Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid BAB VI PEMIKIRAN NEO-SUFISME NURCHOLISH MADJID A. Hakikat dan Sumber Tasawuf ak Nur dalam pembahasan tentang hakikat tasawuf mempunyai pengertian pada upaya untuk menanamkan dimensi spiritualbatiniah (olah ruhani) sebagai perimbangan atas dimensi syari’ahdzahiriah (Madjid, 1995: 260) secara seimbang seperti dikatakan Ibn Taimiyah bahwa syari’ah Taurat didominasi oleh ketegaran dan syariat Injil didominasi oleh kelembutan; sedangkan syariat al-Quran menengahi dan meliputi keduanya itu (Taimiyah, t.th.: 240) Hal yang demikian itulah menurut Cak Nur yang diajarkan dan diamalkan Nabi, dan tentu yang banyak ditekankan oleh al-Quran. Bahkan al-Quran sendiri menurut berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman spiritual-ruhaniah C 125 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid Muhamad Nur Nabi. Cak Nur dalam hal ini mencontohkan lukisan tentang dua kali pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan malaikat Jibril dan Allah. Yang pertama ketika menerima wahyu dan yang kedua ketika Isra’Mi’raj. Tergambar hal ini pada Q.S. Al-Najm (53): 1-18 (Madjid, 1995: 261) Kaum sufi, dengan tasawufnya, hendak meniru dan mengulangi puncak pengalaman ruhani Nabi bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Pembahasan tentang hakikat tasawuf ini menunjukkan bahwa tasawuf tidah hanya berdimensi keduniaan saja, melainan juga dimensi keakhiratan. Sikap taqwa yang lahir dari pribadi orang Islam juga mencerminkan hakikat tasawuf. Apresiasi Cak Nur terhadap sikap taqwa ini banyak ditemui dalam berbagai tulisannya berkaiatan dengan akhlak mulia. Tentang taqwa ini Amin Syukur (2004: 162) memberikan penekanan bahwa sikap taqwa, tunduk dan patuh kepada Tuhan sebelum datangnya hari kiamat harus berperan dominan dalam perilaku setiap pemeluk agama. Ketaqwaan ini akan memunculkan kemulyaan sejati manusia dalam menyelesaikan persoalan-persoalan keduiaan dan memiliki akhlak mulia yang senantiasa merenungi dan menyadari kian dekatnya hari kiamat. Dengan melihat hakikat tasawuf sebagaimana di atas, jelas tentang sumber utama tasawuf adalah al-Quran dan Hadits Nabi. Sebagai pengagum dan yang selalu merujuk kepada Ibn Taimiyah dan Hamka, dalam hal ini Cak Nur sepaham dengan Ibn Taimiyah maupun Hamka; dimana dalam memberikan penjelasan pemikiran banyak mendasarkan pada referensi al-Quran dan al-Sunnah al-Nabawiyyah.1 Meskipun harus puritan, sufisme juga dapat menerima hasil ijtihad yang tulus dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Artinya dalam sufisme apresiasi ijtihad harus tetap dibuka, bahkan Cak Nur menyatakan sufisme sebagai ijtihad. Dengan mengutip Ibn Taimiyah dalam alShufiyyah wa al-Fuqara’ Cak Nur menyatakan bahwa dalam sufisme sebagian berasal dari Kitab Suci dan Sunnah dengan kemungkinan ijtihad dalam pemahaman dan pengamalannya, dan sebagian lagi adalah hasil penambahan yang tidak sah kepada agama yaitu bid’ah. Karena itu 1 Selain dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban yang banyak menggunakan referensi al Qur‟an dan Hadits, dalam pembahasannya berkenaan dengan dimensi spiritual-sufisme dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan juga selalu dikutip ayat-ayat al-Quran dan Hadits. (Madjid, 1995: 118-214) Neo Sufisme Nurcholish Madjid | 126 Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid sufisme mesti tetap berjalan pada koridor al-Quran dan Sunnah (Madjid, 1995: 98-102). B. Tujuan Tasawuf Inti pengalaman ruhaniah dalam sufisme menurut Nurcholish Madjid, adalah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang sedang berada dihadapan Tuhan, dan bagaimana dapat bertemu dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. (Madjid, 1992: 262). “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah Hadits sebagai “sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu menurut Nurcholish Madjid, segala rahasia kebenaran “tersingkap” (kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna (fana’) dalam kebenaran (Madjid, 1992: 262). C. Validitas Tasawuf Tasawuf merupakan bagian dari ajaran Islam. Dalam masalah keabsahan tasawuf, Cak Nur tidak mau terjebak pada sikap penghakiman (judgement). Hal ini menurutnya bahwa setiap pengalaman ruhanispiritual itu mengarah ke dalam, dan dengan sendirinya bersifat subjektifpribadi. Sehingga mustahil pengalaman tersebut dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya