajukan Piagam
Jakarta
sebagai
dasar
negara
dan
pelaksanaan
agenda-agenda
yang
menguntungkan umat Islam dapat direalisasikan.
Orde Baru pada awal pemerintahannya membebaskan tokoh-tokoh penting
Islam yang dipenjara oleh rezim Soekarno, seperti HAMKA (Haji Abdul Malik
Karim Amrullah), Isa Anshary, dan Burhanuddin Harahap. Melihat tindakan
pemerintah Orde Baru tersebut, wajar saja umat Islam beranggapan Orde Baru
akan berbeda dengan Orde Lama. Antusiasme umat Islam dalam menyambut
harapan baru itu terlihat dalam acara tasyakuran yang diadakan di Mesjid AlAzhar, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 14 Agustus 1966. B.J. Boland
menyebutkan acara tersebut dihadiri 50.000 umat Islam dan pemimpin-pemimpin
besar
politik
Islam
seperti
Sjafruddin
Prawiranegara,
Asaat,
Prawoto
263
Harapan ini muncul dikarenakan sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin,
aspirasi politik umat Islam banyak dibungkam oleh Soekarno, seperti misalnya pembubaran
Masjumi dan penangkapan tokoh-tokoh penting umat Islam (tokoh-tokoh Masjumi). Walaupun
pada masa itu partai NU, PSII, dan Perti ikut “dilibatkan” dalam pemerintahan Soekarno, namun
mereka tidak dapat berbuat banyak dalam mewujudkan aspirasi politik umat Islam.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
93
Universitas Indonesia
Mangkusasmito, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, dan Mohammad
Natsir.264
Tahap pertama yang dilakukan oleh umat Islam untuk mewujudkan
harapannya adalah merehabilitasi Masjumi.265 Pada permulaan Juni 1966,
organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, secara terbuka mulai
menganjurkan perehabilitasian Masjumi.266 Sebagaimana diketahui, Masjumi
pada masa Demokrasi Terpimpin telah dipaksa Soekarno membubarkan diri.
Dukungan terhadap usaha rehabilitasi Masjumi itu tidak hanya datang dari
organisasi-organisasi Islam saja, melainkan juga dari Persahi (Persatuan Sarjana
Hukum Indonesia). Pada tanggal 3 Desember 1966, Persahi mengeluarkan
pendapat bahwa pembubaran Masjumi dan PSI tidak dapat dibenarkan, dan harus
direhabilitasi segera, sebab mereka adalah korban Orde Lama.267 Dengan adanya
dukungan dari Persahi ini menunjukkan bahwa aspirasi perehabilitasian Masjumi
tidak hanya didukung oleh umat Islam saja, melainkan oleh kalangan lainnya,
termasuk kalangan intelektual seperti Persahi.
Namun demikian, keinginan besar umat Islam tersebut mendapatkan
jawaban yang tidak mengenakkan dari Soeharto. Dalam surat yang dikirimkan
Soeharto kepada Prawoto Mangkusasmito pada 6 Januari 1967, sebagai balasan
surat Prawoto Mangkusasmito pada 22 Desember 1966 mengenai keberatan
terhadap status pembubaran Masjumi, dinyatakan bahwa Soeharto berdasarkan
alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis menolak rehabilitasi Masjumi.268
Alasan lain yang sebenarnya paling memengaruhi keputusan pemerintah itu
264
B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff,
1971, hal. 148
265
Masjumi dianggap sebagai partai terbesar Islam. Hal ini dibuktikan dengan
kemenangan Masjumi dalam Pemilu 1955 di wilayah-wilayah Indonesia. Walaupun umat Islam
juga memiliki partai lain seperti NU, PSII, dan Perti namun partai-partai itu hanya berkembang di
wilayah tertentu saja, seperti NU dan PSII di Jawa dan Perti di Sumatera Tengah. Sedangkan
Masjumi berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ini dibuktikan pada pemilu tahun
1955. Oleh karena itu, ketika melihat ada kesempatan pada masa awal Orde Baru, umat Islam
segera berusaha melakukan rehabilitasi Masjumi.
266
Boland, The Struggle, hal. 151
267
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 190
268
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996 , hal. 242
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
adalah dikhawatirkan akan menyebabkan bangkitnya “ekstremis” Islam apabila
Masjumi direhabilitasi.269
Pada tanggal 24 Oktober 1967, Mohammad Natsir mengirim surat kepada
pemerintah yang berisi pernyataan bahwa para tokoh Masjumi menegaskan
sikapnya secara terbuka, kalau partai Masjumi bisa direhabilitasi, maka M. Natsir
tidak akan menjadi pemimpin partai tersebut.270 Pernyataan ini nampaknya ingin
menghilangkan keberatan atau kekhawatiran pemerintah apabila Masjumi
direhabilitasi maka yang akan memimpin adalah Natsir.271 Namun, surat M. Natsir
ini tidak berhasil merubah keputusan Soeharto dalam menolak perehabilitasian
Masjumi.
Akan tetapi, Soeharto menyadari bahwa kekuatan politik Islam memiliki
basis massa yang besar sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Bukti besarnya
kekuatan massa Islam disaksikan Soeharto sendiri ketika umat Islam bersama
dengan Angkatan Darat berhasil memberangus komunis (PKI). Berangkat dari
kenyataan itu, Soeharto tetap berusaha mengakomodasi tuntutan rehabilitasi
Masjumi. Maka pada bulan Mei 1967, Soeharto menyatakan bahwa pemerintah
tidak berkeberatan terhadap pembentukan partai berbasis massa eks-Masjumi.
Pernyataan pemerintah itu direspons dengan cepat oleh tokoh politik Islam yang
dengan segera membentuk “Komite Tujuh” yang diketuai oleh Prawoto
Mangkusasmito.272 Komite ini akhirnya berhasil membentuk Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia). Pemerintah, melalui Surat Keputusan Presiden No. 70 tahun
1968, kemudian mensahkan Parmusi pada tanggal 20 Februari 1968.273 Dengan
terbentuknya partai ini, maka sarana perjuangan cita-cita politik umat Islam
diharapkan dapat segera terealisasikan.
269
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 167
270
Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah:
Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hal. 183
271
Kekhawatiran pemerintah terhadap Natsir nampaknya dilatarbelakangi “sepak terjang”
Natsir pada masa sebelum Orde Baru berhasil meraih kekuasaan. Sebagaimana diketahui, Natsir
merupakan salah satu tokoh Masjumi yang sangat kritis kepada pemerintah. Selain itu, Natsir
merupakan tokoh yang konsisten memperjuangkan negara Islam dan juga ikut terlibat dalam
PRRI.
272
Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 86
273
Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hal. 76
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Dengan terbentuknya Parmusi, pemimpin Islam eks-Masjumi berharap
dapat kembali aktif dalam politik. Ternyata, harapan itu tidak dapat terlaksana
dikarenakan mendapat penentangan dari pemerintah Orde Baru. Padahal,
Angkatan Darat dalam Seminar Angkatan Darat yang dilaksanakan pada Agustus
1966 menyatakan:
Anggota-anggota bekas partai yang dinyatakan terlarang (PSI, Masjumi,
dan Murba) masih berstatus warga negara Indonesia dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya apabila mereka segera diikutsertakan dalam
kehidupan politik, supaya mendapat kesempatan yang sama untuk dapat
dipilih dan memilih.274
Pernyataan itu pada akhirnya hanya merupakan pernyataan saja. Artinya,
ia tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap kebijakan pemerintah Orde
Baru.275 Para pemimpin eks-Masjumi tetap tidak diizinkan memimpin Parmusi,
sekalipun pada masa Masjumi masih berdiri pemimpin itu bersikap moderat
seperti Mohamad Roem. Tidak hanya melarang pemimpin eks-Masjumi
memimpin Parmusi, lebih jauh pemerintah Orde Baru juga melarang mereka
menjadi calon anggota legislatif Parmusi dalam pemilu 1971.276 Hampir 75%
calon yang diajukan oleh Parmusi ditolak pemerintah dengan alasan mereka masih
memiliki ikatan emosional dengan Masjumi.277 Selain itu, pemerintah Orde Baru
tidak mengizinkan tokoh-tokoh eks-Masjumi itu menjadi juru kampanye
Parmusi.278 Tindakan pemerintah Orde Baru ini menunjukkan sikap tidak
memihak mereka terhadap Islam politik yang diwakili oleh pemimpin-pemimpin
Maarif, Islam dan Masalah, hal. 190
Adanya perbedaan antara pernyataan Angkatan Darat dalam Seminar Seskoad dengan
keputusan pemerintah Orde Baru menunjukkan bahwa dalam ABRI, khususnya Angkatan Darat,
terdapat perbedaan pemikiran dalam menyikapi status pemimpin eks-Masjumi atau Islam. Dalam
ABRI terdapat dua aliran pemikiran, yaitu radikalis tentara (army radicals) dan pendukung
Soeharto. Radikalis tentara berpandangan sekular yang menginginkan suatu perbaikan sistem
politik secara keselurahan, sedangkan pendukung Soeharto memprioritaskan konsolidasi dan
stabilisasi. Untuk lebih jelas lihat Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta:
Logos, 2001, hal. 36-37
276
Namun demikian, tindakan pemerintah ini didukung oleh ketua Parmusi yang ditunjuk
oleh pemerintah, yaitu H.M.S. Mintaredja. Setelah ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru,
Mintaredja langsung menyatakan tidak keberatan apabila pemerintah menghapus nama-nama
tokoh Masjumi yang masuk dalam daftar calon untuk Pemilu 1971. Lihat Robert W. Hefner, Civil
Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah: Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The
Asia Foundation, 2001, hal. 179
277
Tim Peduli Tapol, Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam,
Yogyakarta: Wihdah Press, 1998, hal. 14
278
Afan Gaffar, “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia”, dalam M. Imam
Aziz, dkk. (penyunting), Agama, Demokrasi, dan Keadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993, hal. 104
274
275
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
eks-Masjumi. Pemerintah Orde Baru nampaknya masih menganggap pemimpin
eks-Masjumi sebagai lawan potensial bagi kekuasaan mereka, sehingga usaha
apapun yang mengarah kepada penguatan keberadaan mereka akan dicegah oleh
pemerintah.
Pemerintah juga memberikan berbagai stigma yang cenderung berkonotasi
negatif seperti “kelompok ekstrem”, “garis keras”, atau “kelompok kanan” (sebuah
padanan kutukan politik atas PKI sebagai “ekstrem kiri”). Alasan pemerintah
menerapkan kebijakan ini adalah karena khawatir terhadap potensi mereka di
dalam memobilisasi umat untuk mengembalikan percaturan politik liberal praDemokrasi Terpimpin.279 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Orde
Baru masih menganggap Islam sebagai kekuatan yang dapat “mengganggu”
jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mencegah
kembalinya para pemimpin politik Islam dalam aktivitas politik. Tindakan
pemerintah Orde Baru ini pada akhirnya kembali menimbulkan kekecewaan
kepada para pemimpin politik Islam.
Peristiwa politik lainnya yang menunjukkan upaya serius kalangan Islam
untuk merealisasikan cita-cita politiknya adalah usaha pengakuan Piagam Jakarta
sebagai dasar negara. Untuk merealisasikan cita-cita ini, pada tahun-tahun 1968
dan 1969, partai-partai Islam menyelenggarakan “Hari Peringatan Piagam
Jakarta” yang diselenggarakan setiap tanggal 22 Juni. Penyelenggaraan kegiatan
ini mendapat respons yang besar dari umat Islam. Isu mengenai Piagam Jakarta ini
mendorong kekuatan-kekuatan Islam kembali merapatkan barisan setelah
sebelumnya mengalami keretakan. Bersatunya umat Islam menjadi penting agar
pengajuan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dapat terlaksana dengan mudah.
Selain itu, dengan bersatunya umat Islam, sebagaimana mereka bersatu ketika
memberangus PKI, maka umat Islam dapat memberikan “tekanan” kepada
pemerintah untuk mengabulkan keinginannya.
Pada Sidang MPRS, 25-28 Maret 1968, pemimpin politik Islam berusaha
keras memasukkan Piagam Jakarta ke dalam agenda keputusan Sidang Umum
MPRS 1968 Komisi II. Akan tetapi usaha ini mendapat penentangan keras dari
kelompok PNI, Kristen, dan wakil ABRI. Ketiga kelompok ini, yang pada masa279
Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 168
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
masa sebelumnya juga menentang Piagam Jakarta, ternyata tidak mengalami
perubahan sikap walaupun mereka telah menyaksikan peran umat Islam dalam
memberangus PKI. Perbenturan antara yang menuntut dan menolak Piagam
Jakarta dalam Komisi itu mengakibatkan persidangan menemui jalan buntu.
Melihat kenyataan itu, para wakil pemimpin politik Islam mengusulkan diadakan
pemungutan suara untuk menentukan keputusan akhir. Namun, usulan dari
kelompok Islam itu ditolak PNI.280 Akibat tidak adanya kesepakatan yang dicapai
mengenai hal ini, masa persidangan diperpanjang, tetapi kemajuan yang berarti
masih tidak bisa dicapai.281 Sampai persidangan ditutup oleh Nasution pada 31
Maret 1968, permasalahan ini tetap tidak menemukan penyelesaian.
Setelah perjuangan pengakuan Piagam Jakarta dalam persidangan Komisi
II dan Komisi III MPRS tidak berhasil sampai SU MPRS ditutup, maka wakilwakil partai Islam dari NU, PSII, dan Parmusi menemui Soeharto.282 Dalam
pertemuan itu wakil-wakil partai Islam mengemukakan keinginannya agar
pemerintah menjadikan aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik
resmi negara. Akan tetapi keinginan itu ditolak oleh Soeharto. Soeharto kemudian
menegaskan dalam Kongres Veteran pada April 1968 bahwa dia tidak bersedia
melaksanakan usul-usul dasar yang tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.283
Penolakan Soeharto terhadap gagasan pengakuan Piagam Jakarta
nampaknya dilandasi keyakinan bahwa perjuangan Orde Baru harus bebas dari
politik yang didasarkan kepada ideologi. Konflik ideologi pada masa-masa
sebelumnya, menurut pemerintah Orde Baru mengakibatkan kehancuran ekonomi.
Oleh karena itu, menurut Mohtar Mas’oed, seiring dengan slogan “ekonomi
sebagai panglima”, para intelektual Orde Baru mengajukan argumen tentang
280
PNI menolak usulan kelompok Islam ini dengan alasan “untuk mencegah akibat-akibat
yang tidak diinginkan”. Lihat Nazarudin Syamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali
Press, 1984, 177
281
Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 82.
282
Dalam menanggapi seruan vokal yang menghendaki dihidupkannya kembali Piagam
Jakarta, Letjen Soeharto, mengundang kelompok Islam dan meminta penjelasan bagaimana
Piagam tersebut dilaksanakan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Pertemuan tersebut
menghasilkan pembentukan tim ad hoc di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Deliar Noer, ketua
Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), dengan tugas merumuskan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Sayangnya sampai sekarang konsep tersebut tidak pernah muncul. Lihat Din
Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001
283
Cahyono, Peranan Ulama, hal. 73-74
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari ideologi.284 Namun
demikian, alasan penolakan pengakuan Piagam Jakarta dikarenakan semata-mata
alasan kekhawatiran konflik ideologi masih harus dipertanyakan. Artinya,
penolakan itu tidak hanya didasarkan kekhawatiran munculnya konflik ideologi
yang dapat menyebabkan terganggunya ekonomi, melainkan juga dikarenakan
terdapat alasan-alasan lain, seperti islamophobia di kalangan pejabat Orde Baru.
Kegagalan perjuangan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pandangan
di kalangan umat Islam, baik di kalangan Islam modernis dengan Islam
tradisionalis maupun di antara kalangan Islam modernis sendiri. Sebagian
kalangan berupaya memaksakan usaha pengakuan Piagam Jakarta ini. Adapun
beberapa kalangan Islam modernis berpendapat bahwa usaha pemberlakuan
Piagam Jakarta dalam situasi politik yang tidak mendukung usaha tersebut
merupakan usaha yang sia-sia. Sementara itu terdapat pandangan lain yang
menyatakan bahwa perjuangan menegakkan negara Islam merupakan khayalan
ideologis belaka.285
Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin umat Islam terus terjadi pasca
kegagalan pengakuan kembali Piagam Jakarta. Sebagian kalangan tetap bersikeras
berusaha melakukan upaya tersebut. Akhirnya, pada 25 Oktober 1972, Mintaredja
menghadap Presiden Soeharto, dengan mengatasnamakan seluruh umat Islam,
memberi kepastian kepada Presiden bahwa Piagam Jakarta pasti tidak akan
disinggung dalam sidang MPR bulan Maret 1973.286
Usaha lain yang dilakukan para pemimpin politik Islam untuk
merealisasikan
cita-cita
politik
Islam
adalah
pembentukan
Majelis
Permusyawaratan Islam (MPI). Pembentukan institusi politik ini tidak kalah
menariknya dengan rehabilitasi Masjumi dan usaha pengakuan Piagam Jakarta
dalam SU MPRS karena seluruh elemen kekuatan politik Islam yang ada pada
waktu itu menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan
tidak adanya satu pun organisasi massa Islam yang menolak pembentukan forum
bersama umat Islam Indonesia.287 Sekali lagi nampak bahwa umat Islam ketika
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES,
1989, hal. 132
285
Hefner, Civil Islam, hal. 173
286
Cahyono, Peranan Ulama, hal. 77-78
287
Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 89
284
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
berusaha merealisasikan keinginannya mereka menunjukkan kekompakan dan
persatuannya. Kekompakan umat Islam dan besarnya massa umat Islam ini
menjadi alasan yang kuat bagi adanya kekhawatiran pemerintah Orde Baru.
Ide pembentukan Majelis Permusyawaratan Islam berawal dari himbauan
yang dilontarkan oleh Harian Operasi, 10 Juni 1968, tentang perlunya dibangun
Majelis Pimpinan Perjuangan Umat Islam Indonesia. Himbauan itu bergayung
bersambut dengan seruan Jenderal Nasution dalam harian Duta Masyarakat, 17
Juni 1968, yang juga mendesak dibentuknya Majelis Permusyawaratan Islam.
Kedua himbauan itu akhirnya membangkitkan gairah tokoh-tokoh Islam untuk
menyelenggarakan forum yang dinamakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII).
Rencananya KUII akan dihadiri oleh seluruh organisasi dan partai Islam yang ada
di Indonesia dengan agenda kesatuan langkah dan program bersama dalam
menyambut Orde Baru. Akan tetapi harapan diselenggarakannya KUII yang
diharapkan sebagai momentum awal kebangkitan Islam pada masa Orde Baru
menjadi gagal total karena tidak diizinkan pemerintah.288
Pemerintahan
Soeharto
secara
sistematis
melakukan
usaha-usaha
peminggiran Islam politik dalam kancah politik nasional Indonesia. Sepanjang
periode tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah juga meminggirkan simbolsimbol Islam seperti terlihat dalam kebijakan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan mengenai penghapusan libur bulan Ramadhan dan larangan
pemakaian jilbab di sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta.289
Peminggiran Islam politik pada masa Orde Baru mencapai puncaknya
pada tahun 1985. Pada tahun itu pemerintah memberlakukan undang-undang
organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang berakibat kepada hilangnya
partai Islam.290 Undang-undang itu mewajibkan semua organisasi masyarakat dan
partai politik untuk menggunakan asas Pancasila sebagai asas organisasinya.
Dengan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, maka Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang dianggap sebagai perwakilan partai Islam tidak bisa
lagi mengklaim dirinya sebagai partai Islam. PPP yang sebelumnya eksklusif
Ibid., hal. 89-90
Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran
Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. xii
290
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999, hal. 50
288
289
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
untuk umat Islam dipaksa pemerintah menjadi partai terbuka untuk semua
golongan.
Islam politik yang dianut oleh para pemimpin politik Islam mengakibatkan
umat Islam berada pada posisi marginal dalam perpolitikan Orde Baru. Indikasi
paling nyata semakin merosotnya posisi politik umat Islam dapat dilihat dari
hampir tidak adanya jabatan strategis negara yang dipegang oleh tokoh-tokoh
yang memiliki latar belakang “gerakan Islam”. Dalam empat kabinet Orde Baru,
sedikit sekali Muslim santri yang diangkat menjadi menteri. Sementara itu,
berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah banyak yang tidak
mengakomodasi aspirasi umat Islam.291 Dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan, pemerintah tidak melibatkan elit-elit partai Islam.292 Keadaan tidak
mengenakkan ini tentu saja membawa intelektual Islam pada masa awal
pemerintahan Orde Baru berusaha mencari cara agar masalah ini tidak terus
berlarut-berlarut. Karena bagaimana pun juga umat Islam merupakan golongan
mayoritas di Indonesia, sehingga umat Islam harus berperan dalam membangun
bangsa Indonesia.
Dari berbagai peristiwa politik di atas sangat jelas menunjukkan bahwa
pemerintah Orde Baru yang baru berkuasa tidak berpihak kepada agenda politik
umat Islam. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto
memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing
kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang
nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua
pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partaipartai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal
menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang
Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di
Majelis Konstituate mengenai masa depan konstitusi Indonesia), serta pada tahun
1968 (SU MPRS), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali
disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”. Selain berhasil dikalahkan
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 143-142 dan Karim, Negara dan Peminggiran, hal.
117
292
Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 170. Lihat juga M. Rusli Karim, Islam dan Konflik
Politik Era Orde Baru, Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992, hal. 8
291
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara
simbolik, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai
menentang ideologi negara Pancasila.293 Keadaan itu tentu saja menimbulkan
kekecewaan, bahkan perlawanan keras sebagian umat Islam, terutama kalangan
Islam politik.
Keadaan terpinggirnya Islam politik ini, menurut Rusli Karim294,
menimbulkan dua reaksi umat Islam. Reaksi pertama adalah reaksi yang bersifat
negatif, yaitu munculnya berbagai pergerakan berlebihan, oposisi terhadap
pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan
agama. Tindakan seperti ini makin membuka peluang bagi pemerintah untuk
menekan umat Islam. Reaksi yang kedua adalah munculnya “kreativitas” untuk
mencari jalan keluar dari “kebuntuan” Islam politik. Reaksi semacam ini terutama
dilakukan oleh kelompok cendekiawan dan intelektual Muslim. Kegiatan ini
ternyata kemudian memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong
pemerintah untuk mengambil sikap akomodatif terhadap Islam.
Dengan demikian, kejatuhan Islam politik (dalam arti politik formal) di
Indonesia tidaklah menyebabkan Islam kehilangan elan vital dalam kerja
intelektual.295 Nurcholish Madjid yang ketika itu sebagai salah satu intelektual
muda Islam berusaha mencari cara agar umat Islam dapat berperan aktif dalam
membangun bangsa. Menurut Nurcholish Madjid pentingnya umat Islam berperan
aktif dalam membangun bangsa Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam, sehingga dalam pemikiran Nurcholish Madjid
kemajuan bangsa Indonesia juga berarti kemajuan umat Islam.
Keadaan politik yang tidak mengenakkan umat Islam pada masa Orde
Baru berbanding terbalik dengan keadaan nyata umat Islam di lapangan. Artinya
keadaan elit politik umat Islam yang mendapat tekanan dari pemerintah sangat
berbeda dengan keadaan umat Islam secara umum. Dalam pengamatan Nurcholish
Madjid umat Islam pada masa awal Orde Baru mengalami perkembangan yang
293
Effendy, Islam dan Negara, hal. 2-3
Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 50-51
295
Ahmad Syafii Maarif, “Pengaruh Gerakan Modern Islam Indonesia terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia Dewasa Ini”, dalam Akmal Nasery B., Percakapan
Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. III, Bandung: Mizan,
1991, hal. 49
294
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
sangat pesat, terutama dari segi jumlah pengikut.296 Daerah-daerah yang dulunya
kurang mengenal Islam secara baik, kemudian menjadikan Islam sebagai agama
utamanya, di samping agama-agama lain yang sudah ada. Selain itu Nurcholish
Madjid juga melihat meningkatnya perhatian kalangan menengah atas kepada
Islam. Hal itu terlihat, misalnya, dalam pengamalan kehidupan beragama mereka
sehari-hari ataupun dalam pernyataan dan sikap mereka yang resmi.297
Pengamatan Nurcholish Madjid ini dapat ditemukan pada kasus Pasuruan. Dua
tahun pasca peristiwa 30 September 1965, orang-orang Jawa di wilayah Pasuruan
meningkat perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan keislaman di masjid, seperti
salat berjamaah dan pengajian, karena dengan cara itu tuduhan sebagai komunis
menjadi berkurang.298
Namun demikian, terdapat perbedaan antara kasus masyarakat biasa, kasus
Pasuruan misalnya, dengan kasus mahasiswa. Apabila masyarakat meningkatkan
ibadahnya terhadap Islam dikarenakan sebuah ketakutan dicap sebagai komunis,
maka dikalangan mahasiswa hal itu terjadi dengan sendirinya (sukarela). Artinya,
peningkatan ibadah dalam kalangan mahasiswa tidak memiliki kaitan langsung
dengan ketakutan dicap sebagai komunis melainkan dikarenakan peningkatan
pengajaran pelajaran agama di universitas-universitas sekuler. Di ITB (Institut
Teknologi Bandung) misalnya, sebelum peristiwa 30 September, mahasiswa yang
melakukan salat Jumat digelari “Unta Arab”.299 Setelah peristiwa 30 September,
gelar tersebut tidak ditemukan lagi karena terjadi peningkatan perhatian
mahasiswa terhadap Islam.
