UNIVERSITAS INDONESIA ISLAM KULTURAL: KAJIAN PEMIKIRAN POLITIK NURCHOLISH MADJID 1970-1998 TESIS JAMILLUDIN ALI NPM 0806436062 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JUNI 2010 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia UNIVERSITAS INDONESIA ISLAM KULTURAL: KAJIAN PEMIKIRAN POLITIK NURCHOLISH MADJID 1970-1998 TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M. Hum) dalam bidang Ilmu Sejarah JAMILLUDIN ALI NPM 0806436062 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPOK JUNI 2010 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Jakarta, 30 Juni 2010 Jamilludin Ali Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Jamilludin Ali NPM : 0806436062 Tanda Tangan : ............................... Tanggal Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 : 30 Juni 2010 Universitas Indonesia Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ﺑﺴﻢ ا ﷲ ا ﻟﺮ ﺣﻤﻦ ا ﻟﺮ ﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang menciptakan segala makhluk-Nya dengan prinsip keadilan, cinta dan kasih sayang. Shalawat dan salam senantiasa dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul pencinta ilmu pengetahuan dan keadilan, Ahlul Bait, sahabat, dan kaum muslimin. Alhamdulillah selesainya tesis ini merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagi penulis. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berjasa membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini sehingga bisa diujikan. Penghargaan dan rasa terima kasih pertama-tama penulis haturkan kepada Pembimbing Tesis, Dr. Mohammad Iskandar, yang senantiasa meluangkan waktu dan tenaganya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini, bukan saja persoalan-persoalan esensial dalam penulisan tesis ini, tapi juga ketelitiannya dalam menelaah teks-teks paragraf demi paragraf yang berujung pada penambahan pengetahuan yang baru bagi penulis. Untuk Dr. Priyanto Wibowo sebagai Ketua Departemen Sejarah dan Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si sebagai Sekretaris Departemen Sejarah dan Pembimbing Akademik, yang dengan tulus telah bersedia memberikan perhatian, pemikiran, dan waktu pada saat dibutuhkan selama kuliah dan proses penulisan tesis. Untuk para anggota Tim Penguji Tesis yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga, Dr. Anhar Gonggong, Dr. H. Ita Syamtasiyah Ahyat, Bondan Kanumoyoso M. Hum. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wiwik dan Ibu Tri yang merupakan pegawai sekretariat bersama Program Studi Ilmu Sejarah yang telah banyak membantu penulis dalam memudahkan pengurusan administrasi akademik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada senior-senior penulis, Bang Dr. Zayadi Hamzah, Bang Nasrun Supardi MA, Bang Suparhun MA dan Bang Zulkifli Ph.D, yang telah bersedia berdiskusi dan memberikan dorongan Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia untuk segera menyelesaikan tesis ini. Kepada Satera penulis ucapkan terima kasih atas pinjaman koleksi karya Nurcholish Madjid yang penulis butuhkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fuad yang bersedia menemani penulis menemui narasumber di sela-sela kesibukannya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada staf-staf Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan FIB, Perpustakaan FISIP, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama yang telah mempermudah penulis dalam mencari sumber-sumber yang penulis butuhkan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan tahun 2008: Pak Rio, Mas Fauzi, Bang Rijal, Bang Sofyan, Kang Pepen, Bang Mangapul, Mba Siska, dan Dita, yang menjadi teman-teman diskusi serta saling memberikan semangat dan dukungan untuk segera menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dewi K Sari yang selalu menyemangati, mendorong, dan mendukung penulis ketika penulis membutuhkan itu semua. Terima kasih juga kepada Bapak, Ibu, dan Bambang yang telah mendoakan penulis. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis tercinta, Abak Ali Sabar dan Amak Rabias, yang selalu mendukung keinginan penulis, selalu memberikan apa yang penulis inginkan, dan selalu mendoakan penulis hingga penulis bisa menyelesaikan studi ini. Abak, Amak, terima kasih. Terima kasih juga penulis haturkan kepada kakak-kakak penulis beserta keluarga, Ni Duas, Dadek, Dadin, Ni Ai, Ni Gadi, dan Abang Sawal, yang telah mendukung dan mendoakan penulis. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari dalam tesis ini masih terdapat kekurangan. Kritik dan saran akan menjadi solusi yang tepat untuk melengkapi kekurangannya. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Depok, 30 Juni 2010 Penulis Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Jamilludin Ali NPM : 0806436062 Program Studi : Ilmu Sejarah Departemen : Sejarah Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid 1970-1998 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagaipenulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 30 Juni 2010 Yang menyatakan ( Jamilludin Ali ) Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....................... vii ABSTRAK ......................................................................................................... viii ABSTRACT ......................................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... x DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ........................................................ xii PERSEMBAHAN.............................................................................................. xiv 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Pokok Permasalahan ................................................................................. 10 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 11 1.4 Ruang Lingkup .......................................................................................... 11 1.5 Metode Penelitian dan Sumber ................................................................. 12 1.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 13 1.7 Kerangka Teori ......................................................................................... 16 1.8 Sistematika Penulisan ............................................................................... 19 2. BIOGRAFI SINGKAT NURCHOLISH MADJID 2.1 Riwayat Pendidikan .................................................................................. 21 2.2 Aktivitas Intelektual dan Organisasi ......................................................... 29 2.3 Karya-karya ............................................................................................... 43 3. PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM ORDE BARU (1942-1965) 3.1 Islam Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945).................................. 53 3.1.1 Piagam Jakarta ................................................................................. 60 3.2 Islam Pada Masa Revolusi (1945-1949) ................................................... 67 3.3 Islam Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)............................ 73 3.3.1 Perdebatan Dasar Negara dalam Konstituante ................................. 74 3.4 Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965) .............................. 88 4. KONSEPSI ISLAM KULTURAL NURCHOLISH MADJID 4.1 Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong Munculnya Islam Kultural ........................................................................ 93 4.2 Islam Kultural Dalam Konsepsi Nurcholish Madjid............................... 106 4.3 Sumber Pemikiran Nurcholish Madjid.................................................... 125 5. RESPONS DAN PENGARUH ISLAM KULTURAL 5.1 Respons Terhadap Islam Kultural ........................................................... 132 5.1.1 Kritikan Terhadap Islam Kultural .................................................. 133 5.1.2 Dukungan Terhadap Islam Kultural ............................................... 148 5.1.2.1 Dukungan dari Pemerintah Orde Baru .................................... 148 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 5.1.2.2 Dukungan dari Intelektual Muslim ......................................... 155 5.2 Pengaruh Islam Kultural ......................................................................... 162 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 168 7. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 175 LAMPIRAN Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Daftar Singkatan dan Istilah BPUPKI : Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia GPI : Gerakan Pemuda Islam HMI : Himpunan Mahasiswa Islam ICMI : Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ITB : Institut Teknologi Bandung Masjumi : Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia MIAI : Majelis Islam A’la Indonesia MPRS : Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPI : Majelis Permusyawaratan Islam Parmusi : Partai Muslimin Indonesia Persami : Persatuan Sarjana Muslim Indonesia Perti : Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia PII : Pelajar Islam Indonesia PKI : Partai Komunis Indonesia PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PNI : Partai Nasional Indonesia PSII : Partai Syarikat Islam Indonesia NU : Nahdlatul Ulama SDI : Sarikat Dagang Islam WASP : White Anglo-Saxon Protestant langgar : masjid kecil tempat mengaji atau salat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; musala ukhrawi : mengenai akhirat jumud : beku; statis nuktoh : titik ijtihad : usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Alquran dan Sunah; pendapat; tafsiran Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia taklid : keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya; peniruan apologi : tulisan atau pembicaraan formal yang digunakan untuk mempertahankan gagasan, kepercayaan, dan lain sebagainya. profan : lawan sakral; duniawi fardhu kifayah : kewajiban bersama bagi mukalaf (muslim dewasa), yang apabila sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain bebas dari kewajiban itu fardhu ‘ain : kewajiban perseorangan muhajirin : kaum Muslim Mekkah yang pindah ke Yastrib (Madinah) anshar : kaum Muslim Madinah yang membantu kaum Muslim dari Mekkah Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ABSTRAK Nama : Jamilludin Ali Program Studi : Ilmu Sejarah Judul : Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid 1970-1998 Tesis ini membahas pemikiran Nurcholish Madjid yang berkaitan dengan gagasan Islam kultural, yaitu sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam. Gagasan Islam kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid menekankan bahwa perjuangan kepentingan umat Islam tidak hanya dilakukan melalui jalur politik saja, tetapi dapat dilakukan melalui jalur lainnya, seperti pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya. Selain itu, gagasan ini mengutamakan terealisasinya nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, persamaan hak, partisipasi, dan musyawarah, dalam masyarakat Indonesia, bukan pembentukan negara Islam secara formal. Kata kunci: Islam, Sejarah Pemikiran, Nurcholish Madjid Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ABSTRACT Name : Jamilludin Ali Study Program: Science of History Title : Cultural Islam: Study of Nurcholish Madjid’s political thought 1970-1998 The focus of this study is Nurcholish Madjid’s thought associated with the idea of cultural Islam, namely secularization, the slogan "Islam Yes, Islamic Party of No", and rejection of Islamic state. Cultural Islamic ideas developed by Nurcholish Madjid emphasized that the struggle for the interests of Muslims is not only done through political channels, but can be made through other channels, such as education, preaching, art, and others. Also, this idea gives priority to the realization of Islamic values in the Indonesian people, such as justice, equal rights, participation and deliberation, not the formal establishment of an Islamic state. Keywords: Islam, history of thought, Nurcholish Madjid Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia PERSEMBAHAN Tesis ini dipersembahkan untuk kedua orang tercinta Ali Sabar dan Rabias Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan Piagam Jakarta yang mencantumkan tujuh kata penting, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada awalnya, Piagam Jakarta telah disepakati akan dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Namun, setelah pemerintah pusat Republik Indonesia dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945, Piagam Jakarta batal dijadikan dasar negara. Hal ini karena adanya peringatan dari angkatan laut Jepang yang memperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen, Katolik dan Protestan, tidak akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan.1 Akibat peringatan Jepang itu, akhirnya ketujuh kata tersebut hilang. Sebagai gantinya, atas usul Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah ketika itu, ditambahkan sebuah kalimat baru yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.2 Peristiwa penghilangan ketujuh kata itu bisa dikatakan sebagai kebesaran hati dari pemimpin Islam politik untuk mengalah demi persatuan Indonesia.3 Namun, penghilangan ketujuh kata itu juga menimbulkan kekecewaan bagi sebagian kalangan Islam politik di Indonesia yang menginginkan pendirian negara Islam (penerapan syariat Islam). Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1981, hal. 58. Lihat juga Saafroedin Bahar, et.al. (Penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, Edisi III, hal. 415 2 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 5 3 Namun demikian, C.A.O Van Nieuwenhuijze berpendapat bahwa penerimaan Pancasila sebagai dasar negara bukan berarti kekalahan umat Islam. Pancasila, menurutnya mengandung prinsip-prinsip yang sesuai dengan Islam, yaitu Keesaan Tuhan, demokrasi, keadilan sosial, dan kemanusiaan, sehingga Pancasila mengandung perspektif religius yang berfungsi sebagai landasan sosial-politis bersama bagi umat Islam dan kelompok-kelompok lainnya. Untuk lebih jelasnya lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 23-28 1 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 1 Universitas Indonesia Setelah penghilangan ketujuh kata tersebut, semangat Islam politik tidak pernah hilang untuk kembali menegakkan negara Islam atau pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Selama masa Revolusi tahun 1945-1949, keinginan golongan Islam politik harus tertunda dahulu karena semua elemen bangsa dikerahkan untuk melawan kembalinya Belanda. Kesempatan itu akhirnya datang juga pada era Demokrasi Parlementer. Pada pemilu September 1955 partai politik Islam, Masjumi dan NU, berturut-turut berhasil menduduki peringkat kedua dan ketiga setelah PNI.4 Namun, besarnya suara partai politik Islam tidak langsung menjamin terbentuknya negara Islam dengan mudah. Untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Islam yang sempat tertunda karena Revolusi, golongan Islam politik menyalurkan cita-citanya melalui Konstituante. Di Konstituante terjadi perdebatan berkepanjangan karena usaha golongan Islam politik itu mendapatkan perlawanan keras dari golongan sekuler. Akibat perlawanan keras itu, usaha Islam politik, yang diwakili oleh Masjumi, NU, PSII, dan Perti, kembali tidak berhasil mewujudkan Islam sebagai dasar negara (negara Islam). Melihat perdebatan yang berkepanjangan, Presiden Soekarno kemudian menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan parlemen hasil pemilu tahun 1955 dan memberlakukan kembali undang-undang dasar yang lama (UUD 1945).5 Partai-partai Islam, yaitu 4 PNI mendapat 57 kursi (22,3%), Masjumi 57 kursi (20,9%), NU 45 kursi (18,4%), PKI 39 kursi (16,4%), PSII 8 kursi (2,9%), Parkindo 8 kursi (2,6%), Partai Katholik 6 kursi (2,0%), PSI 5 kursi (2,0%), dan Perti 4 kursi (1,3%), sedangkan kursi-kursi lainnya yang berjumlah 28 kursi (8,3,0%) diperoleh partai-partai kecil. Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1968, hal. 434-435 5 Pembubaran Konstituante dengan alasan tidak tercapainya kesepakatan antara golongan pendukung negara Islam dan pendukung Pancasila masih menyisakan perdebatan. Menurut sebagian kalangan berpendapat bahwa pembubaran itu bukan karena tidak tercapainya kesepakatan antara pendukung negara Islam dengan pendukung Pancasila, melainkan karena keinginan Soekarno yang merasa tidak memiliki peran yang besar dalam sistem Parlementer dan dorongan dari Angkatan Darat. Ketua Konstituante, Wilopo, dalam penutupan sidang Panitia Perumus Konstitusi pada 18 Februari 1959, menyatakan kepada sidang dengan perasaan puas bahwa Konstituate telah dapat menyelesaikan 90% tugasnya. Sisa yang 10% itu berhubungan dengan tugas sidang umum Konstituante berupa perubahan, pemilihan alternatif, dan pengesahan pada Sidang terakhir Konstituante. Dengan melihat pernyataan Ketua Konstituante tersebut, maka alasan pembubaran Konstituante karena tidak adanya kesepakatan antara golongan Islam dengan golongan Pancasila pada dasarnya kurang tepat karena Konstituante pada kenyataannya telah menyelesaikan 90% kerjanya. Untuk lebih jelasnya baca Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. Lihat juga Erwien Kusuma dan Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Masjumi, NU, PSII, dan Perti, termasuk partai yang tidak bisa berbuat banyak dalam menentang kebijakan Soekarno ini. Akibat pembubaran Parlemen ini, perjuangan Islam politik untuk membentuk negara Islam di Indonesia kembali gagal. Pada masa awal Orde Baru, Islam politik di Indonesia seakan mendapat secercah harapan untuk kembali mengusung isu syariat Islam. Pada 20 Februari 1968, partai politik berbasis Islam modernis bernama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) didirikan. Pendirian partai ini dilakukan setelah usaha perehabilitasian partai Masjumi tidak diizinkan pemerintah. Dengan didirikannya partai ini, golongan Islam politik, khususnya kalangan Islam modernis, mendapatkan kembali sarana untuk mewujudkan cita-cita mendirikan negara Islam. Dalam Sidang MPRS tahun 1966, umat Islam menuntut agar Piagam Jakarta tetap disebut dalam teks-teks resmi, dan pada tahun 1967-1968, tokohtokoh Islam menghendaki agar Piagam Jakarta dicantumkan dalam GBHN.6 Tuntutan ini bertujuan agar hukum Islam memiliki basis konstitusional sehingga bisa diterapkan bagi umat Islam. Namun, usulan tersebut ditolak.7 Dengan penolakan pengakuan Piagam Jakarta ini, golongan Islam politik kembali harus mengalami kekecewaan karena usaha mereka kembali menemukan kegagalan. Walaupun terjadi kegagalan perjuangan Islam politik di Indonesia, perhatian atau apresiasi terhadap Islam di Indonesia mengalami peningkatan. Sebagaimana diketahui, pasca peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang kekerasan terhadap golongan komunis di berbagai wilayah Indonesia. Kekerasan ini mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan komunis. Dua tahun setelah kekerasan ini, orang-orang Jawa Muslim di wilayah Pasuruan8, meningkat Khairul, “Detik-detik Menjelang Bubarnya Konstituante” dalam Erwien Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Jakarta: BAUR Publishing, 2008, hal. xiii 6 Kurniawan Zein dan Saripudin HA, “Piagam Jakarta dan Syariat Islam di Indonesia: Catatan atas kontroversi amandemen pasal 29 UUD 1945” dalam A. Syafii Maarif, Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta: Paramadina, 2001, hal. xix 7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2008, hal. 580581 8 Pasuruan merupakan bekas basis penganut aliran kejawen. Antara tahun 1965-1966, terjadi peningkatan besar-besaran dalam jumlah jamaah salat Jumat di Wonorejo, satu desa di daerah Pasuruan, yaitu dari sebelumnya hanya berjumlah 10-15 jamaah menjadi ratusan jamaah. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan di masjid karena dengan cara itu tuduhan sebagai komunis menjadi berkurang.9 Selain Pasuruan, di desa Tegalroso (bukan nama sebenarnya) di pedalaman Jawa Tengah juga mengalami hal yang serupa. Menurut Bambang Pranowo,10 yang melakukan penelitian terhadap desa tersebut, terjadi peningkatan kesadaran keagamaan di desa itu. Desa Tegalroso sebelumnya, tahun 1966, dikenal sebagai daerah basis PKI dan PNI. Secara sosial, desa ini terkenal sebagai tempat para pelaku tindakan kriminal. Perjudian dan pencurian merupakan hal yang lazim. Di bidang agama, kebanyakan penduduk di desa ini, jika dilihat dari luar, termasuk ke dalam kategori “Muslim nominal” atau abangan. Namun setelah tahun 1966, pengaruh budaya keagamaan santri terus meningkat di kalangan penduduk desa. Hal ini ditunjukkan dengan bertambahnya masjid dan langgar. Namun demikian, peningkatan ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kampanye pengganyangan PKI. Artinya, warga desa melaksanakan salat dan pergi ke tempat-tempat ibadah untuk menunjukkan bahwa mereka tidak terlibat dengan PKI.11 Sementara itu, di kalangan mahasiswa juga terjadi peningkatan perhatian terhadap Islam. Namun demikian, di kalangan mahasiswa peningkatan perhatian terhadap Islam lebih disebabkan oleh peningkatan pengajaran pelajaran agama di universitas-universitas sekuler. Artinya, peningkatan ibadah dalam kalangan mahasiswa tidak memiliki kaitan langsung dengan ketakutan dicap sebagai komunis, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat di wilayah Pasuruan dan Tegalroso. Di ITB (Institut Teknologi Bandung) misalnya, sebelum peristiwa 30 September, mahasiswa yang melakukan salat Jumat digelari “Unta Arab”.12 Setelah peristiwa 30 September, gelar tersebut tidak ditemukan lagi karena terjadi peningkatan perhatian mahasiswa terhadap Islam. Akan tetapi pada pertengahan tahun 1967, ketika situasi politik kembali stabil, jumlah jamaah yang hadir ke masjid kembali mengalami penurunan. Lihat Robert W. Hefner, “Islamizing Java? Religion dan Politics in Rural East Java”, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 46, No. 3, Agustus 1987, hal. 536 dan 541 9 Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, (Penerjemah A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad), Yogyakarta: LkiS, 1999, hal. 359 10 M. Bambang Pranowo, “Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa”, dalam Saiful Muzani (editor), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993, hal. 179 dan 189 11 Ibid., hal. 189-190 12 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 518 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Peningkatan perhatian terhadap Islam tersebut, terlepas dari apa pun motif di belakangnya, ternyata tidak lepas dari perhatian Nurcholish Madjid. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, pada akhir tahun 1969, terjadi perkembangan positif dalam umat Islam. Menurutnya daerah-daerah yang dulunya kurang mengenal Islam secara baik, kemudian menjadikan Islam sebagai agama utamanya, di samping agama-agama lain yang sudah ada. Di sisi lain, Nurcholish Madjid juga melihat meningkatnya apresiasi dan respons kalangan kelas sosial masyarakat yang lebih tinggi kepada Islam. Hal itu terlihat, misalnya, dalam pengamalan kehidupan beragama mereka sehari-hari ataupun dalam pernyataan dan sikap mereka yang resmi. Dengan nada bertanya Nurcholish Madjid menyatakan apakah perkembangan itu akibat dari daya tarik yang jujur dari ideide Islam atau hanya sekedar gejala adaptasi sosial karena perkembangan politik di tanah air, yaitu kalahnya kaum komunis yang memberikan kesan kemenangan di pihak Islam?13 Sebaliknya, peningkatan apresiasi atau perhatian terhadap Islam di atas, tidak diikuti oleh para pemimpin Islam. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, para tokoh senior, pemimpin dan elite umat Islam masih saja terlibat dalam konflik-konflik politik internal yang berkepanjangan dan melelahkan. Sedang di pihak lain, muncul perkembangan-perkembangan baru yang menuntut adanya pemikiran alternatif baik di bidang agama maupun sosial politik. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, partai dan organisasi-organisasi Islam justru tidak peka terhadap adanya perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat. Partai-partai Islam, menurut pandangan Nurcholish, tidak berhasil membangun citra positif dan simpatik di mata masyarakat dan juga pemerintah.14 Para tokoh 13 Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, cet. V, Bandung: Mizan, 1993, hal. 205 14 Ibid., hal. 204-214. Timbulnya kesan tidak baik masyarakat terhadap partai politik nampaknya didasari oleh adanya anggota partai politik yang hanya mengambil kesempatan untuk memperoleh jabatan dalam pemerintahan melalui partai politik. Setelah mereka berhasil duduk dalam pemerintahan, perhatian kepada masyarakat menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Selain itu, anggota-anggota partai politik juga terlibat dalam tindakan korupsi. Adapun citra negatif partai politik di mata pemerintahan Orde Baru dikarenakan pada masa-masa sebelumnya, pada masa Demokrasi Parlementer misalnya, partai politik saling menjatuhkan. Akibatnya, pembangunan banyak yang tidak berjalan. Dengan kenyataan seperti itu, pemerintah Orde Baru akhirnya kurang simpatik kepada partai politik karena khawatir “pembangunan”, sebagaimana yang menjadi slogan utama Orde Baru, tidak berjalan. Pada akhirnya, sikap tidak simpatik Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Islam dan partai politik Islam masih saja disibukkan oleh cita-cita pendirian negara Islam. Padahal, usaha itu telah beberapa kali menemukan kegagalan. Berdasarkan pengamatannya itu, dia berkesimpulan bahwa masyarakat sebenarnya tidak tertarik kepada partai-partai dan ormas Islam. Ketertarikan mereka kepada Islam bukanlah karena keberadaan partai-partai atau organisasi kelembagaan Islam, tetapi lebih kepada substansi ide-ide keislaman itu sendiri. Dengan kata lain, mereka lebih terikat pada nilai-nilai ajaran Islam (Islamic injuctions) itu sendiri, dan bukan pada wadah atau kelembagaan-kelembagaan Islam (Islamic Institutions) yang mengklaim sebagai penyebar ide dan pemikiran keislaman serta aspirasi umat Islam.15 Namun demikian, kesimpulan Nurcholish Madjid ini jika dilihat kepada kondisi masyarakat, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, tidak seluruhnya benar karena ternyata peningkatan perhatian masyarakat terhadap Islam disebabkan takut dicap sebagai komunis, seperti dalam kasus masyarakat di Pasuruan dan Tegalroso. Sementara itu, apabila dilihat dalam kasus mahasiswa, kesimpulan Nurcholish Madjid ini agaknya dapat dibenarkan karena sebagaimana yang terjadi di ITB peningkatan itu dikarenakan adanya pengajaran agama terhadap mahasiswa. Untuk mendukung kesimpulannya itu, maka pada tanggal 2 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish Madjid menyampaikan pidatonya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Pidato itu disampaikan pada acara malam silaturrahmi organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa, dan sarjana Muslim yang tergabung dalam HMI, GPI, PII, dan Persami. Dalam pidatonya itulah muncul istilah “sekularisasi” dan slogan “Islam, Yes, Partai Islam, No” yang menimbulkan beragam rekasi dari umat Islam. Nurcholish Madjid sebagai tokoh pertama yang mendorong gerakan Islam kultural pada awalnya menjadi “bulan-bulanan” kelompok yang menentangnya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid terjebak pemikiran pemerintah itu menjelma dalam peraturan fusi partai-partai politik hanya menjadi dua partai politik saja. 15 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Yahudi, berorientasi elitis, memberi angin kepada kristenisasi, terjebak dalam strategi Ali Moertopo, dan lain sebagainya.16 Dua tahun kemudian, yaitu pada 30 Oktober 1972 bertempat di Taman Ismail Marzuki dalam acara “Calender of Events” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Nurcholish Madjid kembali menyampaikan ceramahnya yang berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam Indonesia”. Dalam ceramahnya itu Nurcholish Madjid dengan tegas mengatakan bahwa konsep “Negara Islam” adalah suatu kecenderungan apologetis karena tidak ada dalam Islam.17 Di Indonesia, sebelum Nurcholish Madjid melontarkan gagasannya itu telah terdapat dua cara dalam memandang hubungan Islam dengan negara, namun, pada masa Nurcholish Madjid lah formulasi kedua pandangan itu menjadi jelas.18 Pandangan pertama ialah Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh yang diwujudkan dengan pelaksanaan syariat Islam. Pandangan seperti ini disebut dengan Islam politik. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian populer disebut Islam kultural.19 Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam.20 Menurut pemikiran ini, yang paling penting adalah 16 Budhy Munawar-Rachman, “Berbagai Respon atas Gagasan Pembaruan”, dalam Ulumul Qur’an No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 55-56 17 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam Indonesia”, dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, hal. 253-255. 18 Namun perlu ditegaskan di sini bahwa perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia bukan berarti baru muncul setelah Nurcholish Madjid membacakan makalah pembaruannya. Jauh sebelum itu, pada tahun 1930-an, telah terdapat perdebatan antara Soekarno dengan Mohammad Natsir mengenai “peran” agama (Islam) dalam Negara. Di dalam sidang BPUPKI perdebatan ini kembali muncul. Perdebatan mengenai hubungan Islam dan Negara akhirnya mencapai puncaknya pada Sidang Konstituante. 19 Menurut Dawam Rahardjo kemunculan istilah Islam kultural di Indonesia ditengarai terjadi pada tahun 1980-an. Namun, sebagai wacana, Islam kultural sudah lama ditengarai ada di Indonesia. Bahkan, menurut Dawam, sebagai gejala sosiologis dan keagamaan, Islam kultural sudah muncul sejak awal perkembangan Islam di Indonesia. Lihat Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hal. v 20 Menurut Deliar Noer yang dimaksud negara Islam adalah negara yang berdasar Islam, syariat Islam harus berlaku atau diterapkan, dan hukum Islam harus ditegakkan. Dalam hal ini, Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.21 Dalam istilah Nurcholish Madjid, Islam kultural ini kemudian menjadi jelas dengan “sekularisasi atau desakralisasi”, slogan “Islam Yes, Partai Islam, No”, dan penolakan terhadap negara Islam atau “apologi negara Islam”.22 Dalam bukunya, Islam Agama Kemanusiaan, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan (hubungan) yang jelas antara agama dan politik dalam Islam. Menurutnya, politik merupakan aspek konsekuensi yang penting dalam Islam tetapi ia bukanlah satu-satunya aspek yang terpenting.23 Ketidakjelasan hubungan politik dan agama dalam Islam dicontohkan Nurcholish Madjid dalam kasus polemik tentang imam dalam tradisi klasik pemikiran Islam. Sebagaimana yang diketahui, konsep imam memiliki makna yang berbeda antara Islam Sunni dan Islam Syiah. Islam Syiah berpandangan imam merupakan wujud penyatuan yang sempurna antara masalah duniawi dan ukhrawi. Sedangkan Islam Sunni membedakan masalah duniawi dan ukhrawi dalam pengertian imam. Oleh karena itulah, Nurcholish Madjid, sebagaimana dia juga mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah, menyatakan bahwa cara teraman untuk menyimpulkan polemik tersebut adalah dengan menyatakan tidak adanya hubungan yang jelas antara agama dan politik dalam Islam.24 Nampaknya, sudut pandang ini menjadi salah satu pertimbangan bagi Nurcholish Madjid untuk menghindari pensakralan terhadap politik dan akhirnya mengembangkan konsep Islam kultural. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sejak dari semula mengajarkan taat kepada hukum, dengan berpangkal dari ketaatan kepada hukum keagamaan, dan ketaatan kepada hukum dari Allah adalah bagian dari sikap pasrah (islâm) kepada-Nya. Semangat ajaran yang menaati hukum itu dapat Islam dinyatakan secara formal dalam Undang-Undang Dasar negara. Dengan demikian, pengertian pelaksanaan syariat Islam termasuk ke dalam pengertian negara Islam. Lihat Deliar Noer, “Kata Pengantar”, dalam Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara, penyunting Edy Riyanto dan Tatang T. Sundesyah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Universitas Mohammad Natsir, dan Penerbit Media Dakwah, 2000, hal. xiii 21 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 16 22 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 204-208 23 Madjid, Islam Agama, hal. 18 24 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia dikembangkan secara modern, sehingga mencocoki tuntutan zaman sekarang.25 “Berkenaan dengan ini, ada semacam optimisme pada bangsa kita, berdasarkan kenyataan bahwa sebagian besar bangsa kita adalah Muslim,” sebut Nurcholish Madijd.26 Munculnya Islam kultural tidak terlepas dari keinginan intelektual muda Islam, yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid, untuk tidak larut dalam kekecewaan setelah melihat Islam politik tidak mendapat tempat di Indonesia. Sementara, umat Islam di Indonesia harus terus maju dan berkembang. Islam kultural yang dimotori oleh Nurcholish Majdid menginginkan umat Islam tetap berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia dengan cara lain. Artinya, Islam kultural menginginkan umat Islam tidak hanya terpaku kepada politik semata tetapi umat Islam dapat melakukan hal lain yang bermanfaat dalam membangun Indonesia, seperti dalam bidang pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya.27 Dengan demikian, kemunculan Islam kultural merupakan alternatif atas kebuntuan dan kegagalan perjuangan gerakan Islam politik di Indonesia dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam, khususnya pada masa awal Orde Baru. Sebagaimana gerakan pembaruan lainnya, Islam kultural yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid itu tidak sepi dari kritikan dan serangan keras dari penentangnya. Nurcholish Madjid mengatakan: Tahun 1970 merupakan tahun yang benar-benar penting dalam kehidupan pribadi saya. Itu karena pada awal tahun itulah saya melontarkan pemikiran tentang pembaruan pemikiran Islam yang kemudian menimbulkan kontroversi dan kehebohan. Sekalipun banyak unsur aksiden di dalamnya, unsur ketidaksengajaan, toh peristiwa itu saya rasakan amat besar pengaruhnya terhadap diri saya—sampai sekarang.28 Polemik mengenai pemikiran Nurcholish Madjid itu terus menghiasi halaman media massa di Indonesia pada tahun 1970-an. Banyak dari sahabat, tokoh senior, dan intelektual yang mengkritik pemikirannya itu, seperti Prof. Dr. H.M. Rasjidi, M. Natsir, Buya Hamka, Ismail Hasan Metareum, Endang 25 Ibid., hal. 83 Ibid. 27 Wawancara dengan Irfan Abu Bakar di Ciputat, 5 Juni 2010. 28 Budhy Munawar-Rachman, “Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia”, dalam Abdul Halim (editor), Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2006, hal. 113 26 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Saefuddin Anshari, dan lain-lain. Rasjidi merupakan salah satu tokoh yang paling keras mengkritik Nurcholish Madjid. Dalam kritikan kerasnya Rasjidi mengatakan bahwa titik tolak pandangan Nurcholish Madjid mengenai negara Islam sama dengan pandangan agama Protestan.29 Walaupun demikian, ada juga kalangan yang memiliki pandangan yang sama dengan pemikirannya itu, seperti Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Harun Nasution, dan lain-lainnya. 1.2 Pokok Permasalahan Islam kultural muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap umat Islam Indonesia yang mengalami kekecewaan dan ketidakberdayaan dalam merealisasikan citacita politiknya, yaitu diakuinya hukum Islam oleh negara sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu tindakan pemerintah Orde Baru yang menekan gerakan Islam politik juga menjadi pemicu munculnya Islam kultural. Islam kultural berusaha mencari arena baru bagi umat Islam agar dapat berperan serta dalam membangun bangsa setelah sebelumnya aspirasi politik umat Islam tidak dapat direalisasikan. Nurcholish Madjid sebagai pelopor gerakan Islam kultural berpendapat bahwa membangun bangsa berarti membangun umat Islam karena umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam harus berperan aktif dalam membangun bangsa tanpa harus melalui jalur politik saja. Islam kultural selama masa Orde Baru memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembangunan umat Islam Indonesia. Namun, seperti apa pengaruh Islam kultural dan sejauh mana pengaruhnya terhadap umat Islam perlu dilakukan penelitian lebih mendalam terhadap gerakan ini. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid. 2. Bagaimana respons umat Islam terhadap gagasan Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid. H.M. Rasjidi, “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, dalam Harian Abadi, Selasa, 5 Desember 1972. Kritikan Rasjidi tersebut kemudian dibukukan, lihat M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 75. Untuk lebih detailnya, kritikan atau respons terhadap gagasan Nurcholish Madjid akan dibahas dalam BAB V. 29 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 3. Bagaimana pengaruh Islam kultural dalam kehidupan umat Islam di Indonesia pada masa Orde Baru. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah menjelaskan konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid. Hal ini penting diketahui agar konsep Islam kulturalnya itu menjadi jelas dan terhindar dari kesalahpahaman dalam memberikan penilaian. Selain itu, penjelasan secara mendetail terhadap konsep Islam kultural Nurcholish Madjid dapat menghindari sikap penolakan yang tidak kritis terhadap Nurcholish Madjid atau penerimaan “sepenuh hati” dan “membabi buta” tanpa ada analisis kritis terhadapnya. Di samping itu, pemaparan berbagai respons dari kalangan umat Islam juga menjadi tujuan penelitian ini. Dengan memaparkan berbagai respons tersebut dapat dilihat keragaman pemikiran Islam di Indonesia. Keragaman respons itu menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi umat Islam Indonesia karena betapa pun berbedanya corak pemikiran namun tidak membawa kepada kekerasan fisik. Tujuan lainnya adalah menjelaskan pengaruh Islam kultural terhadap kehidupan umat Islam di Indonesia. Dengan menjelaskan pengaruh Islam kultural dapat diketahui apakah pemikiran Nurcholish Madjid ini membawa pengaruh yang positif bagi umat Islam Indonesia atau sebaliknya membawa pengaruh yang negatif. 1.4 Ruang Lingkup Rentang waktu penelitian ini dimulai tahun 1970 sampai tahun 1998. Dipilihnya tahun 1970 sebagai tahun permulaan kajian ini dikarenakan pada tahun itu, tepatnya pada pada tanggal 2 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta, Nurcholish Madjid melontarkan gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No” yang kemudian dikenal dengan gagasan Islam kultural. Pada waktu itu Nurcholish Madjid menyampaikan pidato pembaruannya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Adapun tahun 1998 dipilih sebagai akhir tahun penelitian dikarenakan pada tahun itu pemerintahan Orde Baru berakhir. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Islam kultural muncul sebagai alternatif atas diberangusnya Islam politik oleh Orde Baru. Setelah Orde Baru runtuh, Islam kultural bukan berarti mati, tetapi ia mengalami perkembangan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi Indonesia pada masa reformasi. Penelitian ini dibatasi hanya pada pemikiran Nurcholish Madjid yang berkaitan dengan gagasan Islam kultural, yaitu sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam. Pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid lainnya, seperti konsep tiada tuhan (dengan “t” kecil) kecuali Tuhan (dengan “T” besar) dan menyamakan semua agama wahyu, seperti Kristen dan Yahudi sebagai agama islam (sikap pasrah kepada Allah), tidak termasuk dalam cakupan penelitian ini. 1.5 Metode Penelitian dan Sumber Kegiatan penelitian ini disesuaikan dengan langkah-langkah yang terdapat dalam metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik (heuristics) merupakan kegiatan mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data, materi sejarah, atau evidensi sejarah.30 Pengumpulan sumber primer dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara. Proses pencarian sumber dilakukan di sejumlah tempat yang diyakini menyimpan sumber-sumber primer. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan FIB UI, Perpustakaan FISIP UI, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama. Di perpustakaan-perpustakaan tersebut, tahap heuristik dilakukan dengan penelusuran dan pencarian karya-karya atau tulisan Nurcholish Madjid pada periode 1970-1998. Tidak semua tulisan Nurcholish Madjid yang diambil. Tulisan atau karya-karya Nurcholish Madjid yang diambil adalah yang berkaitan dengan gagasan Islam kulturalnya. Dikarenakan Nurcholish Madjid tergolong ke dalam 30 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2007, hal. 86 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia cendekiawan Muslim yang banyak menghasilkan tulisan, maka proses pemilahan tulisan-tulisannya cukup menguras waktu, apalagi tulisan-tulisannya tersebar dalam berbagai buku dan media cetak lainnya, seperti koran dan majalah. Adapun sumber sekunder penelitian ini adalah buku-buku atau artikel yang relevan atau berkaitan dengan kajian. Setelah sumber-sumber itu berhasil dikumpulkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal dan internal. Kritik eksternal adalah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek ‘luar’ dari sumber sejarah. Kritik internal menekankan pada aspek ‘dalam’ yaitu isi dari sumber: kesaksian.31 Setelah melakukan kritik terhadap sumber yang didapatkan, langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi atau penafsiran. Pada tahap ini, saya banyak mengutamakan analisis sumber sejarah. Penafsiran terhadap sumbersumber sejarah seperti tulisan Nurcholish Madjid penting dilakukan agar pemikiran Nurcholish Madjid dapat dipahami dengan baik. Selain itu, dengan melakukan penafsiran terhadap tulisannya itu maka dapat dilihat konteks waktu dan tujuan tulisan itu dibuat oleh Nurcholish Madjid. Setelah melalui proses heuristik, kritik, dan interpretasi tahap terakhir adalah historiografi. Secara bahasa historiografi maknanya adalah sejarah penulisan sejarah. Artinya sumber-sumber sejarah yang telah melalui proses kritik dan interpretasi pada akhirnya menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian atau penemuan dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi. 1.5 Tinjauan Pustaka Sejak Nurcholish Madjid melontarkan gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam pada tahun 1970-an, telah banyak penulis yang mencoba membahas pemikirannya itu. Di antara buku yang membahas pemikiran Nurcholish Madjid adalah buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru yang ditulis oleh 31 Ibid., hal. 132-143 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Fachry Ali dan Bahtiar Effendy.32 Buku yang diterbitkan pada tahun 1986 ini membicarakan tentang perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disertai dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pemikiran Islam itu. Dalam buku ini, juga dibicarakan pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid. Pembahasan tentang Nurcholish Madjid lebih terfokus kepada gerakan pembaruannya yang disebutkan dalam buku itu dengan istilah gerakan “pemikiran baru”. Artinya buku ini fokus membicarakan pembaruan pemikiran Nurcholish Madjid, tetapi tidak membicarakan lebih jauh perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid. Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam bukunya ini berusaha memetakan corak pemikiran intelektual Muslim di Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mereka masukkan ke dalam intelektual yang memiliki corak pemikiran neo-modernisme, yaitu intelektual yang mencoba menggabungkan dua pemikiran, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Selain Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid juga mereka masukkan ke dalam corak pemikiran ini.33 Sementara itu, mereka juga menyebutkan tiga corak pemikiran intelektual lainnya, yaitu sosialisme demokrat, universalisme, dan modernisme. Corak pemikiran sosialisme demokrat berusaha melihat cita-cita keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Yang termasuk ke dalam corak pemikiran ini adalah M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo. Adapun corak 32 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986 33 Abdurrahman Wahid walaupun besar dan berkembang di kalangan tradisionalis (NU), namun dalam pemikiran-pemikirannya banyak membicarakan tentang modernisasi. Persamaan antara Nurcholish Madjid dengan Abdurrahman Wahid nampaknya terletak pada perhatian mereka terhadap permasalahan modernisasi. Sedangkan perbedaannya adalah Nurcholish Madjid membicarakan modernisasi dengan merujuk kepada peradaban Islam klasik, sementara itu Abdurrahman Wahid berbicara peradaban Islam klasik dalam kerangka modernisasi. Artinya, dapat dikatakan ketika berbicara modernisasi Abdurrahman Wahid berangkat dari peradaban klasik Islam, sedangkan Nurcholish Madjid berangkat dari modernisasi barulah merujuk kepada peradaban klasik Islam. Namun demikian, saat ini terdapat beberapa penulis yang membantah penyamaan antara Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Di antara penulis itu adalah Ahmad Baso dalam bukunya yang berjudul NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Dalam bukunya ini Ahmad Baso menjelaskan perbedaan antara Abdurrahman Wahid dengan Nurcholish Madjid. Di antaranya seperti kecenderungan Nurcholish Madjid yang selalu menampilkan citra yang “Islami”, misalnya dengan banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis, mencari “Islam yang asli dan murni”, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal, Jakarta: Erlangga, 2006, hal. 161-162 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia pemikiran universalisme memandang Islam sebagai ajaran yang universal. Mereka yang masuk ke dalam corak pemikiran ini adalah M. Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, dan A.M. Saefuddin. Intelektual yang mencoba melibatkan Islam ke dalam persoalan-persoalan sosial-politik secara lebih luas dimasukkan ke dalam corak pemikiran modernisme, mereka ini adalah Djohan Effendi dan Ahmad Syafi’i Maarif. Secara keseluruhan buku Merambah Jalan Baru Islam ini membahas perkembangan pemikiran di Indonesia pada tahun 1980-an. Nurcholish Madjid, sebagai salah satu intelektual yang masuk ke dalam salah satu corak pemikiran yang dibuat oleh buku ini, menjadi pembicaraan bersama dengan intelektualintelektual lainnya. Fokus pembicaraan Nurcholish Madjid lebih banyak kepada gerakan “pemikiran baru”-nya. Karya lain yang membicarakan tentang Nurcholish Madjid adalah buku Muhammad Kamal Hassan yang berjudul Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim.34 Buku Muhammad Kamal Hassan ini membicarakan tentang berbagai macam respons cendekiawan Muslim di Indonesia dalam menghadapi perkembangan modernisasi di Indonesia pada masa Orde Baru. Nurcholish Madjid sebagai salah satu cendekiawan Muslim di Indonesia juga dibicarakan di dalam buku ini. Namun demikian, buku ini memandang pemikiran Nurcholish Madjid dari sisi kalangan reformis atau kalangan pengkritik Nurcholish Madjid sehingga kesimpulan yang didapatkan adalah pemikiran Nurcholish Madjid bid’ah (sesat atau menyimpang). Penelitian tesis ini berusaha menjelaskan konsep pemikiran Nurcholish Madjid secara jelas sehingga penghakiman terhadap pemikirannya dapat dihindarkan. Sementara itu, Siti Nadroh menulis buku yang berjudul Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid.35 Buku ini membicarakan tentang pandangan keagamaan dan politik Nurcholish Madjid. Penulis buku ini membagi pemikiran Nurcholish Madjid kepada dua macam, yaitu pemikiran keagamaan dan politik. Selain itu, Siti Nadroh juga menyinggung pembaruan pemikiran 34 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Penerjemah Ahmadi Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987 35 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nurcholish Madjid pada awal 1970-an. Secara keseluruhan buku ini membicarakan tentang pemikiran Nurcholish Madjid tanpa membicarakan pengaruh dari pemikiran Nurcholish Madjid itu dalam umat Islam. Jadi, buku ini hanya memfokuskan kajiannya kepada pemikiran Nurcholish Madjid tanpa melihat konteks, waktu, dan pengaruh pemikiran Nurcholish Madjid bagi umat Islam Indonesia. Adapun buku yang membicarakan tentang Islam kultural di antaranya adalah buku Dinamika Islam Kultural yang ditulis oleh Amin Abdullah.36 Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Amin Abdullah. Buku ini mendefiniskan Islam kultural sebagai Islam yang mengandung pengertian bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat atau masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang Islami. Definisi Islam kultural seperti ini membawa penulis buku ini kepada kesimpulan bahwa Muhammdiyah adalah organisasi kultural di Indonesia. Oleh karena itu, sebagai besar pembahasan buku ini terfokus kepada Muhammadiyah. Dari berbagai buku yang telah ada, kajian ini memiliki perbedaan dari segi kekhususan penelitian mengenai pemikiran Nurcholish Madjid mengenai Islam kultural. Selain itu, kajian ini juga berusaha membahas pengaruh pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid terhadap umat Islam Indonesia, yang belum diangkat oleh karya-karya yang telah ada. Hal ini penting karena Islam kultural pada masa Orde Baru dianggap mampu memberikan solusi untuk kemajuan umat Islam setelah Islam politik mengalami kemandegan bahkan dicurigai pemerintah. 1.6 Kerangka Teori Munculnya suatu pemikiran tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan itu menuntut adanya kreatifitas dari kalangan elit masyarakat agar perubahan sosial yang terjadi bisa membawa kebaikan bagi masyarakat. Namun demikian, setiap kreatifitas untuk menghadapi perubahan sosial akan membawa perubahan terhadap pemikiran yang sudah mapan. Artinya, M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000 36 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia untuk menghadapi perubahan sosial dibutuhkan pembaruan pemikiran agar pemikiran yang telah “mapan” menjadi sesuai dengan perubahan sosial yang ada. Menurut Fazlur Rahman37 untuk memahami pembaruan pemikiran Islam dapat dijelaskan dengan mengemukakan dialektika pembaruan dalam Islam yang dapat dibagi menjadi empat gerakan. Pertama, gerakan revivalis, muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat. Ciri-ciri gerakan ini adalah himbauan untuk kembali ke Islam orisinal, dengan menanggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional, berusaha melakukan ijtihad, dan himbauan untuk membuang corak dan pendekatan predeterministik. Kedua, gerakan modernis. Pelopor gerakan ini adalah Sayyid Ahmad Khan di India, Jamaluddin al-Afghani di Timur Tengah dan Muhammad Abduh di Mesir. Gerakan ini masih tetap menjadikan revivalisme pra-modernis sebagai dasar melakukan pembaruan. Di samping itu, yang baru dari gerakan modernis adalah perluasan isi ijtihad, seperti hubungan antara akal dan wahyu, pembaruan sosial, khususnya dalam bidang pendidikan dan status wanita, serta pembaruan politik dan bentuk-bentuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Gerakan ini lahir juga karena ada proses dialektika dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Kalangan modernis ini sedikit sekali yang bersandar pada hadis. Dengan kata lain gerakan ini bersikap skeptis terhadap hadis, karena hadishadis sering bertolak belakang dengan banyak hal penting bahkan bertentangan dengan al-Quran.38 Ketiga, neo-revivalisme yang dipelopori oleh Abul A’la Al-Maududi di Pakistan. Gerakan ini mendukung gagasan demokrasi dan berusaha mempraktikkan bentuk pendidikan Islam yang relatif telah dimodernisasi. Bahkan gerakan ini mendasari dirinya pada basis pemikiran kalangan modernis yaitu Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun 37 Fazlur Rahman, “Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa ini”, dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal. 21-22 38 Ibid., hal. 26-29 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia kolektif. Akan tetapi, karena usahanya untuk membedakan dirinya dari Barat, maka neo-revivalisme merupakan reaksi terhadap modernis. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernis, tetapi sayangnya mereka tidak mampu mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain hanya berusaha membedakan Islam dari Barat. Keempat, neo-modernis yang dipelopori oleh Fazlur Rahman sendiri. Neomodernisme dapat dipahami sebagai gerakan pemikiran Islam yang liberal, progresif yang muncul setelah modernisme dan sintesis antara wawasan Islam tradisional dengan penekanan modernisme atas rasionalitas, ijtihad, dan pemikiran Barat Modern.39 Menurut Greg Barton40 kemunculan pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, didorong oleh iklim politik dan sosial yang unik pada masa Orde Baru, yaitu pengabaian Orde Baru terhadap kelompokkelompok Islam agar tidak terlibat langsung dalam partai politik maupun proses demokrasi. Pengabaian ini kemudian mendorong para intelektual muda untuk memusatkan diri pada wilayah pemikiran semata daripada aktivitas politik. Namun demikian, menurut Barton, faktor politik di atas sesungguhnya tidak dapat menjelaskan secara detail besarnya antusiasme yang melanda pemikiran Islam progresif ini. Menurutnya hal yang paling penting adalah ketertarikan luar biasa pada ide-ide mengenai pemisahan antara gereja dan negara, pemisahan antara keimanan pribadi dengan partai politik, yang pada gilirannya hal ini membawa pada ide tentang negara ‘sekular’ (non-sektarian). Begitu juga konsep bahwa ijtihad harus dikontekstualisasikan atau dikembangkan agar mampu menjawab tuntutan masyarakat Indonesia modern. Dalam pemahaman lebih umum, suburnya ide-ide seperti ini merupakan hasil proses modernisasi dan globalisasi di masyarakat Indonesia.41 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, penerjemah: Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. xx-xxi 40 Ibid., hal. 2 41 Ibid., hal. 3 39 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Gerakan neo-modernisme mencerminkan perkembangan modernisme Islam yang lebih jauh di mana keahlian dan pengetahuan klasik maupun tradisional digabungkan dengan pendekatan aktual dalam menafsirkan sebuah teks. Seperti modernisme, neo-modernisme secara dasariah merupakan tanggapan dalam pemikiran Islam terhadap tekanan, tantangan, serta peluang-peluang modernitas. Namun berbeda dengan modernisme, ia berpaham pemisahan antara gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan langsung kelompokkelompok agama ke dalam partai politik secara tidak terelakkan akan menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan aliranaliran keagamaan.42 Selain itu, gerakan neo-modernisme tersusun dari hasil perkembangan modernisme sebelumnya, namun ia sangat religius dan penuh motivasi dalam memperhatikan perkembangan Islam progresif dan masyarakat Islam Indonesia. Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Fazlur Rahman, gerakan neo-modernis Islam Indonesia sarat perhatian pada pembentukan metodologi yang universal dan permanen terhadap tafsir Alquran, yakni tafsir yang rasional dan peka pada konteks historis dan budaya, baik terhadap segi teks aslinya maupun terhadap masyarakat modern yang kini tengah mencari pegangan. Aspirasiaspirasi yang ditanamkan oleh kelompok pemikiran ini tidak dengan menengok ke belakang, sebaliknya ia diorientasikan ke masa datang dan diharapkan mampu memecahkan kebutuhan dan tantangan dalam mode yang positif dan progresif.43 Teori yang dikemukakan oleh Greg Barton di atas dapat membantu memahami pemikiran Islam kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid. Pemikiran Nurcholish Madjid bagaimana pun juga memiliki kaitan yang jelas dengan pemikiran-pemikiran yang telah ada sebelumnya seperti misalnya pemikiran Ibn Taimiyah yang menjadi pegangan bagi kalangan modernis. Selain itu, dengan menggunakan teori Barton ini dapat diketahui nuansa-nuansa politik pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid karena pada awalnya kemunculan pemikiran ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi perpolitikan di Indonesia. Teori Ibid., hal. 5 Ibid., hal. 15 42 43 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ini juga dapat membantu memperjelas sisi kereligiusan pemikiran Nurcholish Madjid. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I diawali dengan pendahuluan yang meliputi latar belakang; pokok permasalahan; tujuan penelitian; ruang lingkup; metode penelitian dan sumber; tinjauan pustaka; kerangka teori; dan sistematika penulisan. Adapun Bab II berisi tentang biografi singkat Nurcholish Madjid, meliputi masa muda, aktivitas intelektual dan organisasi, dan karya-karya. Sedangkan Bab III berisi tentang sekilas perkembangan Islam di Indonesia sebelum Orde Baru (1942-1965) yang meliputi Islam pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), dengan sub bab Piagam Jakarta; Islam pada masa Revolusi (1945-1949), Islam pada masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), dengan sub bab perdebatan dasar negara dalam Konstituante, dan Islam pada masa Demokrasi Terpimpin (19601965). Sementara itu, Bab IV berisi konsepsi Islam kultural Nurcholish Madjid, yang meliputi perkembangan Islam pada awal Orde Baru dan faktor pendorong munculnya Islam kultural, Islam kultural dalam konsepsi Nurcholish Madjid, dan sumber pemikiran Nurcholish Madjid. Adapun Bab V berisi respons dan pengaruh Islam kultural, yang terdiri dari respons terhadap Islam kultural dengan sub bab kritikan terhadap Islam kultural dan dukungan terhadap Islam kultural, dengan sub bab dukungan dari pemerintah Orde Baru dan dukungan dari intelektual Muslim, dan pengaruh Islam kultural. Sistematika penulisan tesisi ini diakhiri dengan Bab VI, yaitu penutup yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dijelaskan dalam kesimpulan. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB II BIOGRAFI SINGKAT NURCHOLISH MADJID 2.1 Riwayat Pendidikan Nurcholish Madjid dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358 H), dari kalangan keluarga pesantren tradisional. Ayahnya, bernama H. Abdul Madjid,44 adalah seorang kiai alim hasil godokan pesantren Tebuireng, dan termasuk ke dalam keluarga besar Nahdatul ‘Ulama (NU), yang secara personal memiliki hubungan dekat dengan KH. Hasyim Asy’ari,45 salah seorang pendiri NU, namun secara politik berafiliasi dengan partai politik Islam modernis, yaitu Masjumi.46 Sementara ibunya, adalah adik dari Rais Akbar NU, dari ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri, sewaktu organisasi ini masih dipegang oleh para kiai.47 Dengan orang tua yang memiliki wawasan yang cukup luas dalam bidang agama Islam, Nurcholish Madjid memiliki kesempatan besar untuk banyak belajar 44 Meskipun pendidikan resmi Abdul Madjid hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), tetapi dia memiliki pengetahuan yang luas. Fasih dalam bahasa Arab dan mengakar dalam tradisi pesantren, Abdul Madjid seringkali dipanggil “Kiai Haji” sebagai ungkapan penghormatan bagi ketinggian ilmu-ilmu keislaman yang dimilikinya, walau dia sendiri secara pribadi tidak pernah menyebut dirinya kiai dan tidak pernah secara resmi “bergabung dengan kalangan” ulama. Meskipun dia tetap menyebut dirinya sebagai “orang biasa”, namun hal itu tidaklah membendung keinginannya untuk membangun sebuah madrasah. Bahkan dia menjadi pemeran utama dalam pembangunan madrasah yang dia kelola sendiri, dan juga paling berperan dalam membesarkan serta mengawasi Madrasah al-Wathaniyah, di Mojoanyar, Jombang. Madrasah tersebut membuka proses kegiatan belajar mengajar pada sore hari dan sering disebut “sekolah sore”, yang dipersiapkan untuk para siswa yang mengikuti SR di pagi hari. Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, penerjemah Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 72 45 KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu pendiri organisasi Islam tradisionalis terbesar di Indonesia, NU. Abdul Madjid adalah salah seorang murid kesayangan Kiai Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Untuk beberapa tahun lamanya ayah Nurcholish Madjid belajar langsung di bawah bimbingan Hasyim Asy’ari, bahkan pernah dinikahkan dengan keponakan Sang Guru, Halimah (setelah cerai menjadi Nyai Kiai Adlan Ali dan Abdul Madjid sendiri kemudian menikah dengan gadis lain atas pilihan Sang Guru yang melahirkan Nurcholish Madjid). Lihat Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, hal. 122 46 Keteguhan Abdul Madjid dalam hal afiliasi politiknya dengan Masjumi tidak tergoyahkan walaupun banyak dari saudara-saudaranya yang berpindah ke NU setelah NU keluar dari Masjumi. Lihat Greg Fealy dan Virginia Hooker (editor), Voices of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications, 2006, hal. 220 47 Kompas, Minggu, 3 November 1985, hal. 2 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 21 dari orang tuanya. Dengan demikian, Abdul Madjid banyak memberikan pengaruh kepada Nurcholish Madjid, baik dalam hal keilmuan atau pun motivasi dalam menuntut ilmu. Seperti yang pernah disebutkan oleh Nurcholish Madjid sendiri mengenai hobi membacanya yang dia warisi dari ayahnya, dia berkata: Membaca buku bagi saya merupakan hobi. Setiap mau tidur saya selalu membaca dan ini saya warisi dari ayah saya. Waktu kecil saya sering tidur di samping ayah, sebelum tidur dia selalu membaca sambil merokok. Cara ayah mensosialisasikan kebiasaan membaca pada saya tersebut, terulang pada anak-anak saya (kecuali tidak sambil merokok).48 Dikarenakan hobi membacanya itu, Ahmad Wahib, sahabat Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa buku adalah pacar Nurcholish Madjid yang pertama.49 Berkat hobi membacanya ini, Nurcholish Madjid memiliki “peralatan” yang cukup untuk menganalisis berbagai sumber ilmu pengetahuan, baik Islam maupun Barat, yang berguna untuk mengembangkan pemahaman keislamannya. Posisi ayahnya yang tetap berpegang pada kebiasaan NU dalam hal keagamaan, namun berafiliasi kepada Masjumi dalam hal politik, juga membawa pengaruh kepada Nurcholish Madjid. Dalam hal ini, Abdul Madjid nampaknya ingin menunjukkan bahwa dasar keagamaan seseorang tidak menghalanginya untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu yang berbeda dengan dasar keagamaannya. Artinya, Abdul Madjid ingin menunjukkan bahwa partai politik bukanlah sesuatu yang mutlak berkaitan dengan agama. Tetapi, partai politik hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, ia bukan tujuan itu sendiri. Oleh karena itu, partai politik bukanlah yang terpenting. Di kemudian hari, pemikiran ini menjadi lebih jelas dalam pemikiran Nurcholish Madjid dengan konsep “sekularisasi”-nya atau “desakralisasi”. Nurcholish Madjid mendapatkan pendidikan dasar (Sekolah Rakyat) di Mojoanyar dan Bareng. Selain belajar di Sekolah Rakyat, dia juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri di Mojoanyar, Jombang. Pada masa pendidikan dasarnya inilah, Nurcholish Madjid sudah menampakkan kecerdasannya dengan berkali-kali menerima penghargaan 48 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 126 Djohan Effendi dan Ismed Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981, hal. 160-167 49 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia atas prestasinya. Hal ini menimbulkan rasa malu dan rasa kagum ayahnya karena kedudukan sang ayah saat itu sebagai pendiri dan pengajar di madrasah alWathaniyah.50 Melihat latar pendidikannya ini, maka dapat diketahui bahwa sejak kecil Nurcholish Madjid telah menerima dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum (SR) dan pendidikan agama (madrasah). Dengan sistem pendidikan seperti ini, Nurcholish Madjid memperoleh keuntungan karena dia menerima dua macam bidang keilmuan sekaligus, yaitu pengetahuan umum dan agama. Sistem pendidikan seperti ini sangat membantunya dalam perkembangan pemikirannya selanjutnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada usia 14 tahun, Nurcholish Madjid kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren (tingkat menengah SMP) Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang. Tetapi karena dia berasal dari keluarga NU yang Masjumi, maka dia tidak betah51 di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini. Nurcholish Madjid berkata: Ayah saya sendiri dimusuhi oleh para kiai di Jombang. Karena situasi seperti ini, lalu saya minta agar ayah pindah saja ke NU.52 Akan tetapi, usul Nurcholish Madjid itu ditolak oleh ayahnya dengan alasan yang bisa berpolitik itu Masjumi, bukan NU. Lagi pula, menurut Nurcholish Madjid, ayahnya berpendapat bahwa KH. Hasyim Asy’ari sendiri pernah berfatwa bahwa Masjumi merupakan satu-satunya wadah aspirasi umat Islam Indonesia.53 50 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123 Tidak betahnya Nurcholish Madjid di Pesantren Darul ‘Ulum berkaitan dengan persoalan ayahnya. Ayah Nurcholish Madjid, KH. Abdul Madjid, sebagai warga NU tetap memegang pilihan politiknya kepada Masjumi (pada mulanya Masjumi juga merupakan pilihan politis warga NU termasuk para tokoh-tokohnya), sementara tokoh-tokoh NU lainnya yang karena satu dan lain hal memilih keluar dari Masjumi. Sikap politik ayah Nurcholish Madjid yang tetap berafiliasi ke Masjumi inilah yang membawa dampak kehadiran Nurcholish Madjid di Pesantren Darul ‘Ulum kurang mendapat sambutan hangat. Nurcholish Madjid dianggap sebagai anak Masjumi yang kesasar ke kandang NU. Sebagaimana diungkapkan oleh Fachry Ali dalam Seminar Sehari Kritik dan apresiasi atas Pemikiran Dr. Nurcholish Madjid, diadakan oleh Forum Studi Islam Fakultas Ushuluddin IAIN (UIN) Jakarta, di Auditorium IAIN Jakarta, 3 Juli 1997. Lengkapnya lihat Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 22 52 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123 53 Ibid. 51 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nurcholish Madjid menuturkan bahwa seringkali ayahnya menangis di sawah karena sangat terluka oleh serangan-serangan pribadi yang dialamatkan kepadanya.54 Dia pernah mengungkapkan “kemarahan” NU terhadap ayahnya yang tetap berafiliasi kepada Masjumi, dia mengatakan: Ayah saya dulu—dia orang Masjumi, meskipun namanya Haji Abdul Madjid, yakni bukan orang priyayi—pernah mengalami masalah besar sekali karena di masjid keluarga kami ditempeli poster kampanye Masjumi yang mengutip hadis: “Kalau sesuatu diserahkan kepada orang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya!” Orang NU tersinggung. Mereka menganggap poster ini menyinggung NU. Paham mereka kirakira: politik jangan diserahkan kepada ulama. Mereka memahami itu sebagai arogansi intelektual. Dan itu berlangsung sudah lama sekali.55 Masalah ini nampaknya memengaruhi Nurcholish Madjid yang sedang menempuh pendidikan di Pesantren Darul ‘Ulum, sehingga dia pun meminta dipindahkan ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul Mu’allimin AlIslamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Pesantren Darus Salam sendiri tidak mementingkan masalah politik dan tergolong pesantren yang sangat modern pada masa itu. Di tempat inilah Nurcholish Madjid lebih lanjut menimba berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam. Di pesantren ini dia juga menerima pelajaran bahasa Arab dan Inggris secara intensif.56 Pesantren ini mewajibkan santri-santrinya berbicara dengan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di pesantren ini dia kembali menjadi salah seorang siswa terbaik dengan meraih juara kelas sehingga dari kelas I dia bisa loncat ke kelas III SMP.57 Mengenai pengalamannya sewaktu sekolah di KMI, Nurcholish Madjid pernah mengatakan: Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya demikian adalah berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang 54 Barton, Gagasan Islam, hal. 74 Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008, hal. 2332. Lihat juga surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 15 September 1983 dengan judul “Saya banyak Kesalahan”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 105 56 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. liv 57 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123 55 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang... Di pesantren ini juga sudah ada kegiatan olahraga yang sangat maju, termasuk pakaiannya dengan kostum bercelana pendek. Saya masih ingat, soal ini sempat menjadi bahan olok-olokan masyarakat di Jombang. “Masak Gontor santrinya pakai celana pendek!” begitu kata mereka. Soalnya, kalau di Pesantren Rejoso, santrinya tetap sarungan waktu bermain sepakbola. Orang-orang Gontor juga sudah memakai dasi. Di Gontor, kalau sembahyang, para santrinya gundulan, tidak pakai kopiah, dan cuma pakai celana panjang, tidak sarungan. Kalau di Jombang waktu itu orang yang masuk ke masjid dengan hanya memakai celana panjang masih jarang sekali. Pendeknya waktu itu Gontor benar-benar merupakan kantong, enclave, yang terpisah dari dunia sekelilingnya. Oleh sebab itu, ketika berkunjung ke sana, seorang pastur dari Madiun terkaget-kaget sekali. Menurutnya, Gontor sudah merupakan “pondok modern”. Dan memang istilah “pondok modern” itu berasal dari pastur ini. Tetapi ada satu hal yang sangat saya sesali karena saya tidak menemukannya di Pondok Pesantren Gontor. Di pesantren saya yang sebelumnya di Rejoso, para kiai dan guru-guru senior secara bergilir menjadi imam sembahyang. Bagi saya, itu satu kekhususan sendiri... Karena imamnya mereka, maka jamaah punya motivasi untuk berduyun-duyun ke masjid. Kalau azan dikumandangkan, kita bilang, “Yuk, shalat jamaah, yuk. Sekarang imamnya kiai anu...”58 Dengan menimba ilmu di lembaga pendidikan yang mengajarkan dua metode pendidikan, sebagaimana yang dia peroleh pada masa pendidikan dasarnya, maka Nurcholish Madjid memiliki kelebihan dalam penguasaan khazanah ilmu-ilmu keislaman dan umum. Selain itu, penguasaannya terhadap bahasa Arab dan bahasa Inggris memudahkannya untuk mempelajari buku-buku asing—baik Arab maupun Inggris—dan kitab-kitab klasik (kitab kuning). Hal ini sangat membantu Nurcholish Madjid dalam mengembangkan wawasan keilmuannya karena khazanah keilmuan Islam umumnya ditulis dengan bahasa Arab dan ilmu-ilmu modern ditulis dengan bahasa Inggris. Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah, Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu 58 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. liv-lv Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak kunjung tiba. Belakangan terbetik kabar bahwa kala itu di Mesir sulit memperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid pergi ke Mesir. Nurcholish Madjid sendiri memang sempat kecewa. Tetapi, KH. Zarkasyi bisa “menghibur”-nya dan rupanya dia tidak kehilangan akal. Lalu dia mengirim surat ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan meminta agar Nurcholish Madjid bisa diterima di lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut. Maka, berkat bantuan salah seorang alumni Gontor yang ada di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian diterima sebagai mahasiswa di sana, meskipun tanpa menyandang ijazah negeri.59 Di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid kemudian memilih memasuki Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab. Dengan memilih IAIN sebagai tempat kuliahnya, Nurcholish Madjid memiliki akses yang luas terhadap sumber-sumber khazanah intelektual Islam karena IAIN merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tinggi terpenting di Indonesia. Selama menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid sempat bergaul dengan Buya Hamka. Hal ini bisa terjadi disebabkan dia tinggal di asrama Masjid Agung al-Azhar di mana Buya Hamka berada dan biasa menjadi imam di masjid itu. Di samping itu, Nurcholish Madjid pernah beberapa tahun menjadi staf editor Panji Masyarakat yang didirikan dan diasuh oleh Buya Hamka.60 Dia sempat menjalani hubungan dekat dengan Buya Hamka selama lebih kurang 5 tahun.61 Kedekatan hubungannya dengan Buya Hamka nampak dalam perkataannya, “Beliau (Buya Hamka) tempat saya berdiskusi dan menyelesaikan problem pribadi”.62 59 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 123-124 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Penerjemah: Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 153 61 Komaruddin Hidayat mengungkapkan tentang kedekatan dan kekaguman Nurcholish Madjid terhadap Buya Hamka. Dalam berbagai forum obrolan maupun dalam perkuliahan di Paramadina, berulang kali Nurcholish Madjid mengemukakan rasa hormat dan kekagumannya pada Buya Hamka yang dinilai mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya, dan semangat Alquran sehingga dakwah dan paham keislaman yang ditawarkan Buya Hamka sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Lihat Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. vi 62 Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 129 60 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Pergaulan yang cukup lama dengan Buya Hamka secara tidak langsung membawa dampak kepada perkembangan wawasan pemikiran Nurcholish Madjid karena selama pergaulan itulah terjadi tukar-pikiran atau diskusi antara Nurcholish Madjid dengan Buya Hamka. Pergaulan itu nampaknya juga menyebabkan Nurcholish Madjid menjadi lebih akrab dengan permasalahan umat Islam Indonesia ketika itu karena Buya Hamka pada saat itu dikenal sebagai salah satu tokoh umat Islam yang memiliki pengaruh besar. Dikarenakan besarnya jasa Buya Hamka kepadanya sangat wajar apabila Nurcholish Madjid berkata, “Saya berterima kasih sekali kepada Buya.”63 Selama menjalani masa studinya di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid juga berusaha mengembangkan kemampuan bahasanya, selain bahasa Arab dan bahasa Inggris yang telah dikuasainya. Untuk itu dia mengambil kursus bahasa Prancis di Alliance Francaise dan selesai tahun 1962. Selain bahasa Arab, Inggris, dan Prancis, dia juga fasih dalam bahasa Persia yang diajarkan dalam perkuliahan di IAIN.64 Dengan beragam bahasa yang dikuasainya dan hobi membaca yang dimilikinya, maka dia mampu membaca buku yang tidak hanya terbatas kepada buku-buku keislaman saja (buku berbahasa Arab), seperti buku tulisan Ibn Taimiyah, Al-Maududi, Al-Kindi, Al-Ghazali, Hassan Al-Banna, dan lain-lainnya, tetapi juga banyak membaca karya-karya ilmuwan Barat dalam bidang filsafat, sosiologi, dan politik seperti karya Karl Marx, Karl Meinheim, Arnold Toynbee, Robert N. Bellah, Harvey Cox, Talcott Parson, dan lain-lainnya. Pada tahun 1968, Nurcholish Madjid menyelesaikan Sarjana Lengkap (Drs.), dengan judul skripsi: al-Qur’an: ‘Arabiyyun Lughatan wa ‘Alamiyyun Ma’nan, yang maksudnya adalah Alquran dilihat secara bahasa bersifat lokal (ditulis dengan bahasa Arab), sedangkan dari segi makna mengandung sifat universal.65 Setelah tamat dari IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid beberapa tahun sempat mengajar di almamaternya itu. Pada Maret 1978, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu tingkat doktoral di Universitas Chicago, Amerika 63 Ibid. Lihat catatan kaki Barton, Gagasan Islam, hal. 78 65 Hidayat, “Kata Pengantar”, hal. vi 64 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Serikat, dengan mendalami ilmu politik dan filsafat Islam. Pada tahun 1984, Nurcholish Madjid mendapat gelar Ph.D. dengan nilai cum laude dalam bidang Filsafat Islam (Islamic Thought) dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam (teologi) menurut Ibn Taimiyah, yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).66 Sepanjang hidupnya Nurcholish Madjid telah mencetuskan gagasangagasan “radikal” dalam pemikiran Islam sehingga menyebabkan sosoknya menjadi kontroversial.67 Pada 15 Agustus 2005, Nurcholish Madjid dirawat di RS Pondok Indah karena mengalami gangguan pada pencernaan. Sebelumnya, pada 23 Juli 2004 dia sempat menjalani operasi transplantasi hati di RS Taiping, Provinsi Guangdong, China. Pada hari Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, di hadapan istrinya Omi Komariah, putrinya Nadia Madjid, putranya Ahmad Mikail, menantunya David Bychkon, sahabatnya Utomo Danandjaja, sekretarisnya Rahmat Hidayat, stafnya Nizar, keponakan dan adiknya, akhirnya Nurcholish Madjid menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazah Rektor Universitas Paramadina itu disemayamkan di Auditorium Universitas Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian jenazah penerima Bintang Mahaputra Utama itu diberangkatkan dari Universitas Paramadina setelah upacara penyerahan jenazah dari keluarga kepada negara yang dipimpin Menteri Agama Maftuh Basyuni, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada hari Selasa, 30 Agustus 2005, pukul 10.00 WIB. Sementara, acara pemakaman secara kenegaraan di TMP Kalibata dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab.68 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lvi, Madjid, Islam Agama, hal. 224, dan Barton, Gagasan Islam, hal. 85 67 Pemikiran “radikal” yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid di antaranya adalah konsep sekularisasi, “Islam Yes, Partai Islam No” dan tidak ada negara Islam, yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini. Selain itu, Nurcholish Madjid juga mencetuskan pemikiran “radikal” lainnya seperti “tidak ada tuhan (dengan “t” kecil), selain Tuhan (dengan “T” besar)” ketika dia mengartikan kalimat laa ilaha illallah, dan menyamakan semua agama wahyu, seperti Kristen, Yahudi, Katolik, dan sebagainya sebagai islam (dengan “i” kecil yang dia artikan dengan sikap pasrah kepada Allah). 68 Dikutip dari berbagai sumber seperti Kompas cetak online, www.kompas.com, dan www.tokohindonesia.com, Selasa, 30 Agustus 2005, Tempo, 11 September 2005 66 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nurcholish Madjid meninggalkan pemikiran-pemikiran keislaman yang akan menjadi bahan renungan bagi generasi intelektual Muslim setelahnya. Pemikiran-pemikirannya itu tidak dapat dipungkiri memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam di Indonesia. Sebagai sosok yang mencetuskan gagasan Islam kultural pada saat umat Islam menginginkan terlaksananya syariat Islam atau diakuinya Piagam Jakarta oleh negara, sosok Nurcholish Madjid terkesan “menyimpang” dari arus utama aspirasi umat Islam sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam umat Islam. Namun, sebagai manusia gagasan-gagasan Nurcholish Madjid itu tidak pernah sempurna. Oleh karena itu, gagasan Nurcholish Madjid senantiasa akan mendapat perhatian dan kritikan dari umat Islam, baik itu yang pro atau pun yang kontra dengan pemikirannya. 2.2 Aktivitas Intelektual dan Organisasi Sebagai seorang intelektual muda yang aktif pada masanya, Nurcholish Madjid tidak hanya terpaku kepada bangku kuliah. Dia menjalani banyak aktivitas organisasi. Di antaranya Nurcholish Madjid terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan Islam, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dia mulai memasuki HMI pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester menjalani masa perkuliahannya. Dimulai dari tingkat Cabang Ciputat, Nurcholish Madjid telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang leader, yang tidak saja dikagumi oleh kawan-kawannya, tetapi juga disegani rival-rivalnya. Pada akhir tahun 1966, HMI melakukan Kongres di kota Solo. Pada waktu itu Nurcholish Madjid menjadi calon kuat Ketua Pengurus Besar (PB) HMI. Karena citra kepemimpinannya yang menonjol, Nurcholish Madjid terpilih menjadi ketua PB HMI. Bahkan, dia terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode berturut-turut, yaitu periode 1966-1969 dan periode 1969-1971.69 Selain aktif di HMI, Nurcholish Madjid juga pernah menjabat berbagai posisi penting dalam organisasi kemahasiswaan dunia, di antaranya sebagai Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 26 69 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Presiden Persatuan Mahasiswa Asia Tenggara (1967-1969) dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organisation).70 Dalam masa inilah, Nurcholish Madjid membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Pada training Ideopolitor Oktober 1967 di Pekalongan, yang diikuti oleh anggota PB HMI dan wakil-wakil Badko seluruh Indonesia, Nurcholish Madjid tampil dengan prasarannya tentang modernisasi, di mana dia mengingatkan akan bahaya westernisasi, sekularisme, sekularisasi, dan sebagainya.71 Setahun kemudian, yaitu tahun 1968, Nurcholish Madjid menulis makalah yang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”72, sebuah karangan yang dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia. Dalam makalahnya ini dia berusaha menjelaskan tentang modernisasi dalam tinjauan Islam dan menegaskan kembali bahaya-bahaya ideologi Barat bagi umat Islam, seperti sekularisme, rasionalisme, dan humanisme. Pada bulan Oktober 1968, Nurcholish Madjid berangkat ke Amerika Serikat atas undangan State Departement. Seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat yang ditanya mengapa Nurcholish Madjid diundang ke Amerika, menjawab, “sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini”. Di sana dia mengunjungi universitas-universitas, mempelajari kehidupan mahasiswa, mengadakan diskusi-diskusi, dan lain sebagainya. Dia berada di Negeri Paman Sam itu selama dua bulan.73 Dari Amerika Serikat Nurcholish Madjid melanjutkan perjalanannya ke Timur Tengah.74 Perjalanan ke Timur Tengah inilah yang banyak memberikan pengaruh bagi perkembangan pemikirannya. Perjalanan ini dia dapatkan sebagai hadiah untuk makalah yang telah disajikan di Arab Saudi pada kunjungan pertamanya. Hadiah tersebut berupa tiket perjalanan di akhir tahun 1969, sebagai tamu resmi pemerintah Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji.75 Besarnya pengaruh Madjid, Islam Agama, hal. 224 Effendi dan Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran, hal. 157 72 Nurcholish Madjid, “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 171-203 73 Effendi dan Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran, hal. 161 74 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lvi 75 Barton, Gagasan Islam, hal. 79 70 71 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia perjalanan ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi, bagi pemikiran Nurcholish Madjid dikarenakan di Arab Saudi menganut mazhab Wahabi.76 Dengan melihat secara langsung kehidupan masyarakat penganut mazhab ini, Nurcholish Madjid mendapatkan kesan yang mendalam tentang keyakinan kuat akan pentingnya ijtihad dan pemurnian agama. Pada tahun 1969, Nurcholish Madjid menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama NilaiNilai Identitas Kader (NIK). Buku kecil ini merupakan pengembangan dari artikel Nurcholish Madjid yang pada awalnya dipakai sebagai bahan training kepemimpinan HMI, yaitu Dasar-Dasar Islamisme. Karena pemikiran-pemikirannya pada masa ini, 1966-1969, dan terutama bakat intelektualnya yang luar biasa, yang berkecenderungan modern, tetapi sekaligus sosialis-religius—dia pun oleh generasi Masjumi yang lebih tua, sangat diharapkan dapat menjadi pemimpin Islam di masa mendatang, menggantikan Mohammad Natsir, sehingga di masa ini dia dikenal sebagai “Natsir Muda”. Namun sesudah tahun 1970 setelah dia menyampaikan makalah pembaruannya, golongan tua kecewa akibat makalahnya itu mempromosikan paham 77 sekularisasi. Kekecewaan golongan tua terhadap Nurcholish Madjid juga timbul akibat sikap “penentangannya” terhadap partai politik Islam dan negara Islam. Akibat gagasannya ini, harapan golongan tua terhadap Nurcholish Madjid menjadi hilang dan berganti dengan penentangan terhadap Nurcholish Madjid sehingga dia harus menerima kritikan keras dari generasi tua maupun teman-teman segenerasinya. Penolakannya terhadap negara Islam disampaikan pada tanggal 30 Oktober 1972 di auditorium Taman Ismail Marzuki, dalam makalahnya yang 76 Mazhab ini didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Dengan slogan pemurnian agama Islam, kembali kepada Alquran dan Sunnah, dan pintu ijtihad terus terbuka, mazhab ini melakukan “pembaruan” besar-besaran di Arab Saudi. Sebagai contoh mereka melakukan penggusuran makam-makam di Arab Saudi karena mereka anggap hal itu menyebabkan kemusyrikan di dalam masyarakat. Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah. Kemampuannya berkolaborasi dengan keluarga Suud menghasilkan kekuasaan yang besar sehingga mereka dapat menguasai Arab Saudi sampai saat ini. 77 Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 152-153 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa usaha mendirikan negara Islam merupakan bentuk apologia umat Islam. Selanjutnya, Nurcholish Madjid harus menghadapi berbagai kritikan keras dari berbagai kalangan.78 Kritikan maupun serangan keras yang ditujukan kepadanya berlangsung sampai dia melanjutkan pendidikan ke Chicago. Nurcholish Madjid menyebutkan suasana ketika itu: ...Di samping reaksi-reaksi yang bersifat lisan, yang disampaikan dalam bentuk tabligh dan khutbah jumat, dua buku ditujukan untuk memberikan bantahan atau komentar terhadap gagasan saya... Yang pertama berjudul Pembaruan Pemikiran Islam, berisikan tulisan saya dan komentar atau reaksi dari wakil-wakil organisasi-organisasi lain di luar HMI... Buku kedua berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi ditulis oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, berisikan analisis beliau yang tajam dan kritis terhadap gagasan-gagasan saya...79 Dari perkataan Nurcholish Madjid itu nampak jelas bahwa reaksi atas makalahnya itu tidak hanya berbentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk lisan yang disampaikan melalui ceramah-ceramah dan khutbah Jumat. Banyaknya reaksi itu menunjukkan bahwa umat Islam pada masa itu tidak siap atau bahkan tidak menyetujui gagasan yang diajukan oleh Nurcholish Madjid. Selain itu, kritikankritikan dalam khutbah Jumat juga menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid tidak hanya mendapat perhatian dari intelektual Muslim tetapi juga oleh masyarakat. Salah seorang yang paling keras mengkritik Nurcholish Madjid adalah Prof. Dr. H. M. Rasjidi.80 Mengenai hal ini Nurcholish Madjid berkata: Tiga hal tampak di hadapan saya menyangkut komentar keras Rasjidi, dan reaksi pahitnya terhadap gagasan-gagasan saya. Pertama adalah diskusi 78 Mengenai kritikan-kritikan terhadap Nurcholish Madjid, termasuk kritikan keras dari HM. Rasjidi, lihat BAB V 79 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxii 80 HM. Rasjidi adalah Menteri Agama pertama RI. Dia lahir di Kota Gede, Yogyakarta, pada tahun 1914. Rasjidi menempuh pendidikan pada sekolah Al-Irsjad di Jakarta sebelum menyelesaikan pelajarannya pada Universitas Raja Fuad I di Kairo. Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1931, dia mengajar pada Muallimin Muhammadiyah dan Pesantren Luhur di Surakarta. Dia adalah komisaris PII yang dipimpin oleh Sukiman dan Wiwoho, dan kemudian aktif dalam MIAI dan Masjumi. Lebih lengkap lihat Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terj. oleh Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 470-471. Mengenai kritikan Rasjidi dan lainnya akan dibahas dalam BAB V. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia keras yang diselenggarakan oleh pimpinan HMI dan PII pada bulan Agustus 1972. Diskusi tersebut diselenggarakan dengan ketidakhadiran saya, ketika saya sedang mengadakan kunjungan ke beberapa negara Asia, sementara pihak panitia penyelenggara tidak memberitahukan saya sebelumnya. Sebagai akibatnya, absennya saya dalam diskusi tersebut— yang pertama kali diadakan bersama generasi tua seperti Rasjidi— dijadikan alasan oleh beberapa orang peserta yang menyangka, bahkan menuduh saya sebagai pengecut. Insiden kedua adalah elaborasi yang secara lebih jauh di dalam gagasan sekularisasi di dalam buletin yang diterbitkan oleh saya dan kawan-kawan pada tahun 1972. Nama buletin tersebut adalah Arena. Yang ketiga adalah penyajian makalah saya pada tanggal 30 Oktober 1972 di auditorium Taman Ismail Marzuki. Tema Pembicaraan saat itu adalah “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”.81 Penerbitan buletin Arena ditujukan untuk menyebarkan secara luas gagasan-gagasan Nurcholish Madjid kepada masyarakat. Dengan dibacanya secara luas gagasan-gagasan itu diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan dalam masyarakat. Namun, harapan itu nampaknya tidak berhasil karena gagasan-gagasan Nurcholish Madjid itu tetap menimbulkan kritikan dan serangan keras dari umat Muslim. Dari tahun 1970 sampai 1974, Nurcholish Madjid menjadi intelektual muda yang mendapat sorotan sangat tajam. Sorotan itu menjadi lebih tajam setelah dia membacakan makalahnya pada tanggal 30 Oktober 1972. Para pengkritik gagasan Nurcholish Madjid merasa berkewajiban untuk terus-menerus mengingatkan kekeliruan-kekeliruan yang telah dilakukan Nurcholish Madjid.82 Kritikan dan serangan keras yang dialamatkan kepadanya tidak ditanggapinya secara reaktif. Pada 29 Maret 1983, dalam suratnya kepada Mohamad Roem,83 Nurcholish Madjid menyebutkan sikapnya dalam menanggapi serangan keras dari Rasjidi. Dia menyatakan: 81 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv Barton, Gagasan Islam, hal. 83 83 Mr. Mohamad Roem lahir di Parakan, Jawa Tengah, 16 Mei 1908—meninggal di Jakarta, 24 September 1983 adalah seorang diplomat ulung dan salah satu pemimpin bangsa Indonesia pada masa Perang Revolusi. Selain itu, dia juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Dalam negeri dan Menteri Luar Negeri Indonesia pada pemerintahan Presiden Soekarno. Dikutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Mohamad_Roem, pada tanggal 3 Juni 2010. 82 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Sebabnya begitu Pak Rasjidi mulai menyerang, saya segera dipanggil oleh Ustaz Abdul Ghaffar Ismail84 dari Pekalongan dan diwanti-wanti agar tidak menjawab secara langsung. Ustaz Ghaffar tidak lupa memberi dorongan kepada saya untuk belajar lebih banyak, sambil menghibur, “Kamu bisa lebih besar dari Rasjidi,” kata beliau. Berbagai alasan yang dikemukakan Ustaz Ghaffar untuk wanti-wantinya dan dorongan belajarnya itu.”85 Nurcholish Madjid juga menyatakan bahwa apabila dia menanggapi serangan Rasjidi itu maka bisa saja ongkos sosial politik yang harus dikeluarkan akan terlalu besar. Pernyataan Nurcholish Madjid ini menurut saya dikarenakan sosok Rasjidi dianggap sebagai salah satu tokoh penting umat Islam. Sebagai menteri agama RI pertama, Rasjidi memiliki pengaruh di kalangan umat Islam Indonesia. Selain itu, Rasjidi merupakan tokoh akademisi Islam terkemuka pada saat itu. Dengan demikian, pengaruh Rasjidi itu bisa “merugikan” Nurcholish Madjid apabila dia menanggapi secara terbuka serangan darinya. Lebih jauh dalam suratnya kepada Mohamad Roem itu, Nurcholish Madjid kembali menyebutkan tentang keraguannya untuk menurutkan keinginan diri sendiri dan desakan kawan-kawan untuk menjawab Rasjidi secara lebih tuntas saat itu. Menurutnya, keraguan itu tidak saja dikarenakan nasihat dari Ustaz Ghaffar tetapi juga dikarenakan cara Rasjidi menangani suatu permasalahan dan melakukan pembahasan. Keraguan itu kini diperkuat oleh kenyataan bagaimana cara Pak Rasjidi “menangani” Harun Nasution dan Ahmad Wahib, suatu cara yang menurut Nurcholish Madjid banyak disesalkan orang.86 84 KH. Abdul Ghaffar Ismail lahir di Bukittinggi pada 11 Agustus 1911. Orang tua dari Taufik Ismail—sastrawan terkemuka Indonesia—ini mengikuti pendidikan SD dan pesantren di Sumatera Thawalib di Sumatera Tengah. Dia pernah menjadi pengurus besar Partai Masjumi pada tahun 1946, menjadi tahanan politik dan diasingkan ke Pekalongan, Jawa Tengah dan menetap di sana sebagai seorang guru Agama Islam. Di kota ini KH. Abdul Ghaffar Ismail kemudian mengadakan pengajian setiap senin malam atau dikenal dengan Pengajian Malam Selasa yang berjalan hingga setengah abad lamanya. Dia meninggal pada Agustus 1998. 85 Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret 1983 dengan judul “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Sasono (penyunting), Surat-Surat Politik, hal. 23. 86 Ibid. Kritikan Rasjidi terhadap Ahmad Wahib terkait dengan diterbitkannya buku yang memuat pemikiran Ahmad Wahib. Buku yang disunting oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Menurut Rasjidi buku tersebut memberi gambaran mengenai seorang pemuda yang cerdas, tetapi tidak mendapat bimbingan melainkan barangkali mendapat dorongan untuk ngelantur dalam kesesatannya. Sementara itu kritikan Rasjidi terhadap Harun Nasution juga terkait dengan penerbitan buku Harun Nasution yang berjudul Islam Dipandang dari Berbagai Aspeknya. Menurut Rasjidi buku Harun Nasution tersebut telah mengusap wajah Islam dengan debu yang basah, sehingga wajahnya Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan walaupun perlakuan Rasjidi kepadanya dan teman-temannya dirasa kurang pada tempatnya, namun dia, insya Allah tidak berburuk sangka kepada Rasjidi. Hal ini dikarenakan dia dan temantemannya sudah merasakan sendiri betapa pahitnya diburuk-sangkai sehingga dia tidak mau melakukan hal yang sama. Selain itu juga karena tak sampai hati, atau kurang masuk akal, memburuk sangkai tokoh seperti Rasjidi.87 Dia mengatakan: Tetapi pada analisis finalnya, koreksi Rasjidi memperlihatkan keprihatinannya yang sangat mendalam terhadap Islam di Indonesia, dan timbul dari hasratnya yang tinggi untuk “menyelamatkan” generasi muda Muslim di negara ini (bukunya didekasikan kepada pelajar-pelajar Muslim). Meskipun demikian, saya tidak setuju dengan beberapa koreksi dan komentarnya. Untuk satu hal, sebagaian besar dari koreksi dan komentar tersebut bersifat sangat personal. Menoleh ke belakang, melihat pengalaman-pengalaman pahit kami, saya berkeinginan sekali untuk tidak melakukan kesalahan taktis sebagaimana terjadi pada tanggal 2 Januari 1970. Biaya sosial yang dikeluarkan sangatlah mahal, dan kami menderita kerusakan reputasi kami yang sulit diobati di hadapan masyarakat Muslim. Jika saya bisa kembali ke zaman itu, saya pasti akan menggunakan pendekatan-pendekatan saya yang sebelumnya, yaitu penetrasi secara perlahan-lahan (penetration pacifique) atau “metode penyelundupan” di dalam upaya memperkenalkan gagasan-gagasan baru. Metode inilah yang saya gunakan ketika menulis buku NDP. Tetapi waktu telah lewat, dan saya beserta kawan-kawan telah berusaha mengadakan pemecahan terhadap banyak dan berbagai kesulitan, dan membangun kembali reputasi kami mengenai perubahan sosial dan pembaruan. Akan tetapi walaupun Nurcholish Madjid terlihat menunjukkan sikap nrimo dalam menanggapi berbagai serangan terhadap gagasannya, khususnya serangan Rasjidi, nampaknya dia kurang menyukai berbagai reaksi keras terhadap gagasannya itu. Hal itu nampak dalam isi suratnya kepada Mohamad Roem pada 9 Mei 1983 yang menyebutkan bahwa “pengalamannya selama belasan tahun yang lalu menjengkelkannya.”88 Mengingat bahwa surat itu ditulis pada tahun 1983 maka yang dimaksudkan oleh Nurcholish Madjid “pengalaman belasan tahun yang lalu menjengkelkannya” tentunya peristiwa pada awal tahun 1970-an. nampak dalam keadaan seburuk-buruknya. Lebih lengkapnya lihat Rasjidi, “Pergolakan pemikiran Islam”, dalam Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982, hal. 42-43 87 Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 24 88 Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 9 Mei 1983 dengan judul “Saya Cemburu dengan Pak Roem”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Sasono (penyunting), Surat-Surat Politik, hal. 52-53. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nurcholish Madjid nampaknya tidak menduga gagasannya akan mendapatkan “serangan” keras dari berbagai kalangan, termasuk dari pimpinan eks-Masjumi. Hal ini dikarenakan dia adalah pemimpin HMI dan HMI dianggap sebagai “anak” dari Masjumi. Sebagai pemimpin HMI, Nurcholish Madjid berharap pemimpin eks-Masjumi dapat menerima gagasannya itu. Dia mengatakan: ...Reaksi pahit para pemimpin Masjumi terhadap gagasan modernisasi saya adalah sesuatu yang mengejutkan. Bagaimanapun juga, anggota HMI adalah para mahasiswa di perguruan tinggi yang secara natural mewarisi kepemimpinan Masjumi. Mereka adalah kelompok Muslim yang terdekat cara berpikirnya dengan Masjumi, yang paling memahami aspirasi-aspirasi mereka. Menurut saya, Nurcholish Madjid nampaknya kurang menyadari kondisi psikologis pemimpin-pemimpin eks-Masjumi, seperti M. Natsir, Hamka, dan lain sebagainya. Sebagai wakil-wakil umat Islam yang memperjuangkan terbentuknya negara Islam, pemimpin-pemimpin eks-Masjumi tersebut terlibat secara langsung dalam memperjuangkan terbentuknya negara Islam, seperti di Dewan Konstituante. Kegagalan perjuangan itu menimbulkan kekecewaan terhadap diri mereka dan kekecewaan itu bertambah dengan adanya gagasan Nurcholish Madjid yang sama sekali menolak ide negara Islam seperti yang mereka inginkan. Hal inilah yang mendorong para pimpinan eks-Masjumi melakukan kritikan keras kepada Nurcholish Madjid. Sebagai golongan muda, Nurcholish Madjid tidak merasakan langsung perjuangan para pemimpin eks-Masjumi tersebut. Perbedaan kondisi dan generasi inilah yang melahirkan perbedaan-perbedaan di antara mereka. Nurcholish Madjid sendiri menyebutkan setidaknya ada dua perbedaan antara golongan tua (para pemimpin eks-Masjumi) dengan golongan muda (Nurcholish Madjid dan temantemannya). Dua perbedaan itu yang menyebabkan generasi muda Muslim menurut Nurcholish Madjid merasa keberatan dan berusaha untuk merubahnya. Dia berkata: Ada dua hal dari Masjumi yang tidak bisa disepakati oleh generasi Muslim yang lebih muda. Pertama, adalah gagasan mengenai apa yang disebut “Negara Islam”. Adalah merupakan keyakinan pokok kaum Muslim bahwa ajaran-ajaran agama mereka, mengilhami mereka di dalam seluruh Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia aktivitas-aktivitas dunia ini, termasuk yang berhubungan dengan masalahmasalah kenegaraan atau politik. Tetapi untuk menyuarakan apa yang disebut Masjumi dengan negara Islam, bagi mereka adalah terlalu formalistik dan tidak fleksibel. Keberatan yang kedua, terletak dalam hal sikap keras kepala yang kaku dari pimpinan Masjumi di dalam menghadapi masalah-masalah politik praktis. Sikap tidak fleksibel ini membawa mereka untuk cenderung melihat persoalan secara hitam-putih; yaitu sejauh konsep halal dan haram, tindakan yang boleh atau terlarang dalam ajaran-ajaran Islam. Kami menganggap hal ini sebagai terlalu banyak campur tangan agama di dalam kejadian praktis sehari-hari. Sesungguhnya, jika saat itu para pemimpin Masjumi bersikap lebih fleksibel dan relativistik, maka posisi politis mereka akan lebih baik saat ini; dan implementasi dari kebijaksanaan pembangunan pemerintah pasti akan dipengaruhi oleh orang-orang yang lebih bijaksana dan jujur. Tetapi waktu telah berlalu, ketika para pemimpin Masjumi mengabaikan hadis yang berbunyi, “Dalam masalah-masalah keagamaan, kamu harus bertanya kepada saya; tetapi dalam masalah-masalah keduniawian, kamu lebih tahu daripada saya.” Kiai dan ulama adalah orang-orang yang menjadi tempat bertanya bagi masalah-masalah keagamaan; tetapi para pemimpin Masjumi—sesuai dengan latar belakang mereka—mestinya mengetahui lebih banyak mengenai masalah-masalah politik daripada guru-guru agama mereka. Dan itu merupakan salah satu gagasan terpenting yang kami—generasi muda—ingin merealisasikannya. Tetapi pada waktunya, sungguh menyedihkan bagi kami, nyata bahwa termaterma yang kami pergunakan di dalam pembahasan kami mendatangkan dampak yang lebih jauh, dari apa yang kami maksudkan. Bahkan di negara-negara yang lebih maju, terma-terma sekularisme dan sekularisasi masih ditanggapi secara emosional dan kontroversial—sesuatu yang kami ingin melupakannya.89 Kerasnya serangan dari pimpinan eks-Masjumi tidak terlepas dari situasi yang menempa mereka. Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, para pimpinan eks-Masjumi terlibat langsung dalam perjuangan pembentukan negara Islam di Indonesia.90 Oleh karena pimpinan eks-Masjumi langsung merasakan perjuangan itu, maka wajar mereka melakukan serangan keras terhadap Nurcholish Madjid karena telah mengemukakan gagasan yang bertolak belakang dengan apa yang mereka perjuangkan selama ini. Ide sekularisasi Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk “devaluasi” atau “demitologisasi” atas apa saja yang bertentangan dengan tawhîd, yaitu pandangan yang paling asasi dalam Islam. Jargon “Islam Yes, Partai Islam No” ingin 89 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxii-lxv Perjuangan keras mereka dalam perjuangan pengakuan pembentukan negara Islam dapat dilihat dalam BAB III. 90 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa partai Islam itu bukanlah hal yang esensial, dan sama sekali tidak berhubungan dengan esensi keislaman. Itulah makna sekularisasi menurut Nurcholish Madjid, yaitu mengembalikan mana yang sakral sebagai sakral, dan yang profan sebagai profan. Politik Islam yang tadinya dianggap “sakral”, yaitu “didesakralisasi”. merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang 91 Dengan gagasan sekularisasinya, banyak orang awam yang menganggap pemikiran Nurcholish Madjid dicap cenderung sekuler, Barat-oriented, terjebak pemikiran Yahudi, berorientasi elitis, memberi angin kepada kristenisasi, terjebak dalam strategi Ali Moertopo, keterangannya membuat umat bingung, teologinya mengganggu kemapanan iman dan lembaga keagamaan, banyak pengertiannya yang rancu, counter productive terhadap perjuangan umat, ikut merangsang reaksi fundamentalis, menimbulkan skeptisisme terhadap agama, bahkan menyimpang dari ajaran Islam.92 Bahkan ada yang menyerangnya dengan mengatakan bahwa dia adalah penjilat Soeharto.93 Mengenai tuduhan yang mengatakan bahwa gagasannya membenarkan gagasan pembangunan Orde Baru yang konsepnya dibuat oleh Ali Moertopo Cs. dan CSIS, Nurcholish Madjid mengatakan: Mengenai pandangan beberapa pengamat bahwa pemikiran saya saat itu menjustifikasi tatanan sosial politik Orde Baru, saya kira pengaruh itu memang ada. Karena seperti kata pepatah Prancis, “Kawan dari kawan saya adalah kawan saya. Musuh dari musuh saya adalah kawan saya.” Karena kebetulan waktu itu Orde Baru tidak cocok dengan Masjumi, dan saya tidak cocok dengan Masjumi, maka sepertinya saya menjadi “teman” dari Orde Baru. Di situ ada persoalan klaim. Itu terutama klaim-klaim dengan gaya covert operation; intelijen. Mereka biasa selalu mengklaim, “O, itu orang saya.” Jadi, ada paralelisme saja. Berkenaan dengan tuduhan bahwa saya merupakan bagian dari CSIS karena ide-ide saya sejalan dengan, misalnya, kebijakan tentang parpol, yang didesain oleh Ali Moertopo Cs., saya kira hal itu hanya kebetulan saja, kebetulan paralel saja. Lagi pula substansi pemikaran saya yang bisa dirujuk sangat sedikit sekali, kalau bukan tidak ada sama sekali. Kecuali bahwa partai itu tidak boleh lagi mengklaim simbol-simbol eksklusif terutama simbol Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv Budhy Munawar-Rachman, “Berbagai Respon atas Gagasan Pembaruan”, dalam Ulumul Qur’an No. 1, Vol. IV, 1993, hal. 55-56 93 R. William Liddle, “Revolusi Nurcholish Madjid” dalam Majalah Tempo, 11 September 2005, hal. 98 91 92 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia keagamaan. Itu saja, yang barangkali digunakan oleh mereka [yang melontarkan tuduhan].94 Nurcholish Madjid menyadari bahwa gagasan Islam kultural yang dilontarkannya itu secara tidak langsung mendukung program Orde Baru. Sebagai contoh slogan “Islam Yes, Partai Islam No” memudahkan langkah Orde Baru untuk menyatukan semua partai hanya menjadi dua partai saja. Partai-partai Islam, Parmusi, NU, PSII, dan Perti, setelah pemilu 1971 digabungkan ke dalam satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun demikian, gagasannya itu masih lebih baik apabila dibandingkan dengan keadaan umat Islam yang tetap memperjuangkan ide-ide penerapan syariat Islam karena hal itu tentunya akan mendapatkan perlawanan keras dari pemerintah Orde Baru sehingga akan mengakibatkan kerugian yang lebih besar kepada umat Islam. Nurcholish Madjid berkata: Saya sendiri sangat sadar bahwa pemikiran saya itu menjustifikasi Orde Baru. Tapi, alternatifnya, pilihan lainnya buruk sekali, macet sama sekali. Jadi kalau dihitung pilihan harga, pilihan itu masih lebih murah. Dengan demikian, sebagian kritik orang terhadap makalah saya itu sebagian dipengaruhi oleh motif itu, yaitu kemarahan orang terhadap Orde Baru. Dan memang waktu itu Soeharto benci sekali terhadap orang Islam. Soeharto itu betul-betul abangan, tipe yang sengit terhadap Islam santri. Dengan Pak Natsir saja dia tidak mau berjabat tangan. Sampai sejauh itu sikap Pak Harto.95 Militer sebagai pemegang kekuasaan Orde Baru sebelumnya telah menunjukkan tindakan keras terhadap usaha pembentukan negara Islam. Gerakan DI/TII yang berusaha mendirikan negara Islam ditumpas habis oleh tentara. Selain itu, dalam sidang-sidang Konstituante kalangan militer juga tidak setuju dengan ide negara Islam yang diajukan oleh golongan Islam. Ketidaksetujuan itulah yang mendorong mereka untuk mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945. Setelah militer berhasil mengusai kekuasaan, mereka pastinya menolak setiap usaha mendirikan negara Islam dan akan melakukan semua cara untuk mencegahnya. Nurcholish Madjid menganggap bahwa gagasan Islam kulturalnya lebih baik daripada dia tidak mencetuskan gagasan itu atau tidak mendukung upaya Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxv-lxv Ibid., hal. lxvi 94 95 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia politik yang dilakukan oleh para pemimpin Islam generasi tua, seperti upaya penerapan syariat Islam. Karena penentangan yang terus-menurus kepada pemerintah justru akan melahirkan tindakan yang keras dari pemerintah. Dia berkata: Tetapi sebaliknya, saya juga sangat tidak yakin bahwa sekiranya kita mengeluarkan pikiran-pikiran yang bisa dikatakan mendukung kelompokkelompok yang menentang Orde Baru (misalnya, kelompok Dewan Dakwah waktu itu), hasilnya akan baik. Saya kira hasilnya malah akan hancur-hancuran. Sebab hal itu merupakan psikologi penciptaan solidaritas karena defence mechanism. Kalau Soeharto, yang notabene bisa di-extend menjadi militer, diserang terus dengan menggunakan gaya-gaya mereka [kelompok Islam itu], maka Soeharto dapat menjadi semakin keras. Jadi orang seperti Benny [Moerdani] akan mendapatkan semacam legitimasi.96 Tindakan-tindakan keras Orde Baru kemudian terbukti terhadap umat Islam yang menganut paham fundamental dalam merealisasikan cita-citanya, seperti yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Selama Orde Baru berkuasa, Nurcholish Madjid secara konsisten menyebarkan gagasan Islam kulturalnya. Berbagai tulisan dia publikasikan untuk mendukung gagasan yang dia munculkan pada awal tahun 1970 itu. Seperti pada tahun 1983, melalui tulisannya yang berjudul Cita-cita Politik Kita, Nurcholish Madjid kembali menegaskan bahwa salah satu apologia yang paling berat ialah usaha golongan Islam politik untuk mengajukan Islam sebagai sebuah ideologi. Padahal menurutnya dengan menjadikan Islam sebagai ideologi justru akan merendahkan agama Islam karena Islam sendiri seharusnya menjadi sumber ideologi bagi para pemeluknya.97 Selain itu ketika pemerintah Orde Baru berusaha mengajukan Pancasila sebagai Asas Tunggal dan mendapat penentangan keras dari umat Islam, Nurcholish Madjid justru mengatakan bahwa umat Islam harus menerima Pancasila karena nilai-nilai dalam Pancsila dibenarkan oleh ajaran Islam.98 Pemerintah Orde Baru akhirnya memberlakukan Asas Tunggal pada tahun 1985. Dengan pemberlakuan Asas Tunggal tersebut, umat Islam yang mengakui Asas 96 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxvi-lxvii Nurcholish Madjid, “Cita-cita Politik Kita”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hal. 3-4 98 Ibid., hal. 10 97 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Tunggal setidaknya mendapatkan “pembenaran” dengan adanya pendapat Nurcholish Madjid tersebut.99 Mengenai kemajuan umat Islam Indonesia akibat dari gagasan Islam kultural yang dikembangkannya Nurcholish Madjid berkata: Boleh dikatakan sekarang ini wacana Islam itu menjadi wacana nasional, wacana umum. Di kalangan militer pun sekarang tidak tabu lagi untuk mengutip ayat-ayat Alquran dan sebaginya, seolah-olah di dalam HMI saja. Makanya secara simbolik menarik sekali bahwa jargon-jargon HMI menjadi jargon nasional, seperti wa billâhi al-tawfîq wa al-hidâyah itu. Memang semua itu bersifat hipotetis. Dan biaya yang dibutuhkan untuk membuktikan bahwa hipotesis mereka itu benar, mahal sekali.100 Walaupun Nurcholish Madjid sendiri mengakui kemajuan umat Islam diakibatkan oleh gagasan Islam kulturalnya, namun pengakuannya itu harus diteliti lebih jauh. Untuk mengetahui apakah gagasan Islam kultural itu memiliki pengaruh yang positif atau negatif maka hal ini akan dibicarakan lebih jauh dalam BAB VI. Sepanjang hidupnya Nurcholish Madjid tidak hanya aktif dalam berbagai kegiatan organisasi seperti HMI, IIFSO, dan lain sebagainya. Dia juga menjalani aktivitas intelektualnya sebagai Pimpinan Umum Majalah Mimbar Jakarta (19711974). Lewat tulisan-tulisan di Mimbar Jakarta, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid menyebar ke masyarakat luas.101 Selain itu, Nurcholish Madjid juga pernah menjabat sebagai Direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu Kemasyarakatan) Jakarta (1973-1976), Direktur Lembaga Kebajikan Islam Samanhudi Jakarta (1974-1992); Fellow dalam Eisenhover Fellowship (1990). Pada tahun 1998, dia dikukuhkan sebagai Profesor dan Guru Besar IAIN Jakarta, serta menjadi Ahli Peneliti Utama (APU) LIPI pada tahun 1999.102 Selain itu dia juga sempat menjadi anggota KOMNAS HAM RI. Bahkan pada tahun 2003, Nurcholish 99 “Pembenaran” di sini bukan berarti sebagai legitimasi terhadap umat Islam yang mengakui Asas Tunggal karena legitimasi itu sendiri telah ditetapkan melalui keputusan pemerintah melalui undang-undang. “Pembenaran” di sini memiliki pengertian bahwa umat Islam yang mengakui Asas Tunggal setidaknya tidak merasa pengakuan itu melanggar Islam karena pengakuan itu sendiri dibenarkan oleh Islam, sebagaimana pendapat itu dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. 