lebih merupakan milik pribadi. Wajar kalau kemudian muncul ungkapan-ungkapan ganjil dan sering menggunakan kata kiasan (amtsal) dan perlambang (ramz). Untuk itu Cak Nur menyarankan agar ungkapan-ungkapan tersebut harus dipahami dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta’wil). Sebab kaum sufi tetap berpegang pada Kitab Suci dan Hadits dengan metode ta’wil pemahamannya dan tidak memahaminya secara tekstual-lahiriah (Madjid, 1992: 262-264).2 Pengalaman metaforis pribadi seperti kasfy menurut Cak Nur adalah absah dan valid, namun bersifat pribadi dan tidak berlaku untuk orang lain. Kasfy tidak boleh diklaim sebagai mesti benar, sebab kebenaran suatu pengalaman kasyf adalah sebanding dengan kebersihan 2 Dengan metode tersebut secara empati Cak Nur tidak mengutuk sesat apa yang dialami oleh para sufi terdahulu seperti Ibn „Arabi dan al-Hallaj. Inilah yang membedakannya dengan Ibn Taimiyah. 127 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid Muhamad Nur hati orang yang bersangkutan. Pengalaman kasyf merupakan sumber kebahagiaan pribadi yang tiada taranya, namun hal tersebut tidak dapat disertai orang lain (Madjid, 1996: 103-104) Cak Nur senada dengan Ibn Taimiyah bahwa pengalaman kasyf harus dibawa kepada proses intelektual yang sehat (Madjid, 1994: 43). Berkaitan dengan pengalaman mistis, Cak Nur mengakui bahwa pengalaman mistis sufi merupakan pengalaman keagamaan sejati. Seorang akan terpengaruh oleh pesan dalam pengalaman tersebut yang dibawa seumur hidupnya. Walaupun pengalamannya sesaat (transitory), tapi relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Dalam pengalaman intense sesaat tersebut orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran (truth consciousness) yang utuh itulah yang menimbulkan rasa tentram yang mendalam; suatu euphoria yang tidak terlukiskan, yang juga disertai kesadaran akan posisi, arti dan peran diri sendiri yang proporsional yaitu “tahu diri” (ma’rifat al-nafs) sebagai ‘abid dan makhluk yang harus pasrah-tunduk (Islam) kepada-Nya. Untuk menjadikan pengalaman mistik lebih dahsyat, Cak Nur menganjurkan agar tasawuf dijadikan dorongan hidup bermoral; ajaran tasawuf sebagai ajaran akhlak. Akhlak yang hendak diwujudkan adalah “Akhlak Tuhan”, sesuai dengan Hadits Nabi: “berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah” (Madjid, 1992: 265-266). Berdasarkan pembahasan tentang validitas tasawuf dapat disimpulkan bahwa sebagai tolok ukur standar kebenaran itu al-Quran dan hadits. Cak Nur menyatakan dengan mengutip Ibn Taimiyah bahwa yang benar adalah apapun yang berdasarkan Kitab Suci dan Sunnah pada kedua dimensi Islam (lahiri dan zahiri) adalah benar. Dan apapun yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah adalah bathil (Taimiyah, t.th.: 10). Lihat juga (Madjid, 1992: 258). D. Keseimbangan antara Syari’ah dan Sufisme Apresiasi Cak Nur terhadap tasawuf berpegang pada pandangan bahwa Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, memberikan tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoteriklahiriah dan esoterik-batiniah sekaligus. Memberikan tekanan yang berlebihan kepada salah satu aspek dari dua aspek penghayatan tersebut, atau bahkan claim truth atasnya, hanya akan menghasilkan Neo Sufisme Nurcholish Madjid | 128 Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibrium (tawazun) dalam Islam (Madjid, 1995: 91). Cak Nur dalam wacana tasawuf menyetujui sikap Hamka, harus memakai alur pikiran yang memberi apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoterisme Islam, dan sekaligus selalu diberi peringatan (warning) bahwa esoterisme itu harus tetap terkendalikan oleh ajaranajaran standar syari’ah. Jenis kesufian semacam inilah yang sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah, merupakan kelanjutan dari ajaran Islam itu sendiri, seperti termaktub dalam al-Quran dan Sunnah, dan tetap dalam pengawasan kedua sumber itu, kemudian ditambah dengan ketentuan untuk tetap menjaga keterlibatan dalam masyarakat secara aktif (Madjid, 1995: 92-93). Nurcholish Madjid lebih menyetujui model tasawuf baru (neosufisme), sebagaimana telah dipelopori oleh Ibn Taimiyah, yang dikumandangkan Fazlur Rahman dan Hamka dari pada model tasawuf asketis-klasik. Cak Nur lebih cenderung pada spiritualisme sosial (alruhaniyyah al-ijtima’iyyh) daripada spiritualisme isolatif-pasif.3 Selain itu adalah hal istiqamah misalnya, Cak