296
Namun demikian Nurcholish Madjid juga mengkritik umat Islam Indonesia yang lebih
mementingkan jumlah (kuantitas) daripada mutu (kualitas). Lihat Nurcholish Madjid, “Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 205. Kritikan Nurcholish
Madjid tersebut sebenarnya untuk mendorong umat Islam agar tidak terpaku dengan banyaknya
jumlah umat Islam saja (mayoritas jumlah) tetapi sebaliknya umat Islam harus meningkatkan mutu
atau kualitasnya. Dengan meningkatnya kualitas umat Islam maka umat Islam dapat berperan aktif
dalam pembangunan bangsa Indonesia.
297
Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi
Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1993, cet. V, hal. 204
298
Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik,
(Penerjemah A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad), Yogyakarta: LkiS, 1999, hal. 359
299
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 518
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Sementara itu, Nurcholish Madjid melihat para tokoh dan pemimpin umat
Islam masih saja terlibat dalam konflik-konflik politik yang berkepanjangan dan
melelahkan dengan sesamanya atau dengan pemerintah. Sedang di pihak lain,
muncul perkembangan-perkembangan baru yang menuntut adanya pemikiran
alternatif baik di bidang agama maupun sosial politik. Dalam pandangan
Nurcholish Madjid, partai dan organisasi-organisasi Islam justru tidak peka
terhadap adanya perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat.300
Nurcholish
Madjid,
dalam
pidatonya
tanggal
2
Januari
1970,
menyimpulkan bahwa dia merasa yakin bahwa Islam tidak mungkin lagi akan
mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkan diwujudkan dalam jalur
partai politik praktis. Dalam kaitan ini, untuk menjaga kepentingan dan
kesinambungan perkembangan umat, dia menyerukan “Islam Yes, Partai Islam,
No” sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebutnya
“sekularisasi”.301 Dengan nada bertanya, Nurcholish Madjid mengajukan
pendapatnya:302
Sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasiorganisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali
tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga
perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no!
Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak
diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang
dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan
pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil,
kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil
membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada adalah image
sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya,
makin lama makin menanjak).
Nurcholish Madjid juga mengkritik kecenderungan para tokoh Islam pada
waktu itu yang telah “mensakralkan” institusi-institusi profan seperti partai Islam,
ideologi Islam, dan gagasan negara Islam. Menurut Nurcholish Madjid yang
sakral hanyalah Allah semata, sedangkan persoalan lain seperti negara Islam,
partai Islam, dan ideologi Islam tidaklah sakral, karena Alquran maupun Hadis
tidak memerintahkan hal tersebut.
300
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 48
301
Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 173
302
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 205
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Gagasan Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan nama Islam
kultural.303 Pemberian nama Islam kultural nampaknya ingin mengkontraskan
dengan Islam politik. Namun demikian, kemunculan Islam kultural sebenarnya
bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif304
atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan,
revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru.
Dengan adanya Islam kultural diharapkan umat Islam tidak mengalami
peminggiran lagi dalam aktifitas pembangunan bangsa Indonesia. Umat Islam
diharapkan berperan aktif dalam membangun Indonesia karena sebagaimana yang
dikatakan Nurcholish Madjid maju dan mundurnya Indonesia akan mendatangkan
keuntungan maupun kerugian bagi umat Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena
mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.
Kemunculan Islam kultural dapat disebut sebagai langkah strategis untuk
menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam dan umat Islam. Rusli Karim
menyebutkan ada empat faktor yang mendorong kemunculan Islam kultural
sebagai suatu gerakan pembaruan di Indonesia.305 Pertama, kemerdekaan yang
dicapai bangsa Indonesia pada tahun 1945 telah menghilangkan sekat-sekat bagi
umat Islam sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan warga
negara lainnya. Kedua, sebagai hasil dari sosialisasi nilai modern melalui
“pendidikan umum” telah “membuka mata” umat Islam untuk lebih realistik
dalam
menghadapi
realitas
kehidupan
sekarang
ini.
Ketiga,
sebagai
kesinambungan dari pencapaian pembaruan yang telah dirintis oleh kelompok
modernis sepanjang abad ke-20. Keempat, sebagai realisasi dari tanggung jawab
303
Dikarenakan makalah yang dibacakan oleh Nurcholish Madjid pada tanggal 2 Januari
1972 memuat tentang pembaruan di kalangan umat Islam maka pada awalnya makalah itu dikenal
sebagai makalah pembaruan sehingga sebagian kalangan kemudian menyebutnya sebagai gerakan
pembaruan. Namun demikian, terdapat juga sebagian kalangan, seperti Fachry Ali dan Bahtiar
Effendy, yang menyebutnya dengan istilah gerakan “pemikiran baru”. Pada tahun 1980-an,
gerakan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan istilah Islam
kultural. Lihat catatan kaki nomor 9 Bab I
304
Menurut Maswadi Rauf dikarenakan kemungkinan perdebatan hubungan Islam dengan
politik tidak akan selesai, maka yang akan muncul paling-paling berbagai alternatif (pemikiran)
yang dihasilkan oleh pemikir Islam, bukan sebuah kesepakatan. Lihat Maswadi Rauf, “Kata
Pengantar, Islam dan Politik: Sebuah Debat Yang Tidak Pernah Selesai”, dalam Ahmad Suhelmi,
Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta:
Darul Falah, 1999, hal. viii
305
Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 196
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
agama yang bertumpu kepada iman yang benar dan pemahaman yang cukup
terhadap berbagai aspek ajaran Islam.
Penulis sendiri melihat ada beberapa faktor yang mendorong munculnya
Islam kultural, yaitu pertama, keterbelakangan umat Islam di Indonesia akibat
dari sikap konfrontasi dengan pemerintah yang dilakukan oleh gerakan Islam
politik. Dalam hal ini, umat Islam harus mengalami peminggiran dalam politik
karena sikap penentangan kepada pemerintah, seperti misalnya dalam kabinetkabinet awal pemerintahan Soeharto golongan Islam hanya diwakili oleh beberapa
menteri saja. Kedua, kebuntuan gerakan Islam politik di Indonesia. Sebagaimana
yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, perjuangan Islam politik
dalam membentuk negara Islam berulang kali menemukan kegagalan. Ketiga,
kegagalan demi kegagalam Islam politik dalam perjuangan pengakuan Piagam
Jakarta (pembentukan negara Islam). Keempat, tekanan keras dari pemerintah
terhadap setiap kegiatan Islam politik. Kelima, usaha untuk melibatkan umat
Islam dalam pembangunan bangsa Indonesia secara aktif.
4.2 Islam Kultural dalam Konsepsi Nurcholish Madjid
Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan salah satu komponen yang
membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Dalam hal ini,
Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam. Yang paling
penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam,
yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.306
Menurut Nurcholish Madjid ada beberapa kata kunci dalam pendekatan
kultural (Islam kultural) yang ditawarkannya, yaitu pertama yang dimaksud
dengan tawaran kultural itu tidak semata-mata menunjuk hal-hal sempit dan
partisan, misalnya politik dan ideologi semata, tetapi kultural dalam format yang
meliputi segala-galanya. Kedua, itu berarti harus responsif terhadap tantangan
zaman. Artinya Islam harus tampil responsif terhadap tantangan zaman sehingga
tidak ada istilah akhir perjalanan. Ketiga, harus merupakan hasil dialog dengan
tuntutan-tuntutan ruang dan waktu, misalnya untuk Indonesia, Islam harus
melakukan dialog dengan tuntutan di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat
semacam kesejajaran, jika tidak kesatuan, antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
306
Effendy, Islam dan Negara, hal. 16
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Islamic values dengan Indonesian values itu sebetulnya tidak bisa dipisahkan.
Dan ini sebenarnya sudah menjadi kenyataan nasional kita, misalnya istilah
perpolitikan yang berasal dari Islam: musyawarah, mufakat, rakyat, dewan,
hukum, tertib, aman, masalah, dan sebagainya. Keempat, ekslusivisme itu harus
diakhiri, diganti dengan inklusivisme, serba meliputi siapa saja.307
Gagasan Islam kultural untuk pertama kali termuat dalam makalah
pembaruan Nurcholish Madjid yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 1970 di
Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta. Dalam
makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat” itu termuat beberapa pokok pemikiran atau gagasan Nurcholish
Madjid. Di sini hanya akan dibicarakan tema “sekularisasi” dan slogan “Islam
Yes, Partai Islam No”, karena dua tema tersebut merupakan tema sentral yang
berkaitan dengan gagasan Islam kultural.
Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk
menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi (profan), dan
melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan
kata lain, sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi
terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Illahiah
(transendental), yaitu dunia ini.308 Apapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti
nilai-nilai dan benda-benda, harus didesakralisasikan. Sedangkan yang harus
disakralisasikan hanya Allah.309
Namun demikian, dalam makalahnya itu Nurcholish Madjid tidak secara
jelas menyebutkan contoh apa saja yang harus dikenai konsep sekularisasinya itu.
Dia hanya menyebutkan secara umum, seperti benda-benda dan nilai-nilai yang
ada di dunia ini tanpa menjelaskan atau menyebutkan benda apakah atau nilai
apakah yang harus disekularisasikan. Selain itu, Nurcholish Madjid juga tidak
307
Wawancara Majalah MATRA, “Tidak Usah Munafik!”, No. 77 Desember 1992
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208
309
Gagasan Nurcholish Madjid ini hanya menyangkut satu sisi ajaran Islam saja, yaitu
teologi (kalam). Gagasannya ini tidak menyinggung masalah fiqh, misalnya, dikarenakan dia
beranggapan bahwa fiqh itu mengandung masalah khilafiyah (masalah yang diperselisihkan
hukumnya) yang mendorong umat untuk bertengkar dalam soal-soal yang tidak prinsipil
(furu’iyah). Dalam kasus Islam Indonesia dapat dilihat perselisihan pengikut Muhammadiyah
dengan NU dikarenakan masalah doa Qunut dalam salat Subuh. Padahal, Qunut sendiri merupakan
permasalahan furu’iyah dalam agama Islam.
308
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
secara tegas menyebutkan nilai-nilai yang telah diukhrawikan oleh umat Islam.310
Ketidakjelasan inilah yang nampaknya mendorong munculnya kritikan keras
kepada Nurcholish Madjid.
Salah
satu
tujuan
sekularisasi
Nurcholis
Madjid
adalah
menyentuhtanahkan (me-landing-kan) ajaran-ajaran agama sehingga sambung
dengan kehidupan nyata dan menjadi relevan dengan ruang dan waktu.311 Dengan
demikian, sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mengubah umat Islam menjadi
sekularis, melainkan untuk memantapkan tugas duniawi manusia sebagai
“khalifah Allah di bumi”. Tugas sebagai khalifah Allah itu pada gilirannya
memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan
memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan
hidupnya di bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya
tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Allah.312
Artinya,
setelah
manusia
diberikan
kebebasan,
maka
ia
harus
mempertanggungjawabkan kebebasannya itu. Sebaliknya, apabila manusia tidak
memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu untuk hidupnya, bagaimana
mungkin dia akan diminta pertanggungjawabannya.313
Walaupun demikian, sekularisasi, menurut Nurcholish Madjid, memang
dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi
paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara.314 Tapi, ini bukanlah satusatunya arti istilah sekularisasi. Arti lainnya ialah yang bersifat sosiologis, bukan
filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah.
Nurcholish Madjid, dengan mengutip Parsons, menunjukkan bahwa sekularisasi,
310
Contoh beduk dan kain sarung (yang duniawi) yang harus dipisahkan dari sahnya salat
yang ukhrawi, itu kabarnya soal yang sudah dipecahkan bapak-bapaknya Hamka dahulu kala.
Lebih lengkapnya lihat “Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41
311
Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret
1983 dengan judul “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”. Surat tersebut kemudian
dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik
Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 21
312
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207
313
Konsep mengenai “kebebasan” manusia ini dalam Islam melahirkan berbagai macam
aliran Kalam (teologi), seperti aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Murjiah, As’ariyah, dan
lain sebagainya. Dengan melihat konsep “kebebasan” Nurcholish Madjid tersebut, kemungkinan
besar dia lebih dekat kepada konsep “kebebasan” yang dianut oleh aliran Qadariyah atau
Mu’tazilah.
314
Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran
Islam di Kanvas Peradaban, (Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008), hal.
2968
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
sebagai suatu bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada
pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek
kehidupannya. Hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam
norma-norma dari nilai kemasyarakatan itu. Bahkan, proses pembebasan dari
takhayul itu bisa semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan
logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.315
Nurcholish Madjid juga menyebutkan pandangan Robert N. Bellah tentang
sekularisasi.316 Ketika Bellah mengemukakan ciri-ciri masyarakat Islam Klasik
(zaman Nabi dan al-Khulafâ al-Rasyidûn) yang dia nilai sebagai sebuah
masyarakat modern, Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural Islam Klasik
yang relevan dengan argumennya (bahwa Islam Klasik itu modern), yaitu
monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, devaluasi
radikal, atau sekularisasi pranata kesukuan Arab Jahiliyah, dan, akhirnya sistem
politik demokratis. Untuk jelasnya, mengenai sekularisasi itu, Robert N. Bellah
mengatakan bahwa Islam Klasik telah melakukan “devaluasi radikal dan orang
dibenarkan menyebutnya sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada
berhadapan dengan hubungan antara Allah dan manusia yang sentral itu. Di atas
segalanya hal ini berarti pencopotan pranata kesukuan atau perkeluargaan
(kinship), yang telah menjadi pusat kesucian Arabia sebelum Islam, dari makna
sentralnya”. Dengan kata lain, proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi”,
dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain
berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman
Jahiliyah pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka.
Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka
“sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan
bid’ah, khurafat, dan praktik syirik lainnya317 yang kesemuanya itu berlangsung di
bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969
Ibid.
317
Konsep sekularisasi Bellah yang mempunyai makna pemberantasan bid’ah, khurafat,
dan syirik memiliki kesamaan dengan agenda Muhammadiyah pada awal pendiriannya, yaitu
pemberantasan terhadap penyakit-penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Jadi, konsep
sekularisasi Bellah yang “dipinjam” oleh Nurcholish Madjid ini sebenarnya hanya mengulangi apa
yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dahulu. Hanya saja Muhammadiyah tidak
menggunakan istilah “sekularisasi” melainkan langsung menggunakan istilah TBC.
315
316
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
agama. Dengan demikian, menurut Nurcholish Madjid sekularisasi seperti itu,
seperti pandangan sosiologis Bellah, adalah konsekuensi dari tauhid. Tauhid
sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi ridlâNya, dan hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi
kehidupan manusia. Hal ini tidak salah, bahkan sesuai dengan pengertian
sosiologis Bellah tersebut, sebab pengertian itu mengandung makna pengalihan
sakralisasi dari suatu objek alam ciptaan (makhluq) ke Tuhan Yang Maha Esa.
Pranata kesukuan, seperti disebut Bellah, hanyalah salah satu dan merupakan yang
terpenting dari rasa kesucian Jahiliyah. Tetapi sesungguhnya, orang-orang Arab
Jahiliyah yang mensucikan atau menyembah objek lain, kesemuanya itu, dalam
pandangan Islam, termasuk manifestasi politeisme (syirik). Sedangkan yang
Mahasuci hanyalah Tuhan (subhanallah). Karena hanya Tuhan yang sakral, maka
seluruh kegiatan, untuk bisa mendapatkan maknanya yang hakiki, harus hanya
ditunjukkan kepada-Nya semata. Dengan implikasi orientasi kegiatan demi
kebenaran (al-Haqq), secara tulus dan ikhlas.318
Pandangan sekularisasi Nurcholish Madjid yang mendasarkan pada
konsep tauhid, mengesakan Tuhan, menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak
mutlak di dunia ini karena hanya Allah saja yang mutlak. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid ini merupakan
konsekuensi pemahaman radikal atas konsep tauhid.
Namun demikian, banyak intelektual Muslim yang mengkritik keras
konsep sekularisasi Nurcholish Madjid tersebut. Beberapa di antaranya dengan
tegas menyatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid tidak ada
bedanya dengan sekularisme. Untuk membantah kritikan dari orang-orang yang
menyatakan
bahwa
tidak
ada
perbedaan
antara
“sekularisasi”
dengan
“sekularisme”, Nurcholish Madjid menyebutkan definisi yang diberikan oleh
Harvey Cox mengenai “sekularisasi” dan “sekularisme”, yaitu:319
Sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan
mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda,
tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang
318
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969-2970
Nurcholish Madjid, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam
Islam”, dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,
Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 218
319
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dimaksudkan. Namun, di manapun ia timbul, ia harus dibedakan dari
sekularisme... Sekularisasi adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan
sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia
baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru.
Jadi, penggunaan kata “sekularisasi” dalam sosiologi mengandung arti
pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian yang tidak pada tempatnya.
Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan
kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan:320
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab
secularism is the name for an ideology, a new closed world view which
function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan
ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini
diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak
sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana
yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hirarki nilai itu
sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa
kecuali.
Menurut Nurcholish Madjid penggunaan istilah sekularisasi sama dengan
penggunaan istilah sosialisasi. Sosialisasi tidak selalu berarti penerapan
sosialisme. Islam sendiri pada awalnya bearti proses sekularisasi total terhadap
segala kepercayaan animistis yang menganggap benda dan alam sebagai wadah
bagi sukma atau sakti-sakti yang harus dihadapi dengan hormat, dan karena itu
menghambat orang yang ingin
mengeksploitasinya tanpa
menghubung-
hubungkannya dengan agama.321
Dengan pernyataannya itu, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa
terdapat perbedaan yang jelas antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme
adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari
agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan
duniawi ini.322 Dengan penegasan itu, Nurcholish Madjid ingin membantah
tuduhan sebagian kelompok yang menuduhnya menganut atau menyebarkan
paham sekularisme. Tetapi, walaupun Nurcholish Madjid dengan tegas dan
gamblang telah menjelaskan apa yang dia maksud dengan sekularisasi, tuduhan
itu tetap ada, bahkan bukan melunak melainkan bertambah keras.
320
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207
“Fikiran-Fikiran Stensilan”, Tempo, 15 April 1972, hal. 30
322
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968
321
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sekularisme dalam perspektif Islam
merupakan perwujudan modern dari paham dahrîyah,323 seperti diisyaratkan
dalam al-Qur’an, Q.45:24:
‫ن ُه ْﻢ‬
ْ ‫ﻋ ْﻠ ٍﻢ ِا‬
ِ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫ﻻاﻟ ﱠﺪ ْه ُﺮ َوﻣَﺎَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑ َﺬِﻟ‬
‫ﺤﻴَﺎ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻬِﻠ ُﻜﻨَﺎ ِا ﱠ‬
ْ َ‫ت وَﻧ‬
ُ ‫ﺣﻴَﺎ ُﺗﻨَﺎ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َﻧ ُﻤ ْﻮ‬
َ‫ﻻ‬
‫ﻰ ِا ﱠ‬
َ ‫َوﻗَﺎُﻟﻮْا ﻣَﺎ ِه‬
‫ن‬
َ ‫ﻈ ﱡﻨ ْﻮ‬
ُ ‫ﻻ َﻳ‬
‫ِا ﱠ‬
Mereka berkata, “Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja—kita mati dan
kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Tapi, mereka
sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah
menduga-duga saja. Jadi lanjut Nurcholish Madjid sangat jelas bahwa
sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.324 Karena
sekularisme tidak memercayai hari Akhir atau kehidupan di Akhirat nantinya.
Tapi, meskipun pengertian sosiologis sekularisasi itu sudah cukup banyak
digunakan para ahli ilmu-ilmu sosial, Nurcholish Madjid mengakui bahwa masih
tetap terdapat kontroversi di sekitar istilah itu. Hal ini dicerminkan oleh adanya
perdebatan dan polemik di sekitar buku Harvey Cox, Secular City. Kesulitan
timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat
sekularisme sebagai suatu ideologi yang secara khusus bersemangat antiagama.
Karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam
makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme
filosofis. Inilah yang agaknya menjadi dasar penolakan Rasjidi atas penggunaan
istilah sekularisasi oleh Nurcholish Madjid. Jika benar dugaan ini, maka keberatan
Rasjidi, lanjut Nurcholish Madjid, “cukup beralasan dan dapat diterima,” yaitu
“jika sekularisasi memang tak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa
Enlightenment Eropa.”325
Kaum Dahriyah meyakini tidak ada kehidupan di akhirat nanti. Artinya, kaum
Dahriyah hanya meyakini kehidupan di dunia ini saja. Selain itu, mereka juga tidak meyakini
adanya pencipta alam semesta ini, Allah SWT. Pada masa Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, kaum Dahriyah ini pernah mewarnai perdebatan teologi Islam. Diceritakan mereka
berkeliling dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya untuk menantang ulama berdebat
mengenai paham yang dianutnya itu. Sedemikian cerdasnya mereka dalam berdebat sehingga tidak
ada satu pun ulama pada masa itu yang sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh kaum Dahriyah ini. Akhirnya, Imam Abu Hanifah lah yang mampu menjawab semua
pertanyaan kaum Dahriyah dan mematahkan semua argumen penguat paham mereka itu.
324
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968
325
Ibid., hal. 2970
323
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Dikarenakan
perdebatan
yang
berkepanjangan
mengenai
istilah
sekularisasi, maka ketika Nurcholish Madjid kembali dari Chicago pada tahun
1984, dia tidak pernah lagi menggunakan istilah sekularisasi tersebut. Dalam
suratnya yang ditulis pada 29 Maret 1983 kepada Mohamad Roem, Nurcholish
Madjid
menyatakan
penyesalannya:
“memang
disesalkan
bahwa
dalam
mencetuskan gagasan itu saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer,
seperti “sekularisasi”, yang secara etimologis belum mantap dan sampai sekarang
masih tetap kontroversial.”326 Menurut penulis perdebatan yang terjadi memang
patut disesalkan karena perdebatan itu banyak menghabiskan waktu dalam hal
istilah saja, sementara isi atau substansi gagasan Nurcholish Madjid, yaitu
pembebasan umat Islam dari pensakralan terhadap partai politik Islam dan konsep
negara Islam, menjadi “terlupakan” atau “terabaikan”.
Kesimpulannya, menurut Nurcholish Madjid terdapat perbedaan cukup
prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis.
Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi”, dan
“sekularisme” itu, maka dia berkata “adalah bijaksana untuk tidak menggunakan
istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah
teknis lain yang lebih tepat dan netral.”327
Tujuan gagasan sekularisasi ini dirumuskan antara lain adalah untuk
menyasar politik umat Islam. Diharapkan gagasan sekularisasi itu mampu
menghindarkan
umat
Islam
dari
“pemujaan”
terhadap
partai
Islam.328
Sebagaimana diketahui partai Islam pada masa awal Orde Baru dan masa-masa
sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk mewujudkan berbagai
aspirasi umat Islam. Padahal, partai Islam pada masa itu mengalami tekanan yang
kuat dari penguasa karena dianggap dapat menghalangi pembangunan. Selain itu,
para pemimpin partai Islam tidak banyak berbuat dalam memberantas korupsi
yang berkembang. Bahkan, menurut Nurcholish Madjid, reputasi umat Islam di
326
Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2970-2971
328
Nurcholish Madjid berharap akan tercipta suatu efek yang meruntuhkan monopoli dan
konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di tangan para
pemimpin partai Islam. Sebab seringkali terjadi, kata Nurcholish Madjid, muncul “pemberhalaan”
hasil interpretasi manusia atas ajaran-ajaran agama yang berarti menyamakan status (hasil
pemikiran itu) dengan agama itu sendiri. Lihat Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 34. Lihat juga
Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam
Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 79-80
327
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
bidang korupsi makin lama makin meningkat.329 Akibat gagasan sekularisasinya
itu partai Islam tidak lagi menjadi sakral dalam Islam.
Menurut Nurcholish Madjid pandangan apa adanya terhadap dunia, baik
material maupun non material, merupakan suatu kewajaran dikarenakan
pandangan itu merupakan konsekuensi logis dari tauhid (Pengesaan Tuhan).
Artinya, pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus
melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan
masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.330
Dengan demikian, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid
berarti pembebasan tatanan sosio kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan.
Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai etis. Akan
tetapi, tidak berarti agama kehilangan signifikansinya dalam kehidupan duniawi.
Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan arah dan orientasi, sekaligus
makna hidup serta legitimasi terhadap tertib sosial.331
Dalam pengertian inilah, Nurcholish Madjid melihat sekularisasi dalam
bentuk kehidupan politik harus dilakukan, mengingat di satu pihak situasi politik
Orde Baru menuntut adanya perubahan dalam bidang tindakan dan perilaku emosi
umat Islam, yang mana idealisme akan adanya integrasi antara agama dan politik
merupakan sesuatu yang tidak realistis dan utopis, bahkan hanya akan membawa
kepada kejumudan dan kemacetan pemikiran umat.332 Kondisi umat Islam,
menurut Nurcholish Madjid, sudah tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai
yang disangkanya Islami, mana yang bersifat transenden dan mana yang bersifat
temporal. Bahkan lebih jauh lagi, umat Islam menjadikan sesuatu yang seharusnya
tidak sakral menjadi sangat sakral, seperti perlakuan terhadap partai politik yang
menjadi salah satu sasaran pembaruan Nurcholish Madjid.
Gagasan sekularisasi ini membawa implikasi kepada penolakan terhadap
gagasan partai Islam dan negara Islam. Banyak orang yang salah paham terhadap
rumusan
Nurcholish
Madjid
ini.