100 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. lxvii 101 Barton, Gagasan Islam, hal. 83-84 102 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Madjid sempat menjadi kandidat calon presiden melalui konvensi partai Golkar sebelum akhirnya mengundurkan diri. Nurcholish Madjid juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Yayasan Wakaf Paramadina.103 Yayasan ini merupakan lembaga keagamaan yang menyadari keterpaduan antara Keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam yang universal, dengan tradisi lokal Indonesia.104 Melalui Yayasan ini, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid mendapatkan sarana untuk penyebarannya. Apalagi dengan didirikannya Universitas Paramadina oleh Yayasan ini, maka gagasan-gagasan Nurcholish Madjid dapat disampaikan secara sistematis kepada mahasiswa-mahasiswa yang menempuh pendidikan di universitas ini.105 Lebih lanjut untuk penyebaran gagasan-gagasan Nurcholish Madjid secara lebih luas, maka dilakukan kuliah-kuliah umum, seminar-seminar, kelompokkelompok diskusi serta program-program training. Seminar bulanan berkala diselenggarakan lewat pertemuan di Hotel Kartika Chandra dan di Hotel Regent, salah satu hotel berbintang lima di jantung Jakarta.106 Seminar bulanan yang dilakukan di hotel mewah ini merupakan strategi yang sengaja dari Nurcholish Madjid, berlandaskan alasan bahwa kelompok kelas menengah ini merupakan kelompok strategis dalam menentukan pembangunan masyarakat Indonesia.107 Selain itu penyebaran gagasan-gagasan Nurcholish Madjid juga tersebar luas ke masyarakat melalui buku-buku maupun tulisan-tulisannya di berbagai media cetak di Indonesia. 103 Menurut Barton yang mengutip pernyataan Nurcholish Madjid, “Paramadina” berasal dari kata “para”, yang merupakan bahasa Spanyol yang berarti unggul atau bermutu tinggi, sedangkan “madina” merupakan kata Arab yang berarti kota, dan secara lebih luas berarti peradaban. Lihat Barton, Gagasan Islam, hal. 54. Adapun menurut Malik, kata “Paramadina” merupakan gabungan dari dua kata, “parama” dan “dina”, yang pertama bahasa Sansekerta, yang berarti utama dan unggul, yang kedua bahasa Arab, “din”, yang berarti agama. Lihat Malik dan Ibrahim, Zaman Baru, hal. 137 104 Ibid. 105 Wawancara dengan Hadi dan Rian (mahasiswa Universitas Paramadina), di Universitas Paramadina, 7 Juni 2010 106 Barton, Gagasan Islam, hal. 505 107 Ibid., hal. 503 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 2.3 Karya-karya Nurcholish Madjid tergolong cendekiawan Muslim yang banyak menghasilkan karya, baik berupa buku, makalah, dan artikel. Karya-karya Nurcholish Madjid itu tersebar dalam berbagai media cetak seperti majalah dan koran, maupun dalam bentuk buku. Dengan diterbitkannya karya-karyanya itu, maka pemikiranpemikirannya dapat dibaca, dikaji, dan dikritisi secara utuh oleh umat Islam. Untuk memudahkan pemikiran-pemikirannya sampai ke masyarakat secara luas, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, didirikanlah Yayasan Paramadina sebagai sarana untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid, baik melalui perkuliahan, seminar-seminar, maupun penerbitan buku. Terdapat beberapa karya yang berkaitan dengan gagasan Islam kulturalnya. Di antaranya adalah buku Khazanah Intelektual Islam yang diterbitkan setelah dia menyelesaikan studinya di Amerika Serikat. Buku yang diterbitkan pada tahun 1984 ini menunjukkan corak pemikiran neo-modernisme Nurcholish Madjid. Dalam buku ini dimuat beberapa karya-karya intelektual Islam, baik pada masa klasik maupun modern, yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan kemajuan dunia Islam. Nurcholish Madjid mengumpulkan karyakarya terbaik intelektual Muslim tersebut yang dimulai dari Al-Kindi (wafat kirakira 258 H/870 M) sampai terakhir Muhammad Abduh (1262-1323 H/1845 – 1905 M). Dalam karyanya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan kekayaan khazanah intelektual Islam dan menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Dengan buku ini, Nurcholish Madjid berharap pembaca, umat Islam Indonesia yang sebagian besar memeluk agama Islam, mengetahui kekayaan intelektual Islam di bidang pemikiran, khususnya dalam bidang filsafat dan teologi serta bidang-bidang lainnya yang dianggap perlu. Kekayaan intelektual ini penting diketahui agar umat Islam dapat mempelajari, menganalisis dan mengkajinya untuk kemudian digunakan dalam menghadapi setiap tantangan yang dihadapi. Dari karyanya ini dapat dilihat bahwa Nurcholish Madjid sangat mementingkan pengetahuan sejarah peradaban Islam klasik dalam memahami Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Islam. Dengan mengetahui sejarah perkembangan peradaban Islam, umat Islam dapat mengambil apa yang baik dari peradaban Islam klasik itu sehingga dapat diterapkan pada abad modern. Adapun hal yang tidak baik atau tidak cocok dengan abad modern dapat ditinggalkan atau “dimodifikasi” agar sesuai dengan perkembangan zaman. Inilah yang menjadi ciri pemikiran Nurcholish Madjid dalam merumuskan setiap gagasannya, yaitu memelihara yang lama dan mengambil yang baru yang lebih baik (ﺢ ِ ﺻَﻠ ْ ﻷ َ ﺠ ِﺪ ْﻳ ِﺪ ْا َ ﺧ ُﺬ ﺑِﺎ ْﻟ ْﻷ َ ﻰ ا ْﻟ َﻘ ِﺪ ْﻳ ِﻢ َوا َ ﻋﻠ َ ﻈ ُﺔ َ ﺤﺎ َﻓ َ )َا ْﻟ ُﻤ. Karya selanjutnya adalah buku yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Buku yang memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berusaha memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Buku ini termasuk salah satu karya Nurcholish Madjid yang laris. Ini terbukti dengan adanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya tahun 1987 sampai tahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini menunjukkan bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini mendapat perhatian luas dari umat Islam, baik yang pro maupun yang kontra. Dikarenakan tulisan-tulisan dalam buku ini merupakan hasil perenungan Nurcholish Madjid selama dua dasawarsa, maka melalui buku ini dapat dilihat proses perkembangan pemikiran Nurcholish Madjid yang mengalami proses pematangan. Sebagai contoh, dalam buku ini dapat dilihat mengenai permasalahan kata “sekularisasi”. Ketika penggunaan kata “sekularisasi” itu menimbulkan penentangan keras, Nurcholish Madjid berusaha menjelaskan pada tulisan berikutnya. Akan tetapi walaupun dia telah menjelaskan kata itu, namun tetap saja penentangan keras tidak mengendur. Akhirnya untuk menghindari penentangan keras yang justru akan merugikan umat Islam atau dirinya, Nurcholish Madjid tidak menggunakan kata itu lagi dan menggantinya dengan kata “desakralisasi”. Buku Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan yang diterbitkan tahun 1992 merupakan buku “terlengkap” Nurcholish Madjid. Buku ini merupakan kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian Agama (KKA) yang diselenggarakan oleh Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta. Oleh karena itu, tulisan dalam buku ini memuat pembahasan-pembahasan terkait dengan suatu masalah tertentu, seperti misalnya pembahasan mengenai Islam dan budaya lokal. Pendekatan topikal ini menurut Nurcholish Madjid diperlukan untuk mempertajam pemusatan pembahasan, sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Dengan tulisantulisan dalam buku ini diharapkan pembaca mampu memahami Islam secara lebih komprehensif. Bukunya ini berusaha menawarkan konsep Islam kultural yang produktif dan konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua, rahmatan lil ‘alamin. Islam sebagai sebuah ajaran yang universal harus mampu diterapkan kepada masyarakat agar Islam dapat membangun peradaban sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Islam klasik dahulu. Buku ini ditulis sebagai bagian dari usaha membangun dialog keterbukaan dengan mengembangkan tradisi menyatakan yang benar dan baik secara bebas dan tanpa prasangka, untuk kepentingan bersama yang diharapkan dapat mendorong tumbuhnya wawasan jauh ke depan dengan tetap berpegang teguh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dikarenakan keluasan dan kedalaman pembahasannya, buku ini dianggap sebagai magnum opus-nya Nurcholish Madjid. Karya Nurcholish Madjid lainnya yang memuat gagasan Islam kulturalnya adalah buku Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Buku yang diterbitkan tahun 1995 ini nampaknya ingin menunjukkan bahwa agama dan budaya itu berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Kebenaran Islam yang universal selalu memiliki kemampuan untuk beradaptasi kepada lingkungan budaya di mana ia tumbuh dan berkembang, secara otentik (setia kepada asasnya sendiri) dan kreatif (termasuk juga kritis).108 Dalam buku ini, Nurcholish Madjid berhasil menunjukkan bahwa Islam Indonesia, sebagai pembahasan dalam buku ini, merupakan Islam yang absah. Artinya Islam Indonesia tidak bisa dianggap “kurang Islami” apabila dibandingkan dengan Islam di tempat-tempat lain, seperti Islam di Arab. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, hal. xviii 108 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Setelah membaca buku ini diharapkan pembaca mampu membedakan antara agama dan budaya sehingga tidak terjadi pencampuradukan antara keduanya. Hal ini penting agar umat Islam Indonesia mampu memandang masa depannya dengan penuh percaya diri tanpa merasa rendah diri apabila dibandingkan dengan umat Islam yang berada di Arab. Dalam buku Islam Agama Kemanusiaan ini juga disebutkan bahwa politik merupakan aspek konsekuensi yang penting dalam Islam tetapi ia bukanlah satusatunya aspek yang terpenting.109 Dengan menyatakan ini, Nurcholish Madjid nampaknya ingin menegaskan kekonsistenannya dalam memperjuangkan Islam kultural di Indonesia. Adapun buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah kembali menegaskan corak pemikiran neo-modernismenya. Buku ini menyajikan analisa dan refleksi wacana keislaman, baik wacana keislaman klasik maupun modern. Analisis Islam klasik digunakan untuk merefleksikan wacana keislaman modern. Dalam karyanya ini, Nurcholish Madjid, menurut Komaruddin Hidayat, tidak ragu untuk melakukan kritik historis terhadap perilaku Nabi dan para sahabat. Kesalahan apapun yang dilakukan oleh para sahabat, dan bahkan mungkin Muhammad sendiri sebagai manusia, sama sekali tidak akan menodai dan merendahkan ajaran Islam karena Islam memang tidak memiliki obsesi bagi terwujudnya sebuah masyarakat suci (monastic and sacred society), melainkan historical society, dengan segala sifat kemanusiaannya.110 Dengan melalui kajian sejarah dan sosiologi, buku ini berusaha menyajikan wawasan dan interpretasi terhadap Islam, sehingga ajaran Islam dapat terbebas dari mitos, walaupun menurut Nurcholish Madjid sendiri agama Islam merupakan agama yang paling terbebaskan dari mitos,111 dan pemihakan ideologis karena kepentingan politik praktis. Hal ini penting dilakukan karena beberapa Ibid., hal. 18 Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. xi 111 Madjid, Islam Agama, hal. 219 109 110 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ajaran Islam telah “disusupi” oleh mitos-mitos yang kadangkala diciptakan oleh umat Islam sendiri yang itu mengakibatkan Islam kehilangan daya pencerahannya. Karya Nurcholish Madjid lainnya yang tidak kalah penting adalah buku Pintu-Pintu Menuju Tuhan yang diterbitkan tahun 1996. Melalui buku ini, Nurcholish Madjid ingin menyampaikan pesan bahwa untuk mencari kebenaran tidak harus melalui satu pintu, tetapi dapat dilakukan dengan melalui berbagai pintu. Sebagaimana ayat Alquran yang menyatakan: ب ُﻣ َﺘ َﻔ ﱢﺮ َﻗ ٍﺔ ٍ ﻦ َا ْﺑﻮَا ْ ﺧُﻠﻮْا ِﻣ ُ ﺣ ٍﺪ وَا ْد ِ ب وَا ٍ ﻦ ﺑَﺎ ْ ﺧُﻠﻮْا ِﻣ ُ ﻻ َﺗ ْﺪ َ ﻰ ل ﻳَﺎ َﺑ ِﻨ ﱠ َ َوﻗَﺎ Wahai anak-anakku, janganlah kamu masuk dari satu pintu, melainkan masuklah dari berbagai pintu yang berbeda. (QS. Yusuf:67) Ayat ini menunjukkan bahwa umat Islam seharusnya memiliki kreatifitas untuk mencari kebenaran. Dalam buku ini Nurcholish Madjid menunjukkan berbagai pintu untuk mencari kebenaran. Di antara pintu-pintu tersebut adalah pintu tawhid dan iman, pintu sejarah dan peradaban, pintu tafsir, pintu etik dan moral, pintu spiritual, pintu pluralisme dan kemanusiaan, dan pintu sosial dan politik. Semua pintu-pintu itu terdapat dalam ajaran Islam. Dengan menunjukkan pintu-pintu tersebut, Nurcholish Madjid ingin menegaskan bahwa perjuangan umat Islam dalam mencari keridaan Tuhan tidak hanya bergantung kepada pintu politik semata, melainkan dapat ditempuh melalui pintu-pintu lainnya. Namun demikian, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam mencari kebenaran, sifat-sifat toleran, lapang dada, terbuka, kerendah-hatian, tidak fanatik, dan tidak berpikiran sempit, mutlak dibutuhkan. Dengan sifat-sifat tersebut, pencapaian kemenangan Islam dapat dinikmati oleh setiap makhluk. Hal inilah yang menjadi pesan utama pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang tertuang dalam buku ini. Buku Kaki Langit Peradaban Islam yang diterbitkan pada tahun 1997 ingin menunjukkan bahwa telah terjadi suatu hal yang ironis dalam umat Islam, yaitu ketertinggalan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, ajaran Islam secara jelas dan nyata menunjukkan adanya keterkaitan antara iman dan ilmu. Keterkaitan itu telah dibuktikan oleh peradaban Islam klasik yang berhasil mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada masanya. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Bahkan pada masa kemajuannya itu, peradaban Islam menjadi rujukan bangsabangsa lain pada masa itu. Akan tetapi saat ini yang terjadi justru kebalikannya. Umat Islam menjadi umat yang paling terbelakang. Dengan menunjukkan kejayaan peradaban Islam klasik dan ketertinggalan umat Islam saat ini, Nurcholish Madjid ingin mengajak umat Islam untuk bangkit mengejar ketertinggalannya itu. Ketertinggalan itu bukanlah hal yang harus diratapi dan disesali, melainkan harus menjadi semangat untuk menatap masa depan. Agar dalam meraih masa depan itu umat Islam tidak terjebak dalam mimpi atau nostalgia dengan kejayaan peradaban Islam klasik, maka Nurcholish Madjid menuliskan “pijakan-pijakan” untuk melangkah ke masa depan itu. Dengan menunjukkan keterkaitan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan, Nurcholish Madjid ingin membuktikan kemampuan umat Islam membangun peradabannya sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu. Buku Masyarakat Religius terbitan tahun 1997 merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan Nurcholish Madjid pada tahun-tahun 1986-an sampai 1990-an. Melalui karyanya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia, individu maupun kolektif (masyarakat), memiliki sisi religius (naluri untuk berkepercayaan). Menurut Nurcholish Madjid manusia hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan jiwanya yang dinyatakan dalam keharuan, ketidakberdayaan diri, dan keinsafan.112 Dengan demikian, buku ini menyajikan tesis bahwa makna hidup yang hakiki dan sejati dalam diri manusia memang ada. Tetapi, hal itu tidak nampak dalam segi-segi formal atau bentuk lahiriah kegamaan melainkan ia berada di baliknya. Artinya, segi formalitas harus “ditembus” dan batas-batas lahiriah harus “diseberangi”. Jika hal itu mampu dilakukan oleh manusia, maka akan tumbuh sikap-sikap religius yang lebih sejalan dengan makna dan maksud hakiki ajaran agama. Pada akhirnya buku ini ingin menunjukkan bahwa manusia, individu maupun masyarakat, dapat berkembang bersama sisi religius yang dimilikinya yang dalam buku ini sisi religius yang dimaksud adalah agama Islam. 112 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 9 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Perhatian besarnya terhadap kemajuan umat Islam Indonesia melahirkan buku Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia yang diterbitkan tahun 1997. Dalam buku ini, Nurcholish Madjid mengungkapkan peran strategis ajaran–ajaran Islam sebagai panutan bagi pembangunan di Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa tradisi-tradisi Islam banyak yang telah diserap dan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia. Dalam buku ini Nurcholish Madjid menunjukkan salah satu tradisi Islam yang sangat berguna untuk dikembangkan oleh umat Islam di Indonesia, yaitu tradisi semangat dalam menuntut ilmu pengetahuan. Dengan membandingkan karya dua tokoh yang hidup pada waktu yang sama (abad ke-12), yaitu karya AlGhazali (Ihya Ulum al-Din) dan Jayabaya (Jangka Jayabaya), di mana karya AlGhazali dipenuhi dengan renungan kefilsafatan yang amat mendalam sementara karya Jayabaya dipandang sebagai hasil sebuah kreatifitas imiginatif,113 Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa tradisi menuntut ilmu pengetahuan dalam Islam telah sangat maju pada masanya. Oleh karena itu, umat Islam Indonesia seharusnya mencontoh semangat tradisi Islam tersebut agar umat Islam Indonesia dapat membangun peradaban yang tinggi sebagaimana yang pernah diciptakan oleh umat Islam terdahulu. Diharapkan dengan membaca buku ini, pembaca dapat menemukan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan ibadah saja, tetapi Islam juga mengandung nilai-nilai penting yang dapat membangun umat Islam menjadi sebuah peradaban yang tinggi. Nilai-nilai Islam tersebut, seperti demokrasi, toleransi, keadilan, hak asasi manusia, dan lain sebagainya, telah sering disebutkan oleh Nurcholish Madjid dalam berbagai tulisannya. Ketidakbosanan Nurcholish Madjid untuk membahas permasalahan ini agar umat Islam segera menyadari akan keberadaan nilai-nilai tersebut dalam Islam. Sebagai seorang intelektual yang banyak mencetuskan gagasan mengenai Islam dan kemasyarakatan, Nurcholish Madjid selalu mengaitkan pemikirannya dengan perkembangan masyarakat Islam, khususnya umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, setiap ada peristiwa yang berkaitan dengan umat Islam, Nurcholish Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997, hal. 43-44 113 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Madjid selalu berusaha mencetuskan gagasan-gagasan yang dapat membuat umat Islam tergerak untuk berpikir lebih mendalam. Atau apabila ada “kemandegan” dalam umat, maka dia akan mencetuskan pemikiran yang dapat membuat umat selalu berada dalam dinamika pemikiran. Hal ini sesuai dengan keyakinannya bahwa manusia harus terus menerus berpikir dan mengembangkan pemikirannya karena tidak ada yang mutlak yang berkaitan dengan manusia, hanya Allah saja yang mutlak. Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid setiap manusia (umat Islam) dituntut untuk selalu aktif berpikir demi kemajuan umat. Pemikiranpemikiran Nurcholish Madjid ini kemudian dikumpulkan menjadi buku yang berjudul Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. Buku ini berbeda dengan buku-buku Nurcholish Madjid sebelumnya. Buku ini merupakan kumpulan wawancara Nurcholish Madjid yang pernah dimuat di berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an hingga tahun 1996. Oleh karena itu, tema yang dikemukakan sangat beragam, seperti tema mengenai agama, budaya, politik, pendidikan, dan lain sebagainya. Dikarenakan dalam bentuk wawancara, tema-tema tersebut muncul sesuai dengan konteks waktu pada saat wawancara dilangsungkan. Sebagai sebuah pemikiran, gagasan Nurcholish Madjid tentunya tidak sepi dari kritikan. Artinya tidak semua orang setuju dan menerima gagasan yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Bahkan, banyak pihak yang secara keras mengkritik dan menyerang gagasannya itu. Untuk itu, dibutuhkan sebuah dialog terbuka dan jujur dalam menanggapi berbagai gagasannya itu. Dialog terbuka dibutuhkan agar tidak terjadi salah paham atau pun pemitosan terhadap gagasannya itu. Dengan buku ini, gagasan-gagasan Nurcholish Madjid dapat “didialogkan” secara terbuka dan kritis sehingga pemikirannya dapat ditempatkan sesuai dengan tempat dan proporsinya. Buku Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi yang diterbitkan tahun 1999 merupakan buku terakhir yang memuat pemikiran politik Nurcholish Madjid. Buku ini memuat tujuh artikel yang pernah ditulis oleh Nurcholish Madjid. Walapun berjudul Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, namun kebanyakan Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia tulisan yang dimuat dalam buku ini ditulis oleh Nurcholish Madjid pada masa sebelum reformasi bergulir di Indonesia (pada masa Orde Baru), hanya dua tulisan yang ditulis setelah Soeharto lengser, yaitu Menata Kembali Kehidupan Bermasyarakat dan Bernegara Menuju Peradaban Baru Indonesia (183-199) dan Kalam Kekhalifahan Manusia dan Reformasi Buku (203-265). Tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini membahas nilai-nilai politik Islam yang dapat diterapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia atau terciptanya “masyarakat madani”. Berbagai tema, seperti demokrasi, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan lain sebagainya, dibahas oleh Nurcholish Madjid. Menurut Nurcholish Madjid, dalam Islam terdapat nilai-nilai yang dapat digunakan untuk kemajuan umat Islam, seperti tugas melawan setiap bentuk kezaliman yang diungkapkan dengan kalimat amr ma’ruf nahi munkar.114 Umat Islam saat ini hanya diperlukan untuk mendalami kembali dan mengembangkan nilai-nilai yang telah ada di dalam Islam sesuai dengan masa saat ini agar umat Islam maju dan berkembang sebagaimana yang pernah dicapai oleh umat Islam terdahulu, pada masa Rasul dan Khalifah Ar-Rasyidin. Buku ini ingin menunjukkan bahwa Islam sebenarnya memiliki nilai-nilai penting yang dapat diterapkan untuk menciptakan peradaban besar umat Islam. Tinggal umat Islam sendiri berusaha untuk merealisasikan perkatan Nabi SAW, “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan untuk manusia, karena kamu menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, lagi pula kamu percaya kepada Tuhan.”115 Dikarenakan Islam telah memiliki semua “peralatan” untuk menciptakan sebuah peradaban maju, maka umat Islam sudah seharusnya merealisasikan cita-cita politik Islam itu agar berguna bagi umat Islam dan manusia secara keseluruhan, Islam rahmatan lil ‘alamiin. Dari berbagai karya-karya Nurcholish Madjid tersebut dapat dilihat keinginan besarnya untuk memajukan umat Islam Indonesia. Sesuai dengan gagasan Islam kulturalnya, kemajuan umat Islam Indonesia dapat diraih tanpa harus melalui pembentukan negara Islam sebagaimana yang diinginkan oleh 114 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999,hal. 43-44 115 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya. Yang terpenting menurut Nurcholish Madjid adalah terlaksananya nilai-nilainya Islam dalam masyarakat, seperti demokrasi, keadilan, toleransi, dan lain sebagainya. Nilai-nilai Islam tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia tanpa harus dibentuknya negara Islam secara formal. Dengan melalui pendidikan dan peningkatan kesadaran umat Islam terhadap nilai-nilai Islam maka umat Islam dapat menerapkan nilai-nilai itu dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi “negara Islam” tanpa harus mencantumkan Piagam Jakarta atau Islam secara jelas dan formal dalam undang-undangnya. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB III SEKILAS PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM ORDE BARU (1942-1965) 3.1 Islam Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Minyak Indonesia merupakan faktor utama yang mendorong Jepang terlibat dalam Perang Pasifik pada akhir tahun 1941.116 Walaupun tentunya alasan ideologi lebih besar dari sekedar mendapatkan minyak Indonesia, yaitu membangun dunia yang damai di bawah ideologi Hakkō Ichi-u.117 Sebelumnya, Jepang banyak melakukan aktivitas internasional untuk menarik simpati bangsa-bangsa yang beragama Islam dan meniupkan slogan anti Barat, seperti menyelenggarakan pertemuan organisasi-organisasi Islam di Tokyo.118 Jepang juga memiliki sikap yang berbeda dengan Belanda dalam hal menyikapi agama (Islam). Belanda menerapkan politik netral terhadap agama, sedangkan Jepang berusaha mendekati dan membujuk para pemimpin Islam dengan cara mengakomodasi kepentingan mereka, seperti mendukung MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia), mendirikan Kantor Departemen Agama, dan mengadakan pelatihan kepada ulama dan kiai.119 Namun demikian, politik Jepang ini sangat sedikit mempertimbangkan 116 Nugroho Notosusanto, The PETA Army During The Japanese Occupation of Indonesia, Tokyo: Waseda University Press, 1979, hal. 25 117 Terdapat beberapa penafsiran terhadap makna Hakkō Ichi-u. Namun pada intinya Hakkō Ichi-u bermakna Jepang mendominasi seluruh dunia. Lihat ibid., hal. 25 118 Terdapat beberapa faktor yang mendorong rakyat Indonesia menerima dengan “tangan terbuka” kedatangan Jepang di Indonesia. Faktor pertama berasal dari dalam Indonesia, yaitu sebelum kedatangan pasukan Jepang, pengusaha Jepang atau pemilik toko-toko Jepang terkenal memberikan harga yang murah apabila dibandingkan dengan toko-toko Eropa. Selain itu, keramahtamahan Jepang sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi masyarakat Indonesia. Hal ini menjadikan rakyat Indonesia berpandangan lebih positif terhadap Jepang. Adapun faktor dari luar adalah kemenangan mudah Jepang atas Kekaisaran Czar Rusia pada tahun 1905 di Mancuria dan negosiasi perdamaian di Portsmouth tahun 1905 yang mengakui Jepang sebagai kerajaan penting di dunia. Pengakuan ini secara tidak langsung memiliki makna kemenangan Asia atas Eropa. Lihat Nugroho Notosusanto, The PETA Army During The Japanese Occupation of Indonesia, Tokyo: Waseda University Press, 1979, hal. 19-20. Lihat juga Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 147 119 Untuk lebih jelasnya mengenai kebijakan Jepang terhadap Islam lihat Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, W. van Hoeve Ltd. – The Hague and Bandung, 1958. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 53 Islam dalam tingkat sosio-religius. Artinya, Islam dalam hal perkembangan keagamaannya kurang mendapat dukungan dari Jepang. Misalnya dalam hal pendidikan, Jepang kurang mendukung perkembangan pesantren.120 Sebagaimana penjajah-penjajah lainnya, pertimbangan utama Jepang tetaplah politik. Pendekatan Jepang terhadap Islam hanyalah untuk kepentingan politik semata. Oleh karena kepentingan yang terbesar adalah politik, maka Jepang tidak segan-segan mengizinkan ulama untuk membentuk laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah. Izin Jepang ini mempunyai tujuan agar Hizbullah dan Sabilillah dapat mendukungnya dalam perang melawan Sekutu. Namun demikian, tindakan Jepang ini, terlepas dari motif di belakangnya, membawa pengaruh yang positif bagi umat Islam. Dalam diri umat Islam muncul rasa percaya diri karena bertambahnya peranan umat Islam dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Selain itu, dengan dibentuknya laskar Hizbullah dan Sabilillah, umat Islam dapat menggunakan senjata-senjata modern, sesuatu yang sama sekali tidak mungkin mereka alami pada masa penjajahan Belanda.121 Pada masa Revolusi, lasykar-lasykar tersebut berperan aktif dalam perlawanan terhadap Belanda. Pada bulan Maret 1943, Jepang membentuk PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat). Badan ini berada di bawah pengawasan ketat pihak Jepang, tetapi empat orang Indonesia yang terkemuka diangkat sebagai ketuanya, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Haji Mas Mansur, ketua Muhammadiyah dari masa sebelum Jepang.122 Dengan masuknya Kiai Haji Mas Mansur dalam PUTERA, maka salah satu pemimpin Islam berhasil menduduki kepemimpinan organisasi nasionalis.123 Selain itu, Jepang juga mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam untuk mendirikan organisasi sendiri. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, pemerintah di Indonesia secara resmi memberi tempat yang penting George McTurnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 140 121 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 99 122 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2008, hal. 415 123 Benda, The Crescent, hal. 117 120 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia kepada kalangan Islam.124 Pemerintah Jepang secara berangsur-angsur mengakui organisasi-organisasi Islam, tetapi tidak membolehkan pendirian kembali organisasi-organisasi nasionalis sebelum perang, misalnya seperti Partai Nasional Indonesia (PNI).125 Pada tanggal 10 September 1943 Muhammadiyah dan NU disahkan kembali, disusul dengan Perikatan Umat Islam (sebelumnya bernama Persyarikatan Ulama) di Majalengka pada tanggal 1 Februari 1944 dan Persatuan Umat Islam di Sukabumi.126 Menurut Deliar Noer127 ada beberapa faktor yang mendorong Jepang mensahkan kembali ormas-ormas Islam. Pertama, Jepang mengalami kemunduran kedudukan dalam Perang Pasifik. Hal itu menyebabkan Jepang memerlukan bantuan yang lebih besar dari rakyat, khususnya penduduk di daerah pedesaan. Oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang dipatuhi oleh penduduk. Kedua, Kenyataan bahwa organisasi-organisasi tersebut, walau tidak resmi, masih melanjutkan kegiatan mereka dengan pimpinan dan guru-guru setempat, bahkan masih sering menjaga koordinasi di antara sesama mereka. Hubungan tidak resmi tersebut mempersulit Jepang dalam melakukan pengawasan. Lewat pengesahan, maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan. Ketiga, pengakuan Jepang terhadap fungsi PUTERA dan kemudian Himpunan Kebaktian Rakyat (Jawa Hokokai) yang tidak mampu memperoleh dukungan penuh dari kalangan Islam. Keempat, Jepang tampaknya ingin memperbaiki beberapa kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara sai keirei (memberi hormat kepada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90° ke arah Tokyo), menahan K.H. Hasyim Asya’ari selama empat bulan, dan menutup beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal pendudukan. Pada awal pendudukannya, Jepang membentuk Shumubu (Kantor Departemen Agama) di ibukota dan pada tahun 1944 dibuka cabang-cabangnya di 124 125 Ibid. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta: Grafiti Pers, 1987, hal. 23 126 127 Ibid. Ibid., hal. 23-24 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia seluruh Indonesia dengan nama Shumuka.128 Pada awalnya, badan ini diketuai oleh seorang Jepang bernama Horie (1942), kemudian digantikan oleh Prof. Husein Djajaningrat, dan kemudian K.H. Hasyim Asy’ari (1944).129 Pemerintah Jepang juga mengadakan pelatihan penghulu, urusan-urusan kenegaraan, dan lain sebagainya.130 Menurut Benda, terdapat tiga perbedaan kebijaksaan Belanda dengan Jepang terhadap Islam pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, yaitu:131 Pertama, pada masa penjajahan Belanda, yang menjadi sandaran politik kolonial adalah kaum priyayi, sedangkan pada masa pendudukan Jepang adalah golongan Islam132 dan nasionalis sekuler.133 Kedua, pada masa penjajahan Belanda, pemimpin nasionalis sekuler mengalami penindasan, seperti misalnya dibuang, sedangkan pada masa Jepang pemimpin nasionalis sekuler diakui secara resmi dan diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan militer Jepang. Dan ketiga, pemerintah Hindia Belanda tidak pernah memberi angin kepada golongan Islam, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang justru sebaliknya. Pemerintah Jepang meningkatkan posisi Islam baik dalam bidang sosial-religius maupun dalam bidang politik. Kenyataan ini sangat mempengaruhi kehidupan politik di Indonesia kelak. Dukungan Jepang yang memberikan porsi lebih besar kepada golongan Islam dibandingkan dengan Belanda menyebabkan golongan Islam dapat berperan lebih besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal inilah yang nampaknya menyebabkan golongan Islam merasa memiliki saham yang besar, selain tentunya konsistensi kalangan Islam dalam menentang penjajahan Belanda, terhadap perjuangan kemerdekaan di Indonesia sehingga umat Islam merasa memiliki hak yang besar agar keinginan mereka, seperti pengakuan Islam sebagai ideologi negara pada masa kemerdekaan, diakui pemerintah. 128 Benda, The Crescent, hal. 98 Ibid. 130 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994, hal. 25 131 Benda, The Crescent, hal. 199-201 132 Golongan Islam adalah kelompok yang berusaha menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. 133 Golongan sekuler adalah kelompok yang menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. 129 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Pada bulan Oktober 1943, pemerintah Jepang membubarkan MIAI karena dinilai anti Jepang. Kemudian Jepang membentuk organisasi federatif baru yang bernama Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia) dengan pendukung utama berasal dari Muhammadiyah dan NU.134 Menurut Benda, terbentuknya Masjumi merupakan “kemenangan politik Jepang terhadap Islam.”135 Memang tidak dapat dibantah, Masjumi dibentuk untuk mendukung pemerintah pendudukan Jepang. Namun, beberapa pemimpinnya berusaha melencengkan tujuan tersebut, seperti diakui oleh K.H. Wahid Hasyim.136 Dukungan yang besar terhadap golongan Islam menyebabkan golongan nasionalis sekuler mengalami kemerosotan sehingga tidak mampu menyaingi Masjumi. Namun demikian, perkembangan berikutnya berbalik arah. Menjelang proklamasi, terutama setelah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945, Jepang memberikan dukungan porsi yang lebih besar kepada golongan nasionalis sekuler daripada golongan Islam. Jepang tampaknya lebih mempersiapkan golongan nasionalis sekuler untuk memegang kendali politik Indonesia setelah kemerdekaan. Dalam “persaingan” kepemimpinan nasional, golongan Islam gagal menandingi popularitas golongan nasionalis sekuler, terutama Soekarno dan Mohammad Hatta.137 Menurut penulis, berubahnya sikap Jepang ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa tokoh-tokoh sekuler, seperti Soekarno dan Hatta, lebih memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh golongan Islam. Pengaruh tokoh-tokoh ini diharapkan mampu memobilisasi rakyat Indonesia mendukung peperangan Jepang melawan Sekutu. Sebagaimana diketahui, Jepang pada penghujung kekuasaannya di Indonesia mengalami kekalahan-kekalahan dalam peperangan melawan Sekutu, sehingga Jepang membutuhkan dukungan yang lebih besar dari rakyat Indonesia. Nampaknya Jepang berkeyakinan bahwa dukungan rakyat Indonesia dapat 134 Thaba, Islam dan Negara, hal. 150 Benda, The Crescent, hal. 151 136 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, hal. 81. Namun di sini tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dengan “melencengkan tujuan tersebut”. 137 Thaba, Islam dan Negara, hal. 151 135 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia diperoleh melalui tokoh-tokoh golongan sekuler, bukan golongan Islam. Hal inilah nampaknya yang mendorong Jepang memberikan peran yang lebih besar kepada golongan sekuler. “Kemenangan” golongan nasionalis sekuler dapat dilihat dari komposisi anggota BPUPKI. Dari 68 anggota, golongan Islam hanya diwakili oleh 15 orang saja.138 Selebihnya merupakan golongan sekuler yang dengan tegas menolak Islam sebagai dasar negara. Wakil-wakil golongan Islam itu antara lain adalah K.H.A. Sanusi (PUII), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), K.H. Mas Masjkur (Muhammadiyah), Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), K.H.A. Wahid Hasjim (NU), K.H. Masjkur (NU), Soekiman Wirjosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Penyadar sebelum perang), dan K.H. Abdul Halim (PUI).139 Dengan adanya badan ini, para pemimpin Islam menggunakan kesempatan untuk mengajukan kepentingan-kepentingan Islam. Sebagai contoh, usulan mengenai syarat presiden Indonesia harus beragama Islam berhasil diterima oleh anggota BPUPKI. Sebelum usul ini diterima, terjadi perdebatan yang sengit dan berkepanjangan antara golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam, sehingga sidang BPUPKI harus diskor untuk keesokan harinya, yaitu pada 16 Juli 1945. Untuk meyakinkan anggota sidang, Soekarno harus berpidato panjang lebar dalam sidang BPUPKI. Menurut Soekarno para anggota sidang harus berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, segala upaya harus dilakukan demi terciptanya undang-undang dasar yang menjadi pegangan bagi bangsa Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan: ... Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam Undangundang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.... Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai.140 Saafroedin Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta: Sekretariat Negara RI, 1995, edisi. III, hal. xxviii 139 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 102 140 Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 356-357 138 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Dengan perkataan Soekarno tersebut, maka usulan yang pada awalnya diajukan oleh Pratalykrama141 disetujui oleh mayoritas anggota BPUPKI kecuali tiga orang perwakilan Tionghoa yang tidak ikut serta menyetujuinya.142 Adapun wakil-wakil Kristen akhirnya menerima dengan perasaan berat himbauan Soekarno itu.143 Akan tetapi satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, dalam sidang PPKI, syarat itu dihapus. Mohammad Hatta dengan jelas membacakan Undangundang Dasar yang sama sekali berbeda dengan hasil sidang BPUPKI. Mohammad Hatta mengatakan: Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaya dalam masa yang genting ini kita mewujudkan persatuan yang bulat maka pasal-pasal yang bertentangan dikeluarkan dari Undang-undang Dasar. Oleh karena itu, maka dapat disetujui, misalnya pasal 6 alenia 1 menjadi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”. “Yang bergama Islam”, dicoret.144 Dengan dicoretnya pasal itu dari Undang-undang Dasar, golongan Islam harus mengalami kekecewaan karena aspirasinya, yang pada sidang BPUPKI diterima, ternyata setelah Indonesia memproklamasikan diri justru ditolak. Bahkan lebih jauh atas usulan I Gusti Ktut Pudja, kata “Atas berkat Rahmat Allah” juga diganti dengan “Atas Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa”.145 Dengan demikian, kata “Allah” yang identik dengan Islam juga dihilangkan dari pembukaan undang-undang dasar. Jika dilihat dalam perjalanan sidang PPKI itu nampak jelas kalau perjuangan golongan Islam politik mengalami kegagalan karena perjuangan mereka mewujudkan kepentingan Islam dalam undang-undang dasar mengalami kegagalan. Dalam sidang PPKI juga dilakukan penghapusan terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Penghapusan ini selanjutnya menimbulkan perdebatan dan permasalahan yang berkepanjangan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sebagai penganut agama mayoritas, umat Islam merasa bahwa negara sudah 141 Nama Lengkapnya adalah Raden Abdulrahim Pratalykrama. Dia lahir di Sumenep, Jawa Timur pada 10 Juni 1898. Jabatannya ketika itu adalah Wakil Residen Kediri. 142 Ibid., hal. 358 143 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 108 144 Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 415 145 Ibid., hal. 419 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia seharusnya mengakui Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Sedemikian besarnya keinginan kalangan Islam politik untuk memperjuangkan pengakuan Piagam Jakarta oleh negara, maka kiranya perlu disebutkan sejarah singkat lahir sampai dihapuskannya Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. 3.1.1 Piagam Jakarta Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam.146 Piagam yang disahkan pada 22 Juni 1945 itu memuat tujuh kata “sakral” yang selanjutnya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia menimbulkan perdebatan berkepanjangan, dan tidak jarang perdebatan itu berlangsung dengan keras. Ketujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun demikian, kompromi yang memuat tujuh kata itu, yang dengan susah payah dicapai, pada akhirnya harus dihapuskan demi alasan persatuan bangsa Indonesia yang masih berumur sangat muda. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam dalam BPUPKI.147 Kedua golongan itu sebelum menghasilkan kompromi, bersikeras untuk mewujudkan masing-masing ideologinya sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Golongan nasionalis sekuler memperjuangkan pemisahan agama dan negara. Sebaliknya, golongan Islam memperjuangkan penyatuan agama dan negara. Dalam sidang pertama BPUPKI pada 31 Mei 1945 yang membahas Dasar Negara, Soepomo menyatakan tentang keberatannya mengenai dasar negara Islam. Dia menyatakan bahwa apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia merdeka, maka bentuk negara Indonesia itu bukanlah negara 146 Dikatakan kompromi dikarenakan masing-masing pihak dalam BPUPKI, yaitu golongan Islam dan nasionalis sekuler, berhasil menerima keputusan memasukkan ketujuh kata pada Piagam Jakarta ke dalam mukaddimah UUD 1945 setelah sebelumnya masing-masing pihak bersikeras untuk menjadikan ideologinya masing-masing sebagai ideologi negara Indonesia merdeka. 147 BPUPKI, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, merupakan badan yang dibentuk untuk membuat undang-undang bagi negara Indonesia merdeka yang telah dijanjikan oleh Jepang. Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Setelah melakukan sidang sebanyak dua kali, badan ini kemudian resmi dibubarkan pemerintah Jepang pada tanggal 6 Agustus 1945. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia persatuan, melainkan negara yang berdasarkan kepada golongan terbesar, yaitu golongan Islam.148 Kesulitan yang ditimbulkan apabila negara Islam yang akan didirikan adalah keengganan golongan minoritas seperti agama Kristen dan lain-lainnya bergabung atau mempersatukan dirinya ke dalam negara itu, walaupun negara Islam menjamin kepentingan golongan-golongan minoritas tersebut. Dalam kesempatan itu, Soepomo juga menyinggung pernyataan Mohammad Hatta yang menekankan bahwa urusan negara dan agama dalam negara Indonesia merdeka harus dipisahkan.149 Melihat pertentangan yang terjadi antara golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam, maka atas inisiatif Soekarno dibentuklah panitia kecil yang bertugas mencari solusi atas pertentangan itu. Panitia ini kemudian dikenal dengan nama Panitia Sembilan dikarenakan beranggotakan sembilan orang, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan Abdul Wahid Hasyim. Setelah melalui pembicaraan serius dicapailah satu kompromi antara golongan nasionalis sekuler dengan golongan Islam. Kompromi itu adalah dicantumkannya kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan undang-undang dasar negara Indonesia.150 Dengan dicantumkannya kata-kata itu, maka umat Islam menjadi golongan yang istimewa di Indonesia karena kewajiban menjalankan syariat Islam dijamin oleh negara. Selain itu, dengan dicantumkannya ketujuh kata itu dalam pembukaan undang-undang dasar Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana pelaksanaannya. 148 Bahar, et.al , (penyunting), Risalah Sidang, hal. 40 Ibid., hal. 38. Dari pernyataan Soepomo ini dapat dilihat bahwa Hatta dari awal telah menunjukkan penentangannya terhadap negara Islam sampai akhirnya dia berhasil memainkan “peranan” kuncinya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. 150 Dalam pembukaan dimuat Pancasila. Kata “pembukaan” digunakan secara silih berganti dengan kata-kata “preambule” dan “mukaddimah”. Soekarno dan golongan nasionalis sekuler lainnya lebih sering menggunakan kata “preambule”, sedangkan golongan Islam lebih sering menggunakan kata “mukaddimah”. Adapun saat ini yang lebih sering digunakan adalah kata “pembukaan”. 149 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Kesepakatan yang dihasilkan oleh Panitia Sembilan ini kemudian dinamakan “Djakarta Charter” (Piagam Jakarta) oleh Muhammad Yamin,151 atau oleh Soekiman dinamakan dengan “gentlement agreement”.152 Meskipun Ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wediodiningrat, pada tanggal 10 Juli 1945 mengelak membahas Piagam Jakarta tersebut, dengan alasan Ketua Panitia Kecil melangkahi tugasnya, tetapi pada akhirnya teks ini menjadi acuan pada pembahasan Undang-Undang Dasar, baik di rapat-rapat Panitia Hukum Dasar, maupun rapat-rapat besar BPUPKI, pada hari-hari berikutnya.153 Dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945 yang bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Departemen Luar Negeri), seorang anggota Panitia Hukum Dasar yang beragama Protestan, Mr. Latuharhary menyatakan keberatannya terhadap kalimat yang terdapat dalam Piagam Jakarta itu, yaitu kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Apabila kalimat itu masih ada di dalam pembukaan undang-undang dasar, maka menurutnya, “akibatnya akan sangat besar sekali, umpamanya terhadap agama lain”.154 Selain itu, dia juga mempertanyakan bagaimana cara melaksanakan syariat Islam tersebut, yang apabila dilaksanakan dapat mengakibatkan rakyat yang menjalankan agama Islam harus meninggalkan adat-istiadatnya, misalnya orang Minangkabau yang memiliki adat yang bertentangan dengan Islam.155 Oleh karena itu, Mr. Latuhahary mengusulkan agar kalimat itu dihapuskan saja dan dicari kalimat lain yang tidak akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat. Bahkan, Bahar, et.al , (penyunting), Risalah Sidang, hal. 177 Ibid., hal. 120. Piagam Jakarta ini, pada awalnya, akan dibacakan dalam pernyataan kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi sebagaimana yang telah diketahui bersama, yang dibacakan dalam proklamasi adalah teks yang sama sekali berbeda dengan yang dirancang oleh BPUPKI. Teks yang dibacakan Soekarno dalam proklamasi 17 Agustus 1945 adalah teks yang dirancang dan disusun di rumah Laksamana Mayeda. 153 Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: MaHMIlub, 2007, hal. 17. Namun di sini tidak jelas apa yang dimaksudkan oleh Ridwan Saidi sebagai “melangkahi tugasnya”. Radjiman Wedioningrat memang tidak langsung menanggapi hasil yang dicapai oleh Panitia Kecil yang diketuai oleh Soekarno, melainkan dia mencoba memberikan kesempatan kepada anggota BPUPKI lainnya untuk membicarakan hal lain sebagai tambahan hasil yang telah dicapai oleh Panitia Kecil. Inilah nampaknya yang menjadi alasan bagi Ridwan Saidi untuk mengatakan bahwa Radjiman Wedioningrat mengelak membahas teks hasil dari Panitia Kecil tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai jalannya sidang BPUPKI lihat Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang. 154 Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 216 155 Ibid. 151 152 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Djajadiningrat dengan nada bertanya menyatakan apakah kalimat itu tidak akan menimbulkan fanatisme, misalnya memaksa sembahyang dan lainlain.156 Golongan Islam yang merasa kalimat itu sangat penting dan telah diperjuangkan dengan susah payah kemudian menanggapi pernyataan Mr. Latuhahary tersebut. Dalam hal ini, Haji Agus Salim, sebagai salah seorang tokoh Islam terkemuka, berkata: Saya percaya bahwa perubahan aliran adat pada kita pihak Islam kepada syariat Islam adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh kekuasaan pemerintah, sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan tegas pertikaian di Minangkabau sudah selesai, bisa ditentukan di mana dasar hukum adat dan di mana dasar hukum agama. Jadi, itu satu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan sebagaimana disangkakan.157 Walaupun Agus Salim telah membantah kekhawatiran yang diungkapkan oleh Latuhahary tersebut, namun bantahan itu belum mampu memberikan rasa aman bagi penentang-penentangnya. Justru Wongsonegoro mengusulkan agar kalimat itu ditambah dengan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-masing”.158 Dengan usulan ini semua agama menjadi sama kedudukannya di negara Indonesia. Dengan demikian, umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia tidak memiliki keistimewaan lagi karena memiliki kedudukan yang sama dengan pemeluk agama-agama lainnya. Dikarenakan perdebatan itu dikhawatirkan akan semakin panjang dan akan memperburuk jalannya rapat, maka Soekarno, sebagai Ketua Panitia Hukum Dasar, berusaha sekuat tenaga membela hasil keputusan yang menurutnya merupakan kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Dia berkata, “kompromi itu terdapat sesudah keringat kita menetes.”159 Bahkan menurutnya apabila ketujuh kata itu tidak dimasukkan dalam pembukaan undang-undang dasar maka yang akan terjadi adalah perselisihan yang berkepanjangan karena golongan Islam tentunya tidak akan menerima hal 156 Ibid., hal. 217 Ibid., hal. 216-217 158 Ibid. 159 Ibid., hal. 218 157 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia itu.160 Akhirnya, setelah mendengar perkataan Soekarno itu, perdebatan mengenai ketujuh kata dalam Piagam Jakarta itu dapat diselesaikan. Namun, pada rapat BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, bertempat di Gedung Tyuuoo Sangi-In (sekarang Departemen Luar Negeri) yang membahas tentang pernyataan kemerdekaan, masalah ketujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut kembali muncul. Kali ini yang menyinggung masalah itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, ketika itu Ketua Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan saja.161 Jadi, apabila usulan itu diterima, maka kalimatnya akan berbunyi, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini, menurut penulis apabila diterima akan mengakibatkan syariat Islam berlaku tidak hanya kepada umat Islam saja, melainkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan usulan ini, maka Indonesia benar-benar akan menjadi negara Islam, seperti di Iran atau Pakistan yang menerapkan hukum Islam untuk seluruh rakyatnya. Memang jika dilihat dari Risalah Sidang BPUPKI, golongan Islam ketika itu memiliki dua pandangan mengenai kalimat dalam Piagam Jakarta tersebut. Pendapat pertama, yang didukung oleh KH. Ahmad Sanoesi, Ki Bagus Hadikusumo, dan Abdul Kahar Muzakkir, menuntut sesuatu yang lebih tegas, yaitu kalimat “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan saja karena menurut mereka penerapan syariat Islam tidak mengenal pembatasan atau dalam bahasa Sanoesi, yang dikutip oleh Hadikusumo, kata-kata itu “tidak ada haknya dalam bahasa Arab”.162 Pendapat kedua, yang didukung oleh Abikusno Tjokrosoejoso dan Masjkur, menyatakan bahwa kalimat itu merupakan hasil kompromi antara golongan Islam dengan golongan sekuler. Oleh karena itu, ia selayaknya diterima oleh umat Islam. Mendengar usulan Ki Bagus Hadikusumo ini, Soekarno kembali menyinggung tentang kompromi yang dicapai antara golongan kebangsaan dengan golongan Islam. Oleh karena itu, dia meminta agar rapat BPUPKI 160 Ibid., hal. 216 Usulan Ki Bagus Hadikusumo ini merupakan kelanjutan dari usulan yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Kiai Sanoesi. Lihat Ibid., hal. 241 162 Ibid. 161 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia dapat menerima hasil kompromi itu.163 Abikoesno Tjokrosoejoso, salah satu anggota Panitia Sembilan, juga mendukung pernyataan Soekarno tersebut. Dia meminta agar anggota BPUPKI mengutamakan “perdamaian agar pihak luar tidak melihat kita (anggota BPUPKI) selalu berselisih paham.”164 Setelah mendengar perkataan Abikoesno tersebut, sidang BPUPKI pun menerima secara bulat usulan yang diajukan oleh Abikusno Tjokrosoejoso tersebut. Dengan demikian, berakhirlah perdebatan mengenai ketujuh kata dalam Piagam Jakarta. Perjuangan Islam politik pada sidang BPUPKI menunjukkan keberhasilan karena Piagam Jakarta berhasil disepakati secara bulat oleh rapat BPUPKI. Akan tetapi, keberhasilan itu tidak berlangsung lama. Satu hari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, golongan Islam harus menerima kekecewaan karena apa yang berhasil diperjuangkannya itu tidak dilaksanakan di negara Indonesia merdeka. Artinya, Piagam Jakarta tidak menjadi dasar negara Indonesia merdeka sebagaimana yang telah disepakati dalam sidang BPUPKI. Dalam Sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)165 pada tanggal 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta yang memuat ketujuh kata itu dihapus atau dicoret.166 Mohammad Hatta yang bertugas membacakan hasil penghapusan itu mengatakan: 163 Ibid. Ibid., hal. 248 165 PPKI dibentuk pada tanggal 7 Agustus 1945 setelah BPUPKI dinyatakan selesai tugasnya pada tanggal 6 Agustus 1945 166 Sebelum proses pencoretan Piagam Jakarta, Soekarno dan Hatta mendekati Teuku Mohammad Hassan (wakil Aceh) dan Wahid Hasyim untuk bersedia membujuk pendukung terkuat posisi Islam dalam PPKI, yaitu Ki Bagus Hadikusumo. Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, ikatan Hassan dengan masyarakat Aceh, yang terkenal sebagai pembela Islam yang kuat, diharapkan bisa efektif membujuk Ki Bagus Hadikusumo. Ternyata, baik Hassan maupun Hasyim tidak bisa meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Upaya terakhir dilakukan oleh Kasman Singodimedjo yang mengajukan argumen bahwa dalam situasi sangat kritis, yakni persatuan Islam menjadi sedemikian penting untuk menyelamatkan kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan Sekutu, posisi Islam haruslah bersedia mengalah. Yang lebih penting lagi, Kasman Singodimedjo meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo bahwa berdasarkan sebuah pasal dalam draf UUD, dikatakan bahwa dalam waktu enam bulan, sebuah sesi khusus akan dilakukan untuk menyusun UUD yang lebih komprehensif. Karena percaya bahwa posisi Islam akan diajukan kembali pada sesi tersebut, Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima pencoretan Piagam Jakarta. Namun, sesi khusus itu tidak pernah diadakan karena adanya gelombang besar revolusi 164 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ...Berhubung dengan itu juga berubah pasal 29. Ini bersangkutan pula dengan preambule. Pasal 29 ayat 1 menjadi begini: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat yang dibelakang itu yang berbunyi: “dengan kewajiban” dan lain-lain dicoret saja.167 Kali ini golongan Islam dalam sidang PPKI tidak berkomentar banyak menanggapi pernyataan Mohammad Hatta tersebut. Dengan demikian, seluruh anggota PPKI sepakat untuk menghapus ketujuh kata itu dari dalam pembukaan undang-undang dasar negara Indonesia. Proses awal penghapusan ketujuh kata dalam Piagam Jakarta terjadi pada pagi hari tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dilangsungkan. Proses penghapusan itu sendiri sejauh ini memiliki dua versi, yaitu versi Mohammad Hatta dan versi Sujono Martosewojo. Kedua versi itu adalah:168 1. Versi Sekitar Proklamasi yang ditulis oleh Mohammad Hatta, menyebutkan yang bertemu dengan Hatta adalah opsir Jepang, yang namanya Hatta lupa, dan seorang staf Laksamana Mayeda yang bernama Nisyijima. 2. Versi Dr. Sujono Martosewojo dkk dalam buku Mahasiswa ’45 Prapatan10, menyebutkan yang bertemu dengan Hatta adalah mahasiswa Prapatan 10, yaitu Piet Mamahit dan Iman Slamet. Dengan dihapuskannya ketujuh kata itu dalam undang-undang dasar negara Indonesia, maka golongan Islam mengalami kegagalan dalam perjuangan mendirikan negara Islam (pelaksanaan syariat Islam). Kegagalan ini bagi sebagian golongan Islam menimbulkan kekecewaan yang cukup besar. Namun, kekecewaan itu tidak mengakibatkan pemimpin Islam politik berhenti memperjuangkan terbentuknya negara Islam di Indonesia. Perjuangan itu berlanjut kembali pada masa Demokrasi Parlementer. Adapun pada masa revolusi, yang akan dibicarakan di bawah ini, golongan Islam tidak berusaha memperjuangkan penegakan negara Islam (pelaksanaan syariat Islam). kemerdekaan. Lihat catatan kaki Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 344 167 Bahar, et.al, (penyunting), Risalah Sidang, hal. 415 168 Untuk lebih lengkapnya lihat Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: MaHMIlub, 2007, hal. 36 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 3.2 Islam Pada Masa Revolusi (1945-1949) Pada masa revolusi, Islam politik melupakan sejenak perjuangan menegakkan negara Islam. Pada masa ini, semua kekuatan rakyat Indonesia bersatu untuk melawan kembalinya Belanda. Namun demikian, umat Islam juga tidak melupakan penegakan kehidupan bernegara yang baik. Untuk itu, umat Islam membentuk partai politik guna mendukung sistem pemerintahan demokratis di Indonesia dan guna memudahkan umat Islam dalam menyampaikan aspirasinya serta memudahkan penyatuan umat Islam dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan di atas dibentuklah partai politik Masjumi. Masjumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di Gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa Masjumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan Masjumi lah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam Indonesia. Dengan keputusan ini, keberadaan partai politik Islam yang lain tidak diakui.169 Dengan adanya satu partai politik Islam diharapkan cita-cita Islam menjadi mudah untuk direalisasikan. Partai ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama, modernis dan tradisionalis, di samping dari pemimpin-pemimpin umat non-ulama JawaMadura. Pemimpin-pemimpin umat dari luar Jawa juga berdiri sepenuhnya di belakang partai baru ini, sekalipun mereka tidak dapat menghadiri Kongres di Yogyakarta karena sulitnya transportasi antarpulau pada waktu itu.170 169 Thaba, Islam dan Negara, hal. 159. Namun demikian, terdapat satu partai Islam yang tidak mau bergabung dengan Masjumi, yaitu Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Partai ini memiliki basis pendukung di Sumatera, terutama Sumatera Tengah. Partai ini secara ideologis berkaitan dengan Tarbiyah Islamiyah. Terbentuknya Tarbiyah Islamiyah sendiri merupakan respons atas kegiatan pembaruan di Minangkabau yang dilakukan oleh ulama modernis yang baru pulang dari Mekkah, seperti Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Haji Miskin Pandai Sikek. Sama dengan NU yang terbentuk akibat dari kegiatan modernisasi di Jawa, namun NU mau bergabung dengan Masjumi yang didominasi oleh kalangan modernis. Hal ini bisa terjadi dikarenakan di Pulau Jawa telah ada upaya untuk menyatukan kalangan tradisionalis dan modernis, seperti dalam MIAI. Usaha-usaha penyatuan inilah yang memudahkan NU bergabung dengan Masjumi. Adapun di Sumatera belum ada usaha penyatuan seperti di Jawa, sehingga Perti, yang menganut paham tradisionalis, menolak bergabung dengan Masjumi, yang didominasi oleh kalangan modernis. Mengenai perkembangan gerakan modernis di Indonesia lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1994. 170 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 112 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Masjumi mewakili kepentingan-kepentingan politik umat Islam. Dalam Anggaran Dasar Masjumi ditegaskan bahwa “tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi”.171 Dengan tegas disebutkan bahwa tujuan politik partai Masjumi adalah terbentuknya Negara Republik Indonesia berdasarkan Islam.172 Tujuan ini lebih jauh dijabarkan dalam Tafsiran Anggaran Dasar, di mana diberikan gambaran umum tentang apa yang disebut suatu negara yang berdasarkan Islam itu: Kita menuju kepada “Baldatun thoiyibatun, wa rabbun ghofur” negara yang berkebajikan diliputi keampunan Illahi, di mana negara melakukan kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantaraan wakil-wakil rakyat yang dipilih; di mana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan, tasamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya; di mana kaum Muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur perikehidupan pribadi dan masyarakatnya sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam sebagai yang tercantum di dalam Qur’an dan Sunnah; di mana golongan keagamaan lainnya memilih kemerdekaan untuk menganut dan mengamalkan agamanya serta mengembangkan kebudayaannya, di mana bagi seluruh penduduknya dari segenap lapisan dapat hidup atas dasar keragaman; terjamin baginya hak-hak asasi manusia yang termasuk di dalamnya keadilan di lapangan sosial, ekonomi dan politik, kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kemerdekaan menganut dan menjalankan agama satu dan lainnya tidak bertentangan dengan undangundang negara dan susila.173 Partai ini dianggap sebagai partai yang terbesar di Republik Indonesia, walaupun sampai terselenggaranya pemilihan umum hal ini hanya dapat menjadi anggapan belaka, karena pada pemilihan umum 1955, Masjumi hanya berhasil meraih posisi kedua di bawah PNI. Partai ini tidak terorganisasikan secara teratur, dan mengalami perpecahan utama di dalamnya antara para pemimpin Islam tradisionalis dan modernis.174 Perpecahan yang terjadi antara NU dan Muhammadiyah tidak terlepas dari persaingan “perebutan” posisi dalam partai dan pemerintahan. Dalam hal persaingan itu, NU lebih banyak mengalami 171 Ibid., hal. 113 Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, terj. oleh Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hal. 253 173 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 113-114 174 Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477. Sebagaimana diketahui, golongan Islam tradisionalis diasosiasikan dengan NU, sedangkan golongan Islam modernis diasosiasikan dengan Muhammadiyah. 172 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia “kekalahan” dalam persaingannya dengan kalangan modernis sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari Masjumi pada tahun 1952. Sebelumnya pada tahun 1947, PSII telah lebih dahulu keluar dari Masjumi. Susunan Dewan Partai (Majelis Syuro) dan Pengurus Besar Masjumi yang pertama memperlihatkan bahwa partai ini mencakup berbagai golongan dalam Islam. Ketua Majelis Syuro adalah Hasyim Asy’ari dan salah seorang wakil ketuanya adalah putranya, Wahid Hasyim (keduanya dari NU). Di dalam kepengurusan duduk H. Agus Salim, Syekh Djamil Djambek, dan beberapa kiai, sedangkan Pengurus Besar terdiri atas politisi karir seperti Soekiman, Abikusno, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, dan Kartosuwirjo.175 Basis politik Masjumi terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagian besar kaum borjuis pribumi, para kiai dan ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang didemobilisasikan.176 Pada masa revolusi seluruh komponen yang ada di Republik Indonesia berjuang bersatu padu menentang kembalinya Belanda di Indonesia. Salah satunya adalah Masjumi. Masjumi dengan segenap kemampuannya menentang kembalinya Belanda ke Indonesia. Oleh karena itu, Masjumi menolak perundingan dengan Belanda yang berakibat merugikan bangsa Indonesia.177 Salah seorang tokoh Masjumi, Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, mengatakan: Dalam hubungan ini tidaklah dapat disangsikan lagi bahwa Masjumi merupakan kekuasaan yang telah mempertahankan cita-cita kemerdekaan, tidak dapat dibelokkan oleh mereka, yang memegang tampuk pimpinan negara, pada jalan-jalan yang menyimpang?? dari tuntutan jiwa patriotik bangsa Indonesia. Telah menolak perjanjian-perjanjian Linggarjati dan Renville, yang dipelopori oleh mereka, yang sekarang (1959) ini membanggakan dan menamakan diri golongan revolusioner progressif... Kurang lebih lima tahun Masjumi bermarkas besar di kota Yogya yang bersejarah ini dan dengan hati bersih dan ikhlas turut mengantarkan 175 Thaba, Islam dan Negara, hal. 159 Ricklefs, Sejarah Indonesia, hal. 477 177 Seperti dalam kasus penolakan terhadap Perjanjian Linggarjati, Masjumi dengan kritis menolak perjanjian itu karena dianggap merugikan bangsa Indonesia. Karena penolakan tersebut maka dalam sidang-sidang di KNIP Perjanjian Linggarjati tidak dapat diratifikasi. Namun, akhirnya Masjumi menerima Perjanjian itu dikarenakan “ancaman” dari Hatta yang menyatakan dia dan Soekarno akan meletakkan jabatan seandainya Perjanjian itu terus ditolak. Lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950, Jakarta: Yayasan Risalah, 2005, hal. 109 176 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia bangsa dan tanah air Indonesia memasuki suasana baru, alam kemerdekaan “tumpah darah Indonesia”, yang berlandaskan UndangUndang Dasar 1945.178 Walaupun seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk Masjumi, terus berjuang melawan kembalinya Belanda, namun kepentingan Islam tetap diperjuangkan oleh Masjumi. Seperti mengenai pendidikan. Pada tahun 1946, Masjumi berusaha mewujudkan undang-undang wajib belajar bagi seluruh rakyat Indonesia, minimum pendidikan sekolah dasar, namun hal itu baru bisa terwujud pada Kabinet Natsir (1950).179 Perjuangan Masjumi dalam mewujudkan wajib belajar bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dimaklumi karena mayoritas rakyat Indonesia memeluk agama Islam sehingga apabila umat Islam Indonesia cerdas maka umat Islam Indonesia akan maju dengan sendirinya. Di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), Masjumi juga memperjuangkan kepentingan golongan Islam. Pada tanggal 2 Maret 1947 dilaksanakan sidang KNIP yang beragendakan pemandangan dari anggota KNIP tentang kebijaksanaan pemerintah. Dalam sidang ini Masjumi dengan keras mengecam pemerintah karena tidak adanya peningkatan dalam madrasah.180 Pada masa revolusi, kabinet yang memimpin pemerintahan di Republik Indonesia silih berganti jatuh. Di antara penyebab jatuh bangunnya kabinet pada masa ini dikarenakan perbedaan pandangan dalam melihat perundingan Indonesia dengan Belanda. Masjumi pada masa ini lebih banyak berperan sebagai oposisi terhadap pemerintah. Walaupun ada anggota Masjumi yang duduk dalam kabinet namun itu bukan atas nama partai tapi atas nama pribadi-pribadi. Sebagai oposisi, Masjumi memainkan perannya di KNIP. Dalam rapat KNIP dengan pemerintah, Masjumi mengkritik pemerintah Amir Syarifuddin yang tidak memberikan perhatian kepada kiai. Selain itu, Masjumi juga mendesak 178 Dikutip dari Thaba, Islam dan Negara, hal. 160. Lihat juga Maarif, Islam dan Masalah, hal. 33 179 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 265. Lihat juga Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 369 180 Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950, Jakarta: Yayasan Risalah, 2005, hal. 115 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia agar dalam ketentaraan diajarkan pendidikan agama.181 PSII, yang menduduki Menteri Agama dalam kabinet Amir Syarifuddin, membantah kalau pemerintah tidak memberikan perhatian tehadap umat Islam. Dalam hal ini pemerintah menyatakan tetap memperhatikan kiai dan pesantren, bahkan pemerintah telah membagikan 3.000 mushaf Alquran kepada pesantren-pesantren.182 Dalam Kabinet Amir Syarifuddin II, yang merupakan hasil reshuffle, Masjumi bersedia ikut serta dengan maksud mempengaruhi PM Amir Syarifuddin dalam perundingan-perundingannya dengan Belanda.183 Namun, usaha Masjumi ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville pada 8 Desember 1947.184 Dengan disepakatinya Perjanjian Renville, Masjumi kemudian menarik diri dari kabinet. Setelah timbul perpecahan internal, PM Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden. Pada tahun 1949, Masjumi juga memperjuangkan pendidikan agama harus menjadi kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Menurut Masjumi, pendidikan agama harus diajarkan menurut agama yang dianut oleh murid-murid yang bersangkutan. Tetapi perjuangan Masjumi itu mengalami kegagalan dikarenakan adanya penentangan dari PNI dan PKI.185 Penentangan kedua partai tersebut dikarenakan ketakutan mereka apabila pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah maka ideologi Masjumi akan berkembang dengan pesat. Pada masa revolusi umat Islam menunjukkan konsistensinya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, pada masa yang dipenuhi dengan konflik bersenjata dan perundingan ini, para pemimpin Islam tidak pernah memunculkan keinginan mereka untuk merealisasikan cita-cita terbentuknya negara Islam. Umat Islam tidak mau memanfaatkan situasi bangsa Indonesia yang tengah berjuang menghadapi Belanda untuk memaksakan kehendaknya sebagaimana yang dilakukan oleh kaum komunis di Madiun. Sebagaimana telah dicatat dalam sejarah, pada bulan September 1948, kaum Noer dan Akbarsyah, KNIP, hal. 160-172 Ibid., hal. 173 183 Thaba, Islam dan Negara, hal. 161 184 Kahin, Nasionalisme, hal. 283 185 Ibid. 181 182 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia komunis di Madiun mengadakan pemberontakan untuk menentang pemerintahan RI di Yogyakarta, akan tetapi dengan tekad dan semangat yang kuat pemerintah berhasil menumpas pemberontakan ini. Demikian juga halnya dalam menyikapi pemberontakan DI/TII yang menginginkan terbentuknya negara Islam. Masjumi menolak penggunaan cara kekerasan dalam mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Islam di Indonesia. Sikap ini dibuktikan dengan penolakan Masjumi terhadap pemberontakan DI/TII yang diproklamirkan oleh S.M. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949.186 Dalam Pengumuman Sikap Dewan Pimpinan Masjumi atas pemberontakan DI/TII pada Januari 1951, M. Natsir, yang ketika itu menjabat sebagai ketua Masjumi, menyatakan bahwa, “partai Masjumi hendak mencapai maksudnya dengan jalan demokratis parlementer, melalui jalan sesuai undang-undang dasar...dan tidak dengan jalan kekerasan.”187 Sikap umat Islam ini menunjukkan konsistensi dukungannya terhadap kesatuan negara Republik Indonesia, walaupun kepentinganya belum bisa terpenuhi sepenuhnya. Pada masa ini pulalah sejarah mencatat peranan Masjumi, sekurangkurangnya tokoh-tokohnya, dalam penyelesaian revolusi, terutama dari masa aksi militer Belanda kedua sampai pada penyerahan kedaulatan.188 Misalnya peranan Mohamad Roem, anggota Masjumi, yang berhasil memimpin delegasi Republik Indonesia dalam perundingan RI-Belanda pada tanggal 14 April 1949, yaitu Perundingan Roem-Roijen. Perundingan ini merupakan perundingan pendahulu untuk “memuluskan” langkah penyerahan kedaulatan yang akan dilaksanakan di Belanda. Berkat perundingan ini, Konferensi Meja Bundar di Belanda pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949 dapat terlaksana.189 Penyerahan kedaulatan akhirnya ditandatangani pada 29 Desember 1949. Dengan ditandatanganinya 186 Akan tetapi menurut C. Van Dijk, Masjumi tidak menunjukkan sikap yang tegas terhadap pemberontakan DI/TII, bahkan Masjumi cenderung bersimpati terhadap DI/TII. Lihat C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hal. 142 187 “Seorang Besar dengan Banyak Teman”, Tempo, 21/XXXVII/14-20 Juli 2008 188 Noer, Partai Islam, hal. 186 189 Berbeda dengan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville, KMB tidak mendapat penentangan dari Masjumi dan PSII. Partai-partai ini menerima hasil perjanjian KMB tersebut. Dengan diterimanya hasil perjanjian KMB, maka proses ratifikasi di KNIP tidak menemui kesulitan dan berjalan dengan lancar. Dalam pemungutan suara yang menerima KMB berjumlah 226 suara, termasuk Masjumi 49 suara dan PSII 6 suara, dan yang menolak 62 suara. Lebih lengkapnya hasil Lihat Noer dan Akbarsyah, KNIP, hal. 277 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Piagam Pengakuan dan Penyerahan Kedaulatan tersebut maka berakhirlah masa revolusi di Indonesia. 3.3 Islam Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Pada masa Demokrasi Parlementer, golongan Islam politik mencoba memunculkan kembali gagasan negara Islam yang sempat tertunda dikarenakan revolusi yang terjadi di Indonesia. Seperti pada masa sebelum kemerdekaan (masa sidang BPUPKI), perjuangan golongan Islam ini mendapat penentangan keras dari kalangan nasionalis sekuler yang mendukung Pancasila sebagai negara. Pada masa ini, penentangan kalangan nasionalis sekuler tidak mengalami perubahan. Bahkan penentangan itu menjadi bertambah keras yang nampak jelas dalam perdebatan di Konstituante. Di Dewan Konstituante partai-partai Islam berusaha keras mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Indonesia yang berlandaskan Islam. Partai-partai Islam dalam Konstituante beradu argumen dengan partai-partai pendukung Pancasila. Pada akhirnya dikarenakan masing-masing pihak tidak ada yang mau mengalah, Konstituante yang ditugaskan merumuskan dasar negara tidak berhasil menyelesaikan tugasnya. Dalam Konstituante kelompok pendukung Pancasila memiliki 274 kursi yang terdiri dari tujuh fraksi besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Republik Proklamasi, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katholik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), serta empat belas fraksi kecil lainnya.190 Sementara kelompok pendukung Islam mempunyai 230 kursi yang terdiri dari empat fraksi besar yaitu Masjumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), serta empat fraksi kecil lainnya. Sedangkan kelompok pendukung Sosial-Ekonomi mempunyai 10 kursi yang terdiri dari tiga fraksi yaitu Partai Buruh, Partai Murba, dan Acoma.191 190 Erwien Kusuma dan Khairul, “Detik-detik Menjelang Bubarnya Konstituante” dalam Erwien Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, Jakarta: BAUR Publishing, 2008, hal. xii 191 Ibid., hal. xiii Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Sedikitnya pendukung Sosial-Ekonomi inilah yang menyebabkan mereka tidak mampu berbicara banyak dalam Konstituante. Salah satu sidang pleno yang paling sengit perdebatannya dalam sidang Konstituante terjadi pada tanggal 11 November sampai 6 Desember 1957 yang membahas masalah dasar negara. Sidang yang dilaksanakan dalam dua sesi itu melibatkan 47 orang pembicara dalam sesi pertama dan 54 orang pembicara dalam sesi kedua.192 Perdebatan-perdebatan yang terjadi dalam Konstituante menunjukkan bahwa masing-masing kelompok, terutama kelompok pendukung Pancasila dan kelompok pendukung Islam, terkesan ngotot dalam mengajukan pendapat-pendapatnya. Argumen-argumen yang dikemukakan diharapkan dapat mengubah pendirian anggota-anggota kelompok yang menentang. Tetapi dikarenakan masing-masing pihak merasa argumen atau pendapatnya lah yang paling benar, unggul, dan sempurna, maka hasilnya justru kelompok yang menentang semakin menjauh dari kesepakatan.193 3.3.1 Perdebatan Dasar Negara dalam Konstituante Perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara (negara Islam) di Konstituante menyebabkan partai-partai Islam bersatu dan kompak dalam menyuarakan aspirasinya. Demikian pula halnya partai-partai yang mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Perjuangan ini menimbulkan perdebatan yang keras antara pendukung Pancasila di satu sisi dengan pendukung negara Islam pada sisi lainnya. Pembahasan dasar negara dalam proses pembuatan konstitusi selalu melahirkan perdebatan yang tajam dan mendalam. Hal itu karena dasar negara menjadi pijakan utama yang menentukan arah dan cara penyelenggaraan negara.194 Tiga dasar negara yang menjadi perdebatan fraksi-fraksi di Dewan Konstituante adalah Sosial-Ekonomi, Islam, dan Pancasila. Namun pada perkembangannya, perdebatan yang tajam dan mendalam lebih terfokus 192 Ibid., hal. xvi-xvii Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995, hal. xxxii 194 Jimly Asshiddiqie, “Titik Temu dan Titik Imbang Antara Pancasila dan Islam”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. vii 193 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia kepada Islam dan Pancasila.195 Pendukung dasar negara Sosial-Ekonomi memiliki pendukung yang sedikit sehingga perdebatan mengerucut hanya pada Pancasila dan Islam. Masing-masing pendukung dasar negara mengemukakan argumen-argumen penguat pendapatnya. Bahkan, dalam perdebatan itu tidak jarang sebagian anggota fraksi langsung “menyerang” anggota fraksi yang berlainan pendapat dengannya. Sebenarnya, kontroversi mengenai dasar negara ini telah dimulai jauh-jauh hari sebelum dilaksanakannya Pemilihan Umum 1955. Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 27 Januari 1953 di Amuntai, Kalimantan Selatan, menganjurkan rakyat untuk menolak usul atau ajakan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dia berkata: “Jangan mau, jangan mau, jangan mau!, karena ini akan menyebabkan daerah-daerah seperti Maluku, Bali, Flores, Kepulauan Kai, dan Sulawesi Utara lepas dari Republik Indonesia.”196 Pidato itu mengagetkan tokoh-tokoh Islam, apalagi Soekarno pernah memberikan janji-janji—pada saat pembicaraan di BPUPKI dan PPKI—yang akhirnya menghasilkan kompromi Piagam Jakarta. Berbagai reaksi keras disampaikan oleh para pemimpin Islam terhadap pidato ini, baik dari Masjumi, NU, PSII, dan Perti, maupun ormas-ormas Islam.197 Isa Anshary, salah satu tokoh Masjumi, bahkan mengutuk pidato Presiden itu sebagai pidato yang tidak demokratis, tidak konstitusional, dan berlawanan dengan ideologi Islam yang dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia.198 Selanjutnya dalam sidang Konstituante perdebatan-perdebatan itu menemukan tempatnya. Pendukung Islam dengan segenap kemampuannya berusaha mewujudkan terbentuknya negara Islam. Akan tetapi usaha pemimpin Islam itu mengalami tantangan keras dari pendukung Pancasila. Akibatnya perdebatan-perdebatan keras tidak bisa dielakkan dalam Konstituante. 195 Ibid., hal. viii Noer, Partai Islam, hal. 264 197 Thaba, Islam dan Negara, hal. 171 198 Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 31 196 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Fraksi-fraksi pendukung Islam meyakini bahwa Islam merupakan dasar negara yang tepat karena sumber kebenarannya tidak perlu diragukan, sesuai dengan keyakinan mayoritas rakyat Indonesia, serta memiliki prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan demokrasi modern. Fraksi pendukung dasar negara Islam tidak menyetujui Pancasila sebagai dasar negara karena tidak memiliki makna yang jelas dan pasti.199 Sedangkan fraksi-fraksi Pancasila berargumen Pancasila adalah nilai-nilai dasar yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila merupakan dasar yang tepat bagi negara Indonesia.200 Kelompok kebangsaan pendukung Pancasila menilai bahwa Islam hanyalah salah satu saja dari pandangan yang diyakini oleh rakyat Indonesia sehingga tidak mewakili kepribadian bangsa. Jika Islam menjadi dasar negara, menurut kelompok ini, ditakutkan kelompok masyarakat lain merasa tidak terlindungi. Selain itu, mereka juga belum melihat ada negara yang berhasil maju dengan dasar Islam. Bahkan, banyak negara-negara Islam saat itu adalah negara dengan sistem monarki.201 Para penentang dasar negara Islam menyebutkan salah satu negara yang menganut dasar Islam dengan sistem monarki seperti Arab Saudi. Negara-negara “Islam” lainnya yang menjadi contoh bagi pendukung kebangsaan adalah Pakistan dan Afganistan. Dalam perdebatan itu salah seorang anggota fraksi PNI yang mendukung dasar negara Pancasila, Soewirjo, dalam pidatonya memberikan argumen tentang kelemahan Islam apabila dijadikan dasar negara, berkata: Dasar negara Sosial-Ekonomi dan dasar negara Islam tidak jelek. Tapi keduanya belum mencakup nilai-nilai yang telah disepakati dalam Komisi 199 Asshiddiqie, “Titik Temu”, hal. viii Sementara itu, kelompok pendukung Sosial-Ekonomi, yang memiliki pendukung sedikit sehingga aspirasinya tenggelam oleh pendukung Pancasila dan Islam, melihat revolusi Indonesia sebagai sumber pandangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Hamzah dari Partai Buruh, selama revolusi Indonesia rakyat bergerak, berjuang, dan berontak untuk dibebaskan dari kesengsaraan ekonomi, tetapi kebebasan ini belum terwujud karena ekonomi Indonesia masih bergantung pada kekuasaan imperialis dan kapitalis, dan belum sepenuhnya dikendalikan oleh negara dan bangsa Indonesia, sebagaimana diharapkan oleh UUD 1945 dan massa rakyat. Oleh karena itu, dasar negara Sosial-Ekonomi sangat tepat untuk mewujudkan aspirasi-aspirasi rakyat Indonesia ini. Lihat Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 74 201 Ibid. 200 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia I tentang ketentuan-ketentuan ideologi atau dasar negara.202 .... Dasar negara Islam mungkin telah mencukupi syarat ketiga, keempat, dan kelima, tapi belum nampak mencukupi syarat pertama, yaitu sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan juga syarat kedua yaitu dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945.203 Selain itu, untuk memperkuat argumennya tentang keunggulan Pancasila, Soewirjo, mengutip pernyataan dua tokoh nasional, yaitu Soekarno dan Hatta, yang menyatakan bahwa Pancasila adalah jaminan hakiki bagi seluruh rakyat Indonesia untuk tetap berkehidupan bebas dan merdeka, adil dan makmur.204 Soewirjo juga menyatakan kekhawatirannya apabila Indonesia berusaha mencari dasar negara yang baru selain Pancasila karena dasar yang baru itu belum tentu cocok dengan Indonesia. Dia berkata: Jadi tidak perlulah kita repot mencari dasar negara yang lain. Kewajiban kita sekarang, hanyalah memperbaiki atau menyempurnakan rumusan dasar negara yang sudah ada tadi, bukan menggantinya dengan dasar negara lain yang belum tentu cocok dengan kepentingan Republik Indonesia sendiri.205 Dalam kesimpulan pidatonya, Soewirjo menyatakan bahwa baik dasar Sosial-Ekonomi maupun Islam sudah tercakup dalam dasar Pancasila.206 Masalah cakup mencakupi ini juga disinggung oleh anggota fraksi Islam dari Masjumi, Kasman Singodimedjo. Hanya bedanya apabila Soewirjo beranggapan Islam sudah tercakup dalam Pancasila, Kasman Singodimejo menyatakan sebaliknya, yaitu Pancasila sudah tercakup dalam Islam. Anggota fraksi PNI lainnya, Nur Sutan Iskandar, juga berusaha memperkuat argumen rekan sefraksinya, Soewirjo, mengenai sudah tercakupnya Islam dalam Pancasila. Dia menyatakan, “dikarenakan di dalam Pancasila sudah tersimpul 202 Sebagaimana telah disepakati dalam Komisi I Dewan Konstituante, ketentuanketentuan Dasar Negara harus meliputi lima hal, yaitu pertama sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia; kedua, dijiwai semangat Revolusi 17 Agustus 1945; ketiga musyawarah hendaknya menjadi dasar dalam segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan; keempat terjaminnya adanya kebebasan beragama dan beribadat; dan kelima berisikan jaminanjaminan sendi-sendi perikemanusiaan, kebangsaan yang luas dan keadilan sosial. Lihat Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 50 dan Erwien Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 4. 203 Pidato Soewirjo, “Dasar Negara dan Kepribadian Bangsa”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 5 204 Ibid., hal. 5 205 Ibid., hal. 13 206 Ibid., hal. 14 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia cita-cita Islam, alangkah baiknya Pancasila akan tetap menjadi dasar negara NKRI.”207 Adapun PKI yang menjadi pendukung Pancasila, walaupun menurut pendukung Islam tidak sesuai dengan ajaran PKI yang ateis karena pada sila pertama Pancasila terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, mengajukan argumenargumen untuk mendukung pilihannya itu. Bahkan, dalam argumenargumennya itu sebagian anggota fraksi PKI “menyerang” langsung personal anggota-anggota pendukung Islam. Seperti KH. A. Dasuki Siradj yang menyebutkan M. Natsir hanya mengutip ayat-ayat Alquran di tengahtengahnya saja, tidak dari awal dan akhirnya.208 Bahkan lebih jauh KH. A. Dasuki Siradj tidak hanya menyerang anggota fraksi Masjumi, melainkan langsung partainya. Dia berkata: PKI tidak dapat menerima Islam untuk dijadikan dasar negara bukan karena anti-agama, melainkan praktek yang dijalankan selama ini oleh para pemimpin Masjumi yang selalu merugikan negara dan rakyat.209 Mengenai praktek partai Islam yang dianggap merugikan dan tidak mementingkan rakyat juga disebut oleh Atmodarminto anggota fraksi Partai Gerinda. Dengan blak-blakan dia menyebutkan bukti bahwa telah tiga kali partai-partai Islam menjadi inti dan memegang jabatan Perdana Menteri dari Kabinet Koalisi, akan tetapi selama itu rakyat tidak menjadi makmur, sebab, menurutnya, para pemimpin partai-partai Islam setelah memegang kekuasaan negara lalu memalingkan muka atau lupa kepada janji-janjinya.210 Adapun Njoto mengemukakan argumen yang membantah pernyataan M. Natsir bahwa Pancasila tidak berakar dalam masyarakat Indonesia. Dia menyatakan bahwa apabila Pancasila tidak berakar dalam masyarakat pastilah masyarakat memilih partai-partai pendukung Islam. Namun, pada 207 Pidato Nur Sutan Iskandar, “Pancasila dan Negara Agama”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 26 208 Pidato K.H. Dasuki Siradj, “PKI Tidak akan Membikin Double Boekhouding”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 285 209 Ibid., hal. 288 210 Atmodarminto, “Abangan Menentang Negara Islam”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 188 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia kenyataannya, menurut Njoto, lebih dari 50% masyarakat memilih partaipartai pendukung Pancasila, bukan sebaliknya.211 Pidato-pidato dari anggota-anggota fraksi pendukung Pancasila lainnya hampir sama. Misalnya dari fraksi Partai Katolik yang menyatakan apabila Islam dijadikan dasar negara maka golongan lain hanya akan menjadi obyek dari golongan Islam yang memerintah.212 Hal inilah yang menyebabkan Soehardi menolak Islam dijadikan dasar negara karena dalam bernegara semua warga negara harus memiliki hak sama. Pendapat Soehardi itu juga didukung oleh Atmodarminto. Dia menyatakan apabila Islam dijadikan dasar negara maka warga negara yang memiliki hak penuh hanya orang-orang Islam saja, sedangkan warga negara lainnya yang tidak beragama Islam pasti akan dikurangi haknya.213 Bahkan, apabila kalangan Islam memaksakan Islam dijadikan dasar negara, maka menurut Atmodarminto akan terjadi perang saudara di Indonesia.214 Adapun argumen-argumen anggota pendukung Islam, baik dari fraksi Masjumi maupun fraksi NU, tidak kalah kritisnya dibandingkan argumen pendukung Pancasila. Mereka menggunakan berbagai macam alasan dan dalil untuk memperkuat argumen atau pendapat-pendapatnya. Salah satu anggota fraksi Masjumi yang memberikan jawaban dan argumen secara panjang lebar dan mendetail adalah Mohammad Natsir. Dalam pidato panjangnya M. Natsir berusaha mengemukakan argumenargumen tentang keunggulan Islam apabila dijadikan dasar negara. Dalam pidatonya itu dia berkata: Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar negara kita. Akan tetapi berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaranajaran Islam yang mempunyai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan 211 Pidato Njoto, “Meterre la Coda Dove Con va il Capo”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 320-321 212 Pidato R.A. Soehardi, “Negara: Religious Institution atau Human Institution”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 347-348 213 Atmodarminto, “Abangan Menentang”, hal. 188 214 Ibid., hal. 186 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia masyarakat, dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling hargamenghargai antara berbagai golongan di dalam negara.215 Selain itu dia juga menyatakan kelemahan-kelemahan Pancasila apabila dijadikan dasar negara Indonesia. M. Natsir menyatakan walaupun di dalam Pancasila terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa, namun itu bukan berarti Pancasila mengandung nilai agama. Hal itu dikarenakan sila Ketuhanan tersebut bersumber dari paham sekuler, bukan agama. Pancasila bukan bersumber dari salah satu wahyu Illahi. Jadi, Pancasila, menurut M. Natsir, bukanlah satu bentuk pengakuan dan penyaksian akan Kedaulatan Tuhan.216 Pendapat M. Natsir ini juga didukung oleh rekan sefraksinya yaitu M. Rusjad Nurdin yang menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan simbol yang kosong.217 Walaupun dalam Pancasila tidak terdapat nilai agama, tetapi menurut M. Natsir di dalam Pancasila harus diakui terkandung ide-ide yang baik. Namun, ide-ide baik itu tidak dapat dijelaskan oleh para pendukung Pancasila sendiri. Para pendukung Pancasila menurut Natsir tidak mampu menjelaskan dan menunjukkan apa isi Pancasila sebenarnya, apa urutan, apa asalnya, apa nucleusnya (intinya) dan hubungannya, interdependensinya satu sama lain.218 Dikarenakan ketidakjelasan Pancasila tersebut maka ia tidak pantas dijadikan sebagai dasar negara karena dasar negara haruslah tegas dan jelas agar dapat membimbing bangsa Indonesia.219 Lebih tegas M. Natsir mengatakan bahwa Pancasila sebagai filsafat negara bagi kami (umat Islam) adalah kabur dan tidak bisa berkata apa-apa kepada jiwa umat Islam yang sudah mempunyai satu ideologi yang tegas, terang, dan lengkap, dan hidup dalam kalbu rakyat Indonesia sebagai tuntuan hidup dan sumber kekuatan lahir dan batin, yakni Islam.220 Natsir mengibaratkan apabila 215 Pidato Mohammad Natsir, “Negara Islam versus Negara Sekuler”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 63-64 216 Ibid., hal. 72 217 Pidato M. Rusjad Nurdin, “Antara Islam, Pancasila, dan Sekulerisme”, dalam Ibid., hal. 114 218 Natsir, “Negara Islam”, hal. 73 219 Ibid., hal. 74 220 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia umat Islam menerima Pancasila seperti orang yang melompat dari bumi tempat berpijak ke ruang, vakum, tak berhawa.221 Dia berkata: Saya ingin menyampaikan seruan yang sungguh-sungguh kepada saudarasaudara pendukung Pancasila. Sila-sila yang Saudara maksud ada terdapat dalam Islam, bukan sebagai “pure concepts” yang steriel, tetapi sebagai nilai-nilai hidup yang mempunyai substansi yang riil dan terang. Dengan menerima Islam sebagai falsafah negara, Saudara-saudara pembela Pancasila sedikit pun tidak dirugikan apa-apa. Baik sebagai pendukung Pancasila atau sebagai orang yang beragama. Malah akan memperoleh satu state philosophy yang hidup berjiwa, berisi tegas, dan mengandung kekuatan. Tak ada satu pun dari lima sila yang terumus dalam Pancasila itu yang akan terluput atau gugur, apabila saudara-saudara menerima Islam sebagai dasar negara. 222 Menurut M. Natsir negara Islam yang akan dibentuk bukanlah negara teokrasi. Negara Islam adalah negara demokrasi, yang dalam istilahnya dinamakan dengan “Theistic Democracy”.223 Dengan pendapatnya itu, M. Natsir ingin membantah kekhawatiran kelompok pendukung Pancasila yang menyatakan bahwa apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara maka akan terbentuk negara teokrasi, yang akan berakibat kepada adanya diskriminasi terhadap kelompok selain Islam. Selain M. Natsir, anggota fraksi Masjumi lainnya yang mengemukakan pidato untuk mendukung ide Islam dijadikan sebagai dasar negara adalah Mr. R.H. Kasman Singodimedjo. Dalam pidatonya, Kasman Singodimedjo “menyerang” PKI yang menerima Pancasila sebagai dasar negara. Padahal menurutnya PKI menganut paham ateisme sehingga tidak mungkin menerima Pancasila.224 Di sini, menurut Kasman Singodimedjo, nampak kontradiksi dalam Pancasila. Seharusnya sebagai dasar negara Pancasila tidak boleh mengandung kontradikasi. Kasman Singodimedjo juga menyebutkan ajaran-ajaran Islam yang sangat berguna bagi bangsa Indonesia apabila Islam dijadikan sebagai dasar negara. Ibid., hal. 75 Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsesus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 83-84 223 Natsir, “Negara Islam”, hal. 76 224 Pidato Mr. R.H. Kasman Singodimedjo, “Alasan Kenapa Islam Menjadi Dasar Negara”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 86-87. Lihat juga Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 51 221 222 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Ajaran-ajaran itu di antaranya Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yang mendudukkan kebenaran dan hak, Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara, dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyat dan kepada Tuhan, Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan, atau eksploitasi manusia atas manusia dalam bentuk apapun, Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas), Islam mewajibkan menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak boleh ada egoisme yang tamak atau bakhil; kekayaan (milik) perseorangan tidak terlepas dari fungsi sosial sehingga rezeki dapat merata, dan Islam memberikan penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.225 Dikarenakan ajaran-ajaran itulah maka Islam sangat pantas dan layak, menurut Kasman Singodimedjo, dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Nilai-nilai keislaman itu akan dapat membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera dan maju apabila diterapkan oleh bangsa Indonesia. Dengan menyebutkan ajaran-ajaran Islam ini, Kasman Singodimedjo ingin membantah keraguan pendukung Pancasila yang mengkhawatirkan apabila Islam dijadikan dasar negara maka warga negara selain pemeluk agama Islam akan mengalami diskriminasi. Selain menyebutkan keunggulan Islam apabila dijadikan sebagai dasar negara, Kasman lebih jauh juga menyebutkan posisi Pancasila sebagai subordinasi dari Islam dengan mengatakan, “Islam itu adalah Serba Sila, termasuk dus Pancasila, jadi, Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam, Pancasila adalah bikinan manusia, Islam adalah ciptaan Allah.”226 Dalam pidato terakhirnya Kasman Singodimedjo mengatakan: Saudara Ketua, apabila pada waktu itu, tanggal 18 Agustus 1945, pemimpin-pemimpin Islam tidak berkepala batu, tetapi bahkan menerima baik untuk menunda pembicaraan mengenai materi-materi Islam itu, mengingat suasana waktu itu, Saudara Ketua. Maka hal itu menjadi bukti untuk kesekian kalinya bahwa umat Islam memang berlapang dada. 225 226 Ibid., hal. 92-98 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 158 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Semoga pada waktu sekarang ini di Dewan Konstituante sini dada itu tidak harus dilapangkan lagi. Sebab, Saudara Ketua, pelapangan dada itu telah maksimal. Paling banyak dada itu tinggal meledak! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!227 Pernyataan Kasman Singodimedjo itu menunjukkan bahwa golongan Islam pada saat bersedia menghapus ketujuh kata dalam mukaddimah UUD 1945 dikarenakan kondisi pada waktu itu tidak memungkinkan bagi pemimpin Islam untuk memaksakan diri. Sebagaimana diketahui setelah proklamasi 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia harus menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Oleh karena itu, segala upaya dilakukan agar persatuan bangsa Indonesia tetap terjaga utuh demi menghadapi Belanda. Mengenai situasi yang mendorong penghapusan ketujuh kata itu Mohammad Hatta berkata: Karena begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatra mengadakan suatu rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan negara.228 Selain menunjukkan kelapangan dada umat Islam dalam penghapusan ketujuh kata dalam mukaddimah undang-undang dasar, para pendukung dasar negara Islam juga menyatakan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan yang menjadi pegangan para pejuang adalah Islam, bukan Pancasila. Para pejuang tidak pernah mengucapkan Pancasila apalagi menjiwainya karena pada saat itu Pancasila belum dikenal. Yang terdengar pada saat perjuangan kemerdekaan adalah kata-kata “Allahu Akbar”.229 Dengan mengungkapakan kalimat “Allahu Akbar” Hamka ingin menunjukkan bahwa Islamlah yang 227 Singodimedjo, “Alasan Kenapa”, hal. 106 Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas Indonesia, 1981, hal. 60 229 Pidato Hamka, “Berbeda dalam Mencari Kebenaran”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 143. Lihat juga Greg Fealy dan Virginia Hooker (editor), Voices of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications, 2006, hal. 215-220 228 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia menjiwai perjuangan bangsa Indonesia sampai berhasil mengumandangkan kemerdekaannya bahkan sampai sekarang. Sementara itu KH Masjkur, dari fraksi NU, dalam pidatonya juga menyebutkan keunggulan Islam sebagai dasar negara jika dibandingkan dengan Pancasila. Dia menyebutkan tiga hal yang mendasari layaknya Islam dijadikan sebagai dasar negara.230 Pertama unsur-unsur Islam telah menjiwai sebagian besar masyarakat bangsa Indonesia, sehingga merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Kedua Pancasila tetap merupakan rumusan yang kosong, yang tidak berketentuan arah dan tujuannya. Dan ketiga ajaran Islam memenuhi syarat untuk mengatur hidup dan perikehidupan manusia. Selain perdebatan-perdebatan yang keras tersebut ternyata terdapat sebagian anggota Konstituante yang berusaha mengemukakan pendapatnya dengan lebih “lembut”. Bahkan, dia berusaha mengkompromikan kedua kubu, yaitu pendukung Pancasila dan Islam. Anggota ini berasal dari PSI, yang walaupun sikap resmi fraksinya mendukung Pancasila, namun dalam pidatonya terkesan berusaha mengkompromikan kedua kubu yang saling bertentangan. Dia adalah Prof. Mr. S.T. Alisjahbana yang berkata: Kami dari PSI dengan sungguh-sungguh berharap kepada golongangolongan yang seolah-olah bertentangan dalam sidang-sidang Dewan Konstituante ini, agar dapat melapangkan hati seluas-luasnya, sehingga kita secepatnya dapat memperoleh suatu rumusan yang dapat dipakai sebagai pedoman selanjutnya, sehingga pekerjaan kita jangan terkatungkatung tiada henti.231 Namun, pidato seruan S.T. Alisjahbana tersebut tidak banyak berpengaruh dalam Konstituante. Masing-masing kubu tetap ngotot mempertahankan keyakinannya masing-masing sehingga sebagaimana yang akan diketahui selanjutnya sidang Dewan Konstituante tidak berhasil membuat keputusan. Pendirian teguh pendukung Islam dalam hal menjadikan Islam sebagai dasar negara ini disandarkan pada beberapa alasan:232 Pertama, mereka 230 Pidato K.H. Masjkur, “Titik Temu dan Titik Tolak antara Islam dan Pancasila”, dalam Kusuma dan Khairul (editor), Pancasila dan Islam, hal. 253-254 231 Pidato S.T. Alisjahbana, “Pancasila di tengah-tengah Pergolakan Dunia”, dalam Ibid., hal. 386 232 Noer, Partai Islam, hal. 266 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia melihat dasar ini (syariat Islam) sebagai masalah yang mereka janjikan selama kampanye pemilihan umum tahun 1955.233 Oleh karena itu, menurut mereka janji harus ditepati. Kedua, mereka melihat Konstituante sebagai forum tempat tiap kelompok atau fraksi mengemukakan cita-cita. Dan ketiga, para pemimpin Islam melihat Konstituante sebagai forum dakwah. Disebabkan alasan-alasan di atas itulah para pemimpin Islam di Konstituante terus berjuang keras mewujudkan terlaksananya syariat Islam bagi umat Islam. Terlepas dari alasan-alasan itu, nampaknya yang menjadi alasan utama bagi partai Islam untuk mengajukan Islam sebagai dasar negara adalah dikarenakan upaya itu merupakan tugas keagamaan.234 Sebenarnya dalam lingkungan Masjumi terdapat pendapat lain mengenai keinginan Masjumi menerapkan Islam sebagai dasar negara. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Jusuf Wibisono. Menurutnya partai-partai Islam seharusnya bersikap lebih luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Jusuf Wibisono berpendapat bahwa lebih baik organisasi-organisai Islam bekerja mendidik masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam daripada semata-mata berpegang dengan penuh semangat pada cita-cita Islam tersebut di atas.235 Pendapat Jusuf Wibisono ini dapat dianggap sebagai akar dari pemikiran Islam kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid pada masa pemerintahan Orde Baru. Sementara itu keteguhan kelompok pendukung Pancasila disebabkan oleh anggapan mereka bahwa mendukung Pancasila merupakan kewajiban yang berasal dari mandat Konstituante untuk menyusun undang-undang dasar baru bagi negara yang sudah berdiri dengan landasan khas, yaitu Pancasila.236 Keteguhan masing-masing kelompok inilah yang menyebabkan perdebatan 233 Pada kampanye pemilu tahun 1955 partai-partai Islam berusaha “menjual” Islam untuk menarik masyarakat memilih partai-partai Islam, di antara isu yang “dijual” adalah mengenai negara Islam. Bagi partai-partai yang menentang atau tidak setuju dengan ide negara Islam itu, juru kampanye partai-partai Islam tidak segan-segan mengutuk atau mengkafirkan penentangpenentangnya itu. Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai kampanye pada pemilu tahun 1955 lihat Herbert Feith, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 1999, hal. 9-55 234 Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 77 235 Noer, Partai Islam, hal. 267 236 Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 76 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia tentang dasar negara berlangsung sampai dengan rapat yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959 tanpa menghasilkan suatu keputusan. Dalam perdebatan yang berkepanjangan tersebut, Konstituante benarbenar menghadapi kebuntuan dalam menyelesaikan masalah dasar negara. Akibatnya, dibutuhkan waktu yang lama untuk menyusun konstitusi baru bagi negara Indonesia. Tetapi bagaimana pun juga, sebenarnya pada permulaan 1959, Konstituante telah berhasil menyelesaikan 90% kerjanya dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Hal tersebut dapat diketahui, ketika pada 18 Februari 1959, pada penutupan sidang Panitia Perumus Konstitusi, Ketua Konstituante Wilopo melaporkan kepada sidang dengan perasaan puas bahwa Konstituate telah dapat menyelesaikan tugasnya 90%. Agaknya sisa yang 10% itu berhubungan dengan tugas sidang umum Konstituante berupa perubahan, pemilihan alternatif, dan pengesahan.237 Karena kebuntuan yang dialami oleh sidang Konstituante, maka pada tanggal 2 Maret 1959, Perdana Menteri Djuanda mengemukakan kepada parlemen pemikiran untuk kembali ke UUD 1945. Ide yang sama juga dikemukakan oleh Presiden Soekarno kepada Konstituante di Bandung pada 22 April 1959.238 Dalam menanggapi usulan pemerintah itu, para wakil Islam di Konstituante, tidak mau menerima UUD 1945 tanpa modifikasi. Mereka mengambil kesempatan untuk memasukkan kembali ke dalam UUD 1945 tujuh kata yang telah hilang, yaitu kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.239 Menanggapi hal itu, Djuanda pada 22 April 1959 dalam keterangannya, sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dari para wakil Islam di Konstituante, menyatakan bahwa Piagam Jakarta “menjiwai” UUD 1945, dan oleh karena itu, memberi dasar bagi pelaksanaan hukum agama.240 237 Kusuma dan Khairul, “Detik-detik”, hal. xiii Ibid., hal. xiv 239 Ibid. 240 Ibid., hal. xv 238 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Jawaban dari pemerintah itu tentu saja tidak memuaskan kalangan Islam. Maka ketua Fraksi Islam di Konstituante, yang saat itu dijabat oleh KH Masjkur dari NU, mengemukakan mosi agar ketujuh kata tersebut di atas dapat masuk lagi dalam mukaddimah UUD 1945.241 Pada malam hari tanggal 1 Juni 1959 diadakan pemungutan suara dengan hasil 201 suara mendukung mosi Masjkur dan 265 suara menolak, dengan anggota yang hadir sebanyak 470 orang.242 Prinsip tidak mau mengalah atau berkompromi di antara kelompok pendukung Pancasila dan kelompok pendukung negara Islam mendapatkan kritik dari Mohammad Hatta, yang mengatakan: Dua golongan besar yang hebat berjuang dalam Konstituante. Aliran yang berpegang—dengan mulut—kepada Pancasila yang pengikutnya kira-kira 52 persen dalam Konstituante dan aliran negara Islam, yang sokongannya dalam Konstituante hanya 48 persen. Menurut peraturan undang-undang yang menjadi dasar dalam Konstituante, suatu usul dalam Konstituante hanya dapat diterima dengan suara 2/3 terbanyak, yaitu kira-kira 67 persen. Jadinya negara yang menuntut negara Islam bagi Indonesia, tidak akan dapat mencapai cita-citanya. Sungguhpun demikian, mereka terus memperjuangkan tujuan mereka itu dalam Konstituante. Alangkah baiknya, apabila mereka menunjukkan sikap toleransi. Setelah mereka berjuang sungguh-sungguh dan kalah suara, mereka tidak meneruskan perjuangan itu dan secara demokrasi menerima kekalahan itu dan mufakat dengan Pancasila, sebagai bermula menjadi dasar negara.243 Dengan mengatakan ini, secara tidak langsung Hatta menunjukkan kekonsistenannya dalam mendukung Pancasila. Sebagai orang yang sangat “berperan” dalam penghapusan Piagam Jakarta, Hatta ingin berusaha kembali memainkan “peran” tersebut. Tetapi, nampaknya dia kurang menyadari sepenuhnya perasaan pendukung negara Islam. Golongan Islam menerima penghapusan Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945 dikarenakan, sebagaimana yang disebutkan Kasman Singodimedjo, pertimbangan persatuan bangsa yang akan menghadapi kedatangan Belanda kembali sehingga harus dihadapi dengan persatuan dan kekompakan bangsa Indonesia. Sementara, pada saat sekarang (masa Demokrasi Parlementer) keadaan itu sudah berubah. Bangsa 241 Ibid. Nasution, Aspirasi Pemerintahan, hal. 400-401 243 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 153 242 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Indonesia benar-benar telah merdeka. Oleh karena itu, dikarenakan penjajah Belanda tidak bercokol lagi di Indonesia dan undang-undang pun mengizinkan perjuangan pembentukan negara Islam, maka menurut pendukung negara Islam saat itu adalah waktu yang tepat untuk memperjuangkannya. Dengan pertimbangan inilah kelompok pendukung negara Islam tetap gigih memperjuangkan aspirasinya walaupun dari segi kekuatan suara mereka kalah dari kelompok pendukung Pancasila. Dikarenakan kebuntuan di Konstituante tidak kunjung terpecahkan, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali secara resmi UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara. Sejak saat itu, Konstituante bubar.244 Dengan dibubarkannya Dewan Konstituante, Islam politik kembali gagal merealisasikan cita-cita terbentuknya negara Islam. Bahkan pada masa selanjutnya, yaitu Demokrasi Terpimpin, peran dari partai-partai Islam mengalami penurunan. Lebih tragisnya, Partai Masjumi yang dianggap sebagai partai Islam terbesar harus membubarkan dirinya setelah dipaksa oleh Presiden Soekarno membubarkan diri. 3.4 Islam Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1960-1965) Dalam amanatnya pada 22 April 1959, Presiden Soekarno mengemukakan 12 definisi Demokrasi Terpimpim. Satu di antaranya menyatakan Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi, atau, dalam UUD 1945 dikatakan demokrasi “yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.245 Dalam kesempatan lainnya, Presiden Soekarno menjelaskan Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan246, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.247 244 Lihat catatan kaki nomor 5 BAB I Ibid., hal. 183 246 Demokrasi kekeluargaan memiliki makna demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di tangan seseorang “sesepuh”—seseorang tetua—yang tidak mendiktatori, tetapi “memimpin”, “mengayomi”. Lihat Maarif, Islam dan Masalah, hal. 184 247 Ibid., hal. 183 245 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Pada masa Demokrasi Terpimpin ini, politik memainkan peran yang sangat penting sehingga perkembangan ekonomi negara menjadi terabaikan. Ideologi negara memiliki peranan penting dalam mengatur semua sendi kehidupan berbangsa.248 Oleh karena itu, Presiden Soekarno memiliki hak penuh dalam menentukan ideologi negara. Pada masa ini, Presiden Soekarno mengemukakan satu istilah untuk menyatukan semua ideologi yang dianggapnya sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu istilah NASAKOM (NASionalisme, Agama (Islam), KOMunisme). Pada tahun 1957, partai Islam Masjumi bukan saja tambah renggang dan asing dari Soekarno tetapi juga tambah bertentangan secara konfrontatif dengan Presiden.249 Penentangan keras Masjumi terhadap Soekarno tidak terlepas dari keteguhan Masjumi dalam memperjuangkan demokrasi. M. Natsir, Ketua Umum Masjumi, menulis banyak artikel yang digunakan untuk membantah dan menunjukkan berbagai kelemahan sistem Demokrasi Terpimpin. Perjuangan Masjumi dalam mempertahankan prinsipnya akhirnya berakhir pada tanggal 17 Agustus 1960 pukul 5.20 pagi. Saat itu pimpinan pusat Masjumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masjumi harus dibubarkan. Surat itu mengatakan bahwa, “Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan keputusan Presiden (No. 200/1960) bahwa partai Masjumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masjumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, partai Masjumi akan diumumkan sebagai “partai terlarang”.250 Kurang dari sebulan kemudian, yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masjumi menyatakan partainya bubar.251 Dengan bubarnya Masjumi, NU menjadi parpol Islam terbesar. Akan tetapi, sebenarnya, pengaruhnya dalam proses pengambilan kebijaksanaan Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. xxi 249 Noer, Partai Islam, hal. 369 250 Ibid., hal. 386 251 Ibid., hal. 387 248 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia nasional sangat kecil, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.252 Selain NU, terdapat partai Islam lain, yaitu PSII dan Perti. Ketiga partai ini berhasil bertahan selama periode Demokrasi Terpimpin karena mereka mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan Demokrasi Terpimpin seperti yang dikehendaki Presiden Soekarno.253 Yang terpenting bagi ketiga partai politik ini adalah bagaimana caranya menyenangkan Soekarno dan menjaga agar Soekarno tidak menjadi marah sehingga bersedia melindungi kepentingan mereka.254 Kelihatannya ketiga partai Islam tadi tidak lagi memperlihatkan identitasnya. Mereka sekedar mengikuti kehendak Soekarno. Misalnya sikap NU mengenai kemerosotan ekonomi selama periode Demokrasi Terpimpin. Para pemimpin NU meminta rakyat untuk tabah dan melarang rakyat menyalahkan pemerintah. Mengenai “ganyang Malaysia” NU juga menunjukkan sikap yang taat kepada Soekarno. Padahal, dalam hal pemikiran agama NU lebih dekat kepada Muslim Malaysia daripada kalangan modernis Islam Indonesia.255 Hal itu dapat dibuktikan dengan seringnya orang-orang Islam Malaysia menghadiri kongres NU. Seharusnya mereka tidak mendukung “ganyang Malaysia”. Tapi nampaknya, politik dalam pandangan NU berbeda dengan ideologi sehingga dalam pelaksanaannya juga berbeda. Adapun PSII menunjukkan sikap yang tidak jauh berbeda dengan NU. Sebagai partai yang pengikutnya lebih kecil dari NU maka tidak dapat diharapkan banyak terobosan dalam partai ini. Mengenai Manipol (GBHN) misalnya, PSII melihatnya “sesuai” dengan tujuan PSII dan bersamaan dengan itu sesuai dengan ajaran Islam. Partai ini memutuskan dalam kongresnya di Bandung pada tahun 1962 untuk mendesak Menteri Penghubung Alim Ulama agar menyelenggarakan kursus-kursus tentang Manipol untuk segenap ulama di Indonesia.256 Perti mengambil sikap yang sama dengan kedua partai Islam di atas. Partai ini turut duduk dalam parlemen yang diangkat oleh Presiden dan dalam Front 252 Thaba, Islam dan Negara, hal. 180 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. 25 254 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 184 255 Noer, Partai Islam, hal. 395 256 Ibid., hal. 396 253 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nasional.257 Mengenai “ganyang Malaysia” Perti justru mengambil sikap yang lebih mendukung gerakan itu, yaitu dengan menolak undangan Tungku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia, untuk menghadiri suatu konferensi Islam Asia Tenggara dan Timur Jauh yang didukung oleh Muktamar Alam Islam dari Pakistan.258 Akibat sikap partai Islam, terutama NU, yang menerima Demokrasi Terpimpin, Masjumi menyatakan kekecewaannya dengan menyatakan: Dan kalau memang NU menerima putusan ini (masuk dalam DPRGR tanpa Masjumi) dengan segala kerelaan hati, jelaslah sudah bahwa NU ikut menguburkan satu partai Islam yang terbesar bersama-sama lawan-lawan idenya, melenyapkan satu teman seperjuangannya sendiri dari permukaan bumi Indonesia ini, yang mungkin pada suatu saat teman itu akan banyak gunanya untuk kepentingan perjuangan Islam, sekalipun barangkali akan memberikan kerugian kepada NU atau Liga Muslimin... Ah kalau bukan kepada Mu ya Tuhan, kepada siapa lagi keperihan jiwa ini diadukan...259 Dengan adanya pernyataan Masjumi ini dapat diketahui bahwa masingmasing partai Islam lebih mementingkan kepentingannya sendiri. Persatuan dan kekompakan yang diperlihatkan pada saat persidangan Majelis Konstituante tidak terlihat lagi. “Islam” sebagai pemersatu di antara partai-partai Islam itu telah hilang atau sama sekali tidak menjadi perhatian. Yang menjadi perhatian adalah kepentingan golongan masing-masing. Masjumi, dengan demikian, ditinggalkan sendirian oleh teman seperjuangannya hingga akhirnya dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah. Di sini dapat dilihat bahwa sebenarnya “Islam” tidak dapat menjamin adanya kekompakan atau persatuan di antara pendukungnya. Penggunaan jargon Islam dalam arena politik justru menimbulkan sisi negatif bagi Islam karena Islam tidak mampu menyatukan umatnya. Sebagai dukungan partai-partai Islam itu kepada Soekarno maka mereka mendapatkan jatah kursi dalam pemerintahan. Dalam kabinet Djuanda (19571959) NU mendapat 4 kursi dan PSII 1 kursi dan dalam kabinet tahun 1959 jumlah menteri NU dan PSII menjadi 3.260 Selanjutnya kabinet Soekarno itu 257 Front Nasional didirikan tahun 1961 dengan tugas menggalang rakyat untuk membantu pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. 258 Noer, Partai Islam, hal. 397 259 Maarif, Islam dan Masalah, hal. 187 260 Noer, Partai Islam, hal. 398 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia mengalami beberapa kali reshuffle dan masing-masing partai Islam tersebut juga mengalami pasang surut dalam posisinya di kabinet. Hal yang sangat mengherankan dan memiriskan adalah ketidakpedulian ketiga partai itu terhadap penahanan tokoh-tokoh Islam. Bahkan seorang tokoh NU, Imron Rosjadi, turut ditahan tanpa diperdulikan oleh rekan-rekannya separtai.261 Ketidakpedulian mereka itu menunjukkan bahwa politik benar-benar telah menjauhkan rasa kepedulian antar sesama umat Islam. Demokrasi Terpimpin nampaknya berhasil menjauhkan partai Islam itu dari golongannya sendiri, Islam. Pada tahun 1965, terjadi pemberontakan yang mengakibatkan runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno. PKI yang dituduh sebagai dalang pemberontakan itu berhasil ditumpas habis oleh ABRI dan umat Islam bersama kekuatan masyarakat lainnya. Umat Islam memainkan peran yang sangat besar dalam menumpas PKI. NU dan Muhammadiyah menganggap tindakan menghancurkan PKI sebagai suatu kewajiban agama. Bahkan ulama-ulama Aceh dengan tegas menyatakan bahwa ajaran Komunisme adalah “kufur”, sehingga siapa saja yang mati dalam menumpas PKI dianggap sebagai mati “syahid”.262 Selanjutnya, Islam Indonesia memasuki arena baru, yaitu pemerintahan Orde Baru. Dalam masa-masa pemerintahan Orde Baru inilah muncul pemikiran Islam kultural yang menolak negara Islam dan penomor satuan partai politik sebagai sarana untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Pembahasan mengenai perkembangan Islam politik pada masa Orde Baru dan kemunculan Islam kultural akan dibahas dalam bab berikutnya, yaitu BAB IV. 261 262 Ibid., hal. 412 Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 25 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB IV KONSEPSI ISLAM KULTURAL DALAM PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID 4.1 Perkembangan Islam Pada Awal Orde Baru dan Faktor Pendorong Munculnya Islam Kultural Pada masa awal pemerintahan Orde Baru muncul harapan baru di kalangan umat Islam bahwa mereka dapat berperan aktif dalam politik.263 Munculnya harapan itu dikarenakan beberapa tindakan pemerintah Orde Baru yang menunjukkan “pemihakan” kepada umat Islam, seperti pembebasan tokoh-tokoh Islam dan diizinkannya koran dan majalah Islam diterbitkan kembali setelah sebelumnya pada masa Soekarno dilarang. Selain itu, umat Islam berkeyakinan bahwa mereka memiliki peran yang besar dalam memberangus gerakan komunis di Indonesia (PKI). Oleh karena itu, suatu hal yang wajar, menurut mereka, bahwa mereka dapat kembali berperan secara aktif dalam politik—setelah sebelumnya pada Demokrasi Terpimpin hal itu mengalami kendala dan halangan. Dengan aktifnya umat Islam dalam politik, maka harapan untuk kembali mengajukan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dan pelaksanaan agenda-agenda yang menguntungkan umat Islam dapat direalisasikan. Orde Baru pada awal pemerintahannya membebaskan tokoh-tokoh penting Islam yang dipenjara oleh rezim Soekarno, seperti HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Isa Anshary, dan Burhanuddin Harahap. Melihat tindakan pemerintah Orde Baru tersebut, wajar saja umat Islam beranggapan Orde Baru akan berbeda dengan Orde Lama. Antusiasme umat Islam dalam menyambut harapan baru itu terlihat dalam acara tasyakuran yang diadakan di Mesjid AlAzhar, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 14 Agustus 1966. B.J. Boland menyebutkan acara tersebut dihadiri 50.000 umat Islam dan pemimpin-pemimpin besar politik Islam seperti Sjafruddin Prawiranegara, Asaat, Prawoto 263 Harapan ini muncul dikarenakan sebelumnya, pada masa Demokrasi Terpimpin, aspirasi politik umat Islam banyak dibungkam oleh Soekarno, seperti misalnya pembubaran Masjumi dan penangkapan tokoh-tokoh penting umat Islam (tokoh-tokoh Masjumi). Walaupun pada masa itu partai NU, PSII, dan Perti ikut “dilibatkan” dalam pemerintahan Soekarno, namun mereka tidak dapat berbuat banyak dalam mewujudkan aspirasi politik umat Islam. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 93 Universitas Indonesia Mangkusasmito, Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, dan Mohammad Natsir.264 Tahap pertama yang dilakukan oleh umat Islam untuk mewujudkan harapannya adalah merehabilitasi Masjumi.265 Pada permulaan Juni 1966, organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, secara terbuka mulai menganjurkan perehabilitasian Masjumi.266 Sebagaimana diketahui, Masjumi pada masa Demokrasi Terpimpin telah dipaksa Soekarno membubarkan diri. Dukungan terhadap usaha rehabilitasi Masjumi itu tidak hanya datang dari organisasi-organisasi Islam saja, melainkan juga dari Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia). Pada tanggal 3 Desember 1966, Persahi mengeluarkan pendapat bahwa pembubaran Masjumi dan PSI tidak dapat dibenarkan, dan harus direhabilitasi segera, sebab mereka adalah korban Orde Lama.267 Dengan adanya dukungan dari Persahi ini menunjukkan bahwa aspirasi perehabilitasian Masjumi tidak hanya didukung oleh umat Islam saja, melainkan oleh kalangan lainnya, termasuk kalangan intelektual seperti Persahi. Namun demikian, keinginan besar umat Islam tersebut mendapatkan jawaban yang tidak mengenakkan dari Soeharto. Dalam surat yang dikirimkan Soeharto kepada Prawoto Mangkusasmito pada 6 Januari 1967, sebagai balasan surat Prawoto Mangkusasmito pada 22 Desember 1966 mengenai keberatan terhadap status pembubaran Masjumi, dinyatakan bahwa Soeharto berdasarkan alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis menolak rehabilitasi Masjumi.268 Alasan lain yang sebenarnya paling memengaruhi keputusan pemerintah itu 264 B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1971, hal. 148 265 Masjumi dianggap sebagai partai terbesar Islam. Hal ini dibuktikan dengan kemenangan Masjumi dalam Pemilu 1955 di wilayah-wilayah Indonesia. Walaupun umat Islam juga memiliki partai lain seperti NU, PSII, dan Perti namun partai-partai itu hanya berkembang di wilayah tertentu saja, seperti NU dan PSII di Jawa dan Perti di Sumatera Tengah. Sedangkan Masjumi berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ini dibuktikan pada pemilu tahun 1955. Oleh karena itu, ketika melihat ada kesempatan pada masa awal Orde Baru, umat Islam segera berusaha melakukan rehabilitasi Masjumi. 266 Boland, The Struggle, hal. 151 267 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal. 190 268 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 , hal. 242 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia adalah dikhawatirkan akan menyebabkan bangkitnya “ekstremis” Islam apabila Masjumi direhabilitasi.269 Pada tanggal 24 Oktober 1967, Mohammad Natsir mengirim surat kepada pemerintah yang berisi pernyataan bahwa para tokoh Masjumi menegaskan sikapnya secara terbuka, kalau partai Masjumi bisa direhabilitasi, maka M. Natsir tidak akan menjadi pemimpin partai tersebut.270 Pernyataan ini nampaknya ingin menghilangkan keberatan atau kekhawatiran pemerintah apabila Masjumi direhabilitasi maka yang akan memimpin adalah Natsir.271 Namun, surat M. Natsir ini tidak berhasil merubah keputusan Soeharto dalam menolak perehabilitasian Masjumi. Akan tetapi, Soeharto menyadari bahwa kekuatan politik Islam memiliki basis massa yang besar sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Bukti besarnya kekuatan massa Islam disaksikan Soeharto sendiri ketika umat Islam bersama dengan Angkatan Darat berhasil memberangus komunis (PKI). Berangkat dari kenyataan itu, Soeharto tetap berusaha mengakomodasi tuntutan rehabilitasi Masjumi. Maka pada bulan Mei 1967, Soeharto menyatakan bahwa pemerintah tidak berkeberatan terhadap pembentukan partai berbasis massa eks-Masjumi. Pernyataan pemerintah itu direspons dengan cepat oleh tokoh politik Islam yang dengan segera membentuk “Komite Tujuh” yang diketuai oleh Prawoto Mangkusasmito.272 Komite ini akhirnya berhasil membentuk Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Pemerintah, melalui Surat Keputusan Presiden No. 70 tahun 1968, kemudian mensahkan Parmusi pada tanggal 20 Februari 1968.273 Dengan terbentuknya partai ini, maka sarana perjuangan cita-cita politik umat Islam diharapkan dapat segera terealisasikan. 269 Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 167 270 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah: Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hal. 183 271 Kekhawatiran pemerintah terhadap Natsir nampaknya dilatarbelakangi “sepak terjang” Natsir pada masa sebelum Orde Baru berhasil meraih kekuasaan. Sebagaimana diketahui, Natsir merupakan salah satu tokoh Masjumi yang sangat kritis kepada pemerintah. Selain itu, Natsir merupakan tokoh yang konsisten memperjuangkan negara Islam dan juga ikut terlibat dalam PRRI. 272 Aminuddin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 86 273 Heru Cahyono, Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hal. 76 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Dengan terbentuknya Parmusi, pemimpin Islam eks-Masjumi berharap dapat kembali aktif dalam politik. Ternyata, harapan itu tidak dapat terlaksana dikarenakan mendapat penentangan dari pemerintah Orde Baru. Padahal, Angkatan Darat dalam Seminar Angkatan Darat yang dilaksanakan pada Agustus 1966 menyatakan: Anggota-anggota bekas partai yang dinyatakan terlarang (PSI, Masjumi, dan Murba) masih berstatus warga negara Indonesia dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila mereka segera diikutsertakan dalam kehidupan politik, supaya mendapat kesempatan yang sama untuk dapat dipilih dan memilih.274 Pernyataan itu pada akhirnya hanya merupakan pernyataan saja. Artinya, ia tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru.275 Para pemimpin eks-Masjumi tetap tidak diizinkan memimpin Parmusi, sekalipun pada masa Masjumi masih berdiri pemimpin itu bersikap moderat seperti Mohamad Roem. Tidak hanya melarang pemimpin eks-Masjumi memimpin Parmusi, lebih jauh pemerintah Orde Baru juga melarang mereka menjadi calon anggota legislatif Parmusi dalam pemilu 1971.276 Hampir 75% calon yang diajukan oleh Parmusi ditolak pemerintah dengan alasan mereka masih memiliki ikatan emosional dengan Masjumi.277 Selain itu, pemerintah Orde Baru tidak mengizinkan tokoh-tokoh eks-Masjumi itu menjadi juru kampanye Parmusi.278 Tindakan pemerintah Orde Baru ini menunjukkan sikap tidak memihak mereka terhadap Islam politik yang diwakili oleh pemimpin-pemimpin Maarif, Islam dan Masalah, hal. 190 Adanya perbedaan antara pernyataan Angkatan Darat dalam Seminar Seskoad dengan keputusan pemerintah Orde Baru menunjukkan bahwa dalam ABRI, khususnya Angkatan Darat, terdapat perbedaan pemikiran dalam menyikapi status pemimpin eks-Masjumi atau Islam. Dalam ABRI terdapat dua aliran pemikiran, yaitu radikalis tentara (army radicals) dan pendukung Soeharto. Radikalis tentara berpandangan sekular yang menginginkan suatu perbaikan sistem politik secara keselurahan, sedangkan pendukung Soeharto memprioritaskan konsolidasi dan stabilisasi. Untuk lebih jelas lihat Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hal. 36-37 276 Namun demikian, tindakan pemerintah ini didukung oleh ketua Parmusi yang ditunjuk oleh pemerintah, yaitu H.M.S. Mintaredja. Setelah ditunjuk oleh pemerintah Orde Baru, Mintaredja langsung menyatakan tidak keberatan apabila pemerintah menghapus nama-nama tokoh Masjumi yang masuk dalam daftar calon untuk Pemilu 1971. Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, penerjemah: Ahmad Baso, Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation, 2001, hal. 179 277 Tim Peduli Tapol, Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam, Yogyakarta: Wihdah Press, 1998, hal. 14 278 Afan Gaffar, “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia”, dalam M. Imam Aziz, dkk. (penyunting), Agama, Demokrasi, dan Keadilan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 104 274 275 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia eks-Masjumi. Pemerintah Orde Baru nampaknya masih menganggap pemimpin eks-Masjumi sebagai lawan potensial bagi kekuasaan mereka, sehingga usaha apapun yang mengarah kepada penguatan keberadaan mereka akan dicegah oleh pemerintah. Pemerintah juga memberikan berbagai stigma yang cenderung berkonotasi negatif seperti “kelompok ekstrem”, “garis keras”, atau “kelompok kanan” (sebuah padanan kutukan politik atas PKI sebagai “ekstrem kiri”). Alasan pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah karena khawatir terhadap potensi mereka di dalam memobilisasi umat untuk mengembalikan percaturan politik liberal praDemokrasi Terpimpin.279 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Orde Baru masih menganggap Islam sebagai kekuatan yang dapat “mengganggu” jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mencegah kembalinya para pemimpin politik Islam dalam aktivitas politik. Tindakan pemerintah Orde Baru ini pada akhirnya kembali menimbulkan kekecewaan kepada para pemimpin politik Islam. Peristiwa politik lainnya yang menunjukkan upaya serius kalangan Islam untuk merealisasikan cita-cita politiknya adalah usaha pengakuan Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Untuk merealisasikan cita-cita ini, pada tahun-tahun 1968 dan 1969, partai-partai Islam menyelenggarakan “Hari Peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan setiap tanggal 22 Juni. Penyelenggaraan kegiatan ini mendapat respons yang besar dari umat Islam. Isu mengenai Piagam Jakarta ini mendorong kekuatan-kekuatan Islam kembali merapatkan barisan setelah sebelumnya mengalami keretakan. Bersatunya umat Islam menjadi penting agar pengajuan Piagam Jakarta sebagai dasar negara dapat terlaksana dengan mudah. Selain itu, dengan bersatunya umat Islam, sebagaimana mereka bersatu ketika memberangus PKI, maka umat Islam dapat memberikan “tekanan” kepada pemerintah untuk mengabulkan keinginannya. Pada Sidang MPRS, 25-28 Maret 1968, pemimpin politik Islam berusaha keras memasukkan Piagam Jakarta ke dalam agenda keputusan Sidang Umum MPRS 1968 Komisi II. Akan tetapi usaha ini mendapat penentangan keras dari kelompok PNI, Kristen, dan wakil ABRI. Ketiga kelompok ini, yang pada masa279 Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 168 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia masa sebelumnya juga menentang Piagam Jakarta, ternyata tidak mengalami perubahan sikap walaupun mereka telah menyaksikan peran umat Islam dalam memberangus PKI. Perbenturan antara yang menuntut dan menolak Piagam Jakarta dalam Komisi itu mengakibatkan persidangan menemui jalan buntu. Melihat kenyataan itu, para wakil pemimpin politik Islam mengusulkan diadakan pemungutan suara untuk menentukan keputusan akhir. Namun, usulan dari kelompok Islam itu ditolak PNI.280 Akibat tidak adanya kesepakatan yang dicapai mengenai hal ini, masa persidangan diperpanjang, tetapi kemajuan yang berarti masih tidak bisa dicapai.281 Sampai persidangan ditutup oleh Nasution pada 31 Maret 1968, permasalahan ini tetap tidak menemukan penyelesaian. Setelah perjuangan pengakuan Piagam Jakarta dalam persidangan Komisi II dan Komisi III MPRS tidak berhasil sampai SU MPRS ditutup, maka wakilwakil partai Islam dari NU, PSII, dan Parmusi menemui Soeharto.282 Dalam pertemuan itu wakil-wakil partai Islam mengemukakan keinginannya agar pemerintah menjadikan aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik resmi negara. Akan tetapi keinginan itu ditolak oleh Soeharto. Soeharto kemudian menegaskan dalam Kongres Veteran pada April 1968 bahwa dia tidak bersedia melaksanakan usul-usul dasar yang tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.283 Penolakan Soeharto terhadap gagasan pengakuan Piagam Jakarta nampaknya dilandasi keyakinan bahwa perjuangan Orde Baru harus bebas dari politik yang didasarkan kepada ideologi. Konflik ideologi pada masa-masa sebelumnya, menurut pemerintah Orde Baru mengakibatkan kehancuran ekonomi. Oleh karena itu, menurut Mohtar Mas’oed, seiring dengan slogan “ekonomi sebagai panglima”, para intelektual Orde Baru mengajukan argumen tentang 280 PNI menolak usulan kelompok Islam ini dengan alasan “untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan”. Lihat Nazarudin Syamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali Press, 1984, 177 281 Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 82. 282 Dalam menanggapi seruan vokal yang menghendaki dihidupkannya kembali Piagam Jakarta, Letjen Soeharto, mengundang kelompok Islam dan meminta penjelasan bagaimana Piagam tersebut dilaksanakan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Pertemuan tersebut menghasilkan pembentukan tim ad hoc di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Deliar Noer, ketua Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), dengan tugas merumuskan jawaban atas pertanyaan tersebut. Sayangnya sampai sekarang konsep tersebut tidak pernah muncul. Lihat Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001 283 Cahyono, Peranan Ulama, hal. 73-74 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia perlunya pembentukan suatu masyarakat yang bebas dari ideologi.284 Namun demikian, alasan penolakan pengakuan Piagam Jakarta dikarenakan semata-mata alasan kekhawatiran konflik ideologi masih harus dipertanyakan. Artinya, penolakan itu tidak hanya didasarkan kekhawatiran munculnya konflik ideologi yang dapat menyebabkan terganggunya ekonomi, melainkan juga dikarenakan terdapat alasan-alasan lain, seperti islamophobia di kalangan pejabat Orde Baru. Kegagalan perjuangan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pandangan di kalangan umat Islam, baik di kalangan Islam modernis dengan Islam tradisionalis maupun di antara kalangan Islam modernis sendiri. Sebagian kalangan berupaya memaksakan usaha pengakuan Piagam Jakarta ini. Adapun beberapa kalangan Islam modernis berpendapat bahwa usaha pemberlakuan Piagam Jakarta dalam situasi politik yang tidak mendukung usaha tersebut merupakan usaha yang sia-sia. Sementara itu terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa perjuangan menegakkan negara Islam merupakan khayalan ideologis belaka.285 Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin umat Islam terus terjadi pasca kegagalan pengakuan kembali Piagam Jakarta. Sebagian kalangan tetap bersikeras berusaha melakukan upaya tersebut. Akhirnya, pada 25 Oktober 1972, Mintaredja menghadap Presiden Soeharto, dengan mengatasnamakan seluruh umat Islam, memberi kepastian kepada Presiden bahwa Piagam Jakarta pasti tidak akan disinggung dalam sidang MPR bulan Maret 1973.286 Usaha lain yang dilakukan para pemimpin politik Islam untuk merealisasikan cita-cita politik Islam adalah pembentukan Majelis Permusyawaratan Islam (MPI). Pembentukan institusi politik ini tidak kalah menariknya dengan rehabilitasi Masjumi dan usaha pengakuan Piagam Jakarta dalam SU MPRS karena seluruh elemen kekuatan politik Islam yang ada pada waktu itu menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya satu pun organisasi massa Islam yang menolak pembentukan forum bersama umat Islam Indonesia.287 Sekali lagi nampak bahwa umat Islam ketika Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 132 285 Hefner, Civil Islam, hal. 173 286 Cahyono, Peranan Ulama, hal. 77-78 287 Aminuddin, Kekuatan Islam, hal. 89 284 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia berusaha merealisasikan keinginannya mereka menunjukkan kekompakan dan persatuannya. Kekompakan umat Islam dan besarnya massa umat Islam ini menjadi alasan yang kuat bagi adanya kekhawatiran pemerintah Orde Baru. Ide pembentukan Majelis Permusyawaratan Islam berawal dari himbauan yang dilontarkan oleh Harian Operasi, 10 Juni 1968, tentang perlunya dibangun Majelis Pimpinan Perjuangan Umat Islam Indonesia. Himbauan itu bergayung bersambut dengan seruan Jenderal Nasution dalam harian Duta Masyarakat, 17 Juni 1968, yang juga mendesak dibentuknya Majelis Permusyawaratan Islam. Kedua himbauan itu akhirnya membangkitkan gairah tokoh-tokoh Islam untuk menyelenggarakan forum yang dinamakan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII). Rencananya KUII akan dihadiri oleh seluruh organisasi dan partai Islam yang ada di Indonesia dengan agenda kesatuan langkah dan program bersama dalam menyambut Orde Baru. Akan tetapi harapan diselenggarakannya KUII yang diharapkan sebagai momentum awal kebangkitan Islam pada masa Orde Baru menjadi gagal total karena tidak diizinkan pemerintah.288 Pemerintahan Soeharto secara sistematis melakukan usaha-usaha peminggiran Islam politik dalam kancah politik nasional Indonesia. Sepanjang periode tahun 1970-an dan 1980-an, pemerintah juga meminggirkan simbolsimbol Islam seperti terlihat dalam kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai penghapusan libur bulan Ramadhan dan larangan pemakaian jilbab di sekolah dan instansi-instansi pemerintah dan swasta.289 Peminggiran Islam politik pada masa Orde Baru mencapai puncaknya pada tahun 1985. Pada tahun itu pemerintah memberlakukan undang-undang organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang berakibat kepada hilangnya partai Islam.290 Undang-undang itu mewajibkan semua organisasi masyarakat dan partai politik untuk menggunakan asas Pancasila sebagai asas organisasinya. Dengan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, maka Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dianggap sebagai perwakilan partai Islam tidak bisa lagi mengklaim dirinya sebagai partai Islam. PPP yang sebelumnya eksklusif Ibid., hal. 89-90 Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. xii 290 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. 50 288 289 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia untuk umat Islam dipaksa pemerintah menjadi partai terbuka untuk semua golongan. Islam politik yang dianut oleh para pemimpin politik Islam mengakibatkan umat Islam berada pada posisi marginal dalam perpolitikan Orde Baru. Indikasi paling nyata semakin merosotnya posisi politik umat Islam dapat dilihat dari hampir tidak adanya jabatan strategis negara yang dipegang oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang “gerakan Islam”. Dalam empat kabinet Orde Baru, sedikit sekali Muslim santri yang diangkat menjadi menteri. Sementara itu, berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah banyak yang tidak mengakomodasi aspirasi umat Islam.291 Dalam proses pengambilan keputusan kebijakan, pemerintah tidak melibatkan elit-elit partai Islam.292 Keadaan tidak mengenakkan ini tentu saja membawa intelektual Islam pada masa awal pemerintahan Orde Baru berusaha mencari cara agar masalah ini tidak terus berlarut-berlarut. Karena bagaimana pun juga umat Islam merupakan golongan mayoritas di Indonesia, sehingga umat Islam harus berperan dalam membangun bangsa Indonesia. Dari berbagai peristiwa politik di atas sangat jelas menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru yang baru berkuasa tidak berpihak kepada agenda politik umat Islam. Baik pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial, yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partaipartai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituate mengenai masa depan konstitusi Indonesia), serta pada tahun 1968 (SU MPRS), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut “kelompok minoritas” atau “kelompok luar”. Selain berhasil dikalahkan Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 143-142 dan Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 117 292 Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 170. Lihat juga M. Rusli Karim, Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru, Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992, hal. 8 291 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan, dicurigai menentang ideologi negara Pancasila.293 Keadaan itu tentu saja menimbulkan kekecewaan, bahkan perlawanan keras sebagian umat Islam, terutama kalangan Islam politik. Keadaan terpinggirnya Islam politik ini, menurut Rusli Karim294, menimbulkan dua reaksi umat Islam. Reaksi pertama adalah reaksi yang bersifat negatif, yaitu munculnya berbagai pergerakan berlebihan, oposisi terhadap pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan seperti ini makin membuka peluang bagi pemerintah untuk menekan umat Islam. Reaksi yang kedua adalah munculnya “kreativitas” untuk mencari jalan keluar dari “kebuntuan” Islam politik. Reaksi semacam ini terutama dilakukan oleh kelompok cendekiawan dan intelektual Muslim. Kegiatan ini ternyata kemudian memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong pemerintah untuk mengambil sikap akomodatif terhadap Islam. Dengan demikian, kejatuhan Islam politik (dalam arti politik formal) di Indonesia tidaklah menyebabkan Islam kehilangan elan vital dalam kerja intelektual.295 Nurcholish Madjid yang ketika itu sebagai salah satu intelektual muda Islam berusaha mencari cara agar umat Islam dapat berperan aktif dalam membangun bangsa. Menurut Nurcholish Madjid pentingnya umat Islam berperan aktif dalam membangun bangsa Indonesia dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga dalam pemikiran Nurcholish Madjid kemajuan bangsa Indonesia juga berarti kemajuan umat Islam. Keadaan politik yang tidak mengenakkan umat Islam pada masa Orde Baru berbanding terbalik dengan keadaan nyata umat Islam di lapangan. Artinya keadaan elit politik umat Islam yang mendapat tekanan dari pemerintah sangat berbeda dengan keadaan umat Islam secara umum. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid umat Islam pada masa awal Orde Baru mengalami perkembangan yang 293 Effendy, Islam dan Negara, hal. 2-3 Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 50-51 295 Ahmad Syafii Maarif, “Pengaruh Gerakan Modern Islam Indonesia terhadap Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia Dewasa Ini”, dalam Akmal Nasery B., Percakapan Cendekiawan tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. III, Bandung: Mizan, 1991, hal. 49 294 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia sangat pesat, terutama dari segi jumlah pengikut.296 Daerah-daerah yang dulunya kurang mengenal Islam secara baik, kemudian menjadikan Islam sebagai agama utamanya, di samping agama-agama lain yang sudah ada. Selain itu Nurcholish Madjid juga melihat meningkatnya perhatian kalangan menengah atas kepada Islam. Hal itu terlihat, misalnya, dalam pengamalan kehidupan beragama mereka sehari-hari ataupun dalam pernyataan dan sikap mereka yang resmi.297 Pengamatan Nurcholish Madjid ini dapat ditemukan pada kasus Pasuruan. Dua tahun pasca peristiwa 30 September 1965, orang-orang Jawa di wilayah Pasuruan meningkat perhatiannya terhadap kegiatan-kegiatan keislaman di masjid, seperti salat berjamaah dan pengajian, karena dengan cara itu tuduhan sebagai komunis menjadi berkurang.298 Namun demikian, terdapat perbedaan antara kasus masyarakat biasa, kasus Pasuruan misalnya, dengan kasus mahasiswa. Apabila masyarakat meningkatkan ibadahnya terhadap Islam dikarenakan sebuah ketakutan dicap sebagai komunis, maka dikalangan mahasiswa hal itu terjadi dengan sendirinya (sukarela). Artinya, peningkatan ibadah dalam kalangan mahasiswa tidak memiliki kaitan langsung dengan ketakutan dicap sebagai komunis melainkan dikarenakan peningkatan pengajaran pelajaran agama di universitas-universitas sekuler. Di ITB (Institut Teknologi Bandung) misalnya, sebelum peristiwa 30 September, mahasiswa yang melakukan salat Jumat digelari “Unta Arab”.299 Setelah peristiwa 30 September, gelar tersebut tidak ditemukan lagi karena terjadi peningkatan perhatian mahasiswa terhadap Islam. 296 Namun demikian Nurcholish Madjid juga mengkritik umat Islam Indonesia yang lebih mementingkan jumlah (kuantitas) daripada mutu (kualitas). Lihat Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 205. Kritikan Nurcholish Madjid tersebut sebenarnya untuk mendorong umat Islam agar tidak terpaku dengan banyaknya jumlah umat Islam saja (mayoritas jumlah) tetapi sebaliknya umat Islam harus meningkatkan mutu atau kualitasnya. Dengan meningkatnya kualitas umat Islam maka umat Islam dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa Indonesia. 297 Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat,” dalam bagian IV bukunya Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 204 298 Robert W. Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, (Penerjemah A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad), Yogyakarta: LkiS, 1999, hal. 359 299 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 518 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Sementara itu, Nurcholish Madjid melihat para tokoh dan pemimpin umat Islam masih saja terlibat dalam konflik-konflik politik yang berkepanjangan dan melelahkan dengan sesamanya atau dengan pemerintah. Sedang di pihak lain, muncul perkembangan-perkembangan baru yang menuntut adanya pemikiran alternatif baik di bidang agama maupun sosial politik. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, partai dan organisasi-organisasi Islam justru tidak peka terhadap adanya perubahan sosial (sosial change) yang terjadi di masyarakat.300 Nurcholish Madjid, dalam pidatonya tanggal 2 Januari 1970, menyimpulkan bahwa dia merasa yakin bahwa Islam tidak mungkin lagi akan mendapatkan kekuatan politik, jika masih mengharapkan diwujudkan dalam jalur partai politik praktis. Dalam kaitan ini, untuk menjaga kepentingan dan kesinambungan perkembangan umat, dia menyerukan “Islam Yes, Partai Islam, No” sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebutnya “sekularisasi”.301 Dengan nada bertanya, Nurcholish Madjid mengajukan pendapatnya:302 Sampai di manakah mereka tertarik kepada partai-partai/organisasiorganisasi Islam? Kecuali sedikit saja, sudah terang mereka sama sekali tidak tertarik kepada partai-partai/organisasi-organisasi Islam. Sehingga perumusan sikap mereka kira-kira berbunyi: Islam, yes, partai Islam, no! Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada adalah image sebaliknya. (Reputasi sebagian umat Islam di bidang korupsi, umpamanya, makin lama makin menanjak). Nurcholish Madjid juga mengkritik kecenderungan para tokoh Islam pada waktu itu yang telah “mensakralkan” institusi-institusi profan seperti partai Islam, ideologi Islam, dan gagasan negara Islam. Menurut Nurcholish Madjid yang sakral hanyalah Allah semata, sedangkan persoalan lain seperti negara Islam, partai Islam, dan ideologi Islam tidaklah sakral, karena Alquran maupun Hadis tidak memerintahkan hal tersebut. 300 M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 48 301 Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 173 302 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 205 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Gagasan Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan nama Islam kultural.303 Pemberian nama Islam kultural nampaknya ingin mengkontraskan dengan Islam politik. Namun demikian, kemunculan Islam kultural sebenarnya bukan untuk menegasikan Islam politik melainkan sebuah solusi atau alternatif304 atas kebuntuan Islam politik di Indonesia, baik pada masa awal kemerdekaan, revolusi, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, dan awal Orde Baru. Dengan adanya Islam kultural diharapkan umat Islam tidak mengalami peminggiran lagi dalam aktifitas pembangunan bangsa Indonesia. Umat Islam diharapkan berperan aktif dalam membangun Indonesia karena sebagaimana yang dikatakan Nurcholish Madjid maju dan mundurnya Indonesia akan mendatangkan keuntungan maupun kerugian bagi umat Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Kemunculan Islam kultural dapat disebut sebagai langkah strategis untuk menjaga dan mengembangkan keberadaan Islam dan umat Islam. Rusli Karim menyebutkan ada empat faktor yang mendorong kemunculan Islam kultural sebagai suatu gerakan pembaruan di Indonesia.305 Pertama, kemerdekaan yang dicapai bangsa Indonesia pada tahun 1945 telah menghilangkan sekat-sekat bagi umat Islam sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya. Kedua, sebagai hasil dari sosialisasi nilai modern melalui “pendidikan umum” telah “membuka mata” umat Islam untuk lebih realistik dalam menghadapi realitas kehidupan sekarang ini. Ketiga, sebagai kesinambungan dari pencapaian pembaruan yang telah dirintis oleh kelompok modernis sepanjang abad ke-20. Keempat, sebagai realisasi dari tanggung jawab 303 Dikarenakan makalah yang dibacakan oleh Nurcholish Madjid pada tanggal 2 Januari 1972 memuat tentang pembaruan di kalangan umat Islam maka pada awalnya makalah itu dikenal sebagai makalah pembaruan sehingga sebagian kalangan kemudian menyebutnya sebagai gerakan pembaruan. Namun demikian, terdapat juga sebagian kalangan, seperti Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, yang menyebutnya dengan istilah gerakan “pemikiran baru”. Pada tahun 1980-an, gerakan yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid itu kemudian dikenal dengan istilah Islam kultural. Lihat catatan kaki nomor 9 Bab I 304 Menurut Maswadi Rauf dikarenakan kemungkinan perdebatan hubungan Islam dengan politik tidak akan selesai, maka yang akan muncul paling-paling berbagai alternatif (pemikiran) yang dihasilkan oleh pemikir Islam, bukan sebuah kesepakatan. Lihat Maswadi Rauf, “Kata Pengantar, Islam dan Politik: Sebuah Debat Yang Tidak Pernah Selesai”, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999, hal. viii 305 Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 196 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia agama yang bertumpu kepada iman yang benar dan pemahaman yang cukup terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Penulis sendiri melihat ada beberapa faktor yang mendorong munculnya Islam kultural, yaitu pertama, keterbelakangan umat Islam di Indonesia akibat dari sikap konfrontasi dengan pemerintah yang dilakukan oleh gerakan Islam politik. Dalam hal ini, umat Islam harus mengalami peminggiran dalam politik karena sikap penentangan kepada pemerintah, seperti misalnya dalam kabinetkabinet awal pemerintahan Soeharto golongan Islam hanya diwakili oleh beberapa menteri saja. Kedua, kebuntuan gerakan Islam politik di Indonesia. Sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya, perjuangan Islam politik dalam membentuk negara Islam berulang kali menemukan kegagalan. Ketiga, kegagalan demi kegagalam Islam politik dalam perjuangan pengakuan Piagam Jakarta (pembentukan negara Islam). Keempat, tekanan keras dari pemerintah terhadap setiap kegiatan Islam politik. Kelima, usaha untuk melibatkan umat Islam dalam pembangunan bangsa Indonesia secara aktif. 4.2 Islam Kultural dalam Konsepsi Nurcholish Madjid Islam kultural mempunyai arti bahwa Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Dalam hal ini, Islam kultural tidak mengharuskan terbentuknya negara Islam. Yang paling penting menurut Islam kultural adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.306 Menurut Nurcholish Madjid ada beberapa kata kunci dalam pendekatan kultural (Islam kultural) yang ditawarkannya, yaitu pertama yang dimaksud dengan tawaran kultural itu tidak semata-mata menunjuk hal-hal sempit dan partisan, misalnya politik dan ideologi semata, tetapi kultural dalam format yang meliputi segala-galanya. Kedua, itu berarti harus responsif terhadap tantangan zaman. Artinya Islam harus tampil responsif terhadap tantangan zaman sehingga tidak ada istilah akhir perjalanan. Ketiga, harus merupakan hasil dialog dengan tuntutan-tuntutan ruang dan waktu, misalnya untuk Indonesia, Islam harus melakukan dialog dengan tuntutan di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat semacam kesejajaran, jika tidak kesatuan, antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. 306 Effendy, Islam dan Negara, hal. 16 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Islamic values dengan Indonesian values itu sebetulnya tidak bisa dipisahkan. Dan ini sebenarnya sudah menjadi kenyataan nasional kita, misalnya istilah perpolitikan yang berasal dari Islam: musyawarah, mufakat, rakyat, dewan, hukum, tertib, aman, masalah, dan sebagainya. Keempat, ekslusivisme itu harus diakhiri, diganti dengan inklusivisme, serba meliputi siapa saja.307 Gagasan Islam kultural untuk pertama kali termuat dalam makalah pembaruan Nurcholish Madjid yang dibacakan pada tanggal 2 Januari 1970 di Gedung Pertemuan Islamic Research Centre, Menteng Raya, Jakarta. Dalam makalah yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” itu termuat beberapa pokok pemikiran atau gagasan Nurcholish Madjid. Di sini hanya akan dibicarakan tema “sekularisasi” dan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, karena dua tema tersebut merupakan tema sentral yang berkaitan dengan gagasan Islam kultural. Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi (profan), dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan kata lain, sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Illahiah (transendental), yaitu dunia ini.308 Apapun yang berkaitan dengan duniawi, seperti nilai-nilai dan benda-benda, harus didesakralisasikan. Sedangkan yang harus disakralisasikan hanya Allah.309 Namun demikian, dalam makalahnya itu Nurcholish Madjid tidak secara jelas menyebutkan contoh apa saja yang harus dikenai konsep sekularisasinya itu. Dia hanya menyebutkan secara umum, seperti benda-benda dan nilai-nilai yang ada di dunia ini tanpa menjelaskan atau menyebutkan benda apakah atau nilai apakah yang harus disekularisasikan. Selain itu, Nurcholish Madjid juga tidak 307 Wawancara Majalah MATRA, “Tidak Usah Munafik!”, No. 77 Desember 1992 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208 309 Gagasan Nurcholish Madjid ini hanya menyangkut satu sisi ajaran Islam saja, yaitu teologi (kalam). Gagasannya ini tidak menyinggung masalah fiqh, misalnya, dikarenakan dia beranggapan bahwa fiqh itu mengandung masalah khilafiyah (masalah yang diperselisihkan hukumnya) yang mendorong umat untuk bertengkar dalam soal-soal yang tidak prinsipil (furu’iyah). Dalam kasus Islam Indonesia dapat dilihat perselisihan pengikut Muhammadiyah dengan NU dikarenakan masalah doa Qunut dalam salat Subuh. Padahal, Qunut sendiri merupakan permasalahan furu’iyah dalam agama Islam. 308 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia secara tegas menyebutkan nilai-nilai yang telah diukhrawikan oleh umat Islam.310 Ketidakjelasan inilah yang nampaknya mendorong munculnya kritikan keras kepada Nurcholish Madjid. Salah satu tujuan sekularisasi Nurcholis Madjid adalah menyentuhtanahkan (me-landing-kan) ajaran-ajaran agama sehingga sambung dengan kehidupan nyata dan menjadi relevan dengan ruang dan waktu.311 Dengan demikian, sekularisasi bukan dimaksudkan untuk mengubah umat Islam menjadi sekularis, melainkan untuk memantapkan tugas duniawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Tugas sebagai khalifah Allah itu pada gilirannya memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Allah.312 Artinya, setelah manusia diberikan kebebasan, maka ia harus mempertanggungjawabkan kebebasannya itu. Sebaliknya, apabila manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan sesuatu untuk hidupnya, bagaimana mungkin dia akan diminta pertanggungjawabannya.313 Walaupun demikian, sekularisasi, menurut Nurcholish Madjid, memang dapat diartikan sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat ide pemisahan (total) agama dari negara.314 Tapi, ini bukanlah satusatunya arti istilah sekularisasi. Arti lainnya ialah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis, seperti yang digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert N. Bellah. Nurcholish Madjid, dengan mengutip Parsons, menunjukkan bahwa sekularisasi, 310 Contoh beduk dan kain sarung (yang duniawi) yang harus dipisahkan dari sahnya salat yang ukhrawi, itu kabarnya soal yang sudah dipecahkan bapak-bapaknya Hamka dahulu kala. Lebih lengkapnya lihat “Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41 311 Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret 1983 dengan judul “Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 21 312 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207 313 Konsep mengenai “kebebasan” manusia ini dalam Islam melahirkan berbagai macam aliran Kalam (teologi), seperti aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Murjiah, As’ariyah, dan lain sebagainya. Dengan melihat konsep “kebebasan” Nurcholish Madjid tersebut, kemungkinan besar dia lebih dekat kepada konsep “kebebasan” yang dianut oleh aliran Qadariyah atau Mu’tazilah. 314 Budhy Munawar-Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban, (Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun, 2008), hal. 2968 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia sebagai suatu bentuk proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan kepada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya. Hal ini tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dari nilai kemasyarakatan itu. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu bisa semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.315 Nurcholish Madjid juga menyebutkan pandangan Robert N. Bellah tentang sekularisasi.316 Ketika Bellah mengemukakan ciri-ciri masyarakat Islam Klasik (zaman Nabi dan al-Khulafâ al-Rasyidûn) yang dia nilai sebagai sebuah masyarakat modern, Bellah menyebutkan beberapa unsur struktural Islam Klasik yang relevan dengan argumennya (bahwa Islam Klasik itu modern), yaitu monoteisme yang kuat, tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, devaluasi radikal, atau sekularisasi pranata kesukuan Arab Jahiliyah, dan, akhirnya sistem politik demokratis. Untuk jelasnya, mengenai sekularisasi itu, Robert N. Bellah mengatakan bahwa Islam Klasik telah melakukan “devaluasi radikal dan orang dibenarkan menyebutnya sekularisasi atas semua struktur sosial yang ada berhadapan dengan hubungan antara Allah dan manusia yang sentral itu. Di atas segalanya hal ini berarti pencopotan pranata kesukuan atau perkeluargaan (kinship), yang telah menjadi pusat kesucian Arabia sebelum Islam, dari makna sentralnya”. Dengan kata lain, proses “devaluasi radikal” atau “sekularisasi”, dalam pandangan sosiologis Bellah, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat penurunan nilai pranata kesukuan dan perkeluargaan yang di zaman Jahiliyah pusat rasa kesucian hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa belaka. Jika diproyeksikan kepada situasi modern Islam sekarang, maka “sekularisasi”-nya Robert N. Bellah itu akan mengambil bentuk pemberantasan bid’ah, khurafat, dan praktik syirik lainnya317 yang kesemuanya itu berlangsung di bawah semboyan kembali kepada Kitab dan Sunnah dalam usaha memurnikan Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969 Ibid. 317 Konsep sekularisasi Bellah yang mempunyai makna pemberantasan bid’ah, khurafat, dan syirik memiliki kesamaan dengan agenda Muhammadiyah pada awal pendiriannya, yaitu pemberantasan terhadap penyakit-penyakit TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Jadi, konsep sekularisasi Bellah yang “dipinjam” oleh Nurcholish Madjid ini sebenarnya hanya mengulangi apa yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dahulu. Hanya saja Muhammadiyah tidak menggunakan istilah “sekularisasi” melainkan langsung menggunakan istilah TBC. 315 316 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia agama. Dengan demikian, menurut Nurcholish Madjid sekularisasi seperti itu, seperti pandangan sosiologis Bellah, adalah konsekuensi dari tauhid. Tauhid sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan, demi ridlâNya, dan hal ini, bagi sementara orang, justru merupakan bentuk sakralisasi kehidupan manusia. Hal ini tidak salah, bahkan sesuai dengan pengertian sosiologis Bellah tersebut, sebab pengertian itu mengandung makna pengalihan sakralisasi dari suatu objek alam ciptaan (makhluq) ke Tuhan Yang Maha Esa. Pranata kesukuan, seperti disebut Bellah, hanyalah salah satu dan merupakan yang terpenting dari rasa kesucian Jahiliyah. Tetapi sesungguhnya, orang-orang Arab Jahiliyah yang mensucikan atau menyembah objek lain, kesemuanya itu, dalam pandangan Islam, termasuk manifestasi politeisme (syirik). Sedangkan yang Mahasuci hanyalah Tuhan (subhanallah). Karena hanya Tuhan yang sakral, maka seluruh kegiatan, untuk bisa mendapatkan maknanya yang hakiki, harus hanya ditunjukkan kepada-Nya semata. Dengan implikasi orientasi kegiatan demi kebenaran (al-Haqq), secara tulus dan ikhlas.318 Pandangan sekularisasi Nurcholish Madjid yang mendasarkan pada konsep tauhid, mengesakan Tuhan, menyebabkan segala sesuatu menjadi tidak mutlak di dunia ini karena hanya Allah saja yang mutlak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid ini merupakan konsekuensi pemahaman radikal atas konsep tauhid. Namun demikian, banyak intelektual Muslim yang mengkritik keras konsep sekularisasi Nurcholish Madjid tersebut. Beberapa di antaranya dengan tegas menyatakan bahwa gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid tidak ada bedanya dengan sekularisme. Untuk membantah kritikan dari orang-orang yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara “sekularisasi” dengan “sekularisme”, Nurcholish Madjid menyebutkan definisi yang diberikan oleh Harvey Cox mengenai “sekularisasi” dan “sekularisme”, yaitu:319 Sekularisasi sebagai istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berbeda-beda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang 318 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2969-2970 Nurcholish Madjid, “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 218 319 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia dimaksudkan. Namun, di manapun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme... Sekularisasi adalah perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru. Jadi, penggunaan kata “sekularisasi” dalam sosiologi mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap pensucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna desakralisasi, yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Lebih lanjut Nurcholish Madjid mengatakan:320 Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view which function very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan, hirarki nilai itu sendiri sering terbalik, transendental semuanya, bernilai ukhrawi, tanpa kecuali. Menurut Nurcholish Madjid penggunaan istilah sekularisasi sama dengan penggunaan istilah sosialisasi. Sosialisasi tidak selalu berarti penerapan sosialisme. Islam sendiri pada awalnya bearti proses sekularisasi total terhadap segala kepercayaan animistis yang menganggap benda dan alam sebagai wadah bagi sukma atau sakti-sakti yang harus dihadapi dengan hormat, dan karena itu menghambat orang yang ingin mengeksploitasinya tanpa menghubung- hubungkannya dengan agama.321 Dengan pernyataannya itu, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup, suatu sistem ideologi tersendiri dan lepas dari agama. Inti sekularisme ialah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini.322 Dengan penegasan itu, Nurcholish Madjid ingin membantah tuduhan sebagian kelompok yang menuduhnya menganut atau menyebarkan paham sekularisme. Tetapi, walaupun Nurcholish Madjid dengan tegas dan gamblang telah menjelaskan apa yang dia maksud dengan sekularisasi, tuduhan itu tetap ada, bahkan bukan melunak melainkan bertambah keras. 