Nur mengartikannya sebagai teguh hati, taat asas, dan konsisten. Juga mengandung arti kemantapan dan stabilitas yang dinamis bukan kemandegan atau statis-stagnan-pasif. Dengan mengutip al-Quran surat Al-Jinn ayat 16,4 Cak Nur menegaskan bahwa sikap istiqamah itu sangat diperlukan manusia apalagi vis a vis modernitas yang ditandai oleh adanya “institutionalized change”. Di era kini manusia harus tetap bergerak, melaju, stabil tanpa goyah sesuai dengan arah dan tujuan hidup muslim, tidak tergoyahkan oleh cara hidup yang terus berubah. Artinya tetap berjalan di atas kebenaran demi 3 Dalam hal ini Nurcholish Madjid membandingkan pandangan zuhud jawa Klasik sebagaimana ditulis Muhammad Ramli Tamim dengan pandangan zuhud modernnya Said Ramadhan al-Bhuty. Tuntunan untuk sampai kepada spiritualisme sosial itu adalah: (1) membaca dan merenungkan makna Kitab Suci Al-Quran; (2) membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi saw, melalui Sunnah dan Sirahnya; (3) memelihara hubungan dengan orang-orang saleh; (4) menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Quran dan Hadits dengan sikap penuh percaya,; (6) melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah lebih lanjut lihat, (Madjid, 1995: 94-98). 4 Pedoman Cak Nur adalah Surat Al Jin ayat 16 artinya: “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak)” (Q.S. Al Jin: 16) (Soenarjo, 2003: 716). 129 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid Muhamad Nur kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, sang Kebenaran Mutlak dan Abadi (Madjid, 1994: 175). Neo-sufisme itu menurut Cak Nur, (1995: 98) justru menegaskan konsistensinya ajaran tasawuf yang terintegrasi dengan ajaran Islam yang sahih. Lebih lanjut Cak Nur menyatakan bahwa neo-sufisme adalah esoterisme atau penghayatan keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam masalah sosial-kemasyarakatan. Sesekali azlah mungkin ada baiknya, tetapi jika hal tersebut dilakukan untuk menyegarkan kembali wawasan dan meluruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak untuk pelibatan diri dan aktifitas segar lebih lanjut. Selain itu neo-sufisme mestilah kritis-puritanis. Hal ini menurut Cak Nur, dengan merujuk pada Ibn Taimiyah, memang diakui adanya unsur-unsur yang baik dan ada juga hal-hal lain yang dianggap bid’ah. Oleh karena itu dalam neo-sufisme mengharuskan praktik dan pengalamannya tetap dalam kontrol dan lingkungan ajaran Kitab dan Sunnah. Tetapi sufisme baru juga harus tetap membuka peluang bagi penghayatan makna hidup (Madjid, 1995: 102-104). Kajian terhadap latar belakang pemikiran neo-sufiosme Cak Nur di atas, Nampak bahwa pemikiran dan pandangan Ibn Taimiyah dan Hamka berpengaruh besar padanya. Hampir semua pandangan Cak Nur tentang sufisme mengambil kepada Ibn Taimiyah dan Hamka. Berdasarkan simpulan tersebut dapat dikatakan bahwa selain Cak Nur sebagai pengikut neo-sufisme, ia juga sebagai “Taimiy” atau “Taimiyah Baru”. Kepeloporan Ibn Taimiyah dan Hamka nampaknya juga ditiru Cak Nur yang juga begitu aktif di bidang intelektual, keagamaan, sosial budaya, dan pandangan politik, serta hubungan antar agamanya yang inklusifkosmopolit. Keterpengaruhan Cak Nur dalam bidang yang terakhir dapat dilihat bahwa betapapun pemikiran Ibn Taimiyah dan Hamka adalah radikalpuritan dan salafi terutama dalam memegang teguh doktrin ortodok, namun pandangan politiknya, berkenaan dengan kenegaraan dan pemerintahan, terlihat sangat toleran dan membuka wacana pluralism dalam Islam. Misalnya doktrin Taimiyah yang dipegangi adalah: “enam puluh hari bersama pemerintahan yang dzalim masih lebih baik daripada satu hari kekacauan”, dan menurutnya ummat Islam boleh memiliki lebih dari satu pemimpin (Madjid, 1993: 42) Pandangan semacam ini tidak jauh Neo Sufisme Nurcholish Madjid | 130 Pemikiran Neo Sufisme Nurcholish Madjid berbeda maknanya dengan pernyataan Cak Nur pada tahun 1970-an: “Islam Yes, partai Islam No”, yang pada waktu itu kaum muslimin terkungkung oleh partai Islam, yang justru karenanya Islam kehilangan dinamikanya, sehingga menjadi memfosil dan absolut (Hasan, 1987: 243252). Juga mengenai kosmopolitanisme dan inklusifisme Islam yang disosialisasikan oleh Nurcholish Madjid identik dengan pemikiran purifikasi tasawuf Ibn Taimiyah dan tasawuf modern Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah). (Madjid, 1992: 14-16). 131 | Neo Sufisme Nurcholish Madjid