Menurut
Bahtiar
Effendy
sumber
329
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 118
330
Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208
331
Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 174
332
Ibid., hal 175. Lihat juga Saiful Muzani, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”,
PRISMA, No. 1, Tahun XXII, 1993, hal. 76 dan Goenawan Muhammad dalam kata pengantar
buku Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. xiii
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
kesalahpahaman orang-orang tersebut berasal dari ketidaksediaan melihat
rumusan Nurcholish Madjid itu dalam konteks pemikiran di atas. Jika pikiran
dasar di atas diikuti, maka soal “Islam Yes, Partai Islam, No” sama sekali tidak
menyiratkan pemahaman atau anjuran bahwa Nurcholish Madjid anti partai Islam.
Yang ingin dikatakannya sebenarnya adalah orientasi dan loyalitas umat Islam
hendaknya tetap kepada ajaran Islam, bukan kepada partai politik atau institusi
Islam.333 Dengan kata lain tujuan Nurcholish Madjid menyerukan slogan “Islam
Yes, Partai Islam No” adalah agar semua orang bisa mengaku Islam dengan
bebas.334
Selain itu, menurut Fachry Ali, dengan konsep sekularisasi Nurcholish
Madjid berharap akan tercipta efek yang dapat meruntuhkan monopoli dan
konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di
tangan para pemimpin partai Islam.335 Nurcholish Madjid juga berharap dengan
sosialisasi konsep sekularisasi itu terjadi pemencaran kekuasaan yang
memberikan dasar pembenaran bagi siapa pun untuk merasakan dirinya sebagai
seorang Muslim walaupun ia tidak pernah berhubungan dengan ideologi dan
partai-partai yang secara formalitas bersimbol Islam.336 Walaupun Nurcholish
Madjid mengakui bahwa umat Islam masih terpaku pada simbol, yaitu harus
mendirikan mesjid, naik haji, dan simbol yang lain.337
Pada saat diwawancarai oleh majalah Tempo tahun 1986, Nurcholish
Madjid
kembali
menegaskan
pendapatnya
mengenai
sekularisasi.
Dia
mengatakan:
Yang saya maksudkan dengan itu (sekularisasi—penulis) sebenarnya
adalah bahwa tidak ada yang sakral, kecuali Allah. Desakralisasi, inilah
yang saya maksud dengan sekularisasi. Nah, partai Islam itu tidak sakral,
karena itu salah argumen yang mengatakan bahwa kalau tidak mencoblos
333
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, demokrasi, dan negara
yang tidak mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005, hal. 231
334
“Berani Benar, Juga Berani Salah”, Wawancara Majalah D & R, No. 05/XXVII/14
September 1996
335
M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam
Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002, hal. 161. Lihat juga Ali,
Golongan Agama, hal. 79-80.
336
Ridwan, Gagasan Nurcholish, hal. 161-162
337
Nurcholish Madjid, “Presiden Mendatang Tidak Akan Mampu Menjadi Pilot”, Forum
Keadilan, No. 26, Th. IV, 8 April 1996
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
partai Islam dalam pemilu, maka kita bukan Islam. Karena itu, saya dulu
berseru, “Islam, Yes, Partai Islam, No.”338
Dengan tidak sakralnya partai politik, maka umat Islam bebas memilih
partai apa saja asalkan memperjuangkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan,
toleransi, keterbukaan, saling menghargai, dan lain sebagainya. Umat Islam tidak
perlu merasa kurang keislamannya apabila tidak memilih partai Islam. Dengan
tidak dibatasinya umat Islam dalam memilih partai, maka tidak ada lagi
pengkotak-kotakan partai. Artinya, semua partai bisa dimasuki oleh umat Islam.
Dengan demikian, dakwah Islam dapat menyentuh semua golongan. Umat Islam
dapat berdakwah di mana saja tanpa bisa dibatasi sehingga Islam menjadi milik
semua.339
Sebaliknya, manuver-manuver yang dilakukan oleh politikus yang hanya
mencari keuntungan dalam partai politik, yang di kalangan Islam politik partai
dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk memperjuangkan kepentingan umat
Islam, menurut Nurcholish Madjid, melemahkan ukhuwah Islamiyah di kalangan
umat Islam.340 Para politikus itu hanya mengambil kesempatan untuk mencari
keuntungan dan jabatan. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka itu, tidak
jarang mereka melakukan tindakan-tindakan yang justru mengakibatkan
perpecahan di kalangan umat Islam.
Sementara itu, penolakan terhadap gagasan negara Islam pertama kali
dimunculkan oleh Nurcholish Madjid dalam ceramahnya pada tanggal 30 Oktober
1972 di Taman Ismail Marzuki.341 Menurut Nurcholish Madjid, gagasan negara
Islam yang pernah sangat kuat di masa lalu adalah kecenderungan yang bersifat
apologetik. Sikap apologetik itu tumbuh dari dua sisi. Pertama pertumbuhannya
adalah apologi kepada ideologi-ideologi Barat, seperti demokrasi, sosialisme,
komunisme, dan lain sebagainya. Apologi kepada ideologi-ideologi tersebut
menimbulkan adanya apresiasi yang bersifat ideologis politis kepada Islam (Islam
338
339
“Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juni 1986, hal. 61
“Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal.
57
340
Stephen C. Headley, Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion, and Community in
Central Javanese Islam, Singapore: ISEAS Pulications, 2004, hal. 34
341
Pada tahun 1972 sampai tahun 1974, Nurcholish Madjid melakukan perjalanan ke
berbagai daerah di Indonesia. Setelah itu, dia menjadi lebih yakin bahwa telah tepat waktunya
untuk melakukan kritikan langsung terhadap tradisi pemikiran politik-keagamaan Islam modernis,
termasuk kalangan eks-Masyumi. Lihat Taufik Abdullah, dkk., (editor), Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, Jilid ke-5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hal. 453
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Politik), sehingga membawa kepada cita-cita negara Islam.342 Lebih lanjut
Nurcholish Madjid menegaskan:
“Saya berpendapat bahwa Islam bukanlah ideologi, meskipun ia malah
seharusnya berfungsi sebagai sumber ideologi para pemeluknya. Tetapi
Islam sendiri terbebas dari keterbatasan-keterbatasan sebuah ideologi yang
sangat memperhatikan konteks dan ruang waktu itu. ...Pandangan
langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan
agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada.”343
Adapun yang kedua adalah legalisme. Legalisme ini menumbuhkan
apresiasi serba legalistis kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang
menggambarkan bahwa Islam adalah struktur dan kumpulan hukum.344 Menurut
Nurcholish Madjid legalisme ini merupakan kelanjutan dari fiqhisme.345
Nurcholish menegaskan:
“Fiqhisme ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakangerakan reformasinya pun, umumnya, masih memusatkan sasarannya ke
bidang itu. Maka, negara Islam itu pun suatu apologi, di mana umat Islam
berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan hukum-hukum lainnya.
Padahal sudah jelas, bahwa fiqh itu, meskipun telah ditangani oleh kaum
reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman
sekarang.”346
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menegaskan bahwa konsep negara Islam
tersebut merupakan distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama.
Menurutnya negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang memiliki
dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang
dimensinya spiritual dan pribadi.347 Dikarenakan kedua hal tersebut, negara dan
agama, berbeda maka pendekatan yang digunakan untuk kedua hal tersebut juga
berbeda.
Menurut Nurcholish Madjid inti ajaran Islam adalah iman, dan bahwa
iman mengandung arti apresiasi ketuhanan atau pengalaman keagamaan yang
342
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam
Indonesia,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 253
343
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999,
hal. 46-47
344
Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255
345
Fiqh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang
mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan
rakyat yang amat banyak. ...Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syariat. Lihat
Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255
346
Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255
347
Ibid., hal. 255-256
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menyangkut nilai-nilai pribadi yang paling dalam, dan bahwa semua itu berada
dalam fitrah atau kejadian kemanusiaan seseorang, maka iman atau penghayatan
keagamaan itu amat individual. Ia harus tumbuh dari pilihan merdeka. Ia dapat
berbeda pada tiap orang serta tidak dapat dipaksakan dari luar. Ia tersimpan secara
sempurna dalam lubuk hati atau budi nurani seseorang. Karena itulah, menurut
Nurcholish Madjid, tidak bisa ditempuh cara-cara kolektif dalam menjajagi
keagamaan seseorang. Karena itu pula, menurut Nurcholish Madjid, negara
sebagai pelembagaan dari kolektivitas tertentu “tidak mungkin menempuh
dimensi spiritual guna mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya
sehingga negara merupakan suatu kekuasaan rohani”.348 Walaupun di pihak lain
Nurcholish Madjid mengingatkan sesuatu yang penting pula bahwa “antara agama
dan negara hanya harus dibedakan, dan tidak mungkin dipisahkan”, sebab
“keduanya bertemu dalam individu, dan melalui individu-individu warganegara,
terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi dan sikap batin beragama
dengan kegiatan atau sikap lahir bernegara.”349 Jadi, agama dengan wahyu
membangun manusia melalui kejadian individualnya, dan kemudian manusia
dengan akalnya membangun dunia atau negara melalui watak sosialnya.
Negara dan agama dalam Islam tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam
melakukan
setiap
kegiatan,
termasuk
dalam
kegiatan
bernegara
dan
bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencapai ridla Allah, dengan
iktikad sebaik-baiknya dan melaksanakan amal perbuatan setepat-tepatnya. Tidak
ada sedikit pun kegiatan seseorang, walaupun hanya seberat atom, yang tidak akan
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.350
Sebutan “Negara Islam” yang formalistik, menurut Nurcholish Madjid,
tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi sendiri maupun para penggantinya selama
berabad-abad, dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat hanya
sebagai gejala di zaman modern ini saja.351 Kemunculan istilah itu bisa diteliti
dalam kaitannya dengan bentuk interaksi umat dengan golongan-golongan lain,
dan akan jelas bahwa ide itu, apalagi sebutan formalnya, adalah suatu variabel
348
“Kuliah Nurcholish Madjid”, Tempo, 2 Desember 1972, hal. 28
Ibid.
350
Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 1168
351
Kompas, “Lebih Jauh dengan Nurcholish Madjid”, 3 November 1985
349
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
historis-sosiologis, bukan esensi agama Islam itu sendiri.352 Oleh karena itu,
bentuk formal tatanan kenegaraan bagi kaum muslimin bisa bermacam-macam,
asalkan tatanan itu memberi ruang bagi terlaksananya cita-cita dasar Islam.353
Dialihkannya pemikiran umat Islam oleh Nurcholish Madjid dari Islam
politik kepada Islam kultural bertujuan agar umat Islam dapat berperan aktif
secara kultural dalam pemerintahan Orde Baru. Selain itu, gagasan Islam kultural
Nurcholish Madjid merupakan cara ampuh dalam merespons kondisi perpolitikan
Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak memberikan kesempatan kepada Islam
politik untuk berkembang dalam merealisasikan cita-citanya. Dengan gagasannya
ini, menurut A. Satori Ismail, perjuangan umat Islam menjadi tidak terbatas hanya
dalam politik saja melainkan tersebar ke berbagai bidang lainnya seperti dakwah,
pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.354
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam tidak memerlukan sebuah
negara Islam dan bahwa “sekularisasi”—proses pembedaan aturan yang
ditetapkan oleh wahyu dari apa yang dirancang oleh manusia—merupakan suatu
keharusan.355
Proses
pembedaan
itu
penting
agar
umat
Islam
tidak
mencampuradukkan masalah duniawi, yang membutuhkan penalaran akal, dengan
masalah ukhrawi. Apabila umat Islam sudah mampu membedakan hal itu,
diharapkan mereka mampu menghadapi setiap tantangan dunia modern yang
dihadapinya. Artinya, jika umat Islam dapat membedakan urusan dunia sebagai
urusan yang dirancang manusia maka apabila umat Islam menemukan kendala
atau tantangan dalam kehidupan di dunia, misalnya kondisi politik umat Islam
pada masa Orde Baru, mereka dapat segera memikirkannya dan menemukan
solusi bagi kendala dan tantangan itu.
Walaupun dengan tegas Nurcholish Madjid menyatakan bahwa konsep
negara Islam tidak ada dalam ajaran Islam, tetapi dia menyatakan bahwa dalam
Islam, agama dan negara tidak terpisahkan, namun tidak berarti bahwa antara
keduanya itu identik. Karena itu agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak
terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan: tidak terpisah, namun berbeda! Karena
352
Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 28
Ibid, hal. 29
354
Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputat, 10 Juni 2010
355
Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, penerjemah: Rofik
Suhud, Bandung: Mizan, 1998, hal. 68
353
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
itu, dari sudut pandangan Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara
sekular (artinya, bukan negara yang menganut sekularisme berupa pemisahan
negara dari agama) dan bukan pula negara teokrasi (artinya, bukan negara yang
kekuasaannya dipegang oleh para pendeta, rohaniwan, atau ecclesiatics, ahbâr
ruhbân), dapat dibenarkan.356
Dalam pandangan Nurcholish Madjid negara dan agama, dalam Islam,
tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam melakukan setiap kegiatan, termasuk
kegiatan bernegara dan bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencari
ridha Allah, dengan iktikad sebaik-baiknya dan pelaksanaan amal perbuatan
setepat-tepatnya. Tidak ada sedikitpun kegiatan seseorang, walaupun hanya
seberat atom, yang tidak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.357
Nurcholish Madjid kemudian mengutip ayat Alquran yang menegaskan bahwa
seluruh anggota tubuh manusia khususnya yang berkaitan dengan kemampuan
kognitif, yaitu akal budi (al-fu’ad) akan dimintai pertanggungjawabannya atas
pilihan-pilihan yang dilakukannya, yaitu ayat yang berbunyi:
‫ﻻ‬
ً ‫ﺴ ُﺆ‬
ْ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻣ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻚ َآﺎ‬
َ ‫ﺼ َﺮ وَا ْﻟ ُﻔﺆَادَ ُآﻞﱡ ُاوْﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﺴ ْﻤ َﻊ وَا ْﻟ َﺒ‬
‫ن اﻟ ﱠ‬
‫ﻚ ﺑِﻪ ﻋِ ْﻠ ٌﻢ ِا ﱠ‬
َ ‫ﺲ َﻟ‬
َ ‫ﻒ ﻣَﺎَﻟ ْﻴ‬
ُ ‫ﻻ َﺗ ْﻘ‬
َ ‫َو‬
Dan janganlah engkau mengikuti satu perkara yang tidak ada padamu
pengetahuan mengenainya. Sebab, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati nurani semuanya akan dimintai tanggung jawab tentang perkara itu. (QS.
17:36).358
Ayat tersebut di atas juga, menurut Nurcholish Madjid, dengan jelas
menuntut manusia (umat Islam) untuk mengadakan kajian dan kajian kembali
terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang kita anut, agar dengan begitu kita bisa
menganut dengan penuh tanggung jawab di hadapan Pengadilan Tuhan kelak, dan
di hadapan pengadilan sejarah dalam kehidupan sekarang.359 Artinya, suatu nilai
atau norma yang dianut oleh umat Islam harus senantiasa dikaji dan dianalisis
kembali. Karena, apabila umat Islam berhenti mengkaji nilai-nilai dan norma-
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992,
hal. cxi
357
Ibid.
358
Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di
Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta:
Harian Umum Pelita, 1985, hal. 220
359
Madjid, “Sekitar Usaha”, hal. 220
356
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
norma yang dianutnya, umat Islam telah memutlakkan nilai-nilai dan normanorma itu. Padahal kemutlakan hanya milik Allah.
Sebagai khalifah (“wali pengganti” atau “duta”) Allah di bumi, manusia,
melalui masing-masing pribadi dan perorangannya, berbuat dan bertindak “atas
nama Allah” (bi ism Allah—bi-‘smi-‘al-Lâh—bismillah”), sebagai penegasan
kepada diri sendiri dan penyadarannya bahwa pekerjaan yang hendak
dilakukannya itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah yang telah
memberinya “mandat” sebagai khalifah di bumi.360 Maka ia harus melaksanakan
pekerjaannya setulus-tulusnya, sebaik-baiknya, dan setepat-tepatnya, dengan
ihsân dan itqân.361
Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan pekerjaan dengan sebaikbaiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah dan keinginan
mencapai ridla atau perkenan-Nya tersebut, seseorang harus memperhatikan
hukum-hukum obyektif yang menguasai pekerjaannya, lahir dan batin. Hukumhukum obyektif itu, yang dalam peristilahan Islam disebut Sunnatullah (Sunnat
al-Lâh—Hukum atau Ketentuan Allah), menyatakan diri dalam apa yang seharihari disebut hukum alam untuk benda-benda mati dan hukum sejarah untuk
kesatuan rentetan pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial.362
Karena Sunnatullah itu merupakan gejala nyata sekeliling hidup manusia,
maka dapat dikatakan semua peradaban berusaha memahaminya. Usaha
memahami Sunnatullah itu menghasilkan falsafah (segi spekulatifnya) dan ilmu
pengetahuan (segi empiriknya). Maka untuk melaksanakan perintah Allah dalam
Alquran agar kita memahami Sunnatullah itu, kita diberi petunjuk oleh Nabi
s.a.w. agar kita belajar dari siapa saja, “sekalipun ke negeri Cina.” Nabi s.a.w.
360
Di dalam Alquran disebutkan empat macam sifat manusia, yaitu: pertama, manusia
adalah makhluk terpilih (QS. Thaha: 122). Kedua, sebagai khalifah Allah di bumi (QS. AlBaqarah: 30). Ketiga, diberikan kepercayaan melaksanakan amanat yang semua mahkluk tidak
bersedia (sanggup) menerimanya (QS. Al-Ahzab: 72). Keempat, untuk melaksanakan itu semua,
manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat pun tidak tahu (QS. AlBaqarah: 31). Lihat Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1991,
hal. 75
361
Ihsân adalah bekerja sebaik-baiknya guna mencapai tujuan yang optimal, tidak
setengah-setengah, adapun itqân adalah membuat segala sesuatu yang kita lakukan atau kita buat
menjadi sebaik-baiknya, meniru dan sejalan dengan sifat Allah. Lihat Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. cxi-cxii
362
Ibid., hal. cxii
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
juga menegaskan bahwa “Hikmah (yakni, setiap kebenaran dalam falsafah, ilmu
pengetahuan, dll.) adalah barang hilangnya kaum beriman. Oleh karena itu, siapa
saja yang menemukannya hendaknya ia memungutnya.” Beliau juga berpesan
agar kita memungut hikmah kebenaran, dan tidak akan berpengaruh buruk kepada
kita, dari bejana apapun hikmah kebenaran itu keluar. Bahkan Nabi s.a.w. sendiri,
menurut suatu penuturan, memberi contoh dengan mengirim beberapa sahabat
beliau ke Judishapur, Persia, guna belajar ilmu kedokteran dari kaum Hellenis di
sana.363
Itulah dasar pandangan bahwa urusan dunia (umûr al-dunyâ), seperti
masalah kenegaraan, berbeda dari urusan agama (umûr al-dîn), meskipun antara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Sebab sementara dalam urusan dunia kita boleh,
malah dianjurkan Nabi, untuk belajar kepada siapa saja, dalam masalah agama
kita harus hanya berpegang kepada sumber-sumber suci, baik Kitab ataupun
Sunnah. Seperti sudah diuraikan, menciptakan sendiri “agama” atau “ibadat”
adalah sebuah bid’ah atau “kreatifitas” yang terkutuk, sementara menciptakan
suatu urusan dunia yang baik, sebagaimana antara lain banyak dicontohkan oleh
tindakan ‘Umar bin Khattab, seperti penunjukan beberapa orang sahabat (6 orang)
yang bertugas memilih penggantinya sebagai Khalifah umat Islam, adalah
dihargai sebagai kreatifitas atau “bid’ah” yang baik (bid’ah hasanah).364
Gagasan Nurcholish Madjid itu merupakan bagian dari strategi kultural,
dan karena itu sangat tidak memberi tempat kepada tujuan-tujuan sesaat. Islam
Kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid merupakan allocative
politics, yang diartikulasikan dengan cara mensubstansiasikan nilai-nilai dan etika
keislaman secara inklusif di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan
bernegara.365 Dia mengatakan, “insya Allah, kalau sudah diterima sebagai
keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan menyatakan
diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat, sehingga nanti Indonesia tumbuh
sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya
masalah keyakinan, tapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia
363
Ibid., hal. cxiii
Ibid., hal. cxiii-cxiv
365
Sukidi, “Cak Nur Tidak Goyah”, Kompas, 14 Februari 1999
364
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
itu kan mayoritas Islam.”366 “Karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam,”
lanjut Nurcholish Madjid, “maka nilai yang paling baik mewarnai adalah nilai
Islam.”367
Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam,
Nurcholish Madjid secara tegas menentang gagasan negara islam. Gagasan
Nurcholish Madjid ini menitikberatkan pada usaha pembaruan keagamaan dan
etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok
masyarakat di luar umat islam. Dengan menempatkan diri sebagai reformis dan
modernis gaya baru, Islam kultural menentang pemisahan yang tegas, yang dibuat
oleh kaum reformis sebelumnya yang menjauhi kaum Jawa abangan, kaum mistik
sufi, kaum intelek sekuler, dan kaum Kristen. Banyak di antara mereka yang aktif
berdialog dengan orang Kristen dan sesekali dengan orang Hindu.368
Nurcholish Madjid mengatakan:
Karena itu kini bangsa Indonesia sangat comfortable dengan gagasan
mereka berkenaan dengan hubungan antara agama dan negara yang
didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu antara seluruh golongan.”369
Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi Nurcholish Madjid
negara Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia, sehingga umat Islam
tidak perlu mendirikan negara Islam. Yang paling penting, kata Nurcholish
Madjid, adalah bagaimana setiap undang-undang yang disusun di DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai keislaman.
Dengan Islam kultural maka Pancasila dapat diterima dengan damai oleh
umat Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat, pemikiran Nurcholish Madjid telah
menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima Pancasila sebagai asas
organisasinya merasa “lebih damai karena menemukan kebenaran”.370 Lebih jauh
dikarenakan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut umat Islam, menurut Tempo,
366
Nurcholish Madjid, “Menatap Islam Masa Depan”, dalam Edy A. Effendi (editor),
Islam dan Dialog Budaya., Jakarta: Puspa Swara, 1994, hal. 43
367
Nurcholish Madjid, “Orang Tidak Bicara Tentang Negara Islam Lagi”, Pikiran Rakyat,
Sabtu, 20 Juli 1985, hal. 6
368
Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES,
1988, hal. xxvii
369
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 21
370
“Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juli 1986, hal. 57
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
sekarang tidak segan-segan menyatakan keislamannya tanpa mengaitkan dirinya
dengan gagasan negara Islam atau partai Islam.371
Nurcholish Madjid mengatakan bahwa prinsip-prinsip politik Islam secara
universal telah memperoleh wujud lokalitasnya di Indonesia, yaitu Pancasila.
Nurcholish Madjid berusaha menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah,
yakni sebagai common platform antar berbagai kelompok masyarakat dan
agama.372
Menurut Nurcholish Madjid, umat Islam dibenarkan menerima Pancasila
sebagai dasar negara. Penerimaan itu didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu
pertama nilai-nilai yang tercakup di dalam Pancasila dibenarkan atau sesuai
dengan ajaran agama Islam, kedua fungsinya sebagai nuktoh-nuktoh kesepakatan
antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.373
Namun demikian, terdapat sumber-sumber pandangan etis yang meluas
dan dominan, yang secara sangat potensial bisa menjadi ragi pandangan etis
bangsa secara keseluruhan, dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah etika
Pancasila. Yaitu, pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling
baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bahasa Indonesia; kedua, etika
kemodernan yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern,
dan yang introduksinya kepada bangsa kita, sayangnya, dimulai oleh kaum
penjajah melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan dan yang sampai kini
sebagian besar sistemnya masih bertahan; kemudian, ketiga, etika Islam sebagai
anutan rakyat merupakan agama paling luas menyebar di seluruh tanah air, dan
yang peranannya diakui para ahli sebagai perata jalan untuk tumbuhnya pahampaham maju dan modern di kalangan rakyat kita, khususnya dalam bentuk paham
persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada
371
“Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal.
62
372
Nurcholish Madjid, dengan menggunakan istilah lain, mengatakan bahwa Pancasila
dan UUD 1945 adalah social contract yang mengikat seluruh masyarakat untuk mendirikan
sebuah negara. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 76
373
Madjid, Cita-cita Politik, hal. 56-58
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau huku (pengaruh
langsung sistem syariah), dan weltanschauung yang lebih bebas dari takhayul.374
Jika etika itu bisa dikembangkan, lalu bisa disemaikan lebih subur pada
kalangan generasi muda bangsa dengan suatu metode yang lancar, wajar, alamiah,
dan tanpa provokasi politik yang di negara berkembang selalu bersifat rawan dan
peka itu, maka, menurut Nurcholish Madjid, tidak mustahil Indonesia akan benarbenar ditopang oleh pandangan etis yang sehat dan kuat, sebanding dengan
Amerika Serikat yang ditopang dengan etika WASP (White Anglo Saxon
Protestan).375 Artinya, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat Qur’ani
yang secara tegas menerima yang ma’ruf dan menolak yang mungkar.376 Dan
dengan begitu kita dibenarkan, lanjut Nurcholish Madjid, memandang Indonesia
sebagai sebuah “Negara Muslim”, sama dengan bagaimana Pak Natsir
memandang Amerika Serikat sebagai “Negara Kristen”.377
4.3 Sumber Pemikiran Nurcholish Madjid
Setelah menguraikan konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish
Madjid tibalah saatnya untuk mengetahui darimana Nurcholish Madjid
“mengambil” gagasannya itu. Sebuah pemikiran tidak mungkin berdiri sendiri. Ia
merupakan hasil dari proses pengolahan terhadap keadaan-keadaan yang ada di
masyarakat serta perenungan dan analisis mendalam terhadap pemikiranpemikiran yang telah ada sebelumnya. Setelah melalui proses tersebut, barulah
seseorang, seperti Nurcholish Madjid, mampu merumuskan gagasannya. Oleh
karena itu, tidak ada pemikiran yang benar-benar berdiri sendiri atau benar-benar
baru. Ia pasti memiliki kaitan dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya.