320 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 207 “Fikiran-Fikiran Stensilan”, Tempo, 15 April 1972, hal. 30 322 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968 321 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Nurcholish Madjid menyatakan bahwa sekularisme dalam perspektif Islam merupakan perwujudan modern dari paham dahrîyah,323 seperti diisyaratkan dalam al-Qur’an, Q.45:24: ن ُه ْﻢ ْ ﻋ ْﻠ ٍﻢ ِا ِ ﻦ ْ ﻚ ِﻣ َ ﻻاﻟ ﱠﺪ ْه ُﺮ َوﻣَﺎَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑ َﺬِﻟ ﺤﻴَﺎ َوﻣَﺎ ُﻳ ْﻬِﻠ ُﻜﻨَﺎ ِا ﱠ ْ َت وَﻧ ُ ﺣﻴَﺎ ُﺗﻨَﺎ اﻟ ﱡﺪ ْﻧﻴَﺎ َﻧ ُﻤ ْﻮ َﻻ ﻰ ِا ﱠ َ َوﻗَﺎُﻟﻮْا ﻣَﺎ ِه ن َ ﻈ ﱡﻨ ْﻮ ُ ﻻ َﻳ ِا ﱠ Mereka berkata, “Tiada sesuatu kecuali hidup duniawi kita saja—kita mati dan kita hidup—dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.” Tapi, mereka sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja. Jadi lanjut Nurcholish Madjid sangat jelas bahwa sekularisme tidak sejalan dengan agama, khususnya agama Islam.324 Karena sekularisme tidak memercayai hari Akhir atau kehidupan di Akhirat nantinya. Tapi, meskipun pengertian sosiologis sekularisasi itu sudah cukup banyak digunakan para ahli ilmu-ilmu sosial, Nurcholish Madjid mengakui bahwa masih tetap terdapat kontroversi di sekitar istilah itu. Hal ini dicerminkan oleh adanya perdebatan dan polemik di sekitar buku Harvey Cox, Secular City. Kesulitan timbul dari kenyataan bahwa masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat sekularisme sebagai suatu ideologi yang secara khusus bersemangat antiagama. Karenanya, cukup sulit untuk menentukan kapan proses sekularisasi, dalam makna sosiologisnya, berhenti dan berubah menjadi proses penerapan sekularisme filosofis. Inilah yang agaknya menjadi dasar penolakan Rasjidi atas penggunaan istilah sekularisasi oleh Nurcholish Madjid. Jika benar dugaan ini, maka keberatan Rasjidi, lanjut Nurcholish Madjid, “cukup beralasan dan dapat diterima,” yaitu “jika sekularisasi memang tak mungkin lepas dari sekularisme filosofis hasil masa Enlightenment Eropa.”325 Kaum Dahriyah meyakini tidak ada kehidupan di akhirat nanti. Artinya, kaum Dahriyah hanya meyakini kehidupan di dunia ini saja. Selain itu, mereka juga tidak meyakini adanya pencipta alam semesta ini, Allah SWT. Pada masa Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, kaum Dahriyah ini pernah mewarnai perdebatan teologi Islam. Diceritakan mereka berkeliling dari satu negeri Islam ke negeri Islam lainnya untuk menantang ulama berdebat mengenai paham yang dianutnya itu. Sedemikian cerdasnya mereka dalam berdebat sehingga tidak ada satu pun ulama pada masa itu yang sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum Dahriyah ini. Akhirnya, Imam Abu Hanifah lah yang mampu menjawab semua pertanyaan kaum Dahriyah dan mematahkan semua argumen penguat paham mereka itu. 324 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2968 325 Ibid., hal. 2970 323 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Dikarenakan perdebatan yang berkepanjangan mengenai istilah sekularisasi, maka ketika Nurcholish Madjid kembali dari Chicago pada tahun 1984, dia tidak pernah lagi menggunakan istilah sekularisasi tersebut. Dalam suratnya yang ditulis pada 29 Maret 1983 kepada Mohamad Roem, Nurcholish Madjid menyatakan penyesalannya: “memang disesalkan bahwa dalam mencetuskan gagasan itu saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer, seperti “sekularisasi”, yang secara etimologis belum mantap dan sampai sekarang masih tetap kontroversial.”326 Menurut penulis perdebatan yang terjadi memang patut disesalkan karena perdebatan itu banyak menghabiskan waktu dalam hal istilah saja, sementara isi atau substansi gagasan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat Islam dari pensakralan terhadap partai politik Islam dan konsep negara Islam, menjadi “terlupakan” atau “terabaikan”. Kesimpulannya, menurut Nurcholish Madjid terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian “sekularisasi” secara sosiologis dan secara filosofis. Dan karena sedemikian kontroversialnya istilah “sekular”, “sekularisasi”, dan “sekularisme” itu, maka dia berkata “adalah bijaksana untuk tidak menggunakan istilah-istilah tersebut, dan lebih baik menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.”327 Tujuan gagasan sekularisasi ini dirumuskan antara lain adalah untuk menyasar politik umat Islam. Diharapkan gagasan sekularisasi itu mampu menghindarkan umat Islam dari “pemujaan” terhadap partai Islam.328 Sebagaimana diketahui partai Islam pada masa awal Orde Baru dan masa-masa sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk mewujudkan berbagai aspirasi umat Islam. Padahal, partai Islam pada masa itu mengalami tekanan yang kuat dari penguasa karena dianggap dapat menghalangi pembangunan. Selain itu, para pemimpin partai Islam tidak banyak berbuat dalam memberantas korupsi yang berkembang. Bahkan, menurut Nurcholish Madjid, reputasi umat Islam di 326 Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 2970-2971 328 Nurcholish Madjid berharap akan tercipta suatu efek yang meruntuhkan monopoli dan konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di tangan para pemimpin partai Islam. Sebab seringkali terjadi, kata Nurcholish Madjid, muncul “pemberhalaan” hasil interpretasi manusia atas ajaran-ajaran agama yang berarti menyamakan status (hasil pemikiran itu) dengan agama itu sendiri. Lihat Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 34. Lihat juga Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hal. 79-80 327 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia bidang korupsi makin lama makin meningkat.329 Akibat gagasan sekularisasinya itu partai Islam tidak lagi menjadi sakral dalam Islam. Menurut Nurcholish Madjid pandangan apa adanya terhadap dunia, baik material maupun non material, merupakan suatu kewajaran dikarenakan pandangan itu merupakan konsekuensi logis dari tauhid (Pengesaan Tuhan). Artinya, pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya.330 Dengan demikian, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid berarti pembebasan tatanan sosio kultural dari ikatan-ikatan formal keagamaan. Agama ditempatkan pada tingkat yang lebih abstrak sebagai nilai-nilai etis. Akan tetapi, tidak berarti agama kehilangan signifikansinya dalam kehidupan duniawi. Sebagai sistem nilai, agama berfungsi memberikan arah dan orientasi, sekaligus makna hidup serta legitimasi terhadap tertib sosial.331 Dalam pengertian inilah, Nurcholish Madjid melihat sekularisasi dalam bentuk kehidupan politik harus dilakukan, mengingat di satu pihak situasi politik Orde Baru menuntut adanya perubahan dalam bidang tindakan dan perilaku emosi umat Islam, yang mana idealisme akan adanya integrasi antara agama dan politik merupakan sesuatu yang tidak realistis dan utopis, bahkan hanya akan membawa kepada kejumudan dan kemacetan pemikiran umat.332 Kondisi umat Islam, menurut Nurcholish Madjid, sudah tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami, mana yang bersifat transenden dan mana yang bersifat temporal. Bahkan lebih jauh lagi, umat Islam menjadikan sesuatu yang seharusnya tidak sakral menjadi sangat sakral, seperti perlakuan terhadap partai politik yang menjadi salah satu sasaran pembaruan Nurcholish Madjid. Gagasan sekularisasi ini membawa implikasi kepada penolakan terhadap gagasan partai Islam dan negara Islam. Banyak orang yang salah paham terhadap rumusan Nurcholish Madjid ini. Menurut Bahtiar Effendy sumber 329 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 118 330 Madjid, “Keharusan Pembaruan”, hal. 208 331 Nadroh, Wacana Keagamaan, hal. 174 332 Ibid., hal 175. Lihat juga Saiful Muzani, “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi”, PRISMA, No. 1, Tahun XXII, 1993, hal. 76 dan Goenawan Muhammad dalam kata pengantar buku Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. xiii Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia kesalahpahaman orang-orang tersebut berasal dari ketidaksediaan melihat rumusan Nurcholish Madjid itu dalam konteks pemikiran di atas. Jika pikiran dasar di atas diikuti, maka soal “Islam Yes, Partai Islam, No” sama sekali tidak menyiratkan pemahaman atau anjuran bahwa Nurcholish Madjid anti partai Islam. Yang ingin dikatakannya sebenarnya adalah orientasi dan loyalitas umat Islam hendaknya tetap kepada ajaran Islam, bukan kepada partai politik atau institusi Islam.333 Dengan kata lain tujuan Nurcholish Madjid menyerukan slogan “Islam Yes, Partai Islam No” adalah agar semua orang bisa mengaku Islam dengan bebas.334 Selain itu, menurut Fachry Ali, dengan konsep sekularisasi Nurcholish Madjid berharap akan tercipta efek yang dapat meruntuhkan monopoli dan konsentrasi kekuasaan—melalui kontrol terhadap sistem simbolik—keagamaan di tangan para pemimpin partai Islam.335 Nurcholish Madjid juga berharap dengan sosialisasi konsep sekularisasi itu terjadi pemencaran kekuasaan yang memberikan dasar pembenaran bagi siapa pun untuk merasakan dirinya sebagai seorang Muslim walaupun ia tidak pernah berhubungan dengan ideologi dan partai-partai yang secara formalitas bersimbol Islam.336 Walaupun Nurcholish Madjid mengakui bahwa umat Islam masih terpaku pada simbol, yaitu harus mendirikan mesjid, naik haji, dan simbol yang lain.337 Pada saat diwawancarai oleh majalah Tempo tahun 1986, Nurcholish Madjid kembali menegaskan pendapatnya mengenai sekularisasi. Dia mengatakan: Yang saya maksudkan dengan itu (sekularisasi—penulis) sebenarnya adalah bahwa tidak ada yang sakral, kecuali Allah. Desakralisasi, inilah yang saya maksud dengan sekularisasi. Nah, partai Islam itu tidak sakral, karena itu salah argumen yang mengatakan bahwa kalau tidak mencoblos 333 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, demokrasi, dan negara yang tidak mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005, hal. 231 334 “Berani Benar, Juga Berani Salah”, Wawancara Majalah D & R, No. 05/XXVII/14 September 1996 335 M. Deden Ridwan, Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan, Yogyakarta: Belukar Budaya, 2002, hal. 161. Lihat juga Ali, Golongan Agama, hal. 79-80. 336 Ridwan, Gagasan Nurcholish, hal. 161-162 337 Nurcholish Madjid, “Presiden Mendatang Tidak Akan Mampu Menjadi Pilot”, Forum Keadilan, No. 26, Th. IV, 8 April 1996 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia partai Islam dalam pemilu, maka kita bukan Islam. Karena itu, saya dulu berseru, “Islam, Yes, Partai Islam, No.”338 Dengan tidak sakralnya partai politik, maka umat Islam bebas memilih partai apa saja asalkan memperjuangkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, toleransi, keterbukaan, saling menghargai, dan lain sebagainya. Umat Islam tidak perlu merasa kurang keislamannya apabila tidak memilih partai Islam. Dengan tidak dibatasinya umat Islam dalam memilih partai, maka tidak ada lagi pengkotak-kotakan partai. Artinya, semua partai bisa dimasuki oleh umat Islam. Dengan demikian, dakwah Islam dapat menyentuh semua golongan. Umat Islam dapat berdakwah di mana saja tanpa bisa dibatasi sehingga Islam menjadi milik semua.339 Sebaliknya, manuver-manuver yang dilakukan oleh politikus yang hanya mencari keuntungan dalam partai politik, yang di kalangan Islam politik partai dianggap sebagai satu-satunya sarana untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, menurut Nurcholish Madjid, melemahkan ukhuwah Islamiyah di kalangan umat Islam.340 Para politikus itu hanya mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan dan jabatan. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan mereka itu, tidak jarang mereka melakukan tindakan-tindakan yang justru mengakibatkan perpecahan di kalangan umat Islam. Sementara itu, penolakan terhadap gagasan negara Islam pertama kali dimunculkan oleh Nurcholish Madjid dalam ceramahnya pada tanggal 30 Oktober 1972 di Taman Ismail Marzuki.341 Menurut Nurcholish Madjid, gagasan negara Islam yang pernah sangat kuat di masa lalu adalah kecenderungan yang bersifat apologetik. Sikap apologetik itu tumbuh dari dua sisi. Pertama pertumbuhannya adalah apologi kepada ideologi-ideologi Barat, seperti demokrasi, sosialisme, komunisme, dan lain sebagainya. Apologi kepada ideologi-ideologi tersebut menimbulkan adanya apresiasi yang bersifat ideologis politis kepada Islam (Islam 338 339 “Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juni 1986, hal. 61 “Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal. 57 340 Stephen C. Headley, Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion, and Community in Central Javanese Islam, Singapore: ISEAS Pulications, 2004, hal. 34 341 Pada tahun 1972 sampai tahun 1974, Nurcholish Madjid melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia. Setelah itu, dia menjadi lebih yakin bahwa telah tepat waktunya untuk melakukan kritikan langsung terhadap tradisi pemikiran politik-keagamaan Islam modernis, termasuk kalangan eks-Masyumi. Lihat Taufik Abdullah, dkk., (editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid ke-5, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hal. 453 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Politik), sehingga membawa kepada cita-cita negara Islam.342 Lebih lanjut Nurcholish Madjid menegaskan: “Saya berpendapat bahwa Islam bukanlah ideologi, meskipun ia malah seharusnya berfungsi sebagai sumber ideologi para pemeluknya. Tetapi Islam sendiri terbebas dari keterbatasan-keterbatasan sebuah ideologi yang sangat memperhatikan konteks dan ruang waktu itu. ...Pandangan langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada.”343 Adapun yang kedua adalah legalisme. Legalisme ini menumbuhkan apresiasi serba legalistis kepada Islam, yang berupa penghayatan keislaman yang menggambarkan bahwa Islam adalah struktur dan kumpulan hukum.344 Menurut Nurcholish Madjid legalisme ini merupakan kelanjutan dari fiqhisme.345 Nurcholish menegaskan: “Fiqhisme ini begitu dominan di kalangan umat Islam, sehingga gerakangerakan reformasinya pun, umumnya, masih memusatkan sasarannya ke bidang itu. Maka, negara Islam itu pun suatu apologi, di mana umat Islam berharap dapat menunjukkan aturan-aturan dan hukum-hukum lainnya. Padahal sudah jelas, bahwa fiqh itu, meskipun telah ditangani oleh kaum reformis, sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang.”346 Lebih lanjut Nurcholish Madjid menegaskan bahwa konsep negara Islam tersebut merupakan distorsi hubungan proporsional antara negara dan agama. Menurutnya negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang memiliki dimensi rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan lain yang dimensinya spiritual dan pribadi.347 Dikarenakan kedua hal tersebut, negara dan agama, berbeda maka pendekatan yang digunakan untuk kedua hal tersebut juga berbeda. Menurut Nurcholish Madjid inti ajaran Islam adalah iman, dan bahwa iman mengandung arti apresiasi ketuhanan atau pengalaman keagamaan yang 342 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia,” dalam bagian IV bukunya Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, cet. V, hal. 253 343 Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999, hal. 46-47 344 Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255 345 Fiqh adalah kodifikasi hukum hasil pemikiran sarjana Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Kodifikasi itu dibuat guna memenuhi kebutuhan akan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara yang, pada waktu itu, meliputi daerah yang amat luas dan rakyat yang amat banyak. ...Susunan hukum ini juga kadang-kadang disebut sebagai syariat. Lihat Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255 346 Madjid, “Menyegarkan Paham”, hal. 255 347 Ibid., hal. 255-256 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia menyangkut nilai-nilai pribadi yang paling dalam, dan bahwa semua itu berada dalam fitrah atau kejadian kemanusiaan seseorang, maka iman atau penghayatan keagamaan itu amat individual. Ia harus tumbuh dari pilihan merdeka. Ia dapat berbeda pada tiap orang serta tidak dapat dipaksakan dari luar. Ia tersimpan secara sempurna dalam lubuk hati atau budi nurani seseorang. Karena itulah, menurut Nurcholish Madjid, tidak bisa ditempuh cara-cara kolektif dalam menjajagi keagamaan seseorang. Karena itu pula, menurut Nurcholish Madjid, negara sebagai pelembagaan dari kolektivitas tertentu “tidak mungkin menempuh dimensi spiritual guna mengawasi motivasi atau sikap batin warga negaranya sehingga negara merupakan suatu kekuasaan rohani”.348 Walaupun di pihak lain Nurcholish Madjid mengingatkan sesuatu yang penting pula bahwa “antara agama dan negara hanya harus dibedakan, dan tidak mungkin dipisahkan”, sebab “keduanya bertemu dalam individu, dan melalui individu-individu warganegara, terdapat pertalian tak terpisahkan antara motivasi dan sikap batin beragama dengan kegiatan atau sikap lahir bernegara.”349 Jadi, agama dengan wahyu membangun manusia melalui kejadian individualnya, dan kemudian manusia dengan akalnya membangun dunia atau negara melalui watak sosialnya. Negara dan agama dalam Islam tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam melakukan setiap kegiatan, termasuk dalam kegiatan bernegara dan bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencapai ridla Allah, dengan iktikad sebaik-baiknya dan melaksanakan amal perbuatan setepat-tepatnya. Tidak ada sedikit pun kegiatan seseorang, walaupun hanya seberat atom, yang tidak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.350 Sebutan “Negara Islam” yang formalistik, menurut Nurcholish Madjid, tidak pernah digunakan, baik oleh Nabi sendiri maupun para penggantinya selama berabad-abad, dan jelas sekali pula bahwa ia muncul di kalangan umat hanya sebagai gejala di zaman modern ini saja.351 Kemunculan istilah itu bisa diteliti dalam kaitannya dengan bentuk interaksi umat dengan golongan-golongan lain, dan akan jelas bahwa ide itu, apalagi sebutan formalnya, adalah suatu variabel 348 “Kuliah Nurcholish Madjid”, Tempo, 2 Desember 1972, hal. 28 Ibid. 350 Rachman (penyunting), Ensiklopedi Nurcholish Madjid, hal. 1168 351 Kompas, “Lebih Jauh dengan Nurcholish Madjid”, 3 November 1985 349 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia historis-sosiologis, bukan esensi agama Islam itu sendiri.352 Oleh karena itu, bentuk formal tatanan kenegaraan bagi kaum muslimin bisa bermacam-macam, asalkan tatanan itu memberi ruang bagi terlaksananya cita-cita dasar Islam.353 Dialihkannya pemikiran umat Islam oleh Nurcholish Madjid dari Islam politik kepada Islam kultural bertujuan agar umat Islam dapat berperan aktif secara kultural dalam pemerintahan Orde Baru. Selain itu, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid merupakan cara ampuh dalam merespons kondisi perpolitikan Indonesia pada masa Orde Baru yang tidak memberikan kesempatan kepada Islam politik untuk berkembang dalam merealisasikan cita-citanya. Dengan gagasannya ini, menurut A. Satori Ismail, perjuangan umat Islam menjadi tidak terbatas hanya dalam politik saja melainkan tersebar ke berbagai bidang lainnya seperti dakwah, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.354 Nurcholish Madjid menyatakan bahwa Islam tidak memerlukan sebuah negara Islam dan bahwa “sekularisasi”—proses pembedaan aturan yang ditetapkan oleh wahyu dari apa yang dirancang oleh manusia—merupakan suatu keharusan.355 Proses pembedaan itu penting agar umat Islam tidak mencampuradukkan masalah duniawi, yang membutuhkan penalaran akal, dengan masalah ukhrawi. Apabila umat Islam sudah mampu membedakan hal itu, diharapkan mereka mampu menghadapi setiap tantangan dunia modern yang dihadapinya. Artinya, jika umat Islam dapat membedakan urusan dunia sebagai urusan yang dirancang manusia maka apabila umat Islam menemukan kendala atau tantangan dalam kehidupan di dunia, misalnya kondisi politik umat Islam pada masa Orde Baru, mereka dapat segera memikirkannya dan menemukan solusi bagi kendala dan tantangan itu. Walaupun dengan tegas Nurcholish Madjid menyatakan bahwa konsep negara Islam tidak ada dalam ajaran Islam, tetapi dia menyatakan bahwa dalam Islam, agama dan negara tidak terpisahkan, namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Karena itu agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan: tidak terpisah, namun berbeda! Karena 352 Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 28 Ibid, hal. 29 354 Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputat, 10 Juni 2010 355 Dale F. Eickelman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, penerjemah: Rofik Suhud, Bandung: Mizan, 1998, hal. 68 353 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia itu, dari sudut pandangan Islam, pernyataan bahwa Indonesia bukanlah negara sekular (artinya, bukan negara yang menganut sekularisme berupa pemisahan negara dari agama) dan bukan pula negara teokrasi (artinya, bukan negara yang kekuasaannya dipegang oleh para pendeta, rohaniwan, atau ecclesiatics, ahbâr ruhbân), dapat dibenarkan.356 Dalam pandangan Nurcholish Madjid negara dan agama, dalam Islam, tidak terpisah karena setiap Muslim, dalam melakukan setiap kegiatan, termasuk kegiatan bernegara dan bermasyarakat, harus selalu berniat dalam rangka mencari ridha Allah, dengan iktikad sebaik-baiknya dan pelaksanaan amal perbuatan setepat-tepatnya. Tidak ada sedikitpun kegiatan seseorang, walaupun hanya seberat atom, yang tidak akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.357 Nurcholish Madjid kemudian mengutip ayat Alquran yang menegaskan bahwa seluruh anggota tubuh manusia khususnya yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, yaitu akal budi (al-fu’ad) akan dimintai pertanggungjawabannya atas pilihan-pilihan yang dilakukannya, yaitu ayat yang berbunyi: ﻻ ً ﺴ ُﺆ ْ ﻋ ْﻨ ُﻪ َﻣ َ ن َ ﻚ َآﺎ َ ﺼ َﺮ وَا ْﻟ ُﻔﺆَادَ ُآﻞﱡ ُاوْﻟ ِﺌ َ ﺴ ْﻤ َﻊ وَا ْﻟ َﺒ ن اﻟ ﱠ ﻚ ﺑِﻪ ﻋِ ْﻠ ٌﻢ ِا ﱠ َ ﺲ َﻟ َ ﻒ ﻣَﺎَﻟ ْﻴ ُ ﻻ َﺗ ْﻘ َ َو Dan janganlah engkau mengikuti satu perkara yang tidak ada padamu pengetahuan mengenainya. Sebab, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani semuanya akan dimintai tanggung jawab tentang perkara itu. (QS. 17:36).358 Ayat tersebut di atas juga, menurut Nurcholish Madjid, dengan jelas menuntut manusia (umat Islam) untuk mengadakan kajian dan kajian kembali terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang kita anut, agar dengan begitu kita bisa menganut dengan penuh tanggung jawab di hadapan Pengadilan Tuhan kelak, dan di hadapan pengadilan sejarah dalam kehidupan sekarang.359 Artinya, suatu nilai atau norma yang dianut oleh umat Islam harus senantiasa dikaji dan dianalisis kembali. Karena, apabila umat Islam berhenti mengkaji nilai-nilai dan norma- Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. cxi 357 Ibid. 358 Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 220 359 Madjid, “Sekitar Usaha”, hal. 220 356 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia norma yang dianutnya, umat Islam telah memutlakkan nilai-nilai dan normanorma itu. Padahal kemutlakan hanya milik Allah. Sebagai khalifah (“wali pengganti” atau “duta”) Allah di bumi, manusia, melalui masing-masing pribadi dan perorangannya, berbuat dan bertindak “atas nama Allah” (bi ism Allah—bi-‘smi-‘al-Lâh—bismillah”), sebagai penegasan kepada diri sendiri dan penyadarannya bahwa pekerjaan yang hendak dilakukannya itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah yang telah memberinya “mandat” sebagai khalifah di bumi.360 Maka ia harus melaksanakan pekerjaannya setulus-tulusnya, sebaik-baiknya, dan setepat-tepatnya, dengan ihsân dan itqân.361 Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan pekerjaan dengan sebaikbaiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Allah dan keinginan mencapai ridla atau perkenan-Nya tersebut, seseorang harus memperhatikan hukum-hukum obyektif yang menguasai pekerjaannya, lahir dan batin. Hukumhukum obyektif itu, yang dalam peristilahan Islam disebut Sunnatullah (Sunnat al-Lâh—Hukum atau Ketentuan Allah), menyatakan diri dalam apa yang seharihari disebut hukum alam untuk benda-benda mati dan hukum sejarah untuk kesatuan rentetan pengalaman hidup manusia sebagai makhluk sosial.362 Karena Sunnatullah itu merupakan gejala nyata sekeliling hidup manusia, maka dapat dikatakan semua peradaban berusaha memahaminya. Usaha memahami Sunnatullah itu menghasilkan falsafah (segi spekulatifnya) dan ilmu pengetahuan (segi empiriknya). Maka untuk melaksanakan perintah Allah dalam Alquran agar kita memahami Sunnatullah itu, kita diberi petunjuk oleh Nabi s.a.w. agar kita belajar dari siapa saja, “sekalipun ke negeri Cina.” Nabi s.a.w. 360 Di dalam Alquran disebutkan empat macam sifat manusia, yaitu: pertama, manusia adalah makhluk terpilih (QS. Thaha: 122). Kedua, sebagai khalifah Allah di bumi (QS. AlBaqarah: 30). Ketiga, diberikan kepercayaan melaksanakan amanat yang semua mahkluk tidak bersedia (sanggup) menerimanya (QS. Al-Ahzab: 72). Keempat, untuk melaksanakan itu semua, manusia diberi kemampuan mengetahui nama semua benda, yang malaikat pun tidak tahu (QS. AlBaqarah: 31). Lihat Mukti Ali, Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1991, hal. 75 361 Ihsân adalah bekerja sebaik-baiknya guna mencapai tujuan yang optimal, tidak setengah-setengah, adapun itqân adalah membuat segala sesuatu yang kita lakukan atau kita buat menjadi sebaik-baiknya, meniru dan sejalan dengan sifat Allah. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hal. cxi-cxii 362 Ibid., hal. cxii Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia juga menegaskan bahwa “Hikmah (yakni, setiap kebenaran dalam falsafah, ilmu pengetahuan, dll.) adalah barang hilangnya kaum beriman. Oleh karena itu, siapa saja yang menemukannya hendaknya ia memungutnya.” Beliau juga berpesan agar kita memungut hikmah kebenaran, dan tidak akan berpengaruh buruk kepada kita, dari bejana apapun hikmah kebenaran itu keluar. Bahkan Nabi s.a.w. sendiri, menurut suatu penuturan, memberi contoh dengan mengirim beberapa sahabat beliau ke Judishapur, Persia, guna belajar ilmu kedokteran dari kaum Hellenis di sana.363 Itulah dasar pandangan bahwa urusan dunia (umûr al-dunyâ), seperti masalah kenegaraan, berbeda dari urusan agama (umûr al-dîn), meskipun antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Sebab sementara dalam urusan dunia kita boleh, malah dianjurkan Nabi, untuk belajar kepada siapa saja, dalam masalah agama kita harus hanya berpegang kepada sumber-sumber suci, baik Kitab ataupun Sunnah. Seperti sudah diuraikan, menciptakan sendiri “agama” atau “ibadat” adalah sebuah bid’ah atau “kreatifitas” yang terkutuk, sementara menciptakan suatu urusan dunia yang baik, sebagaimana antara lain banyak dicontohkan oleh tindakan ‘Umar bin Khattab, seperti penunjukan beberapa orang sahabat (6 orang) yang bertugas memilih penggantinya sebagai Khalifah umat Islam, adalah dihargai sebagai kreatifitas atau “bid’ah” yang baik (bid’ah hasanah).364 Gagasan Nurcholish Madjid itu merupakan bagian dari strategi kultural, dan karena itu sangat tidak memberi tempat kepada tujuan-tujuan sesaat. Islam Kultural yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid merupakan allocative politics, yang diartikulasikan dengan cara mensubstansiasikan nilai-nilai dan etika keislaman secara inklusif di tengah pluralitas kehidupan berbangsa dan bernegara.365 Dia mengatakan, “insya Allah, kalau sudah diterima sebagai keyakinan yang merata untuk seluruh lapisan masyarakat, Islam akan menyatakan diri dalam perwujudan etis dan moral yang kuat, sehingga nanti Indonesia tumbuh sebagai bangsa yang basis etika dan moralnya adalah Islam. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tapi juga keyakinan sosiologis, karena masyarakat Indonesia 363 Ibid., hal. cxiii Ibid., hal. cxiii-cxiv 365 Sukidi, “Cak Nur Tidak Goyah”, Kompas, 14 Februari 1999 364 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia itu kan mayoritas Islam.”366 “Karena mayoritas orang Indonesia beragama Islam,” lanjut Nurcholish Madjid, “maka nilai yang paling baik mewarnai adalah nilai Islam.”367 Dengan menolak partai politik sebagai wahana pokok perjuangan Islam, Nurcholish Madjid secara tegas menentang gagasan negara islam. Gagasan Nurcholish Madjid ini menitikberatkan pada usaha pembaruan keagamaan dan etika serta membuka diri terhadap kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat di luar umat islam. Dengan menempatkan diri sebagai reformis dan modernis gaya baru, Islam kultural menentang pemisahan yang tegas, yang dibuat oleh kaum reformis sebelumnya yang menjauhi kaum Jawa abangan, kaum mistik sufi, kaum intelek sekuler, dan kaum Kristen. Banyak di antara mereka yang aktif berdialog dengan orang Kristen dan sesekali dengan orang Hindu.368 Nurcholish Madjid mengatakan: Karena itu kini bangsa Indonesia sangat comfortable dengan gagasan mereka berkenaan dengan hubungan antara agama dan negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai titik temu antara seluruh golongan.”369 Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa bagi Nurcholish Madjid negara Pancasila adalah bentuk final bagi bangsa Indonesia, sehingga umat Islam tidak perlu mendirikan negara Islam. Yang paling penting, kata Nurcholish Madjid, adalah bagaimana setiap undang-undang yang disusun di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai keislaman. Dengan Islam kultural maka Pancasila dapat diterima dengan damai oleh umat Islam. Menurut Jalaluddin Rahmat, pemikiran Nurcholish Madjid telah menyebabkan ormas-ormas Islam yang telah menerima Pancasila sebagai asas organisasinya merasa “lebih damai karena menemukan kebenaran”.370 Lebih jauh dikarenakan pemikiran Nurcholish Madjid tersebut umat Islam, menurut Tempo, 366 Nurcholish Madjid, “Menatap Islam Masa Depan”, dalam Edy A. Effendi (editor), Islam dan Dialog Budaya., Jakarta: Puspa Swara, 1994, hal. 43 367 Nurcholish Madjid, “Orang Tidak Bicara Tentang Negara Islam Lagi”, Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 Juli 1985, hal. 6 368 Herbert Feith dan Lance Castles (editor), Pemikiran Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. xxvii 369 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 21 370 “Nurcholish, yang Menarik Gerbong”, Tempo, 14 Juli 1986, hal. 57 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia sekarang tidak segan-segan menyatakan keislamannya tanpa mengaitkan dirinya dengan gagasan negara Islam atau partai Islam.371 Nurcholish Madjid mengatakan bahwa prinsip-prinsip politik Islam secara universal telah memperoleh wujud lokalitasnya di Indonesia, yaitu Pancasila. Nurcholish Madjid berusaha menganalogkan Pancasila dengan Piagam Madinah, yakni sebagai common platform antar berbagai kelompok masyarakat dan agama.372 Menurut Nurcholish Madjid, umat Islam dibenarkan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Penerimaan itu didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu pertama nilai-nilai yang tercakup di dalam Pancasila dibenarkan atau sesuai dengan ajaran agama Islam, kedua fungsinya sebagai nuktoh-nuktoh kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.373 Namun demikian, terdapat sumber-sumber pandangan etis yang meluas dan dominan, yang secara sangat potensial bisa menjadi ragi pandangan etis bangsa secara keseluruhan, dan yang bisa dijadikan bahan pengisian wadah etika Pancasila. Yaitu, pertama, etika kebangsaan Indonesia yang perwujudan paling baiknya dan penampakan paling dinamisnya ialah bahasa Indonesia; kedua, etika kemodernan yang merupakan akibat langsung keberadaan kita di abad modern, dan yang introduksinya kepada bangsa kita, sayangnya, dimulai oleh kaum penjajah melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan dan yang sampai kini sebagian besar sistemnya masih bertahan; kemudian, ketiga, etika Islam sebagai anutan rakyat merupakan agama paling luas menyebar di seluruh tanah air, dan yang peranannya diakui para ahli sebagai perata jalan untuk tumbuhnya pahampaham maju dan modern di kalangan rakyat kita, khususnya dalam bentuk paham persamaan manusia (egalitarianisme) dan pengakuan serta penghargaan kepada 371 “Sebuah Masa yang Berubah, Sebuah Agama yang Ramah”, Tempo, 14 Juni 1986, hal. 62 372 Nurcholish Madjid, dengan menggunakan istilah lain, mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah social contract yang mengikat seluruh masyarakat untuk mendirikan sebuah negara. Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 76 373 Madjid, Cita-cita Politik, hal. 56-58 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia adanya hak-hak pribadi, selain paham hidup menurut aturan atau huku (pengaruh langsung sistem syariah), dan weltanschauung yang lebih bebas dari takhayul.374 Jika etika itu bisa dikembangkan, lalu bisa disemaikan lebih subur pada kalangan generasi muda bangsa dengan suatu metode yang lancar, wajar, alamiah, dan tanpa provokasi politik yang di negara berkembang selalu bersifat rawan dan peka itu, maka, menurut Nurcholish Madjid, tidak mustahil Indonesia akan benarbenar ditopang oleh pandangan etis yang sehat dan kuat, sebanding dengan Amerika Serikat yang ditopang dengan etika WASP (White Anglo Saxon Protestan).375 Artinya, masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat Qur’ani yang secara tegas menerima yang ma’ruf dan menolak yang mungkar.376 Dan dengan begitu kita dibenarkan, lanjut Nurcholish Madjid, memandang Indonesia sebagai sebuah “Negara Muslim”, sama dengan bagaimana Pak Natsir memandang Amerika Serikat sebagai “Negara Kristen”.377 4.3 Sumber Pemikiran Nurcholish Madjid Setelah menguraikan konsep Islam kultural yang dirumuskan oleh Nurcholish Madjid tibalah saatnya untuk mengetahui darimana Nurcholish Madjid “mengambil” gagasannya itu. Sebuah pemikiran tidak mungkin berdiri sendiri. Ia merupakan hasil dari proses pengolahan terhadap keadaan-keadaan yang ada di masyarakat serta perenungan dan analisis mendalam terhadap pemikiranpemikiran yang telah ada sebelumnya. Setelah melalui proses tersebut, barulah seseorang, seperti Nurcholish Madjid, mampu merumuskan gagasannya. Oleh karena itu, tidak ada pemikiran yang benar-benar berdiri sendiri atau benar-benar baru. Ia pasti memiliki kaitan dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dengan melihat konsep Islam kultural yang dirumuskan, terutama mengenai istilah “sekularisasi”, oleh Nurcholish Madjid terlihat jelas bahwa dia banyak mengutip pendapat-pendapat ilmuwan Barat, seperti Robert N. Bellah, Harvey Cox, dan Talcot Parsons. Nurcholish Madjid banyak merujuk definisi 374 Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 22 Juni 1983 dengan judul “Saya tak Rela Peran Pak Natsir Dikecilkan”. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 75 375 Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79 376 Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, penerjemah Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy, Yogyakarta: LkiS, 1993, hal. 28 377 Madjid, “Saya tak Rela”, hal. 79 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia sekularisasi dari ilmuwan Barat karena istilah sekularisasi memang muncul dari sana. Oleh karena itu, pengambilan istilah sekularisasi dari Barat merupakan hal yang biasa dan wajar. Namun demikian, secara keseluruhan Nurcholish Madjid nampaknya banyak dipengaruhi oleh seorang ilmuwan Islam yang banyak mengkritik ilmuwan lainnya yang dia anggap “menyimpang” dari Alquran dan Hadis, yaitu Ibn Taimiyah.378 Dalam surat bertanggal 29 Maret 1983 yang dikirimkan kepada Mohamad Roem ketika dia berada di Amerika Serikat, Nurcholish Madjid dengan jelas menyatakan, “saya tertarik kepada Ibn Taimiyah karena peranannya yang sering dipandang sebagai leluhur doktrinal bagi banyak sekali gerakan-gerakan pembaruan Islam zaman modern, baik yang fundamentalistik maupun yang liberalistik.”379 Dengan pernyataannya ini, Nurcholish Madjid ingin menunjukkan besarnya pengaruh Ibn Taimiyah bagi gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam. Pengaruh Ibn Taimiyah tersebut tidak hanya terbatas pada gerakan fundamentalis saja, melainkan gerakan liberal yang ada di dunia Islam. Dengan menyatakan besarnya pengaruh Ibn Taimiyah ini bagi gerakangerakan pembaruan di dunia Islam, Nurcholish Madjid secara tidak langsung menunjukkan bahwa Ibn Taimiyah juga mempengaruhi dirinya. Karena, hampir 378 Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad (Harran, Turki, 10 Rabiulawal 611/22 Januari 1263-Damaskus, 20 Zulkaidah 728/26 atau 27 September 1328). Dia merupakan pemikir Islam terkemuka dan tokoh pembaru abad ke-8 H/ke-14 M, berasal dari keluarga cendekiawan. Ayahnya, Syihabuddin Abdul Halim adalah seorang ahli hadis dan ulama terkenal di Damaskus yang mengajar di berbagai sekolah terkemuka di kota itu. Kakeknya, Syekh Majuddin Abdus Salam juga adalah seorang ulama ternama. Mereka semua adalah pemukapemuka dalam Mazhab Hambali dan kuat berpegang pada ajaran salaf (yang terdahulu). Profesinya sebagai penulis ditekuninya sejak usia 20 tahun. Tulisan-tulisannya banyak bernada kritik terhadap segala pendapat dan paham yang tidak sejalan dengan pemikirannya, karena menurutnya bertentangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Sebagai penulis, dia termasuk sangat produktif. Hasil karyanya berjumlah 500 jilid, di antaranya yang terkenal adalah Kitâb ar-Radd ‘Alâ al-Mantiqiyyîn (Jawaban terhadap Para Ahli Mantik), Manhaj as-Sunnah an-Nabawiah (Metode Sunnah Nabi), Majmû ‘al-Fatâwâ (Kumpulan Fatwa), Ikhlâs ar-Râ’i wa ar-Râ’iyat (Keikhlasan Pemimpin dan Yang Dipimpin), dan lain sebagainya. Sebagian besar aktifitasnya diarahkan kepada usaha untuk memurnikan paham tauhid, membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama dinyatakan tertutup, dan menghidupkan pemikiran-pemikiran salaf serta menyeru untuk kembali berpegang kepada Alquran dan Hadis. Corak pemikiran Ibn Taimiyah bersifat empiris, sehingga dia dikenal sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris, prinsip pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran. Untuk lebih lengkapnya lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hal. 168-171 379 Lihat Surat Nurcholis Madjid kepada Mohamad Roem yang ditulis pada tanggal 29 Maret 1983 dengan judul Menyambung Matarantai Pemikiran yang Hilang. Surat tersebut kemudian dibukukan dalam Agus Edi Sasono (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 13 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia semua kalangan di Indonesia sepakat bahwa Nurcholish Madjid merupakan sosok pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Bahkan, Majalah Tempo memberikan gelar “Sang Penarik Gerbong” kepada Nurcholish Madjid. Lebih lanjut Nurcholish Madjid menyatakan keyakinannya bahwa jika umat Islam, khususnya mereka yang merasa menganut atau diilhami oleh pikiranpikiran Ibn Taimiyah, mewarisi dan mengembangkan tradisi intelektual Ibn Taimiyah, dapat diharap akan banyak diketemukan jalan keluar dari berbagai kemacetan pemikiran zaman sekarang ini. Jalan keluar itu, dari berbagai segi, akan memiliki tingkat keotentikan yang tinggi, yang bakal membawa umat Islam memasuki abad modern dan berpartisipasi di dalamnya secara mantap tanpa banyak halangan doktrinal.380 Pernyataan Nurcholish Madjid ini secara tidak langsung “mengecilkan” peran ulama atau intelektual besar Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh besar bagi perkembangan dunia Islam, seperti Imam Ghazali, Ibn Rusyd, Imam Muslim, dan lain sebagainya. Bahkan lebih jauh dapat dikatakan dengan menyatakan bahwa “jalan keluar yang dihasilkan oleh Ibn Taimiyah memiliki tingkat keotentikan yang tinggi” Nurcholish Madjid telah “terjebak” dalam pengagungan yang berlebihan terhadap Ibn Taimiyah. Karena, dengan pernyataan itu akan timbul anggapan bahwa jalan keluar yang dihasilkan oleh ilmuwan atau ulama Islam lainnya “kurang” otentik atau minimal di bawah “standar” keotentikan Ibn Taimiyah. Bentuk pengagungan terhadap Ibn Taimiyah itu kemudian tersimpulkan dalam pernyataan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa, “Ibn Taimiyah adalah seorang intelektual besar yang nampaknya tidak banyak dipahami, padahal intelektualismenya itu baik sekali dicontoh dan dikembangkan lebih lanjut.”381 Kekaguman Nurcholish Madjid yang besar terhadap Ibn Taimiyah kemudian diwujudkannya dalam bentuk disertasi yang khusus membahas tentang Ibn Taimiyah, yaitu Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiyah dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam). 380 381 Ibid. Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Karena pengagungan terhadap Ibn Taimiyah sedemikian rupa dilakukan oleh Nurcholish Madjid maka tidaklah mengherankan apabila banyak pemikiranpemikiran Ibn Taimiyah yang secara keseluruhan mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid.382 Salah satu pengaruh Ibn Taimiyah terhadap Nurcholish Madjid adalah konsep sekularisasinya. Walaupun dia banyak mengutip definisi sekularisasi dari ilmuwan Barat, karena konsep itu memang datang dari Barat, semangat atau dasar dari sekularisasinya itu berasal dari pemikiran Ibn Taimiyah tentang “kerelatifan manusia”. Dengan relatifnya manusia, maka apapun yang dihasilkan oleh manusia tidak memiliki sifat mutlak. Artinya, pemikiran-pemikiran manusia akan terus berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut Ibn Taimiyah, Nabi, sebagai manusia biasa bisa saja salah dalam kehidupan sehari-harinya, kecuali dalam tugas menyampaikan wahyu.383 Buktinya, menurut Ibn Taimiyah, Allah banyak menegur Nabi Muhammad.384 Pendapat Ibn Taimiyah ini kemudian mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid yang juga memutlakkan secara total (kulliyah) kepada Allah. Artinya, dalam pandangan Nurcholish Madjid, sebagaimana juga Ibn Taimiyah, hanya Allah yang bersifat mutlak, sedangkan selain dari Allah tidak mutlak. Sebab, bagaimana mungkin suatu wujud nisbi seperti manusia dapat mencapai suatu wujud mutlak. Menurut Nurcholish Madjid, tauhid justru mengajarkan bahwa yang mutlak hanyalah Allah, sehingga Kebenaran Mutlak pun hanya ada 382 Selain Ibn Taimiyah terdapat juga tokoh lain yang banyak mempengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid, terutama mengenai corak pemikiran neo-modernismenya. Tokoh itu adalah Fazlur Rahman, guru besar pada University of Chicago dalam bidang pemikiran Islam. 383 Ibn Taimiyah menuturkan bahwa menurut sebagian ulama pernah terjadi syetan sempat membisikkan kepada Nabi s.a.w. untuk mengakui syafa’at burung mitologi, yang kemudian dikenal dengan “ayat syetan”. Menurut Ibn Taimiyah bunyi ayat itu, dalam bahasa Arab: “Tilka algharânîq al-‘ulâ, wa inna syafâ’atahum laturtajâ” (Itulah burung-burung gharânîq yang mulia, yang syafa’at mereka pastilah dapat diharap). Tetapi, Allah kemudian menghapus bisikan syetan itu dari kalbu Nabi, dan berkaitan dengan ini Ibn Taimiyah mengutip firman Allah: “Dan tidaklah Kami (Allah) utus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad), juga tidak seorang Nabi pun, kecuali bahwa jika dia (Rasul atau Nabi itu) mempunyai angan-angan (tamannî), maka syetan akan memasukkan (bisikan jahat) dalam angan-angannya itu. Allah pun kemudian menghapus apa yang dibisikkan syetan itu, lalu Dia kukuhkan ayat-ayat-Nya. Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Agar dengan begitu dia menjadikan apa yang dibisikkan syetan itu sebagai ujian (fitnah) bagi mereka yang dalam hatinya terdapat penyakit dan yang hatinya keras. Sungguh orang-orang zalim itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 52-53). Lihat catatan kaki Madjid, Islam Doktrin, hal. 90 384 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, editor: Edy A. Effendi, Jakarta: Paramadina, 1998, hal. 216 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia pada-Nya. Maka salah satu sifat atau kualitas Allah ialah Al-Haqq, artinya “Yang Benar (secara mutlak)”.385 Dengan mengutip Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyebutkan sabda Nabi bahwa ungkapan yang paling benar dari para penyair ialah ungkapan penyair Labid, “Alâ kull-u syay’in mâ khalâ ‘l-Lâh-i bâthil-u” (Ingatlah, segala sesuatu selain Allah adalah palsu).386 Artinya, hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi belaka.387 Dengan pemikiran seperti ini maka akibatnya nilai-nilai, institusi-institusi, pemikiran-pemikiran, dan lain-lainnya tidak mutlak benar, yang pasti benar hanyalah Allah. Dengan demikian, gagasan negara Islam dan partai politik juga tidak mutlak sehingga ia harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dikarenakan negara dan partai politik tidak mutlak maka manusia dapat selalu memikirkan apa yang terbaik untuk manusia itu. Justru apabila manusia berhenti berpikir, dengan alasan bahwa apa yang telah ada itu sempurna, maka manusia itu telah jatuh syirik (menyekutukan Allah) karena ia telah memutlakkan hasil pemikirannya. Padahal, hanya Allah saja yang memiliki Kemutlakan. Oleh karena itu, negara sebagai sesuatu yang tidak mutlak haruslah senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Yang terpenting adalah negara itu berguna atau bermanfaat bagi kemanusiaan itu. Dengan mengutip pernyataan Ibn Taimiyah, Nurcholish Madjid menyatakan, “Tuhan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim meskipun Islam,” dan “dunia akan tetap bertahan dengan keadilan sekalipun kafir, dan tidak akan bertahan dengan kezaliman sekalipun Islam.”388 Dari pernyataan itu jelas bahwa sebuah negara menganut ideologi apapun tidak penting, yang penting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keadilan di negara tersebut. Dengan demikian, bentuk negara Republik seperti Indonesia tidak bermasalah. Yang penting di Indonesia dijalankan nilai-nilai keislaman seperti 385 Madjid, Islam Doktrin, hal. lxx Ibid. 387 Ibid. 388 Ibid., hal. cxvi 386 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia keadilan, kebersamaan, toleransi, persamaan derajat, dan lain sebagainya. Apabila nilai-nilai keislaman itu telah dilaksanakan maka apapun bentuk negara Indonesia tidak menjadi permasalahan. Umat Islam tidak wajib lagi mendirikan negara Islam karena secara tidak langsung negara yang telah melaksanakan nilai-nilai keislaman itu telah menjadi “Negara Islam”. Hal inilah yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid, yaitu dilaksanakannya nilai-nilai keislaman di Negara Republik Indonesia. Pemikiran Ibn Taimiyah, sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas, nyata sekali memengaruhi pemikiran Nurcholish Madjid. Selain dari Ibn Taimayah, pemikiran yang sama dengan pemikiran Nurcholish Madjid dan nampaknya juga mempengaruhi pola pikirnya adalah pemikiran tokoh-tokoh seniornya di HMI, yaitu H. MS. Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo. Selain itu, pemikiran Nurcholish Madjid yang menolak gagasan negara Islam juga pernah dikemukakan oleh salah satu tokoh eks-Masjumi, yaitu Jusuf Wibisono. Hanya saja Jusuf Wibisono tidak merumuskan secara jelas dan terperinci pemikirannya itu seperti yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid. H. MS. Mitaredja adalah salah satu pendiri HMI dan dia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI pertama (1947-1950). Dalam salah satu tulisannya yang ditulis pada tahun 1968 dia menyatakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah merupakan hasil buatan manusia dan selanjutnya dia bertanya, “manakah yang lebih penting Alquran atau Piagam Jakarta?”389 Lebih jauh dia mengatakan, “apakah artinya berteriak-teriak mengenai Piagam Jakarta, kalau masih banyak di antara kita melupakan dan meninggalkan pelaksanaan dari isi Piagam Jakarta itu sendiri.”390 Dengan mengatakan ini, Mintaredja, menurut penulis, nampaknya ingin menyatakan bahwa tokoh-tokoh Islam sebaiknya melupakan perjuangan pengakuan Piagam Jakarta. Di samping itu, pernyataan Mintaredja ini, juga menyiratkan bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keislaman, bukan bentuk formalitas seperti pengakuan Piagam Jakarta. Mengenai masalah negara Islam, dia menyatakan bahwa cita-cita negara Islam tidak dapat diterima karena sejak masa Nabi...istilah “negara” dalam arti 389 H.M. Syafaat Mintaredja, Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta: PT. Septenarius, Cetakan Kedua, 1976, hal. 44 390 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia negara seperti yang kita kenal sekarang, belum pernah ada.391 Mintaredja menyatakan pemisahan agama dari negara pada dasarnya adalah sama dengan pemikiran mengenai pemisahan politik dari agama, dan karena itu, menurutnya, azasnya dikembalikan kepada Hadis yang berbunyi ‘kamu lebih mengetahui urusan duniamu/keduniaanmu’.392 Lebih jauh dia menyimpulkan “er is toch well enigzins scheiding tussen staat en kerk in de Islam” (dalam Islam dalam batas tertentu toh ada juga pemisahan antara Negara dan Gereja).393 Dengan kesimpulannya itu, Mintaredja kemudian meminta agar saudara seagamanya mengembangkan sikap toleransi terhadap orang yang mempunyai pemikiran lain, yaitu pemikiran tentang “adanya pemisahan antara negara dan gereja”. Dia juga meminta agar sesama warga negara Indonesia menghormati Negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan dan diperjuangkan bersama.394 Dahlan Ranuwihardjo adalah Ketua Umum Pengurus Besar HMI tahun 1951-1953. Dalam masa kepengurusannya ini sering diadakan diskusi mengenai hubungan Islam dan negara. Di antara kesimpulan diskusinya itu adalah tidak ada konsep negara Islam. Nampaknya dari diskusi-diskusi inilah Nurcholish Madjid mulai mengenal permasalahan hubungan Islam dan negara. Selain itu, Dahlan Ranuwihardjo juga pernah mengirimkan surat kepada Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa dia menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemikiran Mintaredja dan Dahlan Ranuwihardjo tersebut dan diskusidiskusi yang diadakan dalam HMI menunjukkan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid juga terdapat dalam tokoh-tokoh seniornya di dalam HMI. Pemikiranpemikiran seniornya itu belum terumuskan secara jelas dan mendetail. Di tangan Nurcholish Madjid lah kemudian pemikiran-pemikiran itu dirumuskan dengan lebih jelas dan mendetail. 391 Ibid., hal. 83 Ibid., hal. 89 393 Ibid. 394 Ibid. 392 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB V RESPONS DAN PENGARUH ISLAM KULTURAL Nabi SAW pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, bahwa ijtihad umatnya apabila benar akan memperoleh pahala dua, dan apabila salah akan memperoleh pahala satu. Sabda Nabi ini menunjukkan betapa pentingnya ijtihad dalam Islam demi kemajuan umat Islam. Namun demikian, menurut sebagian ulama tidak semua orang bisa melakukan ijtihad. Artinya dalam melakukan ijtihad seseorang harus memiliki ilmu pengetahuan atau persyaratan-persyaratan tertentu, misalnya menguasai bahasa Arab, ilmu tafsir, dan lain sebagainya. Apabila ia tidak memiliki persyaratan-persyaratan tersebut, maka ia tidak memiliki wewenang untuk berijtihad, tetapi cukup bertaklid saja.395 Dengan sabda Nabi di atas, umat Islam, yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, tidak seharusnya takut atau ragu berijtihad. Ijtihad asal untuk kepentingan umat Islam akan mendapatkan ganjaran pahala dari Allah. Justru menjadi tidak baik apabila umat Islam diam saja tidak mau berijtihad ketika ada permasalahan yang muncul dalam umat Islam.396 Namun demikian, karena ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing orang berijtihad tidak mutlak sama, maka hasil ijtihadnya pun melahirkan perbedaan. Dengan demikian, wajar saja apabila ditemukan perbedaan-perbedaan dalam hasil ijtihad, misalnya dalam fiqh Islam Sunni saja dikenal dengan adanya empat Mazhab yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali. Dalam bidang teologi Islam terdapat aliran Al-Asy’ariyah, Al-Maturidiyah, Syi’ah, Mu’tazilah, Qadariyah, Murjiah, Jabariyah, dan lain sebagainya. Adapun di Indonesia, ijtihad dalam memahami hubungan Islam dengan negara juga melahirkan perbedaan pandangan, yaitu munculnya gagasan Islam politik dan Islam kultural. Perbedaan ini, sekali lagi, merupakan hal yang wajar. Dalam BAB ini akan nampak berbagai respons terhadap gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid, baik itu respons yang berupa kritikan ataupun dukungan. Selain pembahasan mengenai respons terhadap Islam kultural, dalam BAB V ini 395 Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: Matabangsa, 2001, hal. 1-3 396 Wawancara dengan A. Satori Ismail di Ciputata, 10 Juni 2010 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 132 juga dibicarakan pengaruh gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid terhadap umat Islam di Indonesia. Dengan membicarakan hal ini dapat diketahui apakah gagasan Islam kultural memiliki pengaruh kepada umat Islam di Indonesia atau justru tidak memberikan pengaruh apa-apa. 5.1 Respons Terhadap Islam Kultural Satu gagasan pemikiran yang “keluar” dari arus utama pemikiran yang telah ada akan menimbulkan berbagai respons dari berbagai kalangan, terutama kalangan intelektual. Respons tersebut bisa berupa kritikan, baik yang bernada keras ataupun tidak, dan juga dukungan. Salah satu gagasan yang banyak menimbulkan respons dari berbagai kalangan umat Islam di Indonesia adalah gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid yang termuat dalam makalah pembaruannya. Sebagaimana yang telah penulis bahas dalam BAB IV, konsep “sekularisasi” atau “desakralisasi” dan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”, yang diproklamirkan pada 2 Januari 1970, serta “apologi negara Islam” pada 30 Oktober 1972, pada intinya menolak pensakralan terhadap sesuatu selain Allah SWT. Dalam hal ini, partai politik dan konsep negara Islam menjadi sesuatu yang tidak sakral atau tidak mutlak dalam pandangan Nurcholish Madjid. Hal inilah yang menyebabkan gagasan Nurcholish Madjid tersebut telah “keluar” dari pemikiran umat Islam pada umumnya. Karena, umat Islam saat itu meyakini bahwa partai politik dan negara Islam merupakan sesuatu hal yang wajib ditegakkan agar kepentingan umat Islam dapat dijalankan.397 Sebaliknya, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai substansi keislaman, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah. Dengan demikian, negara Islam sebagai bentuk formal perjuangan umat Islam dapat dikesampingkan. Pandangan inilah yang memancing respons keras umat Islam terhadap gagasannya. 