Dengan melihat konsep Islam kultural yang dirumuskan, terutama
mengenai istilah “sekularisasi”, oleh Nurcholish Madjid terlihat jelas bahwa dia
banyak mengutip pendapat-pendapat ilmuwan Barat, seperti Robert N. Bellah,
Harvey Cox, dan Talcot Parsons. Nurcholish Madjid banyak merujuk definisi
374
Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 22 Juni
1983 dengan judul “Saya tak Rela Peran Pak Natsir Dikecilkan”. Surat tersebut kemudian
dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik
Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 75
375
Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79
376
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, penerjemah Hairus Salim HS dan Imam
Baehaqy, Yogyakarta: LkiS, 1993, hal. 28
377
Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
sekularisasi dari ilmuwan Barat karena istilah sekularisasi memang muncul dari
sana. Oleh karena itu, pengambilan istilah sekularisasi dari Barat merupakan hal
yang biasa dan wajar. Namun demikian, secara keseluruhan Nurcholish Madjid
nampaknya banyak dipengaruhi oleh seorang ilmuwan Islam yang banyak
mengkritik ilmuwan lainnya yang dia anggap “menyimpang” dari Alquran dan
Hadis, yaitu Ibn Taimiyah.378
Dalam surat bertanggal 29 Maret 1983 yang dikirimkan kepada Mohamad
Roem ketika dia berada di Amerika Serikat, Nurcholish Madjid dengan jelas
menyatakan, “saya tertarik kepada Ibn Taimiyah karena peranannya yang sering
dipandang sebagai leluhur doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan
pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang
liberalistik.”379 Dengan pernyataannya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan
besarnya pengaruh Ibn Taimiyah bagi gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam.
Pengaruh Ibn Taimiyah tersebut tidak hanya terbatas pada gerakan fundamentalis
saja, melainkan gerakan liberal yang ada di dunia Islam.
Dengan menyatakan besarnya pengaruh Ibn Taimiyah ini bagi gerakangerakan pembaruan di dunia Islam, Nurcholish Madjid secara tidak langsung
menunjukkan bahwa Ibn Taimiyah juga mempengaruhi dirinya. Karena, hampir
378
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10
Rabiulawal 611/22 Januari 1263-Damaskus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Dia
merupakan pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaru abad ke-8 H/ke-14 M, berasal dari
keluarga cendekiawan. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim adalah seorang ahli hadis dan ulama
terkenal di Damaskus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syekh
Majuddin Abdus Salam juga adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemukapemuka dalam Mazhab Hambali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu).
Profesinya sebagai penulis ditekuninya sejak usia 20 tahun. Tulisan-tulisannya banyak bernada
kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena
menurutnya bertentangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Sebagai penulis, dia termasuk sangat
produktif. Hasil karyanya berjumlah 500 jilid, di antaranya yang terkenal adalah Kitâb ar-Radd
‘Alâ al-Mantiqiyyîn (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik), Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah
(Metode Sunnah Nabi), Majmû ‘al-Fatâwâ (Kumpulan Fatwa), Ikhlâs ar-Râ’i wa ar-Râ’iyat
(Keikhlasan Pemimpin dan Yang Dipimpin), dan lain sebagainya. Sebagian besar aktifitasnya
diarahkan kepada usaha untuk memurnikan paham tauhid, membuka kembali pintu ijtihad yang
telah lama dinyatakan tertutup, dan menghidupkan pemikiran-pemikiran salaf serta menyeru untuk
kembali berpegang kepada Alquran dan Hadis. Corak pemikiran Ibn Taimiyah bersifat empiris,
sehingga dia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris, prinsip
pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran.
Untuk lebih lengkapnya lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994, hal. 168-171
379
Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29
Maret 1983 dengan judul Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang. Surat tersebut
kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat
Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 13
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
semua kalangan di Indonesia sepakat bahwa Nurcholish Madjid merupakan sosok
pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Bahkan, Majalah Tempo memberikan
gelar “Sang Penarik Gerbong” kepada Nurcholish Madjid.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan keyakinannya bahwa jika
umat Islam, khususnya mereka yang merasa menganut atau diilhami oleh pikiranpikiran Ibn Taimiyah, mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual Ibn
Taimiyah, dapat diharap akan banyak diketemukan jalan keluar dari berbagai
kemacetan pemikiran zaman sekarang ini. Jalan keluar itu, dari berbagai segi,
akan memiliki tingkat keotentikan yang tinggi, yang bakal membawa umat Islam
memasuki abad modern dan berpartisipasi di dalamnya secara mantap tanpa
banyak halangan doktrinal.380
Pernyataan Nurcholish Madjid ini secara tidak langsung “mengecilkan”
peran ulama atau intelektual besar Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh
besar bagi perkembangan dunia Islam, seperti Imam Ghazali, Ibn Rusyd, Imam
Muslim, dan lain sebagainya. Bahkan lebih jauh dapat dikatakan dengan
menyatakan bahwa “jalan keluar yang dihasilkan oleh Ibn Taimiyah memiliki
tingkat keotentikan yang tinggi” Nurcholish Madjid telah “terjebak” dalam
pengagungan yang berlebihan terhadap Ibn Taimiyah. Karena, dengan pernyataan
itu akan timbul anggapan bahwa jalan keluar yang dihasilkan oleh ilmuwan atau
ulama Islam lainnya “kurang” otentik atau minimal di bawah “standar”
keotentikan Ibn Taimiyah.
Bentuk pengagungan terhadap Ibn Taimiyah itu kemudian tersimpulkan
dalam pernyataan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa, “Ibn Taimiyah
adalah seorang intelektual besar yang nampaknya tidak banyak dipahami, padahal
intelektualismenya itu baik sekali dicontoh dan dikembangkan lebih lanjut.”381
Kekaguman Nurcholish Madjid yang besar terhadap Ibn Taimiyah kemudian
diwujudkannya dalam bentuk disertasi yang khusus membahas tentang Ibn
Taimiyah, yaitu Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and
Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal
dan Wahyu dalam Islam).
380
381
Ibid.
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Karena pengagungan terhadap Ibn Taimiyah sedemikian rupa dilakukan
oleh Nurcholish Madjid maka tidaklah mengherankan apabila banyak pemikiranpemikiran Ibn Taimiyah yang secara keseluruhan mempengaruhi pemikiran
Nurcholish Madjid.382
Salah satu pengaruh Ibn Taimiyah terhadap Nurcholish Madjid adalah
konsep sekularisasinya. Walaupun dia banyak mengutip definisi sekularisasi dari
ilmuwan Barat, karena konsep itu memang datang dari Barat, semangat atau dasar
dari sekularisasinya itu berasal dari pemikiran Ibn Taimiyah tentang “kerelatifan
manusia”. Dengan relatifnya manusia, maka apapun yang dihasilkan oleh manusia
tidak memiliki sifat mutlak. Artinya, pemikiran-pemikiran manusia akan terus
berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Menurut Ibn Taimiyah, Nabi, sebagai manusia biasa bisa saja salah dalam
kehidupan sehari-harinya, kecuali dalam tugas menyampaikan wahyu.383
Buktinya, menurut Ibn Taimiyah, Allah banyak menegur Nabi Muhammad.384
Pendapat
Ibn
Taimiyah
ini
kemudian
mempengaruhi
pemikiran
Nurcholish Madjid yang juga memutlakkan secara total (kulliyah) kepada Allah.
Artinya, dalam pandangan Nurcholish Madjid, sebagaimana juga Ibn Taimiyah,
hanya Allah yang bersifat mutlak, sedangkan selain dari Allah tidak mutlak.
Sebab, bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai
suatu wujud mutlak. Menurut Nurcholish Madjid, tauhid justru mengajarkan
bahwa yang mutlak hanyalah Allah, sehingga Kebenaran Mutlak pun hanya ada
382
Selain Ibn Taimiyah terdapat juga tokoh lain yang banyak mempengaruhi pemikiran
Nurcholish Madjid, terutama mengenai corak pemikiran neo-modernismenya. Tokoh itu adalah
Fazlur Rahman, guru besar pada University of Chicago dalam bidang pemikiran Islam.
383
Ibn Taimiyah menuturkan bahwa menurut sebagian ulama pernah terjadi syetan sempat
membisikkan kepada Nabi s.a.w. untuk mengakui syafa’at burung mitologi, yang kemudian
dikenal dengan “ayat syetan”. Menurut Ibn Taimiyah bunyi ayat itu, dalam bahasa Arab: “Tilka algharânîq al-‘ulâ, wa inna syafâ’atahum laturtajâ” (Itulah burung-burung gharânîq yang mulia,
yang syafa’at mereka pastilah dapat diharap). Tetapi, Allah kemudian menghapus bisikan syetan
itu dari kalbu Nabi, dan berkaitan dengan ini Ibn Taimiyah mengutip firman Allah: “Dan tidaklah
Kami (Allah) utus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad), juga tidak seorang Nabi pun,
kecuali bahwa jika dia (Rasul atau Nabi itu) mempunyai angan-angan (tamannî), maka syetan
akan memasukkan (bisikan jahat) dalam angan-angannya itu. Allah pun kemudian menghapus apa
yang dibisikkan syetan itu, lalu Dia kukuhkan ayat-ayat-Nya. Allah adalah Maha Mengetahui dan
Maha Bijaksana. Agar dengan begitu dia menjadikan apa yang dibisikkan syetan itu sebagai ujian
(fitnah) bagi mereka yang dalam hatinya terdapat penyakit dan yang hatinya keras. Sungguh
orang-orang zalim itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 52-53). Lihat catatan kaki
Madjid, Islam Doktrin, hal. 90
384
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial
Politik Kontemporer, editor: Edy A. Effendi, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 216
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pada-Nya. Maka salah satu sifat atau kualitas Allah ialah Al-Haqq, artinya “Yang
Benar (secara mutlak)”.385
Dengan mengutip Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyebutkan sabda
Nabi bahwa ungkapan yang paling benar dari para penyair ialah ungkapan penyair
Labid, “Alâ kull-u syay’in mâ khalâ ‘l-Lâh-i bâthil-u” (Ingatlah, segala sesuatu
selain Allah adalah palsu).386 Artinya, hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah,
meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi
belaka.387
Dengan pemikiran seperti ini maka akibatnya nilai-nilai, institusi-institusi,
pemikiran-pemikiran, dan lain-lainnya tidak mutlak benar, yang pasti benar
hanyalah Allah. Dengan demikian, gagasan negara Islam dan partai politik juga
tidak mutlak sehingga ia harus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dikarenakan negara dan partai politik tidak mutlak maka manusia dapat selalu
memikirkan apa yang terbaik untuk manusia itu. Justru apabila manusia berhenti
berpikir, dengan alasan bahwa apa yang telah ada itu sempurna, maka manusia itu
telah jatuh syirik (menyekutukan Allah) karena ia telah memutlakkan hasil
pemikirannya. Padahal, hanya Allah saja yang memiliki Kemutlakan.
Oleh karena itu, negara sebagai sesuatu yang tidak mutlak haruslah
senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Yang terpenting
adalah negara itu berguna atau bermanfaat bagi kemanusiaan itu. Dengan
mengutip pernyataan Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyatakan, “Tuhan
menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang
zalim meskipun Islam,” dan “dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun
kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezaliman sekalipun Islam.”388 Dari
pernyataan itu jelas bahwa sebuah negara menganut ideologi apapun tidak
penting, yang penting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keadilan di negara
tersebut.
Dengan demikian, bentuk negara Republik seperti Indonesia tidak
bermasalah. Yang penting di Indonesia dijalankan nilai-nilai keislaman seperti
385
Madjid, Islam Doktrin, hal. lxx
Ibid.
387
Ibid.
388
Ibid., hal. cxvi
386
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
keadilan, kebersamaan, toleransi, persamaan derajat, dan lain sebagainya. Apabila
nilai-nilai keislaman itu telah dilaksanakan maka apapun bentuk negara Indonesia
tidak menjadi permasalahan. Umat Islam tidak wajib lagi mendirikan negara Islam
karena secara tidak langsung negara yang telah melaksanakan nilai-nilai
keislaman itu telah menjadi “Negara Islam”. Hal inilah yang diinginkan oleh
Nurcholish Madjid, yaitu dilaksanakannya nilai-nilai keislaman di Negara
Republik Indonesia.
Pemikiran Ibn Taimiyah, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas,
nyata sekali memengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid. Selain dari Ibn
Taimayah, pemikiran yang sama dengan pemikiran Nurcholish Madjid dan
nampaknya juga mempengaruhi pola pikirnya adalah pemikiran tokoh-tokoh
seniornya di HMI, yaitu H. MS. Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo. Selain itu,
pemikiran Nurcholish Madjid yang menolak gagasan negara Islam juga pernah
dikemukakan oleh salah satu tokoh eks-Masjumi, yaitu Jusuf Wibisono. Hanya
saja Jusuf Wibisono tidak merumuskan secara jelas dan terperinci pemikirannya
itu seperti yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid.
H. MS. Mitaredja adalah salah satu pendiri HMI dan dia menjadi Ketua
Umum Pengurus Besar HMI pertama (1947-1950). Dalam salah satu tulisannya
yang ditulis pada tahun 1968 dia menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah
merupakan hasil buatan manusia dan selanjutnya dia bertanya, “manakah yang
lebih penting Alquran atau Piagam Jakarta?”389 Lebih jauh dia mengatakan,
“apakah artinya berteriak-teriak mengenai Piagam Jakarta, kalau masih banyak di
antara kita melupakan dan meninggalkan pelaksanaan dari isi Piagam Jakarta itu
sendiri.”390 Dengan mengatakan ini, Mintaredja, menurut penulis, nampaknya
ingin menyatakan bahwa tokoh-tokoh Islam sebaiknya melupakan perjuangan
pengakuan Piagam Jakarta. Di samping itu, pernyataan Mintaredja ini, juga
menyiratkan bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keislaman,
bukan bentuk formalitas seperti pengakuan Piagam Jakarta.
Mengenai masalah negara Islam, dia menyatakan bahwa cita-cita negara
Islam tidak dapat diterima karena sejak masa Nabi...istilah “negara” dalam arti
389
H.M. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta:
PT. Septenarius, Cetakan Kedua, 1976, hal. 44
390
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
negara seperti yang kita kenal sekarang, belum pernah ada.391 Mintaredja
menyatakan pemisahan agama dari negara pada dasarnya adalah sama dengan
pemikiran mengenai pemisahan politik dari agama, dan karena itu, menurutnya,
azasnya dikembalikan kepada Hadis yang berbunyi ‘kamu lebih mengetahui
urusan duniamu/keduniaanmu’.392 Lebih jauh dia menyimpulkan “er is toch well
enigzins scheiding tussen staat en kerk in de Islam” (dalam Islam dalam batas
tertentu toh ada juga pemisahan antara Negara dan Gereja).393
Dengan kesimpulannya itu, Mintaredja kemudian meminta agar saudara
seagamanya mengembangkan sikap toleransi terhadap orang yang mempunyai
pemikiran lain, yaitu pemikiran tentang “adanya pemisahan antara negara dan
gereja”. Dia juga meminta agar sesama warga negara Indonesia menghormati
Negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan dan diperjuangkan
bersama.394
Dahlan Ranuwihardjo adalah Ketua Umum Pengurus Besar HMI tahun
1951-1953. Dalam masa kepengurusannya ini sering diadakan diskusi mengenai
hubungan Islam dan negara. Di antara kesimpulan diskusinya itu adalah tidak ada
konsep negara Islam. Nampaknya dari diskusi-diskusi inilah Nurcholish Madjid
mulai mengenal permasalahan hubungan Islam dan negara. Selain itu, Dahlan
Ranuwihardjo juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno yang
menyatakan bahwa dia menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemikiran Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo tersebut dan diskusidiskusi yang diadakan dalam HMI menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish
Madjid juga terdapat dalam tokoh-tokoh seniornya di dalam HMI. Pemikiranpemikiran seniornya itu belum terumuskan secara jelas dan mendetail. Di tangan
Nurcholish Madjid lah kemudian pemikiran-pemikiran itu dirumuskan dengan
lebih jelas dan mendetail.
391
Ibid., hal. 83
Ibid., hal. 89
393
Ibid.
394
Ibid.
392
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB V
RESPONS DAN PENGARUH ISLAM KULTURAL
Nabi SAW pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, bahwa ijtihad
umatnya apabila benar akan memperoleh pahala dua, dan apabila salah akan
memperoleh pahala satu. Sabda Nabi ini menunjukkan betapa pentingnya ijtihad
dalam Islam demi kemajuan umat Islam. Namun demikian, menurut sebagian
ulama tidak semua orang bisa melakukan ijtihad. Artinya dalam melakukan ijtihad
seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan atau persyaratan-persyaratan tertentu,
misalnya menguasai bahasa Arab, ilmu tafsir, dan lain sebagainya. Apabila ia
tidak memiliki persyaratan-persyaratan tersebut, maka ia tidak memiliki
wewenang untuk berijtihad, tetapi cukup bertaklid saja.395
Dengan sabda Nabi di atas, umat Islam, yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad, tidak seharusnya takut atau ragu berijtihad. Ijtihad asal untuk
kepentingan umat Islam akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah. Justru
menjadi tidak baik apabila umat Islam diam saja tidak mau berijtihad ketika ada
permasalahan yang muncul dalam umat Islam.396 Namun demikian, karena ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing orang berijtihad tidak mutlak
sama, maka hasil ijtihadnya pun melahirkan perbedaan. Dengan demikian, wajar
saja apabila ditemukan perbedaan-perbedaan dalam hasil ijtihad, misalnya dalam
fiqh Islam Sunni saja dikenal dengan adanya empat Mazhab yaitu Maliki, Syafi’i,
Hanafi, dan Hambali. Dalam bidang teologi Islam terdapat aliran Al-Asy’ariyah,
Al-Maturidiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Murjiah, Jabariyah, dan lain
sebagainya.
Adapun di Indonesia, ijtihad dalam memahami hubungan Islam dengan
negara juga melahirkan perbedaan pandangan, yaitu munculnya gagasan Islam
politik dan Islam kultural. Perbedaan ini, sekali lagi, merupakan hal yang wajar.
Dalam BAB ini akan nampak berbagai respons terhadap gagasan Islam kultural
Nurcholish Madjid, baik itu respons yang berupa kritikan ataupun dukungan.
Selain pembahasan mengenai respons terhadap Islam kultural, dalam BAB V ini
395
Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan
Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001, hal. 1-3
396
Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputata, 10 Juni 2010
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
132
juga dibicarakan pengaruh gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid terhadap
umat Islam di Indonesia. Dengan membicarakan hal ini dapat diketahui apakah
gagasan Islam kultural memiliki pengaruh kepada umat Islam di Indonesia atau
justru tidak memberikan pengaruh apa-apa.
5.1 Respons Terhadap Islam Kultural
Satu gagasan pemikiran yang “keluar” dari arus utama pemikiran yang telah ada
akan menimbulkan berbagai respons dari berbagai kalangan, terutama kalangan
intelektual. Respons tersebut bisa berupa kritikan, baik yang bernada keras
ataupun tidak, dan juga dukungan. Salah satu gagasan yang banyak menimbulkan
respons dari berbagai kalangan umat Islam di Indonesia adalah gagasan Islam
kultural Nurcholish Madjid yang termuat dalam makalah pembaruannya.
Sebagaimana yang telah penulis bahas dalam BAB IV, konsep
“sekularisasi” atau “desakralisasi” dan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, yang
diproklamirkan pada 2 Januari 1970, serta “apologi negara Islam” pada 30
Oktober 1972, pada intinya menolak pensakralan terhadap sesuatu selain Allah
SWT. Dalam hal ini, partai politik dan konsep negara Islam menjadi sesuatu yang
tidak sakral atau tidak mutlak dalam pandangan Nurcholish Madjid. Hal inilah
yang menyebabkan gagasan Nurcholish Madjid tersebut telah “keluar” dari
pemikiran umat Islam pada umumnya. Karena, umat Islam saat itu meyakini
bahwa partai politik dan negara Islam merupakan sesuatu hal yang wajib
ditegakkan agar kepentingan umat Islam dapat dijalankan.397
Sebaliknya, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa yang terpenting adalah
dilaksanakannya nilai-nilai substansi keislaman, seperti keadilan, kesamaan,
partisipasi, dan musyawarah. Dengan demikian, negara Islam sebagai bentuk
formal perjuangan umat Islam dapat dikesampingkan. Pandangan inilah yang
memancing respons keras umat Islam terhadap gagasannya.
5.1.1 Kritikan Terhadap Islam Kultural
Menurut Mark R. Woodward, besarnya gelombang kritikan terhadap gagasan
sekularisasi
Nurcholish
Madjid
mengindikasikan
banyaknya
kalangan
397
Pada masa sidang BPUPKI, golongan Islam menuntut agar negara mengakui syariat
Islam. Tuntutan ini melahirkan Piagam Jakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan
perjuangan golongan Islam menegakkan syariat Islam atau mendirikan negara Islam sebelum masa
Orde Baru lihat BAB III.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
fundamental di kalangan masyarakat Indonesia.398 Namun, saya berpendapat
bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, besarnya kritikan
terhadap gagasan Nurcholish Madjid dikarenakan gagasannya itu dianggap telah
“keluar” atau “berbeda” dari arus utama pemikiran umat Islam ketika itu. Daud
Rasyid menyatakan munculnya kritikan terhadap gagasan Nurcholish Madjid
dikarenakan pandangan-pandangan Nurcholish Madjid dirasakan mementahkan
persoalan-persoalan yang sudah dianggap mapan dan mempertanyakan hal-hal
yang sudah diyakini sebagai kebenaran.399
Kritikan terhadap gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam
no”, dan penolakan terhadap negara Islam, yang semuanya itu kemudian dikenal
sebagai gagasan Islam kultural, muncul tidak hanya dari kalangan intelektual
satu generasi dengan Nurholish Madjid, tetapi juga dari generasi tua, seperti
Prof. Dr. H.M. Rasjidi, M. Natsir, dan Buya Hamka. Mereka ini dengan caranya
masing-masing melakukan kritikan atau bantahan terhadap gagasan Nurcholish
Madjid tersebut.
Kritikan terhadap slogan “Islam Yes, Partai Islam No” muncul pada 3
November 1970 di Harian Abadi.
400
Dalam harian tersebut, Hermansjah
Nazirun401 menulis bahwa slogan “Islam Yes, Partai Islam No” tidak tepat
diterapkan di seluruh wilayah Indonesia karena sebagaimana yang disebutkan
oleh Nurcholish Madjid hal itu merupakan kasus mahasiswa di ITB (Institut
Teknologi Bandung) dan kota-kota lainnya. Selain itu, menurut Nazirun terjadi
antusiasme yang besar di kalangan mahasiswa dan sarjana untuk terlibat aktif
dalam Parmusi. Hal itu, lanjut Nazirun dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa
yang menjadi pengurus Parmusi di tingkat wilayah (provinsi) sampai ke rantingranting. Oleh karena itu, lanjutnya, “slogan Nurcholish Madjid itu dengan
sendirinya terbantahkan.”
398
Mark R. Woodward, “Modernity and the Disenchantment of Life: A Muslim-Christian
Contrast”, dalam Johan Meuleman (editor), Islam in the Era Globalization: Muslim Attitudes
towards Modernity and Identity, Jakarta: INIS, 2001, hal. 127
399
Daud Rasyid, “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, 2002, hal. vii
400
Hermansjah Nazirun, “Kini Partai Islam Yes!”, Harian Abadi, Selasa, 3 November
1970, hal. 3
401
Hermansjah Nazirun ketika itu adalah anggota Dewan Redaksi Majalah Suara
Muhammadijah. Dia kemudian menjadi anggota DPR periode 2004-2009, dari PAN (Partai
Amanat Nasional).
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Sementara itu, kritikan juga datang dari luar negeri, yaitu dari Arab Saudi.
Kritikan dari Fouad Abdullah M yang dimuat dalam majalah Tempo 12 Agustus
1972 mengatakan:
Bagi kami Sdr Nurcholish Madjid tidak lain memakai Islam sebagai "la
'ibun wa lahwun" sadja (main-main dan iseng-iseng red). Apalagi
disamping Sdr Nurcholish masih ada tokoh-tokoh seperti Dr Sudjatmoko,
Rosihan Anwar, jang lebih tjondong kepada Sekularisme daripada
mejakini Islam dalam segala segi bentuknja. Seperti jang dikatakan Sdr
Rosihan Anwar dalam diskusi tersebut, tidak lebih, persis seorang jang
mempeladjari Islam setjara Islamologi sadja. Bahkan lebih dari itu, terlalu
sering Ia membahas Islam dalam katjamata jang negatif. Sungguh, tokohtokoh "intelektuil" Islam sematjam jang namanja tersebut diatas tadi lebih
pantas digolongkan kedalam deretan "tokoh-tokoh Islam Hipokrit di
Indonesia, tokoh-tokoh Jukazzibu Bid-Dien (mendustakan agama)".
Demikianlah tanggapan kami sebagai seorang Muslim jang merasa wadjib
hukumnja ber-Amar Makruf Nahi Mungkar.402
Dengan adanya tanggapan dari Arab Saudi ini menunjukkan bahwa ternyata
gagasan Nurcholish Madjid tidak hanya tersebar di Indonesia saja melainkan
juga tersebar di luar negeri, khususnya Arab Saudi.
Prof. Dr. H.M. Rasjidi merupakan salah satu pengkritik yang paling keras
terhadap Nurcholish Madjid. Melalui tulisan yang berjudul “Koreksi Terhadap
Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi” yang ditulis pada tanggal 17
Agustus 1972, Rasjidi mengemukakan berbagai argumentasi untuk membantah
dan mengkritik konsep sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid.
Dengan menyebut Nurcholish Madjid “semau gue” dalam menggunakan istilah
sekularisasi403, Rasjidi mencoba untuk mematahkan konsep Nurcholish Madjid
sekaligus menunjukkan kelemahan-kelemahan Nurcholish Madjid dalam
merumuskan konsepnya itu.
Mengenai gagasan sekularisasi yang diusung oleh Nurcholish Madjid,
Rasjidi menyatakan bahwa bagaimanapun istilah itu tidak bisa diterapkan dalam
Islam karena Islam tidak pernah mengenal istilah tersebut. Istilah sekularisasi
merupakan istilah yang muncul di Barat dan Kristen sehingga tidak bisa
diterapkan dalam Islam. Sekularisasi, menurut Rasjidi, mempunyai hubungan
402
Tempo, 12 Agustus 1972
M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972, hal. 7-30
403
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
yang erat dengan sekularisme karena ia berarti penerapan sekularisme.404 Istilah
sekularisme, menurutnya, muncul pertama kali pada tahun 1851. Istilah ini
pertama kali digunakan oleh G.S. Holyoake (1817-1906) sebagai nama sistem
etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengaturan kepada
kehidupan manusia tanpa kepercayaan kepada Tuhan, Kitab Suci, atau hidup di
Hari Kemudian.405
Untuk membantah Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa istilah
sekularisasi tidak selalu berarti penerapan sekularisme dengan mengajukan
contoh istilah socialised medicine yang bukan merupakan penerapan
sosialisme406, Rasjidi justru menyatakan bahwa istilah tersebut di negara-negara
kapitalis merupakan penerapan sosialisme dalam pengobatan, yaitu setiap pasien
yang berobat tidak perlu membayar karena pemerintah, yang memakai
sosialisme sebagai dasar, akan membayar ongkos-ongkos pengobatan itu.407
Menurut Rasjidi kalau Nurcholish Madjid tetap menggunakan istilah
sekularisasi yang dia gunakan berdasarkan apa yang dia pahami maka segala
sesuatunya menjadi arbitrer. Artinya, makna sebuah kata atau istilah tergantung
dengan orang yang menggunakan istilah itu. Rasjidi mengatakan:
Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Sdr. Nurcholish, maka segala
sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja
kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, kopi, es jeruk, dan
sebagainya, dengan tidak ada konsekuensinya apa-apa. Kalau saya
berkata: ‘Yang saya maksudkan dengan pisang goreng adalah sikap
manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain tidak
layak dipuja, maka tak ada yang berhak melarang saya berbuat demikian’.
Mereka hanya ketawa dalam hati mereka karena keanehan istilah
tersebut.408
Dengan meyakini bahwa sekularisasi berarti penerapan dari sekularisme
Rasjidi dengan tegas menolak pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan
bahwa istilah sekularisasi yang dia gunakan bukan sebagai penerapan
Ibid., hal. 14
Ibid.
406
Nurcholish Madjid dengan tegas menyatakan bahwa istilah sekularisasi yang
digunakannya bukan dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme. Dia memberikan contoh istilah
“sosialisasi” dalam perkataan Inggris, socialised medicine, (pengobatan yang disosialisasikan),
sudah pasti bukanlah penerapan sosialisme. Lihat Nurcholish Madjid, “Sekali Lagi Tentang
Sekularisasi”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1987, hal. 221. Untuk lebih lengkapnya mengenai penjelasan istilah sekularisasi yang digunakan
oleh Nurcholish Madjid lihat BAB IV dalam tulisan ini.
407
Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 14
408
Ibid., hal. 15
404
405
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
sekularisme. Untuk memperkuat bantahannya terhadap Nurcholish Madjid,
Rasjidi mengutip pernyataan Alan Richardson yang mengatakan:
In actual English usage today the word “secularism” commonly denotes
the widespread practical tendency to ignore God and all religious
questions and observances through preoccupation with this worldly
(secular) concerns, keeping up with everyone else, “getting on” in the
world, the rat-race, which leaves one too exhilarated or too exhausted to sit
down and think about ultimate things. (Dalam bahasa Inggris yang dipakai
dewasa ini, kata “secularism” lazim diartikan sebagai suatu sikap
kecenderungan yang terdapat luas di kalangan masyarakat untuk secara
mudah menganggap sepi kepada Tuhan dan semua persoalan dan kegiatan
keagamaan oleh karena kesibukan dengan hal-hal duniawi (sekuler),
mengimbangi gerak setiap orang lain, mencari kemajuan di dunia ini,
suatu lomba tiada hentinya yang membuat seseorang terlampau mabuk
atau kehabisan tenaga, sehingga dia tidak sempat duduk dan berpikir
mengenai hal-hal ukhrawi).409
Nurcholish Madjid, dalam tulisannya untuk memperingati 70 tahun
Rasjidi pada tahun 1985, mencoba menjelaskan arti sekularisasi yang menjadi
kritikan Rasjidi.410 Dalam tulisannya itu, dia kembali menegaskan perbedaan
antara sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi menurutnya merupakan
pengertian sosiologis sedangkan sekularisme memiliki pengertian filosofis.
Sekularisasi dalam pengertian sosiologis memiliki makna pembebasan
masyarakat dari belenggu takhayul. Ini artinya, menurut Nurcholish Madjid,
sekularisasi tidak menghapuskan orientasi keagamaan masyarakat. Bahkan
menurutnya, proses pembebasan dari takhayul itu terjadi karena dorongan
keagamaan, khususnya monoteisme.411 Adapun sekularisme menurutnya
memiliki pengertian penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan
duniawi ini.
Dalam tulisannya itu, Nurcholish Madjid juga menyatakan apabila
penolakan Rasjidi berdasarkan atas keyakinan bahwa sekularisasi tidak dapat
409
Ibid., hal. 17
Tulisannya itu menjadi catatan kaki no. 1 dalam tulisannya yang berjudul “Sekitar
Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda
(penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215.
411
Perlu diketahui menanggapi gencarnya kritikan terhadap dirinya, Nurcholish Madjid
tidak memberikan jawaban satu persatu terhadap setiap kritikan yang datang kepadanya. Dia
mengemukakan jawabannya dengan cara membuat beberapa makalah yang ditujukan untuk para
pengkritiknya, lihat tulisannya “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam
Islam”, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, dan
“Sekularisasi Ditinjau Kembali”. Tulisan-tulisannya ini dapat dilihat dalam bukunya Nurcholish
Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, penyunting: Agus Edi Santoso, Bandung: Mizan,
1987. Pembahasan mengenai tulisan-tulisannya itu dapat dilihat dalam BAB IV tulisan ini.
410
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
dipisahkan dengan sekularisme hasil masa Pencerahan Eropa, maka dia dapat
menerima penolakan Rasjidi tersebut. Selain itu, Nurcholish Madjid dalam
tulisannya itu juga kembali menegaskan untuk tidak menggunakan istilah
sekularisasi karena perdebatan yang ditimbulkannya. Sebagaimana diketahui
pada tahun 1983, dalam suratnya kepada Mohamad Roem, Nurcholish Madjid
juga telah menyebutkan tentang hal ini.
Adapun untuk menanggapi ceramah Nurcholish Madjid yang berjudul
“Menyegarkan Faham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam Indonesia” di
Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 30 Oktober 1972, Rasjidi juga
mengemukakan kritikan kerasnya kepada Nurcholish Madjid. Bahkan, jika
dilihat dari isinya, kritikannya kali ini jauh lebih keras daripada kritikan
sebelumnya mengenai sekularisasi. Dalam tulisannya kali ini, dia menyebut
Nurcholish Madjid “seperti seorang sarjana Barat yang sama sekali tidak
mempunyai hubungan batin dengan Islam”,412 “nada kata-katanya sama dengan
kata-kata orang yang tidak suka terhadap Islam”,413 “kata-kata Nurcholish
Madjid bukan kata-kata orang yang percaya kepada Alquran, tetapi kata-kata
orang yang hanya pernah membaca Injil”,414 “Nurcholish Madjid belum
mempelajari Alquran”,415 “pemikiran Nurcholish Madjid kacau”,416 “pemikiran
Nurcholish Madjid merupakan pemikiran orang yang belum matang dan tidak
memenuhi syarat”,417 “pemikiran Nurcholish Madjid menggunakan asumsi yang
salah karena penyelidikan yang kurang teliti”,418 dan akhirnya “pemikiran
Nurcholish Madjid berbahaya bagi umat Islam Indonesia”.419
Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 58
Ibid., hal. 59
414
M. Rasjidi, “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, Harian Abadi, Selasa,
5 Desember 1972, hal. 3
415
Ibid.
416
Ibid.
417
Ibid., hal. 4
418
Ibid.
419
Ibid. Walaupun Prof. Rasjidi sangat keras dalam mengkritik dirinya, Nurcholish
Madjid tetap mengganggap bahwa Rasjidi merupakan salah seorang tokoh Islam besar yang
memiliki pengaruh dalam kebangkitan intelektual di Indonesia. Dia menyatakan bahwa kritikan
Rasjidi dikarenakan dia “selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’
dalam kegiatan intelektual”. Lebih jauh Nurcholish Madjid mengatakan bahwa “kita bisa
merasakan denyut nadi dari seorang tua yang diliputi kekhawatiran dan concern yang sejati
terhadap perkembangan intelektual Islam di Indonesia.” Lihat Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha
Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda
(penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215
412
413
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Penolakan Nurcholish Madjid terhadap gagasan negara Islam yang dia
katakan sebagai “apologi Negara Islam”420, ditanggapi Rasjidi dengan
mengemukakan kritikan keras dan bantahan terhadap pendapat Nurcholish
Madjid tersebut. Menurut Rasjidi apologi bukan bumerang bagi umat Islam
tetapi bumerang bagi orang yang melakukan serangan terhadap Islam.421
Dalam kritikannya yang dimuat oleh Harian Abadi pada tanggal 5
Desember 1972, dengan judul “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish
Madjid”, Rasjidi menyatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid yang
menolak gagasan negara Islam merupakan pemikiran orang yang tidak percaya
kepada Alquran, melainkan pemikiran orang yang hanya pernah membaca
Injil.422 Dalam Injil (Matius 22:21) dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar hak
kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan hak Tuhan”. Perkataan Injil ini dengan
tegas memisahkan antara urusan dunia dengan urusan Tuhan. Dalam Islam,
menurut Rasjidi, tidak ada pemisahan antara urusan dunia (kemasyarakat)
dengan urusan Tuhan. Menurutnya, “barang siapa yang kenal dengan Alquran
dan Sunnah akan mendapatkan segi-segi duniawi dan kemasyarakatan yang
banyak sekali.”423
Rasjidi
menyatakan
bahwa
pemikiran
Nurcholish
Madjid
yang
menyatakan bahwa konsep negara Islam merupakan distorsi hubungan
proporsional antara agama dan negara menunjukkan bahwa dia belum
mempelajari Alquran.424 Selain itu dengan mengatakan hal tersebut, Nurcholish
Madjid, menurut Rasjidi, secara tidak langsung menunjukkan kekacauan
pikirannya.425 Menurutnya, di dalam Islam terdapat prinsip-prinsip kenegaraan,
seperti musyawarah, rule of law, persamaan hak penduduk walaupun dari agama
yang berbeda dengan Islam, prinsip kemerdekaan beragama, prinsip kerjasama
internasional, meratakan kekayaan di antara para warga negara, hukuman berat
420
Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam
Indonesia”, Indonesia Raya, Kamis, 9 November 1972, atau lihat juga Nurcholish Madjid, Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 253-256
421
M. Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 3
422
Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 4
423
Ibid.
424
Ibid.
425
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
bagi para pelanggar kesusilaan baik berupa pencurian harta (orang atau negara)
atau gangguan terhadap kehormatan (sex).426
Namun demikian, Rasjidi mengakui bahwa tidak ada kata negara Islam
dalam Alquran. Menurutnya, kata negara Islam timbul karena keinsafan umat
Islam bahwa dalam sistem kapitalis individualis dan sistem komunis kolektivis
ada ekses-ekses yang tidak wajar dan kekurangan serta kelemahan dari sistemsistem tersebut.427 Oleh karena itu, umat Islam berusaha mengetengahkan
sistemnya sendiri untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan dari sistemsistem yang telah ada. Dengan demikian, menurut penulis, pengakuan Rasjidi ini
telah menunjukkan bahwa konsep negara Islam memang merupakan hasil olah
pikir atau ijtihad yang dilakukan oleh umat Islam.
Dari penjelasan Rasjidi di atas sebenarnya apa yang diungkap oleh Rasjidi
tersebut juga disetujui oleh Nurcholish Madjid. Dalam berbagai tulisannya
Nurcholish Madjid menyatakan bahwa perlunya dilaksanakan nilai-nilai
keislaman dalam kehidupan bernegara, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi,
dan musyawarah.428 Hanya saja Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam
melaksanakan nilai-nilai tersebut tidak harus secara legal formal dalam bentuk
negara Islam, melainkan bisa saja dilakukan dalam bentuk sistem negara
apapun, seperti Republik misalnya. Justru dengan bisa dilaksanakannya nilainilai keislaman dalam sistem kenegaraan yang tidak terbatas hanya dalam
bentuk negara Islam menunjukkan keuniversalan ajaran Islam.
Dengan pengakuan Rasjidi bahwa kata negara Islam tidak ada dalam
Alquran dan ia merupakan hasil pemikiran manusia menjadikan konsep negara
Islam itu sendiri tidak mutlak. Artinya, umat Islam dapat melaksanakan nilainilai keislaman tanpa harus terpaku dengan konsep negara Islam itu sendiri. Di
sinilah gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid mengambil peran dan
tempatnya.
426
Ibid.
Ibid.
428
Lihat misalnya tulisan Nurcholish Madjid mengenai “Cita-cita Keadilan Sosial dalam
Islam”, dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 101104. Tulisannya ini secara tidak langsung merupakan jawaban atas kritikan Rasjidi mengenai
penolakannya terhadap negara Islam.
427
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Mengenai kerasnya kritikan Rasjidi terhadap Nurcholish Madjid, menurut
pengakuannya dalam majalah Panji Masyarakat pada 1 Januari 1982, dia
mendapat teguran karena kritikan kerasnya itu. Menurut orang-orang yang
menegur Rasjidi tersebut seharusnya dia memberi dorongan terhadap pemuda
(Nurcholish Madjid) yang sedang mencari kebenaran. Namun, Rasjidi
menjawab, “kasusnya bukan kasus pemuda berfikir dan mencari kebenaran,
akan tetapi kasus propaganda anti-Islam yang mendapat bantuan dari orangorang yang tidak suka kepada kebenaran, dan berusaha menjauhkan Islam dari
bumi dan iklim Indonesia.429
Selain Rasjidi, salah satu tokoh Islam terkemuka di Indonesia, Muhammad
Natsir juga melakukan kritikan terhadap Nurcholish Madjid. Dalam satu
kesempatan pidato di depan HMI, dia mengatakan bahwa ketaatan terhadap
gagasan sekularisasi akan berakibat seperti apa yang pernah disebut Nabi
sebagai cinta terhadap dunia yang mementingkan diri sendiri, di mana mati
merupakan suatu keadaan yang menakutkan.430 Menurut Natsir, orang yang
berpandangan keduniawian seperti ini akan berusaha mencari kenikmatan
duniawi selama masa kehidupannya dan menjauhi cita-cita yang paling luhur.
Orang seperti ini tidak akan segan untuk mengorbankan kebenaran demi
keuntungan pribadi agar dapat hidup dengan senang di dunia ini. Perbuatan
seperti ini tentunya akan bertentangan dengan ajaran Islam, yang di dalamnya
menyuruh orang agar melakukan kegiatan-kegiatan duniawi dengan sungguhsungguh sejalan dengan perintah dan kehendak Tuhan.431
Akibat gagasannya itu, Natsir menyatakan kekecewaannya terhadap
Nurcholish Madjid yang selama ini telah dia anggap “seperti anak sendiri”.432
Natsir menyatakan bahwa dia merasa tidak terlalu risau oleh hasrat mereka
(Nurcholish Madjid dan beberapa rekan-rekannya di HMI) untuk “melepas diri”
dari “para orang tua”, karena baik “mereka mencoba melepaskan diri atau tidak,
keterlepasan secara otomatis pasti terjadi ketika kami, kaum tua, mati”. Yang
429
Rasjidi, “Pergolakan pemikiran Islam”, Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982,
hal. 42
Victor Immanuel Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, penerjemah: Hersri, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1982, hal. 151
431
Ibid..
432
Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim,
Penerjemah: Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 156
430
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
merisaukannya justru hasrat mereka untuk menjauhkan diri dari “cita-cita akidah
dan umat Islam”.433
Mengenai persoalan apakah Islam, sebagai suatu sistem keyakinan yang
diwahyukan Tuhan, juga merupakan dasar bagi suatu ideologi dari dirinya
sendiri, Natsir menyatakan bahwa apabila tokoh-tokoh HMI (mengacu pada
sarjana ilmu-ilmu sosial yang tak dibekali pendidikan Islam) membaca banyakbanyak “dan dengan pemikiran kritis”, mereka akan mendapatkan bahwa “Islam
telah menetapkan dasar-dasar bagi kehidupan keluarga, soal-soal ekonomi, dan
soal-soal kemasyarakatan.”434
Sementara itu, Hamka menyatakan bahwa semua diskusi tentang
sekularisasi dan modernisasi merupakan satu upaya baru dunia Barat untuk
melaksanakan suatu bentuk baru kolonialisme, yaitu kolonialisme ideologi.
Termasuk di dalam kolonialisme ideologi ini, selain dari memperkenalkan
sekularisasi dan modernisasi, juga adalah perjudian, pelacuran dan tempattempat plesiran, dan lain sebagainya. Bagi Hamka, kolonialisme ideologi ini
telah menyusup sangat dalam pada semua segi kehidupan kaum Muslim. Oleh
karena itu, Hamka memperingatkan kaum Muslimin agar selalu waspada dan
berpegang teguh pada ajaran-ajaran Alquran dan Hadis.435
Jika
dilihat
dari pendapat Hamka tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid
secara tidak langsung telah “terjebak” oleh taktik peperangan ideologi yang
dikobarkan oleh Barat.
Sekularisme menurut Hamka tumbuh dari dasar jiwa yang tidak disadari,
yaitu kebencian yang ditanamkan terhadap Islam sehingga meskipun berkalikali pemerintahan bertukar, namun sikap terhadap Islam tetap sama, yaitu kaum
Muslimin semata-mata menjadi kelas yang diperintah dan sekali-kali jangan
mengemukakan cita-cita agama untuk jadi pegangan kehidupan.436
Sebelum Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan sekularisasinya,
Hamka sendiri mengakui bahwa dia mengagumi Nurcholish Madjid karena
Ibid.
Ibid., hal. 157
435
Ibid., hal. 152
436
Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal.
433
434
31
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
harapan intelektual dan semangat Islamnya.437 Menurut Hamka telah terjadi
perubahan dalam diri Nurcholish Madjid yang disebabkan oleh sanjungan dan
sambutan yang berlebihan dari rekan-rekannya semasa dia menjadi tokoh
mahasiswa (Ketua HMI).438 Rekan-rekan Nurcholish Madjid itu yang menurut
Hamka menjadi pengagum tidak kritis yang telah memompa ego Nurcholish
Madjid dan yang membuatnya memalingkan punggungnya dari “orang-orang
tua”.439
Kritikan dan sanggahan di atas merupakan kritikan dan sanggahan yang
datang dari generasi tua. Adapun kritikan yang datang dari generasi yang
sezaman atau satu tingkatan dengan Nurcholish Madjid juga tidak kalah
kerasnya. Di antara mereka yang melakukan kritikan tersebut, yang akan
disebutkan dalam tulisan ini, adalah Abdul Qadir Djaelani, Endang Saefuddin
Anshari, Ismail Hasan Metareum, dan Amien Rais.
Abdul Qadir Djaelani, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta
periode 1960-1961, dalam khutbahnya di Mesjid Menteng Raya, mengkritik
keras Nurcholish Madjid dengan cara mengutip satu hadis yang meramalkan
akan lahirnya “anak-anak muda yang masih mentah pikirannya”, yang
“mengucapkan kata-kata Rasul, tetapi iman mereka tidak sampai melampaui
tenggorokan”.440 Dengan mengutip hadis ini, menurut saya, Abdul Qadir
Djaelani secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Nurcholish Madjid
belum cukup mempunyai ilmu untuk melakukan kajian lebih mendalam
terhadap Islam. Selain itu, dia juga ingin mengatakan bahwa keimanan
Nurcholish Madjid masih “rendah” karena jika dilihat dari makna hadis yang dia
kutip imannya tidak sampai tenggorokan. Artinya, iman Nurcholish Madjid,
yang menjadi sasaran hadis Abdul Qadir Djaelani ini, masih disekitar mulut,
belum sampai ke dalam dada.
Abdul Qadir Djaelani juga menegaskan bahwa pandangan Nurcholish
Madjid
berakar
dari
filsafat
moral
yang
hedonistiktuasional.
Dalam
pandangannya gagasan itu sama sekali bertentangan dengan nilai moral abadi
437
Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 153
Ibid., hal. 154
439
Ibid.
440
“Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41
438
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Alquran. Menurut Djaelani, nilai-nilai moral yang diperintahkan oleh Alquran
bersifat abadi karena nilai-nilai itu berasal dari firman abadi Allah.441
Sementara itu, Amien Rais juga melakukan kritikan terhadap gagasan
sekularisasi Nurcholish Madjid, walaupun tanpa menyebutkan secara langsung
namanya. Menurutnya, konsep sekularisasi mempunyai makna bahwa agama
kehilangan daya tarik dan pengaruhnya terhadap manusia modern.442
Berdasarkan pengalaman Barat, Amien Rais menyebutkan tiga pola sekularisasi,
yaitu pertama pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan strukturstruktur gerejani; kedua ekspansi politik dalam
menjalankan fungsi-fungsi
pengaturan dalam bidang sosio-ekonomi yang semula dijalankan oleh struktur
agama/gereja; dan ketiga transvaluasi kultur politik yang menggarisbawahi
pentingnya nilai-nilai rasional, pragmatis, dan nontransendental.443
Dikarenakan
sekularisasi
merupakan
proses
pengaplikasian
dari
sekularisme, maka sekularisasi harus ditolak karena Islam tidak mengenal istilah
sekularisasi. Namun demikian, seandainya sekularisasi tidak ditolak, konsep
sekularisasi dalam Islam akan runtuh dengan sendirinya karena Islam memang
tidak memberikan tempat bagi sekularisasi. Islam, menurut Amien Rais, tidak
mengenal dikotomi antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara yang
profan dan yang sakral, antara yang imanen dan yang transendental.444
Sekularisasi yang merupakan istilah Barat, menurut Amien Rais, telah
banyak ditinggalkan orang. Untuk melihat kasus di Amerika Latin, di mana
mayoritas
penduduknya
memeluk
agama
Katolik,
sekularisasi
tidak
mendapatkan perhatian dari masyarakat. Dia berkata:
Fenomena Amerika Latin memperlihatkan bahwa tesis sekularisasi tidak
“laku” di benua Katolik itu, sehingga asumsi bahwa sekularisasi adalah
suatu gejala yang universal tidak dapat dipertahankan lagi. Karena itu, kita
agak heran bahwa ada sementara orang Indonesia, termasuk dari kalangan
umat Islam, yang mencoba menawarkan sekularisasi, seolah-olah tidak
tahu bahwa dalam konteks budaya dan filsafat Barat sendiri sekularisasi
itu sudah mulai goyah dan tidak laku. Barangkali, hal ini bisa terjadi
441
442
Tanja, Himpunan, hal. 153
M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987,
hal. 123
443
444
Ibid., hal. 125
Ibid., hal. 126
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
karena adanya semacam kelatahan intelektual yang mudah-mudahan tidak
akan terulang lagi di masa depan.445
Walaupun Amien Rais tidak menyetujui konsep sekularisasi yang
dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, namun dia setuju bahwa gagasan negara
Islam tidak ada dalam Alquran. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Panji
Masyarakat tahun 1982,446 dia menyatakan bahwa “Islamic State” atau negara
Islam, tidak ada dalam Alquran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu,
menurutnya, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam.447
Lebih jauh Amien Rais menyatakan bahwa yang lebih penting adalah selama
suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan dan
menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh daripada eksploitasi
manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti
menurut Islam sudah dipandang negara yang baik.448
Selain itu, Amien Rais juga menyatakan bahwa masalah adil dan keadilan
sosial seperti yang termuat dalam Pancasila sesungguhnya merupakan salah satu
tema sentral dalam Alquran, kitab suci yang menjadi dasar pertama dan utama
dalam agama Islam.449 Kedua sumber Islam, Alquran dan Sunnah, dengan tegas
memerintahkan umatnya untuk menegakkan nilai-nilai utama seperti keadilan,
kebenaran, kejujuran serta melenyapkan kezaliman (dhulm) dan penindasan
(istibdad, eksploitasi), tapi tidak dengan tegas memerintahkan pembentukan
negara Islam (daulah Islamiyah).450
Pendapat Amien Rais ini dengan sendirinya, menurut penulis, mendukung
atau setidaknya setuju dengan gagasan Nurcholish Madjid yang menyatakan
bahwa tidak ada negara Islam dalam ajaran Islam dan itu hanya merupakan
445
Ibid.