5.1.1 Kritikan Terhadap Islam Kultural Menurut Mark R. Woodward, besarnya gelombang kritikan terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid mengindikasikan banyaknya kalangan 397 Pada masa sidang BPUPKI, golongan Islam menuntut agar negara mengakui syariat Islam. Tuntutan ini melahirkan Piagam Jakarta. Untuk lebih jelasnya mengenai pembahasan perjuangan golongan Islam menegakkan syariat Islam atau mendirikan negara Islam sebelum masa Orde Baru lihat BAB III. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia fundamental di kalangan masyarakat Indonesia.398 Namun, saya berpendapat bahwa, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, besarnya kritikan terhadap gagasan Nurcholish Madjid dikarenakan gagasannya itu dianggap telah “keluar” atau “berbeda” dari arus utama pemikiran umat Islam ketika itu. Daud Rasyid menyatakan munculnya kritikan terhadap gagasan Nurcholish Madjid dikarenakan pandangan-pandangan Nurcholish Madjid dirasakan mementahkan persoalan-persoalan yang sudah dianggap mapan dan mempertanyakan hal-hal yang sudah diyakini sebagai kebenaran.399 Kritikan terhadap gagasan sekularisasi, slogan “Islam Yes, Partai Islam no”, dan penolakan terhadap negara Islam, yang semuanya itu kemudian dikenal sebagai gagasan Islam kultural, muncul tidak hanya dari kalangan intelektual satu generasi dengan Nurholish Madjid, tetapi juga dari generasi tua, seperti Prof. Dr. H.M. Rasjidi, M. Natsir, dan Buya Hamka. Mereka ini dengan caranya masing-masing melakukan kritikan atau bantahan terhadap gagasan Nurcholish Madjid tersebut. Kritikan terhadap slogan “Islam Yes, Partai Islam No” muncul pada 3 November 1970 di Harian Abadi. 400 Dalam harian tersebut, Hermansjah Nazirun401 menulis bahwa slogan “Islam Yes, Partai Islam No” tidak tepat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia karena sebagaimana yang disebutkan oleh Nurcholish Madjid hal itu merupakan kasus mahasiswa di ITB (Institut Teknologi Bandung) dan kota-kota lainnya. Selain itu, menurut Nazirun terjadi antusiasme yang besar di kalangan mahasiswa dan sarjana untuk terlibat aktif dalam Parmusi. Hal itu, lanjut Nazirun dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang menjadi pengurus Parmusi di tingkat wilayah (provinsi) sampai ke rantingranting. Oleh karena itu, lanjutnya, “slogan Nurcholish Madjid itu dengan sendirinya terbantahkan.” 398 Mark R. Woodward, “Modernity and the Disenchantment of Life: A Muslim-Christian Contrast”, dalam Johan Meuleman (editor), Islam in the Era Globalization: Muslim Attitudes towards Modernity and Identity, Jakarta: INIS, 2001, hal. 127 399 Daud Rasyid, “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002, hal. vii 400 Hermansjah Nazirun, “Kini Partai Islam Yes!”, Harian Abadi, Selasa, 3 November 1970, hal. 3 401 Hermansjah Nazirun ketika itu adalah anggota Dewan Redaksi Majalah Suara Muhammadijah. Dia kemudian menjadi anggota DPR periode 2004-2009, dari PAN (Partai Amanat Nasional). Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Sementara itu, kritikan juga datang dari luar negeri, yaitu dari Arab Saudi. Kritikan dari Fouad Abdullah M yang dimuat dalam majalah Tempo 12 Agustus 1972 mengatakan: Bagi kami Sdr Nurcholish Madjid tidak lain memakai Islam sebagai "la 'ibun wa lahwun" sadja (main-main dan iseng-iseng red). Apalagi disamping Sdr Nurcholish masih ada tokoh-tokoh seperti Dr Sudjatmoko, Rosihan Anwar, jang lebih tjondong kepada Sekularisme daripada mejakini Islam dalam segala segi bentuknja. Seperti jang dikatakan Sdr Rosihan Anwar dalam diskusi tersebut, tidak lebih, persis seorang jang mempeladjari Islam setjara Islamologi sadja. Bahkan lebih dari itu, terlalu sering Ia membahas Islam dalam katjamata jang negatif. Sungguh, tokohtokoh "intelektuil" Islam sematjam jang namanja tersebut diatas tadi lebih pantas digolongkan kedalam deretan "tokoh-tokoh Islam Hipokrit di Indonesia, tokoh-tokoh Jukazzibu Bid-Dien (mendustakan agama)". Demikianlah tanggapan kami sebagai seorang Muslim jang merasa wadjib hukumnja ber-Amar Makruf Nahi Mungkar.402 Dengan adanya tanggapan dari Arab Saudi ini menunjukkan bahwa ternyata gagasan Nurcholish Madjid tidak hanya tersebar di Indonesia saja melainkan juga tersebar di luar negeri, khususnya Arab Saudi. Prof. Dr. H.M. Rasjidi merupakan salah satu pengkritik yang paling keras terhadap Nurcholish Madjid. Melalui tulisan yang berjudul “Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi” yang ditulis pada tanggal 17 Agustus 1972, Rasjidi mengemukakan berbagai argumentasi untuk membantah dan mengkritik konsep sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Dengan menyebut Nurcholish Madjid “semau gue” dalam menggunakan istilah sekularisasi403, Rasjidi mencoba untuk mematahkan konsep Nurcholish Madjid sekaligus menunjukkan kelemahan-kelemahan Nurcholish Madjid dalam merumuskan konsepnya itu. Mengenai gagasan sekularisasi yang diusung oleh Nurcholish Madjid, Rasjidi menyatakan bahwa bagaimanapun istilah itu tidak bisa diterapkan dalam Islam karena Islam tidak pernah mengenal istilah tersebut. Istilah sekularisasi merupakan istilah yang muncul di Barat dan Kristen sehingga tidak bisa diterapkan dalam Islam. Sekularisasi, menurut Rasjidi, mempunyai hubungan 402 Tempo, 12 Agustus 1972 M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang, 1972, hal. 7-30 403 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia yang erat dengan sekularisme karena ia berarti penerapan sekularisme.404 Istilah sekularisme, menurutnya, muncul pertama kali pada tahun 1851. Istilah ini pertama kali digunakan oleh G.S. Holyoake (1817-1906) sebagai nama sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengaturan kepada kehidupan manusia tanpa kepercayaan kepada Tuhan, Kitab Suci, atau hidup di Hari Kemudian.405 Untuk membantah Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa istilah sekularisasi tidak selalu berarti penerapan sekularisme dengan mengajukan contoh istilah socialised medicine yang bukan merupakan penerapan sosialisme406, Rasjidi justru menyatakan bahwa istilah tersebut di negara-negara kapitalis merupakan penerapan sosialisme dalam pengobatan, yaitu setiap pasien yang berobat tidak perlu membayar karena pemerintah, yang memakai sosialisme sebagai dasar, akan membayar ongkos-ongkos pengobatan itu.407 Menurut Rasjidi kalau Nurcholish Madjid tetap menggunakan istilah sekularisasi yang dia gunakan berdasarkan apa yang dia pahami maka segala sesuatunya menjadi arbitrer. Artinya, makna sebuah kata atau istilah tergantung dengan orang yang menggunakan istilah itu. Rasjidi mengatakan: Kalau soalnya sebagai yang dituturkan oleh Sdr. Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi arbitrer atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang goreng, kopi, es jeruk, dan sebagainya, dengan tidak ada konsekuensinya apa-apa. Kalau saya berkata: ‘Yang saya maksudkan dengan pisang goreng adalah sikap manusia yang mengesakan Tuhan dan menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja, maka tak ada yang berhak melarang saya berbuat demikian’. Mereka hanya ketawa dalam hati mereka karena keanehan istilah tersebut.408 Dengan meyakini bahwa sekularisasi berarti penerapan dari sekularisme Rasjidi dengan tegas menolak pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa istilah sekularisasi yang dia gunakan bukan sebagai penerapan Ibid., hal. 14 Ibid. 406 Nurcholish Madjid dengan tegas menyatakan bahwa istilah sekularisasi yang digunakannya bukan dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme. Dia memberikan contoh istilah “sosialisasi” dalam perkataan Inggris, socialised medicine, (pengobatan yang disosialisasikan), sudah pasti bukanlah penerapan sosialisme. Lihat Nurcholish Madjid, “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 221. Untuk lebih lengkapnya mengenai penjelasan istilah sekularisasi yang digunakan oleh Nurcholish Madjid lihat BAB IV dalam tulisan ini. 407 Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 14 408 Ibid., hal. 15 404 405 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia sekularisme. Untuk memperkuat bantahannya terhadap Nurcholish Madjid, Rasjidi mengutip pernyataan Alan Richardson yang mengatakan: In actual English usage today the word “secularism” commonly denotes the widespread practical tendency to ignore God and all religious questions and observances through preoccupation with this worldly (secular) concerns, keeping up with everyone else, “getting on” in the world, the rat-race, which leaves one too exhilarated or too exhausted to sit down and think about ultimate things. (Dalam bahasa Inggris yang dipakai dewasa ini, kata “secularism” lazim diartikan sebagai suatu sikap kecenderungan yang terdapat luas di kalangan masyarakat untuk secara mudah menganggap sepi kepada Tuhan dan semua persoalan dan kegiatan keagamaan oleh karena kesibukan dengan hal-hal duniawi (sekuler), mengimbangi gerak setiap orang lain, mencari kemajuan di dunia ini, suatu lomba tiada hentinya yang membuat seseorang terlampau mabuk atau kehabisan tenaga, sehingga dia tidak sempat duduk dan berpikir mengenai hal-hal ukhrawi).409 Nurcholish Madjid, dalam tulisannya untuk memperingati 70 tahun Rasjidi pada tahun 1985, mencoba menjelaskan arti sekularisasi yang menjadi kritikan Rasjidi.410 Dalam tulisannya itu, dia kembali menegaskan perbedaan antara sekularisasi dengan sekularisme. Sekularisasi menurutnya merupakan pengertian sosiologis sedangkan sekularisme memiliki pengertian filosofis. Sekularisasi dalam pengertian sosiologis memiliki makna pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul. Ini artinya, menurut Nurcholish Madjid, sekularisasi tidak menghapuskan orientasi keagamaan masyarakat. Bahkan menurutnya, proses pembebasan dari takhayul itu terjadi karena dorongan keagamaan, khususnya monoteisme.411 Adapun sekularisme menurutnya memiliki pengertian penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. Dalam tulisannya itu, Nurcholish Madjid juga menyatakan apabila penolakan Rasjidi berdasarkan atas keyakinan bahwa sekularisasi tidak dapat 409 Ibid., hal. 17 Tulisannya itu menjadi catatan kaki no. 1 dalam tulisannya yang berjudul “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215. 411 Perlu diketahui menanggapi gencarnya kritikan terhadap dirinya, Nurcholish Madjid tidak memberikan jawaban satu persatu terhadap setiap kritikan yang datang kepadanya. Dia mengemukakan jawabannya dengan cara membuat beberapa makalah yang ditujukan untuk para pengkritiknya, lihat tulisannya “Beberapa Catatan Sekitar Masalah Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, “Perspektif Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, dan “Sekularisasi Ditinjau Kembali”. Tulisan-tulisannya ini dapat dilihat dalam bukunya Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, penyunting: Agus Edi Santoso, Bandung: Mizan, 1987. Pembahasan mengenai tulisan-tulisannya itu dapat dilihat dalam BAB IV tulisan ini. 410 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia dipisahkan dengan sekularisme hasil masa Pencerahan Eropa, maka dia dapat menerima penolakan Rasjidi tersebut. Selain itu, Nurcholish Madjid dalam tulisannya itu juga kembali menegaskan untuk tidak menggunakan istilah sekularisasi karena perdebatan yang ditimbulkannya. Sebagaimana diketahui pada tahun 1983, dalam suratnya kepada Mohamad Roem, Nurcholish Madjid juga telah menyebutkan tentang hal ini. Adapun untuk menanggapi ceramah Nurcholish Madjid yang berjudul “Menyegarkan Faham Keagamaan Di Kalangan Ummat Islam Indonesia” di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tanggal 30 Oktober 1972, Rasjidi juga mengemukakan kritikan kerasnya kepada Nurcholish Madjid. Bahkan, jika dilihat dari isinya, kritikannya kali ini jauh lebih keras daripada kritikan sebelumnya mengenai sekularisasi. Dalam tulisannya kali ini, dia menyebut Nurcholish Madjid “seperti seorang sarjana Barat yang sama sekali tidak mempunyai hubungan batin dengan Islam”,412 “nada kata-katanya sama dengan kata-kata orang yang tidak suka terhadap Islam”,413 “kata-kata Nurcholish Madjid bukan kata-kata orang yang percaya kepada Alquran, tetapi kata-kata orang yang hanya pernah membaca Injil”,414 “Nurcholish Madjid belum mempelajari Alquran”,415 “pemikiran Nurcholish Madjid kacau”,416 “pemikiran Nurcholish Madjid merupakan pemikiran orang yang belum matang dan tidak memenuhi syarat”,417 “pemikiran Nurcholish Madjid menggunakan asumsi yang salah karena penyelidikan yang kurang teliti”,418 dan akhirnya “pemikiran Nurcholish Madjid berbahaya bagi umat Islam Indonesia”.419 Rasjidi, Koreksi Terhadap, hal. 58 Ibid., hal. 59 414 M. Rasjidi, “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, Harian Abadi, Selasa, 5 Desember 1972, hal. 3 415 Ibid. 416 Ibid. 417 Ibid., hal. 4 418 Ibid. 419 Ibid. Walaupun Prof. Rasjidi sangat keras dalam mengkritik dirinya, Nurcholish Madjid tetap mengganggap bahwa Rasjidi merupakan salah seorang tokoh Islam besar yang memiliki pengaruh dalam kebangkitan intelektual di Indonesia. Dia menyatakan bahwa kritikan Rasjidi dikarenakan dia “selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual”. Lebih jauh Nurcholish Madjid mengatakan bahwa “kita bisa merasakan denyut nadi dari seorang tua yang diliputi kekhawatiran dan concern yang sejati terhadap perkembangan intelektual Islam di Indonesia.” Lihat Nurcholish Madjid, “Sekitar Usaha Membangkitkan Etos Intelektualisme Islam di Indonesia”, dalam Endang Basri Ananda (penyunting), 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi, Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985, hal. 215 412 413 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Penolakan Nurcholish Madjid terhadap gagasan negara Islam yang dia katakan sebagai “apologi Negara Islam”420, ditanggapi Rasjidi dengan mengemukakan kritikan keras dan bantahan terhadap pendapat Nurcholish Madjid tersebut. Menurut Rasjidi apologi bukan bumerang bagi umat Islam tetapi bumerang bagi orang yang melakukan serangan terhadap Islam.421 Dalam kritikannya yang dimuat oleh Harian Abadi pada tanggal 5 Desember 1972, dengan judul “Suatu Koreksi Lagi Bagi Drs. Nurcholish Madjid”, Rasjidi menyatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid yang menolak gagasan negara Islam merupakan pemikiran orang yang tidak percaya kepada Alquran, melainkan pemikiran orang yang hanya pernah membaca Injil.422 Dalam Injil (Matius 22:21) dikatakan, “Berikanlah kepada Kaisar hak kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan hak Tuhan”. Perkataan Injil ini dengan tegas memisahkan antara urusan dunia dengan urusan Tuhan. Dalam Islam, menurut Rasjidi, tidak ada pemisahan antara urusan dunia (kemasyarakat) dengan urusan Tuhan. Menurutnya, “barang siapa yang kenal dengan Alquran dan Sunnah akan mendapatkan segi-segi duniawi dan kemasyarakatan yang banyak sekali.”423 Rasjidi menyatakan bahwa pemikiran Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa konsep negara Islam merupakan distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara menunjukkan bahwa dia belum mempelajari Alquran.424 Selain itu dengan mengatakan hal tersebut, Nurcholish Madjid, menurut Rasjidi, secara tidak langsung menunjukkan kekacauan pikirannya.425 Menurutnya, di dalam Islam terdapat prinsip-prinsip kenegaraan, seperti musyawarah, rule of law, persamaan hak penduduk walaupun dari agama yang berbeda dengan Islam, prinsip kemerdekaan beragama, prinsip kerjasama internasional, meratakan kekayaan di antara para warga negara, hukuman berat 420 Nurcholish Madjid, “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Ummat Islam Indonesia”, Indonesia Raya, Kamis, 9 November 1972, atau lihat juga Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 253-256 421 M. Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 3 422 Rasjidi, “Suatu Koreksi”, hal. 4 423 Ibid. 424 Ibid. 425 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia bagi para pelanggar kesusilaan baik berupa pencurian harta (orang atau negara) atau gangguan terhadap kehormatan (sex).426 Namun demikian, Rasjidi mengakui bahwa tidak ada kata negara Islam dalam Alquran. Menurutnya, kata negara Islam timbul karena keinsafan umat Islam bahwa dalam sistem kapitalis individualis dan sistem komunis kolektivis ada ekses-ekses yang tidak wajar dan kekurangan serta kelemahan dari sistemsistem tersebut.427 Oleh karena itu, umat Islam berusaha mengetengahkan sistemnya sendiri untuk mengatasi kelemahan dan kekurangan dari sistemsistem yang telah ada. Dengan demikian, menurut penulis, pengakuan Rasjidi ini telah menunjukkan bahwa konsep negara Islam memang merupakan hasil olah pikir atau ijtihad yang dilakukan oleh umat Islam. Dari penjelasan Rasjidi di atas sebenarnya apa yang diungkap oleh Rasjidi tersebut juga disetujui oleh Nurcholish Madjid. Dalam berbagai tulisannya Nurcholish Madjid menyatakan bahwa perlunya dilaksanakan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan bernegara, seperti keadilan, kesamaan, partisipasi, dan musyawarah.428 Hanya saja Nurcholish Madjid menegaskan bahwa dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut tidak harus secara legal formal dalam bentuk negara Islam, melainkan bisa saja dilakukan dalam bentuk sistem negara apapun, seperti Republik misalnya. Justru dengan bisa dilaksanakannya nilainilai keislaman dalam sistem kenegaraan yang tidak terbatas hanya dalam bentuk negara Islam menunjukkan keuniversalan ajaran Islam. Dengan pengakuan Rasjidi bahwa kata negara Islam tidak ada dalam Alquran dan ia merupakan hasil pemikiran manusia menjadikan konsep negara Islam itu sendiri tidak mutlak. Artinya, umat Islam dapat melaksanakan nilainilai keislaman tanpa harus terpaku dengan konsep negara Islam itu sendiri. Di sinilah gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid mengambil peran dan tempatnya. 426 Ibid. Ibid. 428 Lihat misalnya tulisan Nurcholish Madjid mengenai “Cita-cita Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam bukunya Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hal. 101104. Tulisannya ini secara tidak langsung merupakan jawaban atas kritikan Rasjidi mengenai penolakannya terhadap negara Islam. 427 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Mengenai kerasnya kritikan Rasjidi terhadap Nurcholish Madjid, menurut pengakuannya dalam majalah Panji Masyarakat pada 1 Januari 1982, dia mendapat teguran karena kritikan kerasnya itu. Menurut orang-orang yang menegur Rasjidi tersebut seharusnya dia memberi dorongan terhadap pemuda (Nurcholish Madjid) yang sedang mencari kebenaran. Namun, Rasjidi menjawab, “kasusnya bukan kasus pemuda berfikir dan mencari kebenaran, akan tetapi kasus propaganda anti-Islam yang mendapat bantuan dari orangorang yang tidak suka kepada kebenaran, dan berusaha menjauhkan Islam dari bumi dan iklim Indonesia.429 Selain Rasjidi, salah satu tokoh Islam terkemuka di Indonesia, Muhammad Natsir juga melakukan kritikan terhadap Nurcholish Madjid. Dalam satu kesempatan pidato di depan HMI, dia mengatakan bahwa ketaatan terhadap gagasan sekularisasi akan berakibat seperti apa yang pernah disebut Nabi sebagai cinta terhadap dunia yang mementingkan diri sendiri, di mana mati merupakan suatu keadaan yang menakutkan.430 Menurut Natsir, orang yang berpandangan keduniawian seperti ini akan berusaha mencari kenikmatan duniawi selama masa kehidupannya dan menjauhi cita-cita yang paling luhur. Orang seperti ini tidak akan segan untuk mengorbankan kebenaran demi keuntungan pribadi agar dapat hidup dengan senang di dunia ini. Perbuatan seperti ini tentunya akan bertentangan dengan ajaran Islam, yang di dalamnya menyuruh orang agar melakukan kegiatan-kegiatan duniawi dengan sungguhsungguh sejalan dengan perintah dan kehendak Tuhan.431 Akibat gagasannya itu, Natsir menyatakan kekecewaannya terhadap Nurcholish Madjid yang selama ini telah dia anggap “seperti anak sendiri”.432 Natsir menyatakan bahwa dia merasa tidak terlalu risau oleh hasrat mereka (Nurcholish Madjid dan beberapa rekan-rekannya di HMI) untuk “melepas diri” dari “para orang tua”, karena baik “mereka mencoba melepaskan diri atau tidak, keterlepasan secara otomatis pasti terjadi ketika kami, kaum tua, mati”. Yang 429 Rasjidi, “Pergolakan pemikiran Islam”, Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982, hal. 42 Victor Immanuel Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam, penerjemah: Hersri, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1982, hal. 151 431 Ibid.. 432 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Penerjemah: Ahmadie Thaha, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hal. 156 430 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia merisaukannya justru hasrat mereka untuk menjauhkan diri dari “cita-cita akidah dan umat Islam”.433 Mengenai persoalan apakah Islam, sebagai suatu sistem keyakinan yang diwahyukan Tuhan, juga merupakan dasar bagi suatu ideologi dari dirinya sendiri, Natsir menyatakan bahwa apabila tokoh-tokoh HMI (mengacu pada sarjana ilmu-ilmu sosial yang tak dibekali pendidikan Islam) membaca banyakbanyak “dan dengan pemikiran kritis”, mereka akan mendapatkan bahwa “Islam telah menetapkan dasar-dasar bagi kehidupan keluarga, soal-soal ekonomi, dan soal-soal kemasyarakatan.”434 Sementara itu, Hamka menyatakan bahwa semua diskusi tentang sekularisasi dan modernisasi merupakan satu upaya baru dunia Barat untuk melaksanakan suatu bentuk baru kolonialisme, yaitu kolonialisme ideologi. Termasuk di dalam kolonialisme ideologi ini, selain dari memperkenalkan sekularisasi dan modernisasi, juga adalah perjudian, pelacuran dan tempattempat plesiran, dan lain sebagainya. Bagi Hamka, kolonialisme ideologi ini telah menyusup sangat dalam pada semua segi kehidupan kaum Muslim. Oleh karena itu, Hamka memperingatkan kaum Muslimin agar selalu waspada dan berpegang teguh pada ajaran-ajaran Alquran dan Hadis.435 Jika dilihat dari pendapat Hamka tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Nurcholish Madjid secara tidak langsung telah “terjebak” oleh taktik peperangan ideologi yang dikobarkan oleh Barat. Sekularisme menurut Hamka tumbuh dari dasar jiwa yang tidak disadari, yaitu kebencian yang ditanamkan terhadap Islam sehingga meskipun berkalikali pemerintahan bertukar, namun sikap terhadap Islam tetap sama, yaitu kaum Muslimin semata-mata menjadi kelas yang diperintah dan sekali-kali jangan mengemukakan cita-cita agama untuk jadi pegangan kehidupan.436 Sebelum Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan sekularisasinya, Hamka sendiri mengakui bahwa dia mengagumi Nurcholish Madjid karena Ibid. Ibid., hal. 157 435 Ibid., hal. 152 436 Hamka, Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982, hal. 433 434 31 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia harapan intelektual dan semangat Islamnya.437 Menurut Hamka telah terjadi perubahan dalam diri Nurcholish Madjid yang disebabkan oleh sanjungan dan sambutan yang berlebihan dari rekan-rekannya semasa dia menjadi tokoh mahasiswa (Ketua HMI).438 Rekan-rekan Nurcholish Madjid itu yang menurut Hamka menjadi pengagum tidak kritis yang telah memompa ego Nurcholish Madjid dan yang membuatnya memalingkan punggungnya dari “orang-orang tua”.439 Kritikan dan sanggahan di atas merupakan kritikan dan sanggahan yang datang dari generasi tua. Adapun kritikan yang datang dari generasi yang sezaman atau satu tingkatan dengan Nurcholish Madjid juga tidak kalah kerasnya. Di antara mereka yang melakukan kritikan tersebut, yang akan disebutkan dalam tulisan ini, adalah Abdul Qadir Djaelani, Endang Saefuddin Anshari, Ismail Hasan Metareum, dan Amien Rais. Abdul Qadir Djaelani, Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta periode 1960-1961, dalam khutbahnya di Mesjid Menteng Raya, mengkritik keras Nurcholish Madjid dengan cara mengutip satu hadis yang meramalkan akan lahirnya “anak-anak muda yang masih mentah pikirannya”, yang “mengucapkan kata-kata Rasul, tetapi iman mereka tidak sampai melampaui tenggorokan”.440 Dengan mengutip hadis ini, menurut saya, Abdul Qadir Djaelani secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Nurcholish Madjid belum cukup mempunyai ilmu untuk melakukan kajian lebih mendalam terhadap Islam. Selain itu, dia juga ingin mengatakan bahwa keimanan Nurcholish Madjid masih “rendah” karena jika dilihat dari makna hadis yang dia kutip imannya tidak sampai tenggorokan. Artinya, iman Nurcholish Madjid, yang menjadi sasaran hadis Abdul Qadir Djaelani ini, masih disekitar mulut, belum sampai ke dalam dada. Abdul Qadir Djaelani juga menegaskan bahwa pandangan Nurcholish Madjid berakar dari filsafat moral yang hedonistiktuasional. Dalam pandangannya gagasan itu sama sekali bertentangan dengan nilai moral abadi 437 Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 153 Ibid., hal. 154 439 Ibid. 440 “Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41 438 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Alquran. Menurut Djaelani, nilai-nilai moral yang diperintahkan oleh Alquran bersifat abadi karena nilai-nilai itu berasal dari firman abadi Allah.441 Sementara itu, Amien Rais juga melakukan kritikan terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid, walaupun tanpa menyebutkan secara langsung namanya. Menurutnya, konsep sekularisasi mempunyai makna bahwa agama kehilangan daya tarik dan pengaruhnya terhadap manusia modern.442 Berdasarkan pengalaman Barat, Amien Rais menyebutkan tiga pola sekularisasi, yaitu pertama pemisahan politik dari ideologi-ideologi agama dan strukturstruktur gerejani; kedua ekspansi politik dalam menjalankan fungsi-fungsi pengaturan dalam bidang sosio-ekonomi yang semula dijalankan oleh struktur agama/gereja; dan ketiga transvaluasi kultur politik yang menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai rasional, pragmatis, dan nontransendental.443 Dikarenakan sekularisasi merupakan proses pengaplikasian dari sekularisme, maka sekularisasi harus ditolak karena Islam tidak mengenal istilah sekularisasi. Namun demikian, seandainya sekularisasi tidak ditolak, konsep sekularisasi dalam Islam akan runtuh dengan sendirinya karena Islam memang tidak memberikan tempat bagi sekularisasi. Islam, menurut Amien Rais, tidak mengenal dikotomi antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara yang profan dan yang sakral, antara yang imanen dan yang transendental.444 Sekularisasi yang merupakan istilah Barat, menurut Amien Rais, telah banyak ditinggalkan orang. Untuk melihat kasus di Amerika Latin, di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik, sekularisasi tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Dia berkata: Fenomena Amerika Latin memperlihatkan bahwa tesis sekularisasi tidak “laku” di benua Katolik itu, sehingga asumsi bahwa sekularisasi adalah suatu gejala yang universal tidak dapat dipertahankan lagi. Karena itu, kita agak heran bahwa ada sementara orang Indonesia, termasuk dari kalangan umat Islam, yang mencoba menawarkan sekularisasi, seolah-olah tidak tahu bahwa dalam konteks budaya dan filsafat Barat sendiri sekularisasi itu sudah mulai goyah dan tidak laku. Barangkali, hal ini bisa terjadi 441 442 Tanja, Himpunan, hal. 153 M. Amien Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987, hal. 123 443 444 Ibid., hal. 125 Ibid., hal. 126 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia karena adanya semacam kelatahan intelektual yang mudah-mudahan tidak akan terulang lagi di masa depan.445 Walaupun Amien Rais tidak menyetujui konsep sekularisasi yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, namun dia setuju bahwa gagasan negara Islam tidak ada dalam Alquran. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Panji Masyarakat tahun 1982,446 dia menyatakan bahwa “Islamic State” atau negara Islam, tidak ada dalam Alquran maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam.447 Lebih jauh Amien Rais menyatakan bahwa yang lebih penting adalah selama suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti menurut Islam sudah dipandang negara yang baik.448 Selain itu, Amien Rais juga menyatakan bahwa masalah adil dan keadilan sosial seperti yang termuat dalam Pancasila sesungguhnya merupakan salah satu tema sentral dalam Alquran, kitab suci yang menjadi dasar pertama dan utama dalam agama Islam.449 Kedua sumber Islam, Alquran dan Sunnah, dengan tegas memerintahkan umatnya untuk menegakkan nilai-nilai utama seperti keadilan, kebenaran, kejujuran serta melenyapkan kezaliman (dhulm) dan penindasan (istibdad, eksploitasi), tapi tidak dengan tegas memerintahkan pembentukan negara Islam (daulah Islamiyah).450 Pendapat Amien Rais ini dengan sendirinya, menurut penulis, mendukung atau setidaknya setuju dengan gagasan Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa tidak ada negara Islam dalam ajaran Islam dan itu hanya merupakan 445 Ibid. Lihat Panji Masyarakat, No. 379/1982. Tulisan ini kemudian memicu korespondensi atau surat menyurat antara Nurcholish Madjid, yang sedang menempuh pendidikan di Amerika Serikat, dengan Mohamad Roem untuk membicarakan tentang ada atau tidaknya konsep negara Islam dalam Alquran atau Sunnah. Korespondensi ini kemudian dibukukan, termasuk di dalamnya dimuat tulisan Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, menjadi Tidak Ada Negara Islam: Suratsurat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Agus Edi Santoso (penyunting), Jakarta: Djambatan, 1997 447 Amien Rais, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. xxii 448 Rais, “Tidak Ada”, hal. xxii-xxiii 449 Amien Rais, “Indonesia dan Demokrasi”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal, Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983, hal. 66 450 Ibid., hal. 73 446 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia apologi umat Islam terhadap ideologi-ideologi yang berkembang di Barat. Karena pendapatnya itu sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, yaitu tidak ada konsep negara Islam dalam Alquran dan Sunnah. Sementara itu, Endang Saefuddin Anshari menyetujui pernyataan Nurcholish Madjid yang menyebutkan buruknya citra partai politik Islam di mata masyarakat (umat Islam) dikarenakan mentalitas korup dari para pemimpin partai-partai Islam dan mereka bekerja bukan demi memajukan kepentingan Islam, tetapi memakai nama Islam secara palsu untuk mencapai kepentingankepentingan pribadi.451 Hal inilah yang antara lain mendorong Nurcholish Madjid memproklamirkan slogan “Islam Yes, Partai Islam No”. Namun demikian, bukan berarti Endang Saefuddin Anshari menyetujui semua gagasan yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid. Dia bahkan menjadi salah satu pengkritik yang dominan dari kalangan intelektual Muslim satu angkatan dengan Nurcholish Madjid. Mengenai sekularisasi misalnya, dia menyatakan bahwa umat Islam tidak memerlukan sekularisasi karena pada hakikatnya Islam bukan saja sebuah agama tetapi suatu pandangan hidup yang lengkap. Oleh karena itu, menurut Anshari, dalam Islam tidak ada kegiatan kemanusiaan, baik di dunia maupun di akhirat, baik rohaniah maupun jasmaniah, yang dapat dilaksanakan terlepas dari iman keagamaan.452 Menurut Anshari, seluruh kegiatan manusia adalah untuk menyembah dan mengabdi kepada Allah. Artinya, dalam Islam hubungan antara manusia dengan Allah seperti hubungan antara seorang hamba atau abdi dengan tuannya. Dengan demikian, gagasan sekularisasi atau desakralisasi terhadap semua masalah dan nilai keduniawian berarti mengingkari tanggung jawab terhadap perintah Allah dan dengan demikian merupakan perbuatan seorang yang tidak beriman atau kufr.453 Penentangan Anshari terhadap gagasan sekularisasi tidak berarti juga penentangan terhadap gagasan penolakan “negara Islam” yang dikemukan oleh Nurcholish Madjid. Dalam tulisannya yang dimuat oleh Majalah Tempo pada 29 451 Ibid., hal. 146 Ibid. 453 Ibid. 452 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Desember 1984, dia menyatakan bahwa yang tepenting bagi umat Islam adalah isi, bukan label atau papan nama.454 Jadi, dalam konsep negara menurut Islam, ada nilai-nilai dasar dan norma-norma asasi Islam, yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah Rasul, yang memberikan patokan pokok mengenai pelbagai kegiatan sosio-kultural manusia. Termasuk melakukan aktivitas politik kenegaraan. Sebuah negara, menurut Anshari, yang diletakkan atas dasar Islam, menjunjung tinggi nilai dan norma Islam, dapat saja kalau mau disebut negara Islam, atau “Negara Utama”, atau “Negara Adil Makmur”, atau nama lain apa pun. Muslim sejati tidak komitmen dengan nama, tetapi dengan nilai dan norma.455 Adapun Ismail Hasan Metareum mencoba menerka bahwa hati Nurcholish Madjid sendiri sebenarnya “tidak sepenuhnya menyetujui beberapa istilah yang dikemukakannya itu”.456 Di sini, Metareum tidak secara jelas menyebutkan istilah apa yang tidak sepenuhnya disetujui oleh Nurcholish Madjid, tapi nampaknya yang dia maksudkan adalah istilah sekularisasi. Jika dilihat dari kritikan-kritikan yang dikemukakan oleh penentang Nurcholish Madjid dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang menjadi tema pokok perdebatan itu adalah penggunaan istilah sekularisasi, bukan substansi dari tulisan-tulisan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat Islam dari pensakralan terhadap segala sesuatu selain Allah, seperti partai politik Islam dan negara Islam. Para pengkritik banyak menghabiskan tenaganya dalam mengkritik istilah sekularisasi, sedangkan substansi atau isi dari pemikiran Nurcholish Madjid sendiri menjadi terabaikan. Nurcholish Madjid sendiri kemudian menyadari hal ini. Dalam surat tertanggal 29 Maret 1983 yang dikirim kepada Mohamad Roem, Nurcholish Madjid mengakui bahwa “dalam mencetuskan gagasan itu saya telah menggunakan istilah-istilah kontemporer, seperti “sekularisasi”, yang secara etimologis kontroversial.” 457 belum mantap dan sampai sekarang masih tetap Oleh karena itu, lanjut Nurcholish Madjid dalam suratnya itu, Endang Saifuddin Anshari, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 19 455 Ibid., hal. 18 456 “Tajdid Nurcholish Madjid”, Tempo, 1 Mei 1972, hal. 41 457 Madjid, “Menyambung Matarantai”, hal. 19 454 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia “saya sampai kepada kesimpulan bahwa istilah kontroversial itu lebih baik tidak digunakan, karena sangat mengganggu...apalagi ternyata “memperjuangkan” diterimanya suatu versi pengertian tertentu tentang istilah itu, versi Harvey Cox misalnya, nampaknya suatu hal yang sia-sia.”458 Pengakuannya ini kemudian membawanya untuk tidak menggunakan istilah sekularisasi setelah dia kembali dari Chicago.459 Atas pertimbangan itulah akhirnya Nurcholish Madjid, setelah kembali dari Chicago pada tahun 1984, tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi dan menggantinya dengan istilah “devaluasi radikal” atau “desakralisasi”. Namun demikian, walaupun dia tidak menggunakan istilah sekularisasi lagi karena banyak menghabiskan tenaga, dia tetap memperjuangkan realisasi gagasangagasannya itu bagi umat Islam Indonesia. 5.1.2 Dukungan Terhadap Islam Kultural Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid juga mendapatkan dukungan dari kalangan yang menganggap bahwa gagasannya itu dapat mendukung programprogramnya atau sesuai dengan pola pemikirannya. Pemerintah Orde Baru, misalnya, mendukung gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid karena gagasan itu “mendukung” program Orde Baru dalam rangka depolitisasi atau departaisasi umat Islam. Sementara itu, beberapa kalangan intelektual yang mendukung gagasan Islam kultural selain merasa gagasannya itu “cocok” dengan pemikirannya, juga beralasan bahwa gagasan itu tepat dilakukan di Indonesia ketika umat Islam tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam bidang politik. 5.1.2.1 Dukungan dari Pemerintah Orde Baru Pemerintah Orde Baru yang berusaha melaksanakan pembangunan ekonomi di Indonesia melakukan berbagai usaha agar tercipta stabilitas nasional. Stabilitas merupakan faktor penting dalam pembangunan agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan lancar tanpa adanya “gangguan” dari pihak-pihak yang tidak “mendukung” usaha itu. Di antara usaha untuk menciptakan stabilitas nasional adalah melakukan depolitisasi, departaisasi, dan deideologisasi masyarakat. Islam, yang memiliki harapan dapat berperan lebih aktif dalam 458 459 Ibid., hal. 22-23 Lihat BAB IV Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia politik Orde Baru karena merasa memiliki peran membantu militer dalam memberangus PKI, menjadi pihak pertama yang terkena program pemerintah tersebut. Para pemimpin Islam politik, seperti pemimpin partai eks-Masyumi, masih berusaha dan meyakini bahwa perjuangan cita-cita Islam dapat dilakukan melalui partai-partai politik. Oleh karena itu, pada awal pemerintahan Orde Baru mereka tetap memperjuangkan cita-cita politik umat Islam, walaupun usaha-usaha itu tidak membuahkan hasil. Kegagalan inilah yang mendorong munculnya Islam kultural. Islam kultural, dengan menggunakan metode berpikir kontekstual dan penjelasan yang rasional, berhasil mengubah persepsi pemerintah Orde Baru terhadap Islam. Penjelasan rasional bahwa cita-cita negara nasional tidak bertentangan dengan Islam, karena konsep itu menurut Nurcholish Madjid tidak ada dalam Alquran, dan bahwa Pancasila dengan Islam memang kompatibel, karena nilai-nilai Islam telah termuat dalam Pancasila, serta partai politik Islam tidak mutlak, jelas memengaruhi sikap pemerintah terhadap Islam. Bahkan, gagasan Islam kultural ada kalanya dijadikan “referensi” oleh pemerintah Orde Baru dalam menjelaskan kebijakan politiknya. Sebagai contoh, gagasan Islam kultural yang menegasikan cita-cita negara Islam bukan saja disambut dengan rasa lega oleh pemerintah Orde Baru, tetapi juga oleh golongan-golongan lain yang masih dihantui rasa khawatir terhadap cita-cita semacam itu.460 Dikarenakan memiliki kesesuaian dalam tujuan, maka elit politik Orde Baru merasa berkepentingan untuk mendorong keberhasilan gagasan Islam kultural yang dikembangkan Nurcholish Madjid. Kenyataan ini menciptakan kesan di kalangan sebagian pemimpin Islam politik, gerakan pemikiran yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid tidak lebih sebagai upaya menarik simpati pemerintah. Akan tetapi, Nurcholish Madjid tidak mundur dari gagasannya. M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hal. 237 460 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Hal itu dikarenakan dia memiliki keyakinan bahwa gagasannya akan berguna bagi umat Islam pada masa mendatang.461 Dukungan dari pemerintah Orde Baru muncul di antaranya dengan pengakuan terbuka dari Moerdiono (Menteri Sekretaris Negara 1988-1993 dan 1993-1998) tentang sumbangan Islam kultural dalam mempertemukan gagasan Islam dengan konsep negara nasional. Dalam sebuah presentasi di Simposium Festival Istiqlal pada 21 Oktober 1991, dengan tegas Moerdiono menyatakan bahwa cendekiawan muslim, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan lain-lainnya, berhasil menghilangkan dikotomi antara Islam dan negara Nasional.462 Dampaknya kemudian adalah pemerintah, menurutnya, kemudian secara sungguh-sungguh melaksanakan kebijaksanaan serta kegiatan nyata untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan sah dari umat Islam. Dalam hal ini Moerdiono menyebutkan beberapa tindakan pemerintah yang mendukung kepentingan umat Islam, seperti perbaikan perjalanan ibadah haji, bantuan untuk pendidikan dan lembaga keagamaan, dukungan peranan mendasar agama dalam masalah nikah, talak, rujuk, dan hukum waris, pembangunan mesjid-mesjid, dan reaksi cepat terhadap berita lemak babi dalam makanan yang dijual kepada umum yang telah membantu menentramkan perasaan umat Islam.463 Senada dengan Moerdiono, mantan Menteri Agama RI (1978-1983), Alamsjah Ratuperwiranegara464, menyatakan bahwa “Nurcholish Madjid mengajak kita untuk menjadikan Islam sebagai benda yang berharga”, sehingga “Islam kita pelajari, kita junjung, dan kita laksanakan.”465 Oleh karena itu, Alamsjah meminta agar Islam jangan dijadikan sebagai alat politik karena dengan menjadikan Islam sebagai alat politik umat Islam akan kembali Robert W. Hefner, ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana 1995, hal. 14 462 Makalah Moerdiono, Umat Beragama dan Negara Nasional: Sebuah Rekonstruksi Pemikiran, dalam Yustiono, et. al (editor), Islam dan Kebudayaan: Dulu, Kini, dan Esok, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993, hal. 236-237 463 Ibid. 464 H. Alamsjah Ratuperwiranegara, lahir di Kotabumi, Lampung, 25 Desember 1925, adalah mantan Menteri Agama RI (1978-1983) dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (1983-1988). 465 Alamsjah Ratuperwiranegara, “Antara Islam Kultural dan Islam Politik”, dalam Gatot Indroyono (editor), Islam di Mata Para Jenderal, Bandung: Mizan, 1997, hal. 187 461 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia menjadi kalangan “pinggiran”, sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnya pada masa Demokrasi Terpimpin dan awal pemerintahan Orde Baru. Lebih jauh Alamsjah kemudian membandingkan gagasan Nurcholish Madjid dengan gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan Muslim lainnya. Dia berkata: “kalau dinilai lewat gagasannya, saya kira yang paling akseptabel itu adalah Cak Nur... bila dibandingkan dengan Gus Dur dan Amien Rais.466 Penilaian Alamsjah ini tentunya tidak terlepas dari subjektivitasnya sebagai umat Islam. Namun demikian, nampaknya karena hal inilah yang mendorong Alamsjah kemudian mengaplikasikan gagasan Nurcholish Madjid ketika dia menjabat sebagai Menteri Agama RI. Pada masa dia menjabat sebagai menteri agama, yaitu tahun 1978-1983, banyak peraturan yang telah dia telurkan untuk mendukung perkembangan Islam kultural, misalanya: membebaskan dakwah, aliran kepercayaan dikembalikan ke P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan)467, Pancasila pengorbanan dan hadiah umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan, menentukan tata cara merayakan Natal hanya Kristen dan Katolik saja sementara yang lain tidak merayakan, dan orang agama lain tidak boleh duduk dalam panitia perayaan.468 Alamsjah menyadari begitu besarnya peran Islam kultural bagi umat Islam, termasuk dirinya. Dia berkata: Kalau saya waktu itu dari partai Islam, maka sudah lama saya habis. Tapi karena saya bukan dari partai Islam, maka semua pihak dapat menerima. Termasuk usul yang saya kemukakan, yang kemudian diterima Pak Harto mengenai Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Sekarang ini, yayasan ini sudah mampu mengumpulkan uang hampir 200 milyar. Yayasan ini dapat membiyai da’i, dan sudah 800 mesjid permanen terbangun.469 Sementara itu, Munawir Sjadzali, yang menjabat sebagai menteri agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993), dengan terperinci menjelaskan berbagai program pembangunan di bidang agama yang berhasil direalisasikan pemerintah Orde Baru, 466 Ibid., hal. 190 Sebelumnya, ada usaha dari MPR untuk menjadikan aliran kepercayaan sebagai agama tersendiri. Namun dikarenakan besarnya protes dari umat Islam, pemerintah kemudian berusaha membatalkan tindakan ini. 468 Ratuperwiranegara, “Antara Islam”, hal. 192 469 Ibid. 467 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia khususnya pada masa Kabinet Pembangunan V.470 Berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru—yang memihak umat Islam tidak akan terjadi apabila umat Islam masih saja terpaku dengan cita-cita politiknya, seperti pembentukan negara Islam—dengan jelas mendukung perkembangan Islam kultural. Pada tahun 1989, Pemerintah Orde Baru mengesahkan Undang-Undang Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan adanya undang-undang ini maka: a) Pendidikan agama diakui sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional; b) Pendidikan agama dikukuhkan sebagai mata pelajaran wajib di sekolahsekolah umum: SD, SMTP, SMTA,dan perguruan tinggi; c) Lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dijamin keberadaannya, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Institut-institut Agama Islam.471 Masih berkaitan dengan undang-undang, pada tahun yang sama pemerintah berhasil mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebenarnya, Peradilan Agama telah ada di Indonesia sejak sebelum penjajah Belanda bercokol di Indonesia. Akan tetapi, selama masa penjajahan Belanda, peradilan agama mengalami pengebirian.472 Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru membuat undang-undang baru yang lebih mendukung perkembangan Peradilan Agama. Dengan adanya UndangUndang Nomor 7 tahun 1989 tersebut, pengebirian terhadap Peradilan Agama menjadi hilang. Isi undang-undang itu di antaranya adalah: a) Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani 470 Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, Jakarta: UI Press, 1993, hal. 27-34 471 Ibid., hal. 27 472 Sejak tahun 1882, Peradilan Agama di Jawa dan Madura tidak diberi kewenangan untuk ikut campur dalam pembagian warisan umat Islam. Lembaga ini hanya mengurus hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan syariah yang sejalan dengan kebiasaan setempat (adat). Hal yang sama juga terjadi pada Kerapatan Qadli dan Kerapatan Dadli Besar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sejak tahun 1937. Lihat Ibid, hal. 28 dan baca juga Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam, dan Politik, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998, hal. 292 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia pembagian warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah-wilayah Indonesia yang lain; b) Keputusan Pengadilan Agama final, tidak perlu lagi dikukuhkan oleh Peradilan Umum; pelaksanaan/eksekusi keputusan Peradilan Agama dilakukan oleh Peradilan Agama sendiri, tidak lagi oleh Peradilan Umum. Oleh karenanya, harus diadakan jabatan juru sita dalam Peradilan Agama; c) Sebagaimana halnya hakim pada lingkungan peradilan yang lain, hakimhakim pada Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, tidak lagi oleh Menteri Agama. Mereka menjadi hakim-hakim negara dengan kedudukan, hak, dan fasilitas yang setarap dengan hakim-hakim di lingkungan peradilan lain. Paling tidak dalam teori, sesuai dengan UU nomor 14 Tahun 1985 tentang Kemahkamahagungan, hakim agama dapat menduduki jabatan Ketua Mahkamah Agung RI; d) Untuk memberikan ketenangan psikologis bagi umat Islam yang mencari keadilan, maka jabatan hakim, panitera, dan juru sita pada Peradilan Agama hanya dapat diisi oleh orang-orang yang beragama Islam.473 Untuk mendukung terealisasinya cita-cita Islam kultural pemerintah Orde Baru mendirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila pada 17 Februari 1982. Yayasan ini diketuai langsung oleh Soeharto. Program utama yayasan ini adalah pendirian mesjid-mesjid untuk masyarakat Islam. Sampai tahun 1992, Yayasan ini telah berhasil membangun lebih dari 493 mesjid yang harganya masing-masing antara 120 dan 140 juta rupiah. Soeharto juga memprakarsai pengiriman 1000 dai dan penyuluh agama Islam melalui MUI ke daerah-daerah transmigrasi. Para dai dan penyuluh itu selama tiga tahun menerima bantuan sebesar Rp. 100.000,- per bulan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila serta alat transportasi (sepeda).474 Pada tahun 1991, Departemen Agama melakukan rehabilitasi dan penambahan asrama haji di daerah embarkasi serta pembangunan asrama haji di daerah-daerah transit. Misalnya rehabilitasi dan penambahan Asrama Haji Pondok Gede dengan biaya sekitar 565 juta rupiah, Asrama Haji Juanda, Surabaya, dengan biaya 117 juta rupiah, Asrama Haji Ujung Pandang, dengan 473 474 Sjadzali, Islam Realitas, hal. 27-28 Ibid., hal. 30 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia biaya 291 juta rupiah, dan Asrama Haji Polonia, Medan, dengan biaya 100 juta rupiah. Selain itu, Departemen Agama juga melakukan pembangunan Asrama Haji Sulawesi Utara dengan biaya 200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992 sebesar 183 juta, menjadi 283 juta, Asrama Haji Sulawesi Tengah sebesar 150 juta, Asrama Haji Kalimantan Timur sebesar 200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992 sebesar 159 juta menjadi 359 juta, Asrama Haji Yogyakarta sebesar 200 juta, ditambah dari APBN 1991/1992 sebesar 213 juta menjadi 413 juta, Asrama Haji Jawa Tengah 200 juta, Asrama Haji Nusa Tenggara Barat 200 juta. Departemen Agama juga melakukan perluasan Asrama Haji yang telah ada di Kalimantan Tengah dari dana APBN 1991/1992 sebesar 183 juta.475 Dalam dunia pendidikan, pemerintah juga mendukung pengembangan dunia pendidikan. Bagaimanapun pendidikan merupakan salah satu bagian terpenting, menurut Islam kultural, dalam kemajuan umat Islam. Pada tahun 1975, telah ditandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayan, dan Menteri Agama, yang mengakui madrasah-madrasah sama tarafnya dengan sekolah-sekolah umum.476 Selain itu, untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan di perguruan tinggi, pemerintah menyelenggarakan pendidikan Pascasarjana untuk magister dan untuk doktor bagi para Dosen IAIN (Institut Agama Islam Negeri), baik di dalam negeri maupun di luar negeri.477 Pemerintah juga, sejak bulan November 1990, mulai menayangkan pelajaran bahasa Arab, yang merupakan bahasa internasional dan bahasa Al-Qur’an, di TVRI.478 Pada akhir tahun 1980-an dan awal 1980-an, pemerintah Orde Baru mengizinkan siswa perempuan mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri dan membantu pembangunan Bank Islam.479 Pada tahun 1991, Suharto beserta keluarganya menunaikan ibadah haji ke Mekkah.480 475 Ibid.,hal. 30-31 Ibid.,hal. 32 477 Ibid.,hal. 33 478 Ibid.,hal. 33-34 479 Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, hal. 83 480 Ibid. 476 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Dukungan pemerintah Orde Baru terhadap pembangunan umat Islam tersebut di atas tidak terlepas dari keberhasilan Islam kultural merubah persepsi pemerintah Orde Baru yang sebelumnya menganggap umat Islam sebagai “penghalang” potensial bagi pembangunan di Indonesia. Dengan mencetuskan gagasan bahwa partai politik Islam tidak bersifat mutlak, konsep negara Islam tidak ada di dalam Alquran maupun Hadis, serta Pancasila sesuai dengan nilai-nilai keislaman, Islam kultural berhasil membuat pemerintah mendukung perkembangan umat Islam. Dukungan pemerintah ini pada akhirnya membuat umat Islam tetap bisa berperan dalam membangun bangsa Indonesia. Dan inilah yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid. 5.1.2.2 Dukungan dari Intelektual Muslim Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid tidak hanya menimbulkan kritikan dari berbagai kalangan, melainkan juga menarik dukungan yang tidak sedikit dari kalangan intelektual Muslim atau ulama. Walaupun ada di antara intelektual-intelektual itu yang tidak tegas menyatakan dukungan terhadap gagasan Nurcholish Madjid, namun gagasan atau pemikiran mereka memiliki kesamaan dengan apa yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Gencarnya kritikan terhadap Nurcholish Madjid menimbulkan pengakuan terhadap gagasan Nurcholish Madjid. Seperti yang dikatakan oleh K.H. Haman Ja’far,481 “saya tahu persis Nurcholish, apa pun boleh keluar dari pikirannya, tetapi, saya yakin, hatinya tetap Islam. Apa yang ia maksudkan dengan sekularisasinya berbeda jauh dengan sekularisme.”482 Respons berupa dukungan terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid juga muncul dari seorang tokoh Golkar di Sumatera Barat, yaitu Letkol. Drs. Safroedin Bahar. Dalam tulisannya di Majalah Tempo dia menyatakan simpati terhadap “gerakan” Nurcholish Madjid dan oleh karena itu dia menyebarluaskan tulisan Nurcholish Madjid itu kepada anggota Golkar di Sumatera Barat.483 Tindakan Safroedin Bahar ini menunjukkan bahwa gagasan Nurcholish Madjid menurut hemat penulis “sesuai” dengan agenda 481 KH. Hamam Ja’far adalah pemimpin sekaligus pendiri Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. 