Lihat Panji Masyarakat, No. 379/1982. Tulisan ini kemudian memicu korespondensi
atau surat menyurat antara Nurcholish Madjid, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika
Serikat, dengan Mohamad Roem untuk membicarakan tentang ada atau tidaknya konsep negara
Islam dalam Alquran atau Sunnah. Korespondensi ini kemudian dibukukan, termasuk di dalamnya
dimuat tulisan Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, menjadi Tidak Ada Negara Islam: Suratsurat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Agus Edi Santoso (penyunting), Jakarta:
Djambatan, 1997
447
Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak
Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan,
1997, hal. xxii
448
Rais, “Tidak Ada”, hal. xxii-xxiii
449
Amien Rais, “Indonesia dan Demokrasi”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, Aspirasi
Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983, hal. 66
450
Ibid., hal. 73
446
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
apologi umat Islam terhadap ideologi-ideologi yang berkembang di Barat.
Karena pendapatnya itu sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Nurcholish Madjid, yaitu tidak ada konsep negara Islam dalam Alquran dan
Sunnah.
Sementara itu, Endang Saefuddin Anshari menyetujui pernyataan
Nurcholish Madjid yang menyebutkan buruknya citra partai politik Islam di
mata masyarakat (umat Islam) dikarenakan mentalitas korup dari para pemimpin
partai-partai Islam dan mereka bekerja bukan demi memajukan kepentingan
Islam, tetapi memakai nama Islam secara palsu untuk mencapai kepentingankepentingan pribadi.451 Hal inilah yang antara lain mendorong Nurcholish
Madjid memproklamirkan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”.
Namun demikian, bukan berarti Endang Saefuddin Anshari menyetujui
semua gagasan yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Dia bahkan menjadi
salah satu pengkritik yang dominan dari kalangan intelektual Muslim satu
angkatan dengan Nurcholish Madjid. Mengenai sekularisasi misalnya, dia
menyatakan bahwa umat Islam tidak memerlukan sekularisasi karena pada
hakikatnya Islam bukan saja sebuah agama tetapi suatu pandangan hidup yang
lengkap. Oleh karena itu, menurut Anshari, dalam Islam tidak ada kegiatan
kemanusiaan, baik di dunia maupun di akhirat, baik rohaniah maupun
jasmaniah, yang dapat dilaksanakan terlepas dari iman keagamaan.452
Menurut Anshari, seluruh kegiatan manusia adalah untuk menyembah dan
mengabdi kepada Allah. Artinya, dalam Islam hubungan antara manusia dengan
Allah seperti hubungan antara seorang hamba atau abdi dengan tuannya. Dengan
demikian, gagasan sekularisasi atau desakralisasi terhadap semua masalah dan
nilai keduniawian berarti mengingkari tanggung jawab terhadap perintah Allah
dan dengan demikian merupakan perbuatan seorang yang tidak beriman atau
kufr.453
Penentangan Anshari terhadap gagasan sekularisasi tidak berarti juga
penentangan terhadap gagasan penolakan “negara Islam” yang dikemukan oleh
Nurcholish Madjid. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Majalah Tempo pada 29
451
Ibid., hal. 146
Ibid.
453
Ibid.
452
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Desember 1984, dia menyatakan bahwa yang tepenting bagi umat Islam adalah
isi, bukan label atau papan nama.454 Jadi, dalam konsep negara menurut Islam,
ada nilai-nilai dasar dan norma-norma asasi Islam, yang terkandung dalam
Alquran dan Sunnah Rasul, yang memberikan patokan pokok mengenai
pelbagai kegiatan sosio-kultural manusia. Termasuk melakukan aktivitas politik
kenegaraan. Sebuah negara, menurut Anshari, yang diletakkan atas dasar Islam,
menjunjung tinggi nilai dan norma Islam, dapat saja kalau mau disebut negara
Islam, atau “Negara Utama”, atau “Negara Adil Makmur”, atau nama lain apa
pun. Muslim sejati tidak komitmen dengan nama, tetapi dengan nilai dan
norma.455
Adapun Ismail Hasan Metareum mencoba menerka bahwa hati Nurcholish
Madjid sendiri sebenarnya “tidak sepenuhnya menyetujui beberapa istilah yang
dikemukakannya itu”.456 Di sini, Metareum tidak secara jelas menyebutkan
istilah apa yang tidak sepenuhnya disetujui oleh Nurcholish Madjid, tapi
nampaknya yang dia maksudkan adalah istilah sekularisasi.
Jika dilihat dari kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh penentang
Nurcholish Madjid dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang menjadi tema
pokok perdebatan itu adalah penggunaan istilah sekularisasi, bukan substansi
dari tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat Islam dari
pensakralan terhadap segala sesuatu selain Allah, seperti partai politik Islam dan
negara Islam. Para pengkritik banyak menghabiskan tenaganya dalam
mengkritik istilah sekularisasi, sedangkan substansi atau isi dari pemikiran
Nurcholish Madjid sendiri menjadi terabaikan. Nurcholish Madjid sendiri
kemudian menyadari hal ini.
Dalam surat tertanggal 29 Maret 1983 yang dikirim kepada Mohamad
Roem, Nurcholish Madjid mengakui bahwa “dalam mencetuskan gagasan itu
saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer, seperti “sekularisasi”, yang
secara
etimologis
kontroversial.”
457
belum
mantap
dan
sampai
sekarang
masih
tetap
Oleh karena itu, lanjut Nurcholish Madjid dalam suratnya itu,
Endang Saifuddin Anshari, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember
1984, hal. 19
455
Ibid., hal. 18
456
“Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41
457
Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19
454
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
“saya sampai kepada kesimpulan bahwa istilah kontroversial itu lebih baik tidak
digunakan, karena sangat mengganggu...apalagi ternyata “memperjuangkan”
diterimanya suatu versi pengertian tertentu tentang istilah itu, versi Harvey Cox
misalnya, nampaknya suatu hal yang sia-sia.”458 Pengakuannya ini kemudian
membawanya untuk tidak menggunakan istilah sekularisasi setelah dia kembali
dari Chicago.459
Atas pertimbangan itulah akhirnya Nurcholish Madjid, setelah kembali
dari Chicago pada tahun 1984, tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi dan
menggantinya dengan istilah “devaluasi radikal” atau “desakralisasi”. Namun
demikian, walaupun dia tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi karena
banyak menghabiskan tenaga, dia tetap memperjuangkan realisasi gagasangagasannya itu bagi umat Islam Indonesia.
5.1.2 Dukungan Terhadap Islam Kultural
Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid juga mendapatkan dukungan dari
kalangan yang menganggap bahwa gagasannya itu dapat mendukung programprogramnya atau sesuai dengan pola pemikirannya. Pemerintah Orde Baru,
misalnya, mendukung gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid karena gagasan
itu “mendukung” program Orde Baru dalam rangka depolitisasi atau departaisasi
umat Islam. Sementara itu, beberapa kalangan intelektual yang mendukung
gagasan Islam kultural selain merasa gagasannya itu “cocok” dengan
pemikirannya, juga beralasan bahwa gagasan itu tepat dilakukan di Indonesia
ketika umat Islam tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam bidang
politik.
5.1.2.1 Dukungan dari Pemerintah Orde Baru
Pemerintah Orde Baru yang berusaha melaksanakan pembangunan ekonomi di
Indonesia melakukan berbagai usaha agar tercipta stabilitas nasional. Stabilitas
merupakan faktor penting dalam pembangunan agar pembangunan dapat
dilaksanakan dengan lancar tanpa adanya “gangguan” dari pihak-pihak yang
tidak “mendukung” usaha itu. Di antara usaha untuk menciptakan stabilitas
nasional adalah melakukan depolitisasi, departaisasi, dan deideologisasi
masyarakat. Islam, yang memiliki harapan dapat berperan lebih aktif dalam
458
459
Ibid., hal. 22-23
Lihat BAB IV
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
politik Orde Baru karena merasa memiliki peran membantu militer dalam
memberangus PKI, menjadi pihak pertama yang terkena program pemerintah
tersebut.
Para pemimpin Islam politik, seperti pemimpin partai eks-Masyumi, masih
berusaha dan meyakini bahwa perjuangan cita-cita Islam dapat dilakukan
melalui partai-partai politik. Oleh karena itu, pada awal pemerintahan Orde
Baru mereka tetap memperjuangkan cita-cita politik umat Islam, walaupun
usaha-usaha itu tidak membuahkan hasil. Kegagalan inilah yang mendorong
munculnya Islam kultural.
Islam kultural, dengan menggunakan metode berpikir kontekstual dan
penjelasan yang rasional, berhasil mengubah persepsi pemerintah Orde Baru
terhadap Islam. Penjelasan rasional bahwa cita-cita negara nasional tidak
bertentangan dengan Islam, karena konsep itu menurut Nurcholish Madjid
tidak ada dalam Alquran, dan bahwa Pancasila dengan Islam memang
kompatibel, karena nilai-nilai Islam telah termuat dalam Pancasila, serta partai
politik Islam tidak mutlak, jelas memengaruhi sikap pemerintah terhadap
Islam. Bahkan, gagasan Islam kultural ada kalanya dijadikan “referensi” oleh
pemerintah Orde Baru dalam menjelaskan kebijakan politiknya. Sebagai
contoh, gagasan Islam kultural yang menegasikan cita-cita negara Islam bukan
saja disambut dengan rasa lega oleh pemerintah Orde Baru, tetapi juga oleh
golongan-golongan lain yang masih dihantui rasa khawatir terhadap cita-cita
semacam itu.460
Dikarenakan memiliki kesesuaian dalam tujuan, maka elit politik Orde
Baru merasa berkepentingan untuk mendorong keberhasilan gagasan Islam
kultural yang dikembangkan Nurcholish Madjid. Kenyataan ini menciptakan
kesan di kalangan sebagian pemimpin Islam politik, gerakan pemikiran yang
dipelopori oleh Nurcholish Madjid tidak lebih sebagai upaya menarik simpati
pemerintah. Akan tetapi, Nurcholish Madjid tidak mundur dari gagasannya.
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 237
460
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Hal itu dikarenakan dia memiliki keyakinan bahwa gagasannya akan berguna
bagi umat Islam pada masa mendatang.461
Dukungan dari pemerintah Orde Baru muncul di antaranya dengan
pengakuan terbuka dari Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara 1988-1993 dan
1993-1998) tentang sumbangan Islam kultural dalam mempertemukan gagasan
Islam dengan konsep negara nasional. Dalam sebuah presentasi di Simposium
Festival Istiqlal pada 21 Oktober 1991, dengan tegas Moerdiono menyatakan
bahwa cendekiawan muslim, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid,
dan lain-lainnya, berhasil menghilangkan dikotomi antara Islam dan negara
Nasional.462 Dampaknya kemudian adalah pemerintah, menurutnya, kemudian
secara sungguh-sungguh melaksanakan kebijaksanaan serta kegiatan nyata
untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan sah dari umat Islam. Dalam hal ini
Moerdiono menyebutkan beberapa tindakan pemerintah yang mendukung
kepentingan umat Islam, seperti perbaikan perjalanan ibadah haji, bantuan
untuk pendidikan dan lembaga keagamaan, dukungan peranan
mendasar
agama dalam masalah nikah, talak, rujuk, dan hukum waris, pembangunan
mesjid-mesjid, dan reaksi cepat terhadap berita lemak babi dalam makanan
yang dijual kepada umum yang telah membantu menentramkan perasaan umat
Islam.463
Senada dengan Moerdiono, mantan Menteri Agama RI (1978-1983),
Alamsjah Ratuperwiranegara464, menyatakan bahwa “Nurcholish Madjid
mengajak kita untuk menjadikan Islam sebagai benda yang berharga”,
sehingga “Islam kita pelajari, kita junjung, dan kita laksanakan.”465 Oleh
karena itu, Alamsjah meminta agar Islam jangan dijadikan sebagai alat politik
karena dengan menjadikan Islam sebagai alat politik umat Islam akan kembali
Robert W. Hefner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia,
Yogyakarta: Tiara Wacana 1995, hal. 14
462
Makalah Moerdiono, Umat Beragama dan Negara Nasional: Sebuah Rekonstruksi
Pemikiran, dalam Yustiono, et. al (editor), Islam dan Kebudayaan: Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta:
Yayasan Festival Istiqlal, 1993, hal. 236-237
463
Ibid.
464
H. Alamsjah Ratuperwiranegara, lahir di Kotabumi, Lampung, 25 Desember 1925,
adalah mantan Menteri Agama RI (1978-1983) dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat RI (1983-1988).
465
Alamsjah Ratuperwiranegara, “Antara Islam Kultural dan Islam Politik”, dalam Gatot
Indroyono (editor), Islam di Mata Para Jenderal, Bandung: Mizan, 1997, hal. 187
461
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
menjadi kalangan “pinggiran”, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya
pada masa Demokrasi Terpimpin dan awal pemerintahan Orde Baru.
Lebih jauh Alamsjah kemudian membandingkan gagasan Nurcholish
Madjid dengan gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan Muslim lainnya.
Dia berkata: “kalau dinilai lewat gagasannya, saya kira yang paling akseptabel
itu adalah Cak Nur... bila dibandingkan dengan Gus Dur dan Amien Rais.466
Penilaian Alamsjah ini tentunya tidak terlepas dari subjektivitasnya sebagai
umat Islam. Namun demikian, nampaknya karena hal inilah yang mendorong
Alamsjah kemudian mengaplikasikan gagasan Nurcholish Madjid ketika dia
menjabat sebagai Menteri Agama RI.
Pada masa dia menjabat sebagai menteri agama, yaitu tahun 1978-1983,
banyak peraturan yang telah dia telurkan untuk mendukung perkembangan
Islam kultural, misalanya: membebaskan dakwah, aliran kepercayaan
dikembalikan ke P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan)467, Pancasila
pengorbanan dan hadiah umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan,
menentukan tata cara merayakan Natal hanya Kristen dan Katolik saja
sementara yang lain tidak merayakan, dan orang agama lain tidak boleh duduk
dalam panitia perayaan.468
Alamsjah menyadari begitu besarnya peran Islam kultural bagi umat
Islam, termasuk dirinya. Dia berkata:
Kalau saya waktu itu dari partai Islam, maka sudah lama saya habis. Tapi
karena saya bukan dari partai Islam, maka semua pihak dapat menerima.
Termasuk usul yang saya kemukakan, yang kemudian diterima Pak Harto
mengenai Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Sekarang ini, yayasan
ini sudah mampu mengumpulkan uang hampir 200 milyar. Yayasan ini
dapat membiyai da’i, dan sudah 800 mesjid permanen terbangun.469
Sementara itu, Munawir Sjadzali, yang menjabat sebagai menteri agama
sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V
(1988-1993), dengan terperinci menjelaskan berbagai program pembangunan
di bidang agama yang berhasil direalisasikan pemerintah Orde Baru,
466
Ibid., hal. 190
Sebelumnya, ada usaha dari MPR untuk menjadikan aliran kepercayaan sebagai agama
tersendiri. Namun dikarenakan besarnya protes dari umat Islam, pemerintah kemudian berusaha
membatalkan tindakan ini.
468
Ratuperwiranegara, “Antara Islam”, hal. 192
469
Ibid.
467
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
khususnya pada masa Kabinet Pembangunan
V.470 Berbagai kebijakan
pemerintah Orde Baru—yang memihak umat Islam tidak akan terjadi apabila
umat Islam masih saja terpaku dengan cita-cita politiknya, seperti
pembentukan negara Islam—dengan jelas mendukung perkembangan Islam
kultural.
Pada tahun 1989, Pemerintah Orde Baru mengesahkan Undang-Undang
Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya undang-undang
ini maka:
a) Pendidikan agama diakui sebagai subsistem dari sistem pendidikan
nasional;
b) Pendidikan agama dikukuhkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolahsekolah umum: SD, SMTP, SMTA,dan perguruan tinggi;
c) Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dijamin keberadaannya, seperti
Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut-institut Agama
Islam.471
Masih berkaitan dengan undang-undang, pada tahun yang sama
pemerintah berhasil mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Sebenarnya, Peradilan Agama telah ada di
Indonesia sejak sebelum penjajah Belanda bercokol di Indonesia. Akan tetapi,
selama masa penjajahan Belanda, peradilan agama mengalami pengebirian.472
Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru membuat undang-undang baru yang
lebih mendukung perkembangan Peradilan Agama. Dengan adanya UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 tersebut, pengebirian terhadap Peradilan Agama
menjadi hilang. Isi undang-undang itu di antaranya adalah:
a) Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan
timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani
470
Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI
Press, 1993, hal. 27-34
471
Ibid., hal. 27
472
Sejak tahun 1882, Peradilan Agama di Jawa dan Madura tidak diberi kewenangan
untuk ikut campur dalam pembagian warisan umat Islam. Lembaga ini hanya mengurus hal-hal
yang berkaitan dengan ketentuan syariah yang sejalan dengan kebiasaan setempat (adat). Hal yang
sama juga terjadi pada Kerapatan Qadli dan Kerapatan Dadli Besar di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur sejak tahun 1937. Lihat Ibid, hal. 28 dan baca juga Martin van Bruinessen,
Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998, hal. 292
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pembagian warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di
wilayah-wilayah Indonesia yang lain;
b) Keputusan Pengadilan Agama final, tidak perlu lagi dikukuhkan oleh
Peradilan Umum; pelaksanaan/eksekusi keputusan Peradilan Agama
dilakukan oleh Peradilan Agama sendiri, tidak lagi oleh Peradilan Umum.
Oleh karenanya, harus diadakan jabatan juru sita dalam Peradilan Agama;
c) Sebagaimana halnya hakim pada lingkungan peradilan yang lain, hakimhakim pada Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,
tidak lagi oleh Menteri Agama. Mereka menjadi hakim-hakim negara
dengan kedudukan, hak, dan fasilitas yang setarap dengan hakim-hakim di
lingkungan peradilan lain. Paling tidak dalam teori, sesuai dengan UU
nomor 14 Tahun 1985 tentang Kemahkamahagungan, hakim agama dapat
menduduki jabatan Ketua Mahkamah Agung RI;
d) Untuk memberikan ketenangan psikologis bagi umat Islam yang mencari
keadilan, maka jabatan hakim, panitera, dan juru sita pada Peradilan
Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama Islam.473
Untuk mendukung terealisasinya cita-cita Islam kultural pemerintah Orde
Baru mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila pada 17 Februari
1982. Yayasan ini diketuai langsung oleh Soeharto. Program utama yayasan
ini adalah pendirian mesjid-mesjid untuk masyarakat Islam. Sampai tahun
1992, Yayasan ini telah berhasil membangun lebih dari 493 mesjid yang
harganya masing-masing antara 120 dan 140 juta rupiah. Soeharto juga
memprakarsai pengiriman 1000 dai dan penyuluh agama Islam melalui MUI
ke daerah-daerah transmigrasi. Para dai dan penyuluh itu selama tiga tahun
menerima bantuan sebesar Rp. 100.000,- per bulan dari Yayasan Amal Bakti
Muslim Pancasila serta alat transportasi (sepeda).474
Pada tahun 1991, Departemen Agama melakukan rehabilitasi dan
penambahan asrama haji di daerah embarkasi serta pembangunan asrama haji
di daerah-daerah transit. Misalnya rehabilitasi dan penambahan Asrama Haji
Pondok Gede dengan biaya sekitar 565 juta rupiah, Asrama Haji Juanda,
Surabaya, dengan biaya 117 juta rupiah, Asrama Haji Ujung Pandang, dengan
473
474
Sjadzali, Islam Realitas, hal. 27-28
Ibid., hal. 30
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
biaya 291 juta rupiah, dan Asrama Haji Polonia, Medan, dengan biaya 100 juta
rupiah. Selain itu, Departemen Agama juga melakukan pembangunan Asrama
Haji Sulawesi Utara dengan biaya 200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992
sebesar 183 juta, menjadi 283 juta, Asrama Haji Sulawesi Tengah sebesar 150
juta, Asrama Haji Kalimantan Timur sebesar 200 juta, ditambah dari APBN
1991/1992 sebesar 159 juta menjadi 359 juta, Asrama Haji Yogyakarta sebesar
200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992 sebesar 213 juta menjadi 413 juta,
Asrama Haji Jawa Tengah 200 juta, Asrama Haji Nusa Tenggara Barat 200
juta. Departemen Agama juga melakukan perluasan Asrama Haji yang telah
ada di Kalimantan Tengah dari dana APBN 1991/1992 sebesar 183 juta.475
Dalam dunia pendidikan, pemerintah juga mendukung pengembangan
dunia pendidikan. Bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu bagian
terpenting, menurut Islam kultural, dalam kemajuan umat Islam. Pada tahun
1975, telah ditandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayan, dan Menteri Agama, yang
mengakui
madrasah-madrasah
sama
tarafnya
dengan
sekolah-sekolah
umum.476
Selain itu, untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan di
perguruan tinggi, pemerintah menyelenggarakan pendidikan Pascasarjana
untuk magister dan untuk doktor bagi para Dosen IAIN (Institut Agama Islam
Negeri), baik di dalam negeri maupun di luar negeri.477 Pemerintah juga, sejak
bulan November 1990, mulai menayangkan pelajaran bahasa Arab, yang
merupakan bahasa internasional dan bahasa Al-Qur’an, di TVRI.478
Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1980-an, pemerintah Orde Baru
mengizinkan siswa perempuan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri
dan membantu pembangunan Bank Islam.479 Pada tahun 1991, Suharto beserta
keluarganya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.480
475
Ibid.,hal. 30-31
Ibid.,hal. 32
477
Ibid.,hal. 33
478
Ibid.,hal. 33-34
479
Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge:
Cambridge University Press, 2004, hal. 83
480
Ibid.
476
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Dukungan pemerintah Orde Baru terhadap pembangunan umat Islam
tersebut di atas tidak terlepas dari keberhasilan Islam kultural merubah
persepsi pemerintah Orde Baru yang sebelumnya menganggap umat Islam
sebagai “penghalang” potensial bagi pembangunan di Indonesia. Dengan
mencetuskan gagasan bahwa partai politik Islam tidak bersifat mutlak, konsep
negara Islam tidak ada di dalam Alquran maupun Hadis, serta Pancasila sesuai
dengan nilai-nilai keislaman, Islam kultural berhasil membuat pemerintah
mendukung perkembangan umat Islam. Dukungan pemerintah ini pada
akhirnya membuat umat Islam tetap bisa berperan dalam membangun bangsa
Indonesia. Dan inilah yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid.
5.1.2.2 Dukungan dari Intelektual Muslim
Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid tidak hanya menimbulkan kritikan
dari berbagai kalangan, melainkan juga menarik dukungan yang tidak sedikit
dari kalangan intelektual Muslim atau ulama. Walaupun ada di antara
intelektual-intelektual itu yang tidak tegas menyatakan dukungan terhadap
gagasan Nurcholish Madjid, namun gagasan atau pemikiran mereka memiliki
kesamaan dengan apa yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid.
Gencarnya kritikan terhadap Nurcholish Madjid menimbulkan pengakuan
terhadap gagasan Nurcholish Madjid. Seperti yang dikatakan oleh K.H.
Haman Ja’far,481 “saya tahu persis Nurcholish, apa pun boleh keluar dari
pikirannya, tetapi, saya yakin, hatinya tetap Islam. Apa yang ia maksudkan
dengan sekularisasinya berbeda jauh dengan sekularisme.”482
Respons berupa dukungan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh
Nurcholish Madjid juga muncul dari seorang tokoh Golkar di Sumatera Barat,
yaitu Letkol. Drs. Safroedin Bahar. Dalam tulisannya di Majalah Tempo dia
menyatakan simpati terhadap “gerakan” Nurcholish Madjid dan oleh karena
itu dia menyebarluaskan tulisan Nurcholish Madjid itu kepada anggota Golkar
di Sumatera Barat.483 Tindakan Safroedin Bahar ini menunjukkan bahwa
gagasan Nurcholish Madjid menurut hemat penulis “sesuai” dengan agenda
481
KH. Hamam Ja’far adalah pemimpin sekaligus pendiri Pondok Pesantren Pabelan,
Magelang.
482
Dikutip dari Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1993, hal. 91
483
Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 127
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Golkar, yaitu menarik dukungan dari pendukung partai politik Islam (umat
Islam) yang telah dikenai sekularisasi Nurcholish Madjid, sehingga gagasan
itu perlu disebarluaskan.
Mengenai konsep negara Islam yang menjadi sasaran kritikan terhadap
Nurcholish Madjid juga mendapat pengakuan dari beberapa intelektual
Muslim. Di antaranya adalah dari salah seorang tokoh Muhammadiyah ketika
itu, yaitu Djarnawi Hadikusumo. Dia menyatakan bahwa dalam Islam, negara
Islam atau konsep negara Islam tidak ada. Yang ada menurutnya adalah hanya
penafsiran dari beberapa ulama.484
Sementara itu, Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan panggilan
Gus Dur, menyatakan bahwa dalam Islam negara itu adalah hukum, al-hukmu,
dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Menurutnya yang ada hanya
etika kemasyarakatan dan komunitas, seperti keadilan, kebersamaan, dan lain
sebagainya. Selama etika itu diberlakukan, selama itu pula tidak ada keberatan
dengan sistemnya.485
Senada dengan Gus Dur, Jalaluddin Rachmat juga menyatakan bahwa jika
etika itu dijalankan, tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain harus ikut
mempertahankannya sebagai kewajiban agama.486 Menurutnya apabila etika
itu dijalankan maka umat Islam harus taat kepada pemerintah yang sedang
berkuasa. Umat Islam harus mendukung pemerintah tersebut, baik pemerintah
itu berbentuk Republik, Monarki Parlementer, atau lainnya. Tujuan negara
bagi Islam, menurut Jalaluddin Rachmat, hanya untuk menegakkan
keadilan.487
Menurut Jalaluddin Rachmat, negara itu bisa berarti banyak. Dia
menjelaskan bahwa negara bisa berarti state, bisa juga berarti nation state.
Negara dengan arti nation state baru digali kira-kira pada abad ke-19. Kata adDaulah adalah kata baru bahasa Arab untuk nation state. Jadi, kata ad-Daulah
itu dibuat orang untuk mengartikan definisi negara. Dari kerangka pemikiran
484
Djarnawi Hadikusumo, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember
1984, hal. 19
485
Abdurrahman Wahid, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember
1984, hal. 18
486
Jalaluddin Rachmat, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984,
hal. 18
487
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ini, sia-sialah, menurut Jalaluddin Rahcmat, mencari kata Daulah Islamiyah
baik di dalam Alquran maupun dalam Hadis. Jadi, jika dengan negara yang
dimaksud adalah Daulah ini, memang tidak ada dalam Islam.488
Dengan demikian, menurut Jalaluddin Rachmat Indonesia tidak perlu
diganti menjadi negara Islam. Yang terpenting adalah konsep-konsep Islami
diterapkan dalam kehidupan bernegara, di dalam negara Pancasila ini. Sebab,
sebagai contoh Arab Saudi dan Pakistan pun, yang mengaku sebagai negara
Islam, tidak menerapkan konsep Islam secara menyeluruh. Pakistan, misalnya,
tidak sepenuhnya menerapkan konsep ekonomi dan politik Islam.489 Bahkan,
Arab Saudi menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan keturunan yang
tidak ada dalam ajaran Islam.
Harun Nasution490 juga menegaskan bahwa di dalam Alquran tidak ada
istilah negara Islam. Menurutnya yang ada di dalam Alquran dan Hadis cuma
dasar-dasar bernegara, seperti keadilan, demokrasi, persamaan hak, dan
toleransi.491 Dasar-dasar ini dapat ditegakkan dalam bentuk negara apa pun,
tidak terbatas hanya dalam bentuk formalitas sebuah negara Islam. Memang
menurut Harun Nasution, untuk hukum-hukum Islam, harus ada kekuasaan
pemerintahan. Tapi jika melihat kondisi Indonesia, yang berdasarkan
Pancasila, sudah mencerminkan diri sebagai salah satu negara Islam, dengan
bentuk republik berasaskan musyawarah seperti yang berlaku di masa
khulafurrasyidin.492 Lebih jauh dia menyatakan bahwa di manapun di dunia ini
tidak ditemukan negara yang memberlakukan hukum Islam sepenuhnya.
Bahkan menurutnya, “Republik ini malah lebih banyak memenuhi syaratsyarat negara Islam dibandingkan dengan negara-negara yang menyebut
dirinya negara Islam di Timur Tengah,” karena “di sini, pelaksanaan hukum
Islam—misalnya hukum waris—bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.”493
488
Ibid.
Ibid.
490
Harun Nasution (1919-1998) terkenal sebagai seorang filsuf Indonesia yang mencoba
mengembangkan paham Mu’tazilah. Dia menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta pada tahun 1969
dan 1973.
491
Harun Nasution, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal.
19
492
Ibid.
493
Ibid.
489
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Ahmad Syafii Ma’arif494, dalam tulisannya pada tahun 1983 menyatakan
bahwa Kitab Suci (Alquran) kelihatannya tidak tertarik pada teori politik khas
yang harus diikuti oleh umat Islam. Menurutnya perhatian utama Alquran
ialah agar masyarakat dan negara ditegakkan atas tonggak-tonggak keadilan
dan moralitas. Maka di atas tata nilai etik Alquran inilah suatu bangunan
politik Islam harus didirikan. Lanjutnya karena Alquran tidak menggariskan
bentuk dan struktur tertentu tentang negara, maka model dan struktur dari
organisasi politik Islam bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, ia dapat
senantiasa dipertanyakan, diperbaiki, dan disesuaikan dengan zaman dan
kebutuhan umat Islam asal prinsip dasarnya dipertahankan. Prinsip dasar yang
terpokok ialah konsep syura (prinsip konsultasi) yang menjadi ajaran sentral
dalam cita-cita politik Alquran.495
Kekuasan politik atau negara, menurut Ahmad Syafii Ma’arif, hanyalah
sebuah alat bagi agama, bukan persambungan dari agama. Oleh sebab itu,
slogan “Islam adalah agama dan negara” (Islam din wa daulah), menurutnya,
hanyalah mengaburkan hakikat misi kenabian Muhammad dan bersikap tidak
adil terhadap ajaran Alquran. Bahkan, lanjutnya, perkataan daulah yang
berarti negara tidak dijumpai dalam Alquran.496
Sementara itu salah satu pemimpin partai eks-Masyumi, Mohamad Roem,
juga berpendapat tidak jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan
pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh intelektual Muslim di atas.
Dalam suratnya yang dikirim kepada Nurcholish Madjid pada tahun 1983,
sebagai balasan atas surat Nurcholish Madjid yang dikirimkan kepadanya
mengenai tanggapan M. Roem atas tulisan Amien Rais tentang tidak adanya
negara Islam di majalah Panji Masyarakat, M. Roem menyatakan bahwa “jika
Dr. Amien Rais mengatakan: ‘Tidak ada negara Islam’ dalam Sunnah, saya
494
Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh Muhammadiyah. Dia menyelesaikan pendidikannya
di Universitas Chicago, di mana Nurcholish Madjid juga menyelesaikan studinya di universitas
tersebut. Pada tahun 1998, dia terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah.
495
Ahmad Syafii Maarif, “Islam, Politik, dan Demokrasi di Indonesia”, dalam Bosco
Carvallo dan Dasrizal (penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983,
hal. 42
496
Ibid., hal. 45
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
rasa dia benar.”497 Lebih lanjut M. Roem menyatakan bahwa “Amien Rais
dengan pernyataannya itu tidak saja dia benar, akan tetapi dia juga bijaksana,
karena di Indonesia istilah itu (istilah negara Islam), lebih baik jangan dipakai,
karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, malah ada yang alergi
mendengar istilah itu.”498
Bahkan M. Roem lebih lanjut menyatakan bahwa negara yang didirikan
oleh Nabi Muhammad di Madinah bukanlah negara yang dinamakan dengan
negara Islam. Dia berkata:
Saya rasa yang disusun oleh Nabi di Yastrib, kemudian bersatu dengan
Makkah pada hakikatnya adalah suatu negara, yang tidak dinamakan
negara Islam oleh Nabi sendiri. Saya rasa selama tidak lebih dari tiga
bulan itu di dunia pernah ada “negara Islam” atau Islamic State tidak
dalam nama (What is in a name), melainkan dalam substance, dalam
hakikatnya. Sesudah itu, saya rasa tidak ada lagi negara yang dapat
menyamai negara itu, sebab siapa pun orangnya yang memimpin, ia tidak
dapat menyamai Nabi.499
Dengan mengatakan hal itu, M. Roem nampaknya ingin menegaskan
sebesar apapun usaha umat Islam untuk mendirikan negara yang sama dengan
negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad tidak akan berhasil karena Nabi
SAW adalah seorang Rasul yang tentunya dalam setiap tindakannya
mendapatkan petunjuk langsung dari Allah.
Menurut saya, negara bentukan Nabi SAW memang menjalankan aturanaturan Islam. Tetapi, Nabi SAW tidak pernah secara eksplisit menyebut negara
yang dia pimpin sebagai negara Islam. Jadi, yang dijalankan adalah aturan atau
nilai-nilai keislaman, tetapi bentuk negara itu sendiri secara formal tidak
bernama negara Islam. Dengan demikian, menurut saya, yang paling penting
adalah dijalankannya nilai-nilai keislaman. Hal inilah sebenarnya yang
diinginkan oleh Nurcholish Madjid.
Adapun dari kalangan NU, selain Abdurrahman Wahid, juga terdapat kiai
yang memiliki pandangan yang sama dengan Nurcholish Madjid mengenai
tidak adanya konsep negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Menurut
KH. Achmad Siddiq, Rais Am NU tahun 1984, Islam tidak pernah
497
Mohamad Roem, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting),
Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta:
Djambatan, 1997, hal. 2
498
Ibid.
499
Ibid., hal. 6-7
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara. Menurutnya bentuk
tuntas sebuah negara tidak pernah ditemukan di dalam Alquran maupun Hadis.
Lebih jauh Achmad Siddiq menyatakan bahwa yang menjadi tugas utama
pemerintahan adalah menegakkan keadilan dan menyampaikan amanat kepada
ahlinya.500
Bahkan menurut Achmad Siddiq, Indonesia adalah negara Muslim jika
dilihat dengan kacamata fiqh, bukan kacamata politik. Dalam menyimpulkan
pendapatnya itu, Achmad Siddiq berpegang kepada kitab Bughyah alMustarsyidin, bab al-Amaan (keamanan) dan al-Hudnah wal Jizyah (gencatan
senjata dan upeti), yang menyebutkan: setiap wilayah atau tempat yang pernah
dikuasai oleh orang Islam, nama negara atau wilayah itu tetap Muslim dan
tidak pernah berubah selamanya.501 Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa
Islam pada abad pertama Hijriyah sudah masuk dan berkuasa di Nusantara,
sekalipun dalam ukuran Samudera Pasai (kerajaan Islam pertama di Indonesia
yang didirikan oleh Sultan Malikush Shaleh, persis di tepi sungai Pasai,
Lhokseumawe, Aceh), maka sekalipun kemudian kekuasaan itu terputus oleh
penjajahan Belanda, negara ini, berdasarkan kaidah dalam kitab itu, tetap
Muslim.502
Adapun Dawam Rahardjo berpendapat bahwa konsep “negara Islam”
adalah salah satu jenis kontrak yang bersifat totaliter dan elitis. Menurutnya
dalam konsep seperti itu, elite yang berkuasa adalah mereka yang dinilai
paling mengetahui tentang hukum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling
tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cenderung
bertindak atas nama Tuhan, sepertinya mereka “mengambil alih” kekuasaan
Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan negara, memikul tugas
khilafah.503
Dari beberapa pandangan yang telah penulis kemukakan di atas, dapat
dilihat bahwa mereka sepakat istilah negara Islam tidak ada dalam Alquran.
Istilah negara Islam merupakan hasil ijtihad kaum Muslim dalam menghadapi
500
KH. Achmad Siddiq, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984,
hal. 17
501
Ibid.
Ibid.
503
Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 190
502
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ideologi Barat, seperti kapitalisme dan komunisme. Tidak adanya istilah
negara Islam juga disetujui oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Amien Rais yang
sangat keras mengkritik Nurcholish Madjid mengenai penggunaan istilah
sekularisasi. Dalam hal ini, saya juga berpandangan hal yang sama, yaitu tidak
adanya istilah negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Adapun dalam
sejarah Islam klasik, menurut saya, belum pernah ada secara jelas negara yang
dapat dikatakan sebagai negara Islam, terkecuali pada masa modern, seperti
negara Pakistan, Iran, dan Arab Saudi. Namun demikian, masing-masing
negara itu juga memiliki perbedaan mengenai Islam yang diakuinya, misalnya
Iran menganut Islam Syiah dan Arab Saudi menganut Islam Sunni (Wahabi).
Dalam menilai kritikan maupun dukungan terhadap gagasan Nurcholish
Madjid dapat diambil kesimpulan dari Mochtar Pabottinggi.504 Menurutnya
kesalahan pokok Rasjidi, dalam menilai ide-ide Nurcholish Madjid ialah
ketidaksediaannya atau ketidakmampuannya menangkap niat dari istilahistilah maupun ide-ide Nurcholish Madjid tersebut. Dia, misalnya, mati-matian
hendak menyatuartikan kata sekularisasi, dengan sepenuhnya menafikan
maksud dan konteks yang dikehendaki Nurcholish Madjid. Rasjidi mungkin
lupa bahwa kata, terlepas dari pengaruh diskursus, tidak mungkin berfungsi di
luar kebebasan hakikinya untuk memilih konteks. Dan sesungguhnya
pertandingan antardiskursus itu sendiri mencakup pertandingan antara
pemaknaan-pemaknaan tertentu dari suatu kata. Kata bisa diumpamakan
senantiasa berada dalam rimba, lokasinya harus selalu ditebak dan ditentukan
kembali secara baru. Kata ditandai oleh keterbatasannya dalam menangkap
realitas, dalam mewakili apa yang sungguh-sungguh dimaksud. “Word...”
menurut Joseph Conrad, “are the great foes reality”.505 Namun, orang tokh
tidak bisa berhenti atau menunggu untuk berkata, karena itu merupakan syarat
mutlak untuk berada. Itulah sebabnya maka Ernst Cassirer menyatakan bahwa
“meaning must be explained in terms of being”.506
504
Mochtar Pabottinggi, “Tentang Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim: sebuah
Analisis”, dalam Mochtar Pabottinggi (penyunting), Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni
bukan-Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986, hal. 238
505
Dikutip dari Ibid., hal. 239
506
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Sementara, kesalahan (yang mungkin pada akhirnya telah disadari)
Nurcholish Madjid (dan teman-temannya), menurut Pabotinggi ialah
keterbatasan mereka untuk menangkap kenyataan bahwa, pada Islam, yang
tradisi tidak mesti berarti tradisional.507
Adapun menurut penulis sendiri munculnya kritikan ataupun dukungan
terhadap gagasan Nurcholish Madjid merupakan suatu hal yang wajar saja.
Sebuah pemikiran bagaimanapun juga tidak mutlak benar atau tidak mutlak
salah. Dalam memahami ajaran agama, seseorang sangat bergantung kepada
kemampuan dan metodologi dalam memahami ajaran agama tersebut. Apabila
dia memiliki kemampuan yang bagus dan metodologinya juga baik, maka
hasil yang diperolehnya dalam memahami agamanya juga bagus. Tapi,
kembali lagi bahwa bagus atau tidak itu tergantung kepada orang yang
menilainya.
Namun demikian, menurut penulis, perdebatan yang berlarut-larut
mengenai istilah sekularisasi pada akhirnya memalingkan perhatian terhadap
isi atau substansi dari gagasan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat
Islam dari mensakralkan partai politik dan negara Islam. Padahal yang
terpenting dari sebuah pemikiran atau gagasan adalah isinya karena
sebenarnya isi dari pemikiran itulah yang dapat memberikan pengaruh bagi
orang yang memahaminya, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
5.2 Pengaruh Islam Kultural
Gagasan Islam kultural yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ternyata
memiliki pengaruh positif yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam pada
masa Orde Baru. Namun demikian, ada sebagian kalangan yang berpendapat
bahwa gagasan Islam kultural tidak memberikan pengaruh terhadap umat Islam.
Menurut mereka, pemikiran Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruh
kepada kalangan tertentu saja, misalnya terhadap kalangan intelektual Islam,
sementara terhadap masyarakat luas pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid
tidak memberikan pengaruh apa-apa.
Selain itu, menurut Aminuddin, walaupun gagasan Islam kultural telah
dikumandangkan Nurcholish Madjid sejak awal 1970-an, tepatnya sejak 2 Januari
507
Ibid.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
1970, gagasan ini kurang efektif mempengaruhi agenda strategi politik umat Islam
hingga penghujung dasawarsa 1970-an. Kekurangefektifan gagasan tersebut,
menurut Aminuddin, disebabkan oleh tiga hal508, yaitu pertama gerakan
pemikiran yang dipelopori Nurcholish Madjid masih bersifat elitis karena hanya
mengandalkan diskusi-diskusi terbatas dan jurnal-jurnal ilmiah sebagai sarana
penyebaran idenya. Kedua, seruan Nurcholish Madjid kepada kaum Muslim agar
tidak terlalu mengandalkan perjuangan pada medan politik partisan tenggelam
oleh perdebatan pemikiran teologinya di masyarakat. Ketiga, masih kuatnya
pengaruh penganut strategi lama dalam tubuh kaum Muslimin seperti terlihat
dalam Pemilu 1971 dan 1977. Sementara Nurcholish Madjid sendiri, sebagai
pioner pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No” malah terlibat kampanye PPP
dalam pemilu 1977. Menurut Aminuddin, gerakan Islam kultural baru mulai
memiliki pengaruh yang berarti setelah Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan
melakukan langkah-langkah konkret gerakan Islam kultural dengan memulai
serangkaian rekayasa di NU.509
Ketegasan Islam kultural mengenai tidak adanya negara Islam dan ideologi
Islam membuatnya tidak dicurigai oleh rezim Orde Baru. Menurut Liddle,
semboyan “Islam Yes, Partai Islam No” adalah tepat untuk menggambarkan peran
kelompok Islam dalam pemerintahan Indonesia yang demokratis, berkesan dan
stabil, mengingat Islam sebagai partai akan menimbulkan perlawanan keras dari
kelompok lain. Sebaliknya, Islam dalam bentuk organisasi-organisasi sosial yang
memperjuangkan kepentingan dan wawasan mereka di berbagai lapangan politik
akan berhasil tanpa adanya tantangan dari pihak manapun.510 Sementara itu
menurut Munawir Sjadzali, menteri agama 1983-1993, dengan tiadanya partai
Islam perjuangan kepentingan Islam makin berhasil.511
Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Islam kultural berhasil
memberikan pengaruhnya bagi kemajuan umat Islam Indonesia, seperti
terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Bank Muamalat,
508
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 153
509
Ibid.
510
M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999, hal. 220
511
Sjadzali, Islam Realitas, hal. 61-66
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal, dan Penetapan UU Sistem
Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama yang mengakui eksistensi dan
aspirasi umat Islam. Pada saat yang sama, kegiatan-kegiatan dakwah juga semakin
intensif dan ekstensif.512
Bresnan menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim513, bahwa
sejak 1980-an kelompok Muslim mulai memasuki elit nasional di Indonesia.
Mereka terlibat dalam kegiatan di luar dunia tradisional Islam, akrab dengan
pengelolaan institusi sekular besar dan menikmati keuntungan ekonomi yang
tidak pernah diimpikan oleh para pendiri Sarekat Islam dahulu. Hal itu merupakan
pengaruh dari Islam kultural. Namun saya berpendapat bahwa kemajuan yang
dicapai oleh umat Islam itu tidak semuanya dikarenakan pengaruh dari Islam
kultural. Dalam hal ini, meningkatnya jumlah sarjana-sarjana Muslim juga
berpengaruh bagi meningkatnya peran umat Islam dalam pemerintahan Orde
Baru.
Kemunculan Nurcholish Madjid dengan gagasan Islam kulturalnya juga
membantu mendobrak kungkungan teologis umat Islam yang cenderung bersikap
mengisolasi diri dari “dunia sekular”. Dengan adanya gagasan Nurcholish Madjid
ini, maka umat Islam yang terlibat dalam birokrasi pemerintah menjadi semakin
mantap. Umat Islam yang bekerja di birokrasi pemerintah pada akhirnya
membawa pengaruh yang menguntungkan bagi umat Islam, yaitu adanya gejala
Islamisasi Birokrasi yang marak terjadi pada tahun 1980-an.514 Birokrat Muslim
ini memang tidak memiliki keterkaitan kuat terhadap pemikiran Islam yang
teoritis, tetapi merekalah yang menyediakan mekanisme praktis bagi pembumian
gagasan Islam kultural dalam struktur politik Orde Baru.515
Wakil par excellence dari kaum politisi dan birokrat ini di antaranya
adalah Akbar Tanjung516 (Ketua HMI, 1971-1973) dan Mar’ie Muhammad
512
Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul
Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. xxix
513
Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 198
514
Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 12
515
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 556
516
Akbar Tanjung berkata, “gagasan-gagasan ‘liberal’ Nurcholish Madjid banyak
memberikan inspirasi bagi kalangan aktivis HMI untuk menyelami panggung politik. Menurut
Nurcholish, nilai-nilai yang diperjuangkan harus bersifat universal, bukan simbol-simbol Islam.
Maka, saya berpendapat bahwa dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut pada level praktis tidak
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
(aktivis HMI terkemuka). Di belakang keduanya, terdapat blok intelektual Muslim
berorientasi pragmatis yang lebih menghendaki posisi-posisi politik dan birokrasi,
tetapi tidak bisa mencapainya melalui kendaraan Islam politik. Integrasi mereka
dengan birokrasi dan dunia politik Orde Baru memperkuat “blok-dalam” Muslim
yang telah dirintis oleh intelektual Muslim sebelumnya.517
Bagi intelegensia Muslim dari “blok-dalam”, slogan “Islam Yes, Partai
Islam No” dan penerimaan Pancasila oleh organisasi-organisasi besar Islam
setelah 1983 sangatlah berkaitan. Keduanya dipandang sebagai indikasi
penerimaan diri terhadap ortodoksi negara dan membuka jalan bagi rujuk antara
intelegensia Muslim dan negara serta menjadikan negara lebih responsif terhadap
kepentingan-kepentingan kultural dan posisional kaum Muslim.518
Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini pada akhirnya bisa
membebaskan intelektual Muslim yang terlibat dalam birokrasi dari stigma
sebagai lawan Orde Baru dan membantu memecahkan hambatan psikologis untuk
mengekspresikan dan menyosialisasikan Islam kultural di lingkungan birokrasi.519
Birokrat Muslim pada masa itu secara terbuka, misalnya, melakukan salat
berjamaah, mengadakan acara keagamaan, dan merayakan hari besar Islam.
Mereka juga mendirikan mushalla, dan kemudian mesjid di kantor-kantor
pemerintah. Secara pelan tetapi pasti, birokrat Muslim berani mengekspresikan
identitas Islam mereka, yang diekspresikan melalui penciptaan tradisi baru seperti
pembiasaan ucapan salam, assalamu’alaikum, dan naik haji. Mulailah terjadi
rujuk antara Muslim abangan dan santri di tubuh birokrasi karena yang disebut
pertama secara lambat laun mulai bergabung ke dalam “rumah” Islam kultural.
Banyak birokrat Muslim abangan yang mulai belajar lebih banyak tentang Islam
dengan mengundang guru Islam privat
ke rumah-rumah mereka, termasuk
Presiden Soeharto.520
harus masuk partai Islam. Saya berkeyakinan bahwa aspirasi umat Islam bisa terpenuhi tanpa
partai Islam.” Dikutip dari Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Pengantar Editor”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan
dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hal. xvii
517
Ibid., hal. 556-557
518
Ibid.
519
Ibid., hal. 562
520
Ibid. Di antara guru-guru agama terkenal yang menjadi guru bagi keluarga Soeharto
adalah Quraish Shihab dan Qosim Nurseha.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Muncul akibat-akibat mengejutkan dari perkembangan ini, yang diwakili
cerita B.J. Habibie berikut. Dia bercerita, pernah pada akhir 1970-an, Soeharto
memimpin dan membuka sidang Kabinet dengan menggunakan peci dan
mengucapkan “bismillah”. Habibie kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa
Anda melakukan itu?” Soeharto kemudian menjawab, “Awalnya kita lemah
secara ekonomi. Oleh karena itu, kita membutuhkan lobi Katolik bagi masyarakat
kapitalis internasional dan itulah sebabnya sulit bagi saya untuk mengeksprsikan
identitas Islam saya. Namun, sekarang kita telah cukup kuat untuk menegaskan
identitas kita sendiri.”521
Gerakan Islam kultural yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid
memberikan kontribusi besar terhadap fenomena “penghijauan” atau Islamisasi di
dunia birokrasi dan politik Indonesia.522 Dengan Islam kultural maka terjadilah
proses santrinisasi seperti yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid. Hasilnya, saat
ini tidak ada lagi tokoh Islam santri yang berani mengatakan bahwa di antara
tanda kesempurnaan atau kebaikan keislaman seseorang adalah menjadi anggota
atau aktivis gerakan Islam formal, misalnya. Tidak ada lagi tokoh yang berani
mewajibkan orang Islam untuk memilih partai-partai Islam dalam pemilu seperti
dulu.523
Gagasan Islam kultural kemudian berkembang ke seluruh masyarakat luas
seiring dengan perkembangan gerakan pembaruan di dalam NU. Tokoh utama
yang menjadi penggerak gerakan pembaruan dalam tubuh NU adalah
Abdurrahman Wahid. Menurut Dawam Rahardjo, gagasan Islam kultural
Nurcholish Madjid ini diikuti oleh NU dengan gerakan “Kembali kepada Khittah
1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 dan Muhammadiyah dengan
wacana “Masyarakat Utama”, walaupun dengan dalih lain.524 Dengan “masuknya”
kedua organisasi ini ke dalam gerbong Islam kultural maka secara tidak langsung
521
Habibie menceritakan kisah ini kepada para pemimpin Majelis Sinergi Kalam
(MASIKA-ICMI) pada 5 Mei 1998, sebagimana yang penulis kutip dari ibid, hal. 563
522
Ibid., hal. 573
523
Hajriyanto Y. Thohari, “’Negara Santri’, Menengok Tesis Cak Nur”, dalam Abdul
Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. 31
524
Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”,
dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal. xii
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
membuktikan bahwa kemajuan Islam lebih banyak dicapai melalui kegiatan
kemasyarakatan daripada kegiatan politik.525
525
Ibid., hal. xiii
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB VI
PENUTUP
6.1
Kesimpulan
Islam kultural dalam konsep Nurcholish Madjid tercermin dalam tiga tema pokok,
yaitu “sekularisasi”, “Islam Yes, Partai Islam No”, dan tidak ada konsep Negara
Islam
atau
“apologi
negara
Islam”.
Ketiga
konsep
pemikirannya
itu
diproklamirkan pada tanggal 2 Januari 1970 dan 30 Oktober 1972. Sekularisasi
menjadi faktor utama dalam merumuskan dua tema berikutnya. Menurut
Nurcholish Madjid sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai
yang sudah semestinya bersifat duniawi (profan), dan melepaskan umat Islam dari
kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan kata lain, sekularisasi dalam
pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi terhadap segala sesuatu selain
hal-hal yang benar-benar bersifat Illahiah (transendental), yaitu dunia ini.
Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid bukan dimaksudkan sebagai
penerapan dari sekularisme. Untuk mendukung pandangannya itu, dia mengutip
pendapat yang dikemukakan oleh Robert N. Bellah, Talcott Parson, dan Harvey
Cox.
Dengan sekularisasi, maka segala sesuatu selain Allah, dalam pandangan
Nurcholish Madjid, menjadi tidak sakral. Dalam hal ini partai Islam dan konsep
negara Islam juga menjadi tidak sakral karena ia merupakan urusan duniawi.
Karena kedua hal tersebut tidak sakral maka umat Islam dibenarkan untuk
melakukan ijtihad demi kemajuan umat Islam dan untuk menghadapi tantangan
zaman. Dengan demikian, umat Islam tidak memiliki beban apabila tidak memilih
partai Islam atau tidak menegakkan negara Islam.
Namun di sini, menurut saya, Nurcholish Madjid tidak memberikan
batasan-batasan yang jelas apa saja yang harus dikenakan konsep sekularisasinya.
Saya berpendapat bahwa tidak semua hal yang berkaitan dengan dunia harus
disekularisasikan atau didesakralisasikan. Terdapat beberapa masalah yang harus
tetap disakralkan, misalnya seperti perkawinan. Bagaimanapun juga perkawinan
dalam Islam harus tetap disakralkan karena jika tidak disakralkan yang akan
muncul perzinahan yang merajalela.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
168
Universitas Indonesia
Selain itu, konsep sekularisasi Nurcholish Madjid yang tidak mengenal
batasan—semua nilai-nilai duniawi menjadi tidak mutlak karena hanya Allah
yang mutlak—menurut saya akan mengakibatkan semua nilai-nilai yang ada
menjadi relatif. Dengan demikian, pendapatnya sendiri juga akan terkena
relativitas ini karena ia merupakan bagian dari pemikiran yang menyangkut
masalah-masalah keduniawian, bukan sesuatu yang berkaitan dengan Allah.
Apakah pendapat Nurcholish Madjid ini tidak menjadi relatif? Saya rasa ini tidak
mungkin karena sebagaimana yang dikatakan Nurcholish Madjid sendiri segala
sesuatu
yang
berkaitan
dengan
duniawi
harus
disekularisasikan
atau
didesakralisasikan. Jika semua pendapat menjadi relatif lalu pendapat manakah
atau pendapat siapakah yang akan menjadi pegangan umat Islam?
Dua alasan di atas yang menjadikan saya kurang setuju dengan konsep
sekularisasi Nurcholish Madjid karena dia tidak memberikan batasan-batasan
yang jelas. Seharusnya, Nurcholish Madjid memberikan batasan yang jelas
misalnya konsep sekularisasinya hanya dikenakan kepada partai politik Islam dan
negara Islam. Sementara lainnya tidak.
Sementara itu, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid yang
menekankan pentingnya dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, yaitu
keadilan, kesamaan, partisipasi, musyawarah, dan lain sebagainya tanpa harus
dalam kerangka negara Islam, dapat saya terima. Nilai-nilai keislaman tersebut
dapat dilaksanakan oleh organisasi-organisasi non-politik, seperti organisasi
pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya. Apabila nilai-nilai keislaman
tersebut telah dilaksanakan maka suatu negara, menurut Nurcholish Madjid, apa
pun bentuknya, telah sesuai dengan Islam. Negara Indonesia yang memiliki
ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena nilai-nilai keislaman
telah terkandung dalam sila-sila Pancasila. Oleh karena itu, umat Islam di
Indonesia tidak perlu atau bahkan tidak diharuskan mendirikan negara Islam di
Indonesia.
Pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa tidak ada negara
Islam dalam pandangan saya dapat dibenarkan. Apalagi pendapatnya ini
dikemukakan pada masa awal Orde Baru yang tidak simpati kepada Islam politik.
Dengan mengemukakan pandangan itu, umat Islam dapat berperan aktif dalam
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
pembangunan bangsa Indonesia karena pemerintah Orde Baru tidak lagi
mencurigai mereka sebagai penentang ideologi negara (Pancasila).
Selain itu, menurut saya sebutan negara Islam secara formal memang tidak
pernah ditemukan dalam sejarah Islam klasik (pada masa Nabi dan Khalifah
Rasyidin). Pada masa Nabi SAW memang benar bahwa hukum atau aturan-aturan
yang diterapkan adalah hukum Islam, tetapi Nabi SAW sendiri tidak pernah
secara eksplisit menyebutkan negara yang dipimpinnya itu sebagai negara Islam.
Begitu pula pada masa Khalifah Rasyidin.
Nabi SAW menyerahkan sepenuhnya sistem kenegaraan kepada ijtihad
umat Islam. Misalnya dalam hal pemilihan kepala pemerintahan pada masa
Khalifah Rasyidin. Abu Bakar dipilih sebagai Khalifah menggunakan sistem
pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara itu, Umar
bin Khattab dipilih melalui surat “wasiat” dari Abu Bakar. Artinya, Umar dipilih
sebagai khalifah melalui penunjukan Abu Bakar. Adapun Utsman bin Affan
dipilih berdasarkan perwakilan. Dalam hal ini, sebelum Umar meninggal, dia telah
menunjuk enam orang sahabat terkemuka untuk memilih di antara mereka
menjadi khalifah. Dalam pemilihan itulah Utsman terpilih sebagai khalifah.
Terakhir Ali bin Abi Thalib. Dia dipilih oleh umat Islam tanpa melalui perwakilan
ataupun penunjukan melainkan dipilih langsung oleh umat, karena pada saat itu
umat Islam menganggap sahabat yang paling layak dan masih hidup untuk
dijadikan khalifah adalah Ali. Dari pemilihan keempat Khalifah ini terlihat bahwa
yang menentukan adalah ijtihad umat Islam (sahabat).
Sesudah masa Khalifah Rasyidin, yaitu pada masa Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, yang ada adalah sistem negara Kerajaan (Monarki Absolut) karena
yang memerintah adalah keturunan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan Bani
Abbas. Dalam istilah Nurcholish Madjid masa ini adalah sistem negara Suku.
Pada masa ini umat Islam tidak memiliki hak untuk memerintah karena yang
berhak memerintah adalah keturunan raja. Walaupun keturunan raja itu seorang
yang tidak memiliki akhlak seorang muslim ia tetap dibenarkan menjadi khalifah
seperti Khalifah Yazid bin Muawiyah yang terkenal kejam karena telah
membunuh cucu Nabi SAW, Husein bin Ali. Selain itu, Yazid juga dikenal
sebagai seorang pemabuk. Jika dilihat dari ajaran atau nilai-nilai Islam sudah jelas
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
bahwa ia tidak pantas untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin. Tetapi
dikarenakan sistem negara yang ada ketika itu bukan negara Islam maka hal itu
sah-sah saja.
Di samping itu, menurut saya apabila negara Islam berhasil ditegakkan
maka hukum Islam seperti apa yang akan ditegakkan dalam negara itu. Misalnya
dalam hukum fiqh, apakah hukum yang akan ditegakkan hukum yang bermazhab
Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hambali, Ja’fari, atau lainnya? Dalam bidang teologi,
apakah teologi yang akan diakui oleh negara itu teologi Asy’ariyah, Mu’tazilah,
Qadariyah, Jabariyah, Murjiah atau lainnya. Di Indonesia misalnya apakah yang
akan diakui secara sah oleh pemerintah adalah NU, Muhammadiyah, Persis, atau
lainnya? Atau misalnya negara yang telah berdiri itu tidak merujuk kepada salah
satu mazhab atau golongan yang ada, melainkan berdasarkan penafsiran baru
terhadap ayat-ayat Alquran dan Hadis, maka yang berhak menafsirkan itu siapa?
Apakah mazhab yang telah ada dapat menerima penafsiran “baru” itu? Mengenai
masalah Qunut yang sangat “sepele”, contohnya saja, antara NU dan
Muhammadiyah tidak pernah menemukan kata sepakat. Itu dalam ibadah. Dalam
bidang ekonomi, misalnya, ada yang mengatakan bahwa bunga bank haram, tetapi
ada juga yang mengatakan bunga bank tidak haram. Belum lagi masalah
penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Masalah-masalah ini justru akan
membuat umat Islam yang berada dalam “Negara Islam” menjadi pecah dan tidak
bersatu. Jadi, apa gunanya mendirikan suatu negara yang bernama negara Islam
tetapi yang terjadi malah perpecahan di kalangan umat Islam.
Sementara itu, menurut saya, dengan menjadikan Islam sebagai ideologi
negara akan mengakibatkan Islam setara dengan ideologi-ideologi lainnya, seperti
Pancasila, demokrasi, sosialisme, dan komunisme. Islam seharusnya lebih tinggi
dari ideologi-ideologi itu. Artinya, Islam seharusnya ditempatkan sebagai sumber
bagi ideologi-ideologi yang telah ada, bukan menjadikan Islam setara dengan
ideologi-ideologi itu. Dengan menjadikan Islam sebagai ideologi, justru akan
merendahkan Islam apabila negara tersebut melakukan tindakan-tindakan yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, saya setuju atau membenarkan
pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan tidak ada negara Islam. Saya setuju
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keislaman, seperti
musyawarah, keadilan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Umat Islam dapat
mendorong pemerintah melaksanakan nilai-nilai tersebut melalui organisasiorganisasi kemasyarakatan, pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya.
Jika nilai-nilai itu bisa dikembangkan, maka apa yang diinginkan oleh
Nurcholish Madjid bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat Qurani
yang secara tegas menerima yang ma’ruf dan menolak yang mungkar dapat
tercapai. Dengan begitu kita dibenarkan, lanjut Nurcholish Madjid, memandang
Indonesia sebagai sebuah “Negara Muslim”.
Setelah mengkaji pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Nurcholish
Madjid, saya berkesimpulan bahwa dia sebenarnya menginginkan nilai-nilai
keislaman diterapkan di Indonesia, tetapi bukan dalam kerangka formal negara
Islam. Dengan tidak menyebutkan secara formal Indonesia sebagai negara Islam,
maka nilai-nilai keislaman itu dapat diterima oleh semua golongan dan pemeluk
agama lainnya tanpa harus merasa bahwa mereka telah melaksanakan nilai-nilai
keislaman. Apalagi tulisan ini mengkaji hubungan Islam dengan negara pada masa
Orde Baru yang pada awalnya tidak bersimpati pada Islam. Pendapat Nurcholish
Madjid ini dapat melepaskan umat Islam dari kungkungan perjuangan negara
Islam yang tidak disukai oleh Orde Baru.
Akan tetapi, gagasan Nurcholish Madjid ini kemudian menimbulkan
respons yang luas dari berbagai kalangan, terutama kalangan intelektual Muslim
Indonesia. Bagi para pengkritiknya, gagasan Nurcholish Madjid dianggap akan
membawa kepada penerapan sekularisme dalam Islam. Padahal menurut mereka
dalam Islam istilah itu tidak pernah ada. Istilah tersebut menurut mereka hanya
ada di Barat atau dalam agama Kristen. Dikarenakan istilah sekularisasi tidak ada
dalam Islam maka mereka menolak dengan keras gagasan Nurcholish Madjid
tersebut. Dalam hal ini para pengkritik Nurcholish Madjid menyamakan antara
sekularisasi dan sekularisme.
Dalam pandangan saya, para pengkritik Nurcholish Madjid telah
menyamakan antara sekularisasi dengan sekularisme. Padahal, kedua istilah
tersebut dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki perbedaan yang jelas.
Perbedaan sudut pandang inilah yang menurut saya mengakibatkan perdebatan
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
mengenai gagasan Nurcholish Madjid lebih banyak berkisar pada permasalahan
penggunaan istilah, bukan inti dari gagasannya itu, yaitu membebaskan umat
Islam dari mensakralkan partai politik Islam dan konsep negara Islam.
Sementara itu dari kalangan yang mendukungnya mencoba memberikan
penjelasan bahwa apa yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid tidak
menyimpang dari ajaran Islam. Menurut mereka konsep negara Islam atau yang
disebut dengan negara Islam tidak ada di dalam Alquran maupun Sunnah. Yang
ada di dalam Alquran atau Sunnah, menurut mereka, adalah konsep tentang
kehidupan bermasyarakat, seperti persamaan hak, keadilan, dan lain sebagainya.
Konsep negera Islam, lanjut mereka, merupakan hasil ijtihad kaum Muslim dalam
menghadapi ideologi Barat, seperti demokrasi, kapitalisme, sosialisme, dan
komunisme.
Setelah melakukan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Islam kultural
cukup memberikan pengaruh positif bagi umat Islam di Indonesia pada masa Orde
Baru. Ketegasan Islam kultural mengenai tidak adanya negara Islam dan ideologi
Islam membuatnya tidak dicurigai oleh rezim Orde Baru. Bahkan Islam kultural
mampu merubah persepsi pemerintah Orde Baru yang sebelumnya menganggap
Islam mempunyai keinginan besar untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.
Dengan berubahnya persepsi pemerintah Orde Baru tersebut, maka pemerintah
lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan umat Islam, seperti mengirimkan
dai ke berbagai daerah transmigrasi, membangun masjid melalui Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila yang dipimpin langsung oleh Soeharto, mendukung
pembentukan ICMI, pengesahan undang-undang Peradilan Agama, dan lain
sebagainya. Dukungan pemerintah ini tidak akan ada apabila umat Islam masih
saja terpaku dengan perjuangan politiknya yaitu terbentuknya negara Islam di
Indonesia.
Namun harus diakui bahwa setelah masa Orde Baru, setelah rezim itu
runtuh pada tahun 1998, gagasan Islam kultural menjadi tidak “menarik” bagi
sebagian kalangan di Indonesia karena mereka mungkin berpandangan bahwa
politik akan memudahkan perjuangan umat Islam pada saat kondisi negara dalam
masa transisi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya bermunculan partai-partai
politik Islam di Indonesia, seperti Partai Keadilan (kemudian menjadi Partai
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Keadilan Sejahtera), Partai Bulan Bintang, Partai Masyumi Baru, dan lain
sebagainya. Dengan kembali munculnya partai-partai Islam dapat saya simpulkan
bahwa Islam kultural hanya memberikan pengaruh pada masa Orde Baru, yaitu
ketika umat Islam tidak memperoleh kesempatan secara politik untuk berkembang
dan meraih kekuasaan. Tetapi setelah kesempatan itu ada, umat Islam kembali
memperjuangkan cita-citanya melalui jalur politik. Dengan demikian, gagasan
Islam kultural Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruhnya ketika
pemerintah yang berkuasa tidak memberikan kesempatan untuk berkembangnya
Islam politik.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Karya-karya Nurcholish Madjid
Madjid, Nurcholish. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
________________. (1993). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. cet. V.
Bandung: Mizan.
________________. (1993). Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiranpikiran Nurcholish ‘Muda’. Bandung: Mizan.
________________. (1995). Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina.
________________. (1995). Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi
dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
________________. (1995). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
________________. (1996). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
________________. (1997). Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.
________________. (1997). Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
________________. (1998). Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam
Wacana Sosial Politik Kontemporer. editor: Edy A. Effendi, Jakarta:
Paramadina.
________________. (1999). Cita-Cita Politik Islam era Reformasi. Jakarta:
Paramadina.
________________. (2003). Indonesia Kita. Jakarta: Univeritas Paramadina.
Buku
Abdullah, M. Amin. (2000). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana
Keislaman Kontemporer. Bandung: Mizan.
Abdullah, Taufik, dkk. (editor). (2003). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jilid
ke-5. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ahmed An-Na’im, Abdullahi. (2007). Islam dan Negara
Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan.
Sekular:
Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. (1986). Merambah Jalan Baru Islam,
Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung:
Mizan.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
175
Universitas Indonesia
Ali, Fachry. (1996). Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan
Demokratisasi dalam Islam Indonesia. Surabaya: Risalah Gusti.
Ali, Mukti. (1991). Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan.
Aminuddin. (1999). Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia
Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ananda, Endang Basri (penyunting). (1985). 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi.
Jakarta: Harian Umum Pelita.
Anderson, Ben. (1988). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan
Perlawanan di Jawa 1944-1946. Penerjemah: Jiman Rumbo. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Anshari, Endang Saifuddin. (1997). Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah
Konsesus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (19451959). Jakarta: Gema Insani Press.
Anwar, M. Syafi’i. (1995). Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina.
Aziz, M. Imam, dkk. (penyunting). (1993). Agama, Demokrasi, dan Keadilan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bahar, Saafroedin, et.al. (Penyunting). (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945.
edisi. III. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Barton, Greg. (1999). Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan
Abdurrahman Wahid. Penerjemah: Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina.
Baso,
Ahmad. (2006). NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta:
Erlangga.
Benda, Harry J. (1958). The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under
the Japanese Occupation. W. van Hoeve Ltd. – The Hague and Bandung.
Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia.
Cambridge: Cambridge University Press.
Boland, B.J. (1971). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague:
Martinus Nijhoff.
Bruinessen, Martin van. (1998). Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya.
Burke, Peter. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Penerjemah: Mestika Zed dan
Zulfami. edisi 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Cahyono, Heru. (1992). Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu
sampai Malari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Carvallo, Bosco dan Dasrizal (penyunting). (1983). Aspirasi Umat Islam
Indonesia, Jakarta: LEPPENAS.
Dijk, C. Van. (1983). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers.
Effendy, Bahtiar. (1998). Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
_____________. (2005). Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi,
dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press.
Effendi, Djohan dan Natsir, Ismed (penyunting). (1981). Pergolakan Pemikiran
Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES.
Effendi, Edy A. (editor). (1994). Islam dan Dialog Budaya. Jakarta: Puspa Swara.
Eickelman, Dale F. dan Piscatori, James. (1998). Ekspresi Politik Muslim.
Penerjemah: Rofik Suhud. Bandung: Mizan.
Engineer, Asghar Ali. (1993). Islam dan Pembebasan. Penerjemah: Hairus Salim
HS dan Imam Baehaqy. Yogyakarta: LkiS.
Ensiklopedi Islam. (1994). Jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Fealy, Greg. dan Hooker, Virginia. (editor). (2006). Voices of Islam in Southeast
Asia: a Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications.
Feith, Herbert. (1968). The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia.
Ithaca, New York: Cornell University Press.
___________. (1999). Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: KPG.
Feith, Herbert dan Castles, Lance. (editor). (1988). Pemikiran Politik Indonesia.
Jakarta: LP3ES.
Gunawan, Asep. (2004). Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral ke
Periode Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Gottschalk, Louis. (1985). Mengerti Sejarah. Penerjemah: Nugroho Notosusanto.
Jakarta: UI Press.
Halim, Abdul (editor). (2006). Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan
yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta:
Kompas.
Hamka. (1982). Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Hatta, Mohammad. (1981). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta:
Tintamas Indonesia.
Hassan, Muhammad Kamal. (1987). Modernisasi Indonesia:
Cendekiawan Muslim. Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia (LSI).
Respon
Headley, Stephen C. (2004). Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion, and
Community in Central Javanese Islam. Singapore: ISEAS Pulications.
Hefner, Robert W. (1995). ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah
Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
_______________. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian
Politik. Penerjemah: A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad. Yogyakarta:
LkiS.
_______________. (2001). Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia.
Penerjemah: Ahmad Baso. Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation.
Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad (editor). (2005). Islam, Negara, dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta:
Paramadina.
Indroyono, Gatot (editor). (1997). Islam di Mata Para Jenderal. Bandung: Mizan.
Iskandar, Mohammad. (2001). Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran
Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Matabangsa.
Karim, M. Rusli. (1992). Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru. Yogyakarta:
Media Widya Mandala.
_____________. (1999). Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kahin, George McTurnan. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan.
Kuntowijoyo. (1994). Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta:
Shalahuddin Press.
__________. (2003). Metodologi Sejarah. Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
__________. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Kusuma, Erwien dan Khairul (editor). (2008). Pancasila dan Islam: Perdebatan
antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante.
Jakarta: BAUR Publishing.
Latif, Yudi. (2005). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia
Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES
_________________. (2001). Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, Dilema
Piagam Jakarta dalam Amendemen UUD 1945. Jakarta: Paramadina.
Mahendra, Yusril Ihza. (1999). Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik
Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-iIslami (Pakistan), Jakarta: Paramadina.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi Subandy. (1998). Zaman Baru Islam
Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien
Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman
Wacana Mulia.
Mas’oed, Mohtar. (1989). Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971.
Jakarta: LP3ES.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Meuleman, Johan (editor). (2001). Islam in the Era Globalization: Muslim
Attitudes towards Modernity and Identity. Jakarta: INIS.
Mintaredja, Syafaat. (1976). Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia.
Jakarta: PT. Septenarius. Cetakan Kedua.
Mu’nim D.Z, Abdul (editor). (2000). Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta:
Kompas.
Munawar-Rachman, Budhy (penyunting). (2008). Ensiklopedi Nurcholish
Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Indramayu: Yayasan
Pesantren Indonesia Al-Zaytun.
Muzani, Saiful (editor). (1993). Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Nadroh, Siti. (1999). Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Nasery B., Akmal. (1991). Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia. cet. III. Bandung: Mizan.
Nasution, Adnan Buyung. (1995). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Penerjemah:
Sylvia Tiwon. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (penyunting). (1985). Perkembangan
Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Natsir, Mohammad. (2000). Islam sebagai Dasar Negara. Penyunting: Edy
Riyanto dan Tatang T. Sundesyah. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, Universitas Mohammad Natsir, dan Penerbit Media Dakwah.
Noer, Deliar. (1987). Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti
Pers.
__________. (1996). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. cet. ke-8.
Jakarta: LP3ES
Noer, Deliar dan Akbarsyah. (2005). KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat,
Parlemen Indonesia 1945-1950. Jakarta: Yayasan Risalah.
Nordholt, Henk Schulte, et.al (editor). (2008). Perspektif Baru Penulisan Sejarah
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: KITLV-Jakarta; Denpasar:
Pustaka Larasan.
Notosusanto, Nugroho. (1979). The PETA Army During The Japanese Occupation
of Indonesia. Tokyo: Waseda University Press.
Pabottinggi, Mochtar (penyunting). (1986). Islam: Antara Visi, Tradisi, dan
Hegemoni bukan-Muslim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pardoyo. (1993). Sekularisasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Rais, M. Amien. (1987). Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung:
Mizan.
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Rasyid, Daud. (2002). “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan.
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Rasjidi, M. (1972). Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang
Sekularisasi. Jakarta: Bulan Bintang.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi.
Ridwan, M. Deden. (2002). Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam
dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan. Yogyakarta: Belukar Budaya.
Saidi, Ridwan. (2007). Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah,
Jakarta: MaHMIlub.
Sasono, Agus Edi (penyunting). (1997). Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat
Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Jakarta: Djambatan.
Sjadzali, Munawir. (1991). Islam dan Tata Negara: Aliran, Sejarah, dan
Pemikiran. Jakarta: UI Press.
_______________. (1993). Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan
Bangsa. Jakarta: UI Press.
Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Suhelmi, Ahmad. (1999). Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan
Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler. Jakarta: Darul Falah.
Syamsuddin, Din. (2001). Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos.
Syamsuddin, Nazarudin. (1984). PNI dan Kepolitikannya. Jakarta: Rajawali Press.
Tanja, Victor Immanuel. (1982). Himpunan Mahasiswa Islam. Penerjemah:
Hersri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Thaba, Abdul Azis. (1996). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press.
Tim Peduli Tapol. (1998). Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat
Islam. Yogyakarta: Wihdah Press.
Yustiono, et. al (editor). (1993). Islam dan Kebudayaan: Dulu, Kini, dan Esok.
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Wawancara
Irfan Abu Bakar, Direktur CSRC (Center for the Study of Religion and Culture)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Juni 2010.
Hadi, Mahasiswa Manajemen Universitas Paramadina, 7 Juni 2010
Rian, Mahasiswa Psikologi Universitas Paramadina, 7 Juni 2010
A. Satori Ismail, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah,
Direktur Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah Jakarta, Ketua IKADI (Ikatan
Dai Indonesia), dan Pembina Pesantren Al-Hasan di Bekasi, Pesantren Khusnul
Khotimah di Kuningan, Pesantren Al-Himmah dan Pesantren Al-Bayyan di
Cirebon, serta Pesantren Bani Abdillah Al-Khairiyyah di Banten, 10 Juni 2010
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Surat Kabar, Majalah, Jurnal, dan Website
D & R, No. 05/XXVII/14 September 1996
Forum Keadilan, No. 26, Th. IV, 8 April 1996
Harian Abadi, 3 November 1970
Harian Abadi, 5 Desember 1972
Indonesia Raya, 9 November 1972
Kompas, 3 November 1985
Kompas, 14 Februari 1999
MATRA, No. 77 Desember 1992
Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982
Panji Masyarakat, No. 379/1982
Pikiran Rakyat, 20 Juli 1985
PRISMA, No. 1, Tahun XXII, 1993
The Journal of Asian Studies. Vol. 46, No. 3. Agustus 1987
Tempo, 1 Mei 1972
Tempo, 15 April 1972
Tempo, 12 Agustus 1972
Tempo, 2 Desember 1972
Tempo, 29 Desember 1984
Tempo, 14 Juni 1986
Tempo, 12 Maret 1983
Tempo, 11 September 2005
Tempo, 21/XXXVII/14-20 Juli 2008
Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. IV, 1993
www.kompas.com, 30 Agustus 2005
www.tokohindonesia.com, 30 Agustus 2005
www.wikipedia.com, 3 Juni 2010
Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
Download