482 Dikutip dari Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, hal. 91 483 Hassan, Modernisasi Indonesia, hal. 127 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Golkar, yaitu menarik dukungan dari pendukung partai politik Islam (umat Islam) yang telah dikenai sekularisasi Nurcholish Madjid, sehingga gagasan itu perlu disebarluaskan. Mengenai konsep negara Islam yang menjadi sasaran kritikan terhadap Nurcholish Madjid juga mendapat pengakuan dari beberapa intelektual Muslim. Di antaranya adalah dari salah seorang tokoh Muhammadiyah ketika itu, yaitu Djarnawi Hadikusumo. Dia menyatakan bahwa dalam Islam, negara Islam atau konsep negara Islam tidak ada. Yang ada menurutnya adalah hanya penafsiran dari beberapa ulama.484 Sementara itu, Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, menyatakan bahwa dalam Islam negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Menurutnya yang ada hanya etika kemasyarakatan dan komunitas, seperti keadilan, kebersamaan, dan lain sebagainya. Selama etika itu diberlakukan, selama itu pula tidak ada keberatan dengan sistemnya.485 Senada dengan Gus Dur, Jalaluddin Rachmat juga menyatakan bahwa jika etika itu dijalankan, tidak ada alasan lain bagi umat Islam selain harus ikut mempertahankannya sebagai kewajiban agama.486 Menurutnya apabila etika itu dijalankan maka umat Islam harus taat kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Umat Islam harus mendukung pemerintah tersebut, baik pemerintah itu berbentuk Republik, Monarki Parlementer, atau lainnya. Tujuan negara bagi Islam, menurut Jalaluddin Rachmat, hanya untuk menegakkan keadilan.487 Menurut Jalaluddin Rachmat, negara itu bisa berarti banyak. Dia menjelaskan bahwa negara bisa berarti state, bisa juga berarti nation state. Negara dengan arti nation state baru digali kira-kira pada abad ke-19. Kata adDaulah adalah kata baru bahasa Arab untuk nation state. Jadi, kata ad-Daulah itu dibuat orang untuk mengartikan definisi negara. Dari kerangka pemikiran 484 Djarnawi Hadikusumo, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 19 485 Abdurrahman Wahid, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 18 486 Jalaluddin Rachmat, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 18 487 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ini, sia-sialah, menurut Jalaluddin Rahcmat, mencari kata Daulah Islamiyah baik di dalam Alquran maupun dalam Hadis. Jadi, jika dengan negara yang dimaksud adalah Daulah ini, memang tidak ada dalam Islam.488 Dengan demikian, menurut Jalaluddin Rachmat Indonesia tidak perlu diganti menjadi negara Islam. Yang terpenting adalah konsep-konsep Islami diterapkan dalam kehidupan bernegara, di dalam negara Pancasila ini. Sebab, sebagai contoh Arab Saudi dan Pakistan pun, yang mengaku sebagai negara Islam, tidak menerapkan konsep Islam secara menyeluruh. Pakistan, misalnya, tidak sepenuhnya menerapkan konsep ekonomi dan politik Islam.489 Bahkan, Arab Saudi menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan keturunan yang tidak ada dalam ajaran Islam. Harun Nasution490 juga menegaskan bahwa di dalam Alquran tidak ada istilah negara Islam. Menurutnya yang ada di dalam Alquran dan Hadis cuma dasar-dasar bernegara, seperti keadilan, demokrasi, persamaan hak, dan toleransi.491 Dasar-dasar ini dapat ditegakkan dalam bentuk negara apa pun, tidak terbatas hanya dalam bentuk formalitas sebuah negara Islam. Memang menurut Harun Nasution, untuk hukum-hukum Islam, harus ada kekuasaan pemerintahan. Tapi jika melihat kondisi Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, sudah mencerminkan diri sebagai salah satu negara Islam, dengan bentuk republik berasaskan musyawarah seperti yang berlaku di masa khulafurrasyidin.492 Lebih jauh dia menyatakan bahwa di manapun di dunia ini tidak ditemukan negara yang memberlakukan hukum Islam sepenuhnya. Bahkan menurutnya, “Republik ini malah lebih banyak memenuhi syaratsyarat negara Islam dibandingkan dengan negara-negara yang menyebut dirinya negara Islam di Timur Tengah,” karena “di sini, pelaksanaan hukum Islam—misalnya hukum waris—bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.”493 488 Ibid. Ibid. 490 Harun Nasution (1919-1998) terkenal sebagai seorang filsuf Indonesia yang mencoba mengembangkan paham Mu’tazilah. Dia menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta pada tahun 1969 dan 1973. 491 Harun Nasution, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 19 492 Ibid. 493 Ibid. 489 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Ahmad Syafii Ma’arif494, dalam tulisannya pada tahun 1983 menyatakan bahwa Kitab Suci (Alquran) kelihatannya tidak tertarik pada teori politik khas yang harus diikuti oleh umat Islam. Menurutnya perhatian utama Alquran ialah agar masyarakat dan negara ditegakkan atas tonggak-tonggak keadilan dan moralitas. Maka di atas tata nilai etik Alquran inilah suatu bangunan politik Islam harus didirikan. Lanjutnya karena Alquran tidak menggariskan bentuk dan struktur tertentu tentang negara, maka model dan struktur dari organisasi politik Islam bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah, ia dapat senantiasa dipertanyakan, diperbaiki, dan disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan umat Islam asal prinsip dasarnya dipertahankan. Prinsip dasar yang terpokok ialah konsep syura (prinsip konsultasi) yang menjadi ajaran sentral dalam cita-cita politik Alquran.495 Kekuasan politik atau negara, menurut Ahmad Syafii Ma’arif, hanyalah sebuah alat bagi agama, bukan persambungan dari agama. Oleh sebab itu, slogan “Islam adalah agama dan negara” (Islam din wa daulah), menurutnya, hanyalah mengaburkan hakikat misi kenabian Muhammad dan bersikap tidak adil terhadap ajaran Alquran. Bahkan, lanjutnya, perkataan daulah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Alquran.496 Sementara itu salah satu pemimpin partai eks-Masyumi, Mohamad Roem, juga berpendapat tidak jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan sama, dengan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh intelektual Muslim di atas. Dalam suratnya yang dikirim kepada Nurcholish Madjid pada tahun 1983, sebagai balasan atas surat Nurcholish Madjid yang dikirimkan kepadanya mengenai tanggapan M. Roem atas tulisan Amien Rais tentang tidak adanya negara Islam di majalah Panji Masyarakat, M. Roem menyatakan bahwa “jika Dr. Amien Rais mengatakan: ‘Tidak ada negara Islam’ dalam Sunnah, saya 494 Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh Muhammadiyah. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Chicago, di mana Nurcholish Madjid juga menyelesaikan studinya di universitas tersebut. Pada tahun 1998, dia terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. 495 Ahmad Syafii Maarif, “Islam, Politik, dan Demokrasi di Indonesia”, dalam Bosco Carvallo dan Dasrizal (penyunting), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1983, hal. 42 496 Ibid., hal. 45 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia rasa dia benar.”497 Lebih lanjut M. Roem menyatakan bahwa “Amien Rais dengan pernyataannya itu tidak saja dia benar, akan tetapi dia juga bijaksana, karena di Indonesia istilah itu (istilah negara Islam), lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, malah ada yang alergi mendengar istilah itu.”498 Bahkan M. Roem lebih lanjut menyatakan bahwa negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad di Madinah bukanlah negara yang dinamakan dengan negara Islam. Dia berkata: Saya rasa yang disusun oleh Nabi di Yastrib, kemudian bersatu dengan Makkah pada hakikatnya adalah suatu negara, yang tidak dinamakan negara Islam oleh Nabi sendiri. Saya rasa selama tidak lebih dari tiga bulan itu di dunia pernah ada “negara Islam” atau Islamic State tidak dalam nama (What is in a name), melainkan dalam substance, dalam hakikatnya. Sesudah itu, saya rasa tidak ada lagi negara yang dapat menyamai negara itu, sebab siapa pun orangnya yang memimpin, ia tidak dapat menyamai Nabi.499 Dengan mengatakan hal itu, M. Roem nampaknya ingin menegaskan sebesar apapun usaha umat Islam untuk mendirikan negara yang sama dengan negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad tidak akan berhasil karena Nabi SAW adalah seorang Rasul yang tentunya dalam setiap tindakannya mendapatkan petunjuk langsung dari Allah. Menurut saya, negara bentukan Nabi SAW memang menjalankan aturanaturan Islam. Tetapi, Nabi SAW tidak pernah secara eksplisit menyebut negara yang dia pimpin sebagai negara Islam. Jadi, yang dijalankan adalah aturan atau nilai-nilai keislaman, tetapi bentuk negara itu sendiri secara formal tidak bernama negara Islam. Dengan demikian, menurut saya, yang paling penting adalah dijalankannya nilai-nilai keislaman. Hal inilah sebenarnya yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid. Adapun dari kalangan NU, selain Abdurrahman Wahid, juga terdapat kiai yang memiliki pandangan yang sama dengan Nurcholish Madjid mengenai tidak adanya konsep negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Menurut KH. Achmad Siddiq, Rais Am NU tahun 1984, Islam tidak pernah 497 Mohamad Roem, “Tidak ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (penyunting), Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Djambatan, 1997, hal. 2 498 Ibid. 499 Ibid., hal. 6-7 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia memerintahkan umat Islam untuk mendirikan negara. Menurutnya bentuk tuntas sebuah negara tidak pernah ditemukan di dalam Alquran maupun Hadis. Lebih jauh Achmad Siddiq menyatakan bahwa yang menjadi tugas utama pemerintahan adalah menegakkan keadilan dan menyampaikan amanat kepada ahlinya.500 Bahkan menurut Achmad Siddiq, Indonesia adalah negara Muslim jika dilihat dengan kacamata fiqh, bukan kacamata politik. Dalam menyimpulkan pendapatnya itu, Achmad Siddiq berpegang kepada kitab Bughyah alMustarsyidin, bab al-Amaan (keamanan) dan al-Hudnah wal Jizyah (gencatan senjata dan upeti), yang menyebutkan: setiap wilayah atau tempat yang pernah dikuasai oleh orang Islam, nama negara atau wilayah itu tetap Muslim dan tidak pernah berubah selamanya.501 Berdasarkan kenyataan sejarah bahwa Islam pada abad pertama Hijriyah sudah masuk dan berkuasa di Nusantara, sekalipun dalam ukuran Samudera Pasai (kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan oleh Sultan Malikush Shaleh, persis di tepi sungai Pasai, Lhokseumawe, Aceh), maka sekalipun kemudian kekuasaan itu terputus oleh penjajahan Belanda, negara ini, berdasarkan kaidah dalam kitab itu, tetap Muslim.502 Adapun Dawam Rahardjo berpendapat bahwa konsep “negara Islam” adalah salah satu jenis kontrak yang bersifat totaliter dan elitis. Menurutnya dalam konsep seperti itu, elite yang berkuasa adalah mereka yang dinilai paling mengetahui tentang hukum-hukum Tuhan, seolah-olah mereka paling tahu kehendak Tuhan terhadap sejarah. Mereka yang berkuasa akan cenderung bertindak atas nama Tuhan, sepertinya mereka “mengambil alih” kekuasaan Tuhan, yakni dengan mempergunakan kekuasaan negara, memikul tugas khilafah.503 Dari beberapa pandangan yang telah penulis kemukakan di atas, dapat dilihat bahwa mereka sepakat istilah negara Islam tidak ada dalam Alquran. Istilah negara Islam merupakan hasil ijtihad kaum Muslim dalam menghadapi 500 KH. Achmad Siddiq, “Islam Punya Konsep Kenegaraan?”, Tempo, 29 Desember 1984, hal. 17 501 Ibid. Ibid. 503 Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 190 502 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia ideologi Barat, seperti kapitalisme dan komunisme. Tidak adanya istilah negara Islam juga disetujui oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dan Amien Rais yang sangat keras mengkritik Nurcholish Madjid mengenai penggunaan istilah sekularisasi. Dalam hal ini, saya juga berpandangan hal yang sama, yaitu tidak adanya istilah negara Islam dalam Alquran maupun Hadis. Adapun dalam sejarah Islam klasik, menurut saya, belum pernah ada secara jelas negara yang dapat dikatakan sebagai negara Islam, terkecuali pada masa modern, seperti negara Pakistan, Iran, dan Arab Saudi. Namun demikian, masing-masing negara itu juga memiliki perbedaan mengenai Islam yang diakuinya, misalnya Iran menganut Islam Syiah dan Arab Saudi menganut Islam Sunni (Wahabi). Dalam menilai kritikan maupun dukungan terhadap gagasan Nurcholish Madjid dapat diambil kesimpulan dari Mochtar Pabottinggi.504 Menurutnya kesalahan pokok Rasjidi, dalam menilai ide-ide Nurcholish Madjid ialah ketidaksediaannya atau ketidakmampuannya menangkap niat dari istilahistilah maupun ide-ide Nurcholish Madjid tersebut. Dia, misalnya, mati-matian hendak menyatuartikan kata sekularisasi, dengan sepenuhnya menafikan maksud dan konteks yang dikehendaki Nurcholish Madjid. Rasjidi mungkin lupa bahwa kata, terlepas dari pengaruh diskursus, tidak mungkin berfungsi di luar kebebasan hakikinya untuk memilih konteks. Dan sesungguhnya pertandingan antardiskursus itu sendiri mencakup pertandingan antara pemaknaan-pemaknaan tertentu dari suatu kata. Kata bisa diumpamakan senantiasa berada dalam rimba, lokasinya harus selalu ditebak dan ditentukan kembali secara baru. Kata ditandai oleh keterbatasannya dalam menangkap realitas, dalam mewakili apa yang sungguh-sungguh dimaksud. “Word...” menurut Joseph Conrad, “are the great foes reality”.505 Namun, orang tokh tidak bisa berhenti atau menunggu untuk berkata, karena itu merupakan syarat mutlak untuk berada. Itulah sebabnya maka Ernst Cassirer menyatakan bahwa “meaning must be explained in terms of being”.506 504 Mochtar Pabottinggi, “Tentang Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim: sebuah Analisis”, dalam Mochtar Pabottinggi (penyunting), Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986, hal. 238 505 Dikutip dari Ibid., hal. 239 506 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Sementara, kesalahan (yang mungkin pada akhirnya telah disadari) Nurcholish Madjid (dan teman-temannya), menurut Pabotinggi ialah keterbatasan mereka untuk menangkap kenyataan bahwa, pada Islam, yang tradisi tidak mesti berarti tradisional.507 Adapun menurut penulis sendiri munculnya kritikan ataupun dukungan terhadap gagasan Nurcholish Madjid merupakan suatu hal yang wajar saja. Sebuah pemikiran bagaimanapun juga tidak mutlak benar atau tidak mutlak salah. Dalam memahami ajaran agama, seseorang sangat bergantung kepada kemampuan dan metodologi dalam memahami ajaran agama tersebut. Apabila dia memiliki kemampuan yang bagus dan metodologinya juga baik, maka hasil yang diperolehnya dalam memahami agamanya juga bagus. Tapi, kembali lagi bahwa bagus atau tidak itu tergantung kepada orang yang menilainya. Namun demikian, menurut penulis, perdebatan yang berlarut-larut mengenai istilah sekularisasi pada akhirnya memalingkan perhatian terhadap isi atau substansi dari gagasan Nurcholish Madjid, yaitu pembebasan umat Islam dari mensakralkan partai politik dan negara Islam. Padahal yang terpenting dari sebuah pemikiran atau gagasan adalah isinya karena sebenarnya isi dari pemikiran itulah yang dapat memberikan pengaruh bagi orang yang memahaminya, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. 5.2 Pengaruh Islam Kultural Gagasan Islam kultural yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ternyata memiliki pengaruh positif yang cukup besar bagi perkembangan umat Islam pada masa Orde Baru. Namun demikian, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa gagasan Islam kultural tidak memberikan pengaruh terhadap umat Islam. Menurut mereka, pemikiran Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruh kepada kalangan tertentu saja, misalnya terhadap kalangan intelektual Islam, sementara terhadap masyarakat luas pemikiran Islam kultural Nurcholish Madjid tidak memberikan pengaruh apa-apa. Selain itu, menurut Aminuddin, walaupun gagasan Islam kultural telah dikumandangkan Nurcholish Madjid sejak awal 1970-an, tepatnya sejak 2 Januari 507 Ibid. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia 1970, gagasan ini kurang efektif mempengaruhi agenda strategi politik umat Islam hingga penghujung dasawarsa 1970-an. Kekurangefektifan gagasan tersebut, menurut Aminuddin, disebabkan oleh tiga hal508, yaitu pertama gerakan pemikiran yang dipelopori Nurcholish Madjid masih bersifat elitis karena hanya mengandalkan diskusi-diskusi terbatas dan jurnal-jurnal ilmiah sebagai sarana penyebaran idenya. Kedua, seruan Nurcholish Madjid kepada kaum Muslim agar tidak terlalu mengandalkan perjuangan pada medan politik partisan tenggelam oleh perdebatan pemikiran teologinya di masyarakat. Ketiga, masih kuatnya pengaruh penganut strategi lama dalam tubuh kaum Muslimin seperti terlihat dalam Pemilu 1971 dan 1977. Sementara Nurcholish Madjid sendiri, sebagai pioner pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No” malah terlibat kampanye PPP dalam pemilu 1977. Menurut Aminuddin, gerakan Islam kultural baru mulai memiliki pengaruh yang berarti setelah Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan melakukan langkah-langkah konkret gerakan Islam kultural dengan memulai serangkaian rekayasa di NU.509 Ketegasan Islam kultural mengenai tidak adanya negara Islam dan ideologi Islam membuatnya tidak dicurigai oleh rezim Orde Baru. Menurut Liddle, semboyan “Islam Yes, Partai Islam No” adalah tepat untuk menggambarkan peran kelompok Islam dalam pemerintahan Indonesia yang demokratis, berkesan dan stabil, mengingat Islam sebagai partai akan menimbulkan perlawanan keras dari kelompok lain. Sebaliknya, Islam dalam bentuk organisasi-organisasi sosial yang memperjuangkan kepentingan dan wawasan mereka di berbagai lapangan politik akan berhasil tanpa adanya tantangan dari pihak manapun.510 Sementara itu menurut Munawir Sjadzali, menteri agama 1983-1993, dengan tiadanya partai Islam perjuangan kepentingan Islam makin berhasil.511 Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Islam kultural berhasil memberikan pengaruhnya bagi kemajuan umat Islam Indonesia, seperti terbentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), Bank Muamalat, 508 Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hal. 153 509 Ibid. 510 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hal. 220 511 Sjadzali, Islam Realitas, hal. 61-66 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BPR Syari’ah, pelaksanaan Festival Istiqlal, dan Penetapan UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Peradilan Agama yang mengakui eksistensi dan aspirasi umat Islam. Pada saat yang sama, kegiatan-kegiatan dakwah juga semakin intensif dan ekstensif.512 Bresnan menyebutkan, sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim513, bahwa sejak 1980-an kelompok Muslim mulai memasuki elit nasional di Indonesia. Mereka terlibat dalam kegiatan di luar dunia tradisional Islam, akrab dengan pengelolaan institusi sekular besar dan menikmati keuntungan ekonomi yang tidak pernah diimpikan oleh para pendiri Sarekat Islam dahulu. Hal itu merupakan pengaruh dari Islam kultural. Namun saya berpendapat bahwa kemajuan yang dicapai oleh umat Islam itu tidak semuanya dikarenakan pengaruh dari Islam kultural. Dalam hal ini, meningkatnya jumlah sarjana-sarjana Muslim juga berpengaruh bagi meningkatnya peran umat Islam dalam pemerintahan Orde Baru. Kemunculan Nurcholish Madjid dengan gagasan Islam kulturalnya juga membantu mendobrak kungkungan teologis umat Islam yang cenderung bersikap mengisolasi diri dari “dunia sekular”. Dengan adanya gagasan Nurcholish Madjid ini, maka umat Islam yang terlibat dalam birokrasi pemerintah menjadi semakin mantap. Umat Islam yang bekerja di birokrasi pemerintah pada akhirnya membawa pengaruh yang menguntungkan bagi umat Islam, yaitu adanya gejala Islamisasi Birokrasi yang marak terjadi pada tahun 1980-an.514 Birokrat Muslim ini memang tidak memiliki keterkaitan kuat terhadap pemikiran Islam yang teoritis, tetapi merekalah yang menyediakan mekanisme praktis bagi pembumian gagasan Islam kultural dalam struktur politik Orde Baru.515 Wakil par excellence dari kaum politisi dan birokrat ini di antaranya adalah Akbar Tanjung516 (Ketua HMI, 1971-1973) dan Mar’ie Muhammad 512 Azyumardi Azra, “Islam di Tengah Arus Transisi Menuju Demokrasi”, dalam Abdul Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. xxix 513 Karim, Negara dan Peminggiran, hal. 198 514 Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 12 515 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005, hal. 556 516 Akbar Tanjung berkata, “gagasan-gagasan ‘liberal’ Nurcholish Madjid banyak memberikan inspirasi bagi kalangan aktivis HMI untuk menyelami panggung politik. Menurut Nurcholish, nilai-nilai yang diperjuangkan harus bersifat universal, bukan simbol-simbol Islam. Maka, saya berpendapat bahwa dalam memperjuangkan nilai-nilai tersebut pada level praktis tidak Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia (aktivis HMI terkemuka). Di belakang keduanya, terdapat blok intelektual Muslim berorientasi pragmatis yang lebih menghendaki posisi-posisi politik dan birokrasi, tetapi tidak bisa mencapainya melalui kendaraan Islam politik. Integrasi mereka dengan birokrasi dan dunia politik Orde Baru memperkuat “blok-dalam” Muslim yang telah dirintis oleh intelektual Muslim sebelumnya.517 Bagi intelegensia Muslim dari “blok-dalam”, slogan “Islam Yes, Partai Islam No” dan penerimaan Pancasila oleh organisasi-organisasi besar Islam setelah 1983 sangatlah berkaitan. Keduanya dipandang sebagai indikasi penerimaan diri terhadap ortodoksi negara dan membuka jalan bagi rujuk antara intelegensia Muslim dan negara serta menjadikan negara lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan kultural dan posisional kaum Muslim.518 Gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini pada akhirnya bisa membebaskan intelektual Muslim yang terlibat dalam birokrasi dari stigma sebagai lawan Orde Baru dan membantu memecahkan hambatan psikologis untuk mengekspresikan dan menyosialisasikan Islam kultural di lingkungan birokrasi.519 Birokrat Muslim pada masa itu secara terbuka, misalnya, melakukan salat berjamaah, mengadakan acara keagamaan, dan merayakan hari besar Islam. Mereka juga mendirikan mushalla, dan kemudian mesjid di kantor-kantor pemerintah. Secara pelan tetapi pasti, birokrat Muslim berani mengekspresikan identitas Islam mereka, yang diekspresikan melalui penciptaan tradisi baru seperti pembiasaan ucapan salam, assalamu’alaikum, dan naik haji. Mulailah terjadi rujuk antara Muslim abangan dan santri di tubuh birokrasi karena yang disebut pertama secara lambat laun mulai bergabung ke dalam “rumah” Islam kultural. Banyak birokrat Muslim abangan yang mulai belajar lebih banyak tentang Islam dengan mengundang guru Islam privat ke rumah-rumah mereka, termasuk Presiden Soeharto.520 harus masuk partai Islam. Saya berkeyakinan bahwa aspirasi umat Islam bisa terpenuhi tanpa partai Islam.” Dikutip dari Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Pengantar Editor”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (editor), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hal. xvii 517 Ibid., hal. 556-557 518 Ibid. 519 Ibid., hal. 562 520 Ibid. Di antara guru-guru agama terkenal yang menjadi guru bagi keluarga Soeharto adalah Quraish Shihab dan Qosim Nurseha. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Muncul akibat-akibat mengejutkan dari perkembangan ini, yang diwakili cerita B.J. Habibie berikut. Dia bercerita, pernah pada akhir 1970-an, Soeharto memimpin dan membuka sidang Kabinet dengan menggunakan peci dan mengucapkan “bismillah”. Habibie kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa Anda melakukan itu?” Soeharto kemudian menjawab, “Awalnya kita lemah secara ekonomi. Oleh karena itu, kita membutuhkan lobi Katolik bagi masyarakat kapitalis internasional dan itulah sebabnya sulit bagi saya untuk mengeksprsikan identitas Islam saya. Namun, sekarang kita telah cukup kuat untuk menegaskan identitas kita sendiri.”521 Gerakan Islam kultural yang dicetuskan oleh Nurcholish Madjid memberikan kontribusi besar terhadap fenomena “penghijauan” atau Islamisasi di dunia birokrasi dan politik Indonesia.522 Dengan Islam kultural maka terjadilah proses santrinisasi seperti yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid. Hasilnya, saat ini tidak ada lagi tokoh Islam santri yang berani mengatakan bahwa di antara tanda kesempurnaan atau kebaikan keislaman seseorang adalah menjadi anggota atau aktivis gerakan Islam formal, misalnya. Tidak ada lagi tokoh yang berani mewajibkan orang Islam untuk memilih partai-partai Islam dalam pemilu seperti dulu.523 Gagasan Islam kultural kemudian berkembang ke seluruh masyarakat luas seiring dengan perkembangan gerakan pembaruan di dalam NU. Tokoh utama yang menjadi penggerak gerakan pembaruan dalam tubuh NU adalah Abdurrahman Wahid. Menurut Dawam Rahardjo, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid ini diikuti oleh NU dengan gerakan “Kembali kepada Khittah 1926” dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 dan Muhammadiyah dengan wacana “Masyarakat Utama”, walaupun dengan dalih lain.524 Dengan “masuknya” kedua organisasi ini ke dalam gerbong Islam kultural maka secara tidak langsung 521 Habibie menceritakan kisah ini kepada para pemimpin Majelis Sinergi Kalam (MASIKA-ICMI) pada 5 Mei 1998, sebagimana yang penulis kutip dari ibid, hal. 563 522 Ibid., hal. 573 523 Hajriyanto Y. Thohari, “’Negara Santri’, Menengok Tesis Cak Nur”, dalam Abdul Mu’nim D.Z (editor), Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas, 2000, hal. 31 524 Dawam Rahardjo, “Kata Pengantar: Islam Kultural dalam Perspektif Reformasi”, dalam Asep Gunawan, Artikulasi Islam Kultural, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hal. xii Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia membuktikan bahwa kemajuan Islam lebih banyak dicapai melalui kegiatan kemasyarakatan daripada kegiatan politik.525 525 Ibid., hal. xiii Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Islam kultural dalam konsep Nurcholish Madjid tercermin dalam tiga tema pokok, yaitu “sekularisasi”, “Islam Yes, Partai Islam No”, dan tidak ada konsep Negara Islam atau “apologi negara Islam”. Ketiga konsep pemikirannya itu diproklamirkan pada tanggal 2 Januari 1970 dan 30 Oktober 1972. Sekularisasi menjadi faktor utama dalam merumuskan dua tema berikutnya. Menurut Nurcholish Madjid sekularisasi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi (profan), dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan kata lain, sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid adalah desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Illahiah (transendental), yaitu dunia ini. Sekularisasi dalam pandangan Nurcholish Madjid bukan dimaksudkan sebagai penerapan dari sekularisme. Untuk mendukung pandangannya itu, dia mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Robert N. Bellah, Talcott Parson, dan Harvey Cox. Dengan sekularisasi, maka segala sesuatu selain Allah, dalam pandangan Nurcholish Madjid, menjadi tidak sakral. Dalam hal ini partai Islam dan konsep negara Islam juga menjadi tidak sakral karena ia merupakan urusan duniawi. Karena kedua hal tersebut tidak sakral maka umat Islam dibenarkan untuk melakukan ijtihad demi kemajuan umat Islam dan untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan demikian, umat Islam tidak memiliki beban apabila tidak memilih partai Islam atau tidak menegakkan negara Islam. Namun di sini, menurut saya, Nurcholish Madjid tidak memberikan batasan-batasan yang jelas apa saja yang harus dikenakan konsep sekularisasinya. Saya berpendapat bahwa tidak semua hal yang berkaitan dengan dunia harus disekularisasikan atau didesakralisasikan. Terdapat beberapa masalah yang harus tetap disakralkan, misalnya seperti perkawinan. Bagaimanapun juga perkawinan dalam Islam harus tetap disakralkan karena jika tidak disakralkan yang akan muncul perzinahan yang merajalela. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 168 Universitas Indonesia Selain itu, konsep sekularisasi Nurcholish Madjid yang tidak mengenal batasan—semua nilai-nilai duniawi menjadi tidak mutlak karena hanya Allah yang mutlak—menurut saya akan mengakibatkan semua nilai-nilai yang ada menjadi relatif. Dengan demikian, pendapatnya sendiri juga akan terkena relativitas ini karena ia merupakan bagian dari pemikiran yang menyangkut masalah-masalah keduniawian, bukan sesuatu yang berkaitan dengan Allah. Apakah pendapat Nurcholish Madjid ini tidak menjadi relatif? Saya rasa ini tidak mungkin karena sebagaimana yang dikatakan Nurcholish Madjid sendiri segala sesuatu yang berkaitan dengan duniawi harus disekularisasikan atau didesakralisasikan. Jika semua pendapat menjadi relatif lalu pendapat manakah atau pendapat siapakah yang akan menjadi pegangan umat Islam? Dua alasan di atas yang menjadikan saya kurang setuju dengan konsep sekularisasi Nurcholish Madjid karena dia tidak memberikan batasan-batasan yang jelas. Seharusnya, Nurcholish Madjid memberikan batasan yang jelas misalnya konsep sekularisasinya hanya dikenakan kepada partai politik Islam dan negara Islam. Sementara lainnya tidak. Sementara itu, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid yang menekankan pentingnya dilaksanakannya nilai-nilai substansi Islam, yaitu keadilan, kesamaan, partisipasi, musyawarah, dan lain sebagainya tanpa harus dalam kerangka negara Islam, dapat saya terima. Nilai-nilai keislaman tersebut dapat dilaksanakan oleh organisasi-organisasi non-politik, seperti organisasi pendidikan, dakwah, seni, dan lain sebagainya. Apabila nilai-nilai keislaman tersebut telah dilaksanakan maka suatu negara, menurut Nurcholish Madjid, apa pun bentuknya, telah sesuai dengan Islam. Negara Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena nilai-nilai keislaman telah terkandung dalam sila-sila Pancasila. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia tidak perlu atau bahkan tidak diharuskan mendirikan negara Islam di Indonesia. Pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa tidak ada negara Islam dalam pandangan saya dapat dibenarkan. Apalagi pendapatnya ini dikemukakan pada masa awal Orde Baru yang tidak simpati kepada Islam politik. Dengan mengemukakan pandangan itu, umat Islam dapat berperan aktif dalam Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia pembangunan bangsa Indonesia karena pemerintah Orde Baru tidak lagi mencurigai mereka sebagai penentang ideologi negara (Pancasila). Selain itu, menurut saya sebutan negara Islam secara formal memang tidak pernah ditemukan dalam sejarah Islam klasik (pada masa Nabi dan Khalifah Rasyidin). Pada masa Nabi SAW memang benar bahwa hukum atau aturan-aturan yang diterapkan adalah hukum Islam, tetapi Nabi SAW sendiri tidak pernah secara eksplisit menyebutkan negara yang dipimpinnya itu sebagai negara Islam. Begitu pula pada masa Khalifah Rasyidin. Nabi SAW menyerahkan sepenuhnya sistem kenegaraan kepada ijtihad umat Islam. Misalnya dalam hal pemilihan kepala pemerintahan pada masa Khalifah Rasyidin. Abu Bakar dipilih sebagai Khalifah menggunakan sistem pemilihan yang dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara itu, Umar bin Khattab dipilih melalui surat “wasiat” dari Abu Bakar. Artinya, Umar dipilih sebagai khalifah melalui penunjukan Abu Bakar. Adapun Utsman bin Affan dipilih berdasarkan perwakilan. Dalam hal ini, sebelum Umar meninggal, dia telah menunjuk enam orang sahabat terkemuka untuk memilih di antara mereka menjadi khalifah. Dalam pemilihan itulah Utsman terpilih sebagai khalifah. Terakhir Ali bin Abi Thalib. Dia dipilih oleh umat Islam tanpa melalui perwakilan ataupun penunjukan melainkan dipilih langsung oleh umat, karena pada saat itu umat Islam menganggap sahabat yang paling layak dan masih hidup untuk dijadikan khalifah adalah Ali. Dari pemilihan keempat Khalifah ini terlihat bahwa yang menentukan adalah ijtihad umat Islam (sahabat). Sesudah masa Khalifah Rasyidin, yaitu pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, yang ada adalah sistem negara Kerajaan (Monarki Absolut) karena yang memerintah adalah keturunan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan Bani Abbas. Dalam istilah Nurcholish Madjid masa ini adalah sistem negara Suku. Pada masa ini umat Islam tidak memiliki hak untuk memerintah karena yang berhak memerintah adalah keturunan raja. Walaupun keturunan raja itu seorang yang tidak memiliki akhlak seorang muslim ia tetap dibenarkan menjadi khalifah seperti Khalifah Yazid bin Muawiyah yang terkenal kejam karena telah membunuh cucu Nabi SAW, Husein bin Ali. Selain itu, Yazid juga dikenal sebagai seorang pemabuk. Jika dilihat dari ajaran atau nilai-nilai Islam sudah jelas Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia bahwa ia tidak pantas untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin. Tetapi dikarenakan sistem negara yang ada ketika itu bukan negara Islam maka hal itu sah-sah saja. Di samping itu, menurut saya apabila negara Islam berhasil ditegakkan maka hukum Islam seperti apa yang akan ditegakkan dalam negara itu. Misalnya dalam hukum fiqh, apakah hukum yang akan ditegakkan hukum yang bermazhab Maliki, Syafi’i, Hanafi, Hambali, Ja’fari, atau lainnya? Dalam bidang teologi, apakah teologi yang akan diakui oleh negara itu teologi Asy’ariyah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Murjiah atau lainnya. Di Indonesia misalnya apakah yang akan diakui secara sah oleh pemerintah adalah NU, Muhammadiyah, Persis, atau lainnya? Atau misalnya negara yang telah berdiri itu tidak merujuk kepada salah satu mazhab atau golongan yang ada, melainkan berdasarkan penafsiran baru terhadap ayat-ayat Alquran dan Hadis, maka yang berhak menafsirkan itu siapa? Apakah mazhab yang telah ada dapat menerima penafsiran “baru” itu? Mengenai masalah Qunut yang sangat “sepele”, contohnya saja, antara NU dan Muhammadiyah tidak pernah menemukan kata sepakat. Itu dalam ibadah. Dalam bidang ekonomi, misalnya, ada yang mengatakan bahwa bunga bank haram, tetapi ada juga yang mengatakan bunga bank tidak haram. Belum lagi masalah penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Masalah-masalah ini justru akan membuat umat Islam yang berada dalam “Negara Islam” menjadi pecah dan tidak bersatu. Jadi, apa gunanya mendirikan suatu negara yang bernama negara Islam tetapi yang terjadi malah perpecahan di kalangan umat Islam. Sementara itu, menurut saya, dengan menjadikan Islam sebagai ideologi negara akan mengakibatkan Islam setara dengan ideologi-ideologi lainnya, seperti Pancasila, demokrasi, sosialisme, dan komunisme. Islam seharusnya lebih tinggi dari ideologi-ideologi itu. Artinya, Islam seharusnya ditempatkan sebagai sumber bagi ideologi-ideologi yang telah ada, bukan menjadikan Islam setara dengan ideologi-ideologi itu. Dengan menjadikan Islam sebagai ideologi, justru akan merendahkan Islam apabila negara tersebut melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Atas pertimbangan-pertimbangan di atas, saya setuju atau membenarkan pendapat Nurcholish Madjid yang menyatakan tidak ada negara Islam. Saya setuju Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia bahwa yang terpenting adalah dilaksanakannya nilai-nilai keislaman, seperti musyawarah, keadilan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Umat Islam dapat mendorong pemerintah melaksanakan nilai-nilai tersebut melalui organisasiorganisasi kemasyarakatan, pendidikan, dakwah, dan lain sebagainya. Jika nilai-nilai itu bisa dikembangkan, maka apa yang diinginkan oleh Nurcholish Madjid bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat Qurani yang secara tegas menerima yang ma’ruf dan menolak yang mungkar dapat tercapai. Dengan begitu kita dibenarkan, lanjut Nurcholish Madjid, memandang Indonesia sebagai sebuah “Negara Muslim”. Setelah mengkaji pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid, saya berkesimpulan bahwa dia sebenarnya menginginkan nilai-nilai keislaman diterapkan di Indonesia, tetapi bukan dalam kerangka formal negara Islam. Dengan tidak menyebutkan secara formal Indonesia sebagai negara Islam, maka nilai-nilai keislaman itu dapat diterima oleh semua golongan dan pemeluk agama lainnya tanpa harus merasa bahwa mereka telah melaksanakan nilai-nilai keislaman. Apalagi tulisan ini mengkaji hubungan Islam dengan negara pada masa Orde Baru yang pada awalnya tidak bersimpati pada Islam. Pendapat Nurcholish Madjid ini dapat melepaskan umat Islam dari kungkungan perjuangan negara Islam yang tidak disukai oleh Orde Baru. Akan tetapi, gagasan Nurcholish Madjid ini kemudian menimbulkan respons yang luas dari berbagai kalangan, terutama kalangan intelektual Muslim Indonesia. Bagi para pengkritiknya, gagasan Nurcholish Madjid dianggap akan membawa kepada penerapan sekularisme dalam Islam. Padahal menurut mereka dalam Islam istilah itu tidak pernah ada. Istilah tersebut menurut mereka hanya ada di Barat atau dalam agama Kristen. Dikarenakan istilah sekularisasi tidak ada dalam Islam maka mereka menolak dengan keras gagasan Nurcholish Madjid tersebut. Dalam hal ini para pengkritik Nurcholish Madjid menyamakan antara sekularisasi dan sekularisme. Dalam pandangan saya, para pengkritik Nurcholish Madjid telah menyamakan antara sekularisasi dengan sekularisme. Padahal, kedua istilah tersebut dalam pandangan Nurcholish Madjid memiliki perbedaan yang jelas. Perbedaan sudut pandang inilah yang menurut saya mengakibatkan perdebatan Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia mengenai gagasan Nurcholish Madjid lebih banyak berkisar pada permasalahan penggunaan istilah, bukan inti dari gagasannya itu, yaitu membebaskan umat Islam dari mensakralkan partai politik Islam dan konsep negara Islam. Sementara itu dari kalangan yang mendukungnya mencoba memberikan penjelasan bahwa apa yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid tidak menyimpang dari ajaran Islam. Menurut mereka konsep negara Islam atau yang disebut dengan negara Islam tidak ada di dalam Alquran maupun Sunnah. Yang ada di dalam Alquran atau Sunnah, menurut mereka, adalah konsep tentang kehidupan bermasyarakat, seperti persamaan hak, keadilan, dan lain sebagainya. Konsep negera Islam, lanjut mereka, merupakan hasil ijtihad kaum Muslim dalam menghadapi ideologi Barat, seperti demokrasi, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Setelah melakukan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Islam kultural cukup memberikan pengaruh positif bagi umat Islam di Indonesia pada masa Orde Baru. Ketegasan Islam kultural mengenai tidak adanya negara Islam dan ideologi Islam membuatnya tidak dicurigai oleh rezim Orde Baru. Bahkan Islam kultural mampu merubah persepsi pemerintah Orde Baru yang sebelumnya menganggap Islam mempunyai keinginan besar untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Dengan berubahnya persepsi pemerintah Orde Baru tersebut, maka pemerintah lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan umat Islam, seperti mengirimkan dai ke berbagai daerah transmigrasi, membangun masjid melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpin langsung oleh Soeharto, mendukung pembentukan ICMI, pengesahan undang-undang Peradilan Agama, dan lain sebagainya. Dukungan pemerintah ini tidak akan ada apabila umat Islam masih saja terpaku dengan perjuangan politiknya yaitu terbentuknya negara Islam di Indonesia. Namun harus diakui bahwa setelah masa Orde Baru, setelah rezim itu runtuh pada tahun 1998, gagasan Islam kultural menjadi tidak “menarik” bagi sebagian kalangan di Indonesia karena mereka mungkin berpandangan bahwa politik akan memudahkan perjuangan umat Islam pada saat kondisi negara dalam masa transisi. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya bermunculan partai-partai politik Islam di Indonesia, seperti Partai Keadilan (kemudian menjadi Partai Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Keadilan Sejahtera), Partai Bulan Bintang, Partai Masyumi Baru, dan lain sebagainya. Dengan kembali munculnya partai-partai Islam dapat saya simpulkan bahwa Islam kultural hanya memberikan pengaruh pada masa Orde Baru, yaitu ketika umat Islam tidak memperoleh kesempatan secara politik untuk berkembang dan meraih kekuasaan. Tetapi setelah kesempatan itu ada, umat Islam kembali memperjuangkan cita-citanya melalui jalur politik. Dengan demikian, gagasan Islam kultural Nurcholish Madjid hanya memberikan pengaruhnya ketika pemerintah yang berkuasa tidak memberikan kesempatan untuk berkembangnya Islam politik. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia DAFTAR PUSTAKA Karya-karya Nurcholish Madjid Madjid, Nurcholish. (1992). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. ________________. (1993). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. cet. V. Bandung: Mizan. ________________. (1993). Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiranpikiran Nurcholish ‘Muda’. Bandung: Mizan. ________________. (1995). Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. ________________. (1995). Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina. ________________. (1995). Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. ________________. (1996). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina. ________________. (1997). Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina. ________________. (1997). Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina. ________________. (1998). Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer. editor: Edy A. Effendi, Jakarta: Paramadina. ________________. (1999). Cita-Cita Politik Islam era Reformasi. Jakarta: Paramadina. ________________. (2003). Indonesia Kita. Jakarta: Univeritas Paramadina. Buku Abdullah, M. Amin. (2000). Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer. Bandung: Mizan. Abdullah, Taufik, dkk. (editor). (2003). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jilid ke-5. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Ahmed An-Na’im, Abdullahi. (2007). Islam dan Negara Menegosiasikan Masa Depan Syariah. Bandung: Mizan. Sekular: Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. (1986). Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru. Bandung: Mizan. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 175 Universitas Indonesia Ali, Fachry. (1996). Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia. Surabaya: Risalah Gusti. Ali, Mukti. (1991). Memahami beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan. Aminuddin. (1999). Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ananda, Endang Basri (penyunting). (1985). 70 Tahun Prof. Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Harian Umum Pelita. Anderson, Ben. (1988). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Penerjemah: Jiman Rumbo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Anshari, Endang Saifuddin. (1997). Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsesus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (19451959). Jakarta: Gema Insani Press. Anwar, M. Syafi’i. (1995). Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. Jakarta: Paramadina. Aziz, M. Imam, dkk. (penyunting). (1993). Agama, Demokrasi, dan Keadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bahar, Saafroedin, et.al. (Penyunting). (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. edisi. III. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Barton, Greg. (1999). Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran NeoModernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Penerjemah: Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina. Baso, Ahmad. (2006). NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga. Benda, Harry J. (1958). The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation. W. van Hoeve Ltd. – The Hague and Bandung. Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Boland, B.J. (1971). The Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff. Bruinessen, Martin van. (1998). Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Burke, Peter. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Penerjemah: Mestika Zed dan Zulfami. edisi 2. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Cahyono, Heru. (1992). Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: dari Pemilu sampai Malari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Carvallo, Bosco dan Dasrizal (penyunting). (1983). Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS. Dijk, C. Van. (1983). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers. Effendy, Bahtiar. (1998). Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina. _____________. (2005). Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah. Jakarta: Ushul Press. Effendi, Djohan dan Natsir, Ismed (penyunting). (1981). Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Jakarta: LP3ES. Effendi, Edy A. (editor). (1994). Islam dan Dialog Budaya. Jakarta: Puspa Swara. Eickelman, Dale F. dan Piscatori, James. (1998). Ekspresi Politik Muslim. Penerjemah: Rofik Suhud. Bandung: Mizan. Engineer, Asghar Ali. (1993). Islam dan Pembebasan. Penerjemah: Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy. Yogyakarta: LkiS. Ensiklopedi Islam. (1994). Jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Fealy, Greg. dan Hooker, Virginia. (editor). (2006). Voices of Islam in Southeast Asia: a Contemporary Sourcebook, Singapore: ISEAS Publications. Feith, Herbert. (1968). The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. ___________. (1999). Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: KPG. Feith, Herbert dan Castles, Lance. (editor). (1988). Pemikiran Politik Indonesia. Jakarta: LP3ES. Gunawan, Asep. (2004). Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Gottschalk, Louis. (1985). Mengerti Sejarah. Penerjemah: Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. Halim, Abdul (editor). (2006). Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan yang Membebaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas. Hamka. (1982). Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hatta, Mohammad. (1981). Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Jakarta: Tintamas Indonesia. Hassan, Muhammad Kamal. (1987). Modernisasi Indonesia: Cendekiawan Muslim. Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia (LSI). Respon Headley, Stephen C. (2004). Durga’s Mosque: Cosmology, Conversion, and Community in Central Javanese Islam. Singapore: ISEAS Pulications. Hefner, Robert W. (1995). ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia _______________. (1999). Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Penerjemah: A. Wisnuhardana dan Imam Ahmad. Yogyakarta: LkiS. _______________. (2001). Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia. Penerjemah: Ahmad Baso. Jakarta: ISAI dan The Asia Foundation. Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad (editor). (2005). Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta: Paramadina. Indroyono, Gatot (editor). (1997). Islam di Mata Para Jenderal. Bandung: Mizan. Iskandar, Mohammad. (2001). Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950. Yogyakarta: Matabangsa. Karim, M. Rusli. (1992). Islam dan Konflik Politik Era Orde Baru. Yogyakarta: Media Widya Mandala. _____________. (1999). Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kahin, George McTurnan. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan. Kuntowijoyo. (1994). Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press. __________. (2003). Metodologi Sejarah. Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. __________. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana. Kusuma, Erwien dan Khairul (editor). (2008). Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante. Jakarta: BAUR Publishing. Latif, Yudi. (2005). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan. Maarif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES _________________. (2001). Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, Dilema Piagam Jakarta dalam Amendemen UUD 1945. Jakarta: Paramadina. Mahendra, Yusril Ihza. (1999). Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-iIslami (Pakistan), Jakarta: Paramadina. Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi Subandy. (1998). Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia. Mas’oed, Mohtar. (1989). Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Meuleman, Johan (editor). (2001). Islam in the Era Globalization: Muslim Attitudes towards Modernity and Identity. Jakarta: INIS. Mintaredja, Syafaat. (1976). Islam dan Politik, Islam dan Negara di Indonesia. Jakarta: PT. Septenarius. Cetakan Kedua. Mu’nim D.Z, Abdul (editor). (2000). Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta: Kompas. Munawar-Rachman, Budhy (penyunting). (2008). Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Indramayu: Yayasan Pesantren Indonesia Al-Zaytun. Muzani, Saiful (editor). (1993). Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Pustaka LP3ES. Nadroh, Siti. (1999). Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholish Madjid. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Nasery B., Akmal. (1991). Percakapan Cendekiawan Tentang Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. cet. III. Bandung: Mizan. Nasution, Adnan Buyung. (1995). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Penerjemah: Sylvia Tiwon. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (penyunting). (1985). Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Natsir, Mohammad. (2000). Islam sebagai Dasar Negara. Penyunting: Edy Riyanto dan Tatang T. Sundesyah. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Universitas Mohammad Natsir, dan Penerbit Media Dakwah. Noer, Deliar. (1987). Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: Grafiti Pers. __________. (1996). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. cet. ke-8. Jakarta: LP3ES Noer, Deliar dan Akbarsyah. (2005). KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950. Jakarta: Yayasan Risalah. Nordholt, Henk Schulte, et.al (editor). (2008). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: KITLV-Jakarta; Denpasar: Pustaka Larasan. Notosusanto, Nugroho. (1979). The PETA Army During The Japanese Occupation of Indonesia. Tokyo: Waseda University Press. Pabottinggi, Mochtar (penyunting). (1986). Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni bukan-Muslim. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pardoyo. (1993). Sekularisasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Rais, M. Amien. (1987). Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan. Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Rasyid, Daud. (2002). “Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. Rasjidi, M. (1972). Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi. Jakarta: Bulan Bintang. Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi. Ridwan, M. Deden. (2002). Gagasan Nurcholish Madjid: Neo-Modernisme Islam dalam Wacana Tempo dan Kekuasaan. Yogyakarta: Belukar Budaya. Saidi, Ridwan. (2007). Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah, Jakarta: MaHMIlub. Sasono, Agus Edi (penyunting). (1997). Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem. Jakarta: Djambatan. Sjadzali, Munawir. (1991). Islam dan Tata Negara: Aliran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press. _______________. (1993). Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press. Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Suhelmi, Ahmad. (1999). Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler. Jakarta: Darul Falah. Syamsuddin, Din. (2001). Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos. Syamsuddin, Nazarudin. (1984). PNI dan Kepolitikannya. Jakarta: Rajawali Press. Tanja, Victor Immanuel. (1982). Himpunan Mahasiswa Islam. Penerjemah: Hersri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Thaba, Abdul Azis. (1996). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press. Tim Peduli Tapol. (1998). Fakta Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam. Yogyakarta: Wihdah Press. Yustiono, et. al (editor). (1993). Islam dan Kebudayaan: Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal. Wawancara Irfan Abu Bakar, Direktur CSRC (Center for the Study of Religion and Culture) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Juni 2010. Hadi, Mahasiswa Manajemen Universitas Paramadina, 7 Juni 2010 Rian, Mahasiswa Psikologi Universitas Paramadina, 7 Juni 2010 A. Satori Ismail, Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah, Direktur Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah Jakarta, Ketua IKADI (Ikatan Dai Indonesia), dan Pembina Pesantren Al-Hasan di Bekasi, Pesantren Khusnul Khotimah di Kuningan, Pesantren Al-Himmah dan Pesantren Al-Bayyan di Cirebon, serta Pesantren Bani Abdillah Al-Khairiyyah di Banten, 10 Juni 2010 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia Surat Kabar, Majalah, Jurnal, dan Website D & R, No. 05/XXVII/14 September 1996 Forum Keadilan, No. 26, Th. IV, 8 April 1996 Harian Abadi, 3 November 1970 Harian Abadi, 5 Desember 1972 Indonesia Raya, 9 November 1972 Kompas, 3 November 1985 Kompas, 14 Februari 1999 MATRA, No. 77 Desember 1992 Panji Masyarakat, No. 346, 1 Januari 1982 Panji Masyarakat, No. 379/1982 Pikiran Rakyat, 20 Juli 1985 PRISMA, No. 1, Tahun XXII, 1993 The Journal of Asian Studies. Vol. 46, No. 3. Agustus 1987 Tempo, 1 Mei 1972 Tempo, 15 April 1972 Tempo, 12 Agustus 1972 Tempo, 2 Desember 1972 Tempo, 29 Desember 1984 Tempo, 14 Juni 1986 Tempo, 12 Maret 1983 Tempo, 11 September 2005 Tempo, 21/XXXVII/14-20 Juli 2008 Ulumul Qur’an, No. 1, Vol. IV, 1993 www.kompas.com, 30 Agustus 2005 www.tokohindonesia.com, 30 Agustus 2005 www.wikipedia.com, 3 Juni 2010 Islam kultural..., Jamilludin Ali, FIB UI, 2010 Universitas Indonesia